PRODUKTIVITAS KARKAS DAN MUTU DAGING SAPI BALI DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR ANDY YUMINA NINU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PRODUKTIVITAS KARKAS DAN MUTU DAGING SAPI BALI DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR ANDY YUMINA NINU"

Transkripsi

1 PRODUKTIVITAS KARKAS DAN MUTU DAGING SAPI BALI DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR ANDY YUMINA NINU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produktivitas Karkas dan Mutu Daging Sapi Bali di Timor Barat Nusa Tenggara Timur adalah karya saya dengan arahan dan bimbingan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2008 Andy Yumina Ninu NIM D

3 ABSTRACT Andy Yumina Ninu. Carcass Productivity and Meat Quality of Bali Cattle in West Timor, East Nusa Tenggara. Under direction HENNY NURAINI, RUDY PRIYANTO and EDDIE GURNADI West Timor was known as one of Bali cattle producing area. Bali cattle was kept in extensive and semi-intensive system. A research was conducted to study Carcass Productivity and Meat Quality of Bali Cattle. The research was carried out in Kupang-East Nusa Tenggara from March to May Sixty three Bali cattle comprising twenty eigth male and theerty five female were used in this study. The experiment used a Completely Randomized Factorial Design (2x3). To study carcass productivity, sex class (male and female) and slaughter weight group (<190 kg, kg, >220 kg) were used as the factors. To study meat quality of Bali Cattle, sex class and the aged group (I 2, I 3 and I 4 ) were used as the factors. The result of this study showed that no interaction effect between sex and slaughter weight on carcass productivity and commercial cut weights and percentage. There was an interaction between sex and age of Bali Cattle on tenderness of meat. Therewere no interaction effects for other meat quality characteristics (ph, cooking loss, water holding capacity, meat and fat colour). Male cattle had higher carcass percentage and commercial cut weights than female cattle. Both, male and female cattle had similar meat tenderness on approriately 3 years old. Keywords: carcass, meat quality, Bali cattle

4 RINGKASAN ANDY YUMINA NINU. Produktivitas Karkas dan Mutu Daging Sapi Bali Di Timor Barat Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh HENNY NURAINI, RUDY PRIYANTO dan EDDIE GURNADI. Timor Barat merupakan salah satu daerah penghasil sapi Bali. Umumnya sistem pemeliharaan ternak sapi Bali adalah sistem pemeliharaan secara ekstensif dan semi intensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas karkas dan mutu daging sapi Bali. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret - Mei 2008 di Rumah Potong Hewan (RPH) Aldia-Kupang. Materi yang digunakan adalah sapi Bali jantan dan betina berjumlah 63 ekor terbagi atas 28 ekor jantan dan 35 ekor betina. Produktivitas karkas ditentukan dengan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial, 2X3 yaitu jenis kelamin (kelamin jantan dan betina) dan 3 kelompok bobot potong (< 190 kg, kg, > 201 kg), untuk mengetahui sifat fisik daging sapi Bali digunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial 2X3 yaitu 2 jenis kelamin (kelamin jantan dan betina) dan 3 kelompok umur (I 2, I 3 dan I4). Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap produktivitas karkas, namun masing-masing faktor berpengaruh nyata terhadap produktivitas dan potongan komersial karkas. Hasil analisis juga menunjukkan terdapat interaksi antara jenis kelamin dan umur terhadap keempukan daging, sedangkan tidak ada interaksi terhadap ph, susut masak, daya mengikat air, warna daging dan warna lemak. Ternak jantan menghasilkan produktivitas karkas dan potongan komersial yang lebih tinggi dibanding betina dengan semakin tinggi bobot potong. Baik sapi jantan maupun betina mempunyai nilai keempukan yang sama pada umur kurang lebih 3 tahun. Kata kunci: karkas, kualitas daging, sapi Bali

5 Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

6 PRODUKTIVITAS KARKAS DAN MUTU DAGING SAPI BALI DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR ANDY YUMINA NINU Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

7 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc

8 Judul Tesis Nama NIM : Produktivitas Karkas dan Mutu Daging Sapi Bali di Timor Barat Nusa Tenggara Timur : Andy Yumina Ninu : D Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Henny Nuraini M.Si Ketua Dr. Rudy Priyanto Anggota Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Produksi Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas segala bimbingan-nya tulisan dengan judul Produktivitas Karkas dan Mutu Daging Sapi Bali di Timor Barat dapat diselesaikan. Ucapan terimakasih penulis kepada Dr. Ir. Henny Nuraini M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Rudy Priyanto dan Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan banyak arahan, bimbingan dan saran kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Tim Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Departemen Pendidikan Nasional yang telah membiayai penulis selama pendidikan, Pimpinan Politeknik Pertanian Negeri Kupang yang telah mengijinkan penulis untuk mengikuti pendidikan, seluruh pimpinan Sekolah Pascasarjana dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor atas segala bantuannya selama mengikuti pendidikan Pascasarjana. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Albert Porsiana SE, selaku Manejer, yang telah memberi ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di Rumah Potong Hewan (RPH) Aldia-Kupang dan kepada seluruh karyawan RPH yang telah membantu penulis selama penelitian. Semua pihak yang telah membantu penulis mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai dengan penyelesaian tesis. Rekan-rekan Pascasarjana (S2) Fakultas Peternakan, Program Studi Ilmu Ternak angkatan 2006, Zubir SPt. MP, Ir.Tabita Naomi Ralahalu, M.Si atas segala saran dan motivasinya. Akhir kata penulis mempersembahkan tulisan ini kepada orangtuaku Nikodemus Ninu (Almarhum) dan Ibu Naltjie Ninu-Taniu atas segala dukungan doanya, Kakak-kakakku: Yani, Heni, Lenci, Joni, Dia, Yapi, Eri, Oce, Dina, Isa, Fira dan Sulce beserta keluarga masing-masing atas segala doa dan motivasinya hingga penulis menyelesaikan studi. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca! Amin Bogor, September 2008 Penulis

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ayotupas, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Propinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 10 April 1980 dari ayah Nikodemus Ninu (Almarhum) dan ibu Niltjie Ninu-Taniu. Tahun 1999 penulis tamat dari Sekolah Menengah Atas Negeri I Kupang dan pada tahun yang sama penulis diterima melalui seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana (UNDANA)-Kupang dan lulus tahun Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai staf pengajar pada Jurusan Peternakan Politeknik Pertanian Negeri Kupang (POLITANI). Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... v vi vii PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas... 3 Sapi Bali... 3 Sapi Bali ii Timor Barat... 4 Sistem Pemeliharaan Sapi Bali di Timor Barat... 5 Penampilan Produksi dan Reproduksi Sapi Bali... 5 Pakan Sapi Bali... 6 Produktivitas Karkas Sapi Bali... 7 Bobot Karkas... 8 Persentase Karkas... 9 Tebal Lemak Punggung Luas Urat Daging Mata Rusuk Persentase Lemak, Ginjal, Pelvic dan Jantung Komposisi Karkas Pengaruh Bobot Potong terhadap Karkas Sapi Mutu Daging MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Materi Metode Rancangan Percobaan Peubah yang Diukur HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Timor Barat Letak Geogrrafi Iklim Usaha Peternakan Sapi di Timor Barat Manajemen Pemeliharaan Ternak Sapi Sistem Pemeliharaan Pakan Pola Pemberian Pakan dan Air Minum Pertambahan Bobot Badan... 27

12 Sistem Perkawinan Perkandangan Penanganan Limbah Penanganan Kesehatan Pemasaran Produktivitas Karkas Sapi Bali Bobot Karkas Panas Persentase Karkas Bobot Karkas Dingin Tebal Lemak Punggung Luas Urat Daging Mata Rusuk Potongan Komersial Karkas Sapi Bali Mutu Daging Sapi Bali Keempukan Daging ph Daging Susut Masak Daya Mengikat Air Warna Daging Warna Lemak SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Penampilan Produksi dan Reproduksi sapi Bali di NTT Persentase Karkas dan Kualitas Daging Sapi Bali Rataan Produktivitas Karkas Rataan Bobot Potongan Komersial Karkas Persentase Potongan Komersial Karkas Rataan Mutu Daging Sapi Bali... 38

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Jalur Pemasaran Sapi Bali Di Timor Barat Interaksi antara Jenis Kelamin dan Umur terhadap Keempukan... 39

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta Timor Barat, Nusa Tenggara Timur Gambar-gambar penelitian Potongan komersial karkas sapi Bali Daftar isian materi pengamatan Produk lahan potongan komersial karkas... 53

16 RINGKASAN ANDY YUMINA NINU. Produktivitas Karkas dan Mutu Daging Sapi Bali Di Timor Barat Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh HENNY NURAINI, RUDY PRIYANTO dan EDDIE GURNADI. Timor Barat merupakan salah satu daerah penghasil sapi Bali. Umumnya sistem pemliharaan ternak sapi Bali adalah sistem pemeliharaan secara ekstensif dan sistem pemeliharaan semi intensif. Manajemen pemeliharaan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas dari ternak. Terdapat berbagai sumberdaya peternakan yang digunakan dalam memelihara ternak, dengan demikian produksi yang dihasilkan juga akan beragam. Penelitian ini untuk mengetahui produktivitas karkas dan mutu daging sapi Bali di Timor Barat Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret - Mei 2008 di Rumah Potong Hewan (RPH) Aldia-Kupang. Pengumpulan data pengukuran produktivitas karkas dilakukan di RPH Aldia, sedangkan analisis sifat fisik daging dilakukan di Laboratorium Umum Politeknik Pertanian Negeri Kupang dan Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Materi yang digunakan adalah sapi Bali jantan dan betina. Untuk mengetahui produktivitas karkas, digunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial, 2X3 yaitu 2 jenis kelamin (kelamin jantan dan betina) dan 3 kelompok bobot potong (< 190 kg, kg, > 201 kg) dengan jumlah ulangan maksimal 63, sedangkan untuk mengetahui sifat fisik daging sapi Bali digunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial 2X3 yaitu 2 jenis kelamin (kelamin jantan dan betina) dan 3 kelompok umur (I 2, I 3 dan I 4) dengan jumlah ulangan 36. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap produktivitas karkas, namun masing-masing faktor berpengaruh nyata terhadap produktivitas dan potongan komersial karkas. Hasil analisis juga menunjukkan terdapat interaksi antara jenis kelamin dan umur terhadap keempukan daging, sedangkan tidak ada interaksi terhadap ph, susut masak, daya mengikat air, warna daging dan warna lemak. Ternak jantan menghasilkan produktivitas dan potongan komersial yang lebih tinggi dibanding betina dengan semakin tinggi bobot potong. Baik sapi jantan maupun betina mempunyai nilai keempukan yang sama pada umur kurang lebih 3 tahun. Untuk memperoleh produktivitas karkas yang tinggi sebaiknya dipilih ternak jantan. Kata kunci: karkas, kualitas daging, sapi Bali

17

18 18 PENDAHULUAN Latar Belakang Timor Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki populasi ternak sapi Bali terbesar di Nusa Tenggara Timur (NTT) yakni ekor (Statistik Peternakan NTT 2006). Keberadaan ternak sapi bagi masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari karena ternak sapi lebih diandalkan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Sapi Bali sebagai penghasil daging di daerah ini juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan daging bagi restoran-restoran, hotel dan industri pengolahan daging yang ada di kota Kupang dan sekitarnya. Produktivitas dari seekor ternak sangat berhubungan dengan faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor yang menentukan kemampuan produksi karena penampilan suatu sifat tergantung pada gen-gen yang dimiliki oleh ternak, sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor pendukung bagi ternak agar ternak mampu berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Sobang (1997) mengemukakan bahwa manajemen atau sistem pemeliharaan sapi potong di Timor Barat masih sederhana, hal ini dapat dilihat dari penggunaan saranasarana produksi yang masih mengandalkan sumberdaya alam yang tersedia secara lokal dengan harga yang relatif murah. Selanjutnya dikatakan bahwa manajemen atau sistem pemeliharaan ternak di Timor Barat berbeda-beda dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Sistem pemeliharaan ternak sapi Bali yang dilakukan oleh masyarakat di Timor Barat umumnya adalah pemeliharaan secara ekstensif yaitu ternak digembalakan di padang penggembalaan secara terus menerus dan semi intensif dengan cara ternak digembalakan pada waktu siang dan dikandangkan pada malam hari (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Sistem pemeliharaan yang dilakukan bervariasi terutama dalam penggunaan sumber daya alam diantaranya pakan, ternak, lahan maupun topografi. Beragamnya sumberdaya alam yang digunakan maka produksi atau bobot badan yang dihasilkan juga bervariasi yang berpengaruh pada produktivitas karkas dan mutu daging yang dihasilkan.

19 19 Produktivitas karkas dan mutu daging sapi Bali di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur perlu dikaji, untuk itu penelitian ini dilakukankan. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengetahui produktivitas karkas dan mutu daging sapi Bali di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi kepada: 1. Masyarakat tentang produktivitas karkas dan mutu daging sapi Bali di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur. 2. Pemerintah dan instansi-instansi terkait dalam rangka pengembangan sapi Bali di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur.

20 20 TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Produktivitas atau kemampuan berproduksi ternak dapat diartikan sebagai kemampuan berproduksi dari seekor ternak. Sobang (1996) mengemukakan produktivitas yang dimaksudkan dalam usaha pemeliharaan ternak sapi adalah produksi yang dihasilkan selama proses pemeliharaan berlangsung yang ditunjukkan oleh pertambahan bobot badan yang dihasilkan selama periode tersebut. Produktivitas ternak ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya pakan, tatalaksana, pemuliabiakan dan pemasaran. Secara umum produktivitas ternak ditentukan oleh tiga faktor yaitu faktor genetik, lingkungan dan umur ternak. Faktor genetik adalah potensi yang dimiliki ternak sejak terjadinya persatuan antara sel telur dan spermatozoa. Potensi ini tidak akan berubah selama tidak terjadi mutasi. Pengukuran produksi pada suatu waktu tertentu menggambarkan potensi pada waktu itu. Produktivitas dari seekor ternak dapat juga dinilai dari segi reproduksi, produksi dan mutu daging yang dihasilkan. Sapi Bali Sapi Bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Hardjosubroto (1994) mengemukakan bahwa ditinjau dari sistematika ternak, sapi Bali termasuk Familia: Bovidae, Genus: Bos, Subgenus: Bibovine. Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya dilakukan pada tahun 1920 dan Penyebaran sapi Bali ke Lombok mulai dilakukan pada abad ke-19 yang dibawa oleh raja-raja pada zaman itu dan sampai ke pulau Timor antara tahun 1912 dan 1920 yang bertujuan menyebarkan dan memperbaiki mutu genetik sapi lokal serta meningkatkan pendapatan peternak, maka pemerintah memprioritaskan penggunaan sapi Bali ke seluruh Nusantara terutama di daerah transmigrasi dan daerah Indonesia bagian timur salah satunya NTT. Sapi Bali memberikan respon positif terhadap perbaikan pakan dengan meningkatnya laju pertambahan bobot badan. Amril et al. (1990) mengemukakan

21 21 bahwa rataan laju pertambahan bobot badan sapi Bali yang diberi rumput lapangan tanpa diberi pakan tambahan adalah g/ekor/hari, dan pertambahan berat badan hariannya meningkat jika diberi pakan tambahan konsentrat 1.8 % hingga mencapai g/ekor/hari. Selanjutnya dilaporkan bahwa laju pertambahan berat badan sapi Bali mencapai 690 dan 820 g/ekor/hari berturut-turut bagi ternak yang diberi pakan rumput dan pucuk tebu ditambah konsentrat 1 %. Pane (1991) mengemukakan bahwa pubertas sapi Bali dicapai pada kisaran umur bulan untuk sapi betina, sedangkan pada jantan dicapai pada umur bulan. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa sapi Bali mempunyai tingkat kesuburan yang sangat baik dan walaupun dalam kondisi lingkungan yang kurang baik sapi Bali masih mampu mempertahankan sifat ini. Sapi Bali di Timor Barat Para peternak di Timor Barat (pulau Timor) telah lama memelihara ternak seperti sapi, kerbau, kuda, babi, kambing maupun ayam buras, tetapi daerah ini dikenal sebagai penghasil ternak sapi Bali. Sapi Bali dimasukkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1912 dan ditempatkan di pulau Timor. Tujuan dimasukkan ternak ini untuk memperkuat ekonomi masyarakat, konsumsi lokal dan nasional. Sapi Bali sudah dipelihara di NTT hampir satu abad sehingga disebut sebagai sapi Bali Timor (Statistik Peternakan NTT 2006). Usaha peternakan ini telah lama dikenal oleh masyarakat dan telah menyatu dengan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Dari berbagai jenis ternak yang diusahakan, ternak sapi merupakan ternak yang paling banyak diandalkan dalam kehidupan ekonomi masyarakat sehingga menjadi komoditas unggulan NTT (Nulik dan de Rosari 2004). Kawasan Timor Barat, memiliki populasi sapi terbanyak di NTT yakni sebesar ekor yang tersebar secara tidak merata di 4 Kabupaten yaitu kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU) dan Belu (Statistik Peternakan NTT 2006). Jelantik (2005) mengemukakan bahwa produktivitas sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif tradisional (digembalakan) adalah 9.46%, sedangkan angka kelahiran sebesar 63.5%. Selanjutnya dilaporkan bahwa angka tersebut

22 22 bervariasi antara desa yang satu dengan yang lain yakni dari 51.1% sampai 73.4%. Malessy et al. (1990) mengemukakan bahwa pertambahan berat badan sapi Bali di Timor tergantung pada persediaan dan mutu pakan. Pertambahan berat badan akan meningkat pada musim hujan, namun akan menurun kembali selama musim kemarau, hal ini terkait dengan ketersediaan pakan yang dipengaruhi oleh musim. Sistem Pemeliharaan Sapi Bali di Timor Barat Secara umum sistem pemeliharaan ternak sapi dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu ekstensif, intensif dan semi intensif. Pemeliharaan sapi secara ekstensif adalah ternak dilepas di padang penggembalaan dan sapi-sapi mencari makan sendiri tanpa campur tangan peternak. Pemeliharaan secara intensif dilakukan dengan cara ternak diikat secara terus-menerus di kandang dan peternak yang memberi makan, sistem pemeliharaan kombinasi antara ekstensif dan intensif yakni ternak dikandangkan pada malam hari dan pada siang hari ternak digembalakan. Kedang dan Nulik (2004) mengemukakan bahwa pemeliharaan ternak di Timor Barat dengan cara digembalakan ini sangat dominan di NTT dengan mengandalkan rumput alam dalam meningkatkan produktivitas ternak. Sistem pemeliharaan yang masih sederhana menyebabkan penampilan produksi dan reproduksi belum diperhatikan secara maksimal, demikian pula dengan biaya pemeliharaan. Ternak bagi sebagian masyarakat petani, masih berfungsi sebagai tabungan yang dapat dijual sewaktu-waktu ketika mereka dibutuhkan uang tunai. Nulik dan Bamualim (1998) mengemukakan bahwa pola pemeliharaan ternak di Nusa Tenggara Timur bervariasi dan didominasi oleh pemeliharaan secara ekstensif dan semi-intensif, sedangkan pola pemeliharaan secara intensif masih relatif sedikit. Penampilan Produksi dan Reproduksi Sapi Bali di Timor Barat Nusa Tenggara Timur Kemampuan produksi seekor ternak dapat dilihat dari berbagai sifat yang dianggap sebagai indikator dari produktivitas ternak yaitu bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat-sifat karkas dan penampilan reproduksi seperti dewasa kelamin, umur pubertas, calving interval

23 23 dan persentase beranak. Pada Tabel 1 diperlihatkan penampilan produksi dan reproduksi sapi Bali di Nusa Tenggara Timur. Tabel 1 Penampilan produksi dan reproduksi sapi Bali di Nusa Tenggara Timur Sifat produksi (kg) Nilai Bobot lahir 11.9 ± 1.8 Bobot sapih 79.2 ± 18.2 Bobot umur 1 tahun ± 12.4 Bobot saat pubertas ± 14.8 Bobot dewasa induk ± 45.6 Sifat Reproduksi Nilai Umur pubertas betina (bulan) 23 Umur pubertas jantan (bulan) 26 Persentase beranak (%) 70 Jarak beranak (hari) 521 Conception rate (%) 85.9 Sumber: Talib et al. (2003) Pakan Sapi Bali di Timor Barat Pakan merupakan salah faktor yang sangat penting untuk kebutuhan hidup ternak baik untuk kebutuhan hidup pokok, maupun untuk pertumbuhannya. Ketersediaan pakan yang cukup sepanjang tahun akan sangat menentukan tingkat produktivitas dan keberhasilan dari ternak tersebut. Timor Barat yang dikenal mempunyai iklim yang relatif kering maka ketersediaan dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Pada musim hujan ketersediaan pakan melimpah, namun sebaliknya pada musim kemarau ketersediaan pakan baik dalam jumlah maupun kualitas menurun, dengan demikian terjadi fluktuasi produktivitas sapi yang dapat dilihat dari bobot badan yang meningkat pada musim hujan dan sebaliknya menurun pada musim kemarau (Bamualim dan Wirdahayati 1996). Pakan utama sapi Bali di Timor Barat pada umumnya adalah rumput alam yang ada di padang penggembalaan, namun ketersediaannya sangat berfluktuasi disesuaikan dengan musim. Oleh karena itu peranan pakan yang berasal dari luar padang penggembalaan sangat penting terutama pada musim kemarau dan khususnya bagi daerah yang mempunyai kepadatan ternak lebih tinggi seperti di Timor Barat. Hasil penelitian Wirdahayati dan Bamualim (1996) bahwa peranan petani peternak dalam menyediakan pakan bagi ternaknya sangat mempengaruhi produktivitas dari ternak yang dipeliharanya. Selanjutnya dikatakan bahwa jenis

24 24 pakan yang diberikan petani pada ternak yang dipelihara cukup bervariasi diantaranya lamtoro, king grass, dan hijauan pohon lokal seperti tanaman busi (Melochia umbelata), daun kabesak (Acacia leucophloea), daun kapok (Ceiba petandra), batang pisang, jerami jagung. Pemberian batang pisang pada ternak hanya dilakukan pada musim kemarau yakni antara bulan Juni hingga September dan hanya digunakan sebagai pengganti air minum bagi ternak. Dengan demikian jenis dan jumlah pakan yang diberikan petani bervariasi dan disesuaikan dengan ketersediaannya. Bamualim dan Wirdahayati (2006) mengemukakan bahwa mutu pakan di daerah lahan kering seperti di NTT dipengaruhi oleh musim, dan ada tiga unsur kandungan pakan yang dipengaruhi oleh musim antara lain kandungan protein, mineral dan serat kasar yang terkandung dalam pakan. Pada musim kemarau terjadi kecepatan tumbuh dan penuaan tanaman sehingga serat kasar meningkat dan menyebabkan rendahnya konsumsi ternak sebagai akibat dari lambatnya proses pencernaan pakan. Produktivitas Karkas Sapi Bali Ditinjau dari segi produksi dan suplai daging dari sapi potong, produktivitas diukur dari produksi daging rata-rata untuk setiap unit ternak atau setiap ekor ternak. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan, kualitas daging dari karkas yang bersangkutan serta potongan karkas yang dapat dijual merupakan faktor-faktor yang menentukan nilai produktivitas karkas dari seekor ternak. Kempster et al. (1982) mengemukakan bahwa nilai dari sebuah karkas tergantung pada ukuran, struktur dan komposisi. Struktur dan karakteristik karkas dapat ditentukan oleh proporsi dari jaringan (otot, lemak dan tulang), distribusi jaringan pada karkas, ketebalan otot dan komposisi kimia serta sifat fisik dari jaringan dan kualitas daging. Swatland (1984) mengemukakan bahwa produktivitas karkas dapat ditentukan dengan indikator-indikator kualitas karkas yang meliputi: 1) bobot karkas, 2) ketebalan lemak sub kutan, 3) luas urat daging mata rusuk, 4) lemak penyelubung ginjal, pelvic dan jantung.

25 25 Bobot Karkas Salah satu peubah dalam sistem evaluasi karkas adalah bobot karkas. Karkas bukanlah merupakan prediktor produktivitas karkas yang baik karena terdapat variasi di antara bangsa, nutrisi dan pertumbuhan jaringan sehingga mengakibatkan penurunan tingkat akurasi. Untuk memperkecil sumber keragaman tersebut bobot karkas dikombinasikan dengan variabel lain seperti tebal lemak sub kutan dan luas urat daging mata rusuk dalam memprediksi bobot komponen karkas. Preston dan Willis (1982) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah pakan, umur, bobot hidup, jenis kelamin, hormon, bangsa dan konformasi. Kempster et al. (1982) menyatakan bahwa nilai komersial dari karkas pada akhirnya akan tergantung pada ukuran, struktur dan komposisinya dimana sifat-sifat struktural karkas yang utama untuk kepentingan komersial adalah terdiri atas bobot, proporsi jaringan utama karkas, distribusi jaringan-jaringan karkas, ketebalan lemak, komposisi serta penampilan luar dari jaringan tersebut dan kualitas daging. Sapi Bali memiliki persentase karkas yang tinggi, lemaknya sedikit, serta perbandingan tulang dengan dagingnya rendah. Selama ini sapi Bali dijual untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal seperti rumah tangga, hotel, restoran, industri pengolahan daging di daerah Jakarta, Bali dan Surabaya. Pada Tabel 2 diperlihatkan penampilan produksi karkas sapi Bali. Tabel 2 Persentase karkas dan kualitas daging sapi Bali Sifat karkas Nilai Persentase Karkas a (%) Komposisi karkas (kg/100 kg) b - Tulang - Daging - Lemak Komposisi kimia daging (%) b - Kadar air - Protein - Lemak - Abu Marbling b 0 Warna daging b Merah coklat tua Sumber: a=payne dan Rollinson (1973); b=arka (1990)

26 26 Persentase karkas sapi Bali cukup tinggi jika dilihat dari segi produksi karkas, yaitu berkisar antara % (Tabel 2), lebih tinggi dibandingkan sapi Ongole dan sapi Madura yang dilaporkan Moran (1979) berturut-turut sebesar 51.9 dan 52.5%. Sapi Bali betina dewasa memiliki nilai karkas sebesar 56%. Hasil penelitian Arka (1990) dikemukakan bahwa kandungan lemak daging sapi Bali cukup rendah kurang dari 4% dan daging sapi Bali tidak mempunyai marbling. Kualitas daging sapi sangat dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal meliputi potensi genetik, umur, jenis kelamin, lokasi anatomi daging dan kesehatan ternak. Faktor eksternal meliputi pakan ternak, perlakuan saat sebelum disembelih, kebersihan tempat dan alat-alat penyembelihan, perlakuan mulai pengangkutan sampai ke tempat penjualan. Ditinjau dari bentuk badan yang kompak dan serasi sapi Bali dapat digolongkan sebagai sapi penghasil daging. Sapi Bali mempunyai berat hidup rata-rata dan tergolong tipe sedang dengan bobot hidup rata-rata untuk jantan dapat mencapai 450 kg sedangkan betina kg dengan persentase karkas dapat mencapi 57% (Santoso at al dikutip Kanahau 2005). Hasil penelitian Oematan (2000) pada sapi Bali jantan yang diberi 3 macam ransum yang mengandung imbangan energi metabolisme dan protein kasar yang berbeda yaitu energi-tinggi dan protein-tinggi, energi-tinggi dan protein-sedang dan energi-sedang protein-tinggi diperoleh persentase karkas secara berturut-turut %, % dan %. Persentase karkas Persentase karkas biasanya digunakan untuk menyatakan hasil karkas yakni perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong yang dinyatakan dalam persen. Persentase karkas dapat ditentukan berdasarkan bobot karkas panas atau segar ataupun bobot karkas layu (Forest et al. 1975). Jika karkas panas dihitung berdasarkan karkas layu, akan terjadi penyusutan bobot sekitar 2-3% dari bobot karkas panas yang hilang sebagai drip. Preston dan Willis (1982) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas antara lain: pakan, umur, bobot hidup, hormon, bangsa sapi serta konformasi. Persentase karkas akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong.

27 27 Tebal Lemak Punggung Lemak sub kutan merupakan salah satu indikator produktivitas karkas. Tebal lemak sub kutan pada rusuk ke 12 dan 13 menunjukkan hubungan yang erat dengan persentase lemak karkas dan persentase daging. Swatland (1984) mengemukakan bahwa tebal lemak punggung adalah tebal lemak sub kutan yang diukur antara rusuk 12 dan 13 di atas urat daging mata rusuk pada posisi tiga per empat panjang irisan melintang urat daging mata rusuk. Tebal lemak punggung juga merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan perlemakan karkas. Selanjutnya dikatakan bahwa banyaknya lemak sub kutan yang menutupi karkas merupakan faktor penting dalam menentukan nilai karkas dengan mengukur ketebalan lemak punggung. Besarnya proporsi urat daging karkas dapat ditentukan oleh luas urat daging mata rusuk (Longissimus dorsi et lumbarum), sedangkan proporsi lemak karkas ditentukan oleh tebal lemak punggung. Oematan (2000) mengemukakan bahwa pertumbuhan kompensasi sapi Bali jantan yang diberi 3 macam ransum yang mengandung imbangan energi metabolisme dan protein kasar yang berbeda diperoleh tebal lemak punggung secara berturut-turut 6.50 mm, 7.88 mm dan 5.85 mm. Luas Urat Daging Mata Rusuk Luas daerah mata rusuk merupakan indikator perdagingan yang umum digunakan. Daging tanpa lemak merupakan komponen karkas terbesar dan bernilai tinggi baik ditinjau dari segi nutrisi maupun ekonomi. Luas urat daging mata rusuk tidak dapat digunakan sebagai indikator tunggal dalam menduga produksi daging melainkan hanya sebagai pelengkap saja. Luas urat daging mata rusuk dipengaruhi oleh bobot hidup dan berkorelasi positif dengan bobot karkas. Pada sapi jantan peranakan ongole, setiap pertambahan 1 cm luas urat daging mata rusuk akan meningkatkan bobot karkas 2.90 kg. Hasil penelitian yang dikemukakan oleh Moran (1979) bahwa urat daging mata rusuk sapi Madura, Ongole, Bali berturut-turut adalah 62, 61 dan 64 cm 2. Hasil penelitian Oematan (2000) dilaporkan bahwa pertumbuhan kompensasi sapi Bali jantan yang diberi tiga macam ransum yang mengandung imbangan energi dan protein yang berbeda maka luas urat daging mata rusuk secara berturut-turut adalah 66, 61 dan 64 cm 2.

28 28 Persentase Lemak Ginjal, Pelvic dan Jantung Forest et al. (1975) mengemukakan bahwa produktivitas karkas juga dapat dinilai berdasarkan lemak penyelubung ginjal, pelvic dan jantung. Banyaknya lemak ini bervariasi dan merupakan faktor penting dalam menentukan nilai potongan karkas. Selama pertumbuhan persentase lemak akan bertambah dan jika perlemakan berlebihan akan menurunkan proporsi daging yang dihasilkan. Komposisi Karkas Sapi Komposisi karkas dapat berbeda dalam bangsa yang sama, setiap bangsa ternak menghasilkan karkas dan karakteristiknya sendiri, misalnya pada ternak sapi Angus cenderung untuk menimbun lemak intramuskuler. Perbedaan antara bangsa sapi tipe perah dan sapi pedaging adalah ciri distribusi lemak di antara depot-depot lemak (Forrest et al. 1975). Selanjutnya dikatakan bahwa sapi tipe perah cenderung mempunyai proporsi lemak ginjal dan pelvis yang lebih tinggi, sedangkan lemak sub kutannya lebih rendah dibanding tipe potong. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa proporsi tulang, otot dan lemak sebagai komponen utama karkas dipengaruhi oleh faktor nutrisi, umur, berat hidup dan kadar laju pertumbuhan. Williams (1982) mengemukakan bahwa perbedaan komposisi tubuh atau karkas di antara bangsa ternak terutama disebabkan oleh perbedaan ukuran atau berat tubuh dewasa. Proporsi komponen karkas dapat ditentukan dengan 3 cara, antara lain 1) menyeleksi keseluruhan karkas dengan memisahkan otot atau daging dari tulang (deboning) kemudian lemaknya, 2) membagi karkas ke dalam potongan komersial kemudian memisahkan lemak, otot, tulang dari potongan karkas tersebut, 3) memisahkan potongan rusuk ke 9, 10 dan 11 sebagai sampel proporsi komponen karkas. Perbedaan komposisi tubuh dan karkas terutama disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh atau bobot pada saat dewasa. Perbandingan komposisi karkas antara bangsa sapi tipe besar dan kecil didasarkan pada berat yang sama, maka bangsa sapi tipe besar akan lebih berdaging (lean), proporsi tulang lebih tinggi, lemak lebih rendah daripada bangsa sapi tipe kecil (Wiliams 1982). Perbedaan ini disebabkan karena pada berat yang sama bangsa tipe besar secara fisiologis lebih muda.

29 29 Komposisi karkas biasanya bervariasi tergantung pada target bobot tubuh dewasa dan maturitas. Rasio daging dan tulang serta rasio daging lemak dapat menggambarkan proporsi daging tanpa lemak (lean), pada tingkat perlemakan yang sama. Jika terdapat perbedaan semata-mata disebabkan deposisi lemak sub kutan, intermusculer, intramuscular, lemak ginjal dan lemak pelvis yang berbeda (Kempster et al. 1982). Bobot potong dapat mempengaruhi distribusi relatif daging (lean), lemak dan tulang dari keseluruhan bagian tubuh ternak. Apabila ternak dipotong pada rata-rata berat dewasa tubuh yang hampir sama, diperoleh bahwa perbedaan laju pertumbuhan dan hasil daging eceran relatif kecil. Pengaruh Bobot Potong terhadap Karkas Sapi Soeparno (2005) mengemukakan bahwa laju pertumbuhan, nutrisi, umur dan berat tubuh adalah faktor-faktor yang berhubungan erat antara satu dengan yang lain dan biasanya secara individu atau kombinasi mempengaruhi komposisi tubuh atau karkas. Variasi komposisi tubuh atau karkas sebagian besar didominasi oleh variasi berat tubuh, sebagian kecil dipengaruhi oleh umur. Selanjutnya dikemukakan bahwa berat tubuh mempunyai hubungan yang erat dengan komposisi tubuh dan variasi komponen tubuh yang terbesar adalah lemak. Pada ternak sapi, dengan bertambahnya umur terjadi peningkatan pertumbuhan organ-organ dan terutama depot lemak serta peningkatan persentase komponen lainnya seperti otot dan tulang. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa deposisi lemak pada sapi merupakan fungsi linear dari waktu dan umur misalnya laju deposisi lemak bisa konstan tetapi persentase lemak tubuh meningkat pada saat ternak dewasa dan struktur lain berhenti bertumbuh. Demikian pula dengan adanya kenaikan berat karkas maka proporsi otot, tulang dan fasia serta tendo menurun sedangkan proporsi lemak meningkat. Berg dan Butterfield (1976) mengemukakan bahwa proporsi jaringan tulang, daging dan lemak akan dipengaruhi oleh umur, bangsa, bobot tubuh, jenis kelamin dan makanan. Selanjutnya dikatakan bahwa lemak akan ditimbun selama pertumbuhan dan perkembangan sehingga karkas ternak dewasa dapat mengandung lemak sampai sekitar 30-40%. Tingkat perlemakan sangat menentukan kapan ternak tersebut harus dipotong dan pemotongan ternak sebaiknya dilakukan pada saat perlemakan mencapai tingkat yang optimum.

30 30 Soeparno (2005) mengemukakan bahwa pada berat hidup yang lebih tinggi jenis kelamin dapat mempengaruhi komposisi karkas, namun pengaruh jenis kelamin ini baru dapat terjadi setelah mencapai fase pertumbuhan penggemukkan. Selanjutnya dikemukakan bahwa perbedaan komposisi karkas antara jenis kelamin terutama disebabkan oleh steroid kelamin. Pada berat tubuh yang sama jumlah lemak sapi, domba dan babi bervariasi, pada sapi jumlah lemak betina dara lebih besar daripada jantan kastrasi dan keduanya lebih besar daripada sapi pejantan. Mutu Daging Menurut Forrest et al. (1975) mutu daging ditentukan oleh keempukan (tenderness), lemak intramuskular (marbling), tekstur, aroma, warna, sari minyak (juiciness), cita rasa (flavour), hilangnya air selama perebusan atau susut masak (cooking loss), daya mengikat air oleh protein daging (water holding capacity) dan ph daging. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa parameter spesifik untuk menilai kualitas fisik daging meliputi: 1) Warna Warna adalah salah satu penentu kualitas daging. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas daging antara lain: pakan, bangsa, spesies, umur, jenis kelamin, stress, tingkat aktivitas dan tipe otot, ph dan ketersediaan oksigen. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi penentu utama warna daging yaitu pigmen daging mioglobin. Tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin dan kondisi kimia serta fisik yang terdapat dalam daging mempunyai peranan besar dalam menentukan warna daging (Lawrie 1995). Swatland (1984) mengemukakan bahwa perubahan konsentrasi mioglobin otot selama pertambahan umur bisa disebabkan oleh peningkatan deposisi mioglobin pada serabut merah atau peningkatan dari jumlah serabut merah. Mioglobin otot terutama terkonsentrasi di dalam serabut merah jadi otot merah terutama mengandung serabut berwarna merah. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa mioglobin sebagai salah satu dari protein sarkoplasmik terbentuk dari suatu rantai polipeptida tunggal terikat di sekeliling suatu group heme yang membawa oksigen. Group heme tersusun dari suatu atom Fe dan suatu cincin porfinin. Perbedaan warna di antara spesies

31 31 sebagian besar disebabkan konsentrasi mioglobin. Pada umumnya makin bertambah umur ternak, konsentrasi mioglobin makin meningkat, tetapi peningkatan ini tidak konstan. Menurut Forrest et al. (1975) warna dapat dilihat dengan mata dan merupakan hasil kombinasi dari berbagai atribut diantaranya hue = warna, chroma = jumlah atau intensitas warna (misalnya merah, biru, hijau) dan value = nilai terang atau gelap. Setiap warna dapat terbentuk dari campuran antara ketiga warna utama dan jumlah yang dibutuhkan untuk membentuk suatu warna disebut nilai tristimulus. 2) Daya mengikat air Daya mengikat air oleh protein daging adalah kemampuan daging untuk mengikat air atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno 2005). Daya mengikat air dipengaruhi oleh ph. Faktor yang menyebabkan perbedaan daya mengikat air diantara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi otot. Daya mengikat air oleh protein mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat fisik daging diantaranya warna, tekstur, juiceus, keempukan dan susut masak (Forrest et al. 1975). Selanjutnya dikatakan bahwa daya mengikat air adalah kemampuan daging untuk mempertahankan air selama pengolahan seperti pemotongan, penggilingan, pemanasan ataupun tekanan. Penurunan daya mengikat air dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan atau drip pada daging mentah beku yang disegarkan kembali atau kerut pada daging masak (Soeparno 2005). Daya mengikat air menurun dari ph tinggi sekitar 7-10 sampai pada ph titik isoelektrik protein-protein daging antara ph Pada ph isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada ph yang lebih tinggi dari ph isoelektrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Begitupula pada ph lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, terdapat akses muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi banyak ruang untuk

32 32 molekul-molekul air. Dengan demikian nilai ph tinggi atau rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, daya mengikat air meningkat (Forrest et al. 1975). Pada fase prerigor daya mengikat air masih tinggi, akan tetapi secara bertahap menurun seiring dengan penurunan ph dan jumlah adenosin tripospat (ATP) jaringan otot. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti spesies, umur, fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskular. 3) Nilai ph daging Penurunan ph otot dan pembentukan asam laktat merupakan suatu hal yang nyata terjadi pada otot selama berlangsungnya konversi otot menjadi daging. Penurunan ph otot setelah pemotongan ternak banyak ditentukan oleh laju glikolisis post mortem serta cadangan glikogen otot dan ph daging ultimat yang normalnya adalah Stress sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon-hormon dan atau obat-obatan tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang menghasilkan variasi nilai ph daging (Soeparno 2005). Penimbunan asam laktat dan tercapainya ph ultimat otot pasca mati tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah kondisi yang tercapai yaitu ph cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik di dalam proses glikolisis an aerobik. Jadi ph ultimat daging adalah ph yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis sehingga enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada ph rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik (Lawrie 1995). Nilai ph ultimat daging setelah dipotong adalah sekitar 5.5, sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein myofibril, umumnya glikogen tidak ditemukan pada ph Penurunan ph otot post mortem juga bervariasi diantara ternak. Penurunan ph karkas mempunyai hubungan erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan), ph daging yang berhubungan dengan daya mengikat air, kesan

33 33 jus daging, keempukkan dan susut masak juga berhubungan dengan warna dan sifat mekanik daging (daya putus, kohesi, adhesi, dan kekuatan tarik). Suatu kenaikan ph daging akan meningkatkan jus daging dan menurunkan susut masak. Perubahan ph pada daging akan mempengaruhi warna, daya menahan air, keempukan, rasa, aroma, dan kualitas daging secara umum. 4) Susut masak Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan. Susut masak bisa dipengaruhi oleh ph, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang melintang daging (Soeparno 2005). Pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak. Susut masak menurun secara linear dengan bertambahnya umur ternak. Misalnya pada sapi susut masak pada otot Semimembranosus yang dimasak pada temperatur 80 0 C selama 90 menit menurun dengan meningkatnya umur. Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak. 5) Keempukan dan tekstur daging Keempukan dan tekstur daging kemungkinan merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging (Soeparno 2005). Tekstur menunjukkan ukuran-ukuran serabut otot yang dibatasi oleh septum-septum perimiseal jaringan ikat yang membagi otot secara longitudinal. Hewan-hewan jantan mempunyai tekstur lebih besar dan sifatnya kasar dibanding dengan hewan betina, dan hewanhewan yang berkerangka besar mempunyai tekstur yang lebih besar dibanding dengan hewan yang berkerangka kecil, begitupula dengan bangsa juga turut mempengaruhi tekstur dari daging. Lawrie (1995) mengemukakan bahwa urat-urat daging yang disusun dengan pola serat kasar umumnya mempunyai tingkat pertumbuhan pasca lahir yang paling besar seperti otot semimembranosus, mempunyai berkas urat-urat daging yang disusun dengan pola serat yang halus mempunyai berkas kecil. Selanjutnya dikatakan bahwa ukuran berkas tidak hanya ditentukan oleh jumlah serat tetapi juga oleh ukuran serat. Ukuran kasar suatu tekstur akan meningkat bersama dengan umur, tetapi dalam urat daging yang mempunyai serat kecil tidak jelas kelihatan jika dibandingkan dengan yang mempunyai serat yang relatif besar.

34 34 Unsur-unsur yang menentukan tekstur adalah tenunan pengikat yang mempunyai korelasi dengan kasarnya susunan serat dan kekerasan daging setelah dimasak dimana terdapat korelasi yang tidak langsung antara diameter serat urat daging dengan keempukan. Dengan demikian tekstur dan keempukan dapat menggambarkan kualitas dari daging. Bangsa ternak juga mempengaruhi keempukan dari daging yang diimplikasikan dengan tekstur. Lawrie (1995) mengemukakan bahwa dalam bangsa nilai hertabilitas keempukannya mencapai 60%. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor yang menentukan tekstur daging adalah ukuran berkas serat, jumlah perimisium yang terdapat pada daging, susunan serat dan diameter serat.

35 35 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret - Mei 2008 di Rumah Potong Hewan (RPH) Aldia-Kupang. Pengumpulan data pengukuran produktivitas karkas dilakukan di RPH Aldia, sedangkan analisis sifat fisik daging dilakukan di Laboratorium Umum Politeknik Pertanian Negeri Kupang dan Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ternak sapi Bali jantan dan betina yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Aldia-Kupang. Sapisapi yang digunakan berasal dari pasar tradisional dengan sistem pemeliharaan yang ada di masyarakat peternak di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur. Peralatan yang digunakan adalah timbangan elektrik Merk Iconix buatan New Zealand berkapasitas 1000 kg untuk menimbang bobot badan sapi, timbangan karkas dengan kapasitas 500 kg, timbangan daging merk Nagata berkapasitas 150 kg untuk menimbang daging dan tulang, jangka sorong, planimeter, plastik grid, ph meter, termometer bimetal, mistar pengukur tebal lemak punggung, serta perlengkapan lainnya yang ada di RPH. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Ternak sapi yang akan dipotong diistirahatkan selama 24 jam di kandang penampungan 2) Ternak ditimbang terlebih dahulu untuk memperoleh bobot potong, selanjutnya ternak digiring ke tempat pemotongan 3) Ternak sapi diikat pada kaki depan dan kaki belakang kemudian ditarik hingga rebah dan dalam posisi tidur dengan kepala mengarah ke bagian selatan. 4) Ternak dipotong pada bagian leher dekat tulang rahang bawah, pemotongan ini dilakukan sampai vena jugularis, oesophagus dan trachea terpotong. Setelah ternak benar-benar mati kaki belakang diikat kemudian

36 36 ditarik dan digantung pada rel penggantung dengan posisi kepala menghadap ke bawah, selanjutnya dilakukan pengulitan. Setelah dilakukan pengulitan, kepala dan keempat kaki dilepaskan, rongga perut dibuka dan semua isi perut dikeluarkan. 5) Dilakukan penimbangan untuk memperoleh berat karkas panas 6) Karkas digantung di ruang pendingin dan setelah 24 jam dilakukan penimbangan untuk memperoleh berat karkas dingin. 7) Dilakukan pemisahan karkas antara daging dan tulang dan diperoleh 6 potongan komersial karkas yaitu 1) karkas depan, 2) paha belakang 3) flank (bagian perut), 4) punggung, 5) rusuk belakang dan 6. fillet. Rancangan Percobaan Nilai produktivitas karkas digunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial, 2X3 dengan perlakuan jenis kelamin (jantan dan betina) dan 3 kelompok bobot potong (<190 kg, kg, > 220 kg), pengujian sifat fisik daging sapi Bali digunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial dengan perlakuan jenis kelamin (jantan dan betina) dan 3 kelompok umur (I 2, I 3 dan I 4 ). Model statistik yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1993) sebagai berikut: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Dimana: Yijk : nilai pengamatan atau respon yang diamati µ : rataan umum αi : pengaruh jenis kelamin ke-i βj : pengaruh bobot potong ke-i αβij : pengaruh interaksi taraf ke-i, dari jenis kelamin dan taraf ke-j dari bobot hidup. εijk : pengaruh sisa yang mendapat perlakuan bersama pada taraf ke-i dari jenis kelamin dan taraf ke-j dari bobot hidup. Analisis data digunakan prosedur General Linear Model (GLM) dengan software SAS versi 9.1 sedangkan uji lanjut digunakan uji Kontras Polinomial Orthogonal.

37 37 Peubah yang Diukur Peubah yang diukur dalam penelitian ini antara lain: 1) Bobot karkas panas adalah bobot karkas setelah eviscerasi dan sebelum karkas dilayukan 2) Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas panas dengan bobot potong dikalikan 100%. 3) Bobot karkas dingin, adalah bobot karkas setelah dilayukan selama 24 jam 4) Tebal lemak punggung pada rusuk diperoleh dengan mengukur ketebalan lemak sub kutan di antara rusuk 12-13, 3/4 irisan melintang urat daging mata rusuk dengan menggunakan alat pengukur lemak punggung. 5) Luas urat daging mata rusuk, dihitung dengan cara mengukur luas penampang urat daging mata rusuk (Longissimus dorsi et lumbarum), pada irisan antara rusuk 12 dan 13. Permukaan irisan urat daging mata rusuk ditempel dengan plastik transparan, kemudian digambar dengan spidol. Gambar bidang permukaan penampang melintang urat daging mata rusuk ditera dengan plastik grid (satuan satu inchi 2 tiap 10 titik) selanjutnya dihitung dalam satuan cm 2, jumlah titik yang tercakup pada bidang penampang melintang dijadikan ukuran luas urat daging mata rusuk. 6) Nilai ph daging, pengukuran nilai ph daging dilakukan dengan menggunakan alat ph meter, dimana sampel daging sebanyak 10 gram ditambahkan 100 ml aquades kemudian dicampur dengan mixer selama 1 menit selanjutnya diukur dengan ph meter dan dicatat hasilnya. 7) Nilai keempukan daging, dilakukan dengan menggunakan alat pengukur keempukan. Sampel daging sebesar 200 gram dengan ketebalan ± 10 cm ditusukan termometer bimetal sampai menembus bagian dalam daging kemudian dimasukkan ke dalam panci berisi air hingga daging terendam semuanya, selanjutnya daging direbus sampai termometer menunjukkan angka 81 0 C. Daging dicetak dengan alat pengebor (corer) berdiameter 1.27 cm dan daging tersebut diukur untuk mengetahui daya putusnya (kg/cm²). Semakin tinggi nilai yang didapat maka keempukan daging yang diukur semakin rendah.

38 38 8) Daya mengikat air, dilakukan dengan metode penekanan (press method) sesuai dengan petunjuk Hamm (Swatland 1984) yaitu sampel daging sebanyak 0.3 gram dibebani pada kertas saring (filter) diantara dua plat kaca dengan beban tekan sebesar 35kg selama lima menit. Daerah yang tertutup sampel daging dan telah menjadi rata dan luas daerah basah di sekitarnya ditandai dan diukur dengan menggunakan planimeter. Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan daerah yang tertutup daging dari daerah total yang meliputi pula area basah pada kertas saring. Jumlah air yang keluar dari daging dihitung dengan menggunakan rumus: 2 areabasah( cm ) mg H 2 O = 8, 0 0,0948 Area basah adalah luas air yang diserap pada kertas saring akibat penjepitan selama lima menit, yaitu selisih luas lingkaran luar dan dalam pada kertas saring. Pengukuran luas lingkaran dilakukan dengan planimeter merk Hruden. Nilai kandungan air yang diperoleh berdasarkan rumus selanjutnya dipersentasikan terhadap bobot sampel, dengan demikian semakin besar nilai yang didapat daya mengikat air daging akan semakin rendah. 9) Susut masak (cooking loss), yaitu perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase (%). Sampel daging sekitar 100 g dimasukkan ke dalam air rebus namun terlebih dahulu ditancapkan termometer bimetal sampai menembus bagian dalam daging. Sampel daging harus terendam dalam air rebusan sampai suhu dalam daging menunjukkan angka 81 0 C lalu diangkat. Setelah itu sampel didinginkan selama 60 menit lalu ditimbang, selanjutnya setiap 30 menit ditimbang sampai sampel daging mempunyai berat yang konstan. 10) Warna daging, diukur dengan menggunakan standar warna daging berdasarkan skor warna yaitu dengan menggunakan Photo Graphic Colour Standard. Skor warna tersebut memiliki skala angka dari 1-7 dimana semakin besar skor maka warna daging dinyatakan semakin gelap. Cara mengukur yaitu dengan mencocokkan warna daging dengan standar warna daging, namun sebelumnya sampel daging disayat terlebih dahulu.

39 39 11) Warna lemak, warna lemak diukur dengan menggunakan standar warna berdasarkan skor warna berskala 1-7 dimana semakin besar skor maka warna lemak dinyatakan semakin kuning. Cara mengukur yaitu dengan mencocokkan warna lemak pada bagian punggung karkas.

40 40 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Timor Barat Letak Geografi Timor Barat termasuk daerah di daratan Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan luas wilayah Km terletak antara Lintang Selatan (LS) dan Bujur Timar (BT). Propinsi ini merupkan wilayah kepulauan yang terdiri atas 156 pulau dengan tiga buah pulau besar yakni pulau Timor, Flores, Sumba dan terdapat pulau-pulau kecil di sekitarnya. Timor Barat khususnya terdapat di pulau Timor dengan batas-batasnya sebagai berikut: sebelah utara dan barat berbatasan dengan laut Sawu, sebelah selatan berbatasan dengan samudera Hindia dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan negara Timor Leste. Permukaan tanah umumnya berbukitbukit, bergunung-gunung dan sebagian terdiri atas dataran rendah dengan tingkat kemiringan rata-rata mencapai 45 0 dan berada pada ketinggian meter dari permukaan laut (Kabupaten Kupang Dalam Angka 2007). Timor Barat mempunyai tiga fisiografi perbukitan dengan kelerengan lahan melebihi 8% yakni permukaan berbukit sampai bergunung yang meliputi 85.6%, fisiografi alluvial dengan kelerengan lahan 0-8%, fisiografi pasang surut dengan kelerengan lahan < 3%. Oleh karena sebagian besar lahan di Timor Barat mempunyai kelerengan sebesar 8% maka prioritas pemanfaatan lahan dan alternatif komoditas diarahkan untuk pengembangan kehutanan, tanaman tahunan dan wanatani termasuk pakan ternak. Iklim Timor Barat memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Hal ini disebabkan karena arah angin yang berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga mengakibatkan terjadinya musim kemarau pada bulan Juni - September, sebaliknya pada bulan Desember-Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari samudera Asia dan Pasifik sehingga terjadi musim hujan. Keadaan ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Timor Barat sangat dekat dengan Australia, dimana arus angin yang banyak mengandung uap air

41 41 berasal dari Asia dan Samudera Pasifik, kandungan uap airnya sudah berkurang, sehingga Timor Barat tergolong sebagai wilayah yang kering dimana hanya terdapat 3-4 bulan basah dan 8 bulan sisanya relatif kering. Pada umumnya wilayah bagian selatan (Pulau Timor dan Sumba) lebih kering dari bagian utara (Pulau Flores) (Kabupaten Kupang dalam Angka 2007). Nulik dan Bamualim (1998) mengemukakan bahwa pada umumnya NTT mempunyai pola curah hujan tunggal dimana puncak musim hujan hanya terjadi sekali dalam setahun. Suhu udara maksimum berkisar antara Celcius (C), minimum antara C dan curah hujan rata-rata adalah mm/tahun. Tingkat curah hujan ini berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain, seperti wilayah Flores bagian barat, yang meliputi Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Ngada, merupakan daerah yang cukup basah, hal ini disebabkan curah hujan rata-ratanya lebih tinggi dari rata-rata total, yaitu mm/tahun. Daerah dengan kondisi demikian dapat dikatakan sebagai daerah yang sangat cocok untuk pengembangan kawasan pertanian dan perkebunan karena salah satu unsur penting pembentuk iklim adalah curah hujan. Curah hujan di Timor Barat sangat bervariasi dan umumnya sulit untuk diramalkan datangnya hujan dan mulainya bulan kering, kadang-kadang terlalu cepat dan juga terlalu lambat (Kabupaten Kupang dalam Angka 2007). Sebagian besar wilayah di NTT adalah lebih cocok untuk padang penggembalaan ternak dibanding dengan usaha pertanian lainnya (Bamualim dan Wirdahayati 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa tipe tanah di NTT adalah tipe bobonaro clay tidak cocok untuk mengembangkan sistem pertanian yang intensif namun tanah tersebut cocok untuk dijadikan sebagai padang penggembalaan ternak. Usaha Peternakan Sapi Bali di Timor Barat Sapi Bali telah di kembangkan di Timor Barat sejak tahun 1915 yang diimpor dari Pulau Bali. Sapi Bali terus berkembang hingga saat ini dan menempati populasi terbanyak, dengan demikian Timor Barat dikenal sebagai sentra produksi sapi potong. Timor Barat sebagai sentra produksi sapi potong pernah mengekspor ternak sapi Bali ke negara tetangga seperti Hongkong dan Singapura pada tahun an, namun setelah melewati masa tersebut ada

42 42 larangan dari pemerintah untuk tidak lagi mengekspor sapi Bali ke negara tetangga karena terjadi peningkatan permintaan dalam negeri, seleksi negatif, serta pola peternakan yang ada di masyarakat yang didominasi oleh sistem pemeliharaan ekstensif tradisional sehingga laju peningkatan suplay lebih kecil dibanding dengan laju permintaan pasar (Kondi 2004). Penyebab lain adalah terjadinya pengurasan terhadap populasi ternak di mana ternak betina dipotong untuk konsumsi pasar lokal. Peternakan merupakan bagian penting dari perekonomian regional, beberapa alasan yang mendasari petani untuk beternak sapi yaitu status sosial, tenaga kerja, tabungan dan penghasil uang (Bamualim dan Wirdahayati 2001). Manajemen Pemeliharaan Ternak sapi Bali di Timor Barat Sistem Pemeliharaan Sistem pemeliharaan ternak sapi di pulau Timor khususnya Timor Barat bervariasi namun didominasi oleh pemeliharaan secara ekstensif dan semiekstensif. Hal ini dilakukan karena Timor Barat memiliki padang penggembalaan yang relatif luas. Hasil penelitian Lawa (2006) bahwa ternak sapi Bali dipelihara oleh masyarakat hampir di semua desa, hal ini disebabkan tersedianya sumber daya alam yang cukup menunjang diantaranya ketersediaan pakan yang beragam seperti lamtoro, turi, gamal, dan hijauan lainnya sebagai sumber pakan yang tersedia secara lokal. Selain itu juga disebabkan kondisi sosial budaya masyarakat tani yang sudah terbiasa memelihara ternak secara turun-temurun. Hasil penelitian Sobang (1997) bahwa usaha penggemukkan sapi di kawasan Timor Barat umumnya dan kabupaten Kupang khususnya dikenal dengan sistem paronisasi, telah berkembang sebagai suatu usaha yang mampu meningkatkan pendapatan petani/peternak di daerah ini. Sistem ini juga dilakukan oleh sebagian peternak di Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU) dan Belu. Ngera (2004) mengemukakan bahwa sistem pemeliharaan yang umum dilakukan oleh peternak di kabupaten TTU adalah bersifat tradisional dan belum berorentasi bisnis. Ternak sapi yang dipelihara hanya sebagai usaha sampingan yang dapat dijual sewaktu-waktu untuk memenuhi kebutuhan yang terdesak. Perhatian peternak terhadap ternaknya juga masih sangat rendah, hal ini terlihat dari sistem peternakan yang dilakukan dimana ternak sapi digembalakan pada

43 43 siang hari di padang penggembalaan yang terletak di daerah perbukitan atau lembah. Padang penggembalaan ini biasanya milik bersama dan digunakan oleh beberapa peternak untuk menggembalakan ternaknya. Pakan Ternak Sapi Bali Pakan adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dari ternak. Peternakan sapi Bali di Timor Barat umumnya dilakukan sebagai usaha semi intensif dengan pola penyediaan pakan yang dilakukan oleh peternak adalah memanfaatkan sumber pakan yang tersedia di sekitar peternak. Hasil penelitian Sobang (1997) bahwa penyediaan pakan ternak oleh peternak bersumber dari lahan peternak sendiri seperti turi, lamtoro, king grass dan dari luar lahan peternak seperti daun kabesak dan gewang (Choripha gebanga) yang digunakan sebagai pakan penggemukkan terutama pada musim kemarau. Selanjutnya dikatakan bahwa peternak tidak memberikan pakan konsentrat walaupun pada musim kemarau Menururt Fattah (2002), jenis pakan yang mendominasi padang penggembalaan di Timor adalah Andropogan timorensis, Heteropogan contortus, Botricolla sp, sedangkan jenis leguminosa pohon adalah gamal (Gliricidia sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala), serta padang penggembalaan ditumbuhi pepohonan seperti Gewang (Corypha gebanga), Lontar (Borrasus flabelifer) dan bidara. Pola Pemberian Pakan dan Air Minum Pada umumnya pakan yang diberikan pada ternak adalah hijauan dalam bentuk yang sudah dipotong-potong. Peternak memberi makan pada ternak sapi 2-3 kali sehari. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan rumput yang ada di sekitar peternak. Ada juga pemberian putak, terutama pada musim kemarau di saat ternak kekurangan pakan. Bagi sapi yang dilepas atau dipelihara secara ekstensif, pakan sangat tergantung pada padang penggembalaan terutama rumput alam, dan untuk mencegah terjadinya penurunan berat badan, peternak akan memberikan pakan tambahan seperti daun kapok, lamtoro, turi pada sore hari ketika ternak dikandangkan kembali.

44 44 Pemberian air minum untuk ternak-ternak yang digembalakan adalah pada siang hari ternak sapi digiring oleh peternak menuju sumber-sumber air minum yang dekat dengan padang penggembalaan seperti sungai, ataupun sumur yang jaraknya berkisar antara m. Setelah ternak minum maka digiring lagi ke padang penggembalaan. Bagi peternak yang ternaknya dikandangkan, air minum diberikan oleh peternak satu sampai dua kali sehari. Hasil penelitian Ratnawaty et al. (2002) bahwa peternak sapi di kawasan Timor Barat (Belu-Besikama) memberikan pakan pada ternak sapi yang dipelihara dengan perbandingan 97% rumput dan sisanya adalah legum. Selanjutnya dikatakan bahwa sistem pemeliharaan ternak sapi di kawasan tersebut masih sangat tradisional baik pada sapi yang dilepas maupun bagi sapi yang dikandangkan, dengan mengandalkan pakan rumput alam yang ada di padang penggembalaan dan legum hanya sebagai pakan tambahan. Pertambahan Bobot Badan Pada musim hujan, bobot badan ternak akan meningkat dan sebaliknya pada musim kemarau bobot badan akan menurun, hal ini berkaitan dengan ketersediaan pakan sesuai dengan musim. Produktivitas ternak juga dipengaruhi oleh berbagai sumberdaya alam yang digunakan dengan demikian proses produksi atau outputnya bergantung pada input dan proses produksi tersebut. Input dapat dilihat dari ternak, pakan, fasilitas kandang, penanganan kesehatan, tenaga kerja serta waktu, sedangkan output dapat dilihat dari pertambahan bobot badan, jumlah ternak yang dijual dan kotoran ternak yang dihasilkan. Sobang (1997) mengemukakan bahwa pada sistem pemeliharaan penggemukan secara tradisional atau paronisasi, pertambahan bobot badan harian sapi Bali kg/hari. Sistem Perkawinan Umumnya sistem perkawinan ternak sapi adalah kawin secara alamiah, hal ini berkaitan dengan tingkat pengetahuan petani peternak dalam hal mengetahui umur yang tepat untuk dikawinkan, tanda-tanda berahi dan lama berahi. Pejantan yang digunakan untuk mengawini betina biasanya diperoleh dari luar peternak maupun bantuan pemerintah, bahkan ada juga petani yang menggunakan ternak jantannya sendiri untuk mengawini ternak betina.

45 45 Hasil penelitian Ngera (2004) menyebutkan bahwa bagi ternak-ternak yang digembalakan maka sistem perkawinan dilakukan secara alami sehingga jarak beranak tidak menentu. Setelah sapi betina beranak ternak sapi dapat kawin lagi pada saat birahi. Pejantan yang mengawini ternak betina berasal dari kelompok ternak yang ada di padang penggembalaan tersebut, dan ternak betina akan beranak lagi dalam jangka waktu satu tahun. Pada sistem ini peternak tidak memilih ternak betina yang akan dikawinkan dengan pejantan. Perkandangan Pada umumnya kandang yang dipakai untuk memelihara ternak masih sangat sederhana atau dikenal dengan kandang tradisional yaitu terbuat dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal seperti kayu, bambu, yang diikat dengan tali. Ada juga kandang yang biasanya dibuat di bawah pohon sekaligus berfungsi sebagai atap kandang yang dapat melindungi ternak dari hujan, panas atau sinar matahari. Luasan kandang ternak untuk sapi penggemukkan biasanya dibuat kandang individu berbentuk petak persegi empat panjang dan tidak ada ukuran yang pasti namun disesuaikan dengan besarnya tubuh ternak sapi. Pada sistem kandang kelompok ini biasanya sapi-sapi dimasukkan bersama-sama tanpa adanya pemisahan antara ternak muda dan dewasa, sedangkan untuk ternak jantan dewasa dipisahkan pada petak kandang yang lain, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kecelakaan di antara ternak. Atap kandang mengggunakan daun gewang atau alang-alang yang diambil dari lahan peternak atau di sekitar tempat tinggal, sedangkan untuk ternak sapi yang dilepas dan akan dikandangkan pada malam hari dibuatkan kandang kelompok berbentuk lingkaran yang dipagar dengan menggunakan kayu dan diikat dengan tali ataupun dipaku. Kandang yang dibuat ini biasanya terpisah dari tempat tinggal peternak kurang lebih Km. Bagi petani dengan adanya kandang, petani dapat mengontrol ternaknya dari penyakit atau mudah dalam penanganan. Penanganan Limbah Limbah dari ternak hanya digunakan sebagai pupuk untuk tanaman sayuran dan tanaman pakan ternak di sekitar kebun. Pemanfaatan limbah oleh sebagian besar masyarakat masih sangat sederhana, umumnya peternak hanya

46 46 memanfaatkan limbah sebagai pupuk tanaman, hingga saat ini belum ada teknologi yang dilakukan oleh peternak dalam menangani limbah ternak. Penanganan Kesehatan Penanganan kesehatan oleh peternak biasanya dilakukan dengan pembersihan kandang dan vaksinasi. Bagi peternak yang memiliki ternak sapi dalam jumlah yang banyak atau lebih dari sepuluh ekor biasanya dilakukan vaksinasi setiap tahun oleh petugas kesehatan yang ditempatkan di setiap kecamatan dan bagi petani yang memiliki ternak kurang dari 5 ekor dilakukan penyuntikan sendiri terhadap ternak yang dipelihara. Penyakit yang biasa menyerang ternak sapi Bali seperti penyakit ingusan (Septicaemia epizootica), diare dan cacingan. Apabila penyakit ini menyerang ternak sapi dilakukan penyuntikan oleh petugas atau tenaga kesehatan hewan, bagi petani yang sudah berpengalaman dan memiliki ternak dalam jumlah yang banyak penanganan kesehatan/penyuntikan dilakukan oleh peternak. Untuk sapi-sapi yang digemukan apabila penanganan kesehatan dilakukan dengan baik, dalam jangka waktu 6 bulan sampai dengan satu tahun ternak sapi sudah bisa dijual. Pemasaran Ternak Sapi Bali Suatu produk pertanian membutuhkan saluran pemasaran dalam menyalurkan produksinya sampai ke konsumen. Umumnya hasil-hasil pemasaran peternakan seperti sapi, babi dan ayam dijual oleh petani dalam keadaan hidup dan kebanyakan pedagang perantara atau pedagang pengumpul langsung mendatangi tempat peternak. Pelaksanaan jual beli ternak sangat berhubungan dengan penentuan harga dalam pemasaran produk sehingga pihak pertama (pembeli) sangat berperan sebagai penentu harga, dilanjutkan ke pedagang perantara selanjutnya oleh pedagang perantara diteruskan ke petani peternak. Untuk penentuan harga jual pedagang perantara langsung ke peternak dan melihat kondisi sapi berdasarkan penampilannya. Penentuan harga jual selalu saja dikaitkan dengan kebutuhan uang tunai yang diterima oleh peternak dan apabila peternak sangat membutuhkan uang tunai maka ia akan bertindak sebagai penerima harga. Pada daerah-daerah tertentu dengan prasarana jalan yang belum memadai dimana jarak pelabuhan

47 47 antar pulau yang cukup jauh dari tampat tinggal peternak, akan berpengaruh terhadap harga sapi yang akan dijual dibanding dengan uang tunai yang diterima oleh peternak. Jalur pemasaran Sapi Bali di Kawasan Timor Barat digambarkan pada Gambar 1. Petani Peternak Pedagang Pengumpul Pedagang pengumpul Penjagal Pedagang antar pulau Dipotong di RPH Dikirim ke luar daerah Gambar 1 Jalur pemasaran sapi Bali di Timor Barat Sistem pemasaran yang dilakukan oleh petani peternak dalam menjual ternaknya adalah sapi dari peternak dibeli oleh pedagang perantara, dari pedagang perantara dijual ke pedagang antar pulau yang akan dikirim keluar daerah dan kepada tukang jagal yang akan dipotong di rumah potong hewan untuk memenuhi kebutuhan konsumen lokal. Pemasaran ternak sapi Bali di Kawasan Timor Barat mulai dari petani peternak dilanjutkan ke pedagang perantara, dari pedagang perantara dilanjutkan ke pedagang antar pulau untuk dikirim ke luar daerah dan kepada tukang jagal. Hasil penelitian Lalus (1999) bahwa perbedaan jarak yang dinyatakan dengan biaya transportasi mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap harga yang diterima oleh peternak, hal ini sangat berhubungan dengan cara pembayaran dimana berpengaruh juga terhadap harga. Apabila pembayaran dilakukan di tempat tinggal peternak maka harga yang diterima oleh peternak lebih rendah dibandingkan dengan pembayaran yang dilakukan di tempat penimbangan ternak khusunya bagi ternak yang diantarapulaukan.

48 48 Produktivitas Karkas Sapi Bali Dari uraian di atas sistem pemeliharaan sapi Bali di Timor Barat dengan pemberian pakan yang beragam maka nilai produktivitas karkas dapat dikemukakan dalam hasil penelitian ini. Produktivitas karkas sapi Bali diantaranya bobot karkas panas, persentase karkas, bobot karkas dingin, tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk disajikan pada Tabel 3. Bobot Karkas Panas Bobot karkas merupakan salah satu faktor yang diperhatikan dalam penilaian karkas. Rataan bobot karkas panas dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap bobot karkas panas, namun terdapat pengaruh yang nyata antara masing-masing faktor terhadap bobot karkas panas. Bobot karkas panas sangat berhubungan erat dengan bobot potong, semakin tinggi bobot potong, bobot karkas panas semakin tinggi pula. Kelompok bobot potong I, II dan III secara nyata meningkatkan bobot karkas panas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi bobot potong, bobot karkas panas semakin tinggi. Tabel 3 Rataan produktivitas karkas sapi Bali Kelompok bobot potong (kg) Peubah Jenis < >220 Rataan kelamin X ± SD X ± SD X ± SD Bobot karkas Jantan ± ± ± a panas Betina ± ± ± b (kg) Rataan a ± b ± c ±14.37 Persentase Jantan ± ± ± a karkas (%) Betina ± ± ± b Rataan ± ± ± 2.22 Bobot karkas Jantan ± ± ± a dingin Betina ± ± ± b (kg) Rataan a ± b ± c ±14.14 Tebal lemak Jantan 0.11± ± ± punggung Betina 0.11± ± ± (cm) Rataan 0.11 ± ± ± 0.13 Luas urat Jantan ± ± ± a daging mata Betina ± ± ± b rusuk (cm 2 ) Rataan a ± a ± b ±8.97 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05), X=rataan, SD=standar deviasi.

49 49 Forrest et al. (1975) mengemukakan bahwa bobot karkas semakin tinggi dengan meningkatnya bobot potong, demikian juga dengan faktor jenis kelamin, berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bobot karkas panas dimana bobot karkas panas dari ternak jantan lebih tinggi dari betina. Hal ini disebabkan ternak jantan memiliki bobot potong yang lebih tinggi dibanding dengan ternak betina. Jika dilihat dari pertumbuhan, ternak jantan mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding ternak betina, hal ini berhubungan dengan hormon steroid kelamin ternak jantan yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan pada ternak jantan. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa laju pertumbuhan jenis kelamin jantan lebih besar dibanding dengan betina. Hasil penelitian Rosnah (2002) pada sapi Bali di dataran rendah dan dataran tinggi dengan kelompok bobot potong 243 dan 210 kg berpengaruh terhadap bobot karkas panas yang dihasilkan, bobot potong yang tinggi menghasilkan bobot karkas panas tinggi pula. Selanjutnya dikatakan bahwa ternak sapi Bali yang mempunyai bobot karkas yang tinggi mempunyai pertambahan berat badan harian yang tinggi pula. Persentase Karkas Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap persentase karkas, demikian juga kelompok bobot potong, namun terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) antara jenis kelamin terhadap persentase karkas dimana jenis kelamin jantan dengan persentase karkas (54.92%) lebih tinggi dari betina (50.83%), hal ini disebabkan ternak jantan memiliki bobot potong yang lebih tinggi dibanding betina. Tidak adanya perbedaan yang nyata di antara kelompok bobot potong disebabkan perbedaan bobot potong yang tidak sesuai dengan peningkatan bobot karkas. Ngadiono (1995) mengemukakan bahwa perbedaan rataan persentase karkas juga disebabkan perbedaan ukuran saluran pencernaan dan organ-organ penting nonkarkas serta kondisi ternak. Selanjutnya dikatakan bahwa kondisi penimbangan ternak dan karkas, metode pengulitan, ukuran saluran pencernaan dan organ-organ penting serta kodisi finish (akhir) dari ternak juga berpengaruh terhadap persentase karkas. Hasil penelitian Rosnah (2002) pada sapi Bali di daerah dataran rendah dan tinggi diperoleh persentase karkas dan 53.11%.

50 50 Bobot Karkas Dingin Bobot karkas dingin adalah bobot karkas setelah dilakukan pelayuan terhadap karkas selama 24 jam. Nilai bobot karkas dingin disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap bobot karkas dingin, namun masing-masing faktor memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap bobot karkas dingin. Bobot karkas dingin pada ternak jantan (113.85kg) lebih tinggi dari sapi betina (99.67kg). Hal ini disebabkan bobot potong ternak jantan lebih tinggi dibanding ternak betina. Bobot karkas dingin meningkat dengan peningkatan kelompok bobot potong, bobot karkas dingin pada masing-masing kelompok bobot potong adalah kelompok I (92.27 kg), kelompok II ( kg) dan III ( kg). Hal ini berarti semakin tinggi bobot potong, bobot karkas dingin semakin tinggi. Berg dan Butterfield (1976) mengemukakan bahwa bobot potong yang tinggi menghasilkan bobot karkas karkas dingin yang tinggi. Tebal Lemak Punggung Tebal lemak punggung pada rusuk disajikan pada Tabel 3. Banyaknya lemak yang menutupi karkas merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan nilai karkas. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap tebal lemak punggung, demikian juga dengan masing-masing faktor tidak berpengaruh terhadap tebal lemak punggung. Hal ini berarti jenis kelamin dan kelompok bobot potong tidak berpengaruh terhadap tebal lemak punggung. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa pakan akan mempengaruhi proporsi kenaikan lemak karkas dan proporsi daging, pakan yang mengandung energi tinggi akan dapat meningkatkan persentase karkas dan perlemakan pada depot-depot lemak. Selanjutnya dikatakan bahwa nutrisi adalah salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap proporsi kenaikan lemak pada karkas. Tebal lemak sub kutan sebagai indikator dalam menentukan kualitas karkas (persentase daging dan persentase lemak) lebih dipengaruhi oleh variasi bangsa, nutrisi dan jenis kelamin.

51 51 Luas Urat Daging Mata Rusuk Luas urat daging mata rusuk disajikan pada Tabel 3. Luas urat daging mata rusuk merupakan indikator dalam menduga besarnya proporsi urat daging dari suatu karkas. Semakin luas urat daging mata rusuk, semakin besar proporsi urat daging dari karkas. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan bobot potong terhadap luas urat daging mata rusuk, namun masing-masing fakor berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap luas urat daging mata rusuk. Luas urat daging mata rusuk meningkat dengan semakin meningkatnya kelompok bobot potong. Luas urat daging mata rusuk yang lebih besar adalah kelompok bobot potong III, diikuti kelompok bobot potong II dan I. Luas urat daging mata rusuk yang mempunyai ukuran lebih besar menunjukkan proporsi daging yang besar pula. Demikian juga dengan jenis kelamin, berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap luas urat daging mata rusuk, jenis kelamin jantan mempunyai luas urat daging lebih tinggi (50.66 cm 2 ) dari betina (43.25 cm 2 ). Ngadiono (1995) mengemukakan bahwa semakin tinggi bobot hidup ternak, luas urat daging mata rusuk semakin besar. Selanjutnya dikatakan bahwa sapi jantan mempunyai urat daging yang lebih luas dibanding dengan sapi betina. Potongan Komersial Karkas Sapi Bali Rataan persentase potongan komersial karkas sapi Bali pada penelitian ini disajikan pada pada Tabel 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap masingmasing potongan komersial karkas, namun masing-masing faktor berpengaruh nyata terhadap setiap bobot potongan komersial karkas. Untuk masing-masing potongan komersial karkas mempunyai perbedaan yang nyata diantara jenis kelamin jantan dan betina (P<0.05), kecuali pada potongan karkas rusuk belakang tidak berbeda nyata.

52 52 Tabel 4 Rataan bobot potongan komersial karkas sapi Bali Potongan karkas (kg) Karkas depan Kelompok bobot potong (kg) Jenis < >220 Rataan kelamin X ± SD X ± SD X ± SD Jantan ± ± ± a Betina ± ± ± b Rataan a ± a ± b ±5.09 Paha Jantan ± ± ± a belakang Betina ± ± ± b Rataan a ± a ± b ±4.33 Punggung Jantan 14.24± ± ± a Betina 11.71± ± ± b Rataan a ± b ± c ±7.26 Flank Jantan 5.20 ± ± ± a Betina 4.93 ± ± ± b Rataan 5.07 a ± b ± c ±1.63 Rusuk Jantan 4.46± ± ± Belakang Betina 4.04± ± ± Rataan 4.25 a ± a ± b ±1.16 Fillet Jantan 2.28± ± ± a Betina 2.17± ± ± b Rataan 2.23 a ± a ± b ±0.51 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) X = rata-rata, SD = standar deviasi Nilai rataan dari masing-masing potongan karkas lebih besar pada jenis kelamin jantan dibanding dengan betina. Hal ini disebabkan ternak jantan memiliki bobot potong yang lebih tinggi dibanding dengan betina. Selanjutnya hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok bobot potong terhadap potongan komersial karkas. Untuk nilai rataan potongan karkas depan pada kelompok bobot potong III (47.05kg) nyata lebih tinggi dibanding dengan kelompok bobot potong I (35.93kg) dan II (37.88kg). Nilai rataan potongan paha belakang pada kelompok bobot III (42.51kg) nyata lebih tinggi dari kelompok bobot potong I (33.95 kg) dan II (36.48 kg). Untuk potongan punggung berbeda nyata pada kelompok bobot potong III (15.69kg) mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding kelompok bobot potong I (12.98 kg) dan II (13.10 kg). Flank mempunyai nilai yang berbeda nyata diantara kelompok bobot potong yaitu untuk kelompok bobot potong III (6.97 kg) lebih tinggi dibanding kelompok I (5.07 kg) dan II (6.15 kg).

53 53 Untuk rusuk belakang, mempunyai nilai yang nyata berbeda antara kelompok bobot potong I (4.25 kg) dan II (4.45 kg) dibanding dengan kelompok bobot potong III (5.74 kg), demikian juga potongan fillet berbeda nyata antara kelompok bobot potong I (2.23 kg) dan II (2.31 kg) dengan bobot potong III (2.65 kg). Dengan demikian dikatakan bahwa semakin tinggi bobot potong, bobot potongan komersial karkas juga semakin tinggi. Swatland (1982) mengemukakan bahwa bobot potong akan berpengaruh terhadap bobot potongan komersial karkas yang dihasilkan. Berg dan Butterfield (1968) mengemukakan bahwa perbedaan bagian-bagian potongan komersial karkas dipengaruhi oleh distribusi jaringan pada tiap-tiap potongan komersial karkas. Selanjutnya dikatakan bahwa pola pertumbuhan otot, lemak dan tulang diketahui sangat mempengaruhi komposisi karkas dan konformasi. Forrest at al. (1975) mengemukakan bahwa bobot hidup akan berpengaruh terhadap bobot karkas dan bobot karkas akan berpengaruh terhadap bobot potongan karkas. Jika masing-masing potongan komersial ini dinyatakan dalam persentase terhadap bobot karkas dingin pada jenis kelamin dan masing-masing kelompok bobot potong akan terlihat seperti pada Tabel 5. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap masing-masing potongan komersial karkas sapi Bali. Untuk potongan komersial karkas depan, rusuk belakang dan fillet mempunyai nilai persentase lebih tinggi pada sapi jantan dibanding betina, namun tidak ada pengaruh yang nyata dari jenis kelamin terhadap potongan komersial paha belakang, punggung dan flank. Hasil analisis menunujukkan pada masing-masing kelompok bobot potong, terlihat pengaruh yang nyata terhadap potongan komersial karkas depan dan fillet, namun tidak terlihat pengaruh yang nyata terhadap potongan paha belakang, punggung, flank dan rusuk belakang. Dengan demikian dikatakan bahwa sapi jantan mempunyai distribusi daging yang lebih tinggi pada potongan karkas depan dan fillet dibanding dengan betina, sedangkan pada potongan komersial karkas paha belakang, punggung, flank dan rusuk belakang mempunyai distribusi daging yang sama.

54 54 Tabel 5 Persentase potongan komersial karkas sapi Bali Potongan karkas (%) Karkas depan Kelompok bobot potong (kg) Jenis < >220 Rataan kelamin X ± SD X ± SD X ± SD Jantan ± ± ± a Betina ± ± ± b Rataan a ± a ± b ± 1.40 Paha Jantan ± ± ± belakang Betina ± ± ± Rataan ± ± ± 4.33 Punggung Jantan ± ± ± Betina ± ± ± Rataan ± ± ± 0.67 Flank Jantan 5.06 ± ± ± Betina 5.67 ± ± ± Rataan 5.36 ± ± ± 0.68 Rusuk Jantan 4.35 ± ± ± a belakang Betina 4.61 ± ± ± b Rataan 4.48 ± ± ± 0.47 Fillet Jantan 2.24 ± ± ± a Betina 2.48 ± ± ± b Rataan 2.36 a ± ab ± b ± 0.20 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) X=rata-rata, SD= standar deviasi Secara berurutan nilai persentase potongan komersial tertinggi adalah karkas depan, diikuti paha belakang, punggung, flank, rusuk belakang dan fillet. Terlihat juga variasi diantara potongan-potongan komersial karkas, hal ini disebabkan karena terdapat variasi komponen penyusun karkas. Hasil penelitian Ngadiono (1995) pada sapi ACC diperoleh persentase masing-masing potongan komersial karkas yaitu tenderloin (1.69%), sirloin (3.24%), topside (5.95%), inside (3.71%), silverside (5.92%), rump (5.03%), flank (3,73%), flank steak (0.50%), chuck tender (0.89%), shank (5.31%), blade (7.60%), brisket (5.88%), rib meat (5.84%) dan oxtail (0.93%).

55 55 Mutu Daging Sapi Bali Sifat fisik daging sapi Bali yang diukur pada penelitian ini yaitu keempukan, ph, susut masak, daya mengikat air, warna daging dan warna lemak. Sifat fisik daging sapi Bali disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Rataan mutu daging sapi Bali Umur Peubah Jenis I 2 I 3 I 4 Rataan kelamin X ± SD X ± SD X ± SD Keempukan Jantan 3.32 c ± b ± b ± (kg/cm 2 ) Betina 2.90 c ± b ± a ± Jantan 5.48± ± ± ph Betina 5.45± ± ± Rataan 5.46 ± ± ±0.73 Susut masak Jantan 39.33± ± ± (%) Betina 33.75± ± ± Daya mengikat Rataan 36.54± ± ±3.89 Jantan 36.72± ± ± a Betina 27.26± ± ± b air(%) Rataan 31.99± ± ±5.30 Warna daging Jantan 2.33± ± ± Betina 2.83 ± ± ± Rataan 2.58ª± ª± b ±1.20 Warna lemak Jantan 2.17 ± ± ± Betina 2.83 ± ± ± Rataan 2.50± ± ±1.52 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) X= rataan, SD=standar devíasi Keempukan daging Keempukan merupakan salah satu faktor penentu kualitas daging. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara jenis kelamin dan umur terhadap nilai keempukan daging. Ternak jantan pada umur 2 tahun mempunyai nilai keempukan yang rendah, dan nilai keempukan ini meningkat dengan semakin meningkatnya umur ternak, demikian juga pada ternak betina memiliki nilai keempukan yang rendah pada umur 2 tahun, selanjutnya nilai keempukan meningkat dengan semakin meningkatnya umur ternak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keempukan akan semakin rendah dengan meningkatnya umur ternak. Hal ini disebabkan kadar kolagen dalam jaringan ikat yang mengalami perubahan-perubahan molekuler dan mempengaruhi keempukan daging dengan semakin bertambahnya umur ternak. Oleh karena itu ternak yang tua akan

56 56 cenderung menghasilkan daging yang relatif alot daripada ternak yang muda. Perbedaan ini juga kemungkinan lain karena perbedaan jumlah ikatan silang serabut-serabut kolagen. Hubungan antara jenis kelamin dan umur dikemukakan pada Gambar 2. Nilai 5.5- keempukan (kg/cm2) I 2 I 3 I 4 Umur Keterangan: = Jenis kelamin jantan = Jenis kelamin betina Gambar 2 Hubungan antara jenis kelamin dan umur terhadap keempukkan daging Forrest et al. (1975) mengemukakan bahwa pada umumnya keempukan daging menurun dengan meningkatnya umur ternak, hal ini berhubungan dengan jaringan ikat ternak muda mengandung retikulin dan ikatan silang yang lebih rendah daripada kolagen jaringan ikat ternak yang lebih tua. Selanjutnya bahwa komponen utama yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat terutama kolagen dengan jumlah ikatan silangnya yang mempunyai peranan yang besar dalam keempukan daging. Perubahan struktur jaringan ikat daging akan lebih keras dengan semakin bertambah tuanya umur ternak. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa keempukkan daging berhubungan dengan umur, jenis kelamin, nutrisi dan stress. Hasil uji lanjut kontras polinomial orthogonal untuk melihat kecenderungan grafik interaksi, diperoleh grafik yang cenderung kubik. Dengan demikian dikataknkan bahwa nilai keempukan daging akan cenderung naik, selanjutnya turun sesuai dengan dengan grafik. Hal ini disebabkan karena pengaruh lingkungan misalnya pakan, apabila pakan yang diberikan pada ternak sapi berkualitas baik, nilai keempukan akan rendah dan kualitas daging lebih baik

57 57 dan sebaliknya apabila lingkungan tidak mendukung maka nilai keempukan daging akan rendah. Nilai ph daging Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan umur terhadap ph. Demikian juga dengan masing-masing faktor berpengaruh tidak nyata terhadap ph. Pada hasil penelitian ini diperoleh nilai ph pada kisaran , dengan demikian dikatakan bahwa jenis kelamin dan umur tidak berpengaruh terhadap ph. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa ph lebih dipengaruhi oleh stress sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik, dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis. Penurunan ph otot post morteem lebih ditentukan oleh laju glikolisis post morteem serta cadangan glikogen otot. Hasil penelitian Amril (2000) pada sapi Brahman Cross dengan 3 kelompok bobot potong diperoleh nilai ph dengan kisaran Pada hasil penelitian ini diperoleh nilai ph yang masih berada pada batas toleransi yang normal. Forrest et al. (1975) mengemukakan bahwa ph ultimate daging , ph ultimat daging tergantung pada besarnya cadangan glikogen otot pada saat sapi dipotong, semakin banyak glikogen pada saat sapi dipotong maka ph ultimat yang dicapai akan semakin rendah. Setelah ternak dipotong glikogen dalam otot akan berubah menjadi asam laktat dalam keadaan anaerob. Susut masak Susut masak dapat diartikan sebagai air yang keluar dari daging karena ada pengaruh dari luar seperti pada saat pemasakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi yang nyata (P<0.05) antara jenis kelamin dan umur terhadap nilai susut masak, demikian juga dengan masing-masing faktor tidak berpengaruh terhadap susut masak daging. Hal ini berarti jenis kelamin dan umur tidak berpengaruh terhadap susut masak. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa nilai susut masak dipengaruhi oleh ph, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontrakasi miofibril, ukuran dan berat sampel daging. Daging dengan nilai susut masak yang rendah, mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibanding dengan

58 58 daging yang mempunyai nilai susut masak yang lebih tinggi, hal ini mempunyai hubungan dengan kehilangan nutrisi selama pemasakan yang relatif sedikit. Daya mengikat air Daya mengikat air oleh protein daging adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar seperti pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan umur terhadap daya mengikat air, demikian juga dengan faktor umur, namun faktor jenis kelamin memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap daya mengikat air. Ternak jantan memiliki nilai daya mengikat air yang lebih tinggi dibanding ternak betina, hal ini disebabkan tingkat kematangan (maturitas) dari ternak jantan dan betina dimana ternak betina lebih cepat mencapai tingkat kedewasaan dibanding jantan, dan pada ternak jantan dengan semakin meningkatnya umur terjadi pertambahan jumlah dan ukuran serat otot, dengan demikian kemungkinan terjadi peningkatan kadar protein di antara otot sehingga menyebabkan daya mengikat air pada jantan lebih tinggi. Hasil penelitian Te Pas et al. (2004) dikemukakan bahwa jumlah dan ukuran serabut otot lebih tinggi pada ternak jantan dibanding dengan ternak betina dengan semakin meningkatnya umur ternak. Pada hasil penelitian ini diperoleh nilai rataan daya mengikat air dari 3 kelompok umur ternak yaitu %, 33.97% dan 30.96%. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa daya mengikat air dipengaruhi oleh bangsa, proses rigormortis, temperatur, kelembaban, pelayuan daging, tipe dan lokasi otot, fungsi otot, pakan dan lemak intramuskuler. Hasil penelitian Paoe (1999) pada sapi Bali jantan yang digemukan dengan 3 macam perlakuan pakan diperoleh nilai daya mengikat air pada otot longissimus dorsi berturut-turut 36.55%, 39.71% dan 45.31%. Lawrie (1995) mengemukakan bahwa otot dengan kandungan lemak yang lebih tinggi cenderung mempunyai daya mengikat air yang lebih tinggi daripada otot yang kurang berlemak karena lemak akan melonggarkan mikrostruktur dari serat otot sehingga memberikan ruang yang cukup bagi protein untuk mengikat air.

59 59 Warna daging Warna daging merupakan salah satu faktor penentu kualitas daging secara fisik. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan umur terhadap warna daging, faktor jenis kelamin juga tidak memberikan pengaruh yang nyata, namun faktor umur berpengaruh nyata terhadap warna daging (P<0.05), dengan demikian dikatakan bahwa umur berpengaruh terhadap warna daging dimana semakin tua umur ternak, warna daging semakin gelap atau nilai skor daging semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin tinggi umur ternak, kandungan mioglobin dalam daging semakin tinggi, dengan demikian menyebabkan warna daging semakin gelap. Lawrie (1995) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi warna daging diantaranya pakan, spesies, umur, tingkat aktivitas dan tipe otot. Selanjutnya dikatakan bahwa warna daging juga berhubungan dengan tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin, kondisi kimia serta fisik dari komponen dalam daging. Semakin bertambah umur ternak konsentrasi mioglobin semakin meningkat. Warna lemak Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interkasi antara jenis kelamin dan umur terhadap warna lemak. Demikian juga dengan masing-masing faktor tidak berpengaruh terhadap warna lemak daging, dengan demikian dapat dikatakan bahwa jenis kelamin dan umur ternak tidak berpengaruh terhadap warna lemak. Nilai rataan warna lemak pada penelitian ini berkisar 2-4. Fowler (1961) mengemukakan bahwa warna lemak lebih dipengaruhi oleh pakan, apabila pakan yang dikonsumsi adalah rumput maka warna lemak cenderung kuning, sedangkan apabila pakan yang dikonsumsi adalah konsentrat maka warna lemak cenderung putih. Selanjutnya dikatakan bahwa warna lemak tidak dipengaruhi oleh bobot potong dari ternak.

60 60 SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa: 1. Jenis kelamin jantan menghasilkan produktivitas karkas lebih tinggi dibanding jenis kelamin betina. 2. Bobot potongan komersial karkas semakin tinggi pada ternak jantan dengan semakin tingginya bobot potong. Persentase potongan komersial karkas yang tinggi adalah potongan komersial karkas depan, diikuti oleh paha belakang, punggung, flank, rusuk belakang dan fillet. 3. Mutu daging sapi Bali jantan dan betina adalah sama, baik sapi jantan maupun betina mempunyai nilai keempukan daging yang sama pada umur kurang lebih 3 tahun. SARAN Untuk mendapatkan produktivitas karkas yang tinggi sebaiknya dipilih ternak jantan karena menghasilkan produktivitas karkas yang tinggi.

61 61 DAFTAR PUSTAKA Amril AM, Rasjid S, Hasan Rumput lapangan dan jerami padi amoniasi urea sebagai sumber hijauan dalam penggemukan sapi Bali jantan dengan makanan penguat. Prosiding Seminar Sapi Bali; Bali, 20 Sep-2 Okt. Bali. hal. B-11. Amril U Kajian produktivitas dan sifat fisik-kimia daging sapi Brahman Cross pada ransum yang berbeda. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Arka IB Kualitas Daging Sapi Bali. Bali September. Prosiding Sapi Bali; Bali. hal A-108. Bamualim A dan Wirdahayati RB Nutrition and Management Strategis to Improve Bali Cattle Productivity in Nusa Tenggara. Proceedings; Bali, 4-7 February. Canberra. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). hal 20. Bamualim A. dan Wirdahayati RB Status dan upaya perbaikan pakan dan reproduksi ternak sapi di Nusa Tenggara Timur. Prosiding seminar Komunikasi Hasil-hasil Pertanian Nusa Tenggara; Kupang, Nop. Kupang Balai Pengkajian Teknologi Naibonat. Bamualim A. dan Wirdahayati RB Usaha peningkatan produksi ruminansia potong melalui terobosan Penelitian di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan; Kupang Juli. Kupang Nusa Tenggara Timur. Bamualim A dan Wirdahayati Potensi, masalah dan upaya pengembangan ternak sapi di lahan kering. Prosiding seminar Nasional Komunikasi hasilhasil Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan dan Peternakan Dalam Sistem Usaha Tani Lahan Kering; Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) Bogor. ISBN: Berg RT dan Butterfield RM New Concepts of Cattle Growth. Sydney University Press. Berg RT dan Butterfield RM Growth patterns of Bovine muscle, fat and bone. J Anim Sci 27: Fattah S Penampilan produksi sapi Bali yang diberi suplemen berbentuk blok. Buletin Nutrisi, Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana-Kupang. ISSN: (5). hal

62 62 Forrest JC, Elton DA, David EG, Edward WM Principles of Meat Science. United States of America. Fowler SH The Marketing of Livestock and Meat. Louisiana State University. Hal.148. Hardjosubroto W Aplikasi Pemuliabaikan Ternak di Lapangan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Jakarta Indonesia. Jelantik IGN Permasalahan serta kemajuan program dan penelitian dalam pengembangan ternak sapi di Nusa Tenggara Timur. Makalah Seminar dan Lokakarya Peternakan; Kupang 30 Sep - 2 Okt Kabupaten Kupang Dalam Angka Kanahau D Pemanfaatan probiotik dalam ransum terhadap sapi Bali Timor jantan. [tesis]. Kupang: Program Pascasarjana, Universitas Nusa Cendana. Kedang A dan J Nulik Evaluasi Produktivitas Sapi Berdasarkan Karakteristik Bioklimat di Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Ternak dan Pengembangan Peternakan dalam Sistem Usaha Tani Lahan Kering, Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur; Sumba Timur 23 Ags Kempster T, Cuthbertson A, Harrungton G Carcass Evaluation in Livestock Breeding, Production and Marketing. London: Toronto Sydney New York. Kondi M, Kajian ekonomi sistem bagi hasil pada pola gaduhan penggemukkan sapi potong di Kecamatam Fatuleu, Kabupaten Kupang. Laporan penelitian pengabdian pada masyarakat. Fakultas peternakan, Universtas Nusa Cendana, Kupang. Lalus MF Kajian Efisiensi Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kawasan Timor Barat Nusa Tenggara Timur. Buletin Nutrisi Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana-Kupang Vol.3 N0.1, ISSN: Lawa AB Kaji banding beberapa formula pendugaan berat badan pada sapi Bali di Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang. [skripsi]. Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana-Kupang. Lawrie RA Meat Science. Penerjemah; Parakkasi A, Edisi ke-5, Jakarta: Universitas Indonesia.

63 63 Malessy Ch, E Tjoang Soka, JH Schottler Sapi Bali di Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Sapi Bali; Bali 20 Sep-2 Okt Moran, J.B Growth and carcass development of Indonesian beef breeds. Prosiding Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan. Bogor. Ngadiono N Pertumbuhan dan sifat-sifat karkas dan daging sapi sumba ongole, Brahman cross dan Australian comersial cross yang dipelihara secara intensif pada berbagai bobot potong. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ngera J Analisisi hubungan antara kepemilikan dengan alasan penjualan ternak sapi potong di Kabupaten Timor Tengah Utara. [skripsi]. Kupang: Fakulatas Peternakan, Universitas Nusa Cendana. Nulik J dan de Rosari Budidaya ternak sapi sesuai potensi sumberdaya lokal. Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Ternak dan Pengembangan Peternakan dalam Sistem Usaha Tani Lahan Kering, Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur; Sumba Timur 23 Ags Nulik J dan Bamualim Pakan ruminansia besar di Nusa Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Naibonat, Nusa Tenggara Timur: Kerjasama dengan Estern Islands Veterinary Services Project. Oematan J Pertumbuhan kompensasi sapi bali jantan pada beberapa imbangan energi protein ransum dan efeknya terhadap sifat-sifat karkas. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pane I Produktivitas dan breeding sapi Bali. Proceeding Seminar Nasional Sapi Bali; Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin Ujung Pandang. 2-3 Sep Paoe V Pengaruh komposisi pakan terhadap daya ikat air dan susut masak daging sapi Bali jantan yang digemukkan secara feedlot. [skiripsi]. Kupang: Fakultas peternakan, Universitas Nusa Cendana. Preston TR, Willis MB Intensif Beef Production. 2 nd Ed. Oxford-New York Toronto Sydney. Payne WJA and DHL Rollinson Bali Cattle. J Anim Rev. 7:

64 64 Ratnawaty S, Rubiati A, Seran L Kontribusi Pola Tanam Strip Cropping Terhadap Ketersediaan Pakan Ternak Di Kawasan Besikama-Belu. Buletin Nutrisi 3(5): hal Rosnah US Produksi karkas sapi Bali yang digembalakan pada ketinggian tempat berbeda di Timor. Buletin Nutrisi, Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana-Kupang. ISSN: (5): hal Sobang YUL Karakteristik sistem penggemukkan pola tradisional menurut zona agroklimat dan dampaknya terhadap pendapatan petani di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soeparno Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Steel RGD, Torrie HJ Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Statistik Peternakan Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Swatland HJ Structur and Development of Meat Science. New Jersey: Prentince Hall, Inc. Englewood Cliffs. Talib C, K Entwistle, A Siregar, S Buduarti-Turner, D Lindsay Survey of population and exsting breeding programs in Indonesia. Canberra: Strategi To Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. ACIAR Proceedings No Te Pas MFW, Evert ME, Haagsman HP Muscel Development of Livestock Animal, physiology, genetics and meat quality. CABI Publishing, Cambridge- USA. Williams IH A Course Manual in Nutrition and Growth. Melbourne: Australia Vice Choncellors Commite.

65 65 Lampiran 1 Peta Pulau Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Keterangan: = Pulau Timor Bagian Barat (Atambua, Kefamenanu, Soe dan Kupang) asal Sapi Bali penelitian. = = Negara Timor Timur

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Metode

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Metode 35 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret - Mei 2008 di Rumah Potong Hewan (RPH) Aldia-Kupang. Pengumpulan data pengukuran produktivitas karkas dilakukan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS KARKAS SAPI BALI DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR

PRODUKTIVITAS KARKAS SAPI BALI DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR 136 PARTNER, TAHUN 17 NOMOR 2, HALAMAN 136-141 PRODUKTIVITAS KARKAS SAPI BALI DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Andy Yumina Ninu Program Studi Produksi Ternak Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Jl. Adisucipto

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot dan Persentase Komponen Karkas Komponen karkas terdiri dari daging, tulang, dan lemak. Bobot komponen karkas dapat berubah seiring dengan laju pertumbuhan. Definisi pertumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Otot Menjadi Daging Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan Keadaan hewan pada awal penelitian dalam keadaan sehat. Sapi yang dimiliki oleh rumah potong hewan berasal dari feedlot milik sendiri yang sistem pemeriksaan kesehatannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga.

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan yang bernilai gizi tinggi sangat dibutuhkan untuk menghasilkan generasi yang cerdas dan sehat. Untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut pangan hewani sangat memegang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi masyarakat, mempengaruhi meningkatnya kebutuhan akan makanan asal hewan (daging). Faktor lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak serta zat yang lain yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Usaha untuk meningkatkan konsumsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Timor Barat Letak Geografi Iklim

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Timor Barat Letak Geografi Iklim 40 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Timor Barat Letak Geografi Timor Barat termasuk daerah di daratan Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan luas wilayah 47 350 Km terletak antara 12-18 0 Lintang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau (Bubalus bubalis)

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau (Bubalus bubalis) TINJAUAN PUSTAKA Kerbau (Bubalus bubalis) Kerbau termasuk ke dalam spesies Bubalus bubalis yang diduga berevolusi dari Bubalus arnee, kerbau liar dari India. Kerbau domestik sebagai suatu spesies Bubalus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawa dengan kambing Kacang. Kambing ini memiliki komposisi darah kambing

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Pertumbuhan Ternak

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Pertumbuhan Ternak TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Sapi Brahman berasal dari India yang merupakan keturunan dari sapi Zebu (Bos Indicus). Sapi Brahman Cross merupakan sapi hasil persilangan antara sapi Brahman (Bos Indicus)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gizi menuntut dikembangkannya berbagai industri pangan. Salah satu sektor yang turut berperan penting dalam ketersediaan bahan pangan

Lebih terperinci

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL EFFECT OF SEX AND SLAUGHTER WEIGHT ON THE MEAT PRODUCTION OF LOCAL SHEEP Endah Subekti Staf Pengajar Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2011. Pemeliharaan domba dilakukan di kandang percobaan Laboratorium Ternak Ruminansia Kecil sedangkan

Lebih terperinci

PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT

PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KambingKacang Kambing Kacang merupakan salah satu kambing lokal di Indonesia dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh yang relatif kecil,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena dagingnya selain rasanya enak juga merupakan bahan pangan sumber protein yang memiliki kandungan gizi lengkap

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING KUALITAS DAGING Dalam pengujian kualitas daging dipergunakan sampel-sampel : macam otot, penyiapan sampel. Uji fisik obyektif yang meliputi Keempukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging,

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging, I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Ras Pedaging Menurut Indro (2004), ayam ras pedaging merupakan hasil rekayasa genetik dihasilkan dengan cara menyilangkan sanak saudara. Kebanyakan induknya diambil dari Amerika

Lebih terperinci

Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi

Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi Pengaruh dan terhadap Kualitas Daging Sapi Syafrida Rahim 1 Intisari Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi pada tahun 2008. Penelitian bertujuan

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.

BAB III MATERI DAN METODE. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang. 10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2015 sampai September 2015 bertempat di Kandang Kambing Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah, Fakultas Peternakan dan Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan komoditas ternak, khususnya daging. Fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat menguntungkan peternak di samping cara pemeliharaannya yang mudah dan sifatnya

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI SUMBA ONGOLE DENGAN PAKAN YANG MENGANDUNG PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK

PRODUKTIVITAS KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI SUMBA ONGOLE DENGAN PAKAN YANG MENGANDUNG PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PRODUKTIVITAS KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI SUMBA ONGOLE DENGAN PAKAN YANG MENGANDUNG PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK SKRIPSI ARIE WIBOWO NUGROHO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

Gambar 2. (a) Kandang Individu (b) Ternak Domba

Gambar 2. (a) Kandang Individu (b) Ternak Domba HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Tempat yang digunakan untuk penelitian berada di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil dan Laboratorium IPT Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakasanakan di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas Peternakan Universitas

Lebih terperinci

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c (THE QUALITY OF WAGYU BEEF AND BALI CATTLE BEEF DURING THE FROZEN STORAGE AT - 19 O C) Thea Sarassati 1, Kadek Karang Agustina

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KASUS SEPUTAR DAGING Menghadapi Bulan Ramadhan dan Lebaran biasanya

Lebih terperinci

PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH YANG BERBEDA SKRIPSI VINA MUHIBBAH

PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH YANG BERBEDA SKRIPSI VINA MUHIBBAH PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH YANG BERBEDA SKRIPSI VINA MUHIBBAH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Domba Priangan Domba adalah salah satu hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian Zat Makanan Jumlah (%)

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian Zat Makanan Jumlah (%) MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Blok B, Unit Unggas. Pemotongan puyuh dan penelitian persentase karkas dilakukan di Laboratorium Unggas serta uji mutu

Lebih terperinci

tumbuh lebih cepat daripada jaringan otot dan tulang selama fase penggemukan. Oleh karena itu, peningkatan lemak karkas mempengaruhi komposisi

tumbuh lebih cepat daripada jaringan otot dan tulang selama fase penggemukan. Oleh karena itu, peningkatan lemak karkas mempengaruhi komposisi PENDAHULUAN Semakin meningkatnya daya beli masyarakat dan berkembangnya industri perhotelan, restoran dan usaha waralaba merupakan kekuatan yang mendorong meningkatnya permintaan produk peternakan, khususnya

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HEWANI. ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HEWANI. ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP TEKNOLOGI PENGOLAHAN HEWANI DAGING ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP 2011 OUTLINES PENDAHULUAN KUALITAS PENYIMPANAN DAN PRESERVASI PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING OLAHAN DAGING PENDAHULUAN DAGING SEMUA

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar PENGANTAR Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan sektor peternakan dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam program pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah

PENDAHULUAN. Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah menghasilkan karkas dengan bobot yang tinggi (kuantitas), kualitas karkas yang bagus dan daging yang

Lebih terperinci

PERSENTASE KARKAS DAN KOMPONEN NON KARKAS KAMBING KACANG JANTAN AKIBAT PEMBERIAN PAKAN DENGAN KADAR PROTEIN DAN ENERGI YANG BERBEDA SKRIPSI.

PERSENTASE KARKAS DAN KOMPONEN NON KARKAS KAMBING KACANG JANTAN AKIBAT PEMBERIAN PAKAN DENGAN KADAR PROTEIN DAN ENERGI YANG BERBEDA SKRIPSI. PERSENTASE KARKAS DAN KOMPONEN NON KARKAS KAMBING KACANG JANTAN AKIBAT PEMBERIAN PAKAN DENGAN KADAR PROTEIN DAN ENERGI YANG BERBEDA SKRIPSI Oleh : YOGA GANANG HUTAMA FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Sapi Pasundan Sapi Pasundan sebagai sapi lokal Jawa Barat sering disebut sebagai sapi kacang. Istilah sapi kacang merupakan predikat atas karakter kuantitatif yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK

KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK (Carcass Characteristics and Meat Quality of Ongole Crossbreed Cattle Given Feeds Containing Probiotic) ABUBAKAR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Babi Ternak babi memiliki karakteristik yang sama kedudukannya dalam sistematika hewan yaitu: Filum: Chordata, Sub Filum: Vertebrata (bertulang belakang), Marga:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Sapi Bali Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan sapi Bali asli Indonesia yang diduga sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin bahwa

Lebih terperinci

PENGARUH KUALITAS PAKAN TERHADAP KEEMPUKAN DAGING PADA KAMBING KACANG JANTAN. (The Effect of Diet Quality on Meat Tenderness in Kacang Goats)

PENGARUH KUALITAS PAKAN TERHADAP KEEMPUKAN DAGING PADA KAMBING KACANG JANTAN. (The Effect of Diet Quality on Meat Tenderness in Kacang Goats) On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj PENGARUH KUALITAS PAKAN TERHADAP KEEMPUKAN DAGING PADA KAMBING KACANG JANTAN (The Effect of Diet Quality on Meat Tenderness in Kacang Goats) R.

Lebih terperinci

Hubungan antara Umur dengan Berat Karkas Depan (Fore Quarter) Ditinjau dari Potongan Primal Sapi Bali Jantan

Hubungan antara Umur dengan Berat Karkas Depan (Fore Quarter) Ditinjau dari Potongan Primal Sapi Bali Jantan Hubungan antara Umur dengan Berat Karkas Depan (Fore Quarter) Ditinjau dari Potongan Primal Sapi Bali Jantan DEWA AYU SRIWIJAYANTI, I GEDE PUTU, MAS DJOKO RUDYANTO Lab Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan dengan lama pemeliharaan 6 minggu dan masa adaptasi 3 minggu. Penelitian ini dimulai pada akhir bulan Februari

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. berbeda dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Agustus 2016 di kandang domba

BAB III MATERI DAN METODE. berbeda dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Agustus 2016 di kandang domba 12 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian mengenai produksi karkas dan non karkas domba ekor tipis jantan lepas sapih yang digemukkan dengan imbangan protein dan energi pakan berbeda dilaksanakan mulai bulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali merupakan salah satu ternak asli dari Indonesia. Sapi bali adalah bangsa sapi yang dominan dikembangkan di bagian Timur Indonesia dan beberapa provinsi di Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan adalah faktor manajemen lingkungan. Suhu dan kelembaban yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia karena rasanya disukai dan harganya jauh lebih murah di banding harga daging lainnya. Daging

Lebih terperinci

MATERI. Lokasi dan Waktu

MATERI. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan pelet ransum komplit

Lebih terperinci

KUALITAS DAGING SAPI BALI PADA LAHAN PENGGEMUKAN YANG BERBEDA

KUALITAS DAGING SAPI BALI PADA LAHAN PENGGEMUKAN YANG BERBEDA Volume 15, Nomor 2, Hal. 21-24 Juli Desember 2013 ISSN:0852-8349 KUALITAS DAGING SAPI BALI PADA LAHAN PENGGEMUKAN YANG BERBEDA Ulil Amri, Iskandar dan Lambue Manalu Fakultas Peternakan Universitas Jambi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRAK... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR..... i ii iii iv vi vii viii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian... 1 1.2

Lebih terperinci

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Arka IB Kualitas Daging Sapi Bali. Bali September. Prosiding Sapi Bali; Bali. hal A-108.

DAFTAR PUSTAKA. Arka IB Kualitas Daging Sapi Bali. Bali September. Prosiding Sapi Bali; Bali. hal A-108. 61 DAFTAR PUSTAKA Amril AM, Rasjid S, Hasan. 1990. Rumput lapangan dan jerami padi amoniasi urea sebagai sumber hijauan dalam penggemukan sapi Bali jantan dengan makanan penguat. Prosiding Seminar Sapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan protein hewani mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi bagi kesehatan. Salah satu

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karkas domba Lokal Sumatera (Tabel 9) mempunyai koefisien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karkas domba Lokal Sumatera (Tabel 9) mempunyai koefisien HASIL DAN PEMBAHASAN Tumbuh-Kembang Karkas dan Komponennya Karkas domba Lokal Sumatera (Tabel 9) mempunyai koefisien pertumbuhan relatif (b) terhadap bobot tubuh kosong yang nyata lebih tinggi (1,1782)

Lebih terperinci

HUBUNGAN BUTT SHAPE KARKAS SAPI BRAHMAN CROSS TERHADAP PRODUKTIVITAS KARKAS PADA JENIS KELAMIN YANG BERBEDA

HUBUNGAN BUTT SHAPE KARKAS SAPI BRAHMAN CROSS TERHADAP PRODUKTIVITAS KARKAS PADA JENIS KELAMIN YANG BERBEDA HUBUNGAN BUTT SHAPE KARKAS SAPI BRAHMAN CROSS TERHADAP PRODUKTIVITAS KARKAS PADA JENIS KELAMIN YANG BERBEDA SKRIPSI MUHAMMAD NORMAN ISMAIL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1 DAGING Theresia Puspita Titis Sari Kusuma There - 1 Pengertian daging Daging adalah bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi atau domba yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA BOBOT POTONG DENGAN YIELD GRADE DOMBA (Ovis aries) GARUT JANTAN YEARLING

HUBUNGAN ANTARA BOBOT POTONG DENGAN YIELD GRADE DOMBA (Ovis aries) GARUT JANTAN YEARLING HUBUNGAN ANTARA BOBOT POTONG DENGAN YIELD GRADE DOMBA (Ovis aries) GARUT JANTAN YEARLING Agung Gilang Pratama*, Siti Nurachma, dan Andiana Sarwestri Universitas Padjadjaran *Alumni Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian Suhu dan Kelembaban HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Suhu dalam kandang saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,9-30,2 o C. Pagi 26,9 o C, siang 30,2 o C, dan sore 29,5 o C. Kelembaban

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan TINJAUAN PUSTAKA Daging Kerbau Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan mempunyaikebiasaan berendam di sungai dan lumpur. Ternak kerbau merupakan salah satu sarana produksi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ternak Sapi Bali Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memenuhi kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia.

Lebih terperinci

Pertumbuhan dan Komponen Fisik Karkas Domba Ekor Tipis Jantan yang Mendapat Dedak Padi dengan Aras Berbeda

Pertumbuhan dan Komponen Fisik Karkas Domba Ekor Tipis Jantan yang Mendapat Dedak Padi dengan Aras Berbeda Pertumbuhan dan Komponen Fisik Karkas Domba Ekor Tipis Jantan yang Mendapat Dedak Padi dengan Aras Berbeda (Growth and Carcass Physical Components of Thin Tail Rams Fed on Different Levels of Rice Bran)

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KARKAS DAN BAGIAN-BAGIAN KARKAS SAPI PERANAKAN ONGOLE JANTAN DAN BETINA PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

KARAKTERISTIK KARKAS DAN BAGIAN-BAGIAN KARKAS SAPI PERANAKAN ONGOLE JANTAN DAN BETINA PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA KARAKTERISTIK KARKAS DAN BAGIAN-BAGIAN KARKAS SAPI PERANAKAN ONGOLE JANTAN DAN BETINA PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA (Carcass Characteristic and its Components of Male and Female

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Ternak babi bila diklasifikasikan termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Ternak babi bila diklasifikasikan termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Babi Babi adalah binatang yang dipelihara dari dahulu, dibudidayakan, dan diternakkan untuk tujuan tertentu utamanya untuk memenuhi kebutuhan akan daging atau

Lebih terperinci

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tatap muka ke 7 POKOK BAHASAN : PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui program pemberian pakan pada penggemukan sapi dan cara pemberian pakan agar diperoleh tingkat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja untuk tahap pemeliharaaan serta analisis sampel di Laboratorium Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN

KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NURMALASARI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh penggunaan restraining box terhadap ph daging Hasil pengujian nilai ph dari daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box, nilai ph rata-rata pada

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Bali Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli yang dikembangkan di Indonesia. Ternak ini berasal dari keturunan asli banteng liar yang telah

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B, Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

Hubungan Antara Bobot Potong... Fajar Muhamad Habil

Hubungan Antara Bobot Potong... Fajar Muhamad Habil HUBUNGAN ANTARA BOBOT POTONG DENGAN PERSENTASE KARKAS DAN TEBAL LEMAK PUNGGUNG DOMBA (Ovis aries) GARUT JANTAN YEARLING Fajar Muhamad Habil*, Siti Nurachma, dan Andiana Sarwestri Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh RIFA TIKA SARI

SKRIPSI. Oleh RIFA TIKA SARI POTONGAN KOMERSIAL DAN KOMPONEN KARKAS KAMBING KACANG JANTAN UMUR 1-1,5 TAHUN DENGAN PEMELIHARAAN TRADISIONAL (STUDI KASUS DI KECAMATAN WIROSARI, KABUPATEN GROBOGAN) SKRIPSI Oleh RIFA TIKA SARI PROGRAM

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Afkir Itik afkir merupakan ternak betina yang tidak produktif bertelur lagi. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan sebagai bahan

Lebih terperinci

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu 4 o C

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu 4 o C Kualitas Sapi dan yang Disimpan pada Suhu THE QUALITY OF WAGYU BEEF AND BALI CATTLE BEEF DURING THE COLD STORAGE AT 4 O C Mita Andini 1, Ida Bagus Ngurah Swacita 2 1) Mahasiswa Program Profesi Kedokteran

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi 25 IV PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi adalah rumah potong hewan yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun 2009. RPH kota Bekasi merupakan rumah potong dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai oleh masyarakat. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau konsumen lebih banyak memilih

Lebih terperinci

ANALISIS TUMBUH KEMBANG KARKAS SAPI BALI JANTAN DAN BETINA DARI POLA PEMELIHARAAN EKSTENSIF DI SULAWESI TENGGARA. Oleh: Nuraini dan Harapin Hafid 1)

ANALISIS TUMBUH KEMBANG KARKAS SAPI BALI JANTAN DAN BETINA DARI POLA PEMELIHARAAN EKSTENSIF DI SULAWESI TENGGARA. Oleh: Nuraini dan Harapin Hafid 1) ANALISIS TUMBUH KEMBANG KARKAS SAPI BALI JANTAN DAN BETINA DARI POLA PEMELIHARAAN EKSTENSIF DI SULAWESI TENGGARA Oleh: Nuraini dan Harapin Hafid 1) ABSTRACT This study aims to analyze the growth patterns

Lebih terperinci

HUBUNGAN BOBOT KARKAS DENGAN LUAS URAT DAGING MATA RUSUK PADA SAPI BRAHMAN CROSS JANTAN DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) LUBUK BUAYA PADANG SKRIPSI.

HUBUNGAN BOBOT KARKAS DENGAN LUAS URAT DAGING MATA RUSUK PADA SAPI BRAHMAN CROSS JANTAN DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) LUBUK BUAYA PADANG SKRIPSI. HUBUNGAN BOBOT KARKAS DENGAN LUAS URAT DAGING MATA RUSUK PADA SAPI BRAHMAN CROSS JANTAN DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) LUBUK BUAYA PADANG SKRIPSI Oleh : OMAR ABDALAH 06 161 009 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA BERBAGAI TINGKATAN BOBOT BADAN

KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA BERBAGAI TINGKATAN BOBOT BADAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA BERBAGAI TINGKATAN BOBOT BADAN (Physical Characteristics of Ongole Bulls Meat at Various Body Weight) EDY RIANTO, M.F. RAHMAWATI dan A. PURNOMOADI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Bali Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi Filum Class Ordo Famili Genus Subgenus : Chordata : Mammalia : Artiodactyla : Bovidae : Bos : Bibos sondaicus

Lebih terperinci

PROPORSI DAGING, TULANG DAN LEMAK KARKAS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN AKIBAT PEMBERIAN AMPAS TAHU DENGAN ARAS YANG BERBEDA

PROPORSI DAGING, TULANG DAN LEMAK KARKAS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN AKIBAT PEMBERIAN AMPAS TAHU DENGAN ARAS YANG BERBEDA PROPORSI DAGING, TULANG DAN LEMAK KARKAS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN AKIBAT PEMBERIAN AMPAS TAHU DENGAN ARAS YANG BERBEDA (Proportion of Muscle, Bone and Fat of Carcass of Male Thin Tail Sheep Fed Tofu By-product)

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci