MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU"

Transkripsi

1 MODEL PENGEMBANGANN PERIKANANN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU ALBERTH CHRISTIAN NANLOHY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini, saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Model Pengembangan Perikanan Pelagis di Perairan Maluku adalah benar merupakan karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini Bogor Februari 2011 Alberth Christian Nanlohy NIM C

3 MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU ALBERTH CHRISTIAN NANLOHY NIM: C Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

4 ABSTRACT ALBERTH CHRISTIAN, NANLOHY. Development of Fisheries Pelagic Model in Maluku Waters. Supervised by MULYONO S. BASKORO, BUDHI H. ISKANDAR, DOMU SIMBOLON. Pelagic fish resources are potential enough in Maluku so the development of fisheries in this area is a strategic effort. Based on this consideration, this research was conducted. The objective of the research is to establish a conceptual development of fisheries pelagic model in Maluku waters. The analysis of potential resource showed that exploitation rate and utilization rate a pelagic fishery in Maluku water has not been maximum yet. Analysis based on CCRF evaluation criteria showed that pole and line fishing unit became the main alternative gear for the development of sustainable and environmentally safety fisheries in spite of pole and line, surface gill net, and trawler. Analysis of scoring method based on biology, technic, social and economy showed that pole and line (743.87) got the priority to be developed followed by pole and line (57.83), surface gill net (16.73) and purse seine (10.78). Analysis of AHP displayed that optimum allocation of fishing gear included purse seine (257), beach seine (260), boat lift net (1419), pole and line (1457), troll line (40940) and surface gillnet (30000). Compared to actual allocation, there will be a decrease in purse seine (15), beach seine (175) and boat lift net (240). It was proposed to develop a kite from fiber glass for pole and line fishing boat as long as 2.75 m, with boat dimension of length 15.26, width 3.64, and height m. The pole and line used circle-shaped hook No. 1 (No ). The propose pole and line boat dimension was l x b x d = 8.50 x 1.85 x 0.72 m using wood or fiberglass as main material, engine (2 x 15 HP or 1 x 40 HP), carosenne fuel, using compass and lifejacket. The use of styrofoam in modification of pole and line boat deck aimed to produce skipjack loin which was an export commodity. Fishing technology using a kite line pole made method could save exploitation cost. Modification and construction of pole and line boat that was proposed to be developed was 20.7 m long, 3.1 m wide, 2.20 m high, using four units of 40 HP motor boat. Technology design of wings at trawler boat was very helpful in fishing process. Analysis of strategic environment (LINSTRA) on fisheries development in Maluku showed that cooperation between the government, community, and enterpreneur is required for the successfull policy implementation in the region, to support the development of fishing gear in Maluku. Keywords: pelagic fisheries, technology, skipjack loin, winch technology, conceptual model

5 RINGKASAN ALBERTH CHRISTIAN NANLOHY. Model Pengembangan Perikanan Pelagis di Perairan Maluku. Dibimbing oleh MULYONO S. BASKORO, BUDHI H.ISKANDAR, DOMU SIMBOLON. Sumberdaya ikan pelagis cukup potensial di Maluku sehingga pengembangan perikanannya merupakan upaya strategis. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suatu model pengembangan perikanan pelagis dan desain alat tangkap di perairan Maluku. Metode analisis data untuk menentukan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di perairan Maluku dilakukan dengan menggunakan analisis aspek biologi sesuai pendekatan Gordon Schaefer. Metode analisis data untuk mendapatkan jenis armada penangkapan yang mempunyai keragaan ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi dilakukan dengan menggunakan metode skoring. Metode analisis data untuk menyeleksi unit penangkapan ikan tertentu sesuai aspek keberlanjutan dan aspek ramah lingkungan mengacu pada CCRF. Untuk mengkaji jumlah alokasi optimal alat tangkap dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di perairan Maluku dilakukan dengan teknik linear goal programming (LGP). Strategi kebijakan perikanan tangkap di Maluku dirumuskan dengan menggunakan analisis lingkungan strategi (LINSTRA). Metode deskriptif digunakan untuk memodifikasi prototipe alat penangkapan ikan di perairan Maluku. Analisis data untuk menentukan prioritas pengembangan unit penangkapan ikan di perairan Maluku dilakukan dengan menggunakan metode SWOT dan AHP mengacu pada Saaty (1991). Analisis potensi sumberdaya menunjukkan tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil adalah ikan tembang 86,58%, selar 59,10%, teri 58,61%, layang 56,87 %, kembung 45,72%, komu 23,81%. Tingkat pengupayaan ikan pelagis kecil adalah ikan teri 79,79%, tembang 75,60%, kembung 55,45%, selar 47,01%, komu 54,06%, dan layang 45,50%. Tingkat pemanfaatan ikan tuna 51,10%, tongkol 22,23%, cakalang 13,03%, tenggiri papan 2,12%, layur 2,00%, dan tenggiri 0,88%, dengan tingkat pengupayaan adalah ikan tenggiri 89,98%, layur 30,12%, tongkol 24,16%, tuna 21,69%, tenggiri papan 19,36%, dan cakalang 14,21%. Hasil analisis berdasarkan kriteria penilaian CCRF menunjukkan bahwa unit penangkapan pancing tonda menjadi opsi pengembangan utama disamping huhate, jaring insang permukaan, dan pukat cincin berdasarkan aspek keberlanjutan dan aspek ramah lingkungan. Hasil skoring berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi menunjukkan bahwa alat tangkap huhate (743,87) di prioritaskan untuk dikembangkan kemudian diikuti oleh pancing tonda (57,83), jaring insang permukaan (16,73), dan pukat cincin (10,78). Analisis AHP menunjukkan bahwa untuk memenuhi fungsi tujuan yaitu meminimalkan fungsi deviasi, maka alokasi optimal alat tangkap pukat cincin (257), pukat pantai (260), bagan (1419), huhate (1457), pancing tonda (40940), dan jaring insang permukaan (30000). Dibandingkan alokasi faktual, terjadi pengurangan pada alat tangkap pukat cincin (15), pukat pantai (175), dan bagan (240). Pengurangan tersebut

6 sangat berdampak pada nelayan, ditinjau dari aspek tenaga kerja. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa permasalahaan sosial, sehingga kebijakan pengurangan alat tangkap didahului dengan penyediaan lapangan kerja alternatif yang efektif bagi nelayan yang telah bersedia meninggalkan alat tangkap tersebut. Diusulkan untuk dikembangkan modifikasi joran pancing dari fiberglass pada kapal huhate dengan panjang 2,75 m sedangkan ukuran panjang kapal 15,26; lebar 3,64; dan tinggi 2,62 meter, sedangkan pancing tonda menggunakan mata kail tipe kail circle-shaped No.1 (Nomor ). Kapal pancing tonda yang diusulkan untuk dikembangkan berukuran (p x l x d = 8,50 x 1,85 x 0,72 m) menggunakan bahan utama kayu susun atau fibreglass, mesin (2 x 15 HP atau 1 x 40 HP), bahan bakar kerosene, serta menggunakan kompas dan lift jacket. Modifikasi penggunaan bahan styrofoam pada palka kapal huhate bertujuan untuk menghasilkan produk skipjack loin yang merupakan produk ekspor. Teknologi penangkapan dengan menggunakan metode layang-layang mempunyai beberapa kelebihan antara lain: (1) menghemat BBM 30-50%, (2) konstruksi layang-layang terdiri dari bambu dan plastik dengan ukuran tinggi 1 meter, lebar 0,75 meter serta diameter bambu 1 cm, (3) biaya eksploitasi kecil. Modifikasi konstruksi kapal pukat cincin yang diusulkan pengembangannya adalah berukuran panjang 20,7 meter, lebar 3,1 meter, tinggi geladak 2,20 meter dan tinggi garis muat 0,45 meter, dengan menggunakan tenaga penggerak mesin motor tempel berkekuatan 40 HP sebanyak 4 buah. Modifikasi winch pada kapal pukat cincin mempunyai keuntungan antara lain: (1) membantu nelayan pada saat penarikan jaring sehingga dapat mempercepat proses operasi penangkapan, (2) lebih efektif. Perumusan strategi pengembangan perikanan tangkap didasarkan pada pendekatan analisis lingkungan strategis (LINSTRA) terhadap informasi status sumberdaya ikan, dan alokasi unit penangkapan. Strategi-SO (2,90) meliputi pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan, penerapan CCRF segera dilaksanakan agar sumberdaya tetap lestari, Strategi-ST (1,85) menerapkan aturan batas penangkapan sesuai dengan fungsi alat tangkap, menetapkan tempat pemasangan rumpon yang sesuai, memaksimalkan potensi sumberdaya dan penentuan tempat galangan kapal perikanan pada desa nelayan produktif, Strategi-WO (1,65) peningkatan investasi dari luar daerah untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil, menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan, Strategi-WT (1,20) menerapkan adanya basic desain pada armada kapal perikanan yang akan dibangun, modifikasi alat tangkap, teknologi tepat guna dan menerapkan ukuran mata jaring yang selektif. Diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, masyarakat, dan pengusaha dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang berlaku di daerah dalam menunjang pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku. Kata kunci: perikanan pelagis, teknologi, skipjack loin, winch technology, model konseptual.

7 Hak cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB.

8 HALAMAN PENGESAHAN Judul disertasi : Model Pengembangan Perikanan Pelagis di Perairan Maluku Nama : Alberth Christian Nanlohy NIM : C Program Studi : Teknologi Perikanan Tangkap. Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro. M.Sc Ketua Dr. Ir. Budhi H. Iskandar. M.Si Anggota Diketahui Dr.Ir. Domu Simbolon. M.Si Anggota Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto. M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah.M,Agr.Sc Tanggal ujian: 01 Februari 2011 Tanggal lulus:

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala berkat karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini merupakan hasil penelitian dengan judul Model Pengembangan Perikanan Pelagis di Perairan Maluku. Pada kesempatan ini juga penulis secara tulus mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc; Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si; Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah membuka wawasan penulis tentang permasalahaan dan perkembangan perikanan tangkap, secara intensif membimbing penulis dalam mempertajam masalah, meningkatkan kualitas dan penyajian hasil penelitian. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan dan seluruh staf Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Ketua Departemen PSP-FPIK IPB, Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap IPB, serta Dosen Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap yang telah membekali ilmu kepada penulis selama kuliah S3. Rektor Universitas Pattimura dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura yang telah mengijinkan penulis untuk melanjutkan Program Doktor (S3) pada Institut Pertanian Bogor. Bapak Ir. Romelus Far-Far, M.Si selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Tingkat I Maluku atas data dan informasi mengenai pengelolaan perikanan tangkap di Maluku. Bapak Direktur Yayasan Toyota Astra Jakarta yang telah memberikan bantuan untuk penelitian. Bapak Direktur Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM) serta Bapak Direktur Yayasan Tahija di Jakarta yang telah memberikan bantuan dana untuk penelitian. Bapak DIRJEN Perguruan Tinggi Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan beasiswa kepada penulis selama mengikuti studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih

10 dan penghormatan kepada kedua orang tuaku Bapak B. Nanlohy dan Ibu M. Nitalessy (almarhumah) atas doa dan pengorbanan dalam membesarkan, mendidik dan memberi teladan yang baik kepada penulis. Teman-teman mahasiswa/i PERMAMA (Persekutuan Mahasiswa Maluku), teman-teman kost Perwira 12 yang selalu bersama. Ucapan terima kasih yang sama juga kepada teman-teman seangkatan 2007,Yopi Novita, Meliansari, Mohamad Sharial Ramang, Danial Sultan, Karnan, Joyce Kumaat dan teman-teman lain Yan Manalu, Plagelmo Seran, Chateriin Paulus yang selalu memberikan dorongan serta motivasi. Terakhir, paling utama dan khusus secara tulus penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada istriku tersayang Ellen Pudinaung SE, dan ketiga anak tercinta: Brandon Billy Mario, Benjamin Frangklin, Denaya Ketsy Nanlohy, serta saudara-saudaraku Renny,Hilda, Barbalina, Donny Nanlohy, yang selama ini menjadi sumber inspirasi dan memberi semangat bagi penulis. Untuk kalian semua inilah persembahan yang tak ternilai dan sekaligus sebagai motivasi hidup. Penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, pemerintah maupun peneliti yang peduli terhadap pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Maluku. Menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan maka penulis berharap agar penelitian lain dapat menyempurnakannya. Terima kasih. Bogor, Februari 2011 Alberth Christian Nanlohy

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Ambon, Provinsi Maluku pada tanggal 29 Juli 1962 dari pasangan Benonie Nanlohy dan Maria Nitalessy. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Dasar Negeri I Lateri tahun 1968, tamat tahun 1974, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Lateri 1974, tamat tahun 1977, dan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) tahun 1977, tamat tahun Pendidikan Sarjana (S1) ditempuh pada tahun 1981 pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Pattimura Ambon dan tamat pada tahun Pada Tahun 1991 penulis diangkat menjadi staf pengajar pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ambon. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan studi Magiter Sains (S2) pada jurusan Ilmu Perairan, Universitas Sam Ratulangi Manado dan disponsori oleh Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI) dengan tesis berjudul: Perbandingan Karakterstik Teknis Kapal Pole and Line Buatan Bitung dan Ambon. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan Doktor (S3) pada Institut Pertanian Bogor pada jurusan Teknologi Perikanan Tangkap (TPT) dengan bantuan biaya dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI) dengan status tugas belajar. Disamping sebagai dosen, penulis juga aktif pada Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Pattimura, melakukan penelitian di bidang perikanan pada Lembaga Penelitian Universitas Pattimura, dan Pemerintah Provinsi Maluku. Dalam rangka penyelesaian tugas akhir Program Doktor, penulis telah berhasil mempublikasikan karya ilmiah berjudul Desain Prototipe Teknologi Kapal Penangkap di Perairan Maluku dan akan diterbitkan pada Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, Vol. 1, No 1 Bulan Maret 2011 (ISSN ), dan

12 Evaluasi Alat Tangkap Ikan Pelagis yang ramah Lingkungan di Perairan Maluku dengan menggunakan Prinsip CCRF (Code of Conduct for Responsible Fisheries) yang akan diterbitkan pada Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, Vol. 1. No 2. Bulan Mei Tahun 2011 (ISSN ).

13 NOVELTY Pengembangan model teknologi penangkapan ikan terkait dengan sumberdaya perikanan tangkap khususnya perikanan pelagis di perairan Maluku merupakan informasi penting dalam pengelolaan sumberdaya. Modifikasi teknologi joran pancing dari fibreglass, modifikasi palka, modifikasi kapal huhate, dan kapal pukat cincin merupakan modifikasi yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan hasil tangkapan nelayan Penggunaan teknologi metode layang-layang dan modifikasi cool box dengan styrofoam pada kapal tonda merupakan suatu bentuk terobosan baru dalam penangkapan pancing tonda di perairan Maluku. Modifikasi winch sebagai alat bantu penangkapan pada kapal pukat cincin merupakan teknologi sederhana yang perlu dikembangkan karena daerah Maluku mempunyai potensi sumberdaya ikan pelagis yang cukup besar sehingga dengan modifikasi teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nelayan.

14 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xvi DAFTAR ISTILAH... xvii 1 PENDAHULUAN Latar belakang Perumusan masalah Tujuan penelitian Manfaat penelitian Kerangka pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Unit penangkapan ikan Alat tangkap Alat tangkap ikan pelagis kecil (1) Pukat cincin (purse seine) (2) Bagan (liftnet) (3) Pukat pantai (beach seine) Alat tangkap ikan pelagis besar (1) Jaring insang permukaan (drift gillnet) (2) Huhate (pole and line) (3) Pancing tonda (troll line) Perahu/kapal penangkap ikan Nelayan Produksi perikanan Pengembangan usaha perikanan tangkap Teknologi penangkapan ikan tepat guna Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Teori system Analisis SWOT Analytical Hierarchy Process (AHP) Linear Goal Programming (LGP) Kondisi umum perairan Maluku Daerah penangkapan ikan... 45

15 3. METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan waktu penelitian Metode pengumpulan data penelitian Pengumpulan data aspek tepat guna Pengumpulan data aspek penangkapan bertanggung jawab sesuai CCRF Analisis Data Analisis potensi sumberdaya ikan Teknologi penangkapan ikan tepat guna (1) Aspek biologi (2) Aspek teknis (3) Aspek sosial (4) Aspek ekonomis Analisis aspek berkelanjutan Analisis aspek ramah lingkungan Alokasi unit penangkapan ikan Modifikasi prototipe unit penangkapan ikan Strategi pengembangan perikanan tangkap Analisis SWOT Analisis hierarki proses (AHP) Analisis diskriptif antar faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan perikanan pelagis HASIL Status pemanfaatan sumberdaya ikan Produksi ikan pelagis kecil Produksi ikan pelagis besar Tingkat pemanfaatan dan tingkat pengupayaan Teknologi penangkapan tepat guna Penilaian dan standardisasi aspek biologi Penilaian dan standardisasi aspek teknis Penilaian dan standardisasi aspek sosial Penilaian dan standardisasi aspek ekonomi Aspek berkelanjutan Aspek ramah lingkungan Opsi pengembangan unit penangkapan ikan pilihan Alokasi unit penangkapan ikan di perairan Maluku Modifikasi prototipe alat tangkap di perairan Maluku Alat tangkap huhate (pole and line) Joran pancing huhate Kapal huhate Modifikasi palka kapal huhate yang diusulkan pengembangannya Alat tangkap pancing tonda (troll line) Alat pancing tonda

16 Kapal pancing tonda Modifikasi cool box kapal pancing tonda Teknologi penangkapan ikan tuna dengan menggunakan metode layang-layang Alat tangkap pukat cincin Kapal pukat cincin Modifikasi palka kapal pukat cincin Modifikasi winch kapal pukat cincin Strategi pengembangan teknologi perikanan tangkap PEMBAHASAN Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku Teknologi penangkapan tepat guna dan alokasi unit penangkapan optimum Seleksi pemilihan teknologi penangkapan berdasarkan aspek biologi Seleksi pemilihan teknologi penangkapan berdasarkan aspek teknis Seleksi pemilihan teknologi penangkapan berdasarkan aspek sosial Seleksi pemilihan teknologi penangkapan berdasarkan aspek ekonomi Seleksi pemilihan teknologi penangkapan ikan berdasarkan penilaian gabungan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi Aspek berkelanjutan berdasarkan CCRF Aspek ramah lingkungan berdasarkan CCRF Kendala pengembangan perikanan tangkap di Maluku Strategi pengembangan perikanan pelagis di Maluku Kriteria dan sasaran pengembangan perikanan pelagis Faktor kepentingan pembatas (limiting factor) dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Maluku Peluang pengembangan perikanan pelagis di Maluku Model konseptual perikanan pelagis di Maluku KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia Kerangka pemikiran penelitian Diagram alir penelitian Kapal pukat cincin (purse seine) di Maluku Bagan rakit (raft liftnet) dan bagan perahu (boat liftnet) Alat tangkap pukat pantai (beach seine) Kapal huhate dengan sistem motor tempel (rurehe) Kapal huhate yang beroperasi di perairan Maluku Kapal pancing tonda yang beroperasi di perairan Maluku Umpan buatan menyerupai (1) ikan tongkol, (2) ikan layang, (3) ikan terbang, (4) cumi-cumi Sistem agribisnis perikanan tangkap Daerah penangkapan ikan umpan di Kabupaten Pulau Buru, Seram Bagian Barat, Maluku Tengah dan Kota Ambon Pusat-pusat perikanan huhate di Provinsi Maluku Daerah penangkapan kapal huhate di utara Laut Banda dan Laut Seram Pusat-pusat usaha perikanan pancing tonda di Pulau Buru, Kota Ambon, Seram Bagian Barat, Maluku Tengah, dan Seram Bagian Timur Daerah penangkapan dari unit-unit pancing tonda di Laut Banda dan Laut Seram Lokasi penelitian Grafik kurva lestari ikan selar Grafik kurva lestari ikan layang Grafik kurva lestari ikan tembang Grafik kurva lestari ikan teri Grafik kurva lestari ikan komu... 79

18 23 Grafik kurva lestari ikan kembung Grafik kurva lestari ikan tuna Grafik kurva lestari ikan tenggiri Grafik kurva lestari ikan tenggiri papan Grafik kurva lestari ikan tongkol Grafik kurva lestari ikan cakalang Grafik kurva lestari ikan layur Joran pancing huhate saat ini Modifikasi joran pancing yang akan dikembangkan pada kapal huhate Desain kapal huhate (pandangan samping) saat ini Desain kapal huhate (pandangan atas) saat ini Kapal huhate (pandangan dari samping) yang akan dikembangkan Kapal huhate (pandangan atas) yang akan dikembangkan Desain palka kapal huhate saat ini Modifikasi palka yang akan dikembangkan pada kapal huhate Desain pancing tonda yang dioperasikan nelayan saat ini di perairan Maluku Modifikasi pancing tonda yang diusulkan untuk dikembangkan menangkap ikan tuna di perairan Maluku Desain kapal pancing tonda (pandangan samping) saat ini di Maluku Desain kapal pancing tonda (pandangan atas) saat ini di Maluku Bentuk dan dimensi utama prototype kapal tonda sistem outboard engine yang diusulkan untuk dikembangkan Desain cool box kapal pancing tonda Kerangka cool box Penutup dinding palka dengan tripleks Pemasangan stryrofoam Pelapisan fiberglass bagian dalam Coll box yang sudah siap dipergunakan Teknologi penangkapan ikan tuna dengan penggunaan metode layang-layang sistem 1 pancing

19 50 Teknologi penangkapan ikan tuna dengan penggunaan metode layang-layang sistem 2 pancing Penangkapan ikan tuna saat ini Desain kapal pukat cincin saat ini Modifikasi kapal pukat cincin (pandangan dari samping) yang diusulkan untuk dikembangkan Modifikasi kapal pukat cincin (pandangan dari atas) yang diusulkan untuk dikembangkan Kondisi palka kapal pukat cincin saat ini Modifikasi palka yang diusulkan pengembangannya pada kapal pukat cincin Ilustrasi kemungkinan ikan yang meloloskan diri pada saat pelingkaran alat tangkap pukat cincin Ilustrasi kemungkinan ikan yang meloloskan diri pada saat penarikan tali kolor alat tangkap pukat cincin Desain winch yang dioperasikan pada kapal pukat cincin (a) Tampak samping desain winch (b) Tampak atas desain winch Struktur hierarki model pengembangan perikanan pelagis di Maluku Hasil hierarki model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku pada setiap kriteria Posisi kriteria pengembangan pada level kedua (setelah goal) pada aplikasi Progam AHP Rasio kepentingan kriteria dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (insconsistency 0,05) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada nelayan Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada nelayan dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,05) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada pengusaha perikanan tangkap (PPT) Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada

20 pengusaha perikanan tangkap dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,08) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada selektivitas alat tangkap (SAT) Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada selektifitas alat tangkap dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,05) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada penyerapan tenaga kerja Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada penyerapan tenaga kerja dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,05) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada pendapatan asli daerah Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada pendapatan asli daerah dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,08) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada BBM Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada bahan bakar minyak dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,04) Urutan prioritas pengembangan terhadap ketiga alternatif alat penangkapan ikan di perairan Maluku (incosistency 0,06) Perbandingan alat tangkap huhate dengan alat tangkap pancing tonda untuk semua kriteria Perbandingan alat tangkap huhate dengan jaring insang untuk semua Kriteria Model pengembangan perikanan pelagis di Maluku

21 DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil analisis maximum sustainable yield (MSY) dan effort optimal sumberdaya ikan pelagis kecil Hasil analisis maximum sustainable yield (MSY) dan effort optimal sumberdaya ikan pelagis besar Penentuan fungsi persamaan dari analisis LGP dengan LINDO untuk alokasi optimal alat tangkap sumberdaya ikan pelagis kecil Penentuan fungsi persamaan dari analisis LGP dengan LINDO untuk alokasi optimal alat tangkap sumberdaya ikan pelagis besar Output analisis linear goal programming (LGP) dengan LINDO untuk alokasi optimal alat tangkap sumberdaya ikan pelagis Hal

22 6 7 1 Perhitungan hasil tangkapan (catch) per upaya penangkapan (effort) masingmasing alat tangkap ikan pelagis kecil di perairan Maluku Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis kecil dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis kecil dengan menggunakan alat tangkap pukat pantai Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis kecil dengan menggunakan alat tangkap bagan Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis kecil Perhitungan standarisasi upaya penangkapan alat tangkap ikan pelagis kecil Perhitungan analisis Anova untuk mengetahui Intercept (a), dan Slope (b) pada upaya penangkapan optimum dan Maximum Sustainable Yield ikan pelagis kecil Perhitungan hasil tangkapan (catch) per upaya penangkapan (effort) masingmasing alat tangkap ikan pelagis besar di perairan Maluku 243

23 9 Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis besar dengan menggunakan alat tangkap huhate Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis besar dengan menggunakan alat tangkap pancing tonda Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis besar dengan menggunakan alat tangkap jaring insang permukaan Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis besar Perhitungan standarisasi upaya penangkapan alat tangkap ikan pelagis besar Perhitungan analisis Anova untuk mengetahui Intercept (a), dan Slope (b) pada upaya penangkapan optimum dan Maximum Sustainable Yield ikan pelagis besar Perhitungan upaya penangkapan optimum, Maximum Sustainable Yield (MSY), CPUE optimum, tingkat pengupayaan (effort) dan tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil Perhitungan upaya penangkapan optimum, Maximum Sustainable Yield (MSY), CPUE optimum, tingkat pengupayaan (effort) dan tingkat pemanfaatan ikan pelagis besar Kriteria kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan 252

24 18 Kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan Hasil Analisis Linear Programming alokasi unit penangkapan ikan di perairan Maluku 254

25 DAFTAR TABEL Halaman 1 Potensi JBT di Laut Banda Potensi JBT di Laut Seram dan Teluk Tomini Potensi JBT di Laut Arafura Luas wilayah perairan pada setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku hingga 12 mil laut Perkembangan alat tangkap di Provinsi Maluku tahun Jumlah perahu/kapal perikanan menurut jenis ukuran di Maluku tahun Perkembangan nelayan dan Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Provinsi Maluku tahun Produksi hasil perikanan laut menurut jenis ikan di Maluku tahun Produksi perikanan laut menurut komoditi non ikan pada Kabupaten/ Kota tahun Musim penangkapan cakalang di Perairan Utara Laut Banda dan Maluku Tengah Jenis dan sumber data serta metode pengumpulannya Matriks metode analisis data Skor kriteria CPUE Skor kriteria lama trip penangkapan Skor kriteria komposisi hasil tangkapan Skor kriteria ukuran hasil tangkapan Skor kriteria metode pengoperasian alat tangkap Skor kriteria daya jangkau operasi penangkapan ikan Skor kriteria pengaruh lingkungan fisik terhadap pengoperasian alat tangkap... 60

26 20 Skor kriteria selektivitas teknologi penangkapan ikan Skor kriteria tingkat penggunaan teknologi Skor kriteria penilaian dan penerimaan masyarakat terhadap alat tangkap baru Skor tingkat pendidikan Ada tidaknya konflik antar nelayan Skor kriteria pengalaman kerja sebagai nelayan Skor kriteria jumlah tenaga kerja Skor kriteria pendapatan nelayan Skor kriteria penerimaan kotor per trip/alat tangkap Skor kriteria penerimaan kotor per jam operasi/alat tangkap Skor kriteria penerimaan kotor per alat tangkap/bulan Skor kriteria penerimaan kotor per alat tangkap/tahun Skor kriteria penerimaan kotor per tenaga kerja per hari Kriteria dan skor analisis aspek berkelanjutan unit penangkapan ikan di perairan Maluku Kriteria dan skor analisis ramah lingkungan unit penangkapan ikan Model matrik analisis SWOT Skala perbandingan berpasangan berdasarkan taraf relatif pentingnya Nilai random consistency index (RI) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai dengan Produksi aktual, tingkat MSY, tingkat pemanfaatan, effort aktual, effort optimal, dan tingkat pengupayaan ikan pelagis kecil di perairan Maluku Produksi aktual, tingkat MSY, tingkat pemanfaatan, effort aktual, effort optimal, serta tingkat pengupayaan ikan pelagis besar di perairan Maluku Standardisasi aspek biologi unit penangkapan ikan di Perairan Maluku Standardisasi aspek teknis unit penangkapan ikan di Perairan Maluku... 87

27 42 Standardisasi aspek sosial unit penangkapan ikan di Perairan Maluku Standardisasi aspek ekonomi unit penangkapan ikan di Perairan Maluku Rangkuman standarisasi penilaian aspek biologi, aspek teknis, aspek sosial, aspek ekonomi unit penangkapan ikan di Perairan Maluku Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang berkelanjutan Hasil seleksi unit penangkapan ikan berdasarkan aspek ramah lingkungan Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang layak dikembangkan di Maluku Alokasi alat tangkap dan solusi optimal perikanan pelagis dan desain alat tangkap di Perairan Maluku Spesifikasi modifikasi joran pancing saat ini dan arahan penyempurnaannya yang akan dikembangkan Perbandingan karakteristik joran pancing bambu dan joran pancing fiberglass Perbandingan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh joran pancing bambu dan joran pancing fiberglass Spesifikasi kapal huhate saat ini dan modifikasi baru yang akan dikembangkan Spesifikasi modifikasi palka kapal huhate saat ini dan arahan Penyempurnaannya Spesifikasi modifikasi alat tangkap pancing tonda Perbandingan keunggulan alat pancing tonda saat ini dan modifikasi yang diusulkan untuk dikembangkan Spesifikasi dan kondisi positif yang diharapkan kapal pancing tonda di perairan Maluku Perbandingan desain cool box saat ini dan modifikasi yang diusulkan untuk dikembangkan di perairan Maluku Pembuatan modifikasi cool box pada kapal pancing tonda

28 59 Bahan pembuatan cool box pada kapal pancing tonda Perbandingan teknik pengoperasian pancing tonda saat ini dan teknik penggunaan layang-layang Spesifikasi kapal pukat cincin dan arahan penyempurnaannya Kebutuhan material kayu untuk pembuatan 1 (satu) unit kapal pukat cincin Kebutuhan alat dan bahan lainnya untuk pembuatan kapal pukat cincin Perbandingan penggunaan winch dan tanpa menggunakan winch dalam operasi penangkapan dengan alat tangkap pukat cincin Matrik faktor strategi Internal pengembangan perikanan pelagis Matrik faktor strategi Eksternal pengembangan perikanan pelagis Strategi pengembangan perikanan pelagis dan di perairan Maluku Prioritas strategi pengembangan perikanan pelagis di Maluku Perbandingan pemanfaatan ikan pelagis kecil tahun 2007 dan pengupayaan pada kondisi aktual, estimasi MSY, F opt dan CCRF (80%) Perbandingan pemanfaatan ikan pelagis besar tahun 2007 dan pengupayaan pada kondisi aktual, estimasi MSY, F opt dan CCRF (80%) Usulan alokasi optimal dari unit-unit penangkapan terpilih yang dikembangkan di perairan Maluku Matriks pengembangan teknologi tepat guna perikanan tangkap di Maluku

29 DAFTAR ISTILAH ABK : Anak Buah Kapal AHP : Analisis pendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan, alokasi sumberdaya, penentuan bobot, serta prioritas strategi/kebijakan. Unit penangkapan ikan : Suatu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang terdiri dari kapal, nelayan dan alat tangkap By-catch : Hasil tangkapan sampingan; merupakan bagian dari hasil tangkapan yang didapat pada saat operasi penangkapan dan bukan dari tujuan utama penangkapan (non target spesies) Cool box : Tempat penyimpanan hasil tangkapan pada kapal yang telah dilapisi styrofoam dan ditambahkan es sehingga berfungsi untuk menjaga mutu hasil tangkapan CCRF (Code of Conduct for : Kode tindak perikanan bertanggung jawab yang Responsible Fisheries) menjadi acuan dari FAO CPUE (Catch per Unit Effort) : Jumlah atau berat hasil tangkapan per upaya penangkapan, digunakan sebagai indeks kelimpahan relatif Fishing ground : Daerah penangkapan ikan Fishing base : Pangkalan kapal perikanan FKPPS : Forum Koordinasi Pengelolaan Penangkapan Sumberdaya Ikan GPS : Global Positioning System yang merupakan suatu alat navigasi pada kapal yang digunakan untuk menentukan posisi kapal IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Illegal fishing : Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan tanpa memiliki ijin yang berlaku di suatu wilayah /daerah Inconsistency : Merupakan parameter yang digunakan dalam teknik AHP untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak Jaring bobo : Nama lokal untuk alat tangkap pukat cincin (purse seine) di Maluku TAC (Total Allowable Catch) : Jumlah tangkapan ikan yang dibolehkan KM : Kapal Motor

30 KOMNASJISKANLUT : Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut limiting factor : Faktor pembatas LGP : Linear Goal Programming MSY : Maksimum Sustainable Yield Over fishing : Suatu kondisi dimana jumlah ikan hasil tangkapan melebihi jumlah stok ikan yang tersedia PAD : Pendapatan Asli Daerah PTM : Perahu Tanpa Motor PMT : Perahu Motor Tempel Prototype : Suatu rancangan baru yang dibuat untuk menggantikan bentuk aslinya Perikanan tangkap : Kegiatan untuk memperoleh ikan di suatu perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan Pengembangan : Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu kemajuan PPI : Pangkalan Pendaratan Ikan RTP : Rumah Tangga Perikanan Real transfer of technology : Suatu perubahan yang terjadi dalam teknologi SIUP : Surat Ijin Usaha Perikanan SIKPI : Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan Stakeholder : Pihak-pihak yang berkepentingan atau terkait pada suatu kegiatan (pemangku kepentingan) SWOT : Strength Weaknness Oportunity and Threat Skipjack loin : Komoditi cakalang yang merupakan produk untuk ekspor TPI : Tempat Pelelangan Ikan WPP : Wilayah Pengelolaan Perikanan

31 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi Perikanan Indonesia dapat diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 telah mencapai ton, dan tahun 2004 tercatat ton per tahun (DKP RI 2006). Angka-angka tersebut menunjukkan tingkat pemanfaatan pada tahun 2004 telah mencapai 76,5% per tahun. Berdasarkan tatalaksana untuk Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF) yang diterbitkan oleh FAO, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch, TAC) adalah sebesar 80% dari Maximum Sustainable Yield, (MSY) (FAO 1995). Mengacu pada TAC tersebut, maka produksi minimum lestari di perairan Indonesia yang diperbolehkan dapat diestimasi adalah sekitar 5,12 juta ton per tahun. Provinsi kepulauan adalah sebuah provinsi yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugus pulau laut, diantara gugus pulau yang secara alamiah berhubungan antara satu dengan yang lain sedemikian erat sehingga merupakan satu kesatuan geografis, ekonomi, politik, sosial budaya serta pertahanan keamanan. Maluku termasuk diantara tujuh provinsi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai Provinsi kepulauan selain, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Riau, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kebijakan modernisasi perikanan rakyat melalui pengembangan kapal motor dan perbaikan teknologi alat penangkapan ikan telah dilakukan sejak tahun Modernisasi menurut Choliq (1996) diacu oleh Masyahoro (2004), perkembangan produksi perikanan laut sebesar 4,19% per tahun. Ciri khas perikanan Indonesia adalah dominasi perikanan rakyat, artisanal dan skala kecil. Dari satu sisi, ciri ini adalah kekuatan dimana rakyat dalam jumlah besar dapat ikut serta dan terlibat dalam kegiatan ekonomi. Dari sisi lain, ciri ini adalah kelemahan yang menunjukkan ketidakmampuan Indonesia dalam memanfaatkan potensi sumberdaya ikan yang dimilikinya. Indonesia memiliki sekitar armada perikanan, dari jumlah armada perikanan tersebut, sekitar 43% adalah

32 2 Perahu Tanpa Motor (PTM), ( buah), 28% armada perikanan yang menggunakan Perahu Motor Tempel (PMT) ( buah) sedangkan sisanya adalah sekitar 29% atau unit adalah Kapal Motor (KM) (Nikijuluw 2008). Besarnya perkiraan potensi sumberdaya ikan di seluruh perairan Indonesia adalah sekitar ton per tahun dan perairan ZEE Indonesia ton/ tahun. Potensi sumberdaya ikan pelagis di Ambon mencapai ton/tahun, nilai itu terdiri dari ikan pelagis besar ton/tahun dan ikan pelagis kecil ton/tahun. Melihat realitas di atas maka sebenarnya Maluku adalah salah satu provinsi yang mempunyai sektor perikanan dan kelautan yang menimpah, hal ini merupakan kekayaan bagi pengembangan pembangunan. Sampai saat ini penyediaan data potensi sumberdaya perikanan dan kelautan secara berkesinambungan di Indonesia termasuk Maluku masih merupakan permasalahan,hal ini disebabkan oleh belum terfokusnya kegiatan pengkajian stok ikan secara nasional, apalagi regional dan lokal. Secara nasional, laut di provinsi Maluku memiliki peranan penting dan strategis bagi kegiatan perikanan laut nasional, hal ini disebabkan karena sekitar 25% potensi perikanan tangkap Indonesia berada di wilayah perairan laut provinsi Maluku. Potensi tersebut menyebar di tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yaitu : WPP Laut Banda, WPP Laut Arafura dan WPP Laut Seram sampai Teluk Tomini, yang secara kumulatif mengandung potensi sumberdaya ikan sebesar 1,640 juta ton/tahun. Dari keseluruhan potensi sumberdaya ikan seperti disebutkan diatas tingkat pemanfaatannya baru mencapai sekitar 42% (DKP RI 2006). Pada tahun 2001 Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Pusat Penelitian Pengembangan Oceanologi LIPI melakukan suatu riset dan pengkajian terhadap kelimpahan stok ikan di perairan Indonesia. Pengkajian yang dilakukan diseluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia, dan untuk Laut Banda diperoleh hasilnya adalah ton/tahun (Tabel 1)

33 3 Tabel 1 Potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JBT) di Laut Banda No Kelompok Sumberdaya Ikan Laut Banda Potensi (ton) JBT (ton) 1 Pelagis besar Tuna Cakalang Paruh panjang Tongkol Tenggiri Pelagis kecil Demersal Udang Penaeid Udang karang Cumi-cumi Ikan karang TOTAL Ikan hias Sumber : DKP Maluku Hasil kajian tersebut juga menunjukkan bahwa telah terjadi aktifitas lebih tangkap (over fishing) di WPP Laut Banda terutama jenis ikan pelagis kecil, ikan demersal dan cumi cumi, sehingga peluang pengembangan di WPP Laut Banda hanya dapat dilakukan pada sumberdaya perikanan pelagis besar sedangkan sumberdaya ikan pelagis kecil, ikan demersal dan cumi cumi sudah menunjukkan tingkat pemanfaatan yang tinggi atau melampaui potensi lestari. Pengkajian potensi sumberdaya ikan di WPP Laut Seram dan Teluk Tomini menunjukkan tingkat pemanfaatan yang baik kecuali komoditas udang penaeid yang telah melampaui kapasitas atau telah terjadi over fishing sehingga perlu dibatasi aktifitas penangkapannya. Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh daerah memang terdapat keuntungan, tetapi juga sekaligus menjadi beban dan tanggung jawab daerah dalam pengendalian dan pengolahannya, seperti: over eksploitasi, degradasi lingkungan, pencemaran dan keamanan maupun keselamatan pelayaran. Dampak negatif akan timbul, apabila Pemerintah Daerah tidak memiliki persepsi yang tepat terhadap pemanfaatan sumberdaya dan perikanan. Artinya sumberdaya kelautan dan perikanan tidak semata-mata untuk dieksplotasi tetapi juga harus diperhatikan kelestariannya yang tujuannya bukan hanya untuk meningkatkan PAD, tetapi yang penting adalah untuk kesejahteraan nelayan. Hasil yang diperoleh dari kajian potensi tersebut di WPP Laut Seram dan Teluk Tomini ini adalah ton/tahun (DKP Maluku 2007).

34 4 Tabel 2 Potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JBT) di Laut Seram dan Teluk Tomini No Kelompok Sumberdaya Ikan Laut Seram dan Teluk Tomini Potensi (ton) JBT (ton) 1 Pelagis besar Tuna Cakalang Paruh panjang Tongkol Tenggiri Pelagis kecil Demersal Udang Penaeid Udang karang Cumi-cumi Ikan karang TOTAL Ikan hias Sumber: DKP Maluku 2007 Hasil yang diperoleh dari kajian potensi tersebut di WPP Laut Seram dan Teluk Tomini ini adalah ton/tahun (DKP Maluku 2007). Sedangkan WPP Laut Arafura pengkajian yang dilakukan menunjukkan adanya ketersediaan potensi sumberdaya ikan sebesar ton/tahun (Tabel 3). Berdasarkan hasil kajian tersebut dapat dilihat bahwa hanya terdapat peluang untuk pengembangan penangkapan ikan pelagis kecil, sedang untuk sumberdaya ikan lainnya telah mendekati tingkat kejenuhan sehingga memerlukan tindakan pengelolaan secara terbatas. Kegiatan penangkapan ikan di laut akhir-akhir ini semakin berkembang dengan ditandai dengan berkembangnya jumlah kapal serta semakin jauhnya daerah operasi penangkapan, namun juga banyak kapal ikan baik berbendera Indonesia maupun asing yang melakukan pelanggaran dalam aktifitas mereka dalam melakukan operasi penangkapan di perairan Maluku. Aktifitas yang dilakukan oleh armada asing maupun nelayan dari Maluku sangat merugikan nelayan setempat dengan kemampuan teknologi yang terbatas. Kondisi laut di perairan wilayah timur khususnya di perairan Maluku dan sekitarnya memiliki potensi kekayaan besar serta merupakan jalur lalu-lintas kapal-kapal internasional sehingga berpeluang besar terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hukum di laut (DKP Maluku 2005).

35 5 Tabel 3 Potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JBT) di Laut Arafura No Kelompok Sumberdaya Ikan Laut Arafura Potensi (ton) JBT (ton) 1 Pelagis besar Tuna Cakalang Paruh panjang Tongkol Tenggiri Pelagis kecil Demersal Udang Penaeid Udang karang Cumi-cumi Ikan karang TOTAL Ikan hias Sumber: DKP Maluku 2007 Sebagai provinsi kepulauan dengan tiga kawasan laut pulau yang juga sekaligus sebagai WPP, aktifitas usaha penangkapan ikan telah dilaksanakan di ketiga WPP dimaksud dan produksi yang dihasilkan dari usaha penangkapan ikan tahun 2006 adalah sebesar ,2 ton. Jumlah ini baru 29,5% dibanding potensi sumberdaya ikan yang tersedia namun karena ketiga WPP tersebut dikelola juga oleh Provinsi lain. Daerah penangkapan ikan di perairan Indonesia, terkait dengan wilayah pengelolaan perikanan yang dinyatakan dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Wilayah pengelolaan perikanan laut Indonesia tersebut menurut kesepakatan Forum Koordinasi Pengelolaan Penangkapan Sumberdaya Ikan (FKPPS)-Direktorat Jenderal Perikanan, sebanyak 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu : (571) Selat Malaka, Laut Andaman, (572) Samudera Hindia Barat Sumatera dan Selat Sunda, (573) Samudera Hindia Selatan Jawa hingga Nusa Tenggara, (711) Selat Karimata, Laut Natuna, Laut Cina Selatan, (712) Laut Jawa, (713) Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Bali, (714) Laut Banda, (715) Laut Aru, Laut Arafura, Laut Timor, (716) Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram, (717) Laut Sulawesi, Laut Halmahera, dan (718) Samudera Pasific (Komnasjiskanlut, 2008). Perairan provinsi Maluku mencakup WPP 714, WPP 715 dan WPP 716, seperti diperlihatkan pada Gambar 1

36 6 Sumber: KOMNASJISKANLUT (2008) Gambar 1 Peta wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia. Berdasarkan batas wilayah pengelolaan oleh kabupaten/kotaa yaitu 0 4 mil laut dan provinsi yaitu 4 sampai 12 mil laut, diukur dari batas surut terendah, maka luas perairan provinsi Maluku pada wilayah ini adalah ,2 km 2. Pada Tabel 4, dikemukakan luas perairan yang merupakan daerah penangkapann ikan pada kabupaten/kota di Provinsi Maluku. Tabel 4 Luas perairan pada setiap kabupaten/kota di provinsi Maluku hingga 12 mil laut No. Kabupaten 1. Kota Ambon 0-4 mil 1.268,7 2. Kabupaten Malukuu Tengah *) ,0 3. Kabupaten Buru 3.743,0 4. Kabupaten Malukuu Tenggara *) ,0 5. Kabupaten Malukuu Tenggara Barat ,0 Luas perairan (km 2 ) 4-12 mil Jumlah 3.859, , , , , , , , , ,0 Sumber: Data Dan Informasi Spasial Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku (2003) Keterangan: *) Sebelum pemekaran kabupaten Murdiyanto (2007) mengatakan bahwa arah pengembangan IPTEK dan seni dalam perikanan tangkap sangat berkaitan dengan penyelenggaraan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang meliputi sumberdaya alam (ekosistim habitatt dan biota laut) dan sumberdaya manusia. Pengembangan teknologi penangkapann ikan mengarah pada penemuan (inovasi) yang menghasilkan modifikasi, konstruksi

37 7 serta alat dan bahan yang ramah lingkungan (tidak merusak habitat, sumberdaya ikan, efektif, efisien, praktis serta memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan nelayan) Pemanfaatan dan potensi sumberdaya ikan di Provinsi Maluku bertujuan untuk: 1) memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan, 2) meningkatkan penerimaan devisa bagi negara dari ekspor perikanan dan kelautan, 3) meningkatkan kesejahteraan nelayan, 4) meningkatkan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia perikanan, 5) meningkatkan kecukupan gizi masyarakat dari hasil perikanan, 6) meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha, 7) menurunkan tingkat pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan (DKP Maluku 2005). Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan perikanan dan kelautan Maluku sampai tahun 2008 yang adalah sebagai berikut: 1) meningkatkan armada penangkapan sebesar buah yang terdiri dari PTM buah, PMT buah, dan KM 759 buah, 2) penyerapan nelayan perikanan tangkap sebesar orang, 3) produksi perikanan tangkap minimal sebesar ton, 4) ekspor produksi perikanan minimal ton, 5) PAD minimal mencapai Rp 11,4 milyar, 6) meminimalisir tingkat pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan (DKP Maluku, 2005). Armada perikanan tangkap yang terdapat di Maluku masih bersifat tradisional, hal ini disebabkan karena :1) daerah penangkapan (fishing ground) dekat dengan pantai; 2) keterbatasan dana dari nelayan untuk membuat kapal penangkapan; 3) sumberdaya manusia rendah. Teknologi mendesain kapal penangkapan pada daerah ini juga masih bersifat tradisional karena mereka masih mengandalkan kemampuan untuk merancang kapal yang diturunkan secara turuntemurun. Hasil tangkapan utama yang didapatkan dari perairan Maluku adalah jenis ikan pelagis kecil dan pelagis besar serta demersal. Jika ukuran dan dimensi teknologi berubah, maka secara langsung berdampak pada jumlah, jenis, dan ukuran ikan yang tertangkap. Teknologi penangkapan yang dipergunakan di Maluku sebagian besar masih mempergunakan teknologi sederhana, karena masih rendahnya modal usaha yang dimiliki. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang

38 8 seharusnya dikelola oleh nelayan setempat tidak dapat dilakukan secara optimal mengingat keterbatasan jumlah alat tangkap, perahu, dan teknologi yang digunakan masih tradisional, akibatnya sumberdaya ikan yang ada banyak dimanfaatkan oleh nelayan dari luar daerah maupun dari negara lain. Penguasaan dan pengembangan teknologi untuk menghasilkan produk adalah merupakan persyaratan utama untuk membangun suatu industri nasional yang berkelanjutan dan kompetitif sebab itu, pemerintah Indonesia merumuskan empat langkah transfer teknologi menurut BPIS (1989), antara lain: (1) Memanfaatkan teknologi yang ada untuk menghasilkan produk yang tersedia di pasaran dengan menggunakan lisensi teknologi (2) Mengintegrasikan teknologi yang ada untuk mendesain dan menghasilkan produk baru (3) Mengembangkan teknologi untuk menciptakan teknologi baru yang diarahkan pada hasil desain dan produk masa depan (4) Melaksanakan riset dasar skala besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Permodelan adalah terjemahan bebas dari istilah modelling dan dari terminologi penelitian operasional didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual (Eriyanto, 1988). Selanjutnya dikatakan pula bahwa model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung secara kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Rau dan Wooten (1980) memandang bahwa model merupakan suatu penampakan dari suatu sistem yang sebenarnya. Model-model suatu ekosistem umumnya lebih sederhana dari kondisi yang sebenarnya. Proses kegiatan yang menggunakan pendekatan sistem sebagai kerangka bahasan dikenal dengan istilah modelling. Nasenda dan Anwar (1985) menyatakan bahwa penggunaan modelling memiliki tujuan antara lain: 1) Menganalisa dan mengidentifikasi pola hubungan antara input-output dengan parameter kualitas lingkungan yang diamati

39 9 2) Menyusun suatu bentuk strategi optimal dalam sistem pengendaliannya 3) Mengidentifikasi kondisi-kondisi mana suatu alternatif kebijakan dapat diterima. Menurut Siswosudarmo et al. (2001), model dinamik adalah kumpulan dari variabel-variabel yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya dalam suatu perubahan kurun waktu yang tidak ditentukan. Selanjutnya dikatakan pula bahwa setiap variabel berkorespondensi dengan suatu besaran yang nyata atau besaran yang dibuat sendiri dan dapat mewakili nilai numerik serta sudah merupakan bagian dari dirinya. Pengembangan sub sektor perikanan tangkap yang baik dan ideal harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan daya dukung dan kebutuhan optimal dari setiap komponen atau sub-sistemnya. Oleh karena itu, untuk mengembangkan sub sektor perikanan tangkap di perairan Maluku tersebut secara optimal harus mengacu pada pola yang tepat, jelas dan komprehensip. Selanjutnya, berdasarkan pola yang diperoleh ini diharapkan dapat dirumuskan suatu model untuk pengembangan perikanan tangkap yang optimal agar pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara berkelanjutan dengan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Sumberdaya ikan di perairan Maluku merupakan aset yang harus dimanfaatkan secara bijaksana. Meskipun sumberdaya tersebut bersifat dapat pulih (renewable), namun tingkat kecepatan pemulihannya dapat saja tidak seimbang dengan laju pemanfaatannya. Untuk itu, dalam memanfaatkan sumber daya tersebut perlu dikaji faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadapnya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut terutama adalah aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan berbagai macam alat penangkapan ikan. Armada perikanan tangkap di Maluku pada tahun 2007 didominasi oleh perahu tanpa motor (PTM) sebanyak unit; perahu motor tempel (PMT) 3781 unit; kapal motor (KM) < 5GT 533 unit; GT 276 unit; GT 34 unit; GT 16 unit, serta >200 GT sebanyak 20 unit (DKP Maluku 2007). Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku perlu dikembangkan, hal ini didasarkan pada letak

40 10 geografis Provinsi Maluku yang sebagian besar wilayahnya adalah laut mengandung kekayaan sumberdaya hayati laut yang cukup banyak, baik dari keanekaragamannya maupun jumlahnya hingga saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal karena kondisi armada perikanan yang masih didominasi oleh perahu tanpa motor. Teknologi alat penangkapan ikan telah mengalami perkembangan dan menjadi penting seiring dengan meningkatnya kegiatan dan usaha manusia dalam memajukkan industri perikanan di bidang usaha penangkapan ikan. Setiap pengoperasian unit penangkapan ikan akan berdampak baik terhadap sumberdaya ikan yang ditangkap maupun lingkungannya, sehingga perlu dikaji sampai sejauh mana dampaknya dan bagaimana meminimalkan dampaknya. Praktisi teknologi penangkapan ikan sudah memulai mengembangkan alat tangkap yang dimaksud, baik dengan melakukan modifikasi atau membuat rancangan alat tangkap yang ramah lingkungan. Disamping teknologi itu sendiri, adalah penting bagi pemanfaatan sumberdaya ikan untuk memahami pengelolaan penangkapan ikan yang meliputi perencanaan, pengoperasian, dan optimalisasi pemanfaatan ikan. Rekayasa alat tangkap harus mempertimbangkan aspek-aspek kondisi sumberdaya ikan yang ada, habitat ikan, peraturan perundang-undangan, dan optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan agar supaya teknologi yang diciptakan tidak mubazir atau bahkan merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya. Perairan Maluku memiliki potensi sumberdaya perikanan khususnya ikan pelagis kecil dan besar yang cukup besar, namun diduga tingkat pemanfaatannya masih belum optimal. Pemanfaatan dan potensi sumberdaya ikan di Provinsi Maluku bertujuan untuk: 1) memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan, 2) meningkatkan penerimaan devisa bagi negara dari ekspor perikanan dan kelautan, 3) meningkatkan kesejahteraan nelayan, 4) meningkatkan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia perikanan, 5) meningkatkan kecukupan gizi masyarakat dari hasil perikanan, 6) meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha, 7) menurunkan tingkat pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan (DKP Maluku 2005).

41 11 Upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku membutuhkan identifikasi permasalahaan serta pemecahannya. Hal ini dapat dilakukan melalui proses pendekatan penyusunan model pengembangan perikanan pelagis yang merupakan salah satu dasar pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Maluku. 1.2 Perumusan Masalah Sumberdaya perikanan tangkap di perairan Maluku memiliki potensi yang cukup besar namun pemanfatannya belum dilakukan secara optimal. Hal ini berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia dan kemampuan manejerial yang relatif rendah, keterbatasan modal sehingga menyebabkan produktifitas nelayan dan produktifitas alat tangkap rendah. Agar pelaksanaan pengembangan perikanan pelagis di perairan ini dapat berjalan efektif, efisien, dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan kajian tentang model pengembangan perikanan pelagis dan desain alat tangkap yang lebih komprehensif. Hal ini penting dilakukan agar pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan secara berkelanjutan. Teknologi yang dipergunakan pada armada perikanan tangkap yang ada di Maluku sangat bervariasi, hal ini tergantung pada alat tangkap serta penggunaannya. Tangkai pancing (joran) yang digunakan pada penangkapan dengan alat tangkap huhate terbuat dari bambu, tetapi sekarang ini bambu sulit ditemukan di alam akibat pembangunan yang terus dilakukan oleh manusia. Palka sebagai tempat penyimpanan hasil tangkapan pada kapal penangkapan ikan belum dibuat secara baik sehingga hasil tangkapan sulit untuk diekspor, padahal permintaan skipjack loin sangat dibutuhkan di pasaran internasional. Teknologi penangkapan dengan alat tangkap pancing tonda perlu diperbaharui mengingat permintaan ikan tuna dipasaran internasional cukup tinggi. Teknologi yang digunakan pada alat tangkap pukat cincin (purse seine) belum efektif sehingga sering terjadi kegagalan pada saat operasi penangkapan. Armada pole and line yang beroperasi di perairan Maluku masih belum menggunakan teknologi yang lebih modern untuk menemukan gerombolan ikan seperti Global Possition System (GPS), radar, dan lain-lain, dan masih menggunakan cara-cara tradisional untuk menemukan gerombolan ikan. Alat tangkap pancing tonda (troll line), nelayan belum menggunakan cool box yang

42 12 baik dan efisien sesuai dengan ukuran kapal/perahu yang gunakan untuk menyimpan hasil tangkapan. Berkaitan dengan program pemerintah bidang perikanan tangkap khususnya di Provinsi Maluku, model pengembangan perikanan pelagis di perairan ini menghadapi kendala dan permasalahaan utama yang perlu dianalisis dan dijawab. Secara spesifik permasalahaan pokok dalam pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku adalah: (1) Bagaimana teknologi alat perikanan tangkap di Provinsi Maluku (2) Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan perikanan pelagis di Maluku (3) Bagaimana fasilitas-fasilitas pendukung perikanan tangkap. Berdasarkan potensi sumberdaya ikan serta armada perikanan tangkap yang ada diharapkan akan menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang dapat menguntungkan bagi pembangunan perekonomian di daerah Maluku, namun masih terdapat beberapa kendala dalam permasalahaan perikanan tangkap yang antara lain : 1) terbatasnya armada penangkapan, 2) rendahnya penguasaan teknologi, 3) jangkauan operasi penangkapan ikan dekat dengan pantai, 4) sumberdaya manusia terbatas, 5) kurang kemiteraan, 6) pendapatan nelayan rendah, 7) kurangnya modal, 8) implementasi kebijakan-kebijakan dari pemerintah kurang tepat sasaran, dan 9) desain teknologi alat tangkap sederhana. Memperhatikan permasalahaan yang dihadapi maka pembangunan perikanan tangkap di Maluku perlu ditingkatkan mengingat sektor perikanan merupakan primadona di ibu kota seribu pulau ini karena ini adalah merupakan bagian integral untuk meningkatkan perekonomian pendapatan daerah (PAD) secara terpadu dan tepat sasaran. Salah satu cara atau strategi yang sangat penting dilakukan adalah dengan membuat model pengembangan perikanan pelagis di daerah ini. Pada prinsipnya model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku memerlukan suatu acuan yang komprehensif dan jelas, oleh karena itu maka penulis merasa sangat penting untuk meneliti sehingga sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan permasalahaan yang ada, maka perlu dilakukan pengkajian yang sistematis untuk mengetahui hal sebagai berikut: 1) apakah sumberdaya ikan

43 13 pelagis kecil maupun besar di perairan Maluku sudah melebihi batas MSY atau belum?, 2) jenis teknologi penangkapan tepat guna yang bagaimana yang tepat dikembangkan dalam perikanan pelagis, 3) apakah jenis dan jumlah alat tangkap ikan pelagis sudah optimal?, 4) apakah penggunaan teknologi dalam penangkapan ikan pelagis dengan kapal huhate, pancing tonda, pukat cincin perlu diganti?, 5) apakah strategi pengembangan perikanan pelagis sudah baik?, dan 6) apakah model pengembangan perikanan pelagis sudah ada?. Berdasarkan uraian di atas, pendugaan terhadap potensi sumberdaya ikan pelagis seperti tingkat pemanfaatan dan potensi lestari perlu dilakukan. Unit penangkapan ikan pelagis perlu dievaluasi berdasarkan pertimbangan berbagai aspek seperti aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Evaluasi tersebut diperlukan untuk menentukan unit penangkapan ikan unggulan. Dengan diketahuinya besar potensi sumberdaya, unit penangkapan tepat guna dan alokasinya maka model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku dapat diformulasikan dan disesuaikan dengan kondisi setempat. 1.3 Tujuan Penelitian (1) Mengkaji tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Maluku (2) Menentukan jenis teknologi tepat guna (3) Menentukan alokasi optimal unit penangkapan ikan tepat guna (4) Modifikasi prototipe unit penangkapan ikan tepat guna (5) Mengkaji strategi pengembangan teknologi alat penangkapan ikan (6) Menyusun model konseptual pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi : 1) bahan dan informasi untuk pengembangan IPTEK dalam bidang perikanan tangkap, 2) pemerintah, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota di Maluku sebagai bahan pertimbangan penentuan kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Maluku, 3) peneliti dan akademisi, diharapkan hasil studi ini

44 14 dapat merupakan bahan referensi bagi pengembangan perikanan pelagis, 4) bahan masukan pengembangan industri perikanan tangkap di daerah Maluku. 1.5 Kerangka Pemikiran Potensi sumberdaya perikanan di perairan Maluku belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal. Potensi sumberdaya perikanan di perairan Maluku sebesar juta ton/tahun, tingkat pemanfaatannya mencapai 42% (DKP Maluku 2007). Belum optimalnya pemanfaatan potensi ini disebabkan karena minimnya sarana dan prasarana penangkapan yang tersedia, kurangnya modal usaha, sumberdaya manusia rendah, penguasaan teknologi masih sederhana, belum terciptanya kemitraan, jangkauan operasi armada penangkapan ikan dekat pantai, peran serta pemerintah daerah masih kurang, pendapatan nelayan rendah serta kebijakan pemerintah dalam menerapkan program dan strategi dinilai kurang tepat sasaran. Kegiatan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan semakin meningkat perannya dalam kegiatan usaha penangkapan ikan. Untuk itu, diperlukan adanya pengkajian secara menyeluruh, baik aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Aspek biologi terkait erat dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan. Aspek teknis berhubungan erat dengan teknologi dan armada penangkapan. Aspek sosial terkait erat dengan tenaga kerja (nelayan) dan kesejahteraan serta kemungkinan adanya dampak negatif yang diderita oleh nelayan. Sedangkan aspek ekonomi yang menyangkut efektivitas dan efisiensi biaya operasional yang berdampak pada pendapatan usaha nelayan. Secara teoritis kerangka pemikiran dirancang untuk melihat perikanan tangkap saat ini, dan berdasarkan kinerja yang ada dapat dilakukan berbagai strategi untuk perbaikan di masa depan atau berbagai alternatif pemecahannya. Secara teknis operasioanal, kerangka penelitian dibangun berdasarkan pada issu pengelolaan perikanan di wilayah penelitian. Untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, maka dibutuhkan strategi pengelolaan perikanan yang tepat. Dilihat dari perspektif pengelolaan keberlanjutannya, belum ada kajian komprehensif yang sekaligus mencakup berbagai dimensi berkelanjutan yaitu dimensi biologi, ekonomi, sosial, teknologi dan pemasaran, padahal kondisi

45 15 dimensi tersebut dapat menggambarkan status keberlanjutan perikanan tangkap dan dijadikan pertimbangan pembangunan perikanan ke depan. Kondisi perikanan yang bersifat kompleks di perairan Maluku, maka dibutuhkan suatu pendekatan sistem agar dapat mengkaji berbagai dimensi yang terkait secara komprehensif dan terintegrasi. Kajian dibatasi pada perikanan pelagis dengan tujuan untuk mengetahui potensi sumberdaya ikan pelagis, teknologi tepat guna yang akan diterapkan dan jumlah alokasi unit penangkapan yang optimum serta memodifikasi strategi pengembangannya. Potensi sumberdaya diperoleh melalui analisis Schaefer dan outputnya dapat digunakan untuk menentukan status pemanfaatan dan peluang pengembangan sumberdaya ikan pelagis. Pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis dibutuhkan teknologi penangkapan tepat guna dan dianalisis melalui pendekatan teknologi, biologi dan sosial ekonomi dengan menerapkan metode multi criteria analysis (MCA). Salah satu karakterisitik sumberdaya ikan pelagis kecil adalah milik bersama (common property), yang berimplikasi terhadap tingkat pemanfaatan yang berlebih (overfishing), oleh karena itu teknologi penangkapan tepat guna yang sudah diperoleh harus diatur alokasi optimumnya dan untuk tujuan tersebut dapat diterapkan analisis linear goal programming (LGP). Langkah selanjutnya untuk mewujudkan perikanan yang berkelanjutan adalah menentukan kebijakan strategis untuk itu, dibutuhkan pendekatan sistem, faktor-faktor yang berpengaruh, yang selanjutnya dianalisis dengan Analitical Hierarchy Process (AHP). Hasil dari analisis ini akan digunakan untuk membuat/merancang suatu model konseptual yang merupakan gambaran hasil kajian kondisi saat ini diharapkan dapat dirumuskan kedalam suatu bentuk kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Maluku pada perikanan tangkap yang bertanggungjawab dan berkesinambungan secara konsisten. Kerangka pikir dalam menyusun kebijakan model pengembangan perikanan pelagis dan desain alat tangkap di perairan Maluku disajikan pada Gambar 2, sedangkan alur tahapan penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.

46 16 Kebijakan Armada Perikanan Tangkap saat ini Masalah Terbatasnya armada penangkapan ikan Kurangnya modal Jangkauan operasi daerah penangkapan dekat pantai Sumberdaya manusia terbatas Rendahnya penguasaan teknologi Kurangnya kemitraan Implementasi kebijakan pemerintah kurang tepat sasaran Pendapatan nelayan rendah Desain teknologi alat tangkap masih sederhana Analisis : (1) Potensi Sumberdaya Ikan Produksi Upaya penangkapan (2) Kajian teknologi tepat guna (3) Kajian alokasi unit penangkapan (4) Modifikasi prototipe unit penangkapan ikan (5) Strategi pengembangan perikanan pelagis Model Pengembangan Perikanan Pelagis di Perairan Maluku Sumber: data penelitian 2009 Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian.

47 17 ARMADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN MALUKU Unit penangkapan 1 Pukat cincin (purse seine) 2 Pukat pantai (beach seine) 3 Bagan (liftnet) 4 Huhate (pole and line) 5 Pancing tonda (troll line) 6 Jaring insang permukaan (drift gillnet) Aspek Biologi : -Hasil tangkapan -Komposisi jenis -Musim -Fishing ground Teknologi tepat guna Alokasi Unit penangkapan tepat guna Modifikasi Prototipe unit penangkapan ikan tepat guna Strategi model pengembangan perikanan pelagis MSY dan CCRF CCRF Teknik skoring LGP Deskriptif komparatif SWOT AHP

48 18 Rekomendasi Model Pengembangan Perikanan Pelagis di perairan Maluku Sumber: data penelitian 2009 Gambar 3 Diagram alur tahapan penelitian.

49 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Unit Penangkapan Ikan Armada penangkapan merupakan sekelompok kapal-kapal yang teroganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan (Dirjen Perikanan Tangkap 2002), dengan kata lain armada perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah penangkapan (fishing ground). Unit penangkapan merupakan suatu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari perahu/kapal penangkap, alat tangkap (Dirjen Perikanan Tangkap 2002). Monintja (2001) menyatakan bahwa suatu armada penangkapan terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan Alat tangkap Alat tangkap merupakan sarana dan perlengkapan untuk menangkap ikan. Berdasarkan Statistik Kelautan dan Perikanan Indonesia Tahun 2005, alat penangkapan ikan (API) di Indonesia dikelompokkan kedalam beberapa jenis yaitu: pukat tarik (trawl), pukat kantong (seine net), pukat cincin (purse seine), jaring angkat (liftnet), pancing (hook and lines), perangkap, alat pengumpul dan penangkap, dan alat lainnya (DKP RI 2006). Pengelompokkan alat tangkap tersebut mengindikasikan bahwa terdapat berbagai tipe alat tangkap ikan (API) yang dioperasikan di seluruh Indonesia. Berdasarkan Statistik Perikanan Provinsi Maluku tahun 2006, alat tangkap yang dioperasikan di perairan Maluku dapat dikelompokkan kedalam 12 jenis alat tangkap ikan. Jenis dan jumlah alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan di Maluku bervariasi sesuai dengan sasaran yang menjadi tujuan penangkapan. Beberapa macam alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan di perairan Maluku adalah jaring insang (gillnet), pukat pantai (beach seine), bagan apung (liftnet), huhate (pole and line), pukat cincin (purse seine), pancing tonda (troll line), pancing tangan (handline) dan alat penangkapan ikan lainnya. Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2002, penggunaan alat tangkap oleh nelayan di provinsi

50 20 Maluku mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena dampak kerusuhan yang terjadi di daerah ini. Jumlah alat tangkap ikan di Provinsi Maluku pada tahun 2006 adalah buah dan pada tahun 2007 adalah buah. Perkembangan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Provinsi Maluku dapat dilihat pada Tabel 5 Tabel 5 Perkembangan alat tangkap di Provinsi Maluku tahun No Jenis alat Tahun tangkap Pukat udang Payang Pukat tarik Pukat pantai Pukat cincin Jaring insang 7 Bagan Pancing tonda 9 Huhate Rawai Perangkap Jumlah Sumber : DKP Maluku (2007) Alat tangkap ikan pelagis kecil (1) Pukat cincin (purse seine) Pukat cincin (purse seine) adalah alat tangkap ikan yang terbuat dari jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang tanpa kantong dengan cincin di bagian bawahnya dan digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan. Disebut pukat cincin karena dilengkapi dengan cincin untuk menarik tali cincin (purse line) saat operasi penangkapan dilakukan. Pukat cincin merupakan alat tangkap yang cukup banyak dioperasikan di perairan Maluku untuk penangkapan jenis-jenis ikan pelagis. Jenis alat ini tersebar disebelah timur dan barat pulau Ambon, daerah penangkapannya adalah sekitar laut Seram, laut Banda. Pukat cincin (purse seine) terdiri dari beberapa bagian, yaitu sayap (wing), perut (body), bahu (shoulder), dan kantong (bunt). Adapun Gambar kapal pukat cincin yang beroperasi di perairan Maluku dapat dilihat pada Gambar 4

51 21 Gambar 4 Kapal pukat cincinn (purse seine) di Maluku Pukat cincin yang digunakan oleh nelayan di perairan Maluku, berdasarkan konstruksinya terdiri dari pukat cincin tipe satu kapal. Operasi penangkapann ikan dengan menggunakann pukat cincin, bila mengejar gerombolan ikan terdirii dari beberapa tahap sebagai berikut: 1) menemukan gerombolan ikan, 2) pelingkaran jaring, 3) penarikan tali kolor; 4) penarikan tubuh jaring; 5) pengambilan hasil tangkapan. Di perairan Maluku satu unit pukat cincin dengan kapasitas 10 sampai 15 GT jumlah awak berkisar 16 sampai 25 orang. (2) Bagan apung (lift net) Alat tangkap bagan merupakan salah satu jaring angkat, yang dapat dibedakan atas bagan tetap dan bagan perahu atau bagan apung. Penangkapan dengan alat ini dilakukan padaa malam hari dengann bantuan cahaya (lighting fishing) sebagai penarik ikan agar dapat berkumpul pada suatu areal tertentu sehingga dengan mudah ditangkap. Kegiatan penangkapan dilakukan dengan menyalakan lampu pada sekitar pukul 18.00, kemudian menurunkan jaring yang diatur dengan penarik roller. Penangkapan dilakukan dengan menyalakan lampu di sisi kiri dan kanan untuk menarik gerombolan ikan. Setelah ikan terkumpul, maka cahaya lampu disisi tengah bagan dikurangi dengann cara memadamkan lampu untuk mengurangi pantulan cahaya ke permukaan air, dan jaring diturunkan, kemudian lampu dinyalakann lagi untuk menarik ikan berkumpul di dalam jaring untuk dilakukan penangkapan. Bersamaan dengan itu jaring ditarik perlahan-lahann agar ikan tetap berkumpul dibagian tengah bagan dan dipindahkan dengan scoop net ke dalam wadah penampungann sementara (gogona) untuk penangkapann ikan cakalang dengan menggunakan kapal huhate (pole and line). Berdasarkan cara pengoperasiannya, bagan apung di perairan Maluku dikelompokkan dalam jaring angkat (liftnet), dan berdasarkan konstruksinya terdiri dari bagan perahu (boat

52 22 liftnet) dan bagan rakit (raft liftnet). Bagan yang dioperasikan perairan Maluku terlihat pada Gambar 5 oleh nelayan di Gambar 5 Bagan rakit (raft liftnet) dan bagan perahu perairan Maluku (boat liftnet) di (3) Pukat pantai (beach seine) Pukat pantai (beach seine) adalah salah satu jenis alat tangkap yang dioperasikan di perairan pantai. Di Maluku, pukat pantai disebut dengan jaring redi, tujuan utama penangkapannya adalah jenis-jenis ikan yang dapat dijadikan sebagai umpan hidup pada perikanan pole and line. Alat tangkap ini terdiri dari dua buah sayap yang panjangnya sama dan variasi ukuran umumnya sama tergantungg pada lokasi penangkapan. Bahan jaring pukat pantai terbuat dari bahan nylon dan konstruksi pukat pantai antaraa lain : bagian tengah (bunt), bagian utama, bagian pinggir jaring (wing), pepetan (selvedge), pelampung (float), tali pelampung, tali ris atas, pemberat (sinker), tali pemberat (sinker line), tali ris bawah dan tali penarik. Alat tangkap ini biasanya dioperasikan di sekitar bakau dengan dasar perairan pasir dan lumpur. Alat tangkap inii termasuk salah satu alat tangkap yang tidak ramah lingkungan karena menangkap semua jenis ukuran ikan. Ukuran mata jaring (mesh size) pada alat tangkap pukat pantai ini adalah 0,25 inci dan 0,5 inci. Operasi penangkapann dengan menggunakan pukat pantai membutuhkan nelayan sebanyak orang, dengann pembagian tugas sebagai berikut: 1) nakhoda (fishing master) 1 orang yang tugasnya memberi komando dalam operasi, 2) nelayan perahu lampu sebanyak 2-3 orang yang bertugas untuk menggiringg ikan ke area penangkapan, 3) nelayan biasa (masnait) sebanyak 7 sampai 12 orang

53 23 yang bertugas untuk menarik jaring. Gambar kapal dan alat tangkap pukat pantai dapat kita lihat pada Gambar 6 Gambar 6 Alat tangkap pukat pantai (beach seine) di perairan Maluku Operasi penangkapan pada waktu siang hari dilakukan dengan cara melingkari areal tertentu yang diduga merupakan tempat beradanya kelompok ikan dengan jaring pada daerah yang agak jauh dari garis pantai (100 sampai 200 meter), sedangkan pada malam hari operasi penangkapan dibantu dengan perahu lampu sebagai pengumpul ikan. Penangkapan ikan dengan pukat pantai dilakukan pada daerah yang terdapat komunitas bakau dan aliran sungai sehingga dapat dikategorikan sebagai daerah estuaria dengan dasar perairannya lumpur, lumpur berpasir dan berpasir. Musim penangkapan terbaik terjadi pada musim barat (Oktober sampai April) dimana nelayan cenderung untuk melaut, sedangkann pada musim timur (Mei sampai September) terjadi ombak dan gelombang. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis-jenis ikan yang dominan tertangkap oleh pukat pantai terdiri dari: ikan teri (Stolephorus sp), tembang (Sardinella sp), selar (Selaroides spp), serta ikan pelagis kecil lainnya. Sistem pembagian hasil pada unit penangkapan pukat pantai di Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah adalah pembagian hasil langsung yaitu 50% : 50% % Alat tangkap ikan pelagis besar (1) Jaring insang permukaan (drift gillnet) Jaring insang berbentuk empat persegi panjang, ukuran mata jaring sama pada seluruh tubuh jaring, lebar jaring lebih pendek dari pada ukuran panjang. Alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang pasif. Jumlah pemberat pada jaring insang permukaan lebih sedikit dan ringan bila dibandingkan dengan pelampung,

54 24 sehingga terbentuk dua gaya yang berlawanan arah pada tubuh jaring yaitu gaya apung lebih besar dari gaya tenggelam, setelah jaring ditaburkan selama 3 sampai 4 jam, kemudian dilakukan penarikan. Tertangkapnya ikan-ikan dengan gillnet ialah dengan cara ikan-ikan tersebut terjerat pada mata jaring ataupun terbelit pada tubuh jaring. Tujuan tangkap dengan jaring insang permukaan yang berukuran mata jaring 4,0 sampai 7,0 inchi di perairan Maluku umumnya terdiri dari: ikan tongkol (Euthynnus affinis), cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna (Thunnus albacares), layar (Isthioporus orientalis), lemadang (Coryphaena hyppurus), dan lain sebagainya. (2) Huhate (pole and line) Huhate (pole and line) adalah alat tangkap ikan yang sangat sederhana, bagian-bagiannya terdiri dari tangkai pancing (joran), tali pancing kait dan umpan buatan. Joran pancing terbuat dari bambu berukuran panjang 3 sampai 4 m dengan diameter 2,5 sampai 3,0 cm. Tali pancing terbuat dari tali senar monofilamen diameter 3,0 mm, No 800 dari bahan polyamida yang panjangnya kurang lebih sama dengan panjang tiang pancing. Kail terbuat dari baja putih tanpa pengait pada mata pancing dan umpan buatan terbuat dari bulu ayam, bulu kambing dan serat plastik. Di Maluku, kapal huhate dapat digolongkan dalam dua jenis, yakni rurehe dan motor ikan. Rurehe adalah kapal huhate berukuran kecil yang menggunakan sistem motor tempel (outboard engine system) dimana ruang para pemancing terdapat di bagian buritan kapal (Gambar 7), sedangkan motor ikan adalah kapal huhate berukuran lebih besar yang menggunakan motor dalam (inboard engine system) dan ruang para pemancing berada di bagian haluan kapal (Gambar 8) (a) Ruang Palka Umpan Jangkar Palka Ikan Palka BBM (b) Ruang ABK Ruang Pemancingan Mesin Gambar 7 Kapal huhate dengan sistem motor tempel (rurehe). (a) pandangan samping, (b) pandangan atas

55 25 Jumlah nelayann yang terdapat dalam satu rurehe antara 7 sampai 8 orang yang terdiri dari satu orang tanase (fishing master), 2 orang juru mesin dan 4 sampai 5 nelayan pemancing, sedangkan jumlah nelayan pada satu kapal huhate antara 11 sampai 25 orang yang terdiri dari : satu orang fishing master, satu orang jurumudi, satu orang jurumesin, satu orang oliman, satu orang penawur umpan hidup (boi-boi) dan 8 sampai 14 nelayan pemancing Gambar 8 Kapal huhate yang beroperasi di perairan Maluku Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang biasanya digunakan sebagai umpan hidup adalah ikan teri (Stolephorus sp.), ikan kembung (Rastrelligerr spp.) dan ikan layang (Decapterus sp.), ikan tembang (Sardinella sp.) dan ikan pisang-pisang (Caesio spp.) yang banyak terdapat di Maluku. (3) Pancing tonda (troll line) Pancing tonda (troll line) adalah alat tangkap ikan yang terdiri dari tali, kail, umpan dan penggulung tali. Untuk tali, awalnya nelayan pancing tonda di Maluku menggunakan tali yang terbuat dari bahan manila henep berdiameter 2 sampai 3 mm, tetapi sekarang mereka telah menggunakan senar monofilamen yang terbuat dari bahan polyamida berdiameter 2,0 mm. Alat pancing tonda dalam operasi penangkapan ikan diseret atau ditonda (trolled) dimana posisi alat tersebut selalu berada di belakang kapal/perahu. Umpan buatan telah mengalami perubahan, awalnya terbuat dari bahan bulu ayam, bulu itik, kemudian setelah beredarnya serat-seratt plastik di pasaran, nelayan menggunakannya sebagai bahan untuk membuat umpan buatan. Keadaan ini terus berkembang dengan diciptakannya umpan buatan berbentuk ikan, udang atau cumi-cum yang terbuat dari bahan

56 26 kayu, plastik atau dari bahan fiberglass. Gulungan tali juga mengalami perubahan terutama pada bahannya, dimana sebelumnya nelayan membuatnya dari bahan kayu, tetapi sekarang diganti dengan bahan dari fiberglass. Perubahan yang dilakukan nelayan terhadap desain teknologi alat tangkap sangatlah penting mengingat teknologi saat ini berkembang terus dari hari ke hari dengan tetap memperhatikan dampak yang ditimbulkan akibat penggunaan teknologi tersebut. Perubahan ini juga didasari dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Gambar kapal pancing tonda dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Kapal pancing tonda yang beroperasi di perairan Maluku Beberapa hal positip dari penggunaann alat pancing dalam penangkapann ikan (Ayodhyoa 1981), adalah : 1) strukturnya tidak rumit, 2) dengan modal ukecil usaha dapat dijalankan, 3) syarat daerah penangkapannya dapat memilih dengan bebas, 4) pengaruh cuaca dan keadaan laut relatif kecil, dan 5) ikan yang tertangkap seekor demi seekor. Bentuk umpan buatan yang dibuat oleh nelayan menyerupai 1) ikan tongkol, 2) layang, 3) terbang, dan 4) cumi-cumi. merupakan upayaa atau Tingginya teknologi umpan buatan yang dimiliki nelayan tersebut alternatif untuk: 1) menyesuaikan umpan buatan yang digunakan oleh nelayan dengan kesukaan makan ikan tuna terhadap jenis ikan dimangsa yang terdapat di daerah penangkapan, 2) mahalnya jenis umpan buatan yang tersedia di pasaran lokal yakni sebanding dengan pendapatan rata-rata usaha penangkapan.

57 Gambar 10 Umpan buatan menyerupai (1) ikan tongkol, (2) ikan layang, (3) ikan terbang, (4) cumi-cum Perahu/kapal penangkapp ikan Kapal ikan adalah kapal yang digunakan untuk usaha mengumpulkann dan menangkap sumberdaya perairan atau kegiatan yang berhubungan dengan penelitian, kontrol, survey dan sebagainya (Boxton 1957). Pengertian kapal yang disebutkan oleh Iskandar dan Novita (1997) yang diacu oleh Nanda (2004) adalah suatu bentuk bangunan yang dapat terapung dan berfungsi sebagai wadah atau tempat untuk melakukan aktifitas dan merupakan sarana transportasi. Aktifitas yang dilakukan oleh sebuah kapal ikan sangat berbeda dengan kapal-kapal perbedaan dalam mendesain konstruksi kapal tersebut. Sebuah kapal ikan dirancang dengan melihat jangkauan operasinya, jenis ikan yang akan ditangkap, ukuran alat lainnya. Fungsi atau peruntukann sebuah kapal ikan akan menunjukkan tangkap serta tingkah laku ikan target penangkapan. Kapal ikan harus memiliki kapasitas muat yang memadai serta mempunyai fasilitas yang cukup antara lain: palka, ruang pendingin, pembekuan dan penyimpann es. Komponen inilah yang membedakan kapal ikan dengan kapal lainnya dan komponen inilah yang dapat berpengaruh terhadap suatu desain konstruksi kapal ikan. (Nomura dan Yamazaki 1977; Fyson 1985) ). Semua kapal yang beroperasi di perairan Indonesia harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh Departemen Perhubungan laut, baik itu kapal barang, kapal ikan, kapal penumpang, dan lain-lain. Persyaratan yang telah ditetapkan bagi setiap kapal yang telah beroperasi sesuai dengan kegiatannnya masing- masing digambarkan dengan model/desain kapal sesuai kebutuhan. Beberapa

58 28 persyaratan yang harus ditaati oleh kapal ikan yang walaupun penggunaannya tidak sama dengan kapal lainnya, seperti: kemampuan berlayar yang cukup aman dalam kondisi apapun, memiliki bentuk yang memberikan gambaran kestabilan dan daya apung yang cukup efisien hal ini dilihat dari ukuran, tenaga, biaya, produk dan tujuan penggunaannya. Persyaratan ini semuanya harus dipenuhi sebelum desain dasar dimulai atau ditentukan guna perencanaan kapal yang layak laut (Brown 1957). Pada umumnya kategori dan ukuran kapal/perahu di Indonesia berdasarkan Statisti Kelautan dan Perikanan Tahun 2005 terdiri dari 3 kategori utama (DKP RI, 2006) yaitu: (1) Perahu Tanpa Motor, (2) Motor Tempel, dan (3) Motor Tempel, yang terbagi menurut ukuran GT yaitu: ukuran,<5gt, 5-10GT, 10-20GT, 20-30GT, 30-50GT, GT, GT, dan >200GT. Pengelompokkan kategori kapal tersebut tentunya didasarkan pada tenaga penggerak yang digunakan. Fungsi kapal perikanan seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 meliputi: (1) kapal penangkap ikan, (2) kapal pengangkut ikan, (3) kapal pengolah ikan, (4) kapal latih perikanan, (5) kapal penelitian/eksplorasi perikanan, dan (6) kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan. Jumlah armada penangkapan ikan di Maluku untuk tahun 2007 secara keseluruhan tercatat sebanyak buah, yang terdiri dari perahu tanpa motor (PTM) , perahu motor tempel (PMT) buah, dan kapal motor (KM) buah. Jika dibandingkan dengan Tahun 2006 sebesar buah maka untuk Tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar buah atau 11,58 %. Namun, armada penangkapan di Maluku masih didominasi oleh perahu berukuran kecil yaitu perahu tanpa motor (PTM), yang mencakup jukung, perahu papan kecil, sedang dan besar. Jumlah armada penangkapan ikan PTM rata-rata mencapai 90% dari total keseluruhan armada penangkapan, sedangkan selebihnya merupakan perahu tanpa motor (PMT) 7,96%, dan kapal motor (KM) 2,34% (DKP Maluku 2006). Perkembangan jumlah armada terlihat mengalami penurunan pada Tahun 2000 dan Tahun Hal ini disebabkan akibat dampak kerusuhan sosial Maluku yang terjadi pada saat itu, akan tetapi setelah itu pada Tahun 2002 sampai Tahun 2007 jumlah armada penangkapan mulai meningkat

59 29 secara signifikan. Secara lengkap ukuran kapal yang digunakan masyarakat nelayan di perairan Maluku dapat dilihat pada Tabel 6 Tabel 6 Jumlah perahu/kapal perikanan menurut jenis/ukuran di Maluku tahun Kategori Besarnya Usaha Perahu Tanpa Motor Perahu Kapal Motor Tahun Jumlah Jukung Perahu Papan Motor < >200 Kecil Sedang Besar Tempel GT GT GT GT GT GT GT GT Sumber : DKP Maluku (2007) Nelayan Nelayan merupakan salah satu faktor penting dari unit penangkapan ikan yang sangat berperan dalam mengadakan kegiatan penangkapan ikan. Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 mendefinisikan nelayan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan waktu yang dialokasikan untuk melakukan operasi penangkapan ikan, maka nelayan dapat diklasifikasikan dalam: 1) nelayan penuh; nelayan yang seluruh waktunya dialokasikan untuk kegiatan penangkapan ikan, 2) nelayan sambilan utama; nelayan yang sebagian waktunya dialokasikan untuk melakukan operasi penangkapan, 3) nelayan sambilan tambahan: yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan. Nelayan yang ada di perairan Maluku melakukan pekerjaan operasi penangkapan sebagai nelayan penuh dan nelayan sambilan utama. Perkembangan jumlah nelayan di Provinsi Maluku pada tahun 2006 tercatat orang, dengan armada penangkapan sebanyak unit, selain itu pendapatan nelayan yang dicapai pada tahun 2006 sebesar Rp per tahun, sementara konsumsi ikan mencapai 54,3 per kapita per tahun, sedangkan

60 30 rumah tangga perikanan (RTP) pada tahun yang sama berjumlah (DKP Maluku 2007). Perkembangan nelayan meningkat selama periode Peningkatan jumlah nelayan pada tahun 2005 menjadi orang atau sekitar 29% dibandingkan dengan tahun sebelumnya adalah seirama dengan peningkatan RTP pada tahun yang sama yaitu sebesar atau sekitar 13%. Perkembangan RTP di Maluku dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini. Tabel 7 Perkembangan nelayan dan rumah tangga perikanan (RTP) di Maluku Tahun No Uraian Tahun Nelayan perikanan * * * laut 2 RTP Laut # # # # # Sumber : * DKP RI (2006); + DKP Maluku (2007); # DKP Maluku (2003; 2005; 2007 a ) 2.2 Produksi Perikanan Produksi hasil perikanan merupakan output dari proses penangkapan ikan. Produksi tersebut sangat ditentukan oleh berbagai faktor seperti sarana penangkapan ikan, kemampuan atau ketrampilan nelayan, manajemen, dan beberapa faktor lainnya ternasuk infrastruktur pendudkung seperti pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan. Menurut Naamin dan Badrudin, 1992 diacu dalam Ihsan 2000), secara umum sumberdaya hayati laut dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok antara lain: (1) Sumberdaya ikan pelagis kecil (2) Sumberdaya ikan pelagis besar (3) Sumberdaya ikan demersal (4) Sumberdaya udang dan biota laut non ikan lainnya. Produksi sangat ditentukan oleh oleh berbagai faktor seperti sarana penangkapan, kemampuan/ketrampilan nelayan, manajemen, serta beberapa faktor lainnya termasuk infrastruktur pendukung seperti pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan. Produksi hasil perikanan berdasarkan Statistik Perikanan Provinsi Maluku tahun 2007 yang terdiri dari komoditi cakalang, tuna,

61 31 udang, kembung, layang, teri, selar, julung, serta komoditi lain-lain relatif meningkat selama periode Kenaikan tersebut adalah seiring dengan peningkatan jumlah RTP, kapal penangkap, alat tangkap, serta nelayan pada periode yang sama. Rata-rata volume produksi ikan pelagis kecil seperti kembung dan layang sejak tahun 2002 hingga 2006 meningkat, sedangkan ikan selar, julung dan teri berfluktuasi pada periode tahun yang sama. Produksi ikan pelagis terbanyak pada tahun 2006 secara berurutan adalah ikan layang (35.129,8 ton), kembung (32.880,7 ton), selar (13.454,4 ton), teri (8.215,6 ton), dan julung (2.335,6 ton). Jika dibandingkan dengan tahun 2005 maka produksi ikan pelagis kecil dimaksud mengalami peningkatan produksi lebih besar dari 35% untuk masing-masing jenis ikan. Kecenderungan peningkatan produksi ikan pelagis kecil cukup intensif, walaupun demikian, total produksi, perubahan produksi hasil perikanan di Maluku tahun 2006 terhadap 2005 hanya meningkat sekitar 0,5%. Sementara produksi ikan pelagis besar didominasi oleh ikan cakalang (20.719,2 ton), serta ikan tuna (6.293,0 ton). Jenis non ikan yang dominan adalah udang, lola, teripang, siput mutiara, rumput laut dan lain-lain yaitu sebesar ,6 ton dari Kabupaten Maluku Tenggara. Produksi hasil perikanan yang dihasilkan di perairan Maluku menurut komoditi tercantum pada Tabel 8. Jumlah produksi ikan menurut komoditi jenis ikan tahun 2002 hanya sekitar ton dan terus meningkat hingga tahun 2006 mencapai ton. Hal ini disebabkan pada tahun 2002 nelayan lebih terfokus pada profesinya akibat pada tahun sebelumnya terjadi konflik sosial yang terjadi di daerah ini. Upaya peningkatan produksi tidak hanya berkaitan langsung dengan bertambahnya nelayan, tetapi perlu dukungan terhadap nelayan melalui modernisasi alat tangkap dan kapal penangkap. Hal ini disebabkan karena 905 kapal penangkap masih merupakan PTM dengan jangkauan yang terbatas, selain itu juga perlu dukungan finansial dan IPTEK perikanan bagi nelayan PTM dan kapal motor untuk lebih memperluas jangkauan operasi penangkapan ke wilayah perairan yang rendah tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Peningkatan produksi hasil perikanan berhubungan langsung dengan kondisi pasar untuk memberikan nilai tambah produk perikanan. Pemasaran hasil-hasil

62 32 perikanan Maluku mempunyai peluang besar untuk keperluan konsumsi lokal maupun internasional. Peluang pasar eksport akhir-akhir ini terus meningkat, hal ini disebabkan karena: 1) jumlah penduduk dunia terus meningkat, 2) kesadaran manusia akan gizi ikan mulai meningkat, 3) semakin bertambahnya industri makanan dan minuman dengan bahan dasar dari biota laut. Komoditi perikanan Maluku dalam realisasi ekspor 2006 meliputi komoditi udang, ikan tuna, ikan campur, kepiting beku, dan ikan hidup. Sementara pasar dalam negeri mengarah pada produk ikan asin, ikan asap, abon ikan, kerupuk udang, serta kerupuk ikan. Produksi hasil perikanan menurut komoditi terlihat pada Tabel 8. Tabel 8 Produksi hasil perikanan di Maluku Tahun Komoditi Volume (ton) Perubahan (%) Udang 4348, , ,7 928, ,1 312,8 Cakalang 6981, , , , ,2 75,9 Tuna 4973, , , , ,0 28,1 Kembung 3746, , , , ,7 186,2 Layang 6828, , , , ,8 83,9 Selar 4272, , , , ,4 55,5 Julung , , , ,6 51,7 Teri , , , ,6 37,6 Lain-lain ,538-13,5 Ikan darat ,3 520, , ,4 10,85 Jumlah ,5 Sumber: DKP Maluku (2006) Tabel 9 Produksi perikanan laut menurut komoditi non ikan pada Kabupaten/Kota Tahun 2007 Kabupaten/Kota Udang Lola Teripang Siput Mutiara Rumput Laut Lainlain Jumlah (ton) Ambon 1576, , ,0 Maluku Tengah 33,3 12,8 40,5 11,8 2,1 340, ,4 Seram Bagian Barat 7,5 7,7 67,6 6,8 18,4 153, ,1 Seram Bagian 35, ,1 7593,5 Timur Buru 4,8-9,8-50,5 104, ,4 Maluku Tenggara 1734,9 447,2 40,9 13,5-3346, ,6 Maluku Tenggara - 70,1 318,8-89,1 483, ,1 Barat Kepulauan Aru 661,0-25,4 137,7 23,3 1179, ,3 Jumlah 4044,9 537,8 493,0 169,8 183,4 7054, ,4 Sumber: DKP Maluku (2007)

63 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Pengembangan menurut DEPDIKBUD (1990) dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti pengertian proses, cara atau perbuatan mengembangkan. Pengembangan merupakan usaha perubahan dari suatu kondisi yang kurang kepada suatu yang dinilai lebih baik. Manurung et al. (1998), memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk dalam mengelola lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatkan taraf hidup mereka. Pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari 1989). Kebijakan merupakan suatu bentuk keputusan pemerintah atau sebuah lembaga yang dibuat agar dapat memecahkan suatu masalah untuk mewujudkan suatu keinginan rakyat, suatu kebijakan mampu mempengaruhi keikutsertaan masyarakat yang secara keseluruhan dipengaruhi oleh proses kebijakan, mulai dari perumusan, pelaksanaan hingga penilaian kebijakan (Abidin 2004). Kebijakan yang dilakukan akan bertolak pada dasar hukum serta peraturan yang berlaku. Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu perubahan dari suatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih baik. Kemajuan akan dicapai apabila kondisi ekonomi berubah/meningkat, pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan mekanisme ekonomi, sosial dan institusional, baik swasta maupun pemerintah untuk dapat menciptakan perbaikan taraf hidup masyarakat dengan luas dan cepat (Tara 2001 diacu oleh Jusuf 2005). Kebijakan pengelolaan mengacu pada upaya yang merupakan suatu bentuk tindakan yang sedemikian rupa untuk dapat menangani isu kebijakan dari awal hingga akhir. De Coning (2004) mengatakan bahwa analisis kebijakan adalah bagian dari kebijakan pengelolaan yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan dianggap resmi oleh pemerintah merupakan suatu bentuk dari suatu kebijakan yang sah dan mempunyai kewenangan dan memaksa kehendaknya untuk dipatuhi oleh setiap masyarakat. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan pembangunan umum perikanan, syarat-

64 34 syarat yang harus dipenuhi menurut Monintja (2003), yaitu: 1) menyediakan kesempatan kerja yang banyak, 2) menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan, 3) menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein, 4) mendapatkan jenis ikan komoditi eksport atau jenis ikan yang bisa diekspor, 5) tidak merusak kelestarian sumberdaya. Upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan laut dimasa mendatang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), tetapi dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi itu pula diharapkan akan mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial, budaya, dan ekonomi (Barus et al. 1991). Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan melalui pengkajian pada aspek bio-technico-socio-economi-approach, oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu: 1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak dan mengganggu kelestarian sumberdaya, 2) secara teknis efektif digunakan, 3) secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan, dan 4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Pengembangan jenis-jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan pembangunan umum perikanan, apabila hal ini dapat disepakati, maka syaratsyarat pengembangan teknologi penangkapan Indonesia haruslah dapat: (1) Menyediakan kesempatan kerja yang banyak (2) Menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan (3) Menjamin jumlah produksi yang tinggi (4) Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor (5) Tidak merusak kelestarian SDI Intensifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan pada dasarnya adalah merupakan penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik yang digunakan termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu penangkapan ikan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah,

65 35 namun tidak semua modernisasi dapat menghasilkan peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan (net income) nelayan. Oleh karena itu introduksi teknikteknik penangkapan ikan yang baru harus didahului dengan penelitian dan percobaan yang intensif dengan hasil yang meyakinkan (Wisudo et al 1994). Berbagai masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan di bidang perikanan tangkap antara lain: 1) usaha perikanan tangkap masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil, 2) tidak ada kepastian dalam hal produktivitas dan ketersediaan bahan baku, 3) maraknya IUU fishing baik oleh nelayan asing maupun nelayan domestik, sehingga beberapa jenis alat tangkap produktivitasnya menurun, 4) rendahnya kepastian hukum, 5) kurangnya insentif investasi, 6) keamanan kegiatan penangkapan di berbagai wilayah kurang kondusif, 7) banyaknya pungutan terhadap pelaku usaha, baik yang resmi maupun tidak resmi (unpredictable), 8) bidang perikanan tangkap dipandang tidak bankable, 9) rendahnya kualitas SDM, 10) sarana dan prasarana daerah tertentu belum memadai, dan 11) tumpang tindihnya peraturan pusat dan daerah, terutama terkait dengan pungutan, restribusi, dan pajak pengusahaan perikanan (DJPT 2004). Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Komponen-komponen perikanan tangkap, yakni: 1) masyarakat atau sumberdaya manusia (SDM), 2) sarana produksi, 3) usaha penangkapan, 4) prasarana pelabuhan, 5) unit pengolahan, dan 6) unit pemasaran (Monintja dan Yusfiandayani 2001). Pembangunan perikanan tangkap dinilai cerah karena potensi dan prospek yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu : 1) luasnya perairan yang dimiliki (laut teritorial, laut nusantara dan ZEE), dan perairan umum (danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya), 2) potensi lestari ikan laut yang belum dikelola secara optimal, 3) potensi SDM yang melimpah yang belum dioptimalkan, 4) prospek pasar dalam dan luar yang cerah untuk produk-produk perikanan laut, 5) permintaan untuk konsumsi dalam dan luar negeri sangat tinggi seiring meningkatnya jumlah penduduk, dan 6) kesadaran masyarakat akan pentingnya ikan sebagai bahan pangan yang aman, sehat dan

66 36 bebas kolestrol sehingga masyarakat beralih dari mengkonsumsi red-meat menjadi white-meat (DJPT 2004). Monintja (2001) menyatakan bahwa apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap banyak tenaga kerja dengan pendapatan yang memadai. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan dengan lainnya atau saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Komponen perikanan tangkap antara lain: 1) masyarakat, 2) sarana produksi, 3) usaha penangkapan, 4) prasarana pelabuhan, 5) unit pengolahan, 6) unit pemasaran (Monintja 2001) terlihat pada Gambar 11. Pada Gambar 11 dijelaskan tentang komponen dalam kompleksitas penangkapan ikan terdiri dari: (1) Sumberdaya manusia Dalam membangun dan mengembangkan usaha perikasnan tangkap sangat dibutuhkan sumberdaya manusia yang cukup tangguh, handal, dan profesional. Untuk memperoleh tenaga yang terampil dalam penguasaan teknologi maka sangat dibutuhkan pembinaan terhadap sumberdaya manusia (2) Sarana produksi Sarana produksi tersebut antara lain: penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan kapal, instalasi air tawar, listrik serta pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (3) Usaha penangkapan/ proses produksi Usaha penangkapan terdiri dari kapal, alat tangkap, dan nelayan, aspek legal yang meliputi sistem informasi dan unit sumberdaya terdiri spesies, habitat, dan lingkungan fisik (4) Prasarana pelabuhan Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuhnya kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan. serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data

67 37 (5) Unit pengolahan Unit pengolahan terdiri dari handling, processing dan packaging, bertujuan untuk mempertahankan kualitas mutu hasil tangkapan (6) Unit pemasaran Pemasaran merupakan arus pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. Perikanan tangkap di Indonesia masih dicirikan oleh perikanan skala kecil seperti terlihat pada komposisi armada penangkapan nasional yang masih didominasi oleh usaha perikanan skala kecil sekitar 85%, dan hanya sekitar 15% dilakukan oleh usaha perikanan skala besar (Ditjen Perikanan Tangkap 2004). Pengembangan perikanan tangkap dalam rangka peningkatan produksi dan pendapatan nelayan setidaknya harus memperhatikan berbagai faktor, antara lain: 1) potensi dan penyebaran sumberdaya ikan, komposisi ukuran hasil tangkapan, 2) jenis dan jumlah unit penangkapan ikan termasuk fasilitas penanganan dan pendaratan ikan, 3) nelayan dan kelembagaan, 4) pemasaran dan rente ekonomi sumberdaya ikan, dan 5) kelestarian sumberdaya ikan (Kesteven 1973; Charles 2001). Pembangunan perikanan berkelanjutan menurut Charles (2001) harus mengandung empat aspek penting yaitu: (1) Keberlanjutan ekologis (ecological sustainability) yaitu: memelihara keberlanjutan stok ikan sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem; (2) Keberlanjutan sosial ekonomi (socioeconomic sustainability) yaitu: mempertahankan keberlanjutan kesejahteraan individu dan masyarakat; (3) Keberlanjutan komunitas (community sustainability) yaitu: mempertahankan keberlanjutan kesejahteraan masyarakat; dan (4) Keberlanjutan institusi (institutional sustainability) yaitu: memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat dan merupakan prasyarat terhadap ketiga aspek keberlanjutan sebelumnya.

68 38 Membangun Membuat Menyelenggarakan MASYARAKAT Konsumen Modal Teknologi Pembinaan Ekspor Devisa SARANA PRODUKSI Galangan kapal Pabrik alat Diklat tenaga kerja Membayar Domestik dijual UNIT PEMASARAN Distribusi Penjualan Segmen pasar PROSES PRODUKSI UNIT PENANGKAPAN Kapal Alat tangkap Nelayan PRASARANA PELABUHAN Diolah Produk dijual oleh UNIT PENGOLAHAN ASPEK LEGAL Sistem Informasi Handling Processing Packaging UNIT SUMBERDAYA Spesies Habitat Musim/lingkungan fisik Menangkap Hasil tangkapan didaratkan Gambar 11 Sistim agribisnis perikanan tangkap (Kesteven 1973 dimodifikasi oleh Monintja 2001). 2.4 Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna Definisi teknologi tepat guna (TTG) berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1984 tentang perindustrian adalah teknologi yang tepat dan berguna bagi suatu proses untuk menghasilkan nilai tambah, hal ini berarti teknologi yang diciptakan dapat memenuhi kebutuhan manusia, menjaga kelangsungan serta dapat meningkatkan taraf hidup manusia sebagai pengguna teknologi.

69 39 Penerapan teknologi tepat guna disuatu wilayah harus benar-benar memperhatikan kondisi lingkungan setempat serta penerapannya disesuaikan dengan keadaan lingkungan dimana teknologi tepat guna tersebut diterapkan. Aspek-aspek yang harus diperhatikan adalah aspek lingkungan yang terkait dengan aspek teknis, aspek biologi, aspek ekonomis, dan aspek sosial budaya masyarakat setempat. Pemilihan suatu jenis teknologi penangkapan ikan di suatu wilayah perairan sangat tergantung pada faktor alam yang merupakan faktor penentu utama yaitu 1) jenis, kelimpahan, 2) penyebaran sumberdaya ikan, dan 3) luas areal, lokasi dan keadaan fisik lingkungan daerah penangkapan ikan. Monintja (1987) mengemukakan bahwa pengembangan usaha perikanan tangkap secara umum dilakukan melalui peningkatan produksi dan produktivitas usaha perikanan, tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dan nelayan, produk domestik bruto (PDB), devisa negara, gizi masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, tanpa mengganggu atau merusak kelestarian sumberdaya perikanan. Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan usaha perikanan yakni aspek biologi, teknis (teknologi), ekonomis dan sosial budaya. Aspek-aspek yang berpengaruh dalam pengembangan kegiatan perikanan tangkap di suatu kawasan konservasi antara lain: (1) Aspek biologi, berhubungan dengan sediaan SDI, penyebarannya, komposisi, ukuran hasil tangkapan dan jenis spesies. (2) Aspek teknis, berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas pendaratan dan fasilitas penanganan ikan di darat. (3) Aspek sosial, berkaitan dengan kelembagaan dan tenaga kerja serta dampak terhadap nelayan. (4) Aspek ekonomi, berkaitan dengan hasil produksi dan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang berdampak terhadap pendapatan bagi stakeholders. 2.5 Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Ketentuan Perikanan yang Bertanggungjawab diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan perikanan secara bertanggungjawab. Pedoman teknis ini akan memberikan kelengkapan yang diperlukan bagi upaya nasional dan internasional untuk menjamin pengusahaan yang lestari dan berkelanjutan

70 40 menyangkut sumberdaya hayati akuatik yang selaras dan serasi dengan lingkungan. Pedoman ini juga ditujukan terutama bagi para pengambil keputusan didalam otoritas pengelolaan perikanan dan kelompok yang berkepentingan, termasuk perusahaan perikanan, organisasi nelayan, organisasi non pemerintah yang peduli dan lain- lainnya. Eksploitasi yang berlebihan terhadap stok ikan penting, modifikasi ekosistem, kerugian ekonomi yang nyata, dan persengketaan internasional mengenai pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam konservasi jangka panjang perikanan dan kontribusi perikanan terhadap suplai pangan. Perikanan yang bertanggungjawab tidak membolehkan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan melebihi rata rata pertumbuhan stok ikan, jika tidak maka sumberdaya tersebut akan berkurang seiring berjalannya waktu, mempengaruhi keanekaragaman genetik suatu stok atau populasi, dan bila ditinjau dari aspek ekonomi akan mempengaruhi rata rata keuntungan optimal menjadi lebih rendah. Sebaliknya, apabila sumberdaya perikanan dipandang sebagai stok modal yang dikelola secara bertanggungjawab dan berkelanjutan akan menghasilkan manfaat sosial dan ekonomi yang besar. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penangkapan ikan yang ramah lingkungan adalah (Direktorat Produksi Ditjen Perikanan 2000): (1) Kriteria penangkapan ikan ramah lingkungan Menentukan alat penangkapan ikan yang dalam operasinya produktif dan hasil tangkapannya mempunyai nilai ekonomis tinggi. Pengoperasian alat tersebut tidak merusak lingkungan dan kelestarian sumberdayanya tetap terjaga, oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa hal antara lain : 1) selektivitas alat penangkapan ikan, 2) tidak merusak sumberdaya dan lingkungan, dan 3) meminimumkan discard (ikan buangan). (2) Fishing ground (daerah penangkapan ikan) Pembagian daerah penangkapan yang sesuai dengan ukuran kapal dan jenis alat tangkap yang digunakan, perlunya pengaturan operasi penangkapan ikan dilapangan, dimaksudkan agar tidak terjadi benturan antara kelompok nelayan, baik antar nelayan tradisional maupun dengan pemilik kapal besar. (3) Pemanfaatan

71 41 Sumberdaya perikanan harus dikelola secara wajar, agar kontribusinya terhadap nutrisi, ekonomi dan kesejahteraan sosial penduduk dapat ditingkatkan. (4) Peraturan Perlu diperhatikan adanya peraturan-peraturan yang mengatur jalannya operasi penangkapan ikan yang menuju ramah lingkungan dan bertanggungjawab. Salah satu peraturan tersebut adalah mengatur jalur-jalur penangkapan ikan. 2.6 Teori Sistem Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan entitas atau komponen yang saling berhubungan dan terorganisasi membentuk suatu kesatuan untuk mencapai tujuan atau sekelompok tujuan (Manethsch and Park 1979; Wetherbe1988). Menurut Eriyanto (1998), sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Wilson (1990) mendefinisikan sistem sebagai satu set elemen yang saling berkaitan dan terorganisir menghasilkan satu set tujuan. Proses analisa sistem mencakup 6 tahap kegiatan, yaitu: (1) Definisi masalah: definisi kebutuhan, penentuan input, output dan hubungan antar elemen sistem serta definisi batasan sistem. (2) Penentuan tujuan sistem (3) Sintesa sistem: penentuan alternatif dan fungsi sistem, perencanaan sub sistem dan penggunaan kreatifitas (4) Analisa sistem: penentuan cara dan metode analisis sistem yang digunakan (5) Seleksi sistem optimum: pendefinisian kriteria keputusan, evaluasi akibat dan meranking sistem (6) Penerapan sistem Djojonegoro (1993) diacu dalam Nurani (1996) mengemukakan, pada umumnya suatu sistem terdiri dari berbagai elemen yang sangat kompleks, sehingga untuk analisis perlu disederhanakan dengan jalan menuangkannya dalam

72 42 bentuk fungsi matematik atau abstraksi lain yang disebut model. Penggunaan model menguntungkan dalam analisis sebab: (1) Model dapat dilakukan analisis dan percobaan dalam situasi yang kompleks dengan mengubah nilai atau bentuk relasi antar variabel yang tidak mungkin dilakukan pada sistem nyata. (2) Model memberikan penghematan dalam mendiskripsikan suatu keadaan nyata. (3) Menghemat waktu, tenaga dan sumberdaya lainnya (4) Dapat memfokuskan perhatian lebih banyak pada karakteristik yang penting dari masalah. 2.7 Analisis SWOT Penentuan strategi pengembangan perikanan tangkap dilakukan dengan survey PRA (Participatory Rural Appraisal), dengan menggali sebanyak mungkin informasi yang berbasis pada masyarakat. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (Opportuniti), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threat). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan, dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT ( Rangkuti 2005). 2.8 Analytical Hierarchy Process (AHP) Sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya ketidakpastian atau ketidaksempurnaan informasi. Penyebab lainnya adalah banyaknya faktor yg berpengaruh terhadap pilihan yang ada, beragamnya kriteria pemilihan dan jika pengambilan keputusan lebih dari satu. Jika sumber kerumitan itu adalah

73 43 beragamnya kriteria, maka analytical hierarchy process (AHP) merupakan teknik untuk membantu menyelesaikan masalah ini (Mulyono 2002). Dalam perkembangannya, AHP tidak saja digunakan untuk menentukan prioritas pilihan-pilihan dengan banyak kriteria, tetapi penerapannya telah meluas sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan bermacam-macam masalah, seperti memilih portofolio, analisis manfaat biaya, peramalan dan lain-lain. AHP menawarkan penyelesaian masalah keputusan yang melibatkan seluruh sumber kerumitan seperti yang diidentifikasikan diatas, hal ini dimungkinkan karena AHP cukup mengandalkan intuisi sebagai input utamanya, namun intuisi harus datang dari pengambilan keputusan yang cukup informasi dan memahami masalah keputusan yang dihadapi (Mulyono 1991). AHP adalah suatu hirarki fungsional dengan memanfaatkan persepsi dari key person yang terkait dengan masalah yang diteliti. Metode ini mempunyai kelebihan karena prosedurnya yang sederhana dan tidak memerlukan asumsi. Karena itulah metode ini sering digunakan dalam proses pengambilan keputusan yang kompleks dengan permasalahaan yang tidak terstruktur, termasuk dalam penyelesaian masalah yang bersifat strategis dan makro, seperti pengolahan perikanan tangkap. 2.9 Linear Goal Programming (LGP) Linear goal programming (LGP) merupakan pengembangan linear programing (LP). Perbedaan utama antara LGP dan LP terletak pada struktur dan penggunaan fungsi tujuan. Dalam LP fungsi tujuannya hanya mengandung satu tujuan, sementara dalam LGP semua tujuan apakah satu atau beberapa digabungkan dalam sebuah fungsi tujuan. Ini dapat dilakukkan dengan mengekspresikan tujuan ini dalam bentuk sebuah kendala (goal constrain), memasukkan suatu variabel simpangan (deviational variabel) dalam kendala itu untuk mencerminkan seberapa jauh tujuan dicapai dan menggabungkan variabel simpangan dalam fungsi tujuan. Dalam LP tujuannya bisa maksimisasi atau minimisasi, sementara dalam LGP tujuannya adalah meminimumkan penyimpangan-penyimpangan dari tujuan-tujuan tertentu. Ini berarti semua masalah LGP adalah masalah minimisasi (Mulyono 2004).

74 44 Penyimpangan dari tujuan-tujuan itu diminimumkan sehingga sebuah model LGP dapat menangani aneka ragam tujuan dengan dimensi atau satuan ukuran yang berbeda. Jika terdapat banyak tujuan, prioritas atau urutan ordinalnya dapat ditentukan, dan proses penyelesaian LGP itu akan berjalan sedemikian rupa sehingga tujuan dengan prioritas tertinggi dipenuhi sedekat mungkin sebelum memikirkan tujuan dengan peristiwa lebih rendah. Jika LP berusaha mengidentifikasi solusi optimum dari suatu himpunan solusi layak, LGP mencari titik yang paling memuaskan dari sebuah persoalan dengan beberapa tujuan, sekali lagi LGP ingin meminimumkan penyimpangan dari tujuan dengan mempertimbangkan hirarki prioritas Kondisi Umum Perairan Maluku Provinsi Maluku adalah provinsi kepulauan dengan luas wilayahnya ,69 km 2, terdiri dari 93,5% luas perairan ( ,85 km 2 ) dan 6,5% luas daratan (46.339,80 km 2 ). Total jumlah pulau yang teridentifikasi di Maluku adalah pulau dengan panjang garis pantai mencapai ,10 km. Secara geografis wilayah ini berbatasan dengan Provinsi Maluku Utara di sebelah Utara, Negara Timor Leste dan Australia di sebelah selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah Barat, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Irian Jaya Barat. Provinsi Maluku terletak antara 2 30` ` Lintang Selatan dan 124 sampai ` Bujur Timur, dengan luas wilayah ,69 km 2. Batas-batas wilayah Maluku adalah sebagai berikut: bagian Utara berbatasan dengan Provinsi Maluku Utara, bagian Selatan berbatasan dengan Negara Timor Leste, sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Sulawesi Tengah, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Irian Jaya Barat. (DKP Maluku, 2007). Secara administrasif Provinsi Maluku terdiri 8 Kabupaten/Kota, 62 Kecamatan, dan 886 Desa/Kelurahan yang sebagian besar terletak di pesisir pantai (BPS Maluku, 2007). Wilayah perairan Maluku merupakan laut dalam seperti Laut Banda dan Laut Seram, sedangkan Laut yang dangkal adalah Laut Arafura. Wilayah perairan Laut Banda merupakan wilayah laut dari Kabupaten Buru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Seram

75 45 Bagian Timur, Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, serta sebagian kecil dari perairan Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Perairan Laut Seram merupakan bagian wilayah perairan Kabupaten Buru, Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Maluku Tengah, dan Provinsi Maluku Utara. Perairan laut Arafura merupakan bagian wilayah perairan dari Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kabupaten Kepulauan Aru, dan Provinsi Papua Barat. Jumlah penduduk di Provinsi Maluku pada tahun 2006 tercatat jiwa, dengan pertambahan penduduk sangat bervariasi menurut Kabupaten/Kota. Pertambahan penduduk tertinggi terdapat di Kota Ambon (4,98%) bila dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya. Lapangan pekerjaan yang utama adalah sektor pertanian (termasuk perikanan, kehutanan, dan perkebunan) sebesar 60,99% (BPS Maluku 2007). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Maluku pada tahun 2006 mencapai sekitar 60%, sedangkan jumlah nelayan perikanan laut pada tahun 2004 di Provinsi Maluku tercatat orang (DKP RI 2006). Iklim di kepulauan Maluku termasuk iklim tropis dan iklim musim, karena wilayah ini sebagian besar dikelilingi oleh laut sehingga iklim di daerah ini sangat dipengaruhi oleh lautan seirama dengan iklim musim yang berlaku (BPS Maluku, 2007). Berdasarkan datangnya angin musim, pada daerah ini dikenal adanya 2 (dua) musim yaitu musim barat dan musim timur yang diselingi oleh musim pancaroba yang merupakan transisi dari kedua musim tersebut. Musim timur berlangsung dari bulan Mei sampai dengan Oktober, sedangkan musim barat berlangsung dari bulan Desember sampai Maret Daerah Penangkapan Ikan Armada penangkapan di perairan Maluku dapat menjangkau daerah penangkapan yang jauh, maka sumberdaya perikanan pelagis masih dapat dimanfaatkan di daerah lain, hal ini disebabkan karena wilayah ini berdekatan dengan wilayah lainnya yang berpotensi sebagai daerah penangkapan. Daerah penangkapan jenis-jenis ikan untuk dijadikan umpan hidup pada perikanan huhate tersebar di Teluk Ambon, Teluk Baguala, Teluk Tulehu di Pulau Ambon, Teluk Tuhaha dan Teluk Haria di Pulau Saparua, Teluk Kayeli, Teluk Leksula dan Pasir Putih di Pulau Buru, Teluk Piru, Teluk Elpaputih,

76 46 perairan Pelita Jaya, Teluk Kawa dan Teluk Teluti di Pulau Seram dapat disajikan pada Gambar o 00 LS 04 o 00 LS 03 o 00 LS 02 o 00 LS Pasir Putih Sanana B u r u Namlea Ambelau Laut Seram S k a l a km Kelang Manipa Buano Tel. Piru Ambon Pelita Jaya Haruku Elpaputih Saparua Nusalaut Laut Banda S e r a m 126 o 00 BT 127 o 00 BT 128 o 00 BT 129 o 00 BT 130 o 00 BT 131 o 00 BT 132 o 00 BT Sumber: DKP Maluku (2006) Gambar 12 Daerah penangkapan ikan umpan di Kabupaten Pulau Buru, Seram Bagian Barat, Maluku Tengah dan Kota Ambon Fishing base unit penangkapan huhate yang ada di Maluku tersebar di Kota Ambon, Desa Tulehu, Desa Haria, Desa Nolloth dan di Kota Kecamatan Tehoru (Maluku Tengah), Desa Hitu, Desa Luhu dan Desa Eti khususnya di Dusun Pelita Jaya (Kabupaten SBB), di Namlea (Kabupaten Buru), di Kota Tual (Kabupaten Maluku Tenggara) dan di Kota Saumlaki (Kabupaten MTB) ditampilkan pada Gambar 13 Tehoru Tel. Teluti Neira Kep. Banda Geser LEGANDA : Pusat Perikanan Huhate Gorom Kep. Watubela 05 o 00 LS 04 o 00 LS 03 o 00 LS 02 o 00 LS Sanana Pasir Putih B u r u Namlea Leksula Ambelau Laut Seram S k a l a km Buano Pelita Jaya Kelang Manipa Tel. Piru Ambon Laut Banda Elpaputih S e r a m Tehoru Tel. Teluti Saparua Haruku Nusalaut Geser Gorom Kep. Banda 126 o 00 BT 127 o 00 BT 128 o 00 BT 129 o 00 BT 130 o 00 BT 131 o 00 BT 132 o 00 BT Sumber: DKP Maluku (2006) Gambar 13 Pusat perikanan huhate di Provinsi Maluku. Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar dari perairan Maluku lebih banyak dilakukan oleh nelayan dari pulau Ambon dan sebagian dari wilayah pulau Seram. Hal ini disebabkan karena produksi ikan pelagis besar dari wilayah laut Neira LEGANDA : Daerah Penangkapan Ikan Umpan Kep. Watubela

77 47 Seram cukup banyak akan tetapi jumlah armada dari wilayah ini sedikit sehingga hal ini menyebabkan banyak armada dari luar pulau Seram memanfaatkan potensi tersebut. Pada kenyataannya nelayan mengadakan operasi penangkapan di daerah penangkapan lebih dari batas 4 mil laut, bahkan di beberapa wilayah perairan hingga 12 mil laut dari batas surut terendah. Daerah penangkapan dari unit-unit huhate di Maluku terdapat di selatan Pulau Ambon dan P.P. Lease, Pulau Seram dan Pulau Buru (Laut Banda) mulai dari 125 o 30 BT 129 o 40 BT dan dari 3 o 30 LS - 4 o 30 LS. Di bagian utara P. Buru dan P. Seram (Laut Seram) mulai dari 126 o 00 BT 129 o 07 BT dan dari 02 o 30 LS 02 o 00 LS, sedangkan bagi perikanan huhate yang terdapat di sekitar Kota Tual, daerah penangkapannya terdapat di bagian selatan dan utara hingga ke arah timur di perairan Pulau Kei Besar. Di perairan Laut Seram di utara Pulau Buru dan Pulau Seram, musim penangkapan ikan terjadi pada bulan Mei hingga November, sedangkan di perairan selatan Pulau Buru, Seram, Ambon dan Kepulauan Lease musim penangkapan terjadi pada bulan September hingga Maret. Daerah penangkapan ikan cakalang di perairan Maluku disajikan pada Gambar o 00 LS 04 o 00 LS 03 o 00 LS 02 o 00 LS Sanana Buano B u r u Ambelau Kelang Manipa Tel. Piru Ambon Elpaputih S e r a m Tel. Teluti S k a l a km LEGANDA : = D.P. Huhate di Laut Seram = D.P. Huhate di Laut Banda Saparua Haruku Nusalaut Geser Gorom Kep. Banda 126 o 00 BT 127 o 00 BT 128 o 00 BT 129 o 00 BT 130 o 00 BT 131 o 00 BT 132 o 00 BT Kep. Watubela Sumber: DKP Maluku (2006) Gambar 14 Daerah penangkapan kapal huhate di utara Laut Banda dan Laut Seram. Musim penangkapan ikan cakalang di perairan Maluku yang dilakukan dalam satu tahun dirinci menurut bulan, diuraikan pada Tabel 10 berikut ini:

78 48 Tabel 10 Musim penangkapan cakalang di perairan utara laut Banda dan Maluku Tengah No Bulan Musim Penangkapan di Perairan utara L. Banda No Bulan Musim Penangkapan 1 Januari Normal 1 Januari Normal 2 Februari Normal 2 Februari Normal 3 Maret Normal 3 Maret Normal 4 April Puncak 4 April Puncak 5 Mei Puncak 5 Mei Puncak 6 Juni Paceklik 6 Juni Paceklik 7 Juli Paceklik 7 Juli Paceklik 8 Agustus Normal 8 Agustus Normal 9 September Normal 9 September Normal 10 Oktober Puncak 10 Oktober Puncak 11 November Puncak 11 November Puncak 12 Desember Normal 12 Desember Normal Sumber: DKP Maluku (2007) Pusat-pusat penangkapan ikan tuna dengan pancing tonda terdapat di beberapa desa di Pulau Ambon, di bagian utara Kabupaten Seram Bagian Barat, di Kabupaten Maluku Tengah terdapat di beberapa desa di bagian selatan Pulau Seram hingga Kecamatan Tehoru, sebagian di Kepulauan Lease, di bagian utara dan selatan Kabupaten Pulau Buru, di Geser, Gorom dan di Neira Kepulauan Banda disajikan pada Gambar o 00 LS 04 o 00 LS 03 o 00 LS Wamlana Bara B u r u Buano Waeprea Kawa Kelang Manipa Telaga Namlea Tel. Piru Luhu Leksula Ambelau Asilulu Latuhalat Ambon Oma Haria Kep. Lease L a u t B a n d a L a u t S e r a m Hutumuri Taniwel T.Elpaputih S e r a m Tehoru Tel. Teluti Geser Neira S k a l a km LEGENDA : = Pusat-Pusat Perikanan Pancing Tonda Kep. Banda 126 o 00 BT 127 o 00 BT 128 o 00 BT 129 o 00 BT 130 o 00 BT 131 o 00 BT 132 o 00 BT Gorom Kep. Watubela Sumber: DKP Maluku (2006) Gambar 15 Pusat usaha perikanan pancing tonda di Pulau Buru, Kota Ambon, Seram Bagian Barat, Maluku Tengah, dan Seram Bagian Timur. Perairan Laut Seram, di utara Pulau Buru dan Pulau Seram, musim penangkapan ikan terjadi pada bulan Mei sampai November, sedangkan di perairan selatan Pulau Buru, Seram, Ambon dan Kepulauan Lease terjadi pada

79 49 bulan September sampai Maret. Di Maluku, daerah penangkapan unit-unit pancing tonda terdapat di selatan Pulau Ambon dan P.P. Lease, Pulau Seram dan Pulau Buru (Laut Banda) mulai dari 125 o o 01 BT dan dari 03 o o 05 LS. Di bagian utara P. Buru dan P. Seram (Laut Seram) mulai dari 125 o o 50 BT dan dari 02 o o 00 LS. Di bagian tenggara Pulau Seram mulai dari 130 o 40 BT 131 o 35 BT dan dari 03 o o 25 LS. Di sekitar Kepulauan Banda mulai dari 129 o o 25 BT dan dari 04 o o 55 LS (Gambar 16) 04 o 00 LS 03 o 00 LS Namlea B u r u Buano Kelang Manipa Ambelau L a u t S e r a m Piru Ambon Elpaputih S e r a m Masohi Tel. Piru Tel. Teluti Saparua Haruku Nusalaut Kep. Lease Bula S k a l a km LEGENDA : = Ibu Kota Kabupaten/Kota = D.P. Musim Barat = D.P. Musim Timur Geser Gorom 05 o 00 LS 126 o 00 BT 127 o 00 BT 128 o 00 BT 129 o 00 BT 130 o 00 BT 131 o 00 BT 132 o 00 BT Sumber: DKP Maluku (2006) L a u t B a n d a Kep. Banda Gambar 16 Daerah penangkapan dari unit pancing tonda di Laut Banda dan Laut Seram. Kep. Watubela

80 3 METODOLOGI PENELITIANN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di perairan Maluku pada 17 lokasi sampel. Kabupaten Maluku Tengah ditetapkan sebanyak 10 lokasi penelitian: Desa Hitu, Hila, Asilulu, Waai, Tulehu, Tehoru, Masohi, Banda, Aru, dan Piru. Kota Ambon mencakup 5 Kecamatan antara lain: Desa Latuhalat, Seri (Kecamatan Teluk Ambon Luar), Desa Hukurila (Kecamatan Leitimur Selatan), Dusun Toisapu (Kecamatan Baguala), Kelurahan Lateri (Kecamatan Teluk Ambon Dalam), Desa Galala (Teluk Ambon Dalam), sedangkan Kabupaten Maluku Tenggara mencakup Kota Tual dan sekitarnya. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 17. Penelitian inii dilakukan selama delapan bulan dari Agustus 2008 sampai dengan April 2009 LINTANG SELATAN 10 S 8 S 6 S 4 S 2 S 0 N L A U T S E R A M P.SERAM P.BURU P.AMBO ON L A U T B A N D A P.WETAR KEP P.LETI P.BANDA P.Y YAMDENA KEP.KAI L A U T A R U P.ARU L A U T A R A F U R A 124 E 126 E 128 E 130 E 132 E 134 E 136 E 138 E BUJUR TIMUR Ket : Lokasi penelitian Gambar 17 Lokasi penelitian.

81 Metode Pengumpulan Data Pengambilan data penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan stratifikasi jenis alat tangkap yang difokuskan pada pusat-pusat kegiatan perikanan tangkap yang tersebar di lokasi penelitian. Populasi unit penangkapan ikan tersebar sangat luas di wilayah penelitian, maka penentuan lokasi sampel dilakukan secara bertingkat atau multistage sampling bertahap (Soetrisno dan Hanafie, 2007), melalui prosedur sebagai berikut: 1) pemilihan kabupaten secara random yaitu pusat-pusat kegiatan perikanan tangkap ikan pelagis dengan kriteria mencakup tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis, distribusi alat tangkap, produksi ikan pelagis dan prasarana perikanan yang terdapat di kabupaten, 2) pemilihan kecamatan-kecamatan dari kabupaten berdasarkan intensitas kegiatan perikanan tangkap ikan pelagis, 3) pemilihan desa/kelurahan dalam kecamatan dengan aktifitas perikanan yang berkembang, dan 4) pemilihan sampel secara purposive sampling dari populasi alat tangkap yang masih aktif beroperasi saat penelitian dilakukan dan mengacu pada tujuan penelitian. Objek penelitian adalah unit penangkapan ikan yang dominan menangkap ikan pelagis dan masih aktif beroperasi pada saat berlangsung penelitian. Sampel unit penangkapan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 194 buah, yang terdiri dari: pukat cincin 57 unit, pukat pantai 5 unit, bagan 13 unit, huhate 33 unit, pancing tonda 50 unit, dan jaring insang permukaan 36 unit. Data primer diperoleh di lokasi penelitian. Sebelum pengumpulan data, masing-masing nelayan diberi pemahaman singkat untuk menguasai pertanyaan yang akan diberikan di dalam kuesioner untuk menyamakan persepsi mengenai setiap pertanyaan. Data primer dikumpulkan dengan pengisian kuesioner melalui teknik wawancara yang terstruktur secara langsung terhadap responden utama yaitu juragan pemilik alat tangkap. Untuk menunjang analisis pengembangan perikanan pelagis, juga dikumpulkan informasi kunci dilokasi penelitian seperti: pemilik alat tangkap bukan nahkoda 26 orang, pejabat instansi perikanan 2 orang, pengusaha perikanan tangkap 6 orang, akademisi 1 orang, nelayan pukat cincin 32 orang, pukat pantai 3 orang, bagan 5 orang, huhate 15 orang, pancing tonda 23 orang, jaring insang permukaan 12 orang. Data sekunder berupa data produksi

82 53 ikan tahunan (time series data), gambaran umum perikanan di Provinsi Maluku dan data nelayan yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Kantor Statistik Provinsi Maluku serta instansi lain, serta berbagai tulisan melalui penelusuran pustaka (studi pustaka) yang berkaitan dengan objek penelitian Adapun data yang dikumpulkan dan metodenya disajikan pada Tabel 11. Data sekunder mengenai peraturan perundang-undangan, kelembagaan, sosial budaya, kemampuan SDM, informasi lain yang berkaitan dengan perikanan tangkap diperoleh dengan pengisian kuesioner dari instansi, seperti: Pemda Tingkat I Maluku, Pemda Tingkat II, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Statistik, dan lain-lain. Tabel 11 Jenis dan sumber data serta metode pengumpulannya No Jenis data Metode Sumber Data Jumlah responden Pengumpulan Data A > Alat tangkap Kuesioner Nelayan 90 > Nelayan Kuesioner Nelayan 90 > Kapal penangkap Kuesioner Nelayan 90 B > Potensi Sumberdaya Survei Hasil Pengamatan - > Kondisi perairan Survei Hasil Pengamatan - >Peraturan dan Kuesioner Instansi terkait 2 perundang- undangan > Kelembagaan Kuesioner Instansi terkait 6 >Sosial budaya dan Kuesioner Instansi terkait 11 kemampuan SDM >Informasi lainnya yang Kuesioner Instansi terkait 26 berkaitan dengan perikanan tangkap C > Kapal Penangkapan Survei Hasil Pengamatan - > Alat tangkap Survei Hasil Pengamatan - > Kondisi perairan Survei Hasil Pengamatan - Keterangan: A, B, C sesuai dengan tujuan penelitian Teknologi tepat guna Data yang dikumpulkan untuk masing-masing aspek kajian (aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi) adalah sebagai berikut; (1) Aspek biologi, beberapa parameter yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup jumlah trip, CPUE, komposisi hasil tangkapan, dan ukuran ikan hasil tangkapan.

83 54 (2) Aspek teknis, mencakup pengoperasian alat, jangkauan operasi pengaruh lingkungan fisik, selektivitas alat dan penggunaan teknologi dari setiap unit penangkapan. (3) Aspek sosial, mencakup parameter jumlah nelayan yang terserap setiap unit penangkapan ikan, penerimaan unit penangkapan baru oleh masyarakat, tingkat pendidikan, ada tidaknya konflik antar nelayan, pengalaman kerja, serta jumlah tenaga kerja setiap unit tangkap. (4) Aspek ekonomi, meliputi penerimaan kotor per trip, penerimaan kotor per jam operasi, penerimaan kotor per unit tangkap per bulan, penerimaan kotor per tahun, penerimaan kotor per tenaga kerja Aspek penangkapan bertanggung jawab sesuai CCRF Pengumpulan data yang dilakukan berkaitan dengan aspek ramah lingkungan dilakukan terhadap unit penangkapan ikan yang dioperasikan di perairan Maluku dan mengacu pada FAO (1995) kemudian dikembangkan oleh Monintja (2001). Adapun data unit penangkapan ikan yang dikumpulkan adalah terkait dengan aspek ramah lingkungan antara lain: (1) Data selektifitas alat tangkap (2) Data tentang kerusakan habitat oleh unit penangkapan ikan (3) Data kualitas ikan hasil tangkapan (4) Data tingkat bahaya bagi konsumen dari konsumsi hasil tangkap (5) Data by-catch dari unit penangkapan ikan yang dioperasikan (6) Data yang berkaitan dengan biodiversity dari operasi alat tangkap (7) Data berkaitan dengan bahaya operasi unit penangkapan ikan terhadap ikan-ikan yang dilindungi (8) Data operasi penangkapan ikan yang diterima secara sosial di masyarakat 3.3 Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) analisis aspek potensi sumberdaya, menggunakan metode Schaefer (1975), 2) analisis aspek teknologi tepat guna menggunakan metode skoring, 3) analisis aspek ramah lingkungan dari unit penangkapan ikan, mengacu pada FAO (1995) yang

84 55 dikembangkan oleh Monintja (2001), 4) alokasi unit penangkapan ikan, menggunakan Linear Goal Programming (LGP), 5) modifikasi prototipe alat penangkapan ikan, menggunakan metode deskriptif komparatif, 6) strategi pengembangan perikanan tangkap, menggunakan SWOT dan AHP, seperti terlihat pada Tabel 12. Tabel 12 Matriks metode analisis data No Tujuan Analisis Expected Output 1 Untuk mengetahui status SDI seperti: potensi, tingkat pemanfaatan dan pengupayaan unit penangkapan ikan 2 Untuk mendapatkan jenis armada penangkapan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik ditinjau dari aspek teknis, biologi, ekonomi dan sosial 3 Menyeleksi unit penangkapan ikan tertentu yang dapat menjamin keberlanjutan ketersediaan sumberdaya ikan dan pemanfaatannya 4 Menyeleksi apakah unit penangkapan ikan memiliki sifat destruktif atau tidak terhadap SDI, ekosistem, lingkungan dan masyarakat. 5 Menentukan jumlah alokasi unit penangkapan ikan, berapa besar ketercapaian tujuan yang dikehendaki sesuai target yang ditetapkan, berapa besar sumberdaya yang dimanfaatkan dalam mencapai tujuan Aspek biologi, dengan Sumberdaya ikan dapat menggunakan metode diketahui tingkat Shaefer (1957) pemanfaatannya Metode skoring Mendapatkan armada yang efektif dan cocok untuk pengembangan selanjutnya dimasa akan datang. Aspek keberlanjutan, Unit penangkapan ikan mengacu pada CCRF, terpilih dari aspek Monintja (2001) berkelanjutan Aspek ramah lingkungan mengacu pada CCRF, Monintja (2001) Linear Goal Programming (LGP) 6 Modifikasi prototipe alat penangkapan ikan Metode deskriptif komparatif 7 Menentukan prioritas pengembangan unit penangkapan ikan di Maluku Sumber: Data olahan (2009) Metode SWOT dan AHP mengacu pada Saaty (1991) Unit penangkapan ikan terpilih Mengoptimalkan alokasi alat penangkapan ikan Modifikasi teknologi alat penangkapan ikan Prioritas pengembangan unit penangkapan ikan terpilih Analisis potensi sumberdaya ikan Untuk mendapatkan data pendugaan potensi sumberdaya ikan dilakukan dengan cara mengolah data hasil tangkapan dari semua jenis alat tangkap yang dioperasikan dan upaya penangkapannya di Maluku. Dinamika sumberdaya ikan dapat diduga dengan menggunakan pendekatan Model Surplus Produksi yang dikemukakan oleh (Schaefer 1957 vide Clark 1985) yaitu dengan memplotkan hasil tangkapan per satuan upaya (HTSU) yang telah distandardisasi (c/f) dalam satuan kg/trip dan upaya penangkapan yang telah distandarisasi (f) dalam satuan trip kemudian dihitung dengan model regresi linier, sehingga diperoleh nilai konstanta regresi (b) dan intersep (a). Nilai intersep (a) dan konstanta regresi (b)

85 56 kemudian digunakan untuk menentukan beberapa persamaan yang diperlukan, yaitu: (1) Hubungan antara HTSU dan upaya penangkapan standar (f): HTSU = a bf atau HTSU = c/f (2) Hubungan antara hasil tangkapan (c) dan upaya penangkapan: c = af bf 2 (3) Upaya penangkapan optimum (F ) diperoleh dengan cara menyatakan opt turunan pertama hasil tangkapan upaya penangkapan sama dengan nol: C = af bf 2, c = a 2bf = 0 F = a/2b opt (4) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubstitusi nilai upaya penangkapan optimum kedalam persamaan (2) di atas: C max = a(a/2b) b(a 2 /4b 2 ) MSY = a 2 /4b Selanjutnya untuk mengetahui tingkat pemanfataan sumberdaya ikan diperoleh dari rasio jumlah hasil tangkapan pada tahun tertentu dengan nilai produksi maksimum lestari (MSY): Ci Tingkat Pemanfaatan = x 100% MSY Keterangan: Ci = jumlah hasil tangkapan ikan pada tahun ke-1 MSY = maximum sustainable yield Penggunaan metode ini, sebagaimana metode yang lain memiliki kelemahan, karena dipengaruhi keberadaan dan keakuratan data dan informasi stok biomassa. Data yang dikumpulkan berorientasi pada data sekunder yang meliputi total tangkapan (ton) dan jumlah upaya tangkapan (trip/unit). Selanjutnya spesies yang dideteksi adalah spesies unggulan yang secara tepat dapat dikenali, oleh karena itu didalam penggunaan metode ini beberapa asumsi dasar yang harus diperhatikan adalah: (1) Stok ikan dianggap sebagai unit tunggal dan sama sekali tidak berpedoman pada struktur populasinya.

86 57 (2) Stok ikan selalu ada dalam keadaan yang cenderung menuju situasi steady state sesuai model pertumbuhan biomas seperti kurva logistik. (3) Hasil tangkapan dan upaya penangkapan merupakan data yang bersifat random. (4) Hasil tangkapan yang didaratkan berasal dari perairan Maluku dan tidak ada hasil tangkapan yang didaratkan di luar kawasan. (5) Teknologi penangkapan tidak ada perubahan secara signifikan Teknologi penangkapan ikan tepat guna Tujuan determinasi teknologi penangkapan ikan tepat guna adalah untuk mendapatkan jenis armada penangkapan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik ditinjau dari aspek teknis, biologi, ekonomi dan sosial sehingga akan merupakan armada yang efektif dan cocok untuk pengembangan selanjutnya dimasa akan datang. Metode skoring digunakan untuk menentukan jenis teknologi penangkapan ikan yang layak untuk dikembangkan. Setelah diperoleh nilai dengan menggunakan metode skoring terhadap semua kriteria (biologi, teknis, sosial, dan ekonomi), maka dilakukan standardisasi nilai dengan menggunakan metode fungsi nilai yang dikemukakan oleh Mangkusubroto dan Trisnadi (1985) dengan rumus sebagai berikut: X X V( X) X1 X dimana: V(X) = Fungsi nilai dari variabel X X = Nilai variabel X X 1 X 0 V(A) 0 0 = Nilai tertinggi pada kriteria X = Nilai terendah pada kriteria X = Fungsi nilai dari alternatif A V ( A ) V 1 ( X i ), ( i 1,2,3, n ) V 1 (X i ) = Fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i. i = 1,2,3,..., Urutan alat tangkap yang sesuai untuk digunakan ditetapkan dari alternatif yang mempunyai fungsi nilai tertinggi ke alternatif dengan fungsi nilai terendah. 0 j 1

87 58 (1) Aspek biologi Aspek biologi dianalisis untuk melihat apakah jenis alat tangkap yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya ikan pelagis kecil merusak sumberdaya yang ada atau tidak. Penilaian aspek biologi unit penangkapan ikan pelagis kecil dititikberatkan pada empat kriteria yaitu CPUE (catch per unit effort), jumlah trip, komposisi hasil tangkapan, dan ukuran ikan yang tertangkap. Kriteria penilaian didasarkan pada hasil pengisian kuesioner dan wawancara dengan responden. Kriteria pertama yang dijadikan bahan penilaian aspek biologi adalah CPUE. Prioritas masing-masing unit penangkapan ikan pelagis kecil ditentukan berdasarkan nilai CPUE tertinggi, semakin tinggi CPUE maka prioritasnya semakin besar. Skor kriteria CPUE disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Skor kriteria CPUE Selang nilai CPUE Keterangan 1 Rendah Prioritas rendah 3 Sedang Prioritas sedang 5 Tinggi Prioritas tinggi Kriteria ke-2 adalah jumlah trip selama satu tahun yang digunakan sebagai indikator mutu hasil tangkapan, artinya semakin lama trip penangkapan maka mutu hasil tangkapan yang diperoleh akan semakin buruk. Urutan prioritas ditentukan berdasarkan jumlah trip atau semakin banyak jumlah trip dalam satu tahun, maka nilai prioritas suatu unit penangkapan ikan semakin tinggi dan disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Skor kriteria lama trip penangkapan Selang nilai Jumlah trip Keterangan Jumlah trip sedikit Jumlah trip sedang 5 > 8 Jumlah trip banyak Kriteria ke-3 adalah komposisi hasil tangkapan setiap unit penangkapan. Prioritas ditentukan berdasarkan jumlah komposisi hasil tangkapan yang diperoleh, semakin beragam jenis ikan yang tertangkap oleh alat tangkap maka nilai prioritasnya semakin buruk. Hal ini didasarkan pada tingkat selektivitas unit penangkapan ikan, semakin sedikit jumlah komposisi ikan yang diperoleh maka

88 59 tingkat selektifitas alat semakin baik. Tabel 15 menyajikan skor kriteria komposisi hasil tangkapan. Tabel 15 Skor kriteria komposisi hasil tangkapan Selang nilai Komposisi hasil tangkapan Keterangan 1 Buruk Hasil tangkapan beragam 3 Sedang Hasil tangkapan kurang beragam 5 Baik Hasil tangkapan seragam Kriteria terakhir dari penilaian aspek biologi adalah ukuran hasil tangkapan. Penilaian dilakukan dengan metode skoring, dengan skor tertinggi 3 dan terendah 1. Skor 1 digunakan untuk unit penangkapan yang menangkap ikan dengan ukuran kecil, dimana tidak layak tangkap secara biologi, skor 3 digunakan untuk ukuran besar dimana layak tangkap secara biologi. Selang skor yang ditetapkan disajikan pada Tabel 16 Tabel 16 Skor kriteria ukuran hasil tangkapan Selang nilai Ukuran Keterangan 1 Kecil Tidak layak tangkap secara biologi 3 Besar Layak tangkap secara biologi (2) Aspek teknis Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas alat tangkap untuk digunakan (pukat cincin, bagan dan jaring insang). Kriteria teknis yang meliputi pengoperasian alat tangkap, daya jangkau operasi, pengaruh lingkungan fisik, selektivitas alat dan penggunaan teknologi. Penilaian dilakukan dengan cara skoring dengan rentang skor 1 hingga 5 untuk semua kriteria kecuali daya jangkau operasi. Kriteria pertama penilaian/skoring metode penangkapan didasarkan pada tingkat kemudahan operasi penangkapan. Skor 1 menunjukkan sulit, skor 3 sedang dan 5 merupakan skor yang menunjukkan tingkat pengoperasian cukup mudah dan mudah. Selang skor yang ditetapkan disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Skor kriteria metode pengoperasian alat tangkap Selang Metode Keterangan nilai pengoperasian 1 Sulit Nelayan mengalami kesulitan dalam pengoperasian alat tangkap 3 Sedang Nelayan mengalami kesulitan tetapi masih dapat mengoperasikan alat tangkap 5 Mudah Nelayan mudah mengoperasikan alat tangkap

89 60 Kriteria ke-2 adalah daya jangkau operasi penangkapan ikan, penilaian dilakukan berdasarkan daya jangkau (mil) unit penangkapan dimana semakin jauh maka nilainya semakin baik dan disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Skor kriteria daya jangkau operasi penangkapan ikan Selang nilai Daya jangkau operasi Keterangan 1 1 mil Dekat 3 1 mil 5 mil Sedang 5 5 mil Jauh Kriteria ke-3 adalah pengaruh lingkungan fisik terhadap pengoperasian alat tangkap. Penilaian dilakukan dengan metode skoring dimana skor 1 menunjukkan bahwa lingkungan fisik berpengaruh, skor 3 cukup berpengaruh, dan skor 5 menunjukkan tidak berpengaruh. Adapun selang nilai penetapan pengaruh lingkungan fisik terhadap pengoperasian alat penangkapan ikan disajikan pada Tabel 19 Tabel 19 Skor kriteria pengaruh lingkungan fisik terhadap pengoperasian alat tangkap Selang nilai Pengaruh lingkungan fisik Keterangan 1 Berpengaruh Arus dan gelombang menjadi kendala 3 Cukup berpengaruh Arus dan gelombang menjadi kendala tetapi masih bisa diatasi oleh nelayan 5 Tidak berpengaruh Arus dan gelombang tidak ditemukan Kriteria ke-4 adalah selektivitas alat penangkapan. Penilaian untuk masingmasing unit penangkapan dilakukan dengan cara skoring, dimana skor 1 menunjukkan sangat tidak selektif, skor 3 selektif sedang, dan skor 5 selektif, yang disajikan pada tabel dibawah ini: Tabel 20 Skor kriteria selektivitas teknologi penangkapan ikan Selang Selektivitas Keterangan nilai 1 Tidak selektif Desain, konstruksi alat tangkap dan hasil tangkapan tidak dapat terseleksi 3 Selektivitas sedang Desain, konstruksi alat tangkap dan hasil tangkapan hanya menyeleksi ikan-ikan tertentu 5 Selektif Desain, konstruksi alat tangkap dan hasil tangkapan dapat terseleksi Kriteria terakhir dari aspek teknis adalah tingkat penggunaan teknologi. Skoring dilakukan untuk menilai kriteria ini, dimana skor 1 menunjukkan tingkat

90 61 penerapan teknologi rendah, skor 3 sedang dan skor 5 tinggi. Selang nilai tingkat penggunaan teknologi disajikan pada Tabel 21 Tabel 21 Skor kriteria tingkat penggunaan teknologi Selang nilai Tingkat penggunaan teknologi Keterangan 1 Teknologi rendah Tidak menggunakan alat bantu penangkapan ikan 3 Teknologi sedang Menggunakan alat bantu penangkapan sederhana 5 Teknologi tinggi Menggunakan teknologi alat bantu penangkapan yang lengkap (3) Aspek sosial Kriteria aspek sosial ditinjau dari penilaian dan penerimaan masyarakat terhadap jenis alat tangkap yang digunakan, tingkat pendidikan, ada tidaknya konflik antar nelayan, pengalaman kerja, dapat memberikan kesempatan kerja kepada nelayan setempat atau tidak, banyaknya tenaga kerja yang diserap serta upah yang diterima oleh nelayan. Tabel 22 Skor kriteria penilaian dan penerimaan masyarakat terhadap alat tangkap baru Selang nilai Penilaian dan penerimaan Keterangan masyarakat 1 Berbahaya Berbahaya dan menimbulkan konflik dalam masyarakat 3 Berbahaya sedang Masih dapat ditoleransi oleh nelayan sekitar 5 Tidak terbahaya Dapat diterima oleh seluruh nelayan Tabel 23 Skor tingkat pendidikan Selang nilai Tingkat pendidikan Keterangan 1 SD Tidak terlalu trampil 3 SMP Cukup trampil 5 SMA Lebih trampil Tabel 24 Ada tidaknya konflik antar nelayan Selang nilai Konflik nelayan Keterangan 1 Sering Berbahaya dan menimbulkan konflik antar nelayan 3 Ada Masih dapat ditoleransi oleh nelayan sekitar 5 Tidak ada Dapat diterima oleh seluruh nelayan

91 62 Tabel 25 Skor kriteria pengalaman kerja sebagai nelayan Selang nilai Pengalaman kerja Keterangan 1 Kurang Pengalaman kerja hampir tidak ada 3 Sedang Belum terlalu berpengalaman kerja 5 Banyak Cukup berpengalaman Tabel 26 Skor kriteria jumlah tenaga kerja Selang nilai Jumlah tenaga kerja Keterangan Cukup baik Baik 5 > 10 Sangat baik Penilaian terhadap kriteria penyerapan tenaga kerja dilakukan dengan melihat jumlah nelayan yang dipekerjakan dalam satu unit penangkapan ikan. Untuk kriteria pendapatan nelayan dilihat dari pendapatan bersih yang diterima seorang nelayan dalam satu tahun, penilaian terhadap kriteria pendapatan nelayan per unit per orang per tahun didapatkan dari perhitungan analisis ekonomi. Tabel 27 Skor kriteria pendapatan nelayan Selang nilai Pendapatan nelayan Keterangan 1 Rp Dibawah UMR 3 Rp Rp Hampir sama dengan UMR 5 Rp Diatas UMR 4) Aspek ekonomis Kriteria aspek ekonomis meliputi penerimaan kotor per trip/alat tangkap yang disajikan pada Tabel 28, penerimaan kotor per jam operasi disajikan pada Tabel 29, penerimaan kotor per alat tangkap/bulan disajikan pada Tabel 30 dan penerimaan kotor per alat tangkap/tahun yang disajikan pada Tabel 3, serta penerimaan kotor/tenaga kerja/hari pada Tabel 32. Tabel 28 Skor kriteria penerimaan kotor per trip/alat tangkap Selang nilai Penerimaan kotor per trip Keterangan 1 Rp Rendah 3 Rp Rp Sedang 5 > Rp Tinggi Tabel 29 Skor kriteria penerimaan kotor per jam operasi/alat tangkap Selang nilai Penerimaan kotor per jam operasi Keterangan 1 Rp Rendah 3 Rp Rp Sedang 5 Rp Tinggi

92 63 Tabel 30 Skor kriteria penerimaan kotor per alat tangkap/bulan Selang nilai Penerimaan kotor per alat tangkap per bulan Keterangan 1 Rp Rendah 3 Rp Rp Sedang 5 Rp Tinggi Tabel 31 Skor kriteria penerimaan kotor per alat tangkap/tahun Selang nilai Penerimaan kotor alat tangkap per tahun Keterangan 1 Rp Rendah 3 Rp Rp Sedang 5 Rp Tinggi Tabel 32 Skor kriteria penerimaan kotor per tenaga kerja per hari Selang nilai Penerimaan kotor per tenaga kerja per tahun Keterangan 1 Rp Rendah 3 Rp Rp Sedang 5 Rp Tinggi Pendapatan kotor per tahun untuk masing-masing alat tangkap berbeda nilainya sesuai dengan tingkat produktivitas alat tangkap tersebut. Alat tangkap pukat cincin dan huhate yang produktivitas hasil tangkapannya lebih besar maka pendapatannya juga lebih besar dibandingkan dengan alat tangkap ikan pelagis kecil lainnya. Nilai-nilai yang tercantum di dalam tabel diatas merupakan hasil wawancara dengan nelayan menyangkut pendapatan baik per alat tangkap maupun per tenaga kerja Analisis aspek berkelanjutan Analisis aspek berkelanjutan dimaksudkan untuk menyeleksi unit penangkapan ikan tertentu yang dalam operasinya dapat menjamin keberlanjutan ketersediaan sumberdaya ikan dan keberlanjutan pemanfaatannya. Kriteria yang digunakan mengacu pada kaidah Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Nilai skor yang diberikan untuk menilai setiap kriteria terkait aspek berkelanjutan menggunakan metode rating dengan kisaran 1 sampai 4 (Rangkuti, 2004). Secara spesifik, skor yang diberikan untuk setiap kriteria dari aspek keberlanjutan menurut CCRF ini mengacu pada Tabel 33

93 64 Tabel 33 Kriteria dan skor analisis aspek berkelanjutan unit penangkapan ikan di perairan Maluku 1 Menerapkan teknologi ramah lingkungan Subkriteria: 1 Memenuhi 2 kriteria alat tangkap ramah lingkungan 2 Memenuhi 3 5 kriteria alat tangkap ramah lingkungan 3 Memenuhi 5 7 kriteria alat tangkap ramah lingkungan 4 Memenuhi seluruh kriteria alat tangkap ramah lingkungan 2 Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC 1 Hasil tangkapan % dari TAC 2 Hasil tangkapan 50 75% dari TAC 3 Hasil tangkapan 25 50% dari TAC 4 Hasil tangkapan lebih kecil dari 25% dari TAC 3 Menguntungkan 1 Keuntungan lebih kecil dari Rp per bulan 2 Keuntungan antara Rp Rp per bulan 3 Keuntungan antara Rp Rp per bulan 4 Keuntungan lebih besar dari Rp per bulan 4 Investasi rendah 1 Investasi lebih besar dari Rp per unit 2 Investasi antara Rp Rp per unit 3 Investasi antara Rp Rp per unit 4 Investasi lebih kecil dari Rp per unit 5 Penggunaan BBM rendah 1 Penggunaan BBM lebih besar dari 15 liter per trip 2 Penggunaan BBM antara liter per trip 3 Penggunaan BBM antara 5 10 liter per trip 4 Penggunaan BBM lebih kecil dari 5 liter per trip 6 Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku: 1) CCRF, 2) Undang -Undang No 31/2002 tentang perikanan, 3) Peraturan Daerah, dan 4) Hukum adat 1 Alat tangkap memenuhi 1 dari 4 kriteria yang ada 2 Alat tangkap tersebut memenuhi 2 dari 4 kriteria yang ada 3 Alat tangkap tersebut memenuhi 3 dari 4 kriteria 4 Alat tangkap tersebut memenuhi semua kriteria yang ada Sumber: Monintja (2001), disesuaikan dengan kondisi di Maluku skor Analisis aspek ramah lingkungan Analisis aspek ramah lingkungan dilakukan untuk menyeleksi sifat destruktif dari unit penangkapan ikan terhadap sumberdaya ikan, ekosistem, lingkungan sekitar, dan masyarakat (Monintja 2001). Rentang nilai skor yang digunakan untuk pemberian nilai kriteria terkait dengan aspek ramah lingkungan ini adalah dengan kisaran nilai 1 4 (Rangkuti 2005). Secara spesifik setiap kriteria dari aspek ramah lingkungan unit penangkapan ikan ini mengacu pada Tabel 34

94 65 Tabel 34 Kriteria dan skor analisis ramah lingkungan unit penangkapan ikan di Maluku skor 1 Mempunyai selektifitas yang tinggi, dengan subkriteria: 1 Menangkap lebih dari 3 speies ikan dengan variasi ukuran yang berbeda jauh 2 Menangkap 3 spesies ikan atau kurang dengan variasi ukuran yang berbeda jauh 3 Menangkap kurang dari 3 spesies ikan dengan ukuran yang relatif seragam 4 Menangkap 1 spesies ikan dengan ukuran yang relatif seragam 2 Tidak merusak habitat; 1 Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas 2 Menyebabkan kerusakan pada wilayah yang sempit 3 Menyebabkan kerusakan sebagian habitat pada wilayah yang sempit 4 Aman bagi habitat 3 Menghasilkan ikan berkualitas tinggi; 1 Ikan mati dan busuk 2 Ikan mati, segar, cacat fisik 3 Ikan mati dan segar 4 Ikan hidup 4 Tidak membahayakan nelayan; 1 Bisa berakibat kematian pada nelayan 2 Bisa berakibat cacat permanen pada nelayan 3 Hanya bersifat gangguan kesehatan yang bersifat sementara 4 Aman bagi nelayan 5 Produksi tidak membahayakan konsumen; 1 Berpeluang besar menyebabkan kematian pada konsumen 2 Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan pada konsumen 3 Relatif aman bagi konsumen 4 Aman bagi konsumen 6 By-catch rendah; 1 By-catch pada beberapa spesies dan tidak laku dijual di pasar 2 By-catch pada beberapa spesies dan ada jenis yang laku terjual di pasar 3 By-catch kurang dari 3 spesies dan laku terjual di pasar 4 By-catch kurang dari 3 spesies dan mempunyai harga yang tinggi 7 Dampak ke biodiversity; 1 Menyebabkan kematian pada semua makhluk hidup dan merusak habitat 2 menyebabkan kematian pada beberapa spesies dan merusak habitat 3 Menyebabkan kematian pada beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat 4 Aman bagi biodiversity 8 Tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi 1 Ikan yang dilindungi sering tertangkap 2 Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap 3 Ikan yang dilindungi pernah tertangkap 4 Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap 9 Dapat diterima secara sosial:1 investasi murah,2 menguntungkan,3sesuai dengan Budaya setempat, 4 sesuai dengan peraturan yang ada Peringkat : 1 Alat tangkap memenuhi kriteria 1 dari 4 kriteria diatas 2 Alat tangkap tersebut memenuhi 2 dari 4 kriteria yang ada 3 Alat tangkap tersebut memenuhi kriteria 3 dari 4 kriteria 4 Alat tangkap tersebut memenuhi semua kriteria yang ada Sumber: Monintja (2001), disesuaikan dengan kondisi di Maluku Alokasi unit penangkapan ikan Untuk menganalisis alokasi optimal unit penangkapan ikan tepat guna di perairan Maluku, dilakukan dengan metode Linear Goal Programming (LGP).

95 66 Metode ini digunakan untuk menentukan jumlah alat tangkap yang optimal dengan batasan sumberdaya perikanan serta faktor-faktor teknis dari armada tersebut. Model goal programming terdapat variabel deviasional dalam fungsi kendala. Variabel tersebut berfungsi untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian terhadap sasaran yang hendak dicapai. Dalam proses pengolahan model tersebut, jumlah variabel deviasional akan diminimumkan dalam fungsi tujuan (Siswanto 1993). Model linier goal programming yang dipakai menggunakan model matematik : Fungsi tujuan : Z Fungsi kendala-kendala: a 1 1 x 1 + a 1 2 x a 1n x n + DB 1 - DA 1 = b 1 a 2 1 x 1 + a 2 2 x a 2n x n + DB 2 DA 2 = b 2 a 3 1 x 1 + a 3 2 x a 2n x n + DB 2 DA 2 = b 3 a 4 1 x 1 + a 4 2 x a 2n x n + DB 2 DA 2 = b 4 dimana : Z = Fungsi tujuan yang akan diminimumkan DB i = Deviasi bawah kendala ke- i DA i = Deviasi atas kendala ke- i C j b 1 = Parameter fungsi tujuan ke- j = Kapasitas kendala ke i b 2 = Kapasitas kendala ke 2 b 3 = Kapasitas kendala ke 3 b 4 = Kapasitas kendala ke 4 a ij = Parameter fungsi kendala ke- i pada variabel keputusan ke- j Kendala ke-i = Target produksi, MSY, keuntungan, tingkat konsumsi, penyerapan tenaga kerja, pendapatan asli daerah, serta penerimaan devisa negara X j m i 1 ( DBi DAi) = Variabel putusan ke- j ( jumlah armada penangkapan) X j, DA i, DB i > 0, untuk i = 1, 2,..., m dan j = 1, 2,..., n

96 67 Sebelum melakukan analisis optimasi terlebih dahulu dilakukan perhitungan CPUE yang digunakan dalam analisis perhitungan fungsi produksi lestari. Standardisasi upaya penangkapan perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan perhitungan catch per unit effort (CPUE), yaitu dengan cara membandingkan hasil tangkapan per upaya penangkapan masing-masing unit penangkapan. Unit penangkapan yang paling dominan menangkap jenis-jenis ikan tertentu di suatu daerah dan memiliki nilai faktor daya tangkap (fishing power index) sama dengan satu. perhitungan FPI adalah sebagai berikut: FEs CPUEs = HTs FEi CPUEi = HTi Upaya standardisasi diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut yaitu: SE = FPI x FE 1 1 dimana: CPUEi = Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya unit penangkapan standar pada tahun ke-i; CPUEs = Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya jenis penangkapan yang akan distandarisasi; HTs = Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang dijadikan standar pada tahun ke-i; HT = Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang akan 1 distandarisasi pada tahun ke-i; FEs = Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan ikan yang dijadikan standar pada tahun ke-i; FE 1 = Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan ikan yang dijadikan standarisasi pada tahun ke-i; FPI s = Fishing Power Index atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan FPI i SE standar pada tahun ke- i = Fishing Power Index atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan yang akan distandardisasi pada tahun ke- i = Upaya penangkapan (effort) hasil standardisasi pada tahun ke-i

97 Modifikasi prototipe unit penangkapan ikan Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran yang jelas secara sistematis akurat tentang kondisi yang terjadi serta hubungan antar fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan, sehingga ini merupakan suatu metode deskriptif komparatif yang perlu di kaji untuk melihat sejauhmana perkembangan teknologi saat ini. Kebijakan pemerintah yang pro nelayan mutlak dilakukan untuk mendorong tingkat kesejahteraan nelayan kita. Beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan antara lain: 1) rendahnya tingkat penguasaan teknologi penangkapan, 2) kecilnya skala usaha 3) belum efisiennya sistem pemasaran hasil ikan dan 4) status nelayan yang sebagian besar adalah buruh, oleh karenanya pembangunan infrastruktur dan bantuan alat penangkapan ikan tepat guna serta pemasaran hasil tangkapan adalah mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan. Selain itu, harus ada payung hukum yang melindungi aktivitas penangkapan nelayan lokal serta pengaturan atau pembatasan penangkapan bagi kapal asing dan kapal-kapal besar serta harus ada undang-undang yang mengatur batas wilayah kita dengan batas wilayah teritotial negara lain. Tujuan ini diarahkan untuk meningkatkan produktivitas unit penangkapan yang meliputi kapal, alat tangkap dan alat bantu melalui sentuhan teknologi tepat guna sesuai kondisi lingkungan perairan dan jenis sumberdaya ikan. Kegiatan yang dilaksanakan adalah: 1) penyusunan rancang bangun dan spesifikasi teknis kapal ikan, 2) standardisasi unit penangkapan, 3) pengembangan dan perekayasaan teknologi penangkapan ikan. Pendekatan yang akan dilakukan melalui pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan berdasarkan karakteristik daerah penangkapan, jenis dan ketersediaan sumberdaya ikan, kemampuan nelayan, sosial dan budaya masyarakat lokal serta penerapan teknologi tepat guna ramah lingkungan. Upaya ini dilakukan melalui bantuan modernisasi perahu, alat penangkapan ikan dan sarana penangkapan lainnya agar nelayan yang selama ini menggunakan peralatan tradisional mampu menjangkau wilayah perairan potensial yang lebih jauh. Penerapan iptek tersebut seyogyanya dilakukan sesuai keragaman dan karakteristik wilayah baik dari segi lingkungan maupun ekonomi, serta tingkat

98 69 kemampuan masyarakat setempat dalam mengadopsinya. Iptek juga berarti kemampuan rekayasa dan rancang bangun sebagai hasil daya cipta dan daya kreatif manusia. Disinilah relevansi peranan gagasan tekonologi baru untuk menumbuhkan budaya iptek yang bermuara pada tumbuhnya dinamika dalam menciptakan rakitan teknologi yang kompatibel dengan keunikan dari masingmasing wilayah. Berkembangnya iptek yang spesifik lokasi tersebut, pada gilirannya akan menghasilkan suatu pola pengembangan teknologi tepat guna yang dilandaskan pada keunggulan kompetitif wilayah, sebagai warna dan nuansa dari pengembangan perikanan tangkap di Indonesia. Sebagai komponen tentunya hanya akan berarti manakala berada dalam tatanan tertentu yang memberikan nilai tambah bagi perubahan dimensi kehidupan nelayan sehingga menjadi nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat nelayan, hal ini berarti dibutuhkan suatu sistem yang tepat agar pembangunan perikanan dapat menghantarkan perikanan kepada kondisi yang tangguh, maju dan efisien. Desain teknologi tepat guna yang akan diterapkan dapat meningkatkan keterkaitan antara subsistem sehingga setiap kegiatan pada masing-masing subsistem dapat berjalan secara berkelanjutan dengan tingkat efisiensi yang tinggi Strategi pengembangan perikanan tangkap Analisis SWOT Penentuan strategi pengembangan teknologi perikanan tangkap dilakukan dengan survei PRA (Participatory Rural Appraisal), dengan menggali sebanyak mungkin informasi yang berbasis masyarakat, pemerintah, dan swasta. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan solusi model pengembangan perikanan pelagis yang sesuai dengan kemauan stakeholder perikanan tangkap. Penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Dimana SWOT adalah lingkungan internal yang terdiri dari Strength dan Weakness serta lingkungan eksternal terdiri dari Opportunity dan Threat. Untuk mengetahui strategi dan kebijakan yang akan kita peroleh, maka dilakukan analisis SWOT dengan mengidentifikasi berbagai faktor internal dan

99 70 eksternal secara sistematik dan dilanjutkan dengan merumuskannya. Kemudian membandingkan antara faktor internal, yaitu kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness) dengan faktor eksternal, yaitu peluang (Opportunity) dan ancaman (Threat). Analisis ini dilakukan dengan merujuk kepada kekuatan pengendali internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) yang diperoleh dari studi pustaka dan informasi dari instansi terkait dan pelaku usaha perikanan melalui langkah sebagai berikut : (1) Evaluasi faktor internal (internal factor evaluation-ife) Langkah yang dilakukan dalam penentuan faktor internal dan pembobotan adalah dengan membuat daftar kekuatan dan kelemahan, kemudian setiap kekuatan dan kelemahan diberi bobot (tidak penting > 0 sampai sangat penting = 1,0) sehingga total bobot adalah 1,0, selanjutnya diberikan rating 1 sampai dengan 4 pada setiap kekuatan dan kelemahan (1 = kelemahan utama, 2 = kelemahan kecil, 3 = kekuatan kecil, 4 = kekuatan utama), selanjutnya menentukan weigth score dengan mengalikan bobot dan rating. (2) Evaluasi faktor eksternal (eksternal factor evaluation-efe) Langkah yang dilakukan dalam penentuan faktor eksternal dan pembobotan adalah dengan membuat daftar peluang dan ancaman, kemudian setiap peluang dan ancaman diberi bobot (tidak penting > 0 sampai sangat penting = 1,0) sehingga total bobot adalah 1,0, selanjutnya diberikan rating 1 sampai dengan 4 pada setiap peluang dan ancaman (1 = peluang utama, 2 = peluang kecil, 3 = ancaman kecil, 4 = ancaman utama), selanjutnya menentukan weigth score dengan mengalikan bobot dan rating menurut Kearns (1992) dan David (1989) diacu dalam Salusu (1988). Dari evaluasi faktor internal dan eksternal maka akan dapat diketahui peluang dan ancaman yang harus diberi respon paling besar, serta kekuatan yang akan dioptimalkan dan kelemahan yang akan diminimalisir. Setelah dilakukan evaluasi faktor eksternal dan internal, dilakukan analisis dengan matriks internaleksternal (I-E). Faktor-faktor starategis internal dan eksternal yang diperoleh dari evaluasi faktor internal dan eksternal yang telah didapat ditentukan kekuatan (strength),

100 71 kelemahan (weakness), peluang (opportunities) dan ancaman (threat), disusun ke dalam matrik SWOT untuk dilakukan pencocokan untuk penentuan strategi, yaitu strategi S-O, S-T, W-O dan strategi W-T, seperti terlihat pada tabel 35. Salah satu model analisis SWOT dapat ditampilkan dalam matrik kotak, dua yang paling atas adalah kotak faktor eksternal peluang dan ancaman/tantangan, sedangkan dua kotak sebelah kiri adalah kotak faktor internal, yaitu kekuatankekuatan dan kelemahan-kelemahan. Empat kotak lainnya adalah merupakan kotak issu strategi yang timbul sebagai hasil kontak antara faktor eksternal dan faktor internal. Adapun issu strategi antara lain: 1) Comparative Advantage, 2) Mobilization, 3) Investment/Disvestment, dan 4) Damage Control (Kearns 1992 yang diacu dalam Salusu 1988) David (1989) yang diacu dalam Salusu (1988) yang menggunakan istilah TOWS, yaitu ingin mendahulukan analisis ancaman dan peluang untuk melihat sejauh mana kapabilitas internal sesuai dan cocok dengan faktor eksternal. Dalam analisis TOWS ada empat strategi yang ditampilkan. Strategi SO dipakai untuk menarik keuntungan dari peluang yang tersedia dalam lingkungan eksternal. Strategi WO bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang dari lingkungan luar. Strategi ST digunakan untuk menghindari, paling tidak memperkecil dampak dari ancaman yang datang dari luar. Strategi WT adalah taktik yang diarahkan pada usaha memperkecil kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal. Dalam menentukan strategi yang terbaik, dilakukan pemberian bobot (nilai) terhadap tiap unsur SWOT berdasarkan tingkat kepentingan dan kondisi suatu wilayah. Setelah masing-masing unsur SWOT diberi bobot (nilai), unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya dalam bentuk matrik untuk memperoleh berapa alternatif strategi. Alternatif-alternatif tersebut dijumlahkan bobotnya untuk menghasilkan ranking dari tiap-tiap strategi alternatif. Strategi dengan ranking tertinggi merupakan merupakan alternatif strategi yang diprioritaskan untuk dilakukan pengembangan (Rangkuti 2005). Model analisis SWOT menurut Kearns (1992) dan David (1989) yang diacu dalam Salusu (1988) disajikan pada Tabel 35

101 72 Tabel 35 Model Matrik Analisis SWOT Faktor Internal Faktor Eksternal OPPORTUNITIES (Peluang) STRENGTHS (Kekuatan) Comparative Advantage (SWOT) Strategi SO (TOWS) WEAKNESSES (Kelemahan) Mobilization (SWOT) Strategi WO (TOWS) THREATS (Ancaman) Investment Divestment (SWOT) Strategi ST (TOWS) Damage Control (SWOT) Strategi WT (TOWS) Sumber: Kearns(1992), David (1989) yang diacu dalam Salusu (1988) Analisis hierarki proses (AHP) Proses Analisis Hirarki (The Analitycal Hierarchi Process) dikembangkan pertamakali oleh L. Saaty pada tahun 1971, yang merupakan pakar matematika dari University of Pittsburg Amerika Serikat. Metode ini adalah salah satu dari ilmu pengambilan keputusan (Saaty1991). Dalam menggunakan AHP, berbagai komponen yang berinteraksi/terkait dengan pengembangan unit penangkapan ikan akan dikelompokkan ke dalam beberapa level/hirarki, misalnya level goal (tujuan), level kriteria, level pembatas (limitting factor), dan level opsi pengembangan. Secara rinci tahapan analisis AHP adalah sebagai berikut: (1) Penyusunan hierarki Penyusunan struktur hierarki merupakan kegiatan menusun interaksi komponen atau variabel yang telah didefinisikan ke dalam bentuk struktur hierarki AHP yang dimulai dari tujuan umum (level 1), dilanjutkan dengan sub tujuan/kriteria (level 2), level pembatas/limit faktor (level 3), dan opsi pengembangan unit penangkapan ikan pada tingkatan paling bawah hierarki (level 4). (2) Penetapan skala perbandingan Penetapan skala perbadingan diperlukan untuk menganalisis kepentingan setiap kriteria pengembangan yang perlu dicapai dalam pengembangan

102 73 unit penangkapan ikan, menganalisis kepentingan setiap pembatas pengembangan yang perlu diperhatikan untuk setiap kriteria pengembangan yang perlu dicapai, dan menganalisis kepentingan setiap unit penangkapan ikan yang menjadi opsi pengembangan untuk setiap pembatas pengembangan pada setiap kriteria. Skala perbandingaan ini ditetapkan berdasarkan tingkatan kualitatif dari setiap level yang dikuantitatifkan dengan tujun untuk mendapatkan skala baru yang memungkinkan untuk melakukan perbandingan antar beberapa alternatif, seperti terlihat pada Tabel 36 Tabel 36 Skala perbandingan berpasangan (pairwise comparations) berdasarkan taraf relatif pentingnya Intensitas pentingnya Definisi Penjelasan 1 Kedua elemen mempunyai sifat yang sama Dua elemen menyumbangkan sifat sama besar pada sifat itu 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dibandingkan elemen yang lainnya 5 Elemen yang satu esensial atau sangat penting dibanding elemen lainnya Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas lainnya Suatu elemen dengan kuat disokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktek 7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua pertimbangan dua yang berdekatan Kebalikan Jika satu aktifitas mendapat satu angka dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan j Sumber: Saaty (1991) Kompromi diperlukan antara pertimbangan (3) Formulasi data Setelah data skala perbandingan terkumpul, dilakukan formulasi data menggunakan program Microsoft Excell, kemudian dihitung nilai eigen value, menggunakan program Expert Choise 9,5. Dengan demikian dapat ditentukan prioritas keputusan yang akan diperolehnya. Konsistensi sangat penting dalam pengambilan keputusan. Konsistensi memiliki dua makna yaitu: pertama, objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman dan relevansinya, kedua, konsistensi terkait dengan tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui rasio konsistensi (consistency ratio : CR). Nilai rasio konsistensi harus 10% atau kurang. Jika rasio konsistensi lebih dari 10%, pertimbangan tersebut mungkin

103 74 salah dan perlu diperbaiki. Nilai Indeks acak (RI) dari matriks berordo 1 sampai dengan 10 yang digunakan untuk menentukan rasio konsistensi (CR) tercantum pada Tabel 37 Tabel 37 Nilai random consistensy index (RI) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai dengan 10 (Saaty 1991) N RI N RI 1 0,00 6 1,24 2 0,00 7 1,32 3 0,58 8 1,41 4 0,90 9 1,45 5 1, ,49 Sumber: Saaty (1991) Analisis diskriptif antar faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan perikanan pelagis Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Analisis deskriptif ditujukkan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai kondisi lapang yang bersifat tanggapan dan pandangan terhadap pelaksanaan program perkuatan serta kondisi sumberdaya dan daerah sampel. Hasil analisis kualitatif berupa perbandingan kondisi riil di lapangan yang diperoleh dari pendapat berbagai unsur yang terlibat dibandingkan dengan kondisi sebenarnya. Model konsep ini adalah merupakan tindak lanjut dari penggalian issu yang terjadi pada saat ini dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung pelaksanaan suatu kebijakan. Pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal di Maluku dapat dilakukan dengan mengusahakan unit penangkapan ikan yang tepat guna. Penggunaan alat tangkap tersebut harus ditunjang dengan berbagai sarana dan prasarana penangkapan serta teknologi alat tangkap ikan yang digunakan. Berkaitan dengan program pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Maluku, maka perlu dipilih jenis teknologi sederhana maupun modern yang tepat guna sehingga dapat sesuai dengan yang diharapkan. Pemilihan jenis teknologi harus memenuhi beberapa kriteria dari beberapa aspek penilaian yaitu aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi. Haluan dan Nurani (1988) mengatakan bahwa dari

104 75 segi biologi, alat tangkap tersebut tidak merusak sumberdaya ikan, dari segi teknis alat tangkap tersebut harus efektif dalam penggunaannya, dari segi sosial dapat diterima oleh nelayan, dan dari segi ekonomi alat tangkap itu bersifat menguntungkan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan perikanan pelagis adalah 1) modal, 2) sumberdaya manusia, 3) sumberdaya perikanan, dan 4) pemasaran. Penerapan jenis teknologi disuatu daerah harus benar-benar memperhatikan kondisi lingkungan sekitarnya dan disesuaikan dengan teknologi yang diterapkan. Pemilihan suatu jenis teknologi alat penangkapan ikan di suatu wilayah perairan sangat tergantung pada faktor alam sebagai faktor penentu utama yaitu 1) jenis, kelimpahan dan penyebaran sumberdaya ikan, 2) luas areal, lokasi dan keadaan fisik lingkungan daerah penangkapan ikan. Pengembangan jenis teknologi alat penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan perikanan, syaratsyarat yang harus dipenuhi menurut Monintja (2003) adalah : 1) menyediakan lebih banyak kesempatan kerja 2) menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan 3) menjamin jumlah produksi ikan yang tinggi untuk penyediaan protein 4) mendapatkan jenis ikan komoditi eksport 5) tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan Hasil dari penelitian yang dilakukan ini mencoba menggali issu yang ada dan terjadi dengan berbagai macam permasalahaan yang dominan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perikanan tangkap yang ada di Provinsi Maluku dengan melihat kembali kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah selama ini, apakah seimbang dengan jalannya roda pembangunan perikanan tangkap di daerah ini.

105 126 4 HASIL 4.1 Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Produksi ikan pelagis kecil Produksi ikan pelagis kecil selama 5 tahun terakhir (Tahun ) cenderung bervariasi, hal ini disebabkan karena pengoperasian alat tangkap ikan pelagis dilakukan secara trus menerus di perairan Maluku. Kurva hubungan antara produksi (catch), catch per unit effort (CPUE) dengan upaya penangkapan (effort) serta kondisi aktual selama kurun waktu 5 tahun untuk masing-masing jenis ikan pelagis kecil disajikan pada Gambar 18 sampai Gambar 23. Hasil analisis produksi lestari ikan menggunakan model Schaefer, yang menunjukkan upaya penangkapan optimal (f ) dan hasil tangkapan optimum (C ). MSY MSY MSY = 5.839,47 6,000 5, R 2 = 0,8993 0,60 0,50 Produksi (ton) 4,000 3,000 2, ,40 0,30 0,20 1,000 f opt = ,00 0, ,000 40,000 60,000 Effort (trip) 0,00 Gambar 18 Grafik kurva lestari ikan selar.

106 MSY = , , R 2 = 0,8665 1,00 Produksi (ton) , ,60 0, ,20 f opt = ,50 0, Effort (trip) Gambar 19 Grafik kurva lestari ikan layang MSY = 8.176, R 2 = 0,8899 0, ,60 Produksi (ton) ,50 0,40 0,30 0, f opt = ,00 0, Effort (trip) 0,00 Gambar 20 Grafik kurva lestari ikan tembang.

107 MSY = 4.983,32 R 2 = 0,8553 0, ,30 Produksi (ton) ,25 0,20 0,15 0, f opt = ,00 0, Effort (trip) 0,00 Produksi (ton) Gambar 21 Grafik kurva lestari ikan teri. MSY = 1.493,82 R 2 = 0,7979 0,09 0, ,07 0,06 0, , ,03 0,02 f opt = ,00 0,01 0, Effort (trip) Gambar 22 Grafik kurva lestari ikan komu.

108 86 2,200 2,000 1,800 1,600 MSY = 1.818, R 2 = 0,8747 0,14 0,12 0,10 Produksi (ton) 1,400 1,200 1, ,08 0,06 0, f opt = ,00 0, ,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 Effort (trip) 0,00 Gambar 23 Grafik kurva lestari ikan kembung. Berdasarkan Gambar 18 sampai Gambar 23, memperlihatkan bahwa ikan layang memiliki tingkat MSY tertinggi sebesar ton per tahun dengan effort optimal sebesar trip per tahun sedangkan ikan komu memiliki MSY yang paling rendah yaitu ton per tahun dengan effort optimal trip per tahun. Effort optimal ikan komu (Auxist thazard) memiliki nilai tertinggi yaitu trip per tahun dan terendah pada ikan selar sebesar trip per tahun Produksi ikan pelagis besar Produksi ikan pelagis besar selama 5 tahun terakhir (tahun ) cenderung bervariasi dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Kurva hubungan antara produksi (catch), catch per unit effort (CPUE) dengan upaya penangkapan (effort) serta kondisi aktual selama kurun waktu 5 tahun ( ) untuk masing-masing jenis ikan pelagis besar disajikan pada Gambar 24 sampai Gambar 29. Hasil analisis menunjukkan bahwa ikan cakalang mempunyai nilai MSY tertinggi yaitu sebesar ton per tahun dengan effort optimum trip per tahun. Ikan layur mempunyai MSY terendah 250,00 ton per tahun dengan effort optimal trip per tahun. Hasil analisis produksi lestari ikan

109 85 menggunakan model Schaefer, yang menunjukkan upaya penangkapan optimal (f ) dan hasil tangkapan optimum (C ). MSY MSY 10,000 9,000 8,000 MSY = 9.313,04 R 2 = 0,7663 0,40 0,35 7, ,30 Produksi (ton) 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1, f opt = , ,25 0,20 0,15 0,10 0, ,000 40,000 60,000 80, , , ,000 Effort (trip) 0,00 Gambar 24 Grafik kurva lestari ikan tuna. 700 R 2 = 0,6064 0, , MSY = 406,13 0,00 Produksi (ton) , , f opt = ,00 0, Effort (trip) 0,00 Gambar 25 Grafik kurva lestari ikan tenggiri.

110 MSY = 160,00 R 2 = 0, ,0009 Produksi (ton) ,0008 0,0007 0,0006 0,0005 0,0004 0,0003 0, f opt = ,00 0, Effort (trip) 0,0000 Gambar 26 Grafik kurva lestari ikan tenggiri papan MSY = 7.030, R 2 = 0,6336 0,40 0,35 0,30 Produksi (ton) ,25 0,20 0, , , f opt = ,00 0, Effort (trip) Gambar 27 Grafik kurva lestari ikan tongkol.

111 85 2, R 2 = 0, MSY = ,78 2, ,50 Produksi (ton) f opt = ,00 1, , Effort (trip) 0,00 Gambar 28 Grafik kurva lestari ikan cakalang. 0, MSY = 250, R 2 = 0,9417 0, ,0008 Produksi (ton) ,0006 0, , f opt = , , , , , , , , , , ,000, ,100,000 Effort (trip) 0,0000 Gambar 29 Grafik kurva lestari ikan layur.

112 Tingkat pemanfaatan dan tingkat pengupayaan Berdasarkan nilai maximum sustainable yield (MSY) dan produksi aktual tahun 2005 dari jenis ikan pelagis kecil dan besar maka tingkat pemanfaatan sumberdaya dapat diketahui. Kemudian dari nilai effort optimal dan effort aktual tahun 2005 untuk masing-masing jenis ikan pelagis, maka dapat dihitung tingkat pengupayaan yang terjadi. Tingkat pemanfaatan dan tingkat pengupayaan masingmasing jenis ikan pelagis kecil dan besar disajikan pada Tabel 38 dan Tabel 39 berikut. Tabel 38 Produksi aktual, tingkat MSY, tingkat pemanfaatan, effort aktual, effort optimal, dan tingkat pengupayaan ikan pelagis kecil di perairan Maluku No Jenis ikan Produksi aktual (ton) Tingkat MSY (ton) Tingkat pemanfaatan (%) Effort aktual (trip) Effort optimal (trip) Tingkat pengupayaan (%) 1 Ikan selar 3451, , ,01 2 Ikan layang 6765, , ,50 3 Ikan , ,60 tembang 4 Ikan teri , ,79 5 Ikan komu 355, , ,06 6 Ikan kembung 831, , ,150 55,45 Sumber: data olahan 2009 Tabel 39 Produksi aktual, tingkat MSY, tingkat pemanfaatan, effort aktual, effort optimal, serta tingkat pengupayaan ikan pelagis besar di perairan Maluku No Jenis ikan Produksi aktual (ton) Tingkat MSY (ton) Tingkat pemanfaatan (%) Effort aktual (trip) Effort optimal (trip) Tingkat pengupayaan (%) 1 Ikan tuna , ,69 2 Ikan tenggiri 40, ,13 0, ,98 3 Ikan tenggiri ,00 2, ,36 papan 4 Ikan tongkol , ,16 5 Ikan cakalang , ,21 6 Ikan layur ,00 2,00 156, ,12 Sumber: data olahan 2009

113 85 Berdasarkan pada Tabel 38, tingkat pemanfataan ikan pelagis kecil terutama jenis ikan selar, tembang, teri, komu dan kembung di perairan Maluku masih dibawah produksi lestari (MSY). Tingkat pemanfaatan ikan tembang mencapai 86,58% merupakan yang tertinggi diikuti oleh ikan selar (59,10%), ikan teri (58,61%), ikan layang (56,87%), ikan kembung (45,72%) dan yang terakhir adalah ikan komu (23,81%). Sementara itu tingkat pengupayaan ikan pelagis kecil terlihat bahwa ikan teri dengan tingkat pengupayaannya melebihi jenis ikan lain (79,79%) diikuti oleh ikan tembang (75,60%), ikan kembung (55,45%), ikan komu (54,06%), ikan layang (41,50%), dan ikan selar (37,01%). Pada Tabel 39 terlihat bahwa jenis ikan tuna menempati urutan pertama dengan tingkat pemanfaatan sebesar 51,10%, kemudian ikan tongkol 22,23%, ikan cakalang 13,03%, ikan tenggiri papan 2,12%, ikan layur 2,00%, dan ikan tenggiri 0,88%. Ikan tenggiri (89,98%) merupakan jenis ikan pelagis besar dengan tingkat tingkat pengupayaan pada urutan pertama diikuti oleh ikan layur 30,12%, ikan tongkol (24,16%), ikan tuna (21,69%), ikan tenggiri papan (19,36%), dan ikan cakalang (14,21%) Teknologi Penangkapan Tepat Guna Penilaian dan standardisasi aspek biologi Analisis terhadap aspek biologi dilakukan untuk melihat apakah jenis alat tangkap yang digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Provinsi Maluku merusak sumberdaya atau tidak. Penilaian aspek biologi unit penangkapan ikan pelagis dititik beratkan pada empat kriteria yaitu CPUE (catch per unit effort), jumlah trip, komposisi hasil tangkapan dan ukuran ikan yang tertangkap. Hasil penilaian dari aspek biologi disajikan pada Tabel 40 yang memperlihatkan penilaian dan standardisasi aspek biologi unit penangkapan ikan pelagis. Berdasarkan pertimbangan aspek biologi, pengembangan alat tangkap huhate, jaring insang permukaan dan pancing tonda lebih diprioritaskan, diikuti pukat cincin, pukat pantai dan bagan.

114 86 Tabel 40 Standardisasi aspek biologi unit penangkapan ikan di perairan Maluku No Alat Biologi Hasil Standarisasi Total Ratarata UP Tangkap W1 W2 W3 W4 V(W1) V(W2) V(W3) V(W4) 1 Pukat cincin 0, ,288 4, Pukat pantai 0, , ,201 3, Bagan 0, ,978 2, Huhate 0, ,69 736, Pancing 0, , ,78 50,34 3 tonda 6 Jaring insang permukaan 0, , ,23 90,90 2 Sumber: data penelitian 2009 Keterangan: W1 = CPUE (tahun) W2 = Jumlah trip (tahun) W3 = Komposisi hasil tangkapan (jumlah jenis) W4 = Ukuran ikan yang tertangkap (skor) UP = Urutan prioritas V(W1) = CPUE yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(W2) = Jumlah trip yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(W3) = Komposisi hasil tangkapan yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(W4) = Ukuran ikan yang tertangkap yang distandardisasi dengan fungsi nilai Penilaian secara keseluruhan dari hasil analisis skoring parameter biologi, alat tangkap huhate urutan pertama dengan nilai sebesar 736,46, jaring insang permukaan prioritas dengan nilai 90,90, dan pancing tonda diurutan ketiga dengan nilai 50, Penilaian dan standardisasi aspek teknis Analisis unit penangkapan pada aspek teknis sangat berkaitan dengan pengoperasian alat tangkap ikan, apakah termasuk efektif atau tidak untuk dioperasikan. Penilaian pada aspek teknis dilakukan untuk melihat tingkat efektifitas alat tangkap untuk digunakan. Kriteria pada aspek teknis meliputi pengoperasian alat tangkap, daya jangkau operasi, pengaruh lingkungan fisik, selektivitas alat dan penggunaan teknologi. Hasil penilaian dan standardisasi aspek teknis unit penangkapan ikan pelagis kecil disajikan pada Tabel 41. Penilaian dan hasil standardisasi aspek teknis menunjukkan bahwa alat tangkap pancing tonda (2,21) menduduki urutan pertama, diikuti jaring insang permukaan (2,16) diurutan kedua, dan huhate (1,94) pada posisi ketiga.

115 85 Tabel 41 Standardisasi aspek teknis unit penangkapan ikan di perairan Maluku No Alat Teknis Hasil Standarisasi Total Ratarata UP Tangkap X1 X2 X3 X4 X5 V(X1) V(X2) V(X3) V(X4) V(X5) 1 Pukat ,25 1,52 4 cincin 2 Pukat pantai 3 Bagan ,5 1, Huhate ,45 1, Pancing ,21 1 tonda 6 Jaring insang permukaan ,6 2,16 2 Sumber: data penelitian 2009 X1 = Pengoperasian alat tangkap (skor) X2 = Daya jangkau operasi penangkapan (skor) X3 = Pengaruh lingkungan fisik (skor) X4 = Selektivitas (skor) X5 = Penggunaan teknologi (skor) UP = Urutan prioritas V(X1) = Metode pengoperasian alat yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(X2) = Daya jangkau unit penangkapan yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(X3) = Pengaruh lingkungan fisik terhadap alat tangkap yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(X4) = Selektivitas yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(X5) = Penggunaan teknologi yang distandardisasi dengan fungsi nilai Penilaian dan standardisasi aspek sosial Analisis aspek sosial terhadap ke-enam unit penangkapan ikan pelagis yang melakukan operasi penangkapan di perairan Maluku meliputi kriteria penilaian respon terhadap penerimaan alat tangkap baru (Y1), tingkat pendidikan (Y2), ada tidaknya konflik antar nelayan (Y3), pengalaman kerja sebagai nelayan (Y4), jumlah tenaga kerja (Y5). Nilai pada kriteria penyerapan tenaga kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja pada setiap unit penangkapan yang melakukan operasi penangkapan. Nilai-nilai yang diperoleh dari nelayan dari masing-masing alat tangkap dihitung berdasarkan jawaban yang dipilih dengan cara memberikan skor pada saat wawancara (Tabel 42). Penilaian keunggulan unit penangkapan ikan dari aspek sosial, alat tangkap huhate (2,7) dan pukat cincin (2,4) mempunyai keunggulan sebagai prioritas utama dan kedua. Keunggulan kedua alat tangkap tersebut sebagai prioritas utama

116 86 dari beberapa kriteria yaitu huhate pada seluruh kategori penilaian berdasarkan wawancara, sedangkan alat tangkap pukat cincin mengalami kelemahan pada penilaian tingkat pendidikan (Y2), dan konflik antar nelayan (Y3) serta pancing tonda menduduki urutan ketiga (2,38). Setelah dilakukan standardisasi secara keseluruhan terhadap ke-enam jenis alat tangkap ikan pelagis yang melakukan operasi penangkapan di perairan Maluku, maka keunggulan yang diperoleh dari unit penangkapan ikan ditinjau dari aspek sosial adalah alat tangkap huhate (2,7), pukat cincin (2,4), dan pancing tonda (2,38) dan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 42 Tabel 42 Standardisasi aspek sosial unit penangkapan ikan di perairan Maluku No Alat Sosial Hasil Standarisasi Total Ratarata UP Tangkap Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 V(Y1) V(Y2) V(Y3) V(Y4) V(Y5) 1 Pukat cincin ,4 2 2 Pukat pantai ,61 1, Bagan ,44 1, Huhate ,7 1 5 Pancing ,83 2,38 3 tonda 6 Jaring insang permukaan ,16 2,21 4 Sumber: data penelitian 2009 Keterangan: Y1 = Respon penerimaan alat tangkap baru (skor) Y2 = Tingkat pendidikan (skor) Y3 = Ada tidaknya konflik antar nelayan (skor) Y4 = Pengalaman kerja sebagai nelayan (skor) Y5 = Jumlah tenaga kerja per unit alat (skor) UP = Urutan prioritas V(Y1) = Respon penerimaan alat tangkap baru distandardisasi dengan fungsi nilai V(Y2) = Tingkat pendidikan yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Y3) = Ada tidaknya konflik antar nelayan yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Y4) = Pengalaman kerja yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Y5) = Jumlah tenaga kerja yang distandardisasi dengan fungsi nilai

117 Penilaian dan standardisasi aspek ekonomi Keunggulan unit penangkapan ikan dari aspek ekonomi menggunakan kriteria penilaian yaitu penerimaan kotor per trip operasi (Z1), penerimaan kotor per jam operasi (Z2), penerimaan kotor per unit alat tangkap per bulan (Z3), penerimaan kotor per tahun (Z4) dan penerimaan kotor per tenaga kerja (Z5). Hasil penilaian untuk alat tangkap unggulan dari aspek ekonomi menempatkan alat tangkap pancing tonda sebagai unit penangkapan ikan prioritas utama. Alat tangkap pancing tonda unggul pada 5 kriteria penilaian yaitu pada kriteria (Z1), (Z2), (Z3), (Z4), dan (Z5) (Tabel 43). Alat tangkap huhate menduduki urutan kedua (2,77) dan jaring insang menduduki urutan ketiga (2,46) berdasarkan penilaian dan standarisasi aspek ekonomi. Tabel 43 Standardisasi aspek ekonomi unit penangkapan ikan di perairan Maluku No Alat Ekonomi Hasil Standarisasi Total Rata UP Tangkap Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 V(Z1) V(Z2) V(Z3) V(Z4) V(Z5) -rata 1 Pukat ,528 2,45 4 cincin 2 Pukat ,0 0,5 6 pantai 3 Bagan ,805 1, Huhate ,721 2, Pancing tonda 6 Jaring insang permukaan Sumber: data penelitian ,0 2, ,64 2,46 3 Keterangan: Z1 = Penerimaan kotor/trip operasi (Rp) Z2 = Penerimaan kotor/jam operasi (Rp) Z3 = Penerimaan kotor/alat tangkap/bulan (Rp) Z4 = Penerimaan kotor/tahun (Rp) Z5 = Penerimaan kotor/tenaga kerja (Rp) V(Z1) = Penerimaan kotor per trip yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Z2) = Penerimaan kotor per jam yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Z3) = Penerimaan kotor per alat tangkap yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Z4) = Penerimaan kotor per tahun yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Z5) = Penerimaan kotor per tenaga kerja yang distandardisasi dengan fungsi nilai

118 86 Berdasarkan rangkuman keunggulan berdasarkan aspek biologi (W1), teknis (X2), sosial (Y3), dan ekonomi (Z4) unit penangkapan merupakan cakupan keseluruhan aspek yang menjadi faktor penilaian. Tujuan determinasi unit penangkapan ikan adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keunggulan secara menyeluruh dari aspek-aspek tersebut sehingga cocok untuk dikembangkan di suatu daerah. Hasil analisis skoring yang dilakukan terhadap 6 unit usaha armada penangkapan ikan yang dioperasikan di perairan Maluku disajikan pada Tabel 44. Hasil standardisasi menunjukkan bahwa alat tangkap huhate sebagai unit penangkapan prioritas utama dan diikuti oleh pancing tonda, jaring insang permukaan, serta pukat cincin. Tabel 44 Rangkuman standardisasi penilaian aspek biologi, aspek teknis, aspek sosial, aspek ekonomi unit penangkapan ikan di perairan Maluku Unit Kriteria penilaian penangkapan Aspek biologi Aspek teknis Aspek sosial Aspek ekonomi Total Rata-rata UP Pukat cincin 4,41 1,52 2,4 2,45 10,78 2,69 4 Pukat pantai 3,90 1 1,76 0,5 7,16 1,79 6 Bagan 2,87 1,45 1,34 1,28 6,94 1,73 5 Huhate 736,46 1,94 2,7 2,77 743,87 185,96 1 Pancing tonda 50,34 2,21 2,38 2,9 57,83 14,45 2 Jaring insang 90,90 2,16 2,21 2,46 16,73 4,18 3 permukaan Sumber: data olahan Aspek berkelanjutan Keberhasilan suatu operasi penangkapan sangat membutuhkan suatu acuan yang jelas sehingga dalam pelaksanaannya harus didukung dari berbagai macam aspek yang saling berpengaruh terhadapnya. Aspek keberlanjutan merupakan suatu aspek yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan ikan karena berbagai macam faktor didalamnya yang harus dilaksanakan seperti: menerapkan teori yang ramah lingkungan, jumlah hasil tangkapan tidak melebihi yang diperbolehkan, penggunaan bahan bakar minyak rendah, menguntungkan, investasi rendah, serta memenuhi ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku. Hasil seleksi aspek berkelanjutan yang dilakukan terhadap semua jenis unit penangkapan ikan yang beroperasi di perairan Maluku dapat disajikan pada Tabel 45

119 85 Tabel 45 Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang berkelanjutan No Unit penangkapan ikan Kriteria Unit Penangkapan Ikan yang Berkelanjutan A B C D E F Total skor Ratarata 1 Pukat cincin Pukat pantai ,83 3 Bagan ,5 4 Huhate ,66 5 Pancing ,83 tonda 6 Jaring insang permukaan 7 Pukat udang Payang ,5 9 Pukat tarik Rawai ,33 11 Perangkap Sumber: data olahan 2009 Keterangan: A = menerapkan teknologi ramah lingkungan, B= Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC, C= menguntungkan, D= investasi rendah, E= penggunaan BBM rendah, F= memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku Analisis aspek berkelanjutan dilakukan dengan cara mengolah data yang diperoleh dari jawaban responden sesuai dengan kriteria dan sub kriteria yang terdapat pada acuan analisis aspek berkelanjutan. Masing-masing alat tangkap diberi skor berdasarkan jawaban responden, kemudian skor tersebut dijumlahkan dan diambil nilai rata-ratanya. Kemudian dari keseluruhan nilai rata-rata tersebut diambil nilai rata-rata tertinggi dan terendah. Nilai rata-rata tertinggi dan nilai rata-rata terendah dijumlahkan, kemudian dibagi 2 (dua) untuk memperoleh nilai cutting off sebagai nilai terendah yang diambil untuk menentukan hasil seleksi unit penangkapan ikan. Nilai rata-rata tertinggi adalah 3,83 (pancing tonda) dan nilai rata-rata terendah adalah 1,83 (pukat pantai) sehingga diperoleh nilai cutting off sebesar 2,83 yang berarti nilai rata-rata terendah yang meperhatikan aspek berkelanjutan adalah 2,83. Berdasarkan Tabel 45, unit penangkapan ikan yang memperhatikan aspek berkelanjutan di perairan Maluku adalah pancing tonda, huhate, jaring insang permukaan, perangkap, bagan, rawai, sedangkan yang tidak memperhatikan aspek berkelanjutan adalah pukat pukat cincin, pukat udang, pukat pantai, dan pukat tarik.

120 Aspek ramah lingkungan Hasil seleksi terhadap aspek ramah lingkungan dari setiap unit penangkapan ikan pelagis kecil dan besar yang mengadakan operasi di perairan Maluku disajikan pada Tabel 46 Tabel 46 Hasil seleksi unit penangkapan ikan berdasarkan aspek ramah lingkungan No Unit Kriteria Unit Penangkapan Ikan yang Ramah Lingkungan Total Ratarata penangkapan A B C D E F G H I skor ikan 1 Pukat cincin ,55 2 Pukat pantai ,78 3 Bagan ,78 4 Huhate ,22 5 Pancing ,55 tonda 6 Jaring insang ,22 permukaan 7 Pukat udang ,78 8 Payang ,67 9 Pukat tarik ,78 10 Rawai ,78 11 Perangkap ,33 Sumber: Olahan data lapangan (2009) Keterangan: A= selektivitas tinggi, B= tidak destruktif terhadap habitat, C= hasil tangkapan berkualitas tinggi, D= tidak membahayakan nelayan, E= produknya tidak membahayakan konsumen, F= by-catch dan discard minim, G= tidak menangkap species yang hampir punah, H= dampak minimum terhadap biodiversity, I= dapat diterima secara sosial. Analisis aspek ramah lingkungan dilakukan dengan cara mengolah data yang diperoleh dari jawaban responden sesuai dengan kriteria dan sub kriteria yang terdapat pada acuan analisis aspek ramah lingkungan. Masing-masing alat tangkap diberi skor berdasarkan jawaban responden, kemudian skor tersebut dijumlahkan dan diambil nilai rata-ratanya. Kemudian dari keseluruhan nilai ratarata tersebut diambil nilai rata-rata tertinggi dan terendah. Nilai rata-rata tertinggi dan nilai rata-rata terendah dijumlahkan, kemudian dibagi 2 (dua) untuk memperoleh nilai cutting off sebagai nilai terendah yang diambil untuk menentukan hasil seleksi unit penangkapan ikan. Nilai rata-rata tertinggi adalah 3,55 (pancing tonda) dan nilai rata-rata terendah adalah 1,78 (pukat pantai, pukat udang, pukat tarik) sehingga diperoleh nilai cutting off sebesar 2,66 yang berarti nilai rata-rata terendah yang meperhatikan aspek berkelanjutan adalah 2,66. Berdasarkan Tabel 46, unit

121 85 penangkapan ikan yang memperhatikan aspek ramah lingkungan di perairan Maluku adalah pancing tonda, jaring insang permukaan, huhate, rawai, payang dan perangkap, sedangkan yang tidak memperhatikan aspek berkelanjutan adalah pukat pukat cincin, pukat udang, pukat pantai, dan pukat tarik. 4.5 Opsi pengembangan unit penangkapan ikan pilihan Unit penangkapan ikan yang dipilih sebagai opsi pengembangan di perairan Maluku adalah unit penangkapan ikan yang memenuhi lebih baik dan lengkap dari aspek aspek pengembangan, baik aspek biologi, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Analisis opsi pengembangan unit penangkapan ikan di perairan Maluku dilakukan dengan cara mengetahui terlebih dahulu nilai unit penangkapan ikan dari hasil analisis masing-masing aspek, kemudian nilai tersebut dijumlahkan. Selanjutnya nilai tertinggi dan terendah dijumlahkan, kemudian dibagi 2 (dua) untuk menentukan nilai cutting off. Nilai tertinggi adalah 8,38 (pancing tonda) dan nilai terendah adalah 4,61 (pukat pantai). Nilai cutting off sebesar 6,49 yang artinya nilai terendah yang diambil menjadi opsi pengembangan unit penangkapan ikan di perairan Maluku adalah 6,49. Berdasarkan Tabel 47, unit penangkapan ikan yang menjadi opsi pengembangan di Maluku adalah pancing tonda, huhate, jaring insang permukaan, sedangkan unit penangkapan yang bukan menjadi opsi pengembangan adalah pukat pantai, pukat udang, pukat tarik, perangkap, pukat cincin. Tabel 47 Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang layak dikembangkan di Maluku No Unit penangkapan ikan Aspek Seleksi Biologi Berkelanjutan Ramah lingkungan Keterangan 1 Pukat cincin 1 2 2,33 5,33 2 Pukat pantai 1 1,83 1,78 4,61 3 Bagan 1 2,66 2,78 6,44 4 Huhate 1 3,66 3,22 7,88 5 Pancing tonda 1 3,83 3,55 8,38 6 Jaring insang 1 3 3,22 7,22 permukaan 7 Pukat udang 1 2 1,78 4,78 8 Payang 1 2,5 2,67 6,17 9 Pukat tarik 1 2 1,78 4,78 10 Rawai 1 2,33 2, Perangkap 1 2,66 2,33 5,99 Sumber: Olahan data lapangan (2009)

122 Alokasi unit penangkapan ikan di perairan Maluku Tujuan pembangunan perikanan di Provinsi Maluku adalah mengoptimalkan produksi sumberdaya hayati perikanan mencapai potensi lestari, serta dalam pengembangannya tidak terlepas dari ketersediaan potensi sumberdaya, tenaga kerja dan faktor penunjang seperti infrastruktur, institusi dan sebagainya. LGP digunakan untuk menentukan jumlah alokasi unit penangkapan, devisiasi tujuan pengelolaan perikanan tangkap dan pemakaian sumberdaya. Pencapaian tujuan pembangunan perikanan tangkap yang sifatnya kontradiktif membutuhkan suatu pendekatan yang tepat untuk menyerasikan tujuan yang telah ditentukan, sehingga memudahkan pengambil kebijakan untuk mengatasi permasalahan mengenai pengalokasian sumberdaya. Pendekatan optimalisasi alokasi alat penangkapan ikan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik linear goal programming (LGP), yang dapat memberikan solusi terhadap permasalahaan eksploitasi sumberdaya ikan di perairan Maluku. Solusi LGP yang diperoleh akan meperlihatkan jumlah alokasi alat tangkap, deviasi tujuan pengelolaan perikanan tangkap dan pemakaian sumberdaya. Target tersebut didasarkan pada tujuan pembangunan perikanan Daerah Maluku, yang mencakup beberapa alat tangkap yang dioperasikan nelayan di Maluku antara lain pukat cincin (purse seine), pukat pantai (beach seine), bagan (liftnet), huhate (pole and line), pancing tonda (troll line), serta jaring insang permukaan (drift gillnet). Pengalokasian sumberdaya perikanan tangkap dapat dilakukan berdasarkan manajemen kapasitas yaitu untuk menyelaraskan kapasitas produktif sumberdaya dengan kemampuan armada demi keberlanjutannya. Untuk itu digunakan target hasil tangkapan maksimum (MSY) sebagai basis, dengan demikian diperlukan hasil estimasi kapasitas alat tangkap saat ini dan kapasitas yang seharusnya dialokasikan serta hasil tangkapannya. LGP terdiri dari persamaan fungsi tujuan, fungsi kendala dan variabel keputusan. Persamaan fungsi tujuan mengekspresikan variabel deviasional dari kendala tujuan yang harus diminimumkan. Variabel deviasional pada fungsi tujuan bermanfaat unuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian diatas sasaran dan variabel deviasional yang berfungsi untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian

123 85 di bawah sasaran. Variabel deviasional tersebut akan merubah kendala menjadi sarana untuk mencapai sasaran yang dikehendaki. Penerapan LGP pada hakekatnya akan memberikan informasi penting dalam pengalokasian sumberdaya perikanan tangkap secara optimal, yaitu: 1) berapa alokasi optimal alat tangkap yang digunakan, 2) berapa besar ketercapaian tujuan yang dikehendaki sesuai target yang ditetapkan, dan 3) berapa besar sumberdaya yang dimanfaatkan dalam mencapai tujuan. Berdasarkan target kebijakan pengembangan dan variabel keputusan, maka sasaran yang ingin dicapai dalam optimalisasi alokasi armada penangkapan ikan pelagis di perairan Maluku adalah: (1) Mengoptimumkan ketersediaan sumberdaya ikan (SDI) Sumberdaya ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan Maluku adalah selar, layang, tembang, teri, komu, dan kembung, sedangkan sumberdaya ikan pelagis besar adalah tuna, tenggiri, tenggiri papan, tongkol, cakalang, dan layur. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan SDI tersebut didasarkan atas nilai TAC (total allowable catch) dan kemampuan masing-masing alat tangkap untuk menangkap ikan pelagis kecil. Adapun perhitungan nilai TAC, kemampuan menangkap alat untuk menyusun persamaan kendala tujuan dapat dilihat pada Lampiran 1. 1) Ikan pelagis kecil (i) Ikan selar (Selaroides spp) Potensi lestari (MSY) ikan selar 5839,47 ton/tahun dengan TAC sebesar 4671,58 ton/tahun/unit. Ikan selar ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap ikan selar adalah sebesar 10753,3 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 1472,6 ton/tahun/unit, serta bagan 3138,2 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan selar adalah : 10753,3 X ,6 X ,2 X3 + DB1 - DA1 <= 4671,58 (ii) Ikan layang (Decapterus russelli) Potensi lestari (MSY) ikan layang ton/tahun dengan TAC sebesar 9516 ton/tahun/unit. Ikan layang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap

124 86 ikan layang adalah sebesar ,8 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 2782,6 ton/tahun/unit, serta bagan 4673,3 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan layang adalah : ,8 X ,6 X ,3 X3 + DB2 - DA2 <= 9516 (iii) Ikan tembang (Sardinella fimbriata) Potensi lestari (MSY) ikan tembang 8176,74 ton/tahun dengan TAC sebesar 6541,40 ton/tahun/unit. Ikan tembang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap ikan tembang adalah sebesar 3347,6 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 15443,5 ton/tahun/unit, serta bagan 14817,4 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan tembang adalah : 3347,6 X ,5 X ,4 X3 +DB3 - DA3< = 6541,40 (iv) Ikan teri (Stolephorus indicus) Potensi lestari (MSY) ikan teri 4983,32 ton/tahun dengan TAC sebesar 3986,65 ton/tahun/unit. Ikan teri ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan alat tangkap pukat cincin untuk menangkap ikan teri adalah sebesar 1353,5 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 8722 ton/tahun/unit, serta bagan 9569 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan teri adalah : 1353,5 X X X4 +DB4 - DA4 <= 4983,32 (v) Ikan komu (Auxiss thazard) Potensi lestari (MSY) ikan komu 1493,82 ton/tahun dengan TAC sebesar 1195,5 ton/tahun/unit. Ikan komu ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap ikan komu adalah sebesar 1070,1 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 1359,4 ton/tahun/unit, serta bagan 1110,2 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan komu adalah : 1070,1 X ,4 X ,2 X3 + DB5 - DA5 <= 1195,5 (vi) Ikan kembung (Rastreliger kanagurta) Potensi lestari (MSY) ikan kembung 1818,05 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar 1454,44 ton/tahun/unit. Ikan kembung ditangkap dengan menggunakan

125 85 alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap ikan kembung adalah sebesar 4525,1 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 1955,4 ton/tahun/unit, serta bagan 1593,3 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan kembung adalah : 4525,1 X ,4 X ,3 X3 +DB6 - DA6 <= 1818,05 2) Ikan pelagis besar (i) Ikan tuna (Thunnus sp) Potensi lestari (MSY) ikan tuna 9313,04 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar 7450,72 ton/tahun/unit. Ikan tuna ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate, pancing tonda, dan jaring insang. Kemampuan alat huhate untuk menangkap ikan tuna adalah sebesar 4715,4 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 4453 ton/tahun/unit, serta jaring insang 3345,3 ton/tahun/unit. Adapun perhitungan nilai TAC, kemampuan menangkap alat untuk menyusun persamaan kendala tujuan dapat dilihat pada Lampiran 2. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan tuna adalah : 4715,4 X X ,3 X3 + DB7 DA7 <= 7450,72 (ii) Ikan tenggiri (Scomberomorus commersoni) Potensi lestari (MSY) ikan tenggiri 406,13 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar 324,90 ton/tahun/unit. Ikan tenggiri ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate, pancing tonda, dan jaring insang. Kemampuan alat tangkap huhate untuk menangkap ikan tenggiri adalah sebesar 18,8 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 893,2 ton/tahun/unit, serta jaring insang 637,4 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan tenggiri adalah : 18,8 X ,2 X ,4 X3 + DB8 DA8 <= 324,90 (iii) Ikan tenggiri papan (Scomberomorus gutatus) Potensi lestari (MSY) ikan tenggiri papan 160 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar 128 ton/tahun/unit. Ikan tenggiri papan ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate dan pancing tonda. Kemampuan alat huhate untuk menangkap ikan tenggiri papan adalah sebesar 17,5 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar

126 86 557,1 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan tenggiri papan adalah : 17,5 X ,1 X2 + DB9 DA9 <= 128 (iv) Ikan tongkol (Euthynnus affinis) Potensi lestari (MSY) ikan tongkol 7030,82 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar 5624,65 ton/tahun/unit. Ikan tongkol ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate dan pancing tonda. Kemampuan alat huhate untuk menangkap ikan tongkol adalah sebesar 5850,3 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 3710,2 ton/tahun/unit, dan jaring insang sebesar 2212,8 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan tongkol adalah : 5850,3 X ,2 X ,8 X3 + DB10 DA10 <= 5624,65 (v) Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Potensi lestari (MSY) ikan cakalang 49133,78 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar 39307,02 ton/tahun/unit. Ikan cakalang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate dan pancing tonda, dan jaring insang. Kemampuan alat tangkap huhate untuk menangkap ikan cakalang adalah sebesar ,7 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 8534,7 ton/tahun/unit, dan jaring insang permukaan sebesar 7183,7 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan cakalang adalah : ,7 X ,7 X ,7 X3 + DB11 DA11 <= 39307,02 (vi) Ikan layur (Istiophorus oriental) Potensi lestari (MSY) ikan layur 250 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar 200 ton/tahun/unit. Ikan layur ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pancing tonda, dan jaring insang. Kemampuan pancing tonda untuk menangkap ikan layur adalah sebesar 210,1 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 124,3 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan layur adalah : 210,1 X ,3 X3 + DB12 DA12 <= 200 3) Memaksimumkan alat tangkap Meminimumkan alat penangkapan ikan dimaksudkan untuk menentukan alokasi optimal dari enam alat penangkapan ikan antara lain: pukat cincin (purse

127 85 seine), pukat pantai (beach seine), bagan (liftnet), huhate (pole and line), pancing tonda (troll line), serta jaring insang permukaan (drift gillnet) yang saat ini beroperasi di perairan Maluku. Berdasarkan data statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku tercatat jumlah armada perikanan tangkap untuk kelima alat tersebut sampai tahun 2007 adalah unit. Namun, dengan pertimbangan keberlanjutan usaha perikanan dan sumberdaya ikan, maka pengalokasian alat penangkapan ikan adalah pukat cincin 272, pukat pantai 435, bagan 1659, huhate 404, pancing tonda , serta jaring insang permukaan unit. Dengan demikian maka model persamaan adalah: DB X X X X X X6 +DB13- DA13>= dimana: X1 = alat tangkap pukat cincin X2 = alat tangkap pukat pantai (unit) X3 = alat tangkap bagan (unit) X4 = alat tangkap huhate (unit) X5 = alat tangkap pancing tonda (unit) X6 = alat tangkap jaring insang permukaan (unit) Berdasarkan hasil analisis dengan program Lindo, target sasaran untuk mengoptimalkan upaya pengembangan alat penangkapan dapat tercapai. Hal ini di tunjukkan oleh nilai DB13= 0. 4) Memaksimumkan penyerapan tenaga kerja Mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja merupakan target untuk dicapai melalui pengalokasian optimum alat tangkap di perairan Maluku. Optimalisasi alokasi armada seyogianya dapat menyerap tenaga kerja nelayan pada jumlah tertentu yang tetap menghasilkan efisiensi teknis penangkapan yang lebih tinggi. Sasaran mengoptimalkan jumlah tenaga kerja merupakan bagian dari kebutuhan penangkapan yang berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan ikan. Berdasarkan wawancara dengan nelayan dan pengamatan di lokasi penelitian, rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan untuk masing-masing alat tangkap pukat cincin 25 orang, pukat pantai 14 orang, bagan 4 orang, huhate 28 orang, pancing tonda 2 orang, dan jaring insang permukaan 3 orang. Total sumberdaya manusia nelayan di Maluku berdasarkan data Statistik Perikanan dan Kelautan Maluku tahun 2006 tercatat orang. Diasumsikan nelayan pelagis yang

128 86 beroperasi di perairan Maluku sekitar 80%, maka jumlah nelayan penuh orang. Hal ini tentunya berhubungan dengan erat dengan alokasi upaya penangkapan serta target produksi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan sehingga diharapkan penyerapan tenaga kerja ditetapkan sesuai dengan alokasi rata-rata nelayan pada setiap alat tangkap. Dengan demikian model persamaan penyerapan tenaga kerja adalah sebagai berikut: 25X1+ 14X2+ 4X3 + 28X4 + 2X5 + 3X6 + DB14+DA14<= dimana: X1 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan pukat cincin (orang/unit) X2 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan pukat pantai (orang/unit) X3 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan bagan (orang/unit) X4 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan huhate (orang/unit) X5 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan pancing tonda (orang/unit) X6 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan jaring insang permukaan (orang/unit) Hasil analisis dengan program LINDO menunjukkan bahwa target sasaran mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja dapat tercapai yang ditunjukkan oleh nilai DB14 = 0. 5) Memaksimumkan penerimaan asli daerah (PAD) Memaksimumkan PAD adalah merupakan target untuk dicapai melalui pengalokasian alat penangkapan ikan pelagis. Kontribusi setiap alat tangkap dianggap sebagai PAD dari kegiatan perikanan pelagis di perairan Maluku. PAD yang diperoleh dari pungutan hasil perikanan dari setiap alat tangkap dapat ditetapkan 2,25% nilai total penjualan sesuai dengan peraturan yang berlaku di lokasi penelitian. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan data lapangan yang kami temui bahwa setiap kilogram ikan pelagis kecil dijual dengan harga Rp 5000, maka kontribusi pukat cincin sebesar Rp , pukat pantai Rp , bagan Rp , huhate Rp , pancing tonda Rp , jaring insang permukaan Rp Pungutan yang diperoleh melalui hasil perikanan pelagis di perairan Maluku pada saat kondisi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) yang diestimasi sebesar Rp , sehingga model persamaannya dapat dirumuskan sebagai, X X X X X X6 + DB15 + DA15<=

129 85 dimana: X1 = rata-rata kontribusi PAD oleh pukat cincin (Rp/unit) X2 = rata-rata kontribusi PAD oleh pukat pantai (Rp/unit) X3 = rata-rata kontribusi PAD oleh bagan (Rp/unit) X4 = rata-rata kontribusi PAD oleh huhate (Rp/unit) X5 = rata-rata kontribusi PAD oleh pancing tonda (Rp/unit) X6 = rata-rata kontribusi PAD oleh jaring insang permukaan (Rp/unit) Hasil analisis dengan program LINDO, memperlihatkan bahwa target sasaran mengoptimalkan PAD dari pungutan hasil perikanan ikan pelagis dapat tercapai. Hal ini ditunjukkan oleh nilai DB 15 = 0. 6) Meminimumkan penggunaan BBM Berdasarkan hasil analisis data lapangan, jenis BBM untuk kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan di perairan Maluku terdiri dari bersin, solar, dan minyak tanah. Total alokasi BBM untuk kegiatan perikanan sekitar 5000 liter/trip dan penggunaan ini merupakan patokan maksimum sehingga tidak berimplikasi terhadap pembengkakan biaya BBM yang menyebabkan armada tidak bisa beroperasi. Kenaikan harga dan pengurangan subsidi BBM berdampak pada pola operasi penangkapan, karena BBM merupakan komponen terbesar biaya operasi yang harus ditanggung oleh nelayan. Kebijakan kenaikan harga BBM dan pengurangan subsidi tentunya merupakan ancaman bagi kelangsungan usaha penangkapan. Penggunaan BBM rata-rata dari armada penangkapan yang mengadakan operasi menunjukkan bahwa pukat cincin sekitar 200 liter/trip, pukat pantai 10 liter/trip, bagan 20 liter/trip, huhate 3000 liter/trip, pancing tonda liter/trip, serta jaring insang permukaan 75 liter/trip. Alat tangkap pukat pantai, bagan, adalah merupakan alat tangkap yang menggunakan bahan bakar pada lampu sebagai sumber cahaya untuk mengumpulkan ikan. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan penggunaan BBM dalam pengembangan alat penangkapan ikan di perairan Maluku adalah: 200X1 + 10X2 + 20X X X5 + 75X6 + DB16-DA16<= 5000 dimana: X1 = penggunaan BBM oleh kapal pukat cincin (liter/trip) X4 = penggunaan BBM oleh kapal huhate (liter/trip)

130 86 X5 = penggunaan BBM oleh kapal pancing tonda (liter/trip) X6 = penggunaan BBM oleh kapal jaring insang permukaan (liter/trip) Tabel 48 memperlihatkan tentang alokasi optimal unit-unit penangkapan ikan pelagis yang diharapkan dapat direkomendasikan penambahan atau pengurangan alat tangkap yang dioperasikan di perairan Maluku. Tabel 48 Alokasi alat tangkap dan solusi optimal perikanan pelagis di perairan Maluku No Jenis Armada Hasil Optimalisasi Aktual Solusi Penambahan Keterangan (unit) optimal Basis (unit) /pengurangan 1 Pukat cincin (X1) Upaya yang di tempuh untuk 2 Pukat pantai (X2) pemanfaatan sumberdaya ikan 3 Bagan (X3) pelagis di perairan Maluku 4 Huhate (X4) adalah dengan penambahan 5 Pancing tonda (X5) unit tangkap dan perluasan 6 Jaring insang (X6) daerah penangkapan Sumber: data penelitian 2009 Hasil analisis LGP terhadap unit penangkapan ikan pelagis terlihat bahwa pengembangan berdasarkan solusi optimal untuk pukat cincin, pukat pantai, bagan, huhate, pancing tonda, dan jaring insang permukaan masing-masing 257 unit, 260 unit, 1419 unit, 1457 unit, unit, dan unit. Kenaikan jumlah alat tangkap untuk dikembangkan, antara lain: huhate (1053 unit), pancing tonda (13469 unit), dan jaring insang (17339 unit). Pengurangan terjadi pada jumlah alat tangkap pukat cincin (15 unit), pukat pantai (175 unit), serta bagan (240 unit). Pengurangan jumlah alat tangkap ikan pelagis kecil (pukat cincin, bagan, dan pukat pantai) disebabkan karena alat tangkap ini dianggap tidak ramah lingkungan sehingga kalau hal ini tidak ditindak-lanjuti akan mempengaruhi stok sumberdaya yang ada di perairan Maluku. Kenaikan jumlah alat tangkap ikan pelagis besar sangat berpengaruh pada sumberdaya sehingga pengelolaan dilakukan akan tetap berkelanjutan. Upaya yang ditempuh dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah dengan penambahan jumlah armada penangkapan, perbaikan alat tangkap dengan penggunaan teknologi tepat guna, serta perluasan daerah penangkapan dengan memperhatikan aturan yang berlaku sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan pendapatan asli daerah. Kebijakan yang ditempuh berdasarkan solusi optimal basis pengembangan perikanan pelagis di

131 85 perairan Maluku dalam pencapaian sasaran pengembangan yang dilakukan secara bertahap Modifikasi Prototipe Alat Tangkap di Perairan Maluku Desain armada penangkapan harus sesuai dengan fungsinya seperti ukuran kapal, alat tangkap, mesin yang digunakan diharapkan akan berpengaruh terhadap pengelolaan potensi sumberdaya perikanan. Di Maluku, pengoperasian ketiga alat tangkap antara lain: huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pengembangan perikanan di daerah ini. Namun, masih terdapat berberapa kelemahan dari alat-alat tangkap ini dan perlu dikaji serta diusulkan prototipe sehingga akan diperoleh bentuk yang akan dikembangkan dimasa datang, yang adalah sebagai berikut: Alat tangkap huhate (pole and line) Joran pancing huhate Konstruksi dari joran pancing huhate yang digunakan nelayan di Maluku umumnya sudah cukup sempurna ditinjau dari segi teknis. Dari segi teknis, suatu kelemahan pada alat huhate terdapat pada joran pancing, yang mana sampai sekarang nelayan masih menggunakan batang bambu. Pengembangan alat tangkap ini dapat dilakukan dengan mempergunakan modifikasi joran pancing yang lebih kokoh (kuat), lentur, ringan dan tahan lama. Karakteristik joran pancing saat ini dan modifikasi baru yang akan dikembangkan disajikan pada Tabel 49 Tabel 49 Spesifikasi joran pancing saat ini dan arahan penyempurnaannya yang akan dikembangkan Spesifikasi Kelemahan Arahan penyempurnaan Kondisi yang diharapkan 1. Joran 1 Joran pancing masih menggunakan bambu 1 Lebih ringan Menggunakan bahan fiber glass dengan tulang dari bahan stainless steel 2Tidak tahan terhadap 2 Tidak menguras benturan keras tenaga pemancing 3 Mudah lapuk 3 Lebih kuat 4 Jenis bambu tersebut sukar diperoleh di alam 4 Tahan terhadap benturan keras 5 Bambu yang digunakan 5 Umur pakai panjang cukup berat Sumber: data penelitian Tidak mudah lapuk 7 Tidak mudah patah

132 86 Dasar pertimbangan untuk membuat modifikasi prototipe joran baru, karena dalam operasi penangkapan cakalang dengan menggunakan kapal huhate saat ini bahwa terlihat bahwaa ukuran joran (3 meter) dianggap terlalu panjang sehingga mengakibatkan pemancing mengalami kesulitan pada saat pancing, ikan hasil tangkapann seringkalii melewati bagian deck kapal sehingga menyebabkan ikan hasil tangkapan jatuh kelaut. Suatu kelemahan dari modifikasi prototipe alat huhate ini adalah memerlukan biaya yang lebih besar. Meskipun demikian, dengan umur pakai yang panjang dan meningkatnya efisiensi penangkapan merupakan faktor yang dapat mengkompensasikan kelemahan tersebut sehingga dapat dipertimbangan untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Modifikasi yang diusulkan ini diharapkan dapat membantu nelayan khususnya nelayan yang mengoperasikan alat tangkap huhate dengan tetap memperhatikan aspek-aspek lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Gambar desain tangkai pancing yang sekarang digunakan oleh nelayann dan modifikasi baru, dapat dilihat pada Gambar 30 dan Gambar 31 Gambar 30 Joran pancing huhate saat ini. Gambar 31 Modifikasi joran pancing yang akan dikembangkan pada kapal huhate.

133 85 Perbandingan hasil tangkapan yang diperoleh antara joran pancing yang terbuat bambu dengan joran pancing modifikasi dari fiberglass dapat disajikan pada Tabel 50 Tabel 50 Perbandingan karakteristik joran pancing bambu dan joran pancing fiberglass Joran pancing bambu 1 Berat ikan hasil tangkapan yang diangkat dengan joran ini dapat mencapai 9,2 kg 2 Waktu yang dibutuhkan dalam 30 menit untuk 1 orang pemancing dalam mengangkat ikan hasil tangkapan mencapai 25 ekor Sumber: data penelitian 2009 Joran pancing fiberglass Berat ikan hasil tangkapan yang diangkat dengan joran fiberglass mencapai >10,5 kg Jumlah hasil tangkapan dapat mencapai 35 ekor Kapal huhate Di Maluku, kapal huhate (pole and liner) dapat digolongkan dalam dua jenis, yakni rurehe dan motor ikan. Rurehe adalah kapal huhate berukuran kecil yang menggunakan sistem motor tempel (outboard engine system) dimana ruang para pemancing terdapat di bagian buritan kapal, sedangkan motor ikan adalah kapal huhate berukuran lebih besar dari rurehe yang menggunakan motor dalam (inboard engine system) dan ruang para pemancing berada di bagian haluan kapal. Pengembangan perikanan huhate di Maluku ditinjau dari sisi peningkatan upaya penangkapan kaitannya dengan potensi sumberdaya ikan, khususnya dengan tujuan pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang, masih memiliki peluang yang cukup besar. Umumnya pembangunan kapal huhate (pole and line) di Maluku masih dilakukan di galangan kapal rakyat tanpa menggunakan acuan yang jelas sebagai indikator untuk membuat sebuah kapal yang layak, padahal dengan menggunakan desain dan perhitungan-perhitungan yang matang maka sebuah kapal akan layak untuk dibuat. Sekarang ini proses pembuatan kapal ikan yang digunakan untuk tujuan penangkapan, masyarakat masih menggunakan teknik-teknik tersendiri sesuai keahlian yang mereka miliki sehingga kadang-kadang mereka salah dalam perhitungan dan menyebabkan kapal akan mengalami gangguan pada saat operasi di laut. Proses pembuatannya dilakukan tanpa perencanaan desain dan konstruksi, tetapi pada pola kapal huhate yang dibangun terlebih dahulu harus berdasarkan

134 86 spesifikasinya yang diinginkan pembeli. Hasil dari proses pembangunan kapal tersebut memang dapat digunakan untuk melakukan operasi penangkapan, tetapi pemenuhan standar kelayakan pengoperasian kapal belum diketahui. Kapal yang dibuat oleh desainer kapal yang ada di daerah Maluku secara keseluruhan hampir mempunyai ukuran yang hampir sama. Kelemahannya yaitu terletak pada ukuran panjang dan lebar kapal terlalu kecil sehingga stabilitas tidak berfungsi dengan baik. Beberapa daerah di Maluku yang melakukan pembangunan kapal huhate antara lain: Desa Tulehu, Waai, Negeri Lima, Hila. Operasi penangkapan ikan dari unit-unit perikanan huhate yang dilakukan di perairan Maluku adalah dengan sistem sistem one-day-fishing. Artinya bahwa pada saat menjelang pagi nelayan setelah memperoleh ikan umpan, kemudian mereka menuju ke daerah penangkapan yang dianggap sebagai tempat operasi penangkapan, setelah mendapatkan hasil tangkapan dan pada saat itu juga nelayan kembali ke fishing base. Hasil tangkapan yang diperoleh kadang-kadang langsung dijual kepasar ataupun disimpan di cold storage. Umumnya rata-rata waktu operasi penangkapan mulai dari pelayaran dari pangkalan pendaratan, pencarian kelompok ikan, pemancingan kelompok ikan hingga kembali ke pangkalan pendaratan dari unit-unit huhate di Maluku adalah 10 jam. Karakteristik kapal huhate saat ini dan modifikasi baru yang akan dikembangkan dapat dilihat pada Tabel 51 Tabel 51 Spesifikasi kapal huhate saat ini dan modifikasi baru yang akan dikembangkan Spesifikasi Arahan penyempurnaan Kondisi yang diperoleh 1. Ukuran panjang 14,83, Lebar 3,24, tinggi 2,50 m Modifikasi kapal yang lebih panjang dan lebar 1 Ukuran panjang 15,26, lebar 3,64, tinggi 2,62 m 2 Flyng deck 2,00 m 2 Flyng deck 1,40 m 3 Palka ikan 1,00m 3 (2 buah),1,2m 3 (2buah), 1,5m 3 (2buah), palka umpan hidup 1.50 m 3 (2 buah) 4 Jumlah pancing 30 buah dengan bahan dari bambu 5 Peralatan navigasi belum lengkap (kompas, SSB, peta laut) 3 Volume palka ikan 1,2m 3 (2bh); Volume 1,5m 3 (2bh); Volume 1,7 m 3 (2 bh), palka es 2,3m 3 (2bh), palka umpan hidup1,75 m 3 (3 bh), palka air tawar Volume 500 liter (2 buah) 4 Jumlah Joran pancing dengan bahan fiber glass (30 bh) dengan panjang 2,75 m 5 Peralatan navigasi kompas, life jacket, hand GPS, SSB, peta laut. 6 Menggunakan bahan kayu yang di 6 Menggunakan bahan fiberglass laminating dengan fiberglass 7 Mesin listrik 2 kwh 7 Mesin listrik Merk Yanmar 5 kwh Sumber: data penelitian 2009

135 85 2,50 m Keterangan: 1 Bak penampungan hasil tangkapan 2 Bak umpan 3 Ruang kemudi 4 Ruang ABK 5 WC 6 Tempat pemantauan gerombolan ikan Gambar 32 Desain kapal huhate (pandangann samping) saat ini di perairan Maluku Gambar 33 Desain kapal huhate (pandangan atas) saat inii di perairan Maluku

136 86 9 Gambar 34 Kapal huhate (pandangan dari samping) yang akan dikembangkan di Malukuu Keterangan: 1 Bak penampungan hasil tangkapan 2 Bak umpan 3 Ruang kemudi 4 Ruang ABK 5 Tempat pemantauan 6 Ruang tempat penyimpanann peralatan tangkap 7 WC 8 Tempat pemancingan 9 Ruang mesin Gambar 35 Kapal huhate (pandangan atas) yang akan dikembangkan di perairan Malukuu

137 126 Gambar 32 dan Gambar 33 memperlihatkan desain kapal huhate saat ini di perairan Maluku. Desain kapal huhate saat ini dimodifikasi sehingga didapatkan suatu bentuk desain kapal yang lebih efektif dalam pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar di perairan Maluku. Modifikasi kapal huhate (Gambar 34 dan Gambar 35) dilakukan hanya dengan merubah ukuran panjang, lebar, tinggi serta memodifikasi palka dengan penambahan styrofoam pada dinding palka. Dibandingkan dengan desain kapal huhate yang dimiliki nelayan di Maluku, hanya satu keunggulan dari modifikasi prototipe kapal huhate yang diusulkan dengan sistem motor dalam ini adalah dapat memproduksikan skipjack loin. Kesesuaian ukuran kapal ataupun model kapal dengan ukuran alat, jenis ikan target, kebutuhan bahan bakar akan mempengaruhi kondisi kapal pada saat beroperasi yang berdampak pada keselamatan pelayaran secara umum. Hal ini didukung oleh pendapat Unus et al (2005) yang mengatakan bahwa suatu operasi penangkapan dapat optimal apabila dapat memperhatikan faktor keselamatan, pelayaran di laut, karena operasi penangkapan ikan merupakan aktifitas yang beresiko tinggi, selanjutnya dikatakan juga bahwa unsur kecelakaan sering terjadi laut pada kapal-kapal ukuran < 12 meter dan presentase kecelakaannya 54%, jenis kecelakaan tenggelam sebesar 40,66% Modifikasi palka kapal huhate yang diusulkan pengembangannya Terdapat kelemahan pada sebagian besar pole and liner yang ada di Maluku antara lain: pada kapal dengan inboard engine, desain palka hanya menghasilkan produk untuk pasaran lokal dan belum dimodifikasi untuk menghasilkan produk skipjack loin yang merupakan suatu bentuk produk ekspor. Hanya ada satu hal yang diusulkan untuk penyempurnaan konstruksi modifikasi palka dirubah agar dapat berfungsi untuk menghasilkan produk skipjack loin yang merupakan suatu bentuk produk eksport yang belakangan ini permintaan akan produk tersebut sangat tinggi. Gambar 36 menunjukkan bentuk desain palka kapal huhate saat ini serta Gambar 37 menunjukkan modifikasi palka yang diusulkan pengembangannya di perairan Maluku

138 86 Gambar 36 Desain palka kapal huhate saat ini Perubahan bentuk palka dengan cara penambahan bahan styrofoam pada dinding palka dengan tujuan dapat memperlambat proses pembusukan yang terjadi pada hasil tangkapan. Hal ini sependapat dengan IPPTP DKI Jakarta (1998) menyatakan bahwa untuk mempertahankan kualitas ikan pasca tangkap adalah dengan menggunakan busa (styrofoam) pada peti atau palka. Spesifikasi desain palka kapal huhate saat ini dan arahan penyempurnaannya dapat dilihat pada Tabel 52 Tabel 52 Spesifikasi desain palka kapal huhate saat ini dan arahan penyempurnaannyaa Spesifikasi 1 Desain palka hanya terbuat dari lapisan fiberglass 2 Tidak menggunakan Styrofoam pada dinding palka 3 Desain palka hanya untuk kebutuhan pasar lokall Tidak memproduksi loin Sumber: data penelitian 2009 Kelemahan dapat skipjack Kualitas hasil tangkapan tidak baik Arahan penyempurnaan Modifikasi palkaa kapal dengan penambahan styro foam pada dinding palka Kondisi yang diperoleh 1Penambahan styrofoam pada palka kapal huhate 2 Modifikasi palka dengan ketebalan styrofoam 5-15 cm 3Biaya pembuatan modifikasi palka cukup besar tetapi dapat diimbangi dengann hasil tangkapan yang diperoleh 4 Memperlambat proses pembusukan padaa hasil tangkapan 5 Menghasilkan produk skipjack loin Modifikasi palka ini hanya diubah dengan menambah styrofoam pada dinding palka tanpa merubah bentuk palka yang ada. Modifikasi palka yang dibuat ini mempunyai beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan kondisi palka kapal huhate saat ini antara lain: 1) memperlambat proses pembusukan padaa hasil

139 85 tangkapan, 2) mutu hasil tangkapan merupakan suatu bentuk produk skipjackk loin yang siap untuk di ekspor yang akhir-akhirr ini permintaannya semakin tinggi, 3) modifikasi palka ini mempunyai ketebalan styrofoam 5-15 cm, 4) biaya pembuatan modifikasi palka inii cukup besar tapi dapat diimbangi dengan hasil tangkapann ikan pelagis besar yang di peroleh dari kapal huhate. Upaya memperoleh perubahan perbandingan desain palka kapal huhate saat ini dengan modifikasi yang dibuat untuk dikembangk kan di perairan Maluku adalah seperti terlihat pada Tabel 53 Tabel 53 Perbandinga an desain palka saat inii dengan modifikasi palka kapal huhate di perairan Maluku Desain palka saat ini Modifikasi palka 1 Dapat menampung 450 ekor/palka Menampung 675 ekor/palka 2 Daya tahan hasil tangkapan di dalam Daya tahan hasil tangkapann dapat mencapai palkaa mencapai 7 jam 12 jam 3 Kondisi es dalam palka mencair lebih Kondisi es dalam palka lambat mencair cepat Sumber: data penelitian 2009 Stryro foam pada palka dengan ketebalan 5-15 cm Dinding palka dari fiberglass Gambar 37 Modifikasi palkaa yang akan dikembangkan pada kapal huhate Alat tangkap pancing tonda (troll line) Alat pancing tonda Padaa alat tangkap pancing tonda (troll line) yang digunakann oleh nelayan di Maluku, pada umumnya ditemukan beberapa kelemahan padaa konstruksinya, yakni: 1) ukuran senar yang digunakan nomor 800 termasuk kategori ukuran senar

140 86 yang kecil untuk menangkap ikan tuna. Diameter senar yang kecil efektif untuk memperdayai ikan agar tidak melihat dan terusik oleh senar yang digunakan, akan tetapi hanya mampu menangkap ikan tuna dengan berat kg, tapi itu pun memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh ikan yang telah terkait. Sementara terhadap ikan tuna yang beratnya di atas 60 kg, sering terjadi putusnya senar tersebut, 2) tidak digunakannya bahan pelindung senar pada bagian dekat mata pancing dapat menyebabkan putusnya senar karena tidak tahan terhadap gesekan gigi ikan sewaktu penarikan ikan yang sudah terkait pada mata pancing, 3) tidak menggunakan swivel sehingga menyebabkan kusutnya senar, serta 4) kail yang digunakan masih berbentuk/tipe J (J-shaped) yang mana sering terbukanya mata pancing pada saat penarikan ikan tuna yang telah terkait pada mata pancing menyebabkan lolosnya ikan, sehingga gagal tangkap. Kelemahan-kelemahan pada konstruksi alat pancing tonda dapat di atasi bila menggunakan ukuran senar yang lebih besar misalnya nomor 1000 sampai 1500 dengan tipe kail circle-shapped No.1, yang dilengkapi dengan swivel, bahan pelindung pada bagian senar dekat mata pancing. Tabel spesifikasi modifikasi alat tangkap pancing tonda serta kondisi yang diharapkan dapat disajikan pada Tabel 54 Tabel 54 Spesifikasi modifikasi alat tangkap pancing tonda. Spesifikasi lama Arahan penyempurnaan Kondisi yang diharapkan 1. Ukuran senar terlalu kecil Modifikasi prototipe alat pancing 1 Ukuran senar besar (No ) (N0 800) tonda untuk dikembangkan di perairan Maluku 2 Type kail J shapped 2 Type kail cyrcle shapped No 1 3 Tidak menggunakan bahan pelindung dekat senar 3 Menggunakan bahan pelindung dekat senar 4 Tidak menggunakan swivel 4 Menggunakan swivel dekat mata pancing 5 Ikan yang terkait pada mata 5 Ikan yang terkait sukar untuk terlepas pancing mudah terlepas 6 Menggunakan satu mata 6 Dapat dioperasikan lebih dari 1 unit pancing pancing Sumber: data penelitian 2009 Tabel 54 menunjukkan perbandingan spesifikasi alat tangkap pancing tonda saat ini dengan kondisi yang diharapkan. Pada kondisi ini diharapkan modifikasi yang diusulkan dapat membantu nelayan dalam meningkatkan pendapatan. Gambar desain alat tangkap pancing tonda yang dioperasikan oleh nelayan saat ini serta gambar modifikasi prototipe alat pancing tonda yang diusulkan

141 85 untuk dikembangkan di perairan Maluku Gambar 39 dapat disajikan pada Gambar 38 dan Monofilamen Horsehair/ Maize Rubber Plastic/Bone Gambar 38 Desain pancing tonda yang dioperasikan nelayan saat ini di perairan Maluku. Gambar 39 Modifikasi prototipe alat pancing tonda yang diusulkan untuk dikembangkan menangkap ikan tuna di perairan Maluku. Hasil perbandingan keunggulan pancing tonda saat ini dengan modifikasi yang diusulkan sesuia hasil tangkapann yang diperoleh pada saat operasi penangkapan dilakukan di perairan Malukuu dapat disajikan pada Tabel 55 berikut ini. Tabel 55 Perbandingan keunggulan alat pancing tonda saat inii dan modifikasi yang diusulkan untuk dikembangkan Pancing tonda saat ini Modifikasi yang diusulkan 1 2 Hasil tangkapan relatif sedikit (11 Relatif lebih ekor/trip) ekor/trip) Berat ikan kg banyak (16 hasil tangkapan 0,8 kg-35 Berat ikan dapat mencapai > 45 kg Sumber: data penelitian 2009

142 Kapal pancing tonda Salah satu jenis usaha perikanan tangkap yang memiliki prospek sangat baik untuk dapat dikembangkan di Provinsi Maluku pada saat ini adalah pancing tonda (troll line). Pengembangan perikanan pancing tonda di Maluku dilihat dari sisi peningkatan upaya penangkapan kaitannya dengan potensi sumberdaya ikan, khususnya dengan tujuan pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang dan tuna besar yang tersedia, memiliki peluang yang cukup besar. Kapal tonda adalah kapal penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan ekonomis penting seperti cakalang, tuna besar dan tenggiri yang memiliki kecepatan renang yang tinggi. Metode penangkapan pancing tonda adalah mengejar kelompok ikan-ikan, maka diperlukan kecepatan kapal yang tinggi dan ruang dek yang luas. Berdasarkan Gambar 40 dan Gambar 41 terlihat bahwa kapal tonda yang dimiliki nelayan di Maluku dengan daerah penangkapan yang luas dan jauh dari tempat pendaratan memiliki beberapa kelemahan lain seperti: 1) ukuran kapal yang relatif kecil (p x l x d = 7 sampai 8 x 0,80 x 1,05 m) dengan daya tampung hasil tangkapan sebesar 0,5 ton, 2) kapal tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi maupun peralatan keselamatan kerja di laut, 3) mesin yang digunakan berbahan bakar bensin, 4) kapal tidak dilengkapi dengan tempat penyimpanan hasil tangkapan (cool box) yang memadai sehingga penanganan hasil tangkapan tidak efisien akibat ukuran kapal terlalu kecil, 5) sering terjadi kecelakaan di laut, serta 6) kapal tidak laik laut pada saat laut berombak/bergelombang. Keunggulan kapal pancing tonda yang dioperasikan di perairan Maluku saat ini belum dapat mengatasi kelemahan yang ada sehingga perlu pengembangan lanjutan tentang modifikasi kapal dengan keunggulan yang sangat membantu nelayan sehingga dapat meningkatkan produktifitas. Ukuran kapal yang lebih besar disamping lebih laik laut dan daya tampung hasil tangkapan yang lebih besar, juga dapat meningkatkan kenyamanan kerja. Sedangkan perlengkapan kompas dan life-jacket dapat digunakan untuk menghindari tersesatnya nelayan di laut khususnya pada waktu cuaca berkabut atau pada jarak dimana tidak lagi terlihat pulau sebagai objek baringan, serta jika terjadi kecelakaan di laut, nelayan dapat menggunakannya sebagai tindakan penyelamatan pertama.

143 126 1,05 m Keterangan: 1 Tempat mesin 2 Tempat duduk nelayann 3 Tempat cool box Gambar 40 Desain kapal pancing tonda (pandangan samping) saat ini di Maluku. 1,05 m 3 1,05 m 2 1 Gambar 41 Desain kapal pancing (pandangan atas) tonda saat ini di Maluku.

144 126 Berdasarkan pada kelemahan, maka diusulkan modifikasi prototipe kapal tonda untuk dikembangkan di perairan Maluku dengan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 56 Tabel 56 Spesifikasi dan kondisi positif yang diharapkan kapal pancing tonda di perairan Maluku Spesifikasi lama Kelemahan Spesifikasi baru Kondisi positif yang diperoleh 1 Ukuran kapal kecil Pekerjaan pelaksanaan Operasi penangkapan tidak efektif 1 Ukuran kapal diperbesar Pelaksanaan operasi penangkapan dapat berjalan dengan lancar 2 Daya tampung 0,5 ton Hasil tangkapan tidak maksimal 3 Tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi atau peralatan keselamatan kerja di laut 4 Menggunakan bahan bakar bensin 5 Tidak dilengkapi dengan peralatan penanganan hasil tangkapan yang efektif Dapat menyebabkan hilangnya nelayan di laut Biaya operasional besar Hasil tangkapan hanya untuk konsumsi lokal 6 Jumlah ABK 2 orang Operasi penangkapan tidak efektif 7 Mesin 25 PK Kecepatan kapal lebih lambat karena disesuaikan dengan ukuran kapal 2 Daya tampung 0,8 ton Hasil tangkapan dapat lebih banyak ditampung 3 Dilengkapi dengan peralatan navigasi seperti life jacket dan kompas 4 Menggunakan bahan bakar minyak tanah 5 Dilengkapi dengan modifikasi cool box yang baru Dapat membantu nelayan dalam keselamatan kerja di laut Dapat menekan biaya operasional sehingga dapat menguntungkan nelayan Produk hasil tangkapan dapat di eksport 6 Jumlah ABK > 2 orang Dapat menambah lapangan pekerjaan 7 Mesin 40 PK Kecepatan kapal lebih besar sehingga olah gerak kapal lebih baik Sumber: data penelitian 2009 Sasaran yang dicapai pada kajian prototipe pancing tonda (troll line) adalah: 1) tersedianya konsep tentang teknologi penangkapan ikan pada perikanan pancing tonda (troll line) serta informasi lainnya yang berguna bagi nelayan maupun investor yang ingin menanamkan modal pada jenis usaha perikanan ini, 2) terjadinya peningkatan produktifitas, 3) tercapainya peluang pemanfaatan optimal sebesar jumlah tangkapan yang diperbolehkan khususnya terhadap sumberdaya ikan madidihang dan cakalang yang merupakan spesies target utama, melalui peningkatan jumlah unit penangkapan pancing tonda, 4) bertambahnya lapangan kerja baru sehingga dapat mengurangi pengangguran, 5) tercapainya kualitas produksi yang tinggi sehingga memperbesar peluang ekspor, 6) meningkatnya pendapatan nelayan. Deskripsi bentuk dimensi utama modifikasi kapal pancing tonda sistem outboard engine yang akan dikembangkan di perairan Maluku disajikan pada Gambar 42

145 126 Keterangan: 1 Tempat mesin 2 Tempat duduk nelayann 3 tempat cool box 4 Tempat penyimpanan peralatan tangkap 5 Tempat jangkar haluan Tinggi 0,72 m Panjang 8,,50 m Lebar 1,85 m ,50 m Gambar 42 Bentuk dan dimensi utama modifikasi prototipe kapal tonda sistem outboard engine yang diusulkan untuk dikembangkan.

146 Modifikasi cool box kapal pancing tonda Keberadaan cool box pada kapal pancing tonda yang dioperasikan di perairan Maluku selama ini mempunyai beberapa kelemahan yang perlu diatasi. Hal ini kalau tidak dicarikan solusinya maka akan berdampak pada kualitas hasil tangkapann yang merupakan produk eksport dengann nilai jual yang tinggi di pasaran domestik maupun internasional. Cool box pada kapal penangkap merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan, hal ini tentunya kalau tidak diperhatikan maka akan berdampak pada keberhasilan usaha perikanan tangkap. Beberapa kapal penangkapan untuk ukuran GT mulai menemukan keuntungan penggunaan cool box. Dari hasil survey dan tanya jawab dengan pemilik kapal serta pelaku usaha penangkapan diperoleh kesimpulan bahwa dengan menggunakann cool box dapat meningkatkan pendapatan secara siginifikan. Hal dikarenakan mereka dapat mengubah pola operasional dari one day fishing menjadi lebih panjang hingga 4 sampai satu minggu operasional sehingga dengan jangka waktu operasional lebih lama maka volume produksi juga lebih meningkat dengan mutu yang masih bisa diterima pasar dan konsumen (DKP Probolinggo 2008). Desain cool box pada kapal pancing tonda di perairan Maluku dapat diatasi dengan membuat modifikasi baru yang lebih efektif dengan tanpa menggunakan biaya yang cukup besar sehingga diharapkan dapat menguntungkan bagi nelayan. Kondisi cool box pancing tonda saat ini merupakan suatu hambatan yang cukup berarti sehingga perlu dicari solusi sehingga penanganan hasil tangkapan di kapal ini lebih baik. Kondisi desain konstruksi cool box kapal pancing tonda saat ini dapat disajikan pada Gambar 43 Gambar 43 Desain cool box kapal pancing tonda di Maluku.

147 85 Kelemahan cool box pada kapal pancing tonda di perairan Maluku adalah terletak pada bahan pembuat cool box, ukuran species target, serta kualitas cool box tersebut. Desain cool box dengan kualitas yang kurang baik, tidak sebanding dengan ukuran kapal, daya tampung sedikit, harga relatif murah, tidak sebanding dengan ikan target, serta kualitas hasil tangkapan tidak baik adalah ciri-ciri dari cool box di Maluku. Akibat kemajuan teknologi secara langsung berdampak pada jangkauan wilayah penangkapan (fishing area) yang semakin jauh dan lama waktu tempuh (trip), untuk itu dibutuhkan fasilitas palka ikan sebagai sarana penyimpanan ikan diatas kapal yang dapat menunjang sehingga mampu mempertahankan mutu dan kesegaran ikan hasil tangkapan. Perbandingan desain cool box saat ini dan modifikasi yang diusulkan pada kapal pancing tonda dapat disajikan pada Tabel 57 Tabel 57 Perbandingan desain cool box saat ini dan modifikasi yang diusulkan untuk dikembangkan di perairan Maluku Desain cool box saat ini Modifikasi yang diusulkan 1 Harga cool box Rp Harga cool box Rp Nilai jual ikan Rp Nilai jual ikan Rp Daya tampung sedikit (4-8 ekor) Daya tampung lebih banyak (8-12 ekor) 4 Kualitas cool box kurang baik Kualitasnya cukup baik Sumber: data penelitian 2009 Sebagai komoditas yang mudah cepat membusuk, ikan memerlukan penanganan yang cepat dan cermat dalam mempertahankan mutunya sejak diangkat dari dalam air. Penyebab utama pembusukan adalah kegiatan bakteri yang menyebabkan kegiatan pembusukan yang terdapat dalam tubuh ikan itu sendiri, lingkungan tempat hidupnya di air, dan yang berasal dari sumber yang kontak dengan ikan antara lain tangan manusia, wadah, peralatan, air pencuci,dan lain-lain. Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan pembusukan. Pembusukan lebih cepat pada suhu tinggi dan sebaliknya pembusukan dapat dihambat pada suhu yang rendah. Pendinginan adalah merupakan perlakuan yang paling umum dalam mempertahankan mutu ikan hasil tangkapan terutama pada saat penanganan. Untuk mempertahankan ikan yang telah didinginkan agar suhu tetap rendah diperlukan suatu wadah yang tanpa penahan (insulator) menyebabkan panas dari

148 86 luar merembet dengan cepat untuk mencairkan es yang berakibat suhu ikan naik dan akhirnya memacu proses pembusukan. Oleh karena itu salah satu alternatif untuk mengatasi penanganan ikan hasil tangkapan di atas kapal agar mutu ikan dipertahankan adalah dengan peti berinsulansi atau disebut dengan cool box. Gambar modifikasi kerangka cool box dapat disajikan pada Gambar 44 Gambar 44 Kerangka cool box. Keterangan: - Panjang : 120 cm - Bahan insulasi : styrofoam - Lebar : 70 cm - Lapisan cool : fiberglass - Tinggi : 65 cm - Tebal dinding : 6 cm Cool box yang ideal konstruksi adalah mampu menghemat penggunaan es karena daya insulasinya besar, kuat, tahan lama, pelapis bahan cool box dari bahan yang halus permukaannya, tahan karat, kedap air, dan mudah dibersihkan. Konstruksi cool box berinsulasi terdiri dari 3 bagian pokok, antara lain: 1) rangka peti, yang terdiri dari tulang rangka dari balok kayu dengan dinding peti dari papan atau kayu lapis sebagai penunjang kekuatan dasar sebuah peti, 2) lapisan insulator, terbuat dari styrofoam yang tidak menyerap uap air yang berfungsi untuk menahan penyerapan panas, 3) lapisan penutup, dinding peti terbuat dari fiberglass atau bahan lain. Bahan dan alat yang digunakan dalam pembuatan cool box yaitu: 1) Bahan (kerangka cool box), 2) insulator (styrofoam), 3) lapisan fiberglass (resin, katalis, serat glass), 4) peralatan (perkakas tukang kayu, peralatan pengecatan, gerinda). Teknik pembuatan cool box fiberglass dilakukan dengan tahapan-tahapan: 1) Pembuatan desain, 2) kerangka cool box, 3) lapisan insulator, 4) lapisan fiberglass

149 85 Pembuatan modifikasi cool box dibuat persegi dengan penutup dibagian atas. Cool box dibuat sedemikian rupa agar dapat dipasang dan dibongkar pada kedudukannya didalam kapal. Pembuatan modifikasi cool box pada kapal pancing tonda dapat disajikan pada Tabel 58 Tabel 58 Pembuatan modifikasi cool box pada kapal pancing tonda Spesifikasi cool box Kerangka cool box Pemasangan insulasi -Panjang (120 cm) -Lebar (70 cm) -Tinggi (65 cm) -Tebal dinding (6 cm) -Bahan Insulasi (styrofoam) -Lapisan coolbox (fiberglass) - Kayu kaso ukuran 4x6x400 cm - Kayu dihaluskan dan digabungkan pada setiap ruas sehingga berebntuk kerangka cool box - Rangka cool box diperkuat/ditutup bagian dalam dengan papan tipis atau kayu lapis (tripleks) yang berfungsi sebagai dinding - Pertemuan kayu yang masih ada ditutup dengan dempul duco - Dempul yang telah kering dihaluskan dengan kertas amplas - Dasar cool box dibuat lubang air yang terbuat dari pipa paralon (PVC) dengan diameter 1 inchi - Insulasi dipasang antara kedua dinding tripleks atau kayu papan - Insulasi polyurethane terdiri dari 2 jenis yaitu polyurethane A (berwarna coklat) dan polyurethane B (berwarna hitam). Kedua cairan ini kemudian dicampurkan (1:1) - Untuk mendapatkan lapisan fiberglass yang tebal, maka pekerjaan penempelan matte bisa diulang/ditambah lalu dilakukan penguasan kembali dengan larutan yang sama - Tutup cool box dilakukan dengan cara yang sama seperti dalam pembuatan dinding cool box - Setelah kering, seluruh permukaan cool box yang dilapisi fiberglass dihaluskan dengan menggunakan gerinda dan amplas. Untuk permukaan yang lubang, didempul dan selanjutnya dilapisi kembali dengan larutan yang ditambah sedikit talk agar diperoleh permukaan cool box yang halus dan rata. Sumber: data penelitian 2009 Setelah modifikasi cool box dibuat maka, proses selanjutnya adalah cara penggunaannya yang adalah sebagai berikut: 1) bersihkan cool box sebelum dan sesudah dipakai, 2) lapisi dasar cool box dengan es balok yang telah dihaluskan dengan ketebalan 5-6 cm, 3) susun ikan secara berlapis-lapis dengan es, 4) lapisan paling atas es dengan ketebalan 5 cm, 5) tutup cool box dengan rapat dan jangan sering dibuka, kecuali pada saat penambahan es. Manfaat penggunaan desain cool box yang dibuat sangat penting bagi pengembangan pengelolaan sumberdaya perikanan, antara lain: 1) menghemat penggunaan es dan daya awet ikan akan lama, 2) meningkatkan harga jual ikan karena mutunya lebih terjamin, 3) waktu penangkapan lebih lama, 4) menekan tingkat kerusakan ikan hasil tangkapan, 5) memperluas jangkauan pemasaran

150 86 termasuk untuk keperluan eksport dan, 6) dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Untuk membuat cool box dengann ukuran panjang (120 cm), lebar (70 cm), tinggi (65 cm), tebal dinding (6 cm), jenis insulasi (styrofoam), tebal lapisan styrofoam (3 cm) diperlukan bahan-bahan adalah dapat dilihat pada Tabel 59 Tabel 59 Bahan pembuatan cool box pada kapal pancing tonda Kerangka kayu Insulasi Lapisan fiberglass 1 Kayu kaso ukuran 4x6x40 cm (4 batang) 2 Rep ukuran 4x3x400 cm (2 batang) 3 Tripleks ukuran 80x120x60mm (5 lembar) 4 Paku timah ukuran 6, 7, 10 cm (2 kg) 5 Paku biasa ukuran 4 dan 7 cm (3 kg) 6 Amplas No 1 dan 2 (10 lembar) 7 Kuas No 4 dan 5 (10 buah) 8 Ember plastic (5 buah) Sumber: data penelitian Styrofoam ukuran 200x100x5 cm (4 lembar) 2 Plastik ukuran 0,8 ml (25 meter) 1 Matte 405 (30 kg) 2 Resin 157 BQTN (25 kg) 3 Katalis (2 kg) 4 Pigmen biru (25 kg) 5 Talk (2 kg) Proses pembuatan cool box ini dilakukan secaraa sederhanaa sehingga dapat diproduksi dalam jumlah yang cukup banyak,adapun proses pembuatan cool box dapat disajikan pada Gambar 45, 46, 47, dan 48 Gambar 45 Penutup dinding cool box Gambar 46 Pemasangan styrofoam Gambar 47 Pelapisan fiberglass bagian dalam

151 126 Gambar 48 Cool box yang sudah siap dipergunakan n Teknologi penangkapan ikan tuna dengan menggunakan metode ayang-layang Teknologi yang digunakann dalam pemanfaatan sumberdaya a ikan tuna harus disesuaikan dengan tingkah laku ikan sasaran yang menjadi tujuan penangkapan. Kawasan perairan dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan dengan teknologi penangkapan ikan dalam hal ini jenis alat tangkap yang digunakan. Sumberdaya ikan dalam aktivitasnya sangatlah dinamis dan keadaan ini yang menyebabkan penyebaran sumberdaya ikan tidak merata di laut. Dinamisnya pergerakan ikan disebabkan oleh prosess adaptasi ikan terhadap perubahan lingkungan perairan yang merupakan habitatnya, hal ini terjadi karena sumberdaya ikan berdasarkan kondisi fisiologinya sangat bergantung pada kondisi lingkungannya. Akibatnya jika akan mengembangkan suatu kawasan perairan perlu mengetahui karakteristikk perairan dan potensi sumberdaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Disamping faktor sumberdaya ikan dan kondisi lingkungan perairan, jenis teknologi penangkapan ikan yang akan digunakan adalah faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan operasi penangkapan ikan. Penggunaan teknologi penangkapan ikan akan berhasil jika disesuaikan dengan jenis ikan yang tertangkap dan di lokasi mana alat tangkap tersebut digunakan. Sebagai contoh adalah pengoperasian alat tangkap pancing tonda dengan mengunakan layang-layang untuk menangkap jenis ikan pelagis besar, khususnya jenis ikan tuna. Keberhasilan operasi penangkapan ikan dengann alat tangkap pancing tonda sangat ditentukan oleh pengetahuan akan lapisan renang

152 86 ikan, dimana lapisan renang ikan ini sangat dipengaruhi oleh struktur suhu ke arah vertikal. Pengetahuan tentang lapisan renang ikan juga akan menentukan seberapa dalam alat tangkap pancing tonda diturunkan kedalam perairan untuk menangkap jenis ikan yang menjadi target penangkapan. Pembentukan daerah penangkapan ikan juga didasarkan pada jenis alat tangkap atau teknologi penangkapan ikan yang digunakan, hal ini dikarenakan setiap jenis alat tangkap mempunyai tujuan penangkapan ikan yang berbeda. Operasi penangkapan diharapkan posisi umpan selalu berada di permukaan air dengan dibantu pelampung kecil sehingga yang dihubungkan dengan tali layangan. Angin sangat berpengaruh pada operasi penangkapan karena akan memberikan efek gerakan pada umpan akibat pengaruh layang-layang. Kajian prototipe dari teknologi penangkapan ikan tuna dengan layanglayang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas usaha pada perikanan pancing tonda. Aspek-aspek yang dikaji mencakup efisiensi dan efektifitas operasi penangkapan ikan, termasuk biaya operasional, suasana kerja yang baik yang dapat mengurangi kecelakaan di laut. Penggunaan teknologi baru ini sangat membantu nelayan dalam mengadakan operasi penangkapan ikan. Prinsip kerja metode layang-layang ini sangat sederhana yaitu dengan menaikkan layang-layang yang dilengkapi dengan tali yang dihubungkan dengan umpan yang telah disediakan dan diturunkan ke permukaan air. Tali dari layang-layang tersebut dihubungkan dengan salah seorang nelayan yang ada di perahu. Layang-layang yang ada di udara akan bergerak sesuai dengan keadaan angin yang bergerak ke arahnya. Kecepatan kapal pada saat operasi penangkapan diharapkan 1 mil/jam. Konstruksi layang-layang tersebut terbuat dari bambu dengan tinggi 1,00 meter dan lebar 0,75 cm, dengan bahan plastik serta diameter bambu sebagai rangkanya 1 cm. Sistem teknologi penggunaan metode layang-layang dalam penangkapan ikan tuna dengan alat tangkap pancing tonda menggunakan 1 umpan maupun 2 umpan untuk pengoperasian alat tangkap pancing tonda adalah sama (Gambar 49 dan Gambar 50)

153 126 Gambar 49 Teknologi penangkapan ikan tuna dengan penggunaan metode layang-layang sistem 1 pancing Keterangan: Tinggi rangka layang-layang :1 m Lebar: 0,75 m Bahan: plastik dan rotan Diameter rangka: 1 cm Gambar 50 Teknologi penangkapan ikan tuna dengan penggunaan metode layang-layang sistem 2 pancing

154 126 Perbandingan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada saat operasi penangkapan dilakukan terhadap teknik penangkapan saat ini dengan penggunaan metode layang-layangg dalam penangkapan ikan tuna dengan alat tangkap pancing tonda di perairan Maluku disajikan pada Tabel 60 Tabel 60 Perbandingan teknik pengoperasian pancing tonda saat ini dan teknik penggunaann layang-layang Pengoperasiann pancing tonda saat ini 1 Hasil tangkapan relatif sedikit (9 ekor/trip) 2 Tidak efektif 3 Biaya eksploitasii Rp Biaya alat tangkap Rp Sumber: data penelitian 2009 Teknik layang-layang Hasil tangkapan 14 ekor/trip Lebih efektif Biaya eksploitasi Rp Biaya alat tangkap Rp Penggunaan metode layang-layang pada penangkapan ikan tuna dengan alat tangkap pancing tonda merupakan bentuk teknologi baru yang perlu dikembangkan di perairan Maluku mengingat selamaa ini nelayan pancing tonda masih menggunakann cara yang lama yaitu dengan menggunakan kapal/perahu dengan kecepatan 3 sampai 5 mil/jam memotong arah ruaya ikan tuna sehingga penangkapan dapat dilakukan. Kelemahan dari penggunaan metode layang-layang dalam penangkapan ikan tuna adalah angin. Hal ini disebabkan karena tanpa angin maka layang-layang tidak dapat dioperasikan sehingga hasil tangkapan yang diperoleh tidak akan berhasil. Kelebihan dari penggunaan metode ini adalah praktis, dapat dijangkau oleh nelayan baik dari segi investasi maupun teknik pengoperasiannya.penggunaan metode yang lama membutuhkan biaya eksploitasi yang besar bila dibandingkan dengan penggunaan metode layang-layang (Gambar 51) Gambar 51 Penangkapan ikan tuna dengan alat tangkap pancing tonda di perairan Maluku

155 Alat tangkap pukat cincin (purse seine) Kapal pukat cincin Jumlah dan perkembangan pukat cincin di provinsi Maluku selama 5 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan rata-rata sebesar 8,92 %. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi perikanan ialah dengan mengunakan alat-alat penangkapan yang dalam pengoperasiannya dapat menangkap ikan dalam jumlah yang besar. Alat tangkap yang memiliki karakteristik demikian adalah pukat cincin (purse seine). Pukat cincin (purse seine) ini merupakan jaring yang dioperasikan dengan jalan melingkari gerombolan ikan yang bergerombol yang menjadi tujuan penangkapan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan melalui kegiatan penangkapan ikan dengan pukat cincin (purse seine) ditujukan untuk menangkap ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar. Dengan demikian pengembangan jenis alat tangkap ini, selain dengan mempertimbangkan penerapan teknologi penangkapan ikan berupa desain dan konstruksi unit penangkapan, daerah penangkapan, dan kesiapan sumberdaya manusia (nelayan), harus pula sesuai dengan ketersediaan potensi sumberdaya ikan yang ada. Nelayan-nelayan di Kota Ambon yang memiliki pengetahuan, pengalaman dan keterampilan operasi penangkapan dengan pukat cincin (purse seine) yang tujuan utama penangkapannya adalah ikan pelagis kecil. Armada-armada pukat cincin ini beroperasi di perairan Teluk Ambon Bagian Luar dan Pesisir Selatan Pulau Ambon ini bukan seluruhnya adalah milik nelayan-nelayan dari desa-desa yang ada di Kota Ambon, tetapi sebagian besar adalah milik pengusaha atau nelayan yang memiliki modal besar yang menitipkan unit penangkapannya untuk dikelola oleh nelayan-nelayan ini. Armada-armada penangkapan yang ada sekarang ini berkemampuan jelajah yang relatif rendah yakni hanya dapat melakukan kegiatan operasi penangkapan dalam rentang waktu sehari atau setiap trip penangkapannya hanya dapat dilakukan maksimal dalam waktu satu hari (one day fishing). Pukat cincin yang digunakan oleh nelayan di perairan Maluku berdasarkan konstruksinya terdiri dari pukat cincin tipe Jepang satu kapal. Desain pukat cincin di Maluku dengan panjang antara 250 sampai 350 meter dan lebar jaring 50

156 86 sampai 75 meter digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil, sedangkan kapal yang digunakannya dianggap belum cocok dengan ukuran jaring yang digunakan sehingga perlu diperbaharui modifikasi, ukuran, alat bantu penangkapan, serta peralatan navigasi pada kapal tersebut. Hal ini disebabkan karena kapal pukat cincin yang beroperasi di perairan Maluku mempunyai ukuran panjang dengan lebar yang seimbang dengan ukuran jaring yang dipakai sehingga pada saat operasi penangkapan perlu ada penyeimbangan di sebelah sisi kiri atau kanan kapal untuk mengimbangi ABK yang menarik jaring. Pada saat ini kapal pukat cincin juga sangat diminati oleh nelayan di daerah ini karena disamping menguntungkan juga membutuhkan tenaga kerja yang banyak sehingga perlu penanganan yang serius sehingga sumberdaya yang ada dapat dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal. Spesifikasi kapal pukat cincin dan arahan penyempurnaannya dapat ditunjukkan pada Tabel 61 Tabel 61 Spesifikasi kapal pukat cincin dan arahan penyempurnaannya Spesifikasi lama Kelemahan Spesifikasi baru Kondisi positif yang diharapkan 1 Ukuran kapal kecil (P = 18,25 m, L = 2,75 m, T = 1,95m) Pekerjaan pelaksanaan Operasi penangkapan tidak efektif 1 Ukuran kapal diperbesar (P = 20,07 m, L = 3,01 m, T = 2,02m) Pelaksanaan operasi penangkapan dapat berjalan dengan lancar 2Tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi atau peralatan keselamatan kerja di laut 3 Tidak dilengkapi dengan peralatan penanganan hasil Dapat menyebabkan hilangnya nelayan di laut Hasil tangkapan hanya untuk konsumsi lokal tangkapan yang efektif 4 Mesin 40 PK (3 buah) Kecepatan kapal lebih lambat karena tidak sesuai dengan ukuran kapal 3 Dilengkapi dengan peralatan navigasi seperti life jacket dan kompas 4Dilengkapi dengan modifikasi palka yang baru Dapat membantu nelayan dalam keselamatan kerja di laut Produk hasil tangkapan dapat di eksport 4 Mesin 40 PK (4 buah) Kecepatan kapal lebih besar sehingga oleh gerak kapal lebih baik Sumber: data penelitian 2009 Pembuatan kapal pukat cincin (purse seiner) di Maluku dirancang dan dibuat sendiri oleh nelayan setempat pada galangan kapal rakyat. Hal ini perlu sejalan dengan pendapat Ayodhyoa (1972) bahwa pemilihan kasko dan dimensi kapal harus disesuaikan dengan kegunaan kapal tersebut serta harus memperhitungkan proposional dimensi utama. Desain kapal pukat cincin saat ini di perairan Maluku dapat dilihat dan modifikasi kapal pukat cincin yang diusulkan untuk dikembangkan dapat dilihat pada Gambar 52, Gambar 53, dan Gambar 54

157 T: 1,95 m P: 18,25 m 8 Keterangan: 1 Tempat operasi penangkapan 2 Ruangan tempat penyimpangan alat tangkap 3 Palka 4 Ruangan penyimpanan BBM 5 Tempat mesin 6 WC 7 Tempat pemantauan gerombolan ikan 8 Ruangan tempat jangkar haluan L: 2,75 m P: 18,25 m Gambar 52 Desain kapal pukat cincin saat ini di Malukuu

158 T: 2,20 P: 20,7 m Gambar 53 Modifikasi prototipe kapal pukat cincin (pandangan dari samping) yang diusulkan untuk dikembangkan L:3,1 m Keterangan: 1 Tempat penampungann hasil tangkapan 2 Tempat peralatan alat tangkap 3 Tempat penyimpanan bahan bakar 4 Tempat mesin 5 Tempat winch 6 WC 7 Tempat kegiatan operasi penangkapan 8 Tempat pemantauan gerombolan ikan Gambar 54 Modifikasi prototipe kapal pukat cincin (pandangan dari atas) yang diusulkan dikembangkan

159 126 Pekerjaan yang pertama dilakukan adalah pemilihan material yang akan digunakan. Ada beberapa jenis kayu yang biasanya digunakan pada pembangunan kapal pukat cincin di Maluku sesuai dengan peruntukannya, antara lain: kayu jati (Tectona grandis), gofasa (Vitex cotassus Reinw), dan kayu merbau (Instia spp). Rancangan kapal harus memperhatikan platform perencanaannya (tujuan dan proses penangkapan) serta rancangan umum yang menampilkan tataletak kapal secara lengkap. Iskandar (1990), mengatakan bahwa tujuan pembuatan gambaran umum adalah guna penentuan ruang kapal secara umum. Gambar ini terdiri dari beberapa bagian yakni gambar tampak samping, tampak atas, tampak depan, serta tampak belakang. Gambar tampak samping menunjukkan tata ruang kapal dari buritan hingga bagian bawah dek, yang terdiri dari ruang mesin, ruang palka ikan, ruang peralatan dan dapur sedangkan tampak atas menunjukkan tata ruang diatas dek yang terdiri dari ruangan dibagian buritan yang berfungsi sebagai ruang kemudi dan ruang akomodasi dan tampak belakang dan depan untuk menentukan bentuk badan kapal. Kebutuhan material kayu untuk pembuatan 1 (satu) unit kapal pukat cincin disajikan pada Tabel 62 Tabel 62 Kebutuhan material kayu untuk pembuatan 1 (satu) unit kapal pukat cincin (purse seiner) No Peruntukan Ukuran (PxLxT) Jumlah 1 Lunas 20,07m x 22 cm x 18 cm 1 potong 2 Pondasi motor 10 cm x 90 cm x 3 cm 1 potong 3 Papan rata 3,5 cm x 20 cm x 3 cm 4 m 3 4 Senta 7 cm x 18 cm x 22 cm 4,5 m 3 5 Siweng 18 cm x 25 cm x 6 m 1 potong 6 Papan putar 10 cm x 20 cm x 2 m 1 m 3 7 Papan putar 10 cm x 20 cm c 1,5 m 5 m 3 8 Papan tindis 8 cm x 25 cm x 3 m 1 m 3 9 Papan dek 3,5 cm x 25 cm x 3 m 3 m 3 10 Rangka poro 6 cm x 15 cm x 3 m 1 m 3 11 Rangka poro 6 cm x 15 cm x 3,5 m 1 m 3 12 Tiang gawang 10 cm x 20 cm x 4 m 1 m 3 13 Papan les 8 cm x 25 cm x 12 m 1 m 3 14 Papan rumah 2,5 cm x 25 cm x 3 m 1 m 3 15 Kayu gading Sesuai Bentuk 6 m 3 16 Gading + tajong 10 cm x 10 cm 3 m 3 Sumber: data penelitian 2009

160 86 Selain material kayu di atas, dibutuhkan juga bahan dan alat lainnya sebagai perlengkapan dalam pembuatan kapal pukat cincin (purse seine), sebagaimana ditampilkan pada Tabel 63 Tabel 63 Kebutuhan alat dan bahan lainnya untuk pembuatan kapal pukat cincin (purse seine) No Alat dan bahan Kebutuhan Satuan 1 Lampu gas (buterfly) 20 Buah 2 Senter 6 batere 1 Buah 3 Katrol besar (dia. 17 cm) 2 Buah 4 Kikir (limar) bundar 6 Buah 5 Baut 3/8 600 Buah 6 Baut 1/2 600 Buah 7 Besi 8 mm 6 Staft 8 Paku putih 5 cm 10 Kg 9 Paku putih 7 cm 15 Kg 10 Paku putih 10 cm 10 Kg 11 Paku putih 15 cm 10 Kg 12 Paku biasa 5 cm 6 Kg 13 Paku biasa 7 cm 6 Kg 14 Paku biasa 10 cm 6 Kg 15 Kaca riben 5mm (20 cm x 25 cm) 24 Potong 16 Dempul glasik 300 Kaleng 17 Dempul damar 25 Kaleng 18 Pisau dempul (scaaper 4,5 cm) 1 Lusin 19 Cat minyak (Glotex) 200 Kaleng 20 Tinner 100 Kaleng 21 Kuas putih besar 6 Buah 22 Kuas putih sedang 6 Buah 23 Kertas amplas no. 3 5 Lusin 24 Kertas amplas no. 2,5 5 Lusin Sumber: data penelitian Modifikasi palka kapal pukat cincin Teknologi alat bantu penangkapan yang diusulkan adalah winch, mesin listrik, alat navigasi, lifejacket, dan modifikasi palka yang telah di lapisi dengan styrofoam. Desain palka saat ini berukuran kecil, tidak efektif, dibuat secara sederhana, menggunakan fiberglass dengan kualitas kurang baik, kualitas hasil tangkapan kurang baik. Melihat kelemahan yang ada pada kapal pukat cincin saat ini, maka diusulkan modifikasi palka dengan mempunyai beberapa kelebihan, antara lain: ukuran palka besar, lebih efektif, palka dilengkapi dengan styrofoam, kualitas hasil tangkapan cukup baik sehingga dapat dieksport. Kondisi palka kapal pukat cincin saat ini dan modifikasi yang diusulkan pengembangannya dapat disajikan pada Gambar 55 dan 56

161 85 Gambar 55 Kondisi palka kapal pukat cincin saat ini Stryrofoam pada palka dengan ketebalan 5-10 cm Dinding palka dari fiberglass Gambar 56 Modifikasi palka yang diusulkan pengembangannya pada pukat cincin kapal Persyaratan palka ideal menurut Kuncoro (2005), mempunyai kriteria- alat-alat yang terbuat dari logam melalui dinding palka, 3) kondisi penerangan dalam palka memadai, dan 4) membatasi awak kapal keluar masuk palka. kriteria antara lain: 1) Persyaratan teknis antara lain: 1) dinding palka diisolasi, 2) tidak memasang 2) Persyaratan ekonomis Ukuran ruang palka disesuaikan dengan kemampuan kapal dalam beroperasi dan menangkap ikan. Adanyaa sistem refrigerasi palka disesuaikan dengan lamanya operasi penangkapan. 3) Persyaratan sanitasi dan higiene

162 86 Palka harus mempunyai sistem sanitasi dan higiene yang baik. Palka harus mudah dibersihkan pada saat sebelum maupun sesudah penyimpanan ikan dan tidak terbuat dari bahan yang korosif sehingga ikan yang disimpan di dalamnya aman dari pencemaran bakteri 4) Persyaratan biologis Palka dibuat dengan drainase yang baik untuk mengeluarkan air, lelehan es, lendir, dan darah yang terkumpul di dasar palka. 5) Persyaratan biaya Jenis palka yang biasa dipakai kapal perikanan terdiri dari :1) palka yang tidak diisolasi (digunakan pada kapal yang berukuran kecil dan lama operasinya hanya 1-2 hari), 2) palka yang diisolasi (digunakan pada kapal berukuran sedang dan lama operasinya 1 minggu, 3) palka yang diisolasi dan direfrigerasi (digunakan pada kapal berukuran besar dan beroperasi selama 1 bulan atau lebih). Desain palka pada kapal pukat cincin di perairan Maluku dari segi konstruksi belum dapat mengatasi keberadaan hasil tangkapan, hal ini disebabkan karena konstruksi palka yang dibuat masih bersifat tradisional yaitu dengan menggunakan cool box yang terbuat dari fiberglass tanpa menggunakan styrofoam sebagai lapisan dinding pada fiberglass tersebut. Kelemahan dari desain palka tersebut dapat mempengaruhi mutu hasil tangkapan. Untuk mengatasi masalah ini maka perlu dibuat modifikasi teknologi baru untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan merancang modifikasi palka yang dilapisi dengan styrofoam sebagai dinding pada palka sehingga dapat diharapkan mutu hasil tangkapan yang diperoleh dapat lebih baik. Rekayasa alat tangkap harus mempertimbangkan kondisi sumberdaya ikan, habitat ikan, peraturan perundang-undangan, dan optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan agar supaya teknologi yang diciptakan tidak mubazir atau bahkan merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya. Pembuatan kapal pukat cincin (purse seiner) yang dibuat sendiri oleh nelayan di Maluku pada galangan kapal rakyat. Hal ini sejalan dengan pendapat Ayodhyoa, (1972) bahwa pemilihan kasko dan dimensi kapal disesuaikan dengan kegunaan kapal tersebut serta harus memperhatikan proporsional dimensi utama. Spesifikasi alat bantu penangkapan pada kapal pukat cincin yang diusulkan adalah dilengkapi dengan mesin listrik, kompas, radio komunikasi, winch dan lifejacket.

163 85 Palka tempat penampungan hasil tangkapann juga dilengkapi dengan penambahan styrofoam pada dinding palka sehingga diharapkan hasil tangkapann akan terjamin Modifikasi winch pada kapal pukat cincinn Disebut pukat cincin karena dilengkapi dengann cincin untuk menarik tali cincin (purse line) atau tali kerut untuk menarik jaring saat operasi penangkapan. Pukat cincin (purse seine) terdiri dari beberapa bagian, yaitu sayap (wing), perut (body), bahu (shoulder), dan kantong (bunt) yang tidak menonjol. Pada bagian atas jaring terdapat tali ris atas, tali pelampung dan pelampung, sedangkan pada bagian bawahnya terdapat tali ris bawah, tali pemberat, cincin, bridle, becket, dan tali kolor. Prinsip menangkap ikan dengan pukat cincin, ialah dengan melingkari sesuatu gerombolan ikan dengan jaring, setelah itu jaring pada bagian bawah dikerucutkan dengann demikian ikan-ikan akan terkumpul pada bagian kantong. Dengan perkataan lain ialah dengan memperkecil ruang lingkup gerak dari ikan sehingga tidak dapat melarikan diri dan akhirnya tertangkap (Ayodhyoa 1972). Padaa waktu melingkari gerombolan ikan, kapal dijalankan secepat mungkin dengan tujuan agar gerombolan ikan akan segera terkepung. Pada saat pelingkaran alat tangkap, arah, kecepatan dan posisi kapal harus sedemikian rupa supaya ikan tidak lolos dari alat tangkap, seperti diilustrasikan pada Gambar 57 berikut ini. Sumber: Purbayanto.A, Riyanto.M, Fitri.A.D.P. (2010) Gambar 57 Ilustrasi kemungkinan ikan yang meloloskan diri pada saat pelingkaran alat tangkap pukat cincin Pelingkaran jaring dilakukan sampai kedua tepi jaring bertemu, kemudian dilakukan penarikan tali kolor dengan maksud untuk mencegah ikan agar tidak lari kearah bawah jaring. Nelayan di Maluku melengkapi kapal pukat cincin

164 86 dengan tiang yang dipasangi katrol (block) untuk memudahkan penarikann tali kolor dari dua sisi. Antara kedua tepi jaring sering tidak tertutup rapat sehingga memungkinkan menjadi tempat ikan untuk melarikan diri (Gambar 58). Untuk mencegah hal ini biasanya digunakan pemberat atau dengan mengerak-gerakkan galah sehingga ikan takut dan lari ke arah tersebut. Sumber: Purbayanto.A, Riyanto.M, Fitri..A.D.P. (2010) Gambar 58 Ilustrasi kemungkinan ikan yang meloloskan diri pada saat penarikan tali kolor pada alat tangkap pukat cincin Proses penangkapan pada alat tangkap ini membutuhkan waktu yang agak lama sehingga apabila tidak dilakukan secara tepat, ikan yang menjadi tujuan penangkapan akan keluar meninggalkan jaring, untuk itu dibutuhkan suatu teknologi baru yang dapat membantu mengatasi masalah ini. Teknologi ini sangat membantu nelayan pukat cincinn dalam mengadakan operasi penangkapan ikan. Pada prinsipnya alat ini hanya dimodifikasi sedemikian rupa sehingga ujung tali cincin dililitkan di sebelah kiri dari as mobil dan ujung tali cincin lainnya di sebelah kanan, kemudian mesin hand traktor yang telah dihubungkan dengann belt yang telah dilekatkan pada as roda belakang kemudian mesin dihidupkan sehingga akan menarik tali cincin. Penggunaan teknologi sederhana ini sangat membantu nelayan dalam menarik tali cincin sehingga ikan yang menjadi tujuan penangkapan akan sulit lolos. Modifikasi teknologi yang dirancang ini sangat sederhana dan dapat dijangkau oleh nelayan. Hal inii dapat ditunjukkan pada Gambar 59. Modifikasi winch pada kapal pukat cincinn mempunyai keuntungan adalah: 1) membantu nelayan pada saat penarikan jaring sehingga dapat mempercepat proses penarikan

165 85 sehingga ikan yang menjadi target sulit untuk lolos, 2) menggunakan bahan dari as belakang mobil truk, 3) harganya murah, 4) lebih efektif, 5) mudah dioperasikan. Perbandingan penggunaann modifikasi winch dengan tanpa menggunakan winch yang digunakan nelayan pukat cincin saat ini di perairan Maluku dapat disajikan pada Tabel 64 Tabel 64 Perbandingan penggunaan winch dan tanpa menggunakan winch dalam operasi penangkapan dengan alat tangkap pukat cincin di perairan Maluku Menggunakan winch 1 Waktu yang dibutuhkan menarik tali purse line menit 2 Jumlah ABK pada kapal pukat cincin lebih sedikit (15 orang) Sumber: data penelitian 2009 Tanpa menggunak kan winch Waktu yang dibutuhkan 555 menit Dibutuhkan ABK orang a b Gambar 59 Modifikasi winch yang dioperasikan pada kapal pukat cincinn a) tampak samping b) tampak atas

166 Strategi Pengembangan Perikanan Pelagis di Perairan Maluku Perumusan strategi pengembangan perikanan pelagis dan desain alat tangkap dengan pendekatan analisis SWOT yang meliputi kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (treaths). Analisis ini mengacu pada logika bahwa organisasi/institusi yang berwenang dan bertanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya selalu berada dalam satu sistem yang selalu berhubungan dan saling mempengaruhi dengan demikian, untuk menghasilkan suatu rencana pengelolaan, maka organisasi perlu mengenali dan menguasai informasi lingkungan strategis berdasarkan analisis (LAN RI 2007). Analisis ini bermanfaat untuk mendeteksi perubahan dan peristiwa penting dalam pengelolaan, merumuskan tantangan dan peluang akibat perubahan, menghasilkan informasi tentang orientasi masa depan, dan merekomendasi kegiatan yang dibuat oleh organisasi. Pencermatan lingkungan strategik dalam pengelolaan pengembangan armada perikanan tangkap pada hakekatnya digunakan untuk mengetahui kondisi teknologi armada perikanan tangkap saat ini di perairan Maluku. Hal tersebut dilakukan untuk mencermati kondisi di dalam dan di luar institusi pengelolaan berupa kelemahan dan kekuatan sebagai lingkungan internal, serta peluang dan tantangan sebagai lingkungan eksternal (LAN RI 2007). Dalam upaya memberikan arahan strategi pembangunan perikanan tangkap di Provinsi Maluku, dilakukan analisis SWOT dengan melihat faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman). Ketersediaan potensi sumberdaya ikan pelagis dan dukungan sarana dan prasarana perikanan (kapal, alat tangkap, nelayan dan pusat-pusat pendaratan ikan), serta jumlah nelayan, kelompok usaha maupun usaha perikanan tangkap skala besar merupakan suatu kekuatan dalam rangka pengembangan perikanan skala kecil. Masih rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan nelayan, modal usaha, diversifikasi usaha penangkapan ikan pelagis dan manajemen yang lemah merupakan unsur kelemahan dalam rangka meningkatkan produktifitas usaha penangkapan. Sementara unsur peluang meliputi pengaturan kegiatan perikanan tangkap disentralisasi, semakin berkembangnya teknologi tepat guna untuk penangkapan ikan pelagis, perluasan daerah penangkapan ikan yang produktif,

167 85 dan dukungan pemerintah daerah melalui instansi terkait dalam rangka memberikan pembinaan yang bersifat teknis dan non teknis kepada nelayan. Unsur ancaman meliputi belum diterapkannya selektifitas alat tangkap, pengaturan kegiatan penangkapan belum terarah, masih terjadi pencurian ikan oleh kapal-kapal asing dan penangkapan ikan pelagis dengan menggunakan bahan peledak. Hasil identifikasi berdasarkan LINSTRA sebagai berikut: (1) Strength (kekuatan) 1) Produksi SDI di perairan Maluku dengan kapal 30 GT cukup tinggi 2) Bahan baku pembuatan kapal dengan fiberglass cukup tersedia 3) SDM untuk ABK armada penangkapan cukup tersedia 4) Di daerah ini cukup banyak tersedia alat tangkap, sumberdaya ikan, serta rumpon sebagai alat pengumpul ikan. 5) Galangan kapal rakyat juga tersedia di daerah ini 6) Penerapan CCRF perlu dilakukan agar sumberdaya tetap terjaga (2) Weakness (kelemahan) 1) Tidak tersedianya basic design kapal ikan sebagai acuan pembangunan kapal ikan 2) Kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal dan alat tangkap 3) Penghasilan nelayan dari sub sektor perikanan tangkap belum memadai dan lebih rendah dari pada upah minimum regional subsektor perikanan di Maluku 4) Pengelolaan usaha perikanan tangkap masih tradisional (sederhana) 5) Pembagian hasil usaha pengelolaan kapal tidak merata antara pemilik kapal dan anak buahnya. 6) Kurangnya pasokan untuk pengadaan mesin kapal, teknologi penangkapan ikan dan alat navigasi kapal (3) Peluang (opportunity) 1) Permintaan akan ikan meningkat, baik untuk kebutuhan pasar lokal, regional, dan eksport 2) Peningkatan dan penambahan kapal ikan 30GT dengan alat tangkap huhate

168 86 3) Pengolahan hasil tangkapan baik berupa ikan kaleng atau ikan beku untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri 4) Perlu adanya pengadaan cold storage 5) Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda untuk meningkatkan usaha perikanan 6) Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda untuk meningkatkan usaha perikanan (4) Ancaman (threats) 1) Penetapan batas-batas daerah penangkapan belum diterapkan oleh pemerintah 2) Beroperasinya armada kapal asing baik legal/ilegal di perairan Maluku 3) Selektivitas alat tangkap belum diterapkan sesuai dengan CCRF 4) Persaingan harga ikan di pasaran lokal dan regional 5) Pemakaian bahan peledak oleh beberapa nelayan untuk menangkap ikan 6) Belum dibatasinya ukuran minimal mata jaring dari alat tangkap yang digunakan Sasaran kebijakan pembangunan perikanan tangkap yang ditempuh pemerintah daerah Maluku saat ini adalah memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan secara optimal dengan mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Hal ini mengacu pada kebijakan pemerintah pusat melalui Departemen Kelautan dan Perikanan. Secara ringkas, tujuan dirumuskan sebagai optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dalam rangka peningkatan devisa, kecukupan gizi, penyerapan tenaga kerja, perbaikan teknologi alat tangkap dalam rangka pijakan strategis bagi pengembangan perikanan tangkap ke depan. Sumberdaya perikanan khususnya ikan pelagis besar di perairan Maluku cukup banyak sehingga perlu dikelola dengan baik dan perlu armada perikanan tangkap yang lebih efektif dalam mengelolanya. Dalam konteks perikanan tangkap, keberadaan kapal penangkap huhate 30GT dalam mengelola sumberdaya perikanan pelagis besar di daerah ini cukup banyak sekitar 404 unit. Dari sisi teknologi, mereka cukup berpengalaman dan menguasai teknologi penangkapan sehingga memudahkan proses penangkapan.

169 85 Kapal huhate yang digunakan memiliki beberapa kelemahan yang perlu di tangani secara serius sehingga hasil tangkapan dapat optimal. Bahan baku fiberglass untuk pembuatan kapal huhate tersedia cukup banyak sehingga memungkinkan nelayan dapat membuat kapal huhate secara baik walaupun masih belum begitu sempurna. Ketersediaan tenaga kerja nelayan berkaitan dengan produksi cukup banyak, mengingat nelayan yang mengadakan operasi penangkapan di perairan Maluku sebagian besar berasal dari lulusan SMA untuk alat tangkap pancing tonda (35%), huhate sebagian besar lulusan SD (67%). Faktor yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya ikan adalah kapal penangkap. Di daerah ini ada beberapa daerah yang biasanya kapal penangkap dibuat oleh nelayan dan tersebar di daerah-daerah tertentu seperti: Tulehu, Asilulu, Negerilima dan beberapa daerah lain di Maluku. Galangan kapal yang dibuat di daerah ini cukup sederhana dalam pembuatan kapal perikanan. Hal ini dilakukan karena semakin banyaknya permintaan akan kapal penangkap. Pembuatan kapal ini dilakukan tanpa adanya perhitungan-perhitungan tentang kelayakan kapal dan bersifat tradisional sehingga hal ini merupakan sebuah hambatan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah. Kajian basic design kapal perikanan adalah suatu pekerjaan untuk merancang kapal-kapal penangkapan ikan. Untuk merancang "basic design" kapal penangkapan ikan, agar hasil yang diperoleh maksimal mengacu pada dua dasar, yaitu laik laut dan layak tangkap. Untuk membuat atau merancang kapal agar laik laut dapat mengacu pada prinsip-prinsip perancangan suatu kapal yang sesuai dengan kaidah perancangan kapal. Sedangkan untuk kapal dapat menjadi laik tangkap, harus mengacu pada ilmu-ilmu perikanan khususnya teknologi penangkapan yang digunakan. Dalam membuat basic design kapal penangkapan ikan, diawali dengan survei yang antara lain meliputi pengukuran terhadap kapalkapal penangkapan ikan yang sudah ada dan dioperasikan oleh para nelayan. Dan hasil pengukuran akan dilakukan kajian dan analisis terhadap data yang diperoleh di lapangan, baik ditinjau dari aspek fisik kapal dan aspek ekonomi. Khususnya hasil analisis aspek fisik kapal, akan dijadikan acuan untuk membuat rancanganrancangan basic design pada pekerjaan ini. Tanpa pengawasan yang efektif akan

170 86 menyulitkan pemerintah untuk menerapkan pentingnya basic desain dalam pembuatan kapal ikan. Mengingat selama ini dalam mendesain kapal ikan, nelayan masih menggunakan cara-cara tradisional yang diturunkan secara turun temurun oleh pendahulu mereka. Permasalahan utama yang sering dihadapi adalah ketersediaan modal. Ini dicerminkan antara lain berupa keterbatasan kredit dengan persyaratan yang relatif mudah untuk usaha agribisnis perikanan. Minimnya lembaga keuangan di daerah kabupaten dan kecamatan, menjadi penyebab terhambatnya usaha perikanan di daerah. Modal memiliki peranan penting dalam memperbesar kapasitas produksi dan meningkatkan permintaan efektif. Besarnya potensi sumberdaya perikanan dan kelautan membutuhkan investasi untuk pembentukan modal. Berdasarkan pendekatan ekonomi, bahwa setiap penambahan satu unit modal akan memperbesar satu satuan output dalam setiap kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan terhadap alat-alat produksi (terutama teknologi modern) merupakan faktor produksi yang akan memudahkan setiap kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kurangnya modal merupakan kendala yang sangat berpengaruh dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dalam proses pembuatan kapal ikan dibutuhkan dana yang cukup besar sehingga hal ini menjadi kendala bagi nelayan di Maluku. Peran pemerintah dalam memberikan bantuan kepada nelayan merupakan salah satu tanggungjawab yang harus dilaksanakan mengingat keterbatasan dana pada nelayan. Salah satu cara yang efektif adalah pinjaman melalui bank kepada nelayan dengan bunga yang rendah sehingga nelayan dapat memanfaatkan itu dengan baik. Investasi berperan dalam pengadaan dan perbaikan kapal dan unit penangkapan. Hal ini dibutuhkan nelayan karena pada umumnya mereka memiliki keterbatasan modal untuk pengembangan usaha. Modal investasi diperuntukan bagi pengembangan pukat cincin, huhate, pancing tonda. Dengan demikian, investasi merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan dalam pengembangan perikanan tangkap. Klasifikasi nelayan tersebut atas dasar teknik kepemilikan alat produksi itu masih dibedakan berdasarkan kegiatan menjadi nelayan penuh, nelayan sebagai sambilan utama, dan nelayan sebagai sambilan tambahan. Sampai dengan tahun

171 , jumlah total nelayan Indonesia sekitar orang atau mengalami kenaikan sebesar 3,21% dibandingkan tahun 1999 dan dalam kurun waktu telah mengalami peningkatan sebesar 5 % per tahun. Nelayan berprofesi penuh pada tahun 2000 berjumlah orang atau mengalami kenaikan sebesar 3,06 % dibandingkan pada tahun sebelumnya. Kenaikan jumlah tenaga kerja yang menjadi nelayan sambilan utama pun mengalami kenaikan 5,06 % dibanding tahun sebelumnya atau berjumlah orang pada tahun Melihat laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi, mengakibatkan perlunya tambahan lapangan kerja yang cukup besar sehingga sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu andalan untuk menyerap tenaga kerja tersebut (DKP Maluku 2007). Kondisi cuaca yang tidak menentu akan berpengaruh pada fluktuasi hasil tangkapan, sehingga perlu diantisipasi dalam operasi penangkapan ikan. Fluktuasi produksi mempengaruhi pendapatan nelayan, yang diperoleh melalui sistem bagi hasil perikanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan nelayan di Maluku tergolong rendah dan belum memadai (Rp /bulan) jika dibandingkan dengan upah minimum regional sektor perikanan Maluku tahun 2005 sebesar Rp /bulan. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh nelayan di Maluku masih bersifat tradisional. Hal ini disebabkan kemampuan dana yang dimiliki oleh nelayan, dan oleh sebab itu perlu ada dukungan dari pemerintah atau swasta untuk membantu nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di daerah ini. Peran serta pihak stakeholder ini sangat diharapkan sehingga dapat merubah struktur pengelolaan sumberdaya yang ada. Sistem bagi hasil yang selama ini dilakukan antara pihak pemilik kapal dengan ABK tidak merata. Hasil tangkapan yang diperoleh dibagi dengan sistem 60 : 40 artinya bahwa nelayan pemilik kapal 60% dan ABK 40% dari total harga hasil tangkapan. Hal ini tentunya meresahkan ABK karena jumlah yang diperoleh relefan dengan hasil yang mereka peroleh. Oleh sebab itu sebaiknya total harga hasil tangkapan dibagi 50% : 50% antara pemilik kapal dengan ABK. Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal kemudian dilakukan pembobotan, ranking, dan skor dari masing-masing unsur SWOT dapat disajikan pada Tabel 65 dan Tabel 66

172 86 Tabel 65 Matrik faktor strategi internal pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Kode Unsur SWOT Bobot Rating Skor Faktor Internal A B AxB KEKUATAN K1 Produksi SDI di Perairan Maluku 0,10 4 0,40 cukup besar serta penggunan kapal huhate 30 GT cukup tinggi K2 Bahan baku untuk pembuatan kapal 0,10 4 0,40 huhate dengan fiber glass cukup tersedia K3 SDM untuk semua ABK kapal cukup 0,05 3 0,15 banyak tersedia K4 Tersedianya alat tangkap, umpan, dan 0,10 3 0,30 alat pengumpul ikan (rumpon) K5 Tersedianya galangan kapal rakyat untuk pembuatan kapal ikan 0,05 4 0,20 K6 Penerapan Perikanan yang 0,10 3 0,30 berwawasan lingkungan dan bertanggungjawab (CCRF) Sub-total 1,75 KELEMAHAN L1 Tidak tersedianya basic design kapal ikan sebagai acuan pembangunan kapal ikan 0,10 2 0,20 L2 Kurangnya permodalan dalam 0,10 1 0,10 pembuatan kapal dan alat tangkap L3 Pendapatan nelayan masih rendah 0,05 1 0,05 L4 Pengelolaan usaha perikanan tangkap 0,10 1 0,10 masih tradisional (sederhana) L5 Pembagian hasil usaha pengelolaan 0,05 2 0,10 kapal tidak merata antara pemilik kapal dan anak buahnya. L6 Kurangnya pasokan untuk pengadaan mesin kapal, teknologi penangkapan ikan dan alat navigasi kapal Sub-total 0,10 2 0,20 0,75 TOTAL SKOR 1,00 2,50 Sumber: data penelitian 2009 Tabel 65 diatas menunjukkan adanya pengelompokkan alternatif strategi internal sebagai kekuatan menjadi menjadi beberapa peringkat, dan ini menghasilkan alternatif produksi SDI di perairan Maluku cukup besar serta penggunaan kapal huhate 30GT cukup tinggi (rating 4) sementara kelemahan yang terjadi sebagai akibat pendapatan nelayan rendah (rating 1). Hal ini menunjukkan bahwa dengan kekuatan yang dimiliki diharapkan dapat meningkatkan pendapatan yang diterima nelayan.

173 85 Tabel 66 Matrik faktor strategi eksternal pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Kode Unsur SWOT Bobot Rating Skor Faktor Eksternal A B AxB PELUANG P1 Permintaan ikan meningkat baik pasar lokal, 0,10 4 0,40 regional dan luar negeri P2 Peningkatan dan penambahan kapal ikan 30GT 0,10 3 0,30 dengan alat tangkap huhate (pole and line) P3 Pengolahan hasil tangkapan baik berupa ikan 0,05 3 0,15 kaleng atau ikan beku untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri P4 Perlu adanya pengadaan cold storage 0,10 3 0,30 P5 Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda 0,05 4 0,20 untuk meningkatkan usaha perikanan P6 Kebijakan tentang teknologi tepat guna pada 0,10 4 0,40 armada penangkapan untuk menjaga mutu ikan dan kualitas ikan Sub-total ANCAMAN 1,75 A1 Batas-batas daerah penangkapan belum 0,10 4 0,40 diterapkan A2 Beroperasinya armada kapal asing baik 0,10 3 0,30 legal/ilegal di perairan Maluku A3 Selektifitas alat tangkap belum diterapkan 0,05 3 0,15 A4 Persaingan harga ikan di pasaran lokal dan 0,10 3 0,30 regional A5 Pemakaian bahan peledak oleh beberapa 0,05 4 0,20 sebagian nelayan A6 Belum dibatasinya selektifitas ukuran mata jaring dari alat tangkap yang digunakan Sub-total 0,10 4 0,40 1,75 TOTAL SKOR 1,00 3,50 Sumber: data penelitian 2009 Tabel 66 diatas menunjukkan adanya pengelompokkan alternatif strategi eksternal menjadi menjadi beberapa peringkat yang sangat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan. Peluang akibat permintaan akan ikan di pasaran domestik maupun pasaran internasional merupakan peluang yang sangat berpengaruh terhadap alternatif strategi guna mengatasi ancaman yang terjadi (rating 4). Ancaman yang terjadi akibat beroperasinya kapal-kapal ilegal di perairan Maluku (rating 3) merupakan ancaman yang cukup serius sehingga perlu pengawasan dari instansi terkait sehingga potensi sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan. Alternatif strategi dengan memanfaatkan peluang dalam pengelolaan sumberdaya merupakan langkah konkrit yang harus diantisipasi oleh pihak pemerintah dalam menangani masalah ini merupakan suatu terobosan sehingga dapat mengantisipasi ancaman yang kemungkinan akan terjadi. Strategi yang akan dibuat dijabarkan dan dilaksanakan untuk diimplementasikan pada

174 86 masyarakat dan stakeholder lainnya dapat dilakukan secara maksimal, hal ini tertuang dalam Tabel 67 berikut ini Tabel 67 Strategi pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku FAKTOR INTERNAL KEKUATAN (S) > Produksi SDI di Perairan Maluku cukup banyak serta penggunaan kapal huhate 30 GT cukup tinggi > Bahan baku untuk pembuatan kapal huhate dengan fiber glass cukup tersedia > SDM untuk semua ABK kapal cukup banyak tersedia > Tersedianya alat tangkap, umpan, dan alat pengumpul ikan (rumpon) > Tersedianya galangan kapal rakyat untuk pembuatan kapal ikan > Penerapan Perikanan yang berwawasan lingkungan dan bertanggungjawab (CCRF) KELEMAHAN (W) > Tidak tersedianya Basic design kapal ikan sebagai acuan pembangunan kapal ikan > Kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal dan alat tangkap > Pendapatan nelayan masih rendah > Pengelolaan usaha perikanan tangkap masih tradisional (sederhana) > Pembagian hasil usaha pengelolaan kapal tidak merata antara pemilik kapal dan ABK > Kurangnya pasokan untuk pengadaan mesin kapal, teknologi penangkapan ikan dan alat navigasi kapal FAKTOR EKSTERNAL PELUANG (O) > Permintaan ikan meningkat, baik pasar lokal, regional dan luar negeri > Peningkatan dan penambahan kapal ikan 30GT dengan alat tangkap huhate (pole and line) > Pengolahan hasil tangkapan baik berupa ikan kaleng atau ikan beku untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri > Perlu adanya pengadaan cold storage > Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda untuk meningkatkan usaha perikanan > Perlu adanya kebijakan tentang teknologi tepat guna pada armada penangkapan untuk menjaga mutu ikan dan kualitas ikan ANCAMAN (T) > Batas-batas daerah penangkapan belum diterapkan > Beroperasinya armada kapal asing baik legal/ilegal di perairan Maluku > Selektifitas alat tangkap belum diterapkan > Persaingan harga ikan di pasaran lokal dan regional > Pemakaian bahan peledak oleh sebagian nelayan Strategi SO > Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan > Penerapan CCRF perlu segera dilaksanakan sehingga SDI tetap lestari Strategi ST > Melakukan aturan batas penangkapan sesuai dengan fungsi masing-masing alat tangkap dan menetapkan tempat pemasangan rumpon yang sesuai > Memaksimalkan potensi perikanan dan penentuan galangan kapal perikanan pada daerah desa nelayan yang dianggap produktif. Strategi WO > Peningkatan investasi dari luar untuk usaha perikanan skala kecil > Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan. Strategi WT > Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan yang akan dibangun/ dan sekaligus design alat tangkap dan teknologi tepat guna > Menerapkan ukuran mata jaring yang sesuai dengan selektifitas alat tangkap Sumber: data penelitian 2009

175 85 Analisis pilihan strategi dikembangkan berdasarkan matriks internaleksternal (LAN RI 2007). Analisis ini menyatakan bahwa apa yang harus dicapai dalam pengelolaan, serta kegiatan spesifik apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pengelolaan. Dalam hal ini, pengalokasian sumberdaya perlu dilakukan untuk menjelaskan berbagai kemungkinan strategi pengembangan perikanan ikan pelagis dan desain alat tangkap di Maluku. Pemilihan strategi ini dilakukan ini untuk menjelaskan berbagai macam kemungkinan strategi pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku. Setelah diberi bobot/nilai unsur-unsur SWOT dihubungkan dengan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif strategi (SO, ST, WO,WT). Kemudian alternatif-alternatif tersebut dijumlah bobot/nilainya untuk menentukan peringkat masing-masing. Strategi dengan peringkat tertinggi merupakan alternatif strategi yang diprioritaskan untuk dilakukan. Alternatif strategi pada matriks hasil analisis SWOT dijabarkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk meraih peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST), penggunaan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan penggurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT). Prioritas strategi pengembangan didasarkan pada skor masing-masing faktor yang disusun berdasarkan Tabel IFAS (internal strategic factor analysis summary) dan Tabel EFAS (external strategic factor analysis summary) penentuan prioritas strategi dilakukan dengan instrumen analisis SWOT (Rangkuti 2000). Tabel 68 Priorias strategi pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku EFAS IFAS Kekuatan (S) 1,75 Kelemahan (W) 0,75 Peluang (O) 1,75 Ancaman (T) 1,75 Sumber: data penelitian 2009 Strategi SO 2,90 Strategi ST 1,85 Strategi WO 1,65 Strategi WT 1,20

176 86 Berdasarkan IFAS (internal strategic factor analysis summary) prioritas strategi pengembangan perikanan pelagis hasil analisis SWOT (Tabel 68) terlihat bahwa penggunaan unsur-unsur strategi kekuatan (S) (1,75) mempunyai peluang besar untuk mengalahkan kelemahan (0,75). Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan di perairan Maluku cukup banyak serta penggunaan kapal huhate untuk penangkapan ikan pelagis cukup tersedia walaupun terdapat beberapa kelemahan yang dihadapi seperti kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal dan alat tangkap, teknologi masih sederhana, tidak tersedianya basic design. Untuk menunjang kekuatan yang ada dengan melihat kelemahan yang terjadi maka perlu pengembangan teknologi tepat guna seperti perbaikan teknologi, SDM ditingkatkan, modal, sehingga pengelolaan sumberdaya dapat maksimal. Berdasarkan EFAS (external strategic factor analysis summary) terlihat bahwa strategi kekuatan (SO) (2,90) berupa pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada penangkapan dan penerapan CCRF merupakan kekuatan besar untuk menindaklanjuti peluang (O) (1,75) sebagai proses untuk mengantisipasi permintaan akan ikan meningkat pada pasaran domestik maupun internasional. Strategi (WO) (0,165) berupa peningkatan investasi dari luar untuk skala usaha perikanan skala kecil, penyediaan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna merupakan strategi yang sangat membantu dalam mengantisipasi kekuatan penambahan armada tangkap. Strategi (ST) (1,85) menegaskan tentang penetapan aturan batas penangkapan sesuai dengan fungsi masing-masing alat tangkap mengalahkan ancaman (T) (1,75) mengingat penetapan batas-batas penangkapan sampai saat ini belum ditetapkan oleh instansi yang berkepentingan untuk menetapkan kebijakan ini. Hal ini sangat didukung dengan strategi (WT) (1,20) dengan menerapkan adanya basic design serta penggunaan ukuran mata jaring yang selektif sehingga sumberdaya dapat berkelanjutan. Berdasarkan matrik skor strategi, maka prioritas kebijakan pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku adalah sebagai berikut: 1) Strategi SO, kebijakannya: (1) Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada

177 85 kapal ikan (2) Penerapan CCRF segera dilaksanakan sehingga SDI tetap lestari 2) Strategi ST, kebijakannya: (1) Menerapkan aturan batas penangkapan sesuai dengan fungsi masingmasing alat tangkap dan menetapkan tempat pemasangan rumpon yang sesuai (2) Memaksimalkan potensi sumberdaya yang ada dan penentuan galangan kapal perikanan di daerah-daerah yang dianggap sebagai desa nelayan produktif (3) Strategi WO, kebijakannya: (1) Peningkatan investasi dari luar daerah untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil (2) Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan 4) Strategi WT, kebijakannya: (1) Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan yang akan dibangun sekaligus desain alat tangkap dan teknologi tepat guna (2) Menerapkan ukuran mata jaring yang sesuai sesuai selektifitas alat tangkap. Tahapan ini merupakan kegiatan analisis secara terpadu semua pertimbangan berkaitan dengan empat unit alat tangkap yang dijadikan opsi, menentukan kriteria pembatasnya dan menentukan prioritas pengembangannya. Untuk mendapatkan hasil yang menyeluruh dan akurat, maka berbagai komponen yang berinteraksi/terkait dengan pengembangan teknologi alat penangkapan ikan akan dijadikan sebagai kriteria pembatas (limitting factor) pengembangan dan selanjutnya dianalisis secara struktur menggunakan AHP. Strategi pengembangan perikanan tangkap merupakan suatu bentuk kegiatan untuk menentukan prioritas yang tepat dari tujuh alternatif armada yang bisa dikembangkan berdasarkan hasil analisis Linear Goal Programming (LGP), hanya akan dipilih beberapa alat tangkap untuk dikembangkan. Untuk mendapatkan hasil yang akurat maka berbagai komponen yang berinteraksi

178 86 dengan pengembangan teknologi alat penangkapan ikan akan dijadikan sebagai komponen yang berinteraksi dengan pengembangan armada serta dijadikan kriteria dan pembatas (limitting factor) pengembangan serta analisis dilakukan secara terstruktur dengan menggunakan AHP (Analysis Hierarky Process). Berdasarkan hasil analisis terhadap kriteria dan sasaran pengembangan perikanan tangkap menurut Baruadi, Yuniarti (2002), dan Saaty (1986) dengan mempertimbangkan kondisi perikanan tangkap di perairan Maluku, maka kriteria pengembangan teknologi armada perikanan tangkap di daerah ini adalah: (1) Kriteria pengembangan perikanan pelagis (level II) antara lain: (1) Nelayan (NLY) (2) Pengusaha Perikanan Tangkap (PPT) (3) Selektifitas Alat Tangkap (SAT) (4) Produktifitas Tenaga Kerja (PTK) (5) Pendapatan Asli Daerah (PAD) (6) Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) (2) Kriteria pembatas (limiting factor) pengembangan perikanan pelagis (level III), antara lain: (1) Potensi sumberdaya ikan (PSDI) (2) Potensi teknologi (PT) (3) Sumberdaya manusia (SDM) (4) Teknik operasi penangkapan ikan (OPI) (5) Kondisi perairan (KP) (6) Peluang pasar (PP). Unit penangkapan yang termasuk dalam opsi pengembangan (level IV) adalah pukat cincin, huhate, pancing tonda. Adapun penyusunan sistem pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku dapat dilihat pada Gambar 60. Hasil analisis rasio kepentingan setiap pengembangan, kriteria pembatas dan opsi pengembangan setelah diolah menggunakan program AHP ditunjukkan pada Gambar 61.

179 155 5 PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku Penangkapan ikan pada dasarnya merupakan aktifitas eksploitasi sumberdaya ikan di laut. Pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis secara optimal dapat dilakukan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya tersebut dengan meningkatkan efisiensi eksploitasi yaitu pengoperasian alat tangkap yang efektif (teknologi), pengetahuan tentang sumberdaya ikan yang ditangkap (jenis, penyebaran, dan perkiraan jumlah), oleh karena itu informasi tentang keberadaan sumberdaya suatu perairan laut sangat penting untuk diketahui. Pemanfaatan sumberdaya perlu kehati-hatian agar tidak sampai pada kondisi tangkap lebih. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan diketahui dengan terlebih dahulu mengetahui besarnya potensi sumberdaya (stok). Menurut Azis (1989) dan Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan (1998), estimasi stok ikan di Indonesia dilakukan dengan enam metode pendekatan, yaitu sensus/transek, sweept area, akustik, production surplus, tagging, dan ekstra/intra-polasi. Diantara ke-enam metode pendekatan tersebut, metode surplus production adalah relatif paling murah, cepat dan sederhana dalam pengerjaannya. Faktor penentu keberhasilan penggunaan metode ini terletak pada keakuratan data yang digunakan antara lain data time series hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Informasi tentang status potensi sumberdaya yang tersedia perlu diketahui untuk pengelolaan sumberdaya secara optimal tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya yang ada. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan perlu kehati-hatian agar tidak sampai pada kondisi kelebihan penangkapan (overfishing). Suyasa et al (2007) menyatakan bahwa potensi ikan laut di Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun, dimana sekitar 73,43 persen atau 4,7 juta ton diantaranya adalah dari kelompok ikan pelagis, baik itu ikan pelagis besar maupun ikan pelagis kecil. Potensi ikan pelagis diperkirakan sekitar 3,6 juta ton per tahun atau 56,25 persen dari potensi ikan secara keseluruhan, dan baru dimanfaatkan sekitar 49,50 persen. Hasil analisis produksi

180 156 sumberdaya ikan pelagis kecil dengan menggunakan model surplus produksi Schaefer menunjukkan bahwa nilai MSY ikan pelagis kecil yang tertinggi di perairan Maluku adalah ikan layang sebesar ton per tahun dengan effort optimal sebesar trip per tahun dan ikan komu memiliki MSY yang paling rendah yaitu 1493 ton per tahun dengan effort optimal trip per tahun. Penyebaran kurva yang tidak normal pada tahun 2001 disebabkan karena faktor non teknis akibat konflik horizontal menyebabkan keamanan tidak terjamin sehingga jumlah nelayan melaut berkurang sementara stok ikan konstan sehingga hasil tangkapan meningkat terhadap jumlah armada yang sedikit. Effort optimal ikan komu (Auxist thazard) memiliki nilai tertinggi yaitu trip per tahun dan terendah pada ikan selar sebesar trip per tahun. Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Maluku dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2001 sampai 2005) belum mencapai titik maximum sustainable yield (MSY). Hasil analisis dengan model surplus produksi Schaefer terhadap ikan pelagis besar menunjukkan bahwa ikan cakalang mempunyai MSY tertinggi sebesar ,78 ton/tahun dengan effort optimal trip per tahun. Sedangkan ikan layur mempunyai MSY terendah sebesar 250,00 ton/tahun dengan effort optimal trip per tahun dan sekaligus merupakan effort yang tertinggi sedangkan ikan tuna sebesar ,67 trip per tahun. Kondisi tersebut memberikan dugaan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan masih memungkinkan untuk dieksploitasi, mengingat pada batas yang melebihi potensi lestari belum tercapai sehingga memberikan peluang untuk meningkatkan produksi. Pauly (1979) dan Panayotou (1982) yang diacu dalam Atmaja dan Haluan (2003), menggunakan MSY sebagai titik sasaran acuan pengelolaan perikanan terutama ketidakpastian sehubungan dengan kekurangan data pada laju penangkapan ikan. Maximum sustainable yield (MSY) menurut Cunningham (1981) yang diacu dalam Atmaja dan Haluan (2003) hanya digunakan sebagai titik sasaran acuan pengelolaan sumberdaya ikan dalam jangka waktu yang pendek. Secara umum sumberdaya ikan pelagis kecil dan pelagis di perairan Maluku tingkat pemanfaatannya masih dibawah MSY. Hal ini disebabkan karena teknologi penangkapan masih bersifat tradisional berdampak pada produksi yang rendah

181 155 akibat produktifitas yang rendah. Berbeda seperti yang dilaporkan Atmaja dan Nugroho (2001), tentang perikanan pelagis di Laut Jawa yang telah mengalami kelebihan kapasitas dan kondisi stok ikan pelagis yang menurun drastis maka, perikanan pelagis kecil di perairan Maluku dapat dikatakan underutilized. Teknologi yang relevan dalam memacu pertumbuhan produksi perikanan dan pendapatan nelayan adalah teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan dengan memperbesar armada penangkapan serta penggunaan alat tangkap yang lebih efektif dan efisien (Solihin 2003). Wisudo (2008) mengatakan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pada suatu daerah penangkapan (fishing ground) diupayakan sesuai dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang boleh dimanfaatkan. Apabila tingkat pemanfaatan di suatu wilayah penangkapan ikan melebihi nilai optimumnya, maka akan terjadi penurunan efisiensi usaha penangkapan ikan, bahkan akan menyebabkan fenomena tangkap lebih (overfishing). Sebaliknya, bila tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya tidak optimal tentu akan merugikan, karena kelimpahan sumberdaya ikan yang ada hanya disia-siakan mati secara alamiah (natural mortality) atau bahkan dimanfaatkan oleh para nelayan asing, sehingga tidak memberikan manfaat yang optimal untuk masyarakatnya. Tujuan konsep MSY adalah pengelolaan sumberdaya alam yang sederhana yakni mempertimbangkan fakta bahwa persediaan sumberdaya biologis seperti ikan tidak dimanfaatkan terlalu berat, karena akan menyebabkan hilangnya produktivitas (Hermawan 2006). Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil maupun pelagis besar di perairan Maluku perlu ditingkatkan hingga batas optimum. Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa bila tingkat pemanfaatan dibawah angka MSY, akan terjadi tingkat pemanfaatan yang belum optimal, artinya walaupun tidak membahayakan ketersediaan stok ikan tetapi sumberdaya ikan tersebut masih kurang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Bila dilakukan perbandingan terhadap dua keadaan diatas sebagai konsekuensi dari upaya tangkap yang berlebih, maka penurunan produktifitas unit penangkapan lebih besar dibandingkan dengan peningkatan hasil tangkapan. Keadaan tersebut dapat dipahami mengingat jumlah nelayan terus meningkat secara tidak langsung akan

182 156 berdampak terhadap jumlah alat tangkap. Seperti yang dikatakan Gulland (1983) meningkatnya jumlah kapal maka bagian yang diperoleh dari masing-masing kapal (produktifitas) akan semakin kecil. Meski demikian jika kita cermati baik produksi yang telah dicapai maupun upaya tangkap yang telah dilakukan sudah mendekati batas lestari. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat trend jumlah penduduk pesisir (nelayan) semakin bertambah demikian pula alat tangkap yang digunakan. Mengacu kepada kondisi aktual tersebut, maka sangat diperlukan kehatihatian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, mengingat perikanan tangkap di perairan Maluku memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi. Aktualisasi dari upaya kehati-hatian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Maluku yaitu dilakukannya tatalaksana mengenai sikap dan perilaku praktek yang bertanggungjawab dalam kegiatan perikanan tangkap. Upaya konkritnya dapat dilakukan dengan mengacu kepada prinsip kehati-hatian (precautionary) sebagaimana yang tertuang dalam Code of Conduct of Responsible Fisheries (CCRF) (FAO 1995). Inti dari prinsip tersebut terdapat pada penekanan pemanfaatan sumberdaya yang dibatasi hingga 80% dari MSY. Perhatian terhadap CCRF berimplikasi terhadap kebijakan pengembangan perikanan dimana target produksi ikan pelagis kecil di perairan Maluku menjadi 6180 ton/tahun dari jenis ikan selar dengan upaya penangkapan 1138,64 trip/tahun dan merupakan yang tertinggi dibandingkan jenis ikan pelagis lainnya. Sedangkan jenis ikan kembung 1320 ton/tahun dengan upaya penangkapan sebesar 1056 trip/tahun. Sementara untuk jenis ikan pelagis besar menempatkan jenis ikan tuna dengan target produksi sebanyak 4315,2 ton/tahun dengan upaya penangkapan 862,4 trip/tahun. Jenis ikan tongkol dengan target produksi sebesar 975,2 ton/tahun dengan upaya penangkapan 1950,4 trip/tahun dan sekaligus merupakan yang terendah dibandingkan dengan jenis ikan pelagis besar lainnya. Walapun ketentuan yang tercantum dalam CCRF bersifat tidak mengikat, akan tetapi karena bangsa Indonesia (khususnya di Maluku) yang merupakan bagian dari masyarakat dunia seyogyanya tidak mengabaikan prinsip yang termuat dalam CCRF. Selain karena memuat prinsip pengelolaan, juga mengandung nilainilai keberlanjutan, baik sumberdaya ikan maupun usaha penangkapan ikan. Oleh

183 155 karena itu pada masa yang akan datang target produksi dan upaya penangkapan dapat ditetapkan tidak melebihi dari kondisi tersebut. Perbandingan tingkat pemanfaatan dan pengupayaan pada kondisi lestari dan batas pemanfaatan ikan pelagis kecil dan pelagis besar sebagaimana dalam CCRF dapat terlihat pada Tabel 69 dan Tabel 70 Tabel 69 Perbandingan pemanfaatan ikan pelagis kecil dan pengupayaan pada kondisi aktual, estimasi MSY, F opt dan CCRF (80%) Jenis Ikan pelagis kecil Produksi /ton Aktual Estimasi CCRF (80%) Kondisi Tingkat Effort Effort MSY/ton F opt/trip MSY/ton aktual optimal (trip) (trip) Selar 3451, ,4 Under overfishing Layang 6765, ,4 1797,6 Under overfishing Tembang ,8 899,8 Under overfishing Teri ,2 981,7 Under overfishing Komu 355, ,2 2069,7 Under overfishing Kembung 831, , Under overfishing Sumber: data penelitian 2009 Tabel 70 Perbandingan pemanfaatan ikan pelagis besar dan pengupayaan pada kondisi aktual, estimasi MSY, F opt dan CCRF (80%) Jenis Ikan pelagis besar Aktual Estimasi CCRF (80%) Kondisi Produksi /ton Tingkat MSY/ton Effort aktual (trip) Effort optimal (trip) MSY/ton F opt/trip Tuna ,2 862,4 Under overfishing Tenggiri 40, , ,8 5642,4 Under overfishing Tenggiri papan , ,8 4257,6 Under overfishing Tongkol ,2 1950,4 Under overfishing Cakalang ,4 2488,8 Under overfishing Layur ,00 156, ,2 3023,2 Under overfishing Sumber: data penelitian 2009 Perbandingan kondisi aktual terlihat bahwa terjadi kenaikan terhadap tingkat MSY, effort optimal pada ikan pelagis. Fenomena yang terjadi adalah pemanfaatan yang dilakukan baik pada ikan pelagis kecil maupun pelagis besar di perairan Maluku belum mengalami tangkap lebih pada perairan tersebut, besarnya laju pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil dan besar di perairan Maluku diduga karena tekanan pemanfaatan sumberdaya di perairan tersebut dilakukan

184 156 setiap hari oleh kapal-kapal dengan peralatan teknologi modern yang datang dari luar daerah ini untuk mengeksploitasi potensi sumberdaya. Secara garis besar faktor yang menyebabkan semakin besarnya tekanan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan di perairan Maluku terbagi atas dua yaitu: faktor internal, dan faktor eksternal, antara lain: (1) Faktor internal: 1) Sumberdaya manusia 2) Teknologi penangkapan dominan sederhana 3) Kemampuan modal untuk meningkatkan kapasitas armada kecil 4) Rendahnya produktifitas unit penangkapan (2) Faktor eksternal: 1) Peningkatan jumlah nelayan 2) Fishing ground 3) Peningkatan jumlah unit penangkapan yang datang dari luar daerah Bertitik tolak dari kondisi tersebut dimana pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis kecil dan besar telah melampaui batas pemanfaatan dalam prinsip kebijakan pemanfaatan (CCRF) alternatif sehingga perlu dilakukan beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengganti unit penangkapan ikan yang tidak produktif dengan alat tangkap yang produktif (2) Melakukan rasionalisasi unit penangkapan berdasarkan kapasitas/daya dukung sumberdaya yang ada di perairan tersebut (3) Melakukan kontrol terhadap jumlah unit penangkapan dan dilakukan oleh instansi terkait (4) Melakukan ekspansi fishing ground (out shore) Pengembangan usaha perikanan tangkap ikan pelagis di perairan Maluku diarahkan pada peningkatan faktor biologi, teknik, ekonomi, dan sosial dalam sub sistem potensi sumberdaya ikan, sub sistem teknologi, sub sistem mutu, sub sistem pemasaran, sub sistem kelayakan usaha dan sub sistem infrastruktur. Hal tersebut dimaksud agar sistem usaha perikanan tangkap ikan pelagis yang ada dapat menguntungkan bagi pelaku usaha dan berkelanjutan. Peningkatan yang diharapkan yaitu dapat meningkatkan produksi dengan tetap menjaga kelestarian

185 155 sumberdaya, peningkatan pendapatan, kesejahteraan nelayan serta para pelaku yang terlibat dalam sistem usaha tersebut. 5.2 Teknologi Penangkapan Tepat Guna dan Alokasi Unit Penangkapan Optimum Tujuan pemilihan teknologi penangkapan tepat guna adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik, ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan melalui pengkajian pada aspek bio-technico-socio-economi-approach, oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu: 1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak dan mengganggu kelestarian sumberdaya, 2) secara teknis efektif digunakan, 3) secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan, dan 4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan aktifitas penting di Maluku. Ikan yang ditangkap selama 5 tahun terakhir sangat beragam. Jumlah spesies ikan yang tertangkap sejak tahun 1998 hingga 2007 mencapai 97 spesies yang terdiri dari pelagis kecil (30 species), pelagis besar (22 species), demersal kecil (25 species), dan demersal besar (10 species). Sumberdaya ikan pelagis kecil didominasi oleh 6 spesies yaitu ikan teri (Stolephorus sp), kembung (Rastrelliger sp), tembang (Sardinella sp), layang (Decapterus sp), selar (Selaroides spp) dan lemuru (Sardinela lemuru). Sedangkan ikan pelagis besar didominasi oleh 6 species antara lain: cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna (Thunnus sp), tenggiri (Scomberomorus sp) tongkol (Auxis thazard), layur (Istiophorus sp), (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, 2008). Alat penangkapan ikan yang dominan di Maluku yakni pukat cincin, bagan, huhate, pancing tonda, dan jaring insang permukaan. Menurut Monintja et al. (2001), bahwa alat tangkap sebagai komponen teknologi yang dijadikan standar perbandingan untuk kepentingan keberlanjutan perikanan harus memenuhi beberapa kriteria yaitu: 1) penerapan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, 2) jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang

186 156 diperbolehkan, 3) kegiatan usaha harus menguntungkan, 4) investasi rendah, 5) penggunaan bahan bakar minyak rendah, dan 6) memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek biologi Tujuan utama pengelolaan sumberdaya perikanan ditinjau dari segi biologi adalah dalam upaya konservasi stok ikan untuk menghindari tangkap lebih (King and Ilgorm 1989 dalam Hermawan 2006). Dengan kata lain bahwa untuk keberlanjutan perikanan tangkap diperlukan upaya agar tidak terjadi tangkap lebih melalui konservasi stok ikan. Seleksi pemilihan teknologi penangkapan berdasarkan aspek biologi terhadap jenis unit penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Maluku menghasilkan pengembangan alat tangkap huhate, jaring insang permukaan, pancing tonda sebagai prioritas utama, kedua, dan ketiga diikuti oleh purse seine, bagan dan pukat pantai pada posisi berikutnya. Alat tangkap huhate memiliki CPUE lebih besar bila dibandingkan dengan alat tangkap lain, begitu pula jumlah trip (58.909,2) lebih unggul dari jaring insang permukaan (720,49) dan pancing tonda (393,27). Sedangkan untuk kategori komposisi hasil tangkapan (jumlah jenis) menempatkan bagan (skor 5) pada urutan pertama dan diikuti oleh pukat cincin (skor 3) dan pukat pantai (skor 3). Kelemahan dari huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan adalah hanya menangkap ikan tertentu dengan ukuran yang hampir seragam, seperti cakalang, tuna. Sementara untuk ukuran ikan yang layak tertangkap secara biologi menempatkan alat tangkap ikan pelagis besar seperti huhate (skor 3), pancing tonda (skor 3) dan jaring insang permukaan (skor 3) sebagai yang terbaik dibandingkan dengan alat tangkap ikan pelagis kecil yang hampir menangkap semua jenis ukuran ikan. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kelangsungan sumberdaya ikan. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Heriawan (2008) di perairan Kabupaten Pandeglang yang menempatkan pukat cincin sebagai prioritas utama pengembangan, dan jaring insang menempati urutan kedua. Perbedaan ini disebabkan karena untuk daerah Pandeglang untuk komposisi hasil tangkapan menduduki urutan pertama, sedangkan Provinsi Maluku, huhate menduduki urutan utama.

187 155 Semakin kecil nilai prioritasnya untuk komposisi hasil tangkapan, mengakibatkan semakin buruk nilai prioritasnya. Hal ini disebabkan karena alat tangkap ikan pelagis kecil dengan ukuran mata jaring yang hampir sama (0,25 mm) untuk pukat pantai dan bagan akan sangat mempengaruhi hasil tangkapan ikan pelagis kecil dari faktor biologi. Hal ini berbanding terbalik dengan alat tangkap ikan pelagis besar yang sebagian besar sebagai alat tangkap ramah lingkungan. Khususnya untuk jaring insang permukaan dengan ukuran mata jaring (4 sampai 7 inchi) khususnya menangkap jenis ikan pelagis besar yang sesuai dengan ukuran mata jaring. Sementara untuk alat huhate dan pancing tonda, walaupun komposisi hasil tangkapan yang diperoleh tidak sebanyak alat tangkap pukat cincin namun dari aspek biologi lebih baik dibandingkan pukat cincin karena ikan yang tertangkap mempunyai ukuran yang sama serta sesuai dengan ukuran mata pancing yang digunakan Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek teknis Seleksi berdasarkan aspek teknis, memprioritaskan pancing tonda sebagai prioritas dan diikuti oleh jaring insang permukaan, huhate, pukat cincin, bagan, dan pukat pantai. Pancing tonda lebih diprioritaskan karena lebih mudah dioperasikan dan memiliki selektivitas yang tinggi dibandingkan dengan pukat pantai dan bagan. Aspek teknis ini sama dengan hasil penelitian Heriawan (2008) di perairan Pandeglang, dimana prioritas pertama berdasarkan aspek teknis di perairan tersebut yang layak untuk dikembangkan adalah untuk alat tangkap pancing sedangkan pukat cincin menempati urutan prioritas kedua. Menurut Widodo dan Suadi (2006), dalam suatu usaha penangkapan atas suatu stok ikan maka tertangkap pula stok lainnya sebab usaha penangkapan dilakukan pada perikanan multi jenis akan terdapat adanya tangkapan sampingan (bycatch). Pada aspek biologi, pukat pantai dan bagan sebagai prioritas akhir dan merupakan unit penangkapan yang tergolong tidak selektif, namun dari berbagai data dan informasi belum ditemukan tingkat kerusakan sumberdaya di perairan Maluku sebagai akibat dari pengoperasian alat tangkap tersebut. Di Maluku penangkapan ikan dengan pukat cincin menggunakan alat bantu penangkapan

188 156 berupa rumpon, sedangkan pada malam hari menggunakan alat bantu lampu (light fishing). Pengoperasian alat tangkap (X1) untuk jenis alat huhate, pancing tonda, jaring insang sangat sulit namun nelayan masih mampu mengatasinya sehingga unggul dari alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, bagan. huhate (skor 3), pancing tonda (skor 3), jaring insang (skor 3) unggul dalam pengoperasian alat tangkap sedangkan sedangkan daya jangkau operasi penangkapan alat tangkap juga mempunyai skor yang sama masing-masing skor 5. Hal ini disesuaikan dengan hasil skoring sesuai jawaban nelayan responden terhadapnya. Sedangkan untuk daya jangkau pengoperasian alat tangkap ikan pelagis besar pada umumnya lebih jauh (>5mil) bila dibandingkan dengan alat tangkap pelagis kecil yang pengoperasiannya di daerah pantai (<5mil). Lingkungan fisik sangat berpengaruh terhadap semua jenis alat tangkap terutama pada alat tangkap ikan pelagis besar dengan daerah penangkapan yang jauh memungkinkan kapal penangkap harus laik laut. Pukat cincin merupakan alat tangkap yang produktif karena tujuan penangkapannya adalah ikan-ikan yang sifatnya bergerombol. Walaupun produktifitasnya lebih tinggi daripada jaring insang tetapi dari teknik pengoperasian alat, jaring insang merupakan alat tangkap yang lebih mudah dioperasikan dan lebih ramah lingkungan karena selektivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan pukat cincin. Bagan juga merupakan alat tangkap yang produktif tetapi tidak selektif dan pengoperasiannya lebih sulit daripada jaring insang. Alat tangkap bagan di perairan Maluku menggunakan lampu petromaks sebagai sumber cahaya karena ikan umpan bersifat phototaxis positif sehingga dengan adanya sumbercahaya maka ikan akan berkumpul dan proses penangkapan dapat dilakukan. Alat tangkap huhate, pukat cincin, pancing tonda menggunakan teknologi alat bantu penangkapan yang lengkap bila dibandingkan dengan pukat pantai dan bagan. Pukat pantai didalam pengoperasiannya menggunakan tenaga manusia sebanyak 12 orang untuk menarik alat tangkap tersebut, sementara alat tangkap bagan dalam pengoperasiannya, saat seting maupun hauling hanya membutuhkan tenaga 2 sampai 3 orang.

189 Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek sosial Pada aspek sosial, menempatkan huhate dan pukat cincin sebagai prioritas pertama dan kedua dalam pengembangan disusul pancing tonda, jaring insang, pukat pantai dan bagan. Hal ini disebabkan karena huhate dan pukat cincin menyerap lebih banyak tenaga kerja, kesempatan kerja lebih besar serta memberikan upah yang lebih besar bagi tenaga kerja dibandingkan dengan jaring insang, pukat cincin, jaring insang, bagan. Huhate unggul untuk semua kriteria penilaian baik itu respon penerimaan alat baru, tingkat pendidikan, konflik antar nelayan, pengalaman kerja, serta jumlah tenaga kerja. Sering terjadi konflik nelayan antar alat tangkap pukat cincin di daerah penangkapan. Penyebab terjadinya konflik adalah keberadaan alat bantu penangkapan (rumpon) yang terdapat di fishing ground. Sementara alat tangkap pukat pantai walaupun unggul dalam penyerapan tenaga kerja, tetapi kelemahannya terdapat pada tingkat pendidikan (skor1) tidak terlalu trampil serta pengalaman kerja sebagai nelayan (skor 1). Pancing tonda dan jaring insang unggul pada empat kriteria penilaian respon penerimaan alat tangkap baru (skor 5) (Y1), tingkat pendidikan (skor 5) (Y2), konflik antar nelayan (skor 5) (Y3), pengalaman kerja sebagai nelayan (skor 5) (Y4) sementara Y5 (jumlah tenaga kerja) (skor 5) alat tangkap ini hanya membutuhkan 2 sampai 3 orang nelayan. Walaupun alat tangkap bagan unggul pada kriteria penerimaan alat tangkap baru, justru nelayan yang mengoperasikan alat ini hampir seluruhnya lulusan sekolah dasar. Di perairan Pandeglang, purse seine juga menempati urutan prioritas pengembangan dan bagan menempati urutan berikutnya (Heriawan 2008). Satu hal yang perlu mendapat perhatian sebagaimana dikatakan Panayotou (1992) diacu dalam Suyasa et al. (2007), bahwa pada umumnya di negara sedang berkembang khususnya pada perikanan skala kecil, peluang untuk mendapatkan pekerjaan lain (employment opportunities) bagi nelayan tidak ada. Hal ini mengakibatkan upaya penangkapan yang beroperasi di perairan cenderung lebih besar sehingga jumlah nelayan yang terlibat juga semakin besar. Salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup nelayan adalah dengan menjaga kelangsungan hidup dengan meningkatkan efisiensi serta mengganti

190 156 kapal dengan ukuran yang lebih besar. Cara tersebut selain dapat menyerap jumlah tenaga kerja yang lebih juga dapat meningkatkan jumlah hasil tangkapan. Karunia et al. (2008), mengatakan bahwa arah pembangunan nasional harus ditindaklanjuti melalui strategi peningkatan kesejahteraan dan dijabarkan melalui kebijakan peningkatan kesejahteraan guna menanggulangi kemiskinan, yakni dengan cara: 1) modal usaha untuk mengembangkan kewirausahaan, 2) pemberdayaan sumberdaya manusia, dan 3) penguatan kelembagaan dan pengembangan teknologi, oleh karena itu model peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil menggunakan ketiga indikator tadi Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek ekonomi Pancing tonda menempati prioritas pertama pengembangan setelah dilakukan seleksi berdasarkan aspek ekonomi. Prioritas kedua adalah huhate, jaring insang permukaan pada posisi ketiga, kemudian yang terakhir adalah pukat cincin, bagan, dan pukat pantai. Pancing tonda dan huhate unggul pada semua kriteria penilaian penerimaan kotor per trip (Z1), penerimaan kotor per jam operasi (Z2), penerimaan kotor per alat tangkap per bulan (Z3), penerimaan kotor per tahun (Z4), dan penerimaan kotor per tenaga kerja (Z5). Penerimaan kotor per trip pancing tonda Rp , huhate Rp , sedangkan penerimaan per bulan pancing tonda Rp , huhate Rp Hal ini disebabkan karena pada kedua alat ini penerimaan yang diterima, baik penerimaan kotor/trip operasi, penerimaan kotor/jam, penerimaan kotor alat tangkap/bulan, penerimaan kotor/tahun melampaui hasil penerimaan yang diterima dari alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, bagan dan jaring insang permukaan. Penerimaan kotor per trip pukat cincin (Rp ), pukat pantai (Rp ), bagan (Rp ), penerimaan per bulan pukat cincin (Rp ), pukat pantai (Rp ), dan bagan (Rp ). Pukat pantai merupakan alat tangkap yang menduduki urutan paling rendah dalam memenuhi semua kriteria penilaian. Modal yang dibutuhkan untuk 1 unit pukat pantai adalah Rp Hal ini tentunya membutuhkan kerja keras dari nelayan, apabila hal ini tidak tercapai maka tentunya nelayan akan mengalami kerugian yang besar. Alat tangkap bagan walaupun tidak unggul pada penerimaan kotor/trip,

191 155 penerimaan kotor/bulan (skor 1) namun alat ini unggul pada penerimaan kotor/tahun, penerimaan kotor/tenaga kerja (skor 3). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pukat cincin merupakan alat tangkap yang efektif dalam menghasilkan ikan hasil tangkapan. Perkembangan pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Cina Selatan tidak terlepas dari perkembangan alat tangkap pukat cincin pasca pelarangan alat tangkap trawl memperlihatkan bahwa pukat cincin merupakan alat tangkap yang produktif, efektif dan efisien (Atmaja, Wiyono dan Nugroho 2001). Suyasa et al. (2007) mengatakan bahwa alat tangkap pukat cincin merupakan alat tangkap yang paling efektif untuk menangkap ikan pelagis kecil sehingga dipergunakan sebagai alat tangkap baku dalam mengevaluasi status perikanan pelagis kecil di perairan Laut Jawa Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan penilaian gabungan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi Penentuan prioritas pengembangan kegiatan perikanan di suatu daerah tidak hanya dilihat dari satu atau dua aspek tetapi dari berbagai macam aspek yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan kegiatan tersebut. Demikian pula pada kegiatan pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku, ditentukan dengan menganalisis semua aspek yakni biologi, teknis, sosial, dan ekonomi. Setelah menganalisa keempat aspek tersebut maka hasil yang diperoleh adalah prioritas pertama pengembangan pada unit penangkapan huhate. Hal ini disebabkan karena huhate unggul pada aspek biologi (736,46), sosial (2,7). Sementara pancing tonda pada urutan kedua dan unggul pada aspek teknis (2, 21) dan aspek ekonomi (2,9) serta jaring insang permukaan menduduki prioritas ketiga dalam pengembangan unit penangkapan ikan di perairan Maluku. Sejalan dengan tujuan strategis pengembangan perikanan pelagis di Provinsi Maluku yang memprioritaskan peningkatan jumlah hasil tangkapan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, maka prioritas pengembangan pancing tonda, huhate, jaring insang, serta pukat cincin merupakan suatu alternatif yang paling efektif untuk mendukung tujuan strategis tersebut. Haluan dan Nurani (1988) menyatakan bahwa pukat cincin adalah unit penangkapan ikan pelagis yang paling produktif. Demikian pula, Yuliansyah (2002) menyatakan bahwa

192 156 pukat cincin merupakan unit penangkapan yang tepat dikembangkan untuk menangkap ikan-ikan pelagis. Heriawan (2008) dalam menentukan prioritas pengembangan unit penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Pandeglang juga memprioritaskan purse seine sebagai yang pertama. Tujuan pengembangan adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan pada dasarnya dengan tidak mengabaikan faktor keberlanjutan dan faktor ramah lingkungan. Faktor keberlanjutan tersebut berkaitan dengan perikanan tangkap yang bertanggungjawab, karena bila hanya mementingkan keinginan saat ini dengan melakukan penangkapan berlebih (over exploited) dan eksploitasi yang hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya ditakutkan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan, bahkan penurunan hasil tangkapan. Fauzi dan Anna (2005) mengatakan bahwa pembangunan perikanan tangkap harus didekati dengan pendekatan menyeluruh (holistic) yang menyangkut beberapa aspek, seperti ekologi (tingkat eksploitasi, keragaan rekruitmen, perubahan ukuran tangkap, dan sebagainya), ekonomi (tingkat subsidi, kontribusi perikanan, penyerapan tenaga kerja dan sebagainya), sosial (pertumbuhan komunitas, status konflik, tingkat pendidikan dan sebagainya), teknologi (produktivitas alat, selektivitas alat, ukuran kapal, dan sebagainya), dan etik (illegal fishing, mitigasi terhadap habitat dan ekosistem, sikap terhadap limbah dan bycatch. Kesteven (1973) dan Monintja (2000) diacu dalam Wisudo (2008) mengemukakan bahwa komponen-komponen utama dari sistem perikanan tangkap adalah sumberdaya ikan, unit penangkapan ikan, masyarakat (nelayan), prasarana pelabuhan, sarana penunjang (galangan kapal, bahan alat tangkap ikan, dan mesin kapal), unit pemasaran dan unit pengolahan. Keseluruhan komponen tersebut sangat menentukan upaya mewujudkan perikanan tangkap bertanggungjawab. Pengembangan perikanan bertanggungjawab pada dasarnya ditujukkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, memenuhi kebutuhan pangan, dan sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya ikan beserta lingkungannya.

193 Aspek berkelanjutan berdasarkan CCRF Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang memperhatikan aspek kelanjutan di perairan Maluku adalah pukat cincin, pukat pantai, bagan, huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan, pukat udang, payang, pukat tarik, rawai, perangkap. Pancing tonda berpotensi untuk dapat dikembangkan di perairan Maluku setelah dianalisis berdasarkan aspek berkelanjutan sumberdaya ikan serta pemanfaatannya. Untuk kriteria memenuhi ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku, pancing tonda memiliki skor 4 karena sesuai dengan persyaratan CCRF, UU No 31/2004 tentang perikanan, peraturan daerah dan hukum adat yang selalu mengedepankan pelestarian sumberdaya. Pancing tonda memiliki memiliki keunggulan pada lima (5) kriteria penilaian penangkapan berkelanjutan dengan total skor tertinggi 23, nilai rata-rata 3,83 dan memperoleh skor 4 pada menerapkan kriteria teori ramah lingkungan, jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC, menguntungkan, penggunaan BBM rendah, serta memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu kriteria yang menjadi kekurangan dari alat tangkap ini adalah investasi rendah (skor 3). Hal ini disebabkan karena untuk membuat 1 unit pancing tonda (kapal, alat tangkap, mesin) dibutuhkan biaya Rp Huhate didalam pengoperasiannya, dilakukan di lautan bebas sehingga tidak mempengaruhi lingkungan sekitarnya serta memperoleh keuntungan yang cukup besar (Rp sampai Rp /bulan), oleh karena itu alat tangkap ini dianggap menguntungkan. Selain itu alat tangkap ini juga tidak dioperasikan pada daerah karang sehingga tidak mempengaruhi ekosistim di daerah ini sehingga hal ini sangat berhubungan erat dengan kaidah pemanfaatan sumberdaya laut menurut CCRF, UU No 31/2004 tentang perikanan, peraturan daerah dan hukum laut. Huhate mempunyai skor 22 dan jaring insang permukaan dengan skor 18 dianggap sebagai alat tangkap yang menduduki ranking kedua dan ketiga sebagai alat tangkap berkelanjutan. Pada alat tangkap jaring insang permukaan mempunyai kekurangan hanya terjadi pada penggunaan bahan bakar (skor 2) karena pada kapal/perahu yang digunakan hanya menggunakan mesin 25PK bila dibandingkan dengan kapal huhate ( mesin inboard) maupun pancing tonda 40 PK sehingga membutuhkan biaya bahan bakar yang besar.

194 156 Perangkap/bubu dengan hasil skor 18 dengan nilai tinggi (skor 4) untuk kriteria jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC, investasi rendah, serta penggunaan bahan bakar rendah (BBM). Pada prinsipnya operasi penangkapan bubu dilakukan hanya pada satu tempat dengan ukuran ikan yang tertangkap relatif tidak terlalu besar dan hasil tangkapannya sedikit. Kriteria investasi rendah karena dapat dibuat dengan biaya yang relatif kecil (<Rp ) per unit. Bagan sebagai unit penangkapan berlanjutan dan memperoleh hasil skor 15 dengan nilai skor tinggi (skor 3) untuk kriteria jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC, penggunaan BBM rendah dan memenuhi ketentuan perundangundangan yang berlaku. Dalam pengoperasian alat tangkap bagan hanya dibutuhkan sekitar 20 liter minyak tanah untuk bahan bakar lampu petromaks (Rp /hari operasi). Sedangkan untuk kriteria menguntungkan (skor 2) tentunya sangat berpengaruh terhadap pengoperasian alat ini, hal ini juga sama dengan penggunaan investasi yang besar pada alat tangkap ini (skor 2) karena dalam pembuatan alat tangkap ini dibutuhkan biaya sekitar Rp sampai Rp /unit. Unit penangkapan ikan yang kurang mendukung terhadap kriteria keberlanjutan berdasarkan CCRF adalah pukat pukat pantai, pukat tarik. Meskipun pukat pantai tidak menerapkan kriteria keberlanjutan berdasarkan CCRF karena alat ini hanya memenuhi 1 dari 5 aspek yang di nilai. Aspek yang dapat dipenuhi oleh alat tangkap pukat pantai ini adalah penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang rendah karena alat ini dalam pengoperasiannya hanya membutuhkan 10 liter minyak tanah/trip (Rp ). Pukat pantai yang digunakan di perairan Maluku dengan ukuran jaring 0,25 mm tentunya sangat berpengaruh terhadap biota-biota laut yang ada di sekitar daerah pantai. Alat tangkap pukat pantai membutuhkan dana yang cukup besar (skor 3) diperkirakan sekitar Rp sehingga dengan dana yang cukup besar tidak seimbang dengan hasil tangkapan yang diperoleh sehingga pada umumnya nelayan pukat pantai di perairan Maluku mengalami kerugian yang cukup besar. Pukat tarik juga mempunyai mengalami hal yang sama seperti pukat pantai. Hal ini diakui bahwa pukat tarik dalam pengoperasian di sekitar pinggiran pantai dilakukan dengan cara menarik semua jenis-jenis ikan baik berukuran kecil

195 155 maupun besar yang ada di sekitar wilayah pantai. Biaya investasi (skor 2) yang dibutuhkan oleh pukat tarik di perairan Maluku diperkirakan sekitar Rp sampai Rp Aspek ramah lingkungan berdasarkan CCRF Hasil seleksi aspek ramah lingkungan terhadap alat tangkap yang beroperasi di perairan Maluku adalah huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan, rawai, payang, pukat cincin, perangkap, dan bagan. Sedangkan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan adalah pukat pantai, pukat tarik, pukat udang. Pancing tonda merupakan alat tangkap yang cukup sempurna (skor 3,55) dalam penilaian terhadap alat tangkap ramah lingkungan karena alat tangkap ini dapat mewakili semua kriteria-kriteria penilaian terhadap aspek ramah lingkungan. Huhate termasuk dalam alat tangkap ramah lingkungan karena alat ini memenuhi kriteria selektifitas tinggi dan produknya tidak membahayakan konsumen (skor 4). Hal ini disebabkan karena alat ini hanya juga menangkap jenis ikan tertentu saja sesuai dengan ukuran mata pancing yang digunakan serta produk hasil tangkapan juga tidak membahayakan konsumen. Alat tangkap ini termasuk bersama dengan jenis pancing lainnya seperti pancing tonda, handline, multiple handline yang dikategori sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan Jaring insang permukaan (skor 3,22) merupakan alat tangkap yang sangat ramah lingkungan karena alat ini juga cukup mendukung terhadap aspek ramah lingkungan. Alat ini mempunyai selektivitas yang tinggi dan tidak berpengaruh terhadap nelayan (skor 4). Hal ini disebabkan karena dalam pengoperasiannya alat tangkap ini hanya menangkap ikan yang sesuai dengan ukuran mata jaring yang digunakan. Jaring insang yang dipergunakan adalah berukuran mata 4 sampai 7 inci sehingga hanya untuk menangkap ikan pelagis besar di perairan Maluku. Pukat cincin termasuk alat tangkap yang harus diperhitungkan terhadap penilaian kriteria ramah lingkungan karena alat ini hasil tangkapan berkualitas tinggi (skor 3), tidak membahayakan nelayan (skor 3), produknya tidak membahayakan konsumen (skor 3), serta by catch dan discard minim (skor 3). Produk dari pukat cincin tidak destruktif, by catch rendah serta jenis ikan hasil tangkapan alat ini berupa jenis ikan pelagis kecil (kembung, layang, selar, teri dan

196 156 lain-lain). Hasil tangkapan dari alat ini mendominasi 60 % semua pasar lokal di daerah Maluku, khususnya kota Ambon. Produk rawai dipastikan aman bagi konsumen, hal ini disebabkan karena dalam pengoperasiannya alat ini tidak menggunakan bahan berbahaya seperti: potasium, bahan peledak untuk memperoleh hasil tangkapan sehingga dapat dikatakan aman bagi konsumen, sedangkan skor 3 untuk kriteria dapat diterima secara sosial di masyarakat karena pengusahaan rawai hanya membutuhkan biaya kecil, menguntungkan, serta tidak bertentangan dengan budaya serta memenuhi peraturan perikanan yang berlaku. Bagan juga memiliki kriteria penilaian tidak destruktif terhadap habitat (skor 3), hasil tangkapan berkualitas tinggi (skor 3), tidak membahayakan nelayan (skor 3), serta produknya tidak membahayakan konsumen (skor 3). Alat tangkap bagan ini dalam pengoperasiannya tidak terlalu berpengaruh terhadap habitat di sekelilingnya karena pengoperasiannya di laut lepas. Hasil tangkapan yang diperoleh cukup berkualitas tinggi dari jenis-jenis ikan pelagis kecil seperti ikan teri, kembung, layang. Di daerah Maluku khususnya pengoperasian bagan sangat berpengaruh terhadap pengoperasian alat tangkap huhate karena ikan umpan yang diperoleh dari alat tangkap ini dipergunakan sebagai umpan hidup untuk penangkapan ikan cakalang. Harga ikan pelagis kecil yang dipergunakan sebagai ikan umpan untuk penangkapan cakalang sekitar Rp /ember. Pukat pantai merupakan unit penangkapan yang cenderung merusak lingkungan dibandingkan dengan alat tangkap lainnya di perairan Maluku. Jenis alat tangkap pukat pantai, pukat udang, pukat tarik, merupakan alat tangkap yang cenderung merusak lingkungan dengan skor masing-masing 16. Pukat pantai mempunyai selektifitas yang terendah dan kurang diterima di masyarakat (skor 1). Hal ini disebabkan karena alat tangkap ini mempunyai ukuran mata jaring yang cukup kecil (0,25 inci) tentunya semua jenis ikan dari fase pertumbuhan sampai dewasa akan tertangkap oleh alat ini. Pukat tarik, pukat pantai mempunyai sifat destruktif yang tinggi (skor 1) terhadap habitat karena semua habitat biota laut yang terperangkap dalam alat tangkap ini minimal akan mengalami rusak (jika tidak tertangkap) pada saat jaring ini tidak ditarik.

197 155 Hasil analisis linear goal programming memperlihatkan terjadi penurunan jumlah alat penangkapan ikan pelagis seperti: pukat cincin, bagan, pukat pantai di perairan Maluku. Hal ini disebabkan karena jumlah ketiga alat tangkap ini tidak memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan dengan lingkungan sehingga berpengaruh pada keberlanjutan sumberdaya yang ada. Hasil analisis liniear goal programming memperlihatkan terjadi penambahan dan pengurangan terhadap alat tangkap yang menangkap ikan pelagis. Alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan mengalami penurunan masing-masing: 15, 175, dan 240 unit untuk mencapai alokasi optimal, sedangkan huhate, pancing tonda dan jaring insang mengalami penambahan sebesar 1053 unit, unit, dan unit. Implikasi yang terjadi akibat penambahan jumlah alat tangkap di perairan Maluku berpengaruh terhadap potensi sumberdaya ikan, jumlah tenaga kerja, sedangkan implikasi akibat pengurangan jumlah alat tangkap dilakukan mengingat jenis alat-alat tangkap ini dalam pengoperasiannya tidak mengikuti aturan-aturan sesuai dengan kriteria penangkapan ikan berkelanjutan yang telah ditetapkan. Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, pengurangan terhadap jumlah alat tangkap adalah sangat efektif dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan di perairan Maluku. Solusi yang diperlukan untuk mengurangi tekanan sumberdaya adalah dengan perbaikan teknologi tepat guna dari masing-masing alat tangkap sehingga keberadaan stok sumberdaya yang ada dapat berkelanjutan dengan mengikuti aturan yang berlaku. Perbaikan teknologi tepat guna yang dilakukan ini didasarkan pada keberlanjutan usaha yang dilakukan seperti: 1) menangkap ikan dengan ukuran jaring yang sesuai, 2) tidak merusak ekosistim perairan, 3) tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi, 4) penggunaan teknologi penangkapan sesuai jenis ikan yang ditangkap, 5) serta dapat diterima secara sosial. Hasil analisis goal programming tidak merekomendasikan pukat cincin untuk dikembangkan berdasarkan solusi optimal basis, sehingga perlu pengurangan jumlah armada sebanyak 15 unit dari jumlah alokasi aktual (272 unit). Hal ini dilakukan karena alat tangkap ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan dan pada kondisi ini perlu perhatian serius dari stakeholder sehingga potensi sumberdaya tersebut dapat dikelola secara

198 156 optimal. Pengurangan jumlah pukat cincin ini perlu dilakukan dengan memperhatikan perubahan kapasitas perikanan pelagis kecil di perairan Maluku. Pada kondisi access capacity yang bersifat jangka pendek, unit penangkapan tersebut secara individual tidak menerapkan prinsip penangkapan berwawasan lingkungan, akan tetapi nelayan ingin memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya dalam penangkapan ikan tanpa memperhatikan stok ikan yang ada. Disisi lain walaupun terjadi pengurangan jumlah alat tangkap, namun diusulkan solusi untuk pengembangan untuk alat tangkap ini berupa desain teknologi tepat guna yang dapat memabntu nelayan dalam mengelola sumberdaya antara lain: 1) perubahan desain palka dengan penambahan styrofoam pada dinding palka, 2) ukuran kapal diperbesar, 3) serta penggunaan winch sebagai alat bantu penangkapan. Perubahan ini dilakukan sehingga sumberdaya dapat dikelola secara optimal mengingat selama ini nelayan pukat cincin Hasil analisis juga menunjukkan terjadi pengurangan terhadap jumlah alat tangkap pukat pantai sebesar 175 unit dari jumlah aktual 435 unit. Pengurangan terhadap alat tangkap ini dilakukan karena alat ini merupakan alat tangkap yang tidak efektif dan efisien mengingat alat ini merusak sumberdaya yang ada. Solusi yang diperlukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan boouke ami. Boouke ami adalah jenis alat tangkap yang menggunakan sumber cahaya untuk mengumpulkan ikan umpan dan digunakan pada pengoperasian alat tangkap huhate. Alat tangkap ini dapat dipakai pada kapal huhate sehingga kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat pukat pantai dapat terhindari. Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, pengurangan terhadap jumlah alat tangkap bagan sebanyak 240 unit dari hasil analisis berdasarkan solusi optimal basis (1659 unit) adalah sangat efektif dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan di perairan Maluku. Solusi yang diperlukan untuk mengurangi tekanan sumberdaya adalah dengan menempatkan bagan pada jalur-jalur yang telah ditetapkan oleh instansi terkait. Kebijakan pengurangan terhadap alat tangkap bagan dilakukan sangat perlu dilakukan karena selama ini nelayan bagan dalam penempatan alat ini dilakukan pada daerahdaerah yang mengganggu alur pelayaran. Kebijakan yang dilakukan terhadap pengurangan jumlah armada dapat menimbulkan dampak bagi nelayan dan harus

199 155 mendapat perhatian serius, ditinjau dari aspek sosial dan tenaga kerja, dimana sebagian nelayan bagan akan kehilangan pekerjaan. Apabila terjadi pengurangan jumlah nelayan terhadap alat tangkap tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan bertahap untuk mencegah terjadinya konflik nelayan. Disamping itu, perlu penanganan yang lebih serius oleh instansi terkait dalam penyediaan lapangan pekerjaan alternatif yang efektif bagi nelayan yang bersedia meninggalkan alat tangkap tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan jumlah alat tangkap huhate sebanyak 1053 unit dari kondisi aktual 404 unit sehingga untuk mencapai hasil berdasarkan solusi optimal basis sebanyak 1457 unit. Solusi yang dilakukan terhadap pengembangan alat tangkap huhate ke depan melalui peningkatan motorisasi kapal penangkap dan perbaikan desain teknologi alat tangkap dan kapal, serta perbaikan manajemen usaha penangkapan menjadi lebih efisien. Perbaikan teknologi penangkapan ikan seharusnya sudah dimulai dari sekarang sehingga produk yang dihasilkan dapat di eksport keluar negeri. Pengembangan alat tangkap ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor pendukung dalam pengelolaan sumberdaya perikanan seperti: 1) ukuran kapal diperbesar, 2) perbaikan desain palka dengan penambahan styrofoam pada dinding palka, 3) serta perubahan teknologi penangkapan. Perubahan terhadap alat tangkap ini dilakukan sehingga dapat mengelola sumberdaya ikan pelagis besar secara efektif dan berkesinambungan. Beberapa pertimbangan untuk mengembangkan alat tangkap huhate berdasarkan wawancara dan pengamatan di lapangan, antara lain: 1) sumberdaya ikan pelagis kecil cukup potensial, 2) teknologi penangkapan lebih baik dikuasai oleh nelayan lokal, 3) armada dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh dari basis penangkapan, 4) lebih produktif, 5) penyerapan tenaga kerja lebih besar. Solusi yang dilakukan mengingat pengembangan alat tangkap ini sangat efektif dilakukan bila ditinjau dari faktor lingkungan dan aspek sumberdaya, karena pada prinsipnya ikan yang tertangkap dengan alat ini sangat efektif dalam ukuran. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan data lapangan di lokasi sampel, ukuran mata kail yang digunakan nelayan berukuran 1000 terutama dilakukan khusus untuk menangkap ikan pelagis besar.

200 156 Kebijakan penambahan berdasarkan hasil analisis terhadap alat pancing tonda sebanyak unit dari alokasi aktual unit untuk mencapai solusi optimal basis unit. Hal ini perlu dilakukan karena alat ini merupakan jenis alat tangkap yang mempunyai selektifitas tinggi, menghasilkan ikan berkualitas tinggi, tidak merusak habitat, serta menguntungkan. Beberapa solusi yang dilakukan terhadap alat ini adalah dengan perbaikan teknologi dalam proses penangkapan seperti: 1) penggunaan metode layang-layang dalam penangkapan ikan, 2) perbaikan desain cool box yaitu dengan penggunaan styrofoam, 3) perbaikan ukuran kapal (ukuran kapal di perbesar). Hal ini perlu dilakukan karena akhir-akhir ini semakin banyak permintaan akan ikan pelagis besar di pasaran domestik maupun internasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi penambahan jumlah alat tangkap jaring insang permukaan di perairan Maluku sebesar unit dari kondisi aktual untuk mencapai solusi aktual basis sebanyak unit. Pengembangan alat tangkap ini perlu dilakukan mengingat alat tangkap ini merupakan salah satu diantara alat tangkap ikan pelagis besar yang tidak merusak lingkungan. Kebijakan penambahan ini dilakukan agar dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan. Ditinjau dari aspek kelestarian sumberdaya, ikan yang tertangkap dengan alat tangkap jaring insang permukaan sangat selektif dalam ukuran. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran mata jaring yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan pelagis besar adalah 4 sampai 7 inchi, terutama untuk menangkap ikan cakalang, ikan tongkol, serta ikan tuna. Namun, tingkat penyerapan tenaga kerja nelayan dan produktifitas pada alat tangkap ini tergolong rendah. Solusi pengembangan jaring insang permukaan ke-depan dapat dilakukan melalui peningkatan motorisasi kapal penangkap, perbaikan desain kapal, perbaikan teknologi alat tangkap yang produktif, dan perbaikan manajemen usaha penangkapan menjadi lebih efisien. Optimalisasi alokasi unit penangkapan ikan pelagis di perairan Maluku memerlukan suatu kondisi pengelolaan sumberdaya ikan secara terpadu dan berkesinambungan dari berbagai stakeholder, karena posisi perairan tersebut bersinggungan langsung dan mencakup hampir seluruh wilayah administratif

201 155 kabupaten/kota di Maluku. Dalam rangka pengembangan potensi sumberdaya ikan ke depan, dengan terinspirasi oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, setiap pemerintah kabupaten/kota cenderung menentukan sendiri besar potensi sumberdaya ikan sesuai dengan luas wilayah administrasinya. Jumlah potensi kemudian digunakan sebagai dasar alokasi unit penangkapan ikan, tanpa memperhatikan sifat sumberdaya ikan yang beruaya dari suatu perairan ke perairan lainnya sehingga sulit untuk menentukan hak kepemilikannya. Penambahan unit penangkapan dapat dilakukan dengan memperbesar armada penangkapan dan perluasan daerah penangkapan ikan. Armada penangkapan yang lebih besar dibutuhkan agar dapat menjangkau daerah penangkapan ikan di luar zona pantai, karena selama ini daerah penangkapan ikan terbatas hanya pada daerah pantai. Nikijuluw (2002) mengatakan bahwa sifat eksludabilitas sumberdaya ikan yang berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu menjadi semakin sulit karena sifat sumberdaya ikan yang bergerak luas di laut. Kesulitan pengendalian dan pengawasan tersebut menimbulkan kebebasan pemanfaatan oleh siapa saja yang ingin masuk ke dalam industri perikanan tangkap. Kebebasan pemanfaatan dan kesulitan pengawasan terhadap unit penangkapan yang mengelola sumberdaya perikanan menghendaki suatu Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) pelagis kecil maupun besar secara terpadu oleh kabupaten/kota yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya di perairan Maluku. RPP tersebut diharapkan akan memberikan arah yang jelas, terorganisir sehingga keberlanjutan pengelolaan sumberdaya dapat dimanfaatkan. Penyususan RPP seharusnya melibatkan pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mengelola sumberdaya. Keterlibatan seluruh stakeholder dalam proses penyusunan dengan sendirinya mendorong proses peningkatan rasa memiliki secara bertanggungjawab untuk mengelola sumberdaya ikan dalam rangka pencapaian tujuan pengelolaan (Martosubroto 2007). Pembangunan perikanan di Maluku pada dasarnya mengacu pada kebijakan perikanan nasional tahun 2005 sampai 2009 dengan inti kebijakan tersebut adalah: 1) menjadikan perikanan tangkap sebagai andalan perekonomian dengan

202 156 membangkitkan industri perikanan nasional, 2) rasionalisasi, nasionalisasi, dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dan keberpihakan pada nelayan lokal maupun perusahan nasional, 3) mendorong Pemerintah Daerah untuk lebih proaktif dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya di wilayahnya secara berkelanjutan. Intinya pada tingkat provinsi, kebijakan pemerintah dalam bidang kelautan dan perikanan adalah termanfaatkan potensi secara optimal. Sasaran tersebut dijabarkan dalam program pembangunan yang dikembangkan sesuai tujuan pembangunan perikanan di Maluku. Perkembangan teknik penangkapan modern, terutama semenjak diperkenalkannya motorisasi (modernisasi perikanan) telah membagi formasi sosial nelayan menjadi dua kategori yaitu nelayan tradisional dan nelayan modern. Berdasarkan teknik dan alat penangkapan nelayan tradisional adalah nelayan yang masih mempertahankan cara penangkapannya dengan menggunakan kapal tanpa motor (KTM), tanpa inovasi teknologi, tanpa dukungan modal yang kuat, tanpa kelembagaan usaha yang efektif, cenderung bersifat subsistem, dan secara geneologi telah menekuni aktifitas tersebut secara turun temurun. Berbeda halnya dengan nelayan modern, teknik penangkapannya mengadopsi perkembangan teknologi, seperti kapal motor hingga ke teknologi citra satelit. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan adanya transformasi teknologi dan inovasi baru dalam kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tradisional. Hal tersebut merupakan syarat penting yang harus dipenuhi dalam rangka penciptaan perbaikan tingkat output dan produktifitas hasil tangkapan. Kenyataan yang ada sekarang adalah bahwa nelayan tradisional dengan teknologi dan kapasitas unit penangkapan yang masih rendah menyebabkan mereka hanya terkonsentrasi pada daerah penangkapan di sekitar pantai dimana potensi sumberdaya ikan di wilayah tersebut semakin menurun akibat meningkatnya upaya penangkapan yang dilakukan, namun demikian transformasi teknologi dan inovasi baru harus juga diimbangi dengan perubahan yang mempengaruhi seluruh struktur sosial, politik dan kelembagaan masyarakat nelayan sehingga tanpa adanya perubahan tersebut maka modernisasi dan peningkatan kapasitas penangkapan menjadi kontraproduktif.

203 155 Pemilihan jenis dan bentuk introduksi teknologi juga perlu mempertimbangkan kondisi tingkat pengangguran di wilayah yang bersangkutan karena introduksi teknologi di samping dapat memberikan dampak positif terhadap produktifitas, tetapi terkadang memberikan dampak negatif karena penggunaan teknologi maju memberikan peluang tergesernya peran tenaga kerja manusia dalam proses produksi tersebut. Apabila tingkat pengangguran begitu tinggi, maka alternatif teknologi tepat guna dan padat karya mungkin dapat menjadi alternatif, tetapi apabila tingkat pengangguran tergolong rendah, maka pengenalan teknologi yang lebih efisien dapat menjadi pertimbangan. Teknologi yang relefan dalam memacu pertumbuhan produksi perikanan nelayan adalah teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan yaitu berupa memperbesar armada penangkapan dan penggunaan alat tangkap yang lebih efisien dan produktif. 5.3 Kendala pengembangan perikanan tangkap di perairan Maluku Pengembangan teknologi alat penangkapan ikan dalam rangka pemberdayaan masyarakat nelayan di perairan Maluku menghadapi beberapa kendala yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Daerah, antara lain: (1) Pendidikan Eksistensi sumberdaya manusia (SDM) dalam pengelolaan perikanan tidak dapat diabaikan. SDM memiliki multiflyer effect yang besar terhadap berbagai bidang dalam praktek kehidupan manusia berupa sikap, mental, manajerial dan keterampilan, sehingga kualitas SDM sangat menentukan dan memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan pembangunan perikanan di daerah tersebut. Pada tahun 2006 jumlah nelayan di Provinsi Maluku berjumlah orang dengan struktur pendidikan yang beragam, yang paling dominan adalah tamatan Sekolah Dasar bahkan banyak nelayan juga yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dampak dari struktur pendidikan yang demikian adalah pada tingkat kemampuan nelayan untuk menerima teknologi baru, apalagi sampai tingkat teknologi modern selain itu juga mempengaruhi kemampuan dalam mengatur pendapatan sehingga nelayan terus terbelenggu dalam kemiskinan secara permanen khususnya kemiskinan struktural.

204 156 Konsekuensi lain rendahnya tingkat pendidikan nelayan adalah menyebabkan rendahnya pengetahuan nelayan tentang pelestarian lingkungan pesisir dan laut, sehingga kadang-kadang berperilaku negatif dan tidak bertanggung jawab. Hal ini demikian kemudian menyebabkan kerusakan terus meningkat. Pendidikan pada hakekatnya merupakan human investment dan sosial capital bagi kepentingan pembangunan di daerah. Pengembangan SDM seharusnya sudah dimulai dari sekarang serta dijadikan sebagai program utama pemerintah. Sebagaimana yang diamanatkan dalam CCRF tentang pentingnya peningkatan SDM bahwa setiap negara harus mengakui dan menyadari bahwa nelayan dan pembudidaya patut mendapatkan pemahaman yang benar tentang konservasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan (Nikijuluw 2002). Peningkatan kualitas SDM nelayan dapat dilakukan melalui tiga hal utama, yaitu 1) peningkatan kualitas sumberdaya anak buah kapal (ABK); 2) pemberian pelatihan teknologi dan pengelolaan usaha perikanan skala kecil dan menengah; 3) pemberian intensif modal usaha bagi kegiatan perikanan rakyat yang prospek lebih baik (Dahuri 2001). (2) Teknologi penangkapan Pemanfaatan sumberdaya ikan pada tingkat optimum dibutuhkan dukungan teknologi penangkapan yang modern, akan tetapi teknologi penangkapan yang digunakan di perairan Maluku masih bersifat turun temurun dan dalam operasi penangkapan lebih dominan menggunakan insting, sehingga produktifitas hasil tangkapan sangat terbatas. Operasi armada penangkapan terjauh yang dilakukan di perairan Maluku pada jarak >10 mil kearah laut itupun masih dilakukan oleh armada huhate, pukat cincin, serta pancing tonda dengan jumlah sangat terbatas. Peningkatan hasil tangkapan dilakukan dengan perbaikan teknologi sehingga mampu menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh. Beberapa teknologi yang dapat membantu dalam pengoperasian alat tangkap pukat cincin seperti penggunaan alat bantu wings sebagai alat penarik tali kolor pada pukat cincin. Penggunaan desain cool box pada kapal pancing tonda dan desain palka dengan penambahan styrofoam pada kapal huhate sangat membantu nelayan dalam penanganan hasil tangkapan karena belakangan ini permintaan ikan ekspor semakin besar. Demikian pula teknologi sederhana lain yang dapat dikembangkan

205 155 pada alat tangkap pancing tonda, adalah penggunaan layang-layang dalam proses penangkapan ikan tuna. Hal ini sangat membantu nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap tersebut karena dengan menggunakan metode ini lebih efektif karena tidak terpengaruh oleh suara bising yang diakibatkan oleh mesin pendorong. (3) Pelabuhan perikanan Fasilitas perikanan pada prinsipnya berperan sebagai fasilitas penunjang untuk meningkatkan produksi perikanan. Pendukung kegiatan operasi penangkapan ikan keberadaannya sangat penting dalam mendukung usaha perikanan tangkap. Fungsi dari pelabuhan perikanan maupun pangkalan pendaratan ikan (PPI) diantaranya sebagai tempat mendaratkan hasil tangkapan serta tempat berlabuhnya armada penangkapan ikan. Bila ditinjau dari faktor geografis maka keberadaan PPN di Tantui serta PPI di desa Eri di Kota Ambon memiliki arti yang strategis karena berada di zona pemukiman masyarakat pantai serta aktifitas perdagangan yang merupakan bagian dari perkembangan desa. (4) Ketersediaan bahan bakar minyak Bahan bakar minyak (BBM) merupakan input produksi yang sangat vital bagi nelayan baik skala kecil maupun skala industri yang ada pada suatu daerah. Ketergantungan nelayan terhadap ketersediaan BBM sangat tinggi, hal ini dapat dipahami oleh adanya kenyataan bahwa biaya operasional melaut terbebani oleh kebutuhan BBM. Kebutuhan BBM di perairan Maluku selama ini dipasok dari Depot Pertamina Waiyame serta SPBU di Kota Ambon. Jarak yang ditempuh angkutan BBM sampai ke desa-desa pesisir di pulau Ambon cukup jauh mengakibatkan harga jual BBM jauh melebihi harga eceran resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebanyakan tidak memiliki uang tunai untuk membeli BBM langsung di SPBU, sehingga mereka membeli dan meminjamkan uang dari dari para punggawa dengan harga Rp 5000 sampai Rp 5.500/liter. Harga yang sudah berlaku ini makin diperparah dengan kenaikan harga BBM sehingga dapat mempengaruhi nelayan dalam mengelola usaha pada bidang perikanan tangkap. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan campur tangan pihak pemerintah dalam menangani masalah yang dihadapi oleh nelayan, yaitu dengan solusi

206 156 pembangunan depot minyak pada desa yang masyarakatnya didominasi oleh nelayan. 5.4 Strategi Pengembangan Perikanan Pelagis di Maluku Perumusan strategi pengembangan perikanan pelagis didasarkan pada pendekatan analisis lingkungan strategis (LINSTRA) yang meliputi: kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Analisis LINSTRA pengembangan perikanan pelagis mengacu pada logika bahwa institusi atau organisasi yang berwenang bertanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya serta selalu berada dalam satu sistem yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain sehingga untuk menghasilkan rencana pengelolaan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan maka perlu mengenali dan menguasai informasi lingkungan strategi berdasarkan analisis (LAN-RI 2007). Analisis tersebut bermanfaat untuk mendeteksi perubahan dan peristiwa penting dalam pengelolaan, merumuskan tantangan dan peluang akibat perubahan, menghasilkan informasi tentang orientasi masa depan, dan merekomendasikan kegiatan yang dibuat organisasi. Hasil kajian berdasarkan analisis LINSTRA dapat memberikan beberapa alternatif kebijakan yang dapat digunakan sebagai acuan pengembangan perikanan pelagis di daerah Maluku. Bertolak pada matrik keterkaitan faktor internal, eksternal dan hasil analisis SWOT, maka dapat ditentukan strategi dan kebijakan pengembangan perikanan tangkap khususnya ikan pelagis di Provinsi Maluku, antara lain: 1. Strategi strength-opportunity (SO), menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada menempati urutan pertama dengan kebijakannya antara lain: Kebijakan 1: Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan bertujuan untuk mengupayakan optimalisasi pengembangan usaha perikanan tangkap, khususnya untuk ikan pelagis besar. Penambahan armada huhate sebanyak 1053 unit, pancing tonda unit, dan jaring insang unit.

207 155 Penambahan jumlah armada ini tentunya di sesuaikan dengan kondisi sumberdaya perikanan di daerah ini, sedangkan perubahan teknologi pada alat tangkap ini tentunya diharapkan untuk menambah income bagi nelayan sehingga dalam pengelolaan sumberdaya diharapkan dapat optimal. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar lokal, maupun regional, yang didukung dengan produksi sumberdaya ikan pelagis di Maluku yang tinggi dan dibarengi dengan adanya dukungan nelayan skala kecil yang tersedia cukup banyak serta tersedianya alat tangkap, umpan dan alat pengumpul ikan (rumpon). Kebijakan 2: Penerapan CCRF perlu segera dilaksanakan sehingga SDI tetap lestari Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) atau ketentuan perikanan yang bertanggungjawab diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan perikanan secara bertanggungjawab. Pedoman teknis ini akan memberikan kelengkapan yang diperlukan bagi upaya nasional dan internasional untuk menjamin pengusahaan yang lestari dan berkelanjutan menyangkut sumberdaya hayati akuatik yang selaras dan serasi dengan lingkungan. Pedoman ini juga ditujukkan terutama bagi para pengambil keputusan didalam otoritas pengelolaan perikanan dan kelompok yang berkepentingan, termasuk perusahan perikanan, organisasi nelayan, organisasi non pemerintah yang peduli dan lainlainnya. Adanya eksploitasi yang berlebihan stok ikan penting, modifikasi ekosisitim, kerugian ekonomi yang nyata dan persengketaan internasional mengenai pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam konversi jangka panjang perikanan dan kontribusi perikanan terhadap suplai pangan. 2 Strategi strength-threats (ST) yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk menghindari ancaman merupakan prioritas kedua dengan kebijakannya antara lain: Kebijakan 1: Melakukan aturan sesuai dengan batas wilayah penangkapan dan aturan pemasangan rumpon Kebijakan dalam menerapkan aturan batas wilayah penangkapan dan aturan pemasangan rumpon yang sesuai untuk perikanan skala kecil (pelagis kecil) bertujuan untuk mengupayakan kepemilikkan wilayah dari nelayan pelagis kecil

208 156 yang melakukan penangkapan pada wilayahnya, yaitu menetapkan hak kepemilikan dari nelayan skala kecil pada alat pengumpul ikan (rumpon) yang dipasang pada suatu perairan. Hal ini perlu karena harus disesuaikan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. Kep.30/Men/2004 tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon. Untuk menerapkan kebijakan ini dapat dilakukan dengan mengurangi kelemahan dan mengeliminasi ancaman dan menghasilkan kebijakan antara keterkaitan pengelolaan usaha perikanan yang masih rendah dengan batas-batas daerah penangkapan yang belum diterapkan. Perijinan pemasangan rumpon harus disesuaikan dengan aturan Pasal 3 Kep. 30/Men/2004 yang menyatakan bahwa ijin diberikan oleh: 1) Bupati/Walikota untuk pemasangan rumpon di wilayah perairan 2 sampai 4 mil laut, 2) Gubernur atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang perikanan untuk pemasangan rumpon pada 4 mil 12 mil laut, dan 3) Direktorat Jenderal atau Pejabat yang ditunjuk diatas 12 mil sampai ZEE Indonesia. Output yang diharapkan adalah pemasangan dan pemanfaatan rumpon sesuai dengan Kep 30/Men/2004 dengan harapan pemasangan diperairan Maluku harus teratur, tertata dan terdata dengan baik, pemasangan rumpon memberikan dampak efektifitas khususnya nelayan kecil, kepastian penangkapan sehingga menurunkan biaya operasional sehingga keuntungan meningkat. Penerapan kebijakan ini ditujukkan kepada nelayan yang memiliki perizinan dan diberikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, sehingga penambahan alat pengumpul ikan dan penangkapan ikan hanya ditujukkan kepada nelayan pemilik alat tangkap dan alat pengumpul ikan saja. Ini dilakukan agar nelayan-nelayan yang tidak memiliki izin penangkapan di daerah tersebut tidak melakukan penangkapan. Selain itu juga penerapan kebijakan ini dilakukan untuk mencegah konflik yang diakibatkan oleh perebutan penguasaan daerah penangkapan (fishing ground) yang merupakan sumber konflik antar nelayan. Dalam pemasangan rumpon harus disesuaikan dengan Pasal 10. Kep/Men/ 2004 tentang posisi penempatan rumpon. Penempatan rumpon harus mengikuti aturan yang mengatakan bahwa orang atau perusahan perikanan dalam pemasangan rumpon harus dengan syarat: 1) tidak mengganggu alur pelayaran, 2) jarak antara satu rumpon dengan rumpon lain tidak kurang dari 10 mil laut, 3)

209 155 tidak dipasang dengan cara pemasangan yang mengakibatkan efek pagar (zigzag); 4) ketentuan teknik pemasangan pemasangan rumpon selanjutnya harus ditetapkan oleh Direktorat Jenderal. Kebijakan 2: Memaksimalkan galangan kapal perikanan sebagai sarana pengembangan armada perikanan tangkap Didalam era perdagangan bebas ini dimana terjadi persaingan yang cukup tinggi, maju mundurnya suatu industri manufaktur seperti industri galangan kapal ikan sangat ditentukan oleh produk atau kapal ikan yang dihasilkannya baik dari segi kualitas, harga maupun waktu penyerahan kapal, tanpa memenuhi ketiga kriteria tersebut pihak perusahan akan sulit survive atau berkembang. Demikian pula dialami oleh industri perkapalan nasional, meskipun didalam proses pembuatan kapal sekarang ini tidak kalah dengan industri perkapalan dari luar negeri, akan tetapi menurut para pemakai (domestik) selama ini kapal yang dibuatnya terkesan harganya cukup tinggi dan delivery time sering terlambat, belum lagi masalah bahan baku pembuatan kapal ikan. Berdasarkan hasil pemantauan ke galangan kapal di Maluku, khususnya di Tulehu dan beberapa tempat lain bersifat tradisional, terlihat kesan belum profesional dan salah satu penyebabnya adalah kegiatan pengelolaannya belum berjalan dengan baik terutama dalam hal pengawasan, baik dalam proses pengadaan barang dan material, penerimaan, penyimpanan, pengamanan maupun cara mendistribusi ke bengkel-bengkel produksi. Kurang baiknya pengelolaan persediaan peralatan pada galangan kapal tradisional memang perlu dimaklumi, karena sebagian besar dari galangan tersebut dalam pengelolaannya belum menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern secara baik. Dengan kondisi seperti itu tentu akan memberikan dampak negatif terhadap galangan tersebut sehingga dapat mengakibatkan sulitnya mendapat pesanan, padahal kontinyutas pesanan tersebut sangat menentukan maju-mundurnya galangan kapal tersebut terutama untuk kapal perikanan. 3 Strategi prioritas ketiga adalah strategi weakness-opportunity (WO), yaitu memanfaatkan peluang yang dimiliki untuk mengatasi kelemahan yang ada dengan kebijakannya antara lain:

210 156 Kebijakan 1: Investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil Penguatan struktur industri pengolahan perikanan adalah peningkatan kerja sama kemitraan antar nelayan dengan industri perikanan tuna dan industri terkait melalui prinsip bisnis yang saling menguntungkan dengan dukungan dan fasilitas pemerintah, dengan mengembangkan kewajiban antar pihak dimana aktor utamanya adalah masuknya investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil. Ada 3 aspek yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu pertama Industri : menjamin membeli ikan nelayan terutama ikan tuna sesuai dengan dengan standar mutu yang ditetapkan dan diketahui nelayan, membayar dengan harga kesepakatan menurut pasar, jenis-ukuran-mutu, dan jumlah kontrak, melakukan perluasan gudang penyimpanan/cold storage, melakukan pembinaan penanganan mutu pasca tangkap dan transportasi, serta membantu mengupayakan peningkatan modal kerja agar pasokan dapat meningkat baik jumlah, maupun mutu; kedua Nelayan : melakukan penguatan kelembagaan profesi/ekonomi, meningkatkan dan menjaga mutu hasil tangkapan, meningkatkan jenis dan kualitas alat tangkap sesuai dengan target ikan yang akan ditangkap yaitu tuna dan cakalang, menjamin jumlah pasokan yang rutin, serta menjaga hubungan bisnis yang konsisten, dan yang terakhir; Peran Pemerintah : pemerintah pusat dan daerah memiliki peran menciptakan dan menjaga hubungan bisnis antara nelayan dengan industri pengolahan ikan dan meningkatkan mutui sumberdaya manusia pelaku bisnis perikanan, pemberdayaan lembaga bisnis perikanan terkait dan bisnis perikanan. Kebijakan investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan pelagis bertujuan untuk lebih memajukkan usaha perikanan tangkap. Dengan adanya investor dari luar tersebut, terutama investasi dari pihak swasta, yang selama ini kurang memperhatikan nelayan di Maluku, maka diharapkan mampu meningkatkan usaha perikanan yang dijalankan oleh nelayan di Maluku. Untuk lebih menggairahkan pangsa pasar ikan pelagis, diharapkan kita dapat memperkecil kelemahan yang ada, terutama kelemahan pada modal usaha (biaya) pengadaan alat tangkap, pendapatan nelayan dan pembagian hasil usaha yang selama ini tidak merata pada nelayan, dikaitkan dengan peluang yang ada pada

211 155 permintaan pasar lokal dan regional serta peningkatan armada kapal ikan. Investasi dari luar ini diharapkan untuk penambahan modal kepada nelayan untuk menangkap ikan, karena selama ini modal yang dimiliki berasal dari nelayan itu sendiri. Adapun pemberian modal dapat disalurkan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) kepada kelompok nelayan yang ada di daerah yang menjadi tujuan investasi. Kebijakan 2: Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan Pengadaan cold storage ditujukkan untuk menampung ikan-ikan yang tertangkap pada saat musim penangkapan terutama di daerah Waai, Seri, dan Galala yang mempunyai alat jumlah armada penangkapan pukat cincin, pancing tonda, huhate yang cukup besar. Kebijakan dalam menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna pada armada penangkapan ikan di perairan, untuk menjaga mutu ikan pelagis, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang selama ini hanya tertumpu pada penjualan ikan segar. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi kelemahan modal usaha (biaya) pengadaan alat tangkap oleh nelayan dengan memanfaatkan peluang dalam pengadaan cold storage dan kapal penampung hasil tangkapan. Pengadaan cold storage juga dimaksudkan agar ikan yang tertangkap tersebut selain dapat dipasarkan di pasaran lokal, juga dapat dipasarkan keluar daerah (dalam lingkup regional), dan dapat diekspor ke luar negeri untuk ikan pelagis besar khususnya ikan cakalang dan tuna. Hal ini perlu ditindaklanjuti sehingga hasil tangkapan ikan pelagis yang dipasarkan akan meningkatkan kesejahteraan nelayan disamping menambah devisa bagi daerah maupun negara. 4 Strategi kebijakan prioritas terakhir adalah strategi weakness-threats (WT), yaitu kebijakan yang dilakukan untuk meminimalkan kelemahan yang dimiliki dan menghindari berbagai ancaman dengan kebijakannya antara lain: Kebijakan 1: Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan yang akan dibangun sekaligus desain alat tangkap Kajian basic design kapal perikanan adalah suatu pekerjaan untuk merancang kapal-kapal penangkapan ikan. Untuk merancang basic design kapal

212 156 penangkapan ikan sehingga memperoleh hasil maksimal diharapkan mengacu pada dua hal dasar yang penting yaitu laik laut dan layak tangkap. Untuk membuat atau merancang kapal agar laik laut dapat mengacu pada prinsip-prinsip perancangan suatu kapal sesuai dengan kaidah perancangan kapal. Kapal dapat laik tangkap, harus mengacu pada ilmu-ilmu perikanan khususnya teknologi penangkapan yang akan diterapkan, terlebih dahulu diketahui jenis ikan yang akan menjadi target penangkapan, mengetahui sifat biologis ikan, sifat migrasi, habitat serta fishing ground dimana ikan itu akan ditangkap. Penerapan teknologi, penggunaan dan penentuan jenis serta ukuran alat tangkap ikan sangat berpengaruh terhadap rancang bangun kapal yang akan digunakan. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa jenis dan ukuran alat tangkap serta teknologi yang akan diterapkan pada saat pengopersian alat tangkap akan berpengaruh langsung kepada rancangan basic design kapal penangkapan ikan. Kebijakan 2: Menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan selektifitas alat tangkap Kebijakan menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan ukuran tubuh ikan bertujuan untuk lebih mengoptimalkan penangkapan dengan lebih memperhatikan ukuran minimal mata jaring agar ikan hasil tangkapan sesuai dengan ukuran panjang standar ikan, sehingga ikan yang tertangkap merupakan ikan yang telah melewati ukuran pertumbuhan. Kebijakan ini sangat diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan sumberdaya ikan di perairan Maluku, agar tidak terjadi kelebihan tangkap dalam masa proses pertumbuhan (growth over fishing). Pembangunan sektor perikanan juga tidak terlepas dari dukungan dan keterkaitannya dengan sektor lain. Salah satu infrastuktur yang terkait dengan pengembangan perikanan khususnya perikanan laut adalah Pelabuhan Perikanan (PP), Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dengan berbagai sarana dan prasarana pendukungnya. Fungsi pokok PP/PPI dalam dukungannya terhadap pengembangan perikanan tangkap diantaranya adalah: (1) Penyediaan fasilitas distribusi dan pemasaran (dermaga, Tempat Pelelangan Ikan)

213 155 (2) Penyediaan fasilitas pengolahan/penanganan pasca panen (cold storage, cool room, kawasan industri perikanan seperti industri pengalengan, industri tepung ikan) (3) Penyediaan fasilitas perbekalan melaut (BBM, air bersih, pabrik es/ice storage) (4) Penyediaan fasilitas perbaikan unit penangkapan (docking, perbengkelan, perbaikan jaring). Penyediaan infrastuktur tersebut harus terintegrasi dengan kegiatan penangkapan ikan dan pengolahan dalam arti harus memberikan dukungan yang signifikan terhadap peningkatan output produksi perikanan baik secara kuantitas maupun kualitas. Di samping itu, pembangunan infrastuktur perikanan juga harus diintegrasikan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah dimana aktifitas perikanan tersebut berada. Hal ini dimaksudkan di samping untuk mengoptimalkan kontribusinya terhadap pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat, juga untuk menghindari adanya konflik kepentingan akibat penggunaan lahan oleh berbagai kegiatan dan adanya kepastian berusaha. Dalam merumuskan kebijakan ini strategi yang memiliki mempunyai hubungan yang erat antara kekuatan produksi sumberdaya ikan pelagis dan adanya dukungan nelayan skala kecil di Maluku dengan ancaman dari selektifitas alat tangkap yang belum diterapkan dan terjadinya over fishing pada ikan pelagis kecil. Upaya untuk mencapai manfaat maksimum jangka panjang dapat dilakukan apabila sumberdaya ikan dapat dilakukan secara optimal. Optimalisasi penangkapan ikan di perairan Maluku dapat dilakukan bilamana nelayan dan alat penangkapan ikan di perairan ini juga dalam kondisi jumlah optimal. Dari kedelapan strategi yang telah dikemukakan dapat dikatakan bahwa arahan strategi ini jika dapat kita capai dan diwujudkan demi pengembangan perikanan pelagis di Maluku maka pendapatan, kesejahteraan serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan meningkat. Mengutip pendapat Nielsen (1996) yang diacu dalam Satria et al (2002), perlu adanya perspektif co-management sebagai sebuah kelembagaan yang merupakan proses untuk mengintegrasikan dan merelokasikan tanggung jawab manajemen dan kompetensi (kekuatan hukum) diantara pelaku dengan jalan

214 156 membagi biaya perumusan dan implementasi regulasi kepada kelompok pengguna (user). Selain strategi dan kebijakan yang disampaikan diatas, Satria et al (2002) juga mengedepankan program-program alternatif yang berusaha untuk mengurangi kemiskinan dalam masyarakat nelayan antara lain: (1) Perbaikan kapal dan alat penangkapan (2) Perbaikan pemasaran dan teknologi pasca-panen (3) Subsidi kepada nelayan (4) Pembentukan koperasi atau organisasi lainnya (5) Pengembangan sumber pendapatan alternatif. Adapun empat alternatif pertama diciptakan untuk mecapai sasaran, yaitu: (1) Meningkatkan produktifitas nelayan (kuantitas penangkapan) (2) Meningkatkan harga yang diterima oleh nelayan (3) Menekan biaya yang harus ditanggung para nelayan Kriteria dan sasaran pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Berdasarkan hasil analisis terhadap kriteria dan sasaran pengembangan perikanan tangkap dengan mempertimbangkan kondisi perikanan tangkap di perairan Maluku, maka kriteria model pengembangan perikanan pelagis di daerah ini adalah: 1) nelayan (NLY), 2) pengusaha perikanan tangkap (PPT), 3) selektifitas alat tangkap (SAT), 4) produktifitas alat tangkap (PTK), 5) pendapatan asli daerah (PAD), dan 6) penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Gambar 59 memperlihatkan posisi kriteria-kriteria tersebut pada tingkat II dan juga ditunjukkan hasil analisis kepentingan setiap kriteria setelah diolah dengan program AHP.

215 155 Tingkat 1 FOKUS MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU Tingkat 2 AKTOR Nelayan Pengusaha Perikanan Tangkap Selektifitas Alat Tangkap Penyerapan Tenaga Kerja Pendapatan Asli Daerah Penggunaan Bahan Bakar Minyak Tingkat 3 FAKTOR Potensi Sumberdaya Potensi Teknologi Sumberdaya Manusia Operasi Penangkapan Ikan Kondisi Perairan Peluang Pasar Tingkat 4 ALTERNATIF TUJUAN Huhate Pancing Tonda Jaring Insang Permukaan Gambar 60 Struktur hirarki kebijakan model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku

216 156 Tingkat 1 FOKUS MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU Tingkat 2 AKTOR Nelayan (0,347) Pengusaha Perikanan Tangkap (0,157) Selektifitas Alat Tangkap (0,113) Penyerapan Tenaga Kerja (0,168) Pendapatan Asli Daerah (0,099) Penggunaan Bahan Bakar Minyak (0,117) Tingkat 3 FAKTOR Potensi Sumberdaya (0,129) Potensi Teknologi (0,061) Sumberdaya Manusia (0,043) Operasi Penangkapan Ikan (0,039) Kondisi Perairan (0,037) Peluang Pasar (0,038) Tingkat 4 ALTERNATIF TUJUAN Huhate (0,512) Pancing Tonda (0,266) Jaring Insang Permukaan (0,223) Gambar 61 Hasil hirarki kebijakan model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku

217 155 Pada Gambar 60, terlihat bahwaa dalam penentuan prioritas model pengembangan perikanan pelagis dan desain alat tangkap di perairan Maluku dengan dilakukan pertimbangann terhadap 6 (enam) kriteria yang akan dicapai dalam upaya pengembangan armada, setiap kriteria dilakukan pengembangan terhadap enam jenis pembatas limiting factor di bidang perikanann tangkap, setiap armada alternatif dipertimbangkan untuk setiap pembatas padaa setiap kriteria. Untuk mengakomodir semua kepentingan, maka pertimbangan tersebut diminta melalui kuesioner kepada semua stakeholders yang terkait dalam aktifitas perikanan tangkap di perairan Maluku, seperti: nelayan, pengusaha perikanan tangkap, Dinas Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah, serta masyarakat umum. Bahasan berikut menguraikan tentang kepentingan kriteria-kriteriaa dan pembatas dalam hubungannya dengan opsi pengembangan perikanan tangkap di daerah Maluku Gambar 62 Posisi kriteria pengembangann pada levell kedua (setelah goal) aplikasi Progam AHP pada Dalam kaitannya dengan rasio kepentingan peranann aktor dalam mewujudkan tujuan pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku, Gambar 62 menunjukkan bahwa peran aktor nelayann (NLY) mempunyai rasio kepentingan yang paling penting bila dibandingkann dengan peran lima aktor lainnya yaitu 0,347 pada inconsistency terpercaya 0,05. Batas inconsistency yang diperbolehkan secara statistik adalah maksimum 0,1. Penyerapan tenaga merupakan kriteria dengan rasio kepentingan yang kedua dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku yaitu 0,168 pada

218 156 inconsistency terpercaya 0,05. Aktor ketiga yang mempunyai rasio kepentingan adalah pengusaha perikanan tangkap (PPT) dengan nilai 0,157 pada inconsistency terpercayaa 0,05. Aktor keempat yang mempunyai rasio kepentingan dalam pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku adalah penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan nilai 0,117 pada inconsistency terpercaya 0,05. Selektifitas alat tangkap (SAT) merupakan aktor kelima yang penting dalam mewujudkan tujuan pengembangan alat penangkapan ikan yang ditandaii dengan rasio kepentingan sebesar 0, 113 pada inconsistency terpercaya 0,05. Kriteria yang mempunyai rasio kepentingan terendah adalah pendapatan asli daerah (PAD) dengan nilai 0,099 pada inconsistency terpercaya 0,,05. Berdasarkan rasio kepentingan maka, nelayan mempunyai peranann yang sangat strategis dalam mengelola suatu potensi sumberdaya sehingga dalam upaya pengembangan perikanan pelagis diakomodir alat tangkap huhate sebagai yang terbaik untuk dikembangkan dengan skor 0,504 diikuti oleh pancing tonda 0,2622 dan terakhir jaring insang 0,235 dengan tingkat inconsistency terpercaya 0,05. Hal ini ditunjukkan dengan rasio kepentingan seperti terlihat pada Gambar 63 Gambar 63 Rasio kepentingann kriteria dalam upayaa pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (insconsistency 0,05) Faktor pembatas (limiting factor) dalam upaya perikanan pelagis di perairan Maluku pengembangan Beberapa hal yang menjadi pembatas dalam pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku antara lain: potensi sumberdaya ikan (PSDI), potensi teknologi (PT), sumberdaya manusia (SDM), teknikk operasi penangkapann ikan

219 155 (OPI), kondisi perairan (KP), serta peluang pasar (PP). Pembatas-pembatas ini merupakan faktor koreksi dalam memenuhi kriteria-kriteria pengembangan perikanan tangkap. Bahasan berikut ini akan dibahas mengenai kepentingan pembatas-pembatapengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku. Gambar 64 memperlihatkan pembatas yang berkepentingann setiap kriteria yang menjadi perhatian pada yang sesuai pada setiap kriteria yang digunakan dalam upaya nelayan setelah diolah dengan menggunakan program Software Expert Choise AHP. Gambar 64 Pembatas yang berkepenting gan dengann perhatian pada nelayan Dalam kaitan dengan perhatian terhadap kriteria nelayan (NLY), ada enam hal yang berpengaruh atau berkepentingan yaitu potensi sumberdaya ikan ( SDI), potensi teknologi (PT), sumberdaya manusia (SDM), operasi kapal penangkapan ikan (OPI), kondisi perairan (KP), dan peluang pasar (PP). Pembatas potensi sumberdaya ikan (PSDI), sumberdaya manusia (SDM), serta operasi kapal penangkapan ikan (OPI), merupakan pembatas yang secara teknis berpengaruh terhadap kegiatan penangkapan ikan, sedangkan kondisi perairan (KP), peluang pasar (PP), dan potensi teknologi (PT) berpengaruh secaraa biologis bagi perkembangan nelayan. Keberadaan nelayan akan menentukan seberapa besar produksi hasil tangkapann dari pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut. Potensi sumberdayaa ikan (PSDI) (0,182) merupakan kriteria dengann rasio kepentingan yang utama dalam upaya pengembangan teknologi alat penangkapan ikan pada inconsistency terpercayaa 0,09. Pada Gambar 65 terlihat bahwa pembatas potensi sumberdaya ikan (PSDI) mempunyai rasio kepentingan n yang paling tinggi, yaitu 0,371 pada

220 156 inconsistency terpercaya 0,09. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya ikan sangat berpengaruh dominan (25,4%) terhadap keberadaan nelayan yang mengadakan operasi penangkapan ikan di perairan Maluku. Dalam kaitan ini, diharapkan dengan potensi sumberdaya ikan yang melimpah maka diusahakan nelayan dapat memanfaatkan secara maksimal dengan mengikuti aturan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa didalam mengadakan operasi penangkapan ikan khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dengan berbagai jenis alat tangkap, masih banyak nelayan yang belum menerapkan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah seperti alat-alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab (CCRF), padahal itu harus sudah mulai dari sekarang. Berdasarkan rasio kepentingan tersebut, maka diharapkan masyarakat khususnya nelayan sadar akan hal ini sehingga potensi sumberdaya itu akan tetap lestari. Penggunaan teknologi modern maupun sederhana sangat menentukan keberhasilan operasi penangkapan ikan karena teknologi merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang keberlanjutan pengelolaan sumberdaya. Hal ini ditunjukkan dengan rasio kepentingan yang diperoleh sebesar 0,176 pada inconsistency terpercaya 0,09 dan berada pada urutan kedua. Sebagai contoh penggunaan teknologi sederhana berupa desain cool box merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap nilai jual ikan hasil tangkapannya. Apabila hasil tangkapan memiliki nilai kualitas baik maka nilai jual ikan tersebut dipasaran sangat memuaskan. Aktor ketiga yang sangat berpengaruh dalam perhatian pada nelayan adalah sumberdaya manusia (0,123) pada inconsistency terpercaya 0,09. Kualitas sumberdaya manusia yang dicirikan oleh perilaku, serta wawasan IPTEK, kondisinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan, kesehatan dan agama serta adat dan budaya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan dan dikembangkan dalam rangka pengembangan ekonomi yang meliputi manajemen usaha, kemitraan dan kelembagaan yang dikelolanya. Dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pengembangan ekonomi, peran pemerintah masih sangat dibutuhkan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana pendukung, termasuk di dalamnya kebijakan pemerintah, akses permodalan, pasar

221 155 dan tata ruang kawasan pesisir. Faktor pembatas operasi penangkapan ikan merupakan aktor keempat yang mempunyai rasio kepentingan terhadap nelayan dengan nilai 0,113 pada inconsistency terpercaya 0,09. Hal ini mengindikasikan bahwa bahwa operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan sangat ditentukann oleh potensi sumberdaya manusia dalam memanfaatkan potensi teknologi untuk mengelola sumberdaya ikan secara maksimal. Pembatas peluang pasar (PP) merupakan pembatas kelima yang sangat berpengaruh terhadap nelayan, hal ini ditunjukkan dengan nilai 0,109 pada inconsistency terpercaya 0,09. Hal ini menunjukkan bahwa operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan sangat menentukan peluang pasar yang ada, baik pasar domestik maupun pasar internasional. Hasil tangkapann yang diperoleh nelayan sangat ditentukan oleh kualitas hasil tangkapan yang diperolehnya. Pembatas peluang pasar (PP) adalah merupakan faktor pembatas yang strategis serta mempunyai berkepentingan pada nelayan karena keberhasilan operasi penangkapan ikan sangat menentukan peluang pasar yang ada. Faktor pembatas kondisi perairan (KP) mempunyai nilai rasio kepentingan terakhir dengan nilai 0,107 pada inconsistency terpercaya 0,09. Hal ini berarti bahwa kondisi perairan (KP) turutt berpengaruh terhadap nelayan yang mengadakan operasi penangkapan ikan. Dalam kaitan ini, diharapkan armada perikanan tangkap yang akan dikembangkan sebaiknya dapat menjaga kondisi perairan dan tidak merusak ekosistim perairan. Gambar 65 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengann perhatian pada nelayan dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Malukuu (inconsistency 0,09)

222 156 Pembatas potensi sumberdaya ikan (SDI), potensi sumberdaya manusia (SDM), kondisi perairan (KP), serta peluang pasar (PP) adalah merupakan faktor- Kepentingan dari faktor pembatas sumberdaya ikan sebagai faktor utama faktor pembatas yang berkepentingan pada kriteria pengusaha perikanan tangkap dalam upaya nelayann mengelola sumberdaya perairan, ketersediaan sumberdaya manusia berkepentin ngan sebagai calon tenaga kerja yang produktif, kondisi perairan berkepentingan sangat membantu nelayan dalam mengadakan operasi dan keberadaan dan kelimpahan sumberdaya ikan, serta peluang pasar berkepentingan dalam menjaga harga pasar selalu stabil sehingga nelayan dapat memasarkan hasil tangkapan dengan baik. Rasio kepentingan keempat pembatas tersebut seperti terlihat pada Gambar 66 Gambar 66 Pembatas yang berkepentingan dengan perikanann tangkap (PPT) perhatian pada pengusaha Padaa Gambar 66 terlihat bahwa pembatas potensi sumberdaya ikan (PSDI) mempunyai rasio kepentingan terhadap pengusahaa perikanann tangkap yang tertinggi, yaitu 0,532 pada inconsistency terpercaya 0,08. Sumberdaya manusia (SDM) menempati urutan kedua dengan nilai 0,221 pada inconsistency terpercaya 0,07. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya ikan sangat berpengaruh terhadap keberadaan pengusahaa perikanan tangkap (PPT) di suatu daerah dalam menjalankan usaha di bidang perikanan tangkap. Pembatas kondisi perairan berada pada urutan ketiga dengan nilai 0,166 pada inconsistency terpercaya 0,08.Peluang pasar (0,082) pada inconsistency terpercaya 0,,08 pada posisi terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar cukup berpengaruh terhadap

223 155 keberhasilan pengusaha perikanan tangkap dalam menjalankan usahanya walaupun faktor ini berada padaa urutan terakhir, akan tetapi sangat berhubungan dengan keberhasilan nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap di suatu perairan. Peluang pasar juga sangat ditentukan oleh kualitas hasil tangkapan nelayan sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap nilai jualnya. Apabila kualitas hasil tangkapan baik maka, nilai jual akan semakin mahal dan sangat menguntungkan nelayan atau pengusaha perikanan tangkap Gambar 67 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengann perhatian pada pengusaha perikanann tangkap dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,08) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada kriteria selektifitas alat tangkap meningkat adalah potensi sumberdaya ikan (PSDI), potensi teknologi (PT), operasi kapal penangkapan ikan (OPI), serta peluang pasar (PP). Kepentingan dari pembatas-pembatas tersebut adalah potensi sumberdayaa ikan berkepentingan dalam menentukan keberadaan ukuran ikan yang layak ditangkap, potensi teknologi berkepentingan dalam menentukann ukuran alat tangkap serta ukuran mata jaring yang selektif dan sesuai dengan target operasi, operasi kapal penangkapan ikan berkepentingan dalam upaya proses penangkapan, serta peluang pasar sangat menentukan untung ruginya sebuah usaha. Ukuran mata jaring yang selektif merupakan acuan bagi nelayan karena dengan menggunakan ukuran mata jaring seperti ini maka ukuran ikan hasil tangkapann dapat diseleksi sehingga sumberdaya a akan lebih berkelanjutan.

224 156 Gambar 68 Pembatas yang berkepentingann dengan selektifitas alat tangkap tangkap (SAT) perhatian pada Potensi sumberdaya ikan merupakan faktor pembatas dari selektifitass alat tangkap menempati urutan pertama (0,458) pada inconsistency terpercaya 0,05. Hal ini mengindikas sikan bahwa keberadaan sumberdaya manusia yang handal dalam mengelola potensi sumberdaya akan berpeluang untuk memperoleh hasil tangkapann optimal sehingga akan membuka peluang pasar yang menjanjikkan. Potensi teknologi (PT) (0,240) pada inconsistency terpercaya 0,05 berada pada urutan kedua sebagai faktor pembatas yang berkepentingan terhadap selektifitas alat tangkap. Peluang pasar (PP) menduduki urutan ketiga dengan nilai 0,185 pada inconsistency terpercaya 0,05. Potensi teknologi sangat berhubungan erat dengan peluang pasar karena apabila dalam penggunaan teknologi sederhana maupun modern tidak dilakukan secaraa efektif maka akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap peluang pasar yang ada sehingga kalau hal ini tidak ditindaklanjuti maka sistem yang ada tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Peluang pasar sangat saat ini cukup menjanjikann terutama untuk jenis ikan pelagis besar seperti: ikan tuna, cakalang, tongkol, dan jenis-jenis lainnya sehingga ini merupakan suatu motivasi bagi nelayann untuk mengusahakann alat tangkap dalam rangkaa pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.

225 155 Gambar 69 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengann perhatian pada selektifitas alat tangkap dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,05) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada kriteria penyerapan tenaga kerja (PTK) adalah potensi teknologi (PT), sumberdaya manusia (SDM), operasi kapal penangkapan ikan (OPI) (Gambar 70). Potensi teknologi berkepentingan terhadap kemampuan dari tenaga kerja untuk mengoperasikan teknologi tersebut, sumberdaya manusia dan operasi penangkapan ikan berkepentingan terhadap tenaga kerja yang trampil sesuai dengan bidang keahliannya, serta operasi kapal penangkapan ikan berkepentingan sebagai sarana yang didukung oleh tenaga kerja yang trampil dalam mengelola armada perikanan tangkap. Dalam memproduksi ikan sebagian petani nelayan menggunakan cara- budidaya, akibat kurangnya nelayan menguasai teknologi dengan cara baru, cara lama, baik dalam usahaa perikanann tangkap (perikanann laut) maupun sehingga nelayan kurang trampil. Gambar 70 Pembatas yang berkepentingann dengan penyerapan tenaga kerja perhatian pada

226 156 Potensi teknologi berkepentingan terhadap kemampuan dari tenaga kerja untuk mengoperasikan teknologi tersebut, sumberdaya manusia dan operasi penangkapan ikan berkepentingan terhadap tenaga kerja yang trampil sesuai dengan bidang keahliannya, serta operasi kapal penangkapan ikan berkepentingan sebagai sarana yang didukung oleh tenagaa kerja yang trampil dalam mengelola armada perikanan tangkap. Dalam memproduksi ikan sebagian petani nelayan menggunakan cara-cara lama, baik dalam usaha perikanan tangkap (perikanan laut) maupun budidaya, akibat kurangnya nelayan menguasai teknologi dengan cara baru, sehingga nelayan kurang trampil. Meningkatkann ketrampilan petani nelayan merupakan langkah yang tidak dapat ditunda terutama dalam mengantisipasi degradasi sumberdaya manusia dan lingkungan. Selain rendahnya penguasaan teknologi penangkapa an dan budidaya, penguasaan terhadap teknologi pascapanen juga sangat rendah. Penguasaan teknologi baik teknologi sederhana maupun modern merupakan suatu acuan yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan ikan karena hal ini sangat didukung oleh besarnya potensi sumberdaya di perairan ini. Gambar 71 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengann perhatian pada penyerapan tenaga kerja dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,05) Pembatas potensi teknologi (PT) dan potensi sumberdaya ikan (PSDI) mempunyai rasio kepentingan yang menempati urutan pertama dan kedua terhadap penyerapann tenaga kerja (PTK), yaitu 0,661 dan 0,288 pada inconsistency terpercaya 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memanfaatkan potensi sumberdaya ikan diharapkan kemampuan armada penangkapan untuk

227 155 mengoperasikan alat tangkap hanya untuk menangkap sumberdaya ikan sesuai dengan ukuran dan jenis tertentu sesuai dengan spesifikasinya dan tetap menjaga kondisi perairan. Operasi penangkapan ikan (OP) (0,131) menduduki urutan ketiga dengan tingkat inconsistency terpercaya pada 0,05. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan sumberdaya yang ada karenaa dengan adanya operasi penangkapann ikan maka sumberdaya akan diperolehnya asalkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang tertuang dalam CCRF supaya sumberdaya tetap berkelanjutan. Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada kriteria pendapatan asli daerah adalah potensi sumberdaya ikan (PSDI), potensi teknologi (PT), sumberdaya manusia (SDM), operasi kapal penangkapan ikan, serta peluang pasar (PP) (Gambar 72). Hasil pengamatan lapangan dapat dijelaskan rata-rata pendidikann nelayan/petani ikan di wilayah pesisir mumnya sangat rendah dan bahkan ada yang tidak sekolah. Kondisi ini menyebabkan akses terhadap ilmu maupun teknologi sangat terbatas. Umumnya nelayan hanyaa mengandalkan pengetahuan dari generasi sebelumnya, dari lingkungan dan tidak ada kemauan untuk menambah pengetahuan yang sebenarnya diperlukan untuk meningkatkan keahliannya terutama yang berkaitan dengan mata pencahariannya sebagai nelayan/petani ikan. Gambar 72 Pembatas yang berkepentingan dengan asli daerah perhatian pada pendapatan Kepentingan pembatas terhadap kriteria tersebutt adalah potensi sumberdaya ikan yang sangat membantu terhadap volume usaha penyumbang pendapatan asli

228 156 daerah, potensi teknologi berkepentingan dalam penciptaan mesin kapal yang hemat terhadap bahan bakar minyak, sumberdaya manusia berkepentingan dalam menyediakan calon tenaga kerja yang terampil dan siap pakai, operasi kapal penangkapan ikan sangat berkepentingan dalam meningkatkan hasil tangkapan secara maksimal, serta peluang pasar berkepentingan dalam menjaga mutuu ikan hasil tangkapan tetap segar sehingga harganya tetap stabil. Padaa Gambar 73, terlihatt bahwa pembatas sumberdaya ikan (PSDI) dan potensi teknologi (PT) menempati urutan pertama dan kedua dengan nilai rasio 0,395 dan 0,202 padaa inconsistency terpercaya 0,08. Hal ini menunjukkan bahwa dengan potensi sumberdaya yang melimpah serta dengan menggunakan teknologi modern akan membantu usaha di bidang perikanan tangkap sehingga menghasilkan hasil tangkapan yang berkualitas untuk kebutuhan pasar domestik maupun pasar internasional. Pembatas potensi teknologi (PT) dan pembatas peluang pasar (PP) mempunyai rasio kepentingan yang menempati urutan ketiga dan keempat, yaitu 0,156 dan 0,135 pada inconsistency terpercaya 0,08 dengan perhatian pada pendapatan asli daerah. Rasio dengann kepentingan yang diinginkann ini dimungkinkan oleh sumberdayaa manusia yang tersedia adalah calon-calon tenaga kerja yang siap pakai dengan kemampuan serta keahlian yang dimiliki dalam mengelola sumberdaya sehingga pengembangan pengelolaan perikanan tangkap dapat maksimal dan berkelanjutan dengan mematuhi aturan-aturann yang berlaku. Gambar 73 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengann perhatian pada pendapatan asli daerah dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,08)

229 155 Faktor pembatas yang menempati urutan terakhir adalah sumberdaya manusi (SDM). Hal ini menunjukkan bahwa dengann potensi sumberdaya yang melimpah serta dengan menggunakan teknologi modern akan membantu usaha di bidang perikanan tangkap sehingga menghasilkan hasil tangkapan yang berkualitas untuk kebutuhan pasar domestik maupun pasar internasional. Faktor pembatas yang berkepentingann bagi penggunaan bahan bakar minyak adalah potensi sumberdaya ikan (PSDI), potensi teknologi (PT), operasi kapal penangkapan ikan (OPI), serta kondisi perairan (KP). Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada penggunaan BBM rendah adalah potensi sumberdaya ikan berkepentingan dalam penentuan daerah penangkapan yang berhubungan secara langsung dengan penggunaan bahan bakar minyak pada armada hingga kembali ke fishing base. Potensi teknologi berkepentingan pada penciptaann mesin kapal yang hemat bahan bakar minyak. Gambar 74 Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian padaa BBM Keberhasilan peningkatann pendapatan (ekonomi) akan mempengaruhi kegiatan usaha yang dikembangkan di masaa yang akan datang. Kegiatan usaha itu sendiri akan dipengaruhi oleh kondisi sumberdaya laut dan pesisir yang ada, teknologi yang tersedia, serta kualitas SDM yang akan mengelolanya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan dan dikembangkan dalam rangkaa pengembangan ekonomi yang meliputi manajemen usaha, kemitraan dan kelembagaan yang dikelolanya.

230 156 Gambar 75 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada bahan bakar minyak dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,04) Padaa Gambar 75 terlihat bahwa pembatas potensi sumberdaya ikan mempunyai peranan yang cukup besar dalam hubungannya dengan penggunaan bahan bakar minyak dan sekaligu menduduki urutan pertama dengan nilai 0,371 pada tingkat inconsistency terpercaya 0,,04. Potensi teknologi (PT), kondisi perairan (KP), dan operasi penangkapan ikan (OPI) menduduki urutan 2, 3, dan 4. Keempat faktor pembatas ini mempunyai saling ketergantungan yang cukup erat sehingga apabila salah satu faktor mempunyai kendala maka faktor yang lain tidak dapat dilakukan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan bakar minyak sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan karena dengan kondisi perairan yang tidak bersahabat, fishing ground yang jauh akan sangat mempengaruhi armada penangkapan dalam penggunaan bahan bakar minyak. Pembatas potensi teknologi (PT) dan kondisi perairan (KP) mempunyai rasio kepentingan masing-masing 0,283 dan 0,183 pada inconsistency terpercaya 0,04. Semakin jauh daerah penangkapan akan mempengaruhi armada dalam penggunaan bahan bakar minyak. Pembatas operasi penangkapan ikan (OPI) menempati urutan terakhir dengan nilai rasio kepentingannya adalah 0,163 pada inconsistency terpercaya 0,04. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kemampuan penguasaann teknologi yang dimiliki oleh tenaga-tenaga yang terampil akan mampu meningkatkan kualitas hasil tangkapan.

231 155 Prioritas tujuan model pengembangann perikanan pelagis di perairan Maluku ditentukann secara terstruktur dengan mempertimbangkan semua aktor/pelaku beserta faktor-faktor yang berperan didalam mewujudkan tujuan pengembangan perikanan pelagis. Pertimbangan tersebut ditunjukkan dalam bentuk rasio kepentingan kriteria, rasio kepentingan pembatas, serta rasio kepentingann opsi (alternatif armada yang akan dikembangk kan). Urutan prioritas terhadap ketiga alternatif alat penangkapan ikan yang akan dikembangkan di perairan Maluku dapat dilihat pada Gambar 76 Gambar 76 Urutan prioritas presentase pengembangan terhadap ketiga alternatif alat penangkapan ikan di perairan Maluku (incosistency 0,06) Berdasarkan Gambar 76 terlihat bahwa bahwa alat tangkap huhate (pole and line) mempunyai nilai rasio kepentingan pengembangan yang tertinggi, yaitu 39,3%, pancing tonda 32,6 %, dan jaring insang 28,1%. Hal ini menunjukkan bahwa huhate menduduki prioritas utama untuk dikembangkan di perairan Maluku. Terpilihnya alat tangkap huhate sebagai prioritas utama dalam pengembangan perikanan pelagis karenaa huhate lebih mengakomodir enam kriteria yang perlu dicapai dalam pengembangan perikanan pelagis dalam bidang perikanan tangkap yang telah dianalisis sebelumnya. Hal ini diidukung oleh pendapat yang disampaikan oleh Yulistyo (2006) yang menyatakan bahwa perairan Indonesia bagian timur yang pada kegiatan operasi penangkapa annya masih didominasi oleh armada dengan skala kecil serta sasaran target adalah jeni- teknologi (PT) diakomodir pada pengembangan huhate masing-masing sekitar 9,5% dan 8,2% dibandingkan pada pengembangan alat tangkap pancing jenis ikan pelagis baik pelagis besar maupun kecil. Padaa Gambar 77 terlihat bahwa kriteria nelayan (NLY) dan potensi tonda.

232 156 Hal ini berarti keberadaan jumlah nelayan pada huhate lebih dominann jika dibandingkan dengan nelayan pada pancing tonda. Kriteria nelayan (NLY) (0,347), penyerapan tenaga kerja (PT ) (0,168), serta pengusaha perikanan tangkap (PPT) (0, 157) masing-masing merupakan kriteria dengan rasio kepentingan tertinggii dan ini menunjukka an bahwa nelayan memegang peranan penting dalam pengelolaan sumberdayaa perairan serta didukung dengan penyerapan tenaga kerja sehingga memungkinkan pengusaha perikanan tangkap mengusahakan alat tangkap sebanyak mungkin sehingga dapat mengelola sumberdaya secara berkelanjutan. PSDI PT OPI PP Over all Gambar 77 Perbandingan alat tangkap huhate dengann alat tangkap pancing tonda untuk semua kriteria Perbandingan akomodir kriteria pada pengembangann huhate dan pengembangan jaring insang (Gambar 78) menunjukkan bahwaa sebagian besar kriteria diakomodir lebih tinggi pada pengembangan huhate. Kriteria dengan rasio kepentingan tertinggii adalah nelayan (NLY), serta penyerapan tenaga kerja (PTK) diakomodir pada pengembangan teknologi alat tangkap huhate di perairan Maluku, masing-masing lebih tinggi 9,7 % dan 8,,5 % dibandingkan pada

233 155 pengembangan jaring insang. Disamping itu, kriteria peluang pasar (PP) dan penggunaan bahan bakar minyak diakomodir sedikit lebih rendah (masing-masing 3,5% dan 3,4%) pada pengembangan huhate dibandingkan pada jaring insang permukaan. Hal ini disebabkan karena disamping rasio kepentingan yang tinggi, nilai ini tentu sangat tinggi dibandingkan yang dapat diakomodir lebih pada alat tangkap jaring insang permukaan. Selain itu juga diperlukan alternatif kebijakan pengembangan alat penangkapan ikan yang memiliki produktivitas penangkapan yang tinggi, serta tidak memerlukan penggunaan BBM yang tinggi. Sesuai dengan kondisi di lapangan bahwa armada huhate dan pancing tonda melakukan kegiatan penangkapannya di perairan lepas yang masih potensial sehingga jarak tempuh dari fishing base ke fishing ground relatif jauh. Hal demikian menyebabkan biaya operasional khususnya penggunaan BBM untuk kedua jenis alat penangkapan tersebut cukup besar. PSDI PT OPI PP Over all Gambar 78 Perbandingan alat tangkap huhate dengan jaring insang untuk semua kriteria Hasil skor dari beberapaa kriteria yang ada diperoleh beberapa urutan alternatif prioritas dalam model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku, dimana terdapat tiga alat penangkapan yang akan dikembangkan antara lain, huhate (pole and line ) mendapat prioritas utama dengan skor 0,512, pancing tonda (troll line) menempati urutan kedua dengan skor 0,266, serta jaring insang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi Perikanan Indonesia dapat diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 telah mencapai 4.383.103 ton, dan tahun 2004 tercatat

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 18 Grafik kurva lestari ikan selar. Produksi (ton) Effort (trip) MSY = 5.839,47 R 2 = 0,8993. f opt = ,00 6,000 5,000 4,000

4 HASIL. Gambar 18 Grafik kurva lestari ikan selar. Produksi (ton) Effort (trip) MSY = 5.839,47 R 2 = 0,8993. f opt = ,00 6,000 5,000 4,000 126 4 HASIL 4.1 Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan 4.1.1 Produksi ikan pelagis kecil Produksi ikan pelagis kecil selama 5 tahun terakhir (Tahun 2001-2005) cenderung bervariasi, hal ini disebabkan karena

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku

PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku 155 5 PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku Penangkapan ikan pada dasarnya merupakan aktifitas eksploitasi sumberdaya ikan di laut. Pemanfaatan potensi sumberdaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Andi Adam Malik, Henny Setiawati, Sahabuddin Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan, Politeknik Perikanan Negeri Tual. Jl.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4.1 Provinsi Maluku Dengan diberlakukannya Undang-Undang RI Nomor 46 tahun 1999 tentang pemekaran wilayah Provinsi Maluku menjadi Provinsi Maluku Utara dan Provinsi

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara 58 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado terletak antara 0 15 5 34 Lintang Utara dan antara 123 07 127 10 Bujur Timur,

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN ANDI HERYANTI RUKKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 6 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kabupaten Buton diperkirakan memiliki luas sekitar 2.509,76 km 2, dimana 89% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan laut. Secara geografis Kabupaten Buton terletak

Lebih terperinci

MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN

MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN Dionisius Bawole *, Yolanda M T N Apituley Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

DESAIN PROTOTIPE KAPAL PENANGKAP DI PERAIRAN MALUKU (DESIGN OF FISHING VESSEL PROTOTYPE IN MALUKU SEA)

DESAIN PROTOTIPE KAPAL PENANGKAP DI PERAIRAN MALUKU (DESIGN OF FISHING VESSEL PROTOTYPE IN MALUKU SEA) Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 2. No. 1 November 2011: 1-20 ISSN 2087-4871 DESAIN PROTOTIPE KAPAL PENANGKAP DI PERAIRAN MALUKU (DESIGN OF FISHING VESSEL PROTOTYPE IN MALUKU SEA) Alberth

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA UTARA

ANALISIS PENGEMBANGAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA UTARA ANALISIS PENGEMBANGAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA UTARA (Analysis of Small Pelagic Fish Development in North Halmahera Waters) Fredo Uktolseja 1, Ari Purbayanto 2, Sugeng Hari

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN 2007 2008 Adrian A. Boleu & Darius Arkwright Abstract Small pelagic fishing effort made bythe fishermen in North Halmahera

Lebih terperinci

Produksi (Ton) Trip Produksi (Ton) Pukat Cincin ,

Produksi (Ton) Trip Produksi (Ton) Pukat Cincin , Lampiran 1. Produksi per alat tangkap per tahun Tabel 11. Produksi ikan tembang per upaya penangkapan tahun 2008-2012 Jenis Alat 2008 2009 2010 2011 2012 Tangkap Upaya Penangkapan Produksi (Ton) Upaya

Lebih terperinci

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU Akmaluddin 1, Najamuddin 2 dan Musbir 3 1 Universitas Muhammdiyah Makassar 2,3 Universitas Hasanuddin e-mail : akmalsaleh01@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara maritim dengan luas wilayah laut

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50/KEPMEN-K P/2017 TENTANG ESTIMASI POTENSI, JUMLAH TANGKAPAN YANG DIPERBOLEHKAN, DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PENGELOLAAN

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Alat Tangkap 5.1.1 Penangkapan ikan pelagis besar Unit penangkapan ikan pelagis besar di Kabupaten Aceh Jaya pada umumnya dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan alat penangkapan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi 7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........ iv DAFTAR GAMBAR........ vii DAFTAR LAMPIRAN........ viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....... 1.2. Perumusan Masalah.......... 1.3. Tujuan dan Kegunaan..... 1.4. Ruang

Lebih terperinci

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal.

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal. A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang memiliki lebih dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Hal ' ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar

Lebih terperinci

Distribusi tertangkapnya ikan selar pada lembaran jaring soma darape di rumpon

Distribusi tertangkapnya ikan selar pada lembaran jaring soma darape di rumpon Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(Edisi Khusus): 1-5, Januari 2015 ISSN 2337-4306 Distribusi tertangkapnya ikan selar pada lembaran jaring soma darape di rumpon Distribution of caught trevally

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

USULAN REKOMENDASI DESAIN PROGRAM DAN INDUSTRIALISASI PERIKANAN TANGKAP LAUT

USULAN REKOMENDASI DESAIN PROGRAM DAN INDUSTRIALISASI PERIKANAN TANGKAP LAUT USULAN REKOMENDASI DESAIN PROGRAM DAN INDUSTRIALISASI PERIKANAN TANGKAP LAUT PENTINGNYA DUKUNGAN MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL (MLIN) DALAM KEBERHASILAN PROGRAM INDUSTRIALISASI BALAI BESAR PENELITIAN

Lebih terperinci

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR Oleh : FRANSISKUS LAKA L2D 301 323 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km 2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km 2 dan daratan 5,779.123 Km 2. Dengan luas

Lebih terperinci

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR Nurul Rosana, Viv Djanat Prasita Jurusan Perikanan Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TEPAT GUNA UNTUK SUMBERDAYA IKAN PELAGIS DI KOTA SORONG BEKTI GIRI WAHYUNI

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TEPAT GUNA UNTUK SUMBERDAYA IKAN PELAGIS DI KOTA SORONG BEKTI GIRI WAHYUNI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TEPAT GUNA UNTUK SUMBERDAYA IKAN PELAGIS DI KOTA SORONG BEKTI GIRI WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun 37 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Aspek Teknis Perikanan Purse seine Aspek teknis merupakan aspek yang menjelaskan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan usaha penangkapan ikan, yaitu upaya penangkapan, alat

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam amanat Undang-Undang No 31/2004 diberikan tanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan seluruh masyarakat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

Analisis strategi pengembangan perikanan pukat cincin di Kecamatan Tuminting Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara

Analisis strategi pengembangan perikanan pukat cincin di Kecamatan Tuminting Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 1(2): 43-49, Desember 2012 Analisis strategi pengembangan perikanan pukat cincin di Kecamatan Tuminting Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara Strategic analysis

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN ARMADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN KABUPATEN KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR DESELINA M. W. KALEKA

ANALISIS PENGEMBANGAN ARMADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN KABUPATEN KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR DESELINA M. W. KALEKA ANALISIS PENGEMBANGAN ARMADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN KABUPATEN KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR DESELINA M. W. KALEKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 PERNYATAAN 2 Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMANFAATAN RUMPON DALAM OPERASI PENANGKAPAN IKAN DI PERAIRAN MALUKU TENGGARA BENEDIKTUS JEUJANAN

EFEKTIVITAS PEMANFAATAN RUMPON DALAM OPERASI PENANGKAPAN IKAN DI PERAIRAN MALUKU TENGGARA BENEDIKTUS JEUJANAN EFEKTIVITAS PEMANFAATAN RUMPON DALAM OPERASI PENANGKAPAN IKAN DI PERAIRAN MALUKU TENGGARA BENEDIKTUS JEUJANAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA

POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH RINA SARI LUBIS 090302054 PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI

SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 20. 1 Edisi Maret 2012 Hal. 89-102 SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI Oleh: Himelda 1*, Eko Sri Wiyono

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol 2. No. 1. Juni 2013 ISSN : Laman : unkripjournal.com

Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol 2. No. 1. Juni 2013 ISSN : Laman : unkripjournal.com Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol. No.. Juni 0 ISSN : 0-778 Evaluasi Alat Tangkap Ikan Pelagis yang Ramah Lingkungan di Perairan Maluku dengan Menggunakan Prinsip CCRF (Code of Conduct for Responsible Fisheries)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Baik di dunia maupun di Indonesia, perikanan tangkap mendominasi hasil produksi perikanan walaupun telah terjadi over fishing diberbagai tempat. Kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Oleh: Yudi Wahyudin 2 Abstrak Wilayah Pengelolaan Perikanan Repubik Indonesia (WPP RI)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) ABSTRACT

PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) ABSTRACT PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) Irianis Lucky Latupeirissa 1) ABSTRACT Sardinella fimbriata stock assessment purposes

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO Teknik Penangkapan Ikan Pelagis Besar... di Kwandang, Kabupaten Gorontalo (Rahmat, E.) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

Lebih terperinci

Ervina Wahyu Setyaningrum. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi

Ervina Wahyu Setyaningrum. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi Penentuan Jenis Alat Tangkap Ikan Pelagis yang Tepat dan Berkelanjutan dalam Mendukung Peningkatan Perikanan Tangkap di Muncar Kabupaten Banyuwangi Indonesia Ervina Wahyu Setyaningrum Program Studi Pemanfaatan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis 29 4 KEADAAN UMUM 4.1 Letak dan Kondisi Geografis Keadaan geografi Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas laut yang cukup besar. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar berada

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2011

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2011 KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2011 TENTANG ESTIMASI POTENSI SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI UNTUK SEKTOR PERIKANAN DI PROVINSI GORONTALO

ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI UNTUK SEKTOR PERIKANAN DI PROVINSI GORONTALO Perencanaan Energi Provinsi Gorontalo 2000-2015 ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI UNTUK SEKTOR PERIKANAN DI PROVINSI GORONTALO Hari Suharyono Abstract Gorontalo Province has abundace fishery sources, however the

Lebih terperinci

KAJIAN UNIT PENANGKAPAN PURSE SEINE DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI INDRAMAYU

KAJIAN UNIT PENANGKAPAN PURSE SEINE DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI INDRAMAYU KAJIAN UNIT PENANGKAPAN PURSE SEINE DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI INDRAMAYU PROGRAM STUD1 PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

STATUS EKSPLOITASI SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN MALUKU DAN KAPASITAS PENANGKAPANNYA JOHANIS HIARIEY

STATUS EKSPLOITASI SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN MALUKU DAN KAPASITAS PENANGKAPANNYA JOHANIS HIARIEY STATUS EKSPLOITASI SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN MALUKU DAN KAPASITAS PENANGKAPANNYA JOHANIS HIARIEY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

Lebih terperinci

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN Vol. 4 No. 1 Hal. 1-54 Ambon, Mei 2015 ISSN. 2085-5109 POTENSI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TONGKOL (Auxis thazard) DI PERAIRAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA The Potential

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DIMENSI UTAMA KAPAL PERIKANAN PUKAT PANTAI (BEACH SEINE) DI PANGANDARAN

KARAKTERISTIK DIMENSI UTAMA KAPAL PERIKANAN PUKAT PANTAI (BEACH SEINE) DI PANGANDARAN KARAKTERISTIK DIMENSI UTAMA KAPAL PERIKANAN PUKAT PANTAI (BEACH SEINE) DI PANGANDARAN Izza Mahdiana Apriliani, Lantun Paradhita Dewanti dan Irfan Zidni Program Studi Perikanan, FPIK Unpad Korespondensi:

Lebih terperinci

SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes

SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes Oleh: Muh. Ali Arsyad * dan Tasir Diterima: 0 Desember 008; Disetujui:

Lebih terperinci

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR 45 Komposisi hasil tangkapan yang diperoleh armada pancing di perairan Puger adalah jenis yellowfin tuna. Seluruh hasil tangkapan tuna yang didaratkan tidak memenuhi kriteria untuk produk ekspor dengan

Lebih terperinci

STUDI BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN GABION KOTA MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA

STUDI BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN GABION KOTA MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA STUDI BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN GABION KOTA MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA BIOECONOMY STUDY OF MACKEREL (Rastrelliger spp) IN BELAWAN GABION OCEAN

Lebih terperinci

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia Sejarah Peraturan Perikanan Indonesia Peranan Hukum Laut dalam Kedaulatan RI Laut Indonesia pada awalnya diatur berdasarkan Ordonansi 1939 tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim yg menetapkan laut

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN SEPTIFITRI

ANALISIS PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN SEPTIFITRI ANALISIS PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN SEPTIFITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 ANALISIS PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 6 0.57`- 7 0.25`

Lebih terperinci