Dari jarak sepuluh meter bisa kukenali siapa lelaki yang duduk menundukkan kepalanya dan bertumpu pada lengannya yang ia letakkan di atas lutut.

Ukuran: px

Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Dari jarak sepuluh meter bisa kukenali siapa lelaki yang duduk menundukkan kepalanya dan bertumpu pada lengannya yang ia letakkan di atas lutut."

Liana Lesmana
6 tahun lalu
Tontonan:

1 Dari jarak sepuluh meter bisa kukenali siapa lelaki yang duduk menundukkan kepalanya dan bertumpu pada lengannya yang ia letakkan di atas lutut. Aku putuskan duduk di sebelahnya. Ia sadar ada orang yang mendekat ke arahnya, ia mendongak wajahnya ke sisi kiri, lantas tersenyum. Aku membalas senyumannya. "Terima kasih, aku sudah selesai membacanya," kataku sambil menjulurkan novel. Ia menerimanya dan meletakkan di atas paha. "Dari kolam lagi?" Aku mengangguk, tapi pandangan kutujukan pada buku catatan yang aku pangku. "Kau sudah mengisinya?" Aku mengangguk lagi, menyentuh tepi buku itu dari ujung ke ujung. Dan melihat ke arahnya. Mata kita beradu pandang. Untuk ukuran saling memandang seperti ini menurutku lama, tapi ia yang memalingkan wajahnya lebih dulu. "Apa di kehidupan masa laluku aku sangat mengenalmu?" Ia mengangguk, dan menyentuh pangkal hidungnya dengan jempol dan telunjuk

2 kanannya. Lalu menundukkan wajahnya, memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Eh? menangiskah ia? "Sebaiknya kau istirahat, sekarang sudah jam sepuluh. Lagipula kau seharian membaca novel ini, kan? Aku pulang dulu ya?" Ia berdiri dan tangan kanannya menggenggam novel. "Apa besok kau ke sini lagi?" Ia hanya tersenyum tipis, sangat menawan, tapi tidak mengangguk. Ia berjalan meninggalkanku tanpa menoleh dan berkata sepatah kata lagi padaku. Aku menatap punggungnya lekat-lekat, berharap ia menoleh. Tapi tidak. Hingga ia tampak mengecil dari kejauhan lorong sana, aku justru menatapnya sendu. Mengalihkan pandanganku pada buku catatan yang aku pangku, tapi separuh hatiku belum juga menerima ia pergi begitu saja. Kuletakkan buku catatan itu di bangku yang baru saja kududuki, berlari ke arahnya. Entahlah, pokoknya aku harus mengejarnya! "Aku yakin bahwa di masa lalu kita sangat mengenal satu sama lain. Tapi tolong jelaskan padaku, 2

3 kau siapa?" tanyaku lirih yang memeluknya erat dari belakang. Tangan kirinya meraih tangan kananku yang menyabuk di badannya, dan ia berbalik. Sekarang ia menggenggam erat kedua tanganku, menatap tajam. "Aku bukan siapa-siapamu. Aku justru merelakan diriku untuk mengabulkan permintaan keluargamu. Jika kau berpikir aku suamimu, kau salah. Suamimu justru sudah meninggal saat kecelakaan hebat itu. Dan jika kau berpikir aku adalah tunanganmu, kau juga salah. Kemudian jika hari ini kau berpikir tidak akan ada lagi orang yang menyayangi juga mengasihimu, kau juga salah. Bahkan salah besar! Kelak, jika semua memorimu kembali utuh, maka kau akan tahu betapa banyaknya orang yang menyayangi juga mengasihimu. Kau boleh berpikir bahwa kau sekarang seorang diri, sebatang kara nan papa yang tidak memiliki apa-apa. Namun kuberitahu kau satu hal yang pasti: kau orang hebat!" "Jika kau mengaku kau bukan siapa-siapa, lalu atas dasar apa keluargaku menyanggupi bantuanmu?" ketusku, tapi tanganku masih digenggam erat olehnya. 3

4 Ia menatapku lekat-lekat. Sorot matanya terpancar kesedihan mendalam. Kemudian ia memalingkan wajahnya, mengusap wajah kotaknya dengan kedua tangan, gelagat orang bimbang. Lalu ia kembali menatapku, menyejajarkan wajahnya dengan wajahku yang 8 inchi lebih tinggi lelaki itu. "Seseorang yang pernah istimewa di masa lalumu sebelum akhirnya kau memutuskan menikah dengan orang lain." Aku terhenyak, mundur selangkah, genggaman tangannya perlahan melepas tanganku. Kesalahan apa yang kuperbuat? Kenapa aku meninggalkan orang sebaik ini? Benarkah aku yang meninggalkannya? "Kenapa aku berbuat begitu?" "Karena kesalahan bodoh yang aku buat. Sangat bodoh! Kini aku datang untuk menebus dosa." "APA?" tanyaku heran, maju selangkah lagi, memicingkan mataku, kemudian bersidekap. Jadi ini karena kesalahannya? Bukan aku? Ia menelan ludah, mengatur napas, seakan-akan sorot mataku yang keheranan seperti ini membuat ia terpojok, tak tahan ingin mengaku semuanya! "Saat 4

5 masa kejayaanku tiba, aku menyia-nyiakanmu begitu saja. Aku belum mencampakkanmu waktu itu, hanya saja selalu menghindarimu. Melihat kau seperti orang yang berpenyakit, aku enggan berkomunikasi lagi denganmu. Aku merasa tak butuh dirimu. Hingga suatu hari, kau meneleponku, untuk membuat janji bertemu tapi aku bilang sibuk, tidak bisa. Akhirnya kau mengatakannya saja di telepon, kau mengeluh tentangku yang seperti ini itu dan saat aku bicara hubungan kita lebih baik berakhir, kau menangis. Tapi aku merasa baik-baik saja. Beberapa tahun setelah itu aku baru menyadari ada sesuatu yang hilang dari hidupku. Terlebih saat kau menjadi milik orang lain." Aku sudah menutup mulutku dengan kedua tangan dan pupil mataku membesar. Potonganpotongan masa silam berkelebatan di benak, kembali tersulam acak. Kemudian ia memelukku, "Itulah kesalahanku! Sebenarnya jika memorimu sudah pulih benar, aku tidak menginginkanmu untuk ingat siapa aku! Aku masih malu dengan perbuatanku. Maafkan aku. Maafkan...," bahunya naik turun, suaranya sudah 5

6 terisak-isak, ia semakin memelukku erat dan membenamkan wajahnya di pundak kiriku. Aku berusaha melepaskan pelukannya, berbalik dan segera enyah. Bedebah!

dokumen-dokumen yang mirip

Aku menoleh. Disana berdiri seorang pemuda berbadan tinggi yang sedang menenteng kantong belanjaan di tangan kirinya. Wajahnya cukup tampan.

Aku menoleh. Disana berdiri seorang pemuda berbadan tinggi yang sedang menenteng kantong belanjaan di tangan kirinya. Wajahnya cukup tampan. 1st Spring Hujan lagi. Padahal ini hari Minggu dan tak ada yang berharap kalau hari ini akan hujan. Memang tidak besar, tapi cukup untuk membuat seluruh pakaianku basah. Aku baru saja keluar dari supermarket