BAB III METODE PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III METODE PENELITIAN"

Transkripsi

1 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Permasalahan mendasar yang terjadi di dunia kehutanan diantaranya adalah kerusakan sumberdaya hutan yang tinggi sementara kapasitas masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan masih rendah. Salah satu penyebab adanya kerusakan hutan yang begitu tinggi salah satunya disebabkan oleh kegagalan kebijakan kehutanan yang tidak berpihak pada masyarakat dan juga tidak berpihak pada kelestaraian sumberdaya hutannya itu sendiri. Kondisi ini kemudian memunculkan banyak inisiatif dalam pengelolaan hutan khususnya pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM/community-based forest management) menjadi salah satu pilihan dalam sebuah sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat menuju pengelolaan hutan yang lestari. Seiring dengan perubahan tersebut, banyak LSM yang terlibat aktif dan intensif dalam mendampingi masyarakat menuju pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat. Pengembangan kapasitas dan penguatan kelembagaan masyarakat di sekitar hutan telah menjadi agenda utama dari banyak LSM Kehutanan. Pemerintah juga telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang berhubungan dengan PHBM. Kebijakan yang telah dikeluarkan diantaranya adalah Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.26/Menhut-II/2005 tentang Pemanfaatan Hutan Hak, Permenhut No. P.23/Menhut-II/2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat, Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, dan terbaru adalah Permenhut No. P.49/Menhut-II/2007 tentang Hutan Desa. Kebijakan pemerintah ini sebagai upaya untuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk memperoleh hak-haknya dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Meskipun dalam pelaksanaannnya masih menemui kendala, termasuk belum tersedianya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Selain kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, dibeberapa lokasi, misalnya di Propinsi Jambi, pemerintah daerah juga mengeluarkan sejumlah

2 peraturan desa (Perdes) maupun peraturan daerah (Perda) dan Surat Keputusan (SK) Bupati untuk memberikan sejumlah hak-hak masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutannya yang memang telah terbukti mampu menjaga hutannya. Di sisi lain, banyak LSM Kehutanan yang bergerak dalam bidang pengembangan PHBM yang bersentuhan langsung dengan suatu kawasan hutan, mempunyai keragaman program, metodologi, sebaran wilayah yang luas dan pendekatan yang berbeda-beda pula. Pada dasarnya program yang dijalankan oleh LSM Kehutanan ini yang bertujuan untuk mengembangkan institusi lokal pada tingkat masyarakat dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara adil dan berkelanjutan. Program yang dilakukan oleh LSM ini mendapatkan banyak dukungan dana dari lembaga donor, khususnya lembaga donor dari luar negeri. Bentuk dukungan yang diberikan lembaga donatur dalam program community forestry diantaranya adalah program pemberdayaan masyarakat dan program pengembangan kemitraan (partnership). Salah satu lembaga donor yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah SGPPTF UNDP yang berjalan mulai tahun Melalui program ini telah diberikan sejumlah dana kepada 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah. Tema utama SGPPTF ini adalah pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang terpadu. Program pengembangan masyarakat (community empowerment) dalam bentuk program pengembangan PHBM yang dilakukan oleh LSM Kehutanan diharapkan akan mampu meningkatkan kapasitas dan keahlian masyarakat pengelola hutan. Pengembangan PHBM ini juga diharapkan secara signifikan dapat mengurangi tekanan dan kerusakan terhadap fungsi-fungsi kelestarian sumber daya hutan yang memegang peranan sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Selain itu juga untuk membangun kapasitas dan jejaring (network) diantara pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mencapai pengelolaan hutan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasa-jasa lainnya. Namun disisi lain, kadang beberapa program yang dilakukan oleh LSM Kehutanan belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam

3 penyusunan proposal dan mekanisme monitoring dan evaluasi program misalnya, terkadang masyarakat tidak dilibatkan dari awal sehingga terjadi lack/gap antara kebutuhan masyarakat dan kepentingan LSM Kehutanan itu sendiri. Terkadang masyarakat hanya dijadikan sebagai alat justifikasi untuk memperoleh dukungan finansial dari lembaga donor. Untuk itu, yang patut diperhatikan adalah bahwa seluruh program yang diusung oleh LSM Kehutanan seharusnya merupakan program yang memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Ini berarti bahwa selama rangkaian proses kegiatan dalam suatu program selalu melibatkan peran aktif dari masyarakat sebagai penerima manfaat (beneficiaries), mulai dari analisis sosial, penyusunan proposal, sampai dengan monitoring dan evaluasi program. Rangkaian kegiatan ini berkaitan dengan keberlanjutan program yang akan memberikan dampak langsung terhadap masyarakat. Apabila program yang dilakukan LSM telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat maka diharapkan masyarakat akan mampu mengelola hasil program itu sendiri tanpa adanya ketergantungan pendanaan dari lembaga pendampingnya maupun dari lembaga donor (funding agency). Upaya LSM untuk mendapatkan pengakuan dan kepercayaan publik tidak cukup dengan menyumbang pada atau bekerjasama dengan konstituennya. Ada hal lain yang sangat esensial bagi LSM untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, yaitu LSM harus berusaha mempertanggungjawabkan apa yang sudah dan akan dilakukan dengan transparan ke publik. Upaya ini dilakukan dalam rangka menuju pengelolaan hutan yang lestari dan kapasitas masyarakat meningkat. Dalam penelitian ini, indikator-indikator penilaian kinerja yang dikembangkan oleh Yayasan Tifa (2006) akan dijadikan sebagai acuan dalam melakukan penilaian kinerja LSM. Ukuran kinerja akan menilai 6 elemen utama, yaitu elemen Visi dan Misi, elemen Program, elemen Tata Laksana, elemen Administrasi, elemen Keuangan, dan elemen Legitimasi. Melalui indikator ini dapat ditentukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakukan peningkatan kapasitas lembaga hingga bisa menjadi sebuah lembaga yang yang mempunyai kinerja lebih baik.

4 Untuk melihat peran LSM dalam program PHBM terkait dengan pendekatan dengan masyarakat, dilakukan metode analisis pengembangan institusi lokal (Afiff, 2007). Ada empat dimensi institusi yang dikembangkan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan PHBM, yaitu: (1) pengaturan tata kuasa dan tata guna lahan, (2) pengaturan tata produksi, dan (3) pengaturan tata konsumsi. Untuk itu, penelitian ini mempunyai nilai penting dalam merumuskan pengembangan strategi dan program LSM Kehutanan dalam pengembangan PHBM di Indonesia melalui penilaian peran LSM sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dan hutannya. Karena peran LSM sangat penting dalam konteks pendampingan dan advokasi, maka bila kinerja LSM baik dan selalu meningkat maka harapannya akan menuju tujuan utama yaitu pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang lestari dan masyarakat sejahtera. Pada Gambar 1 dapat dilihat kerangka pemikiran penelitian penilaian kinerja LSM dalam program PHBM.

5 Paradigma Lama State-based forest management Kebijakan pemerintah yang pro pengusaha besar (HPH dan HTI) Konsep hutan dan masyarakat terpisah Mengutamakan kepentingan ekonomi Eksploitasi besar-besaran Akibatnya: Hutan rusak dan tidak lestari Tidak diakuinya kearifan lokal Konflik pemanfaatan sumberdaya hutan Tidak ada partisipasi masyarakat Kapasitas dan kelembagaan masyarakat lemah Munculnya Paradigma Baru Community-based forest management (PHBM) Tujuan: Hutan lestari dan masyarakat sejahtera Hutan dan masyarakat tidak terpisah Menumbuhkan kembali kearifan lokal Resolusi konflik Meningkatkan kapasitas dan kelembagaan masyarakat Kebijakan Pemerintah Masyarakat pengelola hutan LSM: agen perubahan dan lembaga pendorong hutan lestari dan masyarakat sejahtera Lembaga Donor Analisis Kinerja dan Analisis Pengembangan Institusi Lokal Strategi Peningkatan Peran LSM dalam program PHBM 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

6 Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan Peneliti yang selama ini bekerja dan bersentuhan langsung dengan LSM-LSM pendamping masyarakat dalam mempromosikan PHBM di Indonesia. Peneliti juga pernah menjabat sebagai Project Manager untuk Program Development Facilities (PDF) pada SGP PTF - UNDP kerjasama dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) pada tahun dengan tema Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat yang Terpadu di 25 LSM Kehutanan Indonesia untuk region Jawa, region Sumatera dan region Sulawesi (lihat Lampiran 1). Penelitian ini difokuskan pada beberapa LSM yang mendapatkan dana dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) yang didukung oleh Komisis Eropa (European Commission/EC) melalui program SGPPTF di Indonesia pada periode Melalui program ini telah diberikan sejumlah dana kepada 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah. Tema utama SGPPTF ini adalah pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang terpadu. Pemilihan responden terpilih didasarkan pada beberapa kriteria diantaranya adalah pola pendampingan oleh LSM Kehutanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat sekitar hutan; mengangkat isu konservasi, pendampingan teknis (technical assistant), dan advokasi; isu yang diangkat bersifat khas dan fokus pada isu lokalitas, dan wilayah kerjanya berada di hutan negara dan/atau hutan milik. Hasil identifikasi terhadap 25 LSM Kehutanan yang menjadi mitra SGP PTF UNDP menghasilkan beberapa kategori LSM berdasarkan isu pokok yang diangkat oleh LSM, yaitu konservasi (3 LSM), pendampingan teknis (6 LSM), advokasi (11 LSM), dan penelitian (3 LSM). Terdapat 2 kelompok tani yang tidak digolongkan ke dalam terminologi LSM. LSM yang melakukan kegiatan penelitian tidak djadikan sebagai sampel karena tidak sesuai dengan kriteria pemilihan sampel, termasuk 2 KTH yang dikategorikan bukan sebagai LSM tetapi organisasi rakyat. Pemilihan sampel ini diambil melalui metode stratified sampling yang artinya mengelompokkan populasi ke dalam beberapa kelompok yang lebih kecil, kemudian disampel secara acak dari kelompok-kelompok tersebut untuk kategori

7 konservasi, pendampingan teknis, dan advokasi masing-masing sebanyak 3 LSM. Pemilihan sampel ini juga didasarkan pada keterwakilan dari beberapa LSM yang mempunyai isu pokok yang sama. Jumlah sampel yang dipilih adalah sebanyak 9 LSM yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Lampung (Tabel 1). Tabel 1. Identifikasi LSM Kehutanan yang Menjadi Fokus Penelitian No Isu Pokok Nama LSM Wilayah Fokus proyek 1 LPPSP Jawa Tengah Konservasi di sabuk hijau mangrove 2 Konservasi Lembah Jawa Timur Konservasi di lahan milik dan hutan lindung 3 Mitra Bentala Lampung Konservasi mangrove di hutan lindung 4 Persepsi Jawa Tengah Sertifikasi ekolabel di lahan milik 5 Pendampingan teknis Paramitra Jawa Timur Pola kemitraan di lahan milik dan hutan produksi 6 SHK Lestari Lampung Ekowisata di Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman 7 YBL Masta Jawa Tengah Advokasi tanah simpen di hutan produksi 8 Advokasi RMI Jawa Barat Advokasi masyarakat adat di Taman Nasional Gunung Salak-Halimun 9 Watala Lampung Advokasi hutan kemasyarakatan di hutan lindung Sumber: Diolah dari proposal 25 LSM yang menjadi mitra SGP PTF UNDP periode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November Desember 2008 di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui faktor yang memperngaruhi kinerja LSM Kehutanan. Target ditentukan berdasarkan penilaian indikator pada ukuran kinerja LSM. Analisis kuantitatif digunakan dalam pembobotan yang menggunakan metode penilaian skor (scoring criteria) untuk setiap indikator. Hasil pembobotan digunakan untuk menentukan kinerja LSM dalam program PHBM Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan, diolah dan dianalisis diantaranya adalah:

8 a. Data primer Data ini diperoleh dengan melakukan survei kuantitatif dan survei kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil pengisian kuesioner yang diisi oleh LSM Kehutanan. Sedangkan untuk data kualitatif akan dilakukan melalui 2 tahap, yaitu : Tahap 1. Melakukan wawancara dan focus group discussion (FGD) dengan pimpinan dan staf di 9 LSM Kehutanan terpilih serta melakukan wawancara dengan beberapa tokoh LSM di Indonesia untuk memperkaya data dan informasi, bila diperlukan. Tahap 2. Melakukan wawancara dan focus group discussion (FGD) dengan masyarakat sebagai kelompok sasaran (target goups) dan penerima manfaat (beneficiaries) dari proyek yang dilakukan oleh 9 LSM Kehutanan yang mendampingi masyarakat. b. Data skunder Data ini diperoleh melalui 2 tahap, yaitu: Tahap 1. Identifikasi fokus proyek dari 25 LSM Kehutanan yang menjadi mitra SGPPTF UNDP periode Tahap 2. Melakukan verifikasi dari dokumen-dokumen baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan oleh 9 LSM Kehutanan terpilih. Untuk lebih jelasnya jenis dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 2.

9 Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Penelitian No Elemen 1 Visi dan Misi 2 Tata Laksana 3 Administrasi 4 Program 5 Pengelolaan Keuangan 6 Legitimasi Data Primer Observasi dan FGD/wawancara dengan pimpinan dan staf Observasi dan FGD/wawancara dengan pimpinan dan staf, wawancara dengan stakeholders, dan wawancara dengan target group Observasi dan FGD/wawancara dengan pimpinan dan staf Observasi dan FGD/wawancara dengan pimpinan dan staf Jenis dan Sumber Data Data Skunder Dokumen struktur organisasi, review dokumen, AD/ART, risalah rapat, dan peraturan organisasi Dokumen struktur organisasi, review dokumen, AD/ART, risalah rapat, peraturan organisasi, pola rekruitmen terbuka (iklan, mailing list), laporan tahunan keuangan dan program, newsletter, website atau home page, dokumen hasil pertemuan, dokumen hasil pengawasan pihak eksternal (laporan audit, monev, dll.) AD/ART, risalah rapat, peraturan organisasi, konfirmasi, cross check antara dokumen (struktur organisasi, uraian tugas personel), observasi, website atau home page, dokumentasi personalia, peraturan personalia, iklan dan mailing list, dan review dokumen Review dokumen tentang Visi-Misi- Tujuan dan program, laporan media massa, dokumen peta analisis isu dan analisis stakeholder program, dokumen perencanaan, Annual report, Project report, biodata staf, laporan keuangan, laporan visitasi/evaluasi, laporan program, laporan keuangan, laporan audit, dokumen hasil Monev, dan instrumen Monev Dokumen rencana keuangan, dokumen anggaran, dokumen peraturan organisasi, dokumen rencana keuangan, dokumen informasi keuangan, hasil audit keuangan oleh pihak ketiga, dokumen laporan keuangan, fundraising plan, daftar donatur, dokumen kebijakan, dan peraturan organisasi Undangan, hasil kunjungan untuk riset, pengaduan masyarakat, surat permintaan dampingan, publikasi media, keterlibatan dalam pengambilan keputusan publik dan konsultansi

10 3.5. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data Analisis Kinerja Penentuan Elemen Kinerja Penentuan elemen kinerja LSM Kehutanan didasarkan pada alat ukur (tools) yang telah dikembangkan oleh Tifa (2006). Tools ini berisi 6 elemen yang dapat dijadikan sebagai elemen penilaian kinerja LSM, yaitu: 1. Elemen Visi Misi dan Tujuan Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu orientasi visi dan misi, proses perumusan visi dan misi, fungsi visi dan misi dalam kaitannya dengan program PHBM, dan konsistensi dalam melaksanakan visi dan misi. 2. Elemen Tata Laksana (Governance) Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu mekanisme pengambilan keputusan internal, mekanisme pertanggungjawaban kepada publik, dan aksesibilitas laporan tahunan. 3. Elemen Administrasi Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu tugas dan tanggung jawab staf, kompetensi pelaksana proyek, program pengembangan kapasitas, pendokumentasian data dan informasi, kemudahan mengakses data dan informasi, sistem perekrutan, dan evaluasi kinerja staf. 4. Elemen Program Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu perencanaan program yang sesuai dengan persoalan yang terjadi di masyarakat, terintegrasinya program PHBM dengan program yang lain, adanya perencanaan strategis yang disusun secara partisipatif, adanya identifikasi dan akses terhadap sumberdaya yang diperlukan terkait dengan program, kesesuaian perencanaan dengan proses pelaksanaan, penerima manfaat program, metodologi pelaksanaan program, pelibatan para pihak dalam program, dampak program, adanya mekanisme monitoring dan evaluasi program, adanya alat bantu pelaksanaan monitoring dan evaluasi program, adanya keterlibatan masyarakat

11 dalam monitoring dan evaluasi, adanya tindak lanjut dari monitoring dan evaluasi program, dan efektifitas hasil evaluasi. 5. Elemen Pengelolaan Keuangan Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu sumber pendanaan program, mekanisme pertanggungjawaban keuangan, strategi penggalangan dana, adanya upaya diversifikasi sumberdaya, dan adanya sumber dana abadi. 6. Elemen Legitimasi Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu diseminasi gagasan kepada publik, kepercayaan masyarakat terhadap LSM, dan dukungan masyarakat terhadap LSM Melalui penilaian terhadap indikator ini maka dapat ditentukan tindakantindakan yang diperlukan dalam bentuk rekomendasi untuk melakukan peningkatan kapasitas dan kinerja LSM dalam melaksanakan program PHBM menuju PHBML dan masyarakat sejahtera Pembobotan Elemen Kinerja Untuk menentukan bobot terhadap setiap elemen dan indikator kinerja dari masing-masing LSM maka dilakukan dengan penilaian dalam kuesioner. Penentuan bobot dilakukan pada setiap LSM pada lembar penilaian masingmasing dalam sebuah kuesioner. Nilai setiap indikator yang dilakukan pembobotan menunjukkan tingkat pencapaian kinerja LSM tersebut. Setiap LSM akan dinilai berdasarkan 3 skala intensitas atau level untuk setiap indikatornya (Tifa, 2006), yaitu: 1. Level 1 atau Kurang (K), jika setiap indikator yang sedang dinilai belum dapat dipenuhi ataupun potensinya sangat rendah untuk dapat dipenuhi dalam jangka waktu yang relatif singkat; 2. Level 2 atau Cukup (C), jika setiap indikator yang sedang dinilai dapat terpenuhi meskipun masih diperlukan sejumlah upaya untuk pemeliharaan dan keberlanjutannya secara tetap dan terus menerus; 3. Level 3 atau Baik (B), jika setiap indikator yang sedang dinilai dapat secara optimal terpenuhi dan menunjukan adanya potensi untuk pemeliharaan dan keberlanjutannya secara tetap atau terus menerus.

12 Bila terdapat LSM yang berada dalam kondisi di antara dua level (misalnya antara level 1 atau Jelek dan 2 atau Cukup), maka penilaian dilakukan pada kondisi yang paling mendekati diantara dua level tersebut. Dalam penelitian ini, setiap indikator mempunyai bobot yang sama. Kinerja LSM dinilai dari pembobotan setiap elemen yang diperoleh dengan menentukan nilai setiap indikator terhadap jumlah nilai secara keseluruhan indikator. Penilaian secara menyeluruh ini mengacu pada rumus dalam metode pengambilan keputusan sertifikasi PHBML yang dikembangkan oleh LEI yang diatur dalam Pedoman LEI tentang Pedoman Pengambilan Keputusan Sistem Sertifikasi PHBML (LEI, 2001) yaitu: 1. Kinerja yang baik, jika B 50% x n dan C 25% x n 2. Kinerja yang cukup baik, jika B 25% x n dan C 50% x n 3. Kinerja yang kurang baik, jika selain yang diatas. dimana: B = jumlah indikator yang mendapatkan nilai baik (level 3) C = jumlah indiaktor yang mendapatkan nilai cukup (level 2) n = jumlah indikator Penilaian ini akan menentukan bentuk rumusan rekomendasi dan strategi ke depan yang diperlukan bagi peningkatan kinerja setiap LSM. Melalui peningkatan kinerja LSM dalam program pengembangan PHBM diharapkan dapat memberikan dampak positif yang signifikan dan manfaat yang besar bagi PHBM dan masyarakatnya. Pemerintah seharusnya juga dapat berperan dalam program PHBM ini. Peran pemerintah juga diharapkan dapat mendukung program PHBM yang dilakukan oleh LSM. Pola kemitraan dan dukungan dari semua pihak sangat diharapkan untuk mewujudkan PHBM yang lestari dan masyarakat sejahtera.

13 Analisis Model Pengembangan Institusi Lokal Penelitian ini juga menggunakan analisis model pengembangan institusi lokal yang dikembangkan oleh Afiff (2007). Pengertian institusi dalam konsep ini bukan hanya dalam pengertian umum yang berarti organisasi atau lembaga. Institusi yang dimaksud disini merupakan semua aturan baik formal maupun informal yang digunakan dan dipraktekkan oleh masyarakat di suatu tempat yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Menurut Ostrom (1990), dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, aturan-aturan ini mengatur siapa yang berhak untuk membuat keputusan tentang pemanfaatan dan pengelolaan, apa saja aktivitas yang diperbolehkan dan tidak boleh dilakukan, aturan mana saja yang akan digunakan, dan bagaimana seseorang dapat memperoleh akses terhadap sumberdaya tertentu. Berdasarkan Afiff (2007), terdapat empat dimensi institusi yang dikembangkan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang berbasis masyarakat. Empat dimensi tersebut adalah: 1. Pengembangan institusi yang terkait dengan pengaturan tata kuasa tenurial dan tata guna lahan. Adanya kepastian akan akses dan kontrol terhadap lahan dan sumberdaya hutan merupakan isu yang paling banyak diangkat dalam program yang mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Adanya kepastian akses atau pengusahaan adalah salah satu prasyarat penting dalam pengelolaan hutan yang lestari. Tumpang tindih penguasaan antara lain merupakan penyebab dari adanya ketidakpastian tenurial pada wilayah yang dikelola oleh masyarakat. Ketidakpastian penguasaan tenurial dan akses masyarakat terhadap hutan seringkali dilihat sebagai salah satu alasan mengapa masyarakat seringkali tidak terlalu antusias untuk mencari strategi pengelolaan sumberdaya alam untuk tujuan jangka panjang.

14 2. Pengembangan institusi yang terkait dengan tata produksi Ketika kepastian tenurial dapat diperoleh masyarakat, maka tantangan selanjutnya adalah mengembangkan institusi yang terkait dengan penataan produksi. Terdapat dua level strategi pengembangan yang perlu dipikirkan yaitu: (i) strategi pengembangan tata produksi pada tingakt kelompok atau komunitas, dan (ii) strategi pengembangan tata produksi pada tingkat rumah tangga. Dua strategi ini jelas saling terkait. Strategi tata produksi pada tingkat kelompok atau komunitas pada dasarnya adalah mencari bentuk usaha bersama yang melibatkan semua anggota kelompok. Sementara untuk strategi pengembangan tata produksi pada tingkat rumah tangga petani, pendekatan yang banyak didorong oleg LSM pada komunitas di sekitar hutan adalah dengan cara mendorong tumbuhnya jenis-jenis usaha ekonomi rumah tangga yang bertujuan untuk menurangi ketergantungan petani pada hutan. 3. Pengembangan institusi yang terkait dengan tata konsumsi. Perubahan pola konsumsi umumnya berpengaruh besar pada cara masyarakat menilai sumberdaya alam ini. Dengan semakin pentingnya mata uang dalam kehidupan masyarakat di pedesaan, maka sedikit banyak juga berpengaruh pada cara ereka menilai dan memaknai sumberdaya alam yang mereka miliki atau kelola. Tanah atau lahan pertanian atau hutan pada awalnya bukanlah komoditi ekonomi bagi masyarakat pedesaan. Dengan adanya perubahan nilai ini, maka tanah atau lahan sekarang berubah menjadi komoditi yang mempunyai nilai ekonomis sehingga menjadi objek jual beli. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi ini biasanya akan mendorong adanya peningkatan ekspoitasi dari sumberdaya alam yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya dan keberlangsungan pelayanan alam dari ekosistem hutan buat masyarakat itu sendiri. Upaya dan strategi pengembangan institusi di tingkat lokal pada dasarnay dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu kondisi fisik dan sumberdaya alam setempat; faktor-faktor ekonomi politik pada tingkat internasional, nasional, dan daerah; serta faktor dinamika sosial dan politik lokal.

15 Pengembangan institusi di tingkat lokal dengan berbagai faktor yang mempengaruhi tersebut bertujuan untuk mencapai pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini. Konteks Ekonomi Politik di Tingkat Internasional Nasional - Daerah Pengaturan Tata Kuasa Tenurial Masyarakat Desa Karakteristik Fisik dan Sumberdaya Alam Setempat Pengaturan Tata Guna Lahan Pengaturan Tata Produksi Pengembangan Institusi Lokal Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan dan Berkeadilan Sosial Pengaturan Tata Konsumsi Kelompok/ Komunitas Dinamika Sosial dan Politik Lokal Gambar 2. Kerangka Konseptual Pengembangan Institusi Lokal (Afiff,2007)

16 Metode Perancangan Program Metode perancangan program yang digunakan adalah melalui pendekatan Logical Framework Approach (LFA). Menurut Tonny (2007), LFA merupakan sebuah alat manajemen dan perencanaan dengan menggunakan teknik visualisasi yang mampu membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses perencanaan dan pengelolaan program. Melalui metode ini dapat dirumuskan tujuan-tujuan secara jelas sehingga ikut mendorong tercapainya pengambilan keputusan saat ada pendapat dan harapan berbeda dari stakeholders. Metode ini juga dapat digunakan untuk menyusun informasi secara sistematik serta dapat menghasilkan sebuah rancangan program yang konsisten dan realistis. Langkah-langkah dalam penyusunan LFA adalah: 1. Analisis Masalah Melakukan analisis terhadap masalah inti yang dihadapi dalam peningkatan peran LSM dalam program PHBM. Pada bagian ini dibahas penyebab dan akibat utama dan langsung terjadinya masalah inti. 2. Analisis Tujuan Melakukan analisis terhadap rumusan negatif dan analisis masalah menjadi keadaan positif yang layak. Pada tahap ini dianalisis pada tingkattingkat yang lebih rendah serta yang mencerminkan tindakan yang cukup operasional. 3. Matrik Perencanaan Proyek Membuat matrik perencanaan proyek yang menyajikan sebuah ringkasan sistematik yang memperhatikan kaitan-kaitan antara berbagai komponen proyek dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. 4. Rencana Pelaksanaan Rencana pelaksanaan adalah pedoman kerja yang secara rinsi mengalokasikan waktu, personil, dan sarana yang diperlukan untuk melaksanakan semua kegiatan proyek. 5. Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi (monev) adalah upaya yang harus dilakukan secara terus-menerus maupun berkala untuk menjaga agar pelaksanaan proyek sesuai dengan rencana-rencana yang telah ditetapkan. Hasil-hasil monev

17 menjadi dasar penyesuaian rencana-rencana pada tahap-tahap pelaksanaan selanjutnya. Kerangka LFA dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini. Peran LSM Rencana Program Monitoring dan Evaluasi Matrik Perencanaan Program Analisis Perumusan Strategi Analisis Tujuan Analisis Masalah Gambar 3. Diagram Alur Metode Logical Framework Approach (LFA)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan sumberdaya alam hayati yang tinggi baik dalam jumlah maupun keanekaragamannya. Dalam hal ini Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LSM

BAB IV GAMBARAN UMUM LSM 4.1. Sejarah Berdirinya LSM BAB IV GAMBARAN UMUM LSM Sejarah berdirinya 9 LSM yang menjadi fokus penelitian ini menunjukkan beragam dengan rentang waktu antara tahun 1978 sampai tahun 2003. Berdirinya

Lebih terperinci

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS 8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM dalam Program PHBM Peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM belum sepenuhnya diikuti dengan terciptanya suatu sistem penilaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pepohonan dan tumbuhan lainnya. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN. pepohonan dan tumbuhan lainnya. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2012 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEHUMASAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

LOGICAL FRAMEWORK ANALYSIS (LFA) KONSIL LSM INDONESIA HASIL PERENCANAAN STRATEGIS MARET 2011

LOGICAL FRAMEWORK ANALYSIS (LFA) KONSIL LSM INDONESIA HASIL PERENCANAAN STRATEGIS MARET 2011 LOGICAL FRAMEWORK ANALYSIS (LFA) KONSIL LSM INDONESIA HASIL PERENCANAAN STRATEGIS MARET 2011 GOAL/IMPACT TINGKATAN TUJUAN/HASIL INDIKATOR SUMBER VERIFIKASI ASUMSI Meningkatnya akuntabilitas, peran dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai Studi Kelayakan Hutan Rakyat Dalam Skema Perdagangan Karbon dilaksanakan di Hutan Rakyat Kampung Calobak Desa Tamansari, Kecamatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di banyak negara berkembang pada umumnya ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN PELAKSANAAN EVALUASI AKHIR PROGRAM MITRA TFCA- SUMATERA PADA SIKLUS HIBAH 1

KERANGKA ACUAN PELAKSANAAN EVALUASI AKHIR PROGRAM MITRA TFCA- SUMATERA PADA SIKLUS HIBAH 1 KERANGKA ACUAN PELAKSANAAN EVALUASI AKHIR PROGRAM MITRA TFCA- SUMATERA PADA SIKLUS HIBAH 1 1. PENDAHULUAN Program TFCA- Sumatera merupakan program hibah bagi khususnya LSM dan Perguruan Tinggi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul : Jenis Kegiatan : Adaptasi dan Ketangguhan A. Informasi Kegiatan A.1.

Lebih terperinci

MENGUKUR TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS LSM

MENGUKUR TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS LSM MENGUKUR TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS LSM Suatu Metode Partisipatif Edisi Revisi* Daftar Isi Daftar Isi Kata Pengantar i ii Petunjuk Penggunaan Instrumen 1 Penilaian Akuntabilitas dan Transparansi LSM

Lebih terperinci

Kasus Pengelolaan Kolaboratif Hutan: Small Grant Programme for the Promotion of Tropical Forest (SGP PTF)

Kasus Pengelolaan Kolaboratif Hutan: Small Grant Programme for the Promotion of Tropical Forest (SGP PTF) Kasus Pengelolaan Kolaboratif Hutan: Small Grant Programme for the Promotion of Tropical Forest (SGP PTF) Soeryo Adiwibowo Tujuan SGP PTF Bekerja sebagai katalis untuk mempromosikan pengelolaan sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan aset nasional, bahkan aset dunia yang harus dipertahankan keberadaannya secara optimal. Menurut Undang-Undang No.41 Tahun

Lebih terperinci

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul: Jenis Kegiatan: Mitigasi Berbasis Lahan A. Informasi Kegiatan A.1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

Penilaian Kapasitas Organisasi

Penilaian Kapasitas Organisasi Penilaian Kapasitas Organisasi Lembar Penilaian Nama Organisasi: Alamat: Visi dan Misi: Aktivitas Utama: Tanggal Penilaian: Penilai: Skala Pemeringkatan 0 Tidak dapat diterapkan atau tidak tersedia cukup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Page 1

BAB I PENDAHULUAN. Page 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rencana Kerja (Renja) SKPD merupakan dokumen perencanaan dan pendanaan yang berisi program dan kegiatan SKPD sebagai penjabaran dari RKPD dan Renstra SKPD dalam satu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA 7.1 Kerangka Umum Analytical Network Process (ANP) Prioritas strategi pengembangan TN Karimunjawa ditetapkan berdasarkan pilihan atas variabel-variabel

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN MODEL PENELITIAN

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN MODEL PENELITIAN BAB II TELAAH PUSTAKA DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Telaah Pustaka 2.1.1 Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), sebagaimana dimaksud

Lebih terperinci

Rencana Strategis (RENSTRA)

Rencana Strategis (RENSTRA) Rencana Strategis (RENSTRA) TAHUN 2014-2019 PEMERINTAH KABUPATEN GARUT DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN TAHUN 2014 Rencana Strategis (RENSTRA) TAHUN 2014-2019 DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990)

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada paradigma kehutanan sosial, masyarakat diikutsertakan dan dilibatkan sebagai stakeholder dalam pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai seorang buruh melainkan

Lebih terperinci

KRITERIA COMMUNITY DEVELOPMENT

KRITERIA COMMUNITY DEVELOPMENT KRITERIA COMMUNITY DEVELOPMENT COMMUNITY DEVELOPMENT Kebijakan Community Development 1. Terdapat kebijakan tertulis mengenai pengembangan masyarakat di unit yang dinilai (2) 2. Terdapat sistem tata kelola

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kota Bandar Lampung sebagai pusat perdagangan, industri, dan pariwisata.

IV. GAMBARAN UMUM. Kota Bandar Lampung sebagai pusat perdagangan, industri, dan pariwisata. 59 IV. GAMBARAN UMUM A. Kota Bandar Lampung Kota Bandar Lampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung. Oleh karena itu selain merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial, politik, pendidikan dan kebudayaan,

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KEARSIPAN DAN PERPUSTAKAAN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA Nomor : / BAP-I/IV/2011 TENTANG

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KEARSIPAN DAN PERPUSTAKAAN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA Nomor : / BAP-I/IV/2011 TENTANG Jalan Panji No. 70 Kelurahan Panji Telp. (0541) 661322. 664977 T E N G G A R O N G 75514 KEPUTUSAN KEPALA BADAN KEARSIPAN DAN PERPUSTAKAAN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA Nomor : 600.107/ BAP-I/IV/2011 TENTANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pembangunan bidang sanitasi di berbagai daerah selama ini belum menjadi prioritas, sehingga perhatian dan alokasi pendanaan pun cenderung kurang memadai. Disamping

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mempunyai arti strategis bagi pembangunan semua sektor, baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru

Lebih terperinci

PANDUAN BANTUAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT TAHUN ANGGARAN 2017

PANDUAN BANTUAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT TAHUN ANGGARAN 2017 PANDUAN BANTUAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT TAHUN ANGGARAN 2017 SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS TAHUN 2017 PROGRAM BANTUAN DANA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT STAIN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2017 A.

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pendekatan Konsep yang diajukan dalam penelitian ini adalah konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu secara partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders yang

Lebih terperinci

PEMUTAKHIRAN SSK LAMPUNG TIMUR Tahun 2016

PEMUTAKHIRAN SSK LAMPUNG TIMUR Tahun 2016 Created on 10/3/2016 at 9:8:38 Page 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Untuk memenuhi target pembangunan sektor sanitasi, yang meliputi pengelolaan air limbah domestik, pengelolaan persampahan, dan

Lebih terperinci

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 4.1 SASARAN DAN ARAHAN PENAHAPAN PENCAPAIAN Sasaran Sektor Sanitasi yang hendak dicapai oleh Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut : - Meningkatkan

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI BENGKULU 2015

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI BENGKULU 2015 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI BENGKULU 2015 No. 46/08/17/III, 3 Agustus 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI BENGKULU 2015 SEBESAR 73,60 DALAM SKALA 0 SAMPAI 100, ANGKA INI NAIK DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia. Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia. Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan sekuritas di Indonesia. Dahulu terdapat dua bursa efek di Indonesia, yaitu

Lebih terperinci

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 1. Apakah TFCA Kalimantan? Tropical Forest Conservation Act (TFCA) merupakan program kerjasama antara Pemerintah Republik

Lebih terperinci

Proyek GCS- Tenurial. Kepastian tenurial bagi masyarakat sekitar hutan. Studi komparasi global ( )

Proyek GCS- Tenurial. Kepastian tenurial bagi masyarakat sekitar hutan. Studi komparasi global ( ) Proyek GCS- Tenurial Kepastian tenurial bagi masyarakat sekitar hutan Studi komparasi global (2014-2016) Pendahuluan Dalam beberapa tahun terakhir ini, reformasi tenurial sektor kehutanan tengah menjadi

Lebih terperinci

PELAYANAN INFORMASI PUBLIK

PELAYANAN INFORMASI PUBLIK KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM REPUBLIK INDONESIA UNIT PELAYANAN INFORMASI PUBLIK PPID RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PELAYANAN INFORMASI PUBLIK BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu prasyarat penting

Lebih terperinci

NAMA JABATAN : KASUBPOKJA PERENCANAAN PROGAM DAN ANGGARAN ATASAN LANGSUNG : KAPOKJA PERENCANAAN ANGGARAN DAN HUKUM

NAMA JABATAN : KASUBPOKJA PERENCANAAN PROGAM DAN ANGGARAN ATASAN LANGSUNG : KAPOKJA PERENCANAAN ANGGARAN DAN HUKUM Lampiran I Pengumuman Nomor : Tanggal : NAMA JABATAN : KASUBPOKJA PERENCANAAN PROGAM DAN ANGGARAN ATASAN LANGSUNG : KAPOKJA PERENCANAAN ANGGARAN DAN HUKUM Tugas dan Fungsi : Melakukan Penyiapan koordinasi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1230, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Kelompok Tani Hutan. Pembinaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.57/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN KELOMPOK

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Sanitasi di Indonesia telah ditetapkan dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMPN) tahun 2005 2025 Pemerintah Indonesia. Berbagai langkah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

Lebih terperinci

Komite Penasihat Pemangku Kepentingan (SAC) terhadap Kebijakan Pengelolaan Hutan Keberlanjutan (SFMP 2.0) APRIL

Komite Penasihat Pemangku Kepentingan (SAC) terhadap Kebijakan Pengelolaan Hutan Keberlanjutan (SFMP 2.0) APRIL Komite Penasihat Pemangku Kepentingan (SAC) terhadap Kebijakan Pengelolaan Hutan Keberlanjutan (SFMP 2.0) APRIL Rapat SAC ke-10 di Pangkalan Kerinci, Riau - Indonesia, 23-25 Mei 2017 ANGGOTA SAC TURUT

Lebih terperinci

BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI SANITASI. 6.1 Gambaran Umum Struktur Pemantauan dan Evaluasi Sanitasi

BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI SANITASI. 6.1 Gambaran Umum Struktur Pemantauan dan Evaluasi Sanitasi BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI SANITASI 6.1 Gambaran Umum Struktur Pemantauan dan Evaluasi Sanitasi Strategi Sanitasi Kota (SSK) merupakan alat manajemen untuk meningkatkan transparansi perencanaan dan

Lebih terperinci

BAB V STRATEGI MONITORING DAN EVALUASI

BAB V STRATEGI MONITORING DAN EVALUASI STRATEGI SANITASI KABUPATEN 2013-2017 BAB V STRATEGI MONITORING DAN EVALUASI Monitoring evaluasi merupakan pengendalian yakni bagian tidak terpisahkan dari upaya mewujudkan tujuan yang akan dicapai. Monitoring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara, antara lain untuk menciptakan kesejahteraan

Lebih terperinci

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI TATA KELOLA SUMBERDAYA ALAM DAN HUTAN ACEH MENUJU PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN DAN RENDAH EMISI VISI DAN MISI PEMERINTAH ACEH VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN

Lebih terperinci

USULAN PENDEKATAN DAN METODOLOGI RENCANA KERJA DAN JADWAL KEGIATAN CALON TENAGA AHLI PEMASARAN PARTISIPATIF

USULAN PENDEKATAN DAN METODOLOGI RENCANA KERJA DAN JADWAL KEGIATAN CALON TENAGA AHLI PEMASARAN PARTISIPATIF USULAN PENDEKATAN DAN METODOLOGI RENCANA KERJA DAN JADWAL KEGIATAN CALON TENAGA AHLI PEMASARAN PARTISIPATIF Nama Alamat : Ronggo Tunjung Anggoro, S.Pd : Gendaran Rt 001 Rw 008 Wonoharjo Wonogiri Wonogiri

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI KAJIAN

III. METODOLOGI KAJIAN 21 III. METODOLOGI KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran. Peran humas dalam memberikan informasi kepada masyarakat tentunya memerlukan strategi yang mengacu kepada prinsip masyarakat. Artinya respons masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kalimantan. Barat Tahun 2016

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kalimantan. Barat Tahun 2016 Indeks Demokrasi Indonesia Provinsi Kalimantan Barat 2016 No. 56/10/61/Th. XX, 2 Oktober 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN BARAT Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kalimantan Barat

Lebih terperinci

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur 1. Visi dan Misi Provinsi Jawa Timur Visi Provinsi Jawa Timur : Terwujudnya Jawa Timur Makmur dan Berakhlak dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Misi Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM Latar Belakang Respon penanggulangan HIV dan AIDS yang ada saat ini belum cukup membantu pencapaian target untuk penanggulangan HIV dan AIDS

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KALIMANTAN TENGAH TAHUN

RENCANA STRATEGIS BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KALIMANTAN TENGAH TAHUN RENCANA STRATEGIS BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2010 2014 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BALAI PENGKAJIAN

Lebih terperinci

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul: Jenis Kegiatan: Mitigasi Berbasis Lahan A. Informasi Kegiatan A.1.

Lebih terperinci

LAPORAN KOMISI INFORMASI PROVINSI JAWA BARAT Tahun 2012

LAPORAN KOMISI INFORMASI PROVINSI JAWA BARAT Tahun 2012 LAPORAN KOMISI INFORMASI PROVINSI JAWA BARAT Tahun 2012 Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat pada awal Tahun 2012 telah melaksanakan pertemuan internal membahas rencana strategis (Renstra) 2011-2015 dan

Lebih terperinci

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Platform Bersama Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global Kami adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages

DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages Baseline Study Report Commissioned by September 7, 2016 Written by Utama P. Sandjaja & Hadi Prayitno 1 Daftar Isi Daftar Isi... 2 Sekilas Perjalanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sosial dan lingkungan (profit-people-planet), kini semakin banyak

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sosial dan lingkungan (profit-people-planet), kini semakin banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan arti keseimbangan antar aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (profit-people-planet), kini semakin banyak perusahaan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peran Perempuan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Hutan memiliki kedekatan hubungan dengan masyarakat disekitarnya terkait dengan faktor ekonomi, budaya dan lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

ANGGARAN RUMAH TANGGA BADAN PERFILMAN INDONESIA BAB I UMUM. Pasal 1

ANGGARAN RUMAH TANGGA BADAN PERFILMAN INDONESIA BAB I UMUM. Pasal 1 ANGGARAN RUMAH TANGGA BADAN PERFILMAN INDONESIA BAB I UMUM Pasal 1 Anggaran Rumah Tangga ini disusun berdasarkan Pasal 28 Anggaran Dasar Badan Perfilman Indonesia, merupakan rincian atas hal-hal yang telah

Lebih terperinci

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul : Jenis Kegiatan : Adaptasi dan Ketangguhan A. Informasi Kegiatan A.1.

Lebih terperinci

Bab IV Usulan Perencanaan Investasi Teknologi Informasi

Bab IV Usulan Perencanaan Investasi Teknologi Informasi Bab IV Usulan Perencanaan Investasi Teknologi Informasi IV.1 Usulan Perencanaan Investasi Teknologi Informasi dengan Val IT Perencanaan investasi TI yang dilakukan oleh Politeknik Caltex Riau yang dilakukan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN

PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN 2013-2018 JL. RAYA DRINGU 901 PROBOLINGGO SAMBUTAN

Lebih terperinci

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH Strategi pembangun daerah adalah kebijakan dalam mengimplementasikan program kepala daerah, sebagai payung pada perumusan program dan kegiatan pembangunan di dalam mewujdkan

Lebih terperinci

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN 89 BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN Rumusan standar minimal pengelolaan pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya disusun sebagai acuan bagi terjaminnya keberlangsungan manfaat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.938, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Evaluasi Kinerja. RKA-K/L. Pengukuran. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 249/PMK.02/2011 TENTANG PENGUKURAN DAN EVALUASI

Lebih terperinci

Shared Resources Joint Solutions

Shared Resources Joint Solutions Lembar Informasi Shared Resources Joint Solutions Sawit Watch - Padi Indonesia SRJS di Kabupaten Bulungan Program dengan pendekatan bentang alam ini memilih Daerah Aliran Sungai Kayan dengan titik intervensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak. Penyebabnya adalah karena over eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan

BAB VI PENUTUP. dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai strategi komunikasi bencana yang dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan pengelolaan komunikasi bencana

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAPPEDA

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAPPEDA BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAPPEDA 3.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pencapaian tujuan daerah diawali dengan perumusan perencanaan yang berkualitas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir

Lebih terperinci

BAB IV TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Tujuan dan Sasaran Jangka Menengah Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Blitar Tujuan dan sasaran adalah tahap perumusan sasaran strategis yang menunjukkan

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN FORUM KONSULTASI PUBLIK DI LINGKUNGAN UNIT PENYELENGGARA PELAYANAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah

Lebih terperinci

LANDASAN PEMIKIRAN. Apa itu akuntabilitas LSM? Mengapa akuntabilitas penting bagi LSM? Sejarah akuntabilitas LSM

LANDASAN PEMIKIRAN. Apa itu akuntabilitas LSM? Mengapa akuntabilitas penting bagi LSM? Sejarah akuntabilitas LSM 2 LANDASAN PEMIKIRAN Apa itu akuntabilitas LSM? Mengapa akuntabilitas penting bagi LSM? Sejarah akuntabilitas LSM Akuntabilitas kepada siapa dan bagaimana? Kode Etik LSM Indonesia dan Standar Minimal Akuntabilitas

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) MODEL LALAN KABUPATEN MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DIREKTUR UTAMA PERUM PERHUTANI Menimbang : Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Seluruh kawasan hutan yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi

TINJAUAN PUSTAKA. Seluruh kawasan hutan yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 1. Pembentukan Wilayah KPH Seluruh kawasan hutan yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi harus dilaksanakan proses pembentukan

Lebih terperinci

Tentang Hutan Kemasyarakatan. MEMUTUSKAN PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BAB I KETENTUAN UMUM.

Tentang Hutan Kemasyarakatan. MEMUTUSKAN PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BAB I KETENTUAN UMUM. PERATURAN BUPATI KABUPATEN SIKKA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIKKA, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

METODE KAJIAN Sifat dan Tipe Kajian Komunitas Lokasi dan Waktu

METODE KAJIAN Sifat dan Tipe Kajian Komunitas Lokasi dan Waktu METODE KAJIAN Sifat dan Tipe Kajian Komunitas Rancangan penelitian yang dilakukan dalam melakukan kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong (2005) penelitian kualitatif adalah penelitian

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU UTARA, 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU UTARA, 2016 No. 53/09/82/Th.XVI, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU UTARA, 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU UTARA 2016 MENGALAMI PENINGKATAN DIBANDINGKAN DENGAN IDI MALUKU UTARA

Lebih terperinci

KRITERIA PENILAIAN STANDAR 2 : Tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminan mutu

KRITERIA PENILAIAN STANDAR 2 : Tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminan mutu KRITERIA PENILAIAN STANDAR 2 : Tata pamong, kepemimpinan, BAN-PT sistem pengelolaan, dan penjaminan mutu M. Budi Djatmiko Ketua Umum APTISI Pusat Ketua Umum HPT Kes Indonesia Pengaggas Akreditasi Mandiri

Lebih terperinci

REVIEW Pengelolaan Kolaborasi Sumberdaya Alam. Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pengelolaan Kolaboratif SumberdayaAlam: Pengantar Diskusi

REVIEW Pengelolaan Kolaborasi Sumberdaya Alam. Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pengelolaan Kolaboratif SumberdayaAlam: Pengantar Diskusi REVIEW Pengelolaan Kolaborasi Sumberdaya Alam Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pengelolaan Kolaboratif SumberdayaAlam: Pengantar Diskusi Pembelajaran Akselerasi Bertindak Melihat Mendengar Merasa Siklus Belajar

Lebih terperinci