V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 40 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini berdasarkan pengolahan data yang telah dikumpulkan akan menjawab permasalahan dan tujuan pertama dan kedua kajian. Pengolahan data dilakukan melalui dua tahap, yaitu pengolahan koefisien disparitas memakai Indeks Theil dengan formula sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Bab III dan pengolahan data model estimasi dengan menggunakan software Eviews Disparitas Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Jawa Barat Pengukuran disparitas dengan Indeks Theil didekomposisi menjadi inter/antar (between inequality) dan intra/dalam (within inequality), agar tergambarkan tingkat ketidakmerataan dan pola pembagian pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat. Untuk itu sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, kabupaten/kota di Jawa Barat dilakukan pengelompokan, sehingga akan diketahui bagaimana disparitas pendapatan yang terjadi, apakah terjadi antar kelompok atau di dalam kelompok. Semakin kecil nilai Indeks Theil maka kesenjangan semakin rendah dan semakin merata distribusi pendapatan antar kabupaten/kota, dengan nilai nol menunjukan tidak terjadi disparitas Kelompok Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Provinsi Jawa Barat Berdasarkan kelompok Bakorwil Provinsi Jawa Barat dibagi dalam 4 kelompok yaitu: Bakorwil Purwakarta (Pwt), Bakorwil Bogor (Bgr), Bakorwil Priangan (Png), dan Bakorwil Cirebon (Crb). Indeks Theil didekomposisi untuk mendapatkan nilai koefisien antar Bakorwil dan koefisien dalam Bakorwil yang kemudian ditransformasikan dalam persentase. Tabel 6 berikut menyajikan Koefisien Theil Kelompok Bakorwil Provinsi Jawa Barat Tahun Terlihat bahwa persentase Koefisien Theil antar kelompok Bakorwil terhadap total disparitas di Jawa Barat dari Tahun 1995 hingga 2006 adalah tinggi yaitu berkisar antara 96,2% hingga 97,6% dengan rata-rata 97,1% dari total indeks Theil. Sedangkan sisanya sebesar 2,9% merupakan agregat disparitas dalam 4 kelompok Bakorwil. Hal ini menunjukan bahwa disparitas yang besar justru terjadi antar kelompok Bakorwil, bukan di dalam kelompok Bakorwil. Dari tahun ke tahun indeks kesenjangan antar Bakorwil menunjukan range antara 0,262-0,336. Maknanya adalah bahwa terjadi peningkatan PDRB per kapita tiap tahunnya di masing-masing kabupaten/kota yang bila dikelompokan berdasarkan

2 kelompok Bakorwil perbedaan pencapaian PDRB per kapita tersebut relatif besar antar Bakorwil. Tabel 6 Koefisien Theil Kelompok Bakorwil di Jawa Barat Tahun Tahun Antar Bakorwil Dalam Bakorwil Total Indeks % Pwk % Bgr % Pgn % Crb % Indeks % ,262 96,2 0,0004 0,14 0,007 2,41 0,0002 0,08 0,003 1,16 0, ,280 97,6 0,0004 0,13 0,003 0,94 0,0003 0,12 0,003 1,17 0, ,280 97,6 0,0003 0,12 0,003 0,92 0,0003 0,10 0,004 1,23 0, ,280 97,4 0,0001 0,04 0,002 0,78 0,0001 0,04 0,005 1,71 0, ,282 97,3 0,001 0,33 0,002 0,83 0,0002 0,08 0,005 1,64 0, ,294 97,6 0,001 0,29 0,001 0,47 0, ,01 0,005 1,62 0, ,292 97,6 0,001 0,25 0,001 0,50 0,0001 0,04 0,005 1,60 0, ,321 96,8 0,001 0,21 0,001 0,45 0,004 1,12 0,005 1,44 0, ,336 96,6 0,001 0,19 0,002 0,45 0,005 1,41 0,005 1,38 0, ,334 96,5 0,001 0,18 0,001 0,40 0,005 1,50 0,005 1,41 0, ,332 96,7 0,001 0,16 0,001 0,38 0,005 1,49 0,004 1,23 0, ,336 96,8 0,001 0,15 0,001 0,38 0,005 1,46 0,004 1,18 0, Rata- Rata 0,302 97,1 0,001 0,18 0,002 0,74 0,002 0,62 0,004 1,40 0, Analisis masing-masing kelompok menunjukan bahwa kelompok Bakorwil Cirebon mempunyai rata-rata Indeks Dalam Wilayah tertinggi dibanding tiga kelompok Bakorwil lainnya yaitu sebesar 1,4% dari total indeks Theil. Berikutnya adalah kelompok Bakorwil Bogor yang memberikan kontribusi rata-rata Indeks Dalam Wilayah sebesar 0,74% dari total indeks Theil, kelompok Bakorwil Priangan dengan rata-rata Indeks sebesar 0,62% total Indeks Theil, dan kontribusi Indeks Dalam Wilayah yang terkecil adalah kelompok Bakorwil Purwakarta, yaitu sebesar 0,18% dari total indeks Theil. Kontribusi indeks tersebut mengartikan bahwa bila di bandingkan dengan kelompok Bakorwil Provinsi Jawa Barat maka kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di dalam kelompok Bakorwil Cirebon adalah paling tinggi dan yang terendah adalah kelompok Bakorwil Purwakarta. Faktor yang membuat kelompok Bakorwil Purwakarta mempunyai tingkat kesenjangan yang rendah adalah karena diuntungkan secara lokasi sebagai penopang Ibukota Jakarta yaitu Kabupaten Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, dan Kota Bekasi. Kebijakan sektor ekonomi pada kelompok ini meliputi hampir semua bidang usaha, antara lain: industri, pariwisata, pertanian, bangunan dan konstruksi, perdagangan, angkutan dan jasa-jasa lainnya. Jalur 41

3 42 transportasi utama menuju Jakarta melalui kabupaten/kota pada kelompok ini. Kegiatan ekonomi di wilayah ini cukup bervariasi sehingga peluang dan kesempatan kerja juga terbuka lebar. Pada kelompok ini terjadi pemusatan kegiatan ekonomi yang tidak hanya terdapat di suatu kabupaten atau kota saja tapi hampir semua kabupaten/kota dengan adanya aglomerasi industri. Sehingga pendapatan masing-masing kabupaten/kota di kelompok ini cukup tinggi dan relatif merata diantara kabupaten/kota sehingga tercipta kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota yang minim. Kekuatan ekonomi pada kelompok Bakorwil Cirebon terletak di Kota Cirebon dan Kabupaten Indramayu, termasuk juga Kabupaten Cirebon namun dengan jumlah penduduk yang cukup besar maka dalam pendekatan per kapita kabupaten ini tidak menonjol. Mengingat dalam kajian ini tidak memasukan sektor minyak dan gas maka Kabupaten Indramayu juga tidak tampak sebagai Kabupaten yang menonjol. Pada Kelompok ini, kabupaten/kota yang mempunyai kesempatan mengembangkan kegiatan ekonomi adalah di Kabupaten/Kota Cirebon dan Kabupaten Indramayu, karena secara lokasi kabupaten/kota ini merupakan perlintasan Jalur Pantura pulau Jawa sehingga pemusatan kegiatan ekonomi terjadi disini, dibandingkan dengan Kabupaten Majalengka dan Kuningan. Terjadilah perolehan pendapatan yang relatif tidak merata diantara kabupaten/kota pada Bakorwil Cirebon. Hal ini menyebabkan tingginya kesenjangan di dalam kelompok ini dibandingkan dengan kelompok Bakorwil lainnya. Hal serupa juga terjadi pada kelompok Bakorwil Bogor dan Priangan. Pada Bakorwil Bogor, kekuatan ekonomi dalam arti terjadinya pemusatan kegiatan ekonomi hanya pada Kabupaten dan Kota Bogor, serta Depok. Kegiatan ekonomi Kelompok Bakorwil Priangan tampak dominan di Kabupaten dan Kota Bandung serta Cimahi. Sementara Kabupaten/Kota yang lokasinya berada di selatan Provinsi Jawa Barat seperti: Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar belum dapat menarik dan mengembangkan potensi daerahnya yang secara lokasi memang relatif jauh dari DKI Jakarta dan jalur utama ekonomi pulau Jawa. Kebijakan pengembangan ekonomi pada daerah ini perlu diperluas dengan dukungan pembukaan akses ke daerah tersebut yang terhubung dengan kabupaten/kota pusat kegiatan perekonomian. Kesenjangan

4 43 pendapatan antar kabupaten/kota pada kabupaten/kota Bakorwil ini terjadi akibat distribusi pendapatan antar kabupaten/kota yang kurang merata. Pada teori sebelumnya, disebutkan bahwa kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota lambat-laun akan memudar seiring dengan makin meningkatnya perekonomian terkait dengan proses konvergensi suatu daerah. Gambar 7 memperlihatkan tren kondisi kesenjangan pendapatan dalam kelompok antar kabupaten/kota yang terjadi di Jawa Barat berdasarkan kelompok Bakorwil. Gambar 7 Tren Indeks Kesenjangan dalam Kelompok Berdasarkan Kelompok Bakorwil Provinsi Jawa Barat Tahun Gambar menunjukan kecenderungan pola yang semakin menurun pada 3 kelompok Bakorwil, namun penurunan sempat terhenti ketika terjadi guncangan krisis ekonomi pada periode Tren sebaliknya terjadi pada Kelompok Bakorwil Priangan. Hal ini menunjukan bahwa belum terjadinya proses konvergensi pada Kabupaten Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis; Kota Tasikmalaya, dan Banjar. Dengan pengertian lain adalah bahwa kabupaten/kota tersebut belum mengarah untuk mengejar ketertinggalannya dengan kabupaten/kota lain yang lebih maju, misalnya kabupaten/kota Bandung atau Kota Cirebon. Tingginya kondisi kesenjangan antar kelompok Bakorwil dipengaruhi oleh adanya proses industrialisasi yang mendorong pemusatan kegiatan ekonomi yang dipengaruhi oleh ketersediaan modal dan tenaga kerja yang tidak merata, faktor lain adalah adanya aglomerasi di dalam satu kelompok wilayah yang tidak

5 sama dengan kelompok wilayah lainnya. Bila aglomerasi dapat tumbuh di masing-masing kabupaten/kota dan kelompok maka akan banyak kabupaten/kota yang dapat berperan sebagai pusat pertumbuhan dan menarik kabupaten/kota di sekitarnya (daerah penyangga) menuju pertumbuhan yang lebih tinggi, sehingga mengurangi masalah kesenjangan pendapatan yang tajam antar kabupaten/kota dan antar kelompok Kelompok Daerah Kaya dan Miskin Provinsi Jawa Barat Untuk mempertajam penelitian atas bagaimana disparitas pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat, selain dikelompokan berdasarkan lokasi wilayah, juga dilakukan penelitian berdasarkan kelompok Daerah Kaya dan Miskin. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut: Tabel 7 Koefisien Theil Kelompok Daerah Kaya-Miskin di Jawa Barat Tahun Antar Kaya-Miskin Dalam Kaya-Miskin Total Tahun Indeks % Kaya % Miskin % Indeks % ,261 97,84 0,002 0,84 0,004 1,32 0, ,279 98,88 0,002 0,71 0,001 0,41 0, ,279 98,87 0,002 0,74 0,001 0,39 0, ,280 98,49 0,003 1,20 0,001 0,31 0, ,281 98,49 0,003 1,19 0,001 0,31 0, ,300 98,85 0,003 0,90 0,001 0,26 0, ,300 98,86 0,003 0,88 0,001 0,26 0, ,337 99,01 0,003 0,77 0,001 0,22 0, ,354 98,98 0,003 0,73 0,001 0,30 0, ,354 98,98 0,002 0,69 0,001 0,33 0, ,353 99,08 0,002 0,59 0,001 0,33 0, ,356 99,24 0,002 0,43 0,001 0,33 0, Rata-Rata 0,311 98,80 0,002 0,81 0,001 0,40 0, Persentase koefisien antara kelompok daerah kaya-miskin terhadap total disparitas Jawa Barat dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2006 adalah relatif tinggi, yaitu berkisar antara 97,84% sampai dengan 99,24% dengan rata-rata 98,80% dari total indeks Theil. Sedangkan sisanya sebesar 1,21% merupakan agregat dalam kelompok daerah kaya dan miskin. Hal ini menunjukan persamaan dengan hasil analisis sebelumnya pada pembagian kelompok berdasarkan Bakorwil dimana disparitas yang tinggi justru terjadi antar kelompok. Ini menunjukan bahwa kesenjangan lebih dominan pada perbedaan tingkat

6 45 ekonomi antar kelompok kabupaten/kota, sedangkan kesenjangan yang terjadi di dalam kelompok lebih rendah. Kabupaten/kota yang kaya mempunyai rata-rata koefisien within lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kabupaten/kota miskin yaitu sebesar 0,81% dari total indeks dibandingkan dengan 0,40% dari total indeks. Tren pergerakan kesenjangan dalam kelompok kaya dan miskin dapat dilihat dalam gambar berikut. Gambar 8 Tren Indeks Kesenjangan dalam Kelompok Berdasarkan Kelompok Daerah Kaya & Miskin Jawa Barat Tahun Gambar 8 memperlihatkan kontribusi masing-masing koefisien Dalam Kelompok dari pengelompokan Jawa Barat menjadi kelompok kabupaten/kota kaya dan kelompok kabupaten/kota miskin. Kesenjangan di dalam kelompok kabupaten/kota kaya meningkat pada masa krisis ekonomi dan cenderung turun pada tahun-tahun berikutnya. Pada kelompok kabupaten/kota miskin, awalnya kesenjangan pendapatan tinggi kemudian menurun. Walaupun terjadi fluktuasi, namun cenderung stabil pada tahun-tahun berikutnya. Tingginya kesenjangan antar kabupaten/kota kaya dengan kabupaten/kota adalah karena peluang ekonomi dan fasilitas infrastruktur yang terdapat di suatu kabupaten/kota kaya telah menarik lebih banyak aktivitas ekonomi. Sehingga, menjadikan kabupaten/kota tersebut lebih berkembang dan mempunyai pendapatan yang tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota yang tergolong memiliki fasilitas infrastruktur dan regulasi yang kurang mendukung. Selain perekonomian yang maju, faktor jumlah penduduk yang terbatas membuat kabupaten/kota menjadi menonjol.

7 46 Dari hasil analisis di atas, maka perbedaan pencapaian pembangunan ekonomi tiap-tiap kabupaten/kota di Jawa Barat dapat dikelompokan menjadi empat kuadran berdasarkan PDRB perkapita dan pertumbuhan ekonominya selama Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata PDRB perkapita sebagai sumbu horizontal, dapat dilakukan pengelompokan yang menurut Kuncoro (2004) adalah sebagai berikut: (i) Kuadran (I) : PDRB per kapita rendah, tetapi pertumbuhan ekonomi tinggi, disebut kabupaten/kota yang berkembang cepat. (ii) Kuadran (II) : PDRB per kapita tinggi, dan pertumbuhan ekonomi tinggi, disebut kabupaten/kota yang cepat maju dan cepat tumbuh. (iii) Kuadran (III) : PDRB per kapita tinggi, tetapi pertumbuhan ekonomi rendah, disebut kabupaten/kota yang maju tapi tertekan. (iv) Kuadran (IV) : PDRB per kapita rendah, dan pertumbuhan ekonomi rendah, disebut kabupaten/kota yang relatif tertinggal. Pengelompokan tersebut akan memperlihatkan pola perkembangan perekonomian kabupaten/kota di Jawa Barat. Untuk melihat pergeseran pola perekonomian kabupaten/kota, berikut ini ditampilkan gambar perbandingan pola perekonomian pada awal penelitian yaitu tahun 1997 dan perkembangannya pada tahun Kab/Kota Berkembang Gambar 9 Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar berdasarkan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1997.

8 47 Kab/Kota Berkembang Kab/Kota Maju dan Tumbuh Kab/Kota Maju tapi tertekan Kab/Kota relatif tertinggal Gambar 10 Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar berdasarkan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun Dari gambar di atas menunjukan selama proses pembangunan ekonomi terdapat beberapa kabupaten/kota yang mengalami kemajuan, walupun ada yang tetap pada kondisi sebelumnya bahkan adapula yang bergeser menjadi kabupaten/kota yang tertinggal di banding kabupaten/kota lainnya. Secara singkat kabupaten/kota yang mengalami pergeseran ditampilkan dalam tabel berikut. Tabel 8 Pergeseran Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar (perbandingan Tahun 1997 dengan 2006) No Kabupaten/Kota Kab Cianjur tertekan tertinggal 2 Kab Bandung maju berkembang 3 Kab Cirebon tertinggal berkembang 4 Kab Majalengka berkembang tertinggal 5 Kab Indramayu tertinggal berkembang 6 Kab Purwakarta tertinggal tertekan 7 Kab Karawang berkembang maju 8 Kota Sukabumi tertekan berkembang Fakta tersebut menunjukan pencapaian perekonomian antar kabupaten/kota sebagai hasil proses pembangunan terjadi perbedaan. Perbedaan tersebut dilihat dari sudut pandang pencapaian PDRB memperlihatkan adanya kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten/kota, adanya pemekaran wilayah, dan perbedaan kemampuan tiap kabupaten/kota

9 48 dalam memaksimalkan sumber daya yang dimiliki sehingga mempengaruhi kontribusi PDRB. Kebijakan pembangunan pemerintah daerah pun turut mempengaruhi kearah mana fokus perekonomian akan dicapai, apakah mengutamakan pertumbuhan melalui peningkatan pendapatan secara terusmenerus atau pemerataan perekonomian bagi masyarakatnya. Salah satu tolok ukurnya dapat dilihat dari alokasi jenis pengeluaran pembangunan pemerintah daerah. Secara umum di Provinsi Jawa Barat telah terjadi pemusatan-pemusatan aktivitas ekonomi di beberapa kabupaten/kota sebagaimana hasil analisis indeks theil sebelumnya. Dalam rangka proses konvergensi suatu kabupaten/kota, maka perlu diketahui kabupaten/kota terdekat mana yang mempunyai pendapatan dan pertumbuhan yang tinggi dan relatif stabil dari tahun ke tahun. Untuk itu berdasarkan rata-rata PDRB perkapita dan rata-rata pertumbuhan ekonomi selama pemetaan kabupaten/kota dapat dikelompokan dalam gambar berikut ini. Kab/Kota Berkembang Kab/Kota Maju & Tumbuh Kab/Kota Relatif Tertinggal Kab Sukabumi Kab/Kota Maju Tapi Tertekan Gambar 11 Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar Tahun Dari gambar 11 kiranya Pemerintah Daerah dapat memetakan langkah untuk dapat menjadi kabupaten/kota pendukung dari kabupaten/kota yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yaitu kabupaten/kota kelompok yang berkembang pesat, cepat maju dan cepat tumbuh. Pada Bakorwil Purwakarta,

10 49 Kabupaten Purwakarta mempunyai pola ekonomi yang maju tapi tertekan. Kabupaten Purwakarta di kelilingi oleh Kabupaten/Kota yang mempunyai pola ekonomi yang berkembang, cepat maju dan cepat tumbuh seperti Kabupaten dan Kota Bekasi, Kabupaten Karawang, dan Subang. Pemda Kabupaten Purwakarta dapat mengarahkan alternatif proses konvergensi perekonomiannya pada keempat kabupaten/kota tersebut untuk menuju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan dengan terus membuka kesempatan kerja melalui pembukaan investasi baru. Keistimewaan pada kelompok Bakorwil ini adalah hampir semua kabupaten/kota telah mempunyai pendapatan yang tinggi karena lokasinya sebagai penyangga DKI Jakarta. Kabupaten Sukabumi dan Cianjur termasuk daerah yang relatif tertinggal dalam hal pertumbuhan ekonomi dan pendapatannya dibanding dengan Kabupaten/Kota Bogor, Kota Sukabumi, dan Kota Depok yang termasuk dalam kelompok Bakorwil Bogor. Untuk itu kebijakan Pemda dan Bakorwil ini diarahkan menuju Kota Bogor, Sukabumi, Depok, dan Kabupaten Bogor. Pemerintah Daerah yang tergabung dalam Bakorwil Cirebon dan Priangan seyogyanya dapat menjadikan Kota Cirebon dan Kabupaten/Kota Bandung sebagai Barometer dalam rangka mengejar ketertinggalannya. Dimana Kabupaten dan Kota Bandung serta Kota Cirebon mempunyai pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yang tinggi dan menjadi pusat aktivitas perekonomian dalam kedua Bakorwil tersebut Model Estimasi Tingkat Disparitas Pendapatan antar Kabupaten/Kota Terhadap data panel yang telah dikumpulkan, selanjutnya dilakukan pengolahan dan pengujian model regresi data panel. Hasil uji dan pendugaan parameter model regresi data panel adalah keluaran dari software Eviews Uji Stasioneri Data Uji ini dilakukan dengan menggunakan uji akar unit guna mengetahui pada derajat ke berapa data yang digunakan stasioner. Penelitian ini menggunakan uji akar-akar unit yang dikembangkan oleh Dickey-Fuller dan Philips Perron (PP) yang dijalankan dengan menggunakan Software Eviews 5. Dalam uji ini apabila nilai hitung mutlak PP lebih kecil daripada nilai kritis mutlak (pada α=10%), maka variabel tersebut tidak stasioner, sebaliknya jika nilai hitung mutlak PP lebih besar daripada nilai kritis mutlak, maka variabel tersebut stasioner. Penentuan stasioner atau tidaknya data dalam pengujian ini dapat juga dilihat dari nilai probabilitasnya, dimana data stasioner pada nilai

11 probabilitas yang lebih kecil dari 0,10 (10%). Untuk menjadikan data tidak stasioner ke stasioner maka dilakukan diferensi data Uji Pemilihan Model, Uji Serentak (uji F), dan Uji Individual (Uji t) Uji pemilihan model menunjukan nilai χ 2 hitung lebih besar dari χ 2 tabel pada α=10% dan df=4, yaitu 91,29 > 7,78. Sehingga model yang digunakan untuk mengestimasi disparitas pendapatan antar kabupaten/kota dalam kajian ini adalah model fixed effect. Pengujian secara individual dimaksudkan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel inflasi, pengeluaran pembangunan pemerintah daerah, dan investasi swasta berpengaruh secara nyata terhadap variabel kesenjangan pendapatan atau disparitas pendapatan antar kabupaten/kota. Dari Tabel 8 di bawah ini menunjukan bahwa variabel inflasi dan investasi swasta tidak secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota, dan variabel pengeluaran pembangunan pemerintah secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota, yang ditunjukan oleh t hitung yang lebih besar daripada t tabel dan nilai probabilitas yang lebih kecil daripada 0,10. Hal ini memperkuat uji serempak 50 terhadap model regresi yaitu nilai Probabilitas F-Statistic jauh lebih kecil dari 0,10, yang menunjukan bahwa variabel inflasi, pengeluaran pembangunan pemerintah, dan investasi swasta secara bersama-sama mempengaruhi variabel Kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota. Tabel 9 Hasil Uji Secara Individual (uji t) Variabel t hitung t tabel Prob. Kesimpulan Keterangan Inflasi 0,699 1,72 0,485 terima H 0 Pengel. Pemb. Pemda Investasi Swasta 5,75 1,72 0,000 tolak H 0 1,09 1,72 0,276 terima H 0 F-statistic Prob. (F-statistisc) 12,49 0,000 Keterangan: t tabel = (10%, degree of freedom) = (10%, n-k) = (10%, 25-4) Tidak Secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan Secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan Tidak secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan Variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen

12 Interpretasi Model Regresi Intepretasi hasil model regresi menggunakan pendekatan fixed effect. Pendekatan Fixed effect adalah suatu teknik yang dapat menunjukan perbedaan konstan/intercep antar kabupaten/kota, meskipun dengan koefisien regresor/slope koefisien yang sama atau tetap. Hasil perhitungan dengan program Eviews memberikan hasil dan penjelasan sebagai berikut: Tabel 10 Hasil Pendugaan Parameter Model Disparitas Variabel Bebas Notasi Koefisien Probabilitas Intercept β 0 0,1520 0,0000 Inflasi β 1 0,0008 0,4850 Pengel. Pemb. Pemda β 2 0,0244 0,0000 Investasi Swasta β 3 0,0012 0,2763 F - Statistic 12,49 ANOVA Prob (F-Statistic) 0,000 R² 0,645 (hasil selengkapnya pada halaman lampiran 7) Sehingga bentuk umum persamaan dari model Kesenjangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Jawa Barat adalah: Disparitas it =0,152+0,0008inflasi it +0,0244LnPemb it +0,0012Lninvestasi it +D it Koefisien determinasi (R Square atau R 2 ) mencapai 0,645, menunjukan bahwa sekitar 64,5% variasi disparitas pendapatan dapat dijelaskan oleh variasi inflasi, pengeluaran pembangunan Pemda, dan investasi swasta. Sedangkan, 35,5% variasi disparitas pendapatan yang dapat dijelaskan oleh faktor lain (error term). Koefisien regresi inflasi, pengeluaran pembangunan pemerintah, dan investasi menunjukan bahwa ketiga variabel bebas atau variabel penjelas tersebut ternyata memiliki hubungan positif dengan disparitas pendapatan antar kabupaten/kota. Dimana, peningkatan dari tiap variabel penjelas tersebut dapat menaikan disparitas pendapatan. Hubungan positif dari masing-masing koefisien tersebut, yaitu: setiap kenaikan 1% inflasi akan menaikan disparitas pendapatan antar kabupaten/kota sebesar 0,0008 dengan asumsi variabel lain ceteris paribus, bila terjadi kenaikan 1% pengeluaran pembangunan pemerintah daerah maka akan menaikan disparitas sebesar 0,0244 diasumsikan variabel lain ceteris paribus, dan kenaikan 1% investasi swasta akan menaikan disparitas pendapatan sebesar 0,0012 dengan asumsi variabel lain ceteris paribus.

13 52 Dalam rangka merumuskan startegi dan program yang akan diusulkan berdasarkan hasil-hasil pendalaman terhadap data-data kajian, maka perlu dilihat apakah strategi dan program seyogyanya diimplementasikan oleh setiap kabupaten/kota dengan pendekatan dimensi spasial atau cukup diimplementasikan berdasarkan pengelompokan Bakorwil dan pola perekonomian berdasarkan pengkuadranan sebelumnya. Tabel 11 adalah perbandingan nilai probabilitas hasil perhitungan eviews berdasarkan kelompok wilayah. Tabel 11 Perbandingan Nilai Probabilitas Pendugaan Parameter Berdasarkan Kelompok Bakorwil dan Pola Perekonomian Variabel Bebas Kelompok Bakorwil Kelompok Pola Perekonomian Pwt Bgr Prn Crb Mju Kmb Tkn Tgl Inflasi 0,0884 0,0165 0,3472 0,0075 0,0089 0,9001 0,2385 0,1520 Pengel. Pemb. 0,2257 0,2608 0,4933 0,6591 0,3480 0,9374 0,7704 0,3115 Investasi Swasta 0,5526 0,2999 0,4035 0,7242 0,1498 0,5804 0,6503 0,9593 (hasil selengkapnya pada halaman lampiran 7) Dari nilai probabilitas tersebut diketahui bahwa hanya variabel inflasi yang berpengaruh nyata terhadap pengelompokan berdasarkan karakteristik wilayah, itu pun hanya pada Bakorwil Purwakarta, Bogor, Cirebon, dan Kabupaten/Kota Maju. Konsentrasi strategi yang berkaitan dengan inflasi patut mendapat perhatian pada kelompok-kelompok ini. Namun, karena inflasi adalah perubahan tingkat harga yang juga dipengaruhi oleh harga-harga pada masing-masing kabupaten/kota yang antara lain terkait dengan kesediaan pasokan barang dan kebijakan pemerintah daerah, maka hendaknya semua kabupaten/kota bahumembahu melakukan strategi yang terkait dengan inflasi. Dimensi spasial yang terkait dengan strategi inflasi adalah melihat kedekatan lokasi kabupaten/kota dengan Kantor Bank Indonesia (KBI) yang ada di Jawa Barat, yaitu : KBI Tasikmalaya, KBI Cirebon, dan KBI Bandung. Dapat ditentukan bahwa setelah dilakukan penelitian terhadap karakteristik wilayah Bakorwil dan pola perekonomian dilihat dari probabilitas variabel bebas kajian, maka tidak terdapat pengaruh spesifik apabila strategi dan program dilakukan secara parsial pada kelompok-kelompok tersebut. Untuk itu analisis yang digunakan dalam rangka perumusan strategi dan program adalah pada hasil uji parameter sebelumnya yang mengarah pada aplikasi strategi dan

14 53 program terhadap seluruh kabupaten/kota dengan pendekatan dimensi spasial menuju proses konvergensi agar kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota makin memudar. Masing-masing kabupaten/kota di Jawa Barat dapat mengaplikasikan rumusan startegi dan program melalui upaya koordinasi dan kerja sama dengan kabupaten/kota tetangganya. 5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Perekonomian Regional (Kabupaten/Kota di Jawa Barat) Inflasi Regional Tanda positif pada koefisien variabel bebas inflasi hasil regresi menunjukan bahwa terjadi hubungan positif antara harga-harga dengan kondisi ekonomi makro kabupaten/kota yang dalam hal ini terkait erat dengan PDRB kabupaten/kota tersebut. Pada tahun-tahun krisis ekonomi melanda, inflasi yang tinggi memiliki efek negatif bagi perekonomian sebab inflasi tersebut akan mengganggu mobilisasi dana domestik dan tingkat investasi kabupaten/kota. Prospek pembangunan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Barat akan memburuk jika terjadi inflasi yang tinggi dan tidak dikendalikan, sebab akan mengurangi investasi produktif, mengurangi ekspor dan menaikan impor barang sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi. Secara umum rumah tangga dan perusahaan akan memiliki kinerja yang buruk ketika terjadi inflasi yang tinggi dan tidak dapat diprediksi. Inflasi mempengaruhi upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari perbedaan pencapaian pendapatan (PDRB) tiap kabupaten/kota. Pengaruh inflasi yang tidak nyata terhadap kesenjangan pendapatan memperlihatkan peranan inflasi di Jawa Barat yang bergerak lambat, sehingga menjadi stimulator dan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu jika terjadi kenaikan harga-harga maka tidak segera diikuti oleh kenaikan sektor lain seperti upah, sewa, dan lain-lain, sehingga akan menambah keuntungan pada kegiatan usaha. Pertambahan keuntungan akan mendorong investasi yang pada tahap berikutnya akan memberikan tambahan pada upah/sewa dan mewujudkan percepatan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota. Dari telaahan terhadap data inflasi, selama periode rata-rata inflasi Jabar adalah 12,7% dengan rata-rata laju peningkatan 0,81 per tahun. Kabupaten/kota yang mempunyai rata-rata laju peningkatan inflasi yang tertinggi adalah Kota Banjar 3,75% dan yang terendah adalah Kota Cirebon 0,03%.

15 54 Secara lokasi Kota Banjar mempunyai kendala aksesibilitas yang mempengaruhi kemudahan dan ketersediaan pemenuhan kebutuhan, secara dimensi spasial jarak Kota Banjar relatif jauh dengan Kabupaten/Kota pusat aktivitas ekonomi (misalnya: Bandung dan Cirebon). Pemenuhan permintaan atas barang dan jasa sangat mempengaruhi laju inflasi suatu kabupaten/kota. Ketersediaan barang dan jasa didukung oleh adanya sarana infastruktur dan perhubungan yang cukup serta berjalannya proses produksi. Mengingat bahwa inflasi adalah sesuatu yang Mudah berubah-ubah sesuai kondisi maka tetap perlu adanya upaya pengendalian inflasi kabupaten/kota di Jawa Barat agar tetap bergerak lambat. Dari hasil studi kepustakaan terhadap laporan Bank Indonesia Bandung (2005), peningkatan inflasi yang sangat tajam terjadi pada tahun 1998 sebagai akibat terjadinya krisis ekonomi. Pada tahun 2005 kenaikan inflasi yang cukup tinggi dipengaruhi oleh kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan, sebagai akibat kenaikan harga BBM yang tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selanjutnya, selama tahun inflasi kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau serta kelompok bahan makanan merupakan tertinggi kedua dan ketiga. Hal tersebut merupakan hal yang wajar karena bahan makanan dan makanan jadi adalah kebutuhan primer masyarakat. Kelompok berikutnya yang merupakan bagian dalam pembentukan inflasi di Jawa Barat secara berurutan adalah kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan, kelompok pendidikan,kelompok sandang, dan kelompok kesehatan. Gambar 12 adalah tren laju inflasi beberapa kabupaten/kota yang mewakili Bakorwil. Terjadi pola yang sama pada tahun 1998 dan Inflasi (%) Sumber: BPS Pusat, diolah. Gambar 12 Tren laju Inflasi beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun

16 55 Salah satu karakteristik utama perkembangan inflasi regional Jawa Barat adalah besarnya faktor musiman, seperti: masa panen raya, tahun ajaran baru, dan hari raya keagamaan. Faktor tersebut mempunyai pengaruh terhadap pergerakan harga. Faktor musiman tersebut adalah: (i) Periode setelah musim panen raya padi yang menyebabkan pasokan beras meningkat, selalu diikuti dengan penurunan harga beras. Karena tingginya nilai konsumsi beras terhadap total konsumsi masyarakat, maka perkembangan harga sangat sensitif terhadap fluktuasi harga beras. Masa panen raya di Jawa Barat terjadi dua kali dalam setahun, yaitu yang pertama pada sekitar bulan Maret-April (musim panen rendeng), sementara masa panen kedua yang tidak sebesar panen pertama terjadi pada bulan Juli- Agustus (musim panen gadu). Pada kedua periode tersebut terlihat bahwa inflasi kelompok bahan makanan dan inflasi secara umum di Jawa Barat relatif rendah. Namun, jadwal panen tersebut dapat berubah karena perubahan pergantian musim. Contohnya, pada tahun 2003, musim panen rendeng yang seharusnya Februari-Maret 2003 mundur menjadi April-Mei 2003, yang selanjutnya akan mempengaruhi musim tanam selanjutnya (musim tanam gadu). (ii) Masa tahun ajaran baru, yaitu mulai pertengahan tahun hingga bulan September setiap tahunnya, inflasi kelompok pendidikan mengalami inflasi tertinggi di Jawa Barat. Pada periode tersebut, lembaga-lembaga pendidikan menetapkan tarif baru sehingga mendorong terjadinya inflasi kelompok pendidikan. Di samping itu, tahun ajaran baru juga mendorong inflasi kelompok sandang, karena meningkatnya permintaan terhadap pakaian seragam sekolah. (iii) Faktor musiman yang paling besar pengaruhnya terhadap inflasi adalah hari raya keagamaan, khususnya hari raya Idul Fitri, natal, dan tahun baru. Laju inflasi menunjukkan peningkatan signifikan pada masa menjelang Idul Fitri (Bulan Ramadhan) hingga sekitar sebulan setelahnya, karena kenaikan harga terjadi pada berbagai komoditas, terutama pada kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi, dan kelompok sandang. (iv) Faktor musiman lainnya yang cukup besar terhadap inflasi di Jawa Barat, di samping hari raya adalah musim liburan, khususnya liburan sekolah. Karena lokasi geografis Jawa Barat yang berdekatan dengan Jakarta dan merupakan daerah perlintasan dari wilayah Jawa bagian timur menuju Jakarta, masa

17 56 liburan mendorong tingkat kunjungan wisatawan domestik ke Jawa Barat, khususnya Kota Bandung (paling besar dalam pembentukan inflasi di Jawa Barat). Tujuan kunjungan sebagian besar wisatawan tersebut adalah wisata kuliner (berbelanja makanan) dan fashion (berbelanja di factory outlet) serta wisata alam. Hal tersebut meningkatkan permintaan semu (semu, karena banyak didorong oleh permintaan masyarakat luar Bandung) terhadap beberapa jenis barang dan jasa, seperti makanan jadi, sandang, dan jasa transportasi. Faktor lain yang cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan inflasi di Jawa Barat adalah faktor ekspektasi pelaku ekonomi, baik produsen, pedagang, maupun konsumen. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia Bandung bekerja sama dengan ISEI Cabang Bandung, ekspektasi inflasi membentuk 50-75% inflasi di Jawa Barat. Isu/rumor yang berkembang di masyarakat cukup berpengaruh membentuk perilaku atau respon masyarakat terhadap harga. Pengalaman menunjukkan bahwa jika beredar informasi tentang rencana pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM (menaikkan harga BBM) dan gaji pegawai pada beberapa bulan yang akan datang, produsen dan pedagang menaikkan harga barang lebih awal sebelum kebijakan diberlakukan. Sebagai contoh kejadian kenaikan harga jual eceran rokok pada bulan Maret 2006, padahal kenaikan tersebut diresmikan pemerintah baru pada bulan April Sementara itu, dampak ekspektasi terhadap perilaku konsumen justru menyebabkan terjadinya kenaikan harga. Contohnya pada saat beredarnya isu kelangkaan suatu barang, seperti minyak tanah pada tahun 2007 terkait dengan program konversi minyak tanah ke gas, masyarakat beramai-ramai memborong barang tersebut karena khawatir tidak dapat memperoleh barang tersebut sama sekali pada saatnya nanti. Sehingga pada akhirnya justru perilaku konsumen itu yang menyebabkan terjadinya kelangkaan dan naiknya harga barang Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Pengeluaran pembangunan dalam penelitian ini memiliki efek posistif dan secara nyata mempengaruhi tingkat disparitas pendapatan. Pengaruh signifikan tersebut menunjukan bahwa pengeluaran Pemda merupakan pencipta kestabilan dan implementasi instrumen kebijakan fiskal. Pengeluaran pembangunan pemerintah menjadi pendorong pembangunan kabupaten/kota dan mempunyai efek pada peningkatan penanaman modal swasta di kabupaten/kota yang

18 57 bersangkutan dan terpenuhinya pasokan kebutuhan pokok masyarakat. Dengan adanya penstabil otomatis maka dapat mengurangi konjungtur perekonomian. Demikian halnya dengan kondisi disparitas pendapatan yang terjadi pada perekonomian antar kabupaten/kota di Jawa Barat, di mana dengan pengeluaran pembangunan akan berpengaruh menciptakan kestabilan melalui kegiatan yang diperuntukkan menciptakan infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti: pembangunan/pemeliharaan jalan, jembatan, rumah sakit, Puskesmas, dan sekolahan, guna memberikan akses dan dukungan peningkatan perekonomian. Pengeluaran pembangunan pemerintah mempunyai peran yang penting dalam pembangunan perekonomian. Pengeluaran yang tidak efisien tidak akan memperbaiki produktivitas perekonomian suatu kabupaten/kota. Secara persentase rerata proporsi pengeluaran pembangunan pemerintah daerah terhadap PDRB kabupaten/kota di Jawa Barat selama periode menunjukan angka yang bervariasi dan kontribusi yang relatif masih rendah terhadap PDRB. Gambar 13 memperlihatkan rata-rata proporsi pengeluaran pembangunan pemerintah daerah kabupaten/kota periode Proporsi pengeluaran tersebut adalah terhadap PDRB masing-masing kabupaten/kota. Terlihat bahwa proporsi pengeluaran pembangunan pemerintah daerah masih relatif kecil, yaitu mempunyai rerata antara 0,22% (Kota Cimahi) sampai dengan 1,75% (Kota Sukabumi) serta rata-rata keseluruhan sebesar 0,78%. Sumber: Statistika Keuangan Pemda Kab/Kota, BPS.Diolah Gambar 13 Rata-rata Proporsi Pengeluaran Pembangunan terhadap PDRB Pemda Kab/Kota di Jawa Barat Periode

19 58 Kondisi APBD saat ini menunjukan masih lemahnya komitmen dan kemampuan kabupaten/kota dalam menggerakkan sektor-sektor yang menyentuh kebutuhan dan pengembangan ekonomi rakyat. Belum banyak sumber daya yang dimiliki kabupaten/kota untuk menciptakan program-program yang dapat menggerakkan perekonomian rakyat tanpa menunggu programprogram Pemerintah Pusat. Kabupaten/kota di Jawa Barat rata-rata mengalokasikan anggarannya 69% untuk belanja rutin. Dalam belanja rutin dominan digunakan untuk belanja pegawai yang berkaitan dengan upaya pelayanan jasa publik yang tidak secara langsung memberikan pengaruh pada kinerja perekonomian rakyat. Belanja pembangunan menghadapi masalah kurangnya alokasi sehingga belum maksimal mendorong upaya memacu pertumbuhan ekonomi. Kelompok belanja pembangunan menurut bidang antara tahun , menunjukkan bahwa proporsi alokasi Kabupaten/Kota yang paling menonjol adalah pada bidang suprastruktur, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang bertujuan untuk pembangunan, pengembangan dan bersifat investasi. Bidang suprastruktur terkait dengan ketersediaan peraturan-peraturan yang menjadi pedoman dalam melaksanakan proses pembangunan. Gambar 14 menunjukan rata-rata persentase alokasi belanja pembangunan di Jawa Barat tahun Gambar 14 Rata-rata Persentase Belanja Pembangunan Menurut Kelompok Bidang dari Total Alokasi Belanja Pembangunan di Jawa Barat (%).

20 59 Dari data dalam periode kajian, dalam anggaran pembangunan pemerintah daerah kabupaten/kota terdapat alokasi belanja aparatur pemerintah dan pengawasan rata-rata sebesar 15% dari total belanja pembangunan pemerintah kabupaten/kota. Belanja pembangunan ini berdasarkan penggunaanya adalah untuk membiayai kegiatan administrasi didalam pemerintahan sendiri dan tidak menyentuh kepada belanja yang bersifat penciptaan infrastruktur daerah, penyerapan tenaga kerja (padat karya) dan pengembangan sektor-sektor lapangan usaha. Untuk itu perlu diupayakan agar Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat merealokasi anggaran pembangunan dari bidang di luar pendidikan dan kesehatan ke sektor pembangunan infrastruktur dalam rangka memperbaiki akses bagi masyarakat hingga akhirnya berkontribusi positif meningkatkan pendapatan kabupaten/kota. Realokasi anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur akan menciptakan anggaran yang pro-poor, salah satunya dapat ditempuh dengan merealokasi belanja aparatur pemerintah dan pengawasan Investasi Swasta Variabel penjelas tingkat investasi swasta mempunyai koefisien regresi yang bertanda positif terhadap tingkat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jabar. Data investasi tahun pada halaman lampiran 5 menunjukan adanya konsentrasi penanaman modal pada kabupaten/kota tertentu. Kinerja investasi yang terdistribusi dengan baik selayaknya mampu menaikan tingkat pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota, sehingga mengurangi kesenjangan/disparitas pendapatan antar kabupaten/kota. Sejumlah faktor yang sangat berpengaruh terhadap iklim investasi di Kabupaten/Kota di Jawa Barat, yaitu: stabilitas politik dan sosial, stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan, pasar tenaga kerja, dan regulasi, serta masalah good governance yang semuanya memerlukan dukungan pembiayaan pemerintah melalui pos pengeluaran pemerintah dalam APBD. Dari data investasi kabupaten/kota di Jawa Barat, nampak jelas bahwa kabupaten/kota yang mempunyai kesiapan infrastruktur dan kondisi yang kondusif menjadi minat para investor. Data investasi dalam halaman lampiran 3 menunjukan tingginya nilai investasi swasta di Kabupaten dan Kota Bekasi,

21 60 Kabupaten Karawang, Kabupaten Bogor, Kabupaten dan Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta, dan Kota Cirebon. Sehingga terjadi pemusatan kegiatan ekonomi pada Kabupaten dan Kota tersebut dengan kondisi faktor pendukung investasi yang lebih siap dan lebih diuntungkan secara lokasi di banding kabupaten/kota lain di Jawa Barat. Melihat data penggunaan lahan di Jawa Barat menunjukan bahwa sebagian besar lahan di Jawa Barat digunakan untuk perkebunan campuran dan persawahan. Data tenaga kerja menunjukan bahwa sektor ini menyerap tenaga kerja paling tinggi yaitu sekitar 27%. Nampak bahwa sektor pertanian menjadi dominan di Jawa Barat namun belum dikembangkan bila dilihat dari kontribusinya pada PDRB. Sebagai upaya peningkatan perekonomian kabupaten/kota, dan berjalannya perekonomian rakyat maka investasi selayaknya diarahkan pada sektor ini guna peningkatan produksi, kelancaran distribusi hasil, dan pengawasan harga yang layak ditingkat petani. Tabel 12 adalah penggunaan lahan di Jawa Barat yang didominasi oleh perkebunan campuran dan persawahan. Tabel 12 Penggunaan Lahan di Jawa Barat Tahun 2006 Guna Lahan Luas (ha) % Hutan Primer ,68 8,66 Hutan Sekunder ,68 7,27 Kawasan Industri ,21 0,43 Kawasan Pertambangan 3.350,92 0,09 Kebun Campuran ,72 22,89 Tegalan ,51 9,93 Padang Ilalang ,61 3,46 Perkebunan ,43 17,41 Pemukiman ,75 4,81 Sawah ,90 20,27 Semak ,10 1,44 Sungai, Waduk, dll ,48 1,48 Tambak ,09 1,39 Tanah Kosong ,20 0,47 Jumlah ,28 100,00 Melihat bahwa estimasi yang dilakukan berdasarkan karakteristik kelompok wilayah Bakorwil tidak memberikan pengaruh yang spesifik maka perumusan strategi dan program terhadap peranan variabel-variabel di atas

22 61 mengarah pada proses konvergensi-dimana daerah yang memiliki perekonomian rendah berusaha untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah yang sudah maju-dengan fokus kerjasama antar kabupaten/kota tetangga terdekat berorientasi pada kabupaten/kota yang berkembang, tumbuh, dan maju. Melalui proses pembangunan dalam jangka panjang, maka ketika tercapai tingkat pendapatan yang setara oleh semua kabupaten/kota dengan sendirinya kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota akan memudar.

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT 5.1 Analisis Model Regresi Data Panel Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Penghitungan kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota di Provinsi

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8% VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 16 menunjukkan bahwa model yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 41 BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penghitungan Indeks Williamson Untuk melihat ketimpangan PDRB per kapita antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat digunakan alat analisis Indeks Williamson.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang 56 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN A. Letak Wilayah dan Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 Lintang selatan dan 104 48-108 48 Bujur Timur, dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk melakukan kegiatan ekonomi di dalamnya. Kota Bandung juga memiliki jumlah penduduk yang banyak,

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data).

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 31 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 3.2 Metode Analisis Data 3.2.1 Analisis Weighted

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN KABUPATEN MAJALENGKA

BAB I GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN KABUPATEN MAJALENGKA BAB I GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN KABUPATEN MAJALENGKA 1.1. Pertumbuhan Ekonomi PDRB Kabupaten Majalengka pada tahun 2010 atas dasar harga berlaku mencapai angka Rp 10,157 triliun, sementara pada tahun

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomi daerah

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA

KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA KONDISI EKONOMI a. Potensi Unggulan Daerah Sebagian besar pusat bisnis, pusat perdagangan dan jasa, dan pusat industri di Priangan Timur berada di Kota Tasikmalaya. Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pembangunan diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Pembangunan yang dilaksanakan melalui serangkaian program dan kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa 72 V. PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR 9 BAB 2 TINJAUAN LITERATUR 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi menurut Profesor Simon Kuznets adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran 2011 disusun berdasarkan ketentuan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya beli masyarakat berkaitan erat dengan pendapatan perkapita, Sedangkan pendapatan perkapita dipengaruhi oleh penyediaan lapangan kerja dan distribusi pendapatan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah

Lebih terperinci

STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT KAHFI HERIYANTO

STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT KAHFI HERIYANTO STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT KAHFI HERIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 Januari 2013 Kinerja Ekonomi Daerah Cukup Kuat, Inflasi Daerah Terkendali Ditengah perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Provinsi Jawa Barat Kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat berjumlah 26 kabupaten/kota yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota dengan 625 kecamatan dan 5.877 desa/kelurahan. Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1996 dan puncaknya pada tahun 1997 mendorong pemerintah pusat mendelegasikan sebagian wewenang dalam hal pengelolaan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 53/08/35/Th. X, 6 Agustus 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Semester I Tahun 2012 mencapai 7,20 persen Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Rezky Fatma Dewi Mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan Fak. Ekonomi dan Bisnis Universitas Jambi Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah daratan 3.710.061,32 hektar, dan Jawa Barat menduduki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kelemahan strategi pembangunan ekonomi di masa lalu dan krisis ekonomi yang berkepanjangan, telah menimbulkan berbagai persoalan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah.

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah. Sektor pertanian sampai

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 72/11/35/Th. X, 5 November 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN III-2012 Ekonomi Jawa Timur Triwulan III Tahun 2012 (y-on-y) mencapai 7,24 persen

Lebih terperinci

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 15/02/32/Th.XVII, 16 Februari 2014 TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 Pendataan Potensi Desa (Podes) dilaksanakan 3 kali dalam 10 tahun. Berdasarkan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 No. 06/02/62/Th. VI, 6 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah tahun 2011 (kumulatif tw I s/d IV) sebesar 6,74 persen.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian suatu negara dapat ditinjau dari variabelvariabel makroekonomi yang mampu melihat perekonomian dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Variabelvariabel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten induknya yaitu Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi ke

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten induknya yaitu Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi ke BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode tahun 2001-2008 yang mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Hasil Uji Asumsi Klasik Untuk menghasilkan hasil penelitian yang baik, pada metode regresi diperlukan adanya uji asumsi klasik untuk mengetahui apakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

PUBLIKASI KINERJA SERETARIAT DAERAH TAHUN 2016

PUBLIKASI KINERJA SERETARIAT DAERAH TAHUN 2016 PUBLIKASI KINERJA SERETARIAT DAERAH TAHUN 2016 PENGENDALIAN INFLASI DI KABUPATEN BOGOR Latar Belakang Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus 1.

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL

BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL Tren melambatnya perekonomian regional masih terus berlangsung hingga triwulan III-2010. Ekonomi triwulan III-2010 tumbuh 5,71% (y.o.y) lebih rendah dibandingkan triwulan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) yang didapatkan dari perhitungan setiap kabupaten/kota di Jawa Barat pada tahu 2015 dibawah ini

Lebih terperinci

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI...... i 1. GEOGRAFI Tabel : 1.01 Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat Dan Kabupaten/Kota... 1 Tabel : 1.02 Jumlah Kecamatan Dan Desa Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011... 2 2. KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014

No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014 No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2013 Secara triwulanan, PDRB Kalimantan Selatan triwulan IV-2013 menurun dibandingkan dengan triwulan III-2013 (q-to-q)

Lebih terperinci

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012)

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012) 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pariwisata adalah salah satu sektor penting yang bisa menunjang pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, mendorong pemerataan pembangunan nasional dan mempercepat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 71 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan dan Tingkat Perkembangan Wilayah Adanya ketimpangan (disparitas) pembangunan antarwilayah di Indonesia salah satunya ditandai dengan adanya wilayah-wilayah

Lebih terperinci

Kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif dibanding triwulan sebelumnya terutama pada komoditas batubara

Kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif dibanding triwulan sebelumnya terutama pada komoditas batubara No. 063/11/63/Th.XVII, 6 November 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN III-2013 Secara umum pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan triwulan III-2013 terjadi perlambatan. Kontribusi terbesar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA BARAT 2014

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA BARAT 2014 OUTLINE ANALISIS PROVINSI 1. Perkembangan Indikator Utama 1.1 Pertumbuhan Ekonomi 1.2 Pengurangan Pengangguran 1.3 Pengurangan Kemiskinan 2. Kinerja Pembangunan Kota/ Kabupaten 2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Disparitas perekonomian antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Disparitas ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 I. REALISASI INVESTASI PMA & PMDN 1. Total Realisasi Investasi PMA dan PMDN berdasarkan Laporan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT

4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT 4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT 4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian 4.1.1 Kondisi Geografi Aspek-aspek geografis yang meliputi posisi, susunan keruangan dan lokasi sangat menentukan langkah-langkah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016 EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016 ISSUE PEMBANGUNAN KOTA PERTUMBUHAN EKONOMI INFLASI PENGANGGURAN

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH Penetapan indikator kinerja daerah bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada mulanya pembangunan selalu diidentikkan dengan upaya peningkatan pendapatan per kapita atau populer disebut sebagai strategi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010:

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan, I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh setiap negara di dunia. Sektor pertanian salah satu sektor lapangan usaha yang selalu diindentikan dengan kemiskinan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai perusahaan penyedia listrik milik pemerintah di tanah air, PT.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai perusahaan penyedia listrik milik pemerintah di tanah air, PT. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sebagai perusahaan penyedia listrik milik pemerintah di tanah air, PT. (Persero) Perusahaan Listrik Negara (PLN) berusaha untuk terus meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

KINERJA PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN II 2014

KINERJA PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN II 2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 46/08/73/Th. VIII, 5 Agustus 2014 KINERJA PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN II 2014 Perekonomian Sulawesi Selatan pada triwulan II tahun 2014 yang dihitung berdasarkan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 No. 64/11/32/Th. XIX, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Agustus 2017 : Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007 SEBESAR 4,89 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007 SEBESAR 4,89 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007 SEBESAR 4,89 PERSEN No. 09/06/34/Th. IX, 4 Juni 2007 Pertumbuhan ekonomi Provinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena

Lebih terperinci

BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN

BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN BAB 5 SISTEM PEMBAYARAN BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN Transaksi sistem pembayaran tunai di Gorontalo pada triwulan I-2011 diwarnai oleh net inflow dan peningkatan persediaan uang layak edar. Sementara itu,

Lebih terperinci