UNIVERSITAS INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENILAIAN OBAT DAN PRODUK BIOLOGI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JALAN PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 4-26 FEBRUARI 2013 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER FUNGI GOTALIA, S. Farm ANGKATAN LXXVI FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013

2 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENILAIAN OBAT DAN PRODUK BIOLOGI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JALAN PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 4-26 FEBRUARI 2013 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker FUNGI GOTALIA, S. Farm ANGKATAN LXXVI FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013 ii

3 HALAMAN PENGESAHAN Laporan Praktek Kerja Profesi ini diajukan oleh : Nama : Fungi Gotalia, S. Farm. NPM : Program Studi : Apoteker Fakultas Farmasi UI Judul Laporan : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi Badan Pengawas Obat dan Makanan Jalan Percetakan Negara No. 23 Jakarta Pusat Periode 4-26 Februari 2013 Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI Pembimbing I : Dra. Ega Febrina, Apt. ( ) Pembimbing II : Dr. Amarila Malik, M.Si., Apt. ( ) Penguji I : Dr. Iskandarsyah, M.S., Apt. ( ) Penguji II : Dr. Abdul Mun im, M.Si., Apt. ( ) Penguji III : Dr. Nelly Dhevita L., M.Sc., Apt. ( ) Ditetapkan di : Depok Tanggal : 29 Juni 2013 iii

4 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa untuk berkat dan kasihnya sehingga saya dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Badan Pengawas Obat dan Makanan. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini disusun sebagai salah satu bagian dari pelaksanaan PKPA yang merupakan syarat bagi mahasiswa profesi apoteker untuk memperoleh gelar Apoteker dan merupakan sarana untuk menambah wawasan mahasiswa program profesi apoteker. Pelaksanaan PKPA di Badan POM yaitu pada Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi berlangsung pada 4 26 Februari Dalam kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada : 1. Bapak Dr. Harmita, Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi UI. 2. Ibu Dra. Lucky S. Slamet, M.Sc. selaku Kepala Badan POM RI yang telah memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan PKPA di Badan POM 3. Dra. Endang Woro Tedjowati, M.Sc., Apt. selaku Direktur Penilaian Obat dan Produk Biologi 4. Dra. Ega Febrina, Apt. selaku Kepala Subdirektorat Penilaian Obat Baru sekaligus pembimbing dari Badan POM yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan nasehat yang sangat bermanfaat kepada penulis selama penulisan laporan PKPA. 5. Bu Ade Irma Haryani, S.Si., Apt. selaku pembimbing selama PKPA seharihari di Subdirektorat Obat Baru yang telah dengan sabar mengajarkan kegiatan teknis PKPA. 6. Seluruh pihak di Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi yang turut membantu kelancaran pelaksanaan PKPA. 7. Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S. selaku Dekan Fakultas Farmasi UI. iv

5 8. Seluruh dosen dan staf tata usaha Fakultas Farmasi UI atas ilmu dan bantuan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan di Program Profesi Apoteker. 9. Keluarga tercinta yang telah memberikan doa dan dukungan moral serta materi sehingga program PKPA dan penyusunan laporan ini dapat dilaksanakan dengan lancar. 10. Rekan-rekan PKPA di Badan POM yang telah bersama menjalani kegiatan PKPA, berbagi ilmu, dan pengalaman selama pelaksanaan PKPA. 11. Seluruh sahabat dan teman Program Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi UI selaku teman seperjuangan yang telah memberikan dukungan dan semangat. Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan PKPA ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima segala kritik dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang. Tak ada yang penulis harapkan selain sebuah keinginan agar laporan PKPA ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya. Penulis 2013 v

6 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Fakultas Jenis karya : Fungi Gotalia : : Apoteker : Farmasi : Tugas Akhir Laporan Praktek Kerja demi pengembanga an ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi Badan Pengawas Obat dan Makanan Jalan Percetakan Negara No. 23 Jakarta Pusat Periode 4-26 Februari 2013 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini berhak menyimpan, mengalihmedia/ format-kan, mengelola dalam bentuk data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 29 Juni 2013 Yang menyatakan ( Fungi Gotalia ) vi

7 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat... 3 BAB 2. TINJAUAN UMUM BADAN POM RI Sejarah BPOM Visi dan Misi Tugas Pokok dan Fungsi Kewenangan Budaya Organisasi Prinsip Dasar SISPOM Kerangka Konsep Target Kinerja Struktur Organisasi... 9 BAB 3. TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT PENILAIAN OBAT DAN PRODUK BIOLOGI Tugas Pokok Fungsi Direktorat Susunan Organisasi Sub Direktorat Penilaian Obat Baru Fungsi Sub Direktorat Penilaian Obat Baru Seksi-Seksi Sub Direktorat Penilaian Obat Baru Sub Direktorat Penilaian Obat Copy dan Produk Biologi Fungsi Seksi-Seksi Sub Direktorat Evaluasi Produk Terapeutik Penggunaan Khusus Fungsi Seksi-Seksi Kebijakan Mutu Dasar Hukum dan Pedoman vii

8 BAB 4. PELAKSANAAN PKPA Badan POM RI Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi Sub Direktorat Penilaian Obat Baru Sub Direktorat Penilaian Obat Copy dan Produk Biologi Sub Direktorat Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus BAB 5. TEORI DAN PEMBAHASAN Format dan Lingkup Registrasi Alur Registrasi Kategori Penilaian Obat Kategori Registrasi Obat Penentuan Jalur Evaluasi Kendala yang Dihadapi Usaha untuk Mengatasi Kendala Registrasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus Seksi Tata Operasional E-Registrasi BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR ACUAN LAMPIRAN viii

9 DAFTAR TABEL Tabel 5.1 Nomor izin edar obat dan produk biologi ix

10 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lingkup Wilayah SISPOM Lampiran 2 Struktur Organisasi Badan POM RI Lampiran 3 Struktur Organisasi Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi Lampiran 4 Alur Pra Registrasi Lampiran 5 Alur Registrasi Lampiran 6 Registrasi Akun AeRO Lampiran 7 Alur Pengajuan Pra Registrasi Obat Copy Melalui e-registrasi Lampiran 8 Registrasi Obat Copy Melalui e-registrasi x

11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang terus menerus berusaha untuk memajukan kesejahteraan masyarakatnya melalui pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpadu di segala bidang. Salah satunya adalah tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat Indonesia dengan menyediakan obat-obatan yang bermutu tinggi dan aman, dengan harga yang relatif terjangkau bagi masyarakat luas sehingga pada akhirnya dapat memberi pelayanan kesehatan yang maksimal bagi masyarakat Indonesia. Kemajuan teknologi telah membawa perubahan yang cepat dan signifikan pada industri yang bergerak di bidang farmasi. Dengan dukungan kemajuan teknologi dan menipisnya entry barrier dalam perdagangan internasional, maka produk yang dihasilkan dari industri-industri farmasi tersebut dalam waktu yang singkat menyebar ke berbagai negara dan mampu menjangkau seluruh strata masyarakat. Konsumsi masyarakat terhadap produk tersebut juga semakin meningkat, seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat. Sementara itu, pengetahuan masyarakat untuk memilih dan menggunakan suatu produk secara tepat, benar dan aman belumlah memadai. Di lain pihak, iklan dan promosi secara gencar mendorong konsumen untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan terkadang tidak rasional. Hal tersebut dapat meningkatkan risiko yang luas mengenai kesehatan dan keselamatan konsumen. Salah satu cara untuk mencegah hal tersebut adalah dengan melakukan pengawasan produk sebelum dan sesudah beredar. Institusi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap peredaran sediaan farmasi di seluruh Indonesia adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (Badan POM RI). Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia adalah sebuah lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran obat dan makanan di Indonesia. Badan POM telah memiliki jaringan nasional dan internasional, kewenangan penegakan hukum, dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi. Selain itu, Badan POM memiliki suatu sistem yang disingkat SISPOM (Sistem 1

12 2 Pengawasan Obat dan Makanan) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk yang akan diedarkan maupun yang beredar dengan tujuan melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan masyarakat. Berdasarkan Keputusan Presiden No.166 tahun 2000 yang kemudian diubah dengan Keppres No. 103/2001 tentang tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab kepada Presiden. Peranan Badan POM RI haruslah menyeluruh terhadap berbagai produk yang dapat mempengaruhi atau membahayakan konsumen. Untuk memudahkan dalam pelaksanaan fungsinya terdapat tiga kedeputian, yaitu kedeputian Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, kedeputian Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen, dan kedeputian Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Sumber daya manusia yang berkompeten diperlukan agar pelaksanaan tugas badan pengawas obat dan makanan berjalan secara professional. Di sini Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang memiliki dasar pengetahuan di bidang obat dan makanan diharapkan memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan industri obat dan makanan khususnya. Menyadari pentingnya hal tersebut, maka Program Profesi Apoteker bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat Dan Makanan menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang diikuti oleh mahasiswa Program Profesi Apoteker yang berasal dari (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN), Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (UTA) dan Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (UHAMKA). Pada Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini penulis mendapat tugas untuk mengamati langsung dan mempelajari kegiatan di Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi, yang berada di bawah Kedeputian I Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia-Jakarta. Kegiatan PKPA ini dilaksanakan

13 3 di Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) berlangsung dari tanggal 4-26 Februari Dengan demikian diharapkan mahasiswa calon Apoteker mampu memahami dan menerapkan ilmu yang telah didapatkan setelah pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA). 1.2 Tujuan 1. Peserta Praktek Kerja Profesi Apoteker dapat memahami dan mengetahui peran dan fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2. Peserta Praktek Kerja Profesi Apoteker dapat memahami dan mengetahui tugas pokok dan fungsi dari Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi. 3. Peserta Praktek Kerja Profesi Apoteker dapat memahami alur registrasi dan evaluasi obat dan produk biologi di Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi. 1.3 Manfaat Mampu memahami peraturan-peraturan dan ikut berperan dalam membantu pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan pengawasan obat dan makanan.

14 BAB 2 TINJAUAN UMUM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA 2.1 Sejarah Singkat Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Pengaturan di Bidang Farmasi dimulai sejak didirikannya Dv.G (De Dients van De Valks Gezonheid) yang dalam organisasi tersebut ditangani oleh Inspektorat Farmasi hingga tahun Dilanjutkan oleh Inspektorat Urusan Farmasi sampai tahun 1967 dan oleh Direktorat Jenderal Farmasi hingga tahun 1976, dengan tugas pokok mencukupi kebutuhan rakyat akan perbekalan farmasi. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Direktorat Jenderal Farmasi dibantu oleh: a. Lembaga Farmasi Nasional dengan tugas melaksanakan tugas pengujian dan penelitian di bidang kefarmasian. b. Pabrik Farmasi Departemen Kesehatan. c. Depot Farmasi Pusat. d. Sekolah Menengah Farmasi Departemen Kesehatan Pada tahun 1975, pemerintah mengubah Direktorat Jenderal Farmasi menjadi Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan, dengan tugas pokok melaksanakan pengaturan dan pengawasan obat, makanan, kosmetik dan alat kesehatan, obat tradisional, narkotika serta bahan berbahaya. Untuk melaksanakan tugas tersebut, direktorat ini membentuk Unit Pelaksanaan Teknis yaitu Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan di pusat dan Balai Pengawas Obat dan Makanan di seluruh propinsi. Berdasarkan Keputusan Presiden No.166 tahun 2000 yang kemudian diubah dengan Keppres No. 103/2001, tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab kepada Presiden. Pembentukan Badan POM ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor : 02001/SK/KBPOM, tanggal 4

15 5 26 Februari 2001, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 34/M.PAN/2/2001 Tanggal 1 Februari Seiring perkembangan zaman tidak dapat dipungkiri bahwa pengawasan obat dan makanan merupakan bagian integral dalam pembangunan di bidang kesehatan, globalisasi ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diiringi dengan terbentuknya kesepakatan global regional seperti WTO, ASEAN, AFTA, dan ACFTA menyebabkan arus keluar masuk antar negara untuk produk obat dan makanan dapat semakin mudah untuk dilakukan. Sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tersebut, bahwa dalam melaksanakan tugasnya Badan POM dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan, khususnya dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan instansi pemerintah lainnya serta penyelesaian permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan dimaksud. Selanjutnya lingkup tugas dan fungsi lebih spesifik Badan POM tercakup dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen. 2.2 Visi dan Misi Visi Menjadi institusi pengawas obat dan makanan yang inovatif, kredibel, dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat Misi a. Melakukan pengawasan pre-market dan post-market berstandar internasional b. Menerapkan sistem manajemen mutu secara konsisten c. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini d. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan makanan yang berisiko terhadap kesehatan e. Membangun organisasi pembelajar (Learning Organization)

16 6 2.3 Tugas Pokok dan Fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengacu pada model suatu lembaga regulasi yang efektif ditingkat internasional, maka dalam melaksanakan tugas sebagaimana disebut di atas Badan Pengawas Obat dan Makanan menyelenggarakan fungsinya yang mencakup pengawasan full spectrum, melalui berbagai kegiatan sebagai berikut: a. Penyusunan kebijakan, pedoman dan standar; b. Lisensi dan sertifikasi industri di bidang obat dan makanan berdasarkan Caracara Produksi yang Baik; c. Penilaian produk sebelum beredar (pre market evaluation) terhadap persyaratan keamanan terhadap tubuh manusia, manfaat bagi kesehatan, dan mutunya; d. Pengamatan produk setelah beredar (post market vigilance) melalui sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi/ritel; e. Penilaian (pre-review) dan pemantauan (pasca-audit) iklan dan promosi produk; f. Riset untuk mendukung kebijakan terkait pengawasan obat dan makanan; g. Komunikasi, informasi dan edukasi masyarakat utamanya peringatan publik (public warning); h. Penyidikan dan penegakan hukum. 2.4 Kewenangan Badan POM RI Dalam menyelenggarakan fungsinya, Badan POM RI memiliki kewenangan sebagai berikut : a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang pengawasan obat dan makanan. b. Perumusan kebijakan di bidang pengawasan obat dan makanan untuk mendukung pembangunan secara makro. c. Penetapan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan.

17 7 d. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran obat dan makanan. e. Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi. f. Penetapan pedoman penggunaan, konversi, pengembangan dan pengawasan tanaman obat. 2.5 Budaya Organisasi Budaya organisasi merupakan nilai-nilai luhur yang diyakini dan harus dihayati dan diamalkan oleh seluruh anggota organisasi dalam melaksanakan tugas. Nilai-nilai luhur yang hidup dan tumbuh kembang dalam organisasi menjadi semangat bagi seluruh anggota organisasi dalam berkarsa dan berkarya. a. Profesional Menegakan professionalisme dengan integritas, objektivitas, ketekunan dan komitmen yang tinggi. b. Kredibel Dapat dipercaya dan diakui oleh masyarakat luas, nasional dan internasional. c. Cepat tanggap Antisipasi dan responsif dalam mengatasi masalah d. Kerjasama tim Mengutamakan keterbukaan, saling percaya dan komunikasi yang baik. e. Inovatif Mampu melakukan pembaruan sesuai ilmu pengetahuan dan teknologi. 2.6 Prinsip Dasar Sistem Pengawas Obat dan Makanan (SISPOM) a. Tindakan pengamanan cepat, tepat, akurat dan profesional. b. Tindakan dilakukan berdasarkan atas tingkat risiko dan berbasis bukti-bukti ilmiah. c. Lingkup pengawasan bersifat menyeluruh, mencakup seluruh siklus proses. d. Berskala nasional/lintas propinsi, dengan jaringan kerja internasional. e. Otoritas yang menunjang penegakan supremasi hukum.

18 8 f. Memiliki jaringan laboratorium nasional yang kohesif dan kuat yang berkolaborasi dengan jaringan global. g. Memiliki jaringan sistem informasi keamanan dan mutu produk 2.7 Kerangka Konsep SISPOM Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan berdimensi luas dan kompleks. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengawasan yang komprehensif, awal proses suatu produk hingga produk tersebut beredar di tengah masyarakat. Untuk menekan sekecil mungkin risiko yang bisa terjadi, dilakukan SISPOM tiga lapis yakni: a. Sub-sistem Pengawasan Produsen Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan caracara produksi yang baik atau good manufacturing practices agar setiap bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Secara hukum produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sanksi, baik administratif maupun pro justicia. b. Sub-sistem Pengawasan Konsumen Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannya dan cara-cara penggunaan produk yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat penting dilakukan karena pada akhirnya masyarakat yang mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu produk. Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu produk, di satu sisi dapat membentengi dirinya sendiri terhadap penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi syarat dan tidak dibutuhkan dan di sisi lain akan mendorong produsen untuk ekstra hati-hati dalam menjaga kualitasnya. c. Sub-sistem Pengawasan Pemerintah/Badan POM Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan standardisasi; penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum

19 9 diizinkan beredar di Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum. Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk maka pemerintah juga melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi. Lingkup wilayah SISPOM dapat dilihat pada lampiran I. 2.8 Target Kinerja a. Terkendalinya penyaluran produk terapetik dan NAPZA b. Terkendalinya mutu, keamanan dan khasiat/kemanfaatan produk obat dan makanan termasuk klim pada label dan iklan di peredaran; c. Tercegahnya risiko penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai akibat pengelolaan yang tidak memenuhi syarat; d. Penurunan kasus pencemaran pangan; Peningkatan kapasitas organisasi yang didukung dengan kompetensi dan keterampilan personil yang memadai; e. Terwujudnya komunikasi yang efektif dan saling menghargai antar sesama dan pihak terkait. 2.9 Struktur Organisasi Penyesuaian organisasi dan tata kerja Badan POM dilakukan berdasarkan Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala Badan POM Nomor 02001/SK/KBPOM tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan. Penyesuaian juga terjadi dengan terbitnya Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi sebagaimana tersebut di atas, dilakukan oleh unit-unit Badan Pengawas Obat dan Makanan di pusat, maupun oleh Balai Besar/Balai POM yang ada di seluruh Indonesia. Sesuai dengan struktur yang ada, secara garis besar unit-unit kerja Badan POM dapat dikelompokkan sebagai berikut: Sekretariat, Deputi Bidang

20 10 Pengawasan Teknis (I, II, dan III) dan unit penunjang teknis (pusat-pusat) yang melaksanakan tugas sebagai berikut: a. Sekretariat Utama Melaksanakan koordinasi perencanaan strategis dan organisasi, pengembangan pegawai, pengelolaan keuangan, bantuan hukum dan legislasi, hubungan masyarakat dan kerjasama internasional, serta akses masyarakat terhadap Badan POM melalui Unit Layanan Pengaduan Konsumen yang menerima dan menindaklanjuti berbagai pengaduan dari masyarakat di bidang obat dan makanan. Di samping itu, dilakukan pembinaan administratif beberapa pusat yang ada di lingkungan Badan POM dan unit-unit pelaksana teknis yang tersebar di seluruh Indonesia. b. Deputi I (Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) Melaksanakan penilaian dan evaluasi khasiat, keamanan dan mutu obat, produk biologi dan alat kesehatan sebelum beredar di Indonesia dan juga produk uji klinik. Selain itu, Deputi I juga melakukan pengawasan peredaran produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Tugas berikutnya adalah melakukan sertifikasi produk terapetik, inspeksi penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik dan inspeksi penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik, inspeksi sarana produksi dan distribusi, sampling, penarikan produk, public warning sampai pro justicia. Pelaksanaan kegiatan Deputi I didukung oleh Komite Nasional Penilai Obat Jadi, Tim Penilai Khasiat dan Keamanan Obat, Tim Penilai Mutu Obat, Tim Penilai Penandaan Obat, Tim Penilai Periklanan Obat Bebas, dan Obat Bebas Terbatas. Deputi I terdiri dari beberapa direktorat yaitu: 1) Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi, 2) Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT, 3) Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT, 4) Direktorat Standardisasi Produk Terapetik dan PKRT, 5) Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA).

21 11 c. Deputi II (Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetika dan Produk Komplemen). Melaksanakan penilaian dan registrasi obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan sebelum beredar di Indonesia. Selanjutnya melakukan pengawasan peredaran obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen, termasuk penandaan dan periklanan. Penegakan hukum dilakukan dengan inspeksi cara produksi yang baik, sampling, penarikan produk, public warning sampai pro justicia. Didukung oleh Tim Penilai Obat Tradisional dan Tim Penilai Kosmetik, Tim Penilai Periklanan Obat Tradisional dan Suplemen Makanan. Deputi II terdiri dari beberapa direktorat yaitu: 1) Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan, dan Kosmetik. 2) Direktorat Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. 3) Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen 4) Direktorat Obat Asli Indonesia. d. Deputi III (Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya). Melaksanakan penilaian dan evaluasi keamanan pangan sebelum beredar di Indonesia dan selama peredaran seperti pengawasan terhadap sarana produksi dan distribusi maupun komoditinya, termasuk penandaan dan periklanan, dan pengamanan produk dan bahan berbahaya. Di samping itu, melakukan sertifikasi produk pangan. Produsen dan distributor dibina untuk menerapkan Sistem Jaminan Mutu, terutama penerapan Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB), Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), Cara Distribusi Makanan yang Baik (CDMB) serta Total Quality Management (TQM). Di samping itu diselenggarakan surveilan, penyuluhan, dan informasi keamanan pangan dan bahan berbahaya. Didukung oleh Tim Penilai Keamanan Pangan Deputi III terdiri dari beberapa direktorat yaitu: 1) Direktorat Penilaian Keamanan Pangan 2) Direktorat Standardisasi Produk Pangan 3) Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Produk Pangan

22 12 4) Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan 5) Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya. e. Unit Pelaksana Teknis Badan POM di daerah Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan POM terdiri atas: 1) 19 (sembilan belas) Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM), dan 2) 12 (dua belas) Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Badan POM mempunyai tugas melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen, keamanan pangan dan bahan berbahaya. f. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) Melakukan pemeriksaan secara laboratorium, pengembangan prosedur pengujian dan penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, alat kesehatan, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan bahan berbahaya. Di samping merupakan rujukan dari 31 laboratorium pengawasan obat dan makanan di seluruh Indonesia, telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional, Badan Standardisasi Nasional tahun 1999 serta merupakan WHO Collaborating Center sejak 1986 dan anggota International Certification Scheme. Selain ditunjang dengan laboratorium bioteknologi, laboratorium baku pembanding, laboratorium kalibrasi serta laboratorium hewan percobaan, juga didukung dengan peralatan laboratorium yang canggih untuk analisis fisikokimia seperti kromatografi cair kinerja tinggi, kromatografi gas, spektrofotometer serapan atom, spektrofotometer infra merah; analisis fisik seperti alat uji disolusi otomatis dan smoking machine; analisis mikrobiologi dan biologi. g. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan penyelidikan dan penyidikan terhadap perbuatan melawan hukum dibidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif, obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen dan makanan serta produk sejenis lainnya.

23 13 h. Pusat Riset Obat dan Makanan Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan di bidang riset toksikologi, keamanan pangan dan produk terapetik. i. Pusat Informasi Obat dan Makanan (PIOM) Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan di bidang pelayanan informasi obat, informasi keamanan pangan, informasi keracunan dan teknologi informasi. j. Inspektorat Mempunyai tugas melaksanakan pengawasan fungsional di lingkungan Badan POM. Struktur Organisasi Badan POM dapat dilihat pada Lampiran 2.

24 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT PENILAIAN OBAT DAN PRODUK BIOLOGI 3.1 Tugas Pokok Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02001/SK/KBPOM tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan, Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi memiliki tugas pokok yaitu penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang penilaian obat dan produk biologi. 3.2 Fungsi Direktorat a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang penilaian obat baru. b. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinanaan di bidang penilaian obat copy dan produk biologi c. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang evaluasi produk terapetik penggunaan khusus. d. Penyusunan rencana dan program penilaian obat dan produk biologi e. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang penilaian obat dan produk biologi. f. Evaluasi dan penyusunan laporan penilaian obat dan produk biologi g. Pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. 14

25 Susunan Organisasi Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi terdiri dari : a. Sub Direktorat Penilaian Obat Baru b. Sub Direktorat Penilain Obat Copy dan Produk Biologi c. Sub Direktorat Evaluasi Produk Terapetik penggunaan Khusus Struktur organisasi Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi dapat dilihat pada Lampiran III Sub Direktorat Penilaian Obat Baru Sub Direktorat Penilaian Obat Baru mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan pelaksanaan penilaian obat baru Fungsi Sub Direktorat Penilaian Obat Baru Sub Direktorat Penilaian Obat Baru, menyelenggarakan fungsi : a. Penyusunan rencana dan program penilaian obat baru b. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan penilaian Obat Baru Jalur I dan Obat Baru Jalur III. c. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijamkan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan penilaian Obat Baru Jalur II. d. Evaluasi dan penyusunan laporan penilaian obat baru Seksi Seksi Sub Direktorat Penilaian Obat Baru Sub Direktorat Penilaian Obat baru terdiri dari 2 seksi yang masing-masing mempunyai tugas pokok sebagai berikut : a. Seksi Penilaian Obat Baru Jalur I dan III Seksi Penilaian Obat Baru Jalur I dan III mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan penilaian obat baru jalur I dan obat baru jalur III.

26 16 b. Seksi Penilaian Obat Baru Jalur II Seksi Penilaian Obat Baru Jalur II mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan penilaian Obat Baru Jalur II Sub Direktorat Penilaian Obat Copy dan Produk Biologi Sub Direktorat Penilaian Obat Copy dan Produk Biologi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi serta pelaksanaan penilaian Obat Copy, Produk Biologi dan Reevaluasi Obat Fungsi Sub Direktorat Penilaian Obat Copy dan Produk Biologi Sub Direktorat Penilaian Obat Copy, Produk Biologi dan Reevaluasi Obat menyelenggarakan fungsi : a. Penyusunan rencana dan program penilaian Obat Copy, Produk Biologi, dan Reevaluasi Obat. b. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan penilaian obat copy. c. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan penilaian produk biologi. d. Evaluasi dan penyusunan laporan penilaian Obat Copy, Produk Biologi dan Reevaluasi Obat e. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan reevaluasi obat Seksi Seksi Sub Direktorat Penilaian Obat Copy dan Produk Biologi Sub Direktorat Penilaian Obat Copy dan Produk Biologi terdiri dari: a. Seksi Penilaian Obat Copy

27 17 Seksi Penilaian Obat Copy mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan penilaian obat copy. b. Seksi Penilaian Produk Biologi Seksi Penilaian Produk Biologi mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan penilaian produk biologi. c. Seksi Reevaluasi Obat Mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan reevaluasi obat Sub Direktorat Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus Sub Direktorat Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan evaluasi produk terapetik penggunaan khusus Fungsi Sub Direktorat Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus Sub Direktorat Evaluasi Produk Terapeutik Penggunaan Khusus menyelenggarakan fungsi: a. Penyusunan rencana dan program evaluasi produk terapetik penggunaan khusus b. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan evaluasi produk terapetik penggunaan khusus. c. Evaluasi dan penyusunan laporan evaluasi produk terapetik penggunaan khusus. d. Pelaksanaan tata operasional di lingkungan direktorat.

28 Seksi Seksi Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus Sub Direktorat Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus membawahi 3 seksi yaitu: a. Seksi Evaluasi Produk dan Uji Klinik Seksi Evaluasi Produk dan Uji Klinik mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan rencana, program, penyusunan pedoman, standar, kriteria, prosedur, evaluasi dan laporan, serta melakukan evaluasi produk uji klinik. b. Seksi Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus Seksi ini bertugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan rencana, program, pedoman, standar, kriteria, prosedur, evaluasi dan laporan, serta melakukan evaluasi produk terapetik penggunaan khusus. c. Seksi Tata Operasional Seksi ini bertugas melakukan urusan ketataoperasionalan di lingkungan direktorat. Fungsi pokok Seksi Tata Operasional adalah: 1) Fungsi penunjang seluruh kegiatan Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi 2) Fungsi pelayanan loket Terdapat 3 loket yang mencakup loket penerimaan surat masuk, pra-registrasi, dan registrasi, loket penerimaan tambahan data, dan loket penyerahan surat konsultasi dan format aplikasi. 3) Fungsi administratif (pengarsipan, pendataan, dan persurat-suratan) 3.4 Kebijakan Mutu Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi telah mendapatkan sertifikat ISO 9001:2008 pada 7 Februari Kebijakan mutu Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi, yaitu : a. Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi (DPOPB) berkomitmen untuk melindungi masyarakat dari obat yang berisiko terhadap kesehatan melalui penilaian khasiat, keamanan, dan mutu secara profesional dan memenuhi regulasi yang berlaku.

29 19 b. Segenap pegawai DPOPB berkomitmen senantiasa meningkatkan sistem manajemen mutu secara berkelanjutan untuk memberikan pelayanan prima kepada seluruh pemangku kepentingan. 3.5 Dasar Hukum dan Pedoman Beberapa ketentuan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan b. Peraturan Pemerintah Kesehatan No. 1010/MENKES/2008 dan 1120/MENKES/2009 tentang Registrasi Obat. c. Peraturan Kepala Badan POM No. HK tahun 2010 tentang Pencantuman Informasi Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol, dan Batas Kadaluwarsa pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan, dan Pangan. d. Keputusan Kepala Badan POM No. HK tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. e. Keputusan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor /SK/KBPOM tentang Tata Laksana Uji Klinik f. Peraturan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK tahun 2004 tentang Inspeksi Uji Klinik. g. Pedoman teknis internasional : WHO, EMA, ICH h. Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Instruksi Kerja (IK)

30 BAB 4 PELAKSANAAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER 4.1 Badan POM RI Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Badan POM RI berlangsung pada tanggal 4 26 Februari Pelaksanaan PKPA diawali dengan pembukaan pelaksanaan PKPA pada tanggal 4 Februari 2013 yang dilanjutkan dengan presentasi dan diskusi kuliah umum tentang Badan POM RI, Direktorat Standardisasi Produk OT, Kosmetik, dan Produk Komplemen, Direktorat Standardisasi Produk Terapeutik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi, Direktorat Penilaian Produksi Obat dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, dan presentasi serta diskusi tentang Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapeutik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. Pada hari kedua pelaksanaan PKPA (5 Februari 2013) dilanjutkan dengan pemaparan dan diskusi beberapa materi diantaranya presentasi Direktorat Pengawasan NAPZA, Direktorat Penilaian OT, Suplemen Makanan, dan Kosmetik, Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi OT, Kosmetik, dan Produk Komplemen, Direktorat Obat Asli Indonesia, Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, Pusat Riset Obat dan Makanan, Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, dan Pusat Penyidikan Obat dan Makanan. Hari ketiga pelaksanaan PKPA (6 Februari 2013) dilanjutkan dengan presentasi dan diskusi dari Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya, Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, dan presentasi Pusat Informasi Obat dan Makanan. 4.2 Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) berlangsung pada tanggal 7 22 Februari 2013 di Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi. PKPA diawali dengan pendalaman buku pedoman Tata Laksana dan Kriteria Registrasi Obat. Selain itu, dilakukan pengenalan kepada seluruh staf Direktorat 20

31 21 Penilaian Obat dan Produk Biologi. Pelaksaanaan harian PKPA, mahasiswa dibagi pada beberapa tempat yang terdapat di masing-masing Sub Direktorat di bawah Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi. a. Sub Direktorat Penilaian Obat Baru Seksi Penilaian Obat Baru Jalur I, II, dan Jalur III sebanyak 1 orang, b. Sub Direktorat Penilaian Obat Copy dan Produk Biologi Seksi Penilaian Obat Copy dan Reevaluasi Obat sebanyak 2 orang, Seksi Penilaian Produk Biologi sebanyak 1 orang, c. Sub Direktorat Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus Seksi Evaluasi Produk dan Uji Klinik dan Seksi Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus sebanyak 1 orang, sedangkan Seksi Tata Operasional diikuti oleh semua peserta PKPA di Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi (5 orang). Adapun uraian mengenai berbagai kegiatan yang dilakukan selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker sebagai berikut Sub Direktorat Penilaian Obat Baru Kegiatan yang dilakukan selama pelaksanaan PKPA di Sub Direktorat Penilaian Obat Baru yaitu: a. Mempelajari, memahami, dan berdiskusi tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. b. Diskusi tentang alur pra-registrasi dan registrasi c. Pengenalan bagian gedung D dan B, serta pengenalan staf subdit d. Mempelajari IK Penilaian Pra-registrasi Obat Baru e. Mempelajari IK Penilaian Pra-registrasi Variasi Obat f. Mengisi form pengkajian pra-registrasi obat baru g. Mengkaji dokumen pra-registrasi variasi obat baru h. Mempelajari dan berdiskusi mengenai dokumen Hasil Pra-Registrasi (HPR), lembar konsultasi, dan lembar disposisi i. Mengevaluasi dokumen registrasi ulang dan membuat surat permintaan tambahan data j. Pembahasan tugas umum dengan Kasubdit k. Membuat tugas umum dan tugas khusus

32 Sub Direktorat Penilaian Obat Copy dan Produk Biologi Pelaksanaan PKPA di Sub Direktorat Penilaian Obat Dan Produk Biologi dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu : a. Seksi Penilaian Obat Copy b. Seksi Reevaluasi Obat c. Seksi Penilaian Produk Biologi Kegiatan yang dilakukan di seksi masing masing yaitu : a. Seksi Penilaian Obat Copy 1) Membaca dan memahami serta berdiskusi tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. 2) Perkenalan staf seksi penilaian obat copy 3) Penelusuran literatur penunjang yang terkait dengan registrasi obat 4) Mempelajari dan menyiapkan Formulir Registrasi Obat 5) Menata arsip SOP dan IK 6) Diskusi tentang proses pra-registrasi obat copy 7) Mengkaji dokumen pra-registrasi obat copy 8) Memahami dan membuat draft HPR 9) Mengkaji dokumen registrasi obat copy b. Seksi Reevaluasi Obat 1) Perkenalan staf seksi reevaluasi obat 2) Penjelasan singkat tentang seksi reevaluasi obat oleh kepala seksi reevaluasi 3) Diskusi tentang proses pra-registrasi dan registrasi variasi 4) Penjelasan tentang kategori dan jalur evaluasi oleh kepala seksi reevaluasi. 5) Membaca Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK Tanggal 30 Desember 2011 Tentang Obat Wajib Uji Ekivalensi 6) Mengkaji pra-registrasi obat kategori variasi mayor 7) Verifikasi informasi yang tercantum pada HPR dengan surat pengantar registrasi. 8) Mengkaji pra-registrasi obat kategori variasi minor

33 23 9) Menyusun dokumen hasil evaluasi untuk dikirim ke bagian finalisasi izin edar. 10) Mempelajari dan memahami dokumen pra-registrasi dan registrasi. 11) Membuat tugas umum dan tugas khusus. c. Seksi Penilaian Produk Biologi 1) Mempelajari buku Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat 2) Diskusi dengan Kepala Seksi mengenai alur tata laksana registrasi obat dan produk biologi 3) Mempelajari SOP pra-registrasi serta registrasi obat dan produk biologi 4) Mempelajari IK terkait registrasi obat. 5) Membuat kerangka tugas khusus biosimilar 6) Diskusi dengan Kepala Seksi mengenai biosimilar yang diikuti oleh semua peserta PKPA 7) Melakukan pengkajian pra-registrasi variasi perubahan shelf-life zat aktif produk biologi 8) Membuat laporan pra-registrasi variasi perubahan shelf-life zat aktif produk biologi 9) Membuat Hasil Pra-Registrasi (HPR) variasi perubahan shelf-life zat aktif produk biologi 10) Mengetahui dokumen registrasi variasi salah satu produk biologi 11) Membuat tugas umum dan tugas khusus Sub Direktorat Produk Terapetik Penggunaan Khusus Kegiatan yang dilakukan selama PKPA di Subdirektorat Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus, yaitu : a. Seksi Evaluasi Produk dan Uji Klinik 1) Pengenalan tugas Seksi Evaluasi Produk dan Uji Klinik 2) Membaca dan diskusi tentang pedoman Cara Uji Klinik yang Baik di Indonesia

34 24 3) Membaca SOP tentang Evaluasi Registrasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus Nomor. SOP POM-02.SOP.03 dan SOP tentang Inspeksi Uji Klinik Nomor. SOP POM-02.SOP.04. 4) Memeriksa kelengkapan elemen dalam informed consent 5) Mengevaluasi protokol uji klinik 6) Mengevaluasi dokumen obat uji klinik 7) Membuat tugas umum dan tugas khusus. b. Seksi Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus 1) Pengenalan tentang seksi Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus. 2) Membaca SOP tentang Evaluasi Registrasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus Nomor. SOP POM-02.SOP.03 3) Mengevaluasi dokumen pemasukan obat untuk pengembangan produk. 4) Membuat tugas umum dan tugas khusus. c. Seksi Tata Operasional (diikuti oleh semua peserta PKPA) 1) Pengenalan area loket dan penyimpanan arsip 2) Pengenalan dan diskusi kegiatan Tata Operasional (TOP) 3) Menerima penjelasan dan diskusi mengenai alur pelayanan loket 4) Menerima penjelasan dan diskusi mengenai database FERO dan database regulator 5) Menerima penjelasan dan diskusi mengenai cara pemberian nomor identitas FERO 6) Menerima penjelasan dan diskusi mengenai cara penomoran NIE

35 BAB 5 PEMBAHASAN Kegiatan utama yang dilakukan di Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi terangkum dalam bisnis proses registrasi dan evaluasi obat yang mengacu pada pedoman kriteria dan tata laksana registrasi obat sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat yang diterbitkan pada tahun Selain itu, terdapat pula SOP dan IK yang digunakan untuk menjaga konsistensi pelaksanaan kegiatan di Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi. SOP merupakan suatu standar tertulis yang telah dibakukan sebagai pedoman pelaksanaan suatu kegiatan agar dapat dilaksanakan dengan baik dan konsisten. Pelaksanaan kerja ditunjang dengan empat jenis SOP, yaitu SOP pra-registrasi, SOP registrasi, SOP registrasi produk terapetik penggunaan khusus, dan SOP inspeksi pelaksanaan uji klinik. Setiap SOP dijabarkan lebih rinci pada IK (instruksi kerja) sesuai proses yang dilakukan. Terdapat pula ketentuan mengenai format surat masuk, surat keluar, dan laporan-laporan kegiatan praregistrasi maupun registrasi sehingga lebih memudahkan kinerja pegawai. Beberapa pedoman nasional dan internasional digunakan juga sebagai acuan untuk penilaian efikasi, keamanan, dan mutu. 5.1 Format dan Lingkup Registrasi Melalui proses harmonisasi ASEAN, telah disepakati adanya harmonisasi di antara negara-negara ASEAN dalam menyusun dokumen registrasi obat dan produk biologi. Format dan susunan dokumen registrasi tersebut dikenal dengan ACTD (Asean Common Technical Dossier). Proses registrasi obat terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu registrasi baru, registrasi variasi, dan registrasi ulang. Registrasi baru adalah registrasi untuk produk yang belum memiliki nomor izin edar, meliputi obat baru, obat copy dan produk biologi. Obat baru meliputi zat aktif baru, indikasi baru, posologi baru, kekuatan baru, bentuk sediaan baru, serta rute pemberian baru yang belum terdaftar di Indonesia. Obat copy atau obat jadi sejenis adalah obat yang mengandung zat aktif sama dengan obat yang sudah terdaftar. Registrasi variasi adalah registrasi terhadap variasi atau perubahan pada 25

36 26 obat yang sudah mendapatkan izin edar sebelumnya. Sedangkan registrasi ulang adalah registrasi perpanjangan masa berlaku izin edar. 5.2 Alur Registrasi Registrasi obat dilakukan oleh pendaftar dengan menyerahkan dokumen ke loket. Pendaftar merupakan industri farmasi yang berlokasi di Indonesia dan telah memiliki izin industri farmasi sesuai ketentuan perundang-undangan. a. Pra-registrasi Proses pra-registrasi dimulai dengan penyerahan dokumen praregistrasi. Pra-registrasi adalah prosedur registrasi yang dilakukan untuk menentukan kategori registrasi, jalur evaluasi, dan biaya evaluasi dokumen registrasi. Tujuan dari pra-registrasi adalah untuk melihat seberapa jauh kesiapan industri farmasi untuk mendaftarkan produknya. Pelaksanaan praregistrasi harus dilakukan dengan prosedur tetap untuk menjaga konsistensi pengkajian dokumen tersebut. SOP dan IK tersebut disusun oleh suatu tim dan di revisi secara berkala. Pengkajian dokumen pra-registrasi dimaksudkan untuk mempersiapkan kelengkapan dokumen pada saat registrasi sehingga diharapkan obat tersebut telah memenuhi persyaratan untuk dievaluasi lebih lanjut. Sebelumnya proses pra-registrasi tidak dikenakan biaya evaluasi, tetapi dengan adanya Peraturan Pemerintah No.48 tahun 2010 Tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, pra-registrasi dikenakan biaya evaluasi. Pengkajian pra-registrasi dikelompokan menjadi pengkajian pra-registrasi obat baru, pengkajian pra-registrasi obat copy, serta pengkajian pra-registrasi variasi mayor. Output dari proses pra-registrasi berupa Hasil Pra-Registrasi (HPR) yang diberitahukan secara tertulis kepada pendaftar paling lama dalam jangka waktu 40 HK dan bersifat mengikat. Surat HPR memberikan keterangan mengenai kategori obat, jalur evaluasi obat, serta biaya evaluasi yang akan dikenakan untuk proses registrasi. Hasil Pra-Registrasi (HPR) termasuk laporan pra-registrasi didokumentasikan dan diarsipkan secara manual/komputerisasi untuk mempermudah penelusuran. Apabila diperlukan tambahan data saat pengkajian dokumen pra-registrasi, maka pendaftar diberikan surat permintaan tambahan data. Dalam jangka

37 27 waktu maksimal 20 HK setelah surat permintaan tambahan data, pendaftar harus menyampaikan tambahan data. Bila dalam waktu tersebut, pendaftar tidak dapat memenuhi tambahan data, maka pra-registrasi ditolak dan biaya yang telah dibayar tidak dapat diambil kembali oleh pendaftar. Alur praregistrasi dapat dilihat pada lampiran IV b. Registrasi Setelah diterbitkan HPR, proses selanjutnya adalah penyerahan dokumen registrasi. Penyerahan dokumen selambat-lambatnya satu tahun setelah penerbitan HPR. Jika melebihi satu tahun, maka registrasi tidak dapat dilanjutkan dan pendaftar harus mengajukan pra-registrasi kembali. Dokumen registrasi obat yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis akan dievaluasi sesuai ketentuan yang berlaku. Penetapan jalur evaluasi merupakan tahap penting karena hal tersebut akan berkaitan dengan lamanya proses registrasi dan biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Badan POM RI memfasilitasi pendaftar melalui kegiatan konsultasi (dengan hasil tertulis), bila hal tersebut diperlukan oleh pihak pendaftar untuk kejelasan masalah. Evaluasi dokumen registrasi dikelompokkan berdasarkan registrasi obat baru, obat copy, produk biologi dan variasi. Untuk registrasi obat baru dan produk biologi, hasil evaluasi data ilmiah penunjang khasiat dan keamanan dibahas dalam rapat pleno Komite Nasional (KOMNAS) Penilai Obat untuk mendapatkan pertimbangan dan rekomendasi. Tim KOMNAS Penilai Obat terdiri dari pakar dari berbagai bidang yaitu farmakologi klinik, farmasi, biologi yang direkrut dari institusi relevan dan klinisi yang terkait. KOMNAS Penilai Obat mengadakan rapat secara periodik dalam rangka pembahasan hasil penilaian khasiat dan keamanan obat. Hasil evaluasi khasiat dan keamanan dalam rapat KOMNAS Penilai Obat akan menjadi rekomendasi bagi kepala Badan untuk memberikan keputusan. Hasil pembahasan evaluasi khasiat dan keamanan pada rapat KOMNAS Penilai Obat disampaikan kepada pendaftar secara tertulis. Dalam hal adanya keberatan terhadap hasil evaluasi tersebut maka pendaftar dapat mengajukan permohonan dengar pendapat (hearing) secara tertulis kepada

38 28 Kepala Badan yang diajukan paling lama 20 hari sejak tanggal surat pemberitahuan hasil evaluasi khasiat dan keamanan. Terhadap hasil evaluasi efikasi dan keamanan yang ditolak oleh Kepala Badan POM berdasarkan rekomendasi hasil rapat KOMNAS Penilai Obat, pendaftar dapat mengajukan keberatan (proses appeal) dengan menyertakan dokumen ataupun tambahan data yang baru. Proses appeal diperkenankan satu kali dan diajukan paling lama 6 bulan setelah penolakan. Setelah KOMNAS Penilai Obat merekomendasikan disetujuinya hasil evaluasi khasiat dan keamanan obat, maka dilakukan evaluasi mengenai mutu dan teknologi serta penandaan. Kepala Badan dapat memberikan keputusan berupa permintaan tambahan data, diterima, atau ditolak. Untuk obat copy terdapat perbedaan dalam hal evaluasi khasiat dan keamanan, di mana obat copy pada umumnya tidak membutuhkan data uji nonklinik dan uji klinik. Evaluasi khasiat dan keamanan obat copy berdasarkan informasi yang telah disetujui untuk inovator. Obat copy tertentu dipersyaratkan uji bioekivalensi. Jika keputusan hasil evaluasi efikasi, keamanan, dan mutu diterima, maka persetujuan izin edar dapat diberikan dan berlaku selama kurun waktu 5 (lima) tahun. Selanjutnya pendaftar yang telah memiliki izin edar wajib memproduksi atau mengimpor dan mengedarkan obat selambat-lambatnya 1 tahun setelah tanggal persetujuan dikeluarkan. Pelaksanaan kegiatan produksi wajib dilaporkan dan menyerahkan kemasan siap edar kepada Kepala Badan POM RI. Penyerahan kemasan siap edar dilakukan selambat-lambatnya 1 bulan sebelum pelaksanaan produksi, impor atau peredaran obat. Yang perlu diperhatikan oleh pendaftar adalah waktu yang dibutuhkan pendaftar untuk memenuhi tambahan kelengkapan data tidak dimasukkan dalam hitungan hari kerja (proses clock off) sehingga semakin lama pendaftar melengkapi kelengkapan dokumen semakin lama juga proses registrasi berlangsung. Alur registrasi dapat dilihat pada lampiran V.

39 Kriteria Penilaian Obat Untuk mendapatkan izin edar, suatu obat harus memenuhi kriteria utama, yaitu: a. Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui uji nonklinik dan uji klinik atau bukti lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang bersangkutan b. Memiliki mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), spesifikasi, dan metode pengujian terhadap semua bahan yang digunakan serta produk jadi dengan bukti yang sahih. c. Penandaan dan informasi produk berisi informasi lengkap dan objektif yang dapat menjamin penggunaan obat secara tepat, rasional, dan aman d. Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat. e. Khusus untuk psikotropika baru harus memiliki keunggulan manfaat dan keamanan dibandingkan dengan obat yang telah disetujui beredar di Indonesia, dan untuk kontrasepsi atau obat lain yang digunakan dalam program nasional dapat dipersyaratkan uji klinik di Indonesia. Penilaian awal obat dilakukan dengan menilai kelengkapan dan kesesuaian dokumen yang diajukan dalam registrasi. Sesuai dengan Lampiran IV Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat, dokumen registrasi obat terdiri dari 4 bagian sebagai berikut. 1. Bagian I : Dokumen Administratif dan Informasi Produk yang terdiri dari: A. Daftar Isi Keseluruhan B. Dokumen Administratif C. Informasi Produk dan Penandaan 2. Bagian II : Dokumen Mutu terdiri dari: A. Ringkasan Dokumen Mutu (RDM) B. Dokumen Mutu C. Daftar Pustaka 3. Bagian III : Dokumen Nonklinik terdiri dari: A. Tinjauan Studi Nonklinik

40 30 B. Ringkasan dan Matriks Studi Nonklinik C. Laporan Studi Nonklinik (jika perlu) D. Daftar Pustaka 4. Bagian IV : Dokumen Klinik terdiri dari: A. Tinjauan Studi Klinik B. Ringkasan Studi Klinik C. Matriks Studi Klinik D. Laporan Studi Klinik E. Daftar Pustaka 5.4 Kategori Registrasi Obat Proses registrasi obat di bagi menjadi 3, yaitu : a. Registrasi Baru Registrasi baru adalah registrasi untuk produk yang belum mendapat nomor izin edar di Indonesia. Registrasi baru meliputi obat baru, obat copy dan produk biologi. Obat baru meliputi zat aktif baru, zat tambahan baru, yang belum terdaftar di Indonesia. Obat copy adalah obat yang mengandung zat aktif dengan komposisi, kekuatan, bentuk sediaan, rute pemberian, indikasi dan posologi sama dengan obat yang telah disetujui. Sedangkan produk biologi adalah vaksin, imunosera, antigen, hormon, enzim, produk darah, dan produksi hasil fermentasi lainnya (termasuk antibodi monoklonal dan produk yang berasal dari teknologi rekombinan DNA) yang digunakan untuk mempengaruhi dan menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan. b. Registrasi Variasi Registrasi variasi adalah registrasi perubahan aspek apapun pada obat yang telah memiliki izin edar di Indonesia, termasuk tetapi tidak terbatas pada perubahan formulasi, metode, proses pembuatan, spesifikasi untuk obat dan bahan baku, wadah, kemasan, dan penandaan. c. Registrasi Ulang Registrasi ulang adalah registrasi perpanjangan masa berlaku izin edar. Permohonan registrasi ulang paling cepat 120 (seratus dua puluh) hari

41 31 sebelum berakhir masa berlaku izin edarnya. Permohonan registrasi ulang di ajukan dengan mengisi formulir dan melampirkan dokumen registrasi ulang. Persetujuan atas permohonan registrasi ulang secara otomatis berlaku sejak berakhir masa izin edar, yang terkait dengan keamanan obat, khasiat obat, dan/atau kerasionalan formula obat. 5.5 Penentuan Jalur Evaluasi Jalur evaluasi terdiri atas : a. Jalur 40 (empat puluh) hari meliputi : 1) Registrasi variasi minor yang memerlukan persetujuan. 2) Permohonan CPP registrasi obat khusus ekspor b. Jalur 100 (seratus) hari meliputi : 1) Registrasi obat baru dan produk biologi yang diindikasikan untuk terapi penyakit serius yang mengancam nyawa manusia (live saving), dan/atau mudah menular kepada orang lain, dan/atau belum ada atau kurangnya pilihan terapi lain yang aman dan efektif. 2) Registrasi baru obat baru dan produk biologi yang berdasarkan justifikasi diindikasikan untuk penyakit serius dan langkah (orphan drug). 3) Registrasi obat baru dan produk biologi ditujukan untuk program kesehatan masyarakat. 4) Registrasi baru obat baru dan produk biologi yang telah melalui proses obat pengembangan baru yang dikembangkan oleh industri farmasi atau institusi riset di Indonesia dan seluruh tahapan uji klinisnya dilakukan di Indoneia. 5) Registrasi baru obat copy esensial generik yang dilengkapi dengan dokumen penunjang kebutuhan program atau data pendukung sebagai obat esensial. 6) Registrasi baru obat copy dengan standar informasi elektronik (Stinel) 7) Registrasi variasi major indikasi baru/posologi baru untuk obat yang ditujukan sebagaimana ditujukan pada poin 1, 2, 3, dan 4. 8) Registrasi variasi major yang tidak termasuk pada poin 7.

42 32 c. Jalur 150 (seratus lima puluh) hari meliputi : 1) Registrasi obat baru, produk biologi, dan registrasi variasi major indikasi baru/posologi baru yang telah disetujui dinegara yang telah menerapkan sistem evaluasi terharmonisasi dan dinegara dengan sistem evaluasi yang telah dikenal baik 2) Registrasi baru obat baru, produk biologi, dan registrasi variasi major indikasi baru/posologi baru yang telah disetujui paling sedikit 3 (tiga) negara dengan sistem evaluasi yang telah dikenal baik. 3) Registrasi baru obat copy tanpa stinel. d. Jalur 300 (tiga ratus) hari meliputi registrasi baru obat baru, produk biologi, produk biologi sejenis, atau registrasi variasi major indikasi baru/posologi baru yang tidak termasuk dalam jalur evaluasi 2 dan Kendala yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Registrasi Dalam pelaksanaan registrasi tidak jarang ditemukan adanya kendala, baik yang datang dari pihak industri maupun pihak badan POM RI. a. Dari pihak industri: 1) Kurangnya pemahaman mengenai hal-hal teknis yang berkaitan dengan data-data atau dokumen registrasi 2) Staf industri yang mengikuti training tidak mensosialiasikan informasi yang diperoleh kepada rekan kerja lainnya di instansi yang sama 3) Kurangnya kedisiplinan pihak industri dalam memenuhi persyaratan atau ketentuan yang berlaku b. Dari pihak Badan POM RI: 1) Kurangnya jumlah personil evaluator untuk menilai dokumen, sehingga tidak sebanding dengan jumlah dokumen yang masuk. 2) Adanya jenis perubahan tertentu pada dokumen yang tidak masuk ke dalam kategori pada buku Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat 5.7 Usaha untuk Mengatasi Kendala yang Dihadapi dalam Registrasi Obat a. Badan POM RI memfasilitasi konsultasi mengenai proses registrasi yang dilakukan oleh pendaftar.

43 33 b. Mengadakan sosialiasi tentang registrasi yang diikuti oleh industri farmasi c. Menyebarluaskan informasi Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat melalui website Badan POM agar mudah diperoleh oleh pihak yang membutuhkannya. d. Menambah jumlah personil evaluator e. Mendata dan menyusun perubahan-perubahan yang tidak terdapat dalam buku Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat yang dapat digunakan sebagai acuan oleh petugas loket maupun evaluator f. Pemutakhiran Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sesuai perkembangan terkini. 5.8 Registrasi Produk Terapetik Pengunaan Khusus a. Pemasukan Produk Obat Terapetik Penggunaan Khusus (SAS) Mekanisme Pemasukan Produk Terapetik untuk Penggunaan Khusus atau Special Access Scheme (SAS) adalah mekanisme pemasukan/impor obat, alat kesehatan dan makanan kesehatan yang sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan tetapi tidak memiliki izin edar. Mekanisme ini merupakan tugas yang pelaksanaannya melibatkan 2 institusi yaitu Badan POM dan Kementerian Kesehatan. Regulasi yang mengatur pelaksanaan SAS adalah sebagai berikut: 1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008 Tentang Registrasi Obat. 2) Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK tanggal 2 April 2002 tentang Pemasukan Obat Jalur Khusus. 3) Keputusan Menteri Kesehatan No. 1379A/MENKES/SK/X1/2002 tanggal 13 Nopember 2002 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Obat, Alat Kesehatan dan Makanan Kesehatan Khusus. Pada awal tahun 2008, kewenangan persetujuan SAS diberikan kepada Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alkes, Kementerian Kesehatan RI dan Badan Pengawas Obat dan Makanan yaitu: 1) Surat Persetujuan Pemasukan Obat/Makanan/Alat Kesehatan Khusus untuk keperluan pribadi atau kebutuhan rumah sakit berdasarkan justifikasi dokter penanggung jawab serta surat persetujuan donasi selain vaksin/produk

44 34 biologi dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2) Surat Persetujuan Pemasukan vaksin/produk biologi, bahan baku, dan sampel obat untuk pengembangan produk berkaitan dengan registrasi obat, obat uji klinik termasuk untuk uji bioekivalensi serta donasi vaksin/produk biologi dikeluarkan oleh Kepala Badan POM RI melalui Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA. Pemasukan obat dalam rangka donasi harus sesuai dengan Pedoman Obat Donasi Badan Pengawas Obat dan Makanan. Donasi dimaksudkan hanya untuk penggunaan terbatas. Obat untuk penggunaan terapi khusus adalah obat yang dibutuhkan pasien berdasarkan justifikasi ilmiah dokter dalam jumlah terbatas. Justifikasi yang dimaksud harus mempertimbangkan kriteria berikut: 1) Obat untuk mengatasi penyakit yang mengancam jiwa atau serius 2) Obat yang tersedia tidak dapat mengatasi atau mengontrol kondisi pasien secara memadai. 3) Obat tidak tersedia karena produksi/suplai peredaran obat yang sama mempunyai izin edar terhenti. Obat untuk penggunaan terapi khusus merupakan jenis obat yang telah diketahui profil khasiat, keamaanan dan mutunya. Pemasukan obat untuk penggunaan terapi khusus dilakukan berdasarkan permintaan dokter dan penanggung jawab. Dalam mengajukan permohonan pemasukan obat untuk penggunaan terapi khusus harus dilengkapi dengan: 1) Justifikasi dokter penanggung jawab untuk obat yang dibutuhkan oleh pasien. 2) Informasi khasiat dan keamanan obat yang memadai yang dapat menunjang aspek keamanan penggunaan obat. 3) Informasi mutu obat yang meliputi sertifikat analisa dari batch obat dan ringkasan protokol batch produksi khusus untuk produk biologi atau vaksin yang akan didatangkan. 4) Informasi jumlah kebutuhan obat Pemasukan obat untuk uji klinik sebagaimana diatur oleh keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02002/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Tata Laksana Uji Klinik. Pemasukan obat dalam rangka donasi harus sesuai

45 35 dengan Pedoman Obat Donasi Badan Pengawas Obat dan Makanan. Donasi dimaksudkan hanya untuk penggunaan terbatas. Alur proses Permohonan Pemasukan Obat Penggunaan Khusus (SAS) sebagai berikut: pemohon menyerahkan berkas pemasukan obat penggunaan khusus pada loket registrasi obat. Setelah itu kelengkapan berkas diperiksa oleh petugas loket, jika berkas yang diserahkan tidak lengkap maka akan dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi jika berkas yang diserahkan lengkap maka berkas akan diterima dan dilakukan pendataan dan kemudian dilakukan proses evaluasi oleh evaluator. Jika dalam proses evaluasi, ditemukan adanya kekurangan data, maka evaluator berhak meminta tambahan data. Tetapi jika dalam proses evaluasi tidak ditemukan kekurangan data maka akan dikeluarkan Surat Persetujuan SAS. Surat persetujuan diterbitkan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak dokumen dinyatakan lengkap dan sesuai dengan persyaratan. Persyaratan teknis dan administratif yang harus diserahkan pemohon adalah: 1) Untuk SAS sampel penelitian untuk pengembangan produk 1. Protokol penelitian atau pengembangan produk 2. Justifikasi jumlah kebutuhan 3. Certificate of Analysis 4. Airway Bill/Bill of Landing 5. Invoice 6. Surat pernyataan 2) Untuk SAS Uji BE 1. Protokol Uji BE 2. Surat Persetujuan Pengajuan Pelaksanaan Uji Bioekivalensi (jika sudah disetujui) atau Surat Bukti Pengajuan Protokol Bioekivalensi ke Badan POM 3. Justifikasi jumlah kebutuhan 4. Certificate of Analysis 5. Airway Bill/Bill of Landing 6. Invoice 7. Surat pernyataan

46 36 Persyaratan khusus untuk vaksin dan produk biologi: 1) Summary batch protocol of production and testing (dari 3 batch berturutturut) 2) Sertifikat lot release dari laboratorium yang berwenang di negara asal b. Evaluasi Produk dan Uji Klinik Uji klinik adalah setiap penelitian pada subjek manusia yang dimaksudkan untuk menemukan atau memastikan efek klinik, farmakologik dan atau farmakodinamik lainnya dari produk yang diteliti dan atau untuk mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak diinginkan terhadap produk yang diteliti dan untuk mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dari produk yang diteliti dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya. Pelaksanaan uji klinik di Indonesia diatur oleh Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor Tahun 2001 tentang Tata Laksana Uji Klinik. Tugas Badan POM dalam pengawasan uji klinik di Indonesia (Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor Tahun 2001 Tentang Tata Laksana Uji Klinik) : 1) Evaluasi Dokumen Permohonan Pelaksanaan Uji Klinik di Indonesia. Dalam pelaksanaan uji klinik di Indonesia harus mengikuti ketentuan dalam Pedoman CUKB di Indonesia di mana Pedoman CUKB di Indonesia yang diterjemahkan dari ICH-GCP E6 (The International Conference on Harmonization Good Clinical Practice) dan harus memberikan manfaat nyata bagi kepentingan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan. Uji klinik dapat berupa uji klinik pra-pemasaran, uji klinik pascapemasaran dan uji klinik terbatas untuk pendidikan. Uji klinik prapemasaran adalah uji klinik yang menggunakan obat uji yang belum mendapat izin edar di Indonesia dan meliputi uji klinik fase I, fase II, fase III. Dalam pelaksanaan uji klinik pra-pemasaran, diperlukan Pengajuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) oleh pihak sponsor kepada Kepala Badan POM. Uji klinik pasca-pemasaran adalah uji klinik yang menggunakan obat uji yang sudah mendapat izin edar di Indonesia dan meliputi penelitian fase IV. Uji klinik pasca-pemasaran diperlukan pemberitahuan pelaksanaan uji klinik pasca-pemasaran yang dilakukan oleh sponsor kepada Kepala Badan

47 37 kecuali untuk kondisi uji klinik yang memerlukan pertimbangan khusus. Uji klinik terbatas untuk pendidikan adalah uji klinik yang dilakukan di lingkungan terbatas seperti universitas atau lingkungan rumah sakit untuk tujuan pendidikan. 2) Inspeksi Inspeksi adalah suatu tindakan otoritas regulatori yang dilaksanakaan dengan melakukan pemeriksaan terhadap dokumen, fasilitas, rekaman dan sumber lainnya yang ada hubungannya dan yang terdapat di tempat uji klinik, pada, sponsor atau di tempat Organisasi Riset Kontrak (ORK) atau di tempat lain yang berkaitan dengan uji klinik. Sponsor adalah perorangan, perusahaan, industri farmasi, institusi atau organisasi yang mengambil tanggung jawab untuk memprakarsai, mengelola, atau membiayai suatu uji klinik atau uji bioekivalensi. Organisasi Riset Kerja (ORK) adalah seorang atau organisasi (komersial, akademik, atau lainnya) yang dikontrak oleh sponsor untuk melaksanakan satu atau lebih tugas dan fungsi sponsor dan uji klinik atau uji BE. 3) Pemberian Keputusan Untuk pelaksanaan uji klinik pra-pemasaran dan uji klinik pascapemasaran tertentu, Kepala Badan dapat meminta tanggapan Tim Penasehat Uji Klinik Nasional terhadap persetujuan dari Komisi Ilmiah dan Komisi Etik. 4) Penghentian Pelaksanaan Uji Klinik Jika uji klinik dilaksanakan tanpa persetujuan komisi etik terlebih dahulu maka Kepala Badan mempunyai wewenang untuk menangguhkan atau menghentikan uji klinik yang telah dilakukan atau sedang berjalan. Kepala Badan dapat menangguhkan, menghentikan atau tidak mengizinkan pelaksanaan uji klinik suatu obat di Indonesia bila ada alasan kuat dari segi non-ilmiah atau keamanan, dan setelah berkonsultasi dengan Tim Penasehat Uji Klinik Nasional walaupun protokol uji kliniknya mendapat persetujuan dari Komisi Etik. 3) Pengadaan Obat untuk Uji Klinik 1. Obat untuk Uji Klinik

48 38 Dalam melakukan uji klinik obat yang akan digunakan harus dapat dijamin memenuhi persyaratan mutu dan telah melalui tahapan uji praklinik sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan obat yang akan digunakan sebagai obat uji dan obat pembanding dalam pelaksanaan suatu uji klinik dapat berupa produk luar negeri atau produk dalam negeri, baik yang sudah memperoleh izin edar maupun yang belum memperoleh izin edar. Untuk penggunaan obat produk luar negeri dan produk dalam negeri yang belum memperoleh izin edar harus mendapatkan persetujuan dari Kepala Badan POM. 2. Izin Pemasukan Obat untuk Uji Klinik Untuk pengajuan izin pemasukan obat produk dari luar negeri, keperluan uji klinik dilakukan oleh sponsor atau Organisasi Riset Kontrak (ORK) kepada Kepala Badan POM. Pengajuan izin pemasukan obat diajukan bersamaan dengan pengajuan Pelaksanaan Uji Klinik, dan dilengkapi dengan persetujuan Komisi Ilmiah dan Komisi Etik, waktu pelaksanaan, sumber obat, sertifikat CPOB diluar negeri, jenis serta jumlah obat yang diperlukan, sertifikat analisa, nomor batch obat yang digunakan dalam uji klinik, dan pernyataan tertulis bahwa sponsor serta peneliti bersedia untuk memenuhi standar Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB). Kepala Badan akan memberikan persetujuan terhadap pengajuan pemasukan obat produk luar negeri untuk uji klinik produsen yang telah disertai dokumen lengkap dalam waktu sepuluh (10) hari kerja, yaitu: 1. GMP Certificate produsen 2. Certificate of Analysis 3. Airway Bill/Bill of Landing 4. Invoice 5. Surat Rekomendasi Program (untuk program) 5.9 Seksi Tata Operasional Dalam pelaksanaan kegiatan, Seksi Tata Operasional ditunjang dengan sistem komputerisasi dan aplikasi database. Aplikasi database yang digunakan adalah sebagai berikut.

49 39 a. Drugbase Merupakan database yang digunakan sejak tahun 1991 hingga saat ini. Database ini sering disebut sebagai database regulator dan softwarenya disebut PharmaSoft Drug Base. Database ini berisi informasi produk obat secara lengkap, termasuk nama produk, nama zat aktif dan eksipien, bentuk sediaan, status peredaran, tanggal disetujui. b. Fasilitas Elektronik Registrasi Obat (FERO) Merupakan suatu aplikasi database yang digunakan untuk melihat status atau tahapan penanganan dokumen pendaftaran (tracking system) sehingga dapat dimonitor oleh pihak pendaftar. Sistem ini baru dimulai pada tahun Setelah mengisi aplikasi FERO, pendaftar akan mendapatkan nomor ID. Informasi obat yang telah mendapat Nomor Izin Edar (NIE) dapat diakses melaui situs Badan POM dengan alamat c. Aplikasi e-registrasi Obat (AeRO) Merupakan suatu aplikasi yang saat ini dikembangkan oleh Badan POM, menggunakan program PHP dengan database SQL. Melalui aplikasi ini proses pra-registrasi dan registrasi dapat dilakukan secara online. Loket Registrasi Obat berada di bawah koordinasi seksi tata operasional. Pelayanan loket dibuka pada hari Senin-Kamis pada jam kerja yaitu jam Sebelum melakukan pra-registrasi atau registrasi, pendaftar terlebih dahulu mendaftar via ke alamat Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi untuk mendapatkan jadwal (nomor urut) yang nantinya akan ditayangkan di website BPOM. Sesuai jadwal yang telah ditentukan, pendaftar menyerahkan dokumen pra-registrasi atau registrasi ke evaluator di loket untuk diperiksa kelengkapan dokumen tersebut. Bila dokumen telah dinyatakan lengkap, akan diterbitkan Surat Perintah Bayar (SPB) sesuai ketentuan PP No.48 tahun Selanjutnya, pendaftar menyerahkan dokumen, SPB, dan bukti bayar kepada petugas loket. Penyerahan dokumen dilakukan sesuai nomor antrian elektronik. Petugas loket akan melakukan input/entry dokumen. Setelah dilakukan entry data ke database BPOM, pendaftar akan mendapatkan nomor identitas (ID) dalam waktu 1 HK. Dokumen yang diterima di loket akan didistribusikan ke seksi

50 40 penilaian obat terkait dalam waktu 1 HK untuk kemudian didata dan dievaluasi. Dokumen dilengkapi dengan kartu kendali untuk memantau timeline. Pengelolaan arsip di gudang penyimpanan, dilakukan khusus untuk dokumen yang telah disetujui/memiliki NIE. Pemusnahan arsip dikoordinir oleh staf TOP dengan persetujuan kepala seksi TOP. Dokumen yang dimusnahkan adalah dokumen yang telah habis masa simpannya sesuai ketentuan atau dokumen yang tidak digunakan lagi. Dalam 1 tahun, umumnya frekuensi pemusnahan adalah 1 hingga 3 kali, tergantung pada permintaan setiap seksi. Salah satu kegiatan rutin Seksi Tata Operasional adalah pendataan nomor izin edar. Nomor izin edar/nomor registrasi terdiri atas 15 digit. Tabel 5.1 Penomoran izin edar obat dan produk biologi Digit kepada NIE Kode 1 Produk 2 Golongan obat 3 4 & 5 6, 7 & 8 9, 10 & & 13 Status produksi Tahun penerbitan NIE Industri farmasi Nomor urut produk yang didaftarkan Bentuk sediaan obat 14 Kekuatan obat G D K B T P N L I X E J S Produk lokal Produk impor A B Keterangan Nama generik Nama dagang Obat keras Obat bebas Obat psikotropika Obat bebas terbatas Narkotika Obat produksi lokal / lisensi Obat impor Obat program tertentu Obat khusus ekspor Obat program obat terjangkau Obat program desa siaga Kode pemilik produk Kode industri yang melakukan batch release Kekuatan pertama Kekuatan kedua

51 41 15 Nomor urut kemasan yang terdaftar C, dst. Kekuatan ketiga, dst. 1 Jenis kemasan pertama 2 Jenis kemasan kedua 3, dst. Jenis kemasan ketiga, dst E-Registrasi Dalam rangka meningkatkan pelayanan, Badan POM RI telah mengembangkan aplikasi untuk pra-registrasi dan registrasi secara online yang disebut e-registrasi. Proses e-registrasi menggunakan Aplikasi e-registrasi Obat (AeRO) yang berbasis web. AeRO telah disosialisasikan pada tahun 2012 dan diluncurkan pada tanggal 31 januari Pengembangan e-registrasi obat diawali untuk registrasi obat copy. Selanjutnya, terus dikembangkan untuk kategori registrasi lainnya sampai tahun 2014 sehingga nantinya seluruh pendaftaran obat dilakukan secara online. Saat ini merupakan masa transisi registrasi obat copy secara online dan selama masa transisi tersebut pendaftaran dokumen pra-registrasi dan registrasi obat copy masih dilakukan secara manual dan online. Sebelum melakukan pra-registrasi dan registrasi obat copy pada AeRO, pendaftar harus melakukan registrasi akun AeRo terlebih dahulu untuk dapat login ke dalam aplikasi e-registrasi. Setelah memiliki akun AeRo, pendaftar dapat melakukan pra-registrasi maupun registrasi obat copy dengan mengisi data sesuai ketentuan yang terdapat pada AeRo. Jika data yang diisi sudah benar, maka akan dikeluarkan Surat Perintah Bayar (SPB) biaya pra-registrasi dan pendaftar melakukan pembayaran di Bank BNI. Pendaftar yang telah melakukan pembayaran, kesesuaian SPB dan file bukti bayar telah diverifikasi oleh administrator Badan POM, maka pendaftar dapat melanjutkan pra-registrasi dengan kembali mengisi data sesuai ketentuan yang terdapat pada AeRO.

52 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi merupakan bagian dari sistem pengawasan pre market (registrasi) terhadap produk terapetik termasuk produk biologi yang beredar di masyarakat. Direktorat ini melakukan penilaian terhadap aspek efikasi, keamanan, serta mutu obat dan produk biologi yang akan diedarkan di wilayah Indonesia untuk melindungi konsumen atau masyarakat dari produk yang berisiko terhadap kesehatan. 2. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi dapat bekerjasama dengan berbagai pihak, yaitu lintas sektor/nasional, regional, dan internasional. 3. Apoteker/evaluator yang bekerja di Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi harus memahami alur pelaksanaan pra-registrasi dan registrasi, termasuk proses penilaian produk terapetik penggunaan khusus serta memiliki pengetahuan yang memadai agar dapat melakukan penilaian terhadap produk obat dan produk biologi, meliputi mutu, keamanan, dan efikasi produk yang didaftarkan. 6.2 Saran 1. Meningkatkan fasilitas kerja di Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi, antara lain tempat penyimpanan arsip dan tempat kerja yang kurang memadai. 2. Agar pelaksanaan PKPA dapat berjalan efektif dan efisien, setiap Subdit tempat pelaksanaan PKPA perlu mempersiapkan dan menginformasikan ke setiap staf mengenai materi yang akan diberikan kepada peserta PKPA. 42

53 43 DAFTAR ACUAN Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2001). Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor: 103/SK/KBPOM Tahun 2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan POM RI. Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011). Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor: HK Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2001). Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) di Indonesia. Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2013). Petunjuk Teknis Registrasi Akun Aplikasi e-registrasi Obat (AeRO). Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2013). Petunjuk Teknis Pra-Registrasi Aplikasi e-registrasi Obat (AeRO). Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2004). Surat Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor: HK Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Surat Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor: 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan POM RI. Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008. Tentang Registrasi Obat. Jakarta.

54 LAMPIRAN

55 44 Lampiran 1. Lingkup Wilayah SISPOM

56 45 Lampiran 2. Struktur Organisasi Badan POM RI

57 46 Lampiran 3. Struktur Organisasi Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi

58 47 Lampiran 4. Alur Pra-Registrasi

59 48 Lampiran 5. Alur Registrasi

60 49 Lampiran 6. Registrasi Akun Aero Lampiran 7. Alur Pengajuan Pra-Registrasi Obat Copy (E-Registrasi)

61 50 Lampiran 8. Alur Registrasi Baru Obat Copy (E-Registrasi)

62 UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN PENILAIAN REGULASI BIOSIMILAR TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER FUNGI GOTALIA, S. Farm ANGKATAN LXXVI FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013

63 UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN PENILAIAN REGULASI BIOSIMILAR TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker FUNGI GOTALIA, S. Farm ANGKATAN LXXVI FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013 ii

64 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR...v DAFTAR LAMPIRAN... vi BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan...2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Latar Belakang dan Perkembangan Regulasi Biosimilar Definisi dan Perbedaan Produk Biologi dan PBS Regulasi Biosimilar Konsep Biosimilar Regulasi Biosimilar di Uni Eropa (EU) Regulasi Biosimilar di USA Perbandingan EU dan US Pedoman WHO Perbandingan WHO dan EMA Perkembangan Global Pertimbangan untuk Industri Perbedaan Ekspektasi Regulasi Global untuk Biosimilar Regulasi di ASEAN Regulasi di Indonesia Alur dan Tata Laksana Penilaian Biosimilar di Indonesia Contoh Produk Biologi Sejenis di Indonesia...37 BAB 3 PEMBAHASAN...38 BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran...43 DAFTAR ACUAN...44 LAMPIRAN...46 iii

65 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Perbedaan produk biologi dan produk biologi sejenis...6 Tabel 2.2 Perbandingan program studi untuk registrasi beragam tipe produk obat...6 Tabel 2.3 Perbandingan pendekatan EU dan US...9 Tabel 2.4 Perbandingan pedoman WHO dan EMA...14 Tabel 2.5 Perbandingan pedoman WHO, Kanada, dan Jepang mengenai biosimilar...22 Tabel 2.6 Perbandingan ekspektasi regulasi global untuk biosimilar...30 Tabel 2.7 Persyaratan dokumen untuk produk biosimilar di Singapura...33 Tabel 2.8 Contoh produk biologi sejenis di Indonesia...37 Tabel 3.1 Perbandingan persyaratan evaluasi biosimilar di berbagai negara...39 iv

66 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Ilustrasi perbandingan berkas yang dibutuhkan untuk registrasi produk biologi inovator dan biosimilar...5 v

67 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Alur Pra-Registrasi Produk Biologi di Indonesia...47 Lampiran 2. Alur Registrasi Produk Biologi di Indonesia...48 vi

68 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam pelayanan kesehatan, obat merupakan komponen yang penting karena diperlukan dalam upaya kesehatan, baik untuk menghilangkan gejala, mencegah, maupun menyembuhkan penyakit. Selain obat sintetik kimia, dunia farmasi dan kedokteran mengenal pula produk obat biologi. Jika obat generik adalah obat copy sintetik kimia dari inovator yang telah habis masa patennya, maka obat copy produk biologi dikenal dengan sebutan biosimilar atau produk biologi sejenis. Dalam perkembangannya, jenis dan jumlah produk biologi akan terus bertambah karena peningkatan kebutuhan dan pola penyakit di masyarakat modern yang mulai bergeser dari dominasi penyakit infeksi ke penyakit degeneratif. Menurut Dra. Lucky S. Slamet, M.Sc. sebagaimana dikutip dari situs media Kompas.com edisi November 2010, munculnya produk biologi sejenis di pasaran Indonesia harus dipandang sebagai peluang untuk memperoleh produk obat biologi dengan harga yang lebih murah dan dengan manfaat yang sama atau mendekati produk inovatornya. Produk biologi sejenis perlu diwaspadai segi kualitasnya, terutama yang beredar dan berasal dari negara-negara berkembang seperti India dan Cina. Perlu ada uji klinik dan kontrol penerapan GMP dalam proses produksinya. Ahli farmakologi Fakultas Kedokteran, Prof. Dr. Rianto Setiabudy, SpPD, menyatakan bahwa pemerintah dan masyarakat perlu waspada karena obat-obat produk biologi sifatnya berbeda dibanding obat kimia karena molekulnya jauh lebih besar dibanding obat-obat kimiawi sintetis. Harga obat produk biologi sangat mahal sehingga munculnya produk sejenis diharapkan berguna bagi masyarakat karena harganya jauh lebih murah. Namun, ada kemungkinan harga produk biologi sejenis dibanting karena mengorbankan prinsip GMP. Hal inilah yang harus diawasi oleh Badan POM. Pendaftaran produk biologi sudah dimulai sejak tahun 80an sedangkan pendaftaran produk biosimilar dimulai tahun 2000an. Isu strategis terkait dengan evaluasi dan pendaftaran produk biologi sejenis di Indonesia antara lain, (i) 1

69 2 Meningkatnya pendaftaran dalam bentuk parallel submission ke Indonesia bersamaan dengan pendaftaran ke negara-negara maju untuk produk biologi seperti vaksin dan produk dengan teknologi rekombinan atau biofarmasetikal sepeti sitokin, faktor pertumbuhan, faktor penggumpalan darah, hormon pertumbuhan, enzim, antibodi monoklonal, dan oligonukleotida, (ii) Banyaknya produsen baru produk biologi sejenis (vaksin, produk darah) yang berlokasi di negara berkembang, dan beberapa produk tersebut diajukan pendaftarannya ke Indonesia, (iii) adanya ketentuan di Uni Eropa bahwa apabila suatu produk obat, termasuk produk biologi, tidak dipasarkan di Uni Eropa maka tidak dapat diberikan persetujuan pemasaran di Uni Eropa walaupun diproduksi oleh produsen yang berlokasi di Uni Eropa. Akibatnya, khasiat, keamanan, dan kualitas produk Uni Eropa tersebut yang dibutuhkan oleh negara berkembang harus dievaluasi berdasarkan kemampuan negara berkembang itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut, penulis berupaya mengulas regulasi biosimilar di beragam negara agar dapat menambah pengetahuan dan secara tidak langsung dapat berkontribusi dalam pengembangan regulasi biosimilar di Indonesia Tujuan Tujuan dari kajian penilaian regulasi biosimilar ini : 1. Untuk mengetahui perkembangan regulasi biosimilar dan memahami beberapa regulasi biosimilar di dunia 2. Untuk memahami penerapan regulasi biosimilar di Indonesia.

70 33 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Latar Belakang dan Perkembangan Regulasi Biosimilar Kontrol terhadap penyakit kronik merupakan tantangan dalam kesehatan masyarakat di negara maju dan berkembang. Produk bioterapetik telah sukses dalam menangani banyak penyakit kronik yang mengancam nyawa. Akan tetapi, harga produk bioterapetik inovator sering menjadi penghalang, dengan demikian membatasi penggunaanya terutama di negara berkembang. Beragam produk bioterapetik seperti insulin, hormon pertumbuhan manusia, dan eritropoetin telah membuka peluang pendaftaran produk ini sebagai biosimilar. Hal ini tentu akan berkontribusi meningkatkan akses terhadap obat-obatan pada harga yang lebih terjangkau. Namun, banyak negara yang masih belum meregulasi produk ini dan meminta bantuan dari WHO. Pedoman biosimilar pertama kali dikeluarkan oleh EMA. Kerangka kerja legal untuk penyetujuan biosimilar di EU telah dibentuk pada tahun 2003 dan Guidelines for an abbreviated registration process dibahas tahun EMA menerbitkan kerangka pertama yang mengatur produk biosimilar. Australia, Kanada, Kroasia, Jepang, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Turki adalah contoh negara-negara yang telah mengikuti pedoman dari EU. Sedangkan, kerangka kerja di negara-negara Asia lain, Amerika Latin, dan Timur Tengah sedang dikembangkan. EMA menyetujui produk biosimilar pertama untuk somatropin (Omnitrope) pada tahun Hingga saat ini, EMA telah menyetujui 14 biosimilar untuk penggunaan di EU, dalam kelas produk hormon pertumbuhan manusia, granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dan eritropoetin. Pedoman EMA telah mengatur topik umum seperti kualitas, efikasi, dan keamanan produk spesifik, seperti soluble insulin, hormon pertumbuhan manusia, G-CSF eritropoetin, interferon alfa, Low Molecular Weight Heparins (LMWH) dan antibodi monoklonal. Di Amerika Serikat, situasi regulasi berbeda, meskipun regulasi sah telah disetujui dalam hukum Biologics Price Competition and Innovation Act of

71 4 (BPCI Act) pada 23 Maret 2010 oleh Barack Obama, FDA masih dalam tahap pengembangan pedoman beberapa jenis produk. Salah satu laporan menunjukkan diskusi dan kesimpulan pada suatu konsultasi informal yang dilaksanakan pada April 2007 di WHO terkait evaluasi regulasi produk obat terapetik biologi. Tujuan pertemuan ini adalah membahas status saat ini tentang produk similar obat biologi dan meninjau alur regulasi serta tantangan dalam mengevaluasi kualitas, keamanan, efikasi produk ini. Pertemuan dihadiri oleh para ahli bioterapetik dari perwakilan regulasi, industri, dan akademisi dari 16 negara. Dr. Elwyn Griffiths (Kanada) sebagai pimpinan rapat dan Dr. James Robertson (UK) sebagai pelopor. Dalam pertemuan, fokus dibahas tentang penggunaan biosimilar dan situasi regulasi saat itu di banyak negara. Aplikasi International Nonproprietary Names (INN) pada biosimilar, potensi imunogenisitasnya, standar internasional WHO, serta bahan pembanding (referensi) juga dibahas bersamaan presentasi dari industri inovator dan penghasil generik. Peserta rapat menyadari pentingnya terminologi dan definisi biosimilar untuk pertimbangan masa depan produk ini. Akan tetapi, pencapaian kesepakatan global dalam terminologi tidak diupayakan dalam rapat, dan diputuskan bahwa WHO harus menindaklanjuti hal tersebut. Kata biosimilar digunakan sementara hanya untuk rapat tersebut. Biosimilar dijelaskan sebagai bioterapetik yang disahkan berdasarkan pada pengurangan data yang dipersyaratkan. Adanya pendekatan divergen terhadap pandangan regulasi biosimilar di negara yang berbeda menunjukkan bahwa diperlukan pembuatan ekspektasi regulasi biosimilar di tingkat global. Saat banyak negara mengikuti pedoman yang dikembangkan EU untuk aspek kualitas, ketidaksesuaian masih dialami produk ini terkait studi non-klinik dan klinik. Oleh karena itu, pertemuan merekomendasikan agar WHO menyediakan pedoman kerangka kerja untuk pengembangan regulasi biosimilar di dunia. Untuk tujuan tersebut, kesepakatan dalam lingkup, definisi, terminologi, interchangeability dan substitusi produk dianggap perlu diharmonisasi. WHO selayaknya membuat pedoman konsensus global regulasi biosimilar, membantu registrasinya, dan meningkatkan penyediaan produk biosimilar yang aman dan efektif. Akhirnya, pada Oktober 2009, WHO mempublikasikan pedoman dalam hal evaluasi produk bioterapetik similar atau

72 5 SBP, didasarkan pada pengalaman EU, dan digunakan secara global. Acuan WHO inilah yang sejauh ini digunakan di Indonesia dalam regulasi produk biologi sejenis Definisi dan Perbedaan Produk Biologi dan Produk Biologi Sejenis Berdasarkan Peraturan Kepala Badan POM RI No.HK tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat, yang dimaksud produk biologi adalah vaksin, imunosera, antigen, hormon, enzim, produk darah, dan produk hasil fermentasi lainnya (termasuk antibodi monoklonal dan produk hasil teknologi rekombinan DNA) yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan. Berdasarkan pedoman WHO dan Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat, produk biologi sejenis (PBS) dapat didefinisikan sebagai produk bioterapetik yang memiliki kesamaan dalam hal kualitas, keamanan, dan efikasi dengan produk bioterapetik referensi yang telah disetujui. Persamaan produk biologi dan produk biologi sejenis adalah : 1. Sama-sama berasal dari makhluk hidup atau proses teknologi DNA rekombinan. 2. Umumnya memiliki bentuk sediaan berupa injeksi. Gambar 2.1 Ilustrasi perbandingan berkas yang dibutuhkan untuk registrasi produk biologi inovator dan biosimilar

73 6 Tabel 2.1 Perbedaan produk biologi dan produk biologi sejenis Pembeda Produk Biologi Produk Biologi Sejenis Berkas registrasi Berkas pendaftaran Berkas pendaftaran reduced data lengkap seperti package yang mencakup data pendaftaran obat baru, mencakup data nonklinik dan klinik nonklinik dan klinik yang bergantung pada bukti similaritas dengan produk referensi yang sesuai melalui uji komparabilitas Jalur evaluasi Bisa dengan jalur 100 HK, 150 HK, atau 300 Bisa dengan jalur 150 HK atau 300 HK HK. Tabel 2.2 Perbandingan program studi untuk registrasi beragam tipe produk obat Parameter Produk kimia medisinal Bahan kimia baru Generik (NCE) Produk biologi medisinal Protein rekombinan Biosimilar baru Farmakologi Farmakodinamik Farmakologi keamanan Interaksi farmakodinamik obat Farmakokinetik *** Toksikologi Toksisitas akut Toksisitas dosis berulang + - +* +* Genotoksisitas + - (+) - Karsinogenisitas (+) - (+) - Toleransi lokal (+) - +** +** Antigenisitas / imunogenisitas *** Toksisitas reproduktif dan

74 7 perkembangan * termasuk toksikokinetik dan pengukuran antibodi ** jika memungkinkan, bagian dari toksisitas dosis berulang *** toksisitas dosis berulang ( ) hanya diterapkan pada kasus spesifik 2.3. Regulasi Biosimilar di Dunia Konsep Biosimilar Biosimilar tidak tepat disebut sebagai biogenerik, generik biologik, ataupun multisource product /me-too karena secara struktur, produk biosimilar tidaklah sama sehingga membutuhkan pendekatan khusus pada registrasi dan pengaturan post-marketing surveillance. Di samping itu, produk biologi tidak dapat diassess atau diregulasi seperti obat generik. Kebanyakan negara telah memiliki standar ilmiah yang baik dan mekanisme legalisasi obat sintetik. Obat sintetik ini biasanya diotorisasi dengan dasar penunjukan kesamaan struktur dan bioekivalensi terhadap produk inovator. Data nonklinik dan klinik umumnya tidak diperlukan. Meskipun paradigma obat generik telah dikenal di dunia selama beberapa dekade, paradigma ini tidak dapat diterapkan untuk turunan obat biologi. Model obat kimia generik tidak dapat bekerja untuk sejumlah alasan. Sebagai contoh, obat biologis terdiri dari molekul yang besar dan protein kompleks. Obat ini akan sulit untuk dikarakterisasi secara sempurna. Alasan berikutnya adalah umumnya tidak mungkin untuk menunjukkan suatu produk biologi adalah sama hanya dengan satu pengujian. Produk biologi sangat sensitif terhadap perubahan dan variasi dalam proses produksi, bahan awal, dan metode kontrol. Meskipun pendaftar mencari prosedur dari perusahaan lain, ketidaksesuaian penerapan proses dan metode dapat menghasilkan produk yang berbeda dalm hal struktur atau fungsi klinik secara signifikan. Lebih lanjut, mungkin tidak aman untuk mengadakan uji pre-market produk biologi pada manusia. Produk biologi memiliki potensi yang lebih besar dibanding obat sintetik dalam menimbulkan respon imunologis.

75 Regulasi Biosimilar di Uni Eropa (EU) Kerangka kerja regulasi pertama dikembangkan oleh EU untuk otorisasi biosimilar. Tahun 2001, banyak legislasi dasar EU yang terkait regulasi obat dikodekan sebagai Directive 2001/83/EC. Pada tahun 2003, European Comission menyimpulkan bahwa prosedur yang ada untuk otorisasi obat didasarkan pada pendaftaran dipersingkat (dikenal sebagai abridged applications and bibliographic applications), yang tidak dapat diterapkan untuk produk biologi. Hal ini karena kesulitan dalam menentukan apakah zat aktif biologis memiliki kesamaan dengan produk referensi (dalam hal abridged applications) atau produk yang dideskripsikan dalam literatur yang terpublikasi (dalam hal bibliographic applications). EC kemudian mengubah Annex I of Directive 2001/83/EC untuk menghasilkan prosedur otorisasi pemasaran baru produk biosimilar. Prosedur yang diterapkan untuk obat produk turunan bioteknologi dan produk biologi tertentu seperti Low Molecular Weight Heparin (LMWH), membutuhkan data keamanan dan efikasi sebagai tambahan studi bioekuivalensi yang umumnya mendukung pendaftaran generik. Amandemen Annex I berpengaruh pada Oktober 2003 dan setelah itu diperkuat dengan amandemen isi Directive 2001/83/EC. The European Medicines Agency (EMA) telah mengembangkan skema regulasi untuk otorisasi biosimilar melalui proses yang relatif transparan. EMA mengeluarkan konsep penuntun dan mengadakan workshop ilmiah publik. Telah diterbitkan pedoman yang mendeskripsikan prinsip umum dan menyediakan kerangka kerja untuk otorisasi biosimilar. Komite yang dimiliki EMA, Committee for Medicinal Products for Human Use atau CHMP, telah menerbitkan beberapa pedoman spesifik untuk kelas produk tertentu dalam persyaratan yang lebih rinci. Menurut pedoman EMA (Juli, 2010), mengenai Guideline on Similar Biological Medicinal Products, untuk dapat memberikan klim bahwa produk biologi adalah biosimilar, diperlukan bukti dengan produk referensi sebagai basis untuk persetujuan, diperlukan berkas lengkap serta perbandingan head-to-head terhadap produk referensi, akan tetapi dalam hal kaitan dengan isu non klinik/klinik, kelengkapan berkas dapat dikurangi (reduced dossier) dengan perbandingan head-to-head terhadap produk referensi. Pedoman yang spesifik

76 9 untuk kelas produk terkait isu nonklinik/klinik adalah insulin, GH, G-CSF, epoetin, IFN-alpha, dan LMWH, sedangkan untuk kelas produk yaitu IFN-beta, FSH, dan mabs, pedomannya sedang dalam tahap pengembangan Regulasi Biosimilar di USA Pada tanggal 23 Maret 2010, presiden US menandatangani rancangan regulasi biosimilar. The Biologics Price Competition and Innovation Act of 2009 mengizinkan lisensi produk biologis yang ditunjukkan biosimilar terhadap produk referensi. Suatu produk biologi dipertimbangkan biosimilar jika memiliki kemiripan yang sangat besar dengan produk referensi dan meskipun ada perbedaan minor dalam komponen inaktif klinik dan jika tidak ada perbedaan bermakna klinik antara produk dalam keamanan, kemurnian, dan potensi Perbandingan pendekatan EU dan US Tabel 2.3 Perbandingan pendekatan EU dan US Topik EU US Definisi Tidak satupun dari EMA dan/atau FDA menyediakan definisi yang yang jelas tentang biosimilar, selain sebagai produk yang disampaikan ke otoritas regulasi untuk otorisasi pemasaran dan dapat dibandingkan kualitas, efikasi, dan keamanannya dengan produk referensi. Kunci pedoman EMA telah membuat pedoman umum dan spesifik, mencakup: Belum ada pedoman yang atau hukum 1. Guideline on Similar Biological Medicinal Products EMEA/CHMP/437/04 2. Guideline on Similar Biological Medicinal Products Containing Biotechnology-Derived Proteins as Active Substance : Nonclinical and Clinical Issues EMEA/CHMP/BMWP/ 42832/ Guideline on Similar Biological Medicinal Products Containing Biotechnology-Derived diterbitkan oleh FDA, namun BPCI Act disetujui masuk ke dalam hukum pada tahun 2010 (The Biologics Price Competition and Innovation Act of 2009 (sections 7001 to 7003 of the Patient Protection and Affordable Care Act, Pub. L )).

77 10 Lingkup pedoman atau hukum Standar persetujuan Produk referensi Proteins as Active Substance : Quality Issues EMEA/CHMP/BWP/49348/ Guideline on Immunogenicity Assessment of Biotechnology- Derived Therapeutic Proteins EMEA/CHMP/BMWP/14327 /06 Suatu produk biologis dapat diregulasi biosimilar tergantung dari kemampuan karakterisasi produk yang cukup dan penunjukkan kesamaan sifat produk terhadap produk referensinya. Produk vaksin dan alergen dipertimbangkan pada dasar case-by-case. Produk darah atau turunan plasma dan alternatif rekombinan mereka tidak termasuk. Produk obat gen dan terapi sel akan dipertimbangkan di masa depan. Kualitas, keamanan, efikasi, imunogenisitas (tolerabilitas), risiko pengawasan pre- dan postmarketing, tidak ada anggapan interchangeability. Harus diotorisasi di EU didasarkan pada berkas lengkap Data mutu Untuk protein rekombinan, comparability exercise yang ekstensif diperlukan. Aspek kualitas dari keterbandingan harus dipertimbangkan dalam hubungan implikasi keamanan dan efikasi. Kemurnian dan profil pengotor dari zat aktif dan produk jadi harus diuji secara Setiap virus, serum terapetik, toksin, antitoksin, vaksin, darah, komponen darah atau turunannya, produk alergenik, protein (kecuali polipeptida sintetik kimia), atau analog produk, atau arsphenamine dan/atau derivatnya (atau senyawa organik arsenik trivalen lainnya). Otorisasi regulasi (sekretaris departemen kesehatan dan pelayanan masyarakat US) menunjukkan guideline spesifik kelas produk yang tidak menyetujui pendaftaran biosimilar karena menghormati produk atau kelas produk tertentu (kecuali protein rekombinan). Kualitas, keamanan, efikasi, imunogenisitas (tolerabilitas), risiko pengawasan premarketing, interchangeability diakui. Harus dilisensi dengan pendaftaran lisensi biologik yang lengkap (di bawah aturan 351(a) dari Public Health Service Act) Kecuali sekretaris menetapkan bahwa hal tersebut tidak penting, pendaftaran harus berisi data dari studi analisis yang menunjukkan bahwa biosimilar memiliki kesamaan yang besar dengan produk referensinya (walaupun ada perbedaan minor pada

78 11 Data nonklinik kualitatif dan kuantitatif, baik untuk produk referensi maupun biosimilar. Studi nonklinik untuk biosimilar protein rekombinan harus dibandingkan, didesain untuk mendeteksi perbedaan respons antara biosimilar dan produk referensi. Studi in vitro, studi in vivo dan sedikitnya satu studi toksisitas dosis berulang pada spesies hewan yang relevan harus dilakukan. Studi klinik Untuk protein rekombinan, perbandingan efikasi uji klinik biasanya diperlukan untuk Ekstrapolasi indikasi Penamaan menunjukkan keterbandingan klinik. Persyaratan klinik bergantung pada pengetahuan yang sudah ada tentang produk referensi dan klaim indikasi terapetik. Untuk protein rekombinan, imunogenisitas biosimilar harus selalu diinvestigasi. Risiko imunogenisitas pada indikasi berbeda harus dipertimbangkan terpisah. Untuk protein rekombinan, pada beberapa kasus, mungkin dilakukan ekstrapolasi kesamaan terapetik untuk indikasi lain. Justifikasi ekstrapolasi bergantung pada pengalaman klinik, literatur yang ada, mekanisme aksi atau reseptor yang sama yang terlibat pada kedua indikasi, dan mungkin isu keamanan pada subpopulasi yang berbeda. Untuk mendukung pengawasan farmakovigilans, produk obat yang diberikan ke pasien harus jelas teridentifikasi. Nama, penampilan, dan kemasan produk biosimilar harus berbeda dengan produk referensi. komponen inaktif klinik). Kecuali sekretaris menetapkan bahwa hal tersebut tidak penting, form pendaftaran harus berisi data studi hewan (termasuk pengujian toksisitas). Kecuali sekretaris menetapkan bahwa hal tersebut tidak perlu, form pendaftaran harus mencakup data studi klinik atau studi (termasuk uji imunogenisitas dan farmakokinetik atau farmakodinamik) yang cukup untuk menunjukkan keamanan, kemurnian, potensi pada satu atau lebih kondisi penggunaan produk referensi. Tidak dinyatakan Tidak dinyatakan Penandaan Tidak dinyatakan Tidak dinyatakan

79 12 Farmakovigilans dan manajemen risiko Interchangeability dan substitusi Perlindungan data untuk produk referensi Berdasarkan hukum, rencana manajemen risiko atau rencana farmakovigilans biosimilar harus disampaikan seperti layaknya produk obat lain. Rencana harus menyatakan tingkat risiko yang teridentifikasi selama pengembangan produk dan risiko potensial dan bagaimana risiko tersebut ditangani untuk otorisasi. Untuk protein rekombinan, keamanan klinik harus diawasi secara ketat pasca otorisasi. Form pendaftaran harus meliputi spesifikasi risiko dan rencana farmakovigilans. Substitusi ditentukan pada tingkat anggota negara, dan topik ini tidak langsung dinyatakan dalam pedoman EMA. Pedoman EMA menyatakan bahwa biosimilar bukan produk generik dan keputusan untuk mengobati pasien dengan produk referensi atau biosimilar ditentukan opini profesional kesehatan berkualifikasi. Untuk produk referensi yang didaftarkan untuk disetujui pada Oktober atau November 2005 atau selanjutnya, biosimilar tidak Otoritas sekretaris untuk meminta evaluasi risiko dan strategi mitigasi (REMS) untuk mendaftarkan biosimilar (dokumen REMS diperlukan untuk mengurangi risiko terkait obat). Sebagai tambahan, otoritas sekretaris dalam mengamanatkan studi postmarket dan uji klinik sebaik perubahan penandaan yang diterapkan pada biosimilar. Substitusi ditentukan pada tingkat negara sesuai hukum farmasi negara. FDA harus menemukan suatu biosimilar yang interchangeable dengan produk referensinya jika informasi yang diterima dari pendaftar menunjukkan : a. Produk pendaftar biosimilar terhadap produk referensi b. Produk pendaftar dapat diharapkan menghasilkan efek klinik yang sama dengan produk referensi pada pasien. Untuk produk yang diberikan lebih dari satu kali kepada individu, pendaftar juga harus menunjukkan risiko keamanan atau pengurangan efikasi pada penggantian atau perubahan penggunaan produk biosimilar dan referensinya tidak lebih besar dari risiko penggunaan produk referensi tanpa perubahan atau penggantian. Suatu biosimilar tidak akan disetujui sampai 12 tahun setelah tanggal pada produk referensi yang pertama

80 13 akan diberi tanda sampai 10 tahun setelah otorisasi produk referensinya yang merupakan zat aktif baru. Periode ini dapat diperpanjang untuk tambahan tahun, jika dalam 8 tahun setelah otorisasi produk, produk referensi harus diotorisasi untuk indikasi terapetik baru (8 tahun eksklusivitas data + 2 tahun ekslusivitas pemasaran (+1 tahun ekstra eksklusivitas pemasaran untuk indikasi baru dalam 8 tahun pertama). dilisensi di bawah bagian 351(a) dari PHS Act (4 tahun eksklusivitas data + 8 tahun eksklusivitas pemasaran = total eksklusivitas 12 tahun). Tanggal lisensi pertama tidak termasuk tanggal penyetujuan suplemen produk referensi atau tanggal penyetujuan pendaftaran berikutnya. a. Perubahan produk referensi selain perubahan struktur yang menghasilkan indikasi baru, rute administrasi, jadwal pendosisan, bentuk sediaan, sistem penghantaran, alat penghantar, atau kekuatan. b. Modifikasi struktur pada produk referensi yang tidak menghasilkan perubahan pada keamanan, kemurnian, atau potensi Pedoman WHO Dasar ilmiah evaluasi dan regulasi biosimilar telah didiskusikan dan disetujui untuk dikembangkan menjadi pedoman WHO. Pedoman ini pertama kali mencapai konsultasi informal WHO mengenai Regulatory Evaluation of Therapeutic Biological Medicinal Products yang diselenggarakan di Geneva, April WHO mempublikasikan pedoman evaluasi biosimilar dengan rekomendasi rincian pengembangan klinik pada Oktober Pedoman WHO tersebut, WHO, Guidelines on Evaluation of Similar Biotherapeutic Products (SBPs), bertujuan menyediakan prinsip yang dapat diterima secara global untuk pelisensian produk bioterapetik yang diklim similar terhadap produk bioterapetik yang telah terjamin kualitas, keamanan, dan efikasinya serta telah terlisensi dengan dasar berkas lisensi yang lengkap. Untuk dasar bukti similaritas, pengembangan SBP bergantung pada data nonklinik dan klinik yang dimiliki oleh produk bioterapetik referensi yang berlisensi (RBP). Pedoman ini diterapkan pada produk bioterapetik yang well-established dan well-characterized seperti protein

81 14 terapetik turunan DNA rekombinan. Vaksin, produk turunan plasma, dan analog rekombinannya tidak termasuk dalam lingkup dokumen ini. Pedoman ini menyatakan bahwa peresepan produk biologi tidak hanya didasarkan pada nama INN saja, namun dilengkapi juga dengan nama unik, misalnya nama dagang untuk mengidentifikasi produk dan mendukung farmakovigilans karena menjamin ketertelusuran efek samping. Pedoman ini dapat diadopsi seluruhnya atau sebagian oleh National Regulatory Authorities (NRA) di dunia atau digunakan sebagai dasar pengadaan kerangka regulasi untuk pelisensian produk biosimilar Perbandingan WHO dan EMA Tabel 2.4 Perbandingan pedoman WHO dan EMA Waktu dikeluarkan Tujuan Evaluasi / data nonklinik WHO EMA Oktober 2009 Oktober Menyediakan prinsip global untuk pelisensian produk bioterapetik yang diklim similar terhadap produk bioterapetik yang dijamin kualitas, efikasi, dan keamanannya melalui dokumen registrasi lengkap 2. Pembuktian similaritas dari data nonklinik dan klinik dengan produk bioterapetik referensi yang telah disetujui 3. Sebagai pedoman yang dapat diadopsi sebagian atau seluruhnya oleh National Regulatory Authority 1. Pertimbangan umum - Studi farmakotoksiko-logi dari SBP - Penunjukkan kesamaan molekuler yang tinggi antara SBP dan RBP secara signifikan dapat mengurangi kebutuhan studi nonklinik karena RBP telah memiliki 1. Memperkenalkan konsep produk biologi similar 2. Menunjukkan garis besar prinsip dasar yang akan diterapkan 3. Menyediakan pedoman bagi pendaftar dalam informasi ilmiah yang relevan untuk mendukung klim biosimilar 1. Pertimbangan umum Sebelum memulai pengembangan klinik, studi nonklinik harus dilakukan. Studi nonklinik harus dapat dibandingkan dan dirancang agar dapat mendeteksi perbedaan respon produk referensi

82 15 sejarah klinik yang signifikan. Studi nonklinik dilakukan dengan formulasi akhir SBP untuk penggunaan klinik, jika tidak dinyatakan lain Pertimbangan monitoring beberapa titik akhir seperti: - Aktivitas biologi / farmakodinamik yang sesuai dengan aplikasi klinik - Toksisitas nonklinik seperti yang ditentukan dalam sedikitnya satu studi toksisitas dosis berulang pada spesies yang relevan dan mencakup pengukuran toksikokinetik. Pengukuran toksikokinetik mencakup penentuan dan karakterisasi respon antibodi, termasuk titer antiproduk, reaksi silang dengan protein endogen homolog, dan kapasitas penetralan produk. Durasi studi harus cukup panjang agar dapat mendeteksi perbedaan potensial dalam toksisitas dan respon antibodi antara SBP dan RBP. - Tergantung dari rute administrasi, toleransi lokal perlu dievaluasi. Jika memungkinkan, evaluasi ini dilakukan sebagai bagian dari studi toksisitas dosis berulang. - Studi toksikologi rutin lain seperti studi dan biosimilar 2. Pertimbangan monitoring beberapa titik akhir seperti: - Efek farmakodinamik / aktivitas yang sesuai dengan aplikasi klinik - Toksisitas nonklinik ditentukan sedikitnya satu kali studi toksisitas dosis berulang, termasuk pengukuran toksikokinetik. Pengukuran toksikokinetik mencakup penentuan dan karakterisasi respon antibodi, termasuk titer antiproduk, reaksi silang dengan protein endogen homolog, dan kapasitas penetralan produk. Durasi studi harus cukup panjang agar dapat mendeteksi perbedaan potensial dalam toksisitas dan respon antibodi antara SBP dan RBP. - Jika ada isu keamanan khusus, dapat dilakukan observasi relevan (misalnya toleransi lokal) pada studi toksisitas dosis berulang. - Studi toksikologi rutin lain seperti studi keamanan

83 16 keamanan farmakologi, toksikologi reproduktif, genotoksisitas, dan karsinogenisitas bukan persyaratan umum pada uji nonklinik SBP, kecuali ada pemicu hasil toksisitas dosis berulang atau studi toleransi lokal dan/atau sifat toksikologi lain yang diketahui pada RBP Pertimbangan khusus Jumlah data nonklinik tambahan diperlukan untuk membuat keamanan dan efikasi SBP dipertimbangkan, sangat bergantung pada produk dan faktor yang berhubungan dengan kelas substansi Evaluasi / data Evaluasi klinik klinik - Studi farmakokinetik (PK) Profil PK adalah bagian penting deskripsi dasar dari produk obat dan harus selalu diinvestigasi - - Studi farmakodinamik (PD) Meskipun uji klinik komparatif biasanya diperlukan untuk penunjukkan efikasi similar dan keamanan SBP and RBP, dapat dianjurkan kepada produsen untuk menjamin profil PD similar sebelum proses lanjutan ke uji klinik, jika perbedaan suatu profil PK yang tidak dikenal relevansi kliniknya telah terdeteksi. - - Studi konfirmasi PK/PD Biasanya, uji klinik diperlukan untuk menunjukkan efikasi farmakologi, toksikologi reproduktif, mutagenisitas, dan karsinogenisitas tidak diperlukan untuk SBMP, kecuali ada indikasi hasil studi dosis berulang. Studi klinik Studi PK komparatif didesain untuk menunjukkan komparabilitas antara SBMP dan RMP dengan parameter kunci PK adalah bagian penting dari uji komparabilitas. Penanda PD harus dipilih dengan dasar kesesuaian mereka dalam menunjukkan efikasi terapetik dari produk. Efek farmakodinamik uji dan RMB harus dibandingkan dalam populasi yang memungkinkan perbedaan dapat diamati. Umumnya, uji klinik diperlukan untuk penunjukkan komparabilitas

84 17 Efikasi similar antara SBP dan RBP. Pada beberapa kasus, studi komparatif PK/PD dapat tepat menyediakan : 1) Sifat PK dan PD RBP terkarakterisasi baik 2) Sedikitnya satu penanda PD berhubungan dengan efikasi dan 3) Hubungan antara dosis/paparan, penanda PD yang relevan dan respon/efikasi RBP ada. - Studi efikasi Studi penemuan dosis tidak diperlukan untuk SBP Efikasi SBP dan RBP yang terpilih akan ditunjukkan dalam uji klinik yang cukup kuat, acak, dan terkontrol. Lebih dipilih uji double-blind atau minimal observer-blind. Desain ekivalensi (membutuhkan batas komparabilitas atas dan bwah) jelas dipilih untuk membandingkan efikasi dan keamanan SBP dan RBP. Desain non-inferiority (membutuhkan satu batas) dapat dipertimbangkan jika justifikasi tepat. klinik. Pada beberapa kasus, studi komparatif PK/PD antara SBMP dan RMP cukup menunjukkan komparabilitas klinik, memenuhi semua kondisi berikut: - PK RMP terkarakterisasi dengan baik - Ada pengetahuan yang cukup mengenai sifat PD RMP, termasuk reseptor target dan aktivitas intrinsik - Hubungan antara dosis/paparan dan respon/aktivitas RMP cukup terkarakterisasi - Sedikitnya satu penanda PD diterima sebagai penanda efikasi, dan hubungan dosis/paparan produk dengan munculnya penanda dikenal baik. Uji efikasi Biasanya uji klinik diperlukan untuk menunjukkan komparabilitas antara SMBP dan RMP. Batas komparabilitas klinik harus dinyatakan dan dijustifikasi, utamanya pada dasar klinik. Seperti semua uji klinik komparabilitas, uji harus sensitif.

85 18 Keamanan - Keamanan Data keamanan pre-licensing didapat dalam sejumlah pasien untuk mengkarakterisasi profil keamanan SBP. Perbandingan denan RBP mencakup tipe, frekuensi, dan keakutan reaksi samping. Imunogenisitas Imunogenisitas sebaiknya selalu diinvestigasi pada manusia karena data hewan tidak memprediksikan respon imun pada manusia. Frekuensi dan tipe antibodi yang diinduksi harus dibandingkan sebaik konsekuensi klinik untuk SBP dan RBP. Perbandingan dengan kelompok kontrol tidak dianggap tepat karena biasanya terhambat perbedaan pada populasi pasien yang diamati, periode pengamatan, titik waktu sampling, dan interpretasi hasil. Keamanan klinik dan persyaratan farmakovigilans SBMP dapat menunjukkan perbedaan pada profil keamanan (bentuk, keseriusan, dan kejadian reaksi samping). Data keamanan pre-licensing didapat dari sejumlah pasien untuk menunjukkan profil efek samping uji dan RMP. Pemantauan diberikan untuk membandingkan tipe, keakutan, dan frekuensi reaksi samping RMP dan SBMP. Faktor yang mempengaruhi imunogenisitas Terdapat variabilitas interindividual pada respon antibodi, misalnya kelas antibodi yang berbeda, afinitas, dan spesifisitas. Jadi, data perlu dikumpulkan dari sejumlah pasien untuk mengkarakterisasi variabilitas respon antibodi. Konsekuensi respon imun Pengujian imunogenisitas membutuhkan strategi uji antibodi yang optimal, karakterisasi respon imun yang teramati, evaluasi korelasi antara antibodi dan farmakokinetik atau farmakodinamik, relevan untuk keamanan klinik dan efikasi dalam semua aspek. Penting mempertimbangkan risiko imunogensitas dan perbedaan indikasi terapetik secara terpisah. Jika respon imun berbeda terhadap produk diamati

86 19 Ekstrapolasi indikasi Farmakovigilans - Ekstrapolasi indikasi dan keamanan data pada indikasi klinik lain Jika efikasi dan keamanan similar SBP dan RBP telah ditunjukkan untuk indikasi klinik, ekstrapolasi data ini ke indikasi lain RBP dapat memungkinkan bila kondisi berikut terpenuhi : - Model uji klinik yang sensitif dan mampu mendeteksi perbedaan potensial antara SBP dan RBP. - Mekanisme aksi klinik yang relevan dan/atau melibatkan reseptor yang sama - Keamanan dan imunogenisitas SBP telah cukup terkarakterisasi dan tidak ada isu keamanan tambahan pada ekstrapolasi indikasi. - Jika uji efikasi menggunakan desain studi non-inferiority dan dapat menunjukkan keamanan dan efikasi yang dapat diterima, pendaftar sebaiknya menyediakan argumen pendukung untuk ekstrapolasi indikasi. Farmakovigilans Monitoring keamanan klinik dalam semua indikasi yang disetujui dan diperlukan atas dasar analisis risiko pada post- sebagai perbandingan dengan produk inovator, analisis lanjut untuk mengkarakterisasi antibodi dan implikasinya pada keamanan klinik, efikasi, dan parameter PK diperlukan. Keamanan klinik dan persyaratan farmakovigilans Sistem farmakovigilans dan

87 20 Penyebutan / singkatan yang digunakan marketing. Produsen harus mengumpulkan spesifikasi keamanan dan rencana farmakovigilans pada waktu pengumpulan aplikasi registrasi. SBP = similar biological product RBP = reference biological product prosedur untuk monitoring harus dilakukan setelah persetujuan peredaran ada. Setiap monitoring keamanan spesifik dilakukan dengan pertimbangan rencana manajemen risiko. SMBP = similar biological medicinal product RMP = reference medicinal product Perkembangan global Sejumlah negara menerbitkan penuntun regulasi biosimilar dan isi pendaftaran biosimilar. Perbedaan regulasi dan aturan yang diikuti oleh setiap negara menyebabkan perbedaan dalam hal penyebutan produk biosimilar. Berikut ini adalah beberapa sebutan di dunia yang bermakna sama dengan produk biosimilar: - Eropa, Australia, Malaysia, Singapura, Korea : Biosimilar - Kanada : Subsequent entry biologic (SEB) - WHO : Similar biotherapeutic products (SBPs) - Kuba : Known biological product (KBP) - Jepang, US FDA : Follow-on biologic (FOB) - Brazil : Biological products Dalam pengembangan regulasi, beberapa hal pokok seperti tantangan ilmiah dan regulasi dijadikan pertanyaan kunci bagi regulator. Berikut ini adalah beberapa pertanyaan kunci bagi regulator: 1. Produk referensi Produk biosimilar dibandingkan terhadap produk inovatif apa untuk mendukung otorisasinya? 2. Data mutu Data apa yang harus termasuk dalam pendaftaran dan harus menunjukkan kualitas biosimilar telah cukup dapat dibandingkan dengan produk referensi? 3. Data nonklinik

88 21 Jenis dan jumlah data non-klinik (termasuk data perbandingan biosimilar dengan produk referensinya) yang seperti apa yang dapat mendukung otorisasi produk? 4. Uji klinik Dalam kondisi bagaimana data klinik (termasuk data perbandingan produk biosimilar dan produk referensi) diperlukan untuk mendukung otorisasi biosimilar? Jenis data yang seperti apa (apakah data farmakokinetik, farmakodinamik, efikasi, keamanan, atau imunogenisitas) yang diperlukan? 5. Ekstrapolasi indikasi Dalam kondisi yang bagaimana (jika ada), suatu produk biosimilar dapat menerima otorisasi untuk suatu indikasi produk referensi didasarkan data yang mengevaluasi dan menunjukkan perbandingan keamanan dan efikasi, serta biosimilar untuk indikasi yang berbeda dengan produk referensi? 6. Penamaan Penamaan yang menunjukkan kepemilikan/bukan kepemilikan yang bagaimana yang diizinkan atau diperlukan untuk produk biosimilar sehingga dokter dapat memilih medikasi dan meresepkan produk spesifik, dan agar produsen dan regulator dapat membedakan produk biologis untuk tujuan farmakovigilans? 7. Penandaan Bagaimana produk biosimilar diberi penandaan? Sebagai contoh, informasi apa dari label produk referensi yang harus ditampilkan pada penandaan biosimilar? Haruskah produk biosimilar menunjukkan produk tersebut telah terbukti biosimilar? 8. Manajemen farmakovigilans dan risiko Pengawasan post-marketing dan persyaratan keamanan apa yang harus ada pada pendaftaran biosimilar (misalnya persyaratan khusus terkait pelaporan keamanan, studi post-marketing, atau informasi yang harus ada pada label untuk dokter atau pasien? 9. Interchangeability dan substitusi Data apa yang harus tersedia dan menunjukkan interchangeable dengan produk referensi untuk otorisasi regulasi biosimilar (untuk menentukan

89 22 bahwa dua produk teklah diterima memiliki efek terapetik dan risiko keamanan yang sama sehingga produk yang satu dapat menggantikan produk yang lain)? Sebagai permasalahan legal atau kebijakan, dalam kondisi yang bagaimana suatu penggantian dapat dilakukan (kapan dapat, atau harus, seorang apoteker dapat memberikan produk biosimilar pada peresepan obat biologis oleh dokter tanpa pemberitahuan ke pasien/dokter)? 10. Perlindungan data Untuk membantu inovator menutup investasinya dan meningkatkan inovasi medis berkelanjutan, perlukah inovator diberikan periode waktu selama pendaftar biosimilar tidak dapat mengandalkan data kepemilikan inovator untuk mendukung otorisasi biosimilar? Regulator di setiap negara berupaya membuat dokumen penuntun regulasi dengan tujuan sebagai berikut. 1. Untuk mengenalkan konsep biosimilar 2. Untuk menunjukan garis besar prinsip yang diterapkan 3. Untuk menyediakan panduan bagi para pendaftar mengenai informasi ilmiah yang relevan, dengan tujuan dapat memberikan fakta penunjang klim similaritas. Tabel berikut menggambarkan pedoman biosimilar yang diadopsi oleh WHO, Kanada, dan Jepang. Jepang menerbitkan pedoman akhir pada Maret 2009, diikuti dengan WHO pada Oktober 2009 dan Kanada pada Maret Tabel 2.5 biosimilar Perbandingan pedoman WHO, Kanada, dan Jepang mengenai Bahasan WHO Kanada Jepang Pedoman WHO, Guidelines Health Products Ministry of Health biosimilar utama on Evaluation of and Food Labor and Welfare, Similar Branch, Health Pharmaceutical Biotherapeutic Products (SBPs) Canada, Guidance for and Food Safety Bureau, Guideline Sponsors: for Ensuring Information and Quality, Safety, and Submission Efficacy for

90 23 Lingkup pedoman Produk referensi Produk bioterapetik yang telah ada dan terkarakterisasi baik (misalnya protein terapetik turunan DNA). Tidak termasuk vaksin, produk turunan plasma, dan analog rekombinannya. Harus diotorisasi di negara atau daerah bersangkutan (atau, jika negara tidak memiliki produk referensi yang telah diakui, produk referensi harus telah diotorisasi dan dipasarkan secara Requirements for Subsequent Entry Biologics (SEBs). Obat biologi yang mengandung protein terkarakterisasi baik yang diturunkan melalui metode bioteknologi (misalnya DNA rekombinan dan/atau kultur sel) Harus diotorisasi untuk penjualan dan pemasaran di Kanada didasarkan data lengkap dan memiliki data efikasi dan keamanan yang signifikan. Jika produk yang tidak diotorisasi Biosimilar Products, PFSB/ELD Notification No Protein rekombinan (mencakup protein sederhana dan glikoprotein) yang dihasilkan mikroorganisme atau sel kultur, yang memiliki kemurnian tinggi dan dapat dikarakterisasi dengan serangkaian prosedur analisis. Polipeptida dan turunannya. Kategori produk lain yang potensial, berkemurnian tinggi, dan dapat dikarakterisasi kualitasnya (misalnya produk protein nonrekombinan yang dihasilkan oleh kultur sel atau protein dan polipeptida yang diisolasi dari jaringan atau cairan tubuh) Harus diotorisasi di Jepang

91 24 Data mutu luas di yurisdiksi lain dengan regulasi yang telah dikenal baik dan berpengalaman dalam evaluasi dan post-market surveillance produk bioterapetik. Karakterisasi fisikokimia dan di Kanada digunakan dalam studi perbandingan : a. Pendaftar harus menunjukkan produk non- Kanada tersebut sesuai / mewakili produk yang diotorisasi di Kanada b. Produk Kanada dan non-kanada harus dipasarkan oleh perusahaan yang sama dan dalam bentuk sediaan yang sama. c. Produk non- Kanada harus telah beredar luas dalam yurisdiksi yang secara formal mengadopsi International Conference on Harmonisation (ICH) Guideline dan memiliki standar regulasi dan aktivitas postmarket surveillance yang sama dengan di Kanada. Serangkaian data lengkap tentang Suatu biosimilar produk harus

92 25 biologi yang komprehensif pada biosimilar dalam perbandingan head-to-head dengan produk referensi diperlukan, dan semua aspek kualitas dan heterogenitas harus dinilai. Data nonklinik Evaluasi non klinik harus meliputi farmakodinamik, farmakokinetik, dan studi toksisitas komparatif dengan dosis berulang pada spesies yang sesuai. Jumlah tambahan data nonklinik yang diperlukan bergantung pada faktor spesifik produk. Uji in vitro seperti studi pengikatan pada reseptor atau cell-based assay harus dilakukan untuk menegakkan komparabilitas aktivitas farmakodinamik. Studi pada hewan dengan spesies yang sesuai harus dilakukan. Data klinik Studi klinik harus didesain untuk menunjukkan kimiawi, pembuatan, dan kontrol diperlukan bersama data penunjuk biosimilaritas terhadap produk referensi (termasuk studi karakterisasi komparatif) Studi nonklinik yang tepat dan komparatif dan didesain untuk medeteksi perbedaan antara biosimilar dan produk referensi harus dilakukan sebelum dimulai studi klinik. Studi in vitro pengikatan pada reseptor atau cellbased assay dilakukan jika sesuai. Studi in vivo harus meliputi studi farmakodinamik hewan dan sedikitnya satu studi toksisitas dosis berulang dilakukan pada spesies yang relevan. Uji klinik yang komparatif untuk evaluasi dikarakterisasi lengkap, meliputi studi perbandingan struktur dan komposisi, sifat fisikokimia, bioaktivitas, dan sifat imunologik biosimilar terhadap produk referensinya. Sebelum dilakukan studi klinik, pendaftar biosimilar harus melakukan studi nonklinik untuk memverifikasi produk aman digunakan pada manusia. Sebelum dilakukan studi nonklinik, suatu produk biosimilar harus dikarakterisasi kualitasnya secara lengkap. Aksi farmakologis produk biosimilar dan produk referensinya harus dibandingkan melalui studi farmakologis nonklinik, dan toksisitas dosis berulang serta toksikokinetik dapat bermanfaat. Studi umumnya diperlukan, klinik namun

93 26 Ekstrapolasi indikasi Penamaan perbandingan keamanan dan efikasi biosimilar dan produk referensi. Uji klinik diperlukan untuk menunjukkan kesamaan efikasi. Imunogenisitas harus selalu diinvestigasi pada manusia sebelum diotorisasi. Ekstrapolasi mungkin dilakukan jika model tes klinik yang sensitif telah digunakan dan mampu mendeteksi perbedaan potensial antar produk, yang mekanisme aksi dan/atau reseptor sama, keamanan dan imunogenisitas biosimilar telah dikarakterisasi dan tidak ada isu khusus dengan ekstrapolasi indikasi. Biosimilar harus jelas dapat diidentifikasi dengan nama unik. Nama harus dinyatakan dengan INN dan kebijakan WHO tentang INN harus diikuti. keamanan dan efikasi adalah kritikal. Sponsor harus juga mengevaluasi imunogenisitas. Ekstrapolasi dapat dijustifikasi dengan dasar mekanisme aksi, mekanisme patofisiologis penyakit, profil keamanan pada indikasi yang diajukan dan/atau populasi, dan pengalaman klinik dengan produk referensi. Tidak dinyatakan dapat menjadi tidak perlu apabila data non klinik sudah cukup untuk menjamin bioekuivalensi dan ekuivalensi kualitas. Sponsor juga perlu melakukan studi imunogenisitas. Ekstrapolasi diperbolehkan jika mekanisme aksi jelas, pendaftar dapat menunjukkan hasil farmakologis yang serupa dapat dihasilkan sesuai dengan indikasi, dan mekanisme aksi tidak berbeda antara indikasi. Notifikasi PFSB/EKD No mengatur tentang penamaan biosimilar dan menyatakan bahwa nama kepemilikan/bukan kepemilikan dari biosimilar harus dapat dibedakan

94 27 Penandaan Informasi peresepan untuk biosimilar harus sesama mungkin dengan produk referensinya, kecuali untuk informasi spesifik produk, seperti perbedaan eksipien. Jika biosimilar memiliki indikasi yang lebih sedikit dibanding produk referensi, informasi terkait indikasi dapat dihilangkan kecuali jika dianggap penting untuk diinformasikan kepada dokter dan pasien mengenai risiko tertentu. Pada kasus ini, informasi peresepan harus jelas menyatakan Suatu produk biosimilar boleh tidak menggunakan penandaan produk referensi secara keseluruhan. Penandaan produk biosimilar harus mencakup pernyataan bahwa ia adalah biosimilar, data kunci pada keputusan untuk otorisasi pemasaran dibuat, dan tabel menunjukkan hasil perbandingan antara biosimilar dan produk referensinya. dari nama produk referensi dan biosimilar lain. Untuk nama bukan kepemilikan, kata berikut harus ditambahkan pada akhir penamaan : Follow-on 1 [2,3, dst.]. Untuk nama kepemilikan, huruf BS harus ditambahkan pada akhir penamaan, bersamaan dengan bentuk sediaan, dosis, dan nama produsen. Tidak dinyatakan

95 28 Farmakovigilans dan manajemen risiko Interchangeability dan subtitusi biosimilar tidak diindikasikan untuk penggunaan pada indikasi spesifik dan alasannya. Otoritas regulasi nasional dapat memilih untuk memerlukan informasi peresepan yang menyebutkan bahwa produk biosimilar, membahas studi biosimilar, dan/atau meliputi instruksi bagi dokter dalam penggunaan biosimilar. Rencana farmakovigilans diperlukan saat aplikasi diserahkan dan rencana manajemen risiko dapat diperlukan pada beberapa kasus. Tidak dinyatakan Pendaftar harus menyediakan rencana manajemen risiko dan rencana farmakovigilans sebelum otorisasi pemasaran. Otorisasi biosimilar bukan suatu deklarasi ekuivalensi ekuivalensi terhadap produk referensi. Sebagai tambahan, Departemen Kesehatan Kanada menyatakan dalam letter to provincial and territorial drug Rencana postmarketing safety surveillance dan manajemen risiko untuk biosimilar diperlukan dan harus diserahkan dengan aplikasi Substitusi biosimilar untuk, atau kombinasi dengan produk referensinya harus dihindari selama periode postmarketing surveillance.

96 29 Perlindungan data untuk produk referensi Tidak dinyatakan plan directors pada Juli 2010 bahwa agensi tidak mendukung substitusi otomatis produk referensi dengan biosimilarnya. Pendaftaran biosimilar tidak dapat disetujui dalam kurun waktu 6 tahun pertama apabila produk referensi masih dalam paten 8 tahun. Pendaftaran biosimilar tidak dapat disetujui sampai produk inovasi yang aplikasi pemeriksaan kembali dalam 8 tahun atau periode post-marketing surveillancenya telah lengkap Pertimbangan untuk industri Beberapa perkembangan yang diharapkan pada beberapa tahun ke depan terkait regulasi biosimilar akan dijelaskan berikutnya. Pemegang saham menginginkan pertimbangan pengawasan atau tindakan yang diambil akan mempengaruhi perkembangan berikut. 1. Otorisasi regulasi di dunia harus mengatur secara efektif bagaimana adverse events minor yang dialami pasien yang menggunakan produk biologi spesifik ini, untuk memecahkan ketersediaan biosimilar dan kebijakan individu negara terkait penamaan. Hal ini memerlukan reevaluasi yang signifikan tentang persyaratan post-marketing surveillance. EU atau US memutuskan untuk membuat standar pengembangan yang potensial dapat diaplikasikan pada skala global. 2. Otorisasi regulasi harus menentukan kapan mereka akan menyimpulkan bahwa biosimilar dapat disubstitusi dengan produk referensinya. Negara harus mengembangkan hukum dan kebijakan yang memperhatikan jika dan kapan farmasis dapat mensubtitusi biosimilar pada peresepan produk biologi.

97 30 3. Semakin banyaknya biosimilar yang mencapai pasaran, pemegang saham akan mempelajari lebih banyak mengenai bagaimana produk ini dengan cepat diotorisasi di negara spesifik, bagaimana produk ini dengan cepat diterima oleh dokter dan pasien serta mengalami kenaikan market share, dan seberapa banyak penghematan biaya yang dapat dilakukan. 4. Karena FDA menuju pada persoalan ilmiah, kelegalan, dan regulasi yang diangkat oleh BPCIA, perwakilan akan menyediakan kesempatan untuk komen publik melalui proses pembuatan pedoman. Sebagai tambahan, beberapa perusahaan berharap secara proaktif melibatkan FDA dalam topik spesifik dalam rapat atau pengumpulan petisi rakyat. 5. Persoalan terkait penerapan provisi BPCIA mengenai resolusi paten ditujukan ke pengadilan melalui litigasi. 6. Regulator yang mengulas pendaftaran biosimilar sering membebaskan penentuan otorisasi produk untuk pemasaran. Negara mempertimbangkan adopsi prosedur untuk menyediakan kesempatan bagi sponsor produk referensi untuk memberikan pendapat tentang aplikasi biosimilar. 7. Perbedaan antara biosimilar dan produk biologi yang disetujui dengan dasar pendaftaran lengkap tidak selalu jelas. Pembuat kebijakan dan regulasi di beberapa negara perlu ditujukan pada kondisi apa suatu produk biologi akan diuntungkan dari periode proteksi data Perbedaan Ekspektasi Regulasi Global untuk Biosimilar Menurut USP-IPC 8th Annual Scientific Mtg 2/2009 yang disampaikan dalam 14 th International Conference of Drug Regulatory Authorities (ICDRA) tahun 2010, perbedaan ekspektasi regulasi global untuk biosimilar adalah sebagai berikut. Tabel 2.6 Perbandingan ekspektasi regulasi global untuk biosimilar Dokumen / studi Karakterisasi produk : 1. Analisis struktur 2. Impurities (pengotor) 3. Uji biologis 4. Komparabilitas dengan produk Less Semi Regulated regulated regulated 1,2,3 1,2,3 Semua

98 31 referensi Uji produk ruahan dan produk jadi : 1. Spesifikasi 2. Sertifikat analisis 3. Metode analisis 4. Validasi analisis 5. Standar referensii 6. Justifikasi spesifikasi 7. Analisis bets Detail klon : 1. Informasi klon dan cellbanks 2. Karakterisasi cell-bank 3. Uji viral Profil stabilitas : 1. Laporan 2. Data 3. Protokol 4. Analisis tren 5. Studi degradasi dipercepat 1,2 1,2,3,4,5 Semua Tidak ada 1 Semua 1,2 1,2 Semua Regulasi di ASEAN Di ASEAN, negara yang telah memiliki pedoman khusus terkait biosimilar adalah Malaysia dan Singapura. Keduanya mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh EMA dan dengan penyesuaian untuk aplikasi di negara tersebut Regulasi di Malaysia Di Malaysia, pedoman registrasi biosimilar telah disusun sejak Maret 2008 dan dokumen tersebut selesai untuk dapat digunakan pada bulan Agustus Pedoman ini dibuat untuk memastikan keamanan, mutu, dan khasiat dari bioterapetik produk. Informasi yang terdapat dalam pedoman biosimilar Malaysia secara khusus diadopsi dari pedoman EMA dengan beberapa adaptasi sesuai dengan pelaksanaan di Malaysia. Prinsip-prinsip dalam kerangka pedoman yang ada mengenai produk biologi, bioteknologi dan obat farmasi generik telah menjadi dasar dari kerangka pedoman biosimilar. Produk biosimilar yang dapat diterima yaitu yang telah dipastikan memiliki keamanan, mutu, dan khasiat yang sama dengan produk inovator yang telah teregistrasi. Penilaian yang dibutuhkan untuk biosimilar yaitu studi

99 32 perbandingan mutu atau kualitas, uji nonklinik dan klinik. Penilaian mutu atau kulitas diantaranya adalah data studi perbandingan dengan produk inovator, di antaranya proses pembuatan, profil produk inovator, metode analisis, data karakteristik seperti data fisikokimia produk, aktivitas biologi, imunokimia, kemurnian, kontaminan, dan kuantitas. Selain itu diperlukan batas spesifikasi yang tidak tidak boleh lebih luas dibanding produk inovator, dan data perbandingan stabilitas. Pada uji nonklinik dibutuhkan penilaian farmakotoksikologi yang dibandingkan dengan produk inovator. Pada uji klinik dibutuhkan data studi farmakokinetik (PK) dan studi farmakodinamik (PD) yang dibandingkan dengan produk inovator. Dibutuhkan pula data keamanan klinis dan imunogenisitas. Selanjutnya untuk memonitori pengawasan post market biosimilar terutama untuk mengetahui kejadian dalam imunogenisitas perlu dilakukan aktivitas farmakovigilans Regulasi di Singapura Negara Singapura telah memiliki pedoman lengkap terkait regulasi obat, produk biologi, dan biosimilar yang efektif sejak April Pedoman yang dibuat oleh Health Sciences Authority (HSA) tersebut adalah Guidance on Medicinal Product Registration in Singapore, terdiri dari 9 bab dan 17 lampiran. Bab dan lampiran yang secara khusus membahas biosimilar adalah bab E yaitu Biosimilar Product Application Submission dan lampiran 17 Guidance on Registration of Similar Biological Products in Singapore. Regulasi Singapura ini mengacu pada pedoman EMA dan disesuaikan untuk keperluan di Singapura. Produk biosimilar yang diizinkan beredar di Singapura harus telah disetujui oleh minimal salah satu dari institusi berikut, yaitu EMA, Australia TGA, US FDA, dan Health Canada. Produk biosimilar dapat masuk ke tipe registrasi NDA-2 dan NDA-3. NDA-2 adalah tipe registrasi untuk kekuatan pertama produk biosimilar dengan dosis dan rute administrasi yang sama dengan produk referensi, dan NDA-3 adalah untuk kekuatan lain produk biosimilar yang telah teregistrasi atau disetujui dalam NDA-2. Nama produk, bentuk sediaan,

100 33 indikasi, regimen dosis, dan populasi pasien harus sama dengan yang didaftarkan pada NDA-2. Produk biosimilar dimaksudkan sama dalam kualitas, keamanan, dan efikasi dengan produk biologi teregistrasi (produk biologi referensi) sebagai bukti keamanan dan efikasinya. Perkembangan biosimilar melibatkan perbandingan karakteristik kualitas antara produk biosimilar dan produk referensi. Penunjukkan kesamaan (komparabilitas) kualitas menjadi prasyarat reduksi data nonklinik dan klinik untuk registrasi. Produk referensi yang dipertimbangkan dipilih produk biologi yang telah terdaftar di Singapura, dan produk biosimilar tidak diizinkan digunakan sebagai produk referensi. Produk referensi yang digunakan merupakan produk yang sama selama studi komparabilitas dilakukan, harus berkekuatan sama dan dibuat di lokasi yang sama dengan yang diregistrasikan di Singapura. Suatu produk biologi yang tidak sesuai dengan produk referensi Singapura tidak dikualifikasikan sebagai biosimilar. Rute yang tersedia untuk biosimilar hanyalah abridged evaluation route. Abridged evaluation route (abridged dossier) adalah pendaftaran setiap produk yang telah dievaluasi dan disetujui oleh sedikitnya satu regulator. Tabel 2.7 Persyaratan dokumen untuk produk biosimilar di Singapura Data kualitas yang lengkap harus mencantumkan substansi zat aktif dan karakterisasinya dan data komparabilitas kualitas biosimilar dan produk referensi Singapura. Komparabilitas harus mencakup studi kedua produk dalam hal

101 34 kompleksitas struktur molekul, tipe perubahan yang dilakukan pada proses produksi selama pengembangan, dan efek pada kualitas, keamanan, dan efikasi. Data klinik dan nonklinik yang diperlukan bergantung pada kelas produk, perluasan karakterisasi yang mungkin dilakukan dengan pengembangan metode analisis, perbedaan yang teramati atau potensial antara biosimilar dengan produk referensinya, dan pengalaman klinik kelas produk. Diperlukan pendekatan caseby-case untuk setiap kelas produk. Untuk tujuan kejelasan, setiap proses perubahan studi komparabilitas selama pengembangan harus diidentifikasi secara jelas dan dikumpulkan terpisah dari studi komparabilitas. Persyaratan dokumen nonklinik di Singapura mengharuskan studi ini mencakup studi in vitro misalnya uji pengikatan reseptor atau uji cell-based (untuk komparabilitas reaktivitas dan deteksi faktor penyebab bila komparabilitas tidak dapat dibandingkan) dan studi pada hewan (studi PD/aktivitas, toksisitas nonklinik yang sedikitnya ditentukan dengan satu kali dosis berulang termasuk pengukuran toksikokinetik, dan keamanan spesifik). Umumnya, studi klinik komparatif diperlukan untuk menunjukkan komparabilitas klinik. Dalam beberapa kasus tertentu, studi komparatif PK/PD antara produk biosimilar dan produk referensi sudah cukup menggambarkan komparabilitas klinik apabila kondisi berikut terpenuhi. 1. Studi PK produk referensi terkarakterisasi baik 2. Ada pengetahuan yang cukup tentang sifat PD produk referensi, termasuk pengikatan dengan reseptor target dan aktivitas intrinsik 3. Hubungan antara dosis/paparan dan respon/efikasi produk referensi cukup terkarakterisasi 4. Sedikitnya satu penanda PD diterima sebagai penanda pengganti/wakil efikasi, dan hubungan antara dosis-respon produk dan penanda pengganti diketahui dengan baik. Singapura memperbolehkan interchangeability jika kedua produk disetujui untuk indikasi yang sama, dan dapat digunakan untuk indikasi yang dinyatakan. Dua produk dapat saling menggantikan (substituable), satu atau obat lainnya dapat diresepkan namun produk tersebut tidak dapat disubstitusi dengan obat lain selama periode pengobatan. Interchangeability bukan berarti substitutability.

102 35 Dokumen lain yang dipersyaratkan adalah data imunogenisitas, farmakovigilans, dan post-approval batch release Regulasi Biosimilar di Indonesia Munculnya produk biosimilar di Indonesia harus dipandang sebagai peluang untuk memperoleh produk obat biologi dengan harga yang lebih murah dan dengan manfaat yang sama atau mendekati produk inovatornya. Perkembangan biosimilar harus diawasi, untuk memastikan mutu, khasiat, dan keamanannya tidak lebih buruk dari produk inovatornya. Kualitas biosimilar harus diwaspadai di antaranya seperti biosimilar yang beredar dan berasal dari negaranegara sedang berkembang. Oleh karena itu, diperlukan uji nonklinik dan uji klinik yang dibandingkan dengan produk inovator, serta diperlukan kontrol dilakukannya GMP dalam proses produksinya. Untuk lebih melindungi keselamatan konsumen diperlukan regulasi khusus terkait biosimilar. Saat ini, Indonesia belum mengeluarkan pedoman regulasi khusus biosimilar, dan sedang berproses dalam tahap akhir penyusunan pedoman tersebut. Sebelum dikeluarkan pedoman internasional (EMA, WHO) mengenai biosimilar, persyaratan penilaian produk biologi sejenis disamakan dengan penilaian produk biologi baru, di mana data yang dipersyaratkan merupakan dokumen lengkap seperti registrasi baru. Proses penyusunan pedoman biosimilar di Indonesia, sudah mulai dilakukan semenjak pertemuan di tahun 2008 antara Badan POM RI dan IKAFI (Ikatan Farmakologi Indonesia) yang selanjutnya diadakan beberapa kali pertemuan. Pedoman penilaian biosimilar awalnya mengacu kepada pedoman EMA. Namun di akhir tahun 2009, WHO mengeluarkan Guidelines on Evaluation of Similar Biotherapeutic Products (SBPs) sehingga pedoman penilaian mengacu pula pada guidelines WHO. Badan POM RI merencakan tahun 2013 ini, pedoman penilaian biosimilar akan dikeluarkan. Pedoman penilaian ini, nantinya akan digunakan sebagai pedoman penilaian bagi industri yang mengajukan produk biosimilar. Terkait dengan biosimilar, ada 3 pedoman penting yaitu mutu zat aktif dan produk yang dibandingkan dengan produk inovator, keamanan dan efikasi

103 36 yang dibuktikan melalui uji nonklinik dan klinik dibandingkan dengan produk inovator. Penerapan regulasi ini akan memudahkan pasien di Indonesia untuk mendapatkan akses terhadap obat-obatan esensial yang lebih aman. Keselamatan pasien harus selalu menjadi fokus utama dalam pelayanan kesehatan. Setiap obat, termasuk obat produk biologi, memiliki potensi risiko jika tidak digunakan secara benar. Risiko ini meningkat jika proses produksi tidak menjamin mutu produk yang dihasilkan. Maka diharapkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait baik produsen obat, para ahli, apoteker serta masyarakat umum untuk mendukung diterapkannya regulasi terkait biosimilar demi keselamatan pengguna obat biosimilar. Biosimilar dibuat dari pengembangan produk biologi yang berasal dari makhluk hidup, dapat berupa jaringan, sel, atau protein dari makhluk hidup sendiri, melalui proses bioteknologi. Kompleksitas dari pembuatan biosimilar ini, dan pedoman yang dipakai pun harus sangat lengkap mengenai non chemical, dan chemical data produk biosimilar, menjadi salah satu bahan pertimbangan yang menyulitkan bagi pembuat regulasi terkait biosimilar. Salah satu tantangan terbesar dalam produk biosimilar adalah menjamin keamanan dan khasiat bagi pasien, serta menjamin bahwa produk ini memiliki profil yang sama dengan produk inovatornya dengan dilakukan pengujian yang menyeluruh bukan hanya studi terbatas. Salah satu contoh obat biosimilar yang beredar di Indonesia adalah Recombinant Human Insulin. Obat tersebut dapat lolos dan diresepkan untuk pasien dikarenakan hasil uji klinis pada pasien memperlihatkan efek obat yang sama dengan pasien yang mengonsumsi obat inovator bioterapetiknya. Pertimbangan dalam kompleksitas proses produksi biosimilar harus membuat praktisi klinik berhati-hati dalam pemakaian obat biosimilar ini karena proses produksi obat bioterapetik yang rumit membuat perbedaan sekecil apapun dapat menghasilkan produk yang berbeda. Inilah mengapa tidak ada tiruan obat yang sama persis seperti inovatornya. Di Indonesia, obat biosimilar yang ingin masuk maka harus dibandingkan dengan obat inovator.

104 Alur dan Tata Laksana Penilaian Biosimilar di Indonesia Tata laksana penilaian biosimilar di Indonesia secara umum sama dengan tata laksana registrasi produk biologi. Penilaian produk biologi harus berdasarkan aspek efikasi, keamanan, dan mutu. Pada penilaian mutu, pendaftar harus mencantumkan data mutu lengkap sesuai persyaratan evaluasi produk biologi dalam Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat, salah satunya mencakup studi karakteristik dan evaluasi produk dibandingkan dengan produk inovator yang telah terdaftar di Indonesia atau sering disebut RBP (reference biological product). Pada penilaian efikasi dan keamanan, terdapat sedikit perbedaan dengan penilaian produk biologi yaitu pada uji non klinik dan uji klinik. Pada uji non klinik, pendaftar harus mencantumkan data toksisitas berulang dibandingkan dengan produk inovator, sementara uji klinis harus mencantumkan data studi klinik fase III dibandingkan dengan inovator, studi farmakokinetik dan farmakodinamik dibandingkan dengan inovator, dan desain bioekuivalensi/ non inferiority. Alur penilaian biosimilar dilihat pada lampiran I dan II 2.6. Contoh Produk Biologi Sejenis (Biosimilar) di Indonesia Tabel 2.8 Contoh produk biologi sejenis di Indonesia Zat aktif Nama obat Pendaftar Produsen Pembanding Recombinant human insulin Recombinant human erythropoietin Recombinant human erythropoietin Recombinant human erythropoietin GCSF (Filgrastim) Sansulin Sanbe Farma Bioton, Polandia Humulin Epoglobin Ikapharmindo Sanxi Weiqida Epogen Pharm, China Epotrex Novell Cheil Jedang, Tidak ada info Pharmaceutical Korea Hemapo Kalbe Farma Sandong Aranesp Kexing (USA) Bioproduct, Recormon China (Jerman) Novell Novell Lg Chemical, Gracin, Leukokine Pharmaceutical Korea Amgen, USA

105 38 BAB 3 PEMBAHASAN Biosimilar merupakan kelas obat baru yang memasuki pasar setelah produk biologi inovator disetujui dan habis masa patennya. Biosimilar telah ditunjukkan kemiripannya terhadap produk biologi inovator dalam hal kualitas, efikasi, dan keamanan. EMA telah memimpin lebih dahulu dalam hal kerangka penyetujuan regulasi produk biosimilar, dan WHO telah mempublikasikan pedoman evaluasi biosimilar dengan tujuan memfasilitasi harmonisasi global. Dengan dasar dari EMA dan WHO, banyak negara seperti Kanada, Jepang, dan Korea yang telah membuat pedoman sendiri untuk evaluasi biosimilar. US FDA diberi kuasa untuk menyetujui biosimilar dengan BPCI Act yang diterima dalam US Congress pada 23 Maret 2010, dan telah menyampaikan konsep pedoman pada awal Konsep dasar dan prinsip utama dalam penyetujuan biosimilar adalah mirip di antara berbagai negara, walaupun ada beberapa perbedaan dalam hal lingkup, pemilihan produk referensi, dan persyaratan data yang diperlukan. Terdapat lima prinsip yang dikenal baik mengenai biosimilar, yaitu (1) pendekatan generik tidak tepat pada biosimilar, (2) produk biosimilar harus mirip dengan produk referensi dalam hal kualitas, keamanan, dan efikasi, (3) pendekatan komparabilitas bertahap diperlukan dalam penunjukkan similaritas kualitas biosimilar terhadap produk referensi merupakan prasyarat reduksi penyerahan data nonklinik dan klinik, (4) penilaian biosimilar didasarkan pada pendekatan case-by-case untuk kelas produk yang berbeda, dan (5) penekanan pada perlu dilakukan farmakovigilans. Ruang lingkup, pilihan produk referensi, dan data yang diperlukan untuk registrasi produk merupakan perbedaan pedoman antar negara. Konsep produk biosimilar di Uni Eropa diterapkan pada cakupan produk yang luas, mulai dari biotechnology-derived therapeutic proteins hingga vaksin, produk turunan darah, antibodi monoklonal, terapi gen dan sel. Sementara itu, lingkup organisasi/negara lain hanya terbatas pada produk protein rekombinan. Terkait pilihan produk referensi, Uni Eropa dan Jepang membutuhkan produk referensi yang telah 38

106 39 teregistrasi di negara tersebut, sedangkan negara lain tidak mempersyaratkan hal ini. Berikut ini adalah perbandingan pedoman WHO, EU, Kanada, Korea, dan Jepang. Tabel 3.1 Perbandingan persyaratan evaluasi biosimilar di berbagai negara WHO Kanada Korea EU Jepang Terminologi SBPs SEBs Biosimilars Biosimilars Follow-on Biologics Lingkup Protein rekombinan Umumnya protein rekombinan Protein rekombinan Efikasi Double blind atau Desain Batas komparabilitas observer blind; desain ekuivalensi harus dispesifikasi dan ekuivalensi atau noninferiority dijustifikasi Produk Terdaftar di yurisdiksi dengan Terdaftar di Terdaftar di referensi kerangka regulasi well-established EU Jepang Stabilitas - Studi stabilitas dipercepat Tidak - Studi pada beragam kondisi stress diperlukan Kemurnian Process-related dan product-related impurities Produksi - Standar yang sama dibutuhkan oleh NRA untuk produk originator - Data lengkap mengenai kimia dan produksi Fisikokimia - Struktur primer dan higher-order - Modifikasi post-translasi Aktivitas biologis Studi nonklinik Desain studi PK dan kriteria PD Keamanan - Pengukuran kualitatif fungsi - Pengukuran kuantitatif (misal uji enzim atau binding assay) - In vitro (misal receptor-binding, cell-based assays) - In vivo (aktivitas farmakodinamik, minimal satu studi toksisitas dosis berulang, pengukuran antibodi, toleransi lokal) - Dosis tunggal, studi steady-state, atau penentuan berulang PK - Cross-over atau paralel - Mencakup karakteristik absorpsi dan eliminasi - Range ekuivalensi tradisional % digunakan Penanda farmakodinamik harus dipilih dan studi PK/PD harus sesuai Pre-licensing safety data dan rencana manajemen risiko Badan regulatori di Indonesia berperan dalam pengaturan dan pemberian izin edar produk biologi dan produk biologi sejenis. Fungsi Badan POM dalam peningkatan kualitas produk biologi dan produk biologi sejenis antara lain:

107 40 a. Sistem regulasi nasional, merupakan sistem Badan POM secara keseluruhan; b. Otorisasi pemasaran dan aktivitas perizinan, misalnya registrasi dan evaluasi GMP; c. Aktivitas post marketing termasuk surveillance kejadian tidak diinginkan pasca imunisasi (Adverse Events Following Immunization atau AEFI); d. Perilisan lot produk biologi/produk biologi sejenis oleh Badan POM; e. Akses laboratorium; f. Inspeksi regulatori; g. Otorisasi / penyetujuan uji klinik. Seperti produk obat sintetis, pengawasan produk biologi dan produk biologi sejenis (biosimilar) juga dilakukan oleh Badan POM baik dalam pengawasan pre market maupun post market. Pengawasan pre market berupa penilaian dossier produk biologi dan produk biologi sejenis saat dilakukan proses pra registrasi dan/atau registrasi, sedangkan pengawasan post market berupa inspeksi produksi dan distribusi serta penerapan MESO/farmakovigilans terhadap produk biologi dan produk biologi sejenis pasca izin edar diterima oleh industri farmasi. Dalam pelaksanaan pengawasan produk biologi dan produk biologi sejenis, Badan POM melakukan koordinasi, yaitu: a. Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi bertugas melakukan penilaian dossier registrasi produk biologi dan/atau produk biologi sejenis (pengawasan pre market). Dalam penilaian dossier, dilakukan penilaian data-data dalam pemenuhan kriteria dan persyaratan regulasi. Kriteria dan persyaratan dossier yang dipertimbangkan adalah berbasis ilmiah, dalam lingkup target waktu, prosedur dapat diprediksi, dan konsisten dalam legal dan ilmiah. b. Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT bertugas melakukan inspeksi terhadap distribusi produk biologi dan/atau produk biologi sejenis, termasuk melakukan pengecekan perlakuan suhu simpan produk, sampling produk di pasaran untuk keperluan uji laboratorium, dan pengawasan penandaan produk. c. Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT bertugas melakukan inspeksi terhadap sarana dan proses produksi produk biologi

108 41 dan/atau produk biologi sejenis, termasuk mengecek kesamaan data yang diberikan ke Badan POM dengan keadaan sebenarnya di lapangan. d. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) melakukan uji laboratorium terhadap sampel yang diterima dari hasil inspeksi oleh Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT. e. Data-data yang disetujui saat pre market dijadikan sebagai dasar inspeksi di lapangan, misal data mutu sebagai dasar atau pembanding hasil uji laboratorium, data proses produksi sebagai dasar untuk inspeksi pelaksanaan GMP di industri, data keamanan (data klinik dan non klinik) dijadikan dasar monitoring ESO (penerapan farmakovigilans atau surveilans) dan pengawasan penandaan. Hingga saat ini sudah hampir ada produk biologi yang berhasil didaftarkan sebagai produk biologi sejenis sesuai pedoman WHO di Indonesia. Kendala yang menjadi penyebab sulitnya pendaftaran produk biologi sejenis yaitu ketentuan WHO yang menyatakan perlu dilakukan uji klinik fase 3 yang dibandingkan dengan inovator yang telah terdaftar di Indonesia dengan desain ekuivalensi atau minimal non-inferiority. Dampak dari ketentuan tersebut adalah industri farmasi harus melakukan uji klinik dengan jumlah sampel yang sangat besar. Oleh karena itu, industri farmasi kecil hingga menengah sulit memenuhi ketentuan tersebut karena keterbatasan modal. Sebaliknya, industri farmasi besar justru menghadapi kendala lain, yaitu kesulitan mencari produk pembanding (reference) yang telah terdaftar di Indonesia. Produk biologi inovator yang telah disetujui / terdaftar di Indonesia masih belum banyak. Produk biologi inovator yang disetujui oleh FDA dan EMEA, belum tentu disetujui di Indonesia karena pertimbangan adanya perbedaan profil keamanan produk akibat perbedaan populasi sampel uji. Selama ini penolakan pendaftaran produk biologi sejenis dilakukan oleh Badan POM karena : a. Industri farmasi yang berasal dari Cina, India, dan Korea pengaju pendaftaran produk biologi sejenis belum menggunakan pembanding inovator produk biologi yang terdaftar di Indonesia;

109 42 b. Industri farmasi tersebut memberikan data hasil uji dengan jumlah sampel yang sedikit atau tidak dibandingkan dengan standar terapi, misalnya untuk produk insulin yang akan diajukan registrasinya tidak menggunakan jumlah sampel lebih dari 500 orang. Dalam prakteknya, Badan POM mengadopsi pedoman WHO untuk regulasi produk biologi sejenis. Pemilihan pedoman WHO untuk pengaturan regulasi produk biologi sejenis karena WHO merupakan pedoman umum terbaru yang diperuntukkan menuntun pelaksanaan pengawasan produk biologi sejenis di dunia. Sebelum pedoman WHO muncul pada tahun 2009, registrasi produk biologi dan produk biologi sejenis mengikuti proses dan persyaratan lengkap seperti obat baru. Pendaftaran produk biologi seperti imunosera dan vaksin sudah dimulai sejak tahun 80an akhir dan 90an. Hingga tahun 2013 ini, modifikasi pedoman tersebut untuk pelaksanaan di Indonesia belum dilakukan, dengan kata lain, Indonesia masih mengadopsi pedoman tersebut 100%. Direncanakan pedoman produk biologi sejenis akan dibuat spesifik untuk regulasi di Indonesia, dengan tim penyusun merupakan tim ahli dalam bidang farmakologi, uji klinik, dan sebagainya. Produk biologi dan produk biologi sejenis digunakan dalam pengobatan penyakit dengan risiko tinggi atau indeks terapi sempit. Sulitnya pembuatan regulasi untuk produk tersebut bagai buah simalakama bagi Badan POM. Di satu sisi, industri farmasi penemu dan produsen produk biologi inovator yang telah memenuhi persyaratan dossier dan menerima izin edar, diberikan hak paten selama 20 tahun oleh badan regulatori. Hak paten produk menyebabkan di pasaran hanya beredar 1 macam merk obat sehingga sangat mungkin obat tersebut dijual dalam harga tinggi. Sementara itu, di sisi lain, Badan POM sebagai badan regulatori di Indonesia berkewajiban menyediakan standar obat yang tidak terlalu tinggi supaya proses pendaftaran tidak serumit produk biologi baru, namun tanpa mengesampingkan keamanan, efikasi, dan kualitas produk.

110 43 BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan 1. Produk biologi dan produk biologi sejenis telah lama dikembangkan di dunia, namun belum semua negara memiliki pedoman khusus terkait regulasi produk tersebut. 2. Bagi negara yang belum memiliki pedoman, regulasi mereka mengacu pada pedoman EMA atau WHO. Dalam pelaksanaannya, pedoman yang diadopsi tersebut dimodifikasi kembali agar sesuai dalam penerapan di setiap negara. 3. Dalam penilaian pendaftaran produk biosimilar, Indonesia mengacu pada pedoman WHO. Pedoman biosimilar di Indonesia sedang dalam tahap penyusunan oleh Badan POM RI. 4. Produk biologi dapat disebut sebagai biosimilar apabila telah memenuhi persyaratan penunjukkan kesamaan yang besar dalam hal indikasi/efikasi, keamanan, dan kualitas dengan produk referensinya. Penunjukkan kesamaan melalui uji komparabilitas dan kajian ilmiah yang dituangkan dalam dokumen mutu, nonklinik, dan klinik. 4.2 Saran 1. Demi pengawasan keamanan pasien, pedoman produk biologi sejenis perlu dibuat oleh Indonesia dengan penyesuaian tata laksana dan perlu dibuat pedoman khusus yang lebih rinci seperti EMA dan pedoman HSA dari Singapura dengan menerapkan standar yang tidak terlalu tinggi (seperti WHO) sehingga syarat dapat lebih mudah dipenuhi oleh industri farmasi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan jumlah produk biologi sejenis di pasaran dan membuat keterjangkauan harga oleh masyarakat yang lebih baik. 2. Perlu dilakukannya peninjauan kembali mengenai pedoman yang telah / akan dibuat oleh Badan POM RI dalam jangka waktu tertentu sehingga peraturan dapat fleksibel dan sesuai perkembangan biosimilar terkini. 43

111 44 DAFTAR ACUAN Anonim. (2012). Originator biologicals approved and marketed in Germany. Generics and Biosimilars Initiative. Arato, Teruyo. (2011). Recent Regulations of Biosimilars in Japan. Chicago, Illinois : DIA. Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2006). Evaluasi Produk Biologi. InfoPOM 7(5), 6-8. Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2013). Regulatory Pathway Considerations (Indonesia s Perpectives). Bogaert, P., Lietzan, E., Covington, L.S., dan Burling. (2011). Biosimilar regulation : important considerations and global developments. Life Sciences Handbook Washington : Practical Law Company. EMA Committee for Medicinal Products for Human Use. (2005). Guideline on Similar Biological Medicinal Products. George, B. (2012). Current Regulations Governing Biosimilars. Pharma Times Vol.44 No.05. Health Sciences Authority. (2011). Regulatory Guidance : Guidance on Medicinal Product Registration in Singapore. Julianto, I. (2010). Mengawal "Biosimilar", Tiruan Obat Produk Biologi. iruan.obat.produk.biologi Jun Wang dan Shein-Chung Chow. (2012). On the Regulatory Approval Pathway of Biosimilar Products. Pharmaceuticals, 5, Ministry of Health Malaysia National Pharmaceutical Control Bureau. (2008). Guidance Document and Guidelines for Registration of Biosimilars in Malaysia. National Pharmaceutical Control Bureau (NPCB) Ministry of Health Malaysia. (2010). 14th International Conference of Drug Regulatory Authorities 44

112 45 (ICDRA) : Biosimilars Diversity of Regulatory Requirements and Way Forward. S., Simoens, et al. (2012). Registration of biosimilars in Europe and the US. Generics and Biosimilars Initiative. Stangler, T. (2010). Targeted development of biosimilar pharmaceutical products. Hannover : EAPB Special Interest Group Regulatory Aspects for Biopharmaceuticals. WHO. (2009). Guidelines on Evaluation of Similar Biotherapeutic Products (SBPs). Geneva : WHO Press. WHO. (2007). Meeting Report : WHO Informal Consultation on Regulatory Evaluation of Therapeutic Biological Medicinal Products.

113 [Type a quote 46 from the document or the summary of an interesting point. You can position LAMPIRAN [Type a quote from the document or the summary of an interesting Universitas point. Indonesia

114 47 Lampiran 1. Alur Pra-Registrasi Produk Biologi di Indonesia

115 48 Lampiran 2. Alur Registrasi Produk Biologi di Indonesia

TUGAS POKOK DAN FUNGSI

TUGAS POKOK DAN FUNGSI Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001, Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG

KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG II. KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG 2.1 Sejarah dan Perkembangan BPOM RI Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bertugas untuk mengawasi obat dan makanan sehingga dapat melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENILAIAN OBAT TRADISIONAL, SUPLEMEN MAKANAN DAN KOSMETIK BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENGAWASAN PRODUK DAN BAHAN BERBAHAYA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 4 29 JULI 2011 LAPORAN PRAKTEK

Lebih terperinci

LAKIP TAHUN BADAN POM i

LAKIP TAHUN BADAN POM i alam rangka menciptakan good governance dan clean government di lingkungan Badan POM, LAKIP Badan POM tahun 2011 ini disusun. Sebagai bentuk penjabaran prinsip transparansi dan akuntabilitas, penyampaian

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Berdirinya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM)Pekanbaru. Pembentukan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Pekanbaru diawali oleh terbentuknya

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN N0M0R : 02001/SK/KBPOM TENTANG

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN N0M0R : 02001/SK/KBPOM TENTANG KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN N0M0R : 02001/SK/KBPOM TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : bahwa sebagai

Lebih terperinci

Obat dan Makanan Terjamin Aman, Bermutu dan Bermanfaat

Obat dan Makanan Terjamin Aman, Bermutu dan Bermanfaat Sejalan dengan prioritas pembangunan jangka menengah, tantangan, beban dan tanggung jawab pengawasan obat dan makanan dirasakan semakin berat. Untuk itu, Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENGAWASAN NARKOTIKA PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 4 JULI 29 JULI 2011

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PERIODE 4 JULI 2011 29 JULI 2011 DEPUTI II BIDANG PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keamanan Pangan Keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 DENGAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Kota Bandar Lampung

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Kota Bandar Lampung IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Kota Bandar Lampung 1. Sejarah Singkat BBPOM Kota Bandar Lampung Pada awalnya Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI PUSAT PENYIDIKAN OBAT DAN MAKANAN JALAN PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT STANDARDISASI OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK, DAN PRODUK KOMPLEMEN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN. digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau

BAB III TINJAUAN TEORITIS PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN. digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau 1 BAB III TINJAUAN TEORITIS PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN A. TINJAUAN PANGAN OLAHAN 1. Pengertian Pangan Olahan Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 pangan adalah segala sesuatu yang berasal

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA DEPUTI II DIREKTORAT STANDARDISASI OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK DAN PRODUK KOMPLEMEN PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSAT INFORMASI OBAT DAN MAKANAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA JL. PERCETAKAN NEGARA NO.23 JAKARTA PUSAT PERIODE 4 29

Lebih terperinci

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 KEMENTERIAN/ LEMBAGA : BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) 1 Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Teknis Lainnya BPOM 1.1

Lebih terperinci

BAB II. KEADAAN UMUM INSTANSI

BAB II. KEADAAN UMUM INSTANSI BAB II. KEADAAN UMUM INSTANSI A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN INSTANSI Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 tahun 2000, Badan POM ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) yang bertanggung

Lebih terperinci

PETA BISNIS PROSES. Registrasi Obat dan Produk Biologi, Pendaftaran Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan POM-02. Evaluasi Produk dan Administrasi

PETA BISNIS PROSES. Registrasi Obat dan Produk Biologi, Pendaftaran Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan POM-02. Evaluasi Produk dan Administrasi PETA BISNIS PROSES Pemerintah Registrasi Obat dan Produk Biologi, Pendaftaran Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan Pembentukan Undang-undang Perundangundangan dan POM-02 Evaluasi Produk dan Administrasi

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSAT INFORMASI OBAT DAN MAKANAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 2 24 SEPTEMBER 2013 LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI, TUGAS, dan FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

STRUKTUR ORGANISASI, TUGAS, dan FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN STRUKTUR ORGANISASI, TUGAS, dan FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN Bimbingan Teknis Ujian Dinas Tingkat I dan Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat Tahun 2017 Jakarta, 18 Juli 2017 DASAR HUKUM, TUGAS,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengawasan Obat dan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSAT RISET OBAT DAN MAKANAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI JL. PERCETAKAN NEGARA NO.23 JAKARTA PUSAT PERIODE 4 JULI 28 JULI 2011 LAPORAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENGAWASAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF (NAPZA) BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENGAWASAN PRODUKSI PRODUK TERAPETIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI JL. PERCETAKAN NEGARA

Lebih terperinci

2017, No beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedelapan atas Keputusan Presiden Nomor

2017, No beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedelapan atas Keputusan Presiden Nomor No.180, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KELEMBAGAAN. Badan Pengawas Obat dan Makanan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENGAWASAN PRODUK DAN BAHAN BERBAHAYA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN BADAN POM TAHUN Target Program

RENCANA KINERJA TAHUNAN BADAN POM TAHUN Target Program Lampiran 1 RKT RENCANA KINERJA TAHUNAN BADAN POM TAHUN 2007 Sasaran 1. Terawasinya secara efektif 1. Proporsi penyelesaian berkas 90% 1.1.1 Penilaian mutu, keamanan, dan khasiat permohonan pendaftaran

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSAT PENYIDIKAN OBAT DAN MAKANAN PERIODE 4-26 FEBRUARI 2013

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSAT PENYIDIKAN OBAT DAN MAKANAN PERIODE 4-26 FEBRUARI 2013 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSAT PENYIDIKAN OBAT DAN MAKANAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI PERIODE 4-26 FEBRUARI 2013 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER NETI

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN Lampiran Keputusan Direktur Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Nomor HK.06.02.351.03.15.196 Tahun 2015 Tentang Rencana Strategis Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika

Lebih terperinci

PENGUKURAN KINERJA KEGIATAN BADAN POM TAHUN Uraian. permohonan. Pengawasan. pendaftaran Produk. pangan sebelum Berbahaya. dan Bahan.

PENGUKURAN KINERJA KEGIATAN BADAN POM TAHUN Uraian. permohonan. Pengawasan. pendaftaran Produk. pangan sebelum Berbahaya. dan Bahan. Lampiran 2 PKK PENGUKURAN KINERJA KEGIATAN BADAN POM TAHUN 2007 Sasaran 1. Terawasinya secara efektif 1. Proporsi penyelesaian berkas 90% 1.1.1 Penilaian permohonan pendaftaran produk permohonan Dana (Rp)

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT INSPEKSI DAN SERTIFIKASI OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK, DAN PRODUK KOMPLEMEN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANANN JL. PERCETAKAN NEGARA

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER PUSAT PENYIDIKAN OBAT DAN MAKANAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JALAN PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 2-24 SEPTEMBER 2013 LAPORAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK TERAPETIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA JL. PERCETAKAN

Lebih terperinci

PENERAPAN QMS ISO 9001:2015 BPOM

PENERAPAN QMS ISO 9001:2015 BPOM PENERAPAN QMS ISO 9001:2015 BPOM DASAR HUKUM KETATALAKSANAAN K/L 2 DASAR HUKUM KETATALAKSANAAN K/L (2) 3 DASAR HUKUM KETATALAKSANAAN K/L (3) 4 DASAR HUKUM KETATALAKSANAAN K/L (4) DASAR HUKUM KETATALAKSANAAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BIRO HUKUM DAN HUBUNGAN MASYARAKAT BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BIRO HUKUM DAN HUBUNGAN MASYARAKAT BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BIRO HUKUM DAN HUBUNGAN MASYARAKAT BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. Percetakan Negara No. 23 Jakarta 10560 Tanggal 04 Februari 26 Februari

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DEPUTI I BIDANG PENGAWASAN PRODUK TERAPETIK DAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN ZAT ADIKTIF JALAN PERCETAKAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DITJEN BINFAR DAN ALKES KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA JL. H.R. RASUNA SAID

Lebih terperinci

Daftar Rekapitulasi Bisnis Proses Badan Pengawas Obat dan Makanan

Daftar Rekapitulasi Bisnis Proses Badan Pengawas Obat dan Makanan Daftar Rekapitulasi Bisnis Proses Badan Pengawas Obat dan Makanan CODE PROCESS NAME SUB PROCESS SUB PROCESS CODE CFM CFM CODE POM-01 Pengelolaan Perundang-undangan dan Standar Pembentukan undang-undang

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK TERAPETIK (PT) DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA (PKRT) BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. PERCETAKAN

Lebih terperinci

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia yang

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia yang BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Berdirinya BPOM Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia yang pada masa penjajahan Belanda dikenal dengan apoteker yang berperan dalam pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKAN NOMOR: HK. 00. 05. 24.01634 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN Menimbang : 1. bahwa

Lebih terperinci

BAB III OBJEK PENELITIAN. Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia

BAB III OBJEK PENELITIAN. Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia BAB III OBJEK PENELITIAN 3.1 Ganmbaran Umum Republik Indonesia Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENILAIAN KEAMANAN PANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI JL. PERCETAKAN NEGARA NO.23 JAKARTA PUSAT PERIODE 2 26 SEPTEMBER

Lebih terperinci

MODUL BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM)

MODUL BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT 2017 MODUL PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) NAMA : NIM :

Lebih terperinci

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI MATA PELAJARAN : KEBIJAKAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

UPAYA PERBAIKAN TATA KELOLA PERIZINAN OBAT

UPAYA PERBAIKAN TATA KELOLA PERIZINAN OBAT Komite Advokasi Nasional Antikorupsi Sektor Kesehatan UPAYA PERBAIKAN TATA KELOLA PERIZINAN OBAT Togi J. Hutadjulu Direktur Penilaian Obat dan Produk Biologi 1. PENDAHULUAN 2. PELAYANAN PUBLIK BADAN POM

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT INSPEKSI DAN SERTIFIKASI OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK DAN PRODUK KOMPLEMEN PERIODE

Lebih terperinci

BAB III PENGAWASAN PEREDARAN OBAT KUAT IMPOR OLEH BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

BAB III PENGAWASAN PEREDARAN OBAT KUAT IMPOR OLEH BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN BAB III PENGAWASAN PEREDARAN OBAT KUAT IMPOR OLEH BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN A. Keberadaan BPOM di Indonesia 1. Terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makananan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN SUPLEMEN KESEHATAN

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN SUPLEMEN KESEHATAN FILE EDIT 16 November 2016 Masukan dapat disampaikan kepada Direktorat Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen melalui email mmi_stand_ot@yahoo.com, telp/fax 021-4241038 paling lambat

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2008 TENTANG

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2008 TENTANG BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.00.05.21.1732 TAHUN 2008 TENTANG GRAND STRATEGY BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPALA BADAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG KETENTUAN POKOK PENGAWASAN PANGAN FUNGSIONAL

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG KETENTUAN POKOK PENGAWASAN PANGAN FUNGSIONAL PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK 00.05.52.0685 TENTANG KETENTUAN POKOK PENGAWASAN PANGAN FUNGSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI,

Lebih terperinci

Berdasarkan bahan dan penggunaannya serta untuk maksud evaluasi produk kosmetik

Berdasarkan bahan dan penggunaannya serta untuk maksud evaluasi produk kosmetik 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-jenis Kosmetik 1. Pengertian Kosmetik Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENERAPAN PROGRAM MANAJEMEN RISIKO KEAMANAN PANGAN DI INDUSTRI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan signifikan pada industri farmasi, obat asli Indonesia, makanan, kosmetik dan alat kesehatan. Melalui

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA TAHUN Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya

LAPORAN KINERJA TAHUN Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya LAPORAN KINERJA TAHUN 2016 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya KATA PENGANTAR Tahun 2016 merupakan tahun kedua pelaksanaan Rencana Strategis Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan

Lebih terperinci

JAKARTA, 24 NOVEMBER 2017

JAKARTA, 24 NOVEMBER 2017 JAKARTA, 24 NOVEMBER 2017 Dra. Togi J. Hutadjulu, Apt. MHA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA www.pom.go.id 1. PENDAHULUAN 2. REVISI KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT 3. PENUTUP

Lebih terperinci

REGULASI PENGELOLAAN DISTRIBUSI OBAT DAN URGENCY SERTIFIKASI CDOB

REGULASI PENGELOLAAN DISTRIBUSI OBAT DAN URGENCY SERTIFIKASI CDOB REGULASI PENGELOLAAN DISTRIBUSI OBAT DAN URGENCY SERTIFIKASI CDOB Disampaikan oleh: Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik & PKRT Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IKATAN APOTEKER INDONESIA Tangerang

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III PENGAWASAN TERHADAP PELAKU USAHA ROKOK ATAU PRODUSEN ROKOK YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN PELABELAN ROKOK MENURUT PP NO.

BAB III PENGAWASAN TERHADAP PELAKU USAHA ROKOK ATAU PRODUSEN ROKOK YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN PELABELAN ROKOK MENURUT PP NO. BAB III PENGAWASAN TERHADAP PELAKU USAHA ROKOK ATAU PRODUSEN ROKOK YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN PELABELAN ROKOK MENURUT PP NO. 109 TAHUN 2012 3.1 Kewenangan Pengawasan Terhadap Label Produk Rokok Kewenangan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG TATA LAKSANA PENDAFTARAN SUPLEMEN MAKANAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG TATA LAKSANA PENDAFTARAN SUPLEMEN MAKANAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR : HK.00.05.41.1381 TENTANG TATA LAKSANA PENDAFTARAN SUPLEMEN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017

Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017 Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017 Agenda Sistem Pengawasan Badan POM Peraturan Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA GULA KRISTAL PUTIH SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA GULA KRISTAL PUTIH SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA GULA KRISTAL PUTIH SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORATT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DI SURABAYA

BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DI SURABAYA BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DI SURABAYA Email : bpom_surabaya@pom.go.id Alamat : Jln. Karangmenjangan 20, Surabaya - Jawa Timur, Telp. : 031-5020575 Fax. : 031-5020575 Visi : Menjadi Institusi

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 2-24 SEPTEMBER

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI BIDANG PANGAN

PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI BIDANG PANGAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI BIDANG PANGAN Disampaikan oleh: Ir. Tetty Helfery Sihombing, MP Direktur Standardisasi Produk Pangan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Visi dan Misi Badan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.00.05.23.3644 TE N TA N G KETENTUAN POKOK PENGAWASAN SUPLEMEN MAKANAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN PURBALINGGA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG BADAN STANDARDISASI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG BADAN STANDARDISASI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG BADAN STANDARDISASI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G STANDARDISASI, PEMBINAAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG INDUSTRI MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menunjang penampilan seseorang, bahkan bagi masyarakat dengan gaya

BAB I PENDAHULUAN. untuk menunjang penampilan seseorang, bahkan bagi masyarakat dengan gaya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kosmetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sudah ada dan semakin berkembang dari waktu ke waktu, disamping itu pula kosmetik berperan penting untuk menunjang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN

DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN Oleh: Dra. Deksa Presiana, Apt., M.Kes. Kasubdit. Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan Disampaikan Pada Acara: Praktek Kerja Profesi Apoteker Jakarta,

Lebih terperinci

PROPIL BALAI BESAR POM DI PEKAN BARU

PROPIL BALAI BESAR POM DI PEKAN BARU PROPIL BALAI BESAR POM DI PEKAN BARU Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Pekanbaru Drs, Sumaryanta,Apt.MSI NIP. 19620401 199202 1 001 Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Pekanbaru mempunyai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 182/MENKES/SK/IV/2013 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 182/MENKES/SK/IV/2013 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 182/MENKES/SK/IV/2013 TENTANG PANITIA KERJA PEMERINTAH PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN

Lebih terperinci

2016, No Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Neg

2016, No Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Neg No. 738, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Periklanan Pangan Olahan. Pengawasan. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

2016, No diberlakukan Standar Nasional Indonesia dan/atau Persyaratan Teknis secara wajib; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaks

2016, No diberlakukan Standar Nasional Indonesia dan/atau Persyaratan Teknis secara wajib; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaks No.565, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Standadisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/M-DAG/PER/4/2016 TENTANG STANDARDISASI BIDANG PERDAGANGAN DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.5.12.11.09955 TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 199, 2000 BADAN STANDARISASI. Standarisasi Nasional. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.00.5.1.2569 TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA PENILAIAN PRODUK PANGAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017

- 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 - 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENERBITAN SERTIFIKAT PENERAPAN PROGRAM MANAJEMEN MUTU TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN POM. Organisasi Unit Pelaksana Teknis. Organisasi. Tata Kerja.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN POM. Organisasi Unit Pelaksana Teknis. Organisasi. Tata Kerja. No.1714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN POM. Organisasi Unit Pelaksana Teknis. Organisasi. Tata Kerja. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna produksi,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/ TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/ TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/2007................... TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN SIDOARJO DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan P

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan P No.1730, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPERIN. SNI. Air Mineral Demineral. Air Mineral CAlami. Air Minum Embun. Pemberlakuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.5.12.11.09955 TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN

Lebih terperinci