BAB 4 ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN
|
|
- Yanti Widyawati Santoso
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB 4 ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perkembangan Ekspor - Impor dan Harga CPO Ekspor Ekspor CPO Indonesia pada dekade terakhir meningkat dengan laju antara 7 8 % per tahun. Di samping dipengaruhi oleh harga di pasar internasional dan tingkat produksi, kinerja ekspor CPO Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, khususnya tingkat pajak ekspor. Dengan asumsi tingkat pajak ekspor adalah masih di bawah 5 %, maka ekspor CPO Indonesia diperkirakan akan tumbuh dengan laju 4 8 % per tahun pada periode (Gambar 4.1). Pada periode , ekspor akan tumbuh dengan laju 5 % - 8 % per tahun sehingga volume ekspor pada periode tersebut sekitar 5,4 juta ton. Pada periode , volume ekspor meningkat dengan laju 4 % - 5 % per tahun yang membuat volume ekspor menjadi 6,79 juta ton pada tahun
2 57 Gambar 4.1 Proyeksi Ekspor CPO Indonesia Tahun Berdasarkan sumber data ekspor Badan Pusat Statistik Nasional (BPSN) Tahun 2003 kecenderungan ekspor CPO Nasional meningkat antara lain ke India dengan volume ekspor kg, dengan nilai ekspor US$ , ke Belanda dengan volume ekspor kg dengan nilai ekspor US$ dan ke Malaysia volume ekspor kg dengan nilai ekspor US$ Sebagai salah satu produsen utama minyak sawit dunia, Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk terus berperan dalam pasar dunia. Pada dekade 1980-an ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia hanya ke Eropa Barat, tetapi beberapa tahun terakhir permintaan dari negara-negara lain seperti China, India, Pakistan, Myanmar, Kenya, Tansania, dan Afrika Selatan terus meningkat. Pada Tabel 4.1 menunjukkan perkembangan ekspor sawit di Indonesia di beberapa mancanegara.
3 58 Tabel 4.1 Perkembangan Ekspor Minyak sawit (CPO) Indonesia ke Mancanegara Periode Sumber : BPS dan GAPKI dalam Kompas, 2001 Berikut ini adalah grafik trend ekspor minyak sawit ke beberapa negara disajikan pada Gambar 4.2 Gambar 4.2 Grafik Perkembangan Ekspor CPO Sumber : BPS dan GAPKI dalam Kompas, 2003
4 59 Tabel 4.2 Perkembangan Volume Ekspor dan Nilai Ekspor CPO dan Jenis CPO Lainnya Tahun Ekspor Tahun Minyak Sawit Minyak Inti Sawit Volume (Ton) Nilai (ribu US$) Volume (Ton) Nilai (ribu US$) Sumber : GAPKI (Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian (2008) )
5 60 Secara historis pertumbuhan produksi minyak sawit dunia selama dua dasawarsa terakhir ini mengalami kenaikan sekitar 7,3 % pertahun. Perkembangan minyak sawit dunia ini sangat dipengaruhi oleh produksi minyak sawit Negara Malaysia dan Indonesia yang memberikan kontribusi sebesar 80 % dari produksi dunia. Berdasarkan data oil word diperkirakan produksi CPO lima tahun ke depan akan meningkat tapi lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi masyarakat dunia. Sehingga kondisi seperti ini akan membawa kondisi investasi menjadi baik. Tingkat produksi CPO dunia masih dikuasi oleh Malaysia dengan pengusaan 50 % market dunia, sedangkan Indonesia berada pada tingkat kedua dengan 30 % penguasaan market dunia Impor Indonesia adalah negara net-exporter minyak sawit, tetapi dalam keadaan mendesak Indonesia juga mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia adalah Eropa Barat, India, Pakistan, Cina dan Jepang. Produk yang diekspor adalah minyak olahan tahap awal seperti RBD palm oil, CPO dan beberapa produk oleokimia.
6 61 Tabel 4.3 Perkembangan Volume Impor dan Nilai Impor CPO dan Jenis CPO Lainnya Tahun Impor Tahun Minyak Sawit Minyak Inti Sawit Volume (Ton) Nilai (ribu US$) Volume (Ton) Nilai (ribu US$) Sumber : GAPKI (Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian (2008) )
7 62 Jika dilihat tabel diatas dapat dilihat bahwa volume impor yang dilakukan fluktuasi mengikuti kebutuhan pasar Harga Perkembangan harga minyak sawit (CPO) di pasar domestik dan internasional sejak tahun 1988 sampai dengan 2007 menunjukkan kecenderungan yang menaik. Tabel 4.4 Perkembangan Harga Minyak CPO Tahun Tahun Harga Lokal (Rp / kg) Harga Ekspor (US $ / ton) Tahun Harga Lokal (Rp / kg) Harga Ekspor (US $ / ton) Pergerakan harga minyak sawit di pasar internasional ditransmisikan ke pasar domestik (border price dan whole sale price) melalui mekanisme pasar. Secara umum pergerakan harga minyak sawit domestik searah dengan perkembangan harga minyak sawit di pasar internasional. Selain itu, harga minyak sawit juga
8 63 mempunyai fluktuasi musiman (Gambar 4.3). Dalam semester 1,harga pada bulan Januari biasanya adalah paling tinggi kemudian turun melandai dalam Februari sampai Mei. Dalam semester 2, penurunan harga yang paling tajam terjadi pada Mei-Juli/Agustus dan naik sampai dengan bulan Januari. Gambar 4.3 Pola Harga CPO Hingga tahun 2008, harga minyak sawit di pasar Rotterdam diperkirakan akan mengalami kenaikan walaupun secara riil akan mengalami sedikit penurunan karena adanya kenaikan inflasi. Pada tahun 2004, harga minyak sawit di Rotterdam sekitar US$ 0.56/kg dan pada tahun 2008 mencapai US$ 0.68/kg (Gambar 4.5). Kenaikan harga ini diperkirakan tidak terlepas dari berkembangnya
9 64 pasar minyak sawit, terutama di negara-negara berkembang. Dengan kata lain, minyak sawit masih mempunyai prospek kedepan. 4.2 Neraca Minyak Kelapa Sawit Untuk Penggunaan Domestik Hingga saat ini, konsumsi minyak sawit domestik diperkirakan sekitar 50%- 60% dari produksi dan penggunaannya sebagian besar untuk pangan (80%- 85%) sedangkan untuk industri oleokimia relatif masih kecil (15%-20%). Menurut perkiraan, pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah sekitar 11,5 %/tahun. Pertumbuhan konsumsi untuk oleopangan adalah 12%, lebih besar dibandingkan pertumbuhan konsumsi untuk oleokimia (10%). Dengan perkiraan tersebut, maka neraca minyak kelapa sawit Indonesia dalam lima tahun terakhir bergerak dari surplus ke arah keseimbangan, identik dengan neraca dunia (Tabel 4.5).
10 65 No Uraian Stok Awal Indonesia ,050 1,102 1,200 1,840 2,050 Dunia 3,203 2,688 3,701 4,015 4,098 5,060 5,500 6,780 6,980 7,827 2 Produksi Indonesia 5,640 6,250 6,950 8,030 9,020 10,082 12,098 14,987 15,000 16,987 Dunia 17,154 20,625 21,874 23,921 25,033 26,897 27,909 30,009 32,432 35,768 3 Ekspor Indonesia 2,002 3,319 4,140 4,940 6,380 7,890 8,779 10,876 12,997 14,876 Dunia 11,417 14,172 15,217 17,688 19,545 20,987 22,345 26,787 30,987 33,768 4 Impor Indonesia Dunia 11,528 13,939 15,215 17,569 19,300 20,563 22,465 23,645 24,554 27,839 5 Konsumsi Indonesia 2,832 2,895 2,927 2,857 2,933 3, , ,873 Dunia 17,663 19,493 21,589 23,742 24,952 25,478 26,437 27,895 28,987 30,087 6 Stok Akhir Indonesia ,050 Dunia 2,688 3,701 4,015 4,098 3,935 4,987 5,876 5,987 6,023 6,344 (Stok Awal + 7 produksi+ impor)-(stok Akhir+ kon sumsi+ekspor) atau penawaran - permintaan Indonesia , ,462-2,754 Dunia ,068 1, , Tabel 4.5 Neraca Minyak Sawit Indonesia dan Dunia,
11 Tinjauan Kritis Terhadap PP 35 Tahun 2005 Tujuan pengenaan PE untuk barang ekspor tertentu, seperti CPO dan produk turunannya (Pasal 2 ayat 2) adalah untuk (i) menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, (ii) melindungi kelestarian sumber daya alam, (iii) mengantisipasi pengaruh kenaikan harga yang cukup drastis dari barang ekspor tertentu, dan (iv) menjaga stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri. Mencermati tujuan di atas, maka sesungguhnya dimensi manfaat dan keadilan dari PP ini patut dipertanyakan. Dari uraian tentang PE di atas, maka penetapan tujuan PE ini semata-mata hanya memperhatikan kepentingan pembeli domestik dan kepentingan negara (pemerintah) yang dilihat secara parsial. Kepentingan produsen, yaitu perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan produk turunannya terabaikan. Tidak ada pernyataan dalam tujuan yang relevan dengan kepentingan produsen, penyedia jasa bisnis dan pemasok input. Sedangkan kepentingan pelestarian sumber daya alam malahan mendapatkan perhatian khusus yang dinyatakan sebagai tujuan kedua. Dalam CPO dan produk-produk turunannya, tujuan pertama, ketiga dan keempat merupakan pernyataan yang bias ke industri hilir kelapa sawit sehingga industri hilir dapat memperoleh CPO dan produk turunannya dengan harga rendah (terjangkau) dan stabil. PE menjadi instrumen proteksi terselubung bagi industri hilir kelapa sawit. Sejalan dengan tujuan tersebut, negara dapat mengumpulkan penerimaan negara bukan pajak. Perolehan penerimaan negara ini tidak dinyatakan sebagai tujuan pengenaan PE. Dengan perhitungan sederhana, akumulasi PNBP dari kelapa sawit sejak pertengahan 1998 hingga akhir tahun 2003 mencapai sekitar Rp. 6,85 Trilyun. Kedua tujuan ini secara otomatis sangat
12 67 mungkin dicapai dengan penetapan formula penerimaan ekspor dengan komponen yang terdiri dari volume ekspor, harga ekspor atau harga patokan ekspor, tarif PE dan nilai kurs Rupiah. Tujuan kedua melindungi kelestarian sumber daya alam dapat dikatakan terlalu ambigious untuk kasus PE pada produk-produk kelapa sawit. Dalam pemahaman pecinta lingkungan, pertumbuhan yang pesat dari produk-produk kelapa sawit akan mendorong ekspansi pembangunan perkebunan kelapa sawit. Ekspansi ini akan mengeksploitasi sumber daya alam sehingga apabila tidak dikendalikan akan mengganggu kelestarian lingkungan. Protes yang sering muncul berkaitan dengan kelapa sawit dan sumber daya alam adalah karena kelapa sawit ditanam dengan mengkonversi hutan. Untuk hal ini pembangunan perkebunan kelapa sawit diklaim sebagai pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam konteks pencapaian tujuan, lantas bagaimana PE dapat melindungi kelestarian sumber daya alam? Pencantuman tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam sekaligus dapat diartikan sebagai pembenaran atas adanya masalah kelestarian sumber daya alam dalam kaitannya dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Masih dalam konteks tujuan, pertanyaan lain adalah bagaimana PE mengakomodasi kepentingan produsen yaitu perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan produk turunannya? Produsen menanggung beban PE dan tidak ada pernyataan tujuan yang melindungi kepentingan produsen. Sebagai suatu kebijakan public selayaknya memperhatikan dampaknya terhadap seluruh stakeholders. Dengan memahami uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa tujuan pengenaan PE pada CPO dan produk-produk turunannya sesuai PP No.35 Tahun 2005 belum menerapkan dengan baik nilai manfaat dan rasa
13 68 keadilan bagi stakeholders terutama produsen CPO termasuk petani dan pelaku jasa bisnis berkaitan dengan perdagangan CPO dan produk-produk turunannya. Tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam juga masih belum jelas kepastian hukumnya tentang bagaimana mencapainya. Tarif PE, HPE dan Nilai Kurs Berpotensi Sebagai Sumber Distrorsi Dalam kasus CPO dan produk-produk turunannya, sesuai dengan PP No. 35 tahun 2005 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 09/PMK.011/2008, tarif PE ditetapkan secara advalorem. Jumlah pungutan ekspor dihitung berdasarkan rumus: Tarif PE x Jumlah ekspor x Harga Patokan Ekspor (HPE) x Nilai Kurs. Tarif atas PE CPO dan produk-produk turunannya ditetapkan paling tinggi 60%. Besarnya tarif PE dan nilai kurs ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Besarnya HPE ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Sedangkan Menteri Teknis terkait, seperti Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian, hanya memberi pertimbangan dan/atau usul atas penetapan besarnya tarif dan HPE. Formulasi di atas pada dasarnya tidak merubah ketentuan PE yang berlaku sebelumnya. Sebagai ilustrasi dapat disampaikan data perkembangan pengenaan PE untuk CPO dari bulan Juli 1998 hingga Juni 2008 (Tabel 4.6). Saat ini, ketentuan Menteri yang sudah diterbitkan baru tarif PE, yaitu 15% untuk tandan buah segar dan inti (biji) kelapa sawit dan CPO, dan 10% untuk crude olein (RBD Olein), Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD PO) dan Refined Bleached Deodorized Olein (RBD Olein). Nilai kurs ditetapkan Menteri
14 69 Keuangan pada saat pembayaran PE dilakukan. Besarnya HPE masih belum ditentukan oleh Menteri Perdagangan. Menurut Menteri Perdagangan, sesuai aturan yang berlaku selama ini, kalau belum ada penetapan HPE yang baru, maka HPE yang lama masih berlaku. Seharusnya, sesuai PP No. 35 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 09/PMK.011/2008, HPE CPO dan produk turunannya merujuk pada harga internasional, yaitu harga di Rotterdam yang saat ini berkisar US$ 1,082 per ton. Tabel 4.6 Tarif PE, HPE, dan Nilai Kurs dari CPO dan Produk Turunannya. HPE Harga Nilai Kurs Tahun PE (%) (US$/ton) (US$/ton) (Rp/US$) Juli 98-feb Feb 99- juni Juni 99-juli Juli 99 sept Sept 99 feb Feb 01-juni Juni 2002-Mar Jan Juni Des Jan ,476 Feb ,226 Maret 08-April ,236 mei 08 juni
15 70 Belum ditetapkannya PE untuk CPO dan produk-produk turunannya tidak terlepas dari penetapan besarnya nilai tarif PE dan HPE. Permasalahannya berkisar pada pilihan antara (i) tarif PE turun dari 15% menjadi katakanlah 10% dengan HPE disesuaikan dengan harga pasar di Rotterdam atau (ii) tarif PE tetap 15% dengan HPE juga tetap US$ per ton. Saat ini tarif PE CPO telah ditetapkan 15%, sehingga perdebatan antara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan pemerintah tinggal pada besarnya HPE. Jika harga net ekspor CPO Indonesia ex Kuala Lumpur berdasarkan nilai absolut PE pada bulan September 2008 sebesar USD 944 (PE 10%), menghasilkan HPE sebesar USD 786/MT atau sebesar Rp.7.862/kg (Tabel 4.20). Tarif PE CPO yang saat ini telah ditetapkan pemerintah sebesar 15% menyebabkan harga ekspor turun menjadi Rp /kg. Hal ini sangat mempengaruhi perhitungan profit loss analysis. Jika PE sebesar 10% dari HPE ex Kuala Lumpur maka keuntungan yang diperoleh sebesar Rp. 512/kg sedangkan
16 71 Tabel 4.7 Perhitungan Profit Loss Analysis Dengan Menggunakan Harga CPO Ekspor dan TenderKPB Ex Kuala Lumpur, Malaysia, Oktober No Transaction info Nilai Nilai Nilai Nilai satuan per unit PE = 15% per unit PE = 10% A Penerimaaan 1 Jumlah MT 10,230 10,230 2 Harga USD 1,100 1,100 3 Nilai USD 11,253,000 11,253,000 B Biaya 1 Pajak Ekspor per MT (USD) 1,660, ,106,886 2 Bongkar Muat per MT (USD) 2,046, ,046,000 3 Surveyor USD 3,000 3,000 4 L/C Ekspor - USD Pelabuhan 3,000, Rp 3,000,000 3,000, ,000,000 6 Asuransi 0.18 % (USD) 20, ,255 7 Penyusutan 0.30 % (USD) 33, ,759 8 Total Biaya (USD) 3,763,343 3,209,900 9 Total Biaya Rp 3,000,000 3,000, Grand Total Biaya 3,763,643 3,210,200 C Nilai Tukar Rp 10, D Harga Ekspor Total Nilai Ekspor USD 11,253,000 11,253,000 Total Biaya Ekspor USD 3,763,643 3,210,200 Nilai Ekspor Total USD 7,489,357 8,042,800 Harga Ekspor Total USD/MT Dalam Rp (Asli) Rp/kg 7,321 7,862 E Harga CPO Lokal F tender KPB Price incl PPN Rp 8,500 8,500 PPN 10% Rp tender price exc PPN Rp 7,650 7,650 transportasi local Rp nett tender price Rp 7,350 7,350 FOB inc PPN Rp 8,200 8,200 Profit and Loss Analysis hargaekspor bersih 7,321 7,862 harga dalam negeri 7,350 7,350 profit (loss) Rp/ kg total profit in Rp 296,934, ,237,496,000 penerimaan negara MT 16,603,290,000 11,068,860, MT 1,136,100,000, ,400,000,000
17 72 bila PE sebesar 15% maka terdapat kerugian jika melakukan ekspor karena harga lokal lebih tinggi. Kerugian tersebut mencapai Rp /kg. Dengan jumlah ekspor sebesar MT CPO maka total keuntungan ekspor yang dapat ditarik dengan memberlakukan PE sebesar 10% adalah Rp ,00. Sedangkan bila PE sebesar 15% maka total kerugian dapat mencapai Rp ,00. Total penerimaan negara dari PE sebesar 10% untuk skala ekspor MT mencapai Rp. 11,068,860,000, sedangkan untuk peningkatan PE menjadi 15% maka total penerimaan negara mencapai Rp. 16,603,290,000. Apabila besaran ekspor dihitung berdasarkan ekspor CPO Indonesia ke Rotterdam Belanda sebesar MT maka akan menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 757 milyar untuk PE 10% dan Rp. 1,1 Triliyun untuk PE 15%. Analisa Akan Penerimaan Negara per MT Berdasarkan Harga Pokok Ekspor Penerimaan Negara per MT 80,000,000,000 60,000,000,000 40,000,000,000 20,000,000, ,5% 3% 6% 10% 15% 40% 30% Harga Pokok Ekspor 60% 1,5% 3% 6% 10% 15% 30% 40% 60% Gambar 4.4 Analisa Akan Penerimaan Negara per MT Berdasarkan Harga Pokok Ekspor Jika dilihat dari gambar 4.4 diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dengan semakin naiknya Harga Pokok Ekspor maka penerimaan negara per MT akan
18 73 semakin meningkat pula. Pemerintah sangat fokus mengenai hal ini. Tapi pemerintah tidak terlalu memikirkan hal lainnya seperti pada gambar dibawah ini Perbandingan Antara Harga Pokok Ekspor dengan Total Profit in Rp Total Profit 25,000,000,000 17,500,000,000 10,000,000,000 2,500,000,000 5,000,000,000 12,500,000,000 20,000,000,000 27,500,000,000 35,000,000,000 42,500,000,000 50,000,000,000 57,500,000,000 1,5% 3% 6% 10% 15% 30% 40% 60% 1,5% 3% 6% 10% 15% 30% 40% 60% Harga Pokok Ekspor Gambar 4.5 Perbandingan Antara Harga Pokok Ekspor dngan Total Profit in Rp Jika dilihat dari gambar menunjukkan bahwa semakin besar HPE maka total profit untuk industri minyak CPO ini justru akan mengalami kerugian. Dalam hal ini seharusnya menjadi pusat perhatian pemerintah dalam memajukan industri CPO diindonesia ini. Apalagi industri ini memiliki masa depan yang cukup cerah. Dari permasalahan penetapan PE dan HPE di atas, hal penting yang perlu diperhatikan adalah norma apa yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan besarnya tarif PE dan HPE CPO dan produk turunannya. Untuk tariff PE CPO, penentuan besarnya seyogyanya dengan mempertimbangkan (i) sifatnya hanya pungutan, bukan pajak, (ii) tarif yang tinggi berpotensi mengguncang pasar
19 74 CPO internasional yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasar CPO domestik (iii) disesuaikan dengan kebutuhan untuk program dan kegiatan pengembangan industri perkelapasawitan nasional dan target PNBP. Butir (iii) ini sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan HPE disamping memperhitungkan kepentingan pelaku jasa bisnis dan keuntungan perusahaan dan petani kelapa sawit. Untuk itu, kajian dan simulasi penetapan tarif PE dan HPE sangat diperlukan. Mencermati analisis PP No. 35 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 09/PMK.011/2008 tentang PE, khususnya Pasal 2 dan 3 maka dapat disimpulkan bahwa PP tersebut masih perlu disempurnakan pada aspek-aspek : (i) memberi perhatian terhadap manfaat pengenaan PE bagi pengembangan industri kelapa sawit nasional, (ii) menciptakan keadilan dengan memperhatikan kepentingan stakeholders, terutama petani secara proporsional, dan (iii) memberi kepastian hukum dalam pelaksanaannya melalui perbaikan daya penegakan dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dan implementasi penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dimaksud. SK Menteri dan pertimbangan Departemen Teknis terkait hendaknya menjadi bahan pertimbangan dalam implementasi PP No. 35 Tahun 2005, bukannya menjadi sumber diskresi dari PP tersebut. Analisis Dampak Penerapan PE CPO (PP No 35/2005 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 09/PMK.011/2008) Ada tiga analisis dampak yang dilakukan yaitu : (1) dampak terhadap Produk Domestik Bruto; (2) dampak terhadap agribisnis kelapa sawit; dan (3) dampak
20 75 terhadap pendapatan petani. Ada tiga skenario kebijakan PE (pungutan ekspor) CPO yaitu : a. PE sebesar 10 persen dari harga CPO dunia yang berlaku, b. PE sebesar 15 persen dari harga CPO dunia yang berlaku, c. PE sebesar 15 persen dari HPE (harga patokan ekspor) dimana HPE berada sekitar 2/3 dari harga dunia atau setara dengan PE sebesar 10 persen dari harga CPO dunia yang berlaku. Saat ini pemerintah telah menetapkan PE atas CPO sebesar 15 persen dari HPE CPO. Namun besaran HPE atas CPO belum ditetapkan. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi berkaitan dengan PE CPO yaitu: (1) pemerintah menetapkan besaran HPE sebesar 2/3 dari harga CPO dunia yang berlaku yang berarti setara dengan PE sebesar 10 persen dari harga CPO dunia yang berlaku; (2) pemerintah merevisi besaran PE dari 15 persen menjadi 10 persen, tetapi HPE ditetapkan sebesar harga CPO dunia yang berlaku. (1) Produk Domestik Bruto Pungutan Ekspor atas CPO menyebabkan, harga ekspor untuk CPO yang diterima produsen menurun (disinsentif) yang selanjutnya berdampak pada konstraksi kegiatan industri sawit maupun usahatani kelapa sawit. Namun demikian, PE atas CPO menyebabkan harga CPO untuk industri hilir dalam negeri menurun sehingga menciptakan insentif bagi industri tersebut. Dampak selanjutnya adalah ekspansi kegiatan industri hilir CPO dalam mengeri. Selain itu, PE atas CPO akan meningkatkan penerimaan PNBP negara sebagai dana pembangunan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi nasional. Dampak kontraksi dan ekspansi dari
21 76 penerapan PE tersebut secara umum akan tercermin dari PDB. Apabila PDB meningkat mengidentifikasikan bahwa PE tersebut berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi nasional, tetapi sebaliknya jika PDB menurun. Dari Tabel 4.6 tersebut terlihat bahwa penerapan PE akan menyebakan penurunan PDB disemua skenario. Dampak penerapan PE 15 persen terhadap penurunan PDB lebih besar dibanding PE 10 persen. Ini mengindikasikan bahwa peningkatan PE ternyata tidak mampu mengakselerasi kegiatan industri hilir dalam negeri yang menciptakan nilai tambah lebih besar untuk mengkompensasi kehilangan nilai tambah akibat konstraksi dari penerapan PE pada kegiatan agribisnis kelapa sawit. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak menerapkan PE terlalu tinggi dibanding yang berlaku sekarang. Daya Saing CPO Indonesia vs Malaysia Sebuah negara mempunyai keunggulan komparatif terhadap suatu produk jika mampu menghasilkan produk yang lebih baik dengan harga yang lebih murah (Simeh, 2004). Pengenaan PE akan meningkatkan harga ekspor CPO Indonesia di pasar dunia, sementara harga ekspor CPO Malaysia tetap akibatnya daya saing CPO Indonesia menurun terhadap CPO Malaysia. Hal ini tercermin dari meningkatnya volume ekspor CPO Malaysia sementara volome ekspor CPO Indonesia mengalami penurunan pada semua skenario. Makin tinggi Pengenaan PE atas CPO Indonesia, makin tinggi pula volume ekspor CPO Malaysia. Oleh karena itu, disarankan agar tingkat PE atas CPO Indonesia tidak terlalu besar agar pangsa pasar CPO Indonesia tidak direbut oleh CPO dari Malaysia. Indonesia saat ini merupakan negara pengekspor minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah
22 77 Malaysia. Malaysia memegang peranan penting dalam perdagangan minyak sawit pada akhir tahun 1960-an saat Indonesia dan Nigeria mengalami stagnasi produksi. Pada tahun 1969 pangsa ekspor minyak sawit Malaysia mencapai sekitar persen dari ekspor minyak sawit dunia dan pada tahun 2002 pangsa ekspor Malaysia tumbuh menjadi 57,28 persen. Pada periode yang sama, pangsa ekspor minyak sawit Indonesia sekitar persen dan 32,64 persen. Sisanya dikuasai oleh beberapa negara, seperti Papua Nugini dan Pantai Gading (Tabel 4.8). Amerika Serikat, Belanda dan Pakistan secara tradisional merupakan negara pengimpor utama minyak sawit. Pada tahun 1969 ketiga Negara mengimpor sekitar 11 persen dari impor minyak sawit dunia. Pada tahun 2002, pangsa impor ketiga negara meningkat menjadi sekitar persen (Tabel 4.9). Perubahan pangsa impor ketiga negara tersebut terjadi karena adanya peningkatan impor oleh Pakistan yang cukup nyata. Saat ini ketiga pengimpor minyak sawit tersebut berperan cukup penting bagi Indonesia. Tabel 4.8 Ekspor (ton) dan Pangsa Ekspor (%) Minyak Sawit Dunia, Indonesia Malaysia Tahun Ton % Ton % Dunia
23 Sumber :GAPKI dan Oil World (berbagai terbitan), diolah. Tabel 4.9 Impor (ton) dan Pangsa Impor (%) Minyak Sawit Dunia, AS Pakistan Belanda Tahun Ton % Ton % Ton % Dunia Sumber : GAPKI dan Oil World (berbagai terbitan), diolah. Pada ketiga pasar tersebut, Malaysia merupakan pesaing utama Indonesia dan umumnya CPO asal Malaysia lebih kompetitif karena antara lain, mutu yang lebih baik dan adanya kemudahan-kemudahan yang didapat Malaysia dari negara pengimpor dan tidak diperoleh Indonesia. Namun, perkembangan ekspor minyak sawit Malaysia diperkirakan akan tertahan oleh adanya keterbatasan sumber daya lahan dan tingginya tingkat upah pekerja. Sedangkan Indonesia masih mempunyai
24 79 potensi untuk berkembang karena dukungan biaya produksi murah dan lahan potensial yang masih tersedia. Namun Indonesia juga menghadapi kendala dalam pengembangan ekspor karena tingkat konsumsi domestik tinggi. Sementara itu, Malaysia pun tidak berdiam diri dan terus meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya, sehingga mereka mengembangkan dengan sungguh-sungguh industri produk turunan CPO yang bernilai lebih tinggi. Berdasarkan data produksi tahun , terlihat jelas bahwa Malaysia masih menempati peringkat pertama di dunia untuk produksi CPO. Pada tahun 1999 produksi CPO Malaysia sekitar 10,6 juta ton, sedangkan Indonesia hanya 6 juta ton (56,6 %). Pada tahun 2004 Produksi CPO Malaysia meningkat menjadi 14 juta ton, sedangkan Indonesia sebesar 11,4 juta ton (81,4%). Peningkatan produksi CPO Indonesia lebih besar disebabkan oleh peningkatan luas areal penanaman kelapa sawit. Sedangkan produksi negara lainnya, seperti Colombia, Ivory Coast dan Thailand masih jauh di bawah tingkat produksi Indonesia maupun Malaysia (Tabel 4.10). Tabel 4.10 Produksi CPO Negara Pesaing (000 ton). No Negara Colombia Ecuador Indonesia Ivory Coast Malaysia Nigeria Pilipina Thailand NegaraLainnya Total Sumber : GAPKI dan Oil World (2008).
25 80 (2) Agribisnis Kelapa Sawit Hasil analisis dampak pengenaan PE terhadap kinerja agribisnis kelapa sawit dapat dirangkum sebagai berikut : Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 15 persen dari harga CPO dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 10 persen, maka produksi CPO Indonesia mengalami penurunan karena luas tanaman yang menghasilkan menurun, volume ekspor menurun lebih besar dibanding kenaikan konsumsi domestik. Penurunan luas tanaman yang menghasilkan terjadi pada perkebunan negara dan swasta, sedangkan perkebunan rakyat tidak terjadi. Penurunan luas tanaman yang menghasilkan pada perkebunan negara dan swasta sebagai respon penurunan harga Tandan. Dampak dari penurunan luas tanaman yang menghasilkan tersebut menyebabkan penyerapan tenaga kerja pada usahatani kelapa sawit menurun. Penurunan volume ekspor akan berdampak pada penurunan penerimanan devisa negara dari ekspor CPO. Walaupun terjadi peningkatan penerimaan negara dari PE, namun secara keseluruhan PDB nasional mengalami penurunan. Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 15 persen dari harga CPO dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, arah dampaknya sama dengan pemberlakuan PE 10 persen, tapi dampaknya lebih besar pada PE 15 persen. Kesimpulan yang bisa diambil dari hasil analisis tersebut adalah bahwa pengenaan PE berdampak pada penurunan luas tanaman menghasilkan yang selanjutnya berdampak pada penurunan kesempatan kerja, dan penurunan produksi CPO. Tambahan penerimaan pemerintah dari PE
26 81 ternyata tidak mampu menaikkan pertumbuhan PDB justru sebaliknya, sehingga penerapan PE kurang menguntungkan dilihat dari aspek kinerja ekonomi makro. Apabila pemerintah tetap menerapkan kebijakan PE CPO maka disarakan untuk menerapkan PE sebesar 15 persen dengan HPE 2/3 dari harga CPO dunia yang berlaku. (3) Pendapatan Petani Harga Tandan Buah Segar (TBS) pada saat PE 10% adalah sebesar Rp. 1,450/kg (Tabel 4.11). Kenaikan PE menjadi 15% menyebabkan harga TBS semakin rendah. Ditambah lagi dengan adanya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang rata-rata mencapai 107% juga sangat mempengaruhi turunnya harga TBS. Kedua hal tersebut menyebabkan harga TBS turun menjadi Rp 1,439.15/kg. Penurunan harga TBS menyebabkan keuntungan petani menurun dari Rp. 800/kg menjadi Rp /kg, atau turun sebesar 57%. Jika diasumsikan 1 KK petani kelapa sawit memiliki lahan rata-rata 2 ha dengan produktivitas 15 ton TBS/ha/tahun maka keuntungan per KK menurun dari sekitar Rp. 6,8 juta menjadi hanya Rp. 2,9 juta. Diperkirakan kalau tarif ekspor tetap 15% sementara HPE mengikuti harga CPO dunia di Rotterdam yang terus tinggi seperti pada Juni mencapai US$ 1,082 per ton, maka pungutan ekspor yang menjadi beban eksportir naik cukup tinggi menjadi US$ 732 per ton atau kalau dirupiahkan sebesar Rp7,321 per kg. Karena beban PE dapat dialihkan ke petani, maka beban pungutan ekspor yang besar itu sebagian diantaranya akan dibebankan pengusaha kepada petani. Diperkirakan dengan pungutan ekspor sebesar Rp7,321 per kg
27 82 CPO, maka harga tandan buah segar (TBS) di petani kemungkinan dikurangi Rp1500-Rp2000 per kg. Hitungan ini diperoleh dari asumsi untuk mendapatkan 1 kg CPO jumlah TBSnya harus 5 kg (asumsi: rendemen minyak dalam TBS 20%). Selanjutnya, kalau harga TBS di petani saat ini sebesar Rp 650 per kg, maka harga beli pasti berkurang. Jika tarif ekspor hanya 10% dan HPE disesuaikan dengan harga jual CPO di Rotterdam, maka pungutan ekspor masih tetap rendah yakni US$ 732 per ton, sehingga tidak berpengaruh pada pendapatan petani. Tabel 4.11 Pengaruh Kenaikkan Kenaikan BBM dan PE Terhadap Biaya Produksi TBS, Uraian Biaya Produksi / Kg TBS Pengaruh Kenaikkan BBM Pengaruh Kenaikkan PE & BBM % Rp Biaya Pemupukan Biaya Pemeliharaan Biaya Panen Biaya Transport TBS Biaya Administrasi / iuran Total Biaya Harga Jual TBS 1,450 1,450 1, Keuntungan Petani Pendapatan per KK plasma 18,632,500 18,632,500 18,631, Biaya Produksi per KK plasma 12,790,000 15,688,000 15,688,000 Keuntungan per KK plasma 6,842,500 2,952,500 2,943, Penuruna n Keuntungan (%) 56% 57% Prospek Dan Potensi Pengembangan Kelapa Sawit Prospek Harga. Hingga tahun 2008, harga minyak sawit di pasar Rotterdam diperkirakan akan mengalami kenaikan walaupun secara riil akan mengalami sedikit penurunan karena adanya kenaikan inflasi. Pada tahun 2004, harga minyak sawit di
28 83 Rotterdam sekitar US$ 0.56/kg dan pada tahun 2008 mencapai US$ 0.68/kg (Gambar 4.6). Kenaikan harga ini diperkirakan tidak terlepas dari berkembangnya pasar minyak sawit, terutama di negara-negara berkembang. Dengan kata lain, minyak sawit masih mempunyai prospek kedepan. Gambar 4.6 Harga Riil dan Nominal CPO di Rotterdam (US$/kg) Ekspor. Meskipun hingga tahun 2008 ekspor CPO Indonesia meningkat dengan laju 5.22% per tahun, Malaysia masih tetap unggul dibandingkan Indonesia. Ekspor Indonesia dan Malaysia pada tahun 2004 masing-masing 4.57 juta dan 5.6 juta ton menjadi 5.61 juta dan 8.78 juta ton pada tahun 2008 (Gambar 4.7). Dalam periode di tersebut, Indonesia akan menguasai 33.32%, sedangkan Malaysia menguasai 56.90% dari total ekspor dunia.
29 84 Gambar 4.7 Ekspor Minyak Sawit Indonesia, Malaysia dan Dunia (ton). Gambar di atas juga mengisyaratkan bahwa hanya dengan pertumbuhan minimal 17.69% per tahun, ekspor Indonesia baru dapat menyamai ekspor Malaysia. Pertumbuhan tersebut dapat dicapai jika Indonesia mengalami peningkatan produktivitas menjadi rata-rata sekitar 5.51 ton CPO/ha/tahun hingga tahun Dengan kondisi pertanaman yang ada, Indonesia masih memiliki kemungkinan untuk meningkatkan produktivitas dan produksi. Pengembangan Produk. Pengembangan produk kelapa sawit diperoleh dari produk utama, yaitu minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit, dan produk sampingan yang berasal dari limbah. Beberapa produk yang dihasilkan dari pengembangan minyak sawit diantaranya adalah minyak goreng, produk-produk oleokimia, seperti fatty acid, fatty alkohol, glycerine, metalic soap, stearic acid, methyl ester, dan stearin. Perkembangan industri oleokimia dasar merangsang pertumbuhan industri barang konsumen seperti deterjen, sabun dan kosmetika. Sedangkan produk-produk yang dihasilkan dari pemanfaatan limbah diantaranya adalah pupuk organik, kompos dan kalium serta serat yang berasal dari tandan kosong kelapa sawit, arang aktif dari tempurung buah, pulp kertas yang berasal
30 85 dari batang dan tandan sawit, perabot dan papan partikel dari batang, dan pakan ternak dari batang dan pelepah, serta pupuk organik dari limbah cair dari proses produksi minyak sawit. Potensi Kesesuaian dan ketersediaan lahan. Pengembangan tanaman kelapa sawit telah dilakukan secara luas di Indonesia baik di kawasan barat maupun di kawasan timur Indonesia. Potensi lahan yang tersedia untuk pengembangan kelapa sawit umumnya cukup bervariasi, yaitu lahan berpotensi tinggi, lahan berpotensi sedang, dan lahan yang berpotensi rendah (Tabel 4.12). Lahan berpotensi tinggi adalah lahan yang memiliki Kelas Kesesuaian Lahan (KKL) untuk kelapa sawit tergolong sesuai (>75%) dan sesuai bersyarat (<25%). Lahan berpotensi sedang memiliki KKL tergolong sesuai (25-50%) dan sesuai bersyarat (50-75%), sementara lahan berpotensi rendah memiliki KKL tergolong sesuai bersyarat (50-75%) dan tidak sesuai (25-50%). Penyebaran areal yang berpotensi untuk pengembangan kelapa sawit tersebut umumnya terdapat di propinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian Jaya, Sumatera Utara, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.
31 86 Tabel 4.12 Potensi dan Kesesuaian Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit. 4.4 Kebijakan kebijakan dan strategi yang diambil PT. KALPATARU INVESTAMA dalam menyikapi fluktuasi harga minyak CPO Dalam perekonomian suatu negara, kebijakan perdagangan internasional berperan sangat penting. Kebijakan perdagangan tersebut pada umumnya diutamakan untuk perluasan pasar internasional dan proteksi bagi pembeli domestik (industri atau rumah tangga). Namun tidak tertutup kemungkinan, kebijakan perdagangan tersebut ditujukan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah melalui pajak/pungutan dan terkait dengan kebijakan luar negeri suatu negara atau alasanalasan politik. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah tentang penerapan PE untuk CPO dan produk turunannya lebih diutamakan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dan proteksi bagi industri dalam negeri penghasil produk
32 87 turunan CPO, seperti industri minyak goreng dan oleokimia. Dengan penerapan PE ini tentunya sangat mempengaruhi harga minyak CPO. Oleh karena itu PT. KALPATARU INVESTAMA menerapkan beberapa kebijakan. Ada beberapa kebijakan yang diambil PT. KALPATARU INVESTAMA dalam menghadapi fluktuasi minyak CPO ini adalah : Arah Kebijakan Jangka Panjang 2025 Peluang untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit masih cukup terbuka bagi Indonesia, terutama karena ketersediaan sumberdaya alam/lahan, tenaga kerja, teknologi maupun tenaga ahli. Dengan posisi sebagai produsen terbesar kedua saat ini dan menuju produsen utama di dunia pada masa depan, Indonesia perlu memanfaatkan peluang ini dengan sebaikbaiknya, mulai dari perencanaan sampai dengan upaya menjaga agar tetap bertahan pada posisi sebagai a country leader. Disamping itu, tuntutan akan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan perlu juga menjadi pertimbangan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka visi yang dikembangkan dalam pembangunan kelapa sawit adalah "Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Kelapa Sawit yang Berdaya Saing, Berkerakyatan, Berkelanjutan dan Terdesentralisasi".
33 88 Kebijakan Jangka Menengah Agar diperoleh manfaat yang optimal dalam pembangunan agribisnis kelapa sawit nasional, maka kebijakan pengembangan agribisnis kelapa sawit nasional pada periode adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kelapa Sawit. Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman serta mutu kelapa sawit secara bertahap, baik yang dihasilkan oleh petani pekebun maupun perkebunan besar. Penerapan kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu kelapa sawit dapat ditempuh melalui program: peremajaan kelapa sawit, pengembangan industri benih yang berbasis teknologi dan pasar, peningkatan pengawasan dan pengujian mutu benih, perlindungan plasma nutfah kelapa sawit, pengembangan dan pemantapan kelembagaan petani. 2. Pengembangan Industri Hilir dan Peningkatan Nilai Tambah Kelapa Sawit. Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil olahan,sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri dan penciptaan lapangan kerja baru. Penerapan kebijakan pengembangan industri hilir ini ditempuh antara lain melalui: Fasilitasi pendirian PKS terpadu dengan refinery skala 5-10 ton TBS/jam di areal yang belum terkait dengan unit pengolahan dan pendirian pabrik Minyak Goreng Sawit
34 89 (MGS) skala kecil di sentra produksi CPO yang belum ada pabrik MGS. Pengembangan industri hilir kelapa sawit di sentra-sentra produksi. Peningkatan kerjasama dibidang promosi, penelitian dan pengembangan serta pengembangan SDM dengan negara penghasil CPO. Fasilitasi pengembangan biodiesel. Pengembangan market riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing 3. Kebijakan Industri Minyak Goreng/Makan Terpadu. Kebijakan ini diperlukan mengingat rawannya pasar minyak goreng di Indonesia dan besarnya biaya ekonomi dan sosial akibat kelangkaan bahan pangan ini di dalam negeri dan goyahnya posisi Indonesia sebagai pemasok CPO terpercaya di pasar dunia. Kebijakan ini diharapkan arah pengembangan komoditas penghasil minyak goreng yang jelas dan unsur-unsur pendukungnya. 4. Dukungan Penyediaan Dana. Kebijakan ini dimaksudkan untuk tersedianya berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit, baik yang berasal dari lembaga perbankan maupun non bank. Disamping itu perlu segera dihidupkan kembali dana yang berasal dari komoditi kelapa sawit untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit (semacam dana cess).
35 90 C. Strategi Sesuai dengan tujuan pembangunan pertanian, tujuan dan sasaran pengembangan agribisnis kelapa sawit, maka strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit dijabarkan sebagai berikut (Tabel 4.13). Tabel 4.13 Strategi Pengembangan PT. KALPATRU INVESTAMA
36 Hasil Analisis dan Pembahasan Hasil analisis dampak pengenaan PE terhadap kinerja agribisnis kelapa sawit dapat dirangkum sebagai berikut : a) Dalam menetapkan kebijakan PE untuk produk CPO berikut produk turunannya, pemerintah harus juga dapat mempertimbangkan faktor-faktor yang berpengaruh atas penerimaan PE tersebut seperti halnya nilai presentase PE yang akan ditetapkan, nilai kurs rupiah terhadap US dollar dan harga pasaran CPO (Rotterdam) pada saat PE tersebut ditetapkan. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah dapat menekan tindakan-tindakan para spekulan / pihak trader yang ingin mengambil keuntungan pada kondisi tertentu seperti penimbunan CPO, penyelundupan dan sebagainya sehingga keseimbangan pasar CPO dalam negeri dapat terjaga. b) Dalam memberlakukan PE CPO, pemerintah juga harus memperhatikan faktor kesejahteraan petani kelapa sawit melalui program kebun plasma / kebun rakyat, yaitu pemerintah harus memperhitungkan pendapatan yang didapat dari PE CPO terhadap pemberian fasilitas / kemudahan kepada para petani kebun plasma seperti dengan memberikan kredit bunga murah terhadap mereka, subsidi pupuk, fasilitas transportasi jalan, infrastruktur dan lain-lain sehingga program ekonomi daerah dapat berjalan dengan baik dan pemerataan / penekanan tingkat kesenjangan social antara pemilik kebun plasma dan kebun inti dapat teratasi. Pemerintah juga harus memperhatikan proses penjualan tandan buah segar (TBS) petani plasma ke pabrik-pabrik pengolahan, agar harga jual yang didapatkan oleh mereka
37 92 adalah harga jual yang optimal pada saat itu. Dengan demikian kesejahteraan petani plasma dapat ditingkatkan. Aspek lain yang didapat apabila pemerintah konsisten dengan kebijakkan ini adalah bahwa pemerintah dapat menekan tingkat urbanisasi penduduk, ekonomi dapat berjalan dengan baik, PAD daerah tersebut akan meningkat, tingkat pengangguran dapat ditekan dan juga pembelajaran kepada petani untuk dapat menjadi petani yang profesional
ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN PENDAPATAN PETANI RINGKASAN EKSEKUTIF
ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN PENDAPATAN PETANI RINGKASAN EKSEKUTIF I. JUSTIFIKASI DAN TUJUAN KAJIAN 1. Saat ini pemerintah mempunyai instrumen
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana
Lebih terperinciJakarta, 9 Desember Penulis
KATA PENGANTAR Pertama-tama saya mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karunia-nya sehingga penulisan thesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Thesis ini disusun untuk memenuhi
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT
V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan
Lebih terperinciIV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics
IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Harga Minyak Bumi Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi dunia. Oleh karenanya harga minyak bumi merupakan salah satu faktor penentu kinerja ekonomi global.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang berasal dari buah kelapa sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. Minyak
Lebih terperinciBoks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model
Boks 1 Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model I. Latar Belakang Perkembangan ekonomi Riau selama beberapa kurun waktu terakhir telah mengalami transformasi.
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA
V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA Pada bab V ini dikemukakan secara ringkas gambaran umum ekonomi kelapa sawit dan karet Indonesia meliputi beberapa variabel utama yaitu perkembangan
Lebih terperinciPERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG
67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum sektor pertanian dapat memperluas kesempatan kerja, pemerataan kesempatan berusaha, mendukung pembangunan daerah dan tetap memperhatikan kelestarian
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab
V. GAMBARAN UMUM 5.1. Prospek Kakao Indonesia Indonesia telah mampu berkontribusi dan menempati posisi ketiga dalam perolehan devisa senilai 668 juta dolar AS dari ekspor kakao sebesar ± 480 272 ton pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Pemenuhan kebutuhan pokok dalam hidup adalah salah satu alasan agar setiap individu maupun kelompok melakukan aktivitas bekerja dan mendapatkan hasil sebagai
Lebih terperinciTinjauan Pasar Minyak Goreng
(Rp/kg) (US$/ton) Edisi : 01/MGR/01/2011 Tinjauan Pasar Minyak Goreng Informasi Utama : Tingkat harga minyak goreng curah dalam negeri pada bulan Januari 2011 mengalami peningkatan sebesar 1.3% dibandingkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam GBHN 1993, disebutkan bahwa pembangunan pertanian yang mencakup tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman lainnya diarahkan pada berkembangnya pertanian yang
Lebih terperinciKebijakan Bea Keluar Minyak Kelapa Sawit Indonesia: Siapa Yang Untung?
Hal. 2 Hal. 7 Daftar Isi Dari Redaksi Potensi Kehilangan USD 6,1 Juta Akibat Delisting Produk Karaginan Indonesia di Pasar Amerika Serikat Ekspor rumput laut dan produk olahan rumput laut terus menunjukkan
Lebih terperinciV. KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PROGRAM
V. KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PROGRAM A. Arah Kebijakan Jangka Panjang 2025 Peluang untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit masih cukup terbuka bagi Indonesia, terutama karena ketersediaan sumberdaya alam/lahan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha perkebunan merupakan usaha yang berperan penting bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber
Lebih terperinciBoks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT
Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting di Indonesia yang berperan sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang didukung oleh sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian tersebut adalah perkebunan. Perkebunan memiliki peranan yang besar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan pesat globalisasi dalam beberapa dasawarsa terakhir mendorong terjadinya perdagangan internasional yang semakin aktif dan kompetitif. Perdagangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan sumber pembiayaan yang sangat penting adalah devisa. Devisa diperlukan untuk membiayai impor dan membayar
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Profil Kelapa Sawit Kelapa sawit memainkan peranan penting bagi pembangunan sub sektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an,
60 BAB I PENDAHULUAN 3.1. Latar Belakang Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk
114 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk perekonomian bagi masyarakat Indonesia. Salah satu sektor agroindustri yang cendrung berkembang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
25 II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Area Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia secara berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001 dan
Lebih terperinciSumber (diolah dari) ; 1. Bank Indonesia, Sipuk-Siabe (2003). 2. Departermen Perindustrian, (2007).
Lampiran 1. Diagram Pemerosesan Buah Sawit. Particle Board, Serat kertas Sabut Sawit (Palm Fibre ) Refined, Bleached and Deodorised Crude Palm oil ( RBD CPO ) Mentega (Margarine) Buah Sawit Segar ( Fresh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sangat diunggulkan, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Kelapa
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor yang cukup berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan sejak krisis ekonomi dan moneter melanda semua sektor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dilihat dari aspek kontribusinya terhadap PDB, penyediaan lapangan kerja, penyediaan penganekaragaman menu makanan,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia Menurut Martha Prasetyani dan Ermina Miranti, sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan
Lebih terperinciVIII. SIMPULAN DAN SARAN
VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang
Lebih terperinciKAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI
KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI Pendahuluan 1. Situasi perberasan yang terjadi akhir-akhir ini (mulai Maret 2008) dicirikan dengan
Lebih terperinci5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT
27 5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit yang menjadi salah satu tanaman unggulan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai penghasil produk-produk hulu pertanian yang mencakup sektor perkebunan, hortikultura dan perikanan. Potensi alam di Indonesia memungkinkan pengembangan
Lebih terperinci1.1 Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Crude palm oil (CPO) merupakan produk olahan dari kelapa sawit dengan cara perebusan dan pemerasan daging buah dari kelapa sawit. Minyak kelapa sawit (CPO)
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia, baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan akan minyak
Lebih terperinciLampiran 1. Lanjutan. Keterangan : *) sementara **) sangat sementara. Sumber : Ditjenbun dan PPKS, 2006
Lampiran. Lanjutan LUAS AREA (HA) PRODUKSI CPO (TON) PRODUKSI PKO (TON) TAHUN PR PBN PBS JUMLAH PR PBN PBS JUMLAH PR PBN PBS 990 29,338 372,246 463,093,26,677 376,950,247,56 788,506 2,42,62 75,390 249,43
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku
Lebih terperinciII. KONDISI AGRIBISNIS KELAPA SAWIT SAAT INI
I. PENDAHULUAN Dalam perekonomian Indonesia sektor pertanian secara tradisional dikenal sebagai sektor penting karena berperan antara lain sebagai sumber utama pangan, dan pertumbuhan ekonomi. Peranan
Lebih terperinciRingsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik
B O K S Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-29 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL Pertumbuhan ekonomi Zona Sumbagteng terus
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Crude palm oil (CPO) berasal dari buah kelapa sawit yang didapatkan dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Crude palm oil (CPO) berasal dari buah kelapa sawit yang didapatkan dengan cara mengekstark buah sawit tersebut. Selain berupa minyak sawit sebagai produk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka dimana lalu lintas perekonomian internasional sangat penting dalam perekonomian
Lebih terperinciVII. KESIMPULAN DAN SARAN
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Pengaruh harga dunia minyak bumi dan minyak nabati pesaing terhadap satu jenis minyak nabati ditransmisikan melalui konsumsi (ket: efek subsitusi) yang selanjutnya
Lebih terperincioleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi.
HMGRIN Harga Margarin (rupiah/kg) 12393.5 13346.3 7.688 VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Dari hasil pendugaan model pengembangan biodiesel terhadap produk turunan kelapa sawit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun
Lebih terperinciPe n g e m b a n g a n
Potensi Ekonomi Kakao sebagai Sumber Pendapatan Petani Lya Aklimawati 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 9 Jember 68118 Petani kakao akan tersenyum ketika harga biji kakao
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama lebih dari 3 dasawarsa dalam pasar minyak nabati dunia, terjadi pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara tahun 1980 sampai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia, baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan akan minyak
Lebih terperinciAnalisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011
Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Nomor. 30/AN/B.AN/2010 0 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Penetapan Harga Pada dasarnya, ada 2 kekuatan besar yang berpengaruh pada pembentukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan negara karena setiap negara membutuhkan negara lain untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan dan industri kelapa sawit merupakan salah satu sektor usaha yang mendapat pengaruh besar dari gejolak ekonomi global, mengingat sebagian besar (sekitar
Lebih terperinciPELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara
PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA Makalah Disusun Oleh : Imam Anggara 11.12.5617 11.S1SI.04 STMIK AMIKOM Yogyakarta 2012-03-16 KATA PENGANTAR Makalah ini mengangkat judul tentang Peluang
Lebih terperinciKAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO
KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO Widiastuti *) Kepala Bagian Pengembangan Pasar, BAPPEBTI Pengantar redaksi: Tahun 2010, lalu, Biro Analisa Pasar, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi
Lebih terperinciLAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI Oleh : Sri Nuryanti Delima H. Azahari Erna M. Lokollo Andi Faisal
Lebih terperinciPolicy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017
Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017 A. Overview Sektor agribisnis perkebunan Kelapa Sawit Indonesia telah berkembang dari waktu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia sehingga industri kelapa sawit diusahakan secara besar-besaran. Pesatnya perkembangan industri kelapa
Lebih terperinciKondisi Perekonomian Indonesia
KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA Kondisi Perekonomian Indonesia Tim Ekonomi Kadin Indonesia 1. Kondisi perekonomian dunia dikhawatirkan akan benar-benar menuju jurang resesi jika tidak segera dilakukan
Lebih terperinciBAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,
BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam perekonomian Indonesia melalui peningkatan nilai tambah, ekspor, pengurangan kemiskinan, dan penciptaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting sebagai suatu sumber minyak nabati. Kelapa sawit tumbuh sepanjang pantai barat Afrika dari Gambia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditanam di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bagian utama dari kelapa sawit yang diolah adalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membuat perekonomian di Indonesia semakin tumbuh pesat. Salah satu sektor agro industri yang cenderung
Lebih terperinciLINGKUNGAN BISNIS PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA
LINGKUNGAN BISNIS PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA Nama : Budiati Nur Prastiwi NIM : 11.11.4880 Jurusan Kelas : Teknik Informatika : 11-S1TI-04 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012 Abstrack Kelapa Sawit
Lebih terperinciPENDAHULUAN. untuk bisa menghasilkan kontribusi yang optimal. Indonesia, khususnya pengembangan agroindustri.
PENDAHULUAN Latar Belakang Untuk memacu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional Indonesia dalam jangka panjang, tentunya harus mengoptimalkan semua sektor ekonomi yang dapat memberikan kontribusinya
Lebih terperinciPELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA
PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA MUFID NURDIANSYAH (10.12.5170) LINGKUNGAN BISNIS ABSTRACT Prospek bisnis perkebunan kelapa sawit sangat terbuka lebar. Sebab, kelapa sawit adalah komoditas
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Subsektor perkebunan merupakan bagian dari sektor pertanian yang memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan dari nilai devisa yang dihasilkan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara fundamental, bahwa gerak perdagangan semakin terbuka, dinamis, dan cepat yang menyebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. krisis tersebut adalah industri agro bisnis dan sampai akhir tahun 2010 industri agrobisnis
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Krisis moneter yang menimpa Indonesia di tahun 1998 menyebabkan terpuruknya beberapa sektor industri di Indonesia. Salah satu industri yang dapat bertahan
Lebih terperinciBAB. I PENDAHULUAN Secara umum sektor pertanian pada Pembangunan Jangka
BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Secara umum sektor pertanian pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP-I) dapat dinilai telah berhasil melaksanakan peran-peran konvensionalnya, seperti : a)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia, peran tersebut antara lain adalah bahwa sektor pertanian masih menyumbang sekitar
Lebih terperinciIII. TINJAUAN PUSTAKA
36 III. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian terdahulu menunjukkan perkembangan yang sistematis dalam penelitian kelapa sawit Indonesia. Pada awal tahun 1980-an, penelitian kelapa sawit berfokus pada bagian hulu,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam membangun perekonomian. Pembangunan ekonomi diarahkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang selalu ingin menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui usahausahanya dalam membangun perekonomian.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persaingan antar perusahaan semakin ketat dalam suatu industri termasuk pada agroindustri. Salah satu produk komoditi yang saat ini sangat digemari oleh perusahaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.1205, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN Perdagangan. Harga Patokan. Ekspor. Produk Pertanian. Kehutanan. Penetapan. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kelapa sawit merupakan tanaman dengan banyak manfaat. Tanaman ini menjadi bahan baku dalam industri penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI KELAPA SAWIT INDONESIA
55 V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI KELAPA SAWIT INDONESIA 5.1 Pemanfaatan Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang multi guna, karena seluruh bagian tanaman tersebut dapat dimanfaatkan dalam
Lebih terperinciTabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam
Lebih terperinciNILAI STRATEGIS INDUSTRI SAWIT
NILAI STRATEGIS INDUSTRI SAWIT Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT Palm oil industry is one of the strategic agricultural industries. Its prospect
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap negara di dunia. Hal ini didorong oleh semakin meningkatnya hubungan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.893, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Badan Layanan Umum. Pengelola Dana Kelapa Sawit. Tarif. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 114/PMK.05/2015 TENTANG TARIF LAYANAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia modern sekarang suatu negara sulit untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri tanpa kerjasama dengan negara lain. Dengan kemajuan teknologi yang sangat
Lebih terperinciV. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.
V. EKONOMI GULA 5.1. Ekonomi Gula Dunia 5.1.1. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Peningkatan jumlah penduduk dunia berimplikasi pada peningkatan kebutuhan terhadap bahan pokok. Salah satunya kebutuhan pangan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian dari waktu ke waktu semakin meningkat. Lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kemudahan ini melahirkan sisi negatif pada perkembangan komoditas pangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pasar bebas dipandang sebagai peluang sekaligus ancaman bagi sektor pertanian Indonesia, ditambah dengan lahirnya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 yang diwanti-wanti
Lebih terperinciVII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM
VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM 7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan Dampak kenaikan pendapatan dapat dilihat dengan melakukan simulasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Pertanian merupakan
Lebih terperinciBAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi
Lebih terperinci