1. Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif a. Pengertian Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "1. Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif a. Pengertian Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif a. Pengertian Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif merupakan model pembelajaran yang menggabungkan pandangan konstruktivisme dari Piaget & Vygotsky dan pandangan metakognitif dari Flavel. Menurut Prayitno (2014), penerapan model pembelajaran konstruktivis-metakognitif secara parsial dinilai tidak berpengaruh maksimal terhadap pemberdayaan kemampuan berpikir dan kemandirian belajar perserta didik. Misalnya, pengembangan model pembelajaran berbasis konstruktivis dengan menghilangkan karakter strategi metakognitif menyebabkan kemandirian belajar perserta didik tidak terberdayakan dengan maksimal. Sebaliknya, menghilangkan karakter konstruktivis menyebabkan pemberdayaan kapasitas berpikir perserta didik kurang optimal. Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif merupakan pembaharuan dalam pembelajaran biologi. Model pembelajaran ini merupakan salah satu model pembelajaran yang berpotensi memberdayakan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Model pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif berorientasi pada pembelajaran yang memberdayakan kapasitas berpikir dan kemandirian belajar peserta didik. Menurut Prayitno (2014), model pembelajaran berbasis konstruktivis-metakognitif dapat melatih kemampuan berpikir peserta didik karena model pembelajaran ini menuntut peserta didik belajar mengkonstruksi konsep melalui proses asimilasi dan akomodasi melalui kegiatan diskusi dan eksperimen. Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif merupakan gabungan antara model pembelajaran yang berbasis konstruktivis dan berbasis metakognitif. Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Menurut Prayitno (2014), model pembelajaran berbasis konstruktivis memandang belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menghafal pengetahuan. Karakter 7

2 8 konstruktivis menuntut perserta didik mampu merumuskan hipotesis, menguji hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan masalah, berdialog, meneliti, mencari jawaban, mengekspresikan gagasan, mengungkap pertanyaan, dan merefleksi diri. Sedangkan karakter metakognitif menuntut perserta didik terampil mengendalikan aktivitas belajarnya, sehingga perserta didik mampu merencanakan, memantau, dan mengevaluasi tujuan pembelajarannya secara mandiri. b. Karakteristik Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif memiliki karakteristik khusus jika dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif memiliki karakteristik gabungan dari karakter konstruktivis dan karakter metakognitif. Karakter konstruktivis mengarah pada proses kemandirian peserta didik dalam pembentukan konsep belajarnya. Sedangkan karakter metokognitif mengarah pada proses kapasitas berpikir peserta didik sehingga mampu mengendalikan aktivitas belajarnya. Sehingga model pembelajaran konstruktivis-metakognitif mengarah pada pemberdayaan kapasitas berpikir dan kemandirian belajar peserta didik. Model pembelajaran konstruktivismetakognitif menghasilkan proses pembelajaran yang dapat menuntut peserta didik untuk mengonstruksi sendiri konsep yang dipelajari dan mampu mengatur proses belajarnya secara mandiri dalam kegiatan perencanaan, pengujian, pemantauan dan evaluasi. c. Landasan Teoritis Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif 1) Karakteristik Pembelajaran Konstruktivis Pembelajaran konstruktivis tergolong dalam proses pembelajaran aktif (active learning). Hal ini karena pembelajaran konstruktivis menuntut peserta didik untuk ikut terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran konstruktivis adalah pembelajaran yang berbasis pada paradigma konstruktivisme (Mudjiman, 2006). Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang

3 9 dipelajari. Berbeda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalaman yang dilakukan. Konstruktivisme sebagai teori belajar (learning theory) dikembangkan oleh Piaget, Vygotsky dan Bruner. Pemikiran Piaget dan Vygotsky merupakan aliran konstruktivisme. Piaget memiliki kecenderungan bahwa individu membentuk makna (meaning) melalui proses di dalam diri. Sementara itu, Vygotsky memiliki kecenderungan bahwa individu membentuk makna melalui proses interaksi sosial. Teori Piaget berasaskan pada premis, apabila individu bekerjasama atas presekitarnya, konflik sosio-kognitif akan berlaku dan akan mewujudkan ketidakseimbangan kognitif dan seterusnya mencetuskan perkembangan kognitif. Teori Vygotsky berdasarkan pada premis bahwa pengetahuan terbina melalui interaksi kumpulan dalam menyelesaikan masalah. Kedua teori di atas menjadi titik tolak dalam memahami teori konstruktivisme dalam pembelajaran. Menurut Dahar (1989) Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sebagaimana Suparno (2001) menjelaskan bahwa asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif untuk mendapatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru ke dalam skema yang telah ada. Proses asimiliasi tidak menyebabkan perubahan skema awal yang telah dimiliki oleh peserta didik, namun berupa perkembangan skema awal menjadi lebih luas. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi, 1988). Pengertian tentang akomodasi yang lain menurut Suparno (2001) adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Ada saatnya ketika pengalaman baru yang diterima oleh peserta didik sama

4 10 sekali tidak cocok dengan skema yang telah ia miliki. Sehingga dalam kondisi ini, peserta didik akan mengadakan proses akomodasi. Proses akomodasi dapat dilakukan dengan cara membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau dengan memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa peserta didik dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998). Lingkungan belajar hendaknya diciptakan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam belajar. Terciptanya lingkungan belajar yang baik dapat membantu peserta didik dalam mencapai perkembangan potensialnya seperti yang dikemukakan oleh Vygotsky. Berdasarkan teori Vygotsky, diperoleh tiga hal utama yang berkaitan dengan pembelajaran yakni : (1) pembelajaran efektif mengarah pada perkembangan, (2) pembelajaran efektif akan berhasil dikembangkan melalui setting pemecahan masalah, dan (3) pembelajaran efektif berfokus pada upaya membantu peserta didik untuk mencapai potential development mereka (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan UPI, 2007). Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 2008), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial. Kemampuan pemecahan masalah ini dilakukan di bawah bimbingan guru atau melalui kerjasama dengan teman yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan untuk belajar dan memecahkan masalah oleh guru kepada peserta didik selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah peserta didik dapat melakukan sendiri (Slavin, 2008). Jerome Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif. Dalam mempelajarai manusia, ia menganggap manusia

5 11 sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menganggap, bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Pandangan terhadap belajar yang disebutnya sebagai konseptualisme instrumental itu, didasarkan pada dua prinsip, yaitu pengetahuan orang tentang alam didasarkan pada model-model mengenai kenyataan yang dibangunnya, dan model-model itu diadaptasikan pada kegunaan bagi orang itu. Menurut Bruner dalam Suardi (2015), dalam proses belajar ada tiga tahapan, yaitu: a) Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru dimana dalam setiap pelajaran diperoleh sejumlah informasi yang berfungsi sebagai penambahan pengetahuan yang lama, memperluas dan memperdalam dan kemungkinan informasi yang baru bertentangan dengan informasi yang lama. b) Tahap tansformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk yang baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, yaitu informasi harus dianalisis dan ditransformasikan ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konsetual agar dapat digunakan dalam hal lebih luas. c) Tahap evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil transformasi pada tahap ke dua benar atau tidak. Evaluasi kemudian dinilai sehingga diketahui manamana pengetahuan yang diperoleh dan transformasi dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain. Keterkaitan antara teori belajar Piaget, Vygotsky dan Bruner dengan model pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif yaitu: a) Teori Piaget yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi, sejalan dengan prinsip model Konstruktivis-Metakognitif yaitu dalam salah satu tahapan sintaks yang berupa proses aktivasi skemata awal, pembentukan konflik kognitif dan pengkonstruksian konsep. Dalam tahapan aktivasi skemata awal ini peserta

6 12 didik menyampaikan pengetahuan awal yang telah ia miliki sebelumnya. Selanjutnya dalam tahapan pembentukan konflik kognitif akan timbul perbedaan pengetahuan awal peserta didik, baik berupa kurangnya kemantapan pengetahuan awal peserta didik maupun adanya perbedaan prinsip sehingga peserta didik mulai mengadakan proses asimilasi maupun akomodasi. Dalam proses asimilasi dan akomodasi dapat dilakukan dengan pelaksanaan tahapan sintaks pengkonstruksian konsep dalam bentuk kegiatan diskusi dan eksperimen. b) Teori Vygotsky yang menyatakan bahwa pembelajaran yang efektif harus mengarah pada perkembangan peserta didik yang dikembangkan melalui proses pemecahan masalah dalam upaya membantu peserta didik untuk mencapai potential development mereka. Proses perkembangan ini dapat dilakukan dengan proses scaffolding. Hal ini sejalan dengan prinsip model Konstruktivis-Metakognitif yang dapat dilihat dalam tahapan sintaks perencanaan pengkonstruksian konsep, pengkonstruksian, pemantauan dan evaluasi konsep. Dalam tahapan ini, peserta didik melakukan kegiatan diskusi dan eksperimen dalam rangka proses pemecahan masalah. Ketika proses diskusi berlangsung, guru melakukan scaffolding kepada peserta didik selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah peserta didik dapat melakukan sendiri. c) Teori Bruner yang menyatakan bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Hal ini sejalan dengan prinsip model pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif yang dapat dilihat dari seluruh tahapan sintaks pembelajaran. Tahapan sintak model pembelajaran ini telah mencerminkan adanya pemerolehan informasi baru oleh peserta didik yang muncul pada tahapan konflik kognitif. Selanjutnya transformasi pengetahuan dan pengujian relevansi pengetahuan dapat terlaksana melalui kegiatan diskusi dan eksperimen pembuktian dalam tahapan sintaks

7 13 perencanaan pengkonstruksian konsep, pengkonstruksian, pemantauan dan evaluasi konsep. Menurut Siregar (2011), ciri-ciri pembelajaran konstruktivis adalah sebagai berikut: a) Orientasi, yaitu perserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik dengan memberi kesempatan observasi. b) Elisitasi, yaitu perserta didik mengungkapkan idenya dengan jalan berdiskusi, menulis, membuat poster dan lain-lain. c) Restrukturisasi ide, yaitu klarifikasi ide dengan ide orang lain, membangun ide baru mengevaluasi ide baru. d) Penggunaan ide baru pada berbagai situasi, yaitu ide atau pengetahuan yang telah terbentuk perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi. e) Review, yaitu dalam mengaplikasikan pengetahuan dan gagasan yang ada perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah penambahan pengetahuan baru dilakukan oleh peserta didik sendiri. Driver dan Bell sebagaimana dikutip oleh Isjoni (2009) mengemukakan prinsip-prinsip konstruktivisme dalam pembelajaran, yaitu: (a) hasil pembelajaran tidak hanya tergantung dari pengalaman pembelajaran di ruangan kelas, tetapi tergantung pula pada pengetahuan belajar sebelumnya, (b) pembelajaran adalah mengkonstruksi konsep-konsep, (c) mengkonstruksi konsep adalah proses aktif dalam diri pelajar, (d) konsep-konsep yang telah dikonstruksi akan dievaluasi untuk diterima atau ditolak, (e) yang paling bertanggung jawab terhadap cara dan hasil pembelajaran adalah peserta didik, dan (f) adanya pola terhadap konsepkonsep yang dikonstruksi peserta didik dalam struktur kognitifnya. 2) Karakteristik Metakognisi Metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell di awal tahun Metakognitif merupakan pengetahuan tentang kognisi secara umum dan kesadaran akan pengetahuan tentang kognisi diri sendiri. Wellman (1985) menyatakan bahwa metakognisi adalah suatu bentuk kognisi yang merupakan

8 14 proses berpikir urutan kedua atau lebih tinggi yang melibatkan pengendalian aktif dari proses kognitif. Sehingga dapat didefinisikan sebagai berpikir tentang berpikir atau kognisi seseorang tentang kognisi. Flavell (1979), menyatakan bahwa metakognisi adalah pengetahuan (knowledge) dan regulasi (regulation) pada suatu aktivitas kognitif seseorang dalam proses belajarnya. Menurut Stewart dan Landine dalam Ellis (2009), metakognisi merupakan suatu konsep psikologi kognitif yang fokus pada pastisipasi aktif peserta didik didalam proses berfikirnya. Sedangkan Moore (2004) menyatakan bahwa metakognisi mengacu pada pemahaman peserta didik tentang pengetahuannya, sehingga pemahaman yang mendalam tentang pengetahuannya akan mencerminkan penggunaannya yang efektif atau uraian yang jelas tentang pengetahuan yang dipermasalahkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan-kognisi adalah kesadaran peserta didik tentang apa yang sesungguhnya diketahuinya dan regulasi-kognisi adalah bagaimana peserta didik mengatur aktivitas kognisifnya secara efektif. Karena itu, pengetahuan-kognisi memuat pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional, sedang regulasikognisi mencakup kegiatan perencanaan, prediksi, monitoring (pemantauan), pengujian, perbaikan (revisi), pengecekan (pemeriksaan), dan evaluasi. Berdasarkan beberapa pengertian metakognitif beberapa ahli tersebut disimpulkan bahwa metakognitif adalah suatu kesadaran tentang kognitif kita sendiri, bagaimana kognitif kita bekerja serta bagaimana mengaturnya. Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan kognitif kita dalam menyelesaikan masalah. Secara ringkas metakognitif dapat diistilahkan sebagai thinking about thingking. Pendapat Flavell (1979) yang diperkuat oleh Anderson dan Karthwohl (2010), deskripsi metakognisi yang meliputi pengetahuan dari strategi, pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, dan kognisi diri dari peserta didik. Ketiga jenis komponen tersebut merupakan komponen penting dari proses pembelajaran. Desoete (2001) menyatakan bahwa metakognisi memiliki tiga komponen pada penyelesaian masalah dalam pembelajaran, yaitu: pengetahuan metakognitif,

9 15 keterampilan metakognitif, dan kepercayaan metakognitif. Namun, komponen metakognisi saat ini sering dibedakan menjadi pengetahuan metakognisi dan keterampilan metakognisi. Pengetahuan metakognitif mengacu kepada pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan kondisional seseorang pada penyelesaian masalah. Sedangkan keterampilan metakognitif mengacu kepada keterampilan perencanaan (planning skills), keterampilan monitoring (monitoring skills), keterampilan evaluasi (evaluation skills) dan keterampilan prediksi (prediction skills). Kemampuan metakognisi dapat dilatihkan melalui pembelajaran berbasis kognitif. Menurut Peters (2012), terdapat hubungan kuat antara metakognisi dengan pembelajaran berbasis kognitif. Pembelajaran berbasis kognitif dapat memberdayakan kemampuan metakognisi, karena pembelajaran berbasis kognitif menuntut peserta didik menemukan dan mengkonstuksi sendiri pengetahuan. Kegiatan menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan mengantarkan peserta didik mengetahui posisi kognisinya dalam mengkonstruksi pengetahuan, akibatnya kemampuan metakognisi peserta didik dapat terlatihkan melalui kegiatan refleksi diri, merencanakan kembali, memantau ulang, dan mengevaluasi kembali hasil belajarnya (Prayitno, 2014). 3) Kolaborasi Karakteristik Konstruktivis dan Metakognitif Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif merupakan bentuk kolaborasi dari pendekatan konstruktivis dan metakognitif yang menghasilkan perpaduan prinsip dari kedua pendekatan tersebut. Teori konstruktivisme merupakan pemahaman bahwa pengetahuan, ide, atau konsep yang baru dibina secara aktif berdasarkan kepada pengalaman sendiri dan pengetahuan yang sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Ide atau konsep yang diterima diperoleh berdasarkan pengalaman sendiri (kontekstual), interaksi sosial dan lingkungan yang diselaraskan melalui proses metakognitif peserta didik. Prinsip yang paling penting dalam konstruktivisme adalah guru tidak boleh semata-mata memberikan pengetahuan kepada peserta didik namun peserta didik harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri.

10 16 Konsep metakognitif menuntut peserta didik dapat mengidentifikasi gaya belajar yang sesuai untuk diri sendiri, serta memonitor dan meningkatkan kemampuan belajar dengan cara merangkum, membaca, mendengarkan, diskusi dan belajar kelompok. Selain itu, peserta didik dapat membuat keputusan, memecahkan masalah serta memadukan hubungan-hubungan pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan yang baru dipelajarinya. Perpaduan kedua unsur konstruktivis dan metakognitif dalam model pembelajaran konstruktif-metakognitif diharapkan dapat melatih kemandirian peserta didik didalam mengonstruksi konsep belajar dan melatih kapasitas berpikir peserta didik sehingga mampu mengendalikan aktivitas belajarnya. d. Sintaks Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif Prayitno, (2014) menggabungkan kelebihan konsep belajar konstruktivis dan metakognitif menjadi tahapan sintaks model pembelajaran konstruktivismetakognitif. Sintaks model pembelajaran konstruktivis-metakognitif terdiri dari tujuh tahap. Tujuh tahap model pembelajaran tersebut yaitu: 1) Tahap 1: Pembentukan Kelompok Kolaboratif Tahap pembentukan kelompok belajar kolaboratif mengelompokkan peserta didik dalam tim-tim dengan anggota kurang lebih 5 orang dengan kemampuan akademik yang heterogen. Heterogenitas kemampuan peserta didik dalam kelompok ini dimaksudkan agar proses scaffolding melalui teman sebaya terfasilitasi dengan baik. Pembentukan kelompok heterogen ini juga berfungsi untuk menghindari peserta didik yang cenderung memilih peserta didik lain yang setara dengan mereka sehingga membentuk strata kognitif yang tidak seimbang. Selain itu, untuk meminimalisir adanya dominasi oleh peserta didik yang pandai disusunlah sistem penilaian kelompok yang mempertimbangkan keikutsertaan individu dalam memajukan kelompoknya yang dijelaskan pada tahap rekognisi tim. Sehingga nuansa belajar kompetisi antar individu peserta didik dapat diminimalisir.

11 17 Cara yang dapat dilakukan guru dalam pembentukan tim kolaboratif meliputi: a) Menyusun urutan peringkat kelas peserta didik dari yang tertinggi sampai terendah. b) Menentukan jumlah tim peserta didik, tiap tim maksimal terdiri dari 5-6 orang. c) Membagi peserta didik ke dalam secara seimbang agar; (1) tiap tim terdiri atas level kinerjanya berkisar dari yang rendah, sedang, dan tinggi, (2) level kinerja yang sedang dari semua tim hendaknya setara. Pada tahap pembentukan kelompok kolaboratif juga dijelaskan tentang adanya aturan rekognisi tim. Aturan-aturan tersebut meliputi tiga konsep penting, yaitu: (1) penghargaan tim, yaitu tim dengan skor tertinggi dan dapat mencapai kriteria yang ditentukan mendapatkan penghargaan; (2) kesuksesan yang sama, yaitu semua peserta didik memberikan konstribusi kepada timnya dengan meningkatkan kinerja mereka dari sebelumnya; dan (3) tanggung jawab individu, yaitu kesuksesan tim tergantung pada kegiatan anggota tim yang saling membantu satu sama lain. 2) Tahap 2: Aktivasi Skemata Awal Menurut teori belajar konstruktivisme, pembentukan konsep perserta didik dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi dan akomodasi berperan penting dalam keberhasilan aktivasi konsepsi awal perserta didik. Konsepsi awal yang disampaikan oleh peserta didik bisa benar bisa juga salah, sehingga langkah terpenting dalam pembelajaran konstruktivisme yaitu membuat peserta didik mampu menyadari gagasan mereka sendiri mengenai topik atau peristiwa yang akan mereka pelajari. Beberapa cara yang dapat dilakukan guru untuk mengaktivasi skemata awal peserta didik pada tahap II sintaks model pembelajaran berbasis konstruktivis-metakognitif sebagai berikut. a) Menyajikan Fenomena Penyajian fenomena bertujuan untuk mengaktivasi skemata awal tentang konsep pembelajaran yang akan diajarkan. Guru meminta peserta didik menelaah

12 18 fenomena tersebut dengan harapan skemata awal peserta didik yang berkaitan dengan fenomena dapat teraktivasi. Fenomena yang disajikan dapat berupa fenomena yang sudah dikenal baik oleh peserta didik maupun fenomena yang sama sekali belum dikenal peserta didik. Fenomena yang sudah dikenal peserta didik, guru dapat meminta peserta didik menjelaskan tentang fenomena tersebut. Sedangkan untuk fenomena yang belum dikenal peserta didik, guru dapat meminta peserta didik meramalkan atau memprediksi apa yang terjadi dengan fenomena itu, serta meminta peserta didik menjelaskan dasar argumen dari prediksi mereka. b) Meminta Peserta Didik Mendeskripsikan Konsepsi Awal Mereka Guru meminta peserta didik mendiskripsikan skemata awal yang telah dimiliki yang terkait dengan materi. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengaktivasi skemata awal peserta didik yaitu, membuat peta konsep, peta pikiran, menggambarkan ilustrasi, menuliskannya dalam bentuk uraian, menciptakan model, atau kombinasi diantaranya. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah membantu peserta didik mengenali dan memperjelas pemahaman dan gagasan mereka sendiri. 3) Tahap 3: Menciptakan Konflik Kognitif Tahap penciptaan konflik kognitif merupakan tahapan penting dalam pembelajaran berbasis konstruktivis-metakognitif yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan kognitif. Konflik kognitif yang timbul akan membuat peserta didik termotivasi untuk belajar. Ketidakseimbangan kognitif membuat peserta didik merasa tidak puas dengan fenomena yang dihadapinya sampai mereka berhasil menemukan jawaban yang tepat untuk menyeimbangkan kognitif mereka. Penciptaan konflik kognitif dapat difasilitasi oleh guru dengan berbagai cara yaitu dengan mengajak peserta didik berdiskusi dalam kelompok kecil maupun kelompok besar dan melakukan demonstrasi atau eksperimen yang membantah skemata awal peserta didik atau memperluas skemata awal peserta didik dengan konsepsi ilmiah. Peran guru pada tahap ini yaitu membantu peserta didik mendeskripsikan ide-idenya kepada peserta didik lain yang terlibat dalam

13 19 diskusi, membimbing peserta didik melakukan demonstrasi atau melakukan eksperimen, dan mengarahkan perhatian peserta didik terhadap pengamatan yang telah mereka lakukan. 4) Tahap 4: Perencanaan Pengkonstruksian Konsep, Pengkonstruksian, Pemantauan dan Evaluasi Konsep Pada tahap ini peserta didik dilatihkan untuk terampil melakukan kegiatan perencanaan terhadap pembentukan konsep berdasarkan konflik kognitif yang dihadirkan pada sintaks sebelumnya. Indikator empirik yang harus dilakukan peserta didik pada tahap ini yaitu: a) Peserta didik menetapkan tujuan pembentukan konsep yang ingin dicapai oleh kelompoknya. b) Peserta didik merencanakan waktu yang akan digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. c) Peserta didik mempersiapkan pengetahuan awal yang harus mereka kuasai untuk mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan. d) Peserta didik merencanakan dan memutuskan strategi kognitif yang dianggap paling tepat untuk mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan. Tahap pembentukan konsep diawali dengan pembentukan tim kolaboratif yang telah disusun pada tahap pertama. Tim-tim harus mewakili semua variasi peserta didik yang ada didalam kelas seperti, jenis kelamin, suku, agama, kemampuan akademik, dan lain-lain. Tetapi yang terpenting harus mewakili dalam tim adalah keterwakilan peserta didik berkemampuan akademik atas, sedang dan bawah. Tahap pembentukan konsep dilakukan secara kolaboratif bertujuan untuk mendorong terjadinya proses asimilasi dan akomodasi dalam struktur kognitif peserta didik sampai terbentuk keseimbangan kognitif peserta didik. Pembentukan konsep pada tahap ini diorganisasi dalam kerja kelompok kolaboratif. Pengalaman belajar yang dapat diberikan oleh guru pada tahap ini berupa kegiatan demonstrasi, diskusi, atau eksperimen yang meyakini bahwa skemata awal peserta didik kurang tepat atau skemata awal mereka dapat diperluas. Untuk sampai pada

14 20 taraf ini guru perlu menggunakan pertanyaan untuk menggali konsepsi awal yang dibentuk oleh peserta didik. Pada tahap ini, peserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik secara kolaboratif. Guru dituntut mampu memfasilitasi peserta didik dalam merekonstruksi ide-ide mereka. Beberapa hal yang disarankan dapat dilakukan guru untuk membantu merekonstruksi ide-ide peserta didik sebagai berikut: a) Klasifikasi ide yang dikontranskan dengan ide-ide peserta didik lain melalui diskusi atau kegiatan pengumpulan ide-ide. b) Membangun ide yang baru, ide-ide baru dapat terbentuk bila dalam diskusi idenya bertentangan dengan ide lain, atau idenya tidak dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-temannya. c) Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Bila memungkinkan gagasan yang baru dibentuk oleh peserta didik diuji dengan eksperimen atau diuji dengan cara memecahkan persoalan-persoalan baru. d) Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk peserta didik perlu diaplikasikan dalam berbagai situasi agar pengetahuan peserta didik lebih lengkap dan rinci dengan segala macam pengecualian. Pada saat pembentukan konsep, peserta didik juga dilatihkan untuk terampil memantau tujuan yang ingin dicapai, memantau waktu yang digunakan, memantau kecukupan pengetahuan awal, dan memantau pelaksanaan strategi kognitif yang mereka pilih. Selain itu, peserta didik juga dituntut untuk terampil mengevaluasi yaitu mengevaluasi ketercapaian tujuan, mengevaluasi penggunaan waktu, mengevaluasi relevansi pengetahuan awal, dan mengevaluasi efektivitas strategi kognitif yang digunakan. 5) Tahap 5: Presentasi Kelas Tahap presentasi kelas menuntut peserta didik mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan kelas. Presentasi kelas dapat dimanfaatkan oleh guru untuk memantau perolehan konsep peserta didik, memperbaiki, serta menguatkan

15 21 konsep peserta didik yang telah dibangun selama diskusi kelompok. Presentasi kelas dapat dipimpin oleh guru atau salah satu anggota kelompok peserta didik yang sedang presentasi di depan kelas. 6) Tahap 6: Tes Individu Setelah pembelajaran berlangsung satu KD, para peserta didik diminta mengerjakan kuis individual. Para peserta didik tidak diperbolehkan untuk saling membantu dalam mengerjakan kuis, sehingga setiap peserta didik bertanggungjawab secara individual untuk memahami materinya. 7) Tahap 7: Rekognisi Tim Kegiatan utama pada rekognisi tim adalah menghitung skor kemajuan individual, skor tim, dan memberikan penghargaan tim. Gagasan dibalik skor kemajuan individual, skor tim, dan pemberian penghargaan untuk menanamkan pada diri peserta didik bahwa keberhasilan belajar akan dicapai apabila mereka belajar lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam sistem skor ini, tiap peserta didik dapat memberikan kontribusi poin yang maksimal kepada timnya, tetapi tidak ada peserta didik yang dapat melakukannya tanpa memberikan usaha yang terbaik. Tiap peserta didik diberikan skor awal yang diperoleh skor awal yang diperoleh dari rata-rata kinerja mereka sebelumnya dalam mengerjakan kuis sebelumnya. Peserta didik selanjutnya akan mengumpulkan poin untuk tim mereka berdasarkan tingkat kenaikan skor kuis mereka dibandingkan dengan skor awal mereka. Guru menghitung skor kemajuan individual dan skor tim setelah melakukan kuis individual. Guru hendaknya mengumumkan skor tim pada periode pertama setelah mengerjakan kuis agar membuat jelas hubungan antara melakukan tugas dengan baik dan menerima rekognisi yang pada akhirnya akan meningkatkan motivasi mereka untuk melakukan yang terbaik. Berikut pedoman yang dapat digunakan oleh guru dalam memberikan poin kemajuan individu dan skor tim.

16 22 a) Pedoman Pemberian Poin Kemajuan Individu Poin kemajuan individu diukur berdasarkan tingkat dimana skor kuis mereka melampaui skor awal. Tujuan dari adanya skor awal dan poin kemajuan adalah untuk memungkinkan semua peserta didik memberikan poin maksimum bagi kelompok mereka, berapapun tingkat kinerja mereka sebelumnya. Peserta didik memahami cukup adil membandingkan tiap peserta didik dengan tingkat kinerja mereka sendiri sebelumnya, karena semua peserta didik masuk ke dalam kelas dengan perbedaan tingkat kemampuan dan pengalaman. Tabel 2.1. Pedoman Pemberian Pedoman Kemajuan Individu No Skor Kuis Poin Kemajuan 1. Lebih dari 10 poin di bawah skor awal poin di bawah skor awal Skor awal sampai 10 poin di atas skor awal Lebih dari 10 poin di atas skor awal atau nilai sempurna 30 (Sumber: Prayitno, Suciati & Sugiharto, 2014) b) Pedoman Penghitungan Skor Tim dan Pemberian Penghargaan Untuk menghitung skor tim, guru tinggal membagi jumlah total poin kemajuan seluruh anggota tim dengan jumlah anggota tim yang hadir, bulatkan semua pecahan. Skor tim lebih tergantung pada skor kemajuan dari pada skor awal. Skor tim merupakan dasar dari pemberian penghargaan tim. Guru dapat membuat tiga tingkatan penghargaan yang didasarkan pada rata-rata skor tim sebagai berikut. Tabel 2.2. Pedoman Penghitungan Skor Tim dan Pemberian Penghargaan No Kriteria (Rata-Rata Tim) Penghargaan Tim Baik Tim Sangat Baik Tim Super (Sumber: Prayitno, Suciati & Sugiharto, 2014) Kriteria ini merupakan satu rangkaian sehingga untuk menjadi tim sangat baik sebagian besar anggota tim harus memiliki skor di atas skor awal mereka dan untuk menjadi tim super sebagian besar anggota tim harus memiliki skor setidaknya 10 poin di atas skor dasar mereka.

17 Setelah guru menghitung skor tim hendaknya memberikan rekognisi atau penghargaan untuk pencapaian sampai pada tim sangat baik atau tim super. Penghargaan dapat berupa pemberian sertifikat. Tim baik hanya mendapat ucapan selamat di dalam kelas. Pemberian rekognisi tim ini selain untuk memberikan penghargaan kepada peserta didik yang telah berhasil, juga memberikan motivasi kepada tim baik agar menambah semangat belajarnya sehingga dapat berkompetisi antar tim secara sehat. Ringkasan sintak model pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif sebagai berikut: Tabel 2.3. Ringkasan Sintaks Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif Tahapan Pembelajaran Kegiatan Guru Tahap I. Pembentukan Kelompok Guru membagi peserta didik menjadi kelompok Kolaboratif heterogen dalam hal kemampuan akademik, latar belakang budaya, dan hal-hal lain yang mungkin ditemukan di dalam kelas. Guru menyepakati dengan peserta didik tentang aturan pemberian rekognisi tim. Tahap II Aktivasi Skemata Awal Guru mengaktifkan pengetahuan lama peserta didik yang terkait erat dengan pelajaran yang akan dipelajari. Pengetahuan lama tersebut harus bisa memicu konflik kognitif pada diri peserta didik. Beberapa cara yang dapat dipertimbangkan oleh guru pada tahap ini adalah menyajikan fenomena atau mendeskripsikan konsepsi awal mereka Tahap III Menciptakan Konflik Kognitif Tahap IV Perencanaan Pembentukan Konsep 23 Penciptaan konflik kognitif dapat difasilitasi oleh guru dengan berbagai cara sebagai berikut. 1) Mengajak peserta didik berdiskusi dalam kelompok kecil maupun besar. 2) Melakukan demonstrasi atau eksperimen yang membantah konsepsi awal peserta didik atau memperluas konsepsi awal peserta didik dengan konsepsi ilmiah. Pada tahap ini peserta didik dilatihkan untuk terampil melakukan kegiatan perencanaan terhadap pembentukan konsep berdasarkan konflik kognitif yang di hadirkan pada sintaks sebelumnya. Indikator empirik yang harus dilakukan peserta didik pada tahap ini yaitu, 1) peserta didik menetapkan tujuan pembentukan konsep yang ingin dicapai oleh kelompoknya, (2) peserta didik merencanakan waktu yang akan digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, (3) peserta didik mempersiapkan pengetahuan awal yang harus mereka kuasai untuk mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan, dan (4) peserta didik merencanakan dan memutuskan strategi kognitif yang dianggap paling tepat untuk mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan.

18 Lanjutan Tabel 2.3. Ringkasan Sintaks Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif Tahapan Pembelajaran Kegiatan Guru Tahap IV Pembentukan Konsep, Tahap pembentukan konsep secara kolaboratif ini Pemantauan, dan Evaluasi bertujuan mendorong terjadinya proses asimilasi dan akomodasi dalam struktur kognitif peserta didik sampai terbentuk keseimbangan kognitif peserta didik. Pembentukan konsep pada tahap ini diorganisasi dalam kerja kelompok kolaboratif. Pengalaman belajar yang dapat diberikan oleh guru pada tahap ini berupa kegiatan demonstrasi, diskusi, atau eksperimen yang meyakinkan bahwa konsepsi awal peserta didik kurang tepat atau konsepsi awal mereka dapat diperluas. Tahap V Presentasi Kelas Tahap presentasi kelas ini menuntut peserta didik mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan kelas. Presentasi kelas dapat dimanfaatkan oleh guru untuk memantau perolehan konsep peserta didik, memperbaiki, serta menguatkan konsep peserta didik yang telah dibangun selama diskusi kelompok. Presentasi kelas dapat dipimpin oleh guru atau salah satu anggota kelompok peserta didik yang sedang presentasi di depan kelas Tahap VI Tes Individu Setelah pembelajaran berlangsung satu KD para peserta didik diminta mengerjakan kuis individual. Para peserta didik tidak diperbolehkan untuk saling membantu dalam mengerjakan kuis, sehingga tiap peserta didik bertanggungjawab secara individual untuk memahami materinya. Tahap VII Rekognisi Tim Kegiatan utama pada tahap rekognisi tim adalah menghitung skor kemajuan individual, skor tim, dan memberikan penghargaan tim. Gagasan dibalik skor kemajuan individual, skor tim, dan pemberian penghargaan untuk menanamkan pada diri peserta didik bahwa keberhasilan belajar akan dicapai apabila mereka belajar lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik dari sebelumnya. (Sumber: Prayitno, Suciati & Sugiharto, 2014) e. Dampak Sosial Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif dalam Proses Pembelajaran Dampak sosial yang dikembangkan pada model pembelajaran konstruktivis-metakognitif adalah kerjasama dalam belajar sehingga semua anggota dalam suatu tim akan bertanggungjawab atas teman satu tim dan mampu belajar sama baiknya dengan anggota tim yang lain. Keberhasilan tim hanya akan dicapai jika semua anggota tim mampu menguasai materi yang dipelajari. Sehingga tugas-tugas yang diberikan bukan melakukan sesuatu sebagai sebuah tim melainkan belajar sesuatu sebagai sebuah tim. Semua peserta didik akan 24

19 25 memberikan kontribusi bagi timnya dengan meningkatkan kinerja mereka dari sebelumnya. Hal ini menyebabkan semua peserta didik baik yang berprestasi tinggi, sedang maupun rendah ditantang untuk melakukan yang terbaik. f. Peran dan Tugas Guru Peran guru dalam model pembelajaran konstruktivis-metakognitif adalah sebagai mediator dan fasilitator (Prayitno, 2014). Guru bertugas membantu proses pembelajaran berjalan dengan baik. Dalam proses pembelajaran, guru menerapkan proses scaffolding kepada peserta didik. Hal-hal yang dilakukan guru sebagai mediator dan fasilitator yaitu: 1) Guru menyajikan kegiatan-kegiatan yang merangsang rasa ingin tahu perserta didik, membantu perserta didik mengekspresikan gagasan - gagasannya, mengkomuni-kasikan ide-ide mereka. 2) Guru menyediakan sarana yang dapat menantang perserta didik untuk berpikir. 3) Guru menyediakan kesempatan dan pengalaman untuk mendukung proses belajar perserta didik. 4) Guru memonitor, megevaluasi, dan menunjukkan apakah perserta didik mampu berpikir dengan baik atau belum. 5) Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siawa dapat digunakan untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Peran dan tugas guru akan dicapai secara optimal jika guru melakukan kegiatan-kegiatan berikut : 1) Guru berinteraksi secara intensif dengan peserta didik untuk mengetahui pikiran dan pengetahuan peserta didik. 2) Tujuan pembelajaran dibicarakan dengan peserta didik secara bersama-sama agar peserta didik terlibat secara aktif. 3) Guru memilih secara selektif mengenai pengalaman belajar yang dibutuhkan peserta didik. 4) Guru mempercayai peserta didik akan mampu belajar dengan baik melalui pengkonstruksian konsep.

20 26 5) Guru mampu bersikap fleksibel dan terbuka dalam menghadapi gagasan atau ide peserta didik. g. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Konstruktivis- Metakognitif Pembelajaran dengan model pembelajaran konstruktivis-metakognitif memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan model pembelajaran konstruktivis-metakognitif yaitu dapat membentuk peserta didik dengan pemahaman konsep yang matang karena pengkonstruksian konsep dilakukan oleh peserta didik bukan menerima secara langsung dari guru sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Pembelajaran yang bermakna akan menjadi pengalaman yang berharga bagi peserta didik sehingga konsep yang dipelajari akan masuk dalam memori jangka panjang peserta didik. Peserta didik menjadi aktif terlibat dalam pembelajaran. Kesenjangan kognitif antarpeserta didik dapat diperkecil dengan adanya proses scaffolding dari model konstrukstivis-metakognitif, sehingga peserta didik dengan akademik rendah dapat memiliki kognitif yang sama seperti peserta didik dengan akademik tinggi. Pembelajaran dengan model tersebut juga berpotensi memberdayakan kemampuan berpikir peserta didik terutama kemampuan berpikir kritis peserta didik terkait dengan tuntutan model pembelajaran yang mengarahkan peserta didik agar mampu merencanakan, memantau dan mengevaluasi proses belajar yang dilakukan. Selain itu, adanya karakteristik metakognitif akan membantu peserta didik menjadi pebelajar yang mandiri. Kekurangan model pembelajaran model konstruktivis-metakognitif yaitu proses pembelajaran yang dilakukan membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal ini dikarenakan adanya tahap pengkonstruksian konsep secara mandiri oleh peserta didik, sehingga lama waktu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk menemukan konsep tidak dapat ditentukan secara pasti. Selain itu, model pembelajaran ini juga menuntut guru memiliki pengetahuan yang luas dan terampil mengarahkan peserta didik menuju konsep yang benar tanpa memberitahukan secara langsung.

21 27 2. Kemampuan Berpikir Kritis a. Pengertian Kemampuan Berpikir Kritis Berpikir merupakan salah satu aktivitas mental yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory (Khodijah, 2006). Sedangkan menurut Drever dalam Khodijah (2006) berpikir adalah melatih ide-ide dengan cara yang tepat dan seksama yang dimulai dengan adanya masalah. Menurut Solso (1998), berpikir adalah sebuah proses dimana representasi mental baru dibentuk melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek atribut mental yang meliputi penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan pemecahan masalah. John Dewey menganjurkan agar sekolah mengajarkan cara berpikir yang benar pada peserta didiknya. Menurut Ruggeiro (Johnson, 2007), berpikir merupakan segala aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, memenuhi keinginan untuk memahami, sebuah pencarian jawaban, dan sebuah pencapaian makna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian berpikir merupakan suatu proses yang melibatkan beberapa aktivitas manipulasi kognitif yang timbul secara internal dalam pikiran tetapi dapat diperkirakan dan diarahkan yang dapat menghasilkan perilaku untuk memecahkan masalah. Berpikir kritis merupakan bagian dari pola berpikir kompleks/ tingkat tinggi yang bersifat konvergen. Berpikir kritis menggunakan dasar proses berpikir untuk menganalisis argumen dan memunculkan gagasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi, untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, memahami asumsi dan bias yang mendasari tiap-tiap posisi, serta memberikan model presentasi yang dapat dipercaya, ringkas dan meyakinkan (Ennis dalam Liliasari, 2009). Facione dalam Liliasari (2009) menyatakan bahwa inti berpikir kritis adalah deskripsi yang rinci dari sejumlah karakteristik yang berhubungan, yang meliputi analisis, inferensi, eksplanasi, evaluasi, pengaturan diri, dan interpretasi.

22 28 Menurut Costa (1985), kemampuan berpikir kritis termasuk salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi yang secara esensial merupakan keterampilan menyelesaikan masalah (problem solving). Osborne, Kriese, Tobey, dan Johnson (2009) menyatakan bahwa berpikir kritis melibatkan kompetensi kognitif dan menyadari cara untuk berpikir dalam proses penyelesaian masalah. Kemampuan berpikir kritis berkaitan erat dengan tingkat kecerdasan dan daya penalaran sehingga kemampuan seseorang untuk menciptakan keberagaman penyelesaian masalah. Menurut Ennis dalam Costa (1985), berpikir kritis adalah kemampuan bernalar dan berpikir reflektif yang diarahkan untuk memutuskan hal-hal yang meyakinkan untuk dilakukan. Dengan kata lain, pengambilan keputusan diambil setelah dilakukan refleksi dan evaluasi pada apa yang dipercayai. Sedangkan menurut Presseisen dalam Costa (1985) mengemukakan bahwa berpikir kritis diartikan sebagai keterampilan berpikir yang menggunakan proses berpikir dasar untuk menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi, mengembangkan pola penaaran yang kohesif dan logis, memahami asumsi yang mendasari tiap-tiap posisi, memberikan model presentasi yang dapat dipercaya, ringkas dan meyakinkan. Sejalan dengan itu Fachrurazi (2011) mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah proses sistematis yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri. Sementara itu Kusumaningsih (2011) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan proses berpikir secara tepat, terarah, beralasan, dan reflektif dalam pengambilan keputusan yang dapat dipercaya. Secara umum ada berbagai makna berpikir kritis, di antaranya: 1) berpikir reflektif dan beralasan yang berfokus penentuan apa yang dipercaya atau dilakukan (Ennis dalam Liliasari, 2009); 2) mengandung unsur-unsur mengestimasi, mengevaluasi, mempertimbangkan, mengklasifikasikan, berhipotesis, menganalisis, bernalar (Fisher dalam Liliasari, 2009); 3) melibatkan semua interpretasi (menghasilkan makna), dan translasi (perlindungan makna) yang bertanggung jawab (Lipman dalam Liliasari, 2009). Jadi inti dari berpikir

23 29 kritis meliputi : a) mengidentifikasi unsur-unsur yang merupakan alasan dari kasus, khususnya hubungan sebab-akibat; b) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi; c) menjelaskan dan menginterpretasikan pernyataan dan ide; d) menimbang keterterimaan, khususnya kredibilitas klaim; e) mengevaluasi berbagai jenis argumen; f) menganalisis, mengevaluasi dan membuat kesimpulan; g) menarik kesimpulan; h) menghasilkan argumen (McGregor dalam Liliasari, 2009). Dari beberapa pendapat para ahli tentang kemampuan berpikir kritis di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis (critical thinking) adalah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi. Informasi tersebut bisa didapatkan dari hasil pengamatan, pengalaman, akal sehat atau komunikasi. Berpikir kritis dapat membantu peserta didik memahami bagaimana ia menandang dirinya sendiri, bagaimana ia memandang dunia, dan bagaimana ia berhubungan dengan orang lain, membantu meneliti perilaku diri sendiri, dan menilai diri sendiri. Berpikir kritis memungkinkan peserta didik menganalisis pemikiran sendiri untuk memastikan bahwa ia telah menentukan pilihan dan menarik kesimpulan cerdas. Sedangkan peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang rendah tidak dapat memutuskan untuk dirinya sendiri apa yang harus dipikirkan, apa yang harus dipercaya, dan bagaimana harus bertindak. Karena gagal berpikir mandiri, maka ia akan meniru orang lain, mengadopsi keyakinan dan menerima kesimpulan orang lain dengan pasif (Lambertus, 2009). b. Aspek Kemampuan Berpikir Kritis Kemampuan peserta didik dalam berpikir kritis dapat dikenali dari tingkah laku yang nampak selama proses berpikir. Untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat diketahui dari aspek atau indikator kemampuan berpikir kritis. Menurut Facione (2013), ada enam kecakapan berpikir kritis utama yang terlibat di dalam proses berpikir kritis. Kecakapan-kecakapan tersebut adalah interpretasi (interpretation), analisis (analysis), evaluasi (evaluation), inferensi (inference), penjelasan (explanation) dan regulasi diri (self-regulation).

24 30 Menurut Muanisah (2010), berikut adalah deskripsi dari keenam kecakapan berpikir kritis utama menurut Facione: 1) Interpretasi adalah memahami dan mengekspresikan makna atau signifikan dari berbagai macam pengalaman, situasi, data, kejadian-kejadian, penilaian, kebiasaan atau adat, kepercayaan-kepercayaan, aturan-aturan, prosedur atau kriteria-kriteria. 2) Analisis adalah mengidentifikasi hubungan-hubungan inferensional yang dimaksud dan aktual diantara pernyataan-pernyataan, pertanyaan-pertanyaan, konsep-konsep, deskripsi-deskripsi. 3) Evaluasi adalah menaksir kredibilitas pernyataan-pernyataan atau representasi-representasi yang merupakan laporan-laporan atau deskripsideskripsi dari persepsi, pengalaman, penilaian, opini dan menaksir kekuatan logis dari hubungan-hubungan inferensional atau dimaksud diantara pernyataan-pernyataan, deskripsi-deskripsi, pertanyaan-pertanyaan atau bentuk-bentuk representasi lainnya. 4) Inferensi adalah mengidentifikasi dan memperoleh unsur-unsur yang masuk akal, membuat dugaan-dugaan dan hipotesis, dan menyimpulkan konsekuensi-konsekuensi dari data. 5) Penjelasan mampu menyatakan hasil-hasil dari penjelasan seseorang, mempresentasikan penalaran seseorang dalam bentuk argumen-argumen yang kuat. 6) Regulasi diri berarti secara sadar diri memantau kegiatan-kegiatan kognitif seseorang, unsur-unsur yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan tersebut dan hasil-hasil yang diperoleh, terutama dengan menerapkan kecakapankecakapan di dalam analisis dan evaluasi untuk penelitian penilaian inferensial sendiri dengan memandang pada pertanyaan, konfirmasi, validitas atau mengoreksi baik penalarannya atau hasil-hasilnya. Menurut penelitian Kirmizi F.S., Ceren S., & Ibrahim H.Y. (2015), berpikir kritis dan penyelesaian masalah merupakan dua hal penting yang saling berkaitan karena berpikir kritis dapat dilatihkan melalui latihan penyelesaian

25 31 masalah. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis harus dikembangkan mulai dari pendidikan dasar. Berpikir kritis sangat tepat dikembangkan di kelas karena tahapan keterampilan berpikir kritis bersesuaian dengan keterampilanketerampilan proses IPA. Tahapan keterampilan berpikir kritis meliputi: 1) Keterampilan menganalisis, yaitu keterampilan berpikir yang tujuan pokoknya adalah memahami sebuah konsep global dengan cara menguraikan atau merinici globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan terperinci. Pertanyaan analisis menghendaki agar peserta didik mengidentifikasi langkah-langkah logis yang digunakan dalam proses berpikir hingga sampai pada saat kesimpulan (Harjasujana dalam Jahro, 2010). Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir analitis, diantaranya: menguraikan, membuat diagram, mengidentifikasi, menggambarkan, menghubungkan dan memerinci. 2) Keterampilan mensintesis, yaitu keterampilan yang berlawanan dengan keterampilan menganalisis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi suatu bentukan atau susunan yang baru. Pertanyaan sintesis menuntut peserta didik untuk menyatu padukan semua informasi yang diperoleh sehingga dapat menciptakan ide-ide baru. Pernyataan sintesis ini memberi kesempatan untuk berpikir bebas terkontrol (Harjasujana dalam Jahro, 2010). 3) Keterampilan mengenal dan memacahkan masalah, yaitu keterampilan yang menuntut peserta didik untuk memahami dengan kritis dan menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah konsep. Keterampilan ini bertujuan agar peserta didik mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam suatu permasalahan atau ruang lingkup baru (Walker dalam Jahro, 2010). 4) Keterampilan menyimpulkan, yaitu kegiatan akal pikiran manusia berdasarkan pengertian dan pengetahuan yang dimilikinya sehingga dapat beranjak mencapai pengertian atau pengetahuan yang baru (Salam & Jahro,

Potensi Sintaks Model Pembelajaran Konstuktuvis-Metakognitif dalam Melatihkan Berpikir dan Kemandirian Belajar Siswa

Potensi Sintaks Model Pembelajaran Konstuktuvis-Metakognitif dalam Melatihkan Berpikir dan Kemandirian Belajar Siswa Potensi Sintaks Model Pembelajaran Konstuktuvis-Metakognitif dalam Melatihkan Berpikir dan Kemandirian Belajar Siswa Oleh: Baskoro Adi Prayitno Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS Surakarta Jl. Ir.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan yang dihadapi oleh manusia semakin kompleks seiring dengan perkembangan jaman. Permasalahan tersebut muncul karena adanya interaksi antara manusia

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Kemampuan Berpikir Kritis a. Pengertian Berpikir Kritis Berpikir Kritis merupakan bagian dari kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peningkatan kualitas pendidikan sanggat tergantung pada proses pembelajaran di dalam kelas. Pendidikan berperan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. membujuk, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis

II. TINJAUAN PUSTAKA. membujuk, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Kemampuan Berpikir Kritis Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Berbasis Masalah Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun 1970-an. Model Problem Based Learning berfokus pada penyajian suatu permasalahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruggiero (Johnson, 2007:187) mengartikan berfikir sebagai segala aktivitas mental

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruggiero (Johnson, 2007:187) mengartikan berfikir sebagai segala aktivitas mental II. TINJAUAN PUSTAKA A. Berpikir Kritis Ruggiero (Johnson, 2007:187) mengartikan berfikir sebagai segala aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi

Lebih terperinci

Baskoro Adi Prayitno* Bowo Sugiharto Suciati

Baskoro Adi Prayitno* Bowo Sugiharto Suciati Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivis-Kolaboratif untuk Memberdayakan Kemampuan Berpikir Kritis dan Keterampilan Proses Sains Siswa Akademik Bawah Baskoro Adi Prayitno* Bowo Sugiharto

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. mencoba merumuskan dan membuat tafsirannya tentang belajar.

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. mencoba merumuskan dan membuat tafsirannya tentang belajar. BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme Definisi belajar ada beraneka ragam karena hampir semua ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsirannya tentang belajar.

Lebih terperinci

Pendidikan Biologi FKIP UNS, b. Pendidikan Biologi FKIP UNS, c

Pendidikan Biologi FKIP UNS,   b. Pendidikan Biologi FKIP UNS,   c Jurnal Pendidikan Biologi Volume 7,Nomor 3 Oktober 2015 Halaman 37-48 Pengaruh Model Pembelajaran Biologi Berbasis Konstruktivis-Kolaboratif Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas X SMA Negeri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

Lebih terperinci

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu yang berperan penting dalam kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), sehingga perkembangan matematika menjadi sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di SMA Negeri 7 Surakarta, yang terdiri dari 30 kelas, yakni kelas X MIPA berjumlah 5 dan X IPS berjumlah 5 kelas, kelas XI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lemah menjadi kuat, dari tidak bisa menjadi bisa. Seperti diakatakan oleh Slameto

II. TINJAUAN PUSTAKA. lemah menjadi kuat, dari tidak bisa menjadi bisa. Seperti diakatakan oleh Slameto II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hakekat Belajar Matematika Belajar merupakan proses berpikir seseorang dalam rangka menuju kesuksesan hidup, perubahan aspek kehidupan dari taraf tidak mengetahui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Belajar Jean Piaget Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Matematika sebagai salah satu mata pelajaran dasar pada setiap jenjang pendidikan formal, mempunyai peranan yang sangat penting di dalam pendidikan. Selain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penalaran menurut ensiklopedi Wikipedia adalah proses berpikir yang bertolak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penalaran menurut ensiklopedi Wikipedia adalah proses berpikir yang bertolak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Kemampuan Penalaran Matematis Penalaran menurut ensiklopedi Wikipedia adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Pembelajaran matematika membutuhkan proses bernalar yang tinggi

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Pembelajaran matematika membutuhkan proses bernalar yang tinggi 7 BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Landasan Teori 1. Pembelajaran Matematika Pembelajaran matematika membutuhkan proses bernalar yang tinggi dalam mengaitkan simbol-simbol dan mengaplikasikan konsep matematika

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Nur dalam (Trianto, 2010), teori-teori baru dalam psikologi pendidikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Nur dalam (Trianto, 2010), teori-teori baru dalam psikologi pendidikan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Menurut Nur dalam (Trianto, 2010), teori-teori baru dalam psikologi pendidikan di kelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructivist

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Metode discovery adalah suatu prosedur mengajar yang menitikberatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Metode discovery adalah suatu prosedur mengajar yang menitikberatkan 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Penemuan (Discovery Method) Metode discovery adalah suatu prosedur mengajar yang menitikberatkan studi individual, manipulasi objek-objek dan eksperimentasi oleh siswa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan penting dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari waktu jam pelajaran sekolah lebih

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proyek Kelompok Menurut Thomas (dalam Bell, 1978), pembelajaran metode proyek merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) efektif untuk kelompok kecil. Model ini menunjukkan efektivitas untuk berpikir

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) efektif untuk kelompok kecil. Model ini menunjukkan efektivitas untuk berpikir 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang efektif untuk kelompok kecil. Model ini menunjukkan efektivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam suatu pembelajaran terdapat dua aktivitas inti yaitu belajar dan mengajar. Menurut Hermawan, dkk. (2007: 22), Belajar merupakan proses perubahan perilaku

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sesuatu. Pengetahuan itu bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sesuatu. Pengetahuan itu bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Secara sederhana konstruktivisme merupakan konstruksi dari kita yang mengetahui sesuatu. Pengetahuan itu bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan,

Lebih terperinci

II. KERANGKA TEORITIS. Belajar merupakan peristiwa sehari-hari di sekolah. Belajar merupakan hal yang

II. KERANGKA TEORITIS. Belajar merupakan peristiwa sehari-hari di sekolah. Belajar merupakan hal yang II. KERANGKA TEORITIS A. Tinjauan Pustaka 1. Model Problem Based Learning (PBL) Belajar merupakan peristiwa sehari-hari di sekolah. Belajar merupakan hal yang kompleks. Kompleksitas belajar tersebut dapat

Lebih terperinci

BIO-PEDAGOGI ISSN: Volume 4,Nomor 2 Oktober 2015 Halaman 58-63

BIO-PEDAGOGI ISSN: Volume 4,Nomor 2 Oktober 2015 Halaman 58-63 BIO-PEDAGOGI ISSN: 2252-6897 Volume 4,Nomor 2 Oktober 2015 Halaman 58-63 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BIOLOGI BERBASIS KONSTRUKTIVIS-KOLABORATIF TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS X SMA NEGERI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Matthews dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu: 2001). Menurut Sagala

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Matthews dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu: 2001). Menurut Sagala II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Generatif (Generative Learning) Pembelajaran Generatif merupakan terjemahan dari Generative Learning.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Generatif (Generative Learning) Pembelajaran Generatif merupakan terjemahan dari Generative Learning. 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Generatif (Generative Learning) Pembelajaran Generatif merupakan terjemahan dari Generative Learning. Model pembelajaran generatif menggunakan teori kontruktivisme

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Slavin (Nur, 2002) bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Slavin (Nur, 2002) bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Inkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi. Gulo menyatakan strategi inkuiri berarti

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Pengertian Kemampuan Pemahaman Konsep. konsep. Menurut Sudjiono (2013) pemahaman atau comprehension dapat

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Pengertian Kemampuan Pemahaman Konsep. konsep. Menurut Sudjiono (2013) pemahaman atau comprehension dapat 6 BAB II KAJIAN TEORITIK A. Kemampuan Pemahaman Konsep 1. Pengertian Kemampuan Pemahaman Konsep Pemahaman konsep terdiri dari dua kata yaitu pemahaman dan konsep. Menurut Sudjiono (2013) pemahaman atau

Lebih terperinci

JURNAL LOGIKA, Vol XVI, No 1 Maret Tahun 2016 ISSN:

JURNAL LOGIKA, Vol XVI, No 1 Maret Tahun 2016 ISSN: PERBEDAAN MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DAN MODEL PEMBELAJARAN LANGSUNG Mohammad Dadan Sundawan mdsmath@gmail.com Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon ABSTRAK Model pembelajaran konstruktivisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran matematika tidak hanya mengharuskan siswa sekedar mengerti materi yang dipelajari saat itu, tapi juga belajar dengan pemahaman dan aktif membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Irpan Maulana, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Irpan Maulana, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hasil akhir yang ingin dicapai dari suatu proses pembelajaran pada umumnya meliputi tiga jenis kompetensi, yaitu kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Ketiga

Lebih terperinci

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME A. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Mata pelajaran Matematika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu bangsa. Penduduk yang banyak tidak akan menjadi beban suatu negara apabila berkualitas, terlebih

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kemampuan Representasi Matematis Menurut NCTM (2000) kemampuan representasi matematis yaitu kemampuan menyatakan ide-ide matematis dalam bentuk gambar, grafik, tulisan atau simbol-simbol

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. salah satunya adalah teknik Numbered Head Together (NHT). Menurut

II. TINJAUAN PUSTAKA. salah satunya adalah teknik Numbered Head Together (NHT). Menurut 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kooperatif Teknik NHT Dalam penerapannya pembelajaran kooperatif memiliki beberapa teknik pembelajaran, salah satunya adalah teknik Numbered Head Together (NHT).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dapat kita temukan dan juga berbagai bidang ilmu yang telah ada dapat dikembangkan

I. PENDAHULUAN. dapat kita temukan dan juga berbagai bidang ilmu yang telah ada dapat dikembangkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh penting dalam kemajuan suatu negara. Dengan adanya pendidikan, pengetahuan baru dapat kita temukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. baik. Efektivitas berasal dari kata efektif. Dalam Kamus Besar Bahasa

II. TINJAUAN PUSTAKA. baik. Efektivitas berasal dari kata efektif. Dalam Kamus Besar Bahasa 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Pembelajaran dianggap dapat berhasil apabila proses dan hasil belajarnya baik. Efektivitas berasal dari kata efektif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

PENERAPAN TEORI BELAJAR VYGOTSKY DALAM INTERAKSI BELAJAR MENGAJAR

PENERAPAN TEORI BELAJAR VYGOTSKY DALAM INTERAKSI BELAJAR MENGAJAR PENERAPAN TEORI BELAJAR VYGOTSKY DALAM INTERAKSI BELAJAR MENGAJAR Pendahuluan Perkembangan manusia adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatankegiatan sosial dan budaya, yang merupakan suatu proses-proses

Lebih terperinci

BAB II MODEL PEMBELAJARAN NOVICK DAN HASIL BELAJAR

BAB II MODEL PEMBELAJARAN NOVICK DAN HASIL BELAJAR BAB II MODEL PEMBELAJARAN NOVICK DAN HASIL BELAJAR A. Model Pembelajaran Novick Model Pembelajaran Novick merupakan salah satu model pembelajaran yang merujuk pandangan konstruktivisme. Gagasan utama dari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. hakekatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur

BAB II KAJIAN TEORI. hakekatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur 9 BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Matematika Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Konstruktivisme a. Sejarah Konstruktivisme Menurut Von Glaserfield (1988), pengertian konstruktif kognitif

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Konstruktivisme a. Sejarah Konstruktivisme Menurut Von Glaserfield (1988), pengertian konstruktif kognitif BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Konstruktivisme a. Sejarah Konstruktivisme Menurut Von Glaserfield (1988), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad 20 dalam tulisan Mark Baldwin yang secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak yang digunakan hampir

II. TINJAUAN PUSTAKA. Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak yang digunakan hampir II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hakikat Matematika Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak yang digunakan hampir pada semua bidang ilmu pengetahuan. Menurut Suherman (2003:15), matematika

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk

TINJAUAN PUSTAKA. Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya sendiri.

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya sendiri. BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme Teori konstruktivisme dalam belajar adalah peserta didik agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. keterampilan-keterampilan tertentu yang disebut keterampilan proses. Keterampilan Proses menurut Rustaman dalam Nisa (2011: 13)

II. TINJAUAN PUSTAKA. keterampilan-keterampilan tertentu yang disebut keterampilan proses. Keterampilan Proses menurut Rustaman dalam Nisa (2011: 13) 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis 1. Keterampilan Berkomunikasi Sains Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai proses dan sekaligus sebagai produk. Seseorang mampu mempelajari IPA jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada abad ke-20 telah terjadi perubahan paradigma dalam dunia sains,

BAB I PENDAHULUAN. Pada abad ke-20 telah terjadi perubahan paradigma dalam dunia sains, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada abad ke-20 telah terjadi perubahan paradigma dalam dunia sains, matematika dan pendidikan. Pandangan behavorisme yang mengutamakan stimulus dan respon tidak cukup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang memegang peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang diajarkan pada setiap jenjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan adalah konstruktivisme. Menurut paham konstruktivisme,

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan adalah konstruktivisme. Menurut paham konstruktivisme, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakikat pembelajaran yang sekarang ini diharapkan banyak diterapkan adalah konstruktivisme. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan dibangun oleh peserta didik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Berbasis Masalah Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai dasar atau basis bagi siswa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Metakognisi merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh beberapa ahli

TINJAUAN PUSTAKA. Metakognisi merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh beberapa ahli 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Keterampilan Metakognisi Metakognisi merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh beberapa ahli psikologi sebagai hasil dari perenungan mereka terhadap kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat dengan mudah menerima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia dalam kehidupannya, dikarenakan melalui pendidikan seseorang dapat mengembangkan segala potensi yang dimiliki.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI) Pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari seseorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses pembelajaran matematika membutuhkan sejumlah kemampuan. Seperti dinyatakan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) bahwa untuk menguasai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Belajar yang Melandasi Problem Based Learning

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Belajar yang Melandasi Problem Based Learning 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Teori Belajar yang Melandasi Problem Based Learning Teori yang melandasi Problem Based Learning adalah teori Vygotsky, Bruner dan Dewey. Teori Vgostky menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata pelajaran matematika di tingkat Sekolah Menengah Pertama adalah agar peserta didik memiliki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Konsep Pembelajaran Berbasis Masalah. a. Masalah, Pedagogi, dan Permbelajaran Berbasis Masalah. 2) Masalah dan Pedagogi

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Konsep Pembelajaran Berbasis Masalah. a. Masalah, Pedagogi, dan Permbelajaran Berbasis Masalah. 2) Masalah dan Pedagogi BAB II LANDASAN TEORI A. Model Pembelajaran Berbasis Masalah 1. Konsep Pembelajaran Berbasis Masalah Menurut Rusman (2012: 187) Pendidikan pada abad ke-21 berhubungan dengan permasalahan baru yang ada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan di SD. Menurut

II. TINJAUAN PUSTAKA. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan di SD. Menurut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Matematika di SD 1. Pengertian Matematika Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan di SD. Menurut Subariah (2006:1) Matematika merupakan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi dan era globalisasi yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di dunia yang terbuka,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan berupa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Problem Based Learning (PBL) Model Problem Based Learning atau PBL merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sendiri. Belajar dapat diukur dengan melihat perubahan prilaku atau pola pikir

TINJAUAN PUSTAKA. sendiri. Belajar dapat diukur dengan melihat perubahan prilaku atau pola pikir II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Belajar adalah proses perubahan seseorang yang diperoleh dari pengalamannya sendiri. Belajar dapat diukur dengan melihat perubahan prilaku atau pola

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan pada diri seseorang tidak dengan tiba-tiba, namun

Lebih terperinci

2015 PENGARUH PENGGUNAAN METODE PROBLEM SOLVING DENGAN TEKNIK MEANS-END ANALYSIS (MEA) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

2015 PENGARUH PENGGUNAAN METODE PROBLEM SOLVING DENGAN TEKNIK MEANS-END ANALYSIS (MEA) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pendidikan yang pernah dibangun di masa lampau sudah tidak lagi relevan dengan peradaban dan perekonomian dunia saat ini. Kehidupan dunia pada saat ini secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eka Kartikawati,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eka Kartikawati,2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di Indonesia antara lain diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan diberikannya mata pelajaran matematika untuk siswa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan diberikannya mata pelajaran matematika untuk siswa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan diberikannya mata pelajaran matematika untuk siswa Sekolah Menengah Pertama adalah agar siswa memiliki kemampuan memahami konsep matematika,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Von Glasersfeld dalam Sardiman ( 2007 ) konstruktivisme adalah salah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Von Glasersfeld dalam Sardiman ( 2007 ) konstruktivisme adalah salah satu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pendekatan Konstruktivisme Menurut Von Glasersfeld dalam Sardiman ( 2007 ) konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jayanti Putri Purwaningrum, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jayanti Putri Purwaningrum, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakikatnya, manusia dapat mengembangkan potensi dirinya dengan pendidikan. Pendidikan merupakan pilar dalam usaha menciptakan manusia yang berkualitas sehingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kemampuan Komunikasi Matematika Komunikasi merupakan suatu proses yang melibatkan dua orang atau lebih, dan di dalamnya terdapat pertukaran informasi dalam rangka mencapai suatu

Lebih terperinci

MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP IPS PADA PESERTA DIDIK

MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP IPS PADA PESERTA DIDIK JPIS, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 23, No. 2, Edisi Desember 2014 26 MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP IPS PADA PESERTA DIDIK Eldi Mulyana, Prodi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakat di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. dapat berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakat di sekitarnya. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan sangat penting dalam mengembangkan siswa agar nantinya menjadi sumber daya manusia yang berkualitas yang dapat mengikuti kemajuan

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya

LANDASAN TEORI. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya 8 II. LANDASAN TEORI A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Cooperative Learning berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang melibatkan siswa dalam kegiatan pengamatan dan percobaan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang melibatkan siswa dalam kegiatan pengamatan dan percobaan dengan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Model Pembelajaran CLIS Model pembelajaran CLIS adalah kerangka berpikir untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya kegiatan belajar mengajar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 9 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Belajar merupakan aktivitas manusia yang penting dan tidak dapat dipisahkan, dari kehidupan manusia, bahkan sejak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang lebih 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti akan menunjukkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang

Lebih terperinci

BABH KAJIAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Matematika.

BABH KAJIAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Matematika. A. Pembelajaran Matematika. BABH KAJIAN PUSTAKA Proses pembelajaran matematika belakang ini telah mengarah kepada pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal sesuai dengan pandangan teori belajar konstruktivis

Lebih terperinci

TEORI BELAJAR PIAGET

TEORI BELAJAR PIAGET TEORI BELAJAR PIAGET Pendahuluan Dewasa ini masih banyak ditemukan di sekolah-sekolah bahwa strategi pembelajaran di kelas masih didominasi oleh paham strukturalisme atau behaviorisme atau objektivisme

Lebih terperinci

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP Mardiana Abstraksi Pembelajaran kooperatif Co-op Co-op. Model pembelajaran ini pada dasarnya menekankan pentingnya siswa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains dapat diartikan sebagai keterampilan intelektual,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains dapat diartikan sebagai keterampilan intelektual, 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keterampilan Proses Sains Keterampilan proses sains dapat diartikan sebagai keterampilan intelektual, sosial maupun fisik yang diperlukan untuk mengembangkan lebih lanjut pengetahuan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI SCAFFOLDING UNTUK MENGATASI KESALAHAN SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH LINGKARAN

IMPLEMENTASI SCAFFOLDING UNTUK MENGATASI KESALAHAN SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH LINGKARAN IMPLEMENTASI SCAFFOLDING UNTUK MENGATASI KESALAHAN SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH LINGKARAN Abstrak: Kemampuan pemecahan masalah merupakan hal penting yang harus dilatihkan kepada siswa. Lev Semyonovich

Lebih terperinci

BAB II PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD, PEMAHAMAN KONSEP FISIKA

BAB II PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD, PEMAHAMAN KONSEP FISIKA BAB II PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD, PEMAHAMAN KONSEP FISIKA A. Pembelajaran Kooperatif 1. Model Pembelajaran kooperatif Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori konstruktivis. Pembelajaran ini

Lebih terperinci

Cooperative Learning dalam Pembelajaran Matematika

Cooperative Learning dalam Pembelajaran Matematika Cooperative Learning dalam Pembelajaran Matematika Posted by Abdussakir on April 14, 2009 A. Pandangan Konstruktivis mengenai Cooperative Learning Sebagian besar pembelajaran matematika tradisional berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia akan mampu mengembangkan potensi diri sehingga akan mampu mempertahankan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Discovery Learning Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan yang mengharuskan untuk mampu melahirkan sumber daya manusia yang dapat memenuhi tuntutan global. Matematika

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran 1. Pengertian Model Pembelajaran Model pembelajaran merupakan salah satu faktor penting dalam pembelajaran yang digunakan oleh guru demi tercapainya keberhasilan

Lebih terperinci