ANALISIS PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN SEPTIFITRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN SEPTIFITRI"

Transkripsi

1 ANALISIS PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN SEPTIFITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 ANALISIS PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN SEPTIFITRI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

3 Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup Tanggal 27 Juli 2010: 1. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc 2. Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka Tanggal 28 Desember 2010: 1. Prof (R). Dr. Ir. Asikin Djamali, A. Pu 2. Dr. Ir. Yulistyo, M.Sc

4 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Analisis Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Mei 2010 SEPTIFITRI NRP: C

5 ABSTRACT SEPTIFITRI. Analysis of Capture Fisheries Development in South Sumatera Province. Supervised by DANIEL R. MONINTJA, SUGENG H. WISUDO and SULAEMAN MARTASUGANDA. Marine and fisheries sectors in South Sumatera Province is one of the leading economic sector. The development is expected to improve the welfare of fishermen, to absorb labor and increase revenue and ensure its sustainability in the future. The purpose of this research is to develop design based fishery development of sustainable business in South Sumatera Province. The research method used is survey method with several data analysis tools such as surplus production method, scoring method, multi-criteria analysis, SWOT analysis and Analytical Hierarchy Process (AHP). Kinds and the potential yield commodities of fish in South Sumatera Province are shrimp (Penaeid) of tons; tonnes of blue swimmer crabs (Portunus spp); catfish (Arius thalassinus) amounted to tons and machete (Chirosentrus dorab) at tons. Type of fishing gears that still more likely to be increased are trammel nets, drift gill nets, fixed gill nets and encircling gillnets. The main priority of the alternative strategy of fisheries development policy in South Sumatera Province by improving the facilities and operational infrastructure to support the fishing effort. This is possible considering that the development of fisheries in South Sumatera has a substantial dependence on such facilities and infrastructure problems. Support of infrastructure facilities and good support, activities of both capture fisheries, processing and marketing can be more efficient and become an important point to increase the benefits of fishery products in South Sumatera Province. Keywords: development, policy, South Sumatera, strategy, sustainability

6 RINGKASAN SEPTIFITRI. Analisis Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh DANIEL R. MONINTJA, SUGENG H. WISUDO dan SULAEMAN MARTASUGANDA. Sektor kelautan dan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu sektor unggulan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan sektor kelautan dan perikanan diharapkan mampu menyediakan bahan pangan (protein hewani) bagi masyarakat, meningkatkan pendapatan nelayan, membuka lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan daerah dan devisa negara (Ginting et al. 2002). Tujuan umum dari penelitian ini adalah menyusun rancang bangun pengembangan perikanan tangkap berbasis keberlanjutan usaha di Provinsi Sumatera Selatan. Tujuan umum tersebut dicapai melalui pencapaian tujuan khusus antara lain pertama mengevaluasi potensi sumberdaya perikanan, kedua mengestimasi kebutuhan prasarana penunjang/pendukung, ketiga, menganalisis jumlah unit penangkapan yang optimal, dan keempat memformulasikan alternatif pengembangan perikanan tangkap. Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei dan wawancara mendalam baik dengan nelayan maupun stakeholders (pemangku kepentingan) daerah setempat. Analisis potensi sumberdaya ikan dilakukan menggunakan metode surplus produksi, sedangkan analisis Linear Goal Programming digunakan untuk mengalokasikan unit penangkapan yang ada. Pemilihan jenis ikan unggulan dan alat tangkap unggulan dilakukan dengan menggunakan metode Analisis Multi Kriteria. Untuk mendapatkan prioritas strategi pengembangan perikanan tangkap digunakan metode SWOT dan Proses Hierarki Analitik digunakan untuk menetapkan prioritas kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Jenis sumberdaya ikan unggulan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan adalah udang, rajungan, manyung dan golok-golok. Pemilihan jenis sumberdaya ikan unggulan didasarkan kriteria produksi, harga, dan wilayah pemasaran. Status pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan tersebut dapat dikatakan masih dapat ditingkatkan karena memiliki tingkat pemanfaatan dibawah 70%. Potensi lestari untuk keempat jenis ikan tersebut adalah udang sebesar 6.297,98 ton; rajungan sebesar 1955,98 ton; manyung sebesar 4.488,06 ton dan golok-golok sebesar 3.718,69 ton.

7 Pemilihan teknologi penangkapan ikan unggulan dilakukan berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Masing-masing aspek dilakukan penghitungan dan penentuan prioritas. Dari penentuan prioritas tersebut diketahui alat tangkap yang sesuai untuk mendapatkan hasil yang optimal, ramah lingkungan dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Alat tangkap unggulan dipilih dari 8 jenis alat tangkap yang menangkap komoditas unggulan. Hasil analisis dari semua aspek terkait menunjukkan bahwa trammel net menempati urutan prioritas pertama karena memiliki nilai aspek sosial dan aspek ekonomi yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa trammel net memiliki peluang pengembangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Urutan kedua adalah, jaring insang hanyut diikuti bagan tancap, jaring insang tetap, pancing, jaring klitik, perangkap dan jaring insang lingkar. Hasil analisis LGP menunjukkan bahwa tidak semua jenis alat tangkap berpeluang untuk ditambah jumlahnya. Jenis alat tangkap yang masih berpeluang untuk dilakukan penambahan adalah trammel net dengan peluang penambahan 53 unit, jaring insang hanyut dengan peluang penambahan 135 unit, perangkap dengan peluang penambahan 173 unit dan jaring klitik dengan peluang penambahan 210 unit. Hasil perhitungan optimasi terhadap tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan sangat mempengaruhi kondisi lainnya baik penyiapan teknologi, sumberdaya manusia serta sarana dan prasarana. Berdasarkan hasil perhitungan dalam rangka pengembangan perikanan tangkap yang didasarkan pada optimasi sumberdaya ikan maka Provinsi Sumatera Selatan memerlukan peningkatan sarana dan prasarana perikanan. Sarana yang perlu ditingkatkan yaitu penambahan pelabuhan perikanan dari 2 unit (PPI) menjadi 8 unit yang terbagi menjadi 5 unit PPI dan 3 unit PPP dengan luas TPI sebesar 285 m 2. Sarana penunjang lain yang diperlukan adalah pabrik pengolahan untuk komoditas crustacea (rajungan dan udang) dan pabrik pengolahan ikan (manyung dan golok-golok). Jumlah ideal kedua jenis pabrik tersebut sekitar 8 unit yang terdiri atas 2 unit pabrik pengolahan komoditas rajungan dengan kapasitas produksi 200 ton/tahun/unit dan 6 unit pabrik lainnya dibangun untuk mengolah udang dan ikan dengan kapasitas produksi 1500 ton/tahun/unit. Selain itu, pengembangan perikanan tangkap juga memerlukan 3 unit galangan kapal baru dan 1 unit pabrik jaring dengan kapasitas produksi 72,5 ton per bulan. Pengembangan perikanan dengan konsep tersebut dapat menyerap tenaga kerja hingga orang. Bidang perikanan diestimasi mampu

8 menyerap tenaga kerja nelayan hingga orang, sedangkan tenaga kerja diluar sektor non perikanan yang mampu terserap dengan adanya pengembangan perikanan tangkap ini mencapai orang. Strategi pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan hasil analisis SWOT antara lain optimalisasi pemanfaatan komoditas perikanan unggulan dengan meningkatkan produktivitas penangkapan, pengolahan dan pemasaran. Selain itu peningkatan kualitas sarana dan prasarana penunjang perikanan tangkap dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap peningkatan kualitas hasil tangkapan yang didaratkan. Perluasan wilayah penangkapan sampai >12 mil juga merupakan strategi yang perlu di pertimbangkan. Prioritas utama alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan yaitu dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendukung operasional usaha perikanan. Dukungan dari fasilitas pendukung dan infrastruktur yang baik akan menunjang kegiatan usaha perikanan baik penangkapan, pengolahan maupun pemasaran menjadi lebih efisien dan menjadi poin penting peningkatan produk perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, pengembangan jumlah unit armada penangkapan akan menjadi lebih baik dengan tersedianya sarana dan prasarana pendukung di pelabuhan terlebih dahulu. Ketersediaan fasilitas di pelabuhan akan berdampak pada kegiatan operasi penangkapan ikan menjadi lebih optimum. Alternatif kebijakan memperluas jangkauan daerah penangkapan ikan merupakan prioritas kebijakan terakhir. Kondisi ini dimungkinkan karena unit armada penangkapan ikan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan umumnya memiliki ukuran yang relatif kecil. Sehingga untuk menjangkau daerah penangkapan di atas 12 mil maka diperlukan adanya upgrade armada penangkapan ke dalam kapasitas ukuran yang lebih besar. Hasil estimasi menunjukkan bahwa bila rancang bangun pengembangan perikanan tangkap yang berbasis pada komoditas unggulan ini di terapkan, akan dapat meningkatkan : produksi 1.494,54 ton (10,53%), nilai produksi Rp (26,20%), penyerapan tenaga kerja perikanan (nelayan) orang (10,03%), penyerapan tenaga kerja bidang lain orang (390%), pendapatan nelayan Rp (22,64%) dan volume ekspor 715,90 ton (22,54%).

9 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

10 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

11 Judul Disertasi Nama NIM Program Studi : Analisis Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan : Septifitri : C : Teknologi Kelautan Disetujui Komisi Pembimbing Prof.Dr.Ir. Daniel R.Monintja Ketua Dr.Ir. Sugeng H. Wisudo, M.Si Anggota Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof.Dr.Ir.John Haluan, M.Sc Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: 28 Desember 2010 Tanggal Lulus:

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 17 September 1965 di Padang, Sumatera Barat dari pasangan keluarga bapak Alimuyar (alm) dan ibu Rosmanida, penulis merupakan anak ke dua dari tujuh orang bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar tahun , Sekolah Lanjutan Pertama tahun , Sekolah Lanjutan Atas tahun selanjutnya tahun penulis melanjutkan kuliah di Program Diploma III Pendidikan Dan Latihan Ahli Usaha Perikanan (Diklat AUP). Sejak tahun , penulis bekerja sebagai staf Research and Development PT. Bonecom Ujung Pandang, kemudian pada tahun 1990 penulis di terima sebagai pegawai negeri sipil dan ditempatkan di Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan. Di Instansi tempat kerja, penulis pernah menduduki beberapa jabatan fungsional diantaranya : Pemimpin Bagian Proyek P2RT tahun , Pemimpin Proyek P2SP tahun dan jabatan struktural sebagai Kepala Seksi Penangkapan Ikan tahun Penulis menyelesaikan Pendidikan Sarjana pada tahun 1993 di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang. Kesempatan melanjutkan pendidikan Magister, penulis dapatkan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Artha Bodhi Iswara Surabaya pada tahun , dan pada tahun 2003 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pada Program Doktoral pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dengan Program Studi Teknologi Kelautan (TKL). Penulis menikah dengan Mutia Kemala pada tahun 1993 dan telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak. Penulis telah membuat beberapa tulisan diantaranya : Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan dan Analisis Kebutuhan Sarana Perikanan Dalam Rangka Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Komoditas Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan yang telah di publikasikan di Jurnal Saintek Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponogoro.

13 DAFTAR ISTILAH Analisis SWOT : suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Analitical Hierarchy Process : suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio baik perbandingan pasangan yang diskrit maupun kontinyu. Armada perikanan : sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan (fishing ground). Depleted Fully exploited Kapal perikanan Kebijakan Kebijakan privat Kebijakan publik : stok sumberdaya ikan dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami penurunan secara drastis, dan upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan. Hal ini berkaitan dengan sumberdaya ikan yang sudah terancam. : stok sumberdaya ikan sudah tereksploitasi mendekati nilai MSY. Disini peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan, walaupun hasil tangkapan masih dapat meningkat. Peningkatan upaya penangkapan akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, dan hasil tangkapan per unit upaya pasti menurun. : kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. : seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik, dan merupakan manivestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan. : tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang atau lembaga lain. : tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan privat (individu maupun lembaga swasta).

14 Lightly exploted Moderately exploited Nelayan Nelayan penuh : stok sumberdaya ikan baru tereksploitasi dalam jumlah sedikit (kurang dari 25 persen MSY). Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya ikan dan hasil tangkapan per unit upaya (Catch Per Unit Effort-CPUE) masih memungkinkan meningkat. : stok sumberdaya ikan sudah terekploitasi setengah dari MSY. Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan masih, dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, akan tetapi hasil tangkapan per unit upaya mungkin mulai menurun. : orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkapan dikategorikan nelayan meskipun tidak melakukan aktivitas penangkapan. : nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Nelayan sambilan tambahan : nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Nelayan sambilan utama : nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Selain penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama, nelayan kategori ini dapat pula mempunyai pekerjaan lain. Over exploited : stok sumberdaya ikan sudah menurun, karena terekploitasi melebihi nilai MSY. Pada kondisi ini, upaya penangkapan harus diturunkan agar kelestarian sumberdaya ikan tidak terganggu. Pemasaran Pendekatan sistem : tindakan yang berkaitan dengan pergerakan barangbarang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. : metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Pengelolaan perikanan : semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

15 Pengembangan berkelanjutan : laju pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tidak melampaui kemampuan pulih dan resultan dampak negatif yang ditimbulkan tidak melebihi kemampuan kawasan pesisir/laut untuk menetralisirnya. Perikanan tangkap : kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan atau pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di air laut atau perairan umum secara bebas. Potensi ekonomi lestari : nilai maksimum hasil tangkapan yang dapat memberikan keuntungan maksimum. Sistem Unexploited Unit penangkapan : seperangkat elemen atau sekumpulan entity yang saling berkaitan, yang dirancang dan diorganisir untuk mencapai satu atau beberapa tujuan. : stok sumberdaya ikan berada pada posisi belum tereksploitasi, sehingga aktivitas penangkapan ikan sangat dianjurkan di perairan ini guna mendapatkan keuntungan dari produksi. : kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan.

16 KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T, atas segala limpahan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini merupakan hasil penelitian dengan judul Analisis Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Pada Kesempatan ini penulis dengan tulus hati menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja, Dr.Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si, dan Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis hingga selesainya disertasi ini. 2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan staf, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, atas segala perhatian dan penyediaan fasilitas selama penulis melaksanakan pendidikan. 3. Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan, Kepala Dinas Kelautan dan rekan-rekan sejawat, di Perikanan Provinsi Sumatera Selatan yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. 4. Ayahanda, Ibunda, Istri dan Anak tercinta, seluruh keluarga serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebut satu persatu atas segala perhatian dan bantuannya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam disertasi ini masih terdapat berbagai kekurangan. Saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat i

17 penulis harapkan agar lebih memberikan bobot terhadap kesempurnaan tulisan ini. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap pengembangan perikanan khususnya perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Bogor, Desember 2010 Septifitri ii

18 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... xi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Asumsi Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Perikanan Tangkap Sumberdaya Ikan Sifat sumberdaya ikan Pengelolaan sumberdaya ikan Upaya Penangkapan Upaya relatif Daya tangkap relatif Surplus Produksi Komoditas Unggulan Armada Perikanan Konsep Klasifikasi Nelayan Pendekatan Sistem Kebijakan Pembangunan Perikanan Analisis Kebijakan Pengembangan Berkelanjutan Analisis kebijakan pengembangan Pengembangan perikanan berkelanjutan Kerangka Kerja Kelembagaan METODOLOGI Tempat dan Waktu Pengumpulan Data Analisis Data Analisis potensi sumberdaya ikan Metode produksi surplus Determinasi usaha perikanan tangkap Analisis kriteria ekonomi dan finansial Krieria ekonomi Kriteria investasi Linear Goal Programming (LGP) Analisis SWOT Proses Hierarki Analitik (PHA) iii

19 Langkah-langkah pada proses hirarki analitik Ide dasar prinsip kerja PHA HASIL DAN PEMBAHASAN Administrasi wilayah Perairan Laut Sumatera Selatan Perikanan tangkap Nelayan Kapal penangkapan ikan Alat tangkap Produksi perikanan tangkap Pengolahan hasil perikanan Pemasaran hasil tangkapan Prasarana perikanan Sumberdaya Ikan Unggulan Status dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Unggulan Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan Unggulan Aspek biologi Aspek teknis Aspek sosial Aspek ekonomi Analisis usaha/keuntungan Analisis kelayakan usaha Pemilihan alat tangkap berdasarkan aspek ekonomi Teknologi penangkapan ikan terpilih Alokasi Alat Tangkap Fungsi kendala Fungsi tujuan Optimasi jumlah unit penangkapan ikan Alokasi Sarana dan Prasarana Komponen sarana pelabuhan Komponen unit pemasaran hasil tangkapan Komponen unit pengolahan ikan Komponen sarana penunjang Strategi Pengembangan Perikanan Analisis SWOT Analisis hierarki proses Rancang Bangun Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Keuntungan Penerapan Rancang Bangun Pengembangan Perikanan Pengembangan Perikanan Lepas Pantai di Sumatera Selatan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

20 DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis, sumber dan metode pengumpulan data penelitian Pembobotan setiap faktor-faktor SWOT Diagram matriks SWOT dan kemungkinan strategi yang sesuai Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty Jumlah nelayan berdasarkan RTP menurut kategori usaha di Provinsi Sumatera Selatan Jumlah perahu/kapal perikanan menurut jenis atau ukuran perahu di Provinsi Sumatera Selatan sejak tahun Perkembangan jumlah alat tangkap perikanan laut (unit) menurut jenis alat tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Jumlah trip kapal penangkapan ikan menurut alat penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Produktivitas tahunan alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun (Ton/Tahun/Alat penangkap ikan) Produksi rata-rata per trip alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun (Ton/Trip/Alat penangkap ikan) Harga ikan (Rp/kg) menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Pangkalan Pendaratan Ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Seleksi komoditas unggulan di perairan Sumatera Selatan dengan metode skoring Potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan untuk komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan Penilaian aspek biologi unit penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan Jenis teknologi yang digunakan untuk menangkap ikan jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan Matriks pemilihan unit penangkapan unggulan berdasarkan aspek teknis operasional alat tangkap di perairan Sumatera Selatan Matriks keragaman aspek sosial dari teknologi penangkapan eksisting untuk komoditi unggulan di perairan Sumatera Selatan Modal investasi usaha perikanan tangkap di lokasi penelitian Analisis usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Sumatera Selatan 102 v

21 Halaman 23. Matriks keragaman aspek ekonomi kegiatan penangkapan ikan di perairan Sumatera Selatan Matriks keragaman teknologi penangkapan ikan terpilih dari unit penangkap ikan untuk komoditi unggulan di perairan Sumatera Selatan Variabel keputusan model optimasi jumlah unit alat tangkap ikan eksisting di Provinsi Sumatera Selatan Jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan potensi 4 jenis sumberdaya ikan unggulan serta nilai produktivitas rata-rata alat tangkap ikan eksisting di Provinsi Sumatera Selatan Alokasi jumlah armada penangkapan yang optimum di Provinsi Sumatera Selatan Perbandingan jumlah optimum dan eksisting pada tahun 2007 dari 8 jenis unit penangkapan ikan terpilih di Provinsi Sumatera Selatan Jumlah kebutuhan optimum prasarana pelabuhan di Provinsi Sumatera Selatan Nilai koefisien ruang daya tampung produksi (k) berdasarkan jenis kelompok ukuran ikan Jumlah kebutuhan total luasan tempat pelelangan ikan (TPI) yang dibutuhkan di Provinsi Sumatera Selatan Jumlah kebutuhan luasan tempat pelelangan ikan (TPI) yang dibutuhkan di Provinsi Sumatera Selatan untuk setiap kelas pelabuhan perikanan Jumlah kebutuhan unit pengolahan hasil perikanan Provinsi Sumatera Selatan Jumlah kebutuhan optimum galangan kapal perikanan di Provinsi Sumatera Selatan Jumlah kebutuhan optimum jaring untuk armada penangkapan di Sumatera Selatan Jumlah kebutuhan pabrik jaring di Provinsi Sumtera Selatan Kebutuhan jumlah tenaga kerja bidang perikanan terkait dengan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Kebutuhan jumlah tenaga kerja lain terkait dengan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Faktor internal yang mempengaruhi pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Matriks SWOT pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan di Provinsi Sumatera Selatan Prioritas strategi pengembangan perikanan di Sumatera Selatan Bobot nilai hasil pengolahan horisontal antar elemen masalah pada level kedua vi

22 44. Susunan bobot dan prioritas hasil pengolahan horisontal elemen alternatif kebijakan pada level ketiga Bobot nilai hasil pengolahan vertikal pada level kedua Bobot nilai hasil pengolahan vertikal pada level ketiga Manfaat penerapan rancang bangun perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Estimasi kebutuhan armada penangkapan untuk pengembangan perikanan di Laut Cina Selatan vii

23

24 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alir kerangka pemikiran Sistem agribisnis perikanan tangkap Model sistem pengelolaan perikanan Dinamika stok ikan yang dieksploitasi Model pertumbuhan Schaefer (kurva produksi lestari) Model ekonomi statis pada perikanan Pendekatan dalam penetapan komoditas dan agroindustri unggulan Lokasi penelitian Proses hierarki analisis pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Kecenderungan jumlah nelayan berdasarkan RTP di Provinsi Sumatera Selatan Perkembangan jumlah alat tangkap perikanan laut di Provinsi Sumatera Selatan Perkembangan produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Diagram hierarki keputusan AHP dalam penentuan kebijakan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Rancang bangun pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan ix

25

26 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Perhitungan cash flow alat tangkap jaring insang tetap di lokasi penelitian Perhitungan cash flow alat tangkap jaring klitik di lokasi penelitian Perhitungan cash flow alat tangkap jaring insang lingkar di lokasi penelitian Perhitungan cash flow alat tangkap jaring insang hayut di lokasi penelitian Perhitungan cash flow alat tangkap trammel net di lokasi penelitian Perhitungan cash flow alat tangkap perangkap di lokasi penelitian Perhitungan cash flow alat tangkap pancing di lokasi penelitian Perhitungan cash flow alat tangkap bagan tancap di lokasi penelitian Perhitungan nilai MSY untuk udang Perhitungan nilai MSY untuk manyung Perhitungan nilai MSY untuk ikan golok-golok Perhitungan nilai MSY untuk rajungan Model persamaan Linear Goal Programming Hasil optimasi menggunanan LINDO Konstruksi umum trammel net Contoh uji kesesuaian model untuk komoditi udang Hasil uji kesesuaian model untuk rajunga, golok-golok dan mayung Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Rajungan) Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Udang) Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Golok-golok) Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Manyung) xi

27 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu sektor unggulan karena memiliki beberapa keunggulan komparatif dan kompetitif. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan sektor kelautan dan perikanan diharapkan mampu menyediakan bahan pangan (protein hewani) bagi masyarakat, meningkatkan pendapatan nelayan, membuka lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan daerah dan devisa negara (Ginting et al. 2002). Dalam suasana lingkungan strategis yang berubah dengan cepat serta dalam rangka mengantisipasi perubahan eksternal dan internal, Provinsi Sumatera Selatan kemudian menetapkan bahwa sumberdaya kelautan dan perikanan beserta jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya merupakan sumber penghidupan dan pembangunan ekonomi serta sosial budaya yang harus dikelola secara berkelanjutan, guna meningkatkan kemakmuran rakyat menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang sejahtera, maju dan memadai (Ginting et al. 2002). Berdasarkan Visi tersebut, maka Misi pembangunan kelautan dan perikanan dirumuskan sebagai berikut: (1) Pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan serta jasa-jasa lingkungan secara berkelanjutan, (2) Meningkatkan partisipasi masyarakat dan pembudidayaan ikan-nelayan, (3) Mengembangkan dan pelestarian sumberdaya, (4) Penerapan teknologi serbaguna yang ramah lingkungan, (5) Meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan pembudidayaan ikan-nelayan (6) Pengawasan dan perlindungan sumberdaya (7) Meningkatkan mutu produksi perikanan dan hasil olahan, dan (8) Penataan dan pemberdayaan kelembagaan formal dan informal. Dalam mewujudkan Visi dan Misi pembangunan kelautan dan perikanan, masih terdapat beberapa permasalahan diantaranya: (1) Rendahnya produktivitas pemanfaatan karena tidak meratanya tingkat pemanfaatan, di sebagian wilayah terjadi eksploitasi secara intensif sedangkan di wilayah lain tingkat pemanfaatannya masih rendah,

28 2 (2) Rendahnya tingkat SDM dan terbatasnya sarana dan prasarana, dan (3) Tingkat pendapatan nelayan yang masih rendah. Terpisahnya Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dari Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2000 memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini dikarenakan kontribusi sektor perikanan yang sangat besar dari Bangka-Belitung sebelum berpisah dari Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan data statistik perikanan Provinsi Sumatera Selatan tahun 1999 menunjukkan bahwa kontribusi Bangka-Belitung di sektor perikanan seperti Rumah Tangga Perikanan (RTP) sebesar 84,04 %, perahu/kapal 82,83 %, volume produksi 72,28 %, dan nilai produksi 66,36%. Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 1999 memiliki kontribusi di sektor perikanan berupa RTP 15,96 %, perahu/kapal 17,17 %, volume produksi 27,72 %, dan nilai produksi 33,64 %. Bangka-Belitung menjadi provinsi baru pada tahun 2000 memberikan perubahan terhadap luas laut yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk usaha penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan kurang lebih 8.105,97 km 2. berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut Tahun 2002 untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Laut Cina Selatan adalah potensi ikan pelagis besar sebanyak 0,32 ton/km 2, pelagis kecil 2,26 ton/km 2, demersal 1,2 ton/km 2, dan udang 0,18 ton/km 2. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan sebagai instansi yang diberikan wewenang dan tanggungjawab dalam pengembangan perikanan tangkap hingga saat ini belum menetapkan suatu rancang bangun pengembangan perikanan pasca lepasnya Bangka-Belitung. Padahal, rancang bangun pengembangan perikanan tersebut sangat penting artinya dalam menetapkan kebijakan dan strategi pengoptimalan sumberdaya ikan yang saat ini jumlahnya semakin berkurang. Perubahan wilayah perairan tentunya akan berdampak pada perubahan hasil tangkapan, jenis komiditi unggulan daerah dan alokasi armada penangkapan optimum. Selain itu, kebutuhan sarana dan prasarana perikanan untuk melayani armada penangkapan yang berbasis komoditas unggulan di Sumatera Selatan juga belum dianalisis lebih lanjut. Apabila hal tersebut luput dari perhatian pemerintah daerah, maka bukan mustahil kondisi perikanan tangkap di wilayah ini akan semakin terpuruk.

29 3 Kebutuhan akan rancang bangun pengembangan perikanan yang kian mendesak harus segera dijawab melalui kajian ilmiah. Pengembangan perikanan bukan hanya terpusat pada peningkatan produksi, namun juga pada kualitas dan kesejahteraan nelayan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menjawab berbagai permasalan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan seperti yang telah diuraikan sebelumnya sehingga nantinya menjadi pedoman dalam pengembangan perikanan tangkap yang lestari dan berkelanjutan. 1.2 Perumusan Masalah Salah satu penjelasan pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan menyebutkan bahwa perikanan mempunyai peran yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian dan ketersediaan sumberdaya ikan. Selanjutnya wilayah pengelolaan perikanan berdasarkan undang-undang tersebut berdasarkan Bab III pasal 5 ayat 1 tentang wilayah pengelolaan perikanan menyebutkan bahwa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi : (1) perairan Indonesia, (2) ZEEI, dan (3) sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia memiliki kewenangan sesuai dengan kondisi otonomi daerah yang berkaitan dengan wilayah pengelolaan sumberdaya ikan sejauh 12 mil dari garis pantai. Wilayah pengelolaan tersebut harus dapat dimanfaatkan sebaikbaiknya untuk kemakmuran rakyat dan sebagai pendapatan bagi daerah. Pengembangan usaha perikanan tangkap secara umum dapat dilakukan melalui peningkatan produksi dan produktivitas usaha perikanan, yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan pembudidaya ikan dan nelayan, produk domestik bruto, devisa negara, pendapatan asli daerah, pemenuhan gizi

30 4 masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, tanpa menganggu dan merusak kelestarian sumberdaya perikanan. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, ada beberapa permasalahan yang harus diperhatikan saat ini di Provinsi Sumatera Selatan dengan kondisi wilayah yang memiliki potensi perikanan yang cukup besar, namun pemanfaatan dari potensi ini belum optimal. Beberapa permasalahan yang dihadapi adalah : (1) Aspek biologi, estimasi sumberdaya yang ada di sekitar wilayah pengelolaan Provinsi Sumatera Selatan yang belum memadai. Kondisi ini mengakibatkan belum bisa ditentukan jumlah alat tangkap yang boleh beroperasi agar tidak terjadi kerusakan sumberdaya, (2) Aspek teknologi, umumnya armada dan alat tangkap dengan teknologi yang masih sederhana yang beroperasi di sekitar wilayah teritorial (12 mil) Provinsi Sumatera Selatan. Kondisi ini mengakibatkan armada penangkapan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan jauh dari daerah teritorial tersebut, (3) Aspek sarana dan prasarana, kurangnya prasarana Pusat Pendaratan Ikan (PPI) dan pabrik es sehingga mutu hasil tangkapan menurun yang berakibat pada menurunnya nilai jual hasil tangkapan dan pendapatan nelayan, dan (4) Aspek ekonomi, rendahnya pendapatan nelayan diantaranya disebabkan oleh (1) tingginya biaya operasional akibat kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), (2) kurangnya modal dalam pengembangan usaha, (3) lemahnya tingkat pemasaran sehingga harga ikan menjadi rendah. Penentuan harga dapat dilakukan sewaktu-waktu oleh para pembeli, hal ini diakibatkan belum adanya badan atau lembaga yang mengatur nilai jual ikan ke pedagang. Permasalahan yang dihadapi saat ini di Provinsi Sumatera Selatan diakibatkan oleh tidak meratanya pelaksanaan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan sewaktu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih berada dalam satu Provinsi dengan Sumatera Selatan. Dimana pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan dengan prosentase yang besar diarahkan ke Bangka Belitung, sehingga pada saat Bangka Belitung menjadi Provinsi sendiri pada tahun 2000, dampak dari sektor perikanan sangat signifikan dimana produksi di sektor perikanan yang dihasilkan oleh Bangka Belitung hampir 2,5 kali dari produksi yang dihasilkan oleh Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pembenahan kembali Kebijakan Pembangunan di sektor kelautan dan perikanan

31 5 Provinsi Sumatera Selatan. Pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan harus dilakukan secara terkoordinir antara Dinas Kelautan dan Perikanan bersama instansiinstansi terkait lainnya. Bila koordinasi tidak berjalan dengan baik, maka di perkirakan akan memberikan dampak sebagai berikut : (1) Rendahnya pendapatan daerah dari sektor perikanan, (2) Pendapatan nelayan akan tetap pada kondisi memprihatinkan, (3) Terjadinya konflik antar nelayan yang diakibatkan oleh perebutan daerah penangkapan dilihat dari fungsi alat tangkap antara alat tangkap aktif dan pasif, (4) Degradasi sumberdaya perikanan akan lebih besar, dan (5) Pemerintah daerah sulit untuk mengambil kebijakan yang tepat dalam pengembangan perikanan tangkap. Dalam upaya memberikan masukan dalam penentuan rancang bangun pengembangan perikanan, maka dalam penelitian ini akan dijawab beberapa pertanyaan yang menjadi kunci dan fokus penelitian. Beberapa pertanyaan (research questions) yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah : (1) Apa saja jenis komoditas perikanan unggulan yang berpeluang untuk dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan? (2) Berapa potensi jenis komoditas unggulan yang berpeluang untuk dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan? (3) Apa jenis alat tangkap yang dapat digunakan untuk memanfaatkan jenis komoditas unggulan? (4) Berapa jumlah alokasi alat tangkap optimum yang dapat beroperasi? (5) Apa saja sarana dan prasarana yang dibutuhkan bagi pengembangan perikanan dan berapa jumlahnya? (6) Bagaimana strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan yang dapat diterapkan di Provinsi Sumatera Selatan. Dari hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya bahwa akar permasalahan yang sangat mendasar dalam pengembangan perikanan tangkap adalah belum adanya rancang bangun pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan, sehingga Program yang dibuat belum mampu untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi dalam memajukan perikanan tangkap. Untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi saat ini di sektor kelautan dan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan perlu dilakukan Penelitian untuk menganalisis

32 6 pengembangan perikanan tangkap dengan beberapa analisis yang mencakup beberapa aspek yaitu aspek biologi, teknologi, sosial, dan ekonomi yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan dalam menunjang pengambilan kebijakan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan secara keseluruhan. 1.3 Tujuan Penelitian (1) Tujuan umum penelitian ini adalah menyusun Rancang Bangun Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Komoditas Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan. (2) Tujuan khusus 1) Menentukan jenis komoditas unggulan perikanan, 2) Menganalisis potensi sumberdaya ikan unggulan, 3) Menentukan jenis alat tangkap penangkapan ikan unggulan, 4) Mengestimasi alokasi optimum jumlah alat penangkapan ikan unggulan, 5) Mengestimasi kebutuhan prasarana penunjang atau pendukung, 6) Memformulasikan prioritas kebijakan pengembangan perikanan tangkap. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : (1) Bahan masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan pengembangan dan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan Provinsi Sumatera Selatan. (2) Sumber informasi bagi investor, masyarakat dan stakeholders terkait tentang potensi sumberdaya ikan unggulan yang dapat dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan. (3) Bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya terkait dengan pengoptimalan potensi perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan Provinsi Sumatera Selatan. 1.5 Asumsi Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : (1) Sumberdaya ikan yang ada di Perairan Sumatera Selatan menyebar merata dan jumlahnya masih cukup banyak untuk dapat dimanfaatkan oleh nelayan;

33 7 (2) Provinsi Sumatera Selatan memiliki komoditas unggulan perikanan yang dapat dikembangkan dimasa mendatang; (3) Perhitungan nilai MSY masing-masing komoditas unggulan didasarkan pada data hasil ikan yang didaratkan di Provinsi Sumatera Selatan (4) Jumlah armada dan unit penangkapan ikan yang ada saat ini belum optimal sehingga diperlukan analisis optimalisasi untuk mengetahui alokasi unit dan armada optimum di Perairan Sumatera Selatan. 1.6 Kerangka Pemikiran Dalam menyelesaikan permasalahan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan, perlu mengkaji kembali faktor pendukung usaha pengembangan perikanan tangkap. Perubahan kawasan administrasi Provinsi Sumatera Selatan jelas akan merubah strategi pengembangan perikanan tangkap yang ada, sehingga diperlukan suatu pola pengembangan yang baru agar tujuantujuan pembangunan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan bisa tercapai dengan optimum. Untuk itu, maka penelitian ini dipandang perlu untuk dilaksanakan, guna memecahkan masalah yang ada. Pengembangan perikanan tangkap tersebut dapat dilakukan dengan menganalisis seluruh komponen yang ada pada perikanan tangkap dengan menggunakan beberapa perangkat analisis yang saat ini banyak digunakan dalam kajian pengembangan perikanan. Pertama menentukan komoditas unggulan dari sumberdaya ikan yang ada dengan mempergunakan metode skoring. Kedua,, penentuan tingkat upaya maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang yaitu MSY (Maximum Sustainable Yield) dengan analisis Schaefer. Ketiga, menentukan urutan prioritas alat tangkap terbaik yang menangkap komoditas unggulan dengan analisis multi kriteria. Keempat, mengoptimalkan produksi, dengan Linear Goal Programming. Kelima, menyusun strategi-strategi pengembangan melalui analisis SWOT dan Keenam, penentuan prioritas alternatif strategi terbaik dan terpilih dengan Analytical Hierarchy Process (AHP). Adapun rangkuman keseluruhan proses pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan dituangkan dalam sebuah kerangka berpikir yang akan menuntun dalam pencapaian semua tujuan penelitian tersebut. Diagram alir kerangka pemikiran tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.

34 8 Mulai Identifikasi Permasalahan : 1. Alokasi jumlah alat tangkap belum jelas 2. Teknologi penangkapan masih tradisional 3. Sarana dan prasarana kurang memadai 4. Pendapatan nelayan rendah Potensi perikanan Sumberdaya Manusia Potensi Wilayah Potensi Sumberdaya ikan Metode scoring Prasarana Umum Prasarana Perikanan Spesies Unggulan CPUE, MSY, f optimum Analisis Schaefer Kelembagaan Identifikasi Teknologi Pemanfaatan Metode skoring Sarana Produksi Proses Produksi Pengolahan Pasar Pembinaan Ranking Jenis Alat Tangkap Jumlah Alat Tangkap Optimum Analisis LGP SWOT Alternatif Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap AHP Prioritas Strategi Terpilih Rancang Bangun Pengembangan SELESAI Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran.

35 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Perikanan Tangkap Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan atau pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di air laut atau perairan umum secara bebas. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen (elemen) atau subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya disebut dengan agribisnis perikanan. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Menurut UU Perikanan No 31 tahun 2004 bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Dalam kaitan dengan pengelolaan perikanan tangkap perlu adanya pengelolaan secara arif, bijaksana dan terintegrasi karena kompleksitasnya permasalahan. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen atas elemen atau subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya disebut dengan bisnis perikanan. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen atas elemen atau subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lainnya yang disebut dengan bisnis perikanan. Menurut Kesteven (1973) yang diacu oleh Monintja (2000) bahwa komponen-komponen perikanan tangkap terdiri dari (Gambar 2): (1) Sarana produksi Sarana produksi merupakan salah satu fasilitas yang menunjang berlangsungnya kegiatan perikanan. Sarana produksi tersebut antara lain penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan, instalasi, air tawar, instalasi listrik, dan pendidikan pelatihan tenaga kerja (Kesteven 1973).

36 10 (2) Usaha penangkapan Usaha penangkapan terdiri dari unit penangkapan, aspek legal dan unit sumber daya. Unit penangkapan adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Aspek legal menyangkut sistem informasi dan perijinan. Unit sumberdaya terdiri dari spesies, habitat seperti mangrove, terumbu karang dan padang lamun serta musim. (3) Prasarana pelabuhan Pembangunan pelabuhan perikanan di Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai sarana penunjang untuk meningkatkan produksi. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. (4) Unit pengolahan Unit pengolahan termasuk didalamnya pengawetan yang bertujuan untuk mempertahankan mutu dengan cara penanganan yang tepat agar ikan tetap sempurna segar atau dalam wujud olahan, secara ekonomi nilai tambah produk juga meningkat. Pengolahan tersebut dapat dilakukan secara tradisional misalnya penggaraman, pengeringan dan pengasapan ataupun dengan cara modern (Moeljanto 1996). (5) Unit pemasaran Hanafiah dan Saefuddin (1983) menyebutkan bahwa pemasaran merupakan tindakan yang berkaitan dengan pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. (6) Unit pembinaan Pembinaan merupakan suatu proses untuk peningkatan produksi dan produktivitas perikanan yang merupakan salah satu tujuan pembangunan sektor perikanan. Pembinaan tersebut terdiri dari pembinaan usaha perikanan dan pembinaan mutu hasil perikanan. Pembinaan usaha perikanan bertujuan untuk pengembangan usaha dibidang perikanan yang merupakan bagian dari dunia usaha pada umumnya. Pembinaan usaha

37 11 perikanan terdiri dari pembinaan kelembagaan usaha perikanan, perkreditan dan permodalan dan pembinaan perijinan usaha perikanan. Sistem Informasi Gambar 2 Sistem agribisnis perikanan tangkap (Kesteven 1973 dimodifikasi oleh Monintja 2001). Monintja (2001) mengemukakan ada beberapa faktor atau alasan mengapa perikanan tangkap perlu dikelola secara benar dan tepat, sebagai berikut : (1) Perikanan tangkap berbasis pada sumberdaya hayati yang dapat diperbaharui (renewable), namun dapat mengalami depresi atau kepunahan. Sumberdaya ikan memiliki kelimpahan yang terbatas, sesuai daya dukung (carrying capacity) habitatnya; (2) Sumberdaya ikan dikenal sebagai sumberdaya milik bersama (common property) yang rawan terhadap tangkap lebih (over fishing); (3) Pemanfaatan sumberdaya ikan dapat merupakan sumber konflik (di daerah penangkapan maupun dalam pemasaran hasil tangkapan);

38 12 (4) Usaha penangkapan haruslah menguntungkan dan mampu memberikan kehidupan yang layak bagi para nelayan dan pengusahaannya, jumlah nelayan yang melebihi kapasitas akan menimbulkan kemiskinan para nelayan; (5) Kemampuan modal, teknologi dan akses informasi yang berbeda antar nelayan menimbulkan kesenjangan dan konflik; dan (6) Usaha penangkapan ikan dapat menimbulkan konflik dengan subsektor lainnya, khususnya dalam zona atau tata ruang pesisir dan laut. FAO (1995) diacu dalam Monintja (2001), menyatakan bahwa pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap haruslah menunjukkan karakteristik penangkapan yang berkelanjutan, yaitu : (1) Proses penangkapan yang ramah lingkungan meliputi : 1) selektivitas tinggi; 2) hasil tangkapan yang terbuang minim; 3) tidak membahayakan keanekaragaman hayati; 4) tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi; 5) tidak membahayakan habitat; 6) tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan target; 7) tidak membahayakan keselamatan nelayan; dan 8) memenuhi ketentuan yang berlaku; (2) Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai tetap) (3) Pasar tetap atau terjamin (4) Usaha penangkapan masih menguntungkan (5) Tidak menimbulkan friksi sosial dan (6) Memenuhi persyaratan legal. Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan pendapatan per nelayan memadai (Monintja 1987). Selanjutnya menurut Monintja (1987), dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas nelayan per tahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis. Kaitan pengembangan perikanan terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti yang diungkapkan oleh Soemokaryo (2001) bahwa pengembangan sub sektor perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru Indonesia yang sangat

39 13 memungkinkan. Hal tersebut didasarkan pada : (1) potensi sumberdaya perikanan tersedia cukup besar dan belum sepenuhnya dimanfaatkan; (2) sebagai bahan baku protein hewani dan bahan baku industri domestik belum sepenuhnya dimanfaatkan; (3) beberapa komoditas perikanan mempunyai daya keunggulan komparatif di pasar Internasional; dan (4) kemampuannya menyerap tenaga kerja, meningkatkan dan meratakan pendapatan masyarakat. Menurut Monintja (2001) sistem agribisnis perikanan tangkap meliputi : (1) Sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, (2) Sub sistem prasarana, (3) Sub sistem usaha penangkapan, (4) Sub sistem pengolahan/agroindustri, (5) Sub sistem pembinaan, dan (6) Sub sistem pemasaran. Adapun tantangan, permasalahan dan solusi pengembangan perikanan tangkap adalah sebagai berikut (Monintja 2001) : (1) Tantangan 1) Permintaan suplai ikan yang semakin meningkat, 2) Penyediaan lapangan kerja, 3) Peningkatan devisa, dan 4) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). (2) Permasalahan 1) Stock sumber daya ikan yang tetap atau menurun, 2) Jumlah nelayan yang banyak, 3) Keterbatasan modal, 4) Kelangkaan informasi, 5) Konflik antar nelayan, dan 6) Konflik nelayan dengan sektor lain (3) Solusi 1) Partisipasi masyarakat nelayan dalam perencanaan pengembangan pengelolaan perikanan / pesisir, 2) Profesionalisasi usaha penangkapan ikan, 3) Penyediaan sistem dan substansi informasi perikanan yang tepat waktu dan mudah diakses, dan 4) Penyediaan sistem permodalan khusus perikanan tangkap.

40 14 Hubungan komponen-komponen dalam suatu kompleks penangkapan ikan yang saling berkaitan antara satu elemen dengan elemen lainnya antara lain (Monintja 2001) : (1) Analisis aspek pemasaran meliputi : 1) Demand masa kini dan lampau (trend volume penjualan, harga dan pembeli), 2) Permintaan dan harga dimasa datang (pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan, elastisitas pendapatan dan komonitas substitusi), 3) Persaingan pasar (lokal, nasional dan internasional), dan 4) Rencana kebijakan pemasaran. (2) Analisis sumberdaya ikan (SDI) meliputi : 1) Deskripsi daerah penangkapan ikan, 2) Estimasi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY), 3) Hasil tangkapan spesies terkait selama 5 tahun sampai 10 tahun terakhir, 4) Kecenderungan catch per unit effort, 5) Distribusi (sebaran) ikan menurut daerah penangkapan dan musim, 6) Mobilitas ikan (ruaya dan migrasi), 7) Karakteristik komersial dari ikan (ukuran), 8) Proyeksi hasil tangkapan tahunan dari proyek, dan 9) Peluang pengembangan produksi. (3) Analisis aspek teknis menyangkut operasi penangkapan ikan meliputi : 1) Kapal penangkapan ikan, 2) Alat penangkapan ikan, 3) Tenaga kerja / nelayan, 4) Bahan untuk operasi penangkapan, 5) Kondisi lingkungan fisik daerah penangkapan, 6) Pola operasi (lama 1 trip, hari navigasi, hari operasi, hari darat/pelabuhan, hari dok, jumlah trip per tahun, variasi daerah penangkapan dan variasi musim), 7) Hasil tangkapan (komponen spesies, ukuran, kualitas, HT per hari, HT per trip, HT per tahun), 8) Penanganan hasil tangkapan di kapal, 9) Pengangkutan hasil tangkapan ke pelabuhan, dan

41 15 10) Fasilitas pendaratan ikan. (4) Analisis finansial meliputi : 1) Biaya investasi, biaya operasional, aliran uang tunai, 2) Pembiayaan proyek, 3) Kriteria investasi (NPV, IRR, B/C Ratio), dan 4) Analisis sensitivitas. (5) Analisis dampak ekonomi meliputi : 1) Analisis ekonomis, 2) Suplai protein, 3) Penyerapan tenaga kerja, 4) Peningkatan pendapatan nelayan, 5) Devisa, 6) Pembangunan daerah, 7) Pendapatan negara / daerah (PAD), dan 8) Manfaat lainnya. (6) Analisis aspek lingkungan dan sosial meliputi : 1) Pengaruh terhadap sumberdaya ikan, 2) Tingkat selektivitas alat penangkapan, 3) Kemungkinan terjadinya friksi sosial, 4) Pengaruh volume produksi terhadap pasar lokal, 5) Pengaruh kegiatan proyek terhadap lingkungan pemukiman, 6) Jenis limbah, volume dan perkiraan akibatnya, dan 7) Pencegahan dan treatment yang direncanakan. (7) Aspek organisasi dan manajemen meliputi : 1) Aspek legal perusahaan, 2) Aspek legal proyek, 3) Struktur organisasi yang ada, 4) Rencana struktur organisasi proyek, 5) Kaitan dengan perusahaan, instansi dan lembaga lain, 6) Struktur manajemen per komponen, 7) Uraian tugas setiap personel, 8) Uraian tanggung jawab dan kewenangan, 9) Pendapatan dan insentif karyawan / personel armada penangkapan ikan,

42 16 10) Fasilitas dan kemudahan untuk para karyawan, 11) Kualifikasi dan pengalaman personel yang ada, dan 12) Kualifikasi dan sumber personel yang akan direkrut. (8) Analisis kepekaan 1) Penurunan produksi (5 25%) tergantung pada pola musim ikan, kondisi fisik daerah penangkapan dan CPUE), dan 2) Penurunan harga produk (trend harga runtun tahun). Pilihan terhadap alternatif manajemen sangat bergantung pada kekhasan, situasi dan kondisi perikanan yang dikelola serta tujuan pengelolaan atau pembangunan perikanan. Meski demikian, setiap pilihan sebaiknya berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut (Nikijuluw 2002) : 1) Diterima nelayan, 2) Diimplementasi secara gradual, 3) Fleksibilitas, 4) Implementasinya didorong efisiensi dan inovasi, 5) Pengetahun yang sempurna tentang peraturan serta biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti peraturan tersebut, dan 6) Ada implikasi terhadap tenaga kerja, pengangguran dan keadilan. 2.2 Sumberdaya Ikan Sifat sumberdaya ikan Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih atau dapat memperbaharui diri. Disamping sifat dapat memperbaharui diri, menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan pada umumnya dianggap bersifat open access dan common property yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain : (1) Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employement).

43 17 (2) Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara (state property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh swasta/perorangan (private property rights). Sifat-sifat sumberdaya seperti di atas menjadikan sumberdaya ikan bersifat unik, dan setiap orang seakan-akan mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam batas-batas kewenangan hukum suatu Negara. Dengan demikian, kondisi ini memungkinkan bagi setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk dan mengambil manfaatnya. Selanjutnya, dengan adanya orang atau perusahaan yang berdesakan karena mereka bebas masuk, maka akan terjadi interaksi yang tidak menguntungkan dan secara kuantitatif berupa biaya tambahan yang harus diderita oleh masingmasing orang atau perusahaan, sebagai akibat keadaan yang berdesakan tersebut. Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya 3 (tiga) sifat khusus yang dimiliki oleh sumberdaya yang bersifat milik bersama tersebut. Ketiga sifat khusus tersebut adalah : (1) Ekskludabilitas Sifat ini berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu. Upaya pengendalian dan pengawasan ini menjadi sulit dan sangat mahal oleh karena sifat fisik sumberdaya ikan yang dapat bergerak, disamping lautan yang cukup luas. Dalam kaitan ini, orang akan dengan mudah memasuki area perairan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada didalamnya, sementara disisi lain otoritas manajemen sangat sulit untuk mengetahui serta memaksa mereka untuk keluar. (2) Substraktabilitas Substraktabilitas adalah suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain. Dalam kaitan ini, meskipun para pengguna sumberdaya melakukan kerjasama dalam pengelolaan, akan tetapi kegiatan seseorang didalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia akan selalu berpengaruh secara negatif pada kemampuan orang lain didalam memanfaatkan sumberdaya yang sama. Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya akan

44 18 menimbulkan persaingan yang dapat mengarah pada munculnya konflik antara rasionalitas individu dan kolektif. (3) Indivisibilitas Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara administratif pembagian maupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas manajemen Pengelolaan sumberdaya ikan Pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan (FAO 1995). Sementara Widodo dan Nurhakim (2002) mengemukakan bahwa secara umum, tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk : (1) Menjaga kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan (enhancement). (2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan. (3) Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut. Pengelolaan sumberdaya ikan sendiri pada hakekatnya mencari kemungkinan tindakan yang tepat secara biologi disuatu sisi, dan kegiatan penangkapan ikan yang mampu memberikan keuntungan ekonomi disisi lain. Dengan kata lain, pengelolaan sumberdaya ikan haruslah mampu mencegah terjadinya konflik antara kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan untuk tujuan ekonomi termasuk adanya keadilan didalam distribusi manfaat yang dihasilkan oleh sumberdaya ikan tersebut, serta upaya konservasi sumberdaya ikan untuk kepentingan generasi mendatang. Dalam kaitan ini, Lawson (1984) mengemukakan adanya 4 (empat) strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu : (1) Mencegah terjadinya lebih tangkap (over exploitation), dengan melakukan pengendalian terhadap kegiatan penangkapan.

45 19 (2) Memperbaiki kualitas ikan yang akan dijual kepada konsumen, dengan jalan melakukan penanganan yang baik serta mengurangi kerusakan ikan setelah proses penangkapan. (3) Mengembangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan ini, seperti kegiatan budidaya. (4) Mengembangkan sistem pemasaran dengan berorientasi pada spesiesspesies yang dapat diterima oleh konsumen. Sementara Tai (1995) mengembangkan model sistem pengelolaan perikanan yang didasarkan pada 3 (tiga) komponen utama sebagai sub model, yaitu sub model biologi, sub model sosial dan ekonomi serta sub model manajemen. Ketiga komponen tersebut beserta parameter antaranya dapat dilihat melalui Gambar 3. Gambar 3 Model sistem pengelolaan perikanan (Tai 1995).

46 20 Pada sub model biologi digambarkan dinamika populasi dalam perikanan, dan berhubungan erat dengan sub model ekonomi melalui kegiatan penangkapan. Sementara sub model sosial-ekonomi menggambarkan adanya manfaat dan biaya didalam kegiatan penangkapan ikan. Dalam hal ini, harga memainkan peranan penting didalam menentukan penerimaan dan keuntungan. Pada Gambar 3 juga dapat dilihat adanya hubungan antara sub model sosialekonomi dan manajemen melalui beberapa parameter seperti keuntungan sosial, konsumen surplus, pendapatan individu nelayan serta tenaga kerja yang terserap. Parameter-parameter ini dapat digunakan sebagai alat ukur untuk melihat dampak dari berbagai kebijakan pengelolaan perikanan yang ada. Disamping itu, hubungan juga digambarkan antara sub model manajemen dan biologi yang berkaitan dengan alternatif kebijakan dari upaya penangkapan. Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep hasil maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield) disingkat dengan MSY. Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Dengan kata lain, pendekatan yang dipergunakan dalam konsep ini hanya mempertimbangkan faktor biologi semata. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu tambahan individu ikan (recruitment), pertumbuhan individu ikan (growth) dan kematian ikan (mortalitas). Kematian ikan sendiri pada stok ikan yang diupayakan atau dieksploitasi, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu kematian ikan karena penangkapan (fishing mortality) dan kematian ikan secara alami (natural mortality).

47 21 Faktor penentu meningkatnya ukuran stok ikan Faktor penentu meningkatnya ukuran stok ikan Fishing Mortality Recruitmen Growth Exploited Stock Natural Mortality feeding reproduction Gambar 4 Dinamika stok ikan yang dieksploitasi (Pauly 1984). Berdasarkan Gambar 4, dapat dijelaskan bahwa pada kondisi alami (stok ikan tidak diupayakan), pertumbuhan stok ikan dipengaruhi oleh pertumbuhan ikan dan rekruitmen, serta dikurangi oleh mortalitas alami. Dalam hal ini, pertumbuhan dan rekruitmen stok ikan akan cenderung ke titik nol, dimana besarnya pertumbuhan dan rekruitmen stok ikan akan sama dengan jumlah ikan yang mati secara alami. Oleh karena itu, stok ikan disuatu perairan akan terkendali secara alami melalui interaksi antara faktor lingkungan dan karakteristik pertumbuhan ikan itu sendiri. Dengan kata lain, stok ikan secara alami akan cenderung stabil pada kondisi lingkungan tertentu, dengan ukuran stok ikan tertentu. Kecenderungan ini dikenal dengan gejala density-dependent process (Muhammad 2002). Perubahan kondisi lingkungan akan berpengaruh terhadap besarnya daya dukung (carrying capacity) perairan bagi sumber daya ikan. Dalam hal ini, perubahan kondisi lingkungan akan berpengaruh pada faktor biologi utama seperti tambahan individu ikan, pertumbuhan dan mortalitas. Secara biologis, pertumbuhan populasi ikan pada periode tertentu di suatu daerah terbatas, adalah merupakan fungsi dari jumlah awal populasi tersebut. Ini artinya perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu ditentukan oleh populasi pada awal periode. Analisis ini didasarkan pada konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun 1883, dan kemudian diterapkan untuk perikanan oleh seorang ahli biologi perikanan yang bernama Schaefer pada tahun Penerapan konsep produksi kuadratik untuk perikanan ini menggambarkan hubungan linier antara produksi (yield) dengan

48 22 upaya (effort) yang kurvanya berbentuk simetris. Hubungan ini kemudian dikenal dengan Model Pertumbuhan Schaefer (Lawson 1984) atau disebut juga dengan kurva produksi lestari (Fauzi 2004), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Yield h msy MSY Produksi lestari 0 E msy E max Upaya (effort) Gambar 5 Model pertumbuhan Schaefer (kurva produksi lestari). Gambar 5 menunjukkan bahwa pada kondisi tidak ada aktivitas penangkapan ikan (tidak ada upaya), maka produksi ikan juga sama dengan nol. Akan tetapi apabila upaya ditingkatkan sampai mencapai titik E msy, maka akan diperoleh produksi yang maksimum atau lebih dikenal dengan sebutan MSY. Mengingat sifat dari kurva produksi lestari yang berbentuk kuadratik, maka peningkatan upaya yang dilakukan secara terus-menerus setelah melampaui titik MSY, tidak akan dibarengi dengan peningkatan produksi lestari. Dengan kata lain, produksi akan turun kembali dan mencapai nol pada titik upaya maksimum (E max ). Pendekatan ini pula yang dipergunakan sebagai kriteria oleh Bailey et al., (1987) dan FAO (1995), didalam menentukan status pemanfaatan sumberdaya ikan di suatu perairan dengan mengelompokkannya menjadi 6 (enam) kelompok, yaitu : (1) Unexploited, Stok sumberdaya ikan berada pada posisi belum tereksploitasi, sehingga aktivitas penangkapan ikan sangat dianjurkan di perairan ini guna mendapatkan keuntungan dari produksi.

49 23 (2) Lightly exploited, Stok sumberdaya ikan baru tereksploitasi dalam jumlah sedikit (kurang dari 25 persen MSY). Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya ikan dan hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort-cpue) masih memungkinkan meningkat. (3) Moderately exploited, Stok sumberdaya ikan sudah terekploitasi setengah dari MSY. Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan masih, dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, akan tetapi hasil tangkapan per unit upaya mungkin mulai menurun. (4) Fully exploited, Stok sumberdaya ikan sudah tereksploitasi mendekati nilai MSY. Disini peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan, walaupun hasil tangkapan masih dapat meningkat. Peningkatan upaya penangkapan akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, dan hasil tangkapan per unit upaya pasti menurun. (5) Over exploited, Stok sumberdaya ikan sudah menurun, karena terekploitasi melebihi nilai MSY. Pada kondisi ini, upaya penangkapan harus diturunkan agar kelestarian sumberdaya ikan tidak terganggu. (6) Depleted, Stok sumberdaya ikan dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami penurunan secara drastis, dan upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan. Hal ini berkaitan dengan sumberdaya ikan yang sudah terancam. Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi pada manusia (sosial oriented). Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan MSY telah mendapat

50 24 tantangan cukup keras, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan pada dasarnya adalah untuk menghasilkan pendapatan dan bukan semata-mata untuk menghasilkan ikan (Widodo dan Nurhakim 2002). Dengan kata lain, pencapaian yield yang maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya masalah pertambahan yang semakin berkurang (diminishing return) yang menunjukkan bahwa kenaikan yield akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan effort (Lawson, 1984). Lebih lanjut Clark (1985) mengemukakan adanya beberapa kelemahan dalam pendekatan MSY antara lain : (1) Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok ikan yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion). (2) Didasarkan pada konsep keseimbangan semata, sehingga pendekatan ini tidak berlaku pada kondisi ketidakseimbangan. (3) Tidak memperhitungkan nilai ekonomis, apabila stok ikan tidak dipanen atau tidak diekploitasi. (4) Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya, dan (5) Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri jenis yang beragam (multi-species). Dengan memperhatikan adanya kelemahan-kelemahan tersebut, maka mulailah dikembangkan pendekatan ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan. Pendekatan ini berangkat dari pemikiran Gordon yang menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open acces, artinya siapa saja dapat berpartisipasi untuk memanfaatkannya tanpa perlu memilikinya. Kondisi ini cenderung menjadi tidak terkontrol, dan akan mengarah pada perikanan lebih tangkap baik secara biologi maupun ekonomi. Dalam pendekatannya, Gordon memanfaatkan kurva produksi lestari, dimana kurva pertumbuhan berada dalam kondisi keseimbangan jangka panjang. Dari sinilah selanjutnya dikenal teori Gordon-Schaefer, yang banyak dipergunakan oleh ahli perikanan didalam melakukan analisis pengelolaan sumberdaya ikan (Fauzi 2004). Pemikiran dengan memasukkan unsur ekonomi di dalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield atau lebih popular dengan sebutan MEY. Dalam

51 25 pendekatan ini dipergunakan beberapa asumsi (Andenson 1977; Lawson 1984; Fauzi 2002), yaitu : (1) Harga per satuan ikan (output) adalah konstan. (2) Biaya per satuan upaya dianggap konstan. (3) Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species) (4) Struktur pasar bersifat kompetitif. (5) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pascapanen dan lain sebagainya). Selanjutnya secara lebih detail, pendekatan konsep ini dapat dilihat melalui Gambar 6. Rp MSY MEY Total cost Biaya, Penerimaan π max Total Revenue 0 E 3 E 1 E 2 Upaya (effort) Gambar 6 Model ekonomi statis pada perikanan (Lawson 1984; Cunningham SMRD and Whitmarsh D. 1985). Dari Gambar 6, dapat dilihat bahwa kurva penerimaan total (total revenue) adalah sama dengan kurva produksi lestari, sebab harga ikan diasumsikan konstan dan penerimaan total akan ditentukan langsung oleh hasil tangkapan ikan. Kurva biaya total (total cost) berbentuk garis lurus, yang mengindikasikan bahwa besarnya biaya adalah meningkat secara proporsional dengan meningkatnya effort (Anderson 1977; Lawson 1984). Dengan demikian, keuntungan maksimum dari pengelolaan sumberdaya ikan pada hakekatnya tercapai sebelum tingkat produksi MSY yaitu pada tingkat penggunaan effort E 3. Titik E 2, dikenal dengan tingkat upaya penangkapan pada saat terjadinya

52 26 keseimbangan open-access (Open-Access Equilibrium). Dengan kata lain pada setiap effort yang lebih rendah dari E 2, maka penerimaan total (total revenue) akan melebihi biaya total (total cost), sehingga pelaku penangkapan (nelayan) akan lebih banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi akses yang tidak dibatasi, hal ini akan mengakibatkan bertambahnya pelaku masuk ke industri perikanan. Sebaliknya pada tingkat effort yang lebih tinggi dari E 2, maka biaya total akan melebihi penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan akan keluar dari perikanan. Hasil kompromi kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep Optimum Sustainable Yield (OSY), sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham et al. (1985). Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep MSY, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor lainnya. Besaran dari OSY adalah lebih kecil dari MSY dan besaran dari konsep inilah yang kemudian menjadi dasar didalam menetapkan total allowable catch (TAC). Konsep pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan MSY, diantaranya adalah : (1) Berkurangnya resiko terjadinya depresi dari stok ikan. (2) Jumlah tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar. (3) Fluktuasi TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu. Dalam kegiatan perikanan yang bersifat open access dimana didalamnya terjadi persaingan sempurna serta industri perikanan berlangsung dalam jangka panjang (long run), maka keseimbangan open access menggambarkan bahwa seluruh usaha penangkapan ingin memaksimumkan keuntungannya dengan beroperasi pada tingkat dimana biaya marjinal (marginal cost) adalah sama dengan pendapatan rata-rata (average revenue). Ini juga berarti bahwa pada kondisi ini akan lebih banyak upaya penangkapan yang ingin masuk untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada. Disisi lain, tingkat produksi harus dipertahankan pada titik maximum sustainable yield, agar sumberdaya ikan yang ada terpelihara. Sementara titik maximum economic yield adalah perbedaan terbesar antara biaya total (total cost) dan pendapatan total (total revenue) yang diinginkan oleh masing-masingunit penangkapan. Dengan asumsi bahwa pemerintah sepenuhnya dapat mengendalikan kondisi lebih tangkap dan jumlah nelayan (upaya), maka menurut Lawson (1984) pemerintah dapat mengambil beberapa bentuk kebijakan dalam rangka

53 27 pengelolaan sumberdaya perikanan. Kebijakan dimaksud berkaitan dengan metoda pendekatan sebagai berikut : (1) Pengelolaan langsung Metoda ini pada hakekatnya adalah kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan, dan bentuknya adalah berupa kebijakan-kebijakan sebagai berikut : 1) Pembatasan alat tangkap (restriction on gears) Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak atau destruktif. Disamping itu, kebijakan ini juga dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien. 2) Penutupan musim (closed season) Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan, yang umumnya dilakukan di Negara dimana sistem penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumberdaya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu spesies saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi spesies. Beddington and Ratting (1983) yang dikutip Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu : (i) Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, untuk memungkinkan ikan melakukan aktivitas pemijahan dan berkembang biak. (ii) Penutupan kegiatan penangkapan ikan dengan alasan sumberdaya ikan telah mengalami degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Oleh karena itu, dilakukan kebijakan ini untuk membuka peluang pada sumberdaya ikan yang masih tersisa memperbaiki populasinya. 3) Penutupan area (closed area) Kebijakan ini pada dasarnya mempunyai pengertian menghentikan kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan. Kebijakan ini dapat bersifat permanen, atau dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Dampak dari kebijakan ini relatif sama dengan kebijakan penutupan musim. Dalam hal ini terdapat

54 28 beberapa Negara menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran tertentu dan atau alat tangkap tertentu. 4) Kuota penangkapan Kebijakan ini pada dasarnya adalah pemberian hak kepada industri atau perusahaan perikanan untuk menangkap atau mengambil sejumlah ikan tertentu di perairan. Dengan kata lain, kuota adalah alokasi dari hasil tangkapan yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada. Berdasarkan ketentuan ini, instansi pemerintah yang berwenang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan mengeluarkan hak kepada perusahaan atau industri bukan saja dalam hal ijin menangkap ikan, akan tetapi juga hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu (kuota). Hak kuota ini dapat berupa jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap (TAC), yang dapat dibagi per nelayan, per kapal atau per armada perikanan. Hak kuota tersebut pada hakekatnya juga dapat dialihkan atau ditransfer kepada nelayan lain. 5) Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umum yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini dilakukan dalam rangka member kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berproduksi sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi dari hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap. Penerapan kebijakan ini secara tunggal (tidak diikuti oleh kebijakan lain), akan mengakibatkan tidak terkontrolnya jumlah hasil tangkapan, karena jumlah kapal yang melakukan penangkapan tidak terkontrol. (2) Pengelolaan tidak langsung Disamping metode langsung sebagaimana telah dikemukakan diatas, pemerintah didalam mengelola sumberdaya perikanan dapat pula mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat tidak langsung. Kebijakan ini pada umumnya berkaitan erat dengan biaya dan harga, diantaranya adalah sebagai berikut : (i) Penetapan pajak dan subsidi

55 29 Penerapan pajak maupun subsidi pada hakekatnya adalah kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah, dan akan berpengaruh pada struktur biaya produksi. Pencabutan atau penurunan pajak serta pemberian subsidi akan memberikan pengaruh pada semakin rendahnya biaya produksi, dan ini tentunya diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan pada tingkat produksi yang sama. Sebaliknya, pengenaan pajak serta pencabutan subsidi ini akan berdampak pada meningkatnya biaya produksi, dan tentunya kondisi ini tidak menguntungkan bagi kesejahteraan nelayan, termasuk kelestarian sumberdaya perikanan. (ii) Strategi harga dan pemasaran Kebijakan ini adalah bentuk lain dari upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan. Sistem pemasaran serta harga yang baik akan memberikan dampak peningkatan pada kesejahteraan nelayan, dan pada akhirnya diharapkan akan berdampak pula pada semakin ringannya tekanan terhadap sumberdaya ikan yang ada. Hal ini disebabkan oleh karena dengan strategi harga dan pemasaran yang tepat, maka nelayan akan memperoleh harga ikan yang optimal dan pada akhirnya akan memberikan pendapatan yang optimal pula. Dalam pelaksanaannya di Indonesia, pemerintah mempunyai peranan sangat penting untuk mengelola sumberdaya ikan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 33) maupun Undang-Undang No. 9 tahun 1985 tentang perikanan yang telah diamandemen melalui Undang-Undang No. 31 tahun Intinya adalah memberikan mandat kepada pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam, khususnya sumberdaya ikan untuk kesejahteraan rakyat. Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya ikan ini, menurut Nikijuluw (2002) diwujudkan dalam 3 (tiga) fungsi yaitu : (1) Fungsi alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk mengimbangi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. (2) Fungsi distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah.

56 30 (3) Fungsi stabilisasi, diwujudkan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan sosial ekonomi masyarakat. Di Indonesia pada dasarnya pengelolaan perikanan lebih berkaitan dengan masalah manusia (people problem) dari pada masalah sumberdaya (resources problem). Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa lebih dari 60% produksi perikanan Indonesia dihasilkan oleh perikanan skala kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja atau lebih dikenal dengan sebutan nelayan. Kaiser dan Forsberg (2001) memberikan beberapa hal yang harus dipertimbangkan didalam pengelolaan perikanan yaitu : (1) Jumlah stakeholder perikanan adalah banyak. (2) Kebijakan pengelolaan harus dapat diterima oleh semua stakeholder. (3) Hormati sebanyak mungkin nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. (4) Kebijakan harus mempertimbangkan aspek sosial, politik dan ekonomi. Cara pandang pengelolaan sumberdaya perikanan seperti ini pada hakekatnya telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat perikanan Indonesia. Hanya saja pada saat ini sebagian besar daerah di Indonesia pengelolaan sumberdaya perikanan lautnya masih berbasis pada pemerintah pusat (Government Based Management), walaupun sejak lahirnya Undang- Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian diperbaharui melalui Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagian kewenangan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan telah diserahkan ke pemerintah daerah. Dalam pengelolaan seperti ini, pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan. Sedangkan kelompok masyarakat pengguna hanya menerima informasi tentang produkproduk kebijakan dari pemerintah. Menurut Satria et al. (2002), pengelolaan perikanan seperti ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah : (1) Aturan-aturan yang dibuat menjadi kurang terinternalisasi didalam masyarakat, sehingga menjadi sulit untuk ditegakkan. (2) Biaya transaksi yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan adalah sangat besar, sehingga menyebabkan lemahnya penegakan hukum.

57 31 Hasil pengkajian terakhir yang telah dilakukan terhadap sumberdaya ikan Indonesia, menunjukkan bahwa jumlah potensi lestari adalah sebesar 6,409 juta ton ikan/tahun, dengan tingkat eksploitasi pada tahun terakhir mencapai angka 4,069 juta ton ikan/tahun atau sekitar 63,49% dari potensi lestari (Ditjen Perikanan Tangkap 2004). Ini artinya, masih ada cukup peluang untuk meningkatkan produksi perikanan nasional melalui kegiatan usaha penangkapan ikan. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa wilayah pengelolaan perikanan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya (over fishing), seperti halnya di perairan Selat Malaka dan perairan Laut Jawa. Di kedua perairan tersebut, terdapat beberapa kelompok ikan (ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil di Selat Malaka serta ikan demersal di Laut Jawa) yang masih mungkin untuk dikembangkan eksploitasinya. Sementara di 7 (tujuh) zona penangkapan lainnya, sekalipun tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya secara keseluruhan masih berada dibawah potensi lestari, akan tetapi untuk beberapa kelompok ikan sudah berada pada posisi over fishing. Sebagai contoh, udang dan lobster di perairan Laut Cina Selatan, ikan demersal; udang dan cumi-cumi di perairan Selat Makasar dan Laut Flores. Oleh karena itu, pada beberapa perairan yang kondisi pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mendekati atau melampaui potensi lestarinya, maka perlu mendapatkan perlakuan khusus agar sumberdaya ikan yang ada tidak collapse. Informasi yang berkaitan dengan potensi dan penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia, telah dipublikasikan oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut pada tahun Dalam publikasi tersebut, wilayah perairan Indonesia dibagi menjadi 9 (Sembilan) zona atau wilayah pengelolaan perikanan, yaitu Selat Malaka; Laut Cina Selatan; Laut Jawa; Selat Makassar dan Laut Flores; Laut Banda; Laut Seram dan Teluk Tomini; Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik; Laut Arafura serta Samudera Hindia. Saat ini WPP RI telah mengalami perubahan menjadi 11 WPP meliputi WPP 571 yaitu Selat Malaka danlaut Andaman, WPP 572 yaitu Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda, WPP 573 yaitu Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa hingga Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat, WPP 711 yaitu Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selayan, WPP 712 yaitu Laut Jawa, WPP 713 yaitu Selat Makassar, Teluk

58 32 Bone, Laut Flores dan Laut Bali, WPP 714 yaitu Laut Banda, WPP 715 yaitu Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Timor, WPP 716 yaitu Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram, WPP 717 yaitu Laut Sulawesi dan Laut Halmahera dan WPP 718 yaitu Samudera Pasifik ( 2.3 Upaya Penangkapan Upaya penangkapan ikan dalam kajian-kajian stok sumberdaya ikan sering diasumsikan mempunyai hubungan yang proporsional dengan mortalitas penangkapan ikan. Asumsi ini tidak selamanya benar, sehingga kita harus memilih dengan jeli upaya penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linier dengan laju tangkapan (Spare and Venema 1999). Selanjutnya dinyatakan bahwa pengukuran upaya penangkapan ikan di daerah tropis lebih rumit dibandingkan di daerah temperate. Banyaknya jenis dan ukuran alat tangkap yang mengusahakan suatu jenis ikan (multigear) menyebabkan pembakuan suatu alat tangkap lebih rumit dan kompleks. Oleh karena perikanan sumberdaya semua orang bebas-masuk, dimana pengguna boleh masuk secara tak terbatas untuk bersaing yang bisa mengantarkan pada keadaan overfishing atau overeksploitasi dan penggunaan sumberdaya yang tidak efisien (Subade and Abdullah 1993). Oleh karena itu nelayan tidak mampu memaksimumkan keuntungannya sesuai dengan usaha penangkapan ikan yang dilakukannya (Panayotou 1982; Anderson 1977). Menurut Anderson (1977), hal ini disebabkan karena nelayan dalam perikanan yang bersifat akses terbuka akan tetap bertahan selama biaya rataratanya sama dengan pendapatan rata-rata. Secara industri, ini berarti bahwa keseimbangan akses terbuka dicapai dimana biaya total sama dengan penerimaan total. Perilaku industri seperti ini tidak berarti bahwa nelayan secara individu tidak ada yang mengalami keuntungan. Dalam pengelolaan sumberdaya ikan, tentunya ada faktor lain yang harus diperhatikan yaitu pengendalian upaya penangkapan yang merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkaitan dengan pembatasan kapasitas penangkapan atau jumlah alat tangkap ikan. Tujuannya, meningkatkan hasil ikan yang ditangkap serta meningkatkan kinerja ekonomi

59 33 industri perikanan melalui pengurangan upaya atau kapasitas penangkapan ikan yang berlebihan (Nikijuluw 2002). Selanjutnya Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa kapasitas upaya penangkapan adalah suatu variabel yang keberadaannya ditentukan beberapa variabel lain; seperti ukuran mesin kapal, ukuran kapal, ukuran alat penangkapan dan teknologi alat bantu untuk mendeteksi, menemukan dan mengumpulkan ikan. Oleh karena itu, membatasi kapasitas upaya penangkapan harus dilakukan secara tidak langsung melalui pembatasan variabel-variabel penentu ini. Jika hanya salah satu variabel yang dibatasi, nelayan mungkin akan menggantinya dengan variabel yang tidak dibatasi. Akibatnya, kapasitas upaya penangkapan justru bertambah. Meskipun yang ideal adalah membatasi semua variabel penentu kapasitas upaya penangkapan, namun pada kenyataannya hal tersebut sulit dilaksanakan Upaya relatif Model perhitungan upaya relatif didasarkan pada nilai hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) dari satu jenis alat tangkap. Nilai ini akan digunakan sebagai pembandingan antar alat tangkap. Agar beberapa unit alat tangkap yang berbeda saling bersesuaian maka setiap unit harus dikonversikan ke dalam CPUE yang selanjutnya dikonversikan ke dalam CPUE relatif. Metode ini tidak memerlukan perbandingan langsung dari jenis-jenis kapal yang berbeda Daya tangkap relatif Metode yang lebih langsung untuk standardisasi upaya adalah yang diusulkan oleh Robson diacu dalam Gulland (1991). Metode ini bekerja berdasarkan konsep daya tangkap relatif. Bila dua kapal melakukan penangkapan terhadap sumberdaya yang sama dan dalam kondisi yang sama, maka daya tangkap relatif merupakan perbandingan antara CPUE kapal A dan CPUE pada kapal B. 2.4 Surplus Produksi Pertambahan biomassa suatu stok ikan dalam waktu tertentu di suatu wilayah adalah suatu parameter populasi yang disebut produksi. Biomassa yang

60 34 diproduksi ini diinginkan untuk mengganti biomassa yang hilang akibat kematian, karena faktor alami atau maupun penangkapan. Produksi yang berlebih dari kebutuhan penggantian dianggap sebagai surplus yang selanjutnya dapat di panen. Apabila kuantitas biomassa yang diambil persis sama dengan surplus yang diproduksi, maka perikanan tersebut berada dalam keadaan seimbang (Aziz, 1989). Coppola dan Pascoe (1996) menyatakan bahwa, parameter persamaan surplus produksi tersusun atas beberapa konstanta biologi, lingkungan dan teknologi yang kemudian digunakan untuk menduga konstanta persamaan surplus produksi. Pendugaan parameter tersebut dilakukan melalui model pendekatan yang paling tepat the best fit dari keempat model yaitu Equilibrium Schaefer, Disequilibrium Schaefer, Schnute dan Walter-Hilborn. Untuk menjaga keseimbangan biologis ikan, maka usaha penangkapan ikan adalah menangkap surplus pertumbuhan ikan bukan menangkap populasi ikan. Dengan demikian tujuan penangkapan ikan adalah memaksimumkan pendapatan jangka panjang dengan tetap mempertahankan hasil maksimum lestari (Maksimum Sustainable Yield = MSY) dari perikanan (Schaefer 1954; Schaefer 1957; O Rourke 1971 vide Soemokaryo (2001). 2.5 Komoditas Unggulan Penetapan komoditas unggulan merupakan langkah penting dalam upaya membangun sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai struktur yang kuat dan tangguh dalam bersaing. Struktur yang kuat dapat diperoleh melalui keterkaitan dengan sektor hulu, sedangkan keunggulan kompetitif harus dikembangkan berdasarkan keunggulan kompetitif. Suatu komoditas unggul mempunyai basis hulu yang kuat dan daya saing pasar tangguh. Dengan demikian komoditas unggulan ditetapkan berdasarkan peluang pasar (permintaan) dan kemampuan produksi/penawaran (Bantacut et al. 1998). Secara umum, suatu komoditas dianggap unggul jika komoditas tersebut : (1) dapat dihasilkan (diproduksi) secara terus menerus (berkesinambungan) pada tingkat produktivitas dan mutu yang baik serta (2) diminta atau diserap oleh pasar pada jumlah dan tingkat harga yang wajar. Ini terdapat pada dua sisi yang harus dipertimbangkan dalam penetapan komoditas unggulan yaitu sisi

61 35 permintaan dan sisi penawaran (Sailah 1998). Pendekatan untuk penetapan komoditas dan agroindustri unggulan ditunjukkan pada Gambar 7. Sisi penawaran mencerminkan kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan komoditas tersebut. Kemampuan ini meliputi kemampuan SDM, tingkat penerapan teknologi (application of technology), karakteristik biofisik wilayah (competitive commodity characteristic) dan produktivitas (yield). Sedangkan sisi permintaan menggambarkan kemampuan pasar untuk menyerap produk perikanan yang diolah dari komoditas yang ditawarkan. Kemampuan ini meliputi volume permintaan dengan tingkat mutu yang disyaratkan, perkembangan harga, sistem tata niaga dan tingkat persaingan antara pelaku pasar. Hasil kajian dari sisi penawaran dan permintaan akan dihasilkan daftar komoditas unggulan dan daftar produk perikanan unggulan. Hal ini berarti bahwa komoditas dan produk tersebut mempunyai pasar (riil dan potensial) dan dapat dihasilkan secara berkesinambungan pada tingkat produktivitas yang menguntungkan. Komoditas dari sisi penawaran unggul tetapi tidak diminati oleh pasar dapat dikelompokkan sebagai komoditas potensial. Demikian juga untuk komoditas dan produk yang diminati oleh pasar tetapi tidak dapat dihasilkan jika ditinjau dari karakteristik wilayah. Sisi Penawaran Sisi Permintaan - SDM dan Teknologi - Karakteristik Biofisik Wilayah Pasar Komoditas (Penawaran) Pendekatan Penawaran dan Permintaan Komoditas (Permintaan) Komoditas Unggulan Komoditas Potensial Agroindustri Potensial Agroindustri Unggulan Agroindustri (Penawaran) Pendekatan Penawaran dan Permintaan Agroinduatri (Permintaan) Gambar 7 Pendekatan dalam penetapan komoditas dan agroindustri unggulan (Sailah 1998).

62 Armada Perikanan Konsep Suatu armada merupakan sekelompok kapal-kapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan (Ditjen Perikanan Tangkap 2002), dengan kata lain armada perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan (fishing ground). Monintja (2000) menyatakan armada penangkapan terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan, yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Ditjen Perikanan Tangkap (2002) mendefinisikan unit penangkapan merupakan kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang biasa terdiri dari perahu/kapal penangkap dan alat penangkap yang digunakan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, mendefinisikan kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Strategi pengelolaan perikanan yang memperhatikan armada perikanan sebagai faktor input adalah (Cochrane 2002) : (1) Pembatasan jumlah dan ukuran armada perikanan tangkap (fishing capacity controls) (2) Jumlah trip penangkapan ikan (fishing usage controls) (3) Kapasitas produksi yang digunakan (fishing effort controls) Klasifikasi Menurut Ditjen Perikanan Tangkap (2002) bahwa secara umum di Indonesia perahu atau kapal penangkap diklasifikasikan sebagai berikut : (1) Perahu tidak bermotor 1) Jukung 2) Perahu ((kecil (panjangnya kurang dari 7 m), sedang (panjangnya 7-10 m), besar (panjangnya 10 m atau lebih)) (2) Perahu motor tempel (3) Kapal motor Kurang dari 5 GT, 5-10 GT, GT, GT, GT, GT, GT dan 200 GT lebih.

63 37 Tipe kapal ikan secara umum terdiri dari 2 (dua) kelompok tipe yaitu : (1) Tipe kapal ikan yang menggunakan alat tangkap pancing. (2) Tipe kapal ikan yang menggunakan alat tangkap jaring/net. Pengklasifikasian perikanan yang selektif di Indonesia terdiri dari 2 (dua) kategori yaitu (Ditjen Perikanan Tangkap 2002) : (1) Perikanan skala kecil Menggunakan mesin luar < 10 HP atau < 5 GT (daerah operasinya pada zona I atau jalur I yaitu 4 mil dari garis pantai dan yang menggunakan mesin luar < 50 HP atau < 25 GT dengan jalur operasinya pada zona II atau jalur II yaitu 4-8 mil dari garis pantai. (2) Perikanan skala besar Merupakan perikanan skala industri yang menggunakan mesin dalam dengan kekuatan < 200 HP atau 100 GT dan jalur operasinya pada jalur 3 dan 4 (8-12 mil dan atau > 12 mil) Nelayan Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkapan dikategorikan nelayan meskipun tidak melakukan aktivitas penangkapan (Ditjen Perikanan Tangkap 2002). Dalam Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mendefinisikan nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Pada dasarnya penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan dapat ditinjau dari 3 (tiga) sudut pandang yaitu : (1) Dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan lain), struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. (2) Ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan besar merupakan nelayan yang menginvestasikan jumlah modalnya dalam

64 38 usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. (3) Dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi dalam nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan ikan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Secara resmi di Indonesia berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasional penangkapan ikan, nelayan diklasifikasikan ke dalam (DJPT 2002) : (1) Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. (2) Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Selain penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama, nelayan kategori ini dapat pula mempunyai pekerjaan lain. (3) Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. 2.7 Pendekatan Sistem Sistem didefinisikan sebagai seperangkat elemen atau sekumpulan entity yang saling berkaitan, yang dirancang dan diorganisir untuk mencapai satu atau beberapa tujuan (Manetsch and Park 1977). Sistem dapat merupakan suatu proses yang sangat rumit yang ditandai oleh sejumlah lintasan sebab akibat. Menurut Eriyatno (2003) sistem adalah totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Pada dasarnya ada dua sifat dari sistem, yaitu berkaitan dengan aspek perilaku dan aspek struktur, sehingga permasalahan yang berkaitan dengan sistem akan menyangkut pada perilaku sistem dan struktur sistem. Perilaku sistem berkaitan dengan input dan output, dan struktur sistem berkaitan dengan susunan dari rangkaian di antara elemen-elemen sistem. Pola pikir kesisteman merupakan pendekatan ilmiah untuk pengkajian yang memerlukan telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementer dan terpercaya. Sistem adalah sekumpulan entiti atau komponen yang saling

65 39 berhubungan dan terorganisasi membentuk satu kesatuan untuk mencapai suatu atau kelompok tujuan (Manetsch and Park 1977). Selanjutnya sistem diartikan sebagai totalitas hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimentional terutama dimensi ruang dan waktu (Eriyatno 1996). Pendekatan sistem adalah metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Permasalahan yang sebaiknya menggunakan pendekatan sistem dalam pengkajian harus memiliki karakteristik : (1) kompleks, (2) dinamis dan (3) probabilistik. Terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok dalam menganalisis permasalahan dengan pendekatan sistem, yaitu : (1) sibemetik (cybemetic), artinya berorientasi kepada tujuan, dan (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem. Jika diklasifikasikan masalah sistem secara garis besarnya ada tiga (Gaspersz 1992), yaitu : (1) Untuk sistem yang belum ada, strukturnya dirancang untuk merealisasikan rancangan yang memiliki perilaku sesuai dengan yang diharapkan; (2) Untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan atau hanya sebagai suatu rancangan) dan strukturnya diketahui, maka prilaku ditentukan pada basis dari struktur yang diketahui itu (persoalan analisis sistem); dan (3) Untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan) tetapi tidak mengenalnya serta strukturnya tidak dapat ditentukan secara langsung, maka permasalahannya adalah mengetahui perilaku dari sistem itu serta strukturnya (persoalan black box/kotak hitam). Menurut Eriyatno (2003) dalam transformasi input menjadi output, perlu dibedakan antara elemen (entity) dari suatu sistem dengan sub sistem dari sistem itu sendiri. Sub sistem dikelompokkan dari bagian sistem yang masih berhubungan satu dengan lainnya pada tingkat resolusi yang tertinggi, sedangkan elemen dari sistem adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi yang rendah. Masing-masing sub sistem saling berinteraksi untuk mencapai tujuan sistem. Interaksi antara sub sistem (disebut juga interface) terjadi karena output dari suatu sistem dapat menjadi input dari sistem lain. Jika interface antara sub sistem terganggu maka proses transformasi pada sistem secara keseluruhan akan terganggu juga sehingga akan menghasilkan bias pada tujuan yang hendak dicapai.

66 40 Proses transformasi yang dilakukan oleh suatu elemen dalam sistem dapat berupa fungsi matematik, operasi logik, dan proses operasi yang dalam ilmu sistem dikenal dengan konsep kotak gelap (black box). Kotak gelap adalah sebuah sistem dari rincian tidak terhingga yang mencakup struktur-struktur terkecil paling mikro. Dengan demikian karakter kotak gelap adalah behavioristic (tinjauan sikap). Kotak gelap digunakan untuk mengobservasi apa yang terjadi, bukan mengetahui tentang bagaimana transformasi terjadi. Untuk mengetahui transformasi yang terjadi dalam kotak gelap dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu : (1) spesifikasi; (2) analog, kesepadanan dan modifikasi; dan (3) observasi dan percobaan (Eriyatno 2003). 2.8 Kebijakan Pembangunan Perikanan Pada dasarnya kebijakan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu kebijakan privat dan kebijakan publik (Simatupang, 2001). Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang atau lembaga lain. Kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan privat (individu maupun lembaga swasta). Berangkat dari pemahaman di atas, maka kebijakan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan ke dalam kebijakan publik, yaitu semua keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan, guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan perikanan termasuk didalamnya pembangunan perikanan tangkap, merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam pembangunan perikanan, keberadaan sumberdaya ikan menjadi sangat penting, karena sumberdaya lingkungan dan sumberdaya buatan manusia termasuk manusianya merupakan unsur-unsur yang ada dalam sumberdaya perikanan. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan serta pengelolaan kegiatan manusia (Nikijuluw 2002). Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa, upaya mengelola sumberdaya perikanan pada dasarnya secara implisit merupakan tindakan menyusun langkah-langkah untuk membangun perikanan.

67 41 Hal ini pula yang menyebabkan, sering kali tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan sama dengan tujuan pembangunan perikanan. Tujuan pembangunan perikanan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Repubik Indonesia No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, adalah sebagai berikut : (1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. (2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara. (3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja. (4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein hewani. (5) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan. (6) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing. (7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan. (8) Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal. (9) Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, kebijakan pembangunan perikanan Indonesia ke depan lebih ditekankan pada pengendalian perikanan tangkap, pengembangan budidaya perikanan dan peningkatan nilai tambah melalui perbaikan mutu dan pengembangan produk yang mengarah pada pengembangan industri kelautan dan perikanan yang terpadu berbasis masyarakat. Strategi yang ditempuh adalah melalui peningkatan daya saing komoditas perikanan yang didukung dengan peningkatan sumberdaya manusia serta pemberian akses dan kesempatan yang sama pada seluruh perilaku usaha di bidang perikanan, sehingga mampu menghadapi persaingan global di tengah peningkatan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dengan berbagai dimensi. Berkaitan dengan uraian diatas, maka telah dirumuskan strategi kebijakan pembangunan perikanan tangkap sebagaimana tercantum dalam dokumen program jangka pendek dan program strategis perikanan tangkap (DJPT 2006). Adapun kebijakan pembangunan yang dijalankan lebih diarahkan pada upaya-upaya sebagai berikut : (1) Menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri perikanan nasional.

68 42 (2) Rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap, dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada nelayan lokal dan perusahaan nasional. (3) Penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan. (4) Mendorong Pemerintah Daerah untuk pro aktif mengoptimalkan seluruh potensi sumberdaya di wilayahnya secara berkesinambungan. (5) Rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah yang terkena bencana alam. Kelima arah kebijakan pembangunan perikanan tangkap tersebut pada hakekatnya mempunyai 4 (empat) tujuan utama, yaitu : (1) Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan, guna menyediakan ikan untuk konsumsi dalam negeri dan bahan baku industri. (2) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. (3) Meningkatkan lapangan kerja. (4) Meningkatkan peran perikanan tangkap terhadap pembangunan perikanan nasional. 2.9 Analisis Kebijakan Pengembangan Berkelanjutan Analisis kebijakan pengembangan Analisis pengembangan adalah analisis yang disusun berdasarkan analisis-analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam analisis pengembangan ini akan terlihat sejumlah alternatif yang ditawarkan dan dipilih mana saja yang memungkinkan untuk dikembangkan (Rumajar et al. 2002). Proses pengambilan keputusan atau pemilikan alternatif kebijakan dalam suatu proses pengembangan digunakan metode Analitical Hierarchi Process (AHP). AHP merupakan suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio baik perbandingan pasangan yang diskrit maupun kontinyu (Mulyono 1996). AHP merupakan suatu metode yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas dalam perancangan terhadap suatu masalah. Metode menstruktur masalah dalam bentuk hierarki dan memasukkan pertimbanganpertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. AHP dapat berfungsi

69 43 dengan baik selama pemakai memiliki pemahaman yang baik mengenai masalah yang dihadapi. Selanjutnya dinyatakan bahwa, kekuatan AHP terletak pada struktur hierarki yang memungkinkan memasukkannya semua faktor penting dan mengaturnya sampai ke tingkat alternatif. Setiap masalah dapat dirumuskan sebagai keputusan berbentuk hierarki, kadang-kadang dengan ketergantungan untuk mewujudkan bahwa beberapa elemen bergantung pada yang lain dan pada saat yang sama elemen yang lain bergantung padanya. Elemen pada setiap tingkat digunakan sebagai sifat bersama untuk membandingkan elemenelemen yang berada setingkat di bawahnya (Saaty 1993). Selanjutnya Saaty (1993) menyatakan pula bahwa, AHP memberikan kerangka yang memungkinkan untuk mengambil keputusan yang efektif untuk persoalan yang kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat pengambilan keputusan. Pada dasarnya, metode AHP memecah suatu situasi yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam bagian komponennya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi pertimbangan numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel dan mensitesa berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas relatif yang lebih tinggi. Penetapan prioritas berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Langkah pertama untuk menyusun prioritas adalah membandingkan kepentingan relatif dari masing-masing unsur dan menduga prioritas untuk subfaktornya. Sintesis prioritas dilakukan untuk mendapatkan prioritas menyeluruh subsektor dan langkah berikutnya adalah melakukan perhitungan menyeluruh untuk masing-masing faktor (Mulyono 1996) Pengembangan perikanan berkelanjutan Pengembangan berkelanjutan dapat juga diartikan sebagai laju pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tidak melampaui kemampuan pulih dan resultan dampak negatif yang ditimbulkan tidak melebihi kemampuan kawasan pesisir/laut untuk menetralisirnya (Dahuri 2000). Pengembangan perikanan tangkap juga tidak terlepas dari lingkungan dan penggunaan teknologi alat tangkap yang berwawasan lingkungan. Menurut Martasuganda (2002) bahwa lingkungan adalah lingkungan hidup dimana arti

70 44 dari lingkungan hidup itu sendiri adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya, sedangkan yang dimaksud dengan teknologi penangkapan ikan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana dalam menggunakan alat tangkap untuk mengelola sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup tanpa mempengaruhi atau mengganggu kualitas dari lingkungan hidup. Fauzi dan Anna (2002) menyatakan bahwa pendekatan MSY dalam mengevaluasi pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan masih menghadapi banyak keterbatasan, namun dapat dipakai sebagai indikator dari status sumberdaya dan signal early warning bagi terlampaunya tingkat ekstraksi dari yang seharusnya. Selanjutnya juga dikatakan bahwa walaupun konsep keberlanjutan dalam perikanan mulai dipahami, namun sampai saat ini masih menghadapi kesulitan dalam mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri. Khususnya ketika kita dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi dari keseluruhan aspek yang mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya perikanan tersebut, baik aspek ekologi, sosial, ekonomi maupun etik secara holistik (Fauzi dan Anna 2002). Suatu kawasan pembangunan perikanan secara ekonomis dianggap berkelanjutan jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan serta menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar sektor yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi. Pembangunan perikanan secara ekologis manakala basis ketersediaan stok sumberdayanya dapat dipulihkan secara stabil dan tidak terjadi eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya yang dapat diperbaharui. Pembangunan perikanan secara sosial berkelanjutan apabila seluruh kebutuhan dasar bagi semua penduduk terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan, tumbuhnya kesempatan berusaha secara adil, kesetaraan gender, dan akuntabilitas serta partisipasi politik (Dahuri, 2002). Muhammad (2002) juga menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan didasarkan pada tingkat ekologi (ecological sustainability) dan keberlanjutan sosio-ekonomi (socioeconomic sustainability).

71 45 Keberlanjutan ekologi didasarkan pada upaya memelihara keberlanjutan biologi cadangan ikan (biomassa) sehingga tidak melewati daya dukungnya, yaitu pemanfaatan sumberdaya perikanan pada tingkat Total Allowable Catch (TAC) sebesar 80 % dari MSY. Keberlanjutan sosio-ekonomi didasarkan pada keberlanjutan ekonomi dengan memperhatikan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat ekonomi rumah tangga nelayan. Kegiatan produksi untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan memiliki tiga komponen yaitu (1) komponen biologis, (2) pengelolaan sumberdaya dan (3) sosial-ekonomi perikanan. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Komponen biologis menjelaskan dinamika stok ikan, komponen pengelolaan sumberdaya menjelaskan dinamika kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, pengaturan armada penangkapan ikan (fishing effort) dan komponen sosial-ekonomi menjelaskan dinamika biaya dan keuntungan juragan pemilik aset dan pendapatan ABK (anak buah kapal) dalam operasi penangkapan ikan. Kalau ketiga komponen tersebut dapat terkontrol dengan baik, maka pengembangan usaha perikanan tangkap dapat dilakukan secara berkelanjutan (Fauzi dan Anna 2002) Kerangka Kerja Kelembagaan Lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga mewarnai perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia. Semangat otonomi, yang terkandung dalam undangundang tersebut melalui desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut kepada wilayah otonom. Sebagaimana yang dituangkan dalam undang-undang tersebut, wilayah otonom dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota memiliki otonomi dalam pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dan 1/3-nya merupakan kewenangan kabupaten/kota (Pasal 3). Kewenangan pengelolaan bagi daerah otonom di wilayah laut tersebut lebih lanjut diuraikan dalam Pasal 10 Ayat 2, yang meliputi (Darmawan 2002) : (1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas 12 mil laut, (2) Pengaturan kepentingan administratif, (3) Pengaturan tata ruang,

72 46 (4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, dan (5) Bantuan penegakkan keamanan dan kedaulatan negara khususnya di laut. Implikasi dari UU No. 22 Tahun 1999 terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dapat bersifat sinergis, namun dapat pula bersifat sebaliknya. Implikasi akan bersifat sinergis apabila setiap pemerintah dan masyarakat di wilayah otonom menyadari arti penting dari pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumber daya alam pesisir dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila setiap daerah berlomba-lomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan (Darmawan 2002). Menurut Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995), Pasal 10-integrasi perikanan ke dalam pengelolaan wilayah pesisir mengenai kerangka kerja kelembagaan terdiri dari : (1) Negara-negara harus menjamin suatu kerangka kebijakan, hukum dan kelembagaan yang tepat, diadopsi untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya yang lestari dan terpadu dengan memperhatikan kerentanan ekosistem pesisir dan sifat terbatasnya sumber daya alamnya serta keperluan komunitas pesisir, (2) Mengingat sifat multiguna kawasan pesisir, negara harus memastikan bahwa wakil sektor perikanan dan komunitas penangkapan dimintakan pendapat dalam proses pengambilan keputusan dan dilibatkan dalam kegiatan lainnya yang berkaitan dengan perencanaan pengelolaan dan pembangunan kawasan pesisir, (3) Negara-negara harus mengembangkan kerangka kelembagaan dan hukum seperlunya dalam rangka menetapkan pemanfaatan yang mungkin menyangkut sumberdaya pesisir dan mengatur akses ke sumber daya tersebut dengan memperhatikan hak nelayan pesisir dan praktek turun temurun yang serasi dengan pembangunan yang berkelanjutan,

73 47 (4) Negara-negara harus memberikan kemudahan pengadopsian praktek perikanan yang menghindari sengketa di antara para pengguna sumberdaya perikanan dan di antara mereka serta para pengguna lainnya dari kawasan pesisir, dan (5) Negara-negara harus menggiatkan penetapan prosedur dan mekanisme pada tingkat administratif yang tepat untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam lingkup sektor perikanan dan di antara para pengguna sumberdaya perikanan dengan para pengguna kawasan pesisir lainnya.

74 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan tepatnya di Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komiring Ilir pada bulan Februari 2006 s/d Juli Pengambilan data dilakukan dalam beberapa tahapan sehingga didapatkan data yang lengkap. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 8. Laut Cina Selatan Sembilang Sungsang Sungai Lumpur Gambar 8 Lokasi penelitian. 3.2 Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan serta wawancara dengan nelayan, pengumpul ikan, perusahan-perusahan, pemerintah sebagai pengambil kebijakan serta pihak terkait lainnya. Data sekunder diperoleh dari data-data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan, BPS dan Instansi-instansi terkait lainnya. Jenis dan metode pengumpulan data disajikan pada Tabel 1.

75 50 Tabel 1 Jenis, sumber dan metode pengumpulan data penelitian No Jenis data 1. Produksi dan upaya perikanan tangkap 2. Jumlah dan jenis alat tangkap serta armada penangkapan Pengamatan langsung Pengamatan langsung di DPI dan pangkalan pendaratan ikan Sumber /Metode Pengumpulan Data Data sekunder BPS, Statistik Perikanan BPS, Statistik perikanan Wawancara Wawancara dengan nelayan dan petugas pangkalan pendaratan ikan Wawancara dengan nelayan dan petugas pangkalan pendaratan ikan 3. Jenis komoditi perikanan Pengamatan di TPI dan pengumpul ikan BPS, Statistik Perikanan Wawancara dengan nelayan, pedagang dan pengumpul ikan 4. Sarana dan prasarana perikanan Pengamatan di pangkalan pendaratan ikan Data Dinas Kelautan dan Perikanan Wawancara dengan nelayan, pedagang, pengumpul ikan, 5. Faktor internal dan eksternal (SWOT) 6. Wawancara terstruktur (AHP) Pengamatan di lokasi DPI, ekosistem perairan, Kajian terkait, laporan dinas, Renstra Sumatera Selatan, Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda, masyarakat Wawancara dengan informan kunci (Stakeholders) yang memiliki kemampuan di bidangnya Data produksi dan upaya penangkapan digunakan untuk menentukan jenis komoditas unggulan dan mengestimasi potensi sumberdaya yang tersedia. Untuk memperoleh data tersebut maka dilakukan telaah pustaka dari berbagai sumber laporan baik BPS maupun Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan secara runut (time series). Selain itu, dilakukan pula wawancara dengan nelayan dan petugas pencatatan data untuk memvalidasi kesahihan data yang diperoleh. Begitu pula dengan jenis dan jumlah armada penangkapan yang saat ini ada di Provinsi Sumatera Selatan. Data armada perikanan diambil dari berbagai laporan terkait serta pengukuran langsung untuk dimensi kapal penangkap ikan. Untuk mendapatkan jenis komoditi unggulan perikanan, dilakukan penelaahan data baik dari data sekunder berupa statistik maupun data primer melalui wawancara dengan nelayan. Sementara itu, kondisi dan kebutuhan sarana prasarana perikanan diperoleh melalui observasi lapangan dan

76 51 wawancara mendalam dengan stakeholders terkait baik dari DKP maupun BAPPEDA Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, dilakukan pula penjaringan opini dari nelayan dan masyarakat sebagai aktor dalam kegiatan perikanan. Faktor pendukung untuk kebutuhan analisis strategi dan kebijakan perikanan diperoleh melalui observasi lapang, telaah pustaka dan wawancara terstruktur dengan informan ahli. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan mewakili kondisi sebenarnya sehingga strategi dan kebijakan sebagai hasil penelitian ini menjadi rekomendasi yang dapat digunakan oleh instansi terkait dalam merumuskan rencana pengembangan kelautan dan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. 3.3 Analisis Data Analisis potensi sumberdaya ikan Metode produksi surplus Keanekaragaman jenis alat tangkap yang digunakan di suatu perairan memungkinkan suatu spesies ikan tertangkap pada beberapa jenis alat tangkap. Gulland (1983), menyatakan jika di suatu daerah perairan terdapat berbagai jenis alat tangkap yang dipakai, maka salah satu alat tersebut dapat dipakai sebagai alat tangkap standar, sedangkan alat tangkap yang lainnya dapat distandarisasikan terhadap alat tangkap tersebut. Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar mempunyai faktor daya tangkap atau fishing power indeks (FPI) = 1 (Tampubolon dan Sutedjo 1983). Jenis alat tangkap lainnya dapat dihitung nilai FPI dengan membagi nilai catch per unit effort (CPUE) dengan CPUE alat tangkap standard. Nilai FPI ini kemudian digunakan untuk mencari upaya standard yaitu dengan mengalikan nilai FPI dengan upaya penangkapan jenis alat tangkap yang dianalisis. C CPUE s = F Ci CPUE i = F i s s FPI s CPUE = CPUE s s = 1

77 52 CPUE i FPI i =...(1) CPUEs Untuk alat tangkap lainnya menggunakan persamaan berikut. Standard Effort = Σ FPI i x Σ E... (2) dimana : CPUE s CPUEi E C s Ci F s Fi FPI FPI s i = Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap standar = Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap i = Upaya dengan alat tangkap i = Jumlah tangkapan jenis alat tangkap standar = Jumlah tangkapan jenis alat tangkap i = Jumlah upaya jenis alat tangkap standar = Jumlah upaya jenis alat tangkap i = Faktor daya tangkap jenis alat tangkap standar = Faktor daya tangkap jenis alat tangkap i Salah satu metode pendugaan stok ikan adalah metode surplus produksi. Metode ini digunakan dalam perhitungan potensi lestari maksimum (MSY) dan upaya penangkapan optimum dengan cara menganalisis hubungan upaya penangkapan (E) dengan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE). Data yang digunakan dalam perhitungan tersebut adalah data hasil tangkapan dan upaya penangkapan dari statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2001 sampai dengan Analisis data digunakan pendekatan model Schaefer. Berdasarkan parameter-parameter model surplus produksi yang diperoleh, kemudian dilakukan penyusunan fungsi produksi. Hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan adalah : C = ae be 2... (3) Hubungan antara Catch Per Unit Effort (CPUE) dengan upaya penangkapan adalah : CPUE = a be... (4) Perhitungan upaya penangkapan optimum (Eopt) dilakukan dengan menurunkan persamaan (3) sama dengan 0 (nol). dc de = a 2E... (5) 0 = a 2bE a = 2bE

78 53 F opt = a/2b Potensi lestari (MSY) diperoleh dengan memasukan persamaan (5) ke persamaan (3) sehingga kondisi MSY adalah : dengan : MSY = a(a/2b) b(a 2 /4b 2 ) MSY = a 2 /2b ba 2 /4b 2 MSY = 2a 2 /4b a 2 /4b MSY = a 2 /4b... (6) a = konstanta, intersep (titik perpotongan garis regresi dengan sumbu y) b = slope (kemiringan dari garis regresi) c = catch per unit effort MSY = maximum sustainable yield (potensi lestari) Determinasi usaha perikanan tangkap Tujuan determinasi unit penangkapan ikan adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik ditinjau dari aspek biologi, teknis, ekonomi dan sosial sehingga merupakan alat tangkap yang cocok untuk dikembangkan. Haluan dan Nurani (1988) mengemukakan bahwa untuk melakukan determinasi unit usaha perikanan tangkap digunakan model skoring yang meliputi : (1) Analisis aspek biologi yakni ditetapkan beberapa kriteria : Lama waktu musim penangkapan ikan, lama waktu musim ikan dengan melihat jumlah, bulan musim ikan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan, dan selektifitas alat tangkap. Lama waktu musim ikan dan lama waktu penangkapan ikan diberi nilai prioritas mulai dari 1-4. Alat tangkap yang memiliki waktu musim ikan dan lama waktu penangkapan paling lama diberi skor (nilai) 1, semakin pendek waktunya maka nilai skornya semakin besar (4). Nilai selektivitas dilihat dari ukuran mesh size yang digunakan. Nilainya berada pada kisaran 1-4. Semakin besar ukuran mesh size yang digunakan maka skornya semakin tinggi (4). (2) Analisis aspek teknis mencakup : produksi per tahun, produksi per trip, produksi per jam operasi, produksi pertenaga kerja dan produksi pertenaga penggerak kapal. Penilaian terhadap kriteria aspek teknis dilakukan dengan melihat jumlah produksi pada setiap kriteria dari setiap

79 54 unit penangkapan. Semakin besar nilai produksi untuk masing-masing kriteria, maka nilai skornya semakin besar. (3) Analisis aspek ekonomi dapat dijabarkan menjadi aspek ekonomi dan finansial. Aspek ekonomi meliputi : penerimaan kotor pertahun, penerimaan kotor per trip, penerimaan kotor per jam operasi, penerimaan kotor pertenaga kerja dan penerimaan kotor per tenaga penggerak kapal. Penilaian terhadap kriteria efisiensi usaha dilakukan dengan melihat penerimaan pada setiap kriteria dari setiap unit penangkapan. Kriteria finansial meliputi nilai net present value (NPV), nilai benefit cost ratio (Net B/C) dan nilai internal rate of return (IRR). Untuk kriteria penerimaan, semakin besar penerimaan yang diperoleh maka urutan prioritasnya semakin tinggi. Begitu pula dengan krietria investasi, semakin besar nilainya maka urutan prioritasnya semakin tinggi. (4) Analisis aspek sosial meliputi : penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan atau jumlah tenaga kerja per unit penangkapan, penerimaan nelayan per unit penangkapan atau penerimaan nelayan yang diperoleh dari hasil perhitungan yaitu hasil bagi antara sistem bagi hasil dengan jumlah nelayan per unit penangkapan, dan kemungkinan kepemilikan unit penangkapan ikan oleh nelayan yang diperoleh dari penerimaan nelayan per tahun dibagi investasi dari setiap unit penangkapan. Semakin besar nilainya, maka urutan prioritas sebagai fungsi nilainya semakin tinggi. Metode skoring dapat digunakan untuk penilaian kriteria yang mempunyai satuan berbeda. Skoring diberikan kepada nilai terendah sampai nilai tertinggi. Untuk menilai semua kriteria atau aspek digunakan nilai tukar, sehingga semua nilai mempunyai standar yang sama. Unit usaha yang memperoleh nilai tertinggi berarti lebih baik daripada yang lain demikian pula sebaliknya. Untuk menghindari pertukaran yang terlalu banyak, maka digunakan fungsi nilai yang menggambarkan preferensi pengambil keputusan dalam menghadapi kriteria majemuk. Standardisasi dengan fungsi nilai dapat dilakukan dengan menggunakan rumus dari Mangkusubroto dan Trisnadi (1985) sebagai berikut : V (X) = X X 1 X X (7)

80 55 V (A) = Vi( Xi) n i= 1 i = 1, 2, 3,, n... (8) dengan : V (X) = Fungsi nilai dari variabel X X = Nilai variabel X X 1 = Nilai tertinggi pada kriteria X X 0 = Nilai terendah pada kriteria X V (A) = Fungsi nilai dari alternatif A Vi (Xi) = Fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i Karena V adalah fungsi yang mencerminkan preferensi pengambil keputusan, maka alternatif yang terbaik adalah alternatif yang memberikan nilai V (X) tertinggi merupakan alat tangkap ikan yang terpilih untuk dikembangkan diperairan Sumatera Selatan Analisis kriteria ekonomi dan Finansial Kriteria ekonomi 1) Modal Investasi Investasi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh investor untuk membeli barang-barang yang diperlukan dalam melaksanakan suatu unit usaha. Modal investasi yang diperlukan untuk melaksanakan usaha penangkapan di Sumatera Selatan dengan menggunakan 8 jenis alat tangkap memiliki nilai yang berbeda. Penentuan prioritas unit penangkapan dengan menggunakan nilai investasi didasarkan pada nilai investasi terendah. Dengan demikian unit penangkapan yang memberikan nilai investasi terendah merupakan unit penangkapan yang terbaik. 2) Biaya Usaha Biaya usaha merupakan pengeluaran usaha yang digunakan untuk keperluan kegiatan penangkapan ikan, umumnya dihitung selama satu tahun. Biaya ini terbagi menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tetap tidak tergantung pada perubahan tingkat kegiatan dalam menghasilkan tingkat pengeluaran atau produk dalam interval waktu tertentu. Biaya tersebut harus tetap dikeluarkan sekalipun kegiatan operasi penangkapan tidak dilakukan. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang jumlahnya mengalami perubahan sesuai dengan tingkat produksi yang dilakukan (Soeharto 1999).

81 56 Kriteria kedua yang digunakan adalah biaya usaha. Sama halnya dengan nilai investasi, penentuan prioritas ditentukan berdasarkan nilai biaya terendah yang dikeluarkan oleh suatu unit penangkapan. 3) Revenue and Cost Rasio (R/C) R/C digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil usaha penangkapan dalam priode waktu tertentu cukup menguntungkan atau tidak. nilai R/C diperoleh dengan cara membandingkan penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan dalam waktu satu tahun, usaha dikatakan untung apabila nilai R/C >1 (Soeharto 1999). Berbeda dengan dua kriteria sebelumnya, nilai prioritas yang didasarkan pada kriteria keuntungan ditentukan berdasarkan nilai keuntungan terbesar. Semakin besar keuntungan maka semakin tinggi prioritas dari suatu alat tangkap. Prioritas usaha penangkapan ikan berdasarkan nilai R/C ditentukan dengan melihat nilai R/C terbesar. Semakin besar nilai R/C maka prioritas pengembangan unit penangkapan semakin baik. 4) Payback Periode (PP) Merupakan periode waktu yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran biaya investasi dengan menggunakan aliran kas dalam satu bulan atau satu tahun. Rumus yang digunakan untuk menghitung PP adalah sebagai berikut (Soeharto 1999): PeriodePen gembalian = Cf / A Keterangan : Cf A = Biaya pertama = Aliran kas bersih (netto) per tahun Nilai payback periode usahan perikanan tangkap di Sumatera Selatan berbeda setiap alat tangkap, semakin besar nilai payback periode semakin besar prioritas unit penangkapan tersebut. 5) Break Event Point (BEP) Merupakan titik dimana usaha mengalami titik impas (tidak untung atau rugi). Dengan asumsi bahwa harga penjualan per unit produksi adalah konstan maka jumlah unit pada titik impas dihitung sebagai berikut (Soeharto 1999): FC Qi = P VC

82 57 Keterangan : Qi FC P VC = Jumlah unit (volume) yang dihasilkan dan terjual pada titik Impas = Biaya tetap = Harga penjualan per unit = Biaya tidak tetap per unit Kriteria investasi Analisis kriteria investasi digunakan untuk membuat keputusan apakah suatu kegiatan/proyek dapat atau tidak untuk dijalankan serta digunakan untuk menilai dan mengevaluasi kegiatan tersebut. Analisis ini juga digunakan untuk mengetahui manfaat secara ekonomi maupun finansial dari suatu kredit. Analisis kriteria investasi usaha unit penangkapan ikan di Sumatera Selatan meliputi Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), dan Internal Rate of Return (IRR). 1) Net Present Value (NPV) Kriteria ini digunakan untuk menilai manfaat investasi yang merupakan jumlah nilai sekarang (present value) dari manfaat bersih dan dinyatakan dalam satuan rupiah. Rumus persamaan NPV adalah (Soeharto 1999): NPV = B C Kt t i) n t t t= 1 (1 + Nilai NPV merupakan nilai tambah yang diperoleh di akhir tahun proyek pada suku bunga tertentu. Semakin besar nilai NPV suatu usaha mengindikasikan besarnya nilai manfaat yang didapatkan oleh unit usaha tersebut. 2) Analisis Rasio Biaya dan Manfaat (B/C Ratio) Analisis Rasio Biaya dan Manfaat merupakan salah satu analisis untuk menilai kelayakan sebuah investasi yang ditanamkan baik secara ekonomi maupun secara finansial. Rasio Biaya dan Manfaat merupakan perbandingan di mana pembilang terdiri dari nilai manfaat total yang sudah didiskon dengan tingkat diskon (discount rate) tertentu, sedangkan sebagai penyebut adalah total biaya yang sudah didiskon. Persamaan rasio B/C tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Soeharto 1999):

83 58 B/C = n keterangan : t Bt (1 + i) t i) t= 1 Ct (1 + B = Benefit (Manfaat), C = Cost (Biaya), t = periode proyek i = Discount rate Dari persamaan tersebut di atas, dapat disusun kriteria kelayakan investasi di mana apabila nilai B/C memberikan nilai lebih besar dari 1 maka dikatakan investasi tersebut layak untuk diteruskan. Sebaliknya, apabila nilai B/C tersebut kurang dari 1 maka dikatakan investasi tersebut tidak layak untuk diteruskan. 3) Internal Rate of Return (IRR) Kriteria investasi ini merupakan suku bunga maksimal untuk sampai kepada nilai NPV bernilai sama dengan nol, jadi dalam keadaan batas untung rugi. Oleh karena itu kriteria ini sering dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek. Pernyataan ini memuat suatu implikasi bahwa setiap manfaat yang diwujudkan secara otomatis ditanam kembali pada tahun berikutnya dan mendapatkan tingkat keuntungan yang sama dan diberi bunga selama sisa umur proyek. Dengan demikian IRR dapat dirumuskan sebagai berikut (Soeharto 1999): ' IRR = i + ' NVP ' NPV NVP " ( i '' i ' ) keterangan: i` = discount rate ketika NVP positif I = discount rate ketika NVP negatif NPV = nilai NVP positif NPV = nilai NVP negatif Proyek dikatakan layak bila IRR lebih besar dari tingkat bunga yang berlaku. Sehingga bila IRR sama dengan tingkat bunga yang berlaku maka NPV dari proyek tersebut sama dengan nol. Sebaliknya, bila IRR lebih

84 59 kecil dari tingkat bunga yang berlaku, maka nilai NPV lebih kecil dari nol dan berarti proyek tersebut tidak layak. Semakin tinggi nilai IRR dari suatu unit penangkapan ikan maka kondisi usaha tersebut semakin baik Linear Goal Programming (LGP) Model LGP dapat memecahkan masalah aneka ragam tujuan dengan dimensi atau satuan ukuran yang berbeda, karena yang diminimumkan adalah penyimpangannya, LGP mencari titik yang paling memuaskan. LGP juga dapat memperhitungkan atau mempertimbangkan Prioritas dan Bobot. (1) Terminologi LGP X j = Variabel keputusan (Decision Variables) j = 1, 2,,n Bi = Nilai sisi kanan (Right hand side valves) i = 1, 2,,m (RHS) Pk = Preemtive priotiy factor (Prioritas) k = 1, 2,,k P 1 >P 2 >>> Pk di = Variabel simpangan negatif (Deviational variables) di = Variabel simpangan positif Wki = Bobot (Differential weight) aij = Koefisien teknologi (Technological coefficient) (2) Tujuan utama (Goal)-nya, meminimumkan angka penyimpangan dari suatu nilai sisi kanan (RHS) pada suatu goal constraint tertentu. (3) Goal Constraint (Kendala tujuan), suatu tujuan yang di ekspresikan dalam persamaan matematika dengan memasukkan variabel simpangan. (4) Unsur unsur LGP : Fungsi tujuan - Fungsi tujuan tanpa prioritas Minimumkan m Z = i= 1 di + di - Fungsi tujuan dengan prioritas +

85 60 Minimumkan m Z = i= 1 P k (di + di + ) untuk k = 1, 2,, k - Fungsi tujuan dengan prioritas dan Bobot m Minimumkan Z = i= 1 Wki P k (di + di + )... (9) untuk k = 1, 2,, k Kendala-kendala tujuan a 11 x 1 + a 12 x a 1n x n +DB 1 DA 1 = b 1 a 21 x 1 + a 22 x2 + a 2n x n + DB 2 DA 2 = b 2 a m11 x 1 + a m2 x 2 + a m x n + DB m DA m = b m dengan : Z = Fungsi tujuan (total deviasi) yang akan diminimumkan DB i = Deviasi bawah kendala-i DA i = Deviasi atas kendala ke-i Cj = parameter fungsi tujuan ke-j b 1 = kapasitas/ketersediaan kendala ke-i a ij = parameter fungsi kendala ke-i pada variabel keputusan ke-j kendala ke-i = Target produksi, MSY, keuntungan, penyerapan tenaga kerja, tingkat konsumsi ikan, PAD dan penerimaan devisa negara. Xj = variabel putusan ke-j (jumlah unit penangkapan) Xj, DAi dan DBi > 0, untuk i = 1,2,,m dan j = 1,2,,n Analisis SWOT Analisis SWOT adalah suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats) (Rangkuti 2000). Analisis SWOT mempertimbangkan faktor lingkungan internal strength dan weaknesess serta lingkungan eksternal opportunities dan threats yang dihadapi dunia bisnis. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan

86 61 kelemahan sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi suatu perusahaan. Analisis SWOT didahului dengan identifikasi posisi perusahaan / institusi melalui evaluasi nilai faktor internal dan evaluasi nilai faktor eksternal. Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui berbagai tahapan sebagai berikut : (1) Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal, (2) Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matriks SWOT, dan (3) Tahap pengambilan keputusan. Tahap pengambilan data ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi perusahaan dapat dilakukan dengan wawancara terhadap ahli perusahaan yang bersangkutan ataupun analisis secara kuantitatif misalkan neraca, laba rugi dan lain-lain. Setelah mengetahui berbagai faktor dalam perusahaan maka tahap selanjutnya adalah membuat matriks internal eksternal. Sebelum melakukan penyusunan matrik analisis SWOT terlebih dilakukan identifikasi faktor-faktor strategi eksternal dan internal dengan pembobotan. Tahapan pembobotan adalah sebagai berikut : 1) Menyusun faktor-faktor strategi internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor strategi eksternal (peluang dan ancaman) sebanyak 5 sampai dengan 10 strategi, dan 2) Memberikan bobot masing-masing faktor strategi internal dan eksternal, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Pembobotan setiap faktor-faktor SWOT Faktor-Faktor Internal Faktor-Faktor Eksternal Kekuatan Bobot Kelemahan Bobot Peluang Bobot Ancaman Bobot S1 W1 O1 T1 S2 W2 O2 T2 S3 W3 O3 T3 Sn Wn On Tn

87 62 Setelah pembobotan masing-masing faktor strategi dirangking dan dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif strategi dengan menggunakan matrik analisis SWOT (Tabel 3). Tabel 3 Diagram matriks SWOT dan kemungkinan strategi yang sesuai IFA / EFA STRENGHT (S) WEAKNESS (W) OPPORTUNITIES (O) TREATHS (T) Strategi SO Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang. Digunakan jika perusahaan berada pada kuadran I Strategi ST Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Digunakan jika perusahaan berada pada kuadran II Strategi WO Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang. Digunakan jika perusahaan berada pada kuadran III Strategi WT Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Digunakan jika perusahaan berada pada kuadran IV. Matrik analisis ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan internal yang dimiliki. Strategi yang dihasilkan yaitu : strategi (S-O) menggunakan unsur kekuatan untuk memanfaatkan peluang; strategi (S-T), menggunakan unsur kekuatan untuk menghadapi ancaman; strategi (W-O) memanfaatkan peluang dengan meminimalkan unsur kelemahan dan strategi (W-T) meminimalkan unsur kelemahan dan menghindari ancaman Proses Hierarki Analitik (PHA) Proses hierarki analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process merupakan teknik pengambilan keputusan yang pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang professor di Whartson School of Business pada tahun 1970 an. PHA pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu kala preferensi diantara berbagai alternatif. PHA banyak digunakan pada keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas dari strategistrategi yang dimiliki pemain dalam situasi konflik.

88 63 PHA merupakan proses pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem. Pada penyelesaian persoalan dengan PHA terdapat beberapa prinsip dasar yang harus dipahami antara lain (Saaty 1993): (1) Dekomposisi, setelah permasalahan atau persoalan didefinisikan, maka perlu dilakukan dekomposisi yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsurunsurnya. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, maka dilakukan pemecahan terhadap unsur-unsur tersebut sampai tidak dapat dipecah lagi, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tersebut. (2) Comparative Judgement, yaitu membuat penilaian tentang kepentingan relatif diantara dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari PHA karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen yang disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. (3) Synthesis of Priorrity, yaitu melakukan sintesis prioritas atau mencari nilai eigenvektor-nya dari setiap matrik pairwise comparison untuk mendapatkan prioritas lokal. Matrik pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, oleh karena itu untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. (4) Logical Consistency, konsistensi memiliki dua makna, yaitu (1) obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansinya. (2) tingkat hubungan antara obyek-obyek didasarkan pada kriteria tertentu. Pada dasarnya, metode PHA ini memecah-mecah suatu situasi yang kompleks, tak terstruktur, ke dalam bagian-bagian komponennya; menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel; dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. PHA juga menyediakan suatu struktur efektif untuk pengambilan keputusan secara berkelompok dengan memaksakan disiplin dalam proses pemikiran kelompok itu. Keharusan memberi nilai numerik pada setiap variabel masalah membantu para pengambil keputusan untuk mempertahankan pola-pola pikiran yang kohesif dan mencapai suatu kesimpulan. Selain itu, adanya konsensus dalam pengambilan keputusan kelompok memperbaiki konsistensi

89 64 pertimbangan dan meningkatkan keandalan PHA sebagai alat pengambilan keputusan Langkah langkah pada proses hierarki analitik Pengkajian Proses Hierarki Analitik dimulai dengan menata elemen suatu persoalan dalam bentuk hierarki. Lalu kita membuat pembandingan berpasangan antar elemen dari suatu tingkat sesuai dengan yang diperlukan oleh kriteriakriteria yang berada setingkat lebih tinggi. Berbagai pembandingan ini menghasilkan prioritas dan akhirnya, melalui sintesis, menghasilkan prioritas menyeluruh. Kita mengukur konsistensi dan menangani interdependensi Semua langkah dasar dari proses ini dapat diringkaskan menjadi suatu ikhtisar yang singkat. Dalam arti yang luas, proses ini stabil, meskipun beberapa langkah tertentu mungkin memperoleh penekanan istimewa dalam berbagai persoalan khusus. Sebagaimana dicatat di bawah ini, biasanya diperlukan pengulangan (Saaty 1993) : (1) Definisikan persoalan dan rinci pemecahan yang diinginkan, (2) Struktur hierarki dari sudut pandang manajerial menyeluruh (dari tingkattingkat puncak sampai ke tingkat di mana dimungkinkan campur tangan untuk memecahkan persoalan itu), (3) Buatlah sebuah matriks banding berpasang untuk kontribusi atau pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh yang berada setingkat di atasnya. Dalam matriks ini, pasangan-pasangan elemen dibandingkan dengan suatu kriteria di tingkat lebih tinggi. Dalam membandingkan dua elemen, kebanyakan orang lebih suka memberi suatu pertimbangan yang menunjukkan dominasi sebagai suatu bilangan bulat. Matriks ini memiliki satu tempat untuk memasukkan bilangan itu dan satu tempat lain untuk memasukkan nilai resiprokalnya, (4) Jadi jika satu elemen tak berkontribusi lebih dari elemen lainnya, elemen yang lainnya ini pasti berkontribusi lebih dari elemen itu. Bilangan ini dimasukkan dalam tempat yang semestinya dalam matriks itu dan nilai kebalikannya dalam tempat yang lain itu. Menurut perjanjian, suatu elemen yang disebelah kiri diperiksa perihal dominasinya atas suatu elemen di puncak matriks,

90 65 (5) Dapatkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan perangkat matriks di langkah 3. jika ada banyak orang yang ikut serta, tugas setiap orang dapat dibuat sederhana dengan mengalokasikan upaya secara tepat, yang akan kita jabarkan di bab sebelumnya. Pertimbangan ganda dapat disintesis dengan memakai rata-rata geometriknya, (6) Setelah mengumpulkan semua data banding berpasang itu dan memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta entri bilangan 1 sepanjang diagonal utama, prioritas dicari dan konsistensi diuji, (7) Laksanakan langkah 3, 4 dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam hierarki tersebut, (8) Gunakan komposisi secara hierarki (sintesis) untuk membobotkan vektor-vektor prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria, dan jumlahkan semua entri prioritas terbobot yang bersangkutan dengan entri prioritas dari tingkat bawah berikutnya, dan seterusnya. Hasilnya adalah vektor prioritas menyeluruh untuk tingkat hierarki paling bawah. Jika hasilnya ada beberapa buah, boleh diambil nilai rata-rata aritmetiknya, dan (9) Evaluasi konsistensi untuk seluruh hierarki dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas kriteria bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masing-masing matriks. Dengan cara yang sama setiap indeks konsistensi acak juga dibobot berdasarkan prioritas kriteria yang bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. Rasio konsistensi hierarki itu harus 10 persen atau kurang. Jika tidak, mutu informasi itu harus diperbaiki, barangkali dengan memperbaiki cara menggunakan pertanyaan ketika membuat perbandingan berpasang. Jika tindakan terstruktur secara tepat, yaitu elemen-elemen sejenis tidak dikelompokkan di bawah suatu kriteria yang bermakna. Maka kita perlu balik ke langkah 2, meskipun mungkin hanya bagian bagian persoalan dari hierarki itu yang perlu diperbaiki.

91 Ide dasar prinsip kerja PHA PHA memiliki prinsip kerja yang sangat mendasar yaitu : (1) Penyusunan Hierarki, Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki. (2) Penilaian Kriteria dan Alternatif, Kriteria dan alternatif melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1983), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada table berikut (Tabel 4) : Tabel 4 Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty (1993) Intensitas Definisi Pentingnya 1 Kedua elemen sama penting 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada yang lain 5 Elemen yang satu jelas lebih penting dibandingkan dengan elemen yang lain 7 Satu elemen sangat lebih penting dibandingkan elemen yang lain 9 Satu elemen mutlak lebih penting dibandingkan elemen yang lainnya 2,4,6,8 Nilai-nilai diantara dua pertimbangan yang berdekatan Kebalikan nilai-nilai di atas Penjelasan Dua elemen mempengaruhi sama kuat pada sifat itu Pengalaman atau pertimbangan sedikit menyokong satu elemen di atas yang lain. Pengalaman atau pertimbangan dengan kuat disokong dan dominasinya terlihat dalam praktek Satu elemen dengan disokong dan dominasinya terlihat dalam praktek Sokongan elemen yang satu atas yang lain terbukti memiliki tingkat penegasan tertinggi Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan Nilai-nilai di atas dianggap membandingkan antara elemen A dan B maka nilai-nilai kebalikan (1/2, 1/3, ¼,, 1/9) digunakan untuk membandingkan kepentingan B terhadap A Nilai perbandingan A dengan B adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A. (3) Penentuan Prioritas Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (passive comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif.

92 67 Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan judgment yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematika. (4) Konsistensi Logis. Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Level 1: Fokus Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Level 2: Masalah Sarana dan prasarana Aktivitas usaha penangkapan Pengolahan Pemasaran Level 3: Alternatif Kebijakan Meningkatkan jumlah unit alat tangkap Menambah unit pengolahan Menambah prasarana pelabuhan Memperluas jangkauan daerah penangkapan di atas12 mil Gambar 9 Proses hierarki analisis pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan.

93 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Administrasi wilayah Provinsi Sumatera Selatan secara geografis terletak pada 1 0 LU 4 0 LS dan 102, ,41 0 BT, dengan luas mencapai ,42 km 2, atau ha yang terdiri dari daratan dan perairan baik perairan umum maupun perairan laut. Luas perairan umum mencapai ha dan luas laut mencapai ± km 2 dengan panjang garis pantai ± 570,14 km. Secara administrasi Provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan : Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Jambi Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Bangka Belitung Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Lampung Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu Sebagai suatu pemerintahan, Provinsi Sumatera Selatan terbagi menjadi beberapa kabupaten yaitu Banyuasin, Musi Banyuasin, Musi Rawas, Lahat, Empat Lawang, Muara Enim, Ogan Hilir, Ogan Komering Hilir, Komering Ulu, Komering Ulu Timur, Komering Ulu Selatan, kota Lubuk Linggau, Pagar Alam, Palembang dan kota Prabumulih. Provinsi Sumatera Selatan memiliki potensi produksi berdasarkan jenis perairan yang terbagi atas perairan laut, umum dan tambak. Perairan laut terbagi atas pantai (± 570,14 km) dengan potensi produksi ton/tahun dan perairan laut (± 47,000 km 2 ) dengan potensi produksi lebih dari ton/tahun. Perairan umum (± ha) dengan potensi produksi 50 kg/ha/tahun dan perairan tambak (> ha) dengan potensi produksi 500 kg/ha/tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan 2009). Berdasarkan hasil analisis, luas perairan Provinsi Sumatera Selatan sewaktu Bangka Belitung masih termasuk wilayah Sumatera Selatan adalah seluas ,12 km 2, setelah Bangka Belitung menjadi Provinsi baru, luas perairan Provinsi Sumatera Selatan tinggal 8.105,97km 2 dengan panjang garis pantai 526,57 km. Penurunan ini berpengaruh terhadap produksi dan pengelolaan perikanan sehingga diperlukan suatu rancang bangun yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan.

94 Perairan Laut Sumatera Selatan Secara geografis, perairan laut Provinsi Sumatera Selatan termasuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Laut Cina Selatan, Selat Karimata dan Laut Natuna memiliki arti strategis baik ditinjau dari sumberdaya yang dikandung maupun dari segi lalu lintas pelayaran serta memiliki wilayah perbatasan dengan Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perbatasan melalui berbagai usaha perikanan selain dapat meningkatkan aspek kesejahteraan juga keamanan. Dengan aspek kesejahteraan, dimaksudkan sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya alam untuk meningkatkan kemakmuran atau kesejahteraan, sedangkan aspek keamanan adalah meningkatkan upaya pengamanan wilayah perairan perbatasan tersebut. Menurut Cholik et al. 1995, perairan Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dengan rata-rata kedalaman perairan 70 m, pada dasar relatif rata dan produktivitas perairan sangat dipengaruhi oleh musim. Sekitar sepertiga luas perairan termasuk ke dalam perairan teritorial dan ZEE Indonesia. Luas perairan Laut Cina Selatan yang masuk wilayah Indonesia diestimasi sekitar km 2 dengan iklim tropis dan curah hujan yang tinggi, maka perairan ini memiliki ekosistem dengan keanekaragaman jenis ikan yang tinggi. Sumberdaya ikan yang melimpah terutama kelompok ikan pelagis kecil, demersal, dan udang penaeid. Kondisi obyektif menunjukkan tingginya tingkat eksploitasi di perairan Laut Cina Selatan baik oleh armada Indonesia maupun asing membawa konsekwensi turunnya sediaan ikan disertai penurunan hasil tangkapan dan perubahan struktur populasi. Oleh karena itu, pengkajian stok ikan melalui estimasi tentang jumlah atau kelimpahan (abundance) sumberdaya, estimasi laju pengurangan stok yang disebabkan oleh penangkapan dan sebab-sebab lain, serta indikator perubahan stok ikan sangat penting diketahui. Di pihak lain, informasi tentang status sumberdaya ini digunakan oleh para penentu kebijakan dan para pengelola perikanan untuk menentukan sejumlah tindakan yang diperlukan dalam meningkatkan pemanfaatan yang terbaik atas sumberdaya ikan. (1) Sumberdaya perikanan pelagis kecil Eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Cina Selatan berkembang sejak tahun 1970-an, di mana penangkapan ikan banyak menggunakan gill net dengan trip harian (one day fishing) terutama oleh nelayan di Kalimantan

95 71 Barat. Penggunaan pukat cincin (purse seine) berkembang sejak tahun 1986 oleh nelayan yang berpangkalan di Pontianak dan Pemangkat. Dalam perkembangan, banyak kapal pukat cincin dari Pekalongan (Jawa Tengah) yang menangkap ikan pelagis kecil di perairan Laut Cina Selatan bahkan sampai dengan di daerah Natuna terutama pada musim Tenggara (Sadhotomo and Potier, 1995). Penghitungan nilai potensi lestari (maximum sustainable yield) berdasarkan pada data terbaru (tahun 2002 sampai dengan 2004) belum dapat ditentukan. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan yang bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2001) perairan Laut Cina Selatan yang memiliki luas perairan sekitar km 2 mempunyai potensi sumberdaya ikan pelagis kecil ton dengan tingkat pemanfaatan sekitar 33% dari potensi lestari. Hasil tangkapan ikan pelagis kecil neritik dan kostal dengan alat tangkap bagan di perairan Bangka-Belitung didominasi oleh ikan teri (Stolephorus spp.) dan cumi-cumi (Loligo spp.). Sementara itu, hasil tangkapan payang didominasi oleh ikan siro (Amblygaster sirm) dan tembang (Sardinella gibbosa). Hasil tangkapan pancing di sekitar Tanjung Pandan, Belitung didominasi oleh selar (Selar spp. dan Atule mate) dan banyar (Rastrelliger kanagurta). Daerah penyebaran ikan pelagis kecil oseanik di perairan Laut Cina Selatan meliputi perairan Selat Karimata, perairan Barat Pemangkat dan sekitar Kepulauan Natuna. Perikanan bagan di Bangka terdapat di sepanjang pantai Utara seperti di Sungai Liat, Koba dan Pangkal Pinang, serta sebelah Barat Belitung. Daerah penangkapan ikan dengan payang terdapat di perairan Utara Bangka (kira-kira 5 sampai dengan 10 mil dari pantai), Pulau Tujuh dan Pulau Kelasa di sebelah Timur pada kedalaman 25 m. (2) Sumberdaya ikan demersal Secara geografis, dimaksud dengan perairan Laut Cina Selatan dalam konteks sumberdaya ikan demersal terletak pada posisi geografis antara LU LS dan BT. Data dan informasi tentang sumberdaya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan pada periode kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Republik Federasi Jerman (GTZ) antara tahun 1975 sampai dengan 1978 dapat

96 72 dikatakan merupakan data awal (benchmark) yang dapat digunakan sebagai salah satu pembanding bagi hasil-hasil penelitian periode sesudah. Setelah diberlakukan Keppres.39/80 tentang pelarangan trawl, penelitian sumberdaya ikan demersal dilakukan secara parsial dan tidak berkesinambungan. Pelaksanaan lebih dititikberatkan di tempat-tempat pendaratan ikan terpilih di Laut Cina Selatan. Tingginya tingkat pemanfaaatan sumberdaya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan tampak dari kecenderungan menurunnya angka kepadatan stok sebagai hasil dari survei trawl di Laut Cina Selatan selama beberapa tahun. Survei pada bulan Agustus sampai dengan September 1975 diperoleh kepadatan stok 2,36 ton km -2 diikuti dengan penurunan pada tahun 1978 menjadi 1,8 ton km -2 dan seterusnya pada bulan Agustus 2001 diperoleh nilai 1,04 ton km -2. Survei trawl dengan tipe standar (high opening trawl/thailand trawl) pada bulan Juni sampai dengan Juli 2005 diperoleh nilai kepadatan stok 1,70 ton km -2 dengan standing stock or biomass ton. Mengacu pada luas daerah penangkapan ikan demersal di Laut Cina Selatan seluas km 2 (Widodo et al. 1998), maka diperoleh nilai potensi lestari ton. Dibandingkan dengan potensi tahun 2001 yang besar ton (Departemen Kelautan dan Perikanan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2001), maka mengalami peningkatan sekitar 41,6%. Perubahan tersebut diduga sebagai akibat ada perubahan kondisi oseanografis perairan yang secara langsung mempengaruhi perilaku pengelompokkan ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan. Perubahan musim tersebut berlangsung secara reguler mengikuti pola pergerakkan matahari yang selanjutnya menyebabkan timbul 2 puncak musim (monsoon) yaitu musim Timur dan Barat. Kegiatan survei pada tahun 1975 dilakukan pada bulan Agustus atau September, sedangkan tahun 1978 dan 2005 dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Juli. (3) Sumberdaya perikanan udang Penghapusan trawl di Laut Cina Selatan tampak tidak banyak memberikan dampak penurunan produksi udang, sebaliknya malah cenderung meningkat terutama sejak tahun 1997 sebagaimana tampak di perairan Barat Kalimantan. Peningkatan tersebut terutama untuk jenis udang krosok (dalam statistik perikanan dimasukan kategori udang lain).

97 73 Peningkatan catch per unit of effort didominasi oleh udang yang berukuran kecil atau krosok (dalam statistik perikanan termasuk kategori udang lain) dan sebagian udang jerbung dan dogol. Peningkatan udang krosok diikuti oleh menurunnya jumlah unit alat tangkap, antara lain jermal, sero, serok, dan perangkap lain yang sebagian besar dioperasikan secara pasif dan mengandalkan proses pasang surut. Sementara itu, jumlah unit gill net, trammel net, dan pukat pantai tahun 1991 sampai dengan 2000 cenderung mendatar atau relatif tetap dari tahun ke tahun. 4.3 Perikanan tangkap Perairan Sumatera Selatan memiliki variasi kondisi perairan yang berkaitan dengan potensi keberadaan sumberdaya ikan di wilayah perairan Provinsi Sumatera Selatan. Kelimpahan sumberdaya perikanan Sumatera Selatan, dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dalam hal ini adalah jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima diperairan Provinsi Sumatera Selatan cukup tinggi seperti wilayah tropis lainnya. Sehingga faktor tersebut mempengaruhi pertumbuhan jasad renik yang merupakan salah satu faktor penting produktivitas perairan salah satu jenis perairan yang kaya akan jasad renik adalah perairan pantai. Menurut Nybaken (1988) perairan pantai merupakan daerah yang memiliki tingkat kesuburan tinggi yang mendukung terhadap kelimpahan sumberdaya ikan. Kondisi perairan yang memiliki pengaruh terhadap kegiatan perikanan, khususnya tangkap adalah panjang pantai. Provinsi Sumatera Selatan memiliki panjang garis pantai mencapai 570,14 km yang tersebar pada 2 wilayah kabupaten/kota di Sumatera Selatan yaitu Kabupaten Ogan Komering Ilir 275 km dan Banyuasin 295,14 km ( Dinas Kelautan dan Perikanan Proivinsi Sumatera Selatan 2009 ) Nelayan Nelayan merupakan orang-orang yang sehari-harinya bekerja menangkap ikan atau biota lainnya yang hidup di dasar, kolom maupun permukaan perairan. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkapan dikategorikan nelayan meskipun tidak melakukan

98 74 aktivitas penangkapan (Ditjen Perikanan Tangkap 2002). Pengertian nelayan disini ditujukan untuk orang-orang yang menangkap ikan di wilayah perairan laut. Berdasarkan data statistik tahun jumlah rumah tangga perikanan Provinsi Sumatera Selatan secara umum mengalami peningkatan dari tahun sebesar 3941 menjadi Berdasarkan kategori usaha terlihat bahwa jenis kapal motor memiliki jumlah RTP tertinggi dibandingkan dengan RTP lainnya. Pada kategori kapal motor terlihat juga bahwa kapal motor < 5GT memiliki jumlah RTP terbanyak pada tahun 2007 yaitu Kondisi sosial ekonomi masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan masih berada di bawah garis kemiskinan, hal ini ditunjukkan oleh data RTP yang diperoleh. Beberapa aspek yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut adalah aspek material, pendidikan dan status sosial yag dipengaruhi oleh perubahan kondisi ekonomi. Jumlah nelayan perikanan laut di Provinsi Sumatera Selatan ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah nelayan berdasarkan RTP menurut kategori usaha di Provinsi Sumatera Selatan Kategori Usaha Tahun Kecil Perahu tanpa Sedang motor Besar Motor tempel < 5 GT GT Kapal motor GT GT GT Jumlah Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun Jumlah nelayan di suatu daerah biasanya selalu bertambah. Hal ini disebabkan oleh adanya kebiasaan dikalangan nelayan untuk mempekerjakan anak mereka dengan cara mengajak pergi melaut. Faktor keturunan diduga merupakan faktor utama yang sangat sulit dikendalikan disamping faktor lainnya seperti kedatangan nelayan dari daerah lain ataupun orang baru yang beralih profesi menjadi nelayan juga dapat menambah jumlah nelayan untuk suatu daerah dan waktu tertentu. Apabila dilihat dari Tabel 5 maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar nelayan di Provinsi Sumatera Selatan adalah nelayan kecil. Hal ini dapat dilihat pada jumlah perahu tanpa motor dan perahu dengan motor tempel yang lebih dominan dibandingkan yang lainnya. Tabel 5 juga

99 75 menunjukkan bahwa armada perikanan di Provinsi Sumatera Selatan masih tergolong dalam armada perikanan skala kecil. Gambar 10 Kecenderungan jumlah nelayan berdasarkan RTP di Provinsi Sumatera Selatan. Sepanjang tahun 2001 hingga tahun 2007, jumlah RTP mengalami kenaikan secara perlahan-lahan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap masih menjadi salah satu andalan bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan penghasilan. Meskipun demikian, peningkatan jumlah nelayan yang tidak disertai dengan manajemen pengelolaan dan pengawasan yang baik justru mulai berdampak negatif terhadap produktivitas dan kelestarian sumberdaya ikan Kapal penangkap ikan Armada perahu/kapal yang digunakan untuk menangkap ikan di Provinsi Sumatera Selatan terdiri atas perahu (tanpa motor maupun dengan motor) dan kapal (< 30 GT dan > 30 GT). Kategori perahu/kapal yang paling banyak digunakan di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2007 adalah kapal dengan tonase < 30 GT sebanyak 4797 unit. Selanjutnya perahu/kapal tanpa motor merupakan jumlah armada kedua yang terbanyak yaitu 1769 unit. Secara umum jumlah armada perikanan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan pada kurun waktu tahun mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2001 sebanyak 4030 unit dan pada tahun 2007 bertambah menjadi 6864 unit. Peningkatan armada perahu/kapal tersebut diharapkan dapat lebih meningkatkan penghasilan

100 76 nelayan apabila didukung dengan peningkatan alat tangkap dan keahlian nelayan dalam kegiatan penangkapan. Data jumlah armada penangkapan yang beroperasi di wilayah Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah perahu/kapal perikanan menurut jenis atau ukuran perahu di Provinsi Sumatera Selatan sejak tahun Kategori Tahun Perahu/kapal Perahu : a. Tanpa Motor b. Motor Tempel Kapal Motor : a. < 30 GT b. > 30 GT Jumlah Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan jenis kapal yang beroperasi di Sumatera Selatan terdiri dari atas kapal yang mengoperasikan gill-net, rawai, perangkap, trammelnet dan bagan. Banyaknya armada yang melakukan kegiatan operasi di kawasan ini didasarkan pada sumberdaya yang masih tersedia di sekitar perairan Sumatera Selatan. Kapal yang digunakan oleh nelayan memiliki karakteristik dan ukuran tertentu tergantung pada jenis alat tangkap dan ikan tujuan operasi penangkapan. Adapun karakteristik kapal/perahu yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Kapal/perahu Gill-Net Ukuran kapal (P x L x D) yaitu 9,5 m x 2,1 m x 0,8 m. Tenaga penggerak yang digunakan yaitu 38 PK (ukuran mesin); Suzuki, Yamaha dan Dongfeng (merek mesin); dan solar (bahan bakar). Alat tangkap yang digunakan adalah gillnet dengan dimensi alat tangkap (P x L) yaitu 23 m x 3 m sejumlah 70 piece. 2. Kapal/perahu Rawai Ukuran kapal (P x L x D) yaitu: 7 m x 1,4 m x 0,6 m. Tenaga penggerak yang digunakan yaitu 40 PK (ukuran mesin), Yamaha (merek mesin) dan solar (bahan bakar). Alat tangkap yang digunakan adalah rawai sejumlah 5000 mata pancing dengan jarak antara mata pancing 4 m.

101 77 3. Kapal/perahu Trammel-net Ukuran kapal (P x L x D) yaitu 10 m x 2,2 m x 0,8 m. Tenaga penggerak yang digunakan yaitu 45 PK (ukuran mesin), suzuki (merek mesin) dan solar (bahan bakar). Alat tangkap yang digunakan adalah jaring dengan dimensi (P x L) : 20 m x 1,5 m sejumlah 100 piece Alat tangkap Alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di perairan Provinsi Sumatera Selatan, terdiri dari enam kelompok yaitu seine net, gillnet, lift net, rawai, trap, dan alat pengumpul kerang. Jumlah alat tangkap di perairan Sumatera Selatan pada tahun mengalami peningkatan yaitu 4537 unit pada tahun 2001 dan 7801 pada tahun Peningkatan ini terjadi seiring dengan peningkatan jumlah armada dan volume penangkapan ikan di sekitar perairan Sumatera Selatan setelah berpisah dengan Provinsi Bangka Belitung. Peningkatan alat tangkap ini diharapkan dapat ikut serta meningkatkan jumlah penghasilan nelayan yang beroperasi di kawasan ini. Jenis alat tangkap paling banyak digunakan oleh nelayan di sekitar Sumatera Selatan adalah jenis jaring insang (gill-net, trammel-net, jaring insang tetap dan jaring insang hanyut). Jenis jaring ini sangat populer digunakan sampai pada tahun 2007, hal ini disebabkan oleh jenis target spesies yang memungkinkan untuk ditangkap di sekitar perairan Sumatera Selatan adalah dengan menggunakan jenis alat tangkap ini. Hasil tangkapan dengan menggunakan alat tangkap sejenis jaring insang ini lebih banyak, namun juga tidak semua ikan tertangkap (yang kecil masih dapat lolos) sehingga dapat melakukan regenerasi populasi. Dengan begitu kondisi populasi ikan di kawasan ini masih dapat dimanfaatkan kembali (tidak habis dalam sekali penangkapan). Data jumlah alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 7.

102 78 Tabel 7 Perkembangan jumlah alat tangkap perikanan laut (unit) menurut jenis alat tangkap di Provinsi Sumatera Selatan No. Alat Tangkap Tahun Payang Jaring insang hanyut Jaring insang tetap Jaring insang lingkar Jaring klitik Trammel net Bagan tancap Serok Jaring angkat lainnya Pancing Sero Jermal Alat perangkap lainnya Alat pengumpul kerang Jumlah Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun Secara umum, seperti halnya yang terjadi pada perkembangan jumlah nelayan, jumlah alat tangkap pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seperti ditunjukkan pada Gambar 11. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada periode tahun yaitu dari angka 4537 unit menjadi 7383 unit. Pada periode setelahnya tidak terlalu besar peningkatannya dimana pada tahun 2005 hingga 2007 naik dari jumlah alat tangkap sebesar 7572 unit menjadi 7801 unit. Jumlah (unit) Tahun Gambar 11 Perkembangan jumlah seluruh alat tangkap menurut jenis alat di Provinsi Sumatera Selatan.

103 Produksi perikanan tangkap Produksi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan secara keseluruhan mengalami kenaikan dari tahun Pada tahun 2001 jumlah produksi perikanan 46191,70 ton dan pada tahun 2007 menurun menjadi 36643,08 ton. Produksi perikanan tangkap secara keseluruhan menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat pada Tabel 8. Secara umum terjadi kecenderungan peningkatan produksi perikanan tangkap sepanjang periode (Gambar 12). Meskipun demikian, pada tahun , terjadi penurunan produksi bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan ini diakibatkan oleh karena adanya kenaikan harga BBM sehingga banyak kapal penangkapan yang tidak melakukan aktifitas-aktifitasnya, hal ini terlihat dari menurunnya jumlah trip penangkapan pada tahun 2004 sebanyak trip menjadi trip pada tahun Kemudian secara perlahan-lahan naik kembali pada tahun 2007 dengan produksi mencapai 36643,08 ton. Kenaikan bahan bakar sangat berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan karena bahan bakar merupakan komponen biaya terbesar yang di butuhkan dalam melaksanakan operasional penangkapan. Namun demikian, hal paling penting yang berdampak terhadap fluktuasi hasil tangkapan yang mengarah pada degradasi sumberdaya ikan adalah adanya target peningkatan produksi perikanan yang mengesampingkan aspek kelestariannya yang juga dibarengi dengan semakin tingginya permintaan terhadap ikan baik dari dalam maupun luar negeri. Kualitas perairan yang semakin menurun dan peningkatan jumlah effort memberikan tekanan yang cukup berarti sehingga berdampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan. Produksi perikanan tangkap per jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan seperti yang di tunjukan pada Tabel 8 dan Gambar 12.

104 80 Tabel 8 Produksi perikanan tangkap per jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Kategori Demersal Pelagis Binatang berkulit keras Binatang berkulit lunak Jenis Ikan Sebelah Peperek Manyung Gerotgerot Merah Kakap Gulamah Cucut Pari Kuro Layur Bawal Hitam Bawal Putih Selar Belanak Teri Japuh Golokgolok Kembung Tenggiri Papan Tenggiri Tongkol Ikan lainnya Rajungan Udang windu Udang putih Udang dogol Udang lainnya Kerang darah Jumlah Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun

105 Produksi (Ton) Tahun Gambar 12 Perkembangan produksi total perikanan tangkap menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Kapal perikanan yang beroperasi di sekitar perairan Sumatera Selatan, pada umumnya melakukan satu kali trip (one day fishing). Meskipun demikian, masing-masing kapal memiliki durasi dan jumlah trip yang berbeda tergantung pada jenis alat tangkap dan ukuran kapal yang digunakan. Pada tahun 2001, jumlah trip secara keseluruhan mencapai dan pada tahun 2007 naik mencapai angka Kenaikan jumlah trip ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah armada pada tahun yang sama. Jumlah trip terbesar dalam kurun waktu 7 tahun terakhir terjadi pada alat tangkap pancing tonda dan pancing lainnya, perangkap dan trammel net. Jumlah trip kapal penangkapan ikan menurut alat penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan seperti yang di tunjukan pada Table 9.

106 82 Tabel 9 Jumlah trip kapal penangkapan ikan menurut alat penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun No. Alat Tangkap Tahun Payang Jaring insang hanyut Jaring insang tetap Jaring insang lingkar Jaring klitik Trammel net Bagan tancap Serok Jaring angkat lainnya Pancing+Pancing Tonda Sero Alat perangkap lainnya Alat pengumpul kerang Jenis alat lainnya Jumlah Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun Produktivitas alat penangkapan ikan diartikan sebagai ukuran jumlah hasil tangkapan yang diperoleh baik selama setahun atau per trip menurut jenis alat tangkap yang digunakan. Produktivitas tahunan alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan secara umum mengalami fluktuasi antara tahun Alat tangkap jaring insang hanyut memiliki produktivitas yang paling tinggi pada tahun 2007 yaitu 16,99 ton. Peningkatan jumlah alat tangkap yang tidak sebanding dengan peningkatan produksi mengakibatkan nilai produktivitas tahunan alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan menjadi menurun seperti ditunjukkan pada Tabel 10.

107 83 Tabel 10 Produktivitas tahunan alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun (Ton/Tahun/Alat penangkap ikan) Tahun No. Alat Tangkap Payang 2,65 2,69 1,07 1,14 0,49 0,54 0,77 2. Jaring insang hanyut 23,34 12,65 30,26 30,04 26,79 18,58 16,99 3. Jaring insang tetap 0,68 1,00 8,06 8,04 6,74 5,73 2,57 4. Jaring insang lingkar 4,68 6,59 8,09 8,22 4,02 4,92 5,81 5. Jaring klitik 8,96 8,29 7,14 7,23 3,80 4,96 7,03 6. Trammel net 9,54 9,97 4,89 4,97 2,64 3,49 5,51 7. Bagan tancap 16,72 17,50 14,33 13,34 11,66 8,53 10,71 8. Serok 0,25 2,36 0,38 0,42 0,44 0,35 0,29 9. Jaring angkat lainnya 0,20 0,10 0,06 0,06 0,03 0,03 0, Pancing 7,64 8,51 5,81 5,88 5,25 3,14 2, Sero 15,88 16,04 8,82 5,62 2,70 3,24 2, Jermal 8,13 5,81 9,62 5,92 3,92 3,37 1, Alat perangkap lainnya 3,08 24,06 1,95 1,91 1,68 7,25 6, Alat pengumpul kerang 0,06 0,07 0,29 0,27 0,46 0,17 0,32 Rata-rata 2,65 2,69 1,07 1,14 0,49 0,54 0,77 Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun Penurunan produktivitas alat penangkapan dari tahun juga diikuti dengan mengurangi produksi rata-rata per trip alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan. Pada tahun 2001 produktivitas rata-rata dari ke-14 alat tangkap yang ada adalah sebesar ton/trip dan naik menjadi menjadi 0,082 ton/trip pada tahun Kemudian pada tahun 2007 kembali menurun sehingga menjadi 0,051 ton/trip pada tahun. Produksi rata-rata per trip alat penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat pada Tabel 11.

108 84 Tabel 11 Produksi rata-rata per trip alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun (Ton/Trip/Alat penangkap ikan) No. Alat Tangkap Tahun Payang 0,040 0,040 0,015 0,017 0,006 0,008 0, Jaring insang hanyut 0,153 0,190 0,198 0,196 0,462 0,268 0, Jaring insang tetap 0,003 0,005 0,040 0,051 0,047 0,040 0, Jaring insang lingkar 0,028 0,039 0,048 0,048 0,032 0,039 0, Jaring klitik 0,067 0,303 0,050 0,051 0,023 0,025 0, Trammel net 0,048 0,050 0,027 0,031 0,019 0,025 0, Bagan tancap 0,111 0,117 0,096 0,089 0,107 0,078 0, Serok 0,001 0,012 0,002 0,003 0,003 0,002 0, Jaring angkat lainnya 0,002 0,001 0,001 0,001 0,000 0,000 0, Pancing 0,045 0,044 0,034 0,035 0,041 0,027 0, Sero 0,132 0,134 0,103 0,106 0,029 0,037 0, Alat perangkap lainnya 0,041 0,029 0,053 0,037 0,028 0,024 0, Alat pengumpul kerang 0,022 0,172 0,014 0,014 0,033 0,040 0, Jenis alat lainnya 0,015 0,017 0,024 0,081 0,012 0,051 0,102 Rata-rata 0,051 0,082 0,050 0,054 0,060 0,047 0,051 Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun Tingkat produktivitas alat penangkapan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan di samping tingkat harga ikan hasil tangkapan. Dengan meningkatnya produktivitas maka pendapatan nelayan pun akan meningkat. Harga ikan di Provinsi Sumatera Selatan mengalami fluktuasi. Fluktuasi yang terjadi ini dipengaruhi oleh kondisi ekonomi negara, kebijakan pemerintah dan ketersediaan sumberdaya yang terbatas pada musim-musim tertentu. Harga sumberdaya yang paling tinggi sejak tahun adalah udang windu yaitu berada pada kisaran Rp Rp per Kg, sedangkan kerang darah memiliki harga yang paling rendah yaitu Rp Rp per Kg. Harga ikan menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan ditunjukkan pada Tabel 12.

109 85 Tabel 12 Harga ikan (Rp/kg) menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Kategori Demersal Pelagis Binatang berkulit keras Binatang berkulit lunak Tahun Jenis Ikan Sebelah Peperek Manyung Gerot-gerot Merah Kakap Gulamah Cucut Pari Kuro Layur Bawal Hitam Bawal Putih Selar Belanak Teri Japuh Golok-golok Kembung Tenggiri Papan Tenggiri Tongkol Ikan lainnya Rajungan Udang windu Udang putih Udang dogol Udang lainnya Kerang darah Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun Nilai produksi perikanan tangkap dari jenis demersal, pelagis, binatang bertulang lunak dan binatang bertulang keras di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan Tabel 13 terlihat mengalami kenaikan dari tahun Pada tahun 2001 nilai produksi perikanan tangkap sebesar Rp dan Rp ,- pada tahun Nilai produksi perikanan tangkap meningkat seiring dengan meningkatnya hasil tangkapan. Peningkatan hasil tangkapan didukung dengan peningkatan alat penangkapan dan armada perahu/kapal. Secara lebih jelas nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan ditunjukkan pada Tabel 13.

110 86 Tabel 13 Nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Kategori Jenis Ikan Tahun (Rp. X ) Demersal Pelagis Binatang berkulit keras Binatang berkulit lunak Sebelah Peperek Manyung Gerot-gerot Merah Kakap Gulamah Cucut Pari Kuro Layur Bawal Hitam Bawal Putih Selar Belanak Teri Japuh Golok-golok Kembung Tenggiri Papan Tenggiri Tongkol Ikan lainnya Rajungan Udang windu Udang putih Udang dogol Udang lainnya 2660,9 3211,8 3379,2 3765,5 4187,4 2660,7 3651,0 8032,2 8649,3 9231, ,8 9075,0 6803,4 8351, , , , , , , ,3 6954,8 7440,0 9158, ,0 5934,0 8253,0 9669,1 3931,5 5218,8 6038,2 7085,6 5198,0 5523,3 9056,4 6027,0 8144, , , ,0 8626,5 9329,4 1423,3 1769,0 1806,0 3371,1 3528,8 2192,9 3117, , , ,J , , , ,5 8722,8 9304,4 9067, , ,0 9187,2 8736,7 1732,8 3010,0 4563,0 7918,4 3339,0 4251,6 8478,7 2473,7 2749,1 3245,0 4273,1 2343,0 3184,8 4990,7 9319, , , , , , ,7 5232,5 6722,8 6619,9 9400,5 7203,2 5422,2 7599,6 6515,2 6874,4 8758,4 5325,0 6189,0 8548,8 8974,5 5164,4 5856,0 6881,0 8563,5 8855,6 6195, ,4 6555,6 7826,4 6260,0 7159,5 7355,7 5170,0 7380,6 2034,8 2315,2 2461,1 2528,1 1446,0 1843,0 4081,0 9688, , , ,0 7380, , ,5 764,0 1040,0 1180,3 2875,6 3211,6 1096,5 2028,8 7018,2 8442,0 8881,7 9679,5 9062,1 7061,0 9020,0 5695,9 6695,3 7242,9 7884,9 6184,5 5748,0 7603,6 1724,0 2056,8 2266,7 2583,0 2563,6 2204,8 4167, , , , , , , ,0 9402, , , , , , ,8 6784,0 7988,0 7513, ,6 8380,7 5194,4 8257, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,3 Kerang darah 781,2 867,2 1099,8 1787,6 725,3 1109,4 2025,5 Jumlah , , , , , , ,2 Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun Keberlanjutan perikanan tangkap di suatu daerah tidak terlepas dari volume produksi tahunan. Angka produksi tersebut menunjukkan seberapa besar potensi sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan di wilayah tersebut. Meskipun sumberdaya perikanan termasuk dalam jenis sumberdaya yang dapat pulih, namun pengeksploitasian yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan kepunahan ikan. Menurut Suharso et. al (2006), sumberdaya perikanan dapat dieksploitasi pada tingkat tertentu tanpa dampak negatif terhadap stok sumberdaya ikan. Oleh karena itu, prinsip yang perlu dipahami

111 87 adalah bagaimana menggali sumberdaya yang ada di Provinsi Sumatera Selatan untuk kehidupan masyarakat secara lestari dan berkelanjutan. Walaupun sumberdaya perikanan termasuk sumberdaya yang dapat diperbaharui, tetapi jika pengelolaannya salah, maka sumberdaya tersebut akan mengalami kepunahan dan tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh manusia Pengolahan hasil perikanan Proses pengolahan hasil perikanan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa jenis. Untuk komoditas ekspor seperti udang dan rajungan, setelah mengalami pengolahan dengan memotong kepala (udang tanpa kepala) dan pemisahan cangkang (rajungan), produk ekspor tersebut langsung dibekukan untuk mempertahankan mutu tetap baik. Pengolahan produk komoditas lokal dilakukan dengan cara pemindangan, pengasapan maupun penjemuran. Jenis olahan lain yang menjadi salah satu makanan khas Provinsi Sumatera Selatan adalah pempek dan kerupuk ikan. Makanan yang bahan utamanya dari ikan ini menjadi oleh-oleh khas bagi wisatawan dan sangat disenangi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan potensi pasar yang besar merupakan salah satu keunggulan hasil olahan perikanan Provinsi Sumatera Selatan. Melalui koordinasi dan pembinaan yang terpadu, maka usaha pempek dan kerupuk dapat dikembangkan dengan lebih baik dan melibatkan banyak tenaga kerja yang pada akhirnya bukan hanya meningkatkan pendapatan bagi pengusaha tetapi juga mampu menggerakkan ekonomi bagi masyarakat pesisir Pemasaran hasil tangkapan Produk perikanan Provinsi Sumatera Selatan telah didistribusikan ke berbagai wilayah pemasaran baik lokal, nasional maupun internasional. Wilayah pemasaran lokal meliputi kabupaten/kota di seluruh Provinsi Sumatera Selatan hingga ke wilayah lain yang permintaan produk perikanannya tinggi. Metode pemasaran dapat dilakukan langsung di tempat pendaratan ikan baik kepada pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan konsumen lainnya. Selain di pasarkan di lingkungan Provinsi Sumatera Selatan, ikan-ikan hasil tangkapan nelayan di daerah ini juga didistribusikan ke provinsi lain baik di wilayah Sumatera maupun ke Jakarta, Batam dan Tanjung Balai Karimun. Komoditi andalannya antara lain udang, rajungan, golok-golok dan manyung.

112 Prasarana perikanan Provinsi Sumatera Selatan belum terdapat pelabuhan perikanan skala menengah ataupun kecil. Dalam kegiatan jual beli hasil perikanan, terdapat 2 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang masing-masing terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Banyuasin. Pangkalan Pendaratan Ikan diharapkan dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Adapun lokasi dan kondisi PPI tersebut disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Pangkalan Pendaratan Ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Nama PPI Lokasi Kondisi Ogan Komiring Ilir Kabupaten. Ogan Komiring Ilir Masih berfungsi Banyuasin Kabupaten. Banyuasin Masih berfungsi Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun Dalam perkembangan ke depan, setelah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi Provinsi sendiri (dulunya masih bergabung dengan Sumatera Selatan) dibutuhkan pelabuhan perikanan yang dapat dijadikan sarana dalam meningkatkan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Adanya pelabuhan perikanan akan membuat kegiatan perikanan berjalan lancar sehingga dapat meningkatkan penghasilan masyarakat. 4.4 Sumberdaya Ikan Unggulan Indonesia termasuk daerah tropis dengan berbagai jenis sumberdaya ikan baik pelagis maupun demersal. Jumlah spesies yang beragam tersebut memberikan 2 hal yang berbeda. Keberagaman spesies menyebabkan penentuan jumlah stok sumberdaya ikan memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan pada daerah subtropis yang umumnya memiliki single spesies. Namun demikian, jumlah spesies yang relatif tinggi memberikan banyak pilihan dalam pemanfaatannya. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam penentuan kebijakan pengelolaan perikanan. Nilai produksi dan usaha perikanan dipengaruhi oleh kegiatan pemasaran. Dalam kegiatan pemasaran perlu memperhatikan upaya pemenuhan kebutuhan akan ikan, baik untuk skala domestik maupun skala ekspor dengan ketentuan

113 89 harga yang pantas di tingkat nelayan. Kesejahteraan nelayan dapat ditingkatkan dengan adanya kegiatan pemasaran. Perluasan jangkauan pasar, promosi, penyediaan informasi dan peningkatan pengetahuan nelayan merupakan faktorfaktor lainnya yang dapat meningkatkan produksi dengan selalu berorientasi pada permintaan pasar. Untuk mengetahui jenis-jenis komoditas yang memiliki potensi dan nilai jual yang tinggi, dapat dilakukan dengan pendekatan aspek pemasaran. Oleh karena itu, aspek ini digunakan dalam menentukan komoditas unggulan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Aspek pemasaran dilakukan melalui 2 tahapan. Diharapkan dengan melakukan 2 tahapan tersebut akan diperoleh komoditas unggulan yang benarbenar dapat dijadikan basis dalam pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan pada masa yang akan datang. Komoditas unggulan harus selalu ditingkatkan dari tahun ke tahun dengan tetap memperhatikan kelestarian dari sumberdaya tersebut. Tahapan tersebut adalah pertama, semua komoditas yang dianggap memiliki potensi pemasaran yang baik diinventarisasi, komoditas tersebut diperoleh dari para stakeholder perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Inventarisasi dari data sekunder juga dijadikan masukan dalam menentukan komoditas unggulan. Selanjutnya, informasi tersebut di seleksi kembali dengan menggunakan metode skoring. Kedua, menggunakan pendekatan pada aspek pemasaran. kriteria yang digunakan antara lain nilai produksi, harga, wilayah pemasaran dan nilai tambah. Hasil analisis dengan menggunakan metode skoring menunjukkan adanya perbedaan ranking dari 23 jenis ikan yang menjadi target penangkapan nelayan di Provinsi Sumatera Selatan. Jenis ikan yang memiliki ranking tertinggi merupakan komoditas unggulan yang layak untuk dikembangkan. Komoditas unggulan terpilih yang berada pada 4 ranking teratas dipilih sebagai komoditas unggulan berdasarkan fungsi nilai tertinggi. Keempat jenis komoditas unggulan terpilih tersebut adalah udang, rajungan, manyung dan golok-golok. Udang dan rajungan merupakan komoditas utama yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan dengan ikan manyung dan golok-golok. Selain itu, sifat biologis udang yang memiliki kemampuan recovery/pemulihan cukup cepat menyebabkan jenis komoditas ini relatif aman untuk ditangkap. Namun dalam pelaksanaannya harus tetap menggunakan cara dan metode yang ramah lingkungan. Selain itu, wilayah cakupan pemasarannya yang mencakup wilayah internasional (ekspor) serta harganya yang tinggi menjadi kekuatan tersendiri yang menyebabkan udang

114 90 berada pada rangking pertama. Sementara itu, ikan manyung dan golok-golok merupakan 2 jenis komoditas yang banyak terdapat di perairan ini. Pemanfaatan kedua jenis ikan tersebut antara lain sebagai ikan konsumsi, tingkat konsumsi ikan masyarakat yang tinggi diperkirakan akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap keempat komoditas unggulan tersebut. Proses penentuan komoditas unggulan tersebut disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Seleksi komoditas unggulan di perairan Sumatera Selatan dengan metode skoring Nama Nama Nilai Fungsi Harga Fungsi Wilayah Fungsi Nilai Fungsi Nilai Rataan Komoditi Ilmiah Produksi Nilai (Rp/Kg) Nilai Pemasaran Nilai Tambah Nilai Gabungan Fungsi Rangking Ikan (Rp) Nilai Sebelah Psettodes erumai 2,253, , Peperek Secutor ruconis 6,914, , Manyung Arius thalassinus 27,570, , Gerot-gerot Johnius sp. 6,348, , Merah Priacanthus spp. 4,556, , Kakap Lutjanus spp 8,618, , Gulamah Argyrosomus amoyensis 1,739, , Cucut Sphyrhinidae 10,472, , Pari Trigonidae 12,798, , Kuro Eletheronema tetradactylum 20,375, , Layur Trichiurus savala 4,337, , Bawal hitam Formio niger 6,485, , Selar Caranx bucculentus 4,672, , Belanak Mugil sp 5,186, , Teri Thryssa sp 8,862, , Japuh Dussumieria acuta 2,162, , Golok-golok Chirocentrus dorab 19,917, , Kembung Rastrelliger kanagurta 1,092, , Tenggiri Scomberomorus comersonii 6,858, , Tongkol Euthynus sp 1,692, , Rajungan Portunus sp 55,031, , Udang Penaeid 79,549, , Kerang darah Anadara sp 1,195, , Keterangan : Untuk wilayah pemasaran : 1 = Lokal 2 = Nasional 3 = Internasional Untuk nilai tambah : 1 = Rendah 2 = Tinggi 3 = Sangat tinggi Komoditas unggulan hasil seleksi merupakan jenis ikan yang menjadi prioritas pengembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan jenis komoditi unggulan tersebut maka selanjutnya dilakukan berbagai analisis sehingga dihasilkan strategi pemanfaatan yang tepat dan optimal. Analisis yang dimaksud antara lain status dan tingkat pemanfaatan keempat komoditas unggulan, teknologi penangkapan yang tepat serta alokasi optimum bagi teknologi penangkapan terpilih. 4.5 Status dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Unggulan Di Provinsi Sumatera Selatan terdapat 4 (empat) jenis komoditas unggulan. Keempat jenis komoditas tersebut diperoleh dari hasil survei, kuisioner, wawancara dengan nelayan dan stakeholder di lokasi studi. Pemanfaatan keempat jenis komoditas unggulan tersebut dapat dioptimalkan

115 91 dengan melakukan pendugaan terhadap ketersediaan stok dan tingkat pemanfaatan jenis ikan unggulan. Estimasi terhadap keberadaan stok ikan dengan menggunakan metode surplus production. Alasan digunakannya metode tersebut karena metode tersebut relatif paling murah, cepat dan sederhana dalam pengerjaannya. Kesuksesan dalam menggunakan metode ini terletak pada keakuratan sumber data yang digunakan dalam analisis stok sumberdaya ikan nantinya. Metode ini membutuhkan data-data time series seperti hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan pada lokasi penelitian. Penggunaan metode surplus production dengan menerapkan Model Schaefer pada kondisi tertentu, bisa digunakan dalam menghitung dan menentukan batas hasil tangkapan yang diperbolehkan, yaitu untuk memberikan kelonggaran dan keleluasaan bagi nelayan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya ikan yang ada (Zulkarnain dan Darmawan, 1997). Suatu stok dianggap sebuah gumpalan besar biomasa dan sama sekali tidak berpedoman atas umur dan ukuran panjang ikan (Gulland 1983). Dengan mempertimbangankan bahwa jumlah biomasa stok tetap dan adanya aktivitas usaha perikanan. Dengan demikian dapat diduga bahwa semakin banyak jumlah kapal, maka akan semakin kecil bagian masing-masing kapal. Selain itu, Selanjutnya kejadian tangkap lebih (over fishing) dapat dideteksi dengan suatu kombinasi sejumlah indikator stok, seperti : (i) penurunan hasil tangkapan per unit upaya, (ii) penurunan total hasil tangkapan yang didaratkan, (iii) penurunan rata-rata bobot/ukuran ikan, (iv) perubahan struktur umur/struktur ukuran, dan atau (v) perubahan komposisi spesies dalam populasi (Widodo (2003). Hasil analisis potensi sumberdaya ikan untuk ke empat jenis komoditi unggulan dengan menggunakan metode surplus production dapat ditunjukkan pada Tabel 16. Tabel 16 Potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan untuk komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan No. Jenis ikan Potensi Lestari (ton) Upaya optimum (trip) Upaya aktual (trip) Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan (ton) Produksi rata-rata (ton) Tingkat Pemanfaatan (%) 1. Udang 6.297, , ,5 66,77 2. Rajungan 1.955, , ,3 63,60 3. Manyung 4.488, , ,9 65,02 4. Golok-golok 3.718, , ,7 58,42 Sumber : hasil analisis

116 92 Berdasarkan hasil analisis yang ditunjukkan pada Tabel 16, komoditi unggulan memiliki tingkat pemanfaatan yang beragam. Udang memiliki tingkat pemanfaatan mencapai 66,77% dan masih memiliki peluang pengembangan yang cukup besar. Udang merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi. Wilayah pemasarannya tersebar luas mulai dari pasar domestik hingga manca negara. Harga jualnya yang diatas rata-rata menjadi pemicu penangkapan secara besar-besaran. Udang memiliki sifat biologi reproduksi yang unik, dimana udang memiliki siklus reproduksi relatif singkat (< 1 tahun). Hal ini menyebabkan tingkat pulihnya (recovery) menjadi sangat cepat. Oleh karena itu, pemanfaatan udang yang dilakukan secara bertanggung jawab dan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan akan tetap menjamin kelestarian sumberdaya udang di perairan Sumatera Selatan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka peluang pengembangan perikanan udang masih sangat besar dengan memperbaiki teknologi penangkapan yang digunakan dan penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya penangkapan yang ramah lingkungan. Pemanfaatan rajungan baik sebagai bahan konsumsi penduduk lokal dan nasional juga mulai dilirik sebagai salah satu komoditas ekspor baik dalam bentuk segar maupun olahan. Harga jualnya yang relatif tinggi juga menjadi daya tarik tersendiri bagi penangkapan rajungan oleh nelayan. Tingkat pemanfaatan rajungan di perairan Sumatera Selatan mencapai 63,60%. Oleh karena itu, peluang pengembangan perikanan rajungan masih sangat besar. Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan introduksi terhadap metode dan alat penangkapan yang digunakan. Hal ini tentu saja harus berpedoman pada kaidah-kaidah pemanfaatan yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab. Ikan manyung dan golok-golok juga memiliki peluang pengembangan yang masih tergolong baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai tingkat pemanfaatannya yang masing-masing 65,02% dan 58,42%. Oleh karena itu, peluang pengembangan kedua jenis komoditi tersebut masih sangat besar (34,98% dan 41,58%). Potensi perikanan yang masih tersisa hendaknya dapat dimanfaatkan dengan bijak melalui berbagai langkah dalam mewujudkan pembangunan perikanan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui

117 93 penerapan teknologi yang lebih baik (Nikijuluw, 2002). Oleh karena itu, pemerintah daerah sudah seharusnya memberikan sumbangsih dan peran aktif dalam mengoptimalkan pemanfaatan SDI baik melalui introduksi teknologi penangkapan yang lebih efektif dan selektif, pendampingan nelayan dan penguatan kelembagaan. Melalui penguatan kelembagaan dan pendampingan diharapkan dapat mengangkat derajat kesejahteraan nelayan dan sekaligus menjadikan sektor perikanan tangkap sebagai leading sector dalam perekonomian di Sumatera Selatan. Selain itu, keberadaan sumberdaya perikanan bagi masyarakat pesisir yang sangat penting hendaknya menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam merancang pola pengelolaan yang rasional. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat berlanjut (sustainable) dan memberi nilai ekonomi bagi pengembangan kawasan Sumatera Selatan (Gaffar et al. 2007). Analisis terhadap komodits unggulan telah dilakukan dengan memperoleh jenis komoditasnya dan potensi yang masih memiliki peluang pengembangannya pada masa yang akan datang. Selanjutnya dapat dilakukan analisis terhadap jenis teknologi yang memungkinkan digunakan dalam mendukung pemanfaatan sumberdaya ikan dominan di Provinsi Sumatera Selatan. Menurut Monintja (2000), pemilihan suatu teknologi penangkapan ikan yang tepat untuk diterapkan dalam pengembangan perikanan tangkap perlu mempertimbangkan : (1) teknologi yang ramah lingkungan, (2) teknologi yang secara teknis dan ekonomis menguntungkan, dan (3) teknologi yang berkelanjutan. 4.6 Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan Unggulan Pemilihan teknologi penangkapan ikan unggulan dilakukan menggunakan metode MCA (multi kriteria analisis). Kriteria yang digunakan untuk menentukan unit penangkapan terbaik adalah biologi, teknis, sosial, dan ekonomi dari pengoperasian unit penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan Aspek biologi Analisis terhadap aspek biologi dilakukan untuk melihat apakah jenis alat tangkap yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di perairan Sumatera Selatan mengganggu atau tidak terhadap kondisi biologis sumberdaya

118 94 ikan. Penilaian aspek biologi unit penangkapan ikan dititik beratkan pada tiga kriteria utama yaitu lama musim ikan, lama waktu musim penangkapan ikan, dan selektivitas masing-masing alat tangkap terhadap sumberdaya yang menjadi target penangkapannya. Dari hasil analisis seperti yang di sajikan seperti pada Tabel 17, unit penangkapan pancing merupakan alat tangkap yang memiliki nilai paling baik berdasarkan kriteria lama musim ikan selama satu tahun, Tingginya penilaian pancing disebabkan unit penangkapan pancing di Sumatera Selatan dapat dioperasikan sepanjang tahun. Kemudian berdasarkan aspek kedua yaitu lama waktu musim penangkapan, unit penangkapan yang memiliki nilai atau prioritas yang tinggi adalah perangkap, jaring klitik, dan jaring insang tetap. Kriteria terakhir yang digunakan untuk menilai aspek biologi adalah selektivitas alat tangkap, dari 8 (delapan) jenis alat tangkap yang digunakan di Perairan Sumatera Selatan, unit penangkapan yang memiliki selektivitas terbaik adalah, pancing. Hal ini disebabkan unit penangkapan pancing hanya menangkap ikanikan ukuran tertentu sesuai dengan ukuran mata pancing yang digunakan. Secara keseluruhan berdasarkan penilaian aspek biologi unit penangkapan yang memiliki nilai terbaik adalah pancing, diikuti oleh jaring kelitik dan jaring insang tetap, kemudian perangkap pada prioritas ketiga, pada prioritas ke 4 adalah jaring insang hanyut dan trammel net, serta urutan kelima hingga terakhir masing-masing adalah bagan tancap dan jaring insang lingkar.

119 95 Tabel 17 Penilaian aspek biologi unit penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan No Unit Penangkapan Ikan Kriteria Penilaian W1 UP W2 UP W3 UP 1 Bagan tancap Perangkap Jaring klitik Jaring insang tetap Pancing Trammel net Jaring insang lingkar Jaring insang hanyut Standardisasi Unit Penangkapan Ikan Kriteria Penilaian No V(W1) V(W2) V(W3) V(W) UP 1 Bagan tancap 0,00 0,50 0,00 0, Perangkap 0,67 1,00 0,00 1, Jaring klitik 0,67 1,00 0,50 2, Jaring insang tetap 0,67 1,00 0,50 2, Pancing 1,00 0,50 1,00 2, Trammel net 0,00 0,50 0,50 1, Jaring insang lingkar 0,33 0,00 0,00 0, Jaring insang hanyut 0,00 0,50 0,50 1,00 4 Sumber : hasil analisis Keterangan : Wl = lama waktu musim ikan (bulan) W2 = lama waktu musim penangkapan ikan (bulan) W3 = selektivitas alat tangkap V(Wl) = lama musim ikan yang distandardisasi V(W2) = lama musin ikan penangkapan ikan yang distandardisasi V(W3) = selektivitas yang distandardisasi UP = urutan prioritas Aspek teknis Jenis alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan di Provinsi Sumatera Selatan adalah jenis alat tangkap yang umum digunakan seperti gillnet, trammel net, pancing, perangkap, Jaring insang lingkar, jaring insang hanyut dan bagan tancap. Teknologi penangkapan yang ada dan digunakan tersebut masih berskala kecil dan masih menggunakan teknologi yang relatif sederhana. Adapun jenis teknologi penangkapan eksisting yang ada di Provinsi Sumatera Selatan yang digunakan untuk menangkap jenis komoditi unggulan (Udang, manyung, golok-golok dan rajungan) adalah jaring insang hanyut, jaring

120 96 insang tetap, jaring klitik, pancing, perangkap, trammel net dan bagan tancap. Adapun penggunaan jenis teknologi penangkapan ikan komoditi unggulan disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Jenis teknologi yang digunakan untuk menangkap ikan jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan Komoditi Unggulan Udang Manyung Golok-golok Rajungan Jenis Teknologi Penangkapan eksisting Jaring klitik, trammel net dan jaring insang tetap Jaring insang hanyut, jaring klitik, jaring insang tetap, trammel net, bagan tancap dan pancing Jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, trammel net, bagan tancap dan jaring klitik Jaring insang tetap, perangkap Jika dilihat dari jumlah dan penggunaan jenis teknologi penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dikatakan bahwa jenis alat tangkap yang digunakan masih belum optimal. Hal ini terlihat bahwa beberapa jenis alat tangkap menangkap jenis ikan yang sama, sehingga teknologi penangkapan tersebut tidaklah efektif untuk menangkap jenis ikan yang merupakan target dari penangkapan. Dalam penelitian ini masih dibutuhkan analisis terhadap penggunaan teknologi penangkapan yang tepat, efektif dan ramah lingkungan. Keragaman aspek teknis dari teknologi penangkapan yang digunakan di Provinsi Sumatera Selatan dilakukan dengan menggunakan metode skoring dan fungsi nilai sebagai kriteria dalam menentukan jenis teknologi yang efektif dan tepat digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di sekitar perairan Sumatera Selatan. Urutan prioritas dinilai berdasarkan dari nilai produktivitas alat per trip (CPUE), produktivitas alat per tahun dan jarak jangkauan penangkapannya. Jaring insang merupakan alat tangkap yang memiliki produktivitas penangkapan per tahun tertinggi bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya, kemudian alat tangkap yang memiliki produktivitas per trip tertinggi adalah unit penangkapan bagan tancap, alat tangkap ini memiliki produksi tinggi karena kondisi jaring yang berukuran kecil mampu menangkap ikan dalam berbagai selang ukuran, selain itu alat tersebut dioperasikan di sekitar pantai yang

121 97 merupakan daerah asuhan dan berkembangbiaknya sumberdaya ikan. Kriteria ketiga produktivitas per jam operasi yang memiliki nilai terbaik adalah jaring insang hayut, hal ini terjadi karena nelayan hanya memerlukan sedikit waktu untuk seting dan hauling pada proses pengoperasian unit penangkapan jaring insang hanyut, oleh karenanya jumlah jam operasi drift gillnet lebih baik dibandingkan alat tangkap lainnya. Bila dipandang berdasarkan produktivitas per tenaga kerja maka unit penangkapan bagan tancap adalah alat tangkap yang lebih baik karena dengan tenaga kerja berjumlah 2-3 orang unit penangkapan ini menghasilkan produksi lebih baik, hal ini terjadi karena efisiensi dan efektifitas alat tangkap ini dalam menangkap sumberdaya ikan pelagis kecil. Selain kategori-kategori di atas, alat tangkap terbaik juga dapat dilihat dari produktivitas per tenaga penggerak, hal ini penting untuk melihat apakah effort yang dikeluarkan sudah cukup efisien bila dikonversi dengan jumlah hasil tangkapan. Berdasarkan hasil perhitungan unit panangkapan bagan tancap merupakan alat tangkap terbaik dari sisi produktivitas per tenaga penggerak. Hal ini terjadi karena tenaga penggerak unit penangkapan bagan tancap hanya digunakan untuk transportasi baik nelayan maupun hasil tangkapan dari fishing base ke fishing ground, sehingga praktis selama operasi penangkapan berlangsung unit penangkapan ini tidak memerlukan tenaga penggerak lagi. Secara keseluruhan berdasarkan aspek teknis bagan tancap lebih diprioritaskan karena berdasarkan beberapa kriteria teknis pengoperasian seperti produktivitas per trip, per tenaga kerja dan per tenaga penggerak lebih unggul bila dibandingkan dengan 7 jenis alat tangkap lainnya. Pada Tabel 19 ditunjukkan pemilihan alat tangkap terbaik berdasarkan kriteria teknis pengoperasian unit penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan, dimana urutan dari yang tinggi hingga terendah secara berturut-turut adalah bagan tancap, jaring insang hanyut, pancing, trammel net, jaring insang tetap, jaring klitik, jaring insang lingkar dan perangkap.

122 98 Tabel 19 No Matriks pemilihan unit penangkapan unggulan berdasarkan aspek teknis operasional alat tangkap di perairan Sumatera Selatan Unit Penangkapan Ikan Kriteria Penilaian X1 UP X2 UP X3 UP X4 UP X5 UP 1 Bagan tancap 8179,43 2 0,37 1 0,03 2 0,18 1 0, Perangkap 3773,76 5 0,0 7 0,00 7 0,00 8 0, Jaring klitik 2697,00 6 0,08 6 0,01 5 0,07 6 0, Jaring insang tetap 2161,90 7 0,11 4 0,01 6 0,05 4 0, Pancing 5261,01 3 0,18 3 0,02 3 0,06 3 0, Trammel net 4534,84 4 0,10 5 0,01 4 0,05 5 0, Jaring insang lingkar 682,88 8 0,08 6 0,01 5 0,01 7 0, Jaring insang hanyut 10402,09 1 0,33 2 0,04 1 0,16 2 0,05 2 No Unit Penangkapan Ikan Standardisasi Aspek Teknis Kriteria Penilaian V(X1) V2(X2) V3(X3) V4(X4) V5(X5) 1 Bagan tancap 0,77 1,00 0,77 1,00 1,00 4, Perangkap 0,32 0,00 0,00 0,00 0,00 0, Jaring klitik 0,21 0,20 0,26 0,13 0,11 0, Jaring insang tetap 0,15 0,28 0,20 0,28 0,15 1, Pancing 0,47 0,48 0,60 0,32 0,38 2, Trammel net 0,40 0,27 0,39 0,27 0,17 1, Jaring insang lingkar 0,00 0,20 0,26 0,06 0,07 0, Jaring insang hanyut 1,00 0,89 1,00 0,89 0,51 4,29 2 Sumber : hasil analisis V(A) UP Keterangan : X1 : Produksi per tahun X2 : Produksi per trip X3 : Produksi per jam operasi X4 : Produksi per tenaga kerja X5 : Produksi per tenaga penggerak dan UP : Urutan prioritas (X1) : Standardisasi nilai produksi per tahun V(X2) : Standardisasi nilai produksi per trip V(X3) : Standardisasi nilai produksi per jam operasi V(X4) : Standardisasi nilai produksi per tenaga kerja V(X5) : Standardisasi nilai produksi per tenaga penggerak Aspek sosial Aspek sosial merupakan salah satu aspek penting yang patut diperhatikan dalam pemilihan alat tangkap untuk dikembangkan dan digunakan secara masal

123 99 oleh masyarakat. Pertimbangan aspek sosial ini sangat diperlukan karena kebijakan penggunaan suatu alat tangkap akan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat baik dari sisi permodalan, penyerapan tenaga kerja, pendapatan usaha dan pada akhirnya tingkat kesejahteraan nelayan sebagai pelaku kegiatan perikanan. Hasil perhitungan kriteria sosial dan standardisasinya disajikan pada Tabel 20. Kriteria yang digunakan untuk mengukur aspek sosial kegiatan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan adalah jumlah tenaga kerja, pendapatan nelayan per tahun, dan kemungkinan kepemilikan suatu alat tangkap oleh nelayan. Berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja, unit penangkapan jaring insang lingkar merupakan alat tangkap yang terbaik, karena mampu mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Dari sisi pendapatan nelayan per tahun, unit penangkapan yang memberikan penghasilan terbesar adalah jaring insang tetap, oleh karena itu unit penangkapan jaring insang tetap memiliki prioritas lebih baik dari sisi pendapatan nelayan. Kemudian bila dilihat dari sisi kemampuan nelayan memiliki alat tangkap maka unit penangkapan trammel net merupakan alat tangkap yang sisi kepemilikannya lebih baik bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Hal ini disebabkan tingkat investasi untuk kegiatan penangkapan dengan menggunakan trammel net lebih murah. Secara keseluruhan, unit penangkapan yang terbaik berdasarkan aspek sosial adalah trammel net. Munculnya trammel net sebagai alat terbaik berdasarkan aspek sosial disebabkan unit penangkapan ini mudah dimiliki oleh nelayan dalam arti jumlah investasi yang harus dikeluarkan oleh nelayan untuk memiliki alat tangkap ini relatif lebih murah dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Selain itu, trammel net juga dapat memberikan hasil usaha cukup baik. Secara rinci penilaian aspek sosial disajikan pada Tabel 20.

124 100 Tabel 20 Matriks keragaman aspek sosial dari teknologi penangkapan eksisting untuk komoditi unggulan di perairan Sumatera Selatan No Unit Penangkapan Kriteria Penilaian Ikan X1 UP X2 UP X3 UP 1 Bagan tancap , Perangkap , Jaring klitik , Jaring insang tetap , Pancing , Trammel net , Jaring insang lingkar , Jaring insang hanyut ,14 4 Standardisasi No Unit Penangkapan Kriteria Penilaian Ikan V(X1) V(X2) V(X3) V(A) UP 1 Bagan tancap 0,00 0,67 0,86 1, Perangkap 0,00 0,21 0,64 0, Jaring klitik 0,25 0,34 0,10 0, Jaring insang tetap 0,00 1,00 0,71 1, Pancing 0,25 0,23 0,34 0, Trammel net 0,00 0,89 1,00 1, Jaring insang lingkar 1,00 0,00 0,00 1, Jaring insang hanyut 0,00 0,67 0,68 1,35 4 Sumber : hasil analisis Keterangan : X1 X2 X3 = Jumlah tenaga kerja = Pendapatan nelayan per tahun = Kemungkinan pemilikan V(X1) = Standardisasi Jumlah tenaga kerja V(X2) = Standardisasi Pendapatan nelayan per tahun V(X3) = Standardisasi Kemungkinan pemilikan UP = Urutan prioritas Aspek ekonomi Analisis usaha/keuntungan Secara teoritis, dalam upaya pengembangan satu unit usaha penangkapan ada baiknya kita mengetahui jumlah dana yang akan dialokasikan untuk kegiatan tersebut, sehingga dengan mengetahui hal tersebut diharapkan usaha tersebut dapat berjalan dengan baik karena keperluan dana telah diperkirakan sebelumnya. Pada penelitian ini, investasi yang dibutuhkan dalam

125 101 memulai usaha penangkapan ikan di sekitar perairan Sumatera Selatan bervariasi berkisar antara Rp hingga Rp Adanya perbedaan kebutuhan dana yang diperlukan dalam memulai kegiatan usaha penangkapan sebagian besar dipengaruhi oleh perbedaan komponen investasi terutama kapal dan perlengkapan pendukungnya. Rata-rata dari beberapa jenis usaha penangkapan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan, komponen biaya investasi yang dikeluarkan oleh nelayan digunakan untuk keperluan pembelian perahu, mesin, dan alat tangkap serta perlengkapan lainnya khusus untuk bagan dan pancing. Adapun rincian biaya investasi yang dibutuhkan untuk memulai usaha bidang perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Modal investasi usaha perikanan tangkap di lokasi penelitian Jenis Alat Jenis investasi (Rp) No. Tangkap Perahu Mesin Alat Tangkap Lain-lain Jumlah 1. Jaring insang tetap Jaring klitik jaring insang lingkar Jaring insang hanyut Trammel net Perangkap Bagan tancap Pancing Sumber : hasil analisis Perhitungan keuntungan juga menjadi perhatian dalam melakukan usaha, berdasarkan perhitungan analisis usaha dilakukan terhadap delapan jenis usaha perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan diketahui bahwa, usaha perikanan jaring klitik memberikan keuntungan tertinggi dari sisi pendapatan kotor. Tingginya keuntungan usaha perikanan jaring klitik disebabkan target species alat tangkap ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi yaitu jenis crustacea terutama udang. Selain tingkat pendapatan yang tinggi, biaya operasional maupun investasi usaha perikanan jaring klitik juga lebih tinggi dibandingkan dengan jenis usaha perikanan tangkap lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan di sekitar perairan Sumatera Selatan diketahui bahwa kebutuhan investasi usaha perikanan jaring klitik mencapai Rp dan biaya operasional yang diperlukan selama satu tahun adalah Rp

126 102 Rincian perhitungan analisis usaha kegiatan perikanan tangkap di perairan Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Analisis usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Sumatera Selatan No. Jenis Alat Tangkap Analisis Usaha Investasi Penerimaan Biaya Nilai Keuntu-ngan (Rp) (Rp) Gabungan (Rp) (Rp) 1. Jaring insang tetap Jaring klitik jaring ingsang lingkar Jaring insang hanyut Trammel net Perangkap Bagan tancap Pancing Sumber : hasil analisis Analisis kelayakan usaha Sub bab analisis kelayakan usaha ini akan dibahas perkiraan cash flow dan analisis kriteria investasi. Analisis cash flow penting untuk memperkirakan perputaran kas dalam kegiatan usaha perikanan yang dilakukan selama umur proyek yang ditentukan. Adapun analisis cash flow dan analisis kriteria investasi dapat dilihat sebagai berikut : (1) Perkiraan cash flow Perhitungan terhadap cash flow usaha perikanan sangat penting diperhitungkan dalam aspek finansial. Adapun asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis tersebut adalah sebagai berikut : 1) Umur proyek selama 5 tahun 2) Nilai hasil tangkapan pada tahun ke-1 sampai tahun ke-5 diperkirakan tetap 3) Nilai sisa investasi sebesar 10% sesuai dengan umur teknisnya 4) Pajak penghasilan sebesar 15% per tahun 5) Discount rate tetap yaitu sebesar 18% Adapun perhitungan cash flow usaha perikanan di Provinsi Sumatera Selatan di tunjukkan pada Lampiran 1-8.

127 103 (2) Analisis kriteria investasi Analisis terhadap kriteria investasi merupakan salah satu aspek yang perlu diperhitungkan dalam menilai kelayakan atau kemungkinan pengembangan usaha perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Adapun kriteria investasi tersebut yaitu Net Present Value (NPV), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate Return (IRR). NPV merupakan jumlah net benefit yang diperoleh selama umur proyek yang dihitung berdasarkan nilai saat ini. Net B/C merupakan perbandingan antara nilai gabungan sekarang dari penerimaan yang bersifat positif dengan nilai gabungan sekarang yang dari penerimaan yang bersifat negatif. IRR adalah nilai keuntungan internal dari investasi yang ditanamkan. Perhitungan Net Present Value (NPV), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate Return (IRR) di tunjukan pada lampiran Pemilihan alat tangkap berdasarkan aspek ekonomi Penilaian secara menyeluruh terhadap aspek ekonomi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan dilakukan terhadap kriteria-kriteria finansial dan investasi. Kriteria tersebut adalah Penerimaan kotor per tahun, penerimaan kotor per trip, penerimaan kotor per jam operasi, penerimaan per tenaga kerja, biaya investasi, R/C, NPV dan IRR. Pada Tabel 22 disajikan hasil perhitungan pemilihan alat tangkap prioritas berdasarkan aspek ekonomi. Bila dilihat dari sudut pandang ekonomi dengan menggunakan delapan aspek ekonomi yaitu penerimaan kotor per tahun, penerimaan kotor per trip, penerimaan kotor per jam operasi, penerimaan per tenaga kerja, biaya investasi, R/C, NPV dan IRR maka kegiatan usaha yang memberikan nilai yang terbaik di Provinsi Sumatera Selatan adalah Trammel net, hal ini disebabkan karena unit penangkapan trammel net memiliki tingkat penerimaan per tenaga kerja, IRR dan Net Present Value lebih baik dibandingkan dengan tujuh jenis alat tangkap lainnya. Secara rinci perhitungan penilaian aspek ekonomi kegiatan usaha perikanan tangkap di perairan Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 23.

128 104 Tabel 23 Matriks keragaman aspek ekonomi kegiatan penangkapan ikan di perairan Sumatera Selatan No. Unit Penangkapan Ikan Kriteria Penilaian X1 UP X2 UP X3 UP X4 UP 1. Bagan tancap Perangkap Jaring klitik Jaring insang tetap Pancing Trammel net Jaring insang lingkar Jaring insang hanyut Unit No. Penangkapan Ikan Kriteria Penilaian X5 UP X6 UP X7 UP X8 UP 1. Bagan tancap , ,64 2 1, Perangkap , ,33 8 1, Jaring klitik , ,04 6 1, Jaring insang tetap , ,47 4 1, Pancing , ,28 3 1, Trammel net , ,68 1 1, Jaring insang lingkar , ,04 7 1, Jaring insang hanyut , ,21 5 1,07 4 No. Unit Penangkapan Ikan V1 (X1) V2 (X2) Kriteria Penilaian V3 V4 V5 (X3) (X4) (X5) V6 (X6) V7 (X7) V8 (X8) 1. Bagan tancap 0,14-0,24-0,04 0,83 0,72 1,00 0,62 0,58 3, Perangkap 0,00 0,00 0,00 0,52 1,00 0,18 0,00 0,00 1, Jaring klitik 1,00 1,00 1,00 0,34 0,00 0,08 0,09 0,10 3, Jaring insang tetap 0,83 0,05 0,05 0,46 0,28 0,00 0,12 0,06 1, Pancing 0,10 0,01 0,34 0,41 0,72 0,72 0,27 0,25 2, Trammel net 0,49 0,49 0,81 1,00 0,65 0,37 1,00 1,00 5, Jaring insang lingkar Jaring insang hanyut Sumber : hasil analisis V(A) 0,38 0,01 0,35 0,00 0,53 0,25 0,04 0,03 1,60 8 0,46 0,56 0,59 0,85 0,57 0,08 0,10 0,11 3,32 4 UP

129 105 Keterangan : X1 = Penerimaan kotor per tahun (Rp) X2 = Penerimaan kotor per trip (Rp) X3 = Penerimaan kotor per jam operasi (Rp) X4 = Penerimaan per tenaga kerja (Rp) X5 = Biaya Investasi X6 = R/C X7 = IRR X8 = Net Present Value UP = Urutan prioritas V(X1) = Standardisasi Penerimaan kotor pertahun (Rp) V(X2) = Standardisasi Penerimaan kotor pertrip(rp) V(X3) = Standardisasi Penerimaan kotor per jam operasi (Rp) V(X4) = Standardisasi Penerimaan per tenaga kerja(rp) V(X5) = Standardisasi Biaya Investasi V(X6) = Standardisasi R/C V(X7) = Standardisasi IRR V(X8) = Standardisasi Net Present Value Teknologi penangkapan ikan terpilih Teknologi penangkapan ikan terpilih dilakukan terhadap aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Masing-masing aspek tersebut sebelumnya telah dilakukan penghitungan dan penentuan prioritas. Dari penentuan prioritas tersebut diketahui alat tangkap yang benar-benar sesuai untuk mendapatkan hasil yang optimal, ramah terhadap lingkungan dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Alat tangkap unggulan dipillih dari 8 jenis alat tangkap yang menangkap komoditas unggulan di perairan Sumatera Selatan. Hasil analisis dari semua aspek terkait menunjukkan bahwa trammel net menempati urutan prioritas pertama karena memiliki nilai aspek sosial dan aspek ekonomi yang paling tinggi dari pada yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa trammel net memiliki peluang pengembangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Urutan kedua adalah, jaring insang hanyut diikuti bagan tancap, jaring insang tetap, pancing, jaring klitik, perangkap dan jaring insang lingkar.

130 106 Tabel 24 Matriks keragaman teknologi penangkapan ikan terpilih dari unit penangkap ikan untuk komoditi unggulan di perairan Sumatera Selatan Aspek Penilaian Unit Penangkapan Ikan No X1 UP X2 UP X3 UP X4 UP 1 Bagan tancap Perangkap Jaring klitik Jaring insang tetap Pancing Trammel net Jaring lingkar Jaring insang hanyut min max Standardisasi Teknologi Penangkapan Terpilih No Unit Penangkapan Ikan Kriteria Penilaian V1(X1) V2(X2) V3(X3) V4(X4) Total UP 1 Bagan tancap Perangkap Jaring klitik Jaring insang tetap Pancing Trammel net Jaring lingkar Jaring insang hanyut Sumber : hasil analisis Keterangan : X1 = Aspek biologi X2 = Aspek teknis X3 = Aspek sosial X4 = Aspek ekonomi UP = Urutan prioritas V1(X1) = Standardisasi aspek biologi V2(X2) = Standardisasi aspek teknis V3(X3) = Standardisasi aspek sosial V4(X4) = Standardisasi aspek ekonomi Berdasarkan tabel diatas, maka prioritas pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan hendaknya memperhatikan urutan jenis alat tangkap yang layak di kembangkan. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan peningkatan produksi perikanan sekaligus mempertahankan kelestarian SDI di Provinsi Sumatera Selatan. Meskipun berdasarkan hasil perhitungan trammel net menempati urutan pertama, namun tidak menutup kemungkinan alat tangkap lainnya untuk menjadi prioritas pengembangan. Kebijakan pemerintah, kultur budaya nelayan dan kondisi sosial masyarakat setempat hendaknya menjadi perhatian serius dalam menetapkan suatu kebijakan yang menyangkut pada perubahan perilaku dan pemahaman nelayan terkait dengan upaya pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan.

131 Alokasi Alat Tangkap Kegiatan pra produksi (identifikasi dan estimasi sumberdaya ikan; penyediaan sarana penangkapan ikan; dan prasarana pelabuhan), produksi (operasi penangkapan ikan) dan pasca produksi (pengolahan dan pemasaran produk hasil perikanan) merupakan suatu kegiatan usaha perikanan tangkap yang kompleks. Komponen utama dari sistem perikanan tangkap adalah sumberdaya ikan, unit penangkapan ikan, masyarakat (nelayan), prasarana pelabuhan, sarana penunjang (galangan kapal, bahan alat tangkap ikan, dan mesin kapal), unit pengolahan dan unit pemasaran (Kesteven (1973) dan Monintja (2001)). Komponen perikanan tangkap tersebut sangat menentukan dalam pengembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan sebagaimana yang terdapat dalam kode etik perikanan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries/CCRF) yang dikeluarkan oleh FAO tahun Apabila dalam pengembangan perikanan tangkap tidak memperhatikan kaidah-kaidah berkelanjutan, maka pembangunan perikanan tangkap akan mengarah ke degradasi lingkungan, tangkapan berlebih dan praktek-praktek penangkapan ikan yang merusak (Fauzi dan Anna (2005)). Keinginan untuk memenuhi kepentingan sesaat atau masa kini yang memicu, sehingga tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan diarahkan sedemikian rupa untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu yang singkat. Kepentingan lingkungan pun diabaikan dan penggunaan teknologi yang menghasilkan secara cepat (quickly yielding) yang sering bersifat merusak dapat terjadi. Pengembangan perikanan tangkap pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan dan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya. Sebagaimana yang terdapat dalam UU Perikanan No.31 tahun 2004 pasal 3, yaitu meningkatkan taraf hidup nelayan, meningkatkan penerimaan dan devisa negara, mendorong perluasan kerja, meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan dan meningkatkan produktivitas. Apabila pengaturan armada penangkapan telah dilakukan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan potensi sumberdaya ikan yang tersedia maka hal tersebut akan tercapai. Pengaturan terhadap armada penangkapan di suatu perairan dilakukan dengan melakukan pendekatan melalui model optimasi. Model optimasi digunakan untuk memperkirakan jumlah armada optimum yang dapat beroperasi

132 108 dengan jenis dan ukuran tertentu sehingga potensi yang ada di perairan tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik. Selain itu, penggunaan model optimasi juga dapat membantu pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan terkait dengan perizinan dan pengaturan zona penangkapan bagi nelayan. Tujuan model optimasi adalah untuk mengetahui kombinasi jumlah unit usaha penangkapan ikan secara optimal di Provinsi Sumatera Selatan. Perumusan model optimasi dilakukan dengan menggunakan metode linear goal programming. Model optimasi linear goal programming dibentuk dengan cara menentukan variabel-variabel keputusan untuk merumuskan fungsi tujuan dan formulasi kendala dari ketersediaan sumberdaya atau disebut dengan fungsi kendala. Berdasarkan hasil analisis potensi sumberdaya, terdapat 4 jenis ikan yang menjadi komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu udang, rajungan, manyung dan golok-golok. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam optimalisasi pengalokasian jumlah alat tangkap ikan, yaitu mengoptimumkan pemanfaatan komoditi ikan unggulan yang meliputi komoditi udang, rajungan, ikan manyung, dan ikan golok-golok. Variabel keputusan fungsi optimalisasi yaitu semua jenis unit penangkapan ikan eksisting yang digunakan untuk menangkap 4 jenis komoditi unggulan disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Variabel keputusan model optimasi jumlah unit alat tangkap ikan eksisting di Provinsi Sumatera Selatan No. Jenis Alat Tangkap ikan Variabel (Xj) 1. Trammel net X1 2. Jaring insang hanyut X2 3. Jaring insang tetap X3 4. Jaring insang lingkar X4 5. Pancing X5 6. Bagan X6 7. Perangkap X7 8. Jaring klitik X Fungsi kendala Fungsi kendala merupakan faktor pembatas dalam pengambilan keputusan yang didasarkan pada keterbatasan sumberdaya yang dimiliki dan kendala pembatas produksi lainnya. Faktor-faktor kendala yang digunakan dalam

133 109 model optimasi ini meliputi ketersediaan jumlah sumberdaya ikan dari 4 jenis ikan unggulan yaitu udang, rajungan, ikan manyung, dan ikan golok-golok. Secara matematis, tujuan-tujuan utama yang hendak dicapai dan sekaligus juga merupakan batasan yang harus dipenuhi dalam mengoptimumkan alokasi unit penangkapan ikan terhadap pemanfaatan 4 jenis sumberdaya ikan (SDI) unggulan di perairan Provinsi Sumatera Selatan dapat dijelaskan sebagai berikut : a) Komoditi Udang Nilai estimasi produksi optimum atau JTB untuk udang di perairan Provinsi Sumatera Selatan yaitu sebesar 5038,39 ton per tahun. Komoditi udang di perairan ini dapat ditangkap oleh 4 jenis teknologi penangkapan yaitu unit penangkapan trammel net (X1), jaring insang tetap (X3), perangkap (X7) dan jaring klitik (X8). Kemudian, nilai produktivitas rata-rata dari setiap unit alat tangkap terhadap hasil tangkapan udang yaitu alat tangkap trammel net (X1) sebesar 2,265 ton per tahun, jaring insang tetap (X3) sebesar 3,158 ton per tahun, perangkap (X7) sebesar 1,916 ton per tahun dan jaring klitik (X8) sebesar 0,242 ton per tahun. Untuk menyusun persamaan kendala tujuan (goal constrain) maka nilai TAC dikurangi dengan produksi rata-rata, sehingga fungsi kendala pemanfaatan sumberdaya udang secara optimal menjadi sebagai berikut: DB1 - DA1 + 2,265 X1 + 3,158 X3 + 1,916 X7 + 0,242 X8 = 501,89 b) Komoditi Rajungan Nilai estimasi produksi optimum atau JTB untuk komoditi kepiting di perairan Sumatera Selatan adalah sebesar 1564,78 ton per tahun. Komoditi kepiting di perairan Provinsi Sumatera Selatan dapat ditangkap oleh alat tangkap jaring insang hanyut (X2), jaring insang tetap (X3) dan perangkap (X7). Ratarata produktivitas tangkapan rajungan masing-masing alat tangkap yaitu: jaring insang hanyut (X2) sebesar 0,870 ton per tahun, jaring insang tetap (X3) sebesar 0,716 ton per tahun dan perangkap sebesar 0,866 ton per tahun. Persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk pemanfaatan sumberdaya udang secara optimal menggunakan batasan nilai TAC yang dikurangi dengan nilai pemanfaatan eksisting sumberdaya kepiting, sehingga persamaannya menjadi sebagai berikut:

134 110 DB2 DA2 + 0,870 X2 + 0,716 X3 + 0,866 X7 = 266,48 c) Komoditi Manyung Nilai estimasi produksi optimum atau JTB untuk ikan manyung di perairan Sumatera Selatan adalah sebesar 3590,45 ton per tahun. Komoditi ikan manyung di perairan ini dapat ditangkap oleh alat tangkap trammel net (X1), jaring insang hanyut (X2), jaring insang tetap (X3), pancing (X5) dan bagan (X6). Rata-rata produktivitas penangkapan komoditi ikan manyung menurut masing-masing alat tangkap yaitu Trammel net (X1) sebanyak 0,68 ton per tahun, jaring insang hanyut (X2) sebanyak 1,824 ton per tahun, jaring insang tetap (X3) sebanyak 1,185 ton per tahun, pancing (X5) sebanyak 0,772 ton per tahun dan bagan (X6) sebanyak 0,762 ton per tahun. Nilai TAC kemudian dikurangi dengan nilai pemanfaatan eksisting sumberdaya ikan manyung, sehingga persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk pemanfaatan sumberdaya ikan manyung sebagai berikut: DB3 DA3 + 0,680 X1 + 1,824 X2 + 1,185 X3 + 0,772 X5 + 0,762 X6 = 281,55 d) Komoditi Golok golok Nilai estimasi produksi optimum atau JTB untuk ikan golok-golok di perairan Sumatera Selatan adalah sebesar 2974,95 ton per tahun. Di perairan ini, komoditi golok-golok dapat ditangkap oleh 7 jenis teknologi penangkapan yaitu: trammel net (X1), jaring insang hanyut (X2), jaring lingkar (X4), pancing (X5), bagan (X6), perangkap (X7) dan jaring klitik (X8). Produktivitas rata-rata masing-masing alat tangkap terhadap hasil tangkapan ikan golok-golok yaitu trammel net (X1) sebanyak 0,617 ton per tahun, jaring insang hanyut (X2) sebanyak 2,003 ton per tahun, jaring lingkar (X4) sebanyak 0,636 ton per tahun, pancing (X5) sebanyak 0,240 ton per tahun, bagan (X6) sebanyak 0,593 ton per tahun, perangkap (X7) sebanyak 0,099 ton per tahun dan jaring klitik (X8) sebanyak 0,672 ton per tahun. Sehingga persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk pemanfaatan sumberdaya ikan golok-golok menggunakan nilai TAC yang telah dikurangi dengan nilai produksi eksisting sehingga persamaannya menjadi sebagai berikut: DB4 DA4 + 0,617 X1 + 2,003 X2 + 0,636 X4 + 0,240 X5 + 0,593 X6 + 0,099 X7 + 0,672 X8 = 460,25

135 111 Secara lebih ringkas, data jumlah tangkapan ikan yang dapat diperbolehkan (TAC) dari keempat jenis sumberdaya ikan unggulan, berikut nilai produktivitas penangkapan rata-rata dari 8 jenis alat tangkap eksisting terhadap 4 jenis sumberdaya ikan unggulan di Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan potensi 4 jenis sumberdaya ikan unggulan serta nilai produktivitas rata-rata alat tangkap ikan eksisting di Provinsi Sumatera Selatan. Komoditas Ikan Unggulan Trammel net Jaring Insang hanyut Jaring Insang Tetap Alat Tangkap Bagan Perang kap Jaring Klitik TAC (ton/th) X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 Udang Rajungan Jaring lingkar Pancing Manyung Golokgolok Fungsi tujuan Fungsi tujuan yang dirumuskan bertujuan untuk mengetahui kombinasi optimal dari tiap alat tangkap ikan di Provinsi Sumatera Selatan. fungsi tujuan pada model linier goal programming merupakan fungsi minimal dari batasan masing-masing kendala sumberdaya. Berdasarkan faktor kendala tujuan tersebut di atas maka fungsi tujuan model optimasi linear goal programming pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan dapat ditulis sebagai berikut: Min Z = DB1 + DA1 + DB2 + DA2 + DB3 + DA3 + DB4 + DA Optimalisasi jumlah unit penangkapan ikan Berdasarkan hasil pengolahan dari input model optimasi yang telah dirumuskan maka dapat ditentukan jumlah kombinasi unit usaha penangkapan ikan yang optimal dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan software Lindo versi 6.1. Output hasil pengolahan dengan program komputer LINDO ditunjukkan pada Lampiran 13. Jumlah unit usaha penangkapan ikan optimal yang dapat dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 27.

136 112 Tabel 27 Alokasi jumlah armada penangkapan yang optimum di Provinsi Sumatera Selatan No. Unit penangkapan ikan Jumlah (Unit) 1. Trammel net (X1) Jaring insang hanyut (X2) Jaring insang tetap (X3) 0 4. Jaring insang lingkar (X4) 0 5. Pancing (X5) 0 6. Bagan (X6) 0 7. Perangkap (X7) Jaring klitik (X8) 210 Jumlah 571 Berdasarkan hasil pengolahan data di atas dapat diketahui bahwa terdapat 4 jenis alat tangkap ikan eksisting yang perlu dikembangkan untuk mengelola 4 jenis sumberdaya ikan unggulan di Provinsi Sumatera Selatan yaitu trammel net, jaring insang hanyut, perangkap dan jaring klitik. Alokasi jumlah unit alat tangkap ikan yang dapat dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan seluruhnya berjumlah 571 unit. Unit penangkapan ikan yang paling banyak untuk dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan yaitu alat tangkap jaring klitik (X8) dengan jumlah sebanyak 210 unit. Jenis alat tangkap ikan terbanyak kedua yang dapat dikembangkan yaitu alat tangkap perangkap (X7) sebanyak 173 unit. Selanjutnya secara berurut diikuti oleh alat tangkap jaring insang hanyut (X2) dengan jumlah yang dialokasikan sebanyak 135 unit dan trammel net (X1) sebanyak 53 unit. Sementara itu, alat tangkap ikan eksisting tedapat di Provinsi Sumatra Selatan yang perkembangannya perlu dibatasi agar pengelolaan 4 jenis sumberdaya ikan unggulan dapat optimal yaitu alat tangkap jaring insang tetap, jaring insang lingkar, pancing dan bagan. Hal ini dapat ditunjukkan dari nilai optimasi keempat jenis alat tangkap tersebut bernilai nol seperti yang terlihat pada tabel di atas. Alokasi alat tangkap yang bernilai nol berarti alat tangkap tersebut sebaiknya tidak ditambah lagi sehingga pemanfaatan sumberdaya ikannya dapat optimal. Penyesuaian komposisi jumlah dari 8 unit alat tangkap ikan eksisting terdapat di Provinsi Sumatera Selatan perlu dilakukan bila dilakukan perbandingan hasil analisis alokasi dengan jumlah unit penangkapan yang ada. Jenis unit penangkapan yang dapat ditambah atau ditingkatkan sebanyak 4 jenis, yaitu: unit penangkapan trammel net sebanyak 53 unit, jaring insang hanyut

137 113 sebanyak 135 unit, perangkap sebanyak 175 unit dan jaring klitik sebanyak 210 unit. Sementara itu, untuk 4 jenis alat tangkap ikan berikutnya jumlah yang ada saat ini sedapat mungkin dipertahankan. Secara lebih rinci, perbandingan jumlah optimum dan eksisting dari 8 jenis alat tangkap ikan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat pada Tabel 28 Tabel 28 Perbandingan jumlah optimum dan eksisting pada tahun 2007 dari 8 jenis unit penangkapan ikan terpilih di Provinsi Sumatera Selatan No. Unit penangkapan ikan Jumlah yang ada pada tahun 2007 (unit) Estimasi jumlah yang optimum (unit) Peluang Penambahan 1. Trammel net (X1) Jaring insang hanyut (X2) Jaring insang tetap (X3) Jaring lingkar (X4) Pancing (X5) Bagan (X6) Perangkap (X7) Jaring klitik (X8) Jumlah Nilai parameter yang digunakan untuk analisis pengalokasian unit penangkapan mempengaruhi penambahan jumlah alat tangkap, yaitu: jumlah potensi sumberdaya ikan, jumlah tangkapan ikan maksimum yang diperbolehkan (JTB) dan nilai produktivitas dari masing-masing unit penangkapan. Nilai produktivitas yang digunakan pada analisis ini adalah tingkat produktivitas ideal usaha yang menguntungkan, yang nilainya ini nyata lebih tinggi dari nilai produktivitas aktual sekarang, sehingga secara logika jumlah unit penangkapan yang dialokasikan jelas lebih sedikit dari yang ada. Namun, secara komposisi jumlah lima unit penangkapan tersebut ada yang disarankan untuk ditingkatkan dan ada yang disarankan untuk dipertahankan jumlahnya. Hal ini disebabkan oleh pengalokasian yang memperhitungkan beberapa aspek, yaitu aspek efektivitas dam ketersediaan SDI. Penambahan jumlah unit penangkapan harus dilakukan secara hati-hati dan melalui pengawasan yang terkoordinasi dengan baik untuk mencegah terjadinya konflik di lapangan. Penambahan unit penangkapan yang tidak terkendali dapat mengancam kelestarian sumberdaya dan justru akan mengurangi nilai ekonomi yang diperoleh. Selain itu, penambahan unit tersebut juga sebaiknya difokuskan pada armada penangkapan dengan ukuran GT yang

138 114 lebih tinggi. Semakin besar ukuran kapal maka daya jelajahnya menjadi lebih jauh sehingga mampu menangkap dalam jarak tempuh yang lebih ke perairan lepas pantai. Menurut Yulistyo et al. (2006), salah satu upaya pengembangan usaha penangkapan di perairan pantai yang masih potensial adalah melalui motorisasi dan modernisasi unit penangkapan. Motorisasi tersebut diarahkan untuk kapal penangkap ikan berukuran antara 5-10 GT, GT dan > 30 GT untuk menjangkau wilayah perairan diatas 12 mil yang sebagian besar belum dieksploitasi (under exploited). Perbedaan kemampuan tangkap masing-masing jenis alat tangkap menyebabkan alokasi optimum masing-masing alat tangkap berbeda. Untuk alat tangkap jaring insang tetap, jaring insang lingkar, pancing dan bagan, hasil optimasi menunjukkan bahwa keempat jenis alat tangkap ini sebaiknya dipertahankan jumlahnya. Namun dalam pelaksanaannya, tingkat kesulitan mempertahankan jumlah unit alat tangkap tersebut sangat tinggi. Hal ini akan mengakibatkan pertumbuhan unit penangkapan yang melebihi dari jumlah optimumnya. Padahal jumlah unit penangkapan eksisting yang telah melebihi alokasi optimum sebaiknya dikurangi agar sumberdaya yang ada dapat dipertahankan (Syahailatua 2006). Jenis bagan yang ada saat ini adalah bagan tancap yang secara teknis menggangu terhadap alur pelayaran. Oleh karena itu, sebaiknya penggunaan bagan lebih diarahkan kejenis bagan apung karena memiliki keunggulan teknis yang lebih baik. Selain mudah dipindahkan ke daerah penangkapan ikan yang lebih potensial, bagan apung juga tidak mengganggu alur pelayaran serta lebih mudah dalam pemeliharaan. Pertimbangan teknis tersebut menyebabkan bagan apung lebih menguntungkan dibandingkan bagan tancap. Kemampuan armada penangkapan yang relatif beragam antar jenis alat tangkap dapat menimbulkan konflik antar nelayan. Oleh karena itu perlu adanya peraturan dan sanksi yang tegas sehingga potensi konflik akibat perebutan DPI atau hasil tangkapan tertentu dapat diminimalisir. Selain itu, adanya konsep pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas yang partisipatif dapat dijadikan solusi maupun masukan yang berharga dalam bidang pemanfaatan perikanan pantai (Murdiyanto 2002).

139 Alokasi Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam pelaksanaan suatu kegiatan dalam hal ini kelangsungan kegiatan penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan. Sarana dan prasarana yang diamati dalam mendukung pengembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan adalah pelabuhan perikanan, unit pemasaran hasil perikanan, komponen unit pengolahan ikan, dan fasilitas pendukung kegiatan penangkapan Komponen sarana pelabuhan Prasarana perikanan tangkap yang memiliki peran besar untuk keberlangsungan kegiatan penangkapan selain armada adalah pelabuhan perikanan. Keberadaan pelabuhan perikanan ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perekonomian masyarakat di sekitar pelabuhan, beberapa kegiatan perekonomian yang banyak terdapat di sekitar maupun di pelabuhan diantaranya bongkar muat kebutuhan kapal, penjualan ikan, penjualan sarana melaut, dan penjualan komponen pendukung kegiatan perikanan. Pelabuhan perikanan di Indonesia dikelompokkan menjadi 4 macam. Pengelompokkan pelabuhan ini didasarkan atas beberapa kriteria yaitu ukuran kapal (GT), armada penangkapan, daerah penangkapan ikan, panjang darmaga, kedalaman kolam pelabuhan, keberadaan kawasan industri, daya tampung kolam pelabuhan dan daerah tujuan pemasaran hasil perikanan. Pembagian pelabuhan tersebut adalah Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) (Departemen Kelautan dan Perikanan 2006). Persyaratan teknis pembagian pelabuhan perikanan secara rinci adalah sebagai berikut : 1) Pelabuhan Perikanan Samudera atau PPS, memiliki persyaratan teknis sebagai berikut : melayani kapal ikan > 60 GT, daerah penangkapannya di laut teritorial, ZEE Indonesia dan laut lepas, panjang dermaga minimal 300 m dengan kedalaman kolam minimal minus 3 m, memiliki daya tampung minimal 100 buah kapal atau 6000 GT sekaligus, hasil tangkapannya untuk ekspor, memiliki kawasan industri. 2) Pelabuhan Perikanan Nusantara atau PPN, dicirikan dengan melayani kapal ikan GT, daerah penangkapannya di laut teritorial dan ZEE Indonesia, panjang dermaga minimal 150 m dengan kedalaman kolam

140 116 minimal minus 3 m, memiliki daya tampung minimal 75 buah kapal atau 2250 GT sekaligus, memiliki kawasan industri. 3) Pelabuhan Perikanan Pantai atau PPP, dicirikan dengan melayani kapal ikan 5-15 GT, daerah penangkapannya di perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial, panjang dermaga minimal 100 m dengan kedalaman kolam minimal minus 2 m, memiliki daya tampung minimal 30 buah kapal atau 300 GT sekaligus. 4) Pangkalan Pendaratan Ikan atau PPI, dicirikan dengan melayani kapal ikan < 5 GT, daerah penangkapannya di di perairan pedalaman dan perairan kepulauan, panjang dermaga minimal 50 m dengan kedalaman kolam minimal 2 m, memiliki daya tampung minimal 20 buah kapal atau 60 GT sekaligus. Dalam rangka pengembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan dengan adanya optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan, maka sarana penunjang dalam hal ini pelabuhan perikanan juga perlu dipertimbangkan keberadaannya. Pendugaan jumlah sumberdaya jumlah prasarana pelabuhan di Provinsi Sumatera Selatan diestimasikan berdasarkan jumlah optimum armada penangkapan yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan secara optimal (sesuai MSY). Penentuan jenis pelabuhan optimum di Sumatera Selatan dilakukan dengan mengacu pada kriteria-kriteria teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Perhitungan tersebut dilakukan dengan menggunakan beberapa tahap. Tahap pertama adalah menghitung jumlah GT armada penangkapan yang diperoleh dari data optimal jumlah alat tangkap hasil perhitungan LGP. Tahap kedua adalah menentukan kelas pelabuhan sesuai dengan kriteria yang dikeluarkan KKP-RI, berdasarkan ukuran kapal atau armada penangkapan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Tahap selanjutnya adalah menghitung perkiraan kebutuhan jumlah pelabuhan dengan membagi jumlah total GT kapal ikan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan dengan daya tampung optimum masing-masing kelas pelabuhan. Berdasarkan pendekatan ini, diperoleh 2 jenis pelabuhan perikanan yang dibutuhkan Provinsi Sumatera Selatan untuk mengembangkan sumberdaya ikan secara optimal. Dua macam pelabuhan yang dimaksud adalah Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Keberadaan

141 117 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) ini diarahkan untuk menangani dan melayani kapal-kapal trammel net, jaring insang hanyut, jaring klitik, dan jaring insang tetap. Sedangkan Pangkalan Pendaratan Ikan diperuntukkan bagi kapal-kapal berukuran kecil dalam hal ini pancing, perangkap dan bagan. Secara teknis jumlah pelabuhan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan berjumlah 8 unit, dengan rincian 3 unit berupa Pelabuhan Perikanan Pantai dan 5 unit lainnya adalah Pangkalan Pendaratan Ikan. Rincian tahapan perhitungan pelabuhan di Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Jumlah kebutuhan optimum prasarana pelabuhan di Provinsi Sumatera Selatan No. Alat Tangkap Jumlah Optimum (unit) Ukuran Kapal (GT) Jumlah GT Klasifi kasi Jumlah PP (Unit) 1. Trammel net Jaring insang hanyut PPP 3 3. Jaring Klitik Jaring insang tetap Jaring lingkar Pancing PPI 5 7. Perangkap Bagan Jumlah Keterangan : 1. Jumlah PPP diperoleh dari rasio jumlah GT kapal (tramel net, jaring insang hanyut, jaring klitik dan jaring insang) dengan kapasitas optimum PPP (4000 GT). 2. Jumlah PPI diperoleh dari rasio jumlah GT kapal (pancing, perangkap, dan bagan) dengan kapasitas optimum PPI (1300 GT). Berdasarkan jumlah pelabuhan perikanan yang dibutuhkan (8 unit), Sumatera Selatan sekarang telah memiliki pangkalan pendaratan ikan sebanyak 2 unit maka dibutuhkan penambahan 6 unit lagi degan rincian 3 unit PPP dan 3 unit PPI. Minimnya pelabuhan perikanan di Pulau Sumatera dapat dimaklumi mengingat biasanya nelayan mendaratkan hasil tangkapan pada pelabuhan rakyat yang dikenal dengan istilah tangkahan. Fenomena ini seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah dan mendorong untuk menciptakan suatu pelabuhan perikanan yang mampu mengakomodir seluruh

142 118 kebutuhan nelayan dengan biaya yang terjangkau. Saridewi (2006) menyebutkan bahwa salah satu prioritas dalam pengembangan desa pantai yang berbasis perikanan adalah dengan pengembangan fasilitas pelelangan ikan untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat Komponen unit pemasaran hasil tangkapan Komponen pemasaran hasil perikanan juga sangat memegang peran penting dalam perkembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Secara harfiah pemasaran adalah satu tindakan atau keputusan yang berhubungan dengan pergerakan barang dan jasa dari produsen, pedagang, pengolah sampai konsumen (Hanafiah & Saefudin 1983). Khusus bidang perikanan tangkap sarana unit pemasaran sangat erat kaitannya dengan keberadaan pelabuhan perikanan. Hal ini sangat jelas karena salah satu fungsi pelabuhan adalah sebagai salah satu kawasan perekonomian perikanan yang mempertemukan antara daratan dan lautan dan diharapkan dapat memberikan multiplayer efek bagi perkembangan dan pertumbuhan perekonomian lokal di sekitar pelabuhan. Aktivitas perekonomian di kawasan pelabuhan sangat jelas terlihat di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). pasar ikan, kawasan industri pelabuhan. Namun dari sebagian besar pelabuhan, sarana perekonomian yang minimal ada adalah TPI. TPI bagi nelayan memiliki peran besar dalam menjaga harga dan pemasaran hasil tangkapan nelayan. Dengan mempertimbangkan peran penting TPI bagi nelayan di Provinsi Sumatera Selatan, maka jumlah optimal TPI yang harus dibangun untuk masing-masing pelabuhan perikanan untuk menampung potensi sumberdaya yang ada perlu dihitung secara cermat. Perhitungan luas tempat pelelangan ikan ideal yang diperlukan oleh Provinsi Sumatera Selatan dapat didekati dengan menggunakan formula baku dalam pokok-pokok desain pelabuhan perikanan yang dikeluarkan oleh Direktorat Pelabuhan Perikanan, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan diacu dalam (Sutisna 2008), yakni: Keterangan : S = Luas Gedung TPI (M 2 ) P = Jumlah produksi yang didaratkan per hari

143 119 k = Koefisien daya tampung produksi (m 2 /ton) R = Frekuensi lelang per hari α = Koefisien perbandingan ruang lelang dengan gedung lelang (0,27-0,394) Khusus untuk konstanta (k) untuk masing-masing komoditas perikanan memiliki nilai yang berbeda, terlebih negara tropis seperti Indonesia. Nilai (k) untuk masingmasing komoditas disajikan pada Tabel 30 yang diacu dalam (Sutisna 2008) Tabel 30 Nilai koefisien ruang daya tampung produksi (k) berdasarkan jenis kelompok ukuran ikan Jenis kelompok ukuran ikan Cara Penyusunan Nilai koefisien ruang (k) Udang Dalam peti disusun 10 lapis 1,56 Ikan kecil, cumi, lobster Dalam keranjang ditumpuk 3 lapis 6,00 Ikan sedang, seperti: Dijejer/dibereskan di lantai 15,00 tongkol, cakalang, layang. Ikan besar, seperti: tuna, layaran, cucut Disusun di lantai 13,00 Berdasarkan persamaan di atas, luasan TPI optimal untuk menampung produksi optimal nelayan Provinsi Sumatera Selatan adalah sebesar 285 m 2, dengan rincian di setiap PPP memerlukan luasan TPI minimum sebesar 191 m 2, sedangkan luasan di PPI mencapai 94 m 2 (Tabel 31 dan Tabel 32). Hasil tersebut diperoleh dengan 3 (tiga) asumsi yaitu: 1. Jumlah hari kerja di setiap unit pelelangan ikan di pelabuhan perikanan setiap tahun adalah 250 hari. 2. Dalam setiap hari kerja dilakukan 2 kali pelelangan. 3. Ratio produksi yang didaratkan pada suatu pelabuhan perikanan adalah berbanding lurus dengan ratio jumlah GT kapal ikan yang dapat dilayaninya. Tabel 31 Jumlah kebutuhan total luasan tempat pelelangan ikan (TPI) yang dibutuhkan di Provinsi Sumatera Selatan Kategori Produksi (ton/tahun) Produksi / hari Koefisien ruang (m²/ton) Luas Gedung TPI dengan α=0,35 (m²) Udang 4.536,5 18,1 1,56 40,44 Rajungan 1.298,3 5,2 6 44,51 Manyung 3.308,9 13, ,45 Golok-Golok 2.514,7 10,1 6 86,22 Jumlah ,4 284,62

144 120 Tabel 32 Jumlah kebutuhan luasan tempat pelelangan ikan (TPI) yang dibutuhkan di Provinsi Sumatera Selatan untuk setiap kelas pelabuhan perikanan Kelas Pelabuhan Perikanan Jumlah Pelabuhan Perikanan (unit) Jumlah GT kapal optimum (unit) Ratio Luasan TPI Total luasan TPI yang dibutuhkan (m 2 ) Luasan TPI rata-rata disetiap kelas Pelabuhan Perikanan (m 2 ) 191 PPP , PPI , Komponen unit pengolah ikan Komponen pasca produksi juga memiliki peran besar bagi pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan khususnya bagi penciptaan lapangan kerja baru dan penyerapan pengangguran di bidang pengolahan hasil perikanan. Kegiatan pengolahan hasil tangkapan merupakan kegiatan pasca produksi berperan untuk meningkatkan nilai tambah dan umur komoditas perikanan dalam bentuk yang berbeda dari bahan dasarnya. Proses memperpanjang mutu ikan dilakukan dengan berbagai tahapan diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Penerapan sistem rantai dingin untuk penanganan hasil tangkapan sejak ikan ditangkap hingga ke tingkat konsumen atau industri pengolahan. 2) Diversifikasi produk pengolahan dalam rangka meningkatkan nilai tambah. 3) Pengembangan UMKM pengolah hasil perikanan berbasis olahan tradisional dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja bidang kelautan dan perikanan. 4) Pengembangan teknik pengemasan produk perikanan yang berbasiskan teknologi pengolahan untuk menarik minat konsumen sehingga dapat meningkatkan nilai jual produk perikanan. Dengan perkiraan tingkat produksi dan sarana optimum kegiatan penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan, maka unit pengolahan sebagai kegiatan lanjutan dari aktivitas perikanan tangkap juga perlu diestimasi perkiraan sarana optimum yang diperlukan untuk operasional kegiatan pengolahan ikan. Estimasi ini dilakukan dengan asumsi sebagai berikut:

145 121 (1) Koefisien pengolahan untuk komoditi ikan idealnya 70% dari produksi optimum, sedangkan untuk komoditi rajungan dapat dimanfaatkan sebanyak 30% dari produksi optimum. (2) Jumlah hari kerja unit pengolahan ikan setiap tahun adalah 250 hari. (3) Kapasitas rata-rata ideal unit pengolahan hasil tangkapan untuk komoditi Rajungan sebesar 0,8 ton/hari, sedangkan untuk komoditi udang, manyung dan golok-golok adalah 6 ton/hari Berdasarkan asumsi tersebut dan menggunakan nilai produksi optimum, maka kebutuhan jumlah unit pengolahan ikan yang ideal untuk perairan Sumatera Selatan dapat diestimasi, yaitu sebanyak 8 unit. Secara lengkap hasil perhitungan komponen pengolahan dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Jumlah kebutuhan unit pengolahan hasil perikanan Provinsi Sumatera Selatan Jenis ikan Produksi (ton/tahun) koefisien unit pengolahan Jumlah Bahan Baku (ton) Kapasitas unit pengolahan (ton/tahun/uni t) Jumlah unit pengolah Rajungan 1.298,30 30% 389, Udang 4.536,50 80% 3.629,20 Manyung 3.308,90 80% 2.647, Golok-Golok 2.514,70 80% 2.011,76 Jumlah , ,08 8 Keterangan: Estimasi jumlah optimum unit pengolahan ikan = jumlah produksi optimum Koef. Pengolahan Kapasitas unit pengolahan Komponen sarana penunjang Ketersediaan sarana penunjang kegiatan perikanan tangkap dalam rangka meningkatkan pemanfaatan sumberdaya ikan hingga ke titik optimum mutlak diperlukan. Beberapa sarana penunjang yang dipandang sangat dibutuhkan untuk kemajuan kegiatan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan adalah keberadaan galangan kapal ikan, ketersediaan bahan/material alat penangkap ikan dan mesin kapal ikan. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan alat tangkap optimum di Provinsi Sumatera Selatan terdapat unit jenis alat tangkap yang perlu dikembangkan. Alat tangkap tersebut adalah, trammel net (842 unit), jaring

146 122 insang hanyut (615 unit), jarring klitik 617 unit, jaring insang tetap (696 unit), jaring insang lingkar (101 unit), pancing (1422 unit), perangkap (1109 unit) dan bagan (790 unit). Adanya jumlah alat tangkap optimum tersebut, tentunya memerlukan galangan, serta kebutuhan bahan/material lainya agar operasional kegiatan penangkapan tetap berlangsung dengan baik. Untuk mengestimasi jumlah galangan kapal yang optimum diperlukan 2 asumsi, yaitu: (1) Tingkat produktivitas galangan kapal ikan per hari 3 GT, yang terdiri dari 2,5 GT/hari untuk aktivitas pengerjaan docking kapal ikan dan 0,5 GT untuk aktivitas pembuatan kapal ikan. (2) Jumlah hari kerja galangan kapal ikan setiap tahun adalah 250 hari. Dengan menggunakan asumsi tersebut dan ditambah dengan data umur teknis kapal ikan, maka dapat diestimasi jumlah galangan kapal yang minimum diperlukan untuk menunjang kegiatan produksi pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimum di perairan Provinsi Sumatera Selatan, yaitu sebanyak 3 unit (Tabel 34). Tabel 34 Jumlah kebutuhan optimum galangan kapal perikanan di Provinsi Sumatera Selatan No. Alat Tangkap Jumlah Unit Penangk apan Optimum Ukuran Kapal (GT) Jumlah GT Umur teknis Penyu sutan Produktivitas Galangan kapal (GT/tahun/Unit) Jumlah Galangan 1. Trammel net Jaring insang hanyut Jaring Klitik Jaring insang tetap Jaring lingkar Pancing Perangkap Bagan Jumlah Dengan mempertimbangkan keberadaan galangan kapal sebagai tempat perbaikan kapal atau doking kapal, maka dengan asumsi yang sama keberadaan bahan material untuk perbaikan unit penangkapan juga memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan perikanan tangkapan. Keberadaan material bahan alat tangkap di wilayah Sumatera Selatan ini akan meningkatkan

147 123 efisiensi baik biaya maupun waktu bagi nelayan maupun pengusaha perikanan tangkap di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, karena selama ini kebutuhan material khususnya jaring masih di suplai dari Jakarta. Penentuan kebutuhan material unit penangkapan ikan dilakukan dengan mengacu terhadap jumlah optimum unit penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan hasil perhitungan LGP. Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya, unit penangkapan yang dioperasikan di Provinsi Sumatera Selatan terdiri dai 6 jenis yang menggunakan bahan jaring. Unit penangkapan tersebut membutuhkan jaring sebanyak m 2. Rincian perhitungan kebutuhan jaring ikan disajikan pada Tabel 35. Tabel 35 Jumlah kebutuhan optimum jaring untuk armada penangkapan di Sumatera Selatan No. Alat tangkap Jumlah optimum (unit) Ukuran jaring (m²) Kebutuhan jaring (m²) Umur teknis (tahun) Penyusutan (m²) Total kebutuhan jaring (m²) 1. Trammel net , Jaring insang hanyut , Jaring klitik , Jaring insang tetap Jaring lingkar , Bagan Jumlah Berdasarkan hasil perhitungan kebutuhan optimum jaring seperti yang disajikan pada Tabel 35, maka dapat diestimasi jumlah kebutuhan pabrik jaring yang diperlukan di Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 1 unit dengan skala pabrik kecil (kapasitas 72,5 ton/bulan). Hal ini diperoleh dengan membandingkan tingkat produktivitas PT. Indoneptune sebesar 200 ton/bulan terhadap kebutuhan jaring di Provinsi Sumatera Selatan. Hasil estimasi total kebutuhan jaring di Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 36.

148 124 Tabel 36 Jumlah kebutuhan pabrik jaring di Provinsi Sumatera Selatan No. Alat Tangkap Kebutuhan jaring per tahun Penyusutan Nilai Konversi (m²/ton) Total Kebutuhan (ton) Produktivitas 200 ton/bulan Kebutu han pabrik 1. Trammel net Jaring insang hanyut Jaring klitik Jaring insang tetap Jaring lingkar Bagan Jumlah Berdasarkan hasil perhitungan terhadap kondisi optimum untuk masingmasing kelompok alokasi optimum bidang perikanan di Provinsi Sumatera Selatan, maka sektor lain yang terpengaruh dari kegiatan pengembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan ini adalah penyerapan tenaga kerja. Perhitungan tenaga kerja ini dapat dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu tenaga kerja yang terjun langsung dalam kegiatan penangkapan ikan dan tenaga kerja diluar perikanan. Perkiraan jumlah tenaga kerja bidang perikanan diestimasi dengan menggunakan data jumlah armada/kapal perikanan optimal yang dibutuhkan oleh Provinsi Sumatera Selatan dan tentunya dengan mengkonversi jumlah armada dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat untuk masing-masing unit penangkapan. Berdasarkan perhitungan diperkirakan jumlah tenaga kerja yang dapat diserap adalah orang. Data perhitungan jumlah tenaga kerja optimum bidang perikanan tangkap disajikan pada Tabel 37. Tabel 37 Kebutuhan jumlah tenaga kerja bidang perikanan dengan adanya pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan No. Alat Tangkap Jumlah Kapal Tenaga Kerja per Kapal Jumlah Tenaga Kerja 1. Trammel net Jaring insang hanyut Jaring klitik Jaring insang tetap Jaring lingkar Pancing Perangkap Bagan Jumlah

149 125 Selain tenaga kerja yang terjun langsung dalam kegiatan penangkapan ikan, pengembangan perikanan ini juga dapat memperluas tingkat penyerapan tenaga kerja di luar perikanan. Berdasarkan perhitungan terhadap pengembangan beberapa sarana sampai titik optimum maka jumlah tenaga kerja yang dapat diserap diluar bidang perikanan adalah orang. Rincian lengkap perhitungannya tingkat penyerapan tenaga kerja diluar bidang perikanan dapat dilihat pada Tabel 38. Tabel 38 Kebutuhan jumlah tenaga kerja lain terkait dengan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Sarana/Prasarana Kapasitas Kebutuhan Jumlah Tenaga Jumlah Tenaga Kerja per unit (unit) Kerja (orang/unit) (orang) PPP 4000 GT PPI 1300 GT Galangan kapal 750 GT/thn Pabrik Jaring 72,5 ton/bln Unit Pengolahan Rajungan Unit Pengolahan ikan dan udang Total Kebutuhan Tenaga Kerja (orang) ton/thn/unit 1500 ton/thn/unit Strategi Pengembangan Perikanan Analisis SWOT Dalam melakukan pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan maka dilakukan analisis SWOT untuk merumuskan strategi pengembangan perikanan. Dengan analisis SWOT ini maka optimasi pemanfaatan potensi komoditas unggulan yang ada akan lebih baik. Untuk dapat merumuskan strategi berdasarkan faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap kegiatan perikanan tangkap, maka terlebih dahulu dilakukan identifikasi faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang berpotensi ditemukan di Provinsi Sumatera Selatan. Faktor-faktor inilah yang nantinya akan digunakan sebagai dasar dalam merumuskan strategi pengembangan perikanan tangkap dengan memaksimalkan kekuatan dan peluang dan sekaligus meminimumkan kelemahan dan ancaman yang ada.

150 126 Faktor internal merupakan faktor-faktor yang dapat memberikan pengaruh terhadap upaya pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Faktor ini terdiri atas kekuatan yang mendukung kegiatan dan faktor kelemahan yang bertolak belakang dengan faktor sebelumnya. Adapun faktor-faktor yang dimaksud ditunjukkan pada Tabel 39. Tabel 39 Faktor internal yang mempengaruhi pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan No. Kekuatan 1 Potensi perikanan tangkap yang besar 2 Dukungan pemerintah pada sektor perikanan dan kelautan 3 Banyak tersedia tenaga kerja 4 Posisi geografis yang strategis Kelemahan 1 Kurangnya sarana dan prasarana perikanan 2 Kualitas SDM perikanan yang rendah 3 Rendahnya produktivitas penangkapan 4 Kurangnya modal yang dimiliki Selain faktor internal yang berasal dari dalam, faktor eksternal merupakan faktor dari luar yang juga dapat berdampak terhadap kegiatan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Faktor ini terdiri atas peluang dan ancaman yang mungkin timbul dalam proses pengembangan perikanan. Faktor-faktor tersebut seperti ditunjukkan pada Tabel 40. Tabel 40 Faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan No. Peluang 1 Otonomi daerah memberikan kewenangan pengelolaan lebih luas pada PEMDA 2 Terbukanya pasar ekspor bagi komoditas perikanan unggulan 3 Pengembangan perikanan berbasis komoditas unggulan perikanan 4 Perluasan DPI ke wilayah perairan > 12 mil Ancaman 1 Rezim pengelolaan perikanan yang masih open access 2 Padatnya aktivitas perikanan di sekitar pantai Era perdagangan bebas menyebabkan banyak produk perikanan impor masuk 3 ke pasar lokal 4 Penurunan kualitas lingkungan perairan Dalam rangka mengembangkan perikanan tangkap dengan berbagai faktor internal dan eksternal, maka disusunlah suatu strategi pengembangan dengan

151 127 memanfaatkan kekuatan dan peluang serta mengatasi kelemahan dan meminimalkan ancaman yang mungkin terjadi. Strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan di Sumatera Selatan disajikan dalam matriks pada Tabel 41. Strategi pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu strategi SO, WO, ST dan WT. Masing-masing strategi memiliki keunggulan dan prioritas yang berbeda. Hal ini tentunya berkaitan dengan faktor internal dan eksternal yang mempunyai pengaruh besar terhadap pengembangan perikanan tangkap. Tabel 41 Matrik SWOT pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan di Provinsi Sumatera Selatan INTERNAL EKSTERNAL Kekuatan 1. Potensi perikanan tangkap yang besar 2. Dukungan pemerintah pada sektor perikanan dan kelautan 3. Banyak tersedianya tenaga kerja 4. Posisi gegografis yang strategis Kelemahan 1. Kurangnya sarana dan prasarana perikanan 2. Kualitas SDM perikanan yang rendah 3. Rendahnya produktivitas penangkapan 4. Kurangnya modal yang dimiliki Peluang Strategi SO Strategi WO 1. Otonomi daerah memberikan kewenangan pengelolaan lebih luas pada PEMDA 2. Terbukanya pasar ekspor bagi komoditas perikanan unggulan 3. Pengembangan perikanan berbasis komoditas unggulan perikanan 4. Perluasan DPI ke wilayah perairan > 12 mil Optimalisasi pemanfaatan komoditas perikanan unggulan Memperluas jaringan kerjasama dalam pengembangan perikanan Meningkatkan sarana dan prasarana serta SDM perikanan Meningkatkan produktivitas perikanan unggulan Ancaman Strategi ST Strategi WT 1. Rezim pengelolaan perikanan yang masih open access 2. Padatnya aktivitas perikanan di sekitar pantai 3. Era perdagangan bebas menyebabkan banyak produk perikanan impor masuk ke pasar lokal 4. Penurunan kualitas lingkungan perairan Meningkatkan upaya penangkapan pada perairan lepas pantai Optimalisasi jumlah armada penangkapan Meningkatkan peran masyarakat dalam melestarikan SDI dan lingkungan Peningkatan produksi perikanan pada perairan > 12 mil

152 128 Berdasarkan Tabel 41, maka strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan dapat disajikan dalam Tabel 42. Tabel 42 Strategi pengembangan perikanan di Sumatera Selatan No. Strategi 1. Optimalisasi pemanfaatan komoditas perikanan unggulan (S1+S2+O2+O3) 2. Meningkatkan produktivitas perikanan unggulan (W3+O2+O3) 3. Meningkatkan peran masyarakat dalam melestarikan SDI dan lingkungan (W2+W4+T1+T2) 4. Optimalisasi jumlah armada penangkapan (S3+S4+T2+T3+T4) 5. Memperluas jaringan kerjasama dalam pengembangan perikanan (S3+S4+O1+O4) 6. Meningkatkan sarana dan prasarana serta SDM perikanan (W1+W2+W4+O1+O4) 7. Meningkatkan upaya penangkapan pada perairan lepas pantai (S1+S2+T1) 8. Peningkatan produksi perikanan pada perairan > 12 mil (W1+W3+T3+T4) Masing-masing strategi dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Optimalisasi pemanfaatan komoditas perikanan unggulan, dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas penangkapan, pengolahan maupun pemasaran. Komoditas yang dimaksud adalah udang, rajungan, golokgolok dan manyung. 2) Untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan, maka produktivitas perikanan komoditas unggulan harus ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui perluasan daerah penangkapan hingga ke perairan > 12 mil yang selama ini cenderung belum dimanfaatkan dengan baik. 3) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam melestarikan SDI dan lingkungan guna mendukung perikanan tangkap yang berkelanjutan. Hal ini menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan perikanan yang bertanggungjawab sesuai dengan arah pembangunan perikanan dan kelautan yang diarahkan untuk pelestarian/konservasi sumberdaya. 4) Optimalisasi armada penangkapan, untuk memanfaatkan komoditas perikanan unggulan maka jumlah armada tertentu harus dioptimalkan sehingga produktivitas tangkapan per armada dapat ditingkatkan. 5) Memperluas jaringan kerjasama dan pengembangan perikanan dalam memasarkan hasil perikanan terutama untuk jenis komoditas unggulan sehingga mampu memberikan pendapatan yang lebih tinggi baik bagi nelayan maupun daerah.

153 129 6) Meningkatan kualitas sarana prasarana serta SDM di bidang perikanan tangkap, hal ini dilakukan untuk memberikan fasilitas pokok dan penunjang dalam upaya pemanfaatan komoditas perikanan unggulan. Sarana dan prasarana yang dimaksud dapat berupa penambahan Pelabuhan Perikanan, pembangunan cold storage, pembangunan pabrik es dan lain-lain. Kemampuan SDM nelayan juga harus ditingkatkan terutama dalam hal pengetahuan mengenai cara-cara penangkapan yang ramah lingkungan serta menjaga muitu hasil tangkapan tetap baik. 7) Meningkatkan upaya penangkapan pada perairan lepas pantai, sehingga produksi perikanan Provinvi Sumatera Selatan dapat ditingkatkan terutama untuk jenis ikan pelagis besar. 8) Peningkatan produksi perikanan pada perikanan > 12 mil ditujukan untuk memberikan peluang pendapatan yang lebih tinggi bagi nelayan dan peningkatan pendapatan daerah dengan adanya diversifikasi jenis ikan pelagis besar yang selama ini belum banyak dilakukan oleh nelayan. Usaha pengoptimalan pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan dapat dilakukan melalui pengaturan alokasi armada penangkapan dan penambahan sarana-prasarana penunjang. Sarana penunjang yang dimaksud antara lain pelabuhan perikanan, pabrik es dan unit-unit pengolahan ikan. Selain itu, sektor kelembagaan perikanan juga perlu mendapat perhatian yang serius sehingga peningkatan produksi perikanan tangkap dapat memberikan nilai tambah bagi nelayan dan bermuara pada peningkatan kualitas hidup nelayan dan masyarakat pesisir. Kondisi sarana dan prasarana perikanan yang kurang mendukung dapat menimbulkan hambatan bagi kemajuan sektor perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini berkaitan dengan karakteristik produk perikanan yang mudah mengalami penurunan mutu. Ikan yang telah rusak akan memiliki nilai jual yang lebih rendah sehingga akan mendatangkan kerugian bagi nelayan. Oleh karena itu, pembangunan pabrik es dan cold storage menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan di daerah ini. Pembangunan infrastruktur perikanan juga harus diiringi dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Penerapan sistem rantai dingin pada proses penangkapan ikan hendaknya di sosialisasikan kepada nelayan

154 130 tradisional sehingga kualitas hasil tangkapan nelayan tradisionalpun tetap terjaga. Peran serta dinas teknis terkait dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan harus ditingkatkan melalui berbagai program dan pendekatan persuasif. Seluruh stakeholders yang terlibat hendaknya memiliki visi misi yang sama sehingga pembangunan perikanan akan menghasilkan manfaat tambahan bagi semua pihak Analisis hierarki proses Penentuan prioritas alternatif kebijakan dalam rangka pengembangan kegiatan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan dilakukan dengan menggunakan analisis AHP (Analytical Hierarchy Process). Alasan dipilihnya metode AHP karena metode ini lebih dapat tergambar secara jelas berbagai variabel pengambilan keputusan yang diambil dalam menentukan prioritas alternatif pengembangan kebijakan perikanan tangkap. Dalam menentukan variabel keputusan yang dianalisis menggunakan AHP, pertimbangan yang digunakan adalah dengan mengutamakan strategi yang telah dihasilkan dalam analisis SWOT. Variabel yang digunakan adalah alokasi sarana dan prasarana perikanan, alokasi alat tangkap, memperluasan daerah penangkapan ikan ke perairan > 12 mil dan menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan. Hal ini sesuai dengan prioritas strategi yang dihasilkan dari analisis SWOT dan kebutuhan eksisting pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Variabel-variabel keputusan yang digunakan untuk pengembangan kebijakan perikanan tangkap di Sumatera Selatan dapat digambarkan dalam diagram hierarki keputusan AHP seperti yang disajikan pada Gambar 13.

155 131 Level 1: Fokus Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Level 2: Masalah Sarana dan prasarana 0,483 Aktivitas usaha penangkapan 0,276 Pengolahan 0,101 Pemasaran 0,141 Level 3: Alternatif Kebijakan Meningkatkan jumlah unit alat tangkap 0,350 Menambah unit pengolahan 0,205 Menambah prasarana pelabuhan 0,376 Memperluas jangkauan daerah penangkapan di atas12 mil 0,069 Gambar 13 Diagram hierarki keputusan AHP dalam penentuan kebijakan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Diagram hierarki pengambilan keputusan dalam pemilihan pengembangan kebijakan perikanan tangkap disusun dalam tiga level. Level pertama yang menjadi fokus analisis yakni kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Level kedua diagram hierarki yaitu variabel masalah yang berpengaruh terhadap pengembangan perikanan tangkap. Terdapat empat masalah pokok yang terpilih meliputi sarana dan prasarana, aktivitas kegiatan usaha penangkapan ikan, pengolahan serta pemasaran produk hasil perikanan. Berdasarkan pada kriteria masalah tersebut dapat dirumuskan alternatif kebijakan pada level ketiga. Secara garis besar terdapat empat alternatif kebijakan yang dapat dipilih yaitu: 1) Menambah alokasi unit alat tangkap untuk dapat memanfaatkan sumberdaya komoditas unggulan secara optimum. 2) Menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan. 3) Menambah prasarana pelabuhan yang dilengkapi dengan pabrik es, galang kapal dan stasiun pengisian bahan bakar. 4) Memperluas jangkauan daerah penangkapan ikan hingga di atas 12 mil. Tahapan proses pengolahan data pada analisis AHP ada 2, yaitu pengolahan secara horisontal dan pengolahan secara vertikal. Pengolahan horisontal yaitu membandingkan antar elemen yang menjadi variabel dari setiap

156 132 variabel elemen di atasnya, dan bobot nilai elemen diatasnya tersebut tidak dihitung. Sedangkan pengolahan secara vertikal dihitung dengan membandingkan antar semua elemen dalam satu level, dan perhitungan bobot nilai setiap elemen diatasnya akan berpengaruh terhadap nilai setiap elemen pada level berikutnya. Analisis secara vertikal merupakan hasil akhir bobot nilai dari setiap elemen variabel pengambilan keputusan. 1) Analisis Hasil Pengolahan Horizontal Analisis pengolahan horizontal dilakukan terhadap setiap level yang dibuat dalam diagram hierarki AHP. Terdapat tiga level hierarki pengambilan keputusan yang telah disusun yaitu pada level pertama sebagai fokus utama; level kedua didasarkan pada masalah; dan level ketiga merupakan alternatif kebijakan. Pada level pertama hanya terdapat satu-satunya elemen fokus yaitu pengembangan kebijakan perikanan tangkap, sehingga elemen tersebut merupakan satu-satunya hasil pengolahan horisontal pada level pertama. Hasil pengolahan horisontal level kedua (elemen masalah) Pengolahan horisontal pada level kedua dilakukan terhadap berbagai elemen masalah menurut setiap masalah yang ditetapkan sebagai kriteria penilaian dalam kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Hasil analisis pengolahan data pada level kedua dapat dilihat pada Tabel 43. Tabel 43 Bobot nilai hasil pengolahan horisontal elemen masalah pada level kedua No Masalah Bobot Nilai 1 Sarana dan prasarana 0,483 2 Usaha Penangkapan 0,276 3 Pengolahan 0,101 4 Pemasaran 0,141 Rasio Inkonsistensi (RI) = 0,08 Berdasarkan pada tabel di atas dapat diketahui bahwa elemen masalah sarana dan prasarana merupakan elemen masalah yang paling penting dengan bobot nilai sebesar 0,483. Selanjutnya diikuti oleh elemen masalah usaha penangkapan dengan bobot nilai 0,276. Elemen masalah pemasaran dan

157 133 pengolahan memiliki bobot nilai masing-masing sebesar 0,141 dan 0,101. Hasil penilaian responden seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas telah cukup konsisten yang ditandai dengan nilai rasio inkonsistensi (RI) sebesar 0,08, berada dibawah nilai 0,1. Hasil pengolahan horisontal level ketiga (elemen alternatif kebijakan) Pengolahan horisontal pada level ketiga bertujuan untuk memilih alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan didasarkan pada 4 elemen masalah yang telah ditetapkan pada level ketiga. Secara lebih lengkap hasil analisis pengolahan horisontal pada level ketiga disajikan pada Tabel 44. Tabel 44 Susunan bobot dan prioritas hasil pengolahan horisontal elemen alternatif kebijakan pada level ketiga No Alternatif Kebijakan Sub masalah. Alt.1 Alt2 Alt3 Alt4 RI 1. Sarana dan pasarana 0,305 0,094 0,534 0,067 0,08 2. Usaha penangkapan 0,548 0,109 0,274 0,070 0,05 3. Pengolahan 0,152 0,523 0,240 0,085 0,02 4. Pemasaran 0,271 0,544 0,122 0,064 0,07 Keterangan : Alternatif 1 : Menambah alokasi unit alat tangkap untuk dapat memanfaatkan sumberdaya komoditi unggulan secara optimum. Alternatif 2 : Menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan. Alternatif 3 : Menambah prasarana pelabuhan.yang di lengkapi dengan pabrik es, galangan kapal dan stasiun pengisian bahan bakar. Alternatif 4 : Memperluas jangkauan daerah penangkapan ikan di atas 12 mil. Berdasarkan analisis pengolahan horisontal AHP seperti yang disajikan pada tabel di atas dapat dilihat bahwa bobot penilaian dari setiap alternatif kebijakan memiliki distribusi bobot yang hampir merata bagi alternatif kebijakan pertama, kedua dan ketiga. Sedangkan bobot nilai untuk alternatif kebijakan keempat memiliki bobot nilai yang paling rendah dipandang dari seluruh elemen masalah yang telah ditetapkan. Alternatif kebijakan ketiga yaitu melengkapi sarana dan prasarana pendukung menjadi prioritas utama berdasarkan penilaian masalah sarana dan prasarana. Bila ditinjau berdasarkan aspek masalah usaha penangkapan maka alternatif kebijakan pertama yakni menambah alokasi jumlah armada

158 134 penangkapan yang menjadi prioritas utama. Sedangkan prioritas utama kebijakan yang dipilih berdasarkan aspek pengolahan dan pemasaran yaitu alternatif kebijakan kedua yakni menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan. Hasil penilaian responden seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas telah cukup konsisten yang ditandai dengan semua nilai rasio inkonsistensi (RI) sebesar berada dibawah nilai 0,1. 2) Analisis Hasil Pengolahan Vertikal Pengolahan vertikal adalah menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau fokus. Pengolahan vertikal dilakukan setelah matriks pendapat diolah secara horisontal dan memenuhi syarat rasio inkonsistensi. Berdasarkan hasil analisis horisontal di atas dapat diketahui bahwa nilai inkonsistensi yang paling besar yang sebesar 0,08 artinya nilai tersebut masih berada dibawah 0,1 sehingga dapat dianggap masih memiliki nilai konsistensi yang baik. Analisis pengolahan vertikal dari model hierarki keputusan pemilihan alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan juga dilakukan pada setiap tingkat seperti pada pengolahan horisontal. Hasil analisis pengolahan vertikal pada level pertama memiliki nilai 1, karena hanya terdapat satu elemen variabel fokus kegiatan yaitu pengembangan kebijakan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Hasil pengolahan vertikal level kedua (elemen masalah) Pengolahan vertikal pada level kedua adalah untuk mengetahui permasalahan yang paling berpengaruh terhadap pemilihan alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap. Hasil analisis pengolahan vertikal level kedua disajikan pada Tabel 45. Tabel 45 Bobot nilai hasil pengolahan vertikal pada level kedua No. Kriteria Bobot Nilai Ranking 1. Sarana dan prasarana 0, Usaha Penangkapan 0, Pengolahan 0, Pemasaran 0,141 3 Hasil pengolahan vertikal pada level kedua memberikan hasil yang sama dengan hasil pengolahan horisontal pada tingkat yang sama, karena pada tingkat

159 135 ini langsung berada di bawah tingkat pertama atau fokus dari model hierarki sistem keputusan. Dari Tabel 45 dapat dilihat bahwa permasalahan utama yang paling berpengaruh terhadap penentuan kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan yaitu masalah sarana dan prasarana merupakan elemen masalah yang paling penting dengan bobot nilai sebesar 0,483. Selanjutnya secara berurut diikuti oleh elemen masalah usaha penangkapan dengan bobot nilai 0,276. Elemen masalah pemasaran dengan bobot nilai sebesar 0,141, sedangkan elemen masalah pengolahan hasil perikanan memiliki bobot yang paling rendah yaitu sebesar 0,101. Hasil analisis pengolahan vertikal pada level kedua menunjukkan bahwa kegiatan pengembangan usaha perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan memiliki ketergantung yang relatif besar terhadap kondisi sarana dan prasarana. Dukungan sarana dan prasarana yang baik akan berdampak pada berkembangnya usaha pada sektor perikanan tidak hanya pada on farm yakni usaha penangkapan, tetapi juga akan berdampak pada pengembangan usaha off farm yakni usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Adanya infrastruktur yang baik akan menciptakan kondisi usaha menjadi lebih efisien. Hasil Pengolahan Vertikal pada Level Ketiga Analisis pengolahan pada level ketiga dilakukan untuk menentukan alternatif kebijakan yang akan dipilih berdasarkan kriteria masalah dan sub masalah yang telah ditetapkan. Hasil analisis pengolahan vertikal pada level ketiga dapat dilihat pada Tabel 46.

160 136 Tabel 46 Bobot nilai hasil pengolahan vertikal pada level ketiga (elemen alternatif) No. Alternatif Kebijakan Bobot Nilai Ranking 1. Menambah alokasi unit alat tangkap untuk dapat memanfaatkan sumberdaya komoditas unggulan secara optimum 0, Menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan. 3. Menambah prasarana pelabuhan yang dilengkapi dengan pabrik es, galang kapal dan stasiun pengisian bahan bakar. 0, , Memperluas jangkauan daerah 0,069 4 penangkapan ikan diatas 12 mil Rasio Inkonsistensi = 0,08 Hasil pengolahan vertikal level keempat menunjukan bahwa prioritas kebijakan utama dalam rangka pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan adalah melengkapi sarana dan prasarana pendukung operasional usaha perikanan dengan bobot nilai mencapai sebesar 0,376. Prioritas alternatif berikutnya yaitu menambah alokasi jumlah unit alat tangkap secara optimum dengan bobot nilai 0,350. Prioritas alternatif yang ketiga yaitu menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan dengan bobot nilai 0,205. Sedangkan alternatif kebijakan memperluas jangkauan daerah penangkapan ikan di atas 12 mil menjadi prioritas terakhir dengan optimum dengan bobot nilai 0,069 Rasio inkonsistensi yang diperoleh dari pengolahan vertikal pada level keempat sebesar 0,08. Nilai rasio inkonsistensi ini menunjukan bahwa kualitas informasi yang diperoleh dari para stakeholder yang menjadi responden dalam kajian ini sangat baik dan mencerminkan konsistensi responden dalam menilai berbagai kriteria yang berpengaruh dalam penyusunan kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Prioritas utama alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan yaitu dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendukung operasional usaha perikanan. Hal ini dimungkinkan mengingat bahwa pengembangan perikanan di Sumatera Selatan memiliki ketergantung yang

161 137 cukup besar terhadap permasalahan sarana dan prasarana tersebut. Dukungan dari fasilitas pendukung dan infrastruktur yang baik, maka kegiatan usaha perikanan baik penangkapan, pengolahan maupun pemasaran dapat menjadi lebih efisien dan menjadi poin penting meningkatkan keunggulan produk perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, pengembangan jumlah unit armada penangkapan akan menjadi lebih baik dengan tersedianya sarana dan prasarana pendukung di pelabuhan terlebih dahulu. Ketersediaan fasilitas di pelabuhan akan berdampak pada kegiatan operasi penangkapan ikan menjadi lebih optimum. Kebijakan lain yang tidak kalah penting adalah pemanfaatan sumberdaya ikan pada wilayah perairan > 12 mil, antara lain wilayah Laut Cina Selatan. Untuk dapat memanfaatkan SDI di perairan tersebut maka dibutuhkan dukungan armada yang besar dan keterampilan nelayan yang lebih baik. Laut cina selatan masih memiliki potensi perikanan yang besar sehingga peluang pengembangan perikanan ke daerah ini masih cukup besar. Berdasarkan hasil penelitian Riddo et al. (2002) bahwa distribusi ikan demersal di Laut Cina Selatan terkonsentrasi pada kedalaman antara m, dan konsentrasi paling tinggi berada disekitar estuaria. Sementara itu menurut Masrikat (2003), perairan Laut Cina Selatan memiliki densitas ikan paling tinggi dilapisan pada kedalaman 5-25 m dan terkonsentrasi pada bagian selatan perairan yang dangkal dibandingkan dengan bagian utara yang relatif dalam Rancang Bangun Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Dalam upaya pengembangan perikanan tangkap, maka diperlukan suatu kerangka pengembangan yang menggambarkan seberapa besar potensi dan berbagai sarana yang diperlukan dalam pemanfaatan potensi tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan arahan dan pedoman dalam menentukan kebijakan yang mendukung pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Keragaan komponen perikanan tangkap ini, selanjutnya dapat menjadi rancang bangun pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan seperti ditunjukkan pada Gambar 16. Keterpaduan antar komponen perikanan tangkap seperti pada Gambar 16, sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya konsep rancang bangun

162 138 pengembangan tersebut. Oleh karena itu menurut Purwaka dan Sunoto (1999), diperlukan suatu organisasi atau lembaga yang mampu mengatur kerangka dan mekanisme kebijakan baik internal maupun eksternal sehingga kegiatan institusional dapat berjalan serta berhasil guna dan berdaya guna dan memberikan manfaat lebih bagi masyarakat. Kebijakan otonomi daerah memungkinkan daerah mampu dan dapat mengembangkan serta mengelola potensi perikanan yang ada dengan lebih baik. Oleh karena itu, campur tangan berbagai pihah baik dari lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat sangat diperlukan demi tercapainya tujuan pembangunan perikanan yang telah ditetapkan mengikuti rancang bangun perikanan di Provinsi Sumatera Selatan seperti pada Gambar 14. Secara rinci masing-masing lembaga dan tugas serta perannya adalah sebagai berikut : (1) Lembaga pemerintah, yang terdiri dari: 1) Dinas Perikanan pada setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan, 2) Unit Pelakasana Teknis (UPT) Pelabuhan Perikanan, 3) Unit Perekayasaan Teknologi, dan 4) Unit Pelatihan dan Penyuluhan berperan sebagai regulator dan sekaligus pengawas pelaksanaan pengembangan sehingga arah pembangunan perikanan sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan. (2) Lembaga swasta, yaitu asosiasi/organisasi pengusaha unit penangkapan ikan (kapal, alat penangkap ikan, perlengkapan dan alat bantu penangkapan ikan), asosiasi/organisasi pengusaha galangan kapal, asosiasi/organisasi pengolah dan pemasaran hasil perikanan berperan sebagai mitra dan sekaligus pengawas terhadap pelaksanaan pembangunan perikanan. (3) Lembaga masyarakat terdiri asosiasi/organisasi anak buah kapal (ABK), buruh nelayan, pengolah hasil perikanan, dan kelompok pengawas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap berperan sebagai eksekutor dan sekaligus pemberi masukan terhadap kebijakan pembangunan perikanan yang dilaksanakan oleh pemerintah.

163 139 - Ekspor - Konsumsi domestik Komponen Pemasaran Luas total Tempat Pelelangan ikan sebesar 285 m 2 Pasca Produksi 1. UP Rajungan 2 unit kapasitas 200 ton/tahun 2. UP Ikan dan udang 6 unit kapasitas ton/tahun Potensi Sumberdaya Ikan (TAC) Udang : 5.038,39 ton Rajungan : 1.564,78 ton Manyung : 3.590,45 ton Golok-golok : 2.974,95 ton Jumlah dan kelas PP PPP : 3 PPPI: 5 Jumlah Unit Penangkapan IKan Trammelnet : 842 unit Pancing : 1422 unit Bagan : 790 unit Drift gillnet : 615 unit Set gillnet : 696 unit J. Lingkar : 101 unit J. Klitik : 617 unit Perangkap : 1109 unit Jumlah Tenaga Kerja Sarana penunjang 1. Galangan Kapal 3 Unit 2. Pabrik Jaring 1 Unit Nelayan orang Trammelnet : orang Pancing : orang Bagan : orang Drift gillnet : orang Set gillnet : orang J. Lingkar : 606 orang J. Klitik : orang Perangkap : orang Tenaga Kerja lainnya : orang Gambar 14 Rancang bangun pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Selain kelembagaan yang kuat, pelaksanaan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan juga sangat membutuhkan investasi dan permodalan yang diprioritaskan bagi masyarakat nelayan. Hal ini bertujuan agar terjadi peningkatan laju usaha dari komponen-komponen perikanan tangkap yang ada di wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Oleh karena itu, peran perbankan dalam mendorong pengembangan perikanan tangkap menjadi sangat penting. Modal yang disalurkan oleh perbankan dapat dimanfaatkan oleh koperasi nelayan dan pengusaha perikanan pasca produksi, maupun pengusaha penyedia alat penunjang kegiatan panangkapan. Selain bagi individual investor juga dapat bekerjasama dengan pemerintah seperti pelabuhan perikanan pantai (PPP) maupun Pangkalan Pendaratan Ikan

164 140 (PPI). Misalnya investor mendukung sarana dan perasarana doking, air bersih, BBM, transportasi dll, sehingga kawasan pelabuhan dapat berperan sebagai kawasan perekonomian terpadu, seperti di daerah PPS di Indonesia yang telah terintegrasi antara produksi perikanan, perusahaan pengolahan hingga penyediaan sarana perbekalan melaut. Pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan tentunya akan memincu tumbuhnya kegiatan perekonomian lainnya disekitar kawasan perikanan ini. Oleh karena itu, keberadaan lembaga keuangan yang kuat dan lembaga-lembaga lain menjadi strategis, sebagai penjamin adanya aliran keuangan. Lembaga keuangan yang minimal diperlukan dan harus ada dalam pengembangan sub-sektor perikanan tangkap adalah: 1) perbankan, 2) koperasi, 3) pegadaian, dan 4) lembaga asuransi Keuntungan Penerapan Rancang Bangun Perikanan Komponen dalam rancang bangun perikanan tangkap seperti telah diuraikan di atas memiliki hubungan yang saling berkaitan dan menunjang satu sama lain. Masing-masing komponen memiliki peran dan fungsi yang secara bersama-sama menciptakan kondisi perikanan yang kondusif dan menguntungkan baik bagi nelayan sebagai pelaku, pedagang, swasta dan pemerintah sebagai regulator. Oleh karena itu, penerapan suatu kebijakan pemerintah akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Estimasi yang diperoleh dari penerapan alokasi armada, penambahan sarana dan prasarana perikanan, dan kebijakan pengembangan perikanan memberikan pengaruh yang signifikan baik terhadap produksi jenis komoditas unggulan, tenaga kerja maupun nilai ekspor perikanan di Sumatera Selatan. Manfaat penerapan rancang bangun tersebut disajikan pada Tabel 47.

165 141 Tabel 47 Manfaat penerapan rancang bangun pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan No Uraian Kondisi Eksisting 1 Produksi Setelah Pengembangan Kenaikan % Udang 5.861, ,43 494,56 8,44 Rajungan 1.726, ,78 267,27 15,48 Manyung 3.936, ,84 282,28 7,17 Golok-golok 2.667, ,68 450,43 16,89 Total , , ,54 10,53 2 Nilai Produksi Udang ,70 Rajungan ,80 Manyung ,25 Golok-golok ,42 Total ,20 3 Tenaga kerja perikanan Trammel net ,72 Jaring insang hanyut ,13 Jaring insang tetap ,00 Jaring lingkar ,00 Pancing ,00 Bagan ,00 Perangkap ,48 Jaring klitik ,60 Total ,03 4 Tenaga kerja bidang lain PPP PPI Galangan kapal Pabrik Jaring Unit Pengolahan Rajungan Unit Pengolahan ikan dan udang Total Kebutuhan Tenaga Kerja (orang) 5 Pendapatan nelayan ,64 6 Volume ekspor 2.813, ,59 715,90 22,54 Berdasarkan Tabel 47 diperoleh informasi bahwa apabila kebijakan alokasi armada optimum dan peningkatan sarana dan prasarana perikanan di implementasikan maka akan memberikan peningkatan produksi udang sebesar

166 142 8,44%, rajungan sebesar 15,48%, ikan manyung sebesar 7,17% dan ikan golokgolok sebesar 16,89%. Selain itu, pengaruh yang ditimbulkan lainnya adalah adanya peningkatan pendapatan nelayan sebesar 22,64% dengan asumsi adanya peningkatan harga jual hasil tangkapan ikan sebesar 15% karena perbaikan sistem pemasaran, kualitas ikan tetap baik dengan adanya pabrik es serta penurunan biaya BBM sebesar 10% karena nelayan membeli langsung di stasiun pengisian bahan bakar yang ada di pelabuhan perikanan terdekat. Adanya penambahan Pelabuhan Perikanan Pantai dan Pusat Pendaratan Ikan memberikan pengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Selain itu, adanya pabrik jaring, unit pengolahan ikan, udang dan galangan kapal diprediksi mampu menyerap orang. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah yang bekerja sebanyak orang dari sebelumnya. Begitu pula dengan jumlah nelayan yang juga mengalami peningkatan sesuai dengan alokasi optimum armada perikanan. Meskipun demikian, diharapkan melalui penambahan sarana dan prasarana perikanan tidak terjadi konflik horizontal antar nelayan. Komoditas ekspor yang selama ini menjadi andalan utama Provinsi Sumatera Selatan adalah udang. Setelah penambahan unit pengolaham maka komoditas unggulan lain yang memiliki peluang ekspor tinggi adalah rajungan. Dengan asumsi volume ekspor adalah 60% dari produksi udang dan rajungan yang ada maka terjadi peningkatan volume sebesar 22,54% Pengembangan Perikanan Lepas Pantai di Sumatera Selatan Wilayah perairan Provinsi Sumatera Selatan berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan yang memiliki potensi perikanan tangkap yang tinggi. Potensi sumberdaya ikan yang masih sangat potensial untuk dikembangkan di Laut Cina Selatan adalah komoditas udang dan pelagis besar. Sementara itu, jenis ikan demersal dan pelagis kecil telah mengalami gejala penangkapan berlebih (over fishing). Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Sumatera Selatan hendaknya memanfaatkan potensi yang ada tesebut dengan melakukan berbagai upaya antara lain perbaikan sarana-prasarana dan pengembangan armada perikanan tangkap yang mampu menjangkau kawasan di atas 12 mil yang belum banyak dimanfaatkan oleh nelayan lokal.

167 143 Untuk dapat memanfaatkan potensi perikanan yang ada di kawasan perairan diatas 12 mil maka kapal penangkap yang digunakan juga harus berukuran besar dan memiliki fasilitas penyimpanan yang memadai. Selain itu, perlu ditunjang pula dengan sarana-prasarana pendukung di bagian hinterland sehingga hasil tangkapan nelayan dapat dimanfaatkan dengan baik dan mutunya tetap terjamin. Kapal penangkap ikan yang mampu beroperasi di kawasan perairan lebih dari 12 mil sebaiknya berukuran GT. Sementara itu, kondisi armada panangkapan yang ada saat ini masih didominasi oleh kapal penangkap ikan < 30 GT. Kapal yang berukuran GT hanya sekitar 1% dari total armada perikanan yang ada. Hal ini cukup ironis bila melihat potensi SDI yang begitu besar. Oleh karena itu diperlukan peningkatan kapasitas dan ukuran armada penangkapan ikan sehingga optimalisasi pemanfaatan komoditas unggulan pada perairan di atas 12 mil dapat tercapai. Kebutuhan kapal penangkap ikan GT dapat didekati dari nilai optimasi jumlah armada optimum pada sub bab alokasi optimum yang telah dijelaskan sebelumnya. Sementara itu, jumlah prasarana penunjang berupa pelabuhan perikanan kelas PPN yang dibutuhkan adalah 1 unit untuk menampung kapal-kapal yang berukuran GT. Armada penangkapan yang dikembangkan untuk penangkapan di perairan > 12 mil antara lain fish net, purse seine dan pancing (tuna long line). Estimasi kebutuhan armada penangkapan dan pelabuhan perikanan untuk pengembangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 48. Tabel 48 Estimasi kebutuhan armada penangkapan untuk pengembangan perikanan di Laut Cina Selatan Spesifikasi Estimasi jumlah No. Jenis kebutuhan yang optimum (unit) 1. Kapal Purse seine GT Kapal fish net GT Kapal tuna longline GT Pelabuhan perikanan PPN 1 Estimasi jumlah kapal purse seine, fish net dan longline diambil dengan 10% dari total peluang penambahan armada berdasarkan hasil LGP. Peluang penambahan tersebut sebesar 57 unit, dan dibagi dalam 3 jenis kapal tersebut. Dengan pertimbangan produktivitas dan kebiasaan nelayan. Apabila armada tradisional dioperasikan oleh 2-3 orang nelayan, maka kapal dengan ukuran

168 144 tersebut diharapkan mampu menampung sebanyak 20 orang nelayan. Kapal fish net merupakan jenis armada yang dapat dikatakan baru bagi nelayan sehingga perlu dilakukan transfer teknologi terlebih dahulu. Selain itu, wilayah pengoperasian yang relatif jauh membutuhkan waktu untuk beradaptasi bagi nelayan. Oleh karena itu, nilai kebutuhan tersebut belum merupakan nilai mutlak karena masih memerlukan pertimbangan dari aspek kebutuhan masyarakat yang lebih mendesak. Kebutuhan akan dibangunnya pelabuhan perikanan nusantara (PPN) akan sejalan dengan berkembangnya armada penangkapan berukuran besar yang beroperasi diperairan > 12 mil. Oleh karena itu maka untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi yang ada di kawasan Laut Cina Selatan, kebutuhan armada berukuran besar dan PPN perlu menjadi pertimbangan bagi dinas terkait dalam rencana pengembangan perikanan di masa mendatang.

169 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil analisis terhadap status sumberdaya ikan, alokasi armada optimum, analisis strategi pengembangan serta analisis hierarki proses dalam upaya pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditas ikan unggulan, maka prioritas kebijakan yang sebaiknya dilakukan adalah pertama menambah prasarana pelabuhan yang di lengkapi pabrik es, galang kapal dan stasiun pengisian bahan bakar, kedua menambah alokasi unit alat tangkap untuk dapat memanfaatkan sumberdaya komoditi unggulan secara optimum, ketiga menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan, keempat memperluas jangkauan daerah penangkapan ikan di atas 12 mil. Kesimpulan lain yang dapat disarikan dari penelitian ini adalah : (1) Jenis ikan unggulan yang dapat dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan antara lain udang dengan potensi MSY 6.297,98 ton, rajungan dengan potensi MSY 1.995,98 ton, ikan manyung dengan potensi MSY 4.488,06 ton dan ikan golok-golok dengan potensi MSY sebesar 3.718,69 ton. (2) Trammel net merupakan alat tangkap yang terbaik untuk menangkap komoditas unggulan. (3) Alokasi unit penangkapan optimum untuk memanfaatkan sumberdaya ikan unggulan adalah trammel net sebanyak 842 unit, pancing sebanyak unit, bagan sebanyak 790 unit, jaring insang hanyut sebanyak 615 unit, perangkap sebanyak 1109 unit, jaring insang tetap 696 unit, jaring lingkar 101 unit dan jaring klitik 617 unit. (4) Kebutuhan sarana dan prasarana penunjang yang paling pokok adalah PPP sebanyak 3 unit, PPI sebanyak 5 unit, pabrik es, galangan kapal, bengkel perbaikan alat tangkap, stasiun pengisian BBM dan cool storage 1 unit. (5) Hasil estimasi menunjukkan bahwa bila rencana pengembangan perikanan tangkap yang berbasis pada komoditas unggulan ini di terapkan, akan dapat meningkatkan : produksi 1.494,54 ton (10,53%), nilai produksi Rp (26,20%), penyerapan tenaga kerja perikanan (nelayan) orang (10,03%), penyerapan tenaga kerja bidang lain orang (390%), pendapatan nelayan Rp (22,64%) dan volume ekspor 715,90 ton (22,54%).

170 Saran Kebijakan pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan harus tetap memperhatikan aspirasi masyarakat dan daya dukung lingkungan perairan setempat sehingga diharapkan akan mengangkat potensi unggulan daerah menjadi komoditas perikanan yang mampu bersaing di pasar lokal, nasional maupun internasional

171 DAFTAR PUSTAKA Anderson LG The Economics of Fisheries Management. The Johns Hopkins University Press, Baltimore. 214 p. Aziz KA Pendugaan Stok Populasi Ikan Tropis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB. Bogor, 89 hal. Bailey C, Dwiponggo A, Marahudin F Indonesian Marine Capture Fisheries. ICLRAM. Directorate General Of Fisheries, Ministry of Agriculture Indonesian. 196 p. Bantacut T, Setyowati T, Fauzi AM Beberapa Strategi Pengembangan Agroindustri Repelita VII. Paper Jurusan teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Cappola G, Pascoe S A Surplus Production Model With a Non Linier Catch-Effort Relationship. Research Paper 103. Univercity of Portsmouth. Choliq A, Rivai W, Suwarna H Evaluasi proyek, (Suatu Pengantar). Pioner Jaya. Bandung Jaya. 138 hal. Clark CW Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley and Sons. New York. 300 p. Cochrane KL Fisheries Management. In a Fishery Manager s Guide Book. Management Measure and Their Aplication. Edited bycochrane KL FAO Fisheries Technical Paper No Rome. pp1-20. Cunningham SMRD, Whitmarsh D Fihseries Economics. An Introduction. Mansell Publishing Limited, London. 372 p. Dahuri R Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan. Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah seminar dan Kongres Kelautan Nasional KTT III. 15 November. Lombok 40 hal Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta. 157 hal. Darmawan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Terpadu. Modul Pelatihan Bagi Perencana dan Pengambil Keputusan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 116 hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Program Pengembangan Pelabuhan Perikanan Tahun Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 56 hal.

172 148 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kebijakan dan Program Kerja Ditjen. Perikanan Tangkap. Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional dan Rapat Kerja Teknis Departemen Kelautan dan Perikanan RI pada tanggal 30 Mei s/d 1 Juni Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap. Disampaikan Pada Rapat Koordinasi Relokasi Nelayan Tingkat Nasional Tahun 2004 Tanggal 9 10 Desember 2004 Di Hotel Ibis Mangga Dua, Jakarta. Dirjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 4 Hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Program Jangka Pendek dan Program Strategis Perikanan Tangkap Pokok-Pokok Pemikiran Program Pembangunan Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan Tangkap, Jakarta. Hal : 3-4. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan Rencana Strategis Kelautan dan Perikanan Sumatera Selatan tahun Palembang. 55 hal. Eriyatno Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. 147 hal Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. 175 hal. [FAO] Food and Agricultural Organization Code of Conduct for Responsible Fisheries. Food and Agriculture Organization of the United Nations. 41 p The state of the world fisheries and aquaculture FAO, Rome: FAO, 150 p. Fauzi A Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi Pendekatan Rapfish. Jurnal Pesisir dan Lautan. Edisi Volume 4 Nomor 03 tahun Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal : Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 259 hal Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis dan Gagasan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 185 hal. Fauzi A, Anna S Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk analisis Kebijakan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 343 hal. Gaffar AK, Fatah K, Rupawan Karakteristik Perikanan Tangkap di Estuaria Banyuasin Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian dan Perikanan. Yogyakarta, 28 Juli. TP Yogyakarta. Universitas Yogyakarta. 148

173 149 Gaspersz V Analisis Sistem Terapan. Berdasarkan Pendekatan Teknik Industri. Tarsito, Bandung. 669 hal. Ginting MI, Muin Z, Setiawan W Prossiding Seminar Pemantapan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan Sumatera Selatan. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan. Hal : Gulland JA Fish Stock Assessment. A Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapore. 223 p. Haluan J, Nurani TW Penerangan Metode Skoring dalam Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai untuk Dikembangkan di suatu Wilayah Perairan. Bulletin Jurusan PSP. Volume II no. 1 Fakultas Perikanan IPB, Bogor. Hal : Hanafiah A, Saefuddin AM Tata Niaga Hasil Perikanan. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 228 hal. Kaiser M, Forsberg EM Assesing Fisheries-using an Ethical Matrix in a Participatory Process. Agricultural an Environmental Ethics. 14: Kesteven GL Manual of Fisheries Science. Part I. An Introduction to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper. No Rome. 43 hal. King M Fisheries Biology. Assesment and Management. Fishing News Book Ltd, Oxford. 341 p. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Hal 109. Lawson RM Economics of Fisheries Development. Fraces Pinter Publisher. London. 281 p. [LIPI-DKP] Lembaga Imu Pengetahuan Indonesia-Departemen Kelautan dan Perikanan Pengkajian Stok Ikan dan Perairan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan-DKP. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta. 240 hal. Manetsch PGW and Park System Analysis and Simulation With Application to Economic and Social Science. Michigan State University. 474 hal. Mangkusubroto K, Trisnadi Cl Analisa Keputusan. Pendekatan sistem dalam Manajemen usaha dan Proyek. Ganeca Exact. Bandung. 271 hal. Martasuganda S Jaring Insang (gillnet). Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor. 68 hal. Masrikat JAN Distribusi dan Densitas Ikan di Laut Cina Selatan. Jurnal Ichthyos Vol 2 No. 2 hal

174 150 Masydzulhak Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kota Bengkulu. Jurnal Penelitian UNIB Vol XI No. 1. Hal : Moeljanto Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta. 189 hal. Monintja DR Beberapa Teknologi Pilihan untuk Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut di Indonesia. Buletin Jurusan PSP. Volume 1 no. 1. Fakultas Perikanan, IPB. Hal : Monintja DR Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Prosiding Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan; Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hal: 156. Monintja DR Strategi Pengembangan Sumberdaya Perikanan Tangkap Berbasis Ekonomi Kerakyatan. Seminar Nasional Strategi Pengembangan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Berbasis Kerakyatan. Riau Hal:12. Monintja DR Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 156 hal. Muhammad S Kajian Ekonomi Rumah Tangga Nelayan: Analisis Simulasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Berkelanjutan. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 435 hal. Murdiyanto B Analisis Konflik Antara Nelayan Pancing Rawai dan Jaring Kurau di Perairan Bengkalis Riau. Buletin PSP Vol XI No.2 Hal : Mulyono S Teori Pengambilan Keputusan. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 245 hal. Nikijuluw V Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta. Hal : 254. Nurani TW Aspek Teknis dan Ekonomi Pemanfaatan Lobster di Pangandaran Jawa Barat. Bulletin PSP, Vol. XI No.2. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal: Panayotou T Management Concepts for Smale-Scale Fisheries : Economic and Social Aspects. FAO Fisheries Technical Papers 228 : 53. Pauly D Fish Population Dynamics in Tropical Waters. A Manual for Use with Programmable Calculators. ICLARM Contribution No ICLARM, Manila. 325 p. Purwaka T, Sunoto M Coastal and Marine Resources in Indonesia. Legal and Institution Aspect. PRIAP-ICLARM. Working Paper. No.2 Manila, Philiphines. 103 p. 150

175 151 Rangkuti F Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 187 hal. Ridho MR, Eidman M, Kaswadji RF, Jaya I, Nurhakim S Ditribusi Biomassa Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Laut Cina Selatan. Buletin PSP Vol XI No. 2 Hal : Rumajar T, Haluan J, Mawardi W Pendekatan Sistem Untuk Pengembangan Usaha Perikanan Ikan Karang Dengan Alat Tangkap Bubu di Perairan Tanjung Manimbaya Kab. Donggala, Sulawesi Tengah. MARITEK. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 2. No. 1. Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB. Hal : Saila SB, Recksick CW, Pragen MH Basic Fisheru Science Program. A Competicion of Microcomputer Programs and Manual of Operation. Elsevier Science Publishing. Newyork. 320 p. Saaty TL Pengambilan Keputusan. Bagi Para Pemimpin PT Pustaka Binaman Pressindi, Jakarta. 270 hal. Sadhotomo, B. Potier M Exploratory Scheme for the Recruitment and Migration of the Marine Pelagic Spesies of The Java Sea in Potier M and S. Nurhakim (Eds) Biodynex. Biology, Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fisheries the Java Sea AARD/ORSTON : (11). Sailah I Pemodelan Pengembangan Komoditas Unggulan dan Agroindusti Berorientasi Sumberdaya Lokal dan Pasar. Proyek Kerjasama departemen Pertanian-Departemen Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah-IPB. Bogor. Saridewi TR Analisis Kebijakan Pengembangan Ekonomi Desa Pantai Kabupaten Subang. Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 1 No.1 Hal : Satria A, Umbari A, Fauzi A, Purbayanto A, Sutarto E, Muchsin I, Muflikhati I, Karim M, Saad S, Oktariza W, Imran Z Menuju Desentralisasi Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta. 210 hal. Schaefer, MB Some aspect of the dynamics of population important to the management of commercial Marine fisheries. Bull. Inter. Am. Trop. Tuna Comm. 1 (12) : Hal : Simatupang P Konsepsi Teoritis Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Makalah pada Seminar Forum Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

176 152 Soeharto, I Manajemen Proyek (Dari Konseptual Sampai Operasional). Jilid 1. Konsep, Studi Kelayakan dan Jaringan Kerja. Penerbit Erlangga. Jakarta. 356 hal. Soemokaryo S Model Ekonometrika Perikanan Indonesia. Analisis & Simulasi Kebijakan Pada Era Liberalisasi Perdagangan. Penerbit Agritek Malang. 392 hal. Sparre P. dan Venema SC Introduction Tropical Fish Stock Assessment (Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, alih bahasa J. Widodo. I. G. S. merta, S. Nurhakim dan M. Bahrudin) FAO, Jakarta. Hal : Subade RF, NMR Abdullah Are Fisher Profit Maximizers? The Case of Gillnetters in Negros Occidental and Iloilo, Philippines, asean Fisheries Science, 6: Hal : Simatupang P Konsepsi Teoritis Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Makalah pada Seminar Forum Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal 4-6. Suharso, Bambang AN, Asriyanto Elastisitas produksi perikanan tangkap Kota Tegal. Jurnal Pasir Laut, Vol.2, No.1, Juli 2006 : Hal : Syahailatua A Perikanan Ikan Terbang di Indonesia : Riset Menuju Pengelolaan. Jurnal Oseana Vol XXXI No. 3. Hal : Sutisna DH Model Pengembangan Perikanan Tangkap di Pantai Selatan Provinsi Jawa Barat. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 147 hal. Tampubolon GH, Sutedjo P Laporan Survei Analisa Potensi Penangkapan Sumberdaya Perikanan di Perairan Selat Malaka. Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Ikan. Semarang. 33 hal. Tai SY Bio-Socioeconomic Modelling of Management Alternatives: The Small Pelagic Fishery in Northwest Peninsular, Malaysia. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 56 hal. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 76 hal. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 159 hal. Widodo J, Aziz KA, Priyono BE, Tampubolon GH, Naamin N, Djamali A (Eds) Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut di Indonesia. LIPI. 252 hal. Widodo J Metode Penelitian Sumberdaya Ikan. Ekonomi Lingkungan. 2: Hal :

177 153 Widodo J, Naamin N, Aziz KA Metode Pengkajian Stosk (Stock Assessment). Dalam Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-Ditjen Perikanan. Hal : Widodo J dan. Nurhakim S Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Disampaikan dalam Training of Trainers on Fisheries Resource Management. Hotel Golde Clarion, Jakarta. 28 Okt s/d 2 Nov Wilayah Pengelolalaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia. Tanggal 30 Desember Yulistyo, Baskoro MS, Monintja DR, Iskandar BH. Analisis Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Berbasis Ketentuan Perikanan yang Bertanggungjawab di Ternate, Maluku Utara. Buletin PSP Vol XV N0.1. Hal : Zulkarnain, Darmawan Penggunaan Model Schaefer dan Model Fox untuk pendugaan Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus sp) di Perairan Eretan Wetan, Indramayu, Bulletin PSP, Vol. VI No.3. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal :

178 LAMPIRAN

179

180 157 Lampiran 1. Cash flow usaha alat tangkap jaring insang tetap di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Jaring Total Biaya Investasi Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) ( ) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT ( ) G. DISCOUNT FACTOR 18% 1 0,8475 0,7182 0,1586 0,1147 0,4790 PRESENT VALUE ( ) NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN 34,47 K. NET BENEFIT / COST 1,06

181 158 Lampiran 2. Cash flow usaha alat tangkap jaring klitik di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Jaring Total Biaya Investasi Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% 1 0,8475 0,7182 0,1586 0,1147 0,4790 PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN 34,04 K. NET BENEFIT / COST 1,070

182 159 Lampiran 3. Cash flow usaha alat tangkap jaring insang lingkar di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Alat tangkap Total Biaya Investasi Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% 1 0,8475 0,7182 0,1586 0,1147 0,4790 PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN 33,04 K. NET BENEFIT / COST 1,05

183 160 Lampiran 4. Cash flow usaha alat tangkap jaring insang hayut di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Alat tangkap Total Biaya Investasi Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% 1 0,8475 0,7182 0,1586 0,1147 0,4790 PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN 34,21 K. NET BENEFIT / COST 1,073

184 161 Lampiran 5. Cash flow usaha alat tangkap trammel net di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Alat tangkap Total Biaya Investasi Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% 1 0,8475 0,7182 0,1586 0,1147 0,4790 PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN 50,68 K. NET BENEFIT / COST 1,41

185 162 Lampiran 6. Cash flow usaha alat tangkap perangkap di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Alat tangkap Total Biaya Investasi Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% 1 0,8475 0,7182 0,1586 0,1147 0,4790 PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN 32,33 K. NET BENEFIT / COST 1,03

186 163 Lampiran 7. Cash flow usaha alat tangkap pancing di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Alat tangkap Perlengkapan Total Biaya Investasi Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% 1 0,8475 0,7182 0,1586 0,1147 0,4790 PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN 37,28 K. NET BENEFIT / COST 1,12

187 164 Lampiran 8. Cash flow usaha alat tangkap bagan tancap di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Alat tangkap Perlangkapan lainnya Total Biaya Investasi Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% 1 0,8475 0,7182 0,1586 0,1147 0,4790 PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN 43,64 K. NET BENEFIT / COST 1,25

188 165 Lampiran 9. Perhitungan nilai MSY untuk udang Tahun C (ton) E standar (trip) CPUE std , , , , , , ,012 Intersep (a) = 0, Slope (b) = ((q2.k)/r)= -1,24952E-08 Upaya Optimum (Fopt) (-a/2b) = Potensi Lestari Maksimum (MSY) (-a 2 /4b) = TAC= 5038, MSY CPUE Tangkapan (Ton) CPUE (Ton/trip) Effort (ribu trip)

189 166 Lampiran 10. Perhitungan nilai MSY untuk manyung tahun C (ton) E standar (trip) CPUE std , , , , , , ,023 Intersep (a) = 0, Slope (b) = ((q2.k)/r) -3,49657E-08 Upaya Optimum (Fopt) (-a/2b) = Potensi Lestari Maksimum (MSY) (-a 2 /4b) = 4.488,06 TAC 3590, MSY CPUE Tangkapan (Ton) Effort ribu (trip) CPUE (ton/trip)

190 167 Lampiran 11. Perhitungan nilai MSY untuk ikan golok-golok Tahun C (ton) E standar (trip) CPUE std , , , , , , , , , , , , , ,032 Intersep (a)= 0, Slope (b) = ((q2.k)/r)= -4,5332E-08 Upaya Optimum (Fopt) (-a/2b) = Potensi Lestari Maksimum (MSY) (-a2/4b) = 3.718,69 TAC= 2974, Tangkapan (Ton) MSY CPUE CPUE (ton/trip) Effort ribu (trip)

191 168 Lampiran 12. Perhitungan nilai MSY untuk rajungan Tahun C (ton) E standar (trip) CPUE std , , , , , , , , , , , , Intersep (a)= 0, Slope (b) = ((q2.k)/r)= -4,35822E-07 Upaya Optimum (Fopt) (-a/2b)= 81,531 Potensi Lestari Maksimum (MSY) (-a2/4b)= 2, TAC= Tangkapan (Ton) MSY CPUE CPUE (ton/trip) Effort ribu (trip)

192 169 Lampiran 13. Model Persamaan Fungsi Linier Goal Programming Min DB1 + DA1 + DB2 + DA2 + DB3 + DA3 + DB4 + DA4 SUBJECT TO DB1 - DA X X X X8 = DB2 - DA X X X7 = DB3 - DA X X X X X6 = DB4 - DA X X X X X X X8 = X1 > 0 X2 > 0 X3 > 0 X4 > 0 X5 > 0 X6 > 0 X7 > 0 X8 > 0 END Keterangan: X1 = Trammel net X2 = Jaring insang hanyut X3 = Jaring insang tetap X4 = Jaring lingkar X5 = Pancing X6 = Bagan X7 = Perangkap X8 = Jaring klitik

193 170 Lampiran 14. Output model fungsi Linier Goal Programming dengan menggunakan software Lindo LP OPTIMUM FOUND AT STEP 5 OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) E+00 VARIABLE VALUE REDUCED COST DB DA DB DA DB DA DB DA X X X X X X X X ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) )

194 171 NO. ITERATIONS= 5 RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE DB INFINITY DA INFINITY DB INFINITY DA INFINITY DB INFINITY DA INFINITY DB INFINITY DA INFINITY X X INFINITY X X X X INFINITY X INFINITY X INFINITY RIGHTHAND SIDE RANGES ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY

195 172 Lampiran 15. Konstruksi umum trammel net di Provinsi Sumatera Selatan Panjang jaring = 20 m Lebar = 1,5 m Inner net Mesh size = 2 inchi Outter net Mesh size = 3,5-7 inchi

196 173 Lampiran 16. Contoh uji kesesuaian model untuk komoditi udang Model Equilibrium Schaefer Tahun C (ton) E standar (trip) CPUE Standar ,058 0, , , , , , ,012 SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 7 ANOVA df SS MS F Significance F Regression E E Residual E E-06 Total E-05 Coefficients Standard Error t Stat P- value Intercept X Variable E E Karena tanda a (+) dan b (-) maka sesuai sehingga dilanjutkan ke langkah validasi. Tahun C (ton) E standar CPUE (trip) dugaan Validasi ,96 0, ,92 0, ,92 0, ,98 0, ,72 0, ,51 0, ,24 0,1345 Rata-rata 0,1409

197 174 Lanjutan lampiran Model Schnutz E standar y = x1 = X2 = Tahun C (ton) (trip) CPUE std ln(u (t+1) /U t ) U (t) +U (u+1) /2 (E t +E (t+1) /2) , , , , , , , , , , , , , , SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 6 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual Total Coeff Standard Error t Stat P- value Intercept nilai a=r + X Variable nilai b1=r/kq - X Variable nilai b2=q - Karena tanda tidak sesuai maka maka model ini tidak digunakan untuk pendugaan MSY udang.

198 175 Lanjutan lampiran Model Disequilibrium Schaeffer Tahun C (ton) E standar (trip) CPUE Standar y x 1 = CPUE x2 = E , , , , , , , , , , , , , , , , , , , SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 5 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual Total Standard Error P- value Coeff t Stat - Intercept nilai a=r + X Variable nilai b1=r/kq - X Variable nilai b2=q - Karena tanda tidak sesuai maka maka model ini tidak digunakan untuk pendugaan MSY udang.

199 176 Lanjutan lampiran Model Walter Hilborn E standar CPUE x1 = x2 = E Tahun C (ton) (trip) Standar y = (U (t+1) /U t ) - 1 CPUE std , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 6 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual Total Coeff Standard Error t Stat P- value Intercept nilai a=r + X Variable nilai b1=r/kq - X Variable nilai b2=q - Karena tanda tidak sesuai maka maka model ini tidak digunakan untuk pendugaan MSY udang.

200 177 Lampiran 17. Hasil uji kesesuaian model untuk rajunga, golok-golok dan mayung Rajungan MODEL Uji Tanda Deviasi α β1 β2 Equilibrium Schaeffer ok ok Schnutz ok ok ok Disequilibrium Schaeffer no no no Walter Hilborn1 no no no Hasil Equilibrium Schaeffer Manyung MODEL Uji Tanda Deviasi α β1 β2 Equilibrium Schaeffer ok ok Schnutz no no no Disequilibrium Schaeffer no no no Walter Hilborn1 no no no Hasil Equilibrium Schaeffer Golok-golok MODEL Uji Tanda Deviasi α β1 β2 Equilibrium Schaeffer ok ok Schnutz no no no Disequilibrium Schaeffer no no no Walter Hilborn1 no no no Hasil Equilibrium Schaeffer

201 178 Lampiran 18. Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Rajungan)

202 Lampiran 19. Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Udang) 179

203 180 Lampiran 20. Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Golokgolok)

204 Lampiran 21. Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Manyung) 181

ANALISIS KEBUTUHAN SARANA PERIKANAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN DI PROPINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS KEBUTUHAN SARANA PERIKANAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS KEBUTUHAN SARANA PERIKANAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN DI PROPINSI SUMATERA SELATAN Fisheries Infrastructure Needs Analysis in Order to Capture Fisheries

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi 7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan perikanan di Indonesia secara umum bersifat terbuka (open access), sehingga nelayan dapat dengan leluasa melakukan kegiatan penangkapan di wilayah tertentu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 16 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Halmahera Utara sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Provinsi Maluku Utara, memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........ iv DAFTAR GAMBAR........ vii DAFTAR LAMPIRAN........ viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....... 1.2. Perumusan Masalah.......... 1.3. Tujuan dan Kegunaan..... 1.4. Ruang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN ANDI HERYANTI RUKKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 6 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PELUANG PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

PELUANG PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN PELUANG PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN (The Development Opportunity of Catch Fishery in the Province of Southern Sumatera) Septifitri 1, Daniel R Monintja 2, Sugeng Hari Wisudo

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat VII. PERANCANGAN PROGRAM 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat Mengacu pada Visi Kabupaten Lampung Barat yaitu Terwujudnya masyarakat Lampung Barat

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan, Politeknik Perikanan Negeri Tual. Jl.

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi pembudidayaan perikanan

Lebih terperinci

PELUANG PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

PELUANG PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN PELUANG PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN The Development Opportunity of Catch Fishery in The Province of Southern Sumatera Septifitri 1, Daniel R Monintja 2, Sugeng Hari Wisudo

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR 45 Komposisi hasil tangkapan yang diperoleh armada pancing di perairan Puger adalah jenis yellowfin tuna. Seluruh hasil tangkapan tuna yang didaratkan tidak memenuhi kriteria untuk produk ekspor dengan

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH

SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH SUMBERDAYA UDANG PENAEID DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN SORONG SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT ENDANG GUNAISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian pengembangan perikanan pelagis di Kabupaten Bangka Selatan dilakukan selama 6 bulan dari Bulan Oktober 2009 hingga Maret 2010. Pengambilan data dilakukan

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung 6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung Supaya tujuh usaha perikanan tangkap yang dinyatakan

Lebih terperinci

KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG

KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG Oleh : Harry Priyaza C54103007 DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO 1 PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES 8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES 8.1 Pendahuluan Untuk dapat memahami persoalan dalam pemanfaatan dan pengelolaan

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Andi Adam Malik, Henny Setiawati, Sahabuddin Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terluas di dunia, dengan panjang pantai 81.000 km serta terdiri atas 17.500 pulau, perhatian pemerintah Republik Indonesia terhadap sektor

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. - 602 - CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung sumber daya ikan yang sangat banyak dari segi keanekaragaman jenisnya dan sangat tinggi dari

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KABUPATEN BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa sebagai kekayaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN NELAYAN KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU R. LUKI KARUNIA

ANALISIS KEBIJAKAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN NELAYAN KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU R. LUKI KARUNIA ANALISIS KEBIJAKAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN NELAYAN KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU R. LUKI KARUNIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 Hak Cipta milik Institut Pertanian

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA HARY RACHMAT RIYADI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR Nurul Rosana, Viv Djanat Prasita Jurusan Perikanan Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa guna menunjang pembangunan sektor kelautan dan perikanan

Lebih terperinci

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP SEKOLAH PASCA SARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 OPTIMISASI PERIKANAN

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produksi Udang Kabupaten Cilacap Sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Cilacap khususnya usaha perikanan tangkap udang memiliki peranan yang penting dalam perekonomian Cilacap.

Lebih terperinci

OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA

OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA DODY SIHONO SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan

Lebih terperinci

RIKA PUJIYANI SKRIPSI

RIKA PUJIYANI SKRIPSI KONDISI PERIKANANN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI LEMPASING, BANDAR LAMPUNG RIKA PUJIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SEKRETARIAT, BIDANG, SUB BAGIAN DAN SEKSI DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR

Lebih terperinci

ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI

ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan daerah.

10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan daerah. II. URUSAN PILIHAN A. BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Kelautan 1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan 2. Pelaksanaan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

Analisis strategi pengembangan perikanan pukat cincin di Kecamatan Tuminting Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara

Analisis strategi pengembangan perikanan pukat cincin di Kecamatan Tuminting Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 1(2): 43-49, Desember 2012 Analisis strategi pengembangan perikanan pukat cincin di Kecamatan Tuminting Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara Strategic analysis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan perikanan sebagai bagian dari pembangunan ekonomi nasional mempunyai tujuan antara lain untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan nelayan. Pembangunan

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN KABUPATEN KEBUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

a. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten.

a. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten. Sesuai amanat Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

Lebih terperinci