1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki wilayah dengan jumlah pulau mencapai lebih dari pulau. Garis pantai yang tercatat sebagai bagian dari wilayah Indonesia adalah sepanjang km. Luas wilayah perairan laut (maritim) Indonesia tercatat 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta km2 dan wilayah perairan zona ekonomi ekslusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km2. Wilayah perairan laut Indonesia kaya akan sumberdaya alam dan lingkungan dan memiliki posisi strategis dalam perdagangan dan pelayaran internasional (Dahuri 2003). Kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan wilayah laut Indonesia terdiri dari potensi sumberdaya ikan, keanekaragaman hayati, keindahan pantai dan taman laut, kandungan gas alam dan minyak bumi, sumberdaya mineral dan bahan tambang lainnya, seperti misalnya pasir laut, serta benda-benda peninggalan purbakala. Potensi sumberdaya yang terkandung dalam wilayah perairan laut nilainya tak terhitung dan selama ini belum seluruhnya dimanfaatkan untuk pembangunan nasional. Diantara berbagai kekayaan wilayah laut yang selama ini sudah terdata adalah sumberdaya perikanan. Hasil kajian terakhir mengenai stok potensi sumberdaya perikanan Indonesia menghasilkan nilai-nilai tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield, MSY) yang cukup tinggi, yakni sebesar 6,26 juta ton per tahun. Dari potensi tersebut, sebanyak 34,2 % telah dimanfaatkan secara penuh (fully exploited), bahkan sejumlah 1,2 % telah dieksploitasi secara berlebih (over exploited) (Widodo et al. 1998). Wilayah perairan laut Indonesia terletak pada posisi silang dunia antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia dan dua samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia. Posisi ini menyebabkan wilayah Indonesia memiliki nilai strategis dalam pelayaran dan perdagangan internasional. Potensi kekayaan sumberdaya alam dan posisi strategis wilayah ini merupakan modal dasar bagi pembangunan nasional. 1

2 Kekayaan akan sumberdaya alam kelautan yang berlimpah dan posisi strategis wilayah dapat memancing pihak-pihak tertentu untuk melakukan eksploitasi dan memanfaatkannya secara ilegal. Oleh karenanya, masalah monitoring control and surveillance (MCS) atau pemantauan, pengendalian dan pengamatan lapangan serta evaluasi wilayah laut Indonesia merupakan isu strategis yang harus diselesaikan. Masalah ini menjadi salah satu isu nasional yang sangat penting, mengingat kerugian yang dialami Indonesia sangat besar, sebagai akibat berbagai pelanggaran hukum seperti illegal fishing, illegal migrant, illegal logging dan illegal mining. Dari illegal fishing dan ekspor ilegal perikanan saja diperkirakan Indonesia kehilangan devisa sebesar US$ 2 miliar per tahun (Dahuri 2002; Dahuri 2003). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea 1982), Indonesia mendapat hak berdaulat (sovereign right) untuk memanfaatkan perairan Nusantara sampai zone ekonomi eksklusif yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati, penelitian dan jurisdiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan. Pada hakekatnya seluruh masyarakat Indonesia memiliki kepentingan yang sama terhadap laut, yaitu terlindunginya batas-batas wilayah dan potensi sumberdaya serta terwujudnya stabilitas keamanan di laut. Hal ini sangat penting dalam rangka menjamin integritas wilayah maupun kepentingan nasional di laut dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bangsa. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, diperlukan adanya upaya perlindungan sumberdaya, penegakan kedaulatan dan penegakan hukum. Sistem keamanan di laut di masa depan seharusnya dibangun dengan prinsip mensinergikan kekuatan yang dimiliki oleh berbagai instansi penyelenggara penegakan keamanan di laut tersebut. Sinergi ini harus tercermin dari struktur organisasi, mekanisme dan prosedur serta pelibatannya di laut. Salah satu bentuk nyata dari strategi tersebut adalah diberlakukannya sistem monitoring, control and surveillance (MCS) nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia. MCS merupakan sistem yang telah dipergunakan di banyak negara untuk mengantisipasi keadaan seperti yang telah diuraikan di atas dan menunjukkan hasil yang baik. Di Indonesia sendiri sistem MCS telah mulai dirintis untuk dilaksanakan, namun masih bersifat parsial dalam bagian-bagian yang berdiri sendiri-sendiri serta 2

3 bersifat sektoral. Oleh karena itulah demi pembangunan dan masa depan bangsa, maka keberadaan desain sistem monitoring, control and surveillance nasional dalam rangka pembangunan kelautan Indonesia sangat diperlukan. Sistem MCS yang didesain ini tentunya akan berbeda dengan sistem MCS yang ada sebelumnya, karena akan mencakup seluruh kepentingan nasional secara lebih integratif atau tidak bersifat sektoral dan parsial. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, Indonesia membutuhkan suatu model desain sistem monitoring, control and surveillance nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia yang paling tepat untuk diterapkan pada kondisi dan situasi saat ini, serta dapat mengantisipasi perubahan-perubahan yang akan terjadi pada masa mendatang. Sistem ini diharapkan dapat mensinergikan potensi para pemangku kepentingan (stakeholders) yang dimiliki oleh bangsa Indonesia secara operasional dalam rangka pengawasan, pemantauan, perlindungan dan pengamanan terhadap potensi dan pemanfaatan sumberdaya laut bagi pembangunan dan daya tangkal yang tinggi terhadap pelanggaran hukum di laut. Sistem ini diperlukan karena memiliki kemampuan dalam melakukan pengawasan, pemantauan dan pengamanan dalam pembangunan kelautan di Indonesia secara optimal dan terkendali. Sistem ini juga memiliki kemampuan untuk meminimalkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam bidang eksploitasi sumberdaya kelautan terutama sumberdaya perikanan tangkap. Program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia selama ini telah membawa hasil berupa kemajuan di banyak bidang. Pelaksanaan pembangunan tersebut juga dinilai telah membawa serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam beberapa aspek kehidupan. Namun demikian, pencapaian hasil pembangunan tersebut belum merata. Sebagian masyarakat Indonesia belum merasakan hasil-hasil pembangunan secara utuh seperti sebagian masyarakat lainnya. Hal ini terutama terjadi di sektor perikanan dan kelautan. Dalam upaya untuk segera dapat mengejar ketertinggalannya, sektor perikanan dan kelautan ini memerlukan perlakuan khusus. Perlakuan tersebut diantaranya adalah pencanangan program-program yang terfokus upaya percepatan pembangunan yang terkait dengan wilayah kelautan nasional. Upaya untuk mempercepat pembangunan 3

4 pada aspek tersebut, salah satunya difokuskan pada upaya untuk mengoptimalkan faktor-faktor penggerak pembangunan ekonomi. Ada empat faktor penggerak (four prime mover) pembangunan ekonomi (Pakpahan 1989), yaitu (1) sumberdaya alam, (2) sumberdaya manusia, (3) kapital dan teknologi, dan (4) kelembagaan. Dalam konteks ini, kelembagaan berfungsi sebagai media beraktivitas, berinteraksi, serta berfungsi dalam melakukan perubahan-perubahan dalam pembangunan. Jika diperhatikan, ketertinggalan pembangunan di sektor kelautan nasional adalah akibat masalah-masalah yang ada di dalam empat faktor pembangunan tersebut Faktor sumberdaya alam Wilayah kelautan nasional Indonesia kaya akan potensi sumberdaya alam. Sebagai contoh potensi sumberdaya ikan misalnya, potensi MSY wilayah kelautan nasional mencapai 6,26 juta ton per tahun dan belum mampu dimanfaatkan sepenuhnya oleh bangsa Indonesia. Sementara itu, negara-negara lain baik yang bertetangga maupun yang telah intensif melaksanakan pembangunan dengan pemanfaatan sumberdaya alam perikanan dan kelautan telah mengalami overfishing. Pada posisi potensi sumberdaya yang sudah sangat berkurang, sementara potensi pasar sangat besar, negara-negara tersebut mencari daerah tangkapan di wilayah perairan Indonesia dalam rangka memenuhi kebutuhan produksi dan pasarnya. Sebagai akibat dari sistem MCS nasional kelautan Indonesia yang belum sepenuhnya diterapkan dan penegakan hukum di laut yang masih lemah, kasus pencurian atau illegal fishing merebak dimana-mana, khususnya di wilayah ZEEI dan hal ini sangat merugikan bangsa Indonesia (Dahuri 2003). Selama ini potensi sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia masih jauh lebih besar jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Di samping sumberdaya perikanan, pada umumnya sumberdaya kelautan yang lainnya seperti pasir pantai, terumbu karang, benda-benda purbakala dan potensi sumberdaya alam migas dan mineral serta keanekaragaman hayati milik bangsa Indonesia, juga tidak luput dari pengrusakan atau dieksploitasi secara ilegal. Research and development dan MCS nasional sangat diperlukan dalam rangka melindungi, mengawasi, memantau dan mengamankan agar sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan dijaga kelestariannya. 4

5 1.2.2 Faktor sumberdaya manusia Secara umum nelayan Indonesia termasuk kelompok masyarakat yang tertinggal dan berada dalam kehidupan yang serba kekurangan. Peralatan tangkap, tingkat kemampuan manajemen dan ketrampilan, permodalan dan pemasaran yang terbatas, menyebabkan kemampuan usaha mereka juga kecil. Industri kapal di Indonesia masih tergolong mahal, baik sarana dan prasarananya, sehingga pada kondisi seperti tersebut di atas, nelayan Indonesia tidak mampu memiliki kapal yang efektif dan efisien. Kapal ikan buatan dalam negeri yang pada umumnya bersifat tradisional, tidak dapat memberikan hasil tangkapan yang optimal. Kualitas sumberdaya manusia masih rendah terutama kemampuan teknologi, sehingga sebagian besar armada kapal ikan dikuasai kapal yang berskala kecil dengan kemampuan jangkauan pendek dan waktu berlayar tidak lama. Sementara di pihak lain, sebagian pengusaha nasional memiliki mental yang kurang baik. Pengusaha ini lebih senang sebagai broker tanpa harus membangun kapasitas usahanya dan bekerja keras, karena menganggap dengan kondisi demikian sudah cukup memuaskan. Sementara itu pengusaha-pengusaha asing memanfaatkan mereka sebagai tameng usaha dan akibatnya kapal-kapal asing beroperasi dengan bebas di wilayah perairan Indonesia dengan menggunakan bendera Indonesia. Kondisi ini menunjukkan rendahnya mental oknum pemberi ijin dan penegak hukum yang mengeluarkan perijinan yang bukan menjadi wewenangnya. Indikasi lain juga menunjukkan bahwa ditemukan juga adanya upaya melindungi kegiatan melawan hukum tersebut demi kepentingan pribadi. Di samping hal tersebut di atas, juga menunjukkan bahwa peraturan dan kebijakan dalam pengaturan usaha perikanan masih belum kondusif dan masih belum menghasilkan kontrol yang efektif. Hal ini menyebabkan banyaknya celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang kurang bertanggungjawab Faktor kapital dan teknologi Wilayah kelautan nasional Indonesia yang sangat luas membutuhkan investasi yang besar dalam upaya pemanfaatannya bagi pembangunan nasional. Di samping tingkat kemampuan teknologi yang masih lemah, kemampuan kapital dalam rangka eksploitasi sumberdaya, pemantauan, pengawasan, pengamanan dan penegakan 5

6 hukum di laut yang dimiliki oleh Indonesia tidak sebanding dengan luasnya wilayah kelautan nasional. Celah ini dimanfaatkan oleh pihak asing untuk melakukan pencurian sumberdaya, pelanggaran perbatasan dan perdagangan ilegal. Luasnya wilayah kelautan nasional yang harus dikelola, membutuhkan peningkatan kapital dan teknologi secara memadai Faktor kelembagaan Selama lebih dari tiga dekade, pembangunan berorientasi pada pengelolaan sumberdaya yang ada di darat. Saat ini potensi sumberdaya di darat seperti hutan, bahan tambang dan mineral serta lahan pertanian produktif semakin menipis atau sukar untuk dikembangkan lebih lanjut. Oleh karena itu, sumberdaya pesisir dan lautan akan menjadi tumpuan harapan bangsa di masa depan. Kondisi ini menjadikan dicarinya sumber-sumber ekonomi baru bagi kelangsungan hidup dan masa depan bangsa dari sumberdaya alam kelautan. Dalam rangka pembangunan kelautan sangat banyak pihak yang terkait, baik yang menyangkut aspek ekonomi, sosial budaya dan bidang kelembagaan penegakan hukum di laut. Pada bidang ekonomi, sektor perikanan yang mulai diandalkan menjadi sumber pertumbuhan baru ternyata belum mencapai sasaran. Hal ini disebabkan oleh tingginya penangkapan secara ilegal yang mencapai sekitar Rp. 21 trilyun pada tahun Berkeliarannya sekitar 5000 kapal penangkapan ikan asing tanpa ijin sah di perairan yuridiksi Indonesia merupakan problema tersendiri yang memerlukan suatu sistem MCS yang handal untuk mengantisipasinya (Dahuri 2003). Dalam bidang sosial budaya, kehidupan komunitas nelayan Indonesia identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Mereka hidup dengan kondisi lingkungan kumuh, tingkat pendidikan rendah dan produktivitas rendah. Kehidupan 70% masyarakat nelayan di Indonesia pada saat ini masih berada di bawah garis kemiskinan. Dengan meningkatnya populasi penduduk terutama di daerah pesisir yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dari perikanan tradisional, keberadaan kapal-kapal ikan asing yang melakukan penangkapan ikan ilegal dan adanya penangkapan ikan yang tidak berwawasan lingkungan, merupakan ancaman serius bagi kehidupan mereka. Upaya-upaya untuk menanggulangi permasalahan ini dengan suatu sistem MCS yang handal merupakan suatu bentuk perlindungan 6

7 masyarakat nelayan ini, yang sangat didambakan mereka untuk kelangsungan hidupnya. Pada bidang budaya, sebenarnya secara klasik bangsa Indonesia telah memiliki nilai kapital sosial atau kearifan lokal untuk pelaksanaan MCS. Sejak jaman dahulu, budaya pengawasan masalah kelautan telah dikenal masyarakat Indonesia. Sebagai salah satu contoh misalnya sasi di Maluku. Keberadaan suatu sistem MCS nasional kelautan yang mewadahi seluruh unsur atau komponen masyarakat, secara historis telah dirasakan kebutuhannya bagi masyarakat dan pengembangannya tidak akan menjadi masalah serta kendala. Dalam bidang hukum, disamping hukum-hukum adat yang tidak tertulis, secara nasional dan internasional hukum dan perundang-undangan yang ada selama ini diberlakukan di Indonesia. Dalam rangka pelaksanaannya sangat dibutuhkan unsur pengawasan dan penegakan hukum agar dapat diperoleh suatu kepastian hukum di Indonesia. Sementara itu pada bidang kelembagaan penegakan hukum tidak dapat ditangani oleh satu instansi saja, karena undang-undang memberikan mandat kepada beberapa instansi pemerintah untuk melaksanakan unsur pengawasan dalam penegakan hukum. Dalam pelaksanaan MCS nasional dalam bidang pembangunan kelautan di Indonesia, instansi-instansi terkait ini seringkali berjalan sendiri-sendiri dan menjalankan surveillance dalam bidangnya masing-masing, masih terasa kurangnya keterpaduan antar instansi (Purwaka 2005). Tumpang tindihnya kegiatan instansi-instansi terkait ini, yang masing-masing memiliki landasan hukum sendiri dapat dilihat dari Gambar 1 di bawah ini. 7

8 Instansi Undang - Undang TNI AL POLRI PPNS BEA CUKAI PPNS HUBLA PPNS DKP PPNS IMIGRASI PPNS LH PPNS PKA/ HUTAN PPNS DIKNAS TZMKO / 1939 PASAL 14 PEROMPAKAN DLL 5 / 1983 ZEEI 31 / 2004 PERIKANAN 5 / 1992 BENDA CAGAR BUDAYA 9 / 1992 IMIGRASI 21 / 1992 PELAYARAN 5 / 1990 KSDA 10 / 1995 KEPABEANAN 6 / 1996 PERAIRAN 23 / 1997 LINGKUNGAN HIDUP 41 / 1999 KEHUTANAN Gambar 1 Kewenangan berbagai institusi/instansi di laut (Mabes TNI AL 2005). Berdasarkan keempat aspek seperti di atas, maka muncul beberapa fokus permasalahan yang sangat penting berkaitan dengan desain sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia. Dalam rangka pembangunan kelautan Indonesia, fokus permasalahan yang dianggap penting tersebut adalah: (1) Selama ini MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia telah mulai dirintis untuk dikembangkan, sekalipun masih bersifat sektoral dan parsial. Oleh karena itu muncul suatu pertanyaan bagaimana sistem MCS yang telah ada selama ini dan kendalakendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaannya di lapangan. (2) Bagaimana mensinergikan unsur-unsur MCS nasional kelautan yang selama ini masih bersifat sektoral dan parsial menjadi suatu desain sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia yang terpadu ; dan (3) Perangkat hukum, perangkat kelembagaan dan kebijakan operasional apa saja yang diperlukan dalam rangka mengembangkan sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia yang sesuai dengan kondisi saat ini dan antisipasinya pada masa mendatang? 8

9 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyusun suatu desain sistem monitoring, control and surveillance (MCS) nasional dalam rangka pembangunan kelautan Indonesia. Mengingat selama ini telah dirintis MCS di Indonesia secara sektoral dan parsial, mensinergikan agar MCS yang secara parsial tersebut menjadi sistem MCS terpadu dan dalam operasionalnya membutuhkan perangkat hukum, perangkat kelembagaan dan kebijakan operasional, maka dalam penelitian ini memiliki sub-sub tujuan yaitu : (1) Melakukan identifikasi MCS yang dilaksanakan di Indonesia saat ini. (2) Mempelajari sistem MCS yang ada selama ini dan kendala-kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaannya di lapangan. (3) Menyusun desain sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia yang lebih terpadu. (4) Merumuskan kebutuhan perangkat hukum, perangkat kelembagaan dan kebijakan operasional yang diperlukan dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan sistem MCS nasional terpadu dalam rangka pembangunan kelautan Indonesia. 1.4 Keluaran atau Output yang Diharapkan Keluaran atau output yang diharapkan dari hasil penelitian ini terdiri dari dua hal pokok yaitu (1) Kerangka konseptual desain sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia yang terpadu dan (2) Rumusan bahan rekomendasi atau usulan kebijakan kebutuhan perangkat hukum, perangkat kelembagaan dan kebijakan operasional yang diperlukan dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan sistem MCS nasional terpadu dalam rangka pembangunan kelautan Indonesia. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini secara umum diharapkan memberikan manfaat bagi para pengambil keputusan yang tergabung dalam keanggotaan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) sesuai Keputusan Presiden No. 81 tahun 2005 yang terdiri dari : Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan Hak 9

10 Asasi Manusia, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Jaksa Agung Republik Indonesia, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Badan Intelijen Nasional dan Kepala Staf Angkatan Tentara Nasional Indonesia dalam rangka menentukan kebijakan dan langkah operasional di bidang kelautan. Secara khusus penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : (1) Departemen Kelautan dan Perikanan dalam rangka menyusun suatu kerangka kebijakan pembangunan ekonomi perikanan dan kelautan; (2) Nelayan dan pengusaha perikanan dalam menentukan posisi dan peranannya dalam pembangunan ekonomi dan usaha mereka, keamanan dan kenyamanan berusaha, kepastian hukum usaha dan kontribusinya dalam pembangunan bidang kelautan dan perikanan; (3) Bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam rangka memberikan informasi yang berguna bagi mereka dalam kiprahnya sebagai bagian dari pelaku pembangunan kelautan dan perikanan. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada aspek penyusunan desain sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia secara teoritis dan konseptual. Hal ini berarti bahwa penelitian berupaya membangun kerangka konseptual desain sistem MCS kelautan nasional, bukan desain teknis operasional sistem. Dalam arti lain, penelitian ini diletakkan pada fokus untuk menghasilkan kerangka konseptual kebijakan MCS kelautan nasional. Mengingat sangat luasnya cakupan aspek kelautan nasional, maka penelitian ini difokuskan pada upaya untuk pengkajian desain sistem MCS dalam sektor perikanan laut. Hal ini memberikan gambaran bahwa sekalipun penelitian ini mencoba meletakkan perlunya MCS kelautan nasional secara terpadu, akan tetapi mengingat prioritas pembangunan bidang kelautan adalah pada pengamanan pada sektor sumberdaya perikanan maka penelitian akan difokuskan pada kajian dalam sektor perikanan tangkap, dengan tanpa meninggalkan keterkaitannya dengan sektor lainnya. 10

11 1.7 Kerangka Penelitian. Laut Indonesia yang demikian luasnya membutuhkan suatu sistem yang terpadu dalam pengelolaan sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non hayati yang terkandung di dalamnya. Dalam rangka mengoptimalkan pengelolaannya diperlukan suatu sistem pengawasan agar sumber daya ini dapat terjaga keberlangsungannya. Dalam kaitan itu, pemerintah telah mencoba mengembangkan sistem MCS nasional terutama dalam bidang perikanan tangkap, namun fakta menunjukkan bahwa sistem tersebut belum berjalan secara sempurna. Pembangunan kelautan Indonesia menghadapi permasalahan yang sangat kompleks. Kompleksitas masalah pembangunan kelautan Indonesia dapat digambarkan seperti Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa kebijakan pembangunan kelautan Indonesia dapat digambarkan menyentuh dua kelompok aspek penting yaitu : (1) Manajemen kelautan dan perikanan dan (2) Aspek hukum dan hankam yang didalamnya menyangkut peraturan perundangan, penegakan hukum dan pengadilan bagi pelanggar (kehakiman), disamping aspek pertahanan dan keamanan nasional bangsa. Pada aspek manajemen perikanan dan kelautan hal-hal yang penting untuk dikelola adalah stok sumberdaya dan habitat dari sumberdaya, sehingga di dalamnya menyangkut aspek pengelolaan sumberdaya perikanan, migas, mineral, tambang, plasma nutfah, taman laut, dan benda cagar budaya, sedangkan aspek hukum dan hankam menyangkut aspek peraturan, perundangan, pengawasan, pemantauan, pengamanan, penegakan hukum (kehakiman) dan pertahanan keamanan baik wilayah maupun sumberdaya. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa masalah kelautan nasional memiliki konpleksitas yang tinggi dan membutuhkan solusi untuk memecahkan konflik kepentingan (kebutuhan) antar komponen (pelaku). Strategi MCS merupakan alternatif pemecahan yang dinilai dari permasalahan yang sedemikian kompleks dan dinamik tersebut. Desain sistem MCS merupakan desain sistem yang kompleks, dinamik dan probabilistik. Dalam penelitian dilakukan analisis untuk mendesain sistem MCS yang dimaksudkan bahwa proses dari sistem belum diketahui, sedangkan masukan dan keluaran sistem diketahui. 11

12 Kebijakan pembangunan kelautan nasional ` Manajemen kelautan dan perikanan nasional Strategi MCS Kelautan Hukum dan Hankam - Stok sumberdaya alam habitatnya - Migas - Tambang - Taman laut - MMKT Monitoring Control Surveillance -peraturan perundangan -pengawasan -pemantauan -pengamanan -penegakkan hukum -hankam wilayah Gambar 2. Strategi MCS dalam rangka pembangunan kelautan Indonesia. Potensi pembangunan kelautan meliputi : (1) sumberdaya dapat diperbaharui (renewable resources) termasuk ikan, udang, moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput laut, hutan mangrove, hewan karang, lamun dan biota laut lainnya; (2) sumberdaya tak dapat diperbaharui (non-renewable resources), seperti minyak bumi dan gas, bauksit, timah, bijih besi, mangan, fosfor dan mineral; (3) energi kelautan seperti energi gelombang, pasang surut, angin dan ocean thermal energy conversion; dan (4) jasa-jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat (habitat) yang indah dan menyejukkan untuk lokasi pariwisata dan rekreasi, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim, penampung limbah, dan sebagainya (Dahuri 2002; Dahuri 2003) Tindakan-tindakan melawan hukum dalam bidang perikanan tangkap di wilayah perairan yuridiksi Indonesia (Markas Besar TNI AL 2002) meliputi : (1) Menangkap ikan tanpa ijin yang sah (IUP, SPI dan SIPI), (2) Menggunakan alat tangkap jaring trawl, lampara dasar, pukat udang dan bahan peledak; (3) Melanggar wilayah penangkapan atau mata jaring. 12

13 Kegiatan menangkap ikan tanpa ijin yang sah ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori : (1) Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan wilayah atau ZEE tanpa memiliki ijin dari negara pantai (illegal fishing); (2) Kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut (unregulated fishing); (3) Kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE yang tidak dilaporkan, baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya (unreported fishing) (Sularso 2004). Kegiatan Illegal, Unregulated, Unreported Fishing (IUU) di perairan Indonesia dilakukan oleh : (1) Kapal Ikan Asing (KIA), kapal berbendera asing yang melaksanakan kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen dan tidak pernah mendarat di pelabuhan perikanan Indonesia. Jumlah golongan ini cukup besar, berdasarkan perkiraan FAO terdapat sekitar 3000 kapal, yang berasal dari Thailand, RRC, Philipina, Taiwan, Korea Selatan dan lain-lain, (2) Kapal ikan berbendera Indonesia eks KIA yang dokumennya aspal (asli tapi palsu) atau tidak ada dokumen ijin sama sekali, (3) Kapal ikan Indonesia (KII) dengan dokumen aspal (asli tapi palsu), baik pejabat yang mengeluarkan bukan pejabat yang berwenang atau dokumen tersebut palsu (4) KII tanpa dilengkapi dokumen sama sekali, artinya menangkap ikan tanpa ijin; (5) Kapal ikan yang melakukan pelanggaran jalur atau penggunaan alat tangkap terlarang. Pemalsuan dokumen perizinan kapal penangkap ikan dilakukan dengan : (1) Pemalsuan dokumen pendukung penerbitan izin : (a) Pemalsuan deletion certificate; (b) Pemalsuan surat galangan kapal/surat keterangan tukang; (c) Pemalsuan gross akte kapal; (2) Pemalsuan dokumen izin perikanan (Sularso 2004). Kerugian yang ditimbulkan oleh pemalsuan dokumen kapal dan perizinan perikanan : (1) Subsidi BBM dinikmati oleh kapal-kapal yang tidak berhak; (2) Pengurangan PNBP karena kapal milik asing berbendera Indonesia; (3) Hasil tangkapan umumnya dibawa langsung ke luar negeri (negara asal kapal), sehingga hilangnya sebagian devisa negara dari pajak ekspor dan berkurangnya peluang nilai tambah dari industri pengolahan; (4) Peluang kerja nelayan Indonesia (lokal) berkurang, karena kapal-kapal ilegal adalah kapal-kapal asing yang menggunakan ABK asing; (5) Ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan, karena hasil tangkapan tidak terdeteksi, baik jumlah maupun kualitasnya (jenis dan ukuran ikan 13

14 yang ditangkap); (6) Merusak citra Indonesia pada kancah internasional karena IUU fishing yang dilakukan oleh kapal asing berbendera Indonesia. Hal ini juga dapat berdampak ancaman embargo terhadap produk hasil perikanan Indonesia yang dipasarkan di luar negeri (DKP 2003). Gambar 2 juga menunjukkan bahwa masalah kelautan nasional memiliki kompleksitas yang tinggi dan membutuhkan solusi untuk memecahkan konflik kepentingan (kebutuhan) antar komponen (pelaku). Strategi MCS merupakan alternatif pemecahan yang dinilai dari permasalahan yang sedemikian kompleks dan dinamik tersebut. Desain MCS merupakan desain sistem yang kompleks, dinamik dan probabilistik. Dalam penelitian dilakukan analisis untuk mendesain sistem MCS yang dimaksudkan bahwa proses dari sistem belum diketahui, sedangkan masukan dan keluaran sistem diketahui. Secara deskriptif, penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan bahwa untuk menyusun bahan rekomendasi usulan penerapan model MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia, yang mencakup kebutuhan perangkat hukum, perangkat kelembagaan dan kebijakan operasional yang diperlukan dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia dilakukan berbagai tahapan analisis. Tahapan analisis yang pertama adalah melakukan identifikasi kondisi saat ini (existing condition). Hasil analisis ini akan menghasilkan identifikasi posisi MCS Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Negara-negara lain ini akan menjadi model bagi pengembangan sistem MCS Indonesia. Analisis kedua dilakukan untuk mengetahui kebutuhan MCS Indonesia dengan melihat faktor-faktor kunci yang nantinya akan menghasilkan gambaran kinerja MCS Indonesia saat ini. Hasil analisis tahapan kedua ini adalah gambaran kondisi nyata dari penerapan kebijakan kelautan nasional Indonesia dan keterkaitannya dengan MCS. Hasil analisis tahap pertama, dan kedua ini menghasilkan rumusan model MCS nasional kelautan Indonesia sebagai tahapan analisis yang keempat. Sesuai kerangka pendekatan sistem, model yang dihasilkan tersebut diverifikasi untuk perikanan tangkap. Dipilihnya perikanan tangkap sebagai kasus untuk verifikasi, didasari atas pertimbangan bahwa sektor ini merupakan prioritas andalan pembangunan ekonomi nasional dewasa ini dan memiliki kerumitan dan tingkat 14

15 kompleksitas yang paling tinggi diantara sektor-sektor lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian digunakan asumsi bahwa jika model yang dibangun tersebut sesuai atau cocok untuk sektor perikanan tangkap, maka model tersebut dinilai akan sesuai dengan sektor-sektor lainnya. Sektor-sektor lainnya memiliki tingkat kompleksitas yang dinilai lebih rendah jika dibandingkan sektor perikanan tangkap. Model MCS Nasional yang diperoleh akan dilengkapi dengan panduan, rancangan kelembagaan beserta tupoksi. Verifikasi model pada sektor perikanan merupakan tahapan analisis yang kelima. Hasil verifikasi akan menunjukkan kesesuaian model tersebut terhadap kondisi nyata di lapangan. Apabila sesuai maka usulan rekomendasi penerapan model MCS nasional kelautan dapat langsung dirumuskan, namun demikian jika ternyata berdasarkan hasil verifikasi tersebut tidak sesuai maka dilakukan revisi-revisi atau perbaikan-perbaikan untuk penyempurnaan model agar sesuai dengan hasil verifikasi di lapangan. Hasil perbaikan model tersebut yang telah sesuai dengan hasil verifikasi di lapangan akan dijadikan dasar penyusunan bahan usulan rekomendasi kebijakan operasional MCS kelautan nasional Indonesia. Berdasarkan Gambar 3, maka dapat disusun kerangka konseptual model yang menunjukkan bahwa kerangka konseptual model akan mengikuti tahapan analisis pada Gambar 3. Analisis existing condition Analisis Kebutuhan MCS Existing Condition Faktor Kunci MCS Posisi MCS Indonesia Kinerja MCS Indonesia MODEL MCS NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN INDONESIA - Panduan MCS Indonesia - Rancangan Kelembagaan - Tupoksi Gambar 3 Skema alur deskriptif kerangka pemikiran penelitian 15

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan arah kebijakan pembangunan dari yang berbasis pada sumber daya terestrial ke arah sumber daya berbasis kelautan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dipicu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim terbesar ketiga di dunia yang memiliki luas laut mencapai 7.827.087 km 2 dengan jumlah pulau sekitar 17.504 pulau. Garis pantainya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari beberapa pulau besar antara lain Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendayagunaan sumber daya kelautan menjanjikan potensi pembangunan ekonomi yang luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari potensi yang terkandung dalam eksistensi Indonesia

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Secara fisik potensi tersebut berupa perairan nasional seluas 3,1 juta km 2, ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan pembangunan karena investasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Era

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA Oleh : Dr. Dina Sunyowati,SH.,MHum Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum-Universitas Airlangga Email : dinasunyowati@gmail.com ; dina@fh.unair.ac.id Disampaikan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kegiatan penambangan, pengerukan, pengangkutan, dan perdagangan pasir laut,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang merupakan satu kesatuan dan harus dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara Indonesia yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

DESAIN SISTEM MONITORING CONTROL AND SURVEILLANCE NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN INDONESIA HARMIN SARANA

DESAIN SISTEM MONITORING CONTROL AND SURVEILLANCE NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN INDONESIA HARMIN SARANA DESAIN SISTEM MONITORING CONTROL AND SURVEILLANCE NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN INDONESIA HARMIN SARANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.500 pulau dan memiliki garis panjang pantai terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di dunia. Wilayah kepulauan Indonesia sangat luas, luas daratannya adalah 1,92 Juta Km 2, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia

Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia Indonesia merupakan negara maritim yang besar, kuat, dan makmur. Suatu anugerah yang sangat berharga yang dimiliki oleh bangsa kita. Potensi maritim Indonesia memiliki

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) A. Pendahuluan Wilayah perairan Indonesia yang mencapai 72,5% menjadi tantangan besar bagi TNI

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kegiatan penambangan, pengerukan,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Selain

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Selain 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km 2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut tersebut terdapat

Lebih terperinci

Negara Kesatuan Republik lndonesia adalah benua kepulauan,

Negara Kesatuan Republik lndonesia adalah benua kepulauan, 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik lndonesia adalah benua kepulauan, yang terbentang di katulistiwa di antara dua benua : Asia dan Australia, dan dua samudera : Hindia dan Pasifik,

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Disampaikan pada Diskusi Publik Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara Medan, 12 Mei 2016 PASAL 1 BUTIR 2 UU NO 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

Payung Hukum. 1. kewajiban memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Menurut UU. Mengawal Hukum Lingkungan

Payung Hukum. 1. kewajiban memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Menurut UU. Mengawal Hukum Lingkungan Pewarta-Indonesia, MESKI istilah undang-undang pokok tidak dikenal lagi dalam sistem dan kedudukan peraturan perundang-undangan sekarang ini, namun keberadaan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

Lebih terperinci

luas. Secara geografis Indonesia memiliki km 2 daratan dan

luas. Secara geografis Indonesia memiliki km 2 daratan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laut sebagai anugerah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, harus senantiasa terjaga sumber daya alam kelautannya. Keberhasilan Indonesia untuk menetapkan identitasnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 16 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Halmahera Utara sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Provinsi Maluku Utara, memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu provinsi yang masih relatif muda. Perjuangan keras Babel untuk menjadi provinsi yang telah dirintis sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimasukan kedalam kelompok Negara mega-biodiversity yang merupakan dasar dari

BAB I PENDAHULUAN. dimasukan kedalam kelompok Negara mega-biodiversity yang merupakan dasar dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia. luas wilayah lautnya mencapai 5,8 juta, sedangkan panjang garis pantainya 81.000 km merupakan ke

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PANITIA NASIONAL PENGANGKATAN DAN PEMANFAATAN BENDA BERHARGA ASAL MUATAN KAPAL YANG TENGGELAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

22/09/2014 SEMINAR NASIONAL HUKUM LAUT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ERLANGGA. Senin, 22 September 2014

22/09/2014 SEMINAR NASIONAL HUKUM LAUT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ERLANGGA. Senin, 22 September 2014 SEMINAR NASIONAL HUKUM LAUT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ERLANGGA Senin, 22 September 2014 Asli Palsu 1 2005 2006 Nahkoda Indonesia & Philippina diperintahkan bhw Kapal ini menggunak nama Indonesia ketika

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan daerah.

10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan daerah. II. URUSAN PILIHAN A. BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Kelautan 1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan 2. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km, serta

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan Wilayah perbatasan: a. Internal waters/perairan pedalaman.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP

POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA 2010 1 POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP Sektor perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN NELAYAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN NELAYAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN NELAYAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka memberikan perlindungan kepada nelayan, dengan ini menginstruksikan : Kepada

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN O L E H Puteri Hikmawati, SH., MH. Novianti, SH., MH. Dian Cahyaningrum, SH., MH. Prianter Jaya Hairi, S.H., L.LM.

Lebih terperinci

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. - 602 - CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek BAB V KESIMPULAN Illegal Fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan yang tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menjaga

Lebih terperinci

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NASKAH KAPOLRI SEBAGAI KEYNOTE SPEECH PADA RAKORNAS PEMBERANTASAN ILLEGAL, UNREPORTED AND UNREGULATED FISHING TANGGAL 11 JULI 2017 ASSALAMU ALAIKUM Wr. Wb. SALAM

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN NELAYAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN NELAYAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN NELAYAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka memberikan perlindungan kepada nelayan, dengan ini menginstruksikan: Kepada:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan

Lebih terperinci

PERANANDANKEDUDUKANPEMERINTAHPUSAT DANDAERAHDALAMPENGEMBANGAN WILAYAHPERBATASANLAUT 1

PERANANDANKEDUDUKANPEMERINTAHPUSAT DANDAERAHDALAMPENGEMBANGAN WILAYAHPERBATASANLAUT 1 PERANANDANKEDUDUKANPEMERINTAHPUSAT DANDAERAHDALAMPENGEMBANGAN WILAYAHPERBATASANLAUT 1 Oleh : Dodi Riyadmadji 1 I. PENDAHULUAN Indonesiaadalah negarakepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan panjang garis pantai yang mencapai 95.181 km 2, yang menempatkan Indonesia berada diurutan keempat setelah Rusia,

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang mengakibatkan kerugian lingkungan, sosial dan ekonomi yang signifikan (APFIC,2007).

Lebih terperinci

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Gambar Batas-batas ALKI Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS),

Lebih terperinci

PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING

PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 22 Januari 2015; disetujui: 23 Januari 2015 Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

CC. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

CC. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN LAMPIRAN XXIX PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR : Tahun 2010 TANGGAL : Juli 2010 CC. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URUSAN 1. Kelautan 1. Pelaksanaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

PENGARUH PERKEMBANGAN PENDAPATAN NELAYAN TERHADAP KONDISI FISIK PERMUKIMAN NELAYAN WILAYAH PESISIR KOTA PEKALONGAN TUGAS AKHIR

PENGARUH PERKEMBANGAN PENDAPATAN NELAYAN TERHADAP KONDISI FISIK PERMUKIMAN NELAYAN WILAYAH PESISIR KOTA PEKALONGAN TUGAS AKHIR PENGARUH PERKEMBANGAN PENDAPATAN NELAYAN TERHADAP KONDISI FISIK PERMUKIMAN NELAYAN WILAYAH PESISIR KOTA PEKALONGAN TUGAS AKHIR Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Studi Sarjana Teknik Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik dalam skala lokal, regional maupun negara, dimana sektor

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas Laut 3,1 juta km2. Konvensi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PEMBERANTASAN PENEBANGAN KAYU SECARA ILEGAL DI KAWASAN HUTAN DAN PEREDARANNYA DI SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka percepatan pembangunan industri perikanan nasional

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa lingkungan laut beserta sumber

Lebih terperinci