UNIVERSITAS INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF ATAU CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) DI RUANG RAWAT PENYAKIT DALAM, LANTAI 7 ZONA A, GEDUNG A, RSUPN DR CIPTO MANGUNKUSUMO TAHUN 2013 KARYA ILMIAH AKHIR NERS ASTUTININGRUM PUSPA DAMAYANTI, S.Kep FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DEPOK JULI 2013

2 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF ATAU CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) DI RUANG RAWAT PENYAKIT DALAM, LANTAI 7 ZONA A, GEDUNG A, RSUPN DR CIPTO MANGUNKUSUMO TAHUN 2013 KARYA ILMIAH AKHIR NERS Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Ners ASTUTININGRUM PUSPA DAMAYANTI, S.Kep FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DEPOK JULI 2013

3 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Astutiningrum Puspa Damayanti, S.Kep. NPM : Tanda Tangan : Tanggal : 10 Juli 2013 ii

4 HALAMAN PENGESAHAN Laporan ini diajukan oleh : Nama : Astutiningrum Puspa Damayanti, S.Kep. NPM : Program studi : Ilmu Keperawatan Judul penelitian : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien Gagal Jantung Kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) di Ruang Rawat Penyakit Dalam, Lantai 7 Zona A, Gedung A, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Tahun 2013 Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners pada Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan, DEWAN PENGUJI Pembimbing : Yulia, S.Kp., M.N., Ph.D. ( ) Penguji : Ns. Yeane A., S.Kep. ( ) Ditetapkan di : Depok Tanggal : 10 Juli 2013 iii

5 KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-nya, saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIAN) ini. Penulisan KIAN ini dilakukan dalam rangka memenuhi mata ajar Karya Ilmiah Akhir Ners Fakultas Ilmu Keperawatan. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan penyusunan KIAN ini. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: (1) Dewi Irawaty, MA., PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan. (2) Riri Maria, S.Kp., MANP selaku koordinator mata ajar Karya Ilmiah Akhir Ners (KIAN) Fakultas Ilmu Keperawatan (3) Henny Permatasari, S.Kp., M.Kep., Sp.Kom.selaku koordinator mata ajar Praktik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (PKKMP) Fakultas Ilmu Keperawatan (4) Yulia, S.Kp., MN., Ph.D. selaku dosen pembimbing KIAN yang telah menyediakan waktu, tenaga, pikiran dan kesabaran untuk mengarahkan saya dalam menyusun KIAN ini. (5) Pihak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, khususnya pihak ruang rawat Penyakit Dalam lantai 7A Gedung A, yang telah bekerjasama dan selalu memberikan bantuan, masukan, serta pengalaman yang sangat berharga selama di lahan praktik (6) Ayah, Ibu, dan keluarga yang selalu memberikan doa, motivasi, dan dukungan finansial selama profesi dan penyusunan KIAN ini. (7) Teman-teman FIK UI 2008, yang telah banyak memberikan semangat dan motivasi dalam penyusunan KIAN ini. (8) Semua pihak yang telah membantu penyusunan KIAN ini dan tidak bisa disebutkan satu per satu. iv

6 Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas kebaikan semua pihak yang telah ikut berkontribusi dalam penyelesaian penyusunan KIAN ini. Semoga KIAN ini membawa manfaat bagi berbagai pihak, terutama pengembangan ilmu kesehatan. ` Depok, 10 Juli 2013 Penulis v

7 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Astutiningrum Puspa Damayanti, S.Kep. NPM : Program Studi : Ilmu Keperawatan Fakultas : Ilmu Keperawatan Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir Ners demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalti Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien Gagal Jantung Kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) di Ruang Rawat Penyakit Dalam, Lantai 7 Zona A, Gedung A, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Tahun 2013 Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada Tanggal : 10 Juli 2013 Yang menyatakan (Astutiningrum Puspa Damayanti) vi

8 ABSTRAK Nama : Astutiningrum Puspa Damayanti, S.Kep. Program studi : Ilmu Keperawatan Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien Gagal Jantung Kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) di Ruang Rawat Penyakit Dalam, Lantai 7 Zona A, Gedung A, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Tahun 2013 Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gaya hidup kurang sehat yang sering ditemukan pada masyarakat perkotaan dapat menjadi penyebab gagal jantung kongestif. Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan untuk menganalisis asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien gagal jantung kongestif di ruang rawat penyakit dalam lantai 7 Zona A gedung A RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengenalan latihan napas lambat dalam untuk meningkatkan sensitivitas baroreflek arteri perlu diberikan pada perawat dan pasien. Kata Kunci : baroreflek, gagal jantung, gagal jantung kongestif, latihan napas lambat dalam, napas lambat dalam vii

9 ABSTRACT Name : Astutiningrum Puspa Damayanti, S.Kep. Study Program : Nursing Title : Analysis of Urban Health Nursing Clinical Practice in Patient with Congestive Heart Failure (CHF) in Internal Medicine Room Care, 7 th Floor Zone A, Building A, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Year 2013 Congestive heart failure is inability of the heart to pump blood adequately to meet the need of body metabolism. Unhealthy lifestyle which is often found in urban communities can be the cause of congestive heart failure. This final clinical nursing report aimed to analyze nursing care for patient with congestive heart failure in an Internal Medicine Ward, 7 th Floor Zone A, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Introducing of Slow Deep Breathing Exercise to increase arterial baroreflex sensitivity is required both for nurses and patients. Keywords : baroreflex, congestive heart failure, heart failure, slow deep breathing, slow deep breathing exercise viii

10 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i LEMBAR PERNYATAAN ORISINAL... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii KATA PENGANTAR...iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...vi ABSTRAK... vii ABSTRACT... viii DAFTAR ISI...ix DAFTAR TABEL...xi DAFTAR LAMPIRAN... xii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penulisan Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penulisan TINJAUAN PUSTAKA Gagal Jantung Kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) Pengertian Etiologi Faktor Intrinsik Faktor Ekstrinsik Faktor Risiko Individu yang dapat Menimbulkan CHF Penuaan Hipertensi Diabetes Melitus Merokok Obesitas Tingginya Tingkat Kolesterol dalam Darah Patofisiologi Fase Kompensasi Fase Dekompensasi Manifestasi Klinis Klasifikasi Komplikasi Penatalaksanaan Latihan Napas Lambat Dalam (Slow Deep Breathing Exercise) Pengertian Tujuan dan Manfaat Teknik Latihan Napas Lambat Dalam (Slow Deep Breathing Exercise) ix

11 2.2.4 Pengaruh Latihan Napas Lambat Dalam (Slow Deep Breathing Exercise) untuk Meningkatkan Sensitivitas Baroreflek dan Aktivitas Vagal LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA Penyajian Kasus Kelolaan Utama Pengkajian Analisa Data Implementasi dan Evaluasi Keperawatan Hasil Intervensi Napas Lambat Dalam (Slow Deep Breathing) Keluhan Sesak Setelah Beraktivitas Tekanan Darah Jumlah Denyut Nadi dalam Satu Menit Jumlah Napas dalam Satu Menit ANALISIS SITUASI Profil Lahan Praktik Analisis Masalah Keperawatan pada Pasien Kelolaan Penurunan Curah Jantung Gangguan Pertukaran Gas Kelebihan Volume Cairan Intoleransi Aktivitas Analisis Intervensi Latihan Napas Lambat Dalam (Slow Deep Breathing Exercise) pada Pasien Kelolaan Alternatif Pemecahan Masalah yang Dapat Dilakukan PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN x

12 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Klasifikasi Gagal Jantung menurut New York Association (NYHA) Tabel 3.1. Daftar Obat Injeksi dan Oral yang Diresepkan Tabel 3.2. Hasil Pemeriksaan Penunjang Tabel 3.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tabel 3.4. Analisa Data Masalah Keperawatan Tabel 3.5. Tabel 3.6. Tabel 3.7. Tabel 3.8. Implementasi dan Evaluasi Asuhan Keperawatan pada Bapak B Hasil Pencatatan Tekanan Darah Harian Selama Latihan Napas Lambat Dalam Hasil Pencatatan Jumlah Denyut Nadi dalam Satu Menit Harian Selama Latihan Napas Lambat Dalam Hasil Pencatatan Jumlah Napas dalam Satu Menit Harian Selama Latihan Napas Lambat Dalam xi

13 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Web of Causation (WOC) Masalah Keperawatan Tn. B Rencana Asuhan Keperawatan pada Tn. B Satuan Acara Pembelajaran Congestive Heart Failure (CHF) Leaflet Congestive Heart Failure (CHF) xii

14 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perkotaan yang pesat di bidang perindustrian dan pengolahan makanan dapat menyebabkan perubahan pola hidup pada penduduknya. Pola hidup yang paling mudah diamati adalah pola konsumsi dan aktivitas. Survey yang dilakukan oleh AC Nielsen (2008) menunjukkan bahwa 69% masyarakat kota di Indonesia mengkonsumsi makanan cepat saji. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) menunjukkan persentase penduduk usia 15 tahun dan diatas 15 tahun yang merokok adalah sebesar 34,7 %, yang terdiri dari 28,2% perokok setiap hari dan 6,5% perokok kadang-kadang (Depkes, 2010). Selain itu, peningkatan penggunaan alat transportasi menyebabkan aktivitas masyarakat menurun. Peningkatan penggunaan alat transportasi terlihat dari jumlah kendaraan bermotor tahun 2011 yang mencapai lebih dari 85 juta unit, yang terdiri dari sepeda motor, truk, bis dan mobil (Badan Pusat Statistik, 2012). Perubahan pola hidup seperti mengkonsumsi makanan cepat saji, pola makan yang tidak baik, kebiasaan merokok dan kurangnya aktivitas atau aktivitas yang serba praktis merupakan salah satu pemicu untuk timbulnya penyakit berbahaya, seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung dan stroke (Bustan, 2007). Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu jenis penyakit yang saat ini banyak diteliti dan dihubungkan dengan gaya hidup seseorang. Penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia (WHO, 2013). Data yang diterbitkan oleh WHO tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 17.3 miliar orang di dunia meninggal karena penyakit kardiovaskuler dan diperkirakan akan mencapai 23.3 miliar penderita yang meninggal pada tahun Indonesia menempati urutan nomer empat negara dengan jumlah kematian terbanyak akibat penyakit kardiovaskuler (WHO, 2013). Salah satu penyakit kardiovaskuler yang banyak di derita di Indonesia adalah penyakit gagal jantung, atau disebut Congestive Heart Failure (CHF). Gagal jantung adalah keadaan fisiologik dimana jantung tidak dapat memompa 1

15 2 darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik, yaitu konsumsi oksigen (Black & Hawks, 2009). Penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai penyakit kardiovaskuler lain yang mendahuluinya, seperti penyakit jantung koroner, infark miokardium, stenosis katup jantung, perikarditis, dan aritmia (Smeltzer & Bare, 2002; Muttaqin, 2009). Hasil Riskesdas tahun 2008 menunjukkan penyakit gagal jantung menempati urutan ketiga terbanyak jumlah pasien penyakit jantung di rumah sakit di Indonesia dan menempati urutan kedua tertinggi tingkat kefatalan kasus jantung, yaitu sebesar %, pada tahun 2007 (Depkes, 2008). Penyakit gagal jantung dapat mengakibatkan berbagai kerusakan yang berdampak pada kualitas hidup penderita. Salah satu kerusakan yang terjadi adalah kerusakan pada baroreflek arteri. Baroreflek arteri merupakan mekanisme dasar yang terlibat dalam pengaturan tekanan darah (Tzeng et. al., 2009). Tzeng et. al. (2009) menyatakan bahwa kerusakan baroreflek arteri berhubungan dengan kematian pada penyakit kardiovaskuler. Kerusakan lain yang biasa terjadi pada penyakit gagal jantung adalah kerusakan fungsi paru-paru. Kerusakan fungsi paruparu dapat secara tidak langsung berkontribusi pada penurunan saturasi oksigen dan menurunkan aktivitas fisik (Bernardi et. al., 1998). Kerusakan baroreflek arteri dan fungsi paru-paru, yang menyebabkan ketidakadekuatan fungsi kardiorespiratori, mendorong para peneliti bidang kesehatan melakukan penelitian terhadap intervensi yang dapat diberikan. Bernardi et. al. (2002) melakukan penelitian dengan memberikan latihan napas lambat dalam (slow deep breathing exercise) pada pasien CHF. Tingkat pernapasan yang lambat dapat memberikan beberapa efek pada sistem kardiorespiratori pasien CHF antara lain meningkatkan saturasi oksigen, meningkatkan ventilasi/perfusi, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mengurangi sensasi dispnea, serta mengurangi aktivitas kemoreseptor dan saraf simpatis (Bernardi et. al., 2002). Bernardi et. al. (2002) melakukan penelitian untuk melihat efek latihan nafas lambat dalam dengan judul Slow Breathing Increases Baroreflex Sensitivity in Patients With Chronic Heart Failure. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 81 pasien CHF dan 21 individu sehat sebagai kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bernafas lambat dalam dapat meningkatkan sensitivitas baroreflek dan

16 3 aktivitas vagal pada pasien gagal jantung sehingga meningkatkan saturasi oksigen, efektifitas ventilasi, toleransi aktivitas, dan mengurangi aktivitas simpatis yang berlebihan (Bernardi et. al.,2002). Hasil-hasil diatas dapat memberikan manfaat pada penderita gagal jantung maupun penyakit kardiovaskular lain yang mengalami kerusakan sensitivitas baroreflek yang mungkin memiliki nilai prognostik yang merugikan. Penelitian Bernardi et. al. dapat diterapkan oleh perawat dalam memberikan perawatan pada pasien CHF untuk meningkatkan kualitas pernapasan. Kualitas pernapasan yang baik dapat mempertahankan kualitas oksigenasi. Oksigenasi merupakan kebutuhan yang esensial karena secara patofisiologis gangguan kebutuhan oksigenasi dapat menyebabkan hipoksia sel (Muttaqin, 2009). Hipoksia sel dapat menyebabkan kematian pada sel dan menurunkan fungsi organ. Kematian sel pada sel jantung dapat memperburuk gagal jantung karena menyebabkan penurunan kerja pompa jantung. Penurunan kerja pompa jantung mengakibatkan gangguan sirkulasi dan berakibat pada kurang terpenuhinya kebutuhan oksigenasi tubuh. Dampak oksigenasi yang buruk berupa intoleransi aktivitas serta syok kardiogenik dan kematian ( Muttaqin, 2009; Smeltzer & Bare, 2002) Rumusan Masalah Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu jenis penyakit yang dihubungkan dengan gaya hidup maupun pola konsumsi seseorang dan menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia. Gagal jantung atau Congestive Heart Failure (CHF) merupakan penyakit kadiovaskuler dengan jumlah pasien ketiga terbanyak di rumah sakit di Indonesia pada tahun 2007 (Depkes, 2008). Banyak ahli yang meneliti intervensi terhadap pasien CHF. Bernardi et. al. (2002) melakukan penelitian untuk melihat efek nafas lambat dalam (slow deep breathing) terhadap pasien CHF. Hasil penelitian menunjukkan bernafas lambat dalam dapat meningkatkan sensitivitas baroreflek dan aktivitas vagal pada pasien gagal jantung. Oleh karena itu, mahasiswa terdorong untuk menerapkan napas lambat dalam dan melihat pengaruh latihan tersebut pada pasien kelolaan utama dengan CHF selama praktik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan

17 (PKKMP) di Ruang Rawat Penyakit Dalam di RSUPN DR Cipto Mangunkusumo Tujuan Penulisan Tujuan Umum Penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIAN) ini bertujuan untuk menganalisis praktik klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada pasien Gagal Jantung Kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) di Ruang Rawat Penyakit Dalam, Lantai 7 Zona A, Gedung A, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Tujuan Khusus Tujuan khusus penulisan KIAN ini meliputi: 1. Menjelaskan konsep terkait Congestive Heart Failure (CHF) yang terdiri dari pengertian, etiologi, faktor risiko individu yang dapat menimbulkan CHF, patofisiologi, manifestasi klinis, klasifikasi, komplikasi, dan penatalaksanaan pasien dengan CHF 2. Menganalisis masalah keperawatan yang muncul dengan konsep terkait CHF dan Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) 3. Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan CHF 4. Menganalisis salah satu intervensi yang dilakukan dengan konsep dan penelitian terkait 5. Memberikan alternatif pemecahan masalah yang dapat dilakukan. 1.4.Manfaat Penulisan KIAN ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada: 1. Perawat KIAN ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi perawat dalam memberikan intervensi keperawatan pada pasien CHF guna meningkatkan kualitas dan perbaikan kesehatan.

18 5 2. Mahasiswa Keperawatan KIAN ini diharapkan dapat menjadi sarana meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan intervensi keperawatan kepada pasien CHF sebagai bekal saat terjun ke klinik. 3. Penelitian Keperawatan KIAN ini diharapkan dapat menjadi data dasar dalam penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan intervensi keperawatan pada pasien CHF, terutama terkait latihan napas lambat pelan.

19 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gagal Jantung Kongestif atau Congestif Heart Failure (CHF) Pengertian Gagal jantung atau sering disebut gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh akan oksigen dan nutrisi (Black & Hawks, 2009; Leslie, 2004; Polikandrioti, 2008; Smeltzer & Bare, 2002). Kondisi tersebut terjadi karena adanya kegagalan fungsi sistolik dan diastolik. Kegagalan fungsi sistolik mengakibatkan jantung tidak mampu berkontraksi dan memompa darah ke jaringan secara adekuat, sedang kegagalan fungsi diastolik mengakibatkan ketidakmampuan jantung untuk relaksasi dan mengisi sejumlah darah secara cukup untuk berkontraksi (Brown & Edwards, 2005; Ignatavicius & Workman, 2006; Kaplan & Schub, 2010; Leslie, 2004). Akibat kondisi tersebut, jumlah darah yang mampu dipompakan ke tubuh dari ventrikel kiri setiap denyutan jantung (fraksi ejeksi) menjadi berkurang. Fraksi ejeksi pada kegagalan fungsi sistol adalah kurang dari 50% dan dengan kegagalan fungsi diastol adalah dibawah 50-55%, sedangkan nilai normal EF adalah 50-75% (Leslie, 2004) Etiologi Gagal jantung disebabkan oleh keadaan atau hal-hal yang dapat melemahkan atau merusak miokardium. Keadaaan atau hal-hal tersebut dapat berasal dari dalam jantung itu sendiri, atau disebut faktor intrinsik, dan faktor luar yang mempengaruhi kerja jantung, atau disebut dengan faktor ekstrinsik. Kondisi yang paling sering menyebabkan gagal jantung adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang mengakibatkan kegagalan fungsi sistolik ventrikel kiri (Cowie & Kirby, 2003). 6

20 Faktor intrinsik Penyebab utama dari gagal jantung adalah penyakit arteri koroner (Black & Hawks, 2009; Brown & Edwards, 2005; Muttaqin, 2009). Penyakit arteri koroner ini menyebabkan berkurangnya aliran darah ke arteri koroner sehingga menurunkan suplai oksigen dan nutrisi ke otot jantung. Berkurangnya oksigen dan nutrisi menyebabkan kerusakan atau bahkan kematian otot jantung sehingga otot jantung tidak dapat berkontraksi dengan baik (AHA, 2012). Kematian otot jantung atau disebut infark miokard merupakan penyebab tersering lain yang menyebabkan gagal jantung (Black & Hawks, 2009). Keadaan infark miokard tersebut akan melemahkan kemampuan jantung dalam memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Penyebab intrinsik lain dari gagal jantung kelainan katup, cardiomyopathy, dan aritmia jantung (Black & Hawks, 2009) Faktor Ekstrinsik Beberapa faktor ekstrinsik yang dapat menyebabkan gagal jantung meliputi kondisi yang dapat meningkatkan afterload (seperti hipertensi), peningkatan stroke volume akibat kelebihan volume atau peningkatan preload, dan peningkatan kebutuhan (seperti tirotoksikosis, kehamilan). Kelemahan pada ventrikel kiri tidak mampu menoleransi perubahan yang masuk ke ventrikel kiri. Kondisi ini termasuk volume abnormal yang masuk ke ventrikel kiri, otot jantung ventrikel kiri yang abnormal, dan masalah yang menyebabkan penurunan kontraktilitas otot jantung (Black & Hawks, 2009; Ignatavicius & Workman, 2006) Faktor Risiko Individu yang dapat Menimbulkan CHF Gagal jantung dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi yang melemahkan jantung. Kondisi-kondisi tersebut dapat menyebabkan gangguan pada jantung, baik sebagai faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Beberapa faktor risiko tersebut antara lain peningkatan usia, hipertensi, diabetes melitus, merokok, obesitas, dan tingginya tingkat kolesterol dalam darah (Brown & Edwards, 2005).

21 Penuaan Penuaan akan mnyebabkan penurunan fungsi sistem tubuh, termasuk fungsi sistem kardiovaskular. Penurunan fungsi sistem kardiovaskular terjadi seiring perubahan-perubahan yang terjadi akibat penuaan. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut meliputi yaitu terjadinya kekakuan dinding ventrikel kiri akibat peningkatan kolagen, penurunan penggantian sel miosit yang telah mati, kekakuan dinding arteri, dan gangguan sistem konduksi kelistrikan jantung akibat penurunan jumlah sel pace maker. Kekakuan dinding ventrikel kiri dapat menyebabkan penurunan curah jantung sehingga menyebabkan stimulus inotropik dan kronotropik serta terjadi dilatasi pembuluh darah. Proses tersebut ditambah dengan adanya kekakuan dinding arteri menyebabkan hipertensi. Oleh karena itu, biasanya lansia memiliki tekanan darah lebih tinggi dibanding individu usia muda. Gangguan kelistrikan jantung dapat menyebabkan kematian mendadak pada individu (Leslie, 2004; Stanley & Bare, 2007) Hipertensi Hipertensi merupakan salah satu kondisi yang dapat menyebabkan gagal jantung. Joint National Committee of Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure VII (JNC VII) tahun 2003 mendefinisikan hipertensi sebagai keadaan dimana tekanan sistolik diatas 140 mmhg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmhg (Leslie, 2004; Zakiyah 2008). Menurut Framingham, hipertensi adalah penyebab gagal jantung kongestif paling sering terutama pada kelompok umur tahun (Kumala, 2009). Berdasarkan analisa survey First National Health and Nutrition Examination, risiko relatif gagal jantung diantara pasien dengan hipertensi jika dibandingkan dengan populasi secara umum, diperkirakan 1,4 kali lebih besar (Kumala, 2009). Hipertensi sendiri dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hipertensi antara lain faktor genetik, peningkatan usia, obesitas, diet tinggi garam, peningkatan konsumsi alkohol, merokok dan kurangnya aktivitas (Leslie, 2004). Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama yaitu terjadinya hipertrofi ventrikel kiri akibat peningkatan

22 9 afterload dan vasokontriksi akibat efek aktivasi saraf simpatis yang menyebabkan kepayahan otot jantung dalam memopa darah (Black & Hawks, 2009; Kumala, 2009; Zakiyah, 2008). Mekanisme kedua merupakan timbulnya penyakit jantung koroner. Hal ini disebabkan oleh menurunnya sirkulasi darah ke pembuluh koroner akibat adanya hipertensi (Black & Hawks, 2009). Hipertensi juga dapat menyebabkan aterosklerosis yang dapat menjadi faktor primer terjadinya stroke dan penyakit jantung koroner. Proses ini disebabkan karena tekanan yang tinggi mendorong LDL kolesterol menjadi lebih mudah masuk ke dalam tunika intima (Zakiyah, 2008) Diabetes Melitus Masalah kardiovaskular merupakan salah satu komplikasi makrovaskular diabetes melitus. Komplikasi ini terjadi akibat dari perubahan aterosklerotik pada pembuluh darah. Aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh arteri koroner menyebabkan insiden infark miokard. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penyakit arteri koroner menyebabkan 50% hingga 60% dari semua kematian pada pasien diabetes. Percepatan aterosklerosis berkaitan dengan faktor-faktor mencakup kenaikan kadar lemak darah, hipertensi, merokok, obesitas, kurang aktivitas fisik, dan riwayat keluarga. Sementara itu, faktor risiko terjadinya diabetes meliputi kurang aktivitas fisik, obesitas (Body mass index [BMI] lebih dari atau sama dengan 25 kg/m2), memiliki hipertensi, kadar kolesterol HDL rendah (sama dengan atau kurang dari 35 mg/dl) atau kadar trigliserida tinggi (sama dengan atau lebih dari 250 mg/dl), riwayat atau sedang mengalami kerusakan toleransi glukosa, riwayat penyakit arteri perifer, dan riwayat keluarga (Leslie, 2004; Smeltzer & Beare, 2002) Merokok Merokok juga dapat menjadi penyebab terjadinya gagal jantung.hal ini disebabkan karena di dalam rokok terkandung banyak zat kimia yang dapat merugikan tubuh. Nikotin merupakan salah satu zat kimia dalam rokok yang dapat menyebabkan efek berbahaya pada pembuluh darah akibat pelepasan katekolamin dan vasokontriksi pembuluh darah. Efek yang ditimbulkan dari proses tersebut

23 10 adalah timbulnya hipertensi dan efek negatif akibat adanya hipertensi. Sebanyak 30% dari kasus penyakit jantung koroner dan sekitar 90% kasus peripheral vascular disease (PVD) dapat terjadi pada perokok dari populasi yang tidak mengalami penyakit diabetes. Burn dalam Leslie (2004) melaporkan bahwa seorang yang berhenti merokok setelah 15 tahun menjadi perokok akan berisiko mengalami infark miokard atau kematian akibat penyakit jantung koroner. Seseorang yang didiagnosa menderita penyakit jantung koroner sebanyak kurang dari 50% memiliki risiko mengalami kematian jantung akibat infark (Leslie, 2004; Kumala, 2009) Obesitas Salah satu penyebab gagal jantung yang lain adalah obesitas. Obesitas memiliki hubungan secara tidak langsung dengan terjadinya penyakit arteri koroner. Hal tersebut dapat terjadi karena obesitas dapat menyebabkan hipertensi, dislipidemia, penurunan kolesterol HDL dan kerusakan toleransi glukosa. Hasil penelitian yang dilakukan dalam 14 tahun menunjukkan wanita usia paruh baya dengan BMI lebih dari 23 dan kurang dari 25 memiliki peningkatan risiko terkena penyakit jantung koroner, dan laki-laki usia 50 hingga 65 tahun dengan BMI lebih dari 25 tetapi kurang dari 29 memiliki peningkatan resiko terkena penyakit jantung koroner sebesar 72%. Seseorang dengan obesitas juga berisiko untuk mengalami hipertrofi ventrikel kiri yang juga dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif. Obesitas dapat disebabkan oleh pola makan yang berlebihan dan tidak terkontrol serta kurangnya aktivitas fisik (Eckel, 2013; Leslie, 2004) Tingginya Tingkat Kolesterol dalam Darah Peningkatan kadar kolesterol low density lipoprotein (LDL) merupakan faktor risiko utama penyebab aterosklerosis. Aterosklerosis terjadi ketika terdapat penimbunan plak lemak pada dinding arteri. Plak tersebut dapat ruptur dan menyebabkan terbentuknya bekuan darah yang menyumbat aliran darah dan bila hal tersebut terjadi pada arteri koroner dapat menimbulkan iskemik atau infark miokard (Leslie, 2004). Penelitian Framingham mendapatkan bila kadar kolesterol darah meningkat dari 150 mg% menjadi 269 mg%, maka risiko untuk mengalami

24 11 penyakit jantung meningkat tiga kali lipat. Klinik Riset Lipid di Amerika Serikat menemukan bahwa terdapat korelasi yang sebanding antara kadar kolesterol darah dan risiko penyakit jantung (Zakiyah, 2009). Salah satu penyebab tingginya kadar kolesterol dalam darah adalah berasal dari pola makan sesorang. Merokok, hipertensi, kadar HDL rendah, riwayat keluarga, dan usia merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kadar kolesterol LDL (Leslie, 2004) Patofisiologi Gagal jantung terjadi ketika curah jantung tidak mencukupi kebutuhan metabolisme yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga mekanisme kompensasi teraktivasi. Mekanisme kompensasi untuk meningkatkan curah jantung antara lain dilatasi ventrikel, peningkatan stimulasi sistem saraf simpatis, dan aktivasi sistem renin-rngiotensin (Black & Hawks, 2009; Muttaqin, 2009). Mekanisme tersebut membantu meningkatkan kontraksi dan mengatur sirkulasi, tetapi jika terus menerus berlangsung dapat menyebabkan pertumbuhan otot jantung yang abnormal dan remodeling jantung (Black & Hawks, 2009). Berikut akan diuraikan mengenai fase kompensasi yang dilakukan oleh jantung untuk meningkatkan cardiac output Fase Kompensasi a) Dilatasi Ventrikel Dilatasi ventrikel merupakan pemanjangan jaringan-jaringan otot sehingga meningkatkan volume dalam ruang jantung. Dilatasi menyebabkan peningkatan preload dan curah jantung karena otot yang teregang berkontraksi lebih kuat (Hukum Starling). Akan tetapi, dilatasi memiliki keterbatasan sebagai mekanisme kompensasi. Otot yang teregang, pada suatu titik akan menjadi tidak efektif. Kedua, dilatasi jantung membutuhkan oksigen lebih banyak. Hipoksia pada jantung dapat menurunkan kemampuan kontraksi jantung (AHA, 2012; Black & Hawks, 2009; Brown & Edwards, 2005).

25 12 b) Peningkatan Stimulasi Saraf Simpatis Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin serta saraf-saraf adrenergik jantung dan medula adrenal. Aktivitas tersebut akan menyebabkan vasokontriksi arteriol, takikardi, dan peningkatan kontraksi miokardium. Seluruh mekanisme tersebut menyebabkan peningkatan curah jantung serta penyaluran oksigen dan nutrisi ke jaringan. Efek kompensasi ini menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (menyebabkan peningkatan afterload) dan kerja otot jantung untuk memompa darah. Stimulasi saraf simpatis ini akan menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal dan menyebabkan stimulasi sistem renin-angiotensin (Black & Hawks, 2009; Muttaqin, 2009) c) Stimulasi Sistem Renin-Angiotensin Reflek baroreseptor terstimulasi dan mengeluarkan renin kedalam darah ketika aliran darah dalam arteri renalis menurun. Renin (enzim yang disekresikan oleh sel-sel juxtaglomerulus di ginjal) berinteraksi dengan angiotensinogen (sebagian besar berasal dari hati) membentuk angiotensin I. Angiotensin I sebagian besar akan diubah di paru-paru menjadi angiotensin II jika berinteraksi dengan angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang kuat. Angiotensin II memelihara homeostasis sirkulasi yaitu meningkatkan vasokontriksi, dan menyebabkan pelepasan norepinefrin dari ujung saraf simpatis dan menstimulasi medula untuk menyekresi aldosteron, yang akan meningkatkan absorpsi natrium dan air. Stimulasi ini menyebabkan peningkatan volume plasma sehingga preload meningkat (Black & Hawks, 2009; Muttaqin, 2009) Fase kompensasi dapat menyebabkan curah jantung yang adekuat dan perubahan patologis. Jika perubahan patologis tidak diperbaiki, mekanisme kompensasi yang terlalu lama dapat menyebabkan penurunan fungsi sel otot jantung dan kelebihan produksi dari neurohormon. Mekanisme ini juga menyebabkan kerja jantung meningkat dan kebutuhan oksigen untuk otot jantung meningkat. Proses tersebut bertanggungjawab menyebabkan perubahan dari fase kompensasi menjadi fase dekompensasi. Pada titik ini, manifestasi gagal jantung terlihat karena jantung tidak mampu

26 13 mempertahankan sirkulasi yang adekuat. (AHA, 2012; Black & Hawks, 2009; Brown and Edwards, 2005). Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan jumlah darah yang tersisa di ventrikel kiri pada akhir diastolik meningkat. Peningkatan sisa darah pada ventrikel kiri menurunkan kapasitas ventrikel untuk menerima darah dari atrium. Hal tersebut menyebabkan atrium kiri bekerja keras untuk mengeluarkan darah, berdilatasi, dan hipertrofi. Kondisi tersebut tidak memungkinkan untuk menerima seluruh darah yang datang dari vena pulmonalis dan tekanan di atrium kiri meningkat. Hal tersebut menyebabkan edema paru dan terjadilah gagal jantung kiri (Black & Hawks, 2009). Ventrikel kanan mengalami dilatasi dan hipertrofi karena harus bekerja keras untuk memompa darah ke paru-paru. Hal tersebut dikarenakan terjadi peningkatan tekanan pada sistem pembuluh darah di paru-paru akibat gagal jantung kiri. Pada akhirnya mekanisme tersebut gagal. Kegagalan tersebut menyebabkan aliran dari vena cava berbalik kebelakang dan menyebabkan bendungan di sistem pencernaan, hati, ginjal, kaki, dan sacrum. Manifestasi yang tampak adalah edema. Kondisi ini disebut dengan gagal jantung kanan. Gagal jantung kanan biasanya mengikuti gagal jantung kiri, meskipun kadang-kadang dapat terjadi sendiri-sendiri (AHA, 2012; Black dan Hawks, 2009) Fase Dekompensasi Fase dekompensasi terjadi setelah kegagalan dari fase kompensasi. Fase ditandai dengan remodeling dan aktivitas aktivasi neurohormonal yang terus menerus. Remodelling merupakan perubahan pada beberapa struktur yang terjadi pada ventrikel selama fase dekompensasi. Hal tersebut merupakan hasil dari hipertrofi sel otot jantung dan aktivasi sistem neurohormonal yang terus menerus. Mekanisme tersebut bertujuan untuk meningkatkan curah jantung dengan melakukan dilatasi ventrikel. Akibat lain dari dilatasi ventrikel ini adalah peningkatan stress pada dinding ventrikel. Sel otot jantung akan mengalami hipertrofi yang mengakibatkan pengerasan dinding ventrikel untuk mengurangi stress. Perubahan pada otot jantung seperti penurunan kontraktilitas otot jantung,

27 14 meningkatnya stress dinding ventrikel dan permintaan oksigen menyebabkan kematian sel otot jantung. Hal ini akan menyebabkan penurunan fungsi jantung (Black & Hawks, 2009). Aktivitas simpatis dalam jangka panjang memberikan efek toksik secara langsung pada jantung dan menyebabkan hipertrofi serta kematian sel. Aktivasi katekolamin yang terlalu lama dapat menyebabkan vasokontriksi yang memperburuk overload serta iskemik dan stress pada dinding ventrikel jantung. Selain itu, efek simpatis dapat menyebabkan penurunan sirkulasi dan tekanan arteri di ginjal. Hal ini akan menyebabkan penurunan glomerular filtration rate (GFR) yang akan meningkatkan retensi natrium dan air. Penurunan aliran darah ke ginjal akan mengaktifkan sistem renin-angiotensin yang salah satu efeknya akan meningkatkan retensi natrium dan air. Proses ini menyebabkan peningkatan volume darah hingga lebih dari 30% dan terjadilah edema.(black & Hawks, 2009; Leslie, 2004) Manifestasi Klinis Gagal jantung dapat menyebabkan berbagai manifestasi klinis yang dapat teramati dari penderitanya. American Heart Association (2012) menjelaskan beberapa manifestasi klinis yang biasanya muncul, antara lain: 1) Sesak napas atau dispnea Sesak napas atau dispnea biasanya dialami selama kegiatan (paling sering), saat istirahat, atau saat tidur. Pasien CHF juga akan mengalami kesulitan bernapas saat berbaring dengan posisi supine sehingga biasannya akan menopang tubuh bagian atas dan kepala diatas dua bantal. Hal ini disebabkan karena aliran balik darah di vena pulmonalis ke paru-paru karena jantung tidak mampu menyalurkannya. Hal ini menyebabkan bendungan darah di paru-paru. 2) Batuk persisten atau mengi Batuk persisten atau mengi ini disebabkan oleh penumpukan cairan di paru akibat aliran balik balik darah ke paru-paru.

28 15 3) Penumpukan cairan pada jaringan atau edema Edema disebabkan oleh aliran darah yang keluar dari jantung melambat, sehingga darah yang kembali ke jantung melalui pembuluh darah terhambat. Hal tersebut mengakibatkan cairan menumpuk di jaringan. Kerusakan ginjal yang tidak mampu mengeluarkan natrium dan air juga menyebabkan retensi cairan dalam jaringan. Penumpukan cairan di jaringan ini dapat terlihat dari bengkak di kaki maupun pembesaran perut. 4) Kelelahan atau fatigue Perasaan lelah sepanjang waktu dan kesulitan untuk melakukan kegiatan sehari-hari merupakan hal yang biasa didapati pada pasien CHF. Hal tersebut dikarenakan jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan tubuh. Tubuh akan mengalihkan darah dari organ yang kurang penting, terutama otot-otot pada tungkai dan mengirimkannya ke jantung dan otak. 5) Penurunan nafsu makan dan mual Pada pasien CHF biasanya sering mengeluh mual, begah atau tidak nafsu makan. Hal tersebut dikarenakan darah yang diterima oleh sistem pencernaan kurang sehinga menyebabkan masalah dengan pencernaan. Perasaan mual dan begah juga dapat disebabkan oleh adanya asites yang menekan lambung atau saluran cerna. 6) Peningkatan denyut nadi Peningkatan denyut nadi dapat teramati dari denyut jantung yang berdebar-debar (palpitasi). Hal ini merupakan upaya kompensasi jantung terhadap penurunan kapasitas memompa darah. 7) Kebingungan, gangguan berpikir Pada pasien CHF juga sering ditemukan kehilangan memori atau perasaan disorientasi. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan jumlah zat tertentu dalam darah, seperti sodium, yang dapat menyebabkan penurunan kerja impuls saraf. Kebingungan dan gangguan berpikir juga dapat disebabkan oleh penurunan jaringan ke otak akibat penurunan curah jantung. Black & Hawks (2009) mengelompokkan manifestasi klinis dari gagal jantung berdasarkan kekhasan yang timbul dari tipe gagal jantung yang dialami.

29 16 Pada gagal jantung dengan kegagalan ventrikel kiri, manifestasi yang biasanya muncul antara lain dispnea, paroxysmal nocturnal disease (PND), pernapasan cheyne-stokes, batuk, kecemasan, kebingungan, insomnia, kerusakan memori, kelelahan dan kelemahan otot, dan nokturia. Sementara itu, gagal jantung dengan kegagalan ventrikel kanan biasanya mengakibatkan edema, pembesaran hati (hepatomegaly), penurunan nafsu makan, mual, dan perasaan begah Klasifikasi Klasifikasi gagal jantung yang digunakan di kancah internasional untuk mengelompokkan gagal jantung adalah klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA). NYHA mengkasifikasikan gagal jantung menurut derajat dan beratnya gejala yang timbul. Klasifikasi tersebut dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini:

30 17 Tabel 2.1. Klasifikasi Gagal Jantung Menurut New York Heart Association (NYHA) Kriteria Kelas Tidak ada pembatasan pada aktivitas fisik. Ketika melakukan I aktivitas biasa tidak menimbulkan gejala lelah, palpitasi, sesak nafas atau angina. Aktivitas fisik sedikit terbatas. Ketika melakukan aktivitas biasa II dapat menimbulkan gejala lelah, palpitasi, sesak nafas atau angina tetapi akan merasa nyaman ketika istirahat. Ditandai dengan keterbatasan-keterbatasan dalam melakukan III aktivitas. Ketika melakukan aktivitas yang sangat ringan dapat menimbulkan lelah, palpitasi, sesak nafas. Tidak dapat melakukan aktivitas dikarenakan ketidaknyamanaan. IV Keluhan-keluhan seperti gejala isufisiensi jantung atau sesak nafas sudah timbul pada waktu pasien beristirahat. Keluhan akan semakin berat pada aktivitas ringan. (sumber : American Heart Association, 2011) Klasifikasi diatas menjadi acuan dalam penggolongan tingkatan gagal jantung. Black & Hawks (2009) membagi gagal jantung menjadi 4 tingkatan. Gagal jantung tingkat pertama atau disebut dengan istilah disfungsi otot jantung asimtomatik dengan gagal jantung ringan merupakan penderita yang sesuai dengan kelas I/II NYHA. Gagal jantung tingkat kedua atau disebut dengan istilah gagal jantung ringan ke sedang merupakan penderita yang sesuai dengan kelas II/III NYHA. Gagal jantung tingkat ketiga atau disebut dengan istilah gagal jantung lanjut merupakan penderita dengan kelas III/IV NYHA. Gagal jantung tingkat keempat atau disebut dengan gagal jantung berat dengan fase dekompensasi yang berkelanjutan merupakan penderita dengan kelas III/IV NYHA.

31 Komplikasi Gagal jantung kongestif dapat menyebabkan beberapa komplikasi. Komplikasi utama dari gagal jantung kongestif meliputi efusi pleura, aritmia, pembentukan trombus pada ventrikel kiri, dan pembesaran hati (hepatomegaly). 1) Efusi Pleura Efusi pleura merupakan hasil dari peningkatan tekanan pada pembuluh kapiler pleura. Peningkatan tekanan menyebabkan cairan transudat pada pembuluh kapiler pleura berpindah ke dalam pleura. Efusi pleura menyebabkan pengembangan paru-paru tidak optimal sehingga oksigen yang diperoleh tidak optimal (Brown & Edwards, 2005) 2) Aritmia Pasien dengan gagal jantung kongestif kronik memiliki kemungkinan besar mengalami aritmia. Hal tersebut dikarenakan adanya pembesaran ruangan jantung (peregangan jaringan atrium dan ventrikel) menyebabkan gangguan kelistrikan jantung. Gangguan kelistrikan yang sering terjadi adalah fibrilasi atrium. Pada keadaan tersebut, depolarisasi otor jantung timbul secara cepat dan tidak terorganisir sehingga jantung tidak mampu berkontraksi secara normal. Hal tersebut menyebabkan penurunan cardiac output dan risiko pembentukan trombus ataupun emboli. Jenis aritmia lain yang sering dialami oleh pasien gagal jantung kongestif adalah ventricular takiaritmia, yang dapat menyebabkan kematian mendadak pada penderita (Blake & Hawks, 2009; Brown & Edwards, 2005; Leslie, 2004) 3) Pembentukan Trombus Pada Ventrikel Kiri Penyumbatan trombus pada ventrikel kiri dapat terjadi pada pasien gagal jantung kongestif akut maupun kronik. Kondisi tersebut diakibatkan oleh adanya pembesaran ventrikel kiri dan penurunan curah jantung. Kombinasi kedua kondisi tersebut meningkatkan terjadinya pembentukan trombus di ventrikel kiri. Hal yang paling berbahaya adalah bila terbentuk emboli dari trombus tersebut karena besar kemungkinan dapat menyebabkan stroke (Brown & Edwards, 2005)

32 19 4) Pembesaran Hati (Hepatomegaly) Pembesaran hati dapat terjadi pada gagal jantung berat, terutama dengan kegagalan ventrikel kanan. Lobulus hati akan mengalami kongesti dari darah vena. Kongesti pada hati menyebabkan kerusakan fungsi hati. Keadaan tersebut menyebabkan sel hati akan mati, terjadi fibrosis dan sirosis dapat terjadi (Brown & Edwards, 2005; Smeltzer & Bare, 2002) Penatalaksanaan Penatalaksanaan terhadap pasien gagal jantung harus dilakukan agar tidak terjadi perburukan kondisi. Tujuan pentalaksanaan adalah untuk menurunkan kerja otot jantung, meningkatkan kemampuan pompa ventrikel, memberikan perfusi adekuat pada organ penting, mencegah bertambah parahnya gagal jantung dan merubah gaya hidup (Black & Hawks, 2009). Penatalaksanaan dasar pada pasien gagal jantung meliputi dukungan istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung, pemberian terapi farmakologis untuk meningkatkan kekuatan dan efisien kontraksi jantung, dan pemberian terapi diuretik untuk menghilangkan penimbunan cairan tubuh yang berlebihan (Smeltzer & Bare, 2002). Penatalaksanaan pasien gagal jantung dapat diterapkan berdasarkan dari tujuan yang ingin dicapai, yaitu : 1) Menurunkan Kerja Otot Jantung Penurunan kerja otot jantung dilakukan dengan pemberian diuretik, vasodilator dan beta-adrenergic antagonis (beta bloker). Diuretik merupakan pilihan pertama untuk menurunkan kerja otot jantung. Terapi ini diberikan untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal (Smeltzer & Bare, 2002). Diuretik yang biasanya dipakai adalah loop diuretic, seperti furosemid, yang akan menghambat reabsorbsi natrium di ascending loop henle. Hal tersebut diharapkan dapat menurunkan volume sirkulasi, menurunkan preload, dan meminimalkan kongesti sistemik dan paru (Black & Hawks, 2009). Efek samping pemberian diuretik jangka panjang dapat menyebabkan hiponatremi dan pemberian dalam dosis besar dan berulang dapat mengakibatkan hipokalemia (Smeltzer & Bare, 2002). Hipokalemia menjadi

33 20 efek samping berbahaya karena dapat memicu terjadinya aritmia (Black & Hawks, 2009). Pemberian vasodilator atau obat-obat vasoaktif dapat menurunkan kerja miokardial dengan menurunkan preload dan afterload sehingga meningkatkan cardiac output (Black & Hawks, 2009; Smeltzer & Bare, 2002). Sementara itu, beta bloker digunakan untuk menghambat efek sistem saraf simpatis dan menurunkan kebutuhan oksigen jantung (Black & Hawks, 2009). Pemberian terapi diatas diharapkan dapat menurunkan kerja otot jantung sekaligus 2) Elevasi Kepala Pemberian posisi high fowler bertujuan untuk mengurangi kongesti pulmonal dan mengurangi sesak napas. Kaki pasien sebisa mungkin tetap diposisikan dependen atau tidak dielevasi, meski kaki pasien edema karena elevasi kaki dapat meningkatkan venous return yang akan memperberat beban awal jantung (Black & Hawks, 2009) 3) Mengurangi Retensi Cairan Mengurangi retensi cairan dapat dilakukan dengan mengontrol asupan natrium dan pembatasan cairan. Pembatasan natrium digunakan digunakan dalam diet sehari-hari untuk membantu mencegah, mengontrol, dan menghilangkan edema. Restriksi natrium <2 gram/hari membantu diuretik bekerja secara optimal. Pembatasan cairan hingga 1000 ml/hari direkomendasikan pada gagal jantung yang berat (Black & Hawks, 2009; Smeltzer & Bare, 2002; Davis, Hobbs, dan Lip, 2004). 4) Meningkatkan Pompa Ventrikel Jantung Penggunaan adrenergic agonist atau obat inotropik merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan pompa ventrikel jantung. Obat-obatan ini akan meningkatkan kontraktilitas miokard sehingga meningkatkan volume sekuncup. Salah satu inotropik yang sering digunakan adalah dobutamin. Dobutamin memproduksi beta reseptor beta yang kuat dan mampu meningkatkan curah jantung tanpa meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung atau menurunkan aliran darah koroner. Pemberian kombinasi dobutamin dan dopamin dapat mengatasi sindroma low

34 21 cardiac output dan bendungan paru (Black & Hawks, 2009; Diklat Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit DR. Cipto Mangunkusumo, 2008). 5) Pemberian Oksigen dan Kontrol Gangguan Irama Jantung Pemberian oksigen dengan nasal kanula bertujuan untuk mengurangi hipoksia, sesak napas dan membantu pertukaran oksigen dan karbondioksida. Oksigenasi yang baik dapat meminimalkan terjadinya gangguan irama jantung, salah satunya aritmia. Aritmia yang paling sering terjadi pada pasien gagal jantung adalah atrial fibrilasi (AF) dengan respon ventrikel cepat. Pengontrolan AF dilakukan dengan dua cara, yakni mengontrol rate dan rithm (Black & Hawks, 2009; Diklat Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit DR. Cipto Mangunkusumo, 2008). 6) Mencegah Miokardial Remodelling Angiotensin Converting Enzyme inhibitor atau ACE inhibitor terbukti dapat memperlambat proses remodeling pada gagal jantung. ACE inhibitor menurunkan afterload dengan memblok produksi angiotensin, yang merupakan vasokonstriktor kuat. Selain itu, ACE inhibitor juga meningkatkan aliran darah ke ginjal dan menurunkan tahanan vaskular ginjal sehingga meningkatkan diuresis. Hal ini akan berdampak pada peningkatan cardiac output sehingga mencegah remodeling jantung yang biasanya disebabkan oleh bendungan di jantung dan tahanan vaskular. Efek lain yang ditimbulkan ACE inhibitor adalah menurunkan kebutuhan oksigen dan meningkatkan oksigen otot jantung (Black & Hawks, 2009; Diklat Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit DR. Cipto Mangunkusumo, 2008). 7) Merubah Gaya Hidup Perubahan gaya hidup menjadi kunci utama untuk mempertahankan fungsi jantung yang dimiliki dan mencegah kekambuhan. Penelitian Subroto (2002) mendapatkan hubungan yang bermakna antara faktor ketaatan diet, ketaatan berobat, dan intake cairan dengan rehospitalisasi klien dekompensasi kordis. Bradke (2009) mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya rawat inap ulang pada pasien gagal jantung kongestif antara lain kurangnya pendidikan kesehatan tentang bagaimana perawatan diri di rumah, penggunaan obat-obatan yang tidak tepat, kurang komunikasi

35 22 dari pemberi pelayanan kesehatan, dan kurangnya perencanaan tindak lanjut saat pasien pulang dari rumah sakit. Oleh karena itu, penting bagi perawat sebagai bagian pelayann kesehatan untuk memberikan pendidikan kesehatan. Pasien perlu diberikan pendidikan kesehatan terkait penyakitnya dan perubahan gaya hidup sehingga mampu memonitor dirinya sendiri. Latihan fisik secara teratur, diit, pembatasan natrium, berhenti merokok dan minum alkohol merupakan hal yang harus dilakukan oleh pasien (Suhartono, 2011). Selain itu, penanaman pendidikan tentang kapan dan perlunya berobat jalan juga menjadi hal yang harus disampaikan pada pasien yang akan keluar dari rumah sakit. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kekambuhan pasien gagal jantung dengan merubah gaya hidup melalui pendidikan keseatan Latihan Napas Lambat Dalam (Slow Deep Breathing Exercise) Pengertian Bernapas lambat adalah mengurangi frekuensi pernapasan dari kali per menit menjadi 10 kali per menit atau kurang (Anderson, 2008). Smeltzer & Bare (2002) mendefinisikan latihan nafas dalam sebagai latihan pernapasan dengan teknik bernapas secara perlahan dan dalam, menggunakan otot diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat dan dada mengembang penuh. Dari definisi napas dalam dapat ditarik kesimpulan bahwa bernapas lambat merupakan bagian dari napas dalam. Definisi yang diperoleh dari dua definisi diatas adalah latihan napas lambat dalam (slow deep breathing exercise) merupakan latihan bernapas secara perlahan, yakni kurang dari 10 kali napas per menit, dalam, dan menggunakan otot diafragma sehingga memungkinkan abdomen terangkat dan dada mengembang Tujuan dan Manfaat Tujuan latihan napas lambat dalam yaitu untuk: 1) mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi kerja pernapasan; 2) meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan menghilangkan ansietas; 3) mencegah pola aktivitas otot yang tidak berguna, melambatkan frekuensi

36 23 pernapasan, mengurangi udara yang terperngkap serta mengurangi kerja bernapas (Smeltzer & Bare, 2002). Melakukan latihan napas lambat dalam juga dapat membantu menurunkan tekanan darah. Penelitian Anderson (2008) dari National Institutes of Health menunjukkan responden yang melakukan pernapasan lambat selama 15 menit per hari selama 2 bulan ternyata dapat menurunkan tekanan darah 10 hingga 15 poin. Penelitian Berek (2010) juga menunjukkan adanya penurunan tekanan darah (baik sistol maupun diastol) pada kelompok yang diberikan latihan napas lambat dan dalam. Latihan napas lambat dan pelan juga dapat meningkatkatkan sensitivitas barorefleks arteri pada pasien gagal jantung kronik. Penelitian Bernardi et. al. (2002) menunjukkan bahwa latihan napas lambat dan dalam dapat meningkatkan sensitivitas barorefleks dan aktivitas vagal, yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan saturasi oksigen, efisiensi pernapasan, toleransi aktivitas dan mengurangi kerja saraf simpatis. Efek tersebut ditandai dengan terjadinya penurunan tekanan darah, baik sistol maupun diastol, pada responden Teknik Latihan Napas Lambat Dalam (Slow Deep Breathing Exercise) Latihan napas lambat dalam yang akan digunakan mengacu pada teknik napas dalam dan teknik latihan napas yang diteliti oleh Bernardi et. al. (2002). Langkah-langkah latihan napas lambat dalam sebagai berikut: 1. Atur pasien dengan posisi semi fowler atau duduk 2. Kedua tangan pasien diletakkan di atas perut 3. Anjurkan melakukan napas secara lambat dan dalam melalui hidung, yakni bernapas sebanyak 6 kali per menit dilakukan selama 4 menit. Satu kali napas dilakukan dalam hitungan 10 detik, yaitu : (1) tarik napas selama 4 detik, rasakan abdomen mengembang saat menarik napas; (2) tahan napas selama 3 detik; (3) kerucutkan bibir, keluarkan pelan-pelan melalui mulut selama 3 detik, rasakan abdomen bergerak ke bawah. 4. Ulangi langkah a sampai c selama 3 kali siklus (12 menit) dengan jeda 2 menit setiap siklusnya 5. Latihan slow deep breathing dilakukan dengan frekuensi 3 kali sehari

37 24 ( Bernardi et. al., 2002; Smeltzer and Bare, 2008; University of Pittsburgh Medical Centre, 2003 dalam Sepdianto, 2008) Pengaruh Latihan Napas Lambat Dalam untuk Meningkatkan Sensitivitas Baroreflek dan Aktivitas Vagal Baroresepor merupakan sistem autoregulasi yang mengatur hemodinamik tubuh. Reflek baroreseptor memiliki peranan yang besar untuk berespon terhadap perubahan tekanan darah (Joohan, 2010). Ketika tekanan darah mulai meningkat, baroreseptor di sinus karotis dan arkus aorta segera melakukan suatu analisa dan memberikan respon berupa penurunan aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas vagal (Joohan, 2000). Hal ini merupakan autoregulasi untuk mempertahankan tekanan darah dalam batas normal. Bernapas lambat dan dalam akan mempengaruhi mekanisme kerja baroreseptor. Bernapas dalam dan lambat diharapkan dapat menciptakan respon relaksasi. Lovastatin (2005) menjelaskan bahwa dengan respon relaksasi yang adekuat, sistem saraf parasimpatis menjadi lebih dominan. Sistem saraf parasimpatis ini akan mengendalikan pernapasan dan detak jantung (Berek, 2010). Selain itu, Lee (2009) menyatakan bahwa bernapas dalam dan lambat merupakan suatu stimulus yan dapat memberikan stimulus emosi positif ke otak. Stimulus emosi positif ini dapat mebuat tubuh menjadi rileks. Keadaan yang rileks tersebut dapat menyebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis dan penurunan aktivitas saraf simpatis. Efek yang ditimbulkan adalah penurunan tekanan darah dan denyut jantung. Bernapas lambat dalam juga dapat meningkatkan saturasi oksigen. Hal tersebut dikarenakan dengan bernapas lambat dan dalam berarti melakukan pernapasan dengan durasi lebih lama, yaitu 10 atau kurang dari 10 detik setiap satu kali napas. Bernapas yang pendek akan meninggalkan udara dengan jumlah lebih besar dengan nilai oksigen yang rendah dan karbon dioksida yang tinggi karena transfer oksigen ke dalam darah dan karbondioksida dari darah ke udara sangat berkurang (Berek, 2010). Penelitian Bernardi et. al. (1998) menunjukkan 9 dari 15 pasien CHF yang melakukan latihan pernapasan selama 4 minggu

38 mengalami penurunan keluhan dispnea serta mengalami peningkatan saturasi oksigen dan kemampuan beraktivitas. 25

39 BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 3.1. Penyajian Kasus Kelolaan Pengkajian Informasi Umum Nama : Tn. B Umur : 62 tahun Tanggal lahir : 18 November 1960 Suku bangsa : Jawa Jenis kelamin : Laki-Laki Tgl masuk : 26 April 2013 Diagnosa Medis : CHF, Efusi Pleura, CAD 3 VD, DM Tipe 2, TB on OAT Keluhan Utama Pasien mengeluh sesak tanpa dipengaruhi aktivitas dan pusing Riwayat Penyakit Pasien mengatakan didiagnosis TB sejak 7 bulan yang lalu dan baru mengetahui mengalami diabetes melsitus tipe 2 saat itu juga. Selanjutnya pasien menjalani pengobatan TB di RSCM dan telah dinyatakan sembuh 1 bulan yang lalu. 2 minggu kemudian pasien datang kembali karena keluhan batuk-batuk dan dinyatakan terkena TB lagi. Pasien diberikan obat oral untuk TB, salah satunya adalah streptomicyn. Pasien datang ke RS dengan keluhan vertigo dan dinyatakan dokter akibat efek jangka panjang streptomicyn. Pasien juga mengkonsumsi glipemina untuk menjaga kestabilan glukosa. Riwayat keluarga DM, TB, penyakit jantung, dan kanker disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan memiliki riwayat hipertensi Aktivitas/Istirahat Pasien merupakan pensiunan dari suatu pabrik mesin. Aktivitas yang sering dilakukan ketika di rumah adalah membaca, bermain dengan cucu, dan berkebun di area rumah. Pasien mengalami keterbatasan aktivitas sejak 26

40 27 mengalami sakit jantung yaitu tidak mampu melakukan aktivitas berat seperti berkebun, jalan jauh dan aktivitas olahraga. Pasien biasanya tidur pukul sampai dan mengatakan saat ini tidak mengalami insomnia atau kesulitan untuk tidur. Akan tetapi, sebelumnya pasien pernah mengalami insomnia ketika keluhan sesak dan nyeri dada timbul. Respon terhadap aktivitas yang teramati pada tanggal 7-8 Mei 2013, pasien hanya beraktivitas di tempat tidur dengan posisi duduk atau high fowler dengan ganjalan 2 bantal. Pada posisi tersebut, pasien kadang masih mengeluh sesak. Keadaan pasien mulai membaik sejak tanggal 9 Mei Hal tersebut nampak dari berkurangnya keluhan sesak dan pasien mampu berjalan ke kamar mandi untuk BAK dan olahraga kecil untuk menggerak-gerakkan kaki dengan posisi duduk. Setelah berjalan dari kamar mandi pasien mengeluh sedikit sesak tetapi hilang setelah istirahat. Tidak ada keluhan pasien setelah berolahraga kecil. Pada tanggal 10 Mei 2013 pasien telah mampu berjalan ke kamar mandi sendiri dan olahraga ringan tanpa keluhan sesak. Pasien tampak segar Integritas Ego Kondisi penyakit dan lama di rawat di rumah sakit dilaporkan pasien menjadi faktor-faktor yang membuat stress pada pasien. Pasien mengatasi stress yang dialami dengan melihat foto cucu, mengobrol dan menceritakan kekhawatiran terhadap keluarga, dan membaca koran atau buku bacaan. Keluarga juga menjadi pemberi koping positif pada stress yang dirasakan pasien. Hal ini terlihat dari anggota keluarga yang bergantian menjaga pasien dan pasien sering mengobrol dengan keluarga yang menungguinya Pasien terlihat lebih menyerahkan penanganan penyakitnya kepada dokter dan menerima kondisi yang sedang dialaminya serta berdoa kepada Tuhan agar diberi kesembuhan. Hal tersebut sesuai dengan kebiasaan orang Jawa yang kebanyakan selalu menerima keadaan yang dialami. Perubahan yang teramati pada pasien adalah kondisi pasien lebih tenang dan tidak emosional seiring dengan membaiknya kondisi dan menurunnya keluhan sesak napas. Pasien berusaha untuk selalu berpikiran positif dan optimis terhadap perbaikan

41 penyakitnya, termasuk optimis dan bersemangat untuk melakukan operasi jantung Eliminasi Eliminasi pasien baik tanpa ada keluhan yang diungkapkan. Pasien BAB 1x sehari tanpa kesulitan dan BAB lembek. BAB terakhir pada pagi hari. Tidak ada perdarahan yang terlihat pada feses, tidak ada hemoroid, maupun keluhan konstipasi. Pasien menggunakan obat laksatif sesuai instruksi dokter. Jumlah urin dalam 24 jam sebanyak cc dengan penggunaan lasix dan spironolacton. Pada pemeriksaan abdomen tidak ada nyeri tekan di keempat kuadran abdomen dan teraba massa atau pengerasan di area abdomen. Bising usus positif, yaitu sebanyak 12x/menit Makanan/Cairan Pasien diberikan diet lunak 1900 kalori. Penyajian makanan dilakukan 3x dalam sehari. Pasien biasanya hanya habis 1/3-1/2 porsi yang diberikan. Pasien mengatakan bosan dengan menu makanan yang disajikan. Pasien mendapat makanan selingan berupa buah dan biasanya pasien menghabiskan makanan selingan yang diberikan. Pasien dilakukan restriksi cairan dan hanya diperbolehkan minum sebanyak 600 cc/ hari. Pasien telah mengetahui restriksi cairan yang diberlakukan padanya dan mematuhi aturan dari dokter. Pasien mengatakan kehilangan nafsu makan. Pada awal pengkajian (tanggal 7-8 Mei 2013) pasien hanya makan 2-5 sendok makan dari porsi makan yang diberikan RS. Pasien mengatakan sedang merasa sesak dan pusing. Akan tetapi, sejak tanggal 9 Mei keadaan pasien membaik dan berangsur-angsur nafsu makan membaik. Saat ini pasien mampu menghabiskan setengah porsi hingga seluruh porsi habis. Pasien mengatakan tidak ada mual, muntah, nyeri ulu hati, maupun alergi terhadap makanan. Berat badan pasien sebesar 63 kg, tinggi badan 175 cm, dan IMT kg/cm 2. Pasien mengatakan dahulu sering mengkonsumsi makanan yang manis-manis dan goreng-gorengan, serta gemar membeli masakan berlemak dan tinggi kolesterol. Kebiasaan minum kopi dikatakan jarang dilakukan oleh pasien, tetapi kebiasaan merokok selama 30 tahun, telah dilakukan pasien

42 29 dari usia remaja dan biasanya habis 1 bungkus rokok dalam satu hari. Pasien telah berhenti merokok selama 3 tahun. Kondisi mulut dan gigi pasien masih bagus. Penampilan lidah bersih, berwarna merah muda pucat, membran mukosa agak kering. Kondisi gigi masih bagus dan masih banyak yang utuh, 3 gigi geraham telah lepas, tidak ada karies gigi, gusi bersih berwarna merah muda, gusi tidak berdarah Neurosensori Pasien mengatakan sejak 1 hari SMRS hingga saat ini merasakan pusing seperti berputar. Kebas dan kesemutan tidak pernah dirasakan oleh pasien. Penglihatan pasien mengalami gangguan (hipermetropi) sehingga pasien menggunakan kacamata untuk membantu membaca. Pendengaran pasien masih bagus dan tidak ada keluhan gangguan pendengaran. Penciuman pasien baik, tidak ada sputum, maupun polip. Status mental pasien stabil, emosi terkontrol, dan afek sesuai. Kemampuan mengingat masih bagus. Kemampuan bicara pasien lancar, baik, jelas, dan tidak pelo Nyeri Pasien tidak memiliki keluhan nyeri. Pasien hanya mengeluhkan pusing dan sesak. Pada saat sesak napas atau pusing pasien cenderung emosional dan lebih sensitive, serta lebih banyak diam Pernapasan Pasien mengeluh sesak napas yang dirasakan terjadi hilang timbul, terutama setelah melakukan aktivitas atau tidur. Pasien mengeluh batuk tidak berdahak. Pasien mengalami emfisema dan memiliki riwayat TB paru. Pasien merupakan perokok aktif selama 30 tahun dan telah berhenti merokok sejak 2 tahun yang lalu. Saat ini pasien menggunakan O 2 melalui nasal kanul ketika sesak. Aktivitas pernapasan pasien yang teramati yaitu kedalaman pernapasan sedang dan kedua dada tampak simetris. Hasil auskultasi paru-paru terdengar bronchial, bronkovesikuler, vesikuler, ronkhi basah di kedua lapang paru. Pasien tidak tampak sianosis. Pada awal pengkajian ketika keluhan sesak masih sering.

43 Semenjak tanggal 9 Mei 2013 keluhan sesak tidak timbul dan pasien keadaan emosi pasien stabil dan tidak tampak adanya kegelisahan Keselamatan Pasien memiliki gangguan penglihatan, yaitu hipermetropi. Gangguan penglihatan ini telah diatasi oleh pasien dengan menggunakan kacamata bantu baca. Tidak tampak adanya lesi, luka, ulkus dekubitus, gatal-gatal maupun kemerahan. Kekuatan umum pasien baik, tonus otot ada dan baik. Rentang gerak pasien tidak terbatas dan tidak ada parastesia maupun paralisis. Cara berjalan pasien agak sempoyongan pada awal pengkajian, tetapi berangsur-angsur keseimbangan membaik Interaksi Sosial Pasien telah menikah dan memiliki 3 anak dari hasil pernikahannya. Anak pertama perempuan, sedangkan anak kedua dan ketiga laki-laki. Anak pertama merupaka satu-satunya anak yang sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Hubungan pasien dengan keluarga tetap terjalin dengan baik meskipun pasien mengalami sakit. Komunikasi dengan keluarga terjadi secara dua arah. Pasien selalu menyampaikan keinginan dan keluhan, keluarga juga tidak sungkan untuk memberikan saran kepada pasien dengan bahasa atau tutur kata yang baik. Akan tetapi, pasien tidak selalu melakukan apa yang disarankan pasien dan keukeuh mengikuti apa yang diyakini benar.maka keluarga akan tetap mengawasi pasien, meskipun keluarga menuruti pasien dan pasien tidak mengikuti saran keluarga. Pasien memiliki perilaku koping positif. Hal ini tampak dari penuturan pasien, yakni ketika sakit melanda, pasien akan lebih banyak istirahat dan mencoba mengatasi sakit (sesak) dengan menyusun bantal untuk tidur. Pasien juga akan mengalihkan pikirannya dengan membaca atau melihat foto cucunya. Begitu pula saat di rumah sakit, pasien tampak lebih banyak istirahat dan melihat foto cucunya ketika terasa sesak atau badan kurang enak.

44 Penyuluhan atau Pembelajaran Pasien melek huruf dan pendidikan terakhir adalah tamat dari sekolah menengah atas (SMA). Pasien telah diberikan pendidikan kesehatan mengenai penyakit gagal jantung kongestif dan perilaku yang harus dilakukan serta dihindari saat di rumah nanti. Pasien memiliki harapan agar operasi jantungnya nanti berjalan lancar dan keadaan jantungnya dapat membaik. Akan tetapi pasien masih gagal dalam menaati manajemen istirahat. Hal ini tampak dari aktivitas pasien melakukan kegiatan sesuai keinginan bila badan terasa enak. Padahal pasien membutuhkan cukup istirahat dengan keadaan jantung yang sudah tidak optimal Pemeriksaan Fisik Hasil pemeriksaan fisik pada pengkajian tanggal 9 Mei 2013 didapatkan tekanan darah /60-70 mmhg, nadi x/menit, RR: 20-28x/menit. Denyut jantung teraba lemah dan cepat. Palpasi pada paru menunjukkan taktil fremitus paru kanan lebih redup dari pada paru kiri, dan semakin ke bawah semakin redup. Auskultasi paru-paru didapatkan suara bronchial, bronkovesikuler, vesikuler, ronchi basah pada lapang paru kanan. Pada auskultasi jantung didapatkan bunyi jantung S1, S2,S3, dan terdengar cepat. Kaki pasien tampak bengkak dan teraba keras, edema grade 2 (pitting 2 cm dan kembali dalam waktu 58 detik. Pasien mengalami asites, shifting dullness (+), lingkar perut 96 cm. GDKH (Senin-Kamis) tanggal 6 Mei pukul = 125 mg/dl, pukul = 141 mg/dl, pukul = 137 mg/dl.

45 Obat yang Diresepkan a. Obat Injeksi dan Oral Tabel 3.1. Daftar Obat Injeksi dan Oral yang Diresepkan Tanggal Di Obat Dosis Waktu Jalur Pemberian Resepkan 3/ Spironolakton 25mg 1x1 Oral 3/ Glipemina 2mg 1x1 Oral 3/ Simvastatin 20 mg 1x1 (malam) Oral 3/ Laxadin 15mg 3x1 Oral 3/ Betahistin 2mg 2x1 Oral 3/ Flunarizin 5mg 1x1 Oral 3/ Pantoprazole 40mg 1x1 Intra vena 3/ Captopril 12,5mg 2x1 Oral 3/ FDC 1 tab 1x3 (pagi) Oral 7/ Paracetamol 5mg 3x1 Oral (jika demam) 7/ / Ventolin Pulmicort 1 ampul 1 3x1 3x1 Hanya diberikan dari tanggal 7-10 ampul mei / Vit B6 10 mg 3x1 Oral 10/ Lasix 4mg 1x1 Intra vena b. Terapi Intravena Terapi intravena yang diberikan berupa heparin IU/2mg (2 cc/jam) dan lasix 2 mg x 12 ampul dalam spuit 30 cc (1cc/jam)

46 Hasil Pemeriksaan Penunjang Tabel 3.2. Hasil Pemeriksaan Penunjang Jenis Pemeriksaan Waktu Hasil/Intrepetasi Echocardiografi 2 September 2012 LA, LV dilatasi, MR moderate, PR moderate, AR mild, fungsi sistolik LV menurun (LVEF 20%), fungsi RV baik (TAPSE 13,4mm) Corangiografi 8 Februari 2013 LMS : Stenosis 70% pada ostial LAD : Stenosis 90% pada proksimal, stenosis difus 80% pada mid distal LCX : Stenosis difus dari proksimal ke distal, stenosis 80-90% pada proksimal RCA : Stenosis 80% pada proksimal, stenosis 50% pada mid, stenosis 70% pada distal Kesimpulan: CAD 3 VD + LM disease Transcranial Color Doppler (TCD) 5 Maret 2013 Normal TCD of intracranial arteries Carotid Examination (CD) MRI 5 Maret April 2013 Thickening of intima media complex with multiple wall calcification Multiple extralumen plaque Non stenotic soft plaque at right CCA and left ICA Suspek lakunar infark di regio frontal kanan-kiri dan parietal kanan Radiologi Thorax 27 April 2013 Kardiomegali dengan tanda-tanda bendungan paru Suspek efusi pleura kanan

47 34 Jenis Pemeriksaan Waktu Hasil/Intrepetasi Radiologi Thorax 5 Mei 2013 Dibandingkan radiografi thorax tanggal 27 April 2013: Efusi pleura kanan berkurang. Tidak tampak lagi efusi pleura kiri Kardiomegali, suspek efusi perikard Infiltrat minimal di kedua lapang paru Echocardiografi 7 Mei 2013 LA, LV dilatasi, MR moderate, PR moderate, AR mild, fungsi sistolik LV menurun (LVEF 10%), fungsi RV menurun (TAPSE 12,8 mm) Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tabel Hasil Pemeriksaan Laboratorium Jenis Pemeriksaan Waktu Hasil Nilai Normal Kolesterol total Kolesterol HDL Kolesterol LDL GDS Na K Cl Ca Fosfat inorganik (P) darah Mg Massa Prothrombin (PT) Pasien Kontrol APTT Pasien 30 April mg/dl 36 mg/dl 90 mg/dl 80 mg/dl 134 meq/l 4.10 meq/l 93.3 meq/l 8.2 mg/dl 4.1 mg/dl 1.97 mg/dl 15.6 detik 12.7 detik 48.4 detik >= 40 Dewasa: <100 <

48 35 Jenis Pemeriksaan Waktu Hasil Nilai Normal Kontrol 32.8 detik Ureum Protein total Albumin Globulin Albumin-Globumin Ratio SGPT SGOT Na K Cl Hb Ht Eritrosit MCV MCH MCHC Jumlah trombosit Jumlah leukosit Basofil Eosinofil Neutrofil Limfosit Monosit LED Kreatinin PH PCO 2 PO 2 HCO 3 Total O 2 7 Mei mg/dl 7.6 g/dl 3.55 g/dl 4.05 g/dl U/L 61 U/L 133 meq/l 4.24 meq/l 87.5 meq/l 15.2 g/dl 46.1% ^6/UL 90.4 fl 29.8 pg 33 g/dl ^3/UL ^3/UL 0.2% 0.4% 75.8% 14.8% 8.8% 60% 1.40 mg/dl mmhg mmhg mmol/l mmol/l < >= 1 <50 <

49 36 Jenis Pemeriksaan Waktu Hasil Nilai Normal BE O2 saturation Standard HCO 3 Standard BE mmol/l 94.30% 20.2 mmol/l -5.8 mmol/l Glukosa POCT 8 Mei mg Prokalsitonin Gliko HB 1.65 ng/ml 6.4 % (berisiko DM) <0.1 <5.7 = normal = berisiko 6.5 = DM Analisa Data Tabel 3.4. Analisa Data Masalah Keperawatan Data Yang Didapat Masalah Keperawatan DS: - Pasien mengatakan sesak tanpa melakukan aktivitas apapun DO: - TD : 80/60, nadi x/menit, napas 20-24x/menit - Nadi teraba lemah dan suara jantung terdengar lemah - Akral dingin, suhu aksila 36 C - Hasil corangiografi menunjukkan stenosis dengan hasil interpretasi : CAD 3 VD+LM - Hasil echocardiografi tanggal 7 Mei 2013 didapatkan EF 10% DS: - Pasien mengatakan bengkak di kakinya sudah ada sejak sebelum masuk RS, namun saat ini bengkak sudah berkurang dibanding sebelumnya - Pasien mengatakan minum dibatasi oleh dokter, yaitu sebanyak 600cc/hari DO: - Kaki pasien tampak bengkak dan teraba keras, edema grade 2 (pitting 2 cm dan kembali dalam waktu 58 detik Penurunan curah jantung Kelebihan volume cairan

50 37 Data Yang Didapat - Pasien mengalami ascites, shifting dullness (+), lingkar perut 96 cm - Urine output 24 jam sebanyak cc dengan pemberian lasix dan spironolakton DS : - Pasien mengatakan lelah setelah ke kamar mandi DO : - Pasien tampak bernapas lebih cepat setelah berjalan dari kamar mandi untuk mandi - Pernapasan pasien menjadi 28x/menit setelah berjalan dari kamar mandi - Pasien lebih banyak menghabiskan kegiatan diatas tempat tidurnya DS : - Pasien mengatakan sesak napas DO : - Pasien tampak sesak napas dan bernapas cepat - Auskultasi paru-paru: ronkhi basah pada lapang paru kanan bawah - Tidur dalam posisi high fowler - Batuk tidak produktif - Pasien menggunakan bantuan O2 4 liter/menit dengan nasal kanul - Hasil lab menunjukkan : ph = 7.408, PCO2 = mmhg, HCO3 = mmol/l - Hasil radiologi thorax menunjukkan adanya efusi pleura kanan Masalah Keperawatan Intoleransi aktivitas Gangguan pertukaran gas Hasil analisis data didapatkan empat diagnosa keperawatan. Prioritas diagnosa keperawatan tersebut yaitu: 1. Penurunan curah jantung 2. Gangguan pertukaran gas 3. Kelebihan volume cairan 4. Intoleransi aktivitas

51 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan Implementasi asuhan keperawatan pada pasien dilakukan dari tanggal 8 hingga 16 Mei Berikut merupakan implementasi dan evaluasi asuhan keperawatan yang diberikan pada Tn. B: Diagnosa Keperawatan Penurunan Curah Jantung DS: sesak tanpa melakukan aktivitas apapun DO: - TD : 80/60, nadi x/menit, napas 20-24x/menit - Nadi teraba lemah dan suara jantung terdengar lemah - Akral dingin, suhu aksila 36 C - Hasil corangiografi menunjukkan stenosis dengan hasil interpretasi : Tabel 3.5. Implementasi dan Evaluasi Asuhan Keperawatan pada Tn. B Asuhan Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi o Tanda-tanda vital dalam batas normal: TD /60-80 mmhg, Nadi x/menit, RR 16-24x/menit o Haluaran urine adekuat (0,5-1 cc/kgbb/jam) o Balans cairan seimbang o parameter hemodinamik dalam batas normal o Melaporkan penurunan episode dispnea, angina. o Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung. Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 6x24 jam, penurunan curah jantung dapat teratasi atau dikontrol. 1. Memantau TTV/2 jam 2. Mencatat intake output pasien 3. Memberikan istirahat yang cukup dan manajemen waktu intervensi (jeda intervensi) kepada pasien 4. Memberikan lingkungan yang tenang 5. Menyediakan pispot di dekat tempat tidur 6. Mengajak keluarga untuk mengawasi pasien dan mencatat intake outpu Kolaborasi 1. Memberikan O2 4 LPM dengan nasal kanul 2. Memberikan obat digitalis, diuretic, Evaluasi S: o Pasien sesak tidak ada, pusing minimal O: o TD 100/60-70 mmhg, Nadi= 80-88x/menit lemah cepat, RR = 18-22x/menit o Pasien tampak lebih segar dan banyak bercerita o Pasien lebih banyak beraktivitas di tempat tidur, seperti membaca o Pasien mampu ke kamar mandi dan berjalan ke depan kamar rawat untuk berjalanjalan o Intake = 300 cc Output = 300 cc A : masalah penurunan curah jantung belum teratasi P : o Memotivasi pasien untuk

52 Diagnosa Keperawatan CAD 3 VD+LM - Hasil echocardiografi tanggal 7 Mei 2013 didapatkan EF 10% Gangguan Pertukaran Gas DS : - Pasien mengatakan sesak napas DO : - Pasien tampak sesak napas dan bernapas cepat - Auskultasi paruparu: ronkhi basah pada lapang paru kanan bawah - Tidur dalam posisi high fowler - Batuk tidak Asuhan Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi maupun vasodilator sesuai instruksi dokter 3. Memantau hasil pemeriksaan laboratorium Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6 x24 jam, pertukaran gas efektif dapat o Tanda-tanda vital dalam batas normal: TD /60-80 mmhg, Nadi x/menit, RR 16-24x/menit o Tidak mengalami sesak napas/sianosis o bunyi napas dari hasil sinar X bagian dada yang bersih meningkat o hasil pemeriksaan laboratorium AGD dalam rentang normal : PCO2 =35-45, PO2 =21-25, HCO3= , Sat 1. Mencatat TTV/2 jam 2. Mengauskultasi bunyi napas 3. Mengobservasi kedalaman dan kecepatan pernapasan 4. Memberikan posisi semi fowler 5. Memberikan istirahat yang cukup Kolaborasi 1. Memberikan obat-obatan seperti vasodilator, antimikroba, maupun diuretic sesuai instruksi dokter Evaluasi 39 membatasi minum di rumah sesuai anjuran dokter o Memotivasi pasien untuk meminum obat yang telah diberikan oleh dokter o Memotivasi keluarga untuk mengawasi aktivitas, pembatasan minuman, dan kepatuhan minum obat di rumah, serta membantu aktivitas pasien S: o Pasien mengatakan keluhan sesak tidak ada o Pasien mengatakan tidur dengan 2 bantal O: o TD 100/60-70 mmhg, Nadi= 80-88x/menit lemah cepat, RR = 18-22x/menit o auskultasi : ronkhi basah di lapang paru kanan bawah berkurang dibanding harihari sebelumnya o ph 7.415, PCO mmhg, PO mmhg, HCO mmol/l o Napas sedang dan dalam, tidak ada pengunaan otot

53 Diagnosa Keperawatan produktif - Pasien menggunakan bantuan O2 4 liter/menit dengan nasal kanul - Hasil lab menunjukkan : ph = 7.408, PCO2 = mmhg, HCO3 = mmol/l - Hasil radiologi thoraks menunjukkan adanya bendungan paru kanan dan efusi pleura kanan Asuhan Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi O2 =95-98 o tidak ada keluhan sesak/ keluhan sesak menurun Evaluasi 40 bantu napas o Pasien tidur dengan dua bantal o Pasien tampak lebih tenang dan segar dibanding hari sebelumnya A: masalah gangguan pertukaran gas belum teratasi P: o Memotivasi pasien untuk membatasi minum di rumah sesuai anjuran dokter o Memotivasi pasien untuk meminum obat yang telah diberikan oleh dokter o Memotivasi keluarga untuk mengawasi aktivitas, pembatasan minuman, dan kepatuhan minum obat di rumah, serta membantu aktivitas pasien Kelebihan Volume Cairan DS: - Pasien mengatakan Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 6x24 o Balans cairan seimbang (masukan sama dengan pengeluaran) o Urine output 0, Mencatat intake output 2. Memberikan posisi semifowler 3. mengauskultasi bunyi napas S : o Pasien mengatakan bengkak di kakinya sudah berkurang, kaki terasa lebih ringan O:

54 Diagnosa Keperawatan bengkak di kakinya sudah ada sejak sebelum masuk RS, namun saat ini bengkak sudah berkurang dibanding sebelumnya - Pasien mengatakan minum dibatasi oleh dokter, yaitu sebanyak 600cc/hari DO: - Kaki pasien tampak bengkak dan teraba keras, edema grade 2 (pitting 2 cm dan kembali dalam waktu 58 detik - Pasien mengalami asites, shifting dullness (+), lingkar perut 96 cm - Urine output 24 jam sebanyak cc Asuhan Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi cc/kgbb/jam o Bunyi nafas bersih/jelas (tidak ada krekel, ronchi) o Tanda-tanda vital dalam rentang normal : TD /60-80 mmhg, Nadi x/menit, RR 16-24x/menit) o Tidak ada penambahan berat badan o Tidak ada edema. o Menyatakan pemahan tentang pembatasan caiaran individual. jam, kelebihan volume cairan dapat teratasi atau berkurang. 4. mengukur/memantau perkembangan edema dan asites pasien 5. mengajak keluarga untuk memantau pembatasan cairan pasien Kolaborasi: 1. memberikan obat diuretic sesuai instruksi dokter 2. mempertahankan pembatasan cairan Evaluasi 41 o Intake = 300 cc Output = 300 cc o Auskultasi : ronkhi basah di paru kanan bawah minimal o Traktil fremitus paru kiri lebih keras dibanding paru kanan o Pitting hilang dalam 15 detik, kedalaman <1 cm o kaki tampak lebih kendur dibanding hari sebelumnya o Lingkar perut : 92 cm A : masalah kelebihan volume cairan belum teratasi P: o Memotivasi pasien untuk membatasi minum di rumah sesuai anjuran dokter o Memotivasi pasien untuk meminum obat yang telah diberikan oleh dokter o Memotivasi keluarga untuk mengawasi aktivitas, pembatasan minuman, dan kepatuhan minum obat di rumah, serta membantu aktivitas pasien

55 Diagnosa Keperawatan dengan pemberian lasix dan spironolakton Intoleransi Aktivitas DS : - Pasien mengatakan lelah setelah ke kamar mandi DO : - Pasien tampak bernapas lebih cepat setelah berjalan dari kamar mandi untuk mandi - Pernapasan pasien menjadi 28x/menit setelah berjalan dari kamar mandi - Pasien lebih banyak menghabiskan kegiatan diatas tempat tidurnya Asuhan Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 4x24 jam, klien mampu aktivitas sesuai kemampuann ya. o Tanda-tanda vital dalam batas normal: TD /60-80 mmhg, Nadi x/menit, RR 16-24x/menit o Berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan, memenuhi kebutuhan perawatan diri sendiri. o Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan dan tanda vital DBN selama aktivitas. 1. Mencatat TTV/2 jam 2. Mencatat respon kardiopulmonal terhadap aktivitas 3. mengevaluasi kepatuhan pasien terhadap jadwal berlatih slow deep breathing exercise yang telah dibuat 4. memimpin pasien melakukan slow deep breathing exercise 5. Memotivasi pasien untuk menaati jadwal latihan yang telah dibuat, meskipun tidak ada perawat 6. Memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan pasien 7. Memberikan istirahat yang cukup 8. Mengajak kerjasama dengan keluarga untuk membantu memenuhi kebutuhan pasien Evaluasi 42 S: o Pasien mengatakan lelah setelah berjalan di depan kamar rawat o Pasien mengatakan lelah hilang setelah istirahat (tidak melakukan aktivitas/ tidur) atau melakukan slow deep breathing o Pasien mengatakan telah melakukan slow deep breathing exercise untuk jadwal pagi, sore dan malam hari o Pasien mengatakan terasa lebih nyaman dan rileks setelah melakukan slow deep breathing exercise O : o TD 100/60-70 mmhg, Nadi= 80-88x/menit lemah cepat, RR = 18-22x/menit o Pasien tampak lebih segar di banding hari sebelumnya o Pasien bernapas sedang dan dalam

56 Diagnosa Keperawatan Asuhan Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Evaluasi 43 o Pasien mampu melakukan slow deep breathing exercise selama 12 menit A : masalah intoleransi aktivitas belum teratasi P : o Memotivasi pasien untuk membatasi minum di rumah sesuai anjuran dokter o Memotivasi pasien untuk meminum obat yang telah diberikan oleh dokter o Memotivasi pasien untuk meneruskan slow deep breathing exercise di rumah o Memotivasi keluarga untuk mengawasi aktivitas, pembatasan minuman, dan kepatuhan minum obat di rumah, serta membantu aktivitas pasien

57 Hasil Intervensi Napas Lambat Dalam (Slow Deep Breathing) Intervensi napas lambat dalam dilakukan oleh pasien mulai tanggal 10 Mei Penulis memberikan contoh napas lambat dalam terlebih dahulu kepada pasien dan selanjutnya pasien diminta untuk mencoba mengulang hal yang telah di contohkan oleh Penulis. Pasien mampu melakukan napas lambat dalam dengan benar dan selanjutnya pasien langsung mempraktikkan latihan napas lambat dalam selama 3 kali siklus, yakni selama 12 menit (1 siklus 4 menit, dengan melakukan napas normal selama 2 menit saat jeda antar siklus). Pasien bersedia melakukan latihan selama 3 kali sehari, yakni pagi, siang, dan malam. Penulis mengobservasi perkembangan pasien selama 7 hari. Hal tersebut dikarenakan pasien telah diijinkan pulang oleh dokter pada tanggal 16 Mei Penulis melakukan pengamatan terhadap keadaan kardiorespiratori selama pasien menjalani latihan napas lambat dalam. Keadaan kardiorespiratori yang teramati oleh Penulis adalah keluhan sesak setelah beraktivitas, tekanan darah, jumlah denyut nadi dalam satu menit, dan jumlah napas dalam satu menit. Berikut akan dijelaskan mengenai hasil pengamatan Penulis terhadap keadaan kardiorespiratori tersebut Keluhan Sesak Setelah Beraktivitas Pasien mengatakan keluhan sesak berkurang dari hari ke hari. Pada hari ke-4 latihan napas dalam pasien mengatakan keluhan sesak tidak ada. Meskipun keluhan sesak tidak ada, pasien mengatakan ia tidak bisa jika tidur dalam posisi supine atau dengan bantalan 1 buah bantal saja karena akan merasa sesak. Sementara itu, keluhan sesak setelah beraktivitas masih dirasakan oleh pasien setelah beraktivitas seperti berjalan ke kamar mandi ataupun berjalan-jalan di sekitar kamar rawatnya. Namun, pasien mengatakan sesak biasanya akan hilang dengan istirahat atau dengan melakukan napas lambat dalam untuk mengatur napas serta membuat pikiran dan badan menjadi lebih rileks dan tenang.

58 Tekanan Darah Tekanan darah merupakan manifestasi klinis yang vital bagi pasien, terutama pada pasien gagal jantung. Hasil pengamatan Hasil pengamatan menunjukkan adanya peningkatan sistol selama menjalani latihan napas lambat dalam 3 kali 3 siklus latihan dalam satu hari. Tabel berikut menunjukkan tekanan darah pasien selama 7 hari melakukan latihan napas lambat dalam. Tabel 3.6. Hasil Pencatatan Tekanan Darah Harian Selama Latihan Napas Lambat Dalam Hari Latihan Tekanan Darah (mmhg) Hari ke /60-70 Hari ke /60-70 Hari ke /60-70 Hari ke-4 100/60-70 Hari ke-5 100/60-70 Hari ke-6 100/60-70 Hari ke-7 100/60-70 Hasil yang terlihat pada tabel menunjukkan adanya peningkatan pada nilai sistol, sedangkan nilai diastol tidak mengalami perubahan. Nilai sistol, yang mengalami peningkatan pada hari ke-3 latihan, selanjutnya mengalami nilai sistol yang stabil di angka 100 mmhg pada hari ke-4 hingga ke-7 latihan Jumlah Denyut Nadi dalam Satu Menit Jumlah denyut nadi dalam satu menit menjadi salah satu poin yang menjadi perhatian dan dilakukan pengamatan. Hasil pengamatan menunjukkan adanya penurunan jumlah denyut nadi dalam satu menit selama menjalani latihan napas lambat dalam 3 kali 3 siklus latihan dalam satu hari.. Tabel berikut menunjukkan jumlah denyut nadi pasien dalam satu menit selama 7 hari melakukan latihan napas lambat dalam.

59 46 Tabel 3.7. Hasil Pencatatan Jumlah Denyut Nadi dalam Satu Menit Harian Selama Latihan Napas Lambat Dalam Hari Latihan Jumlah Denyut Nadi dalam Satu Menit ( kali/menit) Hari ke Hari ke Hari ke Hari ke Hari ke Hari ke Hari ke Hasil yang terlihat pada tabel menunjukkan adanya penurunan jumlah denyut nadi dalam satu menit. Pada awal latihan, pasien mengalami denyut nadi tertinggi pada angka 92 kali denyut nadi per menit dan terendah pada angka 88 kali per menit. Denyut nadi terendah pasien didapat pada hari ke-7 latihan yaitu pada angka 80 kali denyut nadi per menit Jumlah Napas Dalam Satu Menit Jumlah pernapasan juga menjadi barometer yang diamati selama pasien menjalani latihan napas lambat dalam. Hasil pengamatan menunjukkan adanya penurunan jumlah napas dalam satu menit selama menjalani latihan napas lambat dalam 3 kali 3 siklus latihan dalam satu hari. Tabel berikut menunjukkan jumlah napas pasien dalam satu menit selama 7 hari melakukan latihan napas lambat dalam.

60 Tabel Hasil Pencatatan Jumlah Napas dalam Satu Menit Harian Selama Latihan Napas Lambat Dalam 47 Hari Latihan Jumlah Napas dalam Satu Menit ( kali/menit) Hari ke Hari ke Hari ke Hari ke Hari ke Hari ke Hari ke Hasil yang terlihat pada tabel menunjukkan adanya penurunan jumlah napas dalam satu menit. Pada hari ke-1 latihan, jumlah napas dalam satu menit mencapai 24 kali per menit. Jumlah napas dalam satu menit terendah dalam satu menit terjadi pada hari ke-6 dan ke-7 latihan, yaitu pada angka 18 kali per menit.

61 BAB 4 ANALISIS SITUASI 4.1. Profil Lahan Praktik RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) merupakan rumah sakit pusat rujukan nasional yang status kepemilikannya berada di bawah Kementrian Kesehatan RI. RSCM, yang terletak di Jakarta Pusat ini, menjadi RS pemerintah yang juga berfungsi sebagai RS pendidikan. Pelayanan yang dimiliki RSCM meliputi Instalasi Gawat Darurat, Poliklinik, rawat inap, dan Pelayanan Jantung Terpadu. Ruang rawat inap terbagi ke dalam beberapa instalasi rawat inap, meliputi gedung A, RSCM Kencana, RSCM Kirana, Instalasi Kesehatan Anak, Perinatologi, Bedah Anak, dan Unit Luka Bakar. Kapasitas total tempat tidur ruang rawat inap sebanyak tempat tidur. RSCM memiliki visi menjadi Rumah Sakit Pendidikan dan Pusat Rujukan Nasional terkemuka di Asia Pasifik tahun 2014 (RSCM, 2013). Salah satu usaha yang dilakukan RSCM untuk mewujudkan visi tersebut adalah mendapatkan akreditasi dari Join Commission International (JCI). Saat ini RSCM telah lulus akreditasi dari JCI. JCI adalah badan internasional dari The Join Commission, yang merupakan organisasi non pemerintah nonprofit, merupakan badan akreditasi pelayanan kesehatan terbesar di Amerika yang selama lebih dari 75 tahun telah mensurvei hampir program pelayanan kesehatan melalui proses akreditasi. Misi JCI adalah meningkatkan mutu dan keselamatan pelayanan kesehatan di komunitas internasional (RSCM, 2013). Berbagai perubahan telah terjadi dalam manajemen kerja dan pelayanan RSCM. Perubahan-perubahan ini menjadikan RSCM selangkah lebih maju dan berbeda dari RS lain. Beberapa perubahan yang terjadi di RSCM adalah sistem komputerisasi dalam peresepan obat atau alat kesehatan untuk pasien, pendokumentasian perkembangan pasien oleh seluruh pemberi layanan kesehatan dalam catatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT), dan dikembangkannya model praktik keperawatan professional (MPKP). Sistem komputerisasi dalam peresepan obat memiliki beberapa keunggulan atau manfaat. Pertama, sistem ini menjadikan peresepan obat dan alat 48

62 49 kesehatan menjadi praktis dan cepat. Kedua, peresepan menggunakan sistem komputerisasi meminimalkan terjadinya kesalahan peresepan obat terhadap pasien. Ketiga, seluruh peresepan berasal dari dokter karena dokter diberikan akun yang menggunakan password untuk meresepkan obat dan hanya dokter yang berwenang untuk meresepkan. Hal-hal diatas bertujuan untuk menjaga keamanan dan keselamatan pasien. Catatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT) merupakan catatan perkembangan kondisi pasien yang dibuat oleh seluruh tim kesehatan. CPPT diisi oleh petugas perawatan minimal setiap shift atau ketika terjadi kejadian tertentu yang berdampak ke dalam kondisi atau proses perawatan pasien. Format penulisan CPPT berupa SOAP. Khusus untuk pasien baru masuk dirawat dilakukan pengisian CPPT setelah pengkajian awal dan dilakukan implementasi dari perencanaan hasil pengkajian. Setiap perencanaan harus diverifikasi oleh perawat primer dan oleh DPJP. Pendokumentasian ini selaras dengan MPKP yang dilaksanakan di RSCM. (Bidang Keperawatan RSCM, 2012) Pengembangan Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) di RSCM dilakukan oleh Sitorus pada tahun MPKP merupakan penataan struktur dan proses pemberian asuhan keperawatan pada tingkat ruang rawat sehingga memungkinkan pemberian asuhan keperawatan yang profesional (Sitorus & Panjaitan, 2006). Pengembangan model ini didasarkan pada pengembangan berbagai model asuhan keperawatan di luar negeri dan tingkat perkembangan profesionalisme keperawatan di Indonesia. Penentuan jumlah tenaga keperawatan pada model ini berdasarkan jumlah pasien sesuai dengan derajat ketergantungan pasien. Perawat pada MPKP ditetapkan menjadi dua jenis, yaitu Perawat Primer (PP) atau Ketua Tim dan Perawat Associate (PA) atau Perawat Pelaksana. Hal ini menyebabkan fungsi dan peran masing-masing tenaga sesuai dengan kemampuan dan terdapat tanggung jawab yang jelas dalam sistem pemberian asuhan keperawatan. Tugas PP akan lebih ditekankan pada pelaksanaan terapi keperawatan karena bentuk tindakannya lebih pada interaksi. Tindakan yang lebih konkret dan tidak memerlukan analisis dapat dilegasikan kepada PA. Adanya pengaturan ini, membuat PP dapat memonitor dan mengevaluasi semua tindakan

63 yang dilakukan sehingga dapat bertanggung jawab atas semua asuhan keperawatan yang dilakukan oleh tim pada sekelompok pasien Analisis Masalah Keperawatan pada Pasien Kelolaan Kasus kelolaan utama merupakan pasien dengan gagal jantung kongestif atau congestive heart failure (CHF). CHF adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh akan oksigen dan nutrisi (Black & Hawks, 2009; Leslie, 2004; Polikandrioti, 2008; Smeltzer & Bare, 2002). Penyakit ini disebabkan oleh kondisi yang melemahkan keadaan jantung, baik oleh penyebab intrinsik maupun ekstrinsik. Penyebab intrinsik CHF adalah adanya penyakit jantung koroner (Black & Hawks, 2009; Brown & Edwards, 2005; Muttaqin, 2009). Pasien CHF kelolaan memiliki penyakit arteri koroner dengan sumbatan pada 3 pembuluh koroner besar. Penyakit arteri koroner ini menyebabkan berkurangnya aliran darah ke arteri koroner sehingga menurunkan suplai oksigen dan nutrisi ke miokardium. Berkurangnya oksigen dan nutrisi menyebabkan kerusakan atau bahkan kematian otot jantung sehingga otot jantung tidak dapat berkontraksi dengan baik (AHA, 2012). Penyebab ekstrinsik dapat berupa peningkatan afterload dan hipertensi. Penyebab ekstrinsik dan intrinsik dapat diakibatkan oleh adanya faktor peningkatan usia, hipertensi, diabetes, merokok, obesitas, dan tingginya tingkat kolesterol dalam darah (Brown & Edwards, 2005). Faktor-faktor penyebab CHF, berupa hipertensi, diabetes, merokok, obesitas, dan tingginya tingkat kolesterol dalam darah, dapat diakbatkan oleh gaya hidup pasien. Gaya hidup pasien, terutama pola makan, memiliki kerentanan untuk timbulnya penyakit CHF. Pasien gemar makan makanan berlemak dan berkolesterol, makanan manis dan merokok sejak usia remaja sebanyak 1 bungkus per hari. Kegemaran makan makanan berlemak dan berkolesterol, yang biasa di beli di warung makan padang, dapat menyebabkan tingginya kadar kolesterol dalam tubuh, terutama kadar kolesterol low density lipoprotein (LDL). Peningkatan LDL merupakan faktor risiko utama penyebab aterosklerosis yang dapat menyumbat pembuluh darah (Leslie, 2004). Klinik Riset Lipid di Amerika Serikat menemukan bahwa terdapat korelasi yang sebanding antara kadar

64 51 kolesterol darah dan risiko penyakit jantung (Zakiyah, 2009). Merokok, hipertensi, kadar HDL rendah, riwayat keluarga, dan usia merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kadar kolesterol LDL (Leslie, 2004). Merokok juga dapat menyebabkan hipertensi. Hal ini disebabkan karena di dalam rokok terkandung zat nikotin. Nikotin merupakan zat kimia yang dapat menyebabkan efek berbahaya pada pembuluh darah akibat pelepasan katekolamin dan vasokontriksi pembuluh darah (Leslie, 2004; Kumala, 2009). Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia remaja dan menghabiskan satu bungkus rokok dalam sehari. Efek negatif dari merokok juga telah teridentifikasi, yaitu adanya riwayat hipertensi pada pasien. Hipertensi yang ditimbulkan pada pasien kelolaan juga dapat menyebabkan terjadinya CHF. Berdasarkan analisa survey First National Health and Nutrition Examination, risiko relatif gagal jantung diantara pasien dengan hipertensi jika dibandingkan dengan populasi secara umum, diperkirakan 1,4 kali lebih besar (Kumala, 2009). Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui dua mekanisme, yaitu peningkatan afterload dan vasokontriksi akibat efek aktivasi saraf simpatis yang menyebabkan kepayahan otot jantung dalam memopa darah serta menurunnya sirkulasi darah ke pembuluh koroner akibat pembentukan aterosklerosis (Black & Hawks, 2009; Kumala, 2009; Zakiyah, 2008). Proses aterosklerosis terjadi karena tekanan yang tinggi mendorong LDL kolesterol menjadi lebih mudah masuk ke dalam tunika intima (Zakiyah, 2008). Proses aterosklerosis mampu menyebabkan sumbatan pada pembuluh darah koroner. Hal ini terlihat dari hasil corangiografi pasien yang menunjukkan adanya sumbatan pada 3 pembuluh darah besar koroner. Kebiasaan konsumsi makanan manis yang dilakukan pasien dapat menyebabkan timbulnya penyakit diabetes melitus. Pasien kelolaan juga didiagnosis diabetes melitus tipe 2 dan telah mengkonsumsi glipemina secara rutin. Penyakit diabetes yang diderita pasien dapat menyebabkan masalah kardiovaskular dari komplikasi makrovaskular yang ditimbulkan. Komplikasi ini terjadi akibat dari perubahan aterosklerotik pada pembuluh darah koroner dan menyebabkan insiden infark miokard (Leslie, 2004). Hal ini sejalan dengan kondisi pasien yang memiliki penyakit arteri koroner dengan sumbatan pada 3

65 52 pembuluh darah besar koroner. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penyakit arteri koroner menyebabkan 50% hingga 60% dari semua kematian pada pasien diabetes (Leslie, 2004). Proses penuaan yang dialami oleh pasien juga menjadi salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan kelemahan pada jantung. Pasien berusia 62 tahun dan telah masuk dalam kategori lansia. Proses penuaan akan mnyebabkan penurunan fungsi sistem tubuh, termasuk fungsi sistem kardiovaskular (Leslie, 2004; Stanley & Bare, 2007). Penurunan fungsi sistem kardiovaskular terjadi seiring perubahan-perubahan yang terjadi akibat penuaan, meliputi kekakuan dinding ventrikel kiri akibat peningkatan kolagen, penurunan penggantian sel miosit yang telah mati, kekakuan dinding arteri, dan gangguan sistem konduksi kelistrikan jantung akibat penurunan jumlah sel pace maker (Stanley & Bare, 2007). Kekakuan dinding ventrikel kiri dapat menyebabkan penurunan curah jantung sehingga menyebabkan stimulus inotropik dan kronotropik serta terjadi dilatasi pembuluh darah, sehingga dapat menyebabkan hipertensi (Leslie, 2004; Stanley & Bare, 2007). Kebiasaan konsumsi yang cenderung berisiko tersebut dapat diubah apabila terdapat motivasi pada diri pasien. Motivasi dapat dibangun dengan pengetahuan yang adekuat. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pasien telah mengetahui pola konsumsi yang dilakukannya merupakan penyebab dan dapat memperparah CHF. Pasien mendapat informasi tersebut dari dokter, perawat, mahasiswa praktik, maupun dari membaca dari media cetak. Beberapa kebiasaan telah dihentikan oleh pasien, seperti mengurangi makan-makanan manis dan merokok. Akan tetapi, pasien masih belum dapat menghilangkan kegemaran makan makanan berlemak dan tinggi kolesterol, seperti masakan di warung padang. Pasien beberapa kali kedapatan sedang makan makanan dari warung makan padang yang dibelikan oleh keluarga. Keluarga mengatakan terpaksa membelikan karena pasien beralasan tidak nafsu makan dengan makanan dari rumah sakit. Pasien telah diberikan edukasi kembali, tetapi pasien beberapa kali masih sering ditemukan mengkonsumsi makanan berlemak. Pengawasan dan edukasi yang dilakukan terus-menerus merupakan hal yang dapat dilakukan untuk

66 53 meningkatkan motivasi pasien mengubah kebiasaan konsumsi untuk mencegah kerusakan jantung bertambah parah. Kerusakan yang ditimbulkan pada pasien CHF menyebabkan timbulnya beberapa masalah keperawatan. Masalah keperawatan yang muncul pada pasien adalah penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan, gangguan pertukaran gas, dan intoleransi aktivitas. Masalah-masalah keperawatan tersebut akan didiskusikan lebih lanjut pada pembahasan di bawah ini Penurunan Curah Jantung Penurunan curah jantung menjadi masalah utama pada setiap CHF. Data objektif yang di dapat untuk menegakkan diagnosa ini adalah tekanan darah yang rendah, yakni 80/60 mmhg, nadi cepat x per menit dan teraba lemah dan pasien mengeluh sesak tanpa aktivitas. Hasil pemeriksaan corangiografi menunjukkan pasien mengalami penyakit arteri koroner dengan sumbatan pada 3 pembuluh koroner besar dan fraksi ejeksi sebesar 11%. Pasien juga memiliki penyakit penyerta lain seperti diabetes melitus dan hipertensi. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dipelajari mengenai penurunan curah jantung pada pasien CHF. Penurunan curah jantung terjadi akibat perubahan struktur dan fungsi jantung. Perubahan struktur jantung terjadi akibat proses kompensasi yang terus menerus sehingga menyebabkan terjadinya remodeling. Remodelling merupakan hasil dari hipertrofi sel otot jantung dan aktivasi sistem neurohormonal yang terus menerus dengan melakukan dilatasi ventrikel yang mengakibatkan pengerasan dinding ventrikel oleh hipertrofi otot jantung (Black & Hawks, 2009). Hal ini tampak dari hasil foto rontgen dada yang menunjukkan adanya kardiomegali dan pembesaran pada ventrikel kiri. Remodelling jantung juga dapat mengakibatkan disfungsi ventrikel kiri yang dapat mengakibatkan terjadinya bunyi gallop atau S3. Bunyi S3 merupakan bunyi yang dihasilkan oleh perubahan aliran volume darah akibat perubahan struktur ventrikel (penurunan elastistisitas) sehingga tidak mampu menampung seluruh darah yang masuk ke ventrikel dan menyebabkan getaran pada katup jantung (Black, 2009). Bunyi S3 ditemukan pada Tn. B saat auskultasi dan echocardiografi. Hal ini sejalan dengan hasil pemeriksaan echocardiografi Tn.B tanggal 7 Mei 2013 menunjukkan adanya disfungsi pada

67 54 ventrikel kiri, seperti dilatasi ventrikel kiri dan fungsi sistolik ventrikel kiri menurun (LVEF 10%) Perubahan fungsi jantung merupakan akibat dari terjadinya perubahan struktur jantung dan adanya penyakit arteri koroner (AHA, 2012; Black & Hawks,2009). Perubahan tersebut menyebabkan penurunan elastisitas dan kontraktilitas jantung dalam memompakan darah sehingga jumlah darah yang mampu di pompakan ke tubuh dari ventrikel kiri setiap denyutan jantung (fraksi ejeksi) menjadi berkurang (Black & Hawks, 2009; Leslie, 2004). Proses tersebut mengakibatkan rendahnya tekanan darah. Denyut nadi dalam satu menit akan menjadi cepat akibat pengaruh aktivitas saraf simpatis dan sistem reninangiotensin, akan tetapi teraba lemah karena kekuatan kontraksinya melemah. Proses tersebut sesuai dengan data yang didapatkan pada pasien, yaitu tekanan darah 80/60 mmhg dan jumlah nadi sebanyak x/menit teraba lemah dan cepat. Jumlah denyut nadi berada pada ambang batas normal dapat disebabkan karena pemberian captopril. Captopril merupakan jenis beta bloker yang digunakan untuk menghambat efek sistem saraf simpatis dan menurunkan kebutuhan oksigen jantung (Black & Hawks, 2009). Keluhan sesak yang timbul merupakan akibat kegagalan fungsi sistolik untuk memompakan darah ke jaringan secara adekuat. Kegagalan ini menyebabkan jumlah sisa darah di ventrikel kiri pada akhir diastolik meningkat sehingga menurunkan kapasitas ventrikel untuk menerima darah dari atrium. Kondisi tersebut tidak memungkinkan untuk menerima seluruh darah yang datang dari vena pulmonalis dan tekanan di atrium kiri meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran balik darah di vena pulmonalis ke paru-paru karena jantung tidak mampu menyalurkannya sehingga terbentuk bendungan darah di paru-paru (AHA, 2012; Black & Hawks, 2009). Bendungan ini akan mengganggu proses pertukaran gas yang mengakibatkan keluhan sesak. Pasien diberikan tidur dalam posisi high fowler pada awal masuk untuk mengurangi sesak dan semi fowler seiring terjadi pebaikan sesak. Penurunan curah jantung dan pembesaran ventrikel kiri pada pasien juga dapat menyebabkan komplikasi berupa oleh pembentukan trombus. Kombinasi kedua kondisi tersebut meningkatkan terjadinya pembentukan trombus di

68 55 ventrikel kiri. Hal yang paling berbahaya adalah bila terbentuk emboli dari trombus tersebut karena besar kemungkinan dapat menyebabkan stroke (Brown & Edwards, 2005). Oleh karena itu, pasien diberikan heparin IU/2mg sebagai antikoagulan untuk mencegah pembentukan trombus Gangguan Pertukaran Gas Gangguan pertukaran gas juga menjadi salah satu masalah yang sering muncul pada pasien dengan CHF. Data pendukung masalah ini yang ditemukan pada pasien antara lain adanya keluhan sesak dari pasien, pasien tampak bernapas cepat, serta hasil rontgen thoraks tanggal 27 Mei 2013 menunjukkan adanya efusi pleura kanan dan bendungan pada paru kanan. Data-data diatas merupakan hasil yang ditimbulkan akibat adanya proses terjadinya CHF yang berpengaruh pada gangguan di paru-paru. Proses patologis yang disebabkan oleh CHF ini memperparah kerusakan pada paru-paru yang dapat disebabkan oleh TB, yang diderita oleh pasien, sehingga memperparah gangguan pada paru-paru. Gangguan pada paru-paru akan menyebabkan masalah pernapasan, salah satunya adalah gangguan pertukaran gas. Proses terjadinya gangguan pertukaran gas diawali oleh kegagalan mekanisme kompensasi. Kegagalan ini menyebabkan jumlah sisa darah di ventrikel kiri pada akhir diastolik meningkat sehingga menurunkan kapasitas ventrikel untuk menerima darah dari atrium. Pada akhirnya kondisi ini menyebabkan tekanan di atrium meningkat dan mengakibatkan aliran balik darah di vena pulmonalis ke paru-paru karena jantung tidak mampu menyalurkannya sehingga terbentuk bendungan darah di paru-paru (AHA, 2012; Black & Hawks, 2009). Hal ini tampak dari hasil rontgen thorak tanggal 27 Mei 2013 yang menunjukkan adanya bendungan pada paru kanan. Bendungan mengganggu pertukaran gas pada paru-paru dan mengakibatkan keluhan sesak. Oleh karena itu, pasien diberikan diuretik untuk mengurangi bendungan pada paru-paru sehingga dapat menurunkan sesak. Pasien juga mengatakan harus tidur dengan ganjalan 2 bantal atau dalam posisi semifowler maupun highfowler karena jika tidur dengan posisi datar atau tidur dengan satu bantal akan terasa sesak. Pasien CHF akan mengalami kesulitan

69 56 bernapas saat berbaring dengan posisi supine sehingga biasannya akan menopang tubuh bagian atas dan kepala diatas dua bantal. Hal ini disebabkan karena aliran balik darah di vena pulmonalis ke paru-paru karena jantung tidak mampu menyalurkannya sehingga menimbulkan atau bahkan memperberat bendungan di paru-paru (AHA, 2012). Intervensi yang biasanya diberikan pada pasien dengan hal tersebut adalah dengan memberikan memberikan posisi highfowler. Pemberian posisi highfowler bertujuan untuk mengurangi kongesti pulmonal dan mengurangi sesak napas (Black & Hawks, 2009). Pasien pada kasus ini awalnya diberikan posisi highfowler. Akan tetapi, pasien hanya diberikan ganjalan 2 bantal atau posisi semifowler karena pasien telah merasa nyaman dan tidak sesak dalam posisi tersebut seiring dengan perbaikan kondisinya. Penumpukan cairan di paru akibat aliran balik darah ke paru-paru mengakibatkan keluhan batuk pada pasien (AHA, 2012). Hal tersebut tampak pula pada pasien yang mengalami batuk produktif dan keluhan batuk menurun seiring perbaikan bendungan paru. Bendungan pada paru-paru juga dapat mengakibatkan komplikasi yang disebut efusi plura. Hal ini juga tampak pada hasil rontgen dada pasien tanggal 27 Mei 2013 yang menunjukkan adanya efusi pleura kanan. Efusi pleura merupakan hasil dari peningkatan tekanan pada pembuluh kapiler pleura. Peningkatan tekanan menyebabkan cairan transudat pada pembuluh kapiler pleura berpindah ke dalam pleura. Efusi pleura menyebabkan pengembangan paru-paru tidak optimal sehingga oksigen yang diperoleh tidak optimal (Brown & Edwards, 2005). Hasil pemeriksaan AGD pada tanggal 7 Mei menunjukkan nilai PO 2 rendah, yaitu mmhg, serta saturasi oksigen yang rendah pula, yaitu 94.30%. Hal-hal tersebut menyebabkan keluhan sesak pada pasien. Oleh karena itu, pasien diberikan bantuan oksigen dengan nasal kanul sebesar 4 liter per menit Kelebihan Volume Cairan Masalah keperawatan lain yang sering ditemukan pada pasien CHF adalah kelebihan volume pasien. Data kelebihan volume cairan yang ditemukan pada pasien antara lain adanya keluhan bengkak pada kaki dan perut semenjak sebelum masuk rumah sakit, serta tampak kedua kaki pasien mengalami edema grade 2 dan

70 57 terdapat asites dengan shifting dullness positif. Hal tersebut sesuai dengan proses terjadinya CHF yang mengakibatkan timbulnya edema sebagai manifestasi klinis. Proses patofisiologi timbulnya edema merupakan manifestasi klinis yang biasanya diakibatkan oleh kegagalan ventrikel kiri. Kegagalan ventrikel kiri menyebabkan ventrikel kanan mengalami dilatasi dan hipertrofi karena harus bekerja keras untuk memompa darah ke paru-paru akibat adanya peningkatan tekanan pada sistem pembuluh darah di paru-paru. Kegagalan mekanisme tersebut menyebabkan aliran dari vena cava berbalik kebelakang dan menyebabkan bendungan di sistem pencernaan, hati, ginjal, kaki, dan sakrum (AHA, 2012; Black dan Hawks, 2009). Asites juga dapat menyebabkan perasaan mual dan begah akibat adanya asites yang menekan lambung atau saluran cerna (AHA, 2012). Hal itulah yang menyebabkan pasien juga mengalami penurunan nafsu makan akibat begah dan mual. Akan tetapi, nafsu makan meningkat seiring perbaikan edema dan asites. Selain akibat masalah kegagalan ventrikel kanan, edema juga dapat disebabkan oleh kerusakan ginjal sementara proses aktivasi renin-angiotensin-aldosteron terus berlanjut. Perbaikan asites dan edema dilakukan dengan restriksi cairan, retriksi natrium, dan pemberian diuretik. Restriksi cairan yang diberlakukan pada pasien adalah sebesar 600 cc per 24 jam. Mengurangi retensi cairan dapat dilakukan dengan mengontrol asupan natrium dan pembatasan cairan. Restriksi natrium < 2 gram/hari membantu diuretik bekerja secara optimal dan pembatasan cairan hingga 1000 ml/hari direkomendasikan pada gagal jantung yang berat (Black & Hawks, 2009; Smeltzer & Bare, 2002; Davis, Hobbs, dan Lip, 2004). Restriksi natrium dilakukan dengan melakukan kolaborasi bersama dietisien untuk menyediakan menu makan yang aman untuk pasien jantung. Pada kondisi ini perawat memegang peran yang sangat penting untuk memonitor kepatuhan pasien dalam menjalankan diet dan pembatasan cairan. Keluarga pasien dan pasien menyadari betul akan pentingnya restriksi cairan sehingga selalu mencatat minum dan jumlah BAK setiap hari Pasien juga diberikan diuretik dan ACE inhibitor. Diuretik diberikan untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Diuretik yang biasanya dipakai adalah loop diuretic, seperti furosemid, yang akan menghambat reabsorbsi

71 58 natrium di ascending loop henle (Smeltzer & Bare, 2002). Hal tersebut diharapkan dapat menurunkan volume sirkulasi, menurunkan preload, dan meminimalkan kongesti sistemik dan paru (Black & Hawks, 2009). Diuretik yang diberikan pada pasien adalah kombinasi diuretik golongan furosemid dan spironolakton. Penelitian Wang & Gottlieb (2008) menyebutkan pula bahwa penggunaan diuretik loop sebagai agonist aldosteron apabila digunakan terpisah maupun kombinasi terbukti efektif dalam manajemen terhadap edema pulmonal dan vaskular. Spironolakton merupakan diuretik hemat kalium yang bekerja menghambat aldosteron di tubula distal (Ignatavicius & Workman, 2006). ACE inhibitor juga diberikan pada pasien. ACE inhibitor dapat meningkatkan aliran darah ke ginjal dan menurunkan tahanan vaskular ginjal sehingga meningkatkan diuresis (Black & Hawks, 2009; Diklat Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit DR. Cipto Mangunkusumo, 2008). ACE inhibitor juga mencegah stimulasi aldosteron yang dapat mereabsorbsi natrium sehingga meningkatkan jumlah cairan di dalam tubuh. Hasil pemberian intervensi diatas terlihat dari monitor intake output yang dilakukan perawat. Hasil pendokumentasian pemantauan menunjukkan jumlah balans cairan pasien yang selalu negatif (lebih besar output daripada input) dan perbaikan edema maupun asites. Hal ini tampak dari penampilan klinis pasien yang menunjukkan penurunan lingkar perut, penurunan edema ekstremitas, dan tidak adanya bendungan pada paru-paru dari hasil rontgen dada tanggal 5 Mei Intoleransi Aktivitas CHF merupakan penyakit yang dapat menyebabkan penderitanya mengalami intoleransi aktivitas. Intoleransi aktivitas merupakan ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang ingin dilakukan (Nanda International, 2012). Ketidakcukupan energi ini mengakibatkan adanya penurunan aktivitas. Penurunan aktivitas biasanya dipicu oleh adanya dispnea dan kelelahan setelah maupun tanpa aktivitas, yang merupakan efek dari ketidakmampuan jantung mencukupi kebutuhan oksigenasi tubuh (AHA, 2012; Black & Hawks, 2009; Leslie, 2004; Polikandrioti, 2008; Smeltzer & Bare, 2002).

72 59 Pada pasien kelolaan ditemukan data yang mendukung masalah intoleransi aktivitas berupa keluhan lelah setelah beraktivitas dan tampak pasien lebih banyak beraktivitas di tempat tidur. Perasaan lelah sepanjang waktu dan kesulitan untuk melakukan kegiatan sehari-hari merupakan hal yang biasa didapati pada pasien CHF. Hal tersebut dikarenakan jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan tubuh sehingga terjadi ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen (AHA, 20132; Black & Hawks, 2009). Pada fase tersebut terjadi aktivitas simpatis yang terus menerus. Aktivitas simpatis yang terjadi yang bertujuan untuk meningkatkan curah jantung, akan tetapi aktivitas tersebut justru meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen, serta memperberat kerusakan jantung. Hal ini terlihat dari manifestasi klinis yang di dapat pada pasien berupa kelelahan, baik tanpa maupun setelah beraktivitas, pucat, akral dingin, napas dan denyut nadi cepat. Pembatasan aktivitas merupakan intervensi yang diberikan untuk mengurangi aktivitas dan kebutuhan oksigen. Pengurangan kebutuhan oksigen diharapkan dapat mengurangi aktivitas saraf simpatis. Vasodilatasi pembuluh darah akibat penurunan aktivitas saraf simpatis diharapkan dapat menurunkan preload dan afterload sehingga meningkatkan curah jantung (Black & Hawks, 2009; Smeltzer & Bare, 2002). Penurunan aktivitas saraf simpatis bermanfaat untuk mengurangi kebutuhan oksigen sehingga kerja pernapasan juga akan menurun. Penurunan kerja pernapasan akan ditandai dengan penurunan jumlah napas dalam satu menit. Pernapasan yang cepat atau pendek akan meninggalkan udara dengan jumlah lebih besar dengan nilai oksigen yang rendah dan karbondioksida yang tinggi karena transfer oksigen ke dalam darah dan karbondioksida dari darah ke udara sangat berkurang (Berek, 2010). Hal tersebut tampak pada nilai saturasi oksigen pasien yang juga rendah. Rendahnya saturasi menunjukkan ketidakadekuatan pernapasan. Oleh karena itu, bernapas lambat dapat menjadi alternatif yang dapat dilakukan untuk mengadekuatkan pernapasan sehingga mengurangi intoleransi aktivitas. Masalah-masalah keperawatan di atas dapat menimbulkan permasalahan baru pada pasien bila tidak ditangani dengan baik. Permasalahan yang biasanya

73 60 timbul adalah kecemasan. Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Situasi tersebut menyebabkan ketakutan berlebihan karena cacat permanen dan kematian (Ihdayati dan Ambarwati, 2008). Kecemasan pada pasien gagal jantung bervariasi, dari kecemasan ringan sampai dengan kecemasan berat, ketika manifestasi penyakitnya memburuk. Kecemasan yang dialami pasien CHF biasanya dikarenakan kesulitan mempertahankan oksigenasi, yang pada akhirnya menyebabkan cemas dan gelisah (Smeltzer & Bare, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Ihdayati dan Ambarwati (2008), yang sebagian besar responden adalah pasien CHF dengan kecemasan sedang, menemukan bahwa responden mengalami sesak nafas, peningkatan tekanan darah, denyut nadi cepat, dan menjawab pertanyaan dengan nada bicara keras dan cepat.. Hal ini sesuai dengan keadaan Tn. B saat awal perawatan yang menunjukkan tanda-tanda kecemasan berupa peningkatan respon emosional, menjawab dengan nada keras dan cepat, serta gelisah akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh sesak saat bernapas. Manifestasi tersebut menurun seiring perbaikan kondisi yang dialami oleh pasien. Mekanisme koping untuk mengendalikan kecemasan merupakan suatu hal yang diperlukan oleh pasien CHF. Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999). Keliat (1999) menyatakan bahwa ada dua macam mekanisme koping, yaitu mekanisme koping adaptif yang bersifat konstruktif dan mekanisme koping maladaptif yang bersifat destruktif. Perilaku koping maladaptif pada pasien CHF dapat memperparah kondisi karena kecemasan dapat meningkatkan aktivitas simpatis ((Ihdaniyati & Ambarwati, 2008). Mekanisme koping yang dimiliki Tn. B merupakan mekanisme koping adaptif. Pasien lebih memilih untuk berdoa ketika sesak napas mulai dirasakan. Koping pasien menunjukkan hasil positif yaitu berupa penurunan respon emosional. Dukungan keluarga dapat membantu meningkatkan mekanisme koping individu dengan memberikan dukungan emosi dan saran-saran alternatif (Niven, 2002). Keluarga Tn. B termasuk keluarga yang memberikan support penuh pada pasien. Hal tersebut tampak dari adanya keluarga yang menemani dan membantu memenuhi kebutuhan Tn. B selama di rawat di rumah sakit. Melihat

74 foto atau menelepon cucu merupakan hal yang dilakukan pasien untuk mengusir kebosanan selama dirawat di rumah sakit Analisis Intervensi Latihan Napas Lambat Dalam (Slow Deep Breathing Exercise) pada Pasien Kelolaan Intoleransi aktivitas merupakan masalah yang sering didapatkan pada pasien dengan CHF. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari kerusakan jantung dan fungsi pernapasan yang dapat menyebkan penurunan saturasi oksigen dan kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik (Bernardi et. al. 1998). Bernapas lambat dalam merupakan salah satu intervensi yang dapat diberikan pada pasien CHF dengan intoleransi aktivitas. Intervensi ini telah dibuktikan oleh Bernardi et. al. (2002) dalam penelitiannya yang berjudul Slow Breathing Increases Arterial Baroreflex Sensitivity in Patients With Chronic Heart Failure untuk meningkatkan saturasi oksigen dan toleransi aktivitas. Bernardi et. al. (2002) melakukan penelitian dengan metode Randomized Controlled Trial (RCT). Metode ini diterapkan terhadap 81 pasien dengan CHF dan 21 orang sehat sebagai kontrol. Pasien CHF yang menjadi responden merupakan pasien CHF yang telah 2 minggu tidak mengalami perubahan tanda gejala dan manifestasi klinis. Bernardi et. al. juga menerapkan kriteria ekslusi yaitu tidak mengalami fibrilasi atrium, merokok dalam 2 tahun terakhir, dan memiliki penyakit paru. Hal ini diharapkan agar hasil dari intervensi dapat jelas terlihat dan tidak ada faktor perancu yang mempengaruhi hasil, misalnya jika intervensi diberikan pada pasien dengan penyakit paru tentu mungkin saja tidak menunjukkan perubahan yang signifikan karena struktur atau fungsi paru telah mengalami gangguan. Pasien sebagau responden CHF berusia tahun, berat badan kg, tinggi badan cm, dan BMI kg/m2. Mayoritas pasien CHF yang ikut dalam penelitian memiliki fungsional kelas II dan memiliki penyakit arteri koroner. Sementara itu, individu yang berperan sebagai kontrol berusia antara tahun, berat badan kg, tinggi badan cm, dan BMI berkisar antara Intervensi yang dilakukan adalah dengan mengukur EKG, pernapasan, dan tekanan darah pasien CHF dan kontrol selama 5 menit bernapas spontan, 4 menit

75 62 bernapas dikontrol dengan melakukan 15 kali napas dalam 1 menit, dan 4 menit bernapas dikontrol dengan melakukan 6 kali napas dalam 1 menit. Pada pengukuran napas spontan didapatkan jumlah pernapasan pada pasien CHF sebanyak kali napas dalam satu menit dan pada kontrol sebanyak kali napas dalam satu menit, serta rendahnya sensitivitas baroreflek pada pasien CHF dibandingkan kontrol. Pernapasan lambat dengan bernapas sebanyak 6 kali dalam satu menit menunjukkan perubahan sensitivitas baroreflek yang signifikan dibandingkan dengan pernapasan lambat dengan bernapas sebanyak 15 kali dalam satu menit. Jika dibandingkan dengan hasil saat napas spontan, bernapas lambat menunjukkan hasil adanya peningkatan pada lama napas dalam satu menit, menurunkan ketidakstabilan tekanan darah dan secara signifikan meningkatkan sensitivitas baroreflek pada pasien CHF dan kontrol. Akan tetapi, peningkatan sensitivitas baroreflek pada pasien CHF tetap lebih rendah bila dibandingkan dengan control. Pasien dengan CHF ringan cenderung memiliki sensitivitas baroreflek yang lebih besar. Akan tetapi, sensitivitas baroreflek diantara kelas fungsional CHF tidak meunjukkan perbedaan yang signifikan pada pernapasan ini jika dibandingkan dengan saat bernapas spontan. Bernapas pelan pada kelompok CHF dapat menurunkan tekanan darah, baik sistolik maupun diastolik. Bernardi et. al. (2002) memaparkan bahwa sensitivitas baroreflek dapat ditingkatkan secara signifikan dengan bernapas lambat, baik pada pasien dengan CHF maupun pada individu sehat. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara peningkatan akivitas vagal dan penurunan aktivitas simpatis yang dapat menurunkan denyut nadi dan tekanan darah. Penurunan kecepatan bernapas juga dapat meningkatkan volume tidal. Fakta menunjukkan bahwa aktivitas simpatis akan meningkat dengan tingkat pernapasan yang cepat dan akan menurun dengan tidal volume yang lebih tinggi. Penurunan tekanan darah dan reflek kemoreseptor juga dapat teramati selama menghirup napas secara lambat dan dalam. Bernapas lambat dalam juga ditemukan mampu meningkatkan saturasi oksigen karena peningkatan pergerakan otot pernapasan dan diafragma sehingga dapat meningkatkan kemampuan aktivitas dengan menurunkan timbulnya dispnea dan kelelahan (Bernardi et.al., 2002).

76 63 Bernardi et. al. (2002) menyimpulkan bahwa bernapas lambat dalam merupakan sebuah metode baru, mudah, dan tidak mahal untuk meningkatkan sensitivitas baroreflek dan aktivitas vagal pada pasien dengan CHF. Metode ini juga dapat meningkatkan saturasi oksigen, meningkatkan efisiensi ventilasi dan toleransi aktivitas, serta menurunkan aktivitas simpatis yang berlebihan. Oleh karena itu, latihan napas lambat dalam ini sangat baik untuk dikenalkan dan diberikan pada pasien CHF. Intervensi latihan napas lambat dalam diberikan kepada pasien untuk mengatasi intoleransi aktivitas. Latihan napas lambat dalam merupakan salah satu pilihan latihan fisik yang diberikan pada pasien dengan obstruksi paru-paru kronik (Black & Hawks, 2009). Pada pasien dengan masalah obstruksi paru-paru kronik, latihan ini dapat membantu meningkatkan ventilasi paru-paru dengan meningkatkan pengembangan alveoli (Somantri, 2008). Pasien telah melakukan latihan napas lambat dalam sebanyak 3 kali siklus, dimana 1 siklus dilakukan selama 4 menit dan 1 menit terdiri dari 6 kali napas. Jeda antar siklus berupa napas spontan dalam 2 menit. Pasien melakukan latihan sebanyak 3 kali sehari dalam 1 minggu. Intervensi dimodifikasi dengan mengurangi ekshalasi karena pasien dengan penyakit paru tidak boleh melakukan ekshalasi terlalu lama. Selain itu, Percobaan latihan napas dalam 3 kali dalam 1 hari juga dilakukan untuk melihat apakah pasien mengalami ketidaknyamanan akibat latihan tersebut. Hal ini disebabkan karena pasien memiliki masalah pada paru-paru, yaitu efusi pleura akibat dari adanya bendungan paru dan TB. Hasil rontgen dada pada tanggal 5 Mei 2013 menunjukkan efusi pleura kanan minimal dan infiltrat minimal pada kedua lapang paru. Hasil intervensi yang didapatkan pada pasien (tabel 3.6, tabel 3.7, dan tabel 3.8) adalah adanya penurunan keluhan sesak yang diikuti peningkatan toleransi aktivitas, peningkatan sistolik, penurunan jumlah denyut nadi dalam satu menit, dan penurunan jumlah pernapasan dalam satu menit. Hasil ini intervensi pada pasien menunjukkan beberapa kesamaan pada hasil penelitian Bernardi et. al. Perbedaan yang diperoleh adalah pada hasil intervensi yang dilakukan pada pasien ditemukan peningkatan sistolik, sementara pada penelitian Bernardi et. al. didapatkan penurunan sistolik. Pada penelitian Bernardi et al. tekanan sistolik

77 64 turun dari mmhg menjadi mmhg, sedang pada pasien didapatkan peningkatan sistolik dari 80 mmhg menjadi 100 mmhg. Pada penelitian Bernardi menunjukkan adanya peningkatan aktivitas parasimpatis yang menyebabkan penurunan tekanan sistolik. Peningkatan sistolik pada pasien dapat menunjukkan adanya peningkatan curah jantung yang disebabkan oleh peningkatan aktivitas parasimpatis. Peningkatan aktivitas parasimpatis pada pasien dapat terlihat dari penurunan jumlah denyut nadi dan jumlah pernapasan dalam satu menit. Perbaikan perfusi dan fungsi pernapasan dimanifestasikan oleh penurunan keluhan sesak dan peningkatan toleransi aktivitas pasien. Hasil intervensi ini menunjukkan bahwa latihan napas lambat dalam dapat mengatasi intoleransi aktivitas dengan meningkatkan sensitivitas baroreflek arteri. Meskipun demikian, peningkatan toleransi aktivitas pada pasien sejalan dengan perbaikan kondisi yang dialami sebagai efek pengobatan yang diberikan. Latihan napas lambat dalam untuk mengatasi intoleransi aktivitas, dengan meningkatkan sensitivitas baroreflek arteri, belum menjadi intervensi yang familiar di lingkungan ruang rawat. Pemberian latihan napas lambat dalam biasanya diberikan oleh perawat ketika pasien mengeluh nyeri atau cemas. Survey yang dilakukan terhadap 8 perawat di ruang rawat penyakit dalam menunjukkan seluruh perawat ruang hanya mengetahui napas lambat dalam untuk intervensi nyeri dan cemas. Hal ini menyebabkan intervensi napas lambat dalam tidak pernah diberikan untuk meningkatkan saturasi oksigen dan toleransi aktivitas kepada pasien CHF dengan intoleransi aktivitas. Intervensi untuk intoleransi aktivitas yang biasa diberikan oleh perawat ruang adalah pembatasan aktivitas dan pemberian istirahat yang cukup. 4.4.Alternatif Pemecahan Masalah yang Dapat Dilakukan Masalah keperawatan yang timbul pada pasien kelolaan dapat diatasi bila terjadi kolaborasi yang baik antara pasien dan pemberi layanan kesehatan, dalam hal ini khususnya perawat. Pasien memiliki peranan penting untuk melakukan perawatan mandiri (self care) dalam perbaikan kesehatan dan mencegah rawat ulang di rumah sakit (Barnason, Zimmerman, & Young, 2011). Self care merupakan cara yang penting untuk memberdayakan pasien dengan gagal jantung

78 65 untuk bertanggung jawab atas kesehatan mereka serta meningkatkan hasil intervensi (Ditewig et al., 2010; Wilkinson & Whitehead, 2009; Riegel et. al., 2009). Perilaku yang diharapkan dari self care adalah kepatuhan dalam medikasi maupun instruksi dokter, seperti diet, pembatasan cairan maupun pembatasan aktivitas. Self care yang dimiliki oleh pasien kelolaan masih kurang optimal. Hal ini terlihat dari kebiasaan pasien memesan dan mengkonsumsi makanan berlemak dan berkolesterol dari warung makan padang saat di rumah sakit. Pendidikan kesehatan tentang penyakit dan hal-hal yang harus ditaati untuk mencegah perburukan kondisi telah diberikan, tetapi usaha tersebut tidak merubah kebiasaan pasien. Pendidikan kesehatan saja tidak cukup untuk meningkatkan self care seseorang. Hal ini disebabkan karena peningkatan pengetahuan saja tidak akan mudah untuk mengubah kebiasaan seseorang (Barnason, Zimmerman, & Young, 2011). Dukungan intervensi lain diperlukan untuk membantu keefektifan pengetahuan yang telah dimiliki oleh pasien. Intervensi menggunakan konseling dan dukungan individu, atau cognitive behavioral intervention (CBT), terbukti dapat meningkatkan kemampuan self care dan self efficacy pasien dengan gagal jantung (Riegel & Carlson, 2004; DeWalt et.al., 2006; Barnason et. al., 2010). Intervensi CBT ini dilakukan fokus terhadap faktor yang mempengaruhi self care serta hasil dan tujuan yang ingin dicapai, konseling untuk meningkatkan hasil yang ingin dicapai, mengatasi penghambat, dan pemberian reinforcement posistif atas keyakinan kesehatan pasien yang baik mengenai gagal jantung (Caldwell et. al., 2005; Dansky, 2008; Sethares & Elliott, 2004). Dukungan konselor, keluarga, dan pasien lain merupakan hal yang penting dalam mendukung keberhasilan intervensi ini (Riegel & Carlson, 2004; Dunbar et. al., 2005; Yehle et. al., 2009; Powell et. al., 2010; Smeulders et. al., 2010). Perawat dalam pemberians intervensi ini berperan sebagai konselor. Pemberian pendidikan kesehatan dan CBT diharapkan mampu meningkatkan self care dan self efficacy pasien gagal jantung sehingga dapat mencegah perburukan kondisi dan insiden rawat ulang di rumah sakit. Peranan perawat sebagai konselor pada intervensi CBT memiliki posisi yang penting. Konselor dituntut untuk mampu mengarahkan pasien sehingga

79 66 tujuan intervensi tercapai. Kemampuan sebagai konselor ini tidak dimiliki oleh semua perawat karena kemampuan ini membutuhkan pengetahuan dan pelatihan yang cukup. Intervensi ini juga biasa dilakukan oleh mahasiswa keperawatan yang telah mengambil jenjang S2. Sementara itu, sebagian besar perawat ruangan masih memiliki pendidikan D3 dan belum terpapar pengetahuan mengenai CBT. Hal ini dapat disikapi dengan melakukan pelatihan mengenai CBT pada perawat ruangan. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah pihak rumah sakit menyediakan konselor yang telah terlatih dan bertugas memberikan intervensi pada pasien. Pengetahuan akan berbagai intervensi untuk pasien menjadi hal penting dan utama bagi perawat. Selain CBT, perawat ruangan juga belum familiar dengan intervensi napas lambat dalam untuk meningkatkan sensitivitas baroreflek sehingga dapat memperbaiki fungsi kardiopulmonal dan toleransi aktivitas. Sebagian besar perawat hanya mengetahui tujuan pemberian intervensi napas lambat dalam adalah untuk mengurangi cemas atau nyeri. Padahal intervensi napas lambat dapat dijadikan alternatif intervensi untuk membantu mengatasi intoleransi aktivitas pada pasien CHF. Oleh karena itu, pengenalan intervensi napas lambat dalam untuk meningkatkan sensitivitas baroreflek perlu diberikan kepada perawat ruangan, baik dengan mengadakan pelatihan formal maupun pengenalan informal saat berinteraksi dengan perawat ruangan.

80 BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa: 1. Gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh akan oksigen dan nutrisi. Penyakit ini disebabkan oleh kondisi yang melemahkan keadaan jantung, yang merupakan akibat dari adanya peningkatan usia, hipertensi, diabetes, merokok, obesitas, dan tingginya tingkat kolesterol dalam darah. Penatalaksanaan CHF diperlukan untuk mencegah perburukan kondisi. 2. Penyakit CHF yang dialami oleh Tn. B merupakan akibat dari gaya hidup yang kurang baik, seperti kebiasaan merokok, konsumsi goreng-gorengan, makan makanan berlemak, tinggi kolesterol dan manis, yang mengakibatkan terjadinya penyakit-penyakit yang melemahkan kondisi jantung, seperti hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit arteri koroner. 3. Masalah keperawatan yang ditemukan pada Tn. B adalah penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan, gangguan pertukaran gas, dan intoleransi aktivitas. Kecemasan merupakan masalah keperawatan yang dapat timbul apabila keempat masalah keperawatan utama tidak ditangani dengan baik. Mekanisme koping positif dapat membantu mengatasi kecemasan 4. Latihan napas lambat dalam (slow deep breathing exercise) mampu meningkatkan sensitivitas baroreflek arteri, sehingga dapat menurunkan keluhan sesak dan toleransi aktivitas pasien. 5. Pemberian Cognitive Behaviour Therapy (CBT) bersama pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kepatuhan regimen terapi dalam pemberian asuhan keperawatan dan latihan napas lambat dalam sebagai intervensi intoleransi aktivitas pada pasien CHF 6. Perawat ruangan perlu diberikan pengenalan CBT dan latihan napas lambat dalam untuk meningkatkan sensitivitas baroreflek arteri. 66

81 Saran Bagi Perawat KIAN ini dapat digunakan oleh perawat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan intervensi keperawatan pada pasien CHF sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan dan perbaikan kondisi pasien. Perawat juga dapat memberikan alternatif intervensi, yaitu napas lambat dalam, untuk dimasukkan ke dalam diagnosa intoleransi aktivitas Bagi Mahasiswa Keperawatan KIAN ini dapat digunakan oleh mahasiswa keperawatan untuk meningkatkan pemahaman tentang CHF dan asuhan keperawatan pada pasien CHF sehingga dapat menjadi bekal pengetahuan untuk meningkatkan prestasi akademik maupun keterampilan saat terjun ke klinik Bagi Penelitian Keperawatan KIAN ini dapat digunakan oleh para peneliti keperawatan sebagai data dasar atau sumber referensi dalam penelitian yang berhubungan dengan intervensi keperawatan pada pasien CHF, terutama terkait latihan napas lambat dalam.

82 DAFTAR REFERENSI A.C. Nielsen (2005) Asia Pacific Retail and Shopper Trends 2005: Tren Pembeli dan Ritel Asia Pasifik Oktober 2, pdf. AHA. (2011). Classes of heart failure. Mei 22, ilure/classes-of-heart-failure_ucm_306328_article.jsp. AHA. (2012). Understand your risk for heart failure. Mei 22, kforheartfailure/understand-your-risk-for-heart- Failure_UCM_002046_Article.jsp AHA. (2012). About heart failure. Juni 27, About-Heart-Failure_UCM_002044_Article.jsp AHA. (2012). Types of heart failure. Juni 27, ypes-of-heart-failure_ucm_306323_article.jsp Anderson, D. (2008). Bernapas lambat dan dalam bisa turunkan tekanan darah. Mei 23, Badan Pusat Statistik. (2012). Perkembangan jumlah kendaraan bermotor menurut jenis tahun Mei 17, Barnason et. al. (2010). Pilot testing of a medication self-management transition intervention for heart failure patients. Westtern Journal of Nursing Research, 32, Barnason, S., Zimmerman, L., & Young, L. (2011). An integrative interview of interventions promoting self-care of patients with heart failure. Journal of Clinical Nursing, 21, Berek,Pius A.L. (2010). Efektivitas slow deep breathing terhadap penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di Atambua Nusa Tenggara Timur: a randomized controlled trial. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan. Bernardi et.al. (1998). Effect of breathing rate on oxygen saturation and exercise performance in chronic heart failure. The Lancet, 351,

83 Bernardi et. al. (2002). Slow breathing increases arterial baroreflex sensitivity in patients with chronic heart failure. Journal of The American Heart Association, 105, Bidang Keperawatan RSCM. (2012). Aplikasi proses keperawatan di RSCM. Power Point disampaikan pada Pencerdasan Perawat RSCM, Jakarta. Bidang Keperawatan RSCM. (2012). Pengisian catatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT) untuk petugas keperawatan. Power Point disampaikan pada Pencerdasan Perawat RSCM, Jakarta. Black, Joice M. & Hawks, Jane H. (2009). Medical surgical nursing: clinical management for positive outcomes (8 th ed). Singapore: Elsevier Bradke, Peg. (2009). Transisi depan program mengurangi readmissions untuk pasien gagal jantung. Juni 22, w.innoverations.ahrq.gov/content.aspx%3fid%3d2206. Brown, Diane & Edwards, Helen. (2005). Lewi s medical surgical nursing: assessment and management of clinical problems. Marricksville: Elsevier Bustan, M.N. (2004). Epidemiologi penyakit tidak menular. Jakarta: Rineka Cipta Caldwell et. al. (2005). A simplified education program improves knowledge, self-care behavior and disease severity in heart failure patients in rural settings. American Heart Journal, 150, Cowie, M.R. & Kirby, M. (2003). Managing heart failure in primary care: a practical guide. Oxdashire: Bladon Medical Publishing Dansky, K.H. (2008). Impact of telehealth on clinical outcomes in patients with heart failure. Clinical Nursing Research, 17, Davis, R.C., Hobbs, F.D.R., dan Lip, G.Y.H. (2000). ABC of heart failure: history and epidemiology. BMJ 2000, 320, Departemen Kesehatan RI. (2008). Profil kesehatan Indonesia Mei 22, donesia% pdf Departemen Kesehatan RI. (2010). Profil kesehatan Indonesia Mei 22, donesia% pdf 70

84 DeWalt et. al. (2006). A heart failure self-management program for patients of all literacy levels: a randomized, controlled trial. BMC Health Services Research, 6, 30 Diklat Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit DR. Cipto Mangunkusumo. (2008). Buku ajar: keperawatan kardiologi dasar. Jakarta Diklat PJT RSCM Ditewig et. al. (2010). Effectiveness of self-management interventions on mortality, hospital readmissions, chronic heart failure hospitalization rate and quality of life in patients with chronic heart failure : a systemic review. Patient Education & Counseling, 78, Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., and Geissler, A.C. (2000). Nursing care plans: guideines for planning and documentating patient care. (I Made Kariasa dan Ni Made Sumarwati, Penerjemah). Philadelphia: F.A. Davis Company Dunbar et. al. (2005). Family education and support interventions in heart failure: a pilot study. Nursing Research, 54, Eckel, R.H. (2013). Obesity and heart disease: a statement for healthcare professionals from Nutrition Committee, American Heart Association. Juni 29, Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2006). Medical surgical: critical thinking for collaborative care 5 th ed. St. Louise Missouri: Elsevier Ihdaniyati, A.I. & Ambarwati, W.N. (2008). Hubungan tingkat kecemasan dengan mekanisme koping pada pasien gagal jantung kongestif di RSU Pandan ARang Boyolali. Berita Ilmu Keperawatan, 4(1), Joohan, J. (2000). Cardiac output and blood pressure. Mei 19, grefurl. Kaplan, R & Schub, T. (2010). Heart failure in women. Cinahl Information System Kelliat,A.B. (1999). Penatalaksanaan stress. Jakarta: EGC Kumala, Yasmin D. (2009). Hubungan riwayat hipertensi dengan angka mortalitas pasien gagal jantung akut di lima rumah sakit di Indonesia pada Desember Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Lee. (2009). Bernapas secara positif untuk otak. Jakarta: Prestasi Pustaka 71

85 72 Leslie, D. (2004). Cardiovascular nursing secret. St Louise Missouri: Mosby Lovastatin, K. (2005). Penyakit jantung dan tekanan darah tinggi. Jakarta: Prestasi Pustaka Muttaqin, Arif. (2009). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem kardiovaskular dan hematologi. Jakarta: Salemba Medika Nanda International. (2012). Nursing diagnoses: definitions and classification (Made Sumarwati dan Nike Budhi S., Penerjemah). UK: John Wiley and Sons Limited. Niven, N. (2002). Psikologi kesehatan: pengantar untuk perawat dan professional kesehatan lain. Jakarta: EGC Polikandrioti, M. (2008). Health failure and health related quality of life. Health Science Journal, 2(3): Powell et. al. (2010). Self management counceling in patients with heart failure. JAMA: Journal of the American Medical Association, 304, Riegel, B. & Carlson, B. (2004). Is individual peer support a promising intervention for persons with heart failure?. Journal of Cardiovascular Nursing, 19, Riegel et. al. (2009). State of the science: promoting self-care in person with heart failure, a scientific a statement from the American heart association. Circulation, 120, RSCM. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Mei 22, Sethares, K.A. & Elliott, K. (2004). The effect of tailored message intervention on heart failure readmission rates, quality of life and benefit and barier beliefs in persons with heart failure. Heart & Lung, 33, Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2002). Brunner & Suddarth s textbook of medical surgical nursing 8 th ed. (Agung Waluyo et. al., Penerjemah). Philadelphia: Lippincott Smeulders et. al. (2010). Nurse-led self management group programme for patients with congestive heart failure: randomized controlled trial. Journal of Advanced Nursing, 66, Sepdianto, T.C. (2008). Pengaruh latihan slow deep breathing terhadap penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi di Kota Blitar. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan.

86 Sitorus, R & Panjaitan, R. (2011). Manajemen keperawatan: manajemen keperawatan di ruang rawat. Jakarta: Sagung Seto. Somantri, Ilman. (2008). Keperawatan medikal bedah: asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Stanley, M. & Beare, P.G. (2007). Gerontological nursing: a health promotion or protection approach, 2 nd ed. ( Nety J. dan Sari K., Penerjemah). Philadelphia: F.A. Davis Company Subroto (2002). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap rehospitalisasi pasien decompensasi cordis. Skripsi. Yogyakarta Suhartono, T. (2011). Dampak home based exercise training terhadap kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien gagal jantung di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan. Tzeng, Y. C., et. al. (2009). Respiratory modulation of cardiovagal baroreflex sensitivity. Journal of Applied Physiology, 107: Wang, D. & Gottlieb, S. (2008). Diuretics: still the mainstay of treatment. Critical Care of Medicine, 36 (1), s89-s94 WHO. (2013). Cardiovascular disease (CVDs). Mei 22, ilure/classes-of-heart-failure_ucm_306328_article.jsp Wilkinson, J.M., and Ahern, N.R. (2012). Prentice hall nursing diagnosis handbook. (9th ed.). (Esty Wahyuningsih, Penerjemah). New Jersey: Pearson Education Inc. Wilkinson, A. & Whitehead, I. (2009). Evolution of the concept of self-care and implications for nurses: a literature review. International Journal of Nursing Studies, 46, Yehle et. al. (2009). The effect of shared medical visits on knowledge and selfcare in patients with heart failure: a pilot study. Heart & Lung, 38, Zakiyah, D. (2008). Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan hipertensi dan hiperlipidemia sebagai faktor risiko PJK diantara pekerja di Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta Timur tahun Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. 73

87 Lampiran 1. Web of Causation (WOC) Masalah Keperawatan pada Bapak B Makanan manis Glukosa dlm darah insulin independen Sel endotel makanan berkolesterol LDL darah aterosklero sis merokok nikotin katekolamin vasokontriksi hipertensi afterload Fase Kom pen sasi RA A Dilatasi LV Aktv simpatis Retensi NA+air vasokon triksi volume katekol amin tek hidro tek onko Perfusi ginjal Inefektif kontraksi kontraktili tas permea bilitas Galop Kerja ot. jantung Asites, edema CO Kegagalan LV Hipertrofi miokard TD rendah elastisitas kardio megali Sumbatan dan kekakuan Perfusi sistemik TD, Perfusi koroner kontraktilitas HR Hipertrofi ventrikel Kerja jantung curah jantung Perfusi Forward Backward Bendungan cor kanan Bendungan cor kiri Darah ke sistemik Aliran balik ke pulmo tek hidro tek onko Kongesti pulmo permeab ilitas Edema pulmo Batuk tak berdahak Gagal jantung kanan Asites, edema Difusi gas terganggu Masuk pleura Tahanan di pulmo Kelebihan vol. cairan Gg pertukaran gas Efusi pleura RR sesak Difusi gas terganggu keluar Batu k efekti Suplai O2 kelema han Intoleransi aktivitas Kerusakan struktur eksudat sputum Proses inflamasi Infeksi TB

88 Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan pada Bapak B Diagnosa Keperawatan Penurunan curah jantung Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 12x24 jam, penurunan curah jantung dapat teratasi atau dikontrol. Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi o Tanda-tanda vital dalam batas normal: TD /60-80 mmhg, Nadi x/menit, RR 16- o Catat bunyi jantung. 24x/menit o Haluaran urin adekuat (0,5-1 cc/kgbb/jam) o Balans cairan seimbang o Palpasi nadi perifer. o parameter hemodinamik dalam batas normal o Melaporkan penurunan episode o Pantau tekanan darah. dispnea, angina. o Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung. Mandiri: o Auskultasi nadi apical; kaji frekuensi, irama jantung. o Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis. o Pantau haluaran urine, catat penurunan Rasional o Biasanya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat) untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas ventrikuler. o S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa. Irama gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah ke dalam sermabi yang distensi. Murmur dapat menunjukkan inkompetensi/stenosis katup. o Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial, popliteal, dorsalis pedis, dan postibial. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi, dan pulsus alternan (denyut kuat lain dengan denyut lemah) mungkin ada. o Pada GJK dini, sedang atau kronis tekanan darah dapat meningkat sehubungan dengan SVR. Pada HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi dan hipotensi tak dapat normal lagi. o Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer sekunder tehadap tidak adekuatnya curah jantung, vasokonstriksi dan anemia. Sinosis dapat terjadi sebagai refraktori GIK. Area yang sakit sering berwarna biru atau belang karena peningkatan kongesti vena. o Ginjal berespon untuk menurunkan curah jantung

89 Diagnosa Keperawatan Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi haluaran dan kepekatan/konsentrasi urine. o Kaji perubahan pada sensori, contoh letargi, bingung, o Berikan istirahat semi rekumben pada tempat tidur atau kursi. Kaji dengan pemeriksaan fisik sesuai indikasi. o Berikan istirahat psikologi dengan lingkungan tenang; menjelaskan manajemen medik/keperawatan; membantu pasien menghindari situasi stress, mendengar/berespon terhadap ekspresi perasaan/takut. o Berikan pispot di samping tempat tidur. Hindari aktivitas respons Valsava, contoh mengejan selama defekasi, menahan nafas selama perubahan posisi. o Hindari tekanan pada bawah lutut. Dorong olahraga aktif/pasif. Tingkatkan ambulasi/aktivitas sesuai toleransi. o Periksa nyeri tekan betis, menurunnya nadi pedal, pembengkakan, kemerahan local atau pucat pada ektremitas. Rasional dengan menahan cairan dan natrium. Haluaran urin biasanya menurun selam sehari karena perpindahan cairan ke jaringan tetapi dapat meningkat pada malam hari sehingga cairan berpindah kembali ke sirkulasi bila pasien tidur. o Dapat menunjukkan tidak adekuatnya perusi serebral sekunder tehadap penurunan curah jantung. o Istirahat fisik harus dipertahankan selama GIK akut atau refraktori untuk memperbaiki efisiensi kontraksi jantung dan menurunkan kebutuhan/konsumsi oksigen miokard dan kerja berlebihan. o Stres emosi menghasilkan vasokonstriksi, yang meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan frekuensi/kerja jantung. o Pispot digunakan untuk menurunkan kerja ke kamar mandi atau kerja keras menggunakan bedpan. Manuver valsava menyebabkan rangsang vagal diikuti dengan takikardi, yang selanjutnya berpengaruh pada fungsi jantung/curah jantung. o Menurunkan stasis vena dan dapat menurunkan insiden thrombus/pembentukan embolus. o Menurunnya curah jantung, bendungan/stasis vena dan tirah baring lama meningkatkan resiko tromboflebitis.

90 Diagnosa Keperawatan Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi o Jangan beri preparat digitalis dan laporkan dokter bila perubahan nyata terjadi pada frekuensi jantung atau irama atau tanda toksisitas digitalis. Kolaborasi : o Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker sesuai indikasi. o Berikan obat sesuai indikasi. Diuretic, contoh furosemid (Lasix); asam etakrinik (decrin); bumetanid (Bumex); spironolakton (Aldakton) Vasodilator, contoh nitrat (nitrodur, isodril); arteriodilator, contoh hidralazin (Apresoline); kombinasi obat, contoh prazosin (Minippres). Digoksin (Lanoxin). Rasional o Insiden toksisitas tinggi (20%) karena menyempitnya batas antara rentang terapeutik dan toksik. Digoksin harus dihentikan pada adanya kadar obat toksik, frekuensi jantung lambat, atau kadar kalium rendah. o Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia. o Banyaknya obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas, dan menurunkan kongesti. Tipe dan dosis diuretic tergantung pada derajat gagal jantung dan status fungsi ginjal. Penurunan preload paling banyak digunakan dalam mengobati pasien dengan curah jantung relative normal ditambah dengan gejala kongesti. Diuretik blok reabsorpsi diuretic, sehingga mempengaruhi reabsorpsi natrium dan air. Vasodilator digunakan untuk meningkatkan curah jantung, menurunkan volume sirkulasi (vasodilator) dan tahanan vaskuler sistemik (arteeiodilator), juga kerja ventrikel. Meningkatkan kekuatan kontraksi miokard dan memperlambat frekuensi jantung dengan menurunkan konduksi dan memperlama periode refraktori pada hubungan AV untuk meningkatkan efesiensi/curah jantung.

91 Diagnosa Keperawatan Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi Captopril (Capoten); lisinopril (Prinivil); enalapril (Vasotec). Morfin sulfat. Tranquilizer/sedatif. Antikoagulan, contoh heparin dosis rendah, warfarin (Coumadin). o Pemberian cairan IV, pembatasan jumlah total sesuai indikasi. Hindari cairan garam. o Pantau/ganti elektrolit. o Pantau seri EKG dan perubahan foto dada. Rasional Inhibitor ACE dapat digunakan untuk mengontrol gagal jantung dengan menghambat konversi angiotensin dalam paru dan menurunkan vasokonstriksi, SVR, dan TD. Penurunan tahanan vaskuler dan aliran balik vena menurunkan kerja miokard. Menghilangkan cemas dan mengistirahatkan siklus umpan balik cemas/pengeluaran katekolamin/cemas. Meningkatkan istirahat/relaksasi dan menurunkan kebutuhan oksigen dan kerja miokard. Dapat digunakan secara profilaksis untuk mencegah pembentukan thrombus/emboli pada adanya factor resiko seperti statis vena, tirah baring, disritmia jantung, dan riwayat episode trombolik sebelumnya. o Karena adanya peningkatan tekanan ventrikel kiri, pasien tidak dapat mentolerir peningkatakn volume cairan (preload). Pasien GJK juga mengeluarkan sedikit natrium yang menyebabkan retensi cairan dan meningkatkan kerja miokard. o Perpindahan cairan dan pengguanaan diuretic dapat mempengaruhi elektrolit (khususnya kalium dan klorida) yang mempengaruhi irama jantung dan kontraktilitas. o Deprsi segmen ST dan datarnya gelombang T dapat terjadi karena peningkatan kebutuhan oksigen

92 Diagnosa Keperawatan Gangguan pertukaran gas Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6 x24 jam, pertukaran gas dapat efektif o Tanda-tanda vital dalam batas normal: TD /60-80 mmhg, Nadi x/menit, RR 16-24x/menit o Tidak mengalami sesak napas/sianosis o bunyi napas dari hasil o Pantau pemeriksaan laboratorium, contoh BUN dan kreatinin. o Pemeriksaan fungsi hati (AST, LDH). o PT/APTT/pemeriksaan koagulasi. o Siapkan untuk insersi/mempertahankan alat pacu jantung, bila diindikasikan. o Siapkan pembedahan sesuai indikasi. Mandiri o Auskultasi bunyi napas, tandai daerah paru yang mengalami penurunan/kehilangan ventilasi, dan munculnya bunyi adventisius misalnya krekels, mengi, ronkhi o Catat kecepatan/kedalaman pernapasan, sianosis, penggunaan otot aksesoris/penigkatan kerja pernapasan dan Rasional miokard, meskipun tak ada penyakit arteri koroner. Foto dada dapat menunjukkan pembesaran jantung dan perubahan kongesti pulmonal. o Peningkatan BUN/kreatinin menunjukkan hipoperfusi/gagal ginjal. o AST/LDH dapat meningkat sehubungan dengan konge hati dan menunjukkan kebutuhan untuk obat dengan dosis lebih kecil yang didetoksikasi oleh hati. o Mengukur perubahan pada proses koagulasi atau keefektifan terapi antikoagulan. o Mungkin perlu untuk memperbaiki bradisritmia tak responsive terhadap intervensi obat yang dapat berlanjut menjadi gagal kongesti/menimbulkan edema paru. o Gagal kongesti sehubungan dengan aneurisma ventrikuler atau disfungsi katup dapat membutuhkan aneurisektomi atau penggantian katup untuk memperbaiki kontraksi/fungsi miokard. o Memperkirakan adanya perkembangan komplikasi/infeksi pernapasan, misalnya atelektasis/pneumonia. Catatan: PCP umumnya berkembang sebelum terjadinya perubahan pada suara napas o Takipnea, sianosis, tak dapat istirahat, dan peningkatan napas menunjukkan kesulitan pernapasan dan adanya kebutuhan untuk

93 Diagnosa Keperawatan Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi sinar X bagian dada munculnya dispnea, ansietas yang bersih o Tinggikan kepala tempat tidur. Usahakan meningkat pasien untuk berbalik, batuk, menarik o hasil pemeriksaan napas sesuai kebutuhan laboratorium AGD o Hisap jalan napas sesuai kebutuhan, dalam rentang normal gunakan teknik steril dan lakukan tindakan : PCO2 =35-45, PO2 pencegahan, misalnya menggunakan =21-25, HCO3= masker, pelindung mata , Sat O2 o Kaji perubahan tingkat kesadaran =95-98 o tidak ada keluhan sesak/ keluhan sesak o Selidiki keluhan tentang nyeri dada menurun o Berikan periode istirahat yang cukup diantara waktu aktivitas perawatan. Pertahankan lingkungan yang tenang Kolaborasi o Pantau/buat kurva hasil pemeriksaan GDA/nadi oksimetri o Tinjau ulang sinar X dada o Instruksikan untuk menggunakan spirometer intensif. Lakukan fisioterapi Rasional meningkatkan pengawasan/intervensi medis o Meningkatkan fungsi pernapasan yang optimal dan mengurangi aspirasi atau infeksi yang ditimbulkan karena atelektasis o Membantu membersihkan jalan napas, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran gas dan mencegah komplikasi pernapasan o Hipoksemia dapat terjadi akibat adanya perubahan tingkat kesadaran mulai dari ansietas dan kekacauan mental sampai kondisi tidak responsif o Nyeri dada pleuritis dapat menggambarkan adanya pneumoni non spesifik atau efusi pleura berkenaan dengan keganasan o Menurunkan konsumsi oksigen o Menunjukkan status pernapasan, kebutuhan perawatan/keefektifan pengobatan o Adanya infiltrasi meluas memungkinkan terjadinya pneumonia atau PCP, sementara daerah kongesti/konsoidasi menunjukkan komplikasi pernapasan yang lain, misalnya atelektasis atau lesi KS o Mendorong teknik pernapasan yang tepat dan meningkatkan pengembangan paru. Melepaskan

94 Diagnosa Keperawatan Kelebihan volume cairan Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi dada, misalnya perkusi, vibrasi, dan drainase postural Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 6x24 jam, kelebihan volume cairan dapat teratasi o Balans cairan seimbang (masukan sama dengan pengeluaran) o Urin output 0,5-1 cc/kgbb/jam o Bunyi nafas bersih/jelas (tidak o Berikan tambahan oksigen yang dilembabkan melalui cara yang sesuai, misalnya melalui kanula, masker, intubasi.ventilasi mekanis. o Berikan obat Antimikroba, misalnya Trimetoprim (Bactrim, Septra); Pentamidin isetionat (Pentam) o Bronkodilator, ekspektoran, depresan batuk o Siapkan/bantu pelaksanaan prosedur seperti bronkoskopi Mandiri: o Pantau haluaran urine, catat jumlah dan warna saat hari dimana diuresis terjadi. o Pantau/hitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selama 24 jam. Rasional sekresi, mengeluarkan mukus yang menyumbat untuk meningkatkan bersihan jalan napa. Catatan: Paa waktu terjadi lesi kulit multipel, fisioterapi dada mungkin akan dihentikan o Mempertahankan ventilasi/oksigenasii efektif untuk mencegah/memperbaiki krisis pernapasan o Pilihan terapi tergantung pada situasi individu/infeksi organisme. Catatan: Bactrim adalah obat pilihan sebagai profilaksis (pada jumlah T4 mencapai 200) untuk mencegah pneumonia PCP o Mungkin diperlukan untuk meningkatkan/ mempertahankan jalan napas atau untuk membantu membersihkan sekresi o Mungkin diperlukan untuk membersihkan mukus penyumbat, mengambil spesimen untuk pemeriksaan dalam menegakkan diagnosa (biopsi/lavase) o Haluaran urine mungkin sedikit dan pekat (khususnya selama sehari) karena penururnan perfusi ginjal. Posisi telentang memebantu diuresis, sehingga haluaran urine dapat ditingkatkan pada malam/selama tirah baring. o Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun

95 Diagnosa Keperawatan Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi atau berkurang. ada krekel, ronkhi) o Tanda-tanda vital dalam rentang normal : TD /60-80 mmhg, Nadi x/menit, RR 16-24x/menit) o o o Tidak ada penambahan berat badan Tidak ada edema. Menyatakan pemahan tentang pembatasan caiaran individual. o Pertahankan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut. o Buat jadwal pemasukan cairan, digabung dengan keinginan minum bila mungkin. Berikan perawatan mulut/es batu sebagai bagian dari kebutuhan cairan. o Timbang berat badan tiap hari. o Kaji distensi leher dan pembuluh perifer. Lihat area tubuh dependen untuk edema dengan/tanpa pitting; catat adanya edema tubuh umum (anasarka). o Ubah posisi dengan sering. Tinggikan kaki bila duduk. Lihat permukaan kulit, pertahanakan tetap kering dan berikan bantalan sesuai indikasi. Rasional edema/asites masih ada. o Posisi telentang meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis. o Melibatkan pasien dalam program terapi dapat meningkatkan perasaan mengontrol dan kerjasama dalam pembatasan. o Catat perubahan ada/hilangnya edema sebagai respons terhadap terapi. Peningkatan 2.5 kg menunjukkan kurang lebih 2L cairan. Sebaliknya, diuretic dapat mengakibatkan cepatnya kehilangan/perpindahan cairan dan kehilangan berat badan. o Retensi cairan berlebihan dapat dimanifestasikan oleh pembendungan vena dan pembentukan edema. Edema perifer mulai pada kaki/mata kaki (atau area dependen) dan meningkat sebagai kegagalan paling buruk. Edema pitting adalah gambaran secara umum hanya setelah retensi sedikitnya 5 kg cairan. Peningkatan kongesti vaskuler (sehubungan dengan gagal jantung kanan) secara nyata mengakibatkan edema jaringan sistemik. o Pembentukan edema, sirkulasi melambat, gangguan pemasukan nutrisi dan imobilisasi/tirah baring lama merupakan kumpulan stressor yang mempengaruhi integritas kulit dan memerlukan intervensi pengawasan ketat/pencegahan.

96 Diagnosa Keperawatan Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi o Auskultasi bunyi nafas, catat penurunan dan/atau bunyi tambahan, contoh krekels, mengi. Catat adanya peningkatan dispnes, takipnea, ortopnea, dispnea noktyurnal paroksismal, batuk persisiten. o Selidiki keluhan dispnea ekstrem tiba-tiba, kebutuhan untuk bangun dari duduk, sensasi sulit bernafas, rasa panic atau ruangan sempit. o Pantau TD dan CVP (bila ada). o Kaji bising usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen, konstipasi. o Berikan makanan yang mudah dicerna, porsi kecil dan sering. o Ukur lingkar abdomen sesuai indikasi. o Dorong untuk menyatakan perasaan sehubungan dengan pembatasan o Palpasi hepatomegali. Catat keluhan nyeri abdomen kuadran kanan atas/nyeri tekan. Rasional o Kelebihan volume cairan sering menimbulkan kongesti paru. Gejala edema paru dapat menunjukkan gagal jantung kiri akut. Gejala pernafasan pada gagal jantung kanan (dispnea, batuk, otopnea) dapat timbul lambat tetapi lebih sulit membaik. o Dapat menunjukkan terjadinya komplikasi (edema paru/emboli) dan berbeda dari ortopnea dan dispnea nocturnal paroksismal yang terjadi lebih cepat dan memerlukan intervensi segera. o Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan volume cairan dan dapat menunjukkan terjadinya/peningkatan kongesti paru, gagal jantung. o Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal. o Penurunana motilitas gaster dapat berefek merugikan pada digestif dan absorpsi. Makan sedikit dan sering meningkatkan digesti/mencegah ketidaknyamanan abdomen. o Pada gagal ajntung lanan lanjut, cairan dapat berpindah ke dalam area peritoneal, menyebabkan meningkatnya lingkar abdomen (asites). o Ekpresi perasaan/masalah dapat menurunkan stress/cemas, yang mengeluarkan energi dan dapat menimbulkan perasaan lemah. o Perluasan gagal jantung menimbulkan kongesti vena, menyebabkan distensi abdomen, pembesaran hati, dan nyeri. Ini akan mengganggu fungsi hati dan

97 Diagnosa Keperawatan Intoleransi aktivitas Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi Setelah diberikan asuhan o Tanda-tanda vital dalam batas normal: TD /60-80 o Catat peningkatan letargi, hipotensi, kram otot. Kolaborasi : o Pemberian obat sesuai indikasi. Diuretik, contoh furosemid (Lasix); bumetadine (Bumex) Tiazid dengan agen pelawan kalium, contoh spironolakton (Aldakton). Tambahan kalium contoh K Dur. o Mempertahankan cairan/pembatasan natrium sesuai indikasi. o Konsul dengan ahli diet. o Pantau foto torak. o Kaji dengan torniket rotasi/flebotomi, dialysis, atau ultrafiltrasi sesuai indikasi Mandiri: o Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila pasien Rasional mengganggu /memperpanjang metabolisme obat. o Tanda defesit kalium dan natrium yang dapat terjadi sehubungan denga perpindahan cairan dan terapi diuretic. Meningkatkan laju aliran urine dan dapat menghambat reabsorpsi natrium/klorida pada tubulus ginjal. Meningkatkan diuresis tanpa kehilangan kalium berlebihan. Mengganti kehilangan kalium sebagai efek samping terapi diuretic, yang dapat mempengaruhi fungsi jantung. o Menurunkan air total tubuh/mencegah reakumulasi cairan. o Perlu memberikan diet yang dapat diterima pasien yang memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium. o Menunjukkan perubahan indikasif peningkatan/perbaikan kongesti paru. o Meskipun tidak sering digunakan, penggantian cairan mekanis dilakukan untuk mempercepat penurunana volume sirkulasi, khususnya pada edema paru refraktori pada terapi lain. o Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktiviyas karena efek obat (vasodilatasi), perpindahan cairan

98 Diagnosa Keperawatan Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi keperawatan mmhg, Nadi 50- selama 4x24 100x/menit, RR 16- jam, klien 24x/menit mampu aktivitas sesuai kemampuannya. o Berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan, memenuhi kebutuhan perawatan diri o sendiri. Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan dan tanda vital DBN selama aktivitas. mengguanakan vasodilator, diuretic, penyekat beta. o Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, disritmia, dispnea, berkeringat, pucat. o Kaji presipitator/penyebab kelemahan contoh, pengobatan, nyeri, obat. o Ajarkan dan motivasi latihan slow deep breathing exercise, yaitu latihan nafas dalam sebanyak 6x nafas/menit selama minimal 4 menit dan dilakukan 2x dalam sehari o Evaluasi peningkatan intoleransi aktivitas. o Berikan bantuan dalam aktivitas perawatan diri sesuai indikasi. Selingi periode aktivitas dengan periode istirahat. Kolaborasi : o Implementasikan program rehabilitasi jantung/aktivitas. Rasional (diuretik) atau pengaruh fungsi jantung. o Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas, dapat menyebabkan peningkatan segera pada frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen, juga peningkatan kelelahan dan kelemahan. o Kelemahan adalah efek samping beberapa obat (beta bloker, traquilizer, dan sedatif). Nyeri dan program penuh stress juga memerlukan energi dan menyebabkan kelemahan. o Latihan slow deep breathing dapat meningkatkan reflek vasovagal serta meningkatkan saturasi O2 sehingga pernapasan lebih efektif dan menurunkan intoleransi aktivitas o Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung daripada kelebihan aktivitas. o Pemenuhan kebutuhan perawatan diri pasien tanpa mempengaruhi stress miokard/kebutuhan oksigen berlebihan. o Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah stress, bila disfungsi jantung tidak dapat membaik kembali..

99 Lampiran 3. Satuan Acara Pembelajaran Congestive Heart Failure (CHF) SATUAN ACARA PEMBELAJARAN PENYULUHAN GAGAL JANTUNG KONGESTIF DAN PERAWATANNYA DI RUMAH Pokok bahasan : gagal jantung kongestif (CHF) Sub-pokok bahasan : Pengertian gagal jantung kongestif, penyebab gagal jantung kongestif, tanda-tanda gagal jantung kongestif, cara perawatan pasien dengan gagal jantung kongestif, dan tanda pasien dengan gagal jantung kongestif harus dibawa ke RS atau pelayanan kesehatan Sasaran : Pasien dengan gagal jantung kongestif (Tn B) dan keluarga Tempat : Ruang 718 Lantai 7 Gd A RSCM Waktu : 25 menit I. Tujuan Instruksional Umum Setelah diberikan penyuluhan tentang gagal jantung kongestif, pasien dan keluarga mengetahui tentang penyakit gagal jantung kongestif dan dan perawatannya di rumah II. Tujuan Instruksional Khusus Setelah diberikan penyuluhan tentang penyakit gagal jantung kongestif dan perawatannya di rumah, pasien dan keluarga mampu: 1. Menyebutkan pengertian gagal jantung kongestif 2. Menyebutkan penyebab gagal jantung kongestif 3. Menyebutkan tanda-tanda gagal jantung kongestif 4. Menyebutkan cara perawatan pasien dengan gagal jantung kongestif di rumah 5. Mendemonstrasikan latihan napas pelan dan dalam III. Materi (Terlampir) 1. Pengertian gagal jantung kongestif

100 2. Penyebab gagal jantung kongestif 3. Cara perawatan pasien gagal jantung kongestif di rumah 4. Tanda pasien gagal jantung kongestif harus dibawa ke RS atau pelayanan kesehatan IV. Metode 1. Diskusi 2. Demonstrasi V. Media 1. Leaflet VI. Kegiatan Belajar-Mengajar Kegiatan penyuluh Kegiatan pendengar Pembukaan ( 2 menit ) Mengucapkan salam Memperkenalkan diri Kontrak waktu Menyampaikan tujuan penyuluhan Menjawab salam Mendengarkan Mendengarkan dan menerima kontrak waktu Mendengarkan Penyajian materi ( 10 menit ) Menggali pengetehuan klien tentang pengertian gagal jantung Reinforcement positif Menjelaskan pengertian gagal jantung Menggali pengetehuan klien tentang penyebab gagal jantung Reinforcement positif Menjelaskan penyebab gagal jantung Menggali pengetehuan klien tentang tanda dan gejala gagal jantung Mendengar dan menjawab Mendengarkan, memperhatikan Mendengarkan, memperhatikan Mendengar dan menjawab Mendengarkan, memperhatikan Mendengarkan, memperhatikan Mendengar dan menjawab

101 Kegiatan penyuluh Kegiatan pendengar Reinforcement positif Menjelaskan tanda dan gejala gagal jantung Reinforcement positif Mengali pengetahuan klien tentang perawatan pasien gagal jantung di rumah Reinforcement positif Menjelaskan tentang perawatan pasien gagal jantung di rumah Mendengarkan, memperhatikan mendengarkan dan memperhatikan Mendengar dan memperhtikan mendengarkan dan menjawab Mendengar dan memperhatikan Mendengar dan memperhatikan Reinforcement positif Mengali pengetahuan klien tentang kapan pasien gagal jantung harus dibawa ke RS atau pelayanan kesehatan Reinforcement positif Menjelaskan penatalaksanaan tentang kapan pasien gagal jantung harus dibawa ke RS atau pelayanan kesehatan Mendengar dan memperhatikan mendengarkan dan menjawab Mendengar dan memperhatikan Mendengar dan memperhatikan Reinforcement positif Mengali pengetahuan klien tentang latihan napas pelan dan dalam Mendengar dan memperhatikan Mendengarkan, menjawab, dan mendemonstrasikan Reinforcement positif mendemonstrasikan tentang latihan napas pelan dan dalam Mendengar dan memperhatikan Mendengar dan memperhatikan meminta klien mendemonstrasikan

102 Kegiatan penyuluh Kegiatan pendengar mendemonstrasikan latihan napas pelan dan dalam Reinforcement positif Memberikan kesempatan pada keluarga untuk bertanya Menjawab pertanyaan Mendengar dan memperhatikan Mendengarkan dan menjawab Mendengar dan memperhatikan Penutup ( 3 menit ) Diskusi atau tanya jawab Menyimpulkan materi bersama-sama Mengucapkan salam Memperhatikan dan menjawab pertanyaan Mendengarkan Menjawab salam VII. Evaluasi 1. Evaluasi struktur - Tersedianya media - Mahasiswa, pasien dan keluarga pasien bertemu sesuai kontrak waktu yang telah disepakati 2. Evaluasi proses - Pelaksanaan sesuai rencana - Pasien dan keluarga aktif dalam diskusi dan tanya jawab - Pasien dan keluarga mengikuti kegiatan dari awal hingga selesai 3. Evaluasi hasil Setelah dilakukan penyuluhan pasien dan/ atau keluarga mampu: Menyebutkan pengertian gagal jantung kongestif dengan bahasa sendiri dengan tepat Menyebutkan 3 dari 7 penyebab gagal jantung kongestif dengan tepat

103 Menyebutkan 4 dari 8 tanda-tanda gagal jantung kongestif dengan tepat Menyebutkan 6 dari 7 cara perawatan pasien dengan gagal jantung kongestif di rumah Mendemonstrasikan latihan napas pelan dan dalam dengan benar MATERI GAGAL JANTUNG KONGESTIF DAN CARA PERAWATAN DI RUMAH 1. APA ITU GAGAL JANTUNG KONGESTIF? Keadaan dimana jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik (suplai O2 dan nutrisi tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh) 2. MENGAPA BISA TERJADI? kelainan otot jantung hipertensi peradangan otot jantung penyumbatan pembuluh darah koroner gangguan katup jantung anemia faktor lain : stress, kehamilan, penyakit paru 3. TANDA-TANDA GAGAL JANTUNG KONGESTIF? Sesak nafas Batuk Denyut nadi meningkat Kelelahan setelah melakukan aktivitas Gelisah Bengkak pada kaki, tangan, dan / atau perut Pucat, lemas

104 Kuku dan mulut kebiruan 4. BAGAIMANA CARA PERAWATAN DI RUMAH? Istirahat yang cukup Melakukan aktivitas sesuai toleransi, bila mulai terasa lelah segera istirahat Olahraga sesuai toleransi, misal jalan kaki, enam-senam kecil, atau latihan tarik napas pelan dan dalam Konsumsi makanan rendah kolesterol (makanan berkolesterol : daging ayam, daging sapi, kuning telor, makanan bersantan, dll) Konsumsi protein cukup ( kacang-kacangan seperti buncis, wotel, kacang panjang, tahu, tempe, ikan, telur) Konsumsi makanan yang mengandung serat untuk mencegah susah buang air besar ( sayuran dan buah-buahan ) Hindari makanan yang asin Pembatasan konsumsi garam 2-3 g/hari atau setengah peres sendok makan jika disertai hipertensi atau bengkak Melakukan pembatasan minum sesuai anjuran dokter Minum obat dari dokter secara rutin Saat ke kamar mandi pintu jangan ditutup Kontrol ke pelayanan kesehatan min. 2 minggu sekali untuk mengetahui perkembangan kesehatan 5. KAPAN HARUS DIBAWA KE RUMAH SAKIT ATAU PELAYANAN KESEHATAN? Sesak memberat Nyeri dada yang memberat Kaki bengkak BAK sedikit atau tidak ada BAK sama sekali

105 Lampiran 4. Leaflet Congestive Heart Failure (CHF Pengertian dan Cara Perawatannya Oleh Astutiningrum Puspa D., S.Kep Fakultas Ilmu Keperawatan 2013 APA ITU GAGAL JANTUNG KONGESTIF? Keadaan dimana jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik (suplai O2 dan nutrisi tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh) MENGAPA BISA TERJADI? kelainan otot jantung hipertensi peradangan otot jantung penyumbatan pembuluh darah koroner gangguan katup jantung anemia faktor lain : stress, kehamilan, penyakit paru TANDA-TANDA GAGAL JANTUNG KONGESTIF? Sesak nafas Batuk Denyut nadi meningkat Kelelahan setelah melakukan aktivitas Gelisah Bengkak pada kaki, tangan, dan / atau perut Pucat, lemas Kuku dan mulut kebiruan

106 BAGAIMANA CARA PERAWATAN DI RUMAH? Istirahat yang cukup Melakukan aktivitas sesuai toleransi, bila mulai terasa lelah segera istirahat Olahraga sesuai toleransi, misal jalan kaki, senam-senam kecil, dan latihan napas pelan dan dalam Konsumsi makanan rendah kolesterol (makanan berkolesterol : daging ayam, daging sapi, kuning telor, makanan bersantan, dll) Konsumsi protein cukup ( kacang-kacangan seperti buncis, wotel, kacang panjang, tahu, tempe, ikan, telur) Konsumsi makanan yang mengandung serat untuk mencegah susah buang air besar ( sayuran dan buah-buahan ) Hindari makanan yang asin Pembatasan konsumsi garam 2-3 g/hari atau setengah peres sendok makan jika disertai hipertensi atau bengkak Melakukan pembatasan minum sesuai anjuran dokter Minum obat dari dokter secara rutin Saat ke kamar mandi pintu jangan ditutup Kontrol ke pelayanan kesehatan min. 2 minggu sekali untuk mengetahui perkembangan kesehatan KAPAN HARUS DIBAWA KE RUMAH SAKIT ATAU PELAYANAN KESEHATAN? Sesak memberat Nyeri dada yang memberat Kaki bengkak BAK sedikit atau tidak ada BAK sama sekali

KOMPLIKASI GAGAL JANTUNG KONGESTIF Gagal jantung kongestif dapat menyebabkan beberapa komplikasi. Komplikasi utama dari gagal jantung kongestif

KOMPLIKASI GAGAL JANTUNG KONGESTIF Gagal jantung kongestif dapat menyebabkan beberapa komplikasi. Komplikasi utama dari gagal jantung kongestif KOMPLIKASI GAGAL JANTUNG KONGESTIF Gagal jantung kongestif dapat menyebabkan beberapa komplikasi. Komplikasi utama dari gagal jantung kongestif meliputi efusi pleura, aritmia, pembentukan trombus pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dari sekian banyak kasus penyakit jantung, Congestive Heart Failure

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dari sekian banyak kasus penyakit jantung, Congestive Heart Failure BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dari sekian banyak kasus penyakit jantung, Congestive Heart Failure (CHF) menjadi yang terbesar. Bahkan dimasa yang akan datang penyakit ini diprediksi akan terus bertambah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular terdiri dari jantung, jaringan arteri, vena, dan kapiler yang mengangkut darah ke seluruh tubuh. Darah membawa oksigen dan nutrisi penting untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme dengan kata lain, diperlukan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jantung merupakan suatu organ yang memompa darah ke seluruh organ tubuh. Jantung secara normal menerima darah dengan tekanan pengisian yang rendah selama diastol dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Gagal Jantung Kongestif 1.1 Defenisi Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Asia saat ini terjadi perkembangan ekonomi secara cepat, kemajuan industri, urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti peningkatan konsumsi kalori, lemak, garam;

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi dimana jantung gagal mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian cukup. Gagal jantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG Penyakit tidak menular terus berkembang dengan semakin meningkatnya jumlah penderitanya, dan semakin mengancam kehidupan manusia, salah satu penyakit tidak menular

Lebih terperinci

jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan (Pickering, 2008). Menurut data dan pengalaman sebelum adanya pengobatan yang

jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan (Pickering, 2008). Menurut data dan pengalaman sebelum adanya pengobatan yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia saat ini adalah penyakit gagal jantung (Goodman and Gilman, 2011). Menurut data WHO 2013 pada tahun 2008,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi menurut kriteria JNC VII (The Seventh Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and treatment of High Blood Pressure), 2003, didefinisikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia. Dewasa ini perilaku pengendalian PJK belum dapat dilakukan secara

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia. Dewasa ini perilaku pengendalian PJK belum dapat dilakukan secara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit jantung koroner (PJK) telah menjadi penyebab kematian utama di Indonesia. Dewasa ini perilaku pengendalian PJK belum dapat dilakukan secara optimal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertambah dan pertambahan ini relatif lebih tinggi di negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. bertambah dan pertambahan ini relatif lebih tinggi di negara berkembang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam waktu mendatang jumlah golongan usia lanjut akan semakin bertambah dan pertambahan ini relatif lebih tinggi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Bertambahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prevalensi penyakit kardiovaskular yang meningkat setiap tahun menjadi masalah utama di negara berkembang dan negara maju (Adrogue and Madias, 2007). Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan teoritik A.1. Hipertensi a. Definisi : Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah 140 mmhg (tekanan sistolik) dan atau 90 mmhg (tekanan darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global,

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai macam penyakit akibat gaya hidup yang tidak sehat sangat sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global, banyak stresor dan

Lebih terperinci

Curah jantung. Nama : Herda Septa D NPM : Keperawatan IV D. Definisi

Curah jantung. Nama : Herda Septa D NPM : Keperawatan IV D. Definisi Nama : Herda Septa D NPM : 0926010138 Keperawatan IV D Curah jantung Definisi Kontraksi miokardium yang berirama dan sinkron menyebabkan darah dipompa masuk ke dalam sirkulasi paru dan sistemik. Volume

Lebih terperinci

Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department

Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department Survey WHO, 2009 : angka kematian akibat penyakit kardiovaskular terus meningkat, thn 2015 diperkirakan 20 juta kematian DKI Jakarta berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu akibat terjadinya penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh koroner. Penyumbatan atau penyempitan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal jantung adalah sindroma klinis yang kompleks yang timbul akibat kelainan struktur dan atau fungsi jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel kiri dalam mengisi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) atau iskemia miokard, adalah penyakit yang ditandai dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot jantung, biasanya karena penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia dalam dekade terakhir (2000-2011). Penyakit ini menjadi penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prevalensi hipertensi atau tekanan darah tinggi di Indonesia cukup tinggi. Selain itu, akibat yang ditimbulkannya menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi merupakan

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tekanan darah merupakan salah satu tanda vital kehidupan manusia. Tekanan darah dibagi menjadi tekanan sistolik yaitu tekanan dalam arteri saat jantung berdenyut (ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan sangat serius saat ini. Hipertensi disebut juga sebagai the silent killer. Hipertensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit arteri koroner (CAD = coronary arteridesease) masih merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit arteri koroner (CAD = coronary arteridesease) masih merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Penyakit jantung koroner (CHD = coronary heart desease) atau penyakit arteri koroner (CAD = coronary arteridesease) masih merupakan ancaman kesehatan. Penyakit

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL JANTUNG. OLEH : Ns. ANISA

ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL JANTUNG. OLEH : Ns. ANISA ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL JANTUNG OLEH : Ns. ANISA 1 Review Anatomi Aliran darah melalui jantung 2 Review Fisiologi Sistem Mekanik Jantung Sistolik Diastolik Curah jantung Kardiak indeks Preload Afterload

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery Disease (CAD) merupakan suatu penyakit yang terjadi ketika arteri yang mensuplai darah untuk dinding

Lebih terperinci

Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi) Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi) Data menunjukkan bahwa ratusan juta orang di seluruh dunia menderita penyakit hipertensi, sementara hampir 50% dari para manula dan 20-30% dari penduduk paruh baya di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan jaman dan perkembangan teknologi dapat mempengaruhi pola hidup masyarakat. Banyak masyarakat saat ini sering melakukan pola hidup yang kurang baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri, mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tekanan darah lebih dari sama dengan 140mmHg untuk sistolik dan lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. tekanan darah lebih dari sama dengan 140mmHg untuk sistolik dan lebih dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah lebih dari sama dengan 140mmHg untuk sistolik dan lebih dari sama dengan 90mmHg untuk diastolik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan manusia di seluruh dunia saat ini ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain, demografi penuaan, urbanisasi yang cepat, dan gaya hidup tidak sehat. Salah

Lebih terperinci

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang menyumbang angka kematian terbesar di dunia. Disability-Adjusted Life Years (DALYs) mengatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. milimeter air raksa (mmhg) (Guyton, 2014). Berdasarkan Seventh Joint National

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. milimeter air raksa (mmhg) (Guyton, 2014). Berdasarkan Seventh Joint National BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tekanan Darah 1. Definisi Tekanan Darah Menurut Guyton, tekanan darah adalah daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh yang dinyatakan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami berbagai perkembangan penyakit yang bersifat degeneratif.

BAB I PENDAHULUAN. mengalami berbagai perkembangan penyakit yang bersifat degeneratif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi alam dan masyarakat saat ini sangat kompleks sehingga banyak masalah kesehatan yang muncul. Saat ini masyarakat modern banyak mengalami berbagai perkembangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kematian kerena payah jantung, infark miocardium, stroke, atau gagal. ginjal (Pierece, 2005 dalam Cahyani 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. kematian kerena payah jantung, infark miocardium, stroke, atau gagal. ginjal (Pierece, 2005 dalam Cahyani 2012). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Lataar Belakang Masalah Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmhg atau diastolik sedikitnya 90 mmhg. Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian terdiri atas analisis deskriptif dan analisis data secara statistik, yaitu karakteristik dasar dan hasil analisis antar variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan Usia Harapan Hidup penduduk dunia dan semakin meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan Usia Harapan Hidup penduduk dunia dan semakin meningkatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keberhasilan pembangunan diberbagai bidang terutama bidang kesehatan menyebabkan peningkatan Usia Harapan Hidup penduduk

Lebih terperinci

PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO

PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO PADA FOTO THORAX STANDAR USIA DI BAWAH 60 TAHUN DAN DI ATAS 60 TAHUN PADA PENYAKIT HIPERTENSI DI RS. PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%. Hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%. Hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer sampai saat ini. Berdasarkan data dari Riskesdas (Pusdatin Kemenkes RI 2013), hipertensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang utama adalah sesak napas dan rasa lelah yang membatasi

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang utama adalah sesak napas dan rasa lelah yang membatasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal jantung adalah sindroma klinis yang kompleks (sekumpulan tanda dan gejala) akibat kelainan struktural dan fungsional jantung. Manifestasi gagal jantung yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tahun. Menurut data dari Kementerian Negara Pemberdayaan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tahun. Menurut data dari Kementerian Negara Pemberdayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan upaya pembangunan kesehatan dapat diukur dengan menurunnya angka kesakitan, angka kematian umum dan bayi, serta meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH). Pada

Lebih terperinci

BAB I. 1.1 Latar Belakang. Atrial fibrilasi (AF) didefinisikan sebagai irama jantung yang

BAB I. 1.1 Latar Belakang. Atrial fibrilasi (AF) didefinisikan sebagai irama jantung yang BAB I 1.1 Latar Belakang Atrial fibrilasi (AF) didefinisikan sebagai irama jantung yang abnormal dengan aktivitas listrik jantung yang cepat dan tidak beraturan. Hal ini mengakibatkan atrium bekerja terus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. darah arteri meningkat melebihi batas normal.menurut World. (2001) seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. darah arteri meningkat melebihi batas normal.menurut World. (2001) seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Hipertensi Hipertensi merupakan kondisi medis dimana tekanan darah arteri meningkat melebihi batas normal.menurut World Health Organization (WHO) dalam Soenardi & Soetarjo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular, sehingga angka kejadian penyakit tidak menular semakin

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular, sehingga angka kejadian penyakit tidak menular semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara global WHO (World Health Organization) memperkirakan penyakit tidak menular menyebabkan sekitar 60% kematian dan 43% kesakitan di seluruh dunia. Perubahan pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit non infeksi, yaitu penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit non infeksi, yaitu penyakit tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terjadinya transisi epidemiologi secara paralel, transisi demografi dan transisi teknologi di Indonesia dewasa ini telah mengubah pola penyebaran penyakit dari penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. darah, hal ini dapat terjadi akibat jantung kekurangan darah atau adanya

BAB I PENDAHULUAN. darah, hal ini dapat terjadi akibat jantung kekurangan darah atau adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler adalah gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah, hal ini dapat terjadi akibat jantung kekurangan darah atau adanya penyempitan pembuluh darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Stroke atau yang sering disebut juga dengan CVA (Cerebrovascular Accident) merupakan gangguan fungsi otak yang diakibatkan gangguan peredaran darah otak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi adalah salah satu penyakit yang paling umum melanda dunia. Hipertensi merupakan tantangan kesehatan masyarakat, karena dapat mempengaruhi resiko penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat (Rahayu, 2000). Berdasarkan data American. hipertensi mengalami peningkatan sebesar 46%.

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat (Rahayu, 2000). Berdasarkan data American. hipertensi mengalami peningkatan sebesar 46%. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Penyakit hipertensi merupakan penyakit nomor satu di Amerika Serikat (Rahayu, 2000). Berdasarkan data American Heart Association (2001) terjadi peningkatan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang utama 1.Masalah kesehatan yang timbul akibat stoke sangat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Koroner dan penyakit Valvular ( Smeltzer, et., al. 2010). Gangguan

BAB 1 PENDAHULUAN. Koroner dan penyakit Valvular ( Smeltzer, et., al. 2010). Gangguan BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Gagal Jantung adalah ketidakmampuan Jantung untuk memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan tubuh. Kegagalan fungsi pompa Jantung ini disebabkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN RASIO LINGKAR PINGGANG PINGGUL DENGAN PROFIL LIPID PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK)

HUBUNGAN RASIO LINGKAR PINGGANG PINGGUL DENGAN PROFIL LIPID PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK) HUBUNGAN RASIO LINGKAR PINGGANG PINGGUL DENGAN PROFIL LIPID PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK) DI POLIKLINIK JANTUNG RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlepas dari aktivitas dan pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari. Tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlepas dari aktivitas dan pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari. Tuntutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi ditandai oleh penduduk dunia yang mengalami pergeseran pola pekerjaan dan aktivitas. Dari yang sebelumnya memiliki pola kehidupan agraris berubah menjadi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Hubungan antara..., Eni Indrawati, FK UI, Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Hubungan antara..., Eni Indrawati, FK UI, Universitas Indonesia 23 BAB 4 HASIL 4.1 Karakteristik Umum Sampel penelitian yang didapat dari studi ADHERE pada bulan Desember 25 26 adalah 188. Dari 188 sampel tersebut, sampel yang dapat digunakan dalam penelitian ini sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi seringkali disebut sebagai silent killer, karena termasuk penyakit yang mematikan tersering tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan

Lebih terperinci

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes type 2: apa artinya? Diabetes tipe 2 menyerang orang dari segala usia, dan dengan gejala-gejala awal tidak diketahui. Bahkan, sekitar satu dari tiga orang dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit jantung koroner merupakan penyebab tersering terjadinya gagal jantung di Negara Barat yaitu sekitar 60-75% kasus. Hipertensi mempunyai kontribusi untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia tersebut, tidak hanya perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN orang dari 1 juta penduduk menderita PJK. 2 Hal ini diperkuat oleh hasil

BAB I PENDAHULUAN orang dari 1 juta penduduk menderita PJK. 2 Hal ini diperkuat oleh hasil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini berbagai laporan kesehatan mengindikasikan bahwa prevalensi penyakit tidak menular lebih banyak dari pada penyakit menular. Dinyatakan oleh World

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang menyerang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang menyerang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang menyerang jantung. Organ tersebut memiliki fungsi memompa darah ke seluruh tubuh. Kelainan pada organ tersebut

Lebih terperinci

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi atau disebut juga tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Tekanan darah pasien

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit

I. PENDAHULUAN. Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit ini diperkirakan menyebabkan 4,5% dari beban penyakit secara global dan prevalensinya hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup dan penurunan angka fertilitas. mengakibatkan populasi penduduk lanjut usia meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup dan penurunan angka fertilitas. mengakibatkan populasi penduduk lanjut usia meningkat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan usia harapan hidup dan penurunan angka fertilitas mengakibatkan populasi penduduk lanjut usia meningkat. World Health Organization (WHO) memperkirakan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat yang terutama tinggal di kota-kota besar cenderung mempunyai pola makan yang tidak sehat, karena sering mengonsumsi makanan siap saji, hal ini meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini 61 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 44 subyek pasien pasca stroke iskemik dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular yang terdiri dari penyakit jantung dan stroke merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian terjadi di negara berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Meningkatnya prevalensi penyakit kardiovaskuler setiap tahun menjadi masalah utama di negara berkembang dan negara maju. Berdasarkan data Global Burden of

Lebih terperinci

Data Demografi. Ø Perubahan posisi dan diafragma ke atas dan ukuran jantung sebanding dengan

Data Demografi. Ø Perubahan posisi dan diafragma ke atas dan ukuran jantung sebanding dengan ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Data Demografi Nama Umur Pekerjaan Alamat a. Aktifitas dan istirahat Ø Ketidakmampuan melakukan aktifitas normal Ø Dispnea nokturnal karena pengerahan tenaga b. Sirkulasi

Lebih terperinci

OBAT KARDIOVASKULER. Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung. Kadar lemak di plasma, ex : Kolesterol

OBAT KARDIOVASKULER. Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung. Kadar lemak di plasma, ex : Kolesterol OBAT KARDIOVASKULER Kardio Jantung Vaskuler Pembuluh darah Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung Jenis Obat 1. Obat gagal jantung 2. Obat anti aritmia 3. Obat anti hipertensi 4. Obat anti angina

Lebih terperinci

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi)

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) DEFINISI Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana

Lebih terperinci

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg dr. Annisa Fitria Hipertensi 140 mmhg / 90 mmhg 1 Hipertensi Primer sekunder Faktor risiko : genetik obesitas merokok alkoholisme aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyakit kronis yang paling sering terjadi baik pada negara maju maupun negara berkembang. Menurut klasifikasi JNC VII

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut data statistik WHO (World Health Organization) penyakit kardiovaskular mengalami pertumbuhan, diprediksi pada tahun 2020 penyakit kronis akan mencapai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan karena penyempitan arteri koroner. Peningkatan kadar kolesterol dalam darah menjadi faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai 400 per kematian (WHO, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai 400 per kematian (WHO, 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit gangguan pada jantung dan pembuluh darah, termasuk penyakit jantung koroner, stroke, gagal jantung kongestif, penyakit vaskular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tekanan darah adalah gaya yang diberikan oleh darah kepada dinding pembuluh darah yang dipengaruhi oleh volume darah, kelenturan dinding, dan diameter pembuluh darah

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih pembuluh

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih pembuluh BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih pembuluh darah arteri koroner dimana terdapat penebalan dalam dinding pembuluh darah disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit ini diperkirakan menyebabkan 4,5% dari beban penyakit secara global dan prevalensinya hampir

Lebih terperinci

CARDIOMYOPATHY. dr. Riska Yulinta Viandini, MMR

CARDIOMYOPATHY. dr. Riska Yulinta Viandini, MMR CARDIOMYOPATHY dr. Riska Yulinta Viandini, MMR CARDIOMYOPATHY DEFINISI Kardiomiopati (cardiomyopathy) adalah istilah umum untuk gangguan otot jantung yang menyebabkan jantung tidak bisa lagi berkontraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko penyebab kematian, yang dapat menyebabkan gangguan kardiovaskular seperti stroke, gagal jantung dan penyakit jantung koroner.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obesitas 2.1.1 Definisi Obesitas adalah penumpukan lemak yang berlebihan ataupun abnormal yang dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2011). Menurut Myers (2004), seseorang yang dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi telah menjadi penyebab kematian yang utama dari 57,356 penduduk Amerika, atau lebih dari 300,000 dari 2.4 milyar total penduduk dunia pada tahun 2005. Selebihnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah suatu gangguan fungsional otak dengan tanda dan gejala fokal maupun global, yang terjadi secara mendadak, berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi adalah keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh perilaku yang tidak sehat. Salah satunya adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh perilaku yang tidak sehat. Salah satunya adalah penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan adalah hal yang paling penting bagi masyarakat, terutama remaja yang memiliki aktivitas yang padat. Salah satu cara agar tubuh tetap sehat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas normal. Penyakit ini diperkirakan telah menyebabkan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah >140 mm Hg (tekanan sistolik) dan/ atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penurunan curah jantung merupakan suatu keadaan di mana pompa darah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penurunan curah jantung merupakan suatu keadaan di mana pompa darah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Penurunan curah jantung merupakan suatu keadaan di mana pompa darah oleh jantung yang tidak adekuat untuk mencapai kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan curah jantung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Remaja 1 Definisi Remaja Menurut WHO, remaja adalah masa di mana individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah secara kronik. Joint National Committee VII (the Seventh US National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infark Miokard Akut 2.1.1. Definisi Infark Miokard Akut adalah manifestasi klinis yang terjadi akibat oklusi dari arteri koroner, yang menimbulkan terjadinya nekrosis dari

Lebih terperinci

Chronic Hearth Disease (CHD)/ Gagal Jantung

Chronic Hearth Disease (CHD)/ Gagal Jantung Chronic Hearth Disease (CHD)/ Gagal Jantung I. DEFINISI Chronic Hearth Disease (CHF)/gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan

Lebih terperinci

Topik : Infark Miokard Akut Penyuluh : Rizki Taufikur R Kelompok Sasaran : Lansia Tanggal/Bln/Th : 25/04/2016 W a k t u : A.

Topik : Infark Miokard Akut Penyuluh : Rizki Taufikur R Kelompok Sasaran : Lansia Tanggal/Bln/Th : 25/04/2016 W a k t u : A. Topik : Infark Miokard Akut Penyuluh : Rizki Taufikur R Kelompok Sasaran : Lansia Tanggal/Bln/Th : 25/04/2016 W a k t u : 09.30 A. LATAR BELAKANG Dengan bertambahnya usia, wajar saja bila kondisi dan fungsi

Lebih terperinci

MONITORING HEMODINAMIK TIM ICU INTERMEDIATE ANGKATAN I

MONITORING HEMODINAMIK TIM ICU INTERMEDIATE ANGKATAN I MONITORING HEMODINAMIK TIM ICU INTERMEDIATE ANGKATAN I Hemodinamik Aliran darah dalam sistem peredaran tubuh kita baik sirkulasi magna/ besar maupun sirkulasi parva/ sirkulasi dalam paru paru. Monitoring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. 2. di vena sehingga menimbulkan kenaikan tekanan vena. 3 Penyebab utama gagal

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. 2. di vena sehingga menimbulkan kenaikan tekanan vena. 3 Penyebab utama gagal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal jantung merupakan sindroma klinis yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. 1 Dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimana tekanan darah meningkat di atas tekanan darah normal. The Seventh

BAB I PENDAHULUAN. dimana tekanan darah meningkat di atas tekanan darah normal. The Seventh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Kabo (2010) hipertensi adalah suatu penyakit kronis dimana tekanan darah meningkat di atas tekanan darah normal. The Seventh Report of the Joint National Committe

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug oriented)

Lebih terperinci