HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Timor Barat Letak Geografi Iklim

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Timor Barat Letak Geografi Iklim"

Transkripsi

1 40 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Timor Barat Letak Geografi Timor Barat termasuk daerah di daratan Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan luas wilayah Km terletak antara Lintang Selatan (LS) dan Bujur Timar (BT). Propinsi ini merupkan wilayah kepulauan yang terdiri atas 156 pulau dengan tiga buah pulau besar yakni pulau Timor, Flores, Sumba dan terdapat pulau-pulau kecil di sekitarnya. Timor Barat khususnya terdapat di pulau Timor dengan batas-batasnya sebagai berikut: sebelah utara dan barat berbatasan dengan laut Sawu, sebelah selatan berbatasan dengan samudera Hindia dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan negara Timor Leste. Permukaan tanah umumnya berbukitbukit, bergunung-gunung dan sebagian terdiri atas dataran rendah dengan tingkat kemiringan rata-rata mencapai 45 0 dan berada pada ketinggian meter dari permukaan laut (Kabupaten Kupang Dalam Angka 2007). Timor Barat mempunyai tiga fisiografi perbukitan dengan kelerengan lahan melebihi 8% yakni permukaan berbukit sampai bergunung yang meliputi 85.6%, fisiografi alluvial dengan kelerengan lahan 0-8%, fisiografi pasang surut dengan kelerengan lahan < 3%. Oleh karena sebagian besar lahan di Timor Barat mempunyai kelerengan sebesar 8% maka prioritas pemanfaatan lahan dan alternatif komoditas diarahkan untuk pengembangan kehutanan, tanaman tahunan dan wanatani termasuk pakan ternak. Iklim Timor Barat memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Hal ini disebabkan karena arah angin yang berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga mengakibatkan terjadinya musim kemarau pada bulan Juni - September, sebaliknya pada bulan Desember-Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari samudera Asia dan Pasifik sehingga terjadi musim hujan. Keadaan ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Timor Barat sangat dekat dengan Australia, dimana arus angin yang banyak mengandung uap air

2 41 berasal dari Asia dan Samudera Pasifik, kandungan uap airnya sudah berkurang, sehingga Timor Barat tergolong sebagai wilayah yang kering dimana hanya terdapat 3-4 bulan basah dan 8 bulan sisanya relatif kering. Pada umumnya wilayah bagian selatan (Pulau Timor dan Sumba) lebih kering dari bagian utara (Pulau Flores) (Kabupaten Kupang dalam Angka 2007). Nulik dan Bamualim (1998) mengemukakan bahwa pada umumnya NTT mempunyai pola curah hujan tunggal dimana puncak musim hujan hanya terjadi sekali dalam setahun. Suhu udara maksimum berkisar antara Celcius (C), minimum antara C dan curah hujan rata-rata adalah mm/tahun. Tingkat curah hujan ini berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain, seperti wilayah Flores bagian barat, yang meliputi Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Ngada, merupakan daerah yang cukup basah, hal ini disebabkan curah hujan rata-ratanya lebih tinggi dari rata-rata total, yaitu mm/tahun. Daerah dengan kondisi demikian dapat dikatakan sebagai daerah yang sangat cocok untuk pengembangan kawasan pertanian dan perkebunan karena salah satu unsur penting pembentuk iklim adalah curah hujan. Curah hujan di Timor Barat sangat bervariasi dan umumnya sulit untuk diramalkan datangnya hujan dan mulainya bulan kering, kadang-kadang terlalu cepat dan juga terlalu lambat (Kabupaten Kupang dalam Angka 2007). Sebagian besar wilayah di NTT adalah lebih cocok untuk padang penggembalaan ternak dibanding dengan usaha pertanian lainnya (Bamualim dan Wirdahayati 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa tipe tanah di NTT adalah tipe bobonaro clay tidak cocok untuk mengembangkan sistem pertanian yang intensif namun tanah tersebut cocok untuk dijadikan sebagai padang penggembalaan ternak. Usaha Peternakan Sapi Bali di Timor Barat Sapi Bali telah di kembangkan di Timor Barat sejak tahun 1915 yang diimpor dari Pulau Bali. Sapi Bali terus berkembang hingga saat ini dan menempati populasi terbanyak, dengan demikian Timor Barat dikenal sebagai sentra produksi sapi potong. Timor Barat sebagai sentra produksi sapi potong pernah mengekspor ternak sapi Bali ke negara tetangga seperti Hongkong dan Singapura pada tahun an, namun setelah melewati masa tersebut ada

3 42 larangan dari pemerintah untuk tidak lagi mengekspor sapi Bali ke negara tetangga karena terjadi peningkatan permintaan dalam negeri, seleksi negatif, serta pola peternakan yang ada di masyarakat yang didominasi oleh sistem pemeliharaan ekstensif tradisional sehingga laju peningkatan suplay lebih kecil dibanding dengan laju permintaan pasar (Kondi 2004). Penyebab lain adalah terjadinya pengurasan terhadap populasi ternak di mana ternak betina dipotong untuk konsumsi pasar lokal. Peternakan merupakan bagian penting dari perekonomian regional, beberapa alasan yang mendasari petani untuk beternak sapi yaitu status sosial, tenaga kerja, tabungan dan penghasil uang (Bamualim dan Wirdahayati 2001). Manajemen Pemeliharaan Ternak sapi Bali di Timor Barat Sistem Pemeliharaan Sistem pemeliharaan ternak sapi di pulau Timor khususnya Timor Barat bervariasi namun didominasi oleh pemeliharaan secara ekstensif dan semiekstensif. Hal ini dilakukan karena Timor Barat memiliki padang penggembalaan yang relatif luas. Hasil penelitian Lawa (2006) bahwa ternak sapi Bali dipelihara oleh masyarakat hampir di semua desa, hal ini disebabkan tersedianya sumber daya alam yang cukup menunjang diantaranya ketersediaan pakan yang beragam seperti lamtoro, turi, gamal, dan hijauan lainnya sebagai sumber pakan yang tersedia secara lokal. Selain itu juga disebabkan kondisi sosial budaya masyarakat tani yang sudah terbiasa memelihara ternak secara turun-temurun. Hasil penelitian Sobang (1997) bahwa usaha penggemukkan sapi di kawasan Timor Barat umumnya dan kabupaten Kupang khususnya dikenal dengan sistem paronisasi, telah berkembang sebagai suatu usaha yang mampu meningkatkan pendapatan petani/peternak di daerah ini. Sistem ini juga dilakukan oleh sebagian peternak di Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU) dan Belu. Ngera (2004) mengemukakan bahwa sistem pemeliharaan yang umum dilakukan oleh peternak di kabupaten TTU adalah bersifat tradisional dan belum berorentasi bisnis. Ternak sapi yang dipelihara hanya sebagai usaha sampingan yang dapat dijual sewaktu-waktu untuk memenuhi kebutuhan yang terdesak. Perhatian peternak terhadap ternaknya juga masih sangat rendah, hal ini terlihat dari sistem peternakan yang dilakukan dimana ternak sapi digembalakan pada

4 43 siang hari di padang penggembalaan yang terletak di daerah perbukitan atau lembah. Padang penggembalaan ini biasanya milik bersama dan digunakan oleh beberapa peternak untuk menggembalakan ternaknya. Pakan Ternak Sapi Bali Pakan adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dari ternak. Peternakan sapi Bali di Timor Barat umumnya dilakukan sebagai usaha semi intensif dengan pola penyediaan pakan yang dilakukan oleh peternak adalah memanfaatkan sumber pakan yang tersedia di sekitar peternak. Hasil penelitian Sobang (1997) bahwa penyediaan pakan ternak oleh peternak bersumber dari lahan peternak sendiri seperti turi, lamtoro, king grass dan dari luar lahan peternak seperti daun kabesak dan gewang (Choripha gebanga) yang digunakan sebagai pakan penggemukkan terutama pada musim kemarau. Selanjutnya dikatakan bahwa peternak tidak memberikan pakan konsentrat walaupun pada musim kemarau Menururt Fattah (2002), jenis pakan yang mendominasi padang penggembalaan di Timor adalah Andropogan timorensis, Heteropogan contortus, Botricolla sp, sedangkan jenis leguminosa pohon adalah gamal (Gliricidia sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala), serta padang penggembalaan ditumbuhi pepohonan seperti Gewang (Corypha gebanga), Lontar (Borrasus flabelifer) dan bidara. Pola Pemberian Pakan dan Air Minum Pada umumnya pakan yang diberikan pada ternak adalah hijauan dalam bentuk yang sudah dipotong-potong. Peternak memberi makan pada ternak sapi 2-3 kali sehari. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan rumput yang ada di sekitar peternak. Ada juga pemberian putak, terutama pada musim kemarau di saat ternak kekurangan pakan. Bagi sapi yang dilepas atau dipelihara secara ekstensif, pakan sangat tergantung pada padang penggembalaan terutama rumput alam, dan untuk mencegah terjadinya penurunan berat badan, peternak akan memberikan pakan tambahan seperti daun kapok, lamtoro, turi pada sore hari ketika ternak dikandangkan kembali.

5 44 Pemberian air minum untuk ternak-ternak yang digembalakan adalah pada siang hari ternak sapi digiring oleh peternak menuju sumber-sumber air minum yang dekat dengan padang penggembalaan seperti sungai, ataupun sumur yang jaraknya berkisar antara m. Setelah ternak minum maka digiring lagi ke padang penggembalaan. Bagi peternak yang ternaknya dikandangkan, air minum diberikan oleh peternak satu sampai dua kali sehari. Hasil penelitian Ratnawaty et al. (2002) bahwa peternak sapi di kawasan Timor Barat (Belu-Besikama) memberikan pakan pada ternak sapi yang dipelihara dengan perbandingan 97% rumput dan sisanya adalah legum. Selanjutnya dikatakan bahwa sistem pemeliharaan ternak sapi di kawasan tersebut masih sangat tradisional baik pada sapi yang dilepas maupun bagi sapi yang dikandangkan, dengan mengandalkan pakan rumput alam yang ada di padang penggembalaan dan legum hanya sebagai pakan tambahan. Pertambahan Bobot Badan Pada musim hujan, bobot badan ternak akan meningkat dan sebaliknya pada musim kemarau bobot badan akan menurun, hal ini berkaitan dengan ketersediaan pakan sesuai dengan musim. Produktivitas ternak juga dipengaruhi oleh berbagai sumberdaya alam yang digunakan dengan demikian proses produksi atau outputnya bergantung pada input dan proses produksi tersebut. Input dapat dilihat dari ternak, pakan, fasilitas kandang, penanganan kesehatan, tenaga kerja serta waktu, sedangkan output dapat dilihat dari pertambahan bobot badan, jumlah ternak yang dijual dan kotoran ternak yang dihasilkan. Sobang (1997) mengemukakan bahwa pada sistem pemeliharaan penggemukan secara tradisional atau paronisasi, pertambahan bobot badan harian sapi Bali kg/hari. Sistem Perkawinan Umumnya sistem perkawinan ternak sapi adalah kawin secara alamiah, hal ini berkaitan dengan tingkat pengetahuan petani peternak dalam hal mengetahui umur yang tepat untuk dikawinkan, tanda-tanda berahi dan lama berahi. Pejantan yang digunakan untuk mengawini betina biasanya diperoleh dari luar peternak maupun bantuan pemerintah, bahkan ada juga petani yang menggunakan ternak jantannya sendiri untuk mengawini ternak betina.

6 45 Hasil penelitian Ngera (2004) menyebutkan bahwa bagi ternak-ternak yang digembalakan maka sistem perkawinan dilakukan secara alami sehingga jarak beranak tidak menentu. Setelah sapi betina beranak ternak sapi dapat kawin lagi pada saat birahi. Pejantan yang mengawini ternak betina berasal dari kelompok ternak yang ada di padang penggembalaan tersebut, dan ternak betina akan beranak lagi dalam jangka waktu satu tahun. Pada sistem ini peternak tidak memilih ternak betina yang akan dikawinkan dengan pejantan. Perkandangan Pada umumnya kandang yang dipakai untuk memelihara ternak masih sangat sederhana atau dikenal dengan kandang tradisional yaitu terbuat dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal seperti kayu, bambu, yang diikat dengan tali. Ada juga kandang yang biasanya dibuat di bawah pohon sekaligus berfungsi sebagai atap kandang yang dapat melindungi ternak dari hujan, panas atau sinar matahari. Luasan kandang ternak untuk sapi penggemukkan biasanya dibuat kandang individu berbentuk petak persegi empat panjang dan tidak ada ukuran yang pasti namun disesuaikan dengan besarnya tubuh ternak sapi. Pada sistem kandang kelompok ini biasanya sapi-sapi dimasukkan bersama-sama tanpa adanya pemisahan antara ternak muda dan dewasa, sedangkan untuk ternak jantan dewasa dipisahkan pada petak kandang yang lain, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kecelakaan di antara ternak. Atap kandang mengggunakan daun gewang atau alang-alang yang diambil dari lahan peternak atau di sekitar tempat tinggal, sedangkan untuk ternak sapi yang dilepas dan akan dikandangkan pada malam hari dibuatkan kandang kelompok berbentuk lingkaran yang dipagar dengan menggunakan kayu dan diikat dengan tali ataupun dipaku. Kandang yang dibuat ini biasanya terpisah dari tempat tinggal peternak kurang lebih Km. Bagi petani dengan adanya kandang, petani dapat mengontrol ternaknya dari penyakit atau mudah dalam penanganan. Penanganan Limbah Limbah dari ternak hanya digunakan sebagai pupuk untuk tanaman sayuran dan tanaman pakan ternak di sekitar kebun. Pemanfaatan limbah oleh sebagian besar masyarakat masih sangat sederhana, umumnya peternak hanya

7 46 memanfaatkan limbah sebagai pupuk tanaman, hingga saat ini belum ada teknologi yang dilakukan oleh peternak dalam menangani limbah ternak. Penanganan Kesehatan Penanganan kesehatan oleh peternak biasanya dilakukan dengan pembersihan kandang dan vaksinasi. Bagi peternak yang memiliki ternak sapi dalam jumlah yang banyak atau lebih dari sepuluh ekor biasanya dilakukan vaksinasi setiap tahun oleh petugas kesehatan yang ditempatkan di setiap kecamatan dan bagi petani yang memiliki ternak kurang dari 5 ekor dilakukan penyuntikan sendiri terhadap ternak yang dipelihara. Penyakit yang biasa menyerang ternak sapi Bali seperti penyakit ingusan (Septicaemia epizootica), diare dan cacingan. Apabila penyakit ini menyerang ternak sapi dilakukan penyuntikan oleh petugas atau tenaga kesehatan hewan, bagi petani yang sudah berpengalaman dan memiliki ternak dalam jumlah yang banyak penanganan kesehatan/penyuntikan dilakukan oleh peternak. Untuk sapi-sapi yang digemukan apabila penanganan kesehatan dilakukan dengan baik, dalam jangka waktu 6 bulan sampai dengan satu tahun ternak sapi sudah bisa dijual. Pemasaran Ternak Sapi Bali Suatu produk pertanian membutuhkan saluran pemasaran dalam menyalurkan produksinya sampai ke konsumen. Umumnya hasil-hasil pemasaran peternakan seperti sapi, babi dan ayam dijual oleh petani dalam keadaan hidup dan kebanyakan pedagang perantara atau pedagang pengumpul langsung mendatangi tempat peternak. Pelaksanaan jual beli ternak sangat berhubungan dengan penentuan harga dalam pemasaran produk sehingga pihak pertama (pembeli) sangat berperan sebagai penentu harga, dilanjutkan ke pedagang perantara selanjutnya oleh pedagang perantara diteruskan ke petani peternak. Untuk penentuan harga jual pedagang perantara langsung ke peternak dan melihat kondisi sapi berdasarkan penampilannya. Penentuan harga jual selalu saja dikaitkan dengan kebutuhan uang tunai yang diterima oleh peternak dan apabila peternak sangat membutuhkan uang tunai maka ia akan bertindak sebagai penerima harga. Pada daerah-daerah tertentu dengan prasarana jalan yang belum memadai dimana jarak pelabuhan

8 47 antar pulau yang cukup jauh dari tampat tinggal peternak, akan berpengaruh terhadap harga sapi yang akan dijual dibanding dengan uang tunai yang diterima oleh peternak. Jalur pemasaran Sapi Bali di Kawasan Timor Barat digambarkan pada Gambar 1. Petani Peternak Pedagang Pengumpul Pedagang pengumpul Penjagal Pedagang antar pulau Dipotong di RPH Dikirim ke luar daerah Gambar 1 Jalur pemasaran sapi Bali di Timor Barat Sistem pemasaran yang dilakukan oleh petani peternak dalam menjual ternaknya adalah sapi dari peternak dibeli oleh pedagang perantara, dari pedagang perantara dijual ke pedagang antar pulau yang akan dikirim keluar daerah dan kepada tukang jagal yang akan dipotong di rumah potong hewan untuk memenuhi kebutuhan konsumen lokal. Pemasaran ternak sapi Bali di Kawasan Timor Barat mulai dari petani peternak dilanjutkan ke pedagang perantara, dari pedagang perantara dilanjutkan ke pedagang antar pulau untuk dikirim ke luar daerah dan kepada tukang jagal. Hasil penelitian Lalus (1999) bahwa perbedaan jarak yang dinyatakan dengan biaya transportasi mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap harga yang diterima oleh peternak, hal ini sangat berhubungan dengan cara pembayaran dimana berpengaruh juga terhadap harga. Apabila pembayaran dilakukan di tempat tinggal peternak maka harga yang diterima oleh peternak lebih rendah dibandingkan dengan pembayaran yang dilakukan di tempat penimbangan ternak khusunya bagi ternak yang diantarapulaukan.

9 48 Produktivitas Karkas Sapi Bali Dari uraian di atas sistem pemeliharaan sapi Bali di Timor Barat dengan pemberian pakan yang beragam maka nilai produktivitas karkas dapat dikemukakan dalam hasil penelitian ini. Produktivitas karkas sapi Bali diantaranya bobot karkas panas, persentase karkas, bobot karkas dingin, tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk disajikan pada Tabel 3. Bobot Karkas Panas Bobot karkas merupakan salah satu faktor yang diperhatikan dalam penilaian karkas. Rataan bobot karkas panas dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap bobot karkas panas, namun terdapat pengaruh yang nyata antara masing-masing faktor terhadap bobot karkas panas. Bobot karkas panas sangat berhubungan erat dengan bobot potong, semakin tinggi bobot potong, bobot karkas panas semakin tinggi pula. Kelompok bobot potong I, II dan III secara nyata meningkatkan bobot karkas panas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi bobot potong, bobot karkas panas semakin tinggi. Tabel 3 Rataan produktivitas karkas sapi Bali Kelompok bobot potong (kg) Peubah Jenis < >220 Rataan kelamin X ± SD X ± SD X ± SD Bobot karkas Jantan ± ± ± a panas Betina ± ± ± b (kg) Rataan a ± b ± c ±14.37 Persentase Jantan ± ± ± a karkas (%) Betina ± ± ± b Rataan ± ± ± 2.22 Bobot karkas Jantan ± ± ± a dingin Betina ± ± ± b (kg) Rataan a ± b ± c ±14.14 Tebal lemak Jantan 0.11± ± ± punggung Betina 0.11± ± ± (cm) Rataan 0.11 ± ± ± 0.13 Luas urat Jantan ± ± ± a daging mata Betina ± ± ± b rusuk (cm 2 ) Rataan a ± a ± b ±8.97 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05), X=rataan, SD=standar deviasi.

10 49 Forrest et al. (1975) mengemukakan bahwa bobot karkas semakin tinggi dengan meningkatnya bobot potong, demikian juga dengan faktor jenis kelamin, berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bobot karkas panas dimana bobot karkas panas dari ternak jantan lebih tinggi dari betina. Hal ini disebabkan ternak jantan memiliki bobot potong yang lebih tinggi dibanding dengan ternak betina. Jika dilihat dari pertumbuhan, ternak jantan mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding ternak betina, hal ini berhubungan dengan hormon steroid kelamin ternak jantan yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan pada ternak jantan. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa laju pertumbuhan jenis kelamin jantan lebih besar dibanding dengan betina. Hasil penelitian Rosnah (2002) pada sapi Bali di dataran rendah dan dataran tinggi dengan kelompok bobot potong 243 dan 210 kg berpengaruh terhadap bobot karkas panas yang dihasilkan, bobot potong yang tinggi menghasilkan bobot karkas panas tinggi pula. Selanjutnya dikatakan bahwa ternak sapi Bali yang mempunyai bobot karkas yang tinggi mempunyai pertambahan berat badan harian yang tinggi pula. Persentase Karkas Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap persentase karkas, demikian juga kelompok bobot potong, namun terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) antara jenis kelamin terhadap persentase karkas dimana jenis kelamin jantan dengan persentase karkas (54.92%) lebih tinggi dari betina (50.83%), hal ini disebabkan ternak jantan memiliki bobot potong yang lebih tinggi dibanding betina. Tidak adanya perbedaan yang nyata di antara kelompok bobot potong disebabkan perbedaan bobot potong yang tidak sesuai dengan peningkatan bobot karkas. Ngadiono (1995) mengemukakan bahwa perbedaan rataan persentase karkas juga disebabkan perbedaan ukuran saluran pencernaan dan organ-organ penting nonkarkas serta kondisi ternak. Selanjutnya dikatakan bahwa kondisi penimbangan ternak dan karkas, metode pengulitan, ukuran saluran pencernaan dan organ-organ penting serta kodisi finish (akhir) dari ternak juga berpengaruh terhadap persentase karkas. Hasil penelitian Rosnah (2002) pada sapi Bali di daerah dataran rendah dan tinggi diperoleh persentase karkas dan 53.11%.

11 50 Bobot Karkas Dingin Bobot karkas dingin adalah bobot karkas setelah dilakukan pelayuan terhadap karkas selama 24 jam. Nilai bobot karkas dingin disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap bobot karkas dingin, namun masing-masing faktor memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap bobot karkas dingin. Bobot karkas dingin pada ternak jantan (113.85kg) lebih tinggi dari sapi betina (99.67kg). Hal ini disebabkan bobot potong ternak jantan lebih tinggi dibanding ternak betina. Bobot karkas dingin meningkat dengan peningkatan kelompok bobot potong, bobot karkas dingin pada masing-masing kelompok bobot potong adalah kelompok I (92.27 kg), kelompok II ( kg) dan III ( kg). Hal ini berarti semakin tinggi bobot potong, bobot karkas dingin semakin tinggi. Berg dan Butterfield (1976) mengemukakan bahwa bobot potong yang tinggi menghasilkan bobot karkas karkas dingin yang tinggi. Tebal Lemak Punggung Tebal lemak punggung pada rusuk disajikan pada Tabel 3. Banyaknya lemak yang menutupi karkas merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan nilai karkas. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap tebal lemak punggung, demikian juga dengan masing-masing faktor tidak berpengaruh terhadap tebal lemak punggung. Hal ini berarti jenis kelamin dan kelompok bobot potong tidak berpengaruh terhadap tebal lemak punggung. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa pakan akan mempengaruhi proporsi kenaikan lemak karkas dan proporsi daging, pakan yang mengandung energi tinggi akan dapat meningkatkan persentase karkas dan perlemakan pada depot-depot lemak. Selanjutnya dikatakan bahwa nutrisi adalah salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap proporsi kenaikan lemak pada karkas. Tebal lemak sub kutan sebagai indikator dalam menentukan kualitas karkas (persentase daging dan persentase lemak) lebih dipengaruhi oleh variasi bangsa, nutrisi dan jenis kelamin.

12 51 Luas Urat Daging Mata Rusuk Luas urat daging mata rusuk disajikan pada Tabel 3. Luas urat daging mata rusuk merupakan indikator dalam menduga besarnya proporsi urat daging dari suatu karkas. Semakin luas urat daging mata rusuk, semakin besar proporsi urat daging dari karkas. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan bobot potong terhadap luas urat daging mata rusuk, namun masing-masing fakor berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap luas urat daging mata rusuk. Luas urat daging mata rusuk meningkat dengan semakin meningkatnya kelompok bobot potong. Luas urat daging mata rusuk yang lebih besar adalah kelompok bobot potong III, diikuti kelompok bobot potong II dan I. Luas urat daging mata rusuk yang mempunyai ukuran lebih besar menunjukkan proporsi daging yang besar pula. Demikian juga dengan jenis kelamin, berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap luas urat daging mata rusuk, jenis kelamin jantan mempunyai luas urat daging lebih tinggi (50.66 cm 2 ) dari betina (43.25 cm 2 ). Ngadiono (1995) mengemukakan bahwa semakin tinggi bobot hidup ternak, luas urat daging mata rusuk semakin besar. Selanjutnya dikatakan bahwa sapi jantan mempunyai urat daging yang lebih luas dibanding dengan sapi betina. Potongan Komersial Karkas Sapi Bali Rataan persentase potongan komersial karkas sapi Bali pada penelitian ini disajikan pada pada Tabel 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap masingmasing potongan komersial karkas, namun masing-masing faktor berpengaruh nyata terhadap setiap bobot potongan komersial karkas. Untuk masing-masing potongan komersial karkas mempunyai perbedaan yang nyata diantara jenis kelamin jantan dan betina (P<0.05), kecuali pada potongan karkas rusuk belakang tidak berbeda nyata.

13 52 Tabel 4 Rataan bobot potongan komersial karkas sapi Bali Potongan karkas (kg) Karkas depan Kelompok bobot potong (kg) Jenis < >220 Rataan kelamin X ± SD X ± SD X ± SD Jantan ± ± ± a Betina ± ± ± b Rataan a ± a ± b ±5.09 Paha Jantan ± ± ± a belakang Betina ± ± ± b Rataan a ± a ± b ±4.33 Punggung Jantan 14.24± ± ± a Betina 11.71± ± ± b Rataan a ± b ± c ±7.26 Flank Jantan 5.20 ± ± ± a Betina 4.93 ± ± ± b Rataan 5.07 a ± b ± c ±1.63 Rusuk Jantan 4.46± ± ± Belakang Betina 4.04± ± ± Rataan 4.25 a ± a ± b ±1.16 Fillet Jantan 2.28± ± ± a Betina 2.17± ± ± b Rataan 2.23 a ± a ± b ±0.51 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) X = rata-rata, SD = standar deviasi Nilai rataan dari masing-masing potongan karkas lebih besar pada jenis kelamin jantan dibanding dengan betina. Hal ini disebabkan ternak jantan memiliki bobot potong yang lebih tinggi dibanding dengan betina. Selanjutnya hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok bobot potong terhadap potongan komersial karkas. Untuk nilai rataan potongan karkas depan pada kelompok bobot potong III (47.05kg) nyata lebih tinggi dibanding dengan kelompok bobot potong I (35.93kg) dan II (37.88kg). Nilai rataan potongan paha belakang pada kelompok bobot III (42.51kg) nyata lebih tinggi dari kelompok bobot potong I (33.95 kg) dan II (36.48 kg). Untuk potongan punggung berbeda nyata pada kelompok bobot potong III (15.69kg) mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding kelompok bobot potong I (12.98 kg) dan II (13.10 kg). Flank mempunyai nilai yang berbeda nyata diantara kelompok bobot potong yaitu untuk kelompok bobot potong III (6.97 kg) lebih tinggi dibanding kelompok I (5.07 kg) dan II (6.15 kg).

14 53 Untuk rusuk belakang, mempunyai nilai yang nyata berbeda antara kelompok bobot potong I (4.25 kg) dan II (4.45 kg) dibanding dengan kelompok bobot potong III (5.74 kg), demikian juga potongan fillet berbeda nyata antara kelompok bobot potong I (2.23 kg) dan II (2.31 kg) dengan bobot potong III (2.65 kg). Dengan demikian dikatakan bahwa semakin tinggi bobot potong, bobot potongan komersial karkas juga semakin tinggi. Swatland (1982) mengemukakan bahwa bobot potong akan berpengaruh terhadap bobot potongan komersial karkas yang dihasilkan. Berg dan Butterfield (1968) mengemukakan bahwa perbedaan bagian-bagian potongan komersial karkas dipengaruhi oleh distribusi jaringan pada tiap-tiap potongan komersial karkas. Selanjutnya dikatakan bahwa pola pertumbuhan otot, lemak dan tulang diketahui sangat mempengaruhi komposisi karkas dan konformasi. Forrest at al. (1975) mengemukakan bahwa bobot hidup akan berpengaruh terhadap bobot karkas dan bobot karkas akan berpengaruh terhadap bobot potongan karkas. Jika masing-masing potongan komersial ini dinyatakan dalam persentase terhadap bobot karkas dingin pada jenis kelamin dan masing-masing kelompok bobot potong akan terlihat seperti pada Tabel 5. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok bobot potong terhadap masing-masing potongan komersial karkas sapi Bali. Untuk potongan komersial karkas depan, rusuk belakang dan fillet mempunyai nilai persentase lebih tinggi pada sapi jantan dibanding betina, namun tidak ada pengaruh yang nyata dari jenis kelamin terhadap potongan komersial paha belakang, punggung dan flank. Hasil analisis menunujukkan pada masing-masing kelompok bobot potong, terlihat pengaruh yang nyata terhadap potongan komersial karkas depan dan fillet, namun tidak terlihat pengaruh yang nyata terhadap potongan paha belakang, punggung, flank dan rusuk belakang. Dengan demikian dikatakan bahwa sapi jantan mempunyai distribusi daging yang lebih tinggi pada potongan karkas depan dan fillet dibanding dengan betina, sedangkan pada potongan komersial karkas paha belakang, punggung, flank dan rusuk belakang mempunyai distribusi daging yang sama.

15 54 Tabel 5 Persentase potongan komersial karkas sapi Bali Potongan karkas (%) Karkas depan Kelompok bobot potong (kg) Jenis < >220 Rataan kelamin X ± SD X ± SD X ± SD Jantan ± ± ± a Betina ± ± ± b Rataan a ± a ± b ± 1.40 Paha Jantan ± ± ± belakang Betina ± ± ± Rataan ± ± ± 4.33 Punggung Jantan ± ± ± Betina ± ± ± Rataan ± ± ± 0.67 Flank Jantan 5.06 ± ± ± Betina 5.67 ± ± ± Rataan 5.36 ± ± ± 0.68 Rusuk Jantan 4.35 ± ± ± a belakang Betina 4.61 ± ± ± b Rataan 4.48 ± ± ± 0.47 Fillet Jantan 2.24 ± ± ± a Betina 2.48 ± ± ± b Rataan 2.36 a ± ab ± b ± 0.20 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) X=rata-rata, SD= standar deviasi Secara berurutan nilai persentase potongan komersial tertinggi adalah karkas depan, diikuti paha belakang, punggung, flank, rusuk belakang dan fillet. Terlihat juga variasi diantara potongan-potongan komersial karkas, hal ini disebabkan karena terdapat variasi komponen penyusun karkas. Hasil penelitian Ngadiono (1995) pada sapi ACC diperoleh persentase masing-masing potongan komersial karkas yaitu tenderloin (1.69%), sirloin (3.24%), topside (5.95%), inside (3.71%), silverside (5.92%), rump (5.03%), flank (3,73%), flank steak (0.50%), chuck tender (0.89%), shank (5.31%), blade (7.60%), brisket (5.88%), rib meat (5.84%) dan oxtail (0.93%).

16 55 Mutu Daging Sapi Bali Sifat fisik daging sapi Bali yang diukur pada penelitian ini yaitu keempukan, ph, susut masak, daya mengikat air, warna daging dan warna lemak. Sifat fisik daging sapi Bali disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Rataan mutu daging sapi Bali Umur Peubah Jenis I 2 I 3 I 4 Rataan kelamin X ± SD X ± SD X ± SD Keempukan Jantan 3.32 c ± b ± b ± (kg/cm 2 ) Betina 2.90 c ± b ± a ± Jantan 5.48± ± ± ph Betina 5.45± ± ± Rataan 5.46 ± ± ±0.73 Susut masak Jantan 39.33± ± ± (%) Betina 33.75± ± ± Daya mengikat Rataan 36.54± ± ±3.89 Jantan 36.72± ± ± a Betina 27.26± ± ± b air(%) Rataan 31.99± ± ±5.30 Warna daging Jantan 2.33± ± ± Betina 2.83 ± ± ± Rataan 2.58ª± ª± b ±1.20 Warna lemak Jantan 2.17 ± ± ± Betina 2.83 ± ± ± Rataan 2.50± ± ±1.52 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) X= rataan, SD=standar devíasi Keempukan daging Keempukan merupakan salah satu faktor penentu kualitas daging. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara jenis kelamin dan umur terhadap nilai keempukan daging. Ternak jantan pada umur 2 tahun mempunyai nilai keempukan yang rendah, dan nilai keempukan ini meningkat dengan semakin meningkatnya umur ternak, demikian juga pada ternak betina memiliki nilai keempukan yang rendah pada umur 2 tahun, selanjutnya nilai keempukan meningkat dengan semakin meningkatnya umur ternak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keempukan akan semakin rendah dengan meningkatnya umur ternak. Hal ini disebabkan kadar kolagen dalam jaringan ikat yang mengalami perubahan-perubahan molekuler dan mempengaruhi keempukan daging dengan semakin bertambahnya umur ternak. Oleh karena itu ternak yang tua akan

17 56 cenderung menghasilkan daging yang relatif alot daripada ternak yang muda. Perbedaan ini juga kemungkinan lain karena perbedaan jumlah ikatan silang serabut-serabut kolagen. Hubungan antara jenis kelamin dan umur dikemukakan pada Gambar 2. Nilai 5.5- keempukan (kg/cm2) I 2 I 3 I 4 Umur Keterangan: = Jenis kelamin jantan = Jenis kelamin betina Gambar 2 Hubungan antara jenis kelamin dan umur terhadap keempukkan daging Forrest et al. (1975) mengemukakan bahwa pada umumnya keempukan daging menurun dengan meningkatnya umur ternak, hal ini berhubungan dengan jaringan ikat ternak muda mengandung retikulin dan ikatan silang yang lebih rendah daripada kolagen jaringan ikat ternak yang lebih tua. Selanjutnya bahwa komponen utama yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat terutama kolagen dengan jumlah ikatan silangnya yang mempunyai peranan yang besar dalam keempukan daging. Perubahan struktur jaringan ikat daging akan lebih keras dengan semakin bertambah tuanya umur ternak. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa keempukkan daging berhubungan dengan umur, jenis kelamin, nutrisi dan stress. Hasil uji lanjut kontras polinomial orthogonal untuk melihat kecenderungan grafik interaksi, diperoleh grafik yang cenderung kubik. Dengan demikian dikataknkan bahwa nilai keempukan daging akan cenderung naik, selanjutnya turun sesuai dengan dengan grafik. Hal ini disebabkan karena pengaruh lingkungan misalnya pakan, apabila pakan yang diberikan pada ternak sapi berkualitas baik, nilai keempukan akan rendah dan kualitas daging lebih baik

18 57 dan sebaliknya apabila lingkungan tidak mendukung maka nilai keempukan daging akan rendah. Nilai ph daging Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan umur terhadap ph. Demikian juga dengan masing-masing faktor berpengaruh tidak nyata terhadap ph. Pada hasil penelitian ini diperoleh nilai ph pada kisaran , dengan demikian dikatakan bahwa jenis kelamin dan umur tidak berpengaruh terhadap ph. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa ph lebih dipengaruhi oleh stress sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik, dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis. Penurunan ph otot post morteem lebih ditentukan oleh laju glikolisis post morteem serta cadangan glikogen otot. Hasil penelitian Amril (2000) pada sapi Brahman Cross dengan 3 kelompok bobot potong diperoleh nilai ph dengan kisaran Pada hasil penelitian ini diperoleh nilai ph yang masih berada pada batas toleransi yang normal. Forrest et al. (1975) mengemukakan bahwa ph ultimate daging , ph ultimat daging tergantung pada besarnya cadangan glikogen otot pada saat sapi dipotong, semakin banyak glikogen pada saat sapi dipotong maka ph ultimat yang dicapai akan semakin rendah. Setelah ternak dipotong glikogen dalam otot akan berubah menjadi asam laktat dalam keadaan anaerob. Susut masak Susut masak dapat diartikan sebagai air yang keluar dari daging karena ada pengaruh dari luar seperti pada saat pemasakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi yang nyata (P<0.05) antara jenis kelamin dan umur terhadap nilai susut masak, demikian juga dengan masing-masing faktor tidak berpengaruh terhadap susut masak daging. Hal ini berarti jenis kelamin dan umur tidak berpengaruh terhadap susut masak. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa nilai susut masak dipengaruhi oleh ph, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontrakasi miofibril, ukuran dan berat sampel daging. Daging dengan nilai susut masak yang rendah, mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibanding dengan

19 58 daging yang mempunyai nilai susut masak yang lebih tinggi, hal ini mempunyai hubungan dengan kehilangan nutrisi selama pemasakan yang relatif sedikit. Daya mengikat air Daya mengikat air oleh protein daging adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar seperti pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan umur terhadap daya mengikat air, demikian juga dengan faktor umur, namun faktor jenis kelamin memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap daya mengikat air. Ternak jantan memiliki nilai daya mengikat air yang lebih tinggi dibanding ternak betina, hal ini disebabkan tingkat kematangan (maturitas) dari ternak jantan dan betina dimana ternak betina lebih cepat mencapai tingkat kedewasaan dibanding jantan, dan pada ternak jantan dengan semakin meningkatnya umur terjadi pertambahan jumlah dan ukuran serat otot, dengan demikian kemungkinan terjadi peningkatan kadar protein di antara otot sehingga menyebabkan daya mengikat air pada jantan lebih tinggi. Hasil penelitian Te Pas et al. (2004) dikemukakan bahwa jumlah dan ukuran serabut otot lebih tinggi pada ternak jantan dibanding dengan ternak betina dengan semakin meningkatnya umur ternak. Pada hasil penelitian ini diperoleh nilai rataan daya mengikat air dari 3 kelompok umur ternak yaitu %, 33.97% dan 30.96%. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa daya mengikat air dipengaruhi oleh bangsa, proses rigormortis, temperatur, kelembaban, pelayuan daging, tipe dan lokasi otot, fungsi otot, pakan dan lemak intramuskuler. Hasil penelitian Paoe (1999) pada sapi Bali jantan yang digemukan dengan 3 macam perlakuan pakan diperoleh nilai daya mengikat air pada otot longissimus dorsi berturut-turut 36.55%, 39.71% dan 45.31%. Lawrie (1995) mengemukakan bahwa otot dengan kandungan lemak yang lebih tinggi cenderung mempunyai daya mengikat air yang lebih tinggi daripada otot yang kurang berlemak karena lemak akan melonggarkan mikrostruktur dari serat otot sehingga memberikan ruang yang cukup bagi protein untuk mengikat air.

20 59 Warna daging Warna daging merupakan salah satu faktor penentu kualitas daging secara fisik. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan umur terhadap warna daging, faktor jenis kelamin juga tidak memberikan pengaruh yang nyata, namun faktor umur berpengaruh nyata terhadap warna daging (P<0.05), dengan demikian dikatakan bahwa umur berpengaruh terhadap warna daging dimana semakin tua umur ternak, warna daging semakin gelap atau nilai skor daging semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin tinggi umur ternak, kandungan mioglobin dalam daging semakin tinggi, dengan demikian menyebabkan warna daging semakin gelap. Lawrie (1995) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi warna daging diantaranya pakan, spesies, umur, tingkat aktivitas dan tipe otot. Selanjutnya dikatakan bahwa warna daging juga berhubungan dengan tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin, kondisi kimia serta fisik dari komponen dalam daging. Semakin bertambah umur ternak konsentrasi mioglobin semakin meningkat. Warna lemak Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada interkasi antara jenis kelamin dan umur terhadap warna lemak. Demikian juga dengan masing-masing faktor tidak berpengaruh terhadap warna lemak daging, dengan demikian dapat dikatakan bahwa jenis kelamin dan umur ternak tidak berpengaruh terhadap warna lemak. Nilai rataan warna lemak pada penelitian ini berkisar 2-4. Fowler (1961) mengemukakan bahwa warna lemak lebih dipengaruhi oleh pakan, apabila pakan yang dikonsumsi adalah rumput maka warna lemak cenderung kuning, sedangkan apabila pakan yang dikonsumsi adalah konsentrat maka warna lemak cenderung putih. Selanjutnya dikatakan bahwa warna lemak tidak dipengaruhi oleh bobot potong dari ternak.

21 60 SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa: 1. Jenis kelamin jantan menghasilkan produktivitas karkas lebih tinggi dibanding jenis kelamin betina. 2. Bobot potongan komersial karkas semakin tinggi pada ternak jantan dengan semakin tingginya bobot potong. Persentase potongan komersial karkas yang tinggi adalah potongan komersial karkas depan, diikuti oleh paha belakang, punggung, flank, rusuk belakang dan fillet. 3. Mutu daging sapi Bali jantan dan betina adalah sama, baik sapi jantan maupun betina mempunyai nilai keempukan daging yang sama pada umur kurang lebih 3 tahun. SARAN Untuk mendapatkan produktivitas karkas yang tinggi sebaiknya dipilih ternak jantan karena menghasilkan produktivitas karkas yang tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot dan Persentase Komponen Karkas Komponen karkas terdiri dari daging, tulang, dan lemak. Bobot komponen karkas dapat berubah seiring dengan laju pertumbuhan. Definisi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Metode

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Metode 35 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret - Mei 2008 di Rumah Potong Hewan (RPH) Aldia-Kupang. Pengumpulan data pengukuran produktivitas karkas dilakukan

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar PENGANTAR Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan sektor peternakan dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam program pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai dari sumber daya alam yang diperbaharui dan yang tidak dapat diperbaharui. Dengan potensi tanah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan Keadaan hewan pada awal penelitian dalam keadaan sehat. Sapi yang dimiliki oleh rumah potong hewan berasal dari feedlot milik sendiri yang sistem pemeriksaan kesehatannya

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KambingKacang Kambing Kacang merupakan salah satu kambing lokal di Indonesia dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh yang relatif kecil,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak serta zat yang lain yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Usaha untuk meningkatkan konsumsi

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

POTENSI KING GRASS SEBAGAI PAKAN TERNAK DAN TANAMAN PENGUAT TERAS DI DESA TOBU, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN

POTENSI KING GRASS SEBAGAI PAKAN TERNAK DAN TANAMAN PENGUAT TERAS DI DESA TOBU, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN POTENSI KING GRASS SEBAGAI PAKAN TERNAK DAN TANAMAN PENGUAT TERAS DI DESA TOBU, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN Sophia Ratnawaty, Didiek A. Budianto, dan Jacob Nulik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS KARKAS SAPI BALI DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR

PRODUKTIVITAS KARKAS SAPI BALI DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR 136 PARTNER, TAHUN 17 NOMOR 2, HALAMAN 136-141 PRODUKTIVITAS KARKAS SAPI BALI DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Andy Yumina Ninu Program Studi Produksi Ternak Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Jl. Adisucipto

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena dagingnya selain rasanya enak juga merupakan bahan pangan sumber protein yang memiliki kandungan gizi lengkap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terletak LU dan LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan

TINJAUAN PUSTAKA. Terletak LU dan LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan TINJAUAN PUSTAKA Geografi Desa Celawan a. Letak dan Geografis Terletak 30677 LU dan 989477 LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan Pantai Cermin dengan ketinggian tempat 11 mdpl, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di desa Singasari

Lebih terperinci

Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Penggemukan Melalui Perbaikan Pakan Berbasis Sumberdaya Lokal di Pulau Timor

Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Penggemukan Melalui Perbaikan Pakan Berbasis Sumberdaya Lokal di Pulau Timor Judul : Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Penggemukan Melalui Perbaikan Pakan Berbasis Sumberdaya Lokal di Pulau Timor Narasumber : Ir. Yohanis Umbu Laiya Sobang, M.Si Instansi : Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK KAMBING LOKAL DALAM MENDUKUNG USAHA AGRIBISNIS TERNAK DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK KAMBING LOKAL DALAM MENDUKUNG USAHA AGRIBISNIS TERNAK DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK KAMBING LOKAL DALAM MENDUKUNG USAHA AGRIBISNIS TERNAK DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR D. KANA HAU DAN A. POHAN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur ABSTRAK

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci

SILASE SEBAGAI PAKAN SUPLEMEN SAPI PENGGEMUKAN PADA MUSIM KEMARAU DI DESA USAPINONOT

SILASE SEBAGAI PAKAN SUPLEMEN SAPI PENGGEMUKAN PADA MUSIM KEMARAU DI DESA USAPINONOT SILASE SEBAGAI PAKAN SUPLEMEN SAPI PENGGEMUKAN PADA MUSIM KEMARAU DI DESA USAPINONOT Sophia Ratnawaty, P. Th. Fernandez dan J. Nulik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Timur Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga.

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan yang bernilai gizi tinggi sangat dibutuhkan untuk menghasilkan generasi yang cerdas dan sehat. Untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut pangan hewani sangat memegang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi masyarakat, mempengaruhi meningkatnya kebutuhan akan makanan asal hewan (daging). Faktor lain

Lebih terperinci

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu : PROJECT DIGEST NAMA CLUSTER : Ternak Sapi JUDUL KEGIATAN : DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI pembibitan menghasilkan sapi bakalan super (bobot lahir > 12 kg DI LOKASI PRIMA TANI KABUPATEN TTU PENANGGUNG JAWAB

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Alometri dan Distribusi Daging Pertumbuhan alometri merupakan kajian tentang pertumbuhan relatif dimana perubahan-perubahan proporsional tubuh dibandingkan dengan peningkatan

Lebih terperinci

tumbuh lebih cepat daripada jaringan otot dan tulang selama fase penggemukan. Oleh karena itu, peningkatan lemak karkas mempengaruhi komposisi

tumbuh lebih cepat daripada jaringan otot dan tulang selama fase penggemukan. Oleh karena itu, peningkatan lemak karkas mempengaruhi komposisi PENDAHULUAN Semakin meningkatnya daya beli masyarakat dan berkembangnya industri perhotelan, restoran dan usaha waralaba merupakan kekuatan yang mendorong meningkatnya permintaan produk peternakan, khususnya

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Sapi Pasundan Sapi Pasundan sebagai sapi lokal Jawa Barat sering disebut sebagai sapi kacang. Istilah sapi kacang merupakan predikat atas karakter kuantitatif yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan peternakan di Indonesia lebih ditujukan guna

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan peternakan di Indonesia lebih ditujukan guna PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan peternakan di Indonesia lebih ditujukan guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan peternak serta mampu meningkatkan gizi masyarakat. Pengelolaan usaha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organisasi Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama dalam suatu pembagian kerja untuk mencapai tujuan bersama (Moekijat, 1990). Fungsi struktur

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Pulau Sumba terletak di Barat-Daya Propinsi NTT, berjarak sekitar 96 km

PEMBAHASAN. Pulau Sumba terletak di Barat-Daya Propinsi NTT, berjarak sekitar 96 km 23 IV PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1 Kondisi Geografis Pulau Sumba terletak di Barat-Daya Propinsi NTT, berjarak sekitar 96 km di sebelah selatan Pulau Flores, 295 km di sebelah Barat-Daya

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2011. Pemeliharaan domba dilakukan di kandang percobaan Laboratorium Ternak Ruminansia Kecil sedangkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian Suhu dan Kelembaban HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Suhu dalam kandang saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,9-30,2 o C. Pagi 26,9 o C, siang 30,2 o C, dan sore 29,5 o C. Kelembaban

Lebih terperinci

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman IV. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan HPT Jenis, produksi dan mutu hasil suatu tumbuhan yang dapat hidup di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: Iklim Tanah Spesies Pengelolaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali merupakan salah satu ternak asli dari Indonesia. Sapi bali adalah bangsa sapi yang dominan dikembangkan di bagian Timur Indonesia dan beberapa provinsi di Indonesia

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging,

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging, I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Ras Pedaging Menurut Indro (2004), ayam ras pedaging merupakan hasil rekayasa genetik dihasilkan dengan cara menyilangkan sanak saudara. Kebanyakan induknya diambil dari Amerika

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Arka IB Kualitas Daging Sapi Bali. Bali September. Prosiding Sapi Bali; Bali. hal A-108.

DAFTAR PUSTAKA. Arka IB Kualitas Daging Sapi Bali. Bali September. Prosiding Sapi Bali; Bali. hal A-108. 61 DAFTAR PUSTAKA Amril AM, Rasjid S, Hasan. 1990. Rumput lapangan dan jerami padi amoniasi urea sebagai sumber hijauan dalam penggemukan sapi Bali jantan dengan makanan penguat. Prosiding Seminar Sapi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kota Kendari dengan Ibukotanya Kendari yang sekaligus Ibukota Propinsi

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kota Kendari dengan Ibukotanya Kendari yang sekaligus Ibukota Propinsi 70 V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Letak Geografis Kota Kendari dengan Ibukotanya Kendari yang sekaligus Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, secara geografis terletak dibagian selatan garis katulistiwa

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS KARKAS DAN MUTU DAGING SAPI BALI DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR ANDY YUMINA NINU

PRODUKTIVITAS KARKAS DAN MUTU DAGING SAPI BALI DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR ANDY YUMINA NINU PRODUKTIVITAS KARKAS DAN MUTU DAGING SAPI BALI DI TIMOR BARAT NUSA TENGGARA TIMUR ANDY YUMINA NINU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan komoditas ternak, khususnya daging. Fenomena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Pertumbuhan Ternak

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Pertumbuhan Ternak TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Sapi Brahman berasal dari India yang merupakan keturunan dari sapi Zebu (Bos Indicus). Sapi Brahman Cross merupakan sapi hasil persilangan antara sapi Brahman (Bos Indicus)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawa dengan kambing Kacang. Kambing ini memiliki komposisi darah kambing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gizi menuntut dikembangkannya berbagai industri pangan. Salah satu sektor yang turut berperan penting dalam ketersediaan bahan pangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan dengan lama pemeliharaan 6 minggu dan masa adaptasi 3 minggu. Penelitian ini dimulai pada akhir bulan Februari

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

Gambar 2. (a) Kandang Individu (b) Ternak Domba

Gambar 2. (a) Kandang Individu (b) Ternak Domba HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Tempat yang digunakan untuk penelitian berada di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil dan Laboratorium IPT Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur 25 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten Sumba Timur terletak di antara 119 45 120 52 Bujur

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun

Lebih terperinci

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c (THE QUALITY OF WAGYU BEEF AND BALI CATTLE BEEF DURING THE FROZEN STORAGE AT - 19 O C) Thea Sarassati 1, Kadek Karang Agustina

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Otot Menjadi Daging Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LUDY K. KRISTIANTO, MASTUR dan RINA SINTAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian ABSTRAK Kerbau bagi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan strategis untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi ternak sapi di suatu wilayah perlu diketahui untuk menjaga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU Ternak mempunyai arti yang cukup penting dalam aspek pangan dan ekonomi masyarakat Indonesia. Dalam aspek pangan, daging sapi dan kerbau ditujukan terutama untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan adalah faktor manajemen lingkungan. Suhu dan kelembaban yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah

PENDAHULUAN. Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah menghasilkan karkas dengan bobot yang tinggi (kuantitas), kualitas karkas yang bagus dan daging yang

Lebih terperinci

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK PENDEKATAN ANALISIS SWOT DALAM MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI BALI PROGRAM BANTUAN SAPI BIBIT PADA TOPOGRAFI YANG BERBEDA DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN NTT Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan,

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pameungpeuk merupakan salah satu daerah yang berada di bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, secara

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

V. DESKRIPSI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 61 V. DESKRIPSI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 5.1. Keadaaan Geografis dan Administrasi Daerah Provinsi NTT terletak antara 8 0-12 0 Lintang Selatan dan 118 0-125 0 Bujur Timur. Luas wilayah daratan 48 718.10

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia

TINJAUAN PUSTAKA. manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis jenis hewan ternak yang dipelihara manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia lainnya.

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun dan meliputi wilayah yang luas. Secara garis besar Iklim dapat terbentuk karena adanya: a. Rotasi dan revolusi

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Indonesia masih sangat jarang. Secara umum, ada beberapa rumpun domba yang

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Indonesia masih sangat jarang. Secara umum, ada beberapa rumpun domba yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Rumpun Domba Rumpun adalah segolongan hewan dari suatu jenis yang mempunyai bentuk dan sifat keturunan yang sama. Jenis domba di Indonesia biasanya diarahkan sebagai domba pedaging

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA DEWA JARA

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA DEWA JARA BAB IV GAMBARAN UMUM DESA DEWA JARA 4.1. Letak Geografis Sumba Tengah Pulau Sumba terletak di barat-daya propinsi Nusa Tenggara Timur-NTT sekitar 96 km disebelah selatan Pulau Flores, 295 km disebelah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan protein hewani mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi bagi kesehatan. Salah satu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross 3 TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Sapi Brahman adalah sapi yang berasal dari India yang merupakan keturunan dari sapi Zebu (Bos Indicus). Bangsa sapi Brahman merupakan sapi hasil persilangan dari tiga

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh Puyuh yang digunakan dalam penilitian ini adalah Coturnix-coturnix japonica betina periode bertelur. Konsumsi pakan per hari, bobot

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Pusat Pembibitan dan Penggemukan Ternak Wonggahu pada tahun 2002 dikelola oleh Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tatap muka ke 7 POKOK BAHASAN : PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui program pemberian pakan pada penggemukan sapi dan cara pemberian pakan agar diperoleh tingkat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN AgroinovasI FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN Usaha penggemukan sapi potong semakin menarik perhatian masyarakat karena begitu besarnya pasar tersedia untuk komoditas ini. Namun demikian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan di kandang Lapangan Percobaan, Blok B Ruminansia Kecil, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ternak domba

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Lokasi ini berada sekitar 10 km dari ibukota Kabupaten Jeneponto,

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan Secara umum kinerja produksi ternak sapi dan kerbau di berbagai daerah relatif masih rendah. Potensi ternak sapi dan kerbau lokal masih dapat ditingkatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Wonosobo merupakan domba hasil persilangan antara domba Texel yang didatangkan pada tahun 1957 dengan Domba Ekor Tipis dan atau Domba Ekor Gemuk yang secara

Lebih terperinci

PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT MELALUI PENINGKATAN PRODUKTIFITAS TERNAK SAPI POTONG DI KELURAHAN MERDEKA KECAMATAN KUPANG TIMUR KABUPATEN KUPANG

PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT MELALUI PENINGKATAN PRODUKTIFITAS TERNAK SAPI POTONG DI KELURAHAN MERDEKA KECAMATAN KUPANG TIMUR KABUPATEN KUPANG PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT MELALUI PENINGKATAN PRODUKTIFITAS TERNAK SAPI POTONG DI KELURAHAN MERDEKA KECAMATAN KUPANG TIMUR KABUPATEN KUPANG Ferdinan S. Suek, Melkianus D. S. Randu Program Studi Produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karkas domba Lokal Sumatera (Tabel 9) mempunyai koefisien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karkas domba Lokal Sumatera (Tabel 9) mempunyai koefisien HASIL DAN PEMBAHASAN Tumbuh-Kembang Karkas dan Komponennya Karkas domba Lokal Sumatera (Tabel 9) mempunyai koefisien pertumbuhan relatif (b) terhadap bobot tubuh kosong yang nyata lebih tinggi (1,1782)

Lebih terperinci

d. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali (Jateng)

d. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali (Jateng) BAB II DISKRIPSI DAERAH 2.1 Letak Geografi Kabupaten Klaten termasuk daerah di Propinsi Jawa Tengah dan merupakan daerah perbatasan antara Propinsi Jawa Tengah dengan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Domba Priangan Domba adalah salah satu hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau.

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau. Budidaya dan Pakan Ayam Buras Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau. PENDAHULUAN Ayam kampung atau ayam bukan ras (BURAS) sudah banyak dipelihara masyarakat khususnya masyarakat

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Satelit dan Denah Desa Tegalwaru Kecamatan Ciampea (http://maps.google.com, 5 Agustus 2011)

Gambar 3. Peta Satelit dan Denah Desa Tegalwaru Kecamatan Ciampea (http://maps.google.com, 5 Agustus 2011) HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Geografis Wilayah Kabupaten Bogor merupakan wilayah dari Propinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Propinsi Banten dan bagian dari wilayah Jabotabek. Secara geografis,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infrastruktur Infrastruktur merujuk pada system phisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik yang lain yang dibutuhkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat menguntungkan peternak di samping cara pemeliharaannya yang mudah dan sifatnya

Lebih terperinci

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI H. AKHYAR Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Batang Hari PENDAHULUAN Kabupaten Batang Hari dengan penduduk 226.383 jiwa (2008) dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya TINJAUAN PUSTAKA Gaduhan Sapi Potong Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya dilakukan pada peternakan rakyat. Hal ini terjadi berkaitan dengan keinginan rakyat untuk memelihara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

DAMPAK PEMELIHARAAN TERNAK DI KAWASAN PANTAI UTARA KABUPATEN TTU TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

DAMPAK PEMELIHARAAN TERNAK DI KAWASAN PANTAI UTARA KABUPATEN TTU TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT DAMPAK PEMELIHARAAN TERNAK DI KAWASAN PANTAI UTARA KABUPATEN TTU TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT Medo Kote dan Sophia Ratnawaty Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara

Lebih terperinci

lagomorpha. Ordo ini dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis

lagomorpha. Ordo ini dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah kelinci Menurut Kartadisatra (2011) kelinci merupakan hewan mamalia dari family Leporidae yang dapat ditemukan di banyak bagian permukaan bumi. Dulunya, hewan ini adalah

Lebih terperinci

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II K-13 Geografi K e l a s XI POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami batas wilayah. 2. Memahami laut dangkal,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Sapi Bali Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan sapi Bali asli Indonesia yang diduga sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin bahwa

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci