PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA BERBAGAI KEDALAMAN MUKA AIR DI LAHAN RAWA PASANG SURUT DANNER SAGALA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA BERBAGAI KEDALAMAN MUKA AIR DI LAHAN RAWA PASANG SURUT DANNER SAGALA"

Transkripsi

1 PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA BERBAGAI KEDALAMAN MUKA AIR DI LAHAN RAWA PASANG SURUT DANNER SAGALA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2010 Danner Sagala NRP A

3 ABSTRACT DANNER SAGALA. Growth and Production of Soybean Varieties under Saturated Soil Culture on Tidal Swamps. Under direction of MUNIF GHULAMAHDI and MAYA MELATI Saturated soil culture (SSC) is a cultivation technology that provides continuous irrigation. It keeps water depth constantly and makes soil layer in saturated condition. By keeping the water-table constantly, soybean is avoided from negative effect of inundation on its growth because it will acclimatize and improve its growth. This technology appropriate to prevent pyrite oxidation on tidal swamps and has been proved to increase the productivity of soybean on nontidal swamp. The objective of the research was to determine the response of soybean varieties under saturated soil culture on tidal swamps. The research was conducted at Banyu Urip, Tanjung Lago, Banyuasin District, and South Sumatera Province, Indonesia from April to August The experiment was arranged in a split plot design with three replications. The main-plot of the experiment was water depth in the furrow consisted of without watering, 10, 20, 30, and 40 cm under soil surface (USS). The subplot of the experiments was soybean varieties consisted of Tanggamus, Slamet, Wilis, and Anjasmoro. The result showed that the interaction between varieties and water depth significantly affected growth and seed production, but not for pod numbers/plant. The values of all variables were higher under SSC compared to those cultivated without watering, but varieties responded to SSC differently. Nutrient absorption of N, K and Mn by Tanggamus was higher than those of other varieties, except K, however K absorption of Tanggamus was not significantly different from Anjasmoro. P and Fe absorption of Tangamus tended to be higher than the other varieties, although statistically they were not affected by variety. The highest seed production was obtained from Tanggamus with 40 cm USS, i.e ton/ha but it was not significantly different from those at water depth 20 (4.63 ton/ha) and 30 cm USS (4.71 ton/ha). However, technically and economically, 20 cm USS was the most appropriate water depth for soybean production at tidal swamps. Key words : Glycine max (L.) Merr., Tanggamus, Slamet, Wilis, Anjasmoro, nutrient uptake, inundation, pyrite

4 RINGKASAN DANNER SAGALA. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI dan MAYA MELATI. Budidaya jenuh air (BJA) merupakan suatu teknologi yang mempertahankan irigasi secara terus-menerus di dalam saluran sehingga kedalaman muka air dalam saluran selalu tetap dan menciptakan lapisan jenuh air pada tanah. Teknologi ini sesuai dengan prinsip pencegahan oksidasi pirit di lahan pasang surut dan telah terbukti meningkatkan produktivitas kedelai di lahan nonpasang surut. Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kedalaman muka air parit terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut dan respon beberapa varietas kedelai yang adaptif di lahan rawa pasang surut terhadap kedalaman muka air parit yang berbeda. Percobaan disusun dalam Rancangan Petak Terpisah dengan rancangan acak kelompok sebagai rancangan lingkungan. Percobaan diulang sebanyak tiga kali. Petak utama adalah tinggi muka air yang terdiri dari 5 taraf, yaitu tanpa pengairan, 10, 20, 30 dan 40 cm di bawah permukaan tanah (DPT). Anak petak adalah varietas yang terdiri dari 4 jenis yaitu Tanggamus, Slamet, Wilis dan Anjasmoro. Saluran air dibuat di antara anak petak berukuran lebar 30 cm dan dalamnya 50 cm dan dengan pengaturan ini maka kondisi petakan akan selalu basah pada saat irigasi diberikan. Air irigasi diberikan mulai saat tanam. Teknologi BJA dapat meningkatkan pertumbuhan produktivitas kedelai di lahan pasang surut dan setiap varietas yang diuji memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan kedalaman muka air. Tinggi tanaman semua varietas yang ditanam dengan BJA lebih dari 50 cm, sementara semua varietas yang ditanam pada perlakuan tanpa pengairan berada di bawah 40 cm. Slamet merupakan varietas tertinggi di antara varietas-varietas yang ditanam dengan BJA, namun berbeda tidak nyata antar perlakuan kedalaman muka air cm DPT. Bobot kering semua komponen tanaman varietas Tanggamus nyata lebih tinggi dibandingkankan dengan varietas lainnya, kecuali bobot kering bintil akar. Bobot kering bintil akar varietas Anjasmoro merupakan yang tertinggi, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Tanggamus. Bobot kering batang pada varietas Tanggamus juga lebih tinggi dibandingkankan varietas lainnya meskipun secara statistik berpengaruh tidak nyata. Bobot kering total tanaman varietas Wilis merupakan yang terendah, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Pertumbuhan varietas Anjasmoro pada awal pertumbuhan lebih cepat dibandingkan varietas lainnya, namun pada umur 8 dan 10 minggu setelah tanam pertumbuhannya menurun. Pertumbuhan varietas Tanggamus lebih stabil dibandingkankan varietas lainnya. Jumlah daun dan jumlah cabang kedelai yang ditanam dengan BJA nyata berbeda di antara varietas dan kedalaman muka air. Varietas Tanggamus merupakan varietas yang yang paling responsif terhadap perlakuan kedalaman muka air dimana jumlah daun dan jumlah cabang varietas Tanggamus dapat mencapai tiga kali jumlah daun dan jumlah cabang tanpa pengairan. Jumlah daun

5 dan cabang yang tinggi memberi keuntungan bagi kedelai untuk menghasilkan polong dan pengisian polong tersebut. Jumlah polong kedelai yang ditanam dengan BJA nyata lebih banyak dibandingkankan dengan yang ditanam dengan tanpa pengairan. Kedelai yang ditanam dengan kedalaman muka air 10 cm DPT menghasilkan polong delapan kali lebih banyak dibandingkankan tanpa pengairan. Berdasarkan jumlah polong, varietas Tanggamus dan Slamet dapat beradaptasi dengan baik di lahan pasang surut dengan teknologi BJA. Jumlah polong pada percobaan ini juga lebih tinggi dibandingkankan dengan jumlah polong di lahan non-pasang surut dengan teknologi BJA. Varietas Tanggamus, Slamet, Wilis, dan Anjasmoro yang diuji di lahan pasang surut ini menghasilkan berturut-turut 105.4, 96.4, 39.9 dan 42.1 polong/tanaman pada kedalaman muka air 20 cm DPT. Produksi biji semua varietas nyata meningkat dengan penerapan teknologi BJA di lahan pasang surut. Kedalaman muka air cm DPT memberi hasil 8-9 kali produksi biji dibandingkan dengan tanpa pengairan. Produksi biji varietas Tanggamus pada kedalaman muka air 40 cm DPT mencapai 4.83 ton/ha, namun berbeda tidak nyata dengan kedalaman 20 cm DPT (4.63 ton/ha) dan 30 cm DPT (4.71 ton/ha). Pembuatan saluran dengan kedalaman muka air 20 cm akan lebih mudah dan lebih murah dibandingkankan dengan saluran dengan kedalaman 30 dan 40 cm DPT. Oleh karena itu kedalaman 20 cm merupakan kedalaman muka air yang paling cocok untuk penanaman kedelai dengan teknologi BJA di lahan pasang surut yang mempunyai kandungan liat tinggi. Kadar hara N satu-satunya hara yang memberi pengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan semua varietas. Kadar hara N varietas Tanggamus merupakan yang tertinggi, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Kadar hara N varietas Wilis nyata paling rendah dibandingkan dengan varietas lainnya dan secara statistik sama dengan varietas Anjasmoro. Serapan hara N, K dan Mn varietas Tanggamus nyata lebih tinggi dibandingkan varietas yang lain, akan tetapi serapan hara K varietas Tanggamus berbeda tidak nyata dengan varietas Anjasmoro. Serapan hara P dan Fe varietas Tanggamus juga lebih tinggi dibandingkankan varietas lainnya meskipun secara statistik varietas berpengaruh tidak nyata. Data analisis tanah yang dilakukan sebelum pengolahan tanah adalah ph (KCl) 4.4, 21.4 ppm P 2 O 5 (Bray 1), 117 ppm K 2 O, 3.15 me/100 g Al 3+, 64.5 ppm Mn, 1.19% Fe, 0.44% pirit. Namun, pemberian kapur dan pupuk dapat meningkatkan ph dan hara tanah, sementara stabilitas air di bawah permukaan tanah akibat penerapan budidaya jenuh air menyebabkan pirit dalam keadaan reduktif sehingga oksidasi pirit menjadi Fe dapat ditekan dan tidak meracuni tanaman. Kadar pirit tanah saat panen adalah 0.17% dan kadar Fe adalah 1.13% dengan ph tanah 5.3 Kata kunci: Glycine max (L.) Merr., Tanggamus, Slamet, Wilis, Anjasmoro, serapan hara, budidaya jenuh air, pirit

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa seizin IPB.

7 PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA BERBAGAI KEDALAMAN MUKA AIR DI LAHAN RAWA PASANG SURUT DANNER SAGALA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Agronomi dan Hortikultura SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji Luar Komisi Ujian Tesis: Dr. Ir. Iskandar Lubis, M.S.

9 Judul Tesis Nama NRP : Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut : Danner Sagala : A Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Ketua Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 10 Juni 2010 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Berkurangnya lahan produktif menyebabkan pengembangan lahan pertanian diarahkan pada lahan marginal potensial, di antaranya adalah lahan rawa pasang surut. Pengelolaan lahan rawa pasang surut membutuhkan penanganan khusus karena mengandung pirit baik aktual maupun potensial. Tesis yang berjudul Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut ini akan mencoba memberikan salah satu jawaban atas pengelolaan lahan pasang surut di Provinsi Sumatera Selatan. Penulis sangat bersyukur pada Yesus Kristus atas segala karunianya penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga penulisan tesis ini dengan baik. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih pada Dr. Munif Ghulamahdi dan Dr. Maya Melati sebagai komisi pembimbing yang dengan sabar membimbing penulis. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Ketua Gabungan Kelompok Tani, Bapak Tukijo, dan para petani Desa Banyu Urip, secara khusus kepada Bapak Ngatimin, Bapak/Ibu Suaji, Bapak Muhtar dan Bapak Sumarno, yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan atas dukungan yang selalu diberikan oleh ayah, ibu, kakak, adik dan Arlien Shirley Sitorus serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. Bogor, Penulis

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Kandang Kerbau, Sumatera Utara, pada tanggal 4 Oktober 1981 sebagai anak keempat dari pasangan M. Sagala dan A. br. Sinaga. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya dan lulus pada tahun Penulis bekerja sebagai dosen di Kopertis Wilayah II Palembang yang diperbantukan di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H. Bengkulu sejak tahun Penulis diterima sebagai mahasiswa pada tahun 2008 di Mayor Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana IPB dengan biaya pendidikan dari Dirjen Dikti Kemendiknas melalui program Beasiswa Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS). Selama mengikuti program S2, penulis menjadi anggota Himpunan Ilmu Gulma Indonesia dan pengurus di Forum Mahasiswa Pascasarjana (Forsca) Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB sebagai sekretaris. Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Agronomi Umum dan mata kuliah Padi dan Palawija di Program Diploma IPB. Sebuah artikel berjudul Production of Soybean Varieties under Saturated Soil Culture on Tidal Swamps telah diterbitkan di Jurnal Agronomi Indonesia 37(3): bersama-sama dengan pembimbing.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut... 4 Varietas Kedelai Adaptif Lahan Masam... 7 Budidaya Jenuh Air pada Kedelai... 8 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Prosedur Percobaan Peubah dan Pengolahan Data HASIL DANPEMBAHASAN Hasil Pembahasan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 44

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Data analisis tanah sebelum tanam Data analisis air Pengaruh varietas terhadap komponen pertumbuhan kedelai pada umur 4, 6, 8 dan 10 MST Kadar dan serapan hara N, P, K, Fe dan Mn dalam daun pada beberapa varietas kedelai dan kedalaman muka air Bobot kering batang, daun, akar, bintil akar dan total beberapa varietas kedelai dan kedalaman muka air Pengaruh interaksi kedalaman muka air dan varietas terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada akhir pengamatan Jumlah polong empat varietas kedelai pada berbagai kedalaman muka air Produktivitas empat varietas kedelai pada berbagai kedalaman muka air Pengaruh kedalaman muka air terhadap umur 50% berbunga dan umur panen Pengaruh varietas terhadap umur 50% berbunga dan umur panen xii

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Ukuran saluran dan pengukuran kedalaman muka air Skema Pengaturan Air Petak percobaan yang telah dibentuk Peta lokasi penelitian Klasifikasi rawa pasang surut menurut luapan pasang maksimun dan minimum Jaringan drainase di Desa Banyu Urip Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Kedalaman lapisan pirit dari permukaan tanah Keragaan empat varietas kedelai pada BJA di lahan pasang surut pada umur 6 MST Jumlah polong varietas Tanggamus pada BJA dan kontrol pada umur 8 MST Tata air makro dan mikro di daerah pasang surut untuk penerapan BJA xiii

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data analisis tanah saat panen Data curah hujan (mm/hari) daerah penelitian Data suhu udara maksimum ( o C) daerah penelitian Deskripsi varietas Tanggamus Deskripsi varietas Slamet Deskripsi varietas Wilis Deskripsi varietas Anjasmoro Rekapitulasi analisis sidik ragam data sebelum panen Rekapitulasi analisis sidik ragam data saat panen Korelasi antar peubah yang diamati xiv

16 PENDAHULUAN Latar Belakang Konversi lahan pertanian dari lahan yang berproduktivitas tinggi menjadi lahan non-pertanian atau menjadi lahan pertanian non-pangan merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi kedelai nasional. Data dalam naskah Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) tahun 2005 mencontohkan konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun mencapai ha atau setara dengan ha/tahun. Menurut Sudaryanto dan Swastika (2007), proyeksi konsumsi kedelai di Indonesia dari tahun 2005 hingga 2020 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 konsumsi kedelai Indonesia akan mencapai 2 juta ton, sementara angka ramalan I tahun 2010 dari data BPS (2010) menunjukkan bahwa produksi kedelai nasional masih ton dengan luas panen ha dan produktivitas ton/ha. Salah satu upaya pengembangan lahan pertanian dapat ditempuh melalui pemanfaatan lahan potensial. Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk pengembangan kedelai di masa depan (Sudaryono et al. 2007). Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia berkisar 20 juta ha (Subagyo 2006a) dan diperkirakan sekitar 9.53 juta ha cocok untuk usaha pertanian (Suyamto et al. 2007). Sumberdaya lahan rawa di Indonesia secara dominan terdapat di empat pulau besar di luar Jawa, yaitu Pulau Sumatera, Kalimantan, Papua, dan sebagian kecil di Pulau Sulawesi (Subagyo 2006a). Tahun 2008 Departemen Pertanian merencanakan pencapaian areal tanam kedelai sekitar satu juta hektar meliputi berbagai provinsi di Indonesia. Areal pengembangan kedelai tersebut termasuk juga lahan pasang surut yang ada di Sumatera Selatan (Deptan 2008). Permasalahan pengembangan kedelai di lahan pasang surut adalah tanaman kedelai tidak tahan dengan air yang berlebihan sebagaimana karakteristik lahan rawa, sedangkan apabila lahan dikeringkan akan mengoksidasi pirit. Pirit dapat menyebabkan rendahnya ph tanah pada kondisi teroksidasi. Kadar pirit yang tinggi menyebabkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut masih rendah, 800 kg/ha (Djayusman et al. 2001). Rendahnya produktivitas tanaman di lahan pasang surut disebabkan oleh kemasaman tanah yang tinggi sehingga kelarutan

17 2 Fe, Al, dan Mn menjadi tinggi, serta rendahnya ketersediaan P dan K (Suastika & Sutriadi 2001). Oleh sebab itu dalam memanfaatkan lahan rawa secara berkelanjutan, diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu. Budidaya jenuh air adalah sistem produksi yang dikembangkan di semi arid tropis Australia yang dilaporkan dapat meningkatkan hasil kedelai di atas pencapaian yang ditanam dengan irigasi konvensional. Teknologi budidaya jenuh air mempertahankan air dalam saluran antara bedengan dari awal stadia vegetatif hingga stadia kematangan. Pertumbuhan kedelai pada awal pemberian jenuh air, mengalami tekanan namun setelah melewati masa aklimatisasi pertumbuhan kemudian meningkat. Budidaya jenuh air juga dapat menurunkan aborsi bunga dan polong, tidak mengalami senessen saat masa pengisian polong sehingga akhirnya dapat meningkatkan indeks panen (Fehr et al. 1971; Garside et al. 1982; Nathanson et al. 1984; Troedson et al. 1984; Lawn 1985). Penelitian yang dilakukan oleh Ghulamahdi (1999) di lahan non pasang surut, Bogor, menunjukkan produksi kedelai yang tinggi dengan budidaya jenuh air yaitu mencapai 2.9 ton/ha pada genotipe PTR 32. Teknologi budidaya jenuh air yang telah terbukti memberikan hasil yang baik bagi pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan non-pasang surut ini merupakan peluang untuk menurunkan kadar pirit sehingga kedelai dapat dibudidayakan di lahan pasang surut. Usaha penurunan kadar pirit dapat dilakukan dengan cara pengaturan kedalaman muka air agar kondisi tanah lebih reduktif. Kedalaman muka air yang tetap di dalam saluran akan menghilangkan pengaruh dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman. Pengembangan varietas kedelai dewasa ini juga harus diarahkan pada kedelai yang toleran lahan sub optimal. Alihamsyah dan Ar-Riza (2006) menemukan bahwa varietas Tanggamus, Wilis, dan Slamet merupakan varietas yang dapat dikembangkan di lahan rawa lebak. Kedelai merupakan tanaman lahan kering sehingga menurut CSIRO (1983) dan Ghulamahdi et al. (1991), tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh air akan berbeda-beda. Sebagai contoh, varietas kedelai yang berumur panjang biasanya mempunyai pertumbuhan lebih baik dan produksi lebih tinggi dari pada kedelai yang berumur pendek jika dibudidayakan dengan budidaya jenuh air.

18 3 Uraian di atas dan masih sedikitnya informasi mengenai penerapan budidaya jenuh air di lahan rawa pasang surut menunjukkan perlunya mempelajari pengaruh berbagai kedalaman muka air parit dan beberapa varietas yang adaptif dibudidayakan dengan teknologi budidaya jenuh air di lahan pasang surut. Tujuan a. Mempelajari pengaruh kedalaman muka air saluran terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut. b. Mempelajari respon beberapa varietas kedelai yang adaptif di lahan rawa pasang surut terhadap kedalaman muka air parit yang berbeda. Hipotesis a. Ada kedalaman muka air tertentu yang memberi pertumbuhan dan produksi kedelai terbaik di lahan rawa pasang surut. b. Setiap varietas kedelai memberi respon yang berbeda terhadap kedalaman muka air yang berbeda di lahan pasang surut.

19 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut) yaitu antara daratan dan laut atau di daratan sendiri yaitu antara wilayah lahan kering (uplands) dan sungai/danau. Karakteristik lahan ini adalah tergenang dangkal, selalu jenuh air atau mempunyai air tanah yang dangkal sepanjang tahun atau dalam waktu yang panjang dalam setahun (Subagyo 2006b). Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut pada tahun 1992 di Cisarua, Bogor, menyepakati bahwa istilah rawa mempunyai dua pengertian, yaitu rawa pasang surut (tidal swamps) dan rawa lebak (swampy atau non-tidal swamps). Rawa pasang surut diartikan sebagai daerah rawa yang mendapatkan pengaruh langsung atau tidak langsung oleh ayunan pasang surutnya air laut/sungai sekitarnya. Rawa lebak diartikan sebagai daerah rawa yang mengalami genangan selama lebih dari tiga bulan dengan tinggi genangan terendah antara cm (Noor 2004). Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar di musim hujan, bagian daerah aliran sungai dapat dibagi menjadi tiga zona. Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini adalah Zona I (Wilayah rawa pasang surut air asin/payau), Zona II (Wilayah rawa pasang surut air tawar), dan Zona III (Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut). Wilayah zona II sudah berada di luar pengaruh air asin/salin dan yang dominan adalah pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai, namun energi pasang surut masih cukup dominan yang ditandai oleh masih adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai. Saat volume air sungai relatif tetap atau malahan berkurang di musim kemarau, pengaruh air asin/salin dapat merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh km dari muara sungai pada bulan-bulan terkering yaitu bulan Agustus-Oktober (Widjaja-Adhi et al. 1992; Subagyo 1997). Menurut Noor (2004), lahan rawa pasang surut dibagi menjadi empat tipe luapan yaitu tipe A, B, C dan D. Tipe A merupakan daerah yang diluapi baik oleh air pasang besar maupun air pasang kecil. Tipe B merupakan daerah yang diluapi

20 5 hanya oleh air pasang besar. Sementara tipe C dan D tidak mengalami luapan air pasang namun muka air tanah berada pada kedalaman kurang dari 50 cm untuk tipe C dan lebih dari 50 cm untuk tipe D. Lahan sulfat masam merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut yang dapat diklasifikasikan menurut posisi bahan sulfidik di dalam tanah. Tanah dengan reaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini disebut tanah sulfat masam (acid sulphate soils). Tanah sulfat masam potensial mengandung pirit pada jeluk >50 cm yang bila terbuka ke udara akan terjadi reaksi oksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi sehingga tanah tidak dapat digunakan untuk pertanian (Noor 2004; Suriadikarta 2005). Kandungan pirit di tanah rawa pasang surut umumnya rendah, yakni hanya sekitar 0-5%. Pirit menjadi permasalahan utama yang berat ketika tanah rawa dibuka untuk pertanian (Subagyo 2006b). Pirit yang mengalami oksidasi menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe 3+ ). Setiap 1 mol pirit yang teroksidasi akan membebaskan 4 mol ion H +, dan apabila Fe 3+ kemudian bertindak sebagai oksidator maka akan dibebaskan sebanyak 16 mol ion H + (Noor 2004). Hasil akhirnya merupakan tanah dengan reaksi masam ekstrim (ph <3.5), dan banyak mengandung ion-ion sulfat (SO - 4 ), besi bervalensi 2 (Fe 2+ ), dan aluminium (Al 3+ ). Asam sulfat akan melarutkan sejumlah besar logam-logam berat, antara lain Al, Mn, Zn dan Cu sehingga bersifat toksik (Suriadikarta 2005). Pada musim hujan air tanah berangsur naik ke permukaan dan dapat menggenangi tanah. Potensial redoks tanah menjadi lebih tinggi dan ph tanah meningkat kembali. Hal ini mengakibatkan konsentrasi ion H dan Al dalam larutan tanah menurun atau kurang bersifat toksik, tetapi muncul masalah-masalah baru. Kandungan ion sulfat (SO 2-4 ) dalam larutan tanah meningkat kembali yang disebabkan oleh hidrolisis Al-sulfat hidrat: AlOHSO 4 + 2H 2 O 7 Al(OH) 3 + 2H + + SO 2-4, atau desorpsi sulfat yang diadsorpsi kompleks pertukaran liat tanah Tanah-SO 4 + 2H 2 O Tanah-(OH) 2 + 2H SO 4 Oksigen yang berada dalam tanah dalam waktu relatif singkat segera digunakan oleh bakteri aerobik sehingga konsentrasinya mendekati nol karena diffusi oksigen udara pada tanah jenuh air sangat lambat. Bakteri anaerobik akan memanfaatkan semua senyawa-senyawa teroksidasi sebagai sumber oksigennya.

21 6 Tahap pertama yang mengalami reduksi adalah nitrat (NO - 3 ), sehingga semua nitrat akan direduksi menjadi ion amonium (NH + 4 ). Setelah semua nitrat habis, oksida-mangan (MnO 2 ) yang ada akan direduksi menjadi ion Mn 2+. Dalam 1-3 minggu penggenangan, hampir seluruh Mn dapat tukar, direduksi menjadi Mn 2+. Sesudah semua MnO 2 habis, reduksi sebarang Fe 3+ (ferri-oksida) mulai terjadi, yang menghasilkan Fe 2+ (ferro) yang melimpah, dan peningkatan ph oleh karena dihasilkannya senyawa hidrokarbonat dalam larutan tanah. Fe(OH) 3 + ¼ CH 2 O + 2H+ Fe 2+ + ¼ CO 2 + 1¼ H 2 O Peningkatan ph larutan tanah bersifat menstabilkan reduksi Fe 3+, sehingga dihasilkan ion Fe 2+ dalam konsentrasi tinggi yang bersifat toksik terhadap tanaman. Jumlah ion Fe 2+ yang melimpah mendesak ke luar basa-basa dapat tukar Ca dan Mg dari kompleks adsorpsi tanah, sehingga jumlahnya meningkat dalam larutan tanah. Kedua unsur hara ini dengan mudah terbawa keluar dari lingkungan akar oleh air yang mengalir. Sesudah semua ferri-oksida tereduksi, reduksi sulfat mulai terjadi, yang berakibat menurunkan konsentrasi ion sulfat dan ion H + (karena digunakan untuk membentuk bikarbonat), dan disertai dengan peningkatan ph tanah. SO CH 2 O H 2 S + 2HCO 3 Proses reduksi sulfat terjadi pada potensial redoks antara -0.12V dan -0.19V, serta hanya terjadi di atas ph 5.0, tetapi juga pada reaksi lebih masam, ph Sulfida yang terbentuk segera bereaksi dengan Fe 2+ yang tersedia dalam larutan tanah, dan membentuk senyawa ferro-sulfida. Adanya reduksi sulfat pada lapisan tanah ditandai oleh karatan FeS yang berwarna hitam, dan terkadang oleh bau (busuk) H 2 S. Senyawa H 2 S yang dihasilkan dari reduksi sulfat bersifat sangat toksik terhadap pertumbuhan tanaman. Penggenangan selama musim hujan, terjadi peningkatan ph tanah, dan penurunan konsentrasi Al. Namun, kemungkinan dapat terjadi keracunan ion Fe 2, dan Mn karena konsentrasinya yang sangat tinggi dalam larutan tanah. Kemungkinan juga terjadi keracunan H 2 S, dan pencucian unsur basa Ca dan Mg yang berakibat menurunkan kesuburan alami tanah rawa (Konsten et al. 1990; Subagyo 2006b). Oleh karena itu pengelolaan tanah dan air merupakan kunci utama keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. Pengelolaan tanah dan air meliputi jaringan tata air makro maupun mikro (Widjaya-Adhi

22 7 1995), teknologi budidaya jenuh air (Ghulamahdi 1999), ameliorasi dan pemupukan (Suriadikarta & Sjamsidi 2001) serta penataan lahan (Suriadikarta 2005). Varietas Kedelai Adaptif Lahan Masam Penambahan areal penanaman ke lahan pasang surut dihadapkan pada kendala fisik dan kimia tanah yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Produktivitas kedelai di lahan pasang surut tergolong rendah, 800 kg/ha (Djayusman et al. 2001). Menurut Sabran et al. (2000), kendala penanaman kedelai di lahan pasang surut adalah genangan air. Genangan air yang berkepanjangan akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran. Respirasi akar akan terganggu dan jangka panjang dapat mematikan tanaman. Masalah lain yang dihadapi adalah kemasaman tanah. Drainase yang berlebihan pada tanah sulfat masam menciptakan kondisi aerob yang mengakibatkan lapisan pirit teroksidasi dan melepaskan asam yang merupakan racun bagi tanaman. Upaya untuk mengatasi kondisi tanah sulfat masam dapat ditempuh melalui perakitan varietas kedelai yang toleran tanah sulfat masam atau mengadaptasikan varietas-varietas unggul yang sudah ada pada kondisi tanah sulfat masam. Penelitian yang dilakukan oleh Suastika dan Ismail (1992) menyimpulkan bahwa salah satu varietas yang tumbuh dan berkembang baik di lahan potensial adalah varietas wilis dengan tingkat hasil antara ton/ha biji kering. Menurut Sabran et al. (2000), pengujian galur-galur yang berasal dari hasil persilangan Balitkabi pada lahan sulfat masam telah menghasilkan 4 galur yang berdaya hasil tinggi yaitu 3034/Lamp 3-II-1, 3034/Lamp 3-II-2, MSC dan SJ-5. Selanjutnya Alihamsyah dan Ar-Riza (2004) menemukan bahwa varietas Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, Galunggung, Slamet, Lawit, Merbabu, Petek, Kerinci, Tampomas, Tanggamus dan Menyapa mampu memberikan hasil panen sebesar ton/ha di lahan rawa lebak. Mengadaptasikan varietas-varietas unggul yang sudah ada di lahan pasang surut juga dimaksudkan untuk mendapatkan varietas yang adaptif dengan stabilitas yang tinggi. Menurut Lin et al. (1996), ada 3 konsep mengenai genotipe yang stabil yaitu bila ragam hasilnya lintas lingkungan kecil, bila responnya terhadap perubahan lingkungan sebanding dengan rataan respon genotipe-

23 8 genotipe lainnya yang diuji, dan bila penyimpangan hasilnya dari garis regresi rataan hasil terhadap indeks lingkungan kecil. Stabilitas hasil merupakan ukuran kemampuan suatu genotipe untuk menenggang perubahan lingkungan. Budidaya Jenuh Air pada Kedelai Budidaya kedelai yang biasa dilakukan oleh petani adalah dengan memberikan pengairan secara berkala baik dengan cara luapan maupun penyiraman. Kondisi ini menyebabkan tanaman kedelai akan mengalami kelebihan air pada suatu waktu dan stress kekurangan air pada suatu waktu tertentu. Pemberian air secara terputus-putus sangat mengganggu pertumbuhan tanaman karena pada waktu kering akan mengalami stres dan saat air diberikan terjadi pemulihan namun sebelum pulih tanaman kembali mengalami stres kekeringan. Penggenangan terputus-putus juga dapat menghambat penambatan N dibandingkan dengan tanpa penggenangan (Tampubolon 1988). Budidaya jenuh air adalah sistem produksi yang dikembangkan di semi arid tropis Australia yang dapat meningkatkan hasil kedelai dibandingkan dengan irigasi konvensional. Budidaya jenuh air mempertahankan air dalam saluran antar bedengan sejak awal stadia vegetatif hingga stadia kematangan (Fehr et al. 1971; Nathanson et al. 1984). Pertumbuhan kedelai mengalami tekanan pada awal pemberian jenuh air. Akar dan bintil akar menjadi mati dan selanjutnya tumbuh di atas muka air. Pertumbuhan meningkat setelah melewati masa aklimatisasi. Peningkatan pertumbuhan ini sangat berhubungan dengan peningkatan nodulasi dan fiksasi N 2 yang besar (Ghulamahdi et al. 2006). Budidaya jenuh air juga dapat menurunkan aborsi bunga dan polong, tidak mengalami senessen saat masa pengisian polong sehingga akhirnya dapat meningkatkan indeks panen (Fehr et al. 1971; Garside et al. 1982; Nathanson et al. 1984; Troedson et al. 1984). Menurut Inderadewa et al. (2004), genangan dalam parit dapat meningkatkan hasil biji kedelai 20-80% dari hasil biji tanaman kontrol yang diluapi. Ralph (1983) menyimpulkan bahwa peningkatan pertumbuhan dan hasil biji ini terjadi karena tanaman kedelai mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya, pertumbuhan bintil terus berlanjut sampai fase pengisian polong dan mengalami penundaan penuaan serta perpanjangan fase reproduktif.

24 9 Sebaliknya dengan pengairan luapan yang dilakukan petani, tanaman kedelai mengalami kekurangan air saat tidak diairi dan kekurangan oksigen saat diairi. Ghulamahdi (1999), selanjutnya menambahkan bahwa budidaya jenuh air memberikan hasil yang baik terhadap pertumbuhan tanaman kedelai dengan meningkatnya kadar etilen dalam jaringan tanaman. Mekanisme adaptasi tanaman kedelai pada budidaya jenuh air dimulai dengan meningkatnya kandungan prekusor etilen, aminocyclopropana-1-carboxylic acid, di akar yang diikuti dengan meningkatnya kandungan etilen akar. Etilen akar meningkatkan terbentuknya jaringan aerenkima dan perakaran baru. Dalam penelitian yang lebih detail dilakukan oleh Hartley et al. (1993) dengan galur yang lebih representatif di Lawes, ada variasi yang sangat besar dalam respon relatif (RR) tanaman terhadap budidaya jenuh air (dimana respon relatif didefinisikan sebagai respon terhadap budidaya jenuh air dikurangi respon terhadap irigasi konvensional kemudian dibagi dengan respon terhadap irigasi konvensional tersebut) dengan hasil biji menurun hingga 52%, meningkat hingga 37% atau tidak berubah tergantung genotipe dan manajemen agronominya. Variasi genotipe dalam hal RR umumnya konsisten antar musim dan bervariasi dalam hal penotipe antar genotipe bila ditanam pada sistem irigasi konvensional. Secara umum, genotipe-genotipe yang memberi respon paling positif adalah genotipe yang memulai fase pembungaannya lambat karena tanaman harus beraklimatisasi terhadap budidaya jenuh air dan durasi berbunganya lama. Genotipe-genotipe yang berespon negatif adalah genotipe-genotipe yang fase vegetatifnya singkat karena fase pembungaan mulai sebelum aklimatisasi selesai. Berdasarkan lamanya periode tumbuh dari sejak tanam sampai polong matang, varietas kedelai digolongkan menjadi tiga kelompok umur, yaitu umur genjah (<80 hari), umur sedang (80-85 hari) dan umur dalam (>85 hari) (Somaatmadja et al. 1985). Tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh air berbeda-beda (Ghulamahdi 2008; Ghulamahdi & Nirmala 2008). Kedelai yang berumur lebih panjang biasanya mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dan produksi yang lebih tinggi dibandingkan kedelai yang berumur pendek (Hunter et al. 1980; CSIRO 1983; Ghulamahdi et al. 1991).

25 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di lahan pasang surut Desa Banyu Urip Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyu Asin Sumatera Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian mulai bulan April hingga Agustus Bahan dan Alat Bahan yang digunakan meliputi benih kedelai, inokulan Rhizobium sp, insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53%, pupuk kandang, urea, SP18 dan KCl. Alat yang digunakan adalah peralatan pengolaan tanah dan peralatan pertanian lainnya seperti sprayer. Metode Penelitian Percobaan disusun dalam Rancangan Petak Terpisah dengan rancangan acak kelompok sebagai rancangan lingkungan. Percobaan diulang sebanyak tiga kali. Sebagai petak utama adalah tinggi muka air yang terdiri dari lima taraf, yaitu tanpa pengairan, 10, 20, 30 dan 40 cm di bawah permukaan tanah (DPT). Sebagai anak petak adalah varietas yang terdiri dari empat jenis yaitu Tanggamus, Slamet, Willis, dan Anjasmoro. Anak petak berukuran 2 m x 5 m. Diantara anak petak dibuat saluran air yang berukuran lebar 30 cm dan dalamnya 50 cm sehingga petak utama berukuran 5.90 m x 11 m, dan dengan pengaturan ini maka kondisi petakan akan selalu basah pada saat irigasi diberikan (Gambar 1, 2 dan 3). Air irigasi diberikan mulai saat tanam. v v v v v v v 50 cm 30 cm 20 cm v v v v v v v Gambar 1 Ukuran saluran dan pengukuran kedalaman muka air

26 11 2 m x 5 m 2 m x 5 m 2 m x 5 m 2 m x 5 m Saluran Tersier Jalan Keterangan: : Pintu air : Pematang / Jalan : Aliran air : Anak petak (2 m x 5 m) : Jembatan : Jarak antar anak petak 2 m x 5 m 2 m x 5 m 2 m x 5 m 2 m x 5 m Pintu air Saluran (lebar 30 cm) Pembatas petak utama (50 cm) S a l Lahan Percobaan S e k Saluran Tersier u n d Saluran Primer Jalur 17 e r Saluran Primer Jalur 17 Gambar 2. Skema pengaturan air

27 Gambar 3 Petak percobaan yang telah dibentuk 12

28 13 Model linier dari rancangan petak terpisah (Mattjik & Sumertajaya 2002) adalah: Y ijk = µ + δ i + α j + ε ij + β k + (αβ) jk + Є ijk Dimana: i : Ulangan/kelompok (1, 2, 3) j : Tinggi muka air (1, 2, 3, 4, 5) k : Varietas (1, 2, 3, 4) Y ijk : Hasil pengamatan pengaruh tinggi muka air ke-j, Varietas ke-k dan ulangan ke-i µ : Nilai tengah δ i α j ε ij β k : Pengaruh ulangan/kelompok ke-i : Pengaruh tinggi muka air ke-j : Pengaruh galat tinggi muka air ke-j dan ulangan/kelompok ke-i : Pengaruh varietas ke-k (αβ) jk : Pengaruh interaksi antara tinggi muka air ke-j dan varietas ke-k Є ijk : Pengaruh galat tinggi muka air ke-j dan varietas ke-k pada ulangan ke-i Prosedur Percobaan Pada waktu pengolahan tanah diberikan 2 ton kapur/ha, 2.5 ton pupuk kandang/ha, 400 kg SP18/ha dan 100 kg KCl/ha. Kapur dan pupuk kandang diberikan pada saat pengolahan tanah kemudian diinkubasi selama 2 minggu. Pupuk SP 18 dan KCl diberikan pada saat tanam dengan cara ditugal. Pupuk N tidak diberikan dengan harapan bintil akar dapat memenuhi kebutuhan tanaman akan nitrogen, namun, untuk membantu pemulihan daun saat aklimatisasi, tanaman disemprot N melalui daun pada umur 2 dan 4 minggu setelah tanam (MST) dengan konsentrasi 7.5 g urea/l air. Setelah dua minggu masa inkubasi kapur dan pupuk kandang, kedelai yang telah diberi inokulan Rhizobium sp (5 g/kg benih) dan insektisida berbahan aktif karbosulfan 25.53% (15 g/kg benih) ditanam. Insektisida ini diberikan untuk mengatasi lalat bibit. Benih ditanam dangkal dengan kedalaman 2-3 cm dengan jarak tanam 20 cm x 25 cm, setiap lubang diisi dengan dua benih kedelai sehingga populasi per petak berjumlah 400 tanaman. Pemeliharaan meliputi penjagaan kecukupan air sesuai dengan perlakuan tinggi muka air, pengendalian gulma dan pengendalian hama. Gulma

29 14 dikendalikan dengan cara mekanis, sedangkan hama dikendalikan dengan menggunakan insektisida. Peubah dan Pengolahan Data Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu dan dimulai sejak tanaman berumur 4 MST. Peubah-peubah yang diamati adalah: 1. Tinggi tanaman pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen 2. Jumlah daun trifoliate pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen 3. Jumlah cabang pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen 4. Bobot kering batang, daun, akar, bintil akar, dan total Tanaman sampel berumur 6 MST sebanyak delapan tanaman (diperkirakan berat kering daun cukup untuk analisis hara daun) diambil mulai dari akar. Sampel dikeringkan dalam oven selama 72 jam dengan suhu 60 o C. Setelah dikeringkan, bagian-bagian tanaman dipisahkan yaitu batang, daun, akar, dan bintil, lalu ditimbang. 5. Jumlah polong isi 6. Umur 50% berbunga 7. Umur panen 8. Bobot biji per hektar 9. Analisis hara N, P, K, Fe dan Mn daun Contoh daun umur 6 MST diambil dari lapangan, dikeringkan dalam oven dengan suhu 60 o C selama 72 jam kemudian daun kering dihaluskan. Kandungan N daun ditentukan dengan metode Kjeldahl dengan alat titrasi. P daun ditentukan dengan metode pengabuan kering dan ditetapkan dengan spektrofotometer. K, Fe dan Mn ditentukan dengan metode HClO 4 +HNO 3 menggunakan alat Atomic Absorption Spectrometer (AAS). 10. Analisis tanah sebelum tanam dan sesudah panen Analisa tanah dilakukan untuk komposisi tekstur tanah (pasir, debu dan liat), ph, C organik, N, P 2 O 5, K 2 O, nilai tukar kation Ca, Mg, K, Na, dan KTK, kejenuhan basa, Al 3+, H +, unsur hara mikro Fe, S, dan Mn, dan pirit. Tekstur tanah ditentukan dengan metode pipet. Keasaman tanah (ph) ditentukan dengan ekstrak 1:5 menggunakan H 2 O dan KCl. C organik ditentukan dengan metode kurmis. N ditentukan dengan metode Kjeldahl.

30 15 P 2 O 5 ditentukan dengan metode Bray I, K 2 O ditentukan dengan metode Morgan. Kation dan unsur hara mikro dengan metode AAS, KTK dengan metode titrasi. 11. Analisis air meliputi ph, DHL, kation, anion dan kadar lumpur Keasaman tanah (ph) diukur dengan ph meter menggunakan elektrode gelas kombinasi. Daya hantar listrik diukur dengan menggunakan alat konduktometer. Kation diukur dengan metode yang sesuai dengan masingmasing kation. Ca, Mg, Fe, Al, Mn ditentukan dengan metode AAS; K dan Na dengan fotometer nyala; NH 4 dengan kolorimeter metode biru indofenol; NO 3 dengan spektrofotometri; SO 4 dengan turbidimetri, Cl dengan argentometri; PO 4 dengan kolorimetri pewarnaan biru molibden pada panjang gelombang 693 nm; CO 3 dan HCO 3 dengan titrasi menggunakan asam hingga ph tertentu. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam pada taraf 5% dan jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Peubah tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang umur 4, 6, 8 dan 10 MST, bobot kering total, batang, daun, bintil akar dan akar, kadar dan serapan hara daun dianalisis tanpa menggunakan pembanding perlakuan tanpa pengairan sehingga rerata yang diperoleh adalah rerata kedalaman muka air 10, 20, 30 dan 40 cm DPT. Peubah-peubah ini dimaksudkan untuk mempelajari pola pertumbuhan empat varietas yang diuji pada BJA. Peubah tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang saat panen, jumlah polong, umur 50% berbunga, umur panen dan produktivitas dianalisis dengan menggunakan pembanding kontrol sehingga rerata yang diperoleh adalah rerata dari kedalaman muka air tanpa pengairan, 10, 20, 30 dan 40 cm DPT.

31 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di utara, provinsi Kepulauan Bangka-Belitung di timur, provinsi Lampung di selatan dan provinsi Bengkulu di barat (Gambar 4). Luas daratan provinsi Sumatera Selatan adalah km 2 atau 1.68 persen dari total luas daratan wilayah Indonesia dan dialiri oleh 34 Sungai besar dan kecil (Sumsel 2010). Kabupaten Banyuasin adalah salah satu kabupaten di provinsi Sumatera Selatan pemekaran dari Kabupaten Musi Banyuasin yang terbentuk berdasarkan UU No. 6 Tahun Kabupaten Banyuasin terletak pada posisi antara LS dan BT yang terbentang dari bagian tengah provinsi Sumatera Selatan sampai dengan bagian timur dengan luas wilayah seluruhnya km 2 atau ha. Kabupaten Banyuasin terbagi menjadi 15 kecamatan yaitu Banyuasin I, Banyuasin II, Banyuasin III, Betung, Makarti Jaya, Muara Padang, Muara Telang, Pulau Rimau, Rambutan, Talang Kelapa, Rantau Bayur, Tungkal Ilir, Tanjung Lago, muara Sugihan, dan Air Saleh (Pusdatarawa 2006; Banyuasin 2010). Sebagian besar wilayah Kabupaten Banyuasin merupakan dataran rendah pesisir yang terletak di bagian hilir aliran sungai Musi dan sungai Banyuasin (Gambar 4). Wilayah Kabupaten Banyuasin hampir 80% adalah dataran rendah berupa rawa pasang surut dan lebak sedangkan 20% sisanya merupakan penyebaran lahan kering dengan topografi datar sampai dengan bergelombang. Oleh karena itu sebagian besar lahan tersebut dimanfaatkan untuk pertanian pangan lahan basah, khususnya persawahan pasang surut. Areal lahan kering merupakan sentra perkebunan rakyat dan usaha milik negara terutama karet, kelapa sawit dan hortikultura. Daerah perairan baik payau maupun laut di sepanjang pesisir timur sebagian besar merupakan area penangkapan ikan perairan umum, hanya beberapa lokasi yang telah dijadikan areal budidaya tambak ikan dan udang (Banyuasin 2010).

32 17 Gambar 4 Peta lokasi penelitian (diolah dari Pusdatarawa 2006) Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago merupakan salah satu desa eks transmigrasi penempatan tahun yang berasal dari Pulau Jawa. Desa Banyu Urip mempunyai luas lahan ha dengan penggunaan ha untuk lahan sawah penanaman padi. Desa ini terletak pada ketinggian 1-2 m dari permukaan laut dan berjarak 42 km dari Selat Bangka (Gambar 4). Berdasarkan tipe luapan, areal ini termasuk dalam tipe luapan C dan D (Gambar 5; Monografi desa Banyu Urip). Gambar 5 Klasifikasi rawa pasang surut menurut luapan pasang maksimun dan minimum (Widjaja-Adhi et al. 1992)

33 18 Daerah reklamasi rawa pasang surut ini dibuka dengan cara membuat jaringan drainase. Semua saluran belum dilengkapi pintu air, sehingga sistem pengelolaan air hanya tergantung dengan fluktuasi pasang surut. Jaringan drainase terdiri dari saluran primer, sekunder, tersier dan saluran kuarter (Gambar 6). Saluran Sekunder Saluran Tersier Saluran Kuarter dan BJA Gambar 6 Jaringan drainase di Desa Banyu Urip Gambar 7 Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) (Widjaja-Adhi et al. 1992)

34 19 Lahan pasang surut lokasi penelitian termasuk dalam zona II menurut klasifikasi Widjaja-Adhi et al. (1992) dan Subagyo (1997) (Gambar 7). Saat volume air sungai relatif tetap atau berkurang di musim kemarau, pengaruh air asin/salin dapat merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh km dari muara sungai pada bulan-bulan terkering yaitu bulan Agustus-Oktober. Curah hujan di daerah ini cukup tinggi yaitu mm/thn, namun tidak merata sepanjang tahun. Curah hujan tertinggi mencapai mm dan terjadi pada bulan Maret 2009, kemudian curah hujan menurun hingga bulan Agustus 2009 hanya mencapai 39.6 mm (Lampiran 2). Suhu udara di lokasi penelitian adalah o C (Lampiran 3). Hasil analisis tanah memperlihatkan tingkat kesuburan yang relatif baik dengan kandungan bahan organik, P 2 O 5 dan K 2 O yang tinggi. Akan tetapi tanah memiliki kemasaman yang tinggi dengan ph 4.4 dan Al me/100g. Nilai tukar kation Ca, K dan Na rendah, namun nilai tukar kation Mg tergolong tinggi. Kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa sedang. Tekstur tanah adalah liat berdebu dengan komposisi pasir 1%, debu 42% dan liat 57%. Tanah juga mengandung pirit dan Fe (Gambar 8 dan Tabel 1). Sumber air untuk BJA dalam penelitian adalah memanfaatkan air yang berada di saluran drainase. Air berasal dari pengaruh pasang surut air laut. Hal ini berpengaruh pada kandungan kation dan anion dalam air yang didominasi oleh Na dan Cl, namun daya hantar listrik air tidak terlalu tinggi yaitu ds/m. Air ini juga memiliki keasaman yang tinggi dengan ph 4.6 (Tabel 2). Gambar 8 Kedalaman lapisan pirit dari permukaan tanah

35 20 Tabel 1 Data analisis tanah sebelum tanam No Peubah analisis Hasil analisis Kriteria* 1 Tekstur (pipet) a. Pasir a. 1% b. Debu b. 42% c. Liat c. 57% 2 Ekstrak 1 : 5 a. ph H 2 O b. ph KCl 3 Bahan organik a. C Walkley & Black b. N Kjedahl c. C/N 4 P 2 O 5 a. HCl 25 % b. Bray 1 5 K 2 O a. HCl 25 % b. Morgan 6 Nilai Tukar Kation (NH 4 - Acetat 1 N, ph 7) a. Ca b. Mg c. K d. Na e. KTK f. KB a. 4.4 b. 3.8 a. 6.20% b. 0.31% c. 20% a. 53 mg/100 g b ppm a. 12 mg/100g b. 117 ppm a cmol (+) /kg b cmol (+) /kg c cmol (+) /kg d cmol (+) /kg e cmol (+) /kg f. 51% Liat berdebu Sangat masam a. Sangat tinggi b. Sedang c. Tinggi a. Tinggi b. Sangat tinggi a. Rendah a. Rendah b. Tinggi c. Rendah d. Rendah e. Sedang f. Sedang 7 Al cmol (+) /kg Tinggi 8 H cmol (+) /kg 9 Mn 64.5 ppm 10 S 0.25% (2500 ppm) 11 Fe 1.19% (11900 ppm) 12 Pirit 0.47% (4700 ppm) *Pusat Penelitian Tanah (1980)

36 21 Tabel 2 Data analisis air No Peubah analisis Hasil analisis 1 DHL 25 o C ds/m 2 ph Kation a. NH 4 b. K c. Ca d. Mg e. Na f. Fe g. Al h. Mn i. Jumlah kation 4 Anion a. NO 3 b. PO 4 c. SO 4 d. Cl e. HCO 3 f. CO 3 g. Jumlah anion 5 Kadar lumpur 50 mg/l a me/l air bebas lumpur b me/l air bebas lumpur c me/l air bebas lumpur d me/l air bebas lumpur e me/l air bebas lumpur f me/l air bebas lumpur g me/l air bebas lumpur h me/l air bebas lumpur i me/l air bebas lumpur a me/l air bebas lumpur b me/l air bebas lumpur c me/l air bebas lumpur d me/l air bebas lumpur e me/l air bebas lumpur f me/l air bebas lumpur g me/l air bebas lumpur Pertumbuhan dan Produksi Varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 4, 6, 8, dan 10 MST, jumlah daun pada umur 4 dan 6 MST dan jumlah cabang pada umur 8 dan 10 MST. Kedalaman muka air dan interaksi antara varietas dan kedalaman muka air tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah di atas (Lampiran 8). Pertumbuhan awal varietas Anjasmoro lebih cepat dibandingkan dengan varietas lain. Hal ini terlihat pada komponen pertumbuhan umur 4 MST dimana Varietas Anjasmoro nyata paling tinggi dengan jumlah daun yang berbeda tidak nyata dengan varietas Tanggamus. Jumlah daun varietas Tanggamus lebih banyak namun tidak berbeda nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Jumlah daun varietas Wilis nyata terendah dibanding varietas lainnya (Tabel 3). Pola pertumbuhan tanaman pada umur 6 MST sama dengan pola pertumbuhan pada umur 4 MST. Varietas Anjasmoro menghasilkan tanaman tertinggi dan varietas Tanggamus menghasilkan daun terbanyak. Varietas Slamet dan Wilis menghasilkan tinggi tanaman dan jumlah daun yang sama. Semua varietas belum mengeluarkan cabang hingga umur 6 MST (Tabel 3).

37 22 Pola pertumbuhan tanaman pada umur 8 dan 10 MST berbeda dengan pola pertumbuhan sebelumnya. Semua varietas telah membentuk percabangan dan tanaman tertinggi diperoleh pada varietas Slamet. Jumlah daun dan cabang varietas Tanggamus tetap nyata lebih banyak dibandingkan varietas lainnya (Tabel 3). Tabel 3 Pengaruh varietas terhadap komponen pertumbuhan kedelai pada umur 4, 6, 8 dan 10 MST Varietas Komponen pertumbuhan Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun Jumlah cabang 4 MST Tanggamus c 6.1 a * Slamet b 6.0 a * Wilis b 5.4 b * Anjasmoro a 5.9 a * 6 MST Tanggamus c 18.2 a * Slamet b 14.5 bc * Wilis b 13.4 c * Anjasmoro a 15.0 b * 8 MST Tanggamus b ** 3.7 a Slamet a ** 2.7 b Wilis b ** 2.6 bc Anjasmoro b ** 2.3 c 10 MST Tanggamus b *** 4.4 a Slamet a *** 3.1 b Wilis b *** 2.8 c Anjasmoro b *** 2.4 c Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT * Tanaman belum mengeluarkan cabang ** Merupakan pengamatan terakhir untuk peubah jumlah daun dan disajikan pada Tabel 6 *** Daun sudah gugur, sehingga data tidak dipakai Puncak pertumbuhan tanaman adalah pada umur 8 MST. Pertambahan tinggi tanaman dari umur 4-6 MST mencapai 100% dari tinggi 4 MST, dari umur 6-8 MST mencapai 35% dari tinggi 6 MST, sedangkan dari umur 8-10 MST hanya bertambah 1-3%. Pertambahan jumlah daun yang dihitung pada penelitian ini hanya sampai umur 8 MST karena pada umur 10 MST daun sudah mulai gugur. Pertambahan daun dari umur 4-6 MST adalah 10 daun, sementara dari umur 6-8 MST adalah 7 daun (Tabel 3 dan 6).

38 23 Varietas berpengaruh nyata terhadap kadar hara N, serapan hara N, K dan Mn, bobot kering daun, bintil akar, akar dan total, namun berpengaruh tidak nyata terhadap kadar hara P, K, Fe, Mn, serapan hara P, Fe, dan bobot kering batang. Kedalaman muka air dan interaksinya dengan varietas berpengaruh tidak nyata terhadap semua peubah yang diamati (Lampiran 8). Kadar hara dalam daun semua varietas kedelai yang diuji dengan teknologi BJA di lahan rawa pasang surut mencukupi bagi pertumbuhan tanaman menurut kriteria Small dan Ohlrogge (1973) dan Marschner (1995), kecuali K dan Mn. Kadar hara K dalam daun semua varietas berada di bawah interval mencukupi bagi tanaman dan kadar hara Mn berada di atas interval mencukupi. Kadar hara N pada daun varietas Tanggamus merupakan yang tertinggi, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Kadar hara N varietas Wilis nyata paling rendah dibandingkan dengan varietas lainnya dan secara statistik sama dengan varietas Anjasmoro. Kadar semua hara yang diamati lebih tinggi pada kedalaman muka air 20 cm DPT meskipun secara statistik berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air lainnya (Tabel 4). Serapan hara N, K dan Mn varietas Tanggamus nyata lebih tinggi dibandingkan varietas yang lain, akan tetapi serapan hara K varietas Tanggamus berbeda tidak nyata dengan varietas Anjasmoro. Serapan hara P dan Fe varietas Tanggamus juga lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya meskipun secara statistik varietas berpengaruh tidak nyata. Serapan semua hara yang diamati lebih tinggi pada kedalaman muka air 20 cm DPT meskipun secara statistik berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air lainnya (Tabel 4). Bobot kering semua komponen tanaman varietas Tanggamus nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, kecuali bobot kering bintil akar. Bobot kering bintil akar varietas Anjasmoro merupakan yang tertinggi, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Tanggamus. Bobot kering batang pada varietas Tanggamus juga lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya meskipun secara statistik berpengaruh tidak nyata. Bobot kering total varietas Wilis merupakan yang terendah, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Bobot kering semua komponen pertumbuhan yang diamati lebih tinggi pada kedalaman muka air 20 cm DPT meskipun secara statistik berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air lainnya (Tabel 5).

39 24 Tabel 4 Kadar dan serapan hara N, P, K, Fe dan Mn dalam daun pada beberapa varietas kedelai dan kedalaman muka air Perlakuan N P K Fe Mn Varietas Kadar hara daun (%) Tanggamus 3.36 a Slamet 3.36 a Wilis 2.91 b Anjasmoro 3.19 ab Serapan hara daun (mg/tanaman) Tanggamus a a a Slamet bc b b Wilis c b b Anjasmoro b a b Kedalaman muka air (cm) Kadar hara (%) Serapan hara (mg/tanaman) Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT Tabel 5 Bobot kering batang, daun, akar, bintil akar dan total beberapa varietas kedelai dan kedalaman muka air Perlakuan Bobot kering (g) Batang Daun Akar Bintil akar Total Varietas Tanggamus a 7.31 a 1.79 ab a Slamet b 6.14 ab 1.41 b b Wilis b 5.49 b 1.67 b b Anjasmoro b 5.46 b 2.41 a ab Kedalaman muka air (cm) Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT

40 25 Pertumbuhan dan hasil tanaman pada BJA lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pengairan (Tabel 6). Kedalaman muka air dan varietas nyata mempengaruhi jumlah polong per tanaman, umur 50% berbunga dan umur panen. Interaksi kedalaman muka air dan varietas nyata mempengaruhi tinggi tanaman saat panen, jumlah daun umur 8 MST, jumlah cabang saat panen, dan produktivitas (Lampiran 9). Tinggi tanaman semua varietas pada BJA lebih besar dari 50 cm, sementara semua varietas yang ditanam pada perlakuan tanpa pengairan berada di bawah 40 cm. Varietas Slamet merupakan varietas tertinggi di antara varietas-varietas pada BJA, namun tidak nyata antar perlakuan kedalaman muka air cm DPT. Tanaman pada BJA dengan kedalaman muka air 20 cm DPT cenderung lebih tinggi dibandingkan tanaman pada kedalaman muka air lainnya, namun secara statistik tidak berbeda nyata (Tabel 6). Tinggi tanaman tidak berkorelasi positif dengan jumlah daun dan jumlah cabang (Lampiran 10) dimana jumlah daun dan cabang terbanyak dihasilkan oleh varietas Tanggamus, sementara tanaman tertinggi adalah varietas Slamet (Tabel 6). Jumlah daun pada BJA nyata berbeda diantara varietas dan kedalaman muka air. Jumlah daun terbanyak pada umur 8 MST diperoleh pada varietas Tanggamus dengan kedalaman muka air 30 cm, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air 10, 20 dan 40 cm DPT serta dengan varietas Slamet pada kedalaman muka air 30 dan 40 cm DPT. Jumlah daun varietas Tanggamus pada BJA 2.5 kali lebih banyak dibandingkan dengan tanpa pengairan. Jumlah cabang kedelai pada BJA nyata berbeda diantara varietas dan kedalaman muka air. Jumlah cabang terbanyak diperoleh pada varietas Tanggamus dengan kedalaman muka air 40 cm DPT, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air 20 dan 30 cm DPT varietas Tanggamus dan Slamet. Jumlah cabang varietas Tanggamus pada BJA dapat 3,5 kali lebih banyak dibandingkan dengan tanpa pengairan (Tabel 6). Jumlah polong kedelai yang ditanam dengan BJA nyata lebih banyak dibandingkan dengan yang ditanam dengan tanpa pengairan (Tabel 7). Kedelai yang ditanam dengan kedalaman muka air 10 cm DPT menghasilkan polong 8 kali lebih banyak dibandingkan tanpa pengairan. Varietas Tanggamus, Slamet, Wilis, dan Anjasmoro yang diuji di lahan pasang surut ini pada kedalaman muka

41 26 air 20 cm DPT dapat menghasilkan secara berturut-turut 105.4, 96.4, 39.9 dan 42.1 polong/tanaman. Tabel 6 Pengaruh interaksi kedalaman muka air dan varietas terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada akhir pengamatan Kedalaman muka air (cm) Varietas Tanggamus Slamet Wilis Anjasmoro Rerata Tinggi tanaman saat panen (13 MST) Tanpa pengairan d d d d c ab c bc bc a bc bc bc a bc c c a c c Rerata Jumlah daun umur 8 MST Tanpa pengairan 12.1 g 19.0 ef 16.4 fg 21.7 cdef ab 22.5 bcde 20.4 def 18.9 ef a 22.2 cde 18.8 ef 19.3 ef a 26.0 abc 19.4 ef 16.2 fg a 25.6 abcd 18.2 ef 17.7 ef 22.8 Rerata Jumlah cabang saat panen (13 MST) Tanpa pengairan 2.0 f 2.4 f 2.4 f 3.0 ef cde 5.0 cde 4.0 def 4.0 def abc 5.4 abcd 4.0 def 3.8 def ab 5.5 abcd 3.9 def 3.1 ef a 5.2 bcd 3.6 def 2.9 ef 4.8 Rerata Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada semua kolom dan baris masing-masing peubah menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT Tabel 7 Jumlah polong empat varietas kedelai pada berbagai kedalaman muka air Kedalaman muka air (cm DPT) Ket: Varietas Tanggamus Slamet Wilis Anjasmoro Rerata Tanpa pengairan b a a a a Rerata 84.5 a 63.4 b 34.6 c 31.8 c angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT

42 27 Produksi biji semua varietas nyata meningkat dengan penerapan teknologi BJA di lahan pasang surut. Kedalaman muka air cm DPT memberi hasil 8-9 kali produksi biji dibandingkan dengan tanpa pengairan. Produksi biji varietas Tanggamus pada kedalaman muka air 40 cm DPT mencapai 4.83 ton/ha, namun berbeda tidak nyata dengan kedalaman 20 cm DPT (4.63 ton/ha) dan 30 cm DPT (4.71 ton/ha). Produktivitas varietas Tanggamus pada perlakuan tanpa pengairan lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Produktivitas vatietas Tanggamus pada perlakuan tanpa pengairan mampu mencapai 850 kg/ha (Tabel 8). Umur berbunga dan umur panen kedelai pada BJA nyata lebih panjang dibandingkan dengan tanpa pengairan, akan tetapi berbeda tidak nyata antar perlakuan kedalaman muka air cm DPT. Varietas Tanggamus dan Slamet dipanen nyata lebih lambat dibandingkan Varietas Wilis dan Anjasmoro (Tabel 9). Tabel 8 Produktivitas empat varietas kedelai pada berbagai kedalaman muka air Kedalaman muka air (cm DPT) Varietas (ton/ha) Tanggamus Slamet Wilis Anjasmoro Rerata Tanpa pengairan 0.85 g 0.16 g 0.30 g 0.09 g b 2.35 def 2.59 cde 2.61 cde a 2.85 cd 2.47 cdef 2.62 cde a 3.20 bc 1.97 ef 2.64 cde a 2.61 cde 1.72 f 2.15 def 2.83 Rerata Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada semua kolom dan baris menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT Tabel 9 Pengaruh kedalaman muka air terhadap umur 50% berbunga dan umur panen Kedalaman muka air (cm DPT) 50% berbunga (hst) Umur panen (hst) Tanpa pengairan 33.8 b 86.4 b a 90.6 a a 89.8 a a 90.0 a a 89.5 a Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT

43 28 Tabel 10 Pengaruh varietas terhadap umur 50% berbunga dan umur panen Perlakuan 50% berbunga (hst) Umur panen (hst) Varietas Tanggamus 37.0 a 90.1 a Slamet 37.7 a 89.8 a Wilis 36.5 b 88.5 b Anjasmoro 36.3 b 88.6 b Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT Tanggamus Slamet Gambar 9 Wilis Anjasmoro Keragaan empat varietas kedelai pada BJA di lahan pasang surut pada umur 6 MST

44 29 Tanpa pengairan BJA Gambar 10 Jumlah polong varietas Tanggamus pada BJA dan tanpa pengairan pada umur 8 MST Pembahasan Pengaruh Varietas terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Pertumbuhan tanaman pada umur 4, 6, 8 dan 10 MST menunjukkan respon yang berbeda-beda antar varietas yang diuji terhadap BJA di lahan pasang surut. Varietas Anjasmoro menunjukkan respon awal yang lebih baik. Varietas Anjasmoro merupakan tanaman tertinggi dengan jumlah daun yang berbeda tidak nyata dengan Tanggamus pada umur 4 MST. Varietas Anjasmoro memiliki laju pertumbuhan awal yang sangat cepat namun mengalami penurunan hingga umur 10 MST. Varietas Slamet dan Wilis juga menunjukkan pertumbuhan yang tidak stabil pada setiap pengamatan. Pertumbuhan varietas Slamet merupakan yang paling tertekan selama masa aklimatisasi di awal pertumbuhan. Hal ini terlihat dari tinggi varietas ini yang rendah pada umur 4 MST dan merupakan tanaman tertinggi pada umur 10 MST. Pertumbuhan varietas Tanggamus lebih stabil sejak awal pertumbuhan hingga umur 10 MST yang ditunjukkan oleh peubah tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang (Tabel 3). Menurut Ghulamahdi et al. (2006), pertumbuhan kedelai mengalami tekanan pada awal pemberian jenuh air. Akar dan bintil akar menjadi mati dan selanjutnya tumbuh di atas muka air. Pertumbuhan meningkat setelah melewati masa aklimatisasi. Pertumbuhan semua varietas mulai berhenti pada umur 8 MST. Pada saat umur 8 MST tanaman telah berada pada fase generatif. Hal ini sesuai dengan tipe pertumbuhan keempat varietas tersebut yang tergolong dalam tipe determinit (Lampiran 4, 5, 6 dan 7).

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Pelaksanaan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Percobaan dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, dari bulan April sampai Agustus 2010. Bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di utara, provinsi Kepulauan Bangka-Belitung di timur,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan Umum Penelitian dilakukan pada bulan April-Agustus 2010. Penanaman kedelai dilakukan pada bulan Mei 2010. Pada bulan tersebut salinitas belum mempengaruhi pertumbuhan

Lebih terperinci

PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT. Munif Ghulamahdi Maya Melati Danner Sagala

PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT. Munif Ghulamahdi Maya Melati Danner Sagala PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT Munif Ghulamahdi Maya Melati Danner Sagala PENDAHULUAN Produksi kedelai nasional baru memenuhi 35-40 %, dengan luas areal

Lebih terperinci

Pola Serapan Hara dan Produksi Kedelai Dengan Budidaya Jenuh Air di Lahan Rawa Pasang Surut

Pola Serapan Hara dan Produksi Kedelai Dengan Budidaya Jenuh Air di Lahan Rawa Pasang Surut Pola Serapan Hara dan Produksi Kedelai Dengan Budidaya Jenuh Air di Lahan Rawa Pasang Surut Nutrient Uptake and Production of Soybean under Saturated Soil Culture on Tidal Swamps Sahuri 1*) dan M. Ghulamahdi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, dari bulan Juni sampai bulan Oktober 2011. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air 4 TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air Budidaya jenuh air merupakan sistem penanaman dengan membuat kondisi tanah di bawah perakaran tanaman selalu jenuh air dan pengairan untuk membuat kondisi tanah jenuh

Lebih terperinci

Sagala, D., M.Ghulamahdi, M.Melati Pola Serapan Hara Vol. 9 No. 1 Juni 2011

Sagala, D., M.Ghulamahdi, M.Melati Pola Serapan Hara Vol. 9 No. 1 Juni 2011 POLA SERAPAN HARA DAN PERTUMBUHAN BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DENGAN BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN RAWA PASANG SURUT Nutrient Uptake and Growth of Soybean Varieties under Saturated Soil Culture on Tidal Swamps

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Darmaga, Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Oktober 2010 sampai Februari 2011. Analisis tanah dan hara

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB, Cikarawang, Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Oktober 2010 sampai dengan Februari 2011.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kedelai. Lingkungan Tumbuh Kedelai

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kedelai. Lingkungan Tumbuh Kedelai 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai Kedelai (Glycine max (L) Merril ) merupakan tanaman pangan semusim dari famili Leguminoseae. Tanaman kedelai termasuk berbatang semak yang dapat mencapai ketinggian antara

Lebih terperinci

PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA JENUH AIR PADA TANAMAN PADI DAN KEDELAI UNTUK MENINGKATKAN INDEKS PENANAMAN DI LAHAN PASANG SURUT

PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA JENUH AIR PADA TANAMAN PADI DAN KEDELAI UNTUK MENINGKATKAN INDEKS PENANAMAN DI LAHAN PASANG SURUT PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA JENUH AIR PADA TANAMAN PADI DAN KEDELAI UNTUK MENINGKATKAN INDEKS PENANAMAN DI LAHAN PASANG SURUT Munif Ghulamahdi 1,*, Sandra Arifin Aziz 1 dan Abdul Karim Makarim 2 1 Departemen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi 4.1.1. Kakteristik Ultisol Gunung Sindur Hasil analisis pendahuluan sifat-sifat kimia tanah disajikan pada tabel.1.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 16 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor mulai bulan Desember 2009 sampai Agustus 2010. Areal penelitian memiliki topografi datar dengan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI PADA KEDALAMAN MUKA AIR DAN LEBAR BEDENGAN DI LAHAN MINERAL DAN MINERAL BERGAMBUT SYAFINA PUSPARANI

PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI PADA KEDALAMAN MUKA AIR DAN LEBAR BEDENGAN DI LAHAN MINERAL DAN MINERAL BERGAMBUT SYAFINA PUSPARANI PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI PADA KEDALAMAN MUKA AIR DAN LEBAR BEDENGAN DI LAHAN MINERAL DAN MINERAL BERGAMBUT SYAFINA PUSPARANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil analisis tanah awal

Lampiran 1. Hasil analisis tanah awal LAMPIRAN 41 42 Lampiran 1. Hasil analisis tanah awal Variabel Satuan Nilai Kriteria Tekstur Pasir Debu Liat % % % 25 46 29 Lempung berliat ph (H 2 O) 5.2 Masam Bahan Organik C Walklel&Black N Kjeidahl

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU PENCUCIAN DAN VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI

PENGARUH WAKTU PENCUCIAN DAN VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI PENGARUH WAKTU PENCUCIAN DAN VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merill) PADA BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT YUNIARTI PUSPITASARI A24062089 DEPARTEMEN AGRONOMI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk 12 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai Februari-Agustus 2009 dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor. Areal penelitian bertopografi datar dengan jenis tanah

Lebih terperinci

METODE PERCOBAAN. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan

METODE PERCOBAAN. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan 12 METODE PERCOBAAN Tempat dan Waktu Percobaan dilakukan di lahan petani di Dusun Jepang, Krawangsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Lokasi berada pada ketinggian 90 m di

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Karakteristik Tanah Awal Podsolik Jasinga Hasil analisis kimia dan fisik Podsolik Jasinga disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan kriteria PPT (1983), Podsolik Jasinga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah Inceptisol Indramayu Inceptisol Indramayu memiliki tekstur lempung liat berdebu dengan persentase pasir, debu, liat masing-masing 38%,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan

BAHAN DAN METODE. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan laut. Penelitian

Lebih terperinci

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN Tanah sulfat masam merupakan tanah dengan kemasaman yang tinggi

Lebih terperinci

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor Data statistik menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir, rata-rata

Lebih terperinci

Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan

Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan Water Resource Management to Increase Sustainably of Rice Production in Tidal

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2012 di Dusun Bandungsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Sifat Kimia dan Fisik Latosol sebelum Percobaan serta Komposisi Kimia Pupuk Organik

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Sifat Kimia dan Fisik Latosol sebelum Percobaan serta Komposisi Kimia Pupuk Organik 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Sifat Kimia dan Fisik Latosol sebelum Percobaan serta Komposisi Kimia Pupuk Organik Sifat kimia dan fisik Latosol Darmaga dan komposisi kimia pupuk organik yang

Lebih terperinci

ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT DI PROVINSI BENGKULU ABSTRAK

ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT DI PROVINSI BENGKULU ABSTRAK ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT DI PROVINSI BENGKULU Nurmegawati dan Wahyu Wibawa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl Irian km 6,5 Kota Bengkulu ABSTRAK Pemanfaatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Tanah Awal Data hasil analisis tanah awal disajikan pada Tabel Lampiran 2. Berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia dan Fisika Tanah PPT (1983) yang disajikan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

II. BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 15 II. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian yang dilaksanakan terdiri atas dua percobaan yaitu percobaan inkubasi dan percobaan rumah kaca. Percobaan inkubasi beserta analisis tanah

Lebih terperinci

PENGUJIAN GALUR-GALUR HARAPAN KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS MALABAR DAN KIPAS PUTIH PADA DOSIS PUPUK FOSFOR (P) RENDAH

PENGUJIAN GALUR-GALUR HARAPAN KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS MALABAR DAN KIPAS PUTIH PADA DOSIS PUPUK FOSFOR (P) RENDAH PENGUJIAN GALUR-GALUR HARAPAN KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS MALABAR DAN KIPAS PUTIH PADA DOSIS PUPUK FOSFOR (P) RENDAH Dotti Suryati Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Tanah Hasil analisis contoh tanah pada lokasi percobaan dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil analisis tanah pada lokasi percobaan, tingkat kemasaman tanah termasuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dimulai dari April 2009 sampai Agustus 2009. Penelitian lapang dilakukan di lahan sawah Desa Tanjung Rasa, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Kimia dan Fisik Tanah Sebelum Perlakuan Berdasarkan kriteria penilaian ciri kimia tanah pada Tabel Lampiran 5. (PPT, 1983), Podsolik Jasinga merupakan tanah sangat masam dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan mulai Oktober 2012 Januari 2013. Penelitian dilaksanakan di PT. MEGA INTEGRATED FARM Kp. Lemah Nendeut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi Desa Panapalan, Kecamatan Tengah Ilir terdiri dari 5 desa dengan luas 221,44 Km 2 dengan berbagai ketinggian yang berbeda dan di desa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Sifat Kimia Latosol Darmaga Latosol (Inceptisol) merupakan salah satu macam tanah pada lahan kering yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisis Contoh Tanah Hasil analisa sudah diketahui pada Tabel 4.1 dapat dikatakan bahwa tanah sawah yang digunakan untuk penelitian ini memiliki tingkat kesuburan

Lebih terperinci

BAB. VII. PEMBAHASAN UMUM. Konsentrasi Fe dalam Tanah dan Larutan Hara Keracunan Fe pada Padi

BAB. VII. PEMBAHASAN UMUM. Konsentrasi Fe dalam Tanah dan Larutan Hara Keracunan Fe pada Padi BAB. VII. PEMBAHASAN UMUM Konsentrasi Fe dalam Tanah dan Larutan Hara Keracunan Fe pada Padi yang Menyebabkan Berdasarkan hasil-hasil penelitian penyebab keracunan besi beragam, bukan hanya disebabkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

PENGELOLAAN LAHAN BASAH DI INDONESIA YANG BERKELANJUTAN

PENGELOLAAN LAHAN BASAH DI INDONESIA YANG BERKELANJUTAN 1 PENGELOLAAN LAHAN BASAH DI INDONESIA YANG BERKELANJUTAN Syekhfani Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya 2 Pertanian Berkelanjutan Definisi: The ability to keep in existence; maintain or prolong; to

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Lewikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang terletak pada ketinggian

Lebih terperinci

APLIKASI PUPUK UREA PADA TANAMAN JAGUNG. M. Akil Balai Penelitian Tanaman Serealia

APLIKASI PUPUK UREA PADA TANAMAN JAGUNG. M. Akil Balai Penelitian Tanaman Serealia APLIKASI PUPUK UREA PADA TANAMAN JAGUNG M. Akil Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak. Dalam budi daya jagung perlu memperhatikan cara aplikasi pupuk urea yang efisien sehingga pupuk yang diberikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan pangan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan pangan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan pangan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Sementara itu areal pertanian produktif di daerah padat penduduk terutama di Jawa terus menyusut akibat

Lebih terperinci

PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN DOSIS PUPUK NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI

PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN DOSIS PUPUK NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN DOSIS PUPUK NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI Fitri Handayani 1, Nurbani 1, dan Ita Yustina 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur; 2 Balai Pengkajian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Awal Tanah Gambut Hasil analisis tanah gambut sebelum percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 1. Hasil analisis didapatkan bahwa tanah gambut dalam dari Kumpeh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang baik sekali terhadap kondisi lingkungan hidup dan perlakuan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Lahan Kering di desa Cibadung Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat. Tanah di lokasi penelitian masuk dalam sub grup Typic Hapludult.

Lebih terperinci

IV. HASIL 4.1. Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi Tabel 2 No Analisis Metode Hasil Status Hara

IV. HASIL 4.1. Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi Tabel 2 No Analisis Metode Hasil Status Hara IV. HASIL 4.. Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi Data fisikokimia tanah awal percobaan disajikan pada Tabel 2. Andisol Lembang termasuk tanah yang tergolong agak masam yaitu

Lebih terperinci

KAJIAN PENDUGA MUKA AIR TANAH UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN AIR PADA PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT: KASUS DI SUMATERA SELATAN NGUDIANTORO

KAJIAN PENDUGA MUKA AIR TANAH UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN AIR PADA PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT: KASUS DI SUMATERA SELATAN NGUDIANTORO KAJIAN PENDUGA MUKA AIR TANAH UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN AIR PADA PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT: KASUS DI SUMATERA SELATAN NGUDIANTORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian,Perlakuan dan Analisis Data

BAB III METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian,Perlakuan dan Analisis Data BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan mulai Oktober 2014 Februari 2015. Penelitian dilaksanakan di Desa Semawung Kec. Andong, Kab. Boyolali,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil

Lebih terperinci

REHABILITASI LAHAN KERING ALANG ALANG DENGAN OLAH TANAH DAN AMANDEMEN KAPUR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG

REHABILITASI LAHAN KERING ALANG ALANG DENGAN OLAH TANAH DAN AMANDEMEN KAPUR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG 1-8 REHABILITASI LAHAN KERING ALANG ALANG DENGAN OLAH TANAH DAN AMANDEMEN KAPUR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG Agusni Dosen Program Studi Agroteknologi Universitas Almuslim Email: aisyahraja2017@gmail.com

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting dalam peningkatan gizi masyarakat Indonesia. Hal tersebut didasarkan

Lebih terperinci

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan I. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan Februari-Juli 2016. Percobaan dilakukan di Rumah Kaca dan laboratorium Kimia

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: Spermatophyta; Sub divisio: Angiospermae; Kelas : Dikotyledonae;

Lebih terperinci

UJI GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA UMUR GENJAH TOLERAN LAHAN MASAM DI KALIMANTAN SELATAN

UJI GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA UMUR GENJAH TOLERAN LAHAN MASAM DI KALIMANTAN SELATAN UJI GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA UMUR GENJAH TOLERAN LAHAN MASAM DI KALIMANTAN SELATAN Suwardi Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Panyipatan, Kabupaten Tanah Laut,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan di desa Kleseleon, kecamatan Weliman, kabupaten Malaka, proinsi Nusa Tenggara Timur pada lahan sawah bukaan baru yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Karakteristik Tanah di Lahan Percobaan Berdasarkan kriteria Staf Pusat Penelitian Tanah (1983), karakteristik Latosol Dramaga yang digunakan dalam percobaan disajikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Susunan akar kedelai pada umumnya sangat baik, pertumbuhan akar tunggang lurus masuk kedalam tanah dan mempunyai banyak akar cabang. Pada akar-akar cabang banyak terdapat

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga Sifat kimia dan fisik Latosol Darmaga yang digunakan dalam percobaan ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat Kimia

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 35 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri dari penelitian survei dan penelitian pot. Penelitian survei pupuk dilaksanakan bulan Mei - Juli 2011 di Jawa Barat, Jawa

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Selatan yang diketahui memiliki jenis tanah Ultisol dan Laboratorium Ilmu Tanah

III. BAHAN DAN METODE. Selatan yang diketahui memiliki jenis tanah Ultisol dan Laboratorium Ilmu Tanah 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang sebelumnya dilakukan oleh

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang sebelumnya dilakukan oleh 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang sebelumnya dilakukan oleh Anjani (2013) pada musim tanam pertama yang ditanami tanaman tomat,

Lebih terperinci

Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si

Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si PERMASALAHAN AIR TEKNOLOGI PENGELOLAAN AIR Dalam pengelolaan tata air makro pada lahan rawa lebak menggunakan SISTEM POLDER. Pada sistem polder diperlukan bangunan air,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm IPB Darmaga Bogor pada ketinggian 240 m dpl. Uji kandungan amilosa dilakukan di

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu Lembang Balai Penelitian Tanaman Sayuran 1250 m dpl mulai Juni 2011 sampai dengan Agustus 2012. Lembang terletak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Lahan 4. 1. 1. Sifat Kimia Tanah yang digunakan Tanah pada lahan penelitian termasuk jenis tanah Latosol pada sistem PPT sedangkan pada sistem Taksonomi, Tanah tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Semawung, Kec. Andong, Boyolali (lahan milik Bapak Sunardi). Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, dimulai bulan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo provinsi DIY. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia

METODE PENELITIAN. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo provinsi DIY. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada lahan bekas tambang PT. Aneka Tambang Tbk (ANTAM), Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Jawa tengah pada bulan Maret

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Agustus 2009 di Kebun Karet Rakyat di Desa Sebapo, Kabupaten Muaro Jambi. Lokasi penelitian yang digunakan merupakan milik

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan tanah gambut dari Kumpeh, Jambi dilakukan pada bulan Oktober 2011 (Gambar Lampiran 1). Penelitian dilakukan mulai dari bulan Februari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Kimia Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum diberi perlakuan dapat dilihat pada lampiran 2. Penilaian terhadap sifat kimia tanah yang mengacu pada kriteria Penilaian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui percobaan rumah kaca. Tanah gambut berasal dari Desa Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh, Jambi, diambil pada bulan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.1 Analisis Tanah Awal Karakteristik Latosol Cimulang yang digunakan dalam percobaan disajikan pada Tabel 2 dengan kriteria ditentukan menurut acuan Pusat Peneltian Tanah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat 18 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di kebun percobaan Institut Pertanian Bogor, Sawah Baru Babakan Darmaga, selama 4 bulan, dari bulan Mei-September 2010. Bahan dan Alat Bahan-bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu

I. PENDAHULUAN. Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu merupakan bahan pangan pokok ketiga setelah beras dan jagung. Daunnya dapat digunakan sebagai

Lebih terperinci

KONGRES ILMU PENGETAHUAN NASIONAL (KIPNAS) X TAHUN 2011 BEST PRACTICE DALAM BUDIDAYA KEDELAI DI LAHAN PASANG SURUT

KONGRES ILMU PENGETAHUAN NASIONAL (KIPNAS) X TAHUN 2011 BEST PRACTICE DALAM BUDIDAYA KEDELAI DI LAHAN PASANG SURUT KONGRES ILMU PENGETAHUAN NASIONAL (KIPNAS) X TAHUN 2011 BEST PRACTICE DALAM BUDIDAYA KEDELAI DI LAHAN PASANG SURUT Oleh Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS. DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS

Lebih terperinci

Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut. Disampaikan Pada Materi Kelas PAM

Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut. Disampaikan Pada Materi Kelas PAM Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut Disampaikan Pada Materi Kelas PAM Pundu Learning Centre - 2012 DEFINISI Disampaikan Pada Materi Kelas PAM Pundu Learning Centre - 2012 DEFINISI Areal Pasang Surut

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Metode Percobaan 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan September 2011 di rumah kaca kebun percobaan Cikabayan, IPB Darmaga Bogor. Analisis tanah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

Gambar 1. Varietas TAKAR-1 (GH 4) Edisi 5-11 Juni 2013 No.3510 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

Gambar 1. Varietas TAKAR-1 (GH 4) Edisi 5-11 Juni 2013 No.3510 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian TAKAR-1 dan TAKAR-2, Varietas Unggul Kacang Tanah Terbaru Dua varietas unggul baru kacang tanah yaitu TAKAR-1 dan TAKAR-2 telah dilepas berdasarkan SK Kementan No. 3253/Kpts/SR.120/9/2012 dan No 3255/Kpts/SR.120/9/2012.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merr) Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. Susunan morfologi kedelai terdiri dari akar, batang, daun, bunga dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengamatan Selintas 4.1.1. Keadaan Cuaca Lingkungan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman sebagai faktor eksternal dan faktor internalnya yaitu genetika

Lebih terperinci

Aplikasi Pupuk Kandang dan Pupuk SP-36 Untuk Meningkatkan Unsur Hara P Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Inceptisol Kwala Bekala

Aplikasi Pupuk Kandang dan Pupuk SP-36 Untuk Meningkatkan Unsur Hara P Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Inceptisol Kwala Bekala Aplikasi Kandang dan Untuk Meningkatkan Unsur Hara P Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Inceptisol Kwala Bekala Application of Farmyard Manure and SP-36 Fertilizer on Phosphorus Availability

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hujan Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh dipermukaan tanah datar selama periode tertentu di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan 18 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kailan adalah salah satu jenis sayuran yang termasuk dalam kelas dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan cabang-cabang akar

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN

IV. HASIL PENELITIAN IV. HASIL PENELITIAN Karakterisasi Tanah Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah Ultisol memiliki tekstur lempung dan bersifat masam (Tabel 2). Selisih antara ph H,O dan ph KC1 adalah 0,4; berarti

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Latosol (Oxic Distrudept) Darmaga Berdasarkan kriteria sifat kimia tanah menurut PPT (1983) (Lampiran 2), karakteristik Latosol (Oxic Distrudept) Darmaga (Tabel 2) termasuk

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi

PEMBAHASAN UMUM. Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi 102 PEMBAHASAN UMUM Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi dengan pembuatan saluran irigasi dan drainase agar air dapat diatur. Bila lahan tersebut dimanfaatkan untuk bertanam

Lebih terperinci