Pengaruh Mulsa dan PGPR Terhadap Insidensi Penyakit Busuk Pangkal Batang (Sclerotium rolfsii Sacc.) pada Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merill).

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pengaruh Mulsa dan PGPR Terhadap Insidensi Penyakit Busuk Pangkal Batang (Sclerotium rolfsii Sacc.) pada Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merill)."

Transkripsi

1 25 Pengaruh Mulsa dan PGPR Terhadap Insidensi Penyakit Busuk Pangkal Batang (Sclerotium rolfsii Sacc.) pada Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merill). YANA ANISA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 Pengaruh Mulsa dan PGPR Terhadap Insidensi Penyakit Busuk Pangkal Batang (Sclerotium rolfsii Sacc.) pada Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merill). YANA ANISA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

3 ABSTRAK YANA ANISA. Pengaruh Mulsa dan PGPR Terhadap Insidensi Penyakit Busuk Pangkal Batang (Sclerotium rolfsii Sacc.) pada tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merill). Dibimbing oleh ABDJAD ASIH NAWANGSIH. Kedelai memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai bahan pangan dan pakan ternak yang mengandung protein nabati tinggi. Di mulai pada tahun 1990 konsumsi kedelai dalam negeri tercatat 1,9 ton sedangkan produksi hanya mencapai 1,1 ton. Salah satu penyebab rendahnya produksi adalah adanya serangan penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh Sclerotium rolsfii. Penyakit ini sering ditemukan pada tanaman kedelai baik lahan kering, tadah hujan maupun pasang surut dengan intensitas serangan sebesar 5-55%. Tingkat serangan lebih dari 5% di lapang sudah dapat merugikan secara ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan mulsa dan pengaruh aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai varietas Anjasmoro dan Gepak Kuning. Percobaan terdiri dari dua kegiatan, yaitu kegiatan lapangan serta kegiatan yang dilakukan di laboratorium. Kegiatan penanaman dua varietas kedelai (Anjasmoro dan Gepak Kuning) dengan aplikasi mulsa dan PGPR dilakukan di daerah Cigombong, Kab. Bogor. Pengamatan penyakit busuk batang dilakukan secara lagsung di lahan tersebut, menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 ulangan dan 8 perlakuan (2 varietas, ada tidaknya mulsa, dan aplikasi PGPR) dan kontrol (tanpa perlakuan apapun). Isolasi bakteri rizosfer serta uji antagonisme terhadap cendawan S. rolfsii dilakukan di Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan varietas, penggunaan mulsa serta aplikasi PGPR tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang. Penggunaan varietas memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang. Penggunaan mulsa dan aplikasi PGPR secara terpisah berpengaruh nyata terhadap insidensi penyakit tersebut. Keyword: Kedelai, PGPR, Sclerotium rolfsii, Anjasmoro, Gepak Kuning

4 Pengaruh Mulsa dan PGPR Terhadap Insidensi Penyakit Busuk Pangkal Batang (Sclerotium rolfsii Sacc.) pada Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merill). YANA ANISA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Petanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

5 Judul Nama Mahasiswa NRP : Pengaruh Mulsa dan PGPR Terhadap Insidensi Penyakit Busuk Pangkal Batang (Sclerotium rolfsii Sacc.) pada Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merill). : Yana Anisa : A Disetujui, Dosen Pembimbing Dr.Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. NIP Diketahui, Ketua Departemen Proteksi Tanaman Dr. Ir. Dadang, MSc. NIP Tanggal Lulus :

6 RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak ke empat dari empat bersaudara. Lahir pada tahun 1989 di Cianjur. Dari SD hingga SMP bersekolah di Cianjur dan berpindah ke Bogor pada masa SMA. Setelah lulus dari MAN 2 Kota Bogor, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor dengan Mayor Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian. Semasa di kampus IPB, penulis aktif di Badan Esksekutif Mahasiswa (BEM) sejak tingkat persiapan bersama hingga pada akhir tahun ajaran 2010/2011 sebagai sekretaris Kementerian Pertanian Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Selain itu penulis juga aktif di Lembaga Dakwah Fakultas (FKRD) dan Badan Pengawas Angkatan (BPA) HIMASITA. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Proteksi Tanaman pada tahun 2011.

7 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi tugas akhir ini. Skripsi ini berjudul Upaya Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merill). Secara Kultur Teknis dan Hayati di Lapangan serta Uji Antagonisme Bakteri Rizosfer terhadap Cendawan Sclerotium rolfsii Sacc. sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian (SP.). Penulis menyadari banyak pihak yang telah berpartisipasi dan membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu, iringan doa dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan, utamanya kepada Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah bersedia membimbing dan memberi masukan dalam penyusunan tugas akhir ini dan Prof Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc selaku dosen penguji atas masukannya untuk perbaikan skripsi ini. Ucapan terimaksih juga penulis sampaikan kepada staf dosen, pegawai, serta rekan-rekan Laboratorium Bakteriologi Departemen Proteksi Tanaman IPB atas batuannya selama penyelesaian tugas akhir ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada program I MHERE IPB Sub Program pengembangan Sistem Hama Terpadu Biointensif untuk Mendukung Ketahanan dan Kedaulatan Pangan yang telah memberikan bantuan moril dan materil terhadap penelitian tugas akhir yang penulis lakukan. Terima kasih disampaikan kepada keluarga besar mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman atas semua do a dan dukungannya terhadap penulis. Rasa hormat dan terima kasih yang mendalam penulis haturkan kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta beserta keluarga yang dengan kesabaran, ketabahan, kasih sayang, do a dan bantuannya selama ini untuk kesuksesan penulis, serta semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk kita semua. Bogor, Oktober 2011 Yana Anisa

8 DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK.....i LEMBAR PENGESAHAN iii RIWAYAT HIDUP...iv PRAKATA v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... x PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Hipotesis Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Kedelai (Glycine max (L) Merill) Mulsa... 4 Sclerotium rolfsii... 5 Klasifikasi Sclerotium rolfsii... 5 Gejala penyakit Sclerotium rolfsii pada kedelai... 6 Morfologi Sclerotium rolfsii... 6 Kerugian yang disebabkan Sclerotium rolfsii... 7 Faktor yang mempengaruhi daya hidup Sclerotium rolfsii... 7 Pengendalian penyakit busuk pangkal batang Sclerotium rolfsii... 7 Dampak negatif penggunaan fungisida... 8 Plant Grwoth Promoting Rhizobacteria (PGPR)... 8 Perkembangan bakteri sebagai pengendalian hayati... 8 Potensi Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)... 9 Pseudomonas fluorescens... 9 Bacillus spp

9 Bakteri Rizosfer Potensi bakteri rizosfer Mekanisme antagonisme BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pelakuan Penelitian Persiapan Lahan dan Penanaman Kedelai Aplikasi Mulsa dan PGPR Isolasi Bakteri Rizosfer Isolasi Cendawan Patogen Sclerotium rolfsii Uji Antagonisme pada Cawan Petri Analisis Data Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh kombinasi perlakuan terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang dan tinggi tanaman kedelai Pengaruh perlakuan perbedaan varietas terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Pengaruh perlakuan mulsa terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Pengaruh perlakuan PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai Penghambatan bakteri rizosfer kedelai terhadap koloni cendawan S. rolfsii.28 Karakterisasi Isolat Bakteri Rizosfer Kedelai KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 41

10 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan Tabel 2 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang dan nilai AUDPC dalam setiap perlakuan Tabel 3 Pengaruh varietas, penggunaan mulsa dan aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang dan nilai AUDPC dalam berbagai kombinasi perlakuan Tabel 4 Pengaruh interaksi antara varietas kedelai dengan mulsa terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Tabel 5 Pengaruh varietas kedelai dengan aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Tabel 6 Pengaruh interaksi antara mulsa dengan PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang.. 23 Tabel 7 Rata-rata tinggi tanaman kedelai pada berbagai kombinasi perlakuan. 25 Tabel 8 Pengaruh interaksi antara varietas kedelai dengan penggunaan mulsa terhadap rata-rata tinggi tanaman kedelai Tabel 9 Pengaruh interaksi antara varietas kedelai dengan aplikasi PGPR terhadap rata-rata tinggi tanaman kedelai Tabel 10 Pengaruh varietas terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang.27 Tabel 11 Pengaruh mulsa terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Tabel 12 Pengaruh PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang...29 Tabel 13 Persentase penghambatan bakteri rizosfer kelompok tahan panas terhadap koloni S. rolfsii in vitro Tabel 14 Persentase penghambatan bakteri rizosfer kelompok nonfluorescence terhadap koloni S. rolfsii in vitro Tabel 15 Persentase penghambatan bakteri rizosfer kelompok kitinolitik terhadap koloni S. rolfsii in vitro Tabel 16 Persentase penghambatan bakteri rizosfer kelompok fluorescence terhadap koloni S. rolfsii in vitro Tabel 17 Karakterisasi bakteri rizosfer yang menunjukkan sifat antagonis terhadap S. rolfsii dengan daya hambatan tertinggi pada masingmasing kelompok bakteri

11 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Cara pengukuran koloni S. rolfsii untuk menghitung persentase hambatan oleh mikroorganisme antagonis Gambar 2 Hasil uji penghambatan isolat bakteri rizosfer terhadap cendawan S. rolfsii Gambar 3 Karakter bakteri rizosfer yang menunjukkan sifat antagonis terhadap S. rolfsii dengan daya hambatan tertinggi pada tingkat kelompok bakteri

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada umur tanaman 6 MST Lampiran 2 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada umur tanaman 7 MST Lampiran 3 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada umur tanaman 8 MST Lampiran 4 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada umur tanaman 9 MST Lampiran 5 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada umur tanaman 10 MST Lampiran 6 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 7 HST Lampiran 7 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 14 HST Lampiran 8 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 21 HST Lampiran 9 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 28 HST Lampiran 10 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 35 HST Lampiran 11 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 42 HST Lampiran 12 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 49 HST...47 Lampiran 13 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 56 HST... 48

13 Lampiran 14 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 63 HST Lampiran 15 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 70 HST Lampiran 16 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 77 HST Lampiran 17 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 84 HST Lampiran 18 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 91 HST Lampiran 19 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai pada umur tanam 98 HST Lampiran 20 Analisis uji antagonisme isolat bakteri rizosfer tahan panas dengan cendawan S. rolfsii Lampiran 21 Analisis uji antagonisme isolat bakteri rizosfer non-fluorescence dengan cendawan S. rolfsii Lampiran 22 Analisis uji antagonisme isolat bakteri rizosfer fluorescence dengan cendawan S. rolfsii Lampiran 23 Analisis uji antagonisme isolat bakteri rizosfer kitinolitik dengan cendawan S. rolfsii Lampiran 24Pengaruh kombinasi varietas, mulsa serta aplikasi PGPR terhadap nilai AUDPC penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai Lampiran 25 Kondisi tanaman kedelai di lapangan Lampiran 26 Gejala tanaman yang terserang cendawan S. rolsii Lampiran 27 Isolat Kt4 dan zona bening yang di hasilkan isolat Kt4 pada media kitin Lampiran 28 Isolat F8 membebaskan pigmen yang berfluorescen kuning dibawah sinar ultraviole Lampiran 29 Deskripsi varietas kedelai Anjasmoro Lampiran 30 Deskripsi calon varietas kedelai Gepak Kuning

14 PENDAHULUAN 25 Latar Belakang Kebutuhan kedelai meningkat tiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Lebih dari 18 kg/kapita/tahun jumlah kedelai yang harus dipenuhi untuk kosumsi masyarakat. Kebutuhan kedelai dalam negeri setiap tahunnya mencapai ± 2 juta ton, sedangkan produksi baru mencapai 800 ribu ton atau sekitar 40% dari kebutuhan (Deptan 2008). Salah satu penghambat dalam peningkatan produksi kedelai adalah serangan penyakit yang disebabkan oleh cendawan patogen. Cendawan menjadi patogen terpenting karena kisaran serangannya sangat luas (Martoredjo 1984). Sclerotium rolfsii merupakan salah satu cendawan patogen yang dapat menyebabkan kerusakan. Cendawan ini menyebabkan penyakit busuk pangkal batang pada kacang-kacangan, diantaranya kedelai. Menurut Semangun (1991), penyakit yang disebabkan oleh S. rolfsii merupakan penyakit potensial pada tanaman kedelai. Tanaman yang terserang akan mati dan patogen dapat bertahan lama di dalam tanah dalam bentuk sklerotia. Tingkat serangan lebih dari 5% di lapangan sudah dapat merugikan secara ekonomi (Budiman dan Tamrin 1997). Pengendalian serangan penyakit di lapangan sering kali bertumpu pada aplikasi berbagai jenis pestisida. Pengendalian kimia ini pastilah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat (Nelson 1983) serta mikroorganisme non-target. Oleh sebab itu, dalam pengendaliannya perlu ada alternatif lain yang lebih aman, misalnya konsep pengendalian penyakit secara terpadu, yang salah satu komponennya adalah pengendalian hayati (Semangun 1993). Pengendalian hayati mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai alternatif pengendalian penyakit tular tanah (Semangun 1993). Pengendalian dengan memodifikasi lingkungan pertanaman dapat dijadikan alternatif yang baik. Pengendalian kultur teknis merupakan pengendalian yang dilakukan dengan cara mengelola serta merubah sedemikian rupa lingkungan di sekitar pertanaman sehingga tidak optimal bagi pertumbuhan patogen. Seperti penggunaan mulsa

15 2 yang dapat meningkatkan suhu tanah sehingga patogen tular tanah tidak dapat berkembang secara optimal di dalam tanah tersebut. Mikroorganisme yang bersifat antagonis mempunyai pengaruh berlawanan terhadap mikroorganisme patogenik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai suatu komponen dalam upaya pengendalian (Hasanudin 2003). Martoredjo (1992) menerangkan bahwa pengendalian hayati untuk penyakit tanaman biasanya lebih ditekankan pada penggunaan antagonis yang dapat berupa persaingan atau peracunan. Salah satu mikroorganisme antagonis yang sudah diteliti secara intensif dan berpotensi besar untuk pengendalian beberapa penyakit adalah bakteri P. fluorescens (Hasanuddin 2003). Cara kerja bakteri agens hayati dapat melalui berbagai cara, seperti penghambatan melalui zona bening atau dengan cara pembentukan zona hambatan antara bakteri dan cendawan sehingga cendawan tidak dapat berkembang. Untuk itu kegiatan seleksi serta pengisolasian jenis bakteri yang bersifat anatagonis tersebut sangat penting untuk mendukung produksi kedelai yang berkesinambungan. Selain dari itu evaluasi pengaruh pengendalian hayati serta pengendalian kultur teknis yang dilakukan untuk mengendalikan suatu penyakit tanaman perlu dilakukan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan mulsa jerami serta pengaruh aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai varietas Anjasmoro dan Gepak Kuning. Hipotesis Penelitian Insidensi penyaki busuk pangkal batang dapat ditekan dengan aplikasi mulsa, serta PGPR pada kedelai varietas Anjasmoro.

16 3 Manfaat Penelitian Memberikan informasi mengenai perbedaan dari dua varietas yang digunakan, pengaruh penggunaan mulsa jerami dan pengaruh aplikasi PGPR dalam menekan penyakit busuk pangkal batang, serta didapatkan isolat bakteri rizosfer yang bersifat antagonis terhadap cendawan Sclerotium rolfsii sebagai kandidat agens pengendali penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai.

17 4 TINJAUAN PUSTAKA Kedelai (Glycine max (L) Merill). Kedelai merupakan tanaman semusim. Kedelai termasuk kedalam klas Dicotyledonae, ordo Polypetales, family Leguminoceae (Agrios 1978). Tanaman kedelai memiliki rizobium yang merupakan bakteri yang dapat mengikat nitrogen dari alam secara langsung. Salah satu faktor untuk penekanan hama dan penyakit adalah pemilihan varietas yang resisten. Setiap varietas atau kultivar dari kedelai memiliki keunggulan tersendiri. Seperti kedelai varietas Anjasmoro yang dilepas pada 22 Oktober tahun 2001, melalui SK Menteri Pertanian No. 537/Kpts/TP.240/10/2001. Daya hasil varietas Anjasmoro mencapai 2,03 2,25 ton/ha. Ukuran biji termasuk kategori besar, berat 100 bijinya mencapai 14,8 15,3 gram. Salah satu keunggulan varietas Anjasmoro adalah ketahanannya pada penyakit rebah, serta moderat pada penyakit karat daun. Selain itu, varietas ini memiliki sifat polong yang tidak mudah pecah (Deptan 2008). Varietas Anjasmoro merupakan varietas unggul kedelai berbiji besar yang cocok digunakan sebagai bahan baku tempe. Varietas inilah yang banyak dibudidayakan di lapangan. Varietas Gepak Kuning juga memiliki kemampuan tahan terhadap penyakit busuk pangkal batang. Mulsa Mulsa adalah semua atau setiap bahan yang digunakan menutup tanah, Pemulsaan tanah dapat mempertahankan kelembapan dan suhu tanah, sehingga dapat memperbaiki pengambilan zat hara oleh akar tanaman (Kartasapoetra et al. 1985). Peningkatan pori-pori mikro sebagai akibat kegiatan jasad mikro akan meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman (Khonke 1968). Mulsa tanah yang dibuat dengan pengolahan ringan, menunjukkan kegunaan pada tanaman kedelai yang tumbuh dalam musim kemarau yang kering, yakni menekan penguapan air sehingga mengawetkan persediaan air tanah, serta mengekang gulma yang sudah mulai tumbuh (Paada 1993). Mulsa jerami dapat

18 5 menekan serangan lalat bibit pada pertanaman kedelai (Soekarno dan Hartono 1985). Adisarwanto (1983) melaporkan, hasil percobaan pada tahun 1980 dan 1981 di Jawa Timur menunjukkan kenaikan hasil kedelai 30% akibat menggunakan mulsa jerami. Menurut Kramer (1963) fungsi air adalah sebagai komponen protoplasma, pelarut bahan-bahan organik dan anorganik yang akan didistribusikan pada bagian tanaman yang memerlukan, pereaksi dalam proses fotosintesis dan hidrolitik seperti perombakan pati menjadi gula, pemantapan turgor sel-sel untuk kelangsungan pembelahan sel, dan pemantap suhu tanah dan tanaman. Defisit air pada tanaman akan mempengaruhi semua sistem metabolik dalam tanaman sehingga akan menghambat pertumbuhan dan produksi. Untuk itulah penggunaan mulsa dilatarbelakangi untuk mengurangi kekurangan air pada tanaman kedelai tersebut. Sclerotium rolfsii Sacc. Klasifikasi Sclerotium rolfsii Penyakit busuk pangkal batang merupakan penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan Sclerotium rolfsii. Serangan cendawan ini menjadi masalah serius karena menyerang hampir berbagai jenis tanaman kacangkacangan, khususnya kedelai dengan kerusakan hampir mencapai 100% (Gonsalves dan Ferreira 1993). Serangan penyakit akibat cendawan tersebut ditandai adanya lapisan coklat gelap pada batang atau dibagian bawah batang dekat dengan permukaan tanah (Gonsalves dan Ferreira 1993). Pada pangkal batang tanaman yang terserang layu akan terdapat benang-benang berwarna putih seperti bulu, yang kemudian membentuk butir-butir bulat atau jorong, mula-mula berwarna putih kemudian akhirnya berwarna coklat (Semangun 1991). Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi cendawan Sclerotium rolfsii penyebab penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai adalah sebagai berikut :

19 6 Kerajaan Divisi Sub divisi Klas Sub Klas Ordo Bangsa Marga Jenis : Mycetae : Amastigomycota : Deuteromycotina : Deuteromycetes : Deuteromycetidae : Agronomycetales : Agronomycetaceae : Sclerotium : Sclerotium rolfsii Sacc. Gejala penyakit Sclerotium rolfsii pada kedelai Tanaman yang terserang penyakit akan menjadi layu dan menguning secara perlahan. Pada pangkal batang dan permukaan tanah di dekatnya terdapat miselium cendawan berwarna putih dan tumbuh sangat agresif pada jaringan tanaman yang diserang (Semangun 1991). Pangkal batang pada tanaman yang terserang penyakit akan membusuk, sehingga penyakit ini sering juga disebut penyakit busuk pangkal batang. S. rolfsii dapat menyerang kecambah atau semai. Dalam keadaan yang sangat lembab cendawan juga dapat menyerang daun, tangkai dan polong (Semangun 2004). Morfologi Sclerotium rolfsii S. rolfsii mempunyai miselium yang terdiri dari benang-benang berwarna putih, tersusun seperti bulu atau kapas. Di sini cendawan tidak membentuk spora. Untuk pemencaran dan untuk mempertahankan diri cendawan membentuk sejumlah sklerotium yang semula berwarna putih, kemudian menjadi coklat dengan garis tengah kurang lebih 1mm. Butir-butir ini mudah sekali lepas dan tersangkut air (Semangun 2004). Sklerotium mempunyai kulit yang kuat sehingga tahan terhadap suhu tinggi dan kekeringan. Di dalam tanah sklerotium dapat bertahan sampai 6-7 tahun. Dalam cuaca yang kering sklerotium dapat mengeriput, tetapi ini justru akan berkecambah dengan cepat jika kembali berada di lingkungan yang lembab (Semangun 1993). Kelembaban tinggi diperlukan untuk pertumbuhan sklerotia secara optimal. Sklerotia gagal berkecambah ketika

20 7 kelembaban relatif jauh di bawah saturasi. Namun, ada beberapa penelitian yang menegaskan bahwa sklerotia berkecambah secara maksimal pada suhu 25-35% (Agrios 1978). Kerugian yang disebabkan Sclerotium rolfsii Kerugian hasil pada tanaman kedelai yang ditimbulkan oleh patogen mencapai 50% di Amerika Serikat (Diamonde dan Beute 1975 dalam Supriati 2005). Di Indonesia, kerugian akibat penyakit rebah semai pada tanaman kedelai bervariasi. Pada tahun 1991 di kebun percobaan Muneng (Jatim) serangan patogen busuk pangkal batang, menyebabkan hampir seluruh tanaman mati (Hardaningsih 1993). Di Nusa Tenggara Barat intensitas penyakit busuk pangkal batang khusus pada komoditas kedelai mencapai 35%, patogen penyebabnya adalah Sclerotium rolfsii, Fusarium solani dan Phythium sp. (Sudantha 1997). Faktor yang mempengaruhi daya hidup Sclerotium rolfsii Faktor yang mempengaruhi daya hidup S. rolfsii antara lain suhu, cahaya, kelembaban tanah, aerasi tanah, kandungan oksigen dan karbondioksida, ph tanah dan struktur propagul. Suhu optimal yang dibutuhkan untuk pertumbuhan S. rolfsii adalah C, dengan suhu minimum 8 C dan suhu maksimum 32 C (Domsch et al. 1980). Semangun (2004) menambahkan bahwa penyakit dapat berkembang lebih cepat pada cuaca yang lembab, cendawan dapat menginfeksi baik melalui luka maupun tanpa melalui luka. Pengendalian penyakit busuk pangkal batang Sclerotium rolfsii Menurut Semangun (2004), pengendalian layu dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain : a) Pemilihan dan penggunaan benih yang tahan terhadap penyakit ini. b) Pemusnahan tanaman yang terserang. c) Pengendalian dengan menggunakan agen hayati. Tetapi pada umumnya mengendalikan penyakit dilakukan petani dengan menggunakan fungisida (bahan kimia) dan pengendalian dengan menggunakan agen hayati (pengendalian hayati). Pengendalian hayati dengan menggunakan

21 mikroba yang bersifat antagonis merupakan salah satu alternatif pengendalian patogen tular tanah selain menggunakan fungisida (Rahaju 2007). 8 Dampak negatif penggunaan fungisida Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan fungisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan. Penggunaan fungisida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis. Semangun (1993) menambahkan tentang dampak negatif yang disebabkan oleh penggunaan fungisida sintesis, yaitu penyakit yang berkembang menjadi semakin resisten, resurgensi, terbunuhnya makhluk bukan sasaran dan gangguan kesehatan pada manusia. Plant Grwoth Promoting Rhizobacteria (PGPR) Perkembangan bakteri sebagai pengendalian hayati Pengendalian hayati terhadap patogen tanaman adalah pemanfaatan satu atau lebih organisme untuk mengurangi kepadatan inokulum, aktifitas patogen atau parasit dalam keadaan aktif atau dorman dengan cara mengintroduksi satu atau lebih antagonis pada lingkungan atau inang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Aspek dari pengendalian hayati adalah manipulasi mikroorganisme yang kompetitif atau yang bersifat antagonis terhadap patogen tanaman yang interaksinya di alam dapat menurunkan atau mencegah terjadinya penyakit tanaman (Cook dan Baker 1996). Untuk mencari pengendalian hayati, telah dilakukan isolasi dari rizosfer rumput pangola (Digitaria decumbens) dan ternyata mempunyai potensi antibiotik yang besar terhadap bakteri E.coli, S. aureus, cendawan C. albicans dan T. mentagrophytes (Rahayu 2009). Rizosfer tanaman merupakan habitat berbagai spesies bakteri yang secara umum dikenal sebagai rizobakteri. Isolat rizobakteri dapat berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman atau plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dan sebagai agens antagonis terhadap patogen tanaman.

22 9 PGPR dapat memberi keuntungan bagi pertumbuhan tanaman dengan menggunakan kemampuannya dalam memproduksi hormon pertumbuhan, seperti asam indol asetat, asam giberelin, sitokinin dan etilen. Selain itu beberapa rizobakteria juga memiliki kemampuan dalam menambat N, menekan 2 pertumbuhan mikroorganisme fitopatogen dengan cara memproduksi siderofor, β- 1-3-glukanase, kitinase, antibiotik dan sianida serta kemampuannya dalam melarutkan fosfat. Kemampuan tersebut bermanfaat bagi tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan ketersediaan fosfat, sedangkan siderofor yang diproduksi oleh rizobakteria dapat memacu pertumbuhan tanaman dengan cara mengikat besi (Fe 3+ ) yang jumlahnya terbatas di daerah rizosfer dalam rangka berkompetisi dengan mikrob fitopatogen (Cook dan Baker 1996). Potensi Plant Grwoth Promoting Rhizobacteria (PGPR) Plant Grwoth Promoting Rhizobacteria (PGPR) berpotensi meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan tanaman. Terdapat berbagai mekanisme PGPR dalam menstimulasi pertumbuhan tanaman. Mekanisme ini dikelompokkan menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung, rizobakteria terkait dengan produksi metabolit seperti antibiotik dan siderofor, yang dapat berfungsi menurunkan pertumbuhan fitopatogen. Secara langsung PGPR mampu memproduksi zat pengatur tumbuh dan meningkatkan pengambilan nutrisi oleh tumbuhan (Kloepper 1999). Menurut Klopper juga menjelaskan bahwa antagonisme antara rizobakteri dengan cendawan patogen dapat terjadi melalui mekanisme antibiosis, kompetisi, parasitisme/predatorisme, produksi enzim ekstraseluler, atau induksi resistensi. Pseudomonas fluorescens Pseudomonas fluorescens adalah bakteri gram negatif yang berbentuk bulat panjang atau batang, hampir semuanya motil dengan flagella monotrikus, politrikus dan lofotrikus (Buchanan & Gibbons 1974 dalam Dianawati 1996). Schaad (2001) menerangkan bahwa ciri genus Pseudomonas terdiri atas satu sel berbentuk batang dengan ukuran 0,5-1,0 x 1,5-4,0 µm dan merupakan bakteri gram negatif. Ciri khusus bakteri ini adalah kemampuan yang dimilikinya dalam

23 10 membebaskan pigmen yang berfluorescence Kuning sampai hijau dibawah sinar ultraviolet bila ditumbuhkan di media yang mengandung besi rendah seperti King s B (King et al. dalam Schaad 2001). Proses metabolisme bakteri ini sangat sederhana sehingga langsung menuju substrat yang dikeluarkan tanaman, sangat singkat dalam regenerasi dan mobilitasnya tinggi (Schippers et al. 1987). Bakteri genus ini telah digunakan sebagai agens pengendali penyakit antara lain Pseudomonas sp. PT3, Pseudomonas fluorescens ES32 (Rustam 2005) dan Pseudomonas fluorescens RH4003 (Nawangsih dkk 2005). Karakter morfologi koloni Pseudomonas fluorescens RH4003 pada media King s B agar adalah koloni berwarna putih, tumbuh dengan cepat, dan berfluorescensi dengan warna hijau kebiruan dibawah sinar ultraviolet (Aditya 2006). Bacillus spp. Secara umum genus Bacillus adalah bakteri berbentuk batang, bersifat aerobik dan membentuk endospora atau sel berbentuk spora. Endospora bakteri ini bersifat lebih resisten terhadap panas, kekeringan, desinfektan, bahan-bahan kimia dan bahan yang bersifat merusak lainnya. Endospora Bacillus berbentuk bundar, oval, silindris (Gordon 1989). Keunggulan Bacillus dibandingkan dengan bakteri lain adalah kemampuannya menghasilkan endospora yang tahan panas dan dingin, juga terhadap ph yang ekstrim, pestisida, pupuk dan waktu penyimpanan (Gordon 1989). Bacillus yang menjadi agens pengendali penyakit adalah Bacillus subtilis AB89 dan Bacillus cereus L32 (Nawangsih dkk 2005), B. pumilus SE34, Bacillus cereus UW85 (Osburn et al. 1995). Karakter morfologi Bacillus subtilis AB89 pada media TSA adalah berwarna putih, tekstur kering, pinggiran tidak rata, dan tumbuh lambat (Aditya 2006). Bakteri Rizosfer Potensi bakteri rizosfer Bakteri rizosfer memang berpotensi sebagai agens pengendalian hayati dengan cara antagonis terhadap penyakit tanaman yang menyerang. Mikroorganisme juga mengekresikan enzim hidrolase untuk merusak dinding sel

24 11 cendawan. Kitinase yang diproduksi dan laminarinase yang disintesis oleh bakteri yang berfungsi menghancurkan dan melisis miselia (Chompant et al. 2005). Rizosfer merupakan bagian tanah yang berada disekitar perakaran tanaman dan berperan sebagai pertahanan luar bagi tanaman terhadap serangan patogen akar. Berdasarkan bibiliografinya, rizosfer dicirikan dengan aktivitas biologinya yang paling tinggi pada tanah (Patkowska 2002). Rizosfer merupakan zona atau areal disekitar perakaran yang terpengaruh oleh substrat yang dikeluarkan akar, yang berpengaruh terhadap aktivitas mikroba. Mikroba yang mengkolonisasi rizoplen dan atau endofit diketahui sebagai pengkolonisasi akar. Di dalam rizosfer, sekresi senyawa organik yang dikeluarkan oleh tumbuhan dapat mengaktifkan populasi mikroba. Berbagai macam mikroorganisme yang terdapat di dalam rizosfer dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Secara umum jumlah bakteri lebih banyak dalam tanah dari pada jumlah cendawan, untuk itulah potensi bakteri yang bersifat antagonis terhadap cendawan patogen sangat besar (Patkowska 2002). Mekanisme antagonisme Mikroorganisme dalam tanah dilingkungan alami mengadakan interaksi dengan mikroorganisme lainnya untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Baker dan Cook (1974) membedakan interaksi antagonisme menjadi beberapa tipe yaitu hiperparasit, kompetisi, antibiosis, dan lisis. Kompetisi dapat terjadi dalam hal makanan, air, udara dan ruangan. Kompetisi akan terjadi jika lebih dari satu macam organisme memenuhi kebutuhannya dari satu sumber yang sama dan terbatas (Singh & Faul 1986). Sedangkan parasitisme merupakan simbiosis antagonistik antara satu organisme dengan organisme lainnya. Seperti yang terjadi pada parasitisme Trichoderma memasuki hifa R. solani atau S. rolfsii dengan menembus dindingnya, membuat lubang penetrasi pada hifa inang. Antagonisme merupakan kondisi suatu organisme mengeluarkan satu atau lebih metabolit yang berpengaruh negatif terhadap organisme lain (Jackson 1970). Mekanisme antibiosis inilah yang banyak di miliki oleh beberapa bakteri yang bersifat antagonis terhadap patogen penyebab penyakit pada tanaman.

25 12 Kriteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi efek antagonis suatu mikroorganisme terhadap patogen penyebab penyakit, antara lain (Johnson et al. 1960) : 1. Terbentuknya zona penghambatan antara pertemuan kedua koloni dalam suatu cawan petri prcobaan. Jika pertumbuhan kedua koloni tersebut terhenti. Hal ini menunjukkan penghambatan pertumbuhan yang mutualistik. 2. Setelah kedua koloni bertemu dalam suat cawan petri percobaan, hifa patogen mengalami penghancuran, sedangkan antagonis terus tumbuh ke atas koloni patogen. 3. Terjadinya parasitisisme yang sebenarnya oleh hifa antagonis terhadap hifa patogen. 4. Terdapat perbedaan luas pertumbuhan koloni patogen.

26 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor serta di Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung antara bulan Oktober 2010 Maret Bahan dan alat Bahan yang digunakan yaitu benih kedelai dengan dua varietas (Anjasmoro dan Gepak Kuning), biakan PGPR (strain Bacillus subtilis AB 89 dan Pseudomonas fluorescens RH4003), pupuk NPK, Furadan, serta beberapa isolat bakteri yang diisolasi dari perakaran oleh Tita Widjayanti, Mahasiswa Fitopatologi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (hasil belum dipublikasi). Alat yang digunakan adalah alat budidaya kedelai, serta alat isolasi bakteri. Tabel 1. Pelakuan penelitian Kombinasi perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini ditampilkan pada Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan Kombinasi Varietas Anjasmoro + Mulsa + PGPR Varietas Anjasmoro + Tanpa Mulsa + PGPR Varietas Anjasmoro + Mulsa + Tanpa PGPR Varietas Anjasmoro + Tanpa Mulsa + Tanpa PGPR Varietas Gepak Kuning + Mulsa + PGPR Varietas Gepak Kuning + Tanpa Mulsa + PGPR Varietas Gepak Kuning + Mulsa + Tanpa PGPR Varietas Gepak Kuning + Tanpa Mulsa + Tanpa PGPR Kode IAc IBc IAd IBd IIAc IIBc IIAd IIBd

27 14 Persiapan lahan dan penanaman kedelai Lahan petani di Desa Ciburuy, Kab. Bogor seluas 1344m 2 diolah menjadi 24 petakan. Masing - masing petak percobaan berukuran 7m x 8m. Dalam satu petak dibuat 7 guludan dengan ukuran 0,7m x 8m dan jarak antar guludan 0,3m. Disetiap guludan dibuat dua baris tanaman dengan jarak 40cm. Kedelai yang ditanam terdiri dari dua varietas yaitu Anjasmoro dan Gepak Kuning. Benih ditanam dengan cara ditugal dan jarak antar tanaman 20cm. Setiap lubang diisi dua butir benih dengan varietas yang sama. Disamping guludan dibuat parit kecil untuk alur pupuk NPK dengan komposisi 1:1:1. Aplikasi mulsa dan PGPR Perlakuan penggunaan mulsa jerami diberikan pada 12 petak percobaan. Jerami diletakkan diatas guludan hingga guludan tertutupi secara keseluruhan. Pemberian mulsa jerami dilakukan sebelum penanaman benih. Aplikasi PGPR dilakukan pada 12 petakan dengan cara menyiramkan 50ml suspensi PGPR (konsentrasi cfu/ml) pada perakaran tanaman kedelai. Suspensi PGPR dibuat dengan cara menumbuhkan bakteri PGPR B. subtilis dan P. fluorescens RH4003 pada media King s B agar. Setelah diinkubasi selama jam, sebanyak satu lup jarum ose penuh disuspensikan dalam 10 ml aquades steril yang akan menghasilkan biakan cfu/ml. Dari suspensi tersebut diambil 10ml untuk diencerkan menjadi 100ml dengan jumlah bakteri cfu/ml. Penyiraman dilakukan satu kali pada saat tanaman berumur 7 hari. Pengamatan pengaruh aplikasi mulsa dilakukan dengan menghitung tanaman yang terserang penyakit busuk pangkal batang. Pengamatan dilakukan dengan mengamati gejala penyakit yaitu daun sedikit demi sedikit layu, menguning dan terdapat hifa putih pada pangkal batang tanaman tersebut. Pengamatan dilakukan pada seluruh tanaman yang tumbuh pada lahan penelitian ditiap perlakuannya. Dari keseluruhan dilihat keparahan akibat cendawan Sclerotium rolfsii di lahan percobaan dengan menggunakan metode perhitungan persentase penyakit yang dilakukan pada tiap perlakuan yang diamati tiap minggunya:

28 15 P = Persentase insidensi penyakit (%) Data insidensi penyakit kemudian dibuat dalam bentuk grafik perkembangan penyakit. Total luas area yang ada di bawah kurva perkembangan penyakit (Area Under Diseases Progress Curve/AUDPC) dihitung dengan menggunakan rumus Van der Plank (1963) dalam Cook et al. (2006) yaitu : Y i+1 = Data pengamataan ke-i+1 t i+1 = Waktu pengamatan ke-i+1 Yi = Data pengamatan ke-1 ti = Waktu pengamatan ke-1 AUDPC = Area Under Diseases Progress Curve (% hari) Isolasi bakteri rizosfer Isolasi bakteri rizosfer dilakukan dengan mensuspensikan 10gram tanah kedalam 100ml air steril dalam erlenmeyer kemudian dikocok menggunakan shaker dengan kecepatan 300rpm selama 5menit atau hingga tercampur sempurna (homogen). Setelah itu dilakukan pengenceran secara berseri dengan mengambil 1ml suspensi lalu dicampurkan ke dalam tabung reaksi berisi 90ml aquadest steril hingga didapatkan pengenceran Sebanyak 0,1ml (100µl) suspensi dari pengenceran berseri dengan konsentrasi 10-4, 10-6, 10-8, untuk setiap contoh rizosfer kemudian disebar (plating) dengan menggunakan glass beads pada media Kitin, King s B dan TSA dalam cawan petri. Masing-masing perlakuan diulang 2 kali (duplo). Setelah diinkubasi selama jam pada suhu kamar, koloni yang tumbuh diamati karakter morfologinya dan dimurnikan untuk uji antagonisme. Masing-masing isolat yang sudah murni selanjutnya disimpan untuk jangka panjang (± 1-2 tahun) dalam gliserol 10% pada suhu C.

29 16 Isolasi cendawan patogen Sclerotium rolfsii Cendawan yang digunakan adalah cendawan yang menyerang tanaman kedelai di lahan pengamatan. Pengamatan insidensi penyakit dilihat dari keseluruhan tanaman yang ada disetiap petakan perlakuan. Batang kedelai yang terserang ditandai dengan adanya hifa putih atau sklerotia berwarna coklat pada pangkal batang. Tanaman dengan gejala tersebut dicabut untuk bahan isolasi. Batang kedelai tersebut dipotong 5cm dan dibasuh dengan desinfektan untuk membersihkan dari tanah dan mikroba yang lainnya. Potongan batang tersebut ditaruh di dalam cawan petri yang telah diberi tisu lembab, inkubasi selama 2 3 hari sampai hifa-hifa dari cendawan tersebut tumbuh dan memenuhi cawan petri atau terbentuk sklerotia. Kemudian dilakukan isolasi dengan menggunakan media PDA (Potato Dextrose Agar). Miselium cendawan diambil dengan jarum isolasi dan diletakkan pada permukaan medium PDA dalam cawan petri, kemudian diinkubasi selama 3 4 hari dalam suhu kamar sampai miselium cendawan memenuhi cawan petri. Cendawan dalam media inilah yang nantinya akan digunakan sebagai cendawan uji dalam uji antagonisme. Uji antagonisme pada cawan petri Patogen S. rolfsii dan isolat bakteri rizosfer ditumbuhkan bersama - sama pada media PDA. Miselium cendawan diletakkan pada permukaan medium dengan jarak 3cm dari tepi kanan cawan petri, sedangkan bakteri hasil isolasi digoreskan menggunakan jarum ose dengan jarak 3cm dari tepi sebelah kiri cawan petri. Jarak antara cendawan dengan bakteri adalah 3cm. Cawan petri diinkubasi dalam suhu ruangan selama 2 hari. Pengamatan dilakukan terhadap jari-jari koloni cendawan S. rolfsii. Persentase daya hambat bakteri terhadap S. rolfsii dihitung dengan rumus Fokkema (1976) dalam Rahaju (2007) sebagai berikut :

30 17 I = Persentase daya hambat (%) R1 = Jari-jari koloni S. rolfsii yang arahnya berlawanan dengan bakteri rizosfer R2 = Jari-jari koloni S. rolfsii yang arahnya menuju pusat bakteri R B 4 R cm A 4 Gambar 1 Cara pengukuran koloni S. rolfsii untuk menghitung persentase hambatan oleh mikroorganisme antagonis; R1. Jari-jari koloni cendawan yang tumbuh berlawanan kearah bakteri R2. Jari-jari koloni S. rolfsii yang tumbuh kearah bakteri. A. Inokulum bakteri rizosfer B. Inokulum S. rolfsii Analisis Data Data hasil percobaan di lapangan diolah menggunakan metode statistik Rancangan Faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 3 faktor. Faktor pertama adalah jenis varietas dengan dua taraf, yaitu Anjasmoro dan Gepak Kuning. Faktor kedua adalah mulsa dengan dua taraf yaitu penggunaan mulsa dan tanpa penggunaan mulsa. Faktor yang ketiga adalah PGPR dengan dua taraf, yaitu menggunakan PGPR dan tidak menggunakan PGPR. Keseluruhan percobaan diulang sebanyak tiga kali secara kelompok. Percobaan yang dilakukan di laboratorium dianalisis menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan berdasarkan jenis bakteri (jenis fluorescence, non-fluorescence, tahan panas, serta jenis kitin) dengan tiga kali ulangan dan satu kontrol di setiap perlakuannya. Kemudian kedua metode tersebut dianalisis dengan menggunakan Statistical Analysis System (SAS) versi Perlakuan yang berbeda nyata diuji lanjut dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

31 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan bagian dari suatu rangkaian penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor yaitu Pengembangan Sistem Hama Terpadu Biointensif untuk Mendukung Ketahanan dan Kedaulatan Pangan, yang dibiayai oleh Program I-MHERE B2c IPB. Pemilihan taraf faktor perlakuan dalam penelitian ditentukan berdasarkan parameter pengamatan dari bagian penelitian lain yang masih menjadi rangkaian penelitian tersebut. Pengaruh kombinasi perlakuan terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang dan tinggi tanaman kedelai Analisis ragam terhadap insidensi penyakit dari keseluruhan kombinasi varietas, penggunaan mulsa dan aplikasi PGPR menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Pada usia tanaman ke HST menunjukkan hasil insidensi penyakit busuk pangkal batang yang tidak berbeda nyata pada interaksi dari ketiga faktor perlakuan (Tabel 2). Perbedaan yang nyata terlihat pada hasil analisis dari setiap faktor varietas, mulsa, dan PGPR (hayati) secara tersendiri (Tabel 2) pada umur tanaman HST. Nilai AUDPC dari insidensi penyakit busuk pangkal batang di lapangan menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada faktor varietas, mulsa, PGPR (hayati) serta interaksi antara varietas dengan mulsa. Kombinasi dari setiap faktor perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata (Tabel 3). Insidensi penyakit busuk pangkal batang di lapangan terus meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Insidensi penyakit di hari ke-70 setelah tanam mencapai 22,9% pada kombinasi varietas Gepak Kuning dengan perlakuan tanpa mulsa dan tanpa PGPR serta 33,7% pada varietas Anjasmoro dengan kombinasi yang sama.

32 19 Tabel 2 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang dan nilai AUDPC Insidensi Penyakit (%) Perlakuan Db 1 AUDPC 3 Umur tanaman (HST) 2 (% hari) Kel 2 TN 5 TN TN TN TN TN Var 1 TN TN TN TN TN TN Mul 1 N 6 N N N N N Hayati 1 N N N N N N Var*Mul 4 1 TN N TN TN TN N Var*Hayati 1 TN TN TN TN TN TN Mulsa*Hayati 1 TN TN TN TN TN TN Var*Mul*Hayati 1 TN TN TN TN TN TN 1 Db (derajat bebas) 2 HST (hari setelah tanam) 3 AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve) 4 * (interaksi) 5 TN (tidak nyata) 6 N (nyata) Pada akhir pengamatan tingkat insidensi penyakit mencapai 45,4% (pada perlakuan IAd) (Tabel 3). Menurut Semangun (1993), tanaman kedelai yang berumur 2-3 minggu sangat rentan terhadap S. rolfsii. Kedelai yang terserang penyakit layu sklerotium pada stadium perkecambahan akan menunjukkan gejala damping off atau rebah semai. Gejala damping off adalah busuknya tanaman pada pangkal batang dan rebah semai. Pada pangkal batang dan permukaan tanah di dekat tanaman sakit terdapat benang-benang miselium cendawan yang berwarna putih. Gejala inilah yang timbul pada umur tanaman 6-10 MST. Meskipun sampai saat ini data mengenai gangguan penyakit ini masih sulit diperoleh, tetapi pada setiap musim tanam tanaman kedelai selalu terdapat laporan adanya gangguan penyakit ini.

33 20 Tabel 3 Pengaruh varietas, penggunaan mulsa dan aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang dan nilai AUDPC Perlakuan Insidensi Penyakit (%) Umur tanaman (HST) AUDPC 2 (% hari) IAc 3 8.8a a 21.0a 23.3a 25.0a 601.6b IAd 13.5a 25.9a 33.8a 40.4a 45.4a a IBc 3.8a 8.8a 11.2a 12.6a 13.3a 316.2b IBd 7.8a 17.8a 23.0a 29.7a 33.7a 694.8b IIAc 9.5a 17.2a 22.6a 23.5a 24.0a 628.9b IIAd 14.5a 28.1a 39.5a 43.2a 45.0a a IIBc 3.8a 7.0a 11.9a 12.8a 13.3a 310.3b IIBd 6.4a 13.7a 17.3a 21.2a 22.9a 514.4b 1 HST (hari setelah tanam) 2 AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve) 3 I = varietas Anjasmoro, II = varietas Gepak Kuning, A = menggunakan mulsa B = tanpa mulsa, c = menggunakan PGPR, d = tanpa PGPR 4 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) Menurut Semangun (1989) pengendalian yang memberikan harapan yang baik adalah menaikkan suhu tanah dengan menggunakan plastik atau mulsa yang sering disebut solarisasi tanah. Mulsa ini akan membantu mengurangi penyebaran patogen terbawa tanah (soil borne). Mulsa jerami yang digunakan dalam penelitian mendukung berkembagnya patogen S. rolfsii lebih cepat. Hal ini kemungkinan karena faktor jerami yang mudah lapuk sehingga membuat kondisi tanah menjadi lembab dan bahkan menjadi inang berkembangnya inokulum patogen. Mulsa jerami yang masih lembab tidak dapat menekan populasi patogen, hal ini disebabkan kondisi yang lembab akan semakin memperkuat kondisi patogen-patogen untuk hidup dan menjadikan mulsa tersebut sebagai inangnya. Cendawan S. rolfsii memiliki sifat saprofit juga mampu mengkolonisasi dan hidup secara efektif pada berbagai bahan organik termasuk mulsa organik (Punja 1989). Nilai AUDPC pada petak yang ditanami varietas Anjasmoro maupun Gepak Kuning dan diberi mulsa jerami ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diberi mulsa jerami. Penggunaan mulsa jerami pada lahan pertanaman kedelai yang dilakukan dalam penelitian menghasilkan insidensi penyakit busuk pangkal batang yang lebih tinggi (Tabel 3). Semakin rendah nilai persentase AUDPC dari kombinasi faktor perlakuan menunjukkan insidensi penyakit tersebut lebih rendah dari perlakuan yang lain. AUDPC kontrol varietas Gepak Kuning

34 21 lebih luas dibandingkan dengan kontrol varietas Anjasmoro (Tabel 3). Nilai AUDPC kombinasi perlakuan varietas Anjasmoro dengan mulsa dan tanpa aplikasi PGPR (IAd) memiliki nilai AUDPC sebesar % hari. Nilai AUDPC pada perlakuan kombinasi varietas Gepak Kuning dengan mulsa dan tanpa aplikasi PGPR (IIAd) mencapai 1086,3% hari. Nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lain. Kedua kombinasi perlakuan tersebut memiliki hasil yang berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5% jika dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain (Tabel 3). Tabel 4 Pengaruh interaksi antara varietas kedelai dengan mulsa terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Perlakuan Insidensi Penyakit (%) AUDPC 2 Umur tanaman (HST) 1 (% hari) IA a a 27.4a 31.8a 35.2a 802.2a IB 5.8b 13.3b 17.1b 21.1b 23.5b 505.5b IIA 12.0a 22.6a 31.1a 33.4a 34.5a 857.6a IIB 5.1b 10.4b 14.6b 17.0b 18.1b b 1 HST (hari setelah tanam) 2 AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve) 3 IA = varietas Anjasmoro dengan mulsa, IIA = varietas Gepak Kuning dengan mulsa, IB = varietas Anjasmoro tanpa mulsa, IIB = varietas Gepak Kuning tanpa mulsa 4 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) Dari analisis statistik Tabel 4 menunjukkan adanya interaksi antara varietas dengan mulsa dalam perlakuan yang diujikan. Interaksi tersebut berpengaruh terhadap penekanan insidensi penyakit busuk pangkal batang di lapangan. Perbedaan varietas serta perbedaan aplikasi mulsa menunjukkan hasil insidensi penyakit yang beragam. Hal ini menunjukkan kemampuan varietas dalam menekan penyakit busuk pangkal pangkal batang terlihat jelas dengan didukung oleh pengaruh aplikasi mulsa pada pertanaman kedelai di lapangan. Nilai hasil perhitungan AUDPC pada interaksi faktor varietas dengan aplikasi mulsa menghasilkan perbedaan yang nyata. Dengan menggunakan uji lanjut Duncan dengan taraf nyata 5% terlihat bahwa perbedaan varietas tidak menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang di lapangan (Tabel 4). Kedua varietas yang diujikan dengan aplikasi mulsa

35 22 menghasilkan nilai AUDPC yang lebih tinggi dibandingkan dengan kombinasi kedua varietas tanpa aplikasi mulsa. Terlihat bahwa cendawan S. rolfsii berkembang lebih cepat pada perlakuan dengan menggunakan mulsa. Interaksi yang nyata juga terlihat dari faktor perbedaan varietas dengan aplikasi PGPR (Tabel 5). Potensi ketahanan terhadap penyakit busuk pangkal batang yang dimiliki tiap varietas didukung dengan potensi yang dimiliki oleh PGPR menghasilkan persentase insidensi penyakit yang berbeda nyata. Kombinasi varietas Anjasmoro dan Gepak Kuning dengan aplikasi PGPR menghasilkan nilai insidensi penyakit yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan perbedaan varietas tanpa aplikasi PGPR (Tabel 5). Nilai AUDPC pada petak dengan perlakuan varietas Anjasmoro maupun Gepak Kuning yang diberi PGPR nyata lebih rendah dibandingkan dengan nilai AUDPC pada petak tanpa PGPR (Tabel 5). Tabel 5 Pengaruh varietas kedelai dengan aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Perlakuan Insidensi penyakit (%) Umur tanaman (HST) AUDPC 2 (% hari) Ic 3 6.3b b 16.1b 18.0b 19.2b 458.9b Id 10.7b 21.8a 28.4a 35.0a 39.5a 848.9a IIc 6.7b 12.1b 17.3b 18.2b 18.7b 469.6b IId 10.4b 20.9a 28.4a 32.2a 33.9a 800.3a 1 HST (hari setelah tanam) 2 AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve) 3 Ic = varietas Anjasmoro dengan PGPR, IIc = varietas Gepak Kuning dengan PGPR, Id = varietas Anjasmoro tanpa PGPR, IId = varietas Gepak Kuning tanpa PGPR, 4 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) Penggunaan mulsa serta apliksi PGPR menghasilkan interaksi yang berbeda nyata terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai (Tabel 6). Pada tabel tersebut terlihat bahwa perlakuan dengan menggunakan mulsa dan tanpa aplikasi PGPR menghasilkan nilai AUDPC yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

36 Tabel 6 Pengaruh interaksi antara mulsa dengan PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Perlakuan Insidensi penyakit (%) Umur tanaman (HST) AUDPC 2 (% hari) Ac 3 9.1a a 21.8a 23.4a 24.5a 615.2b Ad 14.0a 27.0a 36.7a 41.8a 45.2a a Bc 3.8b 7.9b 11.5b 12.7b 13.3b 313.3b Bd 7.1a 15.7a 20.1a 25.5a 28.3a 604.6b 1 HST (hari setelah tanam) 2 AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve) 3 Ac = mulsa dengan PGPR, Ad = mulsa tanpa PGPR, Bc = tanpa mulsa dengan PGPR, Bd = tanpa mulsa tanpa PGPR, 4 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) Tinggi tanaman merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat pertumbuhan tanaman. Pada Tabel 7 terlihat bahwa jenis varietas, penggunaan mulsa dan PGPR secara bersama-sama tidak mempengaruhi tinggi tanaman kedelai secara langsung. Keseluruhan perlakuan tidak berbeda nyata setelah diuji dengan selang berganda Duncan dengan taraf nyata 5% (Tabel 7). Namun begitu, perlakuan yang diujikan tidak memberikan efek negatif terhadap tinggi tanaman kedelai. Hal ini ditandai dengan bertambah tingginya tanaman disetiap pengamatan. Dari Tabel 8 terlihat bahwa tinggi tanaman kedelai varietas Anjasmoro dengan aplikasi mulsa lebih tinggi dibadingkan dengan perlakuan lain. Pada minggu pertama setelah tanam seluruh perlakuan menghasilkan nilai tinggi tanaman yang sama. Namun setelah usia tanaman HST, perlakuan varietas Anjasmoro dengan mulsa menunjukkan perubahan tinggi tanaman yang konstan meningkat dengan nilai diatas perlakuan yang lain. Dari hasil tersebut dapat diartikan bahwa varietas Anjasmoro memiliki kemampuan untuk tumbuh lebih cepat dibadingkan dengan varietas Gepak Kuning. Selain itu pemberian mulsa dapat mendorong peningkatkan pertumbuhan tanaman yang semakin cepat. Aplikasi PGPR belum memberikan dampak yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman kedelai. Hal ini terlihat pada Tabel 9 yang menunjukkan hasil uji ragam dari pengaruh interaksi antara varietas kedelai dengan aplikas PGPR terhadap rata-rata tinggi tanaman. Frekuensi aplikasi PGPR

37 24 kemungkinan masih kurang, sehingga bakteri tersebut bekerja kurang optimal. Waktu aplikasi juga menentukan kerja bakteri PGPR untuk memacu pertumbuhan tanaman. Menurut Kloepper et al. (1999), bakteri antagonis khususnya rizobakteria dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, rizobakteria dapat menyediakan nutrisi bagi tanaman, sedangkan secara tidak langsung rizobakteria terlebih dahulu menekan pertumbuhan patogen dan mikroorganisme yang mengganggu melalui mekanisme kompetisi, predasi langsung, dan antibiotik yang dihasilkannya.

38 Tabel 7 Rata-rata tinggi tanaman kedelai pada berbagai kombinasi perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Perlakuan Umur Tanaman (HST) IAc 2 29,6a 3 32,6a 34,4a 36,8a 39,2a 41,0a 42,5a 44,3a 45,8a 46,8a 47,4a 47,7a 48,0a 48,3a IAd 29,9a 32,9a 34,7a 37,1a 39,5a 41,3a 42,8a 44,6a 46,1a 47,2a 47,8a 48,1a 48,4a 48,7a IIAc 26,4a 29,4a 31,2a 33,6a 36,0a 37,8a 39,3a 41,1a 42,6a 43,6a 44,2a 44,5a 44,8a 45,1a IIAd 22,3a 25,3a 27,1a 29,5a 31,9a 33,7a 35,2a 37,0a 38,5a 39,5a 40,1a 40,4a 40,7a 41,0a IBc 19,7a 22,7a 24,5a 26,9a 29,3a 31,1a 32,6a 34,4a 35,9a 36,9a 37,5a 37,8a 38,1a 38,4a IBd 24,0a 27,0a 28,8a 31,2a 33,6a 35,4a 36,9a 38,7a 40,2a 41,2a 41,8a 42,1a 42,4a 42,7a IIBc 17,3a 20,3a 22,1a 24,5a 26,9a 28,7a 30,2a 32,0a 33,5a 34,5a 35,1a 35,4a 35,7a 36,0a IIBd 20,3a 23,3a 25,1a 27,5a 29,9a 31,7a 33,2a 35,0a 36,5a 37,5a 38,1a 38,4a 38,7a 39,0a 1 HST (hari setelah tanam) 2 IAc = varietas Anjasmoro dengan aplikasi mulsa dan PGPR, IIAc = varietas Gepak Kuning dengan aplikasi mulsa dan PGPR, IBc = varietas Anjasmoro dengan aplikasi PGPR dan tanpa aplikasi mulsa, IIBc = varietas Gepak Kuning dengan aplikasi PGPR dan tanpa aplikasi mulsa IAd = varietas Anjasmoro dengan aplikasi mulsa dan tanpa aplikasi PGPR, IIAd = varietas Gepak Kuning denga aplikasi mulsa dan tanpa aplikasi PGPR IBc = varietas Anjasmoro dengan tanpa aplikasi mulsa dan PGPR, IIBd = varietas Gepak Kuning dengan tanpa aplikasi mulsa da PGPR 3 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) 25

39 Tabel 8 Pengaruh interaksi antara varietas kedelai dengan penggunaan mulsa terhadap rata-rata tinggi tanaman kedelai Rata-rata tinggi tanama (cm) Perla Umur tanaman (HST) 1 Kuan IA 2 1.0a a 9.24a 9.84a 10.64a 11.44a 12.04a 12.54a 13.14a 13.64a 13.98a 14.18a 14.28a 14.38a IB 1.0a 6.00a 7.00a 8,90a 9,60a 10.45a 11.06a 12.44a 12.95a 12.45a 12.30a 13.00a 13.67a 13.90a IIA 1.0a 6,22a 8.35a 8,60a 9.50a 10.32a 11.00a 11.45a 11.90a 12.99a 12.80a 13.55a 13.77a 13.88a IIB 1.0a 7.98a 7.85a 8.45a 9.25a 10.05a 10.65a 11.15a 11.75a 12.25a 12.59a 12.79a 12.89a 12.99a 1 HST (hari setelah tanam) 2 IA = varietas Anjasmoro dengan aplikasi mulsa, IIA = varietas Gepak Kuning dengan aplikasi mulsa, IB = varietas Anjasmoro dengan tanpa aplikasi mulsa, IIB = varietas Gepak Kuning dengan tanpa aplikasi mulsa 3 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) Tabel 9 Pengaruh interaksi antara varietas kedelai dengan aplikasi PGPR terhadap rata-rata tinggi tanaman kedelai Rata-rata tinggi tanama (cm) Perla Umur tanaman (HST) 1 Kuan Ic 2 1,0a a 9.47a 10.0a 10.87a 11.67a 12.27a 12.77a 13.37a 13.87a 14.21a 14.41a 14.51a 14.61a Id 1.0a 7.39a 9.01a 9.61a 10.41a 11.21a 11.81a 12.31a 12.91a 13.41a 13.75a 13.95a 14.05a 14.15a IIc 1.0a 6.33a 8.03a 8.63a 9.43a 10.23a 10.83a 11.33a 11.93a 12.43a 12.77a 12.97a 13.07a 13.17a IId 1.0a 9.62a 7.62a 8.28a 9.08a 9.88a 10.48a 10.98a 11.58a 12.08a 12.42a 12.62a 12.72a 12.82a 1 HST (hari setelah tanam) 2 Ic = varietas Anjasmoro dengan aplikasi PGPR, IIc = varietas Gepak Kuning dengan aplikasi PGPR, Id = varietas Anjasmoro dengan tanpa aplikasi PGPR, IId = varietas Gepak Kuning denga tanpa aplikasi PGPR 3 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) 26

40 Pengaruh perbedaan varietas kedelai terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Insidensi penyakit pada varietas Anjasmoro dengan varietas Gepak Kuning pada umur tanaman 49 HST sampai dengan 70 HST tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%. Persentase insidensi penyakit busuk pangkal batang ini berbanding lurus dengan umur tanaman, semakin bertambahnya umur tanaman persentase insidensi penyakit terus meningkat. Insidensi penyakit pada umur tanaman 70 HST mencapai 18.9% pada varietas Anjasmoro dan 36.7% pada varietas Gepak Kuning (Tabel 10). 27 Tabel 10 Pengaruh varietas kedelai terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Perlakuan Insidensi Penyakit (%) Umur tanaman (HST) AUDPC 2 (% hari) Anjasmoro 6.5a a 16.7a 18.1a 18.9a 653.9a Gepak Kuning 10.6a 21.3a 28.4a 33.6a 36.7a 635.0a 1 HST (hari setelah tanam) 2 AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve) 3 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) Nilai insidensi penyakit busuk pangkal batang pada umur tanaman 42 HST 70 HST tidak berbeda nyata antara Anjasmoro dengan Gepak Kuning. Hal ini didukung dengan nilai AUDPC pada kedua varietas tersebut yang hampir sama dan tidak berbeda nyata pada uji statistik Duncan dengan taraf nyata 5%. Hal ini menunjukkan bahwa kedua varietas ini memiliki tingkat ketahanan atau kerentanan terhadap penyakit busuk pangkal batang yang sama. Pengaruh perlakuan mulsa terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai Pemberian mulsa berpengaruh nyata terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada taraf nyata 5%. Persentase insidensi penyakit pada perlakuan dengan meggunakan mulsa mencapai 34.9% di hari ke-70 setelah tanam (Tabel 11). Hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa insidensi penyakit pada perlakuan dengan menggunakan mulsa lebih tinggi dibandingkan dengan hasil perlakuan tanpa mulsa. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit busuk pangkal

41 28 batang lebih banyak menyebar pada tanaman kedelai dengan aplikasi mulsa. Nilai perhitungan AUDPC pun menguatkan hal tersebut dengan nilai mencapai 829.9% hari yang lebih tinggi dari AUDPC perlakuan tanpa mulsa (Tabel 11). Tabel 11 Pengaruh mulsa terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Perlakuan Insidensi Penyakit (%) Umur tanaman (HST) AUDPC 2 (% hari ) Menggunakan mulsa 11.6b a 29.2a 32.6a 34.9a 829.9a Tanpa mulsa 5.5b 11.8b 15.8b 19.1b 20.8b 458.9b 1 HST (hari setelah tanam) 2 AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve) 3 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) Pengaruh perlakuan PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai Pengaruh PGPR menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap penekanan insidensi penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai (Tabel 12). PGPR ini memberikan respon yang baik jika dianalisis dari faktor PGPR itu sendiri. PGPR yang diaplikasikan memberikan hasil yang nyata dalam penekanan insidensi penyakit sebesar 18.9% (Tabel 12). Kesulitan mendapatkan hasil yang maksimal pada penggunaan agens biokontrol seperti PGPR di lingkungan adalah dari kemampuan agens biokontrol tersebut dalam beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh bakteri pemacu tumbuh tidak dapat secara langsung beradapatasi dengan lingkungan yang baru sehingga pertumbuhan patogen tidak terganggu dan setelah ada inang patogen akan dapat menginfeksi lebih cepat (Backman & Kabana 1975). Backman dan Kabaa (1975) juga menjelaskan bahwa agens antagonis atau bakteri yang dapat membantu pertumbuhan yang diintroduksi kedalam tanah memerlukan bahan sebagai makanan dasar agar dapat beradaptasi dengan ekosistem yang baru dan dapat mengatasi resistensi dari mikroflora tanah dan membantu tumbuh lebih cepat. Hasil penelitian Aditya (2006) menunjukkan PGPR (strain Bacillus subtilis AB 89) mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan

42 29 R. solanacearum paling besar secara in vitro ternyata kurang mampu menekan keparahan penyakit pada tanaman dirumah kaca (in vivo). Hal ini menandakan diduga adanya pengaruh beberapa faktor dalam aplikasi agens biokontrol tersebut. Faktor-faktor tersebut diduga seperti kemampuan adaptasi bakteri pada lingkungan pertanaman, kesesuaian inang, dan kemampuan inang menghasilkan eksudat yang dibutuhkan oleh agens biokontrol. Hal ini dijelaskan pula oleh Fravel (1988) bahwa isolat antagonis terpilih secara in vitro tidak secara langsung merefleksikan kemampuannya secara in vivo. Tabel 12 Pengaruh PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang Perlakuan Insidensi Penyakit (%) AUDPC 2 Umur tanaman (HST) 1 (% hari) Menggunakan PGPR 6.5b b 16.7b 18.1b 18.9b b Tanpa PGPR 10.6b 21.3a 28.4a 33.6a 36.7a a 1 HST (hari setelah tanam) 2 AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve) 3 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) Luas AUDPC pada perlakuan tanpa PGPR lebih luas jika dibandingkan dengan perlakuan aplikasi PGPR. Nilai AUDPC pada perlakuan PGPR yang lebih rendah menunjukkan persentase insidensi penyakit yang rendah. Secara langsung PGPR mampu memproduksi zat pengatur tumbuh dan meningkatkan pengambilan nutrisi oleh tumbuhan (Kloepper 1985) sehingga dapat memperkuat benteng pertahanan pada tubuh tumbuhan yang terserang sehingga menghasilkan insidensi penyakit yang lebih kecil. Menurut Johnson et al. (1960) antagonisme antara rizobakteri dengan cendawan patogen dapat terjadi melalui beberapa mekanisme yang membantu memperkuat pertahanan tersebut. Hal ini membuktikan secara nyata bahwa aplikasi PGPR memberikan pengaruh positif yang nyata untuk menekan insidensi penyakit busuk pangkal batang. Penghambatan bakteri rizosfer kedelai terhadap koloni cendawan S. rolfsii Dari hasil perhitungan daya hambat bakteri rizosfer kedelai disajikan pada Tabel 13, Tabel 14, Tabel 15 dan Tabel 16. Seluruh isolat bakteri menunjukkan

43 30 hambatan yang tidak berbeda nyata. Nilai persentase daya hambat tiap isolat digunakan untuk melihat kemampuan bakteri rizosfer kedelai yang berhasil diisolasi sebagai kadidat agens pengendali penyakit busuk pangkal batang. Isolat T32 menghasilkan persentase daya hambat tertinggi dengan persentase penghambatan mencapai 95.6% (Tabel 12). Tabel 13 Persentase penghambatan bakteri rizosfer kelompok tahan panas terhadap koloni S. rolfsii in vitro Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) T1 63.4ab 1 T ab T ab T ab T2 60.4ab T16 30,5ab T ab T b T3 75.5ab T ab T ab T ab T4 66.2ab T ab T a T ab T5 76.6ab T ab T ab T ab T6 60.0ab T ab T ab T ab T7 75.0ab T ab T ab T ab T8 66.5ab T ab T ab T ab T9 25.5ab T ab T ab T ab T ab T ab T ab T ab T ab T ab T ab T ab T ab T ab T ab T ab T ab T ab T ab Kontrol 0b T ab T ab T ab 1 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) Isolat bakteri K10 memiliki kemampuan membentuk penghambatan dengan persentase tertinggi (Tabel 14). Pertumbuhan miselium cendawan S.rolfsii tidak optimal ke bagian kiri menuju koloni bakteri K10.

44 Tabel 14 Persentase penghambatan bakteri rizosfer kelompok non- fluorescence terhadap koloni S. rolfsii in vitro Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) K1 60.0ab 1 K8 45.0ab K ab K2 30.0ab K9 75.5ab K ab K3 60.0ab K a K ab K4 30.0ab K ab K ab K5 26.6ab K ab K ab K6 40.4ab K ab K ab K7 65.4ab K ab Kontrol 0b 1 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) 31 Isolat KT4 menghasilkan hambatan tertinggi diatas kontrol (Tabel 15). Nilai ini menunjukkan bahwa isolat tersebut memiliki kemampuan penghambatan yang dapat menekan perkembangan cendawan S.rolfsii. Isolat bakteri KT4 menghasilkan zona bening pada medium kitin dan PDA. Zona bening yang dihasilkan oleh isolat KT4 membuat media tidak dapat ditumbuhi oleh miselia cendawan, sehingga perkembangan miselium cendawan tersebut terhambat sampai hari ke-2 pengamatan. Tabel 15 Persentase penghambatan bakteri rizosfer kelompok kitinolitik terhadap koloni S. rolfsii in vitro Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) KT1 50.4b 1 KT8 50.0ab KT ab KT2 60.0ab KT9 51.0ab KT ab KT3 55.3ab KT ab KT ab KT4 80.5a KT ab KT ab KT5 60.3ab KT ab KT ab KT6 55.5ab KT b KT ab KT7 60.6ab KT14 32,3ab KT ab Kontrol 0b 1 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) Uji antagonis bakteri kelompok fluorescence menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar isolat. Namun demikian, isolat F8 memiliki perbedaan

45 32 yang besar bila dilihat dari nilai persentase daya hambat yang dihasilkan dari isolat bakteri ini (Tabel 16). Jenis bakteri fluorescence yang menghasilkan sedikit bakteri yang terisolasi. Kemampuan antagonis dari bakteri ini baru terlihat pada hari ke-3 inkubasi. Gambar 2 menunjukkan daya hambat yang dilakukan oleh isolat F8. Tabel 16 Persentase penghambatan bakteri rizosfer kelompok fluorescen terhadap koloni S. rolfsii in vitro Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) Isolat Bakteri Daya Hambat (%) F1 28.5ab 1 F5 41.0ab F9 18.0ab F2 36.6ab F6 37.5ab F ab F3 37.5ab F7 34.7ab Kontrol 0b F4 36.8ab F8 45.0a 1 Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%) Gambar 2 menunjukkan penghambatan yang terjadi atara T32, F8, Kt4, dan K10 dengan cendawan S.rolfsii. Setiap isolat bakteri yang diujikan memberikan hasil penghambatan yang berbeda-beda tiap isolatnya. A B C D E F Gambar 2 Hasil uji penghambatan isolat bakteri rizosfer terhadap cendawan S. rolfsii. A. Isolat K10; B. Isolat T32; C. Isolat F8; D. Isolat Kt4; E. Kontrol; F. Isolat murni S. rolfsii

46 33 Semakin lebar daya hambat yang dihasilkan dari pengukuran uji antagonisme maka semakin besar potensi senyawa metabolit bakteri tersebut sebagai agens hayati patogen penyebab penyakit. Mekanisme penekanan penyakit dapat melalui kompetisi atau produksi metabolit bakteri seperti siderofor, HCN, antibiotik atau enzim ekstraseluler yang bersifat anatgonis terhadap patogen (Liu et al.1995). Dari hasil penelitian Sutariati (2006) didapatkan bahwa bakteri rizosfer memang berpotensi sebagai agens pengendalian hayati dengan cara antagonis terhadap penyakit tanaman yang menyerang. Rizosfer merupakan bagian tanah yang berada disekitar perakaran tanaman dan berperan sebagai pertahanan luar bagi tanaman terhadap serangan patogen akar. Berdasarkan bibiliografinya, rizosfer dicirikan dengan aktivitas biologinya yang paling tinggi pada tanah (Patkowska 2002). Produksi HCN oleh bakteri rizosfer diketahui berhubungan dengan kemampuan bakteri rizosfer menghambat pertumbuhan patogen (Maunuksela 2004). Seluruh isolat bakteri rizosfer yang digunakan untuk pengujian tersebut sudah melaui tahap pengujian hipersensitif. Uji hipersensitif merupakan uji bakteri untuk mengetahui sifat patogenisitasnya. Isolat bakteri T32, K10, Kt4, dan F8 menghasilkan respon negatif terhadap uji hipersensitif pada tanaman tembakau (Wijayanti 2011 komunikasi langsung). Menurut Klement et al. (1990), respon hipersensitifitas diartikan sebagai reaksi pertahanan yang cepat dari tanaman dalam menghadapi patogen disertai dengan kematian sel yang cepat. Jika bakteri tersebut menghasilkan respon yang negatif, maka isolat bakteri yang diujikan tidak menimbulkan efek patogenik terhadap tanaman. Untuk itulah isolat T32, K10, Kt4, dan F8 sudah memiliki dua karakteristik yang baik yang memiliki potensi besar sebagai kandidat pengendali penyakit busuk pangkal batang. Karakterisasi isolat bakteri rizosfer kedelai Bakteri tanah memiliki keragaman yang tertinggi bila dibandingkan dengan mikroorganisme tanah lainnya (Kennedy 1999). Akar tanaman mempunyai kemampuan mengeluarkan eksudat (cairan sel yang keluar di sekitar akar), seperti halnya pada tumbuhan lainnya. Hasil eksudasi akar tersebut kemudian menyebar ke tanah rizosfer. Hasil eksudasi merupakan sumber

47 34 makanan atau sumber kehidupan untuk mikroflora tanah, termasuk mikroorganisme. Akibatnya di sekitar perakaran rumput dapat ditemukan banyak mikroorganisme (Rahayu 2009). Hal inilah yang menjadi pendukung dari beragamnya mikoorganisme di dalam lapisan rizosfer tanaman. Hasil karakterisasi bakteri rizosfer kedelai yang menunjukkan sifat antagonis terhadap S. rolfsii dengan daya hambatan tertinggi pada masing-masing kelompok bakteri berdasarkan acuan Pelczar (1986) ditampilkan pada Tabel 17. Sifat dasar bakeri diamati dari kemapuan bakteri tersebut beradaptasi pada media tumbuhnya. Bakteri tahan panas memiliki sifat tetap dapat beradaptasi pada medium TSA walupun sebelumnya terah mengalami proses pemanasan hingga suhu 80 0 C. Bakteri jenis fluorescence memiliki sifat memiliki kemampuan Tabel 17 Karakter bakteri rizosfer yang menunjukkan sifat antagonis terhadap S. rolfsii dengan daya hambat tertinggi pada masing - masing kelompok bakteri Isolat Jenis bakteri Warna Bentuk Elevasi Tepian F8 Fluorescensce Putih susu Bundar Menonjol Licin K10 Kt4 Tidak berpendar Kitinolitik Kuning kusam Putih T32 Tahan panas Putih kusam kecoklatan Bundar Datar Berombak Bundar dengan tepian menyebar Bundar dengan tepian timbul Datar Timbul Tak beraturan Berlekuk

48 35 v A B C D E F G H Gambar 3 Karakter bakteri rizosfer yang menunjukkan sifat antagonis terhadap S. rolfsii dengan daya hambatan tertinggi pada tiap kelompok bakteri. A. Isolat F8; B. Koloni tunggal isolat F8; C. Isolat K10; D. Koloni tunggal isolat K10; E. Isolat T32; F. Koloni tunngal isolat T32; G. Isolat Kt4; H. Koloni tunggal isolat Kt4

49 36 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kombinasi perlakuan varietas, penggunaan mulsa serta aplikasi PGPR tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang dan nilai AUDPC. Insidensi penyakit dan nilai AUDPC hanya dipengaruhi oleh aplikasi mulsa dan PGPR secara terpisah dan gabungan antara varietas dengan mulsa. Nilai AUDPC penyakit busuk pangkal batang pada lahan yang diberi mulsa nyata lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang tidak diberi mulsa. Aplikasi mulsa meningkatkan insidensi penyakit busuk pangkal batang. Sedangkan aplikasi PGPR dapat menekan insidensi penyakit tersebut. Aplikasi mulsa tanpa PGPR justru meningkatkan insidensi penyakit. Saran Perlu dicoba perlakuan aplikasi PGPR lebih dari satu kali untuk meningkatkan kinerja agens biokontrol tersebut. Perlu dilakukan uji lanjutan untuk mengetahui sifat-sifat lain dari bakteri yang di isolasi. Perlu dilakukan karakterisasi secara spesifik terhadap bakteri yang berhasil diisolasi dan menghasilkan daya penghambatan paling tinggi.

50 37 DAFTAR PUSTAKA [Deptan] Departemen Pertanian. 2008a. Mutu kedelai nasional lebih baik dari kedelai impor. [1 Maret 2011]. Adisarwanto T Influenceof planning method and mulching on seed yield of soybean in the dry season following lowland rice. Japan: The First International on Soybean In Tropic and Sub Tropic Cropping System, Tsukuda, Japan. Aditya R Seleksi dan karakterisasi bakteri rizosfer untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada kacag tanah yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum Yabuuchi et al [skripsi]. Bogor: Jurusan hama dan Penyakit Tumbuhan, fakultas Pertanian, IPB. Agrios G Plant Pathology. Fourth Edition. New York : Academic press. Inc.421p. Alexopaulus FL, Mims JK Laboratory Manual For Introductory Mycology. USA: Burgess Publishing Company. Backman PA, Kabana RR Asystem for the growth and delivery of biological control agents to the soil. Phytopathology 65: Baker KF, Cook RJ Biological Control of plant Patogents. W. H. Freeman and Company. San Fransisco. 433p. Budiman A, Thamrin M Keefektifan 11 Fungisida Terhadap Penyakit Sclerotium rolfsii Sacc. Pada Tanaman Kedelai di Lahan Kering. Banjarbaru: Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Balai Penelitian Tanaman Pangan. Banjarbaru. Cook RJ, Baker KF The Nature And Practice Of Biological Control Of Plant Patogens. Minnesota: APS Press. Cooke BM, Jones DG, Kye B The Epidemiology of Plant Disease: Second Edition. Netherland. Springer. 576pp. Dianawati CS Pengendalian Fusarium oxysporum Schelt ex. Fr. Penyebab penyakit layu pada tanaman krisan dengan agens antagonis Pseudomonas fluorescens Migula. Bogor: Laporan makalah khusus. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. IPB. Domsch KH, Gams W, Anderson TH Compedium of Soil Fungi New York: Academic Press. 1:55-57.

51 Fravel DR Role of antibiosis in biocontrol of plant disease. Annu. Rev. Phytopathol. 26: Gonsalves AK, Ferreira S Fusarium oxysporum. Departement of Plant Pathology, CTAHR. Hawai: University of Hawaii at Manoa. Gordon RE The genus Bacillus. Didalam: William M, O leam Ph.D., editors. Boca Raton: Practical hand book of microbiology. CRC Press Inc. Hlm Hasanuddin Peningkatan Peranan Mikroorganisme Dalam Sistem Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Terpadu. Jurusan Hama Dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, [ 23 Maret 2011] Hardaningsih S Penyakit-Penyakit yang Disebabkan oleh Cendawan pada Kacang Tanah dan Pengendaliannya. Malang: BPTP. Jackson RM Antibiosis and fungistasis of soil microorganism. Burgess Publishing Company Minessota. 200p Johnson et al Methods for Studying soil Microflora-plant Disease Relationships. Burgess Publishing Company Minessota. 117p. Jugaja ZK, Jenkins SF Influence of nitrogen and calcium compound on development of disease due to Sclerotium rolfsii In A. W. Engelhard (Ed.). Soil Borne Plant Patogens Management of Disease with Macro dan Micro Element. The American Phytophatological Society Minessota. P Kartasapoetra et al Teknologi konservasi tanah dan air. Bina Aksara. Jakarta: Pertumbuhan dan Produksi. Kennedy AC Bacterial diversity in agoecosystems. Journal of Agriculture Ecosystem & Enviroment 74: Khonke H Soil physics. New York : MacGrow-Hill Book Company. Klement Z, Rudolph K, Sands DC Methods in Phytobacteriology. Budapest: Akademiai Kiado. Kloepper JW et al Plant root-bacterial interactions in biological control of soilborne disease and potential extension to systemic and foliar diseases. Austral Plant Pathol 28: Liu L, Kloepper JW, Tuzun S Induction of systemic resistence in cucumber by plant growth promoting rhizobacteria: duration of protection and 38

52 effect of host resistence on protection and root colonization. Phytopathology 85: Martoredjo T Pengendalian Penyakit Tanaman. Yogyakarta : Andi Offset. Maunuksela L Molecular and physiological characterization of rhizosphere bacteria and Frankia in forest soil devoid of actinorhiza plants. [Maret 2011] Nawangsih AA dkk Biological control of tomato bacterial wilt, Ralstonia solanacearum, by Bacillus sp. L32. Journal of ISSAAS 11: Nelson EB, Hoitink HAJ The role of microorganism in the suppression of Rizoctonia solani in container media amended with composted hardwood bark. Phytophatology 73: Osburn RM et al Effect of Bacillus cereus UW85 on the yield of soybean at two field sites in Wisconsin. Plant Disease 75: Paada A Pengaruh mulsa dan Fosfor Terhadap Produksi tanaman Kedelai (Glycine max (L.) MERRIL). Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Patkowska E The Role of Rhizosphere Antagonistic Microorganism in Limiting the Infectionof Underground Part of Spring Wheat. Media. Pl/series/volume/5 /issue2/horticulture/art- 04.html. [16 Februari 2011] Pelczar MJ, Chan ECS Dasar- dasar Mikrobiologi 1. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL. Penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: Elements of Microbiology. Rahaju M Ragam Patogen Tular Tanah Dan Mikroba Antagonisnya Pada Rizosfer Kacang-Kacangan di Jawa Timur. Prosiding Peningkatan Produksi Kacang-Kacangan dan Umbu-Umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Bogor : Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanaman Pangan. Rahayu T Potensi antibiotik isolat bakteri rizosfer terhadap bakteri Escherichia coli multiresisten. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi. 7 (2) Rustam Pengendalian Penyakit Darah pada Tanaman pisang dengan bakteri Antagonis [tesis]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB. 39

53 Schaad NW Initial indentification of common genera. Di dalam: Schaad NW, Jones JB, Chun W. editors. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. Ed ke-3. St Paul: APS Press. P 1-15 Schippers B, Lugtenberg B, Weisbeek PJ Plant growth control by fluorescent pseudomonad. Di dalam: Ilan C., editor. Innovative approaches to plant disease control. New York: John Wiley and Sons. P Semangun H Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Semangun H Penyakit-Penyakit Tanaman Holtikultura. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Semangun H Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Singh J, Faull JL Antagonism and biological control. In K. G. Mukerji and K.L. garg (Eds.). biocontrol of Plant Disease. Vol. II. CRC Press Inc., Boca Raton, Florida. P Soekarno D, Hartono Pengendalian hama kedelai. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Bogor. Hlm. 50. Sudantha IM Pengendalian Patogen Tular Tanah pada Tanaman Kedelai Secara Hayati Menggunakan Bahan Organik dan Trichoderma harzianum dalam Prosiding Kongres Nasinal XIV dan Seminar Nasional. Palembang: Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Supriati L Potensi Antagonis pada Lahan Gambut untuk Mengendalikan Penyakit Rebah Semai (Sclerotium rolfsii Sacc.) pada Tanaman Kedelai. Seminar Hasil Penelitian. Malang: Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya. Hlm

54 LAMPIRAN 41

55 Lampiran 1 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada umur tanaman 6 MST Source Db Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Kel Var Mul <.0001 Hayati var*mul var*hayati mul*hayati var*mul*hayati *Interaksi Lampiran 2 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada umur tanaman 7 MST Source Db Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Error Corrected Total Kel Var Mul <.0001 Hayati <.0001 var*mul var*hayati mul*hayati var*mul*hayati *Interaksi 42

56 Lampiran 3 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada umur tanaman 8 MST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Error Corrected Total Kel Var Mul <.0001 Hayati <.0001 var*mul var*hayati mul*hayati var*mul*hayati *Interaksi Lampiran 4 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada umur tanaman 9 MST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Error Corrected Total Kel Var Mul <.0001 Hayati <.0001 var*mul var*hayati mul*hayati var*mul*hayati *Interaksi 43

57 Lampiran 5 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada umur tanaman 10 MST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Error Corrected Total Kel Var Mul <.0001 Hayati <.0001 var*mul var*hayati mul*hayati var*mul*hayati *Interaksi Lampiran 6 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai 7 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi 44

58 Lampiran 7 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai 14 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi Lampiran 8 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai 21 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi 45

59 Lampiran 9 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai 28 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi Lampiran 10 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai 35 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi 46

60 Lampiran 11 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai 42 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi Lampiran 12 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai HST 49 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi 47

61 Lampiran 13 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai 56 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi Lampiran 14 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai 63 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi 48

62 Lampiran 15 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai 70 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi Lampiran 16 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai 77 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi 49

63 Lampiran 17 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai 84 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi Lampiran 18 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai 91 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi 50

64 Lampiran 19 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman kedelai 98 HST Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total Blok var*mulsa var*pgpr mulsa*pgpr var*mulsa*pgpr *Interaksi Lampiran 20 Analisis uji antagonisme isolat bakteri rizosfer tahan panas dengan cendawan S. rolfsii Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Error Corrected Total

65 Lampiran 21 Analisis uji antagonisme isolat bakteri rizosfer non-fluorencens dengan cendawan S. rolfsii Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Error Corrected Total Lampiran 22 Analisis uji antagonisme isolat bakteri rizosfer fluorencens dengan cendawan S. rolfsii Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Error Corrected Total

66 Lampiran 23 Analisis uji antagonisme isolat bakteri rizosfer kitinolitik dengan cendawan S. rolfsii Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Error Corrected Total Lampiran 24 Pengaruh kombinasi varietas, mulsa serta aplikasi PGPR terhadap nilai AUDPC penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kedelai Source DB Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Error Corrected Total Kel Var Mul <.0001 Hayati <.0001 var*mul var*hayati mul*hayati var*mul*hayati

67 54 Lampiran 25 Kondisi tanaman kedelai di lapangan A B A. Daun tanaman kedelai sehat berwarna hijau segar B. Hamparan pertanaman kedelai di lapangan Lampiran 26 Gejala tanaman yang terserang cendawan S. rolsii A B Sklerotium coklat Tanaman layu C Miselium Putih A. Sclerotium berwarna coklat menempel pada batang kedelai; B. Tanaman kedelai yang mengalami layu akibat serangan cendawan S.rolfsii; C. Miselium putih memenuhi pangkal batang kedelai

68 Lampiran 27 Isolat Kt4 dan zona bening yang di hasilkan isolat Kt4 pada media kitin 55 Lampiran 28 Isolat F8 menghasilkan pigmen berwarna Kuning yang berpendar dibawah sinar ultraviolet

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor serta di Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max (L) Merill).

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max (L) Merill). 4 TINJAUAN PUSTAKA Kedelai (Glycine max (L) Merill). Kedelai merupakan tanaman semusim. Kedelai termasuk kedalam klas Dicotyledonae, ordo Polypetales, family Leguminoceae (Agrios 1978). Tanaman kedelai

Lebih terperinci

Lampiran 2 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal

Lampiran 2 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal LAMPIRAN 41 Lampiran 1 Pengaruh kombinasi varietas, aplikasi mulsa, serta aplikasi PGPR terhadap insidensi penyakit busuk pangkal batang pada umur tanaman 6 MST Source Db Sum of Squares Mean Square F Value

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 Maret 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

BAHAN. bulan Juli diremajakan. pertumbuhan. Gambar 4

BAHAN. bulan Juli diremajakan. pertumbuhan. Gambar 4 14 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian serta di Rumah Kaca University Farm, Institut

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kitin dan Bakteri Kitinolitik Kitin adalah polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan komponen penyusun tubuh serangga, udang, kepiting, cumi-cumi, dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Bahan dan Alat Isolasi dan Uji Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Bahan dan Alat Isolasi dan Uji Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari Oktober 2010

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah Kaca, University Farm,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Pengamatan mikroskopis S. rolfsii Sumber :

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Pengamatan mikroskopis S. rolfsii Sumber : 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyebab Penyakit Jamur penyebab penyakit rebah semai ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Fungi : Basidiomycota : Basidiomycetes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kedelai menjadi tanaman terpenting ketiga setelah padi dan jagung

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kedelai menjadi tanaman terpenting ketiga setelah padi dan jagung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max L.) merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia. Kedelai menjadi tanaman terpenting ketiga setelah padi dan jagung (Danapriatna, 2007).

Lebih terperinci

Tabel 1 Persentase penghambatan koloni dan filtrat isolat Streptomyces terhadap pertumbuhan S. rolfsii Isolat Streptomyces spp.

Tabel 1 Persentase penghambatan koloni dan filtrat isolat Streptomyces terhadap pertumbuhan S. rolfsii Isolat Streptomyces spp. 4 Tinggi tanaman kumulatif dikonversi menjadi LADKT (luasan area di bawah kurva perkembangan tinggi tanaman) menggunakan rumus sama seperti perhitungan LADKP. KB dihitung dengan rumus (Sutopo 2002): Perhitungan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan Rumah Kaca University Farm, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Lebih terperinci

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Isolasi dan perbanyakan sumber inokulum E. carotovora dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di Indonesia masih banyak mengandalkan penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Percobaan dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Juli 2012 di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Hama dan Penyakit dan rumah kaca Balai penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO), Bogor; pada bulan Oktober

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Bakteri Endofit Asal Bogor, Cipanas, dan Lembang Bakteri endofit yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tiga tempat yang berbeda dalam satu propinsi Jawa Barat. Bogor,

Lebih terperinci

EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa)

EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa) EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa) A. Pendahuluan Pseudomonad fluorescens merupakan anggota kelompok Pseudomonas yang terdiri atas Pseudomonas aeruginosa,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bidang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bidang 8 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bidang Proteksi Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Mikrobiologi dan Kesehatan

Lebih terperinci

HASIL. Pengaruh Seduhan Kompos terhadap Pertumbuhan Koloni S. rolfsii secara In Vitro A B C

HASIL. Pengaruh Seduhan Kompos terhadap Pertumbuhan Koloni S. rolfsii secara In Vitro A B C HASIL Pengaruh Seduhan Kompos terhadap Pertumbuhan Koloni S. rolfsii secara In Vitro Pertumbuhan Koloni S. rolfsii dengan Inokulum Sklerotia Pada 5 HSI diameter koloni cendawan pada semua perlakuan seduhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pembiakan P. fluorescens pada Beberapa Formulasi Limbah Organik Populasi P. fluorescens pada beberapa limbah organik menunjukkan adanya peningkatan populasi. Pengaruh komposisi limbah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai kedelai yang

PENDAHULUAN. Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai kedelai yang PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai merupakan tanaman pangan yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai kedelai yang kita kenal sekarang (Glycine

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika IPB (PKBT-IPB) Pasir Kuda, Desa Ciomas, Bogor, dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Kedelai Berdasarkan klasifikasi tanaman kedelai kedudukan tanaman kedelai dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut (Cahyono, 2007):

Lebih terperinci

PENGARUH Trichoderma viride dan Pseudomonas fluorescens TERHADAP PERTUMBUHAN Phytophthora palmivora Butl. PADA BERBAGAI MEDIA TUMBUH.

PENGARUH Trichoderma viride dan Pseudomonas fluorescens TERHADAP PERTUMBUHAN Phytophthora palmivora Butl. PADA BERBAGAI MEDIA TUMBUH. 0 PENGARUH Trichoderma viride dan Pseudomonas fluorescens TERHADAP PERTUMBUHAN Phytophthora palmivora Butl. PADA BERBAGAI MEDIA TUMBUH (Skripsi) Oleh YANI KURNIAWATI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Karakterisasi Bakteri Penyebab Busuk Lunak Uji Gram

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Karakterisasi Bakteri Penyebab Busuk Lunak Uji Gram HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Isolasi daun anggrek yang bergejala busuk lunak dihasilkan 9 isolat bakteri. Hasil uji Gram menunjukkan 4 isolat termasuk bakteri Gram positif

Lebih terperinci

BAB 5 PENEKANAN PENYAKIT IN PLANTA

BAB 5 PENEKANAN PENYAKIT IN PLANTA 65 BAB 5 PENEKANAN PENYAKIT IN PLANTA Pendahuluan Penyakit tanaman terjadi ketika tanaman yang rentan dan patogen penyebab penyakit bertemu pada lingkungan yang mendukung (Sulivan 2004). Jika salah satu

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH Nurbaiti Pendahuluan Produktifitas cabai di Aceh masih rendah 10.3 ton/ha (BPS, 2014) apabila dibandingkan dengan potensi produksi yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat

BAHAN DAN METODE. Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan di Rumah Kasa Fakultas Pertanian, Medan dengan ketinggian tempat + 25 m dpl pada Bulan Mei

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri Kejadian penyakit adalah angka yang menunjukkan jumlah tanaman sakit dibandingkan dengan jumlah tanaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sebagian besar produk perkebunan utama diekspor ke negara-negara lain. Ekspor. teh dan kakao (Kementerian Pertanian, 2015).

PENDAHULUAN. Sebagian besar produk perkebunan utama diekspor ke negara-negara lain. Ekspor. teh dan kakao (Kementerian Pertanian, 2015). 12 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub-sektor perkebunan merupakan penyumbang ekspor terbesar di sektor pertanian dengan nilai ekspor yang jauh lebih besar dibandingkan nilai impornya. Sebagian besar produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai PGPR sebagai rizobakteria memberikan pengaruh tertentu terhadap pertumbuhan tanaman kedelai yang diujikan di rumah

Lebih terperinci

Lampiran 1 Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi tanaman kedelai dan nilai AUHPGC

Lampiran 1 Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi tanaman kedelai dan nilai AUHPGC LAMPIRAN 38 38 Lampiran 1 Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi tanaman kedelai dan nilai AUHPGC Perlakuan Laju pertambahan tinggi (cm) kedelai pada minggu ke- a 1 2 3 4 5 6 7 AUHPGC (cmhari)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur patogen Fusarium sp.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur patogen Fusarium sp. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur patogen Fusarium sp. merupakan salah satu penyakit yang sering menyerang tanaman pertanian termasuk tanaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil protein nabati yang sangat penting, baik karena kandungan gizinya, aman dikonsumsi, maupun harganya yang

Lebih terperinci

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK MIFTAHUL

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (PGPR) Enzim ACC Deaminase dan Etilen

TINJAUAN PUSTAKA Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (PGPR) Enzim ACC Deaminase dan Etilen TINJAUAN PUSTAKA Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (PGPR) Rizobakteri pemacu tumbuh tanaman yang populer disebut plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) diperkenalkan pertama kali oleh Kloepper

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Tanaman Industri dan Penyegar

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Tanaman Industri dan Penyegar 25 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Tanaman Industri dan Penyegar Cahaya Negeri, Abung Barat, Lampung Utara dan Laboratorium Penyakit

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Perkembangan Koloni Bakteri Aktivator pada NA dengan Penambahan Asam Humat Pengujian di laboratorium menunjukkan bahwa pada bagian tanaman tomat

Lebih terperinci

PENGARUH KANDUNGAN PASIR PADA MEDIA SEMAI TERHADAP PENYAKIT REBAH KECAMBAH (Sclerotium rolfsii Sacc) PADA PERSEMAIAN TANAMAN CABAI

PENGARUH KANDUNGAN PASIR PADA MEDIA SEMAI TERHADAP PENYAKIT REBAH KECAMBAH (Sclerotium rolfsii Sacc) PADA PERSEMAIAN TANAMAN CABAI ISSN 1410-1939 PENGARUH KANDUNGAN PASIR PADA MEDIA SEMAI TERHADAP PENYAKIT REBAH KECAMBAH (Sclerotium rolfsii Sacc) PADA PERSEMAIAN TANAMAN CABAI Sri Mulyati Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

WASPADA PENYAKIT Rhizoctonia!!

WASPADA PENYAKIT Rhizoctonia!! WASPADA PENYAKIT Rhizoctonia!! I. Latar Belakang Luas areal kebun kopi di Indonesia sekarang, lebih kurang 1,3 juta ha, sedangkan produksi kopi Indonesia sekarang, lebih kurang 740.000 ton dengan produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Cendawan Rhizosfer Hasil eksplorasi cendawan yang dilakukan pada tanah rhizosfer yang berasal dari areal tanaman karet di PT Perkebunan Nusantara VIII, Jalupang, Subang,

Lebih terperinci

SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI

SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 sampai Oktober 2012. Sampel gubal dan daun gaharu diambil di Desa Pulo Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Mikrobiologi Tanah dan Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman Kacang- kacangan dan Umbiumbian

BAB III METODE PENELITIAN. Mikrobiologi Tanah dan Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman Kacang- kacangan dan Umbiumbian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 01 Februari sampai 31 Mei 2011 di Laboratorium Mikrobiologi Tanah dan Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kacang Tanah Kacang tanah berasal dari Amerika Selatan, namun saat ini telah menyebar ke seluruh dunia yang beriklim tropis atau subtropis. Cina dan India merupakan penghasil

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan di halaman

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan di halaman III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan di halaman Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tempe, tahu, tauco, kecap dan lain-lain (Ginting dkk, 2009)

BAB 1 PENDAHULUAN. tempe, tahu, tauco, kecap dan lain-lain (Ginting dkk, 2009) 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan kedelai di Indonesia setiap tahunnya selalu meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan perbaikan pendapat perkapita. Kebutuhan kedelai dalam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Medan dengan ketinggian tempat + 25 meter di atas permukaan laut pada bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seluruh dunia dan tergolong spesies dengan keragaman genetis yang besar.

I. PENDAHULUAN. seluruh dunia dan tergolong spesies dengan keragaman genetis yang besar. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung (Zea mays) merupakan salah satu tanaman serealia yang tumbuh hampir di seluruh dunia dan tergolong spesies dengan keragaman genetis yang besar. Jagung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor Asal Cipanas dan Lembang Daerah perakaran tanaman tomat sehat diduga lebih banyak dikolonisasi oleh bakteri yang bermanfaat

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. mengalami peningkatan. Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan produksi

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. mengalami peningkatan. Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan produksi BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Produksi kedelai di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2013 secara terus menerus mengalami penurunan, walaupun permintaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Antraknosa Cabai Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides, dan C. capsici (Direktorat

Lebih terperinci

UJI HAYATI MIKORIZA Glomus fasciculatum TERHADAP PATOGEN Sclerotium rolfsii PADA TANAMAN KACANG TANAH (Arachis hypogaea L. var.

UJI HAYATI MIKORIZA Glomus fasciculatum TERHADAP PATOGEN Sclerotium rolfsii PADA TANAMAN KACANG TANAH (Arachis hypogaea L. var. UJI HAYATI MIKORIZA Glomus fasciculatum TERHADAP PATOGEN Sclerotium rolfsii PADA TANAMAN KACANG TANAH (Arachis hypogaea L. var. Domba) Onesia Honta Prasasti (1509100036) Dosen Pembimbing : Kristanti Indah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Layu Fusarium Pada Pisang

TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Layu Fusarium Pada Pisang 5 TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Layu Fusarium Pada Pisang Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) merupakan cendawan tular tanah (soil borne), penghuni akar (root inhabitant), memiliki ras fisiologi yang berbeda,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut : Divisio Subdivisio Kelas Ordo Family Genus Spesies : Mycota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas

BAB I PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas yang bersifat multiguna dan banyak diminati oleh masyarakat, khususnya di Indonesia, saat ini tomat

Lebih terperinci

Trichoderma spp. ENDOFIT AMPUH SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI (APH)

Trichoderma spp. ENDOFIT AMPUH SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI (APH) Trichoderma spp. ENDOFIT AMPUH SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI (APH) I. Latar Belakang Kebijakan penggunaan pestisida tidak selamanya menguntungkan. Hasil evaluasi memperlihatkan, timbul kerugian yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Tanaman Bawang merah (Allium ascalonicum L) merupakan tanaman semusim yang membentuk rumpun, tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 15-50 cm (Rahayu, 1999). Menurut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Varietas Kedelai, Mulsa Jerami dan Aplikasi PGPR terhadap Penyakit Pustul Bakteri Gejala pustul bakteri mulai terlihat di lapang pada umur tanaman 1 minggu setelah tanam

Lebih terperinci

PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN

PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN IZZATI SHABRINA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam rangka memenuhi permintaan dalam negeri dan meningkatkan devisa negara dari sektor non migas, pemerintah telah menempuh beberapa upaya diantaranya pengembangan komoditas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada lahan alang-alang di Kelurahan Segalamider,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada lahan alang-alang di Kelurahan Segalamider, III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada lahan alang-alang di Kelurahan Segalamider, Kecamatan Tanjung Karang Barat, Kota Bandar Lampung. Lokasi percobaan secara

Lebih terperinci

serum medium koloni Corynebacterium diphtheria tampak putih keabuabuan, spesimenklinis (Joklik WK, Willett HP, Amos DB, Wilfert CM, 1988)

serum medium koloni Corynebacterium diphtheria tampak putih keabuabuan, spesimenklinis (Joklik WK, Willett HP, Amos DB, Wilfert CM, 1988) anaerobic fakultatif. Meskipun demikian, Corynebacterium diphtheria tumbuh lebih bagus dalam keadaan aerobik. Pada Loeffler coagulated serum medium koloni Corynebacterium diphtheria tampak putih keabuabuan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah

I. PENDAHULUAN. Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah 18 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah gandum, jagung dan padi. Di Indonesia kentang merupakan komoditas hortikultura yang

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tembakau dalam sistem klasifikasi tanaman masuk dalam famili

I. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tembakau dalam sistem klasifikasi tanaman masuk dalam famili I. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Tanaman Tembakau 1.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman tembakau dalam sistem klasifikasi tanaman masuk dalam famili Solanaceae. Secara sistematis, klasifikasi tanaman tembakau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang cukup penting di Indonesia, yaitu sebagai sumber protein nabati.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang cukup penting di Indonesia, yaitu sebagai sumber protein nabati. PENDAHULUAN Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L) merupakan salah satu sumber pangan yang cukup penting di Indonesia, yaitu sebagai sumber protein nabati. Berdasarkan luas pertanaman, kacang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO Jalan Raya Dringu Nomor 81 Telp. (0335) 420517 Fax. (4238210) PROBOLINGGO 67271 POTENSI JAMUR ANTAGONIS Trichoderma spp PENGENDALI HAYATI PENYAKIT LANAS DI PEMBIBITAN TEMBAKAU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Mukarlina et al., 2010). Cabai merah (Capsicum annuum L.) menjadi komoditas

BAB I PENDAHULUAN. (Mukarlina et al., 2010). Cabai merah (Capsicum annuum L.) menjadi komoditas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai merupakan tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan diusahakan secara komersial baik dalam skala besar maupun skala kecil (Mukarlina et

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ditinjau dari aspek pertanaman maupun nilai produksi, cabai (Capsicum annuum L. ) merupakan salah satu komoditas hortikultura andalan di Indonesia. Tanaman cabai mempunyai luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antraknosa merupakan salah satu penyakit tanaman yang dapat menurunkan produksi tanaman bahkan dapat mengakibatkan gagal panen. Penyakit ini menyerang hampir semua tanaman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, termasuk ke dalam jenis tanaman polong-polongan. Saat ini tanaman

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, termasuk ke dalam jenis tanaman polong-polongan. Saat ini tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merill.), merupakan salah satu sumber protein penting di Indonesia, termasuk ke dalam jenis tanaman polong-polongan. Saat ini tanaman kedelai

Lebih terperinci

Kompos, Mikroorganisme Fungsional dan Kesuburan Tanah

Kompos, Mikroorganisme Fungsional dan Kesuburan Tanah Kompos, Mikroorganisme Fungsional dan Kesuburan Tanah Oleh Embriani BBPPTP Surabaya Latar Belakang Mikroorganisme fungsional yang dikenal sebagai biofungisida adalah jamur Trichoderma sp. dan jamur vesikular

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), jamur Ceratocystis fimbriata

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), jamur Ceratocystis fimbriata 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ceratocystis fimbriata. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), jamur Ceratocystis fimbriata dapat diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom : Myceteae, Divisi : Amastigomycota,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki pasar global, persyaratan produk-produk pertanian ramah

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki pasar global, persyaratan produk-produk pertanian ramah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi budidaya tanaman yang dilakukan perlu berorientasi pada pemanfaatan sumber daya alam yang efektif penggunaannya, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertambahnya jumlah penduduk, sehingga bahan pangan yang tersedia harus

BAB I PENDAHULUAN. bertambahnya jumlah penduduk, sehingga bahan pangan yang tersedia harus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan produk pertanian semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, sehingga bahan pangan yang tersedia harus mencukupi kebutuhan masyarakat.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kedalaman ± 150 cm, terutama pada tanah yang subur. Perakaran tanaman kedelai

TINJAUAN PUSTAKA. kedalaman ± 150 cm, terutama pada tanah yang subur. Perakaran tanaman kedelai TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman berikut: Menurut Steenis et al., (2003) tanaman kedelai diklasifiaksikan sebagai Kingdom Divisio Class Ordo Family Genus Species : Plantae : Spermatophyta : Dicotyledoneae

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesuburan tanah menurun cepat, pencemaran air dan tanah, bahaya residu

I. PENDAHULUAN. kesuburan tanah menurun cepat, pencemaran air dan tanah, bahaya residu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gerakan kembali ke alam (back to nature) yang dilandasi oleh kesadaran pentingnya kesehatan dan kelestarian lingkungan kini menjadi sebuah gaya hidup masyarakat dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu jenis tanaman pangan yang menjadi mata pencaharian masyarakat adalah tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

Lebih terperinci

PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L.

PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L. PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L.) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Colletotrichum capsici dan Fusarium oxysporum merupakan fungi

BAB I PENDAHULUAN. Colletotrichum capsici dan Fusarium oxysporum merupakan fungi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Colletotrichum capsici dan Fusarium oxysporum merupakan fungi patogen tular tanah (Yulipriyanto, 2010) penyebab penyakit pada beberapa tanaman family Solanaceae

Lebih terperinci

Created by. Lisa Marianah (Widyaiswara Pertama, BPP Jambi) PEMBUATAN PUPUK BOKASHI MENGGUNAKAN JAMUR Trichoderma sp. SEBAGAI DEKOMPOSER

Created by. Lisa Marianah (Widyaiswara Pertama, BPP Jambi) PEMBUATAN PUPUK BOKASHI MENGGUNAKAN JAMUR Trichoderma sp. SEBAGAI DEKOMPOSER PEMBUATAN PUPUK BOKASHI MENGGUNAKAN JAMUR Trichoderma sp. SEBAGAI DEKOMPOSER A. Latar Belakang Pupuk merupakan bahan tambahan yang diberikan ke tanah untuk tujuan memperkaya atau meningkatkan kondisi kesuburan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Isolasi Cendawan Rizosfer

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Isolasi Cendawan Rizosfer 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Lokasi pengambilan sampel berada di dua tempat yang berbeda : lokasi pertama, Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor memiliki ketinggian + 400 m dpl (diatas permukaan

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Berbagai jenis makanan dan minuman yang dibuat melalui proses fermentasi telah lama dikenal. Dalam prosesnya, inokulum atau starter berperan penting dalam fermentasi.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pangan dan Hortikultura Sidoarjo dan Laboratorium Mikrobiologi, Depertemen

BAB III METODE PENELITIAN. Pangan dan Hortikultura Sidoarjo dan Laboratorium Mikrobiologi, Depertemen BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di UPT Pengembangan Agrobisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura Sidoarjo dan Laboratorium Mikrobiologi, Depertemen Biologi,

Lebih terperinci

Lampiran 1 : Deskripsi Varietas Kedelai

Lampiran 1 : Deskripsi Varietas Kedelai Lampiran 1 : Deskripsi Varietas Kedelai VARIETAS ANJASMORO KABA SINABUNG No. Galur MANSURIAV395-49-4 MSC 9524-IV-C-7 MSC 9526-IV-C-4 Asal Seleksi massa dari populasi Silang ganda 16 tetua Silang ganda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dwidjoseputro (1978), Cylindrocladium sp. masuk ke dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dwidjoseputro (1978), Cylindrocladium sp. masuk ke dalam TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Cylindrocladium sp. Menurut Dwidjoseputro (1978), Cylindrocladium sp. masuk ke dalam subdivisi Eumycotina, kelas Deuteromycetes (fungi imperfect/fungi tidak sempurna), Ordo Moniliales,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses mempengaruhi peserta didik agar dapat. menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap lingkungannya serta

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses mempengaruhi peserta didik agar dapat. menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap lingkungannya serta 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses mempengaruhi peserta didik agar dapat menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap lingkungannya serta menimbulkan perubahan diri sehingga

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN BIOPESTISIDA ORGANIK CAIR UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK LUNAK YANG DISEBABKAN OLEH Erwinia carotovora PADA ANGGREK Phalaenopsis sp.

KEEFEKTIFAN BIOPESTISIDA ORGANIK CAIR UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK LUNAK YANG DISEBABKAN OLEH Erwinia carotovora PADA ANGGREK Phalaenopsis sp. KEEFEKTIFAN BIOPESTISIDA ORGANIK CAIR UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK LUNAK YANG DISEBABKAN OLEH Erwinia carotovora PADA ANGGREK Phalaenopsis sp. CHAIRUL HAKIM DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. I. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2010 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000 dalam Suwarno, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000 dalam Suwarno, 2008). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandum, dan jagung (Wattimena, 2000 dalam Suwarno, 2008). Kentang juga merupakan

Lebih terperinci

ampiran 1 Denah lokasi percobaan

ampiran 1 Denah lokasi percobaan ampiran 1 Denah lokasi percobaan B T IBa3 IIAc3 IIBa3 IAd3 IAa3 IBd3 IBc3 IIBb3 IIAb3 IAb3 IIAa3 IIAd3 IBb3 IIBc2 IBa2 IIAb2 IIAd2 IBb2 IIBd2 IAb2 IAc3IIBd IAc2 IIBc3 IIBc3 IIBb2 IIBa2 IAd2 IIAc2 IAa2

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun PT NTF (Nusantara Tropical Farm) Way

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun PT NTF (Nusantara Tropical Farm) Way 31 III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kebun PT NTF (Nusantara Tropical Farm) Way Jepara, Lampung Timur dan Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Bidang Proteksi

Lebih terperinci

TAHLIYATIN WARDANAH A

TAHLIYATIN WARDANAH A PEMANFAATAN BAKTERI PERAKARAN PEMACU PERTUMBUHAN TANAMAN (PLANT GROWTH- PROMOTING RHIZOBACTERIA) UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT MOSAIK TEMBAKAU (TOBACCO MOSAIC VIRUS) PADA TANAMAN CABAI TAHLIYATIN WARDANAH

Lebih terperinci