TINJAUAN YURIDIS TENTANG EFEKTIFITAS TERHADAP PASAL 31 AYAT (1) KUHAP Oleh : Aris Supomo, SH., MH. Fakultas Hukum Universitas Wiralodra

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN YURIDIS TENTANG EFEKTIFITAS TERHADAP PASAL 31 AYAT (1) KUHAP Oleh : Aris Supomo, SH., MH. Fakultas Hukum Universitas Wiralodra"

Transkripsi

1 TINJAUAN YURIDIS TENTANG EFEKTIFITAS TERHADAP PASAL 31 AYAT (1) KUHAP Oleh : Aris Supomo, SH., MH. Fakultas Hukum Universitas Wiralodra In the law, it is known as the material law and procedural law. Material law, namely that became the content (material) on the rule of law (for example, the draft Penal Code, the Code of Civil Code). While that is a formal law is the law governing the way how to maintain the material law in case of violations. A formal law is also called procedural law (e.g. the Code of Criminal Procedure, the draft Civil Procedure Code). The law enforcement officials will not be able to apply the material in the process of law enforcement (law enforcement) in the absence of formal law (the law of the event). A. Pendahuluan Dalam proses penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana, para aparat penegak hukum akan menggunakan hukum acara pidana terhadap para pelaku tindak pidana, dari mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai tingkat pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Bahkan ketika seorang terdakwa dijatuhi vonis oleh hakim pengadilan dan dia tidak merasa puas dengan putusan hakim tersebut, maka dia berhak untuk melakukan upaya hukum biasa (banding sampai kasasi), maupun upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali; permohonan grasi ke presiden). Menurut Simons, hukum acara pidana (hukum pidana formal) mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvorderking, di Inggris criminal procedure law, sedangkan di Amerika Serikat memakai istilah criminal procedure rules, di Perancis disebut code d instruction criminile. Adapun di Indonesia dikenal dengan sebutan criminal justice system yang berarti system peradilan pidana. Hukum acara pidana ruang lingkupnya lebih sempit, yaitu hanya mulai pada mencari kebenaran, penyelidikan, penyidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa. 403

2 Hukum pidana dalam arti yang luas terdiri dari hukum pidana (substantif atau materil) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal). Kalau hukum dibagi atas hukum publik dan hukum privat, maka hukum acara pidana (modern) termasuk hukum publik. Dalam masyarakat primitif atau kuno, tidak terdapat batas antara hukum publik dan hukum privat, sehingga tidak ada pemisahan yang jelas antara acara perdata dan pidana. Hal ini terjadi baik di Indonesia maupun di dunia barat, terkenal adagium Wo kein Klager ist, ist kein Richter (kalau tidak ada aduan maka tidak ada hakim). Hukum pidana formal mengatur cara menjalankan hak penuntutan, dengan kata lain menetapkan tata cara mengadili perkara pidana. Sifat publik hukum acara pidana karena yang bertindak jika terjadi pelanggaran pidana ialah negara melalui alat-alatnya, lebih nyata lagi di Indonesia dan Belanda karena penuntutan pidana dimonopoli oleh negara (jaksa). Menurut Andi Hamzah sebagaimana mengutip definisi Van Bemmelen, Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya terjadi pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai berikut : 1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran. 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya. 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa ke depan hakim tersebut. 5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. 6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut. 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib. Dari definisi beberapa ahli di atas, pada dasarnya adalah sama bahwa hukum acara pidana merupakan serangkaian peraturan yang dibuat oleh negara yang memberikan wewenang kepada aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan penyidikan, penuntutan dan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana. Hukum Acara Pidana adalah ilmu yang mempelajari tentang tindak pidana dalam proses beracara guna menemukan kejelasan dan membuat terang suatu tindak pidana dari mulai penyelidikan, penyidikan, penahanan, penangkapan, penuntutan, proses peradilan, upaya hukum dan eksekusi. 404

3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan definisi tentang Hukum Acara Pidana, tetapi memberikan definisi dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain dalam ketentuan Pasal 1. Di Indonesia, Hukum Acara Pidana yang berlaku sebagai hukum positif adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). yang mulai diundangkan (diberlakukan) sejak tanggal 31 Desember Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang memiliki ciri kodifikatif dan unifikatif, adalah merupakan langkah maju dalam pemberlakuan hukum acara pidana di negeri ini, karena sebelum berlakukan undang-undang tersebut, para pelaku yang diduga melakukan tindak pidana seringkali diperlakukan sewenang-wenang ketika mereka menjalani proses pemeriksaan baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan, berupa kekerasan phisik maupun psikis. Hukum acara pidana yang lama, ternyata belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Salah satu hal yang cukup menonjol dalam aturan yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang baru tersebut adalah lebih terjaminnya kepastian hukum, khususnya dalam hal batas waktu lamanya penahanan dalam proses pemeriksaan para tersangka atau terdakwa di semua tingkatan. Demikian pula perbuatan atau tindak pidana apa saja yang bisa dikenakan penahanan oleh pihak penyidik, penunut umum maupun hakim selama proses pemeriksaan berlangsung, sebelum jatuhnya putusan hakim pengadilan yang mempunyai kekuatan tetap. Bahkan ketika tindak pidana yang pelakunya bisa dilakukan penahanan, pihak tersangka atau terdakwa boleh mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1) KUHAP, atas pemintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangannya masing-masing dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang. berdasarkan syarat yang ditentukan. Menurut bunyi Pasal 31 Penjelasan KUHAP, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan syarat yang ditentukan ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota. Masa penangguhan penahanan dari seorang tersangka atau terdakwa, tidak termasuk masa status tahanan. Ada yang menarik dari bunyi Pasal 31 ayat (1) KUHAP tersebut, bahwa atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, 405

4 sesuai dengan kewenangannya masing-masing dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang. berdasarkan syarat yang ditentukan. Ketika penangguhan penahanan dengan jaminan uang, barangkali tidak ada masalah manakala tersangka atau terdakwa melarikan diri. Namun ketika penangguhan penahanan tersebut dengan jaminan orang dan ternyata si tersangka atau terdakwa melarikan diri, apakah pihak yang menjaminkan dirinya tersebut bisa ditahan untuk menggantikan status tahanan yang melarikan diri?. Masalah tersebut, menarik perhatian penulis untuk membahasnya, sesuai dengan judul tulisan di atas, untuk menjawab sebuah pertanyaan mendasar : Apakah ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dapat efektif diberlakukan, manakala tersangka melarikan diri? B. Pembahasan a. Tinjauan tentang KUHAP Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disbutkan, bahwa : 1. Peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan umum sebelum undang-undang ini berlaku adalah "Reglemen Indonesia yang dibaharui atau yang terkenal dengan nama "Het Herziene Inlandsch Reglement" atau H.I.R. (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44), Yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951, seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan negeri dalam wilayah Republik Indonesia, kecuali atas beberapa perubahan dan tambahannya. Dengan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 itu dimaksudkan untuk mengadakan unifikasi hukum acara pidana, yang sebelumnya terdiri dari hukum acara pidana bagi landraad dan hukum acara pidana bagi raad van justitie. Adanya dua macam hukum acara pidana itu, merupakan akibat semata dari perbedaan peradilan bagi golongan penduduk Bumiputera dan peradilan bagi golongan bangsa Eropa di Jaman Hindia Belanda yang masih tetap dipertahankan, walaupun Reglemen Indonesia yang lama (Staatsblad Tahun 1848 Nomor 16) telah diperbaharui dengan Reglemen Indonesia yang dibaharui (R.I.B.), karena tujuan dari pembaharuan itu bukanlah dimaksudkan untuk mencapai satu kesatuan hukum acara pidana, tetapi justeru ingin meningkatkan hukum acara pidana bagi Raad van Justitie. 406

5 Meskipun Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 telah menetapkan bahwa hanya ada satu hukum acara pidana yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yaitu R.I.B, akan tetapi ketentuan yang tercantum di dalamnya ternyata belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Khususnya mengenai bantuan hukum di dalam pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum tidak diatur dalam R.I.B. sedangkan mengenai hak pemberian ganti kerugian juga tidak terdapat ketentuannya. Oleh karena itu demi pembangunan dalam bidang hukum dan sehubungan dengan hal sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka "Het Herziene Inlandsch Reglement" (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) berhubungan dengan dan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut karena tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional dan diganti dengan undang-undang hukum acara pidana baru yang mempunyai ciri kondifikatif dan unifikatif berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat),tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Hal itu berarti bahwa Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warganegara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warganegara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini. Selanjutnya sebagaimana tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978), maka wawasan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional adalah Wawasan Nusantara yang dalam bidang hukum menyatakan bahwa 407

6 seluruh kepulauan Nusantara ini sebagai satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional. Untuk itu perlu diadakan pembangunan serta pembaharuan hukum dengan menyempurnakan perundang-undangan serta dilanjutkan dan ditingkatkan usaha kodifikasi dan unifikasi hukum dalam bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkatan kemajuan pembangunan di segala bidang. Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegak mantapnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Oleh karena itu undang-undang ini yang mengatur tentang hukum acara pidana nasional, wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah seharusnyalah di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warganegara seperti telah diuraikan di muka, maupun asas yang akan disebutkan selanjutnya. Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 harus ditegakkan dalam dan dengan undang-undang ini. Adapun asas tersebut antara lain adalah: a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. b. Penangkapan, panahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang, c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 408

7 d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undangundang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi. e. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang sematamata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwa, kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum. h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undangundang. j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan. 4. Dengan landasan sebagaimana telah diuraikan di muka dalam kebulatannya yang utuh serta menyeluruh, diadakanlah pembaharuan atas hukum acara pidana yang sekaligus dimaksudkan sebagai suatu upaya untuk menghimpun ketentuan acara pidana, yang dengan ini masih terdapat dalam berbagai undang-undang ke dalam satu undang-undang hukum acara pidana nasional sesuai dengan tujuan kodifikasi dan unifikasi itu. Atas pertimbangan yang sedemikian itulah, undang-undang hukum acara pidana ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, disingkat K.U.H.A.P. Kitab Undang-undang ini tidak saja memuat ketentuan tentang tatacara dari suatu proses pidana, tetapi kitab inipun juga memuat hak dan kewajiban dari mereka yang ada dalam suatu proses pidana dan memuat pula hukum acara pidana Mahkamah Agung setelah dicabutnya Undang-undang Mahkamah Agung (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950) oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun

8 Menurut Bambang Poernomo bahwa tugas dan fungsi hukum acara pidana melalui alat perlengkapannya ialah : 1. Untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran; 2. Mengadakan penuntutan hukum dengan tepat; 3. Menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan; 4. Melaksanakan keputusan secara adil. Menurut pedoman pelaksanaan KUHAP (Keputusan Menteri Kehakiman R.I Nomor M.01.PW Tahun 1982) : Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Bambang Poernomo beranggapan bahwa pedoman pelaksanaan KUHAP tersebut telah menyatukan antara tujuan dan tugas atau fungsi hukum acara pidana. Seharusnya perlu dipertegaskan bahwa tujuan hukum acara pidana dari : 1. Segi teoritis disejajarkan atau diparerelkan dengan tujuan hukum pada umumnya yaitu hukum untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. 2. Segi praktis (operasionalisasi) adalah untuk mendapatkan suatu kenyataan yang berhasil mengurangi keresahan dalam masyarakat berupa aksi sosial yang bersifat rasional dan konstruktif didasarkan kebenaran dan keadilan hukum. Tujuan hukum acara pidana sebagaimana pandangan Andi Hamzah yaitu: Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yakni kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat dijadikan terdawa dalam suatu pelanggaran hukum. Dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan terbukti atau tidaknya dakwaan yang dapat dipersalahkan. 410

9 Menurut Achmad Ali hukum acara pidana bertujuan untuk : "melindungi kepentingan publik, sehingga salah satu pihak dalam perkara pidana adalah jaksa dalam kapasitasnya sebagai penuntut umum berhadapan dengan terdakwa. Tugasnya adalah membuktikan unsur-unsur delik pidana yang didakwakannya atas diri terdakwa". Menurut Doktrin (pendapat para ahli hukum) bahwa tujuan hukum acara pidana adalah: 1. Mencari dan Menemukan Kebenaran. Menurut buku pedoman pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan terhadap suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menetukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 2. Memperoleh Putusan Hakim. Hal ini berkaitan dengan Asas Praduga Tak Bersalah (Presumtion of Innosence) sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 8 UU No. 14 Tahun 1970 Jo UU No. 35 Tahun 1999 Jo UU No. 4 Tahun 2004 Jo UU No. 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman. Artinya adalah untuk menyatakan seseorang bersalah atau tidak haruslah melalui suatu proses penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan. Dengan kata lain, hanya putusan Hakimlah yang bisa menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak. 3. Melaksanakan Putusan Hakim. Setelah seseorang dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman berdasarkan putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut haruslah dilaksanakan. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 huruf a, pejabat yang diberi wewenang untuk melaksanakan putusan pengadilan (Hakim) adalah Jaksa. b. Tindak Pidana Yang Dapat Dikenakan Penahanan Didalam Pasal 20 ayat (1) s.d. ayat (3) KUHAP disebutkan, bahwa sesuai dengan kepentingannya, penyidik atau penyidik pembantu (atas perintah penyidik); penuntut umum maupun hakim, berwenang untuk melakukan 411

10 penahanan dalam proses penegakkan hukum (law enforcement), sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 KUHAP, perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan. Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana tersebut di atas, harus diberikan kepada keluarganya. Selanjutnya dalam Pasal 21 ayat (4) dinyatakan bahwa : Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086). c. Jenis-Jenis Penahanan Menurut ketentuan Pasal 22 KUHAP, jenis-jenis penahanan dapat berupa : a. penahanan rumah tahanan negara (Rutan); b. penahanan rumah; 412

11 c. penahanan kota. Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor din pada waktu yang ditentukan. Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Sedangkan untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan dan untuk pengurangan penahanan rumah sepertiga dari jumlah Iamanya waktu penahanan. Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang benkepentingan. d. Jangka Waktu Lamanya Penahanan Pejabat aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan terhadap tersangka/terdakwa, dibatasi oleh ketentuanketentuan sebagaimana berikut : Pada tingkat penyidikan : (1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperiukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. (3) Ketentuan sebagamana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dan tahanan demi hukum. 413

12 Pada tingkat penuntutan : (1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Pada tingkat pemeriksaan hakim pengadilan : (1) Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum. Pada tingkat pemeriksaan banding : (1) Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimatia tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua peiigadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. 414

13 (4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum. Pada tingkat pemeriksaan kasasi : (1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama lima puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama enam puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (4) Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum. e. Pengecualian Jangka Waktu Penahanan Berdasarkan ketentuan Pasal 29, diatur pengecualian jangka waktu penahanan sebagai berikut : (1) Dikecualikan dan jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena: a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih. (2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari. (3) Perpanjangan penahanan tersebut átas dasar permintaan dan Iaporan pemeriksaan dalam tingkat : a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri; b. pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oieh ketua pengadilan tinggi; c. pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung; 415

14 d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung. (4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tauggung jawab. (5) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi. (6) Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. (7) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat: a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi; b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung. Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96. f. Penangguhan Penahanan a) Menurut HIR (Herzeine Inlands Regelement) Pada masa HIR (Herzeine Inlands Reglement), penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 358. Dalam pasal tersebut diatur tentang wewenang Hakim untuk menangguhkan penangkapan atau penahanan dengan perjanjian dan perlu dengan suatu jaminan. Hakim menentukan apabila ada alasan untuk dapat memberikan penangguhan penahanan dengan ditentukan syarat-syaratnya sebagai berikut: a. Syarat Mutlak (Pasal 358 HIR) 1) Tersangka harus menyatakan kesanggupannya bila dikemudian hari Surat Perintah Penangguhan Penahanan sementara itu dicabut sewaktu-waktu tersangka bersedia ditahan kembali; 2) Tersangka selama dalam waktu penangguhan, kemudian ia dipersalahkan lagi terhadap tindak pidana lain, ia harus bersedia ditahan bila terhadap tindak pidana lain itu ia perlu ditahan. 416

15 b. Syarat Alternatif Tersangka harus menyediakan sejumlah uang tanggungan yang diminta sebagai syarat oleh Hakim. Hakim menentukan jumlahnya dan tempat uang disimpan. Uang tanggungan ini dapat juga disediakan oleh orang lain, tidak perlu oleh tersangka sendiri. Tanggungan ini dapat berupa uang, barang atau orang lain (zakelijke borg dan personalijke borg). Setelah Hakim menentukan penangguhan, setiap waktu Hakim bisa mencabut surat penetapan penangguhan penahanan sementara. Apabila tersangka sudah dikeluarkan surat perintah untuk ditahan sementara dan kemudian diberi penangguhan penahanan, maka yang dikhawatirkan si tersangka dapat melarikan diri, Penyidik dapat menahan tersangka dengan cepat memberitahukan kepada Hakim dengan permintaan agar surat penangguhan penahanannya itu ditarik kembali. Hakim yang akan menentukan dan melihat alasan-alasan apakah penangguhan itu akan dicabut atau tidak. Kembali kepada pemeriksaan atas diri tersangka, sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa pemeriksaan terhadap diri tersangka itu harus dititikberatkan pada perbuatan-perbuatan pidana yang telah ia lakukan sehingga memenuhi unsur-unsur pidana sebagaimana pasal yang telah dilanggarnya. Dalam pemeriksaan tersebut harus diungkapkan waktu perbuatan pidana itu dilakukan, jalannya perbuatan itu sendiri dilakukan (misalnya dengan penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya). Selain itu juga pihakpihak lain yang turut membantu terjadinya perbuatan tindak pidana tersebut. b) Menurut KUHAP Proses permohonan penangguhan penahanan tentunya hanya bisa diajukan bagi seorang tersangka atau terdakwa yang oleh pihak penyidik, penuntut atau hakim pengadilan ditetapkan untuk dilakukan penahanan, berdasarkan alasan obyektif dan subyektif. Yang dimaksud alasan obyektif adalah, bahwa penetapan seorang tersangka atau terdakwa, sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam hal ini ketentuan penahanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. 417

16 Adapun yang menjadi alasan subyektifnya, adalah suasana kebatinan yang meliputi pejabat berwenang dalam menetapkan penahanan ataupun mengabulkan permohonan penangguhan penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa. Bagi pihak pejabat berwenang ketika menetapkan penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa setelah terpenuhinya alasan obyektif, dalam proses pemeriksaan yang masih berjalan, tentunya dia mempunyai kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa, akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Namun apabila rasa kekhawatiran itu tidak ada, maka tersangka atau terdakwa tersebut tidak akan dilakukan penahanan selama proses pemeriksaan berlangsung. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 KUHAP, tersangka atau terdakwa berhak untuk mengajukan permohonan penangguhan penahanan, sebagai berikut : (1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. (2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktuwaktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 31 KUHAP. Memperhatikan ketentuan Pasal 31 KUHAP, pengertian penangguhan tahanan tersangka atau terdakwa dari penahanan, mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari penahanan sebelum habis masa atau waktu penahanannya berakhir. Tahanan yang resmi dan sah masih ada dan belum habis, namun pelaksanaan penahanan yang masih harus di jalani tersangka atau terdakwa ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya belum habis. Dengan adanya penangguhan penahanan, seorang tersangka atau terdakwa dikeluarkan dan tahanan pada saat masa tahanan yang salah dan resmi sedang berjalan. Penangguhan penahanan ini tidak sama dengan pembebasan dari tahanan. Perbedaannya terutama ditinjau dari segi hukum maupun alasan dan 418

17 persyaratan yang mengikuti tindakan pelaksanaan penangguhan dengan pembebasan dari tahanan. Dari segi hukum, pelaksanaan dan persyaratan : 1) Pada penangguhan penahanan masih sah dan resmi serta masih berada dalam batas waktu penahanan yang dibenarkan Undang-Undang. Namun pelaksanaan penahanan dihentikan dengan jalan mengeluarkan tahanan setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat penanguhan yang harus dipenuhi. 2) Sedangkan pada pembebasan dari tahanan harus berdasar ketentuan Undang-Undang. Tanpa dipenuhi unsur-unsur yang ditetapkan Undang- Undang, pembebasan dari tahanan tidak dapat dilakukan. Umpamanya, oleh karena pemeriksaan telah selesai sehingga tidak diperlukan penahanan. Atau oleh karena penahanan yang dilakukan tidak sah dan betentangan dengan Undang-Undang maupun karena batas waktu penahan yang dikenakan telah habis, sehingga tahanan harus dibebabaskan dari hukum. Atau bisa juga oleh karena lamanya penahanan yang dijalani sudah sesuai dengan hukuman pidana yang dijatuhkan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Di samping itu dari segi pelaksanaan pembebasan tahanan, dilakukan tanpa syarat jaminan. Menurut penegasan yang terdapat dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP, penangguhan penahanan terjadi : a. Karena permintaan Tersangka atau Terdakwa. b. Permintaan itu disetujui oleh Instansi yang menahan atau yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan. Ada persetujuan dari orang tahanan untuk mematuhi syarat yang ditetapkan serta memenuhi jaminan yang ditentukan. Gambaran terjadinya penangguhan penahanan seolah-olah didasarkan pada bentuk kontrak atau perjanjian dalam hubungan perdata. Itu sebabnya cenderung untuk mengatakan terjadinya penangguhan penahanan berdasarkan perjanjian antara orang tahanan atau orang yang menjamin dengan pihak instansi yang menahan. Orang tahanan berjanji akan melaksanakan dan memenuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan instansi yang menahan sebagai imbalan atau tegen prestasi pihak yang menahan mengeluarkan dari tahanan dengan menangguhkan penahanan. 419

18 Dari proses terjadinya penangguhan penahanan, masing-masing pihak melakukan prestasi dan tegen prestasi. Prestasi yang dilakukan orang tahanan atau orang yang menjamin mematuhi syarat yang ditetapkan dan nakoming tadi, pihak yang menahan memberi imbalan sebagai tegen prestasi berupa penangguhan penahanan. Penangguhan penahanan tidak sama dengan pembebasan dari tahanan. Dalam penangguhan penahanan batas waktu/masa penahanan masih secara sah berlaku dan dibenarkan menurut Undang-Undang, tetapi pelaksanaan penahanannya ditangguhkan / dihentikan setelah persyaratan penangguhan dipenuhi oleh Tersangka / Terdakwa dan atau orang lain yang bertindak menjamin penangguhan penahanan. Ditangguhkan atau dihentikan setelah persyaratan penangguhan dipenuhi oleh Tersangka / Terdakwa dan atau orang lain yang bertindak menjamin penangguhan penahanan. Lembaga penangguhan penahanan dengan jaminan uang atau orang seperti yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP merupakan suatu lembaga baru dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang. Dalam KUHAP maupun dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya tidak ditetapkan tentang penangguhan penahanan. Dengan demikian berarti pembentuk Undang-Undang menyerahkan hal itu kepada Aparat penegak hukum untuk menetapkannya. Hal tersebut tercakup dalam makna dapat ditarik dari kalimat terakhir Pasal 31 ayat 1 KUHAP yang menyatakan Berdasarkan syarat yang ditentukan. Dalam penjelasan ayat 31 KUHAP dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan syarat ditentukan ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota. Menurut M.Yahya Harahap menyatakan bahwa salah satu perbedaan antara penangguhan penahanan dan pembebasan tahanan, terletak pada syarat. Faktor syarat ini merupakan dasar atau landasan pemberian penangguhan penahanan. Sedang dalam tindakan pembebasan tahanan, dilakukan tanpa syarat, sehingga tadi tidak merupakan faktor yang mendasari pembebasan. Penetapan syarat-syarat penangguhan penahanan oleh Instansi yang akan memberikan penangguhan penahanan adalah faktor yang menjadi dasar pemberian penangguhan penahanan. 420

19 Tanpa adanya syarat-syarat yang ditetapkan lebih dulu, penangguhan penahanan tidak dapat diberikan. Tetapkan dulu syarat-syarat yang ditetapkan oleh Instansi yang menahan, tahanan yang bersangkutan menyatakan bersedia untuk menanti. Atas kesediaan untuk menanti, barulah instansi yang berwenang memberikan penangguhan penahanan. Dengan demikian penetapan syarat dalam penangguhan penahanan merupakan conditio sinequanon dalam pemberian penangguhan penahanan. g. Penangguhan Penahanan Dengan Jaminan Uang atau Orang Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa lembaga penangguhan penahanan dengan jaminan uang atau orang seperti yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP merupakan suatu lembaga baru dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang. Dalam KUHAP maupun dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya tidak ditetapkan tentang besarnya uang jaminan maupun berapa orang yang ditentukan untuk menjamin tersangka/terdakwa dalam proses penangguhan penahanan. Dengan demikian berarti pembentuk Undang-Undang menyerahkan hal itu kepada Aparat penegak hukum untuk menetapkannya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, disinggung tentang syarat dan perjanjian penangguhan penahanan tetapi tidak disebutkan secara rinci apa saja yang menjadi syarat penangguhan penahanan yang dimaksud. Apa saja yang dapat ditetapkan sebagai syarat penangguhan penahanan dan perjanjian penangguhan penahanan. Jaminan penangguhan penahanan terdapat dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah tersebut berbunyi : Pasal 35 : 1) Uang jaminan penangguhan penahanan yang ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. 2) Apabila Tersangka atau Terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor ke Kas Negara. Jaminan uang yang penyerahan uang jaminan kepada Kepaniteraan Negeri dilakukan oleh Pemberi Jaminan dan untuk itu Panitera memberikan tanda terima, tembusan tanda penyetoran tersebut oleh Panitera kepada Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan. 421

20 Sedangkan bunyi Pasal 36 adalah : 1) Dalam hal Jaminan itu adalah orang, dan Tersangka atau Terdakwa melarikan diri maka setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlah telah ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat Pemeriksaan. 2) Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang dimaksud ayat (1) jurusita menyita barang miiknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas Negara melalui Panitera Pengadilan Negeri. Jaminan Orang yang jumlah uang sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, pada waktu penerimaan permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan orang. h. Permasalahan Yang Mungkin Timbul Dalam Penangguhan Penahan Dengan Jaminan Orang Dalam penangguhan penahanan dengan jaminan uang, mungkin tidak begitu menimbulkan masalah, ketika tersangka/terdakwa yang ditangguhkan penahanannya melarikan diri. Namun ketika proses penangguhan penahanan dengan jaminan orang, manakala tersangka/terdakwa melarikan diri, hal ini akan menimbulkan permasalahan tersendiri, walaupun ketentuannya sudah diatur dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, sebagaimana tersebut di atas. Dalam hal jaminan itu adalah orang, ketika Tersangka atau Terdakwa melarikan diri maka setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlah telah ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat Pemeriksaan. Misalnya si penjamin adalah pengacaranya atau beberapa tokoh masyarakat, nampaknya akan sulit terealisasikan bagi mereka guna memenuhi kewajibannya sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang untuk membayar sejumlah uang yang telah ditetapkan. Apalagi ketika asset kekayaannya dijual lelang untuk memenuhi kewjiban tersebut, manakala pihak penjamin tidak mampu membayar. C. Kesimpulan Dari uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Pihak tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan dalam proses hukum di semua tingkatan, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun 422

21 pemeriksaan haim di pengadilan dibolehkan untuk mengajukan penangguhan penahanan. 2. Kewenangan untuk mengabulkan penangguhan penahan ada pada pihak penyidik, penuntut maupun hakim pengadilan yang mengadili perkara yang bersangkutan. 3. Penangguhan penahan bagi pihak tersangka/terdakwa, bisa dengan jaminan uang maupun orang, yang nilainya ditentukan oleh Aparat penegak hukum untuk menetapkannya. 4. Menurut penulis, jaminan untuk penangguhan penahanan dengan jaminan uang jauh lebih efektif dilaksanakan, dibanding dengan jaminan orang, manakala tersangka/terdakwa melarikan diri, sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas. Karena penangguhan penahan dengan jaminan orang, eksekusi untuk menyita atau menjual lelang asset milik penjamin akan menemui banyak kendala, manakala pihak penjamin tidak mampu membayar. Dengan demikian maka penulis menyarankan, manakala KUHAP ini akan dilakukan revisi, pada Pasal 31 ayat (1), penangguhan penahanan dengan jaminan orang, sebaiknya dihapuskan. Daftar Pustaka Buku Andi Hamzah, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung, 1986, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2005, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filsofis Dan Sosiologis), PT. Toko Gunung Agung Tbk., Jakarta, 2002 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 1992 Dikdik Mansur, M. Arief, Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007 J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan, Pusat Studi Kriminologi Fakultas Hukum Unair, 1979 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung, Alumni,

22 Mardjono Reksodipuro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Indonesia, Jakarta, 1994 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, Muladi, Perlindungan Korban Melalui Proses Pemidaaan, Bunga Rampai Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, PT Alumni, Bandung, M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Edisi Kedua. Jakarta. Sinar Grafika Ratna Sari, Penyidikan dan Penuntutan dalam Hukum Acara Pidana, Penerbit: Kelompok studi Hukum dan Masyarakat, Jakarta,1995 Romli Atmasasmita. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung. Mandar Maju S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni, Bandung, St. Harum Pudjiarto, Hak Asasi Manusia, Kajian Filosofis dan Implementasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia,, UAJ, Yogyakarta, 1999 Peraturan Perundang-Undangan : - Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). - Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. 424

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA. A. Penangguhan Penahanan Menurut HIR dan KUHAP

BAB II PENGATURAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA. A. Penangguhan Penahanan Menurut HIR dan KUHAP BAB II PENGATURAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA A. Penangguhan Penahanan Menurut HIR dan KUHAP 1. Menurut HIR (Herzeine Inlands Regelement) Pada masa HIR (Herzeine Inlands Reglement),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 3209 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76) I. PENJELASAN UMUM. PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016 PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 Bab I Ketentuan Umum Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Bab III Dasar Peradilan Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017 KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN JAMINAN ORANG BERDASARKAN PASAL 31 KUHAP 1 Oleh : Nurul Auliani 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa pejabat yang

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara A. Pengertian Penahanan Seorang terdakwa akan berusaha untuk menyulitkan pemeriksaan perkara dengan meniadakan kemungkinan akan dilanggar, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Terdakwa yang

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2 PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan-ketentuan mengenai penahanan dalam

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melekat pada diri masing-masing individu. Hal itu cukup beralasan, betapa tidak,

BAB I PENDAHULUAN. melekat pada diri masing-masing individu. Hal itu cukup beralasan, betapa tidak, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Membicarakan persoalan hukum, dapat dipastikan tidak akan ada habishabisnya. Persoalan hukum itu sendiri menyangkut kepentingan manusia, yang melekat pada

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PASAL 31 KUHAP TENTANG PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN ATAU TANPA JAMINAN (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali)

IMPLEMENTASI PASAL 31 KUHAP TENTANG PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN ATAU TANPA JAMINAN (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali) IMPLEMENTASI PASAL 31 KUHAP TENTANG PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN ATAU TANPA JAMINAN (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB II ALASAN HUKUM PENANGGUHAN PENAHANAN TERHADAP TERDAKWA. umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta

BAB II ALASAN HUKUM PENANGGUHAN PENAHANAN TERHADAP TERDAKWA. umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta BAB II ALASAN HUKUM PENANGGUHAN PENAHANAN TERHADAP TERDAKWA Penahanan Maksud penahanan menurut penjelasan Pasal 1 butir 21 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP): Penahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017 KEWAJIBAN PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN TERHADAP TERSANGKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Christian Tambuwun 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

BANTUAN HUKUM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

BANTUAN HUKUM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA BANTUAN HUKUM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA Sapto Budoyo* Abstrak. Prinsip-prinsip dasar yang melandasi eksistensi bantuan hukum di Indonesia secara yuridis konstitusional

Lebih terperinci

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN Diajukan Oleh: HENDRA WAGE SIANIPAR NPM : 100510247 Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Dalam hukum acara pidana ada beberapa runtutan proses hukum yang harus dilalui, salah satunya yaitu proses penyidikan. Proses Penyidikan adalah tahapan-tahapan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Hak atas kemerdekaan, keamanan dan juga hak untuk memperoleh keadilan merupakan hak asasi bagi setiap orang sebagaimana

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus KAJIAN HUKUM TERHADAP PROSEDUR PENANGKAPAN OLEH PENYIDIK MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 1 Oleh: Dormauli Lumban Gaol 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimanakah prosedur

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENAHANAN TERDAKWA OLEH HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Brando Longkutoy 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 PENANGGUHAN PENAHANAN TERHADAP TERSANGKA DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP 1 Oleh: Melinda Gabby Prang 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuann hukum, maka hilanglah sifat

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuann hukum, maka hilanglah sifat 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Dalam melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

KEDUDUKAN PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

KEDUDUKAN PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) KEDUDUKAN PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Oleh : Nimrot Siahaan, SH, M.H Dosen Tetap STIH Labuhanbatu Rantauprapat, Sumatera Utara ABSTRAK

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan

Lebih terperinci

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra 90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan 1. Pengertian Penahanan Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana formal mengatur tentang bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memindana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana ruang lingkupnya

Lebih terperinci

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM KARYA ILMIAH KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA Oleh: Hafrida 1 Abstrak Perekaman persidangan sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat), seperti yang dicantumkan dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 Bab I Ketentuan Umum Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Bab III Dasar Peradilan Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci