2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Pelagis Kecil

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Pelagis Kecil"

Transkripsi

1 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Pelagis Kecil Ikan pelagis kecil adalah kelompok besar ikan yang membentuk schooling di dalam kehidupannya dan mempunyai sifat berenang bebas dengan melakukan migrasi secara vertikal maupun horizontal mendekati permukaan dengan ukuran tubuh relatif kecil (Widodo et al. 1994; Fréon et al. 2005). Beberapa contoh ikan pelagis kecil antara lain layang (Decapterus spp), kembung (Rastrelliger sp), siro (Amblygaster sirm), selar (Selaroides sp), tembang (Sardinella fimbriata), dan teri (Stolephorus spp) (Gafa et al. 1993; Widodo et al.1994 ; Pet-Soede et al. 1999) (Gambar 3). Kelompok ikan pelagis kecil umumnya bertubuh pipih memanjang dengan warna tuhuh yang relatif terang (Widodo et al. 1994; Fréon et al. 2005) dan melakukan aktivitas keseharian yang sangat bergantung pada kondisi lingkungan (Laevastu dan Hayes 1982; Widodo et al. 1994; Agbesi 2002; Hendiarti et al. 2005; Palomera et al. 2007). Daur hidup ikan pelagis kecil pada umumnya berlangsung seluruhnya di laut, yang dimulai dari telur, kemudian larva, dewasa, memijah dan sampai akhirnya mati. Larva dan juvenil ikan pelagis kecil bersifat planktonis, sehingga larva biasanya akan bergerak sesuai dengan arah dan arus. Larva-larva ikan pelagis kecil umumnya berada di perairan dekat pantai. Pada tahap dewasa ikan pelagis kecil sudah memasuki perikanan, dimana telah mencapai ukuran 6 cm dan telah mampu melakukan ruaya sendiri (Widodo et al. 1994; Fréon et al. 2005). Ikan pelagis umumnya senang bergerombol, baik dengan kelompoknya maupun dengan jenis ikan lainnya. Ikan pelagis kecil bersifat fototaksis positif (tertarik pada cahaya) dan tertarik benda-benda yang terapung. Ikan pelagis kecil cenderung bergerombol berdasarkan kelompok ukuran. Kebiasaan makan ikan pelagis umumnya waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam dan termasuk pemakan plankton, baik plankton nabati maupun plankton hewani. Ikan pelagis kecil merupakan elemen yang penting dalam ekosistem laut karena biomassa yang signifikan pada level menengah dari jaring makanan, sehingga memegang peranan penting menghubungkan tingkatan trofik atas dan bawah dalam struktur trofik (Bakun 1996, Cury et al. 2000; Fréon et al. 2005; Palomera et al. 2007).

2 13 Ikan pelagis kecil dapat ditangkap dengan alat tangkap yang dilingkarkan, pancing, dan yang menghadang arah renang ikan (Subani dan Barus 1988; Zarohman et al. 1996). Dari hasil penelitian ikan pelagis kecil efektif ditangkap dengan alat tangkap pukat cincin (Amin dan Suwarso 1990; Sadhatomo 1991; Widodo et al. 1994; Hariati 2006). Penangkapan ikan pelagis di perairan Selat Makassar dan Laut Flores dapat dilakukan sepanjang tahun, namun puncak musim penangkapan terjadi dua kali yaitu pada bulan November dan Februari. Berdasarkan CPUE sebagai patokan kelimpahan relatif stok ikan, ikan pelagis melimpah selama 6 bulan dari November sampai April, sedangkan 6 bulan lainnya kelimpahan stok relatif rendah dengan titik terendah pada bulan Juli. Puncak musim ikan pelagis kecil pada bulan Maret dengan musim penangkapan yang baik berlangsung bulan Januari hingga Maret dan paceklik terjadi pada bulan Juni (Gafa et al. 1993). Ikan terbang di perairan pantai barat Sulawesi Selatan terdapat pada dua lokasi yang berbeda musim, yaitu pada saat musim timur di perairan Kabupaten Takalar dan Barru, sedangkan peralihan musim timur ke barat di perairan Kabupaten Pinrang, Polmas dan Majene (Yahya et al. 2001). Ikan layang musim puncak penangkapan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan cenderung terjadi pada bulan yang sama, yaitu Agustus hingga November. Musim biasa pada bulan Februari sampai Agustus, sedangkan di perairan Majene terjadi pada bulan November hingga bulan April. Musim paceklik pada bulan November sampai Maret, sedangkan di perairan Majene pada bulan Mei hingga Juli (Najamuddin 2004).

3 14 Kembung perempuan (Rasstrelliger branchysoma) Short-bodieed mackerel Selar kuninng (Selaroides leptolepis) l Yellowstripped trevally Lemuru (Saardinella lemuruu) Indonesian oil sardine Kembung lelaaki, banyar (Rasstrelligerkanag gurta) Striped mackeerel Tembang (Saardinella fimbriiata) Frimgescale sardine Layang, bengggol (Decapteruus ruselli) Scad mackerel Siro (Amblyggaster sirm) Spotted sarddinella Bentong (Seelar crumenophhthalmus) Big eyes scaad Malalugis (D Decapteruskurrroides) Round scadd Ikan I terbang (C Cypselurus oxyccephalus) Bony B flyingfishh p keciil. Gambar 3 Beberapaa jenis ikan pelagis Sumber : - Widodo ett al. (1994) ww.fishbase..org/photos//picturessum mmary.phpp?startrow= =1&I D=1034& &what=speccies&totreec=3 (gambaar ikan terbaang).

4 Produksi Ikan Pelagis Kecil Hasil survei MCMA (Marine Coastal Management Area) di pantai barat Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan produksi ikan pelagis selama tahun , menunjukkan peningkatan setiap tahun. Produksi pada tahun 1993 mencapai ton dengan rata-rata kenaikan sebesar 4,1% dalam kurun waktu 10 tahun. (Sudrajat et al. 1995). Hasil kajian stok ikan di perairan Indonesia pada tahun 1998 di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Selat Makassar dan Laut Flores menyimpulkan stok ikan pelagis kecil terdiri dari layang (16,6%), selar (13,6%), belanak (2,8%), tembang (15,1%), dan kembung (29,0%, dengan potensi sebesar ton/tahun dan tingkat pemanfaatan sebesar 54,05% (Merta et al. 1998). Hasil pengkajian stok ikan tahun 2001 di perairan Indonesia, estimasi potensi, produksi, dan tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil di WPP Selat Makassar dan Laut Flores telah mengalami pemanfaatan sebesar 55,06% (Tabel 1). Hasil kajian terakhir menyimpulkan bahwa status tingkat eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di WPP Selat Makassar dan Laut Flores adalah moderate (Nurhakim et al. 2007) (Tabel 2). Status moderate adalah pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil tetap dapat ditingkatkan namun perlu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian sesuai dengan kemampuan produksi ikan pelagis kecil. Membandingkan data pada Tabel 1 dan Tabel 2 untuk jenis ikan pelagis kecil dapat dikatakan bahwa untuk kurun waktu 6 tahun tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di WPP Selat Makassar-Laut Flores tidak terdapat perubahan yang signifikan, jika diasumsikan bahwa tingkat pemanfaatan sebesar 50% adalah kategori stok moderate sesuai kategori stok tahun Hasil kajian stok sumberdaya ikan mengindikasikan ikan pelagis kecil memiliki potensi dan produksi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan lainnya di perairan Selat Makassar dan Laut Flores. Tetapi tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil lebih relatif rendah dibandingkan sumberdaya ikan lainnya. Jika merujuk pada data tingkat pemanfaatan, maka peluang untuk mengembangkan penangkapan ikan pelagis kecil masih terbuka atau masih dapat ditingkatkan untuk perairan Selat Makassar dan Laut Flores, namun tetap harus dilakukan dengan pendekatan ekologi dan biologi agar pemanfaatan dilakukan sesuai dengan kemampuan produksi ikan pelagis kecil.

5 Tabel 1 Kelompok Sumber Daya Ikan Pelagis Besar Potensi (10 3 ton/tahun) Estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Wilayah Pengelolaan Perikanan Perairan Indonesia 27,67 66,08 55,00 193,60 104,12 106,51 175,26 50,86 386, ,36 JTB 22,14 52,86 44,00 154,88 83,30 85,21 140,21 40,69 293,01 916,30 Produksi (10 3 ton/tahun) 35,27 35,16 137,82 85,10 29,10 37,46 153,43 34,55 188,28 736,17 Pemanfaatan (%) >100 53,21 >100 43,96 27,95 35,17 87,54 67,93 48,74 63,17 Ikan Pelagis Kecil Potensi (10 3 ton/tahun) 147,30 621,50 340,00 605,44 132,00 379,44 384,75 468,66 526, ,66 JTB 117,84 497,20 272,00 484,35 105,60 303,55 307,80 374,93 421, ,53 Produksi (10 3 ton/tahun) 132,70 205,53 507,53 333,35 146,47 119,43 62,45 12,31 264, ,33 Pemanfaatan (%) 90,15 33,07 >100 55,06 >100 31,48 16,23 2,63 50,21 49,49 Ikan Demersal Potensi (10 3 ton/tahun) 82,40 334,80 375,20 87,20 9,32 83,84 54,86 202,34 135, ,09 JTB 65,92 267,84 300,16 69,76 7,46 71,07 43,89 161,87 108, ,07 Produksi (10 3 ton/tahun) 146,23 54,69 334,92 167,38 43,20 32,14 15,31 156,80 134, ,50 Pemanfaatan (%) >100 16,34 89,26 >100 >100 38,33 27,91 77,49 99,78 79,52 Ikan Karang Konsumsi Potensi (10 3 ton/tahun) 5,00 21,57 9,50 34,10 32,10 12,50 14,50 3,10 12,88 145,25 JTB 4,00 17,26 7,60 27,28 25,68 10,00 11,60 2,48 10,30 116,20 Produksi (10 3 ton/tahun) 21,60 7,88 48,24 24,11 6,22 4,63 2,21 22,58 19,42 156,89 Pemanfaatan (%) > > >100 >100 >100 Sumber: DKP-LIPI (2001) Keterangan: 1= Selat Malaka, 2= Laut Cina Selatan, 3= Laut Jawa, 4= Selat Makassar dan Laut Flores, 5= Laut Banda, 6= Laut Seram dan Teluk Tomini, 7= Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, 8= Laut Arafura, dan 9= Samudera Hindia, JTB = Jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Tabel 2 Status stok perikanan di perairan Indonesia berdasarkan wilayah pengelolaan perikanan Status Stok Wilayah Pengelolaan Demersal Udang Pelagis kecil Pelagis besar Selat Malaka O O F UN Laut Cina Selatan F M O UN Laut Jawa F F O UN Laut Flores-Selat Makassar F O M UN Laut Banda U/UN UN M M Laut Arafura O O M UN Teluk Tomini-Laut Maluku M M - F Samudera Pasifik-Laut Sulawesi UN - UN O Samudera Hindia A (barat Sumatera) F F M F Samudera Hindia B (selatan Jawa-Nusa Tenggara) F F F F Sumber: Nurhakim et al Keterangan: U = under exploited; M = moderate; F = fully exploited; O = Over Fishing; UN = Uncertain 16

6 Ketersediaan Makanan Makanan yang pertama kali datang dari luar untuk semua ikan dalam mengawali hidupnya umumnya adalah plankton yang bersel tunggal dan berukuran kecil. Jika untuk pertama kali ikan dapat menemukan makanan tepat dengan ukuran mulutnya, diperkirakan akan dapat meneruskan hidupnya, sebaliknya dalam waktu yang relatif singkat ikan tidak dapat menemukan makanan yang cocok dengan ukuran mulutnya akan terjadi kelaparan dan kehabisan tenaga yang mengakibatkan kematian (Effendie 1997). Kebiasaan makan ikan pelagis umumnya waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam. Kebanyakan ikan pelagis termasuk pemakan plankton, baik plankton nabati maupun plankton hewani (Widodo et al. 1994; Fréon et al. 2005). Komposisi makanan pada ikan layang (Decapterus spp) adalah copepoda (39%), crustacea lainnya (31%), organisme lainnya (30%). Makanan ikan kembung (Rastrelliger sp) terdiri atas diatomae (31%), organisme lainnya (9%), jasad tidak teridentifikasi (60%). Makanan ikan lemuru (Sardinella lemuru) terdiri atas copepoda (90%), zooplankton lainnya (3%), dan diatomae (7%). Makanan ikan tembang (Sardinella fimbriata) terdiri atas phytoplankton (17%), copepoda (47%), crustacea lainnya (17%), dan organisme lainnya (19%). Kebiasaan makan ikan tersebut menyebabkan ikan pelagis kecil berkumpul atau terkonsentrasi di perairan yang memiliki produktivitas primer tinggi atau kandungan nutrien tinggi (Laevastu dan Hayes 1981; Longhurst dan Pauly 1987; Mann dan Lazier 1991; Cury et al. 2000; Yahya et al. 2001; Fréon et al. 2005; Almuas dan Indra Jaya 2006; Suwarso dan Hariati 2003; Najamuddin 2004; Palomera et al. 2007). Ketersediaan makanan akan menentukan distribusi ikan dan selanjutnya akan mempengaruhi pertumbuhan ikan. Lokasi dan waktu kelimpahan makanan dan sumberdaya ikan tidak selalu bersamaan. Misalnya, ikan herring tidak selalu ditemukan di kawasan melimpah zooplankton tetapi juga terdapat di kawasan dengan konsentrasi zooplankton yang sedikit (Laevastu dan Hayes 1981). Dengan demikian ikan pelagis kecil dalam aliran trofik di kendalikan oleh zooplankton dan dalam ekosistem laut ikan pelagis kecil merupakan makanan untuk tingkatan tropik yang lebih tinggi, seperti ikan pelagis

7 18 besar, mamalia laut dan burung laut (Grahame 1987; Cury et al. 2000; Smith dan link 2005). Dalam rantai makanan, fitoplankton dimangsa oleh hewan herbivora. Produsen sekunder ini umumnya merupakan zooplankton kemudian dimangsa pula oleh hewan karnivora yang lebih besar, demikian seterusnya. Jadi jelas bahwa fitoplankton adalah pangkal rantai makanan yang mendukung kehidupan seluruh biota laut (Jones 1982; Grahame 1987; Smith dan Link 2005). Ketersediaan makanan untuk sumberdaya ikan akan mempengaruhi daya dukung sumberdaya ikan pada suatu perairan dan keadaan ini berbeda pada setiap wilayah lautan, karena ketersediaan makanan dalam rantai makanan ditentukan seberapa besar produktivitas primer di setiap wilayah laut. Produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Jadi produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesa (Nybakken 1992). Tumbuhan merupakan produser primer yang menunjang kehidupan di laut. Tumbuhan laut dapat digolongkan bentos dan fitoplankton. Bentos hanya terdapat di pesisir pantai, sedangkan fitoplankton berada di lautan, sehingga fitoplankton memegang peranan penting dalam sistim energi di laut. Produktivitas primer yang tinggi umumnya terdapat di perairan dangkal, karena produktivitas primer di laut ditentukan oleh cahaya, nutrien dan suhu (Nontji et al. 1982; Grahame 1987). Dalam perikanan, plankton memegang peranan penting dalan rantai makanan, sehingga ketersediaan plankton dalam suatu perairan akan berpengaruh dalam sistem trofik dimana ikan merupakan bagian dalam tingkatan trofik (Nybakken 1992). Klorofil plankton dapat digunakan sebagai indikator produktivitas dan juga dapat digunakan sebagai ukuran biomassa fitoplankton pada suatu perairan (Nontji et al. 1982). 2.4 Aliran Massa Air Selat Makassar Perairan Indonesia dipengaruhi oleh angin munson yang berhubungan dengan perbedaan tekanan udara di antara benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember Februari umumnya dikenal musim angin barat atau musim barat, sedangkan musim angin timur atau musim timur terjadi pada bulan Juni Agustus. Pergerakan angin pada kedua musim ini, yaitu pada musim timur angin bertiup

8 19 dari Australia ke Asia dan pada musim barat terjadi sebaliknya. Pola ini berpengaruh terhadap aliran massa air permukaan di lautan, dimana pada musim barat massa air mengalir dari arah barat Indonesia menuju ke timur dan didominasi aliran massa air dari perairan Samudra Hindia. Pada musim timur arus permukaan mengalir dari belahan timur Indonesia menuju ke arah barat, dimana aliran massa air didominasi massa air dari Samudra Pasifik (Birowo 1982). Selat Makassar merupakan bagian dari sistem aliran massa air yang melintas di Indonesia dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia, dimana massa air utama bergerak dari utara ke selatan. Arus lintas ini disebut dengan arus lintas Indonesia (Arlindo); massa air Samudera Pasifik yang masuk ke Selat Makassar adalah aliran massa air dari Pasifik Utara yang disebut dengan North Pasicif Subtropical Water (NPSW) dengan kecepatan yang terkuat pada saat angin munson berasal dari tenggara. Arlindo yang melewati Selat Makassar berada pada kedalaman rata-rata > 150 m, dengan demikian pada lapisan permukaan massa air dipengaruhi angin munson (Hasanuddin 1998; Gordon 2005). Kecepatan transport massa air Arlindo dari Pasifik utara yang melewati Selat Makassar lebih tinggi dibandingkan massa air Arlindo yang lewat Laut Banda. Kecepatan massa air Arlindo yang melewati Selat Makassar, khususnya pada posisi S atau Labani channel yang dapat mencapai kecepatan 8Sv (1sv= 10 6 m 3 /sec) pada kedalaman 680 m (Gordon 2005) (Gambar 4). Labani channel berdasarkan posisi geografi berada pada wilayah Kabupaten Mamuju atau perairan sebelah utara Provinsi Sulawesi Selatan yang saat ini telah menjadi wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Barat. Perairan pantai di bagian selatan Sulawesi Selatan cenderung dipengaruhi angin monsun, dimana pada saat monsun barat lapisan permukaan Selat Makassar bagian selatan dipengaruhi massa air yang berasal dari Laut Jawa, sedangkan pada saat musim timur lapisan permukaan Selat Makassar di bagian selatan dipengaruhi massa air yang berasal dari Laut Banda. Selain itu pada perairan dalam Indonesia atau perairan kontinental bersifat monsun, sehingga pada setiap pergantian monsun perairan kontinental yang saling berhubungan juga akan mengalami perubahan kondisi oseanografi (Gordon 2005). Arus musim barat pada bulan Desember sampai Februari, massa air dari Laut Cina Selatan mengalir sepanjang

9 20 Laut Jawa menuju Laut Banda akan tenggelam (downwelling) di sekitar Laut Flores menuju Samudera Hindia (Nontji 1997). Sebaliknya pada musim barat massa air dari Laut Banda menuju Laut Jawa akan naik (upwelling) di sekitar Laut Flores, menyebabkan suhu permukaan laut lebih dingin dibandingkan musim barat. Demikian juga salinitas dan klorofil menjadi lebih tinggi dibandingkan musim barat (Nontji 1997; Gordon 2005) (Gambar 5). Pada musim barat, bulan Januari-Maret, aliran massa air yang berasal dari Laut Jawa dengan salinitas rendah masuk ke bagian selatan Selat Makassar. Pada musim timur, bulan Juli- September, permukaan Selat Makassar bagian selatan bersalinitas tinggi yang berasal dari aliran massa air Laut Banda (Masumoto dan Yamagata 1993; Gordon al 2003). Keterangan: Nilai yang tercetak tebal adalah kecepatan transport dalam satuan Sv=Svedrup (1Sv= 10 6 m 3 /sec). Gambar 4 Aliran massa air Arlindo (Gordon 2005).

10 21 Gambar 5 Perubahan kondisi oseanografi pada lapisan permukaan di perairan Indonesia akibat pengaruh munson (Gordon 2005). 2.5 Ikan Pelagis Kecil Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi Keberadaan ikan pada suatu perairan daerah tropis berhubungan dengan variasi musiman dari lingkungan laut. Pengaruh variasi musiman panjang siang hari dan suhu perairan daerah tropis tidak terlalu berpengaruh dibandingkan daerah temperate. Pada daerah tropis variasi musiman angin dan curah hujan yang lebih berpengaruh terhadap ekosistim laut, dimana variasi musiman akan mempengaruhi ketersediaan jumlah dan jenis makanan yang berdampak langsung terhadap keberadaan ikan di ekosistim laut tropis (Lowe dan McConnel 1987). Ikan pelagis kecil biasanya ditemukan dalam jumlah yang cukup melimpah di daerah tropik dan cenderung melakukan migrasi diurnal dimana terdapat jenis

11 22 ikan yang hanya dapat menyebar pada daerah yang sempit, kisaran suhu dan salinitas relatif kecil, dan sangat dibatasi oleh termoklin. Namun demikian ada juga jenis ikan yang memiliki sebaran yang cukup luas dan memiliki kemampuan migrasi yang tinggi, seperti beberapa jenis Scombridae (Longhurst dan Pauly 1987). Nybakken (1992) menyebutkan bahwa respons hewan laut terhadap lingkungan terjadi karena setiap spesies mempunyai kebutuhan minimum terhadap berbagai variabel lingkungan. Apabila konsentrasi unsur-unsur hara yang dibutuhkan, misalnya nitrat, jumlahnya di bawah kebutuhan minimum spesies, maka spesies-spesies tersebut akan menghilang. Lebih penting lagi, jika salah satu faktor lingkungan, misalnya suhu melewati batas toleransi kebutuhan spesies atau salah satu jumlah unsur menurun sampai di bawah kebutuhan minimum spesies, maka spesies tersebut akan tersingkirkan. Hal ini dapat terjadi walaupun semua faktor lingkungan dan unsur yang lain memenuhi syarat, yang dikenal sebagai hukum minimum (Odum 1994). Berbagai proses dimana perubahan lingkungan mempengaruhi populasi ikan dapat terjadi dengan berbagai mekanisme dalam suatu perairan, misalnya upwelling. Dengan demikian diperlukan pertimbangan terhadap berbagai faktor yang berpengaruh dalam suatu mekanisme yang terjadi dalam suatu perairan. Mengingat pengumpulan data yang cukup untuk menjelaskan semua variabel yang berpengaruh terhadap populasi ikan, sering sulit dilakukan pengamatan sehingga perlu difokuskan pada sejumlah variabel utama. Variabel utama untuk mengidentifikasi hubungan kondisi lingkungan dengan perubahan populasi ikan adalah yang berdampak langsung, misalnya ketersediaan makanan, suhu, salinitas, dan oksigen terlarut (Bakun 1984). Pengaruh perubahan lingkungan harian berdampak terhadap tingkah laku, distribusi, dan peluang tertangkapnya ikan, sedangkan perubahan lingkungan musiman berpengaruh terhadap mortalitas dan pertumbuhan ikan-ikan muda yang berkaitan dengan ketersediaan makanan (Lowe dan McConnel 1987; Mann 1993; Kawasaki 1991; Fréon et al. 2005). Perubahan distribusi ikan hasil tangkapan komersil berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan, dimana ketersediaan ikan pada suatu perairan merupakan akibat dari pemilihan habitat yang sesuai dengan aktivitas. Pemilihan habitat yang sesuai merupakan kemampuan beradaptasi terhadap berbagai perubahan lingkungan laut,

12 23 baik abiotik maupun biotik (Rodriguez-Sanchez et al. 2001; Jury 2005; Claireaux dan Christel 2007; Hannesson 2007). Musim penangkapan ikan di bagian selatan perairan pantai barat Sulawesi Selatan kemungkinan berkaitan dengan upwelling. Hasil citra satelit Sea-WIFS pada bulan Juli dan Agustus menunjukkan adanya upwelling di perairan sekitar Kabupaten Takalar. Hasil tangkapan pukat cincin di perairan Barru baik pada kuartal II (April-Juni) dan kuartal III (Juli-September) menunjukkan hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan daerah penangkapan lainnya. Faktor oseanografi yang diduga berpengaruh terhadap musim penangkapan ikan pada bulan Mei di perairan kabupaten Barru adalah salinitas dan klorofil-a, sedangkan pada bulan Agustus adalah klorofil-a (Basuki 2002). Daerah potensi penangkapan ikan pelagis kecil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan berdasarkan suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a berturut-turut adalah: selama Musim Peralihan II (musim timur ke barat) berada pada koordinat LS dan BT,dengan kisaran suhu permukaan laut pada 24,3 0-27,2 0 C dan klorofil-a pada kisaran 0,5-1,0 mg/m 3. Selama Musim Barat pada koordinat LS dan BT dengan kisaran suhu permukaan laut 26,7 28,2 C dan kisaran klorofil pada 1,0-3,0 mg/m 3. Selama Musim Peralihan I (musim barat ke timur) berada pada koordinat LS dan BT, dengan suhu permukaan laut pada kisaran 27,0 0-28,6 0 C dan klorofil-a pada kisaran 0,1-2,0 mg/m 3. Selama Musim Timur berada pada koordinat LS dan BT. Dengan suhu permukaan laut berada pada kisaran 26,5 0-28,6 0 C dan klorofil-a pada kisaran 0,2-3,0 mg/m 3. Dengan demikian daerah potensi penangkapan ikan pelagis kecil cenderung bergeser dari musim ke musim dan terbatas di perairan pesisir pantai (Halid et al. 2004). Musim penangkapan ikan layang di Selat Makassar, perairan pantai barat Sulawesi Selatan cenderung pada periode bulan yang sama saat musim puncak, sedangkan musim biasa dan paceklik, bervariasi pada wilayah perairan yang berbeda. Musim puncak penangkapan pada bulan Agustus sampai November. Musim biasa di perairan Kabupaten Mamuju pada bulan Maret-Agustus, di

13 24 perairan Kabupaten Majene pada bulan November sampai April, di perairan Kabupaten Barru pada bulan Februari sampai Agustus, dan di perairan Kota Makassar pada bulan April sampai Juli. Musim paceklik penangkapan ikan layang di perairan Kabupaten Mamuju pada bulan Desember sampai Februari, di perairan Kabupaten Majene pada bulan Mei sampai Juli, di perairan Kabupaten Barru pada bulan November sampai Desember, dan di perairan Kota Makassar pada bulan Januari sampai Maret. Hasil tangkapan terbanyak di perairan pantai barat Sulawesi Selatan pada saat suhu permukaan laut 29 0 C (Najamuddin 2004). Penelitian penangkapan ikan layang hubungannya dengan perubahan kondisi oseanografi pada luasan yang terbatas, yaitu perairan Kabupaten Pangkep yang berada di perairan pantai barat Sulawesi Selatan menunjukkan selain suhu permukaan laut, salinitas dan kedalaman juga mempengaruhi distribusi layang (Anggraini 2008). Berbagai hasil penelitian tentang musim penangkapan ikan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan mengindikasikan adanya pergeseran daerah penangkapan pada setiap musim penangkapan, yang disebabkan adanya perubahan suhu permukaan laut dan klorofil-a. Demikian pula di perairan lainnya juga menunjukkan adanya pergeseran lokasi penangkapan ikan dan jumlah hasil tangkapan yang disebabkan perubahan suhu permukaan laut dan klorofil-a, antara lain Amri (2008) di perairan Selat Sunda; Amri et al. (2006) di perairan Teluk Tomini; Almuas dan Jaya (2006) di perairan Laut Cina Selatan; Hendiarti et al. (2005) di perairan Laut Jawa; Sadhatomo dan Subhat (2000) di perairan Laut Flores; Gaol et al. (2004) di perairan Selat Bali. Kajian hubungan sumberdaya ikan dengan kondisi oseanografi dilakukan untuk memprediksi kelimpahan dan ketersediaan ikan, karena variabel-variabel lingkungan lebih mudah diukur dibandingkan sumberdaya ikan itu sendiri (Laevastu dan Hayes 1982; Bakun 1996; Bakun et al. 1982). 2.6 Dinamika Armada Penangkapan Ikan Armada penangkapan ikan adalah sekumpulan unit penangkapan ikan yang melakukan sejumlah upaya untuk memperoleh sejumlah ikan. Sejumlah ikan atau produksi tangkapan sangat bergantung pada upaya penangkapan dan sediaan ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Untuk memaksimalkan produksi

14 25 tangkapan, nelayan melakukan introduksi dengan mengefisienkan waktu penangkapan dan penggunaan teknologi penangkapan (Purwanto 1990). Introduksi tersebut menyebabkan adanya interaksi antara dinamika populasi ikan dengan dinamika armada penangkapan (Hilborn 1985). Upaya penangkapan merupakan ukuran dari jumlah alat tangkap yang beroperasi untuk mendapat sejumlah hasil tangkapan atau juga merupakan gambaran dari intensitas armada penangkapan ikan yang beroperasi. Dengan kata lain upaya penangkapan ikan adalah waktu dan frekuensi operasi penangkapan yang dikerahkan oleh berbagai unit penangkapan ikan untuk mendapatkan sejumlah sumberdaya ikan. Keadaan ini menunjukkan bahwa alat tangkap adalah suatu kekuatan (fishing power) atau kemampuan untuk menangkap (catchability) sumberdaya ikan, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan kepadatan stok ikan dimana dilakukan kegiatan penangkapan. Dengan demikian upaya penangkapan dalam biologi perikanan merupakan gambaran tentang kelimpahan ikan (Widodo 1986; 2001; Purwanto 1990; Widodo dan Suadi 2006; Maunder et al. 2006; McCluskey dan Rebecca 2008, Cardinale et al. 2009) Efisiensi dalam penangkapan ikan dilakukan nelayan dengan menggunakan berbagai teknologi penangkapan ikan, antara lain memperbesar ukuran perahu atau kapal, menggunakan berbagai alat bantu untuk mendeteksi ikan maupun sebagai atraktor untuk memikat ikan pada areal tangkap dari suatu jenis alat tangkap. Tindakan efisiensi menyebabkan terjadi perubahan upaya penangkapan dari tahun ke tahun dan kompetisi diantara armada penangkapan menyebabkan terjadi perubahan keadaan stok perikanan (Hilborn 1985; Purwanto 1990; Widodo 2001; Rijnsdorp et al. 2000; Branch 2005; Atmaja dan Nugroho 2006). Informasi upaya penangkapan dibutuhkan untuk menginterpretasi perubahan produksi ikan guna menentukan seberapa besar efisiensi penangkapan ikan yang dapat menguntungkan dan mengurangi overfishing (Branch et al. 2006). Karena dampak terhadap perikanan dapat dideterminasi dari dua bagian utama, yaitu upaya penangkapan dan kondisi habitat dimana upaya penangkapan dilakukan, sehingga evaluasi dan monitoring perubahan upaya penangkapan dapat

15 26 menjadi informasi penting untuk tindakan pengelolaan perikanan (McCluskey dan Lewison 2008). Terdapat dua pendekatan yang umum digunakan dalam melakukan evaluasi guna keperluan pengelolaan perikanan, yaitu pendekatan struktural/analitik dan pendekatan global. Pendekatan struktural/analitik, yaitu pendekatan dengan cara mencoba menjelaskan sistem sumberdaya perikanan melalui komponen-komponen yang membentuk sistem tersebut, yaitu penambahan, pertumbuhan dan mortalitas. Pendekatan global adalah pendekatan yang mencoba menjelaskan sistem sumberdaya perikanan tanpa memperhatikan komponen yang membentuknya, melainkan berdasarkan data tangkapan, upaya tangkap, produksi dan nilai produksi (Boer dan Azis 2007). Karakteristik alat tangkap merupakan penentu perbedaan upaya penangkapan, dimana karakteristik tersebut adalah metode atau teknik penangkapan ikan dari setiap alat, misalnya alat tangkap dengan prinsip penangkapan melingkarkan akan berbeda dengan alat tangkap dengan prinsip ditarik, sehingga kekuatan dan kemampuan tersebut akan berbeda terhadap sumberdaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan (Widodo 2001). Terdapat dua pengertian upaya penangkapan berdasarkan satuan pengukurnya, yaitu: 1) upaya penangkapan nominal dan 2) upaya penangkapan efektif. Upaya penangkapan nominal diukur berdasarkan jumlah nominalnya, antara lain jumlah kapal, alat tangkap, maupun trip penangkapan yang distandarkan dengan satuan baku. Upaya penangkapan efektif diukur berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan terhadap kelimpahan sediaan ikan atau laju kematian akibat kegiatan penangkapan (Cunningham et al yang dikutip oleh Purwanto 1990). Interaksi antara alat tangkap dengan sumberdaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan akan mempengaruhi keadaan atau kemampuan produksi sumberdaya ikan itu sendiri (Gambar 6). Kemampuan produksi sumberdaya ikan adalah bagaimana sumberdaya ikan tumbuh dan berkembang untuk menjadi stok perikanan.

16 27 Hasil Tangkapan A B C D Jumlah Upaya Penangkapan Gambar 6 Hubungan antara jumlah upaya penangkapan dan hasil tangkapan dari suatu stok ikan dalam keadaan ekuilibrium (Widodo dan Nurhudah 1995). Peningkatan jumlah upaya penangkapan sebagaimana di Gambar 6 lebih lanjut akan memberikan hasil tangkapan dengan laju peningkatan yang lebih rendah, sehingga kurva hasil tangkapan yang merupakan fungsi dari jumlah upaya penangkapan akan menurun (A ke B) dan pada akhirnya lebih banyak upaya penangkapan akan secara nyata menurunkan hasil tangkapan (C ke D) (Widodo dan Nurhudah 1995). Dalam suatu armada yang relatif homogen upaya penangkapan biasanya diukur sebagai produk dari dua terminologi dan dijumlahkan dari seluruh unit dari armada tersebut. Pada keadaan yang sederhana kekuatan menangkap dari semua kapal mungkin dianggap sama, demikian pula waktu penangkapan untuk mengoperasikan alat tangkap. Oleh sebab itu upaya penangkapan menjadi sama dengan jumlah kapal, CPUE (catch per unit effort) adalah hasil tangkapan kapal per tahun (Widodo dan Suadi 2006). Trend upaya penangkapan merupakan bagian penting yang dapat digunakan untuk mengetahui trend kelimpahan ikan, ketika data kelimpahan ikan tidak tersedia. Demikian juga ketika CPUE menurun merupakan gambaran dari penurunan kepadatan stok. Hal tersebut dari berbagai penelitian menunjukkan hubungan yang linear antara CPUE dengan kepadatan stok (McCluskey dan Lewison 2008).

17 Cara lain yang lebih mudah untuk mengekspresikan hubungan CPUE sebagai fungsi upaya penangkapan (fishing effort) adalah menggunakan model produksi surplus linear Schaefer (Sparre dan Venema 1999), sebagai berikut: Y f a b i, bila i 28 dimana Y f = hasil tangkapan (dalam bobot) per unit upaya pada tahun i, f = upaya penangkapan tahun i i = 1,2,..n Kemiringan b, harus negatif bila hasil tangkapan perunit upaya (Y/f), menurun untuk setiap peningkatan upaya penangkapan, f. Y/f adalah juga sebagai fungsi biomassa dari kemampuan tangkap (Widodo 1986) yang diekspresikan sebagai berikut: Y f q B dimana U Y f maka U f q B f = q B dengan demikian B U q dimana, Y = hasil tangkapan pada stok dalam keadaan ekuilibrium U = CPUE pada saat stok ekuilibriun B = Biomassa dari stok dalam kondisi steady state q = catchability (koefisien kemampuan tangkap) Persamaan model surplus produksi linear di atas menunjukkan ukuran stok yang diekspresikan CPUE yang di pengaruhi catchability. Perubahan catchability dari tahun ke tahun adalah untuk menyesuaikan perubahan teknologi penangkapan ikan, karena catchability berdampak terhadap distribusi dan tingkah laku populasi ikan. Dengan demikian setiap upaya penangkapan menyebabkan perubahan proporsi stok pada suatu perairan dan CPUE berhubungan dengan kelimpahan stok sebagai akibat dari perubahan catchability (Gulland 1983). Mortalitas penangkapan adalah proporsi total stok yang diproduksi oleh suatu unit penangkapan dan merupakan ukuran dari: (1) Area yang dipengaruhi oleh suatu alat tangkap dalam satu unit upaya (2) Proporsi ikan yang pada suatu area yang ditahan alat tangkap.

18 29 (3) Rasio densitas pada lokasi penangkapan terhadap rata-rata densitas di seluruh area yang didiami stok Dengan demikian densitas stok sama dengan hasil tangkapan dari satu unit upaya penangkapan dibagi dengan hasil perkalian ketiga faktor tersebut. Ukuran kelimpahan stok dari mortalitas penangkapan dapat diketahui apabila kemampuan menangkap setiap jenis unit penangkapan ikan juga diketahui, sehingga koreksi atau standarisasi upaya penangkapan atas perubahan yang terjadi dapat dilakukan (Gulland 1983; Widodo 2001a). Standardisasi upaya penangkapan berkaitan dengan mengamati kemampuan penangkapan dari setiap unit, mengukur lama penangkapan, atau jumlah operasi penangkapan.

7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil

7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil 7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Terdapat 3 komponen utama dalam kegiatan penangkapan ikan, yaitu 1) teknologi (sumberdaya manusia dan armada), 2) sumberdaya ikan, 3)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang 8 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan letaknya yang pada bagian selatan berbatasan dengan laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan bervariasi dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Nilai rata-rata

Lebih terperinci

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena 1.1. Latar Belakang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. MacLennan dan Simmonds (1992), menyatakan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus

1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus macarellus) merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang tersebar luas di perairan Indonesia.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

6 HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL DENGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

6 HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL DENGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 6 HUUNGN SUHU PERMUKN LUT DN KLOROFIL DENGN PRODUKSI IKN PELGIS KEIL DI PERIRN PNTI RT SULWESI SELTN 6.1 Pendahuluan lasan utama sebagian spesies ikan berada di suatu perairan disebabkan 3 hal pokok, yaitu:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru 5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru Perairan Kabupaten Barru terletak di pantai barat pulau Sulawesi dan merupakan bagian dari Selat Makassar. Perairan ini merupakan salah satu pintu masuk

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 159-168 ISSN 2087-4871 POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI

Lebih terperinci

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga 29 5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga Kandungan klorofil-a setiap bulannya pada tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Lampiran 3, konsentrasi klorofil-a di perairan berkisar 0,26 sampai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Selat Makassar sebagai wilayah perairan laut yang berada di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, merupakan salah satu wilayah perairan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

HUBUNGAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS UTAMA DI PERAIRAN LAUT JAWA DARI CITRA SATELIT MODIS

HUBUNGAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS UTAMA DI PERAIRAN LAUT JAWA DARI CITRA SATELIT MODIS Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 3. No. 1 November 2012: 1-10 ISSN 2087-4871 HUBUNGAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS UTAMA DI PERAIRAN LAUT

Lebih terperinci

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5.1 Pendahuluan Armada penangkapan yang dioperasikan nelayan terdiri dari berbagai jenis alat tangkap,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, 6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri

Lebih terperinci

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK Indri Ika Widyastuti 1, Supriyatno Widagdo 2, Viv Djanat Prasita 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam amanat Undang-Undang No 31/2004 diberikan tanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan seluruh masyarakat

Lebih terperinci

4 HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

4 HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 4 HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 4.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan kegiatan yang dilakukan dengan tujuan memanfaatkan sumberdaya ikan yang mempunyai

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya 99 6 PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya Faktor kondisi perairan yang menjadi perhatian utama dalam penelitian tentang penentuan ZPPI dan kegiatan penangkapan ikan ini adalah SPL,

Lebih terperinci

Suwarso. Kata kunci: unit stok, Selat Makasar, layang, malalugis, pengelolaan, pelagis kecil

Suwarso. Kata kunci: unit stok, Selat Makasar, layang, malalugis, pengelolaan, pelagis kecil Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Keragaman jenis dan distribusi stok ikan layang (Decapterus spp.) di perairan Selat Makasar: Kajian terkait pengelolaan perikanan pelagis kecil berbasis stok dan habitat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kabupaten Pati 4.1.1 Kondisi geografi Kabupaten Pati dengan pusat pemerintahannya Kota Pati secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH What is a thermocline? A thermocline is the transition layer between warmer mixed water at the ocean's surface and

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

TINGKAT PEMANFAATAN IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN di PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

TINGKAT PEMANFAATAN IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN di PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA www.airaha.org TINGKAT PEMANFAATAN IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN di PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA H TINGKAT PEMANFAATAN IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009 32 6 PEMBAHASAN Penangkapan elver sidat di daerah muara sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat ikan sidat yang aktivitasnya meningkat pada malam hari (nokturnal). Penangkapan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Kota Serang Kota Serang adalah ibukota Provinsi Banten yang berjarak kurang lebih 70 km dari Jakarta. Suhu udara rata-rata di Kota Serang pada tahun 2009

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh.

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh. 1 MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh Wayan Kantun Melimpahnya dan berkurangnya ikan Lemuru di Selat Bali diprediksi

Lebih terperinci

EVALUASI PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

EVALUASI PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN EVALUASI PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN (AN EVALUATION ON SMALL PELAGIC FISH PRODUCTION FROM WESTERN COASTAL WATERS OF SOUTH SULAWESI) Alfa F.P Nelwan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA OLEH : Dr. Kunarso FOKUSED GROUP DISCUSSION CILACAP JUNI 2016 PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Dalam Purwanto

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50/KEPMEN-K P/2017 TENTANG ESTIMASI POTENSI, JUMLAH TANGKAPAN YANG DIPERBOLEHKAN, DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PENGELOLAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)

Lebih terperinci

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT. 3. METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Februari hingga Agustus 2011. Proses penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari dilakukan pengumpulan

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal 73 5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal Secara temporal sebaran suhu permukaan laut (SPL) antara tahun 2008-2010 memperlihatkan adanya

Lebih terperinci

hayati laut pada umumnya (Simbolon et al., 2009), penyebaran organisme di laut serta pengaturannya (Nybakken 1988).

hayati laut pada umumnya (Simbolon et al., 2009), penyebaran organisme di laut serta pengaturannya (Nybakken 1988). 177 10 PEMBAHASAN UMUM Pembahasan umum ini secara keseluruhan membahas rangkuman pembahasan tentang keberlanjutan pembangunan perikanan (sustainable development). Keberlanjutan merupakan pembangunan yang

Lebih terperinci

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha,   ABSTRAK ANALISIS PARAMETER OSEANOGRAFI MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN BERBASIS WEB (Sebaran Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Tinggi Permukaan Laut) Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, e-mail

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Pengamatan Aspek Operasional Penangkapan...di Selat Malaka (Yahya, Mohammad Fadli) PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Mohammad Fadli Yahya Teknisi pada Balai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmiah Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang subur dengan hasil laut yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini berhubungan dengan kehadiran

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat Malaka yang menjadi daerah penangkapan ikan dengan tingkat eksploitasi yang cukup tinggi. Salah satu komoditi

Lebih terperinci

STUDI TENTANG PRODUKTIVITAS BAGAN TANCAP DI PERAIRAN KABUPATEN JENEPONTO SULAWESI SELATAN WARDA SUSANIATI L

STUDI TENTANG PRODUKTIVITAS BAGAN TANCAP DI PERAIRAN KABUPATEN JENEPONTO SULAWESI SELATAN WARDA SUSANIATI L STUDI TENTANG PRODUKTIVITAS BAGAN TANCAP DI PERAIRAN KABUPATEN JENEPONTO SULAWESI SELATAN SKRIPSI WARDA SUSANIATI L 231 7 2 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

Ikan Pelagis Ekonomis Penting dan Karakteristik DPI Demersal

Ikan Pelagis Ekonomis Penting dan Karakteristik DPI Demersal Ikan Pelagis Ekonomis Penting dan Karakteristik DPI Demersal Pertemuan ke 13 Oleh: Ririn Irnawati Pokok Bahasan: 1. Jenis-jenis sumberdaya perikanan pelagis dan demersal 2. Jenis-jenis ikan pelagis dan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 31 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 cahaya Menurut Cayless dan Marsden (1983), iluminasi atau intensitas penerangan adalah nilai pancaran cahaya yang jatuh pada suatu bidang permukaan. cahaya dipengaruhi oleh

Lebih terperinci