BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desentralisasi Pendidikan Sejarah pendidikan di Indonesia sampai dengan awal tahun 2000 menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia bersifat sentralisasi, segala sesuatu di atur dari tingkat pusat dan berlaku sama diseluruh wilayah Indonesia tanpa memperhatikan kondisi dan situasi daerah. Segala bentuk kegiatan penyelenggaraan pendidikan dilakukan berdasarkan petunjuk dari pusat yang dituangkan dalam bentuk juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) yang harus dipedomani oleh semua sekolah secara sama. Kurikulum yang digunakan di semua tingkat sekolah baik SD, SMP ataupun SMA dan SMK satu jenis, kita mengenal hanya satu kurikulum nasional yang berlaku sama dari Sabang sampai Merauke, daerah tidak mendapat ruang untuk mengembangkan kurikulumnya sesuai potensi daerah masing-masing. Segala sesuatu diatur secara rinci oleh pemerintah pusat, pemerintah di daerah hanya sebagai pelaksana kebijakan. Hal sentralisasi dan desentralisasi pendidikan, Tilaar(2002) berpendapat sebagai berikut : kebijakan sentralisasi pendidikan telah mematikan berbagai jenis inovasi pendidikan dan menghasilkan manusia Indonesia yang tanpa inisiatif. Sentralisasi pendidikan tidak 1

2 2 memungkinkan lahirnya masyarakat terbuka yang demokratis dimana setiap manusia mempunyai kesempatan mengembangkan potensinya dan menyumbangkan sebesarbesarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi pendidikan akan melahirkan warga negara yang inovatif, yang bisa bersaing tetapi yang juga dapat bekerja sama membangun suatu masyarakat yang demokratis. Desentralisasi menurut Maddick (dalam Kuncoro,2004) didefinisikan sebagai proses dekonsentrasi dan devolusi. Dekonsentrasi adalah pendelegasian wewenang atas fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintah pusat yang tinggal diluar kantor pusat, sedangkan devolusi merupakan penyerahan kekuasaan untuk melaksanakan fungsifungsi tertentu kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah pada umumnya dianggap sebagai manifestasi struktural dari desentralisasi. Dengan demikian desentralisasi berarti pendelegasian wewenang dan penyerahan kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsifungsi tertentu. Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah (daerah). Sentralisasi ataupun desentralisasi sebagai suatu sistem administrasi pemerintahan, berkaitan erat dengan proses perkembangan suatu negara. Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 beberapa undang-undang tentang pemerintah daerah telah ditetapkan dan berlaku silih berganti. Pada masa Orde Baru, dalam kerangka struktur sentralisasi

3 kekuasaan politik dan otoritas administrasi ditetapkan Undang-undang No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang meletakkan dasar-dasar hubungan pusat-daerah. Pasca Orde Baru (1998 sampai sekarang) yang dikenal dengan era Reformasi telah ditetapkan Undang-Undang No.22tahun 1999 yang mengatur tentang Pemerintah Daerah. Menurut UU N0. 22 tahun 1999 pasal 7 menyebutkan bahwa: Kewenangan kabupaten dan kota mencakup semua bidang pemerintahan yaitu pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, investasi, lingkungan hidup, urusan tanah, koperasi, tenaga kerja. Dengan demikian jelaslah bahwa kebijakan pendidikan berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten dan kota. Fattah(2004) menyatakan bahwa: desentralisasi pendidikan menempatkan sekolah sebagai institusi pendidikan yang mandiri, memiliki otoritas dan kewenangan yang tidak lagi tergantung pada kebijakan dari pusat. Desentralisasi pendidikan tidak lagi menjadikan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang hanya menerima instruksi tanpa kreatifitas penyesuaian, yang dikendalikan secara ketat sehingga tidak memiliki keleluasaan bergerak dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Dengan pengalihan wewenang dalam keputusan dari pemerintah pusat ke tingkat sekolah 3

4 diharapkan sekolah menjadi lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangannya yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya. Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom dalam bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi hal-hal antara lain: 4 penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya; penetapan standar materi pelajaran pokok; penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik; penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan; penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah; pengaturan dan pengembangan pendidikap tinggi, pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah internasional. Dalam upaya menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar isi; standar proses; standar kompetensi lulusan; standar pendidik dan tenaga kependidikan; standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan.

5 Standar Nasional Pendidikan menjadi dasar dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Desentralisasi pendidikan menurut Mulyasa (2002) memberikan kewenangan kepada sekolah dan masyarakat setempat untuk mengelola pendidikan. Hal ini memungkinkan adanya kerjasama yang erat antara staf sekolah, kepala sekolah, guru dan masyarakat dalam upaya pemerataan, efisiensi, efektivitas, peningkatan kualitas dan produktivitas pendidikan. Dalam praktiknya, desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan yang lain, karena desentralisasi di bidang pendidikan tidak berhenti pada tingkat kabupaten/kota, tetapi justru sampai pada sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan. Dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran kurikulum yang digunakan di setiap sekolah tidak sama antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain, sekolah memiliki kewenangan untuk menyusun sendiri kurikulumnya, dalam hal ini dikenal dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Desentralisasi pendidikan diharapkan mendorong peningkatan pelayanan pendidikan kepada masyarakat, yang akhirnya akan menaikkan kualitas pengelolaan pendidikan di sekolah. 5

6 2.2 Manajemen Berbasis Sekolah Menurut KBBI manajemen berarti penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran, basis berarti asas, dasar, berbasis mempunyai arti menjadikan sesuatu sebagai basis, sedangkan sekolah berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran, dari arti katanya maka manajemen berbasis sekolah mempunyai arti penggunaan sumber daya sekolah secara efektif sebagai dasar untuk pelaksanaan proses pembelajaran. Menurut penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 51 ayat (1) yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Depdikbud (dalam Mulyasa,2002) mengemukakan bahwa manajemen berbasis sekolah merupakan suatu penawaran bagi sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi para peserta didik. Otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) dalam manajemen pendidikan merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja pendidik dan tenaga kependidikan, memberikan partisipasi 6

7 langsung kepada kelompok-kelompok terkait dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah merupakan sarana peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Dengan keterlibatan kepala sekolah dan guru dalam pengambilan keputusan-keputusan sekolah akan mendorong rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolahnya. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sekolah pemerintah akan terbantu dalam kontrol maupun pembiayaan pendidikan. Menurut Chapman (dalam Fattah,2004) Manajemen Berbasis Sekolah adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk meredisain pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada Kepala Sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup pendidik dan tenaga kependidikan, siswa, kepala sekolah, orang tua/wali murid dan masyarakat. Manajemen berbasis sekolah merubah pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal (local stakeholders). Sedangkan Rohiat (2010:47) memberikan arti Manajemen Berbasis Sekolah sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) yang lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan kepada 7

8 sekolah, mendorong partisipasi secara langsung dari warga sekolah (guru,siswa, kepala sekolah,karyawan) dan masyarakat(orang tua siswa,tokoh masyarakat, ilmuwan,pengusaha) dan meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi sekolah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan sekolah serta tuntutan masyarakat yang ada. Karakteristik dasar MBS menurut Saud (dalam Mulyasa, 2003) adalah pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi, kepemimpinan sekolah yang demokratis dan professional, serta adanya team work yang tinggi dan professional. Tujuan MBS menurut Mulyasa (2002) adalah meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Mulyasa (2002) menjelaskan bahwa peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi; peningkatan mutu diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem insentif serta disinsentif; sedangkan peningkatan pemerataan pendidikan diperoleh antara lain melalui peningkatan partisipasi 8

9 masyarakat yang mampu, sementara yang kurang mampu menjadi tanggung jawab pemerintah. MBS memberi peluang bagi kepala sekolah, pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik untuk melakukan pembaharuan di sekolah, yang berhubungan dengan masalah kurikulum, pembelajaran maupun manajerial yang tumbuh dari aktifitas, daya kreasi dan profesionalisme yang dimiliki. Sejalan dengan pendapat Mulyasa, Rohiat (2010:48) menyatakan bahwa tujuan penerapan MBS adalah meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata pengelolaan sekolah yang bermutu, yaitu partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Kinerja sekolah sendiri meliputi peningkatan mutu, efektivitas dan efisiensi, produktivitas dan inovasi pendidikan. Sedangkan menurut Fattah(2004) MBS mempunyai tujuan agar otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat atau local stakeholders mempunyai keterlibatan yang tinggi. MBS menawarkan kebebasan kekuasaan yang besar pada sekolah dengan tetap disertai seperangkat tanggung jawab yang harus dipikul. MBS adalah suatu pendekatan praktis yang bertujuan untuk mendesain pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala 9

10 sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya memperbaiki kinerja sekolah yang mencakup guru, kepala sekolah, staf, orang tua siswa dan masyarakat (Fattah, 2004). Prinsip MBS adalah menempatkan kewenangan yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat, menghindari format sentralisasi dan birokratisasi, sekolah memperoleh kewajiban, wewenang dan tanggung jawab yang tinggi dalam meningkatkan kinerjanya. Secara konsepsional MBS akan membawa dampak terhadap peningkatan kinerja sekolah dalam hal mutu,efisiensi keuangan,pemerataan kesempatan dan pencapaian tujuan publik. Dengan MBS sekolah diberi kesempatan untuk menyusun kurikulum sendiri sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Melalui penyusunan kurikulum rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan peserta didik dan masyarakat. Prestasi peserta didik dapat dioptimalkan melalui peningkatan partisipasi orang tua, kesempatan berpartisipasi dapat meningkatkan komitmen kepada sekolah. Adanya kontrol dari masyarakat dan monitoring dari pemerintah maka pengelolaan sekolah lebih transparan, akuntabel dan demokratis, serta menghapus monopoli dalam pengelolaan pendidikan. MBS merupakan konsep pemberdayaan sekolah dalam rangka peningkatan mutu dan kemandirian sekolah, diharapkan kepala sekolah, 10

11 guru, staf dan masyarakat setempat dapat melaksanakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, perkembangan zaman, karakteristik lingkungan dan tuntutan global. Cook dan Macaulay (dalam Mulyasa 2002) memberikan definisi pemberdayaan sebagai alat penting untuk memperbaiki kinerja organisasi melalui penyebaran pembuatan keputusan dan tanggung jawab. Dalam dunia pendidikan pemberdayaan merupakan cara yang praktis dan produktif untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari kepala sekolah, guru dan pegawai, dengan membagi tanggung jawab secara proporsional kepada para guru dan melibatkan para guru dalam proses pengambilan keputusan dan tanggung jawab sehingga guru memiliki rasa percaya diri. Pemberdayaan sekolah juga ditempuh melalui pemberdayaan peserta didik dan masyarakat setempat. Menurut Mulyasa(2002) pemberdayaan terjadi melalui beberapa tahap yaitu: Pertama, masyarakat mengembangkan sebuah kesadaran awal bahwa mereka dapat melakukan tindakan untuk meningkatkan kehidupannya dan memperoleh ketrampilan agar mampu bekerja lebih baik; kedua, mengalami pengurangan perasaan ketidakmampuan dan peningkatan kepercayaan diri; ketiga tumbuhnya ketrampilan dan kepercayaan diri, masyarakat bekerja sama dalam pengambilan keputusan dan memilih sumber daya yang berdampak pada kesejahteraannya. Keberhasilan MBS dalam rangka desentralisasi pendidikan sedikitnya dapat dilihat dari tiga dimensi 11

12 yaitu efektivitas, efisiensi dan produktivitas. Efektivitas MBS berarti bagaimana MBS berhasil melaksanakan tugas pokok sekolah, mendorong partisipasi masyarakat, memperoleh dan memanfaatkan sumber daya, dana dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah. Efisiensi dapat dianalisis dari input dan out put, dan dari proses pendidikan yang merupakan interaksi dari faktor-faktor manusiawi dengan non manusiawi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan waktu yang disediakan, dikatakan efisien jika melakukan banyak proses dalam waktu yang relatif singkat. Efisiensi biaya pendidikan dalam MBS memberi penekanan kepada alokasi anggaran atau penggunaan dana terhadap kegiatan belajar mengajar secara langsung, dengan demikian penggunaan biaya ditujukan untuk peningkatan mutu pendidikan, dengan memprioritaskan kebutuhan proses belajar mengajar dibanding dengan belanja investasi lainnya. Produktivitas dalam pendidikan berkaitan dengan keseluruhan proses penataan dan penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Manfaat yang diperoleh dalam melaksanakan MBS menurut Dadi Permadi dan Daeng Arifin (2007) adalah : (1) sekolah dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah; (2) sekolah lebih mengetahui input dan output 12

13 pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan; (3) pengambilan keputusan partisipatif yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan sekolah karena tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya; (4) penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif apabila masyarakat turut serta mengawasi; (5) keterlibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat; (6) sekolah bertanggung jawab tentang mutu pendidikan di sekolah kepada pemerintah, orang tua, peserta didik dan masyarakat; (7) sekolah dapat bersaing dengan sehat untuk peningkatan mutu pendidikan; (8) sekolah dapat merespon aspirasi masyarakat yang berubah dengan pendekatan yang tepat dan cepat. 2.3 Komite Sekolah Komite sekolah dibentuk berdasarkan Kepmendiknas RI Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002, pasal 1 ayat 2 berbunyi: pada setiap satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan dibentuk komite sekolah atas prakarsa masyarakat, dewan pendidikan, dan/atau pemerintah kabupaten/kota. BP3, komite sekolah dan atau majelis sekolah yang sudah ada dapat memperluas fungsi, peran dan keanggotaan sesuai dengan acuan ini Sebelum komite sekolah dibentuk, di setiap satuan pendidikan sudah terdapat BP3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) yang anggotanya terdiri atas orang tua dan masyarakat disekitar sekolah. Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) yang ada dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 29 Tahun 1990 Pasal 13

14 10 ayat (2) dan Kepmen Dikbud nomor 0490/U/1992, pasal 10 ayat (1) menegaskan, bahwa untuk membantu penyelenggaraan kegiatan pendidikan menengah pada setiap sekolah menengah dibentuk Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Pembentukan dan pelaksanaan organisasi tersebut secara khusus diatur dalam Kepmen Dikbud nomor 0293/U/1993 tentang Pembentukan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan, pembentukan BP3 dimaksudkan sebagai upaya mewadahi dan meningkatkan peran serta orang tua siswa khususnya, dan masyarakat pada umumnya secara nyata dan terus-menerus. Menurut Fattah (2004) BP3 belum berjalan sesuai harapan terutama kelemahan dalam implementasi peran dan fungsinya, hal ini dibuktikan dengan kondisi umum yang terjadi antara lain : (1) BP3 dipersepsikan sebagian masyarakat sekolah terbatas pada pengumpulan dana pendidikan dari orang tua siswa; (2) BP3 belum langsung merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan sekolah; (3) sekolah dan BP3 belum membangun budaya kemitraan yang khas untuk mencapai kualitas pelayanan PBM kepada peserta didik yang bermuara pada kualitas hasil. Seharusnya BP3 dapat dioptimalkan sebagai forum komunikasi antara sekolah dengan orang tua siswa khususnya dan masyarakat, untuk menyampaikan gagasan dan keinginan masing- 14

15 masing, terutama dalam upaya menciptakan saling pengertian semua pihak yang terkait. Kegiatan BP3 merupakan prakarsa murni orang tua siswa dan masyarakat dalam ikut serta membantu terselenggaranya kegiatan pendidikan dan pelatihan. Melalui lembaga BP3, sekolah dapat mengajukan kebutuhan bantuan kepada orang tua siswa dan masyarakat pada umumnya untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya Kepmendiknas RI Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002, maka disetiap satuan pendidikan sudah tidak ada BP3 lagi dan sebagai gantinya dibentuklah komite sekolah. Perbedaan yang prinsip antara BP3 dan komite sekolah adalah dalam peran dan fungsi, keanggotaan serta pemilihan dan pembentukan kepengurusannya. Pengertian Komite Sekolah seperti yang terdapat dalam Kepmendiknas RI Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 adalah sebagai berikut : Komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah. 15

16 Komite sekolah merupakan penyempurnaan dan perluasan badan kemitraan dan komunikasi antara sekolah dengan masyarakat. Badan ini bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hirarkis dengan sekolah maupun lembaga pemerintahan. Sekolah dan komite sekolah memiliki kemandirian masing-masing, namun merupakan mitra yang harus bekerja sama sejalan dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS). Hubungan antara komite sekolah dengan satuan pendidikan, Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota dan institusi lainnya yang bertanggungjawab dalam pengelolaan pendidikan bersifat koordinatif. Pembentukan Komite Sekolah sebagai suatu organisasi masyarakat sekolah seperti yang tertuang dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 memiliki tujuan sebagai berikut : (1) Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan; (2) Meningkatkan tanggung jawab dan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; (3) Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan. Keanggotaan komite sekolah seperti yang tertuang dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 terdiri atas:(1)unsur masyarakat yang dapat berasal dari orangtua/wali murid, tokoh masyarakat, tokoh 16

17 pendidikan, dunia usaha/industri, organsasi profesi/ tenaga kependidikan,wakil alumni dan wakil peserta didik; (2) unsur dewan guru, badan pertimbangan desa maksimal 3 orang. Jumlah anggota komite sekolah sekurang-kurangnya 9 orang dan jumlahnya ganjil. Komite sekolah wajib memiliki AD dan ART. 2.4 Peran komite sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Secara harafiah kata peran berarti kapasitas, kedudukan, posisi, fungsi,tugas, sedangkan kata peran serta berarti keikutsertaan, keterlibatan, kontribusi, partisipasi (Endarmoko 2006). Menurut Cohen (dalam Karim 2012) partisipasi adalah keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan program, memperoleh kemanfaatan dan mengevaluasi program.karim(2012:104)menyebutkan tiga pengertian pokok dalam konsep partisipasi yaitu: (1)keterlibatan mental emosional; (2)adanya kontribusi; dan (3)tanggung jawab. Lebih lanjut Abdul Karim menjelaskan implementasi partisipasi masyarakat dapat berbentuk: Memberikan sumbangan berupa sumber daya, yaitu tenaga dan benda yang merupakan bentuk dari kontribusi yang disalurkan; terlibat dalam berbagai usaha penataan dan koordinasi, hal ini menjadi wujud keikutsertaan aspek mental dan pola pikir; serta terlibat langsung dalam penyusunan program dan pelaksanaanya yang merupakan bentuk dari rasa tanggung jawab yang diterima. 17

18 Dari penjelasan diatas peran serta komite sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan partisipasi komite sekolah dalam pelaksanaan MBS di sekolah yang melibatkan mental emosional, kontribusi dan tanggung jawab. Peran komite sekolah seperti yang tertuang dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 adalah sebagai berikut : (1) pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan; (2) pendukung (supporting agency), baik yang berwujud financial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; (3) pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan; dan (4) mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan. Peran sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan dijabarkan oleh Mulyasa (2003) dan (Dadi Permadi dan Daeng Arifin, 2007) dalam kegiatan operasional sebagai berikut : (1)bersama sekolah merumuskan dan menetapkan visi, misi, tujuan, kebijakan, program dan kegiatan pendidikan di sekolah; (2)memberikan pertimbangan dan masukan dalam penyusunan kurikulum sekolah (KTSP); (3)bersama sekolah menyusun rencana strategis pengembangan sekolah; (4)bersama sekolah menyusun standar pelayanan di sekolah; (5)memberi pertimbangan kepada sekolah untuk peningkatan mutu pembelajaran dan 18

19 penyelenggaraan pembelajaran yang menyenangkan; (6)memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan dalam penyusunan, pembahasan dan penetapan anggaran sekolah (APBS); (7)membahas dan turut menetapkan pemberian tambahan kesejahteraan yang diperoleh dari masyarakat kepada kepala sekolah, tenaga guru, tenaga administrasi sekolah; (8)bersama sekolah mengembangkan potensi kearah prestasi unggulan, baik yang bersifat akademis maupun non akademis (keagamaan, keolahragaan, seni, dan ketrampilan). Sedangkan peran sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Penddikan dan Peraturan Menteri Pendidkan Nasional RI Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidkan oleh Satuan Pendidkan Dasar dan Menengah meliputi kegiatan operasional sebagai berikut : (1)memberikan pertimbangan dan masukan dalam rangka merumuskan dan menetapkan visi, misi dan tujuan sekolah; (2)bersama sekolah mengembangkan kurikulum kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan; (3)memberikan pertimbangan dalam merumuskan dan menetapkan rencana kerja jangka menengah (4 tahun) dan tahunan sekolah; (4)memberikan masukan dalam merumuskan dan menetapkan pedoman tentang struktur organisas sekolah; (5)memberikan masukan dalam menetapkan Tata tertib sekolah yang meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta 19

20 didik, serta penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana; (6)memberikan pertimbangan dalam pemilhan buku teks pelajaran yang akan digunakan sekolah. Peran sebagai pendukung (supporting agency) baik yang berwujud financial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, dijabarkan oleh Mulyasa (2003) dan(dadi Permadi dan Daeng Arifin,2007) dalam kegiatan operasional sebagai berikut : (1)menggalang dana dari orang tua/wali murid dan masyarakat untuk pemenuhan sarana prasarana guna meningkatkan kualitas pelayanan dan peningkatan mutu pendidikan di sekolah; (2)mencari bantuan dana dari dunia usaha dan industri untuk biaya pembebasan uang sekolah bagi siswa yang tidak mampu; (3)mengelola kontribusi masyarakat berupa uang, tenaga, pikiran, barang dan peluang yang diberikan kepada sekola; (4)memberikan motivasi atau penghargaan (baik berupa materi maupun non materi); (5)memberikan otonomi professional kepada guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikannya sesuai kaidah dan kompetensi guru; (6)memberikan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler; (7)memberikan dukungan kepada sekolah untuk secara preventif dan kuratif dalam penyebarluasan narkoba di sekolah; (8)mengidentifikasi berbagai permasalahan dan memecahkannya bersama-sama pihak sekolah. Sedangkan peran sebagai pendukung (supporting agency) baik yang berwujud financial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, seperti yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 20

21 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Penddikan dan Peraturan Menteri Pendidkan Nasional RI Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidkan oleh Satuan Pendidkan Dasar dan Menengah dan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 meliputi kegiatan operasional sebagai berikut : (1)pengambilan keputusan di bidang non akademik; (2)memberikan persetujuan dalam pelaksanaan pengelolaan sekolah yang tidak sesuai dengan rencana kerja tahunan; (3)membuat/memutuskan pedoman tentang pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah (APBS); (4)menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Peran sebagai pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan dijabarkan oleh Mulyasa (2003) dan (Dadi Permadi dan Daeng Arifin, 2007)dalam kegiatan operasional sebagai berikut : (1) melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran (out put) pendidikan, dan menyampaikan hasil kajian program sekolah kepada stakeholders secara periodik baik yang berupa keberhasilan maupun kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran program sekolah.; (2)mengevaluasi program sekolah secara proporsional sesuai kesepakatan dengan pihak sekolah, meliputi: pengawasan penggunaan sarana dan prasarana sekolah, pengawasan keuangan secara berkala dan berkesinambungan; (3)memantau kualitas proses pelayanan dan hasil pendidikan disekolah; (4)mengkaji laporan pertanggung- 21

22 jawaban pelaksanaan program yang dikonsultasikan oleh kepala sekolah. Sedangkan peran sebagai Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan seperti yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Penddikan dan Peraturan Menteri Pendidkan Nasional RI Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidkan oleh Satuan Pendidkan Dasar dan Menengah dijabarkan sebagai berikut : dalam kegiatan operasional (1)melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan pengelolaan sekolah untuk menilai efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas sekolah; (2)menerima laporan dari kepala sekolah yang beris hasl evaluasi pengelolaan sekolah setiap akhir semester; (3)menerima pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan pendidikan dari kepala sekolah dalam rapat dengan dewan pendidik; (4)melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan. Peran sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/ DPRD (legislatif) dengan masyarakat oleh Mulyasa (2003) dan (Dadi Permadi dan Daeng Arifin, 2007)dalam kegiatan operasional sebagai berikut : (1)melakukan kerja sama dengan masyarakat baik perorangan maupun kelompok (organisas); 22

23 (2)membina hubungan dan kerjasama yang harmonis dengan seluruh stakeholders pendidikan disekitar sekolah; (3)membangun kerjasama dengan pihak luar sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan proses dan hasil pendidikanl; (4)menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat; (5)menyampaikan usul atau rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah. Sedangkan peran sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD (legislatif) dengan masyarakat seperti yang terdapat dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 dalam berikut : kegiatan operasional sebagai (1) Melakukan kerjasama dengan masyarakat (Perorangan/organisasi/dunia usaha dan dunia industri (DUDI)) dan pemerintah berkenaan dengan penyelengaraan pendidikan bermutu; (2)menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat; (3)mendorong orang tua siswa dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan pendidikan. Dari penjabaran peran komite beserta kegiatan operasionalnya, maka dalam penelitian ini peran yang pertama sebagai badan pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan yang dijabarkan dalam kegiatan operasional sebagai 23

24 berikut : (1)memberikan pertimbangan dan masukan dalam rangka merumuskan dan menetapkan visi, misi dan tujuan sekolah; (2)memberikan pertimbangan dan masukan dalam penyusunan kurikulum sekolah (KTSP); (3)memberikan pertimbangan dalam merumuskan dan menetapkan rencana strategis pengembangan sekolah dan rencana kerja tahunan sekolah; (4)memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi dalam penyusunan, pembahasan dan penetapan anggaran sekolah (APBS); (5)memberikan masukan dalam merumuskan dan menetapkan pedoman tentang struktur organisasi sekolah; (6)memberikan masukan dalam menetapkan tata tertib sekolah yang meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik; (7)memberikan masukan dalam penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Peran yang kedua sebagai badan pendukung (supporting agency) baik yang berwujud financial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, yang dijabarkan dalam kegiatan operasional sebagai berikut: (1)melakukan penggalangan dana dari orang tua/wali murid, masyarakat, dunia usaha dan industri untuk pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah dan pemberian bantuan bagi siswa tidak mampu; (2)mengelola kontribusi masyarakat berupa uang, tenaga, pikiran, barang dan peluang yang diberikan kepada sekolah; 24

25 (3)memberikan persetujuan dalam kegiatan sekolah di bidang non-akademik; (4)memberikan persetujuan dalam pelaksanaan pengelolaan sekolah yang tidak sesuai dengan rencana kerja; (5)membuat pedoman tentang pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah; (6)memberikan motivasi atau penghargaan (baik berupa materi maupun non materi) kepada guru, staf dan siswa; (7)memberikan otonomi professional kepada guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikannya sesuai kaidah dan kompetensi guru; (8)memberikan dukungan kepada sekolah untuk secara preventif dan kuratif dalam penyebarluasan narkoba di sekolah; (9)mengidentifikasi berbagai permasalahan dan memecahkannya bersama-sama pihak sekolah. Selanjutnya peran yang ketiga sebagai badan pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan dijabarkan dalam kegiatan operasional sebagai berikut: (1)melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan pengelolaan sekolah untuk menilai efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas sekolah, kualitas proses pelayanan dan hasil pendidikan disekolah;(2)melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran (out put) pendidikan; (3)menerima laporan dari kepala sekolah yang beris hasil evaluasi pengelolaan sekolah setiap akhir semester; 25

26 (4)menerima pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan pendidikan dari kepala sekolah dalam rapat dengan dewan pendidik; (5)mengevaluasi program sekolah secara proporsional meliputi: pengawasan penggunaan sarana dan prasarana sekolah, pengawasan keuangan secara berkala dan berkesinambungan. Peran yang ke empat sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD(legislatif) dengan masyarakat oleh dijabarkan dalam kegiatan operasional sebagai berikut:(1)melakukan kerja sama dengan masyarakat baik perorangan maupun kelompok/organisasi/ dunia usaha dan dunia industri (DUDI) dan pemerintah berkenaan dengan penyelengaraan pendidikan bermutu; (2)membina hubungan dan kerjasama yang harmonis dengan seluruh stakeholders pendidikan disekitar sekolah; (3)menampung dan menganalisis gagasan, pandangan, ide, usulan dan berbagai kebutuhan pendidikan, yang diajukan oleh masyarakat; (4)menyampaikan usul atau rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah. 2.5 Hasil Penelitian 26

27 Penelitian yang dilakukan oleh Riyanto, (2007), yang berjudul Peran Komite Sekolah di SD Negeri Karanglo Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, menunjukkan bahwa peran komite sekolah sebagai badan pendukung adalah dalam kategori baik, demikian juga peran komite sekolah sebagai mediator dalam kategori baik, sedangkan peran komite sekolah sebagai badan pertimbangan dan badan pengawas adalah dalam kategori sedang. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Riyanto, penelitian yang dilakukan Armansyah(2009) dengan judul Peranan dan Pemberdayaan Komite Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan SMA Negeri di Kota Binjai menunjukkan bahwa komite belum berhasil mendapat dana dari masyarakat sekitar seperti dunia usaha/dunia industri maupun dari masyarakat yang peduli pendidikan, dan hanya dari bantuan orang tua melalui iuran komite sekolah, dan dalam pelaksanaan perannya baru sebatas hanya pemberi pertimbangan dan pengawasan, sedang peran sebagai pendukung dan mediator belum sepenuhnya terlaksana. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Riyanto maupun Armansyah, penelitian yang dilakukan oleh Hendarmoko dan Samsudin (2008) dengan judul Efektifitas Pelaksanaan Peran dan Fungsi Komite Sekolah pada Jenjang Sekolah 27

28 Menengah Pertama (SMP) Negeri dan Swasta di Kotamadya Jakarta Selatan menunjukkan bahwa kinerja komite sekolah dalam hal Pemberian Pertimbangan (advisory) kurang berhasil (69,31); dalam hal Pendukung (supporting) kurang berhasil (67,50); dalam hal Pengontrol (controlling) kurang berhasil (68,27) demikian juga dalam hal sebagai Mediator kurang berhasil (62,71). Penelitian Hendarmoko dan Samsudin sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hapsawati Taan, (2009) dengan judul Peranan Komite Sekolah dalm Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan yang bertujuan untuk mendiskripsikan peran komite sekolah sebagai badan penasehat, pendukung, pengawasan dan badan mediator pada SMA yang sederajat di Kabupaten Bone Bolango Prop Gorontalo yang menunjukkan bahwa peran komite sekolah secara umum tidak cukup baik, dengan rata-rata 49,24, peran sebagai pemberi pertimbangan adalah 47,51%, peran sebagai agen pendukung 36,67%, peran sebagai agen pengendali 49,50%, dan peran sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat sebesar 63,26%. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hendarmoko dan Samsudin, dan penelitian Hapsawati Taan adalah penelitian yang dilakukan Ariyati (2011) dengan judul Peran Komite Sekolah Dalam Manajemen Berbasis sekolah di Sekolah 28

29 Dasar Gugus Maju kecamatan Secang menunjukkan hasil bahwa komite sekolah di Sekolah Dasar Gugus Maju Kecamatan Secang dalam melaksanakan perannya baik sebagai badan pertimbangan, badan pendukung, badan pengontrol maupun sebagai mediator masih belum optimal, peran sebagai badan pengontrol merupakan peran yang paling kurang optimal. Penelitian Suratman (2011) dengan judul Perbedaan antara Peran Komite Sekolah SMP Negeri 1 Kedungjati Kabupaten Grobogan dan SMP Muhammadiyah 13 Wonosegoro Kabupaten Boyolali Tahun 2010 menunjukkan bahwa Komite Sekolah SMP Negeri 1 Kedungjati Kabupaten Grobogan telah melaksanakan perannya dengan baik sebagai badan pertimbangan, sebagai badan pendukung telah berhasil berhasil menggalang dana dari orang tua, dunia usaha dan alumni sehingga kebutuhan sarana prasarana telah memenuhi standar minimal, sebagai badan pengontrol sudah melaksanakan pengawasan dan evaluasi terhadap program sekolah dan sebagai badan penghubung telah berperan sebagai penghubung antara komite sekolah dengan masyarakat, komite sekolah dengan sekolah, sekolah dengan masyarakat, ataupun komite sekolah dengan dewan pendidikan. Sedangkan Komite SMP Muhammadiyah13 Wonosegoro belum melaksanakan perannya sebagai badan pertimbangan, sebagai badan pendukung belum mampu menggalang dana 29

30 untuk memenuhi sarana prasarana sekolah, sebagai badan pengontrol belum melaksanakan fungsi pengontrol dengan baik dan sebagai badan penghubung belum sepenuhnya berperan. Berbeda dengan penelitia-penelitian diatas, penelitian Asrori (2008) yang berjudul Peran serta Komite Sekolah Sebagai Badan Pengontrol (Controlling Agency) terhadap Peningkatan Kualitas SD Pandean 2 Kecamatan Ngablak menunjukkan hasil yang baik, hal ini terlihat dalam mengontrol dan memantau perencanaan dan pelaksanaan program sekolah komite telah dapat menegur langsung guru dan kepala sekolah setiap saat ditemukan ketidak sesuaian dalam menjalankan program, dan dalam memantau out put pendidikan komite turut terlibat dalam menentukan strategi menghadapi UAS dan berpartisipasi dalam menentukan KKM. Hasil penelitian Ijas Jugaswari (2010) yang berjudul Unjuk Kerja Komite Sekolah di SMA Negeri 3 Semarang menunjukkan bahwa komite sekolah terlibat dalam pengadaan barang, perawatan sarpras, bahkan melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap kegiatan belajar siswa di luar sekolah, komite juga pendukung peningkatan kompetensi guru dengan memberi bantuan materiil dan moril, bahkan dalam pengelolaan dana sekolah komite mencari terobosan-terobosan sumber pendanaan dan 30

31 membentuk tim audit independen dalam mengaudit penggunaan dana sekolah. Dari penelitian penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil komite sekolah yang sudah dapat melaksanakan ke empat perannya dengan baik secara keseluruhan, yaitu sebagai badan pertimbangan, badan pendukung, badan pengontrol dan mediator, sedangkan sebagian besar komite sekolah belum melaksanakan ke empat perannya secara baik, ada peran peran yang sudah dilaksanakan, dan ada peran-peran yang belum dilaksanakan. Di masingmasing sekolah pelaksanaan peran komite sekolah sangat bervariasi tidak sama satu dengan yang lain, disekolah tertentu peran sebagai badan pendukung menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan peran sebagai badan pengawas, badan pertimbangan maupun mediator, disekolah yang lain justru peran sebagai badan pendukung adalah yang paling rendah, sedangkan sebagai badan pertimbangan menunjukkan hasil yang paling baik. Terdapat komite sekolah yang berhasil melaksanakan perannya sebagai badan pengontrol perencanaan maupun pelaksanaan program sekolah, bahkan komite sekolah dapat menegur langsung guru dan kepala sekolah setiap saat ditemukan ketidak sesuaian dalam menjalankan program. Disekolah yang lain peran komite sekolah sebagai mediator antara masyarakat dengan pemerintah paling tinggi 31

32 dibandingkan peran yang lain. Rata-rata komite sekolah telah melaksanakan perannya sebagai badan pendukung, namun masih sebatas dalam penggalian dana dari orang tua/wali murid, maupun dukungan pemikiran, sedangkan dukungan yang berupa tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan belum terlaksana. Tidak banyak komite sekolah yang melaksanakan perannya sebagai badan pengontrol dalam hal keuangan sekolah, dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. 32

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subyek Penelitian Subyek penelitian terdiri dari 25 orang yang diambil dari pengurus komite sekolah dari 3 SMP Negeri yang ada di Kecamatan Musuk, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang- undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa nuansa pembaharuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan nasional saat ini sedang mengalami berbagai perubahan yang cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, salah satunya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mutu pendidikan berkaitan erat dengan proses pendidikan. Tanpa proses pelayanan pendidikan yang bermutu tidak mungkin diperoleh produk layanan yang bermutu. Banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keinginan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Paradigma baru manajemen

BAB I PENDAHULUAN. keinginan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Paradigma baru manajemen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses reformasi yang sedang bergulir, membawa perubahan yang sangat mendasar pada tatanan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dikeluarkannya UU No 22 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa dalam upaya peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pentingnya peningkatan kualitas pendidikan sebagai prasyarat mempercepat terwujudnya suatu masyarakat yang demokratis, pendidikan yang berkualitas tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan peningkatan kualitas

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 044/U/2002 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 044/U/2002 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 044/U/2002 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL Menimbang : 1. bahwa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan sekaligus membuka peluang-peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang cerdas, sehat, jujur, berakhlak mulia, berkarakter, dan memiliki kepedulian sosial

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri.

I. PENDAHULUAN. dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia dan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses

Lebih terperinci

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat Naskah Soal Ujian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Petunjuk: Naskah soal terdiri atas 7 halaman. Anda tidak diperkenankan membuka buku / catatan dan membawa kalkulator (karena soal yang diberikan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem pendidikan nasional Indonesia dimaksudkan untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, serta efisiensi manajemen

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Dalam bab ini membahas hasil penelitian Peran dan Fungsi Komite Sekolah Dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan di Sekolah (Studi Kasus di SMK Negeri 1 Terbanggi Besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 berdampak ke hampir seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu dampak dari adanya reformasi adalah perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas SDM. Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan telah

Lebih terperinci

PERAN SERTA MASYARAKAT/ STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF

PERAN SERTA MASYARAKAT/ STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF PERAN SERTA MASYARAKAT/ STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh: Ahmad Nawawi JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FIP UPI BANDUNG 2010 Latar Belakang l Lahirnya pendidikan inklusif sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada era desentralisasi, pendidikan ini ditekankan pada kebijakan setiap sekolah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Hal ini dapat dikatakan sebagai implementasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah, masyarakat, orang tua dan stake holder yang lain. Pemerintah telah memberikan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manfaat penelitian secara teoritik dan praktis, serta penegasan istilah.

BAB I PENDAHULUAN. manfaat penelitian secara teoritik dan praktis, serta penegasan istilah. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan secara detail latar belakang dan alasan pemilihan judul tesis, rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian secara teoritik

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Peran dan fungsi komite sekolah dalam peningkatan mutu sekolah merupakan faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAH WALIKOTA YOGYAKARTA

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAH WALIKOTA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAH WALIKOTA YOGYAKARTA Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mengutamakan perluasan pengetahuan. Diharapkan pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang mengutamakan perluasan pengetahuan. Diharapkan pendidikan dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan penyempurnaan pendidikan di Indonesia terus diupayakan. Pendidikan pada umumnya merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dibidang peningkatan mutu pendidikan sangat diperlukan tertutama

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dibidang peningkatan mutu pendidikan sangat diperlukan tertutama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pada umumnya dimulai dari tahapan perencanaan, proses pelaksanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan, partisipasi masyarakat

Lebih terperinci

UNJUK KERJA KOMITE SEKOLAH DI SMA NEGERI 3 SEMARANG TESIS

UNJUK KERJA KOMITE SEKOLAH DI SMA NEGERI 3 SEMARANG TESIS UNJUK KERJA KOMITE SEKOLAH DI SMA NEGERI 3 SEMARANG TESIS Diajukan Kepada Program Studi Magister Manajeman Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan terwujud dengan baik apabila didukung secara optimal oleh pola. upaya peningkatan pola manajerial sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. akan terwujud dengan baik apabila didukung secara optimal oleh pola. upaya peningkatan pola manajerial sekolah. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Peningkatan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia akan terwujud dengan baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan pendidikan membuat keberadaan komite sekolah yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan pendidikan membuat keberadaan komite sekolah yang mampu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peran komite sekolah dalam pengelolaan pendidikan di tingkat sekolah sangat dibutuhkan. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam pengelolaan pendidikan

Lebih terperinci

2010 Jagaswari,Ijas,2010, Unjuk Kerja Komite Sekolah Di SMA Negeri 3 Semarang, Tesis, Surakarta: PPs-MP Universitas Muhammadiyah Surakarta

2010 Jagaswari,Ijas,2010, Unjuk Kerja Komite Sekolah Di SMA Negeri 3 Semarang, Tesis, Surakarta: PPs-MP Universitas Muhammadiyah Surakarta DAFTAR PUSTAKA Akbar,R.2010, Peran Komite Sekolah Dalam Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah, http://www.raisulakbar.wordpress.com. Ansar,2007, Implementasi otonomi sekolah (madrasah) melalui peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. siswa. Berdasarkan program pendidikan tersebut siswa melakukan berbagai kegiatan belajar,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. siswa. Berdasarkan program pendidikan tersebut siswa melakukan berbagai kegiatan belajar, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kurikulum Kurikulum adalah program yang disediakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) bagi siswa. Berdasarkan program pendidikan tersebut siswa melakukan berbagai kegiatan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan rekomendasi atas seluruh hasil studi tentang pengaruh desentralisasi fiskal terhadap alokasi belanja daerah untuk

Lebih terperinci

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 044/U/2002 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH NOMOR 044/U/2002 MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investasi. Dengan demikian nilai modal ( human capital ) suatu bangsa tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. investasi. Dengan demikian nilai modal ( human capital ) suatu bangsa tidak hanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu bentuk investasi sumber daya manusia ( SDM ) yang lebih penting dari investasi modal fisik. Pendidikan memberikan sumbangan yang amat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara hakiki pambangunan pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan manusia. Upaya-upaya pembangunan di bidang pendidikan, pada dasarnya diarahkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 2.1.1. Pengertian MBS Dalam era otonomi daerah, persoalan pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan memerlukan adanya perbaikan dan reorientasi

Lebih terperinci

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. Cicih Sutarsih, M.Pd

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. Cicih Sutarsih, M.Pd MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH Bahan Diklat Teknis Manajemen Kepala Sekolah SMP di Lingkungan Provinsi Jawa Barat Oleh: Cicih Sutarsih, M.Pd UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Desember 2006 KONSEP DASAR MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas. Menurut Suryadi (2011: 2) warga negara berhak memperoleh pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas. Menurut Suryadi (2011: 2) warga negara berhak memperoleh pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Negara Republik Indonesia dinyatakan bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu dalam

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang A. Latar Belakang Bab I Pendahuluan Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan berhubungan dengan proses penyelenggaraan pendidikan, sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan berhubungan dengan proses penyelenggaraan pendidikan, sumber daya manusia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teoritis 1. Tinjauan Tentang Kualitas Pendidikan Setiap negara diseluruh dunia begitu menekankan pentingnya kualitas pendidikan. Salah satu langkah konkret untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan faktor yang secara signifikan mampu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu pembangunan pendidikan memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem perekonomian yang tidak kuat, telah mengantarkan masyarakat bangsa pada krisis yang berkepanjangan.

Lebih terperinci

MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Al Darmono Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Menurut perundang-undangan, pendidikan dasar merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia saat ini tidak terlepas dari masalah dalam upaya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia saat ini tidak terlepas dari masalah dalam upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia saat ini tidak terlepas dari masalah dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan persoalan yang paling mendasar yang dihadapi dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada tahun 2003, Pemerintah Indonesia mulai memberlakukan desentralisasi tata kelola sistem pendidikan dasar dan menengah sebagai bagian dari pengalihan tanggung

Lebih terperinci

MASYARAKAT/STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF

MASYARAKAT/STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF PERAN SERTA Click to edit Master subtitle style MASYARAKAT/STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh: Ahmad Nawawi JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FIP UPI BANDUNG 2010 Latar Belakang Lahirnya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENGELOLAAN KOMITE SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI SD ISLAM AL AZHAR 29 SEMARANG

BAB IV ANALISIS PENGELOLAAN KOMITE SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI SD ISLAM AL AZHAR 29 SEMARANG 54 BAB IV ANALISIS PENGELOLAAN KOMITE SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI SD ISLAM AL AZHAR 29 SEMARANG A. Analisis Pengelolaan Komite Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di SD Islam Al

Lebih terperinci

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DAN RELEVANSINYA DI ERA PENDIDIKAN MASA KINI. DR. H. Ma mur Sutisna WD, M.M.Pd Dosen FKIP Universitas Subang ABSTRAK

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DAN RELEVANSINYA DI ERA PENDIDIKAN MASA KINI. DR. H. Ma mur Sutisna WD, M.M.Pd Dosen FKIP Universitas Subang ABSTRAK MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DAN RELEVANSINYA DI ERA PENDIDIKAN MASA KINI DR. H. Ma mur Sutisna WD, M.M.Pd Dosen FKIP Universitas Subang ABSTRAK Banyak masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG, Menimbang : a. bahwa bidang pendidikan merupakan

Lebih terperinci

MEMBERDAYAKAN KOMITE SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN. Oleh : Alpres Tjuana, S.Pd., M.Pd

MEMBERDAYAKAN KOMITE SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN. Oleh : Alpres Tjuana, S.Pd., M.Pd MEMBERDAYAKAN KOMITE SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN Oleh : Alpres Tjuana, S.Pd., M.Pd Pendahuluan Govinda (2000) dalam laporan penelitiannya School Autonomy and Efficiency Some Critical

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN 106 BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN 5.1 Simpulan Setelah melalui serangkaian proses pengamatan empirik, kajian teoritik, penelitian lapangan, dan pembahasan peran komite sekolah dalam peningkatan mutu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komponen yang saling berkaitan. Empat komponen yang di maksud adalah

BAB I PENDAHULUAN. komponen yang saling berkaitan. Empat komponen yang di maksud adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sekolah adalah sebuah aktifitas besar yang di dalamnya ada empat komponen yang saling berkaitan. Empat komponen yang di maksud adalah Staf Tata laksana

Lebih terperinci

Manajemen Mutu Pendidikan

Manajemen Mutu Pendidikan Manajemen Mutu Pendidikan Pengertian Mutu Kata Mutu berasal dari bahasa inggris, Quality yang berarti kualitas. Dengan hal ini, mutu berarti merupakan sebuah hal yang berhubungan dengan gairah dan harga

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB II TELAAH PUSTAKA BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Manajemen Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional (2001), mendiskripsikan bahwa dalam paradigma baru manajemen manajemen pendidikan menegaskan fungsi-fungsi pendidikan yang

Lebih terperinci

5.2. Implikasi penelitian Implikasi teori Implikasi terapan

5.2. Implikasi penelitian Implikasi teori Implikasi terapan BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam kinerja Komite Sekolah antara SD Negeri

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG PROGRAM WAJIB SEKOLAH 12 TAHUN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG PROGRAM WAJIB SEKOLAH 12 TAHUN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG PROGRAM WAJIB SEKOLAH 12 TAHUN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. tersebut akan disajikan secara rinci sebagai berikut: 1. Peran Komite Sekolah Sebagai Badan Pertimbangan (Advisory Agency)

BAB VI PENUTUP. tersebut akan disajikan secara rinci sebagai berikut: 1. Peran Komite Sekolah Sebagai Badan Pertimbangan (Advisory Agency) BAB VI PENUTUP Bagian ini merupakan bagian terakhir dari bagian isi tesis. Pada bagian ini memuat tiga sub bab, yaitu: kesimpulan, implikasi, dan saran. Ketiga sub bab tersebut akan disajikan secara rinci

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekolah,perguruan,lembaga diklat, dalam masyarakat serta berbagai satuan lingku

BAB I PENDAHULUAN. sekolah,perguruan,lembaga diklat, dalam masyarakat serta berbagai satuan lingku BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum pendidikan berkenaan dengan peningkatan kualitas manusia, pengembangan potensi, kecakapan dan karakteristik generasi muda kearah yang diharapkan

Lebih terperinci

II TINJAUAN TEORETIS

II TINJAUAN TEORETIS ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.word-to-pdf-converter.netbab II TINJAUAN TEORETIS A. Hakekat Komite Madrasah 1. Pengertian Komite Madrasah Komite Madrasah merupakan lembaga independent

Lebih terperinci

MENGENAL KOMITE SEKOLAH DAN PERANANNYA DALAM PENDIDIKAN

MENGENAL KOMITE SEKOLAH DAN PERANANNYA DALAM PENDIDIKAN Mengenal Komite Sekolah dan Peranannya dalam Pendidikan {133 MENGENAL KOMITE SEKOLAH DAN PERANANNYA DALAM PENDIDIKAN Rahmat Saputra Tenaga pengajar STAI Teungku Dirundeng Meulaboh Abstract The school committee

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia. Pendidikan yang bermutu akan diperoleh pada sekolah yang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia. Pendidikan yang bermutu akan diperoleh pada sekolah yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam upaya peningkatan sumber daya manusia (SDM), pendidikan memiliki peranan yang cukup menonjol. Oleh karena itu sangat penting bagi pembangunan nasional

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI TAPIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG SALINAN BUPATI TAPIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada awal abad XXI, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pemerintah. Dapat dikatakan pada saat ini tanggung jawab masing masing

BAB I PENDAHULUAN. dan pemerintah. Dapat dikatakan pada saat ini tanggung jawab masing masing 1 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah. Dapat dikatakan pada saat ini tanggung jawab masing masing belum optimal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa pendidikan juga merupakan cara yang efektif sebagai proses nation and

BAB I PENDAHULUAN. bahwa pendidikan juga merupakan cara yang efektif sebagai proses nation and 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan telah diyakini sebagai salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan warga Negara yang handal profesional dan berdaya

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG HUBUNGAN DAN MEKANISME KERJA DEWAN PENDIDIKAN KOTA YOGYAKARTA DENGAN DINAS PENDIDIKAN KOTA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia. Pendidikan sebagai salah satu aspek dalam

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia. Pendidikan sebagai salah satu aspek dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbaikan kualitas pendidikan merupakan salah satu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan sebagai salah satu aspek dalam penentuan human development

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLEH SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLEH SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLEH SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang merupakan salah satu pilar pendidikan yaitu masyarakat, karena kegiatannya berlangsung di lingkungan masyarakat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bernama komite sekolah (SK Mendiknas Nomor 044/U/2002). karena pembentukan komite sekolah di berbagai satuan pendidikan atau

BAB I PENDAHULUAN. yang bernama komite sekolah (SK Mendiknas Nomor 044/U/2002). karena pembentukan komite sekolah di berbagai satuan pendidikan atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Komite sekolah adalah nama badan yang berkedudukan pada satu satuan pendidikan, baik jalur sekolah maupun di luar sekolah atau beberapa satuan pendididkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PENGURUS KOMITE SLTP NEGERI 6 SRAGEN Nomer : 01 / Komite / SLTP N 6 / 2003 Tentang Anggaran Dasar Komite Sekolah SLTP Negeri 6 Sragen

KEPUTUSAN PENGURUS KOMITE SLTP NEGERI 6 SRAGEN Nomer : 01 / Komite / SLTP N 6 / 2003 Tentang Anggaran Dasar Komite Sekolah SLTP Negeri 6 Sragen PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN DINAS PENDIDIKAN SLTP NEGERI 6 SRAGEN Jl. Mayor Suharto No. 1 Telp. (0271) 891913 SRAGEN 57213 KEPUTUSAN PENGURUS KOMITE SLTP NEGERI 6 SRAGEN Nomer : 01 / Komite / SLTP N 6

Lebih terperinci

STANDAR PENGELOLAAN SISTEM PENJAMINAN MUTU INTERNAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

STANDAR PENGELOLAAN SISTEM PENJAMINAN MUTU INTERNAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO STANDAR PENGELOLAAN SISTEM PENJAMINAN MUTU INTERNAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SPMI-UNDIP SM 04 11 SEMARANG 2O16 Standar Pengelolaan Sistem Penjaminan Mutu Internal Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden Penelitian ini dilaksanakan di sekolah dasar (SD) yang tergabung dalam Gugus Diponegoro Kecamatan Dempet Kabupaten Demak. Di Gugus Maju terdapat 7

Lebih terperinci

KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH

KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH Kompetensi Kepribadian 1. Memiliki integritas kepribadian yang kuat sebagai pemimpin : Selalu konsisten dalam berfikir, bersikap, berucap, dan berbuat dalam setiap melaksanakan

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA

WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 14 Tahun 2008 Lampiran : - TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN NON FORMAL DI KOTA TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semuannya dirumuskan oleh Pemerintah. perencana tentang keberadaan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. semuannya dirumuskan oleh Pemerintah. perencana tentang keberadaan pendidikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman kegiatan penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara formal, hampir semua sekolah telah memiliki Komite Sekolah sebagai wakil masyarakat dalam membantu penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Komite sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zaman yang semakin berkembang. Berhasilnya pendidikan tergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. zaman yang semakin berkembang. Berhasilnya pendidikan tergantung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu aspek yang berperan penting dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan tuntutan zaman yang semakin berkembang. Berhasilnya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 10 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 10 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 10 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PERAN MASYARAKAT DALAM BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM SMAK ST. AUGUSTINUS NGANJUK

BAB II GAMBARAN UMUM SMAK ST. AUGUSTINUS NGANJUK BAB II GAMBARAN UMUM SMAK ST. AUGUSTINUS NGANJUK 2.1 Sejarah SMAK St. Augustinus Nganjuk Nganjuk, 2 Januari 1975 berdiri secara resmi SMA Katolik dengan nama St. Augustinus sebagai filial SMA Katolik St.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rizqi Syaroh Amaliyah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rizqi Syaroh Amaliyah, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kebijakan desentralisasi pendidikan yang mengacu pada undang-undang No. 32 dan 33 tahun 2004 dimana terdapat prinsip-prinsip baru dalam pengelolaan pendidikan

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB II TELAAH PUSTAKA BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Manajemen Berbasis Sekolah Suparlan, dkk (2012) Manajemen Berbasis Sekolah sebagai terjemahan dari School Based Management, dapat diartikan sebagai pengalihan dalam pengambilan

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR62 TAHUN 2009 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH BUPATI PURWOREJO,

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR62 TAHUN 2009 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH BUPATI PURWOREJO, BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR62 TAHUN 2009 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH BUPATI PURWOREJO, Menimbang: a. bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan pendidikan di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORITIS

BAB II KERANGKA TEORITIS BAB II KERANGKA TEORITIS A. Kepemimpinan Siagian (2002) mengemukakan bahwa kepemimpinan memainkan peranan yang dominan, krusial, dan kritikal dalam keseluruhan upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi wewenang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengelolaan Pendidikan 2.1.1. Manajemen Pendidikan Manajemen merupakan sebuah istilah yang saat ini populer di berbagai bidang pekerjaan. Manajemen menjadi sebuah hal yang menarik

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

STANDAR PENGELOLAAN SISTEM PENJAMINAN MUTU INTERNAL

STANDAR PENGELOLAAN SISTEM PENJAMINAN MUTU INTERNAL SM SPMI Hal : 1/12 1 Judul STANDAR PENGELOLAAN SISTEM PENJAMINAN MUTU INTERNAL SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK-SPMI SM 06 SUMEDANG 2016 SM SPMI Hal : 2/12 2 Lembar Pengendalian

Lebih terperinci

PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH DALAM PENYELENGGARAAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER DI SD NEGERI SE-KECAMATAN MUNTILAN

PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH DALAM PENYELENGGARAAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER DI SD NEGERI SE-KECAMATAN MUNTILAN PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH DALAM PENYELENGGARAAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER DI SD NEGERI SE-KECAMATAN MUNTILAN THE PARTICIPATION OF SCHOOL BOARD IN CONDUCTING EXTRA CURRICULAR ACTIVITIES IN MOST OF STATE

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DI DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN MINAHASA. Oleh : RENALDO DELEON PAULUS

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DI DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN MINAHASA. Oleh : RENALDO DELEON PAULUS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DI DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN MINAHASA Oleh : RENALDO DELEON PAULUS Salah satu urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom adalah bidang pendidikan. Penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi membuka peluang masyarakat untuk dapat meningkatkan peran sertanya dalam pengelolaan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional.

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rendahnya kualitas sumber daya manusia merupakan masalah mendasar yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional. Penataan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi bidang politik di Indonesia pada penghujung abad ke 20 M telah membawa perubahan besar pada kebijakan pengembangan sektor pendidikan, yang secara umum bertumpu

Lebih terperinci

Disampaikan oleh Ketua Dewan Pendidikan Kota Depok Oktober 2016

Disampaikan oleh Ketua Dewan Pendidikan Kota Depok Oktober 2016 Disampaikan oleh Ketua Dewan Pendidikan Kota Depok Oktober 2016 1. Kedudukan, Fungsi dan Tugas : Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan 2. Indkator Kerja Dewan Pendidikan

Lebih terperinci

Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen Berbasis Sekolah Manajemen Berbasis Sekolah Afid Burhanuddin, M.Pd. Apa yang hendak di capai? Kompetensi dasar: Memahami konsep manajemen berbasis sekolah Indikator Memahami konsep MBS Melaksanakan analisa SWOT (Strength,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR : 13 TAHUN 2002 TENTANG SISTEM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN BANTUL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR : 13 TAHUN 2002 TENTANG SISTEM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR : 13 TAHUN 2002 TENTANG SISTEM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. Bahwa dalam pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), cet. 1, hlm Rohiat, Kecerdasan Emosional Kepemimpinan Kepala Sekolah,

BAB I PENDAHULUAN. (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), cet. 1, hlm Rohiat, Kecerdasan Emosional Kepemimpinan Kepala Sekolah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu persoalan pendidikan yang sedang dihadapi bangsa kita adalah persoalan mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Berbagai usaha telah

Lebih terperinci