ANALISIS OPSI POLA PENGGUNAAN LAHAN DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI NOVIAN JAMIL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS OPSI POLA PENGGUNAAN LAHAN DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI NOVIAN JAMIL"

Transkripsi

1 1 ANALISIS OPSI POLA PENGGUNAAN LAHAN DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI NOVIAN JAMIL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 ABSTRAK Novian Jamil, Analisis Opsi pola penggunaan lahan di wilayah pesisir kecamatan Muara Gembong kabupaten bekasi, dibawah bimbingan Dr.Ir. Akhmad Fauzi M.Sc Sebagai ketua dan Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja dan Dr. Ir. Mennofatria Boer DEA sebagai anggota. Konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak di kawasan pesisir Kecamatan Muara Gembong dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, mencapai ha. Tingginya konversi ini, dipicu oleh potensi hasil lahan tambak yang hanya dinilai secara ekonomi, tanpa mempertimbangkan nilai ekologi. Pada sisi lain konversi ini memicu peningkatan lahan pemukiman bagi petani tambak, di sepanjang kawasan sempadan sungai. Hal ini mengakibatkan rusaknya ekosistem wilayah pesisir, yang menimbulkan dampak ekonomi dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk :1) menentukan kesesuaian peruntukan lahan sehingga dapat diperhitungkan dalam penilaian manfaat ekonomi secara lebih komprehensif, 2) menilai manfaat ekonomi dari opsi perubahan penggunaan lahan, 3) menganalisis optimalisasi konversi penggunaan lahan wilayah pesisir kecamatan Muara Gembong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya tingkat konversi mangrove menjadi tambak, disebabkan oleh kesesuaian lahan mangrove untuk tambak, serta net revenue yang paling tinggi (Rp 56,4 juta/ ha) dibanding konversi ke penggunaan lainnya. Namun karena tidak memperhitungkan daya dukung lahan telah, mengakibatkan terjadinya penurunan produktifitas dari 1,9 ton/ha pada tahun 1994 menjadi 1,2 ton/hektar tahun Analisis kesesuaiaan lahan, menunjukkan bahwa kawasan hutan mangrove, sesuai untuk tambak, namun tingkat konversi yang berlebihan, telah menurunkan produktivitas tambak hingga 70 %. Hal ini disebabkan lebih dari 90 % lahan tambak yang terdapat di Kecamatan Muara Gembong merupakan tambak konventional, sehingga konsumsi pakan ikan tergantung jasad renik yang terdapat pada ekosistem mangrove. Daya dukung lahan tambak yang dinilai dari produksi maksimal, telah melebihi daya dukungnya yang hanya ha, Sementara luas lahan tambak mencapai ha. Total Economic Value (TEV) manggrove yang terdiri dari manfaat langsung (menghasilkan kayu, arang dan perikanan laut), serta manfaat tidak langsung (sebagai penahan abrasi pantai serta sumber hara dan tempat pemijah ikan) mencapai Rp. 345, 57 juta, dengan option value yang terdiri nilai manfaat dari keanekaragaman hayati dengan nilai Rp 142,500 ha/tahun. Dengan demikian konversi mangrove akan mengakibatkan terjadinya Economic loss. TEV lahan tambak sebesar Rp ,- serta memiliki manfaat langsung yaitu menghasilkan ikan bandeng dan udang. Net Present Value (NPV) tambak sebesar Rp 28,39 juta, pemukiman Rp -9,8 juta untuk kurun waktu 10 tahun. Lahan mangrove yang saat ini hanya mencapai 398 ha, harus ditingkatkan menjadi 1,490 ha, Penggunaan lahan pemukiman di pinggir sungai harus dihilangkan karena tidak memenuhi prasyarat pendirian pemukiman, serta menyalahi ketentuan tata ruang (sempadan sungai). 2

3 3 ABSTRACT Novian Jamil An analysis of land use pattern in coastal zone of Muara Gembong district, Bekasi Regency. Under supervision Dr. Ir. Akhmad Fauzi M.Sc, Prof. Dr. Daniel R Monintja, Dr. Ir. Mennofatria Boer DEA. The Conversion of mangrove forest for fish pond in muara gembong the accounted to for the last decade, the conversion was mostly degraded by high value of fish pond without taking into account it s ecological aspects. in addition land conversion has also the demand for housing settlement for fish farmers in the area. These forest all together in duct result degradation and ecological destructiveness in coastal area This research is aimed to (1) identify land suitability for coastal activities (2). Identify land value for option scenario land use of coastal area (3). to analyst optimal land conversion in muara gembong sub district. Result show that increased in mangrove conversion for fish for fish pond is duo to suitability of mangrove area for shrimp pond brackish water with total revenue of Rp 56.6 million /ha. Composed to other uses, however without taking into account it s carrying capacity productivity had declined from 1.9 ton /ha in 1994 to 1.2 ton/ha in Land compatibly analysis shows that mangrove area are suitable for brackish water pond. However over conversion has reduced pond productivity almost 70 %. This due to the fact that 90 % at brackish water land in muara gembong in conventional brackish water pond which feed consumption depend on organic matter on mangrove is. Carrying capacity of shrimp pond is only 7782 ha while current area is around 8914 ha. Total Economic Value of mangrove; (1) direct value (wood, charcoal and fisheries), and (2) indirect value (beach abrasion control, nutrient and fish nursery ground) are Rp. 345, 57 million, and (3). Option value Rp ha/year. Conversion of mangrove will cause economic loss. TEV of fish fond land is Rp ,- and direct value are to produce mild fish and shrimp. NPV of fish fond are Rp 28,39 million, residential Rp 9,8 million in time range 20 year. According to mangrove land optimizing analyst, current use for mangrove is only 398 ha, that could be increase to be 1,490 ha. Land use for residential in bank of river have been used up because is not suitable for housing criteria and regional planning.

4 4 ANALISIS OPSI POLA PENGGUNAAN LAHAN DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI NOVIAN JAMIL Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Management Sumberdaya Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

5 5 Judul Disertasi Nama NIM : Analisis Opsi Pola Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi : Novian Jamil : P Disetujui : Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja Anggota Dr. Ir. Mennofatria Boer. DEA Anggota Ketua Departemen Management Sumberdaya Perairan Diketahui : Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 21 Desember 2006 Tanggal Lulus :

6 ii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Opsi Pola Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir. Bogor, Januari 2007 NRP P

7 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya iii

8 iv PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga disertasi sebagai salah satu prasyarat memperoleh gelar doctor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dapat kami selesaikan. Disertasi ini merupakan hasil penelitian dengan tema yang dipilih adalah masalah pertanahan yang berkaitan dengan penggunaan dan penguasaan, sehingga menimbulkan hambatan terhadap pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, yang dengan tulus memberi bimbingan dan arahan agar penulis dapat berpikir logis dan memahami akar permasalahan sehingga dapat merampungkan penelitian ini. Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan sabar memberi arahan, motivasi serta semangat pada penulis agar penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sesegera mungkin. Kepada Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer. DEA, selaku anggota komisi pembimbing yang selalu memberi dorongan agar penulis dapat secepatnya menyelesaikan penelitian, dan telah memberikan arahan penyajian dan pembahasan hasil penelitian serta koreksi penulisan. Kemudian yang terpenting, ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada keluarga penulis, Dr. Ir Reti Wafda.MTp, yang telah membantu dan mendampingi penulis untuk melewati masa studi yang panjang dan melelahkan. Anak-anak penulis Fahri Van Renov dan Reisa Renova yang dengan kepolosan dan kelucuannya, menjadi pendorong bagi penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian ini. Selanjutnya penghargaan dan terima kasih yang tulus diucapkan kepada Orang tua penulis, Prof. Drs. Djamil Bakar (almarhum), dan Dra. Nurmalia Djamil serta bapak mertua penulis Yoseph Enda Mangkuto dan ibu mertua penulis Dahniar (almarhum), serta kakak-adek penulis Syahrazad Jamil SH,MM, Machruzar Jamil SH, Dr. Ramona Sari Jamil, Ir. Erianton Ramdani Jamil dan Meiliza Jamil.SE. dan Keluarga yang tidak putus-putusnya memberikan bantuan moril dan meteril, serta doanya.

9 v Kakak dan adek istri penulis Yasmon, Dra Delfitris, Veltrinyon, Alex, Ir.faizil Fitris Mt, Drs Gesriyel, Rita Okraini, Taufikra dan Rahmatika beserta keluarganya yang tidak putus-putusnya memberikan bantuan moril dan meteril, serta doanya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Gubernur Sumatera Barat beserta staf, yang telah menugaskan dan memberikan bantuan pembiayaan kuliah bagi penulis pada program studi SPL Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.Sc. selaku ketua program studi Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut, serta Bapak Prof. Dr. Ir Dietrich D Bengen, DEA yang pernah membimbing penulis dalam proses penulisan disertasi ini, juga kepada dosen-dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, yang telah membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat. Pada kesempatan yang baik ini, secara khusus penulis sampaikan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Fachri Akhmad M.Sc, Bapak Ir. H Nurmawan, Bapak Dr. Ir. Sudaryono. M.Sc. Bapak Dr Ir. Leksono MT. Bapak Drs Irwan Jalil dan teman-teman dari SPL Akhir kata, meskipun jauh dari sempurna, tetapi penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait. Bogor, Januari 2007 Novian Jamil NRP P

10 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... viii I. PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Perumusan Masalah... 2 I.3 Tujuan Penelitian... 4 I.4 Manfaat Penelitian... 5 I.5 Hipotesis Penelitian... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA... 6 II.1 Pengertian Wilayah Pesisir... 6 II.2 Ekosistem di Wilayah Pesisir... 7 II.3 Fungsi Wilayah Pesisir... 9 II.3.1 Manfaat Ekologis... 9 II.3.2 Manfaat Ekonomi II.4 Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir II.4.1. Penggunaan Lahan ( Land Use) II.4.2. Perubahan Penggunaan Lahan II.4.3. Konsep Sewa Lahan ( Land Rent ) II.4.4. Faktor faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan 15 II.5 Kesesuaian Lahan II.5.1 Kesesuaian Lahan Untuk Tambak Aspek Ekologi Aspek Tanah Aspek Biologis Aspek Sosial Ekonomi II.5.2 Kesesuaian Lahan Untuk Pemukiman II.5.3 Klasifikasi Kesesuaiaan Lahan Untuk Sawah Irigasi... 17

11 ii II.5.4 Analisis Kesesuaian Lahan Tegalan II.6 Data Envelopment Analysis Produktivitas Penggunaan Lahan 18 II.7 Konsep Valuasi Ekonomi II.8 Metode Valuasi Ekonomi II.8.1 Valuasi Ekonomi Berdasarkan Manfaat II.8.2 Valuasi Ekonomi Berdasarkan Biaya II.9 Analisa Degradasi Sumberdaya Lahan II.9.1 Template dan Model Simulasi II.10 Pembangunan Berkelanjutan II.11 Pengelolaan Wilayah Pesisir Berkelanjutan II.11.1 Dimensi Ekologis II.11.2 Dimensi Ekonomi II.11.3 Dimensi Sosial III. METODOLOGI PENELITIAN III.1 Kerangka Pemecahan Masalah III.2 Ruang Lingkup Penelitian III. 3 Jenis dan Sumber Data III.4 Pengolahan Data III.5 Analisis Data III.5.1 Analisis Kesesuaian Lahan III.5.2 Analisis Total Economic Value Use Value Future Value Foregone Benefit III.5.3. Analisa Net Present Value III.5.4 Analisis Simulasi Optimalisasi III.5.5 Data Envelope Analysis III.5.6 Analisis Degradasi Sumberdaya Lahan III.5.7 Model Simulasi Degradasi IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN IV.1 Deskripsi Umum IV.2 Keadaan Alam IV.3 Penggunaan Lahan... 56

12 iii IV.4 Kependudukan IV.5 Mata Pencaharian IV.6 Pendidikan IV.7 Media Komunikasi dan Perhubungan V. HASIL DAN PEMBAHASAN V.1 Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong V.2 Produktivitas Maksimal V.2.1 Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tambak V.2.2 Produktivitas Maksimal untuk Lahan Sawah V.2.3 Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tegalan V.3 Efisiensi Penggunaan lahan V.3.1 Efisiensi Penggunaan Lahan Sawah V.3.2 Efisiensi Penggunaan Lahan Tambak V.3.3 Efisiensi Penggunaan Lahan Tegalan V.3.4 Efisiensi Penggunaan Lahan Pemukiman V.3.5 Efisiensi Penggunaan Lahan Magrove V.4 Analisis Kesesuaian Lahan di Kecamatan Muara Gembong.. 79 V.4.1 Kesesuaian Lahan untuk Tambak V.4.2 Kesesuaian Lahan untuk Mangrove V.4.3 Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman V.4.4 Kesesuaian Lahan untuk Sawah V.4.5 Kesesuaian Lahan untuk Tegalan V.5 Analisis Total ekonomi Value (TEV) V.5.1 Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove V.5.2 Analisis Financial Penggunaan Lahan Tambak V.5.3 Analisis Financial Penggunaan Lahan Tegalan V.5.4 Analisis Financial Penggunaan Lahan Sawah V.5.5 Analisis Financial Penggunaan Lahan Pemukiman 105 V.6 Analisis Optimalisasi Penggunaan Lahan V.7 Hasil Analisis Optimalisasi Penggunaan Lahan V.8 Analisis Degredasi Sumberdaya Lahan V.9 Konsep pengembangan Wilayah Pesisir V.10 Rencana Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Bekasi

13 iv V.11 Implikasi Kebijakan VI.KESIMPULAN DAN SARAN VI.1 Kesimpulan VI.2 Saran-saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

14 v DAFTAR TABEL Halaman 1. Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong Luas Wilayah Kecamatan Muara Gembong berdasarkan Penggunaan Lahan pada Tahun Jumlah Penduduk Kecamatan Muara Gembong Per Desa Pada Tahun Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan Muara Gembong Harga Rata-Rata Budidaya Tambak di Kecamatan Muara Gembong Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Muara Gembong Produktivitas Lahan Tambak Udang Kecamatan Muara Gembong Produktivitas Lahan Tambak Bandeng Produktivitas Lahan Sawah Produktivitas Tanaman Jagung Produktivitas Ubikayu Kesesuaian Lahan untuk Tambak Kesesuaian Lahan untuk Mangrove Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman Kesesuaian Lahan untuk Sawah Kesesuaian Lahan untuk Tegalan Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di Kecamatan Muara Gembong Economic Loss Perubahan Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong Optimal Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong

15 vi DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Grafik Effisiensi Frontier Metode Valuasi Ekonomi Kerangka Pemecahan Masalah Kerangka Analisis Total Economic Valuation Peta Administrasi Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tambak Udang Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tambak Bandeng Produktivitas Maksimal untuk Lahan Sawah Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tegalan Tanaman Jagung Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tegalan Tanaman Ubikayu Efisiensi Frontier Penggunaan Lahan Sawah Efisiensi Frontier Penggunaan Lahan Tambak Udang Efisiensi Lahan Tambak Bandeng Efisiensi Penggunaan Lahan Tegalan Tanaman Jagung Analisis Efisiensi Lahan Tegalan Tanaman Ubikayu Efisiensi Penggunaan Lahan Untuk Pemukiman Efisiensi Pengelolaan Lahan Mangrove Peta Kesesuaian Lahan untuk Tambak Peta Kesesuaian Lahan untuk Mangrove Peta Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman Peta Kesesuaian Lahan untuk Sawah Peta Kesesuaian Lahan untuk Tegalan Simulasi Degradasi Lahan di Kecamatan Muara Gembong Simulasi Pemanfaatan Lahan Pemukiman Simulasi Potensi Lahan Ekonomi Analisis Simulasi Kebutuhan Lahan

16 vii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kesesuaian Lahan untuk Tambak Bandeng Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun Kesesuaian Lahan untuk Tegalan Jagung Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun Kesesuaian Lahan untuk Mangrove Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun Kesesuaian Lahan untuk Sawah Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun Net Present Value (NPV) pada penggunaan lahan Tambak Net Present Value (NPV) pada penggunaan lahan Sawah Net Present Value (NPV) pada penggunaan lahan Tegalan Net Present Value (NPV) pada penggunaan lahan Pemukiman Model Optimalisasi Penggunaan Lahan di kecamatan Muara gembong Model Data Envelope Analisis untuk Efisiensi Lahan Tambak

17 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Hampir semua propinsi di Indonesia memiliki kawasaan pesisir yang berfungsi sebagai penghubung antar pulau dan antar wilayah. Pada wilayah pesisir, banyak tersedia sumberdaya alam dengan nilai ekonomi yang tinggi. Ini disebabkan karena daerah pesisir memiliki interaksi antara kehidupan di wilayah darat dan laut, sehingga tercipta suatu sistem ekologis yang unik. Pada dasarnya, wilayah pesisir memiliki beberapa sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya alam. Ekosistem wilayah pesisir dapat bersifat alami maupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan estuaria, sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, agroindustri dan kawasan pemukiman. Adapun sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir antara lain terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih dan tidak dapat pulih. Keterkaitan antara ekosistem dan ketersediaan sumberdaya sangat dipengaruhi oleh aktifitas dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Contoh kegiatan di wilayah pesisir yang memanfaatkan pengaruh kelautan sebagai dasar kegiatan adalah hutan mangrove, kawasan pariwisata, kawasan pemukiman, tambak, sawah pasang surut, dan industri. Berdasarkan dimensi ekologis, wilayah pesisir memiliki empat fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai jasa pendukung kehidupan, jasa kenyamanan, penyedia sumberdaya alam dan penerima limbah (Ortolano 1984). Apabila salah satu ekosistem terganggu oleh aktivitas yang ada diatasnya maka dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya. Oleh karena itu, diperlukan penanganan khusus agar tidak terjadi kerusakan akibat ekploitasi berlebihan pada sumberdaya alam di wilayah pesisir. Penggunaan lahan di wilayah pesisir merupakan gambaran aktifitas yang terdapat di wilayah pesisir. Sifat ekosistem wilayah pesisir yang sangat rentan

18 2 terhadap perubahan, sementara penggunaan lahan wilayah pesisir yang bersifat dinamis dan cenderung untuk berubah-ubah, menyebabkan proses perubahan bentuk penggunaan lahan di wilayah pesisir berjalan terus seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan penduduknya. Namun dalam pemanfaatannya, apabila terjadi gangguan dan kerusakan di wilayah pesisir, maka dapat mengganggu aktivitas pembangunan dan lingkungan sekitarnya (Dahuri et al 1996). Sebagai contoh, apabila penanganan limbah kawasan industri tidak dikendalikan, maka dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran yang berdampak kepada berkurangnya ketersediaan sumberdaya ikan di laut. Hampir setiap sektor pembangunan menaruh kepentingan yang kuat terhadap wilayah pesisir beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini dikarenakan lahan-lahan di wilayah pesisir beserta sumber daya yang dimilikinya memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Akan tetapi, sampai saat ini manfaat ekonomi dari lahan tersebut biasanya hanya dihitung berdasarkan nilai ekonomi dari produk yang dihasilkan oleh lahan tersebut (disebut juga dengan penilaian ekonomi secara langsung), tanpa memperhitungkan dengan hasil lahan yang tidak digunakan (non use benefit). Padahal dalam ekonomi sumberdaya dan lingkungan, semua pemanfaatan sumberdaya baik aktual dan potensial, harus diperhitungkan termasuk biaya untuk mengekstraksinya. Pengeluaran biaya mewakili berbagai nilai yaitu nilai langsung maupun nilai tidak langsung, nilai manfaat dan non manfaat, serta nilai pilihan yang hilang. Semua nilai tersebut dapat dihitung menggunakan pendekatan Total Economic Valuation (TEV). I.2. Perumusan Masalah Ekosistem wilayah pesisir merupakan daerah yang sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan akan memberikan tekanan pada lahan dan menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan. Oleh sebab itu, maka penanganannya perlu dilakukan secara komprehensif. Permasalahan yang sering muncul di wilayah pesisir adalah masalah ekploitasi sumberdaya pesisir yang berlebihan, padahal dampak yang ditimbulkan akan berakibat panjang terhadap lingkungan. Kebanyakan investor mengekploitasi sumberdaya pesisir hanya melihat profit semata. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dapat pula menyebabkan adanya eksploitasi yang berlebihan

19 3 ini. Perubahan ini banyak dipengaruhi oleh kebutuhan akan lahan produktif oleh penduduk yang semakin meningkat. Tabel 1 berikut ini memberikan gambaran pola penggunaan lahan pesisir di wilayah Muara Gembong dari tahun 1943, 1990 dan tahun Tabel 1 Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong (ha) Penggunaan Lahan Hutan Mangrove Permukiman Sawah Irigasi Tambak/empang Tegalan Lain-lain Total Sumber : Evaluasi Tata Ruang Kabupaten Bekasi (2000) Banyak kasus yang dapat dilihat pada beberapa wilayah sepanjang pesisir pantai utara pulau Jawa khususnya di wilayah pantai Utara Bekasi, dimana ekploitasi sumberdaya yang berlebihan menurunkan kualitas lingkungan dan bahkan menurunnya hasil produksi lahan yang mereka manfaatkan sebagai komoditas budidaya. Dengan terjadinya degradasi lingkungan, akan berdampak terhadap segala aspek kehidupan. Salah satu faktor yang menyebabkan degradasi ini adalah pengelolaan yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan. Untuk mengantisipasi dampak negatif degradasi lahan tersebut, pemerintah daerah kabupaten Bekasi pada tahun 1992 telah mengeluarkan kebijakan RT/RW. Tetapi perencanaan tata ruang yang ditetapkan dalam RT/RW tersebut lebih banyak didasarkan atas penggunaan lahan dalam bentuk fisik. Sementara evaluasi penilaian ekonomi yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan lahan belum pernah dilakukan menyebabkan banyak penggunaan lahan yang terjadi tidak memperhatikan pengaruh faktor ekologis disamping faktor ekonomi. Padahal pengaruh aspek ekonomi dan ekologis sangat mempengaruhi dalam peningkatan potensi ekonomi lahan di kecamatan Muara Gembong. Perencanaan dalam skala kecil seperti tingkat desa juga kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Akibatnya timbul peruntukan lahan yang tidak

20 4 mengacu terhadap kesesuaian lahan dan melampaui daya dukung lahan tersebut. Dalam prinsip pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sesuai dengan pembangunan wilayah yang berkelanjutan, maka perubahan penggunaan lahan harus didasarkan daya dukung lingkungan. Permasalahan mendasar dalam pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan adalah bagaimana mengalokasikan berbagai macam kegiatan pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara optimal berdasarkan perhitungan-perhitungan efisiensi dan optimalisasi. Penelitian menyangkut analisis ekonomi lahan wilayah pesisir pernah dilakukan di Filipina oleh Trinidad et al (1996). Namun dalam kajiannya, mereka tidak melihat keterkaitan lingkungan dalam penggunaan lahan (sistem ekologis) dan daya dukung lahan (carrying capacity) untuk kasus Indonesia khususnya wilayah pantura penelitian serupa belum banyak di lakukan. Melihat beberapa pemikiran diatas, maka perlu kiranya dilakukan kajian penggunaan lahan pesisir yang tidak saja melihat nilai ekonomi dari lahan berdasarkan opsi penggunaan, tetapi juga menilai keterkaitan dari fungsi ekologi dan daya dukung lahan di wilayah pesisir. Dengan demikian, permasalahan pokok yang perlu menjadi perhatian dan penanganan adalah : 1. Adanya perubahan penggunaan lahan (dalam kasus ini adalah lahan tambak dan lahan sawah) yang besar, sehingga kelestarian lingkungan menjadi tidak terjaga. 2. Tidak adanya penilaian terhadap kesesuaian dan daya dukung dari perubahan penggunaan lahan tersebut yang dapat mendukung keberlanjutan aktivitas perekonomian masyarakat. 3. Tidak adanya penilaian perubahan penggunaan lahan tersebut yang melihat manfaat ekonomi lahan secara menyeluruh (total). 4. Tidak adanya perkiraan perubahan penggunaan akibat adanya degradasi lahan, yang dapat menjadi masukan bagi kebijakan pengelolaan pembangunan dan wilayah. I.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

21 5 1. Mengidentifikasi perubahan pola penggunaan lahan yang ada di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. 2. Menentukan kesesuaian lahan untuk penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong sehingga dapat diperhitungkan dalam penilaian manfaat ekonomi secara lebih komprehensif. 3. Menilai manfaat ekonomi dari opsi perubahan penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. 4. Menganalisis optimisasi konversi penggunaan lahan wilayah pesisir di Kecamatan Muara Gembong. I.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak terkait, antara lain: 1. Sebagai bahan masukan bagi pihak yang berwenang dan berkepentingan dalam penentuan kebijakan penggunaan lahan wilayah pesisir di Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat dengan mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan dan optimal. 2. Sebagai bahan informasi (studi pustaka atau literatur) bagi pihak yang berkepentingan. I.5. Hipotesis Penelitian Terdapat beberapa hipotesis yang disusun untuk mendukung penelitian ini, yaitu: 1. Pola perubahan penggunaan lahan yang berlangsung di Kecamatan Muara Gembong, tidak sesuai dengan kesesuaian dan daya dukung lahan. 2. Nilai ekonomi lahan dipengaruhi oleh produktivitas lahan terhadap opsi (alternatif) penggunaannya. 3. Efisiensi dan efektivitas konversi lahan di wilayah pesisir dipengaruhi oleh nilai ekonomi lahannya.

22 6 II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Defenisi Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan darat, apabila dilihat dari garis pantai, wilayah pesisir memiliki dua batasan, yang terdiri dari garis pantai yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan garis pantai yang tegak lurus dengan garis pantai. Tetapi untuk batasan garis pantai yang sejajar dengan garis pantai menurut Bengen (2001) lebih mudah dalam hal pengelolaannya. Menurut Soegiarto (1976) di Indonesia batasan wilayah pesisir. diklasifikasikan berdasarkan potensi sumberdaya di wilayah tersebut serta karakteristik wilayah tersebut. Sedangkan defenisi wilayah pesisir berdasarkan Rapat kerja National Proyek MREP tahun 1994 dalam Dahuri et al. (1996) menetapkan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan lautan, yang berarti membagi dua bagian wilayah antara darat dan laut, untuk wilayah darat pada wilayah pesisir, daratan yang dimaksud adalah daratan yang masih dipengaruhi oleh keadaan air laut, sedangkan untuk laut adalah kawasan laut yang dipengaruhi oleh wilayah darat. Menurut Dahuri et al. (1996) dalam perencanaan wilayah pesisir perlu melihat batasan melalui dua sisi, sisi pertama lebih mengarah kepada pendekatan adaminstrasi sedangkan sisi kedua lebih mengarah kepada pendekatan ekobiogeografis. Dalam pendekatan administrasi, daratan sebagai batasan wilayah pesisir, desa dan kecamatan karena dalam hal pengelolaan batasan ini sangat mempengaruhi didalam mengambil kebijakan. Sedangkan untuk batas kearah laut, batasan telah tertuang didalam kebijakan pemerintah pada UU No 33/2004, tentang wilayah laut untuk propinsi sejauh 12 mil dari garis pantai, sedangkan untuk wilayah administrasi Kabupaten 1/3 dari wilayah yang telah ditetapkan untuk propinsi. Wilayah ini dapat dijadikan sebagai satu kawasan pada satu batas administrasi pemerintahan, maupun wilayah lintas batas administrasi sesuai dengan kepentingan pengelolahan wilayah pesisir. Pendekatan eko-biogeografis meliputi kondisi ekologi, biologi serta ekosistem wilayah (darat dan laut) dan semua jenis biota yang hidup didalamnya, serta kondisi geografis wilayah yang menentukan faktor alam yang membentuk

23 7 dan mempengaruhi evolusi dan perubahan wilayah tersebut. Wilayah ini dapat didasarkan atas karakteristik eko-biogeografis yang sama dan relatif homogen dalam satu kawasan tertentu, tapi dapat juga didasarkan atas metode sedimen sel yaitu karena pengaruh dinamika alam seperti angin, sedimentasi, arus pasang surut dan arus pantai terhadap pola perubahan garis pantai. Wilayah ini sangat tergantung dari penelitian awal untuk menentukan batas wilayah. II.2. Ekosistem Di Wilayah Pesisir Ekologi adalah ilmu yang mempelajari rumah tangga mahluk hidup serta kajian hubungan timbal balik dengan sesamanya dan dengan benda-benda mati sekitarnya. Ekologi mempunyai satuan pokok yang disebut ekosistem. Ekosistem adalah satuan kehidupan dari satu komunitas berbagai jenis makluk hidup dan benda mati yang saling berinteraksi dalam membentuk suatu sistem. Ekosistem dicirikan dengan berlangsungnya pertukaran materi dan transformasi energi yang didalamnya terdapat berbagai fenomena kehidupan menurut prinsip tatanan dan hukum alam atau ekologi, seperti keseimbangan, kompetisi dan evolusi (Odum 1976) Wilayah ekosistem pesisir ada yang secara terus menerus tergenangi air dan ada pula yang hanya sesaat. Di wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumber daya pesisir. Berdasarkan sifatnya, ekosistem pesisir dapat bersifat alamiah (natural) atau buatan (manmade). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuaria, laguna dan delta. Ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, industri dan pemukiman. Di dalam wilayah pesisir, ekosistem-ekosistem tersebut saling berinteraksi. Sistem ini dapat terjaga dengan baik apabila pemanfaatannya sesuai dengan daya dukung dari sistem tersebut (Dahuri et al 1996). Kondisi ekosistem harus dipertahankan, walaupun secara alamiah kondisi ini tidak statik karena setiap biota yang ada dan hidup di dalamnya menjadi tua dan mati lalu untuk selanjutnya digantikan oleh biota lainnya. Namun bila ada gangguan yang melampaui batas pemulihan dari ekosistem ini, maka proses

24 8 pemulihannya akan memakan waktu yang sangat panjang (dapat sampai berpuluh bahkan beribu tahun). Lama waktu pemulihan ekosistem ini akan tergantung pada: 1. Kondisi atau tingkat kerapuhan ekosistem. 2. Lamanya terjadi gangguan. 3. Frekuensi terjadinya gangguan ini (misalnya terjadi secara berulang-ulang). Tingkat kerapuhan suatu ekosistem sangat tergantung pada kondisi parameter pendukungnya seperti keadaan vegetasi dan satwa, kondisi topografi, tanah, iklim dan keterlibatan manusia di dalamnya. Pendekatan ekologis terhadap ekosistem, dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran maupun untuk menentukan indikator kerusakan ekosistem atau lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia terutama pada tingkat jumlah pemakaian yang berlebihan (eksploitatif). Salah satu jenis ekosistem di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas di pesisir atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan ini merupakan salah satu unsur yang dominan dalam ekosistem di wilayah pesisir. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Selain itu, hutan mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang berfungsi sebagai pelindung dari gempuran ombak (Bengen 2001). Beberapa penelitian menyatakan bahwa kedangkalan pantai sangat dipengaruhi oleh penyebaran dan luas hutan mangrove. Makin dangkal dan landai suatu pantai, penyebaran hutan mangrove akan semakin luas dan semakin baik pula. Daya adaptasi mangrove yang khas adalah kemampuannya untuk dapat terus hidup di perairan yang dangkal (Witjaksono 2002). Dilihat dari aspek biologis, hutan mangrove sangat penting dalam memelihara kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati di wilayah pesisir. Secara bioekologis dalam ekosistem hutan mangrove banyak terdapat hewan muda yang sedang tumbuh dan berkembang, karena selain kaya akan unsur hara, dalam hutan mangrove hewan muda tersebut juga terlindung dari predator. Selain itu, ekosistem ini adalah daerah asuhan (nursery ground) dan perkembangbiakan (spawning ground) bagi beberapa hewan perairan. Oleh karena

25 itu, ekosistem hutan mangrove dapat dipandang sebagai suatu unit fungsional dari seluruh sistem estuaria (Bengen 2001). 9 II.3. Fungsi Wilayah Pesisir Wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara daratan dan lautan, mempunyai fungsi pokok yang dapat diklasifikasikan berdasarkan manfaat dari wilayah pesisir tersebut, yaitu: (1) manfaat ekologis (2) manfaat ekonomi dan. Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing manfaat. II.3.1. Manfaat Ekologis Pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir secara berkelanjutan adalah cara pengelolaan kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsional yang tercakup dalam empat fungsi pokok wilayah pesisir bagi manusia. Jasa-jasa pendukung kehidupan (life support services) mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia, seperti udara dan air bersih serta ruang bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Jasa kenyamanan (amenity services) yang disediakan oleh ekosistem alamiah berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyejukkan. Ekosistem alamiah juga menyediakan sumber daya alam yang dapat dikonsumsi langsung atau sebagai masukan dalam proses produksi. Wilayah pesisir berfungsi sebagai penyedia sumber daya alam, sehingga pemanfaatan sumber daya pesisir harus dilakukan dengan cermat agar efeknya tidak merusak lingkungan sekitar. Sumber daya pesisir terdiri dari sumber daya yang tak dapat pulih (non-renewable resources) dan sumber daya yang dapat pulih (renewable resources). Kriteria pemanfaatan untuk sumber daya yang dapat pulih (renewable resources) adalah bila laju ekstraksinya tidak melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu (Clark 1996). Kemampuan wilayah pesisir dalam menyerap limbah dari kegiatan manusia, mengakibatkan wilayah (perairan) pesisir sering dimanfaatkan sebagai tempat untuk pembuangan limbah. Oleh karena itu harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak melebihi kapasitas daya asimilasinya. Daya asimilasi adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima limbah

26 10 dalam jumlah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Dahuri et al.1996). II.3.2. Manfaat Ekonomi Sumberdaya alam seperti hutan, ikan dan sebagainya merupakan sumberdaya yang tidak saja mencukupi kebutuhan hidup manusia, namun juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kesejahteraan suatu bangsa. Menurut Fauzi (2000b), pengelolaan semberdaya alam yang baik dapat menambah kesejahteraan umat manusia. Sebaliknya, pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia. Secara sosial ekonomi, manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan wilayah pesisir serta sumber daya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, terutama mereka yang termasuk dalam golongan ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Kualitas dan jumlah permintaan terhadap sumberdaya alam ditentukan oleh jumlah penduduk dan standar (kualitas) kehidupannya. Oleh karena itu, selain mengendalikan jumlah penduduk, kebijakan penting lainnya adalah mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin. II.4. Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Dalam penelitian ini lahan didefinisikan berdasarkan definisi wilayah pesisir untuk daratan. Sedangkan spesifikasi dari lahan sebenarnya lebih mengarah kepada suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat-sifat tertentu yaitu dalam hal sifat-sifat atmosfer, geologi, geomorfologi, tanah, hidrologi, vegetasi, dan penggunaan lahan. Sumberdaya lahan (land resources) adalah kondisi dan sumber daya yang dapat dieksploitasi manusia. Kemudian Soepardi (1977) menambahkan bahwa tanah (soil) adalah bahan mineral cerai berai pada permukaan bumi yang berfungsi sebagai medium tumbuh bagi tanaman atau tumbuhan. Pada dasarnya tanah merupakan komoditi yang mempunyai nilai yang meningkat terus menerus karena tanah itu luasannya tetap selain itu tanah juga memliki potensi estetika, nilai politik, fisik dan sosial. Nilai-nilai ini dimiliki oleh sumberdaya tanah apabila mempunyai manfaat atau potensi untuk menghasilkan pendapatan dan kepuasan. Penawaran akan lahan jumlahnya akan selalu tetap, sementara permintaan akan lahan terus meningkat. Selain itu, sifat keterbatasan

27 11 tanah berhubungan dengan sifatnya yang mudah untuk ditransfer (Bambang 1982). II.4.1. Penggunaan Lahan Menurut Anderson dalam Suburi (1999) penggunaan lahan adalah bentuk penggunaan kegiatan manusia terhadap lahan (aktivitas manusia di atas lahan) termasuk keadaan alamiah yang belum terpengaruh oleh kegiatan manusia. Aktivitas tersebut menyebabkan terjadinya penggunaan lahan yang sangat beraneka ragam sesuai dengan peruntukannya. Barlowe (1978) membagi penggunaan lahan menjadi sepuluh kelas sebagai berikut: (1) lahan pemukiman, (2) lahan industri dan perdagangan, (3) lahan bercocok tanam, (4) lahan peternakan dan penggembalaan, (5) lahan hutan, (6) lahan mineral/pertambangan, (7) lahan rekreasi, (8) lahan pelayanan jasa, (9) lahan transportasiasi, dan (10) lahan tempat pembuangan. Kelas penggunaan lahan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis penggunaan, yaitu: Pemukiman dan Industri. Meliputi sebagian besar penggunaan lahan di perkotaan, tetapi hanya sebagian kecil dari penggunaan lahan seluruhnya. Pertanian. Meliputi areal tanaman pertanian, yaitu pangan dan perkebunan yang merupakan porsi terbesar dari penggunaan lahan seluruhnya. Padang Rumput dan Penggembalaan. Meliputi penggunaan lahan untuk peternakan termasuk komplek peternakan. Perhutanan. Meliputi penggunaan lahan untuk hutan industri, hutan lindung dan belukar. Lain-lain. Meliputi penggunaan lahan untuk tempat rekreasi, jalan raya, pertambangan, pembuangan sampah dan lainnya. Selanjutnya Barlowe (1978) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan akan lahan didasarkan atas kegunaannya seperti untuk perumahan dipengaruhi urbanisasi, jumlah rumah tangga, jumlah penduduk, perubahan distribusi umur penduduk, tingkat dan keadaan pendidikan, perubahan formasi pemilik rumah. Industri atau perdagangan dipengaruhi oleh jenis, besar, bentuk dan lokasi usaha, dan adanya pasar potensial. Pertanian dipengaruhi pola konsumsi produk pertanian, produktivitas lahan dan permintaan lahan non

28 12 pertanian. Rekreasi dipengaruhi jumlah populasi, tingkat pendapatan, waktu senggang, sarana transportasiasi, penggunaan non rekreasi. Menurut Dahuri et al. (1996), ekosistem wilayah pesisir memiliki potensi ekonomi dan ekologi yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan dan penggunaan lahan di wilayah pesisir perlu direncanakan dengan matang. Di Indonesia, penggunaan lahan di wilayah pesisir meliputi kehutanan, pertanian, perikanan budidaya, pemukiman dan perkotaan serta pariwisata. Untuk itu, perlu pedoman umum dalam penggunaan lahan di wilayah pesisir agar tidak mengganggu ekosistem wilayah pesisir yang ada di sekitarnya. II.4.2. Perubahan Penggunaan Lahan Perkembangan penguasaan dan penggunaan lahan erat kaitannya dengan perkembangan populasi manusia dan tingkat kebudayaannya dalam upaya manusia mempertahankan kehidupannya (Roll 1983). Perubahan jumlah penduduk, pengetahuan dan teknologi mengakibatkan perubahan dalam keinginan, selera atau standar kebudayaan dan ideologinya. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan perubahan dalam tata kehidupan dan sistem perekonomian yang mendasari perubahan penguasaan dan penggunaan lahan (Murphy 1974). Perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem di wilayah pesisir. Dampak yang terlihat dapat dilihat pada pengembangan usaha pertanian, dimana kegiatan kontruksi seperti saluran irigasi, drainase dan penebangan hutan dapat menggangu pola aliran alami daerah tersebut. Gangguan lain dapat dilihat pada penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan. Ada empat faktor utama yang menentukan suply lahan untuk berbagai kegunaan, yaitu : (1) sifat fisik tanah, (2) ekonomi, (3) institusi dan (4) teknologi. Sifat fisik tanah seperti sinar matahari, temperatur, hujan dan sistem pengaturan air, topografi dan drainase, lapisan permukaan tanah dan mineral dibawahnya, dan lokasi tanah dan keberadaan fasilitas-fasilitas seperti pasar dan angkutan. Faktor ekonomi seperti permintaan, harga, persaingan yang mempengaruhi persediaan sumber daya lahan. Peranan lembaga atau institusi meliputi aspek dari budaya dan tindakan kita seperti, budaya dalam masyarakat, pemerintahan, hukum,

29 13 pendapatan masyarakat dan konsep hak kekayaan. Sementara dari sisi teknologi berkaitan dengan kemampuan kita untuk memanfaatkan teknologi yang tersedia agar penggunaannya maksimal (Barlowe 1978). Alih fungsi lahan merupakan permasalahan yang sifatnya global dan lokal. Permasalahan alih fungsi lahan meliputi tiga aspek yaitu: (1) Efisiensi alokasi dan distribusi lahan dari aspek ekonomi, (2) Alih fungsi yang terkait dengan pemerataan dan keadilan, dan (3) Keterkaitan dengan degredasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Oleh karena itu perlu pemecahan secara parsial sehingga diperoleh hasil yang spesifik dari setiap bentuk alih fungsi lahan tersebut, misalnya alih fungsi lahan produktif dan non-produktif kepada peruntukan pertanian, perikanan budidaya dan konservasi. Perubahan penggunaan lahan (alih fungsi lahan) tidak dapat dihindari dan merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi struktur sosial ekonomi masyarakat. Hal ini tercermin dari perubahan pemanfaatan sumberdaya lahan dan terjadinya pergeseran fungsi-fungsi tertentu ke bentuk fungsi lain baik lahan produktif maupun lahan tidak produktif. Menurut aliran struktural, perubahan pola spasial (tata ruang) disebabkan oleh switching sirkuit kapital dari orientasi produksi dan akumulasi menuju investasi kapital dan dana konsumsi yang mapan, sampai pada investasi riset dan teknologi serta pengeluaran sosial (seperti pendidikan dan kesehatan) untuk reproduksi tenaga kerja. Sedangkan aliran rasionalisme justru menempatkan individu konsumen yang berpikir dan bertindak rasional sebagai penyebab perubahan pola spasial tersebut. Artinya, pemilik kapital akan menggunakan modalnya sesuai dengan tuntutan pasar atau kehendak konsumen, baik dalam pilihan lokasi dan bentuknya maupun soal harga dan kemudahan lainnya (Pahl 1979). Parengkuan (1991) menyatakan masalah ketersediaan lahan semakin parah dengan adanya kasus-kasus seperti lahan-lahan yang semula telah dialokasikan untuk suatu kegiatan tertentu, pada saat akan di implementasikan sering telah digunakan oleh jenis kegiatan lainnya. Perubahan guna lahan mudah saja terjadi yang kemudian disahkan pada evaluasi rencana berikutnya (Winarso 1995). Keadaan ini tentu tidak benar, bahkan sering pula menyulut ketidakpuasan masyarakat karena perubahan yang terjadi tidak sesuai dengan rencana yang telah

30 14 diketahui masyarakat. Perubahan juga mempunyai dampak yang besar terhadap pengeluaran publik, terutama jika perubahan itu untuk guna lahan yang lebih komersial seperti daerah wisata dan lain sebagainya. Ade et al. (1999). Pada dasarnya perubahan penggunaan lahan yang terjadi diwilayah pesisir,lebih kepada masalah nilai ekonomi lahan (land rent). Untuk menghambat laju konversi lahan-lahan di wilayah pesisir ada beberapa konsep yang dapat dilakukan salah satunya dengan menerapkan konsep perencanaan wilayah pesisir secara terpadu. II.4.3. Konsep Sewa Lahan (Land Rent) Menurut Pearce dan Turner (1990) pengertian land rent berkaitan dengan aliran penerimaan bersih (benefit) yang diturunkan dari lahan tersebut. Semakin bertambah baiknya lingkungan maka harga lahan akan semakin meningkat. Perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam nilai atau harga lahan yang bersangkutan. Pada dasarnya, harga lahan merupakan nilai lahan di pasar lahan yang bersumber dari total land rent atas masing-masing sifat intristik yang dimiliki lahan. Sifat intristik yang dimiliki lahan tidak semata-mata aspek fisik lahan seperti kesuburan tapi juga aspek-aspek lain seperti faktor lokasi, sosial dan kependudukan. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dinyatakan bahwa meningkatnya harga lahan per satuan luas lahan di suatu lokasi merupakan manifestasi dari peningkatan land rent di lokasi yang bersangkutan. Land rent menurut ekonom neo-klasikal seperti Alfred Marshall, merupakan pendapatan yang dapat diturunkan dari kepemilikan lahan dan hasil limpahan sumberdaya lain di alam. Di luar pengertian land rent, maka dapat saja melakukan menyewa (rent) sumberdaya lainnya (seperti menyewa sesuatu dengan cara membayar uang untuk menggunakan setiap barang yang dimiliki seperti rumah, kendaraan, dan lainnya), yang apabila telah selesai waktu pemakaiannya, maka barang-barang tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya dengan keadaan fisik yang sama seperti sebelumnya (Ricardo 1975). II.4.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan Ada dua faktor utama yang mempengaruhi penggunaan lahan yakni faktor supply dan faktor demand (permintaan). Faktor penawaran sebagai dijelaskan

31 15 sebelumnya di tentukan oleh empat hal yaitu sifat fisik tanah, ekonomi, institusi dan teknologi. Demand dipengaruhi oleh situasi yang berkaitan dengan faktor demografik, (seperti komposisi umur, jenis kelamin), tingkat pendapatan, konsolidasi lahan, pengaturan tata ruang, kebijakan perencanaan lingkungan serta periode waktu seperti waktu yang diperlukan untuk pembangunan dan peningkatan jasa seiring dengan waktu (Barlowe 1978). Dari keempat faktor utama yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, kecendrungan terjadi perubahan penggunaan lahan diindonesia lebih diakibatkan faktor ekonomi dan Institusi. II.5. Kesesuaian Lahan Menurut Sitorus (1985) kesesuiaan lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu, penggambaran ini dilakukan dengan menganalisis dalam bentuk klasifikasi kesesuaiaannya. Sedangkan hasil penilaian dapat dipergunakan sebagai dasar pemilihan didalam merencanakan aktivitas kegiatan diatasnya. Sedangkan di wilayah pesisir, aktivitas penggunaan lahan sering berdampak negatif terhadap potensi ekologi yang terkandung didalamnya, hal ini sering terjadi pada konversi hutan mangrove menjadi tambak. Untuk itu analisis kesesuian lahan diwilayah pesisir harus mengkaji ekologis didalammnya. II.5.1. Kesesuaian Lahan Untuk Tambak Lokasi merupakan langkah awal yang perlu diperhatikan dalam budidaya. Dalam pemilihan lokasi tambak ini tidak hanya untuk menentukan kecocokan lahan sebagai media saja, tetapi juga untuk mendukung modifikasi desain tambak, tata letak tambak, pembuatan konstruksi tambak, dan manajemen yang akan diterapkan (Afrianto dan Liviawaty, 1993). Selanjutnya dijelaskan bahwa ada 4 aspek utama yang perlu diperhatikan sebagai kriteria dalam penentuan lokasi tambak, seperti aspek ekologis, tanah, biologis dan sosial ekonomi. a. Aspek Ekologis. Ditinjau dari segi ekologis, keadaan alam sumber air dan iklim di Indonesia sangat menunjang usaha budidaya tambak walaupun secara ekologis kondisi lingkungan menunjang. Secara ekologis paling sedikitnya ada 7 faktor yang perlu

32 16 dipertimbangkan untuk menentukan tingkat kesesuaian lokasi tambak, yaitu: a. Iklim dan suhu lingkungan Informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim dan suhu lingkungan di suatu tempat sangat membantu untuk menentukan lokasi lahan yang memenuhi syarat, parameter iklim yang perlu diperhatikan oleh petani tambak adalah data hujan dan angin. a) pasang surut air, b) salinitas, c) arus air, d) pola hujan,e) rembesan, f) polusi e) kuantitas dan kualitas air yang merupakan kebutuhan mutlak bagi tambak. Sumber air yang digunakan untuk mengairi tambak harus memenuhi syarat, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan tersedia sepanjang tahun. Menurut Boyd (1991) Ada 6 (enam) parameter kualitas air yang perlu diperhatikan bagi pertambakan, yaitu: Bersih, Derajat Keasaman (ph), Daya Mengikat Asam (DMA), Produktivitas primer, Tingkat sedimentasi yang rendah dan Kelarutan oksigen (DO) dalam air tinggi. b. Aspek Tanah Tanah merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi produktivitas tambak, sebab tanah mempunyai kemampuan untuk menyerap atau melepaskan zat hara tanaman yang dibutuhkan oleh fitoplankton atau vegetasi air lainnya yang hidup di dalam tambak. Di samping itu, tanah juga merupakan komponen utama dalam pembuatan petakan tambak, pematang, saluran air dan pintu air serta mempunyai peranan penting dalam menentukan kualitas air. c. Aspek Biologi Dilihat dari aspek biologi ada lima kriteria didalam analisis kesesuaiaan lahan untuk budidaya tambak yang meliputi sebagai berikut: a. Sumber Benih b. Sifat Organisme yang akan dibudidaya c. Organisme lain d. Vegetasi di sekitar Tambak e. Kelestarian Lingkungan d. Aspek Sosial Ekonomi. Dalam budidaya tambak masalah aspek sosial dipelihat dari beberapa permasalahan antara lain sebagai berikut. a. Lokasi peruntukan dan status lahan b. Transportasi c. Tenaga kerja d. Ketersediaan alat dan bahan e. Ketersediaan pasar dan harga yang stabil

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi Wilayah Pesisir

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi Wilayah Pesisir 6 II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Defenisi Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan darat, apabila dilihat dari garis pantai, wilayah pesisir memiliki dua batasan, yang terdiri

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan, oleh karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 5 TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km 2 dan 75 persen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam diduga menjadi faktor penting penyebab kerusakan lingkungan (Gumilar, 2012). Pertambahan jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam pengertian lingkungan hidup

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya laut yang menimpah baik dari

BAB I PENDAHULUAN km. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya laut yang menimpah baik dari BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terdiri dari 17,508 buah pulau yang besar dan yang kecil secara keseluruhan memiliki panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.500 pulau dan memiliki garis panjang pantai terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas garis pantai yang panjang + 81.000 km (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), ada beberapa yang

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 55 VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 6.1 Analisis DPSIR Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN 2016 Pembangunan Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional Bandar Lampung, 17 Mei 2016 DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu sumberdaya pesisir yang penting adalah ekosistem mangrove, yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi. Hutan mangrove dengan hamparan rawanya dapat menyaring dan

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan zat yang paling banyak terdapat dalam protoplasma dan merupakan zat yang sangat esensial bagi kehidupan, karena itu dapat disebut kehidupan adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci