Laporan Akhir Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) KATA PENGANTAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Laporan Akhir Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) KATA PENGANTAR"

Transkripsi

1 1 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena atas rahmat, hidayah dan perkenan-nya-lah buku Laporan Akhir Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) ini dapat diselesaikan dengan baik. Tak lupa kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Banyuwangi atas kepercayaaan yang telah diberikan kepada kami serta kepada semua fihak yang telah mendukung terselesaikannya penyusunan laporan hasil penelitian ini. Kami juga memohon maaf apabila masih banyak terdapat kekurang-sempurnaan dan kekhilafan dalam penyusunan laporan ini Semoga buku ini dapat menjadi masukan dan inspirasi bagi perbaikan dan pengembangan penyelenggaraan pembangunan di Kabupaten Banyuwangi pada masa-masa yang akan datang. Banyuwangi, 2014 Tim Penyusun

2 2 DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Bab 1 Pendahuluan 1.1. Pendahuluan Maksud dan Tujuan Sasaran Referensi Hukum... 4 Bab 2 Pendekatan Teoritis 2.1. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Bab 3 Metodologi 3.1. Pendekatan Metode Analisis Kebutuhan Dan Sumber Data Bab 4 Gambaran Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1. Geografis, Administratif, dan Kondisi Fisik Demografi Sosial dan Budaya Sumber Daya Manusia Pengembangan Infrastruktur Perekonomian Daerah Potensi Daerah Analisis Perkembangan Sektoral Bab 5 Analisa Kelayakan Lahan Pengganti 5.1. Pembangunan Jalan Lingkar Selatan Kewajiban Lahan Pengganti Kelayakan Lokasi Analisis Benefit Cost Aspek Hukum Pembebasan Tanah (Calon Lahan Pengganti) Dampak Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Bab 6 Kesimpulan dan Rekomendasi 6.1. Kesimpulan Rekomendasi Daftar Pustaka

3 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan Pertumbuhan dan perkembangan kota atau wilayah berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan penduduk, disamping itu jumlah penduduk yang senantiasa bertambah juga memiliki kontribusi yang besar bagi peningkatan kebutuhan penduduk. Dengan pertambahan kebutuhan penduduk maka akan bertambah pula permintaan perjalanan berupa peningkatan aktivitas pergerakan orang dan barang dalam suatu wilayah atau kota, yang mana aktivitas pergerakan ini mutlak memerlukan sarana dan prasarana transportasi yang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas. Pembangunan infrastruktur transportasi yang dapat berupa prasarana dan sarana jalan raya, prasarana dan sarana jaringan kereta api, angkutan sungai, laut dan udara, semuanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan segala aktivitas pergerakan orang dan barang yang menyertainya. Akan tetapi pada kenyataannya laju mobilitas yang tinggi tidak selalu dapat diimbangi oleh laju penyediaan jaringan prasarana dan sarana transportasi sehingga berdampak pada menurunnya aksesibilitas dalam mencapai suatu titik tujuan perjalanan, suatu tempat, lokasi kegiatan maupun pusat-pusat pelayanan. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan yang digunakan untuk mencapai suatu lahan atau lokasi kegiatan dengan menggunakan sistem jaringan transportasi (Black, 1981). Tingkat aksesibilitas dapat diukur dari jarak dan waktu. Jika suatu tempat memiliki jarak yang berdekatan dikatakan memiliki aksesibilitas yang baik. Faktor waktu berkarakter lebih dominan dibandingkan jarak, sebab jika waktu tempuh yang diperlukan lebih pendek untuk menuju suatu tempat akan dinyatakan memiliki aksesibilitas yang lebih baik meskipun memiliki jarak yang relatif jauh, sebaliknya aksesibilitas dikatakan kurang baik jika waktu tempuh yang diperlukan lebih lama walaupun jarak yang ditempuh lebih dekat. Tinggi rendahnya aksesibilitas ditentukan oleh sistem jaringan

4 2 transportasi yang menghubungkan antar tempat atau lokasi. Salah satu jenis jaringan transportasi yang paling mendasar adalah jaringan transportasi darat yang dalam hal ini adalah prasarana jalan. Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang berguna untuk mendukung kelancaran lalu lintas atau pergerakan kendaraan yang berupa arus menerus maupun belok (Standar Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, 1988). Jalan memiliki berbagai kelebihan seperti biaya investasi yang relatif rendah, bersifat fleksibel memenuhi kebutuhan dan perkembangan kota yang mana pembangunannya dapat dilakukan secara bertahap, mempunyai karakteristik pelayanan door to door serviceserta menjadi penghubung antar sistem perangkutan lain seperti kereta api, angkutan sungai, laut, dan udara. Oleh karena itu tepat jika prasarana jalan dianggap sebagai tulang punggung sistem jaringan transportasi. Banyak sekali manfaat ekonomi, politik, sosial dan manfaat teknis lain akan diperoleh dengan adanya jaringan jalan. Dalam lingkup spasial, prasarana jalan diantaranya berperan besar dalam mendorong perkembangan wilayah, meningkatkan pendapatan daerah, menjadi urat nadi perekonomian sebagai jalur mobilitas manusia, distribusi barang dan jasa, membuka isolasi daerah-daerah terpencil, mempercepat pemerataan pembangunan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Disamping itu secara teknis jaringan jalan yang baik terutama berfungsi dalam mengurangi kemacetan, meningkatkan aksesibilitas, meningkatkan efisiensi waktu dan biaya transportasi masyarakat dan sebagainya. Semua itu menuntut akan suatu sistem jaringan jalan yang optimal dalam pelayanan, karena itu kinerja jalan sebagai parameter pelayanan jalan harus senantiasa dipertahankan pada level yang baik. Berbagai usaha dilakukan pemerintah dalam rangka mempertahankan kinerja jalan agar tetap dapat melayani kebutuhan transportasi penduduk yang kian hari kian meningkat. Usaha tersebut bisa berbentuk perbaikan sistem jaringan jalan maupun perbaikan pada manajemen lalu lintas dan sistem perangkutan dan pergerakan (Ohta, 1998 dalam Riyanto, 2007).

5 3 Salah satu upaya mendorong pengembangan perekonomian dan pusatpusat pertumbuhan baru, Pemerintah Pusat menginisiasi pembangunan Jalan Lingkar Selatan (JLS). Direncanakan JLS akan melintasi delapan kabupaten, yakni Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi. Provinsi Jawa Timur memiliki potensi sumber daya mineral yang luar biasa di kawasan selatan, tetapi tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena ketiadaan akses. Misalnya, kandungan emas di Jember dan Banyuwangi, pasir besi di Lumajang, dan marmer di Trenggalek. Dengan adanya JLS, perekonomian di selatan Jatim akan tumbuh dan akan membuka lapangan pekerjaan baru. Di tahun 2012, pertumbuhan ekonomi Jatim mencapai 7,27 persen dan diperkirakan dapat meningkat jika JLS rampung dibangun. Ruas jalan yang telah selesai dibangun terdapat di Pacitan, Malang, dan Tulungagung. Dengan demikian, pembangunan ruas JLS yang nantinya rampung pada 2014 mencapai 251,58 km dan telah menghabiskan anggaran Rp 2,3 triliun. Selain jalan, terdapat juga jembatan sepanjang 1,6 km yang dibangun dengan anggaran sebesar Rp 291 miliar. Bagi Kabupaten Banyuwangi pembangunan ini akan meningkatkan akses dari Tenkinol, Malangsari, Kendenglembu dan menyatu dengan jalur eksisting di Glenmore. Bagian penting dalam pelaksanaan pembangunan jalan lingkar selatan tersebutadalah tersedianya lahan yang telah dibebaskan. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah membebaskan sejumlah lahan yang menjadi jalur jalan lingkar selatan. Pembebasan lahan yang dimiliki oleh perorangan dilakukan dengan ganti rugi tanah yang dibebaskan. Sedangkan untuk tanah yang masuk kedalam kawasan hutan proses ganti ruginya mengacu pada berbagai ketentuan yang lebih spesifik. Tanah pengganti ini dalam prosesnya dibutuhkan telaahan berkait kesesuaian secara teknis dan administratif. Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banyuwangi melaksanakan kegiatan Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS).

6 Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dari Penyusunan Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi adalah untuk untuk mengetahui tingkat kebutuhan dan kelayakan lahan pengganti jalan lingkar selatan, mengetahui perkiraan waktu yang tepat serta strategi yang sesuai dengan kemampuan pemerintah daerah dalam pemenuhan laha pengganti di Kabupaten Banyuwangi ini 1.3. Sasaran Sasaran yang ingin dicapai dari pekerjaan Penyusunan Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) adalah : 1. Mengidentifikasi kondisi eksisting Jalan Lingkar Selatan, fenomena keberadaan dan tingkat perkembangan pelaksanaannya. 2. Menginventarisir dan menganalisis kebutuhan lahan pengganti yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten Banyuwangi 3. Menganalisis kelayakan calon-calon lahan pengganti yang memenuhi persayaratan teknis, administratif dan pembiayaan sesuai ketentuan yang berlaku. 4. Memberikan simpulan mengenai tingkat kebutuhan dan kelayakan lahan pengganti Jalur Lingkar Selatan serta rekomendasi mengenai kelanjutan dan strategi pelaksanaan penggantian lahan di Kabupaten Banyuwangi Referensi Hukum 1. Undang Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA); 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistem; 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

7 5 5. Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah; 6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 8. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 9. Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah; 10. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004, tentang Jalan; 11. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional; 12. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; 13. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 14. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 15. Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan; 16. Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan; 17. Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah; 18. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 19. Peraturan Pemerintah No.34 tahun 2006 tentang Jalan; 20. Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional; 21. Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan;

8 6 22. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 23. Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; 24. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; 25. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; 26. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan 27. Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; 28. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun ; 29. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993; 30. Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 31. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1989 tentang Pengelolaan Kawasan Budidaya; 32. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; 33. Keputusan Presiden Republik Indonesia No.62 Tahun 2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional; 34. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.38/Menhut-II/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan 35. Peraturan Dalam Negeri No. 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah;

9 7 36. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah; 37. Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi Tahun ; 38. Keputusan Menteri Kimpraswil No. 27 Tahun 2002 tentang Penataan Pedoman Bidang Penataan Ruang; dan 39. Peraturan perundang-undangan terkait lainnya yang berlaku

10 8 BAB 2 PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Tanah merupakan modal dasar pembangunan. Hampir tak ada kegiatan pembangunan (sektoral) yang tidak memerlukan tanah. Oleh karena itu tanah memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan baik untuk kepentingan umum maupun swasta selalu membutuhkan tanah sebagai wadah pembangunan. Saat ini, pembangunan terus meningkat sedangkan persediaan tanah tidak berubah. Keadaaan ini berpotensi menimbulkan konflik karena kepentingan umum dan kepentingan perorangan saling berbenturan. Perlu diketahui bahwa pengaturan terkait pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, Pemerintah telah menerbitkan peraturan secara berturut-turut adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Peraturan perundang-undangan diatas selama ini dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Bagi pemerintah yang memerlukan tanah, peraturan perundang-undangan yang telah diterbitkan tersebut dipandang masih menghambat atau kurang untuk memenuhi kelancaran pelaksanaan pembangunan sesuai rencana. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang ditetapkan

11 9 pada bulan Januari 2012, merupakan undang-undang yang ditunggutunggu. Alasan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 karena pelaksanaan pengadaan tanah pada saat ini masih lambat dalam mendukung pembangunan infrastruktur. Pelaksanaan pengadaan tanah selama ini masih dilakukan secara ad hoc dan menimbulkan banyak permasalahan serta belum menjamin kepastian waktu dalam pembebasan tanahnya. Sebagai peraturan pelaksana dari Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang mengatur teknis pembebasan lahan, maka pada tanggal 7 Agustus 2012 yang lalu, Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Namun, dalam perjalanan waktu penetapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini tidak lepas dari pro dan kontra dari beberapa elemen masyarakat. Sudah terdapat upaya judicial review dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah Rakyat (Karam Tanah) yang beranggotakan Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Walhi, Aliansi Petani Indonesia (API), Sawit Watch, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KruHA), Perserikatan Solidaritas Perempuan, Yayasan Pusaka, Elsam, Indonesia for Global Justice, dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI), yang menilai Undang-Undang tersebut tidak berpihak kepada masyarakat. Karam Tanah menilai bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 memuat kewenangan pemerintah dengan dalih membangun fasilitas umum, yang sesungguhnya tidak digunakan demi kepentingan umum, tetapi lebih berorientasi pada kepentingan bisnis seperti membangun jalan tol dan pelabuhan. Selain itu, terdapat beberapa kritik terkait klausula yang dinilai kurang tepat serta beberapa ketentuan yang memerlukan tambahan penjelasan dan beberapa materi yang belum tercakup dalam peraturan ini.

12 Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Review terhadap beberapa negara menunjukkan tidak ada negara yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil tanah untuk kepentingan pembangunan. Kecepatan pertumbuhan ekonomi di the new emerging market tidak terlepas dari proses pengambilan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan wilayah perkotaan. Negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, dan Singapura melakukan pembebasan tanah secara besarbesaran untuk kepentingan transportasi, perkantoran, fasilitas energi dan infrastruktur lainnya. Beberapa literatur juga menujukkan trend penurunan pengambilan tanah oleh pemerintah (Azuela, 2007). Pengambilan tanah oleh pemerintah bukan saja makin menurun tapi juga semakin sulit untuk dilakukan. Menurut Azuela, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan makin sulitnya pengambilan tanah oleh pemerintah yaitu: (1) meluasnya ketidakpuasan masyarakat terhadap praktik-praktik pengambilan tanah oleh pemerintah, (2) meningkatnya independensi lembaga peradilan, (3) menguatnya tekanan dari pemberitaan media massa, dan (4) dampak implementasi perjanjian internasional. Berdasarkan review atas implementasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum dari beberapa Negara, terdapat beberapa permasalahan yang dapat dijadikan pelajaran bagi proses pengaturan pengadaan tanah bagi pembangunan untukkepentingan umum di Indonesia. Dari analisa terhadap masalah pengadaan tanah untuk pembangunan di berbagai negara, dapat disimpulkan: Pertama, hampir di seluruh negara pengadaan tanah untuk pembangunan menjadi semakin sulit dilakukan. Ketidakpuasan masyarakat, makin independennya lembaga peradilan, tekanan pers, dan perjanjian internasional menjadi faktor-faktor sulitnya pembebasan tanah. Untuk Indonesia, diperkirakan trend ini juga akan terjadi. Kedua, tidak ada praktik pengadaan tanah untuk pembangunan yang benar-benar sempurna. Hampir di semua negara yang menjadi sampel mengalami permasalahan. Hanya saja, tingkat kerumitan permasalahan dan

13 11 dampaknya pada penundaan proyek berbeda-beda. Untuk Indonesia, saat ini adalah momentum untuk perbaikan terhadap kebijakan, prosedur, dan praktik-praktik pengadaan tanah untuk pembangunan. Ketiga, pelaksanaan pembebasan tanah dapat dipermudah dengan dua pendekatan. a. Pendekatan dengan meningkatkan keberpihakan dan penghormatan terhadap pemilik hak atas tanah Pendekatan ini dilakukan dengan mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih komprehensif. Pendekatan yang mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih komprehensif memiliki konsekuensi pada ketersediaan anggaran. Pemberian kompensasi secara komprehensif membutuhkan dana yang besar. Dengan demikian, penetapan kebijakan terhadap komponen apa saja yang akan diperhitungkan dan bagaimana metode perhitungannya harus memperhatikan kemampuan keuangan Negara. b. Pendekatan dengan memperkuat kewenangan negara untuk mengambil tanah pada harga yang ditetapkan walaupun tanpa kerelaan pemilik tanah. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan kewenangan yang diberikan Undang-Undang. Pendekatan yang mengedepankan kewenangan pencabutan hak membutuhkan ketegasan sikap dan wibawa pemerintah dan aparatnya. Penggunaan kewenangan pencabutan hanya efektif dilaksanakan oleh pemerintah dan aparatnya yang dikenal memiliki integritas dan tidak memiliki vested interest dalam setiap tindakannya. Rendahnya integritas dan buruknya reputasi pemerintah dan aparatnya di mata masyarakat akan menyebabkan resistensi dari masyarakat. Mengacu pada hasil review pengadaan tanah oleh Pemerintah pada beberapa negara serta untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil. Untuk mengakomodir hal tersebut, maka pada tahun 2012, Pemerintah bersama DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 2

14 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 53 dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Agustus lalu telah menandatangani Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perpres ini mengatur tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pengaturan tentang pengadaan tanah didasarkan pada Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sesuai Perpres tersebut, pengadaan tanah dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah yang bersifat ad-hoc. Prosesnya sering terhambat oleh diskontinuitas anggaran. Selain itu, masalah lain yang sering muncul adalah definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang masih banyak diperdebatkan. Dan yang lebih penting lagi, pengadaan tanah juga bersinggungan dengan isu hukum mendasar seperti hak azasi manusia, prinsip keadilan, prinsip keseimbangan antara kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 merupakan sebuah langkah perbaikan, karena peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Dengan diterbitkannya undang-undang tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pengadaan tanah. Beberapa permasalahan mendasar dalam proses pengadaan tanah selama ini antara lain: pertama, belum tersedianya aturan dasar, prinsip, prosedur dan mekanisme pengadaan tanah; kedua, belum ditetapkannya kelembagaan pengadaan tanah; ketiga, tidak adanya peraturan khusus pembiayaan pengadaan tanah; dan keempat, belum jelasnya kriteria

15 13 kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum. Keempat permasalahan tersebut menjadi salah satu penghambat untuk mencapai tujuan pembangunan untuk kepentingan umum Landasan Penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Jika ditelaah secara seksama, pada bagian konsiderans Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 termaktub politik perundang-undangan (legalpolitics) sebagai berikut: a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan; b. bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil; c. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk undang-undang tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dasar filosofi yang harus menjadi basis Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 sebagaimana pula halnya dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah Pancasila khususnya sila kedua, keempat serta kelima sebagaimana telah termaktub pada konsiderans Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 huruf a dan b diatas. Seharusnya dengan pencantuman landasan filosofi tersebut harus mempertegas bahwa kegiatan pembangunan yang dimaksud sesungguhnya diabdikan untuk kepentingan siapa, dilakukan dengan cara yang bagaimana, serta bagaimana langkah mencapai cara dimaksud.

16 14 Sila-sila Pancasila sebagaimana dinyatakan oleh Notonagoro (1984) merupakan pengisi dan pengarah serta menjiwai setiap norma-norma yang hendak dirumuskan. Tulisan Notonagoro yang sama menyatakan bahwa "Segala peraturan hukum yang ada dalam negara Indonesia mulai saat berdirinya merupakan suatu tertib hukum. Dalam setiap tertib hukum diadakan pembagian susunan yang hierarkis. Setiap peraturan perundangan yang diundangkan seharusnya merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang terkandung dari sila-sila Pancasila yang seharusnya tiap kualifikasi setiap rumusan sila pertama dalam rangkaian kesatuan dengan sila-sila yang lainnya". Dapat dikatakan bahwa secara filosofis, maka Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 seolah-olah hendak menjalankan amanat yang terkandung pada sila-sila Pancasila berpedoman pada prinsip kemanusiaan, demokratis serta keadilan, walaupun pengaruh dari ideologi neo-kapitalis tak diragukan lagi. Salah satu bukti yang nyata adalah masuknya kepentingan swasta dalam undang-undang ini dengan dalih untuk kepentingan pembangunan. Selain itu, permasalahan-permasalahan terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang timbul sebagai akibat lemahnya pengaturan dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2006 antara lain pelaksanaan pengadaan tanah yang masih lambat dalam mendukung Pembangunan Infrastruktur, pelaksanaannya oleh panitia ad hoc dan menimbulkan banyak permasalahan seperti tindak pidana, serta belum menjamin kepastian waktu dalam pembebasan tanahnya menjadi dasar sosiologis dan yuridis diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 guna mendukung percepatan Pembangunan Infrastruktur dan sekaligus mempercepat Pembangunan Ekonomi Prosedur Pelaksanaan Pengadaan Tanah Berdasarkan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Pelaksananya Tata cara atau prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah diatur secara jelas dalam UU PTUP dan peraturan pelaksananya, mulai dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan,

17 15 sampai dengan penyerahan hasil berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sebagai berikut. a. Tahap Perencanaan Setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, agar menyusun Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah, yang sedikitnya memuat: (1) maksud dan tujuan rencana pembangunan, (2) kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Prioritas Pembangunan, (3) letak tanah, (4) luas tanah yang dibutuhkan, (5) gambaran umum status tanah, (6) perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah dan pelaksanaan pembangunan, (7) perkiraan nilai tanah, dan (8) rencana penganggaran. Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah tersebut disusun berdasarkan studi kelayakan yang mencakup: (1) survei sosial ekonomi, (2) kelayakan lokasi, (3) analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat, (4) perkiraan harga tanah, (5) dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat pengadaan tanah dan bangunan, serta (6) studi lain yang diperlukan Dokumen Perencanaan tersebut selanjutnya diserahkan oleh instansi yang memerlukan tanah kepada Gubernur yang melingkupi wilayah dimana letak tanah berada. b. Tahap Persiapan Dalam tahapan pelaksanaan, Gubernur membentuk Tim Persiapan dalam waktu paling lama 10 hari kerja, yang beranggotakan: (1) Bupati/Walikota, (2) SKPD Provinsi terkait, (3) instansi yang memerlukan tanah, dan (4) instansi terkait lainnya. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas Tim Persiapan, Gubernur membentuk sekretariat persiapan Pengadaan Tanah yang berkedudukan di Sekretariat Daerah Provinsi. Adapun tugas Tim Persiapan sebagai berikut: a. Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan Pemberitahuan rencana pembangunan ditandatangani Ketua Tim Persiapan dan diberitahukan kepada masyarakat pada lokasi rencana pembangunan, paling lama 20 hari kerja setelah

18 16 Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah diterima resmi oleh Gubernur. Pemberitahuan dapat dilakukan secara langsung melalui sosialisasi, tatap muka, dan/atau surat pemberitahuan, atau melalui pemberitahuan secara tidak langsung melalui media cetak maupun media elektronik. b. Melakukan pendataan awal lokasi rencana pengadaan Pendataan awal lokasi rencana pengadaan meliputi kegiatan pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah bersama aparat kelurahan/desa paling lama 30 hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil pendataan dituangkan dalam bentuk daftar sementara lokasi rencana pembangunan yang ditandatangani Ketua Tim Persiapan sebagai bahan untuk pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan. c. Melaksanakan Konsultasi Publik rencana pembangunan Konsultasi Publik rencana pembangunan dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang Berhak dan masyarakat yang terkena dampak, dan dilaksanakan paling lama 60 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya daftar sementara lokasi rencana pembangunan. Hasil kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan dituangkan dalam berita acara kesepakatan. Apabila, dalam Konsultasi Publik, Pihak yang Berhak dan masyarakat yang terkena dampak atau kuasanya tidak sepakat atau keberatan, maka dilaksanakan Konsultasi Publik ulang paling lama 30 hari kerja sejak tanggal berita acara kesepakatan. Jika dalam Konsultasi Publik ulang masih terdapat pihak yang keberatan atas rencana lokasi pembangunan, instansi yang memerlukan tanah melaporkan keberatan kepada Gubernur melalui Tim Persiapan. Selanjutnya, Gubernur membentuk Tim Kajian Keberatan yang terdiri atas: a. Sekretaris Daerah Provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua merangkap anggota;

19 17 b. Kepala Kantor Wilayah BPN sebagai sekretaris merangkap anggota; c. Instansi yang menangani urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan daerah sebagai anggota; d. Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM sebagai anggota; e. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; f. Akademisi sebagai anggota. Tugas Tim Kajian Keberatan meliputi: a. Menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan; b. Melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan; c. Membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan yang ditandatangani Ketua Tim Kajian Keberatan kepada Gubernur. Berdasarkan rekomendasi dari Tim Kajian, Gubernur mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas lokasi rencana pembangunan. Penanganan keberatan oleh Gubernur dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya keberatan. Dalam hal Gubernur memutuskan dalam suratnya menerima keberatan, instansi yang memerlukan tanah membatalkan rencana pembangunan atau memindahkan lokasi rencana pembangunan ke tempat lain. 4) Menyiapkan Penetapan Lokasi Pembangunan d. Penetapan Lokasi Pembangunan dibuat berdasarkan kesepakatan yang telah dilakukan Tim Persiapan dengan Pihak yang Berhak atau berdasarkan karena ditolaknya keberatan dari Pihak yang Keberatan. Penetapan Lokasi Pembangunan dilampiri peta lokasi pembangunan yang disiapkan oleh instansi yang memerlukan tanah. Penetapan Lokasi Pembangunan berlaku untuk jangka waktu 2 tahun dan dapat dilakukan permohonan perpanjangan waktu 1 kali untuk waktu paling lama 1 tahun kepada Gubernur yang diajukan

20 18 paling lambat 2 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Penetapan Lokasi Pembangunan. e. Mengumumkan Penetapan Lokasi Pembangunan Pengumuman atas Penetapan Lokasi Pembangunan untuk kepentingan umum paling lambat 3 hari sejak dikeluarkan Penetapan Lokasi Pembangunan yang dilaksanakan dengan cara: a) Ditempelkan di kantor Kelurahan/Desa, dan/atau kantor Kabupaten/Kota dan di lokasi pembangunan; b) Diumumkan melalui media cetak dan/atau media elektronik. Pengumuman Penetapan Lokasi Pembangunan dilaksanakan selama paling kurang 14 hari kerja. f. Melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang ditugaskan oleh Gubernur Dalam hal ini, Gubernur dapat mendelegasikan kewenangan pelaksanaan tahapan persiapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum kepada Bupati/Walikota berdasarkan pertimbangan efisiensi, efektivitas, kondisi geografis, sumber daya manusia dan pertimbangan lain. b. Tahap Pelaksanaan Berdasarkan Penetapan Lokasi Pembangunan untuk kepentingan umum, instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dengan dilengkapi/dilampiri Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah dan Penetapan Lokasi Pembangunan. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah diserahkan kepada Kepala BPN, yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah (dengan pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis dan sumber daya manusia, dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor Pertanahan), dengan susunan keanggotaan berunsurkan paling kurang: 1. Pejabat yang membidangi urusan Pengadaan Tanah di lingkungan Kantor Wilayah BPN;

21 19 2. Kepala Kantor Pertanahan setempat di lokasi Pengadaan Tanah; 3. Pejabat SKPD Provinsi yang membidangi urusan pertanahan; 4. Camat setempat pada lokasi Pengadaan Tanah; 5. Lurah/Kepala Desa atau nama lain pada lokasi Pengadaan Tanah. Pelaksana Pengadaan Tanah kemudian melakukan penyiapan pelaksanaan Pengadaan Tanah yang dituangkan dalam Rencana Kerja yang memuat paling kurang: 1. Rencana pendanaan pelaksanaan; 2. Rencana waktu dan penjadwalan pelaksanaan; 3. Rencana kebutuhan pelaksana pengadaan; 4. Rencana kebutuhan bahan dan peralatan pelaksanaan; 5. Inventarisasi dan alternatif solusi faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan; 6. Sistem monitoring pelaksanaan. Pelaksanaan Pengadaan Tanah secara garis besar meliputi: 1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah Dilakukan dengan jangka waktu paling lama 30 hari. Adapun kegiatannya meliputi: a) Pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan b) Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah. Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah tersebut wajib diumumkan di kantor desa/kelurahan, kantor kecamatan dan tempat Pengadaan Tanah dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja. Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung

22 20 sejak diumumkan hasil inventarisasi, untuk kemudian dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan keberatan atas hasil inventarisasi. 2) Penilaian Ganti Kerugian Hasil pengumuman dan/atau verifikasi serta perbaikan atas hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dan selanjutnya menjadi dasar penentuan Pihak yang Berhak dalam pemberian Ganti Kerugian. Penetapan besarnya nilai ganti kerugian oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah yang penilaiannya dilaksanakan paling lama 30 hari kerja. 3) Musyawarah penetapan Ganti Kerugian Pelaksana Pengadaan Tanah melakukan musyawarah dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian. Hasil kesepakatan dalam musyawarah tersebut menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak/kuasanya yang dimuat dalam berita acara kesepakatan. Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian. Pengadilan Negeri memutus bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan. Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 14 hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak permohonan kasasi

23 21 diterima. Putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan. 4) Pemberian Ganti Kerugian Pemberian ganti kerugian dapat dilakukan dalam bentuk: a) Uang b) Tanah Pengganti c) Pemukiman kembali d) Kepemilikan saham e) Bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak Pelaksana Pengadaan Tanah membuat penetapan mengenai bentuk ganti kerugian berdasarkan berita acara kesepakatan dan/atau putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung. Pemberian Ganti Kerugian dibuat dalam berita acara pemberian Ganti Kerugian yang dilampiri dengan: a) Daftar Pihak yang Berhak penerima Ganti Kerugian b) Bentuk dan besarnya Ganti Kerugian yang telah diberikan c) Daftar dan bukti pembayaran/kwitansi d) Berita acara pelepasan hak atas tanah dan penyerahan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui Pelaksana Pengadaan Tanah. Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan negeri/mahkamah Agung, Ganti Kerugian dititipkan di Pengadilan Negeri setempat. Penitipan Ganti Kerugian juga dilakukan terhadap: a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya; b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian: c. sedang menjadi objek perkara di pengadilan; d. masih dipersengketakan kepemilikannya; e. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau

24 22 f. menjadi jaminan di bank. Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di Pengadilan Negeri, kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. c. Tahap Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah disertai data Pengadaan Tanah paling lama 7 hari kerja sejak pelepasan hak Objek Pengadaan Tanah dengan berita acara. Setelah proses penyerahan, paling lama 30 hari kerja instansi yang memerlukan tanah wajib melakukan pendaftaran/pensertifikatan untuk dapat dimulai proses pembangunan. Pendanaan atas pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dibebankan pada instansi yang memerlukan tanah dan dituangkan dalam dokumen penganggaran yang bersumber dari APBN/APBD. Dalam rangka efisiensi dan efektivitas, pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 1 hektar, dapat dilakukan secara langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak Kekurangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Dalam perjalanannya, pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 menemui hambatan dimana terdapat permohonan judicial review dari Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah Rakyat (Karam Tanah) yang berpendapat bahwa substansi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 belum berpihak kepada kepentingan rakyat. Hal tersebut terkait definisi tentang 'pembangunan untuk kepentingan umum' yang didalamnya terlihat mengakomodir kepentingan swasta dalam Undang-Undang ini dengan dalih untuk kepentingan pembangunan.

25 23 Definisi pembangunan untuk kepentingan umum pada dasarnya sudah diuraikan dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 10 Undang- Undang Nomor 2 Tahun Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan definisi mengenai kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pada Pasal 9 ayat (1) lebih lanjut dijelaskan bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Kemudian dalam Pasal 10 Undang-Undang ini ditentukan bahwa tanah untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan: a. pertahanan dan keamanan nasional; b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. fasilitas keselamatan umum; k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; m. cagar alam dan cagar budaya; n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;

26 24 q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan r. pasar umum dan lapangan parkir umum. Isi ketentuan pasal-pasal diatas oleh beberapa kalangan dianggap telah menghilangkan hak warga negara untuk menentukan jenis-jenis pembangunan untuk kepentingan umum dan mana yang bukan. Sebab, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini telah mendefinisikan sendiri dan menentukan jenis-jenis pembangunan yang dikategorikan untuk kepentingan umum (Andrinof A. Chaniago, Dosen FISIP UI selaku Ahli dalam Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 di Mahkamah Konstitusi). Berdasarkan ketentuan pasal-pasal diatas, yaitu pada Pasal 10 dicontohkan bahwa pembangunan jalan tol dan semua jenis proyek pelabuhan tidak tepat jika dikategorikan sebagai kepentingan umum karena dikelola secara bisnis dan melayani kalangan tertentu saja. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini tidak ditemukan mengenai definisi kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat yang menjadi syarat penyelenggaraan 'kepentingan umum' sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1). Hal ini menunjukkan masih terdapatnya kekaburan definisi pembangunan untuk kepentingan umum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 seperti halnya peraturan-peraturan sebelumnya. Selain itu, dalam Pasal 39, Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2012 diatur bahwa dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian, karena hukum Pihak yang Berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian. Ganti Kerugian tersebut kemudian dititipkan di pengadilan negeri setempat. Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri, kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

27 25 Hapusnya kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari pihak yang berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana diatur Pasal 39, 42 ayat (1) dan 43 di atas, menunjukkan represifnya Undang-Undang ini yang sengaja ditabrakkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang Ada Diatasnya. Pasal 43 ini jelas tidak sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang, Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal 2 Undang- Undang ini sendiri yaitu pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan asas kemanusiaan, keadilan, kesepakatan, dan asasasas lain. Kemudian dalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 33 point b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan bahwa obyek pengadaan tanah dan penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai antara lain meliputi ruang atas tanah dan bawah tanah. Definisi mengenai apa yang dimaksud 'ruang atas tanah dan bawah tanah' pada pasal tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang ini maupun peraturan pelaksananya. Hal ini menjadi kabur apabila dihubungkan dengan bunyi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, perlu kejelasan yang dimaksud serta batasan ruang atas tanah dan bawah tanah. Hal ini juga dimaksudkan untuk memberikan penjelasan atas ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (atau sering disingkat UUPA) dimana menyebutkan bahwa hak atas tanah meliputi permukaan bumi, ruang atasnya dan bawahnya sekedar diperlukan yang berkaitan dengan permukaan tanahnya. Namun, dalam UUPA tersebut belum menjelaskan mengenai definisi dan batasan ruang atas tanah dan bawah tanah. Represifnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 juga terlihat pada Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) yang menyatakan bahwa Pihak yang

28 26 Berhak harus menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan yang merupakan satu-satunya bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari. Kalimat "tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari" ini bertentangan dengan fakta hukum yang sedang berlangsung di Indonesia, dalam hal ini Pasal 19 ayat (2) UUPA sebagai berikut: Pasal 19 UUPA: a. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. b. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: 1. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; 2. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; 3. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Bahwa Pasal 19 ayat (2) huruf c. UUPA menegaskan surat-surat tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam hal ini belum sebagai alat pembuktian yang mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di Indonesia yang sudah berupa Sertifikat Hak Atas Tanah saja setiap saat atau di kemudian hari masih dapat diganggu gugat. Seperti halnya Perpres Nomor 65 Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sudah mengatur batasan waktu untuk tiap tahap pengadaan tanah. Namun, masih terdapat kekurangan dalam peraturan ini dimana belum diatur sanksi dalam hal batas waktu untuk setiap tahapan terlampaui Kelebihan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Namun, dibalik sifat represif dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksananya, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbaikan yang signifikan dari peraturan sebelumnya yaitu Perpres Nomor 65 Tahun Sebagai contoh, ketentuan Pasal 35 yang menyatakan apabila dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak

29 27 lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Bunyi pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya. Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil. Setelah penetapan lokasi pembangunan Pihak yang Berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini untuk menghindari "calo" dan spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan sebelumnya. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 telah diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah yang jelas dari mulai tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil, termasuk didalamnya pihak-pihak yang berperan dalam masing-masing tahapan. Peraturan ini juga mengatur durasi waktu setiap tahapan dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sebenarnya batasan waktu juga telah diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006, namun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sudah secara tegas mengatur durasi waktu keseluruhan penyelenggaraan pembebasan tanah untuk kepentingan umum paling lama (maksimal) 583 hari. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 juga diatur keharusan instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum agar menyusun dokumen perencanaan pengadaan tanah. Karena itu harus disebutkan tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), letak tanah, luas tanah yang dibutuhkan, gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah. Lalu selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang melingkupi wilayah dimana letak tanah berada.

30 28 Lebih lanjut, peraturan ini juga menyinggung soal pengaturan ganti kerugian, pengalihan hak tanah, dan lainnya. Selain itu, terdapat pengaturan soal penolakan dari pihak yang berhak untuk penggantian rugi atas lahan tersebut dan sengketa lahan di pengadilan. Terkait pengaturan sumber dana pengadaan tanah, termasuk pengadaan tanah berskala kecil maupun pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi juga tidak luput diatur didalamnya Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Sebagian rencana pembangunan Jalan Lingkar Selatan melewati kawasan hutan dimana pengaturan ganti ruginy diatur secara khusus. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kehutanan hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dengan mempertimbangkan batasan luas, jangka waktu tertentu, dan kelestarian lingkungan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, termasuk diantaranya adalah kegiatan pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan dan ketahanan energi. Persyaratan terhadap hapusnya persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan hutan perlu diubah dengan pertimbangan untuk memberi kepastian hukum dalam melakukan kegiatan bagi pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan.berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Pemerintah Daerah menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang menjadi pedoman dalam pemanfaatan ruang. Dalam penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota terdapat perubahan peruntukan dan fungsi kawasan

31 29 hutan yang belum mengacu pada perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan hasil penelitian terpadu sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun Perubahan peruntukan tersebut mengakibatkan perbedaan peruntukan ruang antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Perbedaan peruntukan ruang tersebut di atas mengakibatkan perbedaan acuan dalam penggunaan ruang sehingga menimbulkan ketidakpastian penggunaan ruang. Perbedaan acuan dalam penggunaan ruang tersebut harus diselesaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mencabut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wajib menyesuaikan melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang. Sehingga semua kegiatan usaha pertambangan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi, pemegang izin wajib mengajukan permohonan izin pinjam

32 30 pakai kawasan hutan kepada Menteri. Kawasan hutan dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, antara lain kegiatan: a) religi; b) pertambangan; c) instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan; d) pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi; e) jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; f) sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; g) sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah; h) fasilitas umum; i) industri terkait kehutanan; j) pertahanan dan keamanan; k) prasarana penunjang keselamatan umum; atau l) penampungan sementara korban bencana alam. Dengan syarat sebagai berikut: a) hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi; dan/atau kawasan hutan lindung. Berarti pembangunan di luar kegiatan kehutanan tidak dapat dilakukan dalam hutan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alam, tahura dan sebaginya ) b) tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan c) kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah (tidak boleh melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka)dengan ketentuan dilarang mengakibatkan turunnya permukaan tanah; berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan terjadinya kerusakan akuiver air tanah

33 31 d) hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan yaitu kegiatan yang diprioritaskan karena mempunyai pengaruh yang sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan keamanan negara, pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. e) Penggunaan kawasan hutan dilakukan berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan yang diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan f) Penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, izin pinjam pakai kawasan hutan hanya dapat diberikan setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat g) Tukar menukar kawasan hutan tidak boleh mengurangi luas kawasan hutan tetap dan hanya dapat dilakukan dengan ketentuan: h) kawasan hutan yang dimohon berupa HP dan/atau HPT yang tidak dibebani izin penggunaan kawasan hutan, izin pemanfaatan hutan, persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan, atau bukan merupakan KHDTK; dan i) tetap terjaminnya luas kawasan hutan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional sehingga dapat mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola. j) dilarang menebang pohon dan wajib mempertahankan keadaan vegetasi hutan pada kawasan perlindungan setempat pada areal dengan radius atau jarak sampai dengan: 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; dan 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. k) Untuk tukar menukar kawasan hutan pantai berupa mangrove/bakau, lahan pengganti harus lahan pantai berupa mangrove/bakau atau lahan pantai yang dapat dijadikan hutan mangrove/bakau.

34 32 l) Dalam hal tidak tersedia lagi lahan pengganti berupa mangrove/bakau atau lahan pantai yang dapat dijadikan hutan mangrove/bakau, dapat diganti dengan lahan lain dengan persyaratan tambahan sesuai rekomendasi Tim Terpadu Tukar Menukar Kawasan Hutan Tukar menukar kawasan hutan dilakukan untuk: a) pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen; (penempatan korban bencana alam; kepentingan umum, termasuk sarana penunjang); b) menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan; c) memperbaiki batas kawasan hutan Persyaratan Lahan Pengganti Persyaratan Lahan Pengganti: a) letak, luas dan batas lahan penggantinya jelas; b) letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan; c) terletak dalam daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi yang sama; d) dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional; e) tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan; dan f) mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota Tata Cara Permohonan Tukar Menukar Kawasan Hutan Tata Cara Permohonan Tukar Menukar Kawasan Hutan 1. Tukar menukar kawasan hutan dilakukan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh: a. menteri atau pejabat setingkat menteri; b. gubernur; c. bupati/walikota; d. pimpinan badan usaha; atau e. ketua yayasan.

35 33 2. Permohonan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, dengan tembusan disampaikan kepada: a. Sekretaris Jenderal; b. Direktur Jenderal; dan c. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Syarat Permohonan Tukar Menukar Kawasan Hutan 1. Persyaratan Administrasi a. surat permohonan yang dilampiri dengan peta lokasi kawasan hutan yang dimohon dan peta usulan lahan pengganti pada peta dasar dengan skala minimal 1: ; b. izin lokasi dari bupati/walikota/gubernur sesuai dengan kewenangannya; c. izin usaha bagi permohonan yang diwajibkan mempunyai izin usaha; d. rekomendasi gubernur dan bupati/walikota, dilampiri peta kawasan hutan yang dimohon dan usulan lahan pengganti pada peta dasar dengan skala minimal 1: ; e. pernyataan untuk tidak mengalihkan kawasan hutan yang dimohon kepada pihak lain dan kesanggupan untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bentuk surat pernyataan tersendiri bagi pemohon Pemerintah atau pemerintah daerah; dan f. pernyataan untuk tidak mengalihkan kawasan hutan yang dimohon kepada pihak lain dan kesanggupan untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bentuk akta notaris bagi pemohon badan usaha atau yayasan. g. Dalam hal permohonan diajukan oleh badan usaha atau yayasan, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah persyaratan lain, meliputi: profil badan usaha atau yayasan; Nomor Pokok Wajib Pajak; akta pendirian berikut

36 34 perubahannya; dan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang diaudit oleh Akuntan Publik. 2. Persyaratan Teknis a. proposal, rencana teknis atau rencana induk termasuk rencana lahan pengganti dan reboisasi/penanaman; b. pertimbangan teknis dari Direktur Utama Perum Perhutani apabila kawasan hutan yang dimohon merupakan wilayah kerja Perum Perhutani; dan c. hasil penafsiran citra satelit 2 (dua) tahun terakhir atas kawasan hutan yang dimohon dan usulan lahan pengganti yang disertai dengan pernyataan dari pemohon bahwa hasil penafsiran dijamin kebenarannya, kecuali permohonan tukar menukar kawasan hutan untuk penempatan korban bencana alam tidak perlu hasil penafsiran citra satelit.

37 35 BAB 3 METODOLOGI 3.1. Pendekatan Untuk mencapai tujuan sesuai sasaran yang ditentukan di dalam kerangka Acuan Kerja maka sebelum dibuat metode terperinci perlu ditentukan lebih dahulu prinsip-prinsip dasar dan penyederhanaan pelaksanaan. Harus lebih dahulu dipastikan tujuan dan prinsip yang benar sehingga keputusan yang akan diambil dapat mencapai sasaran. Tanpa hal ini maka program yang dilaksanakan kemungkinan akan gagal dan tidak efisien selama pelaksanaannya sehingga tujuan akhir tidak tercapai. Sangat diperlukan membuat identifikasi dan mengerti ruang lingkup, pekerjaan yang akan dilaksanakan nantinya sebelum memutuskan metode pelaksanaan yang diperlukan. Untuk mencapai tujuan sesuai sasaran yang ditentukan di dalam Kerangka Acuan Kerja maka sebelum dibuat metode terperinci perlu ditentukan lebih dahulu prinsip-prinsip dasar dan penyederhanaan pelaksanaan. Harus lebih dahulu dipastikan tujuan dan prinsip yang benar sehingga keputusan yang akan diambil dapat mencapai sasaran. Tanpa hal ini maka program yang dilaksanakan kemungkinan akan gagal dan tidak efisien selama pelaksanaannya sehingga tujuan akhir tidak tercapai. Sangat diperlukan membuat identifikasi dan mengerti ruang lingkup, pekerjaan yang akan dilaksanakan nantinya sebelum memutuskan metode pelaksanaan yang diperlukan. Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah ini disusun berdasarkan studi kelayakan yang mencakup: (1) survei sosial ekonomi, (2) kelayakan lokasi, (3) analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat, (4) perkiraan harga tanah, (5) dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat pengadaan tanah dan bangunan

38 Metode Analisis Adapun pendekatan yang digunakan untuk menganalisa kelayakan Calon Tanah Pengganti JLS adalah pendekatan sosial ekonomi, lingkungan, dan lingkungan Pendekatan ekonomi digunakan untuk menilai kelayakan pendirian ditinjau dari aspek manfaaat biaya. Adapun pendekatan lingkungan dimanfaatkan untuk menganalisis sejauh mana keberadaan tanah pengganti akan berdampak pada lingkungan sekitarnya dan bagaimana cara mengantisipasi atau meminimalkan kondisi negatif yang akan muncul. Sedangkan pendekatan sosial digunakan untuk mencermati sejauhmana kehidupan sosial kemasyarakatan terpengaruh oleh adanya pertukaran lahan. Dalam studi ini penilaian kelayakan adalah sebagai berikut: Aspek Lokasi Penilaian terhadap kelayakan alternatif lokasi utamanya berkait dengan tata ruang, topografi, aspek legal kepemilikan lahan dan sebagainya sesuai dengan yang diatur dalam berbagai ketentuan perundangan. Penilaian didasarkan pembobotan lahan sesuai dengan acuan peraturan yang berlaku Aspek Sosial Ekonomi Penilaian terhadap aspek demografi meliputi perkembangan kependudukan, cakupan layanan, dan proyeksi kependudukan serta kaitannya dengan penyediaan layanan jalan dan hutan terdampak Aspek Pembangunan Daerah Penilaian terhadap aspek pembangunan daerah meliputi Pembangunan infrastruktur berkaitan dengan tata letak/lokasi dan kemudahan dalam pemanfaatan sarana dan prasarana. Kelayakan disesuaikan dengan peraturan tata ruang wilayah Aspek Kebutuhan Biaya dan Manfaat Biaya Aspek ini berkait dengan perhitungan kebutuhan pembiayaan berkait dengan luas area dan sarana yang akan dibangun sesuai dengan kebutuhan lahan pengganti.

39 37 Analisis manfaat-biaya merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui besaran keuntungan/kerugian serta kelayakan suatu proyek. Dalam perhitungannya, analisis ini memperhitungkan biaya serta manfaat yang akan diperoleh dari pelaksanaan suatu program. Sesuai dengan dengan maknat ekstualnya yaitu benefit cost (manfaat-biaya) maka analisis ini mempunyai penekanan dalam perhitungan tingkat keuntungan/kerugian suatu program atau suatu rencana dengan mempertimbangkan biaya yang akan dikeluarkan serta manfaat yang akan dicapai Kebutuhan Dan Sumber Data Data yang dibutuhkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari nara sumber yang antara terdiri dari atas : a. Pejabat Pemerintah terkait (BAPPEDA, Perhutani, BLH, Camat, dll), untuk mengetahui kebijakan yang diambil dalam dalam pembangunan JLS. b. Tokoh Masyarakat dan pemangku kepentingan, untuk mengetahui umpan balik masyarakat, sehubungan dengan adanya rencana pendirian Kantor Kecamatan tersebut. c. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan publikasi yang diterbitkan oleh instansi terkait dan berhubungan langsung dengan studi ini Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data Studi ini dibagi dalam dua tahap pengumpulan data. Tahap pertama di fokuskan kepada aktivitas desk research yang meliputi telaah pustaka dan pencarian data sekunder. Tahap kedua akan memfokuskan pada pencirian data primer melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan nara sumber terpilih baik dari kalangan pejabat pemerintahan, maupun masyarakat dengan metode random sampling. Adapun teknik pengolahan data didasarkan kepada aspek-aspek analisis kelayakan yang antara lain meliputi :

40 38 1. Aspek Kelayakan Teknis, melalui teknik analisis deskriptif terhadap variabel-variabel yang telah ditentukan. Untuk kelayakan lokasi digunakan analisi kesesuaian lahan. 2. Aspek Kelayakan Lingkungan diterapkan secara deskriptif untuk mengetahui dan mengukur kemanfaatan dan kerugian yang diprediksi akan muncul dengan adanya fasilitas JLS. 3. Teknik Analisis Manfaat Biaya (BCR) Analisis manfaat-biaya merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui besaran keuntungan/kerugian serta kelayakan suatu proyek. Dalam perhitungannya, analisis ini memperhitungkan biaya serta manfaat yang akan diperoleh dari pelaksanaan suatu program. Sesuai dengan dengan maknat ekstualnya yaitu benefit cost (manfaat-biaya) maka analisis ini mempunyai penekanan dalam perhitungan tingkat keuntungan/kerugian suatu program atau suatu rencana dengan mempertimbangkan biaya yang akan dikeluarkan serta manfaat yang akan dicapai. Dibandingkan penerapannya dalam bidang investasi, penerapan Benefit Cost Ratio (BCR) telah banyak mengalami perkembangan. Salah satu perkembangan analisis BCR antara lain yaitu penerapannya dalam bidang pengembangan ekonomi daerah. Dalam bidang pengembangan daerah, analisis ini umum digunakan pemerintah daerah untuk menentukan kelayakan pengembangan suatu proyek. Aplikasi BCR dalam sektor publik harus mempertimbangkan beberapa aspek terkait manfaat sosial (social welfare function) dan lingkungan serta tak kalah penting adalah faktor efisiensi. Faktor efisiensi mutlak menjadi perhatian menimbang terbatasnya dana dan kemampuan pemerintah daerah sendiri. Secara terinci aspek-aspek tersebut juga mempertimbangkan dampak penerapan suatu program dalam masyarakat baik secara langsung (direct impact) maupun tidak langsung (indirect impact) faktor eksternalitas, ketidakpastian (uncertainty), risiko (risk) serta shadow price. Efisiensi ekonomi merupakan kontribusi murni suatu program dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga yang

41 39 menjadi perhatian utama dalam penerapan BCR dalam suatu proyek pemerintah yang berkaitan dengan sektor publik adalah redistribusi sumber daya. Analisis biaya-manfaat (CBA), kadang-kadang disebut analisis manfaat-biaya (BCA), adalah proses sistematis untuk menghitung dan membandingkan manfaat dan biaya dari proyek untuk dua tujuan: 1. Untuk menentukan apakah itu adalah investasi yang sehat (pembenaran / kelayakan). 2. Untuk melihat bagaimana membandingkan dengan proyekproyek alternatif (peringkat / prioritas tugas). Ini melibatkan membandingkan biaya total diharapkan setiap pilihan terhadap manfaat yang diharapkan total, untuk melihat apakah manfaatnya lebih besar daripada biaya, dan seberapa banyak. Dalam CBA, manfaat dan biaya yang dinyatakan dalam bentuk uang, dan disesuaikan dengan nilai waktu dari uang, sehingga semua aliran arus manfaat dan biaya proyek dari waktu ke waktu (yang cenderung terjadi pada titik-titik berbeda dalam waktu) disajikan pada dasar umum dalam hal mereka "nilai sekarang".

42 40 BAB 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BANYUWANGI 4.1. Geografis, Administratif, dan Kondisi Fisik Secara geografis Kabupaten Banyuwangi terletak di ujung timur Pulau Jawa. Daerahnya terbagi atas dataran tinggi yang berupa daerah pegunungan, merupakan daerah penghasil berbagai produksi perkebunan. Daratan yang datar dengan berbagai potensi yang berupa produksi tanaman pertanian, serta daerah sekitar garis pantai yang membujur dari arah Utara ke Selatan yang merupakan daerah penghasil berbagai biota laut. Berdasarkan garis batas koordinatnya, posisi Kabupaten Banyuwangi terletak diantara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Secara administratif sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah timur Selat Bali, sebelah selatan Samudera Indonesia serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso. Gambar 1 Peta Administrasi Kabupaten Banyuwangi

43 41 Luas Wilayah Kabupaten Banyuwangi adalah 5.782,50 km2, yang merupakan daerah kawasan hutan mencapai ,34 ha atau sekitar 31,72%, persawahan sekitar ha atau 11,44%, perkebunan dengan luas sekitar ,63 ha atau 14,21%, permukiman dengan luas sekitar ,22 ha atau 22,04%. Adapun sisanya seluas ,81 ha atau 20,63 persen dipergunakan untuk berbagai manfaat fasilitas umum dan fasilitas sosial seperti jalan, ruang terbuka hijau, ladang, tambak dan lainlainnya. Selain penggunaan luas daerah yang demikian itu, Kabupaten Banyuwangi memiliki panjang garis pantai sekitar 175,8 km, serta serta pulau-pulau kecil sebanyak 10 buah. Seluruh wilayah tersebut telah memberikan manfaat besar bagi kemajuan ekonomi. Tabel 1 Nama, Luas Wilayah per-kecamatan dan Jumlah Kelurahan/Desa Nama Kecamatan Jumlah Desa Luas Wilayah /Kelurahan (Km2) (%) thd total 1. Pesanggaran 5 /- 802,5 13,9 2. Siliragung 5 /- 95,15 1,6 3. Bangorejo 7 /- 137,43 2,4 4. Purwoharjo 8 /- 200,3 3,5 5. Tegaldlimo 9 / ,12 23,2 6. Muncar 10 /- 146,07 2,5 7. Cluring 9 /- 97,44 1,7 8. Gambiran 6 /- 66,77 1,2 9. Tegalsari 6 /- 65,23 1,1 10. Glenmore 7 /- 421,98 7,3 11. Kalibaru 6 /- 406,76 7,0 12 Genteng 5 /- 82,34 1,4 13 Srono 10 /- 100,77 1,7 14 Rogojampi 18 /- 102,33 1,8 15 Kabat 16 /- 107,48 1,9 16 Singojuruh 11 /- 59,89 1,0 17 Sempu 7 /- 174,83 3,0 18 Songgon 9 /- 301,84 5,2 19. Glagah 8 /2 76,75 1,3 20. Licin 8 /- 169,25 2,9 21. Banyuwangi - /18 30,13 0,5 22. Giri 2 /4 21,31 0,4 23. Kalipuro 5 /4 310,03 5,4 24. Wongsorejo 12 /- 464,8 8,0 JUMLAH : 189/ , Sumber : Banyuwangi Dalam Angka,2011

44 42 Wilayah daratannya terdiri atas dataran tinggi berupa pegunungan yang merupakan daerah penghasil produk perkebunan; dan dataran rendah dengan berbagai potensi produk hasil pertanian serta daerah sekitar garis pantai yang membujur dari arah utara ke selatan yang merupakan daerah penghasil berbagai biota laut. Kabupaten Banyuwangi terdiri dari 24 kecamatan, 28 kelurahan dan 189 desa. Dengan jumlah desa terbanyak di Kecamatan Rogojampi sebanyak 18 desa. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Tegaldlimo dengan luas 1341,12 Ha, sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Giri dengan luas 21,31 Ha Demografi Sampai dengan akhir tahun 2010 lalu penduduk Kabupaten Banyuwangi tercatat sebanyak jiwa menurut hasil registrasi oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Sedangkan berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 dengan laju pertumbuhan penduduk 0,44 persen per tahun, jumlah penduduk akhir tahun 2010 diproyeksikan sebanyak jiwa. Sejak tahun 1980 sampai dengan 1990 angka pertumbuhan penduduk Kab. Banyuwangi tercatat 0,22 persen. Pada tahun 2000 sampai dengan 2010 angka pertumbuhan penduduk tercatat sebesar 0,44 persen Menurut hasil pendataan Sensus Penduduk tahun 2010, dengan menggunakan pendekatan komposisi umur yang dibedakan laki-laki dengan perempuan, diperoleh angka harapan hidup perempuan lebih tinggi bila dibanding dengan angka harapan hidup laki-laki. Kaum perempuan lebih bertahan hidup ketika mendekati umur 60 tahun keatas, sedang laki-laki ada kelompok umur yang sama dengan perempuan mempunyai kecenderungan dengan jumlah yang terus menurun Angka keterbandingan yang demikian itu umumnya disebut dengan Sex Ratio. Secara detil bila diikuti berdasarkan komposisi kelompok umur antara laki-laki dengan perempuan, Sex Ratio tertinggi terjadi pada kelompok umur 0 14 tahun. Pada kelompok umur ini anak laki-laki jumlahnya relatif lebih banyak bila dibanding dengan jumlah penduduk

45 43 perempuan. Dari hasil SP 2010 penyebaran penduduk Kabupaten Banyuwangi masih tertumpu di Kecamatan Muncar ( orang), kemudian diikuti oleh Kecamatan Banyuwangi ( orang) dan Kecamatan Rogojampi ( orang). Sedangkan Kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Giri ( orang) kemudian Kecamatan Licin ( orang) dan Kecamatan Glagah ( orang). Dengan luas wilayah Kabupaten Banyuwangi sekitar km2 yang didiami oleh orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Banyuwangi adalah sebanyak 279 orang per km2.kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Banyuwangi yakni sebanyak orang per km2 sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Tegaldlimo yakni sebanyak 49 orang per km 2. Sedangkan sampai dengan akhir tahun 2012, penduduk Kabupaten Banyuwangi tercatat sekitar jiwa. Yang terdiri dari laki-laki sejumlah jiwa dan perempuan ada sebanyak jiwa. Dari sejumlah penduduk ini terdapat kepala rumah tangga Sosial dan Budaya Fasilitas pendidikan yang terdapat di Kabupaten Banyuwangi terdiri dari Taman Kanak-kanak (TK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Dasar (SD), Madrasah Tsanawiayah (MTs), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sesuai dengan data yang ada, maka tingkat, SD 826 unit, SLTP 159 Unit, SMA 46 unit, SMK 35 unit, MI 243 unit, MTs 81 unit dan MA 30 unit. Fasilitas pendidikan yang ada pada tiap kecamatan menyebar secara merata. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut:

46 44 Tabel 2 Fasilitas pendidikan yang tersedia di Kabupaten Banyuwangi No. Jumlah Sarana Pendidikan Nama Umum Agama Kecamatan SD SLTP SMA SMK MI MTs MA 1 Pesanggaran Siliragung Bangorejo Purwoharjo Tegaldlimo Muncar Cluring Gambiran Tegalsari Glenmore Kalibaru Genteng Srono Rogojampi Kabat Singojuruh Sempu Songgon Glagah Licin Banyuwangi Giri Kalipuro Wongsorejo Jumlah : Sumber: Banyuwangi Dalam Angka, 2011 Namun demikian di Kabupaten Banyuwangi, masalah kemiskinan masih cukup mendominasi. Angka kemiskinan di Kabupaten Banyuwangi memang mengalami penurunan. Tetapi, jumlah penduduk yang terkatagori miskin masih cukup besar. Berdasarkan hasil sensus ekonomi tahun 2005, penduduk miskin di Kabupaten Banyuwangi mencapai KK., untuk tahun 2007 jumlahnya menurun menjadi KK. Data terbaru berdasarkan hasil PPLS tahun 2008, jumlah penduduk miskin menurun lagi menjadi KK Sumber Daya Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Banyuwangi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 bahkan tercatat sebesar 72,8* melampaui Provinsi Jawa Timur sebesar 72,15. Kondisi yang belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

47 45 Grafik 1 Perkembangan IPM Kabupaten Banyuwangi dan 4.5. Pengembangan Infrastruktur Salah satu indikator dalam ketersediaan infrastruktur adalah kondisi dan panjang jalan yang disediakan oleh pemerintah, baik oleh Pemerintah Kabupaten, Provinsi maupun Pusat. Selama lima periode, perkembangan panjang jalan Kabupaten, Provinsi maupun Pusat tidak mengalami perubahan. Masing-masing panjang jalan untuk kabupaten, provinsi dan pusat (nasional) adalah 2.718,8 km; 114,26km; dan 130,08 km. Grafik 2 Perkembangan Jalan Kabupaten, Provinsi, dan Nasional Sumber: Bina Marga Provinsi Jatim dan Dinas PU Kab.Banyuwangi (dalam RPJMD Kabupaten Banyuwangi 2010)

48 46 Luas irigasi Kabupaten Banyuwangi dalam kondisi baik pada tahun 2006 meningkat pada tahun 2007 sebesar 98 persen dan pada tahun 2009 mencapai 99 persen. Cakupan bina kelompok tani pada tahun 2006 sebesar 25,03 persen mengalami peningkatan pada tahun 2009 tahun 2010 menjadi 25,95 persen. Di sektor perikanan, dapat dilihat adanya produksi perikanan pada tahun 2010 sebesar 57,8 ribu ton, meningkat dari tahun 2009 yang hanya sebesar 44,84 ribu ton. Disamping itu, peningkatan infrastruktur pariwisata menjadi salah satu fokus dalam lima tahun terakhir. Seiring dengan pengembangan kawasan segitiga berlian wisata yaitu ijen, sukamade, dan plengkung, maka infrastruktur menuju destinasi wisata tersebut menjadi salah satu prioritas penanganan. Pemeliharaan jalur transportasi menuju Ijen dilaksanakan dalam rangka pengembangan wisata dan pengembangan wilayah Kecamatan Licin dan Glagah Perekonomian Daerah Pergerakan ekonomi Banyuwangi yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dikontribusi oleh dua sektor utama yaitu pertanian (termasuk perikanan dan peternakan) serta perdagangan, hotel dan restoran. Pertanian memberikan kontribusi rata-rata 46,5 persen sedangkan perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi rata-rata 26,8 persen. Sektor pertanian tidak hanya menjadi andalan Banyuwangi, namun juga sektor yang diandalkan di level Jawa Timur. Pertumbuhan dan kontribusi sektor ini di Banyuwangi melampaui Jawa Timur, sehingga menurut analisis tipologi Klassen, sektor pertanian menjadi masuk dalam kategori sektor prima. Sektor pertanian termasuk didalamnya sub sektor perikanan, peternakan, perkebunan, dan kehutanan merupakan sektor yang menghidupi mayoritas penduduk Banyuwangi (market share) paling besar, yang menjadi hajat hidup orang banyak. Untuk itu dalam beberapa tahun kedepan, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menetapkan

49 47 kebijakan untuk tetap meletakkan sektor ini sebagai prioritas unggulan utama. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran, meskipun dalam posisi kedua dalam memberi kontribusi ekonomi Banyuwangi, namun menjadi lokomotif utama yang mengangkat tumbuhnya perekonomian. Sektor ini pada tahun 2011 mampu tumbuh 8,9 persen dan pada tahun 2012 mencapai posisi 9,2 persen melampaui total pertumbuhan ekonomi Banyuwangi. Sedangkan sektor pertanian yang menjadi unggulan utama, hanya tumbuh rata-rata 5 persen. Ketika sektor perdagangan, jasa, dan restoran serta sektor konstruksi mengalami trend peningkatan, sektor lainnya akan mengalami trend penurunan. Kondisi ini menunjukkan bahwa saat ini Banyuwangi dalam proses transformasi, dari pertanian ke sektor jasa perdagangan. Sektor pertanian, di samping pertumbuhannya lambat, kontribusinya terhadap total PDRB semakin tahun semakin menurun. Jika pada tahun kontribusi sektor pertanian pada posisi diatas 47 persen, maka pada tahun 2010 turun menjadi 46 persen dan turun lagi pada posisi 45,9 persen pada tahun Sedangkan pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, yang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi Banyuwangi, faktanya merupakan sektor terbelakang dalam konstelasi ekonomi Jawa Timur. Rerata pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran Jawa Timur lebih tinggi daripada Banyuwangi. Pada sektor ini, ternyata didominasi oleh perdagangan yang mencapai hampir 90 persen, sedangkan peran sektor hotel dan restoran hanya pada kisaran 10 persen. Pada sektor pertanian, masih ditentukan oleh sub sektor tanaman bahan makanan yang mendominasi hingga 50 persen, sedangkan perkebunan 20 persen, perikanan 17 persen, peternakan 10 persen dan kehutanan 3 persen. Inilah tantangan yang masih harus dihadapi saat ini dan pada tahun-tahun mendatang. Ini juga merupakan resultan kerja bareng Pemerintah (seluruh satuan kerja perangkat daerah), bersama swasta dan seluruh komponen masyarakat,

50 48 yang masih harus terus diupayakan peningkatannya. Peran pemerintah dicerminkan dari besarnya prosentase APBD terhadap total PDRB. APBD Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2012 sebesar 1,86 Trilyun Rupiah, namun proporsinya dalam menstimulasi perekonomian hanya 6,6 persen. Selebihnya (93,4 persen) adalah kontribusi seluruh komponen masyarakat dan swasta. Sebagai gambaran bahwa dari 1,86 trilyun dialokasikan antara lain 42,5 persen untuk memenuhi belanja pendidikan, 13,4 persen infrastruktur, 9,23 persen kesehatan, selebihnya untuk membiayai 22 urusan pembangunan. Anggaran infrastruktur sebesar 250 milyar rupiah diperuntukkan untuk meningkatkan aksesibilitas umum (pembangunan/ rehab jalan dan jembatan serta infrastruktur strategis lainnya), menunjang sektor pertanian (pembangunan /rehab jaringan irigasi), kesehatan (pengembangan/ rehab jaringan puskesmas), dan peningkatan sarana publik lainnya. Dalam konstelasi pertumbuhan ekonomi, meskipun belanja pemerintah relatif kecil dibanding total PDRB (hanya 6,6 persen), tetapi diharapkan mampu mendorong 3 faktor utama fundamental ekonomi Banyuwangi yaitu peningkatan netto perdagangan dan konsumsi lokal, peningkatan konsumsi produk lokal, serta masuknya investasi. Pertama, peningkatan netto perdagangan dan konsumsi lokal. Penduduk Banyuwangi dengan jumlah 1,56 juta jiwa merupakan terbesar keempat penduduk di Jawa Timur. Penduduk yang besar ini merupakan pasar yang sangat potensial. Untuk itu, penduduk Banyuwangi harus mengutamakan untuk mengkonsumsi produk lokal Banyuwangi atau setidaknya membeli produk domestik yang dijual di Banyuwangi, supaya ekonomi di Banyuwangi bergerak dan tumbuh. Tentunya dengan catatan bahwa produk lokal Banyuwangi harus berdaya saing; berkualitas dengan harga yang terjangkau atau relatif murah. Oleh sebab produk Banyuwangi harus berhadapan dengan produk-produk dari luar Banyuwangi bahkan dari negara lain. Pilihan masyarakat seharusnya pada jeruk, durian, batik atau produk lokal Banyuwangi lainnya, bukan mengkonsumsi jeruk, durian,

51 49 batik atau produk import. Jika ini dilakukan oleh seluruh masyarakat, maka netto perdagangan Banyuwangi akan surplus dan yang jauh lebih penting adalah memberikan dampak ikutan kepada petani dan produsen lokal Banyuwangi untuk terus memproduksi, memberikan upah tenaga kerja, mengurangi pengangguran, dan seterusnya. Kedua, peningkatan investasi. Posisi Kabupaten Banyuwangi sangat strategis karena terletak di ujung Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Bali. Dalam Materplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), posisi Banyuwangi merupakan pintu gerbang Koridor Ekonomi Jawa sebagai Pendorong Industri dan Jasa Nasional, yang menghubungkan dengan Koridor Ekonomi Bali Nusa Tenggara sebagai Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional. Pada posisi ini, diharapkan Banyuwangi, dalam koridor ekonomi nasional ini menjadi pintu untuk masuknya investasi. Harapan tersebut nampaknya semakin dekat dengan kenyataan. Dari data Badan Penanaman Modal Jawa Timur, jika sebelumnya minat investasi di Banyuwangi hanya menjadi rangking 31 diantara 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, saat ini menempati posisi rangking ketiga sebagai daerah yang paling diminati investor setelah Gresik dan Surabaya. Dengan keberadaan investor, diharapkan bisa membangun sinergi positif demi kemajuan Banyuwangi ke depan. Untuk itulah, investasi apa pun, terutama investasi di sektor yang terkait dengan pertanian (termasuk perikanan dan peternakan) harus didorong lebih kuat dan lebih cepat guna mendayagunakan lebih banyak sumberdaya alam di Banyuwangi. Upaya peningkatan investasi dengan konsep penataan dan pengembangan wilayah telah dirumuskan dan disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan di Kabupaten Banyuwangi. Konsep pengembangan wilayah Banyuwangi telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi Tahun , Pertama Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumberdaya yang

52 50 dimiliki, yaitu Pengembangan kegiatan industri pengolahan potensi kelautan dan perikanan yang terintegrasi dengan pengembangan kawasan Minapolitan di Kecamatan Muncar; Pengembangan agroindustri berada disentra produksi pertanian terintegrasi dengan pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Bangorejo, Siliragung, Kalibaru dan Kalipuro; Pengembangan industri kecil (home industry) dan menengah yang tersebar di seluruh kecamatan. Konsep ini menekankan pada pilihan komoditas unggulan sebagai motor penggerak ekonomi. Kedua, Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang. Konsep pusat pertumbuhan yang menekankan perlunya investasi dengan dukungan infrastruktur yang baik. Pengembangan kawasan industri estate atau kawasan industri terpadu diarahkan di Kecamatan Wongsorejo; dan Pengembangan kegiatan industri yang terintegrasi dengan pengembangan Pelabuhan Umum dan Pelabuhan Khusus diarahkan di Kecamatan Kalipuro; Saat ini sedang diupayakan realisasi Kawasan Industri Wongsorejo (KIW) seluas 600 hektar dari hektar lahan yang telah disiapkan. Ini semua merupakan ikhtiar dalam upaya menjadikan kawasan Banyuwangi utara sebagai kawasan industri guna menyokong perekonomian Banyuwangi dalam skala yang lebih luas lagi. Dengan dukungan dana APBN, pemerintah juga akan melakukan penambahan runway lapangan terbang Blimbingsari serta runway lighting sehingga bisa digunakan untuk pendaratan malam hari dan mampu melayani rute penerbangan armada setara Boeing. Mulai tanggal 1 Mei 2012 yang lalu frekuensi penerbangan dari Banyuwangi-Surabaya oleh Merpati Air sudah dilakukan tiap hari, dan mulai tanggal 20 September 2012, maskapai Wings Air telah membuka penerbangan Banyuwangi- Surabaya PP setiap hari. Dengan demikian diharapkan akan semakin banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di Banyuwangi. Investasi dan pertumbuhan ekonomi diharapkan memberikan dampak pada perluasan lapangan kerja, pengurangan pengangguran dan

53 51 pengurangan kemiskinan. Pengurangan pengangguran ditunjukkan dari menurunnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Pada tahun 2010, TPT di Banyuwangi mencapai 3,92 persen dari seluruh angkatan kerja. Kondisi ini membaik pada tahun 2011, tingkat pengangguran terbuka menurun mencapai 3,71 persen, berada di bawah TPT Jawa Timur yang mencapai 4,16 persen. Pada tahun 2009, prosentase penduduk miskin di Banyuwangi mencapai 12,16 persen penduduk. Kondisi ini membaik pada tahun 2010, penduduk miskin di Banyuwangi menurun mencapai 11,25 persen, berada di bawah penduduk miskin Jawa Timur yang mencapai 15,2 persen dan penduduk miskin nasional sebesar 13,33 persen penduduk. Investasi di Banyuwangi diharapkan mampu terus meningkatkan angka partisipasi angkatan kerja dan pada gilirannya mampu menurunkan pengangguran dan kemiskinan. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan investasi disisi lain, jika tidak diantisipasi dapat memberikan dampak sosial dan disparitas. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Banyuwangi terus memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan jaminan sosial. Jumlah industri non formal di Banyuwangi saat ini sebesar Unit Usaha, dengan Jumlah Tenaga Kerja sebanyak orang, terus didorong untuk terlindungi jaminan sosial. Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) saat ini telah diikuti peserta dari 17 lembaga, dengan dana keseluruhan sebesar Rp. 510 juta. Sedangkan Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), saat ini telah diikuti tenaga kerja pada 787 lembaga. Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) telah disediakan (kuota) sebesar dengan realisasi sebesar (3,8 persen). Adapun Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bersumberdana APBN disediakan kuota dengan realisasi sebesar (33,4 persen). Sebagaimana tadi diuraikan bahwa sektor pertanian termasuk sub sektor perikanan kelautan sebagai prioritas utama pembangunan daerah. Pengembangan investasi diharapkan memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang lebih luas kepada ekonomi Banyuwangi khususnya di sektor pertanian. Pada tahun 2011 luas panen 116,7 ribu

54 52 hektar dan produksi padi mencapai 761,3 ribu ton. Provitas padi pada tahun 2012 sebesar 6,33 ton per hektar. Dukungan APBD pada pembangunan jalan usaha tani tahun 2011 sebesar Rp. 2,16 milyar yang tersebar pada 12 Kecamatan, Jalan produksi disentra produksi kapas, tembakau dan kelapa sebesar Rp. 758,4 juta di Kec. Sempu dan Wongsorejo, dan Jaringan irigasi tingkat usaha tani (JITUT) serta Jaringan Irigasi Pedesaan (JIDES) dengan dana sebesar Rp. 1,74 yang tersebar di 24 kecamatan. Dukungan peningkatan infrastruktur juga terus diupayakan guna peningkatan produksi dan produktifitas pertanian. Pada tahun 2011, saluran tersier yang diperbaiki mencapai 44,4 km dengan baku sawah terairi hektar. Sedangkan saluran skunder yang diperbaiki mencapai 1,03 km dengan baku sawah terairi 300 hektar. Sementara itu, dengan dukungan dana APBN, Waduk Bajulmati yang terletak di Desa Watukebo Kecamatan Wongsorejo terus berlangsung, dengan harapan nantinya berfungsi untuk meningkatkan areal sawah beririgasi teknis seluas hektar, penyediaan air bersih untuk KK, air bersih untuk pelabuhan dengan kapasitas 0,06 m3/detik, dan pariwisata serta perikanan. Sedangkan pada sub sektor perikanan dan kelautan, produksi tahun 2011 tercatat sebesar 31,01 ribu ton dengan produksi budidaya sebesar ton dan produksi tangkap sebesar 29,9 ribu ton. Produksi ini meningkat pada tahun 2012 menjadi sebesar 45,7 ton. Kinerja ekonomi masa lalu Kabupaten Banyuwangi merupakan pondasi bagi pertumbuhan saat ini. Kondisi ekonomi Kabupaten Banyuwangi mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahunnya sejak tahun 2006 yaitu sebesar 4,74 %. Kondisi ini terus meningkat pada tahun , pertumbuhan ekonomi di Banyuwangi sebesar 6,22 %. Hal ini dapat dilihat pada besaran PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) ADHK (Atas Dasar Harga Konstan) tahun 2010 mencapai ,81 juta rupiah, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar ,31 juta

55 53 rupiah. Angka pendapatan per kapita kabupaten Banyuwangi tahun 2010 sebesar Rp ,78 Tahun 2012 tampaknya menjadi tahun terbaik dalam sejarah perekonomian Banyuwangi. Kinerja makro ekonomi Banyuwangi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir terus mengalami trend peningkatan. Pada tahun menjadi tahun pertumbuhan ekonomi yang sangat atraktif. Dalam rentang waktu tahun ekonomi Banyuwangi hanya tumbuh pada kisaran 4-6 persensaja. Namun pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi mencapai 7,02 persen dan sampai pada posisi 7,15 persen pada tahun 2012 (selengkapnya lihat grafis). Dalam lintasan waktu , pertumbuhan ekonomi Banyuwangi meningkat stabil dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur yang cenderung fluktuatif. Fundamental ekonomi Banyuwangi juga relatif kuat dibanding Jawa Timur. Terbukti ditengah krisis yang terjadi tahun akibat Subprime Mortage di AS, Ekonomi Indonesia tertekan pada posisi 4,55 persen yang kemudian berimbas menekan ekonomi Jawa Timur menjadi 5,01 persen. Pada kondisi yang cukup sulit tersebut, ekonomi Banyuwangi masih tumbuh pada posisi 6 persen. Dengan kondisi itu, diprediksikan pertumbuhan ekonomi Banyuwangi masih akan terus meningkat dan ketika momentum pertumbuhan ini bisa dijaga maka pada tahun 2013 ekonomi Banyuwangi dapat tumbuh 7,2 persen atau bahkan lebih. Guncangan ekonomi global dan nasional relatif tidak mempengaruhi laju ekonomi Banyuwangi. Dukungan sektor riel yang kuat menjadi modal penting bergeraknya ekonomi di Banyuwangi selama ini. Basis pertumbuhan ini diprediksi akan terus menguat sehingga menjadikan perekonomian Banyuwangi lebih atraktif lagi pada tahun-tahun mendatang. Dengan inflasi pada kisaran tersebut (kisaran 4,9-5,3 persen), memberi pengaruh yang positif dalam mendorong perekonomian menjadi lebih baik; masyarakat lebih bergairah untuk bekerja, melaksanakan

56 54 diversifikasi usaha, dan mengadakan investasi yang dampaknya meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah. Sebaliknya, jika terjadi hiperinflasi (diatas 10 persen) akan menyebabkan gangguan stabilitas ekonomi dan para pelaku ekonomi enggan untuk melakukan aktifitas dalam perekonomian karena menurunnya daya beli masyarakat sebagai akibat harga-harga meningkat. Indeks daya beli yang ditunjukkan dari pengeluaran riel per kapita juga menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam 2 tahun terakhir. Jika pada tahun-tahun sebelumnya hingga tahun 2010, pengeluaran riel per kapita pada kisaran 620 ribu rupiah, maka pada tahun 2011 sebesar 632,8 ribu rupiah dan mencapai 635,3 ribu rupiah pada tahun Pengeluaran riel yang meningkat disebabkan pendapatan yang meningkat. Pendapatan masyarakat yang ditunjukkan dari PDRB per kapita juga nampak peningkatan yang signifikan. PDRB perkapita dalam bebeberapa tahun terakhir dalam kisaran 6-15 juta per kapita per tahun, meningkat signifikan menjadi 16,8 juta per kapita per tahun pada 2011 dan menjadi 18,1 juta per kapita per tahun pada Meskipun ekonomi Banyuwangi telah bergerak dan tumbuh meningkat, namun beban dan tantangan masih cukup tinggi. Pertumbuhan ekonomi Banyuwangi juga telah memberi dorongan penurunan angka kemiskinan. Pada tahun 2011 sekitar 12,25 persen penduduk di bawah angka kemiskinan Provinsi Jawa Timur (15,2 persen) dan angka kemiskinan nasional (13,3 persen). Pertumbuhan ekonomi telah mendorong peningkatan pendapatan penduduk miskin, namun diakui bahwa peningkatan pendapatan mereka dibawah laju peningkatan pendapatan kelompok masyarakat menengah keatas. Fakta ini menunjukkan bahwa masih ada disparitas pendapatan masyarakat. Kabupaten Banyuwangi yang terdiri dari 24 kecamatan, ada 5 kecamatan yang menjadi pendukung utama perekonomian Kabupaten Banyuwangi, yaitu Kecamatan Muncar yang memberikan kontribusi sebesar 9,45%, kemudian Kecamatan Wongsorejo 8,12%, Kecamatan Kalipuro 6,73%,

57 55 Kecamatan Banyuwangi 6,20% dan Kecamatan Rogojampi 6,20%. Hampir separuh dari seluruh kegiatan ekonomi yang ada di Kabupaten Banyuwangi bergerak di bidang Pertanian dengan luas tanah persawahan sekitar Ha atau sekitar 11,44% sehingga mempunyai pengaruh terhadap struktur ekonomi sebesar 49,18%. Sektor ekonomi kedua yang mempunyai peranan terbesar adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan besar sumbangannya terhadap perekonomian Kabupaten Banyuwangi sebesar 24,05%. Angka Pertumbuhan Ekonomi sering digunakan sebagai salah satu indikator penting dalam mengkaji kinerja ekonomi suatu daerah, apabila semakin tinggi angka pertumbuhan ekonomi suatu daerah maka akan semakin baik kinerja ekonomi daerah tersebut. Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Banyuwangi (Atas Dasar Harga Berlaku) dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 menunjukkan perkembangan yang signifikan yaitu pada tahun 2008 sebesar 18,372 milyar rupiah, meningkat menjadi 20,723 milyar rupiah pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 23,558 milyar rupiah di tahun 2010 serta di tahun 2011 meningkat menjadi 26,367 milyar rupiah Potensi Daerah Daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan dengan provinsi lainnya yang berdekatan, domestik atau internasional. Aspek daya saing daerah terdiri dari kemampuan ekonomi daerah, fasilitas wilayah atau infrastruktur, iklim berinvestasi, dan sumber daya manusia. Indikator aspk daya saing daerah terdiri dari: Kemampuan Ekonomi Daerah Dalam menunjang besarnya PDRB Kabupaten Banyuwangi, sektor pertanian merupakan sektor yang memilki kontribusi tertingggi dalam besarnya PDRB yang hampir mencapai 50%. Hal ini disebabkan karena Kabupaten Banyuwangi merupakan produsen sektor primer terutama beras dan perikanan, dimana merupakan salah satu

58 56 lumbung beras Provinsi Jawa Timur dan produsen ikan laut (Muncar). Dua sektor utama penunjang perekonomian Kabupaten Banyuwangi adalah sektor pertanian serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Wilayah Kabupaten Banyuwangi membentang dari dataran rendah hingga pegunungan, dari kawasan nelayan di sepanjang garis pantai hingga kawasan pertanian dan perkebunan yang terhampar dari wilayah utara, selatan hingga wilayah barat. Sehingga, Kabupaten Banyuwangi memiliki beberapa keunggulan daerah, dimana apabila dapat dimanfaatkan dengan baik akan dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah. Beberapa potensi daerah yang dimaksud adalah: a. Potensi wisata dan budaya Kabupaten Banyuwangi dengan Triangel Diamond-nya (Segitiga Berlian) memilki berbagai macam tujuan wisata, sebelah utara Kawah Ijen dengan belerang dan perkebunan yang mengelilinginya. Di tengah ada GLand (Plengkung) surga bagi peselancar dengan ombaknyanya yang memukau. Sebelah selatan ada Sukamade dengan Penangkaran Penyunya akan mampu menarik wisatawan. Belum lagi dengan adat istiadatnya yang unik dan menarik. Berikut Triangel Diamond Kabupaten Banyuwangi. Kawah Ijen Kawah Ijen yang berada di ketinggian m di atas permukaaan laut, merupakan kawah danau terbesar di Pulau Jawa, kawah berbentuk ellips dengan ukuran kurang lebih 960 x 600 m dengan ketinggian permukaan air danau kurang lebih m di atas permukaaan laut dengan kedalaman danau kurang lebih 200 m serta merupakan danau terasam di dunia dengan ph 0,5. Kawah belerang berada dalam sulfatara yang dalam. Kedalamannya 200 m dan mengandung kira-kira 36 juta meter kubik air asam

59 57 beruap, diselimuti kabut berbau belerang yang berputar-putar diatasnya. Di dalam kawah, berbagai warna dan ukuran batu belerang dapat ditemukan. Sungguh, Kawah ijen merupakan taman batu belerang yang indah. Alas Purwo Plengkung Plengkung atau yang dikenal oleh wisatawan mancanegara dengan nama G-Land merupakan surga bagi para peselancar profesional dari dalam negeri maupu mancanegara. Huruf G berasal dari kata Grajagan, nama dari sebuah teluk yang memiliki ombak yang besar. G-Land dikelilingi oleh hutan hujan tropis yang masih alami. Bulan Mei sampai Oktober adalah bulan terbaik untuk surfing. G-Land menawarkan olahraga surfing yang paling digemari oleh para pesurfer dan disarankan hanya untuk para pesurfer profesional karena ombaknya yang dapat mencapai 5 meter. Kebanyakan dari para peselancar berangkat dari Bali, melalui Banyuwangi langsung ke G- Land atau ke Grajagan, kemudian menyewa boat ke Pantai Plengkung. Untuk menginap tersedia cottage dan Jungle Camp dekat pantai bagi para pengunjung. Pantai Sukamade Jarak Pantai Sukamade kira-kira 97 km ke arah barat daya dari Kota Banyuwangi. Pantai Sukomade merupakan pantai yang tenang dan indah. Pada mulanya pantai ini ditemukan oleh Belanda pada tahun Karet, kopi, dan coklat ditanam di tanah perkebunan seluas1.200 hektar. Sukamade merupakan hutan lindung alam di Jawa Timur yang berhubungan dengan penangkaran penyu. Perjalanan malam hari ke Pantai Sukamade menjadi tak terlupakan. Para pengunjung dibimbing oleh para pemandu penjaga hutan yang berpengalaman untuk melihat penyu yang mendarat ke

60 58 pantai dan bertelur di pantai pasir. Penyu betina biasanya bertelur hingga ratusan yang diletakkan di dalam pasir pantai. Penyu betina biasanya mulai mendarat di pantai jam malam dan kembali ke laut pada jam malam hari. Bulan Nopember hingga Maret adalah musim penyu bertelur. b. Perikanan Di bagian timur, terdapat salah satu penghasil ikan terbesar di Indonesia yaitu Pelabuhan Ikan Muncar. c. Potensi pengembangan sektor pertanian Sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB di Kabupaten Banyuwangi terbilang besar dibandingkan dengan sektor lain. Rata-rata sumbangan sektor ini mencapai sekitar 50% setiap tahunnya. Hal ini merupakan sebuah potensi besar untuk dikembangkan. Namun, potensi tersebut belum termanfaatkan secara baik karena produk-produk pertanian masih belum terkait secara baik Sumber daya manusia yang melimpah Kabupaten Banyuwangi selain memilki luas wilayah yang paling besar dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur, juga memilki sumber daya manusia yang melimpah sebaga salah satu modal pembangunan Fokus Iklim Berinvestasi Salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah melalui investasi. Dengan investasi akan dapat menumbuhkan dan meningkatkan kegiatan sektor riil yang selanjutnya akan meningkatkan produksi dan nantinya akan meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Perkembangan iklim investasi di KabupatenBanyuwangi meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2010 jumlah PMA sebanyak 17 dengan nilai investasi sebesar $ dan PMDN sebanyak 32 dengan nilai investasi sebesar Rp ,-. Sedangkan tahun 2011 mengalami

61 59 peningkatan menjadi 21 PMA dengan nilai investasi $ dan 46 PMDN dengan nilai investasi Rp , Analisis Perkembangan Sektoral Pergerakan ekonomi Banyuwangi yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dikontribusi oleh dua sektor utama yaitu pertanian (termasuk perikanan dan peternakan) serta perdagangan, hotel dan restoran. Pertanian memberikan kontribusi rata-rata 46,5 persen sedangkan perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi rata-rata 26,8 persen. Sektor pertanian tidak hanya menjadi andalan Banyuwangi, namun juga sektor yang diandalkan di level Jawa Timur. Pertumbuhan dan kontribusi sektor ini di Banyuwangi melampaui Jawa Timur, sehingga menurut analisis tipologi Klassen, sektor pertanian menjadi masuk dalam kategori sektor prima (lihat grafis). Sektor pertanian termasuk didalamnya sub sektor perikanan, peternakan, perkebunan, dan kehutanan merupakan sektor yang menghidupi mayoritas penduduk Banyuwangi (market share) paling besar, yang menjadi hajat hidup orang banyak. Untuk itu dalam beberapa tahun kedepan, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menetapkan kebijakan untuk tetap meletakkan sektor ini sebagai prioritas unggulan utama. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran, meskipun dalam posisi kedua dalam memberi kontribusi ekonomi Banyuwangi, namun menjadi lokomotif utama yang mengangkat tumbuhnya perekonomian. Sektor ini pada tahun 2011 mampu tumbuh 8,9 persen dan pada tahun 2012 mencapai posisi 9,2 persen melampaui total pertumbuhan ekonomi Banyuwangi. Sedangkan sektor pertanian yang menjadi unggulan utama, hanya tumbuh rata-rata 5 persen. Ketika sektor perdagangan, jasa, dan restoran serta sektor konstruksi mengalami trend peningkatan, sektor lainnya akan mengalami trend penurunan.

62 60 Kondisi ini menunjukkan bahwa saat ini Banyuwangi dalam proses transformasi, dari pertanian ke sektor jasa perdagangan. Sektor pertanian, di samping pertumbuhannya lambat, kontribusinya terhadap total PDRB semakin tahun semakin menurun. Jika pada tahun kontribusi sektor pertanian pada posisi diatas 47 persen, maka pada tahun 2010 turun menjadi 46 persen dan turun lagi pada posisi 45,9 persen pada tahun Sedangkan pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, yang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi Banyuwangi, faktanya merupakan sektor terbelakang dalam konstelasi ekonomi Jawa Timur. Rerata pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran Jawa Timur lebih tinggi daripada Banyuwangi. Pada sektor ini, ternyata didominasi oleh perdagangan yang mencapai hampir 90 persen, sedangkan peran sektor hotel dan restoran hanya pada kisaran 10 persen. Pada sektor pertanian, masih ditentukan oleh sub sektor tanaman bahan makanan yang mendominasi hingga 50 persen, sedangkan perkebunan 20 persen, perikanan 17 persen, peternakan 10 persen dan kehutanan 3 persen. Inilah tantangan yang masih harus dihadapi saat ini dan pada tahun-tahun mendatang. Ini juga merupakan resultan kerja bareng Pemerintah (seluruh satuan kerja perangkat daerah), bersama swasta dan seluruh komponen masyarakat, yang masih harus terus diupayakan peningkatannya. Peran pemerintah dicerminkan dari besarnya prosentase APBD terhadap total PDRB. APBD Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2012 sebesar 1,86 Trilyun Rupiah, namun proporsinya dalam menstimulasi perekonomian hanya 6,6 persen. Selebihnya (93,4 persen) adalah kontribusi seluruh komponen masyarakat dan swasta. Sebagai gambaran bahwa dari 1,86 trilyun dialokasikan antara lain 42,5 persen untuk memenuhi belanja pendidikan, 13,4 persen infrastruktur, 9,23 persen kesehatan, selebihnya untuk membiayai 22 urusan pembangunan. Anggaran infrastruktur sebesar 250 milyar rupiah diperuntukkan untuk meningkatkan aksesibilitas umum (pembangunan/rehab jalan dan jembatan serta infrastruktur strategis

63 61 lainnya), menunjang sektor pertanian (pembangunan/rehab jaringan irigasi), kesehatan (pengembangan/rehab jaringan puskesmas), dan peningkatan sarana publik lainnya. Dalam konstelasi pertumbuhan ekonomi, meskipun belanja pemerintah relatif kecil dibanding total PDRB (hanya 6,6 persen), tetapi diharapkan mampu mendorong 3 faktor utama fundamental ekonomi Banyuwangi yaitu peningkatan netto perdagangan dan konsumsi lokal, peningkatan konsumsi produk lokal, serta masuknya investasi. Pertama, peningkatan netto perdagangan dan konsumsi lokal. Penduduk Banyuwangi dengan jumlah 1,56 juta jiwa merupakan terbesar keempat penduduk di Jawa Timur. Penduduk yang besar ini merupakan pasar yang sangat potensial. Untuk itu, penduduk Banyuwangi harus mengutamakan untuk mengkonsumsi produk lokal Banyuwangi atau setidaknya membeli produk domestik yang dijual di Banyuwangi, supaya ekonomi di Banyuwangi bergerak dan tumbuh. Tentunya dengan catatan bahwa produk lokal Banyuwangi harus berdaya saing; berkualitas dengan harga yang terjangkau atau relatif murah. Oleh sebab produk Banyuwangi harus berhadapan dengan produk-produk dari luar Banyuwangi bahkan dari negara lain. Pilihan masyarakat seharusnya pada jeruk, durian, batik atau produk lokal Banyuwangi lainnya, bukan mengkonsumsi jeruk, durian, batik atau produk import. Jika ini dilakukan oleh seluruh masyarakat, maka netto perdagangan Banyuwangi akan surplus dan yang jauh lebih penting adalah memberikan dampak ikutan kepada petani dan produsen lokal Banyuwangi untuk terus memproduksi, memberikan upah tenaga kerja, mengurangi pengangguran, dan seterusnya. Kedua, peningkatan investasi. Posisi Kabupaten Banyuwangi sangat strategis karena terletak di ujung Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Bali. Dalam Materplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), posisi Banyuwangi merupakan pintu gerbang Koridor Ekonomi Jawa sebagai Pendorong Industri dan Jasa Nasional, yang menghubungkan dengan Koridor Ekonomi Bali Nusa Tenggara sebagai Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan

64 62 Nasional. Pada posisi ini, diharapkan Banyuwangi, dalam koridor ekonomi nasional ini menjadi pintu untuk masuknya investasi. Harapan tersebut nampaknya semakin dekat dengan kenyataan. Dari data Badan Penanaman Modal Jawa Timur, jika sebelumnya minat investasi di Banyuwangi hanya menjadi rangking 31 diantara 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, saat ini menempati posisi rangking ketiga sebagai daerah yang paling diminati investor setelah Gresik dan Surabaya. Dengan keberadaan investor, diharapkan bisa membangun sinergi positif demi kemajuan Banyuwangi ke depan. Untuk itulah, investasi apa pun, terutama investasi di sektor yang terkait dengan pertanian (termasuk perikanan dan peternakan) harus didorong lebih kuat dan lebih cepat guna mendayagunakan lebih banyak sumberdaya alam di Banyuwangi. Upaya peningkatan investasi dengan konsep penataan dan pengembangan wilayah telah dirumuskan dan disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan di Kabupaten Banyuwangi. Konsep pengembangan wilayah Banyuwangi telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi Tahun , Pertama Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumberdaya yang dimiliki, yaitu Pengembangan kegiatan industri pengolahan potensi kelautan dan perikanan yang terintegrasi dengan pengembangan kawasan Minapolitan di Kecamatan Muncar; Pengembangan agroindustri berada disentra produksi pertanian terintegrasi dengan pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Bangorejo, Siliragung, Kalibaru dan Kalipuro; Pengembangan industri kecil (home industry) dan menengah yang tersebar di seluruh kecamatan. Konsep ini menekankan pada pilihan komoditas unggulan sebagai motor penggerak ekonomi. Kedua, Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang. Konsep pusat pertumbuhan yang menekankan perlunya investasi dengan dukungan infrastruktur yang baik. Pengembangan kawasan industri estate atau kawasan industri terpadu diarahkan di Kecamatan Wongsorejo; dan Pengembangan kegiatan industri yang terintegrasi

65 63 dengan pengembangan Pelabuhan Umum dan Pelabuhan Khusus diarahkan di Kecamatan Kalipuro; Saat ini sedang diupayakan realisasi Kawasan Industri Wongsorejo (KIW) seluas 600 hektar dari hektar lahan yang telah disiapkan. Ini semua merupakan ikhtiar dalam upaya menjadikan kawasan Banyuwangi utara sebagai kawasan industri guna menyokong perekonomian Banyuwangi dalam skala yang lebih luas lagi. Dengan dukungan dana APBN, pemerintah juga akan melakukan penambahan runway lapangan terbang Blimbingsari serta runway lighting sehingga bisa digunakan untuk pendaratan malam hari dan mampu melayani rute penerbangan armada setara Boeing. Mulai tanggal 1 Mei 2012 yang lalu frekuensi penerbangan dari Banyuwangi-Surabaya oleh Merpati Air sudah dilakukan tiap hari, dan mulai tanggal 20 September 2012, maskapai Wings Air telah membuka penerbangan Banyuwangi- Surabaya PP setiap hari. Dengan demikian diharapkan akan semakin banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di Banyuwangi. Investasi dan pertumbuhan ekonomi diharapkan memberikan dampak pada perluasan lapangan kerja, pengurangan pengangguran dan pengurangan kemiskinan. Pengurangan pengangguran ditunjukkan dari menurunnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Pada tahun 2010, TPT di Banyuwangi mencapai 3,92 persen dari seluruh angkatan kerja. Kondisi ini membaik pada tahun 2011, tingkat pengangguran terbuka menurun mencapai 3,71 persen, berada di bawah TPT Jawa Timur yang mencapai 4,16 persen. Pada tahun 2009, prosentase penduduk miskin di Banyuwangi mencapai 12,16 persen penduduk. Kondisi ini membaik pada tahun 2010, penduduk miskin di Banyuwangi menurun mencapai 11,25 persen, berada di bawah penduduk miskin Jawa Timur yang mencapai 15,2 persen dan penduduk miskin nasional sebesar 13,33 persen penduduk. Investasi di Banyuwangi diharapkan mampu terus meningkatkan angka partisipasi angkatan kerja dan pada gilirannya mampu menurunkan pengangguran dan kemiskinan.

66 64 Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan investasi disisi lain, jika tidak diantisipasi dapat memberikan dampak sosial dan disparitas. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Banyuwangi terus memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan jaminan sosial. Jumlah industri non formal di Banyuwangi saat ini sebesar Unit Usaha, dengan Jumlah Tenaga Kerja sebanyak orang, terus didorong untuk terlindungi jaminan sosial. Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) saat ini telah diikuti peserta dari 17 lembaga, dengan dana keseluruhan sebesar Rp. 510 juta. Sedangkan Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), saat ini telah diikuti tenaga kerja pada 787 lembaga. Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) telah disediakan (kuota) sebesar dengan realisasi sebesar (3,8 persen). Adapun Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bersumberdana APBN disediakan kuota dengan realisasi sebesar (33,4 persen). Sebagaimana tadi diuraikan bahwa sektor pertanian termasuk sub sektor perikanan kelautan sebagai prioritas utama pembangunan daerah. Pengembangan investasi diharapkan memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang lebih luas kepada ekonomi Banyuwangi khususnya di sektor pertanian. Pada tahun 2011 luas panen 116,7 ribu hektar dan produksi padi mencapai 761,3 ribu ton. Provitas padi pada tahun 2012 sebesar 6,33 ton per hektar. Dukungan APBD pada pembangunan jalan usaha tani tahun 2011 sebesar Rp. 2,16 milyar yang tersebar pada 12 Kecamatan, Jalan produksi disentra produksi kapas, tembakau dan kelapa sebesar Rp. 758,4 juta di Kec. Sempu dan Wongsorejo, dan Jaringan irigasi tingkat usaha tani (JITUT) serta Jaringan Irigasi Pedesaan (JIDES) dengan dana sebesar Rp. 1,74 yang tersebar di 24 kecamatan. Dukungan peningkatan infrastruktur juga terus diupayakan guna peningkatan produksi dan produktifitas pertanian. Pada tahun 2011, saluran tersier yang diperbaiki mencapai 44,4 km dengan baku sawah terairi hektar. Sedangkan

67 65 saluran skunder yang diperbaiki mencapai 1,03 km dengan baku sawah terairi 300 hektar. Sementara itu, dengan dukungan dana APBN, Waduk Bajulmati yang terletak di Desa Watukebo Kecamatan Wongsorejo terus berlangsung, dengan harapan nantinya berfungsi untuk meningkatkan areal sawah beririgasi teknis seluas hektar, penyediaan air bersih untuk KK, air bersih untuk pelabuhan dengan kapasitas 0,06 m3/detik, dan pariwisata serta perikanan. Sedangkan pada sub sektor perikanan dan kelautan, produksi tahun 2011 tercatat sebesar 31,01 ribu ton dengan produksi budidaya sebesar ton dan produksi tangkap sebesar 29,9 ribu ton. Produksi ini meningkat pada tahun 2012 menjadi sebesar 45,7 ton.

68 66 BAB 5 ANALISA KELAYAKAN LAHAN PENGGANTI 5.1. Pembangunan Jalan Lingkar Selatan Salah satu program strategis Pemerintah Provinsi Jawa Timur di bidang infrastruktur yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa Timur Tahun , Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Timur Tahun dan dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Timur Tahun adalah Pembangunan Jalan Lintas Selatan Provinsi Jawa Timur meliputi Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Tujuan Pembangunan Jalan Lintas Selatan Provinsi Jawa Timur dalam rangka mengurangi kesenjangan (disparitas) perkembangan pembangunan wilayah selatan Jawa Timur dengan wilayah bagian tengah dan utara dari Provinsi Jawa Timur. Sasaran dalam Pembangunan Jalan Lintas Selatan adalah : Pemeratakan hasil-hasil pembangunan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperluas kesempatan kerja dan menjamin keberlanjutan Pembangunan Daerah. Meningkatkan pengelolaan potensi sumber daya alam yang berwawasan lingkungan sesuai dengan RTRW Provinsi Jawa Timur dan RTRW Kabupaten. Meningkatkan Pendapatan Masyarakat dan PAD melalui pengembangan sarana dan prasarana transportasi.

69 67 Memberdayakan peran serta masyarakat melalui optimalisasi pengembangan usaha ekonomi produktif di wilayah selatan provinsi jawa timur yang berbasis potensi sumber daya alam lokal. Pembangunan jalan lintas selatandi Jawa Timur tersebut akan berdampak pada peningkatan sektor-sektor pembangunan di wilayah selatan, sehingga dalam mendukung dan mewujudkan program pembangunan jalan lintas selatan telah dituangkan dalam Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan 8 (delapan) Pemerintah Kabupaten yang dilewati jalan lintas selatan ditetapkan dalam Kerjasama Pembangunan Wilayah Selatan Jawa Timur Nomor : 120.1/403/012/2001 Nomor : 129 Tahun 2001 tanggal 26 September Bidang kerjasama menjadi prioritas pengembangan di wilayah selatan meliputi : Bidang pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan, pertanian, industri dan perdagangan, kelautan, pertambangan, pariwisata dan sektor lainnya disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Pembangunan Jalan Lintas Selatan ini statusnya ditingkatkan menjadi program strategis nasional dan pencanangannya dilakukan oleh Presiden RI pada tanggal 14 Februari 2004 bertempat di Kabupaten Blitar. Biaya pembangunan fisik ditanggung oleh pemerintah provinsi, sedangkan biaya pembebasan tanah telah disediakan oleh masing-masing Pemkab terkait. Dalam pembangunan JLS tidak lepas dari kendala kendala yang menghadang. Berbagai permasalahan umum yang dihadapi baik teknis maupun non teknis, seperti keterbatasan dana, keadaan topografi, pembebasan lahan, kesulitan penggunaan tanah perhutani, aksesibilitas rendah, dan yang lainnya. Pengembangan jalan penghubung utama di bagian Selatan atau dikenal Jalan Lintas Selatan (JLS) sebagai program regional telah direspon Kabupaten Banyuwangi. Jalan yang diarahkan untuk menghubungkan mulai dari Pacitan Trenggalek Tulungagung Blitar Malang Lumajang Jember Banyuwangi dengan panjang ruas 618,80 km. Di Kabupaten Banyuwangi, Jalan Lintas Selatan akan menghubungkan Tengkinol- Malangsari Kendenglembu Glenmore Gentengkulon Rogojampi Banyuwangi

70 68 Ketapang, dengan panjang 110 Km. Peningkatan ketersediaan infrastruktur merupakan salah satu hal yang mendukung kelancaran mobilitas barang dan jasa. Pembangunan Jalan Lintas Selatan di Kabupaten Banyuwangi, meliputi : 1. Jalan Arteri Primer total panjang jalan 110 Km, melewati : Jalan arteri primer yang ada (Jalan Nasional) = 76,30 Km ; Kawasan hutan Perhutani KPH Banyuwangi Selatan = 10,89 Km Kawasan perkebunan PTPN XII (Persero) di Unit Usaha Strategik (UUS) Malangsari, UUS Kendenglembu, UUS Kalirejo / Pengundangan = 22,81 Km 2. Trase yang melewati kawasan hutan dan kawasan perkebunan sebagian besar merupakan kegiatan pembukaan lahan. 3. Jalan Kolektor Primer total panjang 163,23 Km, berupa jalan kabupaten yang terkoneksi dengan ruas jalan arteri primer dan melewati beberapa kecamatan di wilayah selatan Kabupaten Banyuwangi. Pembangunan sarana jalan raya harus memberikan manfaat bagi berbagai kepentingan sosio ekonomis masyarakat dilingkungannya. Wipper (1994) menyatakan ada dua hal penting yang seharusnya menjadi orientasi pembangunan sarana ini. Kedua hal itu adalah keselamatan dan kualitas kehidupan kerja. Artinya pembangunan ini tidak hanya memberikan kemudahan dan perlindungan fisik, tetapi seharusnya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Terbukanya (kemudahan) akses dengan pihak lain (luar) memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperbaiki taraf hidupnya. Poister dan Harris (2000) menegaskan bahwa progam mutu terpadu harus merupakan komitmen yang harus dipertahankan dalam rangka peningkatan kualias cara hidup. Pembangunan sarana jalan merupakan sistem yang sangat kompleks dan terpadu. Talvitie (1999) menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif dalam menggambarkan sistem transportasi. Dalam pandangannya sistem ini

71 69 tidak hanya merupakan input proses maupun output, namun juga termasuk didalamnya adalah dampak (outcome) dan berbagai konsekuensi lain (consequences). Poister dan Harris (2000) menyatakan bahwa membangun sistem jalan raya harus memberikan dampak terhadap peningkatan kualitas layanan, efektifitas dalam segala hal dan penghematan. Untuk itu, proses yang terjadi dalam sistem ditujukan untuk mengelola organisasi, mendapatkan informasi, mengembangkan alternatif, mengevaluasi program-program, mengalokasi berbagai sumber daya untuk menghasilkan produk dan jasa, serta output untuk para pengguna jalan (road users). Sistem jalan raya merupakan sistem yang secara mandiri adaptif (self adaptive), hal ini disebabkan tujuan dan sasaran yang ada sebenarnya merupakan respon dari evaluasi terhadap output, proses, dampak

72 70 (outcome), berbagai konsekuensi dan umpan balik yang diberikan oleh komunitas sistem. Gambaran komprehensif Talvitie (1999) menegaskan bahwa keberhasilan sistem tidak hanya berhenti pada output, tetapi juga perlu melihat dampak atau imbas yang terjadi sehubungan dengan pemanfaatan fasilitas yang diberikan pemerintah tersebut. Pembangunan sarana ini harus berdampak pada naiknya aksesibilitas, semakin berkurangnya kemaceten, peningkatan kualitas jalan raya dan berkurangnya waktu perjalanan maupun berkurangannya polusi udara. Pembangunan ini juga memberikan konsekuensi misal perununan kualitas kesehatan (dikarenakan polusi tinggi), lapangan kerja yang lebih terbuka, semakin sempitnya lahan dan sebagainya. Konsekuensi-konsekuensi yang muncul bisa jadi kurang menguntungkan (misal penurunan kualitas kesehatan dan turunnya nilai-nilai). Dampak maupun konsekuensi negatif yang muncul sebagai akibat pembangunan jalan raya sedapat mungkin diantisipasi atau bila terlanjur terjadi, informasi yang diterima diharapkan dapat memberikan umpan balik masukan penting bagi pemerintah guna perbaikan sistem dan mutu layanan dimasa mendatang. Terkait dengan mutu layanan, Poister dan Harris (2000) menyatakan bahwa hal ini merupakan proposisi jangka panjangdan cenderung kontraproduktif. Oleh karena itu perlu untuk senantiasa dipertimbangkan baik pada awal kegiatan maupun akhir. Mereka juga merekomendasikan pentingnya investasi untuk melatih karyawan. Diperlukan kesabaran dan ekspektasi yang realistis dalam menunggu hasil yang diharapkan 5.2. Kewajiban Lahan Pengganti Ditinjau dari kondisi geografis dan pembangunan trase jalan lintas selatan melewati Jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten eksisting yang berada di masing-masing Kabupaten dan sebagian trase jalan lintas selatan melewati kawasan hutan milik Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Berkenaan dengan pembangunan jalan lintas selatan kawasan

73 71 hutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dikenakan ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Dinas/Instansi terkait baik dari unsur Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Di Kabupaten Banyuwangi panjang trase jalan lintas selatan sekitar 110 Km, sebagian besar melewati ruas jalan nasional, jalan provinsi dan sebagian kecil melewati jalan kabupaten. Sebagian trase jalan lintas selatan juga melewati perkebunan dan kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan jalan lintas selatan sesuai peraturan perundangan yang berlaku dilakukan melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan. Berkenaan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sudah mendapat surat Menteri Kehutanan RI. tanggal 19 Agustus 2009 Nomor S.651/Menhut -VII/2009 perihal persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan seluas ± 25,79 Ha Untuk Pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa Timur a.n. Bupati Banyuwangi di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur, kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi (Bupati Banyuwangi) yaitu : a. Menyediakan dan menyerahkan lahan bukan kawasan hutan kepada Kementrian Kehutanan seluas ± 25,79 ha yang clear and clean sebagai kompensasi atas kawasan hutan yang digunakan; b. Menanggung biaya tata batas pinjam pakai kawasan hutan. c. Menanggung biaya inventarisasi tegakan; d. Menangung biaya pengukuhan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi; e. Melaksanakan dan menanggung biaya reboisasi atas lahan kompensasi; f. Melaksanakan reklamasi dan reboisasi pada kawasan hutan yang sudah tidak dipergunakan tanpa menunggu selesainya jangka waktu pinjam pakai kawasan hutan; g. Menyelenggarakan perlindungan hutan; h. Memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah sewaktu melakukan monitoring dan evaluasi di lapangan.

74 72 i. Menanggung seluruh biaya sebagai akibat adanya pinjam pakai kawasan hutan. j. Mengingat pemenuhan kewajiban-kewajiban huruf f, g, h, i dilaksanakan pada saat telah terbit izin pinjam pakai kawasan hutan, maka pemohon wajib membuat pernyataan di depan notaris; k. Membayar ganti rugi nilai tegakan kepada Perum Perhutani; l. Membayar PSDH dan DR kepada Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku; m. Membayar biaya inventasi pengelolaan hutan atau pemanfaatan hutan kepada Perum Perhutani akibat penggunaan kawasan hutan sesuai dengan luas areal hutan tanaman yang dipinjam pakai dan jangka waktu pinjam pakai kawasan hutan; Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan tersebut diatas, bukan merupakan izin pinjam pakai kawasan hutan sehingga kegiatan pembangunan trase jalan lintas selatan di kawasan hutan tidak boleh dilaksanakan sebelum beberapa kewajiban utama dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sebagai dasar memperoleh Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dari Menteri kehutanan RI. Adapun Lokasi Calon Lahan Kompensasi yang diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi di Wilayah Kabupaten Banyuwangi adalah sebagai berikut:

75 73 Lokasi I No Kriteria Keterangan 1 Status Tanah Yasan dengan kepemilikan terdiri dari ± 40 0rang, belum bersertifikat 2 Lokasi a. Menurut administrasi pemerintahan : Dusun : Krajan Dua Desa : Bangsring Kecamatan : Wongsorejo Kabupaten : Banyuwangi Berbatasan dengan kawasan hutan : Petak : 64, Pal B.320 s/d B.345 RPH : Selogiri BKPH : Ketapang KPH : Banyuwangi Utara 3 Luas ± 22,29 ha (lebih kurang dua puluh dua koma dua puluh sembilan hektar) 4 DAS Sampean 5 Kondisi lapangan a. Lapangan : landai b. Jenis tanah : Latosol c. Ketinggian : 88 mdpl d. Kemiringan : 0 s/d 10 % e. Solum : agak dalam f. Jenis tanaman : semusim, sengon, dan mangga

76 74 Lokasi II No Kriteria Keterangan 1 Status Tanah Yasan dengan kepemilikan ± 5 orang, belum bersertifikat 2 Lokasi Menurut administrasi pemerintahan : Dusun : Pal Tujuh Karangrejo Utara Desa : Wongsorejo Kecamatan : Wongsorejo Kabupaten : Banyuwangi Berbatasan dengan kawasan hutan : Petak : 24d (Pal B.108/1 s/d B.111/B. 108/10) dan (Pal B. 112/1 s/d B.112/6) RPH : Alasbuluh BKPH : Watudodol KPH : Banyuwangi Utara 3 Luas ± 5 ha 4 DAS Sampean 5 Kondisi lapangan a. Lapangan : lereng landai b. Jenis tanah : latosol c. Ketinggian : 250 m dpl d. Kemiringan : 5 s/d 35 % e. Solum : agak dalam f. Jenis tanaman: semusim

TINJAUAN ATAS PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012

TINJAUAN ATAS PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TINJAUAN ATAS PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 http://adisuara.blogspot.com I. PENDAHULUAN Tanah merupakan modal dasar pembangunan. Hampir

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22,2012 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

SKEMA PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

SKEMA PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM SKEMA PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM DISELENGGARAKAN MELALUI 4 TAHAPAN, YAITU: I. TAHAP PERENCANAAN PENGADAAN Instansi yang memerlukan tanah

Lebih terperinci

1. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum dan pendanaannya.

1. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum dan pendanaannya. URAIAN MENGENAI TATA CARA PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM Pembangunan untuk kepentingan umum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam

Lebih terperinci

GORR Dipastikan Tuntas 2019, Khusus Segmen I,II, Segmen III Tersendat Pembebasan Lahan

GORR Dipastikan Tuntas 2019, Khusus Segmen I,II, Segmen III Tersendat Pembebasan Lahan GORR Dipastikan Tuntas 2019, Khusus Segmen I,II, Segmen III Tersendat Pembebasan Lahan http://hargo.co.id/wp-content/uploads/2018/02/1c5f640b-62aa-4d1b-bf60-d3f650e19792.jpg GORONTALO, Hargo.co.id Mega

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa dalam

Lebih terperinci

DIKLAT MANAJEMEN PROYEK. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

DIKLAT MANAJEMEN PROYEK. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum DIKLAT MANAJEMEN PROYEK Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum muntibdg@yahoo.com PUSDIKLAT KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM Drs. Muntiyono, ST.,MM.,MT. Widyaiswara Utama NIP : 19520619 197602 1 001 Balai Diklat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Undang-Undang No. 2 tahun 2012

Undang-Undang No. 2 tahun 2012 BAPPENAS Undang-Undang No. 2 tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum D A F T A R I S I : Jenis Kepentingan 1 Umum Pokok-pokok 1 Tahapan 2 Perencanaan 2 Ganti Kerugian

Lebih terperinci

DIREKTORAT PENGATURAN DAN PENGADAAN TANAH PEMERINTAH

DIREKTORAT PENGATURAN DAN PENGADAAN TANAH PEMERINTAH REFORMASI PERATURAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM SERTA PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM MELALUI KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN SWASTA (KPS) (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 39 TAHUN 2016 TENTANG PELEPASAN TANAH DESA BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DI DAERAH

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DI DAERAH BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang

Lebih terperinci

UU No. 2 thn ASAS DAN TUJUAN POKOK-POKOK PENGADAAN TANAH PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH

UU No. 2 thn ASAS DAN TUJUAN POKOK-POKOK PENGADAAN TANAH PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH UU No. 2 thn. 2012 ASAS DAN TUJUAN POKOK-POKOK PENGADAAN TANAH PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH TAHAPAN PENGADAAN TANAH 1. PERENCANAAN 2. PERSIAPAN 3. PELAKSANAAN 4. PENYERAHAN HASIL PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG MEKANISME PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN

PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1 2 3 4 1 A Pembangunan Perumahan TIDAK SESUAI dengan peruntukkan lahan (pola ruang) Permasalahan PENATAAN RUANG dan PERUMAHAN di Lapangan B Pembangunan Perumahan yang SESUAI dengan peruntukkan lahan,

Lebih terperinci

DIKLAT PENGADAAN TANAH KATA PENGANTAR

DIKLAT PENGADAAN TANAH KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dalam menyelesaikan Modul Diklat Pengadaan Tanah. Modul ini disusun agar peserta diklat dapat mempelajari

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEKAYAAN DESA BUPATI MADIUN,

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEKAYAAN DESA BUPATI MADIUN, BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEKAYAAN DESA BUPATI MADIUN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan Pasal 16 Peraturan Menteri Dalam Negeri

Lebih terperinci

PERATURAN DESA GIRIPANGGUNG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN TANAH DESA

PERATURAN DESA GIRIPANGGUNG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN TANAH DESA PERATURAN DESA GIRIPANGGUNG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN TANAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA GIRIPANGGUNG, Menimbang : a. bahwa Tanah Desa merupakan kekayaan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH. sumber gambar: flickr.com dan yahoo.com

FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH. sumber gambar: flickr.com dan yahoo.com FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH sumber gambar: flickr.com dan yahoo.com I. PENDAHULUAN Pembangunan merupakan faktor penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjadi salah satu indikator pertumbuhan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2017 2 BUPATI

Lebih terperinci

LAMPIRAN 85 GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 112 TAHUN 2014 TENTANG PEMANFAATAN TANAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 112 TAHUN 2014 TENTANG PEMANFAATAN TANAH DESA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 112 TAHUN 2014 TENTANG PEMANFAATAN TANAH DESA SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 112 TAHUN 2014 TENTANG PEMANFAATAN TANAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 50/PUU-X/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 50/PUU-X/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 50/PUU-X/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum I. PEMOHON 1. Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) diwakili

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 148 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hak Atas Tanah Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.92, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. Barang Milik Negara. Barang Milik Daerah. Pengelolaan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5533) PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 148 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 71

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 148 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 71 PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 148 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5280,2012 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM I. UMUM Dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013 GANTI RUGI NILAI JUAL OBJEK PAJAK (NJOP) PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM 1 (Studi Kasus Pelebaran Jalan Martadinata dan Yos Sudarso Kota Manado) Oleh : Ricko Sangian 2 Abstrak Di Negara Indonesia

Lebih terperinci

KAJIAN ATAS DASAR HUKUM PENGADAAN TANAH BANJIR KANAL TIMUR TA 2008 DAN Landasan hukum pelaksanaan pengadaan tanah Banjir Kanal Timur (BKT)

KAJIAN ATAS DASAR HUKUM PENGADAAN TANAH BANJIR KANAL TIMUR TA 2008 DAN Landasan hukum pelaksanaan pengadaan tanah Banjir Kanal Timur (BKT) KAJIAN ATAS DASAR HUKUM PENGADAAN TANAH BANJIR KANAL TIMUR TA 2008 DAN 2009 1. Latar Belakang Landasan hukum pelaksanaan pengadaan tanah Banjir Kanal Timur (BKT) yaitu Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 2007

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM Tanah adalah salah satu harta yang sangat berharga di muka bumi ini, yang dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia tak henti-hentinya memberikan problemaproblema

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

SALINAN NO : 14 / LD/2009

SALINAN NO : 14 / LD/2009 SALINAN NO : 14 / LD/2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2008 SERI : D.8 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Pendukung Lainnya Oleh M. Noor Marzuki Direktur Pengadaan Tanah Wilayah I Badan

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005

Lebih terperinci

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 111 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan. No.377, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.587, 2013 BADAN PERTANAHAN NASIONAL. Tanah. Pelaksanaan. Petunjuk Teknis. PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 084 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 084 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 084 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERSIAPAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN PRESIDEN NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 67 TAHUN 2005 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BUPATI BANGLI PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGLI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BUPATI BANGLI PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGLI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BUPATI BANGLI PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGLI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGLI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN J A K A R T A : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN J A K A R T A : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN J A K A R T A PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN Nomor : P. 14/VII-PKH/2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PINJAM PAKAI KAWASAN

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN UTILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2012

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2012 SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG BIAYA OPERASIONAL DAN BIAYA PENDUKUNG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR.22 TAHUN 2013

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR.22 TAHUN 2013 GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR.22 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN VERIFIKASI DOKUMEN PERENCANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN ASET DESA Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2014 BUPATI BANDUNG

Lebih terperinci

2012, No Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran

2012, No Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.215, 2012 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5357) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2010 NOMOR 38 SERI E

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2010 NOMOR 38 SERI E BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2010 NOMOR 38 SERI E PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 671 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN KEKAYAAN DESA BUPATI BANJARNEGARA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air, ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikaruniakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 164/PMK.06/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 164/PMK.06/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 164/PMK.06/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA DALAM RANGKA PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa air permukaan mempunyai peran

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

ASPEK PAJAK DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH

ASPEK PAJAK DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH ASPEK PAJAK DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH kreditgogo.com I. Pendahuluan Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, pemerintah perlu menyelenggarakan

Lebih terperinci

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI MERAUKE, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

2014, No Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha

2014, No Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.261, 2014 MIGAS. Usaha. Panas Bumi. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5595) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 42 2012 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci