VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan 1) Perikanan Tangkap dan Budidaya Kawasan pantai Kecamatan Merawang yang membentang dari arah selatan menyisir ke bagian barat, menyusuri pesisir pantai hingga ke utara Kabupaten Bangka, diperuntukkan untuk berbagai jenis pemanfaatan. Diantaranya perikanan tangkap, perikanan budidaya dan pemanfaatan ekosistem mangrove. Ada beberapa komoditas unggulan hasil perikanan di Kabupaten Bangka yang terlihat pada Tabel 15. Tabel 15 Volume dan Nilai Komoditas Unggulan di Kabupaten Bangka No Jenis Volume (Ton) Nilai (Rp l.000,00) 1 Tembang 3.468, ,00 2 Lemuru 2.630, ,00 3 Selar 2.063, ,00 4 Tetengkek 1.374, ,00 5 Tongkol 1.899, ,00 Jumlah 5.047, ,00 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Tahun Gambar 4 Volume Komoditas Unggulan di Kabupaten Bangka Tahun Tabel 15 dan Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa komoditas unggulan yang paling tinggi produksinya adalah ikan Tembang sebanyak 3.468,53 ton

2 47 Jumlah produksi untuk komoditas unggulan lainnya, lebih rendah seperti ikan Lemuru sebanyak 2.630,56 ton, ikan Selar 2.063,90 ton, dan ikan Tongkol 1.899,16 ton serta ikan Tetengkek sebanyak 1.374,72 ton. Secara umum perkembangan dan perbandingan antara produksi perikanan tangkap dengan perikanan budidaya untuk Kabupaten Bangka selama tahun terlihat pada Tabel 16. Tabel 16 Produksi Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya di Kabupaten Bangka Tahun Produksi Perikanan (Ton) Nilai Produksi (Rpl.000,00) Tahun Tangkap Budidaya Tangkap Budidaya , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,00 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Gambar 5 Perbandingan Volume Produksi Perikanan Tangkap dengan Perikanan Budidaya Tahun

3 48 Total produksi untuk perikanan tangkap setiap tahunnya dibandingkan perikanan budidaya sangat berbeda jauh. Tingginya volume produksi perikanan tangkap disebabkan karena populasi nelayan juga besar, dimana perikanan tangkap menjadi sumber penghasilan utama, khususnya di Kecamatan Merawang. Hal tersebut berdasarkan data jumlah armada, jumlah nelayan dan jumlah produksi di Kecamatan Merawang, seperti terlihat pada Tabel 17,18,19 dan 20. Tabel 17 Jumlah Armada Perikanan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Merawang Tahun 2007 No Kehirahan/Desa Motor Kapal Motor (unit) Perahu tanpa Tempel motor (unit) (unit) Kel. Jade Kel.Riding Panjang Desa Pagarawan Jumlah Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, Tabel 17 menunjukkan bahwa jumlah armada terbanyak adanya di Kelurahan Riding Panjang untuk perahu tanpa motor, motor tempel maupun untuk kapal motor, karena di kelurahan tersebut pekerjaan utama dari penduduk adalah nelayan atau petambak dan domisilinya sebagian besar di wilayah pesisir. Kemudian di Desa Pagarawan armada yang dominan adalah perahu tanpa motor, sedangkan di Kelurahan Jade armada motor tempel lebih banyak dari perahu tanpa motor. Secara umum jenis armada di atas menggambarkan bahwa umumnya daerah penangkapan oleh nelayan di kelurahan/desa tersebut, dilakukan di bagian dalam wilayah perairan (inner zone) atau perikanan pantai, sedangkan hanya sebagian kecil dari nelayan yang melakukan penangkapan di daerah luar wilayah perairan Kabupaten Bangka (putter zone). Tabel 18 Jumlah Nelayan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Bangka Tahun 2007 No Kelurahan/Desa Motor Kapal Motor Perahu tanpa Tempel (orang) motor (orang) (orang) Kel. Jade Kel. Riding Panjang Desa Pagarawan Jumlah Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, 2007.

4 49 Berdasarkan Tabel 18, maka dapat dilihat bahwa jumlah nelayan yang terbanyak juga adanya di Kelurahan Riding Panjang, karena memang jumlah armadanya juga yang terbanyak. Untuk jenis armada motor tempel, jumlah nelayannya lebih banyak tiap unit armada, biasanya dalam satu unit armada memiliki 2 (dua) sampai 3 (tiga) orang nelayan. Selanjutnya Desa Pagarawan, nelayannya dominan menggunakan perahu tanpa motor, sedangkan nelayan di Kelurahan Jade lebih banyak menggunakan motor tempel. Jumlah nelayan yang menggunakan kapal motor untuk tiap unit armada biasanya 4 (empat) sampai 5 (lima) orang. Tabel 19 Jenis Alat Tangkap per Kelurahan/Desa di Kecamatan Merawang Tahun 2007 No Jenis Alat Tangkap Kel. Kel. Riding Desa Jumlah Jade Panjang Pagarawan 1 Jaring Insang Hanyut Bagan Perahu Bagan Tancap Rawai Tetap Pancing Tonda Perangkap Pancing Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, Jenis alat tangkap yang terbanyak pada Tabel 19, adalah jaring insang hanyut di Kelurahan Riding Panjang, kemudian jenis perangkap di Desa Pagarawan. Di Kelurahan Jade jenis rawai tetap lebih dominan. Untuk jenis pancing, digunakan oleh nelayan pada tiap kelurahan/desa. Menurut responden karena pancing tersebut tidak membutuhkan biaya operasional yang tinggi, pengoperasian alatnya tidak sulit. Dengan pancing tersebut nelayan juga menangkap jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi seperti kerapu dan sunu. Tabel 20 Jumlah Produksi dan Nilai Penangkapan Ikan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Merawang Tahun 2007 No Kelurahan/Desa Produksi (ton) Nilai (Rpl.000,00) 1. Kel. Jade 375, ,10 2. Kel.Riding Panjang 776, ,10 3. Desa Pagarawan 229, ,40 Jumlah 1381, ,60 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, 2007.

5 50 Jumlah produksi Tahun 2007 pada Tabel 20, menunjukkan yang terbanyak di Kelurahan Riding Panjang, sebesar 776,40 ton. Hal ini disebabkan karena di kelurahan tersebut, jumlah armada, nelayan dan alat tangkapnya memang paling banyak, penduduknya juga padat, selain itu karena wilayahnya juga paling luas dibandingkan Kelurahan Jade dan Desa Pagarawan. 2) Ekosistem Mangrove Luas ekosistem mangrove di Kabupaten Bangka 40,28 ha. Berdasarkan hasil pemetaan hutan mangrove pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Bangka dengan perincian seperti yang disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Rekapitulasi Hasil Pemetaan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Bangka No Kecamatan Desa/Kelurahan Luas (ha) Persentase (%) 1 Bakam Bukit Layang Mabat 2 Belinyu Air Jakung Kuto Panji Gunung Muda Air abik Bukit Ketok 3 Sungailiat Sinar Baru Kudai 4 Merawang Pagarawan Riding Panjang Jade 2,35 1,11 5,83 2,76 Total 3,46 8,59 1,21 3,00 2,57 6,38 2,20 5,46 0,14 0,35 1,10 2,73 Total 7,22 17,92 1,85 4,59 15,25 37,86 Total 17,10 42,45 2,08 5,16 8,34 20,71 2,08 5,16 Total 12,50 31,04 Kabupaten Bangka 40,28 100,00 Sumber : Pemerintah Kabupaten Bangka, Jenis vegetasi hutan mangrove yang ada di Kabupaten Bangka terdiri atas jenis bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp), tancang (Brugueria sp) dan gogen (Sonetharia sp), nipa (Nypa fruticans). Penyebaran masing-masing jenis vegetasi tersebut cukup merata pada setiap pantai di kecamatan. Jenis vegetasi yang dominan adalah jenis bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp) dan gogen (Sonetharia sp). Ketiga jenis vegetasi mangrove tersebut pertumbuhannya cukup baik dengan penutupan tajuk rata-rata rapat. Secara khusus, untuk

6 51 Kecamatan Merawang mempunyai data fisik hutan mangrove dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Data Fisik Hutan Mangrove Kecamatan Merawang No Data Fisik Mangrove Desa Kel. Riding Kel. Jade Pagarawan Panjang 1 Lebar (m) Tinggi Tegakan (m) Jenis Vegetasi Api-Api, Bakau Api-Api, Bakau Api-Api dan lainnya dan lainnya dan Bakau 4 Kerapatan Sedang-rapat Sedang-rapat Sedang 5 Kedalaman Lumpur (cm) Derajat keasaman/ph (ppm) 6,5-7 6,5-7 6,5-7 7 Besar Pasang Surut (cm) Besar Gelombang Laut (m) 0,51-1 0,51-1 0,51-1 Sumber : Pemerintah Kabupaten Bangka, Tabel 22 menggambarkan kondisi aktual fisik hutan mangrove di Kecamatan Merawang, dimana lebar mangrove, tinggi tegakan mangrove, jenis vegetasi, kerapatan, kedalaman lumpur, untuk Kelurahan Riding Panjang dan Desa Pagarawan relatif sama. Lebar mangrove untuk dua desa/kelurahan tersebut sebesar 7 sampai 10 meter, tinggi 15 meter sampai 17 meter, jenis vegetasi juga relatif sama yaitu bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp), tancang (Brugueria sp) dan gogen (Sonetharia sp), dan nipa (Nypa fruticans). Selanjutnya kerapatan sedang sampai rapat dan kedalaman lumpur antara cm. Kelurahan Jade, lebar 7-10 meter, tinggi 5-7 meter, jenis vegetasi hanya bakau (Rhizophora sp) dan api-api (Avicennia sp). Kerapatan di Kelurahan Jade tergolong sedang dengan kedalaman lumpur 0-30 cm. ph, pasut dan gelombang laut untuk ketiga desa/kelurahan, juga relatif sama, hal tersebut karena kondisi geografis wilayah tersebut masih dalam satu kesatuan. Derajat kemasaman tergolong normal yaitu antara 6,5-7 ppm, pasang surut berkisar cm. Menurut Saenger et al. (1983) bahwa umumnya mangrove tumbuh pada level pasang surut yang rendah. 6.2 Identifikasi Pemanfaatan Hutan Mangrove Hutan mangrove yang hampir menutupi sepanjang pantai, secara administratif yang masuk ke dalam Kecamatan Merawang adalah seluas 40,28 ha. Pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat, sejak puluhan tahun terakhir

7 52 dilakukan secara terus menerus, yang menimbulkan tekanan hingga akhirnya luasan mangrove hanya tersisa seperti sekarang ini. Upaya pelestarian hutan mangrove saat ini telah diterapkan dengan membatasi kecenderungan pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan, sehingga hutan tetap lestari dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan hutan mangrove di Kecamatan Merawang oleh masyarakat saat ini cukup beragam, baik sebagai usaha subsisten mau pun yang komersial. Berdasarkan hasil olahan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuisioner dengan responden, dapat diidentifikasi beberapa manfaat hutan yang bisa secara langsung dirasakan oleh masyarakat adalah seperti terlihat pada Tabel 23. Tabel 23 Pemanfaatan Hutan Mangrove No Manfaat Pemanfaatan Rata-rata per Responden per Tahun 1 Kayu Bakar (ikat) 85 2 Bibit Bakau (batang) Kepiting (ekor) Sumber : Data Primer (Lampiran 4 dan 6), Pada Tabel 23, dapat dilihat beberapa jenis manfaat hutan mangrove yang ada di lokasi penelitian dan secara langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang berada di sekitar lokasi hutan mangrove tersebut. Jenis vegetasi mangrove yang dominan ada di lokasi penelitian dan paling sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar adalah jenis bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp). 6.3 Pendugaan Nilai Utility Konsumen dari Sumberdaya Perikanan pada Ekosistem Hutan Mangrove Pendugaan nilai ekonomi mangrove yang didekati melalui konsumen surplus Marshallian dengan kurva permintaan yang berslope negatif. Pendugaan fungsi permintaan untuk menilai manfaat langsung dari ekosistem mangrove di Kecamatan Merawang mengikuti persamaan berikut : Q i = β 0 X β1 1 X β2 2 X βn n dan

8 53 X = Q β ' 1 β1 U = a f ( Q) dq 0 Surplus konsumen diduga dari persamaan berikut : CS = U- P t, dimana P t = X 1 xq Dengan menggunakan program Maple 9.5 diperoleh nilai kepuasan (utility) dan surplus konsumen untuk total pemanfaatan Ikan Bandeng dari pola usaha monokultur Ikan Bandeng dan Polikultur Udang dan Ikan Bandeng yang telah distandarisasi menjadi monokultur Ikan Bandeng, kemudian jenis pemanfaatan kayu bakar dan kepiting, bibit bakau dan hasil dari pola usaha monokultur udang. Selengkapnya hasil pendugaan yang diperoleh, terlihat pada Tabel 24. Tabel 24 Pendugaan Surplus Konsumen dari Sumberdaya Ekosistem Mangrove/tahun No Jenis Pemanfaatan Luas Lahan Ratarata Utility (Rp) Surplus Konsumen (Rp) (ha) Q 1 Bibit Bakau 12, , ,95 2 Kayu Bakar 12, , ,09 3 Kepiting 12, , ,91 4 Tambak Ikan 112, , ,58 Bandeng 5 Tambak Ikan 21, , ,20 Bandeng dan Udang 6 Tambak Udang 13, , ,26 Sumber : Data Primer (Lampiran 4 dan 6), Tabel 24 menunjukkan bahwa utility terbesar adalah dari pemanfaatan hasil tambak Ikan Bandeng dan Udang sebesar Rp ,95 dengan konsumen surplus sebesar Rp ,20. Nilai tersebut diperoleh dari luas lahan 21,00 ha dengan rata-rata permintaan konsumen ekor per tahun. Kemudian utility dari hasil Kepiting juga tinggi, sebesar Rp ,97 dengan konsumen surplus sebesar Rp ,91. Nilai tersebut diperoleh dari luas lahan 12,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak ekor per tahun.

9 54 Utility untuk hasil pemanfaatan tambak Ikan Bandeng dan Udang adalah sebesar Rp ,95 dengan surplus konsumen sebesar Rp ,50, dimana nilai tersebut diperoleh dari luas lahan hutan mangrove seluas 21,00 ha. Rata-rata permintaan konsumen terhadap hasil tambak ini sebanyak ekor per tahun, sedangkan utility untuk hasil pemanfaatan kepiting sebesar Rp ,97 dan besarnya surplus konsumen yang diperoleh sebesar Rp ,91 dengan jumlah rata-rata permintaan dari konsumen sebesar ekor per tahunnya, nilai ini diperoleh dari luas lahan mangrove seluas 12,50 ha. Plot permintaan berdasarkan utility konsumen terhadap hasil pemanfaatan tambak Ikan Bandeng dan Udang serta pemanfaatan Kepiting, ditunjukkan oleh Gambar 6 dan 7. (Rp/Kg) P (Kg) Gambar 6 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Ikan Bandeng dan Udang.

10 55 (Rp/Kg) P (Kg) Gambar 7 Plot Utility konsumen terhadap Hasil Kepiting. Utility untuk hasil tambak Ikan Bandeng adalah sebesar Rp ,64 dengan surplus konsumen sebesar Rp ,58. Nilai tersebut diperoleh dari lahan yang seluas 112,00 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak ekor per tahun. Plot dari pendugaan permintaan konsumen dapat dilihat pada Gambar 8. (Rp/Kg) P Gambar 8 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Tambak Ikan Bandeng. (Kg)

11 56 Utility konsumen dari jenis hasil tambak Udang adalah sebesar Rp ,77 dengan surplus konsumen sebesar Rp ,26. Nilai tersebut diperoleh dari lahan seluas 13,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 649 ekor per tahun. Plot pendugaan permintaan konsumen dapat dilihat pada Gambar 9. (Rp/Kg) P (Kg) Gambar 9 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Tambak Udang. Surplus konsumen yang dihasilkan dari jenis pemanfaatan mangrove sebagai kayu bakar seperti pada Tabel 24 adalah sebesar Rp ,93 dengan utility sebesar Rp ,09. Nilai tersebut diperoleh dari luas hutan mangrove 12,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 85 batang per tahun. Plot pendugaan permintaan konsumen dapat dilihat pada Gambar 10.

12 57 (Rp/Kg) P (Kg) Gambar 10 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil kayu Bakar. Utility konsumen dari jenis hasil Bibit Bakau adalah sebesar Rp ,62 dengan surplus konsumen sebesar Rp ,95. Nilai tersebut diperoleh dari luas hutan mangrove 12,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak bibit per tahun. Plot dari pendugaan permintaan konsumen terhadap hasil Bibit Bakau dapat disajikan pada Gambar 11. (Rp/Kg) P (Kg) Gambar 11 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Bibit Bakau.

13 Analisis Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Perikanan pada Ekosistem Hutan Mangrove Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan, khususnya sumberdaya perikanan oleh rumah tangga perikanan (RTP) sekarang ini memerlukan pengelolaan dan pemanfaatan yang optimal untuk pembangunan berkelanjutan. Dengan menggunakan pendekatan model rumah tangga (household models) untuk jenis-jenis pemanfaatan hutan mangrove, maka nilai optimal dapat diperoleh melalui fungsi tujuan dan kendala berikut : a) Usaha Tambak Polikultur (Udang + Ikan Bandeng) per tahun per ha Max π = q u q b x x x x x x x l Subject..to: q u < ; q b < ; x 1 <80.952; x ; x ; x ; x ; x ; x ; l ; 0.04 q ub x 1 = 0 ; 0.03 q ub x 3 = 0 ; 2.91 qb x4 = 0 ; 0.89 qb x5 = 0 ; 0.03 q ub x 6 = 0 ; q ub x 7 = 0 ; q ub l = 0 ; x x x x x x x l < b) Usaha Tambak Monokultur (Udang) per tahun per ha Max π = 4461 q u -1490x 1,- 2300x x x x x l Subject.. to : 481 q u ; x 1 ;46 x 2 ;46 x 3 ;13463 x 4 ;100 x 5 ;2 x 6 ;185.8 l; q u.- x 1,= 0; q u - x 2 = 0; q u - x 3 = 0; q u - x 4 =0; q u - x 5 = 0; q u - x 6 = 0; q u l =0; x 1,+ 2300x x x x 5, +7500x l c) Usaha Tambak Monokultur (Ikan Bandeng) per tahun per ha Max π = q bg x x x x x x l Subject..to : q bg ; x ; x ; x ; x ; x 5, ; x ; l ; q bg x 1,= 0 ; x q bg x 3 = 0 ; x 4 = 0 ; q bg x 5 = 0 ; q bg x 6 = 0; q bg l =0 ; 1070 x x x x x x l

14 59 d) Penangkapan Kepiting per trip Max π = 2430 q k x k l Subject..to : total / tahun q k 9;.x k. 0.0I460177; l ; q k -x k, = 0; q k - l = 0;15682 x k +1000l e) Kepiting per tahun Max π = 2430 q k x k 1000 l Subject.. to : Total / tahun q k 21250; x k 33; l 2020; q k -x k = 0; q k l = 0; xk l f) Pengambilan Kayu Bakar per trip Max π = 13735q y x y l Subject..to : q y l.00; x y ; l 1.13; q y -x y =0; 1.13 q y l = x y l g) Pengambilan Kayu Bakar per tahun Max π = 13735q y x y l Subject..to : q y 1024; x y 17; l 1158; q y -x y = 0; 1.13q y -1 = 0; x y l h) Pengambilan Bibit Bakau per trip Max π = q bk x bk l Subject..to : q bk ; x bk ; l ; 0.78 q bk - x bk = 0; q bk l = 0; x bk l i) Pengambilan Bibit Bakau per tahun Max π = q bk x bk l Subject..to: q bk 62500; x bk 48750; l 107; q bk - x bk =0; q bk - l = 0; x bk l

15 60 Penyusunan model di atas, memperlihatkan bahwa fungsi tujuan dari optimalisasi tersebut memaksimalkan keuntungan, yang merupakan selisih dari total penerimaan dari produksi output dengan total biaya yang dikeluarkan dari pemakaian input dan upah tenaga kerja. Koefisien untuk masing-masing variabel merupakan harga atau biaya untuk tiap unit output atau input. Unsur kendala adalah keterbatasan sumberdaya yang merupakan variabel produksi (output), keterbatasan biaya operasional dan biaya tetap, keterbatasan upah tenaga kerja dan keterbatasan modal usaha. Keterbatasan tersebut ditandai dengan pertidaksamaan lebih kecil (<=) dan sama dengan (=). Nilai pemanfaatan sumberdaya dibatasi sesuai dengan total pemanfaatan per hektar per tahun dan per hektar per trip, total pemakaian input per hektar per tahun, total hari orang kerja (HOK) per hektar per tahun. Koefisien untuk masing-masing variabel kendala adalah nilai atau besarnya pemakaian input untuk menghasilkan 1 (satu) satuan output (kilogram atau ekor). Keuntungan (π) optimal atau maksimal per tahun yang merupakan fungsi tujuan berdasarkan selisih dari total revenue dengan total cost, upah labor, yang juga diperoleh dengan bantuan Maple 9.5. Hasil perhitungan diperoleh keuntungan optimal tertinggi dihasilkan oleh jenis pemanfaatan kepiting sebesar Rp ,00 untuk 11 (sebelas) rumah tangga perikanan. Keuntungan optimal terendah diperoleh dari hasil pemanfaatan monokultur ikan bandeng sebesar Rp42.121,02. Selengkapnya hasil yang diperoleh dapat disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Nilai Manfaat Optimal Ekosistem Hutan Mangrove Tahun 2007 per ha No Jenis Pemanfaatan Manfaat Biaya Optimal Keuntungan Optimal (Rp) (Rp) Optimal (Rp) 1 Bibit Bakau , , ,36 2 Kayu Bakar , , ,74 3 Kepiting , , ,00 4 Tambak Udang , , ,52 5 Tambak Ikan Bandeng , , ,76 + Udang 6 Tambak Ikan Bandeng , , ,02 Total , , ,04 Sumber: Data Primer (Lampiran 2), 2007.

16 61 Pemecahan nilai optimal dari output dan pemakaian input untuk masingmasing jenis pemanfaatan dari ekosistem hutan mangrove diperoleh dengan menggunakan program Maple 9.5. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Nilai Optimal Output dan Input dari Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove oleh Petambak per hektar per Tahun Jmlh Petambak q Resp. u q bg X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 L 10 Polikultur Monokultur Udang Monokultur Ikan Bandeng Sumber : Data Primer (Lampiran 5), Tabel 26 menunjukkan output optimal rata-rata per hektar per tahun untuk usaha monokultur udang sebanyak ekor, pemakaian input lebih besar dari pola usaha lain, dimana input berupa bibit benur sebanyak ekor, juga pemakaian input lain seperti kapur sebanyak kg, 743 kg untuk pupuk urea, 749 kg untuk TSP, pestisida kg untuk saponin dan 36 bungkus untuk cap bintang. Hari orang kerja (HOK) untuk pola usaha tersebut sebanyak HOK. Nilai optimal diperoleh dari 10 (sepuluh) rumah tangga perikanan dan musim panen sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun. Pola usaha monokultur udang layak untuk diusahakan, karena menghasilkan manfaat optimal sebesar Rp ,32. Selain itu keuntungan optimal yang diperoleh juga lumayan besar yaitu sebesar Rp ,52. Pemakaian input juga lebih besar dari pola usaha lain, sehingga petambak kadang-kadang mengalami kerugian. Pola usaha monokultur Ikan Bandeng pada Tabel 26 diatas, juga memperlihatkan bahwa produksi atau output optimal dalam setahun per hektar untuk ikan sebanyak 104 ekor. Sedangkan pemakaian input optimal untuk pupuk sebanyak 10 kg, urea 84 kg, TSP 0 kg, pestisida saponin dan cap bintang masingmasing sebanyak 6 kg dan 2 bungkus. Penggunaan bibit nener yang optimal untuk menghasilkan output diatas sebanyak 606 ekor. Hari orang kerja (HOK) optimal untuk pola usaha tersebut sebanyak 16 HOK. Total manfaat optimal dari output optimal diperoleh sebesar Rp ,81 per ha, total biaya optimal dari penggunaan input optimal sebesar Rp ,67. Pola usaha tersebut cukup layak

17 62 untuk diusahakan karena keuntungan optimal yang diperoleh sebesar Rp42.121,02 per ha. Pola usaha tambak polikultur udang dan ikan menghasilkan manfaat optimal sebesar Rp ,52 per ha dan biaya optimal sebesar Rp34.064,76 sehingga keuntungan optimal diperoleh sebesar Rp ,76. Output optimal rata-rata per tahun per hektar sebanyak ekor untuk udang dan 237 ekor untuk ikan, dengan pemakaian input optimal berupa benur sebanyak 689 ekor dan nener 211 ekor. Input lain tidak memberikan nilai yang optimal atau nol. Polikultur untuk udang 2 (dua) kali musim panen dalam setahun, sedangkan untuk ikan hanya sekali panen dalam setahun. Nilai optimal tersebut diperoleh dari 10 (sepuluh) rumah tangga perikanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa diantara ketiga pola usaha tersebut, yang paling layak dan memberikan nilai optimal terbanyak per hektar per tahun adalah usaha polikultur dan udang. Populasi petambak di Kecamatan Merawang, lebih dominan mengoperasikan tambak dengan pola usaha monokultur Ikan Bandeng, karena menurut hasil wawancara dengan RTP, pola usaha tersebut tidak memerlukan modal besar dan resiko kegagalan panen relatif kurang. Dilokasi penelitian dominan responden dengan pola usaha monokultur Ikan Bandeng, sehingga produksi Ikan Bandeng juga tinggi dibandingkan hasil produksi dari komoditaskomodilas lain yang dibudidayakan. Jumlah responden untuk monokultur Ikan Bandeng sebanyak 30 rumah tangga perikanan (RTP) dan musim panen sekali dalam setahun. Pola usaha monokultur Ikan Bandeng menurut responden, ternyata tetap tidak memberikan keuntungan maksimal dan tidak meningkatkan kesejahteraan rumah tangga perikanan, karena selain pola usaha tersebut hanya sekali dalam setahun musim panen, juga karena ikan bandeng merupakan salah satu komoditas perikanan darat yang tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi, dengan kata lain harga pasar dari ikan tersebut cukup rendah. Hal ini berdasar pada data yang diperoleh, dimana harga konsumen rata-rata per ekor hanya sebesar Rp2.500,00 sampai Rp3.500,00. Berdasar pada kondisi tersebut, sebagian besar rumah tangga perikanan di Kecamatan Merawang mengusahakan mata pencaharian alternatif. yang bisa

18 63 meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, seperti sebagai pemanfaat ekosistem hutan mangrove (pencari kepiting, pengambil kayu bakar, serta bibit bakau), buruh nelayan, petani dan berkebun serta sebagai wiraswasta/pedagang. Jenis pemanfaatan ekosistem hutan mangrove selain untuk tambak, juga untuk usaha-usaha lain yang komersial ataupun subsisten. Seperti penangkapan kepiting bakau dan pengambilan kayu bakar serta bibit bakau dari vegetasi mangrove. Usaha tersebut juga menghasilkan output dan input yang optimal bagi rumah tangga perikanan di Kecamatan Merawang. Nilai optimal dari output dan input untuk jenis pemanfaatan dari hasil kepiting, kayu bakar dan bibit bakau, dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Nilai Output dan Input Optimal Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove untuk Kepiting, Kayu Bakar dan Bibit Bakau per ha Nilai Optimal/tahun Nilai Optimal/trip No Jenis Pemanfaatan q n Xn L q n X n L 1 Kepiting , Kayu Bakar ,017 1,13 3 Bibit Bakau ,37 0,04 Sumber : Data Primer (Lampiran 5), 2007 Tabel 27 menunjukkan bahwa hasil produksi atau output kepiting yang optimal per tahun sebanyak ekor, sedangkan produksi optimal per trip sebanyak 9 (sembilan) ekor. Usaha penangkapan kepiting menggunakan input optimal sebanyak 33 unit per tahun dan 0,014 per trip. Penggunaan tenaga kerja optimal sebanyak HOK per tahun dan 1 HOK per trip. Total trip per tahun dari keseluruhan responden rumah tangga perikanan dan rata-rata trip per responden per tahun sebanyak 205 trip. Total biaya optimal dari pemakaian input optimal adalah sebesar Rp per ha, seperti pada Tabel 25. Usaha pemanfaatan kepiting dari hutan mangrove di Kecamatan Merawang menghasilkan manfaat optimal dari total output optimal diperoleh sebesar Rp ,12 per ha dan keuntungan optimal Rp ,00 per ha dan Rp per trip untuk 11 (sebelas) rumah tangga. Usaha pemanfaatan kepiting dari ekosistem hutan mangrove menghasilkan keuntungan optimal per tahun yang tertinggi kedua setelah bibit bakau, jika dibandingkan dengan usaha pemanfaatan

19 64 lainnya. Hal tersebut selain disebabkan karena jumlah trip per tahun termasuk tinggi, juga karena harga jual kepiting cukup tinggi. Harga jual kepiting berdasarkan hasil wawancara dengan rumah tangga perikanan, adalah berkisar dari Rp2.300,00 per ekor sampai Rp2.500,00 per ekor. Keuntungan optimal untuk kayu bakar per ha sebesar Rp ,74 dan Rp per trip. Jenis pemanfaatan dari hasil kayu bakar cukup menguntungkan karena manfaat optimal sebesar Rp ,00, namun mengeluarkan biaya hanya sebesar Rp ,26 dan untuk 12 (duabelas) rumah tangga perikanan. Pengambilan kayu bakar dari vegetasi hutan mangrove mempunyai nilai output optimal sebanyak ikat per tahun, sedangkan produksi optimal per trip sebanyak 1 ikat. Input optimal yang digunakan sebanyak 17 unit per tahun dan 0,017 per trip. Tenaga kerja optimal per tahun sebanyak HOK dan 1 per trip. Rata-rata trip dalam setahun untuk tiap responden rumah tangga perikanan yang mengambil kayu bakar adalah 85 trip dan total trip dari keseluruhan responden sebanyak trip. Rumah tangga perikanan juga memanfaatkan hutan mangrove untuk pembibitan bakau. Menurut hasil wawancara, pembibitan dilakukan sejak adanya program rehabilitasi hutan mangrove oleh Dinas Kelautan Perikanan dan Dinas Kehutanan setempat. Keuntungan optimal yang diperoleh dari usaha pembibitan bakau tersebut sebesar Rp ,57 per ha dan Rp4.155,82 per ha per trip untuk 14 (empatbelas) responden rumah tangga perikanan. Manfaat optimal dari output optimal yang diperoleh sebesar Rp ,00 dan biaya optimal dari total pemakaian input optimal diperoleh sebesar Rp ,64. Rata-rata trip setiap responden sebanyak 7 (tujuh) kali dalam setahun. Hal tersebut karena pembibitan hanya akan dilakukan apabila ada pesanan dari LSM atau instansi terkait untuk melakukan rehabilitasi hutan mangrove. Tabel 27 diatas menyajikan bahwa hasil output optimal berupa bibit bakau per tahun sebanyak bibit dan bibit 24 per trip. Penggunaan input optimal berupa plastik atau wadah pembibitan sebanyak unit juga pertahun dan unit 18,37 per trip. Jumlah tenaga kerja optimal yang digunakan sebanyak 83 HOK per tahun dan 0,04 HOK per trip.

20 Pendugaan Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Pemanfaatan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia, terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, diperlukan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi (Supriharyono 2000). Pendugaan nilai ekonomi sumberdaya adalah suatu upaya menilai manfaat dan biaya dari sumberdaya dalam bentuk moneter yang mempertimbangkan lingkungan, atau disebut sebagai valuasi ekonomi. Valuasi ekonomi sumberdaya perikanan tersebut bertujuan untuk menentukan alokasi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, yang efisien dan berkelanjutan melalui pendugaan nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total merupakan instrumen yang dianggap tepat untuk menghitung keuntungan dan kerugian bagi kesejahteraan rumah tangga sebagai akibat dari pengalokasian sumberdaya alam. Kramer et al 1994 diacu dalam Ramdan el al mengatakan bahwa penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka. Penilaian barang dan jasa diperoleh melalui pendekatan nilai pasar, yaitu berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Penilaian sumberdaya hutan secara total khususnya, melalui penilaian semua fungsi dan manfaat hutan baik yang marketable maupun nonmarketable, yang merupakan upaya peningkatan informasi yang dapat memberikan kontribusi terhadap manajemen sumberdaya hutan yang lestari (Ramdan et al. 2003). Hutan mangrove di Kecamatan Merawang baik secara langsung mau pun tidak langsung telah memberikan manfaat kepada masyarakat di sekitarnya. Berdasar hal tersebut maka diperlukan suatu konsep pengelolaan, yang diawali dengan mengetahui seberapa besar total nilai ekonomi dari hutan mangrove, yang menjamin keberlanjutan sumberdaya. Total nilai ekonomi hutan mangrove di Kecamatan Merawang dihitung dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan.

21 66 a) Manfaat Langsung Manfaat langsung adalah manfaat yang langsung diambil dari sumberdaya. Nilai yang diperoleh dari kegiatan konsumsi atau produksi. Setelah dilakukan wawancara dengan masyarakat sekitar hutan mangrove, maka dapat diidentifikasi jenis pemanfaatan langsung dari hutan mangrove oleh rumah tangga perikanan. Manfaat langsung tersebut berupa (1) manfaat usaha tambak, (2) manfaat dari hasil kayu bakar, (3) manfaat penangkapan hasil kepiting dan (4) manfaat dari bibit bakau. Ada pun hasil identifikasi jenis dan nilai manfaat langsung hutan mangrove berdasarkan surplus konsumen dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Manfaat Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove berdasarkan Surplus Konsumen Tahun 2007 No Jenis Manfaat Ekonomi Keuntungan Biaya (Rp) Pemanfaatan (Rp) (Rp) per tahun 1 Bibit Bakau , , ,26 2 Kayu Bakar , , ,17 3 Kepiting , , ,13 4 Tambak Udang , ,00 ( ,28) 5 Tambak Ikan Bandeng + Udang , , ,85 6 Tambak Ikan Bandeng , , ,50 Total , , ,63 Sumber : Data Primer (Lampiran 6), Tabel 28 menunjukkan bahwa keuntungan tertinggi diperoleh dari hasil tambak Ikan Bandeng dan Udang berdasarkan nilai ekonomi dari utility dan surplus konsumen, adalah sebesar Rp ,85. Hasil dari tambak Udang memperlihatkan jumlah yang mengakibatkan petani tambak merugi yaitu sebesar Rp( ,28). Hasil tambak Ikan Bandeng juga menunjukkan keuntungan yang tinggi, yaitu sebesar Rp ,50. Manfaat langsung ekosistem hutan mangrove yang aktual dapat diidentifikasi berdasarkan hasil olahan data primer yang didapat dari wawancara dan pengisian kuosioner oleh rumah tangga perikanan dengan perhitungan manual. Nilai langsung dari manfaat hasil ekosistem hutan mangrove diperoleh

22 67 setelah mengalikan setiap jenis manfaat dengan harganya. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove berdasarkan Pemanfaatan Aktual Tahun 2007 No Jenis Pemanfaatan Manfaat (Rp) Biaya (Rp) Keuntungan (Rp) per tahun 1 Bibit Bakau , , ,00 2 Kayu Bakar , , ,60 3 Kepiting , , ,83 4 Tambak Udang , , ,77 5 Tambak Ikan Bandeng , , ,37 + Udang 6 Tambak Ikan Bandeng , , ,79 Total , , ,35 Sumber : Data Primer (Lampiran 7), Total keuntungan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove yang aktual diperoleh nilai tertinggi juga dari hasil tambak Ikan Bandeng, yaitu sebesar Rp ,79 per tahun, dengan total manfaat sebesar Rp ,72 per tahun dan biaya sebesar Rp ,93 untuk 30 rumah tangga perikanan. Selanjutnya total keuntungan dari hasil Bibit bakau juga tinggi, yaitu sebesar Rp ,00 per tahun, total manfaat sebesar Rp ,00 dan biaya Rp ,00 per tahun untuk 14 (empatbelas) RTP. Keuntungan Bibit Bakau besar karena biaya yang dikeluarkan rendah sedangkan harga pasar Bibit Bakau cukup tinggi dan jumlah trip tiap rumah tangga juga tinggi yaitu rata-rata 7 trip. Total keuntungan aktual yang terendah sebesar Rp ,77 per tahun dari hasil tambak udang, dimana total manfaat hanya sebesar Rp ,98 namun biaya yang dikeluarkan cukup besar yaitu sebesar Rp ,21 per tahun, untuk 10 (sepuluh) rumah tangga perikanan. Jenis pemanfaatan tambak polikultur juga menunjukkan total keuntungan sebesar Rp ,37, manfaat sebesar Rp ,03 dengan biaya sebesar Rp ,66 per tahun nilai tersebut untuk 10 (sepuluh) RTP. Penggambaran proporsi nilai total manfaat langsung dari beberapa jenis pemanfaatan hutan mangrove dapat dilihat pada Gambar 12.

23 68 Gambar 12 Proporsi Total Manfaat Langsung Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove. b) Manfaat Tidak Langsung Manfaat tidak langsung adalah nilai yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya, dapat berupa hal yang mendukung nilai guna langsung. Ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Dahuri et al (1996), menyatakan bahwa secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosiai ekonomi. Manfaat tidak langsung dari hutan mangrove di Kecamatan Merawang adalah manfaat fisik dan manfaat biologi. Manfaat tidak langsung berupa fisik adalah sebagai penahan abrasi pantai yang diestimasi melalui replacement cost dengan pembuatan beton pantai untuk pemecah gelombang (break water). Hasil yang diperoleh berdasarkan biaya pengganti dari nilai pemecah gelombang, yang diacu dari estimasi yang dilakukan Apriliawati (2001), yaitu bahwa biaya pembangunan fasilitas pemecah gelombang (break water) ukuran 1 m x 11 m x 2,5 m (panjang x lebar x tinggi) dengan daya tahan 10 tahun sebesar Rp ,00. Panjang pantai hutan mangrove di Kecamatan Merawang adalah ,98 m, maka biaya pembuatan pemecah gelombang dengan daya tahan 10 (sepuluh) tahun seluruhnya adalah Rp ,00 sedangkan per tahunnya sebesar Rp ,00 dan per ha luas hutan mangrove sebesar Rp ,30.

24 69 Selain manfaat tidak langsung berupa fisik, hutan mangrove juga memberikan manfaat biologi. Manfaat biologi dapat berupa hutan mangrove sebagai nursery ground, spawning ground dan feeding ground. Teknik untuk menilai manfaat biologi tersebut adalah melalui pendekatan produktivitas (productivity approach), karena hutan mangrove memiliki fungsi sebagai tempat pembesaran ikan (nursery ground). Luas hutan mangrove akan menjadi indikator bagi tingkat produktivitas hasil tangkapan ikan oleh rumah tangga perikanan. Produksi perikanan laut oleh nelayan pada tahun 2007 senilai Rp ,00, sedangkan produksi per ha luas mangrove sebesar Rp ,00. Total manfaat tidak langsung hutan mangrove dari manfaat fisik dan biologi adalah sebesar Rp ,00 per ha dan Rp ,00 per tahun. c) Manfaat Pilihan Manfaat pilihan adalah nilai potensial yang dapat dimanfaatkan untuk masa akan datang, memperhitungkan manfaat keanekaragaman hayati (biodiversity) dari ekosistem mangrove, dengan menggunakan metode benefit transfer. Menurut Krupnick (1993) diacu dalam Fauzi (2004) bahwa benefit transfer bisa dilakukan jika sumberdaya alam tersebut memiliki ekosistem yang sama, baik dari segi tempat maupun karakteristik pasar (market characteristic). Mengacu pada nilai keanekaragaman hayati hutan mangrove di Teluk Bintuni Irian Jaya adalah sebesar US$ 15 per ha per tahun oleh Ruitenbeek (1991) diacu dalam Budiyana (2005). Nilai manfaat pilihan diasumsikan sama dengan nilai biodiversity di Teluk Bintuni Irian Jaya. Nilai manfaat pilihan didapatkan dengan mengalikan nilai biodiversity dengan nilai kurs Rupiah terhadap Dollar pada saat penelitian yaitu sebesar Rp9.366,00 (01 Agustus 2007 harga beli Rp9.319,00 dan harga jual Rp9.413,00). Berdasarkan perhitungan, maka diperoleh hasil bahwa nilai manfaat pilihan hutan mangrove di Kecamatan Merawang adalah sebesar Rp ,00 per hektar per tahun (US$ 15 per hektar per tahun dikalikan dengan Rp9.366,00 per US$). Luas hutan mangrove di Kecamatan Merawang sebesar 12,50 ha, sehingga nilai manfaat pilihan (option value) secara keseluruhan adalah nilai manfaat pilihan per ha per tahun Rp ,00 dikalikan dengan luasan mangrove tersebut. Total

25 70 manfaat pilihan hutan mangrove di Kecamatan Merawang sebesar Rp ,00 per tahun. Nilai manfaat pilihan dapat juga dikatakan sebagai nilai dari barang publik sebagai manfaat potensial yang dapat diambil (Yakin 1997). Tabel 30 Manfaat Keberadaan Hutan Mangrove dan Karakteristik Responden No Tingkat Pendidikan Nilai Keberadaan Jumlah Total Nilai Keberadaan (Rp) Responden (Rp) per tahun 1 Rendah (SD) , , , , , , , , , , , , , , , ,00 Sub Total , ,00 2 Sedang (SMP) , , , , , , , , , ,00 Sub Total , ,00 3 Tinggi (SMA dan S1) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,00 Sub Total ,00 Total ,00 Rata-rata ,00 Sumber : Data Primer (Lampiran 7), Tabel 30, menunjukkan bahwa kelompok responden dengan tingkat pendidikan rendah atau SD, kemampuan untuk membayar paling rendah sebesar Rp ,00 sebanyak 1 (satu) responden, nilai keberadaan sebesar Rp ,00 oleh 1 (satu) responden dan Rp ,00 juga sebanyak 5 (lima) responden, nilai yang paling tinggi sebesar Rp ,00 sebanyak 1 (satu) responden. Tingkat pendidikan sedang atau SMP, nilai keberadaan paling

26 71 rendah sebesar Rp ,00 oleh 1 (satu) responden, nilai Rp ,00 ditaksir paling banyak oleh responden sebanyak 3 (tiga) responden, nilai tertinggi sebesar Rp ,00 oleh 1 (satu) responden. Tingkat pendidikan tinggi atau SMA dan S1, kemampuan responden membayar paling rendah adalah sebesar Rp ,00 oleh 1 (satu) responden, nilai Rp ,00 ditaksir responden paling banyak yaitu 19 (sembilanbelas) responden, kemudian nilai sebesar Rp ,00 oleh 16 (enambelas) responden, nilai tertinggi sebesar Rp ,00 oleh 2 (dua) responden. Nilai manfaat keberadaan hutan mangrove didasarkan pada nilai median dari willingness to pay (WTP), untuk mengurangi bias pada data yang ada. Nilai median yang merupakan kemampuan responden untuk menilai hutan mangrove sebesar Rp ,00 per ha per tahun. Dengan demikian median nilai manfaat keberadaan ekosistem hutan mangrove di lokasi penelitian adalah sebesar Rp Rp ,00 per ha per tahun, Apabila hasil tersebut dikalikan dengan luasan hutan mangrove di Kecamatan Merawang yang seluas 12,50 ha, maka akan diperoleh total manfaat keberadaan hutan mangrove sebesar Rp ,00 per tahunnya. Alasan dari responden menilai sumberdaya seperti nilai diatas, karena responden baik yang berhubungan langsung dengan hutan mangrove maupun yang tidak berhubungan langsung, akan bersedia untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk melindungi suatu ekosistem, dimana mungkin tanpa memperdulikan apa yang tinggal di ekosistem tersebut. Umumnya responden mempunyai kesadaran bahwa melindungi lingkungan dan sumberdaya alam merupakan tanggungjawab setiap manusia agar tetap dapat mendukung kehidupannya secara berkelanjutan. Memperkirakan kurva lelang (bid curve) yang diperoleh dengan meregresikan WTP sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan variabel bebas yang merupakan karakteristik responden diantaranya pendidikan, pendapatan, umur, jumlah tanggungan dan lama menetap. Persamaan regresi untuk mengetahui hubungan antara nilai WTP dengan karakteristik responden ditunjukkan dalam Tabel 31.

27 72 Tabel 31 Hubungan WTP Hutan Mangrove dengan Karakteristik Responden No Variabel Koefisien Regresi P-value 1 Intercept 2 Pendidikan (X1) 3 Pendapatan (X2) 4 Usia (X3) 5 Jumlah Tanggungan (X4) 6 Lama Menetap (X5) Sumber : Data Primer (Lampiran 18), Berdasarkan uji statistik yang dilakukan, maka diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada satu variabel pun yang sangat nyata mempengaruhi WTP. Berdasarkan Probabilitas (P-value), maka variabel pendidikan, pendapatan, umur, jumlah tanggungan keluarga, dan lama menetap tidak nyata mempengaruhi WTP, dimana koefisien korelasi sebesar atau sebesar 12,01%, menunjukkan korelasi antara semua variabel dengan WTP tidak erat. Koefisien determinasi (R Square) sebesar 1.44% artinya variabel WTP dapat dijelaskan oleh semua variabel hanya sebesar 1.44%, sedangkan sisanya 98.56% disebabkan atau dipengaruhi oleh variabel lain. Berdasarkan analisis regresi diperoleh nilai WTP dengan persamaan linear sebagai berikut: WTP = a + b 1 X 1 + b 2 X 2 + b 3 X 3 + b 4 X 4 + b 5 X 5 WTP = X X X X X 5 WTP = Rp ,00 per individu, dimana jumlah populasinya sebesar jiwa, sehingga nilai WTP total adalah; WTP Total = Rp ,00 x = Rp , Pendugaan Total Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Nilai Ekonomi Total (NET) bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik, dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan pilihan kebijakan dan program pengelolaan SDA,

28 73 sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam distibusi manfaat SDA tersebut (Ramdan et al. 2003). Berdasarkan hasil identifikasi dan kuantifikasi seluruh manfaat hutan mangrove yang diperoleh di Kecamatan Merawang. maka nilai keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Nilai Total Ekonomi Hutan Mangrove di Kecamatan Merawang Tahun 2007 No Kategori Manfaat Rp per ha per tahun Rp per tahun 1 Manfaat Langsung Aktual , ,24 2 Manfaat Tidak Langsung , ,00 3 Manfaat Pilihan , ,00 4 Manfaat Keberadaan , ,00 Total , ,24 Sumber : Data Primer (Lampiran 7), Nilai ekonomi total hutan mangrove dapat diketahui setelah menjumlahkan hasil dari penilaian manfaat hutan mangrove secara keseluruhan. Pada Tabel 32 disajikan, bahwa nilai manfaat hutan mangrove tertinggi yaitu manfaat tidak langsung dan memiliki persentase paling besar dibandingkan dengan manfaat lainnya. Gambar 13 menyajikan proporsi nilai manfaat ekonomi total dari hutan mangrove. Manfaat tidak langsung dengan persentase 99,17% dengan nilai sebesar Rp ,00 per tahun. Nilai tersebut lebih besar dari pada nilai manfaat lain, karena manfaat fisik berupa penahan abrasi dan manfaat biologi untuk produksi rumah tangga perikanan (nelayan), ternyata memiliki nilai paling yang tinggi. Kuantifikasi manfaat lainnya, diperoleh nilai manfaat langsung yang aktual sebesar Rp ,24 per tahun atau 0,72%, manfaat pilihan sebesar Rp ,00 per tahun atau 0,0017% dan manfaat keberadaan sebesar Rp ,00 atau 0,11%. Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Merawang yang seluas 12,50 ha untuk hutan mangrove dan 146,50 ha untuk tambak per tahun sebesar Rp ,24. Nilai ekonomi total tersebut mengindikasikan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan memerlukan penghargaan yang lebih tinggi dan memang menjadi dasar informasi secara kuantitatif untuk menentukan berbagai pilihan kebijakan, baik kebijakan fiskal

29 74 maupun moneter, penyesuaian struktural dan upaya stabilisasi, karena mempunyai dampak terhadap sektor yang bergantung pada sumberdaya alam. Gambar 13 Proporsi Nilai Manfaat Ekonomi Total Hutan Mangrove Tahun Penilaian dampak pembangunan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan merupakan suatu langkah menuju pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Menurut Ramdan et al. (2003) bahwa nilai ekonomi total tersebut belum dapat mencakup keseluruhan nilai sumberdaya tersebut, hal ini disebabkan karena banyak fungsi ekosistem dan prosesnya yang sulit dianalisis secara ilmiah (scientific), tetapi hasil penilaian ekonomi tersebut tetap sangat berguna dalam pengambilan keputusan, pemanfaatan dan penciptaan keadilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. 6.7 Estimasi Discount Rate Discount rate merupakan rate untuk mengukur manfaat masa kini dibandingkan dengan manfaat yang akan datang dari eksploitasi sumberdaya alam. Discount rate dalam penilaian ekonomi-ekologi sumberdaya alam akan sangat berbeda dngan discount rate yang biasa digunakan dalam analisis finansial. Pada analisis ini dipakai dua nilai discount rate yaitu nilai discount rate berbasis pasar (market discount rate) dan nilai discount rate berbasis pendekatan Ramsey. Tingkat pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya menggambarkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam itu sendiri, sehingga disebut juga dengan discount ratenya

30 75 sebagai social discount rate. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tingkat social discount rate tinggi, karena menganggap nilai masa depan dari sumberdaya alam dan lingkungan itu lebih rendah dari saat ini. Hasil perhitungan real discount rate dengan teknik Kula ini akan diperoleh laju pertumbuhan dari PDRB Kabupaten Bangka, yaitu dengan nilai g=0, atau 14,19% (Lampiran 19). Standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam ditentukan berdasar pendekatan Brent (1990) diacu dalam Anna (2003) sebesar 1, ρ diasumsikan sama dengan nilai nominal saat ini (current nominal discount rate) sebesar 8%. Karena nilai g yang diperoleh lebih tinggi dari nilai ρ, maka nilai r langsung diambil dari nilai g tersebut yaitu 0, Nilai r tersebut kemudian dijustifiksi untuk menghasilkan real discount rate dalam bentuk annual continues discount rate melalui δ = ln( 1+ r), yaitu sebesar 0, atau 13,27%. Angka tingkat diskon ini selanjutnya digunakan sebagai discount rate pada perhitungan untuk analisis biaya-manfaat terhadap beberapa alternatif alokasi pemanfaatan ekosistem mangrove dari sumberdaya hutan mangrove di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Tingkat suku bunga (discount rate) lain yang digunakan untuk analisis biaya-manfaat terhadap beberapa alternatif alokasi pemanfaatan ekosistem mangrove, adalah suku bunga riil sebesar 1,74% (Agustus 2007) dari suku bunga nominal sebesar 8,25% (Agustus 2007) dikurangi dengan laju inflasi 6,51% (Agustus 2007),) serta 10%. Menurut (Fauzi 2004) bahwa karena adanya faktor inflasi yang sangat berkorelasi erat dengan discount rate, maka pengukuran nilai discount rate harus diukur dalam nilai riil, dimana nilai ini diukur dari nilai discount rate nominal dikurangi dengan laju inflasi. Nilai optimal dari manfaat langsung kondisi aktual tersebut, perlu diketahui karena sebagai dasar dalam penentuan alternatif dan alokasi pengelolaan yang berkelanjutan. Analisis ekonomi melalui NPV dan BCR untuk masingmasing alternatif pemanfaatan ditentukan dari hasil net incremental benefit, dimana kondisi tanpa proyek adalah kondisi pemanfaatan yang aktual dan kondisi dengan proyek adalah kondisi optimal.

31 Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Berdasarkan hasil nilai ekonomi total hutan mangrove tersebut, maka dapat ditentukan model alternatif pengelolaan yang optimal, karena besarnya manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove baik secara langsung maupun secara tidak langsung membutuhkan pengelolaan yang baik. Pengelolaan ekosistem hutan mangrove perlu dilakukan dengan optimal dan berkelanjutan, tidak hanya memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi semata, tetapi penting pula untuk memperhatikan aspek ekologis dan sumberdaya tersebut. Alternatif pengelolaan juga memerlukan evaluasi yang akan menentukan pilihan kebijakan pengelolaan. Tabel 33 menunjukkan bahwa total nilai keuntungan tertinggi diperoleh pada saat kondisi ekosistem mangrove seperti pada alternatif pemanfaatan VI dan V yaitu sebesar Rp ,17 dan Rp ,42, total nilai keuntungan terendah diperoleh pada alternatif pemanfaatan III sebesar Rp ,67. Evaluasi dari suatu keputusan untuk menentukan pilihan dan pemanfaatan. yaitu melakukan perbandingan antara biaya, manfaat dan nilai ekonomi total yang diperoleh. Pemanfaatan hutan mangrove karena bersifat intertemporal. Menurut Fauzi (2004) bahwa pilihan intertemporal menyangkut membandingkan nilai atau manfaat ekonomi dari sumber daya alam pada periode waktu yang berbeda, dimana pengambilan keputusan yang bersifat intertemporal adalah melalui proses discounting. Evaluasi kelayakan jenis pemanfaatan hutan mangrove dari hasil penelitian diketahui melalui kriteria kelayakan usaha, berupa Net Present Value (NPV), penjumlahan nilai rupiah di masa mendatang dinilai pada waktu kini yang didiskon pada setiap periode. Cost Benefit Analysis (CBA) untuk membandingkan besarnya biaya pemanfaatan termasuk biaya lingkungan dengan besarnya manfaat optimal yang diperoleh.

32 77 Tabel 33 Nilai Manfaat Total dan Manfaat Bersih dari Alternatif Pemanfaatan No Alternatif Nilai Manfaat Total Biaya Manfaat Bersih Pemanfaatan Total (Rp) (Rp) (Rp) 1 Alternatif Pemanfaatan I , , ,92 2 Alternatif Pemanfaatan II , , ,75 3 Alternatif Pemanfaatan III , , ,67 4 Alternatif Pemanfaatan IV , , ,96 5 Alternatif Pemanfaatan V , , ,42 6 Alternatif Pemanfaatan VI , , ,17 Sumber : Data Primer (Lampiran 8 19), a) Hutan Mangrove pada Alternatif Pemanfaatan I (Optimal) Pada saat penelitian berlangsung, total ekosistem hutan mangrove menjadi tambak seluas 146,50 ha dengan pola polikultur (Udang + Ikan Bandeng seluas 21,00 ha), monokultur (Udang dan Ikan Bandeng masing-masing seluas 13,50 ha dan 112,00 ha) dengan sisa hutan mangrove hanya seluas 12,50 ha. Dengan melakukan analisis ekonomi terhadap nilai optimal untuk manfaat langsung, maka diketahui nilai NPV dan BCR untuk total nilai ekonomi dari kondisi awal optimal hutan mangrove di Kecamatan Merawang, seperti yang disajikan pada Tabel 34 dan Gambar 14. Tabel 34 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan I No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 ( ,77) 0, ,00 ( ,02) 0,04 3 1,74 ( ,40) 0,05 Sumber : Data Primer (Lampiran 9), 2007.

33 78 Gambar 14 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan I. Berdasarkan perhitungan analisis ekonomi dengan discount rate (tingkat suku bunga) dalam jangka waktu analisis 10 (sepuluh) tahun, diperoleh nilai Net Present Value (NPV) yang sangat rendah atau tidak layak karena nilai NPV yang diperoleh < 0 yaitu sebesar Rp( ,77) dan Benefit Cost Ratio (BCR) 0,03 pada suku bunga 13,27%. Nilai NPV tertinggi pada suku bunga 1,74% adalah sebesar Rp( ,40) dan BCR 0,05. Suku bunga 10,00% pada kondisi aktual saat penelitian juga menunjukkan nilai ekonomi yang rendah, nilai NPV diperoleh sebesar Rp( ,02) dan BCR 0,04. b) Alternatif Pemanfaatan II Alternatif pemanfaatan kedua menggambarkan kondisi ekosistem hutan mangrove dengan tambak ditentukan berdasarkan kondisi awal yang optimal, hutan mangrove (12,50 ha) dan tambak (polikultur Udang + Ikan Bandeng 21,00 ha, monokultur Udang 0 ha dan monokultur lkan Bandeng 125,50 ha). Hasil analisis ekonomi ekosistem hutan mangrove pada alternatif pemanfaatan II dapat dilihat pada Tabel 35, begitu juga dengan Gambar 15 yang menggambarkan perbandingan hasil analisis ekonomi dengan berbagai tingkat suku bunga. Tabel 35 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan II No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 ( ,08) 0, ,00 ( ,65) 0,03 3 1,74 ( ,55) 0,04 Sumber : Data Primer (Lampiran 11), 2007.

34 79 Gambar 15 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan II. Berdasarkan hasil analisis ekonomi seperti pada Tabel 35 diketahui, bahwa pada alternatif pemanfaatan II diperoleh nilai Net Present Value (NPV) ekosistem hutan mangrove yang juga rendah atau tidak layak, yaitu sebesar Rp( ,08) pada tingkat suku bunga 13,27%, nilai Benefit Cost Ratio juga tidak layak sebesar 0,02. Nilai NPV pada tingkat suku bunga 10,00% sebesar Rp( ,65) dan BCR 0,03. Pada suku bunga 1,74%, nilai NPV sebesar Rp( ,55) dan nilai BCR 0,04. c) Alternatif Pemanfaatan III Pada alternatif pemanfaatan ketiga ini, perbandingan antara luasan hutan mangrove dengan tambak adalah hutan mangrove 12,50 ha dan tambak (monokultur Udang 0 ha, monokultur Ikan Bandeng 112,00 ha dan polikultur Ikan Bandeng + Udang 34,50 ha ), hasil analisis ekonomi terlihat pada Tabel 36 dan Gambar 16 menunjukkan perbandingan hasil analisis ekonomi dengan berbagai tingkat suku bunga pada ekosistem hutan mangrove alternatif pemanfaatan III. Tabel 36 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan III No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 ( ,27) 0, ,00 ( ,10) 0,03 3 1,74 ( ,69) 0,04 Sumber : Data Primer (Lampiran 13), 2007.

35 80 Gambar 16 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan III. Pada alternatif pemanfaatan III, diperoleh hasil analisis ekonomi berupa Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Nilai NPV diperoleh juga sangat rendah dan tidak layak sebesar Rp( ,27), dan nilai BCR juga tidak layak sebesar 0,03 ketika tingkat suku bunga sebesar 13,27%. Begitu juga pada tingkat suku bunga 10,00%, nilai NPV sebesar Rp( ,10) dan nilai BCR 0,03. Pada tingkat suku bunga mencapai 1,74%, nilai NPV masih rendah sebesar Rp( ,69) dan nilai BCR 0,04. d) Alternatif Pemanfaatan IV Alternatif pemanfaatan keempat menggambarkan kondisi ekosistem hutan mangrove, dengan perbandingan bahwa untuk hutan mangrove (26,00 ha) dan untuk tambak (tambak monokultur Udang 0 ha, tambak monokultur Ikan Bandeng 112,00 ha dan tambak polikultur 21,00 ha). Tabel 37 dan Gambar 17 menyajikan hasil analisis ekonomi pada berbagai tingkat suku bunga untuk alternatif pemanfaatan IV. Tabel 37 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan IV No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 ( ,29) 0, ,00 ( ,15) 0,11 3 1,74 ( ,53) 0,17 Sumber : Data Primer (Lampiran 14), 2007.

36 81 Gambar 17 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan IV. Hasil analisis ekonomi seperti terlihat pada Tabel 38, diperoleh nilai Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio yang juga belum layak, nilai terendah pada tingkat suku bunga 13,27%, masing-masing sebesar Rp( ,29) dan 0,10. Nilai NPV terendah lainnya sebesar Rp( ,15) pada suku bunga 10% dan nilai BCR 0,11. Pada tingkat suku bunga 1,74%, nilai NPV sebesar Rp( ,53) dan nilai BCR 0,17. e) Alternatif Pemanfaatan V Alternatif pemanfaatan keenam menggambarkan kondisi ekosistem hutan mangrove dengan perbandingan bahwa untuk hutan mangrove (12,50 ha) dan untuk tambak (tambak monokultur Udang 0 ha, tambak monokultur Ikan Bandeng 0 ha, dan tambak polikultur 146,50 ha). Hasil analisis ekonominya dapat dilihat pada Tabel 38 dan Gambar 18. Tabel 38 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan V No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13, ,90 2, , ,79 2,65 3 1, ,37 3,92 Data Primer (Lampiran 19), 2007.

37 82 Gambar 18 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan V. Pada Alternatif pemanfaatan V, diperoleh hasil analisis ekonomi berupa Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Nilai NPV tertinggi diperoleh pada saat tingkat suku bunga 1,74% sebesar Rp ,37 dengan nilai BCR juga sebesar 3,92. Begitu juga pada tingkat suku bunga 10,00%, masih diperoleh nilai NPV yang cukup besar yaitu Rp ,79 dan nilai BCR sebesar 2,65. Pada tingkat suku bunga 13,27% nilai NPV yang didapat lebih rendah sebesar Rp ,90 dengan nilai BCR 2,31. f) Alternatif Pemanfaatan VI Alternatif pemanfaatan kelima menggambarkan kondisi ekosistem 100% hutan mangrove, apabila tanpa dilakukan konversi untuk lahan budidaya tambak. baik pola usaha monokultur maupun polikultur. Tabel 39 dan Gambar 19 memperlihatkan hasil analisis ekonomi pada berbagai tingkat suku bunga untuk alternatif pemanfaatan VI, sehingga diketahui nilai NPV dan BCR. Tabel 39 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan VI No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13, ,52 2, , ,18 2,83 3 1, ,84 4,20 Sumber : Data Primer (Lampiran 17), 2007.

38 83 Gambar 19 Perbandingan hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan VI. Berdasarkan hasil analisis ekonomi seperti pada Tabel 39 diketahui, bahwa pada alternatif pemanfaatan VI diperoleh nilai Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost ratio (BCR) sangat tinggi sebesar Rp ,84 dan 4,20 pada suku bunga 1,74%. Nilai terendah pada suku bunga 13,27% yaitu NPV sebesar Rp ,52 dan BCR 2,47. Pada suku bunga 10,00% menghasilkan nilai NPV sebesar Rp ,18 dan nilai BCR 2, Penentuan Prioritas Pilihan Alternatif Pemanfaatan Hasil analisis ekonomi pada berbagai tingkat suku bunga untuk alternatif pemanfaatan I sampai dengan alternatif pemanfaatan VI, maka diperoleh bahwa alternatif pemanfaatan VI merupakan alternatif yang paling tinggi nilai ekonomi atau menguntungkan secara analisis biaya-manfaat, dengan menggunakan dua kategori kelayakan investasi, yaitu NPV dan BCR. Alternatif pemanfaatan IV,III, II dan I menunjukkan nilai yang sangat rendah untuk Net Present Value dan nilai Benefit Cost Ratio, yang berasal dari net incremental benefit. Hal ini disebabkan nilai net benefit untuk kondisi aktual sebagai nilai tanpa proyek lebih tinggi. Nilai ekonomi yang paling rendah adalah pada saat kondisi ekosistem hutan mangrove seperti pada alternatif pemanfaatan I dengan luas hutan mangrove hanya 12,50 ha dan tambak (polikultur 21,00 ha, monokultur Udang 13,50 ha dan monokultur Ikan Bandeng 112,00 ha). Perbandingan nilai NPV dengan BCR pada beberapa tingkat suku bunga, terlihat pada Gambar 19 sampai dengan Gambar 24, terlihat bahwa dengan tingkat suku bunga yang semakin tinggi maka nilai NPV dan BCR akan semakin rendah.

KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KELURAHAN KARIANGAU KECAMATAN BALIKPAPAN BARAT MELALUI PENDEKATAN EKONOMI

KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KELURAHAN KARIANGAU KECAMATAN BALIKPAPAN BARAT MELALUI PENDEKATAN EKONOMI Jurnal Harpodon Borneo Vol.8. No.2. Oktober. 205 ISSN : 2087-2X KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KELURAHAN KARIANGAU KECAMATAN BALIKPAPAN BARAT MELALUI PENDEKATAN EKONOMI ) Nurul Ovia Oktawati,

Lebih terperinci

Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan. Oleh ABSTRACT

Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan. Oleh ABSTRACT Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan Oleh Tince Sofyani Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau ABSTRACT The aims of the research

Lebih terperinci

VII NILAI EKONOMI SUMBERDAYA EKOSISTEM LAMUN

VII NILAI EKONOMI SUMBERDAYA EKOSISTEM LAMUN 61 VII NILAI EKONOMI SUMBERDAYA EKOSISTEM LAMUN 7.1. Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value) Berdasarkan hasil analisis data diperoleh total nilai manfaat langsung perikanan tangkap (ikan) sebesar Rp

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR Ba b 4 KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR 4.1. Potensi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kecamatan Kuala Kampar memiliki potensi perikanan tangkap dengan komoditas ikan biang, ikan lomek dan udang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. hutan mangrove non-kawasan hutan. Selain itu, adanya rehabilitasi hutan

METODE PENELITIAN. hutan mangrove non-kawasan hutan. Selain itu, adanya rehabilitasi hutan IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini berada di Kawasan Pesisir Pantai Tlanakan, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Pemilihan lokasi dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber data secara langsung.

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM MANGROVE DI DESA BAROWA KECAMATAN BUA KABUPATEN LUWU

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM MANGROVE DI DESA BAROWA KECAMATAN BUA KABUPATEN LUWU 1 VALUASI EKONOMI EKOSISTEM MANGROVE DI DESA BAROWA KECAMATAN BUA KABUPATEN LUWU Dharma Fidyansari, S.Pi., M.M. Sri Hastuty, S.E., M.Pd. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis valuasi ekonomi

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada lokasi hutan mangrove yang ada diwilayah Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat sebagaima tercantum dalam peta lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL 6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL 6.1 Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang 6.1.1 Nilai manfaat ikan karang Manfaat langsung dari ekosistem terumbu karang adalah manfaat dari jenis-jenis komoditas yang langsung

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI MANFAAT HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN BARRU

KAJIAN EKONOMI MANFAAT HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN BARRU KAJIAN EKONOMI MANFAAT HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN BARRU Andi Nur Apung Massiseng Universitas Cokroaminoto Makassar e-mail : andinur_pasca@yahoo.com Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, 19 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur pada bulan April Mei 2013. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Dusun Bauluang termasuk salah satu Dusun di Desa Mattirobaji. Kecamatan Mappakasunggu Kabupaten Takalar dan

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Dusun Bauluang termasuk salah satu Dusun di Desa Mattirobaji. Kecamatan Mappakasunggu Kabupaten Takalar dan IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Wilayah Dusun Bauluang termasuk salah satu Dusun di Desa Mattirobaji Kecamatan Mappakasunggu Kabupaten Takalar dan merupakan sebuah pulau yang terpisah dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah salah satu ekosistem hutan yang terletak diantara daratan dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan formasi hutan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan yang memiliki ciri khas didominasi pepohonan yang mampu tumbuh di perairan asin. Komunitas pepohonan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik dan Persepsi Masyarakat 5.1.1. Karakteristik dan Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk Terhadap Lingkungan Hutan Angke Kapuk Jumlah responden untuk studi CVM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 16,9 juta ha hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 % berada di Indonesia

I. PENDAHULUAN. 16,9 juta ha hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 % berada di Indonesia 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN Wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu wilayah yang kaya akan sumberdaya alam hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya alam hayati tersebut adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE OLEH MASYARAKAT DESA BABULU LAUT KECAMATAN BABULU KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA

PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE OLEH MASYARAKAT DESA BABULU LAUT KECAMATAN BABULU KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE OLEH MASYARAKAT DESA BABULU LAUT KECAMATAN BABULU KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA Eko Kurniawan 1, Djuhriansyah 2 dan Helminuddin 2 1 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kaltim,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28 Jurnal perikanan dan kelautan 17,2 (2012): 28-35 ANALISIS USAHA ALAT TANGKAP GILLNET di PANDAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2010 di Desa Lamaran Tarung, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu, dan Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur 47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis III. KEADAAN UMUM 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bangka Selatan, secara yuridis formal dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitin ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

Oleh. Firmansyah Gusasi

Oleh. Firmansyah Gusasi ANALISIS FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menempuh Ujian Sarjana Pendidikan Biologi Pada Fakultas Matematika

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN MUARA SUNGAI DAN PANTAI DALAM WILAYAH KABUPATEN BULUNGAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON 28 5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON Perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon memiliki prasarana perikanan seperti pangkalan pendaratan ikan (PPI). Pangkalan pendaratan ikan yang

Lebih terperinci

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR Oleh : FRANSISKUS LAKA L2D 301 323 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Metode Penelitian Metode Pengambilan Sampel

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Metode Penelitian Metode Pengambilan Sampel METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara pada bulan September 2005 sampai Desember 2005. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Desa Bedono, Demak. Arif Widiyanto, Suradi Wijaya Saputra, Frida Purwanti

Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Desa Bedono, Demak. Arif Widiyanto, Suradi Wijaya Saputra, Frida Purwanti Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Desa Bedono, Demak Arif Widiyanto, Suradi Wijaya Saputra, Frida Purwanti Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership)

Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Pengaruh perubahan kondisi hutan mangrove terhadap pola mata pencaharian nelayan : studi kasus di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km 2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km 2 dan daratan 5,779.123 Km 2. Dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA 48 BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA 6.1. Dampak Konversi Mangrove Kegiatan konversi mangrove skala besar di Desa Karangsong dikarenakan jumlah permintaan terhadap tambak begitu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh di kawasan sentra nelayan dan pelabuhan perikanan yang tersebar di wilayah pesisir Indonesia. Indonesia memiliki potensi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 25 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Cirebon 4.1.1 Kondisi geografis dan topografi Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk

METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........ iv DAFTAR GAMBAR........ vii DAFTAR LAMPIRAN........ viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....... 1.2. Perumusan Masalah.......... 1.3. Tujuan dan Kegunaan..... 1.4. Ruang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Menurut Nybakken (1986) bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara 65 LAMPIRAN 66 Lampiran 1. Kuisioner Survei Analisis Nilai Ekonomi Tambak Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian No: Waktu: Hari/Tanggal: A. Identitas Responden / Informan 1. Nama

Lebih terperinci

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Responden Tingkat pendidikan di Desa Babakanreuma masih tergolong rendah karena dari 36 responden sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dan mempunyai wilayah pantai sepanjang 54.716 kilometer. Wilayah pantai (pesisir) ini banyak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu sumberdaya pesisir yang penting adalah ekosistem mangrove, yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi. Hutan mangrove dengan hamparan rawanya dapat menyaring dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap nasional masih dicirikan oleh perikanan tangkap skala kecil. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan perikanan tangkap di Indonesia yang masih

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat di Kabupaten Kubu Raya yang memiliki panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Kabupaten Dompu secara geografis terletak di antara 117 o 42 dan 180 o 30 Bujur Timur dan 08 o 6 sampai 09 o 05 Lintang Selatan. Kabupaten Dompu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. sudah dimekarkan menjadi 11 kecamatan. Kabupaten Kepulauan Mentawai yang

BAB I PENGANTAR. sudah dimekarkan menjadi 11 kecamatan. Kabupaten Kepulauan Mentawai yang BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai terdiri dari empat pulau besar dan berpenghuni yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Setelah Indonesia merdeka dan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam dan jenis endemiknya sehingga Indonesia dikenal sebagai Negara dengan

Lebih terperinci