SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012"

Transkripsi

1

2 PROSIDING ISBN SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012 Terbit Tahun 2013 Tim Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. Ir. Murniati Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, MSi Ika Heriansyah, S.Hut, M.Agr Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

3 Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 Bogor, Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR), 2013 ISBN : Foto Sampul : Eko Priyanto Farika Dian Nuralexa Desain Sampul : Tommy Kusuma AP P3KR 2013 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia Telp : (0251) Fax : (0251) p3hka_pp@yahoo.co.id Website: Dicetak oleh : Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

4 Tim Penyunting Penanggung Jawab Redaktur : : Ir. Bambang Sugiarto, M.P Ir. Didik Purwito, M.Sc Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. Ir. Murniati Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, MSi Ika Heriansyah, S.Hut, M.Agr Sekretariat : Ir. Hariono Retisa Mutiaradevi, S.Kom, MCA Rara Retno Kusumastuti R, S.H, M.Hum Eko Priyanto, SP Farika Dian Nuralexa, Shut Zamal Wildan, S.Kom Wahyu Budiarso, S.P Tommy Kusuma AP iii

5 KATA PENGANTAR Daya dukung daerah aliran sungai (DAS) adalah kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan. Daya dukung DAS harus ditingkatkan sebagai akibat dari terjadinya penurunan daya dukung DAS yang ditandai dengan banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi dan kekeringan yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat. Daerah aliran sungai termasuk kategori dipertahankan atau dipulihkan daya dukungnya tergantung dari kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah. Permasalahan pengelolaan DAS saat ini adalah penurunan kualitas DAS di Indonesia sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan serta meningkatnya ego sektoral dan ego kewilayahan. Untuk itu maka pengelolaan DAS merupakan upaya yang sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan DAS meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan yang diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan Instansi Terkait pada lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat. Dengan terbitnya PP Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, maka Indonesia memiliki acuan sehingga pengelolaan DAS secara terpadu dapat dilaksanakan dan daya dukung DAS dapat dipertahankan. Selain itu dukungan IPTEK di bidang pengelolaan DAS diperlukan untuk menjawab permasalahanpermasalahan tersebut. Dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran dan dukungan dalam pengelolaan DAS, Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS (BPTKPDAS) menyelenggarakan Kegiatan Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS Penyelenggaraan tersebut iv

6 adalah sebagai bentuk tanggung jawab BPTKPDAS sebagai lembaga litbang yang bergerak di bidang pengelolaan DAS. Penyelenggaraan Kegiatan Seminar Nasional dimaksudkan sebagai wadah untuk menyampaikan hasil penelitian dan pengembangan bidang pengelolaan DAS yang telah dilaksanakan oleh BPTKPDAS dan instansi lain kepada pengguna. Semoga hasil-hasil tersebut dapat dicermati dan dimanfaatkan oleh parapihak terkait dan diharapkan kegiatan penelitian bidang pengelolaan DAS ke depan dapat ditingkatkan. Dengan demikian Penyelenggaraan Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 adalah menyampaikan hasilhasil dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh BPTKPDAS dan instansi lain agar memperoleh umpan balik dari pengguna. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 ini memuat 14 judul materi yang dibahas, serta rumusan seminar yang merangkum keseluruhan dari hasil diskusi. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyaji, Panitia Penyelenggara, Penyunting Prosiding, serta pihakpihak yang telah mendukung sampai selesainya kegiatan. Semoga Prosiding ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2013 Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabiltiasi Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP v

7 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... PENGARAHAN Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan... v vi viii RUMUSAN Rumusan Seminar xii MAKALAH-MAKALAH 1. Karakterisasi Lahan dan Banjir Sebagai Dasar Penilaian Daya Dukung Daerah Aliran Sungai / Paimin, Ugro Hari Murtiono, Agus Wuryanta (BPKTPDAS) Sistem Perencanaan Kehutanan sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS: Studi Kasus di DAS Serang / Pamungkas Buana Putra, Irfan Budi Pramono(BPKTPDAS) Revisi Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Lusi Dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT dan Sistem Informasi Geografis / Agus Wuryanta, Aris Budiyono, Beny Harjadi (BPKTPDAS) Struktur Property Rights Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan (PHBM) Pada Hutan Tanaman Jati / Evi Irawan (BPKTPDAS) Partisipasi Masyarakat Pada Kegiatan Konservasi Tanah dan Air di Hulu Sub DAS Gandu Suwaduk, Pati - Jawa Tengah / C. Yudilastiantoro (BPKTPDAS) Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Hasil Air: Studi Kasus di Daerah Aliran Sungai Bajulmati / Purwanto, Irfan Budi Pramono (BPKTPDAS) Neraca Air Meteorologis di Kawasan Hutan Tanaman Jati di Cepu / Agung Budi Supangat, Pamungkas Buana Putra (BPKTPDAS) Analisis Kualitas Air pada Tanaman Kayuputih di Mikro DAS Gubah, Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta / Ugro Hari Murtiono (BPKTPDAS) vi

8 9. Perubahan Tingkat Sedimen Terlarut di Sungai Keduang Periode / Gunardjo Tjakrawarsa, Irfan Budi Pramono (BPKTPDAS) Kajian Peran Dominasi Jenis Mangrove Dalam Penjeratan Sedimen Terlarut Di Segara Anakan Cilacap / Ugro Hari Murtiono, Gunardjo Tjakrawarsa, Uchu Waluya Heri Pahlana (BPKTPDAS) Ujicoba Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis di Gunung Batur, Bangli (Hasil Awal) / Gunardjo Tjakrawarsa, Budi Hadi Narendra (BPK Mataram) Komposisi Dan Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Berpotensi pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Taman Nasional Bali Barat / Arina Miardini, Agung Budi Supangat (BPKTPDAS) Penanganan Lahan Pantai Berpasir Dengan Tanaman Tanggul Angin Cemara Laut / Beny Harjadi (BPKTPDAS) Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan di Sub Daerah Aliran Sungai Tulis / S. Andy Cahyono, Purwanto (Mahasiswa S3 UGM) LAMPIRAN Jadwal Acara Daftar Peserta Hasil Diskusi vii

9 PENGARAHAN Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Dalam Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 Yth. Para Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten atau yang mewakili Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Kepala Pusat/Kepala Balai Besar/ Kepala Balai Lingkup Badan Litbang Kehutanan khususnya dan Kementerian kehutanan Umumnya, Bapak/Ibu peserta seminar (peneliti, praktisi, penentu kebijakan, dll) yang berbahagia Assalamu alaikum Wr. Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat dan karunia kepada kita, serta atas perkenaan-nya pulalah kita bisa hadir pada acara seminar dalam keadaan sehat wal afiat dan suasana yang penuh kebahagiaan. Bapak Ibu peserta seminar yang kami hormati, Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari hulu hingga hilir beserta kekayaan sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia patut disyukuri, dilindungi dan diurus dengan sebaik-baiknya. DAS memiliki persoalan yang sangat komplek tetapi diantaranya juga mempunyai potensi yang besar untuk pembangunan, oleh karena itu perlu dikelola dan didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan sehingga masyarakat memperoleh manfaat yang optimal dan berkelanjutan pula. viii

10 Permasalahan pengelolaan DAS saat ini adalah penurunan kualitas DAS di Indonesia sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan serta meningkatnya ego sektoral dan ego kewilayahan. Bencana banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi dan kekeringan yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat adalah merupakan tanda-tanda penurunan daya dukung DAS. Amanah UU No. 41 tahun 1999 salah satu tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah dengan meningkatkan daya dukung DAS, oleh karena itu diperlukan suatu pengelolan DAS yang obyektif dan rasional untuk mengatasi permasalahan pengelolaan DAS tersebut. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Sebagai landasan penyelenggaraan pengelolaan Pengelolaan DAS, telah terbit PP Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. Untuk mengimplementasikan PP tersebut, masih diperlukan pemahaman bersama oleh parapihak terkait sehingga dapat dilaksanakan dengan selaras dan terpadu. Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS diperlukan serangkaian IPTEK di bidang pengelolaan DAS yang adoptif sebagai dasar untuk menjawab permasalahan / dinamika sosial, politik, ekonomi, dan teknologi yang kian berkembang. Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pengelolaan DAS 2012 dimaksudkan sebagai wadah untuk menyampaikan hasil penelitian dan pengembangan bidang pengelolaan DAS yang telah dilaksanakan oleh BPTKPDAS. Sasaran Seminar untuk menyampaikan hasil penelitian dan menjaring masukan untuk penyempurnaan dan tindaklanjut. ix

11 Luaran yang ingin dicapai hasil-hasil penelitian cepat sampai kepada pengguna (praktisi, penentu kebijakan) dan dimanfaatkan. Seminar ini juga merupakan tindak lanjut dari Nota Kesepahaman antara Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Nomor NK.3/VIII-SET/2011 dan Nomor NK.2/V-SET/2011 tanggal 27 Juni 2011 Tentang IPTEK Pengelolaan DAS sebagai Landasan Kebijakan Operasional. Untuk meningkatkan sinergitas kerjasama antara Badan Litbang Kehutanan sebagai penyedia IPTEK dengan pengguna IPTEK, terutama Ditjen BPDASPS, maka perlu Kehadiran Direktur PEPDAS Ditjen BPDASPS sebagai keynote speech untuk menyampaikan Kebutuhan IPTEK Pengelolaan DAS Dalam Mengimplementasikan PP Nomor 37 Tahun Dalam melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang kehutanan, telah dijalin pula kerjasama dengan Perum Perhutani. Maksud kerjasama adalah untuk mendayagunakan dan mensinergikan sumberdaya antara Perum Perhutani dan Badan Litbang dalam rangka penelitian dan pengembangan, pemanfaatan dan penerapan hasilhasilnya. Ruang lingkup kerjasama meliputi litbang di bidang kehutanan, sosialisasi dan diseminasi hasil, penerapan dan pemanfaatan hasilhasilnya. Langkah awal telah disepakati Bersama (Memorandum of Understanding) antara Badan Litbang Kehutanan dengan Perum Perhutani Tentang Kesepakatan Bersama Melaksanakan Kerjasama Penelitian dan Pengembangan serta Penerapan dan Pemanfaatan Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Nomor NK. 1/VIII-SET/2012 dan Nomor 034/SJ/DIR/2012, tanggal 23 April x

12 Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan bersama tersebut, telah diupayakan perjanjian kerjasama (PKS) litbang yang dilaksanakan di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) dan Hutan Penelitian yang berada di wilayah Perum Perhutani Unit I dan II, dan oleh karena itu pada kesempatan ini akan dilakukan penandatanganan PKS lingkup badan Litbang Kehutanan yaitu antara BPTKPDAS Solo dan PUSKONSER Bogor dengan Puslitbang Perum Perhutani Cepu. Maksud PKS tersebut adalah untuk meningkatkan sinergitas dan efisiensi penelitian dan atau pengembangan serta pengelolaan KHDTK secara kolaboratif sehingga diperoleh peningkatan nilai hutan dan lingkungan. Saudara-saudara hadirin yang berbahagia, Penyelenggaraaan seminar ini sangat penting bagi kita bersama. Oleh karena itu kami mohon agar semua yang hadir di sini dapat berperan aktif dalam diskusi, sehingga nantinya dapat diperoleh nilai manfaat secara maksimal. Demikian sedikit pengantar kami tentang latar belakang pentingnya penyelenggaraan seminar ini. Semoga pada akhir acara nanti dapat dirumuskan temuan-temuan penting untuk menjadi bahan pertimbangan kebijakan pimpinan dalam menghadapi tantangan pengelolaan DAS terkini. Akhir kata, semoga kegiatan ini bermanfaat bagi semua institusi yang terkait di bidang Pengelolaan DAS maupun para pengguna sehingga terjalin hubungan timbal balik yang bermanfaat bagi kemaslahatan negara, pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirochim, Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pengelolaan DAS 2012 kami nyatakan dibuka secara resmi. Wassalamualaikum Wr. Wb. Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr. Ir. R. Iman Santoso, M.Sc. xi

13 RUMUSAN SEMINAR NASIONAL Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 (5 September 2012) Berdasarkan arahan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan; keynote speech: Kebutuhan IPTEK Pengelolaan DAS dalam mengimplementasikan PP Nomor 37 Tahun 2012 oleh Direktur Perencanaan & Evaluasi Pengelolaan DAS Ditjen BPDASPS; paparan narasumber komisi; serta hasil diskusi, maka seminar ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Hasil Rumusan Sidang Komisi I 1. Karakterisasi Lahan dan Banjir Sebagai Dasar Penilaian Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (Ir. Paimin MSc,dkk) a. Berdasarkan tingkat kerentanan lahan terhadap erosi, Sub DAS Tuntang Hulu, merupakan wilayah yang harus mendapat prioritas penanganan. b. Berdasarkan analisis untuk karaterisasi DAS, DAS Tuntang memiliki potensi pasokan air banjir yang tinggi, maka berdasarkan klasifikasi DAS menurut PP 37 Tahun 2012, DAS Tuntang termasuk pada kategori dipulihkan. c. Sedangkan berdasarkan karakteristik/tipologi lahan dan pasokan air banjir maka urutan penangan DAS Tuntang adalah hulu, tengah kemudian hilir. d. Hasil identifikasi ini diharapkan bias digunakan sebagai penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya khususnya di Kabupaten Demak. - Berdasarkan tingkat kerentanannya, karakteristik lahan dan pasokan air banjir maka DAS Tuntang dikategorikan sebagai DAS yang dipulihkan, dan prioritas penanganan dilakukan di bagian hulu DAS. xii

14 - Penyusunan kriteria DAS sebaiknya menggunakan parameter yang workable. Termasuk penentuan actor perusak DAS, dan siapa dan apa yang sebaiknya ditangani. - Buku Perencanaan Pengelolaan DAS telah memberikan arahan parameter mana yang bias digunakan untuk menganalisis kondisi DAS lingkup kabupaten, lintas kabupaten dan lintas popinsi. 2. Sistem Perencanaan Kehutanan sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS: Studi Kasus di DAS Serang (Pamungkas BPS.Hut, dkk) a. Mempertimbangkan luas kawasan hutan di DAS Serang yang 14,96% merupakan wilayah Unit I Jawa Tengah, dan sebesar 45% KPH (terdiri dari 9 KPH) dari Unit I Jawa Tengah. Dengan demikian KPH Unit I Jawa Tengah merupakan stakeholders utama yang mengelola DAS Serang. b. Terkait dengan sinkronisasi system perencanaan hutan dan sistem perencanaan pengelolaan DAS, Bagian Hutan menjadi wadah dalam sinkronisasi-kolaborasi kedua system perencanaan tersebut. c. Pada pengelolaan DAS, setiap unit pengelolaan hutan dalam melaksanakan pengelolaan hutan hendaknya mengacu pada karakteristik dari DAS yang bersangkutan (ayat 3 pasal 32 PP No. 44 tahun 2004). d. Sinergitas antara sistem perencanaan DAS terhadap sistem perencanaan kehutanan dilakukan melalui penyusunan Rencana Pengelolaan hutan yang berdasar/mengacu pada Rencana Pengelolaan DAS. Penyusunan Rencana pengelolaan hutan (baik konservasi maupun lindung dan produksi) yang telah dilaksanakan selama ini juga telah mengaitkan antara keberadaan kawasan hutan dengan DAS. Di dalam menyusun rencana pengelolaan hutan konservasi, faktor kondisi Daerah Aliran Sungai dan sumber daya air menjadi salah satu unsur ekologi yang mendasari penyusunan rencana pengelolaan hutan (pasal 8 Permenhut No. 41/Menhut-II/2008). e. Demikian juga perencanaan hutan untuk hutan lindung dan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani telah xiii

15 mengaitkan unsur pengelolaan DAS. Unsur pengelolaan DAS menjadi salah satu unsur agenda tujuan pengelolaan hutan dalam Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) sebagai contoh adalah RPKH (Revisi) KPH Cepu Jangka Sasaran dan strategi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan aktivitas kelola lingkungan di kawasan hutan berupa penataan KPS; penerapan teknik KTA, monitoring tata air, erosi dan sedimentasi; monitoring tingkat kesuburan. (SPH IV, 2009). f. Perencanaan makro dari Perencanaan Pengelolaan DAS diadopsi melalui RPKH lingkup Bagian Hutan (BH) untuk hutan lindung dan produksi, dan Rencana Pengelolaan kawasan konservasi (baik CA, SM, TN dan Tahura). - Sinkronisasi perencanaan kehutanan di lingkup Perhutani dalam upaya mendukung pengelolaan DAS dilakukan melalui Bagian Hutan untuk hutan lindung dan produksi, dan Rencana Pengelolaan kawasan konservasi. - Hutan merupakan bagian dari ekosistem DAS, oleh karena itu rencana pengelolaan kehutanan hendaknya mengacu pada rencana pengelolaan DAS. 3. Revisi Peta Penggunaan Lahan di Sub DAS Lusi dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT dan SIG (Ir. AgusWuryanta, MSc) Telah terjadi perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan di DAS Lusi, seperti Sawah Irigasi pada peta RBI seluas ,65 ha, sedangkan hasil klasifikasi citra SPOT 2 menjadi seluas 1.797,85 ha atau berkurang ,8 ha. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada saat perekaman citra yaitu tanggal 19 Juni 2006 (musim kemarau) sebagian areal tersebut tidak ada vegetasi (setelah musim panen) sehingga terklasifikasi pada citra sebagai lahan kosong. Jenis penutupan/penggunaan lahan Sawah Tadah Hujan pada peta RBI seluas ,25 ha, sedangkan hasil klasifikasi citra pada areal tersebut terdapat berbagai jenis penutupan vegetasi seperti mahoni, jati, dan belukar/semak. - Revisi citra SPOT bias dilakukan pada peta RBI suatu lokasi untuk mendapatkan gambaran mutakhir keadaan suatu wilayah. xiv

16 - Citra dengan resolusi besar akan memberikan hasil dan akurasi yang lebih baik. 4. Struktur Property Rights Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan (PHBM) Pada Hutan Tanaman Jati (Dr. Evi Irawan) a. Sistem PHBM ternyata tidak banyak merubah karakteristik property rights Perhutani, tetapi merubah karakteristik property rights masyarakat desa hutan, khususnya LMDH, ke arah yang lebih baik meskipun belum ideal. Namun demikian, beberapa hal yang perlu disadari adalah bahwa sistem PHBM ternyata belum mampu meningkatkan derajat eksklusivitas pemegang hak atas sumber daya hutan yang ada di dalam kawasan hutan pangkuan desa, kecuali pohon jati. Pihak-pihak luar yang bukan merupakan anggota LMDH dapat dengan mudah mengakses dan sekaligus mengambil kayu bakar, hijauan makanan ternak, dan lain-lain. b. Rendahnya derajat eksklusivitas dan fleksibilitas property rights yang dikuasai LMDH pada sistem PHBM dapat berimplikasi pada melemahnya dorongan LMDH dalam melestarikan sumberdaya hutan tanaman jati, kecuali tegakan jati, di kawasan hutan pangkuan desa. Dengan kata lain, sistem PHBM kurang dapat mendorong LMDH memanfaatkan sumberdaya hutan secara optimal sehingga dapat menjadi sumber aliran pendapatan regular bagi LMDH maupun masyarakat desa hutan. c. PHBM tampaknya perlu dirombak sedemikian rupa sehingga dapat memberikan suatu struktur property rights yang mampu memberikan insentif bagi masyarakat desa atau LMDH untukturutsertadalam pelestarian sumberdaya hutan. - Perombakan PHBM yang memberikan kepastian dan insentif kepada masyarakat untuk turut serta melestarikan sumberdaya hutan. Hal ini pada hakekatnya akan membawa dampak positif pada peningkatan kesehatan DAS. - Perlu difikirkan upaya menciptakan watershed governance untuk meningkatkan tata kelola DAS melalui penelitian tentang property right. xv

17 5. Tingkat Partisipasi Pada Kegiatan Konservasi Tanah dan Air di Hulu Sub DAS Gandu Suwaduk, Pati - Jawa Tengah (Ir. YudiLastiantoro, MP) a. Rata-rata tingkat partisipasi responden terhadap usaha konservasi tanah dan air adalah rendah sampai sedang. b. Kenyataan di lapangan, para petani di Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu sudah menerapkan kaidah konservasi tanah di lahannya. Terdapat dua metode konservasi tanah yang telah dilaksanakan, yaitu metode vegetative dan teknik sipil. Metode vegetative yang dilakukan petani adalah menanam tanaman keras di tebing jurang, menanam rumput di gulud dan agroforestry. Metode teknik sipil yang diterapkan dalam melaksanakan konservasi tanah berupa: pembuatan saluran pembuangan air dan pembuatan dam kecil penahan sedimen di badan sungai. c. Karakteristik tipologi partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi tanah dan air di desa Gunungsari adalah partisipasi fungsional, yaitu masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian dari kegiatan, setelah ada keputusan-keputusan yang telah disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung dari pihak luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukan kemandiriannya. d. Tujuan partisipasi (1) Meningkatkan penghasilan masyarakat dari kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan lahan berkaidah konservasi tanah dan air. (2) Melestarikan hutan, tanah dan alam sekitarnya termasuk mengurangi bahaya erosi (3) Melestarikan sumberdaya air, khususnya air bersih untuk keperluan seluruh warga desa. - Partisipasi masyarakat sangat penting sebagai upaya meningkatkan kesehatan DAS. Partisipasi dilakukan masyarakat petani dalam bentuk pembuatan bangunan konservasi seperti teras, gulud, dan SPA serta perlakuan vegetatif berupa penanaman tanaman keras. xvi

18 Hasil Rumusan Sidang Komisi II 1. DAS dapat dipandang sebagai sistem hidrologis yang dipengaruhi oleh peubah curah hujan yang masuk ke dalam sistem. DAS merupakan suatu kesatuan pengelolaan lingkungan dengan menyatukan berbagai tipe ekosistem di daratan antara wilayah hulu sampai hilir yang terhubung melalui siklus/daur hidrologi. Dalam hal ini, tiga aspek utama dalam pengelolaan DAS yang perlu diperhatikan meliputi jumlah/hasil air (water yield), waktu penyediaan (water regime) dan sedimen. 2. Perubahan iklim yang disebabkan oleh faktor alami dan perilaku manusia dapat menyebabkan meningkatnya rerata suhu udara maksimum pada jangka panjang yang pada akhirnya dapat meningkatkan laju evapotranspirasi dan mempengaruhi hasil air pada ekosistem DAS. Terkait dengan siklus hidrologi, perubahan iklim mempengaruhi anomali distribusi curah hujan baik secara spasial maupun temporal. Namun demikian pada skala kecil, pola curah hujan tahunan, debit sungai dan hasil air cenderung tidak terpengaruh oleh adanya perubahan iklim, meskipun ada kecenderungan menurunnya jumlah air tersedia untuk keperluan rumah tangga maupun budidaya pertanian. Untuk menyikapi kelangkaan air untuk budidaya pertanian, khususnya pada musim kemarau, masyarakat perlu menerapkan pola tanam tumpang gilir. 3. Informasi kondisi neraca air pada suatu wilayah diperlukan dalam perencanaan pengelolaan kawasan, terutama pada daerah kering, termasuk dalam pengembangan komoditas pertanian dan kehutanan beserta pola tanamnya. Pada kawasan hutan jati, potensi defisit air pada bulan-bulan kering dalam satu tahun relatif tinggi namun potensi pasokan air ke dalam tanah di bulanbulan basah sebagai simpanan air tanah sangat kecil. Sehingga pada kawasan tersebut ada kecenderungan bahwa curah hujan yang dapat dimanfaatkan tidak mencukupi besarnya kebutuhan air oleh tanaman. Dengan demikian, perlu adanya tambahan air dari irigasi, khususnya untuk tanaman budidaya pertanian di sekitar hutan jati. xvii

19 4. Kuantitas dan kualitas air merupakan permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya air DAS, baik pada daerah hulu maupun hilir. Penurunan kualitas air berdampak buruk pada kesinambungan ekosistem DAS. Pada daerah hulu, penurunan kualitas air lebih disebabkan oleh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman melalui sedimentasi, penumpukan hara dan pencemaran bahan kimia pestisida. Pada kawasan hutan dengan tanaman kayu putih, permasalahan utama yang dihadapi adalah terkait dengan ketersedian air tanah maupun air permukaan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, di mana masyarakat sekitar kawasan sering mengalami kelangkaan air untuk kebutuhan domestik maupun untuk bercocok tanam. Sementara itu, berdasarkan beberapa parameter penentuan kelas kualitas air menurut peraturan yang berlaku, diperoleh informasi bahwa air pada kawasan hutan kayu putih secara umum masih dapat digunakan sebagai bahan baku air minum dan untuk pengairan tanaman. 5. Tingginya laju sedimentasi karena erosi yang disebabkan oleh perubahan penutupan lahan, terutama berkurangnya luasan penutupan hutan dan bertambahnya luasan areal pemukiman, dapat menyebabkan terganggunya fungsi waduk dalam pengaturan penampungan, penyimpanan dan pendistribusian air. Pada jangka panjang, meningkatnya jumlah sedimen terlarut yang masuk ke dalam waduk dapat memperpendek umur teknis waduk. Upaya penurunan laju sedimentasi melalui kegiatan konservasi tanah dengan penanaman pohon dan pembuatan bangunan sipil teknis perlu dilakukan dengan melibatkan secara aktif masyarakat setempat untuk menyelaraskan antara kebutuhan masyarakat dan kelestarian lingkungan DAS, khususnya pada daerah tangkapan waduk. Pola agroforestri dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penggunaan lahan pada daerah hulu yang dapat memberikan manfaat ekonomis bagi masyarakat sekaligus memberikan manfaat perlindungan bagi ekosistem hulu DAS. 6. Ekosistem hutan mangrove mempunyai peran yang sangat penting, baik secara ekologis, ekonomis maupun social budaya. Terkait dengan proses erosi dan sedimentasi, vegetasi pada xviii

20 hutan mangrove mempunyai kemampuan dalam menjerat sedimen terlarut sebelum masuk ke laut. Dalam hal ini, komunitas tanaman bakau (Rhizophora spp.) mempunyai kemampuan menjerat sedimen terlarut yang terendah dibandingkan dengan komunitas tanaman api-api (Avicenna spp.) dan bogem (Sonneratia spp.). Dengan demikian, jenis bakau (Rhizophora spp.) sangat cocok dikembangkan untuk rehabilitasi kawasan hutan mangrove terdegradasi yang ditujukan untuk mengurangi pendangkalan sungai pada daerah hulunya yang pada akhirnya dapat potensi banjir. 7. Perlu adanya tindak lanjut penelitian dengan menambahkan komponen-komponen yang diteliti maupun memperbaiki metode penelitian yang dipakai, sehingga pada akhirnya hasil penelitian yang dihasilkan lebih berkualitas dan bermanfaat bagi praktisi lapangan. Seminar merupakan media komunikasi interaktif antara peneliti dan praktisi untuk menyampaikan/mendiseminasikan hasil-hasil penelitian dan pengembangan, mendapatkan umpan balik dari pengguna hasil penelitian dan menyinergikan hasil-hasil penelitian antar lembaga penelitian yang terkait. Dengan demikian, kegiatan seminar ini dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan baik peneliti maupun praktisi. Hasil Rumusan Sidang Komisi III 1. Salah satu penyebab meluasnya lahan kritis di Pulau Bali adalah akibat letusan gunung berapi. Lahan kritis tersebut berupa batu vulkanis beku dan pasir dari letusan Gunung Batur. Karena mempunyai tingkat kesuburan tanah dan curah hujan rendah maka lahan tersebut perlu segera direhabilitasi. Salah satu upaya rehabilitasi tersebut dapat dilakukan penamanan cemara pandak (Dacricarpus umbricarpus), rasamala (Altingia excelsa), dan Kepelan (Manglietia glauca) dengan perlakuan pemberian top soil, pupuk kandang dan penyiraman sistem tetes. Namun demikian hasil penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk memperoleh hasil yang signifikan. xix

21 2. Tumbuhan bawah merupakan komponen penting dalam ekosistem hutan. Adanya komposisi dan keanekaragaman tumbuhan bawah akan mempengaruhi struktur dan fungsi ekologis hutan. Telah ditemukan 29 jenis tumbuhan bawah di Taman Nasional Bali Barat yang mempunyai potensi a) sebagai penutup lantai hutan, b) sebagai tanaman hias, c) tumbuhan obat, d) tumbuhan penghasil pakan satwa, e) penghasil sayuran, f) penghasil minyak atsiri, g) tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan, dan h) tumbuhan sakral. Nilai keanekaragaman masing masing tipe ekosistem hutan tersebut tergolong yang menandakan penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas juga sedang. 3. Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) sempadan sungai merupakan kawasan perlindungan untuk mendukung fungsi lingkungan yaitu konservasi tanah dan hidroorologi serta mempertahankan biodiversitas ekosistemnya, Permudaan KPS melalui enrichment planting yang harus mempertimbangkan toleran atau intoleran jenis tanaman yang dikembangkan. Untuk mendukung hal tersebut dilakukan penelitian intensitas cahaya pada jenis penutupan hutan jati dan johar. Hasil penelitian ini masih perlu diperluas dengan pengamatan tingkat pertumbuahn tumbuhan bawah dibawah jenis-jenis tersebut dan jenis lain yang berkaitan dengan fungsi konservasi KPS. 4. Permasalahan yang sering timbul pada lahan pantai antara lain adalah abrasi (pengurangan daratan), air pasang, kecepatan angin tinggi, uap air yang mengandung garam, iklim mikro ekstrim panas dan kering, dan unsur hara yang rendah. Untuk mengeliminir masalah tersebut dapat dilakukan antara lain dengan penambahan pupuk kandang dan mikoriza, penyediaan sumur renteng dan pemberian mulsa, sedangkan untuk kondisi iklim ekstrim dengan penghijauan cemara laut sebagai tanggul angin. Langkah awal untuk menuju pertanian yang efisien adalah penentuan komoditas unggulan yang diusahakan sehingga diperoleh komoditas yang memiliki keunggulan komparatif sehingga xx

22 mampu meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS). Komoditas unggulan harus layak diusahakan karena memberikan keuntungan kepada petani baik secara biofisik, sosial, dan ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak secara biofisik jika sesuai dengan agroekologi, layak secara sosial jika komoditas tersebut memberi peluang berusaha, bisa dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Hasil penelitian di Sub DAS Tulis menunjukkan bahwa komoditas unggulan yang banyak diusahakan yaitu padi, dan jagung (tanaman pangan), kentang dan kubis (hortikultura), salak (buahbuahan), sengon (kehutanan), kambing dan sapi (ternak ruminansia) dan ayam (ternak non ruminansia). Informasi desa yang memiliki keunggulan atas suatu komoditas perlu diketahui karena mencerminkan pewilayahan komoditas. Desa yang memiliki banyak komoditas unggulan akan menjadi pemasok bagi daerah non basis dan desa dengan banyak komoditi unggulan akan lebih maju dibandingkan dengan daerah yang sedikit memiliki komoditi unggulan. Penggantian komoditas unggulan komparatif (kentang) tidak dapat serta merta dilakukan dengan tanaman kehutanan. Rekomendasi teknik penanaman kentang dengan menerapkan teknik konservasi tanah perlu diberikan agar memberikan manfaat ekonomi dan ekologi. Surakarta, 5 September 2012 Tim Perumus 1. Nana Haryanti, S.Sos, M.Sc 2. Nunung Pujinugroho, S.Hut, M.Sc 3. Ir. Nining Wahyuningrum, M.Sc xxi

23 SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN SEBAGAI PENDUKUNG PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS STUDI KASUS DI DAS SERANG 1 Oleh: Pamungkas B.P. 2 dan Irfan Budi Pramono 3 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: ( ) / bpt.kpdas@forda-mof.org 2 pamungkas_buanaputra@yahoo.co.id; 3 ibpramono@yahoo.com ABSTRAK Sistem perencanaan pengelolaan DAS disusun berdasarkan karakterisasi DAS dengan memperhatikan sistem pemerintahan, sistem penataan ruang dan sistem kehutanan dengan harapan agar terjadi keselarasan pengelolaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji penyelenggaraan pengelolaan kawasan hutan dan sistem perencanaannya yang akan digunakan sebagai pendukung dalam penyusunan sistem perencanaan pengelolaan DAS. Penelitian dilakukan pada tahun 2011, dengan lokasi penelitian di DAS Serang yang terletak di Propinsi Jawa Tengah meliputi 10 (sepuluh) kabupaten yaitu: Blora, Rembang, Grobogan, Sragen, Semarang, Boyolali, Pati, Demak, Kudus dan Jepara. Wilayah ini dipilih sebagai lokus penelitian karena merupakan DAS yang bersifat lintas kabupaten. Sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat mendukung proses penyusunan sistem perencanaan pengelolaan DAS lintas kabupaten dalam propinsi. Penelitian bersifat deskriptif (kuantitatif dan kualitatif) dengan analisis data dan telaahan peraturan dan perundangan yang berlaku. Luas kawasan hutan di DAS Serang sebesar ,140 Ha (23,77 % terhadap luas DAS) terdiri atas hutan konservasi, lindung dan produksi. Sebesar 98,88% kawasan hutan di DAS Serang dikelola oleh Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah yang merupakan 14,96 % dari seluruh wilayah Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Oleh karenanya di sektor kehutanan, Perum Perhutani merupakan stakeholder utama dalam pengelolaan DAS Serang. Sinergisitas antara sistem perencanaan DAS dengan sistem perencanaan kehutanan dilakukan pada saat penyusunan perencanaan pengelolaan DAS dengan memperhatikan perencanaan kehutanan. Selanjutnya dalam implementasi perencanaan pengelolaan DAS melalui penyusunan Rencana 1 Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 Surakarta, 5 September

24 Pengelolaan Hutan yang berdasar/mengacu pada Rencana Pengelolaan DAS. Unsur pengelolaan DAS telah terkait dalam perencanaan pengelolaan kawasan hutan, namun belum disusun berdasarkan karakteristik DAS secara utuh. Kata Kunci: DAS, sistem perencanaan kehutanan, sistem perencanaan pengelolaan DAS I. PENDAHULUAN Suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) pada hakekatnya merupakan suatu kesatuan pengelolaan lingkungan dengan menyatukan berbagai tipe ekosistem di daratan antara wilayah hulu sampai hilir yang terhubung melalui siklus/daur ekologi (Dixon dan Easter, 1986; Rachman, 2009). Masing-masing tipe ekosistem tersebut masih terbagi menjadi berbagai macam sumber daya lahan yang dikelola dan dimanfaatkan oleh berbagai sektor dan pemangku dengan kepentingan dan tujuan yang beragam (Rachman 2009 dalam Pamungkas dan Paimin, 2012). Mengingat demikian, diperlukan pengelolaan terhadap suatu DAS untuk mengatur segala aktivitas di dalam DAS agar terjadi hubungan timbal balik yang baik antara sumber daya lahan (alam) dengan manusia sehingga terwujud kelestarian dan keserasian berbagai ekosistem (Bab Pendahuluan, Peraturan Pemerintah No. 37/2012). Pengelolaan DAS dilakukan secara utuh yang diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan berbagai instansi lintas wilayah administrasi dan peran masyarakat melalui tahapan: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, dan pembinaan dan pengawasan (pasal 2, PP 37/2012). Perencanaan DAS sebagai salah satu fungsi pengelolaan DAS berisi tahapan kegiatan: inventarisasi DAS, penyusunan Rencana Pengelolaan DAS, dan penetapan Rencana Pengelolaan DAS (pasal 4, PP37/2012). Paimin et al. (2006) menawarkan konsep karakterisasi DAS sebagai metode analisis dan penyusunan data hasil inventarisasi DAS. Karakterisasi DAS merupakan hasil analisis dan identifikasi permasalahan aktual berdasarkan dari ciri karakter/perwatakan yang ada dan sedang berkembang dari suatu DAS. Berdasarkan karakterisasi DAS tersebut kemudian disusun sistem perencanaan pengelolaan DAS dengan memperhatikan sistem pemerintahan, sistem penataan ruang dan sistem kehutanan dengan harapan agar terjadi keselarasan pada masing-masing sistem. 19

25 Hutan pada hakekatnya adalah salah satu ekosistem dan sumber daya lahan yang merupakan bagian dari seluruh ekosistem dan sumber daya lahan DAS. Aktivitas pengelolaan hutan dapat terkait dengan DAS karena memberikan pengaruh tata air, erosi dan sedimentasi. Dengan kondisi ini melalui pasal 3 Undang-Undang No. 41/1999, penyelenggaraan kehutanan diamanatkan untuk memprioritaskan peningkatan daya dukung DAS (Pamungkas dan Paimin, 2012), sehingga dengan diperhatikannya sistem perencanaan kehutanan dalam mendukung penyusunan perencanaan DAS maka diharapkan peran kehutanan dalam mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS dapat lebih terarah, tepat sasaran dan terintegrasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji penyelenggaraan pengelolaan kawasan hutan dan sistem perencanaannya yang akan digunakan sebagai pendukung dalam penyusunan sistem perencanaan pengelolaan DAS. II. BAHAN DAN METODE a. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada tahun 2011 dengan lokasi penelitian di DAS Serang. DAS Serang terletak di Provinsi Jawa Tengah meliputi 10 (sepuluh) kabupaten, yaitu: Blora, Rembang, Grobogan, Sragen, Semarang, Boyolali, Pati, Demak, Kudus dan Jepara. Wilayah ini dipilih sebagai lokus penelitian karena merupakan DAS yang bersifat lintas kabupaten. b. Bahan dan Alat Penelitian Alat dan bahan yang digunakan terdiri dari: berbagai peta (RBI, tanah, geologi, penutupan lahan, kawasan hutan), bahan dan peralatan GIS, perlengkapan survei lapangan (GPS, meteran, abney level, camera), bahan operasional komputer, dan bahan ATK. c. Pengumpulan dan Analisis Data 20

26 Penelitian bersifat deskriptif (kuantitatif dan kualitatif) dengan analisis data primer dan sekunder. Data primer meliputi: data aktual penutupan lahan, kondisi lahan (kelerengan, tanah) yang diperoleh melalui survei. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi: data potensi dan perencanaan pengelolaan hutan yang diperoleh dari Biro Perencanaan SDH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah, studi literatur dan peraturan perundangan. Peta tematik dibuat berdasarkan peta dasar dengan menggunakan perangkat lunak ARCGIS 9.3. Analisis perencanaan kawasan hutan berdasarkan data potensi dan perencanaan hutan, dan telaahan perundangan serta peraturan yang berlaku. Hasil analisis perencanaan kawasan hutan selanjutnya diintegrasikan dengan sistem perencanaan pengelolaan DAS mengacu pada Paimin et al (2012). Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi proses penyusunan sistem perencanaan pengelolaan DAS lintas kabupaten dalam provinsi. III. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Kondisi Umum Kewilayahan Sektor Kehutanan di DAS Serang Hutan merupakan salah satu fungsi lahan dalam suatu wilayah DAS. Keberadaan hutan berupa kawasan hutan pada suatu wilayah ditunjuk dan ditetapkan oleh pemerintah, dengan maksud untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pemerintah juga menetapkan suatu (kawasan) hutan berdasarkan fungsi pokoknya, yang terdiri dari: hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Undang- Undang No. 41 Tahun 1999). Hasil analisi peta kawasan hutan menunjukan bahwa luas kawasan hutan yang tercakup dalam DAS Serang sebesar ,140 Ha (23,77% terhadap luas DAS) seperti disajikan pada tabel 1. Berdasarkan fungsi pokoknya, kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (terdiri hutan produksi dan hutan produksi terbatas). Hutan konservasi tersebut terdiri dari Cagar Alam (CA) Cabak I/II dan Taman Nasional (TN) Merbabu, sedangkan hutan 21

27 lindung dan hutan produksi dibawah kelola Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Kawasan hutan di DAS Serang tersebar pada daerah hilir s/d hulu wilayah DAS. Wilayah hulu dari Sub DAS Serang Hulu Atas dan Serang Hilir Atas bertopografi pegunungan dengan ciri khas elevasi, curah hujan dan kelas lereng yang tinggi, sehingga kawasan hutan yang ada di sana ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Lindung (HL) (kecuali: TN Gunung Merbabu di Sub DAS Serang Hulu Atas yang merupakan hutan konservasi alih fungsi dari HL dan Taman Wisata Alam). Hutan produksi (tetap) tersebar pada elevasi <225 mdpl. Sedangkan HPT tersebar pada elevasi mdpl, kecuali HPT pada Sub DAS Serang Hulu Tengah dan Serang Hulu Bawah dimana pada elevasi mdpl. Sebaran hutan yang demikian bukan didasari atas kriteria faktor elevasi saja, namun faktor kelerangan, curah hujan, tanah pada kawasan tersebut yang digunakan sebagai kriteria dasar bagi penetapan suatu kawasan hutan produksi menjadi hutan produksi terbatas (Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004). Sub DAS Lusi Atas walaupun merupakan wilayah suatu hulu DAS namun daerah tersebut berelevasi rendah (<250 mdpl), sehingga kawasan hutan di sana ditetapkan berfungsi sebagai hutan produksi (dominan). Keterangan yang lebih lengkap disajikan pada Gambar 1. Tabel 1. Fungsi pokok kawasan hutan di DAS Serang Fungsi (Kawasan) Hutan Luas (Ha) (%) Hutan Konservasi (CA dan TN) 1.069,258 1,12 Hutan Lindung 2.014,780 2,11 Hutan Produksi Hutan Produksi (Tetap) ,288 91,02 Hutan Produksi Terbatas 5.482,814 5,75 TOTAL , ,00 Sumber: Diolah dari Data Kawasan Hutan BPKH XI; Peta Kawasan Hutan dari Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah (2011); dan Peta Kawasan Hutan dari Biro Perencanaan Perum Perhutani (2011). 22

28 Gambar 1. Peta sebaran kawasan hutan di DAS Serang berdasarkan atas fungsi pokoknya. Cagar Alam Cabak I/II terletak di kawasan hutan KPH Cepu, di Desa Cabak, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora dengan luas 30 Ha. Dasar pengelolaan kawasan ini adalah surat penunjukan Gubernur Hindia Belanda No. 6 Staatblaad No. 90 tanggal 21 Februari Saat ini, kawasan hutan CA Cabak I/II dikelola oleh BKSDA Jateng (Balai KSDA Jawa Tengah, 2003). Luas kawasan CA Cabak I/II yang masuk dalam sistem DAS Serang sebesar 0,307 Ha (1,02 % dari total kawasan). Taman Nasional Merbabu mempunyai kawasan seluas Ha terletak di Kabupaten Magelang, Semarang dan Boyolali yang dikelola oleh Balai TN Gunung Merbabu. Kawasan hutan TN Gunung Merbabu merupakan alih fungsi dari kompleks hutan lindung dan Taman Wisata Alam yang dulunya dikelola oleh Perum Perhutani KPH Surakarta dan KPH Kedu Utara. Dasar pengelolaan kawasan ini adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 135/Menhut-II/2004 dan B.A Serah Terima Pengelolaan Kawasan Hutan No. 02/SJ/DIR/2009 dan No. BA.1/IV-SET/2009 tanggal 29 Januari 2009 antara Plt. Direktur Utama Perum Perhutani dengan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan 23

29 Konservasi Alam Departemen Kehutanan. Kawasan hutan TN Merbabu seluas 1.068,951 Ha (18,67 % terhadap total kawasan) yang terletak di Kabupaten Boyolali merupakan salah satu hulu DAS Serang. Kawasan hutan dengan fungsi lindung dan produksi yang ada di DAS Serang berdasarkan PP. No. 72 tahun 2010 dikelola oleh Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Luas kawasan hutan produksi di DAS Serang lebih dominan dibandingkan hutan konservasi maupun lindung. Berdasarkan hal tersebut, hutan lindung dan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani dapat ditingkatkan perannya di dalam pengelolaan DAS. Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah bertanggungjawab terhadap pengelolaan kawasan hutan di Jawa Tengah seluas ,79 Ha yang terdiri dari ,77 Ha hutan produksi ( ,80 Ha hutan produksi dan ,97 Ha hutan produksi terbatas) dan ,02 Ha hutan lindung. Kawasan hutan tersebut terbagi dalam 20 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) (Perum Perhutani Unit I, 2011). KPH merupakan satuan manajemen kawasan hutan yang merupakan bagian teritorial dari wilayah Unit (Permenhut No. P.60/Menhut- II/2011). Sementara itu, kawasan hutan produksi dan lindung seluas ,882 Ha di DAS Serang dibawah kelola 11 KPH. Namun demikian, teritorial dari KPH-KPH tersebut tidak hanya di DAS Serang saja. Sebagai contoh KPH Cepu dan Randublatung, wilayah keduanya tercakup di DAS Serang dan DAS Solo. Dari 11 KPH, hanya 9 (sembilan) yang teritorinya secara dominan tercakup di DAS Serang. Berturut-turut yaitu: KPH Blora, Purwodadi, Gundih, Telawa, Mantingan, Cepu, Randublatung, Pati dan Kebonharjo. Sedangkan 2 (dua) KPH yaitu: Semarang dan Surakarta, teritori kawasannya yang masuk di DAS Serang sangat kecil. Keterangan yang lebih lengkap disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa kawasan hutan di DAS Serang merupakan 14,96 % dari wilayah Unit I Jawa Tengah dan sebesar 45% KPH (terdiri dari 9 (Sembilan) KPH) di Unit I Jawa Tengah merupakan stakeholders utama dalam pengelolaan DAS Serang. 24

30 Gambar 2. Peta kawasan hutan di DAS Serang berdasarkan satuan KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Tabel 2. Kawasan hutan di DAS Serang berdasarkan atas lingkup pengelolaan KPH dan SPH dalam Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah No. KPH Wilayah Territorial *) Luas (Ha) Wilayah dalam DAS Serang % wilayah dalam DAS terhadap Wilayah Pangkuan Wilayah hutan dalam Kabupaten di DAS Serang Sub DAS Fung si Huta n Wilayah SPH (Seksi Perenca naan Hutan) IV 1 Cepu , ,788 17,91 Blora Lusi Atas HP 2 Kebonharj ,10 877,240 4,95 Blora Lusi HP & IV o Atas HPT 3 Mantingan , ,840 21,26 Blora Lusi HP IV Atas 4 Pati , ,820 9,91 terdiri dari: IV 323,420 0,83 Pati Lusi HP & Atas, HPT Serang Hilir Bawah 3.533,400 9,04 Jepara, Kudus Serang Hilir Atas HL dan HPT IV 25

31 No. KPH Wilayah Territorial *) Luas (Ha) Wilayah dalam DAS Serang % wilayah dalam DAS terhadap Wilayah Pangkuan Wilayah hutan dalam Kabupaten di DAS Serang Sub DAS 5 Blora , ,530 94,22 Blora Lusi Atas, Lusi Bawah 6 Randublat ung , ,769 10,93 Blora Lusi Atas, Lusi Bawah 7 Purwodadi , ,059 95,10 Grobogan Lusi Atas, Lusi Bawah (bagia n Utara); Serang Hilir Bawah. 8 Gundih , ,213 95,84 Grobogan Serang Hulu Bawah, Lusi Bawah (bagia n Selata n) 9. Surakarta ,00 27,106 0,08 Sragen Lusi BAwah 10. Telawa , ,497 79,06 Boyolali, Grobogan, Serang HuluTe ngah, Serang Hulu Bawah Fung si Huta n HP HP HP & HPT HP & HPT HP HP & HPT (sedi kit) Wilayah SPH (Seksi Perenca naan Hutan) IV 11. Semarang ,40 81,451 0,28 HP III Sumber: Data Statistik Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Tahun (2011) dan analisis data primer dari peta. IV III III II III b. Kondisi Umum Sistem Perencanaan Kehutanan di DAS Serang. Perencanaan kehutanan disusun berdasarkan fungsi pokok hutan yang telah ditetapkan. Perencanaan kehutanan untuk hutan konservasi tentunya akan berbeda dengan hutan lindung dan hutan produksi. 26

32 Berikut ini gambaran kondisi sistem perencanaan kehutanan untuk kawasan hutan di DAS Serang. b.1. Hutan Konservasi Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (pasal 1 Undang-Undang No. 41 tahun 1999). Secara umum, orientasi pengelolaan hutan konservasi ditujukan untuk pemanfaatan secara lestari seluruh potensi kawasan, perlindungan penyangga kehidupan dan pengawetan plasma nutfah. Hutan konservasi terbagi atas Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Perlindungan Alam (KPA). Kawasan Suaka Alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, KPA terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1990, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam dikelola oleh pemerintah. Kemudian diatur lebih lanjut bahwa penyelenggaraan pengelolaan Taman Hutan Raya dilakukan oleh pemerintah propinsi atau kabupaten/kota (Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011). Cagar Alam Cabak I/II berada dalam wilayah pengelolaan Korlap Pati, Seksi Wilayah Konservasi Surakarta, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. Jenis tanaman yang dominan di kawasan Cabak I/II adalah jati (Tectona grandis) dan beberapa jenis asosiasi hutan jati. Kawasan tersebut berada dalam wilayah hutan KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Rencana Pengelolaan untuk CA Cabak I/II termuat dalam satu kesatuan dokumen Rencana Pengelolaan BKSDA Jateng. Dokumen Rencana Pengelolaan tersebut memuat seluruh rencana pengelolaan kawasan konservasi dari teritori BKSDA Jateng. Taman Nasional Gunung Merbabu terbagi menjadi 3 (tiga) seksi pengelolaan yaitu: Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Magelang, Semarang dan Boyolali. Wilayah TN Merbabu yang tercakup DAS Serang termasuk dalam wilayah SPTN Boyolali. 27

33 Pengelolaan KSA dan KPA berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 yang telah diganti menjadi Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Terkait penyelenggaraan pengelolaan KSA dan KPA, harus berdasarkan rencana pengelolaan. Menteri Kehutanan pada tahun 2008 telah mengeluarkan Peraturan No. P.41/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam untuk mengatur pelaksanaan penyusunan rencana pengelolaan seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 68 tahun Terkait dengan penggantian peraturan pemerintah tersebut, Menteri Kehutanan sampai saat ini belum mengeluarkan peraturan sebagai pedoman untuk pelaksanaan penyusunan perencanaan pengelolaan kawasan/ hutan konservasi. Terkait jenis dan jangka waktu dokumen rencana pengelolaan KSA dan KPA berdasarkan peraturan pemerintah tersebut terjadi perubahan. Dalam PP No. 68 tahun 1998, tidak mengatur detil tentang jenis dan jangka waktu. Hal ini diatur lebih lanjut melalui peraturan menteri kehutanan (Tabel 3). Sedangkan dalam PP No. 28 tahun 2011 langsung mengatur jenis dan jangka waktu dokumen rencana pengelolaan yang terdiri dari: rencana jangka panjang (10 tahun) dan jangka pendek (1 tahun). 28

34 Tabel 3. Jenis Rencana dan Tata cara penyusunan Rencana Pengelolaan untuk KSA dan KPA (Permenhut No. 41/Menhut-II/2008). No. Jenis Rencana 1. Jangka Panjang 2. Jangka Menengah 3. Jangka Pendek Jangka Waktu (tahun) Penyusun 20 Tim kerja lintas instansi dibentuk oleh Kepala UPT 5 Tim kerja lintas instansi dibentuk oleh Kepala UPT 1 Tim kerja lingkup UPT dibentuk oleh Kepala UPT Rekomendas i Ketua Bappeda Provinsi atau Kabupaten/K ota (tergantung keberadaan kawasan tersebut) Penilai Direktur teknis (yaitu Direktur Konservasi Kawasan) Pengesah Dirjen di bidang perlindunga n hutan dan konservasi alam (yaitu: Dirjen PHKA) - - Direktur teknis (yaitu Direktur Konservasi Kawasan) - - Kepala UPT b.2. Hutan Lindung dan Produksi Pengelolaan Perum Perhutani terbagi menjadi dua lingkup perencanaan, yaitu perencanaan pengelolaan hutan dan perencanaan perusahaan (Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 2003 jo Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2010). Untuk melaksanakan penyelenggaraan pengelolaan hutan, perusahaan menyusun Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) dan Rencana Teknik Tahunan (RTT). RPKH disetujui oleh Menteri Kehutanan (atau pejabat yang ditunjuk) dan digunakan sebagai acuan dalam penyusunan RTT (Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2010). Sementara itu, untuk melaksanakan pengurusan perusahaan, direksi diwajibkan untuk menyusun Rencana Jangka Panjang (RJP) sebagai arahan strategis jangka 5 (lima) tahunan dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) sebagai arahan jangka tahunan. Rencana Pengaruran Kelestarian Hutan dan RTT 29

35 menjadi acuan dalam penyusunan RJP dan RKAP. Rancangan RJP diajukan kepada Menteri BUMN untuk disyahkan setelah ditandatangai bersama oleh Direksi dan Dewan Pengawasan (Pasal 71, Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2010). Hal perencanaan penyelenggaraan pengelolaan hutan dan pengurusan perusahaan tidak ada perubahan terkait dengan revisi Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 2003 menjadi Peraturan Pemerintah No. 72 tahun Namun demikian hanya ada penegasan perihal penyusunan perencanaan utamanya pengelolaan hutan. Rencana Janka Panjang yang disusun oleh direksi tetap disebutkan sebagai rencana berjangka panjang dengan durasi 5 tahunan. Namun secara makro didalam sistem perencanaan Perum Perhutani seperti tercantum dalam Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 402/Kpts/Dir/2007 berdasar Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 2003, RJP dikategorikan sebagai jenis rencana Jangka Menengah (Tabel 4 dan Gambar 3). Sedangkan untuk rencana Jangka Panjang disusun Rencana Umum Perusahaan berjangka tahun. Namun demikian, PP No. 30 tahun 2003 sebenarnya hanya mengamanatkan untuk menyusun Rencana Jangka Panjang (RJP). No. Tabel 4. Jenis Rencana masing-masing unit kerja di Perum Perhutani Jenis Rencana 1 Jangka Panjang 2. Jangka Menengah 3. Jangka Pendek Lingkup Perencanaan Jenis Rencana pada Unit Kerja Direksi Pusat Unit KPH KBM Anak Perusaha an - - RPHL SDH RKUPHHK - - RPKH/ Perusahaan RUP RUP RUP - - RUP SDH RKLUPHHK RKLUPHHK Rev. RPHL Perusahaan RJP RJP RJP RJP RJP RJP SDH RKTUPHHK - RKTUPHHK RTT- - - Project Stateme nt Perusahaan RKAP RKAP RKAP RKAP RKA RKAP RAB RAB RAB RAB P RAB RO RO RO RO RAB RO RO Catatan: RKUPHHK=Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; RPHL=Rencana Pengelolaan Hutan Lestari; 30

36 RUP=Rencana Umum Perusahaan; RKLUPHHK=Rencana Kerja Lima Tahun Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; RJP=Rencana Jangka Panjang; RKTUPHHK=Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; RTT= Rencana Teknik Tahunan; RKAP=Rencana Kerja Anggaran Perusahaan. Sumber: Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 402/Kpts/Dir/2007 Tentang Sistem Perencanaan Perum Perhutani mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 2003 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 215/Menhut-II/

37 Gambar 3. Sistem Perencanaan Perum Perhutani No. Jenis Jangka Rencana Waktu 1. Panjang 20 tahun Sub Sistem Perencanaan SDH RKUPHHK Sub Sistem Perencanaan Perusahaan RUP Perhutani 10 tahun RPHL/RPKH 2. Menengah 5 tahun RKLUPPHK RJP 3. Tahunan 1 tahun RTT RKTUPHHK RKTP RKAP PS RAB BSR RO Catatan:RKUPHHK=Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; RPHL=Rencana Pengelolaan Hutan Lestari; RPKH=Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan; RUP=Rencana Umum Perusahaan; RKLUPHHK=Rencana Kerja Lima Tahun Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; RJP=Rencana Jangka Panjang; RKTUPHHK=Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; RTT= Rencana Teknik Tahunan; RKTP=Rencana Kerja Tahunan Perusahaan; RKAP=Rencana Kerja Anggaran Perusahaan; RO=Rencana Operasional. Sumber: Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 402/Kpts/Dir/2007 Tentang Sistem Perencanaan Perum Perhutani mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 2003 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 215/Menhut-II/2004. Dengan terbitnya PP No. 72 tahun 2010 yang mengganti PP No. 30 tahun 2003, pemerintah kemudian mengatur penyelenggaraan perencanaan pengelolaan hutan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.60/Menhut-II/2011 tentang Pedoman 32

38 Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan dan Rencana Teknik Tahunan di Wilayah Perum Perhutani. Berlakunya Permenhut ini sekaligus merevisi peraturan terkait sistem perencanaan yang telah berlaku di Perum Perhutani, yaitu: Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 215/Menhut-II/2004 dan Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 143/KPTS/DJ/I/1974. Perubahan substansi terhadap sistem perencanaan Perum Perhutani terkait dengan penerbitan Permenhut No. P.60/Menhut-II/2011, adalah: 1) merubah basis sistem perencanaan pengelolaan hutan yang sedianya berbasis pengaturan hasil/produksi saja (SK No. 143/KPTS/DJ/1974) menjadi sebuah sistem perencanaan hutan yang komprehensif berbasis produksi sekaligus ekologi/lingkungan dan sosial; 2) merubah penyelengaraan hubungan perencanaan Perum Perhutani dari yang tidak terpadu dalam sistem perencanaan Kementerian Kehutanan (SK 215/Menhut-II/2004) menjadi sebuah sistem perencanaan kehutanan yang terhubung, terpadu dan sinkron dengan sistem perencanaan kehutanan di bawah Kementerian. Berdasarkan Permenhut No. P.60/Menhut-II/2011, RPKH disusun oleh direksi Perum Perhutani kemudian diajukan untuk dinilai kepada Menteri teknis (dalam hal ini Menteri Kehutanan) melalui Direktur Jenderal yang membidangi urusan tersebut. Selanjutnya, Direktur Jenderal atas nama Menteri memberikan persetujuan terhadap Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan yang telah memenuhi persyaratan. RPKH berjangka 10 (sepuluh) atau 5 (lima) tahun tergantung daur tanaman pokok yang diusahakan yang disusun menurut Kelas Perusahaan pada setiap Bagian Hutan (BH) dari suatu KPH. Berkenaan dengan penerapan pengelolaan hutan lestari, pada tahun 2007 Perum Perhutani merevisi istilah RPKH menjadi Rencana Pengelolaan Hutan Lestari (RPHL). Di dalam PP No. 72 tahun 2010 dan Permenhut No. P.60/Menhut- II/2011, istilah dan definisi BH masih dipertahankan untuk digunakan sebagai basis unit kelestarian dalam penyusunan rencana, penetapan dan pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan. Terkait dengan sinkronisasi sistem perencanaan hutan dan sistem perencanaan pengelolaan DAS, Bagian Hutan menjadi wadah dalam sinkronisasikolaborasi kedua sistem perencanaan tersebut. Namun, berdasarkan 33

39 Tabel 5 dan Gambar 4 terlihat bahwa kondisi kewilayahan Bagian Hutan tidak dominan dalam satu DAS namun bisa lintas DAS. Hal ini sama dengan kondisi teritori wilayah KPH yang bisa lintas DAS. Tabel 5. Jenis Rencana masing-masing unit kerja di Perum Perhutani No. KPH (Luas Teritori dalam DAS Serang) 1 Cepu (5.914,79 Ha) 2 Kebonharjo (877,24 Ha) 3 Mantingan (3.560,84 Ha) 4 Pati (3.876,82 Ha) 5 Blora (14.232,530 Ha) 6 Randublatung (3.546,769 Ha) 7 Purwodadi (18.675,059 Ha) 8 Gundih (28.798,21 Ha) 9. Surakarta (27,106 Ha) 10. Telawa (14.758,497 Ha) Bagian Hutan Sub DAS Sub-Sub DAS Nama Bagian Hutan Luas (Ha) Payaman 25,61 Lusi Atas Sambongari Cabak 0,31 Lusi Atas Sambongari Ledok 1,48 Lusi Atas Sambongari ,39 Lusi Atas Merah 877,24 Lusi Atas Lusi Sulang Timur 1.422,41 Lusi Atas Lusi , Gunung Muria 3.553,40 Serang Hilir Atas Kayen 321,41 Lusi Atas, Lusi Bawah, Serang Hilir Bawah Bakalan Pecangaan; Mayong; Tunggul; Srep Kedungwaru, Gareh, Tirto - 2,01 Lusi Atas Kedungwaru Grobogan ,3 8 Kradenan Utara Lusi Atas, Lusi Bawah, Serang Hilir Bawah 4.436,31 Lusi Atas, Lusi Bawah Gareh, Tirto, Ngantru, Kedungwaru Tirto, Kedungwaru Sambirejo 155,38 Lusi Bawah Tirto, Ngantru Telawa 1.025,98 Serang Hulu Tengah, Serang Hulu Bawah Karangsono ,93 Serang Hulu Atas, Serang Hulu Tengah Lanang, Geyer Karangboyo, Laban, Lanang, Uter Karanggede 672,33 Serang Hulu Sub DAS 34

40 No. KPH (Luas Teritori dalam DAS Serang) 11. Semarang (81,451 Ha) Bagian Hutan Sub DAS Sub-Sub DAS Nama Bagian Hutan Catatan: (-) = data tidak tersedia Sumber: Olah data dari hasil analisis GIS Luas (Ha) Tengah Karangboyo Gemolong 1.445,99 Serang Hulu Atas, Serang Gading, Geyer, Laban, Uter Hulu Tengah, Serang Hulu Bawah - 598, Semarang 35, Barat Semarang 45, Timur Gambar 4. Peta Bagian Hutan KPH Perum Perhutani di DAS Serang. c. Sinergisitas Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS terhadap Sistem Perencanaan Kehutanan Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS merupakan kewenangan pemerintah, yang didalam penyusunannya mendapatkan 35

41 pertimbangan teknis dari pemerintah daerah. Rencana Pengelolaan (tingkat) DAS disusun bersifat umum (makro) yang posisinya akan menjadi salah satu dasar semangat pembangunan untuk semua sektor. Rencana tersebut menjadi acuan, masukan dan pertimbangan bagi rencana sektoral yang lebih detil untuk wilayah DAS, Sub DAS, Daerah Tangkapan air (DTA) dan pulau-pulau kecil; serta terkait dalam penyusunan RPJP, RPJM dan RKPD setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota. (Peraturan Menteri Kehutanan No. 39/Menhut- II/2009). Sektor kehutanan diamanatkan untuk berperan dalam pengelolaan dan peningkatan daya dukung DAS. Peran sektor kehutanan tersebut melalui penatagunaan hutan, pengelolaan kawasan konservasi dan rehabilitasi DAS (Peraturan Menteri Kehutanan No. 39/Menhut- II/2009) serta melakukan perlindungan hutan dari daya-daya alam seperti: tanah longsor, banjir dan kekeringan (pasal 6 dan 16 Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2009). Terkait dengan pengelolaan DAS tersebut, setiap unit pengelolaan hutan dalam melaksanakan pengelolaan hutan mengacu pada karakteristik dari DAS yang bersangkutan (ayat 3 pasal 32 PP No. 44 tahun 2004). Peraturan dan perundangan tersebut sangat terkait erat dengan proses penyusunan perencanaan DAS berdasarkan karakterisasi DAS seperti disampaikan oleh Paimin et al (2012). 36

42 Gambar 5. Diagram alir sistem pengelolaan DAS, integrasi sistem perencanaan pengelolaan DAS dengan sistem perencanaan kehutanan (dikembangkan berdasarkan Paimin et al, 2012). Sinergisitas antara sistem perencanaan DAS terhadap sistem perencanaan kehutanan dilakukan melalui penyusunan Rencana Pengelolaan hutan yang berdasar/mengacu pada Rencana Pengelolaan DAS (Gambar 5). Penyusunan Rencana pengelolaan hutan (baik konservasi maupun lindung dan produksi) yang telah dilaksanakan selama ini juga telah mengaitkan antara keberadaan kawasan hutan dengan DAS. Di dalam menyusun rencana pengelolaan hutan konservasi, faktor kondisi Daerah Aliran Sungai dan sumber daya air menjadi salah satu unsur ekologi yang mendasari penyusunan rencana pengelolaan hutan (pasal 8 Permenhut No. 41/Menhut- II/2008). 37

43 Demikian juga perencanaan hutan untuk hutan lindung dan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani telah mengaitkan unsur pengelolaan DAS. Unsur pengelolaan DAS menjadi salah satu unsur agenda tujuan pengelolaan hutan dalam Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) sebagai contoh adalah RPKH (Revisi) KPH Cepu Jangka Sasaran dan strategi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan aktivitas kelola lingkungan di kawasan hutan berupa penataan KPS; penerapan teknik Konservasi Tanah dan Air, monitoring tata air, erosi dan sedimentasi; monitoring tingkat kesuburan. (Seksi Perencanaan Hutan wilayah IV, 2009). Dengan demikian, rencana pengelolaan DAS yang tersusun dapat diacu oleh rencana pengelolaan hutan (konservasi, lindung dan produksi). Namun yang perlu diingat adalah: bahwa wilayah DAS tidak sama dengan wilayah unit administrasi pengelolaan DAS. Oleh karena itu perencanaan makro dari Perencanaan Pengelolaan DAS diadopsi melalui RPKH lingkup Bagian Hutan (BH) untuk hutan lindung dan produksi di Perum Perhutani, dan Rencana Pengelolaan kawasan konservasi (baik CA, SM, TN dan Tahura). IV. KESIMPULAN DAS SARAN Kesimpulan hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1. Luas kawasan hutan di DAS Serang sebesar ,140 Ha (23,77 % terhadap luas DAS) terdiri atas hutan konservasi, lindung dan produksi. Sebesar 98,88% kawasan hutan di DAS Serang dikelola oleh Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah yang merupakan 14,96 % dari total wilayah Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Oleh karenanya Perum Perhutani merupakan stakeholder utama dalam pengelolaan DAS Serang di bidang kehutanan. 2. Jenis rencana dan tata cara penyusunan perencanaan pengelolaan hutan untuk masing-masing fungsi hutan terdapat perbedaan. Rencana pengelolaan kawasan hutan konservasi terdiri atas (tiga) jenis dengan 3 (tiga) jangka (jangka panjang 20 tahunan, jangka menengah 10 (sepuluh) tahunan, dan jangka pendek 1 (satu) tahunan), sedangkan rencana pengelolaan kawasan hutan produksi dan lindung oleh Perum Perhutani terdiri 38

44 dari 3 (tiga) jenis dengan 3 (tiga) jangka (jangka panjang 10 (sepuluh) tahunan disebut RPKH, jangka menengah 5 (lima) tahunan disebut Revisi RPKH, dan jangka 1 (satu) tahunan disebut RTT). 3. Unsur pengelolaan DAS telah terkait dalam perencanaan pengelolaan kawasan hutan, namun belum disusun berdasarkan karakteristik DAS secara utuh. Sinergisitas antara sistem perencanaan DAS dengan sistem perencanaan kehutanan dilakukan pada saat penyusunan perencanaan pengelolaan DAS yang memperhatikan perencanaan kehutanan. Selanjutnya dalam implementasi perencanaan pengelolaan DAS melalui penyusunan Rencana Pengelolaan hutan yang berdasar/mengacu pada Rencana Pengelolaan DAS. Saran yang dapat disampaikan: 1. Bagian Hutan sebagai basis unit kelestarian (produksi dan ekologi) dalam penyusunan rencana, penetapan dan pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan lingkup Perum Perhutani perlu ditata kembali. Hal ini mengingat bahwa ternyata beberapa kewilayahan Bagian Hutan ada yang tidak terintegrasi pada satu daerah tangkapan. 2. Perlu dilakukan kajian sistem perencaanan sektor lainnya dalam menyusun dan mengimplementasikan sistem perencanaan pengelolaan DAS. Hal ini mengingat bahwa dalam melaksanakan pengelolaan DAS sangat terkait dengan penggunaan lahan oleh multi sektor dan multi pihak, seperti sektor perkebunan, pertanian, dan lainnya. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada: Bapak Ir. Paimin, M.Sc dan Bapak Ir. Purwanto, M.Si selaku anggota peneliti tim penelitian. Sdr. Agus Sugiyanto dan Sdr. Asep Hermawan selaku anggota teknisi tim penelitian atas upaya membantu penulis dalam memperoleh data penelitian; dan Sdr. Ragil B.W.M.P atas upaya dalam melaksanakan analisis GIS dan pembuatan peta-peta. 39

45 DAFTAR PUSTAKA Balai KSDA Jawa Tengah Buku Informasi Kawasan Konservasi. Edisi Kedua. Balai Konservasi sumber Daya Alam Jawa Tengah. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Semarang. Tidak terbit. Berita Acara No. 02/SJ/DIR/2009 dan No. BA.1/IV-SET/ Serah Terima Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pada Kelompok Hutan Gunung Merbabu Yang Telah Diubah Menjadi Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Merbabu dari Perum Perhutani kepada Departemen Kehutanan. Dixon, J.A, K.W. Easter Integrated Watershed Management: An Approach to Resources Management. Dalam K.W. Easter, J.A. Dixon, and M.M. Hufschmidt. Eds. Watershed Resources Management. An Integrated Framework with Studies from Asis and the Pasific. Studies in Water Policy and Management, No 10. Westview Press and London. Honolulu. Keputusan Direktur jenderal Kehutanan Nomor 143/KPTS/DJ/I/1974. Pengaturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan. Paimin, Sukresno, dan Purwanto Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah aliran Sungai (Sub DAS). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Pamungkas B.P., dan Paimin Sistem Perencanaan Kehutanan dalam Perspektif Sistem Perencanaan Pengelolaan Sub DAS Studi Kasus di Sub DAS Progo Hulu. Dalam Prosiding Semiloka Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini. Kementerian Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Pp Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 41/Menhut-II/2008. Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Suaka alam dan 40

46 Kawasan Pelestarian Alam. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 22. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 39/Menhut-II/2009. Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 142. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.60/Menhut-II/2011. Pedoman Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan dan Rencana Teknik Tahunan di Wilayah Perum Perhutani. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 520. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 67. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun Perencanaan Kehutanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun Perlindungan Hutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 137. Peraturan Pemerintah No Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor

47 Peraturan Pemerintah No Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 56. Peraturan Pemerintah No Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62. Perum Perhutani Unit I Buku Statistik Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Semarang. Rachman, Saeful Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Dalam Prosiding Workshop Peran Hutan dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS tanggal 22 Nopember Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. pp Seksi Perencanaan Hutan Wilayah IV Buku Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (Revisi) Kesatuan pemangkuan Hutan Cepu jangka Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Rembang. Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 402/Kpts/Dir/2007. Sistem Perencanaan Perum Perhutani. Jakarta. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.215/Menhut- II/2004. Rencana Kerja, Rencana Kerja lima Tahun dan Rencana Kerja Tahunan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan atau Hutan Tanaman di wilayah Kerja Perum Perhutani. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Kehutanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor

48 Lampiran 1. Jadwal Acara JADWAL ACARA EKSPOSE Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan BPKTPDAS 2012 Surakarta, 5 September 2012 Waktu Acara Perangkat Sidang A. REGISTRASI Pendaftaran ulang Panitia B. PLENO PEMBUKAAN Doa Panitia Menyanyikan lagu Indonesia Raya Panitia Laporan Panitia Penyelenggara Kepala BPTKPDAS Keynote Speech : Arahan dan Pembukaan Kepala Badan Litbang Kehutanan Keynote Speech : Kebutuhan IPTEK Pengelolaan DAS dalam mengimplementasikan PP Nomor 37 Tahun Penandatanganan PKS antara BPTKPDAS dengan Pusat Litbang Perum Perhutani Tentang Penelitian, Pengembangan, dan Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hutan Penelitian Cemoro Modang di Kabupaten Blora dan KHDTK Hutan Penelitian Gombong di Kabupaten Kebumen REHAT KOPI C. SIDANG KOMISI SIDANG KOMISI I Perencanaan Karakterisasi Lahan dan Banjir Sebagai Dasar Penilaian Daya Dukung Daerah Aliran Sungai Dr. Ir. Eka Widodo Soegiri, MM. (Direktur Perencanaan & evaluasi Pengelolaan DAS Ditjen BPDASPS) Kepala BPTKPDAS, Kepala Puslitbang Perum Perhutani Fasilitator : Drs. C. Kukuh Sutoto, M.Si Perumus : Nana Haryanti Notulis : Wiwin Budiarti Pembicara: Paimin 268

49 Waktu Acara Perangkat Sidang Sistem Perencanaan Kehutanan sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS: Studi Kasus di DAS Serang Pembicara: Pamungkas Buana Putra Revisi Peta Penggunaan Lahan di Sub DAS Lusi dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT dan SIG Diskusi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Tingkat Partisipasi dan Kelembagaan Pada Kegiatan Rehabilitasi Lahan Diskusi SIDANG KOMISI II Hidrologi Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Hasil Air: Studi Kasus Di Daerah Aliran Sungai Bajulmati Neraca Air Meteorologis di Kawasan Hutan Tanaman Jati di Cepu Analisis Kualitas Air pada Tanaman Kayu Putih di Mikro DAS Gubah, Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, DIY Diskusi Perubahan Tingkat Sedimentasi di Sungai Keduang ( ) Kajian Peran Dominasi Jenis Mangrove Dalam Penjerapan Sedimen Terlarut di Segara Anakan Cilacap Diskusi Pembicara: Agus Wuryanta Pembicara: Evi Irawan Pembicara: Yudi Lastiantoro Fasilitator : Ir. Bambang S., MP Perumus : Nunung Puji Nugraha Notulis : Mesri Ferdian Pembicara: Purwanto Pembicara: Agung Budi Supangat Pembicara: Ugro Hari Murtiono Pembicara: Irfan Budi Pramono Pembicara: Uchu Waluya Heri Pahlana 269

50 Waktu Acara Perangkat Sidang SIDANG KOMISI III Konservasi Tanah, Sosek, dan Manajemen Hutan Fasilitator : Dr. Tyas M.Basuki Perumus : Nining Wahyuningrum Notulis: Endah Rusnaryati Ujicoba Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis Di Gunung Batur, Bangli Pembicara: Gunardjo Tjakrawarsa Komposisi dan Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Berpotensi pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di TN Bali Barat Intensitas Cahaya dalam Kawasan Perlindungan Setempat Hutan Jati Diskusi Penanganan Lahan Bermasalah Pantai Berpasir dengan Tanaman Tanggul Angin Cemara Laut Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan di Sub DAS Tulis Diskusi ISHOMA D. PLENO PRESENTASI SUMMARY HASIL SIDANG KOMISI Presentasi Summary Hasil Sidang Komisi I Presentasi Summary Hasil Sidang Komisi II Presentasi Summary Hasil Sidang Komisi III Diskusi Summary Hasil Sidang Komisi I, II, dan III Pembicara: Arina Miardini Pembicara: Heru Dwi Riyanto Pembicara: Beny Harjadi Pembicara: S. Andy Cahyono Fasilitator I : Drs. C. Kukuh Sutoto, M.Si Fasilitator II: Ir. Bambang Sugiarto, MP Fasilitator III: Dr. Tyas Mutiara Basuki Fasilitator pleno: Ir. Adi Susmianto, M.Sc. (Kepala Puslitbang Konservasi & Rehabilitasi) Perumus : Nining W., Nana H., Nunung P.N. Notulis: Wahyu W.W., Wiwin B., Endah R., Mesri F. 270

51 Waktu Acara Perangkat Sidang E. PENUTUPAN Laporan penyelenggaraan Kepala BPTKPDAS Penutupan Ir. Adi Susmianto, M.Sc REHAT KOPI 271

52 Lampiran 2. Daftar Peserta DAFTAR PESERTA EKSPOSE Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan BPKTPDAS 2012 Surakarta, 5 September 2012 No Nama Instansi 1. Bambang Subandrio BPTKPDAS 2. Adi Susmianto P3KR 3. Dr. Corryanti Puslibang Perhutani 4. Wawang R. Oesman BPDAS Musi 5. Hartanto KPH Kedu Selatan 6. Lukman Hakim P3KR 7. Sajiman, S.P, M.Sc Perum Perhutani 8. Emi Arifatun Puslitbang Perhutani 9. Gunardjo Tjakrawarsa BPTKPDAS 10. Beny Harjadi BPTKPDAS 11. C. Yudilastiantoro BPTKPDAS 12. Tyas Mutiara Basuki BPTKPDAS 13. Irfan BP BPTKPDAS 14. Asep Hermawan BPTKPDAS 15. Siti Utami 16. Nur Semedi BKSDA 17. Gunarti BPTKPDAS 18. Dewi Subaktini BPTKPDAS 19. Sudarso BPTKPDAS 20. Nining Wahyuningrum BPTKPDAS 21. Susmiyadi BTN Karimunjawa 22. Agung N BK Kadipaten 23. Kinasih Citra Arumi BPDAS Kapuas 24. Irfan Cahyadi BPDAS Kapuas 25. Nunung P Nugroho BPTKPDAS 26. Paimin BPTKPDAS 27. Nurhadi BPDAS CTW 28. Dian Handiana BPDAS Alo Malambo 29. Arina Miardini BPTKPDAS 30. Wiwin Budiarti BPTKPDAS 272

53 No Nama Instansi 31. Agus Wuryanta BPTKPDAS 32. Dewi Retna I UGM 33. Teguh SMA N 1 SKA 34. Santoso Sandy Putra Balai Sabo 35. Pamungkas BP BPTKPDAS 36. Bambang DA BPTKPDAS 37. Dody Yuliantoro BPTKPDAS 38. Heru Dwi R BPTKPDAS 39. T Wayan Susi P3KR 40. Agus Tambubolon P3KR 41. Susi Abdiyani BPTKPDAS 42. UW Heri Pahlana BPTKPDAS 43. Haryono P3KR 44. Agung BS BPTKPDAS 45. Nana Haryanti BPTKPDAS 46. Johni Perhutani 47. Aris Suhaendy Distanhut 48. Evi Irawan BPTKPDAS 49. Purwanto BPTKPDAS 50. Endang Savitri BPK Banjarbaru 51. Peni Rahayu Dinas Kehutanan Jawa Tengah 52. Kartika Atyasari Dinas Kehutanan Jawa Tengah 53. Wahyu Wisnu Wijaya BPTKPDAS 54. Aris Budiyono BPTKPDAS 55. Agus Sugianto BPTKPDAS 56. Bambang Uripno Pusdiklat Kadipaten 57. C. Nugroho SP Setbadan Litbang 58. Tri Widadi BBWS Bengawan Solo 59. Gatot Yadi N BBWS Bengawan Solo 60. Yonky I BPTA Ciamis 61. Aziz BPDAS Brantas 62. Salamah Retnowati BPTKPDAS 63. Agung Y Bappea Jawa Tengah 64. Ugro Hari M BPTKPDAS 65. Rohman Hakim BPDAS Solo 273

54 No Nama Instansi 66. Dwi Anto Teguh TN Gn. Merbabu 67. Edy Junaidi BPTA Ciamis 68. Samanhudi FP UNS 69. Didik Purwito P3KR 70. Sigit Pudjo BPDAS Barito 71. Bambang S. Antoko BPK Aek Nauli 72. Iton B BPK Aek Nauli 73. Maskulino BPK Aek Nauli 74. Asep Sukmana BPK Aek Nauli 75. Agus Budhi Prasetyo BPDAS Palu Poso 76. Rudi Antara Humas 77. Dodi Garnadi BBPBPTH Yogya 78. S. Andy Cahyono UGM 79. Murdoko BPHM I 80. Lucy Sutami H Perhutani 81. Amir Wardhana BBPBPTH Yogya 82. Irda Hayani BPDAS Ketahun 83. Agatha S Setbadanlitbang 84. Muswir Ayub BPDAS WSS 85. Bambang Priyono BPDAS Brantas 86. Alrasyid BPDAS Remu Rensiki 87. Misran BPDAS Solo 88. Syaiful Anwar PEP DAS 89. C. Kukuh Sutoto BPDAS SOP 90. Yudi M Litbang 91. Siswo BPTKPDAS 92. Joko Sismanto Perhutani 93. Muh. Marzuki BPDAS Solo 94. Adi Kuncoro BPK Palembang 95. Siswo BPDAS Solo 96. Y. Gunawan BPTKPDAS 97. Budi Sutomo Perhutani KPH Surakarta 98. Dirgaini BPDAS SOP 99. Eka BPDAS SOP 100. C. Narni W BPDAS SOP 274

55 No Nama Instansi 101. Bambang Perhutani SKA 102. Yularto SP Dit Bina RHL 103. Sukirno FTP UGM 104. Sunarto Gunadi FTP UGM 105. Rustan Masinai FTP UGM 106. Tony HW PEP DAS 107. Devi Purnomodani FTP UGM 108. Visnu Pradika FP UNS 109. Ilham Hermiansyah FP UNS 110. Muh Khoirul Anwar FP UNS 111. Teuku Zulqarnain FP UNS 112. Achmad KS KPH Cepu 113. Rahardyan BPK Banjarbaru 114. Pranatasai Dyah S BPK Banjarbaru 115. Wuri Handayani BPT Ciamis 116. Nur Sihmiati BPDAS Solo 117. Puspitarina UGM Fahutan 118. Yuli Malina Kehutanan UGM 119. Aditya Hari Kehutanan UGM 120. Age Nursabdo Kehutanan UGM 121. Nur Ainun Jariyah BPTKPDAS 122. Edi S 123. Tri Risandewi Balitbang Prov Jateng 124. Djoko Sukrisno Perhutani Unit I 125. Sugeng Santoso 126. Firmansyah 127. Kristina Dewi TN Merbabu 128. Ekawati Murtiningsih TN Merbabu 129. Hasto Prasojo TN Merbabu 130. Endah Retnaningrum TN Merbabu 131. Fadel TN Merbabu Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta 132. Eka Widyastuti BPDAS Sampean 133. Marsudi BPDAS SOP 275

56 No Nama Instansi 134. Edi M Rais Cilegon 135. Dr. Ir. Ambar K Fak Kehutanan UGM 136. Frida Purwono Puslitbang Perhutani 137. Purwanto Puslitbang Perhutani 138. Muhadi Puslitbang Perhutani 139. Rumchani Agus S Pusdal II 140. Zarnigusti Pusdal II 141. Dadang Sriyono Pusdal II 142. Wahyu Budiarso BPTKPDAS 143. Agus Munawar BPTKPDAS 144. M. Fajrin Universitas Bengkulu 145. Sri Baruni BPTKPDAS 146. Anung Wijayanti BPTKPDAS 147. Ana Pangaribuan BPTKPDAS 148. Nardi BPTKPDAS 149. Farika Dian N BPTKPDAS 150. Tommy Kusuma AP BPTKPDAS 151. Iman Santoso Ka Balitbanghut Kemenhut 152. Eka WS Dir PEP DAS 153. Wisnu Prastowo Sekbadan Litbang 154. Bambang Sugiarto BPTKPDAS 155. Kus Wardani BPTKPDAS 156. Mesri Ferdian BPTKPDAS 157. Eko Priyanto BPTKPDAS 276

57 Lampiran 3. Hasil Diskusi Komisi I : Sistem Pengelolaan DAS: Hulu, Lintas Kabupaten, Lintas Propinsi Fasilitator : Ir. Paimin, M.Sc Notulen : Endah R., B. Wirid A. SESI I : 1. Aplikasi sidik cepat degradasi sub DAS dengan monitoring dan evaluasi kinerja sub DAS (Nur Ainun J, S. Hut, MSc) Mampu menjawab hubungan aspek biofisik dan sosialekonomi-kelembagaan (soseklem) dalam pengelolaan DAS ( hubungan aspek biofisik dan soseklem dalam pengelolaan Sub DAS Padas sedang s/d rentan sedangkan pada Sub DAS Pengkol rentan). DAS Pengkol sudah dapat melaksanakan kegiatan gotong royong sedangkan Sub DAS Padas belum. Aspek kelembagaan Sub DAS padas tinggi, Sub DAS Pengkol rendah. 2. Optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan : kasus DAS Grindulu, kabupaten Pacitan (S. Andy Cahyono) Ketidaktepatan pengelolaan DAS adalah DAS kritis semakin meningkat. Untuk menjawab pengalokasian sumber daya lahan yang optimal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Kendala: perlindungan tata air, erosi tanah, tenaga kerja, dan lahan. Pendapatan optimal di DAS Gridulu 570 milyar/ tahun. Tanaman yang tidak optimal bila dipaksakan ditanam maka akan mengurangi pendapatan optimalnya. Dengan model optimalisasi ini dapat diketahui kelangkaan dengan mengunakan harga bayangan (shadow price). Bila harga bayangan semakin tinggi maka makin langka. Tanaman unggulan di DAS Grindulu adalah padi dan kopi. 277

58 3. Identifikasi kerentanan sosial ekonomi kelembagaan sebagai dasar perencanaan Sub DAS Progo Hulu (Nana Haryanti, S.Sos, MSc) Lokasi meliputi kabupaten dominan dan lintas kabupaten lain Latar belakang: DAS menghasilkan air dan barang & jasa (karena aktifitas manusia) terdapat dampak sampingan dari aktifitas dalam pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS menjadi penting karena mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Metode dengan sidik cepat degradasi lahan. Bagian hulu digunakan untuk menanam tembakau dan sayur, bagian hulu kegiatan konservasinya masih rendah terlihat dari banyaknya lahan terbuka. Pendapatan masyarakat tinggi dari hasil tembakau. Kelembagaan di bagian hulu sangat rendah, di bagian bawah sudah baik karena terdapat agroforestry Penghambat kelembagaan DAS Progo: a. Banyaknya organisasi pemerintah yang memiliki kewenangan dalam mengelola DAS Progo (BPDAS SOP, PU, dan Perum Perhutani); b. Rendahnya tingkat kerjasama dan kordinasi antar instansi; c. Tidak adanya kebijakan pemberian insentif konservasi sangat rendah (sangat minim, insentif diberikan bila ada proyek) Bagaimana DAS Progo harus dikelola: a. Mencari indikator sosial ( tingkat kesadaran, kendala yang masyarakat hadapi, nilai, kepercayaan); b. Tahapan perbaikan DAS (mengidentifikasi sumber polusi sperti pertanian sayur dan tembakau, lokasi, stakeholder, kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan); c. Pembentukan dewan air (berbeda dengan forum DAS) Kesimpulan: a. Organisasi pemerintah belum efektif dalam pengelolaan DAS b. Perlunya dibentuk dewan air 278

59 4. Kelembagaan pengelolaan mikro DAS Wonosari Kabupaten Temanggung ( Ir. Purwanto, MSi) Areal ha cukup untuk dilakukan implementasi DAS mikro Mikro DAS merupakan derivat sub-sub das, sub das dan das (peraturan dirjen RLPS No. P.15/V/2009) Tujuan : mengkaji kelembagaan di mikro DAS Metode : deskriptif, desk analysis (penggunaan lahan, peraturan ) Hasil: sifat dasar SDA mikro DAS Wonosari; sda mikro DAS merupakan common pool resources; selama UU konservasi tanah belum dibuat maka belum dapat melakukan kegiatan. Banyak organisasi yang melakukan penanaman seperti Bappeda (perencanaan), BPDAS, Din Pu, kecamatan Bulu, Desa, BLH, Gapoktan, lembaga lain Koramil, lambaga masyarakat, lembaga swasta, lembaga keuangan Sebagian besar tanamannya di wonosari adalah tembakau untuk kegiatan konservasi tanah dan air dapat dilaksansakan sepanjang tidak merugikan produktifitas petani tembakau Hubungan antar lenmbaga bersifat keproyekan sehingga ada koordinasi antar lembaga SESI II 5. Tingkat kekeruhan air sungai pada berbagai variasai luas hutan pinus di sub DAS kedungbulus, Gombong (Drs. Irfan BP, MSc) Mengetahui tingkat kekeruhan air sungai pada berbagai luas hutan pinus justifikasi UU 41. Luas hutan optimal masih perdebatan, 30% belum didukung penelitian. DAS yang sehat salah satu dicirikan dengan sedimentasi rendah, namun belum tentu karena sedimentasi rendah tetap harus dilihat hidrologinya. Pengukuran debit dan sedimentasi diambil pada saat bersamaan. Semakin luas tutup hutan maka debit dan sedimentasinya rendah 279

60 Perubahan luas hutan terhadap perubahan tingkat kekeruhan air mencapai titik hampir konstan pada sekitar luas hutan % 6. Tipologi DAS untuk pengelolaan DAS kedepan (S. Andy Cahyono) Tipologi dapat menggambarkan DAS berdasarkan kelompok / unsur tertentu/ karakter tertentu. Karakteristik DAS: SDA, SDM, sumber sosial,sumber finansial Tedapat 4 tipologi bila dikaitkan dengan kerawanan bencana: (hal 5) Skala DAS menentukan keefektifan dan efisiensi pengelolaan DAS, mempengaruhi karakterisasi DAS, mungkin tepat untuk skala tertentu tapi untuk skala yang lebih besar belum tentu perlu kajian. DAS dengan tipologi terntentu membutuhkan teknologi, pendekatan, kebijakan tertentu 7. Sistem Perencanaan kehutanan dalam perspektif sistem perencanaan pengelolaan Sub DAS-studi kasus di Sub DAS Progo Hulu (Pamungkas) Peran sektor kehutanan dalam daya dukung DAS (permenhut No.39/ Menhut II/2009 Alasan pemilihan lokasi di DAS Progo Hulu: potensi kerentanan degradsi lahan tinggi dan berada pada satu kabupaten dominan yaitu kabupaten Temanggung. Unit pengelolaan hutan kesatuan pemangkuan hutan (KPH) di Perum Perhutani kalau di pemerintah KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Karakteristik DAS hulu : dominan kawasan hutan berada di BH Temanggung. Di Sindoro merupakan hutan lindung. Sinergitas perencanan kehutanan dengan perencanaan pengelolaan DAS: harus memperhatikan fungsi hutan dan klas perusahaan dan klas hutannya. DAS Progo Hulu ternyata dominan pada BKPH Temanggung dengan sistem perencanaan dipegang oleh KPH. Kewenangan pengelolaan DAS dipegang oleh pemerintah 280

61 Usulan Rencana pengelolaan DAS disusun pusat dan dapat disahkan oleh bupati supaya mudah diadopsi daerah dan dimasukkan dalam penyusunan perencanaan daerah. Sektor kehutanan mempunyai peran dalam penyusunan perencanaan pengelolaan DAS. HASIL DISKUSI SESI I NAMA & NO INSTANSI 1. Bp. Suwito (Kemitraan) DISKUSI Untuk Ibu Nana : 1. Tertarik dewan air, karena lebih powerfull daripada forum DAS. 2. Bagaimana tindaklanjut dari rekomendasi agar dapat dikomunikasikan pada stakeholder TANGGAPAN Ibu Nana : 1. Sulitnya komunikasi di negeri ini. Kalau pengelola DAS sepakat untuk membentuk Dewan Air maka perlu merencanakan dari awal sampai akhir. 2. Masyarakat sebenarnya tahu konservasi namun keengganan untuk melakukan Untuk Bp Purwanto : 3. Belum melihat organisasi yang mampu melakukan pengelolaan (walaupun menurut UU adalah Perhutani). PHBM merupakan tolok ukur keberhasilan. 2. Bp. Herudoyo Untuk Bp Purwanto 1. Penelitian DAS mikro diharapkan dapat digunakan untuk membuat prosedur Bp Purwanto: 3. Pengelolaan hak perhutani, namun tidak didiamkan oleh perhutani Bp Purwanto: 1. Yang paling berperan adalah dinas pertanian dan perkebunan, penyuluh 281

62 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI dalam DAS Mikro. 2. Organisasi yang mengarah ke mikro DAS masih kecil, mungkin perlu di buat diagram untuk mengetahui organisasi mana yang potensial 3. Perlu dibuat kelembagaan DAS mikro untuk mengetahui siapa melakukan apa? 4. Apakah mungkin dilakukan DAS mikro dianggarkan di tingkat desa? 3. Bu Nining 1. BPDAS Solo melakukan monev kinerja untuk keseluruhan DAS di wilayah kerja. 2. Lokasi penelitian untuk penerapan menggunakan peta apa? 3. Bagaimana menetapkan batas wilayah das hulu, hilir mengingat penelitian dilakukaan di sub das dengan wilayah sekitar 3000 Ha apa sebaiknya tidak menggunakan peta TANGGAPAN 2. Diagram ven akan dilakukan dengan analisis yang lebih baik 3. Desentraslisasi ada di unit terkecil. Harapan anggaran dari manapun bukan di desa namun desa dan kecamatan mengetahui dan berperan Bp Purwanto: 1. Sebagian lahan di pronggo adalah kritis yang peruntukannya untuk memenuhi kebutuhan pangan seperti jagung 2. Di KBR belum bisa mengecambahkan. Penentuan jenis sejak awal seharusnya didiskusikan ke masyarakat 3. Mikro DAS merupakan perencanaan jangka menengah. Lima tahun sudah bisa dijadikan contoh pengelolaan 282

63 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI wilayah? 4. Penetapan bobot rawan banjir dan rawan longsor, apakah cukup mewakili bila dilakukan sekali apa tidak times series 5. BPDAS Solo punya 4 MDM dengan luasan sampai 1500ha (karanganyar, kali samin) DAS TANGGAPAN Ibu Ainun 4. Lokasi dipilih dengan menggunakan data sekunder apa yang dominan, menggunakan peta penggunaan lahan, peta RBI, peta rawan longsor, peta rawan banjir. Untuk rawan banjir menggunakan siskardasnya pak paimin 5. Data sosek menggunakan times series 5 tahun, untuk budaya tidak bisa menggunakan times series karena harus interview dengan petani di sana (data primer). Data hidrologi berusaha menggunakan data times series 10 tahun Bp Irfan BP : 6. Lokasi menggunakan peta RBI 7. Skala dan bobot menggunakan buku sidik cepat degradasi lahan 283

64 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN Ibu Nana : 8. Sampling menggunakan peta RBI. Untuk tegalan diambil dari desa yang dominan. Jumlah sampel dihitung dengan menggunakan masing-masing dari desa dominan diambil 30 sampel karena waktu terbatas. 4. Bp. Pramono Untuk Bp Purwanto : 1. DAS Mikro bukan berdasar luasan namun kehomogenan. DAS Mikro merupakan perkembangan dari plot. Bp Purwanto: 1. Unit yang seragam akan ditampung. Namun kami lebih memilih ke penyelesaian permasalahan bagaimana perencanaan mikro DAS kedepan. Bp. Paimin: 2. Mikro DAS sudah integrated process bukan sekedar perkembangan plot. Karena mikro DAS merupakan derivat dari Sub DAS. Kehomogenan dapat diambil dari karakter sub DAS untuk membangun mikro 284

65 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN DAS. HASIL DISKUSI SESI II NO. NAMA & INSTANSI DISKUSI 5. Bp Dibyo Untuk Bp Irfan : 1. Bukan hanya kekeruhan saja tapi juga kualitas air tersebut. Badan internasional sudah studi kualitas air sungai di DAS Citarum (Citarum panjang sungainya dari Garut s/d Indramayu, terdapat PLTA jatiluhur dan siguling. Studi lebih pada kualitas air sungai Citarum. Ternyata air sungai Citarum sudah tercemar mulai dari hulu (pusat industri). Kualitas air pada bendungan I Saguling 6 meter kebawah sudah tidak ada oksigen. Air citarum ikut mempercepat umur kincir angin. Citarum sebagai sumber pengairan untuk padi jadi mempengaruhi produktifitas. TANGGAPAN Bp Irfan: 1. Analisa sebenarnya tidak hanya kekeruhan tapi juga kualitas airnya 285

66 6. Bp Herudoyo Bagaimana mengkaitkan kualitas air dengan tingkat kecemaran. 2. Hubungan antar pemanfaatan sungai dengan keanekaragaman hayati. Penelitian di Cinimang ternyata diketemukan berbagai jenis ikan yang tadinya berada di situ ternyata menjadi hilang. Untuk Bp Irfan : 1. Data tentang curah hujan belum ditampilkan 2. Tanaman bawah perlu disinggung dominasi tanaman bawah perlu dikaji karena dapat mempengaruhi kekeruhan. Bp Irfan : 1. Pengaruh tanaman bawah memang sangat berpengaruh, nanti akan kami lengkapi. 2. Tingkat kekeruhan di Kedung Pane tinggi karena di atas dibuat bendung sementara dari kayu dan daun kelapa dengan tujuan untuk menyaring pasir. Untuk Bp Andi : 3. Lebih baik dalam perencanaan menggunakan karakterisasi DAS atau tipologi DAS? 4. Atau kedepan dengan tipologi begini maka perlakuannya Bp Andi : 3. Dengan 2 unsur dominan (hujan dan kepadatan penduduk) sudah didapat 4 tipologi 4. Karakteristik dan tipologi dapat digunakan. Seperti DAS tertentu yang 286

67 7. Bp.Wanda (Aek Nauli) seharusnya demikian Untuk Bp Pamungkas : 1. Tipologi DAS berbeda seperti di Jawa dan Sumatara. Apakah terdapat strategi untuk menyusun perencanaan pengelolaan DAS untuk hutan konservasi. 2. Penyebab kerusakan DAS karena ketergantungan masyarakat tinggi dan ekonomi rendah. Sebenarnya apa yang mendasari kerusakan DAS kemiskinan, kebutuhan lahan atau kesadaran masyarakat cenderung ke tipologi 1 agar lebih detil dapat dikombinasikan dengan karakteristik. Tipologi dapat membantu dalam menyederhanakan membuat kesimpulan. Bp. Pamungkas: 1. Kalau konservasi maka dapat disinergikan dengan kawasan di bawahnya 2. BPK Solo belum melakukan pada DAS konservasi Untuk Bp Andi : 3. Dalam penyusunan persamaan apakah telah dilakukan uji sebelumnya (mengingat terdapat banyak parameter). Adakah studi pendahuluan sebelum 287

68 menerapkan parameter sesi i 8. Ibu Triwilaida Untuk Bp Andi : 1. Karakter keragaman di DAS hulu 2. Tipologi 3 terdapat penjelasan dengan penduduk kurang tapi terdapat konflik. Konflik yang bagaimana? Bp Andi : 1. Daerah hulu biasanya suku lebih serderhana namun jumlah suku banyak dalam jumlah anggota kecil. 9. Ibu Sri (Pusdal) Untuk Bp Pamungkas : 1. Pengelolaan DAS yang disampaikan merupakan lintas sektoral. Jadi kelembagaan lain ikut berperan dalam keberhasilan pengelolaan DAS. Ketika perencanaan dibuat apakah sudah melibatkan/partisipati f antar pihak karena sering terjadi perbedaan kepentingan antar pihak yang akhirnya menjadi konflik dan membuat malas berkoordinasi. Karena masalah koordinasi selalu menjadi kendala, sebaiknya Bp Pamungkas: 1. Sepakat untuk penyusunan partisipatif. Namun perlu pihak yang powerfull untuk dapat memaksa dalam implementasi bukan hanya partisipatif dalam perencanaan tapi lebih penting dalam implementasi. 2. Perencanaan diusulkan untuk disahkan Gubernur, namun berasarkan hirarki lebih cenderung ke Bupati. 288

69 perencanaan melibatkan stakeholder. 2. Siapa yang melakukan karakterisasi. PLENO: NAMA & NO. INSTANSI 1. Bp. Soenarto Gunadi (Yogya) DISKUSI 1. Kebutuhan riset terkini belum tercermin sampai dengan hari ini TANGGAPAN Bp Paimin : 1. Terima kasih saran 2. Tim pernah memperkenalkan ke stakeholder cuma karena terbatas waktu maka gagal 3. Untuk justifikasi hasil peneltian tergantung jenis penelitian. Tidak semua penelitian dapat dilakukan justifikasi terutama penelitian yang bersifat survei. 4. Himbauan PU akan diakomdir tapi bukan dalam bentuk semiloka (alam semiloka ini diharapkan peserta berbagi pengalaman hasil penelitian bukan hanya dalam tulisan). 5. Institusi dengan masing-masing tupoksi diharapkan dapat melihat peraturan perundangan dan peka terhadap kebutuhan 289

70 NO. NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN pengguna. 2. Bp. Sunarno 3. Kepala Balai Sabo 1. Perlu koordinasi lebih lanjut supaya sampai pada masyarakat. Sebelum menyusun laporan akhir penelitian perlu proses justifikasi dari stakeholder kira-kira hasil penelitian dapat bermanfaat tidak. 2. Penelitian selalu memperhatikan 4 aspek : ekonomi, kemudahan adopsi, lingkungan, dan masyarakat dapat menerima. 1. Saran kedepan untuk paper dapat diambil dari institusi lain karena yang bergerak di bidang pengelolaan DAS tidak hanya BPK Solo. 2. Paper dapat Prof. Ris. Pratiwi: 6. Keterkinian sudah dapat dilihat dengan selalu memperhatikan peraturan dirjen BPDAS PS seperti rehabilitasi dengan jenis lokal. 290

71 NO. NAMA & INSTANSI 4. Bp. Purwanto (UNS) DISKUSI dilanjutkan ke jurnal. 1. Terkini seharusnya mengacu pada peraturan terkini yaitu UU 32 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pengelolaan harus berdasarkan pada kelestarian biidiversitas. 2. Penelitian yang terkait dengan teknologi konservasi tanah dan air dengan agroforestry harus lebih diintensifkan 3. Keragaman semakin beragam maka ekosistem semakin stabil dan biota tanah semakin beragam. 4. Biopori tidak perlu bila selama di tanah masih terdapat cacing tanah yang akan mengurangi run-off. 5. Perakaran sawit hanya 40 cm. Wacana menjadikan sawit sebagai tanman kehutanan perlu ditinjau kembali. Karena akan mempercepat TANGGAPAN Bp Paimin : 1. Itjen bekerjasama dengan PU bagaimana monitoring litbang. Sebelum memonev tolong dilihat terlebih dahulu mampukah melakukan. 291

72 NO. NAMA & INSTANSI DISKUSI kerusakan hutan. 6. Terkait dengan UU nomor 41 kehutanan. Penelitian tentang luas hutan optimal 30% perlu kajian untuk di luar Jawa. 5. Pusdal 1. Pusdal II akan melakukan monev terhadap hasil litbang namun pusdal kesulitan menetapkan parameter monev. Mungkin litbang dapat membantu dalam menetapkan kriteria dan indikator. Monev yang diharapkan lebih teknis apakah hasil peneltian termanfaatkan oleh masyarakat. TANGGAPAN Bp Paimin : 1. Monev apa? Substansi penelitian atau manajemen? Kalau manajemen ok, tapi kalau substansi penelitian itu yang akan susah. 292

73 Komisi II : Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS Fasilitator : Prof. Ris. Dr. Pratiwi, M.Sc Notulen : Wiwin Budiarti, Yogi Wulan Puspitasari. Makalah Sesi I : 1. Karakteristik Lahan sebagai Basis Perencanaan Konservasi Tanah di Sub DAS Progo Hulu (Pembicara : Pamungkas B P) Meningkatnya luasan lahan kritis di Indonesia yang melampaui daya dukungnya. DAS Progo Hulu mempunya potensi kerentanan lahan karena degradasi yang tinggi. Metode menggunakan formula Sicerdas (Sidik Cepat Degradasi Sub DAS). Tujuan penyusun rencana pengelolaan dan konservasi tanah. Kekritisan karena pertanian di lahan yang terjal dengan tanaman semusim. Rekomendasi: tanaman suren, mendorong teras searah kontur lereng. Kesimpulan: sebagian besar daerah DAS ini mempunyai karakter agak kritis karena kondisi alamiah kelerengan dan manajemen pertanian dengan tanaman semusim namun transfer teknologi konservasi kepada petani masih sangat rendah. 2. Pengelolaan Lahan di Sub DAS Cisadane Hulu untuk Mendukung Kelestarian Tata Air (Pembicara : I Wayan Susi D) Perubahan tata guna lahan tidak sesuai dengan daya dukung lahan Metode dengan model ANSWER (Areal Non Point Source Watershed Environmental Response Simulation) Simulasi perubahan penutupan lahan, rekapitulasi output di Sub DAS Cisadane Hulu dan debit sungai multi years. Banyak di dominasi oleh perkebunan dan pemukiman (resort). Model penggunaan skenario penutupan lahan menunjukkan bahwa kita tidak bisa berdiri sendiri dan tetap harus memperhatikan tekanan pada sektor lain seperti pertanian dan pemukiman. 293

74 Kesimpulan: Kondisi Sub DAS sangat kritis, penggunaan lahan yang optimal mampu mengurangi limpasan dan erosi dapat meningkatkan kelestarian air. 3. Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat dalam Mendukung Rehabilitasi Lahan (Pembicara : Dewi Retna I) Lahan kritis semakin meningkat dan upaya yang ada masih belum menunjukkan hasil yang maskimal. Salah satu permasalahan adalah pada kelembagaan pengelolaan hutan rakyat, penyuluh lapangan masih kurang sedangkan masyarakat perlu dilakukan pendampingan mengenai teknik budidaya dalam pembangunan hutan rakyat. Metode: wawancara mendalam dengan informan dan FGD. Muncul konflik antara para pihak (dinas kehutanan, dinas pertanian, swasta, masyarakat, BAPPEDA dll) terkait dalam satu kabupaten Koordinasi antara para pihak diharapkan ada dalam perencanaan hutan rakyat dalam satu kabupaten dengan sistem kolaboratif dan partisipatif. Kesimpulan : tidak diperlukan lembaga baru namun lembaga yang ada dioptimalkan dengan mekanisme kerja yang jelas; Penyusunan rancangan bangun untuk pembangunan hutan rakyat; BAPEDA mempunyai tugas untuk mengkoordinir seluruh pihak dalam pembangunan kehutanan. 4. RHL Partisipatif pada Hulu DAS : Mengelola Sumberdaya Lahan dan Air Melalui Dialog : catatan pengalaman penelitian di Sulawesi tahun (Pembicara : Hunggul Y. S) DAS super prioritas bertambah dan lahan kritis semakin meningkat. Penutupan kawasan hutan semakin menurun digantikan dengan kawasan pertanian. Kurangnya pengetahuan dan keinginan masyarakat untuk menjaga kawasannya. Sulitnya mengakses air bahkan bagi masyarakat di daerah hulu. Permasalahan: partisipasi masyarakat, adopsi teknologi konservasi dan dukungan politis untuk ikut serta dalam program konservasi. 294

75 Penelitian yang ditekankan di BPK Makasar: partisipasi personal dan partisipasi kolektif. Peningkatan awareness masyarakat tentang erosi dan akibatnya bagi tanah mereka. Kesimpulan : pembuatan mikro hidro sebagai penekanan dan bukti kepada masyarakat dan pihak terkait mengenai manfaat hutan sebagai regulator air. HASIL DISKUSI SESI I : NAMA & NO INSTANSI 1 Agus W BPK Solo 2 Sunarto G MKTI DISKUSI Untuk Bp. I Wayan : 1. Bagaimana dengan distribusi spasial dari tata ruang yang digunakan 2. Nilai ekonomi masyarakat dari Sub DAS Cisadane yang diperoleh 3. Dampak dibagian hilirnya seperti apa, tentu tidak hanya erosi, sedimentasi tentunya ekonominya juga. Untuk Bp I Wayan : 1. Apakah sudah ada referensi Model ANSWER di Indonesia? 2. Tata guna lahan, yang digunakan hanya prosentase atau sudah spasial? TANGGAPAN Bp I Wayan : 1. Analisis ekonomi belum dilakukan, akan dilakukan di penelitian mendatang 2. Informasi spasial sudah ada hanya saja belum ditampilkan, nanti akan dimuat dalam tulisan Bp I Wayan : 1. Referensi di Indonesia masih sedikit namun di kalangan akademisi sudah banyak dilakukan Untuk Ibu Dewi R I Ibu Dewi R I: 295

76 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI (Kelembagaan): 3. Dasarnya apa? Apakah aspek teknis, sosial, tipe masyarakat atau aspek ekonomi? Untuk Bp Hunggul (Partisipatif): 4. Kontribusi masyarakat itu apa? Model yang digunakan dialog atau pembelajaran bersama? Kerusakan lahan karena fasilitas memadai, contoh: adanya jalan mungkinkah mengganggu kelembagaan yang ada. TANGGAPAN 3. Kelembagaan sangat luas, pada kenyataannya masih adanya konflik dan tumpang tindih antara pihak-pihak dan lembaga-lembaga terkait, lebih menyoroti mekanisme kerja/koordinasi masing-masing lembaga terkait. Bagaimana sharingnya agar kegiatan hutan rakyat bisa berjalan baik. Bp Hunggul : 4. Masyarakat dirangsang untuk membuat kelompok, kewajibannya harus menanam, ada peraturan, ada sangsi, tidak dikomersilkan. 5. Adanya perbaikan fasilitas tidak memberikan dampak negatif karena dilakukan diluar kawasan dan listrik yang dihasilkan masih sangat kecil (sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar). Konsep ini sudah 296

77 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI 3 Bp Agung Untuk Bp I Wayan : 1. Terkait dengan baseline, seharusnya yang dipakai untuk baseline tidak hanya dari 1 (satu) kejadian hujan, karena baseline perlu divalidasi dengan beberapa kejadian hutan dalam beberapa tahun 2. Terkait dengan spasial output dari ANSWER adalah informasi dari sebaran sumbersumber erosi. 4 Bp Bambang (BPDAS Serayu Opak Progo) Untuk Bp Pamungkas : 1. Wonosobo ditanami oleh kentang dan sebagian besar lahan dimiliki oleh masyarakat sehingga teknik perlu diberikan dan diterapkan. 2. Praktisi: disamping konservasi tanah (sipil), agar kedepan juga dilakukan teknik RLKT secara vegetatif dengan tanaman keras. Di TANGGAPAN banyak ditiru oleh Pemda setempat. Sudah terjawab di atas Bp Pamungkas : 1. Kerentanan lahan memang pada lahan milik dengan tanaman semusim. Konservasi vegetatif sudah dilakukan dengan penanaman tanaman jenis Suren di lereng Sindoro karena suren dinilai mempunyai kapasitas adaptasi yang baik pada elevasi yang tinggi. Konservasi vegetatif perlu terus dilakukan dan diteliti 297

78 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI Dieng merehabilitasi 5000ha dengan teras dan vegetasi (tanaman keras, carica papaya dan teh). Koordinasi dengan BPDAS Opak Progo untuk terus melakukan penelitian disana. 3. Perlu dilakukan analisis ekonomi sangat penting, karena contoh : masyarakat Dieng sangat tergantung dengan tanaman kentang dan dibandingkan dengan gabungan upaya konservasi menggunakan vegetasi Untuk Ibu Dewi RI : 4. Produksi Hutan Rakyat di Jawa jauh lebih besar daripada Perhutani, sehingga kelembagaan di tingkat masyarakat sangat diperlukan agar hutan rakyat lestari, manajemen dengan tingkat yang lebih besar lagi perlu TANGGAPAN yang disesuaikan dengan kombinasi tanaman semusim pilihan masyarakat. Ibu Dewi R I : 2. Masih adanya konflik dan tumpang tindih antara pihak-pihak terkait dan lembagalembaga terkait, namun semakin sedikit dengan adanya koordinasi. 298

79 NO NAMA & INSTANSI 5 Tyas M B BPK Solo DISKUSI diterapkan karena tingkat kelompok tani desa sangat kecil. Manajemen hutan rakyat perlu diperbaiki, bagaimana agar hutan rakyat lestari, konsep hutan rakyat kemitraan (hubungan antara masyarakat dengan industri kayu) sehingga produksi kayu tetap kontinyu, diterapkan tanaman keras, tahunan, semusim. Untuk Bp I Wayan : 1. Keuntungan model ANSWER memberikan keuntungan spasial untuk pengguna, perlu ditunjukkan keuntungannya 2. Kondisi mengkhawatirkan, namun dari baseline (jauh kurang dari 10 ton/ha) menunjukkan belum terlalu mengkhawatirkan, jadi mungkin perlu dibandingkan dengan tolerable erosion. TANGGAPAN Sudah terjawab di atas 299

80 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN 3. Nilai erosi dibawah 10 ton/ha masih belum terlalu mengkhawatirkan, sebaiknya dikaitkan juga dengan kedalaman tanah. 4. Penyajian limpasan perlu dilengkapi data curah hujan. 5. Keuntungan ekonomi masyarakat perlu. 6. Saran : penyajian tabel sudah per seratus, cara penulisan perlu koreksi Makalah Sesi II : 5. Konservasi Tanah dan Air secara Partisipatif dengan Pendekatan Model Agroforestri Lokal (Pembicara : Ida Rachmawati) Degradasi lahan : meluasnya lahan kritis di NTT ha (dalam kawasan hutan ha dan di luar kawasan hutan ha) menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan. KTA dalam perbaikan lahan terdegradasi : dengan penanaman rumput pakan ternak (Brachiaria mutica, Setaria spachelata, Panicum maximum dan Euchlaena mexicana) mampu memperbaiki sifat fisik tanah. Pengembangan agroferestri lokal secara partisipatif mampu berfungsi sebagai model KTA, bila memperhatikan : o Pemilihan tanaman, kombinasi tanaman yang tepat dan pengaturan pola tanam dan model yang tepat antara tanaman kehutanan, pakan, tanaman pangan. o Kondisi lingkungan setempat. 300

81 o Keterlibatan masyarakat lokal secara aktif. Kegiatan sekolah lapangan adalah proses belajar bersama dalam pengelolaan lahan dan memahami pentingnya aspek konservasi tanah dan air. 6. Pemilihan Jenis-jenis Lokal dalam Famili Dipterocarpaceae yang Relatif Sesuai dengan Lokasi Tambang Batu Bara (Pembicara : Sri Soegiharto) Jenis yang dipilih : Famili Dipterocarpaceae, lokasi di Samarinda Tanah yang sudah ditambang merubah stuktur dan kualitas Jenis-jenis Famili Dipterocarpaceae yang relatif dapat bertahan pada lokasi tambang batu bara adalah jenis ekosistem kerangas dan rawa gambut, karena pada lokasi iklimnya meranggas dan banyak genangan, a.l : Shorea balangeran, Cotylelobium burchii dan Dryobalanops lanceolata. Solusi : untuk meningkatkan persentase hidup Famili Dipterocarpaceae lain diluar ekosistem kerangas dan rawa gambut dicoba dengan menambah perlakuan amandmen soil seperti humic acid, fulvic acid dan limelight. 7. Kajian Ketersediaan Air Permukaan pada Tanaman Kayu Putih (Pembicara : Ugro H M) Ketersediaan air sangat penting karena dijadikan salah satu indikator dalam pemilihan pemukiman dan perencanaan wilayah. Penurunan ketersediaan air pada kawasan hutan tanaman kayu putih perlu dianalisis dengan pendekatan Sub DAS, dibuat SPAS model Cipoletti dilengkapi peralatan pemantau aliran air otomatis. Penutupan lahan mikro DAS kayu putih berkisar antara % (sedang), sehingga masih terdapat resiko terjadinya erosi tanah yang disebabkan karena pukulan air hujan. 8. Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Rehabilitasi Mangrove (Pembicara : Endang Karlina) Kondisi mangrove sangat memprihatinkan, rehabilitasi mangrove masih sangat rendah 301

82 Lokasi : 2 (dua) sistem pengelolaan dan pemanfaatan kawasan rehabilitasi mangrove yaitu di Tahura Sawung, Bali dan kawasan Hutan Produksi Ciasem, Pamanukan, Jawa Barat Pengelolaan kawasan rehabilitasi hutan mangrove sebaiknya memperhatikan fungsi ekologis kawasan, sebagai fungsi lindung, habitat satwa liar dan sumber plasma nutfah daripada fungsi ekonomi (penerapan pola silvofisheri). HASIL DISKUSI SESI II : NO NAMA & INSTANSI 1 Burhanudin (Pusdiklat) 2 Wuri BPK Ciamis DISKUSI Untuk Ibu Endang K : 1. Rehabilitasi Mangrove Ciasem (Perhutani), tidak hanya dilakukan oleh Perhutani, tetapi juga dilakukan kelompok tani masyarakat dan mengembangkan koperasi masyarakat, pengembangan produk dari buah mangrove. Apakah dalam penelitian ini menyoroti juga hal yang dilakukan kelompok tani mangrove lestari? Untuk Bp Ugro H M : 1. Sampel ukuran 5 m x 5 m, apakah sudah merupakan ukuran yang memadai? 2. Ketersediaan air, tinggi pohon 2 m, TANGGAPAN Ibu Endang K : 1. Kelompok tani tersebut tidak masuk dalam lokasi kajian, mungkin masuk di RPH lain. Terdapat 5 KPH di lokasi kajian. Bp Ugro H M : 1. Yang menjadi patokan adalah tanaman bawah lalu tegakannya. Hasil air yang tersedia yang masuk dalam outlet SPAS adalah volume 302

83 NO NAMA & INSTANSI 3 Purwanto UNS DISKUSI yang memberikan ketersediaan air di permukaan apakah tanaman kayu putihnya atau karena pengaruh tanaman bawah? Belum dijelaskan hubungan antara tanaman kayuputih dengan ketersedian air. Untuk Ibu Ida R (Agroforestry): 1. Masukan: kriteria agroforestry mampu memberikan nilai ekonomi dan ekologi. Pemilihan model AF harus memperhatikan kondisi lingkungan, yang perlu diperhatikan kriteria kombinasi yang mampu meningkatkan biodiversitas di atas tanah, bertajuk multistrata sehingga bisa efektif untuk menangkap fotosintesis, menangkap intersepsi air hujan, mengeksplorasi akar dan meningkatkan TANGGAPAN air dari hutan kayuputih dan tanaman bawahnya. Ibu Ida R : 1. Semua masukan akan dipertimbangkan untuk perbaikan penelitian kedepan. 303

84 NO NAMA & INSTANSI 4 Ela Pusprohut DISKUSI kualitas serasah. Tanaman hutan yang dipilih harus juga memenuhi menghasilkan lignin yang tinggi sehingga tutupan tanah dapat tinggi dana dapat menampung air hujan dan menjaga suhu tanah Untuk Ibu Endang K : 1. Unsur manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan rehabilitasi kawasan mangrove, jadi tidak selalu merusak. Perlu dicermati adanya tambak terhadap peningkatan jumlah mangrove. Masyarakat akan cenderung menanam mangrove apabila tambaknya berhasil. TANGGAPAN Endang K : 1. Kondisi biofisik bagus bisa karena pertambakan namun karena unsur manusia yang dominan bisa juga menyebabkan kerusakan. Pengelolaan mangrove perlu dikedepankan fungsi lindungnya daripada fungsi ekonominya. Kedepan agar dilakukan kajian bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove di berbagai fungsi hutan (konservasi, produksi, lindung) sehingga akan dihasilkan berbagai model pengelolaan mangrove pada berbagai fungsi hutan 304

85 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN yang berbeda. Untuk Bp Sri S (Batubara): 2. Kombinasi tanaman pelindung/pionir apakah berpengaruh terhadap keberhasilan tanaman pokok sendiri? Untuk Ibu Ida R : 3. Gulma akan menurunkan hasil panen, tetapi juga memiliki manfaat positif dalam pola agroforestry ini, Bp Sri S : 2. Penaung dapat menjadi pesaing namun prediksi persaingan penaung pionir bisa diabaikan, karena pertumbuhannya masih sangat kecil (tidak ada saingan dalam hal akar). Rancangan acak kelompok kurang bisa mewakili populasi sehingga rancangan penelitian dicoba dengan rancangan lain (Corespondence Canonnical Analysis). Naungan multistrata tidak bisa diaplikasikan. 3. Di tambang hanya ada 1 strata, naungan di 1 lokasi berbeda dengan yang lain jadi tidak bisa digeneralkan. Ibu Ida R : 4. Putri malu digunakan karena bisa menahan penguapan yang tinggi, dipilih putri malu yang tidak berduri sehingga tidak 305

86 NO NAMA & INSTANSI DISKUSI apakah tidak dilakukan kajian mengenai hal tersebut? 5 UN Untuk Ibu Ida R : 1. Usul : dalam penerapan pola Agroforestry agar menata kombinasi tanaman, penggunaan tanaman bertajuk multistrata lebih bagus TANGGAPAN membahayakan petani itu sendiri. Selain itu pemilihan putri malu disesuaikan dengan jeruk yang ditanam masyarakat. Ibu Ida R : 1. Saran ditampung Untuk Bp Ugro H M (Kayu putih) : 2. Perbandingan ketersediaan air kayu putih dibandingkan dengan tanaman lain/control. Bp Ugro H M : 2. Sulit mencari kawasan hutan yang murni hanya kayuputih namun banyak tanaman sela yang juga kemungkinan membantu penyerapan air di hutan kayuputih. Hasil air yang tersedia yang masuk di SPAS, memang benar yang masuk dari hutan tanaman kayu putihnya. 306

87

Sistem Perencanaan Kehutanan Sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS (Studi di DAS Serang)

Sistem Perencanaan Kehutanan Sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS (Studi di DAS Serang) Sistem Perencanaan Kehutanan Sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS (Studi di DAS Serang) Oleh: Pamungkas B.P & Irfan B.P DEPARTEMEN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BALAI PENELITIAN

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012

SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012 PROSIDING ISBN 978-602-99218-6-1 SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012 Terbit Tahun 2013 Tim Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. Ir.

Lebih terperinci

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN 2012-2021 1 Oleh : Irfan B. Pramono 2 dan Paimin 3 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan hutan. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah berupaya memaksimalkan fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG DAS BRANTAS BERDASARKAN EVALUASI KRITERIA TATA AIR

DAYA DUKUNG DAS BRANTAS BERDASARKAN EVALUASI KRITERIA TATA AIR Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 207 ISBN: 978 602 36 072-3 DAYA DUKUNG DAS BRANTAS BERDASARKAN EVALUASI KRITERIA TATA AIR Rahardyan Nugroho Adi dan Endang Savitri Balai Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat ekologi dari pola ruang, proses dan perubahan dalam suatu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.41 /Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Kajian Tinjauan Kritis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa

Kajian Tinjauan Kritis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB. SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan di Jawa Timur, sampai dengan saat ini masih belum dapat mencapai ketentuan minimal luas kawasan sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 41

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

UJICOBA TEKNIK REHABILITASI LAHAN KRITIS DI GUNUNG BATUR, BANGLI (HASIL AWAL) Oleh: Gunardjo Tjakrawarsa Budi Hadi Narendra

UJICOBA TEKNIK REHABILITASI LAHAN KRITIS DI GUNUNG BATUR, BANGLI (HASIL AWAL) Oleh: Gunardjo Tjakrawarsa Budi Hadi Narendra UJICOBA TEKNIK REHABILITASI LAHAN KRITIS DI GUNUNG BATUR, BANGLI (HASIL AWAL) Oleh: Gunardjo Tjakrawarsa Budi Hadi Narendra Latar Belakang Lava G.Batur batuan vulkanis beku dan pasir kesuburan rendah (kritis

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BITUNG, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

SAMBUTAN BUPATI SLEMAN SEMINAR NASIONAL HHBK DAN PERESMIAN ASOSIASI BAMBU SLEMAN SEMBADA TANGGAL : 6 NOVEMBER 2014

SAMBUTAN BUPATI SLEMAN SEMINAR NASIONAL HHBK DAN PERESMIAN ASOSIASI BAMBU SLEMAN SEMBADA TANGGAL : 6 NOVEMBER 2014 1 SAMBUTAN BUPATI SLEMAN SEMINAR NASIONAL HHBK DAN PERESMIAN ASOSIASI BAMBU SLEMAN SEMBADA TANGGAL : 6 NOVEMBER 2014 Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Yang kami hormati, Bapak/Ibu

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1. No.247, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Penggunaan DAK. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.60/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan milik masyarakat berangsur-angsur menjadi pemukiman, industri atau usaha kebun berorientasi komersil. Karena nilai ekonomi lahan yang semakin meningkat maka opportunity

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang No.771, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN PU-PR. Bendungan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

CAPAIAN KEGIATAN TAHUN

CAPAIAN KEGIATAN TAHUN CAPAIAN KEGIATAN TAHUN 2010-2014 BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI Jl. A. Yani-Pabelan, Kartasura, Telepon/Fax.: (0271) 716709 / 716959 email: bpt.kpdas@gmail.com, website:

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya (UU RI No.41

Lebih terperinci

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang No. 5, Agustus 2002 Warta Kebijakan C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai salah satu sumber devisa negara. Dalam UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, dinyatakan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

RAKORNIS Badan Litbang dan Inovasi Balikpapan, Juni 2015

RAKORNIS Badan Litbang dan Inovasi Balikpapan, Juni 2015 RAKORNIS Badan Litbang dan Inovasi Balikpapan, 10-12 Juni 2015» RPPI 2 Konservasi Sumber Daya Air» Koordinator: Dr. I Wayan S Dharmawan, SHut, MSi» Wakil Koordinator: Drs. Irfan B. Pramono, MSc» Pembina:

Lebih terperinci