UNIVERSITAS INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENGAWASAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF (NAPZA) BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 4 FEBRUARI 26 FEBRUARI 2013 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER NAYLA KURROTA AKYUN, S. Farm ANGKATAN LXXVI FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013

2 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENGAWASAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF (NAPZA) BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 4 FEBRUARI 26 FEBRUARI 2013 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker NAYLA KURROTA AKYUN, S. Farm ANGKATAN LXXVI FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013 ii

3 iii

4 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-nya, penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) dan menyusun laporan ini tepat waktu. Laporan ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker di Fakultas Farmasi. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, sangat sulit untuk menyelesaikan laporan ini. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dra. Lucky Slamet, Apt., M.Sc., selaku Kepala BPOM RI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan PKPA di BPOM. 2. Ibu Dra. Togi J. Hutajulu, Apt., M.HA., selaku Direktur Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif BPOM RI. 3. Ibu Dra. Lia Marliana, Apt., M.Kes., selaku pembimbing umum dan Kepala Seksi Pengawasan Prekursor. 4. Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, MS., selaku Dekan Fakultas Farmasi. 5. Bapak Dr. Harmita, Apt., selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UI. 6. Bapak Dr. Amarila Malik, Apt., M.Si., selaku pembimbing industri PKPA di Fakultas Farmasi UI. 7. Seluruh Kepala Sub Direktorat, Kepala Seksi di Direktorat Penilaian Keamanan Pangan yang telah memberikan pengarahan dalam pelaksanaan PKPA. 8. Seluruh staf Direktorat Pengawasan Narkotika, PSikotropika dan Zat Adiktif yang telah memberikan bantuan selama pelaksanaan PKPA. 9. Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi UI atas ilmu pengetahuan dan bantuan yang telah diberikan selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi. iv

5 10. Orang tua dan keluarga tercinta atas doa, dukungan, semangat, dan perhatian kepada Penulis sehingga pelaksanaan PKPA dan penyelesaian laporan dapat tercapai. 11. Sahabat-sahabat, di dalam maupun di luar kampus, serta teman-teman seperjuangan Apoteker angkatan LXXVI yang telah memberikan semangat dan dukungan selama pelaksanaan PKPA ini 12. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan semangat kepada penulis selama pelaksanaan PKPA ini. Dengan segala kesadaran penulis mengakui bahwa laporan ini belum sempurna. Akhir kata, penulis berharap semoga pengetahuan dan pengalaman yang penulis peroleh selama melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi penulis khususnya. Penulis 2013 v

6 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Nayla Kurrota Akyun NPM : Program Studi : Apoteker Fakultas : Farmasi Jenis karya : Laporan Praktek Kerja Profesi demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Badan Pengawas Obat dan Makanan Periode 4-26 Februari 2013 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 28 Agustus 2013 Yang menyatakan (Nayla Kurrota Akyun) vi

7 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI. vi DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR TABEL..... ix DAFTAR LAMPIRAN... x BAB 1PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 2 BAB 2 TINJAUAN UMUM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA Visi dan Misi Badan POM Visi Misi Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Kewenangan Badan POM RI Budaya Organisasi Filosofi Logo Badan POM Struktur Organisasi Badan POM Kepala Badan POM Sekretariat Utama Deputi I (Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) Deputi II (Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen) Deputi III (Deputi Bidang Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya) Inspektorat Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional) Pusat Penyidikan Obat dan Makanan Pusat Riset Obat dan Makanan Pusat Informasi Obat dan Makanan Unit Pelaksana Teknis Kelompok Jabatan Fungsional Kebijakan Strategis Badan POM Pemantapan Infrastruktur Badan POM RI Revitalisasi Program Badan POM RI Sistem Pengawasan Obat dan Makanan Target Kinerja Badan POM RI vii

8 BAB 3. TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT PENGAWASAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF (NAPZA) Visi, Misi dan Kebijakan Visi Direktorat Pengawasan NAPZA Misi Direktorat Pengawasan NAPZA Kebijakan Direktorat Pengawasan NAPZA Struktur Organisasi Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Subdirektorat Pengawasan Narkotika Subdirektorat Pengawasan Psikotropika Subdirektorat Pengawasan Prekursor Subdirektorat Pengawasan Rokok Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Tugas Pokok Fungsi BAB 4. PELAKSANAAN PKPA BAB 5. TEORI DAN PEMBAHASAN BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR ACUAN viii

9 DAFTAR GAMBAR Gambar 5.1 Perubahan Penggolongan Psikotropika menjadi Narkotika ix

10 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Gambar dan Filosofi Logo Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia 5 x

11 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Struktur organisasi Badan POM RI 42 Lampiran 2. Struktur organisasi Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif.. 43 Lampiran 3. Penggolongan narkotika. 44 Lampiran 4. Penggolongan prekursor Lampiran 5. Skema pengawasan narkotika dan psikotropika oleh Badan POM Lampiran 6. Skema pengadaan narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi Lampiran 7. Persyaratan permohonan importir. 48 Lampiran 8. Skema Pengajuan Ekspor-Impor Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor oleh Importir atau Eksportir Lampiran 9. Konsep pengawasan Produk Rokok Lampiran 10. Pengawasan iklan rokok. 51 xi

12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi yang pesat telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan signifikan pada dunia farmasi. Dengan memanfaatkan teknologi tersebut maka sediaan farmasi dapat diproduksi dalam skala besar terlebih ditunjang oleh kemajuan transportasi yang memungkinkan produk-produk tersebut dapat terdistribusi dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat dalam waktu singkat sehingga produk-produk seperti produk terapetik, narkotika, psikotropika, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen, makanan serta produk sejenis lainnya dalam waktu yang singkat dapat menyebar ke berbagai daerah dan negara. Di kalangan remaja, sangat banyak kasus tentang penyalahgunaan narkoba. Berdasarkan hasil survei Badan Narkoba Nasional (BNN) Tahun 2005 terhadap responden di kalangan pelajar dan mahasiswa menunjukkan penyalahgunaan narkoba usia termuda 7 tahun dan rata-rata pada usia 10 tahun. Survai dari BNN ini memperkuat hasil penelitian Prof. Dr. Dadang Hawari pada tahun 1991 yang menyatakan bahwa 97% pemakai narkoba yang ada selama tahun 2005, 28% pelakunya adalah remaja usia tahun (Siahaan, 2009). Dalam kurun waktu dua dasa warsa terakhir ini Indonesia telah menjadi salah satu negara yang dijadikan pasar utama dari jaringan sindikat peredaran narkotika yang berdimensi internasional untuk tujuan-tujuan komersial. Untuk jaringan peredaran narkotika di negara-negara Asia, Indonesia diperhitungkan sebagai pasar (market-state) yang paling prospektif secara komersial bagi sindikat internasional yang beroperasi di negara-negara berkembang (Nurjana, 2010). Selain sebagai tempat peredaran, Indonesia juga menjadi tempat transit peredaran ke negara lain. Saat ini, yang lebih memprihatinkan Indonesia menjadi negara produsen metamfetamin (sabu) yang sebagian bahan bakunya berasal dari sarana legal. 1

13 2 Bahaya akibat merokok merupakan salah satu bentuk pengawasan yang harus dilakukan agar masyarakat terlindung dari iklan dan promosi rokok yang menyesatkan. Untuk meningkatkan perlindungan masyarakat dari bahaya narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif lainnya (rokok) maka Badan POM RI membentuk Direktorat Pengawasan NAPZA (Narkotik, Psikotropik, dan Zat Adiktif) yang berfungsi melaksanakan kegiatan pengawasan Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Rokok. Berdasar Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No /SK/KBPOM tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan, Direktorat Pengawasan NAPZA merupakan bagian dari Badan POM RI yang berada di bawah Deputi I. Untuk menjalankan tugas tersebut dibutuhkan tenaga profesional yang memahami tentang obat dan makanan, salah satunya adalah profesi Apoteker. Peranan Apoteker dalam hal ini adalah untuk mendukung tugas dan fungsi Badan POM RI dalam hal penyusunan kebijakan serta pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan. Oleh karena itu, agar para mahasiswa calon Apoteker dapat mengetahui tugas, fungsi, serta ruang lingkup kegiatan dari Badan POM RI, maka diselenggarakan Kerja Praktek Profesi Apoteker yang berlangsung dari tanggal 4 hingga 26 Februari Tujuan Pelaksanaan dari Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Badan POM ini bertujuan: 1. Meningkatkan pemahaman calon apoteker mengenai peran, fungsi, dan tanggung jawab Badan POM. 2. Memahami peran apoteker khususnya di unit kerja Direktorat Pengawasan NAPZA Badan POM.

14 BAB 2 TINJAUAN UMUM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA 2.1 Visi dan Misi Badan POM Berdasar Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (Badan POM RI) Nomor HK Tanggal 3 November 2010 Tentang Penetapan visi dan misi Badan POM, visi dan misi Badan POM adalah (BPOM, 2010) : Visi Menjadi institusi pengawas obat dan makanan yang inovatif, kredibel dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat Misi 1. Melakukan pengawasan pre-market dan post-market berstandar internasional. 2. Menerapkan system manajemen mutu secara konsisten. 3. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini. 4. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan makanan yang berisiko terhadap kesehatan. 5. Membangun organisasi pembelajar (Learning Organization). 2.2 Kedudukan, Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Badan POM RI (BPOM, 2001) Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001, Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang bertanggung jawab kepada Presiden. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 64 3

15 4 Tahun 2005 Tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tersebut, bahwa dalam melaksanakan tugasnya BPOM dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan, khususnya dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan instansi pemerintah lainnya serta penyelesaian permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan yang dimaksud. Tugas Badan POM RI adalah melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugasnya, Badan POM RI menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: 1. Pengaturan, regulasi, dan standardisasi. 2. Lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan Cara-Cara Produksi yang Baik. 3. Evaluasi produk sebelum diizinkan beredar. 4. Post marketing vigilans termasuk sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan dan penegakan hukum. 5. Pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk. 6. Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan. 7. Komunikasi, informasi, dan edukasi publik termasuk peringatan publik. Dalam menyelenggarakan fungsinya, Badan POM RI memiliki kewenangan sebagai berikut : 1. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang pengawasan obat dan makanan. 2. Perumusan kebijakan di bidang pengawasan obat dan makanan untuk mendukung pengobatan secara makro. 3. Penetapan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan. 4. Penetapan persyaratan penggunaan bahan makanan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengemasan peredaran obat dan makanan.

16 5 5. Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi. 6. Penetapan pedoman penggunaan, konservasi dan pengembangan tanaman obat. 2.3 Budaya Organisasi Badan POM (BPOM, 2001) Untuk membangun organisasi yang efektif dan efisien, budaya organisasi Badan POM RI dikembangkan dengan nilai-nilai dasar sebagai berikut : 1. Profesionalisme Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektivitas, ketekunan dan komitmen yang tinggi. 2. Kredibilitas Memiliki kredibilitas yang diakui oleh masyarakat luas, nasional dan internasional. 3. Kecepatan Tanggap dan cepat dalam bertindak mengatasi masalah. 4. Kerjasama Mengutamakan kerjasama tim. 2.4 Filosofi Logo Badan POM Logo Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) memiliki filosofi seperti berikut pada Tabel 1. Tabel 2.1. Gambar dan Filosofi Logo Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Logo Filosofi Tameng yang melambangkan perlindungan terhadap masyarakat dari penggunaan obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan mutu.

17 6 Selain sebagai tameng unsur tersebut dapat juga dilihat sebagai tanda checklist yang merepresentasikan trust atau rasa kepercayaan. Unsur kedua yaitu mata elang yang memiliki pandangan tajam sesuai dengan fungsi BPOM yang bertanggung jawab melindungi masyarakat dengan mengawasi penggunaan obat dan makanan di Indonesia. Garis yang bergerak dari tipis menjadi semakin tebal melambangkan langkah ke depan yaitu DitJen POM yang berubah menjadi BPOM. Selain itu dapat juga dilihat sebagai representasi keadaan BPOM sebagai badan yang memberikan perlindungan (dilambangkan dengan garis hijau) terhadap masyarakat (garis biru tebal) dari pengusaha obat dan makanan (garis biru tipis). Logo secara keseluruhan memadukan unsur-unsur tersebut dalam satu kesatuan yang padu dan serasi sehingga peletakan tulisan BPOM RI secara tipografis menjadi lebih bebas. Sedangkan pemilihan warna biru pekat (dark blue) menggambarkan perlindungan dan warna hijau (green) menggambarkan scientific base. 2.5 Struktur Organisasi Badan POM (BPOM, 2001) Organisasi dan tata kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan diatur dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No.02001/SK/KBPOM. Penyesuaian organisasi dan tata kerja BPOM dilakukan berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor HK Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala BPOM Nomor: 02001/SK/KBPOM tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan. Penyesuaian juga terjadi dengan terbitnya Keputusan Kepala BPOM Nomor HK Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas

18 7 Obat dan Makanan. Struktur organisasi Badan POM RI dapat dilihat pada Lampiran Kepala Badan POM RI Organisasi Badan POM RI dipimpin oleh seorang Kepala yang bertugas : a. Memimpin Badan POM RI sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. b. Menyiapkan kebijakan nasional dan kebijakan umum sesuai dengan tugas Badan POM RI. c. Menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan tugas Badan POM RI yang menjadi tanggung jawabnya. d. Membina dan melaksanakan kerja sama dengan instansi dan organisasi yang lain Sekretariat Utama Sekretariat Utama yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Utama bertugas mengkoordinasikan perencanaan, pengendalian terhadap program, administrasi dan sumber daya lingkungan Badan POM RI. Sekretariat utama terdiri atas : a. Biro Perencanaan dan Keuangan b. Biro Kerjasama Luar Negeri c. Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat d. Biro Umum e. Kelompok Jabatan Fungsional Adapun fungsi dari sekretariat utama adalah : a. Pengkoordinasian, sinkronisasi dan integrasi perencanaan, penganggaran, penyusunan pelaporan, pengembangan pegawai termasuk pendidikan dan pelatihan serta perumusan kebijakan teknis di lingkungan Badan POM RI. b. Pengkoordinasian, sinkronisasi dan integrasi penyusunan peraturan perundang-undangan, kerjasama luar negri, hubungan antar lembaga kemasyarakatan dan bantuan hukum, terkait dengan tugas Badan POM RI.

19 8 c. Pembinaan dan pelayanan administrasi ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, perlengkapan dan rumah tangga. d. Pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan kegiatan pusat-pusat dan unit-unit pelaksana teknis di lingkungan Badan POM RI. e. Pelaksana tugas lain yang ditetapkan oleh kepala, sesuai dengan bidang tugasnya. Sekretaris Utama Badan POM RI secara administrasi membina pelaksanaan tugas sehari-hari dari Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, Pusat Penyidikan Obat dan Makanan, Pusat Riset Obat dan Makanan, dan Pusat Informasi Obat dan Makanan Deputi I (Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif yang dikepalai oleh seorang Deputi bertugas melaksanakan perumusan kebijakan di bidang pengawasan terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif terdiri dari lima Direktorat, yaitu : 1. Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi 2. Direktorat Standardisasi Produk Terapetik dan PKRT 3. Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT 4. Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT 5. Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Deputi ini memiliki fungsi sebagai berikut : a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dan umum di bidang pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif. b. Penyusunan rencana pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif. c. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang penilaian obat dan produk biologi.

20 9 d. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi produk terapetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga. e. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan teknis di bidang pengawasan produksi produk terapetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga. f. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang pengawasan distribusi produk terapetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga. g. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang pengawasan pengawasan narkotika, psikotropika dan zat adiktif. h. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif. i. Evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis pengawasan produk terapetik dan narkotika, psikotropika dan zat adiktif. j. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala, sesuai dengan bidang tugasnya Deputi II (Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen) Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk komplemen yang dikepalai oleh seorang Deputi bertugas melaksanakan penilaian dan registrasi obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan sebelum beredar di Indonesia, selanjutnya melakukan pengawasan peredaran obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen, termasuk penandaan dan periklanan. Penegakan hukum dilakukan dengan inspeksi Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB), Cara Produksi Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), Cara Produksi

21 10 Kosmetik yang Baik (CPKB), sampling, penarikan produk, public warning sampai pro justisia, didukung antara lain oleh Tim Penilai Obat Tradisional dan Tim Penilai Kosmetik. Deputi Bidang Pengawasan Obat tradisional, Kosmetika dan Produk komplemen terdiri dari empat Direktorat, yaitu : a. Direktorat Penilaian Obat Ttradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik. b. Direktorat Standarisasi Obat Tradisional, Kosmetika dan Produk Komplemen. c. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen. d. Direktorat Obat Asli Indonesia. Deputi ini memiliki fungsi sebagai berikut : a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dan umum di bidang pengawasan obat tradisional, kosmetika dan produk komplemen. b. Penyusunan rencana pengawasan obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen. c. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang penilaian obat tradisional, suplemen makanan dan kosmetik. d. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang penilaian obat tradisional, suplemen makanan dan kosmetik. e. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang pengaturan dan standardisasi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen. f. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang obat asli Indonesia. g. Pengawasan obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen.

22 11 h. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen. i. Evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis pengawasan obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen. j. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh kepala, sesuai dengan bidang tugasnya Deputi III (Deputi Bidang Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya) Deputi bidang Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya yang dikepalai oleh seorang Deputi bertugas melaksanakan penilaian dan evaluasi keamanan pangan sebelum beredar di Indonesia dan selama peredaran seperti pengawasan terhadap sarana produksi dan distribusi maupun komiditinya, termasuk penandaan dan periklanan, dan pengamanan produk dan bahan berbahaya. Di samping itu, deputi ini melakukan sertifikasi produk pangan. Produsen dan distributor dibina untuk menerapkan sistem jaminan mutu, terutama penerapan Cara Pembuatan Makanan yang Baik (CPMB), Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), Cara Distribusi Makanan yang Baik (CDMB) serta Total Quality Management (TQM). Di samping itu diselenggarakan Surveillance, penyuluhan informasi keamanan pangan serta pengawasan produk dan bahan berbahaya, yang didukung antara lain oleh Tim Penilai Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya terdiri dari lima Direktorat, yaitu : a. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan. b. Direktorat Standardisasi Produk Pangan. c. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan. d. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. e. Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya. Deputi ini memiliki fungsi sebagai berikut : a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dan kebijakan umum di bidang pengawasan pangan dan bahan berbahaya.

23 12 b. Penyusunan rencana pengawasan pangan dan bahan berbahaya. c. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang penilaian keamanan pangan. d. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang standardisasi keamanan pangan. e. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang inspeksi dan sertifikasi produk pangan. f. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang survailan dan penyuluhan keamanan pangan. g. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang pengawasan produk dan bahan berbahaya. h. Pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya. i. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya. j. Evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya. k. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh kepala, sesuai dengan bidang tugasnya Inspektorat Inspektorat yang dikepalai oleh seorang Inspektur mempunyai tugas melaksanakan pengawasan fungsional di lingkungan Badan POM RI. Inspektorat memiliki fungsi : a. Penyiapan perumusan kebijakan, rencana, dan program pengawasan fungsional. b. Pelaksanaan pengawasan fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

24 13 c. Pengusutan mengenai kebenaran laporan dan pengaduan tentang hambatan, penyimpangan atau penyalahgunaan dalam pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh unsur atau unit di lingkungan Badan POM RI. d. Pelaksanaan urusan tata usaha Inspektorat Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional yang dikepalai oleh seorang Kepala mempunyai tugas melaksanakan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta melaksanakan pembinaan mutu laboratorium pengawasan obat dan makanan. Dalam melaksanakan tugas, PPOMN menyelenggarakan fungsi : a. Penyusunan rencana dan program pengujian obat dan makanan. b. Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, alat kesehatan, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya. c. Pembinaan mutu laboratorium PPOMN. d. Pelaksanaan sistem rujukan pengawasan obat dan makanan. e. Penyediaan baku pembanding dan pengembangan metoda analisa pengujian. f. Pelatihan tenaga ahli di bidang pengujian obat dan makanan. g. Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan. h. Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan pusat Pusat Penyidikan Obat dan Makanan Pusat Penyidikan Obat dan Makanan yang dikepalai oleh seorang Kepala mempunyai tugas melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap perbuatan melawan hukum di bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisonal, kosmetik, produk komplemen dan makanan, serta produk jenis lainnya.

25 14 Dalam melaksanakan tugasnya, Pusat Penyidikan Obat dan Makanan mempunyai fungsi : a. Penyusunan fungsi rencana dan program penyelidikan dan penyidikan obat dan makanan. b. Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan obat dan makanan. c. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan obat dan makanan Pusat Riset Obat dan Makanan Pusat Riset Obat dan Makanan yang dikepalai oleh seorang Kepala mempunyai tugas melaksanakan kegiatan di bidang riset toksikologi, keamanan pangan, dan produk terapetik serta mempunyai fungsi sebagai berikut : a. Penyusunan rencana dan program riset obat dan makanan. b. Pelaksanaan riset obat dan makanan. c. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan riset obat dan makanan Pusat Informasi Obat dan Makanan Pusat Informasi Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan kegiatan di bidang pelayanan informasi obat, informasi keracunan dan teknologi informasi, serta menyelenggarakan fungsi sebagai berikut : a. Penyusunan rencana dan program kegiatan pelayanan informasi obat dan makanan. b. Pelaksanaan pelayanan informasi obat. c. Pelaksanaan kegiatan informasi keracunan. d. Pelaksanaan kegiatan di bidang teknologi informasi. e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelayanan informasi obat dan makanan. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan pusat Unit Pelaksana Teknis Unit Pelaksana Teknis Badan POM RI merupakan unit organisasi yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan obat dan makanan di wilayah

26 15 kerjanya, diatur dengan keputusan Kepala Badan POM RI, setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. Fungsi pengawasan obat dan makanan di daerah dilaksanakan oleh Balai Besar dan Balai POM yang merupakan perpanjangan tangan dari Badan POM Kelompok Jabatan Fungsional Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan fungsional masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. a. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari berbagai jabatan fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan jabatan fungsional lain sesuai dengan bidang keahliannya. b. Masing-masing Kelompok Jabatan Fungsional dikoordinasikan oleh seorang tenaga fungsional senior yang ditunjuk oleh Sekertaris Utama. c. Jumlah tenaga fungsional sebagaimana dimaksud, ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja. d. Jenis dan jenjang jabatan fungsional, diatur berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. 2.6 Kebijakan Strategis Badan POM RI Perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta lingkungan strategis yang kompleks dan dinamis merupakan tantangan bagi Badan POM RI untuk mempertegas keberadaannya. Badan POM RI mewujudkan visi dan misinya melalui dua kebijakan strategis yaitu pemantapan infrastruktur dan revitalisasi program pengawasan obat dan makanan Pemantapan Infrastruktur Badan POM RI Agar mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara efisien serta memiliki kemampuan beradaptasi dan berinovasi sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang berubah dengan cepat, perlu dilakukan transformasi mendasar, mencakup antara lain:

27 16 a. Model mental dan sistem berfikir sumber daya manusia. b. Sistem operasional yang terkendali. c. Struktur pengambilan keputusan yang mampu menciptakan akuntabilitas publik. d. Peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman Revitalisasi Program Badan POM RI Kebijakan revitalisasi Badan POM RI diarahkan terutama pada kegiatan prioritas yang memiliki efek sinergi dan daya pompa yang besar terhadap tujuan perlindungan masyarakat luas, mencakup antara lain : a. Evaluasi mutu dan khasiat produk beresiko oleh tenaga ahli berdasarkan bukti-bukti ilmiah. b. Standardisasi mutu produk untuk melindungi konsumen sekaligus meningkatkan daya saing menghadapi era pasar bebas. c. Pelaksanan cara-cara produksi dan distribusi yang baik secara built in control. d. Operasi pemeriksaan dan penyidikan terhadap produksi, disribusi dan peredaran narkotika, psikotropika serta produk-produk illegal. e. Monitoring iklan dengan melibatkan peran aktif masyarakat dan organisasi profesi. f. Komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk. g. Bimbingan teknis terutama kepada industri kecil menengah yang berfokus pada peningkatan kualitas produk. 2.7 Sistem Pengawas Obat dan Makanan (SISPOM) Badan POM RI Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan berdimensi luas dan kompleks. Oleh karena itu diperlukan sistem pengawasan yang komprehensif, semenjak awal proses suatu produk hingga produk tersebut beredar di tengah masyarakat. Untuk menekan sekecil mungkin resiko yang bisa terjadi, dilakukan SISPOM tiga lapis yakni:

28 17 1. Sub-sistem pengawasan Produsen 2. Sub-sistem pengawasan Konsumen 3. Sub-sistem pengawasan Pemerintah / Badan POM RI Prinsip dasar Sistem Pengawasan Obat dan Makanan : 1. Tindakan pengaman yang cepat, tepat, akurat dan profesional. 2. Tindakan dilakukan berdasarkan atas tingkat resiko dan berbasis bukti-bukti ilmiah. 3. Lingkungan pengawasan bersifat menyeluruh, mencakup seluruh siklus proses. 4. Berskala nasional atau lintas provinsi, dengan jaringan kerja internasional. 5. Otoritas yang menunjang penegakan supremasi hukum. 6. Memiliki jaringan laboratorium nasional yang kohesif dan kuat yang berkolaborasi dengan jaringan global. 7. Memiliki jaringan sistem informasi keamanan dan mutu produk. 2.8 Target Kinerja Badan POM RI Target kinerja dari Badan POM RI yaitu : 1. Terkendalinya penyaluran produk terapetik dan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (Napza); 2. Terkendalinya mutu, keamanan, dan khasiat/kemanfaatan produk obat dan makanan termasuk klim pada label dan iklan di peredaran; 3. Tercegahnya resiko penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai akibat pengelolaan yang tidak memenuhi syarat; 4. Penurunan kasus pencemaran pangan; 5. Peningkatan kapasitas organisasi yang didukung dengan kompetensi dan keterampilan personil yang memadai; 6. Terwujudnya komunikasi yang efektif dan saling menghargai antar sesama dan pihak terkait.

29 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT PENGAWASAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF (NAPZA) Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif adalah salah satu direktorat di Deputi I, yaitu Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA. 3.1 Visi, Misi dan Kebijakan (BPOM,2001) Visi Direktorat Pengawasan NAPZA Visi dari Direktorat Pengawasan NAPZA adalah menjadi unit kerja pengawas narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif (rokok) yang inovatif, kredibel dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat Misi Direktorat Pengawasan NAPZA Misi dari Direktorat Pengawasan NAPZA adalah sebagai berikut: a. Melakukan pengawasan post market narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif (rokok) berstandar internasional. b. Menerapkan Sistem manajemen mutu secara konsisten dan perbaikan secara terrus menerus. c. Mewujudkan unit kerja yang berperan dalam jejaring nasional dan internasional dalam rangka pengawasan narkotika, prekursor dan zat adiktif (rokok) Kebijakan Direktorat Pengawasan NAPZA Kebijakan dari Direktorat Pengawasan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif yaitu menyelenggarakan sistem pengawasan secara transparan, tepat waktu dan akuntabel serta meningkatkan kinerja secara terus menerus. 18

30 Struktur Organisasi Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (BPOM, 2001) Pelaksanaan tugas pokok Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif dilaksanakan oleh subdirektorat. Secara garis besar, Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif terdiri dari: 1. Subdirektorat Pengawasan Narkotika 2. Subdirektorat Pengawasan Psikotropika 3. Subdirektorat Pengawasan Prekursor 4. Subdirektorat Pengawasan Rokok Struktur organisasi Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif dapat dilihat pada Lampiran 2. Masing-masing subdirektorat dari Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut : Subdirektorat Pengawasan Narkotika Subdirektorat Pengawasan Narkotika mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan menyusun pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan pengawasan narkotika. Subdirektorat Pengawasan Narkotika mempunyai fungsi: a. Penyusunan rencana dan program pengawasan narkotika. b. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan inspeksi narkotika. c. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan pengaturan dan sertifikasi narkotika. d. Evaluasi dan penyusunan laporan pengawasan narkotika. e. Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat Subdirektorat Pengawasan Psikotropika Subdirektorat Pengawasan Psikotropika mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan menyusun pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan pengawasan psikotropika.

31 20 Pengawasan Psikotropika mempunyai fungsi: a. Penyusunan rencana dan program pengawasan psikotropika. b. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan inspeksi psikotropika. c. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan pengaturan dan sertifikasi psikotropika. d. Evaluasi dan penyusunan laporan pengawasan psikotropika Subdirektorat Pengawasan Prekursor Subdirektorat Pengawasan Prekursor mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan menyusun pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan pengawasan prekursor. Pengawasan Prekursor mempunyai fungsi: a. Penyusunan rencana dan program pengawasan prekursor b. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan inspeksi prekursor. c. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan pengaturan dan sertifikasi prekursor. d. Evaluasi dan penyusunan laporan pengawasan prekursor Subdirektorat Pengawasan Rokok Subdirektorat Pengawasan Rokok mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan menyusun pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan pengawasan rokok. Pengawasan Rokok mempunyai fungsi: a. Penyusunan rencana dan program pengawasan rokok. b. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan pengawasan produk rokok.

32 21 c. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan pengawasan iklan dan promosi rokok. d. Evaluasi dan penyusunan laporan pengawasan rokok. 3.3 Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (BPOM, 2004) Tugas Pokok Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No /SK/KBPOM tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan dan telah disempurnakan dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan, Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif mempunyai tugas pokok: yaitu penyiapan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengawasan narkotika, psikotropika dan zat adiktif Fungsi Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan zat adiktif menyelenggarakan fungsi: a. Penyusunan rencana dan program pengawasan narkotika, psikotropika dan zat adiktif. b. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijkan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan di bidang pengawasan narkotika. c. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan di bidang pengawasan narkotika.

33 22 d. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan di bidang pengawasan psikotropika. e. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan di bidang pengawasan prekursor. f. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan di bidang pengawasan rokok. g. Evaluasi dan penyusunan laporan di bidang pengawasan narkotika, psikotropika dan zat adiktif.

34 BAB 4 PELAKSANAAN PKPA Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) dimulai sejak tanggal 4 Februari sampai dengan 26 Februari Program PKPA di Badan POM kali ini diikuti oleh 80 mahasiswa dari 5 Perguruan Tinggi Farmasi antara lain (UI), Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (UNTAG), dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA). Mahasiswa dibagi dalam kelompok-kelompok sesuai Direktorat tempat dilaksanakan orientasi kerja PKPA nantinya. Kelompok 5 terdiri dari lima orang mahasiswa yang akan melaksanakan orientasi kerja di Direktorat Pengawasan NAPZA. Sebelum memulai PKPA di Badan POM ini, mahasiswa diberikan tugas untuk membuat esai mengenai Badan POM yang dikumpulkan pada saat mulai PKPA. Hari pertama di Badan POM dimulai dengan Pembukaan PKPA Badan POM Februari 2013 yang dilakukan oleh Kepala Biro Umum, Ibu Ema Setyawati Apt.,ME., di Aula Gedung C Badan POM. Setelah itu dilanjutkan dengan kuliah umum yaitu persentasi dari masing-masing Direktorat di Badan POM selama tiga hari sebelum melakukan orientasi ke unit kerja masing-masing. Persentasi pertama dimulai dari Biro Umum, kemudian diadakan pre-test oleh panitia bagian kepegawaian selanjutnya dilanjutkan presentasi oleh Direktorat Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen; Direktorat Standardisasi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga; Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi; Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga; Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. Pada hari kedua, persentasi dilanjutkan oleh Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA); Direktorat Penilaian Obat Tradisonal, Suplemen Makanan dan Kosmetik; Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen; Direktorat Obat Asli Indonesia; Biro Hukum dan Humas (ULPK); Pusat Riset Obat dan Makanan 23

35 24 (PROM); Pusat Pengujan Obat dan Makanan Nasional (PPOMN); serta Pusat Penyidikan Obat dan Makanan (PPOM). Hari ketiga dimulai persentasi dari Direktorat Standarisasi Produk Pangan; Direktorat Penilaian Keamanan Pangan; Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan; Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya; Direktorat Surveilan dan PKP; Pusat Informasi Obat dan Makanan (PIOM). Hari terakhir dari kuliah umum diakhiri dengan pemberitahuan tata tertib PKPA selama di Badan POM dan masing-masing kelompok PKPA diperkenalkan ke ruangan dimana akan dilakukan orientasi ke unit kerja. Kuliah umum yang disampaikan oleh masing-masing Direktorat di Badan POM ini meliputi penjelasan tugas, pokok dan fungsi dari bidang-bidang tersebut serta program-program yang sedang dijalankan. Di akhir persentasi dari presentator, dilakukan sesi tanya jawab atau diskusi dimana mahasiswa diperbolehkan untuk mengajukan pertanyaan kepada presentator. Pengarahan dan penjelasan pelaksanaan PKPA kepada mahasiswa pada hari pertama di unit kerja Direktorat Pengawasan NAPZA (Narkotik, Psikotropik dan Zat Adiktif) diberikan oleh Ibu Sri Rahayu, S.IP., M.Si. (Kepala Seksi Tata Operasional) mengenai masing-masing bagian subdirektorat yang berada di Direktorat Pengawasan NAPZA, yaitu Subdirektorat Pengawasan Narkotik; Subdirektorat Pengawasan Psikotropik; Subdirektorat Pengawasan Prekursor; Subdirektorat Pengawasan Rokok. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan unit kerja Direktorat Pengawasan NAPZA antara lain sebagai berikut: 1. Subdirektorat Pengawasan Narkotika a. Penjelasan dan diskusi mengenai Subdirektorat Pengawasan Narkotika oleh Bapak Wardhono Tirtosudarmo, S.Si., Apt. b. Input data penyaluran narkotik dari Kimia Farma Pusat kepada PBF cabang Kimia Farma. c. Input data penyaluran narkotika dari PBF Kimia Farma ke sarana pelayanan kesehatan.

36 25 d. Input data penelusuran batch mutasi obat jadi narkotika dari Unit Logistik Sentral Kimia Farma kepada sarana PBF KFTD cabang dari berbagai kota di seluruh Indonesia. 2. Subdirektorat Pengawasan Psikotropika a. Penjelasan dan diskusi mengenai Subdirektorat Pengawasan Psikotropika oleh Bapak Drs. Sabar Hariandja, Apt. b. Input data penyaluran psikotropika dari Antra Mitra Sembada ke sarana pelayanan kesehatan. c. Input data peyaluran data dari PBF Kimia Farma Pusat ke PBF cabang Kimia Farma. d. Input data penyaluran obat-obat jadi psikotropika dari data PBF PT Tempo Pusat ke Tempo Cabang, dan dari Tempo Cabang di seluruh Indonesia ke Sarana Pelayanan Kesehatan (SPK). 3. Subdirektorat Pengawasan Prekursor a. Penjelasan dan diskusi mengenai Subdirektorat Pengawasan Prekursor oleh Bapak Robby Nuzly, S.Si. b. Kajian supply chain intergrity dan ketamin c. Kajian kebijakan pengawasan Tramadol dan Triheksifenidil 4. Subdirektorat Pengawasan Rokok a. Penjelasan dan diskusi mengenai Subdirektorat Pengawasan Rokok oleh Ibu Drs. Lela Amalia, Apt., M.Epid. b. Pengamatan iklan rokok yang disesuaikan dengan aturan yang ada. Di akhir pelaksanaan PKPA, dilakukan persentasi oleh kelompokkelompok PKPA sebagai salah satu poin dalam penilaian PKPA, selain pengumpulan laporan kelompok kepada Apoteker Pembimbing. Presentasi dilakukan di depan semua mahasiswa PKPA mengenai segala hal yang telah di lakukan saat orientasi pada unit kerja masing-masing yang disertai sesi tanya jawab atau diskusi antar mahasiswa. Acara terakhir adalah penutupan PKPA Badan POM RI pada tanggal 26 Februari 2013.

37 BAB 5 TEORI DAN PEMBAHASAN Narkotika dan psikotropika merupakan zat yang dibutuhkan untuk tujuan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan maka ketersediaannya harus selalu dijaga. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetik maupun semi sintetik yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009). Narkotika terdiri dari 3 golongan, dari semua golongan narkotika tersebut, yang paling sering disalahgunakan yaitu narkotika golongan 1 antara lain metamfetamin atau dikenal dengan nama sabu-sabu MA, MDMA atau dikenal dengan nama ekstasi, dan heroin yang dikenal dengan nama putaw. Penyalahgunaan dari golongan ini sangat besar sehingga pengawasannya harus semakin diperketat dari semua aspek. Penggolongan narkotika dapat dilihat pada Lampiran 3. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (UU Psikotropika Nomor 5 Tahun 1997). Psikotropika terdiri dari 4 golongan, antara lain : 1. Psikotropika Golongan I Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan (UU No.5 Tahun 1997 Pasal 2 ayat 2). Psikotropika Golongan I ini memiliki risiko penyalahgunaan tinggi dan merupakan ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat, serta memiliki nilai terapetik yang sangat kecil atau tidak ada sama sekali. Psikotropika golongan ini memiliki pengawasan yang sangat ketat, hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan 26

38 27 persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam jumlah terbatas dan dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan (UU No.5 Tahun 1997 Pasal 4). Psikotropika golongan I ini juga dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi (UU No.5 Tahun 1997 Pasal 6). Psikotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan atau diimpor secara langsung oleh lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan yang bersangkutan (UU No.5 Tahun 1997 Pasal 13). Obat golongan ini terdiri dari 26 senyawa, antara lain brolamfetamin, etisiklidina, ettriptamin, katinon, (+)- lisergida (MDMA), mekatinon, psilosibin, rolisiklidin, tenamfetamin, tenoksilidin. 2. Psikotropika Golongan II Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Golongan ini memiliki risiko penyalahgunaan, dapat menyebabkan ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat dan memiliki nilai terapetik kecil atau sedang. Berdasarkan regulasi yang ada, jika suatu negara merasa perlu maka negara tersebut boleh meningkatkan pengawasannya tetapi tidak boleh menurunkan pengawasan dari yang telah ditentukan. Misalnya golongan obat keras dinaikkan pengawasannya menjadi obat psikotropik atau obat narkotik berdasarkan risiko dan manfaatnya serta melihan pandangan teknisi dalam penggunaan obat golongan tersebut. Obat golongan ini terdiri dari 14 senyawa, antara lain amfetamin, deksampetamin, fenetilin, fenmetrazin, fensiklidin, levamfetamin, meklokualon, metamfetamin, metamfetamin rasemat, metakualon, metilfenidat, sekobarbital, zipepprol. 3. Psikotropika Golongan III Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Golongan ini memiliki risiko penyalahgunaan, dapat menyebabkan ancaman serius terhadap

39 28 kesehatan masyarakat.dan memiliki nilai terapetik sedang atau tinggi. Tersedia untuk tujuan pengobatan. Obat golongan ini terdiri dari 9 senyawa, antara lain amobarbital, buprenofrin, butalbital, flunitrazepam, glutetimid, katina, pentazosin, pentobarbital, siklobarbital. 4. Psikotropika Golongan IV Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Golongan ini memiliki risiko penyalahgunaan, dapat menyebabkan ancaman kecil terhadap kesehatan masyarakat.dan memiliki nilai terapetik tinggi. Tersedia untuk tujuan pengobatan.obat golongan ini terdiri dari 60 senyawa, antara lain allobarbital, alprazolam, amfepramon, aminorex, barbital, benzfetamin, bromazepam, brotizolam, delorazepam, diazepam, estazolam, etil amfetamin, etil loflazepate, etinamat, etklorvinol, fencamfamin, fendimetrazin, fenobarbital, fenproporeks, fentermin, fludiazepam, flurazepam, halazepam, haloksazolam, kamazepam, ketazolam, klobazam, kloksazolam, klonazepam, klorazepat, klordiazepoksid, klotiazepam, lefetamin, loprazolam, lorazepam, lormetazepam, mazindol, medazepam, mefenoreks, meprobamat, mesokarb, metilfenobarbital, metiprilon, midazolam, nimetazepam, nitrazepam, nordazepam, oksazepam, oksazolam, pemolin, pinazepam, pipadrol, pirovaleron, prazepam, sekbutabarbital, temazepam, tetrazepam, triazolam, vinibital. Sekalipun pengaturan dalam undang-undang ini hanya meliputi psikotropika golongan I, psikotropika golongan II, psikotropika golongan III, dan psikotropika golongan IV, masih terdapat psikotropika lainnya yang tidak mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan, tetapi digolongkan sebagai obat keras. Oleh karena itu, pengaturan, pembinaan, dan pengawasannya tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang obat keras. Berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, terjadi perubahan penggolongan dari Psikotropika menjadi Narkotika. Perubahan tersebut dapat dilihat pada gambar sebagai berikut.

40 29 Gambar 5.1. Perubahan Penggolongan Psikotropika menjadi Narkotika Golongan Psikotropika yang diperbaharui yaitu : 1. Golongan II, antara lain ametamfetamin rasemat, metilfenidat, dan sekobarbital. 2. Golongan III, antara lain amobarbital, butalbital, flunitrazepam, glutetimid, katina, pentazosin, pentobarbital, siklobarbital. Golongan IV tetap 60 senyawa, antara lain allobarbital, alprazolam, amfepramon, aminorex, barbital, benzfetamin, bromazepam, brotizolam, delorazepam, diazepam, estazolam, etil amfetamin, etil loflazepate, etinamat, etklorvinol, fencamfamin, fendimetrazin, fenobarbital, fenproporeks, fentermin, fludiazepam, flurazepam, halazepam, haloksazolam, kamazepam, ketazolam, klobazam, kloksazolam, klonazepam, klorazepat, klordiazepoksid, klotiazepam, lefetamin, loprazolam, lorazepam, lormetazepam, mazindol, medazepam, mefenoreks, meprobamat, mesokarb, metilfenobarbital, metiprilon, midazolam, nimetazepam, nitrazepam, nordazepam, oksazepam, oksazolam, pemolin, pinazepam, pipadrol, pirovaleron, prazepam, sekbutabarbital, temazepam, tetrazepam, triazolam, vinibital. Dari golongan psikotropika tersebut, yang paling sering disalahgunakan adalah alprazolam dan diazepam. Kedua obat tersebut termasuk golongan benzodiazepin yang dimanfaatkan sebagai antiansietas. Ansietas didefinisikan sebagai perasaan khawatir atau ketakutan. Penggunaan antiansietas dosis tinggi

41 30 dan jangka panjang dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis (Arozal dan Gan, 2007). Prekursor yang beredar di pasaran saat ini, beberapa diantaranya masuk dalam golongan obat bebas maupun obat bebas terbatas yang biasanya terdapat dalam produk obat flu dan obat batuk. Melihat kondisi ini, tentunya ada kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan penggunaan obat tersebut. Sementara dari obat bebas maupun obat bebas terbatas bisa digunakan untuk pembuatan metamfetamin (sabu) sehingga Direktorat Pengawasan NAPZA memandang perlu dilakukan pengkajian obat bebas maupun obat bebas terbatas agar dilakukan perketatan terhadap prekursor. Untuk penggolongan prekursor dapat dilihat pada Lampiran 4. Selain itu, banyak obat-obatan yang disalahgunakan dan dapat menimbulkan ketergantungan, antara lain dekstrometorfan, karisoprodol, ketamin, tramadol, dan triheksifenidil. Dengan demikian obat-obatan tersebut juga harus dilakukan pengkajian untuk memperketat peraturan dan menghindari hal-hal yang membahayakan kesehatan masyarakat. Secara umum, sistem pengawasan narkotik, psikotropik, dan prekursor dilakukan dari hulu ke hilir serta dari hilir ke hulu. Pengawasan dilakukan mulai dari ekspor-impor, produksi, penyaluran, penyerahan hingga penggunaan narkotik dan psikotropik. Skema pengawasan narkotika dan psikotropika dapat dilihat pada Lampiran 5. Pelaksanaan pengawasan narkotika, psikotropika, dan prekursor antara lain berupa : a. Pengawasan kegiatan importasi & eksportasi b. Pengawasan pengemasan kembali pada transito narkotika c. Pengawasan kegiatan produksi narkotika, psikotropika dan prekursor d. Pengawasan kegiatan peredaran narkotika, psikotropika dan prekursor e. Pvaluasi pelaporan narkotika, psikotropika dan prekursor Skema pengadaan narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dapat dilihat pada Lampiran 6. Untuk memenuhi kebutuhan narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi, diperlukan suatu perencanaan kebutuhan bahan baku demi menjamin ketersediaannya untuk diproduksi menjadi obat jadi berdasarkan

42 31 pencatatan dan pelaporan rencana serta realisasi produksi dalam setahun yang dievaluasi secara komprehensif. Hasil evaluasi dari seluruh industri farmasi menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan narkotika, psikotropika dan prekursor secara nasional. Pengawasan dilakukan untuk mencegah terjadinya diversi atau terjadinya penyimpangan penggunaan obat atau bahan baku yang tidak sesuai fungsinya. Pelaksanaan pengawasan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi secara komprehensif oleh BPOM meliputi pengawasan terhadap kegiatan pengadaan, penyimpanan, penyaluran, penyerahan, dokumentasi serta pemusnahan. Pada proses pengadaan, pengawasan yang dilakukan oleh Subdirektorat Pengawasan Narkotik yaitu pengawasan terhadap proses impor narkotika yang saat ini hanya bisa dilakukan oleh PBF dengan izin khusus yaitu Kimia Farma Trade and Distribution sedangkan untuk impor psikotropika dan prekursor farmasi dapat dilakukan oleh Industri Farmasi atau PBF yang memiliki izin khusus sebagai importir produsen psikotropika atau prekursor maupun importir terdaftar psikotropika atau prekursor. Industri farmasi harus membuat estimasi tahunan dan melakukan pemesanan pada PBF (Importir Terdaftar) jika importasi dilakukan melalui PBF atau industri farmasi (Importir Produsen) dapat langsung mengajukan ke Kementerian Kesehatan.Persyaratan untuk importir dapat dilihat pada Lampiran 7. Selanjutnya Kementerian Kesehatan mengajukan permintaan ke Badan POM untuk mengevaluasi permohonan tersebut yang hasil evaluasinya diterbitkan sebagai rekomendasi Analisa Hasil Pengawasan (AHP). Bila dalam evaluasi ada kecurigaan kebenaran dokumen, maka akan diklarifikasi dahulu ke Industri Farmasi bersangkutan. Importir (IP/IT) yang telah memiliki salinan SPI akan mengirim salinan SPI ke negara pengekspor agar dapat mengurus izin ekspor ke negara yang dituju. Skema Pengajuan Ekspor-Impor Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor oleh Importir atau Eksportir dapat dilihat pada Lampiran 8. Ijin ekspor yang telah dikeluarkan akan dikirim ke negara pengimpor sebagai dokumen tambahan perealisasian impor. Setelah bahan baku diterima, Badan POM akan melakukan evaluasi kembali terhadap realisasi impor dengan SPI yang ada.

43 32 Selanjutnya industri farmasi akan mengolah bahan baku menjadi obat jadi dan tetap dilakukan pengawasan oleh Badan POM dengan mengevaluasi jumlah bahan baku yang digunakan untuk membuat obat jadi. Pengawasan yang dilakukan di industri farmasi dimulai dari pengadaan, penyimpanan, produksi, pendistribusian, penyerahan, penggunaan, dan pemusnahan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya diversi berupa hilangnya bahan baku atau pemalsuan bahan dengan mengganti bahan asli dengan bahan lain. Produk jadi kemudian akan disalurkan ke PBF yang memiliki izin khusus untuk mendistribusikan narkotika. Pengawasan yang dilakukan di PBF berupa kesesuaian antara surat pesanan dengan faktur penjualan, surat pengiriman barang (delivery order). Untuk faktur penjualan, harus dilengkapi nama dan alamat sarana yang dituju, tanggal, nomor faktur, jenis, jumlah, dan nomor bets, terdapat tanda tangan, nama, dan nomor SIPA (Surat Izin Praktek Apoteker) Apoteker Penanggung Jawab, nama, dan alamat lengkap serta cap/stempel PBF penyalur, serta tanda tangan, nama lengkap, dan nomor SIK (Surat Izin Kerja) penerima serta stempel sarana penerima. Untuk Surat Pengiriman Barang (Delivery Order) harus terdapat nama dan alamat sarana yang dituju, tanggal, nomor SPB/DO, jenis & jumlah serta nomor bets, tanda tangan, nama, nomor SIK penanggung jawab penyalur, nama, alamat lengkap, dan cap/stempel PBF penyalur, tanda tangan, nama penerima serta stempel sarana penerima. Pengiriman narkotika, psikotropika, dan prekursor harus sesuai dengan alamat SP dan faktur. Terdapat format khusus Surat Pesanan Narkotika dan Psikotropika, surat pesanan harus asli, terdapat tanggal, nomor Surat Pesanan, nama, dan alamat sarana yang dituju, nama dan jumlah yang jelas (angka disertai huruf) obat jadi narkotika/psikotropika, tanda tangan, nama jelas, dan nomor SIPA (Surat Izin Praktek Apoteker) Apoteker Penanggung Jawab pemesan serta cap/stempel sarana pemesan. Sarana pengangkutan yang digunakan harus dapat menjamin keamanan narkotik, psikotropika dan prekursor farmasi dari kemungkinan terjadinya kerusakan, penyimpangan dan pencurian. PBF wajib mencatat dan melaporkan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi untuk mencegah terjadinya penyimpangan atau kebocoran ke

44 33 jalur ilisit/ilegal. Laporan ini dikirimkan setiap bulan kepada Badan POM cq. Direktur Pengawasan NAPZA dengan tembusan Dinas Kesehatan Propinsi dan Balai Besar atau Balai POM setempat, selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. Apotek atau sarana pelayanan kesehatan harus membuat laporan narkotik dan psikotropik setiap bulannya berdasarkan mutasi sesuai resep yang masuk dan ditandatangani oleh Apoteker penanggung jawab. Selain pengawasan terhadap impor, produksi, penyaluran dan penyerahan, Badan POM juga bertugas untuk mengawasi pemusnahan dari narkotik, psikotropika dan prekursor farmasi yang sudah kadaluarsa, rusak ataupun sudah tidak memenuhi syarat untuk digunakan. Pemusnahan narkotik, psikotropika dan prekursor harus disaksikan oleh perwakilan dari Balai Besar atau Balai POM, dan Dinas Kesehatan setempat. Pemusnahan dapat dilakukan di Industri (pabrik), PBF penyalur ataupun sarana pelayanan kesehatan. Untuk meningkatkan pengawasan Direktorat Pengawasan NAPZA melakukan kerjasama lintas sektor, antara lain Kementerian Kesehatan, BNN, dan Bareskrim POLRI. Selain itu, dalam melaksanakan pengawasan Direktorat Pengawasan NAPZA melakukan kerjasama internasional, yaitu dengan melaporkan rencana estimasi kebutuhan tahunan dan pelaporan tahunan ke INCB melalui Kementerian Kesehatan. Selain melakukan pengawasan narkotika, psikotropika dan prekursor, Badan POM juga mengawasi rokok. Rokok yang diawasi meliputi produk rokok, label dan iklan produk rokok. Rokok adalah salah satu Produk yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Nikotin adalah zat atau bahan senyawa pirolidin yang terdapat dalam Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat menyebabkan ketergantungan. Tar adalah kondesat asap yang merupakan total residu dihasilkan saat rokok dibakar, setelah dikurangi nikotin dan air, yang bersifat karsinogenik.

45 34 Konsep pengawasan produk rokok dapat dilihat pada Lampiran 9. Dalam melakukan pengawasan produk rokok, Badan POM dan Balai-Balai POM melakukan sampling produk rokok ke toko-toko atau pasar yang ada di seruruh Indonesia. Setelah dilakukan sampling dilakukan pengawasan label meliputi kadar nikotin dan tar dan dilakukan pengujian yang dilakukan di PPOMN. Setalah itu Dit Was NAPZA melakukan pengamatan apakah produk rokok tersebut sudah memenuhi syarat atau belum. Jika produk rokok tersebut tidak memenuhi syarat maka memberikan usulan tingkat lanjut kepada Deputi, lalu memberikan teguran kepada industri dengan tembusan kepada Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan GAPPRI. Balai POM/Balai Besar POM melakukan pengawasan iklan rokok melalui media cetak, media elektronik dan media luar ruang. Hasil laporan pengawasan dilaporkan perbulan dalam bentuk laporan bulanan ke Dit. Was. NAPZA Badan POM kemudian dilakukan unpan balik apakah pengawasan tersebut benar adanya. Bila ternyata iklan-iklan tersebut tidak memenuhi syarat, maka Dit. Was. NAPZA melakukan laporan dan tindak lanjut kepada Deputi untuk dilakukan teguran ke industri tersebut dengan tembusan kepada Kementerian Perindustrian, Direktorat Jenderal Bea Cukai,GAPRI, GAPRINDO, Kementerian Komunikasi dan Informasi, dan Komisi Penyiaran. Pengawasan iklan rokok dapat dilihat pada Lampiran 10. Jenis Pelanggaran Iklan dan Promosi Rokok, antara lain : 1. Mencantumkan gambar bungkus rokok, baik sebagian ataupun utuh (melanggar PP No.19 Pasal 17 c) 2. Mencantumkan gambar batang rokok atau yang menyerupai batang rokok (melanggar PP No.19 Pasal 17 c) 3. Merangsang atau menyarankan orang untuk merokok, misal mencantumkan kata nikmat, menggambarkan daun tembakau dan cengkeh (melanggar PP No.19 Pasal 17 a) 4. Peringatan kesehatan tidak proporsional (melanggar PP No.19 Pasal 18 ayat 1) 5. Tidak mencantumkan peringatan kesehatan (melanggar PP No.19 Pasal 18 ayat 2)

46 35 Hal-hal yang belum diatur yang belum diamati pengawasan iklan rokok antara lain sebagai berikut: 1. Tayangan iklan rokok pada acara berita olahraga diluar waktu tayang 2. Menampilkan diluar waktu tayang 3. Sponsor acara olahraga diluar waktu tayang 4. Lapangan olahraga dicat dengan brand coorporate 5. Kata low, light, dan mild 6. Tidak ada batasan iklan boleh dimana saja, misal rumah, warung, atau panggung hiburan yang dicat dengan brand image 7. Bagaimana pencantuman produk peringatan kesehatan dalam panggung musik 8. Bagaimana pencantuman produk peringatan kesehatan pada display rokok yang dilombakan 9. Bagaimana pencantuman produk peringatan kesehatan pada lapangan olahraga 10. Menggunakan gambar animasi 11. Jam tayang media elektronik luar ruang Pola tindak lanjut pelanggaran iklan rokok dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu: 1. Materi iklan 2. Peringatan kesehatan 3. Jam tayang 4. Lokasi iklan Kriteria pelanggaran dibagi menjadi 3, yaitu berat, sedang, dan ringan. Sanksi yang diberikan untuk pelanggaran iklan rokok adalah: 1. Teguran lisan 2. Teguran tertulis serta penarikan TMS (Rokok yang tidak memenuhi syarat) 3. Rekomendasi pemberhentian kegiatan sementara 4. Rekomendasi PI industri

47 36 Pola tindak lanjut label rokok dilihat dari aspek kadar nikotin dan tar, kode produksi dan peringatan kesehatan, sedangkan sangksi yang diberikan dibagi menjadi 4 dilihat dari pelanggaran berat, sedang dan ringan : 1. Teguran lisan 2. Teguran tertulis serta penarikan TMS 3. Rekomendasi pemberhentian kegiatan sementara 4. Rekomendasi PI industri

48 37 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kesimpulan dari laporan pelaksanaan PKPA ini adalah sebagai berikut : 1. Badan POM RI merupakan lembaga pemerintahan non kementerian yang melaksanakan fungsi pengawasan terhadap obat, narkotika, psikotropika, produk biologi, obat tradisional, produk komplemen, kosmetika, produk pangan, perbekalan kesehatan rumah tangga dan bahan berbahaya untuk melindungi masyarakat. 2. Untuk melindungi masyarakat terhadap penyalahgunaan dan penggunaan yang salah terhadap narkotika, psikotropika dan prekursor, maka Badan POM membentuk Direktorat Pengawasan NAPZA yang melakukan pengawasan narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. 6.2 Saran Saran yang dapat diberikan dalam pelaksanaan PKPA ini adalah sebagai berikut : 1. Diperlukan peningkatan sarana dan prasarana dalam menunjang tugas pokok dan fungsi Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif melalui teknologi berbasis elektronik agar pengawasan lebih transparan. 2. Diperlukan pengembangan terhadap sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas kinerja karyawan. 3. Perlu diadakan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan dan penggunaan yang salah narkotika, psikotropika dan prekursor dan bahaya merokok.

49 DAFTAR ACUAN Arozal, Wawalmuli dan Gan, Sulistia. (2007). Psikotropik. Dalam Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Gaya Baru, BPOM. (2001). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor : 02001/SK/KBPOM tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta : Badan POM RI. BPOM. (2001). Profil Badan Pengawas Obat dan Makanan. Diakses tanggal 4 Februari BPOM. (2001). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta : Badan POM RI. BPOM. (2004). Peraturan Direktorat Pengawasan NAPZA Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik dan NAPZA Badan POM RI Tahun 2004 tentang Pengawasan Iklan Rokok. Badan POM RI: Jakarta. BPOM. (2007). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK Pedoman Pengawasan Produk Rokok Tahun Jakarta : Badan POM RI. BPOM. (2007). Peraturan Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Nomor HK Prosedur Tetap Pengawasan Label Produk Rokok Tahun Jakarta : BPOM RI. BPOM. (2010). Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (Badan POM RI) Nomor HK Tanggal 3 November 2010 Tentang Penetapan Visi dan Misi Badan POM. Jakarta : Badan POM RI. Direktorat Pengawasan NAPZA Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik dan NAPZA Badan POM RI. (2007). Pedoman Pengawasan Label Produk Rokok. Badan POM RI: Jakarta. Nurjana, I Nyoman. (2010). Penanggulangan Kejahatan Narkotika : Eksekusi Hak Perspektif Sosiologi Hukum. Scientific Journal UMM. 38

50 39 Pemerintah Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. (2001). Peraturan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. (2010). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. (2012). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 tentang Impor dan Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi. Jakarta. Siahaan, Elizabeth. (2009). Peranan Penyidik Polri dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba di Sumatera Utara. Tesis Pascasarjana Ilmu Hukum. Medan : Universitas Sumatera Utara.

51 LAMPIRAN

52 41 Lampiran 1. Struktur Organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Inspektorat Sekretariat Utama 1. Biro Perencanaan dan Keuangan 2. Biro Kerjasama Luar Negeri 3. Biro Hukum dan Humas 4. Biro Umum Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional Pusat Penyidikan Obat dan Makanan Pusat Riset Obat dan Makanan Pusat Informasi Obat dan Makanan Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA 1. Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi 2. Direktorat Standardisasi Produk Terapetik dan PKRT 3. Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT 4. Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT 5. Direktorat Pengawasan NAPZA Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisonal, Kosmetika dan Produk Komplemen 1. Direktorat Penilaian OT, Kosmetik dan Suplemen Makanan 2. Direktorat Standardisasi OT, Kosmetik dan Suplemen Makanan 3. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi OT, Kosmetik dan Suplemen Makanan 4. Direktorat Obat Asli Indonesia Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya 1. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan 2. Direktorat Standardisasi Produk Pangan 3. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Produk Pangan 4. Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya Unit Pelaksana Teknis BPOM

53 42 Lampiran 2. Stuktur Organisasi Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Badan POM RI

54 43 Lampiran 3. Penggolongan Narkotika (sesuai dengan UU Narkotika No. 35 Tahun 2009)

55 44 Lampiran 4. Penggolongan Prekursor

56 45 Lampiran 5. Skema Pengawasan Narkotika dan Psikotropika oleh Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Badan POM RI

57 46 Lampiran 6. Skema Pengadaan, Produksi, dan Peredaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi

58 47 Lampiran 7. Persyaratan Permohonan Importir 1. Surat permohonan mencantumkan - Nomor & Tanggal surat - Nama & Alamat Improtir - Nama dan jumlah bahan baku/bulk produk yang akan diimpor - Nomor HS dan kemasan dan bahan baku/bulk produk yang akan diimpor. - Tujuan penggunaan - Nama dan alamat inustri pengguna - Nama dan alamat ekspoter - Negara asal (origin country) 2. Fotocopy SPI sebelumny (terakhir) 3. Laporan realisasi impor sebelumnya 4. Data sarana yang bersifat informasi umum 5. Rekapitulasi realisasi penggunaan bahan baku / bulk produk tahun sebelumnya 6. Rekapitulasi realisasi penggunaan bahan baku/ bulk produk tahun berjalan sampai bulan permohonan. 7. Laporan bulan penggunaan bahan baku/bulk produk dan penyaluran produk jadi 3 bulan terakhir. 8. Rencana produksi /estimasi pemakaian bahan baku / bulk produk selama 1 tahun. 9. Surat pernyataan bahwa bahan baku/bulk produk yang diimpor tidak disalahgunakan. 10. Surat pernyataan disertai data pendukung yang akurat apabila kenaikan estimasi signifikan (> 50%). 11. Fotocopy surat pesanan/purchasing order ke eskportir. 12. Surat pesanan dari industri pengguna akhir (jika importer PBBBI) 13. Fotocopy Nomor izin Edar (NIE) dan formulasi (Form A) sediaan yang akan diproduksi.* 14. Fotocopy sertifikat CPOB. 15. Fotocopy surat penunjukan sebagai Importir Produsen (IP) atau Importir Terdaftar (IT). Keterangan: *Jika sediaan yang akan diproduksi belum memiliki NIF dapat melampirkan bukti lain yang sah seperti praregistrasi atau surat keterangan dari Badan POM

59 48 Lampiran 8. Skema Pengajuan Ekspor-Impor Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor oleh Importir atau Eksportir

60 49 Lampiran 9. Pengawasan Produk Rokok oleh Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Badan POM RI

61 50 Lampiran 10. Pengawasan Iklan Rokok oleh Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Badan POM RI

62 UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN SUPPLY CHAIN INTEGRITY TERHADAP OBAT MENGANDUNG NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER NAYLA KURROTA AKYUN, S. Farm ANGKATAN LXXVI FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013

63 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR GAMBAR iii BAB 1PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Pengawasan Obat Mengandung Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi... 4 BAB 3. TINJAUAN KHUSUS SUPPLY CHAIN INTEGRITY Definisi Ruang Lingkup Menjaga Supply Chain Integrity... 8 BAB 4. PEMBAHASAN Importasi Pemalsuan Obat dan Alat Kesehatan Praktek Memberantas Obat Palsu dan Alat Kesehatan Diversi dan Pencurian Menjaga Supply Chain Integrity BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR ACUAN ii

64 DAFTAR GAMBAR Tabel 3.1. Skema pengawasan obat mengandung narkotika dan psikotropika oleh Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Badan POM RI... 8 Tabel 4.1. Skema analisis risiko pada supply chain obat mengandung narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi. 11 Tabel 4.2. Skema pengawasan mutu supply chain secara sederhana Tabel 4.3. Contoh produk Serostim yang (a) asli dan (b) palsu. 13 iii

65 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan industri farmasi yang sangat tinggi di dunia yaitu persen pertahun (CDMI, 2012). Industriindustri tersebut bersaing dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar sehingga industri tersebut harus membuat estimasi jumlah penjualan dalam kurun waktu tertentu. Estimasi ini digunakan untuk menghitung bahan awal yang harus dibeli, penyimpanan dan waktu pengiriman bahan tersebut serta waktu yang dibutuhkan untuk proses pembuatan produk jadi. Berkaitan hal tersebut, dibutuhkan perangkat pendekatan yang terintegrasi secara efisien antara suplier, pabrik,gudang, dan penjual sehingga produk tersebut diproduksi dan didistribusikan dalam jumlah, lokasi, dan waktu yang tepat untuk meminimalisir biaya namun tetap memenuhi persyaratan. Perangkat ini dikenal dengan istilah manajemen supply chain. Manajemen supply chain mulai diperkenalkan pada tahun 1990-an sebagai sebuah konsep baru yang dilatarbelakangi oleh suatu kesadaran akan pentingnya peran semua pihak dalam menciptakan produk yang terjangkau, berkualitas, dan cepat. Konsep ini mengalami perkembangan yang sangat cepat dalam dunia industri, hal ini disebabkan supply chain memilii kerangka yang dapat mengatur pergerakan material yang melalui proses produksi hingga didistribusikan ke tangan pelanggan. Konsep supply chain merupakan konsep baru dalam melihat persoalan internal logistik. Dahulu, logistik dilihat sebagai persoalan internal masing-masing perusahaan dan pemecahannya yang dititikberatkan pada pemecahan secara internal di perusahaan masing-masing. Dalam konsep baru ini, masalah logistik dilihat sebagai masalah yang lebih luas dari bahan awal yang digunakan hingga produk jadi yang dipakai konsumen akhir yang merupakan mata rantai penyediaan barang (Indrajit dan Djokopranoto, 2002). Saat ini, supply chain tidak hanya digunakan oleh industri barang tetapi industri jasa pun telah menggunakan supply chain dalam operasinya. 1

66 2 Meskipun demikian, penerapan konsep supply chain bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Supply chain integrity menunjukkan sebuah proses kerjasama yang kompleks antara perusahaan dengan pemasok dan pembeli, jika dikelola dengan baik akan meningkatkan efisiensi dalam operasi perusahaan dan dapat meningkatkan keuntungan perusahaan serta memberikan kepuasan bagi semua pihak (Cousineau, 2004). Merujuk pada United States Pharmacopeia (USP), penerapan supply chain integrity dapat meminimalkan sejumlah risiko dalam supply chain melalui kerja sama yang efektif dan sistem operasional yang berkualitas. 1.2 Tujuan Kajian ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari tujuan adanya supply chain integrity dan sistem pengawasannya.

67 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Narkotika dan psikotropika merupakan zat yang dibutuhkan untuk tujuan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan maka ketersediaannya harus selalu dijaga. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetik maupun semi sintetik yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009). Narkotika terdiri dari tiga golongan, dari semua golongan narkotika tersebut, yang paling sering disalahgunakan yaitu narkotika golongan I antara lain metamfetamin atau dikenal dengan nama sabu-sabu MA, MDMA atau dikenal dengan nama ekstasi, dan heroin yang dikenal dengan nama putaw. Penyalahgunaan dari golongan ini sangat besar sehingga pengawasannya harus semakin diperketat dari semua aspek. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (UU Psikotropika Nomor 5 Tahun 1997). Dari golongan psikotropika, yang paling sering disalahgunakan adalah alprazolam dan diazepam. Kedua obat tersebut termasuk golongan benzodiazepin yang dimanfaatkan sebagai antiansietas. Ansietas didefinisikan sebagai perasaan khawatir atau ketakutan. Penggunaan antiansietas dosis tinggi dan jangka panjang dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis (Arozal dan Gan, 2007). Prekursor yang beredar di pasaran saat ini, beberapa diantaranya masuk dalam golongan obat bebas maupun obat bebas terbatas yang biasanya terdapat dalam produk obat flu dan obat batuk. Melihat kondisi ini, tentunya ada kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan penggunaan obat tersebut. Sementara dari obat bebas maupun obat bebas terbatas dapat digunakan untuk pembuatan metamfetamin (sabu) sehingga diperlukan adanya sebuah sistem yang 3

68 4 secara komprehensif mengawasi peredaran obat-obatan yang mengandung narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi. Saat ini, sistem tersebut dikenal dengan nama supply chain integrity yang dirancang untuk mengawasi peredaran obat mengandung narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dari hulu ke hilir atau dari importasi hingga ke konsumen. 2.2 Pengawasan Obat Mengandung Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Pengawasan obat mengandung narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi merupakan permasalahan yang kompleks. Pada satu sisi, pengawasan yang terlalu ketat akan menghambat perkembangan industri dalam negeri sedangkan pada sisi lain pengawasan yang longgar akan mendorong terjadinya penyimpangan (diversi) oleh sindikat narkoba untuk memproduksi narkotika dan psikotropika secara ilegal di Indonesia. Kecenderungan ini dapat dilihat dari meningkatnya temuan prekursor baik dalam bentuk bahan obat maupun obat mengandung prekursor (efedrin/pseudoefedrin) di laboratorium gelap (clandestine laboratorium) pada beberapa tahun terakhir ini. Kerja sama lintas sektor di lingkungan pemerintah dengan pengelola prekursor merupakan bagian dari strategi pengawasan yang harus ditingkatkan. Kerja sama ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi lintas sektor dan meningkatkan pemahaman serta kepedulian pengelola prekursor dalam upaya mencegah diversi dan kebocoran prekursor dari jalur legal ke jalur ilegal atau sebaliknya. Berdasarkan Konvensi PBB Tahun 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 (UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropics Substances, 1988), disebutkan bahwa setiap negara pihak yang telah meratifikasi konvensi tersebut wajib melakukan upaya pencegahan diversi dan kebocoran prekursor. Secara khusus, artikel 12 paragraf (9) dalam konvensi tersebut memberi penekanan pada

69 5 pentingnya kerja sama dengan industri legal dalam hal ini industri farmasi untuk mencegah diversi ke jalur ilegal. Salah satu bentuk kerja sama lintas sektor di lingkungan pemerintah dan pengelola prekursor untuk mencegah diversi dan kebocoran prekursor, misalnya, dari jalur legal ke jalur ilegal atau sebaliknya adalah penyusunan code of conduct for handling precursor. Saat ini konsep code of conduct telah dikembangkan di banyak negara dan menjadi perhatian International Narcotics Control Board (INCB). Namun sesuai dengan amanat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor dimana Badan POM merupakan institusi pengawas prekursor selain Badan Narkotika Nasional (BNN) memandang perlu untuk dilakukan penyusunan Pedoman Pengelolaan Prekursor bagi pengelola prekursor (BPOM, 2011). Pedoman pengelolaan prekursor merupakan acuan bagi pengelola prekursor untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan prekursor mulai dari pengadaan, penyimpanan, penggunaan untuk produksi, penyaluran, penyerahan, pemusnahan serta identifikasi diversi dalam upaya pencegahan diversi dan kebocoran. Pedoman pengelolaan prekursor ini disusun dengan mengacu kepada Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) terkini dan Pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) serta peraturan perundang-undangan terkait prekursor namun terfokus kepada pencegahan terjadinya diversi. Dengan demikian, pedoman ini merupakan ketentuan yang bersifat mengikat bagi seluruh pengelola prekursor. Hal yang serupa juga diterapkan bagi pengelola narkotika dan psikotropika. Pedoman pengelolaan tersebut berkaitan dengan sistem supply chain integrity peredaran obat yang mengandung narkotik, psikotropik dan prekursor farmasi, dimana peredaran obat yang mengandung narkotika, psikotropika dan precursor farmasi dimonitor dari mulai pengadaan hingga pemusnahan dalam upaya pencegahan diversi maupun kebocoran.

70 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS SUPPLY CHAIN INTEGRITY 3.1 Definisi Beberapa ahli yang mendefinisikan pengertian dari supply chain seperti dibawah ini : 1. Supply chain adalah serangkaian proses antara konsumen, industri atau distributor dan supplier (Chopra dan Meindl, 2006). 2. Supply chain manajemen adalah kegiatan pengelolaan aktivitas-aktivitas dalam rangka memperoleh bahan mentah, mengubah bahan tersebut menjadi barang setengah jadi dan bahan jadi serta mengirimkan produk tersebut ke konsumen melalui system distribusi (Soppera et al., 2007). 3. Manajemen supply chain merupakan integrasi dari proses bisnis mulai dari pemakai akhir sampai dengan pemasok yang menyajikan produk, pelayanan dan informasi yang dapat meningkatkan nilai bagi pelanggan. Aktivitas dari manajemen supply chain menyangkut semua aktivitas yang berupa penyampaian produk kepada pelanggan, mulai dari desain produk untuk penerimaan pesanan, panambahan bahan baku, pemasaran, logistik, pelayanan pelanggan, serta penerimaan pembayaran (Lambert, 1997). Supply chain integrity meliputi perangkat pendekatan dan integrasi secara efisien antara supplier, pabrik, gudang, dan penjual sehingga produk tersebut diproduksi dan didistribusikan dalam jumlah, lokasi, dan waktu yang tepat untuk meminimalisir biaya namun tetap memenuhi persyaratan. Supply chain menitikberatkan pada koordinasi pergerakan dan penyimpanan fisik produk jadi. Supply chain merupakan konsep atau mekanisme untuk meningkatkan produktivitas total perusahaan dalam rantai suplai melalui optimalisasi waktu, lokasi dan aliran kuantitas barang atau material. Supply chain integrity dapat disimpulkan sebagai kesesuaian dan koordinasi aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan aliran material atau produk, baik yang ada dalam satu organisasi maupun antar organisasi, dengan instruksi kerja yang ada. 6

71 7 Badan POM sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) melakukan pengawasan terhadap peredaran obat mengandung narkotika, psikotropika dan prekursor di Indonesia untuk mencegah terjadinya diversi meliputi kegiatan pengadaan, penyimpanan, penyaluran, penyerahan, dokumentasi serta pemusnahan. Diversi yang dimaksud disini adalah penggunaan obat atau bahan baku yang tidak sesuai dengan fungsinya. 3.2 Ruang Lingkup Supply chain integrity menyangkut meminimalisasi risiko yang muncul pada supply chain, dari mulai sumber bahan baku sampai produk jadi, pengemasan dan pendistribusian ke pasien. Pendistribusian harus mengacu pada Good Distribution Practices (GDP) yang bertujuan untuk mendorong para pelaku industri agar terhindar dari campur tangan pihak yang berbuat curang dan dapat dengan mudah mendeteksi kecurangan dalam suppy chain (USP, 2011). Secara umum, sistem pengawasan supply chain integrity dilakukan dari hulu ke hilir serta dari hilir ke hulu. Pengawasan dilakukan mulai dari eksporimpor, produksi, penyaluran, penyerahan hingga penggunaan obat-obatan tersebut. Ada empat area utama yang diawasi dalam penerapan integritas supply chain, yaitu (USP, 2011) : 1. Importasi 2. Pemalsuan Obat dan Alat Kesehatan 3. Praktek Memberantas Obat Palsu dan Alat Kesehatan 4. Diversi dan Pencurian

72 8 Gambar 3.1. Skema Pengawasan Obat mengandung Narkotika dan Psikotropika oleh Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Badan POM RI 3.3 Menjaga Supply Chain Integrity (Limoli, 2012) Cara yang dapat ditempuh untuk menjaga integritas supply chain yaitu : 1. Pengadaan kesepakatan regulasi internasional mengenai : a) Good Manufacturing Practices (GMP) b) Good Distribution Practices (GDP) c) Good Importer Practices (GIP) d) Good Pharmacy Practices (GPP) 2. Berbagi ilmu pengetahuan antar anggota lembaga internasional 3. Program training terhadap sejumlah industri maupun pembuat regulasi 4. Meningkatkan pertahanan global serta memperketat regulasi, misalnya dengan dengan membatasi ekspor-impor obat di tiap negara, terutama untuk narkotik, psikotropik, dan prekursor. 5. Meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. 6. Edukasi kepada konsumen.

73 BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Importasi Pengawasan importasi yang dilakukan oleh Subdirektorat Pengawasan Narkotik Badan POM terhadap proses impor narkotika saat ini hanya bisa dilakukan oleh PBF dengan izin khusus yaitu Kimia Farma Trade and Distribution sedangkan untuk impor psikotropika dan prekursor farmasi dapat dilakukan oleh Industri Farmasi atau PBF yang memiliki izin khusus sebagai importir produsen psikotropika atau prekursor maupun importir terdaftar psikotropika atau prekursor. Industri farmasi harus membuat estimasi tahunan dan melakukan pemesanan pada PBF (Importir Terdaftar) jika importasi dilakukan melalui PBF atau industri farmasi (Importir Produsen) dapat langsung mengajukan ke Kementerian Kesehatan. Persyaratan untuk importer mencakup : 1. Surat permohonan mencantumkan - Nomor & Tanggal surat - Nama & Alamat Improtir - Nama dan jumlah bahan baku/bulk produk yang akan diimpor - Nomor HS dan kemasan dan bahan baku/bulk produk yang akan diimpor - Tujuan penggunaan - Nama dan alamat inustri pengguna - Nama dan alamat eksportir - Negara asal (origin country) 2. Fotocopy SPI sebelumnya (terakhir) 3. Laporan realisasi impor sebelumnya 4. Data sarana yang bersifat informasi umum 5. Rekapitulasi realisasi penggunaan bahan baku / bulk produk tahun sebelumnya 6. Rekapitulasi realisasi penggunaan bahan baku/ bulk produk tahun berjalan sampai bulan permohonan. 7. Laporan bulan penggunaan bahan baku/bulk produk dan penyaluran produk jadi 3 bulan terakhir. 9

74 10 8. Rencana produksi /estimasi pemakaian bahan baku / bulk produk selama 1 tahun. 9. Surat pernyataan bahwa bahan baku/bulk produk yang diimpor tidak disalahgunakan. 10. Surat pernyataan disertai data pendukung yang akurat apabila kenaikan estimasi signifikan (> 50%). 11. Fotocopy surat pesanan/purchasing order ke eskportir. 12. Surat pesanan dari industri pengguna akhir (jika importir PBBBI) 13. Fotocopy Nomor izin Edar (NIE) dan formulasi (Form A) sediaan yang akan diproduksi.* 14. Fotocopy sertifikat CPOB 15. Fotocopy surat penunjukan sebagai Importir Produsen (IP) atau (Importir Terdaftar) IT Keterangan: *Jika sediaan yang akan diproduksi belum memiliki NIF dapat melampirkan bukti lain yang sah seperti Pra registrasi atau surat keterangan dari Badan POM. Selanjutnya Kementerian Kesehatan mengajukan permintaan ke Badan POM untuk mengevaluasi permohonan tersebut yang hasil evaluasinya diterbitkan sebagai rekomendasi Analisa Hasil Pengawasan (AHP). Bila dalam evaluasi ada kecurigaan kebenaran dokumen maka akan diklarifikasi dahulu ke Industri Farmasi bersangkutan. Importir (IP/IT) yang telah memiliki salinan SPI akan mengirim salinan SPI ke negara pengekspor agar dapat mengurus izin ekspor ke negara yang dituju. Ijin ekspor yang telah dikeluarkan akan dikirim ke negara pengimpor sebagai dokumen tambahan perealisasian impor. Setelah bahan baku diterima, Badan POM akan melakukan evaluasi kembali terhadap realisasi impor dengan SPI yang ada. Tiga program utama importir sebagai pembawa untuk membantu mencegah dan mendeteksi potensi risiko, diantaranya (USP, 2011) : a. Manajemen risiko supply chain Membuat proses berbasis risiko untuk menilai, mengidentifikasi dan memahami titik kritis dan menetapkan tanggung jawab dengan jelas.

75 11 Membuat dokumentasi pemastian mutu pengoperasian supply chain serta disosialisasikan kepada seluruh pekerja dalam industri tersebut. Mengidentifikasi audit yang dibutuhkan dan diterapkan. Manajemen risiko dimaksudkan untuk meminimalisir risiko yang akan terjadi dengan memerhatikan titik kritis atau titik rawan terjaidnya risiko sejak dini. Quality event Internal External Strategic Product testing Supply number &management Process Security Transportation Control of supplier Relationship Risk managemen t Supply chain mapping Low cost countries Risk process Regulation Legislation Gambar Skema analisis risiko pada supply chain obat mengandung narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi b. Membangun kerjasama dengan suplier Membangun kerjasama dengan suplier dengan memeriksa, menilai dan memahami potensi suplier sebagai rekan kerja sehingga dapat menghindari masalah yang mungkin terjadi di kemudian hari.

76 12 c. Membangun sistem mutu supply chain Menggunakan standar pembanding (misal ICH Q10 dan ISO) Membangun struktur manajemen yang berfokus pada keamanan produk dan integritas supply chain Memastikan bahwa pekerja memiliki pengetahuan, pengalaman, kecakapan, kompeten dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya. Adanya fasilitas komunikasi, informasi dan prioritas sebagai implementasi teknologi. Standar mutu yang telah ditetapkan masing-masing industri tentunya demi mencapai kepuasan konsumen sehingga menambah kredibilitas dan integritas industri tersebut di mata konsumen. Agar mutu yang telah ditetapkan tetap terjaga hingga ke tangan konsumen maka industri melakukan sistem pengawasan mutu. Pengawasan mutu juga terkait akan regulasi yang telah ditetapkan Badan POM sebagai regulator. Gambar 4.2. Skema pengawasan mutu supply chain secara sederhana 4.2 Pemalsuan Obat dan Alat Kesehatan Permintaan akan obat yang tinggi dan harganya yang mahal memungkinkan banyak pihak memanfaatkan kondisi ini untuk memalsukan sejumlah obat. Terjadinya pemalsuan merupakan hal yang harus dihindari agar

77 13 tidak merugikan konsumen. Untuk itu, supply chain integrity merupakan salah satu solusi agar produk-produk palsu tidak marak beredar sehingga tidak ada yang dirugikan. (a) (b) [Sumber : Limoli, 2012] Gambar 4.3. Contoh produk Serostim yang (a) asli dan (b) palsu 4.3 Praktek Memberantas Obat Palsu dan Alat Kesehatan Praktek tersebut meliputi teknologi kemasan (misalnya desain, teknologi otentikasi dan serialisasi). Dalam hal ini dapat dilakukan sistem barcode dua dimensi [2D] dan identifikasi frekuensi radio [ RFID]. 4.4 Diversi dan Pencurian Obat-obatan yang paling banyak dilakukan penyimpangan adalah narkotik, depresan, dan stimulan. Untuk mencegah penyimpangan dari bahan baku, beberapa negara telah menetapkan program pengawasan bahan baku yang memfasilitasi bagian penerimaan, analisis, dan pelaporan. Penetapan pemantauan rantai obat baik dari tingkat federal atau negara untuk membantu dalam mendeteksi dan memerangi pengenalan kembali produk obat yang menyimpang ke jalur distribusi tapi tidak mempengaruhi produk legalnya.

TUGAS POKOK DAN FUNGSI

TUGAS POKOK DAN FUNGSI Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001, Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG

KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG II. KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG 2.1 Sejarah dan Perkembangan BPOM RI Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bertugas untuk mengawasi obat dan makanan sehingga dapat melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA DEPUTI II DIREKTORAT STANDARDISASI OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK DAN PRODUK KOMPLEMEN PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENILAIAN OBAT TRADISIONAL, SUPLEMEN MAKANAN DAN KOSMETIK BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN N0M0R : 02001/SK/KBPOM TENTANG

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN N0M0R : 02001/SK/KBPOM TENTANG KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN N0M0R : 02001/SK/KBPOM TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : bahwa sebagai

Lebih terperinci

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 DENGAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR

Lebih terperinci

LAKIP TAHUN BADAN POM i

LAKIP TAHUN BADAN POM i alam rangka menciptakan good governance dan clean government di lingkungan Badan POM, LAKIP Badan POM tahun 2011 ini disusun. Sebagai bentuk penjabaran prinsip transparansi dan akuntabilitas, penyampaian

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER PUSAT PENYIDIKAN OBAT DAN MAKANAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JALAN PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 2-24 SEPTEMBER 2013 LAPORAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI PUSAT PENYIDIKAN OBAT DAN MAKANAN JALAN PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keamanan Pangan Keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENGAWASAN PRODUK DAN BAHAN BERBAHAYA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 4 29 JULI 2011 LAPORAN PRAKTEK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENILAIAN OBAT DAN PRODUK BIOLOGI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JALAN PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 4-26 FEBRUARI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENGAWASAN NARKOTIKA PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 4 JULI 29 JULI 2011

Lebih terperinci

Obat dan Makanan Terjamin Aman, Bermutu dan Bermanfaat

Obat dan Makanan Terjamin Aman, Bermutu dan Bermanfaat Sejalan dengan prioritas pembangunan jangka menengah, tantangan, beban dan tanggung jawab pengawasan obat dan makanan dirasakan semakin berat. Untuk itu, Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengawasan Obat dan

Lebih terperinci

2017, No beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedelapan atas Keputusan Presiden Nomor

2017, No beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedelapan atas Keputusan Presiden Nomor No.180, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KELEMBAGAAN. Badan Pengawas Obat dan Makanan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PERIODE 4 JULI 2011 29 JULI 2011 DEPUTI II BIDANG PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL,

Lebih terperinci

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 KEMENTERIAN/ LEMBAGA : BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) 1 Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Teknis Lainnya BPOM 1.1

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSAT INFORMASI OBAT DAN MAKANAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 2 24 SEPTEMBER 2013 LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT STANDARDISASI OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK, DAN PRODUK KOMPLEMEN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN Lampiran Keputusan Direktur Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Nomor HK.06.02.351.03.15.196 Tahun 2015 Tentang Rencana Strategis Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DEPUTI I BIDANG PENGAWASAN PRODUK TERAPETIK DAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN ZAT ADIKTIF JALAN PERCETAKAN

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Kota Bandar Lampung

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Kota Bandar Lampung IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Kota Bandar Lampung 1. Sejarah Singkat BBPOM Kota Bandar Lampung Pada awalnya Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Berdirinya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM)Pekanbaru. Pembentukan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Pekanbaru diawali oleh terbentuknya

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSAT PENYIDIKAN OBAT DAN MAKANAN PERIODE 4-26 FEBRUARI 2013

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSAT PENYIDIKAN OBAT DAN MAKANAN PERIODE 4-26 FEBRUARI 2013 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSAT PENYIDIKAN OBAT DAN MAKANAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI PERIODE 4-26 FEBRUARI 2013 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER NETI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSAT INFORMASI OBAT DAN MAKANAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA JL. PERCETAKAN NEGARA NO.23 JAKARTA PUSAT PERIODE 4 29

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DITJEN BINFAR DAN ALKES KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA JL. H.R. RASUNA SAID

Lebih terperinci

BAB II. KEADAAN UMUM INSTANSI

BAB II. KEADAAN UMUM INSTANSI BAB II. KEADAAN UMUM INSTANSI A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN INSTANSI Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 tahun 2000, Badan POM ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) yang bertanggung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BALAI PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BALAI PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BALAI PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN 1.1 Balai Pengawas Obat dan Makanan 1.1.1 Kedudukan, tugas, fungsi, dan kewenangan balai POM Republik Indonesia Berdasarkan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT INSPEKSI DAN SERTIFIKASI OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK, DAN PRODUK KOMPLEMEN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANANN JL. PERCETAKAN NEGARA

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN BADAN POM TAHUN Target Program

RENCANA KINERJA TAHUNAN BADAN POM TAHUN Target Program Lampiran 1 RKT RENCANA KINERJA TAHUNAN BADAN POM TAHUN 2007 Sasaran 1. Terawasinya secara efektif 1. Proporsi penyelesaian berkas 90% 1.1.1 Penilaian mutu, keamanan, dan khasiat permohonan pendaftaran

Lebih terperinci

PENGUKURAN KINERJA KEGIATAN BADAN POM TAHUN Uraian. permohonan. Pengawasan. pendaftaran Produk. pangan sebelum Berbahaya. dan Bahan.

PENGUKURAN KINERJA KEGIATAN BADAN POM TAHUN Uraian. permohonan. Pengawasan. pendaftaran Produk. pangan sebelum Berbahaya. dan Bahan. Lampiran 2 PKK PENGUKURAN KINERJA KEGIATAN BADAN POM TAHUN 2007 Sasaran 1. Terawasinya secara efektif 1. Proporsi penyelesaian berkas 90% 1.1.1 Penilaian permohonan pendaftaran produk permohonan Dana (Rp)

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK TERAPETIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA JL. PERCETAKAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENGAWASAN PRODUKSI PRODUK TERAPETIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI JL. PERCETAKAN NEGARA

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENGAWASAN PRODUK DAN BAHAN BERBAHAYA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI, TUGAS, dan FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

STRUKTUR ORGANISASI, TUGAS, dan FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN STRUKTUR ORGANISASI, TUGAS, dan FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN Bimbingan Teknis Ujian Dinas Tingkat I dan Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat Tahun 2017 Jakarta, 18 Juli 2017 DASAR HUKUM, TUGAS,

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN. digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau

BAB III TINJAUAN TEORITIS PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN. digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau 1 BAB III TINJAUAN TEORITIS PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN A. TINJAUAN PANGAN OLAHAN 1. Pengertian Pangan Olahan Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 pangan adalah segala sesuatu yang berasal

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENILAIAN KEAMANAN PANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI JL. PERCETAKAN NEGARA NO.23 JAKARTA PUSAT PERIODE 2 26 SEPTEMBER

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKAN NOMOR: HK. 00. 05. 24.01634 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN Menimbang : 1. bahwa

Lebih terperinci

PETA BISNIS PROSES. Registrasi Obat dan Produk Biologi, Pendaftaran Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan POM-02. Evaluasi Produk dan Administrasi

PETA BISNIS PROSES. Registrasi Obat dan Produk Biologi, Pendaftaran Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan POM-02. Evaluasi Produk dan Administrasi PETA BISNIS PROSES Pemerintah Registrasi Obat dan Produk Biologi, Pendaftaran Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan Pembentukan Undang-undang Perundangundangan dan POM-02 Evaluasi Produk dan Administrasi

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN PURBALINGGA

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BIRO HUKUM DAN HUBUNGAN MASYARAKAT BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BIRO HUKUM DAN HUBUNGAN MASYARAKAT BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BIRO HUKUM DAN HUBUNGAN MASYARAKAT BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. Percetakan Negara No. 23 Jakarta 10560 Tanggal 04 Februari 26 Februari

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN SIDOARJO DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.729, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Permohonan. Hasil Pengawasan. Impor. Ekspor. Narkotika. Persyaratan. Tata Cara. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG BADAN STANDARDISASI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG BADAN STANDARDISASI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG BADAN STANDARDISASI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD 40 2008 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN ORGANISASI KANTOR PELAYANAN PERIJINAN TERPADU SATU PINTU DAN SEKRETARIAT

Lebih terperinci

Daftar Rekapitulasi Bisnis Proses Badan Pengawas Obat dan Makanan

Daftar Rekapitulasi Bisnis Proses Badan Pengawas Obat dan Makanan Daftar Rekapitulasi Bisnis Proses Badan Pengawas Obat dan Makanan CODE PROCESS NAME SUB PROCESS SUB PROCESS CODE CFM CFM CODE POM-01 Pengelolaan Perundang-undangan dan Standar Pembentukan undang-undang

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PUSAT RISET OBAT DAN MAKANAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI JL. PERCETAKAN NEGARA NO.23 JAKARTA PUSAT PERIODE 4 JULI 28 JULI 2011 LAPORAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK TERAPETIK (PT) DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA (PKRT) BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. PERCETAKAN

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KESEHATAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KESEHATAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KESEHATAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

-2- MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN.

-2- MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN. GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 103 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Pasal 44 Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah ditetapkannya

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 86 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 86 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 86 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI,TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN SIDOARJO

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PROPIL BALAI BESAR POM DI PEKAN BARU

PROPIL BALAI BESAR POM DI PEKAN BARU PROPIL BALAI BESAR POM DI PEKAN BARU Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Pekanbaru Drs, Sumaryanta,Apt.MSI NIP. 19620401 199202 1 001 Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Pekanbaru mempunyai

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN NARKOTIKA NASIONAL

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN NARKOTIKA NASIONAL r PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN NARKOTIKA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL, Menimbang :

Lebih terperinci

MODUL BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM)

MODUL BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT 2017 MODUL PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) NAMA : NIM :

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah ditetapkannya

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN POM. Organisasi Unit Pelaksana Teknis. Organisasi. Tata Kerja.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN POM. Organisasi Unit Pelaksana Teknis. Organisasi. Tata Kerja. No.1714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN POM. Organisasi Unit Pelaksana Teknis. Organisasi. Tata Kerja. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan

Lebih terperinci

Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RANCANGAN REVISI PP 38/2007 DAN NSPK DI LINGKUNGAN DITJEN BINFAR DAN ALKES Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DISAMPAIKAN PADA SEMILOKA REVISI PP38/2007 DAN NSPK : IMPLIKASINYA TERHADAP

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT,

BUPATI LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT, BUPATI LOMBOK BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 56 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 56 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 56 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN BLORA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB III OBJEK PENELITIAN. Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia

BAB III OBJEK PENELITIAN. Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia BAB III OBJEK PENELITIAN 3.1 Ganmbaran Umum Republik Indonesia Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua

Lebih terperinci

PENERAPAN QMS ISO 9001:2015 BPOM

PENERAPAN QMS ISO 9001:2015 BPOM PENERAPAN QMS ISO 9001:2015 BPOM DASAR HUKUM KETATALAKSANAAN K/L 2 DASAR HUKUM KETATALAKSANAAN K/L (2) 3 DASAR HUKUM KETATALAKSANAAN K/L (3) 4 DASAR HUKUM KETATALAKSANAAN K/L (4) DASAR HUKUM KETATALAKSANAAN

Lebih terperinci

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia yang

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia yang BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Berdirinya BPOM Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia yang pada masa penjajahan Belanda dikenal dengan apoteker yang berperan dalam pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORATT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI BIDANG PANGAN

PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI BIDANG PANGAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI BIDANG PANGAN Disampaikan oleh: Ir. Tetty Helfery Sihombing, MP Direktur Standardisasi Produk Pangan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Visi dan Misi Badan

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2009 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELAKSANA HARIAN BADAN NARKOTIKA KOTA

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELAKSANA HARIAN BADAN NARKOTIKA KOTA SALINAN NOMOR 1/D, 2009 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELAKSANA HARIAN BADAN NARKOTIKA KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

Kepala Dinas mempunyai tugas :

Kepala Dinas mempunyai tugas : Kepala Dinas mempunyai tugas : a. menyelenggarakan perumusan dan penetapan program kerja Dinas; d. menyelenggarakan perumusan kebijakan teknis di bidang kesehatan; e. menyelenggarakan urusan pemerintahan

Lebih terperinci

GAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

GAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH, SALINAN GAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PERDAGANGAN DAN PERINDUSTRIAN PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2009

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELAKSANA HARIAN BADAN NARKOTIKA PROVINSI SUMATERA SELATAN Menimbang Mengingat : : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017

Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017 Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017 Agenda Sistem Pengawasan Badan POM Peraturan Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan

Lebih terperinci

Sesuai dengan struktur organisasi, tugas tiap bidang sebagai berikut :

Sesuai dengan struktur organisasi, tugas tiap bidang sebagai berikut : Sebagai Unit Pelaksana Teknis Badan POM di daerah, Balai Besar POM Bandar Lampung melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.21.4232 Tahun 2004 tentang Perubahan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN NARKOTIKA NASIONAL

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN NARKOTIKA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA,

WALIKOTA TASIKMALAYA, WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN RINCIAN TUGAS UNIT DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NARKOTIKA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NARKOTIKA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NARKOTIKA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 67 ayat (3) Undang- Undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN KETUA BADAN NARKOTIKA NASIONAL. Nomor : PER / 01 / VIII / 2007 / BNN TENTANG

PERATURAN KETUA BADAN NARKOTIKA NASIONAL. Nomor : PER / 01 / VIII / 2007 / BNN TENTANG PERATURAN KETUA BADAN NARKOTIKA NASIONAL Nomor : PER / 01 / VIII / 2007 / BNN TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PELAKSANA HARIAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA BADAN NARKOTIKA

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 54 TAHUN 2016 Menimbang TENTANG TUGAS POKOK DAN RINCIAN TUGAS UNIT DINAS KESEHATAN KOTA TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 32 TAHUN 2013 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN ANALISA HASIL PENGAWASAN DALAM RANGKA IMPOR DAN EKSPOR NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR

Lebih terperinci

WALIKOTA TANGERANG SELATAN

WALIKOTA TANGERANG SELATAN SALINAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM KOTA TANGERANG SELATAN Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci