BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA"

Transkripsi

1 36 BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA 5.1 Perkembangan Industri Perikanan Southern Bluefin Tuna Industri perikanan tangkap tuna (SBT) di Perairan Samudera Hindia dimulai sekitar tahun 1952 oleh perusahaan rawai tuna dari Jepang, kemudian diikuti oleh Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Taiwan, dan Indonesia. Pada dekade , total hasil tangkapan SBT di Samudera Hindia bisa mencapai sekitar ton/tahun (Perkembangan penangkapan SBT menurut negara dari dapat dilihat pada Lampiran 2). Kegiatan produksi penangkapan tersebut sekitar tahun 1980 mulai menunjukkan penurunan hingga jumlah SBT yang tertangkap tidak lebih dari ton/tahun seperti pada Gambar 17. Penurunan volume hasil tangkap tersebut menimbulkan kekuatiran bahwa jenis ikan ini akan mengalami kepunahan, sehingga negara-negara industri utama seperti Jepang, Australia dan Selandia Baru membentuk RFMO bernama Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) pada Ton Australia Japan New Zealand Korea* Taiwan Indonesia Lainnya Tahun Gambar 17. Grafik Fluktuasi Hasil Tangkapan SBT di Samudera Hindia

2 37 Pembentukan lembaga regional CCSBT untuk mengelola kegiatan industri SBT di Samudera Hindia bertujuan untuk mengendalikan kegiatan penangkapan SBT, seiring dengan semakin menurunnya jumlah hasil tangkapan ikan tersebut. Menurut Wudianto (2003) berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap bekerjasama dengan CSIRO Australia menunjukkan bahwa hasil penangkapan SBT pada tahun 2005 yang di daratkan di Pelabuhan Perikanan Benoa dan Cilacap sepanjang September April, sebagian besar ditemukan dalam keadaan bertelur dengan ukuran cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar ikan-ikan SBT yang tertangkap sepanjang tahun tersebut mulai menjaring induk ikan. Kondisi ini sangat riskan bagi kelestarian sumber daya ikan tersebut apabila terus dilakukan penangkapan secara berlebihan (tanpa adanya kontrol/pembatasan). Untuk mengendalikan kegiatan tangkap lebih dan menjaga kelestarian sumber daya SBT, konvensi CCSBT telah menerapkan mekanisme kuota bagi negara-negara yang terlibat dalam industri penangkapan SBT di Samudera Hindia. Pada periode menurut ICCAT REPORT (II); total kuota penangkapan yang diberikan pada negara-negara industri SBT yang berstatus anggota CCSBT mencapai ton dengan rincian sebagai berikut : - Kuota Jepang : ton; - Kuota Australia : ton; - Kuota Korea Selatan : ton; - Kuota Taiwan : ton; dan - Kuota Selandia Baru : 420 ton. Disamping kuota bagi anggota CCSBT, kuota diberikan pula bagi anggota CCSBT yang berstatus anggota tidak tetap dan peninjau. Besaran kuota untuk periode tersebut mencapai 900 ton dengan rincian 800 ton untuk Indonesia, 50 ton untuk Filipina dan sisanya dibagi kepada beberapa negara yang berstatus peninjau. Pada pertemuan ketiga CCSBT tahun 2006 terjadi perubahan kuota penangkapan SBT di Samudera Hindia untuk periode Besarnya kuota penangkapan ditetapkan ton atau turun sekitar ton dari periode sebelumnya. Kuota untuk Jepang mengalami penurunan menjadi ton dan kuota tersebut berlaku hingga tahun Sedangkan kuota Australia mengalami

3 38 kenaikan menjadi ton hingga tahun 2009 dan kuota negara-negara lainnya seperti Korea dan Taiwan tetap sebesar ton, dan kuota Selandia Baru juga tetap dipertahankan sebesar 420 ton hingga tahun 2009 (Tabel 5). Indonesia dan Filipina adalah negara-negara berstatus Cooperating Non- Members yang mengalami penurunan kuota hingga tahun Kuota Indonesia mengalami penurunan dari 800 ton pada periode sebelumnya menjadi 750 ton pada periode Sedangkan Filipina pada periode yang sama mengalami penurunan 50 ton menjadi 45 ton. Negara- negara yang berstatus Cooperating Non-Members seperti Afrika Selatan mengalami penurunan kuota menjadi 40 ton dan Uni Eropa sebagai anggota baru memperoleh kuota sebesar 10 ton hingga tahun Perkembangan kuota penangkapan SBT di Samudera Hindia seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Pengaturan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia No Negara Kuota 2006 Kuota (Jepang : Selisih 1 Jepang 6,065 3,000-3,065 2 Australia 5,265 5, Taiwan 1,140 1, Korea Selatan 1,140 1, Selandia Baru Filipina Afrika Selatan Uni Eropa Indonesia Total 14,925 14,925 11,810 Sumber : CCSBT, 2007 Keterangan : Data lain menyebutkan bahwa Taiwan dan Korea Selatan mengalami penurunan kuota menjadi masing-masing ton per tahun (USDA Foreign Agricultural Service) 5.2 Isu Illegal Fishing dan Perubahan Kuota Pemanfaatan SBT Jepang dan Australia adalah dua negara yang dominan dalam kegiatan penangkapan SBT di Samudera Hindia. Kedua negara ini memiliki keragaan industri penangkapan SBT yang modern sekaligus pemilik kuota penangkapan SBT terbesar di dalam keanggotaa CCSBT. Keragaan industri SBT Jepang dan Australia dapat dilihat dari jumlah produksi SBT kedua negara pada tahun Sekitar 47% produksi SBT dunia diproduksi oleh Jepang dan 33% dikuasai oleh Australia (Gambar 8). Penurunan kuota Jepang hingga tahun 2011 dan kenaikan

4 39 kuota Australia hingga 2009 dapat menggeser dominasi produksi SBT dunia dari Jepang ke Australia. Tekanan penurunan kuota Jepang 21 dimulai ketika Australia menggangkat isu illegal fishing terkait dengan pengakuan Jepang bahwa pada awal 2006 bahwa terjadi penangkapan SBT di Samudera Hindia yang melebihi kuota. Jumlah tangkapan Jepang lebih besar 25% dari kuota ton yang telah disepakati dalam konvensi CCSBT. Pengakuan tersebut diikuti oleh tuduhan pihak Australia bahwa pelanggaran kuota oleh Jepang tidak hanya terjadi pada tahun bersangkutan, melainkan telah terjadi dalam kurun waktu tahun terakhir. Otoritas Pengelolaan Perikanan Australia menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tersebut, Jepang telah diduga menangkap SBT secara ilegal dengan nilai yang fantastis yaitu 2 milliar dolar Australia atau setara US$ 1,53 miliar dengan total hasil tangkapan ilegal atau yang tidak dilaporkan oleh Jepang diperkirakan mencapai sampai ton. Angka ini mungkin lebih besar lagi mengingat ribuan bahkan menungkin puluhan ribu ton ikan tidak melewati sistem pelelangan yang berlaku di Jepang, melainkan langsung dijual pada perusahaan pengumpul atau retailer. Alasan Australia melempar tuduhan tersebut disebabkan karena Jepang tidak bersedia memasang paper trail pada hasil tangkapan SBT dan memasang sistem pemantau indepeden pada kapal perikanannya. Mendapat tekanan tersebut, pihak Jepang melalui Far Seas Fisheries Division, Fisheries Agency balik menuduh bahwa pihak Australia pun ikut serta melakukan kegiatan illegal fishing. Kegiatan tersebut mencakup usaha perikanan Australia menangkap juvenile SBT dan secara hipokrit menjual hasil tangkapan tersebut ke Jepang. Apalagi setiap tahunnya Australia memperoleh sekitar 40 juta dolar Australia per tahun dari kuota yang dimilikinya. Jepang menginginkan agar persoalan tuduhan illegal fishing dapat diselesaikan pada tingkat pembicaraan di CCSBT. 21 Tekanan lain yang dihadapi Jepang adalah hasil keputusan sidang ICCAT (The International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas) 26 November 2006 yang memutuskan memutuskan kuota bluefin tuna di Samudera Atlantik hingga tahun 2010 dibatasi turun 20% dari marjin yang diperbolehkan dari sekitar 32 ribu ton saat ini.

5 40 Pada pertemuan ketiga CCSBT, tekanan Australia ternyata berhasil memaksa Jepang untuk menerima penurunan kuota penangkapan SBT di Samudera Hindia dari ton per tahun menjadi ton per tahun hingga tahun Australia memperoleh kuota tertinggi, yakni ton per tahun sehingga menempatkan Australia menjadi pemegang kendali produksi SBT dunia untuk tahun-tahun mendatang. Dalam laporan The Guardian pada 16 Oktober 2006 lalu, disebutkan pula bahwa kesepakatan tersebut ikut mengatur alokasi kuota SBT di Samudera Hinda. Kuota penangkapan SBT mengalami penurunan jumlah penangkapan total dari ton pada tahun 2006 menjadi ton pada tahun Hal ini kemudian membuat pihak Jepang menganggap bahwa tuduhan Australia tidak lebih merupakan blow up untuk melindungi kepentingan industri perikanan Australia sendiri dan mengakomodasi kepentingan kelompok lingkungan. Manuver Australia tidak hanya ditujukan ke Jepang, melainkan ke negaranegara lain yang berpotensi untuk menjadi sasaran berikutnya. Hal ini telah disinyalir oleh pihak Asosiasi Pemilik Kapal Tuna Australia, Brian Jeffries yang dirilis ABC Local Radio; Japan did over catch in 1999 and are reducing their catch into year 2000 by the amount of their over catch in Now, Australia did exactly the same thing.i think labeling Japan is realy missing the issue. The issue is these unregulated countries. (Suadi, 2006). Disisi lain, Jepang sebagai pihak yang mengalami pengurangan kuota tentunya tidak akan berpangku tangan mengingat investasi yang cukup besar dalam industri penangkapan SBT di Samudera Hindia. Disamping itu, Jepang merupakan konsumen terbesar perikanan tuna. Jumlah konsumsi SBT Jepang pada tahun 2003 mencapai sekitar 53,3% dari total produksi dengan harga mencapai sekitar yen/kg 22. Pada tahun 2005, Jepang telah mengimpor sekitar ton SBT dari total kuota penangkapan SBT dunia. Tentunya Jepang akan berusaha menjamin pasokan SBT di dalam negerinya, baik melalui kuota yang ada maupun melalui impor dari negara-negara lain. 22 The average wholesale price of fresh SBT in August this year at the Tsukiji fish market in Tokyo was 2,581 yen per kilo (USDA Foreign Agricultural Service, 2006)

6 41 Secara jangka pendek dan menengah, jaminan pasokan tuna Jepang dan keragaan industri penangkapannya akan terpatri pada usaha untuk mendekati beberapa negara potensial, melalui pola kerja sama penangkapan ikan seperti yang banyak terjadi pasca negara-negara pantai mengadopsi UNCLOS di awal dekade Indonesia adalah salah satu negara potensial dalam penangkapan SBT di Samudera Hindia yang dapat didekati oleh Jepang, mengingat ketergantungan ekspor SBT Indonesia pada pasar Jepang. Ekspor tertinggi SBT Indonesia ke Jepang terjadi pada tahun 2002 dengan jumlah ekspor sekitar 217,2 ton dari 1.690,67 ton produksi pada tahun tersebut. Jumlah tersebut terus mengalami penurunan hingga tahun 2005 meski terjadi peningkatan jumlah produksi pada tahun tersebut. Jumlah produksi pada tahun 2005 mencapai 1.798,86 ton namun jumlah ekspor hanya mencapai 60,26 ton. Walaupun jumlah ekspor Indoensia ke Jepang turun, namun kemampuan untuk meningkatkan produksi pada tahun tersebut menunjukkan bahwa kemampuan produksi industri SBT Indonesia cukup baik. Persoalan yang dihadapi Indonesia dalam industri penangkapan SBT adalah kuota yang diberikan ke Indonesia jauh lebih kecil dari kemampuan Indonesia untuk memproduksi SBT. Hal ini membawa implikasi tuduhan bahwa Indonesia ikut serta dalam kegiatan penangkapan ilegal. Hal ini telah disinyalir oleh otoritas perikanan Australia tentang beberapa negara yang ikut unregulated countries. Berdasarkan perhitungan dari CCSBT tahun 2007, Indonesia adalah penyumbang terbesar kegiatan illegal fishing dalam penangkapan SBT. Sekitar 124,88% produksi Indonesia adalah hasil tangkapan di luar kuota yang ditetapkan oleh CCSBT. Negara lain yang ikut memberikan konstribusi penangkapan ilegal adalah Jepang sekitar 20,81% dan Filipina sekitar 6% (Tabel 6).

7 42 Tabel 6. Selisih Produksi-Kuota dan Presentasi terhadap Penangkapan Ilegal Tahun 2005 No. Negara Produksi Kuota Selisih (Ton) (Ton) (Ton) Persentase 1 Australia 5,244 5, Jepang 7,327 6,065 1, Selandia Baru Korea 38 1,140-1, Taiwan 941 1, Filipina Indonesia 1, Lainnya Jumlah 15,691 14, Sumber : Diolah dari CCSBT, 2007 Kondisi tersebut menunjukkan paradok industri perikanan tangkap Indonesia. Pada satu sisi, data produksi Indonesia menunjukkan kemampuan industri perikanan tangkap Indonesia dalam meningkatkan kemampuan produksi SBT di Samudera Hindia. Pada sisi yang lain, kondisi ini menggambarkan bahwa Indonesia ikut memberikan konstribusi bagi penangkapan ilegal. Hal ini membawa konsekuensi : 1. Kuota penangkapan SBT Indonesia diturunkan dari 800 ton per tahun menjadi 750 ton per tahun hingga tahun 2007; 2. Indonesia mengalami embargo perdagangan SBT dari negara-negara anggota CCSBT, khususnya Jepang sebagai pangsa pasar utama SBT. Penurunan kuota dan embargo perdagangan SBT tentu berdampak langsung pada kegiatan industri perikanan Indonesia. Menurut Wudianto dalam DKP (2007) SBT merupakan salah satu ikan unggulan untuk komoditi ekspor dan jenis ikan ini jarang dijumpai di pasaran lokal/domistik. Pasar utama ikan ini adalah Jepang yang digunakan sebagai bahan untuk sashimi dan sushi. Harga ikan SBT segar dengan kualitas bagus di pasar Sukiji Jepang bisa mencapai US dolar per kilogram. Jika nelayan rawai tuna bisa menangkap satu ekor ikan SBT dengan berat 200 kg, maka diperkirakan dapat memperoleh uang sekitar US dolar atau 90 juta rupiah/ekor. Persoalan embargo ekspor telah mengakibatkan nelayan Indonesia tidak dapat mengekpor ikan tersebut, khususnya dipasar ke Jepang, baik dalam bentuk ikan segar atau tuna loin. Dampak dari masalah tersebut bila dihitung secara

8 43 kasar dengan patokan produksi SBT tahun 2005 sebesar ton dengan harga SBT 50 US dolar per kg, maka devisa negara yang hilang dapat mencapai sekitar 91,5 juta dolar atau 820 milyar rupiah/tahun. Menurut Wudianto (2007) berdasarkan hasil wawancara dengan pengusaha rawai tuna di Benoa tanggal 9 April 2007, saat ini di salah satu cold storage ikan tuna di Benoa menyimpan 50 ton ikan SBT yang tidak dapat diekpor, baik berupa ikan segar maupun ikan olahan. Pengusaha tersebut pernah melakukan penjualan melalui negara lain atau lebih dikenal sebagai pasar gelap (illegal market) tetapi tetap juga ketahuan dan ikan tersebut dikembalikan ke Indonesia. Hasil tangkapan SBT hanya dapat dijual di pasar domistik dengan harga yang sangat rendah sekitar 15 ribu rupiah/kg dan tentunya permintaannya sangat terbatas. Keadaan ini benar-benar menjadi ironi ditengah-tengah program pemerintah yang telah mencanangkan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan dengan tuna sebagai salah satu andalannya. 5.3 Kebijakan Kuota dan Implikasi Embargo dalam Perdagangan SBT Menurut laporan USDA Foreign Agricultural Service (2006) total impor Jepang pada tahun 2005 dari negara-negara produsen SBT mencapai sekitar US$128 juta dengan harga rata-rata produk di pasar Jepang mencapai sekitar US$13,1 per kilogram. Jumlah impor Jepang menurut data CCSBT pada tahun 2005 mencapai 9,965 ton disamping produksi yang mencapai sekitar 7,327 ton 23 (Jumlah impor, ekspor dan negara dapat dilihat pada Lampiran 3). Bila diasumsikan bahwa produksi domestik dan impor Jepang merupakan daya serap pasar Jepang dan daya serap tersebut merupakan kebutuhan konsumsi SBT Jepang, maka total konsumsi SBT Jepang pada tahun 2005 mencapai sekitar ton. Total transaksi perdagangan SBT di Jepang pada tahun 2005 bila dihitung berdasarkan harga rata-rata pasar impor sebesar US$13,09 diperkirakan bernilai US$225,56 juta (pembulatan). Jumlah produksi, impor dan harga ratarata produk SBT di pasar Jepang dapat dilihat pada Tabel Data dari USDA Foreign Agricultural Service (2006) menyebutkan total impor Jepang pada tahun 2003 mencapai ton dengan nilai mencapai US$136 juta; impor pada tahun 2004 mencapai ton dengan nilai mencapai US$150 juta ton dan tahun 2005 mencapai ton dengan nilai mencapai US$128 juta.

9 44 Tabel 7. Jumlah Produksi, Impor dan Harga Rata-Rata Produk SBT di Jepang Keterangan Jumlah Produksi + Impor 17,980,259 16,325,946 15,866,882 15,310,196 17,291,731 15,488,917 Produksi Jepang (kg) 6,674,000 6,191,793 5,762,000 5,846,000 7,327,000 6,065,000 Harga rata-rata (USD/kg) NA Nilai Impor (USD) 188,014,516 NA 136,000, ,000, ,000, ,332,446 Impor Jepang (kg) : 11,306,259 10,134,153 10,104,882 9,464,196 9,964,731 9,423,917 - Indonesia 147, ,212 74,427 33,871 39, Australia 7,890,246 8,226,948 8,110,476 7,826,573 8,955,643 8,467,469 - Taiwan 1,475, ,369 1,042,689 1,040, , ,974 - Korea selatan 1,355, , , ,377 71, ,342 - Selandia Baru 320, , , , , ,924 - Filipina 37,254 45,149 84,949 61,000 21,519 2,222 - Lainnya 78, ,586 48,261 5, Sumber : Japan Customs (WTA) dalam USDA (2006) 2001 Japan Fisheries Market Report (2002) 2006 Ministry of Agriculrue, Forestry and Fisheries of Japan (2007) Pada tahun 2007 perkembangan harga produk SBT di Jepang terus mengalami kenaikan yang sangat signifikan bila dibandingkan produk-produk tuna lainnya (perkembangan harga SBT di Pasar Jepang dapat dilihat pada Lampiran 4). Harga tertinggi sepanjang tahun 2007 menurut laporan Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries of Japan terjadi pada bulan ketiga tahun 2007 yang mencapai harga sekitar per kilogram. Hal menandakan bahwa terjadinya permintaan yang tinggi atas produk SBT, seiring semakin menurun jumlah suplai SBT ke pasar Jepang. Penurunan suplai SBT di pasar Jepang disebabkan oleh : 1. Pemberlakuan kuota penangkapan baru yang telah ditetapkan sebesar ton pada tahun 2006 dan turun menjadi ton tahun Penurunan kuota produksi domestik Jepang dari ton pada tahun menjadi ton pada tahun Penurunan kuota Jepang pada tahun 2007 menjadi ton telah mengakibatkan produk domestik industri SBT Jepang kehilangan sekitar ton pangsa pasar potensial SBT dalam negeri Jepang, yakni selisih dari kuota sebelumnya. Hal tersebut tentu membawa konsekuensi serius bagi nelayan dan industri SBT Jepang, yakni kehilangan pendapatan akibat penurunan jumlah produksi yang diijinkan oleh CCSBT.

10 45 Bila diasumsikan kebutuhan domestik pasar SBT di Jepang rata-rata sebesar ton per tahun dengan harga rata-rata sebesar US$13,1 per kilogram atau sekitar US$ per ton, maka nilai transaksi SBT di Jepang dapat mencapai rata-rata sebesar US216,87 juta. Sekitar US$33,32 juta merupakan produk domestik SBT Jepang dan US$133,55 juta merupakan impor Jepang. Penurunan kuota Jepang secara otomatis memangkas potensi produk domestik SBT Jepang sebesar lebih kurang US$40,15 juta. 5.4 Keragaan Industri SBT Indonesia Sejarah penangkapan SBT Indonesia yang terekam pertama kali oleh CCSBT pada tahun 1976 dengan jumlah produksi mencapai 12 ton dari ton produksi SBT dunia. Jumlah produksi tertinggi yang dicapai Indonesia adalah ton dari produksi dunia pada tahun Perkembangan produksi SBT Indonesia dari tahun 1976 hingga tahun 2004 serta perbandingan terhadap produksi dunia tampak pada Gambar Indonesia Total Dunia Ton Tahun Gambar 18. Grafik Perkembangan Tangkapan SBT Indonesia dan Dunia Berdasarkan data CCSBT tahun 2007, hasil produksi SBT Indonesia selama periode sebagian besar dikonsumsi di dalam negeri. Kegiatan ekspor tercatat dilakukan ke Jepang dengan jumlah ekspor yang ternyata jauh

11 46 lebih kecil dari jumlah produksi. Perbandingan antara ekspor dengan produksi SBT tampak seperti pada Gambar 19. Data CCSBT tahun 2007 juga menunjukkan bahwa kegiatan ekspor produk SBT Indonesia pada tahun 2006 tidak tercatat lagi. Hal ini merupakan implikasi dari embargo yang dilakukan oleh Jepang yang merupakan satu-satunya pangsa pasar SBT Indonesia Ekspor Produksi Gambar 19. Grafik Perkembangan Produksi dan Ekspor SBT Indonesia Tahun (Produksi 2006 diasumsikan sama dengan kouta) Perkembangan kapal penangkapan SBT Indonesia di Samudera Hindia dari tahun menunjukkan jumlah peningkatan unit kapal. Berdasarkan data Herrera, M (2002) pada tahun 1976, kapal penangkapan tuna Indonesia di Samudera Hindia masih berjumlah sekitar 18 unit. Pada tahun 2000, jumlah unit kapal penangkapan Indonesia di Samudera Hindia terus bertambah dan mencapai unit. Periode dapat dianggap sebagai keragaan terbaik kegiatan penangkapan SBT Indonesia berdasarkan jumlah aktivitas penangkapan. Pasca periode tersebut, keragaan kegiatan industri penagkapan SBT Indonesia mulai mengalami penurunan (Estimatis jumlah kapal long line di Indonesia menurut perhitungan Harera di Lampiran 5). Seiring dengan dugaan semakin menurunnya jumlah tangkapan dan kenaikkan harga bahan bakar minyak sekitar tahun , perkembangan jumlah kapal penangkapan dan hasil tangkap SBT Indonesia di Samudera Hindia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penurunan tersebut didorong pula

12 47 oleh ancaman embargo Jepang atas ekspor SBT Indonesia yang membuat iklim investasi pada penangkapan SBT tidak menarik lagi. Data Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukan pada tahun 2001 jumlah kapal perikanan yang terdata di Samudera Hindia mencapai 529 unit dan mengalami kenaikkan jumlah sepanjang Gambar 20 menunjukkan grafik perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan di Samudera Hindia Tahun Unit Tahun Kapal Gambar 20. Grafik Perkembangan Jumlah Kapal Penangkapan Ikan di Samudera Hindia Tahun Spesies ikan tuna yang di daratkan di pelabuhan-pelabuhan utama perikanan tuna seperti Pelabuhan Benoa, Cilacap Jawa Tengah dan Muara Baru Jakarta pada dasarnya terdiri dari berbagai spesies tuna, seperti yellowfin tuna (YFT), bigeye tuna (BET), skipjack tuna (SKJ), southern bluefin tuna (SBT) dan lain-lain. Jumlah tangkapan ikan yang didaratkan di ketiga pelabuhan tersebut menurut data IOTC mencapai lebih kurang ton pada tahun 2003 dan ton pada tahun Data IOTC menunjukkan bahwa jenis YFT adalah jenis tuna terbanyak yang ditangkap dan didaratkan pada ketiga pelabuhan. Sekitar 40,68% hasil tangkapan tuna tahun 2003 adalah jenis YFT dan pada tahun 2004 jumlah tangkapan YFT mencapai 36,36%. Hasil tangkapan SBT pada tahun yang sama

13 48 Table 8. mencapai 563 ton atau 1,07% untuk periode tahun Pada tahun 2004 jumlah tangkapan SBT mencapai sekitar 665 ton atau sekitar 1,56%. Pelabuhan Benoa adalah pelabuhan pendaratan hasil tangkapan SBT tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2003 jumlah tangkapan SBT yang didaratkan di pelabuhan ini mencapai sekitar 555 ton atau sekitar 98,58% total tangkapan SBT. Jumlah pendaratan SBT pada tahun 2004 di Benoa mencapai 641 ton atau sekitar 96,39% total tangkapan. Pelabuhan lain tempat pendaratan SBT adalah PPN Cilacap di Jawa Tengah dan beberapa pelabuhan lain seperti PPN Pelabuhan Ratu Sukabumi Jawa Barat. Jumlah pendaratan pada tahun 2003 di PPN Cilacap mencapai sekitar 1,24% dari total tangkapan SBT Indonesia. Pada tahun 2004 jumlah tangkapan SBT yang didaratkan di PPN Cilacap mencapai sekitar 3,61%. Data lengkap jumlah tangkapan tuna di Pelabuhan Benoa, Cilacap, Jakarta dan pelabuhan lainnya di sajikan pada Tabel 8. Jumlah Tangkapan Tuna (Ton) di Pelabuhan Benoa, Cilacap, Jakarta dan Pelabuhan Lain Tahun Pelabuhan Tahun Spesies Benoa Cilacap Jakarta Lainnya Total Ton Persen Ton Persen Ton Persen Ton Persen Total Persen 2003 YFT 7, , , BET 5, , , SKJ ALB 3, , , SBF SWO 1, , , MARL 1, , , OBIL , , SKH , , OTHR , , Total 20, , , , , YFT 4, , , , BET 4, , , , SKJ ALB 2, , , SBF SWO 1, , , MARL 1, , , OBIL , , SKH , , OTHR , , Total 14, , , , ,504 Sumber : IOTC WPTT - 06 Keterangan : YFT (yellowfin tuna), BET (bigeye tuna), SKJ (skipjack tuna), ALB ( albacore), SBF (Southern bluefin tuna) SWO (swordfish), MARL (marlins), OBIL (other billfish), SKH (sharks) dll

14 49 Berdasarkan data jumlah tangkapan SBT yang didaratkan di pelabuhanpelanuhan perikanan Indonesia, Pelabuhan Benoa dapat dipandang sebagai indikator aktivitas penangkapan SBT di Indonesia. Keragaan kegiatan penangkapan SBT di Pelabuhan Benoa pada dasarnya menunjukkan keragaan industri tuna SBT di Indonesia. Dampak dari embargo atas produk SBT Indonesia oleh Jepang, umumnya akan dirasakan oleh nelayan dan pengusaha perikanan tuna di Pelabuhan Benoa. Pada tahun 2005 jumlah SBT yang didaratkan di Pelabuhan Benoa, menurut data IOTC, mencapai sekitar ton 12,8% dari total ikan yang diproduksi di Benoa. Sekitar 6,03% atau 103 ton dari total produk tersebut merupakan produk by catch atau tangkapan sampingan. Selain itu, sekitar 93,97% atau ton adalah produk ekspor. (Jumlah tangkapan tuna di Pelabuhan Benoa periode Januari 2003 Desember 2005 di Lampiran 6).

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki arti strategis bagi industri perikanan, karena wilayah

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Anderson, Lee, G. (1984). The Economic of Fisheries Management. The John Hopkins University Press. Baltimore and London.

DAFTAR PUSTAKA. Anderson, Lee, G. (1984). The Economic of Fisheries Management. The John Hopkins University Press. Baltimore and London. 59 DAFTAR PUSTAKA Anderson, Lee, G. (1984). The Economic of Fisheries Management. The John Hopkins University Press. Baltimore and London. Ayala, D, Hayashi, Y. (2006). Japan Fishery Products Japan's Annual

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perairan yang mencapai 5,8 juta km 2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Hal ini membuat Indonesia memiliki

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 29 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Produksi tuna Indonesia di Samudera Hindia IOTC memfokuskan pengelolaan perikanan tuna di Samudera Hindia. Jenis tuna yang dikelola adalah tuna albakora (albacore),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna mendapatkan perhatian internasional. Hal ini terkait dengan maraknya kegiatan penangkapan ikan tuna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, kelestarian ekosistem, serta persatuan dan kesatuan. Sedangkan

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9 BAB V PENUTUP Kesimpulan Indonesia merupakan negara maritim yang didalamnya menyimpan kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9 juta km² yang terdiri dari 1,8 juta km²

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

lkan tuna merupakan komoditi yang mempunyai prospek cerah di dalam perdagangan internasional. Permintaan terhadap komoditi tuna setiap tahunnya

lkan tuna merupakan komoditi yang mempunyai prospek cerah di dalam perdagangan internasional. Permintaan terhadap komoditi tuna setiap tahunnya 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang lkan tuna merupakan komoditi yang mempunyai prospek cerah di dalam perdagangan internasional. Permintaan terhadap komoditi tuna setiap tahunnya mengalami peningkatan, baik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status produksi perikanan tangkap dunia mengalami gejala tangkap lebih (overfishing). Laporan FAO (2012) mengungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan penangkapan ikan

Lebih terperinci

PENGERTIAN EKONOMI POLITIK

PENGERTIAN EKONOMI POLITIK PENGERTIAN EKONOMI POLITIK CAPORASO DAN LEVINE, 1992 :31 INTERELASI DIANTARA ASPEK, PROSES DAN INSTITUSI POLITIK DENGAN KEGIATAN EKONOMI (PRODUKSI, INVESTASI, PENCIPTAAN HARGA, PERDAGANGAN, KONSUMSI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas daerah perairan seluas 5.800.000 km2, dimana angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah perairan tersebut wajar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan

Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, kelestarian ekosistem, serta persatuan dan kesatuan. Sedangkan sasaran program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri Indonesia bertumpu kepada minyak bumi dan gas sebagai komoditi ekspor utama penghasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Pada kurun tahun 1993-2006, industri TPT menyumbangkan 19.59 persen dari perolehan devisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk di dalamnya agribisnis. Kesepakatan-kesepakatan pada organisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi dunia akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap terpenuhi agar roda

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan Wilayah perbatasan: a. Internal waters/perairan pedalaman.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara

Lebih terperinci

IX. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 1) Simpulan

IX. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 1) Simpulan IX. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 1) Simpulan 1) Perdagangan Tuna Indonesia di Pasar Dunia, Jepang, USA, dan Korea Selatan : a. Peringkat Indonesia sebagai eksportir tuna baik secara total maupun berdasarkan

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP Jakarta, 29 Agustus 2017 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP Status Indonesia di RFMOs Status : Member (PerPres No. 9/2007) Status : Member (PerPres N0.61/2013) IOTC

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT DESEMBER 2016 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR DESEMBER 2016 MENCAPAI USD 2,29 MILYAR No. 08/02/32/Th.XIX, 01

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR KALIMANTAN SELATAN BULAN DESEMBER 2015

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR KALIMANTAN SELATAN BULAN DESEMBER 2015 No.05/01/63/Th.XIX, 15 Januari 2016 PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR KALIMANTAN SELATAN BULAN DESEMBER EKSPOR KALIMANTAN SELATAN BULAN DESEMBER NAIK 33,62 PERSEN DAN IMPOR NAIK 21,49 PERSEN Nilai ekspor Kalimantan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang semestinya menjadi

I. PENDAHULUAN. merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang semestinya menjadi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya kelautan Indonesia yang sangat tinggi sesungguhnya merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang semestinya menjadi modal utama bangsa untuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan dan industri yang bergerak dibidang perikanan memiliki potensi yang tinggi untuk menghasilkan devisa bagi negara. Hal tersebut didukung dengan luas laut Indonesia

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT MEI 2017 No. 38/07/32/Th.XIX, 3 Juli 2017 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR MEI 2017 MENCAPAI USD 2,45 MILYAR

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT NOVEMBER 2016 No. 04/01/32/Th.XIX, 03 Januari 2017 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR NOVEMBER 2016 MENCAPAI USD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi perikanan. Artinya, kurang lebih 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi perikanan. Artinya, kurang lebih 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sektor perikanan Indonesia cukup besar. Indonesia memiliki perairan laut seluas 5,8 juta km 2 (perairan nusantara dan teritorial 3,1 juta km 2, perairan ZEE

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis I. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.508 buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara maritim dengan luas wilayah laut

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI DESEMBER 2014

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI DESEMBER 2014 No. 07/02/15/Th.IX, 2 Februari 2015 PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI DESEMBER 2014 Nilai Ekspor Melalui Pelabuhan di Provinsi Jambi sebesar US$ 103,29 Juta, dan Nilai Impor sebesar US$ 6,69 Juta.

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Perkembangan Ekspor Impor Provinsi Jawa Barat No. 56/10/32/Th. XIX, 2 Oktober 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Perkembangan Ekspor Impor Provinsi Jawa Barat Agustus 2017 Ekspor Agustus 2017

Lebih terperinci

Negara Kesatuan Republik lndonesia adalah benua kepulauan,

Negara Kesatuan Republik lndonesia adalah benua kepulauan, 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik lndonesia adalah benua kepulauan, yang terbentang di katulistiwa di antara dua benua : Asia dan Australia, dan dua samudera : Hindia dan Pasifik,

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT JUNI 2017

PROVINSI JAWA BARAT JUNI 2017 BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR No. 43/08/32/Th.XIX, 01 Agustus 2017 PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT JUNI 2017 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR JUNI 2017 MENCAPAI USD 1,95 MILYAR

Lebih terperinci

Sistem konektivitas pelabuhan perikanan untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan ikan

Sistem konektivitas pelabuhan perikanan untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan ikan Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Sistem konektivitas pelabuhan perikanan untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan ikan Iin Solihin 1, Sugeng Hari Wisudo 1, Joko Susanto 2 1 Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomensa globalisasi dalam bidang ekonomi mendorong perkembangan ekonomi yang semakin dinamis antar negara. Dengan adanya globalisasi, terjadi perubahan sistem ekonomi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT NOVEMBER No.72/12/32/Th.XVII, 15 Desember A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR NOVEMBER MENCAPAI US$2,03 MILYAR Nilai

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT JUNI 2016 No. 42/08/32/Th.XVIII, 01 Agustus 2016 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR JUNI 2016 MENCAPAI USD 2,48

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.668,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun keberadaan tanaman ini telah masuk hampir ke semua sektor kehidupan. Kondisi ini telah mendorong semakin meluasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan arah kebijakan pembangunan dari yang berbasis pada sumber daya terestrial ke arah sumber daya berbasis kelautan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dipicu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna mata besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan bigeye tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Alasan Utama Pemerintah Indonesia Melakukan Kerjasama Dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Alasan Utama Pemerintah Indonesia Melakukan Kerjasama Dengan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Alasan Utama Pemerintah Indonesia Melakukan Kerjasama Dengan Jepang Dalam Kerangka IJEPA Negosiasi atau perundingan IJEPA antara tim perunding Indonesia dan Jepang

Lebih terperinci

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. A. Sejarah Ringkas PT. Agung Sumatera Samudera Abadi

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. A. Sejarah Ringkas PT. Agung Sumatera Samudera Abadi BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Ringkas PT. Agung Sumatera Samudera Abadi PT. Agung Sumatera Samudera Abadi secara legalitas berdiri pada tanggal 25 Januari 1997 sesuai dengan akta pendirian perseroan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI FEBRUARI 2015

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI FEBRUARI 2015 No. 20/03/15/Th.IX, 16 Maret 2015 PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI FEBRUARI 2015 Nilai Ekspor Melalui Pelabuhan di Provinsi Jambi sebesar US$ 95,49 Juta, dan Nilai Impor sebesar US$ 9,88 Juta.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Luas Lautan Indonesia Total Indonesia s Waters a. Luas Laut Teritorial b. Luas Zona Ekonomi Eksklusif c.

I PENDAHULUAN. Luas Lautan Indonesia Total Indonesia s Waters a. Luas Laut Teritorial b. Luas Zona Ekonomi Eksklusif c. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 104.000 km serta memiliki 17.504 pulau. Wilayah laut Indonesia membentang luas

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT FEBRUARI 2017 No. 20/04/32/Th XIX, 3 April 2017 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR FEBRUARI 2017 MENCAPAI USD 2,21

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT APRIL 2017 No. 34/06/32/Th.XIX, 2 Juni 2017 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR APRIL 2017 MENCAPAI USD 2,24 MILYAR

Lebih terperinci

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU 5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU 5.1 Jenis dan Volume Produksi serta Ukuran Hasil Tangkapan 1) Jenis dan Volume Produksi Hasil Tangkapan Pada tahun 2006, jenis

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT JULI 2016 No. 51/09/32/Th.XVIII, 01 September 2016 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR JULI 2016 MENCAPAI USD 1,56

Lebih terperinci

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan Oleh : Feryanto W. K. Sub sektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian serta bagi perekonomian nasional pada

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT MARET 2017

PROVINSI JAWA BARAT MARET 2017 BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR No. 25/05/32/Th.XIX, 02 Mei 2017 PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT MARET 2017 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR MARET 2017 MENCAPAI USD 2,49 MILYAR

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI APRIL 2015

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI APRIL 2015 No. 32/05/15/Th.IX, 15 Mei PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI APRIL Nilai Ekspor Melalui Pelabuhan di Provinsi Jambi sebesar US$ 101,85 Juta, dan Nilai Impor sebesar US$ 7,81 Juta. Nilai ekspor Melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi. Kerjasama internasional justru semakin menjadi hal yang umum dan kerap dilakukan. Salah satu alasan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI MARET 2015

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI MARET 2015 No. 24/04/15/Th.IX, 15 April 2015 PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI MARET 2015 Nilai Ekspor Melalui Pelabuhan di Provinsi Jambi sebesar US$ 103,12 Juta, dan Nilai Impor sebesar US$ 10,95 Juta. Nilai

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT SEPTEMBER 2016 No. 60/11/32/Th.XVIII, 1 November 2016 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR SEPTEMBER 2016 MENCAPAI

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT MARET 2016

PROVINSI JAWA BARAT MARET 2016 BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR No.25/05/32/Th.XVIII, 02 Mei PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT MARET A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR MARET MENCAPAI US$ 2,12 MILYAR Nilai ekspor

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI 2016

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI 2016 No. 054/10/15/Th.X, 3 Oktober 2016 PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI 2016 AGUSTUS Nilai Ekspor Asal Provinsi Jambi sebesar US$ 160,46 Juta, dan Nilai Impor sebesar US$ 4,57 Juta. Nilai ekspor asal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT OKTOBER 2015

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT OKTOBER 2015 BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT OKTOBER No.68/11/32/Th.XVII, 16 November A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR OKTOBER MENCAPAI US$2,23 MILYAR Nilai

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT JULI 2017

PROVINSI JAWA BARAT JULI 2017 BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR No. 050/09/32/Th.XIX, 4 September 2017 PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT JULI 2017 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR JULI 2017 MENCAPAI USD 2,59

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT FEBRUARI No.20/32/Th.XVIII, 01 April A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR FEBRUARI MENCAPAI US$ 1,97 MILYAR Nilai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Letaknya yang secara geografis dilalui oleh garis khatulistiwa menjadikan Indonesia memiliki iklim tropis yang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Produksi Liquefied Natural Gas (LNG) LNG Indonesia diproduksi dari tiga kilang utama, yaitu kilang Arun, kilang Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PANJANG DAN ESTIMASI TOTAL TANGKAPAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN (Thunnus maccoyii) PADA MUSIM PEMIJAHAN DI SAMUDERA HINDIA

DISTRIBUSI PANJANG DAN ESTIMASI TOTAL TANGKAPAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN (Thunnus maccoyii) PADA MUSIM PEMIJAHAN DI SAMUDERA HINDIA Distribusi Panjang dan Eatimasi Total Tangkapan Tuna Sirip..di Samudera Hindia (Sulistyaningsih, R.K., et al) DISTRIBUSI PANJANG DAN ESTIMASI TOTAL TANGKAPAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN (Thunnus maccoyii)

Lebih terperinci

OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU

OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2015 OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU ISSN:

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT MEI 2016

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT MEI 2016 BPS PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN EKSPOR IMPR PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT MEI 2016 No.37/07/32/Th.XVIII, 01 Juli 2016 A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR MEI 2016 MENCAPAI US$ 2,08 MILYAR

Lebih terperinci

5 AKTIVITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

5 AKTIVITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN 5 AKTIVITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN Aktivitas pendistribusian hasil tangkapan dilakukan untuk memberikan nilai pada hasil tangkapan. Nilai hasil tangkapan yang didistribusikan sangat bergantung kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi

Lebih terperinci

MENCERMATI KINERJA TEKSTIL INDONESIA : ANTARA POTENSI DAN PELUANG

MENCERMATI KINERJA TEKSTIL INDONESIA : ANTARA POTENSI DAN PELUANG MENCERMATI KINERJA TEKSTIL INDONESIA : ANTARA POTENSI DAN PELUANG Oleh : Ermina Miranti 1 Meskipun tak putus didera masalah, hingga saat ini Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia masih memainkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung sumber daya ikan yang sangat banyak dari segi keanekaragaman jenisnya dan sangat tinggi dari

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI DESEMBER 2015

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI DESEMBER 2015 No. 07/02/16/Th.X, 1 Februari 2016 PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI DESEMBER 2015 Nilai Ekspor Asal Provinsi Jambi sebesar US$ 172,12 Juta, dan Nilai Impor sebesar US$ 16,62 Juta. Nilai ekspor

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI 2016

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI 2016 No. 23/05/16/Th.X, 2 Mei 2016 PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI 2016 MARET Nilai Ekspor Asal Provinsi Jambi sebesar US$ 155,15 Juta, dan Nilai Impor sebesar US$ 3,29 Juta. Nilai ekspor asal Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan internasional merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang memiliki peran penting bagi suatu negara. Perdagangan internasional memberikan manfaat berkaitan dengan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR Pengaruh Penggunaan Mata Pancing.. terhadap Hasil Tangkapan Layur (Anggawangsa, R.F., et al.) PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCNG GANDA PADA RAWA TEGAK TERHADAP HASL TANGKAPAN LAYUR ABSTRAK Regi Fiji Anggawangsa

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA JULI 2016

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA JULI 2016 No. 48/09/Th. VII, 1 September 2016 PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA JULI 2016 Nilai ekspor Sulawesi Tenggara pada bulan Juli 2016 tercatat US$ 11,47 juta atau mengalami peningkatan sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang di dalamnya terdapat berbagai macam potensi. Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah lautan dengan luas mencapai

Lebih terperinci

Ekspor Bulan Juni 2014 Menguat. Kementerian Perdagangan

Ekspor Bulan Juni 2014 Menguat. Kementerian Perdagangan Ekspor Bulan Juni 2014 Menguat Kementerian Perdagangan 5 Agustus 2014 1 Neraca perdagangan non migas bulan Juni 2014 masih surplus Neraca perdagangan Juni 2014 mengalami defisit USD 305,1 juta, dipicu

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR KALIMANTAN SELATAN BULAN DESEMBER 2017

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR KALIMANTAN SELATAN BULAN DESEMBER 2017 No.05/01/63/Th.XXI, 16 Januari 2017 PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR KALIMANTAN SELATAN BULAN DESEMBER 2017 EKSPOR KALIMANTAN SELATAN BULAN DESEMBER 2016 NAIK 16,22 PERSEN DAN IMPOR TURUN 23,30 PERSEN Nilai

Lebih terperinci