I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 4. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Relevansi Teori Boundary Making untuk abad 21

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 4. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Relevansi Teori Boundary Making untuk abad 21"

Transkripsi

1 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 4 A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Relevansi Teori Boundary Making untuk abad 21 B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Relevansi Teori Boundary Making (1945) untuk abad 21 meliputi: 1) boundary-making dalam konteks sekarang, 2) kosa kata dalam batas wilayah, 3) boundary-making sebagai suatu pendekatan sistem, 4) pekerjaan lapangan dalam boundary-making, 5) sifat bilateral dari boundary-making, 6) pengaruh boundary-making di dalam hukum internasional dan penyelesaian sengketa, 7) boundary-making untuk abad 21. C. MEDIA AJAR : Handout D. METODE EVALUASI DAN PENILAIAN a. Kuis E. METODE AJAR: STAR : SCL (Student Centered Learning) + TCL (Teacher Centered Learning) F. AKTIVITAS MAHASISWA a. Memperhatikan, mencatat, membaca modul b.berdiskusi c. Mengerjakan soal kuis G. AKTIVITAS DOSEN DAN NAMA DOSEN a. Menjelaskan materi pokok bahasan b. Membuat soal kuis c. Memandu diskusi d. Nama Dosen : Sumaryo II. BAHAN AJAR Relevansi Teori Boundary Making (1945) untuk abad 21. Dalam waktu kurang lebih duapuluh tahun terakhir selama periode antara berakhirnya perang dingin sampai serangan teroris 9 September 2001 berkembang suatu pendapat yang menyatakan bahwa akibat perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi serta dampak globalisasi ekonomi, maka arti penting keberadaan batas wilayah antar negara secara perlahan-lahan surut, sehingga seolah-olah kita hidup dalam dunia tanpa batas atau borderless world (Caflisch, 2006: 1; Newman, 2000: 69). Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, bahkan keberadaan batas wilayah terutama batas wilayah antar negara tetap penting dalam membangun sistem hubungan internasional antar bangsa dan antar negara (Newman, 2000: 70). Keadaan yang sebenarnya menunjukkan bahwa di masa lalu batas wilayah berfungsi sebagai pemisah (barrier) terhadap semua bentuk pergerakan baik orang maupun barang, namun dalam dua dekade terakhir dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi maka fungsi batas tidak lagi dapat menahan arus pergerakan terutama informasi. Berita dan gambar-gambar dapat dengan mudah dikirim dari satu negara ke negara lain melalui satelit tanpa harus terhambat oleh adanya batas wilayah. Demikian juga dalam bidang 1

2 ekonomi, dalam satu sistem pasar global maka arus pergerakan modal maupun pembayaran dapat dilakukan tanpa terhambat oleh batas wilayah negara. Sementara penentuan pajak dan tarif oleh suatu negara lebih untuk menunjukkan bahwa kedaulatan suatu negara itu tetap ada walauapun ada pergerakan ekonomi. Saat ini batas wilayah negara sudah lebih terbuka. Orang dan barang sudah lebih mudah berpindah dari satu negara ke negara lain. Melalui kerjasama lintas batas, batas wilayah lebih berfungsi sebagai suatu tempat untuk memfasilitasi pergerakan (connectivity) para pelintas batas dan barang dari satu negara ke negara lain tanpa terlalu banyak hambatan (Newman, 2000: 72). Keberadaan batas wilayah negara akan mempermudah orang dan barang melintas, akibatnya lokasi-lokasi untuk memfasilitasi pelintas batas harus diperbanyak. Keberadaan garis batas wilayah juga harus dipertegas di lapangan untuk lebih memberikan makna loyalitas kebangsaan, sehingga istilah borderless world sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Batas wilayah tetap perlu ada sebagai batas pemisah kedaulatan namun melalui kerjasama lintas batas fungsi batas lebih ditingkatkan untuk mempermudah pergerakan orang dan barang (Newman, 2000: 69; Donaldson dan William, 2008: 696). Untuk itu diperlukan manajemen perbatasan baik yang di satu sisi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempermudah lintas batas, namun disisi lain harus tetap memperhatikan segi keamanan dan integritas kebangsaan. Setelah lebih dari enampuluh tahun bukunya Jones dipublikasikan (dipublikasi tahun 1945), apakah teori Boundary Making masih relevan untuk abad 21? Pada tahun 2008, John W. Donaldson dan Alison J. William melakukan analisis terhadap relevansi buku tersebut untuk saat ini. Pada Jones saat menulis buku tersebut adalah di bawah arahan Samuel Whittemore Boggs dan Isaiah Bowman, dua orang ahli geografi politik yang lain dari Amerika, sehingga menurut John W. Donaldson & Alison J. Williams (2008) buku tersebut sebenarnya merupakan kulminasi kerja dari tiga serangkai Jones, Boggs dan Bowma. Analisis dilakukan untuk beberapa hal sebagai berikut: 1. boundary-making dalam konteks sekarang, 2. kosa kata dalam batas wilayah, 3. boundary-making sebagai suatu pendekatan sistem, 4. pekerjaan lapangan dalam boundary-making, 5. sifat bilateral dari boundary-making, 6. pengaruh boundary-making di dalam hukum internasional dan penyelesaian sengketa, 7. boundary-making untuk abad 21. Dalam analisisnya dibahas terutama perihal situasi pada saat Jones menulis buku Boundary-Making bila dikaitkan dengan situasi saat ini terkait hukum internasional, pengetahuan dan praktek tentang batas wilayah serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Hasil analisis yang dilakukan oleh W. Donaldson dan Alison J. William ditulis dalam suatu makalah dengan judul: Delimitation and Demarcation: Analysing the Lagacy of Stephen B Jones s Boundary Making dan diterbitkan dalam jurnal Geopolitik, 13:4, Berikut rangkuman beberapa hal penting yang merupakan hasil analisisnya: a. Boundary Making dalam konteks sekarang Teknik penentuan batas wilayah internasional sangatlah luar biasa kompleksnya meliputi berbagai aspek dan isu politik, hukum (legal) dan geografis dan terus berkembang seiring dengan waktu serta mengikuti konteks yang sangat bervariasi. Meskipun demikian, sejak Perang Dunia ke Dua, empat tahapan sekuensial dalam boundary making yang dikemukan oleh Jones, sekarang tinggal tahapan delimitasi dan demarkasi yang secara praktis digunakan sebagai pedoman dalam penentuan batas dan penyelesaian sengketa batas 2

3 di berbagai belahan dunia. Dengan demikian menurut John W. Donaldson & Alison J. Williams (2008), paling tidak beberapa bagian isi bukunya Jones masih mempunyai pengaruh sampai saat ini. Bahkan, di zaman globalisasi saat ini, sistem negara secara internasional masih tetap didasarkan atas suatu sistem yang memiliki pengertian bahwa suatu negara adalah yang batas wilayah teritorialnya harus ditetapkan secara legal melalui kegiatan delimitasi dan secara fisik ditandai di lapangan melalui kegiatan demarkasi untuk memastikan terjadinya perdamaian dan stabilitas antar negara. Problematiknya adalah bahwa kelanjutan kegiatan delimitasi dan demarkasi sering memprovokasi timbulnya konflik atau sengketa batas antar negara di berbagai belahan dunia. Sebagai contoh adalah kasus sengketa batas yang sangat menonjol antara negara Eritrea dan negara Ethiopia di Afrika yang berlangsung sejak 1998 sampai 2000, telah menelan korban jiwa anatar sampai orang tentara dan penduduk sipil. Untuk penyelesaian yang menyeluruh akhirnya kedua negara sepakat membentuk Komisi Perbatasan ( Eritrea-Ethiopia Boundary Commission atau EEBC) pada 13 April 2002 yang ditugaskan untuk melakukan delimitasi ulang atas dasar perjanjian tahun 1900, 1902 dan EEBC kemudian melakukan delimitasi ulang atas dasar perjanjian 1900, 1902 dan 1908 menggunakan data saat ini berupa foto udara resolusi tinggi dan data DTM (Digital Terrain Model) dan akhirnya dapat menentukan 146 titik batas yang digambarkan pada peta skala 1 : yang kualitasnya tinggi. Namun permasalahan yang muncul adalah fihak Ethiopia tetap menolak untuk menyetujui hasil delimitasi EEBC tersebut. Reinterpretasi yang dilakukan oleh EEBC tentang delimitasi pada perjanjian 1900, 1902 dan 1908 untuk melakukan demarkasi yang tidak berkompromi dengan pihak-pihak yang bersengketa, menimbulkan suatu pertanyaan bagaimana seharusnya proses boundary making harus dilakukan saat ini. Istilah dan pengertian delimitasi dan demarkasi yang dikemukakan oleh Jones saat ini secara menonjol telah digunakan di dalam yurisprudensi keputusan-keputusan masalah batas wilayah oleh Mahkamah Internasional, pengadilan arbitrase internasional dan teks hukum internasional serta resolusi-resolusi yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (sebagai contoh Resolusi No. 687 tahun 1991 terhadap batas antara Irak dan Kuwait). Hal ini menunjukkan bahwa betapapun Teori Boundary Making yang ditulis oleh Jones telah berakar kuat pada abad ke duapuluh. b. Kosa kata batas wilayah dalam boundary making Di dalam teorinya tentang boundary making, Jones berfikir melampaui pemikiran studi-studi tentang batas wilayah yang dilakukan oleh para ahli geografi politik sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Boggs dan Hartshorne yang juga ahli geografi politik Amerika. Jones dapat menjelaskan secara rinci sistematika proses boundary making dalam empat tahapan yaitu: 1) alokasi, 2) delimitasi, 3) demarkasi dan 4) administrasi. Kosa kata alokasi, delimitasi, demarkasi dan administrasi sangat membantu para praktisi dan akademisi batas wilayah pada situasi geopolitik selama perang dunia kedua. Jones menuliskan bahwa dalam kosa kata alokasi memberikan pengertian sebagai proses dimana suatu negara dapat memperoleh kedaultan teritorial dalam suatu wilayah, namun disisi lain Jones juga menyarankan bahwa batas wilayah yang telah diperoleh harus dipelihara (maintained) secara periodik setelah tahap demarkasi untuk tujuan administrasi. Di dalam bab yang terpanjang di dalam bukunya yang diberi judul Delimitation, Jones menjelaskan secara mendetail proses delimitasi. Pengertian delimitasi menurut Jones adalah: memilih letak suatu garis batas dan mendefinisikan garis tersebut di dalam suatu perjanjian atau dokumen formal lainnya. Dalam proses delimitasi, batas harus didefinisikan secara tertulis di dalam perjanjian bilateral sehingga delimitasi memiliki aspek legal. Jones dengan tegas menyatakan bahwa delimitasi merupakan proses dua tahap (two-stage process) 3

4 yaitu memilih garis batas dan mendefinisikan garis batas. Selain itu Jones juga mengingatkan agar dalam pemilihan dan pendefinisan garis batas harus sedapat mungkin mengurangi friksi sehingga menghasilkan suatu batas yang memberi peluang terbaik untuk dimulainya hubungan yang harmonis antara negara yang berbatasan. Di dalam bab selanjutnya, Jones menjelaskan tentang arti kata demarkasi yaitu penandaan secara fisik suatu batas di lapangan. Tetapi tentunya pengertian demarkasi tidak sesederhana hanya mencari lokasi untuk memasang pilar seperti yang tertulis dalam perjanjian atau tergambar di dalam peta, namun Jones menjelaskan bahwa demarkasi adalah suatu proses adaptasi dari batas yang sudah didelimitasi di dalam perjanjian ke dalam kondisi lokal di area perbatasan. Di dalam proses demarkasi diperlukan ahli-ahli teknis seperti kartografer, surveyor dan geogafer yang sering disebut demarkator. Karena itu para demarkator sebenarnya adalah sebagai penyesuai akhir (the final adjusment) garis batas hasil delimitasi ke kondisi realitas lapangan. Adler, R., (2001) memberi catatan bahwa teori boundary-making yang ditulis Jones merupakan tonggak sejarah yang sangat penting di dalam mendekatkan aspek-aspek teknis (demarkasi) ke aspek legal (delimitasi). c. Boundary-making sebagai suatu pendekatan sistematik Di dalam analisis yang dilakukan oleh John W. Donaldson & Alison J. Williams, disebutkan bahwa walaupun tahapan: alokasi, delimitasi, demarkasi, administrasi merupakan suatu ide yang ditulis atas dasar hasil gagasan Jones sendiri, namun gagasan tersebut merupakan suatu kerangka kerja yang sistematik yang mirip dengan yang dilakukan oleh ahli hukum internasional dari Perancis bernama Paul de Lapradelle dalam bukunya La Frointiere yang ditulis tahun Paul de Lapradelle menuliskan bahwa dalam penentuan batas wilayah meliputi tiga tahap yang sistematik yaitu persiapan (preparation), keputusan (decision) dan pelaksanaan (execution). Sebagai suatu kerangka kerja yang sistematik, maka Jones memberikan catatan penting yaitu: Karena boundary making adalah suatu proses yang berkesinambungan, mulai dari tahap awal alokasi sampai tahapan akhir administrasi, maka kesalahan di suatu tahapan akan berpengaruh pada tahapan berikutnya. Oleh sebab itu informasi yang benar tentang daerah perbatasan harus diketahui seawal mungkin di dalam proses boundary making. Informasi daerah perbatasan akan lebih baik kalau diperoleh dengan cara investigasi (survey) secara langsung di lapangan. d. Pekerjaan lapangan dalam boundary-making Jones menyarankan bahwa pekerjaan lapangan sebaiknya dilakukan dalam empat tahapan boundary making, terutama untuk tahap delimitasi, selama tahap demarkasi, selama penyelidikan kejadian-kejadian di perbatasan dan selama akan dilakukan keputusan dari sengketa batas. Namun sering ada anggapan bahwa pekerjaan lapangan hanya dilakukan ketika dimulai tahap demarkasi. Peta dan berbagai dokumen formal sudah dianggap cukup untuk alokasi teritorial dan delimitasi. Hal ini menurut Jones adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar. Pengamatan lapangan penting dilakukan di dalam tahap pre-delimitasi yang akan menghasilkan suatu kepastian terhadap informasi yang diperlukan. Banyak contoh dari berbagai negara yang mengikuti rekomendasi dari Jones tentang perlunya melakukan survey lapangan sebagi bagian integral dalam proses boundary making. Menyusul hancurnya Uni Soviet dimana negara-negara yang sebelumnya tergabung dalam negara Uni Soviet kemudian menjadi negara merdeka, maka untuk menghindari perbedaan antara definisi tekstual batas wilayah administarsi sebelumnya dengan kondisi lapangan yang sebenarnya, maka beberapa negara di Asia Tengah segera melakukan survey lapangan selama delimitasi untuk menentukan batas negara setelah merdeka. Misalnya setelah merdeka pada bulan Desember 1991, Kazakhstan secara bilateral dengan negara-negara tetangganya yaitu Kyrgystan, Russia, Turkmenistan dan Uzbekistan segera membentuk komisi perbatasan dan melakukan delimitasi terhadap batas-batas administratif Uni Soviet sebelumnya. Dalam 4

5 tahap delimitasi ini, komisi perbatasan yang dibentuk meneliti dokumen legal, membentuk kelompok-kelompok kerja, melakukan konsultasi dengan penduduk lokal di wilayah perbatasan dan membentuk tim teknis untuk survey lapangan dan melakukan survey baru menggunakan citra dengan teknologi Remote Sensing untuk daerah-daerah yang tidak dapat dijangkau. Kegiatan lapangan yang dilakukan setelah terjadinya konflik tentu sangat sulit dilakukan dan bisa sangat berbahaya bagi personil tim survey yang terlibat. Para diplomat dan arbitrator sering enggan untuk melakukan survey lapangan pada situasi pasca konflik sebab merasa perlu segera mempercepat penyelesaian konflik untuk meminimalkan resiko konflik baru. Namun Jones tetap mengingatkan bahwa: pertama, alasan mempercepat penyelesaian adalah tidak lebih penting dari penyelesaian yang permanen. Kedua, dengan mengetahui secara pasti kondisi lapangan melalui survey lapangan akan menghemat waktu dalam proses bernegosiasi dan tahap demarkasi. Ketiga, kegiatan survey lapangan sebenarnya tidak memerlukan waktu lama. e. Sifat bilateral dari boundary-making Di dalam bukunya, Jones menjelaskan bahwa proses boundary making pada dasarnya merupakan kegiatan yang memiliki konsep yang bersifat kontraktual (contractual concept), artinya bahwa antara dua negara harus sepakat terhadap suatu garis batas dan tetap mempertahankan kedudukannya setelah terjadi kesepakatan. Di dalam boundary making penentuan garis batas tidak boleh dilakukan secara sepihak (unilateral), kecuali untuk limit batas maritim. Limit batas maritim adalah batas terluar zona maritim sebuah negara (laut teritorial, zona tambahan, ZEE, landas kontinen) yang lebarnya diukur dari garis pangkal. Pada dasarnya limit batas maritim ini ditentukan secara unilateral (sepihak), jika tidak ada tumpang tindih dengan negara lain. Penetuan limit batas maritm dilakukan oleh suatu negara yang letaknya di tengah samudera dan jauh sekali dari negara-negara lain, maka negara tersebut bisa menentukan batas terluar zona maritimnya secara sepihak tanpa harus berurusan dengan negara tetangga (Antunes, N.S.M., 2000). f. Boundary-making pada abad 21. Walaupun boundary making yang ditulis oleh Jones masih relevan di abad dua puluh, namun sebenarnya dunia sedang berubah sejak tahun Teknologi maju untuk penentuan posisi seperti Global Positioning System (GPS) terus berkembang dan dapat mengubah baik peralatan maupun metode yang digunakan dalam proses delimitasi, demarkasi maupun adminstrasi batas wilayah. Di awal dan pertengahan abad dua puluh, teknologi foto udara memang banyak digunakan di dalam proses boundary making, namun di abad dua puluh satu telah berkembang teknologi satelit untuk mendapatkan citra dengan resolusi tinggi. Disamping itu perkembangan teknologi komputer juga telah membawa abad dua puluh satu ini pada era teknologi dijital. Kemajuan teknologi transportasi khusunya helikopter telah sangat membantu tugas komisi perbatasan untuk melakukan akses ke daerah perbatasan yang jauh dan sulit dijangkau dengan perjalanan darat. Jumlah penduduk di kawasan perbatasan di berbagai belahan dunia terus bertambah, pelintas batas baik orang maupun barang baik yang legal maupun tidak legal juga terus bertambah, sehingga aspek keamanan maupun kesejahteraan di perbatasan tentu menjadi hal yang penting yang harus menjadi perhatian. Faktor-faktor tersebut menuntut kegiatan boundary making batas internasional dikelola secara moderen. Selama periode antara berakhirnya perang dingin sampai serangan teroris 9 September, munculnya pandangan dunia tanpa batas (world borderless) mulai berakar. Berpegang teguh dalam prinsip pasar bebas dimana tidak ada pembatasan terhadap aliran orang dan barang untuk melintasi batas negara, telah merubah konsep pandangan terhadap 5

6 batas wilayah negara. Meskipun demikian sejak peristiwa 9 September, kebijakan tentang keamanan menempatkan batas wilayah negara sebagai suatu tempat yang berfungsi untuk menjaga kemanan negara yang bersangkutan. Dari uraian di atas, sebagian besar teori boundary making yang ditulis Jones masih tetap relevan untuk abad dua puluh satu. Perkembangan teknologi dan situasi geopolitik dunia akan memberikan informasi yang memadai untuk mengelola batas wilayah negara secara lebih efektif dan efisien. Akhirnya analisis yang dilakukan oleh W. Donaldson dan Alison J. William menyebutkan bahwa yang perlu menjadi perhatian adalah kemungkinan teori boundarymaking direvisi untuk memastikan bahwa teori tersebut dapat selalu digunakan untuk pencegahan dan penyelesaian (resolusi) konflik yang banyak terjadi di abad ke duapuluh satu. III. EVALUASI 1. Bagaimana pendapat anda terhadap boundary-making dalam konteks sekarang boundary-making untuk abad Jelaskan kosa kata dalam batas wilayah yang paling menonjol dan paling berpengaruh secara praktis dalam teori Boundary Making Jones 3. Jelaskan boundary-making sebagai suatu pendekatan sistem, 4. Pada tahapan apa saja pekerjaan lapangan diperlukan dalam boundary-making, 5. Jelaskan pengertian sifat bilateral dari boundary-making, 6. Berikan contoh pengaruh boundary-making di dalam hukum internasional dan penyelesaian sengketa, Jawaban soal evaluasi akan didiskusikan di kelas DAFTAR BACAAN (REFERENSI): 1. Donaldson, J.W & Williams, A.J., 2008, Delimitation and Demarcation: Analysing the Legacy of Stephen B. Jones's : Boundary-Making, Geopolitics, 13:4, , Publisher: Routledge, To link to this article: 2. Jones,B.,S., 2000, Boundary Making, A Handbooks for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, William S. Hein & Co.Inc., Buffalo, New York. 6

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 12

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 12 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 12 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan sengketa batas wilayah darat: pengertian, penyebab dan cara-cara penyelesian sengketa batas, hubungan sengketa

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2 A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Alokasi dan Delimitasi:

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 3

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 3 I. RENCN KEGITN PEMELJRN MINGGUN (RKPM) MINGGU 3. TUJUN JR: Dapat Menjelaskan Teori oundary Making untuk tahap Demarkasi dan dminstrasi/manajemen batas wilayah..pokok HSN/SU POKOK HSN: Teori oundary Making

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Konsep Negara kepulauan Evolusi

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10 A.TUJUAN AJAR Dapat menjelaskan Sengketa Batas Maritim dan penyelesaiannya B. POKOK BAHASAN: Penyebab sengketa batas maritim Penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan delimitasi batas maritim B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Tujuan delimitasi Prinsip delimitasi Konvensi PBB

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Aspek Geospasial dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Pemerintah pusat memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk dapat mengelola daerahnya masing masing setelah dikeluarkannya UU No. 22 Tahun

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 1

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 1 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 1 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan konsep dan pengertian batas wilayah B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Pengertian Batas wilayah dan tipologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut adalah kumpulan air asin dan menyatu dengan samudera. Dari waktu ke waktu, terjadi perkembangan yang signifikan terhadap fungsi atau peranan laut. Adapun fungsi

Lebih terperinci

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI xvii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... vii SAMBUTAN... x UCAPAN TERIMA KASIH... xiii DAFTAR ISI... xvii DAFTAR GAMBAR... xxii BAB 1 DELIMITASI BATAS MARITIM: SEBUAH PENGANTAR... 1 BAB 2 MENGENAL DELIMITASI

Lebih terperinci

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang. BAB V KESIMPULAN Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi konflik di masa kini maupun akan datang. Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara di kawasan ini. Konflik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kesatuan yaitu negara yang tiap daerahnya masuk dalam sistem tata negara yang terintegrasi. Dalam segala hal pimpinan tingkat daerah bertanggung

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Peta laut, Basepoint (Titik Pangkal), dan Baseline (Garis Pangkal) untuk delimiasi batas maritim. B.POKOK BAHASAN/SUB

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Di awal tahun 2005, bangsa ini gempar oleh satu kata Ambalat. Media massa memberitakan kekisruhan yang terjadi di Laut Sulawesi perihal sengketa

Lebih terperinci

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Bapak Presiden SMU PBB, Saya ingin menyampaikan ucapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan berisi penjelasan tentang latar belakang dilakukannya penelitian, perumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan dan faedah penelitian. Motivasi yang mendorong dilakukannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kabupaten Lamadau di Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perang etnis menurut Paul R. Kimmel dipandang lebih berbahaya dibandingkan perang antar negara karena terdapat sentimen primordial yang dirasakan oleh pihak yang bertikai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

KONFLIK CHILE-ARGENTINA PADA KASUS BEAGLE CHANNEL

KONFLIK CHILE-ARGENTINA PADA KASUS BEAGLE CHANNEL RESUME SKRIPSI LATAR BELAKANG KONFLIK CHILE-ARGENTINA PADA KASUS BEAGLE CHANNEL Disusun oleh: DAHLIA NUR FARIDA NIM. 151040188 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.403, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHAN. Pengamanan. Wilayah Perbatasan. Kebijakan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG KEBIJAKAN PENGAMANAN WILAYAH

Lebih terperinci

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n BAB IV KESIMPULAN Regionalisme Mercosur merupakan regionalisme yang telah mengalami proses yang panjang dan dinamis. Berbagai peristiwa dan upaya negara anggotanya terhadap organisasi ini telah menjadikannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia BAB 5 KESIMPULAN Dalam bab terakhir ini akan disampaikan tentang kesimpulan yang berisi ringkasan dari keseluruhan uraian pada bab-bab terdahulu. Selanjutnya, dalam kesimpulan ini juga akan dipaparkan

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX By Malahayati, SH, LLM 1 TOPIK PRINSIP UMUM JENIS SENGKETA BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA PENYELESAIAN POLITIK PENYELESAIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Thailand dan Kamboja merupakan dua negara yang memiliki letak geografis berdekatan dan terletak dalam satu kawasan yakni di kawasan Asia Tenggara. Kedua negara ini

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita. Konflik tersebut terjadi karena interaksi antar kedua negara atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. kita. Konflik tersebut terjadi karena interaksi antar kedua negara atau lebih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konflik internasional antar dua negara cukup terdengar akrab di telinga kita. Konflik tersebut terjadi karena interaksi antar kedua negara atau lebih terganggu akibat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR GRAFIK... iii DAFTAR SINGKATAN... iii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Rumusan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. mencari mitra kerjasama di bidang pertahanan dan militer. Karena militer dapat

BAB V KESIMPULAN. mencari mitra kerjasama di bidang pertahanan dan militer. Karena militer dapat BAB V KESIMPULAN Kerjasama Internasional memang tidak bisa terlepaskan dalam kehidupan bernegara termasuk Indonesia. Letak geografis Indonesia yang sangat strategis berada diantara dua benua dan dua samudera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian New Zealand merupakan negara persemakmuran dari negara Inggris yang selama Perang Dunia I (PD I) maupun Perang Dunia II (PD II) selalu berada di

Lebih terperinci

Keterangan Pers Bersama Presiden RI dengan Perdana Menteri Perancis, Jakarta, 1 Juli 2011 Jumat, 01 Juli 2011

Keterangan Pers Bersama Presiden RI dengan Perdana Menteri Perancis, Jakarta, 1 Juli 2011 Jumat, 01 Juli 2011 Keterangan Pers Bersama Presiden RI dengan Perdana Menteri Perancis, Jakarta, 1 Juli 2011 Jumat, 01 Juli 2011 KETERANGAN PERS BERSAMA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DENGAN PERDANA MENTERI PERANCIS, Y.M. FRANÃ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika Perang Dunia Pertama terjadi, tren utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua terjadi Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Perancis saat ini merupakan salah satu negara yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Republik Perancis saat ini merupakan salah satu negara yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Republik Perancis saat ini merupakan salah satu negara yang dapat dikatagorikan sebagai salah satu negara yang maju dari benua Eropa. Republik Perancis saat ini adalah

Lebih terperinci

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika BAB V KESIMPULAN Amerika Serikat merupakan negara adikuasa dengan dinamika kebijakan politik luar negeri yang dinamis. Kebijakan luar negeri yang diputuskan oleh Amerika Serikat disesuaikan dengan isu

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjaga keamanan nasional sekaligus memenuhi kepentingan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjaga keamanan nasional sekaligus memenuhi kepentingan nasional. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekuatan militer merupakan salah satu aspek penting dalam menjaga stabilitas negara. Semua negara termasuk Indonesia membangun kekuatan militernya untuk menjaga keamanan

Lebih terperinci

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA UPAYA JEPANG DALAM MENJAGA STABILITAS KEAMANAN KAWASAN ASIA TENGGARA RESUME SKRIPSI Marsianaa Marnitta Saga 151040008 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya,

I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya, I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya, begitu pula halnya dengan negara, negara tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga dibutuhkannya

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 13

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 13 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 13 A. TUJUAN AJAR: Mampu menjelaskan peran geodesi dan geomatika dalam kegiatan penetapan, penegasan dan manajemen batas wilayah. B.POKOK BAHASAN/SUB

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Pasal 2 (3) dari Piagam PBB Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR PERENCANAAN KAWASAN PESISIR Hukum Laut Internasional & Indonesia Aditianata Page 1 PENGERTIAN HUKUM LAUT : Bagian dari hukum internasional yang berisi normanorma tentang : (1) pembatasan wilayah laut;

Lebih terperinci

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar RESUME SKRIPSI Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar negara yang melintasi batas negara. Sebagian besar negara-negara di dunia saling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia

BAB I PENDAHULUAN. India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia Tengah dan Asia Tenggara yang terlingkup dalam satu kawasan, yaitu Asia Selatan. Negara-negara

Lebih terperinci

APEK HUKUM WILAYAH NEGARA INDONESIA

APEK HUKUM WILAYAH NEGARA INDONESIA APEK HUKUM WILAYAH NEGARA INDONESIA Penulis: : Suryo Sakti Hadiwijoyo Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012 Hak Cipta 2012 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan

Lebih terperinci

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM MUHAMMAD NAFIS 140462201067 PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM Translated by Muhammad Nafis Task 8 Part 2 Satu hal yang menarik dari program politik luar negeri Jokowi adalah pemasukan Samudera Hindia sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Yofa Fadillah Hikmah, 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Yofa Fadillah Hikmah, 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perang merupakan suatu konflik dua pihak atau lebih dan dapat melalui kontak langsung maupun secara tidak langsung, biasanya perang merupakan suatu hal yang

Lebih terperinci

BAB VI. 6.1 Kesimpulan Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada masa Hafiz al-

BAB VI. 6.1 Kesimpulan Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada masa Hafiz al- 166 BAB VI 6.1 Kesimpulan Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada masa Hafiz al- Assad berkaitan dengan dasar ideologi Partai Ba ath yang menjunjung persatuan, kebebasan, dan sosialisme

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.10, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA AGREEMENT. Pengesahan. RI - Republik Singapura. Timur Selat Singapura. Wilayah. Laut. Garis Batas. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL Pembukaan Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Denmark

Lebih terperinci

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global. BAB V PENUTUP Kebangkitan Cina di awal abad ke-21tidak dapat dipisahkan dari reformasi ekonomi dan modernisasi yang ia jalankan. Reformasi telah mengantarkan Cina menemukan momentum kebangkitan ekonominya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. tanah, luasan bidang tanah, dan batas batas wilayah bidang tanah. Pentingnya

BAB IV PENUTUP. tanah, luasan bidang tanah, dan batas batas wilayah bidang tanah. Pentingnya 90 BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN Proses mekanisme penerbitan peta bidang memiliki peran penting baik saat pengukuran ataupun proses pembuatan sertipikat tanah. Banyak pula informasi yang terdapat di dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : BAB II DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Artikel hubungan internasional antara indonesia dengan negara lain. Artikel hubungan internasional antara indonesia dengan negara lain.

Artikel hubungan internasional antara indonesia dengan negara lain. Artikel hubungan internasional antara indonesia dengan negara lain. Artikel hubungan internasional antara indonesia dengan negara lain Artikel hubungan internasional antara indonesia dengan negara lain.zip CONTOH PERJANJIAN INTERNASIONAL ANTAR NEGARA hubungan antara Indonesia

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, wwwbpkpgoid PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 27 TENTANG JENIS DAN ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

SENGKETA INTERNASIONAL

SENGKETA INTERNASIONAL SENGKETA INTERNASIONAL HUKUM INTERNASIONAL H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si Indonesia-Malaysia SENGKETA INTERNASIONAL Pada hakikatnya sengketa internasional adalah sengketa atau perselisihan yang terjadi antar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan. Melindungi Hak-Hak

Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan. Melindungi Hak-Hak Melindungi Hak-Hak Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan K o n v e n s i 1 9 5 4 t e n t a n g S t a t u s O r a n g - O r a n g T a n p a k e w a r g a n e g a r a a n SERUAN PRIBADI DARI KOMISIONER TINGGI

Lebih terperinci

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI 1 Introduksi: Isu proliferasi senjata nuklir merupaka salah satu isu yang menonjol dalam globalisasi politik dunia. Pentingnya isu nuklir terlihat dari dibuatnya

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON THE FRAMEWORK FOR

Lebih terperinci

Kajian Strategi Batas Pengelolaan WIlayah Negara & Kawasan Perbatasan di 12 Provinsi

Kajian Strategi Batas Pengelolaan WIlayah Negara & Kawasan Perbatasan di 12 Provinsi Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Kajian Strategi Batas Pengelolaan WIlayah Negara & Kawasan Perbatasan di 12 Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Kepemilikan senjata nuklir oleh suatu negara memang menjadikan perubahan konteks politik internasional menjadi rawan konflik mengingat senjata tersebut memiliki

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG JENIS DAN ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BERITA ACARA PENJELASAN PEKERJAAN (AANWIZJING)

BERITA ACARA PENJELASAN PEKERJAAN (AANWIZJING) PANITIA PENGADAAN/KELOMPOK KERJA/PEJABAT PENGADAAN JASA KONSULTANSI SUMBER DANA APBD TAHUN ANGGARAN 2011 DINAS PENATAAN RUANG DAN PERMUKIMAN PROVINSI SUMATERA UTARA BERITA ACARA PENJELASAN PEKERJAAN (AANWIZJING)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Veygi Yusna, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Veygi Yusna, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan politik yang dikeluarkan oleh pemerintah biasanya menimbulkan berbagai permasalahan yang berawal dari ketidakpuasan suatu golongan masyarakat, misalnya

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG JENIS DAN ATAS YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah komunikasi dalam konteks pedagogi adalah hal yang penting karena ketika proses pembelajaran berlangsung didalamnya terdapat interaksi antara guru dengan siswa

Lebih terperinci