PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA"

Transkripsi

1 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.) SKRIPSI (Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UPN Veteran Jawa Timur) Oleh : FARIT KURNIAWAN NPM YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAWA TIMUR FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA 2011 i

2 PERSETUJUAN MENGIKUTI UJIAN SKRIPSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.) Disusun Oleh : FARIT KURNIAWAN NPM Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi Menyetujui, Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping Sutrisno, S.H., M.Hum. Yana Indawati, S.H., M.Kn. NIP NPT Mengetahui, D E K A N Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M NIP ii

3 PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.) Oleh : FARIT KURNIAWAN NPM Telah dipertahankan Dihadapan dan Diterima oleh Tim Penguji skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur Pada tanggal 18 November Pembimbing Utama Tim Penguji : 1. H. Sutrisno, S.H., M.Hum H. Sutrisno, S.H., M.Hum. NIP NIP Pembimbing Pendamping 2. Yana Indawati, S.H.,M.Kn. Subani, S.H., MSi. NPT NIP Hariyo Sulistiyantoro, S.H., MM NIP Mengetahui, D E K A N Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M NIP iii

4 PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN REVISI SKRIPSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.) Oleh : FARIT KURNIAWAN NPM Telah dipertahankan Dihadapan dan Diterima oleh Tim Penguji skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur Pada tanggal 18 November 2011 Tim Penguji : 1. H. Sutrisno, S.H., M.Hum. : (... ) NIP Hariyo Sulistiyantoro, S.H., MM. : (... ) NIP Subani, S.H., MSi. : (... ) NIP Mengetahui, D E K A N Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M NIP iv

5 SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Farit Kurniawan Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 16 Juni 1986 NPM : Konsentrasi : Pidana Alamat : Pakis Gelora II No. 11 Surabaya Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.) dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sajar Hukum pada Fakultas Hukm Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya cipta saya sendiri, yang saya buat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bukan hasil jiplakan (plagiat). Apabila dikemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat) maka saya bersedia dituntut di depan Pangadilan dan dicabut gelar kesarjanaan (Sarjana Hukum) yang saya peroleh. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya. Mengetahui Surabaya, 18 November 2011 An. KaProdi Penulis, Sek.Progdi Fauzul Aliwarman.S.H.,M.Hum Farit Kurniawan NIP NPM v

6 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, atas berkat rohmat-nya tugas penulisan laporan Skripsi Penelitian Ilmu Hukum yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Orang yang Menggadaikan Mobil dalam Status Sewa (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 806/Pid/B/2010/PN.Sda) dapat terselesaikan. Penulisan Skripsi ini disusun Penelitian untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum yang ada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur.Disamping itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu dalam mengadakan penelitian guna penyusunan skripsi. Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan dorongan oleh beberapa pihak.ada kesempatan ini penulis berterima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Hariyo Sulistiyantoro, S.H, M.M, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur dan sekaligus Dosen Wali. 2. Bapak H. Sutrisno, S.H, M.Hum, selaku Wadek II Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran sekaligus Dosen Pembimbing Utama yang sangat membantu dalam penulisan laporan ini. 3. Bapak Drs. EC Gendut Soekarno, MS selaku Wadek II Ilmu Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur. vi

7 4. Bapak Panggung Handoko.,S.sos.,S.H.,M.M. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur. 5. Ibu Yana Indawati, S.H, M.Kn, selaku dosen pendamping yang sangat membantu terselesaikan laporan ini. 6. Bapak Edy, S.H, dan Pak fawaid, S.H. yang telah banyak membantu dan memberikan arahan pemikiran hingga terselesaikan laporan ini dan 7. Guru ngaji DR. Gus Mujitabah, S.H., M.M, dan DR. Gus Kadis, S.H., M.M, yang telah memberi banyak petuah dan pemahaman perjalanan hidup. 8. Orang Tua dan Ayu Resti Widayanti S.Hum yang telah banyak memberi bantuan moril dan materiil. 9. Serta teman-teman satu angkatan yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan laporan gank PAK EDY, S.H, fronza,bagus deny helmi dan Praja. Tentunya laporan Proposal Penelitian Ilmu Hukum ini masih jauh dari apa yang di harapkan, untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari seluruh pihak yang dapat dijadikan pedoman dalam penulisan selanjutnya. Surabaya, November 2011 Penulis KATA PENGANTAR vii

8 UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAWA TIMUR FAKULTAS HUKUM Nama Mahasiswa : Farit Kurniawan NPM : Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 16 Juni 1986 Program Studi : Strata 1 (S1) Judul Skripsi : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.) ABSTRAKSI Penelitian dengan judul di atas bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum bagi orang yang menggadaikan mobil dalam status sewa, dan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana orang yang telah menggadaikan mobil dalam status sewa. Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif yaitu merupakan penelitian hukum terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terutama yang berkaitan dengan materi yang dibahas. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan pertama, akibat hukumnya pelaku dapat dikenakan sanksi pidana karena telah melakukan penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 KUHP. Penyewa mobil hanya memilikki hak untuk menikmati mobil sewa, kenyataannya penyewa memperlakukan mobil sewa sebagaimana miliknya sendiri dan menggadaikan mobil sewa tersebut. Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang telah menggadaikan mobil dalam status sewa, bahwa pihak yang menggadaikan dikenakan sanksi pidana sebagaimana pasal 480 KUHP. Pihak yang menyewa mengetahui bahwa mobil tersebut bukan miliknya sendiri, melainkan milik yang menyewakan sehingga telah melakukan kesalahan. Oleh karena itu pelaku dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena tidak ada alasan pemaaf atau pembenar menggadaikan mobil sewa. Kata kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Menggadaikan, Sewa viii

9 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI... HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN... SURAT PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... ABSTRAK... BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kajian Pustaka Metodologi Penelitian... i ii iii iv v vii ix BAB II AKIBAT HUKUM ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA Gambaran Kasus dan Putusan PN Nomor 806/Pid/B/2010/PN.Sda) Akibat Hukum Orang yang Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa ix

10 BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG TELAH MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA Pertanggungjawaban Pidana Orang yang Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa Putusan No. 806/Pid/B/2010/PN.Sda Analisa Pertanggungjawaban Pidana Orang yang Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa... BAB IV PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

11 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi yang melanda Indonesia umumnya dan krisis moral masyarakat khususnya membawa dampak dalam kehidupan masyarakat. Kejahatan baik yang dilakukan oleh para pejabat maupun yang dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai modus sangat dirasakan dan meresahkan tatanan kehidupan. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi menjadikan jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin, sehingga ada suatu anggapan masyarakat yang menyatakan mencari uang yang haram saja susah apalagi mencari uang yang halal. Kondisi yang demikian terutama bagi masyarakat yang pemahaman tentang agama kurang mengambil jalan pintas yaitu mengambil langkah untuk melakukan kejahatan, dengan berbagai macam modus yang penting dapat berhasil dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk berfoya-foya maupun memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Diundangkannya berbagai peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk mencari kepastian hukum dalam mencegah terjadinya suatu kejahatan dan menindak pelaku yang melakukan kejahatan atau perbuatan pidana yaitu "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi 1

12 barangsiapa melanggar larangan tersebut". 1 Hal ini berarti bahwa perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi pidana bagi pelakunya adalah yang berkaitan dengan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum dan suatu yang membahayakan kepentingan hukum. Perbuatan yang dilanggar tersebut haruslah telah ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnyanya, sehingga jika peraturan tidak mengatur maka seharusnya seseorang tersebut bebas dari segala tuntutan hukum dengan didasarkan atas nullum delictum noela poena cine praivelege sebagaimana pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) yang menentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada, bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya Perumusan Masalah Berdasarkan uraian sebagaimana di atas, maka yang dipermasalahkan dalam skripsi ini adalah: 1. Apa akibat hukum bagi orang yang menggadaikan mobil dalam status sewa? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana orang yang telah menggadaikan mobil dalam status sewa? 1 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rinekacipta, Jakarta, 2000, h

13 1.3. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum bagi orang yang menggadaikan mobil dalam status sewa. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pidana orang yang telah menggadaikan mobil dalam status sewa Manfaat Penelitian 1. Sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai akibat dan pertanggungjawaban pidana pegadaian yang telah menerima gadai mobil dalam status sewa. 2. Sebagai masukan yang berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam sewa menyewa mobil, dan pemberi gadai mengenai tanggung jawabnya masing-masing serta aparat penegak hukum dalam menangani kasus gadai mobil sewa Kajian Pustaka a. Pengertian Tindak Pidana Perihal tindak pidana ada yang menyebut sebagai perbuatan pidana atau peristiwa pidana. Sianturi dalam mengartikan tindak pidana yang berasal dari istilah Belanda strafbare feit, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum; b. Peristiwa pidana; 3

14 c. Perbuatan pidana dan tindak pidana. 2 Mengenai strafbare feit ini, Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang diartikan sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut". 3 Sahetapy mengartikan tindak pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela, 4 kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi berupa pidana. Perihal delik dibedakan antara delik formil dan delik materiil. Delik formil menekankan pada perbuatannya, terlepas dari akibat yang mungkin timbul, perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah dapat dipidana. Pada delik materiil, yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan aki bat tertentu. 5 Hal tersebut berarti bahwa perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi pidana bagi pelakunya adalah yang berkaitan dengan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum dan suatu yang membahayakan kepentingan hukum. Memperhatikan definisi perbuatan pidana sebagaimana di atas dapat dijelaskan bahwa unsur perbuatan 2 Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (selanjutnya disingkat Sianturi 1), Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1986, h Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rinekacipta, Jakarta, 2000, h Sahetapy, Hukum Pidana, (Editor Penterjemah), Konsursium Ilmu Hukum Departemen P & K, Liberty, Yogyakarta, 2003, h Ibid., h

15 pidana yaitu: 1) perbuatan manusia, 2) bersifat melawan hukum dan 3) dapat dicela. Perbuatan manusia dijelaskan oleh Sahetapy yaitu: bukan mempunyai keyakinan atau niat, tetapi hanya melakukan atau tidak melakukan dapat dipidana. Dalam ruang lingkup rumusan delik: semua unsur rumusan delik yang tertulis harus terpenuhi. Bersifat melawan hukum ialah suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur rumusan delik yang tertulis (misalnya, sengaja membunuh orang lain) tidak dapat dipidana kalau tidak bersifat melawan hukum (misalnya sengaja membunuh tentara musuh oleh seorang tentara dalam perang). Sedangkan maksud dapat dicela adalah: suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dicela itu merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya perbuatan, sekalipun tidak disebut dalam rumusan delik. 6 Perihal hukum pidana, Moeljatno mengemukakan: Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan-larangan tersebut; 2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan; 3) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut. 7 Apabila diperhatikan pendapat Moeljatno di atas dapat dijelaskan bahwa perbuatan pidana merupakan salah satu bagian yang dipelajari dalam hukum pidana. Hukum pidana tidak hanya memberikan pengertian 6 Ibid., h Moeljatno, Op. cit., h. 1. 5

16 tentang perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut, melainkan juga mencakup hal berkaitan dengan pengenaan pidana dan cara bagaimana pidana tersebut dapat dilaksanakan. Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatannya, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau perbuatan seseorang. Sedangkan ancaman pidananya atau sanksinya ditujukan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana yang biasanya disebut dengan perkataan "barangsiapa" yaitu pelaku perbuatan pidana sebagai subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban dalam bidang hukum. Barang siapa ditujukan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan kesalahan. Perihal kesalahan dapat dilakukan atas dasar kesengajaan dan karena kelalaiannya. Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno terdiri dari tiga corak, yaitu: 1) kesengajaan dengan maksud (dolus derictus); 2) kesengajaan sebagai kepastian, keharusan, dan 3) kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis). 8 Sehubungan dengan kesengajaan sebagai suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, dibedakan antara sifat melawan hukum formal 8 Ibid., h

17 dan sifat melawan hukum yang materiil. Sifat melawan hukum formal, apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang, maka di situ ada kekeliruan. Sahetapy mengemukakan bahwa sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik dari undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan untuk dapat dipidananya perbuatan bersumber pada asas legalitas. 9 Letak melawan hukum perbuatan sudah nyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Sifat melawan hukum formal memiliki makna melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Sifat melawan hukum yang materiil berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Hukum bukanlah undang-undang saja, di samping undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataankenyataan yang berlaku dalam masyarakat. 10 Bentuk yang dikenal dalam hukum pidana dapat berupa: Formeel delicht juga disebut delik dengan perumusan formil, yaitu delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang. Materieel delicht juga disebut delik dengan perumusan materiil, yaitu delik yang baru dianggap terlaksana penuh dengan timbulnya akibat yang dilarang Sahetapy, Op. cit., h Ibid., h Ibid. 7

18 Yang dimaksud dengan kealpaan pada dasarnya ialah kekurang hati-hatian atau lalai, kekurang waspadaan, keteledoran, kurang menggunakan ingatannya atau kekhilafan atau sekiranya dia hati-hati, waspada, tertib atau ingat, peristiwa itu tidak akan terjadi atau akan dapat dicegahnya. 12 Culpa atau Lalai adalah kekhilafan atau kealpaan yang menimbulkan akibat hukum dianggap melakukan tindak pidana yang dapat ditindak atau dituntut. 13 b. Tindak Pidana Penggelapan Tindak pidana penggelapan dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 372 KUHP, yang menentukan sebagai berikut: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Ketentuan Pasal 372 KUHP diawali dengan kata barangsiapa yang ditujukan kepada pelaku tindak pidana penggelapan. Pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 55 KUHP, yang menentukan: Pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 55 KUHP, yang menentukan: (1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana: a. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan; b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atas martabat dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. 12 Sianturi, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni-AHM-PTHM, Jakarta, 1983, h Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang,

19 (2) terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Tindak pidana penggelapan sebagaimana pasal 372 KUHP tersebut di atas di dalamnya mengandung unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: a. unsur subyektif : dengan sengaja; b. unsur obyektif : - menguasai secara melawan hukum; - suatu benda; - sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain; - berada padanya bukan karena kejahatan. 14 Unsur pertama Pasal 372 KUHP, yaitu dengan sengaja, merupakan unsur subyektif. Dengan sengaja berkaitan dengan tindak pidana penggelapan dijelaskan lebih lanjut oleh Sianturi sebagai berikut: Pelaku menyadari bahwa ia secara melawan hukum memiliki sesuatu barang. Menyadari bahwa barang itu adalah sebagian atau seluruhnya milik orang lain, demikian pula menyadari bahwa barang itu ada padanya atau ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. 15 Jadi kesengajaan dalam tindak pidana penggelapan ini termasuk kesengajaan sebagai maksud yakni si pembuat menghendaki adanya akibat yang dilarang dari perbuatannya. 14 Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru, Bandung, 1989, h Sianturi, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Alumni, Jakarta, Tahun 1983, h

20 Unsur kedua Pasal 372 KUHP ialah menguasai atau memiliki secara melawan hukum Pengertian memiliki secara melawan hukum dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung No. 69 K/Kr/1959 tanggal 11 Agustus 1959 memiliki berarti menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang dimiliki atau benda itu. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 83 K/Kr/1956 tanggal 8 Mei 1957, memiliki yaitu menguasai sesuatu barang bertentangan dengan sifat dari hak yang dijalankan seseorang atas barang-barang tersebut. 16 Jadi apabila barang tersebut berada di bawah kekuasaannya bukan didasarkan atas kesengajaan secara melawan hukum, maka tidak dapat dikatakan sebagai telah melakukan perbuatan memiliki sesuatu barang secara melawan hukum. Unsur ketiga Pasal 372 KUHP, yaitu suatu benda, menurut Sugandhi adalah sebagai berikut : Yang dimaksudkan barang ialah semua benda yang berwujud seperti uang, baju, perhiasan dan sebagainya, termasuk pula binatang, dan benda yang tidak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta yang disalurkan melalui pipa. Selain bendabenda yang bernilai uang pencurian pada benda-benda yang tidak bernilai uang, asal bertentangan dengan pemiliknya (melawan hukum) dapat pula dikenakan Pasal ini. 17 Sedang menurut Sianturi bahwa: Unsur barang sama saja dengan barang pada pencurian Pasal 362 KUHP. Pada dasarnya barang adalah sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis setidak-tidaknya bagi 16 Ibid. 17 Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, h

21 pemiliknya. 18 Hal tersebut berarti bahwa pengertian barang diartikan secara luas, yaitu tidak hanya terbatas pada benda yang berwujud, melainkan termasuk benda-benda yang tidak berwujud, namun mempunyai nilai ekonomis, misalnya aliran listrik, gas dan yang lainnya. Unsur ke empat Pasal 372 KUHP ialah sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain, dijelaskan oleh Sianturi bahwa: Barang tersebut seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, berarti tidak saja bahwa kepunyaan itu berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga berdasarkan hukum yang berlaku. 19 Selanjutnya Sianturi mengemukakan: Barang yang dimaksud ada padanya atau kekuasaannya ialah ada kekuasaan tertentu pada seseorang itu terhadap barang tersebut. Barang itu tidak mesti secara nyata ada di tangan seseorang itu, tetapi dapat juga jika barang itu dititipkan kepada orang lain, tetapi orang lain itu memandang bahwa si penitip inilah yang berkuasa pada barang tersebut. Jadi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan berarti barang itu berada padanya/kekuasaannya bukan saja karena suatu pelaksanaan perundangan yang berlaku seperti : a. Peminjaman, b. Penyewaaan, c. Sewa-beli, d. Penggadaian, e. Jual beli dengan hak utama untuk membeli kembali oleh sipenjual, f. Penitipan, g. Hak retensi, dan lain sebagainya tetapi juga karena sesuatu hal yang tidak bertentangan dengan hukum seperti misalnya : 1) Menemukan sesuatu benda di jalanan, di lapangan, di suatu tempat umum, dan sebagainya; 2) Tertinggalnya suatu barang tamu oleh tamu itu sendiri di mobil seseorang ketika ia bertamu; 3) Terbawanya sesuatu barang orang lain yang sama sekali tidak disadarinya; dan lain sebagainya Sianturi, Op. Cit., h Ibid., h Sianturi, Op. cit., h

22 Hal tersebut berarti bahwa apabila barang tersebut secara keseluruhan miliknya sendiri, maka tidak dapat dikatakan bahwa barang tersebut adalah sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Unsur kelima Pasal 372 KUHP, yaitu berada padanya bukan karena kejahatan, dijelaskan oleh Lamintang bahwa: menunjukkan adanya suatu hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda tertentu. 21 Jadi jika barang tersebut berada di tangannya melalui mengambil dari orang lain tanpa hak, maka tidak dapat dikatakan sebagai telah melakukan penggelapan melainkan melakukan tindak pidana lainnya yaitu tindak pidana pencurian. c. Penyerahan Barang Bergerak Sebagai Jaminan Barang bergerak dapat digunakan sebagai jaminan utang melalui lembaga gadai dan lembaga fidusia. Barang bergerak yang dijadikan obyek jaminan gadai diatur dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata) tentang Kebendaan. Gadai menurut Pasal 1150 KUHPerdata adalah: Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. 21 Lamintang, Op. Cit., h

23 Memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa gadai adalah penyerahan barang bergerak yang dilakukan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai sebagai jaminan pelunasan utang ketika pemberi gadai ingkar janji. Dengan penyerahan barang bergerak sebagai jaminan utang tersebut, memberikan hak untuk didahulukan dalam pelunasan piutangnya pada pemegang gadai. Meskipun gadai didasarkan atas penyerahan kekuasaan atas suatu benda yang dijadikan obyek gadai, penyerahan barang bergerak dari tangan pemberi gadai kepada pemegang gadai merupakan suatu hal yang mutlak sesuai dengan ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata menentukan: Tak sah adalah gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan si berpiutang. Memperhatikan hal tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa gadai obyeknya barang bergerak, sehingga ketika dijadikan obyek gadai barang tersebut harus diserahkan kepada pemegang gadai dengan ancaman tidak sah atau batal demi hukum jika barang yang dijadikan obyek gadai tersebut tetap berada ditangan pemberi gadai. Penyerahan barang bergerak sebagai obyek gadai digunakan sebagai pelunasan utang ketika pemberi gadai tidak dapat membayar gadainya dengan menjual lelang atas barang tersebut. Gadai barang bergerak adalah barang bukti dalam perkara pidana. Barang bukti yaitu: Barang bukti adalah barang-barang baik yang berwujud, bergerak atau tidak bergerak yang dapat dijadikan bukti 13

24 dan fungsinya untuk diperlihatkan kepada terdakwa ataupun saksi dipersidangan guna mempertebal keyakinan hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa. 22 Penyerahan barang bergerak lainnya yang digunakan sebagai jaminan melalui lembaga fidusia. Fidusia berasal dari kata fides yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara debitor selaku pemberi fidusia dan penerima fidusia selaku kreditor merupakan hubungan hukum yang didasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi hutangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalah-gunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya. 23 Tan Kamelo mengemukakan bahwa, jaminan fidusia adalah salah satu sarana perlindungan hukum bagi keamanan bank yakni sebagai suatu kepastian bahwa nasabah debitor akan melunasi pinjaman kredit. Perjanjian fidusia bukan suatu hak jaminan yang lahir karena undangundang melainkan harus diperjanjikan lebih dahulu antara bank dengan nasabah debitor. 24 Secara yuridis pasal 1 angka (1) UU No. 42 Tahun 1999 mengemukakan bahwa pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas 22 Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, h Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis, Jaminan Fidusia, Raja Rafindo Persada, Jakarta, 2000, h Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia (Suatu Kebutuhan yang Didambakan), Alumni, Bandung, 2004, h

25 dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Mengenai penyerahan barang jaminan fidusia, Satrio mengemukakan: Penyerahan hak milik benda jaminan, maka sebenarnya kreditor telah menjadi pemilik, tetapi kalau diingat, bahwa tujuannya hanyalah sebagai/ untuk memberikan jaminan saja, maka kreditor setelah menerima penyerahan benda jaminan, tidak menjadi pemilik dalam arti yang sebenarnya. 25 Penyerahan secara kepercayaan tidak dimaksudkan untuk betulbetul dimiliki, namun mengenai hal di atas terjadi suatu silang pendapat, karena ada pihak yang berpendirian bahwa kreditor pemegang jaminan fidusia yang dinamakan fidusiairus dengan penyerahan tersebut benarbenar telah menjadi pemilik dari benda jaminan dengan hak-hak sebagaimana yang dipunyai seorang pemilik, namun di sisi yang lain pihak ada sarjana yang berpendapat bahwa fidusia terhadap pihak ketiga berkedudukan sebagai seorang pemilik, sedang terhadap pemberi jaminan hanya berkedudukan sebagai seorang pemegang gadai yang tak memegang benda jaminan, karena para pihak memang tidak benar-benar bermaksud untuk mengalihkan hak milik atas benda jaminan dan dalam prakteknya para pihak mengadakan kesepakatan yang membatasi hakhak kreditor sampai sejauh hak seorang pemegang hak jaminan saja J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h Ibid. 15

26 Gadai kaitannya dengan tindak pidana dapat dijumpai dalam Pasal 480 ayat (2) KUHP menentukan bahwa Barang siapa menjadikan sebagai kebiasaan untuk sengaja membeli, menukar, menerima gadai, menyimpan, atau menyembunyikan barang yang diperoleh dari kejahatan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Orang dikatakan menadah apabila ia : a. membeli, menyewa, menukari, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan; atau karena mau mendapat untung : b. menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan. Selain perbuatan-perbuatan di atas yang dapat digolongkan sebagai perbuatan menadah, orang yang mengambil untung dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan, dapat pula dikatakan menadah. Barang yang dapat digolongkan sebagai barang yang diperoleh karena kejahatan misalnya barang asal dari pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perampokan dan lain sebagainya. Barang yang berasal dari pelanggaran tidak termasuk di sini. 16

27 Barang yang berasal dari kejahatan dibagi pula menjadi 2 bagian yakni : a. barang yang diperoleh dari kejahatan seperti barang hasil pencurian, penggelapan, penipuan atau pemerasan. Barang-barang ini keadaannya sama saja dengan barang-barang lain yang bukan berasal dari kejahatan. Dapatnya kita mengeahui bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dilihat dari hasil penyelidikan tentang asal mula dan caranya barang itu berpindah tangan; b. barang yang terjadi karena sesuatu kejahatan, misalnya mata uang palsu, uang kertas palsu, ijazah palsu dan lain sebagainya. Apabila barang-barang ini dilihat dari segi rupa dan keadaannya, memang agak berbeda dengan barang yang tidak palsu. Untuk mengetahui apakah barang itu berasal dari kejahatan, memang sulit. Tetapi dengan cara menilai dari sudut harga yang jauh lebih mudah dari harga barang yang bukan berasal dari kejahatan dan cara penjualan yang dilakukan secara bersembunyi-sembunyi, kita dapat menyangka bahwa barang itu berasal dari kejahatan. Hasil dari barang yang diperoleh karena kejahatan dapat disamakan dengan hasil penjualan barang itu. Untuk dapat membedakan antara barang yang berasal dari kejahatan dan hasil dari barang yang diperoleh karena kejahatan, perlu dikemukakan contoh sederhana sebagai berikut : 17

28 Seorang berhasil merampok sebuah bank. Sebagian uang rampokan itu dibelikan barang-barang. Uang rampokan itu adalah barang berasal dari kejahatan, sedang barang-barang yang dibeli dengan uang rampokan itu adalah hasil dari barang yang diperoleh dari kejahatan. Dengan adanya perbedaan ini, maka orang yang menerima hadiah uang yang berasal dari perampokan, dikenakan sub pertama pasal ini, sedang yang menerima hadiah barang yang dibeli dengan uang hasil rampokan itu dikenakan sub kedua pasal ini. Sifat tidak legal pada barang yang diperoleh karena kejahatan itu tidak selamanya tetap. Apabila barang itu berpindah tangan kepada seseorang dengan itikat baik, maka sifat tidak legal itu hapus karenanya. Untuk jelasnya perlu dikemukakan contoh singkat sebagai berikut. Seseorang berhasil mencuri sebuah arloji. Kemudian arloji itu digadaikan ke Pegadaian Negeri. Setelah beberapa bulan kemudian, karena tidak ditebus kembali oleh orang yang menggadaikan, maka arloji itu lalu dilelang. Orang yang membeli arloji tersebut, tidak dapat dihukum, karena diterimanya arloji itu dari mobil gadai tersebut dengan itikad baik. Sebaliknya sifat tidak legal pada uang palsu yang diperoleh karena kejahatan tetap kekal untuk selama-lamanya. Uang palsu dan ijazah palsu senantiasa wajib diserahkan kepada polisi untuk diusut atau kemudian dirusak guna menjaga agar jangan sampai dipergunakan orang. 18

29 Ketentuan pasal 367 tidak berlaku bagi pasal ini, artinya :menadah bukan delik aduan. Kejahatan ini biasa disebut menadah secara kebiasaan. Agar dapat dituntut menurut pasal ini, maka kebiasaan sengaja melakukan penadahan itu harus dibuktikan. Membuat kebiasaan = melakukan perbuatan lebih dari sekali. Jadi yang dikenakan pasal ini ialah tukangtukang tadah yang ulung. Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa jika barang bergerak yang dijadikan obyek gadai, maka barang tersebut secara fisik harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai, dengan ancaman tidak sah. Sedangkan bagi barang bergerak yang dijadikan obyek jaminan fidusia, terjadi penyerahan hak milik atas obyek jaminan fidusia dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia. Penyerahan hak milik tersebut tidak perlu dilakukan penyerahan fisik barangnya melainkan cukup hak kepemilikannya saja, sehingga pemberi fidusia semula sebagai pemilik, karena hak pemelikannya telah dialihkan kepada penerima fidusia, maka pemberi fidusia hanya bertindak sebagai peminjam pakai. d. Hak Pihak Penyewa dalam Sewa Menyewa Sewa menyewa termasuk suatu perjanjian yang dibuat secara timbal balik, sesuai dengan pasal 1548 KUH Perdata menentukan: Sewa menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan 19

30 dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. Perjanjian sewa menyewa termasuk sebagai perjanjian yang terbuka atau kebebasan berkontrak sehingga dapat dibuat menyimpang dari pasalpasal KUH Perdata, asalkan perjanjian sewa menyewa tersebut dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perjanjian sewa menyewa yang dibuat oleh pihak-pihak mengikat pada saat kedua belah pihak mencapai kata sepakat mengenai barang yang disewa dan harga sewa. Dengan tercapainya kata sepakat maka untuk tahap berikutnya yaitu pelaksanaan perjanjian tersebut. Pelaksanaan perjanjian merupakan hakikat dari perjanjian itu sendiri, maksudnya bahwa setiap perjanjian dibuat tentunya mempunyai maksud tertentu untuk dilaksanakannya. Mengenai pelaksanaan perjanjian ini, Riduan Syahrani mengemukakan: Melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya apa yang merupakan kewajiban terhadap siapa perjanjian itu dibuat. Oleh karena itu melaksanakan perjanjian pada hakikatnya adalah berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain. 27 Pelaksanaan perjanjian, timbul pada saat perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak, yaitu sejak saat tercapainya kata sepakat 27 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1999, h

31 mengenai hal-hal yang pokok antara kedua belah pihak yang disebut dengan konsensus. Saat terjadinya perjanjian atau konsensus, Subekti mengemukakan sebagai berikut: Pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas. 28 Dengan tercapainya kata sepakat, maka menimbulkan suatu kewajiban secara timbal balik yang disebut juga dengan prestasi. Prestasi diartikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai "kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan". 29 Prestasi merupakan kewajiban, yang berarti kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang membuat perjanjian sebagai pelaksanaan dari perjanjian tersebut, misalnya membuat bangunan, lukisan dan lain sebagainya. Dalam perjanjian sewa menyewa pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban, di antaranya sebagaimana diatur dalam pasal 1550 KUH Perdata sebagai berikut: Pihak yang menyewakan diwajibkan karena sifat perjanjian, dan dengan tak perlu adanya sesuatu janji untuk: 1. menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa; 2. memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan; 3. memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram dari pada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa. 28 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, h Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h

32 Dengan demikian kewajiban pihak yang menyewakan tidak hanya menyerahkan barang yang disewakan, melainkan juga untuk tetap memelihara barang yang disewakan tersebut agar tetap dapat dinikmati oleh penyewa selama waktu sewa. Kewajiban pihak penyewa di antaranya tertuang dalam pasal 1560 KUH Perdata menentukan: Si penyewa harus menepati dua kewajiban utama: 1. untuk memakai barang yang disewa sebagai seorang bapak mobil yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya, atau jika tidak ada suatu perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan; 2. untuk membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Kewajiban untuk memakai barang yang disewa sebagai bapak mobil yang baik, maksudnya menganggap seakan-akan barang yang disewa tersebut miliknya sendiri, sehingga jika terdapat kerusakankerusakan kecil, menjadi kewajiban penyewa untuk memperbaikinya. Memperhatikan uraian sebagaimana di atas dapat dijelaskan bahwa dalam perjanjian sewa menyewa pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban untuk menyerahkan obyek sewa kepada penyewa untuk dinikmati dan hak dari yang menyewakan adalah untuk mendapatkan uang sewa dari penyewa. Sebaliknya kewajiban pihak penyewa adalah untuk membayar uang sewa kepada pihak yang menyewakan dan hak penyewa adalah untuk menikmati obyek sewa selama masa sewa, bukan memiliki obyek sewa, karena tidak ada penyerahan hak milik atas obyek sewa. Oleh karena hak penyewa hanya menikmati barang sewa, maka 22

33 jika memperlakukan barang sewa seakan-akan barang sewa tersebut miliknya, dan melakukan suatu perbuatan hukum mengalihkan barang sewa tersebut, maka dapat dikatakan telah melakukan penggelapan. e. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada penindakan pelaku jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang, 30 yang berarti bahwa pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidjana terjadi jika pelaku telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana karena telah memenuhi keseluruhan unsur-unsur yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Pertanggungjawaban pidana diterapkan terhadap pembuat perbuatan pidana (dader) baik perbuatan kejahatan maupun pelanggaran atas delik. Menurut Moeljatno dikemukakan sebagai berikut: Kejahatan atau rechtsdeliten adalah perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran atau wetsdeliktern yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. 31 Perihal pertanggungjawaban pidana maksudnya pelaku tindak pidana dapat dipidana jika memenuhi keseluruhan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum dan pelaku dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Apabila pelaku tidak 30 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Alumni, AHM-PTHM, Jakarta, 1982, h Moeljatno, Op. Cit., h

34 memenuhi salah satu unsur yang didakwakan, maka tidak dapat dipidana. Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah: 1) melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana; 2) untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab; 3) mempunyai suatu bentuk kesalahan; 4) tidak adanya alasan pemaaf. 32 Ad. 1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana. Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan melawan hukum wederrechtelijkheid sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dikutip dari bukunya Moeljatno dalam hal ini harus dilepas dari tuntutan hukum (onstlag van recht-vervolging). 33 Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang terdapat pada KUHP merumuskan delik tersebut secara tertulis dan juga tidak tertulis. Jika rumusan delik tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum suatu perbuatan pidana, maka unsur delik tersebut dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat melawan hukum tersebut Ibid., h Ibid., h Ibid., h

35 Ad. 2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab. Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur yang diwajibkan guna memenuhi pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, yang menjadi dasar adanya kemampuan bertanggungjawab adalah: 1) kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum; 2) kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. 35 Sedangkan batasan-batasan mengenai pembuatan perbuatan pidana (dader) dianggap tidak mampu bertanggungjawab menurut KUHP adalah: 1) kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (pasal 44 ayat (1) KUHP); 2) anak yang belum dewasa (pasal 45 KUHP). Dengan dasar ketentuan KUHP tersebut di atas, maka pembuat perbuatan pidana (dader) tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan perbuatan pidana. Ad. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan. Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan atau schuld merupakan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang dipergunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana 25

36 jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non fasit reum nisi mens sir rea). Menurut Moeljatno, perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan jika: Orang dikatakan mempunyai kesalahan jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian. 36 Sedangkan menurut Simon sebagaimana dikutip dari bukunya Moeljatno, kesalahan adalah keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat tercela karena melakukan perbuatan tadi. 37 Bentuk perbuatan manusia mempunyai kesalahan terdapat dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno terdiri dari tiga corak, yaitu: 1) kesengakaan dengan maksud (dolus derictus); 2) kesengajaan sebagai kepastian, keharusan, dan 3) kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis) Ibid., h Ibid., h Ibid., h Ibid., h

37 Menurut pendapat Simon yang dikutip dari bukunya Moeljatno mengenai kealpaan mengatakan bahwa isi kealpaan adalah dapat diduga-duganya akan timbul akibat. Kealpaan yang harus terjadi pada perbuatan menurut Van Hamel harus mengandung dua syarat, yaitu: 1) tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan dalam hukum; 2) tidak menghadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Kata kesalahan pada kealpaan pengertiannya sekurang-kurangnya terdiri dari tiga komponen, yaitu: 1) pembuat berbuat lain daripada seharusnya dia berbuat menurut aturan hukum tertulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum; 2) selanjutnya pembuat laku berbuat sembrono, lalai, kurang berfikir, lengah; 3) akhirnya pembuat dapat dicela, yang berarti bahwa dia dapat dipertanggungakibatnya atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berfikir dan lengah. 39 Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf atau verontschukdigingsgrond. Yang dimaksud dengan alasan pemaaf menurut teori hukum adalah alasan yang menghapus kesalahan. Menurut Moeljatno kalau ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf), maka masih ada perbuatan pidana, tetapi orangnya tidak dipidana (tidak dapat dipertanggungjawabkan). Dampak yang terjadi akibat adanya alasan pemaaf bagi seseorang yang melakukan perbuatan 27

38 pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Ad. 4. Tidak adanya alasan pemaaf. Menurut Sudarto, alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau tidak dipidananya, karena 2 hal: Perbuatan meskipun telah mencocoki rumusan delik, namun tidak merupakan suatu tindak pidana karena tidak bersifat melawan hukum (ingat ajaran sifat melawan hukum yang formil dan materiil); meskipun perbuatannya itu dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana, namun orangnya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, karena padanya tidak ada kesalahan. 40 Berhubung adanya dua hal di atas, maka ilmu pengetahuan hukum pidana membedakan adanya: alasan pembenar, dan alasan pemaaf. 41 Mengenai alasan pembenar dan pemaaf, sebenarnya pembedaan ini tidak penting bagi si pembuat sendiri, karena jika ternyata ada alasan penghapusan pidana, maka teranglah ia tidak akan dipidana. Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut: 1) pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu; 2) pasal 48 mengenai daya memaksa (overmacht); 3) pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa (noodwer); 39 Ibid., h Sudarto dan Wonosusanto, Op. cit., h Ibid., h

39 4) pasal 51 ayat (2) mengenai melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah. Jika memenuhi dari salah satu ketentuan tersebut di atas, maka perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana, namun harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana Metodologi Penelitian Tipe penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Adapun yang dimaksud dengan tipe penelitian yuridis normatif, adalah penelitian hukum terhadap data primer dan data sekunder terutama yang berkaitan dengan materi yang dibahas. a. Pendekatan Masalah Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum, dengan pendekatan permasalahan secara statute approach dan conseptual approach 42. Statute approach, artinya pendekatan terhadap masalah yang diajukan didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Sedangkan Conseptual approach artinya pendekatan permasalahan berdasarkan konsep-konsep hukum. b. Sumber Data Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenana Media Group, Jakarta, h. 29

40 - Data primer, yaitu data yang bersifat mengikat, berupa peraturan perundang-undangan, dalam hal ini KUHP dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan materi yang dibahas. - Data sekunder, yaitu data yang erat kaitannya dengan data primer, karena bersifat menjelaskan, yang dapat membantu menganalisis dan memahami data primer, terdiri dari literatur maupun karya ilmiah para sarjana. 43 c. Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan cara membaca, mempelajari dan mengidentifikasinya seluruh data baik berupa peraturan perundangundangan maupun pendapat para sarjana, kemudian data tersebut diolah dengan cara dipilah-pilah dari data yang bersifat umum kemudian disimpulkan menjadi khusus, sehingga diperoleh data yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas,untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini. d. Metode Analisis Data Langkah pengumpulan data dalam tulisan ini adalah melalui studi kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua data yang terkait dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi data yang terkait dan selanjutnya data tersebut disusun secara sistematis untuk lebih mudah membaca dan mempelajarinya. Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran yang bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang 30

BAB II AKIBAT HUKUM ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA Gambaran Kasus Orang Yang Menggadaikan Mobil (Studi Kasus

BAB II AKIBAT HUKUM ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA Gambaran Kasus Orang Yang Menggadaikan Mobil (Studi Kasus BAB II AKIBAT HUKUM ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA 2.1. Gambaran Kasus Orang Yang Menggadaikan Mobil (Studi Kasus Putusan PN Nomor 806/Pid/B/2010/PN.Sda.) Pada tanggal 10 Agustus 2010

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017. TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017. TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2 TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep Perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada masa sekarang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan ekonomi guna mencapai kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

BAB II UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENGGELAPAN. Tindak pidana penggelapan (verduistering) diatur dalam Bab XXIV Pasal

BAB II UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENGGELAPAN. Tindak pidana penggelapan (verduistering) diatur dalam Bab XXIV Pasal 24 BAB II UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENGGELAPAN 2.1. Tindak Pidana Penggelapan Tindak pidana penggelapan (verduistering) diatur dalam Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan Pasal 377 KUHP. Tindak pidana penggelapan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA PEMALSUAN KETERANGAN DOMISILI DALAM AKTA CERAI

TINDAK PIDANA PEMALSUAN KETERANGAN DOMISILI DALAM AKTA CERAI TINDAK PIDANA PEMALSUAN KETERANGAN DOMISILI DALAM AKTA CERAI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Penipuan Penipuan berasal dari kata tipu, yang berarti perbuatan atau perkataan yang tidak jujur, bohong, atau palsu dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali,atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : AHMAD IHSAN NPM

SKRIPSI. Oleh : AHMAD IHSAN NPM TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN SENIOR FINANCE EXECUTIVE DI PT RHODIA DI GRESIK (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor : 163/Pid.B/2010/PN.Gs) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Surastini Fitriasih

Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Surastini Fitriasih Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan Surastini Fitriasih Dalam Buku II KUHP: Bab XXII : Pencurian Bab XXIII: Pemerasan & Pengancaman Bab XXIV: Penggelapan Barang Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXVI: Merugikan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : AKHMAD PERMANA NPM

SKRIPSI. Oleh : AKHMAD PERMANA NPM PENERAPAN HAK-HAK TERSANGKA DALAM PROSES PEYELIDIKAN TINDAK PIDANA (Studi Kasus Tersangka yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian di Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Sidoarjo) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan dalam kehidupan dewasa ini bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi. Bank tidak hanya menjadi sahabat masyarakat perkotaan, tetapi juga masyarakat perdesaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu dilakukan supaya hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang sedang dialami negara Indonesia sekarang ini, tidak semua orang mampu memiliki sebuah rumah

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan perekonomian terus berlangsung di manapun dan oleh siapapun sebagai pelaku usaha, baik pribadi, badan hukum privat atau publik, bahkan oleh gabungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum, 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk menyebutkan kata Tindak Pidana di dalam KUHP. Selain itu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman sekarang semua kegiatan manusia tidak lepas dari yang namanya uang. Mulai dari hal yang sederhana, sampai yang kompleks sekalipun kita tidak dapat lepas dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

A. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia

A. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia 106 A. KESIMPULAN 1. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman negara Indonesia telah banyak perkembangan yang begitu pesat, salah satunya adalah dalam bidang pembangunan ekonomi yang dimana sebagai

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Banyak orang, terutama orang awam tidak paham apa arti Penipuan yang sesungguhnya, yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, khususnya Pasal 378, orang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan dengan tindak pidana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. KUHPerdata Buku II mengenal adanya hak kebendaan yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. KUHPerdata Buku II mengenal adanya hak kebendaan yang bersifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang KUHPerdata Buku II mengenal adanya hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan. Untuk benda jaminan yang berupa benda bergerak, maka hak kebendaan tersebut adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sedang mengalami kehancuran maka mulai timbul tindak pidana dengan modus

I. PENDAHULUAN. sedang mengalami kehancuran maka mulai timbul tindak pidana dengan modus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan di bidang tekhnologi dan informasi saat ini banyak sekali memberikan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Pada saat perekonomian nasional yang sedang mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

I. PENDAHULUAN. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit. Tindak Pidana itu sendiri adalah perbuatan yang dilarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Ini berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang 20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : ACHMAD JUNAEDI NPM

SKRIPSI. Oleh : ACHMAD JUNAEDI NPM PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR PELAKU PEMBUNUHAN TERHADAP ANAK KANDUNGNYA (Studi kasus putusan pengadilan negeri No. 3175/Pid.B/2010/PN. SBY) SKRIPSI Oleh : ACHMAD JUNAEDI NPM. 0671010109

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa, Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA PENIPUAN MENGGUNAKAN BILYET GIRO (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Gresik Putusan No: 246/Pid.B/2014/PN.Gsk)

TINDAK PIDANA PENIPUAN MENGGUNAKAN BILYET GIRO (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Gresik Putusan No: 246/Pid.B/2014/PN.Gsk) TINDAK PIDANA PENIPUAN MENGGUNAKAN BILYET GIRO (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Gresik Putusan No: 246/Pid.B/2014/PN.Gsk) Oleh Prihatin Effendi ABSTRAK Tindak pidana penipuan (oplichthing) merupakan tindak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) RISKA YANTI / D 101 07 622 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Pertimbangan Hakim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam-meminjam uang atau istilah yang lebih dikenal sebagai utang-piutang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan bermasyarakat yang telah mengenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI. belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI. belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI A. Pengaturan Sewa Beli di Indonesia Perjanjian sewa beli adalah termasuk perjanjian jenis baru yang timbul dalam masyarakat. Sebagaimana perjanjian jenis

Lebih terperinci

Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H. KUPAS TUNTAS TENTANG PEMALSUAN DAN MEMASUKKAN DOKUMEN PALSU DALAM AKTA OTENTIK DAN PEMAHAMAN PASAL 263, 264, 266 DAN PASAL 55 KUHP OLEH : PROF. DR. H. DIDIK ENDRO PURWOLEKSONO, S.H., M.H. PENDAHULUAN Dari

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

Bab II TINJAUAN PUSTAKA Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk Undang-undang kita telah menggunakan kata strafbaar feit dan ada juga yang mempergunakan istilah delik, untuk menyebutkan apa yang kita kenal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Salah satu kegiatan usaha yang

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materil), serta tidak ada alasan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materil), serta tidak ada alasan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Di pidananya seseorang tidak cukup jika seseorang telah memenuhi unsur tindak pidana saja. Meskipun telah melakukan perbuatan yang memenuhi

Lebih terperinci