ANALISIS KETEPATAN DIAGNOSA DAN PEMBERIAN JENIS OBAT PADA BALITA SAKIT ISPA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MANAJEMEN TERPADU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KETEPATAN DIAGNOSA DAN PEMBERIAN JENIS OBAT PADA BALITA SAKIT ISPA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MANAJEMEN TERPADU"

Transkripsi

1 ANALISIS KETEPATAN DIAGNOSA DAN PEMBERIAN JENIS OBAT PADA BALITA SAKIT ISPA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI PUSKESMAS KOTA BANDUNG Sharon Gondodiputro 1, Henni Djuhaeni 2 1&2 Staff of Public Health Department, Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran Bandung, West Java, Indonesia ABSTRAK Setiap tahun lebih dari 10 juta balita di Negara berkembang meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun. Penyebab kematian ini pada umumnya dapat dicegah. Dengan terbatasnya sumber daya di Negara-negara berkembang, maka sejak tahun 1994, WHO dan UNICEF mengembangkan program Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam mengatasi permasalahan tersebut. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi ketepatan diagnosa dan penggunaan obat-obatan pada balita dengan ISPA kasus baru secara efektif dan efisien di Puskesmas yang telah dilatih MTBS dibandingkan dengan Puskesmas yang belum dilatih MTBS. Suatu studi Cross-sectional bersifat analitik dilakukan pada 184 balita dengan ISPA kasus. Hasilnya adalah terdapat perbedaan signifikan dalam ketepatan diagnosa dan penggunaan obat (p=0,000; <0,05). Di Puskesmas yang sudah dilatih MTBS, dari seluruh kasus baru ISPA, 40.2% dapat dideteksi sebagai kasus Pnemonia, sedangkan di Puskesmas belum MTBS hanya dapat mendeteksi kasus Pnemonia sebesar 20.1%. Di Puskesmas yang telah dilatih MTBS memberikan 1 2 jenis obat, sedangkan di Puskesmas yang belum dilatih MTBS memberikan 4 5 jenis obat. Ke- dua hal tersebut membuktikan bahwa program MTBS di pelayanan kesehatan primer 1

2 (Puskesmas) sangat efisien dan efektif, sehingga disarankan bahwa seluruh Puskesmas yang ada sebaiknya dilatih untuk melaksanakan program MTBS. Kata kunci : MTBS, Ketepatan diagnosa, Efisiensi obat ANALYSIS OF DIAGNOSIS ACCURACY AND USED OF DRUGS ON UPPER RESPIRATORY INFECTION (URI) USING INTEGRATED MANAGEMENT OF CHILDHOOD ILLNESS (IMCI) AT COMMUNITY HEALTH CENTER, BANDUNG MUNICIPALITY Sharon Gondodiputro 1, Henni Djuhaeni 2 1&2 Staff of Public Health Department, Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran Bandung, West Java, Indonesia ABSTRACT Most developing countries concern that expenditure on health was increasing and resources are scarce. Those situations, have led to the introduction of many health programs that are cost effective. Each year more than 10 million children in developing countries die before they reach their fifth birthday. Most of deaths can be prevented. Since 1994 WHO and UNICEF developed a strategy called Integrated Management of Childhood Illness (IMCI). This study aimed to evaluate accuracy of diagnosis and drug use efficiency at Puskesmas (Community Health Center- 1st health facility) with IMCI program for new Acute Respiratory Infection (ARI) cases in under 5 year-age children. A Cross-sectional Analytic study was done with 184 cases of ARI. Data were analyzed using Chi Square test. There are significant differences between Puskesmas with IMCI program and Puskesmas non IMCI program (p=0,000; <0,05). At Puskesmas with IMCI program, they 2

3 could detected about 40.2% cases of pneumonia compared 20.1% cases of pneumonia at Puskesmas non IMCI program. At Puskesmas with IMCI program they gave 1-2 sorts of drugs,whereas at Puskesmas non IMCI they gave 4 5 sorts of drugs. Those results showed that IMCI program at first level health facility (Puskesmas) proved to be efective and drug efficient Keywords : IMCI, Diagnosis accuracy, Drug efficiency PENDAHULUAN Di Negara berkembang, setiap tahunnya kurang lebih 12 juta anak meninggal sebelum ulang tahunnya yang kelima dan sebagian besar disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernapasan Akut ( ISPA ), Diare dan Campak 1. Di Indonesia diperkirakan kematian karena Pnemonia adalah 6 per 1000 balita (150,000 balita) per tahun 2 Program ISPA telah dilakukan sejak tahun 1980 di seluruh Indonesia yaitu menerapkan pendekatan diagnosa Pnemonia dan Pnemonia Berat melalui pemeriksaan nafas cepat dan tarikan dinding dada ke dalam. Dikatakan bahwa bila hal ini diterapkan dengan baik, maka mampu mencegah kematian balita akibat ISPA sampai %. Namun sampai saat ini program ISPA belum berjalan sesuai dengan standar operasional. Hal ini dapat dilihat pada hasil survey tahun 1995 yang menunjukkan bahwa hanya 5 % petugas kesehatan melakukan tatalaksana ISPA dengan benar 3 Pada tahun 1994, WHO bekerjasama dengan UNICEF mengembangkan suatu pendekatan baru yang dinamakan Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) yaitu pendekatan baru yang memadukan upaya promotif, preventif dan kuratif serta tatalaksana lima penyakit yang menimbulkan tujuh dari sepuluh kematian bayi dan balita yaitu Pnemonia, Diare, Campak, Malaria dan Malnutrisi 4. Dasar pemikiran program ini adalah 5,6 : 3

4 - Pada balita yang sakit, umumnya menunjukkan gejala dan tanda dari beberapa kondisi, sehingga kemungkinan didapatkan lebih dari satu diagnosis. - Bila hal tersebut terjadi, maka pengobatan yang dilakukan harus berupa kombinasi, bukan hanya satu pengobatan saja - Perhatian tidak hanya ditujukan kepada penyakitnya saja, tetapi harus kepada balita secara utuh. - Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kualitas pelayanan seperti ketersediaan obat, organisasi dari sistem kesehatan, rujukan pelyanan dan perilaku masyarakat perlu diperhatikan dalam satu strategi integrasi Indonesia mengadaptasi dan mengadopsi pendekatan ini dengan nama Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Pelaksanaan program MTBS ini membutuhkan kerjasama dan koordinasi di seluruh tingkatan sistem kesehatan dengan harapan dapat meningkatkan efektivitas pelayanan dan menurunkan biaya bila tujuan program ini tercapai yaitu 5 - Menurunkan angka kesakitan dan kematian balita, berhubungan dengan penyebab utama penyakit - Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan balita yang sehat Pendekatan MTBS Kota Bandung dimulai sejak tahun 1998 dan terus meningkat jumlahnya sehingga pada tahun 2002 telah dilaksanakan di 23 Puskesmas, dimulai dengan pelatihan bagi para dokter, perawat dan bidan 7. Evaluasi dilakukan setiap tiga bulan oleh Dinas Kesehatan dan baru meliputi evaluasi kepatuhan dan keterampilan petugas terhadap pelaksanaan MTBS. Hasil evaluasi pada 23 Puskesmas tersebut menunjukkan bahwa, tingkat kepatuhan petugas adalah 86 % dan tingkat ketrampilan petugas adalah 85 % 7.Namun demikian, dampak penerapan MTBS terhadap ketepatan diagnosis dan ketepatan pemberian obat belum diketahui. Untuk itu perlu dilakukan penelitian dengan membandingkan ketepatan diagnosis dan ketepatan pemberian obat 4

5 terhadap pasien balita dengan ISPA di Puskesmas yang telah menerapkan MTBS dengan Puskesmas yang belum menerapkan MTBS karena sebenarnya Puskesmas-Puskesmas tersebut telah melakukan program ISPA. SUBJEK DAN METODE Penelitian yang dilakukan adalah penelitian cross sectional bersifat analitik dengan subyek penelitian adalah balita sakit kasus baru ISPA di Kota Bandung, jumlah sampel sebesar 184 balita, sedangkan obyek penelitian adalah jenis obat yang diberikan pada balita sakit kasus baru ISPA. Analisis statistic menggunakan uji Chi Square. Subjek penelitian adalah balita kasus baru ISPA dengan rentang usia umur 2 bulan sampai < 5 tahun. Selanjutnya dikategorikan berdasarkan (1) Bukan Pnemonia, (2) Pnemonia (3) Pnemonia Berat. Klasifikasi Bukan Pnemonia mencakup kelompok penderita balita yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas atau napas cepat dan tidak adanya tarikan dinding dada kedalam. Dengan demikian klasifikasi bukan pnemonia kemungkinan mencakup adalah penyakitpenyakit ISPA lain diluar pnemonia seperti batuk pilek biasa (Common Cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis. Klasifikasi Pnemonia, jika didapatkan anak dengan gejala batuk dan kesukaran bernapas dengan frekuensi napas yang cepat yaitu untuk umur 2 bl sampai < 1 th : 40x/menit, umur 1 th sampai < 5 th : 50x/menit. Klasifikasi Pnemonia Berat didasarkan pada adanya batuk dan keskuran bernapas disertai napas sesak atau penarikan dinding dada kedalam (Chest indrawing). 8 Protokol pemberian obat pada kasus-kasus tersebut dilakukan sesuai standar yaitu: - Klasifikasi bukan Pnemonia tidak disertai demam (<38,5ºC) tidak diberikan obat hanya dilakukan perawatan di rumah dengan memberikan obat tradisional saja sedangkan jika ada demam (>38,5ºC) diberikan obat paracetamol dengan dosis sesuai dengan umur anak. - Klasifikasi Pnemonia diberikan antibiotika Kotrimoksasol, jika disertai demam (>38,5ºC) dapat diberika Paracetamol dengan dosis sesuai dengan umur 5

6 - Klasifikasi Pnemonia Berat, balita di rujuk ke Rumah Sakit terdekat. Lokasi penelitian adalah di 7 Puskesmas Kota Bandung yang telah melaksanakan program MTBS, sebagai pembanding adalah 7 Puskesmas yang belum melaksanakan MTBS tetapi telah melaksanakan program ISPA yang ditentukan secara purposif yaitu dengan kriteria jumlah kunjungan balitanya hampir sama dengan Puskesmas MTBS 9 ( Diagram 1) PUSKESMAS MTBS PUSKESMAS BELUM MTBS BALITA SAKIT KASUS BARU ISPA BALITA SAKIT KASUS BARU ISPA BUKAN PNEMONIA PNEMONIA BUKAN PNEMONIA PNEMONIA > 38.5 C < 38.5 C < 38.5 C > 38.5 C > 38.5 C < 38.5 C < 38.5 C > 38.5 C PEMBERIAN JENIS OBAT PEMBERIAN JENIS OBAT 6

7 HASIL PENELITIAN 11 Pada tabel 1, diketahui proporsi penderita ISPA terbesar terdapat pada kelompok umur 12- <60 bulan (MTBS=92,90% dan Belum MTBS=94,10%). Tabel 1 Distribusi penderita ISPA berdasarkan umur Di Puskesmas MTBS dan belum MTBS di Kota Bandung Tahun 2004 Karakteristik MTBS (N=184) Kelompok Belum MTBS (N=184) n % n % Umur (Bulan) ~ Umur 2 - <4 bulan 1 0,50 1 0,50 ~ Umur 4 - <12 bulan 12 6, ,40 ~ Umur 12 - <60 bulan , ,10 Dari seluruh sampel, menunjukkan bahwa suhu badan penderita ISPA Pnemonia dengan suhu <38,5 C pada Puskesmas MTBS proporsinya 60,80% (45 penderita) lebih besar bila dibandingkan dengan proporsi penderita ISPA Pnemonia dengan suhu >38,5 C, yaitu 39,20% (29 penderita). Hal yang sama juga terdapat pada Puskesmas Belum MTBS dimana proporsi suhu badan penderita ISPA Pnemonia <38,5 C sebesar 75,70% (28 penderita) lebih besar bila di bandingkan dengan penderita ISPA Pnemonia dengan suhu >38,5 C yaitu 24,30% (9 penderita). Penderita ISPA Bukan Pnemonia dengan suhu <38,5 C pada Puskesmas MTBS proporsinya 60,90% (67 penderita) lebih besar bila dibandingkan dengan proporsi penderita ISPA Bukan Pnemonia dengan suhu >38,5 C, yaitu 39,10% (43 penderita). Hal yang sama juga terdapat pada Puskesmas Belum MTBS dimana proporsi penderita ISPA Bukan Pnemonia <38,5 C sebesar 7

8 93,90% (138 penderita) lebih besar bila di bandingkan dengan penderita ISPA Bukan Pnemonia dengan suhu >38,5 C yaitu 6,10% (9 penderita) seperti yang terlihat pada table 2 di bawah ini: Tabel 2. Distribusi Penderita ISPA menurut Klasifikasi Dan Suhu di Puskesmas MTBS dan Belum MTBS Kota Bandung Tahun 2004 Karakteristik MTBS (N=184) Kelompok Belum MTBS (N=184) n % n % Suhu : Pnemonia ~ < 38,5 C ~ > 38,5 C Jumlah Suhu : Bukan ~ < 38,5 C ,90 Pnemonia ~ > 38,5 C ,10 Jumlah Penderita Pneumonia Pada tabel 3, menggambarkan penggunaan obat-obatan pada kasus Pneumonia dengan atau tanpa demam. Sebagian besar Penderita Pnemonia baik yang mempunyai suhu <38,5ºC maupun >38,5ºC menggunakan antibiotik baik pada Puskesmas MTBS maupun belum MTBS ( suhu <38,5ºC : Puskesmas MTBS 95,56% dan belum MTBS 89,30%, >38,5ºC : Puskesmas MTBS 96,55% dan belum MTBS 100,00% ). Proporsi penderita Pnemonia suhu <38,5ºC yang mempergunakan antipiretik pada Puskesmas MTBS hanya sebesar 4,44% lebih kecil bila dibandingkan dengan proporsi pada Puskesmas Belum MTBS yaitu 89,30%, sedangkan proporsi penderita Pnemonia suhu >38,5ºC sebagian besar mengunakan antipiretik baik pada Puskesmas MTBS (75,90%) maupun pada Puskesmas Belum MTBS (100,00%). Pada Puskesmas MTBS sebagian besar penderita Pnemonia tidak diberikan obat anti alergi baik pada suhu <38,5ºC (100,00%) maupun pada suhu >38,5ºC (82,80%), sedangkan pada 8

9 Puskesmas Belum MTBS sebagian besar memberikan anti alergi pada penderita Pnemonia baik pada suhu <38,5ºC (96,40%) maupun pada penderita Pnemonia suhu >38,5ºC (100,00%). Obat batuk tidak diberikan pada penderita Pnemonia pada suhu <38,5ºC maupun pada suhu >38,5ºC di Puskesmas MTBS (0%), sedangkan pada Puskesmas Belum MTBS sebagian besar memberikan obat batuk kepada penderita Pnemonia suhu <38,5ºC (85,70%) maupun penderita Pnemonia suhu >38,5ºC (88,90%). Pada Puskesmas MTBS hampir seluruhnya tidak memberikan vitamin pada penderita Pnemonia suhu <38,5ºC (97,78%) dan suhu >38,5ºC (100,00%), hampir sama dengan Puskesmas Belum MTBS yang sebagian besar tidak memberikan vitamin ada penderita Pnemonia suhu <38,5ºC (53,60%) dan penderita Pnemonia suhu >38,5ºC (55,60%). Tabel 3. Distribusi Penggunaan Jenis Obat Penderita Pnemonia Menurut Suhu Pada Puskesmas MTBS dan Belum MTBS Di Kota Bandung Tahun 2004 Jenis obat 1. Antibiotik MTBS (N=45) Suhu <38,5ºC Belum MTBS (N=28) Pnemonia MTBS (N=29) Suhu >38,5ºC Belum MTBS (N=9) n % n % n % n % ~ Tidak 2 4, ,70 1 3,40 0 0,00 ~ Ya 43 95, , , ,00 2. Antipiretik ~ Tidak 43 95, , ,10 0 0,00 ~ Ya 2 4, , , ,00 3. Anti alergi ~ Tidak ,00 1 3, ,80 0 0,00 ~ Ya 0 0, , , ,00 4. Obat Batuk ~ Tidak , , , ,10 ~ Ya 0 0, ,70 0 0, ,90 5. Vitamin ~ Tidak 44 97, , , ,60 ~ Ya 1 2, ,40 0 0, ,40 9

10 Tabel 4, menggambarkan banyaknya jenis obat yang diberikan. Pada Puskesmas MTBS jumlah jenis obat yang diberikan kepada penderita Pnemonia suhu <38,5ºC sebagian besar hanya memberikan 1 jenis obat (88,90%), pada suhu >38,5ºC memberikan 2 jenis obat (89,70%). Pada Puskesmas Belum MTBS jumlah jenis obat terbanyak diberikan kepada penderita Pnemonia suhu <38,5ºC yaitu 4 jenis obat (57,10%) bahkan 5 jenis obat (25,00%) dan pada suhu >38,5ºC diberikan 4 jenis obat (66,67%) serta 5 jenis obat. (33,33 %). Tabel 4. Distribusi Jumlah Jenis Obat Yang diberikan Kepada Penderita Pnemonia Menurut Suhu Pada Puskesmas MTBS dan Belum MTBS Di Kota Bandung Tahun 2004 Jumlah Jenis Obat MTBS (N=45) Suhu <38,5ºC Belum MTBS (N=28) Pnemonia MTBS (N=29) Suhu >38,5ºC Belum MTBS (N=9) n % n % n % n % ~ Tidak memakai obat 2 4,40 0 0,00 0 0,00 0 0,00 ~ 1 jenis 40 88,90 0 0, ,30 0 0,00 ~ 2 Jenis 3 6,70 0 0, ,70 0 0,00 ~ 3 Jenis 0 0, ,90 0 0,00 0 0,00 ~ 4 Jenis 0 0, ,10 0 0, ,67 ~ 5 Jenis 0 0, ,00 0 0, , , , , ,00 Hasil uji statistik menunjukan ada perbedaan yang bermakna antara penderita pnemonia dan jenis obat menurut tatalaksana pada Puskesmas MTBS dan Belum MTBS dengan nilai p < 0,005 (p=0,000) dan X 2 sebesar 76,

11 Penderita Bukan Pneumonia Tabel 5 menggambarkan penggunaan obat-obatan pada kasus Pneumonia baik di Puskesmas MTBS maupun Non MTBS. Proporsi penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC yang tidak diberikan antibiotik pada kelompok MTBS (88,10%) lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok Belum MTBS (28,30%), tetapi pada penderita Bukan Pnemonia suhu >38,5ºC sebagian besar tidak memberikan antibiotik pada kelompok MTBS (93,33%) dan pada kelompok Belum MTBS (55,56%). Proporsi penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC yang mempergunakan antipiretik pada Puskesmas MTBS hanya sebesar 20,90% lebih kecil bila dibandingkan dengan proporsi pada Puskesmas Belum MTBS yaitu 92,80%, sedangkan proporsi penderita Bukan Pnemonia suhu >38,5ºC sebagian besar mengunakan antipiretik baik pada Puskesmas MTBS (65,10%) maupun pada Puskesmas Belum MTBS (100,00%). Pada Puskesmas MTBS sebagian besar penderita Bukan Pnemonia tidak diberikan obat anti alergi baik pada suhu <38,5ºC (89,60%) maupun pada suhu >38,5ºC (69,80%), sedangkan pada Puskesmas Belum MTBS sebagian besar memberikan anti alergi pada penderita Bukan Pnemonia baik pada suhu <38,5ºC (82,60%) maupun pada penderita Bukan Pnemonia suhu >38,5ºC (88,90%). Obat batuk tidak diberikan pada penderita Bukan Pnemonia pada suhu <38,5ºC maupun pada suhu >38,5ºC di Puskesmas MTBS (0%), sedangkan pada Puskesmas Belum MTBS sebagian besar memberikan obat batuk kepada penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC (87,004%) maupun penderita Bukan Pnemonia suhu >38,5ºC (88,90%). Pada Puskesmas MTBS hampir seluruhnya tidak memberikan vitamin pada penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC (88,10%) dan suhu >38,5ºC (95,30%), sedangkan pada Puskesmas Belum MTBS yang sebagian besar memberikan vitamin ada penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC (71,00%) dan penderita Bukan Pnemonia suhu >38,5ºC (44,40%). 11

12 Tabel 5 Distribusi Penggunaan Jenis Obat Penderita Bukan Pnemonia Menurut Suhu Di Puskesmas MTBS dan Belum MTBS Di Kota Bandung Tahun 2004 Jenis Obat 1. Antibiotik MTBS (N=67) Suhu <38,5ºC Belum MTBS (N=138) Bukan Pnemonia MTBS (N=43) Suhu >38,5ºC Belum MTBS (N=9) n % n % n % n % ~ Tidak 59 88, , , ,60 ~ Ya 8 11, ,70 3 7, , , , , ,00 2. Antipiretik ~ Tidak 53 79, , ,90 0 0,00 ~ Ya 14 20, , , , , , , ,00 3. Anti alergi ~ Tidak 60 89, , , ,10 ~ Ya 7 10, , , , , , , ,00 4. Obat Batuk ~ Tidak , , , ,10 ~ Ya 0 0, ,00 0 0, , , , , ,00 5. Vitamin ~ Tidak 59 88, , , ,60 ~ Ya 8 11, ,00 2 4, , , , , ,00 Tabel 6 menggambarkan banyaknya jenis obat yang diberikan. Pada Puskesmas MTBS jumlah jenis obat yang diberikan kepada penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC sebagian besar tidak memakai obat (55,20%), dan 1 jenis obat pada suhu >38,5ºC (83,70%). Pada Puskesmas Belum MTBS jumlah jenis obat yang diberikan kepada penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC mempergunakan 4 jenis obat (37,70%) dan pada suhu >38,5ºC mempergunakan 3 dan 4 jenis obat (33,33%). 12

13 Tabel 6. Distribusi Jumlah Jenis Obat Yang diberikan Kepada Penderita Bukan Pnemonia Menurut Suhu Di Puskesmas MTBS dan Belum MTBS Di Kota Bandung Tahun 2004 Jumlah Jenis Obat MTBS (N=45) Suhu <38,5ºC Belum MTBS (N=34) Bukan Pnemonia MTBS (N=43) Suhu >38,5ºC Belum MTBS (N=9) n % n % n % n % ~ Tidak memakai obat 37 55,20 0 0,00 2 4,70 0 0,00 ~ 1 jenis 23 34,30 1 0, ,70 0 0,00 ~ 2 Jenis 7 10,40 5 3, , ,11 ~ 3 Jenis 0 0, ,70 0 0, ,33 ~ 4 Jenis 0 0, ,70 0 0, ,33 ~ 5 Jenis 0 0, ,20 0 0, , , , , ,00 Hasil uji chi square menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara penderita Bukan Pnemonia dan jenis obat pada kelompok MTBS dan Belum MTBS dengan nilai X 2 sebesar 218,019 dan p value < 0.05 (p=0,000) PEMBAHASAN 1. Distribusi Umur Pada tabel 1 terlihat bahwa antara Puskesmas MTBS dan Belum MTBS tidak ada perbedaan distribusi balita dengan kasus ISPA baru sesuai kelompok umur. Kelompok umur terbanyak adalah usia 12-<60 bulan. Hal ini sejalan dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Swadesi di Pekanbaru bahwa kelompok usia balita yang sering terkena ISPA adalah kelompok tersebut 12. Bila dilakukan analisis lebih lanjut ternyata pola penyebab kematian di Kota Bandung tertinggi pada umur 1-4 tahun (44,93%) yang disebabkan oleh Pnemonia 9. Oleh sebab itu petugas kesehatan harus melaksanakan tatalaksana MTBS dengan baik khususnya dalam penemuan Pnemonia secara dini dan mengobati dengan benar sehingga secara tidak langsung dapat menurunkan kematian balita akibat Pnemonia. 13

14 2. Ketepatan diagnosa Dari hasil yang tampak pada tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar (40.2%) kasus Penumonia dapat dideteksi di Puskesmas MTBS, sedangkan di Puskesmas belum MTBS hanya terdeteksi sebesar 20.1%. Di pihak lain di Puskesmas yang belum MTBS sebagian besar (79,9%) penderita didiagnosa ISPA Bukan Pneumonia. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian kriteria diagnosa ISPA pada Puskesmas MTBS dan yang belum MTBS serta kemungkinan menimbulkan dampak yang buruk karena penderita yang seharusnya sudah didiagnosa dini sebagai Pneumonia yaitu gejala batuk dan kesukaran bernapas dengan frekuensi napas yang cepat yaitu untuk umur 2 bl sampai < 1 th : 40x/menit, umur 1 th sampai < 5 th : 50x/menit dan didiagnosa ISPA bukan pneumonia, akan jatuh pada Pneumonia berat dan kematian Jenis Obat Tindakan pengobatan dilakukan dengan rasionalisasi dalam penggunaan obat-obatan terutama antibiotika. Standar penanganan tersebut menggunakan alur terapi yang telah ditetapkan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa proporsi pemberian obat yang tidak sesuai dengan tatalaksana pada Puskesmas Belum MTBS (97,8%) lebih tinggi bila dibandingkan dengan Puskesmas MTBS (8,2%). Secara umum, obat-obatan yang sering digunakan adalah antibiotika, antipiretik, anti alergi, obat batuk dan vitamin. Penderita pneumonia tanpa demam di Puskesmas MTBS sebagian besar (88,90%) hanya diberikan satu jenis obat yaitu Antibiotika, sedangkan di Puskesmas Belum MTBS sebagian besar penderita diberikan 4 jenis obat (57,10%) bahkan ada yang diberikan 5 jenis obat (25%). Obatobatan yang diberikan adalah antibiotika, antipiretik, anti alergi, obat batuk dan vitamin. Penderita pneumonia dengan demam di Puskesmas MTBS sebagian besar (89,70%) diberikan 2 jenis obat yaitu Antibiotika dan antipiretik walaupun masih ada (24,10%) yang tidak diberikan antipiretik, sedangkan di Puskesmas Belum MTBS kondisinya masih sama seperti tatalaksana penderita 14

15 dengan pneumonia tanpa demam, yaitu penderita diberikan 4 jenis obat bahkan proporsinya lebih besar dibandingkan dengan pneumonia tanpa demam yaitu 66,67%. Masih ada pula yang diberikan 5 jenis obat yaitu sebesar 33,33%. Keadaan di Puskemas Belum MTBS ini tidak sesuai dengan tatalaksana standar yang menyatakan bahwa penderita Pnemonia dengan suhu <38,5 C hanya diberikan satu macam obat saja yaitu antibiotik (kotrimoksasol) dan suhu >38,5 C diberikan dua jenis obat yaitu antibiotik dan antipiretik (Kotrimoksasol dan Paracetamol). Dengan demikian tatalaksana pengobatan penderita Pneumonia pada Puskesmas belum MTBS tidak rasional dan tidak efisien. Hal ini juga dibuktikan dengan Survey Kesehatan Program Pemberantasan ISPA (1995), yaitu terdapat kecenderungan petugas untuk memberikan antibiotika berlebihan (over prescription). Sebanyak 60% kasus batuk pilek biasa telah diberi antibiotika, yang memprihatinkan adalah sebesar 14% kasus Pnemonia justru tidak diberi antibiotika 10. Penderita ISPA bukan Pneumonia tanpa demam di Puskesmas MTBS sebagian besar (55,20%) tidak diberikan obat dan hanya 34,30% yang diberikan 1 jenis obat yaitu 11,90% antibiotika atau 20,90 % antipiretik atau 10,40% anti alergi atau 11,90 % vitamin. Pada Puskesmas Belum MTBS sebagian besar (37,70%) penderita diberikan 4 jenis obat,bahkan ada yang diberikan 5 jenis obat (36,2%). Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan pemberian obat pada penderita pneumonia. Penderita ISPA bukan pneumonia dengan demam di Puskesmas MTBS sebagian besar (83,70%) hanya diberikan 1 jenis obat yaitu utamanyanya adalah antipiretik (65,10%), yang lainnya adalah antibiotika (7%) atau anti alergi (30,20%) atau vitamin (4,70%). Di Puskesmas Belum MTBS kondisinya hampir sama seperti tatalaksana penderita dengan tanpa demam, yaitu sebagian besar (33,33%) penderita diberikan 3 jenis obat bahkan ada yang diberikan 4 jenis obat (33,33%) dan 5 jenis obat (22,22%). Berdasarkan penelitian tersebut,penggunaan jenis obat yang berlebihan dan tidak sesuai dengan standard tatalaksana menunjukan ketidakrasionalan pemberian obat. Hal ini merupakan masalah penting yang dapat menimbulkan dampak cukup besar dalam penurunan mutu pelayanan kesehatan, ketidak tepatan penyediaan obat dan peningkatan anggaran pemerintah yang di 15

16 alokasikan untuk pengadaan obat di puskesmas maupun di tingkat kota sehingga menyebabkan perencanaan penganggaran obat yang tidak rasional. Mengingat Petugas kesehatan yang melaksanakan tatalaksana MTBS adalah perawat dan bidan maka diharapkan pelayanan promotif dan preventif lebih optimal dibandingkan kuratif. Dengan demikian sangat dibutuhkan petugas yang berwawasan dan keterampilan yang baik terhadap pelaksanaan program. Bertitik tolak dari kajian diatas dapatlah dipahami bahwa penelitian ini sejalan dengan penyataan WHO (1999) yang menyatakan bahwa penerapan MTBS pada Puskesmas dipandang sangat strategis mengingat MTBS merupakan salah satu intervensi yang memberikan dampak terbesar pada penurunan penggunaan obat serta dampaknya adalah penurunan beban biaya kesehatan bahkan mampu menghemat 14% beban biaya di negara berpenghasilan rendah sehingga dikatakan MTBS ini merupakan intervensi yang paling cost efficient dan cost effective untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak penderita di negara berkembang dan negara tertinggal. KESIMPULAN 1. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam ketepatan diagnosa dan efisiensi pemberian obat di Puskesmas yang telah dilatih program MTBS dibandingkan dengan Puskesmas yang belum dilatih program MTBS 2. Puskesmas yang telah dilatih MTBS jauh lebih tepat mendiagnosis ISPA dan lebih efisien dalam penggunaan obat-obatan. Hal ini menunjukkan program MTBS mempunyai dampak yang positif SARAN Program MTBS agar diperluas pelaksanaannya di seluruh Puskesmas Kota Bandung 16

17 DAFTAR PUSTAKA 1. Department of Child and Adolescent Health and Development, World Health Organization. The multy-country evaluation of IMCI effectiveness,cost and impact (MCI) progress report May 2000-April 2001, Departemen kesehatan RI. Pedoman pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan akut untuk penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta, Abdul Manaf. Pelaksanaan konsep manajemen terpadu anak sakit dalam menunjang pelaksanaan program pemberantasan diare dan pemberantasan ISPA di Indonesia. Makalah disampaikan pada pertemuan nasional evaluasi kelangsungan hidup perkembangan dalam pencapaian SKS, Division of Child health and development, World Health Organization. IMCI information Geneva: WHO-UNICEF publication, 1999, p World Health Organization. IMCI planning guide (integrated management of childhood illness), gaining experience with the IMCI strategy in a country World Health Organization, the world health report 2002, reducing risks, promoting healthy life. Geneva: WHO library, Dinas Kesehatan Kota Bandung. Evaluasi Tiga bulanan pelaksanaan MTBS di Puskesmas. Bandung, Dirjen Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Rencana kerja jangka menengah nasional, penanggulangan penumonia balita tahun Jakarta, Dinas Kesehatan Kota Bandung. Profil kesehatan Kota Bandung. Bandung, Departemen kesehatan RI & FKM UI. Hasil survey sarana kesehatan program pemberantasan infeksi saluran pernafasan akut. Jakarta

18 11. Septiani Susilowati., Analisis pemberian jenis obat dan biaya obat pada balita sakit ISPA dengan menggunakan pendekatan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) di puskesmas kota Bandung. Thesis, Swadesi. Uji diagnostic algotitma MTBS dalam mendiagnosa Pnemonia di RSUD Pekanbaru. Thesis,

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan anak merupakan suatu hal yang penting karena. mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan anak merupakan suatu hal yang penting karena. mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan anak merupakan suatu hal yang penting karena mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Bayi dan anak biasanya rentan terhadap penyakit infeksi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyebab terbesar kematian anak di seluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyebab terbesar kematian anak di seluruh dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyebab terbesar kematian anak di seluruh dunia. Sebanyak 1,4 juta anak atau sekitar 18% anak < 5 tahun setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diprioritaskan dalam perencanaan dan pembangunan bangsa (Hidayat, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diprioritaskan dalam perencanaan dan pembangunan bangsa (Hidayat, 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat kesehatan suatu bangsa, sebab anak sebagai

Lebih terperinci

Sugiarti, et al, Studi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Penyakit ISPA Usia Bawah Lima Tahun...

Sugiarti, et al, Studi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Penyakit ISPA Usia Bawah Lima Tahun... Studi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Penyakit ISPA Usia Bawah Lima Tahun di Instalasi Rawat Jalan Puskesmas Sumbersari Periode 1 Januari-31 Maret 2014 (Study of Antibiotics Use on ARI Patients in Under

Lebih terperinci

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) 1 LATAR BELAKANG Setiap tahun, lebih dari 10 juta anak di dunia meninggal sebelum Latar mencapai Belakang usia 5 tahun Lebih dari setengahnya akibat dari 5 Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau diobati dengan akses yang mudah dan intervensi yang terjangkau. Kasus utama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau diobati dengan akses yang mudah dan intervensi yang terjangkau. Kasus utama 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2011 sebanyak 6,9 juta anak meninggal dunia sebelum mencapai usia 5 tahun. Setengah dari kematian tersebut disebabkan oleh kondisi yang dapat dicegah atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah pengelolaan kesehatan bangsa

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah pengelolaan kesehatan bangsa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah pengelolaan kesehatan bangsa Indonesia yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung

Lebih terperinci

Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan

Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan Hubungan antara Polusi Udara Dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia Balita

Lebih terperinci

ABSTRAK TINGKAT KEPATUHAN ORANG TUA DALAM PEMBERIAN KOTRIMOKSAZOL SUSPENSI KEPADA BALITA YANG MENGALAMI ISPA DI PUSKESMAS TERMINAL BANJARMASIN

ABSTRAK TINGKAT KEPATUHAN ORANG TUA DALAM PEMBERIAN KOTRIMOKSAZOL SUSPENSI KEPADA BALITA YANG MENGALAMI ISPA DI PUSKESMAS TERMINAL BANJARMASIN ABSTRAK TINGKAT KEPATUHAN ORANG TUA DALAM PEMBERIAN KOTRIMOKSAZOL SUSPENSI KEPADA BALITA YANG MENGALAMI ISPA DI PUSKESMAS TERMINAL BANJARMASIN Yuyun Wigati 1 ; Noor Aisyah 2 ; Hj. Rahmi Annissa 3 Infeksi

Lebih terperinci

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 1

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 1 MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 1 PENGANTAR Oleh : Dr. Azwar Djauhari MSc Disampaikan pada : Kuliah Blok 21 Kedokteran Keluarga Tahun Ajaran 2011 / 2012 Program Studi Pendidikan Dokter UNIVERSITAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN UPAYA PENCEGAHAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS NGORESAN SURAKARTA

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN UPAYA PENCEGAHAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS NGORESAN SURAKARTA HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN UPAYA PENCEGAHAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS NGORESAN SURAKARTA SKRIPSI Disusun oleh: WAHYU PURNOMO J 220 050 027 FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA.

PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA. 20 Jurnal Keperawatan Volume 2, Nomor 1, Juli 2016 Hal 20-25 PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA Nandang Sutrisna 1, Nuniek Tri Wahyuni 2 1 Kepala Pustu Tajur Cigasong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi ini disebabkan

Lebih terperinci

Jurnal Harapan Bangsa, Vol.1 No.1 Desember 2013 ISSN

Jurnal Harapan Bangsa, Vol.1 No.1 Desember 2013 ISSN PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG PENYAKIT ISPA PADA BALITA SEBELUM DAN SETELAH DIBERIKAN PENDIDIKAN KESEHATAN DI PUSKESMAS ARIODILLAH PALEMBANG TAHUN 2012 Oleh : Amalia Dosen STIK Bina Husada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 6,9 juta jiwa, tercatat kematian balita dalam sehari, 800 kematian balita

BAB I PENDAHULUAN. 6,9 juta jiwa, tercatat kematian balita dalam sehari, 800 kematian balita BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Angka kematian balita di seluruh negara pada tahun 2011 mencapai 6,9 juta jiwa, tercatat 1.900 kematian balita dalam sehari, 800 kematian balita setiap jam dan 80% kematian

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN IBU DENGAN UPAYA PENCEGAHAN ISPA PADA BALITA OLEH IBU YANG BERKUNJUNG KE PUSKESMAS KELAYAN TIMUR KOTA BANJARMASIN

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN IBU DENGAN UPAYA PENCEGAHAN ISPA PADA BALITA OLEH IBU YANG BERKUNJUNG KE PUSKESMAS KELAYAN TIMUR KOTA BANJARMASIN HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN IBU DENGAN UPAYA PENCEGAHAN ISPA PADA BALITA OLEH IBU YANG BERKUNJUNG KE PUSKESMAS KELAYAN TIMUR KOTA BANJARMASIN The Relationship of Education and Occupation Prevention

Lebih terperinci

KETEPATAN DOSIS PERESEPAN ANTIBIOTIK AMOXICILLIN PADA BALITA PENDERITA ISPA DI PUSKESMAS KELAYAN TIMUR BANJARMASIN

KETEPATAN DOSIS PERESEPAN ANTIBIOTIK AMOXICILLIN PADA BALITA PENDERITA ISPA DI PUSKESMAS KELAYAN TIMUR BANJARMASIN KETEPATAN DOSIS PERESEPAN ANTIBIOTIK AMOXICILLIN PADA BALITA PENDERITA ISPA DI PUSKESMAS KELAYAN TIMUR BANJARMASIN Herliani 1, Noor Aisyah 2, Rony 3 herliani168@gmail.com aisyah.no2r@gmail.com rhaderi17@gmail.com

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk pengobatan ISPA pada balita rawat inap di RSUD Kab Bangka Tengah periode 2015 ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli), dengan gejala batuk pilek yang disertai nafas sesak atau nafas cepat. Penyakit

Lebih terperinci

Jurnal Care Vol. 4, No.3, Tahun 2016

Jurnal Care Vol. 4, No.3, Tahun 2016 30 KETERKAITAN KEKURANGAN ENERGI PROTEIN (KEP) DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA USIA (1-5 TAHUN) Nurwijayanti Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKES Surya Mitra

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Gelar S 1 Keperawatan. Oleh: WAHYUNI J

SKRIPSI. Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Gelar S 1 Keperawatan. Oleh: WAHYUNI J PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG PNEUMONIA PADA BALITA DAN PENCEGAHANNYA DI KELURAHAN BULAKAN KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGELOLAAN AWAL INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGELOLAAN AWAL INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGELOLAAN AWAL INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK Yumeina Gagarani 1,M S Anam 2,Nahwa Arkhaesi 2 1 Mahasiswa Program Pendidikan S-1 Kedokteran Umum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak dibawah lima tahun atau balita adalah anak berada pada rentang usia nol sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang sangat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%

BAB 1 PENDAHULUAN. terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal setiap tahun.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. balita di dunia sebanyak 43 kematian per 1000 kelahiran hidup (WHO, 2016d). Di

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. balita di dunia sebanyak 43 kematian per 1000 kelahiran hidup (WHO, 2016d). Di BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Data World Health Organization (WHO) 2015 menunjukkan angka kematian balita di dunia sebanyak 43 kematian per 1000 kelahiran hidup (WHO, 2016d). Di Indonesia, angka

Lebih terperinci

PELATIHAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT

PELATIHAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT PELATIHAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT K ematian ibu, bayi dan balita merupakan salah satu parameter derajat kesehatan suatu negara. MDG s dalam goals 4 dan 5 mengamanatkan bahwa angka kematian balita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. seluruh dunia, yaitu sebesar 124 juta kasus kematian anak terjadi akibat pneumonia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. seluruh dunia, yaitu sebesar 124 juta kasus kematian anak terjadi akibat pneumonia BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Pneumonia merupakan penyakit yang mendominasi penyebab kematian pada balita di seluruh dunia, yaitu sebesar 124 juta kasus kematian anak terjadi akibat pneumonia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dikenal sebagai salah satu penyebab kematian utama pada bayi dan anak balita di negara berkembang. ISPA menyebabkan empat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Saat ini, ISPA merupakan masalah. rongga telinga tengah dan pleura. Anak-anak merupakan kelompok

BAB I PENDAHULUAN. (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Saat ini, ISPA merupakan masalah. rongga telinga tengah dan pleura. Anak-anak merupakan kelompok 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak setiap orang. Masalah kesehatan sama pentingnya dengan masalah pendidikan, perekonomian, dan lain sebagainya. Usia balita dan anak-anak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan batuk baik kering ataupun berdahak. 2 Infeksi saluran pernapasan akut

BAB I PENDAHULUAN. dan batuk baik kering ataupun berdahak. 2 Infeksi saluran pernapasan akut 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi yang mengenai saluran pernapasan. Istilah ini diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional yaitu jenis pendekatan penelitian

Lebih terperinci

INTISARI KETEPATAN DOSIS PERESEPAN ANTIBIOTIK AMOXICILLIN

INTISARI KETEPATAN DOSIS PERESEPAN ANTIBIOTIK AMOXICILLIN INTISARI KETEPATAN DOSIS PERESEPAN ANTIBIOTIK AMOXICILLIN PADA PASIEN BALITA PENDERITA ISPA DI PUSKSMAS BASIRIH BARU BANJARMASIN Nurul Mardhatillah 1 ; Aditya MPP 2 ; Akhmad Fakhriadi 3 Infeksi saluran

Lebih terperinci

13 CAKUPAN PENEMUAN DAN PENANGANAN PENDERITA PENYAKIT. a. Acute Flacid Paralysis (AFP) rate per penduduk < 15 tahun

13 CAKUPAN PENEMUAN DAN PENANGANAN PENDERITA PENYAKIT. a. Acute Flacid Paralysis (AFP) rate per penduduk < 15 tahun 13 CAKUPAN PENEMUAN DAN PENANGANAN PENDERITA PENYAKIT a. Acute Flacid Paralysis (AFP) rate per 100.000 penduduk < 15 tahun 1) Pengertian a) Kasus AFP adalah semua anak berusia kurang dari 15 tahun dengan

Lebih terperinci

Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam ABSTRAK

Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam ABSTRAK HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DI DALAM RUMAH TERHADAP KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS TALAGA KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2016 Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN IBU BALITA UNTUK MENGUNJUNGI MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) SECARA TERATUR

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN IBU BALITA UNTUK MENGUNJUNGI MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) SECARA TERATUR FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN IBU BALITA UNTUK MENGUNJUNGI MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) SECARA TERATUR THE FACTORS AFFECTING DICIPLINE OF MOTHER S CLIDREN UNDER FIVE YEAR TO VISIT

Lebih terperinci

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN PERILAKU PADA PETUGAS MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DENGAN CAKUPAN PENEMUAN PNEUMONIA DI PUSKESMAS KABUPATEN KEBUMEN Patria Silviana *), Retno Hestiningsih **),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. 10 juta kematian terjadi setiap tahunnya pada anak-anak yang berumur di bawah lima

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. 10 juta kematian terjadi setiap tahunnya pada anak-anak yang berumur di bawah lima 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara berkembang angka kematian bayi dan anak masih tinggi, hampir 10 juta kematian terjadi setiap tahunnya pada anak-anak yang berumur di bawah lima tahun. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Morbiditas dan mortalitas merupakan suatu indikator yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Morbiditas dan mortalitas merupakan suatu indikator yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Morbiditas dan mortalitas merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat derajat kesehatan masyarakat dalam suatu wilayah. Pada penentuan derajat kesehatan terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nigeria masing-masing 6 juta episode (Kemenkes RI, 2011). (15%-30%). Berdasarkan hasil penelitian Khin, dkk tahun 2003 di Myanmar

BAB I PENDAHULUAN. Nigeria masing-masing 6 juta episode (Kemenkes RI, 2011). (15%-30%). Berdasarkan hasil penelitian Khin, dkk tahun 2003 di Myanmar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia saat ini dan sering terjadi pada anak - anak. Insidens menurut kelompok umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur 12-59 bulan (Kemenkes RI, 2015: 121). Pada usia ini, balita masih sangat rentan terhadap berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indikator derajat kesehatan masyarakat di Indonesia salah satunya di lihat dari angka kematian dan kesakitan balita. Masa balita merupakan kelompok yang rawan akan

Lebih terperinci

Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dan Status Imunisasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Aceh Besar

Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dan Status Imunisasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Aceh Besar Jurnal Ilmu Keperawatan (2017) 5:2 ISSN: 2338-6371, e-issn 2550-018X Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dan Status Imunisasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Aceh Besar The

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 4, No. 2, Juni 2008

Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 4, No. 2, Juni 2008 HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS JATILAWANG KABUPATEN BANYUMAS Turiman 1, Saryono 2, Sarwono 3 1,3Jurusan Keperawatan STKes Muhammadiyah Gombong 2Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak akan menjadi penerus bangsa, dengan punya anak yang sehat dan cerdas maka akan kuatlah bangsa tersebut. Selain itu kesehatan anak merupakan masalah besar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat. Bayi baru lahir dan anak-anak merupakan kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat. Bayi baru lahir dan anak-anak merupakan kelompok yang rentan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan generasi penerus bangsa. Perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan kesehatan anak harus menjadi perhatian utama seluruh masyarakat. Bayi

Lebih terperinci

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare Merry Tyas Anggraini 1, Dian Aviyanti 1, Djarum Mareta Saputri 1 1 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. ABSTRAK Latar Belakang : Perilaku hidup

Lebih terperinci

Hubungan Pengetahuan Dan Pendidikan Ibu Dengan Pertumbuhan Balita DI Puskesmas Plaju Palembang Tahun 2014

Hubungan Pengetahuan Dan Pendidikan Ibu Dengan Pertumbuhan Balita DI Puskesmas Plaju Palembang Tahun 2014 Hubungan Pengetahuan Dan Pendidikan Ibu Dengan Pertumbuhan Balita DI Puskesmas Plaju Palembang Tahun 2014 Enderia Sari Prodi D III KebidananSTIKesMuhammadiyah Palembang Email : Enderia_sari@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB 1 :PENDAHULUAN. masih merupakan masalah kesehatan utama yang banyak ditemukan di. hubungan status gizi dengan frekuensi ISPA (1).

BAB 1 :PENDAHULUAN. masih merupakan masalah kesehatan utama yang banyak ditemukan di. hubungan status gizi dengan frekuensi ISPA (1). BAB 1 :PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga alveoli,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang sangat mendasar dan menjadi prioritas dalam program

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang sangat mendasar dan menjadi prioritas dalam program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angka kematian bayi, balita dan anak merupakan salah satu indikator kesehatan yang sangat mendasar dan menjadi prioritas dalam program MDGs yang ke empat. Berdasarkan

Lebih terperinci

Oleh : Suyanti ABSTRAK

Oleh : Suyanti ABSTRAK HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP BIDAN TERHADAP PELAKSANAAN DETEKSI DINI TUMBUH KEMBANG BALITA USIA 0-5 TAHUN DI PUSKESMAS KASOKANDEL KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2015 Oleh : Suyanti ABSTRAK Proses pertumbuhan

Lebih terperinci

PENGARUH PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT TERHADAP PEMBERIAN ANTIBIOTIK PADA BALITA (2 60 BULAN) SAKIT ISPA

PENGARUH PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT TERHADAP PEMBERIAN ANTIBIOTIK PADA BALITA (2 60 BULAN) SAKIT ISPA KARYA TULIS ILMIAH PENGARUH PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT TERHADAP PEMBERIAN ANTIBIOTIK PADA BALITA (2 60 BULAN) SAKIT ISPA Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut saat ini merupakan masalah

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut saat ini merupakan masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi saluran pernafasan akut saat ini merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Pneumonia dapat terjadi sepanjang tahun dan dapat melanda semua usia.

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH. Analisis Deskriptif Angka Kematian Balita di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang Tahun 2012

ARTIKEL ILMIAH. Analisis Deskriptif Angka Kematian Balita di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang Tahun 2012 ARTIKEL ILMIAH Analisis Deskriptif Angka Kematian Balita di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang Tahun 2012 KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Dimploma III

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DAN PENGGUNAAN ANTI NYAMUK BAKAR DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS KOLONGAN

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DAN PENGGUNAAN ANTI NYAMUK BAKAR DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS KOLONGAN HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DAN PENGGUNAAN ANTI NYAMUK BAKAR DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS KOLONGAN Militia K. Wala*, Angela F. C. Kalesaran*, Nova H. Kapantow* *Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian / lebih dari saluran nafas mulai hidung alveoli termasuk adneksanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita. 2 ISPA sering berada dalam daftar

BAB 1 PENDAHULUAN. terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita. 2 ISPA sering berada dalam daftar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Munculnya ancaman kesehatan dalam bentuk penyakit menular membuat langkah pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan sama sekali tidak boleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem respirasi tersering pada anak (GINA, 2009). Dalam 20 tahun terakhir,

Lebih terperinci

PHARMACY, Vol 05 No 01 April 2007

PHARMACY, Vol 05 No 01 April 2007 POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PNEUMONIA BALITA PADA RAWAT JALAN PUSKESMAS I PURWAREJA KLAMPOK KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2004 Indri Hapsari dan Ika Wahyu Budi Astuti

Lebih terperinci

EVALUASI MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT DI KABUPATEN PEKALONGAN

EVALUASI MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT DI KABUPATEN PEKALONGAN JMPK Vol. 08/No.01/Maret/2005 Evaluasi Manajemen Terpadu Balita Sakit EVALUASI MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT DI KABUPATEN PEKALONGAN EVALUATION OF THE INTEGRATED MANAGEMENT OF CHILDHOOD ILLNESS PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) khususnya Pneumonia masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan kematian bayi dan Balita. Pneumonia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pencapaian tujuan

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pencapaian tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan bidang kesehatan menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari. dan Indonesia (Rudan, 2008). World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari. dan Indonesia (Rudan, 2008). World Health Organization BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian utama pada balita (Kartasasmita, 2010). Terdapat 15 negara dengan prediksi kasus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

BAB I PENDAHULUAN. (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas)

Lebih terperinci

Muhammadiyah Semarang ABSTRAK ABSTRACT

Muhammadiyah Semarang   ABSTRAK ABSTRACT HUBUNGAN PERSEPSI IBU TENTANG PERAN SERTA TENAGA KESEHATAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PNEUMONIA PADA IBU BALITA USIA 0 5 TAHUN DI PUSKESMAS NGESREP KOTA SEMARANG THE CORRELATION BETWEEN MOTHER S PERCEPTIONS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia sering ditemukan pada anak balita,tetapi juga pada orang dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia sering ditemukan pada anak balita,tetapi juga pada orang dewasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia sering ditemukan pada anak balita,tetapi juga pada orang dewasa dan pada kelompok usia lanjut. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian jika tidak segera diobati.

Lebih terperinci

Kata Kunci : Hubungan, Pendidikan, Tingkat Pengetahuan, Obat CTM.

Kata Kunci : Hubungan, Pendidikan, Tingkat Pengetahuan, Obat CTM. INTISARI HUBUNGAN PENDIDIKAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG OBAT KLORFENIRAMIN MALEAT (CTM) DI PUSKESMAS SUNGAI MESA BANJARMASIN Aulia Rahmawati 1 ;Noor Aisyah 2 ; Diyah Juniartuti 3 Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia sehat 2010 (RPKMIS), masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat infeksi saluran nafas

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KELUARGA DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS KARTASURA

HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KELUARGA DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS KARTASURA HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KELUARGA DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS KARTASURA Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada

Lebih terperinci

Kata kunci: Status Tempat Tinggal, Tempat Perindukkan Nyamuk, DBD, Kota Manado

Kata kunci: Status Tempat Tinggal, Tempat Perindukkan Nyamuk, DBD, Kota Manado HUBUNGAN ANTARA STATUS TEMPAT TINGGAL DAN TEMPAT PERINDUKAN NYAMUK (BREEDING PLACE) DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAHU KOTA MANADO TAHUN 2015 Gisella M. W. Weey*,

Lebih terperinci

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado. Kata kunci: Status Tempat Tinggal, Tempat Perindukkan Nyamuk, DBD

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado. Kata kunci: Status Tempat Tinggal, Tempat Perindukkan Nyamuk, DBD HUBUNGAN ANTARA STATUS TEMPAT TINGGAL DAN TEMPAT PERINDUKAN NYAMUK (BREEDING PLACE) DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAHU KOTA MANADO TAHUN 2015 Gisella M. W. Weey*,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan beban global. terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah diare.

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan beban global. terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah diare. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak umur bawah lima tahun (balita) merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit, terutama penyakit infeksi (Notoatmodjo, 2011). Gangguan kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja

BAB I PENDAHULUAN. hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diare merupakan keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi tinja encer, dapat berwarna hijau atau dapat

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, penyakit ini sering menyerang anak balita, namun juga dapat ditemukan pada orang dewasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti AIDS, malaria, dan campak. Infeksi

Lebih terperinci

Putri E G Damanik 1, Mhd Arifin Siregar 2, Evawany Y Aritonang 3

Putri E G Damanik 1, Mhd Arifin Siregar 2, Evawany Y Aritonang 3 HUBUNGAN STATUS GIZI, PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF, STATUS IMUNISASI DASAR DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN AKUT (ISPA) PADA ANAK USIA 12-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GLUGUR DARAT KOTA MEDAN (THE CORRELATION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pandemik yang terlupakan atau the forgotten pandemic. Tidak

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pandemik yang terlupakan atau the forgotten pandemic. Tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit pembunuh utama pada balita di dunia, kasus tersebut lebih banyak jika dibandigkan dengan gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingginya angka kematian dan kesakitan karena ISPA. Penyakit infeksi saluran

BAB I PENDAHULUAN. tingginya angka kematian dan kesakitan karena ISPA. Penyakit infeksi saluran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan dan perbaikan upaya kelangsungan, perkembangan dan peningkatan kualitas hidup anak merupakan upaya penting untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Upaya

Lebih terperinci

ABSTRAK. Zurayidah 1 ;Erna Prihandiwati 2 ;Erwin Fakhrani 3

ABSTRAK. Zurayidah 1 ;Erna Prihandiwati 2 ;Erwin Fakhrani 3 ABSTRAK KETEPATAN DOSIS PERESEPAN AMOXICILLIN SIRUP KERING PADA BALITA TERDIAGNOSA INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) DI PUSKESMAS ALALAK TENGAH BANJARMASIN Zurayidah 1 ;Erna Prihandiwati 2 ;Erwin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebesar 14% (WHO, 2013). Pada tahun 2011, dilaporkan 1,3 juta anak meninggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebesar 14% (WHO, 2013). Pada tahun 2011, dilaporkan 1,3 juta anak meninggal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kematian pada balita paling besar disebabkan oleh pneumonia yaitu sebesar 14% (WHO, 2013). Pada tahun 2011, dilaporkan 1,3 juta anak meninggal karena penyakit yang

Lebih terperinci

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi. BAB 1 PENDAHULUAN Infeksi pada Saluran Nafas Akut (ISPA) merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Adapun penyebab terjadinya infeksi pada saluran nafas adalah mikroorganisme, faktor lingkungan,

Lebih terperinci

PEDOMAN PROGRAM P2P ISPA

PEDOMAN PROGRAM P2P ISPA PEDOMAN PROGRAM P2P ISPA PUSKESMAS KLABANG TAHUN 2017 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-nya, kami dapat menyelesaikan Pedoman Upaya Kesehatan

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS PAMARICAN KABUPATEN CIAMIS PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER : Triswaty Winata, dr., M.Kes.

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS PAMARICAN KABUPATEN CIAMIS PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER : Triswaty Winata, dr., M.Kes. ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS PAMARICAN KABUPATEN CIAMIS PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2015 Annisa Nurhidayati, 2016, Pembimbing 1 Pembimbing 2 : July Ivone, dr.,mkk.,m.pd.ked. : Triswaty

Lebih terperinci

BALITA DAN IBU DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT

BALITA DAN IBU DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT 107 BALITA DAN IBU DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT Agrina 1, Suyanto 2, dan Arneliwati 3 1,3 Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau, Pekanbaru 2 Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan;

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rencana pembangunan jangka panjang bidang kesehatan RI tahun 2005 2025 atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku masyarakat yang diharapkan dalam Indonesia

Lebih terperinci

JST Kesehatan, Oktober 2012, Vol. 2 No. 4: ISSN

JST Kesehatan, Oktober 2012, Vol. 2 No. 4: ISSN JST Kesehatan, Oktober 212, Vol. 2 No. 4: 372 381 ISSN 2252-5416 FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERESEPAN OBAT UNTUK PENYAKIT ISPA NON PNEUMONIA DAN DIARE NON SPESIFIK DI PUSKESMAS KOTA MAKASSAR TAHUN

Lebih terperinci

Antibiotic Utilization Of Pneumonia In Children Of 0-59 Month s Old In Puskesmas Kemiling Bandar Lampung Period Januari-October 2013

Antibiotic Utilization Of Pneumonia In Children Of 0-59 Month s Old In Puskesmas Kemiling Bandar Lampung Period Januari-October 2013 Antibiotic Utilization Of Pneumonia In Children Of 0-59 Month s Old In Puskesmas Kemiling Bandar Lampung Period Januari-October 2013 Advisedly, Tarigan A, Masykur-Berawi M. Faculty of Medicine Lampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih tinggi, walaupun dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih tinggi, walaupun dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih tinggi, walaupun dari tahun ke tahun telah mengalami penurunan (Syair, 2009). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan. anak yang penting di dunia karena tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan. anak yang penting di dunia karena tingginya angka BAB I PENDAHULUAN Pneumonia 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan anak yang penting di dunia karena tingginya angka kesakitan dan angka kematiannya, terutama pada anak berumur kurang

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG ISPA DENGAN PENANGANAN BALITA ISPA

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG ISPA DENGAN PENANGANAN BALITA ISPA HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG ISPA DENGAN PENANGANAN BALITA ISPA Tita Restu Yuliasri, Retno Anjar Sari Akademi Kebidanan Ummi Khasanah email : tita_dheta@yahoo.com Abstrak :Hubungan Tingkat

Lebih terperinci

Hubungan Tingkat Pendidikan dan Status Ekonomi terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Penggunaan Antibiotik

Hubungan Tingkat Pendidikan dan Status Ekonomi terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Penggunaan Antibiotik Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: 2460-657X Hubungan Tingkat Pendidikan dan Status Ekonomi terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Penggunaan Antibiotik 1 Nita Ayu Toraya, 2 Miranti Kania Dewi, 3 Yuli Susanti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit saluran pernapasan akut yang mengenai saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang disebabkan oleh agen infeksius disebut infeksi saluran pernapasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas dalam pemeliharaan status kesehatan holistik manusia telah dimulai sejak janin, bayi, anak, remaja, dewasa, sampai usia lanjut. Dalam setiap tahapan dari siklus

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. lima hal, atau kombinasi dari beberapa macam penyakit, diantaranya : ISPA

BAB I. PENDAHULUAN. lima hal, atau kombinasi dari beberapa macam penyakit, diantaranya : ISPA BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara berkembang kebanyakan kematian Balita disebabkan oleh lima hal, atau kombinasi dari beberapa macam penyakit, diantaranya : ISPA (ISPA Non Pneumonia dan ISPA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit inflamasi yang mengenai parenkim paru. 1 Penyakit ini sebagian besar disebabkan oleh suatu mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian

Lebih terperinci

Purnama Sinaga 1, Zulhaida Lubis 2, Mhd Arifin Siregar 3

Purnama Sinaga 1, Zulhaida Lubis 2, Mhd Arifin Siregar 3 HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SOPOSURUNG KECAMATAN BALIGE KABUPATEN TOBA SAMOSIR TAHUN 204 (THE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ISPA adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu permasalahan kesehatan utama di Indonesia yang mempengaruhi tingginya angka mortalitas dan morbiditas.

Lebih terperinci

PERBEDAAN SATURASI OKSIGEN AWAL MASUK TERHADAP LUARAN PNEUMONIA PADA ANAK LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

PERBEDAAN SATURASI OKSIGEN AWAL MASUK TERHADAP LUARAN PNEUMONIA PADA ANAK LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH PERBEDAAN SATURASI OKSIGEN AWAL MASUK TERHADAP LUARAN PNEUMONIA PADA ANAK LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum

Lebih terperinci