BAB IV DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI BULU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI BULU"

Transkripsi

1 BAB IV DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI BULU 4.1 TINJAUAN UMUM Diagenesis merupakan perubahan fisik atau kimia suatu sedimen atau batuan sedimen yang terjadi setelah pengendapan, tidak termasuk proses-proses yang melibatkan temperatur dan tekanan yang cukup tinggi yang dikenal sebagai metamorfisme (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003) Proses dan Produk Diagenesis Proses-proses utama yang terjadi selama diagenesis, yaitu mikritisasi mikrobial, dolomitisasi, sementasi, pelarutan, neomorfisme dan kompaksi, termasuk pressure dissolution (Tucker dan Wright, 1990) Mikritisasi Mikrobial Menurut Tucker dan Wright (1990), selaput mikrit (micritic envelopes) adalah produk dari mikritisasi mikrobial dan jika kegiatan ini intensif maka akan dihasilkan butiran yang termikritisasikan. Sedangkan mikritisasi mikrobial itu sendiri merupakan proses yang ditandai pada bioklas terubah selama di dasar laut oleh organisme alga, jamur atau bakteri. Menurut Longman (1980), proses ini merupakan proses yang penting dalam lingkungan stagnant marine phreatic zone dan active marine phreatic zone Dolomitisasi Dolomitisasi adalah proses penggantian mineral kalsit (CaCO 3 ) menjadi mineral dolomit (CaMg(CO 3 ) 2 ) akibat adanya kontak batugamping dengan air yang kaya magnesium pada batuan karbonat. Menurut Tucker dan Wright (1990), ada 5 model dolomitisasi pada lingkungan yang berbeda-beda, yaitu evaporative, seepagereflux, mixing zone, burial, dan seawater. Menurut Longman (1982), presipitasi dolomit dipengaruhi oleh besarnya rasio Mg/Ca pada mineral, besarnya kandungan karbondioksida, tingginya 39

2 temperatur dan ph, rendahnya kandungan sulfat, rendahnya kadar salinitas serta pengaruh material organik Sementasi Sementasi adalah proses pengisian pori baik di antara butiran, di dalam butiran ataupun di dalam lubang yang dihasilkan oleh pelarutan aragonit. Menurut Tucker dan Wright (1990), jenis-jenis semen yang hadir pada batuan karbonat, yaitu aragonit, kalsit dengan kandungan Mg rendah, kalsit dengan kandungan Mg tinggi, dan dolomit Pelarutan Proses pelarutan terjadi ketika terdapat perbedaan lingkungan diagenesis yang menyebabkan mineral tidak stabil akan larut dan membentuk mineral lain yang lebih stabil pada lingkungan yang baru. Menurut Longman (1980), proses pelarutan dapat terjadi pada lingkungan freshwater vadose maupun freshwater phreatic. Proses pelarutan merupakan proses utama di dekat permukaan, meteorik, dan dapat menyebabkan pembentukan karst. Akan tetapi, proses ini dapat terjadi pada dasar laut dan selama deep burial Neomorfisme Menurut Tucker dan Wright (1990), proses neomorfisme terdiri dari inversi, rekristalisasi dan coalescive neomorphism (aggrading/degrading neomorphism). Inversi merupakan perubahan satu mineral ke polimorf, sebagai contoh transformasi polimorph aragonit menjadi kalsit, alterasi kalsit Mg menjadi kalsit. Lain halnya dengan rekristalisasi yang merupakan perubahan dalam ukuran kristal tanpa perubahan dalam mineraloginya, misalnya membesar atau mengecilnya ukuran kristal kalsit. Umumnya, neomorfisme pada batuan karbonat memiliki tipe aggrading (agradasi), yaitu proses yang menghasilkan butiran spar yang lebih besar. Proses neomorfisme menyebabkan matrik (mikrit) telah terubah menjadi mikrospar. Proses ini dapat terjadi pada awal pemendaman freshwater phreatic dan deep burial. 40

3 Kompaksi Menurut Tucker dan Wright (1990), kompaksi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu Kompaksi Mekanik dan Kimia. Kompaksi Mekanik terjadi ketika pembebanan semakin besar menyebabkan terjadinya retakan di dalam butir, butir saling berdekatan, porositas menurun. Sedangkan Kompaksi Kimia terjadi ketika antarbutir bersentuhan sehingga mengalami pelarutan yang menghasilkan kontak suture dan kontak concavo-convex, serta pada tahap lanjut akan menghasilkan stylolite Lingkungan Diagenesis Lingkungan diagenesis berdasarkan Tucker dan Wright (1990), yaitu marine phreatic, mixing zone, meteoric phreatic, meteoric vadose dan burial (Gambar 4.1). Gambar 4.1 Lingkungan diagenesis yang terjadi pada batuan karbonat (Tucker dan Wright, 1990). Berdasarkan Scholle dan Ulmer-Scholle (2003), semen pada lingkungan marine phreatic adalah kalsit dengan kandungan Mg yang tinggi dan aragonit. Morfologi dari kalsit dengan kandungan Mg tinggi, yaitu microcrystalline crusts dan fibrous sampai bladed rinds, sedangkan morfologi dari aragonit yaitu fibrous, mesh of needles, dan botryoidal, seperti pada Gambar

4 Gambar 4.2 Morfologi semen yang dominan pada lingkungan marine phreatic (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003). Lingkungan mixing zone berada diantara lingkungan marine phreatic dan freshwater phreatic yang ditandai oleh air payau. Dolomit pada mixing zone ini berkisar pada penggantian mikrokristalin jernih pada zona penggantian dan zona semen. Semen dolomit yang sebenarnya sangat sulit dibedakan dari hasil dolomitisasi semen kalsit, kecuali dengan pengecekkan CL (Scholle dan Ulmer- Scholle, 2003). Lingkungan meteoric phreatic dicirikan oleh proses pencucian, neomorfisme butir yang diikuti atau tanpa diikuti sementasi kalsit secara intensif. Ada beberapa kenampakkan variasi tekstur pelarutan (Choquette dan Pray, 1970 op.cit. James dan Choquette, 1990), seperti passages, channels, dan shafts. Selain tekstur tersebut, menurut Scholle dan Ulmer-Scholle (2003), kenampakkan lain tekstur pelarutan, seperti solution-enlarged fracture, sinkhole, caves, dan collapse breccias. Semen pada lingkungan meteoric phreatic adalah kalsit dengan kandungan Mg yang rendah. Morfologi semen pada lingkungan ini adalah isopachus dan blocky (Gambar 4.3). Menurut Scholle dan Ulmer-Scholle (2003), morfologi semen syntaxial overgrowth dapat terbentuk pada lingkungan marine, meteoric, dan burial. 42

5 Gambar 4.3 Morfologi semen yang dominan pada lingkungan vadose zone dan phreatic zone (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003). Menurut Scholle dan Ulmer-Scholle (2003), lingkungan meteoric vadose ditandai dengan tidak jenuh air menyebabkan air yang terdapat di lingkungan ini akan bertahan di antara butiran diakibatkan gaya kapilaritas atau di bawah butiran sebagai pendant drops. Semen pada lingkungan meteoric vadose adalah kalsit dengan kandungan Mg yang rendah. Morfologi semen yang dominan pada lingkungan ini, yaitu meniscus, pendant dan kalsit equant, seperti pada Gambar 4.3. Lingkungan burial sangat dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan yang sangat mempengaruhi proses diagenesis. Lingkungan ini mewakili perubahan yang terjadi di bawah zona sirkulasi air dekat permukaan, berada di bawah zona pencampuran meteoric phreatic atau zona aktif sirkulasi air laut (Scholle dan Ulmer- Scholle, 2003). Gambar 4.4 Morfologi semen yang dominan pada lingkungan burial (Scholle dan Ulmer- Scholle, 2003). 43

6 Gambar 4.5 Jenis struktur pelarutan pada Lingkungan Burial (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003). Berdasarkan Scholle dan Ulmer-Scholle (2003), semen di daerah burial, antara lain coarse calcite spar dan dolomit Fe. Terdapat empat jenis mosaik semen coarse calcite spar pada lingkungan ini, yaitu drusy, kalsit poikilotopic, spari kalsit equant-equicrystalline mosaic dan spari kalsit syntaxial (Gambar 4.4). Terdapat tiga jenis struktur pelarutan, yaitu fitted fabric, dissolution seams, dan stylolites (Gambar 4.5). Rongga yang terlarutkan pada lingkungan diagenesis burial (Choquette dan Pray, 1970 op.cit. Choquette dan James, 1990), dapat berupa tekstur fabric selective or not dan termasuk moldic, vugs, dan pembesaran rongga interpartikel akibat pelarutan. Rongga non-fabric selective dimulai sebagai rongga interpartikel atau moldic dan kemudian dengan cepat berkembang. Pelarutan disepanjang stylolite yang menghasilkan rongga juga merupakan bukti lingkungan diagenesis burial ini. 44

7 4.2 ANALISIS DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI BULU Metode Penelitian Analisis data dilakukan berdasarkan pengamatan lapangan dan pendekatan petrografi menggunakan mikroskop polarisasi terhadap 20 sampel batugamping. Seluruh sayatan tipis diberi blue dye untuk menunjukkan keberadaan dan kelimpahan porositas. Seluruh sayatan juga diberi Alizarin red-s untuk membedakan antara kalsit dan dolomit. Analisis yang dilakukan mencakup identifikasi butiran (cangkang fosil, fragmen litik, dan lain sebagainya), matriks, bentuk dan jenis semen, porositas primer dan sekunder, serta identifikasi produk diagenesis yang hadir. Penamaan batuan mengacu pada klasifikasi Dunham (1962). Identifikasi jenis, bentuk, dan ukuran porositas mengacu pada klasifikasi Choquette dan Pray (1970). Seluruh hasil analisis yang diperoleh akan digunakan untuk menentukan tahapan diagenesis dan menafsirkan sejarah diagenesis dengan mengacu pada beberapa referensi teori dasar, antara lain Longman (1980), Longman (1982), Tucker dan Wright (1990), Mcllreath dan Morrow (1990), serta Scholle dan Ulmer-Scholle (2003) Petrografi Batugamping Pengamatan petrografi bertujuan untuk mengamati secara mikroskopis sampel sayatan tipis batugamping berkaitan dengan tekstur, mineralogi, dan produk diagenesis. Hasil pengamatan petrografi (Lampiran A2) menunjukkan adanya 3 jenis batugamping, yaitu boundstone, grainstone, dan packstone. Pada Lampiran E4 akan teridentifikasi adanya perubahan jenis batugamping baik pada arah utara-selatan maupun arah barat-timur daerah penelitian. Boundstone dijumpai di bagian baratdaya daerah penelitian, semakin ke arah utara akan berubah menjadi batugamping packstone, sedangkan semakin ke arah timur akan berubah menjadi batugamping grainstone. 45

8 Boundstone U S E.9.12 Foto 4.1. Singkapan batugamping masif di daerah Pancasona (lokasi E.9.12), menunjukkan adanya koral dalam posisi tumbuh. Foto diambil menghadap ke arah timur. Batugamping boundstone dijumpai di bagian barat daya daerah penelitian. Batugamping ini ditandai dengan adanya bentukan bukit gamping dan memiliki koral dengan tekstur tumbuh (Foto 4.1). Pada penelitian ini dilakukan analisis petrografi pada 4 buah sampel boundstone, E.4.4, E.4.6, E.4.9, dan E.9.12 (Lampiran A2). Berdasarkan pengamatan petrografi, batugamping boundstone ini tersusun oleh koral, foraminifera, algae merah, dan moluska. Di sampel E.4.9 juga terdapat fosil echinoid, pada pinggirannya terdapat semen syntaxial overgrowth calcite. Kamar fosil koral tersemenkan oleh mikrospar kalsit. Dinding luar cangkang foraminifera dan moluska mengalami mikritisasi, tampak dengan adanya selaput mikrit pada dinding cangkang tersebut. Kamar fosil foraminifera tersemenkan dengan mikrospar kalsit. Fosil algae merah dijumpai sebagai bioklas yang mengalami mikritisasi. Fosil moluska mengalami pelarutan membentuk porositas mouldic yang kemudian diisi oleh semen mikrospar kalsit. Mineral opak dijumpai sebagai butiran dan ada juga yang dijumpai menggantikan sebagian kecil cangkang fosil dan semen pada semua sampel sayatan boundstone. Kenampakkan stylolite hanya dijumpai pada sampel E.4.9. Matriks dijumpai berupa lumpur karbonat, hampir semua terkristalisasi menjadi mikrospar. 46

9 Semen kalsit dijumpai berupa spari kalsit dan mikrospar kalsit. Bentuk semen yang teramati pada sampel sayatan boundstone ini adalah blocky dan equant calcite. Porositas dijumpai berupa vug pada semua sampel sayatan boundstone. Secara umum, proses diagenesis yang teramati pada keempat sampel sayatan, antara lain kompaksi, sementasi, mikritisasi mikrobial, pelarutan, dan neomorfisme. Proses dolomitisasi hanya terlihat pada sampel E.4.9 dan E Grainstone 0 1cm S U Foto 4.2. Singkapan batugamping berlapis di Kali Penjalin (lokasi E.8.4). Foto diambil menghadap ke arah barat. Batugamping grainstone dijumpai di bagian timur daerah penelitian. Batugamping ini ditandai dengan adanya batugamping berlapis (Foto 4.2) dan grain supported. Analisis petrografi pada 6 buah sampel grainstone (E.1.11, E.3.1, E.4.10, E.4.18, E.8.4, dan E.8.9) yang dapat dilihat pada Lampiran A2. Secara umum, batuan grainstone memiliki tekstur klastik, terpilah buruk, grain supported, mempunyai komposisi fragmen fosil berupa foraminifera, algae merah, moluska, dan echinoid. Pada sampel E.1.11 terdapat fosil brachipod dan pada sampel E.4.18 terdapat pecahan fosil koral. Fosil foraminifera dijumpai berbentuk utuh dan pecah-pecah, dinding luarnya mengalami mikritisasi, serta ruang kamarnya tersemenkan dengan mikrospar kalsit dan glaukonit. Fosil algae merah dijumpai sebagai bioklas yang mengalami 47

10 mikritisasi. Fosil moluska dijumpai sebagai bioklas, berupa pecahan bivalve dan bentukan utuh gastropod, cangkang bivalve mengalami pelarutan, dan diisi oleh mikrospar kalsit. Pada pinggiran fosil echinoid terdapat semen syntaxial overgrowth calcite. Pada sampel E.1.11 tampak adanya bentukan semen syntaxial overgrowth berupa kalsit pada fosil echinoid yang telah digantikan oleh glaukonit dan juga tidak utuh lagi akibat pelarutan. Mineral opak terlihat sebagai butiran (mineral detritus) dan ada juga yang menggantikan sebagian kecil cangkang fosil dan semen pada semua sampel sayatan grainstone. Kuarsa dijumpai pada semua sampel sayatan kecuali sampel E.4.10 berupa mineral detritus, berbentuk menyudut-membundar tanggung, dan pemilahan baik. Glaukonit hadir pada sampel E.1.11, E.3.1, E.4.18, E.8.4, memiliki bentuk menyudut-membundar tanggung. Kenampakkan stylolite hanya dijumpai pada sampel E.1.11, E.4.18, E.8.4, dan E.8.9. Matriks dijumpai berupa lumpur karbonat, hampir semua terkristalisasi menjadi mikrospar. Semen kalsit dijumpai berupa spari kalsit dan mikrospar kalsit yang mengisi ruang antarbutir dan kamar fosil pada semua sampel sayatan grainstone. Selain itu, semen glaukonit dijumpai mengisi kamar fosil foraminifera pada semua sampel sayatan kecuali sampel E.4.10, dan semen dolomit dijumpai mengisi ruang kosong berupa vug dan mouldic pada sampel E.1.11, E Secara umum, bentuk semen yang teramati pada sampel sayatan grainstone ini adalah blocky dan equant calcite. Namun, bentuk semen fibrous calcite dijumpai pada sampel E.1.11, bentuk semen fibrous to bladed calcite dijumpai pada sampel E.1.11, E.3.1, dan E.4.18, serta bentuk semen syntaxial overgrowth calcite dijumpai pada sampel E.1.11 dan E.3.1. Porositas dijumpai berupa vug yang secara umum terdapat pada sayatan grainstone dan porositas mouldic yang dijumpai pada sampel E.1.11 dan E.3.1. Pada keenam sampel sayatan tersebut, proses diagenesis yang teramati, antara lain kompaksi, sementasi, mikritisasi mikrobial, pelarutan, dan neomorfisme. Proses dolomitisasi hanya terlihat pada sampel E.4.10 dan E

11 Packstone BD TL E.9.8 Foto 4.3. Singkapan batugamping masif di Bukit Goaterawang (lokasi E.9.8). Foto diambil menghadap ke arah barat laut. Batugamping packstone ini dijumpai di bagian utara daerah penelitian. Batugamping ini ditandai dengan adanya batugamping masif yang mengalami pelarutan intensif (Foto 4.3) dan mud-grain supported. Pada penelitian ini dilakukan analisis petrografi pada 10 buah sampel packstone, antara lain pada sampel sayatan E.1.3, E.4.3, E.4.16, E.4.20, E.5.9, E.6.5, E.6.14, E.9.4, E.9.8, dan E.9.13 (Lampiran A2). Berdasarkan pengamatan sayatan petrografi (Lampiran A2), secara umum batuan packstone ini memiliki tekstur klastik, terpilah buruk, mud-grain supported, mempunyai komposisi butiran berupa fragmen fosil berupa foraminifera, algae merah, dan moluska. Pada sampel E.5.9 dijumpai fosil bryozoa, pada sampel E.4.3, E.4.16, E.4.20, E.9.4 dijumpai fosil echinoid, dan pada sampel E.9.13, E.5.9 dijumpai pecahan fosil koral. Pada dinding luar cangkang foraminifera mengalami mikritisasi, ruang kamar tersemenkan dengan mikrospar kalsit dan glaukonit. Fosil algae merah hadir sebagai bioklas dan mengalami mikritisasi. Fosil moluska hadir sebagai bioklas, berupa pecahan bivalve dan bentukan utuh gastropod, cangkang bivalve mengalami pelarutan, dan diisi oleh mikrospar kalsit. Pada pinggiran fosil echinoid terdapat semen syntaxial overgrowth calcite. 49

12 Mineral opak terlihat sebagai butiran (mineral detritus) dan juga terdapat mineral opak yang menggantikan sebagian kecil cangkang fosil dan semen pada semua sampel sayatan packstone. Kuarsa dijumpai pada sampel E.1.3, E.4.16, E.4.20, E.6.14, E.9.4 berupa mineral detritus, berbentuk menyudut-membundar tanggung, dan pemilahan baik. Glaukonit dijumpai pada sampel E Kenampakkan stylolite hanya dijumpai pada sampel E.1.3, E.4.16, E.4.20, dan E Matriks berupa lumpur karbonat, mulai terkristalisasi menjadi mikrospar. Semen kalsit dijumpai berupa spari kalsit dan mikrospar kalsit yang terdapat pada semua sampel sayatan packstone. Selain itu, semen glaukonit dijumpai mengisi kamar fosil foraminifera pada sampel E.4.16, E.4.20, E.6.14, dan E.9.4, dan semen dolomit dijumpai mengisi ruang kosong berupa vug pada sampel E.4.3, E.4.16, E.4.20, E.5.9, E.6.5, E Secara umum, bentuk semen yang teramati pada sampel sayatan packstone adalah blocky dan equant calcite. Namun, bentuk semen fibrous calcite dijumpai pada sampel E.4.16, bentuk semen fibrous to bladed calcite dijumpai pada sampel E.4.16, E.4.20, dan E.5.9,, serta bentuk semen syntaxial overgrowth calcite dijumpai pada sampel E.4.3 dan E Secara umum terdapat porositas vug pada semua sayatan packstone, porositas mouldic dijumpai pada sampel E.9.4, dan porositas channel dijumpai pada sampel E.6.14, E.9.13, dan E.9.8. Pada keenam sampel sayatan tersebut, proses diagenesis yang teramati, antara lain kompaksi, sementasi, mikritisasi mikrobial, pelarutan, dolomitisasi, dan neomorfisme. Proses dolomitisasi tidak dijumpai pada sampel E.1.3, E.6.14, E.9.4, dan E Analisis Produk Diagenesis Berdasarkan pengamatan petrografi, maka diketahui bahwa produk diagenesis yang hadir (Lampiran A3) adalah mikritisasi mikrobial, sementasi, kompaksi, neomorfisme, dolomitisasi, dan pelarutan. Analisis produk diagenesis digunakan untuk menentukan tahapan diagenesis dan penafsiran lingkungan diagenesis. 50

13 Mikritisasi Mikrobial Produk ini terlihat pada seluruh sayatan batugamping. Mikritisasi mikrobial membentuk selaput mikrit (micritic envelopes) pada fosil yang ada, seperti pada batas kamar foraminifera besar, dinding cangkang fosil moluska dan fosil lainnya. Hal ini ditafsirkan akibat organisme pembor yang melubangi bagian pinggir cangkang fosil yang kemudian terisi oleh mikrit (Foto 4.4). Selaput tersebut lebih resisten terhadap perubahan kondisi lingkungan sehingga pada saat cangkang terlarutkan, selaput tersebut memberikan bentukan cangkang. A B C D E F G H I J mm mm 5 A B C D E F G H I J // - Nicol // Nicol Foto 4.4. Sayatan batugamping sampel E.9.13, memperlihatkan gejala mikritisasi pada dinding fosil (C3, H3) Sementasi Pada pengamatan petrografi, jenis semen yang dijumpai, antara lain semen mikrospar-spari kalsit, semen dolomit, dan semen glaukonit. Semen mikrospar-spari kalsit hadir di sela-sela butiran yang mengikat antara butiran dengan matriks, mengisi kamar fosil, dan mengisi ruang kosong hasil pelarutan. Bentuk semen kalsit dijumpai berupa blocky (Foto 4.5 kiri) yang memiliki variasi ukuran semen mengkasar dari butiran atau matriks ke arah pusat pori. Semen kalsit blocky juga mengisi ruang kosong hasil pelarutan berupa mouldic (Foto 4.5 kanan). 51

14 A B C D E F G H I J mm mm 5 A B C D E F G H I J // - Nicol // Nicol Foto 4.5. Sayatan batugamping sampel E.1.3 (foto kiri) memperlihatkan semen kalsit blocky mengikat butiran dan matriks (B4). Sayatan E.4.6 (foto kanan) menunjukkan semen kalsit blocky mengisi porositas mouldic (G4). A B C D E ,5 mm 5 A B C D E // - Nicol Foto 4.6. Sayatan batugamping sampel E.1.11 memperlihatkan semen fibrous (C3). Selain itu, bentuk semen lainnya, yaitu fibrous (Foto 4.6), fibrous to bladed (Foto 4.7), dan equant calcite (Foto 4.8). Semen fibrous dan fibrous to bladed ini merupakan early cement yang terbentuk pada awal proses diagenesis. Sedangkan semen equant calcite terbentuk pada lingkungan diagenesis yang berbeda dengan semen fibrous dan fibrous to bladed. Ketiga bentuk semen ini tidak banyak dijumpai pada sayatan karena telah banyak yang larut akibat tidak stabil dan perubahan 52

15 kondisi lingkungan diagenesis, namun dibeberapa tempat terlihat berada pada pinggiran atau dinding fosil foraminifera besar. Pada beberapa sayatan juga teramati adanya bentuk semen berupa syntaxial overgrowth (Foto 4.9) pada fosil echinoid. Syntaxial overgrowth ini berupa mineral kalsit. Namun, pada beberapa sayatan juga terekam adanya syntaxial overgrowth berupa mineral kalsit yang tergantikan oleh mineral glaukonit. Ini menandakan bahwa syntaxial overgrowth relatif lebih dahulu terbentuk daripada semen glaukonit. A B C D E F G H I J mm 5 0 0,5 mm 5 A B C D E F G H I J // - Nicol // Nicol Foto 4.7. Sayatan batugamping sampel E.1.11 (foto kiri) dan E.3.1 (foto kanan) memperlihatkan semen fibrous to bladed (C2, H2). A B C D E ,5 mm 5 A B C D E // - Nicol Foto 4.8. Sayatan batugamping sampel E.1.11, memperlihatkan semen equant calcite (C2). 53

16 Dolomit (Foto 4.13) terekam sebagai semen yang mengisi ruang kosong berupa vug dan mouldic hasil dari pelarutan. Sedangkan semen glaukonit (Foto 4.10) hadir mengisi ruang di dalam kamar fosil-fosil yang ada, sebagian besar mengisi kamar fosil foraminifera besar. Dijumpai pula adanya kalsit yang menusuk mineral glaukonit yang menunjukkan bahwa semen glaukonit mengisi rongga/kamar fosil terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pengisian oleh semen kalsit. A B C D E F G H I J mm 5 0 0,5 mm 5 A B C D E F G H I J K L M N O // - Nicol ,5 mm 5 K L M N O // - Nicol Foto 4.9. Sayatan batugamping sampel E.1.11, memperlihatkan semen syntaxial overgrowth yang tidak utuh lagi akibat pelarutan (C3, I3, foto atas), juga ada bentuk semen syntaxial overgrowth calcite yang digantikan oleh glaukonit (M3). 54

17 A B C D E F G H I J ,5 mm 5 0 0,5 mm 5 A B C D E F G H I J // - Nicol // Nicol Foto Sayatan batugamping sampel E.3.1 (foto kiri) dan E.1.11 (foto kanan) memperlihatkan semen glaukonit mengisi kamar fosil (B2, H3), terdapat kristal kalsit yang menusuk ke glaukonit (H3). Berdasarkan bentuknya, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima jenis semen, yaitu semen fibrous, fibrous to bladed, equant, blocky, dan syntaxial overgrowth Kompaksi Proses kompaksi terdiri dari kompaksi mekanik (Foto 4.11 kiri) dan kompaksi kimia (Foto 4.12). Kompaksi mekanik diidentifikasi dari adanya butiran saling berdekatan, retakan di dalam butir, terjadi patahan pada butir, dan mengakibatkan adanya penurunan porositas. Hal ini diperkirakan akibat proses pembebanan. Patahan pada butir kemudian diisi oleh semen kalsit equant. Kompaksi kimia terdapat pada beberapa sampel sayatan dengan adanya pressure dissolution pada kontak suture, sehingga menghasilkan stylolite. Pada sayatan tampak stylolite memotong semen kalsit blocky dan aggrading neomorphism. Dijumpai pula adanya rekahan/fracture (Foto 4.11 kanan) yang diisi oleh semen kalsit equant. 55

18 A B C D E F G H I J mm 5 0 0,5 mm 5 A B C D E F G H I J // - Nicol // Nicol Foto Sayatan batugamping sampel E.9.8 (foto kiri), memperlihatkan cangkang fosil yang patah dan diisi oleh semen berbentuk equant (C4). Sayatan E.4.16 (foto kanan) menunjukkan rekahan yang diisi oleh semen kalsit equant (G2). A B C D E F G H I J mm 5 0 0,5 mm 5 A B C D E F G H I J // - Nicol // Nicol Foto Sayatan batugamping sampel E.4.20 (foto kiri), memperlihatkan kontak suture (C3) yang menghasilkan stylolite. Sayatan E.6.14 (foto kanan) menunjukkan stylolite memotong semen berbentuk blocky (H3) dan mikrospar hasil neomorfisme (I2). 56

19 Dolomitisasi Dolomitisasi dijumpai berupa pengisian ruang kosong hasil pelarutan (vug dan mouldic) oleh semen dolomit (Foto 4.13). Kristal dolomit berukuran 0,1-0,3 mm, berbentuk rhombic, bersih (clear), dan tidak berwarna (tidak bereaksi dengan alizarin red-s). Dolomit yang tampak pada pengamatan petrografi tidak banyak (5%) yang menandakan proses dolomitisasi yang terjadi kurang intensif pada batugamping di daerah penelitian. A B C D E F G H I J ,5 mm 5 0 0,5 mm 5 A B C D E F G H I J // - Nicol // Nicol Foto Sayatan batugamping sampel E.4.10, memperlihatkan kristal dolomit yang mengisi porositas vug (C3) dan mouldic (G3, I4) Neomorfisme Neomorfisme pada sayatan tipis batugamping dijumpai berupa pengasaran ukuran kristal pada mikrit (aggrading neomorphism), yang terjadi akibat rekristalisasi mikrit menjadi kristal-kristal yang lebih besar, yaitu mikrospar dan spar (Foto 4.14). Kristal-kristal yang terbentuk memiliki kenampakkan yang lebih keruh dibandingkan semen mikrospar dan spar biasa. 57

20 A B C D E mm 5 A B C D E // - Nicol Foto Sayatan batugamping sampel E.9.8, memperlihatkan aggrading neomorphism (D2) Pelarutan Pada sampel-sampel sayatan yang dianalisis, terlihat adanya proses pelarutan yang menghasilkan beberapa jenis porositas, seperti mouldic (Foto 4.15 kiri), channel (Foto 4.15 kanan), dan vug (Foto 4.16). Proses pelarutan pertama ditandai dengan terbentuknya mouldic yang kemudian diisi oleh glaukonit dan kalsit, tetapi juga dijumpai mouldic yang hingga saat ini masih terbuka, ditandai dengan warna biru akibat blue dye (Foto 4.15 kiri). Pelarutan selanjutnya membentuk vug dan mouldic yang kemudian diisi oleh dolomit. Proses pelarutan terakhir ditandai dengan pembentukan vug dan channel yang hingga saat ini masih terbuka (ditandai dengan warna biru akibat blue dye). Porositas channel terbentuk akibat pelarutan disepanjang stylolite yang menghasilkan rongga. Sedangkan porositas vug memiliki bentuk yang tidak beraturan (irregular) yang memotong butiran dan semen. 58

21 A B C D E F G H I J mm mm 5 A B C D E F G H I J // - Nicol // Nicol Foto Sayatan batugamping sampel E.9.4 (foto kiri), menunjukkan adanya porositas mouldic pada kamar foraminifera besar (B2). Sayatan batugamping sampel E.6.14 (foto kanan), memperlihatkan porositas channel (H3). A B C D E mm 5 A B C D E // - Nicol Foto Sayatan batugamping sampel E.4.18, menunjukkan adanya porositas vug (C2) Komponen Non-Karbonat Komponen non-karbonat yang hadir (Foto 4.17), yaitu kuarsa, glaukonit, dan mineral opak. Kuarsa merupakan mineral allogenik, berukuran 0,1-0,4 mm, kelimpahan 2-7%, dan berbentuk menyudut tanggung-membundar. 59

22 Mineral glaukonit hadir sebagai mineral authigenik, berukuran 0,1-0,3 mm, kelimpahan 5-10%, berbentuk menyudut tanggung-membundar tanggung, berupa butiran dengan kenampakkan mirip dengan glaukonit yang mengisi kamar-kamar fosil. Kedua komponen non-karbonat tersebut hadir pada awal pengendapan. Mineral opak dijumpai sebagai butiran, berukuran 0,05-0,3 mm, kelimpahan 2-5%, dan berbentuk menyudut tanggung-membundar tanggung. Mineral opak dijumpai pula tersebar menggantikan sebagian kecil dari butiran, baik fosil maupun komponen nonkarbonat lainnya, terlihat juga menggantikan sebagian kecil mikrit dan semen. A B C D E ,5 mm 5 A B C D E // - Nicol Foto Sayatan batugamping sampel E.3.1, memperlihatkan beberapa komponen nonkarbonat, seperti kuarsa (E4), glaukonit (D2), dan mineral opak (A2) Tahapan dan Lingkungan Diagenesis Batugamping Formasi Bulu Tahapan diagenesis diperoleh berdasarkan hubungan antara satu produk diagenesis dengan produk diagenesis lainnya. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan potong-memotong, mengisi, dan diisi antarproduk diagenesis. Dengan memahami produk diagenesis yang hadir dan hubungannya satu dengan yang lain, maka akan membantu menafsirkan perubahan lingkungan diagenesis. Proses selanjutnya akan disusun penafsiran sejarah diagenesis batugamping Formasi Bulu. 60

23 Adapun tahapan diagenesis yang terekam pada produk diagenesis dari yang paling awal hingga terakhir terbentuk adalah: 1. Mikritisasi mikrobial. Mikritisasi mikrobial membentuk selaput mikrit (micritic envelopes) pada dinding cangkang fosil. Tahap ini merupakan tahap awal dari diagenesis yang terjadi setelah pengendapan pada lingkungan stagnant marine phreatic. Menurut Longman (1982), lingkungan stagnant marine phreatic merupakan zona pergerakan air yang relatif lambat dan proses sementasi yang jarang terjadi pada lingkungan ini. 2. Pembentukan semen fibrous + fibrous to bladed. Tahap ini dicirikan oleh adanya sementasi intergranular oleh aragonit berserabut atau yang disebut early cement berupa semen fibrous dan fibrous to bladed. Tahap ini terjadi akibat perubahan lingkungan menjadi lingkungan active marine phreatic. Menurut Longman (1982), lingkungan active marine phreatic merupakan zona pergerakan air dengan proses sementasi lebih dominan. 3. Pembentukan semen syntaxial overgrowth pada echinoid. Syntaxial overgrowth terbentuk pada fragmen echinoid dan tumbuh lebih cepat daripada semen butiran intergranular. Tahap ini berada pada lingkungan marine phreatic. Pada kondisi stabil, semen ini akan tumbuh secara simetri. Namun, pada sayatan terekam adanya semen syntaxial overgrowth yang asimetri pada fragmen echinoid, dan juga terdapat syntaxial overgrowth yang tidak utuh lagi akibat hasil pelarutan. 4. Pembentukan glaukonit. Semen glaukonit ini menandakan suatu keadaan reduksi yang berada pada lingkungan marine phreatic. Mineral glaukonit ini merupakan mineral authigenik dan hadir pada tahap-tahap awal pembentukan batuan. Pada sayatan terekam adanya glaukonit yang menggantikan syntaxial overgrowth calcite. 5. Kompaksi mekanik. Pembebanan (oleh pengendapan litologi lain) di atas batugamping akan membuat adanya tekanan beban (burial). Hal ini membuat butiran saling berdekatan dan bersentuhan satu sama lain. Cangkang-cangkang fosil banyak yang retak dan patah, kemudian bidang retakan dan patahannya diisi oleh semen 61

24 equant calcite. Rekahan pada sayatan juga terekam diisi oleh semen equant calcite. 6. Proses pelarutan fibrous dan fibrous to bladed, serta menghasilkan porositas mouldic. Tahap ini merupakan tahap diagenesis yang terjadi pada lingkungan meteoric phreatic setelah berubah menjadi zona tidak jenuh aragonit. Aragonit (early cement) dan beberapa Mg-kalsit terlarutkan. Tahap ini juga menghasilkan porositas mouldic yang menyebabkan porositas meningkat. 7. Pembentukan semen equant calcite. Semen equant terbentuk pada pinggiran/dinding luar butiran. Bentuk semen equant calcite diinterpretasikan menunjukkan lingkungan meteoric phreatic. 8. Pembentukan semen blocky. Peranan pembebanan (burial) yang tidak begitu besar menyebabkan peran meteoric masih mempengaruhi tahap ini. Semen blocky mengisi ruang kosong setelah semen equant calcite. 9. Neomorfisme: aggrading neomorphism. Proses yang terjadi merupakan perubahan ukuran dari mikrit menjadi mikrosparspar. Tahap ini masih diinterpretasikan berada pada lingkungan meteoric phreatic karena belum adanya tanda-tanda pembebanan (burial) yang cukup besar, seperti stylolite. 10. Pembentukan Stylolite. Stylolite merupakan bukti produk diagenesis pada lingkungan burial yang terbentuk akibat kompaksi kimia. Stylolite pada beberapa sayatan terekam memotong semen kalsit blocky dan mikrospar (hasil dari neomorfisme). 11. Proses pelarutan menghasilkan porositas vug dan mouldic Proses pelarutan yang menghasilkan porositas mouldic dan vug berhubungan perubahan kondisi lingkungan diagenesis. Tahap ini diinterpretasikan terjadi pada saat adanya gangguan tektonik yang menyebabkan Batugamping Formasi Bulu ini mengalami pengangkatan. Namun, litologi-litologi dari formasi lain telah tebal diendapkan di atas batugamping ini yang membuat batugamping ini masih dipengaruhi proses pembebanan (burial) dan juga tidak terjangkau oleh lingkungan meteoric phreatic. 62

25 12. Pembentukan dolomit Pada tahap ini juga masih berada pada lingkungan burial. Tahap ini memungkinkan fluida pori dalam batuan untuk mengendapkan dolomit. Fluida tersebut diinterpretasikan memiliki kandungan Mg yang tinggi, sehingga akan membentuk semen dolomit yang mengisi ruang kosong hasil pelarutan pada tahap sebelumnya berupa mouldic dan vug. 13. Proses pelarutan memotong semen, matriks, fosil, dan pada bidang lemah menghasilkan porositas vug dan channel. Tahap ini merupakan tahap terakhir dari proses diagenesis batugamping di daerah penelitian yang diinterpretasikan adanya proses pengangkatan sehingga membuat Batugamping Formasi Bulu ini terangkat dan muncul ke permukaan (zona vadose) seperti keadaan sekarang. Perjalan batugamping ini dari lingkungan burial ke lingkungan vadose membuat perubahan kondisi lingkungan diagenesis. Pada saat perjalanan perubahan lingkungan tersebut terjadi proses pelarutan yang menghasilkan porositas vug dan channel yang diinterpretasikan berada pada lingkungan meteoric phreatic. Porositas channel terbentuk akibat pelarutan disepanjang stylolite yang menghasilkan rongga. Sedangkan porositas vug memiliki bentuk yang tidak beraturan (irregular) yang memotong butiran dan semen. Bukti batugamping pada saat ini dipengaruhi oleh zona vadose dapat diamati pada skala singkapan, yaitu adanya pelarutan yang menghasilkan goa-goa karst dan mengendapkan stalagmite dan stalagtite (Foto 3.3) Sejarah Diagenesis Batugamping Formasi Bulu Berdasarkan pengamatan terhadap produk diagenesis yang hadir, maka dapat disimpulkan urut-urutan lingkungan diagenesis batugamping Formasi Bulu, yakni dengan urutan sebagai berikut: marine phreatic, shallow burial, meteoric phreatic, deep burial, meteoric phreatic, dan meteoric vadose. Tahap pengendapan awal dari sedimen karbonat berada di lingkungan laut dangkal pada Kala Miosen Tengah. Sedimen tersebut tersusun oleh foraminifera, koral, alga, moluska, echinoid, komponen non-karbonat, dan mikrit juga hadir diantara butir. 63

26 Sejarah diagenesis (Gambar 4.6) diawali pada lingkungan stagnant marine phreatic. Pada lingkungan ini terjadi mikritisasi butiran oleh alga pembor dan jamur membentuk micrite envelopes. Menurut Longman (1982), lingkungan stagnant marine phreatic merupakan zona pergerakan air yang relatif lambat dan proses sementasi yang jarang terjadi pada lingkungan ini. Selanjutnya terjadi perubahan lingkungan menjadi lingkungan active marine phreatic yang dicirikan oleh adanya sementasi intergranular oleh early cement berupa semen fibrous, fibrous to bladed. Menurut Longman (1982), lingkungan active marine phreatic merupakan zona pergerakan air dengan proses sementasi lebih dominan. Syntaxial overgrowth juga mulai terbentuk pada fragmen echinoid dan tumbuh lebih cepat daripada semen butiran intergranular. Kemudian pada lingkungan marine phreatic ini terbentuk semen glaukonit yang mengisi ruang kosong antarbutiran. Pada sayatan terekam adanya glaukonit yang menggantikan syntaxial overgrowth calcite. Seiring dengan berlanjutnya pengendapan litologi lain di atas batugamping ini, maka terdapat adanya tekanan beban (burial) yang membuat batugamping ini berada pada lingkungan shallow burial. Tekanan beban (burial) membuat butiran saling berdekatan dan bersentuhan satu sama lain, cangkang-cangkang fosil banyak yang retak dan patah, serta dijumpai adanya rekahan. Porositas berkurang akibat sementasi intergranular dan kompaksi. Tahap selanjutnya merupakan tahap diagenesis yang terjadi pada lingkungan meteoric phreatic setelah berubah menjadi zona tidak jenuh aragonit. Perubahan lingkungan diagenesis ini diinterpretasikan akibat proses pengangkatan pada Kala Akhir Miosen Tengah-Miosen Akhir. Pada tahap ini, aragonit (early cement) dan beberapa Mg-kalsit mengalami pelarutan (leaching), sehingga menghasilkan porositas mouldic yang menyebabkan porositas meningkat. Saat kondisi lingkungan telah stabil untuk proses sementasi, maka akan terbentuk semen equant yang terdapat pada pinggiran pori dan pinggiran dinding luar butiran. Ruang kosong yang tersisa diisi oleh semen blocky. Proses selanjutnya yang terjadi pada lingkungan meteoric phreatic ini adalah perubahan ukuran dari mikrit menjadi mikrospar-spar (neomorfisme). 64

27 Peranan proses pembebanan (burial) yang mulai dominan menyebabkan peran meteoric tidak lagi mempengaruhi tahap ini sehingga diinterpretasikan tahap selanjutnya berada pada lingkungan deep burial. Bukti produk diagenesis pada lingkungan deep burial adalah stylolite. Tahap selanjutnya diinterpretasikan adanya pengangkatan pada Kala Pliosen Akhir yang menyebabkan Batugamping Formasi Bulu ini terangkat. Namun, litologilitologi dari formasi lain telah tebal diendapkan di atas batugamping ini. Hal ini membuat batugamping ini masih dipengaruhi proses pembebanan (burial) dan juga tidak terjangkau oleh lingkungan meteoric phreatic. Proses pengangkatan mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan diagenesis yang menyebabkan mineral menjadi tidak stabil sehingga terjadi proses pelarutan. Proses pelarutan menghasilkan porositas mouldic dan vug. Pada tahap berikutnya, kondisi lingkungan memungkinkan fluida pori dalam batuan untuk mengendapkan dolomit. Fluida tersebut diinterpretasikan memiliki kandungan Mg yang tinggi, sehingga akan membentuk semen dolomit yang mengisi ruang kosong hasil pelarutan pada tahap sebelumnya berupa mouldic dan vug. Tahap selanjutnya merupakan tahap terakhir dari proses diagenesis batugamping di daerah penelitian yang diinterpretasikan adanya proses pengangkatan sehingga membuat Batugamping Formasi Bulu ini terangkat dan muncul ke permukaan (zona vadose) seperti keadaan sekarang. Perjalanan batugamping ini dari lingkungan burial ke lingkungan vadose membuat perubahan kondisi lingkungan diagenesis. Pada saat perjalanan perubahan lingkungan tersebut terjadi proses pelarutan yang menghasilkan porositas vug dan channel yang diinterpretasikan berada pada lingkungan meteoric phreatic. Porositas vug memotong fosil, matriks, dan semen. Sedangkan porositas channel terbentuk akibat pelarutan di sepanjang stylolite. Akhirnya pada saat ini, batugamping berada pada lingkungan meteoric vadose. Bukti batugamping pada saat ini dipengaruhi oleh zona vadose dapat diamati pada skala singkapan, yaitu adanya pelarutan yang menghasilkan goa-goa karst dan mengendapkan stalagmite dan stalagtite (Foto 3.3). 65

28 Gambar 4.6. Skema sejarah diagenesis batugamping yang terjadi pada daerah penelitian. 66

BAB IV TEORI DASAR DIAGENESIS KARBONAT

BAB IV TEORI DASAR DIAGENESIS KARBONAT BAB IV TEORI DASAR DIAGENESIS KARBONAT 4.1 Tinjauan Umum Diagenesis meliputi perubahan fisik atau kimia suatu sedimen atau batuan sedimen yang terjadi setelah pengendapan (tidak termasuk proses-proses

Lebih terperinci

BAB V DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI CIMAPAG

BAB V DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI CIMAPAG BAB V DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI CIMAPAG 5.1 Metode Penelitian Analisis data dilakukan berdasarkan pengamatan lapangan dan pendekatan petrografi menggunakan mikroskop polarisasi terhadap 27 sampel

Lebih terperinci

BAB IV DIAGENESIS BATUGAMPING

BAB IV DIAGENESIS BATUGAMPING BAB IV DIAGENESIS BATUGAMPING 4.1 Diagenesis Batugamping Diagenesis merupakan proses yang terjadi setelah proses sedimentasi pada suatu batuan meliputi proses kimiawi maupun fisika, namun perubahan ini

Lebih terperinci

// - Nikol X - Nikol 1mm

// - Nikol X - Nikol 1mm Sampel lain yang mewakili mikrofasies ini adalah D 34 D, merupakan batugamping packstone, klastik, terpilah buruk, kemas terbuka, disusun oleh butiran (50%), terdiri dari fragmen fosil berupa alga, foraminifera

Lebih terperinci

4.4.1 Proses dan Produk Diagenesa Proses Mikritisasi Mikrobial

4.4.1 Proses dan Produk Diagenesa Proses Mikritisasi Mikrobial terangkat ke permukaan. Iklim juga memegang peranan penting dalam proses diagenesa. Pada iklim kering, sementasi di lingkungan air tawar kemungkinan akan terbatas dari porositas primer akan terawetkan.

Lebih terperinci

Foto 32. Singkapan batugamping fasies foraminifera packestone yang berlapis.

Foto 32. Singkapan batugamping fasies foraminifera packestone yang berlapis. besar Lepidocyclina spp., Amphistegina spp., Cycloclypeus spp., sedikit alga, porositas buruk berupa interpartikel, intrapartikel dan moldic, berlapis baik. Pada sayatan tipis (Lampiran A-5: analisis petrografi)

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI POROSITAS DENGAN KARAKTERISTIK DIAGENESIS FORMASI WONOSARI DI KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DIY

HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI POROSITAS DENGAN KARAKTERISTIK DIAGENESIS FORMASI WONOSARI DI KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DIY Abstrak HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI POROSITAS DENGAN KARAKTERISTIK DIAGENESIS FORMASI WONOSARI DI KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DIY Muhamad Rizki Asy ari 1*, Sarju Winardi 1 1 Jurusan

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN ANALISIS DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI BULU, DAERAH DESA TINAPAN DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BLORA, JAWA TENGAH

GEOLOGI DAN ANALISIS DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI BULU, DAERAH DESA TINAPAN DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BLORA, JAWA TENGAH GEOLOGI DAN ANALISIS DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI BULU, DAERAH DESA TINAPAN DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BLORA, JAWA TENGAH TUGAS AKHIR A Diajukan Sebagai Syarat Dalam Mencapai Kelulusan Strata Satu (S-1)

Lebih terperinci

Mikrofasies dan Diagenesa Batugamping Formasi Klapanunggal Daerah Cileungsi, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Mikrofasies dan Diagenesa Batugamping Formasi Klapanunggal Daerah Cileungsi, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Mikrofasies dan Diagenesa Batugamping Formasi Klapanunggal Daerah Cileungsi, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Reghina Karyadi 1) Abdurrokhim 1) Lili Fauzielly 1) Program Studi

Lebih terperinci

BAB IV FASIES BATUGAMPING GUNUNG SEKERAT

BAB IV FASIES BATUGAMPING GUNUNG SEKERAT BAB IV FASIES BATUGAMPING GUNUNG SEKERAT Satuan batugamping Gunung Sekerat tersingkap dengan baik, dengan penyebaran kurang lebih 10% dari luas daerah penelitian, dalam Peta Geologi (Lampiran G-3) satuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING

BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING IV.1 Pendahuluan Batuan Karbonat Klastik Terrigenous Sedimen yang global dan tak terbatas dengan iklim. Suplai sedimen berasal dari kontinen dan laut. Ukuran dari butiran

Lebih terperinci

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai. BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.2.2.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BG4 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides

Lebih terperinci

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH GUNUNG KROMONG

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH GUNUNG KROMONG BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH GUNUNG KROMONG 5.1 Dasar Teori Secara umum batu gamping merupakan batuan sedimen yang tersusun oleh satu mineral yaitu Kalsium Karbonat (CaCO 3 ), namun terdapat pula sedikit

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3. 1. Definisi Batuan Karbonat Batuan karbonat adalah batuan yang mempunyai kandungan material karbonat lebih dari 50 % dan tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG 4. 1 Latar Belakang Studi Ngrayong merupakan Formasi pada Cekungan Jawa Timur yang masih mengundang perdebatan di kalangan ahli geologi. Perdebatan tersebut menyangkut lingkungan

Lebih terperinci

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA PRAKTIKUM PETROGRAFI BORANG MATERI ACARA IV: PETROGRAFI BATUAN SEDIMEN SILISIKLASTIK Asisten Acara: 1. 2. 3.

Lebih terperinci

BAB IV FASIES BATUGAMPING FORMASI TENDEH HANTU

BAB IV FASIES BATUGAMPING FORMASI TENDEH HANTU BAB IV FASIES BATUGAMPING FORMASI TENDEH HANTU 4.1 Pendahuluan Batuan Karbonat adalah batuan sedimen yang terdiri dari garam karbonat. Dalam prakteknya adalah gamping (limestone) dan dolomit (Koesoemadinata,

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

Studi Model Reservoir Karbonat Menggunakan Analisa Tipe Batuan

Studi Model Reservoir Karbonat Menggunakan Analisa Tipe Batuan Studi Model Reservoir Karbonat Menggunakan Analisa Tipe Batuan Radyadiarsa Pusat Studi Energi Universitas Padjadjaran Abstrak Lapanqan "W" yang terletak di Cekungan Sumatra Selatan telah terbukti menghasilkan

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

BAB IV FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB IV FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN BAB IV FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN Menurut Fahrudi (2004), lingkungan pengendapan dari hasil analisis fasies batugamping meliputi Reef Slope, Reef Framework, dan Proximal Talus. Fahrudi (2004)

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

Batuan Karbonat adalah batuan yang tersusun dari mineral karbonat, yang terutama batugamping dan dolomit yang berpotensi sebagai reservoar.

Batuan Karbonat adalah batuan yang tersusun dari mineral karbonat, yang terutama batugamping dan dolomit yang berpotensi sebagai reservoar. Ringkasan Batuan Karbonat Batuan Karbonat adalah batuan yang tersusun dari mineral karbonat, yang terutama batugamping dan dolomit yang berpotensi sebagai reservoar. Jenis-jenis mineral karbonat, yaitu:

Lebih terperinci

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN Fasies adalah suatu tubuh batuan yang dicirikan oleh kombinasi ciri litologi, ciri fisik dan biologi yang membedakannya dengan tubuh batuan yang berdekatan (Walker,

Lebih terperinci

BAB III Perolehan dan Analisis Data

BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III PEROLEHAN DAN ANALISIS DATA Lokasi penelitian, pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000, terletak di Formasi Rajamandala. Penelitian lapangan berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batuan karbonat menyusun 20-25% batuan sedimen dalam sejarah geologi. Batuan karbonat hadir pada Prakambrium sampai Kuarter. Suksesi batuan karbonat pada Prakambrium

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN 5.1 Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi antara batuan dengan fluida hidrotermal. Proses yang

Lebih terperinci

: Batugamping Kalsilutit-Batulempung : Mudstone (Dunham, 1962)/Batugamping Kalsilutit

: Batugamping Kalsilutit-Batulempung : Mudstone (Dunham, 1962)/Batugamping Kalsilutit : 09AS117 : Batugamping Kalsilutit-Batulempung : Mudstone (Dunham, 1962)/Batugamping Kalsilutit Sayatan batugamping Mudstone, butiran 8%) terdiri dari komponen cangkang biota (85%) berupa foraminifera

Lebih terperinci

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA PRAKTIKUM PETROGRAFI BORANG MATERI ACARA VII: PETROGRAFI BATUAN SEDIMEN KARBONAT Asisten Acara: 1 2 3 4 Nama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi, batuan karbonat kerap

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi, batuan karbonat kerap BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi, batuan karbonat kerap menjadi target reservoar potensial selain batuan sedimen silisiklastik. Besarnya cadangan

Lebih terperinci

PETROGRAFI BATUAN KARBONAT

PETROGRAFI BATUAN KARBONAT PETROGRAFI BATUAN KARBONAT I. PENDAHULUAN Batuan karbonat merupakan batuan yang tersusun dari mineral-mineral garam karbonat yang terbentuk secara kimiawi dalam bentuk larutan, dimana organisme perairan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

Nama : Peridotit Boy Sule Torry NIM : Plug : 1

Nama : Peridotit Boy Sule Torry NIM : Plug : 1 DIAGENESA BATUAN SEDIMEN Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil pemadatan endapan yang berupa bahan lepas. Batuan sedimen juga dapat terbentuk oleh penguapan larutan kalsium karbonat,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA Lapangan ini berada beberapa kilometer ke arah pantai utara Madura dan merupakan bagian dari North Madura Platform yang membentuk paparan karbonat selama

Lebih terperinci

LEMBAR DESKRIPSI PETROGRAFI

LEMBAR DESKRIPSI PETROGRAFI DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO Lampiran Petrografi 1 KODE SAYATAN : Y1 LINTASAN : TERMINAL MS 3 FORMASI : Steenkool PERBESARAN : 10 X d = 2 mm DESKRIPSI : LEMBAR DESKRIPSI

Lebih terperinci

BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG 4.2 Latar belakang Studi Ngrayong telah lama mengundang perdebatan bagi para geolog yang pernah bekerja di Cekungan Jawa Timur. Perbedaan tersebut adalah mengenai lingkungan

Lebih terperinci

Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi

Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi 3.2.3.3 Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan data analisis mikrofosil pada batupasir (lampiran B), maka diperoleh umur dari Satuan Breksi yaitu N8 (Akhir Miosen Awal) dengan ditemukannya

Lebih terperinci

01.Pendahuluan Petrologi Batuan Karbonat

01.Pendahuluan Petrologi Batuan Karbonat http://disbudparkbb.id/images/potensi/citatah2.jpg 01.Pendahuluan Petrologi Batuan Karbonat Kerangka Materi Pengertian Batuan Karbonat Manfaat dan Hubungan dengan ilmu geologi yang lain Klasifikasi batuan

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR A. Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

TUGAS AKHIR A. Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian GEOLOGI DAN STUDI DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI TENDENHANTU DAERAH GUNUNG ANTU DAN SEKITARNYA, DESA TANJUNG MANGKALIHAT, KECAMATAN SANDARAN, KABUPATEN KUTAI TIMUR, KALIMANTAN TIMUR TUGAS AKHIR A Disusun

Lebih terperinci

// - Nikol X - Nikol 1mm

// - Nikol X - Nikol 1mm S S A B B C Foto 3.14 Satuan breksi vulkanik dengan sisipan batupasir-batulempung. Breksi polimik ( B), Monomik (A) dan litologi batupasir-batulempung (bawah,c) Pengambilan sampel untuk sisipan batupasir

Lebih terperinci

Lokasi : G.Walang Nama Batuan : Tuf Gelas

Lokasi : G.Walang Nama Batuan : Tuf Gelas LAMPIRAN A ANALISIS PETROGRAFI No. Conto : WLG 03 Satuan Batuan : Tuf Lokasi : G.Walang Nama Batuan : Tuf Gelas Tekstur Butiran Matriks : Terpilah baik, kemas terbuka, menyudut tanggung menyudut, : 22%;

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI 3.1.1 Geomorfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi, pengamatan

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR A. Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

TUGAS AKHIR A. Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian GEOLOGI DAN STUDI DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI LEMBAK DAERAH GUNUNG MANGKALIHAT DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SANDARAN, KABUPATEN KUTAI TIMUR, KALIMANTAN TIMUR TUGAS AKHIR A Disusun sebagai syarat untuk

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan sumber daya alam yang terdapat di bumi salah satunya adalah batuan. Menurut Pusat Bahasa Kemdiknas (2008), batuan merupakan mineral atau paduan mineral yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Batuan karbonat merupakan batuan sedimen yang terdiri dari garam karbonat, antara lain gamping (limestone) dan dolomit (Koesoemadinata, 1987). Komponen batugamping

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

BAB. I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang BAB. I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Batuan karbonat adalah semua batuan yang terdiri dari garam karbonat, dalam hal ini CaCO 3 dan MgCO 3. Batuan karbonat memiliki keistimewaan dalam cara terbentuknya,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Menurut Lobeck (1939), faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentangan alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi mengenai

Lebih terperinci

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Oleh : Akhmad Hariyono POLHUT Penyelia Balai Taman Nasional Alas Purwo Kawasan Taman Nasional Alas Purwo sebagian besar bertopogarafi kars dari Semenanjung

Lebih terperinci

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HALU OLEO FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HALU OLEO FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN JURUSAN TEKNIK GEOLOGI KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HALU OLEO FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN JURUSAN TEKNIK GEOLOGI TUGAS BATUAN KARBONAT Makalah Batuan Karbonat Di Susun Oleh : WA ODE SUWARDI

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

Dinamika Sedimentasi Formasi Prupuh dan Paciran daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan, Jawa Timur

Dinamika Sedimentasi Formasi Prupuh dan Paciran daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan, Jawa Timur Dinamika Sedimentasi Formasi Prupuh dan Paciran daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan, Jawa Timur Farida Alkatiri 1, Harmansyah 1 Mahasiswa, 1 Abstrak Daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan merupakan lokasi

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

Gambar 1. Chert dalam Ukuran Hand Spicemen. Gambar 2. Chert yang terlipat. Gambar 3. Bedded Chert dan Sayatan Radiolarian Chert

Gambar 1. Chert dalam Ukuran Hand Spicemen. Gambar 2. Chert yang terlipat. Gambar 3. Bedded Chert dan Sayatan Radiolarian Chert Chert Dasar Penamaan (Klasifikasi) Chert Chert adalah penamaan umum yang digunakan untuk batuan siliceous sebagai sebuah kelompok (grup), namun ada yang mengaplikasikannya untuk tipe spesifik dari chert

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Tinjauan umum Ubahan Hidrothermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB IV FASIES BATUGAMPING

BAB IV FASIES BATUGAMPING BAB IV FASIES BATUGAMPING 4.1. Pola Fasies Dasar Pola fasies yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan Wilson (1975). Dasar pembagian fasies ini memperhatikan beberapa faktor antara lain:

Lebih terperinci

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada.

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada. DESKRIPSI BATUAN Deskripsi batuan yang lengkap biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Deskripsi material batuan (atau batuan secara utuh); 2. Deskripsi diskontinuitas; dan 3. Deskripsi massa batuan.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB 4 Fasies Batugamping Formasi Citarate

BAB 4 Fasies Batugamping Formasi Citarate BAB 4 Fasies Batugamping Formasi Citarate 4.1 Teori Dasar Batuan karbonat adalah batuan sedimen yang terususun oleh mineral karbonat sebagai mineral primer. Terbentuknya batuan ini umumnya hasil dari proses

Lebih terperinci

Batuan sedimen : batuan yang terbentuk. (pelapukan transportasi sedimentasi diagenesa) Komposisi sedimen :

Batuan sedimen : batuan yang terbentuk. (pelapukan transportasi sedimentasi diagenesa) Komposisi sedimen : BATUAN SEDIMEN Batuan sedimen : batuan yang terbentuk dalam suatu siklus sedimentasi (pelapukan transportasi sedimentasi diagenesa) Komposisi sedimen : - Fragmen mineral/batuan hasil rombakan (terigen)

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal III.1 Dasar Teori Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat interaksi antara fluida panas dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

Longman, M. W., 1980, Carbonate diagenetic textures from nearsurface diagenetic carbonates: Am. Assoc. Petroleum Geologist Bull., v. 64, p.

Longman, M. W., 1980, Carbonate diagenetic textures from nearsurface diagenetic carbonates: Am. Assoc. Petroleum Geologist Bull., v. 64, p. DAFTAR PUSTAKA Allen, G.P dan Chambers, J.L.C., 1998, Deltaic Sediment in The Modern and Miocene Mahakam Delta, IPA, Jakarta Asikin, S., 1987, Kumpulan Kuliah Tektonika, ITB. Biantoro, E., Muritno B.P.,

Lebih terperinci

METODE PENDISKRIPSIAN BATUGAMPING UNTUK KARAKTERISASI RESERVOAR HIDROKARBON

METODE PENDISKRIPSIAN BATUGAMPING UNTUK KARAKTERISASI RESERVOAR HIDROKARBON METODE PENDISKRIPSIAN BATUGAMPING UNTUK KARAKTERISASI RESERVOAR HIDROKARBON Premonowati Program Studi Teknik Geologi-FTM, UPN Veteran Yogyakarta premonowati@gmail.com ABSTRACT The core/swc and ditch cuttings

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil analisis irisan tipis sampel tanah ultisol dari laboratorium HASIL ANALISIS PETROGRAFI 3 CONTOH TANAH NO. LAB.

Lampiran 1. Hasil analisis irisan tipis sampel tanah ultisol dari laboratorium HASIL ANALISIS PETROGRAFI 3 CONTOH TANAH NO. LAB. 1 Lampiran 1. Hasil analisis irisan tipis sampel tanah ultisol dari laboratorium HASIL ANALISIS PETROGRAFI 3 CONTOH TANAH NO. LAB.: 1153 1155/2013 No. : 01 No.Lab. : 1153/2013 Kode contoh : BA-II Jenis

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses eksogen dan endogen yang membentuk

Lebih terperinci

BATUAN SEDIMEN : BATUAN YANG TERBENTUK. (PELAPUKAN TRANSPORTASI SEDIMENTASI DIAGENESA) KOMPOSISI SEDIMEN :

BATUAN SEDIMEN : BATUAN YANG TERBENTUK. (PELAPUKAN TRANSPORTASI SEDIMENTASI DIAGENESA) KOMPOSISI SEDIMEN : BATUAN SEDIMEN : BATUAN YANG TERBENTUK. (PELAPUKAN TRANSPORTASI SEDIMENTASI DIAGENESA) KOMPOSISI SEDIMEN : BATUAN SEDIMEN Batuan sedimen : batuan yang terbentuk dalam suatu siklus sedimentasi (pelapukan

Lebih terperinci

batupasir batulempung Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten.

batupasir batulempung Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. Batulempung hadir bersama batupasir di bagian atas membentuk struktur perlapisan. Batulempung berwarna abu-abu gelap, bersifat karbonatan. Pada singkapan memiliki tebal 10 50 cm. batupasir batulempung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Geomorfologi pada daerah penelitian diamati dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan yang kemudian diintegrasikan dengan interpretasi

Lebih terperinci

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN ACARA IX MINERALOGI OPTIK I. Pendahuluan Ilmu geologi adalah studi tentang bumi dan terbuat dari apa itu bumi, termasuk sejarah pembentukannya. Sejarah ini dicatat dalam batuan dan menjelaskan bagaimana

Lebih terperinci

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut).

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut). Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut). Barat. 18 3. Breksi Tuf Breksi tuf secara megaskopis (Foto 2.9a dan Foto 2.9b) berwarna abu-abu

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Menurut Lobeck (1939), faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentangan alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi mengenai

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA. Oleh : Salatun Said Hendaryono

PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA. Oleh : Salatun Said Hendaryono PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA Oleh : Salatun Said Hendaryono PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI UPN VETERAN YOGYAKARTA 1 POKOK BAHASAN : PENDAHULUAN GEOLOGI DAERAH

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara

BAB V PEMBAHASAN. Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara BAB V PEMBAHASAN Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara horizontal dan vertikal akibat intrusi basalt maka perlu dikorelasikan antara hasil analisis kimia, tekstur (ukuran

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Karst Karst berasal dari bahasa Slovenia berarti lahan gersang berbatu. Istilah karst di gunakan untuk mendeskripsikan suatu kawasan atau bentang alam dicirikan dengan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6 Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Desember 2013

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6 Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Desember 2013 PENGARUH KOMPETENSI BATUAN TERHADAP KERAPATAN KEKAR TEKTONIK YANG TERBENTUK PADA FORMASI SEMILIR DI DAERAH PIYUNGAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Abstrak Budi SANTOSO 1*, Yan Restu FRESKI 1 dan Salahuddin

Lebih terperinci

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. Data Sekunder Data sekunder yang diperoleh dari PT Semen Padang Untuk menunjang dan melengkapi penelitian ini antara lain berupa : 1. Peta topografi skala 1

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LUMPUR SIDOARJO

KARAKTERISTIK LUMPUR SIDOARJO KARAKTERISTIK LUMPUR SIDOARJO Sifat Umum Lumpur Sidoarjo merupakan lumpur yang keluar dari perut bumi, berasal dari bagian sedimentasi formasi Kujung, formasi Kalibeng dan formasi Pucangan. Sedimen formasi

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978). (Satuan Breksi-Batupasir) adalah hubungan selaras dilihat dari kemenerusan umur satuan dan kesamaan kedudukan lapisan batuannya. Gambar 3.5 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (Bouma, A. H., 1962). Gambar

Lebih terperinci

Besar butir adalah ukuran (diameter dari fragmen batuan). Skala pembatasan yang dipakai adalah skala Wentworth

Besar butir adalah ukuran (diameter dari fragmen batuan). Skala pembatasan yang dipakai adalah skala Wentworth 3. Batuan Sedimen 3.1 Kejadian Batuan Sedimen Batuan sedimen terbentuk dari bahan yang pernah lepas dan bahan terlarut hasil dari proses mekanis dan kimia dari batuan yang telah ada sebelumnya, dari cangkang

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

6.1 Analisa Porositas Fasies Distributary Channel

6.1 Analisa Porositas Fasies Distributary Channel BAB VI KARAKTERISTIK RESERVOIR Bab VI. Karakteristik Reservoir 6.1 Analisa Porositas Fasies Distributary Channel Dari hasil analisa LEMIGAS (lihat Tabel 6.1 dan 6.2) diketahui bahwa porositas yang ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Daerah Rembang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang terdiri dari endapan Neogen silisiklastik dan karbonat. Stratigrafi daerah

Lebih terperinci