PENENTUAN SEBARAN AKUIFER DENGAN METODE TAHANAN JENIS (RESISTIVITY METHOD) DI KOTA TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN SKRIPSI ARLAND ASRA F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENENTUAN SEBARAN AKUIFER DENGAN METODE TAHANAN JENIS (RESISTIVITY METHOD) DI KOTA TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN SKRIPSI ARLAND ASRA F"

Transkripsi

1 PENENTUAN SEBARAN AKUIFER DENGAN METODE TAHANAN JENIS (RESISTIVITY METHOD) DI KOTA TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN SKRIPSI ARLAND ASRA F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 iii

2 PENENTUAN SEBARAN AKUIFER DENGAN METODE TAHANAN JENIS (RESISTIVITY METHOD) DI KOTA TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN Oleh ARLAND ASRA F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 iv

3 DETERMINATION OF AQUIFER DISTRIBUTION USING RESISTIVITY METHOD IN SOUTH TANGERANG, BANTEN PROVINCE A. Asra 1, RSB. Waspodo 2 Department of Civil and Environmental Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. 1 Arland.asra@yahoo.com, 2 rohsby@yahoo.com ABSTRACT Water is a basic requirement for humans being. The population growth can result a higher water demand. Surface water quality is declining due to human activities that make the usage of groundwater increased. The excessive exploration of groundwater can result soil subsidence, it is necessary to study the characteristics of groundwater. This study aimed to identify the lithology of soil, the position and thickness of aquifer, and to analyze aquifer distribution at the research area. The resistivity method was used to to identivity the lithology of soil. Analysis results showed that the depth of unconfined aquifer at the research area was 3,00-44,73 m below soil surface with a thickness of 2-12 m. Litology of soil was a clay and tufaan sand. The depth of confined aquifer was m below soil surface with a thickness of more than 75 m. Groundwater flow patterns at the research location headed toward the north. Keywords: aquifer distribution, geoelectric, lithology, resistivity method, groundwater flow pattern v

4 ARLAND ASRA. F Penentuan Sebaran Akuifer dengan Metode Tahanan Jenis (Resistivity Method) di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Dibimbing oleh Roh Santoso Budi Waspodo. RINGKASAN Air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk melangsungkan kehidupan dan meningkatkan kesejahteraannya. Dinamika pembangunan Kota Tangerang Selatan menuju kepada profil Kota Metropolitan yang sampai saat ini menunjukan trend positif. Dengan begitu kebutuhan akan air akan meningkat seiring dengan bertambahnya aktivitas masyarakat, dilain pihak terjadi penurunan kualitas air permukaan akibat aktivitas manusia sehingga mengakibatkan masyarakat beralih menggunakan airtanah. Pemanfaatan airtanah yang berlebihan dapat mengakibatkan dampak yang negatif bagi lingkungan, untuk itu perlu adanya kajian karakteristik airtanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi litologi lapisan tanah, menentukan posisi akuifer dan ketebalannya, serta menganalisis sebaran akuifer di lokasi penelitian. Salah satu cara untuk mengetahui adanya lapisan pembawa air adalah dengan metode tahanan jenis (resistivity method), yakni dengan alat geolistrik beserta peralatan pendukungnya. Penyelidikan geolistrik dilakukan atas dasar sifat fisika batuan terhadap arus listrik, karena setiap jenis batuan akan memberikan tahanan jenis yang berbeda pula. Dengan memanfaatkan sifat ini lapisan akuifer yang mengandung airtanah dapat diduga berdasarkan nilai resistivitasnya. Penelitian ini dilakukan di tujuh kecamatan Kota Tangerang Selatan yaitu Kecamatan Setu, Kecamatan Serpong, Kecamatan Serpong Utara, Kecamatan Pondok Aren, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Ciputat dan Kecamatan Ciputat Timur. Pada masing-masing kecamatan ditentukan dua titik pengukuran geolistrik untuk mendapatkan gambaran umum sebaran akuifer di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Berdasarkan hasil interpretasi pendugaan geolistrik pada 14 titik duga setelah dikorelasikan dengan data geologi dan hidrogeologi setempat, di daerah penyelidikan pendugaan geolistrik ini bertahanan jenis sebesar 0,64 198,13 ohmmeter. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, akuifer yang berkembang di daerah penelitian Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten berlitologi pasir lempungan dengan nilai tahanan jenis berkisar antara 2-5 ohmmeter, pasir tufaan dengan nilai tahanan jenis berkisar antara 6-10 ohmmeter, dan pasir konglomeratan dengan nilai tahanan jenis > 10 ohmmeter. Akuifer yang berkembang di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten dapat dibedakan menjadi akuifer dangkal dan akuifer dalam. Ketebalan akuifer dangkal (pada kedalaman < 50 m) di Kota Tangerang Selatan bervariasi antara 2-12 m pada kedalaman 3-44,73 m di bawah permukaan tanah (bmt). Akuifer dalam (pada kedalaman > 50 m) berada pada kedalaman m di bawah permukaan tanah dengan ketebalan > 75 m. Sebaran akuifer di wilayah studi merupakan akuifer endapan aluvial atau endapan permukaan, dan endapan sedimen, dengan sistem aliran airtanah pada akuifer ini adalah melalui ruang antar butir. Pola aliran airtanah dangkal mengikuti bentuk umum topografi yaitu mengalir ke arah Utara dimana sebaran akuifer bebas semakin ke Utara semakin dangkal. Kata Kunci : sebaran akuifer, geolistrik, litologi, metode tahanan jenis, pola aliran airtanah vi

5 PENENTUAN SEBARAN AKUIFER DENGAN METODE TAHANAN JENIS (RESISTIVITY METHOD) DI KOTA TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA TEKNIK pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh ARLAND ASRA F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 vii

6 Judul skripsi Nama NIM : Penentuan Sebaran Akuifer Dengan Metode Tahanan Jenis (Resistivity Method) Di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten : Arland Asra : F Menyetujui, Pembimbing Akademik, (Dr. Ir. Roh Santoso Budi Waspodo, MT) NIP Mengetahui : Ketua Departemen. (Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, Ms) NIP Tanggal ujian : 21 juni 2012 Tanggal Lulus : viii

7 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Penentuan Sebaran Akuifer dengan Metode Tahanan Jenis (Resistivity Method) di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juli 2012 Yang membuat pernyataan Arland Asra F ix

8 Hak cipta milik Arland Asra, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya x

9 BIODATA Arland Asra. Lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat pada tanggal 11 Mei 1990 dan merupakan anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Djanuir dan Ibu Desita Asra. Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan di SDN 09 Pakan Kurai, Kota Bukittinggi. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri Enam (SLTPN6) di Kota Bukittinggi dan lulus tahun Tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas Negeri Lima (SMAN5) di Kota Bukittinggi dan lulus tahun Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui SNMPTN di Departemen Teknik Sipil & Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjadi mahsiswa penulis aktif mengikuti seminar-seminar kewirausahaan, selain juga aktif melakukan kegiatan di UKM IPB. Selain itu penulis sempat aktif di organisasi Ikatan Persatuan Mahasiswa Minang (IPMM). Penulis melakukan kegiatan Praktek Lapang di PT. Sari Aditya Loka I di Kabupaten Muaro Bungo, Provinsi Jambi dengan topik Pengolahan Limbah Pabrik Sawit di PT. Sari Aditya Loka I. Selanjutnya penulis melakukan penelitian di bidang hidrogeologi dengan judul Penentuan Sebaran Akuifer dengan Metode Tahanan Jenis (Resistivity Method) di Kota Tenggerang Selatan, Provinsi Banten di bawah bimbingan Dr. Ir. Roh Santoso Budi Waspodo, MT. Penulis menyelesaikan program sarjana pada tahun xi

10 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunianya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam tidak lupa dipanjatkan kepada Nabi Muhammad SAW atas segala suritauladan yang telah diberikan. Laporan penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Laporan ini ditulis berdasarkan kegiatan penelitian yang dilaksanakan di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten pada bulan November Pada kesempatan ini diucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Roh Santoso Budi Waspodo, MT selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan dalam bidang akademik, moral, dan spiritual. 2. Dr. Ir. Nora H Panjaitan, DEA dan Dr. Ir. Meiske Widyarti, MEng sebagai dosen penguji atas segala masukannya untuk kelengkapan skripsi ini. 3. Bapak, ibu, dan keluarga tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungan secara moral maupun spiritual dalam penyusunan skripsi ini. 4. Teman-teman senasib seperjuangan di Teknik Sipil dan Lingkungan 45 dan tim BLH serta bang Penki Irawan, S.TP, atas bantuan dan dorongan semangatnya selama pelaksanaan studi, penelitian dan penyusunan skripsi. 5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu terlaksananya penelitian hingga tersusunnya laporan ini. Disadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan saran dan kritikan sebagai bahan perbaikan laporan ini. Laporan ini diharapkan dapat bermamfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Juli 2012 Penulis iii

11 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG TUJUAN PENELITIAN... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA SIKLUS HIDROLOGI SUMBER DAYA AIR AIRTANAH GEOFISIKA GEOLISTRIK... 9 III. METODOLOGI WAKTU DAN TEMPAT ALAT DAN BAHAN METODE PENELITIAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN IDENTIFIKASI AKUIFER DAN PENDUGAAN GEOLISTRIK PENAMPANG TEGAK TAHANAN JENIS PENGUKURAN PRIMER SEBARAN AKUIFER V. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

12 DAFTAR TABEL Tabel 1. Perkiraan jumlah sumber daya air di dunia... 5 Tabel 2. Jenis-jenis metode geofisik Tabel 3. Keunggulan geolistrik Tabel 4. Nilai tahanan jenis batuan Tabel 5. Banyaknya curah hujan dan hari hujan Tabel 6. Dugaan tahanan jenis daerah lokasi penelitian Tabel 7. Hasil interpretasi data geolistrik (GL.1-GL.7) Tabel 8. Hasil interpretasi data geolistrik (GL.8-GL.14) v

13 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Siklus hidrologi... 3 Gambar 2. Kondisi akuifer secara ideal... 5 Gambar 3. Konfigurasi Wenner Gambar 4. Konfigurasi Schlumberger Gambar 5. Nilai tahanan jenis batuan Gambar 6. Diagram alir penelitian Gambar 7. Penampang tegak berdasarkan pengukuran geolistrik (GL.1-GL.7) Gambar 8. Penampang tegak berdasarkan pengukuran geolistrik (GL.8-GL.14) Gambar 9. Peta pengukuran geolistrik Gambar 10. Potongan melintang akuifer arah Selatan-Utara Kota Tangerang Selatan Gambar 11. Potongan melintang akuifer arah Barat-Timur Kota Tangerang Selata vi

14 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Peta topografi Kota Tangerang Selatan Lampiran 2. Peta geologi Kota Tangerang Selatan Lampiran 3. Peta hidrogeologi akuifer endapan Lampiran 4. Hasil pengukuran geolistrik pada titik ukur 1 (GL.1) Lampiran 5. Hasil pengukuran geolistrik pada titik ukur 2 (GL.2) Lampiran 6. Gambar lisensi Progress Version Lampiran 7. Contoh pengolahan data geolistrik dengan Progress Version 3.0 (GL.1) Lampiran 8. Contoh pengolahan data geolistrik dengan Progress Version 3.0 (GL.2) vii

15 I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Air adalah zat atau materi atau unsur yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang diketahui sampai saat ini di bumi, tetapi tidak di planet lain dalam Sistem Tata Surya dan menutupi hampir 71 % permukaan bumi (Matthews, 2005). Wujudnya dapat berupa cairan, es (padat) dan uap/gas. Dengan kata lain karena air, maka Bumi menjadi satu-satunya planet dalam Tata surya yang memiliki kehidupan (Parker, 2007). Air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk melangsungkan kehidupan dan meningkatkan kesejahteraannya. Pembangunan di bidang sumber daya air pada dasarnya adalah upaya untuk memberikan akses secara adil kepada seluruh masyarakat untuk mendapatkan air agar hidup dengan cara yang sehat, bersih, dan produktif. Indonesia yang terletak di daerah tropis merupakan negara yang mempunyai ketersediaan air yang cukup. Namun secara ilmiah Indonesia menghadapi kendala dalam memenuhi kebutuhan air karena distribusi yang tidak merata, sehingga air yang dapat disediakan akan selalu sesuai dengan kebutuhan, baik dalam jumlah maupun mutu. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan air minum juga semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan air minum tersebut tidak diiringi dengan ketersediaan air baku baik air permukaan, air hujan, maupun airtanah diakibatkan antara lain oleh pembangunan dan perubahan tata guna lahan yang sering kurang mempertimbangkan kelestarian ekosistem di sekitarnya. Hal ini diperburuk dengan perubahan iklim global dengan meningkatnya suhu bumi dan semakin panjangnya musim kemarau di Indonesia. Kondisi ini kemudian mengakibatkan semakin meluasnya daerah rawan air di sebagian besar wilayah Indonesia pada musim kemarau dan banjir pada musim penghujan. Dinamika pembangunan Kota Tangerang Selatan sampai saat ini menuju kepada profile Kota Metropolitan dimana pertumbuhan jasa dan perdagangan menunjukkan trend positif dan ini bagian dari visi Kota Tangerang Selatan, yaitu perdagangan dan jasa. Suatu kota yang menuju kepada Kota Metropolitan, aktivitas dari sektor swasta yang tampak menonjol adalah semaraknya bidang usaha property yaitu pembangunan gedung-gedung perkantoran, pertokoan, apartemen dan perumahanperumahan. Dengan maraknya aktivitas tersebut, maka kebutuhan akan public goods dan infrastruktur perkotaan, makin meningkat seperti energi listrik, transportasi, air bersih, dan jasa lainnya. Public goods dan infrastruktur perkotaan merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakannya, jika tidak tersedia fasilitas tersebut, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam pembangunan dan dapat menimbulkan konflik sosial ekonomi dalam masyarakat di masa depan. Aktivitas pembangunan perkotaan baik dari sektor swasta maupun pemerintah tentulah memperhatikan kriteria-kriteria yang diatur oleh pemerintah agar tidak terjadi masalah di kemudian hari. Faktor regulasi yang dipersyaratkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan faktor fisik perkotaan menjadi pedoman, khususnya dalam pembangunan gedung dan infrastruktur lainnya. Dengan memperhatikan dinamika pertumbuhan pembangunan Kota Tangerang Selatan dewasa ini, maka dipandang perlu untuk melakukan kajian geohidrologi Kota Tangerang Selatan yang akan menjadi referensi bagi semua pihak dalam membuat program/kegiatan pembangunan fisik di kota ini. Kota Tangerang Selatan membutuhkan kajian geohidrologi yang komprehensif untuk pengembangan wilayah terutama geohidrologi yaitu kondisi permukaan bumi, sumber daya air, sumber daya mineral 1

16 dan energi, sumber daya bangunan, daya dukung tanah dan batuan untuk pondasi dan antisipasi berupa gempa. Informasi dan data tentang kondisi geologi Kota Tangerang Selatan akan dianalisis, sehingga dapat menghasilkan kajian holistik dengan menyesuaikan kembali penataan ruang dan wilayah yang termuat dalam dokumen RTRW. Dengan demikian penggunaan lahan untuk kawasan pemukiman, perdagangan, industri, pertanian dan pariwisata ditetapkan dengan memperhatikan kondisi lingkungan geologi sebagai faktor pendukung dan mungkin merupakan faktor kendala. Oleh karena itu kajian geologi untuk pengembangan wilayah sangatlah penting dilakukan karena pembangunan yang dilaksanakan tanpa perencanaan yang matang dapat menimbulkan masalah di kemudian hari. Akuifer atau lapisan pembawa air, secara geologi merupakan suatu lapisan batuan yang mengandung air, dimana batuan pada lapisan tersebut mempunyai sifat-sifat yang khas yang memiliki permeabilitas dan porositas air yang cukup baik. Biasanya lapisan pasir (Sandstone) atau lapisan lainnya yang mengandung pasiran (Bowen, 1986). Salah satu cara untuk mengetahui adanya lapisan pembawa air adalah dengan melakukan metode geofisika geolistrik (Resistivity). Dengan cara ini lapisan pembawa air dapat diketahui kedalaman, ketebalan, serta penyebarannya. Kegiatan eksplorasi air dengan geolistrik ini dilakukan di tujuh kecamatan di kota Tangerang selatan, Provinsi Banten dan dilakukan pada bulan November Pengukuran resistivitas ini dilakukan pada 14 titik koordinat, masing-masing kecamatan diwakili dengan dua titik koordinat, sehingga diperoleh data yang akurat. Beberapa kendala yang terkadang timbul adalah bila terdapat suatu pengaruh kondisi geologi permukaan, misalnya perubahan dari tanah permukaan berupa timbunan ataupun adanya gejala geologi yang disebabkan oleh pengaruh struktur yang melalui areal penyelidikan. Dengan terdapatnya struktur tersebut akan menyebabkan terganggunya potensi lapisan pembawa air. Kendala lainya adalah lapisan yang kedap air sehingga tingkat kelolosan air kurang baik, dimana pada jenis batuan ini, kandungan air yang ada kurang memadai sebagai akuifer. 1.2 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah : 1. Mengidentifikasi litologi lapisan tanah. 2. Menentukan posisi akuifer dan ketebalannya. 3. Menganalisis sebaran akuifer di lokasi penelitian. 2

17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SIKLUS HIDROLOGI Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1993) siklus hidrologi adalah air yang menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan setelah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi, dan transpirasi. Menurut Asdak (2002) air yang jatuh ke permukaan bumi akan tertahan sementara di sungai, danau, atau waduk dan dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Perjalanan air dimulai dari penguapan air permukaan ke atmosfer melalui proses evaporasi, dari tumbuhan melalui proses transpirasi dan dari gabungan keduanya melalui proses evapotranspirasi. Uap air yang terbentuk dari proses evaporasi, transpirasi, dan evapotranspirasi tersebut membentuk awan setelah mencapai temperatur titik kondensasi dan jatuh ke permukaan bumi sebagai presipitasi. Sebagian air tersebut mengalir sebagai run off melalui berbagai bentuk badan air seperti sungai, danau, rawa, dan kemudian masuk ke laut. Sebagian air yang lain mengalami infiltrasi dan perkolasi membentuk aliran bawah permukaan menjadi aliran tanah. Dengan berbagai cara akhirnya airtanah mengalir menuju laut (Todd, 1995). Dalam siklus hidrologi, pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Energi matahari dan faktor-faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya evaporasi di permukaan vegetasi dan tanah, laut dan badan air lainnya. Hasil evaporasi berupa uap air akan terbawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung maupun datar dan pada keadaan atmosfer yang memungkinkan dengan kondisi iklim tertentu, sebagian dari uap air tersebut akan terkondensasi dan kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju, hujan gerimis atau kabut. Sumber : Max Planck Institut For Meteorology, 1999 Gambar 1. Siklus hidrologi Sebelum mencapai permukaan, air hujan tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan tersebut akan tersimpan di permukaan tajuk dan sebagian yang lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun (throughfall) atau mengalir melalui permukaan batang pohon (stemflow). Sebagian air hujan tidak pernah sampai ke permukaan tanah karena terevaporasi kembali ke atmosfer selama dan setelah berlangsungnya hujan (interception loss). 3

18 Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk terserap ke dalam tanah (infiltration). Sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah akan tertampung sementara ke dalam cekungan-cekungan permukaan tanah kemudian mengalir ke tempat yang lebih rendah dan selanjutnya masuk ke sungai. Air infiltrasi akan membentuk kelembaban tanah karena tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler. Apabila tingkat kelembaban airtanah telah cukup jenuh maka air hujan yang baru masuk ke dalam tanah akan bergerak lateral (horizontal). Pada tempat tertentu air tersebut akan keluar lagi ke permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. 2.2 SUMBER DAYA AIR Air dalam kondisi sehari-hari dapat ditemui dalam tiga wujud sekaligus, yaitu cair (air), gas (uap air), dan padat (es). Air merupakan sumber kehidupan dan merupakan asal-muasal kehidupan itu berdiri di planet ini. Air ada di mana-mana baik di samudra, padang es, danau, dan sungai. Air meliputi hampir tiga perempat permukaan bumi dan diperkirakan mencapai juta kilometer kubik air. Di bawah tanah terdapat sekitar 8,3 juta kilometer kubik air lagi dalam bentuk airtanah. Di dalam atsmofer bumi juga terdapat kilometer kubik air yang kebanyakan dalam bentuk uap. Air adalah material yang paling berlimpah di bumi ini, menutupi sekitar 71 % dari muka bumi ini. Makhluk hidup hampir seluruhnya tersusun atas air, 50 sampai 97 % dari seluruh berat tanaman dan hewan hidup dan sekitarnya 70 % dari berat tubuh manusia. Manusia dapat hidup sebulan tanpa makanan, tapi hanya dapat bertahan 3 hari saja tanpa air (Kashef, 1987). Air seperti halnya energi, adalah hal yang esensial bagi pertanian, industri, dan hampir semua sisi kehidupan manusia. Secara filosofis, air merupakan sumber kehidupan dan sekaligus bermakna bahwa air merupakan zat yang sangat diperlukan bagi kehidupan setiap umat manusia dan seluruh makluk hidup yang diciptakan Allah SWT. Air bergerak di atas permukaan tanah dengan aliran utama dan danau, semakin landai lahan semakin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan di sekitar daerah aliran sungai menuju laut. Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut (Sosrodarsono dan Takeda, 1993). Banyaknya lahan yang beralih fungsi, yang tadinya merupakan kawasan resapan, menjadi kawasan pertanian dan pemukiman akan menyebabkan terganggunya daur air kawasan. Dalam abad 21 semakin dirasakan akan adanya keterbatasan alam dalam menyediakan air bagi kehidupan. Jumlah pasokan air wilayah yang berasal dari hujan relatif tetap, tetapi mulai dirasakan tidak mengimbangi tingkat kebutuhan. Kelimpahan sumberdaya air yang dimiliki Indonesia tidak menjamin melimpahnya ketersediaan air di wilayah pada dimensi tepat dan dimensi waktu. Variasi iklim serta kerentanan sistem sumberdaya air terhadap perubahan iklim akan memperparah status krisis air yaitu dengan meningkatnya frekuensi banjir dan panjangnya kekeringan, sehingga ketersediaan air semakin tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan air untuk berbagai penggunaan. Di samping itu dengan dipacunya pertumbuhan ekonomi, permintaan akan sumberdaya air baik kuantitas maupun kualitasnya semakin meningkat pula dan di tempat-tempat tertentu melebihi ketersediaannya. Hal ini menyebabkan sumberdaya air dapat menjadi barang yang langka. Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya. Air akan selalu ada karena air tidak pernah berhenti bersikulasi dari atsmofer ke bumi dan kembali lagi ke atsmofer mengikuti siklus hidrologi. Ketika jumlah penduduk masih terbatas dan alam masih belum banyak tereksploitasi, air terasa berlimpah sepanjang waktu dengan kualitas yang cukup 4

19 baik, dan ketika itu pula air serasa belum memiliki nilai yang berarti. Ketika keberadaan air dirasakan semakin terbatas, baik dari segi kualitasnya maupun kuantitasnya, dan kebutuhan manusia akan air terasa semakin meningkat untuk memenuhi berbagai keperluan, serta kualitas lingkungan dan ekosistem mulai terganggu, pada waktu itu nilai air mulai diperhitungkan. Air tidak hanya berfungsi sosial dan lingkungan tetapi juga memiliki nilai ekonomis (Sosrodarso dan Takeda, 1993). Menurut Arsyad (2000), konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Setiap perlakuan manusia di bumi terhadap pemanfaatan tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat tersebut. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya air harus dilakukan dengan teratur dan terencana dengan baik. Tabel 1. Perkiraan jumlah sumber daya air di dunia Lokasi Volume Air (km 3 ) % Air di daratan 37850,00 2,8000 Danau air tawar 125,00 0,0090 Danau air asin dan laut daratan 104,00 0,0080 Sungai 1,25 0,0001 Kelembaban tanah dan air vadose 67,00 0,0050 Airtanah sampai kedalaman 4000 m 8350,00 0,6100 Es dan glaciers 29200,00 2,1400 Air di atmosfir 13,00 0,0010 Air di Lautan ,00 97,2000 Total Air di Dunia , Sumber : Fetter, AIRTANAH Airtanah adalah air yang bergerak dalam tanah yang terdapat di dalam ruang-ruang antara butirbutir tanah yang membentuk itu dan di dalam retak-retak dari batuan (Sosrodarso dan Takeda, 1993). Menurut Todd (1995), airtanah adalah air yang bergerak di dalam tanah yang terdapat di dalam ruang antar butir-butir tanah yang meresap ke dalam tanah dan bergabung membentuk lapisan tanah yang disebut akuifer. Lapisan yang mudah dilalui oleh airtanah disebut lapisan permeable, seperti lapisan yang terdapat pada pasir dan kerikil, sedangkan lapisan yang sulit dilalui airtanah disebut lapisan impermeabel, seperti lapisan lempung atau geluh. Lapisan impermeable terdiri dari dua jenis yakni lapisan kedap air dan lapisan kebal air (aquifuge), sedangkan lapisan yang sulit dilalui airtanah seperti lapisan lempung disebut lapisan kedap air (aquiclude). Sumber : Todd, 1995 Gambar 2. Kondisi akuifer secara ideal 5

20 Akuifer adalah salah satu lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi yang permeabel baik yang terkonsolidasi (misalnya lempung) maupun yang tidak terkonsolidasi (pasir) dengan kondisi jenuh air dan mempunyai suatu besaran konduktivitas hidrolik (K) yang berfungsi menyimpan airtanah dalam jumlah besar sehingga dapat membawa air (atau air dapat diambil) dalam jumlah ekonomis. Dengan demikian, akuifer pada dasarnya adalah kantong air yang berada di dalam tanah. Aquiclude (impermeabel layer), adalah suatu lapisan-lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi yang impermeabel dengan nilai konduktivitas hidrolik yang sangat kecil sehingga tidak memungkinkan air melewatinya. Dapat dikatakan juga merupakan lapisan pembatas atas dan bawah suatu confined aquifer. Aquitard (Semi impervious layer), adalah suatu lapisan-lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi yang permeabel dengan nilai konduktivitas hidrolik yang kecil namun masih memungkinkan air melewati lapisan ini walaupun dengan gerakan yang lambat. Dapat dikatakan juga merupakan lapisan pembatas atas dan bawah suatu semi confined aquifer. Confined aquifer, merupakan akuifer yang jenuh air yang dibatasi oleh lapisan atas dan bawahnya merupakan aquiclude dan tekanan airnya lebih besar dari tekanan atmosfer. Pada lapisan pembatasnya tidak ada air yang mengalir (non-flux). Semi confined (leaky aquifer), merupakan akuifer yang jenuh air yang dibatasi oleh lapisan atas berupa aquitard dan lapisan bawahnya merupakan aquiclude. Pada lapisan pembatas di bagian atasnya karena bersifat aquitard masih ada air yang mengalir ke akuifer tersebut (influx) walaupun hidrolik konduktivitasnya jauh lebih kecil dibandingkan hidrolik konduktivitas akuifer. Tekanan airnya pada akuifer lebih besar dari tekanan atmosfer. Unconfined aquifer, merupakan akuifer jenuh air (saturated). Lapisan pembatasnya, yang merupakan aquitard hanya pada bagian bawahnya dan tidak ada pembatas aquitard di lapisan atasnya. Pembatas di lapisan atas berupa muka airtanah. Dengan kata lain merupakan akuifer yang mempunyai muka airtanah. Semi unconfined aquifer, merupakan akuifer yang jenuh air (saturated) yang dibatasi hanya lapisan bawahnya yang merupakan aquitard. Pada bagian atasnya ada lapisan pembatas yang mempunyai konduktivitas hidrolik lebih kecil dari pada konduktivitas hidrolik dari akuifer. Akuifer ini juga mempunyai muka airtanah yang terletak pada lapisan pembatas tersebut. Artesian aquifer, merupakan confined aquifer di mana ketinggian hidroliknya (potentiometrik surface) lebih tinggi dari pada muka airtanah. Oleh karena itu apabila pada akuifer ini dilakukan pengeboran maka akan timbul pancaran air (spring), karena air keluar dari pengeboran ini berusaha mencapai ketinggian hidrolik tersebut. Asal muasal airtanah digolongkan menjadi 4 tipe yang jelas (Todd, 1995), yaitu air meteorik, air juvenil, air rejuvenated, dan air konat. Air meteorik adalah airtanah yang berasal dari atmosfer mencapai zona kejenuhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung oleh infiltrasi pada permukaan tanah dan secara tidak langsung oleh permukaan influen (dimana kemiringan muka airtanah menyusup di bawah arus air permukaan-kebalikan dari efluen) dari danau, sungai, saluran buatan, dan lautan. Secara langsung dengan cara kondensasi uap air (dapat diabaikan). Air juvenil adalah airtanah yang merupakan air baru yang ditambahkan pada zona kejenuhan dari kerak bumi yang dalam. Selanjutnya air ini dibagi lagi menurut sumber spesifikasinya kedalam air magnetik, air gunung api dan air kosmik (yang dibawa oleh meteor). Air diremajakan (rejuvenated) adalah air yang untuk sementara waktu telah dikeluarkan dari siklus hidrologi oleh pelapukan, maupun oleh sebab-sebab lain, kembali ke siklus lagi dengan prosesproses metamorforsisme, pemadatan atau proses-proses yang serupa (Todd, 1995). 6

21 Air konat adalah air yang dijebak pada beberapa batuan sedimen atau gunung pada asal mulanya. Air tersebut biasanya sangat termineralisasi dan mempunyai salinitas yang lebih tinggi dari pada air laut. Untuk lebih memahami proses terbentuknya airtanah, pertama kali harus diketahui tentang gayagaya yang mengakibatkan terjadinya gerakan air di dalam tanah. Uraian tentang infiltrasi telah secara lengkap menunjukkan proses dan mekanisme perjalanan air dalam tanah. Juga telah disebutkan bahwa semakin dalam, jumlah dan ukuran pori-pori tanah menjadi semakin kecil. Lebih lanjut, ketika air tersebut mencapai tempat yang lebih dalam, air tersebut sudah tidak berperan dalam proses evaporasi atau transpirasi. Keadaan tersebut menyebabkan terbentuknya wilayah jenuh di bawah permukaan tanah yang kemudian dikenal sebagai airtanah. Untuk usaha-usaha pengisian kembali airtanah melalui peningkatan proses infiltrasi tanah serta usaha-usaha reklamasi airtanah, maka kedudukan akuifer dapat dipandang dari dua sisi yang berbeda, yakni zona akuifer tidak jenuh dan zona akuifer jenuh. Zona akuifer tidak jenuh adalah suatu zona penampung air di dalam tanah yang terletak di atas permukaan airtanah (water table) baik dalam keadaan alamiah (permanen) atau sesaat setelah berlangsungnya periode pengambilan airtanah. Zona akuifer jenuh adalah suatu zona penampung airtanah yang terletak di bawah permukaan airtanah kecuali zona penampung airtanah yang sementara jenuh dan berada di bawah daerah yang sedang mengalami pengisian airtanah. Zona akuifer tidak jenuh merupakan zona penyimpanan airtanah yang paling berperan dalam mengurangi kadar pencemaran airtanah dan oleh karenanya zona ini sangat penting untuk usaha-usaha reklamasi dan sekaligus pengisian kembali airtanah, sedang zona akuifer jenuh seperti telah diuraikan di muka lebih berfungsi sebagai pemasok airtanah yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan zona akuifer tidak jenuh dalam hal akuifer yang pertama tersebut mampu memasok airtanah dalam jumlah yang lebih besar serta mempunyai kualitas air yang lebih baik. Akuifer ini dibedakan menjadi akuifer bebas (unconfined aquifer) dan akuifer tertekan (confined aquifer). Akuifer bebas terbentuk ketika tinggi permukaan airtanah (water table) menjadi batas antara zona tanah jenuh. Tinggi permukaan airtanah berfluktuasi tergantung pada jumlah dan kecepatan air (hujan) masuk ke dalam tanah, pengambilan airtanah, dan permeabilitas tanah. Akuifer tertekan juga dikenal sebagai artesis, terbentuk ketika airtanah dalam dibatasi oleh lapisan kedap air sehingga tekanan di bawah lapisan kedap air tersebut lebih besar dari pada tekanan atmosfer. Lebih lanjut, penyebaran airtanah dapat dibedakan berdasarkan daerah penyebarannya menjadi zona aerasi (zona akuifer tidak jenuh) dan zona jenuh (zona akuifer jenuh). Pada zona akuifer jenuh, semua pori-pori tanah terisi oleh air di bawah tekanan hidrostatik. Zona ini dikenal sebagai zona airtanah. Menurut Todd (1995), zona aerasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian wilayah penampungan airtanah, zona pertengahan, zona kapiler dan zona jenuh. Zona airtanah (soil water zone) merupakan zona airtanah bermula dari permukaan tanah dan berkembang kedalam melalui akar tanaman. Kedalaman yang dicapai airtanah ini bervariasi tergantung pada tipe tanah dan vegetasi. Zona airtanah ini dapat diklasifikasikan menjadi zona air higroskopis, yaitu air yang diserap langsung dari udara di atas permukaan tanah; air kapiler; dan air gravitasi, yaitu air yang bergerak ke dalam tanah karena gaya gravitasi bumi. Zona pertengahan (intermediate zone) umumnya terletak antara permukaan tanah dan permukaan airtanah dan merupakan daerah infiltrasi. Zona kapiler (capillary zone) merupakan zona kapiler terbentang dari permukaan airtanah ke atas sampai ketinggian yang dapat dicapai oleh gerakan air kapiler. Zona jenuh (saturated zone) semua pori-pori tanah terisi oleh air. 7

22 2.4 GEOFISIKA Di bawah permukaan tanah terdapat perlapisan batuan yang terbedakan antara yang satu dengan yang lain karena mempunyai karakteristik fisika tertentu. Dengan metode geofisika dapat diduga jenis litologi, kedalaman dan struktur lapisan batuan di bawah permukaan tanah. Metode geofisika secara garis besar terbagi dua yaitu yang bersifat statis dan dinamis (Damtoro, 2007). Pada metode geofisika statis yang diukur adalah besaran fisika yang sudah ada dalam batuan tanpa pengaruh dari luar, misalnya metode graviti, magnetik dan paleomagnetik. Pada metode geofisika dinamis dilakukan perlakuan khusus terhadap perlapisan batuan, sehingga dapat diduga jenis litologinya dari respon yang terjadi. Jenis-jenis metode geofisik dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis-jenis metode geofisik. Metode Sifat Dasar Penelitian Hasil Graviti Statis Berat jenis batuan Gambaran secara umum kontras berat jenis batuan di bawah permukaan, untuk daerah yang sangat luas. Magnetik Statis Besaran intensitas magnetik Sifat litologi secara umum tentang dalam batuan kemagnetan batuan di bawah permukaan. Dilakukan pada Paleo magnetik Statis Arah kutub magnetik bumi yang terekam pada batuan beku. Seismologi Dinamis Gelombang magnetik sewaktu terjadi gempa bumi Seismik Dinamis Penggunaan gelombang magnetik buatan. Elektro magnetik Dinamis Penggunaan frekuensi gelombang elektro magnetik. Geolistrik Dinamis Penggunaan arus listrik batuan Sumber : Damtoro, 2007 daerah yang relatife luas. Dengan batuan metode radioactive dating, maka laju pergerakan lempeng tektonik dapat dihitung. Dilakukan untuk mengetahui arah dan kecepatan pergerakan benua. Secara global sifat umum dan ketebalan kulit bumi, magma sampai ke inti bumi. Perkiraan ketebalan dan jenis batuan, serta struktur perlapisannya. Dilakukan untuk daerah dari ukuran lokal sampai menengah. Jenis dan kedalaman litologi. Dilakukan untuk daerah yang relatif sempit sampai luas, seperti pada pencarian kemungkinan adanya panas bumi. Pada survei georadar struktur batuan dapat terlihat jelas pada kedalaman terbatas. Perkiraan ketebalan dan jenis litologi di bawah permukaan, untuk daerah dengan ukuran lokal sampai menengah. 8

23 2.5 GEOLISTRIK Penggunaan geolistrik pertama kali dilakukan oleh Conrad Schlumberger pada tahun 1912 (Damtoro, 2007). Geolistrik merupakan salah satu metode geofisika untuk mengetahui perubahan tahanan jenis lapisan batuan di bawah permukaan tanah dengan cara mengalirkan arus listrik DC (Direct Current) yang mempunyai tegangan tinggi ke dalam tanah. Injeksi arus listrik ini menggunakan dua buah elektroda arus A dan B yang ditancapkan ke dalam tanah dengan jarak tertentu. Semakin panjang jarak elektroda AB akan menyebabkan aliran arus listrik dapat menembus lapisan batuan lebih dalam. Dengan adanya aliran arus listrik tersebut maka akan menimbulkan tegangan listrik di dalam tanah. Tegangan listrik yang terjadi di permukaan tanah diukur dengan menggunakan multimeter yang terhubung melalui 2 buah elektroda tegangan M dan N yang jaraknya lebih pendek dari pada jarak elektroda AB. Bila posisi jarak elektroda AB diubah menjadi lebih besar maka tegangan listrik yang terjadi pada elektroda MN ikut berubah sesuai dengan informasi jenis batuan yang ikut terinjeksi arus listrik pada kedalaman yang lebih besar. Dengan asumsi bahwa kedalaman lapisan batuan yang dapat ditembus oleh arus listrik ini sama dengan separuh dari jarak AB yang dapat disebut AB/2 (bila digunakan arus listrik DC murni), maka diperkirakan pengaruh dari injeksi aliran arus listrik ini berbentuk setengah bola dengan jari-jari AB/2. Umumnya metode geolistrik yang sering digunakan adalah yang menggunakan empat buah elektroda yang terletak dalam satu garis lurus serta simetris terhadap titik tengah, yaitu dua buah elektroda arus (AB) di bagian luar dan dua buah elektroda tegangan (MN) di bagian dalam. Kombinasi dari jarak AB/2, jarak MN/2, besarnya arus listrik yang dialirkan serta tegangan listrik yang terjadi akan didapat suatu harga tahanan jenis semu (Apparent Resistivity). Disebut tahanan jenis semu karena tahanan jenis yang terhitung tesebut merupakan gabungan dari banyak lapisan batuan di bawah permukaan yang dilalui arus listrik. Bila satu set hasil pengukuran tahanan jenis semu dari jarak AB terpendek sampai yang terpanjang tersebut digambarkan pada grafik logaritma ganda dengan jarak AB/2 sebagai sumbu X dan tahan jenis semu sebagai sumbu Y, maka akan didapat suatu bentuk kurva data geolistrik. Dari kurva data tersebut dapat dihitung dan diduga sifat lapisan batuan di bawah permukaan. Mengetahui karakteristik lapisan batuan bawah permukaan sampai kedalaman sekitar 300 m sangat berguna untuk mengetahui kemungkinan adanya lapisan akuifer yaitu lapisan batuan yang merupakan lapisan pembawa air. Umumnya yang dicari adalah Confined aquifer yaitu lapisan akuifer yang diapit oleh lapisan batuan kedap air (misalnya lapisan lempung) pada bagian bawah dan bagian atas. Confined aquifer ini mempunyai recharge yang relatif jauh, sehingga ketersediaan airtanah di bawah titik bor tidak terpengaruh oleh perubahan cuaca setempat (Damtoro, 2007). Geolistrik ini dapat untuk mendeteksi adanya lapisan tambang yang mempunyai kontras resistivitas dengan lapisan batuan pada bagian atas dan bawahnya. Dapat juga untuk mengetahui perkiraan kedalaman bedrock untuk fondasi bangunan. Metode geolistrik juga dapat digunakan untuk menduga adanya panas bumi (geotermal) di bawah permukaan. Hanya saja metode ini merupakan salah satu metode bantu dari metode geofisika yang lain untuk mengetahui secara pasti keberadaan sumber panas bumi di bawah permukaan. Penentuan besaran akuifer dan pola aliran tanah dengan metode tahanan jenis memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode yang lain (Damtoro, 2007). Keunggulan pengukuran tahanan jenis dengan alat geolistrik memiliki keunggulan baik di bidang teknik pengukuran, pengolahan data maupun secara ekonomi yang dapat dilihat pada Tabel 3. 9

24 Item Harga peralatan Biaya Survei Waktu yang dibutuhkan Beban pekerjaan Kebutuhan personal Analisis data Tabel 3. Keunggulan geolistrik Keunggulan Relatif murah Relatif murah Relatif sangat cepat, dapat mencapai 4 titik, pengukuran atau lebih perhari. Peralatan yang kecil dan ringan sehingga mudah untuk mobilisasi. Sekitar 5 orang, terutama dibutuhkan untuk konfigurasi Schlumberger. Secara global dapat langsung diprediksi saat dilapangan dan kesalahan pengukuran dapat segera diketahui. Metode geolistrik terdiri dari beberapa konfigurasi, misalnya yang ke 4 buah elektrodanya terletak dalam suatu garis lurus dengan posisi elektroda AB dan MN yang simetris terhadap titik pusat pada kedua sisi yaitu konfigurasi Wenner dan Schlumberger (Damtoro, 2007). Setiap konfigurasi mempunyai metode perhitungan tersendiri untuk mengetahui nilai ketebalan dan tahanan jenis batuan di bawah permukaan. Metode geolistrik konfigurasi Schlumberger merupakan metode favorit yang banyak digunakan untuk mengetahui nilai ketebalan dan tahanan jenis batuan di bawah permukaan. Metode geolistrik konfigurasi Schlumberger merupakan metode favorit yang banyak digunakan untuk mengetahui karakteristik lapisan batuan bawah permukaan dengan biaya survey yang relatif murah. Umumnya lapisan batuan tidak mempunyai sifat homogen sempurna, seperti yang dipersyaratkan pada pengukuran geolistrik. Untuk posisi lapisan batuan yang terletak dekat dengan permukaan tanah akan sangat berpengaruh terhadap hasil pengukuran tegangan dan ini akan membuat data geolistrik menjadi menyimpang dari nilai sebenarnya. Hal yang dapat mempengaruhi homogenitas lapisan batuan adalah fragmen batuan lain yang menyisip pada lapisan, faktor ketidakseragaman dari pelapukan batuan induk, material yang terkandung pada jalan, genangan air setempat, perpisahan dari bahan logam yang dapat menghantar arus listrik, pagar kawat yang terhubung ke tanah dan sebagainya. Spontaneus Potensial yaitu tengangan listrik alami yang umumnya terdapat pada lapisan batuan disebabkan oleh adanya larutan penghantar yang secara kimiawi menimbulkan perbedaan tegangan pada mineral-mineral dari lapisan batuan yang berbeda juga akan menyebabkan ketidak homogenan lapisan batuan. Perbedaan tegangan listrik ini umumnya relatif kecil, tetapi bila digunakan konfigurasi Schlumberger dengan jarak elektroda AB yang panjang dan jarak MN yang relatif pendek, maka ada kemungkinan tegangan listrik alami tersebut ikut menyumbang pada hasil pengukuran tegangan listrik pada elektroda MN, sehingga data yang terukur menjadi kurang benar. Untuk mengatasi adanya tegangan listrik alami ini hendaknya sebelum dilakukan pengaliran arus listrik, multimeter diset pada tegangan listrik alami tersebut dan kedudukan awal dari multimeter dibuat menjadi nol. Dengan demikian alat ukur multimeter akan menunjukkan tegangan listrik yang benar-benar diakibatkan oleh pengiriman arus pada elektroda AB. Multimeter yang mempunyai fasilitas seperti ini hanya terdapat pada multimeter dengan akurasi tinggi Konfigurasi Wenner Jarak MN pada konfigurasi Wenner selalu sepertiga dari jarak AB. Bila jarak AB diperbesar, maka jarak MN juga harus diubah sehingga jarak MN tetap sepertiga jarak AB (Damtoro, 2007). 10

25 Gambar 3. Konfigurasi Wenner Keunggulan dari konfigurasi Wenner ini adalah ketelitian pembacaan tegangan pada elektroda MN yang relatif dekat dengan elektroda AB. Disini dapat digunakan alat ukur multimeter dengan impedansi yang relatif lebih kecil. Sedangkan kelemahannya adalah tidak dapat mendeteksi homogenitas batuan di dekat permukaan yang dapat berpengaruh terhadap hasil perhitungan. Data yang didapat dari cara konfigurasi Wenner, sangat sulit untuk menghilangkan faktor non homogenitas batuan, sehingga hasil perhitungan menjadi kurang akurat Konfigurasi Schlumberger Pada konfigurasi Schlumberger idealnya jarak MN dibuat sekecil-kecilnya, sehingga jarak MN secara teoritis tidak berubah. Tetapi karena keterbatasan kepekaan alat ukur, maka ketika jarak AB sudah relatif besar maka jarak MN hendaknya dirubah. Perubahan jarak MN hendaknya tidak lebih besar dari 1/5 jarak AB. Kelemahan dari konfigurasi Schlumberger ini adalah pembacaan tegangan pada elektroda MN adalah lebih kecil terutama jika jarak AB yang relatif jauh, sehingga diperlukan alat ukur multimeter yang mempunyai karakteristik high impedence dengan akurasi tinggi yaitu yang dapat menampilkan tegangan minimal 4 digit atau 2 digit di belakang koma. Atau dengan cara lain diperlukan peralatan pengiriman arus yang mempunyai tegangan listrik DC yang sangat tinggi. Sedangkan keunggulan konfigurasi Schlumberger ini adalah kemampuan untuk mendeteksi adanya non-homogenitas lapisan batuan pada permukaan, yaitu dengan membandingkan nilai resistivitas semu ketika terjadi perubahan jarak elektroda MN/2. Agar pembacaan tegangan pada elektroda MN dapat dipercaya, maka ketika jarak AB relatif besar hendaknya jarak elektroda MN juga diperbesar. Pertimbangan perubahan jarak elektroda MN terhadap jarak elektroda AB yaitu ketika pembacaan tegangan listrik pada multimeter sudah demikian kecil, misalnya 1.0 milivolt. Umumnya perubahan jarak MN dapat dilakukan bila telah tercapai perbandingan antara jarak MN berbanding jarak AB = 1:20. Perbandingan yang lebih kecil misalnya 1:50 dapat dilakukan bila mempunyai alat utama pengirim arus yang mempunyai keluaran tegangan listrik DC sangat besar, katakanlah 1000 Volt atau lebih, sehingga beda tegangan yang terukur pada elektroda MN tidak lebih kecil dari 1.0 milivolt. Contoh penggunaan jarak MN/2 terhadap jarak AB/2 Untuk jarak AB/2 dari 2.5 m sampai 10 m, gunakan jarak MN/2 = 0.5 m Untuk jarak AB/2 dari 10 m sampai 40 m, gunakan jarak MN/2 = 2.0 m Untuk jarak AB/2 dari 40 m sampai 160 m, gunakan jarak MN/2 = 8.0 m Untuk jarak AB/2 dari 160 m sampai 500 m, gunakan jarak MN/2 = 30 m Contoh di atas tidak mengikat dan dapat juga digunakan pasangan harga yang lain apabila dirasa perlu. 11

26 Gambar 4. Konfigurasi Schlumberger. Menurut Damtoro (2007), untuk menghitung nilai resistivitas semu, diperlukan suatu bilangan faktor geometri (K) yang tergantung pada jenis konfigurasi, jarak AB/2 dan MN/2. Perhitungan bilangan konstanta (K) ini berdasarkan rumus : Apparent Resistivity : Schlumberger & Wenner : Keterangan rumus : AM = Jarak antara elektroda arus (A) dan tegangan (M) (meter) BM = Jarak antara elektroda arus (B) dan tegangan (M) (meter) AN = Jarak antara elektroda arus (A) dan tegangan (N) (meter) BN = Jarak antara elektroda arus (B) dan tegangan (M) (meter) π = ρa = Apparent Resistivity (Ohm meter) K = Faktor geometri (meter) V = Tegangan listrik pada elektroda MN (mv, millivolt) I = Arus listrik yang diinjeksikan melalui elektroda AB (ma) Agar cepat dalam menghitung tahanan jenis semu sewktu survey, hendaknya faktor geometri (K) ini dicetak pada kertas data di samping angka jarak AB/2 dan MN/2. Bila menggunakan kalkulator yang mempunyai fasilitas programming, rumus perhitungan faktor geometri ini dapat dimasukkan sebagai langkah program untuk menghitung tahanan jenis semu. Interprestasi dari pengukuran ini dapat dilakukan dengan asumsi bahwa : Di bawah permukaan tanah terdapat sejumlah lapisan batuan dengan ketebalan terbatas. Lapisan batuan dibawah permukaan dalam posisi horizontal. Setiap lapisan batuan mempunyai sifat homogen (jenis litologi sama) dan secara kelistrikan bersifat isotropik (diukur dari berbagai arah akan memberikan harga yang sama). 12

27 III. METODOLOGI 3.1 WAKTU DAN TEMPAT Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2011 sampai Mei 2012 di tujuh kecamatan di kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. 3.2 ALAT DAN BAHAN Survei geolistrik dimaksudkan untuk mengetahui nilai tahanan jenis batuan di bawah permukaan tanah. Beberapa peralatan lapangan yang diperlukan pada suatu survei geolistrik antara lain ; 1. Resistivity meter Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Earth Resistivity Metre tipe SAZ 3000 G100. Alat ini menggunakan input power dari accu 12V, 45A dengan output yang dihasilkan mulai dari A. 2. Elektroda Elektroda yang dipergunakan dapat dibuat dari logam alumunium, tembaga, ataupun baja tahan karat. Elektroda tersebut ditancapkan ke dalam tanah dengan kedalaman beberapa senti hingga 40 cm sesuai kebutuhan. Elektroda yang dipergunakan terdiri dari dua buah elektroda arus dan dua buah elektroda potensial. 3. Kabel penghubung Untuk menghubungkan elektroda dengan alat pengukur diperlukan kabel yang memiliki hambatan rendah dan terisolasi dengan baik. Kabel yang dibutuhkan sepanjang 500 m sebanyak dua unit untuk elektroda arus dan kabel sepanjang 300 m sebanyak dua unit untuk elektroda potensial. 4. Ohmmeter Alat ini dipergunakan untuk mengecek apakah sambungan antara kabel dengan elektroda sudah baik atau belum. Pengecekkan harus selalu dikerjakan sebelum dilakukan pengukuran. 5. Kompas geologi Dipergunakan untuk mengetahui posisi pengukuran (jika tidak terdapat alat ukur GPS) dan azimuth lintasan yang dibuat terhadap arah utara geografis. 6. Komputer Komputer digunakan untuk mengolah data hasil pengukuran geolistrik dengan menggunakan bantuan software (Progress Version 3.0). 7. Alat-alat penunjang Terdiri dari GPS yang berfungsi untuk mengetahui koordinat lokasi pengukuran, Handy talky sebanyak tiga unit, palu sebanyak empat unit, dan rol meter sepanjang 50 m sebanyak empat unit. Bahan-bahan yang dipergunakan berupa peta topografi, geologi, dan hidrogeologi dengan skala 1 : Berdasarkan peta tersebut dapat ditentukan letak titik-titik pengamatan, distribusi titik ukur, arah bentangan/lintasan, profil topografi lintasan, dan rencana sayatan yang hendak dilakukan serta untuk mengetahui informasi-informasi litologi dan sebaran akuifer di loksi penelitian. 13

28 3.3 METODE PENELITIAN Kegiatan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan, yakni ; tahap pengumpulan data yang terdiri dari data primer dan data sekunder, tahap pengolahan data hasil pengukuran di lapangan, dan tahap analisis data primer dan sekunder yang dikorelasikan dengan tabel tahanan jenis batuan. Setelah itu dilakukan penyusunan laporan dan presentasi hasil penelitian Pengumpulan Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data hasil dari pengukuran menggunakan geolistrik dengan seperangkat perlengkapannya, sedangkan data sekunder berupa informasi-informasi yang terdapat pada peta topografi, geologi, dan hidrogeologi. Untuk melakukan pembahasan diperlukan pengumpulan data melalui studi literatur baik melalui buku-buku, laporan-laporan hasil penelitian sebelumnya serta melalui internet. Pengukuran menggunakan geolistrik dimulai dengan penentuan titik-titik pengukuran. Untuk mendapatkan gambaran sebaran akuifer di Kota Tanggerang Selatan, Provinsi Banten maka pengukuran dilakukan disetiap Kecamatan yang berada di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang terdiri dari Kecamatan Setu, Kecamatan Serpong, Kecamatan Serpong Utara, Kecamatan Pondok Aren, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Ciputat dan Kecamatan Ciputat Timur. Masingmasing kecamatan diwakili oleh dua titik pengukuran geolistrik. Pengukuran menggunakan geolistrik pada prinsipnya adalah dengan cara menginjeksikan arus ke dalam tanah melalui dua elektroda arus (A dan B), dan mengukur hasil beda potensial yang ditimbulkan pada dua elektroda potensial (M dan N). Dari pengukuran tersebut diperoleh data harga arus (I) dan beda potensial (V). Dengan menggunakan persamaan konfigurasi Schlumberger maka diperoleh nilai tahanan jenis litologi batuan penyusun di lokasi penelitian. Contoh data hasil pengukuran geolistrik dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran Pengolahan dan Analisis Data Nilai tahanan jenis yang dihitung bukanlah nilai tahanan jenis bawah permukaan yang sebenarnya, namun merupakan nilai semu (apparent) yang merupakan tahanan jenis dari bumi yang dianggap homogen dan memberikan nilai resistensi yang sama untuk susunan elektroda yang sama. Untuk menentukan nilai tahanan jenis bawah permukaan yang sebenarnya diperlukan proses perhitungan secara inversi maupun forward dengan menggunakan bantuan komputer (Software progress Version 3.0). Proses pengolahan data terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap pemasukkan data, tahap estimasi model parameter, tahap iterasi, dan tahap interpretasi data. Pada tahap pemasukkan data, data yang dimasukkan berupa data jarak spasing AB/2 dan nilai tahanan jenis yang diperoleh dari hasil pengukuran geolistrik, perhitungan dilakukan dengan persamaan konfigurasi Schlumberger. Tahap estimasi model parameter dilakukan untuk menduga lapisan batuan beserta ketebalannya. Hal ini dilakukan dengan memperkirakan kedalaman batuan dan nilai tahanan jenis dari hasil pengukuran geolistrik. Estimasi ini dilakukan pada lembar forward modelling pada Software Progress 3.0. Cara melakukan estimasi adalah dengan memasukkan kedalaman batuan dalam kolom depth dan nilai tahanan jenisnya dalam kolom resistivity. Nilai kedalaman batuan dan resistivitasnya dimasukkan dengan cara mendekati titik-titik yang terplotkan pada input data pada lembar observed data. Banyak lapisan dipilih sebanyak enam lapisan. Setelah data dimasukkan, tombol panah di samping tombol 14

29 forward modelling diklik, kemudian nilai RMS akan terlihat. Nilai kedalaman dan tahanan jenis dirubah sampai didapatkan nilai RMS yang terkecil. Pada tahap iterasi dengan menggunakan Software Progress Version 3.0, dari hasil pengolahan data akan diperoleh kurva Vertical Electrical Sounding beserta kedalaman litologi batuan dan nilai tahanan jenisnya, yang disajikan pada lembar interpretasi data. Proses iterasi Dikerjakan pada lembar invers modelling pada Software Progress Version 3.0. Cara melakukan proses iterasi dengan mengubah nilai max.iteration dan RMS cut off sampai didapatkan nilai RMS terkecil. Nilai max.iteration dan RMS cut off dapat diatur dengan cara mengklik tanda panah kebawah di samping tombol max.iteration maupun melalui tombol Option, kemudian mengatur kolom pada max.iteration dan RMS cut off. Interpretasi data atau penerjemaahan data dan hasil pengukuran dilakukan pada lembar interpreted data pada Software Progress Version 3.0. Setelah data diiterasi dalam lembar invers modelling, interpretasi data ditampilkan pada kurva hubungan resistivity dan spacing, tabel hasil interpretasi data, dan legenda yang berisi titik pengukuran, konfigurasi yang digunakan, nilai RMS, deskripsi simbol dalam grafik dan penampang vertikal titik pengukuran/resistivity log. Pengolahan data menggunakan Software Progress Version 3.0 dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8. Setelah data hasil pengukuran geolistrik diolah menggunakan Software Progress Version 3.0 maka dapat diketahui jenis tanah penyusun lapisan tersebut beserta kedalaman lapisan batuan. Analisis dilakukan berdasarkan Gambar 5 dan Tabel 4. Sumber : Anonim 2012 Gambar 5. Nilai tahanan jenis batuan Airtanah terdapat pada lapisan akuifer yang memiliki ciri-ciri tersusun atas batuan pasir. Dengan mengetahui litologi lapisan tanah maka dapat diduga posisi akuifer, ketebalan lapisan akuifer dan penyebarannya di lokasi penelitian. 15

30 Jenis Batuan Tabel 4. Nilai tahanan jenis batuan Nilai Resistivitas (ohmmeter) Batuan Beku Batuan Ubahan Lempung 1-11 Serpih Lunak 0,8-12 Serpih Keras Pasir Batupasir Gamping Poros Gamping Padat Sumber : Anonim 2012 Gambar 6. Diagram alir penelitian 16

31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak, Luas dan Batas wilayah Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten yaitu pada titik koordinat Bujur Timur dan Lintang Selatan. Secara administratif, wilayah Kota Tangerang Selatan terdiri dari tujuh kecamatan, 49 kelurahan dan lima desa dengan luas wilayah berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan adalah seluas 147,19 km 2 atau ha. Namun berdasarkan hasil digitasi atas peta rupa bumi bakosurtanal luas wilayah adalah ,8 ha. Untuk kepentingan akurasi pemetaan dan kajian dalam RTRW ini maka selanjutnya luas ini yang akan digunakan dalam proses analisa hingga rencana. Batas administrasi wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut : Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Depok Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang Wilayah Kota Tangerang Selatan dilintasi oleh Kali Angke, Kali Pasanggrahan dan Sungai Cisadane sebagai batas administrasi kota di sebelah barat. Letak geografis Kota Tangerang Selatan yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta pada sebelah utara dan timur memberikan peluang pada Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu daerah penyangga provinsi DKI Jakarta. Selain itu, wilayah ini juga menjadi daerah perlintasan yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat. Kota Tangerang Selatan terdiri dari tujuh kecamatan yang dahulunya bagian dari Kabupaten Tangerang, yaitu: Kecamatan Setu, Kecamatan Serpong, Kecamatan Serpong Utara, Kecamatan Pondok Aren, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Ciputat dan Kecamatan Ciputat Timur. Kecamatan dengan wilayah paling besar di Kota Tangerang Selatan terdapat di Kecamatan Pondok Aren dengan luas ha atau 20,30% dari luas keseluruhan Kota Tangerang Selatan. Sedangkan kecamatan dengan luas paling kecil adalah Kecamatan Setu dengan luas 1.696,9 ha atau 10,06% Topografi dan Geomorfologi Sebagian besar wilayah Kota Tangerang Selatan merupakan dataran rendah, dimana sebagian besar wilayah Kota Tangerang Selatan memiliki topografi yang relatif datar dengan kemiringan tanah rata-rata 0-3% sedangkan ketinggian wilayah antara 0-25 m dpl. Untuk kemiringan pada garis besarnya terbagi atas dua bagian, yaitu : 1. Kemiringan antara 0-3% meliputi Kecamatan Ciputat, Kecamatan Ciputat Timur, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Serpong dan Kecamatan Serpong Utara. 2. Kemiringan antara 3-8% meliputi Kecamatan Pondok Aren dan Kecamatan Setu. Berdasarkan Peta Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu Nomor 1209 tahun 1992 maka Kota Tangerang Selatan termasuk satuan morfologi dataran pantai dan kipas gunung api Bogor. Dataran pantai yang dicirikan oleh permukaannya yang nisbi datar dengan ketinggian antara 0-15 m di atas permukaan laut. Sedangkan kipas gunung api Bogor yang menyebar dari selatan ke utara dengan 17

32 Bogor sebagai puncaknya. Satuan ini ditempati oleh rempah-rempah gunung api berupa tuf, konglomerat dan breksi yang sebagian telah mengalami pelapukan kuat, berwarna merah kecoklatan Geologi Wilayah Berdasarkan Peta Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu Nomor 1209 tahun 1992 (Lapmpiran 2) yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Departemen Pertambangan dan Energi, kondisi geologi Kota Tangerang Selatan pada umumnya terbentuk oleh dua formasi batuan yaitu: a. Batuan aluvium (Qa) yang terdiri dari aluvial sungai dan rawa yang berbentuk pasir, lempung, lanau, kerikil, kerakal dan sisa tumbuhan. Jenis tanah ini pada dasarnya merupakan lapisan yang subur bagi tanaman pertanian. b. Batuan gunung api yang berupa material lepas yang terdiri dari lava andesit, dasit, breksi tuf dan tuf. Secara fisik lava andesit berwarna kelabu-hitam dengan ukuran sangat halus, afanitik dan menunjukkan struktur aliran, dan breksi tuf dan tuf pada umumnya telah lapuk, mengandung komponen andesit dan desit. Pada umumnya tanah jenis ini digunakan sebagai kebun campuran, permukiman dan tegalan. Kota Tangerang Selatan merupakan daerah yang relatif datar. Adapun pada beberapa Kecamatan terdapat lahan yang bergelombang seperti di perbatasan antara Kecamatan Setu dan kecamatan Pamulang serta sebagian di Kecamatan Ciputat Timur. Kondisi geologi Kota Tangerang Selatan umumnya adalah batuan aluvium, yang terdiri dari batuan lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Berdasarkan klasifikasi dari United Soil Classification System, batuan ini mempunyai kemudahan dikerjakan atau workability yang baik sampai sedang, unsur ketahanan terhadap erosi cukup baik oleh karena itu wilayah Kota Tangerang Selatan masih cukup layak untuk kegiatan perkotaan Hidrogeologi Wilayah 1. Mandala Airtanah Berdasarkan peta hidrogeologi Kota Tangerang Selatan (Lampiran 3) mandala airtanah dapat dikelompokkan menjadi dua mandala berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu mandala airtanah perbukitan bergelombang lemah dimana litologi penyusunan dari mandala airtanah perbukitan bergelombang lemah terdiri endapan tersier dan endapan kuarter. Endapan tersier berupa batu lempung, tufa dan sisipan batu gamping. Endapan kuarter terdiri dari batuan volkanik muda dan batuan volkanik tua terdiri dari breksi, lahar, tufa batu apung di daerah landai. Penyebaran mata air mandala ini sedikit dijumpai dengan debit umum kurang dari 10 Liter/detik. Akuifer pada satuan mandala ini umumnya dikelompokkan dalam akuifer produktifitas rendah terutama pada daerah-daerah dengan lereng tajam yang merupakan pencerminan tingkat kelulusan batuan yang rendah, sehingga aliran permukaan semakin menonjol dibandingkan dengan tingkat peresapannya. Tata guna lahan di mandala ini berupa ladang, belukar, sawah, pemukiman, kebun karet. Sedangkan yang kedua yaitu mandala airtanah dataran dimana litologi penyusun satuan mandala airtanah dataran adalah adalah material bersifat lepas berupa endapan aluvial pantai dan rawa topografinya berupa dataran pantai yang tersusun oleh material, pasir, lanau, lempung dan lumpur. 18

33 Sistem akuifer pada mandala airtanah dataran ini adalah sistem aliran antar butir tipologi akuifer batuan sedimen dan endapan aluvial. Pada umumnya masyarakat mendapatkan air bersih dengan membuat sumur dangkal pada mandala airtanah dataran tersebut. 2. Tipologi Akuifer Tipologi akuifer di wilayah studi merupakan sistem akuifer endapan aluvial atau endapan permukaan, dan endapan sedimen, dengan sistem aliran airtanah pada akuifer ini adalah melalui ruang antar butir, aliran airtanah dangkal mengikuti bentuk umum topografi yaitu mengalir ke arah utara. 3. Sebaran Dan Sistem Akuifer Menurut peta hidrogeologi regional lembar Jakarta (Lampiran 3), Pusat Geologi Lingkungan tahun 1993, memetakan hidrogeologi berdasarkan lapisan akuifer endapan permukaan dan lapisan akuifer batuan dasar. Sistem akuifer endapan permukaan didasarkan pada telaah penyebaran aluvial sungai, kipas aluvial, ketebalan endapan permukaan diperoleh dari pengamatan pada sumur gali dengan kedalaman mencapai sekitar 15 m. Pada umumnya sistem akuifer endapan permukaan dijumpai pada endapan kuarter dan di beberapa bagian dijumpai di daerah pelapukan batuan tersier. Dari peta geohidrogeologi regional Jakarta untuk endapan permukaan di wilayah studi kisarannya antara m. 4. Akuifer Endapan Permukaan Akuifer endapan permukaan pada umumnya menempati daerah dataran aluvial sungai dan endapan vulkanik muda. Berdasarkan pada telaah morfologi dan geologi secara ringkas hidrogeologi endapan permukaan di wilayah studi terbagi menjadi dua yaitu luah sumur 1-5 l/det dan luah sumur < 1 l/det. Wilayah luah sumur 15 l/det persebarannya cukup luas, berada di wilayah utara dan timur wilayah serpong yaitu mulai dari Rawa Mekarjaya dan Cilenggang, sedangkan yang diselatan yaitu di Rawakalo dan Pengasinan. Batuan penyususn wilayah tersebut adalah batuan endapan permukaan berupa kerikil dan pasir lempungan dengan ketebalan kurang dari 10 m. Tipe akuifernya adalah akuifer bebas (unconfined), sistem akuifer melalui ruang antar butir, dengan debit mencapai < 5 l/detik. Wilayah luah sumur < 1 lt/det persebarannya di bagian tengah wilayah studi memanjang ke arah utara di sepanjang sungai Cisadane, terutama pada daerah dengan morfologi perbukitan bergelombang. Sebarannya berada di sebelah barat Serpong sampai wilayah Bogor. Batuan penyusun wilayah tersebut adalah batuan endapan permukaan berupa pasir lempungan dan sedikit kerikil dengan ketebalan kurang dari 7 m dan tidak menerus. Tipe akuifernya adalah akuifer bebas (unconfined), sistem akuifer melalui ruang antar butir, dengan debit mencapai 0,2 l/detik, dengan kedalaman muka airtanah 10 m di bawah muka tanah Sistem aliran airtanah pada akuifer ini melalui ruang antar butir, umumnya dimanfaatkan melalui sumur gali dengan diameter kurang dari 2 m dengan kedalaman sumur sampai 15 m. Akuifer umumnya terdiri dari beberapa lapisan, ketebalannya kurang dari 4 m dengan selingan lapisan lempung. 19

34 5. Akuifer Batuan Dasar Berdasarkan pembagian lapisan akuifer endapan batuan dasar, wilayah Jakarta terbagi menjadi tiga satuan dengan luah sumur yaitu : luah sumur lebih dari 25 l/detik, luah sumur 5-25 l/det, luah sumur < 5 l/det, persebaran masing masih satuan seperti pada Lampiran 3 (peta hidrogeologi batuan dasar). Wilayah luah sumur > 25 l/det persebarannya tidak luas setempat-setempat, berada di wilayah utara Jakarta sepanjang pantai, yaitu antara muara Ancol dan muara Angke, dan dari pantau Dadap sampai wilayah barat pantai Jakarta berbatasan dengan Tangerang. Batuan penyususn wilayah tersebut adalah dengan batuan berupa batu gamping koral dan batu gamping pasiran. Tipe akuifernya adalah akuifer bebas (unconfined), sistem akuifer aliran melalui celah, rekahan dan saluran pelarutan persebarannya setempat melalui ruang antar butir, dengan debit mencapai 10 l/detik. Wilayah luah sumur 5-25 l/det persebarannya sangat luas hampir seluruh wilayah berada pada wilayah dengan luah sumur 5-25 l/det. Batuan penyusun wilayah tersebut adalah batuan sedimen kuarter belum termampatkan sehingga sangat poros, berupa batu pasir dengan ketebalan antara 3-18 m, dijumpai sisipan lempung sehingga dibeberapa tempat dapat ditemukan sumur artesis pada kedalaman antara 3-21 m di bawah muka tanah. Tipe akuifernya adalah akuifer bebas (unconfined), dan kuifer tertekan (confined) sistem akuifer aliran melalui ruang antar butir, dan setempat dijumpai melalui rekahan. Berdasarkan pembagian lapisan akuifer endapan batuan dasar, wilayah studi yaitu daerah Serpong dan sekitarnya hanya terdiri dari satu kelompok luah sumur yaitu luah sumur < 5 l/det. Persebaran masing-masing satuan seperti terlihat pada Lampiran 3 peta hidrogeologi batuan dasar. Batuan penyususn wilayah tersebut adalah sebagian kecil batuan sedimen kuarter belum termampatkan sehingga sangat poros, berupa batu pasir dan breksi, dan sebagian berupa batuan tersier berupa breksi, batu gamping pasiran dengan ketebalan antara 3-20 m, kedalaman antara m di bawah muka tanah. Tipe akuifernya adalah akuifer bebas (unconfined), dan akuifer tertekan (confined) sistem akuifer aliran melalui ruang antar butir, dan setempat dijumpai melalui rekahan dan saluran pelarutan Iklim dan Curah Hujan Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan tanaman, oleh karena itu iklim merupakan salah satu data yang sangat diperlukan dalam perencanaan wilayah terutama keperluan pertanian. Dari analisis data pada Tabel 5 yang diperoleh dari Stasiun Geofisika Klas I Tangerang, diketahui bahwa hujan rata-rata tahunan 145,3 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari, yaitu 664 mm, sedangkan rata-rata curah hujan dalam setahun adalah 145,3 mm. Hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu sebanyak 28 hari. 20

35 4.1.6 Jenis Tanah Tabel 5. Banyaknya curah hujan dan hari hujan Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan (Hari) Januari Februari Maret April Mei 55 7 Juni Juli 1 1 Agustus 48 8 September 2 2 Oktober November Desember Rata-Rata 145,3 11,4 Sumber : Stasiun Geofisika Klas I Tangerang-BMKG, 2009 Secara umum penyebaran dan sifat-sifat tanah berkaitan erat dengan keadaan landform-nya. Hal ini terjadi karena hubungannya dengan proses genetis dan sifat batuan atau bahan induk serta pengaruh sifat fisik lingkungan. Landform sebagai komponen lahan dan tanah sebagai elemennya sangat tergantung pada faktor-faktor tersebut. Dilihat dari data jenis tanah berdasarkan keadaan geologi, di wilayah Kota Tangerang Selatan sebagian besar terdiri dari batuan endapan hasil gunung api muda dengan jenis batuan kipas aluvium dan aluvium/aluvial. Sedangkan dilihat dari sebaran jenis tanahnya, pada umumnya di Kota Tangerang Selatan berupa asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan. Oleh karena itu secara umum lahan cocok untuk pertanian/perkebunan. Jenis tanah yang sangat sesuai dengan kegiatan pertanian tersebut makin lama makin berubah penggunaannya untuk kegiatan lainnya yang bersifat non-pertanian. Sedangkan untuk sebagian wilayah seperti di Kecamatan Serpong dan Kecamatan Setu jenis tanahnya ada yang mengandung pasir khususnya untuk daerah yang dekat dengan Sungai Cisadane. 4.2 IDENTIFIKASI AKUIFER DAN PENDUGAAN GEOLISTRIK Pada titik pengukuran pertama (GL.1), sebelum dilakukan iterasi pada invers modelling nilai RMS-nya sebesar 14,17 %, setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS Cut off-nya 1, nilai RMS-nya menjadi 5,63%. Pada GL.2 nilai RMS sebesar 15,62 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.3 nilai RMS sebesar 6,97 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 4,04 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.4 nilai RMS sebesar 11,21 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 8,19 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS Cut Off-nya 1. Pada GL.5 nilai RMS sebesar 17,28 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 13,14 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.6 nilai RMS sebesar 7,39 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 7,24 % setelah dilakukan iterasi dengan max. iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.7 nilai RMS sebesar 13,69 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 11,33 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.8 nilai RMS sebesar 10,23 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 8,41 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan 21

36 RMS cut off-nya 1. Pada GL.9 nilai RMS sebesar 12,47 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 7,14 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off- nya 1. Pada GL.10 nilai RMS sebesar 10,50 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 7,24 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.11 nilai RMS sebesar 5,22 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 4,65 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.12 nilai RMS sebesar 8,49 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 4,99 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.13 nilai RMS sebesar 7,20 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 5,13 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.14 nilai RMS sebesar 7,67 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 5,81 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Dari hasil pengukuran pada 14 lokasi setelah dikorelasikan dengan data geologi dan hidrogeologi setempat, diperoleh hasil pendugaan geolistrik sebesar 0,64-198,13 ohmmeter. Berdasarkan kisaran harga tahanan jenis tersebut secara umum dapat dikelompokan seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Dugaan tahanan jenis daerah lokasi penelitian Tahanan Jenis (Ohmmeter) Perkiraan Litologi Sifat Hidrogeologi 0,64-198,13 Tanah penutup Permeabilitas rendah 2-5 Pasir lempungan Akuifer < 2 Lempung Nir Akuifer 6-10 Pasir tufaan Akuifer >10 Pasir Konglomeratan Akuifer Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keadaan lapisan batuan bawah tanah secara vertikal maka penampang tegak lapisan tanah tahanan dari setiap titik pengukuran geolistrik dapat digambarkan. 4.3 PENAMPANG TEGAK TAHANAN JENIS PENGUKURAN PRIMER Berdasarkan hasil intersepsi geolistrik secara kuantitatif yang dikorelasikan dengan data geologi dan data hidrogeologi setempat, maka diperoleh beberapa perbedaan tahanan jenis yang ditafsirkan sebagai perubahan lapisan batuan. Hasil interpretasi data geolistrik dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.1 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.1 terdiri dari enam kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi enam jenis lapisan. Keenam kontras tahanan tersebut sebagai enam lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 3,16 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,3 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 2,25 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 4 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 5,3 m dibawah permukaan tanah setempat (bmt). Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 1,37 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan lempung. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 8 m dengan kedalaman mencapai 13,7 m bmt. 22

37 Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 2,57 Ohm meter yang ditafsir sebagai pasir lempungan (diduga akuifer) dengan ketebalan 15 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 6,56 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir tufaan (diduga akuifer). Kedalaman ini diduga mencapai kedalaman 80 m bmt. Kontras tahanan jenis keenam adalah 12,53 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir konglomeratan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.2 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.2 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 18,65 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,25 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 8,27 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 5 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 5,25 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 19,93 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir konglomeratan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 7 m dengan kedalaman mencapai 14 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 4,8 Ohm meter yang ditafsir sebagai pasir lempungan (diduga akuifer) dengan ketebalan 12 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 29,38 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai laisan pasir konglomeratan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 90 m mencapai kedalaman > 120 m bmt Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.3 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.3 terdiri dari empat kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi empat jenis lapisan. Kempat kontras tahanan tersebut sebagai empatlapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 5,59 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,5 m Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 0,51 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan mencapai 23 meter dengan kedalaman mencapai 25 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 4,5 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 18 m dengan kedalaman mencapai 44 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 7,51 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan (diduga akuifer) dengan ketebalan > 75 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 23

38 4.3.4 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.4 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.4 terdiri dari empat kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi empat jenis lapisan. Keempat kontras tahanan tersebut sebagai empat lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 14,66 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,6 m Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 78,68 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir konglomeratan dengan ketebalan mencapai 20 meter dengan kedalaman mencapai 21,6 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 4,82 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 3 m dengan kedalaman mencapai 24 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 25,99-78,68 Ohmmeter yang ditafsir sebagai lapisan pasir konglomeratan (diduga akuifer) dengan ketebalan > 90 m mencapai kedalaman > 120 m bmt Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.5 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.5 terdiri dari enam kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi enam jenis lapisan. Keenam kontras tahanan tersebut sebagai enam lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 1,52 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,1 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 2,15 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 1,5 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 2,6 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 7,92 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 8 m dengan kedalaman mencapai 11 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 1,52 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 15 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 9,9 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir tufaan (diduga akuifer) dengan ketebalan 34 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 62 m bmt. Kontras tahanan jenis keenam adalah 2,07 Ohmmeter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir lempungan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 60 m mencapai kedalaman > 120 m bmt Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.6 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.6 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 0,64 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,25 m. 24

39 Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 1,70 ohmmeter, ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan mencapai 1,8 m. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 3,38 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan diduga sebagai akuifer dangkal. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 2 m dengan kedalaman mencapai 6,2 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 1,73 Ohmmeter yang ditafsir sebagai lempung dengan ketebalan 73,8 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 6,13 Ohmmeter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir tufaan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.7 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.7 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 63,10 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,3 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 17,56 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir konglomeratan diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 4 m dan kedalaman 5,7 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 2,28 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 25 m dengan kedalaman mencapai 33,33 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 8,52 Ohm meter yang ditafsir sebagai pasir tufaan diduga akuifer dengan ketebalan 40 m dan kedalaman 75 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 4,62 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir tufaan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.8 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.8 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 198,13 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,7 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 6,14 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan diduga akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 6 m dan kedalaman 8,3 m. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 3,38 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 3 m dengan kedalaman mencapai 12 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 0,9 Ohm meter yang ditafsir sebagai lempung dengan ketebalan 25 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 7,53 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir tufaan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. 25

40 4.3.9 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.9 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.4 terdiri dari empat kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi empat jenis lapisan. Keempat kontras tahanan tersebut sebagai empat lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 3,84 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,7 m Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 4,64 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 5 meter dengan kedalaman mencapai 6 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 1,22 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan mencapai 65 m dengan kedalaman 72 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 8,81 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan (diduga akuifer) dengan ketebalan > 45 m mencapai kedalaman > 120 m bmt Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.10 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.10 terdiri dari enam kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi enam jenis lapisan. Keenam kontras tahanan tersebut sebagai enam lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 15,57 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,5 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 2,74 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 6 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 6,6 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 7,32 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 5,5 m dengan kedalaman mencapai 10 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 1,12 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 15 m. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 3,22 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir lempungan (diduga akuifer) dengan ketebalan 35 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 65 m bmt. Kontras tahanan jenis keenam adalah 7,8 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir tufaan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.11 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.11 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 2,8 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,6 m. 26

41 Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 2,1 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 8 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 10 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis 0,38 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 30 m. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis sebesar 4,25 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir lempungan (diduga akuifer) dengan ketebalan 30 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 78 m bmt. Kontras tahanan jenis kelima adalah 8,3 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasiran tufaan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.12 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.12 terdiri dari enam kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi enam jenis lapisan. Keenam kontras tahanan tersebut sebagai enam lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 2,26 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,3 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 5,4 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 2 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 3,7 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 8,95 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 6 m dengan kedalaman mencapai 10,3 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 4,4 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan diduga sebagai akuifer dengan ketebalan 30 m dan kedalaman 40 m bmt. Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 1,13 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 30 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 74 m bmt. Kontras tahanan jenis keenam adalah 53,33 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir konglomeratan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m bmt Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.13 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.13 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 22,08 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,2 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 9,75 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir tufaan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 3 meter. Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 4,8 m bmt. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan 4,41 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan dengan ketebalan 8,2 m. 27

42 Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis sebesar 1,16 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 70 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 86 m bmt. Kontras tahanan jenis kelima adalah 5,25 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasiran tufaan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 30 m mencapai kedalaman > 120 m bmt Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.14 Penampang tegak tahanan jenis pada GL.14 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut: Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis sebesar 2,04 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,2 m. Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 1,5 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan lempung dengan ketebalan mencapai 8,8 meter. Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis 3,30-5,5 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan pasir lempungan diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 25 m dan kedalaman 33 m bmt. Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis sebesar 1,19 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 30 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 68 m bmt. Kontras tahanan jenis kelima adalah 8,39 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasiran tufaan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 50 m mencapai kedalaman > 120 m bmt. Data yang dihasilkan dari pengukuran menggunakan alat geolistrik di lokasi penelitian mengandung beberapa data yang error. Kesalahan data tersebut berupa nilai tahan jenis yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah. Kesalahan data tersebut berpengaruh terhadap interpretasi data untuk memperkirakan posisi lapisan akuifer berada. Besarnya nilai kesalahan data ditunjukkan dengan istilah RMS (Root Mean Square) dalam perangkat lunak Progress Version 3.0. kesalahan-kesalahan tersebut diakibatkan oleh kondisi lingkungan daerah penelitian dan teknis pengukuran, yakni : hubungan elektroda arus AB dengan tanah tidak terkontak dengan baik sehingga arus listrik tidak stabil, injeksi arus belum optimal dan kondisi lapisan tanah yang terbentuk akibat timbunan maupun adanya tumpukan sampah. Bila harga apparent resistivity menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya, kemungkinan ada kebocoran arus pada kabel atau menancapkan elektroda AB pada jarak yang lebih pendek dari yang seharusnya, atau jarak elektroda tegangan MN lebih panjang dari yang seharusnya. Bila harga apparent resistivity terlalu rendah, ada kemungkinan elektroda arus ditancapkan pada jarak yang lebih jauh dari yang seharusnya atau jarak elektroda tegangan MN lebih pendek dari yang seharusnya. 28

43 Tabel 7. Hasil interpretasi data geolistrik (GL.1-GL.7) Titik Pendugaan Geolistrik GL.1 GL.2 GL.3 GL.4 GL.5 GL.6 GL.7 Kedalaman (m) 0 1,3 1, ,3 13,7 13,7 31,5 31, ,25 1,25 5,25 5,25 15,75 15,75 28,25 28,25-0 1,5 1,5 26,27 26,27 44,73 44,73-0 1,6 1,6 21,6 21,6 24,4 24,4 0 1,1 1,1 2,6 2,6 11,79 11,79 15,11 15,11 62,55 62,55 0 1,25 1,25 1,8 1,8 6,2 6,2 73,8 73,8-0 1,3 1,3 5,7 5,7 33,33 33, Tahanan Jenis (Ohm meter) 3,16 2,25 1,37 2,57 6,56 12,53 0,01 18,65 8,27 19,93 4,8 29,38 5,59 0,51 4,5 7,51 14,66 78,68 4,82 25,99 78,68 1,52 2,15 7,92 1,52 9,9 2,07 0,64 1,7 3,38 1,73 6,13 63,10 17,56 2,28 8,52 4,62 Penafsiran Tanah penutup Pasir lempungan (diduga akuifer) Lempung Pasir lempungan (diduga akuifer) Pasir Tufaan Pasir konglomeratan (diduga akuifer) Tanah penutup Pasir tufaan (diduga akuifer) Pasir konglomeratan Pasir lempungan (diduga akuifer) Pasir konglomeratan (diduga akuifer) Tanah penutup Lempung Pasir lempungan (diduga akuifer) Pasir tufaan (diduga akuifer) Tanah penutup Pasir konglomeratan (diduga akuifer) Lempung Pasir konglomeratan (diduga akuifer) Tanah penutup Pasir lempungan (diduga akuifer) Pasir tufaan (diduga akuifer) Lempung Pasir tufaan (diduga akuifer) Pasir lempungan (diduga akuifer) Tanah penutup Lempung/tuf Pasir lempungan (diduga akuifer) Lempung/tuf pasir tufaan (diduga akuifer) Tanah penutup Pasir konglomeratan (diduga akuifer) Pasir lempungan Pasir tufaan (diduga akuifer) Pasir lempungan 29

44 Tabel 8. Hasil interpretasi data geolistrik (GL.8-GL.14) Titik Pendugaan Geolistrik Kedalaman (m) Tahanan Jenis (Ohm meter) Penafsiran GL.8 0 1,7 1,7 8,3 8,3 12,7 12,7 35,3 35,3 198,13 6,14 3,38 0,9 7,53 Tanah penutup Pasir tufaan (diduga akuifer) Pasir lempungan (diduga akuifer) Lempung Pasir Tufaan (diduga akuifer) GL.9 GL.10 GL.11 GL.12 GL.13 GL ,7 1,7 6,3 6,3 72,6 72, ,5 6,6 6,6 10,4 10,4 15,6 15,6 65,4 65,4-0 1,6 1,6 10,4 10,4 42,6 42,6 78,4 78,4-0 1,3 1,3 3,7 3,7 10,3 10,3 40,7 40,7 74,3 74,3 0 1,2 1,2 4,8 4,8 8,2 8,2 70,8 70,8-0 1,2 1,2 8,8 8,8 33,2 33,2 68,8 68,8-3,84 4,64 1,22 8,81 15,57 2,74 7,32 1,12 3,22 7,8 14,66 2,1 0,73 4,25 8,3 2,26 5,4 8,95 4,4 1,13 53,33 22,08 9,75 4,41 1,16 5,25 2,04 1,5 3,30 5,5 1,19 8,39 Tanah penutup Pasir lempungan (diduga akuifer) Lempung Pasir tufaan (diduga akuifer) Tanah penutup Pasir lempungan (diduga akuifer) Pasir tufaan (diduga akuifer) lempung Pasir lempungan (diduga akuifer) Pasir tufaan (diduga akuifer) Tanah penutup Pasir lempungan (diduga akuifer) Lempung Pasir lempungan (diduga akuifer) Pasir tufaan (diduga akuifer) Tanah penutup Pasir lempungan (diduga akuifer) Pasir tufaan (diduga akuifer) Pasir lempungan lempung Pasir tufaan (diduga akuifer) Tanah penutup Pasir tufaan (diduga akuifer) Pasir lempungan (diduga akuifer) Lempung Pasir lempungan (diduga akuifer) Tanah penutup lempung Pasir lempungan (diduga akuifer) Lempung Pasir tufaan (diduga akuifer) 30

45 m (bmt) Top soil Pasir Tufaan Lempung Pasir Konglomeratan Pasir Lempungan Gambar 7. Penampang tegak berdasarkan pengukuran geolistrik (GL.1-GL.7) 31

46 m (bmt) Top Soil Pasir Tufaan Lempung Pasir Konglomeratan Pasir Lempungan Gambar 8. Penampang tegak berdasarkan pengukuran geolistrik (GL.8-GL.14) 32

47 4.4 SEBARAN AKUIFER Akuifer yang berkembang di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten secara administratif berlitologi pasir lempungan, pasir tufan, dan pasir konglomeratan dan dapat dibedakan berdasarkan kedalamannya menjadi akuifer dangkal dan akuifer dalam. Akuifer dangkal dibatasi hanya untuk akuifer-akuifer yang terdapat hingga kedalaman sampai 50 m di bawah permukaan tanah (bmt), dan akuifer dalam adalah akuifer yang terdapat pada kedalaman lebih dari 50 m bmt. Ketebalan akuifer dangkal (pada kedalaman < 50 m) di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten bervariasi antara 2-12 m pada kedalaman 3-44,73 m, hingga ketebalan > 75 m untuk akuifer dalam (pada kedalaman > 50 m). Akuifer dangkal (pada kedalaman < 50 m) adalah akuifer tak tertekan dan pada tempat yang semakin dalam berubah menjadi akuifer semitertekan. Sedangkan akuifer dalam (pada kedalaman > 50 m) merupakan akuifer tertekan yang dibatasi oleh dua lapisan kedap air (impermeable layer) pada bagian atas dan bawahnya. Potongan melintang pada Gambar 14 dan Gambar 15 merupakan suatu contoh sebaran dalam kaitannya dengan sifat dan ketebalan akuifer di Kota Tanggerang Selatan, Provinsi banten. Sebaran akuifer di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten diduga dengan memetakan hasil pengukuran pada peta topografi (Gambar 9) sehingga didapatkan potongan melintang akuifer menurut arah Selatan-Utara dan Barat-Timur. Dimana akuifer bebas dari arah selatan ke utara semakin dangkal. Hal ini disebabkan keadaan topografi Kota Tangerang yang semakin rendah ke bagian utara. Gambar 9. Peta pengukuran geolistrik 33

48 Elevasi ( m dpl) Jarak (km) Gambar 10. Potongan melintang akuifer arah Selatan-Utara Kota Tangerang Selatan 37

49 Elevasi (m dpl) Gambar 11. Potongan melintang akuifer arah Barat-Timur Kota Tangerang Selata Jarak (km) 38

50 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Berdasarkan seluruh rangkaian penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Litologi batuan penyusun terbentuk oleh dua formasi batuan geologi yaitu batuan aluvium yang terdiri dari aluvial sungai dan rawa yang berbentuk pasir lempungan, lanau, kerikil, keraka, dan batuan gunung api yang berupa material lepas yang terdiri dari lava andesit, dasit, breksi tuff, pasir tuffan dan pasir konglomeratan. 2. Lapisan akuifer dangkal berada pada kedalaman 3-44,73 m di bawah permukaan tanah (bmt) dengan ketebalan beragam mulai dari 2-12 m. litologi yang berkembang pada lapisan tersebut didominisasi oleh pasir lempungan dan pasir tufaan dengan nilai tahanan jenis berkisar antara 2-10 ohm meter. Sedangkan lapisan akuifer dalam berada pada kedalaman m di bawah permukaan tanah (bmt) dengan ketebalan > 75 m. Litologi yang berkembang pada lapisan tersebut berupa pasir tufaan dan pasir konglomeratan dengan nilai tahanan jenis > 10 ohm meter. 3. Sebaran akuifer di wilayah studi merupakan akuifer endapan aluvial atau endapan permukaan, dan endapan sedimen, dengan sistem aliran airtanah pada akuifer ini adalah melalui ruang antar butir. Aliran airtanah dangkal mengikuti bentuk umum topografi yaitu mengalir ke arah utara dimana sebaran akuifer bebas semakin ke utara semakin dangkal. Pada akuifer dalam sebarannya relatif merata dengan ketebalan > 75 meter sehingga mempunyai potensi untuk dimanfaatkan. 5.2 SARAN 1. Sebelum pengukuran, sebaiknya dilakukan survei lapangan untuk menentukan lokasi-lokasi pengukuran geolistrik sehingga dapat menghemat waktu pelaksanaan pengukuran di lapangan. 2. Pengukuran geolistrik pada dua lokasi per kecamatan tidak cukup untuk menggambarkan sebaran akuifer di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang luasnya > ha sehingga hasil pendugaan sebaran akuifer kurang teliti. 3. Perlu adanya data hasil pengeboran daerah sekitar titik pengukuran geolistrik sehingga dapat diketahui seberapa besar akurasi dari alat geolistrik atau metode tahanan jenis yang telah dilakukan. 36

51 DAFTAR PUSTAKA Anonim Kabupaten Tangerang Dalam Angka Tahun Biro Pusat Statistik Kabupaten Tangerang. Arsyad, S Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor. Asdak, C Hidrologi dan Pengolahan Air Sungai. Gajah Mada Univesity Press, Yogyakarta. Bowen, R Groundwater. Elsevier Applied science Publishers. London and New York. Damtoro, J Metode Geofisika. Blok Damtoro Juswonto. Diakses 22 Januari 2012 di http : // Fetter, PG dan Yeh. WWG Management Model For Conjunctive Use of Coastal Surface Water and Groundwater. Journal of Water Resource Planning and Management, American Society of Civil Engineers,124 (3), 129. Kashef, AAI Groundwater Engineering, Me Graw-Hill Book Co, Singapore. Matthews, R Planet Bumi. Topik Paling Seru, alih bahasa oleh Damaring Tyas Wulandari. Jakarta: Erlangga. Parker, S Tata Surya Just the Facts. Penerjemah Soni Astranto, S.Si. Erlangga for Kids, Penerbit Erlangga. Rusmana, E dan Sukardi, P Peta Geologi Lembar Jakarta Skala 1: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung Seyhan, E Dasar-Dasar Hidrologi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Singh, VP Elementary Hidrology. Prentince Hall Inc, USA. Sosrodarso, S dan Takeda, K Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya Paramita, Jakarta. Suripin, Pelestarian Sumberdaya Air dan Tanah. Penerbit Andi, Yogyakarta. Todd, DK Groundwater Hydrology. Second Edition. John Wiley & Sons, Singapore. Ward, AD dan Elliot. WJ Environmental Hydrology. CRC Press Inc, Florida. 37

52 LAMPIRAN 38

53 Lampiran 1. Peta topografi Kota Tangerang Selatan Sumber : BLH Kota Tanggerang Selatan 42

54 Lampiran 2. Peta geologi Kota Tangerang Selatan Sumber : BLH Kota Tanggerang Selatan 43

55 Lampiran 3. Peta hidrogeologi akuifer endapan Sumber : BLH Kota Tanggerang Selatan 44

56 Lampiran 4. Hasil pengukuran geolistrik pada titik ukur 1 (GL.1) AB/2 (meter) K (meter) MN/2 (meter) I (ma) V (mv) ρ - A (ohmeter) AB/2 (meter) K (meter) MN/2 (meter) I (ma) V (mv) ρ - A (ohmeter)

57 Lampiran 5. Hasil pengukuran geolistrik pada titik ukur 2 (GL.2) AB/2 K MN/2 I (ma) V (mv) ρ - A (meter) (meter) (meter) (ohmeter) AB/2 (meter) K (meter) MN/2 (meter) I (ma) V (mv) ρ - A (ohmeter)

58 Lampiran 6. Gambar lisensi Progress Version

59 Lampiran 7. Contoh pengolahan data geolistrik dengan Progress Version 3.0 (GL.1) a. Input Data Geolistrik b. Forward Modelling 45

60 Lampiran 16. Lanjutan c. Invers Modelling (sebelum dilakukan iterasi) d. Invers Modelling (Setelah dilakukan Iterasi) 46

61 Lampiran 16. Lanjutan e. Interpretasi Data 47

62 Lampiran 8. Contoh pengolahan data geolistrik dengan Progress Version 3.0 (GL.2) a. Input Data Geolistrik b. Forward Modelling 48

63 Lampiran 17. Lanjutan c. Invers Modelling (Sebelum Iterasi) d. Invers Modelling (Setelah Iterasi) 49

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SIKLUS HIDROLOGI

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SIKLUS HIDROLOGI II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SIKLUS HIDROLOGI Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1993) siklus hidrologi adalah air yang menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan setelah melalui beberapa

Lebih terperinci

Oleh : WAKID MUTOWAL F

Oleh : WAKID MUTOWAL F PENENTUAN SEBARAN AKUIFER DAN POLA ALIRAN AIRTANAH DENGAN METODE TAHANAN JENIS (RESISTIVITY METHOD) DI DESA CISALAK, KECAMATAN SUKMAJAYA, KOTA DEPOK, PROVINSI JAWA BARAT Oleh : WAKID MUTOWAL F14104023

Lebih terperinci

1. Alur Siklus Geohidrologi. dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi

1. Alur Siklus Geohidrologi. dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi 1. Alur Siklus Geohidrologi Hidrogeologi dalam bahasa Inggris tertulis hydrogeology. Bila merujuk dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi (Toth, 1990) : Hydro à merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sumber Daya Air

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sumber Daya Air II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumber Daya Air Air merupakan sumberdaya vital yang sekaligus paling berlimpah di muka bumi. Sekitar 71% dari permukaan bumi tertutupi oleh air. Dari seluruh air yang ada di bumi,

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di DAS Ciliwung mulai dari Hulu sampai hilir. Lokasi Penelitian meliputi wilayah Kabupaten Bogor, Kotamadya Bogor dan Kota Administratif

Lebih terperinci

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian hidrosfer dan siklus hidrologi.

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi.

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi. Sekitar 396.000 kilometer kubik air masuk ke udara setiap tahun. Bagian yang terbesar sekitar 333.000 kilometer kubik naik dari samudera. Tetapi sebanyak 62.000 kilometer kubik ditarik dari darat, menguap

Lebih terperinci

POLA ALIRAN AIR BAWAH TANAH DI PERUMNAS GRIYA BINA WIDYA UNRI MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI ELEKTRODA SCHLUMBERGER

POLA ALIRAN AIR BAWAH TANAH DI PERUMNAS GRIYA BINA WIDYA UNRI MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI ELEKTRODA SCHLUMBERGER Jurnal Komunikasi Fisika Indonesia (KFI) Jurusan Fisika FMIPA Univ. Riau Pekanbaru. Edisi April 206. ISSN.42-2960 POLA ALIRAN AIR BAWAH TANAH DI PERUMNAS GRIYA BINA WIDYA UNRI MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK

Lebih terperinci

GEOHIDROLOGI PENGUATAN KOMPETENSI GURU PEMBINA OSN SE-ACEH 2014 BIDANG ILMU KEBUMIAN

GEOHIDROLOGI PENGUATAN KOMPETENSI GURU PEMBINA OSN SE-ACEH 2014 BIDANG ILMU KEBUMIAN GEOHIDROLOGI PENGUATAN KOMPETENSI GURU PEMBINA OSN SE-ACEH 2014 BIDANG ILMU KEBUMIAN Pengertian o Potamologi Air permukaan o o o Limnologi Air menggenang (danau, waduk) Kriologi Es dan salju Geohidrologi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AIR TANAH DAN PEMANFAATANYA UNTUK PERTANIAN. Hendri Sosiawan. Identifikasi Air Tanah dan Pemanfaatannya untuk Pertanian

IDENTIFIKASI AIR TANAH DAN PEMANFAATANYA UNTUK PERTANIAN. Hendri Sosiawan. Identifikasi Air Tanah dan Pemanfaatannya untuk Pertanian IDENTIFIKASI AIR TANAH DAN PEMANFAATANYA UNTUK PERTANIAN? Hendri Sosiawan Air Tanah Air tanah merupakan komponen dari suatu sistem daur hidrologi (hydrology cycle) yang terdiri rangkaian proses yang saling

Lebih terperinci

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air.

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air. BAB I SIKLUS HIDROLOGI A. Pendahuluan Ceritakan proses terjadinya hujan! Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air. Tujuan yang ingin dicapai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian termasuk dalam lembar Kotaagung yang terletak di ujung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian termasuk dalam lembar Kotaagung yang terletak di ujung II. TINJAUAN PUSTAKA A. Geologi Umum Sekitar Daerah Penelitian Daerah penelitian termasuk dalam lembar Kotaagung yang terletak di ujung selatan Sumatra, yang mana bagian selatan di batasi oleh Kabupaten

Lebih terperinci

Rustan Efendi 1, Hartito Panggoe 1, Sandra 1 1 Program Studi Fisika Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Tadulako, Palu, Indonesia

Rustan Efendi 1, Hartito Panggoe 1, Sandra 1 1 Program Studi Fisika Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Tadulako, Palu, Indonesia IDENTIFIKASI AKUIFER AIRTANAH DENGAN MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK DI DESA OU KECAMATAN SOJOL IDENTIFICATION GROUNDWATER AQUIFERS METHOD USING GEOELECTRIC DISTRICT IN THE VILLAGE OU SOJOL Rustan Efendi

Lebih terperinci

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah perputaran air dengan perubahan berbagai bentuk dan kembali pada bentuk awal. Hal ini menunjukkan bahwa volume

Lebih terperinci

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI SIKLUS HIDROLOGI Siklus Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi

Lebih terperinci

Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Barat, Jalan Jhoni Anwar No. 85 Lapai, Padang 25142, Telp : (0751)

Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Barat, Jalan Jhoni Anwar No. 85 Lapai, Padang 25142, Telp : (0751) PENDUGAAN POTENSI AIR TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK TAHANAN JENIS KONFIGURASI SCHLUMBERGER (Jorong Tampus Kanagarian Ujung Gading Kecamatan Lembah Malintang Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat) Arif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan. Manusia akan memanfaatkan Sumberdaya yang ada di Lingkungan. Salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

PREDIKSI POTENSI CADANGAN AIRTANAH MENGGUNAKAN PERSAMAAN DARCY DI KOTA TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN SKRIPSI HUSNA KUSNANDAR F

PREDIKSI POTENSI CADANGAN AIRTANAH MENGGUNAKAN PERSAMAAN DARCY DI KOTA TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN SKRIPSI HUSNA KUSNANDAR F PREDIKSI POTENSI CADANGAN AIRTANAH MENGGUNAKAN PERSAMAAN DARCY DI KOTA TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN SKRIPSI HUSNA KUSNANDAR F44080026 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional XII Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

Prosiding Seminar Nasional XII Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta Interpretasi Lapisan Akuifer Air Tanah Menggunakan Metode Geolistrik Di Kampung Horna Baru Dan Kampung Muturi Distrik Manimeri Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat Karmila Laitupa, Putri Nova H.D,

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada II. DAUR HIDROLOGI A. Siklus Air di Bumi Air merupakan sumberdaya alam yang sangat melimpah yang tersebar di berbagai belahan bumi. Di bumi terdapat kurang lebih 1,3-1,4 milyard km 3 air yang terdistribusi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Fadhil dkk (2014) dalam Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Pemetaan Pola Aliran Air Tanah di Kawasan Sukajadi Pekanbaru menyatakan air yang jatuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia terletak di daerah tropis merupakan negara yang mempunyai ketersediaan air yang cukup.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia terletak di daerah tropis merupakan negara yang mempunyai ketersediaan air yang cukup. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia terletak di daerah tropis merupakan negara yang mempunyai ketersediaan air yang cukup. Namun secara alamiah Indonesia menghadapi kendala dalam memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu kebutuhan utama bagi manusia. Manfaat air sangat luas bagi kehidupan manusia, misalnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, irigasi, industri,

Lebih terperinci

Jurnal Fisika Unand Vol. 2, No. 2, April 2013 ISSN

Jurnal Fisika Unand Vol. 2, No. 2, April 2013 ISSN INVESTIGASI BIDANG GELINCIR PADA LERENG MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK TAHANAN JENIS DUA DIMENSI (Studi Kasus: Kelurahan Lumbung Bukit Kecamatan Pauh Padang) Muhammad Iqbal Sy, Arif Budiman Jurusan Fisika

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Air di dunia 97,2% berupa lautan dan 2,8% terdiri dari lembaran es dan

PENDAHULUAN. Air di dunia 97,2% berupa lautan dan 2,8% terdiri dari lembaran es dan PENDAHULUAN Latar Belakang Air di dunia 97,2% berupa lautan dan 2,8% terdiri dari lembaran es dan gletser (2,15%), air artesis (0,62%) dan air lainnya (0,03%). Air lainnya ini meliputi danau air tawar

Lebih terperinci

Cyclus hydrogeology

Cyclus hydrogeology Hydrogeology Cyclus hydrogeology Siklus hidrogeologi Geohidrologi Secara definitif dapat dikatakan merupakan suatu studi dari interaksi antara kerja kerangka batuan dan air tanah. Dalam prosesnya, studi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR BAB I

KATA PENGANTAR BAB I KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Geomorfologi Dasar ini dengan judul Air Tanah /

Lebih terperinci

PENGUKURAN TAHANAN JENIS (RESISTIVITY) UNTUK PEMETAAN POTENSI AIR TANAH DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PRAYA. Oleh:

PENGUKURAN TAHANAN JENIS (RESISTIVITY) UNTUK PEMETAAN POTENSI AIR TANAH DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PRAYA. Oleh: 66 Jurnal Sangkareang Mataram PENGUKURAN TAHANAN JENIS (RESISTIVITY) UNTUK PEMETAAN POTENSI AIR TANAH DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PRAYA Oleh: Sukandi Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Nusa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kota Metropolitan Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan pusat pemerintahan dengan berbagai kegiatan sosial, politik, kebudayaan maupun pembangunan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidrologi Pengertian dan pengetahuan tentang rangkaian peristiwa yang terjadi dengan air mulai dari air jatuh ke permukaan bumi hingga menguap ke udara dan kemudian jatuh

Lebih terperinci

GEOFISIKA EKSPLORASI. [Metode Geolistrik] Anggota kelompok : Maya Vergentina Budi Atmadhi Andi Sutriawan Wiranata

GEOFISIKA EKSPLORASI. [Metode Geolistrik] Anggota kelompok : Maya Vergentina Budi Atmadhi Andi Sutriawan Wiranata GEOFISIKA EKSPLORASI [Metode Geolistrik] Anggota kelompok : Maya Vergentina Budi Atmadhi Andi Sutriawan Wiranata PENDAHULUAN Metoda geofisika merupakan salah satu metoda yang umum digunakan dalam eksplorasi

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 05 SUMBERDAYA AIR SUMBERDAYA ALAM Sumberdaya alam adalah semua sumberdaya, baik yang bersifat terbarukan (renewable resources) ) maupun sumberdaya tak terbarukan (non-renewable

Lebih terperinci

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA Sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta, hal ini berdampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan air bersih. Dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR S A R I Oleh : Sjaiful Ruchiyat, Arismunandar, Wahyudin Direktorat Geologi Tata Lingkungan Daerah penyelidikan hidrogeologi Cekungan

Lebih terperinci

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Karakteristik Air Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Fakta Tentang Air Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi dengan volume sekitar 1.368 juta km

Lebih terperinci

Berkala Fisika ISSN : Vol 10., No.1, Januari 2007, hal 1-5

Berkala Fisika ISSN : Vol 10., No.1, Januari 2007, hal 1-5 Berkala Fisika ISSN : 1410-9662 Vol 10., No.1, Januari 2007, hal 1-5 Analisis Geometri Akuifer Dangkal Mengunakan Metode Seismik Bias Reciprocal Hawkins (Studi Kasus Endapan Alluvial Daerah Sioux Park,

Lebih terperinci

ANALISIS AIR BAWAH TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK

ANALISIS AIR BAWAH TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK ISSN 978-5283 Juandi 2008: 2 (2) ANALISIS AIR BAWAH TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK Juandi Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Riau Kampus Bina Widya Km 2,5 Simp. Panam Pekanbaru, 2893 Telp/Fax (076) 63273

Lebih terperinci

METODE GEOLISTRIK UNTUK MENGETAHUI POTENSI AIRTANAH DI DAERAH BEJI KABUPATEN PASURUAN - JAWA TIMUR

METODE GEOLISTRIK UNTUK MENGETAHUI POTENSI AIRTANAH DI DAERAH BEJI KABUPATEN PASURUAN - JAWA TIMUR METODE GEOLISTRIK UNTUK MENGETAHUI POTENSI AIRTANAH DI DAERAH BEJI KABUPATEN PASURUAN - JAWA TIMUR Hendra Bahar Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral dan Kelautan Institut Teknologi Adhi Tama

Lebih terperinci

POTENSI AIR TANAH DAERAH KAMPUS UNDIP TEMBALANG. Dian Agus Widiarso, Henarno Pudjihardjo *), Wahyu Prabowo**)

POTENSI AIR TANAH DAERAH KAMPUS UNDIP TEMBALANG. Dian Agus Widiarso, Henarno Pudjihardjo *), Wahyu Prabowo**) POTENSI AIR TANAH DAERAH KAMPUS UNDIP TEMBALANG Dian Agus Widiarso, Henarno Pudjihardjo *), Wahyu Prabowo**) Abstract Provision of clean water in an area need both now and future dating. Provision of clean

Lebih terperinci

DETEKSI KEBERADAAN AKUIFER AIR TANAH MENGGUNAKAN SOFTWARE IP2Win DAN ROCKWORK 2015

DETEKSI KEBERADAAN AKUIFER AIR TANAH MENGGUNAKAN SOFTWARE IP2Win DAN ROCKWORK 2015 DETEKSI KEBERADAAN AKUIFER AIR TANAH MENGGUNAKAN SOFTWARE IP2Win DAN ROCKWORK 2015 Eva Rolia, Agus Surandono Jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Metro Jl. Ki Hajar Dewantara No. 166 Kota Metro

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AIR TANAH DAN PEMANFAATANYA UNTUK PERTANIAN

IDENTIFIKASI AIR TANAH DAN PEMANFAATANYA UNTUK PERTANIAN ISSN 1907-8773 Terbit sekali 2 bulan Volume 5 Nomor 2. April 2010 IDENTIFIKASI AIR TANAH DAN PEMANFAATANYA UNTUK PERTANIAN Air Tanah Air tanah merupakan komponen dari suatu sistem daur hidrologi (hydrology

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi air di bumi terdiri atas 97,2% air laut, 2,14% berupa es di kutub, airtanah dengan kedalaman 4.000 meter sejumlah 0,61%, dan 0,0015% air pemukaan (Fetter, 2000).

Lebih terperinci

Pendugaan Akuifer serta Pola Alirannya dengan Metode Geolistrik Daerah Pondok Pesantren Gontor 11 Solok Sumatera Barat

Pendugaan Akuifer serta Pola Alirannya dengan Metode Geolistrik Daerah Pondok Pesantren Gontor 11 Solok Sumatera Barat Pendugaan Akuifer serta Pola Alirannya dengan Metode Geolistrik Daerah Pondok Pesantren Gontor 11 Solok Sumatera Dwi Ajeng Enggarwati 1, Adi Susilo 1, Dadan Dani Wardhana 2 1) Jurusan Fisika FMIPA Univ.

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Hindia-Australia, dan lempeng Pasifik. Pada daerah di sekitar batas

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POLA AKUIFER DI SEKITAR DANAU MATANO SOROAKO KAB. LUWU TIMUR Zulfikar, Drs. Hasanuddin M.Si, Syamsuddin, S.Si, MT

IDENTIFIKASI POLA AKUIFER DI SEKITAR DANAU MATANO SOROAKO KAB. LUWU TIMUR Zulfikar, Drs. Hasanuddin M.Si, Syamsuddin, S.Si, MT IDENTIFIKASI POLA AKUIFER DI SEKITAR DANAU MATANO SOROAKO KAB. LUWU TIMUR Zulfikar, Drs. Hasanuddin M.Si, Syamsuddin, S.Si, MT Program Studi Geofisika Jurusan Fisika FMIPA Universitas Hasanuddin Jl. Perintis

Lebih terperinci

Jurnal APLIKASI ISSN X

Jurnal APLIKASI ISSN X Volume 3, Nomor 1, Agustus 2007 Jurnal APLIKASI Identifikasi Potensi Sumber Daya Air Kabupaten Pasuruan Sukobar Dosen D3 Teknik Sipil FTSP-ITS email: sukobar@ce.its.ac.id ABSTRAK Identifikasi Potensi Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di bumi, air yang berada di wilayah jenuh di bawah air permukaan tanah secara global, kira-kira sejumlah 1,3 1,4 milyard km3 air: 97,5 % adalah airlaut 1,75 % berbentuk

Lebih terperinci

Sifat fisika air. Air O. Rumus molekul kg/m 3, liquid 917 kg/m 3, solid. Kerapatan pada fasa. 100 C ( K) (212ºF) 0 0 C pada 1 atm

Sifat fisika air. Air O. Rumus molekul kg/m 3, liquid 917 kg/m 3, solid. Kerapatan pada fasa. 100 C ( K) (212ºF) 0 0 C pada 1 atm Sifat fisika air Rumus molekul Massa molar Volume molar Kerapatan pada fasa Titik Leleh Titik didih Titik Beku Titik triple Kalor jenis Air H 2 O 18.02 g/mol 55,5 mol/ L 1000 kg/m 3, liquid 917 kg/m 3,

Lebih terperinci

PEMODELAN AKUIFER AIR TANAH UNTUK MASYARAKAT PESISIR LINGKUNGAN BAHER KABUPATEN BANGKA SELATAN. Mardiah 1, Franto 2

PEMODELAN AKUIFER AIR TANAH UNTUK MASYARAKAT PESISIR LINGKUNGAN BAHER KABUPATEN BANGKA SELATAN. Mardiah 1, Franto 2 PEMODELAN AKUIFER AIR TANAH UNTUK MASYARAKAT PESISIR LINGKUNGAN BAHER KABUPATEN BANGKA SELATAN Mardiah 1, Franto 2 Staf Pengajar Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Bangka Belitung Abstrak Keterbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Airtanah merupakan sumber daya penting bagi kelangsungan hidup manusia. Sebagai sumber pasokan air, airtanah memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan

Lebih terperinci

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU SELASA 11.20 13.00 SABTU 12.00 13.30 MATERI 2 PENGENALAN HIDROLOGI DATA METEOROLOGI PRESIPITASI (HUJAN) EVAPORASI DAN TRANSPIRASI INFILTRASI DAN PERKOLASI AIR TANAH (GROUND WATER) HIDROMETRI ALIRAN PERMUKAAN

Lebih terperinci

POLA SEBARAN AKUIFER DI DAERAH PESISIR TANJUNG PANDAN P.BELITUNG

POLA SEBARAN AKUIFER DI DAERAH PESISIR TANJUNG PANDAN P.BELITUNG Jurnal Fisika Vol. 3 No. 1, Mei 2013 95 POLA SEBARAN AKUIFER DI DAERAH PESISIR TANJUNG PANDAN P.BELITUNG D. G. Pryambodo 1, *, M. Hasanudin 2 1 Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir, KKP Jl.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi tanah, di laut atau badan-

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perencanaan pembangunan, pendekatan wilayah merupakan alternatif lain dari pendekatan sektoral yang keduanya bisa saling melengkapi. Kelebihan pendekatan wilayah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemodelan tahanan jenis dilakukan dengan cara mencatat nilai kuat arus yang diinjeksikan dan perubahan beda potensial yang terukur dengan menggunakan konfigurasi wenner. Pengukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah mengalami perkembangan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Perkembangan yang terjadi meliputi infrastruktur hingga

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (PSDA) Dosen : Fani Yayuk Supomo, ST., MT ATA 2011/2012

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (PSDA) Dosen : Fani Yayuk Supomo, ST., MT ATA 2011/2012 PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (PSDA) Dosen : Fani Yayuk Supomo, ST., MT ATA 2011/2012 BAB VI Air Tanah Air Tanah merupakan jumlah air yang memiliki kontribusi besar dalam penyelenggaraan kehidupan dan usaha

Lebih terperinci

APLIKASI METODE GEOLISTRIK RESISTIVITAS KONFIGURASI SCHLUMBERGER UNTUK IDENTIFIKASI AKUIFER DI KECAMATAN PLUPUH, KABUPATEN SRAGEN

APLIKASI METODE GEOLISTRIK RESISTIVITAS KONFIGURASI SCHLUMBERGER UNTUK IDENTIFIKASI AKUIFER DI KECAMATAN PLUPUH, KABUPATEN SRAGEN APLIKASI METODE GEOLISTRIK RESISTIVITAS KONFIGURASI SCHLUMBERGER UNTUK IDENTIFIKASI AKUIFER DI KECAMATAN PLUPUH, KABUPATEN SRAGEN Eka Ayu Tyas Winarni 1, Darsono 1, Budi Legowo 1 ABSTRAK. Identifikasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. akuifer di daratan atau daerah pantai. Dengan pengertian lain, yaitu proses

TINJAUAN PUSTAKA. akuifer di daratan atau daerah pantai. Dengan pengertian lain, yaitu proses TINJAUAN PUSTAKA Intrusi Air Laut Intrusi atau penyusupan air asin ke dalam akuifer di daratan pada dasarnya adalah proses masuknya air laut di bawah permukaan tanah melalui akuifer di daratan atau daerah

Lebih terperinci

Sub Kompetensi. Pengenalan dan pemahaman pengembangan sumberdaya air tanah terkait dalam perencanaan dalam teknik sipil.

Sub Kompetensi. Pengenalan dan pemahaman pengembangan sumberdaya air tanah terkait dalam perencanaan dalam teknik sipil. PENGEMBANGAN AIR TANAH Sub Kompetensi Pengenalan dan pemahaman pengembangan sumberdaya air tanah terkait dalam perencanaan dalam teknik sipil. 1 PENDAHULUAN Dalam Undang-undang No 7 tahun 2004 : air tanah

Lebih terperinci

HIDROGEOLOGI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TAMBANG

HIDROGEOLOGI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TAMBANG HIDROGEOLOGI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TAMBANG HIDROGEOLOGI Definisi Hidrogeologi berasal dari kata hidro yang berarti air dan geologi yaitu ilmu yang memepelajari tentang batuan. Hidrogeologi adalah suatu

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI AIR TANAH DI KELURAHAN IMOPURO METRO DENGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN METODE RESTY

ANALISIS POTENSI AIR TANAH DI KELURAHAN IMOPURO METRO DENGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN METODE RESTY ANALISIS POTENSI AIR TANAH DI KELURAHAN IMOPURO METRO DENGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN METODE RESTY Eva Rolia Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Metro Jl. Ki Hajar Dewantara 15 A Metro,

Lebih terperinci

PENDUGAAN AIR TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK TAHANAN JENIS DI DESA TELLUMPANUA KEC.TANETE RILAU KAB. BARRU SULAWESI-SELATAN

PENDUGAAN AIR TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK TAHANAN JENIS DI DESA TELLUMPANUA KEC.TANETE RILAU KAB. BARRU SULAWESI-SELATAN PENDUGAAN AIR TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK TAHANAN JENIS DI DESA TELLUMPANUA KEC.TANETE RILAU KAB. BARRU SULAWESI-SELATAN Hasbi Bakri¹, Jamal Rauf Husain², Firdaus¹ 1. Jurusan Teknik Pertambangan Universitas

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI AIR BAWAH TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK 1-DIMENSI DI DESA SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER

IDENTIFIKASI POTENSI AIR BAWAH TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK 1-DIMENSI DI DESA SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER IDENTIFIKASI POTENSI AIR BAWAH TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK 1-DIMENSI DI DESA SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh REDY HARTANTO NIM 051810201055 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.1. tetap

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.1. tetap SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.1 1. Keberadaan air yang terdapat di permukaan bumi jumlahnya... tetap semakin berkurang semakin bertambah selalu berubah-ubah

Lebih terperinci

Analisis Potensi Air A I R

Analisis Potensi Air A I R Analisis Potensi Air A I R Sumber Daya habis terpakai tetapi dapat diperbaharui/di daur ulang Persediaan air bumi yang dapat diperbaharui diatur oleh siklus hydrologic (Siklus air), yaitu suatu sistem

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil 2016 ISSN: Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta

Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil 2016 ISSN: Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta TEKNIK PENDUGAAN SEBARAN POTENSI AIR TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK DI KAWASAN PERKOTAAN Nanang Saiful Rizal, 1*, Totok Dwi Kuryanto 2*. 1,2 Prodi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Interaksi antara air tanah dengan struktur geologi

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Interaksi antara air tanah dengan struktur geologi 5 BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Hidrogeologi Ilmu yang mempelajari interaksi antar struktur batuan dan air tanah adalah hidrogeologi. Dalam prosesnya ilmu ini juga berkaitan dengan disiplin ilmu fisika dan kimia

Lebih terperinci

MENENTUKAN AKUIFER LAPISAN AIR TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI SCHLUMBERGER DI PERUMAHAN GRIYO PUSPITO DAN BUMI TAMPAN LESTARI

MENENTUKAN AKUIFER LAPISAN AIR TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI SCHLUMBERGER DI PERUMAHAN GRIYO PUSPITO DAN BUMI TAMPAN LESTARI MENENTUKAN AKUIFER LAPISAN AIR TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI SCHLUMBERGER DI PERUMAHAN GRIYO PUSPITO DAN BUMI TAMPAN LESTARI Mando Parhusip 1, Riad Syech 2, Sugianto 2 e-mail:mandoparhusip89@gmail.com

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak, Luas dan Batas wilayah Secara administratif, wilayah Kota Tangerang Selatan terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, 49 (empat puluh sembilan)

Lebih terperinci

SURVEI SEBARAN AIR TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK TAHANAN JENIS DI KELURAHAN BONTO RAYA KECAMATAN BATANG KABUPATEN JENEPONTO

SURVEI SEBARAN AIR TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK TAHANAN JENIS DI KELURAHAN BONTO RAYA KECAMATAN BATANG KABUPATEN JENEPONTO SURVEI SEBARAN AIR TANAH DENGAN METODE GEOLISTRIK TAHANAN JENIS DI KELURAHAN BONTO RAYA KECAMATAN BATANG KABUPATEN JENEPONTO Rosmiati S, Pariabti Palloan, Nasrul Ihsan Prodi Fisika Jurusan Fisika FMIPA

Lebih terperinci

SUMBERDAYA HIDROGEOLOGI

SUMBERDAYA HIDROGEOLOGI Handouts Geologi Lingkungan (GG405) SUMBERDAYA HIDROGEOLOGI Disusun Oleh: Nandi, S.Pd. 132314143 JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sumberdaya air bawah tanah merupakan sumberdaya yang vital dan strategis, karena menyangkut kebutuhan pokok hajat hidup orang banyak dalam berbagai aktivitas masyarakat

Lebih terperinci

PENDUGAAN RESERVOIR DAERAH POTENSI PANAS BUMI PENCONG DENGAN MENGGUNAKAN METODE TAHANAN JENIS

PENDUGAAN RESERVOIR DAERAH POTENSI PANAS BUMI PENCONG DENGAN MENGGUNAKAN METODE TAHANAN JENIS PENDUGAAN RESERVOIR DAERAH POTENSI PANAS BUMI PENCONG DENGAN MENGGUNAKAN METODE TAHANAN JENIS Erwin, Pariabti Palloan, A. J. Patandean Prodi Fisika Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Makassar Jl.

Lebih terperinci

Identifikasi Keretakan Beton Menggunakan Metode Geolistrik Resistivitas Timotius 1*), Yoga Satria Putra 1), Boni P. Lapanporo 1)

Identifikasi Keretakan Beton Menggunakan Metode Geolistrik Resistivitas Timotius 1*), Yoga Satria Putra 1), Boni P. Lapanporo 1) Identifikasi Keretakan Beton Menggunakan Metode Geolistrik Resistivitas Timotius 1*), Yoga Satria Putra 1), Boni P. Lapanporo 1) 1) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Lebih terperinci

PENENTUAN KEDALAMAN AKUIFER BEBAS DENGAN MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI SCHLUMBERGER

PENENTUAN KEDALAMAN AKUIFER BEBAS DENGAN MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI SCHLUMBERGER PENENTUAN KEDALAMAN AKUIFER BEBAS DENGAN MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI SCHLUMBERGER Muhammad Hafis 1, Juandi 2, Gengky Moriza 3 1 Mahasiswa Program S1 Fisika FMIPA-UR 2 Dosen Jurusan Fisika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hidrologi Hidrologi merupakan cabang ilmu geografi yang mempelajari seputar pergerakan, distribusi, dan kualitas air yang ada dibumi. Hidrologi adalah ilmu yang membahas

Lebih terperinci

HIDROSFER. Lili Somantri,S.Pd Dosen Jurusan Pendidikan Geografi UPI

HIDROSFER. Lili Somantri,S.Pd Dosen Jurusan Pendidikan Geografi UPI HIDROSFER Lili Somantri,S.Pd Dosen Jurusan Pendidikan Geografi UPI Disampaikan dalam Kegiatan Pendalaman Materi Geografi SMP Bandung, 7 September 2007 Peserta workshop: Guru Geografi SMP Siklus Air Dari

Lebih terperinci

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK Nama Kelompok : IN AM AZIZUR ROMADHON (1514031021) MUHAMAD FAISAL (1514031013) I NENGAH SUMANA (1514031017) I PUTU MARTHA UTAMA (1514031014) Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang berada pada iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup di muka bumi. Makhluk hidup khususnya manusia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup di muka bumi. Makhluk hidup khususnya manusia melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air tanah merupakan sumber daya yang sangat bermanfaat bagi semua makhluk hidup di muka bumi. Makhluk hidup khususnya manusia melakukan berbagai cara untuk memenuhi

Lebih terperinci

Air Tanah. Air Tanah adalah

Air Tanah. Air Tanah adalah Air Tanah Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri Air Tanah adalah pergerakan air dalam rongga pori batuan di bawah permukaan bumi dan merupakan bagian integral dari sistem hidrologi air yg

Lebih terperinci

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Disampaikan pada PELATIHAN PENGELOLAAN DAS (25 November 2013) KERJASAMA : FORUM

Lebih terperinci

Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 7 (2011) 33-37

Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 7 (2011) 33-37 ISSN: 1693-1246 Januari 2011 J F P F I http://journal.unnes.ac.id MONITORING DAERAH RESAPAN AIR DENGAN METODE GEOLISTRIK STUDI KASUS KELURAHAN SEKARAN, KECAMATAN GUNUNGPATI, KOTA SEMARANG N. Millah*, Khumaedi,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di Desa Sambengwetan Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas dan Laboratorium Fisika Eksperimen MIPA Unsoed pada bulan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB II DASAR TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN 4 BAB II DASAR TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Deskripsi ABT (Air Bawah Tanah) Keberadaan ABT (Air Bawah Tanah) sangat tergantung besarnya curah hujan dan besarnya air yang dapat meresap kedalam tanah.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Umum merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen penting dalam perencanaan kota (perencanaan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

PENENTUAN LAPISAN PEMBAWA AIR DENGAN METODE TAHANAN JENIS DI DAERAH ATAS TEBING LEBONG ATAS BENGKULU

PENENTUAN LAPISAN PEMBAWA AIR DENGAN METODE TAHANAN JENIS DI DAERAH ATAS TEBING LEBONG ATAS BENGKULU PENENTUAN LAPISAN PEMBAWA AIR DENGAN METODE TAHANAN JENIS DI DAERAH ATAS TEBING LEBONG ATAS BENGKULU Andik Purwanto Program Studi Fisika J PMIPA FKIP Universitas Bengkulu ABSTRACT This research was conducted

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5%

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan pokok untuk semua makhluk hidup tanpa terkecuali, dengan demikian keberadaannya sangat vital dipermukaan bumi ini. Terdapat kira-kira

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 ) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Pada umumnya ketersediaan air terpenuhi dari hujan. Hujan merupakan hasil dari proses penguapan. Proses-proses yang terjadi pada peralihan uap air dari laut ke

Lebih terperinci

Riad Syech, Juandi,M, M.Edizar Jurusan Fisika FMIPA Universitas Riau Kampus Bina Widya Km 12,5 Pekanbaru ABSTRAK

Riad Syech, Juandi,M, M.Edizar Jurusan Fisika FMIPA Universitas Riau Kampus Bina Widya Km 12,5 Pekanbaru ABSTRAK MENENTUKAN LAPISAN AKUIFER DAS (DAERAH ALIRAN SUNGAI) SIAK DENGAN MEMBANDINGKAN HASIL UKUR METODE GEOLISTRIK RESISTIVITAS KONFIGURASI WENNER DAN KONFIGURASI SCHLUMBERGER Riad Syech, Juandi,M, M.Edizar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

Interpretasi Bawah Permukaan. (Aditya Yoga Purnama) 99. Oleh: Aditya Yoga Purnama 1*), Denny Darmawan 1, Nugroho Budi Wibowo 2 1

Interpretasi Bawah Permukaan. (Aditya Yoga Purnama) 99. Oleh: Aditya Yoga Purnama 1*), Denny Darmawan 1, Nugroho Budi Wibowo 2 1 Interpretasi Bawah Permukaan. (Aditya Yoga Purnama) 99 INTERPRETASI BAWAH PERMUKAAN ZONA KERENTANAN LONGSOR DI DESA GERBOSARI, KECAMATAN SAMIGALUH, KABUPATEN KULONPROGO MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI

Lebih terperinci

Pemetaan Akuifer Air Tanah Di Sekitar Candi Prambanan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta Dengan Menggunakan Metode Geolistrik Tahanan Jenis

Pemetaan Akuifer Air Tanah Di Sekitar Candi Prambanan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta Dengan Menggunakan Metode Geolistrik Tahanan Jenis JURNAL MIPA UNSRAT ONLINE 1 (1) 37-44 dapat diakses melalui http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmuo Pemetaan Akuifer Air Tanah Di Sekitar Candi Prambanan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

MENENTUKAN LITOLOGI DAN AKUIFER MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER DAN SCHLUMBERGER DI PERUMAHAN WADYA GRAHA I PEKANBARU

MENENTUKAN LITOLOGI DAN AKUIFER MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER DAN SCHLUMBERGER DI PERUMAHAN WADYA GRAHA I PEKANBARU MENENTUKAN LITOLOGI DAN AKUIFER MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER DAN SCHLUMBERGER DI PERUMAHAN WADYA GRAHA I PEKANBARU Heri Gokdi 1, M. Edisar 2, Juandi M 3 1 Mahasiswa Program Studi S1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

PENENTUAN RESISTIVITY TANAH DI DALAM MENETAPKAN AREA PEMASANGAN GROUNDING GARDU DISTRIBUSI

PENENTUAN RESISTIVITY TANAH DI DALAM MENETAPKAN AREA PEMASANGAN GROUNDING GARDU DISTRIBUSI PENENTUAN RESISTIVITY TANAH DI DALAM MENETAPKAN AREA PEMASANGAN GROUNDING GARDU DISTRIBUSI 20 kv MENGUNAKAN KOMBINASI GRID DAN ROD DI KAMPUS POLITEKNIK NEGERI PADANG Oleh Junaidi Asrul 1, Wiwik Wiharti

Lebih terperinci

BAB 4 PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TANAH KASUS WILAYAH JABODETABEK

BAB 4 PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TANAH KASUS WILAYAH JABODETABEK BAB 4 PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TANAH KASUS WILAYAH JABODETABEK Tujuan utama dari pemanfaatan air tanah adalah sebagai cadangan, untuk memenuhi kebutuhan air bersih jika air permukaan sudah tidak memungkinkan

Lebih terperinci