KAJIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN YANG DILAKUKAN PEREMPUAN (STUDI DI POLRESTA SURAKARTA) JURNAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN YANG DILAKUKAN PEREMPUAN (STUDI DI POLRESTA SURAKARTA) JURNAL"

Transkripsi

1 KAJIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN YANG DILAKUKAN PEREMPUAN (STUDI DI POLRESTA SURAKARTA) JURNAL Oleh : YOGO NUGROHO NPM: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2016

2 KAJIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN YANG DILAKUKAN PEREMPUAN (STUDI DI POLRESTA SURAKARTA) Yogo Nugroho; Esti Aryani, SH., MH; Bambang Hermoyo, SH., MH Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pelaksanaan penyidikan tindak pidana penipuan di Polresta Surakarta. Guna mengkaji dan menganalisis hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana penipuan yang dilakukan perempuan oleh Polresta Surakarta, dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana tersebut. Dewasa ini banyak sekali terjadi tindak pidana penipuan dengan berbagai macam bentuk dan perkembangannya yang menunjuk pada semakin tingginya tinhkat intelektualitas dari kejahatan penipuan yang semakin kompleks. Perbuatan penipuan itu sekali ada bahkan cenderung meningkat dan berkembang di dalam masyarakat seiring kemajuan ekonomi, padahal perbuatan penipuan tersebut dipandang dari sudut manapun sangat tercela. Jenis penelitian ini yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif. Guna memperoleh data digunakan metode studi pustaka dan penelitian lapangan meliputi wawancara dan observasi. Teknik analisis data adalah kualitatif deskriptif. Hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan pelaksanaan proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polresta Surakarta sudah berjalan sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam KUHAP. Hambatan-hambatan yang dihadapi antara lain: (a) Bukti yang ditemukan penyidik tidak mendukung atau tidak berhubungan dengan tindak pidana penipuan yang disangkakan, (b) Minimnya anggaran penyidikan, (c) Kurangnya sarana dan prasarana dalam mengungkap kasus, (d) Pembuktian barang di tangan pelaku bukan karena kejahatan. Cara mengatasi hambatan-hambatan tersebut adalah: (a) Dalam mencari bukti tindak pidana penyidik perlu melakukan penggeledahan lebih intensif terhadap tersangka. Meminta keterangan kepada saksi tentang kemungkinan adanya bukti. Mengintrogasi tersangka lebih intensif untuk mendapatkan keterangan tentang bukti yang disimpan atau dihilangkan tersangka, (b) Bukti yang ditemukan penyidik tidak mendukung atau tidak berhubungan dengan tindak pidana. Bukti yang mendukung tindak pidana harus disimpan dan dicarikan bukti yang sah dipakai oleh pelaku melakukan tindak pidana. Penyidik harus mendapatkan bukti yang sah adalah bukti yang digunakan pelaku dan diyakini oleh saksi. Bukti yang mendukung tindak pidana diamankan oleh penyidik, (c) Dalam mengatasi kekurangan atau minimnya sarana dan prasarana dalam mengungkap kasus kejahatan. 1

3 A. PENDAHULUAN Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat, dalam arti bahwa tindak pidana akan selalu ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang selalu berganti dari tahun ke tahun. Hukum pidana sebagai alat atau sarana bagi penyelesaian terhadap problematika ini diharapkan mampu memberikan solusi yang tepat. Karena itu, pembangunan hukum dan hukum pidana pada khususnya, perlu lebih ditingkatkan dan diupayakan secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundangundangan baru yang sangat dibutuhkan guna menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya kejahatan dan perkembangan tindak pidana. Berbagai macam tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat salah satunya adalah kejahatan penipuan, bahkan dewasa ini banyak sekali terjadi tindak pidana penipuan dengan berbagai macam bentuk dan perkembangannya yang menunjuk pada semakin tingginya tingkat intelektualitas dari kejahatan penipuan yang semakin kompleks. Perbuatan penipuan itu selalu ada bahkan cenderung meningkat dan berkembang di dalam masyarakat seiring kemajuan ekonomi, padahal perbuatan penipuan tersebut dipandang dari sudut manapun sangat tercela, karena dalam menimbulkan rasa saling tidak percaya dan akibatnya merusak tata kehidupan masyarakat. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri pada Pasal 378 menegaskan bahwa seseorang yang melakukan kejahatan penipuan diancam dengan sanksi pidana. Walaupun demikian masih dirasa kurang efaktif dalam penegakkan terhadap pelanggarnya, karena dalam penegakan hukum pidana tidak hanya cukup dengan diaturnya suatu perbuatan di dalam suatu undangundang, namun dibutuhkan juga aparat hukum sebagai pelaksana atas ketentuan undang-undang serta lembaga yang berwenang untuk menangani suatu kejahatan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan. Kasus-kasus penipuan akhir-akhir ini semakin berkembang dan sering terjadi meskipun 2

4 tindak pidana ini telah diatur di dalam KUHP, tidak hanya kaum laki-laki saja sebagai pelakunya, kaum perempuan ada juga yang menjadi penipu dengan berbagai modus operandi. Biayanya korban lebih mudah tertarik dengan bujuk rayu yang dilakukan oleh perempuan. Penipuan adalah salah satu bentuk kejahatan yang dikelompokkan ke dalam kejahatan terhadap harta benda orang. Ketentuan mengenai kejahatan ini secara umum diatur dalam Pasal 378 sampai dengan Pasal 395 buku II Bab XXV KUHP. Pasal 378 mengatur tindak pidana penipuan dalam arti sempit (oplichting) dan Pasal-pasal lainnya mengatur tindak pidana penipuan dalam arti luas (bedrog) yang mempunyai nama-nama sendiri secara khusus. Tindak pidana penipuan biasa atau penipuan dalam bentuk pokok, sehingga dapat dituntut dijerat hukum berdasarkan Pasal 378 KUHP. Di dalam ketentuan KUHP dipergunakan kata penipuan atau bedrog, karena sesungguhnya di dalam bab tersebut diatur sejumlah perbuatan-perbuatan yang ditujukan terhadap harta benda, dimana oleh pelakunya telah dipergunakan perbuatanperbuatan yang bersifat menipu atau digunakan tipu muslihat. Adapun rumusan Pasal 375 KUHP: Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoqdrigheid) palsu dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya member hutang ataupun menghapuskan piutang diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Adanya unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam rumusan Pasal 378 KUHP diatas, mengharuskan pihak penegak hukum untuk memperhatikan secara baik-baik dalam menangani perkara-perkara penipuan, apabila yang melakukan perempuan sehingga dapat menjamin kepastian hukum. Hal ini dikarenakan tidak semua orang yang menjadi korban penipuan secara mudah dapat meminta perlindungan berdasarkan Pasal 378 KUHP. Untuk menanggulangi permasalahan yang semakin kompleks terhadap kejahatan penipuan tersebut diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang 3

5 sejalan dengan ketentuan yang tertuang dalam KUHP. Hal ini dikarenakan masalah tindak pidana penipuan yang beragam tersebut dipahami melalui sudut pandang yang tertentu, yang meliputi pengertian, ruang lingkup, unsurunsur serta sanksi yang perlu diketahui dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana yang berupa aturan tertulis itu disusun, dibuat dan diundangkan untuk diberlakukan sebagai hukum positif (ius constitutum), namun akan menjadi lebih efektif dan dirasakan dapat mencapai rasa keadilan serta kepastian hukum apabila penerapannya sesuai dengan yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang, mengenai apa yang tertulis dalam kalimatkalimat itu. Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai alasan atau sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat. B. METODE PENELITIAN Sesuai dengan judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis mengambil lokasi penelitian di Polresta Surakarta karena di Polresta Surakarta sudah ada perkara tindak pidana penipuan dengan pelaku perempuan. Jenis penelitian dalam penelitian yuridis normatif adalah suatu pendekatan terhadap hubungan antara faktor-faktor yuridis (hukum positif) dengan factor-faktor normatif (asas-asas hukum) 1. Dalam penelitian hukum ini, penulis melakukan penelitian dan memperoleh informasi yang berkaitan dengan materi penulisan dalam hal dasar pelaksanaan penyidikan tindak pidana penipuan yang dilakukan perempuan studi kasus di Polresta Surakarta. Penelitian yang akan dilakukan penulis bersifat deskriptif kualitatif, yakni penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan 1 Marzuki Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, hal

6 menggambarkan gejala tertentu 2. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin mengenai manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Data adalah suatu keterangan atau fakta dari obyek yang diteliti. Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, merupakan data atau atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang diperoleh melalui bahan-bahan, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan, laporan, bahan-bahan kepustakaan, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Data primer ini diperoleh langsung dari Polresta Surakarta. Guna memperoleh data yang sesuai dan mencakup permasalahan yang diteliti, maka dalam penulisan ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Bahan Primer Sumber data primer yakni penyidik Polresta Surakarta yang menyelidiki dan menyidik perkara tindak pidana penipuan. 2. Bahan Hukum Sekunder Sumber data sekunder adalah data yang dipergunakan sebagai bahan penunjang data primer. Dalam penelitian ini data sekunder yaitu: buku literature, peraturan perundang-undangan, berkas acara pidana dan laporan penelitian. Teknik Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan: 1. Studi Lapangan Data dalam studi lapangan didapat melalui observasi dan wawancara dengan tujuan agar diperoleh data secara mendalam dan dilakukan terhadap mereka yang benar-benar mengetahui, agar data yang didapat lebih akurat sehingga tujuan dari penelitian ini dapat tercapai. 2 Ibid, hal. 35 5

7 2. Studi kepustakaan Dalam studi kepustakaan digunakan metode analisis isi yang artinya adalah teknik untuk menarik kesimpulan dengan mengidentifikasi Pasal-pasal secara obyektif dan sistematis yaitu dengan cara mempelajari buku ilmiah serta peraturan perundang-undangan yang dihubungkan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Penelitian berjalan melalui berbagai tahapan, diantaranya yaitu yang pertama adalah persiapan penelitian. Dalam persiapan penelitian ini dilakukan pemilihan masalah, pemilihan pendekatan, merumuskan masalah, menentukan variable data, kesemuanya disusun dalam bentuk proposal penelitian. Setelah melalui konsultasi dan revisi dari pembimbing, diajukan kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta guna mendapatkan rekomendasi dan ijin di lokasi penelitian. Kedua adalah perijinan penelitian. Perijinan direkomendasikan oleh Rektor Universitas Slamet Riyadi Surakarta, ditujukan kepada instansi yang menjadi obyek dalam penelitian guna mendapatkan ijin riset dalam hal ini adalah Polresta Surakarta. Ketiga yaitu pengumpulan data. Dalam hal ini pengumpulan data harus ditegaskan permasalahan jenis, sifat dan kategori data serta perlakuan terhadap data yang dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan data dan penganalisaan terhadap data dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian. Dalam pengumpulan data ini digunakan metode wawancara dan studi kepustakaan, sehingga baik data primer maupun data sekunder didapatkan. Keempat adalah analisa data. Analisa data didasarkan atas metode penelitian yang digunakan yakni metode deskriptif kualitatif yang spesifikasinya yuridis sosiologis. Agar dapat tercapai hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian maka dibutuhkan ketekunan dari peneliti. Dalam hal ini peneliti menggunakan data yang dapat diperoleh sesuai dengan yang diperoleh dari teknik pengumpulan data. 6

8 Kelima yaitu menarik kesimpulan. Pekerjaan terakhir dari penelitian ini adalah menarik kesimpulan. Dalam teknik penarikan kesimpulan ini penulis menggunakan metode induktif dan deduktif. Artinya menganalisa data-data dari hal-hal yang bersifat umum menuju kepada hal-hal yang bersifat khusus. Demikian juga untuk data-data yang khusus diperlukan dengan cara menganalisa dari hal-hal yang bersifat umum. Peneliti mengambil inti dari hasil yang diperoleh setelah data diolah atau dianalisis kemudian disimpulkan dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang berhubungan dengan materi penelitian untuk memperoleh hasil analisa sesuai dengan tujuan penelitian. Pengelolaan data pada hakekatnya adalah kegiatan untuk mengadakan sistematika terhadap bahan hukum tertulis. Sistematika berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. 3 Penelitian hukum yuridis normatif yang dilakukan penulis menggunakan cara content analysis (analisis isi) terhadap hasil penyidikan tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh seorang perempuan yang ditangani oleh Polresta Surakarta terkait dengan rumusan masalah penelitian. Di samping itu untuk menguatkan hasil analisis, penulis juga menggunakan data tambahan yang diperoleh langsung dari Polresta Surakarta. 3 Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press. Hal

9 C. HASIL PENELITIAN DAN ANALISA Pada bab ini, penulis akan menjabarkan kasus tindak pidana penipuan dengan tersangka perempuan terutama mengenai proses penyidikan sampai penyerahan Berkas Berita Acara Pemeriksaan kepada Pihak Kejaksaan. Kemudian penulis akan mencoba menganalisis penyidikan kasus tersebut. Adapun kasus tersebut adalah sebagai berikut: Bahwa diduga telah terjadi tindak pidana penipuan dan atau penggelapan, yang dilakukan oleh tersangka SRI PUJIATI terhadap saksi korban yang bernama IDA YULIANTI, SE dengan cara tersangka sebagai manager Koperasi UKM mengajak saksi korban untuk menyimpan uang di Koperasi UKM dalam bentuk simpanan berjangka dengan janji-janji bunga tinggi dan sewaktu-waktu uang bisa diambil tetapi realisasinya tidak pernah ada karena saksi korban akan mengambil uang simpanan berjangkanya sampai sekarang tidak bisa dengan alasan uang di koperasi tidak ada, adapun peristiwa tersebut terjadi bulan September 2009 berada di Koperasi UKM Jl. Hasanudin No. 99 Surakarta. Berdasarkan laporan Polisi No. B/LP/990/VII/2010/Jateng/Resta Ska, tanggal 21 Agustus 2010, langsung ditindaklanjuti dengan memanggil korban dalam melakukan penyitaan barang bukti berdasarkan Surat Perintah Penyitaan Nomor: Sp.Sita/223/VIII/2010/Reskrim tanggal 28 Agustus Dalam kasus ini tidak dilakukan penangkapan maupun penahanan, hal ini disebabkan tersangka bersifat kooperatif selama proses penyidikan. Selain keterangan dari para saksi ataupun korban, juga diperoleh keterangan dari tersangka sendiri yaitu SRI PUJIATI, Surakarta/ 08 September 1965, Islam, Indonesia, Swasta (Manager Koperasi UKM), Jl. Kalingga II No. 21 Banyuagung, Rt 01 Rw 02, Kadipiro Banjarsari Surakarta. Dalam kasus ini pelaku tindak pidana penipuan adalah perempuan sehingga penanganan perkara dalam penyidikan dilakukan di ruang pemeriksaan khusus di bawah unit PPA, petugas yang menanganinya pun polisi perempuan. Karena dalam menangani tersangka perempuan dan anakanak tidaklah sama, semuanya memerlukan kiat khusus sehingga 8

10 pemeriksaan akan berjalan dengan lancar dan akhirnya pelaku dapat dijerat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hambatan adalah salah satu dampak dari adanya kekurangsempurnaan. Keadaan masyarakat selalu berubah dan berkembang serta sifat hukum tidaklah mengatur segala sesuatu dengan sempurna karena manusia mempunyai kemampuan yang terbatas. Berdasarkan hasil penelitian ini, kendala-kendala yang dihadapi pihak kepolisian dalam menjalankan proses penyidikan tindak pidana penipuan dengan pelaku perempuan adalah: 1. Bukti yang ditemukan penyidik tidak mendukung atau tidak berhubungan dengan tindak pidana penipuan yang disangkakan, sehingga kasus tersebut di P-19 oleh pihak kejaksaan. Pihak kejaksaan menyatakan bahwa belum lengkap. Perlu dicari bukti atau keterangan-keterangan lain yang dapat menjerat pelaku. Selain itu dalam pengembalian berkas perkara dari kejaksaan, maka proses melengkapi berkas tersebut diberi waktu hanya 14 hari setelah menerima pengembalian berkas tersebut. Apabila dalam waktu 14 belum dilimpahkan kejaksaan, maka pihak kejaksaan akan mengirimkan surat susulan kepada penyidik dengan menggunakan formulir model P-20 yang isinya mengingatkan/ meminta perhatian agar penyidik secepatnya menyelesaikan penyidikan tambahan dan segera menyerahkan kembali berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. 2. Minimnya anggaran penyidikan, sementara untuk kasus penipuan masuk dalam klasifikasi sulit yang memerlukan cukup besar anggarannya. 3. Kurangnya atau minimnya sarana dan prasarana dalam mengungkap kasus tersebut. Sarana dan prasarana merupakan suatu fasilitas pendukung kelancaran kinerja anggota reserse dalam menjalankan tugasnya dibidang penyelidikan, penyidikan dan penindakan. Kelengkapan tersebut masih dirasa sangat minim bila dibandingkan dengan ancaman, resiko dan banyaknya tindak pidana/ kejahatan yang terjadi, sehingga hal ini menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana penipuan. 4. Pembuktian barang ditangan pelaku bukan karena kejahatan 9

11 Pembuktian barang di tangan pelaku bukan karena kejahatan biasanya pelaku dalam mendapatkan barangnya dengan cara meminjam dan dipinjamkan oleh korban, namun saat mengembalikan pelaku tidak datang dan tidak mengembalikan barangnya. Guna mengatasi kendala-kendala yang dihadapi pihak kepolisian dalam menjalankan proses penyidikan tindak pidana penipuan dengan pelaku perempuan yang perlu dilakukan oleh penyidik adalah: 1. Dalam mencari bukti tindak pidana penyidik perlu melakukan: a. Dilakukan penggeledahan lebih intensif terhadap tersangka b. Meminta keterangan kepada saksi tentang kemungkinan adanya bukti lain c. Mengintrogasi tersangka lebih intensif untuk mendapatkan keterangan tentang bukti yang disimpan atau disembunyikan tersangka 2. Bukti yang ditemukan penyidik tidak mendukung atau tidak berhubungan dengan tindak pidana a. Bukti yang tidak mendukung tindak pidana harus disimpan dan dicarikan bukti yang sah dipakai oleh pelaku melakukan tindak pidana b. Penyidik harus mendapatkan bukti yang sah adalah bukti yang digunakan pelaku dan diyakini oleh saksi c. Bukti yang mendukung tindak pidana diamankan oleh penyidik 3. Dalam mengatasi kekurangan atau minimnya sarana dan prasarana dalam mengungkap kasus kejahatan. Dengan demikian perlu dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai yang dapat mempercepat dan memperlancar dalam proses penyidikan maupun pemeriksaan Berdasar uraian dan analisis pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polresta Surakarta sudah berjalan dengan prosedur yang ditentukan dalam KUHP. Setiap tindakan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik selalu berdasarkan hukum atau aturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam 10

12 kasus Sri Pujiati tidak dilakukan penangkapan dan penahanan, hal ini dikarenakan pelaku atau tersangka selama penyidikan menunjukkan sifat kooperatif, sehingga memperlancar dalam proses hukum. Pihak penyidik berhasil melakukan penyitaan terhadap barang-barang yang diduga merupakan hasil kejahatan. Perbuatan tersangka dianggap memenuhi unsur-unsur delik yang tercantum dalam Pasal 378 dan 372 KUHP. Namun dalam penyerahan berkas acara pidana ke Kejaksanaan dikenai P- 19, dianggap penyidikan kurang lengkap, perlu bukti-bukti baru yang dapat membuktikan sangkaan tindakan penipuan dan atau penggelapan terhadap Sri Pujiati. Karena dalam kasus ini tersangkanya adalah perempuan maka selama proses penyidikan dilakukan oleh polisi wanita, pemeriksaannyapun dilakukan di Ruang Pemeriksaan Khusus dibawah unit PPA. 2. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana penipuan dengan pelaku wanita yang ditangani oleh Polresta Surakarta antara lain: (a) bukti yang ditemukan penyidik tidak mendukung atau tidak berhubungan dengan tindak pidana penipuan yang disangkakan, sehingga kasus tersebut di P-19 oleh pihak kejaksanaan, (b) minimnya anggaran penyidikan, sementara untuk kasus penipuan masuk dalam klasifikasi sulit yang memerlukan cukup besar anggarannya, (c) kurangnya atau minimnya sarana dan prasarana dalam mengungkap kasus, (d) pembuktian barang ditangan pelaku bukan karena kejahatan. Cara mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi aparat dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana penipuan dengan pelaku perempuan yang ditangani oleh Polresta Surakarta, antara lain: (a) dalam mencari bukti tindak pidana penyidik perlu melakukan penggeledahan lebih intensif terhadap tersangka. Meminta keterangan kepada saksi tentang kemungkinan adanya bukti. Mengintrogasi tersangka lebih intensif untuk mendapatkan keterangan tentang bukti yang disimpan atau dihilangkan tersangka, (b) bukti yang ditemukan penyidik tiak mendukung atau tidak berhubungan dengan tindak pidana. Bukti yang tidak mendukung tindak 11

13 pidana harus disimpan dan dicarikan bukti yang sah dipakai oleh pelaku melakukan tindak pidana. Penyidik harus mendapatkan bukti yang sah adalah bukti yang digunakan pelaku dan diyakini oleh saksi. Bukti yang mendukung tindak pidana diamankan oleh penyidik, (c) dalam mengatasi kekurangan atau minimnya sarana dan prasarana dalam mengungkap kasus kejahatan. Dengan demikian perlu dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai yang dapat mempercepat dan memperlancar dalam proses penyidikan maupun pemeriksaan. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polresta Surakarta khususnya dalam kasus tindak pidana penipuan atau penggelapan dengan tersangka perempuan supaya dilakukan seteliti mungkin dan dilakukan kerjasama antara penyidik satu dengan yang lain sehingga dalam mengungkap kasus tersebut dapat segera selesai. 2. Di dalam mengantisipasi hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan penyidikan maka perlu dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan peningkatan kemempuan penyidik. 12

14 DAFTAR PUSTAKA Moh. Nazir Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara. Marzuki, Peter Mahmud Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. PAF. Lamintang dan C. Djasman Samosir Delik-delik Khusus. Bandung: Tarsito. Soerjono Soekanto Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Tirtaamidjaja, M.H Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta: Fasco. Yahya Harahap Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Jakarta: Sekretariat RI Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 13

PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN JUAL BELI TANAH YANG DITANGANI OLEH POLRESTA SURAKARTA

PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN JUAL BELI TANAH YANG DITANGANI OLEH POLRESTA SURAKARTA PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN JUAL BELI TANAH YANG DITANGANI OLEH POLRESTA SURAKARTA JURNAL PENELITIAN Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Umumnya tindak pidana atau pelanggaran hukum pidana didasari adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang mudah, jalan pintas serta mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP

Lebih terperinci

SKRIPSI PELAKSANAAN TEKNIK PEMBELIAN TERSELUBUNG OLEH PENYELIDIK DALAM TINDAK PIDANA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI KOTA PADANG

SKRIPSI PELAKSANAAN TEKNIK PEMBELIAN TERSELUBUNG OLEH PENYELIDIK DALAM TINDAK PIDANA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI KOTA PADANG SKRIPSI PELAKSANAAN TEKNIK PEMBELIAN TERSELUBUNG OLEH PENYELIDIK DALAM TINDAK PIDANA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI KOTA PADANG Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Meraih Gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA) PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA) NASKAH HASIL PENELITIAN Disusun Untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kongkrit. Adanya peradilan tersebut akan terjadi proses-proses hukum

BAB I PENDAHULUAN. kongkrit. Adanya peradilan tersebut akan terjadi proses-proses hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, peradilan mutlak diperlukan sebab dengan peradilan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strafbeerfeit dapat diartikan dengan perkataan delik, sebagaimana yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perubahan dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikenal sebagai krisis

PENDAHULUAN. perubahan dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikenal sebagai krisis A. Latar Belakang PENDAHULUAN Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang. Namun belakangan

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peraturan-peraturan hukum yang telah ada di masyarakat wajib

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peraturan-peraturan hukum yang telah ada di masyarakat wajib BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peraturan-peraturan hukum yang telah ada di masyarakat wajib untuk ditaati karena berpengaruh pada keseimbangan dalam tiap-tiap hubungan antar anggota masyarakat. Kurangnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap konsumen atau pembeli. menggunakan berbagai cara dan salah satu caranya adalah berbuat curang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap konsumen atau pembeli. menggunakan berbagai cara dan salah satu caranya adalah berbuat curang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan diarahkan untuk mendukung tumbuhnya dunia usaha diharapkan mampu menghasilkan beraneka barang dan jasa yang pada akhirnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan di setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

Kata kunci : Penyidikan Tindak Pidana Persetubuhan dan Anak di Bawah Umur

Kata kunci : Penyidikan Tindak Pidana Persetubuhan dan Anak di Bawah Umur PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (Studi Kasus di Polres Boyolali) Oleh : IBNU YUDHAGUSMARA NPM. 12102110 Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABSTRAK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan suatu kumpulan dari masyarakat-masyarakat yang beraneka ragam corak budaya, serta strata sosialnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 28, Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akibat kemajuan teknologi baik dibidang informasi, politik, sosial, budaya dan komunikasi sangat berpengaruh terhadap tujuan kuantitas dan kualitas tindak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum merupakan suatu norma/kaidah yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun masyarakat. Dengan adanya hukum

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia

Lebih terperinci

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 I. PENDAHULUAN Sebagai akibat aktivitas perekonomian dunia, akhir-akhir ini pemanfaatan hutan menunjukkan kecenderungan

Lebih terperinci

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA Yusup Khairun Nisa 1 Johny Krisnan 2 Abstrak Pembuktian merupakan hal terpenting dalam proses peradilan, proses ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Banyak orang, terutama orang awam tidak paham apa arti Penipuan yang sesungguhnya, yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, khususnya Pasal 378, orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari segi hukum ada perilaku yang sesuai dengan norma dan ada pula perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik Polri dalam menjalankan tugasnya untuk membuat terang setiap tindak pidana yang terjadi di masyarakat adalah peran yang sangat penting terutama dalam

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT PASAL 365 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh : Fentry Tendean 2 ABSTRAK Pandangan ajaran melawan hukum yang metarial, suatu perbuatan selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadirnya hukum pidana dalam masyarakat digunakan sebagai sarana masyarakat membasmi kejahatan. Oleh karena itu, pengaturan hukum pidana berkisar pada perbuatan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS POLRESTA SURAKARTA) SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di segala bidang, baik pembangunan fisik maupun pembangunan mental spiritual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM ALAT BUKTI DAN BARANG BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

KAJIAN HUKUM ALAT BUKTI DAN BARANG BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN KAJIAN HUKUM ALAT BUKTI DAN BARANG BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (Studi Kasus di Polrestabes Semarang) Skripsi Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Undang Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Undang Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Undang Undang Dasar 1945. Membahas hukum tidak akan lepas dari manusia, karena hukum berperan sangat penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

contoh mini legal memorandum

contoh mini legal memorandum contoh mini legal memorandum Kasus PENIPUAN BERKEDOK ARISAN MOTOR KEMBALI MARAK SEMARANG, KOMPAS - Empat puluh ribu nasabah CV Sukma tertipu dengan manajemen arisan perusahaan tersebut. Hingga kini mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu keberhasilan dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam peradilan pidana. Salah satu pembuka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar

Lebih terperinci

Oleh Prihatin Effendi ABSTRAK. a. PENDAHULUAN

Oleh Prihatin Effendi ABSTRAK. a. PENDAHULUAN ANALISIS DAN IMPLIKASI YURIDIS TINDAK PIDANA MENYEBARKAN BERITA BOHONG DAN MENYESATKAN BERDASARKAN PASAL 28 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya mengharuskan manusia untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban/saksi dapat berupa pelaku tindak pidana yaitu: seorang Korban/saksi

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DOMESTIK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DOMESTIK 1 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DOMESTIK ABSTRAKSI SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum

Lebih terperinci

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo) PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA (Studi Kasus di Polres Sukoharjo) SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan pembangunan merupakan dua variabel yang selalu sering mempengaruhi antara satu sama lain. Hukum berfungsi sebagai stabilisator yang mempunyai peranan menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Penegakan Hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang tidak dapat terelakkan akibat meningkatnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang cukup tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Masalah tindak pidanan ini

BAB I PENDAHULUAN. dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Masalah tindak pidanan ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi mungkin tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan dinamika sosial yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang oleh karena itu segala

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 1. Pelaksanaan penyidikan terhadap anak tersangka tindak pidana Narkotika di

BAB IV PENUTUP. 1. Pelaksanaan penyidikan terhadap anak tersangka tindak pidana Narkotika di BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian dan pembahasan tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan penyidikan terhadap anak tersangka tindak pidana Narkotika di Polresta

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci