UJI RESISTENSI KLON IRR SERI 400 TERHADAP PENYAKIT GUGUR DAUN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UJI RESISTENSI KLON IRR SERI 400 TERHADAP PENYAKIT GUGUR DAUN"

Transkripsi

1 UJI RESISTENSI KLON IRR SERI 400 TERHADAP PENYAKIT GUGUR DAUN Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc PADA TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DI LABORATORIUM S K R I P S I OLEH ELIANA PERANGIN-ANGIN DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

2 UJI RESISTENSI KLON IRR SERI 400 TERHADAP PENYAKIT GUGUR DAUN Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc PADA TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DI LABORATORIUM S K R I P S I OLEH : ELIANA PERANGIN-ANGIN Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Menempuh Ujian Sarjana di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

3 Judul Skripsi : UJI RESISTENSI KLON IRR SERI 400 TERHADAP PENYAKIT GUGUR DAUN Colletotrichum gloeoesporioides (Penz.) Sacc PADA TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Di LABORATORIUM. Nama : Eliana Perangin-angin NIM : Departemen : Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Disetujui oleh: Komisi Pembimbing: (Ir.Lahmuddin Lubis, MP) Ketua (Ir.Kasmal Aripin, MSi) Anggota (Dra.Sekar Woelan, MP) Pembimbing Lapangan Mengetahui: (Ir. Marheni, MP) Ketua Departemen Tanggal Lulus:

4 ABSTRACT Eliana Perangin-Angin " Uji Resistensi Klon IRR Seri 400 Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeoesporioides (Penz). Sacc Pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) di Laboratorium ". With the conselling Mr. Ir. Lahmuddin Lubis, MP as leader, Mr. Ir. Kasmal Aripin, MSi as couthor and Mrs. Dra. Sekar Woelan, MP as counselling field. The research was conducted in Laboratory Plant Protection Sungei Putih Rubber Research Center since August 2007 to October The aims of the research was to know level of resitance of rubber IRR 400 clones to fall of leaf C. gloeoesporioides disease. The research used the desigen Complete Random Device (CRD) non factorial with 29 treatmens (25 clones treatment of IRR 400 series and 4 control clone) and 3 mutliplication. The rubber IRR 400 series were used is IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405, IRR 406, IRR 407, IRR 408, IRR 409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR 415, IRR 416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR 424 and BPM 1, BPM 24, RRIC 100, and PB260 is control clones. The result of research Mean showed that the IRR 400 series and 4 control clones were resistence which do not varieted to C. gloeoesporioides. Klon BPM 1 was rather resistence. IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405, IRR 406, IRR 407, IRR 408, IRR 409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR 415, IRR 416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR 424, BPM 24, RRIC 100 and PB 260 was moderate The result of research mean showed that growth fast pock-market (mm/day) highest found is clone IRR 420 and growth fast pock-market (mm/day) lower found is IRR 423. Key word : Clone, C. gloeoesporioides

5 ABSTRAK Eliana Perangin-angin Uji Resistensi Klon IRR Seri 400 Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeoesporioides (Penz). Sacc Pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) di Laboratorium. Dengan komisi pembimbing Bapak Ir. Lahmuddin Lubis, MP selaku ketua, Bapak Ir. Kasmal Aripin, MSi selaku anggota dan Ibu Dra. Sekar woelan, MP selaku pembimbing lapangan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman Balai Penelitian Sungei Putih dari bulan Agustus sampai Oktober Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat resitensi klon karet IRR seri 400 terhadap penyakit gugur daun C. gloeoesporioides. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 29 perlakuan (25 perlakuan klon IRR seri 400 dan 4 klon pembanding) dan 3 ulangan. Klon IRR seri 400 yang digunakan dalam penelitian adalah IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405, IRR 406, IRR 407, IRR 408, IRR 409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR 415, IRR 416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR 424 dan klon pembanding yang digunakan adalah BPM 1, BPM 24, RRIC 100 dan PB260. Hasil rata-rata penelitian menunjukkan bahwa klon IRR seri 400 dan 4 klon pemanding yang di uji menunjukkan tingkat resistensi yang tidak bervariasi terhadap C. gloeoesporioides. Klon BPM 1 adalah klon yang tergolong agak tahan. Klon IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405, IRR 406, IRR 407, IRR 408, IRR 409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR 415, IRR 416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR 424, BPM 24, RRIC 100 dan PB 260 adalah klon yag tergolong moderat Hasil rata-rata penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan bercak (mm/hari) tertinggi pada perlakuan IRR 420 dan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) terendah terdapat pada perlakuan IRR 423. Kata kunci : Klon, C. gloeoesporioides

6 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmad-nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Adapun judul Skipsi ini adalah Uji Resistensi Klon IRR Seri 400 Terhadap Penyakit Gugur Daun (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) di Laboratorium yang merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera utara, Medan. Penulis mengucapakan terima kasih kepada Bapak Ir. Lahmuddin Lubis, MP. selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Ir. Kasmal Aripin Msi. selaku anggota, dan Ibu Dra. Sekar Woelan, MP. selaku pembimbing lapangan, serta kepada seluruh staf pengajar Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penulis juga mengucapkan termakasih kepada semua pihak yang membantu sampai selesainya Skripsi ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan Skripsi ini dan semoga bermamfaat bagi pembaca. Medan, Maret 2008 Penulis

7 DAFTAR ISI Hal ABSTRACT i ABSTRAK. ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI. iv DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN viii PENDAHULUAN Latar Belakang.. 1 Tujuan Penelitian.. 4 Hipotesa Penelitian... 5 Kegunaan Penelitian. 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit... 6 Gejala Serangan 8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyakit Daur Hidup Penyakit 12 Pengendalian Penyakit. 12 Karateristik Klon. 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian. 15 Bahan dan Alat Metode Penelitian.. 16 Pelaksanaan Penelitian Persiapan Bahan Inokulasi Inokulasi pada Cakram Daun (Leaf disc) Parameter Pengamatan Pengamatan warna koloni dan morfologi Intensitas serangan pada cakram daun Laju Pertumbuhan Bercak HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Morfologi dan Warna Koloni Jamur Intensitas Serangan (%) Laju Pertumbuhan Bercak (%) Pembahasan Morfologi dan Warna Koloni Jamur Intensitas Serangan (%) Kecepatan Pertumbuhan Bercak (%)... 32

8 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

9 DAFTAR TABEL No. Judul Hlm 1. Klasifikasi Penilaian Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides Uji Beda Rataan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides untuk Setiap Waktu Pengamatan (hsi) Uji Beda Rataan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides untuk Setiap Waktu Pengamatan (hsi)... 37

10 DAFTAR GAMBAR No. Judul Hlm 1. Gejala Serangan C. gloeosporioides Heamacytometer Biakan Murni Jamur C. Gloeosporioides Spora C. gloeosporioides Histogram Intensitas Serangan (%)C. gloeosporioides Histogram Kecepatan Tumbuh Bercak (%) C. gloeosporioides.. 36

11 DAFTAR LAMPIRAN No. Judul Hlm 1. Bagan Penelitian Nilai SkalaBercak Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 2 hsi Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 2 hsi Setelah Di Transformasi Arc. Sin x Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 3 hsi Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 3 hsi Setelah Di Transformasi Arc. Sin x Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 4 hsi Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 4 hsi Setelah Di Transformasi Arc. Sin x Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 5 hsi Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 5 hsi Setelah Di Transformasi Arc. Sin x Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 6 hsi Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 6 hsi Setelah Di Transformasi Arc. Sin x Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 7 hsi Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 7 hsi Setelah Di Transformasi Arc. Sin x Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 8 hsi Data Pengamatan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides pada Pengamatan 8 hsi Setelah Di Transformasi Arc. Sin x Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. Gloeosporioides Pada Pengamatan 2 hsi Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. Gloeosporioides pada Pengamatan 2 hsi Setelah Di Transformasi ( x + 0.5) Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. Gloeosporioides pada Pengamatan 3 hsi Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada Pengamatan 3 hsi Setelah Di Transformasi ( x + 0.5) Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. Gloeosporioides pada Pengamatan 4 hsi Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)

12 C. Gloeosporioides Pada Pengamatan 4 hsi Setelah Di Transformasi ( x + 0.5) Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides Pada Pengamatan 5 hsi Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. Gloeosporioides pada Pengamatan 5 hsi Setelah Di Transformasi ( x + 0.5) Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. Gloeosporioides pada Pengamatan 6 hsi Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada Pengamatan 6 hsi Setelah Di Transformasi ( x + 0.5) Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada Pengamatan 7 hsi Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada Pengamatan 7 hsi Setelah Di Transformasi ( x + 0.5) Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada Pengamatan 8 hsi Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) C. Gloeosporioides pada Pengamatan 8 hsi Setelah Di Transformasi ( x + 0.5) Foto daun klon IRR seri 400 dan klon pembanding Cakram daun Lokasi pengambilan sampel daun klon IRR seri 400 di lahan Sungei Putih Uji Jarak BNT...74

13 PENDAHULUAN Latar belakang Usaha perkebunan karet dimulai di daerah-daerah jajahan negara Eropa terutama oleh Inggris dan Belanda. Pada tahun 1876 Henry Wickhnam memasukkan biji karet yang berasal dari Amerika Selatan ke kebun Raya Bogor, kemudian terbukti bahwa pertumbuhan karet di Bogor sangat memuaskan, oleh karena itu kemudian disusul pemasukan bibit-bibit karet berikutnya yaitu pada tahun 1890 dari Kew Garden ke Bogor (Setyamidjaja, 1995). Karet merupakan salah satu komoditas pertanian yang mempunyai peranan penting bagi Indonesia maupun negara-negara produsen karet lainnya. Di Indonesia karet merupakan salah satu hasil pertanian yang banyak menunjang perekonomian rakyat maupun negara. Hasil devisa yang diperoleh dari karet cukup besar, bahkan Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia (Anonim b, 2007). Mobilitas manusia dan barang memerlukan komponen yang terbuat dari karet, misalnya ban mobil, converyor belt, komponen otomotif, sepatu, sandal, dan lain-lain. Itu pula yang mendorong naiknya permintaan akan karet alam maupun karet sintetis, naiknya permintaan membuat ekspor karet alam dan barang karet Indonesia pada Januari-Agustus 2006 mencatat rekor fantasis 3.75 miliar dolar. Pada priode yang sama tahun 2005 nilai ekspor karet masih miliar dolar. Pada priode yang sama tahun 2006 ekspor karet alam Indonesia mencapai 4 miliar dollar. Ini artinya kinerja ekspor karet mulai mengejar crude palm oil (CPO), yang senilai miliar dollar per tahun (Anonim b, 2007).

14 Produksi karet nasional meningkat seiring dengan membaiknya harga pada tahun Pada tahun 2003 produksi karet 1.79 ton, pada tahun 2004 Produksi karet 2.06 ton, pada tahun 2005 produksi karet 2.13 juta ton (Anonim c, 2007), Menurut Ariyani (2006) produksi karet pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 2.4 juta ton. Dalam usaha meningkatkan pendapatan petani/perkebunan karet dan meningkatkan ekspor non migas, pemerintah telah mengembangkan penanaman karet dengan perluasan areal, peremajaan, rehabilitasi. Namun demikian pengunaan klon sebagai bahan tanaman merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi budidaya karet, terutama klon yang mempunyai ketahanan terhadap penyakit (Azwar dkk., 1998). Klon dalam budidaya karet merupakan bahan tanaman yang dikembangkan dan dianjurkan antara lain untuk memperoleh hasil dan mutu yang tinggi dan seragam. Di alam produktivitas karet sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu genetik, lingkungan dan manajemen. Salah satu respon faktor genetik terhadap lingkungan adalah sifat ketahanannya terhadap penyakit. Penyakit tanaman karet merupakan kendala dominan di bandingkan dengan gangguan lainnya. Di samping dapat menurunkan produksi karet, sering juga penyakit dapat mengakibatkan gagalnya suatu program pengembangan tanaman karet. Dalam tiga dasawarsa terakhir, pada semua negara penghasil karet, penyakit gugur daun C. gloeosporioides dan C. cassiicola dikenal sebagai faktor yang dapat menimbulkan kerugian yang besar dan bahkan berkelanjutan (Pawirosoemardjo dkk., 1998).

15 Klon memiliki keunggulan dibandingkan dengan tanaman yang dikembangkan melalui biji. Keungulan yang dimiliki oleh klon antara lain tumbuhnya tanaman lebih seragam, umur produksinya lebih cepat dan produksi lateks yang dihasilkan juga lebih banyak. Adapun klon juga memiliki kekurangan seperti daya tahan masing-masing klon terhadap hama penyakit tidak sama sehingga klon unggul yang diinginkan harus mempunyai sifat yang ideal yaitu produksi lateks yang tinggi, resisten terhadap pengaruh hama, penyakit dan pengaruh angin dan batang yang tumbuh lurus (Anonim a, 1996). Klon IRR Seri 400 merupakan klon unggul harapan turunan dari hasil persilangan 1992, sebanyak 25 klon yang diseleksi untuk masuk ke pengujian plot promosi. Untuk dapat di rekomendasikan sebagai klon unggul baru, diperlukan suatu data informasi mengenai ketahanan penyakit, khususnya penyakit daun. Karena itu diperlukan suatu pengujian ketahanan terhadap penyakit daun (Woelan, 2006). Penyakit gugur daun Colletotrichum atau gugur daun skunder menjadi salah satu kendala utama bagi perkebunan karet seperti di propinsi Kalimantan Barat dan dibeberapa daerah di Indonesia yang mempunyai iklim basah dengan curah hujan tinggi dan merata sepanjang tahun. Penyakit tersebut disebabkan oleh cendawan Glomerella cingulata atau sering dinamakan dengan nama fase telemorf C. gloeosporioides. Penyakit tersebut merupakan penyakit penting pada tanaman karet dan menjadi ancaman bagi kelangsungan budidaya karet di Indonesia. Penurunan produksi yang ditimbulkan akibat penyakit tersebut berbeda-beda menurut lokasinya. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di

16 beberapa perkebunan di Jawa Barat, penurunan akibat penyakit tersebut bervariasi antara 7 40 % (Suwarto dkk., 1995). Penyakit C. gloeosporioides merupakan penyakit yang relatif baru pada karet di Indonesia dan baru mendapat perhatian pada tahun Pada tahun timbul epidemi penyakit gugur daun C. gloeosporioides di Kalimantan terutama di Kalimantan Barat. Akibat serangan penyakit tersebut adalah tanaman meranggas, banyak ranting dan dahannya yang mati. Terjadinya epidemi ini di duga disebabkan karena penanaman klon unggul sebagai contoh GT 1 yang hasil seleksi dari Jawa pada suatu wilayah sangat luas (Semangun, 2000). Di Malaysia dan Sri Langka penyakit ini belum lama dikenal, di Jawa Barat penyakit ini dapat menyebabkan kerugian 7 40% (Soepadmo, 1975). Sedang di Sri Langka kerugian rata-rata hampir mendekati 12%. Penyakit daun Colletotrichum merupakan penyakit karet yang paling luas penyebarannya, terdapat disemua negara penghasil karet alam. Penyakit ini dapat timbul pada semua umur, dari mulai di pembibitan sampai ditanaman tua (Semangun, 2000). Tujuan Penelitian Untuk mengetahui tingkat resistensi klon karet IRR seri 400 terhadap penyakit gugur daun Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc. di Laboratorium.

17 Hipotesa Penelitian Diantara klon karet IRR seri 400 terdapat tingkat resistensi yang berbedabeda terhadap penyakit Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc. di laboratorium. Kegunaan Penelitian - Sebagai bahan kelengkapan informasi bagi perkebunan karet untuk mengetahui tingkat resistensi klon karet IRR seri 400 terhadap penyakit gugur daun Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc. - Sebagai bahan penulisan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam menempuh ujian sarjana pada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

18 TINJAUAN LITERATUR Biologi penyakit Klasifikasi penyakit C. gloeosporioides (Penz.) Sacc menurut Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut: Divisio Sub divisi Kelas Ordo Family Genus Species : Mycota : Eumycotyna : Deuteromyces : Melanconiales : Melanconiaceae : Colletotrichum : Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc. C. gloeosporioides umumnya mempunyai konidium hialin berbentuk silinder dengan ujung-ujung tumpul, kadang-kadang berbentuk agak jorong dengan ujung agak membulat dengan pangkal yang agak sempit terpancung, tidak bersekat, berinti satu, panjang 9 24 x 3-6 μm, terbentuk pada konidiofor seperti fialid berbentuk silinder, hialin berwarna agak kecoklatan (Semangun, 2000). Ordo dari kelas Deutromyces ini mempunyai konidiofor yang pendek dan beregresi (berkumpul) pada permukaan yang tipis dari perenkhimoid dan stroma (satu aservulus). Konidia dibentuk dalam aservulus (Djas, 1980). Konidia terbentuk tunggal pada ujung-ujung konidiofor, konidiofor pendek, tidak berwarna, tidak bercabang, tidak bersekat. Sering diemukan pada aservuli dari jamur Colletotrichum, tetapi tidak tetap tergantung kondisi tempat tumbuhnya (Allexopolus and Mims, 1979).

19 Aservuli tersusun di bawah epidermis tumbuhan inang. Epidermis pecah apabila konidia telah dewasa. Konidia keluar sebagai percikan berwarna putih, kuning, jingga, hitam atau warna lain sesuai pigmen yang dikandung konidia. Diantara Ordo Melanconiales yang konidianya cerah (hialin) adalah Gloeosporium dan Colletotrichum, keduanya mempunyai konidia yang memanjang dengan penyempitan di bagian tengah (Dwidjoseputro, 1978). C. gloeoeosporioides termasuk parasit fakultatif, termasuk ke dalam ordo Melanconiales, jamur ini memproduksi hialin, konidia bersel satu, berbentuk oval memanjang, bergaris ramping, panjang μm dan lebar 5-7 μm. Massa spora berwarna merah jambu atau warna salmon. Aservuli dapat menyerang kulit dan jaringan tanaman, konidiofornya tegak, pendek dan tidak bersekat (Anonim d, 2007). Koloni jamur pada medium Agar Dexstroe kentang berwarna kelabu sampai merah jingga. Miselium bersekat dan konidia berbentuk lonjong, bening dan terdiri dari satu atau dua sel (Pawirosoemardjo dkk.., 1998). Terdapat keragaman (variabilitas) genetik dalam satu species patogen yaitu terdapat perbedaan ras-ras patogen, yang serangannya terbatas pada varietas tertentu dari satu species inang. Dalam satu species patogen, terdapat ras-ras fisiologis patogen yang secara morfologis tidak dapat dibedakan, tetapi berbeda kemampuannya dalam menginfeksi kelompok-kelompok varietas inang yang berbeda, hal ini membantu menjelaskan mengapa varietas yang tahan pada suatu daerah geografis tertentu menjadi rentan pada daerah geografis lain, mengapa ketahanan berubah dari tahun ketahun dan mengapa varietas tahan dengan tiba-

20 tiba menjadi rentan, hal ini berhubungan dengan ras fisiologis yang berbeda-beda (Agrios, 1996). Patogen menyebabkan penyakit pada tumbuhan dengan cara melemahkan inang dengan cara menyerap makanan secara terus menerus dari sel inang untuk kebutuhannya, menghentikan atau mengganggu metabolisme sel inang dengan toxin, enzim atau zat pengatur tumbuh yang disekresikannya, menghambat transportasi makanan, hara mineral, dan air melalui jaringan pengangkut dan mengkonsumsi kandungan sel inang setelah terjadi kontak (Agrios,1996). Dalam kombinasi inang patogen, patogen (biasanya jamur) dapat memproduksi toksin spesifik-inang yaitu toksin yang bertanggungjawab terjadinya gejala, dan diduga bereaksi terhadap reseptor spesifik atau sisi sensitif dalam sel inang. Hanya tanaman yang mempunyai reseptor sensitif atau sisi sensitif semacam ini yang akan menjadi sakit. Spesies atau verietas tanaman yang tidak mempunyai reseptor ini atau tidak mempunyai sisi sensitif semacam ini akan tetap tahan terhadap toksin dan tidak akan terjadi gejala (Abadi, 2003). Gejala Serangan Colletotrichum gloeosporioides. Penyakit gugur daun Colletotrichum khususnya menyerang daun karet muda yang baru terbentuk. Daun karet berumur kurang dari 20 hari merupakan kondisi daun yang sangat peka terhadap C. gloeosporioides, karena itu pembentukan daun baru setelah tanam mengugurkan daunnya secara alamiah yang diikuti dengan musim penghujan berkepanjangan dapat menyebabkan daun muda yang terbentuk menjadi gugur kembali, sehingga tanaman meranggas. Serangan Colletotrichum terjadi secara terus menerus mengakibatkan pertumbuhan

21 terhambat, masa matang sadap menjadi terhambat. Pada tanaman menghasilkan (TM) serangan yang berat mengakibatkan penurunan produksi hingga mencapai 7 40 % (Pawirosoemardjo dkk., 1998). Daun-daun muda rentan selama lebih kurang 5 hari pada waktu kuncup membuka (bud break) dan daun selama 10 hari, daun berkembang sampai membuka penuh, warnanya berubah dari warna perunggu menjadi hijau pucat. Pada waktu ini kutikula sudah terbentuk dan daun menjadi cukup tahan. Pada daun yang lebih dewasa serangan Colletotrichum dapat menyebabkan tepi dan ujung daun berkeriput, dan pada permukaan daun terdapat bercak-bercak bulat berwarna coklat dengan tepi kuning, bergaris tengah 1 2 mm. Bila stadia umur daun bertambah, bercak akan berlubang ditengahnya dan bercak tampak menonjol dari permukan daun. Hal ini dapat digunakan sebagai salah satu penanda yang penting adanya serangan penyakit Colletotrichum (Semangun, 2000). Daun yang masih berwarna merah kecoklatan sangat rentan bila diserang penyakit C. gloeosporioides. Serangan di tandai dengan bintik-bintik hitam, bentuknya bergelombang atau tidak rata. Pada stadia daun yang lebih tua muncul bercak coklat dengan warna coklat dan warna kuning disekelilingnya. Bercak dapat berlubang dan permukaan tidak rata atau bercak bergabung yang mengakibatkan cacat daun. Apabila serangan terjadi cukup berat, daun dapat mengalami gugur atau ranting menjadi mati pucuk. Hal inilah yang dapat mengakibatkan produkvitas mengalami penurunan (Soekirman dan Budi, 2005).

22 Bercak daun C. gloeosporioides Gambar.1. Gejala Serangan C. gloeosporioides Sumber: Balai Penelitian Sungei Putih. Klasifikasi penilaian serangan penyakit C. gloeosporioides yaitu kategori resisten 0-20 %, agak resisten 21-40%, moderat %, agak rentan %, dan rentan % (Pawirosoemardjo, 1999). Faktor Mempengaruhi Penyakit Dalam cuaca yang lembab massa spora menjadi lunak dan mudah tersebar dengan perantara angin hingga ke jarak yang sangat jauh. Pada perkebunan karet yang terletak di dataran tinggi atau yang mempunyai curah hujan tinggi akan menderita serangan penyakit daun C. gloeosporioides yang lebih berat, hal ini juga terlihat pada kebun-kebun yang mempunyai kelembaban tinggi yang di sebabkan jarak tanam yang terlalu rapat, terletak di lembah, di rawa-rawa atau daerah yang gulmanya tidak dikendalikan (Basuki, 1990). Colletotrichum adalah jamur yang bersifat kosmopolitan, sehingga dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada berbagai jenis tanaman termasuk tanaman karet. Colletotrichum bersporulasi pada media PDA pada suhu C. Sinar

23 ultra violet dapat mengaktifkan spora-spora Colletotrichum. Perkecambahan spora juga dapat terjadi pada kelembaban relatif 90% dengan suhu C, walaupun kelembaban relatif optimum untuk perkecambahan spora jamur ini 90 %. Spora Colletotrichum juga dapat bertahan pada suhu di atas 35 C, kondisi ini yang mendukung perkembangan penyakit pada pertanaman karet di Sri Langka, di luar musim hujan (Fernando et all., 1999). Pada umumnya C. gloeosporioides umum terdapat di berbagai macam tanaman sehingga diduga bahwa sumber infeksi selalu ada, jamur di sebarkan dengan spora (konidium). Dalam cuaca yang lembab massa spora yang berwarna merah jambu menjadi lunak dan mudah tersebar oleh percikan air hujan dan oleh aliran udara yang lembab dan juga dapat disebarkan oleh hewan (Semangun, 2000). Kondisi tanaman yang kekurangan unsur hara, kurang pemeliharaan, suhu udara C dan kelembaban udara yang tinggi lebih dari 95 %, serta adanya air pada permukaan daun dan ranting, sangat memudahkan jamur ini untuk dapat berkembang dengan cepat dan menginfeksi tumbuhan sehingga menimbulkan penyakit yang kronis (Soekirman dan Budi, 2005). Sumber infeksi jamur C. gloeosporioides tersebar merata dan penyebarannya dalam bentuk spora (konidia). Pada kondisi lembab spora menjadi lunak dan mudah penyebarannya oleh adanya tetesan air hujan dan aliran udara. Penyebaran juga dapat di lakukan oleh hewan (Semangun, 2000). Daur Penyakit Konidium membentuk buluh kecambah yang membentuk apresorium pada ujungnya. Penetrasi terjadi langsung dengan menembus kutikula, merusak dinding

24 sel dan benang-benang jamur berkembang di dalam dan di antara sel-sel. Mulamula kloroplas rusak dan diikuti dengan rusaknya mitokondria, selama proses infeksi patogen melepaskan enzim poligalakturonase, selulase, dan toksin (Semangun, 2000). Spora hanya dapat berkecambah bila ada air bebas, atau bila kelembaban nisbi udara tidak kurang dari 95%. Infeksi tidak akan terjadi bila kelembaban udara kurang dari 96%, spora tumbuh paling baik pada suhu C (Semangun, 2000). Pengendalian Penyakit Pengendalian penyakit Colletotrichum dapat dilakukan dengan cara: - Memperbaiki saluran pembuangan air dan memberantas gulma secara intensif, yang mempunyai tujuan untuk mengurangi kelembaban dalam rangka menghambat perkembangan penyakit. - Memberikan pupuk yang berimbang dan ekstra sesuai dengan anjuran, yang mempunyai tujuan adalah menyehatkan tanaman sehingga tidak mudah menderita ganguan jamur Colletotrichum. - Menyemprot atau mengasapi tunas-tunas muda dengan fungisida sebanyak tiga kali dengan interval tujuh hari dalam periode pembentukan tunas, yang mempunyai tujuannya untuk menekan laju perkembangan serangan penyakit Colletotrichum. - Menanam klon yang resisten di daerah rawan penyakit gugur daun Colletotrichum, yang mempunyai tujuan untuk memangkas siklus penyakit. (Pawirosoemardjo dan Budi, 2005).

25 Pada pembibitan tanaman karet diusahakan agar kelemaban nisbinya tidak mencapai 95 %, di pembibitan tanaman okulasi dalam kantong plastik jangan disusun terlalu rapat. Menanam klon karet yang tahan, menurut anjuran klon karet yang tahan terhadap Collotrichum yaitu klon RRIC 100, BPM1. Klon yang rentan terhadap penyakit ini diberi pupuk yang berimbang untuk mengurangi pengguguran daun (Semangun, 2000). Karakteristik Klon Beberapa klon yang mempunyai ketahanan terhadap penyakit daun antara lain : BPM 1, RRIC 100, BPM 24 dan PB 260. karakteristik dari masing-masing klon akan di terangkan sebagai berikut: Klon BPM 1 mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap penyakit Corynespora dan Colletotrichum sedangkan terhadap Oidium moderat. Potensi produksi awal dapat mencapai rata-rata produksi aktual 1685 kg/ha/th selama 8 tahun penyadapan. Daerah pengembangan yang sesuai untuk klon PBM 1 yaitu pada daerah beriklim sedang sampai dengan kering (Woelan dkk, 1999). Klon RRIC 100 ketahanannya terhadap beberapa penyakit daun (Colletotrichum, Corynespora dan Oidium) cukup baik. Potensi produksi awal rendah dengan rata-rata produksi aktual 1567 kg/ha/th selama 8 tahun penyadapan, lateks berwarna putih. Pengembangannya dapat dilakukan pada daerah beriklim sedang sampai basah (Woelan dkk, 1999). Klon BPM 24 merupakan hasil seleksi dari persilangan antara klon GT 1 x klon AVROS. Ketahanan terhadap penyakit daun Corynespora cukup baik, sedangkan ketahanan terhadap Colletotrichum kurang. Perioritas

26 pengembangannya dapat di lakukan di daerah beriklim sedang. Lateks berwarna putih kekuningan, dan dapat diolah menjadi SIR 3L (Woelan dkk, 1999). Klon PB 260 tergolong tahan terhadap terhadap penyakit daun utama (Corynespora, Colletotrichum dan Oidium), tetapi kurang tahan terhadap angin. Potensi produksi awal cukup tinggi dengan rata-rata produksi aktual 2107 kg/ha/th selama 9 tahun penyadapan, warna lateksnya putih kekuningan. Pengembangannya dapat dilakukan pada daerah beriklim sedang sampai dengan basah (Woelan dkk, 1999). Klon IRR seri 400 merupakan hasil persilangan tahun 1992, dan dari hasil seleksi yang terbaik sebanyak 10 % masuk ke dalam Pengujian pendahuluan dan 1% masuk ke dalam pengujian plot promosi. Dari hasil pengamatan pertumbuhan di pengujian plot promosi, beberapa klon IRR seri 400 menunjukkan pertumbuhan lebih baik dibandingkan klon pembanding BPM 24, RRIC 100, PB 217 dan PB 260, kecuali IRR 416 (Woelan, 2007).

27 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet, kecamatan Galang, pada ketinggian tempat ± 54 m di atas permukaan laut. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2007 sampai dengan bulan Oktober 2007 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : isolat Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc, Klon Karet IRR seri 400 yang terdiri dari : IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405, IRR 406, IRR 407, IRR 408, IRR 409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR 415, IRR 416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR 424, dan klon pembanding BPM 24, RRIC 100, BPM I, PB 260, akuades steril, alkohol 96 %, klorox 0,1 %, kapas, kertas saring, kain muslin, kertas label, PDA (Potato Dextrose Agar). Alat yang digunakan adalah petridish, erlenmeyer, tabung reaksi, beker glass, gelas ukur, autoclave, mikroskop, mikropipet, haemacytomer, kotak inokulasi, cover glass, lampu bunsen, pinset, hot plate, jarum inokulasi, preparat, centrifuge, pelubang gabus, waterbath dan alat-alat yang mendukung terlaksananya penelitian.

28 Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan mengunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial yang terdiri dari 29 perlakuan dengan 3 ulangan. sehingga di dapat perlakuan 29 x 3 = 87 perlakuan (Lampiran 1). Klon IRR seri 400 yang digunakan terdiri dari 29 perlakuan yaitu 25 perlakuan dan 4 faktor pembanding. Adapun klon IRR seri 400 yang digunakan dalam penelitian yaitu: K 1 = IRR 400 K 11 = IRR 411 K 21 = IRR 421 K 2 = IRR 401 ` K 12 = IRR 412 K 22 = IRR 422 K 3 = IRR 402 K 13 = IRR 413 K 23 = IRR 423 K 4 = IRR 404 K 14 = IRR 414 K 24 = IRR 424 K 5 = IRR 405 K 15 = IRR 415 K 25 = BPM 24 * K 6 = IRR 406 K 16 = IRR 416 K 26 = RRIC 100 * K 7 = IRR 407 K 17 = IRR 417 K 27 = IRR 403 K 8 = IRR 408 K 18 = IRR 418 K 28 = PB 260 * K 9 = IRR 409 K 19 = IRR 419 K 29 = BPM I * K 10 = IRR 410 K 20 = IRR 420 Keterangan : * Klon Pembanding Jumlah perlakuan (t) : 29 Jumlah ulangan (r) : 3 (t-1) (r-1) 15 (29-1) (r-1) 15 28r 43 r = 43/28 r = 1,5

29 Metode linier yang digunakan adalah : Yij = µ + σi + εij Dimana : Yij = Respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke i ulangan ke j µ = Nilai tengah umum. σi = Pengaruh perlakuan ke i. Εij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke i ulangan ke j. Jika efek perlakun nyata atau sangat nyata, maka di lanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Bangun, 1990). Pelaksanaan Penelitian Persiapan bahan inokulasi Daun yang yang sakit diambil dari lapangan, dibiakkan dalam media PDA sampai di peroleh biakan yang murni. Isolat C. gloeoesporioides (penz). Sacc dimurnikan pada media PDA. Dari biakan murni, jamur kembali dibiakkan dalam media PDA, lalu diinkubasikan dalam inkubator selama 3 x 24 jam pada suhu 28 ºC dan RH 89 %. Konidia yang terbentuk dirontokkan dengan cara : biakan murni C. gloeosporioides ditetesi dengan akuades steril secukupnya, kemudian dikikis dengan mengunakan jarum ose, sehingga seluruh konidia yang terdapat pada ujung konidiofor terlepas dan masuk ke dalam larutan. Campuran larutan ini disaring dengan mengunakan kain muslin, sehingga potongan-potongan misellium atau bagian-bagian yang kasar dari media akan tertinggal pada kain muslin, sedangkan yang dapat lolos hanya filtrat selanjutnya disentrifuge untuk mendapatkan suspensi konidia. Kemudian suspensi ini diencerkan dengan akuades

30 steril sehingga mencapai kerapatan konidia sebanyak konidia/ml. Konsentrasi ini dapat dihitung dengan mengunakan haemacytometer Jumlah konidia C. gloeosporioides dihitung dengan menggunakan alat hitung Haemacytometer Gambar 2. Haemacytometer Kotak a,b, c, d dan e adalah kotak yang dihitung jumlah konidianya. Adapun cara kerjanya sebagai berikut: 1. Bersihkan permukaan kamar hitung dengan air mengalir dan kemudian keringkan dengan tissue atau kain yang lembut. 2. Tempatkan gelas penutup di atas slide, kemudian dijepit dengan penjepit yang yang ada disebelah kanan-kiri. 3. Siapkan suspensi sel yang dihitung, usahakan sel yang tersuspensi dalam cairan menyebar merata. 4. Ambil sedikit suspensi sel dengan dropping pipet dan teteskan sebanyak 2 tetes di tepi gelas penutup. Suspensi akan masuk ke kamar hitung dan

31 mengisi seluruh ruangan yang ada pada bilik tersebut. Suspensi yang berlebih akan terbuang ke dalam parit pembuangan. 5. Biarkan selama 1 2 menit, agar sel yang ada di dalam bilik stabil. 6. Tempatkan heamacytometer pada meja mikroskop dan hitung jumlah sel yang ada dengan rumus sebagai berikut: Jumlah sel/ml = (a + b + c + d + e) X Hasil perhitungan konidia Jamur C. gloeosporioides. Isolat C. gloeosporioides a : 18 Konidia b : 22 konidia c : 24 Konidia d : 17 Konidia e : 21 Konidia konidia Jumlah Konidia = ( a + b + c + d + e ) x = ( ) x = 102 x = = 5, Maka untuk membuat kerapatan konidia ml/ air digunakan rumus pengenceran sebagai berikut: V 1 N 1 = V 2 N x 5, = V 2 x

32 V 2 = ml = 7280ml Maka penembahan akuadest sebagai pengenceran untuk menghasilkan kerapatan konidia ml/air adalah : = 7180 ml. Inokulasi pada Cakram daun (leaf disc) Daun yang akan di gunakan dalam pengujian diambil dari areal pengujian plot promosi (lampiran 33). Daun yang diambil dari payung ke-3, umur ±10 hari setelah muncul dan membuka sempurna. Setiap daun dari klon IRR seri 400 yang diuji dilubangi dengan alat pelubang gabus (cork borer) sehingga terbentuk cakram daun dengan diameter 1,2 cm. kemudian cakram daun direndam dengan suspensi C. goeosporioides dengan kerapatan konidia/ ml selama 1-2 menit. Selanjutnya cakram daun tersebut diletakkan ke dalam cawan petri yang dilapaisai dengan kertas saring yang lembab. Pada setiap cawan petri diletakkan 10 cakram daun yang tersusun secara acak (lampiran 32). Parameter Pengamatan Pengamatan warna koloni dan morfologi jamur C. gloeosporioides Biakan murni sebelum di Inokulasikan diamati warna koloni secara visual dan morfologinya secara mikroskopis. Intensitas serangan pada cakram daun (leaf disc). Potongan cakram daun yang telah diinoukulasi dengan suspensi C. gloeosporioides diamati pada hari ke 1-9. pengamatan dilakukan dengan membandingkan luas bercak yang timbul dengan luas cakram daun secara visual. Nilai skala bercak daun ditetapkan 0-4 (Lampiran 2.) Skala 0 = tidak terdapat bercak

33 Skala 1 = terdapat bercak < 1/4 bagian Skala 2 = terdapat bercak < 1/2 bagian Skala 3 = terdapat bercak > 1/2-3/4 bagian Skala 4 = terdapat bercak > 3/4 bagian (Pawirosoemardjo,1999) Nilai Intensitas Serangan dinyatakan dengan rumus: Keterangan: ( nxv) IS = x100% ZxN I = Intensitas serangan n = Jumlah daun tiap kategori serangan v = Nilai skala dari siap kategori serangan Z = Nilai skala dari kategori tertinggi N = Jumlah daun yang diamati Klasifikasi penilaian intensitas serangan penyakit C. gloeosporioides di sajikan pada tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Penilaian Serangan Penyakit C. gloeosporioides: Klasifikasi Nilai Resisten Agak resisten Moderat Agak rentan Rentan 0-20 % % % % % (Pawirosoemardjo, 1999).

34 Laju pertumbuhan bercak (mm/hari) Menghitung laju pertumbuhan bercak (mm/hari) pada tiap pengamatan dengan membandingkan laju pertumbuhan bercak pada waktu pengamatan dengan laju pertumbuhan bercak sebelumnya.

35 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Morfologi dan Warna Koloni Jamur C. gloeosporioides. Warna koloni yang di peroleh sebelum di inokulasikan pada cakram daun berwarna putih. Massa spora berwarna merah jambu atau berwarna salmon. Pada media yang telah tua di tumbuhi miselium berwarna putih cerah, seperti yang telah tersaji pada gambar 3a, 3b, 3c dan 3d. Gambar 3a. Biakan jamur 2 hsi Gambar 3b. Biakan Jamur 9 hsi Gambar 3c. Biakan jamur 16 hsi Sumber : Foto langsung Gambar 3d. Biakan jamur 22 hsi Hasil pengamatan morfologi jamur yang di amati secara mikroskopik, konidium berbentuk silinder dengan ujung-ujung tumpul sampai meruncing, kadang-kadang berbentuk agak jorong dengan ujung agak membulat dengan pangkal yang agak sempit terpancung. Tidak bersekat, berinti satu, berbentuk oval memanjang bergaris ramping. Panjang μm dan lebar 5-7 μm.

36 Konidia tidak berwarna dan transparan, seperti yang telah tersaji pada gambar 4. Gambar 4. Spora C. gloeosporioides Sumber : Foto langsung Intensitas Serangan (%). Data hasil pengamatan intensitas serangan pada 2-8 hari setelah inokulasi (hsi), daftar analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 3-8. Dari daftar sidik ragam tersebut dapat dilihat bahwa intensitas serangan berpengaruh sangat nyata pada pengamatan 2-7 hsi tetapi tidak nyata pada pengamatan 8 hsi, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Pada pengamatan I (2 hsi) perlakuan IRR 406 berbeda sangat nyata dengan perlakuan lain, IRR 409 dan IRR 410 berbeda sangat nyata dengan IRR 406 juga sangat berbeda nyata dengan perlakuan lain. Pada pengamatan II (3 hsi) dapat dilihat bahwa perlakuan IRR 406 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 423, IRR 409, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 407, IRR 412, IRR 404, IRR 410, IRR 420, IRR 415, IRR 417, IRR 405, IRR 401, IRR 414, IRR 422, IRR 404, IRR 411, IRR 413, IRR 416, IRR 400, IRR 403, IRR 408, IRR 418, IRR 419, IRR 421, IRR 424, RRIC 100, PB 260, BPM 24 dan BPM 1. Perlakuan IRR 405, IRR 401, IRR 414, IRR 422,

37 IRR 404, IRR 411, IRR 413, IRR 416, IRR 400, IRR 408, IRR 418, IRR 419, IRR 421, IRR 424, IRR 403, RRIC 100, BPM 24, PB 260 dan BPM 1. Pada pengamatan III (4 his), perlakuan IRR 423 tidak berbeda nyata dengan perlakun IRR 404, IRR 413, RRIC 100, IRR 400, IRR 406, IRR 412 dan IRR 417, tetapi tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan. Perlakuan BPM 1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 418, PB 260, tetapi berbeda nyata dengan semua perlakuan. Pada pengamatan ke IV (5 hsi) dapat dilihat bahwa perlakuan BPM 1 berbeda nyata dengan perlakuan lain. Perlakuan IRR 400 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 404, IRR 413, IRR 417, IRR 419, IRR 423, IRR 408, IRR 409, IRR 422, IRR 405, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 406, IRR 407, IRR 412, IRR 403, IRR 410, IRR 420, IRR 411, IRR 402, IRR 416, IRR 415, IRR 421, IRR 424, IRR 401, IRR 414, RRIC 100, PB 260, BPM 24 dan BPM 1. Perlakuan IRR 418 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 405, IRR 406, IRR 407, IRR 412, IRR 403, IRR 410, IRR 420, IRR 411, IRR 402, IRR 416, IRR 415, IRR 421, IRR 424, IRR 401, IRR 414, RRIC 100, PB 260. Pada pengamatan ke V (6 hsi ). Perlakuan IRR 413 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 400, IRR 417, IRR 419, IRR 404, IRR 408, IRR 405, IRR 403, IRR 412, IRR 422, IRR 423, PB 260, IRR 411, BPM 24, IRR 407, RRIC 100, IRR 409, dan IRR 410, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 410, IRR 420, IRR 401, IRR 402, IRR 406, IRR 421, IRR 418, IRR 424, IRR 414, 416, IRR 415 dan BPM 1. Perlakuan IRR 415 tidak berbeda nyata dengan perlakuan 420, IRR 401, IRR 402, IRR 406, IRR 421, IRR 418, IRR 424, IRR 414, 416, dan BPM 1, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 413, IRR 400, IRR 417, IRR

38 419, IRR 404, IRR 408, IRR 405, IRR 403, IRR 412, IRR 422, IRR 423, PB 260, IRR 411, BPM 24, IRR 407, RRIC 100, IRR 409 dan IRR 410. Pada pengamatan VI ( 7 hsi ), perlakuan IRR 415 berbeda sangat nyata dengan perlakuan lainnya. Intensitas serangan (%) C. gloeosporioides selama pengamatan 2-8 hsi dalam bentuk histogram untuk setiap klon dapat dilihat pada gambar 4. Pada gambar histogram dapat dilihat bahwa rata-rata intensitas serangan tertinggi terdapat pada 8 hsi dan terrendah pada 2 hsi. Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) Data hasil pengamatan pertumbuhan bercak pada 2-8 hsi, daftar analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran Dari daftar sidik tersebut dapat dilihat bahwa kecepatan tumbuh bercak berpengaruh sangat nyata pada pengamatan 2-7 hsi, tetapi tidak nyata pada pengamatan 8 hsi. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3. Pada pengamatan I (2 hsi ) perlakuan IRR 406 berbeda sangat nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan IRR 409 berberda sangat nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan IRR 400 berbeda nyata dengan perlakuan IRR 406 dan IRR 409, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada pengamatan II (3 hsi) perlakuan IRR 406 sangat berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan IRR 415 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 423, IRR 409, IRR 402, IRR 407, IRR 405, IRR 412, IRR 422, IRR 410, IRR 417, BPM 24 dan RRIC 100, tetapi tidak berbeda sangata nyata dengan perlakuan IRR404, IRR 416, IRR 420, IRR 419, IRR 400, IRR 401, IRR 408, IRR 411, IRR 413, IRR414, IRR 418, IRR 418, IRR 421, IRR 424, IRR 403,

39 PB 260 dan BPM I. Perlakuan IRR 400, IRR 401, IRR 408, IRR 411, IRR 413, IRR 414, IRR 418, IRR 421, IRR 424, IRR 403, BPM I tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 402, IRR 407, IRR 405, IRR 412, IRR 422, IRR 410, IRR 417, BPM 24 dan RRIC 100, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 406, IRR 415, IRR 423, IRR 409. Pada pengamatan III (4 hsi ), perlakuan IRR 400 berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan IRR 423 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 404, IRR 412, IRR 413, IRR 407 dan IRR 417, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 417, BPM 24, RRIC 100, IRR 405, IRR 419, IRR 424, IRR 416, IRR 422, IRR 421, IRR 409, IRR 415, IRR 406, IRR 414, IRR 402, IRR 401, IRR 420, IRR 410, IRR 411, IRR 408, PB 260, IRR 403, IRR 418 dan BPM 1. Perlakuan BPM 1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 409, IRR 415, IRR 406, IRR 414, IRR 402, IRR 401, IRR 420, IRR 410, IRR 411, IRR 408, PB 260, IRR 403, dan IRR 418, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 400, IRR 423 IRR 404, IRR 412, IRR 413, IRR 407 dan IRR 417, IRR 417, BPM 24, RRIC 100, IRR 405, IRR 419, IRR 424, IRR 416, IRR 422, IRR 421. Pada pengamatan IV (5 hsi) perlakuan IRR 400, IRR 413 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 417, IRR 419, IRR 403, IRR 408, IRR 410, IRR 411, IRR 424 dan PB 260, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 422, IRR 423, IRR 420, IRR 407, IRR 405, IRR 404, IRR 414, IRR 409, IRR 416, IRR 418, IRR 402, IRR 412, IRR 421, IRR 415, IRR 401, IRR 406, BPM 24, RRIC 100 dan BPM I. Perlakuan BPM I tidak berbeda nyata dengan perlakauan IRR 410, IRR 411, IRR 424, IRR 423, IRR 422, IRR 420, IRR 407, IRR 405, IRR 404, IRR 414, IRR 409, IRR 418, IRR 402, IRR 421, IRR 415, IRR 401, IRR

40 406, BPM 24 dan RRIC 100. tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 400, IRR 413, IRR 417, IRR 419, IRR 403, IRR 408 dan PB 260. Pada pengamatan V ( 6 hsi ), perlakuan IRR 404 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 412, IRR 405, IRR 409, IRR 408, IRR 411, IRR 422, IRR 400, IRR 403, IRR 413, IRR 423, RRIC 100, IRR 417, BPM 24, IRR 419, IRR 410, PB 260, IRR 407, dan IRR 420, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 421, IRR 418, IRR 406, IRR 401, IRR 424, IRR 402, IRR 416, IRR 414, BPM 1 dan irr 415. Perlakuan IRR 415 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 420, IRR 421, IRR 418, IRR 406, IRR 401, IRR 424, IRR 402, IRR 416, IRR 414, dan BPM 1, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 404 IRR 412, IRR 405, IRR 409, IRR 408, IRR 411, IRR 422, IRR 400, IRR 403, IRR 413, IRR 423, RRIC 100, IRR 417, BPM 24, IRR 419, IRR 410, PB 260, dan IRR 407. Pada pengamatan VI ( 7 hsi ), perlakuan BPM 1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 414, IRR 416, dan IRR 402, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 406, IRR 401, IRR 421, IRR 418, IRR 415, IRR 420, IRR 424, IRR 407, RRIC 100, IRR 422, BPM 24, PB 260, IRR 419, IRR 403, IRR 412, IRR 409, IRR 410, IRR 405, IRR 411, IRR 408, IRR 423, IRR 417, IRR 413, IRR 404, dan IRR 400. Perlakuan IRR 400 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 424, IRR 407, RRIC 100, IRR 422, BPM 24, PB 260, IRR 419, IRR 403, IRR 412, IRR 409, IRR 410, IRR 405, IRR 411, IRR 408, IRR 423, IRR 417, IRR 413 dan IRR 404, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan BPM 1, IRR 414, IRR 416, dan IRR 402, IRR 406, IRR 401, IRR 421, IRR 418, IRR 415, IRR 420. Laju Pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides selama pengamatan 2-8 hsi dalam bentuk histogram untuk setiap klon dapat dilihat pada

41 gambar 3. dari gambar dapat dilihat rata-rata laju pertumbuhan bercak tercepat pada perlakuan 6 hsi dan yang terlambat pada 2 hsi. Pembahasan Warna Koloni dan Morfologi Jamur C. gloeosporioides Dari hasil dapat di lihat bahwa warna pada media yang telah tua di tumbuhi miselium yang berwarna putih, warna koloni jamur ini cerah, hal ini sesuai dengan literatur Dwidjoseputro (1978) yang menyatakan bahwa diantara ordo melanconiales yang konidianya cerah adalah Gloeosporium dan Colletotrichum, dapat dilihat pada gambar 2a, 2b, 2c dan 2d. Massa spora berwarna merah jambu atau warna salmon, hal ini sesuai dengan literature Anonim (2007) yang menyatakan masa spora yang dihasilkan jamur C. gloeosporioides berwarna merah jambu atau berwarna salmon. Hasil pengamatan morfologi jamur secara mikroskipik, spora jamur C. gloeosporioides berukuran sangat kecil dan banyak, sehingga pada waktu pengamatan di bawah mikroskop bertumpuk-tumpuk dan di lapangan mudah terbawa angin, hal ini sesuai dengan literatur Basuki (1990) yang menyatakan dalam cuaca lembab massa spora menjadi lunak dan mudah tersebar dengan perantaraan angin hingga kejarak yang sangat jauh. Intensitas Serangan (%). Pada pengamatan I (2 hsi) intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 406 yaitu sebesar %. Intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 406 yaitu sebesar %, sedangkan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 404, IRR 407,

42 IRR 408, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR 416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR 424, RRIC 100, IRR 403, PB 260 dan BPM I yaitu sebesar 0 %. Klon IRR 406 pada pengamatan I (2 hsi) masih tergolong dalam kategori resisten Hal ini sesuai dengan hasil Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala 0-20% tergolong dalam kategori resisten. Pada pengamatan II (3 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 406 yaitu sebesar 23,33 % dan yang terendah terdapat pada perlakuan IRR 400, IRR 408, IRR 418, IRR 419, IRR 421, IRR 424, IRR 403, PB 260 dan BPM 1 yaitu sebesar 0 %. Klon IRR 406 pada pengamatan II (3 hsi) masih tergolong dalam kategori agak resisten. Hal ini sesuai dengan hasil Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala % tergolong dalam kategori agak resisten. Pada pengamatan III (4 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 423 yaitu sebesar 44,17 % dan yang terendah terdapat pada perlakuan BPM 1 yaitu sebesar 0 %. Klon IRR 423 pada pengamatan III (4 hsi) masih tergolong dalam kategori moderat. Hal ini sesuai dengan hasil Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala % tergolong dalam kategori moderat. Pada pengamatan ke IV (5 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 400 yaitu sebesar 73,33 % dan Intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan BPM 1, yaitu sebesar 0 %. Klon IRR 400 pada pengamatan IV (5 hsi) masih tergolong dalam kategori agak rentan.

43 Hal ini sesuai dengan hasil Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala % tergolong dalam kategori agak rentan. Pada pengamatan ke V (6 hsi), dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 413 yaitu sebesar 96,67 % dan yang terendah pada perlakuan BPM I yaitu sebesar %. Klon IRR 413 pada pengamatan V (6 hsi) tergolong dalam kategori rentan dan klon BPM 1 tergolong moderat. Hal ini sesuai dengan hasil Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala % tergolong dalam kategori moderat dan skala % dikelompokkan dalam kategori rentan. Pada pengamatan VI (7 hsi), dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 400, IRR 404, IRR 419, IRR 422 dan IRR 403 yaitu sebesar 100 %, dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan IRR 415 yaitu sebesar %. Klon IRR 400, IRR 404, IRR 419, IRR 422 dan IRR 403 pada pengamatan VI (7 hsi) tergolong dalam kategori rentan dan klon IRR 415 (K 15 ) tergolong agak rentan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala % tergolong dalam kategori agak rentan dan skala % tergolong kategori rentan. Data rata-rata pengamatan intensitas serangan 2-8 his. Perlakuan PBM 1 berbeda kategorinya dengan perlakuan lainnya, Intensitas serangan rata-rata terendah terdapat pada perlakuan BPM 1 yaitu sebesar % dan intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 413 yaitu sebesar %. Klon BPM 1 tergolong agak tahan dan klon lainnya tergolong moderat

44 Dari hasil pengamatan rata-rata dapat dilihat klon pembanding BPM 24, PB 260, RRIC 100 tergolong dalam kategori moderat. Klon pembanding PB 260 dan RRIC 100 tergolong tahan dan klon BPM 24 moderat, terhadap jamur C. gloeosporioides. Perubahan ketahanan ini disebabkan adanya keragaman (variabilitas) genetik dalam satu species patogen, hal ini sesuai dengan literatur Agrios (1996) yang menyatakan bahwa dalam satu species patogen, terdapat rasras fisiologis patogen yang secara morfologis tidak dapat di bedakan, tetapi berbeda kemampuannya dalam menginfeksi kelompok-kelompok varietas inang yang berbeda. Hal ini membantu menjelaskan mengapa varietas yang tahan pada suatu waktu menjadi rentan pada waktu yang lain. Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari) Pada pengamatan hari I (2 hsi) pertumbuhan bercak tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 406 yaitu sebesar 0.3 mm sedangkan pertumbuhan bercak terendah terdapat pada perlakuan IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 407, IRR 408, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR 415, IRR 416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR 424, BPM 24, RRIC 100, PB 260 dan BPM 1 yaitu sebesar 0 mm. Klon IRR 406, IRR 405, dan BPM 24, pada 2 hsi telah menunjukkan adanya gejala serangan atau tumbuhnya bercak pada daun, hal ini menunjukkan bahwa daun dari IRR 406, IRR 405 dan BPM 24 sangat peka terhadap jamur C. gloeosporioides, hal ini sesuai dengan literatur Abadi (2003) yang menyatakan dalam kombinasi inang-patogen, patogen biasanya dapat memproduksi toksin spesifik-inang yaitu toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya gejala dan di duga bereaksi terhadap reseptor spesifik atau sisi-sisi sensitif dalam sel inang.

45 Hanya tanaman yang memeiliki reseptor sisi sensitif semacam ini yang akan menjadi sakit. Laju pertumbuhan bercak (mm/hari) pada pengamatan 3 hsi 7 hsi mengalami kenaikan yang cukup cepat, daun-daun yang di inokulasikan bercaknya cepat menyebar bila telah terinfeksi, jamur mengambil makanan untuk hidupnya dari daun hal ini sesuai dengan literatur Agrios (1996) yang menyatakan patogen menyebabkan penyakit pada tumbuhan dengan cara melemahkan inang dengan cara menyerap makanan secara terus-menerus dari sel-sel inang untuk kebutuhan hidupnya. Dari hasil rata-ratan dapat dilihat bahwa pertumbuhan bercak tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 420 yaitu sebesar 3.82 mm dan yang terendah terdapat pada IRR 423 yaitu sebesar 2.84 mm. Hal ini menunjukkan bahwa jamur C. gloeosporioides sangat cepat menginfeksi daun muda. Hal ini sesuai dengan hasil pernyataan Pawirosoemardjo dkk (1998), yang menyatakan bahwa daun karet yang berumur kurang dari 20 hari merupakan kondisi yang peka terhadap serangan C. gloeosporioides.

46 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Warna koloni awalnya berwarna putih kemerah jambuan, semakin tua warnanya menjadi putih. 2. Konidium berbentuk silinder dengan ujung-ujung tumpul sampai meruncing, kadang-kadang berbentuk agak jorong dengan ujung agak membulat dengan pangkal yang agak sempit terpancung. Tidak bersekat, berinti satu, berbentuk oval. 3. Laju pertumbuhan bercak tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 420 yaitu sebesar 3.82 mm/hari dan yang terendah terdapat pada IRR 423 yaitu sebesar 2.84 mm/hari. 4. Klon pembanding BPM 1 tergolong dalam kategori agak tahan dan keseluruhan klon IRR seri 400 dan pembanding lainnya tergolong dalam kategori moderat. Metode cakram dapat digunakan sebagai informasi awal untuk menentukan tingkat ketahanan tanaman karet klon IRR seri 400. Saran Disarankan penelitian lanjutan mengenai uji resistensi Klon IRR seri 400 pada tanaman karet (Havea brasiliensis Muell Arg) terhadap penyakit gugur daun C. gloeoesporioides (Penz). Sacc dalam skala lapangan.

47 DAFTAR PUSTAKA Abadi, A.L, Ilmu Penyakit Tumbuhan I, Bayu Media. Malang. Hal 40. Agrios, G.N, Ilmu Penyakit Tumbuhan, di terjemahkan oleh Busnia M, UGM Press, Yogyakarta. Hal 8,18. Alexopoulus, C.J. and C.W. Mims., Introductory mycology. Jhon weley and Sons, New York, P 569. Anonim a, Karet Strategi Pemasaran Tahun 2000, Budidaya dan Pengolahan, Penebar Swadaya. Jakarta. b, Produksi Karet Nasional 2007 di Perkirakan 2,4 juta ton, Diakses dari Tgl c, Karet Bisnisnya Masih Empuk. Diakses dari Tgl d, Colletotrichum, Diakses dari Tgl Ariyani, R.R., Harga Karet Bakal Terus Naik, Diakses dari Tgl Azwar. R., Suhendry. I, Daslin,A., dan Lasminingsih, M., Lokakarya Nasional Pemulian Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet Alam Abad 21, Pusat Penelitian Karet, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, hal 225. Bangun. M.K, Rancangan Percobaan, Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, hal Basuki, Penyakit Gugur Daun Colletotrichun pada Tanaman Karet, Pusat Penelitian Perkebunan Tanjung Morawa (P4TM), hal 2-7. Djas. F, Classification of Fungi and Specifik Characteristic of Each Class, Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, Medan hal 29. Dwidjoseputro. Prof.D.S, Pengantar Mikologi,Alumni. Bandung, hal 79. Fernando.T,H,P,S,. Jaya Singhe, C.K, and Wijesunera R.L.C, Affecting Spore Production, Germination and Viability of Colletotrichum Isolates from Hevea brasiliensis. Diakses dari Cambridge.Org, tgl

48 Khaerudin, Penyeludupan Bokar Turunkan Kapasitas Produksi Karet. Diakses dari tgl Pawirosoemardjo,S., Syafiuddin dan Sujatno., Resistensi Klon Harapan terhadap Penyakit Utama Tanaman Karet, Lokakarya Nasional Pemulian Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet dalam Abad 21.Pusat Penelitian Karet.Asosiasi Peneliti Perkebunan Indonesia. Hal 224. Pawirosoemardjo. S., Laporan Hasil Penelitian Epidemiologi dan Pengendalian Penyakit Gugur Daun Corynespora dan Colletotriuchum Secara Terpadu. Pusat Penelitian Karet, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bagian Proyek Penelitian Karet Sungai Putih, Hal 5. Pawirosoemardjo. S, dan Budi, S., Pengenalan dan Pengendalian Penyakit Tanaman Karet, dalam Seri Buku Saku 01, Balai Penelitian Getes, Pusat Pusat Penelitian Karet Indonesia. Hal 25 Semangun, H., Penyakit-Penyakit Karet Perkebunan di Indonesia. UGM Press, Yogyakarta, Hal 78. Setyamidjaja. D, Karet Budidaya dan Penggolahan, Kanisius, Yogyakarta. Hal 40. Suwarto., Soepena. H., dan Azwar. R., Resistensi Klon-Klon Karet Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotriuchum di Provinsi Kalimantan, Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet 1995, Pusat Penelitian Karet Assosiasi. Penelitian Perkebunanan Indonesia, Hal 238. Woelan, S., I. Suhendry., A. Daslin dan R. Azwar., Karakteristik Klon Anjuran Rekomendasi Warta Pusat Penelitian Karet, Pusat Penelitian Karet Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Hal , Rekombinasi Keunggulan Potensi Genetik Plasma Nutfah Karet Melalui Persilangan Buatan. Laporan Akhir Tahun PAATP. Pusat Penelitian Karet, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 2-4., Pengujian Klon Karet Harapan IRR Seri 100 dan 200 pada Daerah Beriklim Basah dan Lingkungan Spisifik di Sumatera Utara. Laporan Tahunan Penyelesaian Pelaksanaan DIPA Satuan Kerja BPTP Sumatera Utara. Unit Kerja Balai Penelitian Sungai Putih. Pusat Penelitian Karet, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 8-9.

49 Lampiran 1. Bagan Penelitian

50 Lampiran 2. Skala 0 Skala 1 Skala 2 Skala 3 Skala 4 Gambar 5. Nilai skala bercak daun

51 Lampiran 3. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 2 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK DB JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan ** Galat Total FK = KK = 143%

52 Lampiran 4. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 2 hsi, Transformasi dengan arcsin x setelah di Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK db JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan ** Galat Total FK= KK= 55% * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

53 Lampiran 5. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 3 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK db JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan ** Galat Total FK = KK = 96%

54 Lampiran 6. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 3 hsi setelah di Transformasi dengan arcsin x Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK db JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan ** Galat Total FK = KK = 69% * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

55 Lampiran 7. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 4 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK db JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan ** Galat Total FK = KK = 26%

56 Lampiran 8. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 4 hsi, Transformasi dengan arcsin x setelah di Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK db JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan ** Galat Total FK = KK = 16% * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

57 Lampiran 9. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 5 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK db JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan ** Galat Total FK = KK = 24%

58 Lampiran 10. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 5 hsi, setelah di Transformasi dengan arcsin x Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK db JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan ** Galat Total FK = KK = 16% * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

59 Lampiran 11. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 6 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK db JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan ** Galat Total FK = %KK = 12%

60 Lampiran 12. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 6 hsi, setelah di Transformasi dengan arcsin x Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK db JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan ** Galat Total FK = KK = 12% * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

61 Lampiran 13. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 7 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK db JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan ** Galat Total FK = KK = 6%

62 Lampiran 14. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 7 hsi, setelah di Transformasi dengan arcsin x Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK db JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan ** Galat Total FK = KK = 8% * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

63 Lampiran 15. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 8 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK db JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan tn Galat Total FK = KK = 2%

64 Lampiran 16. Data intensitas serangan (%) C. gloeosporioides 8 hsi, setelah di Transformasi dengan arcsin x Perlakuan Ulangan I II III Total Rataan IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM TOTAL Rataan Daftar sidik ragam SK db JK KT Fhitung F.05 F.01 Perlakuan tn Galat Total FK = KK = 4% * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

65 Lampiran 17. Data pengamatan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 2 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan ** Error Total FK = 0.08 %KK = 250.1%

66 Lampiran 18. Data pengamatan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 2 hsi, setelah di Transformasi ( x + 0.5) Ulangan Perlakuan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan ** Error Total FK = %KK = 0.06 * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

67 Lampiran 19. Data pengamatan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 3 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan ** Error Total FK = 1.16 %KK = 120.7%

68 Lampiran 20. Data pengamatan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 3 hsi, setelah di Transformasi ( x + 0.5). Perlakuan Ulangan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan ** Error Total FK = %KK = 10.5% * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

69 Lampiran 21. Data pengamatan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 4 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan ** Error Total FK = %KK = 45.2%

70 Lampiran 22. Data pengamatan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 4 hsi, setelah di Transformasi ( x + 0.5). Perlakuan Ulangan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan ** Error Total FK = %KK = 11.8% * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

71 Lampiran 23. Data pengamatan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 5 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan ** Error Total FK = %KK = 74.3%

72 Lampiran 24. Data pengamatan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 5 hsi, setelah di Transformasi ( x + 0.5). Perlakuan Ulangan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan ** Error Total FK = %KK = 27.2% * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

73 Lampiran 25. Data pengamatan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 6 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan ** Error Total FK = %KK = 30.3%

74 Lampiran 26. Data pengamatan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 6 hsi, setelah di Transformasi ( x + 0.5). Perlakuan Ulangan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan ** Error Total FK = %KK = 16.5% * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

75 Lampiran 27. Data pengamatan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 7 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan ** Error Total FK = %KK = 46.8%

76 Lampiran 28. Data pengamatan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 7 hsi, setelah di Transformasi ( x + 0.5). Perlakuan Ulangan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan ** Error Total FK = %KK = 25.0% * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

77 Lampiran 29. Data pengamatan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 8 hsi Perlakuan Ulangan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan tn Error Total FK = %KK = 106.7%

78 Lampiran 30. Data pengamatan pertumbuhan bercak (mm/hari) C. gloeosporioides pada 7 hsi, setelah di Transformasi ( x + 0.5). Perlakuan Ulangan I II III Total Rata-an IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR IRR BPM RRIC IRR PB BPM Total Rata-an Tabel Sidik Ragam Sumber db JK KT Fhit F.05 F.01 Perlakuan tn Error Total FK = %KK = 42.0% * = nyata ** = sangat nyata tn = tidak nyata

79 Lampiran 31 Gambar 6. Foto daun klon IRR seri 400 dan klon pembanding

80 Lampiran 32. Gambar 7. Cakram daun

81 Lampiran 33. Gambar 8. Lokasi pengambilan sample daun klon IRR seri 400 di lahan sungai putih

82 Lampiran 34. Hubungan intensitas serangan (%) dengan laju pertumbuhan bercak (mm/hari) jamur C. gloeosporioides

83

84

85 Histogram intensitas serangan (%) jamur C. gloeosporioides 2 hsi sampai 8 hsi hsi 3 hsi 4 hsi 5 hsi 6 hsi 7 hsi 8 hsi IRR 400 IRR 401 IRR 402 IRR 404 IRR 405 IRR 406 IRR 407 IRR 408 IRR 409 IRR 410 IRR 411 IRR 412 IRR 413 IRR 414 IRR 415 IRR 416 IRR 417 IRR 418 IRR 419 IRR 420 IRR 421 IRR 422 IRR 423 IRR 424 BPM 24 RRIC 100 IRR 403 PB 260 BPM 1 K L O N Gambar 5. Histogram ketahanan klon terhadap intensitas serangan jamur C. gloeosporioides (%)

86 Histogram. Laju pertumbuhan bercak (mm/hari) jamur C. gloeosporioides 2 hsi sampai 8 hsi L a j u p e r t u m b u h a n b e r c a k ( m m / h a r i ) hsi 3 hsi 4 hsi 5 hsi 6 hsi 7 hsi 8 hsi 0.00 IRR 400 IRR 401 IRR 402 IRR 404 IRR 405 IRR 406 IRR 407 IRR 408 IRR 409 IRR 410 IRR 411 IRR 412 IRR 413 IRR 414 IRR 415 IRR 416 IRR 417 IRR 418 IRR 419 IRR 420 IRR 421 IRR 422 IRR 423 IRR 424 BPM 24 RRIC 100 IRR 403 PB 260 BPM 1 K L O N Gambar 6. Hitogram laju pertumbuhan bercak jamur C. gloeosporioides (mm/hari)

87

88

TINJAUAN LITERATUR. Klasifikasi penyakit C. gloeosporioides (Penz.) Sacc menurut

TINJAUAN LITERATUR. Klasifikasi penyakit C. gloeosporioides (Penz.) Sacc menurut TINJAUAN LITERATUR Biologi penyakit Klasifikasi penyakit C. gloeosporioides (Penz.) Sacc menurut Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut: Divisio Sub divisi Kelas Ordo Family Genus Species : Mycota : Eumycotyna

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut : Divisio Subdivisio Kelas Ordo Family Genus Spesies : Mycota

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei. 19 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola adalah sebagai berikut : Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Eumycophyta : Eumycotina

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Stadium ini ditemukan pada daun daun tua yang sedang membusuk. Jamur ini

TINJAUAN PUSTAKA. Stadium ini ditemukan pada daun daun tua yang sedang membusuk. Jamur ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Penyakit gugur daun yang menyerang tanaman karet disebabkan oleh Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. Stadium sempurna (Perfect stage) dari jamur ini adalah Glomerella

Lebih terperinci

TINJAUAN LITERATUR. Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.

TINJAUAN LITERATUR. Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt. TINJAUAN LITERATUR Biologi Penyakit Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims (1979) adalah sebagai berikut : Divisi Sub Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Eumicophyta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims (1979) adalah sebagai berikut : Divisi Sub Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Eumycophyta :

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian Laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Agroteknologi,

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian Laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Agroteknologi, III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian Laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Agroteknologi, Universitas Medan Area. Penelitian Lapangan dilaksanakan di desa Durin

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE TANAMAN KARET TERHADAP PENYAKIT Corynespora cassiicola DAN Colletotrichum gloeosporioides DI KEBUN ENTRES SEI PUTIH

UJI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE TANAMAN KARET TERHADAP PENYAKIT Corynespora cassiicola DAN Colletotrichum gloeosporioides DI KEBUN ENTRES SEI PUTIH UJI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE TANAMAN KARET TERHADAP PENYAKIT Corynespora cassiicola DAN Colletotrichum gloeosporioides DI KEBUN ENTRES SEI PUTIH SKRIPSI OLEH : INTAN PURNAMASARI 090301178 AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2014

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Bidang Proteksi Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang memiliki tubuh buah, serasah daun, ranting, kayu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan 14 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi

METODE PENELITIAN. Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi Agroekoteknologi,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman sayuran yang tergolong tanaman tahunan berbentuk perdu.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2011 sampai Maret 2012 di Rumah Kaca

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2011 sampai Maret 2012 di Rumah Kaca III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2011 sampai Maret 2012 di Rumah Kaca dan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Botani, Jurusan Biologi, Fakultas

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Botani, Jurusan Biologi, Fakultas 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Botani, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung, pada bulan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat

BAHAN DAN METODE. Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan di Rumah Kasa Fakultas Pertanian, Medan dengan ketinggian tempat + 25 m dpl pada Bulan Mei

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensl.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensl.) 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensl.) Menurut Cronquist (1981), klasifikasi tanaman cabai rawit adalah sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 8 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1.1 Materi Penelitian 1.1.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang bertubuh buah, serasah daun, batang/ranting

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Jurusan Agroteknologi, Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan mulai

III. BAHAN DAN METODE. Jurusan Agroteknologi, Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan mulai 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Jurusan Agroteknologi, Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan di halaman

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan di halaman III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan di halaman Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Taksonomi Tanaman Karet Sistem klasifikasi, kedudukan tanaman karet sebagai berikut :

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Taksonomi Tanaman Karet Sistem klasifikasi, kedudukan tanaman karet sebagai berikut : BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Tanaman Karet Sistem klasifikasi, kedudukan tanaman karet sebagai berikut : Kingdom Divisi Sub divisi Kelas Ordo Family Genus Spesies : Plantae (tumbuh-tumbuhan) :

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE TANAMAN KARET TERHADAP PENYAKIT Corynespora cassiicola DAN Colletotrichum gloeosporioides DI KEBUN ENTRES SEI PUTIH

UJI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE TANAMAN KARET TERHADAP PENYAKIT Corynespora cassiicola DAN Colletotrichum gloeosporioides DI KEBUN ENTRES SEI PUTIH UJI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE TANAMAN KARET TERHADAP PENYAKIT Corynespora cassiicola DAN Colletotrichum gloeosporioides DI KEBUN ENTRES SEI PUTIH Resistence Test of Rubber Plant Genotype by Corynespora

Lebih terperinci

DAN CABANG PADA ENAM KLON KARET ABSTRACT

DAN CABANG PADA ENAM KLON KARET ABSTRACT INFEKSI Fusarium sp. PENYEBAB PENYAKIT LAPUK BATANG DAN CABANG PADA ENAM KLON KARET Eko Heri Purwanto, A. Mazid dan Nurhayati J urusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya

Lebih terperinci

(Gambar 1 Gejala serangan Oidium heveae pada pembibitan karet)

(Gambar 1 Gejala serangan Oidium heveae pada pembibitan karet) Karet memiliki peranan sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Komoditas ini merupakan salah satu penghasil devisa utama dari sektor perkebunan dengan nilai ekspor sekitar US$ 11.8 milyar pada tahun

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Botani, Fakultas Matematika dan Ilmu

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Botani, Fakultas Matematika dan Ilmu III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Botani, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada bulan Agustus 2012 sampai

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tanaman dan Laboratorium

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tanaman dan Laboratorium III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tanaman dan Laboratorium Lapangan Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan November

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dan tingkat kerusakan dinding sel pada jamur Candida albicans merupakan penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. dan tingkat kerusakan dinding sel pada jamur Candida albicans merupakan penelitian 49 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian tentang uji efektivitas jamu keputihan dengan parameter zona hambat dan tingkat kerusakan dinding sel pada jamur Candida albicans merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Nazir (1999: 74), penelitian eksperimental adalah penelitian yang dilakukan

BAB III METODE PENELITIAN. Nazir (1999: 74), penelitian eksperimental adalah penelitian yang dilakukan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang telah dilakukan ini bersifat eksperimen. Menurut Nazir (1999: 74), penelitian eksperimental adalah penelitian yang dilakukan dengan memanipulasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Medan dengan ketinggian tempat + 25 meter di atas permukaan laut pada bulan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tanaman Fakultas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tanaman Fakultas III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Pelaksanaan penelitian dimulai dari September

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan Kebun

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan Kebun 17 III. BAHAN DAN MEODE 3.1 empat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit umbuhan dan ebun Percobaan di dalam kampus di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. eksplorasi dengan cara menggunakan isolasi jamur endofit dari akar kentang

BAB III METODE PENELITIAN. eksplorasi dengan cara menggunakan isolasi jamur endofit dari akar kentang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksplorasi dan eksperimen. Penelitian eksplorasi dengan cara menggunakan isolasi jamur endofit dari akar kentang

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian telah dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian telah dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian 1 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dimulai dari bulan Juni 2014 sampai dengan September

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ANATOMI DAUN DENGAN KETAHANAN PENYAKIT GUGUR DAUN PADA TANAMAN KARET SKRIPSI OLEH : RINI JUNITA

HUBUNGAN ANTARA ANATOMI DAUN DENGAN KETAHANAN PENYAKIT GUGUR DAUN PADA TANAMAN KARET SKRIPSI OLEH : RINI JUNITA 1 HUBUNGAN ANTARA ANATOMI DAUN DENGAN KETAHANAN PENYAKIT GUGUR DAUN PADA TANAMAN KARET SKRIPSI OLEH : RINI JUNITA 110301133 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung (UNILA) sebagai tempat ekstraksi fungisida nabati,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Penyakit oleh B. theobromae Penyakit yang disebabkan oleh B. theobromae pada lima tanaman inang menunjukkan gejala yang beragam dan bagian yang terinfeksi berbeda-beda (Gambar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut ;Divisio : Mycota;

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut ;Divisio : Mycota; 15 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Colletotrichum gleosporioides Penz. Sacc Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut ;Divisio : Mycota;

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitan ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan dan Penyakit

III. METODE PENELITIAN. Penelitan ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan dan Penyakit III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitan ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan dan Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Survei Buah Sakit Survei dilakukan di kebun percobaan Leuwikopo, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, di lahan ini terdapat 69 tanaman pepaya. Kondisi lahan tidak terawat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Antraknosa Cabai Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides, dan C. capsici (Direktorat

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Agroteknologi Bidang Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi 20 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan Januari sampai dengan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika IPB (PKBT-IPB) Pasir Kuda, Desa Ciomas, Bogor, dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), jamur Ceratocystis fimbriata

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), jamur Ceratocystis fimbriata 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ceratocystis fimbriata. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), jamur Ceratocystis fimbriata dapat diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom : Myceteae, Divisi : Amastigomycota,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan dari 2 Juni dan 20 Juni 2014, di Balai Laboraturium

BAB III BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan dari 2 Juni dan 20 Juni 2014, di Balai Laboraturium BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari 2 Juni dan 20 Juni 2014, di Balai Laboraturium Kesehatan Medan. 3.2 Alat dan Bahan Alat alat yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great

BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great Giant Pineapple (GGP) di Lampung Timur dan PT. Nusantara Tropical Farm, Lampung

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE

III. MATERI DAN METODE III. MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai Juli 2015. Sempel tanah diambil pada dua tempat yaitu pengambilan sempel tanah hutan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Riau kampus Bina Widya Jl. H.R Soebrantas Km 12,5 Simpang Baru Panam

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TAHUNAN PENYAKIT PADA KOMODITAS PEPAYA. disusun oleh: Vishora Satyani A Listika Minarti A

LAPORAN PRAKTIKUM HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TAHUNAN PENYAKIT PADA KOMODITAS PEPAYA. disusun oleh: Vishora Satyani A Listika Minarti A LAPORAN PRAKTIKUM HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TAHUNAN PENYAKIT PADA KOMODITAS PEPAYA disusun oleh: Lutfi Afifah A34070039 Vishora Satyani A34070024 Johan A34070034 Listika Minarti A34070071 Dosen Pengajar:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen kuantitatif. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui akibat

Lebih terperinci

Gambar 3. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)

Gambar 3. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) m. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Riau dan Rumah Kasa Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai (Capsicum annuum L.) termasuk dalam genus Capsicum yang spesiesnya telah dibudidayakan, keempat spesies lainnya yaitu Capsicum baccatum, Capsicum pubescens,

Lebih terperinci

STUDI KARAKTER FISIOLOGIS DAN SIFAT ALIRAN LATEKS KLON KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) IRR SERI 300

STUDI KARAKTER FISIOLOGIS DAN SIFAT ALIRAN LATEKS KLON KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) IRR SERI 300 STUDI KARAKTER FISIOLOGIS DAN SIFAT ALIRAN LATEKS KLON KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) IRR SERI 300 SKRIPSI Oleh: FAUZI KURNIA 050307023/PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bidang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bidang 8 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bidang Proteksi Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Lebih terperinci

Lampiran 1. Jumlah dan Diameter Pembuluh Lateks Klon BPM 1 dan PB 260 KLON Jumlah Pembuluh Lateks Diameter Pembuluh Lateks 22.00 22.19 24.00 24.09 20.00 20.29 7.00 27.76 9.00 24.13 5.00 25.94 8.00 28.00

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Agrios (1996) taksonomi penyakit busuk pangkal batang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Agrios (1996) taksonomi penyakit busuk pangkal batang TINJAUAN PUSTAKA Biologi Jamur Busuk Pangkal Batang Menurut Agrios (1996) taksonomi penyakit busuk pangkal batang (Ganoderma spp.) adalah sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Subclass Order Family Genus

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Mikrobiologi dan Kesehatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Februari 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Februari 2014. 10 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Februari 2014. Pengambilan sampel tanah dilakukan di Hutan mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Analisis

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan kering, Desa Gading PlayenGunungkidul Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan

BAHAN DAN METODE. Bahan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga, dan Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Sampel tanah diambil dari daerah di sekitar risosfer tanaman nanas di PT. Great

III. BAHAN DAN METODE. Sampel tanah diambil dari daerah di sekitar risosfer tanaman nanas di PT. Great 9 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Sampel tanah diambil dari daerah di sekitar risosfer tanaman nanas di PT. Great Giant Pineapple (GGP) Terbanggi Besar, Lampung Tengah dan PT. Nusantara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. B. Tujuan Penulisan

BAB I PENDAHULUAN. B. Tujuan Penulisan BAB I PENDAHULUAN Peningkatan produksi karet yang optimal harus dimulai dengan pemilihan klon yang unggul, penggunaan bibit yang berkualitas sebagai batang bawah dan batang atas serta pemeliharaan yang

Lebih terperinci

UJI EFEKTIFITAS CHITOSAN UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT JAMUR UPAS

UJI EFEKTIFITAS CHITOSAN UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT JAMUR UPAS 1 UJI EFEKTIFITAS CHITOSAN UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT JAMUR UPAS (Upasia salmonicolor (B. et Br.) Tjokr.,) PADA TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) SKRIPSI Oleh : VIVI ENDRIYATI 040302011

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimen kuantitatif dengan variabel hendak diteliti (variabel terikat) kehadirannya sengaja ditimbulkan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Bahan Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah dari rizosfer tanaman Cabai merah (Capsicum

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan. Pembuatan media PDA (Potato Dextrose Agar)

III. METODE PENELITIAN. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan. Pembuatan media PDA (Potato Dextrose Agar) III. METODE PENELITIAN A. Bagan Alir Penelitian Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan Pembuatan media PDA (Potato Dextrose Agar) Pengambilan sampel tanah dekat perakaran tanaman Cabai merah (C.

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Alat Alat 1. Alat alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium 2. Neraca Analitis Metler P.M 400 3. Botol akuades 4. Autoklaf fiesher scientific 5. Inkubator

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2014.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2014. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2014. Isolasi dan karakterisasi penyebab penyakit dilakukan di Laboratorium Penyakit

Lebih terperinci

Getas, 2 Juni 2009 No : Kepada Yth. Hal : Laporan Hasil Kunjungan Kebun Getas PTP Nusantara IX

Getas, 2 Juni 2009 No : Kepada Yth. Hal : Laporan Hasil Kunjungan Kebun Getas PTP Nusantara IX Getas, 2 Juni 2009 No : Kepada Yth. Lamp. : 1 eks Administratur Hal : Laporan Hasil Kunjungan Kebun Getas PTP Nusantara IX di Getas Dengan ini disampaikan dengan hormat laporan hasil kunjungan staf peneliti

Lebih terperinci

I II. Lampiran 1. Bagan Penelitian. 20 cm 75 cm. 20 cm. 50 cm. Keterangan : = tanaman bawang merah di dalam polibag. = ulangan pertama = ulangan kedua

I II. Lampiran 1. Bagan Penelitian. 20 cm 75 cm. 20 cm. 50 cm. Keterangan : = tanaman bawang merah di dalam polibag. = ulangan pertama = ulangan kedua Lampiran 1. Bagan Penelitian I II 20 cm 75 cm 20 cm U 50 cm : = tanaman bawang merah di dalam polibag I II = ulangan pertama = ulangan kedua Lampiran 2. Bagan I IV II III V A 3 A 2 A 3 A 0 A 4 A 0 A 3

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu . Bahan dan Alat Metode Penelitian Survei Buah Pepaya Sakit

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu . Bahan dan Alat Metode Penelitian Survei Buah Pepaya Sakit 5 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman dan Kebun Percobaan Leuwikopo, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE

III. MATERI DAN METODE III. MATERI DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Sampel tanah diambil dari Hutan Larangan Adat Rumbio Kabupaten Kampar. Sedangkan Enumerasi dan Analisis bakteri dilakukan di Laboratorium Patologi,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Perbanyakan isolat jamur B. bassiana dilaksanakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai berbentuk perdu dengan tinggi lebih kurang cm.

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai berbentuk perdu dengan tinggi lebih kurang cm. TINJAUAN PUSTAKA Sistematika dan Biologi Tanaman Kedelai berikut: Menurut Sharma (2002), kacang kedelai diklasifikasikan sebagai Kingdom Divisio Subdivisio Class Family Genus Species : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

I. METODE PENELITIAN. Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari Juni 2011 sampai Januari 2012.

I. METODE PENELITIAN. Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari Juni 2011 sampai Januari 2012. I. METODE PENELITIAN 1.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Lahan sekitar laboratorium Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari Juni 2011 sampai Januari

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor serta di Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Perbanyakan P. citrophthora dan B. theobromae dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Teh Morfologi Tanaman Teh Syarat Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Teh Morfologi Tanaman Teh Syarat Tumbuh 3 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Teh Teh termasuk famili Transtromiceae dan terdiri atas dua tipe subspesies dari Camellia sinensis yaitu Camellia sinensis var. Assamica dan Camellia sinensis var.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun PT NTF (Nusantara Tropical Farm) Way

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun PT NTF (Nusantara Tropical Farm) Way 31 III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kebun PT NTF (Nusantara Tropical Farm) Way Jepara, Lampung Timur dan Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Bidang Proteksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani tanaman karet Menurut Sianturi (2002), sistematika tanaman karet adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Euphorbiaceae, Genus: Hevea, Spesies: Hevea brassiliensismuell.arg.

TINJAUAN PUSTAKA. Euphorbiaceae, Genus: Hevea, Spesies: Hevea brassiliensismuell.arg. TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Klasifikasi tanaman karet adalah sebagai berikut Divisi: Spermatophyta, Subdivisi: Angiospermae, Kelas: Monocotyledoneae, Ordo: Euphorbiales, Famili: Euphorbiaceae, Genus:

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kitin dan Bakteri Kitinolitik Kitin adalah polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan komponen penyusun tubuh serangga, udang, kepiting, cumi-cumi, dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dari Bulan April sampai dengan Juni 2013, di

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dari Bulan April sampai dengan Juni 2013, di 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari Bulan April sampai dengan Juni 2013, di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada Januari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian dan Analisis Data Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian deskriptif. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif meliputi

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Bahan Penelitian

bio.unsoed.ac.id MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Bahan Penelitian III. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biakan murni Hypoxylon sp. koleksi CV.

Lebih terperinci

HI. BAMAN DAN METODE

HI. BAMAN DAN METODE 12 HI. BAMAN DAN METODE 3.1. Tcmpat dan Waktu Penclitian ini akan dilaksanakan di LaboratoriUin Penyakit Tumbuhan dan rumah setengali bayangan Fakultas Pertanian Universitas Riau Kampus Bina Widya Jalan

Lebih terperinci

Charloq 1) Hot Setiado 2)

Charloq 1) Hot Setiado 2) ANALISIS STRES AIR TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KARET UNGGUL (Hevea brasiliensis Muell. Arg) (Water Stress Analysis on the Growth of the Excellent Rubber Varieties) Charloq 1) 2) 1) Staf pengajar PS Agronomi,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 sampai Oktober 2012. Sampel gubal dan daun gaharu diambil di Desa Pulo Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental. Pengambilan data penelitian diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 Maret 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Tanaman Industri dan Penyegar

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Tanaman Industri dan Penyegar 25 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Tanaman Industri dan Penyegar Cahaya Negeri, Abung Barat, Lampung Utara dan Laboratorium Penyakit

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO Jalan Raya Dringu Nomor 81 Telp. (0335) 420517 Fax. (4238210) PROBOLINGGO 67271 POTENSI JAMUR ANTAGONIS Trichoderma spp PENGENDALI HAYATI PENYAKIT LANAS DI PEMBIBITAN TEMBAKAU

Lebih terperinci

BAB III METODE PERCOBAAN. Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu perlakuan jenis

BAB III METODE PERCOBAAN. Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu perlakuan jenis BAB III METODE PERCOBAAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu perlakuan jenis isolat (HJMA-5

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Suka Jaya, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat. Identifikasi

III. METODE PENELITIAN. Suka Jaya, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat. Identifikasi 12 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel buah kopi dilakukan pada perkebunan kopi rakyat di Desa Suka Jaya, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat. Identifikasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Bahan dan Alat Isolasi dan Uji Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Bahan dan Alat Isolasi dan Uji Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari Oktober 2010

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel buah kopi penelitian dilakukan pada perkebunan kopi rakyat

III. BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel buah kopi penelitian dilakukan pada perkebunan kopi rakyat III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel buah kopi penelitian dilakukan pada perkebunan kopi rakyat di Sumberjaya. Kumbang penggerek buah kopi (H. hampei) diambil dan dikumpulkan

Lebih terperinci