4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Ekosistem Hutan Mangrove Berdasarkan survei TNC (the nature concervancy) dan P 4 L (pusat pembelajaran dan pengembangan pesisir dan laut) hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Berau menyebar mulai dari bagian utara Tanjung Batu sampai bagian selatan Biduk-biduk. Wilayah pesisir bagian utara di Kecamatan Kepulauan Derawan mempunyai luas hutan mangrove sebesar ha yang terdiri dari ha hutan nipah, ha hutan bakau, dan hutan nibung sebesar 509 ha. Sedangkan pada Kecamatan Gunung Tabur, yakni di sepanjang sungai Berau terdiri dari 644 ha hutan nipah, dan sekitar 459 ha daerahnya ditumbuhi hutan nipah campur kelapa. Hal ini menunjukkan bahwa pada wilayah pesisir bagian utara Kabupaten Berau didominasi oleh hutan nipah khususnya di sepanjang sungai berau, sedangkan hutan mangrove menyebar di sepanjang pesisir pantai. Kondisi hutan mangrove kawasan pesisir bagian tengah didominasi oleh hutan bakau seluas ha, ha hutan nipah, dan ha hutan nibung yang terdapat di Kecamatan Sambaliung. Di kecamatan Segah terdapat 89 ha hutan bakau, sedangkan hutan nipah dan hutan nibung jumlahnya sedikit. Kawasan pesisir bagian selatan didominasi oleh hutan bakau seperti di Kecamatan Talisayang sekitar ha, dan di Kecamatan Biduk-biduk sekitar ha. Potensi hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Berau dibagi atas 3 wilayah, yaitu : (1) wilayah pesisir bagian utara meliputi Kecamatan Kepulauan Derawan; (2) wilayah pesisir bagian tengah meliputi Kecamatan Sambaliung; dan (3) wilayah pesisir bagian selatan meliputi Kacamatan Talisayang dan Kecamatan Biduk-biduk. 4.2 Karakteristik Fisika Kimia Perairan Parameter fisik yang diukur meliputi suhu perairan, salinitas, kecerahan, kedalaman, sedangkan parameter kimia yang diukur adalah ph perairan. Hasil pengukuran data lapang ditampilkan pada Lampiran 1.

2 40 Berdasarkan Lampiran 1 dapat dilihat bahwa nilai suhu, salinitas dan ph perairan memiliki nilai yang hampir seragam untuk setiap stasiun. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa suhu air di daerah survey berkisar antara 29,0 30,5 o C. Kisaran suhu tersebut masih dalam kondisi yang baik untuk kehidupan mangrove, dimana hutan mangrove umumnya hidup di daerah tropik-sub tropik dengan rata-rata temperatur diatas 25 o C. Hasil analisa dan pengamatan di lapangan menunjukkan salinitas air di daerah survey berkisar antara o / oo. Variasi ini ditentukan oleh proporsi percampuran air laut dan air tawar, besar kecilnya air tawar dan sungai yang masuk ke laut sangat menentukan salinitas di muara sungai atau estuaria. Kisaran salinitas o / oo tersebut masih dalam kondisi yang baik untuk kehidupan mangrove. Berdasarkan hasil pengukuran ph di lapangan menunjukkan bahwa daerah survey memiliki ph berkisar antara 5 6. Nilai ph tersebut masih sesuai dengan ph untuk pertumbuhan mangrove, dimana ekosistem mangrove akan tumbuh baik pada ph dengan kisaran nilai 5,0 9,0. Kecerahan perairan di lokasi studi sangat rendah, yaitu berkisar antara cm, dengan kedalaman berkisar antara 0,37 2,2 m, hal ini karena endapan yang berlumpur, sehingga merupakan media yang sangat baik untuk perkembangan mangrove. Pasang surut merupakan salah satu factor yang berperan besar dalam keberadaan mangrove. Berdasarkan wawancara dengan penduduk setempat diketahui bahwa pasang surut di lokasi studi tinggi (kira-kira sekitar 2 meter), hal inilah yang menyebabkan lokasi studi merupakan jalur mangrove yang lebih lebar. 4.3 Koreksi Geometrik dan Radiometrik Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan 18 titik GCP (ground control point), dan didapatkan nilai RMSE (root mean square error) sebesar 0,32. Teknik yang digunakan adalah nearest neighbor karena teknik ini hanya mengambil kembali nilai yang terdekat yang telah tergeser ke posisi baru sehingga tidak akan mengubah nilai-nilai pixel yang ada.

3 41 Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki kualitas visual dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai pixel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek yang sebenarnya, metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah histogram adjustment. Berikut pada Tabel 6 ditampilkan nilainilai minimum dan maksimum tiap kanal dari histogram citra sebelum dan setelah terkoreksi radiometrik, sedangkan histogramnya ditampilkan pada Lampiran 2. Tabel 6 Nilai minimum dan maksimum digital number sebelum dan setelah terkoreksi radiometrik No Kanal 16 Juni Mei Feb Mei 2002 Min Max Min Max Min Max Min Max Sebelum koreksi radiometrik 1 Kanal Kanal Kanal Kanal Kanal Kanal Setelah koreksi radiometrik 1 Kanal Kanal Kanal Kanal Kanal Kanal Asumsi pada metode penyesuaian histogram bahwa nilai minimum pada suatu liputan adalah nol, jika tidak dimulai dari nol maka penambahan tersebut disebut sebagai offset-nya. Berdasarkan asumsi tersebut, maka nilai minimum pada data sebelum terkoreksi dianggap sebagai pengurang, sehingga akan kita dapatkan rentang nilai minimum dan maksimum setelah citra mengalami koreksi radiometrik dengan metode penyesuaian histogram seperti tertera pada Tabel 6. Metode penyesuaian histogram ini tidak mengubah pola dari grafik sebaran nilai pixel tapi hanya menggeser nilai minimum ke titik nol dan nilai maksimum bergeser sesuai nilai offset-nya. 4.4 Ekstraksi Informasi Nilai Digital dan Radians Data Landsat-7 ETM+

4 42 Pada Lampiran 3 ditampilkan persentase penutupan kanopi dan dominansi jenis mangrove di tiap stasiun hasil survei lapang serta hasil ekstraksi nilai spektral Landat-7 ETM+ tanggal perekaman 21 Mei Nilai spektral diperoleh dengan mengambil nilai pixel sesuai dengan posisi lokasi stasiun di lapangan. Dari data tersebut diatas yang akan dijadikan dasar dalam pembuatan algoritma indeks vegetasi. Pada Tabel 7 ditampilkan perubahan dari nilai digital ke nilai radians, hal ini untuk melihat perbedaan hasil apabila menggunakan nilai digital dan nilai radians. 4.5 Penajaman Citra (Image Enhancement) Pada pengamatan secara visual masing-masing kanal tunggal secara terpisah dalam mendeteksi objek mangrove, ternyata kanal yang paling representatif secara visual bisa membedakan mangrove dengan objek-objek lain adalah kanal 5, yang terletak pada selang panjang gelombang μm. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13. Hal ini membuktikan bahwa pada selang panjang gelombang μm tersebut kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah berpengaruh sangat kuat sehingga bisa membedakan antara mangrove dengan tumbuhan darat. B 1 B 2 B 3 mangrov B 4 B 5 B 7 Gambar 13 Citra tiap kanal untuk identifikasi mangrove (21 Mei 2002).

5 43 Tabel 7 Perubahan dari nilai digital ke nilai radians Stasiun Nilai Spektral Landsat-7 ETM+ Nilai Radians Landsat-7 ETM+ (W/(m 2.sr.µm)) ,631 43,926 42,867 71,474 4,680 0, ,180 37,535 32,299 76,320 5,563 0, ,073 31,943 33, ,491 11,748 1, ,180 35,937 35,407 86,013 4,301 0, ,737 30,346 27,948 69,535 5,311 1, ,392 23,955 15,515 92,798 5,563 0, ,383 23,955 15, ,491 7,078 1, ,737 31,943 31, ,816 9,603 1, ,657 60,701 53, ,754 10,486 1, ,631 45,523 49,084 86,013 7,709 1, ,073 39,931 35,407 66,628 3,670 0, ,631 39,931 32,299 59,843 4,680 0, ,631 41,529 32,299 78,259 4,932 0, ,967 47,121 39,759 69,535 5,563 0, ,180 37,535 27, ,338 9,224 1, ,286 30,346 22, ,969 7,457 0, ,967 49,517 41,624 74,382 5,311 1, ,180 35,937 31,056 64,689 3,670 0, ,312 51,115 41, ,447 11,748 1, ,002 63,097 52, ,017 13,263 2, ,392 26,352 21,731 83,106 5,311 0, ,073 39,931 32,299 61,781 5,311 0, ,737 49,517 47,219 92,798 5,563 0,879

6 44 Untuk lebih memperjelas tampakan dari berbagai objek dilakukan penajaman citra (image enhancement). Penajaman bisa dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya adalah dengan pembuatan citra komposit. Citra komposit membutuhkan tiga kanal sebagai masukan pada filter red, green dan blue. Pemilihan kanal tersebut dilakukan dengan metode optimum index factor (OIF). Pemilihan kanal ini dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan penampilan citra yang kontras untuk diinterpretasi secara visual serta kombinasi kanal yang efisien untuk diklasifikasi secara digital. OIF tertinggi akan menyajikan lebih banyak warna, sehingga diharapkan akan memberikan lebih banyak informasi. Hasil penajaman citra ini didapatkan tampakan yang kontras pada citra sehingga memudahkan dalam proses interpretasi serta meningkatkan informasi yang diperoleh. Matriks korelasi antar kanal pada citra tiap tanggal perekaman ditampilkan pada Tabel 8, sedangkan standart deviasinya ditampilkan pada Tabel 9. Tabel 8 Matriks korelasi antar kanal pada tiap tanggal perekaman Correlation Matrix Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3 Kanal 4 Kanal 5 Th Kanal 2 0,900 Kanal 3 0,738 0,913 Kanal 4-0,780-0,604-0,418 Kanal 5-0,635-0,443-0,272 0,920 Kanal 7-0,057 0,211 0,304 0,493 0,708 Th Kanal 2 0,992 Kanal 3 0,990 0,995 Kanal 4 0,648 0,663 0,641 Kanal 5 0,859 0,866 0,852 0,903 Kanal 7 0,929 0,929 0,922 0,780 0,962 Th Kanal 2 0,959 Kanal 3 0,915 0,967 Kanal 4-0,064 0,030 0,111 Kanal 5 0,236 0,320 0,385 0,922 Kanal 7 0,572 0,660 0,705 0,681 0,865 Th Kanal 2 0,930 Kanal 3 0,880 0,965 Kanal 4-0,048 0,123 0,160 Kanal 5 0,149 0,311 0,357 0,916 Kanal 7 0,450 0,594 0,631 0,689 0,868

7 45 Tabel 9 Standart deviasi tiap kanal pada tiap tanggal perekaman Std. Dev. Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3 Kanal 4 Kanal 5 Kanal 7 Th ,734 17,403 20,436 80,633 50,136 13,589 Th ,344 53,454 59,679 46,504 55,612 40,679 Th ,899 39,992 50,689 86,115 76,906 60,290 Th ,858 26,642 33,766 76,558 62,801 34,230 Berdasarkan matriks korelasi dan standar deviasi pada Tabel 8, maka kita bisa menghitung nilai OIF tiap kombinasi kanal pada tiap tanggal perekaman. Nilai OIF tertinggi dari sejumlah 6 kanal (kanal 1, kanal 2, kanal 3, kanal 4, kanal 5 dan kanal 7) yang digunakan, kita mendapatkan 20 kombinasi OIF pada tiap tanggal perekaman. C = 3! 6! 6 3 = ( 6 3) Hasil OIF dari masing-masing citra ditampilkan pada Tabel 10. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa OIF tertinggi pada setiap citra terletak pada kombinasi kanal yang berbeda. Citra tahun 1991 nilai OIF tertinggi terletak pada kombinasi kanal 347, citra tahun 2000 nilai OIF tertinggi terletak pada kombinasi kanal 234, citra tahun 2001 nilai OIF tertinggi terletak pada kombinasi kanal 134, sedangkan citra tahun 2002 nilai OIF tertinggi terletak pada kombinasi kanal 145. Berdasarkan rumus yang digunakan dalam mencari nilai OIF, OIF yang tinggi tersebut merupakan hasil dari nilai standar deviasi yang tinggi dan korelasi antar kanal yang rendah, dengan korelasi antar kanal yang rendah tersebut diharapkan akan mendapatkan informasi yang saling melengkapi. Dari satu nilai OIF tersebut bisa dibuat enam kombinasi citra komposit, pada citra tahun 1991 nilai OIF tertinggi adalah kanal 347, maka kombinasi yang bisa didapatkan, yaitu RGB 347, RGB 374, RGB 437, RGB 473, RGB 734 dan RGB 743. Citra tahun 2000 didapatkan kombinasi RGB 234, RGB 243, RGB 324, RGB 342, RGB 423 dan RGB 432. Citra tahun 2001 didapatkan kombinasi RGB 134, RGB 143, RGB 314, RGB 341, RGB 413 dan RGB 431. Sedangkan citra tahun 2002 didapatkan kombinasi RGB 145, RGB 154, RGB 415, RGB 451, RGB 514 dan RGB 541.! 20

8 46 Tabel 10 Nilai OIF dari tiap kombinasi kanal No Kombinasi Kanal OIF-1991 OIF-2000 OIF-2001 OIF ,2,3 23,74 55,25 41,39 29,29 2 1,2,4 52,88 65,70 165,41 123,44 3 1,2,5 45,64 59,04 94,92 79,35 4 1,2,7 46,00 51,04 58,05 41,40 5 1,3,4 63,95 69,12 170,17 132,24 6 1,3,5 56,72 61,69 100,58 84,72 7 1,3,7 51,65 53,40 62,90 45,31 8 1,4,5 65,74 63,68 173,60 157,54 9 1,4,7 87,94 58,77 145,76 120, ,5,7 61,76 53,69 98,08 80, ,3,4 61,23 69,44 5,47 109, ,3,5 54,04 62,20 100,23 75, ,3,7 36,01 54,04 64,74 43, ,4,5 75,33 63,97 159,60 122, ,4,7 85,34 59,29 135,96 97, ,5,7 59,57 54,31 96,04 69, ,4,5 93,92 67,53 150,71 120, ,4,7 94,37 62,68 131,66 97, ,5,7 65,55 57,01 96,10 70, ,5,7 68,06 53,99 90,48 70,19 Pada objek yang sama, apabila kombinasi kanal yang dimasukkan ke filter biru, hijau dan merah berbeda maka objek tersebut akan ditampilkan dengan warna yang berlainan. Dalam pendeteksian mangrove, dari keenam kombinasi kanal yang bisa dibentuk, diperoleh hasil visual terbaik untuk citra tahun citra tahun 1991 adalah RGB 347, sedangkan citra tahun 2000 adalah RGB 342, citra tahun 2001 adalah RGB 341, serta citra tahun 2002 adalah RGB 451 (Gambar 14).

9 Vegetasi Darat 47 RGB 347 (1991) RGB 342 (2000) RGB 341 (2001) RGB 451 (2002) Gambar 14 Citra komposit hasil OIF. Dalam pemilihan kanal untuk pendeteksian mangrove, selain dengan menggunakan metode OIF, juga dibuat kombinasi komposit RGB 453 (Gambar 15). Dimana kanal 3 (Landsat TM dan ETM+), yaitu pada selang λ 0,63 0,69 µm, untuk pemisahan vegetasi, yaitu memperkuat kontras antara vegetasi dan non vegetasi. Kanal 4 (Landsat TM dan ETM+), yaitu pada selang λ 0,76 0,90 µm, membantu identifikasi tanaman dan memperkuat kontras antara tanaman dengan tanah dan lahan dengan air. Kanal 5 (Landsat TM dan ETM+), yaitu pada selang λ 1,55 1,75 µm, untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah (Gambar 15). Awan Perairan

10 48 Gambar 15 Citra komposit RGB 453 (21 Mei 2002). Pada identifikasi mangrove dengan citra komposit RGB 453 ini cukup mudah untuk membedakan mangrove dengan objek-objek lain. Berdasarkan analisis visual pengamatan nilai-nilai digital dan pertimbangan visual warna pada citra komposit tersebut, mangrove primer ditunjukkan oleh warna merah gelap, mangrove sekunder warna orange gelap dan mengacu pada habitatnya yang hidup di sepanjang pantai perairan asin. Tambak ditunjukkan dengan warna biru kehijauan. Warna biru sampai hitam adalah perairan, semakin dalam perairan akan ditunjukkan dengan warna yang semakin gelap. Vegetasi darat ditunjukkan dengan warna orange. Awan ditunjukkan dengan warna putih. Citra tahun 2000 dan tahun 2001, sangat dipengaruhi oleh kondisi awan. Selain objek dibawahnya tidak bisa terdeteksi, awan disini juga mempengaruhi nilai digital dari objek, dimana nilainya akan lebih rendah dari yang semestinya. Selain dengan analisa visual seperti tersebut di atas, identifikasi mangrove juga dilakukan dengan analisa digital, yaitu dengan melihat pola spektral masingmasing objek (Lampiran 4). 4.6 Training Area

11 49 Pada prosedur klasifikasi supervised harus menetapkan terlebih dahulu daerah contoh (training area), dipilih tipe penutupan lahannya kemudian dilakukan labelling (kategori pixel). Training area mengidentifikasi karakteristik spektral untuk tipe feature berdasarkan deskriptor numerik (Campbell 1987). Pada waktu digitasi dalam pembuatan training area, pengambilan sampel harus mewakili dari masing-masing kelas penutup lahan. Dalam pengambilan training area ini lebih mudah jika diambil pada daerah yang homogen, artinya nilai simpangan baku kelompok pada tiap pixel rendah pada tiap saluran. Pada citra komposit, standard deviasi yang rendah ini akan ditampilkan dengan warna yang hampir seragam. Selain nilai simpangan baku yang rendah, dalam pengambilan training area ini juga dengan melihat histogram masing-masing objek. Berdasarkan hasil analisis visual pada citra komposit dan analisis digital dari masing-masing objek, maka lokasi studi akan dikelaskan menjadi beberapa kelas, diantaranya: (1) perairan, (2) mangrove primer, (3) mangrove sekunder, (4) tambak ikan, (5) lainnya/vegetasi darat dan (6) awan. Dari keenam objek tersebut training area diambil pada citra tanggal 16 Juni 1991 dan 21 Mei 2002 di lokasi yang sama, kecuali tambak karena adanya perubahan yang cukup signifikan pada lahan tersebut antara tahun 1991 dan Training area diambil masing-masing objek sebanyak 10 region. Histogram dari masing-masing region tiap objek dari citra tanggal 16 Juni 1991 dan 21 Mei 2002 ditampilkan pada Lampiran 4. Sedangkan pada Lampiran 5 ditampilkan rerata dari nilai statistik (minimum, maximum, mean, standart deviasi) serta covariance antar kanal pada tiap objek. Dari histogram pada Lampiran 4 terlihat bahwa setiap objek memiliki pola histogram yang berbeda-beda. Dan apabila dilihat perubahan histogram dari region objek mangrove primer dan mangrove sekunder tanggal 16 Juni 1991 dan 21 Mei 2002 ada perubahan yang cukup signifikan, dimana pada tahun 2002 ada penurunan nilai rata-rata reflektansi dari kanal 1 (λ 0,45-0,52 μm), namun hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya pengaruh awan pada citra tahun Uji Ketelitian Keterpisahan (Separability) Transformed divergency

12 50 Selang nilai transformed divergency adalah antara 0 sampai dengan Apabila transformed divergency lebih dari maka keterpisahan antar objek bagus, namun apabila kurang dari maka keterpisahan antar objek buruk (Jensen 1986). Arifin et al juga mengemukakan apabila keterpisahan tersebut kecil ( <=1.500) maka training area tersebut dapat digabung atau dihapus dengan mengganti kelas training area baru. Dari hasil uji keterpisahan dapat dilihat bahwa keterpisahan antara objek cukup baik (Tabel 11). Keterpisahan mangrove primer dengan perairan mencapai nilai maksimum yaitu 2.000, mangrove primer dengan mangrove sekunder mencapai nilai (citra tahun 2000) dan (citra tahun 1991), mangrove primer dengan tambak mencapai nilai maksimum yaitu 2.000, mangrove primer dengan lainnya mencapai nilai Mangrove sekunder dengan perairan mencapai nilai 2.000, mangrove sekunder dengan tambak mencapai nilai 2.000, mangrove sekunder dengan lainnya mencapai nilai (citra tahun 2000) dan (citra tahun 1991). Berdasarkan Tabel 11 tersebut bisa disimpulkan bahwa keterpisahan antar objek sangat baik, termasuk keterpisahan mangrove dengan objek-objek lainnya. Secara lengkap mengenai evaluasi keterpisahan dari tiap objek dapat dilihat pada di bawah ini. Tabel 11 Nilai transformed divergency Kelas Perairan Mangrove Primer Mangrove Sekunder Tambak Lainnya/ Veg darat Th 2002 Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat Awan Th 1991 Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat Jeffries-matusita distance (JM)

13 51 Selang nilai jeffries-matusita distance adalah antara 0 sampai dengan 1.414, semakin tinggi nilai yang diperoleh maka keterpisahan semakin bagus. Evaluasi secara lengkap hasil uji jeffries-matusita distance dari tiap objek dapat dilihat pada Tabel 12. Dari hasil uji jeffries-matusita distance dapat dilihat bahwa keterpisahan perairan dengan objek lainnya mendapatkan nilai yang tinggi (hampir semua nilai mencapai lebih dari 1.400) sehingga bisa dikatakan keterpisahan sangat baik, begitu juga dengan mangrove primer (baik citra tahun 2002 maupun tahun 1991) memiliki keterpisahan yang baik. Keterpisahan mangrove primer dengan tambak mencapai nilai maksimum yaitu (citra tahun 2000) dan (citra tahun 1991). Sedangkan keterpisahan antara mangrove primer dengan mangrove sekunder mencapai nilai 1.402, dari nilai tersebut bisa dikatakan bahwa mangrove primer dengan mangrove sekunder bisa dibedakan dengan jelas. Nilai yang paling rendah dari hasil uji jeffries-matusita distance pada penelitian ini adalah (citra tahun 2000) dan (citra tahun 1991) yaitu antara mangrove sekunder dengan vegetasi darat, hal ini disebabkan karena adanya overlaping beberapa pixel dari kedua objek tersebut. Berdasarkan Tabel 12 dapat disimpulkan bahwa keterpisahan objek cukup baik, kecuali mangrove sekunder dengan vegetasi darat. Tabel 12 Nilai jeffries-matusita distance Kelas Perairan Mangrove Primer Mangrove Sekunder Tambak Lainnya/ Veg darat Th 2002 Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat Awan Th 1991 Mangrove primer Mangrove sekunder Tambak Lainnya/veg darat Uji Ketelitian Matrik Kontingensi

14 52 Selain evaluasi keterpisahan tiap kelas, uji ketelitian klasifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan error matriks. Matrik ini membandingkan antara data referensi dengan data hasil klasifikasi. Beberapa karakteristik hasil klasifikasi, diantaranya producers accuracy, users acuracy and overall accuracy yang dianalisa dengan melihat perbedaan antara dua klasifikasi (Congalton 1991). Pada Tabel 13 ditampilkan hasil perhitungan nilai average user s accuracy (average commission error), producer s accuracy (average omission error), overall accuracy dan overall kappa dari citra tahun 1991 dan tahun 2002 masingmasing metode. Overall accuracy menekankan hasil overall klasifikasi yang difokuskan hanya pada diagonal utama pada error matriks klasifikasi, sedangkan overall kappa menghitung bagaimana akurasi didistribusikan pada kelas-kelas individu. Overall kappa adalah suatu ukuran dalam menilai hasil klasifikasi penginderaan jauh dengan menggunakan data referensi, dimana data referensi disini adalah data masukan yang kita berikan pada saat training area. Selang nilai overall kappa ini antara 0,0 sampai dengan 1,0. Nilai 1,0 menunjukkan bahwa hasil klasifikasi sangat bagus dan sesuai dengan data referensi. Mather (2004) mengatakan bahwa jika nilai overall kappa lebih dari 0,75 menunjukkan klasifikasi baik, sedangkan jika nilainya kurang dari 0,4 maka klasifikasi buruk. Tabel 13 menunjukkan bahwa apabila menggunakan metode maximum likelihood didapatkan nilai overall accuracy sebesar 93,45% (tahun 2002) dan 92,37% (tahun 1991) serta nilai overall kappa sebesar 0,9026 (tahun 2002) dan 0,8800 (tahun 1991). Metode neural network back propagation diperoleh nilai overall accuracy 86,52% (tahun 2002) dan 89,06% (tahun 1991) serta nilai overall kappa sebesar 0,7923 (tahun 2002) dan 0,8210 (tahun 1991). Berdasarkan matrik kontingensi antara training area dan hasil klasifikasi dari metode maximum likelihood dan neural network back propagation pada dasarnya diperoleh nilai akurasi yang tinggi. Namun dari kedua metode klasifikasi yang digunakan ternyata metode maximum likelihood akan diperoleh akurasi lebih tinggi dari pada neural network back propagation.

15 53 Tabel 13 Ketelitian matrik kontingensi Maximum Likelihood Neural Network Back Objek Propagation user s accuracy producer s user s accuracy producer s accuracy accuracy Th Perairan 99,24 93,84 99,95 89,09 Mangrove primer 97,34 96,98 92,24 96,66 Mangrove sekunder 33,76 93,84 18,26 90,15 Tambak 90,17 98,01 64,52 98,43 Lainnya/veg darat 91,19 80,04 74,11 32,17 Awan 90,68 97,97 69,69 99,21 Rata-rata 83,73 93,45 69,79 84,29 Overall accuracy 93,45 86,52 Overall kappa 0,9026 0,7923 Th Perairan 99,68 94,19 99,97 90,91 Mangrove primer 97,45 96,18 89,13 99,46 Mangrove sekunder 34,28 93,33 24,90 91,25 Tambak 29,95 97,97 38,58 95,37 Lainnya/veg darat 89,31 75,02 92,72 41,65 Rata-rata 70,13 91,34 69,60 83,72 Overall accuracy 92,37 89,06 Overall kappa 0,8800 0,8210 Hasil klasifikasi tersebut di atas sudah cukup bagus karena sudah memenuhi standar minimal ketelitian Landsat. Standar ketelitian untuk sensor MSS dengan resolusi spasial 80 x 80 meter adalah sebesar 85%, sedangkan untuk sensor TM yang mempunyai resolusi spasial 30 x 30 meter tentu akan lebih tinggi lagi ketelitiannya (Jaya, 1996). Tabel 14 dan 15 menunjukkan persentase suatu kelas benar masuk kelas yang sebenarnya dan berapa persen dari kelas masuk ke kelas lain. Pada Tabel 14 merupakan hasil yang dicapai apabila menggunakan metode maximum likelihood dan Tabel 15 menggunakan metode neural network back propagation. Masingmasing metode klasifikasi tersebut akan memberikan nilai tingkat ketelitian yang berbeda. Pada Tabel 14 menunjukkan bahwa evaluasi ketelitian apabila menggunakan metode Maximum Likelihood, pada tahun 2002 kelas mangrove primer yang benar dimasukan ke dalam mangrove primer sebesar 96,99%, 0,14%

16 54 masuk kelas perairan, 1,88% masuk kelas mangrove sekunder, 0,02% masuk kelas tambak, 0,96 masuk kelas lainnya dan 0,01% masuk kelas awan. Mangrove sekunder yang benar masuk kelas mangrove sekunder sejumlah 93,84%, sedangkan 1,11% masuk kelas mangrove primer dan 4,14% masuk kelas lainnya. Pada tahun 1991, kelas mangrove primer yang benar dimasukan ke dalam kelas mangrove primer sejumlah 96,18%, 1,34% masuk kelas mangrove sekunder, 0,06% masuk kelas tambak dan 2,07% masuk kelas lainnya. Mangrove sekunder yang benar masuk kelas sekunder sejumlah 93,33%, 0,50% masuk kelas mangrove primer dan 6,08% masuk kelas lainnya. Dari Tabel 14 bisa disimpulkan bahwa masing-masing kelas telah terpetakan dengan baik. Tabel 14 Evaluasi ketelitian matriks kontingensi dengan maximum likelihood Classified Data (%) Perairan Mangrove Primer Referensi Data (%) Mangrove Tambak Lainnya Awan Sekunder Th 2002 Perairan 93,84 0,14 0,10 0,45 1,59 1,40 Mangrove primer 2,21 96,99 1,11 0,36 0,03 0,14 Mangrove sekunder 1,79 1,88 93,84 0,00 17,62 0,07 Tambak 0,37 0,02 0,00 98,01 0,57 0,07 Lainnya/veg darat 1,20 0,96 4,14 1,18 80,04 0,35 Awan 0,60 0,01 0,81 0,00 0,14 97,97 Th 1991 Perairan 94,19 0,34 0,10 0,00 0,00 Mangrove primer 2,16 96,18 0,50 0,00 0,06 Mangrove sekunder 0,64 1,34 93,33 0,00 22,33 Tambak 2,40 0,06 0,00 97,97 2,58 Lainnya/veg darat 0,60 2,07 6,08 2,03 75,02 Tabel 15 merupakan hasil evaluasi ketelitian matriks kontingensi dengan metode Neural Network Back Propagation. Hasil klasifikasi citra tahun 2002 menunjukkan bahwa mangrove primer yang benar dimasukan ke dalam kelas mangrove primer sejumlah 96,66%, sedangkan 3,27% yang seharusnya masuk mangrove primer masuk kelas mangrove sekunder. Mangrove sekunder yang benar masuk mangrove sekunder adalah 90,15%, selainnya yaitu 2,60% masuk mangrove primer, 6,70% masuk kelas lainnya dan 0,55% masuk kelas awan. Pada data Tahun 1991, kelas mangrove primer yang benar dimasukan ke dalam kelas mangrove primer 99,46%, sebesar 0,53% masuk mangrove sekunder dan 0,01%

17 55 masuk kelas tambak. Mangrove sekunder yang benar masuk mangrove sekunder adalah 91,25%, sedangkan 2,12% masuk mangrove primer dan 6,63% masuk kelas lainnya. Tabel 15 Evaluasi ketelitian matriks kontingensi dengan neural network back propagation Classified Data (%) Perairan Mangrove Primer Referensi Data (%) Mangrove Tambak Lainnya Awan Sekunder Th 2002 Perairan 89,09 0,01 0,00 0,89 0,08 0,00 Mangrove primer 3,41 96,66 2,60 0,45 12,45 0,30 Mangrove sekunder 2,73 3,27 90,15 0,00 51,15 0,00 Tambak 0,72 0,05 0,00 98,43 2,60 0,00 Lainnya/veg darat 2,05 0,01 6,70 0,22 32,17 0,50 Awan 2,00 0,00 0,55 0,00 1,55 99,21 Th 1991 Perairan 90,91 0,00 0,00 4,63 0,00 Mangrove primer 7,78 99,46 2,12 0,00 6,51 Mangrove sekunder 0,78 0,53 91,25 0,00 48,18 Tambak 0,11 0,01 0,00 95,37 3,66 Lainnya/veg darat 0,41 0,00 6,63 0,00 41,65 Berdasarkan Tabel 14 dan 15 diketahui bahwa secara umum training area masing-masing objek telah terkelaskan dengan baik, baik dengan metode klasifikasi maximum likelihood maupun neural network back propagation. Demikian juga khususnya untuk training area objek mangrove juga akan terkelaskan dengan baik, baik menggunakan metode klasifikasi maximum likelihood maupun neural network back propagation. 4.9 Klasifikasi Citra (Image Classification) Salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pemetaan mangrove adalah terletak pada pemilihan metode klasifikasi. Klasifikasi citra bertujuan untuk melakukan kategorisasi secara otomatik dari semua pixel ke dalam kelas penutup lahan atau suatu tema tertentu. Prosedur operasi dilakukan dengan pengamatan dan evaluasi setiap pixel yang terkandung di dalam citra dan dikelompokan ke setiap kelompok informasi.

18 Klasifikasi maximum likelihood Maximum likelihood adalah metode standard untuk klasifikasi (McLachlan 1991). Asumsi dari algoritma maximum likelihood ini adalah objek homogen akan menampilkan histogram yang terdistribusi normal (bayesian). Pada algoritma ini pixel dikelaskan sebagai objek tertentu tidak karena jarak euklidiannya, melainkan oleh bentuk, ukuran dan orientasi sampel pada feature space. Berdasarkan hasil klasifikasi pada citra landsat-5 TM tahun 1991 diketahui bahwa pada lokasi studi yang meliputi: Pilanjau dan Pesayan (Kecamatan Sambaliung) Desa Radak/Buyung-buyung, Desa Semurut, Desa Tuban, Tabalar Muara (Kecamatan Talisayan) mempunyai hutan mangrove primer seluas ,11 ha dan mangrove sekunder seluas 1.698,57 ha. Pada citra tahun 2002 Landsat-7 ETM+, berdasarkan klasifikasi maximum likelihood diketahui luas hutan mangrove primer seluas ,53 ha dan mangrove sekunder seluas 1.709,01 ha (Tabel 16). Tabel 16 tersebut juga menampilkan total dari perubahan setiap penutup lahan, dan diketahui dari keempat metode klasifikasi yang digunakan luas lahan tambak mengalami peningkatan. Sedangkan peta hasil klasifikasi dengan metode maximum likelihood ditampilkan pada Lampiran 6. Peta hasil overlay antara citra hasil klasifikasi maximum likelihood tahun 1991 dan tahun 2002 ditampilkan pada Lampiran 7. Tabel 16 Luasan objek hasil klasifikasi maximum likelihood Kelas Th (ha) Th (ha) Perubahan (ha) Perairan 5.315, ,77 359,37 Mangrove primer , , ,58 Mangrove sekunder 1.698, ,01 10,44 Tambak 371,07 587,34 216,27 Lainnya/veg darat 4.317, ,59 475,11 Awan 0,00 366,39 366,39

19 Klasifikasi neural network back propagation Back propagation merupakan algoritma pembelajaran yang terawasi dan biasanya digunakan oleh perceptron dengan banyak lapisan untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan neuron-neuron yang ada pada lapisan tersembunyinya. Algoritma ini menggunakan error output untuk mengubah nilai bobot-bobotnya dalam arah mundur (backward), untuk mendapatkan error ini tahap perambatan maju (forward propagation) harus dikerjakan terlebih dahulu, pada saat perambatan maju, neuron-neuron diaktifkan dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid (Kusumadewi 2003; Kusumadewi 2004). Input layer yang digunakan sejumlah enam (kanal 1, 2, 3, 4, 5 dan 7) dan enam output layer, yaitu meliputi: perairan, mangrove primer, mangrove sekunder, tambak, lainnya, awan. Kombinasi jumlah hidden layer yang digunakan adalah 6, 12, 18 dan 24. Neural network ditraining menggunakan algoritma back propagation dengan kombinasi nilai learning rate masing-masing 0,001, 0,01, 0,1, 0,2 dan 0,3. Sedangkan momentum yang digunakan adalah 0,5. Learning rate berpengaruh pada kecepatan training, sedangkan momentum sensitif terhadap error surface. RMS error 0,0001 sebagai convergency point, dimana training akan berhenti ketika convergency dicapai. Pada Tabel 17 menunjukkan bahwa hasil klasifikasi dengan akurasi terbaik dicapai apabila menggunakan 12 hidden layer dengan nilai learning rate 0,2, sehingga akan didapatkan nilai akurasi sebesar 86,67% dengan iterasi yang terendah yaitu ke-77. Tabel 17 Akurasi berdasarkan perbedaan learning rate dan jumlah hidden layer Hidden layer Learning Rate 0,001 0,01 0,1 0,2 0,3 Iterasi Acc Iterasi Acc Iterasi Acc Iterasi Acc Iterasi Acc , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,67 Luasan hasil klasifikasi dengan metode neural network back propagation ditampilkan pada Tabel 18. Pada tabel tersebut juga ditampilkan total dari

20 58 perubahan setiap penutup lahan hasil klasifikasi Neural Network Back Propagation, mangrove primer mengalami pengurangan luas sebesar 599,76 ha, sedangkan mangrove sekunder mengalami pengurangan sebesar 848,70 ha. Citra hasil klasifikasi dengan metode neural network back propagation ditampilkan pada Lampiran 8, perubahan antara tahun 1991 dan tahun 2001 dengan metode ini ditampilkan pada Lampiran 9. Tabel 18 Luasan objek hasil klasifikasi neural network back propagation Kelas Th (ha) Th (ha) Perubahan (ha) Perairan 4.369, ,33 98,19 Mangrove primer , ,01-599,76 Mangrove sekunder 2.514, ,99-848,70 Tambak 166,50 474,75 308,25 Lainnya/veg darat 2.395, ,26 719,73 Awan 0,00 322,29 322, Overlay Citra Hasil Klasifikasi dengan Referensi Akurasi ketelitian hasil klasifikasi maximum likelihood dan neural network back propagation diperoleh dengan cara membandingkan masing-masing hasil klasifikasi dengan peta referensi. Peta referensi yang digunakan disini merupakan hasil digitasi manual (menggunakan software Arc View) yang dilakukan oleh TNC. Kombinasi kanal yang digunakan dalam digitasi adalah RGB 542. Pada Tabel 19 ditampilkan hasil matrik kontingensi antara hasil metode masing-masing klasifikasi dengan peta referensi. Tabel 19 Matrik kontingensi metode maximum likelihood dan neural network back propagation dengan peta referensi Metode Klasifikasi Maximum likelihood (%) Neural network back propagation (%) Non mangrove Mangrove Non mangrove Mangrove Non mangrove 0,7779 0,0437 0,7623 0,0186 Mangrove 0,0141 0,1642 0,0298 0,1893 Overall accuracy 94,21 95,17 Overall kappa 0,8145 0,8561 Dari kedua metode klasifikasi yang digunakan pada penelitian diperoleh hasil bahwa metode yang lebih baik dalam memetakan mangrove (kasus

21 59 Kabupaten Berau) adalah metode neural network back propagation dengan nilai overall accuracy sebesar 95,17% dan overall kappa sebesar 0,8561. Pada Gambar 16 ditampilkan hubungan antara hasil klasifikasi maximum likelihood dan neural network back propagation. Dari hasil analisis regresi antara kedua metode klasifikasi tersebut diperoleh hasil koefisien korelasi yang cukup tinggi (r = 0,936). neural network maximum likelihood Gambar 16 Hasil regresi antara metode klasifikasi maximum likelihood dengan neural network back propagation. Pada Tabel 20 menampilkan luas tiap objek hasil overlay antara hasil klasifikasi maximum likelihood dan neural network back propagation. Dari Tabel tersebut diketahui bahwa objek mangrove primer pada klasifikasi maximum likelihood yang juga dimasukkan kelas mangrove primer pada klasifikasi neural network back propagation seluas ,91 ha. Mangrove primer pada hasil klasifikasi maximum likelihood dimasukkan mangrove sekunder pada klasifikasi neural network back propagation seluas 1,62 ha. Mangrove sekunder pada klasifikasi maximum likelihood yang juga dimasukkan kelas mangrove sekunder pada klasifikasi neural network back propagation seluas 929,7 ha, sedangkan 564,84 ha masuk kelas mangrove primer, 0,18 ha masuk kelas tambak, 214,29 ha masuk kelas lainnya/vegetasi darat. Tabel 20 Matrik metode klasifikasi maximum likelihood dengan metode neural network back propagation

22 60 Metode Klasifikasi Neural Network Back Propagation (ha) Kelas Perairan Mangrove primer Maximum Likelihood (ha) Mangrov e sekunder Tambak Lainnya/ veg darat Awan Perairan 4.284,99 0,00 0,00 160,38 11,97 9,99 Mangrove primer 1.346, ,91 564,84 16, ,02 52,92 Mangrove sekunder 0,00 1,62 929,70 0,00 734,67 0,00 Tambak 12,15 0,00 0,18 325,71 84,42 52,29 Lainnya/veg darat 30,60 0,00 214,29 12, ,03 44,10 Awan 0,45 0,00 0,00 72,27 42,48 207, Indeks Vegetasi Indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan terhadap citra (biasanya multi kanal) untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi atau pun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, konsentrasi klorofil, dan sebagainya. Nilai indeks vegetasi yang tinggi memberikan gambaran bahwa di areal yang diamati terdapat vegetasi yang mempunyai tingkat kehijauan tinggi, seperti areal hutan rapat dan lebat. Sebaliknya nilai indeks vegetasi yang rendah merupakan indikator bahwa lahan yang menjadi objek pemantauan mempunyai tingkat kehijauan vegetasi rendah atau lahan dengan vegetasi sangat jarang atau kemungkinan besar bukan objek vegetasi. Pada Tabel 21 ditampilkan indeks vegetasi tiap stasiun dari beberapa algoritma pada citra Landsat-7 ETM+. Analisis regresi antara persentase kerapatan kanopi mangrove (peubah respon) dengan hasil transformasi indeks vegetasi (peubah bebas) digunakan untuk mencari hubungan matematis terbaik antara kedua peubah tersebut. Nilai koefisien determinasi hasil analisis regresi antara persentase kerapatan kanopi mangrove (peubah respon) dengan hasil transformasi indeks vegetasi (peubah bebas) pada tiap model persamaan ditampilkan pada Tabel 22.

23 61 Tabel 21 Hasil indeks vegetasi dari beberapa algoritma pada tiap stasiun Stasiun RVI TRVI DVI NDVI GNDVI SAVI GVI IPVI SLAVI 1 1,667 1, ,670 0,250 0,239 0,374 7,588 0,625 1, ,363 1, ,870 0,405 0,341 0,605 20,010 0,703 2, ,056 1, ,437 0,507 0,525 0,757 38,904 0,753 2, ,429 1, ,025 0,417 0,411 0,623 25,640 0,708 2, ,488 1, ,937 0,427 0,392 0,637 18,708 0,713 2, ,981 2, ,202 0,714 0,590 1,065 46,610 0,857 4, ,606 2, ,465 0,737 0,621 1,101 55,714 0,869 4, ,987 1, ,102 0,599 0,590 0,896 56,265 0,799 3, ,353 1, ,375 0,404 0,349 0,604 31,439 0,702 1, ,752 1, ,348 0,273 0,308 0,409 14,526 0,637 1, ,882 1, ,499 0,306 0,251 0,457 9,480 0,653 1, ,853 1, ,323 0,299 0,200 0,446 5,881 0,649 1, ,423 1, ,523 0,416 0,307 0,621 18,868 0,708 2, ,749 1, ,126 0,272 0,192 0,407 6,505 0,636 1, ,841 1, ,663 0,587 0,482 0,877 45,110 0,793 2, ,178 2, ,552 0,676 0,594 1,011 58,989 0,838 3, ,787 1, ,893 0,282 0,201 0,422 8,357 0,641 1, ,083 1, ,198 0,351 0,286 0,524 12,523 0,676 1, ,254 1, ,449 0,530 0,452 0,793 50,022 0,765 2, ,855 1, ,449 0,481 0,405 0,720 45,803 0,741 2, ,824 1, ,722 0,585 0,519 0,874 35,621 0,793 3, ,913 1, ,975 0,313 0,215 0,468 7,798 0,657 1, ,965 1, ,497 0,326 0,304 0,487 20,474 0,663 1,758

24 62 Tabel 22 Nilai koefisien determinasi dari hasil analisis regresi antara persen penutupan kanopi dengan tansformasi indeks vegetasi No Persamaan RVI TRVI DVI NDVI GNDVI SAVI GVI IPVI SLAVI 1 Linear 0,5489 0, ,7285 0,8022 0,7278 0,6320 0,7267 0, Logarithmic 0,6775 0,6774 0,4201 0,7787 0,8245 0,7779 0,6966 0,7462 0, Inverse 0,7636 0,7272 0,4588 0,7924 0,7981 0,7919 0,6418 0,7626 0, Quadratic 0,7756 0,7950 0,5309 0,8035 0,8297 0,8027 0,6950 0,8019 0, Cubic 0,7978 0,7950 0,5381 0,8040 0,8331 0,8032 0,7064 0,8022 0, Compound 0,4271 0,4875 0,3614 0,5951 0,6756 0,5944 0,5544 0,5933 0, Power 0,5446 0,5446 0,4162 0,6525 0,7280 0,6517 0,6468 0,6142 0, S-curve 0,6335 0,5942 0,4582 0,6791 0,7378 0,6785 0,6226 0,6326 0, Growth 0,4271 0,4875 0,3614 0,5951 0,6756 0,5944 0,5544 0,5933 0, Exponential 0,4271 0,4875 0,3614 0,5951 0,6756 0,5944 0,5544 0,5933 0, Logistic 0,4271 0,4875 0,3614 0,5951 0,6756 0,5944 0,5544 0,5933 0,4542

25 63 Hasil koefisien determinasi indeks vegetasi dari Landsat-7 ETM+ rata-rata didapatkan nilai R 2 yang tinggi, kecuali transformasi indeks vegetasi difference vegetation index (DVI) yaitu sebesar 0,5381. Dari sebelas model persamaan yang dicobakan, diperoleh hasil bahwa model persamaan cubic merupakan model yang paling baik untuk semua tranformasi indeks vegetasi yang digunakan pada penelitian ini. Koefisien determinasi indeks vegetasi (R 2 ) untuk ratio vegetation index (RVI) 0,7978 dengan model persamaan cubic, transformed ratio vegetation index (TRVI) 0,7950 dengan model persamaan quadratic atau cubic, difference vegetation index (DVI) 0,5381 dengan model persamaan cubic, normalized difference vegetation index (NDVI) 0,8040 dengan model persamaan cubic, green normalized difference vegetation index (GNDVI) 0,8331 dengan model persamaan cubic, soil adjusted vegetation index (SAVI) 0,8032. Secara lengkap nilai koefisien determinasi indeks vegetasi ini ditampilkan pada Tabel 22. Grafik regresi antara transformasi indeks vegetasi dengan persentase kerapatan kanopi pada tiap transformasi indeks vegetasi ditampilkan pada Gambar 17. Pada Gambar 17 tersebut menampilkan model persamaan paling baik untuk tiap transformasi indeks vegetasi berdasarkan nilai koefisien determinasinya. Pada Lampiran 10 dan Lampiran 11 ditampilkan hasil analisa uji anova dan diperoleh hasil bahwa semua transformasi indeks vegetasi RVI, TRVI, DVI, NDVI, GNDVI, SAVI, GVI, IPVI dan SLAVI untuk semua model persamaan yang dicobakan memiliki F hitung > F tabel sehingga tolak H0 dan terima H1, yang berarti bahwa peubah penjelas (RVI, TRVI, DVI, NDVI, GNDVI, SAVI, GVI, IPVI dan SLAVI) memiliki kontribusi yang nyata terhadap peubah respon, yaitu persentase penutupan kanopi mangrove. Berdasarkan nilai R 2 pada Tabel 22 dan hasil analisa uji anova pada Lampiran 10 dan 11 diketahui bahwa green normalized difference vegetation index (GNDVI) merupakan tranformasi indeks vegetasi yang paling baik untuk melihat kerapatan kanopi mangrove di Kabupaten Berau. Pada Tabel 23 berikut ditampilkan secara lebih jelas model persamaan paling baik untuk tiap transformasi indeks vegetasi. 2 ( 351,00 ) Y = 292,43 + t

26 64 Gambar 17 Grafik hasil analisis regresi antara transformasi indeks vegetasi dengan persentase kerapatan kanopi mangrove. Tabel 23 Persamaan regresi antara persentase penutupan kanopi mangrove dengan hasil transformasi indeks vegetasi

27 65 No Formula Model Persamaan Regresi 1 RVI 2 3 Y = 127,11 + ( 130,79t) ( 25,74t ) + ( 1,64t ) 2 TRVI 2 Y = 292,43 + ( 351,00t) ( 79,63t ) atau 2 3 ( 351,00t) ( 79,63t ) ( 8,51 ) Y = 292, t 3 DVI 2 3 Y = 15,25 + ( 0,057t) + ( 0,005t ) ( 0,00001t ) 4 NDVI 2 3 Y = 50,28 + ( 311,54t) + ( 10,30t ) ( 242,44t ) 5 GNDVI 2 3 Y = 6,72 ( 8,34t) + ( 749,41t ) ( 839,39t ) 6 SAVI 2 3 Y = 52,01 + ( 216,08t ) ( 5,73t ) ( 68,25t ) 7 GVI 2 3 Y = 1,799 + ( 4,66t) ( 0,099t ) + ( 0,0008t ) 8 IPVI 2 3 Y = 644,90 + ( 1311,70t) + ( 13,05t ) ( 619,27t ) 9 SLAVI 2 3 Y = 204,89 + ( 233,65t ) ( 69,92t ) + ( 5,22t ) Keterangan: Y = persen penutupan kanopi ; t = hasil formula indeks vegetasi 4.12 Analisis Komponen Utama Salah satu tantangan dalam analisis peubah ganda adalah mereduksi dimensi dari segugus data peubah ganda yang besar. Hal ini seringkali dilakukan dengan cara mereduksi gugus peubah tersebut menjadi gugus peubah yang lebih kecil atau gugus peubah baru yang jumlahnya lebih sedikit. Peubah-peubah baru tersebut merupakan fungsi dari peubah asal atau peubah asal itu sendiri yang memiliki proporsi informasi yang signifikan mengenai gugus data tersebut. Pereduksian dimensi ini sangat diperlukan pada saat melakukan eksplorasi data menggunakan plot-plot untuk memberikan informasi secara visual. Penggunaan komponen utama, yang merupakan fungsi linear tertentu dari peubah asal, sering

28 66 disarankan untuk digunakan dalam proses mereduksi banyaknya peubah. Komponen utama mampu mempertahankan sebagian besar informasi yang terkandung pada data asal. Komponen utama mampu mempertahankan sebagian informasi yang diukur menggunakan keragaman total hanya menggunakan sedikit komponen utama saja. Hasil analisis komponen utama dengan menggunakan data hasil pembakuan peubah asli X menjadi peubah baku Z, diperoleh nilai akar ciri dan vektor ciri (Tabel 24). Tabel 24 Hasil analisis komponen utama dari data Landsat-7 ETM+ Eigen analysis of the Correlation Matrix Eigenvalue 2,5180 1,3057 0,1155 0,0608 Proportion 0,629 0,326 0,029 0,015 Cumulative 0,629 0,956 0,985 1,000 Variable PC1 PC2 PC3 PC4 Kanal 2-0,522-0,462-0,289 0,656 Kanal 3-0,497-0,515 0,204-0,668 Kanal 4-0,470 0,548-0,638-0,268 Kanal 5-0,510 0,469 0,684 0,226 Berdasarkan analisis komponen utama pada Tabel 24 menunjukkan bahwa komponen utama pertama (PC1) telah mampu menerangkan 62,9% dari keragaman yang ada, komponen utama kedua (PC2) mampu menerangkan 32,6%, komponen utama ketiga (PC3) mampu menerangkan 2,9%, sedangkan sampai komponen utama keempat (PC4) mampu menerangkan 1,5%. Kedua komponen utama (PC1 dan PC2) tersebut telah mampu menerangkan keragaman total data sebesar 95,6%. Plot scree analisis komponen utama ditampilkan pada Gambar 18. Nilai Eigen

29 67 Gambar 18 Plot scree analisis komponen utama. Gambar 18 merupakan plot scree akar ciri empat komponen utama dari data Landsat-7 ETM+. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa plot scree mulai melandai setelah komponen utama ketiga. Namun nilai eigen >1 sampai pada komponen utama kedua sehingga banyaknya komponen utama yang dipilih untuk analisis adalah sebanyak dua komponen, yaitu komponen utama pertama dan komponen utama kedua. Y = 2,5180PC1 + 1,3057PC2 PC1 = 0,522x x 2 0,497x3 0,470x4 0, 510 PC 1 = 0,462x + x 2 0,515x3 + 0,548x4 0, Maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = 2, ,3057 {( 0,522x2 ) ( 0,497x3 ) ( 0,470x4 ) ( 0,510x5 )} {( 0,462x ) ( 0,515x ) + ( 0,548x ) + ( 0,469x )} Overlay Citra Klasifikasi dengan Indeks Vegetasi (GNDVI) Overlay antara citra klasifikasi dengan transfprmasi indeks vegetasi green normalized difference vegetation index (GNDVI) akan menghasilkan peta

30 68 mangrove dengan berbagai tingkat kerapatan, yaitu mangrove kerapatan jarang, mangrove kerapatan sedang dan mangrove kerapatan lebat. Tabel 25 ditampilkan luasan mangrove serta perubahannya pada berbagai tiap tingkat kerapatan. Tabel 25 Luasan kerapatan mangrove tahun 1991 dan tahun 2002 Kerapatan mangrove Th (ha) Th (ha) Perubahan (ha) Maximum likelihood Non mangrove , , ,14 Mangrove jarang 1.343, ,75 94,23 Mangrove sedang 5.625, ,75 60,21 Mangrove lebat 7.741, , ,58 Neural network back propagation Non mangrove , , ,46 Mangrove jarang 2.680, ,26 417,15 Mangrove sedang 6.699, ,96-314,64 Mangrove lebat 8.403, , ,97 Tabel 25 menunjukkan bahwa ada perubahan penutupan lahan dari mangrove menjadi non mangrove seluas 1.417,14 ha (hasil metode maximum likelihood), atau 1.448,46 ha (hasil metode neural network back propagation). Dengan menggunakan metode neural network back propagation mangrove jarang di daerah penelitian bertambah seluas 417,15 ha, mangrove sedang berkurang seluas 314,64 ha, sedangkan mangrove lebat berkurang dari 8.403,75 ha menjadi 6.852,78 ha. Jadi mangrove lebat dengan metode neural network back propagation mengalami penurunan seluas 1.550,97 ha. Hasil overlay antara citra klasifikasi maximum likelihood dengan indeks vegetasi (GNDVI) ditampilkan pada Lampiran 12, sedangkan klasifikasi neural network back propagation dengan indeks vegetasi (GNDVI) pada Lampiran 13. Peta perubahan kerapatan mangrove antara tahun 1991 sampai tahun 2002 metode maximum likelihood ditampilkan pada Lampiran 14, sedangkan peta perubahan kerapatan mangrove antara tahun 1991 sampai tahun 2002 metode neural network back propagation ditampilkan pada Lampiran 15.

31 Produktivitas Mangrove Secara umum mangrove telah diketahui sebagai ekosistem produktif yang ekstrem, yang tidak hanya memiliki produktivitas primer yang tinggi, tapi juga mengekspor bahan organik dan mensuport berbagai organisme akuatik (Odum and Heald 1972 diacu dalam Woodroffe 1982). Produktivitas primer adalah jumlah karbon (unsur C) yang dihasilkan oleh tumbuhan yang memiliki klorofil dalam satu kubik air per satuan waktu (Levinton, 1982). Dalam hal ini, produktivitas mangrove di Indonesia diperkirakan sekitar 40,40 sampai 45,50 kg C/ha/hari (Sukardjo and Yamada 1992). Dalam rantai makanan alami, ekosistem mangrove merupakan produsen primer antara lain melalui serasah yang dihasilkan, yang merupakan komponen net primary production (Bunt et al. 1979). Serasah hutan mangrove setelah melalui proses dekomposisi oleh sejumlah mikroorganisme, akan menghasilkan detritus. Lewat proses dekomposisi, nutrien yang terkandung di dalam serasah atau detritus akan lepas ke perairan dan dimanfaatkan oleh fitoplankton dalam fotosíntesis untuk pertumbuhannya. Fitoplankton akan dimangsa oleh zooplankton, dan fitoplankton serta zooplankton merupakan sumber makanan ikan dan larva ikan untuk. Detritus ini akan dimanfaatkan oleh berbagai ikan dan krustasea (ikan, udang, kepiting dan lain-lain) sampai akhirnya dimangsa oleh manusia sebagai konsumer puncak. Wafar et al menambahkan bahwa serasah ini merupakan elemen penting dalam penghitungan energi dan fluxes nutrien di ekosistem mangrove. Berdasarkan hasil penelitian TNC dan P 4 L 2003, secara umum rata-rata hutan mangrove di pesisir Kabupaten Berau mampu memproduksi serasah sekitar 1,482 gr/m 2 /hari, sehingga mampu memproduksi berat kering serasah sebesar 5,41 ton/ha/tahun. Berdasarkan hasil analisis tersebut, jika mengacu pada luas hutan mangrove daerah studi tahun 1991 dengan luas ,46 ha, maka hutan mangrove daerah studi mampu memproduksi serasah sebesar ,52 ton/tahun, sedangkan tahun 2002 dengan luas ha, maka hutan mangrove mampu memproduksi serasah sebesar ,35 ton/tahun.

32 Hubungan Antara Kerapatan Mangrove dengan Perikanan Tangkap Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan yang positif antara luas hutan mangrove dengan besarnya hasil tangkapan udang maupun ikan. Menurut Kawaroe (2000), ikan jenis Englauris grayi dengan ukuran panjang total kurang dari 110 mm (Juvenil) banyak dijumpai pada kondisi mangrove yang memiliki produktivitas serasah tinggi. Ikan dewasa jenis Engraulis grayi dan Trichiurus haumale memerlukan ekosistem mangrove yang memiliki kerapatan dan produktivitas serasah sedang dan kelas genang tinggi. Juvenil Mugil dussumieri banyak ditemukan pada kondisi mangrove dengan produktivitas serasah dan kelas genangan rendah. Berdasarkan hasil tersebut selanjutnya dikatakan bahwa kondisi kualitas ekosistem mangrove yang memiliki kerapatan, produksi serasah dan kelas genangan akan mencirikan dan berpengaruh terhadap keberadaan ikan. Telah dikemukakan bahwa salah satu manfaat dengan adanya ekosistem mangrove adalah sebagai tempat bertelur, sebagai suplayer dalam siklus rantai makanan dan sebagai tempat berlindung sebagian besar udang dan ikan. Udang bertelur di laut lepas, kemudian telur menetas dan berkembang menjadi larva, nauplius, mysis, post mysis dan udang juvenil. Selama perkembangannya, organisme ini akan terbawa atau mengikuti arus ke daerah pantai dan akan tinggal disini untuk mencari makan dan tumbuh menjadi besar di antara akar-akar pohon bakau. Kalau saatnya tiba, udang juvenil akan bermigrasi ke arah laut lepas dan tumbuh menjadi dewasa. Jadi jelas bahwa keberadaan udang dewasa di lepas pantai sangat dipengaruhi oleh tersedianya tumbuhan bakau dan vegetasi air lainnya di pantai. Gambar 19 dan 20 mencerminkan hubungan antara luas hutan di pantai dengan hasil tangkapan udang di laut (Kaswadji 2007).

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

PENGKAJIAN ALGORITMA INDEKS VEGETASI DAN METODE KLASIFIKASI MANGROVE DARI DATA SATELIT LANDSAT-5 TM DAN LANDSAT-7 ETM+

PENGKAJIAN ALGORITMA INDEKS VEGETASI DAN METODE KLASIFIKASI MANGROVE DARI DATA SATELIT LANDSAT-5 TM DAN LANDSAT-7 ETM+ PENGKAJIAN ALGORITMA INDEKS VEGETASI DAN METODE KLASIFIKASI MANGROVE DARI DATA SATELIT LANDSAT-5 TM DAN LANDSAT-7 ETM+ (Studi Kasus Di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur) RISTI ENDRIANI ARHATIN SEKOLAH

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas mangrove di Indonesia adalah sekitar 4,25 juta hektar, yang merepresentasikan 25 % dari mangrove dunia. Indonesia merupakan pusat dari sebagian biogeografi genus mangrove

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Hasil Segmentasi Dari beberapa kombinasi scale parameter yang digunakan untuk mendapatkan segmentasi terbaik, untuk mengklasifikasikan citra pada penelitian ini hanya mengambil

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk

Lebih terperinci

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35 36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

RIZKY ANDIANTO NRP

RIZKY ANDIANTO NRP ANALISA INDEKS VEGETASI UNTUK IDENTIFIKASI TINGKAT KERAPATAN VEGETASI HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN CITRA AIRBORNE HYPERSPECTRAL HYMAP ( Studi kasus : Daerah Hutan Gambut Kabupaten Katingan dan Kabupaten Pulang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya)

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) A554 Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) Deni Ratnasari dan Bangun Muljo Sukojo Departemen Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x,. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Identifikasi Kerusakan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Studi Kasus : Sub DAS Brantas

Lebih terperinci

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 61 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Degradasi Hutan di Lapangan 4.1.1 Identifikasi Peubah Pendugaan Degradasi di Lapangan Identifikasi degradasi hutan di lapangan menggunakan indikator

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Koreksi Geometrik Langkah awal yang harus dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan koreksi geometrik pada citra Radarsat. Hal ini perlu dilakukan karena citra tersebut

Lebih terperinci

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS Oleh : Tresna Sukmawati Suhartini C64104020 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal. DAFTAR ISI Halaman Judul... No Hal. Intisari... i ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2.

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian. 3.2 Bahan dan Alat

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian. 3.2 Bahan dan Alat III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada areal Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang difokuskan pada Taman dan Jalur Hijau di Kotamadya Jakarta Timur. Pelaksanaan kegiatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (Oktober, 2013) ISSN: 2301-9271 Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 Latri Wartika

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 14, terdiri dari tahap identifikasi masalah, pengumpulan dan praproses data, pemodelan

Lebih terperinci

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* PENENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN INDEX VEGETASI NDVI BERBASIS CITRA ALOS AVNIR -2 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* Abstrak:

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-572

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-572 JURNAL TEKNIK ITS Vol., No., (01) ISSN: 33-353 (301-1 Print) A-5 Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) Deni

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Hasil Hasil penelitian tugas akhir ini berupa empat model matematika pendugaan stok karbon. Model matematika I merupakan model yang dibentuk dari persamaan regresi linear

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

PENENTUAN KERAPATAN MANGROVE DI PESISIR PANTAI KABUPATEN LANGKAT DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 5 TM DAN 7 ETM. Rita Juliani Rahmatsyah.

PENENTUAN KERAPATAN MANGROVE DI PESISIR PANTAI KABUPATEN LANGKAT DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 5 TM DAN 7 ETM. Rita Juliani Rahmatsyah. 62 PENENTUAN KERAPATAN MANGROVE DI PESISIR PANTAI KABUPATEN LANGKAT DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 5 TM DAN 7 ETM Rita Juliani Rahmatsyah Bill Cklinton Simanjuntak Abstrak Telah dilakukan penentuan kerapatanmangrove

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan,

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O

Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O Sidang Tugas Akhir Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur Agneszia Anggi Ashazy 3509100061 L/O/G/O PENDAHULUAN Latar Belakang Carolita

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias)

PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias) Berita Dirgantara Vol. 12 No. 3 September 2011:104-109 PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias) Susanto, Wikanti Asriningrum

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan dan Praproses Data Kegiatan pertama dalam penelitian tahap ini adalah melakukan pengumpulan data untuk bahan penelitian. Penelitian ini menggunakan data sekunder

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI

PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI Oleh Nama : Januar Wiguna Nim : 0700717655 PROGRAM GANDA TEKNIK INFORMATIKA DAN MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK 2.1 KONSEP DASAR Pada penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yang dijadikan acuan untuk menyelesaikan penelitian. Berikut ini teori yang akan digunakan penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2013 dengan lokasi penelitian meliputi wilayah Pesisir Utara dan Selatan Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Ekstraksi Citra TerraSAR-X Dual Polarization Citra RGB terbaik idealnya mampu memberikan informasi mengenai objek, daerah atau fenomena yang dikaji secara lengkap. Oleh karena

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, Evaluasi Tutupan Lahan Terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Surabaya Pada Citra Resolusi Tinggi Dengan EVALUASI TUTUPAN LAHAN PERMUKIMAN TERHADAP RENCANA DETIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) SURABAYA

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS DAN KERAPATAN EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS DAN KERAPATAN EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS DAN KERAPATAN EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Inggriyana Risa Damayanti 1, Nirmalasari Idha Wijaya 2, Ety Patwati 3 1 Mahasiswa Jurusan Oseanografi, Universitas Hang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

Interpretasi Citra Satelit Landsat 8 Untuk Identifikasi Kerusakan Hutan Mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali

Interpretasi Citra Satelit Landsat 8 Untuk Identifikasi Kerusakan Hutan Mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali Interpretasi Citra Satelit Landsat 8 Untuk Identifikasi Kerusakan Hutan Mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali I WAYAN RUMADA A. A. ISTRI KESUMADEWI *) R. SUYARTO Program Studi Agroekoteknologi,

Lebih terperinci

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2004 sampai bulan Desember 2006. Lokasi yang dipilih untuk studi kasus adalah Gugus Pulau Pari, Kepulauan

Lebih terperinci

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004 53 5.1.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi data Citra Landsat dilakukan untuk pengelompokan penutupan lahan pada tahun 2004. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

Lebih terperinci

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Oleh : Linda Ardi Oktareni Pembimbing : Prof. DR. Ir Bangun M.S. DEA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Koreksi Suhu Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis tersebut dihasilkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Citra Citra merupakan salah satu komponen multimedia yang memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Meskipun sebuah citra kaya akan informasi, namun sering

Lebih terperinci

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengumpulan Data Data-data yang digunakan dalam penelitian nerupa data sekunder yang dikumpulkan dari instansi terkait dan data primer yang diperoleh melalui survey lapangan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

APLIKASI JARINGAN SARAF TIRUAN UNTUK INVENTARISASI LUAS SUMBER DAYA ALAM STUDI KASUS PULAU PARI

APLIKASI JARINGAN SARAF TIRUAN UNTUK INVENTARISASI LUAS SUMBER DAYA ALAM STUDI KASUS PULAU PARI APLIKASI JARINGAN SARAF TIRUAN UNTUK INVENTARISASI LUAS SUMBER DAYA ALAM STUDI KASUS PULAU PARI Putri Khatami Rizki 1), Muchlisin Arief 2), Priadhana Edi Kresnha 3) 1), 2), 3) Teknik Informatika Fakultas

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 JUDUL KEGIATAN: PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGITAS PEMANFAATAN DATA INDERAJA UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI KUALITAS DANAU BAGI KESESUAIAN BUDIDAYA PERIKANAN DARAT

Lebih terperinci

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso) JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Mar, 2013) ISSN: 2301-9271 Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI Bab ini berisi analisis pengembangan program aplikasi pengenalan karakter mandarin, meliputi analisis kebutuhan sistem, gambaran umum program aplikasi yang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

STUDI PERKEMBANGAN KOTA MEDAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SIG. Walbiden Lumbantoruan 1. Abstrak

STUDI PERKEMBANGAN KOTA MEDAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SIG. Walbiden Lumbantoruan 1. Abstrak STUDI PERKEMBANGAN KOTA MEDAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SIG Walbiden Lumbantoruan 1 Abstrak Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: (1) Untuk mengtetahui perubahan ruang sebagai permukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juni 2015, ISSN

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juni 2015, ISSN ANALISIS PARAMETER KUALITAS AIR LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN SUMENEP UNTUK PEMBUATAN PETA SEBARAN POTENSI IKAN PELAGIS (Studi Kasus : Total Suspended Solid (TSS)) Feny Arafah, Muhammad Taufik, Lalu Muhamad

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh 4 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, dan fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari suatu

Lebih terperinci

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT 8 (Studi Kasus : Sub Das Brantas Bagian Hulu, Kota Batu) Oleh : Aning Prastiwi

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci