BAB VI KESIMPULAN, KONTRIBUSI TEORITIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 6.1 Kesimpulan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI KESIMPULAN, KONTRIBUSI TEORITIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 6.1 Kesimpulan"

Transkripsi

1 BAB VI KESIMPULAN, KONTRIBUSI TEORITIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan beberapa temuan lapangan yang menyangkut pola sebaran industri kreatif pada lima kawasan amatan yaitu Dago, Cihampelas, Riau/RE. Martadinata, Cibaduyut dan Suci serta adanya fenomena lapangan yang menyangkut pola penggunaan lahan, fungsi kawasan dan pola perjalanan wisatawan di Kota Bandung, maka diambil kesimpulan penelitian sebagai berikut: 1. Bentuk pola sebaran industri kreatif pada destinasi pariwisata di Indonesia Hasil penelitian menunjukkan bahwa proposisi pertama Sebaran industri kreatif pada destinasi pariwisata membentuk berbagai macam pola yang didasarkan pada karakter, fungsi kegiatan, proses produksi dan sistem keruangan dapat diperkuat dengan temuan penelitian. Hal ini dapat ditunjukkan dengan sebaran lokasi usaha penjualan fesyen, kuliner dan bangunan arsitektur serta sebaran lokasi produksi industri fesyen pada kawasan penelitian yang membentuk pola sebaran tidak sama. Dari aspek ekonomi, penelitian mengungkapkan adanya kecenderungan lokasi penjualan industri fesyen sebagai atraksi wisata belanja, yang mendekati atau menyatu dengan bangunan usaha lainnya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan konsentrasi kegiatan factory outlets dan kuliner pada satu lokasi. Temuan ini memperkuat teori pengembangan destinasi yang terkait dengan daya tarik suatu tempat seperti dinyatakan oleh Soane (1992) dalam Davidson and Maitland (2002;23) yaitu untuk menambah daya tarik wisata destinasi dan teori Destinasi Pariwisata lainnya (Inskeep, 1991 dan Hall 2000). Pengelompokan industri fesyen dan kuliner dalam fungsinya sebagai atraksi wisata, dapat memperkuat konsep pariwisata perkotaan dan ciri destinasi pariwisata (Davidson dan Maitland, 1997) yang menekankan bahwa suatu destinasi pariwisata merupakan kawasan yang kompleks dengan berbagai keragaman produk wisata dan berbagai kegiatan 284

2 perekonomian lainnya yang dapat menunjang kegiatan pariwisata ataupun yang mungkin bertentangan dengan kegiatan pariwisata. Temuan mengenai pola sebaran penjualan industri kreatif pada kawasan atau destinasi pariwisata yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi, aksesibilitas, topografi, kebijakan, dan pola perjalanan wisatawan, serta adanya faktor tradisi dan kekerabatan yang mempengaruhi pola sebaran produksi dapat mengisi celah dan kekosongan konsep klaster industri kreatif yang dinyatakan oleh Lazzaretti & Coke (2006), Evans (2009), Harvey Dkk (2012) dan Horley (2010) yang menekankan pada terbentuknya pola klaster produksi dan belum menyinggung sama sekali mengenai pola sebaran industri kreatif dalam fungsi kegiatan penjualan serta keterkaitannya dengan pasar wisatawan yang selalu dinamis. Penelitian mengungkapkan adanya faktor toleransi dan unsur gotong royong yang mempengaruhi pembentukan pola klaster utama dan klaster pendukung seperti ditemukan pada kelompok produsen kaos dan sablon di kawasan Suci. Hasil penelitian ini merupakan temuan yang dapat memperkaya teori Kelas Kreatif (Florida, 2006) dan memperbaiki Konsep Klaster Industri Kreatif yang dikemukakan oleh Lazzaretti et.al (2006). Beberapa konsep tentang industri kreatif yang ada selama ini melihat unsur budaya hanya sebagai faktor pendukung kreatifitas dan inovasi, bukan dalam proses produksi. Hasil lain dari penelitian menunjukkan bahwa klaster produksi tidak selalu tergantung pada pemusatan tenaga kerja dan sumber bahan baku. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya sebaran usaha kreatif yang berdiri sendiri dan menggunakan sedikit tenaga kreatif atau trampil, dibandingkan dengan usaha industri kreatif yang diteliti di luar negeri. Temuan ini memperlemah hasil penelitian Lazzaretti dan Coke (2006), Khang (2010), Berg dan Hassink (2012) dan Meiqing dan Lijun (2008) yang menekankan pada konsentrasi tenaga kerja, budaya dan policy. 2. Konsentrasi kegiatan ekonomi yang ditimbulkan oleh adanya interaksi yang dinamis antara industri kreatif dan industri pariwisata. 285

3 Proposisi II yaitu Kegiatan pariwisata memicu terjadinya konsentrasi kegiatan industri kreatif yang bersifat penjualan dan pemasaran. Konsentrasi kegiatan industri kreatif yang berkaitan pariwisata dapat mengakibatkan pergeseran pola penggunaan lahan dan fungsi kawasan setempat karena adanya kekuatan antara kedua sektor tersebut yang saling mempengaruhi, dapat diperkuat dengan adanya konsentrasi fasilitas penjualan industri fesyen di kawasan Dago, Cihampelas dan Riau/RE. Martadinata sehingga mengakibatkan peningkatan kegiatan pada ketiga kawasan tersebut. Terjadinya konsentrasi kegiatan kedua industri tersebut menimbulkan pergeseran fungsi bangunan, pola penggunaan lahan serta perubahan fungsi kawasan perumahan menjadi kawasan beragam fungsi (komersial). Perubahan dalam kawasan (Dago dan Riau) menunjukkan bahwa antara industri kuliner dan fesyen dengan heritage atau bangunan arsitektur memiliki hubungan yang sangat kuat dan antar keduanya dapat saling mendukung dalam fungsinya sebagai amenitas wisata. Kecenderungan ini bukan hanya terlihat di Kota Bandung saja, tetapi dapat dilihat pula di Yogyakarta, Bogor, Bali dan Jakarta. Sinerjitas antar subsektor/ jenis industri kreatif dalam fungsinya sebagai fasilitas pelayanan wisata dapat ditunjukan pada gambar 6.1 berikut. Wisatawan Destinasi Pariwisata Atraksi Wisata Kuliner Untuk saling melengkapi dan memperkuat citra Fesyen Bangunan Arsitektur Gambar 6.1 Hubungan antar industri kreatif sebagai fasilitas pelayanan wisata Sumber: Peneliti,

4 Sementara perubahan fungsi bangunan yang diakibatkan oleh pergeseran fungsi kegiatan di dalamnya disebabkan oleh adanya peningkatan faktor permintaan atau demand. Peningkatan ekonomi pada sebagian masyarakat diimbangi dengan peningkatan kebutuhan lainnya termasuk kegiatan berwisata dan rekreasi. Salah satu kecenderungan yang nyata terlihat di Kota Bandung adalah pesatnya perkembangan usaha kuliner sebagai faktor penawaran/supply dalam sebuah destinasi. Peningkatan faktor supply ini karena adanya peningkatan permintaan atau demand (Gunn, 1988 dan 1994). Salah satu demand wisatawan saat ini adalah tuntutan akan adanya wisata belanja yang dilengkapi dengan wisata kuliner seperti dinyatakan oleh wisatawan dan hasil survei terhadap pelaku usaha. Di sisi lain adanya kecenderungan wisata belanja yang dilengkapi dengan kuliner merupakan peluang baru bagi masyarakat setempat untuk dapat meraih lebih banyak manfaat ekonomi dari kegiatan pariwisata. Ditinjau dari sebaran kegiatannya, hasil penelitian ini dapat memperkuat teori perkembangan kota (Harris dan Ullman, 1945) dimana kota tidak tumbuh dengan satu pusat kegiatan saja namun terbentuk sebagai suatu proses perkembangan dan integrasi yang berlanjut secara terus menerus dari sejumlah pusat-pusat kegiatan yang terpisah satu sama lain dalam satu sistem perkotaan. Pesatnya pertumbuhan kedua industri yang dinamis tersebut apabila tidak ditangani dan direncanakan secara tepat dan terintegrasi dengan perencanaan tata ruang destinasi pariwisata akan membawa pada penurunan kualitas destinasi pariwisata. Penelitian menunjukkan bahwa wisatawan sebagai pasar tidak menjadikan harga sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan pembelian. Hal ini disebabkan daya beli pasar yang bervariasi dan motivasi perjalanan yang senantiasa berubah secara dinamis. Perubahan kota terkait dengan upaya pemenuhan terhadap demand wisatawan sehingga jauh keluar dari zona pariwisata yang telah ditentukan (Maitland dalam Richards & Wilson, 2007:77). Motivasi perjalanan dan persepsi wisatawan tidak mudah dan sederhana untuk dapat diakomodasi sebagai tipologi wisatawan dikarenakan sangat bervariasinya tujuan wisata seseorang ke sebuah destinasi pariwisata kota. Sebagai contoh: wisatawan datang ke Bandung untuk bisnis sambil 287

5 berlibur atau mengunjungi kerabat dan motivasi lainnya.kegiatan Industri Kreatif dan Pariwisata yang saling mempengaruhi dalam sebuah destinasi pariwisata dapat digambarkan sebagai berikut ini. Wisatawan Kawasan /Destinasi pariwisata Saling mempengaruhi Kegiatan Pariwisata Kegiatan Industri Kreatif Gambar 6.2 Kegiatan industri kreatif dan pariwisata yang saling mempengaruhi Sumber: Peneliti (2013) 3. Pengaruh sistem keruangan destinasi pariwisata dan pola perjalanan wisatawan terhadap pola sebaran industri kreatif. Proposisi III yang diajukan yaitu Pertumbuhan klaster industri kreatif pada sebuah destinasi pariwisata dipengaruhi oleh sistem keruangan destinasi dan pola perjalanan wisatawan dapat diperkuat dengan temuan pada kelima kawasan amatan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan perluasan sebaran lokasi restoran/café sebagai usaha kuliner yang cenderung pada lapisan dalam kawasan (Dago dan RE. Martadinata) karena adanya koridor penghubung dan jalur-jalur pergerakan (jalur utama dan sekunder) yang dilalui oleh pola perjalanan wisatawan. Sebaran usaha kuliner tersebut cenderung membentuk pola berkelompok dan bersinerji dengan 288

6 bangunan-bangunan kuno/arsitektur Eropa untuk menambah daya tarik atraksi wisata kuliner. Sementara kegiatan produksi memilih lokasi pada lingkungan perumahan karena umumnya industri kreatif di Indonesia berbasis pada usaha kecil dan produksinya memerlukan infrastruktur dan transportasi yang memadai. Hal ini dapat ditunjukkan dengan lokasi Cibaduyut yang dekat dengan pintu-pintu masuk ke Kota Bandung dan jalan lingkar luar serta jalan tol antar kota. Kawasan Suci berada pada jalur arteri yang mudah dicapai dari jalan layang Pasopati dan tol Cipularang (pintu Pasteur). Dengan diperolehnya semua temuan lapangan maka ketiga proposisi yang diajukan dapat didukung semuanya oleh hasil penelitian meskipun masih ada kekurangannya, khususnya yang berkaitan dengan sistem keruangan dan kegiatan industri kreatif yang tampak berbaur dengan kegiatan pariwisata. 6.2 Kontribusi Teoritik dan Dialog Teori Kontribusi teoritik Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola sebaran penjualan Industri kreatif pada destinasi pariwisata di Indonesia cenderung linier pada jalur-jalur utama karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi, kondisi lahan, aksesibilitas dan pola perjalanan wisatawan. Sementara pola sebaran produksi industri kreatif cenderung menyebar secara berkelompok karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi, infrastruktur, budaya, tradisi dan faktor kekerabatan. Dengan demikian, maka hasil penelitian ini dapat memperbaharui konsep klaster kreatif yang selama ini ada dengan memasukkan sistem keruangan destinasi pariwisata (aksesibilitas dan infrastruktur), faktor kekerabatan serta pola perjalanan wisatawan sebagai pertimbangan dalam menentukan lokasi penjualan industri kreatif dan bukan hanya ditekankan pada faktor ekonomi, jarak dan harga. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas maka konsep baru mengenai pola sebaran industri kreatif di Indonesia dapat dinyatakan sebagai berikut: 289

7 (1) Pola sebaran penjualan Industri kreatif pada destinasi pariwisata cenderung linier pada jalur-jalur utama karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi, aksesibilitas dan pola perjalanan wisatawan. Konsep ini dapat diimplementasikan pada pola sebaran penjualan fesyen dan kerajinan di Kuta dan Ubud, Bali dan Kasongan, Yogyakarta yang cenderung menempati lokasi pada jalur utama dan dilalui oleh arus perjalanan wisatawan karena faktor aksesibilitas yang tinggi. (2) Pola sebaran produksi industri kreatif cenderung menyebar atau berkelompok. Pola berkelompok karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi, infrastruktur, budaya dan tradisi serta faktor kekerabatan. Sementara pola menyebar karena dipengaruhi oleh faktor tenaga kerja seperti terlihat pada lokasi- lokasi produksi industri kreatif yang menyebar di lingkungan perumahan (animasi, fesyen, computer games, catering/kuliner). Sebaran lokasi industri kreatif di Indonesia tidak selalu tergantung pada konsentrasi tenaga kerja, jarak dari sumber bahan baku dan persaingan. Terbentuknya pola klaster produksi industri kreatif lebih dipengaruhi oleh proses produksi, budaya, sejarah, tradisi dan sistem keruangan. (3) Penelitian mengungkapkan bahwa Toleransi muncul karena adanya hubungan kekerabatan dan sikap positif terhadap perkembangan pariwisata seperti terlihat pada masyarakat Kota Bandung. Temuan ini memperkaya teori Florida, dimana toleransi akan lebih mudah muncul pada masyarakat yang masih memiliki akar budaya yang kuat. Pada teori Kelas Kreatif (Florida, 2008), toleransi dalam kelas kreatif menyangkut sikap penerimaan terhadap keragaman namun belum menyinggung aspek hubungan kekeluargaan, kegotongroyongan dan kehidupan bersama dalam ruang produksi yang terbatas. (4) Konsep baru lain yang dapat dimunculkan dalam penelitian ini menyangkut konsentrasi industri kreatif yang dipengaruhi oleh kekuatan industri pariwisata dan dapat mengakibatkan pergeseran pola penggunaan lahan. Konsep baru ini diharapkan dapat memperbaiki konsep pariwisata perkotaan yang dinyatakan oleh Jansen dan Verbeke (1986) dan Page (1995) yang 290

8 menyatakan bahwa pariwisata perkotaan hanya merupakan seperangkat kebutuhan wisatawan atas sebuah kota dimana mereka dan penduduk setempat memanfaatkan kota secara berbeda. (5) Temuan mengenai pola sebaran penjualan industri kreatif yang mempengaruhi perubahan fungsi kawasan wisata menunjukkan adanya peningkatan pergerakan wisatawan yang mengakibatkan pergeseran fungsifungsi kegiatan di dalamnya. Dari penjelasan tersebut diatas, konsep baru lainnya yang dapat diajukan dari penelitian ini adalah pertumbuhan industri kreatif pada sebuah destinasi pariwisata mendekati pusat-pusat pertumbuhan industri pariwisata karena dipengaruhi oleh kondisi sistem keruangan setempat dan arus kunjungan wisatawan. Konsep baru ini akan mempengaruhi teori struktur ruang dan penggunaan lahan (Harris & Ullman, 1945 dan Colby, 1933) yang menekankan pada proses pertumbuhan kota dalam suatu sistem perkotaan namun teori-teori tersebut belum menjelaskan lebih jauh adanya hubungan kuat yang saling mempengaruhi antara 2 kegiatan ekonomi yang dominan dan terkait dengan pola pergerakan wisatawan. Berdasarkan kajian dan penjelasan tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dapat diajukan teori baru tentang pola sebaran industri kreatif pada sebuah destinasi pariwisata sebagai berikut; Pertama, pertumbuhan industri kreatif membentuk beragam pola sebaran karena dipengaruhi oleh karakteristik dan fungsi kegiatan industri kreatif, budaya, proses produksi, kebijakan dan sistem keruangan destinasi. Kedua, interaksi dinamik antara industri kreatif dengan industri pariwisata dapat mengakibatkan perubahan penggunaan lahan karena adanya peningkatan kegiatan dan arus kunjungan wisatawan. Teori baru ini bersifat lokal karena didasarkan pada penelitian studi kasus di Kota Bandung dan guna memperkuat kedudukan teori baru tersebut, perlu untuk mendialogkannya dengan lokasi-lokasi pusat penjualan dan produksi industri kreatif di luar Kota Bandung seperti halnya di Yogyakarta, Bali dan Inggris. Mengingat bahwa selama ini konsep-konsep tentang sebaran industri kreatif yang 291

9 dihasilkan oleh beberapa peneliti terdahulu (Lazzaretti et.al 2009; Turk, 2003; Kunzmann, 2004; Khang, 2010; Meiqing & Lijun, 2008; Berg & Hassink, 2012 dan Lundersquit, 2002) belum dirangkai menjadi sebuah teori. Sejauh pengetahuan peneliti belum ada suatu teori tentang pola sebaran industri kreatif yang terkait dengan sistem keruangan destinasi pariwisata. Sebaran industri kreatif pada destinasi pariwisata yang dipengaruhi oleh sistem keruangan destinasi dan pola perjalanan wisatawan dapat ditunjukkan sebagai klaster kreatif seperti ditunjukkan pada gambar 6.3 berikut. Komponen-komponen destinasi pembentuk sistem keruangan destinasi pariwisata Lingkungan permukiman Klaster kreatif Zona Transisi Pusat Pertumbuhan Industri Kreatif & Pariwisata Kegiatan industri kreatif Kegiatan pariwisata Pola Perjalanan Wisatawan Gambar 6.3. Pertumbuhan industri kreatif pada destinasi pariwisata Sumber : Koestantia (2014) 292

10 6.2.2 Dialog teori Telah diungkapkan di atas bahwa sejauh ini belum ada teori lain tentang pola sebaran industri kreatif dan sistem keruangan destinasi pariwisata, sehingga dialog teoritik dalam hal ini tidak dilakukan terhadap teori lainnya. Untuk itu dilakukan dialog teori dengan lokasi sebaran industri kreatif sebagai berikut: (1). Pengamatan atas sentra produksi gerabah di Kasongan, Yogyakarta menunjukkan bahwa lokasi Kasongan memiliki kemudahan aksesibilitas dan infrastruktur yang cukup baik. Kasongan berhasil mengubah citra kawasan pertanian di pedesaan dengan citra sentra industri kreatif. Kasongan dikunjungi oleh wisatawan karena dipengaruhi oleh sistem keruangan destinasi pariwisata Yogyakarta (aksesibilitas, infrastruktur dan kebijakan) serta adanya promosi pariwisata setempat. Sebaran penjualan industri gerabah di Kasongan membentuk pola linier mengikuti pola jalur utama seperti ditunjukkan pada gambar Meskipun pertumbuhan industri gerabah di Kasongan semata-semata bukan dipicu oleh adanya kegiatan pariwisata di Bantul, adanya promosi pariwisata Yogyakarta sebagai kota budaya merupakan salah satu faktor pendorong yang cukup kuat bagi pertumbuhan industri gerabah (wawancara dengan Kepala Desa Bangunjiwo, 15 Mei 2009). Wisatawan yang berkunjung ke Desa Kasongan di antaranya merupakan pembeli/buyers sehingga memiliki peran yang cukup besar pula dalam mengenalkan produk gerabah di luar negeri (wawancara dengan pihak Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kab. Bantul, 2010).Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa industri pariwisata Yogyakarta secara kuat mempengaruhi pertumbuhan industri gerabah di Kasongan. (2). Sebaran industri kreatif di kawasan Kuta Bali jelas menunjukkan adanya pengaruh sistem keruangan dan pola perjalanan wisatawan. Pertumbuhan industri fesyen, kerajinan dan kuliner dapat terlihat pada jalur-jalur yang dilalui oleh arus perjalanan wisatawan, terkait dengan faktor aksesibilitas serta ketersediaan infrastruktur yang dibutuhkan oleh wisatawan. Pesatnya pertumbuhan industri kreatif di Bali seiring dengan perkembangan pariwisata dan berimplikasi pada pola 293

11 penggunaan lahan serta perubahan kawasan Kuta. Daya tarik wisata pantai dan budaya berdampak pada peningkatan kegiatan pariwisata setempat dan memicu terjadinya konsentrasi kegiatan penjualan industri fesyen, kerajinan dan kuliner yang berbaur dengan fasilitas pelayanan wisata lainnya seperti akomodasi, sementara area permukiman penduduk semakin berkurang. (3). Berdasarkan pengamatan intensif terhadap pusat penjualan fesyen (factory outlets) Bicester, disimpulkan bahwa lokasi Bicester memiliki aksesibilitas yang tinggi dan didukung oleh adanya infrastruktur, termasuk moda transportasi umum yang sangat memadai. Pemilihan lokasi pusat wisata belanja di luar kota London dipengaruhi oleh faktor kebijakan Pemerintah Inggris untuk mengurangi beban kota London dan kota-kota besar lain di sekitarnya. Keberadaan pusat-pusat wisata belanja seperti BVOS tetap menimbulkan masalah lain bagi penduduk, terutama faktor ketenagakerjaan (employment) dan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh banyaknya kendaraan menuju lokasi BVOS terutama pada akhir pekan. (4). Sebaran lokasi produksi sepatu di Northampton membentuk pola menyebar dalam sebuah area yang berdekatan. Pola sebaran produksi sepatu ini berbeda dengan pola sebaran penjualan fesyen di BVOS yang bentuk enclave (terpusat dan tertutup). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pola sebaran yang dipengaruhi oleh karakteristik industri dan fungsi kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Arus kunjungan wisatawan ke Northampton tidak setinggi arus kunjungan ke BVOC dipengaruhi oleh faktor kebijakan. Northampton merupakan kawasan konservasi shingga lebih sedikit menerima arus kunjungan wisatawan dibandingkan atraksi wisata belanja yang umumnya cenderung lebih menarik bagi wisatawan akhir-akhir ini. Berdasarkan kajian atas 4 lokasi pertumbuhan industri kreatif tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa sebaran industri kreatif pada lokasi-lokasi tersebut membentuk berbagai macam pola sebaran. Dengan demikian maka teori klaster kreatif yang dibangun dari hasil penelitian di Kota Bandung ini, sebagian besar dapat diadopsi untuk lokasi lain. 294

12 Keterkaitan antara sebaran industri kreatif dengan sistem keruangan destinasi pariwisata dapat digambarkan sebagai diagram berikut ini. Gambar 6.4 Interaksi dinamik antara industri kreatif dengan industri pariwisata Sumber: Koestantia (2014) 6.3 Implikasi Hasil Penelitian Implikasi hasil penelitian ini terhadap Ilmu Arsitektur dan Perencanaan adalah berkaitan dengan perencanaan tata ruang kota. Dalam upaya mewujudkan konsep kota yang berkelanjutan atau Kota Kreatif, ruang-ruang untuk industri kreatif perlu ditata dengan tepat dan baik. Suatu lingkungan akan mendukung pembentukan klaster kreatif apabila didukung oleh ketersediaan perumahan yang layak dan terjangkau masyarakat sebagai tenaga kreatif, adanya infrastruktur yang 295

13 memadai dan pembinaan terhadap ketrampilan kreatif antara lain melalui pemeliharaan budaya. Dari sebaran industri kreatif di wilayah penelitian yang seolah-olah berlomba menempati lokasi yang strategis dan menguntungkan, perlu dipertimbangkan bahwa Klaster Kreatif tidak hanya sebagai tempat penampungan produk kreatif, namun lebih penting untuk menjaga nilai-nilai kelokalan yang ada agar ruang kreatif tetap dapat terjaga. Untuk penciptaan Klaster Kreatif perlu adanya pendekatan budaya dan dimensi sosial, bukan semata-mata hanya untuk kepentingan ekonomi. Bagi Indonesia yang baru mulai mengembangkan Industri Kreatif, perlu dibina jejaring kreatif dan memberikan ruang yang cukup bagi kelompok-kelompok kreatif di setiap wilayah agar pertumbuhan industri kreatif tidak cenderung pada penurunan kualitas ruang atau lingkungan. Klaster kreatif dapat diciptakan mulai dari lingkungan terkecil seperti lingkungan perumahan sebagai upaya membina lingkungan yang nyaman dan tertata. Implikasi hasil penelitian ini terhadap kebijakan adalah membantu upaya pencegahan dampak negatif dari pertumbuhan industri kreatif dan pariwisata terutama di kota-kota besar dengan pembentukan kantong-kantong kreatif atau klaster kreatif yang direncanakan secara tepat. Ruang-ruang produksi kreatif dapat diberdayakan sebagai atraksi wisata melalui pembinaan dan penataan fisik yang lebih baik serta adanya promosi dan jejaring kreatif, sehingga kegiatan industri kreatif dapat bersinerji dengan kegiatan pariwisata untuk memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. Dengan semakin pesatnya perkembangan pariwisata di suatu destinasi perlu adanya perencanaan yang terintegrasi antara industri kreatif dan industri pariwisata dengan perencanaan kota sebagai destinasi pariwisata. Pengelompokan pekerja kreatif atau produsen produk kreatif karena didasari oleh faktor kekerabatan akan mempengaruhi arus urbanisasi ke kota atau destinasidestinasi pariwisata yang menjanjikan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kebutuhan ruang setempat dan rawan terhadap munculnya pemukiman-pemukiman padat/kumuh dalam kota atau destinasi pariwisata. Di sisi lain perkembangan pariwisata akan membawa perubahan-perubahan terhadap masyarakat setempat, baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Perubahan yang signifikan dalam 296

14 bidang perencanaan kota adalah perubahan fungsi kawasan perumahan menjadi kawasan komersial sehingga mengabaikan fungsi kawasan heritage yang seharusnya dilestarikan. Dalam hal ini kepentingan pelestarian budaya dikalahkan oleh kepentingan ekonomi. Agar penurunan kualitas fisik lingkungan binaan tidak semakin buruk perlu adanya pembatasan pemberian ijin untuk bangunan komersial di wilayah konservasi budaya dan ketegasan dalam penegakan hukum (law enforcement) sesuai rencana tata ruang wilayah yang ada. Konsentrasi kegiatan industri kreatif dan pariwisata yang cenderung pada pusat-pusat pertumbuhan atau kawasan wisata, akan menarik lebih banyak arus kunjungan wisatawan. Hal tersebut perlu diantisipasi, terutama pada daerah konservasi dan resapan air sehingga tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Dampak perkembangan kawasan yang tidak terkendali akan berdampak pada tingkat kenyamanan dan keamanan, bukan hanya bagi masyarakat setempat tetapi akan mempengaruhi pula tingkat kunjungan wisatawan sehingga mengalami penurunan seperti dinyatakan pada teori Butler. Oleh karena itu dalam perencanaan destinasi pariwisata kota dan perencanaan wilayah, hasil penelitian ini perlu dipertimbangkan agar kota kreatif yang berwawasan lingkungan dapat benar-benar terwujud di Indonesia. 6.4 Saran Penelitian Lanjutan Terkait dengan penelitian ini yang menggunakan metode Studi Kasus maka penelitian ini terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan dalam pemaknaan atas fenomena yang terkait dengan konteks tersebut (Bogdan, R.C. dan Biklen, K., 1982; Mulyana, 2002). Melalui pemanfaatan teori teori yang diacu, peneliti studi kasus dapat membangun teori yang langsung terkait dengan kondisi kasus yang ditelitinya. Kesimpulan konseptual dan teoritis yang dibangun melalui penelitian studi kasus dapat lebih bersifat alamiah, karena sifat dari kasus yang alamiah seperti apa adanya tersebut (Van Wynsberghe dalam Khan, 2007:4). Teknik studi kasus 297

15 pada penelitian kualitatif sangat cocok jika digunakan untuk melakukan pengungkapan atau penemuan namun tidak berhenti pada temuan begitu saja. Dengan studi kasus pengungkapan kasus berhubungan dengan suatu tema atau topik hanya memberikan hasil yang terbatas. Oleh karena itu hasil studi kasus ini diharapkan dapat diarahkan pada penemuan lebih lanjut. Pada penelitian studi kasus ada unsur kesinambungan, dimana pertanyaan penelitian menjadi hal baru bagi penelitian selanjutnya. Dengan demikian segala kekurangan dalam penelitian disertasi ini dapat diperbaiki dan dilengkapi oleh penelitian-penelitian selanjutnya. Penelitian mengenai hubungan ruang antara industri kreatif dengan destinasi pariwisata merupakan penelitian yang tergolong langka dalam ilmu arsitektur dan ilmu perencanaan kota. Oleh karenanya masih sangat dibutuhkan adanya penelitian-penelitian lanjutan dalam konteks tersebut. Penelitian lanjutan yang dapat diusulkan sebagai berikut: (1) Kajian Perkembangan Kota yang Dipengaruhi oleh Keberadaan Industri Kreatif. Adanya kecenderungan industri kreatif di Indonesia yang tumbuh dari lingkungan pemukiman memberikan dampak bagi perkembangan dan pertumbuhan suatu kota, baik dampak positif maupun negatif. Kajian dalam skala kawasan (meso) telah diungkapkan pada penelitian ini namun kajian secara lebih luas dalam kaitannya dengan pertumbuhan kota belum dapat diungkapkan. Oleh karena itu kajian perkembangan kota dan keberadaan industri kreatif di dalamnya akan memberikan gambaran bagi kelanjutan kota tersebut atau sebagai urban regeneration. (2) Pola Pola Pengembangan Industri Kreatif dan Pariwisata Menuju Kota Kreatif. Basis industri kreatif adalah kreatifitas dan inovasi. Persaingan yang utama dalam industri kreatif adalah dalam hal desain. Penelitian ini telah menyatakan adanya hubungan yang kuat antara industri kreatif dan industri pariwisata. Penelitian secara spesifik belum memberikan model kota kreatif sebagai sebuah destinasi pariwisata. Hasil penelitian akan dapat mengungkapkan sinerjitas antara kedua industri tersebut agar dapat 298

16 dimanfaatkan untuk pembentukan kota kreatif yang merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya urban sprawl. (3) Pengaruh Pola Perjalanan Wisatawan Terhadap Pola Distribusi Produk Industri Kreatif. Hubungan antara jalur pergerakan produk industri fesyen dengan pola perjalanan wisatawan secara sepintas telah diungkapkan dalam penelitian disertasi ini. Penelitian ini belum dapat mengungkapkan pengaruh satu dengan yang lainnya secara rinci dan spesifik. Penelitian lanjutan akan menghasilkan temuan mengenai pola perjalanan wisatawan yang benar mempengaruhi pola distribusi produk kreatif secara signifikan, pada sebuah destinasi pariwisata dan berbagai subsektor industri kreatif lainnya yang terkait. (4) Ruang Produksi Industri Kreatif, Atraksi Wisata dan Jejaring Kreatif. Penelitian disertasi ini secara sepintas telah mengungkapkan perlunya jejaring kreatif dalam pola pemasaran industri kreatif. Dengan perkembangan teknologi dan informasi yang semakin pesat dan makin tingginya persaingan global maka pola sebaran industri kreatif seperti computer games, seni pertunjukan dan desain sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan informasi. Penelitian telah menemukenali ruang produksi fesyen di kota Bandung belum mampu menjadi daya tarik wisata, sementara tempat-tempat produksi perhiasan emas dan perak seperti di Celuk Bali, Kota Gede, Bangkok atau kerajinan kaca di Venezia telah mampu menarik kunjungan wisatawan ke lokasi produksi. Penelitian lanjutan tentang hal ini akan dapat mengungkapkan bagaimana peran jejaring kreatif dan pola pemasaran yang terkait dengan keberadaan ruang produksi industri kreatif. 299

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN INTISARI ABSTRACT DAFTAR ISI i iii viii ix xv xvi xvii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Permasalahan... 9 1.3. Pertanyaan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Perbandingan Temuan dengan Proposisi

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Perbandingan Temuan dengan Proposisi BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Perbandingan Temuan dengan Proposisi Hasil Penelitian menunjukkan bahwa proposisi pertama Perkembangan pola tata ruang kawasan destinasi pariwisata kepulauan di pengeruhi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota-kota yang pesat merupakan salah satu ciri dari suatu negara yang sedang berkembang. Begitu pula dengan Indonesia, berbagai kota berkembang secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kreatif sering dikemukakan oleh berbagai pakar ekonomi sebagai industri gelombang ke-4 setelah pertanian, industri dan teknologi informasi. Walaupun masih

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Penelitian Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah di analisa maka disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Faktor sangat yang kuat mempengaruhi sebaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batik sudah diakui masyarakat internasional sebagai warisan budaya Indonesia. Selain sebagai karya kreatif yang sudah berkembang sejak jaman dahulu serta sebagai hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya alih fungsi ruang hijau menjadi ruang terbangun, merupakan sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua Kabupaten Kota di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. di Kabupaten Bangka melalui pendekatan sustainable placemaking, maka

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. di Kabupaten Bangka melalui pendekatan sustainable placemaking, maka BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI V. 1. KESIMPULAN Berdasarkan analisis yang dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempegaruhi pengembangan produk wisata bahari dan konservasi penyu di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini kota Bandung menjadi salah satu tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini kota Bandung menjadi salah satu tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam beberapa tahun terakhir ini kota Bandung menjadi salah satu tujuan wisata terpenting. Selain terkenal dengan kulinernya, kota Bandung belakangan ini

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini membahas mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, serta metodologi penyusunan landasan konseptual laporan seminar tugas akhir dengan judul

Lebih terperinci

STUDI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPONEN WISATA DI PULAU RUPAT KABUPATEN BENGKALIS TUGAS AKHIR. Oleh : M. KUDRI L2D

STUDI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPONEN WISATA DI PULAU RUPAT KABUPATEN BENGKALIS TUGAS AKHIR. Oleh : M. KUDRI L2D STUDI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPONEN WISATA DI PULAU RUPAT KABUPATEN BENGKALIS TUGAS AKHIR Oleh : M. KUDRI L2D 304 330 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

2015 PENGARUH STORE ATTRIBUTE TERHADAP LOYALITAS WISATAWAN DIKONTROL OLEH MOTIVASI BERBELANJA

2015 PENGARUH STORE ATTRIBUTE TERHADAP LOYALITAS WISATAWAN DIKONTROL OLEH MOTIVASI BERBELANJA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Wisata belanja merupakan salah satu sektor industri pariwisata yang mengalami pertumbuhan yang signifikan di dunia. Berbelanja sudah menjadi suatu hal yang

Lebih terperinci

Oleh : ERINA WULANSARI [ ]

Oleh : ERINA WULANSARI [ ] MATA KULIAH TUGAS AKHIR [PW 09-1333] PENELITIAN TUGAS AKHIR Oleh : ERINA WULANSARI [3607100008] PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI VII. 1. Kesimpulan Penelitian proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata ini bertujuan untuk membangun teori atau

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu bidang pembangunan yang semakin hari semakin besar kontribusinya dalam pembangunan. Hal ini dibuktikan dengan besarnya penyerapan tenaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian yang akan dilakukan, rumusan masalah yang menjadi topik

BAB I PENDAHULUAN. penelitian yang akan dilakukan, rumusan masalah yang menjadi topik 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini diuraikan mengenai latar belakang kegiatan penelitian yang akan dilakukan, rumusan masalah yang menjadi topik pembahasan yang akan diteliti, serta tujuan dan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 KESIMPULAN Sentra Batik Tulis Giriloyo, Sentra Industri Kerajinan Gerabah Kasongan dan Kulit Manding merupakan beberapa kawasan industri kreatif yang berpotensi dikembangkan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK URBAN SPRAWL DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK URBAN SPRAWL DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK URBAN SPRAWL DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : ROSITA VITRI ARYANI L2D 099 449 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2005 ABSTRAKSI

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai co-creation experience terhadap kota kreatif sebagai destinasi pariwisata serta dampaknya pada revisit

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: ARI KRISTIANTI L2D

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: ARI KRISTIANTI L2D FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: ARI KRISTIANTI L2D 098 410 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari / BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK Proyek yang diusulkan dalam penulisan Tugas Akhir ini berjudul Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta. Era globalisasi yang begitu cepat berkembang

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Kesiapan Kondisi Jayengan Kampoeng Permata Sebagai Destinasi Wisata

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Kesiapan Kondisi Jayengan Kampoeng Permata Sebagai Destinasi Wisata BAB V PEMBAHASAN Pada bab sebelumnya telah dilakukan analisis yang menghasilkan nilai serta tingkat kesiapan masing-masing komponen wisata kreatif di JKP. Pada bab ini akan membahas lebih lanjut mengenai

Lebih terperinci

I.1 LATAR BELAKANG I.1.1

I.1 LATAR BELAKANG I.1.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG I.1.1 Latar Belakang Pemilihan Kasus Kebudayaan memiliki unsur budi dan akal yang digunakan dalam penciptaan sekaligus pelestariannya. Keluhuran dan kemajuan suatu

Lebih terperinci

PENATAAN KORIDOR JALAN KASONGAN DI BANTUL

PENATAAN KORIDOR JALAN KASONGAN DI BANTUL LANDASAN PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENATAAN KORIDOR JALAN KASONGAN DI BANTUL Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Disusun oleh : BOGI DWI CAHYANTO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor unggulan yang perlu diberdayakan karena selain sebagai sumber penerimaan daerah kota Bogor serta pengembangan dan pelestarian seni

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 6.1 Kesimpulan. 1. Rendahnya tingkat kunjungan wisatawan ke Kabupaten Kulon Progo dapat

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 6.1 Kesimpulan. 1. Rendahnya tingkat kunjungan wisatawan ke Kabupaten Kulon Progo dapat BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan 1. Rendahnya tingkat kunjungan wisatawan ke Kabupaten Kulon Progo dapat dipengaruhi oleh; (1) daya tarik produk-produk wisata yang dimilik; (2) biaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving countries),

BAB I PENDAHULUAN. negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving countries), 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam dasawarsa terakhir ini perhatian terhadap pariwisata sudah sangat meluas, mengingat bahwa pariwisata mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi negara yang menerima

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN 2017-2027 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

1 Mundofar_ BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 Mundofar_ BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan suatu kota dapat dilihat salah satunya dari sektor perekonomiannya. Secara umum, dapat diperhatikan bahwa suatu kota yang berkembang dan maju, memiliki

Lebih terperinci

BUPATI KLATEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN KLATEN TAHUN

BUPATI KLATEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN KLATEN TAHUN BUPATI KLATEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN KLATEN TAHUN 2014-2029 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLATEN, Menimbang

Lebih terperinci

JOKO PRAYITNO. Kementerian Pariwisata

JOKO PRAYITNO. Kementerian Pariwisata JOKO PRAYITNO Kementerian Pariwisata " Tren Internasional menunjukkan bahwa desa wisata menjadi konsep yang semakin luas dan bahwa kebutuhan dan harapan dari permintaan domestik dan internasional menjadi

Lebih terperinci

EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR

EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR Oleh: ANGGA NURSITA SARI L2D 004 298 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan. Pengembangan Kawasan Kerajinan Gerabah Kasongan BAB I PENDAHULUAN

Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan. Pengembangan Kawasan Kerajinan Gerabah Kasongan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kabupaten Bantul memiliki banyak industri kerajinan yang dapat ditawarkan menjadi objek wisata alternative meliputi bermacam wisata alam, budaya, pendidikan dan lainnya.

Lebih terperinci

KONSEP PEMASARAN KAWASAN WISATA TEMATIK

KONSEP PEMASARAN KAWASAN WISATA TEMATIK KONSEP PEMASARAN KAWASAN WISATA TEMATIK 1. Latar Belakang Tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap beberapa isu dan kecenderungan global seperti: Pelestarian alam dan lingkungan Perlindungan terhadap hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat. Dengan semakin meningkatnya penyelenggaraan pariwisata yang

BAB I PENDAHULUAN. pesat. Dengan semakin meningkatnya penyelenggaraan pariwisata yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mengembangkan sektor pariwisata, hal ini dilihat dari pertumbuhan sektor pariwisata yang tumbuh pesat. Dengan semakin meningkatnya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS Pada bab sebelumnya telah diuraikan gambaran umum Kabupaten Kebumen sebagai hasil pembangunan jangka menengah 5 (lima) tahun periode yang lalu. Dari kondisi yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi Indonesia dan melebihi perkembangan pariwisata dunia

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi Indonesia dan melebihi perkembangan pariwisata dunia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri pariwisata merupakan salah satu sektor penting yang berkontribusi cukup besar di suatu negara. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG BAB I LATAR BELAKANG A. Latar Belakang Pariwisata merupakan salah suatu kegiatan sebagai industri pelayanan dan jasa yang akan menjadi andalan Indonesia sebagai pemasukan keuangan bagi negara. Kekayaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (RTRW Kab,Bandung Barat)

BAB 1 PENDAHULUAN. (RTRW Kab,Bandung Barat) BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang latar belakang studi, rumusan persmasalahan, tujuan, sasaran dan manfaat studi, ruang lingkup studi yang mencakup ruang lingkup materi dan ruang lingkup wilayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi global. Dari tahun ke tahun, jumlah. kegiatan wisata semakin mengalami peningkatan.

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi global. Dari tahun ke tahun, jumlah. kegiatan wisata semakin mengalami peningkatan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pariwisata merupakan salah satu industri yang memiliki pertumbuhan pembangunan yang cepat. Saat ini sektor pariwisata banyak memberikan kontribusi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang Penataan Kawasan Kampung Jenggot Pekalongan sebagai BAB I PENDAHULUAN Kota Pekalongan secara geografis memiliki posisi yang strategis. Secara geografis dan ekonomis Kota Pekalongan menjadi

Lebih terperinci

KAJIAN PENERAPAN SISTEM DINAMIS DALAM INTERAKSI TRANSPORTASI DAN GUNA LAHAN KOMERSIAL DI WILAYAH PUSAT KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN PENERAPAN SISTEM DINAMIS DALAM INTERAKSI TRANSPORTASI DAN GUNA LAHAN KOMERSIAL DI WILAYAH PUSAT KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN PENERAPAN SISTEM DINAMIS DALAM INTERAKSI TRANSPORTASI DAN GUNA LAHAN KOMERSIAL DI WILAYAH PUSAT KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: BAMBANG WIDYATMOKO L2D 098 412 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Industri pariwisata saat ini semakin menjadi salah satu industri yang dapat

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Industri pariwisata saat ini semakin menjadi salah satu industri yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata saat ini semakin menjadi salah satu industri yang dapat menghasilkan pendapatan daerah terbesar di beberapa negara dan beberapa kota. Selain sebagai

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG PERATURAN BUPATI KARAWANG

BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG PERATURAN BUPATI KARAWANG BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG NO. 32 2011 SERI. E PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 32 TAHUN 2010 TENTANG KAMPUNG BUDAYA GERBANG KARAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di. Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di. Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul 1.1.1 Judul Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual 1.1.2 Pemahaman Esensi Judul Ruang komunal

Lebih terperinci

minimal 1 (satu) kali, sedangkan pada tahun 2013 tidak dilaksanakan pameran/ekspo.

minimal 1 (satu) kali, sedangkan pada tahun 2013 tidak dilaksanakan pameran/ekspo. minimal 1 (satu) kali, sedangkan pada tahun 2013 tidak dilaksanakan pameran/ekspo. Perpustakaan Jumlah kunjungan ke perpustakaan selama 1 tahun di Kota Bandung dibandingkan dengan jumlah orang yang harus

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KOMPONEN PARIWISATA PADA OBYEK-OBYEK WISATA DI BATURADEN SEBAGAI PENDUKUNG PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BATURADEN TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KOMPONEN PARIWISATA PADA OBYEK-OBYEK WISATA DI BATURADEN SEBAGAI PENDUKUNG PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BATURADEN TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KOMPONEN PARIWISATA PADA OBYEK-OBYEK WISATA DI BATURADEN SEBAGAI PENDUKUNG PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BATURADEN TUGAS AKHIR Oleh : BETHA PATRIA INKANTRIANI L2D 000 402 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata muncul sebagi salah satu sektor yang cukup menjanjikan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata muncul sebagi salah satu sektor yang cukup menjanjikan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata muncul sebagi salah satu sektor yang cukup menjanjikan dalam pembangunan Negara Indonesia saat ini. Menurut Djulianto Susatio (2003: 1) Pariwisata merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermacam macam ras, suku, dan etnis yang berbeda-beda. Masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. bermacam macam ras, suku, dan etnis yang berbeda-beda. Masing-masing daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat besar, yang dihuni oleh bermacam macam ras, suku, dan etnis yang berbeda-beda. Masing-masing daerah tersebut

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari hasil penelitian sebagaimana disampaikan dalam bab-bab sebelumnya, terdapat beberapa kesimpulan yang dirumuskan sebagai berikut.

BAB V PENUTUP. Dari hasil penelitian sebagaimana disampaikan dalam bab-bab sebelumnya, terdapat beberapa kesimpulan yang dirumuskan sebagai berikut. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian sebagaimana disampaikan dalam bab-bab sebelumnya, terdapat beberapa kesimpulan yang dirumuskan sebagai berikut. a. Strategi penguatan kelembagaan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi yang semakin membuka peluang pengusaha untuk turut

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi yang semakin membuka peluang pengusaha untuk turut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pekembangan persaingan bisnis di Indonesia adalah salah satu fenomena yang sangat menarik untuk kita simak, terlebih dengan adanya globalisasi dalam bidang

Lebih terperinci

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG DESA WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG DESA WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG DESA WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. menjadi sub sektor andalan bagi perekonomian nasional dan daerah. Saat ini

BAB I PENGANTAR. menjadi sub sektor andalan bagi perekonomian nasional dan daerah. Saat ini BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Perkembangan sektor industri pariwisata di dunia saat ini sangat pesat dan memberi kontribusi yang besar terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar mampu berkompetisi dalam lingkaran pasar persaingan global. Tidak hanya dengan

BAB I PENDAHULUAN. agar mampu berkompetisi dalam lingkaran pasar persaingan global. Tidak hanya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi seperti sekarang ini, tingkat persaingan usaha sangatlah tinggi. Hal ini secara otomatis memaksa para pelaku usaha untuk terus mengembangkan diri

Lebih terperinci

melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya yang ada.

melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara luas pariwisata dipandang sebagai kegiatan yang mempunyai multidimensi dari rangkaian suatu proses pembangunan. Pembangunan sektor pariwisata menyangkut aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan Pariwisata dikenal sebagai suatu bentuk rangkaian kegiatan kompleks yang berhubungan dengan wisatawan dan orang banyak, serta terbentuk pula suatu sistem di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maksimal guna mempertahankan keberadaan perusahaan di tengah persaingan.

BAB I PENDAHULUAN. maksimal guna mempertahankan keberadaan perusahaan di tengah persaingan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kegiatan usaha pada dasarnya bertujuan untuk mendapat keuntungan yang maksimal guna mempertahankan keberadaan perusahaan di tengah persaingan. Perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintah Kabupaten Badung Bali melalui Dinas Koperasi, Perindustrian, UMKM dan Perdagangan (Diskopperindag) Kabupaten Badung berupaya membangkitkan kerajinan patung

Lebih terperinci

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D 306 007 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

Besarnya dampak positif yang dihasilkan dari industri pariwisata telah mendorong setiap daerah bahkan negara di dunia, untuk menjadikannya sebagai

Besarnya dampak positif yang dihasilkan dari industri pariwisata telah mendorong setiap daerah bahkan negara di dunia, untuk menjadikannya sebagai 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam era otonomi daerah saat ini, setiap daerah dituntut kemandiriannya dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerahnya. Dengan kata lain, setiap daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu bisnis yang tumbuh sangat cepat, dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu bisnis yang tumbuh sangat cepat, dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu bisnis yang tumbuh sangat cepat, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari oleh masyarakat. Perkembangan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kota Bandung sudah menjadi kota

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kota Bandung sudah menjadi kota BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Dalam beberapa tahun terakhir ini, kota Bandung sudah menjadi kota tujuan wisata belanja orang-orang dari luar daerah. Banyak pengunjung didominasi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang salah satunya dikenal dengan bila diterapkan di alam, merupakan sebuah peluang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi komoditas yang mempunyai peran penting dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi komoditas yang mempunyai peran penting dalam pembangunan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata menjadi salah satu sektor pembangunan yang terus digalakkan dalam meningkatkan perekonomian bangsa. Di Indonesia sektor pariwisata telah menjadi komoditas

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. perancangan merupakan paparan deskriptif mengenai langkah-langkah di dalam

BAB III METODE PERANCANGAN. perancangan merupakan paparan deskriptif mengenai langkah-langkah di dalam BAB III METODE PERANCANGAN Merancang sebuah Griya Seni dan Budaya Terakota sesuai dengan konsep dan teori yang diinginkan tidak terlepas dari metode perancangan. Metode perancangan merupakan paparan deskriptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan suatu daerah terkait dengan interaksi yang terjadi dengan daerah-daerah sekitarnya. Interaksi tersebut membentuk tatanan yang utuh dan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. transportasi telah membuat fenomena yang sangat menarik dimana terjadi peningkatan

BAB V KESIMPULAN. transportasi telah membuat fenomena yang sangat menarik dimana terjadi peningkatan BAB V KESIMPULAN Mencermati perkembangan global dengan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi telah membuat fenomena yang sangat menarik dimana terjadi peningkatan arus perjalanan manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Ratu Selly Permata, 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Ratu Selly Permata, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dengan berbagai suku dan keunikan alam yang terdapat di Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai salah satu destinasi wisatawan yang cukup diminati, terbukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki beraneka ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak jaman kerajaan-kerajaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan paradigma pengembangan wilayah dari era comparative advantage ke competitive advantage, menjadi suatu fenomena baru dalam perencanaan wilayah saat ini. Di era kompetitif,

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG RINGKASAN RENJA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KOTA TANGERANG TAHUN 2017 Rencana Kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tangerang Tahun 2017 yang selanjutnya disebut Renja Disbudpar adalah dokumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang semakin arif dan bijaksana. Kegiatan pariwisata tersebut

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang semakin arif dan bijaksana. Kegiatan pariwisata tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pariwisata di Indonesia saat ini telah memberikan sumbangan dalam meningkatkan devisa maupun lapangan kerja. Sektor pariwisata juga membawa dampak sosial,

Lebih terperinci

mempertahankan fungsi dan mutu lingkungan.

mempertahankan fungsi dan mutu lingkungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepariwisataan saat ini sangat ramai dibicarakan karena berkembangnya sektor pariwisata maka pengaruh terhadap sektor lainnya sangat besar, oleh karena itu permintaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada BAB I ini akan dijelaskan secara umum mengenai bagaimana latar belakang pemilihan judul proyek, rumusan masalah yang mempengaruhi bagaimana desain proyek nantinya, tujuan proyek,

Lebih terperinci

PARTISIPASI KELOMPOK USAHA SOUVENIR REBO LEGI DALAM SISTEM PARIWISATA DI KLASTER PARIWISATA BOROBUDUR TUGAS AKHIR. Oleh : GRETIANO WASIAN L2D

PARTISIPASI KELOMPOK USAHA SOUVENIR REBO LEGI DALAM SISTEM PARIWISATA DI KLASTER PARIWISATA BOROBUDUR TUGAS AKHIR. Oleh : GRETIANO WASIAN L2D PARTISIPASI KELOMPOK USAHA SOUVENIR REBO LEGI DALAM SISTEM PARIWISATA DI KLASTER PARIWISATA BOROBUDUR TUGAS AKHIR Oleh : GRETIANO WASIAN L2D 004 314 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk. Seiring dengan pesatnya daya beli masyarakat dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk. Seiring dengan pesatnya daya beli masyarakat dalam bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan bisnis kuliner di Indonesia saat berkembang sangat pesat seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi masyarakat dan bertambahnya jumlah penduduk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan kondisi perekonomian nasional mendorong orientasi pembangunan Kota DKI Jakarta kearah barang dan jasa. Reorientasi mendorong dikembangkannya paradigma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupkan salah satu sektor penting dalam pembangunan nasional. Peranan pariwisata di Indonesia sangat dirasakan manfaatnya, karena pembangunan dalam sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan industri yang turut berperan serta dalam membangun perekonomian negara melalui pemasukan devisa negara dari wisatawan. Selain itu, industri pariwisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota pekalongan merupakan kota yang strategis secara geografis. Kota ini juga menjadi pusat jaringan jalan darat yang menghubungkan bagian barat dan timur Pulau Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pertumbuhan jumlah penduduknya. Pesatnya pertumbuhan penduduk ini

BAB I PENDAHULUAN. dengan pertumbuhan jumlah penduduknya. Pesatnya pertumbuhan penduduk ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dan pertumbuhan suatu kota pada umumnya disertai dengan pertumbuhan jumlah penduduknya. Pesatnya pertumbuhan penduduk ini pada akhirnya akan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 14 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI Kegiatan penelitian ini dilakukan di Pusat Kota Banda Aceh yang berada di Kecamatan Baiturrahman, tepatnya mencakup tiga kampung, yaitu Kampung Baru,

Lebih terperinci

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : Arif Rahman Hakim L2D 303 283 JURUSAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan Intruksi Presiden nomor 16 tahun 2005 tentang Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kepariwisataan menjadi suatu industri yang populer karena manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kepariwisataan menjadi suatu industri yang populer karena manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak kepariwisataan menjadi suatu industri yang populer karena manfaat ekonomi, praktis setiap daerah berniat mengembangkan dirinya menjadi salah satu daerah tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Barat boleh berbangga dengan Kota Bandungnya dimana baru-baru ini

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Barat boleh berbangga dengan Kota Bandungnya dimana baru-baru ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jawa Barat boleh berbangga dengan Kota Bandungnya dimana baru-baru ini meraih kota terfavorit dikunjungi oleh wisatawan, yang kini sudah dirasakan makin hari makin sesak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan suatu kota dapat dilihat salah satunya dari sektor perekonomiannya. Secara umum, dapat diperhatikan bahwa suatu kota yang berkembang dan maju, memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris, memiliki banyak keunggulan-keunggulan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris, memiliki banyak keunggulan-keunggulan UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara agraris, memiliki banyak keunggulan-keunggulan yang dapat menjadi suatu aset dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selain sektor pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia setelah Bali. Aliran uang yang masuk ke provinsi DIY dari sektor

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia setelah Bali. Aliran uang yang masuk ke provinsi DIY dari sektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta masih menjadi destinasi pariwisata favorit di Indonesia setelah Bali. Aliran uang yang masuk ke provinsi DIY dari sektor pariwisata sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata dalam beberapa dekade terakhir merupakan suatu sektor yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi bangsa-bangsa di dunia. Sektor pariwisata diharapkan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PARIWISATA DI KABUPATEN MANGGARAI BARAT MELALUI PEMBENTUKAN CLUSTER WISATA TUGAS AKHIR. Oleh: MEISKE SARENG KELANG L2D

PENGEMBANGAN PARIWISATA DI KABUPATEN MANGGARAI BARAT MELALUI PEMBENTUKAN CLUSTER WISATA TUGAS AKHIR. Oleh: MEISKE SARENG KELANG L2D PENGEMBANGAN PARIWISATA DI KABUPATEN MANGGARAI BARAT MELALUI PEMBENTUKAN CLUSTER WISATA TUGAS AKHIR Oleh: MEISKE SARENG KELANG L2D 605 199 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dengan luas 1.910.931 km, Pariwisata di Indonesia merupakan sektor ekonomi penting di Indonesia. Pada tahun 2009,

Lebih terperinci