DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR"

Transkripsi

1 DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Tangerang Tahun ) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : NURMILAH SARI Nim: K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432H /2011M

2 DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR (Di Pengadilan Agama Tangerang Tahun ) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (Ssy) Oleh : NURMILAH SARI Nim: Di bawah bimbingan Pembimbing I Pembimbing II Nahrowi, SH., MH Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag., M.Ag NIP: NIP: KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432H /2011M

3 LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Tangerang Tahun ) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Pada 20 Juni Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Peradilan Agama. Jakarta, 20 Juni 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof. Dr. H. M. Amin Suma., SH., MA., MM NIP Panitia Ujian Munaqasyah 1. Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma., SH., MA., MM NIP Sekretaris : Mufidah, S.Hi 3. Pembimbing I : Nahrowi, SH.,MH NIP: Pembimbing II : Dr. Moh. Ali Wafa, S. Ag., M. Ag NIP: Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP: Penguji II : Dr. Jaenal Arifin, MA NIP:

4 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidfayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi dari Allah SWT dan sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 20 Juni 2011 Nurmilah Sari

5 KATA PENGANTAR بسم اهلل الرمحن الرحيم Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan inayah-nya dalam memberikan kesehatan, kekuatan dan ketabahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan merampungkan skripsi ini. Dengan berbagai rasa yang menjadi satu lelah, kesal, sedih bahkan rasa sedikit putus asa yang muncul dibeberapa waktu, namun semuanya berakhir dengan kelegaan dan keharuan sehingga timbul semangat luar biasa. Tidak lupa salam serta shalawat dihaturkan atas baginda besar Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga para sahabat dan para umatnya yang senantiasa istiqomah dijalan-nya. Penulis menyadari bahwasanya manusia tidaklah mungkin hidup tanpa bantuan orang lain dan tidaklah mungkin terwujud semua usaha tanpa bantuan orang lain. Dengan ini penulis dalam rangka menyelesaikan tugas, dalam kerendahan hati ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., sebagai Ketua Jurusan Peradilan Agama dan Ibu Rosdiana, M.Ag., sebagai Sekretaris Jurusan Peradilan Agama. i

6 3. Dr. Ahmad Yani, M.Ag., sebagai Ketua Koordinator Teknis Program Non Reguler dan Mufidah, S.Hi., sebagai Sekretaris Koordinator Teknis Program Non Reguler. 4. Bapak Nahrowi, SH., MH. Sebagai Dosen Pembimbing I dan Dr. Moh. Ali Wafa., S.Ag., M.ag. Sebagai Dosen Pembimbing II. 5. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Sebagai Penguji I dan Dr. Jaenal Arifin, MA. Sebagai Penguji II. 6. Pimpinan Perpustakaan beserta seluruh staff Fakultas Syariah dan Hukum, yang selalu memberikan penulis fasilitas dalam keperluan perkuliahan. 7. Pimpinan Perpustakaan Utama beserta seluruh staff yang sudah membantu memberikan penulis fasilitas dalam keperluan perkuliahan. 8. Drs. H. Ali Fikri, SH., MH, Sdra. Irfan Yunan, Sdr. M. Affan Gofar dan seluruh Staff Pengadilan Agama Tangerang tempat penulis mengadakan penelitian serta mendapatkan data dan informasi serta wawancara. 9. Yang tercinta dan terkasih untuk keluarga dan kedua orang tua khusunya untuk Ibuku yang terhebat yang senantiasa selalu ada dalam memberikan doa dan semangatnya, serta seluruh sahabat seperjuanganku yakni Peradilan Agama angkatan 2007 khususnya sdri Marlianita, Syarifah Ummi Hanni, sdra Deni. K, Deni. H, Arifin, Muhiddin, Charis, Hakim, Syarifudin, Royhan, Indro, Bapak Tamim yang selalu ada waktunya bersama-sama menitih masa perkuliahan dari nol sampai wisuda ini. ii

7 10. Keluarga besar (Alm) Ir. H. Rijanto bin Padmonobo, dan Ibu Hj. Siti Rochana binti H. Moh. Salim, dan Seluruh MT Studi Islam Al-Hilal yang senantiasa selalu memberikan bantuan berupa materil dan semangatnya sehingga saya bisa sampai tingkat ini, dengan segala kerendahan hati saya ucapkan banyak terimakasih. 11. Dan seluruh sahabatku yang tidak dapat aku sebutkan dan Semua Pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu persatu. Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membatu saya dalam penyelesaian skripsi ini, saya menghanturkan terimakasih banyak atas bantuan semuanya baik yang berupa doa maupun materill yang tidak dapat penulis balas dengan baik, semoga Allah SWT yang akan membalas kebaikan kalian semuanya. Amin Jakarta, 20 Juni 2011 Penulis iii

8 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iv BAB I: PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Pembatasan Masalah... 5 C. Perumusan Masalah... 6 D. Tujuan Penelitian... 6 E. Pemanfaatan Penelitian... 7 F. Metode Penelitian... 8 G. Review Penelitian H. Sistematika Penulisan BAB II: TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERNIKAHAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan B. Rukun dan Syarat Pernikahan C. Tujuan dan Hikmah Pernikahan D. Pencegahan atau Larangan Dalam Pernikahan BAB III : DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR A. Pengertian Dispensasi Nikah B. Batasan Usia Nikah Menurut Hukum Positif iv

9 C. Faktor Penyebab Pernikahan Di Bawah Umur D. Dampak Akibat Nikah Di Bawah Umur BAB IV: PERTIMBANGAN HUKUM TENTANG PERMOHONAN DISPENSASI NIKAH OLEH PENGADILAN AGAMA TANGERANG A. Prosedur Pengajuan Dispensasi Nikah B. Wewenang Pengadilan Agama C. Keterangan Pejabat Pengadilan Agama Tangerang Tentang Permohonan Dispensasi Nikah di Bawah Umur D. Analisa Penulis BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran- Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN v

10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama sempurna yang Allah SWT ciptakan untuk kita manusia. Serta ayat-ayat Al-Qur an yang Allah SWT turunkan kepada Rasul melalui wahyu Allah SWT, sebagai pedoman dan petunjuk jalan manusia menuju surganya Allah dan petunjuk untuk keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. 1 Islam sangat membuka jalan dan tidak menginginkan manusia mempersulit diri karena sesungguhnya Allah SWT tidak suka dengan manusia yang mempersulit diri, dan Allah SWT sangat memberikan kesempatan bagi manusia yang ingin memperbaiki diri dengan niat tulus karena Allah taala. Islam sangat bijaksana dan sempurna mengenai permasalahan hidup, bahkan tidak ada satu aspekpun yang tidak dibicarakan oleh hukum Allah, yakni mencakup semua aspek kehidupan yang mengatur hubungan dengan khaliknya dan mengatur juga hubungan dengan sesamanya. Dalam hal ini Islam banyak mengatur mengenai hal perkawinan yang burtujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dunia maupun akhirat di bawah cinta kasih dari ridho Allah SWT. Dan tujuan lain dari pernikahan ialah 1959), h Wirjono Prodjodikoro, Hukum perkawinan di Indonesia (Bandung: Vorkik Van Hoeve, 1

11 2 ingin membentuk generasi yang bermanfaat untuk hari tua dengan mendidik dan menjadikan keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Dan menjaga pandangan masyarakat, dan menghindari diri dari kerusakan seksual dan perjinahan yang sangat besar, serta tujuan dari sebuah perkawinan yang sah baik Agama dan Negara, yang sangat penting ialah memperjelas nasab si anak dan hukum waris itu sendiri. Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, serta kompilasi hukum islam (KHI) mempunyai tujuan yang sama mengenai arti perkawinan itu sendiri yakni bahwa pernikahan mempunyai tujuan yang mulia dalam melestarikan dan menjaga keseimbangan hidup dalam rumah tangga yang baik, namun bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijalankan, karena akan banyak sekali permasalahan yang akan timbul dalam sebuah pernikahan. Tetapi tidak ada satu permasalahanpun yang tidak bisa diselesaikan, karena Allah SWT akan selalu memberi jalan kepada siapapun yang tidak sombong terhadap kebesaran Allah dan keyakinan pada diri sendiri bahwa segala sesuatu permasalahan akan selesai pada jalannya dan waktunya sendiri, karena yang berkaitan dengan iman dan takwa kepada Allah SWT akan manis dan indah jika dijalankan dengan kehidupan yang ikhlas dan selalu bersyukur kepada Allah dengan penuh kesabaran. Perkawinan suami isteri sering kali adanya permasalahan, maka dari itu dalam berumah tangga janganlah cepat mengambil keputusan yang besar, cobalah

12 3 bersikap tenang dan sabar dalam berbagai hal, karena menerima kelebihan dan kekurangan pasangan adalah hal yang paling baik untuk mengurangi konflik dalam berumah tangga, karena sesungguhnya konflik dalam berumah tangga yang sering muncul ketika ego tidak dapat dikendalikan, seringkali ego yang muncul karena faktor usia, oleh sebab itu pernikahan cukup usia atau usia yang matang akan lebih baik untuk menjalani sebuah pernikahan. Dalam sebuah pernikahan batas usia sudah ada batas umurnya, baik diatur dalam Undang-undang Pernikahan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam kompilasi hukum islam (KHI), dan Pernikahan yang baik adalah Pernikahan yang kedua pasangan dalam posisi umur yang cukup. Namun ketika salah satu pasangan yang ingin menikah dalam posisi di bawah umur maka langkah selanjutnya adalah mengajukan dispensasi nikah atau penetapan nikah, agar bisa pernikahannya disahkan oleh kantor urusan agama (KUA), karena apabila salah satu pasangan diketahui di bawah umur atau umurnya belum diperbolehkan untuk menikah maka pihak kantor urusan agama (KUA) berhak menolak pernikahan tersebut dan meminta kedua pasangan mengajukan dispensasi nikah di Pengadilan Agama setempat. Pentingnya penetapan dari Pengadilan Agama untuk menjalankan proses hukum atau aturan hukum yang jelas karena demi masa depan bagi sepasang calon yang ingin menikah, karena agar tidak terjerumus dalam pernikahan sirri (pernikahan sembunyi-sembunyi), lebih dikwatirkan kedua pasangan itu

13 4 terjerumus dalam pergaulan bebas atau kebiasaan kehidupan orang-orang barat yakni mengedepankan kebiasaan Kumpul Kebo atau kumpul sepasang lawan jenis tanpa adanya ikatan sebuah pernikahan yang sah baik Agama maupun Negara. Maka dari itu wawasan atau ilmu pengetahuan yang luas harus dikedepankan untuk pendidikan si anak, baik ilmu pengetahuan secara umum maupun ilmu agama, karena apapun yang anak itu lakukan baik atau buruk adalah tanggung jawab orang tua yang utama, kemudian guru atau pihak-pihak sekolah, namun hal yang lebih banyak diserap adalah ilmu sosial atau hubungannya dengan masyarakat, jika si anak tidak mempunyai kekebalan atau ilmu yang baik dalam dirinya, maka akan gampang terjerumus dalam kehidupan negatif. Dengan adanya penjelasan dan keterangan mengenai perkawinan di atas serta permasalahannya, maka dengan adanya keterangan atau penjelasan lebih lanjut diharapkan mampu memberikan seuatu jawaban dan penjelasan yang lebih jelas dan akurat, sedangkan untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan mengenai permasalahan di atas maka diperlukan suatu penglihatan yang secara baik dan bijaksana. Dengan adanya tulisan ini, serta pemahaman dan terlibatnya langsung penulis ke tempat lokasi penelitian, maka penulis dapat memberikan keterangan yang lebih luas dan lebih lebih jelas agar dapat dibaca dan dipahami secara baik dan sempurna, sehingga penulis memilih judul ini dan menjadikannya bahan

14 5 penelitian yang baik untuk menambah pengetahuan bagi penulis secara khusus dan pembaca secara umum, yakni judul yang dimaksud ialah : DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR (Studi kasus di Pengadilan Agama Tangerang Tahun ). B. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan oleh penulis di atas, maka penelitian yang akan diteliti oleh penulis adalah mengetahui bagaimana pengaplikasian pernikahan di bawah umur oleh Pengadilan Agama Tangerang? Bagaimana proses jalannya dispensasi nikah di bawah umur oleh pihak Pengadilan Agama Tangerang? Bagaimana pendapat atau pandangan para hakim perihal putusan dispensasi nikah di bawah umur? Untuk lebih fokus pada penelitian ini, maka penelitian ini dibatasi pada para pihak saja yang mempunyai keterkaitan pada tulisan ini, baik para hakim atau pihak dari Pengadilan Agama Tangerang lainnya, namun para pihak yang melangsungkan pernikahan tidak dapat penulis wawancarai, dikarenakan info atau data administrasi mengenai judul yang penulis ingin tulis, sudah diputuskan atau sudah ada putusan atau penetapan dari pihak Pengadilan Agama, dan selama penulis mencari data di Pengadilan, tidak ada satu kasus atau permohonan dispensasi yang masih berjalan dimuka sidang, semua putusan yang penulis dapati sudah berbentuk penetapan dari pihak Pengadilan Agama Tangerang. Sebagai bukti keterbatasan yang penulis paparkan di atas, maka penulis mencari data di

15 6 Pengadilan Agama Tangerang dan beberapa Pengadilan Agama lainnya sebagai suatu perbandingan dan pertimbangan penulis yakni untuk melengkapi penulis dalam mencari data serta mengobservasi data perihal sebuah kasus yang penulis ingin tulis dan pertimbangan hukum dari beberapa hakim tentang putusan dispensasi nikah di bawah umur oleh Pengadilan Agama Tangerang tahun C. Perumusan Masalah Berdasarkan masalah-masalah yang muncul terkait dengan pernikahan di bawah umur yang diperbolehkan oleh pihak Pengadilan Agama Tangerang dengan pernyataan dispensasi pernikahan di bawah umur, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut: 1. Bagaimana batasan usia minimal nikah menurut hukuk positif? 2. Apakah nikah di bawah umur bisa terjadi di luar Pengadilan Agama? 3. Bagaimana pertimbangan para ahli hukum di Pengadilan Agama Tangerang tentang permohonan dispensasi nikah di bawah umur? D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang masalah dan rumusan yang telah disebutkan di atas maka tujuan sebuah penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui batasan minimal usia nikah menurut hukum positif. 2. Untuk mengetahui fakta hukum tentang nikah di bawah umur yang terjadi di luar Pengadilan Agama.

16 7 3. Untuk mengetahui pertimbangan para ahli hukum di Pengadilan Agama Tangerang tentang permohonan dispensasi nikah di bawah umur. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi pemikiran bagi masyarakat Islam dalam menyingkapi permasalahan hiduh bagi para keluarga di dalam bermasyarakat. Dalam hal inipun pengakuan hukum atas peresmian seseorang yang ingin melangsungkan sebuah pernikahan yang disahkan oleh Agama serta Negara, menjadi acuan yang sangat penting karena untuk hal kedepannya agar lebih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, ataupun lingkungan di dalam masyarakat. 1. Untuk terciptanya sebuah pernikahan yang memang sudah semestinya ada dengan proses yang cepat dan mudah, namun karena beda hal dengan seseorang yang ingin menikah secara normal di kantor urusan agama (KUA), karena tidak mempunyai banyak faktor yang menghalangi, dengan cepat dan mudah seseorang untuk mengesahkan pernikahannya menurut Agama dan Negara. 2. Untuk mengetahui proses mendapatkan sebuah penetapan hukum dari Pengadilan Agama perihal sepasang calon mempelai yang ingin menikah karena usia di bawah umur yang disebut dengan dispensasi, yang dalam hukum positif batasan umur bagi para calon yang ingin menikah sudah sangat jelas, maka pernikahan yang tidak sesuai dengan aturan hukum atau syarat

17 8 nikah yang sudah ditetapkan, maka proses untuk menikah atau kawin harus meminta penetapan nikah dari pihak Pengadilan Agama setempat bukan dari kantor urusan agama (KUA). Dan prosedur atau proses di Pengadilan Agama tidaklah lama sesuai dengan jalannya persidangan yang baik oleh para pihak yang terkait. Namun jika proses persidangan mengalami hambatan atau persidangan tidak berjalan lancar, maka persidangan bisa mengalami hambatan dan akan berlangsung lama dengan proses yang begitu panjang. 3. Terakhir penelitian ini diharapkan dapat merumuskan cara yang tepat dalam hal penerapan hukum yang memperbolehkan adanya dispensasi nikah di bawah umur yang diperbolehkan oleh Pengadilan Agama Tangerang serta pengakuan hukum yang sah baik Agama serta Negara. F. Metode Penelitian Metode Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran atau menguji pengetahuan penulis dalam melakukan pendalaman secara kritis dan bijaksana. 1. Obyek Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengambil lokasi sesuai dengan judul skripsi Dispensasi Nikah Di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Agama Tangerang Tahun ). Sehingga berdasarkan skripsi ini, maka lokasi penelitian ialah Pengadilan Agama Tangerang.

18 9 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah suatu tindakan untuk mencari jawaban secara dinamis dengan tujuan yang terfokus untuk memecahkan masalah serta mengikuti langkah-langkah yang logis, terorganisasi dan ketat untuk mengindentifikasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data serta menarik suatu kesimpulan yang lengkap dan akurat. 3. Metode Pendekatan Metode ini dilakukan dan ditunjukan pada praktek pelaksanaan hukum (law in action) terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis serta prateknya dan dokumen-dokumen hukum yang ada di Indonesia (law in books), maka metode pendekatannya bersifat Kualitatif Yuridis Normatif. 4. Jenis Data Penelitian ini merupakan penelitian hukum bersifat kualitatif yuridis normatif yang bersumber dari temuan fakta data dari lapangan, maka selain melakukan metode wawancara (interview) dan metode penyelidikan (investigation), juga mencari temuan fakta data dari bahan hukum. Data sekunder adalah jenis data yang dipakai dalam penulisan ini, diantaranya dilengkapi dari bahan-bahan hukum primer seperti Undangundang Pernikahan Nomor 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-Undang Peradilan Agama, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Undang-Undang Tentang Hak-Hak Anak, serta aturan hukum mengenai Kesehatan dan Hak-Hak Wanita dan Sebuah Putusan Penetapan Permohonan Nikah.

19 10 Bahan hukum sekunder yakni bersumber dari buku-buku perihal penjelasan tentang pernikahan seperti hukum perkawinan di Indonesia pengarang Wirjono Prodjodikoro dan buku perihal pernikahan lainnya. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum untuk melengkapi bahan hukum primer dan sekunder, adapaun beberapa wawancara dengan orangorang yang terkait seperti wawancara dengan beberapa pihak di Pengadilan Agama diantaranya para hakim serta panitera yang terkait yakni hakim dan panitera dari Pengadilan Agama Tangerang digunakan untuk mendukung penelitian normatif yang didapat. 5. Sumber Data Data adalah sumber penelitian yang dilakukan oleh seseorang yang meneliti dan mencari informasi penelitiannya berdasarkan jenis data dan sumber data yang didapatkan. a. Metode kepustakaan, yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dari literatur buku atau teks-teks tulisan lainnya, serta membaca, memahami dan menganalisa hal-hal yang berkaitan dengan masalah pernikahan, khususnya dispensasi nikah di bawah umur. b. Metode Lapangan, yaitu melakukan penelitian berupa wawancara (informan), lansung dengan para pihak Pengadilan Agama Tangerang. 6. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

20 11 a. Wawancara (interview) Wawancara dilakukan oleh penulis dengan mewawancari beberapa hakim, panitera serta orang-orang yang terkait. b. Studi Literatur (literature Review) Dengan ini penulis mencari data tentang proses dispensasi nikah di bawah umur yang diperbolehkan oleh Pengadilan Agama Tangerang dengan menggunakan metode literature atau kepustakaan, berupa buku-buku, artikel, tabloid, dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini. Dari hasil tersebut kemudian penulis mengklasifikasikan dan dianalisa secara sistimatis sesuai dengan cara penulisan hasil skripsi. 7. Teknik Analisa Data Dalam penelitian kualitatif yuridis normatif, analisa data yang digunakan adalah secara induktif. Proses data dimulai dengan penyeleksian data yang telah dikumpulkan, kemudian dikelasifikasikan menurut katagori tertentu. Tahap selanjutnya, ialah meninjau aturan hukum positif perihal nikah di bawah umur. Adapun langkah oprasionalnya adalah sebagai berikut: a. Mendiskripsikan hasil-hasil penelitian dalam bentuk kronologis. b. Dari data yang sudah tersusun, kemudian diklasifikasikan untuk dijadikan dasar pijakan dalam menyelesaikan dan pemberi jawaban atas persoalan yang diteliti, yakni sebab timbulnya adanya dispensasi pernikahan di bawah umur yang diperbolehkan di Pengadilan Agama dari segi Agama, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya.

21 12 c. Interpretasi data yaitu mengumpulkan seluruh data yang diperoleh baik dari data primer, data sekunder maupun data tersier. d. Menarik kesimpulan terhadap persoalan yang sedang penulis teliti. Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka selanjutnya diadakan analisis secara kualitatif, yaitu bersumber dari data primer dan bahan hukum sekunder dan dilengkapi dengan wawancara atau data tersier. G. Review Penelitian Penelitian yang dikajikan pada alasan-alasan adanya atau diperbolehkannya dispensasi nikah yang sudah dilakukan atau yang sudah terjadi diantaranya: No. Nama Judul Isi Tahun 1. Ayatullah Pemberian Dispensasi Kawin di Bawah Umur oleh Pengadilan Agama (Studi Kasus PA Jakarta Pusat) 2. Ahmad Rifa i Dispensasi Kawin di Bawah Umur Skripsi ini mengungkap sebuah pertanyaan besar dikalangan masyarakat yang menyatakan kenapa disebagian besar Pengadilan Agama membolehkan Pernikahan di bawah umur. Skripsi ini lebih mengungkap atau 2004/ PA 2006/ PA

22 13 oleh Pengadilan Agama. (Studi Analisa Keputusan No. 07/Pdt.P/2002/ menjelaskan mengenai Analisis Keputusan No. 07/Pdt.P/2002/PA tentang diperbolehkan pernikahan di bawah umur. PA.cbn di PA Cibinong). 3. Muhawwaroh Pernikahan di Bawah Umur Akibat Hamil di Luar Nikah (Studi Kasus di Desa Pulo Timaha Babelan Bekasi). 4. Wahyudi. A Pandangan Masyarakat Terhadap Perkawinan Hamil di Luar Skripsi ini menjelaskan Perkawinan di Bawah Umur yang dibolehkan bersumber karena dasar Psikologi anak yang ingin menikah di bawah umur, sehingga jika dibatasi atau dicegah akan mengganggu psikologi anak. Skripsi ini lebih menjelaskan terhadap berbagai pandangan masyarakat mengenai diperbolehkannya 2006/ SJAS 2008/ PA

23 14 Nikah (Studi pada Masyarakat Desa melangsungkan pernikahan yang di bawah Curug Kec. umur. Gunungsindur Kab. Bogor). 5. Nurmilah Sari Dispensasi Nikah Di Bawah Isi dari skripsi saya ini, berbeda dengan skripsi 2011/ PA Umur Kasus (Studi Di yang terdahulu, isi dari skripsi saya lebih luas Pengadilan Agama penjelasannya mencakup karena beberapa Tangerang tahun ). aspek aturan hukum, baik hukum positif maupun beberapa hukum lainnya yang terkait. Dan mencari sumber data dari beberapa pengadilan agama yang berbeda. Serta menganalisa alasan terbanyak dari beberapa putusan atau penetapan

24 15 dari pengadilan agama tangerang tentang dispensasi nikah di bawah umur. H. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan yakni sebagai berikut : Bab pertama berisi pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, pemanfaatan penelitian, metode penelitian, review penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua menjelaskan mengenai tinjauan teoritis tentang pernikahan yang isinya meliputi, pengertian dan dasar hukum pernikahan, syarat dan rukun pernikahan, serta tujuan dan hikmah pernikahan, dan pencegahan atau larangan dalam pernikahan. Bab ketiga merupakan pembahasan perihal dispensasi nikah di bawah umur, yang isinya ialah pengertian dispensasi nikah di bawah umur, batas usia nikah menurut hukum positif, serta faktor penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur, dan dampak akibat nikah di bawah umur. Bab keempat merupakan hasil dari penelitian yang penulis laporkan dalam skripsi ini, yang didalamnya dijelaskan mengenai pertimbangan hukum tentang permohonan dispensasi nikah oleh Pengadilan Agama Tangerang yang isinya

25 16 mengenai prosedur pengajuan dispensasi nikah, wewenang Pengadilan Agama, dan keterangan Pejabat Penggadilan Agama tentang permohonan dispensasi nikah di bawah umur serta analisa penulis. Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan yang dapat penulis ambil dari keseluruhan skripsi ini, dan diakhiri dengan saran dan rekomendasi yang penulis berikan.

26 BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERNIKAHAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan Kata Pernikahan berasal dari kata Nikah atau Zawaj yang dari bahasa Arab dilihat secara bahasa berarti berkumpul dan mendidih atau dengan ungkapan lain bermakna Akad dan Bersetubuh yang secara syara berarti akad Pernikahan. Secara terminologi (istilah) Nikah atau Zawaj, yakni: Akad yang mengadung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan, dan bersetubuh atau sebagai akad yang ditetapkan Allah SWT bagi seorang laki-laki atas diri seorang perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antara keduanya. Akad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua belah pihak (suami-isteri), dimana status kepemilikan akibat akad tersebut bagi si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh lainnya yang dalam ilmu fiqh disebut milku al-intifa yakni hak memiliki penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (isteri), yang digunakan untuk dirinya sendiri. 2 2 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisis Perbandingan antar Mazhab (T.tp., PT.Prima Heza Lestari, 2006), h.1. 17

27 18 Dalam bahasa Indonesia kata perkawinan bersal dari kata kawin yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. 3 Dalam Al-Qur an dan Hadist Rasulullah SAW, pernikahan disebut dengan An-Nikah dan Az-Ziwaj az- Zawaj, yang artinya berkumpul atau menindas dan saling memasukan. Kata Nikah yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat : 230, yang berbunyi: Artinya: Maka Jika Suami menolaknya (sesudah talak dua kali), maka perempuan tidak boleh dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan lakilaki lain. (QS. al-baqârah [2] ayat : 230). Pendapat Ahli Ushul, mengartikan arti nikah, sebagai berikut: a. Ulama Syafi iyah, berpendapat : Kata nikah, menurut arti sebenarnya (hakiki) berarti akad, dan dalam arti tidak sebenarnya (majazi) arti nikah berarti bersetubuh dengan lawan jenis. b. Ulama Hanafiyah, berpendapat : Kata nikah, menurut arti sebenarnya (hakiki) berarti bersetubuh, dan dalam arti tidak sebenarnya (majazi) arti nikah berarti akad yang 3 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Nikah, cet.ii, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.32.

28 19 menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita. pendapat ini sebaliknya dari pendapat ulama syafi iyah. c. Ulama Hanabilah, Abu Qasim al-zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, berpendapat : Bahwa kata nikah untuk dua kemungkinan tersebut yang disebutkan dalam arti sebenarnya sebagaimana terdapat dalam kedua pendapat di atas yang disebutkan sebelumnya, 4 mengandung dua unsur sekaligus, yaitu kata nikah sebagai Akad dan Bersetubuh. 5 Adapun menurut Ahli Fiqh, nikah pada hakikatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan atau seluruh tubuh wanita itu dan membentuk rumah tangga. 6 Menurut para sarjana hukum ada beberapa pengertian perkawinan, sebagai berikut, yakni : a. Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamidjojo mengemukakan : Arti Perkawinan adalah hubungan suatu hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh Negara. 4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia, cet.ii, ( Jakarta: Prenada Mulia, 2007), h Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer Buku Pertama (Jakarta: LSIK, 1994), h Ibid, hal. 54

29 20 b. Subekti, mengemukakan : Arti Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki- laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. c. Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan: Arti Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut baik Agama maupun aturan hukum Negara. 7 Dari pengertian perkawinan di atas, dapat disimpulkan beberapa unsur-unsur dari suatu Perkawinan, yaitu: a. Adanya suatu hubungan hukum; b. Adanya seorang pria dan wanita; c. Untuk membentuk keluarga (rumah tangga); d. Untuk waktu yang lama; e. Dilakukan menurut Undang-undang dan aturan hukum yang berlaku. Abu Yahya Zakariya Al- Anshary, 8 memberikan arti Nikah menurut istilah Syara ialah aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya. 7 Eoh, O.S., Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, cet.ii, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h h Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath al-wahhab (Singapura: Su laiman Mar iy, t.t),

30 21 2. Dasar Hukum Pernikahan Pada dasarnya arti Nikah adalah Akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan dalam pertalian suami-isteri. 9 Islam menganjurkan dengan beberapa cara, dimana salah satunya adalah mengikuti sunah Rasulullah SAW, dan firman Allah SWT Surat Ar- Ra ad (13) ayat : 38, yang berbunyi: Artinya: Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunannya. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul ayat (mu jizat) melainkan dengan izin Allah SWT. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu). (QS. Ar- Râd [13] ayat : 38). Dan salah satu tanda kekuasaan Allah SWT terhadap orang yang ragu untuk melakukan akad atau Nikah, maka Allah SWT menjanjikan suatu hal untuk memberikan kepadanya penghidupan yang berkecukupan, dan menghilangkan kesulitan-kesulitan dan memberikan kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan, dan apabila keraguan menghilang dan timbul sifat positif dan keberanian, maka Allah SWT akan kabulkan yang mempunyai nilai yang baik dan pantas menurut Allah SWT. 9 Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Loc. Cit., hal

31 22 berbunyi: Seperti dalam firman Allah SWT Surat An-Nissa (4) ayat : 3, yang. Artinya: Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua. tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah yang lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. Ar- Râd [13] ayat : 38). Sehingga dasar hukum perkawinan yakni mengacu kepada Firman Allah SWT yakni Al-Quran nur karim dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena inilah dasar hukum yang utama, sehingga hukum-hukum yang ada sekarang mengacu kepada sumber utama yang di atas. B. Rukun Dan Syarat Pernikahan Rukun dan Syarat pernikahan dalam Islam merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Karena kebanyakan aktifitas ibadah yang ada dalam Agama Islam senantiasa ada yang namanya rukun dan syarat, sehingga sedikit bisa dibedakan dari pengertian keduanya yakni syarat merupakan suatu hal yang harus atau dipenuhi sebelum perbuatan dilaksanakan. Sedangkan rukun adalah hal yang harus ada dalam suatu akad atau perbuatan. Lebih jelasnya, akan dipaparkan, sebagai berikut:

32 23 1. Rukun Pernikahan Dalam Islam pernikahan tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 ditegaskan bahwa pernikahan merupakan akad yang sangat kuat, hal tersebut dilakukan untuk mentaati perintah Allah SWT, dan dengan melaksanakannya merupakan suatu nilai ibadah kepada Allah SWT. 10 Karena perkawinan yang syara akan ibadah dan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan disyaratkannya perkawinan tercapai. Dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam untuk melaksanakan perkawinan dalam rukun nikah harus ada : a. Calon Suami; b. Calon Isteri; c. Wali Nikah; d. Dua Orang Saksi dan; e. Ijab dan Kabul. 11 Kaitannya pada bidang perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat perkawinan, seperti keharusan atau 10 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet.iv, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2008), h. 5

33 24 kewajiban ada kedua calon memepelai baik laki-laki dan perempuan, wali, ijab-qabul serta dua orang saksi Syarat Pernikahan Sedangkan dalam memenuhi persyaratan perkawinan, karena banyak info yang dapat mempermudah masyarakat melangsungkan pernikahan dan mengurus prosedur perkawinan berdasarkan hukum Islam dan aturan-aturan hukum di Indonesaia. Dalam melangsungkan dan mengurus administrasi Pernikahan di kantor urusan agama (KUA) mengacu kepada aturan hukum yakni berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang pelaksanaan Peradilan Agama ayat (4), dan hal-hal yang berkenaan dengan perkawinan dapat diatur di Pengadilan Agama sebagaimana Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal 1 ayat (1) yang menegaskan bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. 13 Sedangkan dalam prosedurnya Pernikahan bagi Warga Negara Indonesai yang beragama Non Muslim, maka perkaranya akan dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil. 1999), h Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat (Bandung: CV. Pustaka Setia, 13 Djalil Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat), cet. I, (Jakarta: Kencana, 2006 ). h. 185

34 25 Di masyarakat masih banyak permasalahan yang ada timbul karena persoalan-persoalan yang berkaitan dengan persyaratan perkawinan atau halhal yang berkaitan dengan administrasinya. Adapun syarat merupakan suatu hal yang mesti dijalani dalam perkawinan. Apabila syarat tidak dipenuhi maka bisa menimbulkan pencegahan terhadap perkawinan, yakni keterangan terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 60 ayat (1) yaitu: Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan. Dan pada ayat (2) yaitu: Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan. 14 Dan ada beberapa pendapat diantara para mazhab fiqh mengenai syarat sah suatu perkawinan. Pada garis besarnya pendapat tentang syarat-syarat sahnya perkawinan ada dua: a. Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikan isterinya; b. Aqad harus disaksikan oleh saksi. 15 Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, mengatakan bahwa sebagian syarat-syarat pernikahan yakni berkaitan atau berhubungan dengan: 2008), h Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 15 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 6, cet.vii, (Bandung: PT. Al-Ma arif, 1990), h. 78.

35 26 a. Aqad, serta sebagian lainnya berkaitan dengan saksi. 16 1) Shigot, yaitu ibarat ijab qabul, dengan syarat sebagai berikut: a) Menggunakan lafaz tertentu, baik dalam Lafaz Sarih. Misalnya: Tazwij atau Nikah. Maupun Lafaz Kinayah, seperti: Saya sedekahkan anak saya kepada kamu dan sebagainya; b) Ijab-qabul dilakukan di dalam satu majelis; c) Sighat didengar oleh orang-orang yang menyaksikan; d) Ijab-qabul tidak berbeda maksud dan tujuan; e) Lafaz sighat tidak disebutkan untuk waktu tertentu. 2) Akad, dapat dilaksanakan dengan syarat apabila kedua calon pengantin berakal, baligh, dan merdeka. 3) Saksi, harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikah hanya disaksikan oleh satu orang saksi. Dan syarat-syaratnya adalah : a) Berakal; b) Baliqh; c) Merdeka; d) Islam; e) Kedua orang saksi mendengar Ahmad Rofiq, Op, Cit, h H. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet.ii, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 64.

36 27 b. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Syarat-syarat perkawinan disebutkan dalam pasal 6: 1) Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai; 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin orang tua; 3) Dalam hal orang tua yang telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka ijin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya; 4) Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya; 5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dalam memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat dan pasal ini.

37 28 6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-maing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 18 C. Tujuan Dan Hikmah Pernikahan Setiap manusia dalam melakukan sesuatu hal perbuatan hukum tentunya memiliki tujuan, dan setiap perbuatan hukum memiliki hikmah tersendiri yang berkenaan dengan hidup baik dalam hal pernikahan maupun perihal lainnya. 1. Tujuan pernikahan; Tujuan makhluk allah yakni secara khusus adalah manusia, tujuan pernikahan sangat beragam, sesuai dengan pola fikir masing-masing individu di masyarakat yang sangat beragam. Ada yang bertujuan hanya sekedar meningkatkan karir, untuk meraih jabatan tertentu ataupun hanya sekedar status semata di masyarakat, dan sebagainya. Tetapi dalam Islam tidaklah seperti itu. Islam memberikan akal pikiran yang sehat lagi dewasa sehingga mampu melihat dan memilih suatu hal, dengan niat ataupun tujuan yang sangat logis dan manusiawi. Islam memberikan rumusan mengenai tujuan pernikahan yang sedikitnya ada tiga tujuan pernikahan sebagai berikut: a. Menentramkan Jiwa; b. Perkawinan dapat membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan penuh rasa kasih dan sayang, sehingga merasa damai, tenang, dan tentram; 18 Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h. 81

38 29 c. Mewujudkan (melestarikan) keturunan; d. Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh pria maupun wanita. Akan tetapi perlu diketahui juga bahwa mempunyai anak bukanlah suatu kewajiban saja namun amanat dari Allah SWT yang diharap lahir dengan membawa ketaatan kepada Allah SWT; e. Menyelamatkan masyarakat dari kerusakan akhlak. Manusia memiliki berbagai macam rasa, niat, perilaku dan sifat yang sering kali berbeda-beda dan berubah-ubah. Baik dalam hal kebaikan maupun dalam hal keburukan atau hal-hal yang condong ke perilaku yang negatif. Maka dalam hal tujuan perkawinan Islam sangat tegas menyatakan bahwa dalam menikah atau seorang yang ingin menikah, atau memiliki tujuan yakni dapat menyelamatkan akhlak manusia dari kerusakan dan perjinahan, baik dikalangan remaja maupun dewasa. Menurut Imam Al- Ghajali dalam kitab Ihya Ulumuddin tentang faedah melangsungkan perkawinan. Tujuan perkawinan dapat dikembangkan menjadi lima, yaitu: a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan; b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayang; c. Memenuhi panggilan agama. Memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan;

39 30 d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak, serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal; e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas penuh cinta dan kasih yang halal. Sedangkan menurut Asaf A. A. Fyzee, tujuan nikah dapat dilihat dari tiga Aspek, yaitu: a. Aspek Agama (Ibadah); 1) Memperoleh keturunan. 2) Perkawinan merupakan salah satu sunnah Nabi Muhammad SAW. 3) Perkawinan mendatangkan Rejeki dan menghilangkan kesulitankesulitan. b. Aspek Sosial (Masyarakat); 1) Memberikan perlindungan kepada kaum wanita yang secara umum dinilai fisiknya yang lemah karena setelah pernikahan si isteri akan mendapat perlindungan dari suaminya, baik masalah nafkah atau gangguan orang lain serta mendapat pengakuan yang sah dan baik dari masyarakat. 2) Mendatangkan sakinah (ketentraman bathin), menimbulkan mawaddah dan mahabbah (cinta kasih) serta rahmah (kasih sayang) antara suami isteri, anak-anak dan seluruh anggota keluarga.

40 31 c. Aspek Hukum (Negara). Perkawinan sebagai akad, yaitu perikatan dan perjanjian luhur antara suami dan istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia. Dengan akad yang sah dimata Agama dan Negara, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban suami istri serta perlindungan dan pengakuan hukum baik Agama maupun Negara Hikmah Perkawinan Allah SWT, telah menjadikan makhluk-nya berpasang- pasangan. Dengan kata lain, ketika manusia dijadikan makhluk Allah SWT yang paling sempurna, dan kesempurnaannya dapat dilihat dari kehidupan manusia yang saling berpasang- pasangan dari lawan jenis kamu. Perkawinan dalam Islam menurut Abdurrahman Wahid bukan sekedar akad nikah, melainkan memiliki dimensi lain yang tidak boleh hilang yaitu cinta dan kasih sayang (mawaddah dan warrahmah), dengan menjadikan ikatan yang kokoh. Rahman disini bukan berarti kesejahteraan saja, melainkan pengikat dengan dimensi fisik termasuk biologis seperti reproduksi. 20 Menurut beberapa para pakar hukum, perkawinan adalah suatu ikatan atau perjanjian lahir batin antara kedua pasangan hingga penjaminan suatu hal ataupun perbuatan yang bisa menjadikan perbuatan hukum. Antara lain hikmah yang 19 Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary A.Z, Loc. Cit., h h Abdurrahman Wahid, Refleksi Teologis Dalam Perkawinan (Bandung: Mizan, 1999),

41 32 dapat dilihat dalam perkawinan itu ialah menghalangi umat dari hal-hal atau perbuatan yang tidak diizinkan syara dan menjaga kehormatan diri dari kerusakan seksual. 21 Dari hikmah- hikmah perkawinan yang disebutkan di atas, dapatlah penulis ambil untuk ilmu secara pribadi dan pada saatnya semua manusia juga dapat merasakan dan menjadikan hikmah ini sebagai motivasai untuk kedepannya dan menjadikan kita selalu manusia yang selalu bersyukur kepada Allah SWT. D. Pencegahan atau Larangan dalam Pernikahan Larangan perkawinan dalam aturan perdata di Indonesia di atur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Pasal 13 yang berbunyi: Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. 22 Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksudkan dalam ayat di atas mengacu kepada dua hal, yakni: Pertama; Persyaratan Administrasi, dan Kedua; Persyaratan Materil. Persyaratan Administrasi berhubungan dengan Administrasi Perkawinan. Adapun Syarat Materil menyangkut hal-hal yang mendasar seperti larangan perkawinan. Misalnya, Perkawinan yang dapat dicegah apabila salah seorang atau kedua mempelai masih terikat perkawinan dengan orang lain, pecegahan ini tidak 21 Amir Syarifuddin, Garis- Garis Besar Fiqih (Jakarta : Prenada Media, 2003), h Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan,cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h. 84

42 33 berlaku terhadap seorang suami yang telah mendapat izin dispensasi poligami oleh Pengadilan Agama. Larangan Kawin BAB VI Pasal 39 dalam Kompilasi Hukum Islam, Larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan, sebagai berikuti: Karena pertalian nasab : a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. 2. Karena pertalian kerabat semenda : a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan bekas isterinya itu qobla Dukhul; d. Dengan seorang wanita bekas isteri kerturunannya. 3. Karena Pertalian Sesusuan; a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; 23 Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h

43 34 c. Dengan saudara wanita sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah; d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Adapun mekanisme yang ditempuh dari pihak-pihak yang akan melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan dan diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah atau KUA (kantor urusan agama). Dan pasal 14 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang berbunyi: Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. 2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini juga berhak mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang masing-masing mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti dalam ayat (1) Pasal 1. Pasal 15 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan : Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah 24 Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h. 84

44 35 satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini. 25 Pasal 16 Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, mempunyai kewenangan untuk melakukan pencegahan perkawinan. Dan pada ayat (1), yakni Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi. Dan pada ayat (2), yakni Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Dan Dipertegas dengan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 20, yaitu: Pegawai pencatatan perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dalam dalam pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h Aulia Nuansa, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), h

45 BAB III DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR A. Pengertian Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Pernikahan di bawah umur atau Dispensasi Nikah ialah pernikahan yang terajdi pada pasangan atau salah satu calon yang ingin menikah pada usia di bawah standar batas usia nikah yang sudah ditetapkan oleh aturan hukum perkawinan. Perkawinan di bawah umur tidak dapat diizinkan kecuali pernikahan tersebut meminta izin nikah atau dispensasi nikah oleh pihak Pengadilan Agama untuk bisa disahkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama (KUA), dan sebelum mengajukan permohonan izin menikah di Pengadilan Agama terlebih dahulu kedua calon pasangan yang ingin menikah harus mendapat izin dari kedua orang tua. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada Bab II pasal 7 disebutkan bahwasannya perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 16 tahun. Dalam batas usia pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) sama dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 2 menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai batas usia 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur 36

46 37 dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun Keterangan di atas, memberikan petunjuk bahwa pasal di atas menjelaskan arti dispensasi atau batasan umur dapat dilihat dari: 1. Bahwa umur 19 tahun bagi usia pria adalah batas usia pada masa SLTA, sedangkan untuk wanita usia 16 tahun adalah batas usia pada masa SLTP, dari masa di atas adalah masa dimana kedua pasangan masih sangat muda. Oleh sebab itu peran orang tua sangat penting disini dalam membimbing, menolong dan memberi arahan untuk masa depan bagi si anak. 2. Izin orang tua sangat diperlukan. Tanpa izin orang tua, perkawinan tidak dapat dilaksanakan, khusus bagi calon wanita wali orang tua harus ada sebagai syarat yang sudah ditentukan oleh aturan hukum perihal syarat pernikahan. Dalam penjelasan umum Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan sebagai berikut: Prinsip Undang-undang ini bahwa calon (suami isteri) itu harus siap jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Dari sisi lain, perkawinan juga mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Terbukti bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan

47 38 dengan batas umur seseorang yang menikah pada usia yang lebih matang atau usia yang lebih tinggi. 27 Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak ada aturan hukum yang menjelaskan batasan minimal usia bagi para pelaku nikah di bawah umur, sehingga dalam hal ini Hakim mempunyai Ijtihad atau pertimbangan hukum sendiri untuk bisa memutuskan perkara permohonan nikah di bawah umur, dan hakim mempunyai wewenang penuh untuk mengabulkan sebuah permohonan baik mengabulkan maupun menolak sebuah permohonan penetapan nikah di bawah umur tersebut. 28 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal ini menyimpulkan pendapat bahwa hal ini menjadi suatu kelemahan terhadap Undang-undang Perkawinan itu sendiri. Dan ditafsirkan bahwa pemberian dispensasi nikah di bawah umur, untuk putusan sepenuhnya diserahkan kepada pejabat yang berwenang yaitu hakim dalam Peradilan Agama setempat. 29 Walaupun tidak ada batas usia nikah bagi calon suami, sama hal terhadap batas usia bagi calon isteri juga tidak ada ketentuannya. Namun ada sumber hukum yang diambil dari Aisyah r.a, yang artinya sebagai berikut yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yakni : Dari Aisyah r.a h ), h K. Wancik Saleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976 ), 28 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan (Jakarta: Kencana, 29 Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia (Serang: Saudara Serang, 1995), h

48 39 sesungguhnya Nabi SAW telah menikah dengannya pada saat ia berumur enam tahun dan ia diserahkan kepada Nabi SAW pada usia sembilan tahun. 30 Hadist di atas hanyalah bersifat khabariyah (kabar) saja tentang perkawinan Nabi Muhammad SAW, namun di dalamnya tidak dijumpai khitab (pernyataan), baik berupa pernyataan yang mesti diikuti ataupun pernyataan untuk ditinggalkan. Karena itu pernyataan usia yang ada dalam hadist di atas tidak dapat disimpulkan sebagai pernyataan batas usia terendah kebolehan melangsungkan pernikahan bagi kaum wanita. Menurut Abdul Rahim Umran, batasan usia nikah dapat dilihat dalam beberapa arti sebagai berikut: Biologis, secara biologis hubungan kelamin dengan isteri yang terlalu muda (yang belum dewasa secara fisik) dapat mengakibatkan penderitaan bagi isteri dalam hubungan biologis. Lebih-lebih ketika hamil dan melahirkan. 2. Sosio-Kultural, secara sosio-kultural pasangan suami isteri harus mampu memenuhi tuntutan sosial, yakni mengurus rumah tangga dan mengurus anakanak. 3. Demografis (kependudukan), secara demografis perkawinan di bawah umur merupakan salah satu faktor timbulnya pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi. 30 Imam Abi Muslim al- Hijaj, Shahih Muslim (Beirut: Darul Fikr, 1992), h Abdurrahim Umran, Islam dan KB (Jakarta: Lentera Batritama, 1997), h.18.

49 40 Menurut para Ulama, dalam Islam menentukan batasan usia nikah bisa dikembalikan kepada tiga landasan, yaitu: 1. Usia kawin yang dihubungkan dengan usia dewasa (baligh); 2. Usia kawin yang didasarkan kepada keumuman arti ayat Al-Qur an yang menyebutkan batas kemampuan untuk menikah. 3. Hadist yang menjelaskan tentang usia Aisyah waktu nikah dengan Rasulullah SAW. Sedangkan para Ulama Ushul Fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki kecakapan bertindak hukum setelah Aqil Balig (mukallaf) dan cerdas, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat An-Nissa (4) ayat : 6, yang berbunyi: Artinya: Dan ujilah anak itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut pendapatmu mereka lebih cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS. An- Nissâ [4] ayat : 6) Dalam hal ini untuk menentukan kedewasaan dengan umur terdapat beberapa pendapat diantaranya: Menurut Abu Hanifah, kedewasaan itu datangnya mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik untuk pihak laki-laki maupun untuk perempuan. 32 Helmi Karim, Kedewasaan Untuk Menikah Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h.70

50 41 2. Menurut Syafi i dan Hanabillah menentukan bahwa masa untuk menerima ke dewasaan dengan tanda-tanda di atas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal, dengan akallah ada taklif, dan karena akal pula adanya hukum. 3. Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria. Hal ini karena diperlukan karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial. 4. Yusuf Musa mengatakan, bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern ini orang memerlukan persiapan yang matang. Dari perbedaan pendapat di atas menunjukan bahwa berbagai faktor ikut menentukan cepat atau lambatnya seseorang mencapai usia kedewasaan, terutama kedewasaan untuk berkeluarga. Angka-angka atau usia di atas tidaklah selalu cocok untuk setiap wilayah di dunia ini. Setiap wilayah dapat menentukan usia kedewasaan masing-masing sesuai dengan masa atau kondisi yang ada.

51 42 B. Batas Usia Nikah menurut Hukum Positif Batas usia nikah ialah suatu batasan umur untuk menikah atau kawin. Batasan usia nikah disini menurut aturan hukum yang berkaitan dengan perkara atau masalah perkawinan, seperti pengajuan permohonan nikah di bawah umur, penulis akan paparkan batas usia nikah di bawah ini dalam hukum positif, yaitu sebagai berikut: 1. Batas usia nikah menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat dalam BAB II Syarat-syarat Perkawinan pasal 6 ayat (2), yaitu: Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Sedangkan Pada pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan: Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dan pada ayat (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak wanita. Dan pada ayat (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orangtua tersebut dalam pasal 6 ayat (3), dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6) Batas Usia Nikah menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 15 ayat (1), yaitu: Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya 33 Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam:(Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia), h

52 43 boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami berumur sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya berumur 16 tahun. Dan pada ayat (2), bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin yang sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Sedangkan batasan usia nikah menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), BAB IV perihal Perkawinan pasal 29, yakni: Laki-laki yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur 15 (lima belas) tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan Dispensasi. 35 C. Faktor Penyebab Pernikahan Di bawah Umur Pada umumnya, faktor terjadinya nikah dibawah umur adalah faktor agama, budaya (adat), sosial dan hukum yang berkembang dalam masyarakat, yang diuraikan sebagai berikut: 34 Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam :Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia), h Penghimpun Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan Perdatah (Jakarta: Visimedia, 2008), h. 226

53 44 1. Norma Agama Norma agama, dalam hal ini agama tidak mengharamkan atau menentang pernikahan di bawah umur dan tidak ada kriminalisasi terhadap pernikahan di bawah umur, bahkan dalam pandangan Islam Nikah adalah fitrah manusia dan sangat dianjurkan bagi umat Islam, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan) yang harus dipenuhi dengan jalan yang sah agar tidak mencari jalan yang sesat atau jalan yang menjerumuskan dalam hubungan zinnah. Dan pernikahan usia muda merupakan suatu antisipasi dari orang tua untuk mencegah akibat-akibat negatif yang dapat mencemarkan nama baik dan merusak martabat orang tua dan keluarga. 36 Perintah dan anjuran melakukan pernikahan, tidak memberikan batasan umur seseorang untuk melakukan pernikahan, namun ditekankan perlunya kedewasaan seseorang melakukan pernikahan untuk mencegah kemudharatan atau hal-hal buruk. Hal ini sangat relevan dengan hukum positif di Indonesia dan Undang-undang lainnya yang saling berkaitan perihal penikahan di bawah umur, bahwasannya tidak ada aturan hukum yang menegaskan dengan berupa memberikan sanksi hukum terhadap para pelaku atau orang-orang yang terkait dalam pernikahan di bawah umur. Walaupun dalam pasal 26 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 mewajibkan orang tua dan keluarga untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, 1985), h Mudzakaroh Al-Azhar, Tentang Perkawinan di Bawah Umur (Jakarta: Agustus,

54 45 namun pernikahan di bawah umur tidak serta merta dipandang sebagai tindakan kriminal menurut hukum. Dan Undang-undang Perkawinan yang memberikan dispensasi kepada kedua pasangan yang belum cukup usianya untuk bisa melakukan pernikahan. Dengan berbagai sebab atas pertimbangan hukum dimuka persidangan. 2. Budaya (tradisi) Dari segi budaya atau tradisi yang masih melekat dibeberapa masyarakat di daerah Indonesia dan sebagian menganggap bahwa perkawinan di bawah umur merupakan tindakan yang biasa. Di Luar Jakarta khususnya yang biasanya mempunyai adat atau kebiasaan yang masih melekat dimasyarakat, tidak ada larangan nikah di bawah umur karena adanya kepercayaan bahwa seorang anak perempuan yang sudah dilamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa berakibat si anak tidak laku (tidak dapat jodoh). Sementara di daerah lain yang biasanya menikahkan anaknya diusia dini untuk menghindari terjadinya fitnah bagi kedua pasangan yang sedang berpacaran, hal yang sama juga terjadi di desa atau daerah lain yang masih berwilayah di Indonesia yang adat kebiasaannya terkenal dengan pernikahan sirri (rahasia), agar tidak ada cacat dari ikatan pernikahan dikemudian hari. Alasan yang sering timbul ketika hakim mengabulkan surat permohonan untuk menikah diusia dini dikarenakan syarat yang sesuai dengan aturan hukum Islam sudah dipenuhi, dan dalam hal ini Pengadilan Agama tidak

55 46 banyak menolak permohonan nikah di bawah umur karena biasanya syarat pengajuan permohonan sudah lengkap. 3. Sosial (kebiasaan) Dari segi sosial di dalam masyarakat atau kebiasaan yang sudah biasa pada satuan terkecil (keluarga) yang mendorong sikap pro atau sikap mendukung yang sudah biasa terhadap pernikahan usia dini. Lebih-lebih karena faktor rendahnya pendidikan dan tingkat minimnya perekonomian serta sikap atau pandangan masyarakat yang biasanya meremehkan masalah pergaulan bebas yang menimbulkan pernikahan dini tersebut. Dan biasanya ketidaktahuan masyarakat terhadap efek buruk yang dialami seseorang yang menikah dini baik dari kesehatan maupun psikologis, menjadi alasan bagi para pihak yang terkait, baik keluarga ataupun masyarakat sekitar. Disamping itu, paradigma atau pandangan sebagian masyarakat yang menganggap bahwa adanya sebuah pernikahan akan mengangkat persoalan atau masalah ekonomi yang dihadapi, yang pada kenyataannya adalah sebaliknya. 4. Hukum Dari segi aturan hukum, dalam hal ini hukum sangat mengambil peran terhadap sebuah penyelesaian dibeberapa masalah yang timbul dalam sebuah pernikahan, khususnya pada pernikahan di bawah umur. Yang apabila aturan hukum tentang batasan nikah ada dan jelas serta berjalan dengan baik maka dampak yang akan timbul yakni disetiap tahun pernikahan usia dini akan berkurang. Akibat dari pernikahan di bawah umur muncul karena beberapa

56 47 faktor yang menimbulkan pernikahan dini seperti kecenderungan pergaulan bebas yang tidak dibatasi atau dibataskan oleh keluarga atau pihak-pihak yang terkait, ataupun pengawasan yang kurang ketat dari orang-orang sekitar, sehingga ketika harapan yakni para remaja yang seharusnya memiliki sikap bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan mengkuti aturan hukum yang wajar sudah sangat jauh diperhitungkan, lebih-lebih dijaman modern seperti ini yang hubungan sex pra-nikah bahkan sex bebas ataupun nikah di bawah umur menjadi suatu wabah yang sudah sangat biasa dan dianggap wajar. Pernikahan di bawah umur seperti penjelasan yang dipaparkan di atas, merupakan peristiwa yang dianggap wajar, dan jarang sekali masyarakat menganggap penting masalah ini, namun ketika kasus atau masalah ini muncul di media massa atau menjadi topik yang penting dibahas dalam berbagai kalangan, barulah kasus ini dianggap baru dan direspon penting oleh publik, contoh yang sangat baru dan sangat terkenal ialah kasus Syekh Puji dengan Lutfiana ulfah yang masih berumur 12 tahun, walaupun pada kenyataannya Syekh Puji dinyatakan bebas tidak bersalah dan hakim menyatakan bahwa tuntutan dari jaksa penuntut umum dibatalkan karena tuntutan dari jaksa tidak jelas. Dalam hal ini jauh sebelum kasus Syekh Puji muncul masih banyak kasus pernikahan dini yang lainnya, yang biasanya sering muncul di Luar Jakarta atau kota-kota kecil, beda hal di kota-kota besar Nani Suwondo, Hukum Perkawinan dan Kependudukan di Indonesia, cet.i, (Bandung: PT Bina Cipta, 1989), h.108.

57 48 D. Dampak Akibat Pernikahan Di Bawah Umur Dampak dari para pelaku pernikahan di bawah umur, sebagian besar keburukan yang akan timbul dalam beberapa masalah setelahnya, dan dampak atau akibat yang sering timbul karena faktor belum matang usia maupun kedewasaan para pelaku nikah di bawah umur, sehingga dampak negatif yang terlihat sangat jelas, seperti di bawah ini: 1. Dampak Negatif a. Peningkatan perceraian akibat pernikahan di bawah umur; b. Pernikahan di bawah umur mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tingginya angka kematian ibu bayi, dan anak; c. Secara medis penelitian menunjukan bahwa perempuan yang menikah usia muda, dengan berhubungan seks lalu menikah, dan kemudian hamil dalam kondisi yang tidak siap maka dampak negatif yang sering akan timbul, seperti terkenanya kanker rahim atau cancer cervix karena hubungan seks secara bebas ataupun berhubungan intim dengan berganti-ganti pasangan; d. Sementara itu, sikap pro terhadap pernikahan di bawah umur beralasan bahwa nikah usia muda menjadi suatu hal kebiasaan dan tradisi yang telah membudidaya dibeberapa masyarakat. 2. Dampak Positif a. Memeperjelas setatus Perkawinan; b. Memperjelas nasib anak yang membutuhkan sosok atau figur bapak;

58 49 c. Mendapat pengakuan yang baik dari lingkungan; d. Terjaga dari pandangan-pandangan atau nilai moral baik dari masyarakat; e. Menjaga dari Perbuatan Jinnah yang tidak terkendali. Sebagian Firman Allah SWT yang mengharamkan hubungan Jinnah dan keterangannya dalam Surat Al- Isra (17) ayat : 32, yang berbunyi: Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. al-isrâ [17] ayat : 32).

59 BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM TENTANG PERMOHONAN DISPENSASI NIKAH OLEH PENGADILAN AGAMA TANGERANG A. Prosedur Pengajuan Dispensasi Nikah 1. Dispensasi Nikah Dispensasi Nikah adalah sebuah pengecualian dalam hal perkawinan yang kedua atau salah satu calon mempelai, baik laki-laki atau perempuan yang masih di bawah umur dan diperbolehkan melangsungkan sebuah pernikahan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sesuai prosedur dispensasi nikah di bawah umur yang berlaku. Prosedurnya sebagai berikut: 38 a. Kedua orang tua (ayah dan ibu) calon mempelai yang masih di bawah umur, yang masing-masing sebagai Pemohon 1 dan Pemohon 2, mengajukan permohonan tertulis ke Pengadilan Agama; b. Permohonan diajukan ke Pengadilan Agama ditempat tinggal para Pemohon; c. Permohonan harus memuat: 1) identitas para pihak (Ayah sebagai Pemohon I dan Ibu sebagai Pemohon II, 2) posita (yaitu: alasan-alasan 38 Dokumen Standar Operasional Pengadilan Agama Tangerang, Prosedur Pengajuan Dispensasi Nikah Di Bawah Umur, artikel diakses pada 1 April 2011 dari 50

60 51 atau dalil yang mendasari diajukannya permohonan, serta identitas calon mempelai laki-laki/perempuan), 3) petitum (yaitu hal yang dimohon putusannya dari pengadilan). Catatan: Untuk mempermudah proses, siapkan juga dokumen-dokumen berikut ini: 1) Asli Surat/ Kutipan Akta Nikah/ Duplikat Kutipan Akta Nikah Pemohon; 2) Fotokopi Kutipan Akta Nikah/ Duplikat Kutipan Akta Nikah 2 (dua) lembar; 3) Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku, atau apabila telah pindah dan alamat tidak sesuai dengan KTP maka Surat Keterangan Domisili dari Kelurahan setempat; 4) Kartu Keluarga (bila ada); 5) Akta Kelahiran Anak (bila ada); 6) Surat Penolakan Pencatatan Perkawinan dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. 2. Izin Kawin Izin Kawin ialah Untuk perkawinan yang calon suami atau calon isteri belum berumur 21 tahun dan tidak mendapat Izin dari orangtuanya. Prosedurnya sebagai berikut: Dokumen Standar Operasional Pengadilan Agama Tangerang, Prosedur Pengajuan Dispensasi Nikah Di Bawah Umur, artikel diakses pada 1 April 2011 dari

61 52 a. Calon mempelai laki-laki/perempuan yang umurnya belum 21 tahun dan tidak mendapat izin dari orangtuanya, mengajukan permohonan tertulis ke Pengadilan; b. Permohonan diajukan ke Pengadilan Agama ditempat tinggal Pemohon; c. Permohonan harus memuat: identitas pihak (calon suami/isteri yang belum umur 21 tahun sebagai Pemohon), posita (yaitu: alasan/dalil yang mendasari diajukannya permohonan, serta identitas orang tua Pemohon dan calon suami/isteri), petitum (yaitu hal yang dimohon putusannya dari Pengadilan). Catatan: Untuk mempermudah proses, siapkan juga dokumen-dokumen berikut ini: 1) Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku, atau apabila telah pindah dan alamat tidak sesuai dengan KTP maka Surat Keterangan Domisili dari Kelurahan setempat; 2) Kartu Keluarga (bila ada); 3) Akta Kelahiran Anak/Calon yang ingin menikah (bila ada); 4) Surat Penolakan Pencatatan Perkawinan dari Kantor Urusan Agama setempat. B. Wewenang Pengadilan Agama 1. Kekuasaan dan Wewenang Relatif Kata kekuasaan sering disebut kompetensi yang berasal dari bahasa Belanda yaitu competentie, yang diterjemahkan dengan kewenangan dan

62 53 kekuasaan. Kekuasaan atau kewenangan Peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara. 40 Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara Pengadilan dalam lingkungan Peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor. Dalam contoh yang telah diberikan Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor, keduanya adalah sama-sama berada di dalam lingkungan Peradilan Agama dan sama-sama berada pada tingkat pertama. Persamaan ini adalah disebut dengan satu jenis. Bagi pembagian kekuasaan relatif ini, Pasal 4 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah menetapkan: Peradilan Agama berkedudukan di kota madia atau kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota atau kabupaten. Selanjutnya, pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) menetapkan: Pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama ada dikota atau kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kota atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian. Tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu 40 Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lemabaga Peradilan Syariat Islam Aceh, cet. I, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 137

63 54 sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, seperti di Kabupaten Riau dikepulauannya yang terdapat empat buah Pengadilan Agama dengan jarak yang cukup jauh dan kondisi transportasi yang sulit, maka dalam kekuasaan relatif disini adanya pengecualian. Cara mengetahui yuridiksi relatif agar para pihak tidak salah mengajukan gugatan atau permohonannya (yakni ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan hak eksepsi tergugat), maka menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum, apabila penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan Pengadilan tersebut masing-masing boleh memeriksa dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (baik penggugat maupun tergugat) memilih untuk berperkara dimuka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati. Pengadilan Negeri dalam hal ini boleh menerima pendaftaran perkara tersebut disamping boleh pula menolaknya. Namun dalam praktiknya Pengadilan Negeri sejak semula sudah tidak berkenan menerima gugatan atau permohonan semacam itu, sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana seharusnya gugatan atau permohonan itu diajukan. Contoh-contoh ketentuan menentukan wilayah yuridiksi sebuah pengadilan adalah sebagaimana berikut: Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan dimana tergugat bertempat

64 55 tinggal. Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat. Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat. Apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak. Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang domisilinya terpilih. Pada dasarnya untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan adalah diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu seperti di dalam Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai berikut: Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman permohon. Permohonan dispensasi kawin bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.

65 56 Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan yang melangsungkan perkawinan atau pernikahan tersebut. Sebagaimana yang diterangkan di atas, kewenangan relatif Pengadilan Agama tetap terdapat beberapa pengecualian dibanding dengan Pengadilan Umum seperti dalam hal sebagai berikut: a. Permohonan Cerai Talak: 1) Dalam hal cerai talak, Pengadilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara diatur dalam Pasal 66 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang nomor 7 tahun 1989; 2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon; 3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon; 4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

66 57 Dari ketetapan ini, maka dapat disimpulkan kepada 4 poin sebagai berikut: 1) Apabila suami atau pemohon yang mengajukan permohonan ceraitalak maka yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman isteri atau termohon; 2) Suami atau pemohon dapat mengajukan permohonan cerai-talak ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami atau pemohon apabila isteri atau termohon secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami; 3) Apabila isteri atau termohon bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami atau pemohon; 4) Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat. b. Perkara Gugat Cerai: Dalam hal perkara gugat cerai, Pengadilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara diatur dalam pasal 73 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989: 1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman

67 58 penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat; 2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat; 3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Dari ketetapan ini, maka dapat disimpulkan kepada 4 poin sebagai berikut: 1) Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai-gugat adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman isteri atau penggugat; 2) Apabila isteri atau penggugat secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami, maka perkara gugat-cerai diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami atau tergugat; 3) Apabila isteri atau penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami atau tergugat;

68 59 4) Apabila keduanya (suami-isteri) bertempat kediaman di luar negeri, maka yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 2. Kekuasaan dan Wewenang Absolut Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan Pengadilan. Kekuasaan Pengadilan dilingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu dikalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. 41 Dengan kata lain, kekuasaan absolut adalah kekuasaan Pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan lainnya, seperti: Pengadilan Agama adalah Peradilan bagi orang- orang yang beragama Islam, 42 sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara ke Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah Agung. 41 Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lemabaga Peradilan Syariat Islam Aceh, cet. I, (Jakarta: Kencana, 2006), h Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariah Islam Aceh, cet. I, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 185

69 60 Banding dari Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi. Terhadap kekuasaan absolut ini Pengadilan Agama harus meneliti perkara yang diajukan kepadanya, apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. Kalau bukan, maka dilarang menerimanya. Kalaupun diterima maka tergugat dapat mengajukan keberatan (eksepsi absolut) dan jenis eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab pertama dan boleh kapan saja, baik tingkat banding maupun kasasi. Jenis perkara yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama (kekuasaan absolut) diatur dalam Pasal 49 dan 50, Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang disebutkan sebagai berikut: 43 Pasal 49 Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. Infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah. Pasal 50 (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. 43 Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariah Islam Aceh, cet. I, (Jakarta: Kencana, 2006), h.235

70 61 (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. Sesuai dengan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut seluruhnya ada sembilan (9) item yang menjadi wewenang absolut bagi Peradilan Agama. Adapun penjelasan dari pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 telah menjelaskan setiap satu huruf tersebut sebagai berikut: Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi dibidang perbankan syariah, melainkan juga dibidang ekonomi syariah lainnya. Yang dimaksud dengan antara orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama Sesuai dengan ketentuan pasal ini. Huruf a Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syariah, antara lain: Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia :Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, cet. I, (Jakarta: Kencana, 2006), h

71 62 1. Izin beristeri lebih dari seorang; 2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3. Dispensasi kawin; 4. Pencegahan perkawinan; 5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6. Pembatalan perkawinan; 7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; 8. Perceraian karena talak; 9. Gugatan perceraian; 10. Penyelesaian harta bersama; 11. Penguasaan anak-anak; 12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya; 13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; 14. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak; 15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. Pencabutan kekuasaan wali; 17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; 18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; 19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; 20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;

72 Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; 22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. C. Keterangan Pejabat Pengadilan Agama Tangerang tentang Permohonan Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Pertimbangan hukum oleh Hakim berdasar untuk memutuskan perkara atau membolehkan nikah di bawah umur berdasarkan wewenang Pengadilan Agama untuk menangani jenis perkara yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama. Kekuasaan Peradilan Agama atau kekuasaan absolute, diatur dalam Pasal 49 dan 50 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun Pada dasarnya untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan adalah diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu seperti di dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 sebagai berikut: Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman permohon.

73 64 Dalam memutuskan perkara dispensasi perihal nikah di bawah umur, dalam praktiknya hakim memutuskan tidak memerlukan waktu atau persidangan yang lama. Hanya saja hakim mempunyai kriteria sendiri dalam memutuskan atau mengabulkan surat permohonan nikah di bawah umur, diantaranya: 1. Surat permohonan ditulis jelas oleh orang tua dari pelaku nikah di bawah umur; 2. Ada faktor yang melatarbelakangi adanya niatan untuk menikah dari kedua pasangan yang ingin menikah; 3. Ada surat atau keterangan yang jelas perihal penolakan nikah dari kantor urusan agama (KUA); 4. Ada keterangan dari para saksi yang menguatkan isi dari permohonan dispensasi nikah di bawah umur. Dalam pertimbangan beberapa hakim yang penulis telah wawancarai. Ada beberapa pertimbangan yang diputuskan dengan alasan atau pemikiran yang sama, ketika dalam persoalan yang sama, yakni perihal nikah usia muda yang marak dilakukan oleh para remaja, baik di kota maupun di desa. Dalam fakta lapangan yang penulis tulis dalam kenyataannya, bahwa dibeberapa Pengadilan Agama luar Jakarta angka pengajuan surat permohonan dispensasi nikah di bawah umur relatif lebih banyak dari Pengadilan Agama di Jabodetabek. Hal ini mengandung pertanyaan besar dari penulis, maka dari itu penulis mengadakan wawancara dengan pihak Pengadilan Agama Tangerang, baik Secara

74 65 Lisan maupun Tulis, dan Pandangan yang muncul dari beberapa pejabat yang berwenang dari Pengadilan Agama Tangerang dan sebagai tambahan keterangan dari Dokumen dasar tentang pernikahan dini yang berbeda. Dalam tuturnya setiap pandangan beberapa para ahli dalam memutuskan kasus yang sama namun beda nama akan menggunakan sistem hukum yang sama untuk menyelesaikan kasus ini, kasus disini bukan berarti kasus besar dalam Hukum Indonesia, namun kasus disini adalah suatu hal yang bermasalah, baik masalah ini berhubungan dengan masyarakat besar ataupun masalah yang berada dilingkungan keluarga terkecil. Maka dari itu keterangan lebih luasnya penulis paparkan sebagai berikut: 1. Pendapat dari Wakil Ketua Pengadilan Agama Tangerang yaitu Drs. H. Ali Fikri, SH., MH. Sebagai salah satu Hakim Ketua dalam penyelesaian suatu kasus dengan memutuskan suatu Putusan atau Penetapan Hukum Perihal Dispensasi Kawin di Bawah Umur. Beliau berpendapat bahwasannya tidak ada satu pasal atau satu ayatpun yang melarang atau tidak diperbolehkannya nikah di bawah umur. Namun tidak dipungkiri hanya ada sebatas batasannya saja. Dalam peraktiknya sanksi-sanksi bagi para pelaku yang berkaitan dengan adanya pernikahan di bawah umur yang menyimpang tidak ada sanksi atau pelanggaran yang jelas, baik dalam Hukum Publik maupun Hukum Positif Wawancara Pribadi secara Lisan dan Tulis dengan Wakil Ketua Pengadilan Agama Tangerang yaitu Ali Fikri. Tangerang, 06 Januari 2011

75 66 2. Pendapat dari Panitera Muda Pengadilan Agama Tangerang yaitu Irfan Yunan, sebagai salah satu Staff di Pengadilan Agama Tangerang. Beliau berpendapat bahwasannya nikah adalah fitrah Allah SWT dan sunnah Rasul yang harus diperoleh dengan jalan kemudahan dan kebaikan, dengan kata lain beliau tidak akan mempersulit jalannya proses persidangan, namun tidak dipungkiri adanya kriteria khusus bagi para hakim ketika mengabulkan sebuah penetapan nikah di bawah umur, harus ada beberapa temuan dan fakta persidangan di bawah ini, seperti : a. Melihat jalannya proses persidangan dari awal sampai pada titik menghadirkan para saksi-saksi; b. Menganalisa berkas-berkas yang sah sebagai suatu pembuktian seperti adanya surat penolakan nikah di bawah umur oleh kantor urusan agama (KUA) setempat. Surat keterangan dari orang tua yang mengijinkan anaknya nikah di bawah umur. c. Melihat apa sebab utama pelaku nikah di bawah umur, apa karena sudah cukup dewasa dalam berpikir ataukah sudah melakukan hubungan zinnah dan mengahasilkan anak di luar nikah. Tutur beliau, biasanya hakim memutuskan atau menetapkan bolehnya nikah di bawah umur antara lain seputar jalannya persidangan yang ada di atas, yang penulis sudah paparkan Wawancara Pribadi secara Lisan dengan Staff Pengadilan Agama Tangerang yaitu Irfan Yunan. Tangerang, 06 Januari 2011

76 67 3. Penadapat dari Sekretaris Pengadilan Agama Tangerang yaitu Muhammad Affan Gofar. Dalam tuturnya beliau sedikit memberikan pendapatnya, bahwasannya nikah usia di bawah umur sangat memalukan, lebih-lebih pernikahan di bawah umur kebanyakan tidak didaftarkan melainkan pernikahan sirri, berakibat banyak perceraian dan para janda yang status hidupnya kurang baik, lebih-lebih jika memiliki anak dan merawat anak yang posisinya masih diusia relatif sangat muda. Dan kondisi masyarakat menengah ke bawah ketika berhadapan dengan hukum ataupun Pengadilan sudah mengganggap bahwa akan mengeluarkan uang yang cukup besar. Akibat sosialisasi atau penyuluhan hukum dibeberapa tempat kurang tersentuh dengan baik Pendapat terakhir oleh Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama (PA) Semarang Mohammad Dardiri yang mengakui, angka dispensasi pernikahan dini di wilayah Pengadilan Semarang memang tinggi. Pengadilan Agama menurutnya kerap tidak bisa menolak permohonan seperti itu lantaran seluruh syarat permohonan sudah sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Faktor utama nikah di bawah umur kebanyakan beralasan karena Hamil Di Luar Nikah, kemudian dinikahkan meskipun masih di bawah umur. Padahal tanpa dipungkiri dampak adanya nikah di bawah umur yang cenderung menimbulkan permasalahan yang lebih besar 47 Wawancara Pribadi secara Lisan dengan Sekretaris Pengadilan Agama Tangerang yaitu Bapak Muhammad Affan Gofar. Tangerang, 01 April 2011

77 68 yakni perceraian akibat pernikahan di bawah umur. Hakim di Pengadilan Agama Semarang sangat mempermudah lajunya pernikahan di bawah umur beda di Pengadilan Agama di kota-kota besar, penetapan permohonan nikah dikabulkan karena faktor yang utama karena hamil di luar nikah, namun di luar Jakarta seperti di Semarang penetapan permohonan nikah di bawah umur karena faktor ekonomi dan pendidikan yang rendah sehingga laju pernikahan dini sangat pesat. 48 Namun beda hal di Luar Jakarta yang meningkat pengajuan surat permohonan nikah di bawah umur dikarenakan kesadaran mereka tentang adanya dispensasi nikah di bawah umur yang diperbolehkan oleh Pengadilan Agama Setempat. 49 Beda hal di Jakarta kota besar yakni kesadaran masyarakat yang kurang atas manfaat adanya dispensasi yang diperbolehkan di Pengadilan Agama setempat. Karena pada dasarnya orang-orang yang mampu menikah tanpa di Pengadilan Agama merupakan suatu masalah yang paling memalukan di dunia Peradilan Islam. Lebih-lebih di kota besar pada faktanya banyak yang menikah pada usia di bawah umur namun usia mereka bisa dipertuakan sehingga proses nikah di Kantor Urusan Agamapun bisa terlaksana tanpa harus ribet ke Pengadilan Agama setempat. 48 Dokumen dasar tentang pernikahan dini Kuatnya Tradisi jadi Salah Satu Penyebab Pernikahan Di Bawah Umur, artikel diakses pada 4 April 2011 dari 49 Dokumen dasar tentang pernikahan dini Perkawinan Dini jadi Tradisi, artikel diakses pada 4 April 2011 dari

78 69 D. Analisa Penulis Analisa yang dapat penulis ambil dari penetapan putusan dispensasi kawin di bawah umur yang diperbolehkan oleh Pengadilan Agama Tangerang Tahun , sebagai berikut : Pada tahun di Pengadilan Agama Tangerang hanya ada 3 (tiga) putusan atau penetapan Dispensasi Kawin, diantaranya ada 2 (dua) putusan penetapan yang dikabulkan izin nikah dan ada 1 (satu) putusan penetapan pencabutan permohonan nikah oleh Pemohon I. Sedangkan dari beberapa Pengadilan Agama yang penulis coba datangi sebagai suatu pertimbangan penulis dalam menganalisa data, penulis tidak mendapati satu putusan tentang dispensasi nikah di bawah umur dikarenakan faktor administrasi yang tidak mendukung. Demi menjaga nama calon yang ingin menikah di bawah umur, baik nama pemohon maupun alamat dari para pelaku nikah di bawah umur yang terkait, maka penulis samarkan identitas yang terkait. Pemohon Pertama: Nomor Perkara : 220/Pdt. P/2010/ PA. Tng Tanggal Pengajuan : Tangerang, 11 Oktober 2010 Pemohon Orang Tua dari Calon isteri : Gono Bin Muhammad : Agus bin Gono (17 tahun, 2 bulan) : Aprilia binti Miang Alamat/ dosmisi pemohon di Kota Tangerang. Tanggal Sidang Pertama : Tangerang, 27 Oktober 2010

79 70 Tanggal Sidang Kedua : Tangerang, 10 November 2010 Dalam permohonan ini persidangan dimuka sidang hanya berjalan 2 (dua) kali persidangan. Alasan Pemohonan mengajukan Permohonan Nikah untuk anaknya dalam berita acara, dikekemukakan sebagai berikut: 1. Bahwa kedua calon tidak ada larangan dalam menikah, karena keduanya masih perawan dan bujang; 2. Bahwa kedua pasangan telah aqil balik, sudah siap untuk menjadi sepasang suami- isteri; 3. Bahwa pernikahan ini sangat mendesak, karena 2 (dua) tahun keduanya sudah bertunangan, dan hubungan mereka yang sudah sangat dekat; 4. Dan meminta Pengadilan Agama Tangerang mengabulkan permohonan nikah untuk anaknya-anaknya. Bukti dalam Persidangan Perihal Permohonan Nikah Di Bawah Umur di Pengadilan Agama Tangerang: 1. Kedua anak tersebut sudah bertunangan selama 2 (dua) tahun; 2. Hubungan kedua anak tersebut sudah seperti layaknya suami isteri; 3. Calon mempelai wanita sudah dalam keadaan hamil 3 (tiga) bulan; 4. Kedua pasangan yang ingin menikah tidak ada hubungan darah. Kemudian pada hari itu juga, hakim menetapkan: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

80 71 2. Memberikan Izin Dispensasi Kawin Kepada Anak Pemohon (Gono bin Muhammad) bernama Agus bin muhammad umur 17 tahun 2 bulan untuk menikah dengan seorang perempuan yang bernama Aprilia binti Miang; 3. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp ,- (seratus empat puluh satu ribu rupiah). Pemohon Kedua: Nomor Perkara : 66/Pdt. P/2009/ PA. Tng Tanggal Pengajuan : Tangerang, 14 Desember 2009 Pemohon I Orang Tua dari Pemohon II Orang tua dari : Nurhayati Binti Muhammad : Isa bin Nasrul (17 tahun, 3 bulan) : Suprapto bin Jamari : Piala binti Suprapto (17 tahun) Alamat/ dosmisi pemohon di Kota Tangerang. Tanggal Sidang Pertama : Tangerang, 06 Januari 2010 Tanggal Sidang Kedua : Tangerang, 13 Januari 2010 Dalam permohonan ini persidangan dimuka sidang hanya berjalan 2 (dua) kali persidangan. Alasan Pemohonan mengajukan Permohonan Nikah untuk Anaknya dalam berita acara, dikekemukakan sebagai berikut: 1. Bahwa kedua calon tidak larangan dalam menikah menurut syariat Islam, karena keduanya masih perawan dan bujang;

81 72 2. Bahwa kedua pasangan telah aqil balik, sudah siap untuk menjadi pasangan suami- isteri; 3. Bahwa pernikahan ini sangat mendesak, karena lebih 1 tahun sudah keduanya sudah bertunangan, dan hubungan mereka yang sudah sangat dekat; 4. Dan meminta Pengadilan Agama Tangerang mengabulkan permohonan nikah untuk anaknya-anaknya. Bukti dalam Persidangan Perihal Permohonan Nikah Di Bawah Umur di Pengadilan Agama Tangerang: 1. Kedua anak tersebut sudah bertunangan kurang lebih 1 tahun; 2. Hubungan kedua anak tersebut sudah seperti layaknya suami isteri; 3. Kedua pasangan yang ingin menikah tidak ada hubungan darah; 4. Calon mempelai wanita sudah dalam keadaan hamil 3 (tiga) bulan. Kemudian pada hari itu juga, hakim menetapkan: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon; 2. Memberikan Izin Dispensasi Kawin Kepada Anak Pemohon I (Isa bin Nasrul) untuk menikah dengan anak Pemohon II (Piala binti Suprapto); 3. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp ,- (seratus sembilan puluh satu ribu rupiah). Pemohon Ketiga: Nomor Perkara : 48/Pdt. P/2009/ PA. Tng Tanggal Pengajuan : Tangerang, 28 Agustus 2009

82 73 Pemohon Orang Tua dari Calon isteri : Siti binti Ruswa : Azis bin H. Budi (17 tahun, 5 bulan) : Nissa bintin H. Eddi Alamat/ dosmisi pemohon di Kota Tangerang. Tanggal Sidang Pertama : Tangerang, 14 September 2009 Tanggal Sidang Kedua : Tangerang, 19 Oktober 2009 Dalam permohona ini persidangan dimuka sidang hanya berjalan 2 (dua) kali persidangan. Alasan Pemohonan mengajukan Permohonan Nikah untuk Anaknya dalam berita acara, dikekemukakan sebagai berikut: 1. Bahwa kedua calon tidak larangan dalam menikah karena keduanya masih perawan dan bujang; 2. Bahwa pernikahan ini sangat mendesak karena lebih 9 (sembilan) bulan keduanya sudah bertunangan dan hubungan mereka yang sudah sangat dekat; 3. Bahwa kedua pasangan telah aqil balik sudah siap untuk menjadi pasangan suami- isteri; 4. Dan meminta Pengadilan Agama Tangerang mengabulkan permohonan nikah untuk anaknya-anaknya. Bukti dalam Persidangan Perihal Permohonan Nikah Di Bawah Umur di Pengadilan Agama Tangerang: 1. Kedua anak tersebut sudah bertunangan selama hampir 9 (sembilan) bulan; 2. Kedua pasangan yang ingin menikah tidak ada hubungan darah;

83 74 3. Hubungan kedua anak tersebut sudah seperti layaknya suami isteri; Namun dalam perkara Nomor 48/Pdt.P/2009/PA.Tng beda dengan Permohonan yang sebelumnya, yakni pada Persidangan kedua yaitu tanggal 19 Oktober 2009 Pemohon mencabut permohonannya kemudian pada hari yang sama hakim menetapkan: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon; 2. Menyatakan Perkara Nomor 48/Pdt. P/2009/PA.Tng, telah selesai karena dicabut; 3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp ,- (seratus sembilan puluh satu ribu rupiah). Keterangan di atas dinyatakan berdasarkan Putusan Penetapan Pengadilan Agama Tangerang selama Bahwasannya dalam ketiga putusan tersebut tidak ada yang berbeda secara terperinci, hanya saja pada putusan 1 dan 2 berbeda dengan putusan yang ke 3. Dalam hal ini hakim tidak berhak memutuskan atau memberikan saran atau informasi yang siaftnya mempengaruhi melainkan ketika permohonan nikah kemudian diminta dicabut maka hakim akan mengabulkan permohonan itu sesuai keinginan pemohon berserta alasan pemohonan yang tidak keluar dari ketetapan hukum yang sudah ada. Untuk bisa memberikan penetapan hukum berupa izin nikah dari Pengadilan Agama Tangerang dan bisa pernikahan anaknya disahkan dan dicatatkan oleh kantor urusan agama (KUA) setempat, serta memperoleh pengakuan hukum yang sah. Sebelum mengajukan permohonan ke Pengadilan

84 75 Agama Tangerang pemohonan harus meminta surat keterangan penolakan nikah dari Pihak Kantor Urusan Agama setempat. Selanjutnya salah satu dari orang tua yang ingin menikahkan anaknya dengan mengajukan sebuah permohoan. Pemohon disini menjelaskan keinginannya kedua calon pasangan yang ingin menikah untuk bisa mendapatkan pengesahan atau penetapan pembolehan anaknya untuk bisa menikah dan pemohon menyatakan bahwa kedua calon yang ingin menikah merasa sudah cukup dewasa secara pemikiran sehingga mereka meyakini bisa menjalani sebuah pernikahan yang baik dimata Agama atau hukum Allah maupun aturan hukum negara Indonesia berupa Undang-undang yang ada. Penetapan dari pihak Pengadilan Agama merupakan salah satu syarat untuk pengesahan hukum terhadap sesorang yang ingin menikah di usia muda atau nikah di bawah umur dan apabila kantor urusan agama (KUA) ingin mengesahkan dengan jalan menikahkan kedua calon pasangan dengan usia di bawah umur tanpa izin dari Pengadilan Agama Tangerang maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah atau batal demi hukum atau bisa pihak tertentu memalukan pencegahan pernikahan sesuai dengan pasal 16 dan 20 Undangundang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, 50 karena salah satu syarat menikahkan anak di bawah umur ialah izin dari kedua orang tua dan penetapan kebolehan nikah oleh Pengadilan Agama setempat serta bukti-bukti lainnya yang diperlukan seperti yang telah dipaparkan pada keterangan yang lebih terperinci di atas. 50 Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam :Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia), h.85-86

85 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sesuai dari rumusan masalah, penulis akan paparkan dari pembahasan dan uraian di atas. Maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada dasarnya tidak ada masalah dalam batasan usia nikah menurut hukum positif namun batasan minimal usia nikah di bawah umur itu yang tidak ada. Dan disni hakim mempunyai wewenang penuh terhadap semua hal yang berjalan dimuka sidang, baik mengabulkan seuatu permohonan, menolak suatu permohonan maupun mengabulkan permohonan yang dicabut. Karena dalam hal ini, memang tidak ada aturan hukum yang memberi penjelasan mengenai batasan usia nikah di bawah umur, aturan hukum positif memberi sepenuhnya untuk mengabulkan maupun menolak kepada pejabat yang berwenang yaitu hakim sehingga hakim mempunyai atau memiliki ijtihad penuh dalam mempertimbangkan suatu putusan permohonan nikah di bawah umur. 2. Dalam hasil studi penulis ini, yang paling bermasalah dan sering penulis temui di lapangan bahwasannya ternyata masih banyak para pelaku nikah di bawah umur yang menikah di luar Pengadilan Agama dan disahkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Hal ini sangat memilukan bagi penulis karena semua hal yang terjadi di luar pemikiran penulis, dalam hal ini penulis terjun langsung untuk mencari data tersebut ternyata pernikahan di bawah 76

86 77 umur bisa terjadi di luar Pengadilan Agama dikarenakan para pelaku nikah usia di bawah umur memperpanjang usia mereka. Karena hasil penelitian penulis ketahui di kota-kota besar Kelurahan tempat pembuatan Kartu Tanda Penduduk itu sangat mudah. Baik sangat mudah didapat maupun sangat mudah untuk dipalsukan. 3. Pertimbangan para ahli hukum oleh hakim dalam memutuskan sebuah penetapan nikah di bawah umur di Pengadilan Agama Tangerang, kebanyakan karena faktor kejiwaan atau sosiologi si anak dan biasanya hakim mengabulkan nikah di bawah umur karena calon mempelai wanita sudah hamil duluan, dikwatirkan akan mengganggu jiwa anak tersebut serta bayi yang dikandung, maka hakim biasanya mengabulkan permohonan nikah tersebut. Karena permohonan dispensasi nikah di Pengadila Agama Tangerang sangat jarang kasusnya, maka semua permohonan dispensasi nikah berupa sebuah Putusan Penetapan yang dikabulkan dan Putusan Penetapan yang dicabut sedangkan Putusan Penetapan yang ditolak nihil (tidak ada). Pada dasarnya kuranganya kesadaran masyarakat terhadap manfaat adanya suatu Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, mengakibatkan adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di luar Pengadilan, khususnya pada Dispensasi Nikah Di Bawah Umur harus mendapatkan izin menikah oleh Pengadilan Agama namun masih ada masyarkat yang lalai terhadap aturan itu dan pada kenyataannya pernikahan di bawah umur banyak terjadi di luar pengadilan, oleh sebab itu penulis menyatakan kesadaran masyarakat sungguh sangat kurang disini.

87 78 B. Saran-saran Saran-saran yang penulis coba paparkan dari kesimpulan atau bab-bab yang penulis uraikan di atas, dengan angka-angka perkawinan dini yang begitu besar, maka sudah selayaknya kita semua berbuat untuk menahan laju peningkatan pernikahan dini. Ada beberapa alternatif sebagai berikut, yakni: 1. Penyuluhan Hukum. Penyuluhan hukum utamanya ditunjukan kepada orang tua dan pada badan atau instansi yang terkait baik dari pemerintahan maupun masyarakat setempat. Dengan sasaran utama adalah anak-anak pada usia di bawah 17 (tujuh belas) tahun dengan bentuk penyuluhan bukan seperti seminar yang membosankan, tetapi melalui permainan atau alat media masa yang sangat unik seperti komunikasi yang lebih kreatif dan komunikatif seperti cerpen, novel serta kreasi para pemberita yang memberikan info-info lewat media massa sehingga pesan dari penyuluhan hukum ini bisa sampai. Dalam penyuluhan hukum juga menggabungkan aspek-aspek kesehatan dan hak-hak anak, karena aturan bukan hanya sebuah batasan melainkan memberi sedikit peningkatan apresiasi bahwasannya anak dengan batasan umur yang dianggap belum dewasa mempunyai perlakuan hukum yang sangat istimewa. 2. Pemanfaatan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Berkembangnya lembaga kemasyarakatan sebagai kader dan penyambung sebuah pembangunan yang lebih baik, yang dijalankan turut mengembangkan kesadaran hukum khususnya kesadaran masyarakat untuk menikah diusia matang. Berbentuk simulasi yang ringan.

88 79 3. Membuat gerakan bersama: Menikah di usia matang Ini hal yang paling sulit jika dilakukan secara bersama. Tetapi menjadi mudah dan ringan jika dimulai dari lingkup terkecil. Dari diri sendiri, dari lingkungan keluarga kecil dari lingkungan keluarga yang lebih luas hingga meyebar luas ke masyarakat secara umum. Hal ini tentu dimulai dengan rasa tanggung jawab pribadi, menjadi tanggung jawab bersama. Dengan penyuluhan ini, yang intinya menginginkan kesadaran masyarakat untuk bisa menjaga seluruh anak Indonesia dan terpenting untuk seluruh anak Indonesia bisa menikah pada usia matang (produktif).

89 DAFTAR PUSTAKA Abidin Slamet, dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999). Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006). Djalil, Basiq, Peradilan Islam, (Jakarta: CV. Prenada, 2006). Haroen Nasron, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Umu, 2001). Karim Helmi, kedewasaan untuk menikah problematika hukum islam kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996). Kamarusdiana dan Nahrowi, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Daras,2b006) Manan Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan al-hikmah, 2000). Manan Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2007). Prodjodikoro wirjono, Hukum perkawinan di Indonesia, (Bandung: Vorkik Van Hoeve, 1959). Rafiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995). Solahuddin, Penghimpun, Kiatab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan Perdata, (Jakarta: Visimedia, 2008). Soetantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997). Ubaedillah. A dan Rozak Abdul, DEMOKRASI Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE, 2000). Wahyudi Abdullah Tri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Departemen Agama, Al-Qur an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Indah Press, 1996). 80

90 81 Sabiq Sayid, Fiqih Sunnah, (Bandung: Al- Ma arif, 1990). Syarifuddin Amir, Garis- Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2003). Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademik 1995). Presindo, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Bandung: Citra Umbara, 2007). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2006). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2006)

91 Foto peneliti dengan Eka Noviati sebagai Staff (Sekretaris) di Pengadilan Agama Tangerang Foto Peneliti dengan Irvan Yunan sebagai Staff (Juru Sita Pengganti) di Pengadilan Agama Tangerang

92 Foto Peneliti bersama Irvan Yunan dan M. Affan Gofar sebagai Staff di Pengadilan Agama Tangerang Foto Peneliti bersama Hakim Pengadilan Agama Tangerang dengan Dra. Hj. Lathifah, H.M (JSP); Dra. Ai. Jamilah; Dra. Hj. Sahriyah, SH., MSi; Peneliti; Drs. Ubin Mubin Surdirman.)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai umatnya. Serta ayat-ayat Al-qur an yang Allah SWT. khaliknya dan mengatur juga hubungan dengan sesamanya.

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai umatnya. Serta ayat-ayat Al-qur an yang Allah SWT. khaliknya dan mengatur juga hubungan dengan sesamanya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama sempurna yang diciptakan Allah SWT untuk kita manusia sebagai umatnya. Serta ayat-ayat Al-qur an yang Allah SWT turunkan kepada rasul melalui

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM 62 BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM CUKUP UMUR DI DESA BARENG KEC. SEKAR KAB. BOJONEGORO Perkawinan merupakan suatu hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. Sebagaimana

Lebih terperinci

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6 BAB I PENDAHULUAN Dalam kehidupan, manusia tidak dapat hidup dengan mengandalkan dirinya sendiri. Setiap orang membutuhkan manusia lain untuk menjalani kehidupannya dalam semua hal, termasuk dalam pengembangbiakan

Lebih terperinci

Perkawinan dengan Wali Muhakkam

Perkawinan dengan Wali Muhakkam FIQIH MUNAKAHAT Perkawinan dengan Wali Muhakkam Jl. KH. Abdurrahman Wahid Kel. Talang Bakung Kec. Jambi Selatan Kota Jambi Kode Pos. 36135 Telp./Fax. 0741-570298 Cp. 082136949568 Email : sumarto.manajemeno@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan pada kenyataannya merupakan sudut penting bagi kebutuhan manusia. Bahkan perkawinan adalah hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN

AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN BAB IV ANALISIS 4 MADZAB FIQIH TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NGANJUK NOMOR 0034/Pdt.P/2016/PA.NGJ TENTANG WALI AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN KHAWATIR KEMBALI KEAGAMANYA SEMULA.

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH A. Isbat Nikah 1. Pengertian Isbat Nikah Kata isbat berarti penetapan, penyungguhan, penentuan. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Quran dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia. 1 Dalam surat Adz-Dzariyat ayat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

AKIBAT PERKAWINAN DIBAWAH UMUR DALAM KELANGSUNGAN HIDUP. ( Studi Kasus Pengadilan Agama Blora)

AKIBAT PERKAWINAN DIBAWAH UMUR DALAM KELANGSUNGAN HIDUP. ( Studi Kasus Pengadilan Agama Blora) AKIBAT PERKAWINAN DIBAWAH UMUR DALAM KELANGSUNGAN HIDUP ( Studi Kasus Pengadilan Agama Blora) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac. DAMPAK PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT WALI YANG TIDAK SEBENARNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HAKIM PENGADILAN AGAMA KEDIRI (Zakiyatus Soimah) BAB I Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, manusia sendiri diciptakan berpasang-pasangan. Setiap manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan,

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan dan kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya saling kenal-mengenal

Lebih terperinci

Munakahat ZULKIFLI, MA

Munakahat ZULKIFLI, MA Munakahat ZULKIFLI, MA Perkawinan atau Pernikahan Menikah adalah salah satu perintah dalam agama. Salah satunya dijelaskan dalam surat An Nuur ayat 32 : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka

Lebih terperinci

KEWENANGAN AYAH BIOLOGIS SEBAGAI WALI NIKAH TERHADAP ANAK LUAR KAWIN (Kajian Komparasi Antara Hukum Perkawinan Indonesia dengan Empat Madzhab Besar)

KEWENANGAN AYAH BIOLOGIS SEBAGAI WALI NIKAH TERHADAP ANAK LUAR KAWIN (Kajian Komparasi Antara Hukum Perkawinan Indonesia dengan Empat Madzhab Besar) KEWENANGAN AYAH BIOLOGIS SEBAGAI WALI NIKAH TERHADAP ANAK LUAR KAWIN (Kajian Komparasi Antara Hukum Perkawinan Indonesia dengan Empat Madzhab Besar) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 69 BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 1. Faktor-Faktor Kawin di Bawah Umur Penyebab terjadinya faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan. BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN Dalam memahami batasan usia seseorang mampu menikah menurut Undang- Undang No.1 Tahun 1974 dan Mazhab Syafi i, maka harus diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain sebagai makhluk individu, manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia diatas permukaan bumi ini pada umumnya selalu menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Sesuatu kebahagiaan itu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg A. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Malang Mengabulkan Permohonan Itsbat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon)

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon) Dimana memiliki sifat yang saling membutuhkan, karena sejak lahir manusia telah dilengkapi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang lain mengikatkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 98 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang penulis paparkan dapat disimpulkan: 1. Konsep batasan usia perkawinan menurut Fiqh dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. a. Konsep batasan usia perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan 18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki kedudukan mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling berhubungan antara satu dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk menjalankan kehidupannya. Selain membutuhkan orang lain manusia juga membutuhkan pendamping hidup.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama 54 BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pernikahan poligami hanya terbatas empat orang isteri karena telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal

Lebih terperinci

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi

Lebih terperinci

BERSETUBUH SEBAGAI HAK SUAMI DALAM PERKAWINAN MENURUT IMAM MUHAMMAD BIN IDRIS AL SYAFI I

BERSETUBUH SEBAGAI HAK SUAMI DALAM PERKAWINAN MENURUT IMAM MUHAMMAD BIN IDRIS AL SYAFI I BERSETUBUH SEBAGAI HAK SUAMI DALAM PERKAWINAN MENURUT IMAM MUHAMMAD BIN IDRIS AL SYAFI I Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam Program Strata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini dikarenakan pada hakikatnya kehidupan setiap manusia diawali dengan perjanjian dengan-nya untuk

Lebih terperinci

FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA 2015 M/1436 H

FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA 2015 M/1436 H Status Perkawinan Orang Murtad (Studi Komparatif Mazhab Syafi'i dan KHI) SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Pada Fakultas Syari'ah/Jurusan Ahwal Asy-Syakhsiyah

Lebih terperinci

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim * Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN Dahlan Hasyim * Abstrak Perkawinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umat manusia untuk menikah, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri

BAB I PENDAHULUAN. umat manusia untuk menikah, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan kepada umat manusia untuk menikah, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Status Perwalian Anak Akibat Pembatalan Nikah dalam Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015 PA.Prob Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, lebih khusus lagi agar mereka bisa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena ia tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami isteri saja tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya : 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu amalan sunah yang disyari atkan oleh Al- Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN MAJELIS HAKIM DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO NO. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda A. Analisis Yuridis Pertimbangan Dan Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan diabadikan dalam Islam untuk selama-lamanya. Pernikahan secara terminologi adalah sebagaimana yang dikemukakan

BAB I PENDAHULUAN. dan diabadikan dalam Islam untuk selama-lamanya. Pernikahan secara terminologi adalah sebagaimana yang dikemukakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Allah SWT telah menciptakan makhluk hidup berpasang-pasangan seperti laki-laki dan perempuan, tapi manusia tidak samadengan makhluk lain nya, yang selalu bebas

Lebih terperinci

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM A. Hal-Hal Yang Melatarbelakangi Paradigma Sekufu di dalam Keluarga Mas Kata kufu atau kafa ah dalam perkawinan mengandung arti

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA KECAMATAN SUKODONO MENURUT KHI DAN FIQIH MADZHAB SYAFI I 1. Analisis Implikasi Hukum perkawinan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- Syafi i telah diuraikan dalam bab-bab yang lalu. Dari uraian tersebut telah jelas mengungkapkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK A. Analisis Terhadap Prosedur Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan Allah SWT yang pada hakikatnya sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan Allah SWT yang pada hakikatnya sebagai makhluk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan Allah SWT yang pada hakikatnya sebagai makhluk sosial, dalam kehidupanya tersebut manusia membutuhkan interaksi dengan sesamanya, dari interaksi

Lebih terperinci

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN Menurut Imam Asy-Syathibi jika aturan/hukum itu membawa kepada kemaslahatan, maka aturan /hukum itu harus dijadikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai kodratnya, manusia mempunyai hasrat untuk tertarik terhadap lawan jenisnya sehingga keduanya mempunyai dorongan untuk bergaul satu sama lain. Untuk menjaga kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan melangsungkan Perkawinan manusia dapat mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. dengan melangsungkan Perkawinan manusia dapat mempertahankan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia karena dengan melangsungkan Perkawinan manusia dapat mempertahankan kelangsungan generasinya. Pengertian Perkawinan

Lebih terperinci

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 48 BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL 57 BAB IV ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL A. Analisis Dasar Hukum Majelis Hakim dalam Menetapkan Penolakan Permohonan Dispensasi

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak. Selain itu status hukum anak menjadi jelas jika terlahir dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. anak. Selain itu status hukum anak menjadi jelas jika terlahir dalam suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Allah SWT menjadikan perkawinan sebagai salah satu asas hidup yang utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna bahkan Allah SWT menjadikan perkawinan sebagai

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 033/Pdt.G/2012/PA.DGL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 033/Pdt.G/2012/PA.DGL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 Salinan P U T U S A N Nomor : 033/Pdt.G/2012/PA.DGL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Donggala yang mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Agama adalah salah satu dari peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara alamiah mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk membina suatu hubungan. Sebagai realisasi manusia dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR PERKARA 0019/Pdt.P/2012/PA. Mkd TENTANG ITSBAT NIKAH DALAM MENENTUKAN SAHNYA STATUS PERKAWINAN

KAJIAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR PERKARA 0019/Pdt.P/2012/PA. Mkd TENTANG ITSBAT NIKAH DALAM MENENTUKAN SAHNYA STATUS PERKAWINAN KAJIAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR PERKARA 0019/Pdt.P/2012/PA. Mkd TENTANG ITSBAT NIKAH DALAM MENENTUKAN SAHNYA STATUS PERKAWINAN Mochammad Didik Hartono 1 Mulyadi 2 Abstrak Perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat

Lebih terperinci

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Oleh: Nasrullah, S.H., S.Ag., MCL. Tempat : Balai Pedukuhan Ngaglik, Ngeposari, Semanu, Gunungkidul 29 Agustus 2017 Pendahuluan Tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk BAB I PENDAHULUAN Perkawinan memiliki arti penting bagi setiap orang, didalam kehidupan setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk membentuk sebuah keluarga itu maka setiap

Lebih terperinci

segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik

segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik 2 Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.

Lebih terperinci

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Abstrak Nikah Sirri dalam perspektif hukum agama, dinyatakan sebagai hal yang sah. Namun dalam hukum positif, yang ditunjukkan dalam Undang -

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik antara satu dengan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI Anggyka Nurhidayana 1, Amnawati 2, Kasmawati 3. ABSTRAK Upaya perlindungan hukum dalam perkawinan sirri atau disebut perkawinan tidak dicatatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 KEDUDUKAN ANAK AKIBAT BATALNYA PERKAWINAN KARENA HUBUNGAN DARAH MENURUT HUKUM POSITIF 1 Oleh: Afrince A. Fure 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum

Lebih terperinci

17 tahun 5 bulan ;

17 tahun 5 bulan ; 1 P U T U S A N Nomor : 0022/Pdt.P/2011/PA.Kbm BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN AGAMA Kebumen yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 Samuji Sekolah Tinggi Agama Islam Ma arif Magetan E-mail: hajaromo@yahoo.co.id Abstrak Perkawinan di bawah tangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 1 Tahun Dalam Pasal 1 Undang-undang ini menyebutkan :

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 1 Tahun Dalam Pasal 1 Undang-undang ini menyebutkan : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan di Republik Indonesia diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 1 Undang-undang ini menyebutkan : Perkawinan ialah ikatan lahir

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian tentang perkawinan di Indonesia tercantum dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disana dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pembatalan Perkawinan 1. Pengertian pembatalan perkawinan Yaitu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat

Lebih terperinci

PENDAPAT ULAMA DI DESA BOJA TERHADAP PENGUCAPAN TALAK DI LUAR PENGADILAN

PENDAPAT ULAMA DI DESA BOJA TERHADAP PENGUCAPAN TALAK DI LUAR PENGADILAN PENDAPAT ULAMA DI DESA BOJA TERHADAP PENGUCAPAN TALAK DI LUAR PENGADILAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu (S.1) dalam Ilmu Syari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. poligami dalam bentuknya yang beragam telah ada dalam tahap-tahap awal dari

BAB I PENDAHULUAN. poligami dalam bentuknya yang beragam telah ada dalam tahap-tahap awal dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia, poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Alasan-Alasan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pasuruan Fitrah yang diciptakan Allah atas manusia mengharuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Rahman I. Doi, penjelasan lengkap hukum-hukum allah (syariah), PT Raja Grafindo persada, Jakarta, 2002, hal.

BAB I PENDAHULUAN. A.Rahman I. Doi, penjelasan lengkap hukum-hukum allah (syariah), PT Raja Grafindo persada, Jakarta, 2002, hal. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hal yang paling sakral dalam hidup ini.pernikahan ataupun Nikah merupakan sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Allah baik itu

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita, yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan dan tradisinya masing-masing. Syari at Islam tidak

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan dan tradisinya masing-masing. Syari at Islam tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, adat istiadat serta tradisi. Jika dilihat, setiap daerah memiliki kebudayaan dan tradisinya masing-masing.

Lebih terperinci