HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK LOKASI PEMASANGAN CAMERA-VIDEO TRAP

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK LOKASI PEMASANGAN CAMERA-VIDEO TRAP"

Transkripsi

1 HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK LOKASI PEMASANGAN CAMERA-VIDEO TRAP DENGAN KEBERHASILAN PEREKAMAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON INTANNIA EKANASTY DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara Karakteristik Lokasi Pemasangan Camera-Video Trap dengan Keberhasilan Perekaman Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Intannia Ekanasty NIM E

4 ABSTRAK INTANNIA EKANASTY. Hubungan antara Karakteristik Lokasi Pemasangan Camera-Video Trap dengan Keberhasilan Perekaman Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan U. MAMAT RAHMAT. Inventarisasi populasi badak jawa dilakukan secara kontinyu dan telah berkembang dengan menggunakan camera-video trap karena inventarisasi sulit dilakukan secara langsung oleh manusia terkait perilaku badak jawa yang sangat sensitif terhadap keberadaan manusia. Terdapat permasalahan dalam inventarisasi badak jawa dengan menggunakan camera-video trap, yaitu tidak semua cameravideo trap efektif dalam merekam badak jawa dan salah satu penyebabnya adalah lokasi camera-video trap yang tidak sesuai dengan jalur pergerakan badak jawa. Oleh karena itu, analisis hubungan antara karakteristik lokasi camera-video trap dengan keberhasilan perekaman badak jawa diperlukan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan antara beberapa karakteristik lokasi pemasangan camera-video trap yang diduga berkorelasi dengan keberhasilan perekaman badak jawa. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji chisquare. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, jarak antara camera-video trap dengan tapak badak jawa, feses badak jawa, jalur lintasan manusia, dan kelerengan memiliki korelasi dengan jumlah klip badak jawa. Kata kunci: badak jawa, camera-video trap, Taman Nasional Ujung Kulon ABSTRACT INTANNIA EKANASTY. Correlation Between Characteristic of Camera-Video Trap Site with the Success of Recording Javan Rhino (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) in Ujung Kulon National Park. Supervised by YANTO SANTOSA and U. MAMAT RAHMAT. Inventory of the javan rhino population keeps doing continuously and has improved by using camera-video trap because the inventory hard to be done by people related to javan rhino behavior which is very sensitive to human presence. However, not every camera-video trap effective on capture the javan rhino. One of the problem is the location of camera-video trap not appropriate with javan rhino movement. Therefore, analyzing correlation between characteristic of camera-video trap site with the success of recording javan rhino is necessary. The objective of this research is to identify the correlation between some of the characteristics of camera-video trap site that estimated related to the success of recording javan rhino. Data was analyzed using the chi-square test. The result of this research indicates that the distance between camera-video trap with javan rhino s footprint, javan rhino s feces, human track and slope has a correlation with the amount of javan rhino clip. Keywords: camera-video trap, javan rhino, Ujung Kulon National Park

5 HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK LOKASI PEMASANGAN CAMERA-VIDEO TRAP DENGAN KEBERHASILAN PEREKAMAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON INTANNIA EKANASTY Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

6

7 Judul Skripsi : Hubungan antara Karakteristik Lokasi Pemasangan Camera- Video Trap dengan Keberhasilan Perekaman Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon Nama : Intannia Ekanasty NIM : E Disetujui oleh Dr Ir Yanto Santosa, DEA Pembimbing I Dr U Mamat Rahmat, SHut, MP Pembimbing II Diketahui oleh Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus :

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala nikmat dan karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan di Taman Nasional Ujung Kulon pada bulan Februari-Maret 2013 ini berjudul Hubungan antara Karakteristik Lokasi Pemasangan Camera-Video Trap dengan Keberhasilan Perekaman Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yanto Santosa, DEA dan Bapak Dr U Mamat Rahmat, SHut, MP selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Amila Nugraheni, SSi, MSi, Bapak Daryan, seluruh staf Balai Taman Nasional Ujung Kulon, serta tim Rhino Monitoring Unit, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2013 Intannia Ekanasty

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 METODE 2 Lokasi dan Waktu 2 Alat dan Bahan 2 Jenis Data 2 Metode Pengumpulan Data 3 Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 4 Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Rumpang 6 Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Kubangan 7 Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Tapak 9 Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Feses 11 Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Sungai 12 Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Pantai 13 Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Jalur Lintasan Manusia 14 Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Kelerengan 15 Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Ketinggian 17 Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Tipe Tutupan Lahan 18 SIMPULAN DAN SARAN 20 viii viii ix

10 Simpulan 20 Saran 20 DAFTAR PUSTAKA 21 LAMPIRAN 23 RIWAYAT HIDUP 44

11 DAFTAR TABEL 1 Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian 3 2 Klasifikasi topografi berdasarkan kelerengan 4 3 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke rumpang pada tahap I 6 4 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke rumpang pada tahap II 6 5 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke kubangan pada tahap I 8 6 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke kubangan pada tahap II 9 7 Hasil uji chi-square antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-tapak dan jarak camera-video trap-feses 10 8 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke sungai pada tahap I 12 9 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke sungai pada tahap II Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke pantai pada tahap I Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke pantai pada tahap II Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke jalur lintasan manusia pada tahap I Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke jalur lintasan manusia pada tahap II Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan kemiringan lahan pada tahap I Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan kemiringan lahan pada tahap II Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan ketinggian pada tahap I Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan ketinggian pada tahap II Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan tipe tutupan lahan pada tahap I Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan tipe tutupan lahan pada tahap II 19 DAFTAR GAMBAR 1 Tahap pembuatan peta kemiringan lahan 3 2 Sebaran titik rumpang di Semenanjung Ujung Kulon 7 3 Sebaran titik kubangan badak jawa 8

12 4 Sebaran tapak badak jawa 10 5 Sebaran feses badak jawa 11 6 Jalur pemasangan camera-video trap 15 7 Kelerengan pada lokasi pemasangan camera-video trap 16 8 Sebaran titik camera-video trap berdasarkan tipe tutupan lahan di Semenanjung Ujung Kulon 19 DAFTAR LAMPIRAN 1 Blok lokasi pemasangan camera-video trap pada tahun Jumlah klip badak jawa pada tahap I 24 3 Jumlah klip badak jawa pada tahap II 26 4 Jarak antara camera-video trap dengan rumpang, kubangan, sungai, pantai, dan jalur lintasan manusia pada tahap I 27 5 Jarak antara camera-video trap dengan rumpang, kubangan, sungai, pantai, dan jalur lintasan manusia pada tahap II 29 6 Ketinggian, kelerengan (slope), dan tipe penutupan lahan lokasi pemasangan camera-video trap pada tahap I 30 7 Ketinggian, kelerengan (slope), dan tipe penutupan lahan lokasi pemasangan camera-video trap pada tahap II 32 8 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke tapak badak jawa 33 9 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke feses badak jawa Hasil analisis data dengan menggunakan uji chi-square 37

13 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) merupakan satwa langka yang kini habitat alaminya hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon. Berdasarkan IUCN Red List of Threatened Species, badak jawa termasuk dalam kategori critically endangered yang berarti bahwa spesies ini menghadapi risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam (van Strien 2008). Perlindungan terhadap badak jawa telah tercantum dalam PP No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Pada skala internasional, CITES memasukkan badak jawa ke dalam kategori Appendix I yang melarang perdagangan badak jawa sebagai tindakan perlindungan terhadap spesies ini. Upaya perlindungan untuk melestarikan spesies ini terus dilakukan. Inventarisasi dan pemantauan populasi badak jawa dilakukan secara kontinyu untuk mengetahui kondisi populasi badak jawa. Inventarisasi populasi badak jawa sulit dilakukan oleh manusia terkait perilaku badak jawa yang pemalu dan sangat sensitif terhadap keberadaan manusia (Hommel 1987). Badak jawa dapat mengetahui keberadaan manusia dari jarak jauh karena memiliki indera penciuman dan pendengaran yang sangat baik (Hoogerwerf 1970), sehingga peluang untuk menemukan badak jawa sangat kecil apabila inventarisasi dilakukan secara langsung oleh manusia. Sejak tahun 1967, inventarisasi badak jawa dilakukan dengan metode pengamatan tidak langsung terhadap jejak badak jawa (TNUK 2011b). Akan tetapi, metode ini memiliki banyak kelemahan, yaitu: kondisi substrat, topografi, dan permukaan lantai hutan mempengaruhi bentuk/ukuran jejak; ada kemungkinan double counting; kemungkinan keadaan jejak berubah karena hujan; dan penyebaran jejak lebih erat hubungannya dengan kondisi sebaran dan pergerakan satwaliar dibandingkan dengan ukuran populasi (Alikodra 2002). Pengamatan populasi badak jawa telah berkembang dengan memanfaatkan teknologi, yaitu menggunakan camera-video trap. Kondisi populasi badak jawa dapat diketahui dengan menggunakan camera-video trap tanpa mengganggu aktivitas badak jawa. Camera-video trap juga praktis dan mudah untuk digunakan. Camera-video trap bekerja secara kontinyu selama 24 jam penuh dalam sehari (Saputra 2010), sehingga peluang menemukan badak jawa lebih besar apabila inventarisasi badak jawa dilakukan dengan menggunakan camera-video trap. Tidak semua camera-video trap bekerja secara efektif dalam memantau populasi badak jawa. Terdapat camera-video trap yang merekam banyak gambar badak jawa, akan tetapi terdapat pula camera-video trap yang sama sekali tidak merekam gambar badak jawa. Berdasarkan penelitian Saputra (2010), 77% permasalahan yang mempengaruhi keberhasilan perekaman gambar badak jawa berasal dari luar camera-video trap. Kesalahan lokasi pemasangan camera-video trap yang tidak sesuai dengan jalur pergerakan badak jawa merupakan salah satu permasalahan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi mengenai beberapa karakteristik lokasi pemasangan camera-video trap yang diduga mempengaruhi keberhasilan perekaman badak jawa.

14 2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi beberapa karakteristik lokasi pemasangan camera-video trap yang diduga berkorelasi dengan keberhasilan perekaman badak jawa. Manfaat Penelitian Data hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan lokasi yang sesuai untuk memasang camera-video trap yang digunakan dalam inventarisasi populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTNW) II Pulau Handeuleum, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), yaitu pada bulan Februari 2013 hingga bulan Maret Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer yang dilengkapi software ArcGIS 9.3, Global Mapper v13.00, dan IBM SPSS Statistic 20. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: peta kawasan TNUK; peta Daerah Aliran Sungai TNUK; peta penutupan lahan di TNUK; peta sebaran titik cameravideo trap, kubangan, rumpang, tapak, dan feses badak jawa tahun 2011; peta ASTER GDEM untuk mendapatkan data kemiringan lahan dan ketinggian; dan peta jalur lintasan manusia. Jenis Data Pemasangan camera-video trap pada tahun 2011 dilakukan di Semenanjung Ujung Kulon dengan waktu pemasangan selama 9 bulan dan dilaksanakan dengan 2 tahapan. Pada tahap pertama, pemasangan camera-video trap dilakukan di bagian timur Semenanjung Ujung Kulon selama 4 bulan (Februari-Mei) dan pada tahap kedua dilakukan di bagian barat Semenanjung Ujung Kulon selama 5 bulan (Juni-Oktober). Tipe camera-video trap yang digunakan adalah tipe Bushnell Trophy Cam / sebanyak 40 unit (TNUK 2011a). blok pemasangan yaitu sebanyak 64 blok dengan ukuran 2 km x 2 km (Lampiran 1). Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengolahan dengan menggunakan software Global Mapper v13.00 dan ArcGIS 9.3, sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil studi pustaka (Tabel 1).

15 Peubah karaktersitik lokasi cameravideo trap Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian Data hasil pelaksanaan Jenis Data Sumber Data Metode A. Data primer 1. Jumlah klip badak jawa tahun Pengolahan 2011 *) Program Monitoring data dengan Populasi Badak Jawa Tahun 2011 yang dilaksanakan oleh tim B. Data sekunder 2. Lokasi camera-video trap 3. Jarak camera-video trap - rumpang 4. Jarak camera-video trap - kubangan 5. Jarak camera-video trap - tapak 6. Jarak camera-video trap - feses 7. Jarak camera-video trap - sungai 8. Jarak camera-video trap - pantai 9. Jarak camera-video trap - jalur lintasan manusia RMU (Rhino Monitoring Unit). Tahap I: 53 titik lokasi pemasangan cameravideo trap & 174 klip. Tahap II: 32 titik lokasi pemasangan camera-video trap & 147 klip 10. Kelerengan Peta ASTER GDEM 11. Ketinggian 12. Tipe tutupan lahan Peta penutupan lahan TNUK 1. Bio-ekologi badak jawa Publikasi ilmiah 2. Kondisi umum TNUK mengenai badak jawa dan TNUK *) Jumlah klip merupakan jumlah hasil rekaman badak jawa 3 menggunakan software Global Mapper v13.00 dan ArcGIS 9.3 Studi pustaka Metode Pengumpulan Data Pengukuran jarak antara camera-video trap dengan titik kubangan, rumpang, feses, tapak, jalur lintasan manusia, sungai, dan pantai dilakukan dengan menggunakan tools Measure pada software Global Mapper v Pengukuran dilakukan secara manual dengan menghubungkan titik camera-video trap dengan titik kubangan, rumpang, feses, tapak, jalur patroli, sungai, dan pantai yang terdekat. Analisis topografi dilakukan menggunakan software ArcGIS 9.3. Topografi diklasifikasikan berdasarkan kemiringan lahan atau kelerengan (Tabel 2). Data kelerengan disajikan dengan satuan persen (%), lereng dengan nilai 100% memiliki kemiringan lahan sebesar 45. Peta ASTER GDEM diubah menjadi peta ketinggian, kemudian diubah menjadi peta kelerengan (Gambar 1). Peta ASTER GDEM Ketinggian Slope (kelerengan) Gambar 1 Tahap pembuatan peta kemiringan lahan

16 4 Tabel 2 Klasifikasi topografi berdasarkan kelerengan No. Kelerengan Topografi 1 0-8% Datar % Landai % Agak curam % Curam 5 > 40% Sangat curam Sumber: Peraturan Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. SK.167/V- SET/2004 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis Pengukuran ketinggian dilakukan dengan menggunakan tools 3D Path Profile/Line of Sight Tool pada software Global Mapper v Klasifikasi tipe tutupan lahan dilakukan dengan menggunakan software Global Mapper v13.00 dan ArcGIS 9.3 dengan menggunakan data klasifikasi tipe tutupan lahan yang diperoleh dari Peta Penutupan Lahan TNUK. Analisis Data Pengukuran peubah karakteristik lokasi camera-video trap hanya dilakukan pada bulan Februari-September karena pada bulan Oktober tidak dilakukan pengambilan data mengenai titik kubangan, rumpang, feses, dan tapak oleh tim RMU. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan chi-square untuk menguji ada atau tidaknya korelasi antara jumlah klip badak jawa dengan peubah karakteristik lokasi camera-video trap. Uji chi-squre dilakukan dengan bantuan software IBM SPSS Statistic 20. Hipotesis yang digunakan, yaitu: = Peubah karakteristik lokasi camera-video trap tidak berkorelasi dengan H 0 H 1 jumlah klip badak jawa = Minimal terdapat satu peubah karakteristik lokasi camera-video trap yang berkorelasi dengan jumlah klip badak jawa Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan nilai probabilitas (asymptotic significance), yaitu: 1. Jika nilai probabilitas > 0.05, maka terima H 0 2. Jika nilai probabilitas < 0.05, maka tolak H 0 atau terima H 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian TNUK berada di Provinsi Banten, Kabupaten Pandeglang, dengan koordinat BT dan LS. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992 tentang Perubahan Fungsi Cagar Alam Gunung Honje, Pulau Panaitan, Pulau Peucang, Ujung Kulon dan Perairan Laut Menjadi Taman Nasional, luas kawasan TNUK sebesar Ha dengan luas daratan Ha dan kawasan perairan Ha (Dephut 2007). TNUK dapat dibagi menjadi tiga area utama, yaitu Semenanjung Ujung Kulon yang berbentuk segitiga, wilayah Gunung Honje hingga sebelah timur dari tanah genting dan Pulau Panaitan hingga barat laut (Clarbrough 1999).

17 Daerah Ujung Kulon memiliki iklim laut tropis yang khusus. Suhu di TNUK diperkirakan sekitar C dengan kelembapan 80%-90%. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober-April di TNUK, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei-September. Curah hujan tahunan rata-rata di TNUK ± mm. Wilayah TNUK sangat dipengaruhi oleh bertiupnya angin kuat dari arah Barat karena letaknya yang berada di antara Samudera Hindia (di sebelah Selatan) dan Selat Sunda (di sebelah Utara) (Dephut 2007). Aliran sungai di Semenanjung Ujung Kulon dapat dibedakan menjadi dua pola aliran sungai. Di daerah semenanjung bagian barat, banyak sungai kecil beraliran deras yang berasal dari Gunung Payung atau Gunung Cikuya. Sebagian besar sungai tersebut mengalir sepanjang tahun. Sungai yang cukup besar di daerah semenanjung bagian barat, yaitu Sungai Cijungkulon dan Sungai Cibunar. Sebagian besar semenanjung bagian timur memiliki pengairan yang kurang baik. Sungai di daerah ini umumnya mengalir ke arah timur laut dan utara dengan muara yang sering terhalang oleh timbunan pasir, mengakibatkan genangan air membentuk rawa musiman. Selain di daerah timur laut, hal tersebut juga dapat ditemukan di pantai selatan, pada Sungai Citadahan, Cibandawoh, dan Cikeusik. Sungai di bagian utara di daerah Tanjung Alang-Alang, Nyiur, Jamang, dan Nyawaan, membentuk daerah rawa-rawa air tawar yang besar, berdekatan, dan sejajar dengan pantai, termasuk danau-danau kecil, yang akan kering pada musim kemarau (Dephut 2007). Puncak tertinggi di TNUK adalah Gunung Honje dengan ketinggian 620 mdpl. Daerah Semenanjung Ujung Kulon merupakan dataran rendah dengan ketinggian yang jarang lebih dari 50 mdpl. Di bagian tengah Semenanjung Ujung Kulon terdapat Dataran Tinggi Telanca yang memiliki ketinggian hingga 140 mdpl (Clarbrough 1999; Dephut 2007). Di bagian barat daya Semenanjung Ujung Kulon terdapat Gunung Payung yang memiliki ketinggian 480 mdpl dan Gunung Guhabendang dengan ketinggian 500 mdpl. Tanah di sepanjang pantai utara Semenanjung Ujung Kulon relatif datar sehingga membentuk daerah rawa pasang surut. Di Tanjung Alang-Alang, terdapat karang penghalang yang membentang di sepanjang pantai. Pantai selatan Semenanjung Ujung Kulon merupakan pantai berbukit pasir yang membentang dari muara Sungai Cibandawoh hingga muara Sungai Citadahan. Pantai yang membentang dari muara Citadahan hingga muara Cibunar merupakan pantai dengan lempengan-lempengan batu pasir (Dephut 2007). TNUK merupakan salah satu hutan alam yang masih tersisa di Pulau Jawa dan satu dari beberapa tempat yang menawarkan bentang alam dari tepi pantai hingga pegunungan tropis. TNUK memiliki lebih dari 700 spesies tumbuhan yang ± 57 spesies merupakan tumbuhan langka (Clarbrough 1999). TNUK memiliki tiga tipe ekosistem, yaitu (Dephut 2007): 1. Ekosistem perairan laut : terumbu karang dan padang lamun yang terdapat di perairan Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Handeuleum, Pulau Peucang, dan Pulau Panaitan. 2. Ekosistem daratan : hutan hujan tropis yang terdapat di Gunung Honje, Semenanjung Ujung Kulon, dan Pulau Panaitan. 3. Ekosistem pesisir pantai : hutan pantai yang terdapat di sepanjang pesisir pantai dan hutan mangrove yang terdapat di bagian timur laut Semenanjung Ujung Kulon dan pulau-pulau di sekitarnya. 5

18 6 Tipe vegetasi yang terdapat di TNUK, yaitu vegetasi hutan pantai, hutan mangrove, hutan rawa air tawar, hutan hujan dataran rendah, dan padang rumput. Hutan hujan dataran rendah menutupi sebagian besar Ujung Kulon, Pulau Panaitan, Pulau Peucang, dan Gunung Honje, tetapi hanya 40% dari Ujung Kulon dan 50% dari Gunung Honje yang masih berhutan primer. Satwa di TNUK terdiri dari 35 jenis mamalia, 59 jenis reptilia, 22 jenis amfibi, 240 jenis aves, 72 jenis insekta, 142 jenis ikan, dan 33 jenis terumbu karang (Dephut 2007). Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Rumpang Rumpang adalah suatu areal yang relatif terbuka yang terletak di tengah atau tepi hutan (Rahmat et al. 2012; Santosa et al. 2013). Menurut Santosa et al. (2013), rumpang digunakan badak sebagai tempat untuk mencari makanan. Pada kegiatan Monitoring Populasi Badak Jawa tahun 2011, ditemukan 25 rumpang yang tersebar di Semenanjung Ujung Kulon (Gambar 2). Jumlah camera-video trap paling banyak terletak pada jarak km dari lokasi rumpang dan paling sedikit terletak pada jarak km dari rumpang. Pada jarak km dari rumpang, ditemukan banyak klip badak jawa, yaitu mulai dari 5 klip hingga 19 klip. Pada jarak > km dari rumpang, tidak ditemukan camera-video trap yang menghasilkan banyak klip badak jawa (Tabel 3). Hal ini sesuai dengan Rahmat et al. (2012) yang menyatakan bahwa frekuensi kehadiran badak semakin tinggi seiring jarak yang semakin dekat dengan rumpang. Tabel 3 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke rumpang pada tahap I Jumlah klip Jarak kamera-rumpang km km km Pada tahap II, camera-video trap yang banyak merekam badak jawa hanya terdapat di daerah dengan jarak km dari rumpang (Tabel 4). Sedangkan camera-video trap yang sedikit merekam badak jawa tersebar di seluruh wilayah, baik yang jaraknya dekat maupun jauh dari rumpang. Tabel 4 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke rumpang pada tahap II Jumlah klip Jarak kamera-rumpang km km km

19 Berdasarkan hasil uji chi-square, nilai probabilitas antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-rumpang menunjukkan nilai > 0.05 (tahap I: 0.668, tahap II: 0.823), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap ke rumpang. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Rahmat et al. (2012) dan Santosa et al. (2013) yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat perjumpaan badak jawa dengan jarak ke rumpang. Tidak adanya korelasi antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-rumpang diduga karena penentuan blok pemasangan camera-video trap dilakukan secara acak dan ukuran grid yang terlalu besar (2 km x 2 km) sehingga jarak antar camera-video trap terlalu jauh. Blok pemasangan yang ditentukan secara acak tidak sesuai dengan sebaran badak jawa di Semenanjung Ujung Kulon yang memiliki preferensi terhadap habitat tertentu. Ukuran grid yang besar menyebabkan jarak antar camera-video trap terlalu jauh dan mempengaruhi peluang terekamnya badak jawa. Selain itu, lokasi pakan badak jawa tidak hanya berada di rumpang, tetapi menyebar di pelbagai tipe penutupan lahan lain di semenanjung sebagaimana yang dinyatakan oleh MacKinnon (1986) bahwa semak belukar dan hutan sekunder merupakan tempat yang disukai badak dengan ketersediaan makanan yang cukup. 7 Gambar 2 Sebaran titik rumpang di Semenanjung Ujung Kulon Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Kubangan Kubangan yang ditemukan pada pelaksanaan Monitoring Populasi Badak Jawa tahun 2011 berjumlah 39 kubangan. Pada tahap I, camera-video trap yang

20 8 banyak merekam badak jawa terletak pada jarak km dari kubangan dengan jumlah klip badak jawa mencapai 19 klip. Pada camera-video trap dengan jarak 2.5 km dari kubangan, jumlah klip badak jawa yang didapat hanya sebanyak 0-4 klip. Seiring dengan bertambahnya jarak antara camera-video trap dengan kubangan, jumlah camera-video trap yang dipasang semakin sedikit (Tabel 5). Tabel 5 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke kubangan pada tahap I Jumlah klip Jarak kamera-kubangan km km km km Camera-video trap yang dipasang pada tahap II sebagian besar terletak pada jarak dari kubangan (Tabel 6). Jumlah klip badak jawa yang dihasilkan camera-video trap pada jarak < 1 km lebih banyak dibandingkan camera-video trap yang dipasang dengan jarak > 1 km dari kubangan. Camera-video trap yang terletak > 1 km dari kubangan hanya menghasilkan jumlah klip badak jawa sebanyak 0-6 klip. Hal ini sesuai dengan Santosa et al. (2013) yang menyatakan bahwa badak jawa banyak menggunakan habitat pada jarak 0-1 km dari kubangan. Sebaran kubangan badak jawa di Semenanjung Ujung Kulon dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Sebaran titik kubangan badak jawa

21 Tabel 6 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke kubangan pada tahap II Jumlah klip Jarak kamera-kubangan km km km km Hasil uji chi-square terhadap jumlah klip badak jawa dengan jarak cameravideo trap-kubangan pada tahap I menunjukkan nilai probabilitas sebesar dan pada tahap II sebesar Nilai probabilitas > 0.05 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa dengan jarak cameravideo trap-kubangan, baik pada tahap I maupun pada tahap II. Penentuan blok pemasangan camera-video trap yang dilakukan secara acak, ukuran blok pemasangan yang terlalu besar (2 km x 2 km), dan perbedaan musim merupakan faktor yang mempengaruhi tidak adanya korelasi antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-kubangan. Badak jawa lebih sering berkubang pada musim hujan karena ketersediaan air yang melimpah dan pada musim kemarau badak jawa cenderung melakukan aktivitas mandi dibandingkan berkubang (Rinaldi et al. 1997; Rahmat 2009). Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Tapak Pada tahap I, camera-video trap dipasang pada jarak km dari tapak badak jawa dan pada tahap II dipasang pada jarak km dari tapak badak jawa. Camera-video trap yang dipasang pada tahap I sebagian besar terletak pada jarak km dari tapak badak jawa. Nilai probabilitas pada tiap bulan di tahap I sebesar (Tabel 7). Hasil uji chi-square antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-tapak pada tahap I menunjukkan nilai probabilitas < 0.05, yang berarti bahwa terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-tapak pada tahap I. Hal ini dikarenakan parameter pemasangan camera-video trap yang banyak diterapkan adalah berdasarkan jalur pergerakan badak jawa atau tapak badak jawa yang ditemukan. Jalur badak jawa yang dipasang camera-video trap merupakan jalur yang baru atau jalur permanen badak jawa. Pada tahap II, camera-video trap sebagian besar dipasang pada jarak km dari tapak badak jawa. Berbeda dengan tahap I yang menunjukkan hasil analisis yang sama pada tiap bulan, pada tahap II terdapat perbedaan hasil uji chisquare pada tiap bulan. Hasil uji chi-square antara jumlah klip badak jawa pada bulan Juni dengan jarak camera-video trap-tapak bulan Juni menunjukkan nilai probabilitas < 0.05, yang berarti bahwa terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa pada bulan Juni dengan jarak camera-video trap-tapak pada bulan Juni. Hasil uji chi-square pada bulan Juli-September menunjukkan nilai probabilitas > 0.05, yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa pada bulan Juli-September dengan jarak camera-video trap-tapak pada bulan Juli-September. Diduga hal ini disebabkan camera-video trap 9

22 10 dipasang pada jalur pergerakan badak yang sudah lama sebagaimana Saputra (2010) yang menyatakan bahwa salah satu kesalahan dalam pemasangan cameravideo trap adalah camera-video trap dipasang pada jalur badak yang sudah tidak digunakan. Faktor lain yang mempengaruhi adalah musim kemarau yang terjadi pada saat pemasangan camera-video trap tahap II yang menyebabkan tapak badak jawa tidak terlalu terlihat, sehingga jalur pergerakan badak jawa tidak diketahui. Alikodra (2010) menyatakan bahwa jejak satwa tidak dapat dicatat pada saat musim kering atau pada kondisi tanah yang kering, karena dapat terjadi kemungkinan terdapat individu badak yang tidak terpantau akibat jejaknya yang tidak terlihat. Sebaran tapak badak jawa di Semenanjung Ujung Kulon disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 Sebaran tapak badak jawa Tabel 7 Hasil uji chi-square antara jumlah klip badak jawa dengan jarak cameravideo trap-tapak dan jarak camera-video trap-feses No. Tahap Bulan Nilai probabilitas Nilai probabilitas camera-video trap-tapak camera-video trap-feses 1 I Februari Maret April Mei II Juni Juli Agustus September

23 11 Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Feses Feses badak jawa yang ditemukan pada tahap I dan II sebanyak 21 titik dan tersebar di wilayah Semenanjung Ujung Kulon (Gambar 5). Jarak antara cameravideo trap dengan feses pada tahap I, yaitu km. Pada tahap II, jarak antara camera-video trap dan feses adalah km. Hasil uji chi-square antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-feses pada bulan Februari-Juni menunjukkan nilai probabilitas < 0.05 (Tabel 7), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa pada bulan Februari-Juni dengan jarak camera-video trap-feses pada bulan Februari-Juni. Berbeda dengan hasil uji chi-square tahap I dan pada bulan Juni, hasil uji chi-square pada bulan Juli-September menunjukkan nilai probabilitas > 0.05, yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa pada bulan Juli-September dengan jarak camera-video trap-feses pada bulan Juli- September. Feses badak jawa banyak ditemukan di tempat terbuka dan tepi sungai (Muntasib 2002). Hoogerwerf (1970) mengatakan bahwa badak jawa lebih menyukai areal terbuka, daerah dengan vegetasi yang tidak rapat atau pada lahan kosong untuk membuang kotoran. Oleh karena itu, jarak camera-video trap-feses juga dipengaruhi oleh kondisi tutupan lahan karena badak memilih tempat untuk membuang kotoran. Gambar 5 Sebaran feses badak jawa

24 12 Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Sungai Seluruh camera-video trap dipasang pada lokasi yang tidak terlalu jauh dari sungai, yaitu pada jarak km. Pada tahap I, camera-video trap dengan jumlah klip badak jawa yang banyak ditemukan pada jarak km dari sungai, sedangkan camera-video trap dengan jumlah klip badak jawa terkecil terletak pada jarak (Tabel 8). Tabel 8 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke sungai pada tahap I Jumlah klip Jarak kamera-sungai km km km km Berbeda dengan pemasangan pada tahap I yang memiliki beberapa unit camera-video trap yang terletak km dari sungai, pada tahap II hanya terdapat 1 camera-video trap yang terletak pada jarak km dari sungai. Camera-video trap dengan jumlah klip badak jawa terbanyak terletak pada daerah dengan jarak km dari sungai (Tabel 9). Tabel 9 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke sungai pada tahap II Jumlah klip Jarak kamera-sungai km km km km Pengujian chi-square pada tahap I dan II menghasilkan nilai probabilitas >0.05 (tahap I: 0.569, tahap II: 0.908), yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-sungai pada tahap I dan II. Hal ini berbeda dengan Santosa et al. (2013) yang menyatakan bahwa terdapat korelasi antara tingkat perjumpaan badak dengan jarak ke sungai. Tidak adanya korelasi antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-sungai diduga dipengaruhi oleh penentuan blok pemasangan camera-video trap dilakukan secara acak dan ukuran grid yang terlalu besar sehingga jarak antar camera-video trap terlalu jauh. Hal lain yang mempengaruhi tidak adanya korelasi adalah TNUK yang sedang mengalami musim hujan pada saat pemasangan tahap I, sehingga sungai atau sumber air tersebar di seluruh semenanjung dan badak tidak terkonsentrasi pada sumber air tertentu. Selain sungai, sumber air lain yang terdapat di semenanjung adalah rawa air tawar yang terletak di Nyawaan, Nyiur, dan Jamang (Muntasib 2002). Tidak adanya korelasi antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-sungai pada tahap

25 II karena pemasangan tahap II dilaksanakan di bagian barat semenanjung yang sungainya mengalir sepanjang tahun (Dephut 2007). Sungai yang mengalir sepanjang tahun, yaitu Sungai Cigenter, Cibandawoh, Cibunar, Cijungkulon, dan Citadahan (Muntasib 2002; Santosa et al. 2013). Santosa et al. (2013) mengatakan bahwa sungai bukan merupakan faktor pembatas dalam kelangsungan hidup badak jawa karena tersedia sepanjang tahun dan tersebar di seluruh semenanjung. Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Pantai Pada tahap I, camera-video trap yang memiliki jumlah klip badak jawa terbanyak terletak pada jarak < 1 km dari pantai. Camera-video trap dengan jumlah klip klip masih terdapat pada jarak km dari pantai (Tabel 10). Hal ini berbeda dengan Rahmat et al. (2012) dan Santosa et al. (2013) yang menyatakan bahwa badak jawa lebih banyak menggunakan habitat pada daerah dengan jarak 0-1 km dari pantai. Tabel 10 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke pantai pada tahap I Jumlah klip Jarak kamera-pantai km km km km Pada tahap II, camera-video trap dengan jumlah klip badak jawa yang banyak terletak pada jarak km dari pantai dengan jumlah klip sebanyak 2 unit dan jumlah klip sebanyak 1 unit. Pada tahap II, jumlah camera-video trap yang memiliki banyak klip badak jawa berfluktuasi seiring bertambahnya jarak camera-video trap dengan pantai (Tabel 11). Tabel 11 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke pantai pada tahap II Jumlah klip Jarak kamera-pantai km km km km Nilai probabilitas pada tahap I sebesar dan pada tahap II sebesar Nilai probabilitas > 0.05 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-pantai. Tidak adanya hubungan antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-pantai disebabkan camera-video trap sengaja diletakkan jauh dari pantai untuk mengantisipasi adanya pencurian. Selain itu, tidak adanya korelasi diduga karena terdapat tempat lain yang dikunjungi badak untuk mengasin sebagaimana yang 13

26 14 disampaikan Chandradewi (2010), selain mengasin dengan mengunjungi daerah pantai, pemenuhan kebutuhan garam mineral bagi badak yang wilayah jelajahnya jauh dari pantai diperoleh dari lumpur dalam kubangan yang mengandung NaCl, Ca, dan Potassium. Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Jarak Camera-Video Trap - Jalur Lintasan Manusia Jalur lintasan manusia merupakan jalur yang digunakan petugas TNUK untuk berpatroli memantau kondisi kawasan TNUK dan jalur yang digunakan tim RMU untuk memasang camera-video trap (Gambar 6). Seiring bertambahnya jarak camera-video trap dengan jalur lintasan manusia, terjadi penurunan jumlah camera-video trap yang dipasang (Tabel 12). Jumlah klip badak jawa yang cukup banyak ditemukan baik pada camera-video trap di daerah yang jaraknya dekat dengan jalur lintasan manusia (0-249 m), maupun yang berjarak jauh dari jalur ( m). Hal ini sesuai dengan Santosa et al. (2013) yang menyatakan bahwa keberadaan badak jawa banyak ditemui pada daerah dengan jarak 0-1 km dari jalur manusia. Pengujian chi-square menghasilkan nilai probabilitas sebesar atau < 0.05, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-jalur lintasan manusia pada tahap I. Banyaknya klip badak jawa pada camera-video trap yang terletak dekat dengan jalur lintasan manusia diduga karena jalur manusia juga dimafaatkan oleh badak sebagai jalur pergerakan badak. Hal ini sesuai dengan Wulan (2010) yang mengatakan bahwa jalur lintasan manusia dijadikan badak jawa sebagai jalur pergerakan permanennya. Berdasarkan pengamatan petugas lapang TNUK, badak jawa sering menggunakan jalur patroli sebagai jalur pergerakan badak dikarenakan jalur patroli bersifat terbuka sehingga mempermudah badak dalam melakukan pergerakan dalam hutan bervegetasi rapat. Tabel 12 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke jalur lintasan manusia pada tahap I Jumlah klip Jarak kamera-jalur manusia m m m m Pada tahap II, hampir seluruh camera-video trap dipasang pada jarak m dari jalur lintasan manusia dan hanya terdapat masing-masing 1 unit pada jarak m dan m (Tabel 13). Pada jarak m dari jalur lintasan manusia, tidak terdapat camera-video trap yang dipasang. Pengujian chi-square menghasilkan nilai probabilitas sebesar atau > 0.05, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa dengan jarak camera-video trap-lintasan manusia pada tahap II. Hal ini diduga akibat intensitas penggunaan jalur yang tinggi oleh manusia yang menyebabkan badak jawa tidak menggunakan daerah tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Muntasib

27 (2002) bahwa setelah jalur digunakan oleh manusia secara intensif, jalur tersebut tidak digunakan lagi oleh badak jawa seperti jalur Cidaun-Cibunar. Tabel 13 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan jarak camera-video trap ke jalur lintasan manusia pada tahap II Jumlah klip Jarak kamera-jalur manusia m m m m Gambar 6 Jalur pemasangan camera-video trap Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Kelerengan Sebagian besar wilayah Semenanjung Ujung Kulon memiliki daerah yang datar (Gambar 7). Pada pemasangan tahap I dan II, camera-video trap hanya dipasang pada daerah yang datar hingga agak curam. Hal ini selaras dengan Rahmat et al. (2012) yang mengatakan bahwa perjumpaan badak banyak ditemui di daerah datar, landai, dan agak curam. Semakin bertambah kelerengan, jumlah klip badak jawa yang diperoleh semakin sedikit (Tabel 14). Pengujian chi-square menghasilkan nilai probabilitas sebesar atau < 0.05, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa dengan kelerengan tempat camera-video trap pada tahap I dipasang. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Rahmat et al. (2012) dan Santosa et al. (2013) yang

28 16 menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat perjumpaan badak jawa dengan kelerengan suatu tempat. Muntasib (2002) mengatakan bahwa badak jawa dijumpai pada kelerengan < 15% dengan topografi yang relatif datar dan sedikit bergelombang dan Rahmat (2008) menyatakan bahwa badak jawa cenderung terkonsentrasi pada daerah yang relatif landai dengan kelerengan 0-8%. Tabel 14 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan kemiringan lahan pada tahap I Jumlah klip Kelerengan Datar (0-8%) Landai (8-15%) Agak curam (15-25%) Pada tahap II, lebih banyak camera-video trap yang dipasang pada daerah yang landai dibandingkan dengan daerah yang datar (Tabel 15). Hal ini dipengaruhi topografi di wilayah semenanjung bagian barat yang sebagian besar merupakan daerah yang bergunung-gunung dengan tiga buah puncak, yaitu Gunung Payung, Gunung Guhabendang, dan Gunung Cikuya (Dephut 2007), sehingga daerah yang datar lebih sedikit ditemukan pada semenanjung bagian barat ini. Pengujian chi-square menghasilkan nilai probabilitas sebesar atau > 0.05, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa dengan kelerengan tempat camera-video trap pada tahap II dipasang. Gambar 7 Kelerengan pada lokasi pemasangan camera-video trap

29 Tabel 15 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan kemiringan lahan pada tahap II Jumlah klip Kelerengan Datar (0-8%) Landai (8-15%) Agak curam (15-25%) Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Ketinggian Ketinggian tempat di Semenanjung Ujung Kulon berkisar antara mdpl. Puncak tertinggi pada semenanjung Ujung Kulon adalah Gunung Guhabendang dengan ketinggian 500 mdpl (Dephut 2007). Pada tahap I, ketinggian lokasi pemasangan camera-video trap adalah mdpl. Ketinggian mdpl merupakan daerah dengan jumlah camera-video trap yang paling banyak terpasang (Tabel 16). Tabel 16 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan ketinggian pada tahap I Ketinggian Jumlah klip mdpl mdpl mdpl mdpl Berbeda dengan semenanjung bagian timur, wilayah semenanjung bagian barat memiliki wilayah topografi yang lebih tinggi dibandingkan semenanjung bagian timur karena adanya beberapa gunung di semenanjung bagian barat. Ketinggian lokasi camera-video trap pada tahap II, yaitu mdpl. Hampir sebagian camera-video trap yang dipasang terletak pada ketinggian mdpl (Tabel 17). Tabel 17 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan ketinggian pada tahap II Ketinggian Jumlah klip mdpl mdpl mdpl mdpl Pengujian chi-square menghasilkan nilai probabilitas sebesar pada tahap I dan sebesar pada tahap II. Nilai probabilitas > 0.05 menunjukkan 17

30 18 bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa dengan ketinggian tempat camera-video trap dipasang. Hasil penelitian ini berbeda dengan Santosa et al. (2013) yang menyatakan bahwa terdapat korelasi antara tingkat perjumpaan badak dengan ketinggian. Hal yang mempengaruhi tidak adanya korelasi antara jumlah klip badak jawa dengan ketinggian tempat diduga adalah penentuan blok pemasangan camera-video trap dilakukan secara acak dan ukuran grid yang terlalu besar (2 km x 2 km) sehingga jarak antar camera-video trap terlalu jauh. Selain itu, tidak adanya korelasi disebabkan oleh sebaran badak jawa yang tinggi terletak pada ketinggian 0-50 mdpl (Santosa et al. 2013), yang berarti bahwa seluruh lokasi pemasangan camera-video trap pada tahap I merupakan daerah dengan distribusi badak yang tinggi. Sadjudin dan Djaja (1984) dalam Rahmat et al. (2007) menyatakan bahwa keberadaan badak jawa tersebar pada ketinggian mdpl. Ketinggian dan jumlah klip badak jawa tidak berkorelasi karena ketinggian pada lokasi camera-video trap merupakan ketinggian tempat badak jawa berada. Hubungan antara Jumlah Klip Badak Jawa dengan Tipe Tutupan Lahan Berdasarkan Peta Penutupan Lahan TNUK, terdapat 6 tipe penutupan lahan, yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove, rawa, semak belukar, dan hutan tanaman (Gambar 8). Pemasangan camera-video trap pada tahap I terdapat pada 4 tipe tutupan lahan (Tabel 18). Camera-video trap paling banyak dipasang pada hutan lahan kering sekunder dan selanjutnya diikuti oleh semak belukar. Jumlah klip badak jawa yang banyak terdapat pada camera-video trap yang dipasang di semak belukar. Hal ini sesuai dengan Santosa et al. (2013), bahwa sebaran badak jawa terbanyak secara berturut-turut berada di semak belukar, hutan lahan kering sekunder, semak belukar rawa, dan hutan primer. Tabel 18 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan tipe tutupan lahan pada tahap I Tipe tutupan lahan Jumlah klip Hutan lahan Semak Hutan Rawa kering sekunder belukar tanaman Pada pemasangan camera-video trap tahap II, hanya terdapat 3 tipe tutupan lahan yang dipasang camera-video trap, yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, dan semak belukar (Tabel 19). Daerah dengan cameravideo trap yang menghasilkan banyak klip badak adalah areal semak belukar. Wilayah yang terbanyak dipasangi camera-video trap adalah hutan lahan kering sekunder dan yang paling sedikit adalah hutan lahan kering primer. Menurut Dephut (2007), hanya 40% wilayah semenanjung yang masih berhutan primer. Hal ini disebabkan Semenanjung Ujung Kulon dahulu digunakan masyarakat

31 sebagai ladang berpindah dengan pembukaan lahan hutan menggunakan api (Muntasib 2002). Selain itu, letusan Gunung Krakatau juga memberikan dampak terhadap kondisi vegetasi di TNUK (MacKinnon 1986; Rahmat 2009). Hutan primer yang tersisa di Semenanjung Ujung Kulon hanya terdapat di daerah pegunungan yang bukan merupakan habitat yang disukai badak jawa. Tabel 19 Jumlah titik lokasi pemasangan camera-video trap berdasarkan jumlah klip badak jawa dan tipe tutupan lahan pada tahap I Tipe tutupan lahan Jumlah klip Hutan lahan kering primer Hutan lahan kering sekunder Semak belukar Gambar 8 Sebaran titik camera-video trap berdasarkan tipe tutupan lahan di Semenanjung Ujung Kulon Pengujian chi-square menghasilkan nilai probabilitas sebesar pada tahap I dan pada tahap II. Nilai probabilitas > 0.05 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah klip badak jawa dengan tipe tutupan lahan tempat camera-video trap dipasang. Hasil uji chi-square ini berbeda dengan penelitian Santosa et al. (2013) yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat perjumpaan badak dengan tipe tutupan lahan. Penentuan blok pemasangan camera-video trap yang dilakukan secara acak dan ukuran grid yang terlalu besar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tidak adanya korelasi antara

32 20 jumlah klip badak jawa dengan tipe tutupan lahan. Putro (1997) yang menyatakan bahwa habitat badak jawa tidak tergantung pada tipe vegetasi tertentu. Tipe tutupan lahan berkaitan dengan pakan badak yang beraneka ragam. Pakan badak jawa meliputi pucuk daun, baik pohon maupun semak belukar, ranting, kulit kayu, dan liana (Hommel 1987; Rinaldi 1997). Seluruh vegetasi di Ujung Kulon berjumlah 453 jenis dalam 92 famili dan pakan badak berjumlah 252 jenis dalam 73 famili, hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 50% jenis & 70% famili tumbuhan di TNUK dikonsumsi badak (Muntasib 2002). Rahmat (2008) menemukan pakan badak baru, yaitu sirih hutan (Piper caducibrateum) sehingga jumlah pakan badak menjadi 253 jenis. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa variabel yang cenderung berkorelasi dengan keberhasilan perekaman badak jawa dalam program Monitoring Populasi Badak Tahun 2011 adalah jarak camera-video trap dengan feses terdekat, jarak camera-video trap dengan tapak terdekat, jarak camera-video trap dengan jalur lintasan manusia, dan kelerengan lokasi pemasangan cameravideo trap. Variabel yang cenderung tidak berkorelasi dengan keberhasilan perekaman badak jawa dalam program Monitoring Populasi Badak Tahun 2011 adalah jarak camera-video trap dengan rumpang terdekat, jarak camera-video trap dengan kubangan terdekat, jarak camera-video trap dengan sungai terdekat, jarak camera-video trap dengan pantai terdekat, dan ketinggian serta tipe tutupan lahan lokasi pemasangan camera-video trap. Saran Pada saat pemasangan camera-video trap dilakukan, perlu dipertimbangkan kelerengan lokasi pemasangan, keberadaan feses dan tapak badak yang terletak dekat dengan camera-video trap, serta jarak camera-video trap dengan jalur lintasan manusia. Camera-video trap sebaiknya dipasang pada jarak km dari tapak badak jawa, km dari feses badak jawa, < 1 km dari jalur lintasan manusia, dan pada kelerengan 0-15%. Selain itu, perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai tingkat korelasi antara jumlah klip badak jawa dengan karakteristik lokasi penempatan camera-video trap sehingga penentuan lokasi yang optimum untuk pemasangan camera-video trap dapat dicapai untuk keberhasilan perekaman badak jawa di TNUK.

33 21 DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS Pengelolaan Satwaliar: Jilid 1. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Alikodra HS Teknik Pengelolaan Satwaliar dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor (ID): IPB Press. Chandradewi DS Perilaku berkubang dan tipologi kubangan badak jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Clarbrough ML, editor Ujung Kulon National Park Handbook. Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation & Ministry of Foreign Affairs and Trade and Department of Conservation. [Dephut] Departemen Kehutanan (ID) Taman Nasional di Indonesia. Bogor (ID): Sub Direktorat Informasi Konservasi Alam dan Lestari Hutan Indonesia. Hommel PWFM Landscape-Ecology of Ujung Kulon (West Java, Indonesia). Wageningen (NL): Soil Survey Institute. Hoogerwerf A Udjung Kulon The Land of The Last Javan Rhinoceros. Leiden (NL): E.J. Brill. Muntasib EKSH Penggunaan ruang habitat oleh badak jawa (Rhinoceros sondaicus, Desm. 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Putro HR Heterogenitas habitat badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi Ed. Khusus : Rahmat UM Analisis tipologi habitat preferensial badak jawa (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahmat UM Genetika populasi dan strategi konservasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822). Jurnal Manajemen Hutan Tropika (15) 1: Rahmat UM, Santosa Y, Kartono AP Analisis preferensi habitat badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 14 (3): Rahmat UM, Santosa Y, Prasetyo LB, Kartono AP Pemodelan kesesuaian habitat badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 18 (2): Rinaldi D, Mulyani YA, Arief H Status populasi dan perilaku badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest) di TN Ujung Kulon. Media Konservasi Ed.Khusus: Santosa Y, Rahmat UM, Prasetyo LB, Kartono AP Javan rhino (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) utilization distribution and habitat selection in Ujung Kulon National Park. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 19 (1): Saputra MYA Evaluasi penggunaan video trap dalam inventarisasi populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

34 22 van Strien NJ, Steinmetz R, Manullang B, Sectionov, Han KH, Isnan W, Rookmaaker K, Sumardja E, Khan MKM, Ellis S Rhinoceros sondaicus. IUCN Red List of Threatened Species Version [Internet]. [diunduh 2013 Jan 25]. Tersedia pada: [TNUK] Taman Nasional Ujung Kulon (ID). 2011a. Laporan Monitoring Populasi Badak Jawa Tahun Pandeglang (ID): Balai Taman Nasional Ujung Kulon. [TNUK] Taman Nasional Ujung Kulon (ID). 2011b. Populasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon [Internet]. [diunduh 2013 Jan 25]. Tersedia pada: Wulan C Analisis karakteristik kubangan badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

35 LAMPIRAN 23 Lampiran 1 Blok lokasi pemasangan camera-video trap pada tahun 2011

Kampus Darmaga, Bogor 16680, Indonesia 2) Bagian Ekologi Satwaliar, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB,

Kampus Darmaga, Bogor 16680, Indonesia 2) Bagian Ekologi Satwaliar, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB, HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK LOKASI CAMERA TRAP DENGAN KEBERHASILAN PEREKAMAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Correlation between Characteristic of Camera

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Study of Wallow Characteristics of Javan Rhinoceros - Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822 in

Lebih terperinci

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) merupakan spesies paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia sehingga dikategorikan

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53 SIARAN PERS Populasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon Jakarta, 29 Desember 2011 Badak jawa merupakan satu dari dua jenis spesies badak yang ada di Indonesia dan terkonsentrasi hanya di wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR EKOLOGI DOMINAN PEMILIHAN KUBANGAN OLEH BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

ANALISIS FAKTOR EKOLOGI DOMINAN PEMILIHAN KUBANGAN OLEH BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ANALISIS FAKTOR EKOLOGI DOMINAN PEMILIHAN KUBANGAN OLEH BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Analysis of Dominant Ecological Factors of Wallow Selection By Javan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

Progres Pembangunan JRSCA di Taman Nasional Ujung Kulon sampai Bulan Agustus 2014

Progres Pembangunan JRSCA di Taman Nasional Ujung Kulon sampai Bulan Agustus 2014 PROGRES PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDI AND CONSERVATION AREA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON SAMPAI BULAN AGUSTUS 2014 Untuk menyelamatkan badak jawa dari kepunahan, Pemerintah Indonesia menetapkan Strategi

Lebih terperinci

Cara Berbeda Penghitungan Badak Jawa. Di Ujung Kulon Pada Tahun Ir. Agus Priambudi, M.Sc

Cara Berbeda Penghitungan Badak Jawa. Di Ujung Kulon Pada Tahun Ir. Agus Priambudi, M.Sc Press Release Cara Berbeda Penghitungan Badak Jawa Di Ujung Kulon Pada Tahun 2010 P engelolaan TN. Ujung Kulon dititikberatkan pada bagaimana mempertahankan keberadaan satwa langka badak jawa (Rhinoceros

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

EKOLOGI KUANTITATIF. ANALISIS TIPOLOGI HABITAT PREFERENSIAL BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

EKOLOGI KUANTITATIF. ANALISIS TIPOLOGI HABITAT PREFERENSIAL BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON EKOLOGI KUANTITATIF ANALISIS TIPOLOGI HABITAT PREFERENSIAL BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen : Dr Ir Agus

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

MEMANTAU HABITAT BADAK JAWA

MEMANTAU HABITAT BADAK JAWA NEWSLETTER [CLICK TO TYPE THE PHOTO CREDIT] 2013 MEMANTAU HABITAT BADAK JAWA Badak Jawa yang memiliki nama latin Rhinoceros sondaicus merupakan salah satu hewan yang dijamin oleh Undang-undang di Indonesia

Lebih terperinci

VARIASI UKURAN DAN TIPE KELOMPOK MUNCAK (Muntiacus muntjak Zimmermann, 1780) BERDASARKAN TIPE VEGETASI DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON INTANNIA EKANASTY

VARIASI UKURAN DAN TIPE KELOMPOK MUNCAK (Muntiacus muntjak Zimmermann, 1780) BERDASARKAN TIPE VEGETASI DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON INTANNIA EKANASTY VARIASI UKURAN DAN TIPE KELOMPOK MUNCAK (Muntiacus muntjak Zimmermann, 1780) BERDASARKAN TIPE VEGETASI DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON INTANNIA EKANASTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

ANALISIS TIPOLOGI HABITAT PREFERENSIAL BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON U.

ANALISIS TIPOLOGI HABITAT PREFERENSIAL BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON U. ANALISIS TIPOLOGI HABITAT PREFERENSIAL BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON U. MAMAT RAHMAT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN (Kasus Kampung Cimenteng, Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten)

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

PENDAHULUAN METODE PENELITIAN. gunaan bersama tempat-tempat tersebut oleh badak jawa dan banteng.

PENDAHULUAN METODE PENELITIAN. gunaan bersama tempat-tempat tersebut oleh badak jawa dan banteng. Media Konservasi Vol. VII, No. 2, Juni 2001 : 69-74 PENGGUNAAN SUMBERDAYA AIR, PAKAN DAN COVER OLEH BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) DAN BANTENG (Bos javanicus, d'alton 1832) DI DAERAH

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI BAB I KONDISI FISIK A. GEOGRAFI Kabupaten Lombok Tengah dengan Kota Praya sebagai pusat pemerintahannya merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau Kalimantan dan Papua, Hutan Sumatera mengalami kerusakan yang cukup tinggi. Sejak Tahun

Lebih terperinci

Progres Pembangunan. Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) di Taman Nasional Ujung Kulon PENDAHULUAN

Progres Pembangunan. Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) di Taman Nasional Ujung Kulon PENDAHULUAN Progres Pembangunan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) di Taman Nasional Ujung Kulon PENDAHULUAN Populasi badak jawa di TNUK merupakan satu-satunya populasi secara potensial masih memungkinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas 2.2 Kondisi Fisik Geologi dan Tanah

2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas 2.2 Kondisi Fisik Geologi dan Tanah 2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas Taman Nasional Manupeu Tanahdaru (TNMT) secara geografi terletak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur pada 119º27-119º55 BT dan 09º29`-09º54` LS sedangkan secara administratif

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGAMATAN KEBERADAAN BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI KUTAI BARAT DAN MAHAKAM ULU KALIMANTAN TIMUR. Indonesia-Program Kutai Barat

PENGAMATAN KEBERADAAN BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI KUTAI BARAT DAN MAHAKAM ULU KALIMANTAN TIMUR. Indonesia-Program Kutai Barat PENGAMATAN KEBERADAAN BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI KUTAI BARAT DAN MAHAKAM ULU KALIMANTAN TIMUR (Sumatran Rhino Observation Presence in the Kutai Barat and Mahakam Ulu of East Kalimantan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas garis pantai yang panjang + 81.000 km (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), ada beberapa yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

Pemodelan Kesesuaian Habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon

Pemodelan Kesesuaian Habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon JMHT Vol. XVIII, ():19-137, Agustus 01 EISSN: 089-063 DOI: 10.76/jtfm.18..19 ISSN: 087-0469 Pemodelan Kesesuaian Habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 18) di Taman Nasional Ujung Kulon Habitat

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan secara teratur di genangi air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sancang, Kecamatan Cibalong,, Jawa Barat, merupakan kawasan yang terletak di Selatan Pulau Jawa, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Hutan Sancang memiliki

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN 13 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Kegiatan penelitian dilakukan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), TNBBS (Gambar 1). Survei pendahuluan telah dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) SKRIPSI Oleh: RICKY DARMAWAN PRIATMOJO 071201030 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (us indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT Dieta Arbaranny Koeswara / E34050831 1. Latar Belakang Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Kabupaten Bandung terletak di Provinsi Jawa Barat, dengan ibu kota Soreang. Secara geografis, Kabupaten Bandung berada pada 6 41 7 19 Lintang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR (STUDI KASUS DI DELTA SUNGAI WULAN KABUPATEN DEMAK) Septiana Fathurrohmah 1, Karina Bunga Hati

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan Propinsi Kalimantan Selatan memiliki luas 37.530,52 km 2 atau hampir 7 % dari luas seluruh pulau Kalimantan. Wilayah

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 15 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Kabupaten Lebak secara geografis terletak antara 6º18'-7º00' Lintang Selatan dan 105º25'-106º30' Bujur Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha atau 3.044,72 km².

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Badak Jawa Di dunia terdapat lima jenis badak, badak hitam (Diceros bicornis), badak putih (Ceratotherium simum), badak india (Rhinoceros unicornis),

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA

REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA LAPORAN PRAKTIKUM REKLAMASI PANTAI (LAPANG) REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA Dilaksanakan dan disusun untuk dapat mengikuti ujian praktikum (responsi) mata kuliah Reklamasi Pantai Disusun Oleh :

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

LAPORAN KEMAJUAN BROP DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Labuan, Pebruari 2010

LAPORAN KEMAJUAN BROP DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Labuan, Pebruari 2010 LAPORAN KEMAJUAN BROP DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Labuan, Pebruari 2010 A. Latar Belakang Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang terletak di Semenanjung kepala burung di ujung Barat Pulau Jawa (Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

KONDISI FISIK EKOSISTEM HUTAN DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON t) Siti Badriyah Rushavati 2) Harnios Arief 31

KONDISI FISIK EKOSISTEM HUTAN DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON t) Siti Badriyah Rushavati 2) Harnios Arief 31 Media Konservasi Edisi Khusus, 1997 : Hal.67-74 67 KONDISI FISIK EKOSISTEM HUTAN DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON t) Siti Badriyah Rushavati 2) Harnios Arief 31 ABSTRACT One of the efforts of Javan Rhino

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP Lailla Uswatun Khasanah 1), Suwarsito 2), Esti Sarjanti 2) 1) Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI ANALISIS INSTITUSI KONSERVASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON, DESA TAMANJAYA, KAMPUNG CIBANUA, KECAMATAN SUMUR, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN MONIKA BR PINEM PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS

Lebih terperinci

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Mengacu kepada Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Akhir Masa Jabatan 2007 2012 PemProv DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret-Agustus 2015 9 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik, Universitas

Lebih terperinci

Deskripsi KHDTK Siali-ali Sumatera Utara

Deskripsi KHDTK Siali-ali Sumatera Utara Deskripsi KHDTK Siali-ali Sumatera Utara Gambar 1. Papan Nama KHDTK Siali-ali KHDTK Siali-ali dengan luasan ± 130,10 Hektar, secara geografis terletak pada koordinat 1º08 10,3-1º09 18,4 LU dan 99º49 57,9-99

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Badak merupakan salah satu mamalia darat terbesar setelah gajah yang terancam punah. Saat ini, hanya terdapat 5 spesies badak yang masih bertahan di dunia, tiga jenis berada

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 26 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Lokasi kawasan Gunung Endut secara administratif terletak pada wilayah Kecamatan Lebakgedong, Kecamatan Sajira, Kecamatan Sobang dan Kecamatan Muncang,

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Sukabumi 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Provinsi Jawa Barat dengan jarak tempuh 96 km dari Kota Bandung dan 119 km

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

TINGKAT KESESUAIAN SUAKA MARGASATWA CIKEPUH SEBAGAI HABITAT KEDUA BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822)

TINGKAT KESESUAIAN SUAKA MARGASATWA CIKEPUH SEBAGAI HABITAT KEDUA BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) TINGKAT KESESUAIAN SUAKA MARGASATWA CIKEPUH SEBAGAI HABITAT KEDUA BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) (Suitability Level of Cikepuh Wildlife Reserves as Javan Rhino s Second Habitat) RIBAI

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Sumatera Selatan secara astronomis berada pada posisi 1 35 LS 5 LS dan 102 25 BT - 106 BT. Iklim daerah ini tropis dan basah, musim hujan terjadi antara

Lebih terperinci

LAJU INFILTRASI TANAH DIBERBAGAI KEMIRINGAN LERENG HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT LINGGA BUANA

LAJU INFILTRASI TANAH DIBERBAGAI KEMIRINGAN LERENG HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT LINGGA BUANA LAJU INFILTRASI TANAH DIBERBAGAI KEMIRINGAN LERENG HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT LINGGA BUANA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci