4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 13 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Jenis dan lokasi perjumpaan Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, terdapat beberapa lokasi yang diketahui sebagai jalur aktivitas dari mamalia. Lokasi tersebut berupa daerah laut terbuka (offshore) ataupun daerah perairan dangkal seperti daerah tubir terumbu karang. Daerah laut terbuka dan daerah tubir terumbu karang diperkirakan sebagai tempat aktivitas seperti foraging (mencari makan), travelling (berenang bergerombol), dan resting (berenang secara perlahan). Mamalia laut yang ditemukan pada waktu kemunculan membentuk suatu kelompok, di dalam kelompok tersebut terdapat dua jenis lumba-lumba yang berenang secara bersamaan. Lokasi perjumpaan dengan mamalia laut antara lain di sekitar perairan Gusung Mungu, Karang Baronang, Utara Pulau Payung, Perairan Pulau Pari, Selatan Pulau Payung, Pulau Semut, Timur Pulau Opak Besar, Goba Tipis, Gusung Mengkek, Selatan Pulau Panggang, Timur Karang Lebar, dan Timur Karang Congkak. Lumba-lumba yang ditemukan dalam kelompok saat pengamatan antara lain lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus), lumbalumba paruh panjang (Stenella longirostris), dan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis). Sedangkan jenis mamalia laut lain yang ditemukan di perairan Kepulauan Seribu adalah jenis paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens). Menurut Priyono (2001) lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus), lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris), dan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) memiliki persebaran di sekitar Laut Jawa. Jenis dan lokasi perjumpaan dengan mamalia disajikan pada Gambar Kondisi habitat perairan Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh nilai suhu permukaan laut saat kemunculan mamalia laut berkisar antara C. Nilai salinitas yang diperoleh dari hasil pengamatan adalah berkisar antara / 00. Kecepatan arus yang diperoleh saat pengamatan berdasarkan waktu kemunculan mamalia laut berkisar antara 0,0207-0,2098 m/s. Kecepatan angin yang berada di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh angin musin Barat dan angin musim Timur. Dari hasil pengamatan kecepatan angin berdasarkan waktu kemunculan lumba-lumba yang dikonversi menggunakan skala Beaufort diketahui kecepatan angin berkisar antara 1 10 knot. Kecepatan angin

2 14 memberikan pengaruh terhadap bentuk gelombang saat kemunculan mamalia laut. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, saat kemunculan mamalia laut di beberapa lokasi terjadi pada saat air surut rendah, surut, mulai pasang rendah, dan air pasang. Data kondisi pasang surut air laut dan jumlah mamalia laut berdasarkan jenis dan hari perjumpaan disajikan dalam Tabel 1 dan 2. Kondisi habitat perairan yang diperoleh berdasarkan waktu dan lokasi kemunculan disajikan dalam Tabel 3. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari nelayan, jenis ikan yang terdapat di perairan offshore dan daerah tubir terumbu karang antara lain cumi-cumi selat (Loligo pealii), ikan kembung (Rastrelliger sp.), ikan lemuru (Sardinella lemuru), ikan selar (Caranx sp.), ikan tembang (Sardinella fimbriata), ikan tengkek (Megalaspis cordyla), ikan terbang (Paraxoceotus brachypterus), ikan teri (Stolephorus sp.), dan ikan tongkol (Auxis thazard thazard). Lumba-lumba hidung botol memangsa berbagai macam ikan, cepalopoda (cumi-cumi), dan beberapa jenis krustase (Barros & Odell 1990; Cockroft & Ross 1990 in Ingram & Rogan 2002). Selain lumba-lumba hidung botol, lumbalumba paruh panjang juga memakan ikan-ikan mesopelagis kecil, cumi-cumi, dan udang di sekitar terumbu karang dan dasar perairan pada perairan dangkal (Perrin 1998). Tabel 1. Kondisi pasang surut air laut berdasarkan waktu kemunculan mamalia laut Tanggal Waktu Lokasi Cuaca 10 Mei Gosong Mungu Berawan, berangin Surut Kondisi Pasang Surut Air Laut* 11 Mei Karang Baronang Cerah Surut terendah 16 Mei Utara Pulau Payung Cerah Surut 18 Mei Perairan Pulau Pari Berawan, berangin Surut 19 Mei Selatan Pulau Payung Cerah Surut 25 Mei Pulau Semut Cerah Surut Timur Pulau Opak Besar Cerah Mulai pasang rendah 26 Mei Selat Karang Congkak (Goba Tipis) Cerah Pasang 27 Mei Karang Congkak (Gusung Mengkek) Mendung Surut 23 Juni Selatan Pulau Panggang Mendung Pasang 24 Juni Timur Karang Lebar Cerah Surut terendah 28 Juni Timur Karang Congkak Mendung Surut 03 Juli Timur Karang Congkak Mendung Mulai pasang rendah Keterangan: *Konversi dari data pasang surut wilayah Tanjungpriok (Dinas Hidro-Oseaograsi 2009).

3 15 Gambar 3. Jenis dan lokasi perjumpaan dengan mamalia laut 15 15

4 16 Tabel 2. Jumlah mamalia laut berdasarkan jenis dan hari perjumpaan Tanggal Perjumpaan No. Jenis 10 Mei 11 Mei 16 Mei 18 Mei 19 Mei 25 Mei 26 Mei 27 Mei 23 Juni 24 Juni 28 Juni 03 Juli 1 Delphinus delphis Pseudorca crassidens 12 3 Stenella longirostris Tursiop truncates Calf (tidak teridentifikasi) Tidak teridentifikasi 3 4 Jumlah Tabel 3. Jumlah, jenis mamalia laut, parameter fisika berdasarkan waktu dan lokasi kemunculan Tanggal Waktu Perkiraan Posisi Sudut Matahari Lokasi Dan Jenis Mamalia Laut Yang di Temukan Jumlah Jenis Cuaca Paramater Fisika Kecepatan Suhu ( 0 C) Salinitas ( 0 /00) Arus (m/s) Kecepatan Angin *Skala Beaufort (knot) 10 Mei Gusung Mungu Berawan, berangin , Delphinus delphis 2 Tursiops truncatus 11 Mei ,75 0 Karang Baronang Cerah , Stenella longirostris 2 Tursiops truncatus 16 Mei Utara Pulau Payung Cerah , Stenella longirostris 2 Tursiops truncatus 16 16

5 17 Tabel 3. (Lanjutan) 18 Mei ,5 0 Perairan Pulau Pari Berawan, berangin , Stenella longirostris 1 19 Mei Selatan Pulau Payung Cerah , Pseudorca crassidens 1 25 Mei ,25 0 Pulau Semut Cerah 30,5 31 0, Timur Pulau Opak Besar Cerah , Delphinus delphis Tursiops truncatus 2 26 Mei ,75 0 Goba Tipis Cerah , Tursiops truncatus 1 27 Mei ,75 0 Gusung Mengkek Mendung 30,5 32 0, Tursiops truncatus 1 23 Juni ,75 0 Selatan Pulau Panggang Mendung , Juni ,25 0 Timur Karang Lebar Cerah , Tursiops truncatus 1 28 Juni ,25 0 Timur Karang Congkak Mendung , Tursiops truncatus 1 03 Juli ,75 0 Timur Karang Congkak Mendung , Tursiops truncatus 1 Keterangan: *Konversi kecepatan angin hasil pengamatan secara visual ke dalam Skala Beaufort (Beaufort 1805 in )

6 Mamalia Laut dan Karakteristik Lingkungan Kepulauan Seribu Kedalaman berdasarkan kemunculan mamalia laut Kepulauan seribu merupakan daerah gugusan pulau yang memiliki tipe kedalaman yang berbeda pada tiap wilayahnya. Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi kemunculan mamalia laut terdapat di daerah laut terbuka (offshore) dan daerah tubir terumbu karang dengan kedalaman yang berbeda. Pada kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) di perairan Selatan Pulau Payung yang mana perairan tersebut merupakan daerah laut terbuka dan jalur pelayaran kapal, kedalaman tempat kemunculan paus pembunuh palsu berkisar antara m. Paus pembunuh palsu menyukai perairan hangat dengan kedalaman perairan yang berkisar antara m (Carwardine 1995). Peta batimetri pada lokasi kemunculan paus pembunuh palsu disajikan dalam Gambar 4. Gambar 4. Peta batimetri perairan Selatan Pulau Payung berdasarkan kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) Lumba-lumba hidung botol merupakan lumba-lumba yang paling sering ditemukan kemunculannya saat pengamatan. Lokasi kemunculan lumba-lumba hidung botol merupakan daerah laut terbuka dan daerah tubir terumbu karang dengan kisaran kedalaman yang berbeda-beda. Kedalaman minimum berdasarkan lokasi kemunculan lumba-lumba hidung botol adalah 2,9 m dan kedalaman maksimum

7 19 berdasarkan lokasi kemunculan lumba-lumba hidung botol adalah 79 m. Lumbalumba jenis ini merupakan jenis yang umum dijumpai di perairan dengan tingkat adaptasi yang berbeda-beda pada setiap lokasi kemunculan. Leatherwood & Reeves (1983) in Ingram & Rogan (2002) menyatakan bahwa dari seluruh wilayah jelajahnya, lumba-lumba hidung botol umumnya ditemukan di daerah dangkal, dan dekat dengan pantai. Lumba-lumba hidung botol mampu hidup dalam berbagai macam tipe habitat termasuk perairan antar benua (Gomez de Segura et al. 2006; Azzellino et al in Baerzi et al. 2008), lagun dan laut dalam (Baerzi et al. 2008), dan perairan di sekitar pulau dan kepulauan (Fortuna et al in Baerzi et al. 2008). Lumba-lumba hidung botol mampu menyelam hingga kedalaman m. Pada kedalaman tersebut masih dapat ditemukan makanan bagi lumba-lumba (Leatherwood & Reeves 1990 in Birkun 2002). Bentuk dasar topografi dengan kemiringan curam diperkirakan menjadi tempat atau membantu lumba-lumba dalam memangsa ikan (Ballance 1992;Wilson et al in Ingram & Rogan 2002). Peta batimetri pada lokasi kemunculan lumba-lumba hidung botol disajikan dalam Gambar 5, Gambar 6, Gambar 7, Gambar 8, Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14. Gambar 5. Peta batimetri perairan Gusung Mungu berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus)

8 20 Gambar 6. Peta batimetri perairan Karang Baronang berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) Gambar 7. Peta batimetri perairan Utara Pulau Payung berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus)

9 21 Gambar 8. Peta batimetri perairan Pulau Semut berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) Gambar 9. Peta batimetri perairan Timur Pulau Opak Besar berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus)

10 22 Gambar 10. Peta batimetri perairan Goba Tipis berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) Gambar 11. Peta batimetri perairan Gusung Mengkek berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus)

11 23 Gambar 12. Peta batimetri perairan Timur Karang Lebar berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) Gambar 13. Peta batimetri perairan Timur Karang Congkak berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus)

12 24 Gambar 14. Peta batimetri perairan Timur Karang Congkak berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) Lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) merupakan jenis mamalia laut yang umum dijumpai pada daerah perairan dangkal ataupun daerah perairan dalam. Kedalaman minimum pada lokasi kemunculan lumba-lumba paruh panjang adalah 31,8 m, dan kedalaman maksimum pada lokasi kemunculan adalah 72,8 m. Daerah kemunculan lumba-lumba paruh panjang merupakan daerah laut terbuka. Menurut Norris & Dohl (1980) in Di Sciara et al. (2009) saat siang lumba-lumba paruh panjang diketahui bergerak ke daerah perairan dangkal terutama daerah karang, dikarenakan untuk melindungi diri dan menghindari pemangsa seperti ikan hiu. Ketika berada di daerah karang, lumba-lumba paruh panjang ditemukan di daerah yang relatif dangkal (kebanyakan kurang dari 20 m) (Di Sciara et al. 2009). Peta batimetri pada lokasi kemunculan lumba-lumba paruh panjang disajikan dalam Gambar 15, Gambar 16, dan Gambar 17.

13 25 Gambar 15. Peta batimetri perairan Karang Baronang berdasarkan kemunculan lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) Gambar 16. Peta batimetri perairan Utara Pulau Payung berdasarkan kemunculan lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris)

14 26 Gambar 17. Peta batimetri perairan Pulau Pari berdasarkan kemunculan lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) Lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) memiliki wilayah sebaran yang cukup luas termasuk wilayah perairan tropis. Lumba-lumba ini ditemukan pada kedalaman yang berbeda-beda di setiap lokasi kemunculan. Berdasarkan hasil pengamatan, kedalaman minimum pada lokasi kemunculan lumba-lumba ini adalah 3,3 m dan kedalaman maksimum adalah 39,4 m. Bourreau & Gannier (2003) in () menyatakan bahwa lumba-lumba di laut Mediterania ditemukan pada daerah dangkal pada kemiringan perairan yang curam dengan kedalaman 480 m. Selain itu, dari hasil pengamatan lumba-lumba biasa yang ditemukan di Kepulauan Seribu berada pada daerah inshore (dekat pantai) dan offshore (laut terbuka). Di perairan laut Hitam, lumba-lumba biasa ditemukan di perairan dekat pantai sampai ke daerah laut lepas (Reyes 1991 in ). Pada umumnya lumba-lumba biasa dapat ditemui pada daerah offshore pada musim panas dan musim gugur (Neumann & Orams 2005). Peta batimetri pada lokasi kemunculan lumba-lumba biasa disajikan dalam Gambar 18 dan Gambar 19.

15 27 Gambar 18. Peta batimetri perairan Gusung Mungu berdasarkan kemunculan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) Gambar 19. Peta batimetri perairan Pulau Semut berdasarkan kemunculan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis)

16 28 Kepulauan seribu merupakan daerah gugusan pulau yang memiliki tipe kedalaman yang berbeda pada tiap wilayahnya. Kedalaman di kawasan Kepulauan Seribu berkisar antara 5 90 m (Mihardja dan Pranowo 2001). Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa mamalia laut yang ditemukan di Kepulauan Seribu memiliki kemampuan adaptasi menurut kedalaman yang berbeda-beda di setiap lokasi kemunculan. Tingkat kedalaman dapat mempengaruhi beberapa aktivitas bagi mamalia laut. Beberapa aktivitas yang dilakukan mamalia laut pada tingkat kedalaman tertentu antara lain mencari makan, berenang di dekat permukaan, dan melakukan perkawinan. Pada kedalaman m lumba-lumba umumnya melakukan aktivitas berupa mencari makan, dan pada kedalaman 2-7,2 m ditemukan lumba-lumba yang melakukan proses percumbuan atau kawin (Karczmarski et al. 1997) Kecepatan arus permukaan dan angin berdasarkan kemunculan mamalia laut Arus yang merupakan perpindahan masa air berperan dalam membawa fitoplankton, zooplankton, dan larva ikan atau udang dari daerah perairan dangkal menuju tengah laut atau sebaliknya. Menurut Gross (1972) in Akbar (2008) arus merupakan gerakan horizontal atau vertikal dari masa air laut menuju kestabilan yang terjadi secara terus-menerus. Pada saat kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) kecepatan arus permukaan yang diperoleh adalah 0,0478 m/s. Sedangkan saat kemunculan lumba-lumba hidung Botol (Tursiops truncatus), lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris), dan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) kecepatan arus permukaan yang diperoleh berkisar antara 0,0207-0,2098 m/s. Beberapa spesies lumba-lumba dijumpai berenang di depan atau samping kapal dengan memanfaatkan arus yang dihasilkan oleh kapal. Arus yang terdapat di perairan dimanfaatkan lumba-lumba untuk menghemat energi saat melakukan aktivitas renang (Andersen 1969). Arus yang terlalu kencang diduga tidak terlalu disukai oleh lumba-lumba. Hal ini diduga berkaitan dengan aktivitas lumba-lumba dalam mencari makan. Arus yang terlalu kencang akan menyulitkan lumba-lumba dalam menangkap mangsanya, dan akan mengurangi energi lumba-lumba saat melakukan pemangsaan ataupun saat berenang. Kecepatan angin yang bertiup di Kepulauan Seribu bergantung kepada jenis musim angin yang bertiup. Berdasarkan hasil pengamatan, kecepatan angin yang

17 29 diperoleh setelah dikonversi dengan skala Beaufort berkisar antara 1 10 knot. Pada saat kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) kecepatan angin permukaan yang diperoleh berkisar antara 1-3 knot. Kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) di Kepulauan Seribu memiliki kisaran kecepatan angin permukaan antara 1-10 knot. Kecepatan angin permukaan saat kemunculan lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) berkisar antara 1-3 knot dan 7-10 knot. Untuk Kecepatan angin permukaan saat kemunculan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) adalah 4-6 knot dan 7-10 knot. Beaufort (1805) in () mengatakan bahwa bentuk permukaan air pada kecepatan angin 1-3 knot akan membuat permukaan terlihat beriak dan tidak ada buih pada puncak gelombang. Untuk kecepatan angin 4-6 knot pada permukaan air akan terbentuk gelombang kecil, puncak gelombang mulai terlihat, dan gelombang tidak pecah. Untuk kecepatan angin 7-10 knot gelombang yang terbentuk mulai besar, puncak gelombang mulai pecah, dan mulai terbentuk buih saat pecah gelombang. Menurut Noor (2003) kecepatan angin yang bertiup di Kepulauan Seribu saat musim Barat berkisar antara 7-15 knot/jam, dan saat musim Timur berkisar antara 7-20 knot/jam. Berdasarkan hal tersebut, mamalia laut yang ditemukan di Kepulauan Seribu memiliki tingkat adaptasi terhadap kecepatan angin yang berbeda-beda. Kecepatan angin akan mempengaruhi bentuk gelombang yang terbentuk saat kemunculan. Gelombang yang terbentuk pada permukaan air diduga dapat mempengaruhi perilaku mamalia laut. Hasil pengamatan secara visual saat kemunculan mamalia laut menunjukkan bahwa pada kecepatan angin permukaan 1-3 knot mamalia laut melakukan aktivitas berenang secara bergerombol pada permukaan air (travelling) lebih lama. Sedangkan pada kecepatan angin permukaan 4-10 knot mamalia laut melakukan aktivitas berenang secara bergerombol pada permukaan air (travelling) lebih cepat Suhu permukaan berdasarkan kemunculan mamalia laut Suhu menjadi faktor yang sangat berperan dalam proses fisiologis bagi seluruh organisme, baik pada ikan maupun pada mamalia laut. Suhu juga dapat berperan dalam penyebaran organisme yang ada di perairan. Dari hasil pengamatan, diperoleh nilai suhu permukaan laut saat kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) adalah 32 C. Paus pembunuh palsu menyukai perairan yang hangat (Carwardine 1995). Bruyns (1971) in Kastelein et al. (2000) menyatakan bahwa paus

18 30 pembunuh palsu yang ada di alam liar hidup pada suhu permukaan di atas 20 0 C, dan kadang-kadang mereka juga dijumpai pada suhu 9 0 C (Stacey & Baird 1991 in Kastelein et al. (2000). Menurut Odell & McClune (1999) in Kastelein et al. (2000) diduga bahwa paus pembunuh palsu memiliki pola makan musiman yaitu pada saat musim panas. Lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) merupakan jenis mamalia laut yang mampu hidup pada kisaran suhu yang berbeda pada tiap lokasi kemunculan. Berdasarkan hasil pengamatan, kisaran suhu permukaan saat kemunculan lumbalumba hidung botol adalah C. Di daerah pantai Utara Amerika, lumba-lumba paruh panjang sering dijumpai pada suhu permukaan C (Wells & Scott 1999 in ). Lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) merupakan lumba-lumba yang mampu hidup pada beberapa jenis tipe habitat. Dari hasil pengamatan, suhu permukaan yang didapat saat kemunculan lumba-lumba paruh panjang berkisar antara C. Di daerah perairan Barat Daya Samudera Atlantik, lumba-lumba paruh panjang dtemukan pada suhu permukaan yang berkisar antara C (Moreno et al. 2005). Lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) memiliki wilayah sebaran yang cukup luas termasuk wilayah perairan tropis maupun subtropis. Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh nilai suhu permukaan saat kemunculan lumba-lumba biasa adalah 31 0 C. Cawardine (1995) in () menyatakan bahwa lumbalumba biasa dapat dijumpai pada kisaran suhu permukaan antara C. Selain itu, lumba-lumba biasa juga dapat hidup pada perairan hangat. Wells et al. (1999) in Burgess (2006) mengatakan suhu air laut dapat mempengaruhi suhu tubuh saat beraktivitas dan pada saat memangsa makanan. Suhu permukaan di Kepulauan Seribu pada musim Barat berkisar antara C, dan pada musim Timur suhu permukaan berkisar antara C (Dinas Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta 1998 in Noor 2003). Bruyns (2001) in Ali (2006) menyatakan bahwa lumba-lumba memiliki kisaran suhu yang disukai sebagai habitat hidupnya yaitu C. Untuk kestabilan suhu, cetacea memiliki lapisan lemak dibawah kulitnya. Lemak terdapat pula di bagian lain dari tubuh, dengan jumlah sekitar 50% dari berat tubuhnya. Lapisan lemak tersebut untuk mempertahankan kondisi tubuh tetap pada suhu C, walaupun hidup pada lingkungan dengan suhu kurang dari 25 C dan mungkin dibawah 10 0 C (Reseck 1998). Selain berfungsi

19 31 sebagai penahan panas tubuh, lemak pada cetacea juga digunakan sebagai bentuk adaptasi terhadap daya apung (Nybakken 1992). Berdasarkan hal tersebut, dapat diduga bahwa mamalia laut yang ditemukan dapat beradaptasi dengan suhu di Kepulauan Seribu. Pada umumnya suhu perairan sangat berpengaruh terhadap migrasi mamalia laut, baik paus maupun lumba-lumba. Suhu perairan mempengaruhi penyebaran dan ketersediaan makanan bagi mamalia laut. Selain itu, mamalia laut yang umumnya berdarah panas lebih memilih perairan tropis yang relatif hangat dan perubahan suhu perairannya relatif kecil sebagai tujuan migrasi. Adanya perubahan iklim yang berdampak terhadap peningkatan suhu permukaan laut mengakibatkan terganggunya jalur migrasi dan waktu migrasi dari lumba-lumba. Sebagian dari paus atau lumbalumba hidup pada perairan yang hangat. Migrasi yang dilakukan mamalia ke daerah ekuator dari arktik dan antartika bertujuan untuk mendapatkan makanan dan untuk beradaptasi terhadap suhu hangat (Andersen 1969) Salinitas berdasarkan kemunculan mamalia laut Salinitas air laut dapat memberikan pengaruh terhadap aktivitas organisme perairan. Salinitas umumnya berpengaruh terhadap osmoregulasi organisme perairan sebagai bentuk adaptasi. Dari hasil penelitian, nilai salinitas permukaan yang diperoleh saat kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) adalah 32 0 / 00. Untuk kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) nilai salinitas permukaan saat pengamatan berkisar antara / 00. Pada beberapa wilayah seperti di Guayaquil, salinitas perairan mempengaruhi distribusi dari lumbalumba hidung botol. Lumba-lumba hidung botol yang hidup di wilayah ini hidup disekitar daerah muara, yang mana tingkat salinitasnya mengalami perubahan karena adanya run off dari daerah daratan atau sungai. Pada daerah ini, lumba-lumba hidung botol lebih memilih daerah yang sedikit jauh dari muara untuk menghindari perubahan salinitas yang terjadi akibat run off (Felix 1994). Nilai salinitas yang diperoleh saat kemunculan lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) berkisar antara / 00. Kisaran salinitas saat kemunculan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) adalah / 00. Salinitas permukaan Kepulauan Seribu berkisar antara / 00 (Dinas Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta 1998 in Noor 2003). Perairan Kepulauan Seribu termasuk perairan laut lepas, yang mana tingkat perubahan salinitas permukaan air laut tidak terlalu besar. Selain

20 32 itu, daerah Kepulauan Seribu tidak mendapatkan pengaruh run off dari daratan yang dapat merubah nilai salinitas. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa mamalia laut yang ditemukan mampu beradaptasi dengan kondisi salinitas di Kepulauan Seribu. Nilai salinitas juga dapat mempengaruhi distribusi dari lumbalumba. Distribusi lumba-lumba karena salinitas umumnya dipengaruhi oleh perbedaan tipe habitat pada lokasi kemunculan lumba-lumba di dunia. Menurut Gawarkiewicz et al. (1998) in Ali (2006) distribusi lumba-lumba dibatasi oleh gradien salinitas di permukaan laut Pasang surut berdasarkan kemunculan mamalia laut Pasang surut terjadi akibat adanya gaya gravitasi antara bulan, bumi, dan matahari. Pasang surut sangat berpengaruh terhadap kondisi biota laut yang berada di perairan dangkal atau pantai dan biota yang berada di tengah laut atau laut lepas (Jong Huat 2003 in ). Dari hasil pengamatan yang dilakukan, saat kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) kondisi perairan sedang surut. Lokasi kemunculan paus pembunuh palsu berada pada perairan laut terbuka. Untuk kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) kondisi perairan sedang mengalami surut maupun pasang. Lokasi kemunculan lumba-lumba hidung botol saat surut berada pada daerah perairan laut terbuka, dan saat air pasang, lumba-lumba ini ditemukan dekat dengan daerah tubir terumbu karang. Air pasang memberikan pengaruh terhadap gerak renang lumba-lumba. Irvine & Wells (1972) in Harzen (1998) mengatakan bahwa Dekat Sarasota, Florida, lumba-lumba memanfaatkan arus air pasang menuju perairan dangkal dekat dengan lamun untuk mencari makan terutama memangsa ikan. Kondisi perairan saat lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) muncul adalah saat kondisi surut. Lokasi kemunculan lumba-lumba paruh panjang adalah pada perairan laut terbuka. Saat kemunculan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) kondisi perairan sedang surut, dan lokasi kemunculan juga berada pada perairan laut terbuka. Pada saat air surut, arus air surut akan membawa makanan bagi biota laut yang hidup di tengah laut. Arus laut saat air surut akan membawa fitoplankton, zooplankton, dan ikan-ikan kecil ke tengah laut, sehingga terjadi supply makanan di daerah tengah laut (Jong Huat 2003 in ). Pada saat kondisi air pasang, arus laut akan kembali membawa biota yang menjadi supply makanan ke

21 33 daerah perairan dangkal (Jong Huat 2003 in ). Paus pembunuh palsu dan lumba-lumba yang muncul pada daerah laut terbuka saat air surut memanfaatkan arus air surut untuk mendapatkan makanan yang lebih banyak di daerah perairan laut terbuka. Sedangkan lumba-lumba yang muncul pada daerah dekat tubir terumbu karang memanfaatkan arus air pasang yang membawa makanan ke daerah terumbu karang. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa mamalia laut yang ditemukan di Kepulauan Seribu memanfaatkan arus air saat terjadi pasang surut air laut. Keberadaan arus air saat pasang maupun surut diduga dapat membantu lumba-lumba maupun paus pembunuh palsu untuk mendapatkan makanan, sehingga mamalia laut tersebut lebih efisien untuk mengeluarkan energi saat mencari makan dan berenang dengan memanfaatkan arus air tersebut Kemunculan Mamalia Laut Berdasarkan Waktu dan Perkiraan Posisi Sudut Matahari Pada Tabel 1. dapat diketahui bahwa waktu kemunculan dari mamalia laut di Kepulauan Seribu paling banyak berada pada selang waktu WIB, dan mamalia laut yang paling sedikit muncul berada pada selang waktu WIB. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa posisi matahari dan waktu kemunculan dapat mempengaruhi perilaku mamalia laut di perairan. Berdasarkan pengamatan perilaku secara visual, aktivitas yang dilakukan saat selang waktu WIB adalah travelling (berenang bergerombol), resting (berenang secara perlahan), dan foraging (mencari makan). Pada Tabel 3. mempengaruhi suhu permukaan air laut. dapat diketahui bahwa posisi sudut matahari diduga dapat Selain posisi sudut matahari, nilai suhu permukaan laut juga diduga dipengaruhi kondisi cuasa saat pengamatan. Menurut hasil pengamatan, pada selang pukul WIB suhu permukaan laut relatif lebih sejuk dan hangat dengan kisaran suhu antara C. Sedangkan pada selang pukul WIB suhu permukaan laut 32 0 C. Semakin tinggi posisi matahari sudut datang cahaya yang terbentuk akan semakin besar dan akan mempengaruhi suhu permukaan laut. Berdasarkan hal tersebut, kemunculan mamalia laut diduga dipengaruhi posisi ketinggian matahari. Mamalia laut relatif menyukai suhu permukaan yang relatif sejuk dan hangat untuk beraktivitas dan menghindari suhu permukaan laut yang panas. Menurut hasil penelitian Siahaninenia (2008) di pantai Lovina Bali, menyatakan bahwa kemunculan lumba-lumba terjadi paling banyak pada

22 34 pukul WIB. Lammers et al. (2001) in Siahaninenia (2008) mengatakan bahwa perjumpaan dengan lumba-lumba paruh panjang lebih banyak terjadi pada pagi hari dibandingkan pada sore hari. Sedangkan menurut Setiawan (2004) mengatakan bahwa di perairan Taman Nasional Komodo kemunculan mamalia laut lebih sering terlihat pada pukul WIB. Hal ini diduga karena mamalia laut menuju suatu tempat untuk istirahat setelah melakukan aktivitas pada pagi dan siang hari Aspek Pengelolaan Habitat satwa liar di perairan laut yang semakin terdesak oleh aktivitas manusia yang cenderung merusak, membuat kualitas habitat semakin memburuk. Pencemaran domestik ataupun pencemaran dari daerah daratan, dan penggunaan bahan peledak saat penangkapan merupakan aktivitas manusia yang merusak kondisi habitat satwa liar. Habitat merupakan rumah bagi setiap satwa liar baik satwa terestrial maupun satwa aquatic khususnya mamalia laut. Perlindungan habitat bagi mamalia laut dengan pola distribusi yang luas paling baik dilakukan melalui pendekatan Manajemen Berbasis Ekosistem, dengan membuat jaringan Sea Mammal Sanctuary atau Daerah Perlindungan Laut (DPL), dimana tetap memperhatikan kepentingan manusia seperti wisata dan penangkapan ikan. Manajemen Berbasis Ekosistem merupakan suatu kebijakan untuk mengelola ekosistem, baik dari segi pemanfaatan maupun nilainya, dengan melibatkan seluruh stakeholder untuk memelihara kesatuan ekologi walaupun dihadapkan pada ketidakpastian dan perubahan ekosistem secara alami. Pengelolaan terhadap aktivitas penangkapan ikan, polusi suara dan kimia, dan lalu lintas pelayaran dibutuhkan untuk mengurangi dampak buruk dan untuk memelihara fungsi ekosistem. Perlindungan terhadap habitat kritis melalui Manajemen Berbasis Ekosistem memberikan manfaat bagi seluruh pihak, baik untuk ekosistem maupun kepentingan manusia (Hoyt 2005). Pendekatan Manajemen Berbasis Ekosistem dapat diterapkan di kawasan Kepulauan Seribu, dimana terdapat banyak gugus karang. Terumbu karang yang menjadi produsen, tempat mencari makan, tempat memijah beberapa biota, dan tempat belindung bagi beberapa jenis ikan termasuk lumba-lumba. Pemakaian bahan beracun seperti potassium (K) yang masih dilakukan masyarakat Kepulauan Seribu di beberapa lokasi karang untuk menangkap ikan sangat membahayakan kehidupan biota yang hidup berasosiasi dengan karang. Rusaknya daerah terumbu karang, akan berpengaruh kepada penurunan stok ikan yang ada di perairan Kepulauan Seribu,

23 35 yang kemungkinan ikan tersebut merupakan makanan bagi lumba-lumba. Selain itu, perlu ditingkatkannya sifat kearifan lokal dari masyarakat Kepulauan Seribu untuk tidak merusak habitat satwa liar, dan tidak melakukan perburuan satwa liar seperti lumba-lumba untuk tetap menjaga kelestarian ekosistem laut.

KARAKTERISTIK HABITAT MAMALIA LAUT DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

KARAKTERISTIK HABITAT MAMALIA LAUT DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA KARAKTERISTIK HABITAT MAMALIA LAUT DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA DENNY WAHYUDI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan Lumba-lumba Hasil pengamatan lumba-lumba ditunjukan oleh Tabel 5. Pengamatan lumba-lumba di perairan Pulau Karang Congkak dan Perairan Pulau Karang Lebar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perairan Indonesia merupakan perairan yang sangat unik karena memiliki keanekaragaman Cetacea (paus, lumba-lumba dan dugong) yang tinggi. Lebih dari sepertiga jenis paus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia memiliki luasan dengan luas kira-kira 5 juta km 2 (perairan dan daratan), dimana 62% terdiri dari lautan dalam batas 12 mil dari garis pantai (Polunin,

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil pengamatan lumba-lumba Hasil pengamatan lumba-lumba ditunjukkan dalam Tabel 9. Dari pengamatan lumba-lumba di dua lokasi, total waktu yang dibutuhkan per hari adalah ±

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kondisi umum lokasi penelitian

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kondisi umum lokasi penelitian 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kondisi umum lokasi penelitian Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa. Lokasinya berada antara 06 00 40 dan 05 54

Lebih terperinci

DISTRIBUSI LUMBA-LUMBA DI KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA CHIKARISTA IRFANGI

DISTRIBUSI LUMBA-LUMBA DI KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA CHIKARISTA IRFANGI DISTRIBUSI LUMBA-LUMBA DI KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA CHIKARISTA IRFANGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Oseanografi Perairan Kabupaten Raja Ampat Kabupaten Raja Ampat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat, hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong. Raja

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 5 45' 9 8 7 5 44' 6 5 43' 5 42' 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa pulau di kawasan Kepulauan Seribu (P. Karang Congkak, P. Karang Lebar), Jakarta

Lebih terperinci

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Deskripsi umum lokasi penelitian 3.1.1 Perairan Pantai Lovina Kawasan Lovina merupakan kawasan wisata pantai yang berada di Kabupaten Buleleng, Bali dengan daya tarik

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Wilayah Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa. Lokasinya berada antara 06 00 40 dan 05 54 40 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

HIDROSFER VI. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER VI. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER VI Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami kedalaman laut dan salinitas air laut. 2.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA Materi Penyebaran Komunitas Fauna di Dunia Keadaan fauna di tiap-tiap daerah (bioma) tergantung pada banyak kemungkinan yang dapat diberikan daerah itu untuk memberi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 28 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis dan Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah sebuah kabupaten administrasi di Provinsi DKI Jakarta dimana sebelumnya menjadi salah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 31 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 cahaya Menurut Cayless dan Marsden (1983), iluminasi atau intensitas penerangan adalah nilai pancaran cahaya yang jatuh pada suatu bidang permukaan. cahaya dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

EVALUASI KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU

EVALUASI KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU JRL Vol. 4 No.1 Hal 1926 Jakarta, Januari 2008 ISSN : 20853866 EVALUASI KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU Suhendar I Sachoemar Pusat Teknologi Pertanian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.4

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.4 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.4 1. Berdasarkan letaknya laut-laut yang berada di Indonesia merupakan contoh laut jenis... transgresi pedalaman pertengahan regresi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH. 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang

V. KEADAAN UMUM WILAYAH. 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang V. KEADAAN UMUM WILAYAH 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang Wilayah Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 12 pulau dan memiliki kondisi perairan yang sesuai untuk usaha budidaya. Kondisi wilayah

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries 1

PENDAHULUAN. PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries 1 PENDAHULUAN PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries (PT. BUMWI) adalah merupakan salah satu perusahaan pengusahaan hutan yang mengelola hutan bakau (mangrove). Dan seperti diketahui bahwa, hutan mangrove

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN Novi Indriyawati, Indah Wahyuni Abida, Haryo Triajie Jurusan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru 5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru Perairan Kabupaten Barru terletak di pantai barat pulau Sulawesi dan merupakan bagian dari Selat Makassar. Perairan ini merupakan salah satu pintu masuk

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya ini perlu dikelola dengan baik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang khas dimana dibentuk dari komunitas pasang surut yang terlindung dan berada di kawasan tropis sampai sub tropis.

Lebih terperinci

KEBERADAAN LUMBA-LUMBA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI HABITAT DI PERAIRAN PULAU KARANG CONGKAK, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA

KEBERADAAN LUMBA-LUMBA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI HABITAT DI PERAIRAN PULAU KARANG CONGKAK, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA 1 KEBERADAAN LUMBA-LUMBA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI HABITAT DI PERAIRAN PULAU KARANG CONGKAK, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA MEGA DEWI ASTUTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

2.2. Reaksi ikan terhadap cahaya

2.2. Reaksi ikan terhadap cahaya H. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bagan apung Bagan adalah alat tangkap yang menggunakan cahaya sebagai alat untuk menarik dan mengumpulkan ikan di daerah cakupan alat tangkap, sehingga memudahkan dalam proses

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

Gerakan air laut yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan sehari-hari adalah nomor

Gerakan air laut yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan sehari-hari adalah nomor SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.5 1. Bagi para nelayan yang menggunakan kapal modern, informasi tentang gerakan air laut terutama digunakan untuk... mendeteksi

Lebih terperinci

Samudera adalah kumpulan air yang sangat banyak, menutupi hampir. 71 persen Bumi dan memisahkan benua. Jutaan tahun yang lalu ketika Bumi

Samudera adalah kumpulan air yang sangat banyak, menutupi hampir. 71 persen Bumi dan memisahkan benua. Jutaan tahun yang lalu ketika Bumi Samudera Samudera adalah kumpulan air yang sangat banyak, menutupi hampir 71 persen Bumi dan memisahkan benua. Jutaan tahun yang lalu ketika Bumi mendingin, uap air di atmosfer mengembun membentuk air.

Lebih terperinci

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA http://7.photobucket.com Oleh: Rizka Widyarini Grace Lucy Secioputri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 4.1. Potensi Sumberdaya Lahan Pesisir Potensi sumberdaya lahan pesisir di Kepulauan Padaido dibedakan atas 3 tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Pada pulau-pulau berpenduduk,

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009 32 6 PEMBAHASAN Penangkapan elver sidat di daerah muara sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat ikan sidat yang aktivitasnya meningkat pada malam hari (nokturnal). Penangkapan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan TINJAUAN PUSTAKA Danau Perairan pedalaman (inland water) diistilahkan untuk semua badan air (water body) yang ada di daratan. Air pada perairan pedalaman umumnya tawar meskipun ada beberapa badan air yang

Lebih terperinci

REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA

REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA LAPORAN PRAKTIKUM REKLAMASI PANTAI (LAPANG) REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA Dilaksanakan dan disusun untuk dapat mengikuti ujian praktikum (responsi) mata kuliah Reklamasi Pantai Disusun Oleh :

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Wilayah Banten berada pada batas astronomi 5º7 50-7º1 11 Lintang Selatan dan 105º1 11-106º7 12 Bujur Timur. Luas wilayah Banten adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

Judul : PAUS BELUGA Penulis Cerita : Renny Yaniar Penulis Pengetahuan : Christien Ismuranty Editor Bahasa : Niken suryatmini Desain dan Layout : Imam

Judul : PAUS BELUGA Penulis Cerita : Renny Yaniar Penulis Pengetahuan : Christien Ismuranty Editor Bahasa : Niken suryatmini Desain dan Layout : Imam Judul : PAUS BELUGA Penulis Cerita : Renny Yaniar Penulis Pengetahuan : Christien Ismuranty Editor Bahasa : Niken suryatmini Desain dan Layout : Imam Eckhow Adrian Ian Ilustrasi dan Warna : Rahmat M. H.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

PENANGKAPAN IKAN. Fisheries Department UMM

PENANGKAPAN IKAN. Fisheries Department UMM LOKASI DAERAH PENANGKAPAN IKAN Riza Rahman Hakim, SPi S.Pi Fisheries Department UMM MenentukanDaerah Penangkapan Ikan (DPI) Operasi penangkapan ikan akan berhasil dengan baik apabila dilakukan di daerah

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

Pengertian Pencemaran Laut dan Penyebab Terjadinya Pencemaran Laut

Pengertian Pencemaran Laut dan Penyebab Terjadinya Pencemaran Laut Pencemaran Laut Pengertian Pencemaran Laut dan Penyebab Terjadinya Pencemaran Laut Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Kota Serang Kota Serang adalah ibukota Provinsi Banten yang berjarak kurang lebih 70 km dari Jakarta. Suhu udara rata-rata di Kota Serang pada tahun 2009

Lebih terperinci

Data yang dikeluarkan oleh Kantor Distrik Teluk Mayalibit. Tanggal 6 Januari

Data yang dikeluarkan oleh Kantor Distrik Teluk Mayalibit. Tanggal 6 Januari Bab Satu Pendahuluan Latar Belakang Masalah Kampung Warsambin adalah salah satu kampung yang terletak di distrik Teluk Mayalibit, kabupaten Raja Ampat. Sebelum mengalami pemekaran distrik, Teluk Mayalibit

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci