PENYEMPURNAAN MASTERPLAN SARANA DAN PRASARANA DITJEN PMD ( P E M B E R D A Y A A N M A S Y A R A K A T D A N D E S A )

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENYEMPURNAAN MASTERPLAN SARANA DAN PRASARANA DITJEN PMD ( P E M B E R D A Y A A N M A S Y A R A K A T D A N D E S A )"

Transkripsi

1 KEMENTERIAN DALAM NEGERI DITJEN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA S E S D I T J E N P E M B E R D A Y A A N M A S Y A R A K A T D A N D E S A LAPORAN AKHIR PENYEMPURNAAN MASTERPLAN SARANA DAN PRASARANA DITJEN PMD ( P E M B E R D A Y A A N M A S Y A R A K A T D A N D E S A ) PT.

2 Kata Pengantar Atas segala puji Tuhan Yang Maha Esa, kami telah menyelesaikan penyusunan dokumen Usulan Teknis untuk pekerjaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa), sebagai salah satu persyaratan dalam pengajuan pelaksanaan pekerjaan yang dimiliki oleh DIRJEN PMD pada tahun anggaran Dalam Laporan Akhir Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD, telah disusun materi sebagai berikut : 1. Pendahuluan 2. Gambaran Umum 3. Apresiasi dan Inovasi 4. Pendekatan dan Metodelogi 5. Konsep Pengembangan 6. Konsep Perencanaan dan Perancangan 7. Penutup Untuk memenuhi ketentuan dalam Kerangka Acuan Kerja perihal materi pekerjaan, maka Konsultan telah menyusun Laporan Akhir untuk diberikan kepada para pihak terlibat dalam kegiatan ini. Demikian pengantar dari pihak konsultan sebagai penyusun Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) semoga rencana yang disusun ini dapat berguna untuk kepentingan bersama. Jakarta, 2014 TIM KONSULTAN

3 DAFTAR ISI HALAMAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG... I GAMBARAN UMUM... I VISI DAN MISI... I MAKSUD DAN TUJUAN... I ALASAN DILAKSANAKAN KEGIATAN... I KEGIATAN YANG DILAKSANANKAN... I MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN DESAIN MASTERPLAN... I SASARAN... I PENERIMAAN MANFAAT... I TINJAUAN DASAR HUKUM... I LINGKUP PEKERJAAN... I INDIKATOR KELUARAN... I STRATEGI PENCAPAIAN KELUARAN... I TEMPAT PELAKSANAAN KEGIATAN... I PELAKSANAAN KEGIATAN... I TIM PELAKSANAAN KEGIATAN... I SUMBER DANA... I SISTEMATIKA PENULISAN... I 24 BAB II GAMBARAN UMUM BALAI PMD 2.1 SEJARAH PMD... II BALAI PMD YOGYAKARTA... II Gambaran Umum... II Visi dan Misi... II Strategi... II Struktur Organisasi... II Program Pelatihan... II BALAI BESAR PMD MALANG... II 9

4 2.3.1 Gambaran Umum... II Visi dan Misi... II Strategi Kebijakan... II Struktur Organisasi... II Tugas dan Fungsi... II Sarana dan Prasarana... II Jenis Pelatihan... II BADAN PMPD PROVINSI... II Gambaran Umum... II Visi dan Misi... II Struktur Organisasi... II Tujuan dan Sasaran... II Pertumbuhan Desa... II 19 BAB III APRESIASI DAN INOVASI 3.1 PERANGKAT MEKANISME KONTROL PERENCANAAN... III UU No. 28 thn 2002 Tentang Bangunan Gedung... III UU No. 29 thn 2006 Tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung... III UU No. 26 thn 2007 Tentang Penataan Ruang... III Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6 thn 2007 Tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan... III Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 thn 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan... III Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 thn 2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan... III 50 BAB IV PENDEKATAN DAN METODOLOGI 4.1 PENDEKATAN UMUM... IV Pendekatan Strategi Dasar... IV Pendekatan Strategi Operasional... IV 2

5 4.1.3 Pendekatan Penanganan Pekerjaan... IV PENDEKATAN KHUSUS... IV Investigasi, Identifikasi, Konservasi, dan Penataan Balai... IV Penanganan Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana Dirjen PMD... IV Penyusunan Rencana Umum dan Detail Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana Dirjen PMD... IV Penyusunan program pelaksanaan dan program Investasi penataan Balai... IV Manajemen Pelaksanaan Penataan Kawasan... IV PENDEKATAN TEKNIK OPERASIONAL... IV Tahap Persiapan... IV Tahap Studi Literatur... IV Tahap Survey Lapangan... IV Tahap Pelaporan Hasil Survey... IV Tahap Identifikasi Permasalahan... IV Tahap Analisa dan Evaluasi... IV Tahap Perumusan dan Rekomendasi... IV ANALISA PERENCANAAN... IV METODE GRAVITASI (PUSAT MASSA)... IV STANDAR UKURAN... IV Kajian Teori... IV TINJAUAN PERENCANAAN STANDAR BANGUNAN GEDUNG... IV Peraturan tentang Pembangunan Bangunan Gedung... IV Standar Luas Bangunan Gedung Negara... IV Persyaratan Teknis... IV Standar Perencanaan Arsitektur untuk Bangunan Gedung... IV PERSYARATAN UMUM PENCAHAYAAN... IV Pencahayaan Buatan Harus Memenuhi... IV Pencahayaan Alami... IV PERHITUNGAN DAN OPTIMASI PEMAKAIAN DAYA LISTRIK... IV 88

6 4.9.1 Prosedur Perhitungan dan Optimasi Pemakaian Daya Listrik... IV Kualitas Warna Cahaya... IV PENGOPRASIAN DAN PEMELIHARAAN... IV Pengoperasian... IV Pemeliharaan... IV SIRKULASI... IV Sirkulasi Bangunan... IV Unsur-unsur Sirkulasi... IV TINJAUAN PERENCANAAN STANDAR BANGUNAN GEDUNG... IV Ketentuan Umum... IV Pembangunan... IV 104 BAB V KONSEP PENGEMBANGAN 5.1 KONSEP PENGEMBANGAN FISIK... V Prasarana Jaringan Jalan... V Prasarana Jaringan Drainase... V Prasarana Jaringan Air Bersih... V Sarana Penunjang Utama... V ANALISIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (PMD)... V Latar Belakang... V Perencanaan Kebutuhan Ruang... V 10 BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 6.1. BALAI PMD YOGYAKARTA... VI Survey dan Identifikasi Eksisting... VI Kondisi Tapak... VI Rencana Pengembangan Sarana dan Prasarana Tapak... VI BALAI PMD LAMPUNG... VI Survey dan Identifikasi Eksisting... VI Analisis Tapak... VI Rencana Pengembangan Sarana dan Prasarana Tapak... VI Konsep Perencanaan... VI -98

7 BAB VII PENUTUP 7.1 PENUTUP... VII 1 `

8 BAB 1 Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG Merujuk pada system wilayah, desa merupakan ruang yang didiami oleh masyarakat, didalamnya terdapat produksi sumberdaya, juga tata kelola pemerintahan. Untuk itu Seirama dengan perkembangan IPOLEKSOSBUDHANKAM (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan) dalam Pemerintahan Republik Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang, pelaksanaan pembangunan desa yang menjadi tugas dan tanggung jawab Departemen Dalam Negeri telah beberapa kali mengalami perubahan dan perkembangan, kebijaksanaan baik perubahan yang menyangkut nama maupun instansi dan penyelenggaraannya. Awal mula terbentuknya desa yaitu pada rangkaian laporan yang disusun oleh rombongan study tour dan expert dari PBB, maka Pemerintah mendapatkan gambaran yang jelas tentang maksud dan arti Community Development. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-ii (24 Maret 9 April 1957), program pemerintah yang berjangka 5 tahun mulai mencantumkan program Pembangunan Masyarakat Desa. Lebih lanjut dalam Kabinet Kerja II (18 Pebruari Maret 1963) organisasi penyelenggaran pembangunan masyarakat desa disempurnakan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 1960 jo. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 yang diundang pada tanggal 28 Juli Dalam Kabinet Dwikora (27 Agustus Maret 1966) yang terkenal dengan Kabinet 100 menteri, berdasarkan Keputusan Presiden no. 215 Tahun 1964, Pembangunan Masyarakat Desa mendapat tempat terhormat, dengan ditingkatkan Hal. I - 1

9 kedudukkannya, dari Direktorat Jenderal menjadi salah satu Departemen, yaitu Departemen PMD dibawah Kompartemen Pertanian dan Agraria. Kedudukan PMD dalam Kabinet Ampera berubah lagi menjadi Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) yang tetap dibawah naungan Departemen Dalam Negeri, dipimpin oleh H.Aminuddin Aziz dengan sebutan Direktur Jenderal PMD bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri. Tahun Pemerintah menetapkan tentang bantuan berupa subsidi desa. Tahun , Kepres RI Nomor : 169/M Tahun Tahun , Kepres RI Nomor : 1968/M Tahun Tahun , Surat Keputusan Presiden RI, Nomor : 145/M Tahun 1982, tanggal 8 September Tahun , Kepres RI Nomor : 36/M Tahun Tahun , Pembangunan Jangka Panjang Pertama. Undang Undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU no. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU no. 32 tahun Dalam proses panjang, ketika pembangunan itu dilakukan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, kondisinya menjadi berbalik, desa menjadi bagian dari pemerintahan pusat dengan posisi pinggiran dan kehilangan otonomi. Selanjutnya desa menjadi obyek pembangunan semua lembaga pemerintahan di atasnya sehingga tidak memiliki kewenangan dalam mengatur rumah tangganya sendiri, sampai pada ditetapkannya Undang-undang Pemerintahan Daerah yang mengarahkan pembangunan diawali pada taraf desa (bottom up) sebagai ujung tombak dalam peran pembangunan. Salah satu bukti terselenggaranya otonomi pemerintahan yaitu semakin bertambahnya jumlah desa yang ada. Berdasarkan data BPS 2012, jumlah desa di seluruh provinsi di Indonesia yaitu desa atau bertambah desa dari tahun 2004 dimana peraturan pemerintahan daerah diberlakukan. Hal. I - 2

10 Untuk itu sebagai jawaban atas tantangan yang tersirat dalam semangat otonomi daerah. Maka aparatur desa dituntut untuk mendapatkan meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat desa melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan. Salahsatunya dengan memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana penunjang yang disediakan melalui Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) GAMBARAN UMUM Gambar 1.1. Persebaran desa di provinsi 1. Peran desa dalam pembangunan nasional beserta masyarakat dan perangkat pemerintahan yang ada didalamnya sangatlah besar. Apalagi dengan semakin dikedepankannya konsep pembagunan berbasis pada komunitas maka aspek perkuatan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat desa menjadi spektrum yang utama. 2. Dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah, yang diimbangi dengan konsep pelayanan terintegrasi, serta terjadinya pemekaran wilayah (catatan Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2013 terdapat desa) yang mengakibatkan semakin berkembangnya jumlah desa, maka kegiatan pelatihan terhadap pemberdayaan masyarakat dan desa Hal. I - 3

11 harus dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan. Dibawah ini adalah table Data Desa setiap provinsinya tahun Tabel 1.1. Jumlah Desa menurut privinsi tahun Jumlah Desa Menurut Provinsi, Aceh 5,965 6,378 6,378 6,260 6,424 6,424 6,459 6,491 6,493 Sumatera Utara 5,459 5,610 5,616 5,713 5,774 5,742 5,770 5,872 5,876 Sumatera Barat ,010 1,014 1,032 1,140 Riau 1,426 1,482 1,482 1,551 1,622 1,637 1,645 1,664 1,759 Jambi 1,189 1,231 1,231 1,295 1,342 1,371 1,371 1,480 1,506 Sumatera Selatan 2,727 2,780 2,783 2,971 3,075 3,154 3,165 3,186 3,205 Bengkulu 1,194 1,233 1,233 1,314 1,351 1,444 1,507 1,508 1,517 Lampung 2,131 2,193 2,193 2,265 2,339 2,404 2,463 2,463 2,576 Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat 5,778 5,808 5,808 5,832 5,871 5,879 5,891 5,918 5,962 Jawa Tengah 8,561 8,566 8,566 8,573 8,574 8,574 8,577 8,578 8,578 DI Yogyakarta Jawa Timur 8,467 8,484 8,484 8,505 8,505 8,506 8,506 8,503 8,505 Banten 1,484 1,483 1,483 1,504 1,504 1,535 1,535 1,535 1,551 Bali Nusa Tenggara Barat ,117 1,146 Nusa Tenggara Timur 2,599 2,742 2,742 2,780 2,805 2,836 2,874 2,918 3,213 Kalimantan Barat 1,489 1,531 1,531 1,686 1,791 1,894 1,894 1,967 1,982 Kalimantan Tengah 1,348 1,395 1,395 1,432 1,457 1,510 1,514 1,528 1,559 Kalimantan Selatan 1,956 1,957 1,957 1,968 1,981 1,981 1,985 2,000 2,007 Kalimantan Timur 1,378 1,352 1,352 1,406 1,421 1,435 1,465 1,465 1,486 Sulawesi Utara 1,204 1,280 1,280 1,360 1,495 1,652 1,673 1,691 1,738 Sulawesi Tengah 1,440 1,530 1,530 1,628 1,688 1,778 1,815 1,848 1,922 Sulawesi Selatan 2,580 2,866 2,866 2,893 2,946 2,961 2,976 2,982 3,025 Sulawesi Tenggara 1,613 1,705 1,705 1,816 2,031 2,087 2,088 2,156 2,215 Gorontalo Sulawesi Barat Maluku ,041 Maluku Utara ,036 1,062 1,063 1,071 1,077 Papua Barat 2,587 1,166 1,166 1,199 1,244 1,367 1,410 1,438 1,442 Papua 1,195 2,442 2,442 2,822 3,416 3,561 3,579 3,619 3,619 Indonesia 69,858 71,535 71,563 73,408 75,666 76,983 77,548 78,558 79,702 Sumber:Berdasarkan Laporan BPS Provinsi/Kabupaten/Kota Hal. I - 4

12 Gambar 1.2. Pertumbuhan Desa tahun Paradigma pembangunan nasional semakin hari semakin kompleks, sehingga masyarakat dan desa sebagai bagian dari pembangunan dituntut untuk selalu memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan terkini. 4. Balai Pemberdayaan Masyarakat Desa yang ada pada saat ini (Lampung, Yogyakarta, dan Malang) sudah tidak mampu lagi menampung kegiatan pelatihan pemberdayaan masyarakat dan desa untuk seluruh wilayah di Indonesia. Apalagi dengan adanya percepatan pembangunan nasional dalam rangka menyambut era-globalisasi, maka efektifitas dan kecepatan penyampaian informasi menjadi salah satu tolak ukurnya. Dibawah ini terdapat Tabel program pengembangan balai PMD dan Gambar peta usulan persebaran balai PMD. Tabel 1.2. Program Pengembangan Balai PMD No Balai PMD Jumlah Desa (2012) Provinsi Jumlah Desa 1 Yogyakarta Banten DKI Jakarta 267 Jawa Barat Hal. I - 5

13 Jawa Tengah Daerah Istimewa Yogyakarta 438 Kalimantan Timur Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Utara 2 Malang Jawa Timur Bali 716 NTT NTB Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat 645 Gorontalo Lampung Lampung Hal. I - 6

14 Sumatera Selatan Bangka Belitung 381 Jambi Bengkulu Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau 383 Sumatera Utara Aceh Lahirnya UU Desa Nomor 6 tahun 2014 membawa harapan yang besar akan terwujudnya desa yang makmur dan mandiri. Namun dalam implementasinya dihadapkan pada persoalan masih lemahnya SDM di desa dalam menyusun program kerja. Sehingga keberadaan Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa menjadi nilai strategis dalam rangka mencetak kader desa yang cakap dan trampil. 6. Sebagai langkah awal maka akan dilaksanakan kegiatan : Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa), dengan cakupan studi meliputi : UPT/ Balai PMD di Yogyakarta UPT/ Balai PMD di Malang Pengembangan / perluasan UPT/ Balai PMD di Bandar Lampung Hal. I - 7

15 1.3. Visi dan Misi Visi : Meningkatkan kemandirian masyarakat (Penjelasan : kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi dinamis yang memungkinkan masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya berdasarkan potensi, kebutuhan, aspirasi dan kewenangan yang ada padanya yang difasilitasi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta seluruh pelaku pemberdayaan masyarakat). Misi : Mengembangkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri, melalui : Pemantapan kelembagaan serta pengembangan partisipasi dan keswadayaan masyarakat; 1. Pemantapan kehidupan sosial budaya masyarakat; 2. Pengembangan usaha ekonomi masyarakat; 3. Peningkatan pemanfaatan sumber daya alam berwawasan lingkungan; 4. Peningkatan pendayagunaan teknologi tepat guna sesuai kebutuhan masyarakat; 5. Pemantapan penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Pemerintahan Kelurahan MAKSUD DAN TUJUAN Maksud : 1. Meningkatkan kemampuan masyarakat (to give ability or enable) melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program pembangunan, agar kehidupan masyarakat dapat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan. 2. Meningkatkan kemandirian masyarakat melalui pemberian wewenang secara proporsional kepada masyarakat dalam pengambilan keputusan (to give authority) dalam rangka membangun diri dan lingkungannya secara mandiri. Hal. I - 8

16 Hal ini menunjukan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat berarti memampukan dan memandirikan masyarakat. Tujuan : 1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat. 2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat melalui pemberian input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana maupun sosial serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran. 3. Melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbangan, dan bukan berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, didasarkan pada kebutuhan untuk menjawab perubahan lingkungan yang dinamis yang diwarnai oleh suasana globalisasi yang cukup mempengaruhi partisipasi dan keswadayaan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan antara lain, Pertama, keterbukaan informasi melalui kemudahan komunikasi dan transportasi akibat pesatnya perkembangan teknologi yang dapat mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat, Kedua, liberalisasi perdagangan yang ditandai oleh pesatnya transaksi ekonomi antar negara, yang menuntut daya saing produk barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat, agar mampu bersaing dalam pasar global terutama pasar domestik. Keadaan ini hanya dapat dihadapi oleh sebahagian kecil masyarakat yang memiliki keunggulan komparatif, sehingga mampu bersaing dalam kompetisi global, Ketiga, perubahan kebijakan politik yang turut memepengaruhi partisipasi masyarakat dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembangunan. Hal. I - 9

17 1.5. ALASAN KEGIATAN DILAKSANAKAN Desa dan Masyarakatnya merupakan tulang punggung pembangunan nasional. Sehingga eksistensinya harus terus dipelihara dan dijaga melalui program pemberdayaan masyarakat dan desa. Dimana salah satunya adalah menjadi program utama dari Dirjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kementerian Dalam Negeri. Memberdayakan masyarakat desa merupakan implementasi dari otonomi desa yang akan meningkatkan keberdayaan masyarakat desa di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Dalam rangka peningkatan kualitas SDM masyarakat dan desa, maka Dirjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa mempunyai program pemberdayaan dan pelatihan dengan cara menyediakan sarana dan prasarana dalam bentuk Balai PMD Untuk merealisasikan kegiatan tersebut adalah dengan melaksanakan pembagunan Gedung Balai PMD yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Mengingat balai yang ada sudah tidak mampu lagi melayani kebutuhan yang terus meningkat. Wujud awal yang akan dilaksanakan adalah dengan kegiatan : Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN Program Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) meliputi : identifikasi terhadap pihak-pihak yang terlibat, identifikasi kebutuhan sarana dan prasarana, identifikasi kebutuhan ruang, penyusunan program ruang dan bangunan, perencanaan teknis, penyusunan masterplan dan pola gubahan massa bangunan, prakiraan perhitungan biaya pembangunan, dan penyusunan pentahapan pembangunan. Hal. I - 10

18 URAIAN KEGIATAN Untuk dapat mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, maka perlu dilakukan kegiatan identifikasi, analisa, menyusun rekomendasi, identifikasi kebutuhan ruang, penyusunan program ruang dan bangunan, perencanaan teknis, membuat perencanaan teknis, perhitungan biaya pembangunan, dan penyusunan pentahapan pembangunan BATASAN KEGIATAN 1. Kegiatan ini dibatasi pada Program Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Kementerian Dalam Negeri, khususnya DITJEN Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. 2. Lokasi pelaksanaan kegiatan adalah : a. Pengembangan / perluasan UPT/ Balai PMD di Lampung b. UPT/ Balai PMD di Yogyakarta c. UPT/ Balai PMD di Malang 3. Lokasi studi perbandingan adalah : UPT/ Balai Besar PMD di Malang dan di Jogja 4. Sedangkan batasan materi studi mencakup bahasan : a. Kajian/ studi tapak b. Studi kebutuhan dan hubungan ruang c. Studi desain bangunan Hal. I - 11

19 1.7. MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN DESAIN MASTERPLAN MAKSUD KEGIATAN. Menyusun Program Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa). TUJUAN KEGIATAN. Terlaksananya Penyelenggaraan Program Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) yang tersebar di beberapa lokasi (Yogyakarta, Malang, dan Lampung). Dalam rangka perkuatan kegiatan pemberdayaan masyarakat dan desa di seluruh wilayah Indonesia, serta memperluas jaringan pelayanan DIRJEN PMD terhadap program dimaksud SASARAN SASARAN UMUM : Usulan desain bangunan beserta lingkungannya yang komprehensif dan kontekstual terhadap lingkungan serta mewadahi kebutuhan fungsi yang direncanakan SASARAN DESAIN : Terbentuknya tatanan massa bangunan yang sesuai dengan fungsi Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) yang tersebar di beberapa lokasi (Yogyakarta, Malang, dan Lampung). Terbentuknya tata ruang dalam bangunan yang komprehensif sesuai dengan kebutuhan fungsi yang direncanakan secara optimal. Terbentuknya desain bangunan yang ramah lingkungan dan sesuai dengan lingkungannya secara umum. Tersusunnya skenario pengembangan bangunan dan fasilitasnya sesuai tuntutan kebutuhan pada masa mendatang. Hal. I - 12

20 1.9. PENERIMAAN MANFAAT Kementerian Dalam Negeri, Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; TINJAUAN DASAR HUKUM Adapun dasar hukum yang dirujuk yaitu berupa perundang-udangan, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri, diantaranya sebagai berikut : Undang Undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU no. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU no. 32 tahun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 06 tahun 2014 tentang Desa. Peraturan Pemerintah (PP) no 72 tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah (PP) no 73 tahun 2005 tentang Kelurahan Peraturan Pemerintah (PP) no 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Permen Dalam Negeri no. 41 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 tahun 2007 tentang Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa/ Kelurahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa di Malang. Hal. I - 13

21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 49 tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa di Yogyakarta dan Lampung. Peraturan Menteri PU Nomor 45/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara LINGKUP PEKERJAAN Menyusun Program Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) akan dilakukan melalui serangkaian tahapan proses perencanaan yang ada guna tercapainya tujuan dan sasaran dari pekerjaan ini sesuai dengan batas waktu pelaksanaan pekerjaan. Berikut ini adalah uraian tahapan pekerjaan yang akan dilaksanakan : a. Tahap 1 : Persiapan b. Tahap 2 : Pengumpulan Data dan Survey c. Tahap 3 : Tabulasi dan Kompilasi Data d. Tahap 4 : Konsep Perancangan e. Tahap 5 : Penyusunan Laporan Tahap Persiapan Pekerjaan persiapan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, baik yang menyangkut masalah administrasi maupun teknis untuk menunjang kelancaran pelaksanaan di lapangan, meliputi : a. Persiapan administrasi dan penetapan tim tenaga pelaksanaan baik tenaga ahli, tenaga asisten, maupun tenaga pendukung. Hal. I - 14

22 b. Merancang jadwal pelaksanaan kegiatan untuk mengatur pemanfaatan waktu pekerjaan sesuai dengan yang ditetapkan dalam SPK dan kontrak kerjasama. c. Merancang pembagian tugas kerja setiap personil yang dituangkan ke dalam jadwal penugasan personil. d. Penyiapan bahan, peralatan, kuesioner dan peta kerja bagi pelaksanaan survei lapangan. e. Pengurusan surat ijin survey ke wilayah studi f. Pelaksanaan survey pendahuluan (reconnaisance) bagi seluruh tenaga ahli untuk menangkap permasalahan di lapangan secara intuitif. Dalam hal ini termasuk melakukan diskusi dengan pihak instansi terkait, masyarakat dan stake holder yang relevan. g. Menetapkan kerangka kerja perencanaan termasuk di dalamnya penetapan metodologi yang akan dipakai dalam tahap pelaksanaan pekerjaan selanjutnya Pengumpulan Data dan Survey Kegiatan pengumpulan data dan survey ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran nyata kondisi tapak perencanaan, sehingga diharapkan rencana yang dihasilkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Pengumpulan data yang akan dilakukan dalam survai ini dibagi atas dua kelompok besar, yaitu pengumpulan data sekunder dan pengumpulan data primer. a. Pengumpulan data sekunder. Survey ini dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi yang telah terdokumentasikan dalam buku, laporan dan data statistik yang umumnya terdapat di instansi terkait. Di samping pengumpulan data, pada kegiatan ini dilakukan pula wawancara atau diskusi dengan pihak instansi mengenai aturan dan permasalahan-permasalahan di tiap bidang/aspek yang menjadi kewenangannya serta menyerap Hal. I - 15

23 informasi mengenai kebijakan-kebijakan dan program yang sedang dan akan dilakukan. b. Pengumpulan data primer. Survei ini dilakukan untuk mendapatkan data terbaru/ terkini langsung dari lapangan atau obyek kajian. Pengumpulan data primer ini sendiri akan dilakukan melalui 2 metode, yaitu metode observasi langsung ke lapangan, metode penyebaran kuesioner atau wawancara Tahapan Tabulasi dan Kompilasi Data Tahapan Tabulasi Dan Kompilasi Data adalah semua data dan informasi yang telah diperoleh dari hasil kegiatan pengumpulan data dan survai kemudian di kompilasi. Pada dasarnya kegiatan kompilasi data ini dilakukan dengan cara mentabulasi dan mengsistematisasi data-data tersebut dengan menggunakan cara komputerisasi. Hasil dari kegiatan ini adalah tersusunnya data dan informasi yang telah diperoleh sehingga mudah untuk dianalisis, berupa : Review dokumen- dokumen pengaturan dan studi terkait Menyiapkan format- format pendataan secara lengkap dan dapat mengkoordinir masalah lapangan. Melakukan pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif dari sumber data primer maupun sekunder sebagai bahan analisis. Hasil dari kegiatan ini adalah tersusunnya data dan informasi yang telah diperoleh sehingga akan mempermudah pelaksanaan tahapan selanjutnya yaitu tahap analisis. Penyusunan data itu sendiri akan dibagi atas dua bagian. Bagian pertama adalah data dan informasi mengenai kondisi regional (kondisi makro) dan bagian kedua adalah data dan informasi mengenai kondisi lokal perencanaan (kondisi mikro). Hal. I - 16

24 Konsep Perancangan Kosep perencanaan melalui Tahap Analisis secara garis besar terdiri dari : a. Analisa wilayah dan area perencanaan b. Rencana Kota terkait perencanaan tapak. c. Hubungan tapak dan lingkungan kota secara makro d. Hubungan tapak dan massa bangunan e. Studi aktivitas atau Flow Of Activity f. Daya dukung lingkungqan terhadap perkembangan Program Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD. g. Analisis data baik dari aspek kuantatif maupun aspek kualitatif yang dapat dipakai sebagai bahan untuk merumuskan masalah sebagai dasar penyusunan Program Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD. h. Perumusan potensi dan masalah, berdasarkan analisa lapangan perlu dirumuskan potensi dan masalah yang pemecahannya dapat dilaksanakan dengan pendekatan analisis SWOT. i. Konsep Awal dari analisa awal sebagai Hipo-thesis yang perlu diuji. j. Konsep Detailed Engineering Design (DED) k. Desain Skenario pelakasanaan pemgembangan pembangunan berupa penyiapan dan tahapan dalam melaksanakan kegiatan fisik maupun non fisik Penyusunan Laporan Penyusunan laporan Program Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) terdiri antara lain: a. Laporan Pendahuluan b. Laporan Antara Hal. I - 17

25 c. Laporan Akhir IDIKATOR KELUARAN Idikator Kualitatif Terlaksananya Penyelenggaraan Program Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) Idikator Kuantitatif Keluaran yang dihasilkan terdiri dari : A. Laporan Pendahuluan Merupakan laporan awal dalam memahami Kerangka Acuan Kerja yang diberikan dan berisikan Kerangka Pikir (Pola Pikir Pelaksanaan kegiatan), Rencana Kerja serta Methodelogi Kerja serta Tenaga (SDM) baik Tenaga Pelaksanan maupun Tenaga penunjang yang diperlukan dan Jadwal Kegiatan yaitu waktu dan pembagian tugas dari masing-masing pelaksana dan tenaga penunjang didalam melaksanakan kegiatan. Laporan Pendahuluan harus diserahkan 2 (dua) minggu setelah masa penugasan, sebanyak 10 eksemplar, yang sekurangkurangnya memuat metodologi pelaksanaan pekerjaan, struktur organisasi pelaksanaan pekerjaan, jadwal rencana penugasan, dan jadwal pelaksanaan pekerjaan. B. Laporan Antara Merupakan laporan hasil kegiatan didalam mengidentifikasi data baik literatur / hasil kajian maupun data lainnya serta informasi yang diperlukan terkait dengan kegiatan yang diperoleh baik dari laporan hasil kajian yang pernah dilakukan maupun dari Survey ke lapangan / ke daerah, dan memuat juga laporan tentang dari Hal. I - 18

26 hasil rapat rapat Pembahasan dan Pelaksanaan dan hasil koordinasi yang telah dilaksanakan. Laporan Antara harus diserahkan 3 (tiga) bulan setelah masa penugasan, dengan jumlah sebanyak 10 exemplar, yang sekurangkurangnya memuat Hasil survey, identifikasi, rapat lapangan, dan kesepakatan tertulis dalam rapat lapangan, serta konsep pengembangan perencanaan. C. Laporan Akhir Merupakan laporan hasil kegiatan secara keseluruhan, berupa : Konsep Pengembangan balai, Konsep Perencanaan, dan Program perencanaan. Dengan melampirkan : Gambar Masterplan, Gambar 3D (Perspektif) visualisasi perencanaan, dan Prakiraan Perhitungan Biaya. Laporan Akhir harus diserahkan 3 (tiga) bulan setelah masa penugasan, dengan jumlah sebanyak 10 exemplar. Keseluruhan Laporan selanjutnya disimpan dalam bentuk Softcopy, dalam CD sebanyak 2 buah, dan diserahkan bersamaan waktunya dengan penyerahan laporan akhir. Dalam hal ini, dokumen data/literatur dan softcopy serta album dokumentasi, wajib diserahkan dan menjadi milik pemberi tugas STRATEGI PENCAPAIAN KELUARAN METODE PELAKSANAAN a. Pengumpulan data yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan. b. Survey lapangan ke lokasi kegiatan. c. Kompilasi data Sekunder dan primer; Hal. I - 19

27 d. Melakukan Rapat - rapat, rapat pembahasan, pertemuan rutin dan workshop untuk menyamakan persepsi, untuk menjaring informasi dan mencari solusi terkait dengan penyempurnaan dan penyelesaian kegiatan. e. Menyusun laporan hasil pelaksanaan kegiatan f. Menyusun konsep dan perencanaan Masterplan terhadap pengembangan sarana dan prasarana. g. Membuat Gambar Perencanaan Masterplan beserta perhitungan biayanya TAHAPAN DAN WAKTU PELAKSANAAN A. Tahapan Kegiatan berupa: 1. Memahami Kerangka Acuan Kerja yang ditindaklanjuti dengan menyusun Rencana dan Mekanisme Kerja di dalam pencapaian hasil kegiatan; 2. Pengumpulan data Kelengkapan dalam Program Perencanaan Pembangunan Gedung UPT / Balai PMD Lampung, Yogyakarta, dan Malang. Pengumpulan data Kelengkapan dalam Program Perencanaan Pembangunan Gedung PMD di Yogya dan Malang 3. Melakukan studi banding ke UPT/ Balai Besar PMD di Malang 4. Pengumpulan Literatur, Hasil kajian dan peraturan Perundang undangan terkait. 5. Koordinasi dengan Instansi terkait; 6. Menyusun laporan hasil Program Perencanaan Pembangunan Gedung UPT / Balai PMD. 7. Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan 8. Menyusun Perencanaan Kegiatan dalam bentuk Dokumen Gambar beserta kelengkapan pendukungnya. 9. Menyusun Laporan Akhir. Hal. I - 20

28 B. Waktu Pelaksanaan Pelaksanaan Program. Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) dilaksanakan dalam kurun waktu 90 hari kalender atau 3 (tiga) bulan TEMPAT PELAKSANAAN KEGIATAN Kegiatan Program Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) adalah di Perkantoran PMD-Pusat, Bandar Lampung, Yogyakarta, dan Malang PELAKSANAAN KEGIATAN Satuan Kerja... melalui Pejabat Pembuat Komitmen... Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kementerian Dalam Negeri TIM PELAKSANA KEGIATAN Tim Pelaksana Kegiatan terdiri dari A. Tenaga Ahli yang dibutuhkan guna mendukung pelaksanaan kegiatan ini terdiri dari : 1. Team Leader adalah Ahli Arsitektur dengan kualifikasi S2 bidang Arsitektur, berpengalaman minimal 10 (sepuluh) tahun di bidangnya, memahami dan atau mampu menangani aspekaspek yang terkait dengan perencanaan gedung, serta bertanggung jawab atas keseluruhan pekerjaan dan mampu Hal. I - 21

29 mengarahkan masing-masing tenaga ahli sesuai dengan bidang atau tugas dengan kedalaman substansi dan keahliannya. 2. Ahli Teknik Sipil 2 (dua) orang, dengan kualifikasi S1 teknik sipil/ Geodesi yang mengerti tentang bidang pengukuran tanah berpengalaman minimal 8 (delapan) tahun di bidang perencanaan gedung dan balai; 3. Ahli Mekanikal/ Elektrikal 1 (satu) orang, dengan kualifikasi S1 Mekanikal/ Elektrikal berpengalaman minimal 7 (tujuh) tahun di bidang perencanaan gedung dan balai; 4. Ahli Arsitektur 1 (satu) orang, dengan kualifikasi S1 Arsitektur berpengalaman minimal 7 (tujuh) tahun di bidang perencanaan gedung dan balai; B. Asisten Tenaga Ahli yang dibutuhkan guna mendukung pelaksanaan kegiatan ini terdiri atas 2 (dua) orang tenaga ahli antara lain: 1. Ahli Arsitektur 1 (satu) orang, dengan kualifikasi S1 Arsitektur berpengalaman minimal 3 (tiga) tahun di bidang perencanaan sarana dan prasarana balai; 2. Ahli Teknik Sipil 1 (satu) orang, dengan kualifikasi S1 Teknik Sipil berpengalaman minimal 3 (tiga) tahun di bidang perencanaan sarana dan prasarana balai; C. Tenaga pendukung yang dibutuhkan guna mendukung pelaksanaan kegiatan ini terdiri atas : 1. Tenaga Cost Estimator 3 (tiga) orang, dengan kualifikasi D3 Arsitektur/ Teknik Sipil/ Mekanikal/ Elektrikalber pengalaman minimal 3 (tiga) tahun di bidang perencanaan sarana dan prasarana balai; Hal. I - 22

30 2. Tenaga Administrasi 2 (dua) orang, dengan kualifikasi SMA berpengalaman minimal 4 (empat) tahun atau D-3 Manajemen berpengalaman minimal 3 (tiga) tahun; 3. Tenaga Operator Komputer 1 (dua) orang, dengan kualifikasi SMA berpengalaman minimal 4 (empat) tahun atau D-2 Arsitektur/ Teknik Sipil/ Mekanikal/ Elektrikal berpengalaman minimal 3 (tiga) tahun di bidang perencanaan sarana dan prasarana balai; 4. Tenaga Surveyor 3 (tiga) orang, dengan kualifikasi S1 Arsitektur/ TeknikSipil/ Mekanikal/ Elektrika berpengalaman minimal 3 (tiga) tahun di bidang perencanaan sarana dan prasarana balai; 5. Tenaga Drafter 3 (tiga) orang, dengan kualifikasi STM berpengalaman minimal 4 (empat) tahun atau D-3 Arsitektur/ Teknik Sipil/ Mekanikal/ Elektrikal berpengalaman minimal 3 (tiga) tahun di bidang perencanaan sarana dan prasarana balai; Penangung Jawab Kegiatan Penanggung Jawab Kegiatan Program Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) adalah Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kementerian Dalam Negeri Materi Pelaksanaan Program Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) Hal. I - 23

31 No Uraian Kegiatan Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Bulan 1 Bulan 2 Bulan A B D LAPORAN PENDAHULUAN 1 Penyusunan metodologi dan rencana kerja 2 Pengumpulan data literatur dan data lapangan 3 Penyusunan arahan dan konsep rancangan 4 Pembahasan Laporan Pendahuluan LAPORAN ANTARA 1 Penyusunan Kerangka Analisis Tapak 2 Penyusunan Kerangka Analisis Ruang 3 Pematangan Konsep Rancangan 4 Penyusunan Program Ruang 5 Penyusunan Program Ruang 6 Penyusunan Alternatif Desain dan Nota Desain 7 Pembahasan Laporan Antara LAPORAN AKHIR (KONSEP LAPORAN AKHIR) 1 Penyusunan Laporan Perencanaan 2 Penyusunan Gambar Perencanaan 3 Penyusunan Rencana Anggaran Biaya 4 Penyusunan Dokumen Masterplan 5 Penyempurnaan Laporan Akhir 6 Penyusunan Tahapan Pembangunan 7 Pembahasan Laporan Akhir SUMBER DANA Pagu anggaran untuk pekerjaan ini adalah Rp ,- (sembilan ratus sembilan puluh lima juta rupiah) yang diambilkan dari DIRJEN PMD Sarana dan Prasarana Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Tahun Hal. I - 24

32 1.18. SISTEMATIKA PENULISAN Dalam penyusunan LAPORAN ANTARA pada kegiatan pekerjaan penyusunan Penyempurnaan Masterplan DIRJEN PMD Sarana dan Prasarana Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), pembahasan yang disusun meliputi : BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang, maksud, tujuan dan sasaran pada kegiatan serta termasuk ruang lingkup kegiatan, lokasi kegiatan, jangka waktu pelaksanaan, hingga hasil yang diharapkan dalam pelaksanaan kegiatan dan sistematika pembahasan BAB II GAMBARAN UMUM Pada bab ini dibahas mengenai gambaran tentang PMD, termasuk sejarah PMD Bab III APRESIASI DAN INOVASI Pada bab ini berisi apresiasi dan inovasi pembahasan konsultan terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan Bab IV PENDEKATAN DAN METODOLOGI Pada bab ini memberikan gambaran tindakan atau langkahlangkah konsultan dalam mengidentifikasi, menganalisis dan merumuskan pekerjaan ini. Bab ini diuraikan secara sistematis dan terarah berdasarkan pengalaman konsultan dalam menangani pekerjaan sejenis. Setiap tahapan dalam pekerjaan ini akan dilaksanakan berdasarkan pada tujuan dan sasaran yang telah disusun dan diuraikan langkah-langkah pelaksanaannya secara lengkap BAB V KONSEP PENGEMBANGAN Hal. I - 25

33 Pada bab ini akan berisi tentang konsep pengembangan fisik. Tanggapan konsultan akan difokuskan pada butir-butir pembahasan dalam kerangka acuan kerja seperti latar belakang, tujuan studi BAB VI PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan, kendala dan hambatan mengenai pelaksanaan pekerjaan oleh Konsultan serta menjadi argumen yang baik terhadap perwujudan legalitas Penyempurnaan Masterplan DIRJEN PMD Sarana dan Prasarana Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD). Hal. I - 26

34 2.1. Sejarah DIRJEN PMD Merujuk pada system wilayah, desa merupakan ruang yang didiami oleh masyarakat, didalamnya terdapat produksi sumberdaya, juga tata kelola pemerintahan. Untuk itu seirama dengan perkembangan IPOLEKSOSBUDHANKAM (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan) dalam Pemerintahan Republik Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang, pelaksanaan pembangunan desa yang menjadi tugas dan tanggung jawab Departemen Dalam Negeri telah beberapa kali mengalami perubahan dan perkembangan, kebijaksanaan baik perubahan yang menyangkut nama maupun instansi dan penyelenggaraannya. Awal mula terbentuknya desa yaitu pada rangkaian laporan yang disusun oleh rombongan study tour dan expert dari PBB, maka Pemerintah mendapatkan gambaran yang jelas tentang maksud dan arti Community Development. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-ii (24 Maret 9 April 1957), program pemerintah yang berjangka 5 tahun mulai mencantumkan program Pembangunan Masyarakat Desa. Lebih lanjut dalam Kabinet Kerja II (18 Pebruari Maret 1963) organisasi penyelenggaran pembangunan masyarakat desa disempurnakan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 1960 jo. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 yang diundang pada tanggal 28 Juli Dalam Kabinet Dwikora (27 Agustus Maret 1966) yang terkenal dengan Kabinet 100 menteri, berdasarkan Keputusan Presiden no. 215 Tahun 1964, Pembangunan Masyarakat Desa mendapat tempat terhormat, dengan ditingkatkan Hal. I - 1

35 kedudukkannya, dari Direktorat Jenderal menjadi salah satu Departemen, yaitu Departemen PMD dibawah Kompartemen Pertanian dan Agraria. Kedudukan PMD dalam Kabinet Ampera berubah lagi menjadi Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) yang tetap dibawah naungan Departemen Dalam Negeri, dipimpin oleh H.Aminuddin Aziz dengan sebutan Direktur Jenderal PMD bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri. Tahun Pemerintah menetapkan tentang bantuan berupa subsidi desa. Tahun , Kepres RI Nomor : 169/M Tahun Tahun , Kepres RI Nomor : 1968/M Tahun 1977 Tahun , Surat Keputusan Presiden RI, Nomor : 145/M Tahun 1982, tanggal 8 September Tahun , Kepres RI Nomor : 36/M Tahun Tahun , Pembangunan Jangka Panjang Pertama. Undang Undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU no. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU no. 32 tahun 2004 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 06 tahun 2014 tentang Desa Peraturan Pemerintah (PP) no 72 tahun 2005 tentang Desa Peraturan Pemerintah (PP) no 73 tahun 2005 tentang Kelurahan Peraturan Pemerintah (PP) no 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Permen Dalam Negeri no. 41 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 tahun 2007 tentang Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa/ Kelurahan Hal. I - 2

36 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa di Malang. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 49 tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa di Yogyakarta dan Lampung Peraturan Menteri PU Nomor 45/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara 2.2. BALAI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA YOGYAKARTA Gambaran Umum. Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Yogyakarta adalah Unit Pelaksana Teknis Kementerian Dalam Negeri RI di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Yogyakarta mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pelatihan bagi masyarakat yang meliputi kader pembangunan, perangkat pemerintahan, anggota badan permusyawaratan, pengurus lembaga masyarakat dan para warga masyarakat desa dan kelurahan sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.Adapun wilayah kerja Balai PMD Yogyakarta meliputi 9 provinsi di Indonesia bagian tengah, yaitu: Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Hal. I - 3

37 Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Peningkatan kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi dinamis yang memungkinkan masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya berdasarkan potensi, kebutuhan, aspirasi dan kewenangan yang ada padanya, yang difasilitasi oleh pemerintah dan pemerintah daerah serta seluruh pelaku pemberdayaan masyarakat. Balai PMD Yogyakarta telah dan akan selalu melakukan yang terbaik untuk masyarakat dalam rangka mewujudkan cita-cita masyarakat mandiri VISI dan MISI Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Yogyakarta a. Visi : Profesional Dalam Manajemen Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa untuk peningkatan kemandirian masyarakat. b. Misi : Peningkatan kapasitas sumber daya manusia Balai PMD yang memiliki kompetensi, tanggung jawab dan intergritas; Peningkatan kualitas pengelolaan pelatihan; Peningkatan kerjasama pengelolaan pelatihan dengan Kementerian dan Lembaga Non Kementerian, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Pemerintah Daerah dan pihak-pihak lain; Peningkatan sarana dan prasarana pelatihan. c. Komitmen : Mewujudkan masyarakat mandiri melalui peningkatan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat dan Pemerintah Daerah maupun pihak-pihak lain yang membutuhkan pelatihan masyarakat" Hal. I - 4

38 Strategi Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 49 Tahun 2012, Balai PMD D.I.Yogyakarta menyelenggarakan fungsi: 1. pelaksanaan pengembangan kurikulum, pengembangan modul dan Lab-site serta monitoring evaluasi; 2. pelaksanaan pelatihan di bidang pemberdayaan aparatur pemerintahan Desa dan Kelurahan; 3. pelaksanaan pelatihan di bidang pemberdayaan lembaga kemasyarakatan dan sosial budaya; 4. pelaksanakan pelatihan di bidang pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat dan Teknologi Tepat Guna; dan 5. pelaksanaan urusan administrasi balai. Sejalan dengan fungsi yang diemban, Balai PMD D.I.Yogyakarta mempunyai strategi: 1. Peningkatan SDM Pegawai Balai PMD D.I.Yogyakarta dengan mendorong staf Balai untuk melanjutkan studi pendidikan formal S1, S2, dan S3; pendidikan non formal seperti TOT, kursus atau diklat lainnya; 2. Pengembangan Kurikulum (Metode, Media & Proses Pembelajaran) Pelatihan Berbasis Kompetensi maupun Komunitas; 3. Mengkaji dan menguji MODEL-MODEL Pemberdayaan Masyarakat & Pemerintahan Desa-Kelurahan; 4. Pengembangan bentuk-bentuk dan jejaring kerjasama dalam Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa/Kelurahan; 5. Peningkatan pengelolaan dalam Pelatihan; 6. Penertiban Administrasi Ketatausahaan. Hal. I - 5

39 Struktur organisasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2012 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Balai Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa Di Yogyakarta Dan Lampung Gambar 2.1 : Struktur Organisasi Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Yogyakarta KEPALA BALAI KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL SUB BAGIAN TATA USAHA SEKSI PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAHAN DESA DAN KELURAHAN SEKSI PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN DAN SOSIAL BUDAYA SEKSI PEMBERDAYAAN USAHA EKONOMI MASYARAKAT DAN TEKNOLOGI TEPAT GUNAN Program Pelatihan 1. Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa Lingkup Regional Bagi Aparatur a) Bintek Pengembangan Ekonomi Kawasan Perdesaan; b) Pelatihan Metodologi Pemberdayaan Masyarakat; c) Pelatihan Perencanaan Pembangunan Partisipatif; d) Pelatihan Penyusunan RPJMDesa; e) Pelatihan Manajemen Keuangan Desa Berbasis IT; f) Pelatihan Pengelolaan BUMDes; g) Pelatihan Pemberdayaan Pemerintahan Desa; h) Pelatihan Penyusunan APBDes; Hal. I - 6

40 i) Pelatihan Penyusunan dan Pendayagunaan Data Base Desa. 2. Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa Lingkup Regional Bagi Lembaga Masyarakat Desa/Kelurhan a) Pelatihan Pengembangan Usaha Ekonomi Rumah Tangga; b) Pelatihan Manajemen Pembangunan Berbasis Masyarakat; c) Pelatihan Penguatan Kapasitas Kader Posyandu; d) Pelatihan Kader Pemberdayaan Masyarakat; e) Pelatihan Pengelolaan BUMDes Bagi Pengurus; f) Pelatihan Pengelolaan Pemukiman Sehat Berbasis Rumah Tangga Bagi PKK; g) Pelatihan Pengelolaan Posyantek. 3. Kegiatan Dan Pelatihan Bekerjasama Dengan Pemerintah Daerah Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Yogyakarta terbuka untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelatihan, dan pendampingan program-program pemberdayaan masyarakat. Kerjasama yang dilaksanakan antara lain: a) Program Pendampingan: Program pendampingan Balai PMD D.I.Yogyakarta adalah program-program yang mempunyai keterikatan dan kesinambungan dalam rangka pasca pelatihan dan pengembangan kurikulum pelatihan, seperti: Pendampingan Teknis Pasca Pelatihan Penguatan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa/Kelurahan lokasi Lab Site PMD (Kabupaten Semarang dan Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah); Kaji Tindak Pengelolaan Lab Site PMD; Hal. I - 7

41 Pendampingan penerapan Musrenbang Partisipatif di Kabupaten Kulonprogo, DIY dan di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah; Pendampingan Perencanaan Masyarakat Berwawasan Gender di Kabupaten Bantul, DIY (sebagai lokasi pilot project) b) Pelatihan Kerjasama dengan Pemerintah Daerah: Kegiatan pelatihan yang diselenggarakan atas kerjasama dengan daerah antara lain: Pelatihan APBDesa Dalam Rangka Pengelolaan Keuangan Desa, bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur; Pelatihan Pelaku PNPM-MD Kabupaten Sintang, bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Timur; Pelatihan Apartur Pemerintahan Desa se-kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau Pelatihan Manajemen Pembangunan Berbasis Masyarakat se-kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah; Bimbingan Peningkatan Kinerja Pengurus PKK se- Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur; Pelatihan Manajemen Pengelolaan BUMDes se-kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah; Pelatihan Usaha Ekonomi Berbasis Rumah Tangga Bagi PKK bekerjasama dengan Provinsi Papua. Hal. I - 8

42 2.3. BALAI BESAR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA MALANG Gambaran Umum Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Malang merupakan Unit Pelaksana Teknnis di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat da Desa. Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Malang mempunyai tegas melaksanakan kegiatan pelatihan bagi masyarakat yang meliputi kader pembangunan, perangkat pemerintahan, anggota badan perwakilan, pengurus lembaga masyarakat dan para warga masyarakat dedsa dan kelurahan sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Malang dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Peratura Menteri Dalam Negeri No 21 Tahun 2006 Bab 1, Pasal 3 menyelenggarakan fungsi : a. Pelaksanaan pelatihan di bidang pemberdayaan aparatur desa/kelurahan, b. Pelaksanaan pelatihan di bidang pemberdayaan lembaga masyarakat desa/kelurahan, c. Pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, administrasi umum, perpustakaan, perlengkapan dan rumah tangga. Hal. I - 9

43 Visi dan Misi a. Visi "Terdepan Mewujudkan Kualitas Sumber Daya Manusia Menuju Masyarakat Mandiri" b. Misi 1. Pengembang model pelatihan pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan Desa/Kelurahan 2. Pengembang dan pengkaji kurikulum pelatihan pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan Desa/Kelurahan 3. Membangun kerjasama pelatihan antar lembaga 4. Menjadikan lembaga sebagai pusat informasi pelatihan pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan Desa/Kelurahan 5. Pengkajian dan pengembangan modul pelatihan pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan Desa/Kelurahan Strategi Kebijakan 1. Pemenuhan Kebutuhan Program Pelatihan bagi kelompok masyarakat, lembaga kemasyarakatan dan pemerintahan desa/kelurahan 2. Pengutan Lembaga Pemerintahan Desa/Kelurahan 3. Penguatan Lembaga Kemasyarakatan, lembaga adat, ekonomi masyarakat dan pendampingan kemiskinan 4. pengembangan sistem manajemen pembangunan partisipatif 5. peningkatan sistem manajemen pembangunan partisispatif 6. Sinergi program pemberdayaan masyarakat dengan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, lembaga non pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan 7. Monitoring evaluasi pasca pelatihan dan pembinaan 8. Pembentukan laboratorium lapang desa/kelurahan Hal. I - 10

44 Struktur organisasi Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Malang KEPALA BALAI SUB BAGIAN TATA USAHA UNIT PELAYANAN KESEHATAN KASUBANG PENYUSUSNSN PROGRAM KASUBANG PERSURATAN DAN KEPEGAWAIAN KASUBANG UMUM DAN KEUANGAN KABID PEMBERDAYAAN APARATUR KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL KABID PEMBERDAYAAN LEMBAGA MASYARAKAT KASI PERANGKAT DESA KASI PERANGKAT KELURAHAN KASI KELEMBAGAAN SOSIAL DAN BUDAYA KASI PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT Tugas dan Fungsi Melaksanakan kegiatan pelatihan bagi masyarakat meliputi Kader Pembangunan, Perangkat Pemerintahan, Anggota Badan Permusyawaratan Desa,Pengurus Lembaga masyarakat dan para warga masyarakat Desa dan Kelurahan sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Hal. I - 11

45 Sarana dan Prasarana Area Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Malang seluas 7.459M2 dengan peruntukan : 1. Sarana a. Gedung Asrama Peserta b. Ruang Kelas 4 Unit c. Aula Serbaguna 2 Unit d. Ruang Makan 2 Unit e. Musholla f. Guest House 3 Unit g. VIP Room 4 Unit h. Fasilitas Olah Raga (Lapangan Bulu Tangkis dan Tenis Meja) i. Generator Listrik (Kapasitas watt) j. Balai Pengobatan k. Laboratorium Medis l. Perpustakaan 2. Prasarana a. LCD, Laptop, Flipchart b. Loundry c. Katering d. Internet, Wifi e. Bus 2 Unit f. Prasarana Medis (2 Dokter dan 1 Paramedis) Jenis Pelatihan 1. Pelatihan Pemberdayaan Bidang Aparatur Desa/Kelurahan a. Pelatihan Peningkatan Kapasitas Kepala Desa b. Pelatihan Peningkatan Kapasitas Sekretaris Desa Hal. I - 12

46 c. Pelatihan Pengembangan Laboratorium Lapang dari dari lokasi laboratorium lapang desa/kelurahan d. Pelatihan Peningkatan Kapasitas Kepala Kelurahan e. Pelatihan Peningkatan Kapasitas Perangkat Kelurahan 2. Pelatihan Bidang Kelembagaan Masyarakat Desa/ Kelurahan a. Pelatihan Usaha Ekonomi Masyarakat Berbasis Teknologi Tepat Guna b. Pelatihan Pengelolaan Pasar Desa c. Pelatihan Penguatan Kapasitas Rukun Tetangga (RT) d. Pelatihan Penguatan Kapasitas Tim Penggerak Pemberdayaan Dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) e. Pelatihan Penguatan Kapasitas Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) 3. Penyusunan Modul Bidang Aparatur dan Kelembagaan Masyarakat Desa/Kelurahan a. Penyusunan Modul Aplikasi Keuangan Desa b. Penyusunan Modul Pelatihan Profil Desa/Kelurahan 4. Non Pelatihan a. Identifikasi Kebutuhan Pengembangan Program Pemberdayaan Masyarakat dan Desa/Kelurahan b. Temu Karya Program/Kegiatan Pemberadayaan Masyarakat dan Desa/Kelurahan c. Rapat koordinasi dan Sinkronisasi Penyusunan program kegiatan antara UPT dan Ditjen PMD d. Pengelolaan Laboratorium Lapang Desa/Kelurahan e. Kegiatan Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional XVI f. Profil hasil pengembangan laboratorium lapang g. Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional Hal. I - 13

47 h. Monev Pasca Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa/Kelurahan i. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Balai Besar PMD Malang Tahun BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAHAN DESA (PMPD) PROVINSI Gambaran Umum Secara nomenklatur sejak Tahun 2007 Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) berubah menjadi Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (PMPD) Provinsi Lampung. Untuk melaksanakn kebiajakan di bidang Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana tersebut di atas, berdasarkan Perda Nomor 12 Tahun 2009, Badan PMPD Provinsi Lampung mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerah di bidang pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa, tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang diberikan pemerintah kepada Gubernur serta tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud badan PMPD Provinsi Lampung mempunyai fungsi : 1. Perumusan kebijakan teknis pengelolaan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa 2. Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang pemebrdayaan masyarakat dan pemerintahan desa 3. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa Hal. I - 14

48 4. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur di bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa 5. Pengelolaan administrasi badan Visi dan Misi a. V i s i: TERWUJUDNYA MASYARAKAT DAN DESA YANG MANDIRI SERTA PARTISIPATIF Cerminan Visi : 1. Otonomi Desa, merupakan salah satu tujuan yang akan dicapai yaitu terwujudnya suatu tatanan Pemantapan Kerangka Aturan/regulasi Pemantapan Kelembagaan Pemerintah Desa Pemantapan Administrasi Pemerinyahan Desa Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Desa dan Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa kearah yang baik dan demokratis. 2. Keberdayaan Masyarakat, merupakan upaya mengembangkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam seluruh aspek kehidupan meliputi aspek ekonomi, soisal budaya, lingkungan hidup dan politik, sehingga secara bertahap masyarkat mampu membangun diri dan lingkungan serta berperan aktif dalam proses pembangunan. 3. Partisipatif masyarakat, merupakan peran aktif masyarakat dalam proses perencana, pelaksanaan, pembiayaan, pemanfaatan, pemeliharan dan Pengembangan hasil pembangunan b. M i s i: Misi Badan PMPD Provinsi Lampung yang ditetapkan merupakan peran strategik yang diinginkan dalam mencapai visi dimaksud. Menetapkan kebijakan daerah dan memfasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan masyrakat dan pemerintahan desa dalam upaya : Hal. I - 15

49 1. Mendorong peningkatan kualitas sumber daya aparatur dan masyarakat, 2. Memantapkan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan 3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam aspek ekonomi, sosial budaya dan sumber daya alam melalui pendayagunaan teknologi tepat guna yang berwawasan limgkungan Struktur Organisasi Gambar 2.3. Struktur Organisasi Badan Pemberdayaan Masyarakat An Pemerintahan Desa Provinsi Lampung SEKERTARIAT SUB BANGIAN UMUM DAN KEPEGAWAIAN SUB BANGIAN KEUANGAN SUB BANGIAN PERENCANAAN BIDANG PEMERINTAHAN DESA / KELURAHAN BIDANG KELEMBAGAAN SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT BIDANG PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT BIDANG SUMBER DAYA ALAM DAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA SUB-BIDANG Pengembangan Desa Dan Administrasi Pemerintah Desa/ Kelurakan SUB-BIDANG Pengembangan Potensi Dan Kelembagaan Masyarakat SUB-BIDANG Usaha Ekonomi Masyarakat SUB-BIDANG Pendayaan Sumber Daya Alam SUB-BIDANG Pengelola Keuangan Desa, Aset Desa, Dan Pengembangan Kapasitas Desa SUB-BIDANG Pengembangan SDM Dan Partisipasi Masyarakat SUB-BIDANG Ekonomi Pedesaan Masyarakat dan Tertinggal SUB-BIDANG Pendaayan Teknoloi tepat guna Kelopok jabatan fungsional ULP Hal. I - 16

50 Tujuan dan Sasaran a. Tujuan : Badan PMPD Provinsi Lampung mempunyai 5 tujuan sebagai berikut : T1: Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur dan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan T2: Meningkatkan efektifitas peyelenggaraan pemerintahan desa/kelurahan dalam proses pembangunan T3: Meningkatkan peran lembaga kemasyarakatan, mewujudkan tatanan sosial budya masyarakat yang maju dan dinamis serta meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga termasuk peningkatan peran serta perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender T4: Meningkatkan kegiatan usaha ekonomi masyarakat dan keluarga termasuk penguatan lembaga sosial ekonomi masyarakat dan mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan wilayah tertinggal serta pembinaan dan pengawasan pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM- MPd) T5: Mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang efektif dan efisien dengan mendayagunakan teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan. b. SASARAN : Untuk mencapai tujuan tersebut ditetapkan sasaran sebagai berikut : 1. Meningkatakan kualitas sumber daya aparatur dan masyarakat dalam pelaksanaan program/kegiatan pembangunan desa/kelurahan Hal. I - 17

51 2. Meningkatnya kualitas pelaporan berbasis kinerja yang dapat yang dapat menigkatkan akuntabilitas kinerja pemda 3. Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana dalam meningkatkan kelancaran, kedisiplinan administrasi ketatausahaan kepegawaian dan keuangan 4. penyelenggaraan pemerintahan desa dalam proses pengelolaan pembangunan dan pelayanan publik 5. penyusunan data-data desa/kelurahan melalui penetapan indikator strategi membangun dan mengembangkan desa/kelurahan 6. Meningkatnya sistem perencanaan dan pembangunan partisipatif dalam membangun desa/kelurahan 7. Meningkatnya penataan dan pengembangan kelambagaan desa 8. Meningkatnas partisipasi peran perempuan perdesaan dalam pembangunan 9. Meningkatnya fungsi lembaga keuangan perdesaan 10. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin terutama di kawasan daerah tertinggal 11. Meningkatnya masyarakat desa/kelurahan yang mampu mendayagunakan teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan Hal. I - 18

52 Pertumbuhan Desa a. Jumalah Kabupaten Jumlah Kabupaten di Provinsi Lampung sampai dengan tahun 2013 sebanyak 15 Kabupaten/Kota terdiri dari: 1. Kota Bandar Lampung, 2. Kabupaten Lampung Selatan, 3. Kabupaten Lampung Tengah, 4. Kabupaten Lampung Timur, 5. Kabupaten Tulang Bawang, 6. Kabupaten Tulang Bawang Barat, 7. Kabupaten Mesuji, 8. Kota Metro, Hal. I - 19

53 9. Kabupaten Lampung Utara, 10. Kabupaten Way Kanan, 11. Kabupaten Lampung Barat, 12. Kabupaten Tanggamus, 13. Kabupaten Pringsewu, 14. Kabupaten Pesawaran, 15. Kabupaten Pesisir Barat. b. Jumalah Kecamatan. Jumlah Kecamatan di Provinsi Lampung sampai dengan tahun 2013 sebanyak 225 Kecamatan, dengan perincian: 1. Bandar Lampung 20 Kecamatan, 2. Lampung Selatan 17 Kecamatan, 3. Lampung Tengah 28 Kecamatan, 4. Lampung Timur 24 Kecamatan, 5. Tulang Bawang 15 Kecamatan, T 6. ulang Bawang Barat 8 Kecamatan, 7. Mesuji 7 Kecamatan, 8. Metro 5 Kecamatan, 9. Lampung Utara 23 Kecamatan, 10. Way Kanan 14 Kecamatan, L 11. ampung Barat 15 Kecamatan, 12. Tanggamus 20 Kecamatan, 13. Pringsewu 9 Kecamatan, 14. Pesawaran 9 Kecamatan, 15. Pesisir Barat 11 Kecamatan. c. Jumalah Kecamatan. Data Jumlah Desa Provinsi Lampung Tahun 2013 mencapai 2413, dengan perincian: 1. Lampung Selatan 260 Desa, 2. Lampung Tengah 294 Desa, Hal. I - 20

54 3. Lampung Timur 264 Desa, 4. Tulang Bawang 151 Desa, 5. Tulang Bawang Barat 82 Desa, 6. Mesuji 75 Desa, 7. Lampung Utara 247 Desa, 8. Way Kanan 222 Desa, 9. Lampung Barat 136 Desa, 10. Tanggamus 302 Desa, 11. Pringsewu 131 Desa, 12. Pesawaran 131 Desa, 13. Pesisir Barat 118 Desa. Hal. I - 21

55 3.1. PERANGKAT MEKANISME KONTROL PERENCANAAN Perangkat mekanisme kontrol perencanaan akan membantu perencana dalam melakukan study kelayakan sarana dan prasarana kampus DIRJEN PMD. Peranan dari mekanisme kontrol ini sangat penting kebutuhannya agar diketahui batasanbatasan akan kebutuhan ruang perencanaan yang diperlukan untuk dikembangkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Bangunan gedung merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terdiri dari proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Namun, perwujudan dari undang-undang ini adalah untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat Indonesia yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD Bahwa bangunan gedung penting sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya untuk mencapai berbagai sasaran yang menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, Undang-undang ini mengatur tentang penyelenggaraan bangunan gedung secara tertib sesuai dengan fungsinya serta dipenuhi dengan persyaratan administratif dan teknis bangunan. Dalam pasal 15 UU/28/2002 menjelaskan bahwa mekanisme penyelengaraan bangunan gedung harus berdasarkan persyaratan pengendalian Dampak Lingkungan. Dalam pasal ini berdampak Hal. III - 1

56 penting terhadap perubahan yang sangat mendasar pada suatu lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Lingkungan adalah bangunan gedung yang dapat menyebabkan: a. Perubahan pada sifat-sifat fisik dan/atau hayati lingkungan, yang melampaui baku mutu lingkungan menurut peraturan perundangundangan; b. perubahan mendasar pada komponen lingkungan yang melampaui kriteria yang diakui berdasarkan pertimbangan ilmiah; c. terancam dan/atau punahnya spesies-spesies yang langka dan/atau endemik, dan/atau dilindungi menurut peraturan perundang-undangan atau kerusakan habitat alaminya; d. kerusakan atau gangguan terhadap kawasan lindung (seperti hutan lindung, cagar alam, taman nasional, dan suaka margasatwa) yang ditetapkan menurut peraturan perundangundangan; e. kerusakan atau punahnya benda-benda dan bangunan gedung peninggalan sejarah yang bernilai tinggi; f. perubahan areal yang mempunyai nilai keindahan alami yang tinggi; g. timbulnya konflik atau kontroversi dengan masyarakat dan/atau Pemerintah. Dalam pasal 35 mengenai penyelenggaraan bangunan gedung yang terdai dari 4 ayat mengharuskan pembangunan suatu gedung harus memenhui seluruh persyaratan dalam pendirian bangunan yang tertuang dalam Bab IV pada UU/28/2002 ini. Dalam ayat 4 pasal 35 dijelaskan pula bahwa Pemilik bangunan gedung yang belum dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Bab IV undang-undang ini, tetap harus memenuhi ketentuan tersebut secara Hal. III - 2

57 bertahap. Mekanisme rencana teknis dari pendirian bangunan gedung akan meliputi rencana-rencana teknis arsitektur, struktur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan, tata ruang dalam, dan disiapkan oleh penyedia jasa perencanaan yang memiliki sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dalam bentuk gambar rencana, gambar detail pelaksanaan, rencana kerja dan syarat-syarat administratif, syarat umum dan syarat teknis, rencana anggaran biaya pembangunan, dan laporan perencanaan. Dalam UU/28/2002 ini juga menerapkan sistem sanksi kepada seluruh pihak yang akan melaksanakan pembangunan bangunan gedung yang tidak mengikuti anjuran pada undang-undang ini. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan serius mensosialisakan kepada masyarakat Indonesia untuk mengikuti seluruh acuan yang terdapat dalam undang-undang ini agar tidak terkena sanksi perdata dan pidana Undang-Undang No. 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. 2. Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya dan fungsi khusus adalah ketetapan Hal. III - 3

58 mengenai pemenuhan persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. 3. Klasifikasi bangunan gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan teknisnya. 4. Persyaratan teknis bangunan gedung adalah ketentuan mengenai persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung. 5. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan gedung. 6. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik gedung. 7. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung, dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. 8. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung. 9. Daerah adalah Kabupaten/Kota atau Daerah Khusus Ibukota pada Provinsi Daerah. Hal. III - 4

59 10. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut sebagai Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para menteri. 11. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah kabupaten atau kota beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah, kecuali untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah Gubernur Fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung A. Fungsi dan Penetapan Bangunan Gedung 1. Umum a. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan fungsi utama bangunan. b. Fungsi bangunan gedung dapat dikelompokkan dalam fungsi hunian, fungsi keagamaan, fungsi usaha, fungsi sosial dan budaya, dan fungsi khusus. 2. Fungsi Bangunan Gedung a. Fungsi hunian merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama sebagai tempat manusia tinggal yang berupa: bangunan hunian tunggal; bangunan hunian jamak; bangunan hunian campuran; dan bangunan hunian sementara b. Fungsi keagamaan merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan ibadah yang berupa: bangunan masjid termasuk mushola; bangunan gereja termasuk kapel; Hal. III - 5

60 bangunan pura; bangunan vihara; dan bangunan kelenteng c. Fungsi usaha merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan kegiatan usaha yang terdiri dari: bangunan perkantoran: perkantoran pemerintah, perkantoran niaga, dan sejenisnya; bangunan perdagangan: pasar, pertokoan, pusat perbelanjaan, mal, dan sejenisnya; bangunan perindustrian: industri kecil, industri sedang, industri besar/ berat; bangunan perhotelan: hotel, motel, hostel, penginapan, dan sejenisnya; bangunan wisata dan rekreasi: tempat rekreasi, bioskop, dan sejenisnya; bangunan terminal: stasiun kereta, terminal bus, terminal udara, halte bus, pelabuhan laut; dan bangunan tempat penyimpanan: gudang, gedung tempat parkir, dan sejenisnya. d. Fungsi sosial dan budaya merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan kegiatan sosial dan budaya yang terdiri dari: bangunan pelayanan pendidikan: sekolah taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah lanjutan, sekolah tinggi/universitas, sekolah luar biasa; bangunan pelayanan kesehatan: puskesmas, poliklinik, rumah-bersalin, rumah sakit klas A, B, C, dan sejenisnya; bangunan kebudayaan: museum, gedung kesenian, dan sejenisnya; Hal. III - 6

61 bangunan laboratorium: laboratorium fisika, laboratorium kimia, laboratorium biologi, laboratorium kebakaran; dan bangunan pelayanan umum: stadion/hall untuk kepentingan olah raga, dan sejenisnya. e. Fungsi khusus merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama yang mempunyai: tingkat kerahasiaan tinggi: bangunan kemiliteran, dan sejenisnya; tingkat resiko bahaya tinggi: bangunan reaktor nuklir, dan sejenisnya. f. Satu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi. 3. Penetapan Fungsi Bangunan Gedung c. Fungsi bangunan gedung diusulkan oleh calon pemilik bangunan gedung dalam bentuk rencana teknis bangunan gedung dan tidak boleh bertentangan dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota dan/atau Rencana Teknis Ruang Kota. d. Fungsi bangunan gedung merupakan ketetapan pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung, baik ditinjau dari segi tata bangunan dan lingkungan, maupun keandalannya. e. Rencana teknis bangunan gedung yang diusulkan dapat terdiri atas rencana-rencana teknis arsitektur, struktur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan, tata ruang dalam, dan disiapkan oleh penyedia jasa perencana konstruksi bangunan gedung yang memiliki Hal. III - 7

62 sertifikat sesuai peraturan perundang-undangan, dalam bentuk gambar rencana, gambar detail pelaksanaan, rencana kerja dan syarat-syarat administratif syarat umum dan syarat teknis, rencana anggaran biaya pembangunan, dan laporan perencanaan. f. RTRW Kabupaten/Kota adalah rencana pemanfaatan ruang wilayah perkotaan di kabupaten atau ruang wilayah kota yang disusun untuk menjaga keserasian dan keseimbangan pembangunan antar sektor dalam jangka panjang. g. Rencana Teknis Ruang Kota adalah rencana geometri pemanfaatan ruang kota yang disusun untuk penyiapan perwujudan ruang kota dalam rangka pelaksanaan (proyek) pembangunan kota, dan h. mempunyai wilayah perencanaan yang mencakup sebagian atau seluruh kawasan tertentu. i. Penetapan fungsi dilakukan oleh pemerintah daerah pada saat proses pemberian IMB, berdasarkan rencana teknis yang disampaikan oleh calon pemilik bangunan gedung, dan harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang diwajibkan sesuai dengan fungsi bangunan gedung. 4. Penetapan Fungsi Bangunan Gedung a. Fungsi bangunan gedung diusulkan oleh calon pemilik bangunan gedung dalam bentuk rencana teknis bangunan gedung dan tidak boleh bertentangan dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota dan/atau Rencana Teknis Ruang Kota. Hal. III - 8

63 b. Fungsi bangunan gedung merupakan ketetapan pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung, baik ditinjau dari segi tata bangunan dan lingkungan, maupun keandalannya. c. Rencana teknis bangunan gedung yang diusulkan dapat terdiri atas rencana-rencana teknis arsitektur, struktur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan, tata ruang dalam, dan disiapkan oleh penyedia jasa perencana konstruksi bangunan gedung yang memiliki sertifikat sesuai peraturan perundang-undangan, dalam bentuk gambar rencana, gambar detail pelaksanaan, rencana kerja dan syarat-syarat administratif syarat umum dan syarat teknis, rencana anggaran biaya pembangunan, dan laporan perencanaan. d. RTRW Kabupaten/Kota adalah rencana pemanfaatan ruang wilayah perkotaan di kabupaten atau ruang wilayah kota yang disusun untuk menjaga keserasian dan keseimbangan pembangunan antar sektor dalam jangka panjang. e. Rencana Teknis Ruang Kota adalah rencana geometri pemanfaatan ruang kota yang disusun untuk penyiapan perwujudan ruang kota dalam rangka pelaksanaan (proyek) pembangunan kota, dan mempunyai wilayah perencanaan yang mencakup sebagian atau seluruh kawasan tertentu. f. Penetapan fungsi dilakukan oleh pemerintah daerah pada saat proses pemberian IMB, berdasarkan rencana teknis yang disampaikan oleh calon pemilik bangunan gedung, dan harus memenuhi persyaratan-persyaratan Hal. III - 9

64 yang diwajibkan sesuai dengan fungsi bangunan gedung. B. Klasifikasi Bangunan Gedung 1. Umum Fungsi bangunan gedung diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat risiko kebakaran, zonasi gempa, lokasi, ketinggian, dan/atau kepemilikan. Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitas meliputi: bangunan gedung sederhana, bangunan gedung tidak sederhana, dan bangunan gedung khusus. Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi meliputi: bangunan gedung permanen, bangunan gedung semi permanen, dan bangunan gedung darurat atau sementara. Klasifikasi berdasarkan tingkat risiko kebakaran meliputi: bangunan gedung tingkat risiko kebakaran tinggi, tingkat risiko kebakaran sedang, dan tingkat risiko kebakaran rendah. Klasifikasi berdasarkan zonasi gempa meliputi: tingkat zonasi gempa yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Klasifikasi berdasarkan lokasi meliputi: bangunan gedung di lokasi padat, bangunan gedung di lokasi sedang, dan bangunan gedung di lokasi renggang. Hal. III - 10

65 Klasifikasi berdasarkan ketinggian meliputi: bangunan gedung bertingkat tinggi, bangunan gedung bertingkat sedang, dan bangunan gedung bertingkat rendah. 2. Penentuan Klasifikasi Bangunan Gedung Persyaratan Teknis Bangunan Gedung Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung. Persyaratan tata bangunan dan lingkungan meliputi persyaratan peruntukan, intensitas, arsitektur bangunan gedung, dan pengendalian dampak lingkungan. Sedangkan persyaratan keandalan meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. A. Persyaratan Tata Bangunan dan Lingkungan 1. Peruntukan Lokasi dan Intensitas Bangunan Gedung a. Bangunan gedung harus diselenggarakan sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam ketentuan tata ruang dan tata bangunan dari lokasi yang bersangkutan. b. Ketentuan tata ruang dan tata bangunan ditetapkan melalui: Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah; Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR); dan Peraturan bangunan setempat dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). c. Peruntukan lokasi merupakan peruntukan utama sedangkan peruntukan penunjangnya sebagaimana Hal. III - 11

66 ditetapkan di dalam ketentuan tata bangunan yang ada di daerah setempat atau berdasarkan pertimbangan teknis dinas yang menangani bangunan gedung. d. Setiap pihak yang memerlukan keterangan atau ketentuan tata ruang dan tata bangunan dapat memperolehnya secara terbuka melalui dinas yang terkait. e. Keterangan atau ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir d meliputi keterangan tentang peruntukan lokasi dan intensitas bangunan, seperti kepadatan bangunan, ketinggian bangunan, dan garis sempadan bangunan. f. Dalam hal rencana-rencana tata ruang dan tata bangunan belum ada, Kepala Daerah dapat memberikan pertimbangan atas ketentuan yang diperlukan, dengan tetap mengadakan peninjauan seperlunya terhadap rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada di daerah. g. Bagi daerah yang belum memiliki RTRW, RRTR, ataupun peraturan bangunan setempat dan RTBL, maka Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan membangun bangunan gedung dengan pertimbangan: Persetujuan membangun tersebut bersifat sementara sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan tata ruang yang lebih makro, kaidah perencanaan kota dan penataan bangunan; Hal. III - 12

67 Kepala Daerah segera menyusun dan menetapkan RRTR, peraturan bangunan setempat dan RTBL berdasarkan rencana tata ruang yang lebih makro; Apabila persetujuan yang telah diberikan terdapat ketidaksesuaian dengan rencana tata ruang dan tata bangunan yang ditetapkan kemudian, maka perlu diadakan penyesuaian dengan resiko ditanggung oleh pemohon/pemilik bangunan; Bagi daerah yang belum memiliki RTRW Daerah, Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan membangun bangunan pada daerah tersebut untuk jangka waktu sementara; Apabila di kemudian hari terdapat penetapan RTRW daerah yang bersangkutan, maka bangunan tersebut harus disesuaikan dengan rencana tata ruang yang ditetapkan. h. Pembangunan bangunan gedung diatas jalan umum, saluran, atau sarana lain perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut: Tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan daerah; Tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas kendaraan, orang, maupun barang; Tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada dibawah dan/atau diatas tanah; dan Tetap memperhatikan keserasian bangunan terhadap lingkungannya. Hal. III - 13

68 i. Pembangunan bangunan gedung dibawah tanah yang melintasi sarana dan prasarana jaringan kota perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut: Tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah; Tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal; Tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada dibawah tanah; Penghawaan dan pencahayaan bangunan telah memenuhi persyaratan kesehatan sesuai fungsi bangunan; dan Memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan keselamatan bagi pengguna bangunan. j. Pembangunan bangunan gedung dibawah atau diatas air perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut: Tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan daerah; Tidak mengganggu keseimbangan lingkungan, dan fungsi lindung kawasan; Tidak menimbulkan perubahan arus air yang dapat merusak lingkungan; Tidak menimbulkan pencemaran; dan Hal. III - 14

69 Telah mempertimbangkan faktor keamanan, kenyamanan, kesehatan, dan aksesibilitas bagi pengguna bangunan. k. Pembangunan bangunan gedung pada daerah hantaran udara (transmisi) tegangan tinggi perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut: Tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan daerah; Letak bangunan minimal 10 (sepuluh) meter diukur dari as (proyeksi) jalur tegangan tinggi terluar; Letak bangunan tidak boleh melebihi atau melampaui garis sudut 45o (empat puluh lima derajat) diukur dari as (proyeksi) jalur tegangan tinggi terluar; Setelah mendapat pertimbangan teknis dari para ahli terkait. 2. Peruntukan Lokasi dan Intensitas Bangunan Gedung a. Kepadatan dan Ketinggian Bangunan Gedung Bangunan gedung yang didirikan harus memenuhi persyaratan kepadatan dan ketinggian bangunan gedung berdasarkan rencana tata ruang wilayah daerah yang bersangkutan, rencana tata bangunan dan lingkungan yang ditetapkan, dan peraturan bangunan setempat. Hal. III - 15

70 Kepadatan bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir i, meliputi ketentuan tentang Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yang dibedakan dalam tingkatan KDB padat, sedang, dan renggang. Ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir i, meliputi ketentuan tentang Jumlah Lantai Bangunan (JLB), dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang dibedakan dalam tingkatan KLB tinggi, sedang, dan rendah. Persyaratan kinerja dari ketentuan kepadatan dan ketinggian bangunan ditentukan oleh: i. kemampuannya dalam menjaga keseimbangan daya dukung lahan dan optimalnya intensitas pembangunan; ii. kemampuannya dalam mencerminkan keserasian bangunan dengan lingkungan; iii. kemampuannya dalam menjamin kesehatan dan kenyamanan pengguna serta masyarakat pada umumnya. Untuk suatu kawasan atau lingkungan tertentu, seperti kawasan wisata, pelestarian dan lain lain, dengan pertimbangan kepentingan umum dan dengan persetujuan Kepala Daerah, dapat diberikan kelonggaran atau pembatasan terhadap ketentuan kepadatan, ketinggian bangunan dan ketentuan tata bangunan lainnya dengan tetap memperhatikan keserasian dan kelestarian lingkungan. Ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud pada butir iii tidak diperkenankan mengganggu lalulintas udara. Hal. III - 16

71 b. Penetapan KDB dan Jumlah Lantai/KLB Penetapan besarnya kepadatan dan ketinggian bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam butir a.ii dan a.iii di atas ditetapkan dengan mempertimbangkan perkembangan kota, kebijaksanaan intensitas pembangunan, daya dukung lahan/ lingkungan, serta keseimbangan dan keserasian lingkungan. Apabila KDB dan JLB/KLB belum ditetapkan dalam rencana tata ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan, peraturan bangunan setempat, maka Kepala Daerah dapat menetapkan berdasarkan berbagai pertimbangan dan setelah mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait. Ketentuan besarnya KDB dan JLB/KLB dapat diperbarui sejalan dengan pertimbangan perkembangan kota, kebijaksanaan intensitas pembangunan, daya dukung lahan/lingkungan, dan setelah mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait. Dengan pertimbangan kepentingan umum dan ketertiban pembangunan, Kepala Daerah dapat menetapkan rencana perpetakan dalam suatu kawasan/lingkungan dengan persyaratan: i. Setiap bangunan yang didirikan harus sesuai dengan rencana perpetakan yang telah diatur di dalam rencana tata ruang; ii. Apabila perpetakan tidak ditetapkan, maka KDB dan KLB diperhitungkan berdasarkan Hal. III - 17

72 luas tanah di belakang garis sempadan jalan (GSJ) yang dimiliki; iii. iv. Untuk persil-persil sudut bilamana sudut persil tersebut dilengkungkan atau disikukan, untuk memudahkan lalu lintas, maka lebar dan panjang persil tersebut diukur dari titik pertemuan garis perpanjangan pada sudut tersebut dan luas persil diperhitungkan berdasarkan lebar dan panjangnya; Penggabungan atau pemecahan perpetakan dimungkinkan dengan ketentuan KDB dan KLB tidak dilampaui, dan dengan memperhitungkan keadaan lapangan, keserasian dan keamanan lingkungan serta memenuhi persyaratan teknis yang telah ditetapkan; v. Dimungkinkan adanya pemberian dan penerimaan besaran KDB/KLB diantara perpetakan yang berdekatan, dengan tetap menjaga keseimbangan daya dukung lahan dan keserasian lingkungan. Dimungkinkan adanya kompensasi berupa penambahan besarnya KDB, JLB/KLB bagi perpetakan tanah yang memberikan sebagian luas tanahnya untuk kepentingan umum. Penetapan besarnya KDB, JLB/KLB untuk pembangunan bangunan gedung di atas fasilitas umum adalah setelah mempertimbangkan Hal. III - 18

73 keserasian, keseimbangan dan persyaratan teknis serta mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait. c. Perhitungan KDB dan KLB Perhitungan KDB maupun KLB ditentukan dengan pertimbangan sebagai berikut: Perhitungan luas lantai bangunan adalah jumlah luas lantai yang diperhitungkan sampai batas dinding terluar; Luas lantai ruangan beratap yang sisi-sisinya dibatasi oleh dinding yang tingginya lebih dari 1,20 m di atas lantai ruangan tersebut dihitung penuh 100 %; Luas lantai ruangan beratap yang bersifat terbuka atau yang sisi-sisinya dibatasi oleh dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas lantai ruangan dihitung 50 %, selama tidak melebihi 10 % dari luas denah yang diperhitungkan sesuai dengan KDB yang ditetapkan; Overstek atap yang melebihi lebar 1,50 m maka luas mendatar kelebihannya tersebut dianggap sebagai luas lantai denah; Teras tidak beratap yang mempunyai tinggi dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas lantai teras tidak diperhitungkan sebagai luas lantai; Luas lantai bangunan yang diperhitungkan untuk parkir tidak diperhitungkan dalam perhitungan KLB, asal tidak melebihi 50 % dari KLB yang ditetapkan, selebihnya diperhitungkan 50 % terhadap KLB; Ram dan tangga terbuka dihitung 50 %, selama tidak melebihi 10 % dari luas lantai dasar yang diperkenankan; Dalam perhitungan KDB dan KLB, luas tapak yang diperhitungkan adalah yang dibelakang GSJ; Hal. III - 19

74 Batasan perhitungan luas ruang bawah tanah (besmen) ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan pertimbangan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan pendapat teknis para ahli terkait; Untuk pembangunan yang berskala kawasan (superblock), perhitungan KDB dan KLB adalah dihitung terhadap total seluruh lantai dasar bangunan, dan total keseluruhan luas lantai bangunan dalam kawasan tersebut terhadap total keseluruhan luas kawasan; Dalam perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 m, maka ketinggian bangunan tersebut dianggap sebagai dua lantai; Mezanin yang luasnya melebihi 50 % dari luas lantai dasar dianggap sebagai lantai penuh. d. Garis Sempadan (Muka) Bangunan Gedung Garis Sempadan Bangunan ditetapkan dalam rencana tata ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan, serta peraturan bangunan setempat. Dalam mendirikan atau memperbarui seluruhnya atau sebagian dari suatu bangunan, Garis Sempadan Bangunan yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam butir a. tidak boleh dilanggar. Apabila Garis Sempadan Bangunan sebagaimana dimaksud pada butir a. tersebut belum ditetapkan, maka Kepala Daerah dapat menetapkan GSB yang bersifat sementara untuk lokasi tersebut pada setiap permohonan perizinan mendirikan bangunan. Hal. III - 20

75 Penetapan Garis Sempadan Bangunan didasarkan pada pertimbangan keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan keserasian dengan lingkungan serta ketinggian bangunan. Daerah menentukan garis-garis sempadan pagar, garis sempadan muka bangunan, garis sempadan loteng, garis sempadan podium, garis sempadan menara, begitu pula garis-garis sempadan untuk pantai, sungai, danau, jaringan umum dan lapangan umum. Pada suatu kawasan/lingkungan yang diperkenankan adanya beberapa klas bangunan dan di dalam kawasan peruntukan campuran, untuk tiap-tiap klas bangunan dapat ditetapkan garis-garis sempadannya masing-masing. Dalam hal garis sempadan pagar dan garis sempadan muka bangunan berimpit (GSB sama dengan nol), maka bagian muka bangunan harus ditempatkan pada garis tersebut. Daerah berwenang untuk memberikan pembebasan dari ketentuan dalam butir g, sepanjang penempatan bangunan tidak mengganggu jalan dan penataan bangunan sekitarnya. Ketentuan besarnya GSB dapat diperbarui dengan pertimbangan perkembangan kota, kepentingan umum, keserasian dengan lingkungan, maupun pertimbangan lain dengan mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait. e. Garis Sempadan (Samping Dan Belakang) Bangunan Gedung Kepala Daerah dengan pertimbangan keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan, juga menetapkan garis sempadan samping kiri dan kanan, serta belakang bangunan terhadap batas persil, yang diatur di dalam rencana tata ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan, dan peraturan bangunan setempat. Hal. III - 21

76 Sepanjang tidak ada jarak bebas samping maupun belakang bangunan yang ditetapkan, maka Kepala Daerah menetapkan besarnya garis sempadan tersebut dengan setelah mempertimbangkan keamanan, kesehatan dan kenyamanan, yang ditetapkan pada setiap permohonan perizinan mendirikan bangunan. Untuk bangunan yang digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan-bahan/benda-benda yang mudah terbakar dan/atau bahan berbahaya, maka Kepala Daerah dapat menetapkan syarat-syarat lebih lanjut mengenai jarak-jarak yang harus dipatuhi, diluar yang diatur dalam butir i. Pada daerah intensitas bangunan padat/rapat, maka garis sempadan samping dan belakang bangunan harus memenuhi persyaratan: i. bidang dinding terluar tidak boleh melampaui batas pekarangan; ii. struktur dan pondasi bangunan terluar harus berjarak sekurang-kurangnya 10 cm kearah dalam dari batas pekarangan, kecuali untuk bangunan rumah tinggal; iii. untuk perbaikan atau perombakan bangunan yang semula menggunakan bangunan dinding batas bersama dengan bangunan di sebelahnya, disyaratkan untuk membuat dinding batas tersendiri disamping dinding batas terdahulu; iv. pada bangunan rumah tinggal rapat tidak terdapat jarak bebas samping, sedangkan jarak bebas belakang ditentukan minimal setengah dari besarnya garis sempadan muka bangunan. Hal. III - 22

77 f. Jarak Bebas Bangunan Gedung Pada daerah intensitas bangunan rendah/renggang, maka jarak bebas samping dan belakang bangunan harus memenuhi persyaratan: i. jarak bebas samping dan jarak bebas belakang ditetapkan minimum 4 m pada lantai dasar, dan pada setiap penambahan lantai/tingkat bangunan, jarak bebas di atasnya ditambah 0,50 m dari jarak bebas lantai di bawahnya sampai mencapai jarak bebas terjauh 12,5 m, kecuali untuk bangunan rumah tinggal, dan sedangkan untuk bangunan gudang serta industri dapat diatur tersendiri; ii. sisi bangunan yang didirikan harus mempunyai jarak bebas yang tidak dibangun pada kedua sisi samping kiri dan kanan serta bagian belakang yang berbatasan dengan pekarangan. Pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam bentuk apapun. Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu tapak diatur sebagai berikut: i. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling berhadapan, maka jarak antara dinding atau bidang tersebut minimal dua kali jarak bebas yang ditetapkan; ii. dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding tembok tertutup dan yang lain merupakan bidang terbuka dan/atau berlubang, maka jarak antara dinding tersebut minimal satu kali jarak bebas yang ditetapkan; iii. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling berhadapan, maka jarak dinding terluar minimal setengah kali jarak bebas yang ditetapkan. Hal. III - 23

78 g. Pemisah di Sepanjang Halaman Depan/Samping/Belakang Gedung Halaman muka dari suatu bangunan harus dipisahkan dari jalan menurut cara yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan, serta keserasian lingkungan. Kepala Daerah menetapkan ketinggian maksimum pemisah halaman muka. Untuk sepanjang jalan atau kawasan tertentu, Kepala Daerah dapat menerapkan desain standar pemisah halaman yang dimaksudkan dalam butir i. Dalam hal yang khusus Kepala Daerah dapat memberikan pembebasan dari ketentuan-ketentuan dalam butir i dan ii, dengan setelah mempertimbangkan hal teknis terkait. Dalam hal pemisah berbentuk pagar, maka tinggi pagar pada GSJ dan antara GSJ dengan GSB pada bangunan rumah tinggal maksimal 1,50 m di atas permukaan tanah, dan untuk bangunan bukan rumah tinggal termasuk untuk bangunan industri maksimal 2 m di atas permukaan tanah pekarangan. Pagar sebagaimana dimaksud pada butir e harus tembus pandang, dengan bagian bawahnya dapat tidak tembus pandang maksimal setinggi 1 m di atas permukaan tanah pekarangan. Untuk bangunan-bangunan tertentu, Kepala Daerah dapat menetapkan lain terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir v dan vi. Penggunaan kawat berduri sebagai pemisah disepanjang jalan-jalan umum tidak diperkenankan. Tinggi pagar batas pekarangan sepanjang pekarangan samping dan belakang untuk bangunan renggang maksimal 3 m di atas permukaan tanah pekarangan, dan Hal. III - 24

79 apabila pagar tersebut merupakan dinding bangunan rumah tinggal bertingkat tembok maksimal 7 m dari permukaan tanah pekarangan, atau ditetapkan lebih rendah setelah mempertimbangkan kenyamanan dan kesehatan lingkungan. Antara halaman belakang dan jalur-jalur jaringan umum kota harus diadakan pemagaran. Pada pemagaran ini tidak boleh diadakan pintu-pintu masuk, kecuali jika jalur-jalur jaringan umum kota direncanakan sebagai jalur jalan belakang untuk umum. Kepala Daerah berwenang untuk menetapkan syarat-syarat lebih lanjut yang berkaitan dengan desain dan spesifikasi teknis pemisah di sepanjang halaman depan, samping, dan belakang bangunan. Kepala Daerah dapat menetapkan tanpa adanya pagar pemisah halaman depan, samping maupun belakang bangunan pada ruas-ruas jalan atau kawasan tertentu, dengan pertimbangan kepentingan kenyamanan, kemudahan hubungan (aksesibilitas), keserasian lingkungan, dan penataan bangunan dan lingkungan yang diharapkan. B. Arsitektur Bangunan Gedung 1. Persyaratan Penampilan Bangunan Gedung a. Ketentuan Umum Bentuk denah bangunan gedung sedapat mungkin simetris dan sederhana, guna mengantisipasi kerusakan yang diakibatkan oleh gempa. Hal. III - 25

80 Dalam hal denah bangunan gedung berbentuk T, L, atau U, maka harus dilakukan pemisahan struktur atau dilatasi untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat gempa atau penurunan tanah. Denah bangunan gedung berbentuk sentris (bujur sangkar, persegi panjang, atau lingkaran) lebih baik dari pada denah bangunan yang berbentuk memanjang dalam mengantisipasi terjadinya kerusakan akibat gempa. Atap bangunan gedung harus dibuat dari konstruksi dan bahan yang ringan untuk mengurangi intensitas kerusakan akibat gempa. Hal. III - 26

81 Penempatan bangunan gedung tidak boleh mengganggu fungsi prasarana kota, lalu lintas dan ketertiban umum. Pada lokasi-lokasi tertentu Kepala Daerah dapat menetapkan secara khusus arahan rencana tata bangunan dan lingkungan. Pada jalan-jalan tertentu, perlu ditetapkan penampangpenampang (profil) bangunan untuk memperoleh pemandangan jalan yang memenuhi syarat keindahan dan keserasian. Bilamana dianggap perlu, persyaratan lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan ini dapat ditetapkan pelaksanaaannya oleh Kepala Daerah dengan membentuk suatu panitia Hal. III - 27

82 khusus yang bertugas memberi nasehat teknis mengenai ketentuan tata bangunan dan lingkungan. Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur lingkungan yang ada di sekitarnya, atau yang mampu sebagai pedoman arsitektur atau panutan bagi lingkungannya. Setiap bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan bangunan yang dilestarikan, harus serasi dengan bangunan yang dilestarikan tersebut. Bangunan yang didirikan sampai pada batas samping persil, tampak bangunannya harus bersambungan secara serasi dengan tampak bangunan atau dinding yang telah ada di sebelahnya. Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan yang nyaman dan serasi terhadap lingkungannya. Bentuk, tampak, profil, detail, material maupun warna bangunan harus dirancang memenuhi syarat keindahan dan keserasian lingkungan yang telah ada dan/atau yang direncanakan kemudian, dengan tidak menyimpang dari persyaratan fungsinya. Bentuk bangunan gedung sesuai kondisi daerahnya harus dirancang dengan mempertimbangkan kestabilan struktur dan ketahanannya terhadap gempa. Syarat-syarat lebih lanjut mengenai tinggi/tingkat dan segala sesuatunya ditetapkan berdasarkan ketentuanketentuan dalam rencana tata ruang, dan/atau rencana Hal. III - 28

83 tata bangunan dan lingkungan yang ditetapkan untuk daerah/lokasi tersebut. b. Tapak Bangunan Tinggi rendah (peil) pekarangan harus dibuat dengan tetap menjaga keserasian lingkungan serta tidak merugikan pihak lain. Penambahan lantai atau tingkat suatu bangunan gedung diperkenankan apabila masih memenuhi batas ketinggian yang ditetapkan dalam rencana tata ruang kota, dengan ketentuan tidak melebihi KLB, harus memenuhi persyaratan teknis yang berlaku dan keserasian lingkungan. Penambahan lantai/tingkat harus memenuhi persyaratan keamanan struktur. Pada daerah/lingkungan tertentu dapat ditetapkan: i. ketentuan khusus tentang pemagaran suatu pekarangan kosong atau sedang dibangun, pemasangan nama proyek dan sejenisnya dengan memperhatikan keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian lingkungan; ii. larangan membuat batas fisik atau pagar pekarangan; iii. ketentuan penataan bangunan yang harus diikuti dengan memperhatikan keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian lingkungan; Hal. III - 29

84 iv. perkecualian kelonggaran terhadap ketentuan butir (2) di atas dapat diberikan untuk bangunan perumahan dan bangunan sosial dengan memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan. c. Bentuk Bangunan Bentuk bangunan gedung harus dirancang sedemikian rupa sehingga setiap ruang-dalam dimungkinkan menggunakan pencahayaan dan penghawaan alami. Ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada butir i di atas tidak berlaku apabila sesuai fungsi bangunan diperlukan sistem pencahayaan dan penghawaan buatan. Ketentuan pada butir ii harus tetap mengacu pada prinsipprinsip konservasi energi. Untuk bangunan dengan lantai banyak, kulit atau selubung bangunan harus memenuhi persyaratan konservasi energi. Aksesibilitas bangunan harus mempertimbangkan kemudahan bagi semua orang, termasuk para penyandang cacat dan lansia. Suatu bangunan gedung tertentu berdasarkan letak, ketinggian dan penggunaannya, harus dilengkapi dengan perlengkapan yang berfungsi sebagai pengaman terhadap lalu lintas udara dan/atau lalu lintas laut. Hal. III - 30

85 2. Tata Ruang-Dalam A. Ketentuan Umum Penempatan dinding-dinding penyekat dan lubang-lubang pintu/jendela diusahakan sedapat mungkin simetris terhadap sumbu-sumbu denah bangunan mengantisipasi terjadinya kerusakan akibat gempa. Hal. III - 31

86 Bidang-bidang dinding sebaiknya membentuk kotak-kotak tertutup untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan akibat gempa. Tinggi ruang adalah jarak terpendek dalam ruang diukur dari permukaan bawah langit-langit ke permukaan lantai. Ruangan dalam bangunan harus mempunyai tinggi yang cukup untuk fungsi yang diharapkan. Ketinggian ruang pada lantai dasar disesuaikan dengan fungsi ruang dan arsitektur bangunannya. Hal. III - 32

87 Dalam hal tidak ada langit-langit, tinggi ruang diukur dari permukaan atas lantai sampai permukaan bawah dari lantai di atasnya atau sampai permukaan bawah kasokaso. Bangunan atau bagian bangunan yang mengalami perubahan perbaikan, perluasan, penambahan, tidak boleh menyebabkan berubahnya fungsi/penggunaan utama, karakter arsitektur bangunan dan bagian-bagian bangunan serta tidak boleh mengurangi atau mengganggu fungsi sarana jalan keluar/masuk. Perubahan fungsi dan penggunaan ruang suatu bangunan atau bagian bangunan dapat diizinkan apabila masih memenuhi ketentuan penggunaan jenis bangunan dan dapat menjamin keamanan dan keselamatan bangunan serta penghuninya. Ruang penunjang dapat ditambahkan dengan tujuan memenuhi kebutuhan kegiatan bangunan, sepanjang tidak menyimpang dari penggunaan utama bangunan. Jenis dan jumlah kebutuhan fasilitas penunjang yang harus disediakan pada setiap jenis penggunaan bangunan ditetapkan oleh Kepala Daerah. Tata ruang-dalam untuk bangunan tempat ibadah, bangunan monumental, gedung serbaguna, gedung pertemuan, gedung pertunjukan, gedung sekolah, gedung olah raga, serta gedung sejenis lainnya diatur secara khusus. Hal. III - 33

88 B. Perancangan Luar Dalam Bangunan tempat tinggal sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi utama yang mewadahi kegiatan pribadi, kegiatan keluarga/bersama dan kegiatan pelayanan. Bangunan kantor sekurang-kurangnya memiliki ruangruang fungsi utama yang mewadahi kegiatan kerja, ruang umum dan ruang pelayanan. Bangunan toko sekurang-kurang memiliki ruang-ruang fungsi utama yang mewadahi kegiatan toko, kegiatan umum dan pelayanan. Suatu bangunan gudang sekurang-kurangnya harus dilengkapi dengan kamar mandi dan kakus serta ruang kebutuhan karyawan. Suatu bangunan pabrik sekurang-kurangnya harus dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan kakus, ruang ganti pakaian karyawan, ruang makan, ruang istirahat, serta ruang pelayanan kesehatan yang memadai. Perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 meter, maka ketinggian bangunan dianggap sebagai dua lantai, kecuali untuk penggunaan ruang lobby, atau ruang pertemuan dalam bangunan komersial (antara lain hotel, perkantoran, dan pertokoan). Mezanin yang luasnya melebihi 50% dari luas lantai dasar, dianggap sebagai lantai penuh. Penempatan fasilitas kamar mandi dan kakus untuk pria dan wanita harus terpisah. Hal. III - 34

89 Ruang rongga atap hanya dapat diizinkan apabila penggunaannya tidak menyimpang dari fungsi utama bangunan serta memperhatikan segi kesehatan, keamanan dan keselamatan bangunan dan lingkungan. Ruang rongga atap untuk rumah tinggal harus mempunyai penghawaan dan pencahayaan alami yang memadai. Ruang rongga atap dilarang dipergunakan sebagai dapur atau kegiatan lain yang potensial menimbulkan kecelakaan/ kebakaran. Setiap penggunaan ruang rongga atap yang luasnya tidak lebih dari 50% dari luas lantai di bawahnya, tidak dianggap sebagai penambahan tingkat bangunan. Setiap bukaan pada ruang atap, tidak boleh mengubah sifat dan karakter arsitektur bangunannya. Pada ruang yang penggunaannya menghasilkan asap dan/atau gas, harus disediakan lobang hawa dan/atau cerobong hawa secukupnya, kecuali menggunakan alat bantu mekanis. Cerobong asap dan/atau gas harus dirancang memenuhi persyaratan pencegahan kebakaran. Tinggi ruang-dalam bangunan tidak boleh kurang dari ketentuan minimum yang ditetapkan. Tinggi lantai dasar suatu bangunan diperkenankan mencapai maksimal 1,20 m di atas tinggi rata-rata tanah pekarangan atau tinggi rata-rata jalan, dengan memperhatikan keserasian lingkungan. Apabila tinggi tanah pekarangan berada di bawah titik ketinggian (peil) bebas banjir atau terdapat kemiringan Hal. III - 35

90 yang curam atau perbedaan tinggi yang besar pada tanah asli suatu perpetakan, maka tinggi maksimal lantai dasar ditetapkan tersendiri. Tinggi Lantai Denah: Permukaan atas dari lantai denah (dasar) harus: i. Sekurang-kurangnya 15 cm di atas titik tertinggi dari pekarangan yang sudah dipersiapkan; ii. Sekurang-kurangnya 25 cm di atas titik tertinggi dari sumbu jalan yang berbatasan. Dalam hal-hal yang luar biasa, ketentuan dalam butir (1) tersebut, tidak berlaku jika letak lantai-lantai itu lebih tinggi dari 60 cm di atas tanah yang ada di sekelilingnya, atau untuk tanah-tanah yang miring. Lantai tanah atau tanah dibawah lantai panggung harus ditempatkan sekurang-kurangnya 15 cm di atas tanah pekarangan serta dibuat kemiringan supaya air dapat mengalir Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-undang penataan ruang mendefinisikan ruang terbuka hijau sebagai suatu area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Pada dasarnya arti ruang sangat luas definisinya, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Dan ruang ini perlu ditata dan direncanakan Hal. III - 36

91 dengan baik sehingga tercipta keselarasan pembangunan di masa mendatang. Dalam pasal 28, mengenai perencanaan tata ruang wilayah kota bahwa dalam kegiatan perencanaan kota dan wilayah harus mempertimbangkan koefisien ruang yang dibutuhkan meliputi : a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau; b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka non hijau; dan c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah. Sedangkan dalam pasal 29 lebih menjelaskan berapa besar koefisien kebutuhan akan ruang terbuka pada suatu kota atau wilayah, yaitu : 1) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. 2) Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. 3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota. Distribusi ruang terbuka hijau publik sebaiknya disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang. Hal. III - 37

92 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Pedoman umum RTBL yang ditetapkan pada tahun 2007 oleh Menteri Pekerjaan mengandung suatu tujuan yaitu terciptanya penataan pada kawasan yang mencakup unsur bangunan dan lingkungannya dengan rangkaian desain yang beragam dalam rangka meningkatkan vitalitas dan kualitas lingkungan. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah panduan rancang bangun suatu lingkungan/kawasan yang dimaksudkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, penataan bangunan dan lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan pengembangan lingkungan/kawasan. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah panduan rancang bangun lingkungan/kawasan yang dimaksudkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang serta penataan bangunan dan lingkungan. Materi pokok RTBL meliputi: Program bangunan dan lingkungan Rencana umum dan panduan rancangan Rencana investasi Ketentuan pengendalian rencana Pedoman pengendalian pelaksanaan Penyusunan dokumen RTBL berdasarkan pola penataan bangunan dan lingkungan yang ditetapkan pada kawasan perencanaan, meliputi: Hal. III - 38

93 Perbaikan kawasan, seperti penataan lingkungan permukiman kumuh/nelayan (perbaikan kampung), perbaikan desa pusat pertumbuhan, perbaikan kawasan, serta pelestarian kawasan; Pengembangan kembali kawasan, seperti peremajaan kawasan, pengembangan kawasan terpadu, revitalisasi kawasan, serta rehabilitasi dan rekonstruksi kawasan pasca bencana; Pembangunan baru kawasan, seperti pembangunan kawasan permukiman (Kawasan Siap Bangun/Lingkungan Siap Bangun Berdiri Sendiri), pembangunan kawasan terpadu, pembangunan desa agropolitan, pembangunan kawasan terpilih pusat pertumbuhan desa (KTP2D), pembangunan kawasan perbatasan, dan pembangunan kawasan pengendalian ketat (high-control zone); Pelestarian/pelindungan kawasan, seperti pengendalian kawasan pelestarian, revitalisasi kawasan, serta pengendalian kawasan rawan bencana. Dalam pelaksanaan, sesuai kompleksitas permasalahan kawasannya, RTBL juga dapat berupa: Rencana aksi/kegiatan komunitas (community action plan/cap), Rencana penataan lingkungan (neighbourhood development plan/ndp), Panduan rancang kota (urban design guidelines/udgl). Kedudukan RTBL dalam pengendalian bangunan gedung dan lingkungan yaitu sebagaimana digambarkan dalam diagram berikut: Hal. III - 39

94 Gambar 3.1 Kedudukan Rtbl Dalam Pengendalian Bangunan Gedung Dan Lingkungan Sedangkan, struktur dan sistematika dokumen RTBL yaitu sebagaimana digambarkan dalam diagram berikut: Hal. III - 40

95 Gambar 3. 2 Struktur dan Sistematika Dokumen RTBL Hal. III - 41

96 A. Program Bangunan dan Lingkungan Penyusunan program bangunan dan lingkungan dilakukan melalui: 1. Analisis Kawasan dan Wilayah Perencanaan a. Perkembangan sosial-kependudukan b. Prospek pertumbuhan ekonomi c. Daya dukung fisik dan lingkungan d. Aspek legal konsolidasi lahan perencanaan e. Daya dukung prasarana dan fasilitas lingkungan f. Kajian aspek signifikansi historis kawasan 2. Analisis Pengembangan Pembangunan Berbasis Peran Masyarakat a. Persiapan b. Identifikasi aspirasi dan analisis permasalahan c. Analisis perilaku lingkungan d. Rencana pengembangan e. Strategi pengembangan dan publikasi f. Penerapan rencana 3. Konsep Dasar Perancangan Tata Bangunan dan Lingkungan a. Visi pembangunan b. Konsep perancangan struktur tata bangunan dan lingkungan c. Konsep komponen perancangan kawasan d. Blok-blok pengembangan kawasan dan program penanganannya Hal. III - 42

97 B. Rencana Umum dan Panduan Rancangan Materi Rencana Umum mempertimbangkan potensi mengakomodasi komponen-komponen rancangan suatu kawasan sebagai berikut: 1. Struktur Peruntukan Lahan Peruntukan lahan makro Peruntukan lahan mikro 2. Intensitas Pemanfaatan Lahan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) Koefisien Lantai Bangunan (KLB) Koefisien Daerah Hijau (KDH) Koefisien Tapak Besmen (KTB) Sistem insentif-disinsentif pengembangan Sistem pengalihan nilai koefisien lantai bangunan (Transfer of Development Right/TDR). 3. Tata Bangunan Pengaturan blok lingkungan Pengaturan kaveling/petak lahan Pengaturan bangunan Pengaturan ketinggian dan elevasi lantai bangunan 4. Sistem Sirkulasi dan Jalur Penghubung Sistem jaringan jalan dan pergerakan Sistem sirkulasi kendaraan umum Sistem sirkulasi kendaraan pribadi Hal. III - 43

98 Sistem sirkulasi kendaraan umum informal setempat Sistem pergerakan transit Sistem parkir Sistem perencanaan jalur servis/pelayanan lingkungan Sistem sirkulasi pejalan kaki dan sepeda Sistem jaringan jalur penghubung terpadu (pedestrian linkage) 5. Sistem Ruang Terbuka dan Tata Hijau Sistem ruang terbuka umum Sistem ruang terbuka pribadi Sistem ruang terbuka privat yang dapat diakses oleh umum Sistem pepohonan dan tata hijau Bentang alam Area jalur hijau 6. Tata Kualitas Lingkungan Konsep identitas lingkungan Konsep orientasi lingkungan Wajah jalan 7. Sistem Prasarana dan Utilitas Lingkungan Sistem jaringan air bersih Sistem jaringan air limbah dan air kotor Sistem jaringan drainase Sistem jaringan persampahan Hal. III - 44

99 Sistem jaringan listrik Sistem jaringan telepon Sistem jaringan pengamanan kebakaran Sistem jaringan jalur penyelamatan atau evakuasi Panduan Rancangan memuat ketentuan dasar implementasi rancangan terhadap kawasan perencanaan, berupa ketentuan tata bangunan dan lingkungan yang bersifat lebih detil, memudahkan dan memandu penerapan dan pengembangan rencana umum, baik pada bangunan, kelompok bangunan, elemen prasarana kawasan, kaveling, maupun blok. C. Rencana Investasi Strategi perencanaan investasi dilakukan dengan skenario sebagai berikut: 1. Penetapan paket kegiatan pada tiap jangka waktu pentahapan dan penyiapan rincian sumber pembiayaan. 2. Perencanaan pembiayaan meliputi perhitungan prospek ekonomi, besaran investasi yang dibutuhkan, keuntungan setiap paket dan perhitungan investasi publik. 3. Penyiapan pelibatan dan pemasaran paket pembangunan untuk masing-masing pelaku pembangunan. 4. Penyiapan detail investasi tahunan sebagai pengendalian selama pelaksanaan. Kesepakatan bentuk Kerja Sama Operasional (KSO) yang menyangkut pola investasi antara lain dapat berbentuk: Build Operate and Transfer (BOT), Build Own Operate and Transfer (BOOT), dan Build Own and Operate (BOO). Hal. III - 45

100 D. Ketentuan Pengendalian Rencana 1. Strategi pengendalian: o Strategi pengendalian rencana diatur dengan Rencana Kelembagaan, yang mencantumkan organisasi pelaksana, SDM yang terlibat, dan aturan tata laksana kelembagaannya. o Untuk pengelolaan pelaksanaan RTBL dapat disiapkan suatu organisasi pelaksana tersendiri, dengan menggambarkan pola koordinasi, alur dan pola pertanggungjawaban, serta proses lainnya. 2. Arahan pengendalian rencana: o Penetapan rencana dan indikasi program pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaan, termasuk kesepakatan wewenang dan kelembagaan. o Penetapan paket kegiatan pelaksanaan dan pengendalian jangka menengah. o Penyiapan pelibatan dan pemasaran paket pembangunan untuk setiap pemangku kepentingan. o Identifikasi dan penyesuaian aspek fisik, sosial, dan ekonomi terhadap kepentingan dan tanggung jawab para pemangku kepentingan. o Penetapan persyaratan teknis masing-masing aspek (fisik, sosial dan ekonomi), perencanaan pelaksanaan, dan pengendalian di lapangan. Hal. III - 46

101 E. Pedoman Pengendalian Pelaksanaan Pengelolaan kawasan mencakup kegiatan pemeliharaan atas investasi fisik yang telah terbangun beserta segala aspek nonfisik yang diwadahinya, kegiatan penjaminan, pengelolaan operasional, pemanfaatan, rehabilitasi/pembaharuan, serta pelayanan dari aset properti lingkungan/kawasan. Wewenang atas pelaksanaan pengelolaan kawasan dilakukan oleh Pihak Pengelola Kawasan yang anggota dan programnya disusun sesuai kesepakatan antara masyarakat (pemilik lahan/bangunan), swasta (pengembang/investor/penyewa), pemerintah daerah dan pelaku pembangunan lain, termasuk pengguna/pemakai/penyewa dari luar kawasan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan Dalam peraturan menteri dalam negeri ini, pembangunan ruang terbuka hijau sebagai alat perkembangan dan pertumbuhan kota/perkotaan disertai dengan alih fungsi lahan yang pesat, telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang dapat menurunkan daya dukung lahan dalam menopang kehidupan masyarakat di kawasan perkotaan, sehingga perlu dilakukan upaya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan melalui penyediaan ruang terbuka hijau yang memadai. Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas balk dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjangljalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh Hal. III - 47

102 tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Berdasarkan kepentngan dari kegiatan pada Permendagri No. 1/2007 ini bertujuan : a. menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan; b. mewujudkan kesimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di perkotaan; dan c. meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman. 1) Fungsi RTH di Kawasan Perkotaan adalah : a. pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan; b. pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara; c. tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati; d. pengendali tata air; dan e. sarana estetika kota. 2) Manfaat RTH di Kawasan Perkotaan adalah : a. sarana untuk mencerminkan identitas daerah; b. sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan; c. sarana rekreasi aktif dan pasif serta interkasi sosial; d. meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan; e. menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah; Hal. III - 48

103 f. sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula; g. sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat; h. memperbaiki iklim mikro; dan i. meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan. 3) Jenis RTH di Kawasan Perkotaan meliputi: a. taman kota; b. taman wisata alam; c. taman rekreasi; d. taman lingkungan perumahan dan permukiman; e. taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial; f. taman hutan raya; g. hutan kota; h. hutan lindung; i. bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah; j. cagar alam; k. kebun raya; l. kebun binatang; m. pemakaman umum; n. lapangan olah raga; o. lapangan upacara; p. parkir terbuka; q. lahan pertanian perkotaan; Hal. III - 49

104 r. jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET); s. sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa; t. jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian; u. kawasan dan jalur hijau; v. daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara; dan w. taman atap (roof garden). Penataan ruang terbuka hijau akan meliputi penataan yang dilakukan oleh pemerintah atau penataan private. Oleh karena itu, ruang terbuka hijau merupakan bagian dari ruang otonomi daerah dan minimal ketersediaannya adalah 20%-30% untuk kawasan perkotaan. RTH yang dikelola oleh pemerintahdaerah biasanya akan digunakan oleh masyarakat luas sebagai bentuk fasilitas umum yang diberikan kepada masyarakat sedang RTH yang dikelola secara privat merupakan bagian dari ruang daerah tetapi pengelolaannya yang dilaksanakan oleh pengelola setempat atau pemilik kawasan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan Kepentingan dalam penataan ruang dan kebutuhan ruang terbuka hijau yang memadai di kawasan perkotaan seyogya dibutuhkan suatu pedoman umum mengenai tata cara penyediaan dan pemanfaatan RTH di kawasan perkotaan. Diawali dengan bahwa kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik terutama Ruang Terbuka Hijau (RTH) saat ini mengalami penurunan yang sangat signifikan dan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang berdampak keberbagai sendi kehidupan perkotaan antara lain sering Hal. III - 50

105 terjadinya banjir, peningkatan pencemaran udara, dan menurunnya produktivitas masyarakat akibat terbatasnya ruang yang tersedia untuk interaksi social. Lalu diterangkan dengan bahwa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memberikan landasan untuk pengaturan ruang terbuka hijau dalam rangka mewujudkan ruang kawasan perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Adanya pedoman mengenai penyediaan dan pemanfaatan RTH di kawasan perkotaan adalah untuk : 1. menyediakan acuan yang memudahkan pemangku kepentingan baik pemerintah kota, perencana maupun pihak-pihak terkait, dalam perencanaan, perancangan, pembangunan, dan pengelolaan ruang terbuka hijau. 2. memberikan panduan praktis bagi pemangku kepentingan ruang terbuka hijau dalam penyusunan rencana dan rancangan pembangunan dan pengelolaan ruang terbuka hijau. 3. memberikan bahan kampanye publik mengenai arti pentingnya ruang terbuka hijau bagi kehidupan masyarakat perkotaan. 4. memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait tentang perlunya ruang terbuka hijau sebagai pembentuk ruang yang nyaman untuk beraktivitas dan bertempat tinggal. Tersedianya Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan ini bertujuan untuk: Hal. III - 51

106 a. menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air; b. menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat; c. meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih. A. Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan 1. Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut: ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Hal. III - 52

107 Target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal sebagaimana ditunjukkan pada lampiran A. 2. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku. Tabel 3.1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk No Unit Lingkungan Tipe RTH Luas Minimal Luas Minimal Unit (M2) Kapita (M2) Lokasi jiwa taman RT 250 1,0 ditengah lingkungan RT jiwa taman RW ,5 di pusat kegiatan RW jiwa Taman Kelurahan 9 0,3 dikelompokkan dengan sekolah/pusat kelurahan jiwa taman Kecamatan 24 0,2 dikelompokkan dengan sekolah/pusat kecamatan taman Pemakaman disesuaikan 1,2 tersebar jiwa taman Kota 144 0,3 di pusat wilayah/kota Hutan Kota disesuaikan 4,0 di dalam/ kawasan pinggiran untuk fungsi-fungsi tertentu disesuaikan 12,5 disesuaikan dengan kebutuhan Sumber : Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan 3. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak teganggu. RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat Hal. III - 53

108 berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air. B. Arahan Penyediaan RTH 1. Pada bangunan/perumahan RTH Pekarangan RTH Halaman Perkantoran, Pertokoan, dan Tempat Usaha RTH dalam Bentuk Taman Atap Bangunan (Roof Garden) 2. Pada Lingkungan/Permukiman RTH Taman Rukun Tetangga RTH Taman Rukun Warga RTH Kelurahan RTH Kecamatan 3. Kota/Perkotaan RTH Taman Kota Hutan Kota Sabuk Hijau RTH Jalur Hijau Jalan RTH Ruang Pejalan Kaki Ruang Terbuka Hijau di Bawah Jalan Layang RTH Fungsi Tertentu C. Kriteria Vegetasi RTH 1. Kriteria Vegetasi untuk RTH Pekarangan Hal. III - 54

109 Kriteria Vegetasi untuk RTH Pekarangan Rumah Besar, Pekarangan Rumah Sedang, Pekarangan Rumah Kecil, Halaman Perkantoran, Pertokoan, dan Tempat Usaha Kriteria Vegetasi untuk Taman Atap Bangunan dan Tanaman dalam Pot 2. Kriteria Vegetasi untuk RTH Taman dan Taman Kota 3. Kriteria Vegetasi untuk Hutan Kota 4. Kriteria Vegetasi untuk Sabuk Hijau 5. Kriteria Vegetasi untuk RTH Jalur Hijau Jalan Kriteria Vegetasi untuk Taman Pulau Jalan dan Median Jalan, dan RTH Jalur Pejalan Kaki Kriteria Vegetasi untuk RTH di Bawah Jalan Layang 6. Kriteria Vegetasi untuk RTH Fungsi Tertentu Kriteria Vegetasi untuk Jalur Hijau Sempadan Rel Kereta Api Kriteria Vegetasi untuk Jalur Hijau Jaringan Listrik Tegangan Tinggi Kriteria Vegetasi untuk RTH Sempadan Sungai Kriteria Vegetasi untuk RTH Sempadan Pantai Kriteria Vegetasi untuk RTH pada Sumber Air Baku/Mata Air Kriteria Vegetasi untuk RTH Pemakaman Hal. III - 55

110 D. Ketentuan Penanaman 1. Persiapan Tanah untuk Media Tanam 2. Penanaman 3. Pemeliharaan Tanaman Pemupukan Penyiraman Pemangkasan 4. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Penyediaan lahan untuk pengembangan RTH public sesungguhnya dapat diupayakan dengan menerapkan polapola kerja sama dengan dunia usaha sebagai berikut: a) Penyediaan RTH publik sebagai syarat perizinan pemanfaatan ruang Tingginya permintaan lahan untuk kegiatan perkotaan di satu sisi merupakan hambatan bagi penyediaan lahan untuk RTH. Di sisin lain, kondisi ini dapat diubah menjadi peluang dengan mewajibkan penyediaan RTH public bagi permohonan izin pemanfaatan ruang dengan nilai investasi tertentu. Dengan pola ini, lokasi RTH berada di luar lokasi pemanfaatan ruang investor namun tetap disesuaikan dengan penetapan lokasi dalam rencana tata ruang. Sedangkan luas dan desainnya disesuaikan dengan anggaran yang disediakan pihak swasta. b) Penyediaan RTH publik sebagai bagian dari desain kawasan Maraknya pembangunan super blockuntuk hunian, perkantoran, atau pusat bisnis di kota-kota besar seperti Hal. III - 56

111 Jakarta, Medan, dan Surabaya merupakan peluang tersendiri bagi penyediaan RTH publik. Sesuai prosedur yang umum berlaku, desain kawasan yang akan dibangun memerlukan persetujuan dari pemerintah daerah. Hal ini memungkinkan pemerintah daerah untuk menetapkan syarat minimal RTH yang harus disediakan pihak pengembang, disertai catatan bahwa RTH tersebut harus dapat diakses publik dan kepemilikannya diserahkan kepada pemerintah daerah. Terdapat kemungkinan pihak pengembang akan merasa keberatan sehubungan dengan syarat kepemilikan, namun hal ini dapat diantisipasi dengan kewajiban penyediaan RTH publik di lokasi lain sebagaimana diuraikan sebelumnya. c) Penyediaan RTH publik sebagai perwujudan Corporate Social Responsibility (CSR) Keberadaan perusahaan-perusahaan dengan modal besar di kawasan perkotaan juga dapat dijadikan peluang dalam penyediaan RTH publik. Sebagaimana diketahui, perusahaan besar umumnya mengalokasikan anggaran untuk membiayai kegiatan-kegiatan dalam kerangka CSR. Untuk memanfaatkan anggaran CSR, pemerintah daerah perlu memberikan panduan dan fasilitasi untuk mengarahkan perusahaan-perusahaan tersebut agar membiayai penyediaan lahan dan pemeliharaan RTH publik. Sebagai bentuk apresiasi, pemerintah daerah RTH publik oleh pihak swasta. Pemberian nama taman/ RTH sesuai dengan nama perusahaan yang memberikan andil juga patut dipertimbangkan. Penerapan pola-pola kerja sama tersebut di atas tentu memerlukan payung hukum, sehingga pemerintah daerah perlu menerbitkan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah. Dalam menyusun Hal. III - 57

112 dan menetapkan peraturan tersebut perlu kehati-hatian dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap daya saing kawasan perkotaan dalam menarik investasi swasta. E. Upaya Penyediaan Dan Pemanfaatan RTH Sebagaimana disampaikan sebelumnya, besarnya deficit RTH publik, terbatasnya ketersediaan lahan, dan terbatasnya anggaran pemerintah daerah merupakan kombinasi yang menyulitkan pemenuhan proporsi RTH publik dalam waktu singkat. Untuk itu diperlukan inovasi untuk memenuhi fungsi sosial dan fungsi ekologis RTH publik. Tentu sebelumnya perlu dilakukan perhitungan untuk mengetahui fungsi sosial dan ekologis RTH bila ketentuan penyediaan 20% dari luas kawasan perkotaan dapat dipenuhi. Selanjutnya juga perlu dihitung fungsi sosial dan fungsi ekologis yang sudah dipenuhi oleh RTH yang ada. Dengan demikian inovasi atau terobosan yang dikembangkan adalah untuk memenuhi defisit pemenuhan fungsi tersebut. Upaya pemenuhan defisit fungsi hidrologis, misalnya, dapat diupayakan dengan menyediakan sumur resapan atau biopori untuk mengurangi limpasan air hujan. Sementara pemenuhan defisit fungsi klimatologis dapat dipenuhi bangunan-bangunan publik dan komersial. Yang relatif sulit adalah menutup defisit fungsi sosial RTH publik sebagai ruang aktivitas dan interaksi warga perkotaan. Hal ini dapat diupayakan dengan membuka akses terhadap lahan-lahan publik seperti halaman perkantoran pemerintah untuk Hal. III - 58

113 dimanfaatkan sebagai ruang aktivitas publik. Upaya di atas adalah upaya sementara sambil terus mengupayakan pemenuhan RTH publik hingga mencapai proporsi 20% dari luas kawasan perkotaan sebagaimana diamanatkan dalam UUPR. Hal. III - 59

114 4.1 PENDEKATAN UMUM Pada bab ini akan dibahas mengenai pendekatan dan metodologi yang akan digunakan konsultan dalam pelaksanaan pekerjaan ini, yang mengacu pada Kerangka Acuan Kerja yang telah diterima dan dipelajari konsultan. Dengan demikian agar diperoleh pemahaman terhadap masalah dan agar mampu memberikan rekomendasi obyektif, maka pendekatan umum untuk melaksanakan pekerjaan ini dilakukan dengan melalui : Pendekatan Strategi Dasar Pendekatan Strategi Operasional Pendekatan Penanganan Pekerjaan Pendekatan Strategi Dasar Dalam pelaksanaan pekerjaan ini digunakan strategi dasar yang akan menjadi jiwa dalam setiap pelaksanaan tahapan kegiatan. Strategi dasar tersebut meliputi: Kerjasama, bahwa pekerjaan ini memerlukan kerjasama yang erat dengan instansi lain maupun seluruh stakeholder terutama pada saat pengumpulan data sekunder dan primer. Optimasi, baik proses maupun hasilnya dapat berjalan seoptimal mungkin dan dapat memuaskan semua pihak. Akuntabilitas, bahwa semua kegiatan pelaksanaan yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan dikemudian hari dan terukur, terutama dalam pengelolaan seluruh data. Hal. IV - 1

115 Inovasi, sebagai penterjemahan ide yang relatif baru, diperlukan inovasi sehingga rumusan konsep pedoman yang digunakan akan bisa diterima dengan baik oleh semua pihak Pendekatan Strategi Operasional Dalam pelaksanaan penyusunan Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) ini digunakan pendekatan strategi operasional untuk menjamin agar kinerja dari pelaksanaan operasional tetap terjaga, sehingga mampu mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Strategi operasional yang dimaksud adalah : Pengumpulan data (Data Collecting), baik berupa data primer maupun data sekunder yang diperlukan untuk menganalisis pekerjaan Pelaporan (Reporting), untuk mendokumentasikan semua hasil kegiatan yang dilaksanakan sejak dimulainya sampai dengan selesainya pekerjaan. Bisa dipertanggungjawabkan, bahwa setiap hasil kerja dari seluruh kegiatan konsultan harus dapat dipertahankan kehandalannya. Untuk itu diadakan beberapa konfirmasi dengan kunjungan atau survey ke daerah dan ke beberapa pihak yang akan menjadi pengguna. Konfirmasi ini diadakan dalam bentuk berupa diskusi pada setiap tahapan laporan dan dilakukan seminar pada tahapan konsep rencana. Koordinasi Secara Berkelanjutan, yang akan melibatkan banyak pihak terutama pada tahap pengumpulan data, diskusi serta workshop. Koordinasi yang baik dari team leader sangat penting untuk dilaksanakan, antara lain berupa : - Konsultasi intensif dengan tim teknis atau nara sumber yang ditunjuk Hal. IV - 2

116 - Kontrol secara terus menerus terhadap proses pekerjaan - Berhubungan secara intensif dengan pemberi data misalnya dengan instansi daerah, masyarakat dan pengusaha Pendekatan Penanganan Pekerjaan Di dalam melaksanakan pekerjaan ini, penekanan manajemen lebih kepada upaya pencapaian sasaran program dan tidak semata-mata untuk mencapai produk fisik saja. Dengan demikian, dalam melaksanakan pekerjaan ini, sangat ditekankan kepada proses yang akan menunjang tercapainya sasaran tersebut. Pendekatan ini berkaitan dengan pihak yang terlibat dalam perumusan konsep pekerjaan. Pihak-pihak yang terlibat dalam pekerjaan sebelum merancang langkah-langkah kongkrit dalam penanganan pekerjaan ini, terlebih dahulu perlu diidentifikasikan. Secara garis besar ada tiga pihak yang terlibat dalam pekerjan penyusunan penyusunan Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa), ini, yaitu : Pihak Pemerintah, yang diwakili oleh pejabat terkait untuk memberikan arahan pada pekerjaan ini dan menyediakan data-data yang diperlukan, baik data primer maupun data sekunder. Pihak Lembaga, diharapkan dapat menyediakan data tentang hasil pelaksanaan pembangunan dan perencanaan kawasan berdasarkan rencana yang lalu maupun aspirasi mereka sebagai bahan masukan perencanaan yang akan datang. Pihak konsultan, yang merupakan pihak yang akan berperan aktif untuk memperoleh dan mengumpilkan data yang diperlukan sebagai bahan analisis dalam penyelesaian pekerjaan. Dalam konsep penanganan pekerjaan, konsep perencanaan Top-down dan Bottom-up merupakan pendekatan perencanaan yang umumnya digunakan dalam pembangunan. Seperti diketahui, pada sistem Hal. IV - 3

117 perencanaan pembangunan di Indonesia pada masa lalu menerapkan konsep perencanaan top-down, yang banyak mendapatkan kritikan karena membawa dampak buruk bagi perkembangan daerah itu sendiri. Untuk mengimbangi keadaan yang sudah ada, maka diterapkan konsep Bottom-up yang pelaksanaannya tidak dapat diterapkan secara murni. Dengan demikian, konsep pelaksanaan yang menjembatani kedua konsep tersebut perlu diterapkan. Makna konsep perencanaan Bottom-up adalah konsep perencanaan dengan aspirasi yang muncul dari bawah. Dalam konteks penanganan pekerjaan penyusunan Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa), maka yang dimaksud dengan konsep rencana Bottom-up adalah dilakukannya konfirmasi baik pada saat survey kawasan perencanaan maupun pada kesempatan rembug warga, untuk mendapatkan masukan dari pihak pemerintah daerah, masyarakat dan pengusaha (swasta) sebagai pengguna produk ini. Pada konsep bottom-up ini tidak bisa begitu saja diterapkan, karena masih harus adanya aturan-aturan umum agar penerapan konsep perencanaan tersebut selaras dengan tujuan perencanaan pembangunan dalam skala regional dan nasional. Seperti misalnya standar-standar teknis dalam pengumpulan data, pedoman atau petunjuk teknis umum revitalisasi kawasan, serta kegiatan administrasi pekerjaan yang dibutuhkan. Dengan demikian, pada prinsipnya konsep pelaksanaan pekerjaan penyusunan Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa), adalah merupakan gabungan antara konsep perencanaan bottom-up dan topdown. Untuk kegiatan diskusi, upaya pendekatan kedua konsep diimplementasikan dengan cara sinkronisasi dari visi, misi dan ide penyusunan Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Hal. IV - 4

118 Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa). Dalam kegiatan tersebut pihak konsultan berperan sebagai fasilitator dalam menjembatani antara kedua kepentingan yang terkait dengan kedua konsep tersebut. Gambaran sederhana dari konsep pelaksanaan pekerjaan penyusunan Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa), dapat dilihat pada gambar 6.1. Pemerintah Top Down Peran Konsultan Sebagai Fasilitator Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) melalui perpaduan Topdown dan Bottom-up Bottom Up Aspirasi DIRJEN PMD Gambar 4.1. Konsep Pelaksanaan Pekerjaan Hal. IV - 5

119 4.2 PENDEKATAN KHUSUS Pendekatan khusus yang dimaksud dalam kaitan penyusunan Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa), adalah alur pikir yang digambarkan sebagai instrumen dalam menyelesaikan pekerjaan. Pendekatan khusus ini terdiri dari investigasi, identifikasi, konservasi, delineasi dan penataan kawasan bersejarah, penanganan penyusunan rencana umum dan detail penyusunan program investasi serta manajemen pelaksanaan Investigasi, Identifikasi, Konservasi, Delineasi dan Penataan Kawasan Pendekatan ini merupakan langkah awal dala penyusunan Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa), dengan rincian pendekatan sebagai berikut : Indikasi Balai DIRJEN PMD : kriteria fungsi kawasan dan pemanfaatan ruang (spatial use) berdasarkan kebutuhan. Tipologi dan aset Balai DIRJEN PMD: tipologi kota, aset arsitektur, aset arsitektur lansekap dan kawasan sekitarnya. Variable dan indikator Balai DIRJEN PMD meliputi : variable dan indikator konservasi serta variabel dan indikator vitalitas. Melalui hasil akhir kriteria kawasan, ditetapkan delineasi (batas-batas) kawasan yang meliputi : batas fisik, batas karakeristik khusus, batas aktifitas/fungsi, batas arkeologi dan batas administrasi wilayah. Untuk lebih jelasnya alur pikir identifikasi penataan kawasan dapat dilihat pada gambar 6.2. Hal. IV - 6

120 Perencanaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) Stop T T Indikasi Kriteria DIRJEN PMD lansekap - Economic Signifikan - Cultura Signifikan - Variabel Signifikan Y Penataan Bangunan Penanganan Kawasan Kawasan - Economic Signifikan - Cultural Signifikan - Variabel Signifikan Penetapan Kawasan - Proses Penataan Kawasan - Penetapan - Pengaturan Variabel Penataan - Populasi - Ekonomi Y - Sosial - Budaya - Prasarana T Penataan Kawasan Gambar 4.2. Alur Pikir Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) Penanganan Penataan Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) Pendekatan penanganan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) dan sekitarnya, meliputi : 1. Ketentuan umum penanganan penataan kawasan dengan rincian materi: a. Kebijakan penanganan b. Strategi penanganan Hal. IV - 7

121 c. Pendekatan aspek kelembagaan d. Klasifikasi konversi 2. Teknik penanganan elemen kawasan dengan rincian materi : a. Penanganan kawasan b. Pengaturan Tata guna lahan c. Penangan fisik bangunan yang ada d. Penanganan Lansekap Kawasan 3. Rekomendasi teknis penanganan kawasan dengan rincian materi : a. Kawasan dan lingkungan sekeliling b. Elemen Arsitektur / arkeologi c. Sistem struktur bangunan d. Elemen eksterior / fasade bangunan e. Elemen interior bangunan f. Pembangunan fasilitas baru Tahapan penanganan penataan kawasan ini dapat dilihat pada gambar 4.3. Hal. IV - 8

122 Gambar 4.3. Tahapan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) Kawasan Perencanaan Ketentuan Umum Penataan Kawasan wisata - Kebijakan Penanganan - Strategi Penanganan - Pendekatan Aspek Kelembagaan - Prospek kawasan Teknis Penanganan Elemen Kawasan - Penanganan Kawasan - tata guna lahan - Penanganan Fisik Bangunan Rekomendasi Teknik Penanganan Kawasan Output Hasil Akhir Berkaitan dengan Tahapan Penyusunan Rencana Umum dan Detail Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) Pendekatan penyusuna rencana umum dan rencana detail penataan kawasan meliputi : 1. Pendekatan pengembangan rencana dengan rincian materi : a. Pengenalan kondisi fisik kawasan b. Pertimbangan dalan merancang kota / kawasan 2. Pendekatan rencana umum penataan kawasan dengan rincian materi : a. Rencana pengembangan tapak kawasan b. Rencana Tata hijau c. Rencana prasarana dan sarana penunjang Kawasan Hal. IV - 9

123 3. Pendekatan rencana detail penataan kawasan dengan rincian materi : a. Rencana peruntukkan lahan mikro b. Rencana perpetakan c. Rencana tapak d. Rencana sistem pergerakan e. Rencana prasarana dan sarana lingkungan f. Rencana wujud bangunan. Penyusunan Rencana Umum dan Rencana Detail Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) dapat dilihat pada gambar 6.4. Gambar 4.4. Tahapan Penyusunan Rencana Umum dan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa Kawasan Perencanaan Pendekatan Pengembangan Rencana Pengenalan Kondisi Fisik Kawasan Pertimbangan dalam Merancang Kota / Kawasan Rencana Umum Rancangan Perda Rencana Detail Hal. IV - 10

124 Penyusunan Program Pelaksanaan dan Program Investasi Penataan Kawasan Pendekatan penyusunan program pelaksanaan dan program investasi penataan kawasan dilakukan dengan rincian sebagai berikut : 1. Pendekatan prosedur penyusunan program dengan rincian materi sebagai berikut : a. Pendekatan program yang didalamnya memuat tentang program penataan kawasan, program indikasi ketersediaan sarana penunjang dan program investasi pembangunan b. Tahapan Kegiatan yang didalamnya memuat tentang bagan alir perencanaan program dan prosedur penyusunan program 2. Tahapan penyusunan program dengan rincian materi sebagai berikut : a. Perencanaan program meliputi outline program dan fungsi program b. Penyusunan dan pengelolaan data meliputi format dan peta dasar c. Analisis meliputi skala prioritas program dan kategori serta arahan program d. Penyusunan program meliputi penetapan skala prioritas program dan penyusunan program tahunan Manajemen Pelaksanaan Penataan Kawasan Pendekatan manajemen pelaksanaan penataan kawasan terdiri dari : 1. Pola pikir manajemen pelaksanaan penataan kawasan terdiri dari gambar bagan alir 2. Kelembagaan terdiri dari : Hal. IV - 11

125 a. Badan pengelola kawasan b. Forum kawasan di tingkat kota 3. Manajemen Pelaksanaan terdiri dari : a. Perencanaan b. Pelaksanaan c. Supervisi / Pengawasan d. Pengelolaan e. Evaluasi Gambar 4.5. Tahapan Penyusunan Program Pelaksanan Kawasan Perencanaan Panduan Prosedur Penyusunan Program - Pendekatan Progran - Tahapan Kegiatan Penyusunan Program - Perencanaan Program - Penyusunan dan Pengelolaan data - Analisis - Penyusunan Program Output Hasil Akhir 4.3 PENDEKATAN TEKNIK OPERASIONAL Pendekatan teknik operasional yang digunakan konsultan dimaksudkan untuk menjamin agar maksud dan tujuan pekerjaan ini akan dapat dicapai dengan menggunakan cara yang terbaik dan yang paling mungkin ditempuh, dengan tetap menjamin hasil kualitas keluarannya. Dengan demikian prinsip utama yang digunakan adalah bahwa setiap tenaga kerja yang terlibat dalam pekerjaan ini, Hal. IV - 12

126 bisa mengetahui dengan jelas tanggung jawab, tugas, kewenangan, metode kerja, penulisan laporan beserta dokumentasi yang diperlukan bagi terselenggaranya pekerjaan ini. Adanya pendekatan teknik operasional yang baik akan menjamin bahwa setiap tenaga kerja yang terlibat dalam pekerjaan ini akan mengetahui dengan jelas apa yang harus dikerjakan, bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan, kepada siapa harus bertanggung jawab dan kapan harus diselesaikan sesuai dengan jadwal waktu yang tersedia. Untuk menghasilkan pencapaian maksud dan tujuan pekerjaan ini, maka dalam pendekatan teknik operasional akan dilakukan langkah sebagai berikut: Tahap Persiapan Pada tahap ini akan dilakukan berbagai persiapan untuk melaksanakan pekerjaan. Beberapa kegiatan pokok yang dilakukan pada tahap ini adalah : 1. Mobilisasi personil : yaitu pelaksanaan rekruitmen tenaga ahli yang akan melaksanakan tugas sampai dengan proses pengerahan tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan. Tahap rekruitmen tenaga ahli ini perlu dilaksanakan dengan tepat agar kualitas tenaga ahli yang diperoleh mempunyai kualitas sebagaimana yang ditentukan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK). Segera setelah penandatanganan Surat Perintah Kerja dilakukan, konsultan akan memobilisasi tenaga ahli dan tenaga penunjang yang terlibat dalam pekerjaan ini. Ahli urban design yang berperan sebagai Team Leader akan berkoordinasi dengan tenaga-tenaga ahli yang lain dan pemberi tugas mengenai detail rencana kerja, sehingga jadwal yang telah ditentukan dalam proposal teknis dapat dicapai dengan menggunakan tenaga ahli yang diusulkan 2. Kaji ulang mengenai maksud, tujuan dan sasaran pekerjaan : yaitu pendalaman materi pekerjaan agar semua tenaga ahli yang terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan ini dapat Hal. IV - 13

127 memahami materi pekerjaan dengan baik. Pendalaman ini dilakukan dengan cara diskusi internal di lingkungan perusahaan konsultan. Kegiatan ini bertujuan untuk menyamakan persepsi yang dimiliki oleh konsultan dengan pemberi tugas, sehingga konsultan akan berjalan pada arah yang benar, sesuai seperti yang diinginkan oleh pemberi tugas. Pada kegiatan ini mungkin terjadi perubahan materi pekerjaan yang tidak begitu mendasar, namun tidak berakibat pada perubahan jadwal pelaksanaan yang sudah disepakati kedua belah pihak Tahap Studi Literatur Salah satu tahap yang penting dalam pelaksanaan pekerjaan ini yaitu studi literatur mengenai kebijakan dan strategi perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa). Walaupun sangat diyakini bahwa tenaga ahli yang terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan ini adalah profesional di bidang penataan kawasan khusus dengan karakteristik Sarana Peribadatan Kota, namun mengingat pengetahuan tentang penataan kawasan tersebut senantiasa berkembang, maka semua tenaga ahli yang terlibat harus melengkapi dengan literatur yang lebih baru. Literatur dapat berupa buku teks, hasil penelitian, laporanlaporan, ataupun jurnal yang berkaitan dengan kebijakan dan strategi penataan kawasan dengan karakteristik tersebut, yang meliputi : Data makro regional yang terdiri dari : - Kebijaksanaan sektoral - Kebijaksanaan spatial - Kebijaksanaan pengembangan sektoral - Kebijaksanaan pemanfaatan dan arah pengembangan ruang kota Hal. IV - 14

128 - Rencana Umum Tata Ruang Kota - Data regulasi, kebijaksanaan yang mendasari penataan kawasan Data mikro kota / kawasan yang terdiri dari : - Karakteristik dasar Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa). - Potensi dan permasalahan dasar Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa). - Kelembagaan dan keuangan daerah - Dan lain-lain Studi Literatur yang terdiri dari : - RTRW Nasional - RTRW Propinsi - RTRW Kabupaten/Kota - Petunjuk teknis - Laporan penataan kawasan di beberapa kawasan kota lain - Literatur lainnya yang terkait Tahap Survey Lapangan Tahap selanjutnya pelaksanaan pekerjaan ini adalah survey lapangan. Setelah hasil studi literatur dinilai cukup memadai, maka untuk memperoleh data dan informasi secara langsung mengenai kondisi di lapangan yang terkini, maka perlu dilakukan survey lapangan. Beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah : 1. Penentuan lokasi survey : lokasi survey yang ditentukan adalah kondisi kawasan di sekitar DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Hal. IV - 15

129 Desa), sesuai dengan arahan yang ada dalam Kerangka Acuan Kerja. 2. Persiapan survey dan wawancara : persiapan ini merupakan hal yang sangat penting, karena akan sangat menentukan terlaksananya tujuan survey dengan cara yang seefektif dan seefisien mungkin. Dengan dipersiapkannya secara matang materi yang akan digunakan pada saat survey dan wawancara, maka permasalahan yang ada akan mudah diidentifikasikan. Persiapan survey lapangan yang perlu dilakukan adalah : Menenentukan jadwal survey Membuat daftar data yang diperlukan untuk dipenuhi melalui survey sekunder Menentukan instansi-instansi yang akan dikunjungi, guna memperoleh data sekunder Mempersiapkan materi survey berupa kuisioner, maupun daftar pertanyaan untuk wawancara kepada sasaran. 3. Pelaksanaan survey lapangan : akan meliputi kegiatan kunjungan ke instansi terkait, kunjungan ke lapangan (lokasi pelaksanaan program penataan kawasan), serta mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan Tahap pelaporan hasil survey Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah melakukan kompilasi data dan evaluasi/klarifikasi data dan informasi yang diperoleh dari hasil survey lapangan. 1. Kompilasi Data : data yang dikumpulkan harus sesuai dengan maksud dan tujuan pekerjaan ini, yang penekanannya adalah pada penataan kawasan Sarana Peribadatan dalam konteks penyusunan Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana Hal. IV - 16

130 DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa). Data yang perlu dikumpulkan diantaranya adalah : plotting penggunaan tanah, plotting bangunan, sarana dan prasarana lingkungan, visualisasi obyek khusus kawasan, pergerakan manusia, alat transportasi dan lain sebagainya. 2. Evaluasi data : seluruh data yang terkait dengan penataan kawasan wisata dalam konteks penyusunan Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa), dari hasil studi literatur maupun hasil masukan dari survey dan wawancara dikompilasikan, kemudian dievaluasi dan dipilih mana yang dapat dipakai sebagai acuan untuk pekerjaan ini Tahap identifikasi permasalahan Aktifitas yang dilakukan pada tahap ini adalah mengidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan kondisi eksisting DIRJEN PMD sehingga melatar belakangi adanya penataan kawasan di lokasi tersebut, antara lain : Identifikasi vitalitas kawasan tersebut Identifikasi permasalahan penataan kawasan DIRJEN PMD. Identifikasi pertumbuhan jumlah pengunjung dan kaitannya dengan ketersediaan prasarana dan sarana yang tidak memadai Identifikasi ketersediaan lahan yang memungkinkan dijadikan ruang lansekap/pertamanan. Identifikasi ketersediaan lahan yang memungkinkan dijadikan sarana penunjang Hal. IV - 17

131 Tahap Analisis dan Evaluasi Dalam tahap ini terdapat beberapa komponen kegiatan kajian/analisis dengan kedalaman materi mencakup semua aspek atau data dasar (data kualitatif dan data kuantitatif) yang terkait dengan pekerjaan penyusunan Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) Adapun kedua komponen kajian tersebut adalah : Kajian/analisis terhadap vitalitas fungsional kawasan Kajian/analisis terhadap karakteristik khusus kawasan Kajian/analisis terhadap tata hijau kawasan Kajian/analisis terhadap penataan kawasan DIRJEN PMD. Setelah melalui kajian/analisis terhadap dua komponen kajian di atas, yang disertai dengan kajian/analisis materi pokok mengenai issue pembangunan nasional, tipikal potensi dan permasalahan kawasan Danau Raja, aspirasi pemerintah kota, unsur masyarakat dan swasta dalam semangat desentralisasi dan otonomi daerah disertai dengan paradigma baru dalam keterkaitan dengan pekerjaan tersebut, maka akan dirumuskan Konsep Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa), yang meliputi : Konsep rencana program perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) Konsep rencana program investasi dan program pelaksanaan Konsep rencana umum Konsep rencana detail Konsep rencana pengendalian pelaksanaan Hal. IV - 18

132 Konsep-konsep rumusan materi ini akan didiskusikan dalam forum rembug warga untuk menjaring masukan sebagai bahan penyempurnaan konsep rencana menjadi konsep final Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa Tahap perumusan dan Rekomendasi Dari hasil seluruh kajian/analisis yang dipadukan dengan rumusan konsep rencana penataan, disertai dengan hasil penyempurnaan konsep melalui forum sosialisasi warga, maka akan dikeluarkan rekomendasi materi Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa),dalam bentuk buku perencanaan, desain enginering dan Peraturan Daerah. Dari hasil rumusan rekomendasi materi Perencanaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa), tersebut akan dapat ditentukan strategi untuk menjabarkan materi pedoman teknis kegiatan tersebut di atas. 4.4 ANALISA PERENCANAAN a. Analisis Fisik Dasar Kawasan DIRJEN PMD Analisis Topografi, kontur lahan dan kesesuaian lahan perencanaan terhadap kondisi lingkungan; Analisis potensi dan kendala fisik dasar kawasan b. Analisis Struktur Ruang Kawasan : Analisis persentasi kebutuhan ruang terbangun dan tidak terbangun. Analisis persentasi pemanfaatan ruang terbangun dan tidak terbangun Analisis zonasi penggunaan lahan Hal. IV - 19

133 c. Analisis demografi/social - kependudukan Potensi kependudukan berdasarkan pertumbuhannya Potensi sumber daya manusia yang ada Distribusi persebaran penduduk d. Analisis Legal Konsolidasi Lahan Analisis kepemilikan lahan Analisis koefisien luas dan aturan pengembangan lahan berdasarkan koefisien terbangun Analisis pola konsolidasi lahan terpadu dalam rangka menunjang pembangunan e. Analisis Daya Dukung Prasarana dan Sarana Kawasan Jenis ketersediaan Fasilitas dan Utilitas Skala Fasilitas dan Utilitas f. Analisis SWOT g. Analisis Perancangan Lansekap dan Sarana Penunjang Kawasan 4.5 METODE GRAVITASI (PUSAT MASSA) Metode Gravitasi merupakan sebuah teknik matematis yang digunakan untuk menemukan lokasi yang paling baik untuk suatu titik/lokasi distribusi tunggal yang melayani beberapa Kab/Kota lainnya. Metode ini memperhitungkan jarak Kab/Kota dengan banyaknya desa, dan kebutuhan bangunan PMD. Konsep dasar dari analisis gravitasi adalah membahas mengenai ukuran dan jarak antara Kab/Kota dengan daerah sekitarnya. Metode ini banyak digunakan untuk penentual lokasi ideal pusat perdagangan, seperti halnya Blakely (1994: 105) yang menggunakan teknik ini untuk dapat menghitung kekuatan relatif dari hubungan komersial antara pusat pertumbuhan yang satu dengan pusat pertumbuhan yang lainnya. Hal. IV - 20

134 Analisis model gravitasi ini masih berkaitan dengan analisis scalogram, setelah diketahui kota kecamatan yang dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan maka langkah selanjutnya adalah menghitung indeks gravitasi pada masingmasing hinterland. Metode analisis model gravitasi ini digunakan untuk: (1) mengukur kekuatan keterkaitan antara Kab/Kota dengan lokasi gedung PMD; (2) menentukan kekuatan tempat kedudukan dari setiap lokasi gedung PMD, dengan mempertimbangkan jumlah desa, jarak antar provinsi, aksesibilitas (jumlah penerbangan), dan tingkat pelayanan gedung (kapasitas). Langkah menggunakan metode ini adalah sebagai berikut: 1) Tetapkan massa objek yang dalam hal ini adalah jumlah desa (dikali asumsi jumlah aparatur yang di wajibkan ikut pelatihan dalam 1 tahun). 2) Buka peta, tentukan suatu tempat sebagai titik origin kota/kabupaten. 3) Tempatkan lokasi-lokasi Gedung PMD pada suatu system koordinat dengan titik origin sebagai dasar. 4) Tentukan koordinat gudang distribusi dengan rumus: Dimana : dix = koordinat x lokasi i diy = koordinat y lokasi i Mi = Jumlah peserta pelatihan yang dipindahkan ke atau dari lokasi i Indeks ini berlaku relatif artinya jika indeks gravitasi suatu daerah hinterland (daerah A) dengan Kab/Kota tempat lokasi Gedung PMD X lebih besar dibandingkan dengan indeks gravitasi daerah A dengan Kab/Kota tempat lokasi Gedung PMD Y, maka daerah A tersebut akan dikategorikan sebagai daerah Hal. IV - 21

135 hinterlandnya Kab/Kota tempat lokasi Gedung PMD X. Posisi sebagai hinterland dari suatu daerah akan ditentukan berdasarkan besarnya indeks yang dihitung. Tingkat pelayanan untuk skala pelayanan sarana Gedung PMD Input Analisis Output : Data jarak jangkauan pelayanan sarana Gedung PMD : Analisis tingkat pelayanan untuk skala pelayanan sarana Gedung PMD dengan asumsi jumlah peseta dalam satu tahun, kemudahan akses, kapasitas gedung. : Tingkat pelayanan untuk skala pelayanan sarana Gedung PMD Langkah-langkah : 1. Penghitungan Jarak Pelayanan (Riyadi, 2003:136) Jpr (m)=mt x Jt/t 2. Konversi daya jangkauan riil ke dlm peta (Riyadi, 2003:136) Jpp (m) = (Jpr(m) x Sp) : Sr ( ) ( ( ) Keterangan: Jpr (m) Jpp (m) Mt Jt t Sp Sr = daya jangkau pelayanan riil maksimum = daya jangkau pelayanan dlm peta maksimum = batas waktu maksimum = jarak tempuh = waktu tempuh = skala peta = skala riil Hal. IV - 22

136 4.6 STANDAR UKURAN Ruang Kelas adalah suatu ruangan dalam bangunan sekolah, yang berfungsi sebagai tempat untuk kegiatan tatap muka dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM). Mebeler dalam ruangan ini terdiri dari meja siswa, kursi siswa, meja guru, lemari kelas, papan tulis, serta aksesoris ruangan lainnya yang sesuai. Ukuran yang umum adalah 9m x 8m. Ruang kelas memiliki syarat kelayakan dan standar tertentu, misalnya ukuran, pencahayaan alami, sirkulasi udara, dan persyaratan lainnya yang telah dibakukan oleh pihak berwenang terkait. Posisi kelas ada 2 yaitu kelas berpindah (moving class) dan kelas tetap (remaining class) KAJIAN TEORI A. Fasilitas Ruang Pembelajaran Teori Ruang kelas adalah ruang tempat berlangsungnya kegiatan pembelajaran secara tatap muka. Kegiatan pembelajaran ini dapat dalam bentuk ceramah, diskusi, tutorial, seminar dan lain sebagainya. Kapasitas maksimum ruang adalah 25 mahasiwa dengan standar kebutuhan luas ruang per peserta pelatihan : 2 m²/ peserta pelatihan. Setiap kampus perguruan tinggi menyediakan minimum satu buah ruang kelas besar yang memiliki kapasitas 80 peserta pelatihan dengan standar luas ruang 1,5 m²/ peserta pelatihan. Ruang kelas harus dilengkapi dengan perlengkapan sarana dan prasarana mencakup: meja kursi dosen, meja kursi peserta pelatihan, LCD Proyektor dan White Board. Menurut Suptandar (1995) disebutkan bahwa ruang kelas sebagai tempat interaksi antara dosen dan peserta pelatihan perlu dirancang sedemikian rupa sehingga tidak sekedar memenuhi fungsi, namun juga mampu memberikan perlindungan, kenyamanan dan rasa senang bagi penghuninya (dalam Tri Maryanto Putro: 2009). Hal. IV - 23

137 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ruang kelas adalah tempat berinteraksi antara dosen dengan peserta pelatihan dalam rangka pembelajaran,7 maka agar proses pembelajaran berjalan dengan baik maka ruang teori harus memilik tingkat kenyamanan yang baik. B. Kenyamanan Antropometrik 1. Data Antropometrik Vitruvius yang hidup di abad 1 SM pernah mengemukakan teorinya yang dikutip oleh Panero (2003) bahwa tubuh manusia dirancang sedemikan rupa sehingga secara alamiah membentuk perbandingan-perbandingan yang konstan, dengan pusat secara alamiah terdapat pada pusar. Sebagai contoh, ukuran wajah merupakan sepersepuluh bagian dari keseluruhan tinggi badannya. Panero juga menyebutkan bahwa antropometrik adalah ukuran anatomi manusia pada waktu melakukan aktifitas berikut kebutuhan ruang sirkulasi dan perlengkapan yang menyertai aktifitas tersebut. Misalnya ukuran manusia sedang berjalan, menulis bekerja dan sebagainya. Dalam hal ini ukuran anatomi yang dipakai adalah ukuran anatomi manusia setempat yang direncanakan akan melakukan aktifitas tersebut, misalnya manusia Asia, manusia Eropa dan sebagainya. Dengan menggunakan analisis antropometrik diharapkan manusia akan merasa nyaman dalam melakukan aktifitasnya. Dinyatakan oleh Panero (2003) bahwa antropometrik berdasarkan dimensi tubuh manusia yang mempengaruhi perancangan ruang terdiri atas dua jenis yaitu: 1) Antropometrik struktural, yang juga disebut antropometrik statik, yang mencakup pengukuran bagian-bagian tubuh dan anggota badan pada posisi standar atau statik. Hal. IV - 24

138 2) Antropometrik fungsional, yang juga disebut antropometrik dinamik, yaitu pengukuran yang diambil pada manusia pada saat posisi beraktifitas atau selama pergerakan yang dibutuhkan oleh suatu jenis pekerjaan. a. Penggolongan Data Antropometrik Data antropometrik, khususnya data antropometrik statik menurut Panero (2003) data statik antropometrik harus dibedakan berdasarkan suku bangsa dan umur manusia calon penghuninya. Sebagai contoh, data statik antropometrik manusia eropa akan berbeda dengan data statik antropometrik manusia asia, hal itupun dibedakan pula dalam hal umur. Khusus untuk manusia asia, juga telah dilakukan penelitian antropometrik statik khususnya data standing height (ketinggian total manusia rata-rata) oleh UNESCO (1977), yang membedakan manusia asia berdasarkan umur dan tingkat pendidikannya, yaitu tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Umum (SMU) dan pasca SMU. Gambar 6.1 Proporsi Tubuh Manusia Menurut Vitruvius (Sumber : Panero, 2003) Hal. IV - 25

139 Gambar 4.2 Berbagai ukuran tubuh manusia yang paling sering digunakan oleh perancang interior (Sumber : Panero, 2003) b. Antropometrika pada possi duduk Perancangan tempat duduk telah dikenal sejak jaman dahulu. Bangku, sebagai contoh, sudah dikembangkan sebagai salah satu jenis perabot yang berharga bagi bangsa Mesir sejak tahun 2050 SM dan kursi sejak 1600 SM. Selain keberadaannya yang sudah dikenal luas dan memiliki sejarah panjang, tampaknya tempat duduk merupakan elemen yang paling jarang dirancang dengan seksama. (Sumber : Dimensi manusia dan ruang interior, Julius Panero dan Martin Zelnik) Berikut ini adalah pedoman dimensi dimensi antropometrik yang dibutuhkan bagi perancangan kursi. Hal. IV - 26

140 Gambar 4.3 Pedoman dimensi-dimensi antropometrik yang dibutuhkan bagi perancang kursi (Sumber : Panero, 2003) 1) Tinggi Tempat Duduk Menurut Panero (2003), salah satu pertimbangan dasar dalam perancangan suatu tempat duduk adalah tinggi permukaan bagian atas dari landasan tempat duduk diukur dari permukaan lantai. Jika suatu landasan tempat duduk terlalu tinggi letaknya, bagian bawah paha akan tertekan. Hal ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan ganguan peredaran darah. Gambar 4.4. Landasan tempat duduk yang terlalu tinggi dapat menyebabkan paha tertekan dan peredaran darah terhambat. (Sumber : Panero, 2003) Hal. IV - 27

141 Jika letak landasan tempat duduk terlalu rendah dapat menyebabkan kaki terjulur kedepan sehingga stabilitas tubuh akan melemah. Namun seseorang yang bertubuh tinggi akan merasa lebih nyaman duduk di kursi dengan landasan tempat duduk rendah daripada seseorang yang bertubuh pendek duduk di kursi dengan landasan temmpat duduk yang tinggi. Gambar 4.5. Landasan tempat duduk yang letaknya terlalu rendah dapat menyebabkan kaki condong terjulur kedepan, menjauhkan tubuh dari keadaan stabil. (Sumber : Panero, 2003) 2) Kedalaman Tempat Duduk Menurut Panero (2003), pertimbangan dasar lainnya dalam perancangan kursi adalah kedalaman landasan tempat duduk (jarak yang diukur dari bagian depan sampai bagian belakang sebuah tempat duduk). Bila kedalaman landasan tempat duduk terlalu besar, bagian depan dari permukaaan atau ujung dari tempat duduk tersebut akan menekan daerah tepat dibelakang lutut, memotong peredaran darah di bagian kaki. Tekanan pada jaringan-jaringan akan menyebabkan iritasi dan ketidaknyamanan. Bahaya yang lebih besar adalah terjadinya penggumpalan darah atau thrombophlebitis jika subyek tidak mengubah posisi Hal. IV - 28

142 tubuhnya. Untuk menghindari ketidaknyamanan pada bagian kaki maka subyek akan mengubah posisi duduknya yaitu dengan cara memajukan posisi pantatnya dan hal ini menyebabkan punggung tidak dapat bersandar sehingga stabilitas tubuh melemah dan tenaga otot yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan tubuh akan semakin besar. Hasilnya adalah kelelahan, ketidaknyamanan dan sakit dipunggung. 3) Sandaran Punggung Menurut Panero (2003), walaupun ukuran, konfigurasi dan penempatan sandaran punggung merupakan pertimbangan utama yang diperlukan untuk menentukan kesesuaian antara kursi dan pemakainya, namun hal ini juga merupakan komponen data antropometrik yang paling sulit untuk diambil pengukurannya. Selain tersedianya berbagai pengukuran bagian tubuh yang diperlukan sebagai pedoman dasar rancangan bagian-bagian kursi, seperti tinggi tempat duduk, lebar tempat duduk, dan tinggi sandaran lengan, masih dibutuhkan lagi suatu data berkenaan dengan lumbar dan lengkungan tulang belakang. Sehubungan dengan hal ini, perlu diingat untuk membatasi pembahasan tentang sandaran punggung dan pedoman pokok dan beberapa penyamarataan. Fungsi utama dari daerah punggung adalah untuk menopang daerah lumbar atau bagian kecil dari puunggung, yaitu bagian bawah yang terbentuk cekung dari bagian pinggang sampai pertengahan punggung. Hal. IV - 29

143 Gambar 4.6. Fungsi utama dari sandaran pungung adalah penopang daerah lumbar, tetapi harus menediakan pula tempat tambahan untuk penonjolan daerah pantat. (Sumber: Panero, 2003) c. Besaran Ruang Menurut Suptandar dalam Tri Maryanto Putro (2009: 35) secara harfiah ruang bisa diartikan sebagai alam semesta yang dibatasi oleh atmosfer dan tanah dimana kita berpijak, sedangkan secara sempit ruang berarti suatu kondisi yang dibatasi oleh empat dinding yang bisa diraba, dirasakan keberadaannya. Penempatan bidang pembatas pada keempat sisi ruang bisa menimbulkan kesan bahwa ruang terasa sempit, luas, lebar, menyenangkan, menakutkan, formal dan sebagainya. Menurut Wina Tristiana dalam artikelnya Ruang ( ruang adalah daerah 3 dimensi dimana obyek dan peristiwa berada. Ruang memiliki posisi serta arah yang relatif, terutama bila suatu bagian dari daerah tersebut dirancang sedemikian rupa untuk tujuan tertentu. Menurut Josef Prijotomo dalam artikel Wina Tristiana Ruang adalah bagian dari bangunan yang berupa rongga, sela yang Hal. IV - 30

144 terletak diantara dua objek dan alam terbuka yang mengelilingi dan melingkupi kita. Tidak terlihat hanya dapat dirasakan oleh pendengaran, penciuman dan perabaan. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ruang adalah bagian dari bangunan yang dibatasi oleh empat dinding yang bisa diraba dan dirancang sedemikian rupa guna memenuhi tujuan tertentu yang telah ditentukan d. Analisis Kebutuhan Ruang Berdasarkan ketentuan dalam Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Tinggi, Program Pasca Sarjana dan Pendidikan Profesi (2011) disebutkan bahwa standar kebutuhan luas ruang per peserta pelatihan adalah 2 m²/ peserta pelatihan. Rumus perhitungan luas ruang teori menjadi: LRT = SPT X JPT Keterangan : LRT = Luas Ruang Teori SPT = Satuan Luas Standar Pemakai Ruang Teori (termasuk ruang sirkulasi) = 2 m² JPT = Jumlah Pemakai Ruang Teori Hal. IV - 31

145 Hal. IV - 32

146 Hal. IV - 33

147 Hal. IV - 34

148 4.7 TINJAUAN STANDAR PERENCANAAN BANGUNAN GEDUNG Peraturan Tentang Pembangunan Bangunan Gedung Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara yang terkait dengan penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Kampus BP3IP yang merupakan fasilitas pendidikan yang dibangun oleh negara meliputi ketentuanketentuan tentang: Standar Luas Bangunan Gedung Negara Dalam menghitung luas ruang bangunan gedung kantor yang diperlukan,dihitung berdasarkan ketentuan sebagai berikut: a) Standar luas ruang gedung kantor pemerintah yang termasuk klasifikas sederhana rata-rata sebesar 9 m2 per-personil; b) Standar luas ruang gedung kantor pemerintah yang termasuk klasifikasi tidak sederhana rata-rata sebesar 1 0 m2 per-personil; c) Untuk bangunan gedung kantor yang memerlukan ruang-ruang khusus atau ruang pelayanan masyarakat, kebutuhannya dihitung secara tersendiri (studi kebutuhan ruang) diluar luas ruangan untuk seluruh personil yang akan ditampung. Kebutuhan total luas gedung kantor dihitung berdasarkan jumlah personil yang akan ditampung dikalikan standar luas sesuai dengan klasifikasi bangunannya Persyaratan Teknis Secara umum, persyaratan teknis bangunan gedung negara mengikutiketentuan yang diatur dalam: Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di Perkotaan. Hal. IV - 35

149 Peraturari Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung; Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Aksesibilitas dan Fasilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan; Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor o6/prt/m/2007 tentang Pedoman Umum Penyusunan RTBL; Peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung; serta Standar teknis dan pedoman teknis yang dipersyaratkan. Persyaratan teknis bangunan gedung negara harus tertuang secara lengkap dan jelas pada Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) dalam Dokumen Perencanaan. Secara garis besar, persyaratan teknis bangunan gedung negara. A. Persyaratan Tata Bangunan dan Lingkungan Persyaratan tata bangunan dan lingkungan bangunan gedung Negara meliputi ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam pembangunan bangunan gedung negara dari segi tata bangunan dan lingkungannya, meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan/atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kabupaten/Kota atau Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung Kabupaten/Kota yang bersangkutan, yaitu: a) Peruntukan lokasi Setiap bangunan gedung negara harus diselenggara-kan sesuaidengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW Kabupaten/Kota dan/atau RTBL yang bersangkutan. Hal. IV - 36

150 b) Koefisien dasar bangunan (KDB) Ketentuan besarnya koefisien dasar bangunan mengikuti ketentuanyang diatur dalam peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung untuk lokasi yang bersangkutan. c) Koefisien lantai bangunan (KLB) Ketentuan besarnya koefisien lantai bangunan mengikuti ketentuan yang diatur dalam peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung untuk lokasi yang bersangkutan. d) Ketinggian bangunan Ketinggian bangunan gedung negara, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan daerah setempat tentang ketinggian maksimum bangunan pada lokasi, maksimum adalah 8 lantai. Untuk bangunan gedung negara yang akan dibangun lebih dan 8 lantai, harus mendapat persetujuan dari: 1. Menteri Pekerjaan Umum atas usul Menteri/Ketua Lembaga, untuk bangunan gedung negara yang pembiayaannya bersumber dan APBN dan/atau APBD; 2. Menteri Pekerjaan Umum atas usul Menteri Negara BUMN, untuk bangunan gedung negara yang pembiayaannya bersumber dan anggaran BUMN. e) Ketinggian langit-langit Ketinggian langit-langit bangunan gedung kantor minimum adalah 2,80 meter dihitung dari permukaan lantai. Untuk bangunan gedung olah raga, ruang pertemuan, dan bangunan lainnya dengan fungsi yang memerlukan ketinggian langit-langit khusus, agar mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dipersyaratkan. f) Jarak antar blok/massa bangunan Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung, maka jarak antar blok/massa bangunan harus mempertimbangkan hal-hal seperti: 1. Keselamatan terhadap bahaya kebakaran; 2. Kesehatan termasuk sirkulasi udara dan pencahayaan; Hal. IV - 37

151 3. Keriyamanari; 4. Keselarasan dan keseimbangan dengan lingkungan. g) Koefisien daerah hijau (KDH) Perbandingan antara luas area hijau dengan luas persil bangunangedung negara, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung, harus diperhitungkan dengan mempertimbangkan 1. daerah resapan air; 2. ruang terbuka hijau kabupaten/kota. Untuk bangunan gedung yang mempunyai KDB kurang dan 40%, harus mempunyai KDH minimum sebesar 15%. h) Garis sempadan bangunan Ketentuan besarnya ganis sempadan, baik garis sempadan bangunan maupun garis sempadan pagar harus mengikuti ketentuan yang diatur dalarn RTBL, peraturan daerah tentang bangunan gedung, atau peraturan daerah tentang garis sempadan bangunan untuk lokasi yang bersangkutan. i) Wujud arsitektur Wujud arsitektur bangunan gedung negara harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. mencerminkan fungsi sebagai bangunan gedung negara; 2. seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya; 3. indah namun tidak berlebihan; 4. efisien dalam penggunaan sumber daya baik dalarn pemanfaatan maupun dalam pemeliharaannya; 5. mempertimbangkan nilai sosial budaya setempat dalam menerapkan perkembangan arsitektur dan rekayasa; dan 6. mempertimbangkan kaidah pelestarian bangunan baik dañ segi sejarah maupun langgam arsitekturnya. Hal. IV - 38

152 j) Kelengkapan Sarana dan Prasarana Bangunan Bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan prasarana dansarana bangunan yang memadai, dengan bìaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pekerjaan non-standar. Prasarana dan sarana bangunan yang harus ada pada bangunan gedung negara, seperti: 1. Sarana parkir kendaraan; 2. Sarana untuk penyandang cacat dan lansia; 3. Sarana penyediaan air minum; 4. Sarana drainase, limbah, dan sampah; 5. Sarana ruang terbuka hijau; 6. Sarana hidran kebakaran halaman; 7. Sarana pencahayaan halaman; 8. Sarana jalan masuk dan keluar; 9. Penyediaan fasilitas ruang ibadah, ruang ganti, ruang bayi/ibu, toilet, dan fasilitas komunikasi dan informasi. k) Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K-3), serta Asuransi 1. Setiap pembangunan bangunan gedung negara harus memenuhi persyaratan K3 sesuai yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Bersarna Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: Kep.174/MEN/1986 dan 104/KPTS/ 1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Satuan Kerja Konstruksi, dan atan peraturan penggantinya; 2. Ketentuan asuransi pembangunan bangunan gedung negara sesuai dengan peraturan penindang-undangan. B. Persyaratan Bahan Bangunan Bahan bangunan untuk bangunan gedung negara harus memenuhi SNI yang dipersyaratkan, diupayakan menggunakan bahan bangunan setempat/produksi dalam negeri termasuk bahan bangunan sebagai bagian dan komponen bangunan sistem fabrikasi. Spesifikasi teknis bahan bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan: Hal. IV - 39

153 a. Bahan penutup lantai 1. Bahan penutup lantai menggunakan bahan teraso, keramik, papankayu, vinyl, marmer, homogenius tile dan karpet yang disesuaikan dengan fungsi ruang dan klasifikasi bangunannya; 2. Adukan/perekat yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis dan sesuai dengan jenis bahan penutup yang digunakan. b. Bahan dinding Bahan dinding terdiri atas bahan untuk dinding pengisi atau partisi, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Bahan dinding pengisi : batu bata, beton ringan, bata tela, batako,papan kayu, kaca dengan rangka kayu/alumínium, panel GRC dan/atau aluminium; 2. Bahan dinding partisi : papan kayu, kayu lapis, kaca, calsium board, particle board, dan/atau gypsum-board dengan rangka kayu kelas kuat II atau rangka lainnya, yang dicat tembok atau bahan finishing lainnya, sesuai dengan fungsi ruang dan kiasifikasi bangunannya; Adukan/perekat yang digunakan hams memenuhi persyaratan teknis dan sesuai jenis bahan dinding yang digunakan; Untuk bangunan sekolah tingkat dasar, sekolah tingkat lanjutan/menengah, rumah negara, dan bangunan gedung lainnya yang telah ada komponen pracetaknya, bahan dindingnya dapat menggunakan bahan pracetak yang telah ada. c. Bahan langit-langit Bahan langit-langit terdiri atas rangka langit-langit dan penutup langit langit: 1. Bahan kerangka langit-langit: digunakan bahan yang memenuhi standar teknis, untuk penutup langit-langit kayu lapis atau yang setara, digunakan rangka kayu Mas kuat II dengan ukuran minimum: Hal. IV - 40

154 o o o o 4/6 cm untuk balok pembagi dan balok penggantung; 6/12 cm untuk balok rangka utama; dan 5/10 cm untuk balok tepi; Besi hollow atau metal furring 40 mm x 40 mm dan 40 mm x 20 mm lengkap dengan besi penggantung 0 8 mm dan pengikatnya. Untuk bahan penutup akustik atau gypsum digunakan kerangka aluminium yang bentuk dan ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan; 2. Bahan penutup langit-langit: kayu lapis, aluminium, akustik, gypsum, atau sejenis yang disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunannya; 3. Lapisan finishing yang digunakan hams memenuhi persyaratan teknis dan sesuai dengan jenis bahan penutup yang digunakan. d. Bahan penutup atap 1. Bahan penutup atap bangunan gedung negara hams memenuhiketentuan yang diatur dalam SNI yang berlaku tentang bahan penutup atap, baik berupa atap beton, genteng, metal, fibreceinent, calcium board, sirap, seng, aluminium, maupun asbes/asbes gelombang. Untuk penutup atap dan bahan betori harus diberikan lapisan kedap air (water proofing). Penggunaan bahan penutup atap disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunan serta kondisi daerahnya; 2. Bahan kerangka penutup atap: digunakan bahan yang memenuhi Standar Nasional Indonesia. Untuk penutup atap genteng digunakan rangka kayu kelas kuat II dengan ukuran: o 2/3 cm untuk reng atau 3/4 cm untuk reng genteng beton; o 4/6 cm atau 5/7 cm untuk kaso, dengan jarak antar kaso disesuaikan ukuran penampang kaso. Bahan kerangka Hal. IV - 41

155 penutup atap non kayu: Gording baja profil C, dengan ukuran minimal 125 X50 X 20 X 3,2; o Kuda-kuda baja profil WF, dengan ukuran minimal 250 x150 X 8 x 7; o Baja ringan (light steel); Beton plat tebal minimum 12 cm. e. Bahan kosen dan daun pintu/jendela Bahan kosen dan daun pintu/jendela mengikuti ketentuan sebagai berikut: 1. digunakan kayu kelas kuat/kelas awet II dengan ukuran jadi minimum 5,5 cm x 11 cm dan dicat kayu atau dipelitur sesuai persyaratan standar yang berlaku; 2. rangka daun pintu untuk pintu yang dilapis kayu lapis/teakwood digunakan kayu kelas kuat II dengan ukuran minimum 3,5 cm X 10 cm, khusus untuk ambang bawah minimum 3,5 cm x 20 cm. Dauri pintu dilapis dengan kayu lapis yang dicat atau dipelitur; 3. Daun pintu panil kayu digunakan kayu kelas kuat/kelasawet II, dicat kayu atau dipelitur; 4. Daun jendela kayu, digunakan kayu kelas kuat/kelas awet II, dengan ukuran rangka minimum 3,5 cm x 8 cm, dicat kayu atau dipelitur; 5. Rangka pintu/jendela yang menggunakan bahan aluminium ukuran rangkanya disesuaikan dengan fungsi ruang dan kiasifikasi bangunannya; 6. Penggunaan kaca untuk daun pintu maupun jendela disesuaikan dengan fungsí ruang dan kiasifikasi bangunannya; 7. Kusen baja profil E, dengan ukuran minimal 150 X 50 X 20 X 3,2 dan pintu baja BJLS 100 diisi glas woll untuk pintu kebakaran. Hal. IV - 42

156 f. Bahan struktur Bahan struktur bangunan baik untuk struktur beton bertulang, strukturkayu maupun struktur baja harus mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Bahan Bangunan yang berkiku dan dihitung kekuatan strukturnya berdasarkan SNI yang sesuai dengan bahan/struktur konstruksi yang bersangkutan. Ketentuan penggunaan bahan bangunan untuk bangunan gedung negara tersebut dí atas, dimungkinkan disesuaikan dengan kemajuan teknologi bahan bangunan, khususnya disesuaikan dengan kemampuan sumberdaya setempat dengan tetap harus memperlimbangkan kekuatan dan keawetannya sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan. Ketentuan lebih rinci agar mengikuti ketentuan yang diatur dalam SNI. C. Persyaratan Struktur Bangunan Struktur bangunan gedung negara harus memenuhi persyaratan keselarnatan (safety) dan kelayanan (serviceability) serta SM konsfruksi bangunan gedung, yang dibuktikan dengan analisis struktur sesuai ketentuan. Spesifikasi teknis struktur bangunan gedung negara secara umum meliputi ketentuan-ketentuan: a. Struktur pondasi 1. Struktur pondasi harus diperhitungkan mampu menjamin kinerja bangunan sesuai fungsinya dan dapat menjamin kestabilan bangunan terhadap berat sendiri, beban hidup, dan gaya-gaya uar seperti tekanan angin dan gempa termasuk stabilitas lereng apabila didirikan di lokasi yang berlereng. Untuk daerah yang jenis tanahnya berpasir atau lereng denganm kemiringan di atas 15 jenis pondasinya disesuaikan dengan bentuk massa bangunan gedung untuk menghindari terjadinya Iikuifaksi (liqujfaction) pada saat terjadi gempa; 2. Pondasi bangunan gedung negara disesuaikan dengan kondisi tanah/lahan, beban yang dipikul, dan klasifikasi bangunannya. Untuk bangunan yang dibangun di atas tanah/lahan yang Hal. IV - 43

157 kondisinyamemerlukan penyelesaian pondasi secara khusus, maka kekurangan biayanya dapat diajukan secara khusus di luar biaya standar sebagai biaya pekerjaan pondasi non-standar; 3. Untuk pondasi bangurian bertingkat Lebih dan 3 lantai atau pada lokasi dengan kondisi khusus maka perhitungan pondasi harus didukung dengan penyelidikan kondisi tanah/lahan secara teliti. b. Struktur lantai Bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Struktur lantai kayu o dalam hal ini digunakan lantai papan setebal 2 cm, maka j arak antara balok-balok anak tidak boleh lebih dan 6o cm, ukuran balok minimum 6/12 cm; o balok-balok lantai yang masuk ke dalain pasangan dinding harus dilapis bahari pengawet terlebih dahulu; o bahan-bahan dan tegangan serta lendutan maksimum yang digunakan hams sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. 2. Struktur lantai beton o lantai beton yang diletakkan langsung di atas tanah, harus diberi lapisan pasir di bawahnya dengan tebal sekurangkurangnya 5 cm, dan lantai kerja dan beton tumbuk setebal 5 cm; o bagi pelat-pelat lantai beton bertulang yang mempunyai ketebalan Iebih dan 10 cm dan pada daerah balok (¼ bentang pelat) harus digunakan tulangan rangkap, kecuali ditentukan lain berdasarkan hasil perhitungan struktur; o bahan-bahan dan tegangan serta lendutan maksimum yang digunakan hams sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. 3. Struktur lantai baja o tebal pelat baja hams diperhitungkan, sehingga bila ada lendutan masih dalam batas kenyamanan; Hal. IV - 44

158 o o sambungan-sambungannya harus rapat betul dan bagian yang tertutup harus dilapis dengan bahan pelapis untuk mencegah timbulnya korosi; bahan-bahan dan tegangan yang digunakan hams sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. c. Struktur Kolom 1. Struktur kolom kayu o Dimensi kolom bebas diambil minimum 20 cm X 20 cm; o Mutu Bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. 2. Struktur kolom praktis dan balok pasangan bata: o besi tulangan kolom praktis pasangan minimum 4 buah 0 8 mm denganjarak sengkan maksimum 20 cm; o adukan pasangan bata yang digunakan sekurang kurangnya harus mempunyai kekuatan yan sama dengan adukan ipc: 3 PS; o Mutu bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. 3. Struktur kolom beton bertulang: o kolom beton bertulang yang dicor di tempat harus o mempunyai tebal minimum 15 cm diberi tulangan o minimum 4 buah 0 12 mm dengan jarak sengkang maksimum 15 cm; o selimut beton bertulang minimum setebal 2,5 cm; o Mutu bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. 4. Struktur kolom baja: o kolom baja harus mempunyai kelangsingan (A) o maksimum 150; o kolom baja yang dibuat dan profil tunggal maupun tersusun harus mempunyai minimum 2 sumbu simetris; o sambungan antara kolom baja pada bangunan bertingkat tidak boleh dilakukan pada tempat pertemuan antara balok Hal. IV - 45

159 dengan kolom, dan hams mempunyai kekuatan minimum sama dengankolom; o sambungan kolom baja yang menggunakan las harus menggunakan las listrik, sedangkan yang menggunakan baut hams menggunakan baut mutu tinggi; o penggunaan profil baja tipis yang dibentuk dingin, hams berdasarkan perhitungan-perhitungan yang memenuhi syarat kekuatan, kekakuan, dan stabiitas yang cukup; o Mutu bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan dalam SNI yang dipersyaratkan. 5. Struktur Dinding Geser o Dinding geser harus direncanakan unbik secara bersamasama dengan struktur secara keseluruhan agar mampu memikui beban yang diperhitungkan terhadap pengaruhpengaruh aksisebagai akibat dan beban-beban yang mungkin bekenja selama umur layanan struktur, baik beban muatan tetap maupun muatan beban sementara yang timbul akíbat gempa dan angin; o Dinding geser mempunyai ketebalan sesuai dengan ketentuan dalam SNI. d. Struktur Atap 1. Umum o konstruksi atap harus didasarkan atas perhitungan - perhitungan yang dilakukan secara keilmuan/keahlian teknis yang sesuai; o o keminingan atap harus disesuaikan dengan bahan penutup atap yang akan digunakan, sehingga tidak akan mengakibatkan kebocoran; bidang atap harus merupakan bidang yang rata, kecuali dikehendaki bentuk-bentuk khusus. Hal. IV - 46

160 2. Struktur rangka atap kayu o o o ukuran kayu yang digunakan harus sesuai dengan ukuran yang dinormalisir; rangka atap kayu harus dilapis bahan anti rayap; balian-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang diper-syaratkan. 3. Struktur rangka atap beton bertulang Mutu bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. 4. Struktur rangka atap baja o o o o sambungan yang digunakan pada rangka atap baja baik berupa baut, paku keling, atau las listrik harus memenuhi ketentuan pada Pedoman Perencanaan Bangunan Baja untuk Gedung; rangka atap baja harus dilapis dengan pelapis anti korosi; bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan; untuk bangunan sekolah tingkat dasar, sekolah tingkat lanjutan/menengah, dan rumah negara yang telah adakomponen fabrikasi, struktur rangka atapnya dapat menggunakan komponen prefabrikasi yang telah ada. Persyaratan struktur bangunan sebagaimana butir 3 huruf a s.d. d di atas secara lebih rinci mengikuti ketentuan yang diatur dalam SNI yang dipersyaratkan. e. Struktur Beton Pracetak 1. Komponen beton pracetak untuk struktur bangunan gedung Negara dapat berupa komponen pelat, balok, kolom dan/atau panel dinding; 2. Perencanaan komponen struktur beton pracetak dan sambungannya harus mempertimbangkan semua kondisi Hal. IV - 47

161 pembebanan dan kekangan deformasi mulai dan saat pabrikasi awal, hingga selesainya pelaksanaan struktiir, termasuk pembongkaran cetakan, penyimpanan, pengangkutan, dan pemasangan; 3. Gaya-gaya antar komponen-komponen struktur dapat disalurkan menggunakan sambungan grouting, kunci geser, sambungan mekanis, sambungan baja tulangan, pelapisan dengan beton bertulang cor setempat, atau kombinasi; 4. Sistem struktur beton pracetak boleh digunakan bila dapat ditunjukan dengan pengujian dan analisis bahwa sistem yang diusulkan akan mempunyai kekuatan dan ketegaran yang minimal sama dengan yang dimiliki oleh struktur beton monolit yang setara; 5. Komponen dart sistem lantai beton pracetak o o o Sistem lantai pracetak harus direncanakan agar mampu menghubungkan komponen struktur hingga terbentuk system penahan beban lateral (kondisi diafragma kaku). Sambungan antara diafragma dan komponen-komponen struktur yang ditopang lateral hams mempunyai kekuatan tank nominal minimal 45 KN/m; Komponen pelat lantai yang direncanakan komposit dengan beton cor setempat harus memiliki tebal minimum 50 mm; Komponen pelat lantai yang direncanakan tidak komposit dengan beton cor setempat hams memiliki tebal minimum 65 mm; 6. Komponen kolom pracetak hams memillki kuat tank nominal tidak kurang dan 1,5 luas penampang kotor (Ag dalam KN); 7. Komponen panel dinding pracetak harus mempunyai minimum duatulangan pengikat per panel dengan memiliki kuat tank nominal tidakkurang dan 45 KN pertulangan pengikat; 8. Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. Hal. IV - 48

162 f. Basemen 1. Pada galian basemen harus dilakukan perhitungan terinci mengenai keamanan galian; 2. Untuk dapat melakukan perhitungan keamanan galian, harus dilalnikan test tanah yang dapat mendukung perhitungan tersebut sesuai standar teknis dan pedoman teknis serta ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. Angka keamanan untuk stabilitas galian harus memenuhi syarat sesuai standar teknis dan pedoman teknis serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Faktor keamanan yang diperhitungkan adalah dalam aspek sistem galian, sistem penahan beban lateral, heave dan blow in; 4. Analisis pemompaan air tanah (dewatering) harus memperhatikan keamanan lingkungan dan memperhitungkan urutan pelaksanaan pekerjaan. Analisis dewatering perlu dilakukan berdasarkan parameter-parameter desain dan suatu uji pemompaan (pumping test); 5. Bagian basemen yang ditempati oleh peralatan utilitas bangunan yang rentan terhadap air harus diberi perlindungan khusus jika bangunan gedung negaraterletak di daerah banjir. D. Persyaratan Utilitas Bangunan Utilitas yang berada di dalam dan di luar bangunan gedung Negara harus memenuhi SNI yang dipersyaratkan. Spesifikasi teknis utilitas bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan: a) Air minum 1. Setiap pembangunan ban bangunan gedung negara hams dilengkapi dengan prasarana air minum yang memenuhi standar kualitas, cukup jumlahnya dan disediakan dan saluran air berlangganan kota (PDAM), atau sumur, jumlah kebutuhan minimum l00 it/orang/hari; 2. Setiap bangunan gedung llegara, selain rumah negara (yang bukan dalam bentuk rumah susun), hams menyediakan air minum untuk keperluan pemadaman kebakaran dengan Hal. IV - 49

163 mengikuti ketentuan SNIyang dipersyaratkan, reservoir minimum menyediakan air untuk kebutuhan 45 menit operasi pemadaman api sesuai dengan kebutuhan dan perhitungan; 3. Balian pipa yang digunakan dan pemasangannya hams mengikuti ketentuan teknis yang ditetapkan. b) Pembuangan air kotor 1. Pada dasarnya pembuangan air kotor yang berasal dan dapur, kamar mandi, dan tempat cuci, harus dibuang atan dialirkan ke saluran umum kota; 2. Semua air kotor yang berasal dan dapur, kamar mandi, dan tempat cuci, pembuangannya harus melalui pipa tertutup dan/atau terbuka sesuai dengan persyaratan yang berlaku; 3. Dalam hal ketentuan dalam butir i) tersebut tidak mungkin dilaksanakan, karena belum terjangkau oleh saluran umum kota atau sebab-sebab lain yang dapat diterima oleh instansi teknis yang berwenang, maka pembuangan air kotor harus dilakukan melalui proses pengolahan dan/atau peresapan; 4. Air kotor dan kakus harus dimasukkan ke dalam septictank yang mengikuti standar yang berlaku. c) Pembuangan limbah 1. Setiap bangunan gedung negara yang dalam pemanfaatannya mengeluarkan limbah domestik cair atau padat hams dilengkapi dengan tempat penampungan dan pengolahan limbah, sesuai dengan ketentuan; 2. Tempat penampungan dan pengolahan limbah dibuat dan bahan kedap 3. air, dan memenuhi persyaratan tekuis yang berlaku sehingga tidak 4. menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan; 5. Ketentuan lebih lanjut mengikuti SNI yang dipersyaratkan. Hal. IV - 50

164 d) Pembuangan sampah 1. Setiap bangunan gedung negara hams menyediakan tempat sampah dan penampungan sampah sementara yang besarnya disesuaikan dengan volume sampah yang dikeluarkan setiap harinya, sesuai dengan ketentuan, produk sampah minimum 3,0 It/orang/hari; 2. Tempat penampungan sampah sementara harus dibuat dan bahankedap air, mempunyai tutup, dan dapat dijangkau secara mudah oleh petugas pembuangan sampah dan Dinas Kebersihan setempat; 3. Gedung negara dengan fungsi tertentu (seperti: rumah sakit, gedung percetakan uang negara) harus dilengkapi incenerator sampah sendiri; 4. Ketentuan lebih lanjut mengikuti SNI yang dipersyaratkan. e) Saluran air hujan 1. Pada dasarnya air hujan harus ditahan lebih laina di dalam tanah sebelum dialirkan ke saluran umum kota, untuk keperluan penyediaan dan pelestarian air tanah; 2. Air hujan dapat dialirkan ke sumur resapan melalui proses peresapanatau cara lain dengan persetujuan instansi teknis yang terkait; 3. Ketentuan lebih lanjut mengikuti SNI yang dipersyaratkan. f) Sarana pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran Setiap bangunan gedung negara harus mempunyai fasiitas pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya kebakaran, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam: o Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan; dan Hal. IV - 51

165 o Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan dan Pencegahan Bahaya Kebakaran; beserta standar-standar teknis yang terkait. g) Instalasi listrik 1. Pemasangan instalasi listrik harus aman dan atas dasar hasil perhitungan yang sesuai dengan Peraturan Umum Instalasi Listrik; 2. Setiap bangunan gedung negara yang dipergunakan untuk kepentingan umum, bangunan khusus, dan gedung kantor tingkat Kementerian/Lembaga, harus memiliki pembangkit listrik darurat sebagai cadangan, yang catudayanya dapat memenuhi kesinambungan pelayanan, berupa genset darurat dengan minimum 40 % daya terpasang; 3. Penggunaan pembangkit tenaga listrik darurat harus memenuhi syarat keamanan terhadap gangguan dan tidak boleh menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, knalpot diberi silencer dan dinding rumah genset diberi peredam bunyi. h) Penghawaan dan pengkondisian udara 1. Setiap bangunan gedung negara harus mempunyai system penghawaan/ventilasi alami dan buatan yang cukup untuk menjamin sirkulasi udara yang segar di dalam ruang dan bangunan; 2. Dalam hal tidak dimungkinkan menggunakan sistem penghawaan atan ventilasi alami, dapat menggunakan sistem penghawaan buatan dan/atau pengkondisian udara dengan mempertimbangkan prinsip prinsip konservasi energi; 3. Pemilihan jenis alat pengkondisian udara harus sesuai dengan fungsi bangunan, dan perletakan instalasinya tidak mengganggu wujud bangunan; 4. Ketentuan teknis sistem penghawaan/ventilasi alami dan buatan serta pengkondisian udara yang lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis yang berlaku. Hal. IV - 52

166 i) Sarana transportasi dalam bangunan gedung 1. Setiap bangunan gedung negara bertingkat harus dilengkapi dengan sarana transportasi vertikal yang aman, nyaman, berupa tangga, ramp, eskalator, dan/atau elevator (uf); 2. Penempatan, jumlah tangga dan ramp hanis memperhatikan fungsi dan luasan bangunan gedung, konstruksinya hams kuat/kokoh, dan sudut kemiringannya tidak boleh melebihi 35, khusus untuk ramp aksesibilitas kemiringannya tidak boleh melebihi 70; 3. Penggunaan eskalator dapat dipertimbangkan untuk pemenuhan kebutuhan khusus dengan memperhatikan keselamatan pengguna dan keamanan konstruksinya; 4. Penggunaan uf hams diperhitungkan berdasarkan fungsi bangunan, jumlah pengguna, waktu tunggu, dan jumlah lantai bangunan; 5. Pemiihan jenis uf harus mempertimbangkan kemudahan bagi penyandang cacat, lanjut usia dan kebuttihan khusus; 6. Salah satu ruang uf harus menggunakan selubung if dengan dinding tahan api yang dapat digunalšan sebagai lifkebakaran; 7. Keterituan teknis tangga, ramp, eskalator dan elevator (Tif) yang lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis yang berlaku. j) Fasilitas dan Aksesibiitas pada Bangunan Gedung Permen PU Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitasdan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan mernuat: 1. Pancuran bagi penyandang di dalam Toilet Umum pada Bangunan Gedung Umum, kecuali Asrama Taruna. Hal. IV - 53

167 Gambar 4.7. Potongan Bilik Pancuran 2. Wastafel Hal. IV - 54

168 Gambar 4.8. Jarak Jangkau Pintu dan Jendela Hal. IV - 55

169 4.9 Gambar Perletakan Alat Elektronik dan Toilet Hal. IV - 56

170 Gambar Meja bujusangkar dan meja persegi panjang Hal. IV - 57

171 Gambar rambu dan markas 11. Ramp untuk Penyandang Cacat Kemiringan ramp diluar gedung tidak melebihi 6 atau setiap i m panjang, naik max. 10 cm dan didalam gedung tidak boleh melebihi 7 atau setiap 1 m panjang, naik max. 12 cm. Panjang mendatar dan satu ramp di luar gedung tidak boleh melebihi 900 cm. Lebar minimum dart ramp adalah 95 cm tanpa tepian pengaman dan 120 cm dengan tepian pengaman. Tepian pengaman sendiri mempunyai tinggi 10 cm dan lebar 15 cm. Bordes atau permukaan datar pada awalan atau akhiran dan suatu ramp mempunyai ukuran minimum i6o cm. Tekstur semua jalur dan bordes tidak boleh licin atau menggunakan bahan yang bisa berlumut jika terkena hujan. Ramp harus dilengkapi dengan penerangan yang cukup. Ramp harus dilengkapi dengan pegangan rambatan atau handrail. k) Sarana komunikasi 1. Pada prinsipnya, setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan sarana komunikasi intern dan ekstern; 2. Penentuan jeflis dan jumlah sarana komunikasi harus berdasarkan pada fungsi bangunan dan kewajaran kebutuhan; Hal. IV - 58

172 3. Ketentuan lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis. l) Sistem Penangkal/proteksi petir 1. Penentuan jenis dan jumlah sarana sistem penangkal/proteksi petir untuk bangunan gedung negara harus berdasarkan perhitungan yangmengacu pada lokasi bangunan, fungsi dan kewajaran kebutuhan; 2. Ketentuan teknis sistem penangkal/proteksi petir yang lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis. m) Instalasi gas 1. Instalasi gas yang dimaksud meliputi: o instalasi gas pembakaran seperti gas kota dan gas elpiji; o instalasi gas medis, seperti gas oksigen (02), gas di nitro oksida(n20), gas carbon dioksida (C02) dan udara tekan medis. 2. Ketentuan teknis instalasi gas yang lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis. n) Kebisingan dan getaran 1. Bangunan gedung negara harus memperhitungkan batas tingkat kebisingan dan atau getaran sesuai dengan fungsinya, dengan mempertimbangkan kenyamanan dan kesehatan sesuai diatur dalam standar teknis yang dipersyaratkan; 2. Untuk bangunan gedung negara yang karena fungsinya mensyaratkan baku tingkat kebisingan dan/atau getaran tertentu, agar mengacu pada hasil analisis mengenai dampak lingkungan yang telah dilakukan atau ditetapkan oleh ahli. Hal. IV - 59

173 o) Aksesibiitas dan fasilitas bagi penyandang cacat dan yang berkebutuhan khusus 1. Bangunan gedung negara yang berfungsi untuk pelayanan umum harus dilengkapi dengan fasiitas yang memberikan kemudahan bagipenyandang cacat dan yang berkebutuhan khusus antara lain lansia, ibu hamil dan menyusui, seperti rambu dan marka, parkir, ram, tangga, lif, kamar mandi dan peturasan, wastafel, jalur pemandu, telepon, dan ruang ibu dan anak; 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai aksesibilitas bagi penyandang cacat dan yang berkebutuhan khusus mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Aksesibilitas dan Fasilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. E. Persyaratan Sarana Penyelamatan Setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan sarana penyelamatan dari bencana atau keadaan darurat, serta hanis memenuhi persyaratan standar sarana penyelamatan bangunan sesuai SNI yangdipersyaratkan. Spesifikasi teknis sarana penyelamatan bangunan gedungnegara meliputi ketentuan-ketentuan: 1. Tangga Darurat o Setiap bangunan gedung negara yang brtingkat lebih dari 3 lantai, harus mempunyai tangga darurat/penyelamatan minimal 2 buah dengan jarak maksimum 45 m (bila menggunakan sprinkler jarak bias 1,5 kali); o Tangga darurat/penyelamatan harus dilengkapi dengan pintu tahan api, minimum 2 jam, dengan arah pembukaan ke tangga dan dapat menutup secara otomatis dan dilengkapi dan untuk memberi tekanan positif. Pintu harus dilengkapi dengan lampu dan petunjuk KELUAR atau EXIT yang menyala saat listrik/pln mati. Lampu exit dipasok dati baten UPS terpusat; Hal. IV - 60

174 o Tangga darurat/penyelamatan yang terletak di dalam bangunari harus dipisahkan dan ruang-ruang lain dengan pintu tahan api dan bebas asap, pencapaian mudah, serta jarak pencapaian maksimum 45 m dan min 9 m; o Lebar tangga darurat/penyelamatan minimum adalah 1,20 m; o o Tangga darurat/penyelamatan lidak boleh berbentuk tangga melingkar vertikal, exit pada lantai dasar langsung kearah luar; Ketentuan lebih lanjut tentang tangga darurat/penyelamatan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar teknis. 2. Pintu darurat o Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat Iebih dan 3 lantai harus dilengkapi dengan pintu darurat minimal 2 buah; o Lebar pintu darurat minimum 100 cm, membuka ke arah tangga penyelamatan, kecuali pada lantai dasar membuka kearah luar (halaman); o Jarak pintu darurat maksimum dalarn radius/jarak capai 25 meter dan setiap titik posisi orang dalam satu blok bangunan gedung; o Ketentuan lebih lanjut tentang pintu darurat mengikuti ketentuan ketentuan yang diatur dalam standar yang dipersyaratkan. 3. Pencahayaan darurat dan tanda penunjuk arah EXIT o Setiap bangunan gedung negara untuk pelayanan dan kepentingan umum seperti: kantor, pasar, rumah sakit, rumah negara bertingkat (rumah susun), asrama, sekolah, dan tempat ibadah harus dilengkapi dengan pencahayaan darurat dan tanda penunjuk arah KELUAR/EXIT yang menyala saat keadaan darurat; Hal. IV - 61

175 o o Tanda KELUAR/EXIT atau panah penunjuk arak harus ditempatkan pada persimpangan koridor, jalan ke luar menuju ruang tangga darurat, balkon atau teras, dan pintu menuju tangga darurat; Ketentuan lebih lanjut tentang pencahayaan darurat dan tanda penunjuk arah KELUAR/EXIT yang lebih rinci hams mengikuti standar dan pedoman tekuis. 4. Koridor/selasar o Lebar koridor bersih minimum 1,80 m; o o o Jarak setiap titik dalam koridor ke pintu darurat atau arah keluar yang terdekat tidak boleh lebih dan 25 m; Koridor hams dilengkapi dengan tanda-tanda penunjuk yang menunjukkan arah ke pintu darurat atau arah keluar; Panjang gang buntu maximum 15 m apabila dilengkapi dengan sprinkler dan 9 m tanpa sprinkler. 5. Sistem Peringatan Bahaya o o Setiap bangunan gedung negara untuk pelayanan dan kepentingan umum seperti: karitor, pasar, rumah sakit, rumah negara bertingkat (rumah susun), asrama, sekolah, dan tempat ibadah hams dilengkapi dengan sistem kornunikasi internal dan sistem peringatan bahaya; Sistem peringatan bahaya dan komunikasi internal tersebut mengacu pada ketentuan SNI yang dipersyaratkan. 6. Fasilitas Penyelamatan Setiap lantai bangunan gedung negara hams diberi fasilitas penyelamatan berupa meja yang cukup kuat, sarana evakuasi yang memadai sebagai fasilitas perlindungan saat terjadi bericana mengacu pada ketentuan SNI yang dipersyaratkan. Penerapan persyaratan teknis bangunan gedung negara sesuai kiasifikasinya Hal. IV - 62

176 tertuang dalam Tabel Ai, sedangkan persyaratan teknis khusus untuk rumah negara tertuang dalam Tabel A Standar Perencanaan Arsitektur untuk Bangunan Gedung Berdasarkan standar perencanaan arsitektur Architect s Data (Neufert, 2000) dan Metric Handbook Planning and Design Data (Little field, 2008) yang dapat diacu untuk penyusunan program ruang bangunan gedung untuk PIP Semarang sebagai fasiitas pendidikan adalah sebagai berikut: A. Sirkulasi/Akses Pemadam Kebakaran Berdasarkan Permen PU no.26 tahun 2008 poin ketentuan standar akses pemadam kebakaran bangunan gedung adalah sebagai berikut: 1. Akses petugas pemadam kebakaran dibuat melalui dinding luar untuk operasi pemadaman dan penyelamatan. Bukaan tersebut harus siap dibuka dan dalam dan luar atau terbuat dan bahan yang rnudah dipecahkan, dan senantiasa bebas hambatan selama bangunan gedung dihuni ataudioperasikan. 2. Akses Petugas Pemadam Kebakaran harus diberi tanda segitiga warna merah atau kuning dengan ukuran tiap sisi minimum 150 mm dan diletakkan pada sisi luar dinding dan diberi tulisan AKSES PEMADAM KEBAKARAN - JANGAN DIHALANGI dengan ukuran tinggi minimal 50 mm. Ketentuan ini tidak dipersyaratkanuntuk bangunan gedung hunian rumah tinggal satu atau dua keluarga. Gambar Tanda Bukaan (gambar dan tulisan berwarna merah) disisi dalam Hal. IV - 63

177 Gambar Ukuran Bukaan 3. Ukuran akses petugas pemadam kebakaran tidak boleh kurang dan 85 cm lebar dan 100 cm tinggi, dengan tinggi ambang bawah tidak lebih dan 100 cm dan tinggi ambang atas tidak kurang dan 180 cm di atas permukaan lantal bagian dalam. Lebih lanjut untuk standar perencanaan terkait akses pemadam kebakaran dapat diihat pada Permen PU no.26 tahun 2008 pada poin-poin berikutnya selain yang telah dijelaskan diatas. B. Koridor Luasan koridor dihitung berdasarkan kebutuhan jumlah manusia yang dimungkinkan melewati koridor. Beberapa standar yang diambil sebagai acuan adalah sebagai berikut: Hal. IV - 64

178 Gambar Kebutuhan Luasan kelompok secara bedekatan (satuan millimeter) Hal. IV - 65

179 C. Kamar Asrama Gambar Tampak dan Denah Tempat tidur Hal. IV - 66

180 Gambar Contoh tatanan ruang tidur Hal. IV - 67

181 D. Bangunan Kantor/Administrasi Perhitungan uasan ruang kantor adalah berdasarkan kebutuhan besaran luasan furnitur kantor dan sirkulasi dan aktifitas manusia. Beberapa contoh standar luasan yang bisa menjadi acuan adalah sebagai berikut; Gambar Standar luasan untuk meja kursi, meja berkas, meja bersama (Satuan Milimeter) Hal. IV - 68

182 Gambar Potongan contoh standar ruang kantor (dalam satuan meter) Hal. IV - 69

183 Gambar standar ukuran furniture dan ruang sirkulasi Untuk acuan luasan yang dibutuhkan ruang konferensi atau ruang rapat dapat juga dilihat berdasarkan standar yang terdapat dalam Time-Saver Standards for Interior Design and Space Planning (Malestrom) seperti yang diilustrasikan melalui gambar dibawah ini: Hal. IV - 70

184 Standar luasaran kebutuhan ruang rapat untuk 8 orang untuk penambahan setiap 1 orang maka luasan ruaiig rapat pada gambar 2.14 diatas dapat ditambah sebesar % atau dapat dihitung kembali secara manual dengan besaran luasan 1 orang ditambah luasan meja sesuai luasan ruang geraknya sebagaimana telah ditunjukkan pada gambar-gambar luasan di atas. Berikut beberapa acuan untuk standar ruang rapat informal dan formal yang terdapat dalamang terdapat didalam Metric Handbook Planning and Design Data (Littlefield, 2008) Hal. IV - 71

185 Gambar Kebutuhan luasan ruang rapat informal Hal. IV - 72

186 Gambar Kebutuhan luasan sirkulasi aktifitas kantor E. Ruang Kelas Pembangunan gedung untuk setiap kegiatan pendidikan harus mempertimbangkan kekuatan, keamanan, kenyamanan, serta kemampuan keuangan. Hal. IV - 73

187 1) Ruang kelas dan ruang lain untuk menunjang proses pembelajaran harus memberikan kenyamanan kepada pengguna. 2) Rasio ruang kelas harus sesuai dengan Peraturan Departemen Pendidikan Nasional RI (setiap lokal berukuran 7 x 9 meter). 3) Pengadaan peralatan dan perlengkapan lain ruang kelas dan ruang lain untuk menunjang proses pembelajaran harus mempertimbangkan kebutuhan dan keefektifan penggunaanya serta kemampuan keuangan. 4) Standar keragaman jenis peralatan laboratorium teknik mesin, teknik sipil, teknik elektro, laboratorium bahasa, laboratorium komputer, dan peralatan pembelajaran lain pada satuan pendidikan dinyatakan dalam daftar yang berisi jenis minimal peralatan yang harus tersedia. 5) Standar jumlah peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rasio minimal jumlah peralatan per peserta didik. 6) Standar rasio luas bangunan ruang kelas per peserta didik dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri (0,5 M2). 7) Standar kualitas bangunan minimal pada satuan pendidikan tinggi adalah kelas A. 8) Pada daerah rawan gempa bumi atau tanahnya labil, bangunan satuan pendidikan harus memenuhi ketentuan standar bangunan tahan gempa. 9) Standar kualitas bangunan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), dan (5) mengacu pada ketetapan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum. Hal. IV - 74

188 F. Ruang Kuliah dan Seminar Untuk perhitungan luasan ruang seminar atau perkuliahan dapat dihitung juga menggunakan beberapa ketentuang yang sebelumnýa yang disesuaikan dengan jumlah dan pola sirkulasi manusia di dalamnya. Gambar Beberapa Standar pola ruang seminar yang dapat dihitung dengan luasan yang telah ditetapkan diatasnya Hal. IV - 75

189 Gambar Ruang Kuliah dan area pengajar/dosen G. Toilet Hal. IV - 76

190 Gambar WC dan ruang aktifitas Gambar lebar minimum sirkulasi toilet pada bangunan publik Hal. IV - 77

191 Gambar luasan umum untuk WC dewasa, anank-anak, dan WC berkebutuhan khusus Hal. IV - 78

192 H. Meja makan Gambar Meja persegi, denah persegi Hal. IV - 79

193 Gambar Luasan minimum antar meja untuk duduk Hal. IV - 80

194 I. Auditorium Gambar Luasan dan Jarak serta ketinggian tempat duduk Hal. IV - 81

195 Gambar Jarak dan sudut pandang ke area stage atau layar Hal. IV - 82

196 Gambar Kenyamanan maksimum perpuyaran kepala dari garis tengah adalah sebesar 30 derajat Hal. IV - 83

197 4.8 PERSYARATAN UMUM PENCAHAYAAN Pencahayaan buatan Pencahayaan buatan harus memenuhi 1. Tingkat pencahayaan minimal yang direkomendasikan tidak boleh kurang dari tingkat pencahayaan pada tabel Daya listrik maksimum per meter persegi tidak boleh melebihi nilai sebagaimana tercantum pada tabel 2 kecuali : a. pencahayaan untuk bioskop, siaran TV, presentasi audio visual dan semua fasilitas hiburan yang memerlukan pencahayaan sebagai elemen teknologi utama dalam pelaksaanan fungsinya. b. pencahayaan khusus untuk bidang kedokteran. c. fasilitas olahraga dalam ruangan (indoor). d. pencahayaan yang diperlukan untuk pameran di galeri, museum, dan monumen. e. pencahayaan luar untuk monumen. f. pencahayaan khusus untuk penelitian di Laboratorium. g. pencahayaan darurat. h. ruangan yang mempunyai tingkat keamanan dengan risiko tinggi yang dinyatakan oleh peraturan atau oleh petugas keamanan dianggap memerlukan pencahayaan tambahan. i. ruangan kelas dengan rancangan khusus untuk orang yang mempunyai penglihatan yang kurang, atau untuk orang lanjut usia. j. pencahayaan untuk lampu tanda arah dalam bangunan gedung; k. jendela peraga pada toko/etalase. l. kegiatan lain seperti agro industri (rumah kaca), fasilitas pemrosesan dan lain-lain. 3. Pengunaan energi yang sehemat mungkin dengan mengurangi daya terpasang, melalui Hal. IV - 84

198 a. pemilihan lampu yang mempunyai efikasi lebih tinggi dan menghindari pemakaian lampu dengan efikasi rendah. Dianjurkan menggunakan lampu fluoresen dan lampu pelepasan gas lainnya. b. pemilihan armatur yang mempunyai karakteristik distribusi pencahayaan sesuai dengan penggunaannya, mempunyai efisiensi yang tinggi dan tidak mengakibatkan silau atau refleksi yang mengganggu. c. pemanfaatan cahaya alami siang hari. 4. Penerangan dan pencahayaan a. Setiap bangunan gedung negara harus mempunyai pencahayaan alami dan pencahayaan buatan yang cukup sesuai dengan fungsi ruang dalam bangunan tersebut, sehingga kesehatan dan kenyamanan pengguna bangunan dapat terjamin; b. Ketentuan teknis dan besaran dan pencahayaan alami dan pencahayaan buatan mengikuti standar dan pedoman teknis yang berlaku. Hal. IV - 85

199 Tabel 6.1. Tingkat pencahayaan rata-rata, renderansi dan temperatur warna yang direkomendasikan Hal. IV - 86

200 Tabel Lanjutan Hal. IV - 87

201 Tabel 6.2. Daya Listrik Maksimum Untuk Pencahayaan Hal. IV - 88

202 Pencahayaan alami Pencahayaan alami siang hari harus memenuhi ketentuan sebagai berikut a. cahaya alami siang hari harus dimanfaatkan sebaik-baiknya; b. dalam pemanfaatan cahaya alami, masuknya radiasi matahari langsung ke dalam bangunan harus dibuat seminimal mungkin. Cahaya langit harus diutamakan dari pada cahaya matahari langsung; c. pencahayaan alami siang hari dalam bangunan gedung harus memenuhi ketentuan SNI tentang "Tata cara perancangan pencahayaan alami siang hari untuk rumah dan gedung-gedung. 4.9 PERHITUNGAN DAN OPTIMASI PEMAKAIAN DAYA LISTRIK Prosedur perhitungan dan optimasi pemakaian daya listrik Prosedur umum perhitungan besamya pemakaian daya listrik untuk sistem pencahayaan buatan dalam rangka penghematan energi sebagai berikut (gambar 1) : a. tentukan tingkat pencahayaan rata-rata (lux) sesuai dengan fungsi ruangan (tabel 1); b. tentukan sumber cahaya (jenis lampu) yang paling efisien (efikasi tinggi) sesuai dengan penggunaan termasuk renderasi warnanya; c. tentukan armatur yang efisien; d. tentukan tata letak armatur dan pemilihan jenis, bahan, dan warna permukaan ruangan (dinding, lantai, langit-langit); e. hitung jumlah Fluks luminus (lumen) dan jumlah lampu yang diperlukan; f. tentukan jenis pencahayaan, merata atau setempat; Hal. IV - 89

203 g. hitung jumlah daya terpasang dan periksa apakah daya terpasang per meter persegi ticlak melampaui angka maksimum yang telah ditentukan pada tabel 2; h. rancang sistem pengelompokan penyalaan sesuai dengan letak lubang cahaya yang dapat dimasuki cahaya alami siang hari; i. rancang sistem, pengendalian penyalaan yang dapat menyesuaikan atau memanfaatkan pencahayaan alami secara maksimal yang masuk ke dalam ruangan Kualitas warna cahaya Kualitas warna cahaya dibeclakan menjadi: a. Warna cahaya lampu (Correlated Colour Temperature = CCT). Warna cahaya lampu tidak merupakan indikasi tentang efeknya terhadap warna obyek, tetapi lebih kepacla memberi suasana. Warna cahaya lampu dikelompokkan menjadi : 1. Warna putih kekuning-kuningan (warm-white), kelompok 1 (< K); 2. Warna putih netral (cool-white), kelompok 2 ( K K); 3. Warna putih (dayligho, kelompok 3 (> K); Pemilihan warna lampu bergantung pada tingkat iluminansi yang diperlukan agar diperoleh pencahayaan yang nyaman. Makin tinggi tingkat iluminansi yang diperlukan, maka warna lampu yang digunakan adalah jenis lampu dengan CCT sekitar > K (daylight) sehingga tercipta pencahayaan yang nyaman. Sedangkan untuk kebutuhan tingkat iluminansi yang tidak terlalu tinggi, maka warna lampu yang digunakan < K (warm white). Hal. IV - 90

204 Gambar Prosedur perencanaan teknis sistem pencahayaan buatan Hal. IV - 91

205 b. Renderasi warna Efek suatu lampu kepada warna obyek akan berbeda-beda. Lampu diklasifikasikan dalam kelompok renderasi warna yang dinyatakan dengan Ra indeks. sebagai berikut 1. Efek warna kelompok 1: Ra indeks %. 2. Efek warna kelompok 2: Ra indeks 60 80%. 3. Efek warna kelompok 3: Ra indeks 40-60%. 4. Efek warna kelompok 4: Ra indeks < 40%. 5.2 Perhitungan tingkat pencahayaan alami siang hari Perancangan pencahayaan alami yang hemat energi dilakukan sebagai berikut: tentukan faktor pencahayaan siang hari atau faktor langit minimum yang diperlukan pada titik-titik yang dipilih sesuai dengan fungsi ruangan. gunakan Cara perhitungan faktor langit dan faktor pencahayaan siang hari sesuai SNI tentang "Tata cara perancangan penerangan alami siang hari untuk rumah dan gedung". tentukan lubang cahaya yang dapat di buka sesuai ketentuan ventilasi PENGOPRASIAN DAN PEMELIHARAAN Pengoperasian 1. Penempatan alat kendali a. Semua alat pengendali pencahayaan diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau dan mudah dilihat. b. Sakelar yang melayani ruang kerja apabila mudah dijangkau dapat dipasang sebagai bagian dari armatur yang digunakan untuk menerangi ruang kerjanya. Hal. IV - 92

206 c. Sakelar yang mengendalikan beban yang sama pada lebih dari satu lokasi tidak d. boleh dihitung sebagai tambahan jumlah sakelar pangendali. Hal-hal yang tidak diatur dalam ketentuan pengendalian pencahayaan adalah pengendalian pencahayaan yang mengatur suatu area kerja yang luas secara keseluruhan sesuai dengan kebutuhan- pencahayaan dan pengendali dapat dipusatkan di tempat lain (termasuk lobi umum dari gedung perkantoran, hotel, rumah sakit, pusat perbelanjaan dan gudang; pengendalian otomatis atau pengendalian yang dapat di program; pengendalian yang memerlukan operator terlatih; 2. Pengendalian sistem pencahayaan a. Semua sistem pencahayaan bangunan gedung harus dapat dikendalikan secara manual atau otomatis, kecuali yang terhubung dengan sistem darurat. b. Ketentuan pengendalian cahaya sebagai berikut : setiap pemasangan partisi yang membentuk ruangan harus dilengkapi minimum satu sakelar "ON/OFF" untuk setiap ruangan; area dengan luas maksimum 30 m2 harus dilengkapi dengan satu sakelar, untuk satu macam pekerjaan atau satu kelompok pekerjaan; pencahayaan luar bangunan dengan waktu operasi kurang dari 24 jam terus menerus, harus dapat dikendalikan secara otomatis dengan pengatur waktu (timer), photocell atau gabungan keduanya; area yang pencahayaan alaminya tersedia dengan cukup, sebaiknya dilengkapi dengan sakelar pengendali otomatis Hal. IV - 93

207 yang dapat mengatur penyalaan lampu sesuai dengan tingkat pencahayaan yang dirancang; setiap sakelar, maksimum melayani total beban daya seperti dianjurkan dalam Persyaratan Umum Instalasi Listrik (PUIL) edisi yang terakhir; penyaluran daya listrik pada kamar tamu Hotel, sebaiknya dapat dimatikan dan dihidupkan dengan memasukkan kunci kamar pada kotak sakelar (keytag), kecuaii untuk keperluan khusus. armatur yang letaknya paralel terhadap dinding luar pada arah datangnya cahaya alami yang menggunakan sakelar otomatis atau sakelar yang terkendali, harus dapat dimatikan dan dihidupkan dengan sakelar tersendiri/manual Pemeliharaan 1. Agar tindakan pemeliharaan pada sistem pencahayaan lebih tepat dan terjamin pelaksanaannya, pemilik atau pengelola bangunan gedung diharuskan memiliki buku manual pengoperasian sistem pencahayaan bangunan gedung. Buku manual ini berisi data dan informasi yang lengkap mengenai sistem listrik untuk pencahayaan yang mencakup informasi sebagai berikut: a. diagram satu garis dari sistem listrik bangunan gedung. b. diagram skematik pengendalian sistem listrik untuk pencahayaan. c. daftar peralatan listrik yang beroperasi pada bangunan gedung terutama untuk pencahayaan. d. daftar pemakaian listrik untuk pencahayaan sesuai dengan jumlah lampu dan jenisnya. e. daftar lampu, jenisnya dan karakteristik lampu. Hal. IV - 94

208 f. daftar urutan pemeliharaan. Dengan manual yang berisi informasi ini, tindakan pemeliharaan dan pengendalian system pencahayaan dapat ditentukan lebih tepat. 2. Untuk memperoleh pemakaian energi listrik yang efisien, pemeliharaan instalasi pencahayaan harus dilakukan melalui : a. setiap pencahayaan yang tidak diperlukan harus dimatikan. b. lampu dan armatur harus dijaga tetap bersih guna memperoleh tingkat pencahayaan yang tepat. c. lampu harus diganti jika fluks luminusnya jauh menurun sesuai dengan umurnya. d. penggunaan warna muda untuk dinding, langit-langit, lantai dan korden, dengan demikian dapat mengurangi jumlah cahaya yang diperlukan sebagai akibat pengaruh reflektansi bahan-bahan yang dipakai. e. penggunaan pencahayaan luar untuk tujuan dekorasi dan suasana dioptimalkan. f. pengurangan tingkat pencahayaan luar sampai pada batas terendah yang masih memberikan keamanan dan kenyamanan. g. petugas pembersih rungan bekerja lebih awal sehingga pemadaman lampu dapat dilakukan lebih cepat. h. penggantian lampu yang tidak hemat energi dengan lampu hemat energi. Hal. IV - 95

209 4.11 SIRKULASI Sirkulasi Bangunan A. Syarat syarat Sirkulasi Menurut Hakim (1987), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merancang sirkulasi bangunan, adalah sebagai berikut : 1. Syarat-syarat sirkulasi Syarat-syarat sirkulasi meliputi : a. Urut-urutan yang jelas baik dalam ukuran ruang, bentuk, dan arah. b. Aman dalam arti persilangan arus sirkulasi sesedikit mungkin atau dihindarkan sama sekali dan bottle neck (jalan masuk yang sempit) harus dihilangkan. c. Menghindari adanya crossing antar pengunjung, pegawai, barang, dan servis. d. Informasi yang jelas agar tidak tersesat dalam memberikan arah yang harus dituju (informatifkomunikatif). 2. Pencapaian ke bangunan Pencapaian ke bangunan dapat secara langsung (frontal), tersamar atau berputar. Pencapaian secara langsung adalah pencapaian yang langsung mengarah pada objek yang dituju. Biasanya berupa sirkulasi lurus langsung ke obyek. Efek yang ditimbulkan akan memberikan kesan pada pandangan visual ke obyek yang terasa sangat jauh. Pencapaian tersamar adalah pencapaian yang tidak langsung mengarah pada obyek, karena pada pencapaian ini akan dibantu oleh perspektif bangunan yang dituju serta jalur sirkulasinya dapat dibelokkan berkali-kali sebelum mencapai Hal. IV - 96

210 obyek. Pencapaian memutar adalah pencapaian yang juga tidak langsung mengarah pada obyek yang dituju, karena untuk menuju obyek harus berputar terlebih dahulu. Hal ini dapat memperlihatkan bentukan tiga dimensi dari obyek. Efek yang ditimbulkan akan memakan banyak waktu. 3. Pintu masuk ke bangunan Pintu masuk ke bangunan diperjelas dengan pengolahan entrance yang berbeda dengan elemen bangunan lainnya, tetapi tetap selaras dengan bangunan secara keseluruhan. 4. Konfigurasi jalan Konfigurasi jalan akan sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh peta organisasi ruang-ruang yang dihubungkannya. Konfigurasi jalan dapat memperkuat organisasi dengan mensejajarkan polanya atau dapat dibuat sangat berbeda dengan bentuk organisasi ruang dan berfungsi sebagai fisik perlawanan visual terhadap keadaan yang ada. B. Macam macam Sirkulasi Menurut Laksmiwati (1989), sirkulasi terbagi menjadi dua bagian yaitu sirkulasi di dalam bangunan dan sirkulasi di luar bangunan. Macam-macam pola sirkulasi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Sirkulasi dalam bangunan Sirkulasi dalam bangunan dibedakan berdasarkan dari sifat perpindahannya, yaitu sirkulasi horisontal dan sirkulasi vertikal. a. Sirkulasi horisontal Sirkulasi horisontal adalah sebuah sirkulasi penghubung yang menghubungkan antara setiap fungsi kegiatan dalam Hal. IV - 97

211 suatu ruang dengan ruang lainnya yang masih terdapat dalam satu lantai. Dalam proses perencanaan ruang-ruang yang ada dengan sirkulasi horisontal yang baik merupakan masalah yang sangat rumit dan kompleks karena banyak melibatkan faktor-faktor yang dapat menjadi syarat kenyamanannya, seperti volume aliran waktu dan jarak maju ke depan yang ditempuh, kecepatan jalan, serta panjang antrian. Ruang sirkulasi horisontal yang terdapat dalam perancangan bangunan dan ruang luarnya antara lain: koridor, lobby, selasar untuk pejalan kaki, plaza, area sirkulasi dan tempat terbuka luas. Sirkulasi horisontal terbagi lagi menjadi beberapa sirkulasi, adalah sebagai berikut : 1). Sirkulasi linier Sirkulasi linier akan sangat mempengaruhi dalam kejelasan dan kelancaran, karena penggunaan pola sirkulasi ini sesuai untuk sistem aktivitas yang harus diselesaikan melalui beberapa proses tahapan. Sirkulasi ini dapat menghubungkan dan mengorganisir ruang-ruang di sepanjang bentangnya. Dapat pula menjadi dinding atau pagar untuk memisahkan ruangruang di kiri-kanannya menjadi dua kawasan yang berbeda serta mengelilingi dan merangkum bentukbentuk ruang lain ke dalam sebuah kawasan. 2). Sirkulasi radial Sirkulasi radial akan mempengaruhi kejelasan dalam ruangan, tetapi tidak menutup kemungkinan kejelasan masih bisa tercapai, pola sirkulasi ini sesuai untuk ruang-ruang publik yang berfungsi sebagai ruang Hal. IV - 98

212 orientasi seperti hall. Kelebihan pada sirkulasi ini adalah daya tampung yang cukup besar, sehingga biasa juga dipakai pada ruang-ruang bersama. 3). Sirkulasi organik Sirkulasi organik akan menghadirkan ketidakjelasan dalam pola sirkulasi di dalam ruangan. Pola sirkulasi ini tidak cocok diterapkan pada kantor dan lebih cocok pada bangunan dengan fungsi rekreatif. b. Sirkulasi vertikal Sirkulasi vertikal adalah sebuah sirkulasi penghubung yang menghubungkan setiap fungsi kegiatan suatu lantai dengan lantai di atas atau lantai dibawahnya. Tidak terdapat satupun ruang publik yang dapat berfungsi tanpa ditunjang sirkulasi vertikal yang memadai. Prasarana sirkulasi ini sangat peka sekali, contohnya pada tangga penghubung antar lantai harus mempertimbangkan aspek ukuran tubuh manusia, karena dapat berdampak pada keamanan perorangan dan pemakai yang dapat terancam. 2. Sirkulasi di luar bangunan Sirkulasi ini disediakan dan direncanakan untuk mendukung eksistensi dari bangunan, karena dapat berfungsi sebagai pengarah menuju ke bangunan atau tujuan yang diinginkan tanpa suatu halangan yang dapat menghambat kualitas konsep informatif, efektif dan efisien, dengan pengertian: a. Informatif Dengan bantuan point of interest pada bangunan akan memudahkan pencapaian tercepat ke bangunan Hal. IV - 99

213 b. Efektif dan efisien Efektif akan menghadirkan efisiensi karena cepatnya pencapaian ke bangunan tanpa halangan sehingga mempersingkat waktu Sirkulasi pada sebuah bangunan perkantoran lebih menekankan pada : Efisiensi (kedekatan) Kejelasan (informatif) dan kelancaran (keterbukaan, keleluasaan) Kesesuaian dengan fungsi. Dari hasil uraian maka penerapan pola sirkulasi radial akan lebih sesuai dan menguntungkan untuk dapat memenuhi semua persyaratan yang ada di atas. Pola sirkulasi radial memadukan unsur-unsur pola sirkulasi terpusat maupun linier. Dengan lengan-lengan liniernya, bentuk dapat meluas dan menggabungkan dirinya pada unsur-unsur lainnya. Variasi dari pola sirkulasi radial adalah pola baling-baling dimana lengan-lengan liniernya berkembang dari sisi sebuah pusat berbentuk segi empat atau bujur sangkar. Susunan ini menghasilkan suatu pola dinamis yang secara visual mengarah kepada gerak berputar mengelilingi ruang pusatnya Unsur-unsur Sirkulasi A. Pencapain. Pencapaian kebangunan dapat dibedakan menjadi 3, yaitu : 1. Frontal. Merupakan pencapaian yang mengarah langsung menuju kesuatu tempat untuk masuk, melalui sebuah jalan yang merupakan sumbu lurus. Hal. IV - 100

214 Tujuan pencapaian ini adalah mengekspos fasade dan pintu masuk dari suatu bangunan. Gambar Unsur Sirkulasi Pencapaian Frontal 2. Tersamar/Samping. Adalah pencapaian dengan cara mengalihkan lintasan ke lain jurusan untuk pencapaian yang tidak langsung. Sehingga pada pencapaian ini secara visual bangunan tampil perspektif. Gambar Unsur Sirkulasi Pencapaian Tersamar 3. Spiral. Merupakan pencapaian dengan cara berputar sehingga mengelilingi bangunan maksud yang ingin ditonjolkan adalah bentuk tiga dimensi suatu bangunan. Hal. IV - 101

215 Gambar Unsur Sirkulasi Pencapaian Tersamar B. Pintu Masuk pintu masuk merupakan awal dimulainya suatu dai dalam bangunan. Sehingga dalam merancang pintu masuk harus memperhatikan letak dan bentuk rancangan. Rancangan pintu masuk dapat dibuat dalam berbagai macam bentukan pelubangan dinding, yaitu : dapat dibentuk lebih besar, lebih sempit, lebih tinggi atau lebih rendah. Dapat juga berupa cekungan ataupun tonjolan, penambahan elemen dekoratif bahkan dapat dibuat rata dengan dinding tapi tetap ada suatu aksen tertentu sebagai tanda keberadaan suatu pintu masuk. C. Sirkulasi Horizontal Sirkulasi yang terjadi pada bangunan berlantai satu hanya sirkulasi berarah horizontal saja. Beberapa sirkulasi horizontal didalam bangunan yang sering dijumpai yaitu : Terbatas (koridor tertutup) Sirkulasi terbatas merupakan suatu koridor yang sisi samping kiri, kanan dan plafondnya massif. Terbukanya pada salah satu sisi Bangunan yang memiliki teras lebar yang digunakan untuk jalur sirkulasi. Terbukanya pada kedua sisi Tipe terbuka pada kesua sisi tepat untuk mencapai kesan luasan lebar. Pada kesua sisi samping berupa dinding Hal. IV - 102

216 transparan atau dibiarkan terbuka mengarah langsung ke luar. D. Sirkulasi Vertikal Sirkulasi vertical dapat dijumpai pada bangunan bertingkat. Bentuk sarana transportasi sirkulasi vertical ini dapat berupa ; tangga, escalator, lift dan ramp. E. Rambu - Rambu Sebagai petunjuk arah, rambu-rambu biasanya dipakai hanya pada bagian penting suatu bangunan (ruang utama), seperti : ruang kepala, ruang rapat, nama tiap fungsi ruang dan sebagainya. Jikalau pada bangunan berlantai banyak, dilengkapi dengan letak lantai. Penggunaan rambu-rambu biasanya pada bangunan-bangunan public, sebagai contoh : rumah sakit, bandara, dan sebagainya. Gambar Macam-macam konfigurasi bentuk jalan Hal. IV - 103

217 4.12 KETENTUAN DAN PEMBANGUNAN PARKIR Ketentuan Umum A. Pengertian 1. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. 2. Berhenti adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan untuk sementara dengan pengemudi tidak meninggalkan kendaraan. 3. Fasilitas parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian kendaraan yang tidak bersifat sementara untuk melakukan kegiatan pada suatu kurun waktu. 4. Tempat parkir di badan jalan, (on street parking) adalah fasilitas parkir yang menggunakan tepi jalan. 5. Fasilitas parkir di luar badan jalan (off street parking) adalah fasilitas parker kendaraan di luar tepi jalan umum yang dibuat khusus atau penunjang kegiatan yang dapat berupa tempat parkir dan/atau gedung parkir. 6. Jalan adalah tempat jalan yang diperuntukan bagi lalu lintas umum. 7. Satuan ruang parkir (SRP) adalah ukuran luas efektif untuk meletakkan kendaraan (mobil penumpang, bus/truk, atau sepeda motor), termasuk ruang bebas dan lebar buka pintu. Untuk hal-hal tertentu bila tanpa penjelasan, SRP adalah SRP untuk mobil penumpang. 8. Jalur sirkulasi adalah tempat, yang digunakan untuk pergerakan kendaraan yang masuk dan keluar dari fasilitas parkir. 9. Jalur gang merupakan jalur antara dua deretan ruang parkir yang berdekatan. 10. Kawasan parkir adalah kawasan atau areal yang memanfaatkan badan jalan sebagai fasilitas parkir dan terdapat pengendalian parkir melalui pintu masuk. Hal. IV - 104

218 B. Tujuan Fasilitas parkir bertujuan 1. memberikan tempat istirahat kendaraan; 2. menunjang kelancaran arus lalu-lintas. C. Jenis Fasilitas Parkir 1. Parkir di badan jalan (on street parking ) 2. Parkir di luar badan jalan (off street parking ) D. Penempatan Fasilitas Parkir 1. Parkir di badan jalan (on street parking ) a. Pada tepi jalan tanpa pengendalian parker b. Pada kawasan parkir dengan pengendalian parker 2. Parkir di luar badan jalan (off street parking) a. Fasilitas parkir untuk umum adalah tempat yang berupa gedung parker atau taman parkir untuk umum yang diusahakan sebagai kegiatan tersendiri. b. Fasilitas parkir sebagai fasilitas penunjang adalah tempat yang berupa gedung parkir atau taman parkir yang disediakan untuk menunjang kegiatan pada bangunan utama Pembangunan A. Penentuan Kebutuhan Parkir 1. Jenis peruntukan kebutuhan parkir sebagai berikut a. Kegiatan parkir yang tetap 1. Pusat pedagangan 2. Pusat perkantoran swasta atau pemerintahan 3. Pusat pedagangan eceran atau pasar swalayan 4. Pasar Hal. IV - 105

219 5. Sekolah 6. Tempat rekreasi 7. Hotel dan tempat penginapan 8. Rumah sakit b. Kegiatan parkir yang bersifat sementara 1. Bioskop 2. Tempat pertunjukan 3. Tempat pertandingan olahraga 4. Rumah ibadah. 2. Ukuran kebutuhan ruang parkir pada pusat kegiatan ditentukan sebagai berikut. a. Berdasarkan hasil studi Direktorat Jenderal Perhubungan Darat 1. Kegiatan parkir yang tetap a) Pusat perdagangan b) Pusat perkantoran c) Pasar swalayan d) Pasar Hal. IV - 106

220 e) Sekolah/perguruan tinggi f) Tempat rekreasi g) Hotel dan tempat penginapan h) Rumah sakit 2. Kegiatan parkir yang bersifat sementara a) Bioskop b) Tempat pertandingan olah raga b. Berdasarkan ukuran ruang parkir yang dibutuhkan yang belum tercakup dalam Butir 2.a. Hal. IV - 107

221 Tabel 6.3. Ukuran kebutuhan ruang B. Penentuan Satuan Ruang Parkir (SRP) Penentuan satuan ruang parkir (SRP) didasarkan atas hal berikut. 1. Dimensi kendaraan standar untuk mobil penumpang, seperti Gambar 6.33 d. Gambar Dimensi Kendaraan Standar untuk Mobil Penumpang 2. Ruang bebas kendaraan parker Ruang bebas kendaraan parkir diberikan pada arah lateral dan longitudinal kendaraan. Ruang bebas arah lateral Hal. IV - 108

222 ditetapkan pada saat posisi pintu kendaraan dibuka, yang diukur dari ujung terluar pintu ke badan kendaraan parkir yang ada di sampingnya. Ruang bebas ini diberikan agar tidak terjadi benturan antara pintu kendaraan dan kendaraan yang parkir di sampingnya pada saat penumpang turun dari kendaraan. Ruang bebas arah memanjang diberikan di depan kendaraan untuk menghindari benturan dengan dinding atau kendaraan yang lewat jalur gang (aisle). Jarak bebas arah lateral diambil sebesar 5 cm dan jarak bebas arah longitudinal sebesar 30 cm. 3. Lebar bukaan pintu kendaraan Ukuran lebar bukaan pintu merupakan fungsi karakteristik pemakai kendaraan yang memanfaatkan fasilitas parkir. Sebagai contoh, lebar bukaan pintu kendaraan karyawan kantor akan berbeda dengan lebar bukaan pintu kendaraan pengunjung pusat kegiatan perbelanjaan. Dalam hal ini, karakteristik pengguna kendaraan yang memanfaatkan fasilitas parkir dipilih menjadi tiga seperti Tabel 6.4. Tabel 4.4. Lebar Bukaan Pintu Kendaraan Hal. IV - 109

223 Berdasarkan Butir 1 dan 2, penentuan satuan ruang parkir (SRP) dibagi atas tiga jenis kendaraan dan berdasarkan butir 3, penentuan SRP untuk mobil penumpang diklasifikasikan menjadi tiga golongan, seperti pada Tabel 6.5. Tabel 4.5. Penentuan Satuan Ruang Parkit (SRP) Besar satuan ruang parkir untuk tiap jenis kendaraan adalah sebagai berikut. Hal. IV - 110

224 1. Satuan Ruang Parkir untuk Mobil Penumpang Gambar Satuan Ruang Parkir (SRP) Untuk Mobil Penumpang (dalam cm) R = jarak bebas arah lateral Gol I : B = 170 a1 = 10 Bp = 230 = B + O + R O = 55 L = 470 Lp = 500 = L + a1 + a2 R = 5 a2 = 20 Gol II : B = 170 a1 = 10 Bp = 250 = B + O + R O = 75 L = 470 Lp = 500 = L + a1 + a2 R = 5 a2 = 20 Gol III : B = 170 a1 = 10 Bp = 300 = B + O + R O = 80 L = 470 Lp = 500 = L + a1 + a2 R = 50 a2 = 20 Hal. IV - 111

225 2. Satuan Ruang Parkir untuk Bus/Truk Gambar Satuan Ruang Parkir (SRP) Untuk Bus/Truk (dalam cm) 3. Satuan Ruang Parkir untuk Sepeda Motor Gambar Satuan Ruang Parkir (SRP) Untuk Sepeda Motor (dalam cm) C. Disain Parkir di Badan Jalan 1. Penentuan Sudut Parkir Sudut parkir yang akan digunakan umumnya ditentukan oleh: a. lebar jalan; b. volume lalu lintas pada jalan bersangkutan; c. karakteristik kecepatan; d. dimensi kendaraan; Hal. IV - 112

226 e. sifat peruntukkan lahan sekitarnya dan peranan jalan yang bersangkutan Tabel Lebar minimum jalan local primer satu arah untuk parker pada badan jalan Tabel 4.7. Lebar minimum jalan local sekunder satu arah untuk parkir pada badan jalan Hal. IV - 113

227 Tabel 4.8. Lebar minimum jalan Kolektor satu arah untuk parkir pada badan jalan Gambar Ruang parker pada badan jalan Hal. IV - 114

228 2. Pola Parkir a. Pola parkir parallel 1) pada daerah datar Gambar Pola parker parallel pada daerah datar 2) pada daerah tanjakan Gambar Pola parker parallel pada daerah tanjakan 3) pada daerah turunan Gambar Pola parker parallel pada daerah turunan Hal. IV - 115

229 b. Pola parkir menyudut : 1) Lebar ruang parkir, ruang parkir efektif, dan ruang manuver berlaku untuk jalan kolektor dan lokal 2) Lebar ruang parkir, ruang parkir efektif, dan ruang manuver berbeda berdasarkan besar sudut berikut ini. a) Sudut = 30 0 b) Sudut = 45 o Hal. IV - 116

230 c) Sudut = 60 o d) Sudut = 90 o Hal. IV - 117

231 3. Larangan Parkir a. Sepanjang 6 meter sebelum dan sesudah tempat penyeberangan pejalan kaki atau tempat penyeberangan sepeda yang telah ditentukan Gambar Larangan parkir panjang 6m b. Sepanjang 25 meter sebelum dan sesudah tikungan tajam dengan radius kurang dari 500 m Gambar Larangan parkir panjang 25m Hal. IV - 118

232 c. Sepanjang 50 meter sebelum dan sesudah jembatan Gambar Larangan parkir panjang 50m d. Dekat perlintasan kereta api 1. Sepanjang 100 meter sebelum dan sesudah perlintasan sebidang Gambar Larangan parkir panjang dekat perlintasan kereta api Hal. IV - 119

233 2. Sepanjang 100 meter sebelum dan sesudah perlintasan sebidang Gambar Larangan parkir panjang 100m e. Sepanjang 25 meter sebelum dan sesudah persimpangan Gambar Hal. IV - 120

234 f. Sepanjang 6 meter sebelum dan sesudah akses bangunan gedung Gambar g. Sepanjang 6 meter sebelum dan sesudah keran pemadam kebakaran atau sumber air sejenis Gambar h. Sepanjang tidak menimbulkan kemacetan dan menimbulkan bahaya D. Disain Parkir di Luar Badan Jalan 1. Taman Parkir a. Kriteria : Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) keselamatan dan kelancaran lalu lintas kelestarian lingkungan kemudahan bagi pengguna jasa tersedianya tata guna lahan Hal. IV - 121

235 letak antara jalan akses utama dan daerah yang dilayani b. Pola Parkir Mobil Penumpang : 1) parkir kendaraan satu sisi Pola parkir ini diterapkan apabila ketersediaan ruang sempit. a) membentuk sudut 90 0 Pola parkir ini mempunyai daya tampung lebih banyak jika dibandingkan dengan pola parkir paralel, tetapi kemudahan dan kenyamanan pengemudi melakukan manuver masuk dan keluar ke ruangan parkir lebih sedikit jika dibandingkan dengan pola parker dengan sudut yang lebih kecil dari 90 0 Gambar b) membentuk sudut 30 0, 45 0, 60 0 Pola parkir ini mempunyai daya tampung lebih banyak jika dibandingkan dengan pola parkir paralel, dan kemudahan dan kenyamanan pengemudi melakukan manuver masuk dan keluar ke ruangan parkir lebih besar jika dibandingkan dengan pola parker dengan sudut 900 Hal. IV - 122

236 Gambar ) Parkir kendaraan dua sisi Pola parkir ini diterapkan apabila ketersediaan ruang cukup memadai. a) membentuk sudut 90 0 Pada pola parkir ini, arah gerakan lalu lintas kendaraan dapat satu arah atau dua arah. Gambar Hal. IV - 123

237 b) membentuk sudut 30 0, 45 0, 60 0 Gambar ) Pola parkir pulau Pola parkir ini diterapkan apabila ketersediaan ruang cukup luas. a) membentuk sudut 90 0 Gambar Hal. IV - 124

238 b) membentuk sudut 45 0, (a) bentuk tulang ikan tipe A Gambar (b) bentuk tulang ikan tipe B Gambar Hal. IV - 125

239 (c) bentuk tulang ikan tipe C Gambar Pola parkir bentuk tulang ikan tipe c c) Pola Parkir Bus / Truk Posisi kendaraan dapat dibuat menyudut 60 0 ataupun 90 0 tergantung dari luas areal parkir. Dari segi efektivitas ruang, posisi sudut 90 0 lebih menguntungkan. 1) Pola Parkir Satu Sisi Gambar Pola parkir bus/truk satu sisi Hal. IV - 126

240 2) Pola Parkir Dua Sisi Gambar Pola parkir bus/truk dua sisi d) Pola Parkir Sepeda Motor Pada umumnya posisi kendaraan adalah Dari segi efektifitas ruang, posisi sudut 90 0 paling menguntungkan. 1) Pola Parkir Satu Sisi Pola ini diterapkan apabila ketersediaan ruang sempit. Gambar Pola parkir sepeda motor satu sisi 2) Pola Parkir Dua Sisi Pola ini diterapkan apabila ketersediaan ruang cukup memadai (lebar ruas > 5,6 m). Gambar Pola parkir sepeda motor satu sisi Hal. IV - 127

241 3) Pola Parkir Pulau Pola ini diterapkan apabila ketersediaan ruang cukup luas. Gambar Parkir sepeda motor pola pulau e) Jalur Sirkulasi, Gang, dan Modul Perbedaan antara jalur sirkulasi dan jalur gang terutama terletak pada penggunaannya. Patokan umum yang dipakai adalah : panjang sebuah jalur gang tidak lebih dari 100 meter; jalur gang yang ini dimaksudkan untuk melayani lebih dari 50 kendaraan dianggap sebagai jalur sirkulasi. Lebar minimum jalur sirkulasi untuk jalan satu arah = 3,5 meter, untuk jalan dua arah = 6,5 meter. Hal. IV - 128

242 Gambar Gambar Tabel 4.9. Lembar Jalur Gang Hal. IV - 129

243 f) Jalan Masuk dan Keluar Ukuran lebar pintu keluar-masuk dapat ditentukan, yaitu lebar 3 meter dan panjangnya harus dapat menampung tiga mobil berurutan dengan jarak antarmobil (spacing) sekitar 1,5 meter, Oleh karena itu, panjang-lebar pintu keluar masuk minimum 15 meter. 1) Pintu Masuk dan Keluar Terpisah Satu jalur : b = 3,00-3,50 m d = 0,80-1,00 m R1 = 6,00-6,50 m R2 = 3,50-4,00 m Dua jalur: b = 6,00 m d = 0,80-1,00 m R1 = 3,50-5,00 m R2 = 1,00-2,50 m Gambar Pintu masuk dan keluar parkir terpisah Hal. IV - 130

244 2) Pintu Masuk dan Keluar Menjadi Satu Gambar Pintu masuk dan keluar parkir menjadi satu Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pintu masuk dan keluar adalah sebagai berikut. 1) Letak jalan masuk/keluar ditempatkan sejauh mungkin dari persimpangan 2) Letak jalan masuk/keluar ditempatkan sedemikian rupa sehingga kemungkinan konflik dengan pejalan kaki dan yang lain dapat dihindarkan. 3) Letak jalan keluar ditempatkan sedemikian rupa sehingga memberikan jarak pandang yang cukup saat memasuki arus lalu lintas. 4) Secara teoretis dapat dikatakan bahwa lebar jalan masuk dan keluar (dalam pengertian jumlah jalur) sebaiknya ditentukan berdasarkan analisis kapasitas. Pada kondisi tertentu kadang ditentukan modul parsial, yaitu sebuah jalur gang hanya menampung sebuah deretan ruang parkir di salah satu sisinya. Jenis modul itu hendaknya dihindari sedapat mungkin. Dengan demikian, sebuah taman parkir merupakan Hal. IV - 131

245 susunan modul yang jumlahnya tergantung pada luas tanah yang tersedia dan lokasi jalan masuk ataupun keluarnya. g) Kriteria Tata Letak Parkir Tata letak areal parkir kendaraan dapat dibuat bervariasi, bergantung pada ketersediaan bentuk dan ukuran tempat serta jumlah dan letak pintu masuk dan keluar. Tata letak area parkir dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sebagai berikut. 1) Tata letak pelataran parkir Tata letak pelataran parkir dapat diklasifikasikan sebagai berikut. a) Pintu masuk dan keluar terpisah dan terletak pada satu ruas jalan. Gambar Tata letak pelataran parkir Pintu masuk dan keluar terpisah dan terletak pada satu ruas jalan Hal. IV - 132

246 b) Pintu masuk dan keluar terpisah dan tidak terletak pada satu ruas. Gambar Tata letak pelataran parkir Pintu masuk dan keluar terpisah dan tidak terletak pada satu ruas c) Pintu masuk dan keluar menjadi satu dan terletak pada satu ruas jalan. Gambar Tata letak pelataran parkir Pintu masuk dan keluar menjadi satu dan terletak pada satu ruas jalan. Hal. IV - 133

247 d) Pintu masuk dan keluar yang menjadi satu terletak pada satu ruas berbeda. Gambar Tata letak pelataran parkir Pintu masuk dan keluar menjadi satu dan terletak pada satu ruas jalan 2. Gedung Parkir a) Kriteria 1. tersedia tata guna lahan; 2. memenuhi persyaratan konstruksi dan perundang - undangan yang berlaku 3. tidak menimbulkan pencemaran lingkungan 4. memberikan kemudahan bagi pengguna jasa. b) Tata letak gedung parkir dapat diklasifikasikan sebagai berikut. 1. Lantai datar dengan jalur landai luar (external ramp) Daerah parkir terbagi dalam beberapa lantai rata (datar) yang dihubungkan dengan ramp (Gambar 6.73a). Hal. IV - 134

248 2. Lantai terpisah Gedung parkir dengan bentuk lantai terpisah dan berlantai banyak dengan ramp yang ke atas digunakan untuk kendaraan yang masuk dan ramp yang tirim digunakan untuk kendaraan yang keluar (Gambar 6.75b, 6.75c dan 6.75d). Selanjutnya Gambar 6.75c dan 6.75d menunjukkan jalan masuk dan keluar tersendiri (terpisah), serta mempunyai jalan masuk dan jalan keluar yang lebih pendek. Gambar 6.75b menunjukkan kombinasi antara sirkulasi kedatangan (masuk) dan keberangkatan (keluar). Ramp berada pada pintu keluar; kendaraan yang masuk melewati semua ruang parkir sampai menemukan tempat yang dapat dimanfaatkan. Pengaturan gunting seperti itu memiliki kapasitas dinamik yang rendah karena jarak pandang kendaraan yang datang agak sempit. 3. Lantai gedung yang berfungsi sebagai ramp Pada Gambar 6.75e sampai dengan 6.75.g terlihat kendaraan yang masuk dan parkir pada gang sekaligus sebagai ramp. Ramp tersebut berbentuk dua arah. Gambar 6.75e memperlihatkan gang satu arah dengan jalan keluar yang lebar. Namun, bentuk seperti itu tidak disarankan untuk kapasitas parker lebih dari 500 kendaraan karena akan mengakibatkan alur tempat parker menjadi panjang. Pada Gambar 6.75f terlihat bahwa jalan keluar dimanfaatkan sebagai lokasi parkir, dengan jalan keluar dan masuk dari ujung ke ujung. Pada Gambar 6.75g letak jalan keluar dan masuk bersamaan. Jenis lantai ber-ramp biasanya di buat Hal. IV - 135

249 dalam dua bagian dan tidak selalu sesuai dengan lokasi yang tersedia. Ramp dapat berbentuk oval atau persegi, dengan gradien tidak terlalu curam, agar tidak menyulitkan membuka dan menutup pintu kendaraan. Pada Gambar 6.75h plat lantai horizontal, pada ujungujungnya dibentuk menurun ke dalam untuk membentuk sistem ramp. Umumnya merupakan jalan satu arah dan dapat disesuaikan dengan ketersediaan lokasi, seperti polasi gedung parkir lantai datar. Hal. IV - 136

250 Tinggi minimal ruang bebas lantai gedung parkir adalah 2,50 m. Gambar Tinggi minimal ruang bebas lantai gedung parkir Hal. IV - 137

251 5. 1. KONSEP PENGEMBANGAN FISIK Konsep Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) yang baru akan memperhatikan keseimbangan lingkungan, sehingga akan terciptanya kondisi kenyamanan dan kesejukan di dalam kawasan balai. Disamping itu penggunaan fasilitas dan utulitas di dalam Balai PMD akan mempergunakan sistim teknologi informasi terkini yang akan mendapatkan proses mengajar dan belajar secara efektive dan efesien. Konsep yang cocok untuk di implementasikan pada kawasan PMD nantinya akan mengusung Konsep Go Green. Yang pada prinsipnya sistim pengelolaan sarana dan prasarana akan memperhatikan kelestarian lingkungan. Sedangkan konsep perencanaan Balai PMD akan diarahkan kepada Konsep Perencanaan Sarana dan Prasarana secara Terpadu. Yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja secara optimal dan semangat para peserta diklat dan seluruh pegawainya dalam mengejar visi dan misinya di masa mendatang Sarana dan Prasarana Jenis sarana dan prasarana yang diperkirakan akan tersedia di kawasan DIRJEN PMD baru nanti terdiri dari sarana utama Balai PMD, sarana penunjang utama, sarana bidang usaha, dan prasarana Balai PMD dengan perincian sebagai berikut: Hal. V - 1

252 I. Sarana Utama Tempat Pelatihan : 1. Sarana Ruang Pelatihan/ Diklat 2. Sarana Ruang Laboratorium 3. Sarana Ruang Simulasi 4. Sarana Ruang Rektorat 5. Sarana Ruang Pengajar Diklat 6. Sarana Ruang kantor Administrasi 7. Sarana Ruang Perpustakaan 8. Sarana Ruang Pengajar Diklat 9. Sarana Ruang Serba Guna 10. Sarana Ruang Senat Mahapeserta diklat II. Sarana Penunjang Utama : 1. Sarana Areal Parkir Mobil 2. Sarana Areal Parkir Motor 3. Sarana Ruang Pergudangan 4. Sarana Kolam Renang 5. Sarana Pemadam Kebakaran 6. Sarana Mesjid 7. Sarana Pos Keamanan 8. Sarana Lapangan Olah Raga 9. Sarana Lapangan Upacara 10. Sarana Perumahan Karyawan 11. Ruang Terbuka Hijau/ Taman III. Sarana Bidang Usaha 1. Ruang Bank Komersial 2. Ruang Kantin/ Restoran 3. Ruang Pertokoan/ Mini Market 4. Ruang Koperasi Mahapeserta diklat Hal. V - 2

253 5. Ruang Telekomunikasi/ Warnet 6. Ruang Foto Copi 7. Ruang Pameran/ Conter produk 8. Ruang Polyklinik Kesehatan 9. Ruang Wisma / Asrama Mahapeserta diklat IV. Prasarana 1. Prasarana Jaringan Jalan Boulevard dan Jalan Lingkungan 2. Prasarana Jaringan Air Bersih 3. Prasarana Jaringan Listrik 4. Prasarana Jaringan Persampahan 5. Prasarana Jaringan Air Limbah 6. Prasarana Jaringan Telekomunikasi 7. Prasarana Jaringan Informasi / IT A. Prasarana Jaringan Jalan Sedangkan untuk konsep pengembangan prasarana jalan boulevard dan jalan lingkungan di kawasan Balai DIRJEN PMD nantinya akan mengacu kepada standar perencanaan jalan lingkungan meliputi dua inti perencanaan, yaitu perencanaan Geometrik dan perencanaan Struktur Perkerasan Jalan yang mengacu kepada Direktorat Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum. I. Geometrik Jalan Perencanaan geometric jalan memperhitungkan nilai-nilai kriteria terhadap : Lalu lintas pergerakan kendaraan, yaitu terhadap kecepatan rencana dan jari-jari minimum melalui inventarisasi kendaraan Hal. V - 3

254 yang lewat dan dikonversikan dengan koefisien satuan mobil penumpang. Kriteria rencana jari-jari tikungan minimum dari klas jalan sehingga diketahui Kecepatan rencana, jari-jari minimum, miring tikungan dan koefisien gesekan melintang. Perencanaan alinemen horizontal. Perencanaan alinemen vertikal. II. Struktur Perkerasan Jalan Perencanaan konstruksi perkerasan berupa perkerasan lentur (Flexible Pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat lapisan - lapisan perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Perhitungan Struktur Perkerasan Jalan boulevard dan jalan lingkungan Balai PMD dengan memperhitungkan nilai-nilai kriteria terhadap : Nilai CBR dan daya dukung tanah (DDT) Nilai lintas ekivalen rencana Nilai Criteria Indek Permukaan. Nilai Perencanaan alinemen vertikal. Nilai Indek Tebal Perkerasan (ITP). B. Prasarana Jaringan Drainase Standar perencanaan drainase pada kawasan perencanaan balai DIRJEN PMD nantinya meliputi saluran drainase sekunder dan saluran drainase tersier yang direncanakan mengikuti pola aliran berdasarkan topografi daerah setempat dan pola jaringan jalan boulevard dan jalan lingkungan Balai PMD yang direncanakan. Standar drainase yang direncanakan mengacu kepada tata cara pembuatan rencana induk drainase perkotaan. Hal. V - 4

255 Keberhasilan perencanan drainase sangat ditentukan oleh data - data yang ada seperti : 1. Data klimatologi dari station klimatologi terdekat 2. Data hidrologi terdiri dari data tinggi muka air sungai, debit sungai, data pasang surut, dan karakteristik daerah aliran. 3. Data sistem drainase yang ada meliputi data kuantitatif banjir/genangan dan permasalahan yang ada. 4. Data Jumlah kepadatan, penyebaran dan tata letak bangunan gedung. 5. Data hasil perhitungan drainase yang menyangkut Kala ulang, perkiraan hujan rencana, analisa frekwensi, Perhitungan intensitas hujan debit banjir rencana dan perhitungan hidrolis saluran darainase. C. Prasarana Jaringan Air Bersih Berdasarkan kebijakan pembangunan penyediaan air bersih, maka kebutuhan akan air bersih dihitung berdasarkan jumlah proyeksi peserta diklat dan pegawai PMD pada akhir tahun perencanaan yang dilayani dikalikan dengan tingkat pelayanan serta kebutuhan air perkapita berdasarkan standar perencanaan penyediaan air bersih pada kawasan perencanaan meliputi: kebutuhan air, sumber air, transmisi, pengolahan, reservoir dan distribusi air bersih. Standar perencanaan air bersih yang direncanakan mengacu kepada petunjuk teknis perencanaan dan pengembangan perencanaan sistem air bersih yang dapat mengolah air bekas pakai untuk di daur ulang menjadi air bersih kembali, meliputi: 1. Kebutuhan air Per Blok Gedung yang ada 2. Kebutuhan Non Gedung Hal. V - 5

256 3. Tingkat Pelayanan 4. Kriteria Teknis sesuai skala kawasan 5. Kriteria kualitas air bersih 6. Sistem distribusi air bersih Sedangkan pelayanan air bersih untuk setiap blok gedung dibedakan menurut tipe gedung dan sumber air baku yang memungkinkan dikembangkan jaringan perpipaan. Pada lokasi tertentu yang terdapat fasilitas tertentu seperti kolam renang dan lainnya akan disediakan sistim perpipaan khusus. Standar yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan air bersih tingkat kecamatan, yaitu : 1. Kawasan balai PMD dengan tingkat hunian pada akhir perencanaan antara jiwa, standar kebutuhan air bersih yang digunakan adalah 30 lt/orang/hr. 2. Tingkat kebocoran diasumsikan sebesar 20 % dari total kebutuhan air bersih. 3. Cadangaan diperkirakan sebesar 10 % dari total kebutuhan. D. Prasarana Jaringan Persampahan Keberhasilan pengelolaan sampah sangat ditentukan oleh beberapa pertimbangan baik teknis maupun operasional: I. Pertimbangan Teknis dengan mempertimbangkan; 1. Prosentase Jumlah peserta diklat dan Pegawai 2. Prosentase Tingkat pelayanan 3. Jumlah sampah yang harus dikelola 4. Jumlah kebutuhan fasilitas persampahan Hal. V - 6

257 II. Pertimbangan Operasional 1. Tersedianya fasilitas persampahan yang memadai, meliputi fasilitas pewadahan, pengumpul sampah, fasilitas pemindahan, pasilitas pengangkutan dan fasilitas pengolahan dan pembuangan akhir sampah. 2. Tersedianya tenaga operasinal yang memadai. 3. Dana yang tersedia. E. Prasarana Jaringan Sanitasi Pengelolaan sanitasi di balai PMD yang dimaksud adalah pelayanan penanganan pembuangan air limbah dari blok gedung dan sarana lainnya. Dengan memperhatikan / mempertimbangkan terhadap kondisi dan karakteristik kawasan perencanaan serta arahan pengembangan pengelolaan dimasa mendatang. Kriteria perencanaan teknis mengacu kepada Petunjuk Teknis Perencanaan, Pembangunan dan Pengelolaan Bidang PLP. Beberapa pertimbangan teknis, yaitu: 1. Pada daerah dengan kondisi fermeabilitas tanah tinggi, menerapkan dengan sistem individu (Individual System), dimana air limbah dari masing blok gedung disalurkan dengan perpipaan ke sebuah tanki septic yang dilengkapi dengan bidang resapan. 2. Pada daerah dengan kondisi fermeabilitas tanah rendah menerapkan sistem individual (Indivual System), dimana air limbah dari masing-masing blok gedung disalurkan dengan perpipaan ke sebuah tanki septic dengan cara aliran dari bawah ke atas yang dilengkapi dengan sistem saringan sebelum airnya dibuang ke badan air (Up Flow Filter System). 3. Pada sarana bidang usaha seperti kantin, restoran dll dilakukan perencanaan dengan system komunal (Comunal System), dimana air limbah dari beberapa sumber disalurkan dengan perpipaan ke Hal. V - 7

258 sebuah tanki septic baik dilengkapi dengan bidang resapan ataupun dengan Up Flow Filter. 4. Pada saluran di masing- masing blok gedung dan sarana penunjang lainnya di dalam balai PMD sebagai alternatif yang cukup baik dapat dipertimbangkan dengan sistem IPAL, dimana air limbah domestic disalurkan dengan sistem jaringan perpipaan (pipa tersier, pipa sekunder dan pipa primer) ke sebuah kolam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada lokasi tertentu Sarana Penunjang Utama A. Konsep Perencanaan Bidang Usaha Faktor-faktor pendekatan perencanaan yang terkait dengan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD baru ini adalah : 1. Aktivitas pelayanan yang dapat mendukung kelancaran proses belajar dan mengajar para peserta diklat dan pengajar. 2. Aktivitas yang dapat memberikan nilai tambah untuk kelancaran proses keuangan 3. Aktivitas yang dapat mempermudah para peserta diklat dalam mendukung proses belajar lebih efesien dan efektif. 4. Aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan sehari hari para peserta diklat mapun para pengajar. B. Konsep Perencanaan Elemen Lingkungan Konsep perencanaan elemen lingkungan dimaksud untuk memperoleh gambaran kondisi tapak terbangun untuk menciptakan suatu kawasan Hal. V - 8

259 Balai PMD dengan sistem lingkungan yang berkarakter khas dan memiliki orientasi tertentu, seperti : 1. Wajah penampang jalan dan bangunan (fasade) dengan karakter tertentu. 2. Tersedianya jaringan jalur dan ruang bagi pejalan kaki (pedestrian) yang nyaman dan tertata dengan rapi dan menarik. 3. Tersedianya lahan dengan tata hijau / pohon-pohon rindang maupun taman terbuka (plaza) yang menarik dan nyaman dalam lingkungan Balai PMD Adapun pemeliharaan dan peletakan tata hijau/ pola hijau lingkungan di kawasan sarana dan prasarana DIRJEN PMD diarahkan berdasarkan kriteria sebagai berikut : 1. Sedapat mungkin mempertahankan jenis vegetasi khas setempat dan tahan terhadap terpaan angin dan hujan. 2. Disesuaikan dengan fungsi kegiatan serta karakteristik kawasan balai. 3. Disesuaikan dengan kondisi alam, jenis tanah dan ekologi setempat. 4. Tidak merusak kondisi jalan, pedestrian dan bangunan. 5. Tidak membahayakan lingkungan. 6. Memiliki nilai khusus sebagai elemen estetika. Hal. V - 9

260 5. 2. ANALISIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (PMD) Latar Belakang Peran desa dalam pembangunan nasional beserta masyarakat dan perangkat pemerintahan yang ada didalamnya sangatlah besar. Apalagi dengan semakin dikedepankannya konsep pembagunan berbasis pada komunitas maka aspek perkuatan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat desa menjadi spektrum yang utama. Dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah, yang diimbangi dengan konsep pelayanan terintegrasi, serta terjadinya pemekaran wilayah (catatan Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2013 terdapat desa) yang mengakibatkan semakin berkembangnya jumlah desa, maka kegiatan pelatihan terhadap pemberdayaan masyarakat dan desa harus dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan Paradigma pembangunan nasional semakin hari semakin kompleks, sehingga masyarakat dan desa sebagai bagian dari pembangunan dituntut untuk selalu memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan terkini. Balai Pemberdayaan Masyarakat Desa yang ada pada saat ini (Lampung, Yogyakarta, dan Malang) sudah tidak mampu lagi menampung kegiatan pelatihan pemberdayaan masyarakat dan desa untuk seluruh wilayah di Indonesia. Apalagi dengan adanya percepatan pembangunan nasional dalam rangka menyambut era-globalisasi, maka efektifitas dan kecepatan penyampaian informasi menjadi salah satu tolak ukurnya. Lahirnya UU Desa Nomor 6 tahun 2014 membawa harapan yang besar akan terwujudnya desa yang makmur dan mandiri. Namun dalam implementasinya dihadapkan pada persoalan masih lemahnya SDM di desa dalam menyusun program kerja. Sehingga keberadaan Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa menjadi nilai strategis dalam rangka mencetak kader desa yang cakap dan trampil. Hal. V - 10

261 Diperlukan beberapa Balai PMD yang tersebar di beberapa wilayah yang bisa menjangkau dan melayani kegiatan pelatihan dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan desa yang mencakup berbagai wilayah di Indonesia meliputi : Kawasan gedung perkantoran Dirjen PMD dipusat Pengembangan / perluasan UPT/ Balai PMD di Bandar Lampung, Yogyakarta, dan Malang Perencanaan Kebutuhan Ruang Luasan dan besaran ruang diperoleh melalui sumberr dan study dari berbagai litelatur. Berikut adalah keterangan dari sumber sumber yang terkait pada program ruang; 1) AS : Asumsi. 2) BPDS : Building Planning and Design Standard. 3) AJH : Sue, Le, and Jan. AJ Metrik Handbook. 4) SB : Studi Banding. 5) NAD : Neufert, Ernst. Data Arsitek. 6) UTB : Utilitas Bangunan. 7) DA : Data Arsitek 8) TSS : Time Sarvers Standart 9) PMDN : Peraturan Pemeritah Dalam Negeri 10) PSA : Pendekatan Survey dan Asumsi Hal. V - 11

262 A. Ruang Kantor dan Administrasi Balai PMD Hal. V - 12

263 B. Ruang Kelas Balai PMD Kapasitas Jumlah yang dibutuhkan untuk kelas adalah 4 Unit Luasan Kebutuhan ruang Kelas 79m2 x 4 unit = 316m2 C. Ruang Kelas Balai PMD Hal. V - 13

264 D. Asrama Balai PMD 1. Asrama 1 (2 orang) Kapasitas Jumlah yang dibutuhkan untuk Asrama adalah 30 Unit Luasan Kebutuhan ruang Asrama Kapasitas 2 Orang 18m2 x 30 unit = 540m2 2. Asrama 2 (4 orang) Kapasitas Jumlah yang dibutuhkan untuk Asrama adalah 20 Unit Luasan Kebutuhan ruang Asrama Kapasitas 2 Orang 25m2 x 20 unit = 500m2 3. Asrama Pengurus (2 orang) Kapasitas Jumlah yang dibutuhkan untuk Asrama adalah 20 Unit Luasan Kebutuhan ruang Asrama Kapasitas 2 Orang 18m2 x 20 unit = 360m2 Hal. V - 14

265 E. Ruang Auditorium F. Masjid / Mushollah Hal. V - 15

266 G. Ruang Makan Bersama H. Perpustakaan Hal. V - 16

267 I. Rumah Dinas a. Rumah Kepala Balai Hal. V - 17

268 b. Rumah Wakil Kepala Balai Hal. V - 18

269 c. Rumah Mess Balai J. Guest House 1 Kapasitas Jumlah yang dibutuhkan penginapan tamu guest house adalah 20 Unit Luasan Kebutuhan ruang kamar Kapasitas 2 Orang 36m2 x 4 unit = 144m2 Hal. V - 19

270 K. Guest House 2 Kebutuhan Guest House untuk Kamar Tidur 144m2 + 62m dari kebutuhan (144m + 62m) = 206 m2 L. Poliklinik Hal. V - 20

271 M. Ruang Laboratorium Ekonomi Masyarakat Desa N. Ruang Micro Teaching Hal. V - 21

272 O. Ruang Kebutuhan Fasilitas Kebugaran/Fitnes Hal. V - 22

273 BAB Balai PMD Yogyakarta Survey dan Identifikasi Eksisting Survey terhapap tapak yang terletak di Jl. Raden Ronggo Km 15 Tirtomartani, Kalasan Yogyakarta dilaksanakan pada minggu-minggu awal dari jadwal pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan. Survey dilaksanakan berkesinambungan, dalam artian dilaksanakan pada beberapa sesi dari rangkaian kegiatan. Dari kegiatan survey dapat dideskripsikan kondisi tapak eksisting sebagai berikut ; Kondisi tapak adalah bukan merupa bangunan yang berfungsi sebagai kantor BALAI PMD YOGYAKARTA UNIT II KEMENDAGRI, Bangunan yang ada bersifat permanen dan masih beroperasi. Rencana pengembangan meliputi lahan BALAI PMD YOGYAKARTA UNIT II KEMENDAGRI. Akses kendaraan bermotor (mobil) menuju kawasan BALAI PMD YOGYAKARTA UNIT II KEMENDAGRI dari Jl. Raden Ronggo Km 15 Tirtomartani, Kalasan Yogyakarta merupakan jalan yang tidak padat lalu lintas. JL. RADEN RONGGO KM 15 TIRTOMARTANI AREA PEMUNGKIMAN AREA PERKEBUNAN/ SAWAH Gambar. Lokasi Balai PMD Yogyakarta Unit II Kemendagri. BALAI PMD YOGYAKARTA UNIT II KEMENDAGRI Hal. VI - 1

274 AREA HIJAU (PERKEBUNAN/ SAWAH) AREA PEMUNGKIMAN LAPORAN AKHIR DATA BALAI PMD YOGYAKARTA UNIT II KEMENDAGRI AREA PEMUNGKIMAN JL. LINGKUNGAN ` BATAS LOKASI : UTARA BARAT SELATAN TIMUR : Pemukiman : Pemukiman : Lahan Kosong : Pemukiman AREA HIJAU (PERKEBUNAN/ SAWAH) Gambar. Foto Lokasi Balai PMD Yogyakarta Unit II Kemendagri. D A T A L A H A N 1) Koefisien Dasar Bangunan : 50% 2) Koefisien Lantai Bangunan : 1.2 3) Koefisien Lapis Bangunan : 4 s/d 8 4) Lokasi : Jl. Raden Ronggo Km 15 Tirtomartani, Kalasan Yogyakarta 5) Fungsi saat ini : Balai PMD Yogyakarta Unit Kemendagri 6) Luas Lahan : m2 (estimasi keseluruhan) Hal. VI - 2

275 AREA HIJAU (PERKEBUNAN/ SAWAH) AREA PEMUNGKIMAN LAPORAN AKHIR Jl. Raden Ronggo Km 15 Tirtomartani, Kalasan Yogyakarta adalah merupakan akses jalan utama menuju ke kawasan Balai PMD Yogyakarta Unit Kemendagri.. Jln. Lingkungan adalah merupakan jalur akses alternatif menuju kawasan Balai PMD Yogyakarta Unit Kemendagri. Kondisi tapak, yang saat ini direncanakan akan dikembangkan Balai PMD Yogyakarta Unit Kemendagri. AREA PEMUNGKIMAN 2 JL. LINGKUNGAN 1 JL. RADEN RONGGO KM 15 TIRTOMARTANI ` 2 1 AREA HIJAU (PERKEBUNAN/ SAWAH) K E Y P L A N 3 Lobby Drop Off dan juga sebagai pintu akases utama ke bangunan PMD Yogyakarta. Area hijau atau tempat memeberikan pelatiahan out door. ME Etarance alternatif PMD Yogyakarta yang menuju ke jalan lingkungan Hal. VI - 3

276 Kondisi Tapak Kondisi tapak : GSB : 10 m (Jl. Raden Ronggo Km 15 Tirtomartani, Kalasan Yogyakarta) adalah : sepada bangunan yang diijinkan mundur 10 m dari batas lahan. Koefisien dasar bangunan 50% adalah : luas dasar bangunan yang diijinkan adalah maksimal 50% dari luas lahan yang tersedia. Koefisien luas lantai bangunan 1.2% adalah : luas lantai maksimum bangunan yang direkomendasikan 1.2% dari luas lahan yang ada. Koefisien lapis bangunan yang direkomendasikan adalah 4 s/d 8 lapis diatas permukaan dasar. Namun demikian bisa diajukan penambahan jumlah lapis bangunan. Akses ME (Main Entrance) utama melalui Jl. Raden Ronggo Tirtomartani dan Akses ME (Main Entrance) penunjang melalui jalan lingkungan. RUMAH DINAS ASRAMA VIP ASRAMA ASRAMA AUDOTORIUM Gd. KANTOR 2 Gd. AUDIOVISUAL GARASI Gd. KELAS Gd. KANTOR 2 AKSES KELUAR DARI LOKASI PMD JOGYAKARTA AKSES MASUK KE LOKASI PMD JOGYAKARTA Hal. VI - 4

277 Rencana Pengembangan Saranan dan Prasarana Tapak A. Penerangan Kawasan (Akses Sirkulasi) 1. LAMPU PENERANGAN JALAN a) Bagian dari bangunan pelengkap jalan yang dapat diletakkan atau dipasang di kiri/kanan jalan dan atau di tengah (di bagian median jalan) yang digunakan untuk menerangi jalan maupun lingkungan di sekitar jalan yang diperlukan termasuk persimpangan jalan, jalan layang, jembatan dan jalan di bawah tanah; b) Suatu unit lengkap yang terdiri dari sumber cahaya, elemen optik, elemen elektrik dan struktur penopang serta pondasi tiang lampu. 2. FUNGSI PENERANGAN JALAN Penerangan jalan di kawasan perkontoran mempunyai fungsi antara lain : a) Menghasilkan kekontrasan antara obyek dan permukaan jalan; b) Sebagai alat bantu navigasi pengguna jalan; c) Meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan, khususnya pada malam hari; d) Mendukung keamanan lingkungan; e) Memberikan keindahan lingkungan jalan. 3. DASAR PERENCANAAN PENERANGAN JALAN a) Perencanaan penerangan jalan terkait dengan hal-hal berikut ini : 1) Volume lalu-lintas, baik kendaraan maupun lingkungan yang bersinggungan seperti pejalan kaki, pengayuh sepeda, dll; 2) Tipikal potongan melintang jalan, situasi (lay-out) jalan dan persimpangan jalan; 3) Geometri jalan, seperti alinyemen horisontal, alinyemen vertikal, dll; 4) Tekstur perkerasan dan jenis perkerasan yang mempengaruhi pantulan cahaya lampu penerangan; 5) Pemilihan jenis dan kualitas sumber cahaya/lampu, data fotometrik lampu dan lokasi sumber listrik; 6) Tingkat kebutuhan, biaya operasi, biaya pemeliharaan, dan lain-lain, agar perencanaan sistem lampu penerangan efektif dan ekonomis; 7) Rencana jangka panjang pengembangan jalan dan pengembangan daerah sekitarnya; 8) Data kecelakaan dan kerawanan di lokasi. b) Beberapa tempat yang memerlukan perhatian khusus dalam perencanaan penerangan jalan antara lain sebagai berikut : 1) Lebar ruang milik jalan yang bervariasi dalam satu ruas jalan; 2) Tempat-tempat dimana kondisi lengkung horisontal (tikungan) tajam; 3) Tempat yang luas seperti persimpangan, interchange, tempat parkir, dll; 4) Jalan-jalan berpohon; 5) Jalan-jalan dengan lebar median yang sempit, terutama untuk pemasangan lampu di bagian median; 6) Jembatan sempit/panjang, jalan layang dan jalan bawah tanah (terowongan); 7) Tempat-tempat lain dimana lingkungan jalan banyak berinterferensi dengan jalannya. Hal. VI - 5

278 4. JENIS LAMPU PENERANGAN JALAN a) Jenis lampu penerangan jalan ditinjau dari karakteristik dan penggunaannya secara umum dapat dilihat dalam Tabel 1. b) Rumah lampu penerangan (lantern) dapat diklasifikasikan menurut tingkat perlindungan terhadap debu/benda dan air. Hal ini dapat diindikasikan dengan istilah IP (Index of Protection) atau indek perlindungan, yang memiliki 2(dua) angka, angka pertama menyatakan indek perlindungan terhadap debu/benda, dan angka kedua menyatakan indek perlindungan terhadap air. Sistem IP merupakan penggolongan yang lebih awal terhadap penggunaan peralatan yang tahan hujan dan sebagainya, dan ditandai dengan lambang. Semakin tinggi indek perlindungan (IP), semakin baik standar perlindungannya. Ringkasan pengkodean IP mengikuti Tabel 2 (A Manual of Road Lighting in Developing Countries). Pada umumnya, indek perlindungan (IP) yang sering dipakai untuk klasifikasi lampu penerangan adalah : IP 23, IP 24, IP 25, IP 54, IP 55, IP 64, IP 65, dan IP 66. Tabel 1 Jenis lampu penerangan jalan secara umum menurut karakteristik dan penggunaannya Hal. VI - 6

279 Hal. VI - 7

280 Tabel 2 Kode indek perlindungan IP (Index of Protection) Hal. VI - 8

281 Tabel 2 Lanjutan Hal. VI - 9

282 5. KETENTUAN PENCAHAYAAN DAN PENEMPATAN a) Pencahayaan pada ruas jalan Kualitas pencahayaan pada suatu jalan diukur berdasarkan metoda iluminansi atau luminansi. Meskipun demikian lebih mudah menggunakan metoda iluminansi, karena dapat diukur langsung di permukaan jalan dengan menggunakan alat pengukur kuat cahaya. Kualitas pencahayaan normal menurut jenis/klasifikasi fungsi jalan ditentukan seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Kualitas pencahayaan normal Hal. VI - 10

283 b) Pencahayaan pada tempat parkir Kuat pencahayaan pada daerah tempat parkir ditentukan seperti pada Tabel 4. c) Pencahayaan pada rambu lalu-lintas Batasan kuat pencahayaan (iluminansi) dan luminansi pada rambu-rambu lalu-lintas yang dipasang berdekatan dengan lampu penerangan jalan atau papan reklame ditentukan pada Tabel 5 (AASHTO, 1984), yang bertujuan agar lebih menarik perhatian bagi pengguna jalan. Tabel 4 Kuat pencahayaan pada daerah tempat parkir Tabel 5 Batasan kuat pencahayaan untuk rambu lalu-lintas Hal. VI - 11

284 d) Pencahayaan pada terowongan 1) Kuat pencahayaan pada terowongan harus cukup dan memberi kenyamanan baik untuk penglihatan siang maupun malam hari. Adapun kriteria penerangan terowongan adalah seperti yang ditentukan pada Tabel 6. 2) Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pencahayaan terowongan : Memberikan adaptasi pencahayaan yang baik; Tingkat kesilauan seminimal mungkin; Memberikan pantulan yang cukup dan warna yang kontras pada permukaan terowongan; Memberikan pencahayaan yang jelas rambu-rambu lalu-lintas. e) Rasio kemerataan pencahayaan (uniformity ratio) Rasio maksimum antara kemerataan pencahayaan maksimum dan minimum menurut lokasi penempatan tertentu adalah seperti yang ditentukan pada Tabel 7. Tabel 6 Batasan kuat pencahayaan pada terowongan Tabel 7 Rasio kemerataan pencahayaan Hal. VI - 12

285 f) Pemilihan jenis dan kualitas lampu penerangan Pemilihan jenis dan kualitas lampu penerangan jalan didasarkan pada : 1) Nilai efisiensi (Tabel 1); 2) Umur rencana; 3) Kekontrasan permukaan jalan dan obyek. g) Penempatan lampu penerangan 1) Penempatan lampu penerangan jalan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan : a. Kemerataan pencahayaan yang sesuai dengan ketentuan Tabel 6 dan 7; b. Keselamatan dan keamanan bagi pengguna jalan; c. Pencahayaan yang lebih tinggi di area tikungan atau persimpangan, dibanding pada bagian jalan yang lurus; d. Arah dan petunjuk (guide) yang jelas bagi pengguna jalan dan pejalan kaki. 2) Sistem penempatan lampu penerangan jalan yang disarankan seperti pada Tabel 8. 3) Pada sistem penempatan parsial, lampu penerangan jalan harus memberikan adaptasi yang baik bagi penglihatan pengendara, sehingga efek kesilauan dan ketidaknyamanan penglihatan dapat dikurangi. 4) Perencanaan dan penempatan lampu penerangan jalan dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 8 Sistem penempatan lampu penerangan jalan Hal. V

286 Keterangan : H = tinggi tiang lampu L = lebar badan jalan, termasuk median jika ada E = jarak interval antar tiang lampu S1 + S2 = proyeksi kerucut cahaya lampu S1 = jarak tiang lampu ke tepi kereb S2 = jarak dari tepi kereb ke titik penyinaran terjauh I = sudut inklinasi pencahayaan Gambar 1 Penempatan lampu penerangan 5) Batasan penempatan lampu penerangan jalan tergantung dari tipe lampu, tinggi lampu, lebar jalan dan tingkat kemerataan pencahayaan dari lampu yang akan digunakan. Jarak antar lampu penerangan secara umum dapat mengikuti batasan seperti pada Tabel 9 (A Manual of Road Lighting in Developing Countries). Dalam tabel tersebut dipisahkan antara dua tipe rumah lampu. Rumah lampu (lantern) tipe A mempunyai penyebaran sorotan cahaya/sinar lebih luas, tipe ini adalah jenis lampu gas sodium bertekanan rendah, sedangkan tipe B mempunyai sorotan cahaya lebih ringan/kecil, terutama yang langsung ke jalan, yaitu jenis lampu gas merkuri atau sodium bertekanan tinggi. Hal. VI - 14

287 1. Rumah lampu tipe A Tabel 9 Jarak antar tiang lampu penerangan (e) berdasarkan tipikal distribusi pencahayaan dan klasifikasi lampu 2. Rumah lampu tipe B Hal. VI - 15

288 8) Penataan letak lampu penerangan jalan Penataan/pengaturan letak lampu penerangan jalan diatur seperti pada Tabel 10 dan diilustrasikan pada Lampiran A. Di daerah-daerah atau kondisi dimana median sangat lebar (> 10 meter) atau pada jalan dimana jumlah lajur sangat banyak (> 4 lajur setiap arah) perlu dipertimbangkan dengan pemilihan penempatan lampu penerangan jalan kombinasi dari cara-cara tersebut di atas dan pada kondisi seperti ini, pemilihan penempatan lampu penerangan jalan direncanakan sendiri-sendiri untuk setiap arah lalu-lintas. 9) Penataan lampu penerangan terhadap tanaman jalan Dalam penempatan lampu penerangan jalan harus dipertimbangkan terhadap tanaman jalan akan ditanam maupun yang telah ada, sehingga perlu adanya pemangkasan pohon dengan batasan seperti pada Gambar 8 dan Tabel 11. Tabel 10 Penataan letak lampu penerangan jalan Hal. V

289 Gambar 8 Penempatan lampu penerangan terhadap tanaman jalan Tabel 11 Tinggi pemangkasan pohon terhadap sudut di bawah cahaya lampu Hal. VI - 17

290 6. PEMASANGAN LAMPU PENERANGAN JALAN a) Tiang lampu dengan lengan tunggal; Tiang lampu ini pada umumnya diletakkan pada sisi kiri atau kanan jalan. Tipikal bentuk dan struktur tiang lampu dengan lengan tunggal seperti diilustrasikan pada Gambar 10. b) Tiang lampu dengan lengan ganda Tiang lampu ini khusus diletakkan di bagian tengah/median jalan, dengan catatan jika kondisi jalan yang akan diterangi masih mampu dilayani oleh satu tiang. Tipikal bentuk dan struktur tiang lampu dengan lengan ganda seperti diilustrasikan pada Gambar 11. c) Tiang lampu tegak tanpa lengan Tiang lampu ini terutama diperlukan untuk menopang lampu menara, yang pada umumnya ditempatkan di persimpangan-persimpangan jalan ataupun tempattempat yang luas seperti interchange, tempat parkir, dll. Jenis tiang lampu ini sangat tinggi, sehingga sistem penggantian/perbaikan lampu dilakukan di bawah dengan menurunkan dan menaikkan kembali lampu tersebut menggunakan suspension cable. Gambar 10 Tipikal tiang lampu lengan tunggal Gambar 11 Tipikal tiang lampu lengan ganda Gambar 12 Tipikal lampu tegak tanpa lengan Hal. VI - 18

291 7. SIMBOL PERENCANAAN PENERANGAN JALAN Simbol-simbol, gambar, istilah dan tanda yang digunakan untuk dalam perencanaan lampu penerangan jalan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12 Simbol-simbol dalam perencanaan penerangan jalan Hal. VI - 19

292 LAMPIRAN A (Informatif) Bentuk dan struktur rumah lampu penerangan jalan Gambar A.2 Contoh rumah lampu sodium Gambar A.1 Contoh rumah lampu merkuri LAMPIRAN B (Informatif) Tipikal lampu penerangan jalan berdasarkan pemilihan letak Gambar B.1 Tipikal lampu penerangan pada jalan satu arah Hal. VI - 20

293 Gambar B.2 Tipikal lampu penerangan pada jalan dua arah Hal. VI - 21

294 LAMPIRAN C (Informatif) Contoh bentuk dan dimensi lampu penerangan jalan Gambar C.1 Contoh tipikal dan dimensi tiang lampu lengan tunggal Hal. V

295 Gambar C.2 Contoh tipikal dan dimensi tiang lampu lengan ganda Hal. VI - 23

296 LAMPIRAN D (Informatif) Contoh konstruksi dan detail pondasi tiang Gambar D.1 Contoh tipikal pondasi lampu penerangan standar Hal. V

297 Gambar G.2 Contoh tipikal pondasi lampu penerangan menara Hal. VI - 25

298 LAMPIRAN E (Informatif) Contoh konstruksi dan detail panel lampu Keterangan : seluruh satuan ukuran dalam (mm) Gambar E.1 Contoh tipikal panel lampu penerangan jalan Gambar E.2 Contoh tipikal panel lampu penerangan jalan Hal. VI - 26

299 Keterangan : seluruh satuan ukuran dalam (mm) Gambar E.3 Contoh tipikal panel lampu penerangan untuk ramp dan jembatan Hal. VI - 27

300 8. RENCANA SISTEM PENERANGAN DI KAWASAN PMD YOGYAKARTA UNIT II Solar Cell Lampu Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJU-TS) adalah lampu penerangan jalan yang menggunakan cahaya matahari sebagai sumber energi listriknya. Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya ( PJU-TS ) sangat cocok digunakan untuk jalan-jalan Keunggulan: a. Terang dan tahan lama b. Hemat energi c. Ramah lingkungan d. Bebas polusi e. Cepat dan mudah dalam pemasangan f. Hemat biaya perawatan g. Life time yang lama (lampu LED hingga 11 tahun & solar panel hingga 25 tahun) h. Cocok dipasang di segala lokasi i. Tersedia dengan daya mulai dari lampu dengan daya 15w (950Lm) -168w ( L Hal. VI - 28

301 LAPORAN AKHIR 9. RENCANA PENEMPATAN TITIK LAMPU DI KAWASAN PMD YOGYAKARTA UNIT II Keterangan: Penempatan Titik Lampu Hal. VI - 29

302 B. Rencana Proteksi Terhadap Kebakaran 1) SISTEM PEMADAM KEBAKARAN (FIRE FIGHTING SYSTEM) Sistem pemadam kebakaran atau sistem fire fighting disediakan di gedung sebagai preventif (pencegah) terjadinya kebakaran. Sistem ini terdiri dari sistem sprinkler, sistem hidran dan Fire Extinguisher. Dan pada tempat-tempat tertentu digunakan juga sistem fire gas.tetapi pada umumnya sistem yang digunakan terdiri dari: sistem sprinkler, hidran dan fire extinguisher. Ada 3 pompa yang digunakan dalam sistem sprinkler dan Hydran, yaitu: 1) elektrik pump, 2) diesel pump dan 3) jockey pump. Jockey pump berfungsi untuk menstabilkan tekanan di instalasi, dan secara otomatis akan bekerja apabila ada penurunan tekanan. Dan jika ada head sprinkler yang pecah atau hydran digunakan, maka yang bekerja secara otomatis pompa elektrik bekerja, dan secara otomatis pula jockey pump akan berhenti bekerja. Pompa elektrik pump (atau elektrik pump) merupakan pompa utama yang bekerja bila head sprinkler atau hydran digunakan. Sedang pompa diesel merupakan pompa cadangan, jika pompa elektrik gagal bekerja selama 10 detik, maka secara otomatis pompa ini akan bekerja. a) Fire Fighting Sistem Sprinkler Sistem ini menggunakan instalasi pipa sprinkler bertekanan dan head sprikler sebagai alat utama untuk memadamkan kebakaran. Sistem ada 2 macam, yaitu: 1) Wet Riser System: Seluruh instalasi pipa sprinkler berisikan air bertekanan dengan tekanan air selalu dijaga pada tekanan yang relatif tetap. 2) Dry riser system : Seluruh instalasi pipa sprinkler tidak berisi air bertekanan, peralatan penyedia air akan mengalirkan air secara otomatis jika instalasi fire alar memerintahkannya. Pada umumnya gedung bertingkat tinggi menggunakan sistem wet riser, seluruh pipa sprinkler berisikan air bertekanan, dengan tekanan air selalu dijaga pada tekanan yang relatif tetap. Hal. VI - 30

303 Apabila tekanan dalam pompa menurun, maka secara otomatis jockey pump akan bekerja untuk menstabilkan tekanan air didalam pipa. Jika tekanan terus menurun atau ada glass bulb head sprinkler yang pecah maka pompa elektrik akan bekerja dan secara otomatis pompa jockey akan berhenti. Dan apabila pompa elektrik gagal bekerja setelah 10 detik, maka pompa cadangan diesel secara otomatis akan bekerja. b) Fire Fighting Sistem Hydran Sistem ini menggunakan instalasi hydran sebagai alat utama pemadam kebakaran, yang terdiri dari box hydran dan accesories, pilar hydran dan siemese. Box Hydran dan accesories instalasinya (selang (hose), nozzle) (atau disebut juga dengan Fire House cabinet (FHC)) biasanya ditempatkan dalam gedung, sebagai antisipasi jika sistem sprinkler dan sistem fire extinguisher kewalahan mengatasi kebakaran di dalam gedung. Sedang Pilar hydran (yang dilengkapi juga dengan box hydran disampingnya, untuk menyimpan selang (hose) dan nozzle) biasanya ditempatkan di area luar (jalan) disekitar gedung, digunakan jika sistem kebakaran di dalam gedung tidak memadai lagi. Dan Siemese berfungsi untuk mengisi air ground tank (sumber air hydran) tidak memadai lagi atau habis. Siemese ditempatkan di dekat di dekat jalan utama. Hal ini untuk memudahkan dalam pengisian air. System Hydran ini juga terdiri dari 2 system, yaitu: 1) wet riser system: Seluruh instalasi pipa hydran berisikan air bertekanan dengan tekanan yang selalu dijaga pada tekanan yang relatif tetap. 2) Dry Riser System: seluruh instalasi pipa hydran tidak berisikan air bertekanan, peralatan penyedia air akan secara otomatis jika katup selang kebakaran di buka. Seperti halnya sistem sprinkler, jika ada tekanan dalam pipa instalasi menurun, maka pompa jockey akan bekerja. Dan jika instalasi hydran dibuka maka secara otomatis pompa elektrik akan bekerja, dan jockey pump secara otomatis akan berhenti. Dan jika pompa elektrik gagal bekerja secara otomatis, maka pompa diesel akan bekerja. Hal. VI - 31

304 c) Fire Fighting fire Extinguisher Fire extinguisher atau lebih dikenal dengan nama APAR (Alat Pemadam Api Ringan) merupakan alat pemadam api yang pemakaiannya dilakukan secara manual dan langsung diarahka pada posisi dimana api berada. Apar biasanya ditempatkan di tempat-tempat strategis yang dissuaikan dengan peraturan Dinas Pemadam Kebakaran. Terdapat beberapa jenis Apar yang digunakan, yaitu: Apar Type A: Murtipupuse Dry Chemica Powder 3,5 Kg Apar Type B: Gas Co2 6,8 kg Apar type C : Gas Co2 10 kg Apar type D : Multipupuse Dry Chemical Powder 25 kg (dilengkapi dengan Trolley) d) Fire Fighting Sistem Gas Sistem fire gas biasanya digunakan untuk ruangan tertentu, seperti: ruang Genset, ruang panel dan ruangan eletronik (ruang central komputer: ruang hub dan server, IT, Comunication dan lain-lain). Sistem iyang digunakan biasanya sistem fire gas terpusat, dimana tabung-tabung gas (foam, halon, FM 100, Co2 dan lain-lain), ditempatkan secara terpusat dan pendistribusiannya ke dalam ruangan dilewatkan melalui motorized valve / actuator, instalasi pemipaan dan nozzle. Cara kerja sistem ini berdasarkan perintah dari system fire alarm. Hal. VI - 32

305 2. RENCANA SISTEM PEMADAM KEBAKARAN HYDRAN (FIRE FIGHTING SYSTEM HYDRAN) KAWASAN PMD YOGYAKARTA UNIT II Hydrant adalah suatu sistem penanggulangan kebakaran yang efektif dengan menggunakan media air. Hydrant dibagi menjadi 2 yaitu a) hydrant halaman (pilar) dan b) hydrant gedung (box). Dalam mengevaluasi perencanaan instalasi pemadam dengan sistem hydrant kebakaran diperlukan perhitungan kebutuhan air pemadam, kehilangan tekanan, jenis dan spesifikasi pipa kebakaran, debit dan head pompa yang digunakan a) HYDRANT PILAR Hydrant halaman atau biasa disebut dengan hydrant pilar, adalah suatu sistem pencegah kebakaran yang membutuhkan pasokan air dan dipasang di luar bangunan. Hydrant ini biasanya digunakan oleh mobil PMK untuk mengambil air jika kekurangan dalam tangki mobil. Jadi hydrant pilar ini diletakkan di sepanjang jalan akses mobil PMK b) HYDRANT GEDUNG Hydrant gedung atau biasa disebut dengan hydrant box adalah suatu sistem pencegah kebakaran yang menggunakan pasokan air dan dipasang di dalam bangunan atau gedung. Hydrant box biasanya dipasang menempel di dinding dan menggunakan pipa tegak (stand pipe) untuk menghubungkan dengan pipa dalam tanah khusus kebakaran. Gambar B.1 Contoh Hydrant Pilar Gambar B.2 Contoh Hydrant Gedung Hal. VI - 33

306 LAPORAN AKHIR 3. RENCANA PENEMPATAN YOGYAKARTA UNIT II HYDRAN DI KAWASAN PMD Keterangan: Penempatan Hydrant Pilar Penempatan Hydrant Box Ground Tank / Rg. Pompa Jalur Distribusi Air Hal. VI - 34

307 C. Rencana Pemasangan Pagar Pengaman Kawasan 1. PENGERTIAN PAGAR Pagar adalah struktur tegak yang dirancang untuk membatasi atau mencegah gerakan melintasi batas yang dibuatnya. Pagar umumnya dibedakan dengan dinding menurut kekokohan kontruksinya: suatu dinding umumnya didefinisikan sebagai pembatas yang terbuat dari batu bata atau beton, yang tidak hanya membatasi gerakan, melainkan juga pandangan. Pagar memiliki beberapa kegunaan, misalnya : a) pagar pertanian untuk melindungi hewan ternak dari pemangsa; b) pagar privasi untuk memberikan prifasi; c) pagar sementara untuk memberikan keselamatan dan keamanan publik pada suatu situs konstruksi; d) pagar pengaman untuk menghindari pelanggar batas atau pencuri dan mencegah anak-anak dan hewan peliharaan untuk lari; e) serta pagar hias, untuk mempercantik tampilan rumah, taman, atau lainnya. Fungsi pagar pada bangunan sangat penting karena seiring perjalanan waktu dan budaya masyarakat ternyata yang namanya pagar sudah bukan hanya berfungsi sebagai pembatas atau pengaman saja, tapi ada bermacam kegunaan lain sehingga desain pagar perlu disesuaikan dengan peruntukanya. Misalnya pagar yang fokus sebagai pengaman maka bisa terbuat dari kawat berduri yang berguna untuk menghalagi manusia atau hewan yang mencoba melewati di selasela atau di atas kawat berduri ini akan mengalami kesusahan dan dapat mengalami luka. Material yang digunakan untuk membuat pagar kawat berduri hanya dibutuhkan: a) tiang penyangga, b) kawat berduri dan c) pengait., Dan sedangkan pagar yang fungsinya untuk memperindah tampak depan bagunan maka desainya perlu disesuaikan dengan model arsitektur bagunan. Hal. VI - 35

308 Macam-macam fungsi pagar a) Sebagai pengaman bagunan, jadi perlu dibuat tinggi dan dilengkapi dengan gembok pengaman. b) Untuk memperindah tampilan eksterior bangunan. c) Menutup pandangan dari luar bagunan agar tidak bisa melihat aktifitas keluarga di pekarangan. beberapa desain pagar menggunakan polycarbonat untuk melapis pagar. d) Tempat untuk menaruh pot bunga, atau langsung menanam pohon hias pada pagar, jadi perlu didesain sedemikian rupa untuk menyediakan fungsi ini. e) Menaruh lampu taman. f) Ada juga yang memfungsikan sebagian sisi pagar untuk bak sampah. g) Pembatas kepemilikan tanah dengan tetangga atau fasilitas umum seperti jalan, got, trotoar dan lainya. Dilihat dari fungsi fisiknya adalah adanya pagar dapat membuat rasa aman dan tenang bagi penghuninya.. Jika dari bentuk dan bahan yang dipakai, sebuah pagar juga berfungsi sebagai pelindung. Artinya, adanya pagar dapat melindungi bagunana dan penghuninya dari hal-hal yang tidak diinginkan dalam batas-batas tertentu. Jenis Pagar Pengaman Kawat Berduri Gambar 2.1 Contoh pagar kawat berduri Y Gambar 2.3 Contoh pagar kawat berduri spiral Gambar 2.2 Contoh pagar kawat berduri L Hal. VI - 36

309 2. RENCANA PEMASANGAN PAGAR PENGAMAN KAWAT BERDURI KAWASAN PMD YOGYAKARTA UNIT II Pemasangan Kawat Berduri pada pagar keliling kawasan PMD Yogyakarta Unit II Hal. VI - 37

310 C. Rencana Sistim Penyediaan Air Bersih 1) INSTALASI PLUMBING AIR BERSIH Sumber air bersih diambil dari PDAM dimasukan ke dalam bak penampung air bersih (Clear Water Tank) atau Ground Water Tank (GWT), sedangkan sumber air yang berasal dari tanah atau sumur dalam (deep well) dimasukan kedalam penampung air baku (raw water tank). Air dari Deep Well ini masuk ke tangki penampungan yang berfungsi juga sebagai tangki pengendap lumpur atau pasir yang terbawa dari sumur. Air yang berada di raw water tank diolah (treatment) di instalasi Water Treatment Plant dan selanjutnya dialirkan ke clear water tank atau ground water tank, selanjutnya dialirkan ke tangki air atap (roof tank) dengan menggunakan pompa transfer. Distribusi air bersih pada dua lantai teratas untuk mendapatkan tekanan cukup umummnya menggunakan pompa pendorong (booster pump), sedangkan untuk lantai-lantai dibawahnya dialirkan secara gravitasi. Pada umumnya persediaan air bersih diperhitungkan untuk cadangan satu hari pemakaian air. Dan kualitas air disesuaikan dg peraturan, UU dan standar yg berlaku di wilayah yang bersangkutan. Untuk Indonesia: SNI No tentang air minum yang boleh dialirkan ke alat plumbing, No.907/PERMENKES/VII/2002 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, Kep- 02/Men KLH/I/1998 tentang Baku Mutu Perairan Darat, Laut dan Udara, dan sistem plumbing standart nasional indonesia, SNI Sistem Plumbing. Sistem Penyediaan Air Bersih terbagi menjadi empat sistem: 1) Sistem Sambung Langsung 2) Sistem Tangki Atas 3) Sistem Tangki Tekan : a) Sistem Hydrocel b) Sistem Diaphragma 4) Sistem Tanpa Tangki a) Sistem kecepatan putaran pompa konstan b) Sistem kecepatan putaran pompa variable Hal. VI - 38

311 2) SISTEM INSTALASI PLUMBING AIR BERSIH a) Sistem Sambung Langsung Dalam sistem ini pipa distribusi dalam gedung disambung langsung dengan pipa utama penyediaan air bersih (PDAM). Karena terbatasnya tekanan dalam pipa utama dan dibatasi ukuran pipa cabang dari pipa utama tersebut, maka sistem ini terutama dapat diterapkan untuk perumahan dan gedung skala kecil dan rendah. b) Sistem Tangki Atas Apabila sistem sambungan langsung oleh berbagai alasan tidak dapat diterapkan, sebagai gantinya banyak sekali digunakan sistem tangki atap. Sistem ini, air ditampung lebih dahulu dalam tangki bawah atau dipasang pada lantai terendah, kemudian dipompakan ke tangki atas yang biasanya dipasang di atas atap atau di atas lantai tertinggi bangunan. Dari tangki ini air didistribusikan ke seluruh lantai bangunan. Sistem tangki atap ini seringkali digunakan dengan pertimbangan : 1) Selama air digunakan tidak terjadi perubahan tekanan yang berarti pada alat plumbing. Perubahan tekanan hanya terjadi karena akibat perubahan level air di dalam tangki atap sehingga harus diupayakan agar level air tetap konstan. 2) Pada sistem penyedia air tangki atas bekerja secara otomatis karena pada umumnya dilengkapi swith automatik sehingga kecil kemungkinan timbulnya kesulitan akibat penurunan tajam pada permukaan level air. 3) Perawatan tangki atas relatif lebih sederhana dibandingkan dengan sistem tangki tekan. 4) Perlu pompa cadangan untuk bangunan yang besar dan tinggi. Karena tuntutan alat-alat plumbing, agar dapat bekerja dengan baik maka peletakan tangki atap menjadi penting. Sebagai contoh katub glontor (flush valve) dapat bekerja dengan baik jika tekanan air pada alat plumbing sebesar 1,00 kg/cm2 atau tinggi tangki atap lebih besar atau sama dengan 10 meter. Jika peletakan tangki tidak memungkinkan sehingga tekanan tidak dapat tercapai maka perlu dipertimbangkan pemasangan pipa sambung langsung ke alat saniter atau alat plumbing (fixture) atau dengan memasang pompa pendorong (booster pump) agar kerugian tekanan berkurang. Memilih alat plambing yang tidak terlalu tinggi tuntutan tekanan kerjanya, misal kloset dengan katup glontor dengan tekanan kerja 0,6 kg/cm2 atau tinggi tangki 6,00 meter. Hal. VI - 39

312 c) Sistem Tangki Tekan Prinsip kerja dari sistem tangki tekan (hidrosfor) adalah sebagai berikut, air yang telah ditampung di dalam tangki bawah dipompa ke dalam tangki tertutup yang mengakibatkan udara didalamnya terkompresi sehingga tersedia air dengan tekanan awal yang cukup untuk didistribusikan ke peralatan plumbing di seluruh bangunan yang direncanakan. Pompa bekerja secara otomatis diatur oleh detektor tekanan, yang membuka dan menutup saklar penghasut motor listrik penggerak pompa. Pompa akan berhenti bekerja jika tekanan tangki telah mencapai batas maksimum yang ditetapkan dan mulai bekerja jika batas minimum tekanan yang ditetapkan telah dicapai. Daerah fluktuasi tekan tergantung pada tinggi bangunan, misalkan untuk bangunan 2 3 lantai tekanan air harus mencapai 1 1,5 kg/cm2 atau ,471 bar atau mka (muka kolom air). Kelebihan-kelebihan sistem tangki tekan adalah lebih menguntungkan dari segi estetika karena tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan tangki atap, mudah perawatannya karena dapat dipasang dalam ruang mesin bersama pompa-pompa lainnya dan harga awal lebih rendah dibandingkan dengan tangki yang harus dipasang di atas menara. Disamping itu diperlukan juga kompressor dan keduanya dioperasikan secara automatis. Selain itu yang perlu diperhatikan adalah kekurangannya, diantaranya : daerah fluktuasi tekanan sebesar 1,0 kg/cm2 sangat besar dibandingkan dengan sistem tangki atap yang hampir tidak ada fluktuasinya, dengan berkurangnya udara dalam tangki tekan, maka setiap beberapa hari sekali harus ditambahkan udara dengan kompresor atau dengan menguras seluruh air dari dalam tangki tekan. Rancangan volume udara dalam tangki umumnya sebesar 30% dari volume tangki dan sisanya berisi air. Seiring dengan berkurangnya udara maka kompressor menjadi kebutuhan mutlak harus dipasang. Hal. VI - 40

313 Variasi sistem tangki tekan adalah sebagai berikut: 1) Sistem Hydrocel: Sistem tangki tekan hydrocel untuk tangki tekan menggunakan tabung bahan karet khusus yang dapat mengembang dan menyusut sesuai dengan tekanan tangki. Penambahan udara pada tangki tekan karet ini perlu karena tidak kontak langsung. Sistem ini mempunyai kekurangan yaitu air dalam tangki sedikit. 2) Sistem Tangki Tekan dengan Diapragma: Sistem tangki tekan dengan diafram ini, untuk tangki tekan menggunakan tabung bahan karet khusus sebagai pemisah air dengan udara.tekanan tangki. Penambahan udara pada tangki tekan karet ini perlu karena tidak kontak langsung. Sistem ini mempunyai kelebihan yaitu sebagai penyimpan air dan peredam pukulan. Namun dalam hal ini tidak dapat difungsikan secara bersama-sama. Sistem tangki tekan dapat dianggap lebih berfungsi sebagai suatu sistem pengaturan tekanan dibandingkan dengan fungsinya sebagai penyimpan air, karena bukan sebagai sistem penyimpan air seperti tangki atap dan karena jumlah volume air yang efektif tersimpan dalam tangki tekan relatif sedikit, mengakibatkan pompa akan sering bekerja dan menyebabkan pompa lebih berat kerjanya. d) Sistem Tanpa Tangki Sistem ini sebenarnya tidak direkomendasi oleh berbagai pihak, Sistem ini tidak menggunakan tangki apapun, baik tangki bawah, tangki tekan ataupun tangki atap. Air dipompakan langsung ke sistem distribusi bangunan dan pompa menghisap langsung dari pipa utama. Sistem kecepatan putaran pompa konstan, Pompa utama selalu bekerja sedangkan pompa lain akan bekerja secara otomatik yang diatur oleh tekanan. Sistem kecepatan putaran pompa variabel, Sistem ini untuk mengubah kecepatan atau laju aliran diatur dengan mengubah kecepatan putaran pompa secara otomatik. Sistem kecepatan putaran pompa variabel mempunyai keuntungan/ kerugiannya antara lain : 1) Mengurangi tingkat pencemaran air karena tidak menggunakan tangki, 2) Mengurangi terjadinya karat karena tidak kontak udara langsung, 3) Beban struktur semakin ringan karena tidak ada tangki atas, 4) Biaya pemakaian daya listrik besar, 5) Penyediaan air bersih tergantung pada sumberdayanya, 6) Investasi awal besar. Hal. VI - 41

314 3. RENCANA SISTEM DISTRIBUSI AIR BERSIH KAWASAN PMD YOGYAKARTA UNIT II a) Ground Tank Kebutuhan air yang cukup besar dan kurangnya pasokan air yang memadai menjadi alasan dibutuhkannya sistem penyimpan air tambahan, salah satunya adalah dengan tower water tank(menara tangki air) dan ground tank (tangki bawah tanah). Untuk alasan estetika/ keindahan dan biaya, biasanya banyak orang lebih memilih menggunakanground tank, karena letaknya yang tidak kelihatan (terpendam di bawah tanah) dan dari segi pembuatan juga relatif lebih murah jika dibandingkan tower water tank karena tidak perlu struktur kolom dan balok. Mekanisme kerjanya adalah sumber air dari sumur di pompa ke atas, kemudian disimpan di ground tank. Lalu dari ground tank ini akan dipompa lagi ke water tank di atap (ukuran kecil), baru diedarkan ke saluran- saluran air di bawahnya. Campuran beton yang dipakai dalam pembuatan ground tank harus tepat dan kedap air (water proof). Dengan perbandingan plesteran semen dengan pasir yang digunakan adalah 1 : 3. Detail sistem kerjanya adalah sebagai berikut : 1) Tanah digali, lalu diberikan lapisan beton setebal 3-5 cm untuk lantai kerja. 2) Pemasangan stek tulangan untuk perkuatan dinding Ground Tank. 3) Pembuatan lubang pengurasan di bawah 4) Pemasangan tulangan wiremesh diameter 10 mm M- 150 (artinya jarak antar tulangannya 150 mm), untuk konstruksi dengan beton bertulang. 5) Penambahan tulangan di ujung- ujung Ground Tank untuk perkuatan dinding 6) Pemasangan bata untuk pengganti bekisting (karena bagian dalamnya akan di plester dan dikeramik) 7) Pembuatan manhole dan pemasangan bekisting atas untuk pengecoran. 8) Pembetonan bagian atas. 1 2 Hal. VI - 42

315 Pada bagian atas, dibuat manhole sebagai acces untuk masuk ke dalam. Biasanya untuk menguras dan mengecek keadaan pompa. Setelah pembetonan selesai, maka ground tank ini harus diuji dulu untuk memastikan bahwa tidak ada kebocoran, setelah semua fix baru dipasang keramik untuk perlindungan terhadap lumut dan kemudahan dalam pengurasan. Hal. VI - 43

316 Gambar a.1 Contoh digram plumbing air bersih Hal. VI - 44

317 b) Menara air Menara Air atau Elevated Reservoir dibangun untuk menaikkan tekanan air yang kurang di dalam pipa distribusi. Ketinggian menara air tergantung pada kebutuhan tekanan air yang diperlukan untuk pelayanan. Perhitungan hidrolis untuk menentukan tekanan dan ketinggian menara air yang akan dibangun sangat penting dilakukan. Peletakan menara air dipilih di lokasi yang mempunyai elevasi paling tinggi di sekitar area pelayanan. Ini dimaksudkan agar penambahan beda tinggi air antara di menara dan di jaringan pipa yang diperkirakan mempunyai tekanan terendah, lebih efisien. Tinggi menara air juga harus dihitung sesuai dengan batas minimal tekanan air yang diperlukan. Menara air yang tinggi untuk memberikan tekanan. Setiap kaki tinggi memberikan 0,43 PSI (pound per Inch persegi) tekanan. Sebuah pasokan air khas kota berjalan di antara 50 dan 100 PSI (peralatan utama memerlukan setidaknya 20 sampai 30 PSI). Menara air harus cukup tinggi untuk memasok bahwa tingkat tekanan untuk semua rumah dan usaha di bidang menara. Jadi menara air biasanya terletak di tempat tinggi, dan mereka cukup tinggi untuk memberikan tekanan yang diperlukan. Air diperlakukan di sebuah pabrik pengolahan air untuk menghilangkan sedimen (dengan filtrasi dan / atau menetap) dan bakteri (biasanya dengan ozon, sinar ultraviolet dan klorin). Output dari pabrik pengolahan air jelas, air bebas kuman. A- angkat pompa air tinggi pressurizes dan mengirimkannya ke sistem primer feeder pipa air tersebut. Menara air yang melekat pada pengumpan primer cukup sederhana, seperti ditunjukkan pada diagram ini: Jika pompa memproduksi lebih banyak air daripada sistem kebutuhan air, kelebihan mengalir secara otomatis ke dalam tangki. Jika masyarakat menuntut lebih banyak air dari pompa dapat pasokan, maka air mengalir keluar dari tangki untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pengguna pasokan air (kota, pabrik, atau bangunan) harus memiliki tekanan air untuk menjaga keamanan pasokan air. Jika suplai air tidak bertekanan cukup, maka bisa terjadi: 1) Air tidak dapat mencapai lantai atas sebuah gedung; 2) Keran tidak dapat mengeluarkan air karena tidak cukup aliran 3) Mengurangi ketergantungan air tanah. Air Tanah biasanya tercemari dengan mikroorganisme, debu, pasir, pupuk, dan terkotaminasi zat beracun lainnya. Selain itu, Menara air dapat memasok air bahkan ketika listrik padam, karena mereka bergantung pada tekanan yang dihasilkan oleh ketinggian air. Tapi ya jangan lamalama padamnya, karena pompa airnya juga butuh listrik buat mengaliri air ke menara. Hal. VI - 45

318 Contoh Sistem kerja menara air sebagai berikut : D B A C A B C D Air dari Ground Tank/ PDAM Pompa Air Air distribusikan ke bangunan Menara Air 1. Pompa mengalirkan air ke menara 2. Air tersimpan di menara. 3. Tinggi menara memberikan tekanan hidrostatik untuk mengalirkan air ke pengguna. Hal. VI - 46

319 LAPORAN AKHIR 4. RENCANA PENEMPATAN GROUND TANK DAN MENARA AIR DI KAWASAN PMD YOGYAKARTA UNIT II A C B D D D D D Keterangan: A Air dari PDAM / Sumur dalam (deep well) D D D D D D B Bak penampung air bersih (Clear Water Tank) atau Ground Water Tank (GWT), C Pompa mengalirkan air ke Menara Air D menara D Tinggi memberikan tekanan hidrostatik untuk mengalirkan air ke pengguna. Hal. VI - 47

320 C. Rencana Pemasangan Pintu 1. FOLDING GATE Folding Gate merupakan pintu lipat yang terbuat dari besi, terdiri dari plat daun yang berfungsi menutup, besi UNP dan silangan sebagai rangka pintu. Disebut pintu lipat karena bentuk plat daunnya dapat dilipat ketika dibuka. Pintu Folding Gate dapat dibuka dari kiri ke kanan, kanan ke kiri (bukaan satu arah)maupun dari tengah.pintu Folding Gate merupakan solusi ruko / kantor / gudang etc Anda yang simple, praktis, indah & aman. Semakin tinggi ukuran tebal suatu pintu Folding Gate, semakin tinggi pula tingkat keamanannya Hal. VI - 48

321 2. RENCANA PEMASANGAN FOLDING GATE PADA BANGUNAN TTG Hal. VI - 49

322 3. RENCANA PEMASANGAN FOLDING DOOR Folding Door, adalah pintu lipat, yang biasanya untuk partisi/ penyekat ruangan agar ruangan terlihat lebih indah Gambar Folding Door Hal. VI - 50

323 C. Rencana Penataan Lansekap (Tata Hijau) 1. PENGERTIAN LANSEKAP Fungsi lansekap atau tata hijau sangat berkaitan dengan kebutuhan manusia akan kesehatan. Ruang luar lingkungan hidup manusia memerlukan penataan lahan yang cukup untuk bernafas, tidak dipadati oleh bangunanbangunan yang menyesakkan ruang gerak manusia. Lansekap atau tata hijau tidak dapat lepas dari objek yang dilatarinya. Objeknya bisa manusia, bisa juga berupa bangunan arsitekturnya Interpretasi masyarakat terhadap arsitektur pertamanan pada umumnya adalah suatu perencanaan lingkungan atau perencanaan tapak atau perencanaan perkotaan. Beberapa pengertian berikut mungkin akan dapat menyimpulkan bagaimana pengertian arsitektur pertamanan yang paling mendekati: 1) Hubbard dan Theodora Kimball mengatakan bahwa arsitektur pertamanan adalah seni yang fungsi utamanya adalah untuk menciptakan keindahan lingkungan di sekitar tempat hidup manusia, yang berkenaan dengan peningkatan kenyamanan, kemudahan dan kesehatan penduduk perkotaan yang sehari-harinya amat sibuk, sehingga perlu penyegaran. (An Introduction to The Study of Landscape Design). 2) Garret Eckbo (Architecture for Living) mendefinisikan Arsitektur lansekap sebagai berikut:..arsitektur pertamanan adalah bagian dari kawasan lahan yang dibangun atau dibentuk oleh manusia di luar bangunan, jalan, utilitas dan sampai ke alam bebas, yang dirancang terutama sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia.joseph Paxton tokoh perancang Inggris abad ke 19 berteori: bahwa perbedaan yang ada antara arsitektur dan pertamanan terletak pada alat teknik, dan bahan yang diterapkannya. Brian Hacket bahkan menambahkan dengan: dab kawasan lahannya mampu berubah dan berkembang. Semua yang kita dapat dan harus lakukan adalah menggubah dan atau menyesuaikan kawasan lahan agar siap terhadap program yang baru. (Michael Laurie, hal. 6) Hal. VI - 51

324 3) Komitmen dari American Society of Landscape Architects (1979) menyempurnakan definisi dengan: pekerjaan pengurusan lahan yang pada ujud dasarnya arsitektur pertamanan adalah suatu keahlian masa depan, perencanaan kawasan dan perancangan pertamanan yang merupakan tindakan jujur. Sedangkan jabaran cakupan profesionalnya adalah sebagai berikut: The Art of design, planning or management of the land arrangement of natural and man made elements there on through appication of cultural and scientific knowledge, with concern for resource, conservation and stewardship, to the end that the resultante environment serves as useful and enjoyable purpose. (Michael Laurie, hal. 7). Secara ringkas dapat disebutkan bagaimana arsitektur lansekap dapat berfungsi secara positif dalam interaksinya dengan manusia lain atau profesi lain dalam lingkungan di manapun ia berada. 2. FUNGSI TAMAN Sesuai dengan pembatasan penulisan makalah ini maka untuk lebih spesifik lagi perlu dikenal fungsi taman yang sebenarnya sehingga mencapai sasaran yang dituju dalam penulisan ini. Berbagai fungsi taman yang dapat dirasakan manfaatnya adalah sebagai berikut: a) Fungsi untuk kesehatan Untuk fungsi ini taman dianalogikan dengan paru-paru manusia bagi sebuah lingkungan. Tanaman pada taman tersebut pada siang hari melangsungkan proses simbiose mutualistis dengan manusia. Proses pernafasan menusia diperlukan bagi proses asimilasi pada tanaman, begitu pula sebaliknya. b) Fungsi untuk keindahan Taman yang ditata dengan baik dan dirancang dengan tepat dapat memberikan kesan asri, tenang, nyaman dan menyejukkan. Hal ini diperlukan manusia (terutama di kota-kota besar) sebagai kompensasi dari kesibukan kerja sehari-hari, untuk menggairahkan semangat baru bagi kegiatan selanjutnya. c) Taman sebagai daya tarik Taman yang ditata di lingkungan sebuah bangunan dengan penataan yang menarik akan merupakan daya tarik dan ciri khas dari bangunan tersebut. Hal. VI - 52

325 d) Taman sebagai penunjuk arah Penempatan tanaman tertentu pada taman sedemikian rupa dapat menjadi penunjuk arah dan dapat mengarahkan gerak kegiatan di sebuah lingkungan semisal deretan pohon palem raja di kiri kanan jalan di lingkungan pabrik, deretan cemara lilin di kiri kanan jalan masuk (entrance) bangunan. e) Taman sebagai penyaring debu Bagi pabrik, kilang minyak atau sektor industri lain yang mempunyai kontribusi pada pencemaran udara dari cerobong asapnya, pohon-pohon tinggi dapat membantu memperkecil polusi di luar lingkungan. f) Taman sebagai peredam suara Taman juga berfungsi sebagai peredam suara, baik dalam lingkungan ke luar atau sebaliknya dapat dibantu dengan menggunakan bukitan kecil yang ditanami dengan tanaman semak atau perdu sehingga getaran suara dapat diredam secara alamiah. g) Taman sebagai peneduh Penataan taman dengan menggunakan pohon-pohon rindang akan bermanfaat sebagai peneduh untuk areal terbuka seperti tempat parkir, koridor tempat rekreasi, tempat istirahat dan sebagainya. h) Taman sebagai pelestari ekosistem Dengan hadirnya taman di sekitar bangunan yang terdiri dari berbagai tanaman dan pepohonan akan mengundang serangga atau burung sebagai penyebar bibit, penyilang jenis tanaman, penyerbuk dan sebagainya yang akan berperan sebagai pelestari lingkungan. i) Taman sebagai pencegah erosi Materi taman berupa tanaman, terutama tanaman penutup tanah seperti rerumputan dapat mencegah pengikisan tanah atau erosi. Hal. VI - 53

326 j) Taman sebagai fungsi simbolik Selain memiliki fungsi fisik, taman juga memiliki fungsi simbolik. Nilai-nilai simbolik sering mempengaruhi penataan tata hijau baik tata ruang kota maupun penataan halaman-halaman bangunan. Di Cina dikenal dengan sebutan Feng shui. Hal seperti itu tentunya untuk tujuan keselamatan: bagaimana meletakkan tanaman tertentu, dihubungkan juga dengan posisi bangunan, posisi dari arah aliran sungai dan sebagainya. Kadang-kadang ada jenis tanaman yang tabu untuk ditanam di halaman karena akan membawa bala atau kesialan bagi penghuninya. Hal seperti itu tentu saja akan dihindari demi keselamatan. Dengan demikian keselarasan estetika, kegunaan fisik, kebutuhan simbol-simbol lewat kepercayaan, menghasilkan tata lingkungan dan lansekap yang indah, menyenangkan, nyaman dan selamat lahir maupun bathin. Tanaman sebagai salah satu unsur pembentuk taman tidak saja hanya mempunyai nilai estetis tetapi berfungsi pula untuk menambah kualitas lingkungan. Fungsi tanman adalah sebagai: a) pengontrol pandangan, b) pembatas fisik, c) pengendali iklim, d) pencegah erosi dan e) sebagai tempat habitat binatang. Hal. VI - 54

327 4. RENCANA PENATAAN LANSEKAP (TATA HIJAU) DI KAWASAN PMD YOGYAKARTA UNIT II Perencanaan landscap untuk area peneduh bangunan dan meberikan kesan nyaman pada kawasan balai PMD Yogyakarta Perencanaan area terbuka sebagai peneduh dan tempat istirahat Hal. VI - 55

328 Penambahan Penghijaun Untuk Penuduh Penatan Kembali Landscape Lingkungan Hal. VI - 56

329 USULAN DESAIN Penatan Kembali Landscape Lingkungan Area Depan Hal. lvi - 57

330 Penatan Kembali Landscape Lingkungan Area Depan Penatan Kembali Landscape Lingkungan Area Belakang Hal. lvi - 58

331 Penatan Kembali Landscape Lingkungan Area Belakang Penatan Kembali Landscape Lingkungan Area Pagar Keliling Hal. lvi - 59

332 Penatan Kembali Landscape Lingkungan Area Pagar Keliling Percanaan Landscape lantai -02 Hal. lvi - 60

333 Percanaan Penempatan Hydradt Pilar Hal. lvi - 61

334 Percanaan Penempatan Titik Lampu Jalan Hal. lvi -62

335 Percanaan Penempatan Menara Air Hal. lvi -63

336 Hal. lvi 64

337 6.2. Balai PMD Lampung Survey dan Identifikasi Eksisting Survey terhapap tapak yang terletak di Jln. Trans Sumatra KM.25 Candimas, Natar Lampung - Selatan. Dilaksanakan pada minggu - minggu awal dari jadwal pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan. Survey dilaksanakan berkesinambungan, dalam artian dilaksanakan pada beberapa sesi dari rangkaian kegiatan. Dari kegiatan survey dapat dideskripsikan kondisi tapak eksisting sebagai berikut ; Kondisi tapak adalah bukan merupakan lahan terbuka dan ada bangunan yang berfungsi sebagai Balai PMD Bangunan yang ada bersifat permanen dan masih beroperasi dengan segala keterbatasannya. Rencana pengembangan meliputi lahan Balai PMD Akses kendaraan bermotor (mobil) menuju kawasan Balai PMD dari Trans Sumatra KM.25 Candimas, Natar Lampung - Selatan merupakan jalan yang padat lalulintas Gambar Peta lokasi rencana Balai PMD - Kemendag. Hal. lvi - 65

338 DATA BALAI PMD LAMPUNG LOKASI PERENCANAAN Gambar Foto Lokasi Balai PMD Kemendag. D A T A L A H A N 1) Koefisien Dasar Bangunan : 75% 2) Koefisien Lantai Bangunan : 8 3) Koefisien Lapis Bangunan : 300 4) Lokasi : Jalan Trans Sumatra KM. 25 Candimas, Natar Lampung - Selatan 5) Fungsi saat ini : Balai PMD 6) Luas Lahan : m2 (estimasi keseluruhan) Hal. lvi - 66

339 3 Lokasi Balai PMD Lampung Jl. Trans Sumatra KM.25 Candimas, Natar Lampung-Selatan Gambar Peta existing tapak LOKASI PERENCANAAN Gambar Keyplan Peta existing tapak Hal. lvi - 67

340 LOKASI PERENCANA AN 1 Jln. Lintas Sumatra adalah merupakan akses jalan utama menuju ke kawasan Balai PMD Kemendang. 2 Kondisi tapak, yang saat ini direncanakan akan dikembangkan menjadi Balai PMD. ME Etarance Balai PMD-Kemendag Area Parkir Balai PMD - Kemendag Ruang Tunggu Balai PMD Bangunan Kantor Lantai 2 Hal. lvi - 68

341 Analisis Tapak Analisis terhadap tapak GSB : 15 m (dari Jln. Raya Lintas Sumatera) adalah : sepada bangunan yang diijinkan mundur 15 m dari batas lahan. Koefisien dasar bangunan 50% adalah : luas dasar bangunan yang diijinkan adalah maksimal 75% dari luas lahan yang tersedia. Koefisien luas lantai bangunan 200% adalah : luas lantai maksimum bangunan yang direkomendasikan 200% dari luas lahan yang ada.. Koefisien lapis bangunan yang direkomendasikan adalah 300 lapis diatas permukaan dasar. Namun demikian bisa diajukan penambahan jumlah lapis bangunan. LAHAN YANG DIBEBASKAN AKSES MENUJU BALAI PMD RUANG ASRAMA RUANG MAKAN RUANG ADMINISTRASI RUANG AULA JL. RAYA LINTAS SUMATERA RENCANA LOKASI ASRAMA NARASUMBER Gambar Analisa Tapak terhadap sirkulasi lingkungan, site plan Balai PMD Hal. lvi - 69

342 R. MAKAN RENCANA LOKASI ASRAMA NARASUMBER R. AULA R. ASRAMA R. ADMINISTRASI Gd. KANTOR 2 Gambar Analisa Tapak terhadap sirkulasi lingkungan, bangunan-bangunan existing dan rencana Balai PMD Hal. lvi - 70

343 Rencana Pengembangan Saranan dan Prasarana Tapak Penerangan Kawasan (Akses Sirkulasi) A. LAMPU PENERANGAN JALAN 1) Bagian dari bangunan pelengkap jalan yang dapat diletakkan atau dipasang di kiri/kanan jalan dan atau di tengah (di bagian median jalan) yang digunakan untuk menerangi jalan maupun lingkungan di sekitar jalan yang diperlukan termasuk persimpangan jalan, jalan layang, jembatan dan jalan di bawah tanah; 2) Suatu unit lengkap yang terdiri dari sumber cahaya, elemen optik, elemen elektrik dan struktur penopang serta pondasi tiang lampu. B. FUNGSI PENERANGAN JALAN Penerangan jalan di kawasan perkontoran mempunyai fungsi antara lain : 1) Menghasilkan kekontrasan antara obyek dan permukaan jalan; 2) Sebagai alat bantu navigasi pengguna jalan; 3) Meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan, khususnya pada malam hari; 4) Mendukung keamanan lingkungan; 5) Memberikan keindahan lingkungan jalan. C. DASAR PERENCANAAN PENERANGAN JALAN 1) Perencanaan penerangan jalan terkait dengan hal-hal berikut ini : a) Volume lalu-lintas, baik kendaraan maupun lingkungan yang bersinggungan seperti pejalan kaki, pengayuh sepeda, dll; b) Tipikal potongan melintang jalan, situasi (lay-out) jalan dan persimpangan jalan; c) Geometri jalan, seperti alinyemen horisontal, alinyemen vertikal, dll; d) Tekstur perkerasan dan jenis perkerasan yang mempengaruhi pantulan cahaya lampu penerangan; e) Pemilihan jenis dan kualitas sumber cahaya/lampu, data fotometrik lampu dan lokasi sumber listrik; f) Tingkat kebutuhan, biaya operasi, biaya pemeliharaan, dan lain-lain, agar perencanaan sistem lampu penerangan efektif dan ekonomis; g) Rencana jangka panjang pengembangan jalan dan pengembangan daerah sekitarnya; h) Data kecelakaan dan kerawanan di lokasi. 2) Beberapa tempat yang memerlukan perhatian khusus dalam perencanaan penerangan jalan antara lain sebagai berikut : a) Lebar ruang milik jalan yang bervariasi dalam satu ruas jalan; b) Tempat-tempat dimana kondisi lengkung horisontal (tikungan) tajam; c) Tempat yang luas seperti persimpangan, interchange, tempat parkir, dll; d) Jalan-jalan berpohon; e) Jalan-jalan dengan lebar median yang sempit, terutama untuk pemasangan lampu di bagian median; f) Jembatan sempit/panjang, jalan layang dan jalan bawah tanah (terowongan); g) Tempat-tempat lain dimana lingkungan jalan banyak berinterferensi dengan jalannya. Hal. lvi - 71

344 D. JENIS LAMPU PENERANGAN JALAN 1) Jenis lampu penerangan jalan ditinjau dari karakteristik dan penggunaannya secara umum dapat dilihat dalam Tabel 1. 2) Rumah lampu penerangan (lantern) dapat diklasifikasikan menurut tingkat perlindungan terhadap debu/benda dan air. Hal ini dapat diindikasikan dengan istilah IP (Index of Protection) atau indek perlindungan, yang memiliki 2(dua) angka, angka pertama menyatakan indek perlindungan terhadap debu/benda, dan angka kedua menyatakan indek perlindungan terhadap air. Sistem IP merupakan penggolongan yang lebih awal terhadap penggunaan peralatan yang tahan hujan dan sebagainya, dan ditandai dengan lambang. Semakin tinggi indek perlindungan (IP), semakin baik standar perlindungannya. Ringkasan pengkodean IP mengikuti Tabel 2 (A Manual of Road Lighting in Developing Countries). Pada umumnya, indek perlindungan (IP) yang sering dipakai untuk klasifikasi lampu penerangan adalah : IP 23, IP 24, IP 25, IP 54, IP 55, IP 64, IP 65, dan IP 66. Tabel 1 Jenis lampu penerangan jalan secara umum menurut karakteristik dan penggunaannya Hal. lvi - 72

345 Hal. lvi - 73

346 Tabel 2 Kode indek perlindungan IP (Index of Protection) Hal. lvi - 74

347 Tabel 2 Lanjutan Hal. lvi - 75

348 E. KETENTUAN PENCAHAYAAN DAN PENEMPATAN 1) Pencahayaan pada ruas jalan Kualitas pencahayaan pada suatu jalan diukur berdasarkan metoda iluminansi atau luminansi. Meskipun demikian lebih mudah menggunakan metoda iluminansi, karena dapat diukur langsung di permukaan jalan dengan menggunakan alat pengukur kuat cahaya. Kualitas pencahayaan normal menurut jenis/klasifikasi fungsi jalan ditentukan seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Kualitas pencahayaan normal Hal. lvi - 76

349 2) Pencahayaan pada tempat parkir Kuat pencahayaan pada daerah tempat parkir ditentukan seperti pada Tabel 4. 3) Pencahayaan pada rambu lalu-lintas Batasan kuat pencahayaan (iluminansi) dan luminansi pada rambu-rambu lalu-lintas yang dipasang berdekatan dengan lampu penerangan jalan atau papan reklame ditentukan pada Tabel 5 (AASHTO, 1984), yang bertujuan agar lebih menarik perhatian bagi pengguna jalan. Tabel 4 Kuat pencahayaan pada daerah tempat parkir Tabel 5 Batasan kuat pencahayaan untuk rambu lalu-lintas Hal. lvi - 77

350 4) Pencahayaan pada terowongan a) Kuat pencahayaan pada terowongan harus cukup dan memberi kenyamanan baik untuk penglihatan siang maupun malam hari. Adapun kriteria penerangan terowongan adalah seperti yang ditentukan pada Tabel 6. b) Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pencahayaan terowongan : Memberikan adaptasi pencahayaan yang baik; Tingkat kesilauan seminimal mungkin; Memberikan pantulan yang cukup dan warna yang kontras pada permukaan terowongan; Memberikan pencahayaan yang jelas rambu-rambu lalu-lintas. 5) Rasio kemerataan pencahayaan (uniformity ratio) Rasio maksimum antara kemerataan pencahayaan maksimum dan minimum menurut lokasi penempatan tertentu adalah seperti yang ditentukan pada Tabel 7. Tabel 6 Batasan kuat pencahayaan pada terowongan Tabel 7 Rasio kemerataan pencahayaan Hal. lvi - 78

351 6) Pemilihan jenis dan kualitas lampu penerangan Pemilihan jenis dan kualitas lampu penerangan jalan didasarkan pada : a) Nilai efisiensi (Tabel 1); b) Umur rencana; c) Kekontrasan permukaan jalan dan obyek. 7) Penempatan lampu penerangan a) Penempatan lampu penerangan jalan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan : 1. Kemerataan pencahayaan yang sesuai dengan ketentuan Tabel 6 dan 7; 2. Keselamatan dan keamanan bagi pengguna jalan; 3. Pencahayaan yang lebih tinggi di area tikungan atau persimpangan, dibanding pada bagian jalan yang lurus; 4. Arah dan petunjuk (guide) yang jelas bagi pengguna jalan dan pejalan kaki. b) Sistem penempatan lampu penerangan jalan yang disarankan seperti pada Tabel 8. c) Pada sistem penempatan parsial, lampu penerangan jalan harus memberikan adaptasi yang baik bagi penglihatan pengendara, sehingga efek kesilauan dan ketidaknyamanan penglihatan dapat dikurangi. d) Perencanaan dan penempatan lampu penerangan jalan dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 8 Sistem penempatan lampu penerangan jalan Hal. lvi - 79

352 Keterangan : H = tinggi tiang lampu L = lebar badan jalan, termasuk median jika ada E = jarak interval antar tiang lampu S1 + S2 = proyeksi kerucut cahaya lampu S1 = jarak tiang lampu ke tepi kereb S2 = jarak dari tepi kereb ke titik penyinaran terjauh I = sudut inklinasi pencahayaan Gambar 1 Penempatan lampu penerangan e) Batasan penempatan lampu penerangan jalan tergantung dari tipe lampu, tinggi lampu, lebar jalan dan tingkat kemerataan pencahayaan dari lampu yang akan digunakan. Jarak antar lampu penerangan secara umum dapat mengikuti batasan seperti pada Tabel 9 (A Manual of Road Lighting in Developing Countries). Dalam tabel tersebut dipisahkan antara dua tipe rumah lampu. Rumah lampu (lantern) tipe A mempunyai penyebaran sorotan cahaya/sinar lebih luas, tipe ini adalah jenis lampu gas sodium bertekanan rendah, sedangkan tipe B mempunyai sorotan cahaya lebih ringan/kecil, terutama yang langsung ke jalan, yaitu jenis lampu gas merkuri atau sodium bertekanan tinggi. Hal. lvi - 80

353 Tabel 9 Jarak antar tiang lampu penerangan (e) berdasarkan tipikal distribusi pencahayaan dan klasifikasi lampu 1. Rumah lampu tipe A 2. Rumah lampu tipe B Hal. lvi - 81

354 8) Penataan letak lampu penerangan jalan Penataan/pengaturan letak lampu penerangan jalan diatur seperti pada Tabel 10 dan diilustrasikan pada Lampiran A. Di daerah-daerah atau kondisi dimana median sangat lebar (> 10 meter) atau pada jalan dimana jumlah lajur sangat banyak (> 4 lajur setiap arah) perlu dipertimbangkan dengan pemilihan penempatan lampu penerangan jalan kombinasi dari cara-cara tersebut di atas dan pada kondisi seperti ini, pemilihan penempatan lampu penerangan jalan direncanakan sendiri-sendiri untuk setiap arah lalu-lintas. 9) Penataan lampu penerangan terhadap tanaman jalan Dalam penempatan lampu penerangan jalan harus dipertimbangkan terhadap tanaman jalan akan ditanam maupun yang telah ada, sehingga perlu adanya pemangkasan pohon dengan batasan seperti pada Gambar 8 dan Tabel 11. Tabel 10 Penataan letak lampu penerangan jalan Hal. lvi - 82

355 Gambar 8 Penempatan lampu penerangan terhadap tanaman jalan Tabel 11 Tinggi pemangkasan pohon terhadap sudut di bawah cahaya lampu Hal. lvi - 83

356 F. PEMASANGAN LAMPU PENERANGAN JALAN 1) Tiang lampu dengan lengan tunggal; Tiang lampu ini pada umumnya diletakkan pada sisi kiri atau kanan jalan. Tipikal bentuk dan struktur tiang lampu dengan lengan tunggal seperti diilustrasikan pada Gambar 10. 2) Tiang lampu dengan lengan ganda Tiang lampu ini khusus diletakkan di bagian tengah/median jalan, dengan catatan jika kondisi jalan yang akan diterangi masih mampu dilayani oleh satu tiang. Tipikal bentuk dan struktur tiang lampu dengan lengan ganda seperti diilustrasikan pada Gambar 11. 3) Tiang lampu tegak tanpa lengan Tiang lampu ini terutama diperlukan untuk menopang lampu menara, yang pada umumnya ditempatkan di persimpangan-persimpangan jalan ataupun tempat-tempat yang luas seperti interchange, tempat parkir, dll. Jenis tiang lampu ini sangat tinggi, sehingga sistem penggantian/perbaikan lampu dilakukan di bawah dengan menurunkan dan menaikkan kembali lampu tersebut menggunakan suspension cable. Gambar 10 Tipikal tiang lampu lengan tunggal Gambar 11 Tipikal tiang lampu lengan ganda Gambar 12 Tipikal lampu tegak tanpa lengan Hal. lvi - 84

357 G. SIMBOL PERENCANAAN PENERANGAN JALAN Simbol-simbol, gambar, istilah dan tanda yang digunakan untuk dalam perencanaan lampu penerangan jalan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12 Simbol-simbol dalam perencanaan penerangan jalan Hal. lvi - 85

358 LAMPIRAN A (Informatif) Bentuk dan struktur rumah lampu penerangan jalan Gambar A.2 Contoh rumah lampu sodium Gambar A.1 Contoh rumah lampu merkuri LAMPIRAN B (Informatif) Tipikal lampu penerangan jalan berdasarkan pemilihan letak Gambar B.1 Tipikal lampu penerangan pada jalan satu arah Hal. lvi - 86

359 Gambar B.2 Tipikal lampu penerangan pada jalan dua arah LAMPIRAN C (Informatif) Contoh bentuk dan dimensi lampu penerangan jalan Gambar C.1 Contoh tipikal dan dimensi tiang lampu lengan tunggal Hal. lvi - 87

360 Gambar C.2 Contoh tipikal dan dimensi tiang lampu lengan ganda Hal. lvi - 88

361 LAMPIRAN D (Informatif) Contoh konstruksi dan detail pondasi tiang Gambar D.1 Contoh tipikal pondasi lampu penerangan standar Hal. lvi - 89

362 Gambar G.2 Contoh tipikal pondasi lampu penerangan menara Hal. lvi - 90

363 LAMPIRAN E (Informatif) Contoh konstruksi dan detail panel lampu Keterangan : seluruh satuan ukuran dalam (mm) Gambar E.1 Contoh tipikal panel lampu penerangan jalan Gambar E.2 Contoh tipikal panel lampu penerangan jalan Hal. lvi - 91

364 Keterangan : seluruh satuan ukuran dalam (mm) Gambar E.3 Contoh tipikal panel lampu penerangan untuk ramp dan jembatan Hal. lvi - 92

365 H. PENEMPATAN TITIK LAMPU PADA KAWASAN PMD YOGYAKARTA UNIT II Solar Cell Lampu Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJU-TS) adalah lampu penerangan jalan yang menggunakan cahaya matahari sebagai sumber energi listriknya. Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya ( PJU-TS ) sangat cocok digunakan untuk jalan-jalan Keunggulan: a. Terang dan tahan lama b. Hemat energi c. Ramah lingkungan d. Bebas polusi e. Cepat dan mudah dalam pemasangan f. Hemat biaya perawatan g. Life time yang lama (lampu LED hingga 11 tahun & solar panel hingga 25 tahun) h. Cocok dipasang di segala lokasi i. Tersedia dengan daya mulai dari lampu dengan daya 15w (950Lm) -168w ( L Hal. lvi - 93

366 Rencana Proteksi Terhadap Kebakaran A. SISTEM PEMADAM KEBAKARAN (FIRE FIGHTING SYSTEM) Sistem pemadam kebakaran atau sistem fire fighting disediakan di gedung sebagai preventif (pencegah) terjadinya kebakaran. Sistem ini terdiri dari sistem sprinkler, sistem hidran dan Fire Extinguisher. Dan pada tempat-tempat tertentu digunakan juga sistem fire gas.tetapi pada umumnya sistem yang digunakan terdiri dari: sistem sprinkler, hidran dan fire extinguisher. Ada 3 pompa yang digunakan dalam sistem sprinkler dan Hydran, yaitu: 1) elektrik pump, 2) diesel pump dan 3) jockey pump. Jockey pump berfungsi untuk menstabilkan tekanan di instalasi, dan secara otomatis akan bekerja apabila ada penurunan tekanan. Dan jika ada head sprinkler yang pecah atau hydran digunakan, maka yang bekerja secara otomatis pompa elektrik bekerja, dan secara otomatis pula jockey pump akan berhenti bekerja. Pompa elektrik pump (atau elektrik pump) merupakan pompa utama yang bekerja bila head sprinkler atau hydran digunakan. Sedang pompa diesel merupakan pompa cadangan, jika pompa elektrik gagal bekerja selama 10 detik, maka secara otomatis pompa ini akan bekerja. 1) Fire Fighting Sistem Sprinkler Sistem ini menggunakan instalasi pipa sprinkler bertekanan dan head sprikler sebagai alat utama untuk memadamkan kebakaran. Sistem ada 2 macam, yaitu: a. Wet Riser System: Seluruh instalasi pipa sprinkler berisikan air bertekanan dengan tekanan air selalu dijaga pada tekanan yang relatif tetap. b. Dry riser system : Seluruh instalasi pipa sprinkler tidak berisi air bertekanan, peralatan penyedia air akan mengalirkan air secara otomatis jika instalasi fire alar memerintahkannya. Pada umumnya gedung bertingkat tinggi menggunakan sistem wet riser, seluruh pipa sprinkler berisikan air bertekanan, dengan tekanan air selalu dijaga pada tekanan yang relatif tetap. Hal. lvi - 94

367 Apabila tekanan dalam pompa menurun, maka secara otomatis jockey pump akan bekerja untuk menstabilkan tekanan air didalam pipa. Jika tekanan terus menurun atau ada glass bulb head sprinkler yang pecah maka pompa elektrik akan bekerja dan secara otomatis pompa jockey akan berhenti. Dan apabila pompa elektrik gagal bekerja setelah 10 detik, maka pompa cadangan diesel secara otomatis akan bekerja. 2) Fire Fighting Sistem Hydran Sistem ini menggunakan instalasi hydran sebagai alat utama pemadam kebakaran, yang terdiri dari box hydran dan accesories, pilar hydran dan siemese. Box Hydran dan accesories instalasinya (selang (hose), nozzle) (atau disebut juga dengan Fire House cabinet (FHC)) biasanya ditempatkan dalam gedung, sebagai antisipasi jika sistem sprinkler dan sistem fire extinguisher kewalahan mengatasi kebakaran di dalam gedung. Sedang Pilar hydran (yang dilengkapi juga dengan box hydran disampingnya, untuk menyimpan selang (hose) dan nozzle) biasanya ditempatkan di area luar (jalan) disekitar gedung, digunakan jika sistem kebakaran di dalam gedung tidak memadai lagi. Dan Siemese berfungsi untuk mengisi air ground tank (sumber air hydran) tidak memadai lagi atau habis. Siemese ditempatkan di dekat di dekat jalan utama. Hal ini untuk memudahkan dalam pengisian air. System Hydran ini juga terdiri dari 2 system, yaitu: a. wet riser system: Seluruh instalasi pipa hydran berisikan air bertekanan dengan tekanan yang selalu dijaga pada tekanan yang relatif tetap. b. Dry Riser System: seluruh instalasi pipa hydran tidak berisikan air bertekanan, peralatan penyedia air akan secara otomatis jika katup selang kebakaran di buka. Seperti halnya sistem sprinkler, jika ada tekanan dalam pipa instalasi menurun, maka pompa jockey akan bekerja. Dan jika instalasi hydran dibuka maka secara otomatis pompa elektrik akan bekerja, dan jockey pump secara otomatis akan berhenti. Dan jika pompa elektrik gagal bekerja secara otomatis, maka pompa diesel akan bekerja. Hal. lvi - 95

368 3) Fire Fighting fire Extinguisher Fire extinguisher atau lebih dikenal dengan nama APAR (Alat Pemadam Api Ringan) merupakan alat pemadam api yang pemakaiannya dilakukan secara manual dan langsung diarahka pada posisi dimana api berada. Apar biasanya ditempatkan di tempat-tempat strategis yang dissuaikan dengan peraturan Dinas Pemadam Kebakaran. Terdapat beberapa jenis Apar yang digunakan, yaitu: Apar Type A: Murtipupuse Dry Chemica Powder 3,5 Kg Apar Type B: Gas Co2 6,8 kg Apar type C : Gas Co2 10 kg Apar type D : Multipupuse Dry Chemical Powder 25 kg (dilengkapi dengan Trolley) 4) Fire Fighting Sistem Gas Sistem fire gas biasanya digunakan untuk ruangan tertentu, seperti: ruang Genset, ruang panel dan ruangan eletronik (ruang central komputer: ruang hub dan server, IT, Comunication dan lain-lain). Sistem iyang digunakan biasanya sistem fire gas terpusat, dimana tabung-tabung gas (foam, halon, FM 100, Co2 dan lain-lain), ditempatkan secara terpusat dan pendistribusiannya ke dalam ruangan dilewatkan melalui motorized valve / actuator, instalasi pemipaan dan nozzle. Cara kerja sistem ini berdasarkan perintah dari system fire alarm. Hal. lvi - 96

369 B. RENCANA SISTEM PEMADAM KEBAKARAN HYDRAN (FIRE FIGHTING SYSTEM HYDRAN) KAWASAN PMD LAMPUNG UNIT II Hydrant adalah suatu sistem penanggulangan kebakaran yang efektif dengan menggunakan media air. Hydrant dibagi menjadi 2 yaitu 1) hydrant halaman (pilar) dan 2) hydrant gedung (box). Dalam mengevaluasi perencanaan instalasi pemadam dengan sistem hydrant kebakaran diperlukan perhitungan kebutuhan air pemadam, kehilangan tekanan, jenis dan spesifikasi pipa kebakaran, debit dan head pompa yang digunakan HIDRAN PILAR Hydrant halaman atau biasa disebut dengan hydrant pilar, adalah suatu sistem pencegah kebakaran yang membutuhkan pasokan air dan dipasang di luar bangunan. Hydrant ini biasanya digunakan oleh mobil PMK untuk mengambil air jika kekurangan dalam tangki mobil. Jadi hydrant pilar ini diletakkan di sepanjang jalan akses mobil PMK HIDRAN GEDUNG Hydrant gedung atau biasa disebut dengan hydrant box adalah suatu sistem pencegah kebakaran yang menggunakan pasokan air dan dipasang di dalam bangunan atau gedung. Hydrant box biasanya dipasang menempel di dinding dan menggunakan pipa tegak (stand pipe) untuk menghubungkan dengan pipa dalam tanah khusus kebakaran. Gambar B.1 Contoh Hidran Pilar Gambar B.2 Contoh Hidran Gedung Hal. lvi - 97

370 Konsep Perencanaan Bangunan-bangunan pada kompleks balai PMD tersebut disesuaikan dengan karakteristik kawasan dan kearifan lokal. Untuk tercapainya kelancaran dan tujuan pekerjaan Penyempurnaan Masterplan Sarana dan Prasarana DIRJEN PMD Lampung tim perencana telah menyusun tugas sesuai dengan kriteria perencanaan dan disiplin ilmu yang terkait diantaranya adalah : 1. Konsep Struktur Mengingat lokasi yang berada di Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur, pekerjaan perencanaan detail dan desain pondasi menjadi sangatlah penting. Pondasi yang direncanakan menggunakan pondasi sumuran dengan struktur atas menggunakan konstruksi beton (konvensional). Sistem struktur dibuat dengan konstruksi tahan gempa untuk mengantisipasi kemungkinan adanya bencana alam. Pemilihan material bangunan yang mudah perawatannya, tidak beracun dan apabila terjadi bencana tidak mencederai penghuni, hal ini menjadikan bangunan yang aman terhadap perilaku alam dan manusia. Bahan-bahan yang digunakan merupakan bahan yang tahan lama, menampiikan bangunan yang anggun serta mudah perawatannya. Bahan-bahan yang digunakan adalah untuk lantai menggunakan keramik, dinding menggunakan bata diplester dan finishing cat, dan bahan atap yang disesuaikan kondisi lokasi 2. Konsep Mekanikal dan Elektrikal Demikian pula untuk Mekanikal, Elektrikal dan Sanitasi dibuatkan konsep Rancangan dan Perhitungannya sesuai hasil koordinasi dengan gambar pengembangan rancangan Arsitektur, Serta penentuan kosep yang akan dipakai pada perencanaan gedung kantor dengan mengikuti standar dan ketentuan yang berlaku di Indonesia maupun Internasional. a. Mekanikal 1) Air bersih Sistem air bersih disuplai dari dua sumber yaitu Deep well dan PDAM yang ditampung oleh bak penampung sebagai sumber distribusi untuk memenuhi kebutuhan air bersih didala gedung / bangunan yang dioperasikan secara otomatis. Sumber air bersih untuk ini diambil dari sumber air utama yaitu dari pompa sumur dalam (deep well pump) atau PDAM. Peralatan-peralatan utama sistim air bersih. Hal. lvi - 98

371 a) Tangki Air bawah (Ground Reservoir) Ground Reservoir adalah tempat menampung air untuk keperluan air bersih dan atau untuk keperluan pemadam kebakaran. Tangki ini terdiri atas (dua) bilik yang berfungsi untuk menampung air yang berasal dari Deep Well dan PDAM, digunakan untuk keperluan air bersih maupun pemadam kebakaran. b) Tangki Air Atas (Elevated water tank) Tangki air atas adalah tempat menampung air bersih yang dipompakan dari tangki air bawah kemudian dialirkan ke semua peralatan plambing. 2) Air kotor Perencanaan Gedung Asrama dan Gedung Kantor Pengelola direncanakan semua aliran air kotor dialirkan ke pengolahan air kotor atau Septic Tank. Sedangkan untuk air bekas dan air hujan dari atap bangunan dialirkan ke saluran kota. Pada umumnya air buangan termasuk ke dalam bangunan domestik, dimana karakteristik air buangan yang keluar tidak jauh berbeda dengan buangan rumah tangga (domestic). BOD yang berasal dari buangan domestic berkisar antara ( ) mg/ltr. SS yang berasal dari buangan domestik berkisar antara ( ) mg/ltr. Sedangkan persyaratan effluent air buangan yang dapat di buang langsung ke wadah air penerima harus mempunyai karakteristik : BOD = Minimum 20, max 30 mg/ltr yang diperhitungkan adalah 20 ppm. SS -20 mg/ltr. Sistem air kotor adalah untuk menyalurkan air kotor dari daerah basah ke pembuang, adapun pembuang untuk menampung air tersebut yang terbagi menjadi 2 bagian yaitu dari washtafel, floor drain / roof drain dibuang kesaluran drainage sedangkan dari water closed dan urinoir dibuang kedalam bak pengolahan.bisa berupa septic tank atau sewage treatment plant. b Elektrikal 1) Sumber Energi Untuk seluruh perencanaan elektrikal konsep perencanaan mengikuti standar-standar dan pedomen yang berlaku. Standar perencanaan elektrikal diantaranya ( IEC, N FPA, IEEE, PUIL, LPBM). Standar penerangan dan daya yang dikeluarkan oleh LPBM dll yaitu Instalasi Catu daya terdiri dari 2 sekunder yaitu PLN dan Genset. Energi listrik dari PLN memiliki keuntungan dari segi biaya, listrik dari PLN relatif lebih murah, biaya operasional tidak terlalu sulit dan tidak menimbulkan polusi. Tetapi memiliki kekurangan pada distribusi daya yang terbatas. Hal. lvi - 99

372 Gambar Energi listrik dari PLN Genset atau generator set merupakan sumber energi listrik alternatif. Keuntungannya adalah frekuensi kerjanya dapat disesuaikan oleh kebutuhan. Kekurangan dari genset adalah memerlukan perawatan rutin, membutuhkan bahan bakar dan yang paling mengganggu adalah menimbulkan polusi, baik polusi udara, polusi suara dan getaran. Gambar Energi listrik dari genset Untuk penyediaan genset, gedung harus menyediakan ruangan khusus untuk peletakan genset. Peletakan ruang genset berada di tempat yang terpisah dan jauh dari area publik dan terpisah dari bangunan utama. Hal ini untuk menjauhkan polusi yang diakibatkan oleh genset seperti suara, asap dan getaran serta kemungkinan-kemungkinan bahaya yang dapat di timbulkan oleh ruangan ini. Hal. lvi - 100

373 Pada perencanaan penerangan buatan (titik lampu) ada beberapa metode tergantung dari jenis lokasi yang membutuhkan penerangan. Metode tersebut adalah: Metode Lumen (Dapat digunakan pada ruang tertutup, agar perhitungan kuat titik cahaya yang akan dipilih berdasarkan luasan ruang). Metode zone cavity Sama dengan metode lumen hanya pada metode ini ditambahkan perhitungan dari refleksi material ruang (lantai,dinding,plafond dan sebagainya) serta Metode Point to point (perhitungan ini sangat tepat digunakan untuk areal terbuka). A. Perencanaan sistim listrik Besarnya beban Supplai listrik Distribusi listrik dan Sistim proteksi Yang termasuk lingkup sarana listrik arus kuat adalah : Sistem instalasi penerangan dan stop kontak Sistem instalasi daya. Sistem instalasi tegangan menengah. Sistem instalasi tegangan rendah. Sistem instalasi pentanahan. B. Dasar dan Standard Perencanaan Peraturan Umum Instalasi Listrik (PUIL) yang berlaku. Standard dan peraturan-peraturan/ ketentuan - ketentuan yang ada pada PLN daerah setempat. Peraturan-peraturan umum PLN/ SPLN. Peraturan-peraturan Pemerintah Daerah setempat. Standar-standar VDE, DIN, BS, NEMA dan IEC. Petunjuk pengajuan rencana instalasi dan perlengkapan bangunan. C. Sumber Daya Listrik Berdasarkan hasil perhitungan beban masing-masing masa bangunan, maka sambungan daya dapat dilayani dari Genset maupun PLN. D. Beban-Beban Listrik Beban-beban listrik pada bangunan serta sarana penunjang lainnya yaitu meliputi penerangan, stop kontak dan pompa distribusi air bersih. E. Sistem Distribusi Listrik Secara umum sistem distribusi listrik dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu : Sistem Snstalasi Tegangan Menengah, dan Sistem instalasi Tegangan Rendah. Hal. lvi - 101

374 F. Kabel Feeder Tipe dan Diameter Kabel Feeder. Tipe kabel yang dipakai adalah tipe kabel daya NYY, NYFGbY baik berurat tunggal (single core) maupun berurat banyak (multi core) dan diameter kabei disesuaikan dengan beban yang ada. Rugi - rugi tegangan (Voltage Drop) Untuk instalasi, pemilihan iuas penampang kabel disesuaikan dengan beban yang ada dan memberikan rugi-rugi tegangan total pada akhir sirkuit tidak lebih dari 2% untuk penerangan dan 5% untuk motor. 2) Sistem Penerangan a. Umum Tingkat intensitas penerangan untuk ruangan disesuaikan dengan fungsi dari ruangan tersebut serta pencahayaan dari lampu-lampu sehingga didapat level intensitas penerangan yang cukup dan efek-efek cahaya tertentu. b. Standar Intensitas Penerangan Standar Intensitas Penerangan yang direncanakan menggunakan standar penerangan bangunan di Indonesia c. Penangkal petir Ditinjau dari lokasi dimana gedung kantor ini dibangun dan kondisi alamnya, maka bangunan ini diperlukan suatu unit pengamanan dari sambaran petir. Direncanakan pada elevasi tertinggi bangunan dipasang satu atau lebih unit penangkal petir. Type dari penangkal petir digunakan dapat berupa type sangkar faraday, franklin, kombinasi dari keduanya atau non radio aktif ligting preventive. Gambar Sistem penangkal petir secara umum Hal. lvi - 102

375 USULAN DESAIN Hal. lvi - 103

376 Hal. lvi - 104

377 Hal. lvi - 105

378 Hal. lvi - 106

379 Hal. lvi - 107

380 Hal. lvi - 108

381 Hal. lvi - 109

382 Hal. lvi - 110

383 Hal. lvi - 111

384 Hal. lvi - 112

385 Hal. lvi - 113

386 Hal. lvi - 114

387 Hal. lvi - 115

388 Hal. lvi - 116

389 Hal. lvi - 117

390 Hal. lvi - 118

391 Hal. lvi - 119

392 Hal. lvi - 120

393 Hal. lvi - 121

394 Hal. lvi - 122

395 Hal. lvi - 123

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.741, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Organisasi. Tata Kerja. Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 72/Permentan/OT.140/10/2011 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 72/Permentan/OT.140/10/2011 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 72/Permentan/OT.140/10/2011 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011 PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan

Lebih terperinci

PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011 PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 39 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 39 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 39 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai tindak lanjut

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENYEDIA DAN PENGELOLA PEMBIAYAAN TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta. Organisasai. Tata Kerja.

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta. Organisasai. Tata Kerja. No.2, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta. Organisasai. Tata Kerja. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.16/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh No.1368, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Hasil Pemetaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG HASIL PEMETAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PUSAT PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 51/Menhut-II/2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KOORDINASI PERGURUAN TINGGI SWASTA

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KOORDINASI PERGURUAN TINGGI SWASTA SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KOORDINASI PERGURUAN TINGGI SWASTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

2017, No Kebudayaan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat. Mengingat : 1. Un

2017, No Kebudayaan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat. Mengingat : 1. Un No.225, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDIKBUD. BP-PAUD dan Dikmas. Orta. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI DAN

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 12 TAHUN 2000 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 12 TAHUN 2000 TENTANG MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 12 TAHUN 2000 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 106 TAHUN 2016 TAHUN TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BALAI PEMERINTAHAN DESA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BKPM. Jabatan. Kelas Jabatan. Tunjangan. Kinerja.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BKPM. Jabatan. Kelas Jabatan. Tunjangan. Kinerja. No.701, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BKPM. Jabatan. Kelas Jabatan. Tunjangan. Kinerja. PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

UNTUK PELAKSANAAN PEMILIHAN PENYEDIA JASA KONSULTANSI KEGIATAN : PENYUSUNAN DETAIL ENGINEERING DESAIN (DED) PEMBANGUNAN GEDUNG DPRD PADA

UNTUK PELAKSANAAN PEMILIHAN PENYEDIA JASA KONSULTANSI KEGIATAN : PENYUSUNAN DETAIL ENGINEERING DESAIN (DED) PEMBANGUNAN GEDUNG DPRD PADA P E M E R I N T A H K A B U P A T E N P U R B A L I N G G A DINAS PEKERJAAN UMUM Alamat Jl. Raya Purbalingga - Kaligondang Km. 2, Telp. (0281) 893158 - Purbalingga UNTUK PELAKSANAAN PEMILIHAN PENYEDIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI BESAR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA DI MALANG

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI BESAR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA DI MALANG PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI BESAR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA DI MALANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. daerha ini terletak di bagian selatan Propinsi Riau dengan luas wilayah ,97

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. daerha ini terletak di bagian selatan Propinsi Riau dengan luas wilayah ,97 BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kabupaten Indragiri Hilir Kabupaten Indragiri Hilir Resmi menjadi Daerah Tingkat II berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1965, tanggal 14 Juni 1965 (LN. RI

Lebih terperinci

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK IND PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK IND PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK IND PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43/M-DAG/PER/11/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BIDANG KEMETROLOGIAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, Menimbang

Lebih terperinci

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, -1- SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BIDANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN PENELITIAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1652, 2014 KEMENDIKBUD. Mutu Pendidikan. Aceh. Sumatera Utara. Riau. Jambi. Sumatera Selatan. Kepulauan Bangka Belitung. Bengkulu. Lampung. Banten. DKI Jakarta. Jawa

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 53/HUK/2003

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 53/HUK/2003 MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 53/HUK/2003 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI BESAR PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KESEJAHTERAAN SOSIAL MENTERI SOSIAL

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 228

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL, PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN, www.bpkp.go.id PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN NOMOR: PER- 786/K/SU/2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN NOMOR KEP-58/K/SU/2011

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan. No.1562, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

2016, No Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016, No Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.210, 2016 KEMEN-LHK. Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. Orta. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/OTL.0/1/2016

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT JENDERAL BADAN PENGAWAS PEMILIHAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Pencabutan. No.539, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEMBINAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 29/PRT/M/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 29/PRT/M/2007 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 29/PRT/M/2007 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 286/PRT/M/2005 TENTANG ORGANISASI DAN

Lebih terperinci

PP 8/1995, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN KEPADA 26 (DUA PULUH ENAM) DAERAH TINGKAT II PERCONTOHAN

PP 8/1995, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN KEPADA 26 (DUA PULUH ENAM) DAERAH TINGKAT II PERCONTOHAN Copyright (C) 2000 BPHN PP 8/1995, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN KEPADA 26 (DUA PULUH ENAM) DAERAH TINGKAT II PERCONTOHAN *34114 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2017, No serta Kinerja Pegawai di Lingkungan Badan Koordinasi Penanaman Modal; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hu

2017, No serta Kinerja Pegawai di Lingkungan Badan Koordinasi Penanaman Modal; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hu BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1197, 2017 BKPM... Kinerja. Perubahan Kedua. PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

2015, No Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 ten

2015, No Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 ten BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.890, 2015 KEMENDIKBUD. Lembaga Jaminan Mutu Pendidikan. Organisasi. Tata Kerja. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.366, 2013 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan. Organisasi. Tata Kerja. Perubahan. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK

Lebih terperinci

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG KEPUTUSAN NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG PENETAPAN NAMA NAMA PENERIMA DANA PROGRAM ASISTENSI SOSIAL LANJUT USIA TAHUN 2012 Menimbang :, a. bahwa jumlah lanjut usia yang membutuhkan perhatian dan penanganan

Lebih terperinci

2015, No Indonesia Tahun 2015 Nomor168); 3. Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri

2015, No Indonesia Tahun 2015 Nomor168); 3. Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1390, 2015 KEMENAG. Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan. Organisasi. Tata Kerja. PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN KEPADA 26 (DUA PULUH ENAM) DAERAH TINGKAT II PERCONTOHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DI LINGKUNGAN BADAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN DANA DEKONSENTRASI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.13/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Lebih terperinci

2017, No tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigras

2017, No tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigras No.808, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-DPDTT. UPT. ORTA. Perubahan. PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 220/MENKES/SK/VI/2013 TENTANG TIM BINAAN WILAYAH BIDANG KESEHATAN

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 220/MENKES/SK/VI/2013 TENTANG TIM BINAAN WILAYAH BIDANG KESEHATAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 220/MENKES/SK/VI/2013 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 86 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI LALU LINTAS

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 86 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI LALU LINTAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 86 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN, SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLEH SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLEH SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLEH SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DI LINGKUNGAN LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN ACEH, SUMATERA UTARA, RIAU,

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) Addendum 1

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) Addendum 1 KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) Addendum 1 PENINGKATAN KOMPETENSI SDM PROFESIONAL BIDANG AIR MINUM MELALUI POLA CENTER OF EXCELLENT PAKET 5 (PROVINSI KALIMANTAN BARAT, KALIMANTAN TENGAH, KALIMANTAN TIMUR) TAHUN

Lebih terperinci

1.2 TUGAS, FUNGSI DAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DAN PENGUASAAN TANAH

1.2 TUGAS, FUNGSI DAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DAN PENGUASAAN TANAH BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan Kinerja Ditjen dan Penguasaan Tanah Tahun merupakan media untuk mempertanggungjawabkan capaian kinerja Direktorat Jenderal selama tahun, dalam melaksanakan

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembar

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1712, 2016 PERRPUSNAS. Penyelenggaraan Dekonsentrasi. TA 2017. PERATURAN KEPALA PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PELIMPAHAN URUSAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.23/MEN/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.23/MEN/2008 TENTANG Menimbang PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.23/MEN/2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 07 /PER/M.KOMINFO/03/2011

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 07 /PER/M.KOMINFO/03/2011 PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 07 /PER/M.KOMINFO/03/2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BIDANG PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DENGAN

Lebih terperinci

SE - 65/PJ/2010 PETUNJUK PELAKSANAAN DAN PENILAIAN LOMBA PELAYANAN TAHUN 2010

SE - 65/PJ/2010 PETUNJUK PELAKSANAAN DAN PENILAIAN LOMBA PELAYANAN TAHUN 2010 SE - 65/PJ/2010 PETUNJUK PELAKSANAAN DAN PENILAIAN LOMBA PELAYANAN TAHUN 2010 Contributed by Administrator Tuesday, 18 May 2010 Pusat Peraturan Pajak Online 18 Mei 2010 SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Arsip Nasional Re

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Arsip Nasional Re BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 454, 2016 ANRI. Dana. Dekonsentrasi. TA 2016. Pelaksanaan. PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) Addendum 1

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) Addendum 1 KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) Addendum 1 PENINGKATAN KOMPETENSI SDM PROFESIONAL BIDANG AIR MINUM MELALUI POLA CENTER OF EXCELLENT PAKET 7 (PROVINSI SULAWESI SELATAN, SULAWESI BARAT, SULAWESI TENGAH) TAHUN

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN FORUM KABUPATEN SEHAT KABUPATEN BELITUNG

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN FORUM KABUPATEN SEHAT KABUPATEN BELITUNG SALINAN BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN FORUM KABUPATEN SEHAT KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2017, No dalam rangka Penyelenggaraan Dekonsentrasi Tahun Anggaran 2018; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

2017, No dalam rangka Penyelenggaraan Dekonsentrasi Tahun Anggaran 2018; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan No.1161, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERPUSNAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan Perpusnas. PERATURAN KEPALA PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PELIMPAHAN URUSAN

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Balai Pelestarian Cagar Budaya. Organisasi. Tata Kerja.

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Balai Pelestarian Cagar Budaya. Organisasi. Tata Kerja. No.834, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Balai Pelestarian Cagar Budaya. Organisasi. Tata Kerja. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNTUK PELAKSANAAN PEMILIHAN PENYEDIA JASA KONSULTANSI KEGIATAN : DED GEDUNG DINPERINDAGKOP PADA

UNTUK PELAKSANAAN PEMILIHAN PENYEDIA JASA KONSULTANSI KEGIATAN : DED GEDUNG DINPERINDAGKOP PADA P E M E R I N T A H K A B U P A T E N P U R B A L I N G G A DINAS PEKERJAAN UMUM Alamat : Jl. Raya Purbalingga - Kaligondang Km. 2, Telp. (0281) 893158 - Purbalingga UNTUK PELAKSANAAN PEMILIHAN PENYEDIA

Lebih terperinci

TUGAS DAN FUNGSI BIRO, BAGIAN, DAN SUBBAGIAN KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA. No BIRO BAGIAN SUB-BAGIAN

TUGAS DAN FUNGSI BIRO, BAGIAN, DAN SUBBAGIAN KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA. No BIRO BAGIAN SUB-BAGIAN TUGAS DAN FUNGSI BIRO, BAGIAN, DAN SUBBAGIAN KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA No BIRO BAGIAN SUB-BAGIAN 1 Biro Perencanaan dan Data 1. Bagian Program dan Anggaran Menyusun rencana, program, anggaran,

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.25/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 78 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA KEGIATAN

KERANGKA ACUAN KERJA KEGIATAN KERANGKA ACUAN KERJA STUDI PENATAAN DAN PERENCANAAN DED KOMPONEN PSU KAWASAN KUMUH KEGIATAN PERENCANAAN DAN PENYIAPAN PRASARANA SARANA DAN UTILITAS KAWASAN KUMUH LOKASI : KABUPATEN BANGGAI LAUT TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

B. SUMBER PENDANAAN (10) PROGRAM PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN (PPSDMK) (Juta Rupiah) Prakiraan Kebutuhan

B. SUMBER PENDANAAN (10) PROGRAM PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN (PPSDMK) (Juta Rupiah) Prakiraan Kebutuhan PROGRAM PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN (PPSDMK) (Juta ) 2075 Standardisasi, Sertifikasi dan Pendidikan Berkelanjutan bagi SDM Kesehatan 2075.0 Terselenggaranya Standarisasi,

Lebih terperinci

UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional

UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional UNIT PELAKSANA TEKNIS DITJEN KP3K UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Sekretariat Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2016 TENTANG ORGANISASI DAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIMAHI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2014 TENTANG RINCIAN TUGAS LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PROVINSI ACEH, PROVINSI SUMATERA UTARA, PROVINSI RIAU,

Lebih terperinci

Oleh Bambang Mulyadi Direktur Pemberdayaan Sosial Perorangan, Keluarga dan Kelembagaan Masyarakat DITJEN PEMBERDAYAAN SOSIAL

Oleh Bambang Mulyadi Direktur Pemberdayaan Sosial Perorangan, Keluarga dan Kelembagaan Masyarakat DITJEN PEMBERDAYAAN SOSIAL Oleh Bambang Mulyadi Direktur Pemberdayaan Sosial Perorangan, Keluarga dan Kelembagaan Masyarakat DITJEN PEMBERDAYAAN SOSIAL SUBSTANSI PAPARAN Latar Belakang Dasar Hukum Pengertian Syarat Menjadi TKSK

Lebih terperinci

2011, No Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang

2011, No Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang No.168, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Organisasi. Tata Kerja. Perubahan. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Inspektur Jenderal. M. Sakri Widhianto

KATA PENGANTAR. Inspektur Jenderal. M. Sakri Widhianto KATA PENGANTAR Dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, maka diperlukan suatu pedoman dan arahan yang jelas sebagai acuan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Pedoman dan arahan dituangkan dalam

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1043, 2012 KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsentrasi. PERATURAN

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.12/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01.PR TAHUN 2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01.PR TAHUN 2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01.PR.07.04 TAHUN 2004 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH DETENSI IMIGRASI MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIMAHI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 64 TAHUN 2016

PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 64 TAHUN 2016 PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI DINAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI MUSI RAWAS,

Lebih terperinci

2016, No Kehutanan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelolaan ; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Le

2016, No Kehutanan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelolaan ; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Le No.208, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Balai Pengelolaan. Orta. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.12/MENLHK/SETJEN/OTL.0/1/2016 TENTANG

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Sanitasi di Indonesia telah ditetapkan dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMPN) tahun 2005 2025 Pemerintah Indonesia. Berbagai langkah

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan I

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan I No.1273, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-KOMINFO. ORTA. UPT Monitor Frekuensi Radio. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 127/O/2004 TENTANG PERUBAHAN BALAI PELATIHAN TEKNOLOGI GRAFIKA MENJADI BALAI GRAFIKA

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 127/O/2004 TENTANG PERUBAHAN BALAI PELATIHAN TEKNOLOGI GRAFIKA MENJADI BALAI GRAFIKA SALINAN KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 127/O/2004 TENTANG PERUBAHAN BALAI PELATIHAN TEKNOLOGI GRAFIKA MENJADI BALAI GRAFIKA MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) PERENCANAAN PEMBUATAN MAKET PELABUHAN KARGO

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) PERENCANAAN PEMBUATAN MAKET PELABUHAN KARGO KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) PERENCANAAN PEMBUATAN MAKET PELABUHAN KARGO PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pelabuhan merupakan salah satu infrastruktur penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 216 MOR SP DIPA-33.-/216 DS334-938-12-823 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 1 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun

Lebih terperinci

- 2 - MEMUTUSKAN: BAB I KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI, DAN SUSUNAN ORGANISASI. Bagian Kesatu Kedudukan, Tugas dan Fungsi. Pasal 1

- 2 - MEMUTUSKAN: BAB I KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI, DAN SUSUNAN ORGANISASI. Bagian Kesatu Kedudukan, Tugas dan Fungsi. Pasal 1 - 2-5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82); 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.15/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGAMANAN DAN PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

2016, No Kehutanan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pendidikan dan Kehutanan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang K

2016, No Kehutanan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pendidikan dan Kehutanan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang K No. 212, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Balai Pendidikan dan Pelatihan. Orta. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENLHK/SETJEN/OTL.0/1/2016

Lebih terperinci

SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI.

SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI. SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA MMMMMERNJHEDSOAHDCsiDHNsaolkiDFSidfnbshdjcb XZCnxzcxzn PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

TUNJANGAN KINERJA JABATAN STRUKTURAL

TUNJANGAN KINERJA JABATAN STRUKTURAL 5 LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG JABATAN DAN KELAS JABATAN SERTA TUNJANGAN KINERJA PEGAWAI DI LINGKUNGAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan dalam bentuk( penerapan hukum dan undang-undang) di kawasan. dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan publik.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan dalam bentuk( penerapan hukum dan undang-undang) di kawasan. dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan publik. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Organisasi sektor publik adalah organisasi yang berhubungan dengan kepentingan umum dan penyediaan barang atau jasa kepada publik yang dibayar melalui pajak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kependudukan Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Kabupaten Karimun berubah

BAB I PENDAHULUAN. Kependudukan Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Kabupaten Karimun berubah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karimun Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Karimun, Dinas Kependudukan Catatan

Lebih terperinci