ANALISIS BIOEKONOMI UNTUK PEMANFAATAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS BIOEKONOMI UNTUK PEMANFAATAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN"

Transkripsi

1 ANALISIS BIOEKONOMI UNTUK PEMANFAATAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN FITRIA NUR INDAH SARI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2012 Fitria Nur Indah Sari C

3 RINGKASAN Fitria Nur Indah Sari, C Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Dibawah bimbingan Achmad Fahrudin dan Mennofatria Boer. Rajungan merupakan salah satu sumberdaya hayati ekonomis penting. Nilai ekspor rajungan pada tahun 2007 menempati urutan ketiga setelah udang dan tuna yaitu ton dengan nilai 170 juta dolar AS. Pada tahun 2011 nilai ekspor rajungan meningkat menjadi ton yang mencapai nilai 250 juta dolar AS. Kebutuhan ekspor rajungan di Indonesia banyak mengandalkan hasil tangkapan nelayan di laut salah satunya dari Teluk Banten yang merupakan salah satu lokasi penangkapan rajungan. Nelayan yang melakukan penangkapan rajungan di Teluk Banten mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model surplus produksi yang sesuai dengan karakteristik rajungan di Teluk Banten. Selanjutnya, model yang sesuai dianalisis secara bioekonomi melalui rezim pengelolaan MSY, MEY, dan Open access agar dapat diketahui usulan upaya pengelolaan untuk pemanfaatan sumberdaya rajungan di Teluk Banten secara berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas PPN Karangantu. Lokasi penelitian di PPN Karangantu yang terletak di bagian selatan Teluk Banten. Model surplus produksi yang dicobakan adalah Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley (CYP). Melalui perbandingan hasil tangkapan aktual masing-masing model serta nilai R 2 diperoleh bahwa model CYP adalah model yang sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan di Teluk Banten. Nilai R 2 pada model CYP sebesar 0,9826 dengan hasil tangkapan maksimum lestari sebesar ,41 kg melalui upaya optimum sebesar trip. Berdasarkan analisis bioekonomi dalam kurun waktu menunjukkan bahwa sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami biologic overfishing maupun economic overfishing. Hal tersebut dilihat dari nilai hasil tangkapan aktual sebesar kg/tahun dengan upaya trip/tahun menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp ,00 sehingga kondisi ini tidak melebihi nilai hasil tangkapan pada rezim pengelolaan MSY sebesar ,41 kg/tahun dan upaya pada rezim pengelolaan MEY sebesar trip/tahun yang menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp ,00. Upaya pengelolaan untuk sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten yaitu dengan cara menetapkan TAC (Total Allowable Catch) yang bernilai 80% dari hasil tangkapan maksimum lestari menurut model CYP sebesar ,13 kg/tahun. Selain itu, upaya pengelolaan lain berupa pengaturan effort (alat tangkap) pada ukuran mata jaring berdasarkan umur rajungan dan lebar karapas. Pengaturan effort ini diharapkan dapat mencapai keuntungan maksimum berdasarkan rezim pengelolaan MEY. Kata kunci : Analisis bioekonomi, Model surplus produksi, Pemanfaatan sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus), Teluk Banten.

4 ANALISIS BIOEKONOMI UNTUK PEMANFAATAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN FITRIA NUR INDAH SARI C Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

5 PENGESAHAN SKRIPSI Judul : Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten : Fitria Nur Indah Sari : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui, Pembimbing 1 Pembimbing 2 Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si NIP Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer NIP Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal Lulus : 7 Agustus 2012

6 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas begitu besar kasih karunia dan berkat-nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi yang berjudul Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten disusun untuk mengetahui usulan upaya pengelolaan untuk pemanfaatan sumberdaya rajungan di Teluk Banten secara berkelanjutan melalui model surplus produksi dan analisis bioekonomi yang sesuai dengan karakteristik rajungan di Teluk Banten. Demikianlah skripsi ini disusun, semoga bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca. Saran dan kritik atas skripsi ini sangat diharapkan demi kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Bogor, Agustus 2012 Penulis

7 UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur kepada Tuhan karena penulis dapat menyelesaikan penelitian akhir serta menuliskannya dalam skripsi yang berjudul Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang-Banten. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, diantaranya: 1. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA atas arahan dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini; 2. Dr. Ir. Etty Riani, MS. sebagai dosen penguji tamu yang memberi motivasi kepada penulis dan telah memberi saran perbaikan pada skripsi ini; 3. Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan dan Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si atas saran penyempurnaan skripsi ini; 4. Prof. Dr.Ir. Kadarwan Soewardi sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberi nasehat dan motivasi; 5. Ir. Zairion, M.Si atas bimbingan dan arahannya; 6. Seluruh Dosen Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas ilmu yang telah diberikan selama ini; 7. Seluruh staf Tata Usaha MSP, staf Laboratorium Model dan Simulasi serta seluruh civitas MSP yang telah membantu dan memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini; 8. Keluarga tercinta, Mamah Susilowati, A Wiji, Ade Ita dan Ade Via atas semua doa, nasehat, semangat, serta kasih sayang yang diberikan kepada penulis; 9. Staf PPN Karangantu (Pak Hartoyo, Pak Amir, Mas Ilham dan lainnya) atas bantuannya selama melakukan penelitian; 10. Keluarga Pink House (Risty dan Memey) serta sahabat-sahabatku selama kuliah (Pinky, Nimas, Pion, Yuli dan Lodi) atas doa, dukungan dan semangatnya selama ini kepada penulis; 11. Teman-teman seperjuangan MSP 45, adik-adik MSP 46 dan 47 atas segala dorongan, inspirasi dan semangat kepada penulis; 12. Pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di DKI Jakarta pada tanggal 21 November 1990 dari pasangan Bapak Jumanto dan Ibu Susilowati. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis mengawali pendidikan formal di SDN Sungai Bambu 05 Pagi Jakarta Utara dan lulus di tahun Pada tahun , penulis meneruskan pendidikan di SMPN 95 Jakarta Utara. Kemudian, pada tahun menempuh pendidikan di SMA Negeri 80 Jakarta Utara. Penulis masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima sebagai mahasiswi Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (Himasper) sebagai Divisi Kewirausahaan periode Selain itu, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitian seperti IPB Art Contest, Gebyar Perikanan, serta Festival Air. Penulis juga berkesempatan mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa bidang Gagasan Tertulis dan lolos sebagai karya yang didanai oleh pihak DIKTI. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dalam rangka menyelesaikan studi di FPIK, IPB, dengan judul Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten dibawah bimbingan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ix Halaman 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus) Model Surplus Produksi Model Schaefer (1954) Model Fox (1970) Model Walter Hilborn (1976) Model Schnute (1977) Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992) Analisis Bioekonomi Perikanan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Metode Pengumpulan Data Teknik Analisis Standarisasi Upaya Penangkapan Model Surplus Produksi Analisis Bioekonomi HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Perikanan di Teluk Banten Daerah dan Musim Penangkapan Model Surplus Produksi Analisis Bioekonomi Pembahasan KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x xi xii

10 DAFTAR TABEL Halaman 1. Analisis bioekonomi berbagai rezim pengelolaan Hasil tangkapan rajungan (ton) per jenis alat tangkap di Teluk Banten kurun waktu Upaya per jenis alat tangkap (trip) rajungan di Teluk Banten kurun waktu Jumlah tangkapan (c) dan jumlah upaya penangkapan (f) rajungan di Teluk Banten berdasarkan hasil standarisasi kurun waktu Produksi rajungan per bulan di PPN Karangantu tahun Jumlah tangkapan (c), jumlah upaya penangkapan (f) dan jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) rajungan di Teluk Banten Perbandingan parameter koefisien penangkapan (q), daya dukung lingkungan (K), pertumbuhan intrinsik (r), nilai koefisien determinasi (R 2 ), dan Standar error (SE) antara lima model produksi surplus rajungan di Teluk Banten Nilai parameter biologi dan ekonomi dalam penentuan MEY dan MSY Hasil Perhitungan bioekonomi sumberdaya rajungan di Teluk Banten x

11 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran Rajungan (Portunus pelagicus) Hubungan antara biomassa tangkapan (B) dengan turunan pertama biomassa (Sparre dan Venema 1999) Kurva hubungan kuadratik antara biomassa (Bt) dengan turunan pertama biomassa terhadap waktu (dbt/dt) Kurva model Schaefer dan Fox Keseimbangan Ekonomi Model Gordon-Schaefer Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu Persentasi hasil tangkapan per jenis ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu Grafik jumlah tangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu Grafik upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu Grafik tangkapan per satuan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu Kurva hubungan jumlah tangkapan (c) dan jumlah upaya penangkapan (f) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Schaefer Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schaefer perikanan rajungan di Teluk Banten Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Fox perikanan rajungan di Teluk Banten Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Walter Hiborn perikanan rajungan di Teluk Banten Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schnute perikanan rajungan di Teluk Banten Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Clarke Yoshimoto Pooley perikanan rajungan di Teluk Banten xi

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Daftar pertanyaan/kuisioner untuk nelayan Jumlah tangkapan total (c total ), upaya penangkapan total (f total ), jumlah tangkapan per satuan upaya total (CPUEtotal) dan fishing power index (FPI) rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten dan perhitungan standarisasi upaya penangkapan Statistik regresi model Schaefer Statistik regresi model Fox Statistik regresi model Walter Hilborn Statistik regresi model Schnute Statistik regresi model CYP Kurva perbandingan antara hasil tangkapan rajungan aktual dengan hasil tangkapan berdasarkan tujuh model produksi surplus selama kurun waktu Data hasil wawancara Tabel perhitungan analisis bioekonomi Foto hasil penelitian xii

13 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rajungan (Portunus pelagicus) atau Blue Swimming Crab merupakan sumberdaya hayati yang bernilai ekonomis penting karena dapat dikonsumsi dan mengandung protein yang tinggi (Hermanto 2004). Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011) mencatat nilai ekspor rajungan pada tahun 2007 menempati urutan ketiga setelah udang dan tuna yaitu sejumlah ton dengan nilai 170 juta dolar AS. Sedangkan untuk tahun 2011 mengalami peningkatan ton dan mencapai nilai 250 juta dolar AS. Salah satu lokasi penyebaran rajungan di Indonesia adalah Teluk Banten. Nelayan yang melakukan penangkapan rajungan di Teluk Banten mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Karangantu. Kontribusi ekspor rajungan di Teluk Banten pada tahun 2011 mencapai 64 ton dengan nilai produksi sebesar Rp ,-. Rajungan ini kemudian di ekspor ke Negara Jepang dan Uni Eropa (Laporan tahunan PPN Karangantu 2012). Kegiatan penangkapan rajungan yang terdapat di Teluk Banten banyak yang mengandalkan hasil tangkapan nelayan dan semakin berkembang dikarenakan banyaknya pengumpul rajungan yang membuka perusahaan pengolahan di sekitar Desa Karangantu. Rajungan yang diolah tersebut tidak hanya yang berukuran besar namun banyak juga yang berukuran kecil. Rajungan yang berukuran kecil ini ditangkap dikarenakan masih dapat diterima oleh pasar ekspor. Hal inilah yang mengakibatkan kegiatan penangkapan rajungan dilakukan secara terus-menerus setiap tahun. Guna mengantisipasi kecenderungan peningkatan penangkapan rajungan yang berukuran kecil dan menyebabkan rajungan tidak bisa mencapai usia dewasa untuk berkembang biak, diperlukan suatu pemanfaatan sumberdaya perikanan berupa permodelan dan pengelolaan yang sesuai dengan kondisi suatu wilayah perairan yang sebenarnya. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dapat mendukung usaha kegiatan penangkapan rajungan di Teluk Banten yaitu menggunakan analisis bioekonomi yang didapatkan berdasarkan model surplus produksi yang paling sesuai.

14 Rumusan Masalah Sumberdaya rajungan di Teluk Banten merupakan spesies yang dominan ditangkap di Teluk Banten. Berdasarkan data produksi tahunan PPN Karangantu, hasil tangkapan rajungan di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu dari tahun cenderung mengalami fluktuasi. Pada tahun 2005 produksi rajungan di Teluk Banten sebesar 96 ton kemudian produksi turun pada tahun 2006 yaitu sebesar 19 ton, lalu pada tahun 2007 produksi rajungan meningkat kembali sebsar sebesar 50 ton dilanjutkan pada tahun 2008 yaitu sebesar 88 ton. Produksi mulai menurun kembali dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 yaitu berturutturut sebesar 79 ton, 71 ton dan 64 ton. Berangkat dari hal tersebut agar dapat diketahui model surplus produksi yang paling sesuai untuk karakteristik rajungan di Teluk Banten maka dicobakan lima model yaitu model Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley (CYP). Selanjutnya, model yang sesuai, dianalisis bioekonomi melalui rezim pengelolaan MSY, MEY, dan Open access. Model bioekonomi merupakan perpaduan antara dinamika biologi sumberdaya perikanan dan faktor ekonomi yang mempengaruhi yang mempengaruhi alat tangkap, sedangkan untuk aspek tekniknya berupa penyesuaian ukuran alat tangkap dan teknologi yang digunakan dengan ukuran rajungan yang akan ditangkap, serta metode pengoperasiaannya (Susanto 2006). Apabila hal tersebut berhasil dilakukan, maka kerusakan sumberdaya rajungan dapat dicegah dan mendorong terciptanya operasi penangkapan rajungan dengan keberhasilan yang tinggi tanpa merusak kelestarian sumberdaya rajungan, serta memberikan hasil tangkapan dan keuntungan yang maksimum. Perumusan masalah dalam penelitian disusun dalam kerangka pemikiran (Gambar 1) Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Menentukan model surplus produksi yang paling sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan di Teluk Banten. 2) Menganalisis bioekonomi rajungan di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu dengan rezim pengelolaan potensi lestari maksimum (MSY), potensi ekonomi maksimum (MEY) serta sistem terbuka (Open access).

15 3 3) Memberikan usulan upaya pengelolaan untuk pemanfaatan sumberdaya rajungan di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Banten secara berkelanjutan Manfaat Penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang terkait untuk mendukung penentuan bentuk pengelolaan rajungan Portunus pelagicus secara lestari dan berkelanjutan. Selain itu, diharapkan dapat memperkaya wawasan pembaca mengenai kondisi perikanan secara umum khususnya sumberdaya rajungan Portunus pelagicus. Sumberdaya Rajungan di Teluk Banten Fluktuasi Produksi Rajungan di Teluk Banten Tahun Hasil Tangkapan Model Surplus Produksi Upaya Penangkapan Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) Gambar 1. Kerangka pemikiran Analisis Bioekonomi (MSY, MEY, Open Acces)

16 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus) Jenis kepiting dan rajungan diperkirakan sebanyak 234 jenis yang ada di Indo Pasifik Barat, di Indonesia ada sekitar 124 jenis (Moosa et al in Firman 2008), lebih lanjut dijelaskan empat jenis di antaranya dapat dimakan (edible crab), yaitu rajungan (Portunus pelagicus), rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan karang (Charybdis feriatus), dan rajungan angin (Podopthalmus vigil). Jika dibandingkan dengan tiga spesies rajungan yang lainnya, jenis Portunus pelagicus paling banyak dipasarkan di pasar internasional seperti Asia Tenggara. Harga pasaran rajungan tersebut berkisar antara US$ 3-5/kg untuk rajungan segar, sedangkan rajungan hidup harga jualnya berkisar antara US$ 5-8/kg (Pasisingi 2011). Berikut adalah klasifikasi rajungan menurut Kangas (2000): Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Sub kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Portunidae Genus : Portunus Spesies : Portunus pelagicus (Linnaeus 1766) Nama lokal : Rajungan Nama FAO : Blue swimmer crab, blue manna crab, sand crab, blue crab Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi Pribadi 2012)

17 5 Rajungan termasuk hewan perenang aktif, tetapi saat tidak aktif, hewan tersebut mengubur diri dalam sedimen menyisakan mata, antena di permukaan dasar laut dan ruang insang terbuka (Fish 2001 in Firman 2008). Menurut Muslim (2000) in Firman (2008) pada umumnya udang dan kepiting keluar pada waktu malam untuk mencari makan. Binatang ini keluar dari tempat-tempat persembunyiannya dan bergerak menuju tempat yang banyak makanan. Lovett (1981) in Hermanto (2004) mengatakan bahwa morfologi rajungan (Portunus pelgicus) hampir sama dengan kepiting. Perbedaan dicirikan dari duri akhir karapas pada rajungan yang relatif lebih panjang dan lebih runcing. Karapas rajungan berbentuk bulat pipih dengan warna cerah putih kebiruan. Rajungan dapat berjalan sangat baik sepanjang dasar perairan dan daerah interdal berlumpur yang lembab dan juga perenang yang baik. Tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus) dipengaruhi faktor alami dan buatan. Faktor alami diantaranya perkembangan hidup, kebiasaan makan, pengaruh siklus bulan dan reproduksi. Sedangkan faktor buatan utama yang mempengaruhi tingkah laku rajungan adalah penggunaan umpan pada penangkapan rajungan dengan menggunakan crab poots (Fish 2000 in Pasisingi 2011). Sumberdaya rajungan banyak ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan perangkap buatan, trawl, pukat pantai dan jaring lingkar. Rajungan ditangkap dalam jumlah yang sangat banyak untuk dijual dalam bentuk segar dan beku di pasaran lokal. Adapula yang diolah di industri pengolahan dan pengalengan rajungan untuk tujuan ekspor (Pasisingi 2011). Negara Singapura, Hongkong, Jepang, Malaysia, Taiwan, dan Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor rajungan (Adam et al. 2006) Susilo (1993) in Suadela (2004) menyebutkan bahwa perbedaan fase bulan memberikan pengaruh nyata terhadap tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus), yaitu ruaya dan makan. Pada fase bulan gelap, rajungan tidak melakukan aktivitas ruaya, dan berkurangnya aktifitas pemangsaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan antara fase bulan gelap dan bulan terang. Rajungan cenderung lebih banyak tertangkap saat fase bulan terang dibandingkan dengan pada fase bulan gelap. Oleh sebab itu waktu yang paling baik untuk menangkap binatang tersebut ialah malam hari saat fase bulan terang (Firman 2008).

18 6 Rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Perkiraan umur rata-rata rajungan dari lebar karapas tertentu dapat bervariasi. Pada umur 12 bulan, lebar karapas rata-rata rajungan adalah 90mm. Rajungan jantan dan betina umumnya mencapai kematangan seksual pada ukuran lebar karapas 7 hingga 9 cm. Rajungan pada ukuran tersebut berumur sekitar satu tahun. (Kumar et al in Firman 2008). Adapun yang mempunyai nilai ekonomis setelah mempunyai lebar karapas antara mm (Rounsenfell 1975 in Setriana 2011) Model Surplus Produksi Model sangat penting untuk menduga konsekuensi dari bentuk pengelolaan dan dapat digunakan untuk membentuk dan memantau kebijakan (Beattie, et al. 2002). Produksi surplus dihitung sebagai jumlah dari pertumbuhan dalam berat dari individu-individu dalam populasi, dikurangi penurunan biomassa dari binatang yang mati karena mortalitas alami (Widodo dan Suadi 2008). Fungsi surplus produksi dapat dituliskan sebagai berikut:......(2.2.1) merupakan biomassa pada tahun tertentu, adalah biomassa tahun sebelumnya ditambahkan dengan ( ) produksi surplus tahun sebelumnya dikurangi ( ) dengan tangkapan tahun sebelumnya (Masters 2007). Widodo dan Suadi (2008) mengemukakan bahwa pertambahan netto dalam ukuran populasi akan kecil, baik pada tingkat populasi tinggi maupun rendah. Karena itu sebagai konsekuensinya pertambahan tersebut akan mencapai maksimum pada tingkat populasi intermediate. Hukum umum dari pertumbuhan populasi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan deferensial sebagai berikut :...(2.2.2) dimana B merupakan biomassa populasi. Hukum pertumbuhan populasi ini dipergunakan untuk menggambarkan banyak organisme. Suatu fungsi yang telah terbukti sangat cocok untuk berbagai data eksperimen yaitu:...(2.2.3) dimana r dan K adalah konstanta. Ini dikenal dengan persamaan pertumbuhan logistik Verhultst-Pearl. Paramter r adalah laju pertumbuhan intrinsik, karena untuk

19 7 B kecil, maka laju pertumbuhan kira-kira sama dengan r. Adapun K adalah daya dukung lingkungan dan mewakili populasi maksimum yang dapat ditopang oleh lingkungan. Fungsi ini bersifat parabolik yang simetrik dengan laju pertumbuhan maksimum pada tingkat K. Kurva selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3. db/dt = f(b) Maksimum 0 B MSY B B Gambar 3. Hubungan antara biomassa tangkapan (B) dengan turunan pertama biomassa (Widodo dan Suadi 2008) Beberapa asumsi yang mendasari hukum umum pertumbuhan populasi pada Gambar 3 dapat dikemukakan sebagai berikut: a) Setiap populasi dan ekosistem tertentu akan tumbuh dalam berat sampai mendekati daya dukung maskimum dari ekosistem (terutama dalam kaitannya dengan ketersediaan makanan). Kenaikan dalam berat total perlahan-lahan berhenti manakala ukuran stok semakin mendekati, secara asimtotik, daya dukung dari lingkungan K secara asimtotik. b) Nilai K kira-kira berkaitan erat dengan nilai biomassa dari stok perawan atau yang belum dimanfaatkan (virgin stock). c) Pertumbuhan menurut waktu dari biomassa populasi dapat dilukiskan dengan suatu kurva logistik, turunan pertama dari kurva ini mencapai maksimum. d) Upaya penangkapan yang menurunkan K sampai dengan setengah dari nilai originalnya akan menghasilkan pertumbuhan netto yang tertinggi dari stok, yakni produksi surplus maksimum (maximum surplus yield) yang tersedia dalam suatu populasi e) Surplus produksi maksimum pada butir (d) akan dipertahankan secara lestari (di sinilah berawal yang disebut maximum sustainable yield, MSY) manakala biomassa dari stok yang dieksploitasi dipertahankan pada tingkat K/2

20 8 Terdapat beberapa alasan biologi yang membuat beberapa asumsi tersebut masuk akal. Beberapa alasan tentang rendahnya produksi surplus pada tingkat ukuran stok lebih besar antara lain dikemukakan oleh Ricker (1975) in Widodo dan Suadi (2008) sebagai berikut: a) Dekat densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi dan kadang-kadang jumlah aktual dari rekrut, lebih rendah dari pada densitas stok ikan yang lebih kecil. Meningkatkan rekruitmen dapat dicapai melalui pengurangan penangkapan stok ikan. b) Bila suplai makanan terbatas, makanan kurang dikonversikan ke dalam bentuk daging ikan oleh stok yang besar dibandingkan dengan stok yang kecil. Masing-masing individu pada stok ikan besar akan mengkonversi makanan untuk biomassa dalam jumlah sedikit karena makanan akan digunakan untuk bertahan hidup, sedangkan stok ikan kecil memanfaatkan makanan untuk pertumbuhan. c) Suatu stok yang belum dieksploitasi secara relatif akan terdiri dari individuindividu berumur tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi. Hal ini akan menyebabkan produksi menurun, paling tidak melalui dua cara. Pertama, ikan yang lebih besar cenderung makan banyak, konsekuensinya adalah menurunnya efisiensi pemanfaatan dari produsen dasar makanan dalam piramida makanan. Kedua, ikan yang lebih tua akan mengkonversikan makanan yang mereka makan ke dalam bentuk daging baru (berat badan yang lebih tinggi) dalam jumlah yang lebih kecil, sebab ikan yang matang gonad akan memanfaatkan makanan untuk pertumbuhan telur dan sperma. Konsep surplus produksi merupakan konsep dasar dalam ilmu perikanan. Schaefer (1954) in Widodo dan Suadi (2008) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menduga stok didasarkan pada model surplus produksi logistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa peningkatan (increment) populasi ikan akan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun, sedang penurunan dari populasi tersebut (decrement) merupakan akibat dari mortalitas baik karena faktor alam (predasi, penyakit dan lain lain) maupun mortalitas yang disebabkan eksploitasi oleh manusia. Oleh karena itu, populasi akan berada dalam keadaan ekuilibrium bila increment sama dengan decrement.

21 9 Sparre dan Venema (1999) mengemukakan bahwa model surplus produksi berkaitan dengan suatu stok secara keseluruhan, upaya total dan hasil tangkapan total yang diperoleh dari stok tanpa memasukkan secara rinci beberapa hal seperti parameter pertumbuhan dan mortalitas atau pengaruh ukuran mata jaring terhadap umur ikan yang tertangkap. Model-model holistik lebih sederhana bila dibandingkan dengan model analitik, karena data yang diperlukan juga menjadi lebih sedikit. Sebagai contoh, model-model ini tidak perlu menentukan kelas umur, sehingga dengan demikian tidak perlu melakukan perhitungan penentuan umur. Hal ini merupakan salah satu alasan model surplus produksi banyak digunakan di dalam mengkaji stok ikan di perairan tropis. Model surplus produksi dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total dan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) berdasarkan spesies serta upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup Model Schaefer (1954) Model Schaefer merupakan formulasi matematika sederhana yang mampu menangkap banyak dari elemen-elemen dinamika populasi stok ikan nyata di dunia (Anderson dan Juan, 2010). Model Schaefer juga menyatakan bahwa pertumbuhan dari suatu stok merupakan suatu fungsi dari besarnya stok tersebut. Jelas bahwa asumsi suatu stok bereaksi seketika terhadap perubahan besarnya stok tidaklah realistik. Oleh karena itu dipergunakan konsep ekuilibrium, dan ini mengacu pada keadaan yang timbul bila suatu mortalitas penangkapan tertentu telah ditanamkan cukup lama ke dalam suatu stok, sehingga memungkinkan stok tersebut menyesuaikan ukuran serta laju pertumbuhannya sedemikian rupa sehingga persamaan yang dikemukakan oleh Schaefer terpenuhi (Suadi dan Widodo 2006). Tinungki (2005) menyatakan pula bahwa perluasan pertama penggunaan model yang dikembangkan oleh Schaefer (1954) didasarkan pada pekerjaan terdahulu Graham (1935). Model Schaefer dapat dirumuskan sebagai berikut: Misalkan B menyatakan biomassa stok (ukuran berat dari populasi ikan dalam ton), r dinyatakan sebagai laju pertumbuhan alami dari populasi (intrinsic growth rate) dan K adalah daya dukung lingkungan (environmental carrying

22 10 capacity) atau keseimbangan alamiah dari ukuran stok. Ini didefenisikan sebagai tingkat stok maksimum dari perairan dan lingkungan yang dapat didukung Schaefer (1954) in Anderson dan Juan (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan (dalam berat biomassa) dari suatu populasi (Bt) dari waktu ke waktu merupakan fungsi dari populasi awal. Schaefer dalam mengembangkan konsepnya mengasumsikan bahwa stok perikanan bersifat homogeni, fungsi pertumbuhannya adalah fungsi logistik dengan area terbatas. Menurut Widodo dan Suadi (2008), asumsi-asumsi model Schaefer adalah: a) Terdapat batas tertinggi dari biomassa (K) b) Laju pertumbuhan adalah relatif dan merupakan fungsi linear dari biomassa c) Stok dalam keadaan seimbang (equilibrium condition) d) Kematian akibat penangkapan (Ct) sebanding dengan upaya (ft) dan koefisien penangkapan (q) e) Meramalkan MSY adalah 50% dari tingkat populasi maksimum Metode keseimbangan sebagai dasar analisis model Schaefer dalam keseimbangan atau steady state. Metode keseimbangan berdasarkan pada asumsi perubahan upaya sedikit demi sedikit sehingga ukuran stok selalu menuju keseimbangan. Itu merupakan kondisi ekologis yang stabil dan hubungan biologi. Dengan asumsi ini, laju pertumbuhan populasi akan menuju nol. Dalam hal ini perlu memperoleh bentuk yang paling sederhana untuk model hasil surplus dari prinsip-prinsip awal. Tingkat perubahan biomassa dalam populasi yang terkait, diberikan oleh f(b), fungsi biomassa apapun yang sesuai. Dalam keadaan tidak ada aktivitas penangkapan laju perubahan stok sepanjang waktu dimodelkan sebagai: (2.3.1) f(b) adalah fungsi pertumbuhan dan kematian. Laju pertumbuhan populasi ikan dapat terjadi secara eksponensial, namun karena keterbatasan daya dukung lingkungan terdapat titik maksimum sehingga laju pertumbuhan akan menurun bahkan berhenti. Adapun dalam model kuadratik (logistik), dapat diasumsikan bahwa laju pertumbuhan populasi ikan adalah proporsi perbedaan antara daya dukung lingkungan dan populasi. Salah satu fungsi pertumbuhan yang sering digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik. Menangkap ikan di populasi tertentu

23 11 akan mengurangi f(b) dengan fungsi usaha penangkapan ikan, yang akan dinyatakan pada persamaan berikut: (2.3.2) Apabila jumlah populasi relatif kecil dibandingkan dengan luas wilayahnya maka dapat diasumsikan bahwa populasi ikan tersebut tumbuh secara proporsional terhadap populasi asal, atau secara matematis mengacu dalam Anderson dan Juan, 2010 dapat ditulis sebagai:... (2.3.3) Persamaan secara grafik persamaan (2.3.3) dapat dilihat pada Gambar 4: dbt/dt = f(b) Bt Gambar 4. Kurva hubungan kuadratik antara biomassa (Bt) dengan turunan pertama biomassa terhadap waktu (dbt/dt = f(b)) (Widodo dan Suadi 2008) Wu, et al. (2010) menyatakan bahwa tangkapan maksimum lestari (MSY), upaya penangkapan untuk mencapai MSY (FMSY) dan biomassa MSY dapat diduga dengan mengasumsikan laju perubahan biomassa adalah nol sepanjang tahun. Gambar 3 di atas memperlihatkan pada saat pertumbuhan f(b) = 0, saat mengakibatkan Bt = K, namun pada saat K cukup besar maka. Laju pertumbuhan alami merupakan pertumbuhan alamiah, atau biasa juga disebut sebagai laju pertumbuhan tercepat yang dimiliki oleh suatu jenis ikan. Pertumbuhan biomassa ikan di atas diasumsikan berlaku tanpa adanya gangguan atau penangkapan oleh manusia. Jika kemudian produksi perikanan diasumsikan tergantung dari input (upaya, Ft) dan jumlah biomassa ikan yang tersedia Bt serta

24 12 kemampuan teknologi yang digunakan q (yang disebut koefisian penangkapan), maka hasil tangkapan adalah sebagai berikut: (2.3.4) Persamaan (2.3.4) umumnya digunakan sebagai fungsi produksi panen ikan. Menyelesaikan model produksi surplus, diperlukan bentuk yang layak untuk dua fungsi yang cocok dengan data yang tersedia. Jika penangkapan Ct dimasukkan ke dalam model, dan diasumsikan bahwa penangkapan berkorelasi linear terhadap biomassa (Bt) dan input atau effort (Ft), maka laju pertumbuhan biomassa menjadi (2.3.5) Asumsi keseimbangan dimana laju pertumbuhan mendekati nol, dalam hal ini masalah yang dihadapi oleh pengelola perikanan adanya peubah biomassa yang teramati, dimana hanya data produksi Ct dan jumlah input Ft yang digunakan seperti jumlah kapal, jumlah trip atau hari melaut. Sehingga persamaan (2.3.5) dapat dipecahkan untuk mencari nilai biomassa B diperoleh hubungan antara hasil tangkapan lestari dan input digunakan sebagai berikut: (2.3.6) dengan mensubsitusi persamaan (6) ke dalam persamaan (4) diperoleh: (2.3.7) Persamaan (2.3.7) dengan q sebuah konstanta, disebut sebagai koefisien penangkapan. Bagaimana ukuran penangkapannya (atau peluang tertangkap satu unit dari stok) per unit dari stok akan berubah jika upaya berubah satu satuan. Ft adalah variabel upaya penangkapan. Persamaan (2.3.7) dapat juga digunakan untuk menyatakan hubungan antara penangkapan per satuan upaya (CPUE) dan level stok. Persamaan (2.4.7) akan menjadi linear jika dibagi dengan Ft: (2.3.8) (2.3.9)

25 13 Jika, maka (2.3.10) Persamaan (2.3.10) merupakan asumsi model Schaefer, pada hubungan keseimbangan antara CPUEt (catcth per unit effort) dan Ft (effort) adalah linear. Persamaan ini dapat dituliskan sebagai berikut: (2.3.11) berikut: Sehingga hubungan antara effort ( ) dan catch ( ) dapat dinyatakan sebagai (2.3.12) Upaya optimum (fopt) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama tangkapan per satuan upaya (CPUE) sama dengan nol:... (2.3.13) (2.3.14) Nilai tangkapan optimum atau jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubsitusi nilai upaya optimum perasamaan (2.3.14) ke dalam persamaan (2.3.12):... (2.3.15) Penggunaan satu persamaan ini dapat menduga parameter-parameter fungsi produksi surplus dengan meregresikan data runtun waktu (time series) jumlah tangkapan (catch) dan upaya (effort). Tinungki (2005) menyebutkan bahwa salah satu keuntungan model Schaefer adalah dapat digunakan dengan tidak tergantung pada adanya data kelimpahan stok. Jika data runtun waktu untuk data penangkapan dan upaya tersedia, maka pendugaan parameter-parameter dengan menggunakan metode regresi linear sederhana dapat dilakukan. Model Schaefer mengasumsikan populasi pertumbuhan logistik yakni tangkapan meningkat secara cepat di awal, namun kemudian laju perubahannya

26 14 melambat dengan peningkatan upaya (Coppola dan Pascoe 1998). Model ini menetapkan dua hasil dasar, yaitu: a) Upaya penangkapan adalah suatu fungsi linear dari ukuran populasi (atau tangkapan per satuan upaya) b) Jumlah tangkapan adalah suatu fungsi parabola dari upaya penangkapan (Widodo 1986 in Pasisingi 2011) 2.4. Model Fox (1970) Model Fox (1970) in Pasisingi (2011) memiliki karakter bahwa pertumbuhan biomassa mengikuti model pertumbuhan Gompertz, dan penurunan tangkapan per satuan upaya (CPUEt) terhadap upaya penangkapan (Ft) mengikuti pola eksponensial negatif, yang lebih masuk akal dibandingkan dengan pola regresi linier. Asumsi yang digunakan dalam model Fox (1970) adalah: a) Populasi dianggap tidak akan punah b) Populasi sebagai jumlah dari individu ikan Model ini memperlihatkan grafik lengkung bila secara langsung diplot terhadap upaya ft akan tetapi bila diplot dalam bentuk logaritma terhadap upaya, maka akan menghasilkan garis lurus:... (2.4.1) Model tersebut mengikuti asumsi bahwa menurun dengan meningkatnya upaya. Model Fox dan Schaefer berbeda dalam hal dimana model Schaefer menyatakan satu tingkatan upaya dapat dicapai pada nilai = 0 yaitu bila sedangkan pada model Fox, adalah selalu lebih besar dari nol untuk seluruh nilai. Bila diplotkan terhadap ft akan menghasilkan garis lurus, pada model Schaefer, namun menghasilkan lengkung yang mendekati nol hanya pada tingkatan

27 15 upaya yang tinggi, tanpa pernah menyentuh sumbu pada model Fox. Gambar 5 memperlihatkan perbandingan antara kurva model Schaefer dan model Fox. Gambar 5. Kurva model Schaefer ( ) dan Fox ( ) Fox menyatakan bahwa hubungan antara effort (ft) dan catch (Ct) adalah bentuk eksponensial dengan kurva yang tidak simetris, dan dinyatakan bahwa hubungan antara effort (ft) dan catch per unit effort (CPUEt) adalah sebagai berikut:... (2.4.2) Hubungan antara effort dan catch adalah:... (2.4.3) Upaya optimum (f opt ) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama catch (Ct) terhadap effort (ft) sama dengan nol:... (2.4.4) sehingga:... (2.4.5) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubsitusikan nilai upaya optimum ke dalam persamaan (2.4.3) sehingga:...(2.4.6) besarnya parameter a dan b secara sistematis dapat dicari dengan mempergunakan persamaan regresi. Rumus-rumus untuk model produksi surplus ini hanya berlaku bila parameter slope (b) bernilai negatif, artinya penambahan jumlah effort akan

28 16 menyebabkan penurunan CPUE. Bila dalam perhitungan diperoleh nilai b positif maka tidak dapat dilakukan pendugaan stok maksimum maupun besarnya effort minimum, tetapi hanya dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah effort masih menambah hasil tangkapan. Penelitian komponen-komponen sumberdaya perikanan dan potensinya dilakukan terhadap kondisi perikanan yang sekarang ada. Informasi ini diperlukan untuk perencanaan pengembangan perikanan masa yang akan datang (Tinungki 2005) Model Walter Hilborn (1976) Model Walter Hilborn (1976) merupakan model yang dapat memberikan dugaan masing-masing untuk parameter fungsi produksi surplus r, q dan K dari tiga koefisien regresi. Persamaan model ini sebagai berikut:... (2.5.1) Prosedur model Walter-Hilborn adalah sebagai berikut: Jika... (2.5.2) maka: yang menyatakan CPUE (catch per unit effort) Persamaan dasar model produksi surplus dapat diformlasikan kembali sebagai berikut:... (2.5.3) Penyusunan kembali persamaan (2.5.3) dengan memindahkan ke sisi kiri dan mengalikan persamaan dengan sehingga diperoleh persamaan:... (2.5.4) Persamaan di atas diregresikan dengan laju perubahan biomassa sebagai peubah tidak bebas dan upaya penangkapan sebagai peubah bebas. Persamaan regresinya menjadi:

29 17... (2.5.5) Keterangan rumus (2.5.5): 2.6. Model Schnute (1977) Schnute mengetengahkan versi lain dari model surplus produksi yang bersifat dinamik, discrete in time, serta deterministik dari cara Graham-Schaefer. Di sisi lain, memberikan model waktu dinamis, stokastik, dan khusus untuk model produksi surplus yang bertentangan dengan model statis, deterministik, dan kontinyu dari model Graham-Schaefer yang lain. Model Schnute dipandang sebagai modifikasi model Schaefer dalam bentuk diskrit (Roff 1983 in Tinungki 2005). Dasar dari model Schnute adalah:... (2.6.1) Pada rumus (2.6.1), sehingga:... (2.6.2) jika persamaan (2.6.2) diintegrasikan dan dilakukan satu langkah setahun ke depan diperoleh:... (2.6.3) pada rumus (2.6.3), dan Persamaan (2.6.3), selanjutnya disederhanakan dimana CPUE dan f masingmasing adalah rata-rata catch per unit effort dan rata-rata upaya penangkapan per tahun. Ini memberikan persamaan:... (2.6.4)

30 18 Beberapa manipulasi aljabar persamaan (2.6.4) dimodifikasi, sehingga Schnute (1977) in Masters (2007) menunjukkan bahwa persamaan produksi surplus Schaefer dapat ditransformasi ke dalam bentuk linear berganda sebagai berikut:...(2.6.5) Persamaan ini dapat menduga parameter-parameter q, K dan r sebagai berikut: Keuntungan dari model Schnute disamping secara teori lebih masuk akal. Model ini juga mempunyai beberapa keuntungan praktis. Salah satu keuntungan adalah untuk data tangkapan dan upaya yang nilainya dimulai dari periode tahun tertentu dapat digunakan untuk memprediksi tangkapan dan upaya optimum periode tahun yang akan datang dari data yang periode sebelumnya Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992) Mengestimasi parameter biologi dari model produksi surplus adalah melalui pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley. Parameter-parameter r (laju pertumbuhan alami), q (koefisien kemampuan penangkapan), dan K (daya dukung lingkungan) yang dapat menggunakan model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) menurut Tinungki, et al. (2005) dinyatakan sebagai berikut:... (2.7.1) sehingga persamaan (2.7.1) dapat ditulis dalam bentuk persamaan linear berganda sebagai berikut:... (2.7.2) dengan:

31 19 Perhitungan parameter r, q, dan K akan didapatkan kesulitan sehingga dibuat algoritma (Fauzi 2002 in Pasisingi 2011). Koefisien regresi a, b, c diperlukan dalam menentukan:... (2.7.3)... (2.7.4)... (2.7.5) nilai Q diperlukan dalam menghitung nilai K... (2.7.6) 2.8. Analisis Bioekonomi Perikanan Menurut Fauzi dan Anna (2005) dasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga. Terkandung dua makna dari pernyataan tersebut yaitu makna ekonomi dan makna konservasi atau biologi. Dengan demikian pemanfaatan optimal sumberdaya ikan harus mengakomodasi kedua ilmu tersebut. Oleh karena itu, pendekatan bioekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Istilah bioekonomi diperkenalkan oleh Scott Gordon, seorang ahli ekonomi dari Kanada yang pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal (Fauzi dan Anna 2005). Pendekatan bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karena selama ini permasalahan perikanan hanya terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi dan biaya yang dipergunakan dalam usaha perikanan. Dengan permasalahan tersebut maka Gordon melakukan analisis berdasarkan konsep produksi biologi yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer (1957), kemudian konsep dasar bioekonomi ini dikenal dengan teori Gordon-Schaefer (Nabunome 2007). Konsep MSY didasarkan atas suatu model yang sangat sederhana dari suatu populasi ikan yang dianggap sebagai unit tunggal.

32 20 Konsep ini dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort dengan suatu nilai maksimum yang jelas, terutama bentuk parabola dari model Schaefer yang paling sederhana (Widodo dan Suadi 2008). Konsep MSY ini memiliki beberapa keuntungan diantaranya konsep MSY ini dapat ditentukan dengan ukuran fisik yang sederhana yaitu berat atau jumah ikan yang tertangkap sehingga tentunya dapat menghindarkan perbedaan-perbedaaan dalam wilayah suatu negara bila dibandingkan dengan kriteria lainnya, misalnya: harga hasil tangkapan atau penurunan biaya operasi (Widodo dan Suadi 2008). Selain terdapat beberapa keuntungan, konsep MSY juga memilki beberapa kelemahan diantaranya banyak stok ikan yang dinamikanya tidak dapat dilukiskan hanya dengan gambaran yang sesederhana itu sehingga akan sulit menentukan letak MSY dari sumberdaya tersebut. Konsep MSY juga tidak dapat menampung berbagai interaksi populasi dengan populasi lainnya, adanya struktur umur dalam populasi, dan adanya recruitment (Widodo dan Suadi 2008). Menurut Conrad dan Clark (1987) in Fauzi 2010 kelemahan pendekatan MSY antara lain : (1) bersifat tidak stabil karena perkiraan stok yang meleset dapat mengakibatkan pada pengurasan stok; (2) hanya didasarkan pada kondisi steady state (keseimbangan); (3) tidak dapat diterapkan pada perikanan yang multispesies; (4) tidak memperhitungkan nilai ekonomis jika stok ikan tidak dipanen; dan (5) mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya. Menyadari kelemahan dari kurva MSY, Gordon (1954) in Fauzi 2010 mengembangkan aspek ekonomi pengelolaan perikanan yang dikenal dengan istilah model biologi Gordon-Schaefer. Adapun asumsi yang mendasari adanya model ini ialah sebagai berikut : 1. Harga persatuan output (P) (Rp/kg) diasumsikan konstan 2. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan 3. Bersifat single species 4. Struktur pasar bersifat kompetitif 5. Nelayan bersifat price taker yang artinya tidak dapat menentukan harga 6. Hanya faktor penangkapan yang dihitung sedangkan faktor lainnya seperti pasca panen tidak ikut diperhitungkan

33 21 Pada asumsi model Gordon-Schaefer, manfaat ekonomi (economic rent) dapat diperoleh dari selisih antara penerimaan total (total revenue) atau biasa disebut TR dengan biaya yang dikeluarkan. Nilai TR diperoleh dari perkalian antara harga per satuan ikan yang dijual (Rp/kg) dengan produksi lestari sebagaimana ditulis pada persamaan berikut : TR = ph (E) = pqke....(2.8.1) Persamaan (2.8.1) merupakan persamaan kuadratik terhadap effort dengan konstanta p, q, r, dan K. Persamaan di atas bisa ditulis menjadi lebih sederhana dalam bentuk TR = dimana =pqk sementara = (p K)/r sehingga plot kurva TR akan berbentuk parabolik. Gordon (1954) mengasumsikan bahwa TC (total cost) bersifat linier terhadap input (effort) atau dapat ditulis : TC = ce...(2.8.2) Konstanta c selain menggambarkan biaya per unit input juga menggambarkan biaya yang dikorbankan dari input (effort) yang digunakan. Sebagaimana yang telah dikemukakan, manfaat ekonomi dapat digabungkan antara persamaan (2.8.1) dan (2.8.2) sehingga manfaat atau rente ekonomi dari penangkapan ikan dapat ditulis menjadi : = pqke ce... (2.8.3) Dapat dilihat bahwa terdapat dua kesimbangan utama yang mendasari efisiensi pengelolaan perikanan yaitu manakala kurva TR dengan kurva TC bersinggungan pada titik A. Adapun titik ini terjadi pada tingkat input (effort) sebesar E (Gambar 6). Gambar 6. Keseimbangan Ekonomi Model Gordon-Schaefer (Fauzi 2010)

34 22 Pada kondisi perikanan yang terbuka, rente ekonomi yang positif akan menimbulkan daya tarik dari armada lain untuk ikut berpartisipasi dalam perikanan diantarnya adanya penambahan input seperti peningkatan ukuran kapal, penambahan tenaga kerja. Secara agregart input (effort) akan bertambah ditunjukkan oleh arah panah ke kanan yang dapat dikatakan sebagai proses entry dalam akses terbuka. Hal ini terus berlangsung sampai rente ekonomi terkuras. Sebaliknya, jika terjadi defisit rente ekonomi dimana biaya lebih besar dari penerimaan (TC TR) akan terjadi pengurangan input (exit yang ditunjukkan oleh arah panah ke kiri. Hal ini akan berlangsung secara terus menerus sampai rente ekonomi tekuras habis dengan sendirinya. Hanya pada titik E = E, proses exit dan entry akan berhenti dan titik ini disebut sebagai titik keseimbangan terbuka. Gordon juga melihat jika ditarik garis sejajar antara total biaya dan slope kurva penerimaan atau kurva TR akan diperoleh jarak tertinggi (rent) antara penerimaan dan biaya. Jarak tersebut merupakan manfaat ekonomi yang maksimum. Tingkat input pada keseimbangan ini terjadi pada E 0. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa input yang dibutuhkan pada kondisi akses terbuka dengan rente ekonomi yang nol jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan yang maksimum sehingga Gordon menyebutkan bahwa keseimbangan akses terbuka tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Pengelolaan yang optimal dan efisien dalam perspektif model Gordon-Schaefer ini secara sosial ada pada titik E 0 yang dikenal dengan titik MEY (maximum economic yield). Titik MEY ini bisa diperoleh jika perikanan dikendalikan dengan kepemilikan yang jelas atau disebut dengan istilah sole owner (Fauzi 2010). Menurut Anderson (2010) bahwa maxsimum economic yield (MEY) dapat dicapai apabila kurva penerimaan marginal memotong kurva biaya marginal, sedangkan produksi open access terjadi bila penerimaan total seimbang dengan biaya total sehingga laba upaya penangkapan sama dengan nol. Effort yang dibutuhkan pada kondisi open access dengan rente ekonomi nol, jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan maksimum yaitu pada kondisi rezim MEY. Gordon in Fauzi 2010 menyebutkan bahwa keseimbangan open access tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Oleh karena itu untuk memperoleh keuntungan secara fisik (biologi) dan ekonomis untuk kelestarian

35 23 sumberdaya ikan maka input dalam usaha perikanan yang ideal berada pada titik MEY. Titik keseimbangan yang ketiga yakni ketika kurva TR mencapai titik maksimum yang berhubungan dengan titk input sebesar E msy. Meskipun kurva TR mencapai titik maksimum, namun jarak dengan kurva TC bukanlah jarak terbesar atau dapat dikatakan tidak dihasilkan rente ekonomi yang maksimum, sehingga input pada E msy tidak dapat dikatakan sebagai input yang optimal secara sosial (Fauzi 2010) Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan meliputi banyak aspek termasuk dalam aspek sumberdaya ikan, habitat. manusia, serta berbagai faktor eksternal lainnya. Seperti yang telah diuraikan oleh FAO (1997), pengelolaan peikanan merupakan proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuat keputusan, alokasi sumberdaya,dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam rangka menjamin keberlangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (Widodo dan Suadi 2008). Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan perikanan membutuhkan bukti-bukti ilmiah terbaik, proses diskusi melalui konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), dan penetapan berbagai tujuan dan strategi pengelolaan melalui pembuat keputusan, alokasi sumber daya dan implementasi aturan mainnya (Widodo dan Suadi 2008). Pengelolaan perikanan saat ini harus diperhatikan dikarenakan (1) semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan, dan (2) meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk memanfaatkan lingkungan secara bijaksana dan berbagai upaya yang berkelanjutan (Widodo dan Suadi 2008).

36 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas PPN Karangantu. Lokasi penelitian bertempat di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu yang terletak di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. PPN Karangantu merupakan pelabuhan perikanan yang paling dekat dengan Teluk Banten tepatnya berada di sebelah Selatan Teluk Banten. Gambar 7 merupakan kawasan perairan Teluk Banten yang digunakan untuk melakukan penangkapan rajungan. Lingkaran merah pada Gambar 7 merupakan daerah penangkapan rajungan (fishing ground) oleh nelayan PPN Karangantu. Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

37 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat tulis, peta wilayah Karangantu, daftar pertanyaan (kuesioner), dan alat dokumentasi (kamera) Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara para nelayan di Pelabuhan PPN Karangantu dengan mengguunakan media kuisioner (Lampiran 1) antara lain untuk mengetahui: 1. Rata-rata produksi hasil tangkapan per trip 2. Rata-rata biaya operasi penangkapan per trip 3. Rata-rata pendapatan per trip 4. Jumlah trip selama satu tahun 5. Musim dan daerah penangkapan 6. Dokumentasi. Metode ini digunakan untuk mendokumentasikan keadaan lokasi penelitian dan deskripsi profil. Sedangkan, data sekunder terdiri dari kondisi umum perairan Teluk Banten, upaya penangkapan dan data produksi rajungan selama tujuh tahun terakhir ( ). Data sekunder tersebut diperoleh dari studi literatur, laporan statistik dan tahunan PPN Karangantu, Serang, Banten Teknik Analisis Standarisasi Upaya Penangkapan Standarisasi terhadap alat tangkap bertujuan untuk menyeragamkan satuansatuan upaya yang berbeda sehingga dapat dianggap upaya penangkapan suatu jenis alat tangkap diasumsikan menghasilkan tangkapan yang sama dengan alat tangkap standar. Pada umumnya pemilihan suatu alat tangkap standar didasarkan pada dominan tidaknya alat tangkap tersebut digunakan di suatu daerah serta besarnya upaya penangkapan yang dilakukan. Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar mempunyai faktor daya tangkap atau fishing power indeks (FPI) = 1 (Tampubolon dan Sutedjo 1983 in Tinungki 2005). Adapun nilai fishing power indeks (FPI) jenis alat tangkap lainnya dapat dihitung dengan membagi nilai catch

38 26 per unit effort (CPUE alat tangkap lain) dengan CPUE alat tangkap standar. Nilai FPI ini kemudian digunakan untuk mencari upaya penangkapan standar alat tersebut....( )...( )...( ) Upaya standar = FPI * fi dengan CPUEs merupakan hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap standar, CPUEi adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap i, Cs merupakan jumlah tangkapan jenis alat tangkap standar, Ci adalah jumlah tangkapan jenis alat tangkap i, fs adalah jumlah upaya jenis alat tangkap standar, fi adalah jumlah upaya jenis alat tangkap i, FPIs adalah faktor daya tangkap jenis alat tangkap standar, sedangkan FPIi adalah faktor daya tangkap jenis alat tangkap i Model Surplus Produksi Model surplus produksi bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang. Struktur umum model surplus produksi adalah hubungan yang dinyatakan sebagai berikut: Biomasa t+1 = Biomasa t + produksi kematian alamiah Ketika produksi lebih besar dibandingkan kematian alamiah, maka stok akan bertambah, sedangkan stok akan berkurang bilamana kematian alami meningkat. Model surplus produksi digunakan untuk menyatakan perbedaan antara produksi dan kematian alamiah (Tinungki 2005). Lima model yang akan digunakan dan dicobakan dalam penelitian ini adalah model Schaefer, Fox, Walter & Hilborn, Schnute, serta model Clarke Yoshimoto Pooley. Model surplus produksi yang telah dikenalkan oleh para ahli akan diterapkan ke dalam data runut waktu tahunan tangkapan dan upaya tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) yang dilakukan oleh nelayan di perairan Teluk Banten yang kemudian didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Berikut adalah

39 27 persamaan matematik masing-masing model surplus produksi yang digunakan untuk menduga tangkapan maksimum lestari (MSY) dan upaya optimum penangkapan dengan menggunakan bantuan program Microsoft Excel: A. Model Schaefer (1954) Model linear Schaefer seperti pada (2.3.10) adalah. Sedangkan MSY dan upaya optimum diperoleh dengan: Pada model Schaefer, regresi pertama yang dilakukan adalah: Y = c t X 1 = f t 2 X 2 = f t Sedangkan regresi kedua: Y = CPUE X = f t Parameter K, q, dan r diperoleh dari hasil yang dilakukan pada regresi kedua, yaitu: Keterangan: c t f t : Tangkapan tahun ke-t : Upaya penangkapan tahun ke-t CPUE t : Hasil tangkapan per satuan upaya tahun ke-t (c t /f t ) r : Parameter pertumbuhan K : Daya dukung lingkungan q : Koefisien penangkapan MSY : Tangkapan Maksimum Lestari (Maximum Sustainable Yield) f opt : Upaya tangkapan optimal B. Model Fox (1970) Persamaan model Fox seperti pada (2.4.1) adalah. Sedangkan MSY dan upaya optimum diperoleh dengan:

40 28 Pada model Fox, regresi pertama yang dilakukan sama dengan regresi yang dilakukan oleh model Schaefer, begitu pula untuk memperoleh parameter K, q, dan r. Pada model ini, yang membedakan adalah regresi kedua, berikut ialah regresi kedua pada model Fox: Y = lncpue t X = f t C. Model Walter Hilborn (1976) Persamaan model Walter Hilborn seperti pada (2.5.4) adalah. Untuk memperoleh persamaan a,b, dan c diperoleh dengan meregresikan koefisien berikut: Nilai MSY dan upaya optimum diperoleh dengan: Sedangkan untuk memperoleh parameter K, q, dan r adalah: D. Model Schnute (1977) Persamaan model Schnute seperti pada (2.6.4) adalah. Untuk memperoleh persamaan a,b, dan c diperoleh dengan meregresikan koefisien berikut: Nilai MSY dan upaya optimum diperoleh dengan: Sedangkan untuk memperoleh parameter K, q, dan r adalah:

41 29 E. Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) (1992) Persamaan model CYP seperti pada (2.7.1) adalah: untuk memperoleh persamaan a,b, dan c diperoleh dengan meregresikan koefisien berikut: Nilai MSY dan upaya optimum diperoleh dengan: Sedangkan untuk memperoleh parameter K, q, dan r adalah: Analisis Bioekonomi Dalam penelitian ini data dianalisis dengan pendekatan analisis bioekonomi Gordon-Shaefer. Analisis bioekonomi ditujukan untuk menentukan tingkat pengusahaan optimum bagi pelaku eksploitasi sumberdaya perikanan (Susanto 2006). Analisis bioekonomi juga dilakukan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan nelayan dan tingkat pemanfaatan stok pada kondisi perikanan lestari (MSY) serta potensi ekonomi yang dikenal maximum economic yield (MEY), sehingga diketahui apakah terjadi perubahan profitability atau rente ekonomi dari aktivitas penangkapan rajungan yang menerapkan kebijakan minimum legal size. Secara umum analisis bioekonomi dapat menggunakan rumus pada Tabel 1. Untuk menghitung persamaan dalam Tabel 1 diperlukan data sebagai berikut: c = Rata-rata biaya per satuan upaya (Rp/trip) E = Jumlah upaya dari seluruh alat tangkap rajungan (trip/tahun) K = Daya dukung lingkungan p = Rata-rata harga rajungan (Rp/kg) q = Koefisien penangkapan

42 30 TR TC = p * c = c * E Tabel 1. Analisis bioekonomi berbagai rezim pengelolaan Variabel Rezim Pengelolaan MEY MSY OA Hasil Tangkapan (H) Tingkat Upaya (E) Rente Sumberdaya ( ) Sumber: Fauzi 2010

43 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o o LS dan 106 o o BT. Teluk Banten berbentuk setengah lingkaran (Suadela, 2004). Teluk Banten terletak di Pantai Utara Jawa pada jarak 60km di sebelah barat kota Jakarta, termasuk wilayah administrasi Kabupaten Serang di Provinsi Banten yang sebelumnya mejadi bagian barat dari provinsi Jawa Barat. Kawasan ini mempunyai panjang pantai sekitar 22 km dengaan variasi kedalaman 0,2-9 meter. Sebagian besar kawasan teluk bagian barat dimanfaatkan untuk kawasan industri dan pelabuhan Bojonegara. Kawasan teluk bagian selatan dimanfaatkan untuk industri, perumahan nelayan, pertambakan dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Bagian timur meliputi kawasan pertambakan serta bagian dari kawasan lindung Cagar Alam Pulau Dua (Tiwi, 2004). Pasang surut perairan Teluk Banten sangat dipengaruhi oleh kondisi peraian Selat Sunda, dengan tinggi air pasangnya mencapai 90 cm. Berg (1999) in Pasisingi (2011) juga menyatakan bahwa endapan yang membentuk dasar perairan Teluk Banten berasal dari berbagai proses alam. Sebagian kecil endapan berasal dari Sungai Cibanten, dimana endapan inilah yang menyebabkan proses pendangkalan di Pulau Dua mulai tahun Lapisan di bawahnya berupa endapan yang berasal dari tsunami sebagai akibat dari letusan Gunung Krakatau tahun 1883 (Tiwi, 2004). Teluk Banten mempunyai kawasan perairan seluas sekitar 150 km 2 yang termasuk perairan dangkal dengan turbiditas tinggi. Terdapat beberapa pulau di kawasan ini yaitu Pulau Panjang, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, Pulau Semut, Pulau Tarahan, Pulau Pisang, Pulau Gosong Dadapan, Pulau Kubur, Pulau Tanjung Gundul, Pulau Lima dan Pulau Dua. Kawasan perairan terutama di sekitar pulau kecil mempunyai kekayaan ekosistem dan biodiversitas yang bernilai tinggi. Padang lamun, terumbu karang, hutan bakau dan kawasan konservasi burung Pulau Dua yang ada di kawasan ini terkenal sampai tingkat internasional. Kawasan padang lamun mempunyai luasan 365 hektar, 100 hektar diantaranya berada di kawasan barat Teluk Banten yang merupakan kawasan padang lamun terbesar di Indonesia.

44 32 Kawasan terumbu karang diperkirakan meliputi luasan 2,5 km 2, 22%nya merupakan karang hidup. Ekosistem bakau lebih mendominasi kawasan teluk bagian timur selatan terutama di sekitar Pulau Dua. Pengamatan faktor hidrologi perairan Teluk Banten secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh Laut Jawa. Salinitas menurun pada musim hujan, kecuali pada perairan muara sungai dan sekitarnya. Pengamatan pada tahun menunjukkan bahwa suhu air berkisar 28-31,5 0 C. Salinitas di daerah penangkapan ikan sekitar 28 33,8 ppm. Salinitas rendah (< 20 ppm) di perairan dekat muara sungai. Kecerahan di sekitar pulau-pulau karang di tengah Teluk Banten hingga utara Pulau Panjang bervariasi berkisar 2-10 meter. Kecerahan pada musim hujan di kawasan pantai dapat mencapai 10 cm (Nuraini 2004) Perikanan di Teluk Banten Teluk Banten merupakan bagian dari perairan Laut Jawa. Sumberdaya ikan yang berada di Teluk Banten sangat bervariasi, mulai dari ikan demersal, pelagis sampai ikan karang. Jenis-jenis ikan yang ditangkap di perairan Teluk Banten disajikan pada Gambar 8. 6% 10% 7% 3% 11% 1% 2% 3% 14% 7% 6% 3% 2% 15% 10% Teri Kembung Selar Cumi-cumi Rajungan Sotong Kuniran Tembang Peperek Kuwe Beloso Kurisi Gulamah Udang Gambar 8. Persentasi hasil tangkapan per jenis ikan yang didaratkan di PPN Karangantu (laporan Statistik PPN Karangantu 2012) Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa hasil tangkapan rajungan yang didaratkan di PPN Karangantu masih tergolong rendah yaitu sebesar 3% dari jumlah keseluruhan. Hal ini didasari karena secara umum alat tangkap yang digunakan untuk menangkap rajungan tergolong alat tangkap yang bersifat tradisional yaitu jaring insang tetap, jaring dogol, jaring payang, jaring tiga lapis, dan bagan perahu.

45 33 Pada Tabel 2 menunjukkan hasil tangkapan dengan satuan ton yang diperoleh oleh nelayan di Teluk Banten yang mendaratkan rajungannya di PPN Karangantu selama tahun Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan rajungan tersebut yaitu jaring insang tetap, jaring dogol, jaring payang, jaring tiga lapis, dan bagan perahu. Hasil tangkapan yang diperoleh per tahun masing-masing alat tangkap sangat berfluktuasi. Tabel 2. Hasil tangkapan rajungan (ton) per jenis alat tangkap di Teluk Banten kurun waktu Tahun Jaring Insang Jaring Jaring Jaring Bagan Tetap Dogol Payang Tiga Lapis Perahu ,126 23,498 22,494 8,824 1, ,141 4,060 3,522 1,100 2, ,159 9,887 4,127 1,508 9, ,586 7,450 1,491 3,920 1, ,890 8,475 1,567 1,426 3, ,720 5,693 0,852 0,382 3, ,483 1,217 0,193 0,387 3,259 (laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012) Tabel 3 menunjukkan upaya tangkapan tahunan dalam satuan trip rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten yang menggunakan lima jenis alat tangkap yaitu jaring insang tetap, jaring dogol, jaring payang, jaring tiga lapis, dan bagan perahu. Tabel 3 Upaya per jenis alat tangkap (trip) rajungan di Teluk Banten kurun waktu Tahun Jaring Jaring Jaring Jaring Tiga Bagan Insang Tetap Dogol Payang Lapis Perahu (laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012)

46 34 Berdasarkan hasil perhitungan standarisasi upaya pada Lampiran 2 maka diperoleh data runut waktu total tangkapan rajungan serta jumlah upaya penangkapan dalam satuan trip dari lima jenis alat tangkap, dimana yang menjadi upaya standar adalah trip menggunakan alat tangkap dogol sebagaimana terlihat pada Tabel 4. Fluktuasi tangkapan dari tahun 2005 sampai tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 9, secara visual. Tabel 4. Jumlah tangkapan (c) dan jumlah upaya penangkapan (f) rajungan di Teluk Banten berdasarkan hasil standarisasi kurun waktu Tahun c (kg) f (trip) (Laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012) Pada Tabel 4, terlihat bahwa hasil tangkapan dari standarisasi kurun waktu , hasil tangkapan tertinggi diperoleh di tahun 2005 sebesar kg dan upaya tertinggi diperoleh pada tahun 2010 yaitu sebesar trip. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian terdahulu oleh Pasisingi (2011) dengan standarisasi kurun waktu bahwa hasil tangkapan tertinggi diperoleh tahun 2005 sebesar kg dan upaya tertinggi pun diperoleh pada tahun 2010 sebesar trip. Hasil Tangkapan (Ton) ,227 87,501 79,203 70,998 50,358 63,554 19, Tahun Gambar 9. Grafik jumlah tangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu

47 35 Produksi rajungan di Teluk Banten selama tujuh tahun ditunjukan oleh Gambar 9. Selama tujuh tahun kurun waktu tersebut, terlihat bahwa hasil tangkapan tertinggi pada tahun 2005, sedangkan tangkapan terendah pada tahun Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala PPN Karangantu, hasil tangkapan 2006 yang menurun secara drastis diduga karena kenaikan bahan bakar minyak (BBM) khususnya solar yang digunakan oleh nelayan untuk melaut. Hal ini berakibat nelayan menurunkan effort sehingga hasil tangkapan yang didapatkan menurun pada tahun tersebut. Namun, secara keseluruhan, hasil tangkapan rajungan di Teluk Banten cukup fluktuatif. Pada Gambar 10 menunjukkan fluktuasi tahunan upaya penangkapan rajungan dalam satuan trip di Teluk Banten oleh nelayan PPN Karangantu. Upaya tangkapan tertinggi pada tahun 2010, sedangkan upaya tangkapan terendah pada tahun Upaya tangkapan mulai menurun lagi pada tahun 2011 namun secara keseluruhan terlihat adanya peningkatan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu dari tahun 2006 sampai tahun Upaya (trip) Tahun Gambar 10. Grafik upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu Gambar 11 menunjukkan tangkapan per satuan upaya (Catch per unit Effort/CPUE) rajungan di Teluk Banten. Selama tujuh tahun CPUE cukup berfluktuasi. CPUE tertinggi pada tahun 2011, sedangkan terendah pada tahun Pada tahun 2008 hingga 2010, CPUE di Teluk Banten menurun namun meningkat kembali pada tahun 2011.

48 36 0,025 CPUE (ton/trip) 0,02 0,015 0,01 0, Tahun Gambar 11. Grafik tangkapan per satuan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu Daerah dan Musim Penangkapan Daerah penangkapan atau fishing ground nelayan rajungan di Teluk Banten berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan rajungan berada di Pulau Tunda, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, dan Pulau Panjang. Hasil tangkapannya didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Lama waktu tempuh nelayan untuk mencapai fishing ground Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, dan Pulau Panjang adalah sekitar 30 menit dengan jarak tempuh 1,5 mil sedangkan untuk Pulau Tunda adalah sekitar 1 jam hingga 1 jam 30 menit dengan jarak tempuh sekitar 4 mil. Usaha penangkapan rajungan dengan skala kecil operasi penangkapannya adalah one day fishing. Spesies rajungan yang umumnya ditangkap oleh nelayan adalah Portunus pelagicus. Penentuan fishing ground dilakukan hanya dari pengalaman nelayan dan perkiraan cuaca. Perkiraan cuaca diperoleh dengan pengamatan sendiri berdasarkan berbagai gejala alam, seperti angin besar dan gelombang tinggi. Musim penangkapan rajungan di perairan Teluk Banten berdasarkan hasil wawancara terdiri atas tiga musim yaitu musim puncak, sedang, dan musim paceklik. Musim puncak terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari. Musim sedang terjadi pada bulan September November. Musim paceklik terjadi pada bulan Maret Agustus. Hasil wawancara tersebut didukung oleh data produksi rajungan per bulan oleh nelayan di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu dengan kurun waktu pada Tabel 5.

49 37 Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa produksi terbanyak diperoleh di bulan Desember, Januari dan Februari, hal ini membuktikan bahwa musim puncak diperoleh pada bulan tersebut. Musim sedang penangkapan rajungan terlihat pada data tersebut di bulan September November. Pada bulan Maret Agustus produksi rajungan berjumlah sedikit dan hal ini dapat membuktikan pada bulan tersebut merupakan musim paceklik. Tabel 5. Produksi rajungan per bulan di PPN Karangantu tahun BULAN HASIL TANGKAPAN (KG) TAHUN KE Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Model Surplus Produksi A. Model Schaefer (1954) Model Schaefer mengikuti model pertumbuhan logistik. Penurunan hasil tangkapan per satuan upaya CPUE terhadap upaya penangkapan F mengikuti pola regresi linear. Hasil tangkapan rajungan C dalam satuan ton, upaya penangkapan F dalam satuan trip serta tangkapan per satuan upaya CPUE dalam satuan ton/trip disajikan pada Tabel 6. Kolom 2 menunjukkan hasil tangkapan, sedangkan kolom 3 menunjukkan upaya trip yang dilakukan oleh nelayan. Hubungan parabolik antara hasil keseimbangan dan upaya penangkapan optimum akan memberikan informasi mengenai hasil tangkapan maksimum lestari MSY dan tingkat penangkapan optimum FMSY yang akan menghasilkan MSY. Adapun tangkapan per satuan upaya CPUE (kolom 4) diperoleh dari hasil bagi antara tangkapan C (kolom 2) dengan upaya tangkapan F (kolom 3) setiap tahunnya dari tahun 2005 sampai 2011.

50 38 Tabel 6. Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F) dan jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) rajungan di Teluk Banten Tahun C (kg) F (trip) CPUE(kg/trip) , , , , , , ,3857 (Laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012) Regresi antara CPUE (kolom 4) dan upaya penangkapan (kolom 3) pada Tabel 6, menghasilkan persamaan regresi linear sebagai berikut: Upaya optimum model Schaefer dapat diperoleh dari hasil perhitungan pada Lampiran 3 dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a= 1,5090 dan b = - 0,0006, sehingga diperoleh hasil sebesar trip/tahun dan R 2 sebesar 0,0397. Berdasarkan model Schaefer, selama satu tahun jumlah trip upaya tangkapan tidak boleh melebihi trip. Adapun hasil tangkapan maksmum lestari MSY dapat diduga dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a dan b sehingga diperoleh hasil sebesar 968 kg/tahun. Artinya, untuk dapat memanfaatkan sumberdaya rajungan secara lestari di Teluk Banten, maka potensi ikan yang boleh ditangkap selama satu tahun maksimal 968 kg. Artinya hasil tangkapan maksimum lestari atau MSY rajungan di Teluk Banten sebesar 968 kg/tahun, dengan dugaan upaya penangkapan optimum trip selama satu tahun. Gambar 12 menunjukkan grafik hubungan antara jumlah tangkapan maksimum lestari dengan upaya penangkapan rajungan di Teluk Banten. MSY yang dihasilkan pada model Schaefer sebesar 968 kg diperoleh dengan upaya optimum trip selama setahun.

51 39 Hasil Tangkapan (kg) Upaya (trip) Gambar 12. Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Schaefer Hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan dengan model Schaefer dari tahun 2005 sampai tahun 2011 diperlihatkan pada Gambar 13. Pola perubahan hasil tahunan aktual cenderung berbeda dengan perubahan produksi tahunan model Schaefer. Hasil tangkapan dengan model Schaefer pada tahun 2005 jauh lebih tinggi dibandingkan hasil tangkapan aktual nelayan Karangantu sedangkan di tahun hasil tangkapan dengan model Schaefer jauh lebih rendah kemudian naik lagi pada tahun Hasil Tangkapan (ton) Produksi Aktual Schaefer Tahun Gambar 13. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schaefer perikanan rajungan di Teluk Banten

52 40 B. Model Fox (1970) Berdasarkan model Fox upaya optimum yang diperlukan dalam pemanfaatan sumberdaya rajungan di Teluk Banten dari hasil perhitungan pada Lampiran 4 sebesar trip. Adapun hasil tangkapan maksimum lestari sebesar ,59 kg/tahun dan R 2 sebesar 0,6796. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat upaya optimum untuk sumberdaya rajungan di Teluk Banten tidak boleh melebihi trip selama satu tahun sedangkan jumlah tangkap maksimal yang diperbolehkan tidak melebihi ,59 kg per tahun. Jumlah tangkapan lestari per tahun pada model Fox disajikan pada Gambar 14 hasil tersebut dibandingkan dengan jumlah tangkapan aktual oleh nelayan rajungan di Teluk Banten. 600 Hasil Tangkapan (ton) Produksi Aktual Fox Tahun Gambar 14. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Fox perikanan rajungan di Teluk Banten Pola tangkapan tahunan perikanan rajungan di Teluk Banten antara tangkapan aktual dan pada model Fox secara visual terlihat hampir mirip untuk tangkapan tahun 2006 sampai tahun Namun sangat berbeda untuk tahun 2005 dan C. Model Walter Hilborn (1976) Pada model Walter dhilborn, regresi dilakukan dengan memasukkan data CPUE t+1 /CPUE t sebagai variabel bebas. Sedangkan variabel tidak bebas X 1 dan X 2 masing-masing CPUE dan F. Sehingga, hasil yang diperoleh dari persamaan regresi tersebut sebagai berikut:

53 41 Berdasarkan persamaan tersebut maka nilai parameter biologi dapat diduga dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi tersebut (Lampiran 5) sehingga diperoleh R 2 sebesar 0,5130 dan hasil tingkat pertumbuhan alami (r) sebesar 1,0121. Sedangkan koefisien kemampuan tangkapan (q) pada model Walter Hilborn sebesar 0, Hasil tersebut kemudian dapat menduga parameter dari daya dukung lingkungan (K) sebesar ,6 kg/tahun. Pada model Walter Hilborn nilai MSY yang didapatkan sebesar ,4 kg/tahun, artinya untuk dapat menjamin kelestariaan sumberdaya rajungan di Teluk Banten maka potensi rajungan yang dapat ditangkap dan akan menjamin keslestarian stok adalah sebesar ,4 kg selama satu tahun. Adapun upaya optimum untuk memperoleh tangkapan maksimum lestari dapat diperoleh dengan mensubtitusikan parameter yang diperoleh melalui persamaan r dan q, sehingga hasil yang didapatkan sebesar trip. Jumlah tangkapan lestari untuk sumberdaya rajungan di Teluk Banten yang diperoleh oleh model Walter Hilborn tiap tahunnya dapat ditunjukan pada Gambar 15 berikut dengan perbandingan antara jumlah tangkapan aktual. Hasil Tangkapan (ton) Tahun Produksi Aktual WH Gambar 15. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Walter Hiborn perikanan rajungan di Teluk Banten Pada gambar tersebut terlihat bahwa hasil tangkapan lestari pada model Walter Hilborn dari tahun sangat berfluktuasi. Secara visual tidak menggambarkan kemiripan dengan hasil tangkapan aktual perikanan rajungan di Teluk Banten.

54 42 D. Model Schnute (1977) Model Schnute dipandang sebagai modifikasi model Schaefer dalam bentuk diskrit (Roff 1983 in Pasisingi 2011). Pada model ini diperoleh persamaan: Semua perhitungan menggunakan data yang tertera pada Lampiran 6. Nilai R 2 yang diperoleh sebesar 0,8632 dan nilai parameter biologi seperti tingkat pertumbuhan alami (r) pada model Schnute sebesar 4,0073. Sedangkan untuk koefisien kemampuan penangkapan (q) sebesar 0,5477 serta daya dukung lingkungan (K) sebesar 1,4683 kg. Hasil tangkapan maksimum lestari dengan menggunakan model Schnute diperoleh dengan mensubstitusikan koefisien dan parameter yang diperoleh dari hubungan linear (Lampiran 6) sehingga hasil yang didapat sebesar 1,4710 kg/tahun, artinya dalam waktu satu tahun jumlah tangkapan yang diperbolehkan tidak boleh melebihi dari nilai 1,4710 kg. Sedangkan upaya optimum untuk model ini sebesar 3,5679 trip. Pada Gambar 16 menunjukkan perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schnute. Berdasarkan gambar apabila terlihat secara visual, kemiripan kurva terlihat dari tahun , namun selebihnya kurva model Schnute cenderung berfluktuasi dibanding produksi aktual yang cenderung menurun dari tahun Hasil Tangkapan (ton) Produksi Aktual Schnute Tahun Gambar 16. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schnute perikanan rajungan di Teluk Banten

55 43 E. Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) (1992) Metode Clarke Yoshimoto Pooley atau disingkat CYP menggunakan persamaan regresi linear berganda dengan konsep least square. Perhitungan model CYP menggunakan data yang disajikan pada Lampiran 7. Hasil persamaan yang dihasilkan berdasarkan model CYP yaitu: Nilai R 2 yang diperoleh pada model CYP sebesar 0,9826, adapun nilai parameter-parameter pertumbuhan yaitu nilai r sebesar 3,7875, sedangkan nilai koefisien penangkapan (q) sebesar 0,0001 dan daya dukung lingkungan (K) sebesar ,46 kg. Hasil tangkapan maksimum lestari dengan menggunakan model CYP diperoleh dengan mensubtitusikan koefisien dan parameter yang diperoleh dari hubungan linear (Lampiran 7) sehingga hasil yang didapatkan sebesar ,41 kg/tahun, artinya dalam waktu satu tahun jumlah tangkapan yang diperbolehkan tidak boleh melebihi dari nilai ,41 kg. Sedangkan untuk upaya optimum pada model ini yaitu sebesar trip. Gambar 17 menunjukkan perbandingan antara tangkapan aktual dengan tangkapan lestari menggunakan model CYP sumberdaya rajungan di Teluk Banten dari tahun 2005 sampai Melalui grafik tersebut maka terlihat bahwa pola perubahan jumlah tangkapan tahunan antara produksi aktual dengan model lestari CYP hampir mirip. Hasil Tangkapan(ton) Produksi Aktual CYP Tahun Gambar 17. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Clarke Yoshimoto Pooley perikanan rajungan di Teluk Banten

56 44 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari masing-masing model dapat dilihat secara visual pada Lampiran 8. Pada Tabel 7, menunjukkan perbandingan koefisien penangkapan (q), daya dukung lingkungan (K), serta parameter pertumbuhan intriksik (r) sumberdaya rajungan di Teluk Banten antara model Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute, serta model Clarke Yoshimoto Pooley. Tabel 7. Perbandingan parameter koefisien penangkapan (q), daya dukung lingkungan (K), pertumbuhan intrinsik (r), nilai koefisien determinasi (R 2 ), dan Standar error (SE) antara lima model produksi surplus rajungan di Teluk Banten Model q K r R 2 SE Schaefer 0, ,49 27,23 0,0397 1,2459 Fox 0, ,23 0,31 0,6796 0,0980 WH 0, ,58 1,01 0,5130 0,7659 Schnute 0, ,47 4,01 0,8632 1,7510 CYP 0, ,46 3,79 0,9826 0,0701 Ketiga paramteter pada masing-masing model disajikan dengan nilai yang berbeda-beda. Parameter q, K dan r model Schaefer dan Fox diperoleh melalui perhitungan algoritma. Sedangkan untuk model Walter Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley parameter-parameter tersebut diperoleh melalui subtitusi dan perhitungan menggunakan koefisien regresi liniear berganda. Indikator statistik yang digunakan adalah koefisien determinasi (R 2 ) Nilai koefisien determinasi masingmasing-masing model juga berbeda-beda. Nilai koefisien determinasi terbesar ditunjukkan oleh model Clarke Yoshimoto Pooley yaitu 0,9826. Sedangkan nilai koefisien determinasi terendah adalah model Schaefer yaitu 0,0397. Indikator statistik lain yang dapat mendukung hal ini adalah nilai standar error. Standar error model CYP juga relatif rendah dibandingkan model lainnya Analisis Bioekonomi Berdasarkan lima model surplus produksi yang telah diperoleh ternyata yang memiliki kemiripan kurva dengan produksi aktual yaitu model Clarke Yoshimoto Pooley dengan nilai R 2 atau koefisien determinasi sebesar 0,9826. Berdasarkan

57 45 model Clarke Yoshimoto Pooley, analisis bioekonomi untuk sumberdaya rajungan diperoleh melalui nilai dari parameter pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai parameter biologi dan ekonomi dalam penentuan MEY, MSY, dan Open Access Parameter Satuan Nilai Koefisien kemampuan alat tangkap (q) (kg/trip) 0,0001 Daya dukung perairan (K) (kg/tahun) ,46 Laju intrinsik populasi (r) (%/tahun) 3,79 Harga (p) (Rp/kg) Biaya (c) (Rp/trip) Pada Tabel 8, harga rajungan (p) dan biaya operasional (c) diperoleh dari hasil wawancara oleh 30 orang nelayan di Karangantu, hasil tersebut dapat terlihat pada Lampiran 9. Berdasarkan nilai dari parameter biologi dan ekonomi yang disajikan pada Tabel 8, maka dapat ditentukan jumlah tangkapan lestari dari rezim pengelolaan diantaranya rezim MEY, MSY, dan Open Access. Pada Tabel 9, diperoleh hasil perhitungan dari ketiga rezim yang dilakukan selengkapnya pada Lampiran 10. Tabel 9. Hasil Perhitungan bioekonomi sumberdaya rajungan di Teluk Banten Variabel MEY MSY Aktual OA Yield (kg) , , ,22 Effort (trip) , , TR (Rp) , , TC (Rp) , , Rente ekonomi (π) , , Berdasarkan Tabel 9 terlihat perbedaan dari masing-masing nilai rezim pengelolaan. Pada kondisi aktual yang merupakan data terakhir yaitu data tahun 2011 cenderung lebih rendah dibanding nilai dari ketiga rezim. Nilai yang paling tertinggi dari variabel yield, effort, TR, serta TC diperoleh oleh rezim MSY, sedangkan untuk rente ekonomi tertinggi diperoleh oleh rezim MEY.

58 46 A. Rezim Pengelolaan MEY Pada Tabel 9, hasil perhitungan menunjukkan bahwa hasil tangkapan maksimum berdasarkan rezim ini senilai ,21 kg dengan upaya sebesar trip sedangkan rente ekonomi yang diperoleh sebesar Rp ,00, hasil rente ekonomi tersebut merupakan rente ekonomi terbesar. Upaya yang dihasilkan sebesar trip dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari nilai rezim lainnya sehingga jumlah alat tangkap yang digunakan jauh lebih efisien dan menghasilkan banyak keuntungan. Apabila dibandingkan dengan jumlah aktual dengan rezim MEY, kondisi aktual pada tahun terakhir memiliki upaya sebesar trip/tahun menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp ,00 yang jauh lebih rendah dari nilai rezim MEY sebesar trip/tahun dan menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp ,00. Hal ini dapat dikatakan bahwa sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami economic overfishing. B. Rezim Pengelolaan MSY Konsep MSY didasarkan atas suatu model yang sangat sederhana dari suatu populasi ikan yang dianggap sebagai unit tunggal. Konsep ini dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort dengan suatu nilai maksimum yang jelas, terutama bentuk parabola dari model Scaefer yang paling sederhana (Widodo & Suadi 2008). Berdasarkan hasil perhitungan analisis untuk rezim MSY didapatkan nilai upaya untuk sumberdaya rajungan di Teluk Banten sebesar trip/tahun. Pada rezim ini didapatkan nilai rente ekonomi sebesar Rp ,00, hasil ini lebih rendah daripada hasil rente ekonomi yang diperoleh dari rezim pengelolaan MEY yaitu sebesar Rp ,00. Meskipun pada rezim MSY hasil tangkapan dan upaya penangkapan lebih besar, namun rezim yang dapat dikatakan paling efisien yaitu rezim pengelolaan MEY, sebab dengan effort yang lebih rendah, rezim MEY dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan rezim ini serta tidak memberi dampak adanya eksploitasi yang berlebih bagi sumberdaya rajungan di Teluk Banten. Berdasarkan kondisi MSY yang telah diperoleh, apabila dibandingkan dengan kondisi aktual, maka dapat dikatakan sumberdaya rajungan di Teluk Banten

59 47 belum mengalami biologic overfishing. Hal tersebut dilihat dari nilai hasil tangkapan aktual sebesar kg/tahun dengan upaya trip/tahun yang tidak melebihi dari nilai rezim pengelolaan MSY. C. Rezim Pengelolaan Open Access Rezim pengelolaan yang bersifat open access merupakan sistem perikanan yang tidak asing lagi bagi sumberdaya perikanan, hal tersebut terlihat di Teluk Banten dimana para pelaku perikanan yang mendapatkan izin menangkap ikan dapat melakukan operasi penangkapan. Pada rezim open access bagi sumberdaya rajungan di Teluk Banten memiliki nilai effort atau upaya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai MEY maupun MSY. Pada kondisi rezim pengelolaan MEY hasil tangkapan maksimum yang didapat sebesar ,21 kg dengan upaya sebesar sedangkan pada kondisi MSY hasil tangkapan maksimum yang didapat sebesar ,41 kg dengan upaya sebesar trip/tahun. Akan tetapi hasil tersebut berkebalikan dengan kondisi pada rezim pengeloaan Open Access yaitu dengan upaya yang jauh lebih tinggi sebesar trip/tahun menghasilkan hasil tangkapan sebesar 7.715,22 kg/tahun serta rente ekonomi yang berkebalikan yakni bernilai nol. Gordon in Fauzi 2010 menyebutkan bahwa keseimbangan open access tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Oleh karena itu untuk memperoleh keuntungan secara fisik (biologi) dan ekonomis untuk kelestarian sumberdaya ikan maka input dalam usaha perikanan yang ideal berada pada titik MEY Pembahasan Model surplus produksi yang didasarkan pada keseimbangan biomassa homogen ikan di suatu perairan yang digunakan pada penelitian ini terdapat lima model yaitu model Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute dan model Clarke Yoshimoto Pooley. Konsep surplus produksi merupakan konsep dasar dalam ilmu perikanan. Schaefer (1954) in Widodo dan Suadi (2008) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menduga stok didasarkan pada model surplus produksi logistik. Artinya dalam suatu perairan tidak dilakukan analisis secara rinci mengenai kematian, kelahiran serta migrasi ikan yang terjadi di suatu wilayah perairan.

60 48 Namun, kondisi ini tidak perlu diragukan karena dalam satu tahun, dinamika yang terjadi secara alami di suatu perairan khususnya Teluk Banten adalah seimbang atau dengan kata lain kondisi perairam secara alami berada pada keseimbangan dinamis. Oleh karena itu dibutuhkan data runut waktu tahunan untuk dapat mengaplikasikan model ini. Hasil wawancara oleh tiga puluh orang nelayan di Karangantu yang menangkap rajungan di Teluk Banten menunjukkan bahwa musim penangkapan rajungan di perairan Teluk Banten terdiri atas tiga musim yaitu musim puncak, sedang, dan musim paceklik. Musim puncak terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari. Musim sedang terjadi pada bulan September November. Musim paceklik terjadi pada bulan Maret Agustus. Hasil wawancara tersebut didukung oleh data produksi rajungan per bulan oleh nelayan di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu dengan kurun waktu Berdasarkan perbandingan grafik tangkapan aktual dan tangkapan masingmasing model surplus produksi maka dapat dilihat bahwa grafik aktual yang mirip dengan grafik tangkapan masing-masing model ditunjukkan oleh model Clarke Yoshimoto Pooley. Jika dilihat dari indikator statistik yaitu koefisien determinasi maka nilai R 2 paling besar terdapat pada model Clarke Yoshimoto Pooley yaitu sebesar 0,9826. Hasil tersebut hampir mendekati dengan penelitian terdahulu yaitu oleh Pasisingi (2011) dengan nilai R 2 pada model CYP untuk rajungan di Teluk Banten sebesar 0,9897. Menurut pendapat Pindyck dan Rubnfield (1998) in Aminah (2010) bahwa nilai determinasi atau R 2 lazim digunakan untuk mengukur goodness of fit dari variabel tidak bebas dalam model, dimana semakin besar nilai R 2 menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik. Hal ini menunjukkan bahwa model CYP merupakan model yang paling sesuai dan cocok untuk diterapkan pada perikanan rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Teluk Banten. Sedangkan untuk nilai tangkapan maksimum lestari pada model CYP diperoleh sebesar ,41 kg dengan upaya optimum sebesar trip. Analisis bioekonomi yang digunakan pada sumberdaya rajungan di Teluk Banten diperoleh dari hasil perhitungan pada model Clarke Yoshimoto Pooley. Rezim pengelolaan yang dipakai yaitu MEY, MSY, dan Open Access. Menurut Anderson dan Seijo (2010) bahwa maximum economic yield (MEY) dapat dicapai

61 49 apabila kurva penerimaan marginal memotong kurva biaya marginal, sedangkan produksi open access terjadi bila penerimaan total seimbang dengan biaya total sehingga laba upaya penangkapan sama dengan nol. Analisis bioekonomi yang telah dilakukan, ditunjukkan dengan nilai yang paling tertinggi dari variabel yield, effort, TR, serta TC diperoleh oleh rezim MSY, sedangkan untuk rente ekonomi tertinggi diperoleh oleh rezim MEY. Analisis MEY lebih menekankan pada keuntungan maksimum namun tetap terjaga kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan analisis untuk rezim MSY didapatkan nilai upaya untuk sumberdaya rajungan di Teluk Banten sebesar trip/tahun. Pada rezim ini didapatkan nilai rente ekonomi sebesar Rp ,00 hasil ini lebih rendah daripada hasil rente ekonomi yang diperoleh dari rezim pengelolaan MEY yaitu sebesar Rp ,00. Analisis bioekonomi pada kondisi MSY yang telah diperoleh, apabila dibandingkan dengan kondisi aktual dapat dikatakan bahwa sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami biologic overfishing. Hal tersebut dilihat dari nilai hasil tangkapan aktual sebesar kg/tahun dengan upaya trip/tahun tidak melebihi dari nilai MSY sebesar 38036,41 kg/tahun. Sedangkan apabila dibandingkan dengan jumlah aktual dengan rezim MEY, kondisi aktual pada tahun terakhir memiliki upaya sebesar 1400 trip/tahun menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp ,00 yang jauh lebih rendah dari nilai rezim MEY sebesar trip/tahun dan menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp ,00, hal ini berarti bahwa sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami economic overfishing. Pengelolaan yang optimal dan efisien secara sosial ada pada rezim MEY. Rezim MEY ini bisa diperoleh jika perikanan dikendalikan dengan kepemilikan yang jelas atau disebut sole owner (Fauzi 2010). Oleh karena itu untuk memperoleh keuntungan secara fisik (biologi) dan ekonomis untuk kelestarian sumberdaya ikan maka input dalam usaha perikanan yang ideal berada pada titik MEY (Anderson & Seijo 2010). Pada rezim open access bagi sumberdaya rajungan di Teluk Banten memiliki nilai effort atau upaya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai MEY maupun MSY yaitu sebesar trip/tahun. Akan tetapi dengan upaya yang jauh lebih besar menghasilkan rente ekonomi yang berkebalikan yakni bernilai nol.

62 50 Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Gordon in Fauzi 2010 bahwa effort yang dibutuhkan pada kondisi open access dengan rente ekonomi nol, jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan maksimum yaitu pada kondisi rezim MEY. Gordon in Fauzi 2010 menyebutkan bahwa keseimbangan open access tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Hasil tangkapan rajungan pada kondisi rezim open access jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi aktual maupun pada rezim MSY dan MEY yaitu sebesar 7.715,22 kg/tahun. Menurut pernyataan Widodo dan Suadi (2008) bahwa pengelolaan perikanan membutuhkan bukti-bukti ilmiah terbaik, proses diskusi melalui konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), dan penetapan berbagai tujuan dan strategi pengelolaan melalui pembuat keputusan, alokasi sumber daya dan implementasi aturan mainnya. Berdasarkan hasil penelitian, pemanfaatan sumberdaya rajungan di Teluk Banten melalui analisis bioekonomi menunjukkan bahwa saat ini belum mengalami biologic overfishing maupun economic overfishing. Hal tersebut didukung dengan penelitian terdahulu mengenai studi pertumbuhan rajungan di perairan Teluk Banten oleh Diskibiony (2012). Hasil yang didapatkan oleh penelitian tersebut menunjukkan bahwa laju eksploitasi rajungan di Teluk Banten sebesar 0,4847 atau 48,47%. Nilai laju eksploitasi ini dibawah nilai eksploitasi optimum sebesar 0,5 artinya tidak adanya indikasi tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok rajungan di Teluk Banten. Untuk menanggulangi terjadinya kondisi overfishing yang melewati daya dukung lingkungan maka dibutuhkan monitoring berupa upaya pengelolaan atau kebijakan melalui total allowable catch (TAC) atau dikenal dengan istilah jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dapat diterapkan. JTB atau TAC yaitu 80% dari tangkapan maksimum lestari berdasarkan hasil perhitungan pada model Clark Yoshimoto Pooley dan rezim pengelolaan MSY. Maka JTB untuk perikanan rajungan Portunus pelagicus di perairan Teluk Banten adalah sebesar ,13 kg/tahun. Nilai JTB ini apabila dibandingkan dengan nilai hasil tangkapan maksimum berdasarkan rezim yang paling efisien yaitu rezim MEY senilai ,21 kg lebih rendah dikarenakan untuk menghindari kesalahan perhitungan pada rezim MEY. Melalui JTB ini maka akan cukup untuk mencegah estimasi yang

63 51 berlebihan (over estimate) dan diharapkan dapat menjamin kelestarian dan ketersediaan sumberdaya rajungan sepanjang tahun. Selain itu, upaya pengelolaan lain berupa pengaturan effort (alat tangkap) pada ukuran mata jaring berdasarkan umur rajungan dan lebar karapas. Pengaturan effort ini diharapkan dapat mencapai keuntungan maksimum berdasarkan rezim pengelolaan MEY. Menurut Kumar et al. (2000) in Firman (2008) rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Perkiraan umur rata-rata rajungan dari lebar karapas tertentu dapat bervariasi. Pada umur 12 bulan, lebar karapas rata-rata rajungan adalah 90 mm. Rajungan jantan dan betina umumnya mencapai kematangan seksual pada ukuran lebar karapas 7 hingga 9 cm. Rajungan pada ukuran tersebut berumur sekitar satu tahun. Berdasarkan kondisi tersebut, rajungan yang boleh ditangkap oleh nelayan di Teluk Banten adalah rajungan yang telah melewati masa matang gonad yaitu yang berukuran melebihi 90mm. Hal ini berarti bahwa para nelayan harus mengatur ukuran mata jaring agar dapat menangkap rajungan yang berukuran menebihi 90mm. Menurut Rounsenfell (1975) in Setriana (2011) rajungan yang mempunyai nilai ekonomis setelah mempunyai lebar karapas antara mm.

64 52 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Hasil penelitian dengan pengujian melalui lima model surplus produksi, model Clarke Yoshimoto Pooley yang paling sesuai untuk sumberdaya rajungan di Teluk Banten dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,9826. Hasil tangkapan maksimum lestari pada model CYP sebesar ,41 kg dan upaya optimum sebesar trip. Berdasarkan analisis bioekonomi menggunakan rezim pengelolaan MEY, MSY, serta Open Access maka dapat dikatakan bahwa sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami biologic overfishing maupun economic overfishing. Hal tersebut dilihat dari nilai hasil tangkapan aktual sebesar kg/tahun dengan upaya trip/tahun menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp ,00 sehingga kondisi ini tidak melebihi dari nilai hasil tangkapan pada rezim pengelolaan MSY sebesar ,41 kg/tahun dan upaya pada rezim pengelolaan MEY sebesar trip/tahun yang menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp ,00. Upaya pengelolaan untuk sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten yaitu dengan cara menerapkan TAC (Total Allowable Catch) yang bernilai 80% dari hasil tangkapan maksimum lestari berdasarkan model CYP atau rezim MSY yaitu sebesar ,13 kg/tahun. Selain itu, upaya pengelolaan lain berupa pengaturan effort (alat tangkap) pada ukuran mata jaring berdasarkan umur rajungan dan lebar karapas. Pengaturan effort ini diharapkan dapat mencapai keuntungan maksimum berdasarkan rezim pengelolaan MEY Saran Model surplus produksi dan analisis bioeknomi perlu dievaluasi setiap tahun, karena kondisi sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten serta kondisi perairannya tidak dapat ditentukan secara pasti. Selain itu, perlu adanya analisis mengenai aspek reproduksi di penelitian selanjutnya agar dapat mengaplikasikan pola musim penangkapan rajungan.

65 53 DAFTAR PUSTAKA Adam, Jaya I, dan Sondita MF Model Bioekonomi Perairan Pantai (In-Shore) dan Lepas Pantai (Off-Shore) untuk Pengelolaan Perikanan Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Selat Makassar. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 13(1): Anderson LG dan Seijo JC Bioeconomics of Fisheries Management. A John Willey & Sons,Ltd,Publication. USA hlm. Aminah S Model Pengelolaan dan Investasi Optimal Sumberdaya Rajungan dengan Jaring Rajungan di Teluk Banten. [Skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 144 hlm. Beattie A, Sumaila UR, Christensen V, dan Pauly D A model for the bioeconomic evaluation of marine protected area size and placement in the North Sea. Journal of Natural Resource Modeling 15(4): Coppola G, Pascoe S A Surplus production model with a nonlinear catcheffort relationship. Journal of Marine Resource Economics 13: Diskibiony D Studi Pertumbuhan Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 59 hlm. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu Dirjen Perikanan Tangkap PPN Karangantu. Serang. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Renstra , BKIPM dan Keamanan Hasil Perikanan. Jakarta. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu Dirjen Perikanan Tangkap PPN Karangantu. Serang. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu Dirjen Perikanan Tangkap PPN Karangantu. Serang. Fauzi A dan Anna S Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A Ekonomi Perikanan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

66 54 Firman Model Bioekonomi Pengelolaan Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. [Tesis]. Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 95 hlm. Hermanto DT Studi Pertumbuhan dan Beberapa Aspek Reproduksi Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 78 hlm. Kangas MI Synopsis of the biology and exploitation of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus Linnaeus, in Western Australia. Journal of Fisheries Research in Western Australia. 121: Masters JHC The Use of Surplus Production Models and Length Frequency Data in Stock Assessment: Explorations using Greenland Halibut Observations. [Report]. Marine Research Institute. Iceland. Nabunome W Model Analisis Bioekonomi Dan Pengelolaaan Sumberdaya Ikan Demersal (Studi Empiris Di Kota Tegal), Jawa Tengah. [tesis]. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Semarang. 150 hlm. Nuraini S Potret Perikanan di Teluk Banten Tahun disertai Paparan Peranan Ikan Kerapu Lumpur sebagai Bio-Indikator Kestabilan Perairan Teluk Banten. Balai Riset Perikanan Tangkap. Jakarta. 35 hlm. Pasisingi N Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 106 hlm. Setriana D Analisis Perkiraan Dampak Ekonomi Kebijakan Minimum Legal Size Rajungan (Portunus pelagicus) terhadap Nelayan Desa Gebang Mekar Kabupaten Cirebon. [Skripsi]. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 101 hlm. Sparre P dan Venema CS Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Suadela P Analisis tingkat keramahan lingkungan unit penangkapan jaring rajungan (studi kasus di Teluk Banten) [Skripsi]. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 111 hlm. Susanto Kajian Bioekonomi Sumberdaya Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus L) di Perairan Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Jurnal Agrisistem. 2 (2):

67 55 Tinungki GM, Boer M, Monintja DR, Widodo J dan Fauzi A Model Surshing: Model Hybrid antara Produksi Surplus dan Model Cushing dalam Pendugaan Stok Ikan (Studi Kasus: Perikanan Lemuru di Selat Bali). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 11(2): Tinungki GM Evaluasi Model Produksi Dalam Menduga Hasil Tangkapan Maksimum Lestari untuk Menunjang Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 215 hlm. Tiwi DA Gambaran Ekosistem Kawasan Teluk Banten Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. 19 hlm. Widodo J & Suadi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 252 Hlm. Wu CC, Ou CH, Tsai WP, Liu KM Estimate of The Maximum Sustainable Yield of Sergestid Shrimp In The Waters Off Southwestern Taiwan. Journal of Marine Science and Technology 18:

68 LAMPIRAN 56

69 57 Lampiran 1. Daftar pertanyaan/kuisioner untuk nelayan I. Identitas Responden 1. Nama : Umur : Status : Pendidikan :... Formal : SD/SLTP/SMU/S1 Non Formal : Kursus Penangkapan/Magang/ Pekerjaan Utama : Pekerjaan Sampingan : Alamat : Jln... Desa... Kecamatan... Kabupaten/Kota... II. Keadaan Usaha Penangkapan A. Biaya Tetap (fixed cost) 1. Biaya Investasi a. Jenis alat tangkap yang digunakan No Alat tangkap Jumlah Ukuran Harga satuan (Rp) Umur ekonomis 2. Biaya sarana dan Prasarana No Jenis sarana Jumlah Ukuran Harga satuan (Rp) Umur ekonomis

70 58 Lampiran 1. Lanjutan Biaya Pemeliharaan No Jenis alat Biaya pemeliharaan Frekuensi pemeliharaan 1 Alat tangkap 2 Kapal 3 mesin Biaya Administrasi per Tahun No Jenis Biaya 1 Ijin Usaha/SIUp 2 Ijin Layar 3 Ijin tambah labuh 4 Pajak Kapal 5 Retribusi 6 Biaya TPI 7 Lain-lain Jumlah Biaya (Rp) Keterangan D. Biaya Tidak Tetap (Variable Cost) 1. Biaya Operasional Per Trip No Jenis biaya Jumlah Harga satuan Total 1 BBM 2 Es Batu 3 Air Bersih 4 konsumsi 5 lainnya Upah tenaga kerja : Rp.../trip E. Usaha Penangkapan Ikan 1. Dalam setahun berapa bulan tidak melaut Sebutkan musim dalam melaut (lingkari) a. Musim puncak : b. Musim biasa : c. Musim paceklik :

71 59 Lampiran 1. Lanjutan 3. Waktu Pengoperasian No Jenis uraian 1 Lama trip / hari Jumlah trip / bulan 2 atau musim 3 Total trip / tahun Musim Puncak Biasa paceklik F. Hasil Tangkapan No Jenis Ikan 1 Musim Puncak: a. b. c. d. e. lainnya 2 Musim Biasa: a. b. c. d. e. lainnya 3 Musim Paceklik: a. b. c. d. e. lainnya Jumlah Hasil Tangkapan (Kg) Harga Jual (Rp) Nilai Total (Rp) Jenis Alat Tangkap

72 60 Lampiran 2. Jumlah tangkapan total (c total ), upaya penangkapan total (f total ), jumlah tangkapan per satuan upaya total (CPUE total ) dan fishing power index (FPI) rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten Standarisasi Alat Tangkap Alat Tangkap C F CPUE FPI Jaring Insang Tetap ,59 0,50 Jaring Dogol ,13 1,00 Jaring Payang ,20 0,93 Jaring Tiga Lapis ,10 0,39 Bagan Perahu ,30 0,40 Contoh perhitungan standarisasi upaya: Jumlah tangkapan (c total ), Upaya tangkapan (f total ), dan CPUE total alat tangkap jaring insang diperoleh dari total jumlah tangkapan rajungan tahun 2005 sampai tahun 2010 dari alat tangkap jaring insang. (Cara yang sama diterapkan untuk alat tangkap lain) * (keterangan: *(upaya standar)) Total Tangkapan (c) dan Upaya Penangkapan (f) rajungan hasil standarisasi Tahun C (kg) F (trip)

73 61 Lampiran 3. Statistik regresi dan perhitungan model schaefer Tabel Jumlah tangkapan (c), jumlah upaya penangkapan (f) dan jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) rajungan di Teluk Banten Tahun c (kg) f (trip) CPUE(kg/trip) , , , , , , ,3857 (diolah dari Statistik PPN Karangantu) Koefisien Determinasi : 0,0397 Galat Baku : 1,2459 Tabel Sidik Ragam (regresi pertama) SK DB JK KT F F signifikan Regresi 1 3,0923 3,0923 0,0199 0,8933 Sisa 5 776, ,2248 Total 6 779,2165 Koefisien Galat Baku t hitung Peluang Intersep 1, ,9483 1,1654 0,2964 Slope -0,0006 0,0042-0,1411 0,8933 Regresi kedua: Koefisien Galat Baku Intersep 15, ,0980 Slope 1 27,2251 0,0206 Slope 2 0,0006 0,0001

74 62 Lampiran 4. Statistik regresi dan perhitungan model fox Tabel Jumlah tangkapan (c), jumlah upaya penangkapan (f), jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE), dan lncpue rajungan di Teluk Banten Tahun c (kg) f (trip) CPUE(kg/trip) lncpue ,0915 3, ,4735 2, ,5837 2, ,2475 2, ,5590 2, ,3755 1, ,3857 2,3404 Koefisien Determinasi : 0,0980 Galat Baku : 0,7013 Tabel Sidik Ragam (regresi pertama) SK DB JK KT F F signifikan Regresi 1 0,2671 0,2671 0,5430 0,4943 Sisa 5 2,4591 0,4918 Total 6 2,7262 Koefisien Galat Baku t hitung Peluang Intersep 2,8712 0,7288 3,9394 0,0110 Slope -0,0002 0,0002-0,7369 0,4943 Regresi ke-2 Koefisien Galat Baku Intersep 2,7232 1,6233 Slope 1 0,3130 0,0011 Slope 2 0,0002 0,0000

75 63 Lampiran 5. Statistik regresi model walter hilborn Tabel Jumlah tangkapan (c), jumlah upaya penangkapan (f), jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) dan CPUE t+1 /CPUE t rajungan di Teluk Banten Tahun CPUE f CPUE t+1 (CPUE t+1 /CPUEt) , ,4735 0, , ,5837 1, , ,2475 0, , ,5590 1, , ,3755 0, , ,3857 2, , (diolah dari Statistik PPN Karangantu) Koefisien Determinasi : 0,5130 Galat Baku : 0,7659 Tabel Sidik Ragam SK DB JK KT F F signifikan Regresi 2 1,8539 0,9269 1,5804 0,3398 Sisa 3 1,7596 0,5865 Total 5 3,6135 Koefisien Galat Baku t hitung Peluang Intersep 1,0121 1,1393 0,8883 0,4398 Slope 1-0,0424 0,0279-1,5189 0,2261 Slope 2-0,0002 0,0003 0,6850 0,5425

76 64 Lampiran 6. Statistik regresi model schnute Tabel Jumlah tangkapan (c), jumlah upaya penangkapan (f), jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE), ln(cpue t /CPUE t+1 ), jumlah tangkapan per satuan upaya rata-rata (CPUE t +CPUE t+1 )/2 serta jumlah upaya penangkapan rata-rata (f t +f t+1 )/2 rajungan di Teluk Banten Tahun c (kg) f f t+1 CPUEt CPUE t+1 ln(cpuet/cpue t+1 ) (CPUEt+CPUE t+1 )/2 (ft+f t+1 )/ ,0915 8,4735 1, , , ,5837-0, , ,5837 8,2475 0, , ,2475 8,5590-0,0371 8, ,5590 4,3755 0,6710 6, , ,3857-0,8644 7, ,3857 (diolah dari Statistik PPN Karangantu). Koefisien Determinasi : 0,8632 Galat Baku : 1,7510 Tabel Sidik Ragam SK DB JK KT F F signifikan Regresi 2 58, ,0256 9,4670 0,0506 Sisa 3 9,1979 3,0660 Total 5 67,2491 Koefisien Galat Baku t hitung Peluang Intersep 4,0073 1,9144 2,0933 0,1274 Slope 1-4,9825 1,1581-4,3023 0,0231 Slope 2-0,5477 0,1665 3,2889 0,0461

77 65 Lampiran 7. Statistik regresi model CYP Tabel Jumlah tangkapan (c) jumlah upaya penangkapan (f), umlah tangkapan per satuan upaya (CPUE), lncpue t+1, lncpuet dan ft+f t+1 rajungan di Teluk Banten Tahun c (kg) f (trip) CPUE(kg/trip) Ln CPUE t+1 Ln CPUE ft+f t ,0915 2,1369 3, ,4735 2,7462 2, ,5837 2,1099 2, ,2475 2,1470 2, ,5590 1,4760 2, ,3755 2,3404 1, ,3857 2,3404 (diolah dari Statistik PPN Karangantu) Koefisien Determinasi : 0,9826 Galat Baku : 0,0701 Tabel Sidik Ragam SK DB JK KT F F signifikan Regresi 2 0,8325 0, ,5891 0,0023 Sisa 3 0,0148 0,0049 Total 5 0,8472 Koefisien Galat Baku t hitung Peluang Intersep 4, , , ,00020 Slope 1-0, , , ,00689 Slope 2-0, , ,9028 0,00100

78 66 Lampiran 8. Kurva perbandingan antara hasil tangkapan rajungan aktual dengan hasil tangkapan berdasarkan tujuh model produksi surplus selama kurun waktu Hasil Tangkapan (ton) CYP WH Schnute Fox Schaefer Produksi Aktual Tahun

79 67 Lampiran 9. Data hasil wawancara Banyaknya Nelayan Jaring Insang Tetap 4 Jaring Tiga Lapis Jaring Payang Jaring Dogol Bagan Perahu Alat Tangkap Alat Tangkap Biaya Operasional Jaring Insang Tetap Rp ,00 Jaring Dogol Rp ,00 Jaring Payang Rp ,00 Jaring Tiga Lapis Rp ,00 Bagan Perahu Rp ,00

80 68 Lampiran 10. Tabel perhitungan analisis bioekonomi q 0, Slope 2 reg 2 rk/ ,41 K ,46 a/q 1+(c/pqk) 1,0606 r 3,7875 Slope 1 reg 2 1-(c/pqk) 0,9394 Kq (a) 4,7443 intercept reg 1 r/2q ,75 b -0,3089 Slope 1 reg 1 rc/pq 9.219,73 p ,00 r/q ,50 c 3.773,00 Variabel MEY MSY Aktual OA Yield (kg) , , , ,03 Effort (trip) , , , TR (Rp) , , , TC (Rp) , , , Rente ekonomi (π) , , ,00 0

81 69 Lampiran 11. Foto hasil penelitian Wawancara dengan nelayan Alat tangkap rajungan

82 70 Kapal penangkap rajungan PPN Karangantu dan TPI Karangantu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi Pribadi 2012)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi Pribadi 2012) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus) Jenis kepiting dan rajungan diperkirakan sebanyak 234 jenis yang ada di Indo Pasifik Barat, di Indonesia ada sekitar 124 jenis (Moosa

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi pribadi 2011)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi pribadi 2011) 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Rajungan Rajungan (Gambar 1) merupakan salah satu famili dari seksi kepiting yang banyak diperjualbelikan. Mosa (1980) in Suadela (2004) menyebutkan bahwa di Indo

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN i MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palabuhanratu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup tinggi di Jawa Barat (Oktariza et al. 1996). Lokasi Palabuhanratu

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 3 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dari tanggal 17 April sampai 7 Mei 013. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Februari 2012 dengan interval waktu pengambilan sampel 1 bulan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi** RINGKASAN Penelitian ini mengkaji

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di TPI Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan alasan dan kriteria

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004) 24 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSPi) dan dilaksanakan selama periode bulan Maret 2011 hingga Oktober

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru. 3 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli 009 di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar - Perairan Selat Bali, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Perairan Selat Bali terletak

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAA 2.1 Ikan Peperek 2.1.1 lasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut: Filum : Chordata elas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya udang laut yang sangat besar, yakni sekitar 78 800 ton per tahun yang terdiri dari 74 000 ton per tahun untuk

Lebih terperinci

Pengelolaan SD Pulih -SD Ikan- Luh Putu Suciati

Pengelolaan SD Pulih -SD Ikan- Luh Putu Suciati Pengelolaan SD Pulih -SD Ikan- Luh Putu Suciati Economics History of Fisheries Ikan telah dikonsumsi sejak zaman Homo Erectus sampai Homo sapiens (38 000 tahun yang lalu) Desa nelayan yang menjadi pusat

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 14 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan April tahun 2012. Pengambilan data primer dilakukan pada bulan April tahun 2012 sedangkan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum PPP Labuan, Banten Wilayah Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6 0 21-7 0 10 Lintang Selatan dan 104 0 48-106 0 11 Bujur Barat dengan luas

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Perikanan Kabupaten Agam Aktifitas kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Agam hanya terdapat di satu kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Mutiara. Wilayah ini terdiri atas

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian dibagi dalam 2 tahapan berdasarkan waktu kegiatan, yaitu : (1) Pelaksanaan penelitian lapangan selama 2 bulan (September- Oktober

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus) BERDASARKAN MODEL PRODUKSI SURPLUS DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus) BERDASARKAN MODEL PRODUKSI SURPLUS DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN i PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus) BERDASARKAN MODEL PRODUKSI SURPLUS DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN ENDAH TRI SULISTIYAWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat 27 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat (Lampiran 1). Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2011. Penentuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI RAJUNGAN (Portunus pelagicus) MENGGUNAKAN PENDEKATAN SWEPT AREA DAN GORDON-SCHAEFER DI PERAIRAN DEMAK

ANALISIS BIOEKONOMI RAJUNGAN (Portunus pelagicus) MENGGUNAKAN PENDEKATAN SWEPT AREA DAN GORDON-SCHAEFER DI PERAIRAN DEMAK C 07 ANALISIS BIOEKONOMI RAJUNGAN (Portunus pelagicus) MENGGUNAKAN PENDEKATAN SWEPT AREA DAN GORDON-SCHAEFER DI PERAIRAN DEMAK Ika Istikasari, Abdul Kohar Mudzakir*), dan Dian Wijayanto Program Studi Pemanfaatan

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

PERLUNYA STATISTIK/MATEMATIKA, PADA DINAPOPKAN

PERLUNYA STATISTIK/MATEMATIKA, PADA DINAPOPKAN PERLUNYA STATISTIK/MATEMATIKA, PADA DINAPOPKAN Tim MK Dinamika Populasi Ikan FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2014 BERUBAH Organisme di bumi selalu berubah dari waktu ke waktu

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KAKAP DI KABUPATEN KUTAI TIMUR (Bio-economic Analysis of Blood Snaper Resources Utilization in Kutai Timur Regency) ERWAN SULISTIANTO Jurusan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid Program Studi Ilmu Kelautan STITEK Balik Diwa Makassar Email : hartati.tamti@gmail.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX-

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX- CpUE Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX- By. Ledhyane Ika Harlyan 0.400 0.350 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000 Schaefer y = -0.000011x

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004) 3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama delapan bulan dari bulan Maret 2011 hingga Oktober 2011 dengan mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: ISSN :

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: ISSN : Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: 263-274 ISSN : 2088-3137 ANALISIS BIOEKONOMI MODEL GORDON-SCHAEFER STUDI KASUS PEMANFAATAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI PERAIRAN UMUM

Lebih terperinci

RIKA PUJIYANI SKRIPSI

RIKA PUJIYANI SKRIPSI KONDISI PERIKANANN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI LEMPASING, BANDAR LAMPUNG RIKA PUJIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN PELAGIS PADA USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI TAWANG KABUPATEN KENDAL

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN PELAGIS PADA USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI TAWANG KABUPATEN KENDAL ANALISIS BIOEKONOMI IKAN PELAGIS PADA USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI TAWANG KABUPATEN KENDAL Dhiya Rifqi Rahman *), Imam Triarso, dan Asriyanto Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee ABSTRACT ANDAN HAMDANI. Analysis of Management and Assessment User Fee on Utilization of Lemuru Resources In Bali Strait. Under direction of MOCH PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Lemuru resources in

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI SUMBERDAYA RAJUNGAN

ANALISIS BIOEKONOMI SUMBERDAYA RAJUNGAN ANALISIS BIOEKONOMI SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI KABUPATEN TUBAN A Bioeconomic Analysis of Blue Swimming Crabs Resource (Portunus pelagicus) in Tuban Regency Trijana Adi Tama, Dian Wijayanto

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP Labuan secara administratif terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. PPP Labuan memiliki batas administratif,

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5.1 Pendahuluan Armada penangkapan yang dioperasikan nelayan terdiri dari berbagai jenis alat tangkap,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

POTENSI LESTARI DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN KURISI (Nemipterus sp.) YANG DIDARATKAN PADA PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA SUNGAILIAT

POTENSI LESTARI DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN KURISI (Nemipterus sp.) YANG DIDARATKAN PADA PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA SUNGAILIAT AKUATIK. Jurnal Sumberdaya Perairan 49 ISSN 1978-1652 POTENSI LESTARI DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN KURISI (Nemipterus sp.) YANG DIDARATKAN PADA PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA SUNGAILIAT Juandi 1). Eva Utami

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Aktivitas Penangkapan Ikan Lemuru 5.1.1 Alat tangkap Purse seine merupakan alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan di sekitar Selat Bali dalam menangkap ikan lemuru. Purse

Lebih terperinci

5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan yang akan menjawab berbagai pertanyaan dan tujuan penelitian ini dan juga rekomendasi berupa implikasi kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera dan pulau-pulau di sekitarnya memiliki 570 jenis spesies ikan tawar dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu jenis ikan endemik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

Moch. Prihatna Sobari 2, Diniah 2, dan Danang Indro Widiarso 2 PENDAHULUAN

Moch. Prihatna Sobari 2, Diniah 2, dan Danang Indro Widiarso 2 PENDAHULUAN ANALISIS MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD MENGGUNAKAN BIO-EKONOMIK MODEL STATIS GORDON-SCHAEFER DARI PENANGKAPAN SPINY LOBSTER DI WONOGIRI 1 (Analysis of Maximum Sustainable Yield and

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi

Lebih terperinci

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN Vol. 4 No. 1 Hal. 1-54 Ambon, Mei 2015 ISSN. 2085-5109 POTENSI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TONGKOL (Auxis thazard) DI PERAIRAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA The Potential

Lebih terperinci

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas Vokasi Volume 9, Nomor 1, Februari 2013 ISSN 1693 9085 hal 1-10 Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas LA BAHARUDIN Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, Politeknik Negeri Pontianak, Jalan

Lebih terperinci

(In-shore and Off-shore Bioeconomic Model for Swimming Crab Fisheries Management in Makassar Strait)

(In-shore and Off-shore Bioeconomic Model for Swimming Crab Fisheries Management in Makassar Strait) MODEL BIOEKONOMI PERAIRAN PANTAI (IN-SHORE) DAN LEPAS PANTAI (OFF-SHORE) UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR (In-shore and Off-shore Bioeconomic Model for

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK SINGGIH PRIHADI AJI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU Berkala Perikanan Terubuk, November 2016, hlm 111 122 ISSN 0126-4265 Vol. 44. No.3 ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH HAMBATAN TARIF DAN NON TARIF DI PASAR UNI EROPA TERHADAP EKSPOR KOMODITAS UDANG INDONESIA RIRI ESTHER PAINTE

ANALISIS PENGARUH HAMBATAN TARIF DAN NON TARIF DI PASAR UNI EROPA TERHADAP EKSPOR KOMODITAS UDANG INDONESIA RIRI ESTHER PAINTE ANALISIS PENGARUH HAMBATAN TARIF DAN NON TARIF DI PASAR UNI EROPA TERHADAP EKSPOR KOMODITAS UDANG INDONESIA RIRI ESTHER PAINTE PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS BIO-EKONOMI PENGELOLAAN SUMBER DAYA KAKAP MERAH(Lutjanus sp) SECARA BERKELANJUTAN DI TANJUNGPANDAN, BELITUNG

ANALISIS BIO-EKONOMI PENGELOLAAN SUMBER DAYA KAKAP MERAH(Lutjanus sp) SECARA BERKELANJUTAN DI TANJUNGPANDAN, BELITUNG BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume XIX No. 3 Edisi Desember 2011 Hal 267-276 ANALISIS BIO-EKONOMI PENGELOLAAN SUMBER DAYA KAKAP MERAH(Lutjanus sp) SECARA BERKELANJUTAN DI TANJUNGPANDAN, BELITUNG Oleh:

Lebih terperinci

3.1. Waktu dan Tempat

3.1. Waktu dan Tempat 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni - Oktober 2008, Adapun lingkup wilayah penelitian di Bengkalis dengan mengambil beberapa desa sampel yaitu : Meskom, Pambang,

Lebih terperinci

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR INPUT BAGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis, Cantor 1849) DI TELUK PALABUHANRATU, SUKABUMI RIZKA SARI

FAKTOR-FAKTOR INPUT BAGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis, Cantor 1849) DI TELUK PALABUHANRATU, SUKABUMI RIZKA SARI FAKTOR-FAKTOR INPUT BAGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis, Cantor 1849) DI TELUK PALABUHANRATU, SUKABUMI RIZKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DAN PEMASARAN SUMBERDAYA CUMI-CUMI (Loligo Sp) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) KEJAWANAN KOTA CIREBON, JAWA BARAT

PEMANFAATAN DAN PEMASARAN SUMBERDAYA CUMI-CUMI (Loligo Sp) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) KEJAWANAN KOTA CIREBON, JAWA BARAT PEMANFAATAN DAN PEMASARAN SUMBERDAYA CUMI-CUMI (Loligo Sp) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) KEJAWANAN KOTA CIREBON, JAWA BARAT Utilization and Squid (Loligo sp) Resource Marketing

Lebih terperinci

MAXIMUM ECONOMIC YIELD SUMBERDAYA PERIKANAN KERAPU DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA. Yesi Dewita Sari¹, Tridoyo Kusumastanto², Luky Adrianto³

MAXIMUM ECONOMIC YIELD SUMBERDAYA PERIKANAN KERAPU DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA. Yesi Dewita Sari¹, Tridoyo Kusumastanto², Luky Adrianto³ J. Bijak dan Riset Sosek KP. Vol.3 No.1, 2008 69 MAXIMUM ECONOMIC YIELD SUMBERDAYA PERIKANAN KERAPU DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Yesi Dewita Sari¹, Tridoyo Kusumastanto², Luky Adrianto³ Penelitian

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian. 31 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan data untuk kebutuhan penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 hingga Mei 2011 bertempat di Sibolga Propinsi Sumatera Utara (Gambar 3).

Lebih terperinci

1.2. Latar Belakang Masalah 1.3. Perumusan Masalah

1.2. Latar Belakang Masalah 1.3. Perumusan Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Pengantar Dewasa ini fungsi komputer semakin dimanfaatkan dalam segala bidang. Baik di bidang pendidikan, bisnis, ataupun penelitian. Komputer dimanfaatkan dalam segala bidang dikarenakan

Lebih terperinci