Seri Data dan Informasi Sosek KP No.05. Zahri Nasution, dkk

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Seri Data dan Informasi Sosek KP No.05. Zahri Nasution, dkk"

Transkripsi

1 Seri Data dan Informasi Sosek KP No.05 Kajian Desain Program dan Implementasi Industrialisasi Perikanan Berbasis Perairan Umum Daratan Zahri Nasution, dkk BBPSEKP IMFISERN i

2 Seri Data dan Informasi Sosek KP No.05 Kajian Desain Program dan Implementasi Industrialisasi Perikanan Berbasis Perairan Umum Daratan ISBN: Diterbitkan Oleh: Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan(BBPSEKP) bekerja sama dangan Indonesian Marine and Fisheries Socio-Economics Research Network(IMFISERN) Penanggung Jawab: Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Penyunting: Budi Wardono Rikrik Rahadian Penulis: Zahri Nasution Muhadjir Elly Reswati Rani Hafsaridewi Rismutia Hayu Deswati Design Cover: Ari Suswandi Tata Letak: Irawati Arifa Desfamita Asep Jajang Setiadi Santi Astuti ISI DAPAT DIKUTIP DENGAN MENYEBUTKAN SUMBERNYA Publikasi ini dicetak dengan menggunakan Anggaran Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2013 ii

3 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia- Nya buku Seri Data dan Informasi Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan ini dapat diselesaikan. Buku data dan informasi ini merupakan salah satu keluaran dari kegiatanpenelitian Kajian Desain Program dan Implementasi Industrialisasi Perikanan Berbasis Perairan Umum Daratanyang dibiayai dari APBN tahun Paket data ini berisikan berbagai tabel dan hasil analisis, yang dimuat dalam Laporan Teknis Akhir kegiatan penelitian tersebut. Data yang ditampilkan merupakan hasil olahan dari data sekunder dan primer hasil penelitian. Data yang tercantum meliputi data perikanan tingkat nasional dan data perikanan dari 3 tipologi yaitu waduk,danau dan sungai rawa di enam lokasi penelitian, yaitu di Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Kerinci, Kabupaten Barito Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Brebes. Terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBPSEKP) yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan Kajian Desain Program dan Implementasi Industrialisasi Perikanan Berbasis Perairan Umum Daratan ini. Tim Peneliti menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Penanggung Jawab dan Tim Lab Data BBPSEKP yang telah menyunting dan menerbitkan buku seri data dan informasi ini. Terima kasih juga diucapkan kepada berbagai pihak, yang telah banyak membantu kelancaran dalam pengumpulan data lapangan kegiatan sehingga terselesaikan buku data dan informasi ini. Akhirnya, semoga buku seri data dan informasi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Saran perbaikan yang bersifat positif konstruktif sangat diharapkan. Jakarta, Desember 2013 Tim Peneliti iii

4 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii BAB I PENGANTAR... 1 METODOLOGI... 3 KONSEP DAN DEFINISI... 3 BAB IIDATA DAN INFORMASI BAB III PENUTUP iv

5 DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tingkat produksi perikanan tangkap yang berasal dari perairan umum daratan beserta jumlah nelayan, RTP, unit penangkapan dan nilai produksi secara nasional tahun 2007 hingga Tingkat Kenaikan Penurunan Produksi Perikanan Tangkap, Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan dan Nilai Produksi Perikanan yang berasal dari Perairan Umum Daratan Tahun 2007 hingga Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap, Nilai Produksi Perikanan Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun 2007 hingga Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun dan Tingkat produksi perikanan tangkap yang berasal dari perairan umum daratan beserta jumlah nelayan, RTP, unit penangkapan dan nilai produksi secara nasional tahun 2007 hingga Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap, Nilai Produksi Perikanan Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun 2007 hingga Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun dan Tabel 8. Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya di Ogan Ilir, Tahun Tabel 9. Produksi dan Nilai Produksi Tiap Jenis Ikan Tangkap di Perairan Umum Kab. Ogan Ilir Tahun Tabel 10. Produktivitas Perikanan Perairan Umum Sungai dan Rawa di Kab. Ogan Ilir Tahun Tabel 11. Produksi Perikanan Di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2009 dan Tabel 12. Produksi Perikanan Budidaya di Kab. Ogan Ilir Tahun 2009 dan Tabel 13. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Budidaya Berdasarkan Jenis Ikan Dan Jenis Usaha di Perairan Umum Kab. Ogan Ilir Tabel 14. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan di Kab. Ogan Ilir Tabel 15. Kalender Musim Tangkap di Kabupaten Ogan Ilir Tabel 16. Harga beli dan harga jual ikan pada tingkat pedagang pengecer Tabel 17. Jumlah Pengolah Kerupuk/Kemplang di Kab. Ogan Ilir Tabel 18. Luas Wilayah Per Kecamatan di Kabupaten Barito Selatan Tabel 19. Produksi Perikanan Darat Menurut Kecamatan (ton) di Kabupaten Barito Selatan Tabel 20. Areal dan Produksi Budidaya Kabupaten Hulu Sungai Utara Tabel 21. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Kerinci Tahun Tabel 22. Produksi Berbagai Macam Ikan Di Kabupaten Kerinci Tahun Tabel 23. Produksi, konsumsi ikan dan peran perikanan tangkap di Kabupaten Kerinci, Jambi Tahun Tabel 24. Infrastruktur pendukung industrialisasi perikanan di Kab. Kerinci, Tahun Tabel 25. Jumlah alat tangkap dan nelayan di Kabupaten Kerinci Tahun v

6 Tabel 26. Jenis dan volume dan harga ikan yang diperdagangkan seorang pedagang tiap bulan sesuai musim tangkap di Kabupaten Kerinci, Jambi Tabel 27. Jenis-jenis Alat Tangkap yang Digunakan Nelayan Kabupaten Simalungun Tahun Tabel 28. Komposisi jenis ikan di Waduk Malahayu Kab. Brebes Jawa Tengah vi

7 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kawasan Pengembangan Minapolitan di Kabupaten Ogan Ilir Gambar 2. Saluran pemasaran ikan tangkap di Ogan Ilir Gambar 3. Rantai Nilai Ikan Gabus segar di Kabupaten Ogan Ilir Gambar 4. Rantai Nilai 2 Ikan Gabus segar di Kabupaten Ogan Ilir Gambar 5. Rantai Nilai 3 Ikan Gabus bentuk olahan (kerupuk) di Kab. Ogan Ilir Gambar 6. Rantai Nilai 4 ikan sepat segar Gambar 7. Rantai Nilai 5 ikan sepat segar Gambar 8. Alat Alat Tangkap Nelayan di Kabupaten Barito Selatan Gambar 9. Rantai Pasok ( Supply Chain) Perikanan di Kabupaten Barito Selatan Gambar 10. Rantai pemasaran ikan gabus Gambar 11. Value chain analysis ikan gabus rantai Gambar 12. Rantai pemasaran ikan hasil tangkap di Kabupaten Kerinci Gambar 13. Rantai Pasok Ikan di Kabupaten Kerinci, Jambi Gambar 14. Rantai pemasaran ikan hasil tangkap di Danau Kerinci Gambar 15. Kawasan perairan Danau Toba yang meliputi 7 kabupaten di Provinsi Sumatera Utara Gambar 16. Rantai Pemasaran Ikan Bilih di Kab. Simalungun, Sumut Gambar 17. Rantai pasok komoditas ikan Gabus di Kabupaten Brebes Gambar 18. Rantai pasok komoditas nila Waduk Malahayu Gambar 19. Sistem pohon industri ikan gabus Gambar 20. Sistem pohon industri komoditas gabus dari nelayan ke pengumpul dan ke pengecer vii

8 BAB IPENGANTAR Industrialisasi perikanan merupakan proses perubahan sistem produksi hulu dan hilir dengan tujuan untuk meningkatkan produksi, produktivitas, dannilai tambah produk kelautan dan perikananyang berdaya saing tinggi dan berorientasi pasar (KKP, 2012). Kemudian, juga untuk mempercepat pembangunan ekonomiberbasis kelautan dan perikanan melaluimodernisasi sistem produksi danmanajemen, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan (KKP, 2012). Sejalan dengan yang dikemukakan diatas, Satria (2011) mengemukakan, dalam arti luas, industrialisasi perikanan adalah transformasi ke arah perikanan yang bernilai tambah, dengan tujuan meningkatkan nilai tambah produksi perikanan lokal yang dinikmati para pelaku usaha kecil dan menengah. Industrialisasi bukan hanya sekadar membangun pabrik, tetapi lebih pada terciptanya sistem yang menjamin meningkatnya mutu produk perikanan nelayan dan pembudidaya ikan yang bernilai tambah, berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan mereka (Satria, 2011).Dengan demikian, industri tidak semata teknologi, tetapi orientasi nilai budaya baru, di mana industri mengait pada sumber daya lokal, sehingga pelaku lokal di hulu terlibat secara dalam dan karena itu keberlanjutan sumber daya menjadi penting untuk menjamin keberlanjutan produksi. Kemudian, dalam arti sempit, industrialisasi perikanan adalah membangun pabrik-pabrik pengolahan ikan, yang bertujuan untuk meningkatkan produksi ikan olahan.baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Secara konseptual industrialisasi perikanan menganut prinsip-prinsip (KKP, 2012): (1) Meningkatkan nilai tambah dan daya saing: peningkatan nilai tambah dan daya saing produk untuk ekspor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri; (2) Modernisasi sistem produksi: efisiensi dan modernisasi sistem produksi hulu dan hilir; (3) Penguatan pelaku industri kelautan dan perikanan: peningkatan jumlah, kapasitas, dan kualitas industri kelautan dan perikanan dan pembinaan hubungan antar entitas bisnis dan industri pada semua tahapan value chain untuk memperkuat struktur industri kelautan dan perikanan; (4) Berbasis komoditas, wilayah, dan sistem manajemen kawasan; (5) Konsentrasi pada komoditas unggulan, potensi wilayah dan manajemen sentra-sentra produksi potensial sesuai dengan prospek pertumbuhannya di masa depan; (6) Berkelanjutan: prinsip keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan berjangka panjang; (7) Transformasi sosial: perubahan cara berfikir dan perilaku masyarakat modern. Berdasarkan ke tujuh prinsip tersebut, maka arah kebijakan industrialisasi adalah: (1) Peningkatan produktivitas, nilai tambah dan kesejahteraan rakyat; (2) Peningkatan daya saing dan modernisasi berorientasi pasar, dan (3) Swasembada dan manajemen kelautan dan perikanan berkelanjutan: integrasi hulu dan hilir berwawasan lingkungan. 1

9 Terkait dengan konsep pembangunan ekonomi berbasis pada potensi wilayah, maka muncul gagasan pembangunan kawasan minapolitan di perairan umum daratan, yang juga dapat dikembangkan sebagai kawasan industrialisasi perikanan.dalam hal ini, pemanfaatan potensi perairan umum daratan yang mencapai 12 juta hektar (Sukadi and Kartamihardja) dapat memberikan dukungan terhadap pencapaian IKU KKP khususnya terkait dengan peningkatan produksi kelautan dan perikanan, tingkat konsumsi dan peningkatan nilai ekspor produk perikanan (BBPSEKP, 2013). Konsep minapolitan memiliki kaitan penting dalam mempercepat implementasi industrialisasi pembangunan ekonomi masyarakat berbasis potensi wilayah dengan mengandalkan potensi sumber daya lokal (Sunoto, 2011) termasuk perikanan perairan umum daratan. Beberapa aspek yang harus dipertimbangkan dalam upaya peningkatan produksi perikanan perairan umum adalah aspek sumber daya dan tata ruang, aspek masyarakat dan bisnis, aspek kelembagaan, keberadaan infrastruktur serta dukungan kebijakan dan governance (BBRSEKP, 2010).Disamping itu, industrialisasi perikanan menghendaki keterkaitan antara industri penyedia bahan baku (produksi), dengan industri pengolahan dan pemasaran (Sharif, 2011). Salah satu upaya mendukung industrialisasi perikanan tersebut, KKP memprioritaskan peningkatan daya saing dan nilaitambah melalui program peningkatan "supply chain and value chain management". Sharif (2011) mengemukakan juga bahwa terdapat empat strategi dalam mendukung industrialisasi perikanan, yaitu;pertama, meningkatkan produksi perikanan tangkap melalui berbagai program; Kedua,meningkatkan produksi perikanan budidaya. Ketiga, meningkatkan produksi produk olahan bernilai tambah tinggimelalui peningkatan kapasitas UKM dan industrialisasi pengolahan. Keempat, mengembangkan industripendukung serta industri terkait lainnya.terkait dengan strategi tersebut terdapat beberapa faktor-faktor penting terkait desain program dan implementasi industrialisasi perikanan 1. Dengan demikian terlihat bahwa penting untuk mengkaji desain program dan implementasi induistrialisasi berbasis perikanan pada kawasan minapolitan perairan umum daratan serta berbagai aspek terkait terhadap industrialisasi tersebut terutama perdagangan dan pemasaran komoditas yang dihasilkan pada kawasan program tersebut. 1 Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan nilai tambah, daya saing produk untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor, efisiensi dan modernisasi sistem produksi hulu dan hilir, peningkatan jumlah dan kapsitas bisnis, pembinaan hubungan pada entitas bisnis pada semua tahapan value chain untuk memperkuat struktur industri KP, konsentrasi pada komoditas unggulan, potensi wilayah dan manajemen sentra produksi potensial, keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan lingkungan jangka panjang, perubahan cara berpikir dan perilaku masyarakat modern (KKP, 2012). 2

10 METODOLOGI Penelitian dilakukan pada bulan Januari Desember Lokasi penelitian yang dipilih merupakan lokasi-lokasi yang sudah ditetapkan menjadi kawasan minapolitan dan juga merupakan lokasi penerapan industrialisasi perikanan yaitu di Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Kerinci, Kabupaten Barito Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Brebes. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan mengumpulkan data primer dan sekunder selama kegiatan penelitian.analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif dengan melakukan analisis kebijakan yang mendukung industrialisasi perikanan di tiap lokasi penelitian, analisis value chain dan analisis pohon industri pada setiap komoditas unggulan di lokasi penelitian.secara khusus untuk dasar penyempurnaan desain program industrialisasi berbasis perikanan di kawasan perairan umum daratan dilakukan analisis per tipe ekosistem dengan membandingkan antara kondisi saat ini (existing condition) terhadap kondisi ideal industrialisasi perikanan yang ditunjukkan oleh beberapa variabel kunci prinsip penting dalam industrialisasi perikanan (KKP, 2012). Analisis komparatif (perbandingan) dilakukan pada sektor hulu, proses dan hilir. KONSEP DAN DEFINISI Produksi Perikanan Perairan Umum Daratan (PUD) Nasional Produksi perikanan tangkap yang berasal dari perairan umum daratan, jumlah nelayan, RTP, unit penangkapan dan nilai produksinya terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Uraian Produksi (ton) Nilai Produksi (Rp.000) Tingkat produksi perikanan tangkap yang berasal dari perairan umum daratan beserta jumlah nelayan, RTP, unit penangkapan dan nilai produksi secara nasional tahun 2007 hingga Tahun Nelayan RTP

11 Unit Penangkapan n.a Pokmaswas Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan Berdasarkan Tabel 1 diatas, maka dapat ditunjukkan bahwa apakah terjadi peningkatan ataukah penurunan pada setiap hal-hal yang dijelaskan dalam tabel tersebut, sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan bahwa tingkat produksi perikanan yang berasal dari perairan umum daratan dari tahun 2007 hingga tahun 2011 rata-rata meningkat sebesar ton per tahun. Terlihat pula bahwa peningkatan yang terjadi mulai tahun 2009 hingga tahun Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi suatu peningkatan sebagai akibat adanya suatu program tertentu. Namun demikian, meskipun tingkat produksi rata-rata meningkat sedikit, tetapi nilai produksi selalu meningkat setiap tahunnya. Rata-rata peningkatan nilai produksi selama periode adalah sebesar Rp per tahun. Tabel 2. Tingkat Kenaikan Penurunan Produksi Perikanan Tangkap, Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan dan Nilai Produksi Perikanan yang berasal dari Perairan Umum Daratan Tahun 2007 hingga Uraian Tahun Rata-Rata Produksi (ton) Nilai (Rp.000) Prod Per Tahun Nelayan RTP Unit pe - nangkapan n.a Pokmaswas Sumber: Diolah dari Tabel 1. Di lain pihak, semua yang merupakan unsur upaya bersifat rata-rata menurun baik nelayan, RTP, maupun unit penangkapan per tahun, sedangkan jumlah Pokwasmas setiap tahunnya rata-rata meningkat 138 kelompok. Jumlah nelayan rata-rata menurun sejumlah nelayan, sedangkan RTP menurun sejumlah RTP per tahun dan unit penangkapan menurun rata-rata unit per tahun. 4

12 Tabel 3. Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap, Nilai Produksi Perikanan Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun 2007 hingga Uraian Tahun Produksi(kg) per nelayan Nilai Produksi(Rp.000) per nelayan Produksi(kg) per RTP Nilai Produksi(Rp.000) per RTP Produksi(kg) per unit penang kapan Nilai Produksi(Rp.000) per unit penangkapan Sumber: Tabel 2, diolah na na Efektivitas kebijakan dan program yang dilaksanakan pada tataran Nasional terhadap pembinaan produksi dan nelayan serta unit penangkapan ikan di perairan umum daratan dalam hal ini dapat dilihat dari volume produksi per nelayan atau produksi per RTP atau produksi per unit penangkapan. Disamping itu juga dilihat dari nilai produksi per nelayan atau per RTP atau per unit penangkapan ikan sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 memperlihatkan bahwa selama lima tahun mulai dari tahun 2007 hingga tahun 2011, tingkat produksi perikanan perairan umum daratan selalu meningkat baik terhadap jumlah nelayan, RTP maupun unit penangkapan ikan. Begitu pula untuk nilai produksi perikanan perairan umum daratan pada periode tersebut baik terhadap jumlah nelayan, RTP maupun unit penangkapan ikan. Berdasarkan Tabel 3 selanjutnya dibedakan atas dua periode yaitu periode tahun 2007 hingga 2009 yang dapat menggambarkan sebelum adanya program minapolitan, sementara tahun 2010 dan 2011 memperlihatkan adanya pengaruh program minapolitan. Perbandingan kedua periode tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun dan Rata-Rata Per Tahun Per Periode Uraian % Perbedaan Produksi (kg) per Nelayan ,5 19,7 Nilai Produksi (Rp.000) per nelayan ,0 Produksi (kg) per RTP ,5 21,1 5

13 Nilai Produksi (Rp.000) per RTP ,5 40,7 Produksi (kg) per unit penang kapan ,3 Nilai Produksi (Rp.000) per unit penangkapan Sumber: Tabel 3, diolah ,9 Berdasarkan Tabel 4 diperoleh gambaran bahwa rata-rata produktivitas produksi dan produktivitas nilai produksi baik per nelayan, per RTP maupun per unit penangkapan menunjukkan adanya peningkatan dengan adanya program minapolitan. Tabel 4 memperlihatkan bahwa peningkatan produktivitas produksi per nelayan pada 2 periode tersebut terdapat perbedaan sebesar 19,7%, sedangkan perbedaan nilai produksi per nelayan mencapai 39,0%. Tabel 4 tersebut juga menunjukkan bahwa perbedaan produktivitas produksi per RTP antar 2 periode tersebut sebesar 21,1%, sedangkan perbedaan produktivitas nilai produksi per RTP mencapai 40,7%. Sementara perbedaan produktivitas produksi per unit penangkapan antar 2 periode tersebut sebesar 65,3%, sedangkan untuk produktivitas nilai produksi per unit penangkapan perbedaannya mencapai 79,9%. Hal ini menunjukkan bahwa adanya efektivitas kebijakan dan program yang dijalankan dalam kerangka peningkatan produksi perikanan di perairan umum daratan. Pada program minapolitan misalnya pengembangannya dilakukan melalui tahapan pemilihan daerah yang akan dibangun kawasan yang cocok untuk peningkatan produksi. Peningkatan produksi tersebut dilakukan baik melalui upaya peningkatan produksi minapolitan perikanan tangkap maupun minapolitan perikanan budidaya. Sebagai contoh pengembangan kawasan minapolitan perikanan tangkap ditetapkan pada kawasan Danau Toba, Danau Kerinci dan wilayah sungai dan rawa di Sumatera Selatan. Dalam pengembangan kawasan minapolitan, terlihat bahwa pusat dan daerah secara bersama membiayai kegiatan tersebut sehingga pembangunan perikanan tangkap perairan umum daratan dilakukan tidak hanya oleh pemerintah daerah atau hanya oleh pemerintah. Kemudian, dalam penetapan kawasan minapolitan juga dipertimbangkan pengembangan komoditas unggulan dan diminati pasar sehingga dapat menangkal kemungkinan kelebihan produksi. Disamping itu, juga dilakukan perbaikan teknologi pasca panen dan pengembangan sistem rantai dingin. Bahkan kawasan minapolitan inilah nantinya yang ditetapkan sebagai embrio kawasan industrialisasi perikanan. Industrialisasi perikanan akan dilaksanakan melalui pengembangan komoditas unggulan dan produk-produk bernilai tambah berorientasi pasar. Dalam pelaksanaan program industrialisasi perikanan dimulai dari asesmen jenis dan kapasitas industri yang dapat dikembangkan berdasarkan analisis potensi dan trend pasar. Selain itu, upaya peningkatan produksi perikanan itu akan ditempuh 6

14 sejalan dengan upaya yang memberikan nilai tambah bagi pelaku usaha, diantaranya melalui peningkatan kualitas SDM atau modernisasi nelayan dan pembudidaya ikan. Industrialisasi Perikanan Berbasis Perairan Umum Daratan Secara nasional tentang industrialisasi perikanan mulai dikumandangkan pada awal tahun 2012 sejalan dengan adanya penyempurnaan rencana strategis Kementeriam Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam kaitannya dengan dukungan terhadap industrialisasi perikanan, maka penelitian pengembangan kawasan minapolitan di masing-masing lokasi penelitian diarahkan untuk mendukung industrialisasi perikanan yang dimaksud, dengan catatan bahwa pengertian secara luas yang terkandung dalam kawasan minapolitan dikembangkan ke arah mendukung industrialisasi perikanan. Minapolitan merupakan konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan dengan prinsip-prinsip, integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi. Dalam kaitannya dengan konsep ini, pada tahun 2011, KKP membangun kawasan minapolitan (kawasan produksi kelautan dan perikanan yang terintegrasi) di 28 kabupaten sebagai pilot project untuk meningkatkan produksi perikanan di Indonesia. Pada prinsipnya tahapan pengembangan kawasan minapolitan dilakukan dengan cara terlebih dahulu memilih beberapa daerah yang akan dibangun kawasan minapolitandengan maksud untuk meningkatkan produksi ikan dengan harga ikan yang murah dan terjangkau masyarakat. Pada tahap ini misalnya sekitar 60 persen biaya budidaya ikan berasal dari harga pakan ikan. Harga pakan ikan mempengaruhi harga ikan menjadi mahal atau murah.harga ikan budidaya saat ini berkisar antara Rp Rp per kg.agar biaya budidaya ikan lebih murah, maka perlu membuat industri pakan ikan yang dikelola oleh masyarakat pembudidaya ikan itu sendiri. Dalam pengembangan kawasan minapolitan, menurut panduan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sedikitnya ada enam syarat dalam membangun kawasan minapolitan yang benar dan ideal. Pertama, adanya komitmen daerah melalui rencana strategis, adanya kucuran dana atau tepatnya alokasi dana melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD Kabupaten maupun APBD Provinsi) dan penetapan tata ruang yang seimbang. Kedua, adanya komoditas unggulan, misalnya ikan Patin, ikan Mas, ikan Gurami, ikan Gabus, ikan Baung dan jenisjenis ikan lainnya yang diminati pasar. Ketiga, letak geografis yang strategis serta secara alamiah cocok untuk usaha perikanan.keempat, sistem mata rantai produksi dari hulu ke hilir, misalnya lahan budidaya dan pelabuhan perikanan dan diperlukan adanya dermaga perikanan. Kelima, adanya fasilitas pendukung atau sarana dan prasarana, misalnya jalan, aliran listrik, pusat pemerosesan ikan, 7

15 sarana angkutan, dan ketersedian bibit ikan dan pakan ikan yang tersedia sepanjang waktu. Keenam, kelayakan lingkungan dengan kondisi yang baik atau tidak merusak. Dengan demikian, minapolitan merupakan konsep pengembangan sektor kelautan dan perikanan yang berbasis wilayah. Minapolitan merupakan pengembangan sektor perikanan secara terintegrasi dari hulu ke hilir, mulai dari pembudidayaan/penangkapan, proses olahan, hingga pemasaran, yang dalam hal inilah sejalan dengan upaya ke arah mendukung industrialisasi perikanan.terkait dengan industrialisasi perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Cicip Sharif Sutardjo, mengatakan pada tanggal 18 Januari 2012, bahwa konsep industrialisasi perikanan yang diusung oleh pihak KKP dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah yang berorientasi kepada pasar. "Industrialisasi kelautan dan perikanan akan dilaksanakan melalui pengembangan komoditas unggulan dan produk-produk bernilai tambah berorientasi pasar," Oleh karena itu, pelaksanaan program industrialisasi perikanan dimulai dari asesmen jenis dan kapasitas industri yang dapat dikembangkan berdasarkan analisis potensi dan tren pasar. Selain itu, lanjutnya, pihak KKP juga akan mengukur beragam kekuatan yang dimiliki oleh sejumlah produk perikanan nasional terhadap produk yang didatangkan dari negara-negara pesaing. Sektor hulu kelautan dan perikanan juga dikembangkan sesuai dengan perhitungan pertumbuhan industri pengolahan dengan cara menggerakan semua potensi, mulai dari produksi bahan baku skala kecil sampai dengan skala besar. Dalam upaya meningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat kelautan dan perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan terus berupaya untuk meningkatkan produksi perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, Menteri Kelautan dan Perikanan menegaskan, upaya peningkatan produksi perikanan itu akan ditempuh sejalan dengan upaya industrialisasi perikanan yang memberikan nilai tambah bagi pelaku usaha. Industrialisasi perikanan tersebut, dilakukan dengan membenahi sektor hulu hingga hilir, diantaranya melalui peningkatan kualitas SDM atau modernisasi nelayan dan pembudidaya. "Dengan industrialisasi ini diharapkan mampu menciptakan mata rantai industri perikanan nasional yang kuat dan berdaya saing. Dalam upaya mendukung industrialisasi perikanan, KKP memprioritaskan peningkatan daya saing dan nilai tambah melalui program peningkatan "supply chain and value chain management" dengan empat strategi, meliputi: 1) Meningkatkan produksi perikanan tangkap melalui berbagai program seperti pengadaan kapal bantuan untuk para nelayan, 2) Meningkatkan produksi perikanan budidaya, 3) Meningkatkan produksi produk olahan bernilai tambah tinggi melalui peningkatan kapasitas UKM dan industrialisasi pengolahan, serta 8

16 4) Mengembangkan industri pendukung serta industri terkait lainnya. Salah satu program yang menunjang industrialisasi perikanan yang terkait dengan peningkatan produksi perikanan adalah Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) yaitu bagian dari pelaksanaan program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri KP) melalui bantuan pengembangan usaha dalam menumbuhkembangkan usaha perikanan sesuai dengan potensi desa (Anonim, 2011). Dijelaskan pula bahwa PNPM Mandiri KP adalah program pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan pendapatan serta penumbuhan wirausaha kelautan dan perikanan. Di lain pihak, Kelompok Usaha Kelautan dan Perikanan yang selanjutnya disingkat KUKP adalah kelompok usaha berupa kelompok nelayan atau kelompok pembudidaya ikan atau kelompok pengolah/pemasar (poklahsar) ikan dalam rangka mengembangkan usaha produktif untuk mendukung peningkatan pendapatan dan penumbuhan wirausaha kelautan dan perikanan. Sementara, Rencana Usaha Bersama (RUB) adalah rencana usaha untuk pengembangan wirausaha kelautan dan perikanan yang disusun oleh KUKP berdasarkan kelayakan usaha dan potensi desa. Pelatihan adalah proses pembelajaran baik teori maupun praktek yang bertujuan meningkatkan dan mengembangkan kompetensi atau kemampuan akademik, sosial dan pribadi di bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap serta bermanfaat bagi pesertanya dalam meningkatkan kinerja pada tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Pendampingan adalah kegiatan yang dilakukan oleh tenaga pendamping dalam rangka pemberdayaan nelayan, pembudidaya, pengolah dan pemasar ikan dan masyarakat petambak garam rakyat dalam melaksanakan PNPM Mandiri KP. Kemudian, Kelompok Usaha Bersama (KUB) adalah badan usaha non badan hukum yang berupa kelompok yang dibentuk oleh nelayan berdasarkan hasil kesapakatan/musyawarah seluruh anggota yang dilandasi oleh keinginan bersama untuk berusaha bersama dan dipertanggungjawabkan secara bersama guna meningkatkan pendapatan anggota. Kelompok Pembudidaya Ikan yang selanjutnya disingkat Pokdakan adalah kumpulan pembudidaya ikan yang terorganisir. Kebijakan Umum Pengembangan Industrialisasi Perikanan Berbasis Perairan Umum Daratan Pengembangan kawasan sentra produksi perikanan perairan umum daratan menjadi kawasan minapolitan memberikan implikasi menjadikan perairan umum daratan sebagai kawasan yang perlu pengaturan. Oleh karena itu perairan umum daratan, sebagaimana sumberdaya alam lainnya menjadi state property sehingga semua perairan umum daratan di Indonesia harus diatur 9

17 menggunakan peraturan perundang-undangan yang berimplikasi harus dipatuhi semua sektor. Untuk itu, minimal harus diatur menggunakan peraturan pemerintah atau PP, yang sudah tentu harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang telah ada termasuk hak komunal yang telah berlaku atau diberlakukan pada wilayah tertentu di daerah. Dengan dasar bahwa semua perairan umum daratan harus diatur, maka bagi daerah yang belum mengatur perairan umum daratan yang berada di wilayahnya seyogyanya sudah harus memikirkan bagaimana pengaturannya guna pemanfaatan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, dapat diikuti langkah-langkah sebagai berikut; a. Pertama-tama perairan umum daratan yang memiliki sumberdaya perikanan dengan produktivitas yang cukup tinggi dan menjadi sumber penghidupan masyarakat nelayan dan atau pembudidaya ikan harus dikelola oleh pemerintah daerah melalui pembinaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota. b. Suatu hal yang mendasar adalah menetapkan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum daratan yang bersifat ko-manajemen. Dalam hal ini, instansi pembina dinas kelautan dan perikanan kabupaten/kota bekerja sama dengan kelembagaan nelayan membentuk pola pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum daratan. Dalam hal ini diutamakan untuk mengembangkan perikanan tangkap dan mengendalikan perikanan budidaya di perairan umum daratan berdasarkan prinsip pemanfaatan dan pendayagunaan yang berkelanjutan. c. Bentuk peraturan yang dapat diberlakukan antara lain adalah Peraturan Bupati Tentang Pengembangan Perikanan Tangkap Menggunakan Pendekatan Culture Base Fishery (CBF) dan sekaligus mengendalikan kegiatan budidaya ikan di perairan umum daratan tersebut. Pengembangan perikanan tangkap dengan menggunakan pendekatan CBF dapat dilakukan mengikuti langkah protokol penebaran ikan yang baik dan benar. d. Untuk perikanan budidaya, jika belum ada budidaya ikan yang berkembang di perairan umum daratan tersebut lebih baik tidak dikembangkan tipe perikanan budidaya sistem keramba di danau, waduk, ataupun sungai. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa tipe perikanan budidaya tersebut lambat laun akan merusak lingkungan ekologis waduk, danau ataupun sungai tersebut. e. Kerusakan lingkungan perairan umum daratan sebagai akibat tidak terkendalinya jumlah unit budidaya yang dikembangkan oleh pembudidaya ikan. Hingga saat ini belum terlihat bahwa tipe perikanan budidaya seperti itu dapat dikendalikan di Indonesia. Kerusakan ini telah banyak bukti di Indonesia, misalnya di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur di Jawa Barat serta perairan sungai di Kalimantan Selatan. 10

18 Disamping itu, kegiatan kelautan dan perikanan yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan pengembangan perikanan tangkap dan pengendalian perikanan budidaya di wilayah perairan umum daratan dapat dibagi menjadi dua bagian besar kegiatan yang perlu diperhatikan yaitu pengembangan perikanan tangkap pola Culture Based Fishery (CBF) dan pengendalian atau pembatasan atau pelarangan pengembangan perikanan budidaya sistem keramba jaring apung, atau sistem keramba kayu di lingkungan perairan umum daratan. a. Pengembangan perikanan tangkap menggunakan pendekatan CBF pada perinsipnya mengembangkan pola pemanfaatan dan pendayagunaan perairan umum dengan cara menebar ikan asli kembali ke perairan umum daratan yang dikelola. Ikan yang ditebar merupakan pemanfaatan relung pakan dan atau peningkatan produksi ikan asli. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum daratan dengan menggunakan pendekatan CBF. b. Berdasarkan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan menggunakan pendekatan CBF, dapat dikemukakan kegiatan kelautan dan perikanan yang perlu difasilitasi oleh pemerintah daerah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota setempat adalah sebagai berikut; Fasilitasi pembentukan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat berupa kelembagaan pelaku usaha (nelayan). Peningkatan peran masyarakat nelayan dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan (termasuk didalamnya sistem pengawasan sumberdaya). Fasilitasi pembentukan aturan pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya perikanan termasuk penggunaan alat tangkap, penetapan wilayah konservasi, penetapan otoritas dalam kaitannya dengan pengaturan sanksi (penegakan peraturan). Penebaran ikan asli dan atau peningkatan produksi ikan asli termasuk pengaturan mata jaring untuk penangkapan ikan dan pengaturan waktu penggunaan alat tangkap tertentu. Fasilitasi pembentukan sistem pengawasan oleh masyarakat (Siswasmas) dan pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Selanjutnya, dikemukakan apa yang harus dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota terkait dengan sistem rantai pasok dalam hubungannya dengan upaya pengembangan perikanan tangkap dan pengendalian perikanan budidaya di wilayah perairan umum daratan, baik sungai & rawa, waduk maupun danau. a. Dengan adanya dua bagian besar kegiatan yaitu pengembangan perikanan tangkap pola Culture Based Fishery (CBF) dan pengendalian perikanan budidaya sistem keramba jaring apung, atau sistem keramba kayu di lingkungan perairan umum daratan, terdapat perubahan sistem rantai pasok di suatu wilayah kabupaten atau kota. 11

19 b. Sistem rantai pasok ikan perairan umum di pasar kabupaten yang semula sebagian besar berasal dari luar kabupaten berubah menjadi ada pasokan baru dari daerah pengembangan kawasan minapolitan perairan umum daratan. Kawasan pengembangan minapolitan yang terdiri atas zona inti (daerah minapolis) dapat berfungsi sebagai pemasok tambahan baru terhadap pasar kabupaten. Tambahan pula jika telah ada pengembangan perikanan budidaya, maka pemasok bertambah dari sekitar minapolis. c. Pola pengembangan perikanan tangkap dengan pendekatan penerapan prinsip CBF memerlukan pasokan benih minimal sekitar 1 juta ekor per kali penebaran per perairan di satu wilayah pedesaan. Oleh karena perubahan rantai pasok benih ini memerlukan perluasan produksi benih. Dalam hal ini dapat dikembangkan Unit Pembenihan Rakyat (UPR) yang tentunya menjadi tugas dan fungsi Balai Benih Ikan (BBI Kabupaten) yang secara lokal terdapat di setiap wilayah kabupaten. Begitu pula pasokan benih untuk pengembangan perikanan budidaya yang sudah terlanjur ada (masih dalam kapasitas dukung lingkungan) memerlukan benih paling tidak jutaan ekor per kali tanam. d. Hasil produksi ikan dari perairan umum tersebut diatas merupakan pasokan ikan yang harus pula dipasarkan baik pada tingkat lokal sekitar kecamatan ataupun pada tingkat kabupaten (pasar ibukota kabupaten). Oleh karena itu perlu pembangunaan fasilitas pasar input yang terkait dengan pengembangan perikanan tangkap maupun perikanan budidaya di tingkat kecamatan. Termasuk di dalamnya pengadaan pasar benih ikan, pakan ikan serta peralatan penunjang usaha perikanan yang lainnya. Lebih lanjut, fasilitas sarana jalan dari dan ke pedesaan pusat pengembangan kawasan minapolitan merupakan suatu hal yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan kelancaran usaha perikanan di kawasan minapolitan. Di lain pihak, sistem rantai nilai merupakan upaya perbaikan yang dilakukan dengan jalan memperbaiki sistem rantai nilai yang terjadi mulai produk ikan di produksi hingga ke tangan konsumen. Dalam banyak kasus, pengambil manfaat terbesar dalam rantai nilai adalah para pedagang yang menjadi perantara pemasaran produk dari produsen (nelayan/pembudidaya) sampai ke tangan konsumen akhir.melalui penguasaan modal dan kemampuan akses terhadap pasar dan informasi pasar, pedagang dapat mengambil marjin keuntungan yang sangat tinggi, sementara nelayan/pembudidaya hanya mendapat marjin laba yang rendah.untuk ini perlu upaya peningkatan kapasitas nelayan/pembudidaya khususnya terhadap informasi harga pasar dan peluang pasar sehingga nelayan/pembudidaya dapat memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam pemasaran produknya. 12

20 Analisis Kebijakan, Daya Saing dan Nilai Tambah Dalam Mendukung Pengembangan Industrialisasi Perikanan Analisis kebijakan terkait pengembangan industrialisasi perikanan dilakukan terhadap kebijakan dan atau regulasi serta program dan kegiatan yang dibuat terkait dengan upaya mendukung (supporting system) industrialisasi perikanan di perairan umum daratan pada level nasional maupun lokal. Hal ini dilakukan atas pertimbangan bahwa pelaksana yang bertugas dalam proses perumusan kebijakan terletak pada para pejabat pemerintah atau pegawai negeri sipil disuatu lembaga pemerintah. Keterlibatan pihak lain, yaitu lembaga-lembaga non pemerintah, umumnya terbatas pada pengusulan isu dan agenda kebijakan serta pengevaluasiannya. Pemain kebijakan atau stakeholder kebijakan terdiri atas individu, kelompok atau lembaga yang memiliki kepentingan suatu kebijakan, yang dapat dikelompokkan menjadi menjadi stakeholder yang mendukung ataupun stakeholder yang menolak kebijakan.untuk itu, stakeholder kebijakan terdiri atas mereka yang mendukung ataupun yang menolak. Terkait dengan posisi dan perannya dalam proses perumusan kebijakan, stakeholder kebijakan dapat dibedakan kedalam tiga kelompok (Putra 2005): a) Stakeholder kunci: mereka yang memiliki kewenangan secara legal untuk membuat keputusan. Stakeholder kunci mencakup unsur eksekutif, legislatif dan lembaga-lembaga pelaksanaan program pembangunan sesuai tingkatannya. b) Stakeholder primer: mereka yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program atau proyek. Mereka biasanya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terutama dalam penyerapan aspirasi publik. Stakeholder primer dapat mencakup (a) masyarakat yang diidentifikasi akan terkena dampak (baik positif maupun negatif) oleh suatu kebijakan, (b) tokoh masyarakat dan (c) pihak manajer publik, yakni lembaga atau badan publik yang bertanggung jawab dalam penentuan dan penerapan suatu keputusan. c) Stakeholder sekunder: mereka yang tidak memiliki kaitan kepentingan langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek, namun memiliki kepedulian dan perhatian sehingga mereka turut bersuara dan berupaya untuk mempengaruhi keputusan legal pemerintah. Kelompokkelompok kritis, organisasi profesional (PGRI, IDI, HIPMI), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Sosial (Orsos), dan lembaga-lembaga keuangan internasional dapat dikategorikan sebagai stakeholder sekunder. Dengan demikian, kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan industrialisasi perikanan berbasis perairan umum daratan dapat yang berasal dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap terutama Direktorat Sumber Daya Hayati Ikan, Direktorat Perbenihan (DJPB) KKP, Asosiasi, Lembaga, Dinas Teknis. Sementara, target analisis kebijakan industrialisasi perikanan berbasis perairan umum 13

21 daratan diantaranya adalah: (1) Sistem produksi, (2) Modernisasi, (3) Penguatan kelembagaan, (4) Transformasi sosial, dan (5) Peluang investasi. Dalam hal ini, kebijakan, regulasi, program dan kegiatan dari supporting sistem dikaji keselarasan dan pengaruhnya terhadap pelaksana kebijakan dan bisnis (main system). Dalam hal ini main system adalah pelaku-pelaku yang ada dalam sistem usaha sektor perikanan yang dapat berupa: penyedia input, produsen, pedagang, pengolah skala rumah tangga, unit pengolah ikan, eksportir, dan lainnya. Keselarasan dan pengaruh tersebut khususnya terkait dengan value chain dan sistem pohon industri komoditas utama ikan perairan umum daratan.hal ini tentunya harus sejalan pula dengan analisis daya saing dan nilai tambah dalam mendukung industrialisasi perikanan. Analisis daya saing dan nilai tambah merupakan keluaran yang diharapkan dari hasil AnalysisValue Chainyang dilakukan untuk dapat merumuskan bagaimana meningkatkan nilai (value) dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Pemanfaatan tersebut dimulai dari sistem produksi (penangkapan) sebagai sumber bahan baku, proses transformasi pada berbagai level perantara pemasaran (intermediary) hingga pemasaran produk perikanan; sebagaimana yang dikemukakan oleh Hellin dan Meijer (2006) dan White (2009). Dalam konteks industrialisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan ini harus lebih efisien. Peran Kelembagaan Nelayan Dalam Mendukung Pengembangan Industrialisasi Perikanan Melalui Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Perairan Umum Daratan Secara Berkelanjutan 2 Dalam konteks sumber daya alam, kelembagaan dapat bermakna bagaimana manusia mengelola akses terhadap sumber daya dan pemanfaatannya dan merupakan titik penting dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut (Smajgl and Larson, 2006). Kelembagaan terkait dengan pengelolaan sumber daya perikanan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tipe yang ekstrim, yaitu pengelolaan sumber daya ikan oleh pemerintah atau dikenal dengan istilah pengelolaan sentralistis. Kedua, pengelolaan sumber daya ikan berbasis masyarakat (Arsyad, 2007). Model pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat adat terdapat di beberapa daerah di Indonesia dengan aturanaturan lokalnya atau tradisi (adat-istiadat) masyarakat yang diwarisi secara turun temurun.pengintegrasian kedua rezim ini dikenal dengan nama manajemen kolaborasiatau komanajemen (co-management), yang di Indonesia mulai diperkenalkan sekitar 1990-an. Ko-manajemen perikanan dapat diartikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan (Nikijuluw, 2002).Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa dalam ko-manajemen terjadi 2 Bahan kajian ini diambil dari bahan yang merupakan konsep dasar penulisan dalam mempersiapkan orasi ilmiah kandidat professor riset bidang sosial ekonomi kelautan dan perikanan Balitbang Kelautan dan Perikanan, KKP yang dibuat pada bulan Desember

22 pembagian tanggung-jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam (Pomeroy and Williams, 1994).Tujuan utarna ko-manajemen adalah pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata (Nikijuluw, 2002).Namun demikian, prinsip kelembagaan dalam ko-manajemen menyatakan bahwa setiap aturan permainan dapat saja diubah asalkan telah merupakan suatu kesepakatan bagi pengguna dan pembuat aturan itu sendiri (Pomeroy, 1991). Variasi bentuk ko-manajemen tergantung sejauhmana peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan (Nikijuluw, 2002). Kemudian, bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan diantara kedua pihak hingga tahap proses manajemen (ketika kerjasama pengelolaan diwujudkan sejak perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi). Terkait dengan hal ini, pola komanajemen kooperatifyang menempatkan masyarakat nelayan dan pemerintah pada tingkat yang sama atau sederajat merupakan pola yang saat ini hendak dikembangkan dan dikehendaki oleh masyarakat secara umum. Pengembangan kelembagaan nelayan dalam mendukung pengelolaan sumber daya perikanan PUD berkelanjutan menghadapi beberapa permasalahan dan hambatan pada wilayah PUD yang telah terlanjur dikelola dengan sistem aturan main yang juga sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan demikian, terdapat tiga kepentingan terhadap sumber daya perikanan PUD tersebut yaitu kepentingan konservasi guna keberlanjutan sumber daya perikanan PUD, sebagai sumber penghidupan masyarakat nelayan, dan sebagai sumber PAD (Nasution et al., 1992). Akibatnya terjadi degradasi terhadap sumber daya perikanan PUD dan lingkungannya. Produktivitas ikan hasil tangkapan nelayan menurun dari tahun ke tahun dan ukuran individu ikan yang semakin kecil (Nasution, 2012). Kondisi kepentingan yang demikian dapat menghambat fungsi kelembagaan pelaku utama nelayan yang diharapkan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan masyarakat nelayan. Pengelolaan sumberdaya perikanan PUD memerlukan kelembagaan yang kondusif guna berlangsungnya keberlanjutan produksi dan pengelolaan (termasuk pemanfaatan) sumber daya perikanan PUD tersebut (Welcomme dan Henderson, 1976; Welcomme, 1985; Ostrom, 2008). Kelembagaan nelayan yang tidak berkembang dan dibentuk hanya untuk tujuan mendapatkan hak usaha penangkapan terbukti tidak mendukung pengelolaan sumber daya perikanan PUD yang berkelanjutan (Nasution dan Sumarti, 2010), sebagaimana terjadi di areal PUD yang dilelangkan di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Pengembangan dan atau penguatan kelembagaan (institutional development) merupakan proses memperbaiki kemampuan lembaga (baik organisasi maupun aturan main) guna 15

23 mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dan sumber dana yang tersedia (Israel, 1987; Dasgupta, 200). Proses ini secara internal dapat digerakkan oleh manajer sebuah lembaga atau difasilitasi dan dipromosikan oleh pemerintah dan atau badan-badan pembangunan tertentu. Namun demikian, pada prinsipnya peningkatan kapasitas kelembagaan dapat berupa upaya yang dilakukan pada tingkatan individu (individual level), pada tingkat organisasi (organizational level), dan pada tingkatan sistem (system level)(milen, 2006). Kelembagaan Nelayan Pada Tingkat Individu Kelembagaan nelayan pada tingkat individu berkaitan dengan permasalahan kehidupan masyarakat nelayan baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun politik (Nasution et al., 2012). Termasuk didalamnya masyarakat nelayan PUD yang terutama berada di wilayah sungai-sungai besar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Hasil penelitian pada masyarakat nelayan di Sungai Lempuing, Sumatera Selatan menunjukkan bahwa secara individu, nelayan menghadapi berbagai masalah terkait dengan peran mereka dalam berorganisasi ataupun peran mereka terkait dengan aturan main dalam pengelolaan (termasuk pemanfaatan) sumber daya perikanan PUD (Nasution et al., 2011). Pada areal PUD yang dikelola dengan sistem lelang di Sumatera Selatan, secara individu meskipun nelayan menguasai sumber daya perikanan yang melimpah, namun mereka tetap menerima bagian pendapatan yang kecil dari hasil usahanya (Ramadhan dan Nasution, 2010). Hal ini sebagai akibat adanya kewajiban membayar sewa perairan yang tinggi terhadap pemilik modal yang berfungsi sebagai pemenang lelang (pengemin)(nasution, 2005). Di bagian wilayah lainnya terlihat pula bahwa masyarakat nelayan secara individu sebagian besar terikat terhadap kelembagaan ekonomi informal yaitu para pemilik modal (Nasution dan Sumarti, 2010). Nelayan pada tingkat individu belum menyadari pentingnya manfaat membentuk kelompok nelayan, sehingga berakibat semakin lemahnya posisi tawar nelayan tersebut dalam melaksanakan usaha penangkapan ikan di perairan umum (Nasution dan Sastrawidjaja, 2010). Padahal dalam hal ini, kelembagaan dapat berfungsi sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas manusia untuk memenuhi sejumlah kebutuhan yang kompleks dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1997). Artinya kelembagaan sangat penting bagi upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat nelayan perairan umum daratan (Nasution et al., 1991). Dengan demikian, adanya nelayan sebagai suatu kelembagaan pada tingkat individu merupakan modal dasar bagi masyarakat nelayan untuk dapat melaksanakan usaha penangkapan ikan secara baik dan benar. Hal ini sesuai dengan fungsi kelembagaan sebagai sesuatu yang memberi 16

24 pedoman berperilaku kepada individu-individu atau masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah di masyarakat terutama terkait dengan kebutuhanmereka sebagai individu (Cernea, 1988). Kelembagaan Nelayan Pada Tingkat Organisasi Kelembagaan nelayan pada tingkat organisasi dapat disamakan dengan organisasi nelayan. Organisasi kenelayanan saat ini masih banyak yang tergabung dengan kelembagaan petani, sehingga disebut sebagai Kelompok Tani Nelayan (Nasution dan Sumarti, 2010). Hasil penelitian di Desa Berkat, Kabupaten Ogan Komering Ilir (Kab. OKI) menunjukkan bahwa belum ada kelembagaan pelaku usaha yang khusus nelayan (Shafitri dan Pranowo, 2010). Kelembagaan yang ada di desa ini yaitu Kelompok Tani Sekawan, yang juga beranggotakan nelayan, disamping petani. Akibatnya antara lain adalah kelompok tersebut belum pernah mendapatkan pelayanan atau bantuan atau pembinaan di bidang kenelayanan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menunjang usaha mereka. Kelembagaan khusus kelompok nelayan di wilayah Kab. OKI yang ada antara lain dibentuk untuk keperluan masyarakat nelayan mengikuti proses lelang lebak lebung yang diadakan pemerintah kabupaten setempat (Nasution et al., 1992). Kelompok nelayan ini disahkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan setempat. Kelompok nelayan yang terbentuk digunakan sebagai syarat jika masyarakat nelayan ingin mengikuti proses lelang lebak lebung guna mendapatkan hak usaha penangkapan ikan di PUD yang ada di wilayah Kab. OKI. Ada pula pembentukan kelompok nelayan bersifat mendadak dengan tujuan menerima paket bantuan program pemerintah atau pemerintah daerah (Nasution et al., 2012). Di lain pihak, kelembagaan nelayan pada tingkat organisasi yang diperlukan masyarakat nelayan adalah kelembagaan yang mendukung usaha mereka, yaitu kelembagaan penyediaan input usaha; kelembagaan penyediaan permodalan usaha; kelembagaan penyedia tenaga kerja; kelembagaan pengolahan dan pemasaran hasil perikanan (Nasution dan Sastrawidjaja, 2010). Dengan adanya kelembagaan tersebut diharapkan dapat mendukung kelancaran usaha nelayan terutama dalam mengakses hal-hal yang terkait sumber daya (resources) termasuk informasi pasar (harga). Hingga saat ini kelembagaan usaha pada masyarakat nelayan sebagian besar berupa kelembagaan informal, yaitu kelembagaan yang terbentuk diantara masyarakat nelayan itu sendiri sesuai dengan keperluan mereka dalam melaksanakan usaha penangkapan ikan (Nasution et al., 2003). Dalam hal permodalan dan penyediaan input usaha termasuk kebutuhan akan pangan serta kebutuhan keluarga, kebanyakan nelayan sangat tergantung kepada pemilik modal baik sebagai 17

25 pedagang, toke, bos ataupun patron (Nasution dan Sumarti, 2010). Bahkan untuk nelayan yang mengikuti sistem lelang lebak lebung di Sumatera Selatan, masyarakat nelayan sudah terikat sejak awal usaha penangkapan ikan terhadap pemilik modal yang berfungsi sebagai pemenang lelang yang membebani nelayan dengan berbagai persyaratan yang memberatkan masyarakat nelayan (Nasution, 2011). Dalam hal ini tidak jarang nelayan masih berhutang pada akhir tahun setelah adanya perhitungan antara pembayaran yang dilakukan nelayan melalui ikan hasil tangkapan (Rifai dan Nasution, 1988). Suatu kelembagaan pada tingkatan organisasi yang sudah mendukung kepentingan masyarakat nelayan di perairan umum daratan adalah kelembagaan Kelompok Nelayan Nila Jaya di perairan umum Waduk Malahayu. Kelembagaan nelayan ini telah menerapkan sistem pengelolaan sumber daya perikanan berupa pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya (Culture Based Fishery; CBF) (Nasution dan Sastrawidjaja, 1999). Dalam hal ini, meskipun hanya satu kelembagaan saja, tetapi kelembagaan ini di dalamnya memiliki berbagai fungsi yang diperlukan masyarakat nelayan mulai dari penyediaan input usaha hingga kepada pemasaran ikan hasil tangkapan masyarakat nelayan. Fungsi lainnya yang dimiliki kelembagaan kelompok nelayan di waduk Malahayu tersebut adalah fungsi pengawasan dan fungsi pembinaan terkait dengan penerapan peraturan pengelolaan sumber daya perikanan di perairan umum waduk tersebut (Nasution dan Purnomo, 2010). Kelembagaan Nelayan Pada Tingkatan Sistem Pada tingkatan sistem, aturan main (rule of the game) terkait dengan pengelolaan sumber daya perikanan PUD diharapkan dapat memberikan ruang yang mempermudah nelayan melaksanakan usaha penangkapan ikan. Kemudian, kelembagaan lainnya pada tingkatan sistem adalah kelembagaan penyuluhan perikanan, kelembagaan dinas pembina terkait terutama Dinas Kelautan dan Perikanan setempat. Sistem aturan main terkait pengelolaan sumberdaya perikanan PUD berbeda antar wilayah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya sebagian besar wilayah PUD di Indonesia belum ada pengaturan secara rinci terkait pengelolaan (termasuk pemanfaatan) sumber daya perikanan PUD di wilayah tertentu, kecuali hanya terdapat pada beberapa wilayah tertentu (Wardoyo dan Nasution, 2004; Sastrawidjaja dan Nasution, 2006; Yanti et al., 2011). Terkait dengan kondisi ini, pengembangan kelembagaan nelayan menjadi suatu sistem pendukung yang penting agar sumber daya perikanan PUD dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal ini sesuai pula dengan hasil kajian pengembangan sentra perikanan PUD pada berbagai tipe ekosistem yang menunjukkan bahwa untuk meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat nelayan melalui 18

26 program apapun, maka areal PUD harus dikelola oleh masyarakat dengan fasilitasi pemerintah daerah (Nasution et al., 2011). Pemerintah daerah dalam hal ini dilaksanakan oleh masing-masing Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten atau Kota melalui pengembangan pola pengelolaan sumber daya perikanan PUD yang berkelanjutan. Sebagai contoh, di wilayah PUD Waduk Malahayu di Jawa Tengah memperlihatkan bahwa kelembagaan nelayan yang dibentuk dari, oleh dan untuk nelayan dengan fasilitasi pemerintah menunjukkan hasil yang baik. Dalam hal ini, tingkat produksi dan pendapatan nelayan dapat ditingkatkan dari tahun ke tahun karena kelembagaan nelayan (organisasi) dan sistem aturan mainnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan dan pengelolaan sumber daya perikanan PUD yang dikelola dengan prinsip berkelanjutan. Bahkan, dalam kelembagaan nelayan sudah ada pengaturan terkait dengan pola pengorganisasian hubungan dan jaminan sosial diantara masyarakat (antara nelayan, bakul, satuan tugas, pengurus lembaga nelayan) (Nasution dan Purnomo, 2010). Pada tingkatan sistem, kelembagaan penyuluhan perikanan pada lokasi nelayan umumnya telah terbangun dan telah diatur untuk tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan dan pedesaan (Nasution et al., 2009). Pada tingkat propinsi telah ada kelembagaan Badan Koordinasi Penyuluh (Bakorluh), meskipun pada wilayah tertentu belum ada alokasi dana operasional dan belum lengkapnya kepengurusan (Nasution et al., 2010). Begitu pula untuk tingkat kabupaten, kecamatan dan desa telah ada kelembagaannya, meskipun belum banyak berfungsi sesuai dengan tujuan pembentukannya bagi masyarakat nelayan. Kelembagaan penyuluhan pada tingkat kabupaten dinamakan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) yang merupakan lembaga fungsional setara eselon II yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati (Nasution dan Sastrawidjaja, 2010). Sementara kelembagaan penyuluhan pada tingkat kecamatan dinamakan Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) yang juga merupakan lembaga fungsional yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Kelembagaan penyuluhan pada tingkat pedesaan disediakan satu Penyuluh Perikanan Lapangan (PPL) untuk dua desa yang menjadi wilayah kerja PPL tersebut, dan ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati. Dengan demikian, pada prinsipnya pengembangan kelembagaan nelayan dapat dilakukan setiap tingkatan yang dilaksanakan secara bersamaan (Milen, 2006).Namun demikian, proses pengembangan kelembagaan nelayan di lapangan harus digerakkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan pada tingkat kabupaten atau kota sebagai instansi pembina masyarakat di sektor kelautan dan perikanan. Oleh karena itu, petugas teknis yang berada pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota merupakan ujung tombak sebagai fasilitator kegiatan pembinaan terhadap kegiatan 19

27 pengembangan kelembagaan terkait dengan pengelolaan sumber daya perikanan PUD di wilayahnya. 20

28 BAB IIDATA DAN INFORMASI DATA & INFORMASI PERIKANAN PERAIRAN UMUM DARATAN TINGKAT NASIONAL Tabel 5. Uraian Produksi (ton) Nilai Produksi (Rp.000) Tingkat produksi perikanan tangkap yang berasal dari perairan umum daratan beserta jumlah nelayan, RTP, unit penangkapan dan nilai produksi secara nasional tahun 2007 hingga Tahun Nelayan RTP Unit Penangkapan n.a Pokmaswas Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan Pada Tabel 5 diatas dijelaskan bahwa tingkat produksi hasil tangkapan nelayan di perairan umum daratan yang tersebar di seluruh Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Diiringi juga dengan penambahan jumlah masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan tangkap. Perairan umum daratan dalam hal ini terdiri atas berbagai tipologi yaitu waduk,danau,sungai dan rawa. Tabel 6. Uraian Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap, Nilai Produksi Perikanan Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun 2007 hingga Tahun Produksi(kg) per nelayan Nilai Produksi(Rp.000) per nelayan Produksi(kg) per RTP Nilai Produksi(Rp.000) per RTP Produksi(kg) per unit penang kapan na Nilai Produksi(Rp.000) per unit penangkapan Sumber: Tabel 6, diolah na 21

29 22

30 Tabel 7. Tingkat Produktivitas Produksi Perikanan Tangkap dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Perairan Umum Daratan per Jumlah Nelayan, RTP, Unit Penangkapan Tahun dan Uraian Rata-Rata Per Tahun Per Periode % Perbedaan Produksi (kg) per Nelayan ,5 19,7 Nilai Produksi (Rp.000) per nelayan ,0 Produksi (kg) per RTP ,5 21,1 Nilai Produksi (Rp.000) per RTP ,5 40,7 Produksi (kg) per unit penang kapan ,3 Nilai Produksi (Rp.000) per unit penangkapan ,9 Sumber: Tabel 3, diolah Tabel 3 menjelaskan bahwa terjadi peningkatan baik dari produksi maupun nilai produksi antara periode sebelum adanya program minapolitan ( ) dengan sesudah adanya program minapolitan ( ). Minapolitan merupakan konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan dengan prinsip-prinsip, integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi. Sejak tahun 2012 pengembangan kawasan minapolitan yang melibatkan sektor hulu ke hilir diarahkan menuju industrialisasi perikanan. DATA & INFORMASI PERIKANAN PERAIRAN UMUM DARATAN BERDASARKAN TIPOLOGI TIPOLOGI SUNGAI DAN RAWA SUNGAI OGAN, KABUPATEN OGAN ILIR, SUMATERA SELATAN Kabupaten Ogan Ilir terbentuk melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan luas wilayah 2.666,07 km 2 atau hektar dengan jumlah kecamatan sebanyak 6 kecamatan (tahun 2012 berjumlah 16 kecamatan, 14 kelurahan dan 241 desa).kabupaten Ogan Ilir dialiri oleh satu sungai besar yaitu sungai Ogan yang mengalir mulai dari Kecamatan Muara Kuang, Rantau Alai, Tanjung Raja, Indralaya Pemulutan Selatan, Pemulutan Barat dan Pemulutan, serta bermuara di Sungai Musi di Kertapati-Palembang. Sedangkan sungai kecil antara lain sungai Kelekar, sungai Rambang, sungai Keramasan, sungai 23

31 Kuang, dan sungai Randu. Danau yang ada merupakan danau kecil yang disebut danau Lebung Karangan yang terletak di sebelah Barat Desa Tanjung Sejaro Kecamatan Indralaya. Tabel 8. Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya di Ogan Ilir, Tahun No Jenis usaha Tahun Ton % Ton % Ton % Ton % Ton % 1 Ikan tangkap 7, , Ikan budidaya 2, , Total 10, , Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Ogan Ilir, Sumsel, diolah. Tabel 9. Produksi dan Nilai Produksi Tiap Jenis Ikan Tangkap di Perairan Umum Kab. Ogan Ilir Tahun 2009 Jenis Ikan Tahun 2009 Produksi (ton) Nilai Produksi (Rp) 01. Jelawat 52, Lampam 366, Jambul 746, Gabus 887, Lais 380, Toman 594, Sepat Siam 967, Tambakan 809, Betutu 136, Ikan (Lele, Betok, Nilem, Mujair) 2.083, Udang lainnya 221, Kodok 150, Jumlah 7.399, Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ogan Ilir Pada Tabel 9 digambarkan bahwa jumlah produksi perikanan baik tangkap maupun budidaya yang diperoleh di perairan umum daratan di Kabupaten Ogan Ilir meningkat setiap tahunnya. Peningkatan yang tinggi terjadi pada usaha budidaya ikan yang kini mulai bermunculan kerambakeramba di sepanjang sisi sungai. Namun selain usaha budidaya dari perikanan tangkap di 24

32 Kabupaten Ogan Ilir juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, dimana pada Tabel 5 dijelaskan terdapat 13 jenis ikan yang tertangkap di perairan umum daratan di kabupaten tersebut. Ikan sepat siam dan ikan gabus merupakan komoditas utama yang paling banyak tertangkap di kabupaten itu. Sedangkan pada tabel 6 digambarkan peningkatan produktivitas perikanan tangkap perairan umum di Kabupaten Ogan Ilir. Tabel 10. Produktivitas Perikanan Perairan Umum Sungai dan Rawa di Kab. Ogan Ilir Tahun No. Uraian Tahun Produksi ikan tangkap (ton/th) 7, , , , , , ,6 a) - Sungai 1, , , , , , ,3 b) - Rawa/Rawa Banjiran 5, , , , , , ,3 2 Jumlah nelayan (rtp/th) 16,670 16,687 16,691 16,691 16,750 16, a) - Sungai 5,498 5,504 5,506 5,506 5,541 5,590 5,590 b) - Rawa/Rawa banjiran 11,172 11,183 11,185 11,185 11,209 11,181 11,181 3 Jumlah perahu 4,976 5,022 5,045 5,107 5,112 5,112 5,112 4 Luas areal 55, , , , , , ,042.1 tangkap ikan (ha) a) - Sungai 1, , , , , , ,155.5 b) - Rawa/Rawa 53, , , , , , ,886.6 banjiran Jumlah alat tangkap (Unit) 6,239 6,300 6,364 6,698 6,766 6,766 6,766 a) - Jaring insang hanyut/tetap 1,879 1,898 1,850 1,969 1,972 1,972 1,972 b) - Jaring anco/sero 993 1, ,077 1,077 1,077 1,077 c) - Bubu 1,154 1,163 1,141 1,273 1,285 1,285 1,285 d) - Pancing/pancing rawai 1,019 1,029 1,093 1,138 1,158 1,158 1,158 e) - Lain-lain 1,194 1,206 1,295 1,241 1,274 1,274 1,274 6 Produktivitas nelayan (ton/org) a) - Nelayan sungai b) - Nelayan rawa Produktivitas perahu(ton/kapal ) 8 Produktivitas alat tangkap Produktivitas areal tangkap a) - Sungai (ton/ha)

33 b) - Rawa (ton/ha) Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Ogan Ilir, Sumsel, diolah Kabupaten Ogan Ilir merupakan salah satu kabupaten yang terpilih menjadi kawasan pengembangan minapolitan dimana salah satu dasar pemilihan lokasi karena daerah ini memiliki potensi produksi perikanan yang tinggi sebagaimana dijelaskan pada tabel 6. Di setiap kecamatan tingkat produksi perikanannya tinggi dan meningkat dari tahun ke tahun. Tabel 11. Produksi Perikanan Di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2009 dan 2012 No Kecamatan Produksi Tahun 2009 (Kg) Produksi Tahun 2012 (Kg) Sungai Rawa Jumlah Sungai Rawa Jumlah 1 Muara Kuang Rambang Kuang Lubuk Keliat Tanjung Batu Payaraman Rantau Alai Kandis Tanjung Raja Rantau Panjang Sungai Pinang Pemulutan Pemulutan Selatan Pemulutan Barat Indralaya Indralaya Utara Indralaya Selatan Jumlah Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Ogan Ilir Di samping perikanan tangkap Kab. Ogan Ilir juga memiliki potensi perikanan budidaya yang dilakukan dengan sistem budidaya di kolam, sawah, keramba dan kerung buluh.kecamatan penghasil ikan budidaya dan jenis usahanya dapat dilihat pada Tabel 12.Berdasarkan Tabel 12 di bawah dapat diketahui daerah penghasil ikan budidaya terbesar ada di Kec.Indralaya Selatan dengan jenis usaha terbesar budidaya Kerung Buluh (pence system). Sedangkan Kec. Tanjung Batu sebagai 26

34 lokasi sentra minapolitan (Desa Burai) hanya berkontribusi sebesar 1,5% terhadap total produksi Kab. Ogan Ilir dan 66% produksi ikan budidaya di Kec.Tanjung Batu berasal dari budidaya dalam keramba (di sungai). Tabel 12. Produksi Perikanan Budidaya di Kab. Ogan Ilir Tahun 2009 dan Kecamatan Produksi Ikan Budidaya Tahun 2009 (Kg) Kolam Sawah Keramba Kerung Buluh Jumlah (Kg) Muara Kuang Rambang Kuang Lubuk Keliat Tanjung Batu Payaraman Rantau Alai Kandis Tanjung Raja Rantau Panjang Sungai Pinang Pemulutan Pemulutan Selatan Pemulutan Barat Indralaya Indralaya Utara Indralaya Selatan Jumlah Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Ogan Ilir, diolah Produksi Ikan Budidaya/Tahun 2012 (Kg) Kerun Keramb Kolam Sawah g a Buluh Jumlah (Kg) Produksi ikan budidaya di Kab. Ogan Ilir berasal dari jenis-jenis ikan Patin, Nila, Mas, Lele dan Gurame yang dibudidayakan di kolam, keramba, sawah, dan Kerung buluh (pence system) seperti pada Tabel 12. Dari Tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa dalam periode semua jenis usaha sektor perikanan budidaya mengalami peningkatan kecuali budidaya di sawah. 27

35 Tabel 13. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Budidaya Berdasarkan Jenis Ikan Dan Jenis Usaha di Perairan Umum Kab. Ogan Ilir 2009 Jenis Ikan Produksi Kolam Keramba Kerung Buluh Sawah Nilai Produksi Produ ksi Nilai prod uksi Produksi Nilai Produksi Produksi Nilai produksi (1) (2) (3) (4) (5) (2) (3) (4) (5) 1. Mas 4, Gurame 2, Nila 5, , Lele 4, , Patin 7, , Lainnya 5, Jumlah 30, , , , , , , , ? Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Ogan Ilir Sebagai salah satu kawasan minapolitan, Kabupaten Ogan Ilir sudah mempersiapkan masterplan yang isinya mengenai lokasi yang akan dijadikan desa minapolis dan daerah-daerah yang akan dijadikan daerah hinterland (pendukung). Dalam konsep Laporan Akhir Masterplan Minapolitan Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2011 ditetapkan Desa Burai Kec. Tanjung Batu sebagai kawasan sentra minapolitan, didukung daerah-daerah lain sebagai penyangga (hinterland) meliputi kecamatan:. Indralaya, Indralaya Utara, Indralaya Selatan, Pemulutan, Pemulutan Barat, Pemulutan Selatan, Muara Kuang, Rambang Kuang dan Lubuk Keliat. Diharapkan nantinya lokasi-lokasi yang sudah ditetapkan ini dapat berfungsi baik sehingga bisa mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakan perikanan di Kabupaten Ogan Ilir tersebut. 28

36 Gambar 1. Kawasan Pengembangan Minapolitan di Kabupaten Ogan Ilir Usaha Penangkapan Ikan di Kabupaten Ogan Ilir Dalam hal produksi ikan, Kab. Ogan Ilir dalam lima tahun terakhir selalu surplus ikan (sekitar dua ton/tahun). Produksi ikan dalam lima tahun terakhir masih didominasi perikanan tangkap walaupun kontribusinya semakin menurun (tahun 2009 masih 71% dan menjadi 55% tahun 2012). Produksi perikanan tangkap di Kab.Ogan Ilir berasal dari ekosistem sungai dan rawa banjiran yang mendominasi wilayah perairan. Nelayan di Kab. Ogan Ilir dalam melakukan penangkapan menggunakan perahu dayung (tanpa motor) dan menggunakan alat tangkap jaring insang (hanyut dan tetap), pancing/pancing rawai, sero dan bubu (kemilar) yang digunakan untuk menangkap ikan di sungai dan rawa (Tabel 10).Dari Tabel 10 dapat diketahui bagaimana kondisi ekosistem sangat mempengaruhi penggunaan alat tangkap. Ekosistem sungai selalu ada air sepanjang tahun, sementara rawa/rawa banjiran dipengaruhi oleh tinggi-rendah permukaan air yang dipengaruhi musin. Pada musim kemarau bahkan ada wilayah rawa yang menjadi daratan dan menjadi lahan pertanian.dalam kondisi ini masyarakat setempat sepenuhnya tidak melakukan aktivitas penangkapan ikan. 29

37 Tabel 14. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan di Kab. Ogan Ilir 2009 Jenis Alat penangkap Ikan Ekosistem Perairan Umum Sungai Rawa Jumlah 01. Jaring Insang Hanyut Jaring Insang Tetap Pancing Rawai Sejenisnya Sero Bubu Lainnya Jumlah Sumber : Laporan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ogan Ilir, diolah Kegiatan usaha perikanan tangkap di kabupaten Ogan Ilir yang dilakukan oleh masyarakan sudah dilakukan secara turun menurun.kegiatan usaha penangkapan terbagi dalam tiga musim yaitu musim paceklik, musim sedang dan musim puncak.perubahan iklim mengacaukan kalender musim tangkap ini sehingga tidak mudah mendapatkan jawaban nelayan untuk menetapkan kapan persisnya dimulai untuk masing-masing periode (sangat bervariasi).variasi juga juga terjadi antara nelayan tangkap di sungai dan nelayan tangkap di rawa/rawa banjiran karena pengaruh ketinggian air.namun jawaban pedagang pengumpul dinilai cukup mewakili karena merupakan rangkuman dari puluhan puluhan nelayan. Hasil wawancara dengan pedagang pengumpul bahwa musim puncak terjadi pada bulan Juni Juli, musim sedang terjadi pada bulan Maret Mei dan bulan Agustus - Nopember, sedangkan musim paceklik terjadi pada bulan Desember Februari. Hasil tangkapan perhari rata-rata tiap nelayan pada musim puncak 10 kg 20 kg, musim sedang 3 kg 5 kg dan musim paceklik 0,6 kg 2 kg. Tabel 15. Kalender Musim Tangkap di Kabupaten Ogan Ilir No Kalender musim tangkap Musim paceklik 0,6 2 kg 2 Musim sedang 3 5 kg 3 5 kg/hari 3 Musim puncak kg Sumber : data primer diolah,

38 Kondisi bisnis usaha perikanan Seluruh masyarakat nelayan di Kabupaten Ogan Ilir menjadikan profesi nelayan sebagai pekerjaan sambilan atau musiman disamping pekerjaan lain yang berkaitan dengan pertanian, perkebunan, kehutanan atau buruh. Perahu yang digunakan untuk menangkap ikan pada umumnya perahu dayung dan sedikit perahu bermotor/tempel.banyak jenis alat tangkap yang digunakan dan penggunaannya disesuaikan dengan musim (kemarau atau penghujan). Beberapa jenis yang banyak digunakan diantaranya: jaring insang hanyut/tetap, bubu, pancing rawai, jaring anco/sero. Berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang ikan bahwa pedagang pengecer ikan di pasar kabupaten (pasar Indralaya), mendapatkan ikan dari pengumpul ikan dari daerah : Tanjung putus, Tanjung rajo, Meranjat, Mara Penimbung, Talang ngawur, Burai Senawar dan Tanjung Pring. Jenis ikan tangkapan yang dipasarkan di pasar Indralaya: gabus, baung, seluang, sepat siam, toman dan lais. Sedangkan ikan budidaya umumnya ikan patin, nila, mas, gurame.informasi yang diperoleh dari pedagang pengecer di pasar, harga jual dan beli ikan dapat dilihat pada table 9 di bawah ini. Tabel 16. Harga beli dan harga jual ikan pada tingkat pedagang pengecer No Jenis Ikan Harga beli per kg per musim (Rp) Harga jual per kg per musim (Rp) Sedang Puncak Sedang Puncak 1 Patin Gabus Baung Seluang Sepat siam Toman Lais Sumber: Data primer diolah, Kegiatan transaksi penjualan ikan hasil tangkapan di Pasar Indralaya dan Pasar Tanjung Batu di mulai pada jam lima pagi, dimana pedagang pengumpul atau pedagang ikan asin sudah mulai transaksi dengan pedagang pengecer, hari pasar ikan di Kecamatan Tanjung Batu adalah hari Senin dan Kamis, sedangkan di Pasar Indrajaya adalah Selasa dan Kamis. Pedagang pengumpul pada umumnya sudah mempunyai nelayan yang tetap dalam pembelian ikan hasil tangkapannya, biasanya pedagang pengumpul mempunyai nelayan binaannya adalah berkisar orang dan sudah mempunyai ikatan modal dengan pedagang pengumpul yaitu dengan cara memberikan modal usaha seperti untuk pembelian alat tangkap. Sistem pembayarannya kepada pedagang adalah dengan cara menyicil setiap hasil penjualan lebih dari Rp baru pedagang memotong pinjamannya. Selain penjualan ikan dalam bentuk segar di Kabupaten Ogan Ilir juga melakukan penjualan ikan olahan. Di kabupaten ini kegiatan pengolahan ikan sudah berjalan sejak puluhan tahun bahkan 31

39 bersifat turun temurun. Teknologi pasca panen ikan hasil tangkapan diperairan umum dapat berupa: pengolahan ikan segar, pengolahan untuk bahan industry, pengawetan. Pengolahan ikan segar dapat dilakukan untuk semua jenis ikan yang diolah menjadi berbagai aneka masakan khas daerah maupun masakan nasional. Pengolahan untuk bahan industry umumnya ikan gabus yang digunakan dagingnya sebagai bahan baku pembuatan kerupuk ikan, empek-empek, tekwan, bakso. Pengawetan dapat berupa ikan asin, dan ikan asap/salai. Ikan asin umumnya berbahan baku ikan sepat. Ikan asap/salai dapat menggunakan ikan lais, patin, lele. Jenis ikan dominan yang diolah adalah ikan gabus yang bernilai ekonomis tinggi. Seluruh usaha pembuatan kerupuk dan kemplang di Kab.Ogan Ilir masih skala rumah tangga (tradisional) dan dengan teknologi yang sederhana (manual). Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pembuatan kerupuk adalah 3-4 orang dengan upah perorang Rp Jumlah pengolah kerupuk dan kemplang di kabupaten Ogan Ilir dapat dilihat pada Tabel 13dibawah ini. Tabel 17. Jumlah Pengolah Kerupuk/Kemplang di Kab. Ogan Ilir No Kecamatan/Kel/Desa Jumlah Klasifikasi Produk Perizinan (orang) 1 Kec. Indralaya Utara 42 Tanjung Pering) 42 Usaha kecil Krupuk Kemplang Belum ada 2 Kec. Indralaya 3 Talang Aur 1 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada Sakatiga Seberang 1 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada Tanjung Gelam 1 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada 3 Kec. Indralaya Selatan 37 Tebing Gerinting Selatan 26 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada Meranjat I 2 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada Meranjat II 4 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada Meranjat III 1 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada Meranjat Ilir 1 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada Tanjung Lubuk 1 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada Sukaraja Lama 1 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada Sukaraja Baru 1 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada 32

40 No Kecamatan/Kel/Desa Jumlah (orang) Klasifikasi Produk Perizinan 4 Payaraman 5 Payaraman Barat 2 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada Payaraman Timur 1 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada Rengas II 1 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada Tebedak II 1 Usaha kecil Krupuk kemplang Belum ada TOTAL 87 Sumber : Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Ogan Ilir, Saluran Pemasaran ikan di sungai dan rawa Kabupaten Ogan Ilir Ikan-ikan yang dipasarkan di sekitar Ogan Ilir berasal dari dalam kabupaten dan luar kabupaten. Jenis ikan yang dipasarkan diantaranya adalah ikan baung, lais, toman, gabus dan sepat.dari hasil wawancara dengan responden di ketahui bahwa rantai pasokan ikan di Ogan Ilir yang berjalan yaitu ikan hasil tangkapan nelayan biasanya ada yang langsung dijual ke pedagang pengecer ada juga yang dijual melalui pedagang pengumpul. Kemudian oleh pedagang pengumpul dijual ke pedagang pengecer di pasar Indralaya dan pasar Tanjung Raja yang kemudian dipasarkan ke berbagai konsumen diantaranya untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. Selain jalur rantai pemasaran seperti tersebut diatas, untuk jenis ikan gabus dan ikan sepat oleh pengumpul sebagian di jual ke pengolahyang ada di dalam Kabupaten yang kemudian oleh pengolah tersebut di jual ke konsumen di dalam dan luar kabupaten.untuk jenis ikan gabus biasanya diolah menjadi kerupuk, empek-empek atau tekwan dan bakso. Sedangkan untuk jenis ikan sepat selain dijual segar sebagian di jual dalam bentuk olahan atau diasinkan. Untuk lebih jelasnya saluran pemasaran ikan di Ogan Ilir dapat dilihat dalam gambar berikut: Pengolah Konsumen dalam Kabupaten Nelayan Pengumpul Pedagang pengecer Konsumen dalam dan luar kabupaten Gambar 2. Saluran pemasaran ikan tangkap di Ogan Ilir 33

41 Analisis Nilai Tambah ( Value Added) untuk ikan gabus segar dan olahan Pada Gambar 3 dibawah ini menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp /kg dengan biaya untuk menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp per kg.dilihat dari jumlah pertambahan nilai, nelayan menerima bagian lebih kecil (44.03%) tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih kecil (20.80%) dibanding dengan pengecer.pengecer menerima pertambahan nilai lebih besar (55.97%) dan menghabiskan biaya lebih besar (79.20%). Pengecer menghabiskan sebagian dari biaya tersebut untuk biaya tidak tetap sebesar (81.90%) untuk biaya input produksi seperti biaya operasional, transportasi dan tenaga kerja. Pengecer memperoleh keuntungan lebih besar tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih besar. Pedagang Pengecer 1. Investasi : 0.74 % 2. Biaya tidak tetap : % (input produksi) 3. Biaya tetap : % (penyusutan dan perawatan) Rantai Nilai 1 Nelayan Pedagang Pengecer Konsumen dalam Kabupaten cost (20.80%) (79.20%) Value added Value (44.03%) (55.97%) Rp /kg Gambar 3. Rantai Nilai Ikan Gabus segar di Kabupaten Ogan Ilir Seperti pada Gambar 4 rantai nilai 2 menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp /Kg dengan biaya untuk menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp per kg. Dilihat dari jumlah pertambahan nilai, disini nelayanmenerima bagian terbesar (47.91%) tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih besar (50.10%). Nelayan menghabiskan sebagian dari biaya tersebut untuk biaya tidak tetap sebesar 84.68% (biaya input produksi seperti pembelian ikan untuk umpan ). Sementara pedagang pengumpul dan pedagang pengecer memperoleh penambahan nilai masing masing 32.07% dan 20.01%, tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih kecil dibanding dengan nelayan. 34

42 Nelayan 1. Investasi : % 2. Biaya tidak tetap : % (input produksi) 3. Biaya tetap : 4.75 % (penyusutan dan perawatan) Rantai Nilai 2 Nelayan Pedagang Pengumpul PengumpulN Pedagang Pengecer Konsumen dalam kabupaten cost (50.10%) (20.45%) (29.45%) Value added Value (47.91%) (32.07%) (20.01%) Rp /Kg Gambar 4. Rantai Nilai 2 Ikan Gabus segar di Kabupaten Ogan Ilir Pada Rantai nilai gambar5 dibawah ini total pertambahan nilai yang diperoleh sebesar Rp per kg dengan biaya untuk menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp per kg.dilihat dari jumlah pertambahan nilai, pengolah menerima bagian lebih besar (74.01%) dan mengeluarkan bagian lebih besar dari sisi biaya (66.29%). Pengolah mengeluarkan sebagian dari biaya tersebut untuk biaya tidak tetap seperti biaya operasional dari proses pengolahan ikan hingga pengemasan, sebesar 82.78%. Sementara pengumpul memperoleh penambahan nilai 25.99%, tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih kecil dibanding dengan pengolah. Pengolah memperoleh keuntungan lebih besar hal ini dikarenakan biaya operasional yang dikeluarkan juga lebih besar.pada saluran pemasaram ke pengolah ini banyak biaya yang dihabiskan untuk menghasilkan pertambahan nilai.oleh karena itu, pertambahan nilai yang dihasilkan adalah juga semakin banyak. Rantai Nilai 3 Pengolah 1. Investasi : % 2. Biaya tidak tetap : % (input produksi) 3. Biaya tetap : 3.11 % (penyusutan dan perawatan) Pedagang Pengolah PengumpulN cost (33.71%) (66.29%) Value 7.844(25.99%) (74.01%) Konsumen dalam dan luar Value added Rp / Kg Gambar 5. Rantai Nilai 3 Ikan Gabus bentuk olahan (kerupuk) di Kab. Ogan Ilir 35

43 Analisis Nilai Tambah ( Value Added) untuk ikan sepat segar Seperti pada Gambar 6 Rantai nilai 4 menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp per kg dengan biaya untuk menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp per kg. Dilihat dari jumlah pertambahan nilai, pedagang pengecer menerima bagian lebih besar (73.82%) dan mengeluarkan bagian terbesar juga dari sisi biaya (91.21%). Pengecer menghabiskan sebagian dari biaya tersebut untuk biaya tidak tetap sebesar 82.36% (biaya input produksi seperti ikan dan transportasi).pedagang pengecer memperoleh keuntungan lebih besar hal ini dikarenakan biaya operasional yang dikeluarkan juga lebih besar. Sementara nelayan dan memperoleh penambahan nilai sebesar 26.18% tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih kecil dibanding dengan pedagang pengecer. Rantai nilai 4 Pengecer 1. Investasi : 0.16 % 2. Biaya tidak tetap : 82.36% (input produksi) 3. Biaya tetap : % (penyusutan) Nelayan Pedagang pengecer Konsumen dalam kabupaten cost Value Added 781(8,79%) 4.219(26.18%) 8.105(91.21%) Value added 11.89(73.82%) Rp /kg Gambar 6. Rantai Nilai 4 ikan sepat segar Seperti pada Gambar 7 Rantai nilai 5 menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp per kg dengan biaya untuk menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp per kg. Dilihat dari jumlah pertambahan nilai, pedagang pengecer menerima bagian terbesar (45.16%) dan mengeluarkan bagian terbesar juga dari sisi biaya (65.62%). Pengumpul besar menghabiskan sebagian dari biaya tersebut untuk biaya tidak tetap sebesar 81.90% (biaya input produksi seperti ikan dan transportasi).pedagang pengecer memperoleh keuntungan lebih besar hal ini dikarenakan biaya operasional yang dikeluarkan juga lebih besar. Sementara nelayan dan pedagang pengumpul memperoleh penambahan nilai masing masing 27.63% dan 27.21% tetapi biaya yang dikeluarkan juga lebih kecil dibanding dengan pedagang pengecer. 36

44 Pengecer 4. Investasi : 0.72 % 5. Biaya tidak tetap : % (input produksi) 6. Biaya tetap : % (penyusutan) Rantai nilai 5 cost Value Added Nelayan Pengumpul Pedagang pengecer 781 (16.50%) 4.21 (27.63%) 846(17.88%) 4.154(27.21 %) (65.62%) 6.895(45.16 %) Pedagang dalam kabupaten Value added Rp /kg Gambar 7. Rantai Nilai 5 ikan sepat segar Hasil analisis value added menunjukkan bahwa bentuk rantai nilai pada gambar 5c rantai nilai 3 ( rantai nilai ikan gabus bentuk olahan) merupakan keragaan yang lebih baik dibandingkan dengan rantai nilai yang lain hal ini dapat dilihat dari prosentase antara value added dengan biaya yang dikeluarkan pada rantai nilai ikan gabus dalam bentuk olahan ini mempunyai prosentase value added yang paling besar dibanding dengan bentuk rantai nilai yang lain. Bentuk rantai nilai ini merupakan rantai nilai dari kegiatan usaha pengumpul menjual hasil tangkapannya ke pengolah hasil perikanan yang kemudian dipasarkan ke konsumen yang berasal dari dalam kabupaten maupun luar Kabupaten.Pada rantai pemasaran produk olahan tersebut, terlihat bahwa pengolah menerima bagian terbesar dari pertambahan nilai.hal ini menunjukan bahwa terjadi efisiensi produksi pada rantai pengolahan, dimana dengan rantai yang relatif lebih pendek dibanding dengan rantai pemasaran yang lain, namun dapat menghasilkan laba/pertambahan nilai yang lebih besar. SUNGAI BARITO, KABUPATEN BARITO SELATAN, KALIMANTAN TENGAH Kabupaten Barito Selatan yang beribukota di Buntok adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah yang mengalami pemekaran pada tahun 2002 menjadi Kabupaten Barito Selatan dan Barito Timur yang terletak pada : Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Barito Utara Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Barito Timur Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kalimantan Selatan) Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kapuas Secara geografis terletak membujur dan memanjang Sungai Barito dengan letak astronomi Lintang Utara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Kabupaten ini memiliki luas wilayah km 2 yang terdiri dari 6 kecamatan. 37

45 Tabel 18. Luas Wilayah Per Kecamatan di Kabupaten Barito Selatan No. Kecamatan Luas Wilayah ( km 2 ) % Luas Kabupaten Barito Selatan 1 Jenamas 708 8,02 2 Dusun Hilir ,39 3 Karau Kuala ,45 4 Dusun Selatan ,71 5 Dusun Utara ,54 6 G. Bintang Awai ,89 Jumlah ,00 Sumber : BPS Kabupaten Barito Selatan, 2012 Di Kabupaten Barito Selatan terdapat satu sungai besar yaitu Sungai Barito dan banyak sungai kecil / anak sungai. Sungai Barito dengan panjang mencapai sekitar 900 km dengan rata-rata kedalaman 8 m merupakan sungai terpanjang di Barito Selatan. Hal ini tentunya menjadikan kabupaten ini memiliki potensi perikanan yang cukup besar sebagaimana tergambar dalam tabel 19. Tabel 19. Produksi Perikanan Darat Menurut Kecamatan (ton) di Kabupaten Barito Selatan Perikanan Darat No. Kecamatan Perairan Umum Budidaya Jumlah 1. Jenamas 900,85 261, ,65 2. Dusun Hilir 968,26 195, ,76 3. Karau Kuala 943,41 250, ,61 4. Dusun Selatan 1.060,20 298, ,40 5. Dusun Utara 1.019,79 99, ,64 6. G.Bintang Awai 806,67 64,15 870,82 Jumlah 5.699, , ,88 Tahun , , ,84 Tahun ,53 994, ,10 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Barito Selatan, 2010 Usaha perikanan tangkap yang dilakukan nelayan Kabupaten Barito Selatan merupakan penangkapan ikan perairan darat. Lokasi penangkapan ikan biasa di Sungai Barito dan anak-anak sungai di sekitarnya. Jenis ikan perairan umum yang banyak ditangkap di wilayah ini yaitu patin, lais, 38

46 baung, toman, nila, lele, sepat siam dan gabus. Teknik penangkapan dan alat tangkap yang digunakan di perairan sungai dan rawa di Barito Selatan terdiri atas macam-macam jenis. Berdasarkan data yang dikumpulkan teknik penangkapan ikan yang dilakukan di perairan umum sungai dan rawa diantaranya adalah ; a. Memaksa ikan untuk memasuki daerah alat penangkap dan menghadang arus pada arah kiri dan kanan, penghadang makin lama makin menyempit sehingga arus mencapai suatu kecepatan yang tidak mampu lagi dilawan oleh ikan. Dengan demikian ikan masuk kedalam alat penangkap (misalnya Selambau). b. Menghadang arah renang ikan-ikan (misalnya jaring insang). c. Mengajak atau menggiring lalu menyesatkan ikan ke alat perangkap (misalnya pada hampang). d. Mengusahakan ikan masuk ke alat penangkap dengan mudah, tetapi mempersulit keluar atau mengurung (misalnya bubu). e. Menjerat (misalnya jaring). f. Terkait dan tidak terlepas lagi (misalnya pacing). g. Mencemarkan keadaan lingkungan hidup ikan dan shock elektrik. Berikut di bawah ini contoh alat-alat tangkap yang digunakan nelayan di Kabupaten Barito Selatan Bubu Tampirai Selambau Gambar 8. Jaring insang Alat Alat Tangkap Nelayan di Kabupaten Barito Selatan 39

47 Saluran Pemasaran Ikan Hasil Tangkapan Di Kabupaten Barito Selatan 15% PPI Buntok Pengecer lokal Konsumen lokal 100 % Nelayan Pengumpul 100 % Pedagang besar Banjar Pengecer Banjar Konsumen Banjar 85% Gambar 9. Rantai Pasok ( Supply Chain) Perikanan di Kabupaten Barito Selatan Sistem Rantai Nilai (Value Chain) Komoditas Utama Komoditas Ikan Gabus Rantai pemasarankomoditas ikan gabus terdiri dari dua rantai, yaitu rantai dari nelayan ke pengumpul lalu ke pengecer di Buntok dan rantai dari nelayan ke pedagang pengumpul lalu ke pedagang besar dari Kabupaten Banjar kemudian ke pengecer disana.kedua rantai tersebut disajikan pada Gambar 7. Rantai 1 Nelayan Pengumpul Pengecer Buntok Rantai 2 Nelayan Pengumpul Pedagang besar Banjar Pengecer Banjar Gambar 10. Rantai pemasaran ikan gabus 40

48 Operasional laut : 22,7% transportasi : 9,1% transportasi : 91,7% Ransum : 21,4% BBM : 68,2% BBM : 8,3% Operasional darat :55,9% Tenaga kerja : 22,7% C & P per kg 3669(46,62%) & (27,96%) & (25,42%) & Nelayan Pengumpul Pengecer Buntok Total value added Rp /kg VA 5456(30,18%) 5800(41,04%) 2000(14,15%) Gambar 11. Value chain analysis ikan gabus rantai 1 KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA, KALIMANTAN SELATAN Kabupaten Hulu Sungai Utara secara geografis, terletak antara koordinat Lintang Selatan dan antara Bujur Timur. Pasca pemekaran dengan Kabupaten Balangan, total luas wilayah Kabupaten yang beribukota di Amuntai ini secara keseluruhan, 892,7 km 2 ( Ha) atau 2,38%, dibandingkan dengan luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Hulu Sungai Utara memiliki 10 Kecamatan dan 219 Desa/Kelurahan. Jumlah penduduk jiwa, yang terdiri dari jiwa laki-laki dan jiwa perempuan yang tersebar dalam 10 kecamatan. Secara hidrologi, didominasi oleh Sungai Tabalong dan Sungai Balangan yang bertemu di Sungai Nagara. Curah hujan rata-rata mencapai mm per tahun, dengan jumlah hari hujan ratarata 125 hari per tahun.tipologi lahan kabupaten Hulu Sungai Utara berupa lahan rendah, yang setiap tahun terjadi banjir. Masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Utara adalah masyarakat agraris, karena sebesar 41,42% masyarakatnya bekerja di sektor pertanian, sedangkan yang bekerja di sektor perdagangan (19,74%), jasa (5.08%), dan lainnya. Produksi penangkapan ikan yang dihasilkan dari rawa dan sungai mencapai ,1 ton.selain penangkapan, kegiatan budidaya juga telah berkembang baik.areal dan produksi budidaya di Kabupaten Hulu Sungai Utara, dapat dilihat pada Tabel

49 Tabel 20. Areal dan Produksi Budidaya Kabupaten Hulu Sungai Utara Jenis Budidaya Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Kolam Keramba Fish pence Net tancap Sumber: Anonimous (2011) Saluran Pemasaran Ikan Pemasaran hasil perikanan di Kabupaten Hulu Sungai Utara, sebagian dipasarkan untuk konsumsi dan sisanya untuk industri pengolahan. Pedagang yang paling berperan dalam rantai pemasaran produksi perikanan adalah pedagang pengecer. Sistem transportasi ikan yang dipasarkan ke luar kota dilakukan dengan menggunakan mobil/sepeda motor, sedangkan transportasi ikan yang dipasarkan untuk konsumen di dalam kota dilakukan menggunakan motor dengan cool box. Sistem pembayaran hasil perikanan yang dipasarkan dilakukan secara tunai. Kabupaten Hulu Sungai Utara tidak memiliki pasar benih ikan, serta dan jenis lembaga pembiayaan yang ada yaitu bank dan koperasi. Bentuk jaminan yang diperlukan berupa surat berharga, dan pembayaran pinjaman dilakukan dengan cara dibayar secara bertahap. Bentuk pengembalian pinjaman berupa uang tunai dengan jangka waktu pembayaran secara bulanan. Lama waktu peminjaman dilakukan selama 1 musim dengan suku bunga sebesar kurang dari 10%. Rantai pasar ikan menurut alokasi pemanfaatannya diketahui, bahwa di Hulu Sungai Utara ikan segar (70%) dipasarkan ke kota Amuntai (50%) dan Balangan (10%) (di dalam provinsi), sedangkan di luar provinsi ke kota Kandangan (5%) dan Barabai (5%). Rantai pasar untuk bahan baku olahan sebesar 30%, dipasarkan di dalam provinsi ke kota Amuntai (20%) dan Kota Balangan (5%), sedangkan di luar kota provinsi dipasarkan ke kota Kandangan (5%). TIPOLOGI DANAU DANAU KERINCI, KABUPATEN KERINCI, JAMBI Danau Kerinci merupakan salah satu danau yang berada di Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara geografis danau ini berada di sampai LS dan BT sampai BT. Danau ini terbentuk akibat adanya letusan gunung berapi, oleh karena itu danau ini 42

50 bertipe vulkanik. Danau Kerinci memiliki luas 46 Km2, dengan volume air 1,6 juta m3 dengan kedalaman rata-rata danau mencapai 97 m. Elevasi permukaan berada pada ketinggian 710 m dari atas permukaan laut. Inflow berasal dari catchment area di sekitar danau dan sumber-sumber air, sedang outlet utamanya berada di Sungai Segara Agung dan sungai Batang Kali.Air yang masuk danau berasal dari lima sungai utama: Sungai Kerinci, Sungai Tebingtinggi, Sungai Siulak, Sungai Kapur, Sungai Jujun, dan sungai-sungai kecil. Danau Kerinci dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti: (1) Irigasi, untuk mengairi sawah yang berada dihilir output danau tepatnya sawah-sawah yang berada disekitar sungai merangin. Namun pemanfaatannya masih bersifat konfensional; (2) Pembangkit Tenaga Listrik, saat ini sedang dilaksanakan pembangunan PLTA oleh PT. Bukaka bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Propinsi Jambi; (3) Usaha Perikanan, yang dikelola oleh masyarakatdisekitar danau. Jenis ikan yang dibudidayakan berupa ikan nila, mujair dan ikan mas; (4) Tempat Rekreasi /Pariwisata, berupa wisata memancing dan wisata air; (5) Sumber Air Baku, sejak semula sudah dimanfaatkan untuk suplai air minum, mandi dan mencuci di daerah Sungai Penuh. Saat ini air Danau Kerinci telah dimanfaatkan sebagai sumber air baku, yaitu : PDAM Kab. Kerinci.. Potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Kerinci meliputi: budidaya di kolam (daratan), budidaya di KJA/KJT di danau, budidaya di keramba bambu (sungai), budidaya di kolam air deras, budidaya minapadi (di sawah) dan penangkapan ikan di sungai dan danau Kerinci. Namun pemanfaatan potensi tersebut masih sangat rendah, kecuali pemanfaatan danau untuk perikanan tangkap. Tabel 21. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Kerinci Tahun Potensi Dimanfaatkan (ha) Pemanfaatan No Jenis Kegiatan (Ha) (%) Budidaya Kolam ,5 126,5 18,8 2 Budidaya di (KJT/KJA) 42,08 1,03 1,03 1,9 4,5 3 Keramba bambu 17,08 0,02 0,02 0,02 0,1 4 Budidaya kolam air deras Budidaya minapadi Penangkapan ikan di danau JUMLAH 5.228, , , ,4 Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Kerinci, (diolah) 43

51 Jenis ikan yang dibudidayakan meliputi ikan: Nila dan Mas yang dibudidayakan di kolam darat di seluruh kecamatan, di beberapa sungai dan di KJA/KJT di danau Kerinci. Sedangkan jenis ikan tangkap meliputi: ikan Barau, Semah dan Medik yang ditangkap di Danau Kerinci dan sungai sungai yang ada di Kec. Air Hangat, Air Hangat Timur, Air Hangat Barat, Depati Tujuh, Sitinjau Laut, Keliling Danau, Danau Kerinci, Gunung Raya, Batang Marangin, dan Bukit Kerman.Jenis ikan dan daerah penghasil ikan di Kab.Kerinci dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Produksi Berbagai Macam Ikan Di Kabupaten Kerinci Tahun 2012 JENIS IKAN Jumlah No Kecamatan Nila Mas Barau Semah Medik Lainnya (ton) (ton) (ton) (ton) (ton) (ton) (ton) 1 Kayu Aro 130,89 21, ,53 152,53 2 Gunung Tujuh 78,91 10, ,23 89,58 3 Gunung Kerinci 75,65 12, ,60 88,40 4 Siulak 19,39 2, ,18 22,23 5 Air Hangat 74,17 9,64 0,01 0,04 0,04 0,08 83,99 6 Air Hangat Timur 11,75 1,72 0,01 0,04 0,04 0,15 13,72 7 Depati Tujuh 189,86 25,09 0,01 0,04 0,04 0,08 215,13 8 Sitinjau Laut 22,30 3,80 0,20 0,85 0,85 2,83 30,83 9 Keliling Danau 649,83 81,80 5,23 58,13 96,56 39,93 931,49 10 Danau Kerinci 644,07 83,00 5,30 58,09 100,62 41,61 932,68 11 Gunung Raya 51,57 8,89 0,37 2,75 4,61 1,91 70,10 12 Batang Merangin 221,50 33,00 7,26 19,72 33,09 13,66 328,23 13 Kayu Aro Barat 96,45 12, ,28 109,48 14 Siulak Mukai 23,70 3, ,22 27,17 15 Air Hangat Barat 63,03 10,86 0,45 3,36 5,64 2,33 85,68 16 Bukit Kerman 90,65 11,79 0,01 0,05 0,05 0,10 102, , ,7 Jumlah tahun ,94 18,86 143,08 241,55 104, Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Kerinci, 2013 Dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya terhadap konsumsi ikan, Kabupaten Kerinci selalu mengalami kekurangan sehingga mendatangkan ikan dari luar daerah khususnya dari Sumatera Barat (Maninjau untuk ikan budidaya, dan daerah pesisir untuk ikan tangkap laut) dan Riau. Bahkan menurut informasi dari seorang pedagang ikan di pasar kabupaten/kota, ikan tangkap laut dapat didatangkan dari pulau Jawa dan Sumatera Selatan. Dalam lima tahun terakhir ketergantungan pasokan ikan dari luar tersebut semakin mengecil dan kebutuhan ini dipenuhi dari ikan budidaya seperti dapat dilihat pada Tabel

52 Tabel 23. Produksi, konsumsi ikan dan peran perikanan tangkap di Kabupaten Kerinci, Jambi Tahun No Uraian Produksi Ikan Budidaya (ton/th) , ,2 Peran terhadap total prod (%) 41,8 59,3 61,8 1) Budidaya di kolam 415,8 936, ,9 2) Budidaya di keramba di sungai 36, ,3 3) Budidaya di KJA/KJT di danau 256,6 469,7 688,0 2. Produksi ikan tangkap (ton/th) 985, , ,4 Peran terhadap total prod (%) 58,2 40,7 38,3 1) Ikan tangkap di sungai ,3 218,6 2) Ikan tangkap di danau 793,0 814,1 905,8 Total Vol. Prod (ton/th) 1.693, , ,6 II Total konsumsi (ton/th) 4.836, , ,4 Surplus (Minus) (3.142,5) (2.415,2) (2.222) Peran produksi thd konsumsi (%) 35% 51% 57% Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Kerinci, (diolah) Dalam mendukung industrialisasi perikanan semua sektor harus menunjang baik dari sisi produksi dan juga infrastruktur. Di Kabupaten Kerinci telah dilakukan pembangunan di beberapa sektor terutama di sektor infrastruktur pendukung seperti yang dijelaskan pada tabel 24. Tabel 24. Infrastruktur pendukung industrialisasi perikanan di Kab. Kerinci, Tahun 2013 No Infrastruktur Kondisi Keterangan 1. Jalan penghubung Baik/beraspal Pengaspalan jalan di sekeliling danau sudah dilakukan dan selesai tahun Dermaga pendaratan ikan tangkap 85% Dibangun di Semerap Kec. Keliling Danau tahun 2012 (bangunan utama) dan akan diselesaikan tahun Pasar (khusus) ikan 95% Dibangun tahun 2012 sebanyak 3 buah (di Semerap, Koto Patai, dan Sanggaran Agung). Belum berfungsi, masih perlu penambahan fasilitas pendukung (air bersih, listrik). 4. Hatchery (khusus ikan 100% Selesai dibangun di Koto Patai Kec. Danau Kerinci Semah) tahun 2012 dan sudah berhasil memijahkan ikan Semah. Sekitar benih sudah ditebar di sungai dan danau 5. BBI Sentral dan BBI Lokal 100% Sebagian besar benih ikan Nila kebutuhan pembudidaya di Kerinci dipenuhi oleh BBI Sentral. 6. Listrik Tersedia, terbatas Berasal dari PLN, masyarakat menilai kapasitasnya masih kurang 7. BBM Tersedia, SPBU ada di luar kawasan sentra produksi perikanan cukup 8. Pakan ikan Tersedia, cukup Disediakan pedagang di luar kawasan sentra produksi Sumber: data primer diolah,

53 Masyarakat sekitar danau Kerinci yang meliputi kecamatan Keliling Danau, kecamatan Danau Kerinci dan kecamatan Batang Merangin melakukan usaha penangkapan ikan menggunakan perahu dayung (tanpa mesin/jukung) ukuran 3,5 meter dan melakukan penangkapan secara perorangan. Alat tangkap yang umum digunakan berupa jaring tetap dengan panjang 100 meter untuk tiap ukuran mata jaring. Menurut nelayan, idealnya tiap nelayan memiliki 3 sampai 5 unit jarring untuk tiap ukuran mata jaring. Sedangkan jaring yang digunakan dari berbagai ukuran mulai dari 1,25 sampai ukuran 4,5 (bergantung pada musim ikan dan ikan apa yang akan ditangkap). Pemasangan jaring umumnya pada sore hari dan diangkat pada dini hari.di samping jaring, beberapa nelayan menggunakan jala dalam menangkap ikan dan dilakukan umumnya pagi atau sore hari. Alat tangkap lain yang juga digunakan adalah perangkap ikan (bubu/lukah) yang dipasang di perairan dangkal. Tabel 25. Jumlah alat tangkap dan nelayan di Kabupaten Kerinci Tahun 2012 No Kecamatan Jenis Kegiatan Nelayan Jukung Jaring Jala Bubu (KK) 1 Danau Kerinci Keliling Danau Batang Merangin Lain-2 Kecamatan JUMLAH Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Kerinci, 2012 Sistem Pemasaran Pemasaran ikan tangkap dilakukan melalui satu rantai pemasaran yaitu nelayan tangkap menjual langsung hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul yang datang ke tempat nelayan, pedagang tersebut kemudian menjual kembali di pasar secara eceran maupun dijual ke pedagang pengecer yang ada di pasar. Sistem pembayaran tunai atau tempo selama satu sampai empat hari.pedagang umumnya adalah masyarakat lokal, satu pedagang dapat memiliki 10 sampai 15 orang nelayan langganan yang semua ikan hasil tangkapannya harus diambil.dalam beberapa kasus (jika hasil tangkapan sedikit) nelayan kadang menjual hasil tangkapannya langsung ke pasar di desa terdekat.sedangkan pedagang pengumpul yang mendatangkan ikan dari luar daerah, berasal dari Kota Kerinci dan dari luar kabupaten. 46

54 Nelayan tangkap Pedagang pengumpul Pedagang pengecer Konsumen di pasar kabupaten Gambar 12. Rantai pemasaran ikan hasil tangkap di Kabupaten Kerinci Perikanan tangkap di Kabupaten Kerinci sebagian besar (80%) berasal dari Kecamatan Danau Kerinci dan Kecamatan Keliling Danau yang nelayannya melakukan penangkapan di Danau Kerinci.Ikan hasil tangkapan dari jenis ikan Mas, Nila, dan ikan lokal seperti Barau, Semah, Medik dan Seruang serta ikan jenis lainnya (rucah). Seperti yang telah disampaikan di bagian terdahulu bahwa kalender tangkap ikan di Danau Kerinci mengenal tiga musim yaitu musim puncak (Januari, Februari, Maret, Nopember dan Desember), musim sedang (Maret, April) dan musim paceklik (Juni, Juli, Agustus) sehingga hasil tangkapan dan harga ikan tangkap serta jumlah trip prip hari dipengaruhi oleh musim tangkap ini. Alat tangkap yang digunakan adalah jala dan jaring dari berbagai ukuran mata jaring (2, 3, 4 dan 5 ) yang penggunaannya disesuaikan dengan musim ikan (jenis ikan yang akan ditangkap). Tabel 26. Jenis dan volume dan harga ikan yang diperdagangkan seorang pedagang tiap bulan sesuai musim tangkap di Kabupaten Kerinci, Jambi. No Jenis ikan Volume (Kg) Harga (Rp) Keterangan Paceklik Sedang Puncak Paceklik Sedang Puncak 1 Barau barau Keuntungan 2 Medik bersih tiap kg 3 Semah rata rata 4 Seruang/Nila Rp.1.500,- Jumlah Sumber: Data Primer (2012). Rantai pemasaran ikan hasil tangkapan di Danau Kerinci cukup pendek yaitu langsung ke pasar desa yang ada di 6 desa di kawasan danau (sekitar 10% dari hasil tangkapan), atau menjualnya ke padagang yang merupakan penduduk setempat. Pedagang tersebut menjual kembali kepada pedagang pengecer di pasar Sei Penuh atau pedagang tersebut menjualnya secara eceran di pasar yang sama. Laba kotor tiap kg ikan jika dijual kepada pedagang pengecer sebesar Rp.2.000,- Sedangkan pedagang pengecer di pasar Sei putih mendapat laba kotor sebesar Rp.3.000/kg. Dari hasil wawancara dengan pedagang diketahui bahwa rata rata keuntungan bersih pedagang pengumpul sebesar Rp1.500/kg dan pedagang pengecer Rp2.000/kg untuk semua jenis ikan tangkap.biaya operasional pedagang pengumpul meliputi biaya bahan bakar/transportasi, makan, minum dan rokok, serta sewa lapak (untuk pedagang pengecer). Karena volume produksi ikan di 47

55 Kabupaten Kerinci masih di bawah kebutuhan konsumsi, seluruh ikan (tangkap dan budidaya) dijual dalam bentuk ikan segar. Kalaupun ada yang diolah, sebatas untuk kebutuhan rumah tangga atau dengan tujuan pengawetan. Rantai pasok ikan di Kabupaten Kerinci Dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya untuk mengkonsumsi ikan, Kabupaten Kerinci memenuhinya dari ikan hasil tangkap di sungai dan danau, ikan budidaya di sungai dan danau, serta mendatangkan ikan hasil tangkap laut dari daerah pesisir Sumatera Barat, Jawa Tengah, Batam, Bengkulu dan juga Palembang, serta ikan budidaya dari Danau Maninjau, Sumatera Barat (ikan Nila) dan Bangkinang, Riau (ikan Mas/Rayo). Komposisi pasokan dari masing-masing daerah seperti pada Gambar 14. Ikan tangkap laut dari pesisir Sumbar, Jateng, Batam, Ikan Nila dari Maninjau, Sumbar Bengkulu, Sumsel Ikan tangkap sungai/ danau dari Kerinci Ikan Mas/Rayo dari Bangkinang, Riau KABUPATEN KERINCI Ikan budidaya sungai/danau dari Kerinci Gambar 13. Rantai Pasok Ikan di Kabupaten Kerinci, Jambi Rantai Pemasaran Ikan hasil Tangkap Hasil penangkapan ikan di danau Kerinci dipengaruhi oleh musim (penghujan dan kemarau) sehingga hasil panen dapat dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu musim puncak, musim sedang dan musim paceklik.dalam satu tahun umumnya musim puncak terjadi selama dua bulan (di musim hujan), musim paceklik selama tiga bulan, yang diapit musim sedang (tujuh bulan) yang biasanya terjadi pada peralihan musim (kemarau ke hujan atau musim hujan ke kemarau).musim ini juga mempengaruhi jenis ikan hasil tangkap sehingga dalam menggunakan jaring/jala ukuran mata jaringnya disesuaikan dengan musim ikan yang aklan ditangkap.akibatnya, tiap nelayan memiliki beberapa ukuran mata jaring dan setiap ukuran dimiliki sebanyak 3-5 unit.ikan hasil tangkap 48

56 didominasi jenis ikan Medik, ikan Barau, dan ikan Nila/Mujair, di samping ikan Semah dan ikan Seluang. Dalam memasarkan hasil tangkapannya, hanya ada satu rantai pemasaran yaitu dari nelayan ke pedagang pengumpul yang juga bertindak sebagai pedagang pengecer yang memasarkan ikannya di pasar kecamatan atau pasar Kota Kerinci.Jika hasil tangkapan sedikit, sesekali nelayan memasarkannya ke tetangga atau di pasar desa terdekat. Seluruh hasil tangkapan dijual dalam bentuk ikan segar dan untuk konsumsi rumah tangga atau rumah makan. 90% 100% Nelayan Pedagang Rumah tangga/ rumah makan 10%% Gambar 14. Rantai pemasaran ikan hasil tangkap di Danau Kerinci DANAU TOBA, KABUPATEN SIMALUNGUN, SUMATERA UTARA Danau Toba adalah danau yang terletak di Provinsi Sumatera Utara dan merupakan danau terbesar di Asia Tenggara dengan luas daerah tangkapan air sebesar Ha, yang terdiri dari Ha daratan (keliling luar danau), luas daratan Pulau Samosir sebesar Ha dan luas permukaan danau sebesar Ha. Secara geografis Kawasan Danau Toba terletak di Pegunungan Bukit Barisan Provinsi Sumatera Utara. Luasnya daerah tangkapan Danau Toba tentunya menunjukkan bagitu banyaknya potensi sumber daya ikan yang terkandung didalamnya. Di perairan danau ini terdapat berbagai jenis ikan endemik maupun ikan yang diintroduksi ke perairan ini baik alami maupun hasil budidaya (penebaran, keramba jaring apung). Jenis ikan endemik adalah ikan Batak (Lissochilus sumatranus dan Labeobarbus soro) yang sudah mulai langka sedangkan jenis ikan introduksi diantaranya ikan Masa, Mujair, Nila, Tawas, Lele, Gabus dan Bilih. Hasil produksi Danau Toba memberikan kontribusi sebesar 59.3% (atau sekitar 40 ton) terhadap produksi ikan hasil tangkapan perairan umum di wilayahkabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. 49

57 Kawasan Danau Toba dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini. Gambar 15. Kawasan perairan Danau Toba yang meliputi 7 kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, Kawasan Danau Toba meliputi 7 (tujuh) kabupaten yaitu : Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Samosir. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem dan tata ruang danau toba merupakan tanggung jawab dari ketujuh kabupaten tersebut. Di Danau Toba terdapat aktivitas perikanan yang terdiri atas usaha penangkapan dan budidaya. Sebagian besar masyarakat di sekeliling Danau Toba berprofesi sebagai nelayan. Nelayan ini semakin hari semakin berkurang jumlahnya karena banyak yang mulai beralih profesi sebagai pembudidaya, pedagang ataupun usaha lainnya. Usaha penangkapan di Danau Toba terutama yang dilakukan oleh nelayan di Kabupaten Simalungun termasuk skala kecil. Perahu yang digunakan terdiri atas perahu dayung berukuran kecil dengan ukuran panjang 5 m, lebar 80 cm dan tinggi 50 cm dan perahu motor tempel dengan mesin 13 PK. Beberapa tempat pendaratan ikan tersedia di sekitar perairan Danau Toba, antara lain di Parapat, Tongging, Porsea, Balige dan Silalahi. Jenis ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan mujair dan nila namun beberapa waktu belakangan ini mulai tertangkap ikan pora-pora dan ikan bilih. Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) merupakan ikan yang diintroduksi ke Danau Toba pada tahun 2003.Ikan Bilih ini merupakan ikan endemik yang berasal dari Danau Singkarak, Sumatera Barat. Pada awalnya ikan Bilih ini ditebar sebanyak ekor, dengan ukuran panjang total 4,1 5,7 cm dan berat antara 0,9 1,5 gram/ekor (Kartamihardja dan Purnomo, 2006). Pada 50

LAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

LAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN LAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN (Perairan Umum Daratan) Tim Penelitian : Zahri Nasution

Lebih terperinci

INDUSTRIALISASI PERIKANAN MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PERDESAAN PERAIRAN UMUM DARATAN

INDUSTRIALISASI PERIKANAN MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PERDESAAN PERAIRAN UMUM DARATAN Industrialisasi Perikanan Mendukung Ketahanan Pangan di Perdesaan Perairan Umum Daratan 481 INDUSTRIALISASI PERIKANAN MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PERDESAAN PERAIRAN UMUM DARATAN Fishery Industrialization

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014

INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014 INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014 INTEGRASI MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI, DAN BLUE ECONOMY

Lebih terperinci

Industrialisasi Perikanan Mendukung Ketahanan Pangan di Perairan Umum Daratan... (Zahri Nasution dan Bayu Vita Indah Yanti)

Industrialisasi Perikanan Mendukung Ketahanan Pangan di Perairan Umum Daratan... (Zahri Nasution dan Bayu Vita Indah Yanti) Industrialisasi Perikanan Mendukung Ketahanan Pangan di Perairan Umum Daratan... (Zahri Nasution dan Bayu Vita Indah Yanti) INDUSTRIALISASI PERIKANAN MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PEDESAAN PERAIRAN UMUM

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.44, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Industrialisasi. Kelautan. Perikanan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.27/MEN/2012

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN DAN PERIKANAN 2013, No.44 10 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.27/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN DAN PERIKANAN PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN

Lebih terperinci

Seri Data dan Informasi Sosek KP 7

Seri Data dan Informasi Sosek KP 7 Seri Data dan Informasi Sosek KP 7 Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Pengelolaan Waduk dan Situ Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Pendapatan Nelayan Asnawi, dkk 1 Seri Data dan Informasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam produksi komoditi yang bersumber dari kekayaan alam terutama dalam sektor pertanian. Besarnya

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA A. RENCANA KINERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014

BAB II PERENCANAAN KINERJA A. RENCANA KINERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014 BAB II PERENCANAAN KINERJA A. RENCANA KINERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014 Perencanaan kinerja merupakan proses penyusunan rencana kinerja sebagai penjabaran dari sasaran dan program yang telah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT 7.1. Kinerja Lembaga Penunjang Pengembangkan budidaya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang membutuhkan suatu wadah sebagai

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DALAM KONSEP MINAPOLITAN

PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DALAM KONSEP MINAPOLITAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN INDIVIDU PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DALAM KONSEP MINAPOLITAN Oleh: Edmira Rivani, S.Si., M.Stat. Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura. 2. Penerapan budidaya pertanian yang baik / Good Agriculture Practices

Lebih terperinci

BOKS : PENGEMBANGAN SUB SEKTOR PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR DI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN KAMPAR, PROVINSI RIAU

BOKS : PENGEMBANGAN SUB SEKTOR PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR DI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN KAMPAR, PROVINSI RIAU BOKS : PENGEMBANGAN SUB SEKTOR PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR DI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN KAMPAR, PROVINSI RIAU I. LATAR BELAKANG Perubahan mendasar cara berpikir dari daratan ke maritim yang dikenal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perikanan merupakan salah satu subsektor pertanian dan kelautan yang memiliki peran penting sebagai penggerak kemajuan perekonomian nasional di Indonesia. Selain menjadi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.27/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.27/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN DAN PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.27/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 36 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Landasan Filosofis Pemanfaatan sumber daya perikanan PULL tanpa memperhatikan proses alam dalam menyediakan sumber daya perikanan tersebut adalah suatu perbuatan yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.126, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Sistem Logistik. Nasional. Ikan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/PERMEN-KP/2014 TENTANG SISTEM LOGISTIK IKAN

Lebih terperinci

VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG

VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG 126 VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG 8.1 Pembelajaran Dari Sistem Lelang Lebak Lebung Berdasarkan data dan informasi yang didapatkan

Lebih terperinci

Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Perikanan Budidaya Melalui PUMP Perikanan Budidaya Sebagai Implementasi PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan

Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Perikanan Budidaya Melalui PUMP Perikanan Budidaya Sebagai Implementasi PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan Draft Rekomendasi Kebijakan Sasaran: Perikanan Budidaya Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Perikanan Budidaya Melalui PUMP Perikanan Budidaya Sebagai Implementasi PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan Seri

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

RUMUSAN RAPAT KERJA TEKNIS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014

RUMUSAN RAPAT KERJA TEKNIS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014 RUMUSAN RAPAT KERJA TEKNIS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014 RAPAT KERJA TEKNIS (Rakernis) KELAUTAN DAN PERIKANAN Tahun 2014 dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Kalimantan Timur di Aula Kantor Walikota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terluas di dunia, dengan panjang pantai 81.000 km serta terdiri atas 17.500 pulau, perhatian pemerintah Republik Indonesia terhadap sektor

Lebih terperinci

Tabel IV.C.1.1 Rincian Program dan Realisasi Anggaran Urusan Perikanan Tahun 2013

Tabel IV.C.1.1 Rincian Program dan Realisasi Anggaran Urusan Perikanan Tahun 2013 C. URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN 1. URUSAN PERIKANAN Pembangunan pertanian khususnya sektor perikanan merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi, dalam hal ini sektor perikanan adalah sektor

Lebih terperinci

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Pera

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Pera No.166, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SUMBER DAYA ALAM. Pembudidaya. Ikan Kecil. Nelayan Kecil. Pemberdayaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5719) PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/PERMEN-KP/2014 TENTANG SISTEM LOGISTIK IKAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/PERMEN-KP/2014 TENTANG SISTEM LOGISTIK IKAN NASIONAL PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/PERMEN-KP/2014 TENTANG SISTEM LOGISTIK IKAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan umum sungai dan rawa adalah perairan umum air tawar yang memiliki ciri spesifik, yang berbeda dengan perairan umum air tawar lainnya. Perairan umum sungai dan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBENTUKAN SENTRA HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN A. Kebijakan Umum BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN Pembangunan jangka menengah Kabupaten Pati diupayakan untuk mendukung kebijakan pembangunan nasional yang pro poor, pro job, pro growth

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi

Lebih terperinci

SEMANGAT DONNA OCTAVIANA, PENYULUH PERIKANAN OKI TUMBUHKEMBANGKAN POKDAKAN

SEMANGAT DONNA OCTAVIANA, PENYULUH PERIKANAN OKI TUMBUHKEMBANGKAN POKDAKAN 2016/08/11 07:58 WIB - Kategori : Warta Penyuluhan SEMANGAT DONNA OCTAVIANA, PENYULUH PERIKANAN OKI TUMBUHKEMBANGKAN POKDAKAN OKI (11/8/2016) www.pusluh.kkp.go.id Penyuluhan merupakan bagian dari upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan maupun mengatasi ketimpangan ekonomi dan pengembangan industri. Pada kondisi rawan pangan,

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS ( RENSTRA )

RENCANA STRATEGIS ( RENSTRA ) RENCANA STRATEGIS ( RENSTRA ) DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN TULANG BAWANG TAHUN 2011 2016 PEMERINTAH KABUPATEN TULANG BAWANG MENGGALA DAFTAR ISI Cover Renstra... i Daftar Isi... ii Bab I Pendahuluan...

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, sesungguhnya adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi masyarakat menuju ke arah yang

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) terluas di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) terluas di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) terluas di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 buah dan panjang garis pantai mencapai 104.000 km. Total

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

Penguatan Minapolitan dan Merebut Perikanan Selatan Jawa

Penguatan Minapolitan dan Merebut Perikanan Selatan Jawa Penguatan Minapolitan dan Merebut Perikanan Selatan Jawa Oleh: Akhmad Solihin Peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor Selatan Jawa yang menghadap Samudera Hindia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdiri atas perairan yang di dalamnya terdapat beraneka kekayaan laut yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdiri atas perairan yang di dalamnya terdapat beraneka kekayaan laut yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 buah dan panjang garis pantai mencapai 104.000 km (Putra,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PERMEN-KP/2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN UNTUK PERAIRAN DARAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 143, 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

KONDISI TERKINI BUDIDAYA IKAN BANDENG DI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH

KONDISI TERKINI BUDIDAYA IKAN BANDENG DI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH Kondisi terkini budidaya ikan bandeng di Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Septyan Andriyanto) KONDISI TERKINI BUDIDAYA IKAN BANDENG DI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH Septyan Andriyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODOLOGI

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODOLOGI BAB III KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODOLOGI 3.1 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir Arahan Strategi Pengembangan Wilayah Berdasarkan Komoditas Unggulan yang Berdaya saing di Kabupaten Indramayu sebagai kawasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah seyogyanya bertumpuh pada sumberdaya lokal yang dimiliki dan aktivitas ekonomi yang mampu melibatkan dan menghidupi sebagian besar penduduk. Pemanfaatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PROGRAM PENGEMBANGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI

PROGRAM PENGEMBANGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI PROGRAM PENGEMBANGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI Persyaratan: 1. Berbasis pada potensi SD lokal, sehingga dapat dijadikan keunggulan komperatif, apabila SD bersal dari luar daerah, 2. Kawasan sentra produksi

Lebih terperinci

Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1

Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1 Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1 Oleh: Mochamad Wekas Hudoyo, APi, MPS Anggota Komisi Penyuluhan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi pembudidayaan perikanan

Lebih terperinci

SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN MENUNJANG INDUSTRIALISASI KP SEJUMLAH MASUKAN PEMIKIRAN

SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN MENUNJANG INDUSTRIALISASI KP SEJUMLAH MASUKAN PEMIKIRAN 2013/11/02 08:31 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan PEMANTAPAN SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN MENUNJANG INDUSTRIALISASI KP SEJUMLAH MASUKAN PEMIKIRAN Mendiskusikan sistem penyuluhan perikanan yang membumi

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan

I. PENDAHULUAN. meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia menjadi titik berat dalam pembangunan bidang ekonomi. Konsep pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara yang memiliki penduduk yang padat, setidaknya mampu mendorong perekonomian Indonesia secara cepat, ditambah lagi dengan sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dilakukannya penelitian, batasan masalah dalam penelitian, serta pada bagian akhir sub bab juga terdapat sistematika penulisan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN MASTERPLAN MINAPOLITAN KABUPATEN BONDOWOSO. Endang Siswati

PENYUSUNAN MASTERPLAN MINAPOLITAN KABUPATEN BONDOWOSO. Endang Siswati PENYUSUNAN MASTERPLAN MINAPOLITAN KABUPATEN BONDOWOSO Endang Siswati ABSTRAK Judul Penelitian Penyusunan Masterplan Minapolitan Kabupaten Bondowoso. Tujuan dari penelitian ini adalah Meningkatkan produksi,

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lemb

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lemb BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1136, 2014 KEMEN KP. Penyuluh Perikanan. Swasta. Swadaya. Pemberdayaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/PERMEN-KP/2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DIBIDANG PENANGKAPAN IKAN UNTUK PERAIRAN UMUM DARATAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERCEPATAN PEMBANGUNAN KTI MELALUI EKONOMI KELAUTAN & PERIKANAN

PERCEPATAN PEMBANGUNAN KTI MELALUI EKONOMI KELAUTAN & PERIKANAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN KTI MELALUI EKONOMI KELAUTAN & PERIKANAN Fadel Muhammad Menteri Kelautan dan Perikanan KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN MAKASSAR, 2010 Ketertinggalan Ekonomi KTI Persebaran Penduduk

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN KINERJA BAB II PERENCANAAN KINERJA 1. Visi Menurut Salusu ( 1996 ), visi adalah menggambarkan masa depan yang lebih baik, memberi harapan dan mimpi, tetapi juga menggambarkan hasil-hasil yang memuaskan. Berkaitan

Lebih terperinci

Lomba Penulisan Artikel HUT KORPRI Ke 43 Kabupaten Cilacap Mengangkat HARKAT, MINAPOLITAN Cilacap*

Lomba Penulisan Artikel HUT KORPRI Ke 43 Kabupaten Cilacap Mengangkat HARKAT, MINAPOLITAN Cilacap* Mengangkat HARKAT, MINAPOLITAN Cilacap* Sebagai Kabupaten dengan wilayah administrasi terluas di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Cilacap menyimpan potensi sumberdaya alam yang melimpah. Luas Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2010, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan Pelabuhan Perikanan Nasional (PPN) Palabuhanratu sebagai lokasi proyek minapolitan perikanan tangkap.

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka percepatan pembangunan industri perikanan nasional

Lebih terperinci

Kata Pengantar KATA PENGANTAR

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Kata Pengantar i KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat-nya sehingga penyusunan buku Menuju Industrialisasi Garam Rakyat dapat diselesaikan

Lebih terperinci

PENINGKATAN PERAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH

PENINGKATAN PERAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH PENINGKATAN PERAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH Fahrur Razi dan Dewi Astuti Sartikasari (Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. budidaya perikanan, hasil tangkapan, hingga hasil tambaknya (Anonim, 2012).

I. PENDAHULUAN. budidaya perikanan, hasil tangkapan, hingga hasil tambaknya (Anonim, 2012). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah potensial penghasil perikanan dan telah menyokong produksi perikanan nasional sebanyak 40 persen, mulai dari budidaya

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR TAHUN MODEL PENGEMBANGAN INOVASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK DAN SITU DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN NELAYAN

LAPORAN AKHIR TAHUN MODEL PENGEMBANGAN INOVASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK DAN SITU DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN NELAYAN LAPORAN AKHIR TAHUN MODEL PENGEMBANGAN INOVASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK DAN SITU DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN NELAYAN TIM PENELITI : Dr. Asnawi Risna Yusuf, M.Si Ir. Zahri

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu dari negara yang menjadi produsen utama akuakultur dunia. Sampai tahun 2009, Indonesia menempati urutan keempat terbesar sebagai produsen

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.41, 2014 KEMEN KKP. Dekonsentrasi. Kelautan dan Perikanan. Gubernur. Tugas Pembantuan. Dekonsentrasi. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 5 TAHUN 2008

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 5 TAHUN 2008 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 5 TAHUN 2008 PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN MUARA ENIM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu wilayah untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakatnya, dan pembangunan merupakan suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki potensi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KERJA

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KERJA BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KERJA A. PERENCANAAN Rencana strategis sebagaimana yang tertuang dalam Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah merupakan suatu proses yang

Lebih terperinci

Seri Data dan Informasi Sosek KP No.04

Seri Data dan Informasi Sosek KP No.04 Seri Data dan Informasi Sosek KP No.04 Penelitian Panel Kelautan Dan Perikanan Nasional (Panelkanas) Dan Analisis Dinamika Nilai Tukar Perikanan Dalam Mendukung Sistem Ketahanan Pangan Untuk Pengentasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Masalah. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, maka secara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Masalah. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, maka secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, maka secara otomatis kebutuhan terhadap pangan akan meningkat pula. Untuk memenuhi kebutuhan pangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

Tabel Capaian Kinerja Sasaran Urusan Kelautan Dan Perikanan. Tahun 2012 INDIKATOR SASARAN. Realisasi Tahun 2011

Tabel Capaian Kinerja Sasaran Urusan Kelautan Dan Perikanan. Tahun 2012 INDIKATOR SASARAN. Realisasi Tahun 2011 URUSAN PILIHAN. Kelautan dan Perikanan Pembangunan daerah tahun 20 pada urusan kelautan dan perikanan, Pemerintah Kabupaten Temanggung hanya melaksanakan urusan di bidang perikanan darat dilaksanakan dalam

Lebih terperinci

MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENDAMPINGAN DESA DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena kendala tersebut sehingga pendapatan nelayan dan petani tambak menjadi

BAB I PENDAHULUAN. karena kendala tersebut sehingga pendapatan nelayan dan petani tambak menjadi BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Persoalan kemiskinan masih menjadi masalah yang butuh perhatian semua pihak. Kemiskinan yang diartikan sebagai ketidakberdayaan untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan

Lebih terperinci