KAJIAN STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT OLEH MASYARAKAT ADAT DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI LA ODE MUHAMAD SALEH HANAN NRP : E

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT OLEH MASYARAKAT ADAT DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI LA ODE MUHAMAD SALEH HANAN NRP : E"

Transkripsi

1 KAJIAN STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT OLEH MASYARAKAT ADAT DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI LA ODE MUHAMAD SALEH HANAN NRP : E SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat Adat dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2010 La Ode Muhamad Saleh Hanan NRP E ii

3 ABSTRACT LA ODE MUHAMAD SALEH HANAN, Study of Indigenous Marine Resources Management Strategies in Wakatobi National Park. Under Supervisory of ARZYANA SUNGKAR and RINEKSO SOEKMADI. This thesis described how to adapt formal management system of Wakatobi National Park (WNP)) and traditional system as a strategy for conservation of the national park to achieve biodiversity conservation and community welfare. The main objective of this research was to formulate strategies of indigenous marine resources management that were compatible with WNP management regulations. The subject of the research were four indigenous groups in Wakatobi Island, namely Liya, Mandati, Wanci and Kapota. The research was conducted from October 2008 until August 2009 comprised of the following stages: (1) Preparation: designing systematic research, collecting references, field observations, preparation of equipments and development of research groups; (2) Implementation using survey method and Rapid Rural Appraisal (RRA) where data were collected through interviews, focus group discussion (FGD), observation and workshops; and (3) Consultations with lecturers and data verification. Results of the study suggested that under the traditional system, Wakatobi s marine resources were considered as common property which formally belong to sara kadie, with decentralized authority from the sultanate sara system to manage and utilize marine resources. Regulation of the resources were conducted according to spatial divisions, including utilization area, protection area based on sara authority or sacred sites. There were also limited utilization area through fishing gear restrictions and utilization permits from sara. Fishing gears management consisted of fishing gears that could be used only by local fishermen and fishing gears applied to non-local fishermen. These were intended to protect the local fishermen with limited equipments from unfair competitions and spatial conflict. Sara kadie could provide entitlement to community groups or individuals for the use of katond and ompo fishing gears. While under the formal system, i.e, zonation, the customary territories of Liya, Mandati, Wanci and Kapota kadies were declared as ZPL (Local Utilization Zone), meaning could only be exploited by local people, 1.7% of the coral in the customary teritory was declared as ZPr (Tourism Zone) and 1.2% as ZPB (Marine Protected Zone). Differences encountered between the two systems were found on institutional aspect, authority and total area. Wakatobi National Park had legal authorities over the whole areas, while under traditional system, the authority of sara kadie was within much smaller jurisdiction area as big as a kadie. The Kaledupa Reef and Kapota were traditionally managed by huma system. Owners of huma had authority of po adati yi pasi (customs in atoll), determine regulations for fishing areas, permits, and use of fishing gears. All of these findings suggested the importance of collaboration management between the formal and traditional systems by adapting the principles of traditional management into the formal management principles of WNP. The form of collaboration developed should include jurisdiction area sharing, where the kadie indigenous territories should be managed by local institution and others by formal system. Location of huma which coincided with the ZPB of Kaledupa and ZPr of Kapota Reefs should be jointly managed under the huma and formal systems. Any management violations that were considered criminal such as destructive fishing, illegal exploitation and pollutions should be settled through the formal law system while civil disputes such as violations and fishing areas should be settled by customary law. Although the indigenous areas were manage by under the customary law, nevertheless, as a whole, indigenous areas within and outside kadies should be under the national park s management, where national park s regulations legitimate the customary law governing the kadie indigenous area. Key words : formal system, traditional system, marine resources management, collaboration management, Wakatobi National Park iii

4 RINGKASAN Partisipasi masyarakat masih rendah dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (TNW). Survey pride campaign yang dilaksanakan oleh TNC-WWF Wakatobi dan RARE tahun 2008 terhadap masyarakat Pulau Wangi-Wangi dan Kapota menemukan 68 % dari responden mengetahui kerusakan ekosistem terumbu karang, sebanyak 87 % mengetahui dampak perusakan terhadap perikanan, namun 60 % mengaku sulit menghentikan perusakan, 57 % sulit melaporkan pada petugas pemerintah dan 23 % mengatakan pemerintah harus menghentikan perusakan. Ini terjadi karena sistem formal berada di luar pengetahuan dan kuasa masyarakat yang secara sejarah mengelola kawasan dengan sistem tradisional. Penelitian ini menjelaskan bagaimana mengadaptasikan kesenjangan pengelolaan antara sistem tradisional dan sistem formal TNW sebagai strategi konservasi TNW agar tujuan konservasi keanekaragaman hayati dan kesejahteraan masyarakat tercapai. Tujuan utama penelitian adalah merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat yang serasi (compatible) dengan peraturan pengelolaan TNW. Untuk mencapai tujuan itu ditetapkan tujuan-tujuan khusus yakni : (1) Mengidentifikasi kearifan tradisional pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat Wakatobi; (2) Mengkaji sistem zonasi TNW dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya laut dalam sistem tradisional; dan (3) Menganalisis kesenjangan dalam pengelolaan sumberdaya laut antara sistem formal oleh Balai TNW dengan sistem tradisional oleh masyarakat adat Wakatobi. Subyek penelitian adalah 4 kelompok masyarakat adat yakni kelompok adat Liya, Mandati, Wanci dan Kapota di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dan dilaksanakan dari bulan Oktober 2008 sampai bulan Agustus 2009 terbagi dalam 3 tahapan yakni : (1) Persiapan: merancang sistematika penelitian, mengumpulkan referensi, observasi lapangan, menyiapkan peralatan dan pembentukan tim kecil penelitian; (2) Pelaksanaan: menggunakan metode survey dan Rapid Rural Apraisal (RRA), serta pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, focus group discussion (FGD), observasi dan workshop; dan (3) Konsultasi dengan dosen pembimbing, verifikasi kekurangan data ke lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam sistem tradisional, sumberdaya laut Wakatobi adalah milik bersama yang secara formal menjadi milik sara kadie, dengan kewenangan desentralistik dari sara kesultanan. Pengaturan pemanfaatan sumberdaya laut dilaksanakan berdasarkan pendekatan pembagian ruang yakni ruang pemanfaatan, perlindungan baik berdasarkan penetapan sara maupun sistus keramat. Terdapat juga lokasi pemanfaatan terbatas dengan pembatasan alat tangkap dan pemanfaatan melalui izin pada sara. Selain itu pengaturan berdasarkan alat tangkap terdiri dari alat tangkap yang hanya dapat digunakan nelayan lokal dan alat tangkap yang boleh digunakan nelayan luar, dimaksudkan untuk melindungi nelayan kampung yang memiliki peralatan terbatas dari persaingan dan konflik ruang. Sara kadie dapat memberikan kuasa pengelolaan kepada kelompok masyarakat atau individu untuk alat tangkap ompo dan katondo. Sedangkan dalam sistem formal yaitu zonasi TNW, wilayah ulayat kadie Liya, Mandati, Wanci dan Kapota umumnya menjadi ZPL (Zona Pemanfaatan Lokal), artinya iv

5 hanya dapat dimanfaatkan nelayan lokal, 1,7 % karang di wilayah ulayat merupakan ZPr (Zona Pariwisata), dan ZPB (Zona Perlindungan Bahari) 1,2%. Perbedaan yang ditemui dalam pengelolaan sistem formal dan sistem tradisional menyangkut aspek kelembagaan, kewenangan dan luas wilayah. Sistem formal memiliki kewenangan menjalankan hukum dengan wilayah mencakup seluruh kawasan, dalam sistem tradisional sara kadie berwenang membuat dan menjalankan peraturan adat dengan wilayah yurisdiksi lebih kecil sebatas wilayah kadie. Wilayah Karang Kaledupa, Kapota dalam sistem tradisional dikelola dengan sistem huma. Pemilik huma memiliki kuasa po adati yi pasi (adat istiadat di karang atol) menentukan pengaturan wilayah tangkap, izin, penggunaan alat bagi pengguna sumberdaya (resources use). Keseluruhan hasil ini mengarah kepada strategi pengelolaan TNW berdasarkan kolaborasi sistem formal dan sistem tradisional yakni memasukkan prinsip-prinsip pengelolaan tradisional masyarakat adat ke dalam prinsip-prinsip pengelolaan formal TNW. Bentuknya pengelolaan kolaborasi adalah pembagian ruang yurisdiksi yakni wilayah adat kadie dikelola dengan kelembagaan adat dan diluar itu diberlakukan pengelolaan dengan sistem formal. Lokasi huma yang berimpit dengan ZPB Karang Kaledupa dan ZPr Karang Kapota dikelola dengan memfungsikan secara bersama sistem huma dan sistem formal. Pelanggaran pengelolaan yang bersifat pidana seperti destruktif fishing, pencurian, pencemaran, diselesaikan dengan hukum formal TNW dan sengketa perdata seperti pelanggaran dan perebutan wilayah tangkap diselesaikan dengan hukum adat. Meskipun wilayah ulayat dikelola dengan adat tetapi secara keseluruhan baik wilayah ulayat kadie maupun luar ulayat kadie tetap dalam prespektif TNW, artinya peraturan TNW melegitimasi peraturan adat yang mengatur wilayah ulayat kadie. Kata kunci : sistem formal, sistem tradisional, pengelolaan sumberdaya laut, kolaborasi pengelolaan, Taman Nasional Wakatobi. v

6 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. vi

7 Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat Adat dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi LA ODE MUHAMAD SALEH HANAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 vii

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS. viii

9 Judul Tugas Akhir : Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat Adat dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi Mayor Nama NRP : Ilmu Pengetahuan Kehutanan : La Ode Muhamad Saleh Hanan : E Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Arzyana Sunkar, MSc. Ketua Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F Anggota Diketahui Ketua Mayor/Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Iman Wahyudi, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, MS Tanggal Ujian : 5 Maret 2010 Tanggal Lulus : ix

10 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul : Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat Adat dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi. Pada kesempatan ini pula penulis hendak menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Arzyana Sunkar, MSc dan Bapak Dr. Ir Rinekso Soekmadi, MScF, pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan banyak masukan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, juga kepada Ibu Prof. Dr. Ir. E.K.S Harini Muntasib dan Bapak Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS yang terus memberikan dorongan dalam menyelesaikan penelitian ini. Tidak lupa penulis menyampaikan hal yang sama kepada Bapak Hary Koeshardanto dan rekan-rekan RARE Indonesia, TNC dan WWF Joint program Wakatobi, serta semua pihak yang turut membantu penulis selama ini. Secara khusus saya menyampaikan hormat yang tinggi kepada para sesepuh adat/orang tua kampung adat Liya, Mandati, Wanci dan Kapota yang menjadi sumber informasi penelitian ini, serta ayah-ibu saya. Karya tulis ini untuk memenuhi janji penulis pada kampung halaman tentang kedaulatan pengelolaan. Juga pelajaran untuk kedua anak saya, Intan dan Fifa, terima kasih pada ibu mereka. Untuk sahabat saya Idamayasari. Sebagai manusia biasa penulis tentunya tidak luput dari kealpaan, penulis mengharapkan saran dan kritik guna perbaikan tulisan ini dimasa yang akan datang. Akhir kata semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukan. Maret, 2010 La Ode Muhamad Saleh Hanan x

11 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di kampung adat Liya, Kabupaten Buton pada tanggal 16 Agustus 1972 dari ayah La Ode Hanan dan ibu Rusna Mulyani. Penulis adalah anak pertama dari 9 bersaudara. Tahun 1990 penulis lulus SMA Mutiara Kota Bau-Bau dan pada tahun 2001 menyelesaikan program sarjana (S1) pada Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Tahun 2007 diterima pada Fakultas Kehutanan Institus Pertanian Bogor untuk melanjutkan Program Pascasarjana. Pengalaman kerja penulis dimulai sebagai voluntir Walhi Daerah Sulawesi Tenggara tahun 1995 dan Pemimpin Umum Pers Mahasiswa sampai tahun 1997, staf LSM Yasinta Kendari tahun 2002, United Nation Volunter (UNV) pada Program PKM-UNDP tahun 2003, Deputi Eksekutif Daerah Walhi Sulawesi Tenggara tahun 2003 dan staf pada joint program TNC-WWF Wakatobi sejak tahun 2004 sekarang. Dari tahun 1998 sekarang penulis aktif dalam organisasi kampung SOROKOKO (Solidaritas dan Reorganisasi Kampo-Kampo). xi

12 DAFTAR ISI Halaman Judul... Pernyataan Mengenai Tesis dan Sumber Informasi... Abstract... Ringkasan... Lembar Pengesahan... Kata Pengantar... Riwayat Hidup... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... Daftar Lampiran... i ii iii iv viii x xi xii xiv xv xvi I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 9 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kearifan Tradisional Pengelolaan Kawasan Konservasi dari Sentalisasi ke Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pembangunan Daerah Kolaborasi Manajemen III DESKRIPSI KAWASAN LOKASI PENELITIAN 3.1. Karakteristik Fisik Gambaran Keanekaragaman Hayati Gambaran Masyarakat Sejarah Pengelolaan Kawasan IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian xii

13 4.2. Alat dan Bahan Tahapan Penelitian Metode V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hak Ulayat Laut Pengelolaan oleh Adat dengan Pendekatan Ruang Pengelolaan oleh Adat dengan Pendekatan Alat Tangkap Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Perbandingan Prinsip Pengelolaan Formal dan Tradisional Strategi Pengelolaan oleh Masyarakat Adat VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xiii

14 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Alur Pemikiran Penelitian... 7 Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Gambar 3. Posisi Wilayah Adat Kadie dalam Zonasi TNW Gambar 4. Peta Zonasi Baru TNW Gambar 5. Peta Zonasi Lama TNW xiv

15 DAFTAR TABEL Tabel 1. Pelaksanaan Wawancara Tabel 2. Pelaksanaan FGD Tabel 3. Metode Pengumpulan Data Tabel 4. Jenis dan Penggunaan Alat Tangkap Tabel 5. Proses Revisi Zonasi Tabel 6. Kesesuaian Kegiatan Bedasarkan Zonasi TNW Tabel 7. Perbandingan Prinsip Pengelolaan Tabel 8. Analisis Kelembagaan Lokal xv

16 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Resume Luasan Zonasi TNW Lampiran 2. Struktur Organisasi TNW Lampiran 3. Struktur Organisasi Dinas KP Wakatobi Lampiran 4. Foto-Foto Pelaksanaan Penelitian xvi

17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan konservasi keanekaragaman hayati Taman Nasional Wakatobi (TNW) sangat ditentukan pengakuan kepemilikan masyarakat atas sumberdaya oleh pengelola sehingga masyarakat tidak merasa menjadi bagian terpisah dari pengelolaan. Hasil kegiatan outreach joint program TNC, WWF dan TNW dari tahun pada 64 desa (sekarang mekar menjadi 100 desa) semua menunjukkan aspirasi yang sama yakni masyarakat harus ikut dalam pengelolaan. Dapat dikatakan bahwa konservasi keanekaragaan hayati pada kasus seperti TNW (kawasan konservasi disekitar pemukiman penduduk) harus paralel dengan konservasi keanekaragaman komunitas sebab melalui kearifan tradisinya komunitas masyarakat adat memiliki beragam pengalaman dalam pengelolaan lingkungannya. Jadi kehadiran norma baru sejatinya adalah menguatkan konsep operasional yang telah ada dalam komunitas-komunitas tersebut. Keanekaragaman hayati perairan Wakatobi penting dilestarikan karena merupakan sumber layanan ekologi pelestarian perwakilan ekosistem wilayah ekologi laut Banda-Flores dan keberlangsungan sumber pangan masyarakat dalam kawasan. Wilayah ini berada pada coral triangle center dunia meliputi negara Indonesia, Malaysia, Brunai, Philipina dan Kepulauan Solomon, dengan keanekaragaman terumbu karang dan biota laut tertinggi di dunia (TNW 2008). Tahun 1996 pemerintah menunjuk kawasan seluas 1,3 juta hektar tersebut sebagai Taman Nasional Wakatobi dan bulan Desember tahun 2003 menjadi kabupaten pemekaran dari Kabupaten Buton. Dengan demikian dalam satu hamparan kawasan dengan luas dan batas yang sama (berhimpit) menjadi wilayah taman nasional dan daerah kabupaten. Selain itu bagian-bagian wilayahnya baik di laut maupun darat menjadi wilayah adat dari kampung-kampung yang telah ada jauh sebelumnya. 1

18 Untuk menyeimbangkan kepentingan pembangunan daerah, pemanfaatan oleh masyarakat dan konservasi, maka tahun 2007 dilakukan revisi zonasi taman nasional. Kendati begitu persoalan dalam kawasan tidak berarti berhenti. Praktek penangkapan ikan secara ilegal menyebabkan terjadinya overfishing. Praktek-praktek yang bersifat merusak juga terjadi dengan menggunakan bom, bius dan penambangan karang. Hasil penelitian Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pesisir tahun 2003, menyebutkan penambangan karang oleh masyarakat Bajo berlangsung sejak tahun 1960an. Luasnya kawasan perairan Wakatobi menyulitkan pemerintah melakukan pengamanan. Penggunaan bius (potasium cianida) juga sulit dibuktikan jika pelaku tidak ditangkap langsung. Sementara itu partisipasi masyarakat cenderung pasif dan menyerahkan persoalan sebagai urusan pemerintah. Survey perception monitoring oleh TNC, WWF bekerjasama dengan Balai TNW tahun 2009 menunjukkan 23 % masyarakat menaruh kepercayaan pada pemerintah nasional untuk menjaga kawasan, 22 % kepada kepala desa dan 21 % kepada TNW. Definisi pemerintah nasional dalam dokumen survey adalah Pemda, Polisi, Angkatan Laut dan Dinas Kelautan dan Perikanan (TNC dan WWF Wakatobi 2009). Ketiga subjek yakni pemerintah nasional, kades dan TNW adalah unsur pemerintah, artinya ketergantungan pada pemerintah sangat tinggi. Jika dirunut secara kronologis kurangnya partsisipasi masyarakat merupakan akibat dari perubahan pengelolaan sumbedaya laut dari sistem tradisional menjadi sistem formal ditandai berakhirnya sistem sara di tahun 1960 (bubarnya Kesultanan Buton) sampai berlakunya penyeragaman pemerintahan lokal menjadi desa melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1979 (Nababan 2003). Dalam masa transisi dari kuasa adat ke desa (baca : negara), pemerintah menetapkan Kepulauan Wakatobi sebagai taman nasional laut, sebuah instrumen baru yang secara langsung bersentuhan dengan perihal pengelolaan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya laut melalui sistem formal menyulitkan proses adaptasi masyarakat yang sudah terbiasa mengelola sumberdaya laut berdasarkan pengetahuan tradisional yang dipelajari secara turun- 2

19 temurun. Sistem baru berada di luar pengalaman, pengetahuan, kuasa dan sejarah hidup masyarakat (Arafah dan Manan, 2000). Ancaman lain adalah masih adanya masyarakat memiliki persepsi negatif terhadap taman nasional sebagai pengusiran masyarakat dari wilayah kelola serta anggapan bahwa konservasi bertentangan dengan pembangunan daerah yang dimaknai sebagai aksi eksploitasi hasil untuk PAD. Potensi konflik juga terjadi horisontal, misalnya perbedaan orientasi antara nelayan lokal Wakatobi dengan menambang karang dari komunitas Bajo. Dengan demikian diperlukan sistem pengelolaan yang menghamoniskan pelestarian keanekaragaman hayati dan pelestarian keanekaragaman komunitas sehingga menekan konflik, sebab pengelolaan lingkungan tidak lain merupakan pengelolaan konflik dari masyarakat yang tersusun dari nilai-nilai, kepentingan, keinginan, harapan yang berbeda-beda baik secara individu maupun kelompok (Mitchell B. et al 2007). Laut di Kepulauan Wakatobi adalah milik kampung, dikelola oleh sara kadie, suatu lembaga masyarakat hukum adat kampung yang diberi kewenangan mengurus rumah tangga sendiri oleh Sara Kesultanan Buton. Desentralisasi semacam itu adalah sebagaimana yang dikatakan Solihin et al (2005) sebagai bentuk pengakuan negara kepada masyarakat yang menghasilkan suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan karena terciptanya rasa memiliki pada masyarakat. Kejelasan ruang pengelolaan dalam sistem kadie memudahkan sistem pengawasan sehingga menghindari konflik sesama nelayan (Widodo dan Suadi 2006) dan menghindari laut sebagai wilayah bebas (open access) yang dapat dieksploitasi oleh siapapun, kapanpun dan dengan menggunakan peralatan apapun (Satria 2009b). Bentuk kearifan pengelolaan yaitu sistem adat penting diadopsi guna mengatasi mahalnya teknologi, keterbatasan kemampuan masyarakat memahami sistem baru dan juga untuk menghindari dampak negatif dari teknologi baru (Arafah dan Manan 2000). Pengelolaan sumberdaya laut dengan kearifan tradisional bukanlah berarti meniadakan sistem formal, tetapi soal bagaimana memberikan penghormatan kepada 3

20 sistem tradisional selaku tuan rumah dalam kawasan dengan cara : (1) tidak menghilangkan eksistensi sistem tradisional, dan (2) Kesesuaian antara sistem formal dan sistem tradisional dalam pengelolaan kawasan. Baik sistem tradisional maupun formal memiliki kesamaan tujuan yakni pelestarian keanekaragaman hayati untuk kelangsungan kehidupan.peran pemerintah tetap penting sebagai fasilitator regulasi dan sistem formal dapat beroperasi pada pengelolaan wilayah-wilayah di luar teritorial masyarakat adat atau untuk menjalankan kewajibannya memenuhi hak masyarakat atas kawasan yang aman dari pelanggaran hukum dan hak atas lingkungan yang lestari. Kedua sistem dapat dielaborasi dalam skema kolaborasi sistem, lebih dari sekedar kolaborasi manajemen yang memandang masyarakat sebagai participan stakeholders pada event pemerintah. Kolaborasi sistem adalah dekonstruksi dari sistem pengelolaan sentralistik menjadi desentralistik berbasis masyarakat dimana sistem yang hidup dalam masyarakat diselaraskan dengan sistem formal, bentuknya bisa pembagian ruang mana yang diatur pemerintah dan ruang mana yang diatur sistem lokal. Peluang pemulihan kearifan tradisional dalam kawasan TNW sangat terbuka mengingat fakta bahwa seluruh wilayah kelola adat sara kadie pada sistem tradisional, di dalam skema zonasi TNW telah disepakati masyarakat dan pemerintah sebagai zona pemanfaatan lokal yang mengandung arti hanya dapat dikelola masyarakat lokal Wakatobi. Tentunya untuk menciptakan kesetaraan pengetahuan mengenai sistem tradisional yang ada dalam masyarakat diperlukan langkah awal yakni penggalian nilai-nilai tradisional tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Konservasi keanekaragaman hayati di TNW belum berjalan optimal ditandai dengan rendahnya partisipasi masyarakat dan masih berlangsungnya kegiatan destruktif fishing seperti pemboman, pembiusan dan penambangan karang, terutama di perairan Pulau Wangi-Wangi. Sistem formal konservasi taman nasional berada 4

21 diluar pengalaman hidup dan pengetahuan alami masyarakat sehingga tujuan konservasi sulit terwujud. Sementara itu terdapat kearifan tradisional pengelolaan sumberdaya yang operasional karena terbentuk dan berkembang dari pengalaman masyarakat selama turun-temurun mengelola kawasan tetapi tidak menjadi bagian dari sistem pengelolaan kawasan saat ini. Melemahnya sistem tradisional yang mengurus sumberdaya secara lokal dan menguatnya peran pemerintah memiliki andil besar pada degradasi sumberdaya alam (Satria 2009b). Degradasi sumberdaya laut dapat diketahui berdasarkan hasil Rapid Ecological Assasement (REA) tahun 2003 di perairan Wakatobi menemukan sebanyak 30 daerah pemijahan ikan, namun hasil monitoring joint program TNC, WWF dan BTNW tahun 2007 tersisa 4 lokasi pemijahan masih dalam kondisi baik. Kerusakan disebabkan penggunaan alat tangkap potasium cianyda. Demikian juga di pesisir Liya, Mandati dan Kapota, aktivitas penambangan karang masih terjadi. Tahun 2005 secara partisipatif nelayan Liya menangkap 24 penambang karang dan menahan 22 perahu berkapasitas 2 3 kubik karang. Masyarakat Liya kemudian bermusayawarah menetapkan sanksi adat dalam bentuk denda terhadap para pelaku penambangan dan pernyataan tidak akan mengulangi kegiatan penambangan karang, namun DPRD Kabupaten Wakatobi membebaskan semua pelaku penambangan dari sanksi dengan pertimbangan bahwa kegiatan penangkapan oleh masyarakat tidak memiliki dasar hukum. Dampaknya aktivitas penambangan karang di pesisir Liya, pesisir Usuno desa Kolo Liya, pantai barat Pulau Kapota serta pesisir barat Mandati terus terjadi tanpa tindakan pencegahan dari masyarakat lagi. Bahkan di pesisir desa Waelumu dan Waetuno penambangan mulai dilakukan masyarakat lokal desa. Hasil penelitian Pride Campaign TNC/WWF, RARE di Pulau Wangi-Wangi dan Pulau Kapota tahun 2008 menunjukkan pengetahuan masyarakat yang tinggi terhadap kegiatan perusakan (68%) dan dampak perusakan (87%). Tetapi hasil survey menampakkan lemahnya kemampuan masyarakat untuk bersikap dalam 5

22 menghentikan kegiatan perusakan (60%). Kesulitan ini bisa disebabkan sistem pengelolaan yang ada tidak memberikan kuasa pada masyarakat dan tidak dipahami masyarakat. Untuk sekedar melaporkan kegiatan perusakanpun masyarakat mengalami kesulitan. Masyarakat sulit membuat keputusan dan instansi pembuatan keputusan berada pada jarak sosial dan fisik yang jauh dari kenyataan hidup masyarakat. Keadaan ini menyebabkan tujuan-tujuan konservasi seperti pelestarian keanekaragaman hayati sulit terwujud. Dalam pengelolaan dengan sistem adat pengambilan keputusan berada di tengah kampung. Sara yang merupakan lembaga hukum adat berada di tengah-tengah masyarakat dan anggotanya merupakan bagian dari penduduk kampung. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini menjelaskan bagaimana mengadaptasikan kesenjangan pengelolaan antara sistem tradisional dan sistem formal TNW sebagai strategi konservasi TNW. Fokus kajian adalah sistem tradisional pengelolaan laut dalam pengelolaan zonasi TNW apakah memiliki kesesuaian atau tidak memiliki kesesuaian. Dengan demikian pertanyaan-pertanyaan awal yang harus terjawab dalam penelitian ini adalah : 1. Apa saja kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya laut? 2. Bagaimana pengelolaan sumberdaya laut dalam sistem zonasi TNW, kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya laut dalam sistem tradisional. 3. Apa wujud persamaan dan perbedaan sistem formal dan sistem tradisional dalam mengelola sumberdaya laut di Wakatobi? 1.3 Kerangka Pemikiran Untuk menyusun rumusan pengelolaan TNW yang adaptif terhadap pengelolaan tradisional masyarakat dalam kawasan harus dimulai dari langkah-langka klarifikasi atas kearifan tradisional dan sistem formal yang berlaku. Kearifan tradisional sebagai hasil karya masyarakat yang timbul dari pengalaman secara teratur berinteraksi dengan alam dalam suatu wilayah kelola yang dikuasainya sebagai hak 6

23 ulayat telah mengilhami pengelolaan sumber daya laut secara ramah dan berkelanjutan sehingga laut Wakatobi dianggap layak menjadi taman nasional dalam prespektif pelestarian oleh pemerintah. Secara tidak langsung hal tersebut merupakan suatu bentuk pengakuan negara atas pengaruh positif kearifan masyarakat secara turun-temurun. Pengakuan atas wujud perilaku konservasi yang lahir dalam masyarakat akan bermakna sebagai suatu penghormatan terhadap norma atau adat istiadat dalam pengelolaan dengan menjadikan nilai tradisional tersebut sebagai bagian dari instrumen konservasi kawasan taman nasional. Akomodasi terhadap kearifan lokal akan meningkatkan partisipasi masyarakat karena nilai tersebut dapat dengan mudah dikenali, dipahami dan dijalankan sebab telah menjadi pengalaman dan sejarah hidup masyarakat. Konsep pemikiran tersebut melatarbelakangi gagasan penelitian ini sebagaimana disajikan pada gambar 1. Gambar 1 : Alur pemikiran penelitian 7

24 Gambar 1 menunjukkan kondisi faktual pengelolaan sumberdaya laut kepulauan Wakatobi berada dalam kewenangan institusi pemerintah yakni pemerintah daerah dan taman nasional. Dilain pihak, terdapat masyarakat lokal yang memiliki hak ulayat. Antara pengelolaan oleh pemerintah daerah dan taman nasional terdapat prinsip-prinsip yang memiliki kesamaan yakni pelestarian keanekaragaman hayati untuk menunjang penyediaan bahan baku bagi pembangunan berkelanjutan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Namun demikian terdapat kesenjangan pengelolaan yang harus dirumuskan bersama oleh kedua institusi sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih. Kedua sistem memiliki kesamaan dan kesenjangan sehingga diperlukan kesepakatan-kesepakatan sebagai sistem pengelolaan bersama dan menjadi landasan bagi pengelolaan bersama (colaboration management). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kolaborasi pengelolaan bukan hanya kolaborasi dalam perspektif partisipasi stakeholder (manusia) pada event pemerintah tetapi kolaborasi sistem antara sistem formal pemerintah dan sistem tradisional milik masyarakat. Konsensus yang akan dihasilkan dari kolaborasi tersebut nantinya menjadi sistem konservasi taman nasional. 1.4 Tujuan penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan utama yakni merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat yang serasi (compatible) dengan peraturan pengelolaan TNW. Untuk mencapai tujuan tersebut maka tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi kearifan tradisional pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat Wakatobi. 2. Mengkaji sistem zonasi TNW dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya laut dalam sistem tradisional. 3. Menganalisis kesenjangan dalam pengelolaan sumberdaya laut antara sistem formal oleh Balai TNW dengan sistem tradisional oleh masyarakat adat Wakatobi. 8

25 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk mengkaji strategi pengelolaan sumber daya laut di wilayah TNW. Hasil kajian dalam penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi proses yang dibangun para pihak dalam TNW untuk mewujudkan kolaborasi pengelolaan dalam rangka mewujudkan taman nasional untuk rakyat yaitu kawasan konservasi yang memberikan layanan ekologis bagi pelestarian ekosistem, mempertahankan sumber pangan masyarakat dan memberi penghormatan pada masyarakat adat yang berada dalam kawasan. 9

26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kearifan Tradisional Kearifan tradisional lahir dari ekstraksi pengalaman hidup manusia dengan lingkungan hidupnya selama turun-temurun dan berulang pada wilayah yang dikuasai secara adat. Babcock dalam Arafat dan Manan (2000) menyatakan hal yang sama tentang kearifan masyarakat sebagai kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar pada kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama. Dari definisi itu nampaklah hubungan erat antara kearifan manusia dengan lingkungan. Ketakterpisahan mahkuk hidup (termasuk manusia) dengan lingkungan hidupnya dilukiskan Soemarwoto (2008) sebagai dua sejoli, bahwa mahluk hidup membentuk lingkungan hidupnya dan sebaliknya mahluk hidup bergantung pada lingkungan hidupnya. Terdapat hubungan timbal balik, saling ketergantungan, mahluk hidup hanya mungkin dapat mempertahankan proses reproduksinya berkat nilai yang diterima dari lingkungan hidupnya dan kemampuan daya dukung lingkungan tergantung bagaimana mahluk hidup menciptakan keseimbangan dalam lingkungan hidupnya (Soemarwoto 2008). Fokus dalam hubungan mahluk hidup dengan lingkungannya adalah hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya karena ruang lingkup hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya mencakup lingkungan fisik (tidak hidup) serta tumbuhan dan hewan sebagai materi di dalam lingkungan hidup manusia. Karena itu dalam pengelolaan lingkungan yang menjadi fokus adalah ekologi manusia. Soemarwoto (2008) menambahkan, dalam sejarah hidup manusia, ekologi dan faktor lain seperti ekonomi, teknologi bahkan faktor yang tidak material seperti sistem sosial, budaya dan religius menjadi arena bagi manusia dalam menemukan pengetahuan-pengetahuan kunci untuk mengelola lingkungan hidup. Interaksi yang panjang, teratur dan terus-menerus antara manusia dengan alam melahirkan pengalaman-pengalaman hidup di alam berkaitan dengan pemanfaatan alam untuk 10

27 sumber kehidupan dan mempertahankan alam agar senantiasa memberikan layanan ekologisnya (Soemarwoto 2008). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alam sebagai lingkungan tempat hidup manusia di muka bumi merupakan suatu media pengetahuan yang melahirkan kebudayaan manusia. Kebudayaan didapatkan dari proses interaksi yang terus menerus dan teratur dengan lingkungan hidupnya membentuk suatu sistem pengelolaan lingkungan (Ranjabar, 2006). Dari sinilah lahirnya nilai-nilai kearifan yang menjadi sistem tradisional masyarakat. Nilai-nilai tersebut tidak hanya menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungan yang diyakini adanya kekuatan dalam selubung alam yang memerlukan penghormatan secara religius tetapi dalam nilai-nilai tersebut terdapat pengetahuan yang menjelaskan secara ekologi sebuah kearifan (Susilo 2008). Nababan (2003) menilai kearifan tradisional melekat pada pemilik sumberdaya dalam suatu wilayah yakni masyarakat adat. Contoh yang dapat memperlihatkan kelekatan itu dapat dilihat pada hubungan antara masyarakat adat dengan hutan dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang sebagaimana diuraikan dalam Uluk et al (2001). Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 mendefinisikan masyarakat adat sebagai komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat (Nababan 2003). Unsurnya adalah komunitas, histories, wilayah, hukum dan kelembagaan. Memperhatikan definisi tersebut masyarakat hukum adat pemilik sumberdaya laut di Kepulauan Wakatobi dengan nilai-nilai kearifan yang melekat dengan wilayah kekuasaan adat terbagi dalam 9 kadie dan 1 barata (memiliki 9 limbo atau kadie), merupakan bagian dari 72 kadie dan 4 barata Kesultanan Buton (Zuhdi, 1996). Kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya alam menarik untuk dicermati mengingat dampak negatif yang cenderung muncul akibat penerapan teknologi modern yang eksploitatif terhadap sumberdaya alam. Pendekatan yang menghendaki 11

28 harmoni dengan alam, dapat ditemukan pada sistem tradisional, tetapi pendekatan kearifan tradisional bukan berarti memutar roda kehidupan kapada masa lalu dalam dominasi alam. Membangkitkan kearifan tradisional merupakan suatu cara menjaga lingkungan dan meredam watak eksploitatif manusia atas alam. Muatan kearifan lokal yang tidak eksploitatif dibanding teknologi modern yang perlu dikembangkan yakni kearifan yang melayani kebutuhan secara subjektif, sesuai jumlah optimum yang dibutuhkan tanpa eksploitasi besar-besaran (Susilo 2008). Endah dalam Adnan et al (2008) menuliskan kekhawatiran pada lunturnya minat kaum muda terhadap kearifan tradisional dan lebih memilih budaya-budaya modern seperti kebiasaan berkumpul di warung sambil menonton aneka sajian siaran televisi dari antena parabola di desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, disekitar Taman Nasional Kerinci Seblat. Dampaknya pada penegakan aturan-aturan adat adalah jika ada perlawanan dari pelaku perusakan atau pencurian sumberdaya alam aturan adat tidak bisa menindak. Dalam sidang musyawarah masyarakat para pelaku pelanggaran tersebut selalu menggunggat mana aturan yang dilanggar dan siapa yang menetapkannya. Belajar dari hal tersebut masyarakat desa Batu Kerbau kemudian mulai mendokumentasikan aturan adatnya. Aturan-aturan adat yang disepakati dalam musyawarah masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya alam dibakukan dalam bentuk piagam kesepakatan sehingga meskipun lembaga adat tradisional telah bubar tetapi piagam menjadi landasan dan pedoman pengambilan keputusan kolektif masyarakat adat.. Kasus desa Batu Kerbau adalah pelajaran empirik yang menegaskan kedinamisan kearifan tradisional. Bahwa kearifan tradisional terletak pada nilai kelolakan masyarakat pemilik sumber daya, bukan sekedar warisan dari masa lalu (Adimihardja 2008). Dalam pengelolaan laut, sistem tradisional pudar karena, pertama sistem pengelolaan laut yang berbasis ilmu pengetahuan moderen menganggap pengelolaan yang bersifak lokal tidak relevan karena tidak didasarkan pada metode yang imiah. Akibatnya sistem tradisional diabaikan padahal pengelolaan tradisional sarat dengan 12

29 prinsip moral yang mendorong masyarakat bertanggung jawab atas stabilitas ekosisitem laut. Kedua, pengelolaan laut sentralistik (Satria 2009b). 2.2 Pengelolaan Kawasan Konservasi dari Sentalisasi ke Desentralisasi Indonesia salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Konservasi Keanekaragaman Hayati (melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1994) dimana dalam pasal 8 konvensi mewajibkan negara-negara peserta konvensi (yang telah meratifikasi) menetapkan sistem kawasan yang dilindungi atau protected area (DEPHUT, 2005). Menurut Setiawan dan Alikodra (2001) sistem kawasan konservasi di Indonesia dapat dikategorikan : 1. Kawasan suaka alam (nature reserve), terdiri dari Cagar Alam (CA) darat dan laut, serta Suaka Margasatwa (SM) darat dan laut. 2. Kawasan pelestarian Alam (nature reserve), terdiri dari Taman Nasional (TN) darat dan laut, Taman Wisata (TW) darat dan laut serta Taman Hutan Rakyat (Tahura). 3. Kawasan Taman Buru (game reserve). Disamping kawasan konservasi terdapat hutan lindung yang meskipun berfungsi melindungi sumberdaya hayati tetapi tujuannya adalah untuk melindungi daerah tangkapan air. Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia adalah kewenangan pemerintah pusat dibawah Departemen Kehutanan, dengan misi, pertama, menjaga kawasan konservasi, rehabilitasi dan peningkatan potensi. Kedua, pengelolaan kawasan konservasi berwawasan sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan hidup. Ketiga peningkatan manfaat hasil dan peran masyarakat (Setiawan dan Alikodra 2001). Sentralisasi pengelolaan kawasa konservasi mempercepat degradasi sumberdaya alam. Pendekatan sentarlistik berkembang pasca perang dunia II dimana negara-negara baru melakukan proyek nasionalisasi terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang kemudian dimanfaatkan negara-negara kapital dari barat untuk menginvestasikan modernisasi pembangunan. Modernisasi tidak menghendaki 13

30 hal-hal yang berbau tradisional. Proyek nasionalisasi dan modernisasi memperkuat posisi pemerintah pusat atas sumberdaya alam, dampaknya masyarakat lokal makin jauh ketinggalan dan kelembagaan pengelolaan lokal makin memudar yang memberi kontribusi besar pada degradasi sumber daya. Aturan dibuat di pusat kekuasaan yang jarak sosialnya jauh dari realitas sosial setempat. Akibatnya masyarakat yang telah tercabut dari kulturnya kehilangan rasa tanggung jawab atas peraturan pengelolaan sehungga peraturan tersebut berjalan tidak efektif. (Satria 2009b). Lebih lanjut Satria (2009b) menjelaskan pengelolaan kawasan konservasi terutama didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem dan peraturan implementasinya yakni PP No. 68 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam menegaskan corak sentralistik pengelolaan. Pengembangan taman nasional laut mengacu pada peraturan perundang-undangan tersebut. Untuk pelaksanaannya di lapangan Departemen Kehutanan membentuk unit pelaksana teknis Balai Taman Nasional (BTN) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Titik balik sentralisasi ke desentralisasi mulai mendapat ruang setelah keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang mengatur kewenangan laut daerah kabupaten 4 mil, propisnsi berwenang hingga 12 mil dan pemerintah pusat ditas 12 mil. mil. Namun demikian UU No. 22 tersebut tetap mengakomodir kewenangan pemerintah pusat untuk pengelolaan sumberdaya dan konservasi (Satria, 2009b). Dilain pihak UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan memberikan kewenangan pada Departemen Kelautan dan Perikanan mengelola kawasan konservasi laut. Disinilah tarik menarik kepentingan antara Dehut dan DKP. Tahun 2003 Dephut dan DKP menyepakati kerjasama pengelolaan taman nasional laut yang dalam pelaksanaannya melibatkan pemerintah daerah provinsi sebagai apresiasi atas UU No 22 Tahun 2002 dan revisinya UU No32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang memberikan kewenangan pemerintah daerah provinsi mengelola 12 mil laut dari pantai. DKP kemudian mempromosikan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang berbasis pengelolaan pada pemerintah daerah. 14

31 Kesan dualisme pengelolaan kawasan konservasi antara Dephut yang sentralistik dan DKP yang desentralistik. Meskipun demikian desentalistik tersebut tetap juga berada pada tangan pemerintah daerah bukan pada tingkat masyarakat (Satria 2009b). Konflik pengelolaan bisa timbul disini dimana masyarakat dapat merasa terabaikan hak-hak kelolanya. Penghormatan atas eksistensi masyarakat lokal sebenarnya dengan jelas diamanatkan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati yang sudah diratifikasi Indonesia. Pasal 8 konvensi juga mensyaratkan setiap negara peserta konvensi dalam peraturan perundang-undangannya mengakui/menghormati, melestarikan dan memelihara pengetahuan, inovasi dan kegiatan-kegiatan masyarakat asli dan masyarakat setempat (DEPHUT 2005). Desentralisasi pengelolaan kawasan laut oleh masyarakat menjadi penting untuk menghindari konflik pemerintah dengan nelayan yang merasa termarjinalisasi dari wilayah perikanan tradisionalnya (Satria 2009b). 2.3 Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pembangunan Daerah Konservasi dan pembangunan bisa berjalan harmonis seperti dua sejoli. Jika dampak dari pembangunan menurunkan kwalitas lingkungan bukan berarti pembangunan adalah lawan dari upaya konservasi. Yang menjadi fokus adalah melaksanakan pembangunan yang ikut mendukung peningkatan kwalitas lingkungan hidup (Soemarwoto 2008). Dalam kawasan perairan kepulauan Wakatobi secara konsepsional antara Balai TNW dan Pemda Wakatobi menyadari hal tersebut sehingga kesepakatan revisi zoanasi dan revisi perencanaan jangka panjan TNW maupun RPJP Kabupaten Wakatobi meletakkan pembangunan daerah dan konservasi saling menunjang. Konservasi kawasan TNW salah satu tujuannya adalah menjamin daya dukung kawasan bagi perikanan masyarakat dan pembangunan daerah berkelanjutan (TNW 2008). Hakikat dari pengelolaan sumberdaya adalah mengelola hubungan manusia dengan lingkungan dan sumber daya alam sebagai proses pengelolaan konflik (Mitchel et al 2007). Pengelolaan sumberdaya laut adalah mengelola hubungan 15

32 masyarakat (nelayan) dengan sumberdaya perikanan. Pengelolaan integral sumberdaya laut dengan perikanan tidak lepas dari kondisi wilayah pesisir yang rapuh terhadap berbagai tumpang tindih kepentingan berbagai pihak berpeluang menimbulkan konflik pengelolaan. Menyadari hal itu pengelolaan pesisir harus mengembangkan kerangka kelembagaan dan aturan yang memilah penggunaan sumberdaya dan pengaturan akses dan berbagai hak masyarakat untuk menghindari konflik (Widodo dan Suadi 2006). Sumberdaya laut seperti perikanan adalah input kegiatan ekonomi masyarakat dan daerah. Mekipun sumberdaya ini terkategori sumberdaya yang dapat terbaharukan yakni ketersediaannya dapat diregenerasi melalui proses reproduksi (proses biologi) tetapi jika maksimum kapasitasnya sudah melampauhi ambang kritis maka bisa berubah menjadi tidak terbaharukan (Fauzi 2006). Sehubungan dengan batas kritis kemampuan sumberdaya tersebut dikembangkan pendekatan pembangunan berkelanjutan sebagaimana dijelaskan Mitchel et al (2007) sebagai pembangunan yang memasukkan pertimbangan lingkungan dalam hitungan nilai ekonomi. Secara pasti apa yang dimaksud pembagunan berkelanjutan memungkinkan berbeda pendekatan. Contoh dapat dilihat pada Provinsi Manitoba, Kanada, dimana secara spesifik mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Di Provinsi Bali, pembangunan berkelanjutan tidak hanya keberlanjutan sumberdaya alam, tetapi juga keberlanjutan budaya (dari nilai-nilai dan legenda ke upacara keagamaan dan struktur), serta tidak hanya keberlanjutan produksi tetapi juga keberlanjutan budaya itu sendiri (Michel et al 2007). Dahuri et al (2004) menegaskan keunikan pengelolaa pesisir dan laut. Terdapat anekaragam, tingkat produktivitas dan jasa lingkungan serta kemudahan pada kawasan pesisir menyebabkan wilayah ini menjadi tempat berlangsungnya kegiatan pembangunan paling intensif. Selain memiliki potensi pembangunan, kawasan pesisir sangat rentan terhadap berbagai dampak negatif pembangunan yang berlangsung dipesisir, laut lepas maupun darat, juga rentan bencana seperti tsunami 16

33 dan angin topan, terutama pada kawasan yang tidak memiliki sisitem perlindungan alamiah seperti mangrove, terumbu karang dan pasir pantai. Peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan ekonomi paralel dengan tekanan lingkungan terhadap wilayah pesisir. Konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya serta ancaman pencemaran semakin dan kemungkinan dampak pemanasan global berupa naiknnya permukaan laut menyebabkan pengelolaan secara sektoral tidak memadai menjawab tantangan pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Untuk mengatasi permasalahan itu diperlukan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu (PWTL), karena sistem sumberdaya dapat pulih harus dikelola untuk menyediakan hasil pada tingkat berkelanjutan (Dahuri et al 2004). Ditingkat daerah, perencanaan terpadu dengan melibatkan stakeholdes pembangunan melalui mekanisme botton up dimulai dari tingkat desa melalui Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes). Bappeda memiliki fungsi startagis dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mensinergikan perencanaan meskipun dalam tahap implementasi tetap merupakan kewenangan instansi secara sektoral (Dahuri et al 2004). 2.4 Kolaborasi Management Dalam banyak kasus kita bisa melihat bahwa upaya pengelolaan dengan berbagai instrumen dan teknologi moderen memerlukan biaya yang mahal harganya dan sukar diterapkan karena keterbatasan kemampuan masyarakat dalam memahaminya. Adopsi kearifan tradisional untuk pengelolaan merupakan pilihan alternatif untuk mengatasi mahalnya teknologi, keterbatasan kemampuan masyarakat memahami dan juga untuk menghindari dampak negatif dari teknologi baru (Arafah dan Manan 2000). Ruang akomodasi kearifan lokal hanya mungkin dilakukan dengan kolaborasi pengelolaan sumberdaya. Pendekatan kolaborasi membuka peluang partisipasi masyarakat mengingat peran masyarakat masih terbatas sentralisasi pengelolaan (DEPHUT 2005). Solihin et al (2005) menggaris bawahi partsisipasi masyarakat 17

34 sebagai unsur penting dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya laut karena paradigma sentralisik dimasa lalu terbukti gagal dan dengan era otonomi daerah saat ini dipandang sebagai peluang untuk mewujudkan pengelolaan yang partisipatif atau sebuah peluang untuk meredefinisi pembangunan perikanan dan kelautan. Rezim property rights harus mengalami banyak perubahan untuk mewujudkan communal property rights. Kewajiban pemerintah meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menggerakkan institusi lokal dalam sistem tradisional mereka. Desentralisasi membuka peluang partsipasi masyarakat untuk terlibat dalam proses perencanaan dan aktualisasi pengelolaan sumberdaya laut yang diyakini mengurangi resiko gagal pengelolaan karena proses dan tujuan telah dikuasai masyarakat sejak awal. Hak-hak ulayat di laut (HUL) menurut Solihin et al (2005) menjadi kunci mengatasi pergeseran KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) antara pengusaha, penguasa dan politisi dari pusat ke daerah yang menjadi duri bagi pengelolaan sumberdaya selama ini, ketika mengusung desentralisasi. Penguatan HUL juga mencegah terjadinya konflik pengelolaan antara nelayan lokal dan nelayan luar, penggunaan alat tangkap tidak ramah seperti bom, bius. Sebagai contoh pemberlakuan sistem tradisional awig-awig yang direkonstruksi dari adat budaya lokal di Lombok Utara sebagai model pengelolaan sumber daya laut secara kolaboratif (Co-Management) terbukti mengurangi secara drastis ilegal fishing dan destruktif fishing serta meningkatkan partsisipasi masyarakat. Menurut Widodo dan Suadi (2006) pengelolaan kolaboratif adalah pengelolaan yang menekankan pembagian tugas dan tanggung jawab pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Dalam pendekatan pengelolaan kolaborasi yang tidak boleh berubah adalah kewenangan pengelolaan tetap ditangan pemerintah mengingat kawasan konservasi merupakan public domain (DEPHUT 2005). 18

35 BAB III DESKRIPSI KAWASAN LOKASI PENELITIAN 3.1 Karakteristik Fisik Letak dan Aksesibilitas Kepulauan Wakatobi berada pada jazirah tenggara Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda. - Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores. - Sebelah Barat berbatasan dengan perairan Kabupaten Buton. Gambar 2 : Lokasi Penelitian di Kompleks Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi Sumber : TNC-WWF Joint Program Wakatobi 19

36 Wakatobi dapat dijangkau dengan kapal laut selama 9 jam, dengan pesawat terbang selama 30 menit dari Kendari ke Pulau Wangi-Wangi ibukota Kabupaten Wakatobi. Selain itu dari Kota Bau-Bau kapal pelayaran rakyat setiap hari berlayar menuju tiap pulau dengan waktu tempuh tercepat 9 jam dan terlama 16 jam atau dengan pesawat terbang selama 15 menit. Dari timur, pintu masuk dari Kota Ambon dengan kapal PELNI selama 12 jam, dengan kapal pelayaran rakyat Wakatobi selama 24 jam. Dari utara melalui Ternate dengan kapal rakyat selama 30 jam, dari arah lewat Flores dengan kapal pelayaran rakyat selama 8 jam. Dari pulau Wangi-Wangi, pulau-pulau dalam kawasan dapat ditempuh setiap hari, waktu terdekat 30 menit yakni pulau Kapota, terjauh jam untuk pulau Runduma (freqwensi tergantung cuaca dan muatan) Topografi Pulau dan Laut Pulau-pulau dalam gugusan Kepulauan Wakatobi memiliki topografi datar sampai berbukit. Empat pulau utama, berpenghuni dan memiliki ukuran lebih besar memiliki variasi ketinggian : - Pulau Wangi-Wangi, topografi lebih rendah di sebelah selatan dibanding bagian utara. Puncak tertinggi ± 225 m dpl. - Pulau Kaledupa, topografi lebih rendah di bagian utara dibanding bagian selatan, memiliki puncak tertinggi ± 200 m dpl. - Pulau Tomia, topografi rendah dibagian barat, dan lebih tinggi di pantai timur, memiliki puncak tertinggi ± 250 m dpl. - Pulau Binongko, topografi lebih rendah dibagian timur, lebih tinggi pada bagian barat, memiliki puncak tertinggi ± 225 m dpl. Topografi laut umumnya datar di lepas pantai, dan di luar karang tepi dan daerah gosong merupakan tubir terjal. Dari hasil citra landsat dasar perairan laut merupakan gabungan jurang dan gunung-gunung bawah laut dengan variasi kedalaman meter, masuk perairan laut Banda (TNW 2008). 20

37 3.1.3 Kondisi Hidrogeologis Sebagaimana karakter pulau-pulau atol, pulau-pulau di Wakatobi kekurangan sumber air tawar. Sumber air tawar berada didalam gua-gua atau celah batu dan sumur gali yang umumnya mengalami infiltrasi air laut pada saat pasang surut. Pulau-Wang-Wangi memiliki sumber air gua alam terbanyak. Sumber air lainnya adalah sungai Tindoi, sungai musiman di pulau Wangi-wangi. Pulau yang memiliki sumber air paling minim adalah Pulau Binongko, Runduma, Tomia dan Tolandona. Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3 gosong dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol. Empat pulau utama memiliki luas sebagai berikut : - Pulau Wangi-wangi 156,5 km 2 - Pulau Kaledupa 64,8 km 2 ; - Pulau Tomia 52,4 km 2, - Pulau Binongko 98,7 km 2. Dari proses pembentukannya, atol yang berada di sekitar kepulauan Wakatobi terbentuk oleh adanya penenggelaman dari lempeng dasar. Dimulai dari kemunculan beberapa pulau, kemudian diikuti pertumbuhan karang mengelilingi pulau. Terumbu karang yang ada di sekeliling pulau terus tumbuh ke atas sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol yang terlihat sekarang, antara lain Atol Kaledupa, Atol Kapota, Atol Tomia (TNW 2008). 3.2 Gambaran Keanekaragaman Hayati Jenis Spesies Dilindungi Beberapa spesies terlindungi dapat ditemukan pada kawasan ini, antara lain penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), lumba-lumba (Delphi nusdelphis, Stenella longiotris, Tursiops truncatus), ikan napoleon (Cheilinus undulatus) kima (Tridacna sp), Lola (Trochus sp), ketan kenari (Birgus latro). Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) dijumpai pada daerah karang yang kondisinya relatif baik. Kepiting kenari dijumpai pada lubang-lubang batu di Pulau Oroho (Kompona 21

38 One), Simpora, Kapota, Hoga, Lentea Tomia, Runduma, Wangi-Wangi, Tomia, Binongko. Kondisi tekstur tanah didominasi batu-batu cadas merupakan habitat dari hewan ini dan memiliki sumber makanan yakni kelapa. Kepiting kenari melimpah pada musim penghujan dan bulan gelap (TNW 2008) Keanekaragaman dan Kesehatan Terumbu Karang Laporan Rapid Ecological Assesment (REA) 2003, ditemukan 396 spesies karang scleractinia hermatipic, terbagi dalam 68 genus dan 15 famili, dimana rataan setiap stasiun pengamatan berkeragaman 124 spesies. Sebanyak 10 spesies karang keras non scleractinia atau ahermatipic dan 28 genera karang lunak juga berhasil dicatat. Tingkat keragaman ini termasuk relatif tinggi bila dihubungkan dengan keragaman habitat yang disurvei yang cenderung rendah keragamannya dan ini merupakan sebuah indikasi dimana Wakatobi terletak di pusat keanekaragaman hayati terumbu karang (TNW 2008) Keanekaragaman Ikan Berdasarkan penelitian The Nature Conservancy (TNC), sebanyak 590 spesies ikan dari 52 famili ditemukan di perairan TNW. Famili-famili paling beragam spesiesnya antara lain jenis-jenis wrase (Labridae), damsel (Pomacentridae), kerapu (Serranidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), surgeon (Acanthuridae), kakatua (Scaridae), cardinal (Apogonidae), kakap (Lutjanidae), squirrel (Holocentridae), dan angel (Pomacanthidae). Kesepuluh famili ini meliputi hampir 70% dari total hewan yang tercatat REA Hampir lebih dari 80% lokasi yang disurvei selama REA berada pada peringkat yang menunjukkan satu tingkat keragaman yang tinggi dari seluruh lokasi yang disurvei dan menempatkan wilayah ini pada posisi dua tertinggi dari 33 daerah yang telah lebih dulu disurvei untuk informasi yang sama (TNW 2008). 22

39 3.2.4 Keanekaragaman Karang-karang Fungi dan Genus Scleractinia REA 2003 mencatat sebanyak 31 spesies karang fungi (mushroom) dari 29 sampai 31 lokasi sampel. Walaupun Wakatobi adalah pusat dari keanekaragaman hayati, wilayah ini tidak cukup kaya akan karang fungi. Satu faktor pembatas keragaman karang fungi di Wakatobi adalah keragaman habitat yang relatif rendah; dibandingkan dengan daerah lain seperti Kepulauan Spermonde di Sulawesi Barat Daya, setidaknya dua tipe habitat yang berbeda yang secara umum kumpulan karang fungi berkumpul (terumbu berpasir di kedalaman dan terumbu yang dipengaruhi aliran air tawar dari sungai) tidak terlalu banyak. Spesies fungi yang ditemui di Wakatobi mencakup sebagian besar yang biasanya ditemukan di lokasi lepas pantai di area dengan suatu landas kontinen seperti Spermonde. Sebagai perbandingan kumpulan fungi ini mirip dengan yang ada di Sulawesi Utara dan Kepulauan Togian dimana keduanya jarang terdapat habitat terumbu berpasir di kedalaman. Terkait dengan jenis karang scleractinia, secara umum walaupun agak beragam, tidak menunjukkan adanya sesuatu yang unik bisa jadi karena rendahnya tingkat keragaman habitat yang ada. Meskipun begitu REA 2003 mencatat beberapa temuan yang cukup menarik, yaitu adanya suatu kumpulan karang di area hamparan padang lamun (seperti Catalaphyllia Jardineri, Fungia (Cycloseris) sinensis dan F. (C.) cyclolites- dimana pada umumnya ada di kedalaman). Ada juga, suatu perubahan warna yang tidak biasa pada Hydrocoral Distichopora Violacea (dimana cabang yang diamati mempunyai suatu pita putih di bawah ujung berwarna) ditemukan dan mungkin merupakan suatu subspesies endemik Sulawesi Tenggara (TNW 2008) Foraminifera Selama REA, 31 spesies dari foraminifera berhasil dikoleksi dimana 9 diantaranya belum dapat diidentifikasi atau memerlukan pengamatan lebih lanjut untuk menentukan jenis taksonomi yang tepat. Ini merupakan jumlah yang tinggi dibandingkan dengan keragaman di lain tempat di Indo-West Pacific yang pernah diamati (seperti Cebu, Kepulauan Spermonde di Sulawesi, dan Bali). Secara umum 23

40 tiga kelompok foraminifera dapat diidentifikasi : hamparan terumbu (reef flat), dan bagian dalam laguna dan terumbu miring. Hamparan terumbu yang meluas di daerah ini, sebagian besar ditutupi padang lamun, merupakan habitat penting bagi foraminifera, seperti halnya di bagian dalam laguna atol keduanya merupakan rumah bagi sejumlah spesies foraminifera yang unik. Keragaman yang tinggi, pembagian habitat yang tinggi dan densitas yang tinggi (dikombinasi dengan densitas yang rendah dari foraminifera yang non simbiose) menunjukkan bahwa kondisi pertumbuhan terumbu di wilayah ini sangat baik (TNW 2008) Stomatopoda Terdapat 34 spesies dari 8 famili dan 16 genus yang telah diobservasi REA Dua spesies yang terkumpul belum dapat diidentifikasi, dari genus Gonodactylopsis dan genus Chrosquilla yang ditemukan pada kedalaman 20 meter pada dinding vertikal. Seperti yang diharapkan, spesies-spesies yang ditemukan di Wakatobi mencerminkan spesies-spesies yang dominan di perairan jernih tipikal dari terumbu yang menghadap ke laut dalam atau laut lepas. Koleksi yang ada menambah jumlah spesies stomatopoda terumbu yang sudah diketahui, menempatkan Wakatobi sejajar dengan Kepulauan Raja Ampat yang memiliki jumlah tertinggi untuk spesies stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu. Jelas bahwa TNW merupakan tempat yang memiliki keanekaragaman stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu yang memperkuat arti penting kawasan konservasi ini bagi pelestarian keanekaragaman hayati (TNW 2008) Ikan Target Komersial Ditemukan sejumlah 647 ekor Serranidae dan 29 ekor Napoleon Wrasse Chelinus undulatus. Dari kerapu yang dicatat, hanya 100 ekor (kurang dari 1/6) merupakan spesies yang memiliki nilai tinggi dalam perdagangan ikan karang hidup (umumnya spesies Epinephelus dan Plectropomus). Bahkan bila kita secara konservatif menduga hanya 50% dari species target yang ada yang tercatat, total 24

41 sejumlah 260 target spesies dalam waktu observasi selama 20 jam menunjukkan bahwa densitas yang relatif rendah dan ini menunjukkan telah terjadi tekanan dari usaha perikanan yang tinggi pada spesies ini (TNW 2008) Tumbuhan Lamun Terdapat 9 jenis lamun ditemukan di perairan Wakatobi dari 12 jenis yang ada di Indonesia. Penelitian CRITC COREMAP-LIPI (2001) menyatakan bahwa secara umum padang lamun di perairan Wakatobi didominasi oleh Thalassodendron ciliatum, dengan persentase tutupan 66%, kerapatan 738,2 tegakan/m 2 dan total biomassa 236,21 gram berat kering/m 2 (TNW 2008) Cetaceans Dari monitoring bersama BTNW dan joint program TNC-WWF sampai tahun 2006 tercatat 11 jenis cetacean ditemukan antara lain paus sperma (sperm whale), paus pemandu (pilot whale), paus bongkok (humpback whale), paus biru (blue whale), lumba-lumba hidung panjang (spinner dolphin) dan lumba-lumba hidung botol (bottle-nosed dolphin) (TNW 2008) Penyu Dua jenis penyu yakni penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) ditemukan di perairan Wakatobi. Monitoring BTNW dan TNC- WWF menemukan 5 lokasi dominan tempat peneluran penyu, yaitu Pulau Runduma, Anano, Kentiole, Tuwu-Tuwu (Cowo-Cowo) dan Moromaho (TNW 2008) Mangrove Beberapa jenis mangrove yang ditemukan di TNW tercatat 22 jenis dari 13 famili mangrove sejati, antara lain : Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Osbornia octodonta, Ceriops tagal, Xylocarpus moluccensis, Scyphiphora hydrophyllacea, Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia marina, Pemphis acidula, dan Avicennia 25

42 officinalis. Monitoring BTNW dan joint program TNC-WWF tahun 2006 menjelaskan kondisi mangrove sedang sampai baik. Pulau dengan mangrove terluas adalah Pulau Kaledupa, meliputi hampir seluruh garis keliling pulau. Tekanan manusia cukup tinggi atas mangrove di Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia. Sedangkan untuk Binongko kondisi mangrove relatif terjaga, karena status mangrove di Binongko kebanyakan adalah hutan adat (TNW 2008). 3.3 Gambaran Masyarakat Demografi dan Populasi Jumlah penduduk kabupaten Wakatobi 100 ribu jiwa (BAPPEDA Wakatobi 2008). Penduduk asli kepulauan ini adalah suku Buton (Hidayat 1997), meliputi sekitar 90 ribu populasi. Selain penduduk asli, tinggal dalam kawasan ini pendatang dari suku-suku lain di Nusantara seperti suku Bajo, Bugis, Selayar, Muna dan Jawa Ekonomi dan Pangan Dewasa ini kegiatan perikanan dan budidaya rumput laut merupakan sumber utama ekonomi. Pada masa lalu mata pencaharian tersebut tidak menjadi sumber ekonomi, memungut hasil laut di perairan pesisir malah lebih banyak dikerjakan perempuan untuk pemenuhan konsumsi rumah tangga. Para perempuan ini mengelola kebun jagung dan singkong di daratan serta mencari kerang, kepiting, ikan pada daerah pesisir setelah suami mereka merantau dan berlayar mencari sumber ekonomi di daerah lain. Kombinasi pekerjaan sebagai petani, nelayan, kerajinan anyaman pandan, merantau dan pedagang antara pulau merupakan kegiatan mayoritas masyarakat. Kegiatan pertanian umumnya budidaya tanaman pangan yakni ubikayu (singkong), kacang merah dan jagung. Masa panen tanaman ubi kayu 1 3 tahun, ditanam pada tanah yang berada di sela-sela batu cadas. Dalam kegiatan perikanan, alat tangkap yang digunakan umumnya jaring, bubu, sero, pancing, jala, tombak, pengait. 26

43 Suku Buton adalah pelaut, mereka mengangkut dagangan dengan perahu ke wilayah-wilayah Nusantara bagian timur. Kebiasaan merantau atau berpindah ke daerah lain seperti Maluku, Irian dan Kalimantan bermotif ekonomi karena peluang ekonomi di kampung kurang. Migrasi musiman ke Maluku dilakukan untuk panen cengkeh (Schoorl 2003). Perdagangan antar pulau dilakukan dengan kapal-kapal rakyat yang dimiliki secara individu atau kelompok keluarga. Armada-armada dagang tersebut mengangkut hasil bumi baik flora dan fauna dari kawasan timur Indonesia untuk diperdagangkan ke Singapura, Malaysia, Makassar dan Jawa. Dan sebaliknya mengangkut barang-barang pabrik untuk didistribusikan di Wakatobi dan pulau-pulau kawasan timur Indonesia. Pada rantai perdagangan ini selama dekade menjadi mata rantai suplai bahan baku bom ikan dari Singapore atau Malaysia ke Wakatobi. Dari Wakatobi bahan baku bom tersebut diperdagangkan ke pulau-pulau di bagian timur, selatan dan tenggara Sulawesi serta Maluku, Papua, Nusa Tenggara. Dengan kondisi lahan pulau-pulau kecil yang didominasi bebatuan, sumber pangan tidak sepenuhnya tercukupkan dari hasil bumi dalam kawasan tetapi dari kegiatan pertanian masyarakat Wakatobi yang dilakukan di pulau-pulau terdekat seperti pulau Buton, Buru, Seram, Taliabo, Halmahera dan pulau-pulau kecil lainnya di Maluku dan Maluku Utara. Suku Bajo dengan populasi bisa mencapai 8000 dan pendatang musiman dari Sulawesi Selatan, Kendari, Flores, Madura, Bali mendominiasi 60 % penggunaan sumberdaya laut (TNC/WWF Joint Program Wakatobi 2008). Sekitar 50 orang Bajo merupakan penambang batu karang yang aktif atau rutin sebagai mata pencaharian dan sekitar 170 jiwa tidak masif Sosial Budaya Suku Buton atau orang Buton (disebut juga Butung) adalah suku bangsa perantau (Hidayat 1997) merupakan salah satu suku lokal Sulawesi Tenggara disamping suku Moronene, Tolaki, Mekongga, dan Muna. Orang Buton sendiri 27

44 menyebar pada beberapa tempat yakni, pulau Buton, pulau Muna, dan kepulauan Wakatobi, terdiri dari ratusan sub antropologis (Hidayat 1997). Suku Buton yang menghuni Wakatobi sering disebut Orang Pulo, artinya orang Buton dari kepulauan. Bahasa yang digunakan disebut bahasa Liwuto Pasi (Abubakar 2000). Liwuto artinya kampung sedangkan pasi artinya karang. Kelompok bahasa yang digunakan penduduk Wakatobi terdiri dari beberapa dialek. Di Wangi-Wangi terdapat dialek Liya, Mandati, Wanci, dan Kapota. Di Pulau Kaledupa terdiri dari dialek Langge, Buranga dan Peropa. Di pulau Tomia terdiri dari dialek Timu, Tongano dan Waha. Sedangkan di pulau Binongko terdapat dialek Kaumbeda dan bahasa Cia-Cia. Kelompok bahasa Cia-cia sebenarnya merupakan bahasa yang dipergunakan penduduk di wilayah selatan dan timur pulau Buton. Antara dialek dalam kelompok bahasa Pulo terdapat perbedaan beberapa suku kata. Sebagaimana wilayah kesultanan Buton lainnya, masyarakat Wakatobi mengenal sistem pelapisan sosial masyarakat yang terdiri dari bangsawan kaomu dan walaka serta golongan papara atau masyarakat biasa. Golongan bangsawan kaomu dicirikan dengan pemakaian awalan La Ode (untuk laki-laki) dan Wa Ode (untuk perempuan) didepan nama. Golongan bangsawan walaka dan paparara dicirikan dengan pemakaian nama depan La (untuk laki-laki) dan Wa (untuk perempuan). Dimasa itu golongan kaomu adalah golongan masyarakat yang dapat menduduki peran-peran pemerintahan seperti jabatan Sultan, Sapati dan pangkat pemimpin kadie yakni Lakina atau Bobato. Jabatan untuk bangsawan walaka diantaranya Bonto Ogena (dikenal sebagai Sultan masyarakat biasa), Siolimbona yang berperan mengangkat, memberhentikan sultan. Dalam kadie golongan walaka juga menjadi Bonto (pemimpin kadie, ada juga bonto yang hanya mengepalai urusan tertentu) termasuk pangalasa yang bertugas memilih sara. Kaum papara adalah golongan profesional seperti ahli bangunan, pengrajin, nelayan dan petani yang diberi hak menguasai sumberdaya alam, hak yang tidak diberikan oleh sistem adat kepada kaomu dan walaka. Secara keseluruhan 28

45 penduduk asli Wakatobi menganut agama Islam (Undang-Undang Murtabat Tujuh Kesultanan Buton , Saidi 2000). Kelompok masyarakat adat subjek penelitian ini adalah kelompok adat Liya, Mandati, Wanci dan Kapota terletak pada kompleks pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Pulau-pulau dalam kompleks ini terdiri dari Pulau Wangi-Wangi dimana pada bagian utara pulau dihuni kelompok adat Wanci, sekarang meliputi 19 desa total populasi jiwa. Bagian tengah yang membentang dari pantai timur sampai barat dihuni kelompok adat Mandati, saat ini terbagi dalam 7 desa dengan populasi jiwa. Bagian selatan dihuni kelompok adat Liya, terdiri dari 4 desa dengan populasi jiwa. Pulau Kapota pada bagian utara dihuni kelompok adat Kapota meliputi 4 desa dengan populasi jiwa. Sedangkan bagian selatan Pulau kapota dihuni orang Liya meliputi 1 desa dengan populasi sekitar 400 jiwa. Pulau Kapota berada sekitar 2,5 mil laut di sebelah barat pulau Wangi-Wangi dibatasi ou (laguna) Mandati, bungi (karang diantara laguna dan laut dalam) Mandati dan olo (laut dalam) Kapota. Secara administraktif kelompok adat Liya, Mandati dan Kapota berada dalam Kecamatan Wangi-Wangi Selatan sedangkan kelompok adat Wanci merupakan wilayah administrasi Kecamatan Wangi-Wangi. 3.4 Sejarah Pengelolaan Kawasan Masa Kerajaan Buton. Pengelolaan wilayah pada masa kesultanan dikenal dengan istilah barata dan kadie. Barata adalah kerajaan bagian atau district besar sedangkan kadie adalah kampung atau distrik kecil (Hidayat 1997) yang dibawahi langsung pemerintahan pusat kerajaan yaitu Wolio. Terdapat 72 kadie dan 4 barata. Dalam wilayah Barata terdapat juga kadie yang disebut limbo (kampung) bertanggung jawab pada Lakina (pemimpin) Barata. Di kepulauan Wakatobi terdapat Barata Kaedupa berkedudukan di Pulau Kaledupa, memiliki wilayah otonom Pulau Kaledupa, Hoga, Lente a dan Darawa meliputi daratan pulau dan laut. Sara kadie dan sara barata diberikan 29

46 kewenangan oleh pemerintah kerajaan untuk mengatur pengelolaan wilayahnya masing-masing yang tidak bertentangan dengan sara kesultanan (Sara Wolio). Untuk menjaga keseimbangan pemerintah pusat kerajaan dan kadie, sara kesultanan menempatkan bobato dan bonto sebagai pemimpin dalam kadie sekaligus anggota Sara Wolio. Fungsinya adalah mengepalai pemerintahan kadie dan perwakilan sara kesultanan. Beberapa kadie memiliki bonto kadie yang mengepalai urusan tertentu. Pengelolaan sumberdaya alam dalam lingkungan kadie adalah kewenangan sara kadie (Saidi 2000). Setelah campur tangan Belanda atas Kesultanan Buton terjadi (1906) pembagian wilayah berubah menjadi pemerintah pusat (Sara Wolio), sara barata, district dan sara kadie. District membawahi beberapa kadie (Schoorl 2003) Masa Kabupaten Buton. Secara defacto kesultanan Buton bubar diawal tahun 1960, sebagian besar bekas kadie menjadi desa, gabungan beberapa kadie dan bekas barata menjadi kecamatan dari Kabupaten Buton. Di kepulauan Wakatobi terbagi menjadi dua kecamatan yakni kecamatan Wandupa (gabungan distrik Wangi-Wangi dan distrik Kaledupa), kecamatan Tombino (distrik Tomia dan distrik Binongko). Asal muasal penggunaan nama Wakatobi berawal dari penggabungan dua nama kesebelasan yakni kesebelasan Wandupa dan kesebelasan Tombino menjadi kesebelasan Wakatobi untuk mewakili kepulauan tersebut dalam kejuaraan sepak bola tingkat kabupaten sekitar tahun 1964 (La Ode Duhudi, anggota masyarakat, komunikasi pribadi Mei 2009). Jadi nama Wakatobi bukan entitas suatu kelompok masyarakat. Sebelumnya kepulauan yang berada di jazirah tenggara Propinsi Sulawesi Tenggara tersebut dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi. Tidak ada yang menduga jika dibelakang hari nama yang sebenarnya hanya dibuat untuk menyingkat penyebutan saja justru lebih populer. Akronim pulau-pulau kecil tersebut mendunia sebagai merek dagang perusahaan pariwisata Wakatobi Divers Resort dan pemerintah memperkenalkannya sebagai kawasan konservasi 30

47 taman nasional laut di tahun Pada tahun 2003 kepulauan tersebut menjadi daerah pemekaran Kabupaten Buton dengan menggunakan nama yang sama yakni Kabupaten Wakatobi Kepulauan Wakatobi Menjadi Taman Nasional dan Kabupaten Kepulauan Wakatobi sejak tahun 1996 ditunjuk pemerintah sebagai Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/KPTS-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996, dan penetapannya melalui Keputusan Meneteri Kehutanan No. 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 seluas 1,39 juta hektar meliputi wilayah laut dan darat. Keseluruhan luas wilayah laut meliputi 97 % dan total luas dari 39 buah pulau kecil adalah 3 % wilayah Wakatobi. Peraturan menteri kehutanan No. P.29 tahun 2006 menetapkan perubahan nama TNKW menjadi TNW (Taman Nasional Wakatobi) dikelola dengan sistem zonasi (TNW 2008). Selanjutnya melalui Undang-Undang No. 29 bulan Desember tahun 2003 wilayah kepulauan tersebut menjadi kabupaten pemekaran dari Kabupaten Buton (BAPPEDA Kabupaten Wakatobi 2008). Untuk mendukung pembangunan daerah kabupaten dan upaya pelestarian sekaligus, pada tahun 2007 dilakukan revisi zonasi taman nasional. Proses revisi dimulai sejak tahun 2004 sampai tahun 2007 melalui kajian dan rangkaian konsultasi publik dari desa, kecamatan/pulau dan kabupaten yang diikuti perwakilan nelayan, tokoh masyarakat, pemerintah desa, kecamatan, Pemda Wakatobi, BTNW TNI, dan Polri. Zonasi lama sebelumnya dibuat tanpa berdasarkan informasi biofisik kawasan dan keadaan sosial masyarakat. Misalnya dalam zonasi lama wilayah larang tangkap (zona inti) berada pada wilayah kelola masyarakat dan perairan laut dalam dimana tempat tersebut sama sekali tidak terdapat sumberdaya penting seperti ekosistem terumbu karang, mangrove, lamun, untuk dilindungi. Hasil revisi memberikan zonasi yang berbeda, 62 % luas kawasan meliputi semua wilayah kelola tradisional pada perairan pesisir dan hampir sebagian besar daerah karang atol menjadi zona 31

48 pemanfaatan lokal (ZPL) yang hanya dapat diakses masyarakat lokal, sedangkan zona inti (ZI) berada pada perairan pulau Moromaho yang jauh dari aktivitas masyarakat. Selain itu terdapat zona perikanan umum atau zona pemanfaatan umum (ZPU), zona pariwisata (ZPr) dan untuk menunjang perikanan berkelanjutan terdapat zona perlindungan bahari (ZPB). 32

49 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian mengenai kajian strategi pengelolaan sumber daya laut oleh masyarakat adat ini dilakukan pada kelompok masyarakat adat Liya, Mandati, Wanci dan Kapota Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. Kegiatan penelitian berlangsung selama 10 bulan dari bulan Oktober 2008 sampai bulan Agustus 2009, dan terbagi atas 3 tahap yakni : - Tahap 1 : persiapan berlangsung selama 2 bulan. - Tahap 2 : pelaksanaan selama 5 bulan. - Tahap 3 : konsultasi dan ferivikasi selama 3 bulan. 4.2 Alat dan Bahan - Alat transportasi : motor, pompong, spedboad. - Alat dokumentasi : kamera, handycam, atk. - Alat komunikasi : handy talky, hand phone. 4.3 Tahapan Penelitian Tahap persiapan terdiri dari aktivitas : - Merencanakan penelitian yakni kegiatan yang dimaksudkan untuk menentukan arah, fokus, tujuan penelitian (Afifuddin dan Saebani B 2009). Tahapan ini meliputi aktivitas mulai dari memilih topik, merancang sistematika penelitian. Dalam tahapan ini dilakukan pengumpulan literatur berupa buku, jurnal, internet, dokumen penelitian, dan bahan-bahan bacaan yang memperkaya informasi seperti koran, majalah sebagai informasi sekunder. Tahapan ini berlangsung selama 2 bulan dengan output berupa dokument research plan. Pengumpulan literatur masih berlangsung selama penelitian berjalan sampai penulisan laporan hasil penelitian. 33

50 - Informasi awal mencakup peta sosial lokasi penelitian dan karakter nara sumber diperoleh melalui observasi. Sebagaimana penelitian kualitatif, dalam penelitian ini tidak dikenal istilah sampling atas populasi. Peneliti sebagai intrumen penelitian memilih informan berdasarkan aspek, peristiwa apa, siapa yang dijadikan fokus pada saat dan situasi tertentu. Artinya sampling bukan representasi populasi. Sampling adalah representasi informasi holistik (Afifuddin dan Saebani B 2009). Informasi awal yang diperlukan juga mengenai media komunikasi yang dapat digunakan untuk memulai hubungan (apakah membutuhkan orang lain sebagai perantara atau langsung) dan teknik yang diperlukan untuk berdiskusi dengan informan. Informasi awal sangat penting karena masih adanya masyarakat yang beranggapan bahwa tradisi dan adat merupakan rahasia yang tidak boleh begitu saja diceritakan atau ditransfer informasinya kepada orang lain atau pantangan sehingga memerlukan strategi, tata cara, persyaratan bahkan ritual sebelum segala sesuatunya diceritakan. Itulah sebabnya tahapan ini memakan waktu 2 3 bulan. Output tahapan ini adalah pilihan lokasi, pilihan informan dan metode berinteraksi dengan informan kunci (meskipun informan bersifat terbuka dan dinamis selama penelitian atau memungkinkan hadirnya informan baru). Pemilihan lokasi maupun informan dapat dilihat pada sub-bab Mempersiapkan peralatan, bahan, membuat estimasi biaya penelitian dan membentuk tim kecil penelitian yang terdiri dari kontak person pada lokasilokasi penelitian dan subyek yang memiliki hubungan emsional dengan informan target. Tugas tim kecil mengumpulkan informasi awal dan membuka jalan dengan informan. - Membuat protokol wawancara susuai variabel yang akan diteliti terdiri dari : pertama, pendahuluan berisi perkenalan, cerita tentang eadaan aktivitas keseharian informan. Kedua, penyataan pembuka yakni peneliti dan perantara memperkenalkan maksud kunjungan tersebut. Ketiga, pertanyaan kunci berhubungan dengan jenis informasi yang diperlukan dari informan. Keempat, 34

51 pernyataan penutup yang lebih banyak berisi kesediaan peneliti untuk menggunakan sebagai mana mestinya informasi tersebut, harapan untuk berkunjung lagi dan ucapan terima kasih. Tahapan pelaksanaan : Dalam penelitian ini peneliti sebagai instrumen penelitian sangat berpengaruh pada validitas data (Afifuddin dan Saebani B. 2009). Oleh sebab itu pada tahapan pelaksanaan penelitian peneliti melakukan kunjungan langsung ke lokasi penelitian untuk melakukan pengamatan dan wawancara terhadap informan. Pengambilan data lapangan dilakukan dengan metode Rapid Rural Appraisal (RRA) menggunakan teknik wawancara, FGD dan workshop. Selain itu digunakan observasi yakni pengamatan langsung dan pendokumentasian hasil pengamatan. - Wawancara dan pencatatan hasil wawancara (Tabel 1), dengan cara : Pertama, mendatangi rumah informan untuk melakukan wawancara. Pertimbangan waktu wawancara sangat penting mengingat informan memiliki kegiatan lain yang tidak boleh terganggu. Peran perantara yakni seseorang yang memiliki kedekatan dengan informan adalah mencari waktu yang tepat, pemberitahuan awal sehari atau dua hari kepada informan sebelum pertemuan dilakukan, mencairkan suasana awal pertemuan. Wawancara dilakukan dalam suasana informal yakni pewawancara, nara sumber dan perantara terlibat dalam cerita tentang topik tertentu dengan pendalaman-pendalaman pertanyaan untuk informasi yang dianggap penting. Metode ini boros waktu tetapi memungkinkan informasi banyak tereksplorasi dan dapat dilakukan berulang pada waktu yang lain. - Focus Group Discussion (FGD) berlangsung selama 3 kali, untuk mengkonfirmasi bentuk-bentuk pengelolaan sumber daya laut dengan pendekatan ruang, peranan sara dalam pengelolaan dan pengelolaan dengan pendekatan alat tangkap. Pelaksanaan FGD dapat dilihat dalam tabel 2. - Workshop antara wakil kadie dalam rangka klarifikasi data dari masingmasing kadie sehubungan dengan kesalahan penafsiran atau penggunaan 35

52 istilah, batas-batas kawasan adat dilakukan 1 kali. Dalam workshop dilakukan juga FGD dengan topik fokus pada penggunaan alat tangkap. - Obsevasi dilakukan secara partsispatif yang melibatkan masyarakat untuk mendokumentasikan informasi-informasi berkaitan dengan batas wilayah, alat tangkap, aktivitas penangkapan ikan dan lokasi-lokasi terjadinya perusakan sumberdaya laut. Tahapan pelaksanaan penelitian memerlukan waktu 5 (lima) bulan karena pilihan pendekatan yang dilakukan memungkinkan dilakukan pengulangan pertemuan dengan informan, penundaan dan pembuatan kesepakatan-kesepakatan waktu baru dengan informan atau target diskusi. Tahapan Konsultasi dan Verifikasi Data Tahapan dimulai dengan menyusun laporan penelitian kemudian melakukan konsultasi dengan dosen pembimbing tentang hasil penelitian. Data hasil penelitian yang dianggap kurang ditindak lanjuti dengan penelusuran kembali ke lapangan. Tahapan ini memakan waktu 3 (tiga) bulan. 4.4 Metode Jenis Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : - Pembagian wilayah ulayat kelompok adat. - Pengelolaan sumber daya laut meliputi bentuk pengelolaan, kelembagaan dan sanksi adat. - Adat penggunaan alat tangkap meliputi jenis alat, penggunaan alat, wilayah penggunaan alat dan tradisi yang menyertai penggunaan alat. - Kepercayaan-kepercayaan yang ada terhadap lokasi-lokasi yang disakralkan. Pengelolaan zonasi TNW. 36

53 Tabel 1 : Pelaksanaan Wawancara Informan Nama Kadie Umur (tahu Status Informan Frekwensi Materi n) Kepala Kampung/tokoh Tradisi kabo'a atau menangkap ikan dengan membuat pagar La Wia Kapota 65 pertama masyarakat betis, alat tombak La Bante Kapota 60 Tokoh masyarakat pertama Kasus hutan sara (adat) kedua Pengelolaan laut oleh sara, lokasi keramat La Ndoke Kapota 80 lebih Tokoh adat/mantan kepala desa pertama di Kapota pertama Kasus hutan sara (adat), peran sara dalam mengatur hutan, wilayah adat La Ode Rasidi Liya 70 lebih Tokoh adat/mantan parika pertama Wilayah adat Liya dibagian barat dan pulau Kapota, tanda batas, adat dalam penggunaan alat tangkap ompo, polo, nelayan luar kadie, huma, sanksi-sanksi adat, lembaga sara kedua ikan nu sara, sanksi adat La Kubo Liya 70 lebih Mantan parika pertama Wilayah adat Liya dipantai timur, tanda batas, adat penggunaan alat tangkap ompo, ikan nu sara, kelembagaan sara 37

54 La Ope La Ole La Ode Adimu Liya 70 Mantan balikaka (sara lebih satapi kampung) (alm) pertama Peranan sara mbalikaka, lembaga sara Liya 80 Mantan kepala lebih kampung Woru (alm) pertama Sejarah Talo-talo dan masyarakat Liya Liya 60 Kepala Kampung Woru pertama tentang parika, alat tangkap buani, wehai La Ode Abdul Gafar Liya 40 Nelayan pertama Wehai La Maihadi Liya 45 Tokoh adat pertama Susunan sara Liya Wa Dae Liya 65 Ibu rumah tangga/penutur carita lokal pertama Wilayah adat Liya di pulau Kapota, tradisi mencari ikan La Madi Mandati 38 Nelayan pertama Bentuk pengelolaan : moanea'a nu sara La Hambe- Hambe Mandati 60 Tokoh adat pertama Adat istiadat engelolaan laut, wilayah adat La Tasima Mandati 55 Nelayan pertama kedua Jenis alat tangkap, wilayah penggunaan alat tangkap sistem huma La Haditu Mandati 65 Kepala Kampung pertama Bentuk pengelolaan adat, batas wilayah H. La Ode Wanse 60 Tokoh adat pertama Adat istiadat Wanse, wilayah adat, pengelolaan laut 38

55 Rusdi Sadik kedua batas wilayah adat, pihak yang menegakan aturan sara La Isnafi Wanse 55 Kepala Kampung pertama Kepercayaan-kepercayaan La Ode Hisani Wanse 60 Kepala kampung pertama Adat dan Kepercayaan-kepercayaan La Marafa Wanse 45 Mantan sekdes Longa pertama Pengelolaan laut, monea a nusara Ali Basaru Wanse 38 Guru, tim kecil penelitian Tugas : perantara, memediasi wawancara dengan nara sumber terutama di kadie Wanse, Mandati Armin Sahari Waha Tomia 40 Nelayan, tim kecil penelitian Tugas mengkonfirmasi adat pengelolaan huma yang dibahas dalam wawancara dengan responden lokasi penelitian La Beloro Kaledup a 40 Muh. Kasim Binong ko 35 La Wawa Kapota 50 Syaifudin Liya 29 Ketua Forum Nelayan Pulau, tim kecil penelitian Guru, tim kecil penelitian Guru, ketua BPD Kapota, tim kecil penelitian Sekdes, tim kecil penelitian Tugas : Mengumpulkan informasi tentang pengelolaan laut dalam Barata Kaledupa Tugas : mengkonfirmasi pembagian wilayah adat dipulau Binongko Tugas : perantara, mencari nara sumber adat pengelolaan laut Tugas : perantara dengan nara sumber 39

56 Tabel 2 : Pelaksanaan FGD Isu Pokok bahasan Peserta Jumlah Lokasi Batas wilayah adat kadie dan tanda-tanda yang Bantea (rumah Tokoh adat, dapat dikenali umum milik kampun Bentuk-bentuk nelayan, sistem huma tempat berkumpul pengelolaan dengan aparat 8 orang monea'a nu sara nelayan di pinggir pendekatan ruang pemerintah wehai pantai) desa desa lokasi-lokasi yang Waelumu dikeramatkan peranan sara dalam Bantea (rumah Tokoh adat, pengelolaan sumber daya milik kampun nelayan, Lembaga pengelolaan laut tempat berkumpul aparat 7 orang dengan adat nelayan di pinggir pemerintah bentuk-bentuk sanksi adat pantai) desa desa Patuno Bantea (rumah Jenis alat tangkap dan Bentuk-bentuk milik kampun lokasi penggunaanya Nelayan, pengelolaan dengan tempat berkumpul kepala 10 orang pendekatan alat nelayan di pinggir Adat penggunaan alat kampung tangkap pantai) desa Liya tangkap Mawi Penentuan Lokasi Penelitian ini dilakukan pada kelompok masyarakat adat yang difokuskan di Pulau Wangi-Wangi dan Pulau Kapota di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara pada kelompok adat kadie Liya, Mandati, Wanci dan Kapota dengan pertimbangan : - Dalam wilayah kelompok adat ini terjadi aktifitas perusakan sumberdaya laut melalui penambangan karang, penangkapan ikan dengan bius dan bom yang dilakukan sekelompok masyarakat luar. 40

57 - Pada kelompok adat Liya pernah terjadi penangkapan penambang karang di wilayahnya tetapi kemudian dilepaskan oleh DPRD Wakatobi dengan alasan masyarakat tidak memiliki dasar hukum. - Meskipun Wakatobi terdiri dari 18 kadie (9 kadie masuk dalam Barata Kaedupa sebagaimana dijelaskan sebelumnya) tetapi memiliki pokok adat bersumber pada undang-undang Murtabat Tujuh Kesultanan Buton, perbedaan hanya terjadi pada beberapa kebiasaan sehari-hari yang tidak dipengaruhi pulau tempat domisili. Contohnya jarak sosial dari kultur orang Liya dengan orang Mandati yang berada satu pulau sama dekatnya dengan orang Usuku yang berada di pulau Tomia. - Wilayah dan masyarakat yang menjadi lokasi penelitian memiliki sistem adat dalam pengelolaan sumberdaya laut Penentuan Informan Informan dipilih dengan pertimbangan tertentu yang ditentukan sebelumnya oleh peneliti yaitu : - Mewarisi tradisi keluarga sebagai nelayan. - Parika atau pimpinan tradisional nelayan. - Kakek/orang tua responden dikenal sebagai anggota masyarakat yang memiliki keahlian-keahlian khusus di laut atau dikenal spesial pada jenis alat tangkap tertentu seperti secara khusus hanya mengerjakan para ompo (memasang sero) sehingga anak-turunannya dikenal sebagai turunan para ompo misalnya. - Pewaris wilayah-wilayah sumberdaya tertentu misalnya kakek/orang tua responden diserahi tanggung jawab oleh sara untuk menjaga dan mengelola lokasi tertentu. - Tokoh masyarakat. 41

58 4.4.4 Metode Pengumpulan Data Informasi awal yang dikumpulkan mencakup referensi, wilayah dan informan. Pengumpulan informasi bertujuan membantu peneliti mengenali substansi penelitian, ruang lingkup keilmuan dari materi penelitian, gambaran keanekaragaman hayati kawasan, mengenali peta sosial lokasi penelitian, mengetahui saluran komunikasi awal seperti membutuhkan peran perantara atau tidak dan teknik yang diperlukan untuk bediskusi dengan informan. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari BTNW Joint Program TNC-WWF Wakatobi, BAPPEDA Kabupaten Wakatobi, sedangkan data primer diperoleh melalui survey dan Rapid Rural Apraisal (RRA) yakni wawancara dan FGD dengan masyarakat dan pengamatan langsung di lapangan. Data wawancara merupakan informasi kunci yang dibahas dalam workshop perwakilan (partisipan) kelompok adat untuk mengkonfirmasi data antar kelompok adat dan mengetahui wilayah berlakunya sistem (yurisdiksi). Penajaman informasi dilakukan melalui FGD yang diarahkan untuk fokus pada parameter penelitian. FGD berlangsung sebagai bagian dalam workshop dan berlangsung non formal ditengah kelompok nelayan, tanpa pembuatn agenda dari awal dengan peserta. Tahapan implementasi penelitian berlangsung 5 bulan. Parameter dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada tabel Analisis Data Data yang dukumpulkan dianalisis menggunakan deskriptif kwalitatif untuk menjelaskan pengertian, manfaat dan penerapannya kemudian mendeskripsikan perbandingan traditional value dengan formal value. 42

59 Tabel 3 : Metode Pengumpulan Data. Parameter Variabel Metode Sumber Pembagian wilayah ulayat kelompok adat Pengelolaan sumber daya laut Adat penggunaan peralatan tangkap Kepercayaankepercayaan Nama batas-batas wilayah adat Wawancara/FGD Tetua adat Tanda batas secara tradisional Observasi Tetua adat/nelayan Bentuk-bentuk pengelolaan Wawancara/FGD Tetua adat/tokoh masyarakat Pihak yang menetapkan dan Tetua adat/tokoh Wawancara/FGD menegakkan masyarakat Sanksi-sanksi adat Wawancara/FGD Tetua adat/tokoh masyarakat Bentuk-bentuk pemanfaatan Wawancara/FGD Tokoh masyarakat/nelayan Jenis alat tangkap Wawancara/FGD Tokoh /Observasi masyarakat/nelayan Penggunaan alat, wilayah Wawancara/FGD Tokoh penggunaan dan kelompok /Observasi masyarakat/nelayan masyarakat pengguna Etika atau tradisi penggunaan Wawancara/FGD Tokoh masyarakat/nelayan Petuah-petuah Wawancara Tokoh masyarakat Kawasan-kawasan pemali Wawancara/FGD /Observasi Tokoh masyarakat Pantangan-pantangan di laut Wawancara Tokoh masyarakat Tata batas zonasi Studi literature TNW Bappeda Wakatobi Pengelolaan Zonasi TNW Bentuk dan peruntukan zonasi Studi literature TNW Bappeda Wakatobi Kesepakatan Pemda Wakatobi dan TNW Studi literature TNW Bappeda Wakatobi 43

60 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hak Ulayat Laut Dasar Hak Ulayat Murtabat Tujuh adalah Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yang menjadi sumber adat istiadat di semua kadie dan barata. Keseultanan Buton memiliki 72 kadie (daerah otonom) dan 4 barata (kerajaan bagian). Murtabat Tujuh berarti tujuh perwujudan sebagai pancaran Tuhan melalui ciptaanya di muka bumi disusun dengan empat pertimbangan dasar yang harus menjadi sifat manusia Buton atau sara pata anguna (adab yang empat) yakni; saling menyayangani atau menghormati (pomae-maeaka), saling peduli (popia-piara), saling menyayangi (pomaa-maasiaka), saling memuliakan dan memuji (poangka-angkataka) (Schoorl 2003). Ideologi tersebut dipakai untuk mendorong golongan masyarakat kaomu dan walaka (dua golongan yang memperoleh kedudukan atau pangka dalam sara kesultanan, kadie dan barata) untuk mengabdi demi kepentingan kerajaan dan penduduk (golongan papara). Sebagaimana diuraikan sebelumnya masyarakat Buton mengenal tiga golongan masyarakat yakni kaomu, walaka dan papara. Rakyat juga dianjurkan untuk patuh pada sara (Schoorl 2003) yang artinya patuh pada adat sebagai hukum dan nilai kehidupan. Stimulus kepatuhan itu adalah nilai perlindungan, kemakmuran dan kemuliaan hidup yang diterima jika seseorang berkelakuan baik (hoto sara) sebaliknya berperilaku tidak baik akan dianggap tidak memiliki adat (tapa sara). Murtabat Tujuh dibuat pada masa Sultan Dayanu Iksanuddin ( ) diundangkan tahun 1610 dan untuk pertama kali disampaikan kepada publik oleh Sapati La Singga atas nama sara langsung di depan rakyat banyak di halaman Masjid Keraton Buton (Saidi 2000). Selain undang-undang dasar, juga diundangkan Pitu Pulu Rua Kadiena (Tujuh Puluh Dua Kadie) yang mengatur pembagian wilayah kadie dan keagrariaan. Tiap kadie memiliki harta bersama (communal property) 44

61 berupa kebun, hutan tutupan (kaombo) yang tidak bisa diganggu kecuali untuk kebutuhan kampung seperti untuk pembangunan masjid. Kadie juga memiliki kolam ikan (namo atau laguna dan disebut monea a nu sara). Luas wilayah dan jumlah penduduk menjadi pertimbangan sara kesultanan dalam penentuan, pengesahan jumlah keanggotaan dan bentuk jabatan dalam sara kadie. Perwujudan Murtabat Tujuh dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah. : a. Konsep pemilikan bersama (communal property right) sumberdaya alam dalam wilayah hukum adat kadie. b. Pelembagaan pemilikan bersama sebagai milik sara kadie. Hukum kepemilikan sumberdaya alam memuat sifat-sifat yang wajib dimiliki (atau ketentuan yang tidak boleh dilanggar) setiap penduduk kadie dalam konstitusi Murtabat Tujuh adalah adalah : a. Limpagi atau melewati batas, mengambil milik orang. b. Sabaragau atau berbuat sembarang, merusak, tidak mengikuti adat. Konsep sumberdaya milik bersama masyarakat kadie yang secara formal dimiliki sara kadie merupakan dasar hak ulayat laut, tanah dan hutan. Sara kadie adalah dewan rakyat, merupakan kesatuan fungsi eksekutif, legislasi dan penegakan hukum. Anggotanya adalah representasi rakyat dalam kadie dari golongan kaomu dan walaka dengan masing-masing jabatan dan fungsi yang tidak bisa dipertukarkan. Artinya ada jabatan anggota sara khusus untuk golongan kaomu dan ada yang khusus untuk golongan walaka. Anggota sara juga bisa berasal dari golongan papara (rakyat biasa) untuk posisi dan peran yang tidak bisa diganti kaomu atau walaka. Jika seseorang melanggar hukum, etika atau berperilaku tidak santun dalam kehidupan sehari-hari maka akan disebut dengan istilah tapa sara dan tapa adati yang artinya bahwa yang bersangkutan tidak beradab dan tidak beretika atau tidak tahu aturan. Mengacu pada definisi masyarakat hukum adat sebagai suatu komunitas yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan sendiri, serta kekayaan berupa benda yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, maka hak ulayat laut masyarakat kadie di kepulauan Wakatobi memenuhi tiga unsur pokok hak ulayat yakni : (1) masyarakat 45

62 hukum sebagai subyek hak ulayat, (2) institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas wilayah hak ulayat, dan (3) wilayah sebagai obyek hak ulayat baik tanah, perairan dan sumberdaya alam di dalamnya (Saad 2009). Hak ulayat laut sebagaimana ditulis oleh Solihin et al (2005), adalah bentuk desentralisasi pengelolaan untuk menanggulangi kerusakan sumberdaya pesisir dan kelautan. sara kadie oleh sara kesultanan diberi kebebasan membuat turunan aturan untuk mengatur rumah tangga sendiri sesuai dengan kebutuan dan kondisi lokal sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Murtabat Tujuh. Hal ini menunjukkan adanya kewenangan desentralistik pada kadie. Saat ini contoh pengelolaan berbasis sistem lokal adalah penerapan awig-awig pada komunitas lokal suku Sasak di Lombok Barat, membuktikan sistem lokal mampu mengurangi konflik internal nelayan karena pelanggaran wilayah larang tangkap dan konflik nelayan lokal dengan nelayan luar (Satria et al 2003). Dua sampai tiga tahun pertama pengelolaan TNW sejak ditetapkan tahun 1996, aksi konservasi keanekaragaman hayati seperti tindakan swieping biota kima yang diperjual-belikan di pasar tradisional Waha Kecamatan Tomia menjadi justifikasi konservasi dan taman nasional yang membekas pada pengetahuan masyarakat. Contoh kasus tersebut menunjukkan adanya jarak antara kebudayaan dan pengetahuan masyarakat dengan pengelolaan TNW. Kesenjangan yang tidak terkelola dengan baik selalu menjadi awal timbulnya konflik pengelolaan sumberdaya alam Pembagian Wilayah Adat Kadie Kelompok masyarakat adat pemilik hak ulayat laut di Kepulauan Wakatobi adalah Kadie Liya, Mandati, Wanci, Kapota di Wangi-Wangi. Barata Kaedupa mencakup wilayah yurisdiksi Pulau Kaledupa, Hoga, Lente a, Darawa dengan wilayah yang terbagi dalam sembilan Limbo (Kadie) yakni Limbo Langge, Tampara, Tapa a, Kiwolu, Tomboloruha, La Olu a, Liwuto, Ollo, Watole. Di Pulau Tomia terdapat Kawati (Kadie) Timu, Tongano, Waha. Sedangkan di Pulau Binongko terdapat Kadie Wali (Binongko Cia-Cia) dan Kaluku (Binongko Kaumbeda) (La 46

63 Beloro ketua Forum Kaledupa Toudani, La Arabu tokoh adat Wali, La Ode Abdul Hamid tokoh adat Wakatobi, komunikasi pribadi Desember 2009). Berdasarkan zonasi TNW, wilayah adat wilayah-wilayah kadie mayoritas masuk dalam ZPL, ZPB dan ZPr. Sebanyak 100 % wilayah Kadie Liya, Kapota dan Wanci menjadi ZPL. Pada wilayah adat Kadie Mandati yakni 2,29 % Karang Matahora menjadi ZPB dan 3,44 % Karang Sousu menjadi ZPr. Pengelolaan ZPL ditujukan untuk kegiatan mata pencaharian masyarakat lokal. Nelayan luar kawasan tidak diperkenankan masuk dalam ZPL. Namun demikian baik TNW maupun pemerintah Kabupaten Wakatobi belum memiliki pengertian baku tentang batasan istilah lokal (apakah kriterianya desa, pulau atau Wakatobi). Karena itu penegakan peraturan zonasi di lapangan oleh TNW baru mengacu pada administrasi kependudukan nelayan dan asal kampung secara tradisional (pribumi). Definisi lokal dalam sistem kadie adalah komunal yakni masyarakat kadie. Posisi wilayah kadie dan zonasi di Pulau Wangi-Wangi ditunjukkan dengan gambar 3. Gambar 3 : Posisi wilayah adat kadie dalam zonasi TNW Sumber : Dioleh dari Peta Zonasi TNW 47

64 5.1.3 Tanda Batas Wilayah Adat Batas-batas wilayah adat kadie biasanya ditandai dengan kampung (kampo), nama pantai (oa), tumbuhan (kau), tanjung (untu), teluk (kolo), nama karang (watu rumbu), nama batu (watu) atau ciri tertentu di tengah kampung yang memungkinkan klaim bahwa laut depan kampung tersebut masuk dalam wilayah adat. Petunjuk arah yang merupakan titik proyeksi batas menggunakan arah mata angin. Penggunaan tanda dan mata angin dapat dilihat pada batas wilayah adat Wanci dan Mandati di pantai timur pulau Wangi-Wangi yakni di kampung Longa yang masyarakatnya campuran kelompok adat Mandati dan Wanci. Tanda batas ditentukan melalui penamaan ayam dalam masyarakat kampung. Belahan kampung yang masyarakatnya menyebut ayam dengan nama manu adalah Longa Mandati menjadi wilayah adat Mandati sedangkan yang menyebut ayam dengan nama kadola adalah Longa Wanse menjadi wilayah adat Wanci. Batas laut depan kampung berpatokan pada arah mata angin. Titik batas wilayah di pantai lurus ke arah mata angin timur di laut adalah tapal batas. Arah mata angin ke tenggara adalah wilayah Mandati dan ke arah timur laut adalah milik Wanci. Batas wilayah kelompok adat Liya dan Mandati di sebelah timur Pulau Wangi-Wangi adalah batu yang disebut Watu Wakara di Teluk Ponta sebelah selatan desa Matahora. Batas pada perairan sebelah barat Pulau Wangi-Wangi adalah ollo (laut dalam) La Kapala sampai batas pantai Numana (Mandati) dan Patinggu (Liya) yang dikenal dengan nama Oa (pantai) La Hudu. Konon di oa inilah pendaratan Sara Wolio (sara pemerintah pusat Kesultanan Buton) untuk menentukan tapal batas Kadie Liya dan Mandati. Selain di Pulau Wangi-Wangi, wilayah ulayat kelompok adat Liya juga berada di Pulau dan Perairan Pulau Kapota. Batas Liya dan Kapota sebelah timur adalah Pantai Wa Toruntoru. Laut depan Pantai Wa Toruntoru milik Sara Mandati sampai ou (laguna) didepan kampung Kolo. Ou masih berada di dalam wilayah adat Liya sedangkan wilayah Mandati berada di timur ou kampung Kolo yakni nokoi (gosong pasir) Melanga sampai Oa La Hudu diperbatasan Patinggu dan Numana. Disebelah tenggara ou yaitu daerah pasang surut masuk wilayah Mandati 48

65 sampai pantai Kaluku Ina Wa Turi (kaluku berarti pohon kelapa, ina berarti seorang ibu, Wa Turi adalah nama orang). Laut di pesisir pantai dari kaluku Ina Waturi kearah selatan sampai pantai barat yakni Pantai Ondaria tepatnya disalah satu bagian pantai yakni Uju Melanga adalah milik Sara Liya. Selepas Uju Melanga ke arah utara adalah milik Sara Kapota. Sebelumnya, diantara kaluku Ina Waturi dengan pantai Ondaria terdapat Nokoi Koyambako yang bersambung dengan daratan. Nokoi Koyambako yang tidak kering pada saat pasang surut adalah laut Mandati sedangkan bagian yang kering, ekosistem mangrove sampai daratan adalah wilayah Liya. Batas hak ulayat laut kelompok adat Kapota dengan kelompok adat Mandati dan Wanci adalah laut dalam (ollo) yang terletak di antara Pulau Kapota dan Pulau Wangi-Wangi. Penggunaan nama dan tanda batas dengan nama kampung, pantai, pohon, batu dan lain-lain yang berada di alam serta petunjuk arah proyeksi batas di laut menggunakan mata angin memudahkan masyarakat mengenali batas wilayah, karena merupakan istilah, nama, ataupun benda yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Selain itu penggunaan tanda-tanda pada alam akan membuat manusia tidak dengan mudah melakukan perubahan bentang alam seperti menimbun dan menggerus pantai atau merambah pepohonan. Secara tidak langsung kearifan tersebut merupakan aksi konservasi sumberdaya alam. Tanda batas dalam kearifan masyarakat juga tidak sesulit memahami tanda batas zona dalam TNW. Penggunaan titik koordinat untuk menandai batas zonasi menyulitkan masyarakat untuk mengetahuinya karena harus membutuhkan alat dan pengetahuan baru tentang alat ukur titik koordinat (GPS), selain itu tanda secara fisik tidak dapat dikenali karena laut tidak bisa diberi tanda garis seperti halnya daratan. Sebenarnya setiap bagian karang baik karang atol yang jauh dari pulau maupun wilayah pesisir memiliki nama-nama lokal. Karang Atol Kaledupa misalnya memiliki lebih dari 10 bagian (titik) dengan nama-nama yang diberikan masyarakat dari dulu. Demikian juga dengan atol lainnya. Penggunaan nama-nama lokal sebagai titik batas zonasi dapat menjadi acuan diikuti titik koordinat dari lokasi yang memiliki nama lokal. 49

66 Batas lokasi ke laut dalam yang tidak memiliki nama lokal khusus dapat dilakukan dengan menyebut arah mata angin dari lokasi titik acuan yang memiliki nama lokal Kelembagaan dan Sanksi Sara merupakan lembaga representasi dari masyarakat hukum adat, kewenangannya menyusun, menetapkan dan menegakkan hukum adat. Jumlah dan struktur sara di keempat kadie penelitian ini beragam, pada Kadie Liya sara beranggota laki-laki dan perempuan dengan jumlah yang sama, disebut sara mo ane (laki-laki) dan sara wowine (perempuan). Anggota sara yang menjalankan fungsi sara mengawasi pengelolaan sumberdaya laut adalah pangalasa untuk kelompok adat Liya, serta jurubasa untuk kelompok adat Mandati, Kapota dan Wanci. Bobato dan bonto yang memimpin kadie disebut meantu u. Disamping memimpin kadie, bobato dan bonto kadie merupakan anggota sara kesultanan. Kedudukannya dalam kadie adalah tunggu-tunggu yang mewakili sara kesultanan serta memutuskan perkara (urusan) yang tidak dapat diputuskan anggota sara kadie. Namun demikian bobato atau bonto kadie tidak dapat ikut campur dalam musyawarah sara kadie kecuali diminta pendapatnya. Kewajiban bobato dan bonto kadie adalah menjalankan hasil musyawarah sara kadie dan mengkonsultasikan perkara yang tidak dapat diputuskan sara kadie kepada sara kesultanan dan (Saidi 2000). Pelanggaran atas hukum-hukum adat merupakan pelanggaran terhadap sara karena seluruh sumberdaya alam adalah milik sara. Pelanggaran yang terjadi dapat berupa pengambilan hasil perikanan pada lokasi yang telah ditetapkan oleh sara sebagai wilayah larang tangkap seperti lokasi wehai, tampora atau pelanggaran dalam penggunaan alat tangkap sanksinya disebut hoko da o ke te sara (pengertian harfiahnya pelaku dirusakkan oleh sara). Tidak dirinci apa saja bentuk sanksi yang dimaksud dengan hoko da o tersebut tetapi, tetapi merujuk pada Undang-Undang Dasar Murtabat Tujuh maka setiap pelanggaran dapat menimbulkan konsekuensi tadosa ake (yang membuat berutang), ta mate akea (yang membuat mati) dan ta sala akea (yang membuat kita salah). Konsekuensi hukumnya adalah sanksi sosial seperti 50

67 penurunan status yang menjadi seseorang sebagai budak. Dengan demikian masyarakat takut dan tidak punya pilihan kecuali patuh. Bentuk-bentuk sanksi lainnya dari sara dapat berupa hukuman fisik seperti siasa (siksa), denda materi (berhubungan dengan patudu a ketika seseorang tidak mampu membayar denda), ampo ako e te togo (dikucilkan dalam bentuk tidak didatangi warga jika melaksanakan kegiatan hajatan (hidup) maupun duka (kematian). Sanksi paling ringan adalah ndou-ndou atau a-dari (ditegur dan dinasehati) sara dalam sebuah majelis yang dibuat untuk tujuan tersebut. Kepatuhan pada sesuatu yang disebut no angka e te sara (dilarang oleh sara) tersebut juga distimulus oleh ketakutan masyarakat atas sebutan tapa sara yang berarti tidak beradat atau tidak bermoral ketika melakukan perbuatan yang melanggar norma bersama, sebab vonis tapa sara tidak hanya berimplikasi individual (hanya untuk pelaku) tetapi memiliki arti yang lebih luas dengan subjek mencakup satu lingkaran keluarga individu pelaku. Seseorang yang dikatakan tapa sara dimaknai bahwa pelaku adalah turunan keluarga yang tidak memiliki pengetahuan po adati atau tidak mengajarkan adat. Jadi secara umum masyarakat sangat menghindari apa yang disebut dengan tapa sara karena hal tersebut mempertaruhkan nama keluarga. Sejak campur tangan Belanda (1906) ditandai dengan pembentukan lembaga distrik yang mengkoordinir beberapa kadie (Schoorl 2003) sampai tahun terakhir Kesultanan masih berfungsi (1959) pelaksanaan sanksi atas pelanggaran adat yang disebut sala pake atau berperilaku tidak sesuai adat pelaksanaan sanksi tetap oleh sara, tetapi pelanggaran yang sifatnya pidana seperti tindakan merusak atau mencuri hasil laut pelaksanaan sanksi dilakukan oleh Pemerintah Distrik. Dalam pengelolaan wilayah, setiap sara kadie hanya bertanggung jawab atas pengelolaan wilayahnya. Berbeda dengan kelembagaan taman nasional (Balai TNW) yang mengurus kawasan seluas 1,3 juta Ha. Dengan mandat desentralistik dari sara kesultanan untuk membuat peraturan adat dan bertanggung jawab penegakannya maka sara kadie secara efektif mampu mengelola sumberdaya. Meskipun secara teknis kewenangan BTNW menjadi tanggung jawab Seksi Pengelolaan Taman 51

68 Nasional (SPTN) yang berkedudukan di setiap pulau utama (Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko), namun tugas yang diberikan pada SPTN hanya melaksanakan fungsi pengelolaan taman nasional dalam wilayah SPTN, mewakili kepala balai, melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam lingkup kerja tanpa kewenangan membuat aturan sebagaimanan kewenangan sara kadie. 5.2 Pengelolaan Laut oleh Adat dengan Pendekatan Ruang Hak Pengambilan Hasil Perikanan (Fishing Right) Wilayah Adat Laut Wakatobi dikelola dalam unit terkecil yaitu satuan wilayah kadie. Undang-undang kesultanan menetapkan peraturan khusus yang disebut Pitu pulu rua kadiena yang pengertian hukumnya adalah tujuh puluh dua bagian tanah untuk rakyat. Inti peraturan khusus itu adalah memberikan kewenangan desentarilisasi pada kadie untuk mengatur rumah tangga sendiri. Isinya mengatur ketentuan pemilikan tanah sebagai milik kadie yang dipergunakan rakyat. Pemilikan perorangan yang diperoleh dari kekuasaan dan kekuatan (disimbolkan dengan keberadaan golongan bangsawan kaomu dan walaka dalam kadie) tidak dibenarkan. Pengolahan hanya diijinkan dengan persetujuan sara kadie tetapi sumberdaya tanah tetap menjadi milik kadie. Ketentuan ini berlaku sampai ke laut karena laut dalam konsep teritorial use right adat disebut sebagai te sinai nu togo artinya milik kampung, itulah sebabnya perbatasan teritorial antara kadie dihitung secara detail sampai ke laut. Misalnya batas Kadie Liya dan Kadie Mandati adalah ditengah-tengah ollo (laut dalam) La Kapala. Bukti kewenangan sara sampai ke laut diantaranya dapat dilihat pada pengelolaan wilayah laut te mone a nu sara, adat istiadat dalam menggunakan alat tangkap, pembatasan input nelayan luar atau penetapan lokasi-lokasi perlindungan (wehai) dan homali. Hal terpokok dari pengelolaan di darat maupun laut dalam adat sara kadie menggariskan bahwa sumberdaya adalah milik bersama. Sara kadie mengatur pengelolaan baik pemanfaatan maupun pengamanan sehingga menghindarkan laut sebagai wilayah open access. Bentuk pengelolaan ini menurut Satria (2009b) 52

69 melindungi nelayan kecil yang memiliki jangkauan operasi hanya pada daerah pesisir. Pengelolaan dalam unit wilayah terkecil seperti dalam sistem kadie dimasa lalu mendekatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, efisien dan efektif karena pengelolaan menjadi bagian dari hak ulayat dalam sistem adat mereka (Satria 2009b). Pembatasan input berupa alat tangkap dalam ZPL juga diatur dalam zonasi TNW. Alat tangkap yang diperbolehkan dalam ZPL adalah peralatan tradisional tetapi fishing right tidak secara ekslusif diberikan pada masyarakat kampung. Sehingga sebagai konsekuensinya, laut kampung tetap menjadi area persaingan lokasi tangkap sesama nelayan tradisional, serta persaingan penggunaan alat yang menentukan jenis hasil yang akan diambil. Pada sistem tradisional, fishing right penduduk kampung bukan hanya berkenaan dengan wilayah tetapi perlindungan dari alat tangkap nelayan luar kampung yang berarti proteksi atas nelayan kecil dalam kampung dan perlindungan atas hasil laut selain ikan. Hal tersebut disebabkan adanya ketentuan yang hanya membolehkan penggunaan alat pancing bagi nelayan yang berasal dari luar kampung (kadie) Wehai Wehai adalah sistem pengelolaan sumberdaya laut pada kelompok masyarakat adat Liya di Pulau Wangi-Wangi, bentuknya berupa kawasan perlindungan laut (marine protected area) atau memberlakukan larang tangkap pada wilayah tertentu dengan tujuan membuat ikan lebih banyak berkumpul dan jinak. Umumnya wehai diberlakukan pada wilayah pesisir yang memiliki teluk (kolo) atau diapit dua tanjung sebagai batas lokasi perlindungan. Arti wehai secara etimologi adalah menandai, menyisihkan atau memesan susuatu supaya tidak diambil orang lain. Pada kelompok adat Wanci wehai yang melindungi sebuah tempat dari pemanfaatan juga dikenal namun hanya berlaku pada 1 lokasi di darat yang banyak dittanami pohon kelapa terletak di sebelah utara Pantai Te e Bangka Wanci. 53

70 Hasil observasi pada ekosistem wehai perairan Liya menunjukkan bahwa tempat tersebut merupakan habitat ikan dumu-dumu atau surey (Gerrer oyena), koakoa (Caranya sp), ikan-ikan herbivor, lamun, siput, kepiting, tiram, karang tepi, pasir dan pada saat terisi dengan air pasang merupakan tempat favorit bagi ikan jenis Caranya sp dewasa yang merupakan predator bagi ikan-ikan kecil yang memiliki area sosial di pesisir. Memperhatikan hal tersebut, sistem wehai adalah bentuk pengelolaan dengan pendekatan ekosistem sebagaimana yang dimaksud Widodo dan Suardi (2006) sebagai pendekatan yang mengikutsertakan keseluruhan komponen ekosistem dan berbagai jasa yang diberikannya dalam mendukung perikanan berkelanjutan. Dalam ekosistem wehai terdapat rantai dan jaring makanan yang dapat menjelaskan dinamika pada ekosistem perairan (Widodo dan Suardi 2006). Melihat fungsi, kondisi, potensi dan dukungan yang diberikan sistem terhadap ekosistem perairan dan perikanan, maka wehai dan ZPB memiliki kesamaan. Ekosistem wehai memberi kontribusi pada jejaring rantai makanan perairan sekitarnya dibuktikan dengan keberadaan ekosistem sebagai areal sosial bagi ikanikan predator. Sama dengan ZPB, terutama fungsi zona perlindungan sebagai penyangga perairan zona pemanfaatan, membuktikan kontribusi zona ini terhadap perairan sekitarnya. Dari segi lokasi, pola pemanfaatan dan lembaga pengelola, wehai dan zona perlindungan bahari berbeda. Wehai hanya terdapat di daerah pesisir dan berlaku untuk waktu tertentu atau sistem buka tutup, berbeda dengan zona perlindungan bahari yang wilayahnya berada pada karang atol dan hanya sebagian kecil berada di pesisir yakni pesisir Desa Matahora (Kadie Mandati) dan beberapa tempat di perairan timur dan selatan Pulau Kaledupa dimana sistem wehai tidak dikenal masyarakat. Lokasi wehai ditentukan berdasarkan pengalaman masyarakat akan lokasilokasi yang terdapat banyak ikan (sering dikunjungi ikan). Jika dikaitkan dengan produktifitas perikanan dalam perairan sekitarnya, maka penetapan lokasi berdasarkan kearifan masayarakat ini mengarahkan pada kesesuaian perhitungan 54

71 struktur sistem jaringan makanan yang menjamin keseimbangan antara yang ditangkap dan stok yang tertinggal (Widodo dan Suadi 2006). Sistem wehai diberlakukan untuk waktu yang ditentukan lamanya oleh sara kadie. Untuk memberikan tanda kepada masyarakat umum bahwa wehai sudah diberlakukan, sara mengutus pangalasa (salah satu unsur dalam anggota sara) untuk memasang janur pada ujung ranting kayu yang bersilangan dimana 3 kaki ranting menancap membentuk segitiga diatas tanah. Ranting kayu berjanur tersebut diletakkan pada dua tanjung sebagai batas wilayah lindung. Pembukaan wehai akan diumumkan oleh sara diikuti pembukaan tanda janur pada kedua tanjung. Sepanjang wehai belum dibuka, maka janur yang telah kering akan diganti dengan janur segar. Meskipun wehai merupakan sistem perlindungan tidak permanen (buka-tutup) tetapi lokasi pemberlakukan sistem tersebut bersifat permanen atau tetap pada tempat yang terdapat di perairan pesisir Liya yaitu Pantai Loponi, Hu Uno, Kolo Nu Pimpi, Hora, Bantea Yi Tonga. Di selatan pesisir Liya yakni Pulau Simpora lokasi, wehai adalah di Pantai One Tooge dan Kolo Nu Sori, dan di Pulau Kompona One (Oroho) lokasi wehai berada di pantai utara yakni di pesisir Wawosio. Anggota masyarakat yang melanggar lokasi wehai diberikan hukuman oleh sara yaitu hoko da o ke te sara (diri dan status yang bersangkutan dirusakkan oleh sara). Kelompok adat Wanci, Mandati dan Kapota tidak mengenal sistem wehai di laut. Wehai dalam masyarakat adat Wanci dan Mandati berlaku di darat pada kebun kelapa milik sara dan milik kaomu (sebuah rumpun keluarga). Manfaat wehai laut adalah memberikan kesempatan kepada ikan untuk tumbuh besar dalam satu ekosistem alami, sehingga sangat membantu bagi konservasi sumberdaya alam hayati perairan. Melihat praktek dan properti yang digunakan seperti janur maka sistem ini mirip dengan sistem sasi yang dikenal masyarakat Maluku Monea a Nu Sara Monea a nu sara bukanlah istilah baku untuk sebuah sistem pengelolaan. Kalimat tersebut diberikan untuk suatu tradisi pengelolaan ruang tertentu sebagai 55

72 tempat menangkap ikan jika kampung memiliki keperluan misalnya pada saat hajatan kampung. Istilah yang berbeda dengan arti yang sama yaitu te pake-peke a nu sara, namo nu sara (laguna yang digunakan sara). Lokasi monea a nu sara biasanya berada pada laguna pesisir kampung. Motif perikanan pada sistem monea a nu sara sama dengan wehai yakni penetapan wilayah tertentu sebagi daerah stokcing tetapi penerapannya berbeda pada mekanime terbuka dan tertutup. Pada hari biasa monea a nu sara dapat dimanfaatkan masyarakat dengan peralatan tradisional seperti sarampa (tombak yang lebih dari dua mata), pontu (tombak yang memiliki 1 mata), panah, pancing tetapi tidak diperkenankan menggunakan bahan beracun dan jaring yang memungkinkan penangkapan ikan dalam jumlah besar. Dalam kelompok adat Kapota hasil tangkapan pada lokasi monea a nu sara dibagi 3 bagian yaitu 1 bagian untuk nelayan, 1 bagian untuk pemilik sarana tangkap dan 1 bagian untuk sara. Bagian untuk sara biasanya dijual dan uangnya digunakan untuk kas masjid dan keperluan sara. Bentuk pengelolaan perikanan pada sistem monea a ditekankan pada pembatasan alat tangkap, bukan kawasan perlindungan sebagaimana pada sistem wehai. Namun demikian urgensi sistem tradisional monea a nu sara adalah meneguhkan pengelolaan sumberdaya yang tidak terbuka yang bermanfaat memberi perlindungan pada nelayan kecil yang peralatan dan armada tangkapnya hanya dapat menjangkau tempat terbatas dan pelestarian lingkungan. Pengaturan wilayah berdasarkan alat tangkap merupakan salah satu solusi untuk menata nelayan yang dipandang sangat penting, mengatasi konflik antar nelayan, meningkatkan kesejahteraan nelayan dan melestarikan sumberdaya alam (Solihin et al 2005). Dalam wilayah Kadie Mandati, lokasi monea a nu sara yang saat ini dikelola masyarakat kampung adalah namo Bontu di desa Matahora. Disamping itu pesisir Kampung Sousu tepatnya di Perairan Pulau Matahora dan Pulau Nua Ponda desa Matahora di kelola dengan pembatasan alat tangkap masal untuk nelayan luar kampung. Sistem tersebut dibangun untuk mempertahankan ketersediaan ikan, 56

73 sebagai antisipasi atas cuaca buruk yang menyebabkan nelayan kampung tidak dapat melaut ke tempat lain. Sebagian pesisir kampung Sousu dalam sistem zonasi menjadi ZPr dan sebagian pesisir Desa Matahora yakni namo Bontu menjadi ZPr. Pemerintah daerah melalui Coremap-DKP menjadikan wilayah tersebut Daerah Perlindungan Laut (DPL). Pada wilayah Kadie Kapota monea a nu sara tersebut berada di pesisir Kampung Padangkuku di sebelah utara Pulau Kapota, dan di pesisir Singgaleta, pantai timur yang berbatasan dengan kampung Kolo (Liya) Batoo dan Kota Pada kelompok adat Wanci dikenal sistem pengelolaan perikanan yang disebut kota yaitu perairan pesisir yang ditandai dengan batoo atau pagar batu melingkar dari daerah tubir ke pesisir. Pagar batu tersebut memiliki ketinggian sekitar 1 meter yang tenggelam pada saat air pasang dan muncul pada permukaan saat air surut sehingga berfungsi menjebak ikan yang bergerak ke pesisir untuk tidak kembali ke perairan laut dalam atau daerah karang. Batoo Wanse berada di depan kampung Te e Bangka kelurahan Wanci dimana pada wilayah daratnya terdapat lahan dan kebun kelapa milik sara yang termasuk lahan wehai. Kota sebenarnya adalah tumpukan batu yang berada di tengah batoo yang tidak boleh dipindahkan. Selain bemakna simbolik yang menandakan lokasi peruntukan sara untuk perikanan masyarakat yang memiliki keterbatasan sarana, juga jika dilihat fungsinya merupakan karang buatan yang akan menjebak ikan-ikan karang untuk naik ke arah pesisir pada saat air pasang dan berlindung saat air surut sehingga penangkapan tidak perlu di lakukan di lokasi karang asli yang berada di belakang batoo. Konsep Kawasan Perlindungan Laut (KPL) melalui zoansi TNW dan DPL Coremap-DKP Kabupaten Wakatobi menekankan daerah-daerah perlindungan laut untuk melindungi ekosistem alami dari aktivitas penangkapan. Hasil yang diharapkan dari sistem ini adalah limpahan ikan dari daerah lindung menyebar ke daerah tangkap diluar kawasan lindung sehingga bisa memberikan keberlanjutan perikanan. 57

74 Dalam sistem kota dan batoo penangkapan dilakukan pada daerah pasang surut diluar ekosisitem alami terumbu karang diperuntukkan bagi nelayan kampung yang memiliki sarana terbatas. Sistem ini merupakan bentuk pelayanan sara terhadap nelayan tardisional dari kampung dari persaingan dengan nelayan luar yang hanya boleh melakukan penangkapan pada daerah batoo dan kota jika mendapat izin sara, meskipun demikian nelayan luar tidak masuk kawasan tersebut Sistem Huma Secara harfia huma adalah penamaan rumah bertiang kayu tancap pada daerah pasang surut baik di pesisir maupun di daerah karang atol (pasi) yang jauh dari kampung. Huma juga dikenal dengan nama loma. Secara fisik huma yang berada di pasi adalah tempat istirahat, tempat menyimpan peralatan dan logistik, tempat memasak, menambatkan sampan selama berada di karang, dimiliki secara berkelompok atau perorangan. Selain fungsi-fungsi fisik huma sebagai rumah di daerah karang, huma juga merupakan sistem po adati yi pasi atau memiliki fungsi pelembagaan adat pengelolaan sumberdaya laut di pasi. Sistem huma berlaku di Karang Kaledupa, Koromaha, Kapota. Masyarakat Wangi-Wangi menyebutnya Karang Kapota dengan nama Pasi Togonto artinya pasi milik kampung se-wanci, Mandati, Kapota dan Liya, sedangkan masyarakat Kaledupa, Tomia dan Binongko menyebutnya pasi Koba merujuk pada nama Pulau Koba sebelum diganti oleh Belanda menjadi Pulau Wangi-Wang. Sistem huma sangat unik karena pasi sebagai habitat huma bukan merupakan daerah coastal dimana biasanya berkembang sistem tradisional. Jika pasi yang terletak jauh dari pulau pemukiman penduduk dibiarkan tanpa aturan, maka akan memudahkan eksploitasi sumber daya secara terbuka (open access) tanpa pemilikan dan melahirkan keuntungan ekonomi jangka pendek bagi nelayan sebagaimana dikemukakan Widodo dan Suadi (2006) hanya akan mengundang perhatian nelayan baru untuk masuk kawasan hingga sampai pada suatu titik maksimum eksploitasi 58

75 dimana terjadi overcapacity kemampuan wilayah dalam menampung user. Pada akhirnya kondisi tersebut melahirkan overfishing (penangkapan berlebihan). Meskipun pengelolaan sumberdaya dalam sistem huma menegaskan adanya kekuatan peran beberapa orang atau kelompok atas pengaturan sumberdaya tetapi hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk pemilikan pribadi atas sumber daya (private property right) karena tidak adanya unsur pemilikan pribadi atas bendabenda dalam wilayah kelola kelompok itu. Pendefinisian yang lebih mendekati ialah res communes (kepemilikan komunal). Hal ini dapat dilihat dari sifat sistem huma yang merupakan bentuk penegakan peraturan bersama untuk barang milik bersama (community property right). Secara historis sistem huma pertama diperkenalkan nelayan bubu Kampung Kahyanga dari kelompok adat Kawati Tongano di Pulau Tomia. Sistem huma dipraktekan nelayan-nelayan Pulau Tomia yang dikenal dari dulu menjadi pengelola perikanan kawasan Pasi Kaledupa, juga dipraktekan nelayannelayan Wangi-Wangi yang mengelola Pasi Kapota. Meskipun bukan territorial right salah satu kadie tetapi nilai-nilai adat pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan di pasi menjadi nilai pada seluruh kadie. Dengan demikian pelaku (subjek) pelanggaran po adati yi pasi dapat menjadi domain hukum kadie asal nelayan yang berada di pasi. Hasil penelitian pada nelayan-nelayan dari Liya, Mandati, Kapota dan Wanci dan dikonfirmasikan pada nelayan Pulau Tomia menegaskan bahwa laut di sekitar huma menjadi wilayah kelola pemilik huma. Pemilikan huma biasanya adalah kelompok, turun-temurun dan pada satu wilayah yang tetap sehingga dalam prakteknya sehari-hari selain menangkap ikan pemilik huma juga menjaga keamanan sumber daya alam dengan cara menegakkan norma pengelolaan sumberdaya laut di perairan pasi yang disebut dalam setiap kadie sebagai te pake yi pasi (adab manusia di karang) atau po adati yi pasi, (adat istiadat di karang) yaitu : Setiap nelayan yang baru tiba di pasi harus menyampaikan tujuannya kepada salah satu huma terdekat sebelum melakukan kegiatan penangkapan ikan. Nelayan yang melapor ke huma harus menaikkan seluruh bekal makanan dan air minum (logistik), kayu bakar, parang (senjata lainnya), toba (tempat rokok) ke dalam huma 59

76 sebagai simbol dari kesediaan mengikuti adati yi pasi (adat di karang). Pemilik huma akan menunjukkan lokasi tempat menangkap ikan agar tidak mengganggu lokasi tangkap nelayan lainnya. Po adati yi pasi mengikat setiap orang untuk tidak lempagi (melewati batas) dan sabaragau (sembarangan), suatu nilai rasa (moral) dari manusia suku Buton yakni Binchi-binchiki kuli, artinya mencubit diri sendiri jika terasa sakit maka sakit pula dirasakan orang lain (Saidi 2000). Perwujudannya adalah sikap saling menghargai (poangga-angga) dan tolong-menolong (pohamba-hamba). Relevansinya dengan pengelolaan huma adalah kepatuhan pihak yang berinteraksi dalam ekosistem tersebut melewati batas teritorial dari kadie masing-masing. Nelayan yang tidak mematuhi po adati yi pasi dan langsung melakukan penangkapan ikan dianggap melakukan kegiatan pencurian (illegal fishing) sehingga pemilik huma wajib memberikan peringatan dan mengusirnya. Alat tangkap yang digunakan dalam sistem huma adalah bubu (polo). Satu kelompok pemilik huma dapat memiliki polo yang dipasang pada bagian dasar laut datar, berpasir dan ditumbuhi lamun di sekitar ekosistem terumbu karang. Sebagian lokasi huma di atol Kaledupa bagian barat saat ini menjadi ZPB TNW. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan dalam ZPB adalah pemancingan tradisional, pancing dasar, pancing tonda, budidaya, jaring dasar, bubu, sero, menyelam teripang, lobster dan kerang, memanah ikan, meti-meti, memasang rumpon, perahu pelingkar dan bagan. Dalam sistem huma lokasi tersebut hanya dikelola dengan alat tangkap bubu dan target tangkapan ikan, pengambilan biota seperti kima tidak dilakukan. Kegiatan penangkapan ikan dengan alat lain seperti pancing oleh nelayan lain hanya dapat dilakukan bila mendapat izin pengelola huma Homali Lokasi homali atau pemali di darat disebut kaombo. Sebenarnya asal dari istilah kaombo adalah sistem pengelolaan hutan yang merupakan kewajiban setiap kadie yang tertulis dalam Undang-Undang Murtabat Tujuh. Karena sifatnya yang dilindungi adat, maka kaombo tidak dapat dijamah, homali atau terlarang. Tempat- 60

77 tempat seperti itu kemudian berkembang pada masyarakat sebagai lokasi sakral atau keramat dengan berbagai peristiwa historis yang menyertainya. Menurut Zuhud dalam Soedjito et al (2009) menjelaskan tiga stimulus sebagai pendorong sikap konservasi yakni stimulus alamiah, manfaat dan religius. Sinyal dari situs sakral atau keramat homali sebagaimana dijelaskan di atas adalah stimulus religius yang mempengaruhi sikap konservasi masyarakat atas kawasan homali. Kawasan homali yang tidak dapat diakses sembarang bertahan dalam kondisi alamiah, bertahan dari degradasi lingkungan karena menyatu dengan sistem kepercayaan dan kebudayaa masyarakat setempat (Soedjito et al 2009). Selain karena kepercayaan terdapat lokasi-lokasi lindung karena fungsi ekosistem sebagai batas wilayah kadie, contohnya ekosistem mangrove yang membatasi wilayah kelompok adat Kaumbeda dan Cia-Cia di sekitar desa Oihu pulau Binongko. Tetapi di lokasi penelitian ini umumnya lokasi homali terjadi karena faktor kepercayaan seperti larangan untuk melakukan aktivitas pengambilan hasil mulai dari daratan sampai daerah pasang surut pesisir homali atau ketentuan yang hanya membolehkan kegiatan terbatas (tidak berbuat sembarangan). Pelanggaran atas homali diyakini membawa dampak negatif seperti bencana alam, wabah penyakit yang menimpa manusia dan kampung. Larangan untuk eksploitasi bukan hanya bagi komunitas setempat (pemilik keyakinan) tetapi juga terhadap orang diluar komunitas. Oleh sebab itu setiap ada yang melakukan aktivitas dalam wilayah tersebut akan ditindak oleh komunitas setempat. Lokasi-lokasi yang memiliki nilai sakral dalam lokasi penelitian ini umumnya berada pada sebuah tanjung (untu), meliputi ekosistem pantai dan pesisir, seperti Untu Wa Ode, Untu Melambi, Oguu Dua Hu u, Saru-Sarua, Untuno, Liyantande, Untu Moori, Kansira, Bungi dan Watu Towengka. Perlakuan non eksploitatif bukan dilatarbelakangi oleh pengetahuan terhadap nilai penting ekosistem tetapi keyakinan turun-temurun, yang menjadi suatu bentuk aksi konservasi masyarakat. Kepatuhan pada situs keramat menjadi bagian penting konservasi kawasan, meskipun dari aspek 61

78 luas tidak begitu besar, tetapi dampaknya sangat penting dalam menjamin konservasi keanekaragaman hayati dan pelestarian budaya (Soedjito et al 2009). Semua lokasi situs keramat (homali) merupakan bagian dari ZPL dalam zonasi TNW yang berarti terbuka untuk segala bentuk penggunaan peralatan tangkap tradisional ramah lingkungan. Pada lokasi homali Untu Waode aktivitas penangkapan ikan dari perairan pantai sampai daerah tubir tidak dapat dilakukan, sementara pada lokasi homali lainnya dapat dilakukan mengambil hasil laut tetapi dengan ketentuan yang dsebut mbeaka to sabaragau (kita tidak boleh berbuat sembarang atau bebas,, dilarang berkata-kata yang tidak sopan dan harus bersikap berhati-hati). Pada situs Saru-Sarua yang terletak di tanjung barat laut Pulau Kapota terdapat kepercayaan bahwa jika ikan berwarna merah tertangkap pancing pada areal karang perairan Saru-Sarua merupakan sinyal musibah. Jadi ketika menangkap ikan merah nelayan bersangkutan sudah harus meninggalkan lokasi tersebut. Sinyal ikan merah menjadi stimulus bagi aksi konservasi atas jenis ikan karang berwarna merah seperti ikan kakap (family Lutjanidae) dan sunu (Plectropomus Leopardus) untuk tidak tertangkap secara berlebih atau tidak menjadi target tangkapan, yang berarti secara langsung merupakan bentuk konservasi ekosisitem karang yang merupakan tempat sosialisasi ikan merah jenis kakap atau sunu Ika nu Sara Kelompok masyarakat adat Liya mengenal tradisi ikan nu sara (ikan milik sara). Ikan-ikan yang masuk dalam kategori tersebut tidak dapat ditangkap bebas. Jika ikan tersebut tertangkap oleh nelayan, maka harus dipersembahkan (sampe akone) kepada sara dan pemimpin kadie. Ikan napoleon (Cheilinus undulatus) diserahkan kepada Meantu u Kontabitara (Kepala Sara), alu (Sphyraena barracuda) diserahkan kepada Meantu u Liya (Bobato Kadie atau Lakina Liya). Tradisi itu merujuk pada karnaval adat hasil kebun dan laut yang disebut sampe a pada musim panen. Sampe a dilaksanakan di balai adat baruga, tempat yang biasanya dipakai 62

79 untuk musyawarah sara. Pesertanya para petani dan nelayan. Setiap peserta berlomba membawa hasil terbaik dari laut dan kebun untuk dipersandingkan dan diperbandingkan dengan hasil peserta lainnya. Peserta yang hasilnya sedikit harus membawa semua hasil tersebut kepada peserta yang hasilnya banyak. Event ini disaksikan oleh seluruh Sara Liya dan Meantu u Liya. Ikan-ikan yang digunakan dalam tradisi sampe a biasanya ikan-ikan yang disebut sebagai ika nu sara, dan langsung dipersembahkan kepada pembesar kadie meantu u konta bitara dan lakina. Ika nu sara jarang tertangkap oleh nelayan karena populasinya yang kurang dibanding ikan-ikan lainnya seperti simba (Caranya sp). Nelayan tidak dapat menghindari kewajiban sampe a (mempersembahkan) jika ika nu sara tertangkap alat tangkapnya tetapi karena kewajiban itu pulalah yang menyebabkan tidak seorangpun nelayan sengaja menjadikan napoleon (Cheilinus undulatus) dan alu (Sphyraena barracuda) sebagai ikan target tangkapan. Ikan napoleon sebagai ikan karang dilindungi dalam kawasan TNW karena tingkat ancaman kepunahannya tinggi (TNW 2008). Aktifitas penangkapan dan budidayanya tidak diizinkan dalam kawasan TNW. Sedangkan ikan alu ( Spyraena barracuda) adalah ikan pelagis yang berasosiasi dengan karang dan tidak dilindungi Pembatasan Alat Tangkap Nelayan Luar Nelayan luar kadie dapat melakukan kegiatan penagkapan ikan di laut kadie dengan pembatasan alat tangkap. Nelayan luar hanya boleh menggunakan alat pancing dan tidak dibolehkan menggunakan alat tangkap yang sifatnya menguasai suatu kawasan, bertahan lama dan memungkinkan pemilik senantiasa kembali ke lokasi tersebut untuk mengelola alat tangkapnya. Dengan demikian nelayan luar kadie tidak dapat memasang bubu dan ompo dan katondo pada laut kadie. Ini membuktikan apa yang disebut Satria (2009b) bahwa laut ada yang memiliki dan mengelolanya sekecil apapun tingkat pengelolaannya. Pengelolaan sumberdaya laut dengan sistem pembatasan input dari luar akan mengurangi persaingan dan konflik dalam wilayah kelola tradisional. 63

80 Meskipun pengertian nelayan lokal dan nelayan luar dalam sistem tradisional berbeda dengan terminologi nelayan luar dalam sistem zonasi TNW tetapi tujuan pemanfaatanya sama yakni untuk melindungi nelayan kecil. Nelayan luar dalam sistem tradisional adalah nelayan dari luar kadie sedangkan dalam sistem zonasi TNW yang dimaksud nelayan luar adalah yang tidak tinggal dalam kawasan Wakatobi atau bukan orang Wakatobi. 5.3 Pengelolaan oleh Adat dengan Pendekatan Alat Tangkap Jenis Alat Tangkap Alat tangkap yang umum digunakan dalam masyarakat dan memiliki peraturan penggunaan adalah ompo (sero), polo (bubu), katondo, buani (jala), lamba dan kulu-kulu. Peraturan tersebut berhubungan dengan penggunaan wilayah yang mengikat pemilik alat dan nelayan lain. Disamping itu terdapat kepercayaankeparcayaan mulai dari pemilihan bahan, pembuatan, pemasangan yang berhubungan dengan waktu, sikap dan perilaku pemiliknya. Penggunaan akar tuba pada beberapa tempat dilarang karena bahan tersebut mengeluarkan racun yang membunuh ikan tanpa seleksi. Selain membunuh ikan, racun tuba dianggap membunuh aneka kehidupan biota mikro (siu-siu). Sarana bantu penangkapan ikan yang juga tidak diperbolehkan adalah penggunaan karung. Menurut kepercayaan masyarakat penggunaan karung akan membuat isi laut (biota) menjadi panta (terdegradasi) baik kualitas maupun kuantitas. Alat yang biasa digunakan untuk menampung hasil tangkapan atau menampung kerang-kerangan yang dipungut saat meti-meti adalah keranjang. Perbandingan peraturan penggunaan alat tangkap dalam sistem tradisional maupun yang diatur dalam zonasi TNW serta peraturan darah Kabupaten Wakatobi dapat dilihat pada tabel Ompo dan Tampora Ompo disebut secara umum sebagai sero, terbuat dari anyaman bambu dalam potongan bilah-bilah kecil seperti tirai, kira-kira memiliki lingkaran 2 cm tiap bilah. 64

81 Tabel 4 : Jenis dan Penggunaan Alat tangkap Nama Alat Wilayah Penggunaan Zonasi Sistem Formal Perda Sistem Tradisional ompo (sero)/daerah pasang surut di daerah pesisir pasang surut pesisir alat tangkap yang diperbolehkan dalam zona pemnfaatan umum dan zona pemanfaatan local Alat tangkap perairan laut kabupaten (4 mil dari daratan) Berhubungan dengan hak kelola atas wilayah pada nelayan atau kelompok nelayan lokal kadie polo (bubu) buani (jala buang) pengait (kaikai/puria), suku (penusuk), tombak hulu besi (sakajoro), pontu (tombak hulu bambu, sarampa (tombak mata 2 atau lebih), sipada pasang surut pesisir dan karang atol hanya digunakan pada zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, tidak dapat digunakan dalam zona perlindungan bahari, zona pariwisata Alat tangkap perairan laut kabupaten (4 mil dari daratan) pasang surut pesisir tidak disebutkan tidak disebutkan pasang surut pesisir peralatan meti-meti tidak disebutkan Berhubungan dengan hak kelola atas wilayah pada nelayan atau kelompok nelayan lokal kadie Memiliki aturan penggunaan, penegakan oleh parika Pada wilayah tertentu tidak dapat digunakan kecuali musim ikan yang disebut lalo'a (musim boronang pada bulan dilangit) peralatan meti-meti (siang dan menyuluh malam hari) 65

82 (parang ), jerat udang, kadepe (alat dari bambu untuk menyaring ikan) alat pancing berbagai jenis pesisir, karang atol dan laut dalam hanya digunakan pada zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, tidak dapat digunakan dalam zona perlindungan bahari, zona pariwisata Alat tangkap perairan laut kabupaten (4 mil dari daratan) Tidak dapat digunakan disekitar mulut (bagian depan) polo, ompo Jaring pesisir, karang atol dan laut dalam Jaring dasar, perahu pelingkar hanya digunakan pada zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, tidak dapat digunakan dalam zona perlindungan bahari, zona pariwisata jaring insang lingkar, gondrong, insang hanyut, insang tetap, lingkar ikan hias Alat tangkap perairan laut kabupaten (4 mil dari daratan) Alat yang dapat digunakan nelayan luar kampung dalam wilayah kampung lain Tidak dapat digunakan disekitar mulut (bagian depan) polo, ompo, katondo dan lokasi buani 66

83 Penggunaan alat tangkap ompo adalah pada daerah pasang surut berpasir atau daerah padang lamun yang terpasang menyerupai pagar dari bilah atau tirai bambu, diikatkan pada tiang-tiang pancang kayu (bale) yang tertancap pada dasar laut untuk menguatkan posisi tegak anyaman bilah bambu. Lokasi pemasangan ompo disebut tampora di atur sara. Pengelolaan tampora diberikan kepada masyarakat. Ompo terbagi menjadi 4 bagian atau kamar dengan fungsi yang berbeda-beda. Ketinggian pagar bagian depan sebagai pintu masuk ikan diukur sebatas dada dari parika (pimpinan kelompok), pada bagian bunua besar yang berfungsi mengurung ikan dan pada bagian bunua kecil yang berfungsi membatasi ruang gerak ikan, ketinggian bilah bambu diukur sejajar mulut parika. Sedangkan pada bagian wutu (arti kata wutu adalah mengikat) berbentuk lingkaran berdiameter 1,5 2 meter dan berfungsi sebagai lokasi penangkapan ikan memiliki ketinggian bilah bambu satu jengkal melebihi tinggi badan parika. Panjang keliling ompo berkisar meter. Bagian yang terbuka menghadap daratan (menganga) dengan jarak dari kaki kanan ke kiri sebagai pintu masuk ikan sekitar 90 meter. Makin ke arah laut (ke kamar bunua dan wutu) makin menyempit, sehingga ikan makin terkurung masuk. Jika ditarik garis lurus dari kaki kiri dan kanan bagian mulut (depan) ompo sampai ke pantai, daerah tersebut disebut lansano. Zona lansano kegiatan penangkapan ikan tidak diperkenankan baik menggunakan jaring, pancing, bubu atau kegiatan lainnya yang ditujukan untuk menangkap ikan. Kegiatan yang diperbolehkan hanya tunga-tunga (meti-meti) yaitu memungut kerang-kerangan atau hasil yang bukan merupakan target alat tangkap ompo. Bagian wutu dari alat ompo berada pada bagian laut yang tetap tergenang meskipun laut surut. Ompo dikerjakan dan dimiliki oleh kelompok yang terdiri dari 3 5 orang dipimpin seorang parika, seseorang yang memiliki keahlian teknis dan mistik yang biasanya diwarisi turun-temurun. Parika bagi anggota kelompok adalah henangkara artinya seseorang yang diikuti (panutan). Parika dengan kemampuannya menentukan kapan waktunya memasang ompo, ukuran pemotongan bambu yang akan dibuat bilah-bilah kecil dan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat melaut. Bilah bambu dianyam 67

84 menggunakan tali hutan hao yang diperoleh dari hutan kampung. Tempat menganyam biasanya halaman bante atau oa (pantai, pantai pelabuhan sampan). Bantea adalah rumah milik kampung dipinggir pantai yang berfungsi sebagai tempat bercengkerama para nelayan, tempat menyulam jaring, menganyam bubu dan menyimpan peralatan seperti layar, dayung dan tokong. Bentuk bantea seperti rumah biasa pada umumnya yakni memiliki atap miring berbentuk segitiga. Yang membedakan adalah lantai bantea terbuat dari bilah bambu atau papan menyerupai bangku yang berhadap-hadapan karena bagian tengah yang kosong langsung berlantai tanah berguna sebagai tempat menganyam bubu, mengiris kopra dan tempat lalu lalang dalam bantea. Pada masa menganyam ompo warga kampung atau orang-orang yang sedang berada dalam bantea sering ikut membantu. Oleh sebab itu ikan hasil panen pertama ketika ompo terpasang di laut tidak langsung dibagi oleh anggota kelompok pemiliknya tetapi dibagikan kepada masyarakat kampung yang membantu pembuatan, juga kepada pemangku adat, pimpinan kampung dan atau orang-orang tidak mampu. Ikan hasil tangkapan pertama disebut ika nu hao (ikan milik tali) maksudnya adalah ikan untuk mengganti jasa penggunaan tali utan hao pengikat bilah-bilah bambu ompo dimana tali tersebut diperoleh dari tumbuhan pada alam bebas (tanpa seorangpun menanamnya) yang ditemukan di wilayah kampung sehingga dikategorikan sebagai sumberdaya milik bersama. Wilayah tempat memasang ompo dikuasakan oleh sara sebagai wilayah kelola kelompok pemilik ompo atau tampora. Adat akan melindungi pengelolaan wilayah tersebut dari pemanfaatan pihak lain.jika dalam jangka waktu lebih dari satu tahun, pemilik ompo tidak lagi menggunakan tampora maka pengelolaan dapat beralih ke tangan kelompok lain dengan lebih dulu memberitahu pengguna sebelumnya. Pemberian hak kelola oleh sara ditandai dengan prosesi pamanga te sara (jamuan makan untuk sara) dari ikan-ikan hasil tangkapan ompo. Prosesi jamuan makan dilakukan di sekitar laiga nu ompo (huma milik pemasang ompo) yang didirikan pada pantai (oa) terdekat dengan tempat pemasangan ompo. 68

85 Kewajiban pemilik ompo yang melekat pada pemberian hak kelola oleh sara adalah tanggung jawab menjaga adat (po adati) yang melekat pada ompo misalnya larangan menangkap ikan oleh masyarakat umum pada zona lansano, menjaga wilayah dari kegiatan pencurian hasil laut oleh nelayan luar dan perusakan ekosistem. Anggota masyarakat lainnya tetap bisa mengakses wilayah sekitar ompo untuk mencari hasil laut dengan ketentuan po adati dan tidak memasang alat yang sama secara berdekatan. Ukuran jauh atau dekat secara tradisional adalah mengikuti nama pantai atau nama lokasi. Misalnya jika seseorang telah diberikan hak untuk memasang ompo pada pesisir pantai Usuno maka orang lainnya hanya boleh memasang alat yang sama pada pesisir pantai lainnya. Ompo dalam sistem zonasi TNW dapat digunakan dalam ZPL yaitu perairan pesisir dan karang atol, dan dalam ZPU, tetapi melihat kondisi dimana ZPU berada di perairan laut dalam maka alat tangkap ini tidak dapat digunakan pada ZPU. Penggunaan alat ini dalam sistem tradisional hanya digunakan pada daerah pasang surut perairan pesisir pulau, tidak digunakan pada daerah karang atol meskipun bagian-bagian atol memiliki kesamaan fisik dengan pesisir. Hal ini menegaskan keterkaitan ompo dengan pengelolaan ruang adat di pesisir kampung. Pola penggunaan alat berhubungan dengan hak pengambilan hasil perikanan atas wilayah penggunaan alat maka dalam sistem tradisional alat tersebut tidak dapat digunakan nelayan luar kampung dalam wilayah kampung lain Katondo Katondo sama dengan fungsi ompo tetapi terbuat dari batu yang disusun seperti benteng dan wilayah pemasangan alat tersebut jauh dari pantai yakni dekat tubir atau yi wiwi (wilayah pasang surut yang sudah berdekatan dengan laut dalam). Ikan-ikan kecil (awu) yang terperangkap dalam ompo harus dilepaskan. Katondo juga sering disebut bala watu (ompo dari batu). Bahan yang digunakan yakni batu karang sehingga tergolong yang tidak ramah lingkungan. 69

86 5.3.4 Lamba Lamba dalam kebudayaan masyarakat Wakatobi terbuat dari tali hutan yang sepanjang bentangannya digantungkan daun-daunan dengan fungsi membatasi pergerakan ikan. Penggunaannya dengan cara melingkari laut yang telah dipastikan sebagai tempat ikan berkerumun. Lalu kedua ujung tali digerak-gerakan sehingga ikan takut untuk keluar dari dalam lingkaran. Ika-ikan dalam lingkaran ditangkap dengan tombak. Saat ini lamba lokal sudah tidak ditemukan lagi, beberapa nelayan dari Bajo Lamanggau Kecamatan Tomia dan nelayan Bajo Sapuka dari Sulawesi Selatan menggunakan alat tangkap jaring redi dan menyebutnya sebagai lamba. Dalam Perda Kabupaten Wakatobi tentang alat tangkap, lamba termasuk alat tangkap yang dapat digunakan sedangkan jaring redi tidak diperkenankan. Jaring redi termasuk alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang dan dalam operasinya menangkap ikan tanpa seleksi. Dalam sistem tradisional lamba hanya dapat digunakan penduduk kadie dalam wilayah kadie sendiri, tetapi bahan, bentuk dan prinsip kerjanya berbeda dengan lamba yang dikenal saat ini. Lamba dalam sistem tradisional tidak digunakan dalam wilayah dimana sistem huma beroperasi Bubu Bubu merupakan alat tangkap tradisional dengan beragam adat pembuatan dan penggunaan yang tidak bisa dilanggar pembuatnya, mulai dari pemilihan bahan, pengukuran, pemotongan, pembuatan sampai pemasangan alat di laut. Bubu terbuat dari bambu yang dianyam seperti basket dengan mata paling kecil 2 jari dan paling besar 4 jari pemiliknya, dimaksudkan untuk menyeleksi ukuran ikan yang akan ditangkap. Bubu adalah alat tangkap utama pada sistem huma dan digunakan secara luas nelayan lokal di perairan pesisir kampung. Bubu juga menjadi indikator untuk membedakan nelayan lokal kadie dan bukan. Misalnya nelayan Bajo tidak memiliki tradisi pasang bubu. Secara ekonomi bubu merupakan alat penangkap ikan untuk konsumsi rumah tangga maupun dijual. Pengguna bubu adalah laki-laki, tetapi para janda yang 70

87 menanggung anak biasanya juga memiliki bubu. Untuk memasangnya di laut bubu milik para janda tersebut biasanya dititipkan pada nelayan para polo (pemasang bubu) laki-laki. Sebagai imbalannya pemilik bubu memberikan bekal makanan untuk nelayan tempatnya menitip. Dengan demikian fungsi sosial bubu adalah saling bantumembantu sesama masyarakat terlebih kepada yang tidak mampu seperti para janda yang merawat anak sebatang kara (single parent). Sumbangsih alat tangkap bubu terhadap konservasi terletak pada desain alatnya yang dapat menyeleksi ukuran ikan sehingga memberi kesempatan ikan-ikan kecil untuk berkembang biak dan penggunaannya sangat tergantung pada terumbu karang tetapi alat harus diletakkan di dasar laut yang rata, berpasir atau lamun dan tidak boleh menyentuh terumbu karang. Aspek pengaturan pengelolaan sumber daya laut yang melekat pada alat ini adalah larangan bagi pengguna alat pancing dan jaring untuk melakukan kegiatan perikanan pada area depan bubu yang disebut sebagai mulut bubu, yakni pintu masuk ikan. Bubu juga tidak dapat dipasang pada laut disekitar ompo. Pengaturan pengelolaan perikanan seperti ini merupakan bentuk pengelolaan sumber daya laut yang melekat pada kearifan alat tangkap. Hal mana merupakan bentuk hak pengambilan hasil perairan pada nelayan yang bermanfaat bagi konservasi sumber daya hayati sebagaimana dijelaskan Satria (2009b) yakni mengurangi konflik karena adanya kejelasan batas ruang kelola, peningkatan pendapatan nelayan, adanya tanggung jawab nelayan untuk menjaga kelestarian area kelolanya dengan tidak melakukan penangkapan ikan secara berlebihan dan nelayan merasa menjadi subyek dari pengelolaan sumberdaya perikanan. Bubu dalam sistem zonasi TNW dapat digunakan dalam ZPL yakni di daerah pesisir dan karang atol dan ZPU, tetapi ZPU berada pada laut dalam dimana penggunaan bubu tidak dimungkinkan. Dalam sistem tradisional, bubu hanya dapat digunakan oleh nelayan lokal kampung pada wilayah kampungnya karena alat ini termasuk kategori alat yang memungkinkan penggunanya mengelola suatu tempat dalam waktu lama dan berarti pengguna selalu akan kembali ke tempat pemasangan bubu. Alat tersebut juga dapat digunakan pada karang atol sebagai alat tangkap utama 71

88 dalam sistem hum. Dalam sistem zonasi TNW sebagian karang atol menjadi ZPB yang terlindungi dari berbagai jenis pemanfaatan karena fungsinya yang menjadi zona penyangga atau melindungi sumber daya hayati yang akan mendukung zona inti (ZI) dan zona pemanfaatan Buani Buani atau jala digunakan untuk menangkap ikan-ikan di pinggir pantai. Norma yang yang disepakati dan berkembang dalam komunitas nelayan pada alat tangkap ini adalah ketentuan yang berlaku pada tempat-tempat yang sudah menjadi kesepakatan untuk tidak dapat langsung menjala ikan meskipun pada saat tersebut ikan sudah berkumpul sebelum parika yang khusus bertanggung jawab atas wilayah tersebut memberikan aba-aba haa. Jika dilihat dari segi pengelolaan wilayah sumberdaya maka hal tersebut akan melindungi nelayan dari persaingan wilayah tangkap. Pada tabel 6 tentang jenis alat tangkap berdasarkan zoanasi TNW buani tidak tercantum, demikian juga dalam peraturan daerah Kabupaten Wakatobi tentang alat tangkap. 5.4 Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Pengelolaan dengan Sistem Zonasi Kesepakatan Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemkab) Wakatobi dan Balai TNW dalam pengelolaan kawasan seluas 1,3 juta hektar tersebut mencakup dua fokus yakni : (1) zonasi sebagai bagian dari sistem tata ruang kabupaten, (2) pengelolaan ruang pada daerah peisisir dan laut untuk pembangunan daerah mengacu pada tata zonasi TNW. Sehubungan dengan hal tersebut Pemkab Wakatobi telah menyusun rancangan peraturan daerah (raperda) yang memasukkan zonasi sebagai bagian dari sistem pengaturan ruang kabupaten. Demikian juga dalam Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Nomor 149/V-KK tahun 2007 tentang revisi zonasi TNW memasukkan daratan pulau-pulau se-wakatobi sebagai zona khusus daratan (ZK) dengan luas ± Ha atau 3% luas kawasan. 72

89 Zonasi TNW hasil revisi terdiri dari ZI dengan luas ± Ha, ZPB dengan luas ± Ha, ZPr dengan luas ± Ha, ZPL luas ± Ha, ZPU dengan luas ± Ha. Pengertian masing-masing zona adalah : a. Zona inti (ZI) adalah bagian taman nasional yang mutlak dilindungi. Berfungsi untuk perlindungan keanekaragaman hayati asli dan khas. b. Zona perlindungan bahari (ZPB) adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung ZI dan ZPL. c. Zona pemanfaatan lokal (ZPL) adalah zona yang dapat dimanfaatakan dan dikembangkan secara tradisional oleh masyrakat sekitarnya atau hanya untuk masyarakat lokal. d. Zona pemanfaatan umum (ZPU) adalah zona yang diperuntukan untuk perikanan laut dalam dan dapat dimanfaatkan oleh nelayan secara umum. e. Zona pariwisata adalah bagian taman nasional yang dimanfaatkan untuk pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya (TNW 2007). Pembagian wilayah dalam zonasi hasil revisi ditunjukkan gambar 4. Bagian yang diberi warna merah adalah ZI, ZPB ditunjukkan dengan bagian yang berwarna biru tua, ZPr ditunjukkan dengan bagian yang berwarna hijau. ZPL ditunjukkan dengan bagian yang berwarna coklat, dominan meliputi 62 % wilayah, sedangkan ZPU ditunjukkan dengan bagian yang berwarna hijau muda (meliputi ruang diluar warna coklat). Luas daerah larang tangkap yang ditunjukkan dengan warna merah (ZI), biru (ZPB), hijau (ZPr) meliputi 37% dan zona pemanfatan 64%. Pembagian wilayah dalam zona lama sesuai SK Dirjen PHPA Nomor. 198/Kpts/DJ/1997 tanggal 31 Desember 1997 ditunjukkan dalam gambar 5. Luas daerah larang ambil yang ditunjukkan dengan warna merah (ZI), biru (ZPB), hijau (ZPr) mencapai %, sedangkan daerah pemanfaatan masyarakat (warna coklat) hanya % dari luas kawasan. 73

90 Gambar 4 : Peta Zonasi baru TNW Sumber : Balai Taman Nasional Wakatobi Gambar 5 : Peta zonasi lama TNW Sumber : Diolah dari Balai Taman Nasional Wakatobi 74

91 5.4.2 Proses Revisi Zonasi TNW Revisi zonasi yang dsepakati Direktorat PHKA dan Pemda Kabupaten Wakatobi tahun 2007 merupakan hasil dari proses panjang mulai dari penggalian gagasan pengelolaan TNW, monitoring dan survey sumberdaya alam, penggalian gagasan sumberdaya penting, konsultasi publik tentang pengertian dan manfaat zonasi, konsultasi publik menata ruang zonasi, konsultasi publik tingkat nasional dan sosialisasi hasil konsultasi nasional, yang berlangsung Maret 2004 Desember Rekaman proses, materi, aspirasi dan hasil dapat dilihat pada Tabel 5. Dari proses ini dapat dilihat bahwa masyarakat berbicara dalam sudut pandang rasa memiliki sumberdaya alam, pengetahuan mereka akan manfaat kelestarian sumberdaya dan kepentingan hidup yang harus dilindungi. Hal ini sesuai dengan tujuan revisi yakni untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, melindungi sumber daya penting bagi kelestarian sumberdaya hayati dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal (TNW 2008). Proses revisi zonasi TNW dilakukan melalui tahapan membangun presepsi pengelolaan taman nasional, monitoring sumberdaya, pengkajian efektivitas TNW yang dilakukan tim independen dari pemerintah, LIPI dan perguruan tinggi (IPB dan Unhalu). Tahapan berikutnya adalah kompilasi hasil survey monitoring sumberdaya biofisik kawasan dengan informasi dari pengalaman masyarakat yang menghasilkan peta lokasi sumberdaya hayati penting dan peta lokasi pemanfaatan kawasan (resource use). Informasi dari masyarakat tentang lokasi penting yang mereka ketahui berdasarkan pengalaman mereka dan lokasi pemanfaatan sumberdaya yang mencakup jenis pemanfaatan, pihak yang memanfaatkan didapatkan melalui dua kegiatan yakni monitoring langsung di laut dan diskusi mulai dari rumah, kelompok, kampung, desa, kecamatan, pulau dan kabupaten fokus mulai tahun Peta sumberdaya penting dan lokasi pemanfaatan kemudian dikembalikan kedalam diskusi masyarakat mulai dari rumah, kelompok, kampung, desa, kecamatan, pulau dan kabupaten untuk mengkonsultasikan mana dari informasi dalam peta yang menurut masyarakat penting untuk dilindungi. 75

92 Tabel 5 : Proses Revisi Zonasi TNW Waktu dan Tempat Proses Materi Peserta Aspirasi Hasil Maret Juli 2004, 5 kecamatan, 64 desa se Wakatobi, pada sekitar 190 titik tempat diskusi Diskusi kampung Pengelolaan kawasan dengan alat bantu lembar jurnal diskusi Kelompok-kelompok masyarakat dalam unit kelompok lingkungan perumahan, dusun (peserta mulai dari 2-5 orang) tiap tempat Masyarakat lebih duluan/turun temutun mengelola kawasan, pemerintah berantasa bom, bius. Tidak mengetahui zonasi, tidak mengetahui pengelolaan taman nasional tetapi mengenal jagawana (polhut), mayoritas masyarakat tidak bisa membedakan taman nasional, perusahaan pariwisata laut (PMA) yang beroperasi di pulau Tomia bersamaan dengan pembentukan TNW tahun 1996 dan Operation Wallace di pulau Hoga Jurnal pertemuan kampung berisi gambaran isu dominan dalam mayarakat kawasan dan informasi pihak (individu) yang selalu dominan dalam diskusi setiap kampong List name tokoh kampung untuk diskusi tingkat desa Agustus - Desember 2004 FGD pengguna sumber daya di 64 desa Pengguna sumber daya, jenis penggunaan, lokasi dan hasil yang diperoleh 4-8 nelayan, pemerintah desa Peningkatan hasil, bantuan permodalan, peningkatan kapasitas Data pengguna sumber daya laut 64 desa, wilayah tangkap, jenis alat 76

93 Pelibatan kelompok/lembagalembaga kampung Penyebarluasan pengelolaan kawasan, pelestarian terumbu karang melalui kegiatan sekolah, kelompok nelayan, papan informasi 10 ksm di 4 pulau Perlu pengetahuan biota yang dilindungi, kegiatan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan masyarakat List name berdasarkan penggunaan sumber daya laut untuk diskusi tingkat desa Gambaran pola berkelompok, isu yang sering menjadi pembahasan (konsen) dan pengetahuan yang perlu ditingkatkan Pertemuan desa Isu bersama pengelolaan sumber daya laut di desa, Kepala desa dan aparatnya, dan nelayan, peserta orang/tiap desa Petugas taman nasional harus sering turun lapangan melakuka pengaman dan sosialisasi kepada masyarakat, bantuan untuk pemberdayaan nelayan, pengamanan melibatkan masyarakat Rekomendasi untuk TN, sistem perwakilan, daftar nama wakil desa pada pertemuan pulau, daftar nama wakil pengamanan kawasan dari masyarakat desa Sistem perwakilan pertemuan tingkat pulau, Agenda pertemuan tingkat pulau 77

94 Lokakarya pulau (kecamatan) Prosentase isu-isu hasil kompilasi dikusi kampung, FGD, hasil monitoring survey biofisik dan resources use kawasan dan pengelolaan TN 3 orang tiap desa (kades, wakil pengaman, wakil nelayan) Penanggulangan bom, bius, nelayan luar, taman nasional akan mengambil alih hak masyarakat, zonasi tidak diperlukan, masyarakat harus terlibat dalam pengelolaan dan pengamanan, kegiatan pemberdayaan Isu-isu yang akan diperjuangkan pulau pada pertemuan tingkat kabupaten, sistem perwakilan dalam pertemuan kabupaten terdidi dari wakil pemerintah kecamatan, perwakilan kepala desa, perwakilan nelayan/masyarakat (biasanya langsung menunjuk tokoh nelayan) Januari 2005 Lokakarya kabupaten Pembentukan fasilitator pulau Pembahasan isu tiap pulau, program pemerintah daerah dan TN Kriteria fasilitator, kerangka acuan kegiatan Tiap pulau diwakili, camat, polsek, TNI, 5-6 wakil nelayan/perempuan, wakil kepala desa 3 tiap pulau, wakil DKP (pemda), Bappeda, AL, TNW masyarakat yang datang sukarela 2 orang pulau Binongko, 3 orang pulau Tomia, 2 orang pulau kaledupa, 2 orang pulau Wangi- Wangi Pegelolaan TN perlu melibatkan masyarakat, patroli bersama pemda, asyarakat dan TNW Revisi zonasi sehingga tidak merugikan masyarakat, pembentukan forum konsultasi ditiap pulau yang beranggotakan wakil nelayan tiap desa fasilitator berasal dari warga pulau bersangkutan Perencanaan pengelolaan kolaboratif, rencana peningkatan kapasitas wakil masyarakat nelayan, rencana revisi zonasi, rencana patroli bersama, rekomendasi pemberdayaan ekonomi masyarakat, rencana pembentukan forum konsultasi ditingkat pulau dan kabupaten Fasilitator pulau 2 orang dari Binongko, 3 orang Tomia, 2 orang Kaledupa, 2 orang Wangi-Wangi. Tugas fasilitator memfasilitasi pertemuan-pertemuan forum konsultasi, memasilitasi peningkatan kapasitas wakil nelayan dalam forum konsultasi, memfasilitasi dengan mitra peningkatakan kapasitas dari TNC/WWF 78

95 Februari - Juli Diskusi desa Pembentukan forum konsutasi, kegunaan dan tujuan 5-10 orang Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan Wakil desa dalam forum konsultasi lokakarya pulau (kecamatan) Pembentukan forum konsutasi pulau, mekanisme forum Anggota forum tingkat pulau wakil pulau dalam forum kabupaten 4 orang nelayan Binongko, 6 nelayan Tomia, 6 nelayan Kedupa, 6 nekayan Wangi-wangi, wakil pemerintah kecamatan, rancangan mekanisme forum Agustus - Desember 2005 Perception Monitoring Pertemuan Regular Forum Konsultasi kabupaten Penelitian sosial ekonomi, persepsi tentang TN, pengelolaan, pengamanan pembuatan mekanisme forum, agenda kegiatan 30 KK dan 10 desa 35 orang wakil nelayan, pemerintah Pengamanan kawasan oleh TN, polisi dan pemerintah desa, peningkatan mata pencaharian, Pelatihan-pelaihan peningkatan kapasitas, revisi zonasi forum harus berperan, SK (legitimasi) anggota forum dari TNW 60 % mengatakan perlu pengaman intensif TN, semua menginginkan pemerintah meningkatkan mata pencahrian masyarakat, memahami manfaat pelestarian tetapi sulit berperan langsung. Mekanisme forum, kegiatan forum dalam mebingkatkan kapasitas nelayan, mendorong pengelolaan kolaborasi, revisi zonasi yang melibatkan masyarakat, pertemuan regular forum pulau 3 bulan 1 kali, forum kabupaten 1 tahun 3 kali, forum independen sehingga tidak perlu SK 79

96 Pulau Hoga Kaledupa Pelatihan peningkatan kapasitas Community Organizing, Analisis sosial, Marine protected area 25 orang tiap pelatihan utusan wakil-wakil nelayan dalam forum konsultasi tiap pulau Pembentukan organisasi nelayan tiap pulau untuk memperkuat perjuangan nelayan Peserta membentuk kelompok nelayan/revitalisasi kelompok dengan tiga indikator : aturan bersama, aset bersama dan cita-cita dan aktivitas yang seprofesi Pengkajian efektivitas pengelolaan TNKW oleh tim independen PHKA, LIPI, IPB, UNHALU, PEMDA WAKATOBI, BTNW Pengelolaan TNKW Dilakukan tiap pulau dan kabupaten, peserta wakil masyarakat, pemerintah desa, camat, koramil, polsek, instansi terkait, DPRD revisi zonasi, pemberdayaan masyarakat Arahan revisi zonasi Januari - Maret 2006 April - September di 64 desa Sosialisasi sumber daya penting kawasan hasil monitoring dan survey Pengumpulan Pendapat Masyarakat dalam dokumen hasil Marxan tentang sumber daya penting Peta sumberdaya penting hasil monitoring survey dan informasi dari masyarakat Peta hasil marxan, nilai penting sumber daya dan daftar pertanyaan sumber daya mana yang penting dilndungi 10 respondensetiap desa pada 64 desa 10 respondensetiap desa pada 64 desa Perlindungan sumber daya penting Titik-titik yang perlu dilindungi dan tidak Perlu zona-zona perlindungan yang tidak diganggu Cara melindungi adalah dengan zona perlindungan yang tidak diganggu, cara melindungi dengan membuat pos jaga, cara melindungi dengan membatasi alat tangkap tetapi tidak perlu ditutup 80

97 Oktober - November di empat pulau dimulai dari Binongko, Tomia, Kaledupa, Wangi- Wangi Desember di ibukota Wangi- Wangi 2007, Februari 2007, Maret- April Konsultasi publik zonasi tingkat pulau (gabungan kecamatan karena tiap pulau sudah mekar jadi 2 kecamatan) Konsultasi publik tingkat kabupaten Konsultasi nasional Konsultasi publik tahap 2 tingkat desa/kampung Prosentase hasil sosialisasi sumber daya penting, hasil marxan, prosentase penegrtian zonasi, prosentase rencana pengembangan daerah oleh pemda Hasil lokakarya kabupaten, hasil sosialisasi sumber daya penting, hasil marxan Peta hasil pleno kabupaten, aspirasi hasil pleno kabupaten Hasil konsultasi BTNW dan Pemda dengan PHKA Wakil nelayan dalam forum konsultasi tiap desa, wakil pengamanan masyarakat, ketua BPD, kepala desa, forum nelayan tiap pulau Wakil nelayan dalam forum konsultasi, kades, Camat, TNI, Polres, Bappeda, BTNW DKP, Dispar, Dishub, Sekretariat daerah Pemda, BTNW PHKA, Tokoh masyarakat Wakatobi, Mahasiswa Wakatobi Jabodetabek Masyarakat, BPD, pemerintah desa Zonasi harus disertai peningkatan kesejahteraan, jangan diterapkan sebelum dipahami, perlu tanda batas yang jelas, tdak mengorbankan hak-hak masyarakat yang ada turuntemurun Dapat memahami manfaat zonasi tetapi sayaratnya tidak mengganggu kehidupan masyarakat nelayan Pemerintah pusat menganggap zona inti terlalu sedikit (),3 %), pemerintah daerah dan BTNW mengatakan itulah hasil aspirasi masyarakat Hasil revisi perlu disebarluaskan, pemasangan tanda-tanda batas. Sepakat belum membuat peta tetapi membuat kriteria zona : perlestarian sumber daya dan tidak mengganggu kehidupan masyarakat. Memilih utusan untuk lokakarya kabupaten Draf peta zonasi hasil pleno Peta zonasi hasil revisi Persetujuan peta dan perencanaan pemasangan tanda Konsultasi publik tahap 2 tingkat pulau/kecamatan Hasil konsultasi publik tingkat desa Wakil nelayan dalam forum konsultasi tiap desa, wakil pengamanan masyarakat, ketua BPD, kepala desa, forum nelayan tiap pulau Hasil revisi perlu disebarluaskan, pemasangan tanda-tanda batas. Hasil revisi perlu disebarluaskan, pemasangan tanda-tanda batas. 81

98 Juli 2007 Konsultasi publik 2 tingkat kabupaten Konsultasi publik tingkat nasional 2 Hasil revisi perlu disebarluaskan, pemasangan tanda-tanda batas. Hasil konsultasi publik tingkat kabupaten Wakil nelayan dalam forum konsultasi, kades, Camat, TNI, Polres, Bappeda, BTNW DKP, Dispar, Dishub, Sekretariat daerah Pemda, BTNW PHKA Pelibatan masyarakat dalam pemasangan tanda-tanda batas Zonasi menjadi bagian dari perda tata ruang kabupaten Pembentukan pos informasi zonasi ditingkat desa/kampung Penanda tanganan revisi zonasi oleh Bupati Wakatobi dan Dirjen PHKA 82

99 Hasil diskusi peta dibahas dalam konsultasi publik tingkat pulau yang dihadiri perwakilan nelayan desa, tokoh masyarakat, kepala desa, BPD, pemerintah kecamatan, instanasi Pemda terkait yakni Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata, Dinas Pekerjaan Umum dan Perhubungan, BAPPEDA dan unsur BTNW, Koramil dan Polsek. Hasil konsultasi berupa rancangan peta zonasi berdasarkan aspirasi tiap pulau dibawa dalam forum konsultasi tingkat kabupaten untuk didiskusikan. Disamping hasil berupa dokument, konsultasi pulau juga merekomendasikan orang-orang yang akan menjadi perwakilan pulau dalam konsultasi kabupaten terdiri dari unsur Muspika, perwakilan pemerintah desa dan nelayan. Draft peta hasil konsultasi publik kabupaten kemudian diberikan kepada BTNW dan Pemda Kabupaten untuk dikonsultasikan kepada stakeholders tingkat nasional. Hasil konsultasi nasional dikembalikan lagi ke daerah dan dilakukan konsultasi tahap 2 mulai dari desa, pulau dan kabupaten. Hasil akhir dibawa kedalam konsultasi nasional yang kemudian melahirkan kesepakatan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi yang ditanda tangani kedua belah pihak. Selain peta zonasi, hasil konsultasi nasional juga menguraikan kegiatan yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan sesuai karakter masing-masing zonasi. Kesesuaian kegiatan berdasarkan zonasi ditunjukkan pada Tabel 6. Seperti diuraikan sebelumnya kegiatan-kegiatan sesuai zoanasi TNW banyak yang tidak tepat dengan kegiatan yang lazim dilakukan dalam sistem tradisional, misalnya penggunaan alat tangkap yang sesuai bentuk dan cara beroperasinya hanya memungkinkan dipergunakan pada perairan dangkap tetapi dalam sistem zonasi dicantumkan bahwa alat tersebut juga dapat digunakan pada ZPU yang secara fisik merupakan perairan laut dalam. Alat tangkap ompo, bubu, kegiatan meti-meti, memanah ikan secara umum hanya dapat dilakukan di perairan dangkal terutama pesisir kampung dan karang atol namun dalam sistem zonasi juga dicantumkan sebagai alat tangkap dan kegiatan dalam ZPU. 83

100 Tabel 6 : Kesesuain Kegiatan Berdasarkan Zonasi TNW Zona Inti Zona Zona Zona Perlindungan Pemanfaatan Pemanfaatan Bahari Lokal Umum Zona Pariwisata Kegiatan F T F T F T F T F T Mancing tradisional x ijin x v v v v v x v Pancing dasar x ijin x v v v v x x v Budidaya x x x v v ijin v x x v Polo (bubu) x v x v v v v x x v Ompo (sero) x x x v v ijin v x x v Menyelam teripang, lobster, kerang x x x v v x v x x v Memanah ikan x x x v v v v x x v Meti-meti (mengambil biota laut) x ijin x v v v v x x x Pemasangan rumpon x x x x v x v x x v Perahu pelingkar x x x x v x v x x x Bagan x x x x v x v x x x Penelitian ijin ijin ijin v ijin ijin ijin v ijin v Berlayar melintas x v v v v v v v v v Berlayar dan berlabuh x ijin v v v v v v v v Wisata x ijin ijin v ijin ijin ijin v ijin v Restorasi x ijin v v v v v v v v Pendidikan ijin ijin ijin v v v v v v v Upacara adat, ritual agama, situs sejarah dan budaya ijin v ijin v v v v v v v Keterangan : F peraturan secara forma sesuai peruntukan zona T peraturan dalam sistem tradisional a. sistem formal X kegiatan yang tidak boleh dilakukan V kegiatan yang boleh dilakukan Ijin adalah kegiatan yang boleh dilakukan dengan mengajukan ijin ke Balai TNW. 84

101 b. Tradisi X kegiatan yang tidak pernah dilakukan selama ini, V kegiatan yang biasa dilakukan Ijin adalah kegiatan yang dapat dilakukan nelayan luar atas ijin pemilik fishery right adat. 5.5 Perbandingan Prinsip Pengelolaan Formal dan Tradisional Antara sistem tradisional dengan sistem formal TNW terdapat kesamaankesamaan baik bentuk dan tujuan pengelolaan meskipun juga terdapat perbedaanperbedaan. Prinsip-prinsip yang sama dan berbeda dalam pengelolaan dapat dilihat pada tabel Strategi Pengelolaan oleh Masyarakat Adat Pemetaan Wilayah Kelompok Adat Pada saat ini kadie telah berkembang menjadi beberapa desa bahkan ada yang merupakan gabungan dari potongan-potongan kadie, contoh Desa Te e Moane di Pulau Tomia wilayahnya berada dalam wilayah Kawati Tongano dan Waha. Dengan demikian tahapan pertama dalam merekonstruksi kearifan masyarakat harus dimulai dengan pemetaan wilayah kadie untuk tujuan mengetahui bentang wilayah dan batas kadie serta mengangkat pengetahuan masyarakat tentang potensi wilayah baik sosial maupun sumberdaya alam. Pemetaan dapat menjadi media untuk menyebarluaskan tujuan dan manfaat pengelolaan dengan sistem tradisional. Pencapaian misi komunikasi ini penting mengingat struktur masyarakat yang saat ini sudah merupakan percampuran generasi tua dengan pengetahuan tradisional dan generasi baru Peningkatan Pemahaman Pemerintah Tahapan setelah pemetaan adalah outreach dan awarenes pengetahuan tradisional tentang wilayah kepada pihak pemerintah. Kegiatan ini penting untuk meningkatkan pemahaman dan menghindarkan salah pengertian mengingat peran pemerintah sangat penting dalam proses pemulihan sistem tradisional. 85

102 Tabel 7 : Perbandingan Prinsip Pengelolaan Aspek Pengelolaan Sistem Formal Sistem Tradisional Analisis Persamaan Analisis perbedaan Regulasi Pengaturan melalui SK Dirjen PHKA tentang znasi, Perda Kabupaten dan Perdes DPL Pengaturan melalui hukum adat yang dikeluarkan sara Prinsip pengaturan pemanfaatan Sistem formal pengambilan keputusan pengaturan berada di luar komunitas, kecuali perdes DPL yang Kelembagaan Balai Taman Nasinal Wakatobi, Pemerintah Daerah Wakatobi Sara Kadie Pengelolaan terlebagakan Lembaga pengelola berada diluar kuasa komunitas pada sisitem formal tetapi pada sistem tradisional lembaga pengelola merupakan bagian dari komunitas. Wilayah kelola Pengaturan zonasi dalam skala luas mengatur seluruh wilayah kepulauan Wakatobi Pengaturan ruang dalam unit kecil yakni tiap kelompok wilayah adat kadie, berdasarkan wilayah adat, zona penggunaan Prinsip pengaturan pemanfaatan Pengaturan wilayah dalam unit kuasa tiap kelompok adat yang memiliki kewenangan mengatur sendiri. alat tangkap. Memiliki zona inti (larang tangkap), zona perlindungan bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, zona khusus pulau Memiliki zona pemanfaatan da zona perlindungan (wehai, monea nu sara dan pemali) Pesisir kampung merupakan fishing right nelayan kadie, tetapi nelayan luar diperbolehkan dengan pembatasan alat tangkap Pengaturan wilayah tangkap (1) Nelayan/kelompok nelayan memiliki hak kelola atas wilayah tertentu atas nama adat. (2) zona pemanfaatan yang hanya dikhususkan pada nelayan lokal kampung dalam wilayah adat kampung pada 86

103 Memiliki zona pemanfaatan sistem tradisional sehingga ada khusus kelompok pada jenis alat perlindungan untuk nelayan tangkap ompo, katondo. dalam kampung yang memiliki Memiliki zona pemanfaatan kemampuan sarana perikanan khusus dengan sistem huma atau terbatas, sedangkan pada zona loma untuk pengguna alat tangkap pemanfaatan lokal TNW yang polo (bubu) dimaksud denga nelayan lokal adalah nelayan lokal seluruh Wakatobi. Alat tangkap Pelarangan alat tangkap yang Pelarangan penggunaan tuba, Pelarangan penggunaan Alat bantu penangkapan seperti merusak seperti bom, bius, dan pandita (tidak pada semua peralataan tangkap yang wadah pengumpul diatur kegiatan perusakan ekosistem wilayah adat), bom dan merusak penggunaan alat bantu penangapan yang tertutup seperti karung. Penggunaan alat tangkap Penggunaan alat tangkap Pengatura alat tangkap Pada sistem formal pengaturan berdasarkan zonasi berdasarkan zona kelompok berdasarkan zonasi (wilayah) berlaku umum dalam satuan pengguna alat wilayah seluruh Wakatobi, dalam sisitem tradisional berlaku setiap satuan wilayah adat dan kelompok pengguna misalnya penggunaan alat apapun disekitar alat tangkap ompo tidak dibenarkan. 87

104 Pemanfaatan biota laut Tidak membolehkan pengambilan biota yang dilindungi undangundang. Ikan napoleon, barakuda, kurapu dan ikan putih disebut ikan nu sara sehingga nelayan tidak menangkap ikan tersebut sebagai target. Pembatasan pengambilan biota laut tertentu Pengambilan biota laut tidak diperkenankan menggunakan wadah tertutup seperti karung Sanksi Sanksi peringatan dan hukum Sanksi sosial dan hoko da o Terdapat sanksi berdasarkan hukum terhadap pelaku pelanggaran Pembatasan pengambilan biota mengacu pada alat dan alat bantu penangkapan Sanksi sosial yang diberlakukan masyarakat atas pelaku 88

105 5.6.3 Musyawarah Kadie dan Antar Kadie Musyawarah kadie dilakukan untuk menyamakan presepsi antara masyarakat yang sudah terbagi-bagi dalam wilayah administrasi pemerintahan desa yang berbeda-beda. Kemungkinan adanya nilai baru seperti ego desa bisa saja terjadi mengingat kuatnya kepentingan ekonomi dan politik aktor lokal dari masing-masing desa. Dengan demikian musyawarah kadie efektif untuk menyepakati nilai-nilai yang akan direvitalisasi dan pelembagaan yang tidak tumpang tindih dengan peran lembaga desa atau tidak mengganggu posisi politik pejabat-pejabat desa. Hasil musyawarah kadie akan menguatkan peta wilayah, narasi kearifan yang dituangkan dalam bentuk profil kearifan tradisional kadie. Kesepakatan kadie kemudian ditindak lanjuti dengan musyawarah antara wakil-wakil kadie yang akan berguna engidentifikasi dari awal persoalan-persoalan batas wilayah dan pembuatan agenda strategi perjuangan bersama Musyawarah Kolaboratif Pada level ini wakil kelompok masyarakat adat dan pemerintah duduk bersama untuk membangun persepsi yang sama mengenai persoalan substansi kolaborasi sebagaimana yang dimaksud Widodo dan Suadi (2005) sebagai pendekatan ruang pembagian tugas dan tanggung jawab pemerintah dan pemangku kepentingan. Melihat proses yang dikonstruksi dalam penelitian ini, model kolaborasi yang akan dibangun adalah kolanorasi sistem bukan kolaborasi aktor-aktor yang berada dalam kawasan. Kolaborasi sistem adalah penyelenggaraan pengelolaan kawasan yang mengakomodir sistem tradisional masyarakat lokal yang karena latar belakang historis dikenal pemilik property right atas kawasan berupa hak ulayat sesuai sistem adatnya. Musyawarah kolaborasi pada level ini penting mengingat masih adanya kesenjangan pengelolaan pada wilayah atol (pasi) Kaledupa dan Kapota dimana sebagian wilayah kelola tradisional sistem huma tersebut masuk dalam wilayah ZPB, wilayah Kadie Mandati yakni sebagian Karang Sousu menjadi ZPr dan sebagian 89

106 Karang Matahora menjadi ZPB. Hasil yang diharapkan dalam tahapan ini adalah kesepakatan konservasi yang dapat meliputi : a. Peengelolaan dalam wilayah kadie dilakukan dengan sistem adat kadie. b. Pembagian peran kelompok masyarakat adat dan pemerintah dalam pengelolaan wilayah tangkap tradisional yang dimanfaatkan masyarakat lintas kadie seperti di atol Kaledupa, Kapota, Moromaho sehubungan dengan karang atol tersebut sebagian menjadi ZPB dan ZPr. c. Legitimasi pengelolaan berdasarkan adat kadie oleh pemerintah. Melihat faktanya bahwa sebagian besar wilayah adat kadie adalah ZPL maka secara operasional pengaturan adat atas wilayah tersebut seharusnya dapat dilakukan. Teori-teori desentralisasi dan perundang-undangan seperti UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau keci, Undang-Undang Perikanan dan zonasi TNW sendiri merupakan justifikasi terhadap pengaturan dengan kearifan adat Proses Legalitas Status hukum kesepakatan pengelolaan dengan kearifan adat dalam kerangka kolaborasi pengelolaan TNW sangat penting bagi masyarakat dan pemerintah agar menjadi kepatuhan bagi semua pihak termasuk pihak-pihak pengguna sumberdaya seperti nelayan luar dan pengusaha Strategi Pengelolaan Strategi pengelolaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah kolaborasi sistem formal dan sistem tradisional. Kolaborasi sistem yang dicapai melalui perpaduan sistem hukum adat dan hukum negara ialah apabila sumber daya tidak diatur dalam adat maka hukum negara dapat mengisi pengaturannya. Sebaliknya pada wilayah yang memiliki kearifan adat maka hukum adat yang mengaturnya. Apabila sistem formal dan sistem tradisional sama-sama dapat berfungsi maka pada operasionalnya mengutamakan hukum adat karena kearifan 90

107 lokal tersebut sesuai pengetahuan, kondisi, pengalaman dan sejarah masyarakat (Uluk et al 2001). Seperti dijelaskan pada bagian awal bahwa Kepulauan Wakatobi menjadi taman nasional sekaligus kabupaten dan secara historis merupkan wilayah adat dari kadie-kadie, pada saat ini secara kelembagaan pengurus kawasan adalah TNW dan Pemkab Wakatobi. Sedangkan peranan kelembagaan adat pudar seiring melemahnya peran lembaga sara kadie. Tetapi dalam praktek hidup sehari-hari sumber daya milik kadie seperti tanah, hutan dan laut tetap dianggap milik sara merupakan justifikasi pemilikan bersama masyarakat desa atau gabungan desa bekas wilayah kadie. Pada beberapa kasus pengurus atau penegak prinsip-prinsip sumberdaya milik sara adalah pemerintah desa atau gabungan pemerintah desa bekas kadie atas nama sara. Model pembuatan keputusan untuk kasus semacam itu adalah musyawarah bersama diwakili kepala desa, kepala kampung dan tokoh-tokoh masyarakat. Contohnya isu alih fungsi tanah adat untuk bangunan pemerintah pada bekas kadie Liya maka 5 kepala desa menfasilitasi pertemuan musyawarah adat yang dihadiri tokoh-tokoh adat dan masyarakat untuk membahasnya. Tempat musyawarah balai adat kadie yang disebut baruga, tempat yang pada masa sara kadie digunakan hanya untuk musyawarah sara. Kebiasaan representasi diri (dari pemerintah desa) dan tokoh-tokoh masyarakat sebagai sara seperti ini terjadi setelah secara kelembagaan sara kadie bubar tahun sekitar Keputusan musyawarah bersama tersebut disebut peraturan adat. Untuk mengetahui kondisi kelembagaan dalam kawasan TNW saat ini dapat dilihat dalam tabel 8 yang menguraikan peran penting tiga komponen institusi yang memiliki kewenangan dalam kawasan TNW saat ini yaitu Pemkab, TNW dan sara kadie. Batas yurisdiksi kadie, Pemkab (melalui desa) dan TNW (melaui SPTN) sebagai berbeda-beda baik wilayah maupun kewenangan. 91

108 Tabel 8 : Analisis Kelembagaan Lokal Aspek Kelembagaan Kadie Pemerintah daerah (Desa) TNW (SPTN) Batas yurisdiksi Wilayah 1 kadie sekarang terdiri dari desa dengan wilayah mulai dari darat, daerah coastal dan pulaupulau pendukung dan daerah coastalnya. Wilayah desa terdiri dari darat dan pesisir Wilayah desa terdiri dari wilayah darat saja 1 STPN mengelola pulau utama meliputi daerah coastal, laut dalam dan karang atol Kewenangan Menentukan aturan, mengeluarkan izin, menegakan sanksi Menjalankan peraturan daerah, instruksi atasan, membuat perdes bersama BPD Pengawasan, monitoring, penegakan hukum Apa Sumberdaya milik komunal Sumberdaya milik negara dan milik mperorangan Sumberdaya milik negara Property right Siapa Secara formal dimiliki sara Pemerintah dan perorangan Pemerintah mewakili negara Rule of game Siapa sara Pemerintah desa SPTN Layanan Berwenang administrasi membuat hukum kegiatan warga, Menjalankan adat pengelolaan Peran membuat perdes, peraturan pengelolaan sumberdaya alam, menjalankan TNW patuh pada sara peraturan daerah kerajaan dan instruksi atasan Kadie yang saat ini terdiri dari beberapa desa memiliki kewenangan membuat aturan dan menegakkannya, sama dengan desa tetapi batas kewenangan desa hanya dalam wilayah desanya. Artinya jika desa tersebut hanya merupakan salah satu dari beberapa desa yang merupakan bekas wilayah kadie maka aturan desa tentu tidak berpengaruh pada desa lainnya. Kesulitannya adalah sangat mungkin akan terdapat aturan yang berbeda-beda untuk sumberdaya alam yang dimiliki bersama kelompok adat kadie akibat pembuat aturan adalah desa yang berbeda-beda. 92

109 Baik kadie, desa dan SPTN sebagai unit pengelola wilayah terkecil memiliki kewajiban menjalankan aturan dari instansi di atasnya, tetapi hal yang membedakan adalah SPTN tidak memiliki wewenang membuat aturan sebagaimana kadie dan desa. Selain gap yurisdiksi, secara nyata terdapat 3 pihak yang memiliki peranan dalam pengelolaan dengan tugas dan kewenangan-kewenangan yang berbeda. Gap ini tidak dapat diselesaikan dalam tingkat desa atau kadie. Kasepakatan yang harus dibangun pada level kabupaten adalah antara kadie (mewakili wilayah adat dan gabungan desa dalam wilayah kadie) dengan Pemerintah Kabupaten Wakatobi, BTNW/PHKA atau Menteri Kehutanan sebagai pihak yang membuat keputusan penetapan taman nasional. Isi kesepakatan adalah tentang prinsip pengelolan TNW yang diadopsi dari sistem formal dan sistem tradisional. 93

110 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian mengenai Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat Adat dalam Taman Nasional Wakatobi dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Dalam sistem tradisional sumberdaya laut adalah milik bersama (communal property right). Secara formal menjadi milik sara kadie, dengan kewenangan desentralistik dari sara kesultanan mengatur pemanfaatan sumberdaya laut berdasarkan pendekatan pembagian ruang yakni ruang pemanfaatan, perlindungan baik berdasarkan penetapan sara maupun sistus keramat. Terdapat juga lokasi pemanfaatan terbatas dengan pembatasan alat tangkap dan pemanfaatan melalui izin pada sara. Selain itu pengaturan berdasarkan alat tangkap terdiri dari alat tangkap yang hanya dapat digunakan nelayan lokal dan alat tangkap yang boleh digunakan nelayan luar, dimaksudkan untuk melindungi nelayan kampung yang memiliki peralatan terbatas dari persaingan dan konflik ruang. Yang dimaksud nelayan luar dalam sistem tradisional adalah nelayan luar kadie. Meskipun sumberdaya adalah milik bersama, sara kadie dapat memberikan kuasa pengelolaan kepada kelompok masyarakat atau individu atas wilayah laut tertentu untuk alat tangkap ompo dan katondo, dimana lokasi tersebut tidak dapat digunakan nelayan lain sampai pengelolanya menyerahkan kembali kepada sara. b. Dalam sistem zonasi TNW, wilayah ulayat kadie Liya, mandati, Wanci, Kapota umumnya menjadi ZPL yang berarti hanya dapat dimanfaatkan nelayan lokal (Wakatobi), selain itu sebagian kecil (1,7 % ) karang di wilayah ulayat tersebut merupakan ZPr dan ZPB (1,2%). Lokasi ZPr berada di pantai Kampung Sousu Pulau Wangi-Wangi bagian timur secara 94

111 tradisional juga dimanfaatkan terbatas yakni nelayan luar tidak dapat menggunakan alat tangkap yang dapat menangkap ikan dalam jumlah banyak, dimasudkan sebagai lokasi cadangan perikanan warga kampung Sousu saat ombak musim timur tiba. Sedangkan ZPB berada di sekitar lagun Kampung Bontu Matahora dimana lokasi tersebut menjadi Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Matahora dan juga dilindungi secara adat. c. Perbedaan utama pengelolaan sistem formal dan sistem tradisional adalah lembaga pengelola, kewenangan dan luas wilayah. Dalam sistem formal Balai TNW memiliki kewenangan menjalankan hukum yang dibuat pemerintah pusat dengan wilayah mencakup seluruh kawasan sedangkan dalam sistem tradisional sara kadie berwenang membuat dan menjalankan peraturan adat dan wilayah yurisdiksinya lebih kecil, hanya sebatas wliayah kadie. Wilayah Karang Kaledupa, Kapota dalam sistem tardisional dikelola dengan sistem huma. Pemilik huma memiliki kuasa po adati yi pasi (adat istiadat di karang atol) yang dapat menentukan pengaturan wilayah tangkap, izin, penggunaan alat bagi pengguna sumberdaya (resources use). d. Strategi pengelolaan TNW yang tepat adalah kolaborasi sistem formal dan sistem tradisional yakni memasukkan prinsip-prinsip pengelolaan tradisional masyarakat adat ke dalam prinsip-prinsip pengelolaan formal TNW. Bentuknya pengelolaan kolaborasi adalah pembagian ruang yurisdiksi yakni wilayah adat kadie dikelola dengan kelembagaan adat dan diluar itu diberlakukan pengelolaan dengan sistem formal. Lokasi huma yang berimpit dengan ZPB Karang Kaledupa dan ZPr Karang Kapota dikelola dengan memfungsikan secara bersama sistem huma dan sistem formal. Pelanggaran pengelolaan yang bersifat pidana seperti destruktif fishing, pencurian, pencemaran, diselesaikan dengan hukum formal TNW dan sengketa perdata seperti pelanggaran dan perebutan wilayah tangkap diselesaikan dengan hukum adat. Meskipun wilayah ulayat dikelola 95

112 dengan adat tetapi secara keseluruhan baik wilayah ulayat kadie maupun luar ulayat kadie tetap dalam prespektif TNW, artinya peraturan TNW melegitimasi peraturan adat yang mengatur wilayah ulayat kadie. 6.2 Saran Upaya desentralisasi dan penghormatan pada kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya laut dapat menyumbang secara positif pelestarian keanekaragaman hayati dalam kawasan TNW, oleh sebab itu sangat penting untuk diperhatian saran berikut : a. Agar nilai-nilai kearifan tradisional masyarakat adat dapat dikolaborasiskan dengan sistem formal perlu review sistem pengelolaan TNW dengan memasukkan nilai-nilai pengelolaan berdasarkan sistem tradisional masyarakat adat Wakatobi. b. Sangat penting bagi masyarakat dan pemerintah memahami bahwa memasukkan kearifan tradisional masyarakat adat dalam sistem pengelolaan bukanlah upaya meniadakan peran negara melalui pemerintah, tetapi dalam kerangka meningkatkan efektifitas, efisiensi melalui peningkatan partisipasi masyarakat. c. Upaya penerapan kearifan masyarakat harus didahului dengan peningkatan pengetahuan masyarakat dan pemerintah agar upaya kontruksi kearifan tidak dimaknai sebagai pembangkitan kembali semangat feodal dan struktur tradisional kelas sosial masyarakat tetapi kebih pada ihtiar pewujudkan pengelolaan yang partsisipatif dan membawa dampak positif bagi lingkungan dan kesejahteraan. 96

113 DAFTAR PUSTAKA Abubakar Aneka Ragam Bahasa Pergaulan Masyarakat Di daerah Sulawesi Tenggara. Majalah Wolio Molagi Edisi 06, Januari-Februari 2000, Kendari. Adimihardja K Dinamika Budaya Lokal. CV. Indra Prahasta dan Pusat Kajian LBPB, Bandung. Afifuddin dan Saebani B Metodologi Penelitian Kualitatif. CV Pustaka Setia, Bandung. Arafah N dan Manan A Studi Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Kearifan Tradisional di Pulau Kecil. Jurnal Manusia dan Lingkungan Vol. VII, 2 Agustus 2000, Pusat Studi Lingkungan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Wakatobi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Wakatobi, Wakatobi. Dahuri R, Rais J, Ginting S dan Sitepu J Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. [DEPHUT] Departemen Kehutanan Republik Indonesia Pengelolaan Kolaboratif. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.19/Menhut-II/2004. Endah (dalam Adnan H, Tadjudin Dj, E Yuliani, Komarudin H, Lopulalan D, Siagian Y dan Munggoro D) Belajar dari Bungo Mengelola Sumber Daya Alam di Era Desentralisasi. CIFOR, Bogor. Fauzi A Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT.Gramedia Pusaka Utama, Jakarta. Hidayat Z Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. PT. Pustaka LP3ES, Jakarta. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Laporan Studi Hubungan Korelasi Jaringan Perdagangan antara Pengusaha Wangi-Wangi dengan Masyarakat, Kendari. Mitchell B, Setiawan B dan Rahmi DH Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Nababan A Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Adat. pb.html. Diunduh tanggal 1 Oktober

114 Ranjabar J Sistem Sosial Budaya Indonesia. Ghalia Indonesia, Bogor. Saad S Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, Eksistensi dan Prospek Pengaturannya di Indonesia. LkiS. Yogyakarta. Saidi E.A.M Sultan Buton Ke-4 La Elangi Dayanu Iksanuddin ( ). Majalah Wolio Molagi Edisi 07 Tahun II Maret-April 2000, Kendari. Satria A. 2009a. Ekologi Politik Nelayan. LkiS, Yogyakarta. Satria A. 2009b. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. IPB Press, Bogor. Satria A, Matsuda Y dan Sano M Laporan Hasil Penelitian Questioning Community Based Coral Reef Management Systems: Case Studi of Awig-Awig in Gili Indah, Indonesia. Bogor. Setiawan A dan Alikodra H Tinjauan Terhadap Pembangunan Sistem Kawasan Konservasi di Indonesia. Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan Volume VII/Nomor 2 Juni 2001 Jurusan KonserVasi Sumberdaya Hutan Fakutras Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Schoorl P Masyarakat, sejarah dan Budaya Buton. Djambatan, Jakarta. Soedjito H, Y Purwanto dan E Sukara Situs Keramat Alami Peran Budaya dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Soemarwoto O Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan, Jakarta. Solihin A, Karim M, Suhana dan Nugroho T Strategi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia. Humaniora, Bandung. Susilo K Sosiologi Lingkungan. Rajawali Pers, Jakarta. [TNW] Taman Nasional Wakatobi Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (Revisi 2008). Wakatobi. [TNC dan WWF] The Nature Conservancy dan World Wide Fund for Nature Joint Program Wakatobi, 2009a. Data Survey Resoures Monitoring 2008/2009 (tidak dipublikasikan). [TNC dan WWF] The Nature Conservancy dan World Wide Fund for Nature Joint Program Wakatobi, 2009b. Preception Monitoring Wakatobi National Park (tidak dipublikasikan). 98

115 Uluk A, M Sudana dan E Wollenberg Ketergantungan Masyarakat Dayak Terhadap Hutan. CIFOR, Bogor. Widodo J dan Suadi Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Zuhdi S Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara Kesultanan Buton. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Zuhud (dalam Soedjito H, Y Purwanto dan E Sukara) Situs Keramat Alami Peran Budaya dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 99

116 Lampiran 1 : Luasan Zonasi TNW Luas Zona Luas Terumbu Pasir dalam Luas Kawasan No Nama Pulau/Karang Zona Nama Zonasi (ha) Karang (ha) atol (ha) Atol (ha) Luas Darat % 1 Wangi-Wangi Pariwisata ZPr Sousu , , Wangi-Wangi Perlindungan Bahari ZPB Matahora , , Wangi-Wangi Perlindungan Bahari ZPB Karang Gurita Kaledupa Pariwisata ZPr Sombano , , Kaledupa Pariwisata ZPr Hoga , Kaledupa Pariwisata ZPr Mantigola , , Kaledupa Pariwisata ZPr Derawa , , Kaledupa Perlindungan Bahari ZPB Utara Kaledupa , , Kaledupa Perlindungan Bahari ZPB Buranga , , Kaledupa Perlindungan Bahari ZPB Derawa , Kaledupa Perlindungan Bahari ZPB Lintea , , Kaledupa Perlindungan Bahari ZPB Lintea Kaledupa , ,

117 13 Tomia Pariwisata ZPr Marimabuk , , Tomia Pariwisata ZPr Tolandona , Karang Pulau Sawah Pariwisata ZPr Pulau Sawah , , , Karang Pulau Sawah Pariwisata ZPr Karang Tomia , Karang Pulau Sawah Pariwisata ZPr Karang Tomia Selatan , Binongko Pariwisata ZPr Bante , , Binongko Pariwisata ZPr Selatan Binongo , , Binongko Pariwisata ZPr Selatan Binongo , , Karang Kapota Pariwisata ZPr Karang Kapota , , , Karang Kaledupa Pariwisata ZPr Karang Otiolo 1, Karang Kaledupa Perlindungan Bahari ZPB Karang Kaledupa 1 4, , , , Karang Kaledupa Perlindungan Bahari ZPB Karang Kaledupa 2 2, , , , Karang Kaledupa Perlindungan Bahari ZPB Karang Kaledupa 3 4, , , , Karang Koromaha Pariwisata ZPr Karang Koromaha 1, , , ,

118 27 Karang Koko 28 Cowo-Cowo 29 Kentiole 30 Karang Runduma 31 Runduma 32 Anano 33 Moromaho Perlindungan Bahari ZPB Karang Koko 7, , , , Perlindungan Bahari ZPB Cowo Cowo Perlindungan Bahari ZPB Kentiole Perlindungan ZPB Karang Bahari Runduma Perlindungan Bahari ZPB Ujung Runduma Perlindungan Bahari ZPB Anano Perlindungan Bahari ZPB Moromaho 15, Moromaho Inti ZI Moromaho 1,

119 Lampiran 2 : Struktur Organisasi TNW Sumber : Taman Nasional Wakatobi 103

120 Lampiran 3 : Struktur Organisasi Dinas Kelautan Perikanan Wakatobi Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Wakatobi 104

121 Lampiran 4 : Foto-foto Proses Penelitian Menggambar peta wilayah adat kadie dalam zonasi TNW Alat tangkap ompo (nampak dari atas) di pesisir Kampung One Longe Huma di Karang Kapota 105

122 FGD di desa Kolo Liya Workshop Kearifan Tradisional Penambang batu karang salah satu ancaman keanekaragaman hayati 106

123 Foto yang menunjukkan batas wilayah adat di pesisir kampung pada daerah pasang surut dan laut dala 107

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan konservasi keanekaragaman hayati Taman Nasional Wakatobi (TNW) sangat ditentukan pengakuan kepemilikan masyarakat atas sumberdaya oleh pengelola sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Nama WAKATOBI diambil dengan merangkum nama. ngi- wangi, Kaledupa. dan Binongko

Nama WAKATOBI diambil dengan merangkum nama. ngi- wangi, Kaledupa. dan Binongko OU MATAHORA BANK IKAN UNTUK PERIKANAN BERKELANJUTAN DI DESA MATAHORA KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI Oleh : Anggun Ciputri Pratami (8220) Dian Ekawati (8224) Musriani (8242) SMA Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

LAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI

LAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI g LAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI A. Pendahuluan Sebagai lembaga konservasi,wwf Indonesia memiliki visi melestarikan

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Payung Hukum. 1. kewajiban memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Menurut UU. Mengawal Hukum Lingkungan

Payung Hukum. 1. kewajiban memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Menurut UU. Mengawal Hukum Lingkungan Pewarta-Indonesia, MESKI istilah undang-undang pokok tidak dikenal lagi dalam sistem dan kedudukan peraturan perundang-undangan sekarang ini, namun keberadaan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH DAN PENATAAN FUNGSI PULAU BIAWAK, GOSONG DAN PULAU CANDIKIAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

HAK ULAYAT MASYARAKAT DALAM KETENTUAN HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR (HP3)

HAK ULAYAT MASYARAKAT DALAM KETENTUAN HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR (HP3) HAK ULAYAT MASYARAKAT DALAM KETENTUAN HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR (HP3) Oleh: Ir. Kartika Listriana, MPPM. dan Dinah Yunitawati, S.T. Kearifan lokal yang berkembang di Indonesia atau yang lebih dikenal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas lebih dari 28 juta hektar yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Implementasi otonomi daerah di wilayah laut merupakan bagian dari proses penciptaan demokrasi dan keadilan ekonomi di daerah. Hal ini dituangkan dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 20, 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI ANALISIS INSTITUSI KONSERVASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON, DESA TAMANJAYA, KAMPUNG CIBANUA, KECAMATAN SUMUR, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN MONIKA BR PINEM PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan banyak negara berkembang sering harus dibayar dengan biaya mahal dalam bentuk berbagai kerusakan alam maupun lingkungan sosial. Karena itu,

Lebih terperinci

UPAYA MEMBERI PAYUNG HUKUM YANG KOMPREHENSIF DI BIDANG KONSERVASI Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 29 April 2016; disetujui: 10 Mei 2016

UPAYA MEMBERI PAYUNG HUKUM YANG KOMPREHENSIF DI BIDANG KONSERVASI Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 29 April 2016; disetujui: 10 Mei 2016 UPAYA MEMBERI PAYUNG HUKUM YANG KOMPREHENSIF DI BIDANG KONSERVASI Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 29 April 2016; disetujui: 10 Mei 2016 Indonesia disebut sebagai negara mega biodiversity karena termasuk

Lebih terperinci

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN Kegiatan perikanan tangkap sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya perikanan, baik berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan (sarana dan prasarana

Lebih terperinci

PENERAPAN KAMPANYE BANGGA UNTUK MENGUBAH POLA PENGELOLAAN TERNAK MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA DI JANTHO ACEH BESAR

PENERAPAN KAMPANYE BANGGA UNTUK MENGUBAH POLA PENGELOLAAN TERNAK MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA DI JANTHO ACEH BESAR PENERAPAN KAMPANYE BANGGA UNTUK MENGUBAH POLA PENGELOLAAN TERNAK MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA DI JANTHO ACEH BESAR CUT MEURAH INTAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi alam Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis merupakan tempat hidup berbagai jenis tumbuhan dan hewan sehingga Indonesia dikenal sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya 6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya Salah satu parameter yang berpengaruh bagi pengembangan kawasan konservasi laut adalah kandungan potensi kekayaan bawah laut yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena akhir-akhir ini eksploitasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT TAHUN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA Coral Triangle Wilayah Sasaran = Pulau Wangiwangi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI 1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI SECARA PARTISIPATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN Made Nanika Mawapusti Yadnya I Ketut Sudiarta Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Data pokok kelautan dan perikanan 2010 1 menggolongkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang banyak.

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Provinsi Jambi merupakan daerah yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DAN PENATAAN FUNGSI

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan pembangunan karena investasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Era

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kebijakan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DISAMPAIKAN OLEH Ir. Agus Dermawan, M.Si DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA,

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR DESAIN MEDIA KOMUNIKASI UNTUK PENDIDIKAN KONSERVASI BERDASARKAN PREFERENSI MASYARAKAT DAN EFEKNYA TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN, BERAU, KALIMANTAN

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2013 0 BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Platform Bersama Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global Kami adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis pantai 91.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci