4. METODE PENELITIAN. 4.2 Pelaksanaan Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. METODE PENELITIAN. 4.2 Pelaksanaan Penelitian"

Transkripsi

1 METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan April sampai September 2011, Provinsi Lampung dipilih sebagai unit analisis wilayah. Lebih lanjut untuk mengetahui peranan hulu maupun hilir dalam membangkitkan tingkat kesejahteraan di wilayah Provinsi ini, maka Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus diperlakukan sebagai subwilayah hulu (HU), sedangkan kedua kota beserta kedelapan kabupaten selainnya diperlakukan sebagai subwilayah hilir (Gambar 1). Pengumpulan data sekunder dilakukan pada berbagai instansi, meliputi tingkat Nasional (yaitu BPS Nasional, Pusat Penelitian Tanah & Agroklimat, dan Badan Planologi Kehutanan) maupun di tingkat Provinsi Lampung (yaitu BPS Provinsi, BMKG Provinsi Lampung, Badan Pertanahan, Dinas Kehutanan, BPDAS Seputih-Sekampung, Dinas Koperindag dan Bank Indonesia Cabang Lampung). Analisis data dilakukan di Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 4.2 Pelaksanaan Penelitian Penentuan Toleransi Ambang Deforestasi Lanjutan Pendekatan yang digunakan adalah pemodelan. Untuk mengalisis hubungan antara tingkat kesejahteraan ataupun kerusakan lingkungan terhadap karakteristik sumberdaya wilayah digunakan model linear berganda. Variabel terikat yang digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia [HDI] untuk 10 kabupaten/kota di lingkup Provinsi Lampung tahun mendatang [HDI t+1 ]. Kecuali itu juga digunakan intensitas banjir [FLOOD] dan kelongsoran tanah [LSLIDE] sebagai pewakil dari degradasi lingkungan yang dinyatakan dengan persentase desa-desa yang mengalami kedua bencana itu dalam kurun dan (BPS Provinsi Lampung, 2006b dan 2009b diolah). Adapun variabel penjelas yang digunakan meliputi proporsi penggunaan lahan di setiap kabupaten/kota, yang meliputi hutan rakyat [HR], hutan negara [HN], lahan terdegradasi [LDEG], sawah [SWH], perkebunan kopi rakyat

2 102 [COFF], perkebunan besar [ESTPL], kolam [POND], perladangan berpindah [SHIFT], lahan bera [FALLOW] dan rawa [SWAMP] yang diekstrak dari BPS Provinsi Lampung (2006a dan 2009a) kecuali untuk [COFF] diekstrak dari BPS Provinsi Lampung (2006b dan 2009b). Selain itu juga digunakan variabel curah hujan tahunan [CH] (BMKG, 2011 tidak dipublikasi). Adapun status urbanisme dinyatakan dengan dummy variable. Begitu juga dengan bentang lahan, jenis batuan dominan yang melandasi setiap kabupaten/kota diekstrak dari CSR (1989) yang proses penyiapannya disajikan pada Tabel 8. Table 8. Dummy variables untuk Pemodelan Tinngkat Kesejahteraan dan Kinerja Lingkungan, Simbol, Cara Ekstraksi dan Pengolahan Datanya Variable Regional Fisik Simbol Skornya Akuisi data, langkah-langkah ekstarksi serta pengolahannya Dummy Rural Vs Urban [D1_URBAN] D1=1, jika kota D1=0, kabupaten Diambil dari data statitik, Diskor =1 jika berstatus kota, dan= 0 jika Kabupaten Dummy of Sedimentary Vs Volcanic Rocks Dummy of Volcanic Vs Plutonic Rocks Dummy of Plain Vs Hilly Terrain Dummy of Hilly Vs Mountainous Terrain [D2_VOLC] [D3_PLUT] [D4_HILL] [D5-MOUNT] D2=1, jika volkanik D2=0, jika lainnya D3=1, jika plutonik D3=0, jika lainnya D4=1, jika Perbukitan D4=0, jika lainnya D5=1, jika bergunung D5=0, jika lainnya Digitasi Peta Satuan Tanah dan Lahan LREPP I(CSR, 1989), ditumpang-tidihkan dengan Peta Administratif Provinsi Lampung yang telah didigitasi sebelumnya, Ditemukan 3 jenis batuan induk pembentuk tanah yang dominan: batuan sedimen, volkanik dan plutonik, Lalu dihitung persentase luasan di tiap kabupaten/kota, persentase terbesar dianggap sebagai pewakil, Berdasarkan ketahanan tanah yang terbentuk terhadap erosi, ke tiga jenis batuan itu diklasifikaskian secara meningkat berturut-turut sedimen, volkanik, dan plutonik Selanjutnya disajikan dalam bentuk dummy variables [D2_VOLC] dan [D3-PLUT] batuan sedimen sebagai referensi, Juga dilakukan prosedur yang sama untuk medapatkan dummy variables [D4_HILL] dan [D5_MOUNT] dimana bentang lahan dataran, dataran alluvium, dan dataran pantai diperlakukan sebagai referensi, Adapun bentuk ketiga model tersebut disajikan sebagai berikut: [HDI] i(t+1) = β 1 + β 2 [HR] it + β 3 [HN] it + β 4 [LDEG] it + β 5 [SWH] it + β 6 [COFF] it + β 7 [ESTPL] it + β 8 [SHIFT] it + β 9 [FALLOW] it + β 10 [POND] it + β 11 [SWAMP] it + β 12 [CH] it + β 13 [D1_URBAN] it + β 14 [D2_VOLC] it + β 15 [D3_PLUT] it + β 16 [D4_HILL] it + β 17 [D5_MOUNT] it + β 18 [HDI] it + τ it {4.1} [FLOOD] it = γ 1 + γ 2 [HR] it + γ 3 [HN] it + γ 4 [LDEG] it + γ 5 [SWH] it + γ 6 [COFF] it + γ 7 [ESTPL] it + γ 8 [SHIFT] it + γ 9 [FALLOW] it + γ 10 [POND] it + γ 11 [SWAMP] it + γ 12 [CH] it + γ 13 [D1_URBAN] it + γ 14 [D2_VOLC] it + γ 15 [D3_PLUT] it + γ 16 [D4_HILL] it + γ 17 [D5_MOUNT] it + ε it {4.2}

3 103 [LSLIDE] it = λ 1 + λ 2 [HR] it + λ 3 [HN] it + λ 4 [LDEG] it + λ 5 [SWH] it + λ 6 [COFF] it + λ 7 [ESTPL] it + λ 8 [SHIFT] it + λ 9 [FALLOW] it + λ 10 [POND] it + λ 11 [SWAMP] it + λ 12 [CH] it + λ 13 [D1_URBAN] it + λ 14 [D2_VOLC] it + λ 15 [D3_PLUT] it + λ 16 [D4_HILL] it + λ 17 [D5_MOUNT] it + π it {4.3} Persediaan data untuk optimasi parameter model disajikan dalam Lampiran (Tabel 3). Optimasi parameter dilakukan dengan piranti lunak pengolah data statistik. Dalam optimasi ini ternyata didapat model dugaan terbaik dengan menggunakan: (a) Semua data (20 seri yaitu data tahun 2005 dan 2008 untuk 10 kabupaten/kota) baik untuk model Pers. {4.1} maupun Pers.{4.2}. (b) Hanya 13 seri data untuk model Pers. {4.3}, yaitu data tahun 2005 untuk Kabupaten Lampung Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Utara, Tulang Bawang, Bandar Lampung, Kota Metro berserta data tahun 2008 untuk Kabupaten Tanggamus, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Utara, Way Kanan dan Kota Bandar Lampung. Hasil parameter dugaan model disajikan pada Tabel 2.4. Hasil ini digunakan untuk menentukan tingkat ambang deforestasi yang masih dapat ditoleransi, yaitu tingkat deforestasi yang tidak menurunkan tingkat kesejahteraan dengan laju peningkatan degradasi lingkungan yang masih dalam taraf rasional. Untuk itu, telah dilakukan simulasi deforestasi dengan cara mereduksi terhadap luasan hutan rakyat [HN], hutan negara [HR], dan pengurangan perkebunan kopi [COFF] semuanya sebesar 5, 10, 15, 20, 25, 30 dan 50% sekaligus dialokasikan untuk penggunaan perkebunan besar [ESTPL]. Dengan begitu dapat diketahui nilai akhir dari [HDI] t+1, perubahan [LSLIDE] t dan [FLOOD] t dari tiap kabupaten/kota yang berada dalam lingkup Provisi Lampung. Lebih lanjut hasil-hasil tersebut dikelompokkan antara yang berada di subwilayah hulu maupun hilir. Dalam hal ini rataan hasil Kabupaten Lampung Barat dengan Kabupaten Tanggamus dikelompokkan sebagai subwilayah hulu [HU] sedangkan kelompok kabupaten/kota selainnya sebagai subwilayah hilir [HI].

4 104 Simulasi pengurangan [COFF] perlu dilakukan mengingat perkebunan kopi di Provinsi Lampung umumnya merupakan perkebunan rakyat dan yang terluas ditaman di kawasan hutan negara dengan kultur teknis berupa wanatani (agroforestry) sehingga sering menjadi subyek akan masalah ekolabeling yang dapat menekan ekspor kopi nasional yang juga dapat berujung pada kemerosotan kesejahteraan petani maupun masyarakat Provinsi Lampung secara keseluruhan. Dalam pada itu, resiko konversi kebun kopi menjadi penggunaan lain, dalam beberapa aspek dapat dipandang setara dengan deforestasi. Adapun pemilihan dipilih perkebunan besar [ESTPL] yang menjadi alokasi penggunaan lahan berikutnya, mengingat pola penggunaan lahan perkebunan besar dapat dipandang sebagai suatu sistem pertanian yang masih relatif kurang intensif dengan tanaman utama berupa pohon. Kecuali itu, perluasan areal untuk penggunaan lahan [ESTPL] seperti kelapa sawit dan karet di Provinsi Lampung relatif berkaitan dengan kemudahan aksesnya terhadap permodalan maupun kekuatan lainnya. Kriteri yang digunakan untuk menentukan nilai ambang toleransi deforestasi ada 3 yaitu: (i) [HDI] t+1 untuk hulu >70,52 untuk hilir >71,28; (ii) peningkatan [LSLIDE]<10%; dan (iii) peningkatan [FLOOD]<10%. Untuk kriteria yang pertama diambil dari angka [HDI] 2009 masing-masing untuk rataan kelompok kabupaten di subwilayah hulu dan subwilayah hilir. Sedangkan kriteria yang ke dua dan ke tiga dipadang sebagai ukuran resiko yang masih rasional sebagai akibat dari dampak kegiatan pembangunan. Ukuran rasional tersebut dibandingkan dengan kejadian riil seperti dapat dirujuk dalam catatan statistik periode dan periode telah terjadi eskalasi kedua macam bencana itu hampir dua kalinya yaitu berturut-turut dalam periode (BPS Provinsi Lampung, 2006b) dan dalam periode (BPS Provinsi Lampung, 2009b) adalah 3,61% to 6,43% dan 1,20% to 2,14% Metode Perencangan Praksis Pengembangan Wilayah Di bawah kendala sumberdaya yang ada (yaitu gejala Ricardian Trap), kesejahteraan masyarakatnya harus terus dikembangkan. Kata praksis dalam penelitian ini adala suatu praktek yang dibimbing teori. Adapun dasar teori yang sangat relevan untuk digunakan dalam konteks permasalahan yang ada di Provinsi

5 105 Lampung setidaknya ada 3 teori besar yaitu: (1) teori kendala sumberdaya, (2) teori transformasi struktural perekonomian dan (3) teori pertumbuhan endogenik. Teori yang ke tiga merpuakan muara dari kedua teori lainnya, Oleh karena itu, dipilih postulat model yang telah dikembangkan oleh Stimson dan Stough (2008) yang merupakan suatu usulan agar para peneliti mengembangkan metode karakterisasi berbagai variabel yang dapat digunakan sebagai pewakil (surrogate) dalam model pertumbuhan ekonomi secara endogenik dalam perencanaan pembangunan wilayah. Selain itu berdasarkan teori modernisasi maka transformasi struktural perekonomian di wilayah ini haruslah diarahkan untuk peningkatkan pangsa relatif sektor industri [IND_SH] khususnya agroindustri, perdagangan dan jasajasa [OTH_SH], yang sekaligus untuk menurunkan peran pangsa relatif di sektorsektor primer yaitu pertanian [AGR_SH] dan pertambangan [MIN_SH]. Dengan kata lain, pertumbuhan pangsa sektor industri [G_IND_SH] harus positif agar dapat menampung tenaga kerja dari sektor-sektor pertanian yang telah mengalami penurunan produktivitas marginal dengan semakin bertambahnya tenaga kerja tersebut. Tetapi di sisi lain, untuk melandasi proses transformasi struktural tersebut nilai total produk pertanian harus selalu ditingkatkan untuk menopang perkembangan industri maupun untuk penyediaan bahan pangan murah. Penyediaan pangan murah merupakan implikasi dari perilaku para wirausahawan (entrepreneur) kapitalis yang sulit dikontrol, yaitu akan selalu menekan upah buruh sampai pada level subsisten. Dengan adanya [G_IND_SH] yang bersifat positif terhadap pertumbuhan ekonomi [G_ECONM] tersebut, maka pertumbuhan sektor-sektor selainnya seperti perdagangan, komunikasi, konstruksi dan jasa-jasa [G_OTH_SH] juga dapat distimulasi perkembangannya. Dengan begitu maka dapat diharapkan pertumbuhan ekonomi endogenik yang akan menjamin berkesinambungan. Namun karena pertumbuhan ekonomi itu sifatnya antidistribusi, maka persoalannya kemudian bermuara pada etika, kepada siapa saja capaian akumulasi kapital tersebut pantas dan adil untuk didistribusikan. Mengingat akumulasi kapital tersebut dilecut oleh sektor industri yang harus ditopang oleh pertumbuhan

6 106 pendapatan perkapita di sektor pertanian, maka distribusi kue hasil pembangunan tersebut sangatlah etis bila dirancang untuk peningkatan daya beli petani. Bila daya beli petani meningkat, maka konsumsi dan sekaligus kinerja kesehatannya juga dapat diharapkan meningkat, yang pada akhirnya mampu mengakses pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri merupakan kapital pokok dalam pertumbuhan ekonomi secara endogenik. Dengan begitu berarti pula bahwa cara pendistribusian tersebut juga merupakan rancangan yang strategis sifatnya untuk mencapai pembangunan wilayah yang memiliki harapan berkesinambungan itu sendiri. Berdasarkan atas ketiga teori pokok dan pilihan etika tersebut, maka rancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah Provinsi Lampung dapat disajikan seperti pada Gambar Variabel untuk Perancangan Praksis Pembangunan Wilayah, Sumber Data dan Prosedur Ekstraksinya Seluruh variabel yang digunakan untuk perancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah di Provinsi Lampung, simbol-simbol dan proksi yang digunakan, sumber data dan prosedur ekstraksinya disajikan dalam Tabel 9. Sebagaimana yang diadopsi dari postulat aslinya (lihat Stimson dan Stough, 2008), maka beberapa variabel yang digunakan dapat dirinci sebagai berikut. (1) Kinerja Resource Endowment yang Dipilih Segala sesuatu yang telah tersedia di suatu wilayah yang dapat digunakan sebagai sumberdaya untuk berbagai kegiatan pereknomian yang dapat diperoleh tanpa memerlukan investasi khusus dikenal sebagai sumberdaya anugearh atau (Re)sourec endowment. Dalam penelitin ini dipilih sumberdaya hutan sebagai variabel Re. Argumentasi yang penting untuk dikemukakan di sini adalah bahwa sumberdaya hutan merupakan suatu sumberdaya alam yang cukup luas (yaitu sekitar 1 juta Ha) di Provinsi Lampung yang awalnya digunakan sebagai modal pembangunan. Kini sekalipun telah terdegradasi akut, fungsi instrisiknya sumberdaya ini (sebagai penyedia jasa hidrologis, jasa ekologis kawasan, jasa biodiversitas, jasa sekuestrasi karbon maupun jasa amenitas lingkungan) tetap harus difungsikan agar tetap mampu menopang perekonomian wilayah melalui

7 107 pertumbuhan total volume pertanian sebagai resource base untuk melandasi proses transformasi struktural perekonomian wilayah melalui batu pijakan pengembangan agroindustri (lihat Affandi, 2009). Dalam penelitian ini Re diproksi menggunakan luas tuutupan hutan, Sehubungan dengan pilihan ini luasan tutupan hutan dibedakan untuk hutan rakyat [HR] dan hutan negara [HN]. Motif pemisahan ke dalam kedua macam kelompok hutan tersebut dimaksudkan untuk memperbandingkan perbedaan property right dari Re tersebut terhadap kinerja pertumbuhan pendapan per kapita di sektor pertanian dan akhirnya pada kinerja pembangunan ekonomi wilayah. Adanya perbedaan respon tersebut punya implikasi penting khususnya dalam pengembangan insentif agar keberadaan keduanya tetap lestari, terhindar dari deforestasi lanjutan maupun untuk menekan sebarannya agar tidak meluas. Dengan begitu fungsi instrinsiknya dapat dipulihkan untuk menopang seluruh aktivitas perekonomian maupun seluruh aktivitas perikehidupan (life support system) di wilayah Provinsi Lampung. Kecuali itu, kedua jenis tutupan hutan tersebut juga dipisahkan antara yang berada di subwilayah hulu [HU] dan subwilayah hilir [HI], utamanya dimaksudkan untuk menangkap pengaruh yang dapat dibangkitkan oleh jasa hidro-orologis kawasan. (2) Kinerja Market Tapping yang Digunakan Dalam abad kontemporer seperti dewasa ini, hampir tidak ada wilayah yang dapat berdiri sendiri, tidak ada yang tidak berhubungan dengan wilayah lain bahkan dengan belahan dunia yang lain. Tangkapan terhadap peluang pasar atau (M)arket tapping oleh para pakar ekonomi geografi dipandang sebagai suatu determinan penting bagi perkembangan suatu wilayah. Dalam konteks penelitian ini, variabel M diproksi dengan kerapatan jalan beraspal per 10 ribu Ha wilayah atau [JL]. Perlu disadari di sini bahwa pengaruhnya tidak selalu positif, karena semakin baik [JL] dapat juga menyebabkan berbagai produk langsung diangkut ke luar wilayah atau malah diekspor tanpa diolah terlebih dahulu yang berarti akan menyebabkan hilangnya nilai tambah atau yang dikenal sebagai kebocoran wilayah (regional leakage). Tetapi mungkin juga sebaliknya dengan semakin

8 108 berkembangnya [JL] dapat menjadi insentif bagi para wirausahaan untuk melakukan investasi di wilayah yang bersangkutan. Dalam penelitian ini M juga dipisahkan yang berada di subwilayah hulu [HU] terhadap yang berkembang di subwilyah hilir [HI]. Pemisahan ini juga dimaksudkan untuk menangkap pengaruh geografis atau geomorfologis wilayah terhadap kinerja faktor endogenik maupun responnya terhadap kinerja pembangunan wilayah. (3) Kinerja Kepemimpinan atau Leadership yang Digunakan Dalam penelitian ini pengertian kepemimpinan atau (L)eadership mengadopsi pemikiran kotemporer dari De Santis dan Stough (1999). Kedua pakar ini memandang bahwa dalam dunia yang sudah semakin mengglobal seperti dewasa ini kepemimpinan tidak bisa lagi dipandang seperti dalam pengertian tradisional, yang menempatkan seorang pemimpin sebagai sentral pembuat keputusan, one man show, yang dipisahkan secara tegas dengan para pengikutnya. Dalam pandangan De Santis dan Stough (1999) L harus dipandang sebagai tendensi atau afinitas dalam suatu masyarakat untuk berkolaborasi dalam berbagai sektor kehidupan. Argumentasi yang diajukan oleh kedua pakar ini adalah bahwa perekonomian wilayah tidak mungkin ditetukan atau bergantung atau dijalankan oleh satu ataupun beberapa orang saja, melainkan akan selalu melibatkan banyak partisipan. Semakin banyak partisipan yang terlibat maka akan semakin besar perkembangan aktivitas perekonomian di suatu wilayah yang berarti semakin besar pula aktivitas seluruh derap kehidupan. Sehubungan definisi tersebut, untuk konteks Indonesia pada umumnya dan untuk Provinsi Lampung pada khususnya maka koperasi [KOP] dapat digunakan sebagai proksi dalam penelitian ini. Karakter organisasi perekonomian ini dipandang cocok dengan kinerja L seperti yang dimaksudkan oleh De Santis dan Stough (1999) tersebut. Oleh karena itu, kerapatan jumlah koperasi dapat dipandang sebagai kinerja L di suatu wilayah. Dalam penelitian ini [KOP] juga dipisahkan antara yang berkembang di subwilayah hulu [HU] dengan yang berkembang di hilir. Dengan begitu diharapkan dapat ditangkap secara makro pengaruh biofisik di kedua subwilayah tersebut melalui derajat untuk berinteraksi, pengaruh kenyamanan lingkungan terhadap karakter masyarakat yang kemudian

9 109 pada kebutuhan untuk bersinergi, bertransaksi, timbulnya konflik ataupun untuk akomodasi dan berkolaborasi yang sangat penting bagi perkembangan setiap koperasi. (4) Kinerja Kelembagaan atau (I)nstitusi Kelembagaan atau (I)nstitution merupakan tata aturan atau norma-norma yang hidup dan dipelihara oleh suatu komunitas (Hayami, 2001). Karena I merupakan tata aturan yang hidup, maka di dalamnya memuat sanksi-sanksi yang mengikat para warganya. Aturan tersebut dapat berupa konvensi yang tidak tertulis maupun yang tertulis seperti produk hukum formal dan sebagainya. Namun demikian dunia ini tidak pernah absen dari para pemburu rente (free rider) sehingga tidak setiap tata aturan ataupun norma yang ada tersebut efektif dalam mengikat para warganya. Banyak sekali mungkin aturan yang disepakati dan diberlakukan, tetapi banyak pula yang melanggar. Artinya institusi tersebut belum tentu efektif. Keefektivam I akan sangat menjadi penentu perkembangan ekonomi wilayah. Sehubungan itu maka dalam penelitian ini kinerja atau keefektivan I diproksi dengan intensitas kejahatan [KJ], kerapatan tempat ibadah [IBD], banyaknya atau kerapatan organisasi kemasyarakatan [ORG], dan kerapatan jumlah relawan. Bila di suatu wilayah banyak kejahatan itu berarti institusiinstitusi yang ada tidak efektif, dan tentunya tidak akan banyak orang yang mau datang ke wilayah tersebut apalagi untuk melakukan investasi karena keamanan yang tidak terjamin. Namun tempat ibadah [IBD] merupakan suatu ruang publik (public sphere) tempat masyarakat untuk bertemu, berkumpul, membangun pemahaman bersama (mutual understanding), bermusyawarah, bertansaksi berbagai ide dan gagasan, membangun pengetahuan dan sekaligus tempat untuk membangun moral atau moral code formation (Hayami, 2001) yang kemudian dapat saling menghargai property right, membentuk jejaring, membangun trust dan akhir membangkitkan berbagi ide kreatif yang dapat bermuara pada transaksitransaksi yang bermotifkan ekonomi. Proses-proses semacam ini juga dapat melahirkan perkembang organisasi sosial kemasyarakatan [ORG].

10 110 Demikian pula dengan [RLW], yang menggambarkan suatu fihak yang mencari kepuasan diri melalui aktualisasi sifat altruism, menekan sifat egoism maupun aktualisasi jiwa filantropia. Dengan makin besarnya [RLW] di suatu wilayah berarti telah terjadi akumulasi norma-norma yang kuat, yang berarti pula dapat diharapkan telah terjadi peningkatan keefektivan I. Karena itu juga dapat diharapkan berelasi secara positif terhadap kinerja perkembangan perekonomian wilayah. Lebih lanjut proksi-proksi tersebut juga dibedakan antara yang berekembang di subwilayah hulu [HU] dengan di hilir, agar dapat mengangkap pengaruh perbedaan kondisi biofisik wilayah tersebut seperti yang telah diuraikan dalam mempengaruhi kinerja L tersebut. (5) Kinerja Kewirausahaan atau (E)ntreperenurship Wirausahawan atau (E)ntrepreneur adalah orang yang mampu melihat suatu peluang baru untuk memperoleh suatu keuntungan di pasar (Kitzner, 1976 dikutip Hien, 2010). Dalam konteks penelitian ini kinerja E diproksi dengan kerapatan industri kecil [IKC] dan industri besar-sedang [IBS]. Pilihan ini selain dimaksudkan sebagai proksi bagi agen pembaharu atau inovator, kerapatan industri diharapkan juga dapat menjadi penjelas bagi perkembangan proses transformasi struktural perekonomian di Provinsi Lampung. Digunakan dikotomi antara [IKC] terhadap [IBS] dimaksudkan untuk menangkap peran atau kontribusi masing-masing kelompok industri tersebut dalam perkembangan atau proses transformasi struktural perekonoman wilayah ini. Kecuali itu pembedaan tersebut penting berkaitan dengan perbedaannya dalam skala usaha, daya serap tenaga kerja, akses terhadap permodalan maupun akses terhadap kekuatan sosial politik lainnya. Mengingat kinerja E sangat dipengaruhi oleh keefektivan I maupun kekuatann L maka dalam penelitian ini juga dipisahkan menurut subwilayah hulu aupunn hilir. Dengan begitu maka pengaruh biofisik wilayah terhadap kinerja I maupu L akhirnya juga akan bermuara pada kinerja E. Dengan begitu pula peranan fiskal dari Pemerintah Provinsi Lampung juga dapat diguanakan untuk stimulus perkembangan E melalui penguatan kinerja I maupun L.

11 111 Masalah Stagnasi Kinerja Pembangunan Ekonomi Wilayah Kinerja dari: (Re)source Endowment: Tutupan Hutan Rakyat [HR] & Hutan Negara [HN] (M)arket Tapping: Kerapatan Akses Jalan [JL] Persamaan V Pertumbuhan Pendapatan/Kapita Sektor Pertanian [G_INCP_AGR] Kinerja Faktor Endogen Pertumbuhan Ekonomi Wilayah: (L)eaderships: Kerapatan Jumlah Koperasi [KOP] (I)nstitution: Kerapatan Tempat Ibadah [IBD], Intensitas Kejahatan [KJ], Ormas [ORG], dan Relawan [RLW] Persamaan I sampai IV (E)ntreprenuership: Kerapatan Industri Kecil [IKC] & Industri Besar- Sedang [IBS] Persamaan VI Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri [G_IND_SH] Persamaan VII Pertumbuhan Ekonomi Wilayah [G_ECONM] Persamaan VIII Nilai Tukar Petani [NTP] Persamaan IX Kinerja Human Development Index [HDI] Gambar 18. Rancangan Praksis Pembangunan Wilayah Provinsi Lampung

12 112 Tabel 9. Variabel yang Digunakan unuk Perancangan Praksis, Simbol, Proksi, Sumber Data dan Prosedur Ekstraksinya No Variabel Simbol Diproksi Sumber Data Presedur Akuisisinya dengan (A) (B) (C) (D) (E) (F) 1) 1. Kinerja Resource Endowment Re Luas hutan 2) Periode : BPS ( ) 3) Untuk tahun 2003 dari Bapplan, untuk 2005 dan BPDAS, untuk 2008 dari Meneg LH Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir dan hutan rakyat vs hutan negara maka diperoleh [HR_HU], [HR_HI], [HN_HU], dan [HN_HI] dinyatakan dalam puluh ribu ha Digitasi ulang hasil interpretasi Citra Landsat ETM+5 Ditumpangtindihan dengan Peta Kawasan Hutan dan Perairan serta Peta Administratif Provinsi Lampung yang telah didigitasi sebelumnya Dikekstrak menurut HR_HU], [HR_HI], [HN_HU], dan [HN_HI] dinyatakan dalam puluh ribu ha 2. Kinerja Market Tapping M Kerapatan Jaringan Jalan beraspal (km) per 10 ha luas wilayah (JL) Untuk seluruh tahun dari dari BPS Kabupaten/Kota se-provinsi Lampung Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir dan huan rakyat vs hutan negara maka diperoleh [JL_HU] dan [JL_HI] 3. Kinerja Leadership L Kerapatan koperasi per 10 ribu penduduk (KOP) 4. Kinerja Institusi I 1) Intensitas Kejahatan per 10 ribu penduduk (KJ) 2) Kerapatan Organisasi Sosial per 10 ribu penduduk (ORG) 3) Kerapatan Relawan Relawan Sosial per 10 ribu penduduk 5. Kinerja Entrepreneurship E (RLW) 1) Kerapatan Industri Kecil per 10 ribu penduduk (IKC) 2) Kerapatan Industri Besar- Sedang per 10 ribu penduduk Untuk seluruh tahun dari dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung Untuk seluruh tahun dari dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung Untuk seluruh tahun dari dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung Untuk seluruh tahun dari dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung ( ) Untuk seluruh tahun dari dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung (1997_2009) Untuk seluruh tahun dari dari Statistik Industri Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung ) Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [KOP_HU] dan [KOP_HI] Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [KJ_HU] dan [KJ_HI] Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [ORG_HU] dan [ORG_HI] Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [RLW_HU] dan [RLW_HI] Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [IKC_HU] dan [IKC_HI] Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [IBS_HU] dan [IBS_HI]

13 113 Tabel 9. (Lanjutan) (A) (B) (C) (D) (E) (F) 7. Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita di Sektor Pertanian 8. Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri 9. Pertumbuhan Pangsa Sektor Pertanian 10. Pertumbuhan Pangsa Sektor Pertambangan 11. Pertumbuhan Pangsa Sektor selainnya 12. Pertumbuhan Ekonomi 13. Indek Nilai Tukar Petani G_INCP_AGR Langsung Untuk Periode tahun dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009), G_IND_SH Langsung Untuk Periode tahun dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009), G_AGR_SH Langsung Untuk Periode tahun dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009), G_MIN_SH Langsung Untuk Periode tahun dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009), G_OTH_SH Langsung Untuk Periode tahun dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009), G_ECONM Langsung Untuk Periode tahun dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 1995, 2001, 2006, 2009), NTP Langsung Untuk Periode tahun Statistik Nilai Tukar Petani di Indonesia (BPS 1997 sampai 2009), Data PDRB sektor pertanian harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dibagi jumlah penduduk Provinsi Lampung Dicari % pertumbuhan tiap tahun Data PDRB sektor industri harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dicari % pertumbuhan tiap tahunnya Data PDRB sektor pertanian harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dicari % pertumbuhan tiap tahunnya Data PDRB sektor pertambangan harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dicari % pertumbuhan tiap tahunnya Data PDRB sektor-sektor selainnya harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dicari % pertumbuhan tiap tahunnya Data % pertumbuhann ekonomi menurut harga konstan tahun 2000 diekstrak secara langsung Data asli tahunan diekstrak secara langsung

14 114 Tabel 9. (Lanjutan) (A) (B) (C) (D) (E) (F) 14, Indek Pembangunan Manusia HDI Langsung Untuk Spot tahun 1996, dari Indikator Kesra Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung (2004); Untuk Periode dari BPS Provinsi Lampung (2010) Dat asli tahunan diekstrak secara langsung 15, Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi 16 Belanja Aparatur Daerah Provinsi TAX S_APRT Intensitas pajak dan retribusi daerah Provinsi Lampung Intensitas pajak dan retribusi daerah Provinsi Lampung Untuk seluruh tahun dari dari Statistik Industri Keuangan Daerah Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung ) Untuk seluruh tahun dari dari Statistik Industri Keuangan Daerah Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung ) Diekstrak per tahunan Diekstrak per tahunan 17, Belanja Publik Daerah Provinsi S_PUBL Intensitas pajak dan retribusi daerah Provinsi Lampung Untuk seluruh tahun dari dari Statistik Industri Keuangan Daerah Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung ) Diekstrak per tahunan 18, Belanja Bantuan Sosial Daerah Provinsi S_SOC Intensitas pajak dan retribusi daerah Provinsi Lampung Untuk seluruh tahun dari dari Statistik Industri Keuangan Daerah Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung ) Diekstrak per tahunan Bentuk Model dan Uji Hipotesis Implikasi dari praksis yang diajukan tersebut adalah pada urutan modelmodel persamaan dan pilihan metode analisis yang perlu digunakan. Dari Gambar 18 dapat diperiksa bahwa dalam rancangan praksis tersebut dibutuhkan 9 buah persamaan dan metode analisis. Analisis yang diperlukan adalah Analisis Persamaan Simultan. Adapun bentuk kesembilan persamaan tesebut dapat dirinci sebagai berikut:

15 115 (1) Kinerja Entrepreneurship Industriawan Kecil di Subwilayah Hulu Kinerja (E)nterpreneurship dari kalangan industriawan kecil yang berkembang di subwilayah hulu [IKC_HU] dimodelkan sebagai berikut: [IKC_HU] t = a 1 + a 2 [KOP_HU] t-n + a 3 [KJ_HU] t-n + a 4 [IBD_HU] t-n + a 5 [RZ] + r 1 Uji model; H 0 : a 2 =a 3 =a 4 =a 5 =0 H 1 : Ada a 1, a 2, a 3, a 4, atau a 5 0 {4.4} dalam hal ini, [IKC_HU] : Kerapatan industri kecil/10 ribu penduduk di subwilayah hulu [KOP_HU] : Kerapatan koperasi/10 ribu penduduk di subwilayah hulu [KJ_HU] : Intensitas kejahatan/10 ribu penduduk di subwilayah hulu [IBD_HU] : Kerapatan tempat ibadah/10 ribu penduduk di subwilayah hulu [RZ] : Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 a1 sampai a5 : Parameter model T : Tahun data; r1= galat; n=0,1,2,3 waktu tenggang (time lag) Nilai harapannya: a 2, a 4, dan a 5 >0 sedangkan a 2 <0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.4} ini adalah data tahun 1995 sampai dengan tahun (2) Kinerja Entrepreneurship Kalangan Industriawan Besar-Sedang di Subwilayah Hulu Kinerja (E)nterpreneurship dari kalangan industriawan besar dan sedang yang berkembang di subwilayah hulu [IBS_HU]dimodelkan sebagai berikut: [IBS_HU] t = b 1 + b 2 [KOP_HU] t-n + b 3 [KJ_HU] t-n + b 4 [IBD_HU] t-n + b 5 [RZ] + r 2 Uji model; H 0 : b 2 =b 3 =b 4 =b 5 =0 H 1 : Ada b 1, b 2, b 3, b 4, atau b 5 0. {4.5} dalam hal ini, [IBS_HU] : Kerapatan industri besar- sedang/10 ribu penduduk di subwilayah hulu [KOP_HU] : Kerapatan koperasi/10 ribu penduduk di subwilayah hulu [KJ_HU] : Intensitas kejahatan/10 ribu penduduk di subwilayah hulu

16 116 [IBD_HU] : Kerapatan tempat ibadah/10 ribu penduduk di subwilayah hulu [RZ] : Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 b1 sampai b5 : Parameter model t : Tahun data; r2= galat; n=0,1,2,3 waktu tenggang (time lag). Nilai harapannya: b 2, b 4, dan b 5 >0 sedangkan b 2 <0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.5} ini adalah data tahun 1995 sampai dengan tahun (3) Kinerja Entrepreneurship Kalangan Industriawan Kecil di Subwilayah Hilir Kinerja (E)nterpreneurship dari kalangan industriawan kecil yang berkembang di subwilayah hilir [IKC_HI] dimodelkan sebagai berikut: [IKC_HI] t = c 1 + c 2 [KOP_HU] t-n + c 3 [KJ_HU] t-n + c 4 [IBD_HU] t-n + c 5 [ORG_HU] t-n + c 6 [RLW_HU] t-n + c 7 [RZ] + r 3 Uji model; H 0 : c 2 =c 3 =c 4 =c 5 = c 6 = c 7 =0 H 1 : Ada c 1, c 2, c 3, c 4, c 5, c 6, atau c 7 0 {4.6} dalam hal ini, [IKC_HI] : Kerapatan industri kecil/10 ribu penduduk di subwilayah hilir [KOP_HI] : Kerapatan koperasi/10 ribu penduduk di subwilayah hilir [KJ_HI] : Intensitas kejahatan/10 ribu penduduk di subwilayah hilir [IBD_HI] : Kerpatan tempat ibadah/10 ribu penduduk di subwilayah hilir [ORG_HI] : Kerapatan organisasi masa/10 ribu penduduk di subwilayah hilir [RLW_HI] : Kerapatan jumlah relawan/10 ribu penduduk di subwilayah hilir [RZ] : Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 c1 sampai c7 : Parameter model t : Tahun data; r3= galat; n=0,1,2,3 waktu tenggang (time lag) Nilai harapannya: c 2, c 4, c 5, dan c 6 >0 sedangkan c 2 <0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.6} ini adalah data tahun 1996, 1997, 2001 sampai dengan tahun (4) Kinerja EntrepreneurshipIndustriawan Besar-Sedang di Subwilayah Hilir Kinerja (E)nterpreneurship dari kalangan industriawan besar dan sedang yang berkembang di subwilayah hilir [IBS_HI]dimodelkan sebagai berikut:

17 117 [IBS_HI] t = d 1 + d 2 [KOP_HU] t-n + d 3 [KJ_HU] t-n + d 4 [IBD_HU] t-n + d 5 [ORG_HU] t-n + d 6 [RLW_HU] t-n + d 7 [RZ] + r 4 Uji model; H 0 : d 2 =d 3 =d 4 =d 5 = d 6 = d 7 =0 H 1 : Ada d 1, d 2, d 3, d 4, d 5, d 6, atau d 7 0 {4.7} dalam hal ini, [IBS_HI] : Kerapatan industri besar- sedang/10 ribu penduduk di subwilayah hilir [KOP_HI] : Kerapatan koperasi/10 ribu penduduk di subwilayah hilir [KJ_HI] : Intensitas kejahatan/10 ribu penduduk di subwilayah hilir [IBD_HI] : Kerapatan tempat ibadah/10 ribu penduduk di subwilayah hilir [ORG_HI] : Kerapatan organisasi masa/10 ribu penduduk di subwilayah hilir [RLW_HI] : Kerapatan jumlah relawan/10 ribu penduduk di subwilayah hilir [RZ] : Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 d1 sampai d7 : Parameter model t : Tahun data; r4= galat; n=0,1,2,3 waktu tenggang (time lag) Nilai harapannya: d 2, d 4, d 5, d 6, dan d 7 >0 sedangkan d 2 <0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.7} ini adalah data tahun 1995 sampai dengan tahun (5) Pertumbuhan Pendapatan Perkapita di Sektor Pertanian Adapun pertumbuhan pendapatan per kapita di sektor pertanian untuk Provinsi Lampung [G_INCP_AGR] dimodelkan dengan: [G_INCP_AGR] t = e 1 + e 2 [HR_HU] t-n + e 3 [HN_HU] t-n + e 4 [HR_HI] t-n + e 5 [HN_HI] t-n + e 6 [JL_HU] t-n + e 7 [JL_HI] t-n + e 8 [RZ] + r 5 Uji model; H 0 : e 2 =e 3 =e 4 =e 5 = e 6 = e 7 = e 8 =0 H 1 : Ada e 1, e 2, e 3, e 4, e 5, e 6, e 7 atau d 8 0 {4.8} dalam hal ini, [G_INCP_AGR] : Pertumbuhan pendapatan sektor pertanian/kapita di Provinsi Lampung [HR_HU] : Luas hutan rakyat di subwilayah hulu [HR_HI] : Luas hutan rakyat di subwilayah hilir [HN_HU] : Luas hutan negara di subwilayah hulu [HN_HI] : Luas hutan negara di subwilayah hilir [JL_HU] : Kerapatan jaringan jalan beraspal/10 ha di subwilayah hulu [JL_HI] : Kerapatan jaringan jalan beraspal/10 ha di subwilayah hulu [RZ] : Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 e1 sampai e8 : Parameter model T : Tahun data; r5= galat; n=0,1,2,3 waktu tenggang (time lag).

18 118 Nilai harapannya: e 2,sampai e 8 >0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.8} ini adalah data tahun 1994 sampai dengan tahun 1998 dan tahun 2000, 2004, 2006 dan (6) Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri Sedangkan pertumbuhan pangsa sektor industri untuk Provinsi Lampung [G_IND_SH] dalam penelitian ini dimodelkan sebagai berikut: [G_IND_SH] t = f 1 + f 2 [IKC_HU] t-n + f 3 [IBS_HU] t-n + f 4 [IKC_HI] t-n + f 5 [IBS_HI] t-n + f 6 [G_INCP_AGR] t-n + f 7 [G_AGR_SH] t-n + f 8 [G_MIN_SH] t-n + f 9 [G_OTH_SH] t-n + f 10 [RZ] + r 6 Uji model; H 0 : f 2 =f 3 =f 4 =f 5 = f 6 = f 7 = f 8 = f 9 = f 10 =0 H 1 :Ada f 1, f 2, f 3, f 4, f 5, f 6, f 7, f 8, f 9, atau f 10 0 {4.9} dalam hal ini, [G_IND_SH] : Pertumbuhan pangsa sektor industri di Provinsi Lampung [IKC_HU] : Kerapatan industri kecil/10ribu penduduk di subwilayah hulu [IBS_HU] : Kerapatan industri besar-sedang/10ribu penduduk di subwilayah hulu [IKC_HI] : Kerapatan industri kecil/10ribu penduduk di subwilayah hilir [IBS_HI] : Kerapatan industri besar-sedang/10ribu penduduk di subwilayah hilir [G_INCP_AGR] : Pertumbuhan pendapatan sektor pertanian/kapita di Provinsi Lampung [G_AGR_SH] : Pertumbuhan pangsa sektor pertanian di Provinsi Lampung [G_MIN_SH] : Pertumbuhan pangsa sektor pertambangan di Provinsi Lampung [G_OTH_SH] : Pertumbuhan pangsa sektor-sektor lain di Provinsi Lampung [RZ] : Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 f1 sampai f10 : Parameter model t : Tahun data; r6= galat; n=0,1,2,3 waktu tenggang (time lag) Nilai harapannya f 2 sampai f 6 dan f 10 >0 sedangkan f 7 dan f 8 <0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.9} ini adalah data 1995 sampai (7) Pertumbuhan Ekonomi Berkaitan dengan serangkaian model-model tersebut di atas maka pertumbuhan ekonomi untuk Provinsi Lampung dapat dimodelkan sebagai fungsi dari pertumbuhan pangsa sektor industri berikut: [G_ECONM] t = g 1 + g 2 [G_IND_SH] t-n + g 3 [RZ] + r 7 {4.10}

19 [NTP] t = h 1 + h 2 [G_ECONM] t-n + h 3 [RZ] + r 8 {4.11} 119 Uji model; H 0 : g 2 =g 3 =0 H 1 : Ada g 1, g 2 atau g 3 0 dalam hal ini, [G_ECONM] : Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Lampung (%/th) [G_IND_SH] : Pertumbuhan pangsa sektor industri di Provinsi Lampung [RZ] : Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 g1 sampai g3 : Parameter model T : Tahun data; r7= galat; n=0,1,2,3 waktu tenggang (time lag) Nilai harapannya g 2 dan g 3 >0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.10} ini adalah data tahun 1994 sampai (8) Indeks Nilai Tukar Petani Adapun indekss nilai tukar petani [NTP] dimodelkan sebagai fungsi dari pertumbuhan ekonomi [G_ECONM] sebagai berikut: Uji model; H 0 : h 2 =h 3 =0 H 1 : Ada h 1, h 2 atau h 3 0 dalam hal ini, [NTP] : Indekss Nilai Tukar Petani di Provinsi Lampung [G_ECONM] : Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Lampung (%/th) [RZ] : Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 h1 sampai h3 : Parameter model T : Tahun data; r8= galat; n=0,1,2,3 waktu tenggang (time lag) Nilai harapannya h 2 dan h 3 >0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.11} ini adalah data tahun 1992, 1995, 1998, 2000 sampai 2008.

20 [HDI] t = k 1 + k 2 [NTP] t-n + k 3 [R_POOR] t-n + k 4 [RZ] + r 9 {4.12} 120 (9) Indeks Pembangunan Manusia [HDI] Klimaks dari seluruh perancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah ini adalah pada pemodelan indeks pembangunan manusia [HDI] sebagai berikut: Uji model; H 0 : k 2 =k 3 = k 3 =0 ` H 1 : Ada k 1, k 2, k 3 atau k 4 0 dalam hal ini, [HDI] : Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Lampung [NTP] : Indekss Nilai Tukar Petani di Provinsi Lampung [R_POOR] : Insidensi kemiskinan pedesaan di Provinsi Lampung (%) [RZ] : Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 h1 sampai h3 : Parameter model t : Tahun data; r9= galat; n=0,1,2,3 waktu tenggang (time lag) Nilai harapannya k 2 dan k 4 >0 sedangkan k 3 <0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.12} ini adalah data tahun 2001, 2004, 2006 sampai Adapun metode yang digunakan dalam perancangan praksis ini adalah Analisis Persamaan Simultan. Uji hipotesis dilakukan dengan Uji F dilanjutkan dengan Uji T pada taraf nyata 5% dan 10%. 4.3 Analisis Kebijakan Fiskal Daerah Provinsi Fiskal merupakan piranti utama yang dimiliki oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan publik yang telah diperoleh melalui social contract (lihat Randall, 1987). Sebagai otoritas yang memiliki kewenangan yang dapat dilakukan secara memaksa (coercive) dalam pemungutan pajak maupun pengalokasinya (dalam bentuk belanja daerah), maka Pemerintah Provinsi Lampung punya kewajiban moral untuk membina dan mengembangkan faktor endogenik pertumbuhan ekonomi yang dimiliki wilayah ini, apalagi ketika mulai tampak gejala terjadinya market failure berupa distorsi pedistribusian manfaat rente bersama dari hasil-hasil pembangunan ekonomi wilayah seperti selama ini.

21 121 Analisis kebijakan publik ini maka pertama perlu dikembangkan modelmodel persamaan untuk mengetahui relasi antara kinerja perolehan tingkat pajak & retribusi daerah [TAX], alokasi belanja aparatur [S_APPT], belanja untuk investasi publik [S_PUB], dan belanja bantuan sosial [S_SOC] terhadap kinerja (L)eadership dan (I)nstitution yang masing-masing juga diproksi dengan kepadatan koperasi di subwilayah hulu [KOP_HU], kepadatan koperasi di subwilayah hilir [KOP_HI], intensitas kejahatan di subwilayah hulu [KJ_HU] dan intensitas kejahatan di subwilayah hilir [KJ_HI]. Apabila relasi-relasi tersebut telah diperolehnya, maka dapat digunakan untuk menginduksi berkembangnya kinerja (E)ntrepreneurship utamanya bagi kalangan industriawan kecil [IKC]. Dipilihnya untuk kalangan ini tidak lain karena kalangan ini telah dihipotesiskan sebagai penghela transformasi struktural perekonomian yang kemudian menjadi motor pertumbuhan ekonomi wilayah Bentuk Model Perilaku Fiskal terhadap Faktor Endogenik Bentuk model hubungan antara perilaku fiskal dari Pemerintah Provinsi Lampung terhadap kinerja (L)eadership dan kinerja (I)nstitution perlu dispesifikasikan. Lebih lanjut untuk dimanfaatkan untuk simulasi kebijakan bagi pengembangan kedua faktor endogenik tersebut agar kinerja (E)ntrepreneurship di wilayah provinsi ini meningkat. (1) Kinerja Leadership di Hulu sebagai Fungsi dari Perilaku Fiskal Adapun kinerja (L)eadership yang berkembang di subwilayah hulu dimodelkan sebagai perilaku fiskal Pemerintah Provinsi Lampung sebagai berikut: [KOP_HU] t = p 1 + p 2 [TAX] t-n + p 3 [S_APRT] t-n + p 4 [S_PUBL] t-n + p 5 [S_SOC] t-n + p 6 [RZ] + r 10 {4.13} Uji model; H 0 : p 2 =p 3 =p 4 =p 5 = p 6 =0 H 1 : Ada: p 1, p 2, p 3, p 4, p 5, atau p 6 0

22 122 dalam hal ini, [KOP_HU] : Kerapatan koperasi/10ribu penduduk di subwilayah hulu [TAX] : Perolehan Pajak & Retribusi Daerah/10ribu penduduk Provinsi Lampung [S_APRT] : Belanja Aparatur Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk [S_PUBL] : Belanja Publik/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung [S_SOC] : Belanja Bantuan Sosial/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung [RZ] : Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 h1 sampai h3 : Parameter model t : Tahun data; r10= galat; n=0,1,2,3 waktu tenggang (time lag) Nilai harapannya p 3 sampai p 6 >0 sedangkan p 2 <0 Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.13} ini adalah data tahun 1996 sampai 1999, dan 2003, 2004, 2006 sampai (2) Kinerja (L)eadership di Hilir sebagai Fungsi dari Perilaku Fiskal Begitu juga dengan kinerja (L)eadership yang berkembang di wilayah hilir dimodelkan sebagai perilaku fiskal Pemerintah Provinsi Lampung sebagai berikut: [KOP_HI] t = q 1 + q 2 [TAX] t-n + q 3 [S_APRT] t-n + q 4 [S_PUBL] t-n + q 5 [S_SOC] t-n + q 6 [RZ] + r 11 Uji model; H 0 : q 2 =q 3 =q 4 =q 5 = q 6 =0 H 1 : Ada: q 1, q 2, q 3, q 4, q 5, atau q 6 0 {4.14} dalam hal ini, [KOP_HI] : Kerapatan koperasi/10ribu penduduk di subwilayah hilir [TAX] : Perolehan Pajak &Retribusi Daerah/10ribu penduduk Provinsi Lampung [S_APRT] : Belanja Aparatur Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk [S_PUBL] : Belanja Publik/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung [S_SOC] : Belanja Bantuan Sosial Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk [RZ] : Rezim, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 h1 sampai h3 : Parameter model t : Tahun data; r11= galat; n=0,1,2,3 waktu tenggang (time lag) Nilai harapannya q 3 sampai q 6 >0 sedangkan q 2 <0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.14} ini adalah data tahun 1996 sampai 1999, dan 2003, 2004, 2006 sampai 2008.

23 123 (3) Kinerja (I)nstitution di Hulu sebagai Fungsi dari Perilaku Fiskal Kinerja atau keefektivam (I)nstitution yang berkembang di subwilayah hulu dimodelkan sebagai fungsi dari perilaku fiskal Pemerintah Provinsi Lampung sebagai berikut: [KJ_HU] t = u 1 + u 2 [TAX] t-n + u 3 [S_APRT] t-n + u 4 [S_PUBL] t-n + u 5 [S_SOC] t-n + u 6 [RZ] + r 12 Uji model; H 0 : u 2 =u 3 =u 4 =u 5 = u 6 =0 H 1 : Ada: u 1, u 2, u 3, u 4, u 5, atau u 6 0 {4.15} dalam hal ini, [KJ_HU] : Intensitas Kejahatan/10ribu penduduk di subwilayah hulu [TAX] : Perolehan Pajak &Retribusi Daerah/10ribu penduduk Provinsi Lampung [S_APRT] : Belanja Aparatur/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung [S_PUBL] : Belanja Publik/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung [S_SOC] : Belanja Bantuan Sosial Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk [RZ] : Rezim Tata Pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 h1 sampai h3 : Parameter model t : Tahun data; r12= galat; n=0,1,2,3 waktu tenggang (time lag) Nilai harapannya u 3 sampai p 6 <0 sedangkan u 2 >0 Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers,{4,15} ini adalah data tahun 1996 sampai 1999, dan 2003, 2004, 2006 sampai (4) Kinerja (I)nstitution di Hulu sebagai Fungsi dari Perilaku Fiskal Akhirnya juga keefektifan (I)nstitution yang berkembang di subwilayah hilir dimodelkan sebagai perilaku fiskal Pemerintah Provinsi Lampung berikut: [KJ_HU] t = v 1 + v 2 [TAX] t-n + v 3 [S_APRT] t-n + v 4 [S_PUBL] t-n + v 5 [S_SOC] t-n + v 6 [RZ] + r 13 {4.16} Uji model; H 0 : v 2 =v 3 =v 4 =v 5 = v 6 =0 H 1 : Ada: v 1, v 2, v 3, v 4, 5, atau v 6 0 dalam hal ini, [KJ_HI] : Intensitas Kejahatan/10ribu penduduk di subwilayah hilir [TAX] : Perolehan Pajak &Retribusi Daerah/10ribu penduduk Provinsi Lampung [S_APRT] : Belanja Aparatur Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk [S_PUBL] : Belanja Publik Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk [S_SOC] : Belanja Bantuan Sosial Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk [RZ] : Rezim Tata Pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 h1 sampai h3 : Parameter model t : Tahun data; r13= galat; n=0,1,2,3 waktu tenggang (time lag)

24 124 Nilai harapannya u 3 sampai p 6 <0 sedangkan u 2 >0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.16} ini adalah data tahun 1996 sampai Beberapa Skenario Kebijakan Fiskal Daerah di Bawah Skema Reforestasi Mengingat degradasi sumberdaya hutan di Provinsi Lampung sudah begitu akut, dan sementara itu pula reforestasi berada pada otoritas pemerintah pusat, maka kebijakan insentif fiskal dalam penelitian ini perlu disertai beberapa asumsi tentang target luasan skema reforestasi. (1) Skema Target Reforestasi Dasar pemilihan target luasan skema reforestasi adalah pada acuan legal aspek yang mewajibkan luasan kawasan hutan negara sebesar 30% dari total luasan wilayah yurisdiksi. Untuk wilayah yurisdiksi Provinsi Lampung adalah 1 juta Ha, Sementara itu, kini sisa tutupan hutan di Provinsi Lampung kini tinggal sekitar 7% (250,180 ha). Untuk itu maka skema reforestasi yang dicobakan dalam simulasi ini adalah: (1) Tanpa reforestasi, (2) 100 ribu ha, dan (3) 250 ribu ha, Target luasan tersebut dimaksudkan untuk mencapai total tutupan yang setara berturut-turut 20%; 30% dan 50% terhadap total luasan minimal seperti amanah UU RI No. 41 Tahun 1999 tersebut. Adapun distribusi kepada masing-masing hutan rakyat di subwilayah hulu [HR_HU], hilir [HR_HI], hutan negara di subwilayah hulu [HN_HU] dan di hilir [HN_HI] disajikan pada Tabel 10. Adapun yang digunakan sebagai dasar alokasi reforestasi seperti yang tercantum dalam Tabel 10 tersebut adalah rataan luasan dari periode data tahun yaitu masing-masing 2,26; 9,39; 24,53; dan 30,02 X10 ribu ha berturut-turut untuk kawasan [HR_HU], [HR_HI], [HN_HU] dan [HN_HI].

25 125 Tabel 10. Distribusi Luasan Skema Reforestasi pada Masing-masing Kelompok Hutan Simbol Skema Reforestasi A Nol ha (Tanpa ada Skema Reforestasi) B 100 ribu ha dialokasikan secara proporsional ke keempat kelompok hutan sesuai dengan rataan C 100 ribu ha dialokasikan pada [HR_HU] 2X, [HR_HI] 3X, sisanya dibagi rata pada [HN] D 100 ribu ha dialokasikan pada [HR_HU] 3X, [HR_HI]2X, sisanya dibagi rata pada [HN] E 250 ribu ha dialokasikan secara proporsional ke keempat kelompok hutan sesuai dengan rataan F 250 ribu ha dialokasikan pada [HR_HU] 2X, [HR_HI] 3X, sisanya dibagi rata pada [HN] G 250 ribu ha dialokasikan pada [HR_HU] 3X, [HR_HI] 2X, sisanya dibagi rata pada [HN] Keterangan: [HR_HU]=hutan rakyat di hulu, [HR_HI]=hutan rakyat di hilir, [HN_HU]=hutan negara di hulu, dan [HN_HI]=hutan (2) Skema Kebijakan Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung Motif utama dari penggunaan skema reforestasi dalam penelitian dimaksud untuk memeriksa seberapa kuatnya pengaruh dampak luasan Reforestasi terhadap keefektivan kebijakan insentif fiskal dari Pemeritah Provinsi Lampung. Adapun kebijakan fiskal yang ingin diperiksa dampaknya ada 2 macam alokasi yaitu: Alokasi 1: Hasil peningkatan kenaikan pajak dialokasikan untuk peningkatan belanja aparatur [S_APRT], belanja publik [S_PUBL] dan belanja bantuan sosial [S_SOC] masing-masing sebesar 0%; 100% dan 0%. Alokasi 2: Hasil peningkatan kenaikan pajak dialokasikan untuk peningkatan belanja aparatur [S_APRT], belanja publik [S_PUBL] dan belanja bantuan sosial [S_SOC] masing-masing sebesar 0%; 75% dan 25%. Motif akhir dari penggunaan skema reforestasi yang dikombinasikan dengan cara alokasi pembelanjaan dari Pemerintah Provinsi Lampung tersebut adalah untuk mengetahui seberapa besar dampaknya terhadap perolehan pajak dan retribusi daerah ke depan, Sehubungan dengan itu, maka besaran yang diperiksa berturut-turut adalah: 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 30% seperti disajikan dalam disajikan pada Tabel 11 dan Tabel 12.

26 126 Tabel 11. Kenaikan Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah serta Rencana Belanja Alokasi 1 Simbol Perolehan Kenaikan [TAX] Alokasi 1, Hasil Peningkatan Penerimaan Pajak Digunakan: 0% untuk [S_APRT] 100% untuk [S_PUBL] 0% untuk [S_SOC] % Rp Juta/10 Ribu Penduduk a 0 0,00 0,00 0,00 0,00 1.b 5 19,95 0,00 19,95 0,00 1.c 10 39,91 0,00 39,91 0,00 1.d 15 59,86 0,00 59,86 0,00 1.e 20 79,81 0,00 79,81 0,00 1.f ,72 0,00 119,72 0,00 Tabel 12. Kenaikan Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah serta Rencana Belanja Alokasi 2 Simbol Penerimaan Kenaikan [TAX] Alokasi 2, Hasil Peningkatan Penerimaan Pajak Digunakan: 0% untuk [S_APRT] 75% untuk [S_PUBL] 25% untuk [S_SOC] % Rp Juta/10 Ribu Penduduk a 0 0,00 0,00 0,00 0,00 1.b 5 19,95 0,00 14,96 4,99 1.c 10 39,91 0,00 29,93 9,98 1.d 15 59,86 0,00 44,90 14,97 1.e 20 79,81 0,00 59,86 19,95 1.f ,72 0,00 89,79 29,93 Adapun data yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan kenaikan [TAX] adalah nilai rata-rata perolehan [TAX] selama periode pengamatan (yaitu dari ) seperti yang digunakan untuk membangun Pers.{4.13} sampai Pers. {4.16} setelah dikeluarkan pencilan (out lier)-nya. Setelah dihitung berdasarkan kenaikan [TAX] adalah sebesar Rp 399,06 juta/10 ribu penduduk. Dengan kombinasi antara ketiga skema reforestasi, kebijakan peningkatan keenam level harapan peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah serta dua macam alokasi pembelanjaannya tersebut maka diperoleh 84 kombinasi skenario, yang perlu dipergunakan untuk memeriksa perubahan pertumbuhan ekonomi [G_ECONM], indeks nilai tukar petani [NTP] dan indeks pembangunan manusia [HDI] di Provinsi Lampung.

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 127 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Umum Provinsi Lampung dan Kinerja Faktor Endogeniknya 5.1.1 Kondisi Geografi dan Fisiografi Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1964

Lebih terperinci

FUNGSI INTRINSIK HUTAN DAN FAKTOR ENDOGENIK PERTUMBUHAN EKONOMI SEBAGAI DETERMINAN PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG SAMSUL BAKRI

FUNGSI INTRINSIK HUTAN DAN FAKTOR ENDOGENIK PERTUMBUHAN EKONOMI SEBAGAI DETERMINAN PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG SAMSUL BAKRI FUNGSI INTRINSIK HUTAN DAN FAKTOR ENDOGENIK PERTUMBUHAN EKONOMI SEBAGAI DETERMINAN PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG SAMSUL BAKRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan daerah di Indonesia pada dasarnya didasari oleh kebijaksanaan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan daerah. Kebijaksanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkembangnya perekonomian dunia pada era globalisasi seperti saat ini memacu setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya saing. Salah satu upaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan nasional, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS Perencanaan pembangunan antara lain dimaksudkan agar Pemerintah Daerah senantiasa mampu menyelaraskan diri dengan lingkungan. Oleh karena itu, perhatian kepada mandat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam data ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam data ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data 42 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam data ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang telah diolah dan diterbitkan oleh lembaga yang berkaitan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Paradigma pembangunan di Indonesia telah mengalami pergeseran dari zaman orde baru

BAB I PENDAHULUAN. Paradigma pembangunan di Indonesia telah mengalami pergeseran dari zaman orde baru BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Paradigma pembangunan di Indonesia telah mengalami pergeseran dari zaman orde baru yang mana pembangunan dilaksanakan secara sentralistik yang berarti pembangunan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 34 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 4.1 Gambaran Umum Provinsi Lampung Lintang Selatan. Disebelah utara berbatasan dengann Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, sebelah Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah wilayah penelitian Kota Bandar Lampung dengan wilayah. arah tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat.

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah wilayah penelitian Kota Bandar Lampung dengan wilayah. arah tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat. 43 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep dasar dan Defenisi Operasional Konsep dasar dan defenisi operasional dalam penelitian ini mencakup semua pengertian yang digunakan dalam memperoleh dan menganalisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif 28 III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk memperlihatkan dan menguraikan keadaan dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor industri merupakan komponen utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor industri mampu memberikan kontribusi ekonomi yang besar melalui nilai tambah,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Rezky Fatma Dewi Mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan Fak. Ekonomi dan Bisnis Universitas Jambi Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penelitian Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari suatu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG IV. DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG 4.1. Provinsi Lampung 4.1.1. Gambaran Umum Provinsi Lampung meliputi wilayah seluas 35.288,35 kilometer persegi, membentang di ujung selatan pulau Sumatera, termasuk pulau-pulau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. menggunakan alat uji statistik berupa uji beda maka variabel yang digunakan

III. METODE PENELITIAN. menggunakan alat uji statistik berupa uji beda maka variabel yang digunakan III. METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian Untuk menganalisis perbandingan kinerja dua sample (sample tidak bebas) dengan menggunakan alat uji statistik berupa uji beda maka variabel yang digunakan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Pada awalnya Kabupaten Tulang Bawang mempunyai luas daratan kurang lebih mendekati 22% dari luas Propinsi Lampung, dengan pusat pemerintahannya di Kota Menggala yang telah

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, di mana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Lampung

METODE PENELITIAN. terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Lampung 61 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Lampung 2007-2011.

Lebih terperinci

Lahan Gambut Indonesia

Lahan Gambut Indonesia KARAKTERISTIK DAN KELAYAKAN EKONOMI EKOSISTEM GAMBUT UNTUK MENDUKUNG FUNGSI BUDIDAYA DAN LINDUNG Guru Besar Ekonomi Pedesaan http://almasdi.staff.unri.ac.id LPPM Universitas Riau Lahan Gambut Indonesia

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi BAB III ANALISIS ISU ISU STRATEGIS 3.1 Permasalahan Pembangunan 3.1.1 Permasalahan Kebutuhan Dasar Pemenuhan kebutuhan dasar khususnya pendidikan dan kesehatan masih diharapkan pada permasalahan. Adapun

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di segala

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di segala I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di segala bidang, yaitu bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan agama serta pertahanan dan keamanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam memperkuat suatu perekonomian agar dapat berkelanjutan perlu adanya suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu negara sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Selain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur menempati posisi tertinggi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ii iii iv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 9 Pengertian dan Ruang Lingkup Penelitian... 9 Manfaat

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM 51 BAB IV GAMBARAN UMUM A. Keadaan Geografis 1. Keadaan Alam Wilayah Kabupaten Bantul terletak antara 07 o 44 04 08 o 00 27 Lintang Selatan dan 110 o 12 34 110 o 31 08 Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAB IV. SUMATERA UTARA : KEADAAN UMUM DAN PEREKONOMIAN. Daerah provinsi Sumatera Utara terletak diantara 1-4 o Lintang Utara (LU)

BAB IV. SUMATERA UTARA : KEADAAN UMUM DAN PEREKONOMIAN. Daerah provinsi Sumatera Utara terletak diantara 1-4 o Lintang Utara (LU) 104 BAB IV. SUMATERA UTARA : KEADAAN UMUM DAN PEREKONOMIAN 4.1. Keadaan Umum Daerah provinsi Sumatera Utara terletak diantara 1-4 o Lintang Utara (LU) dan 98-100 o Bujur Timur (BT), merupakan bagian dari

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 45 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi Administrasi Secara geografis, Kabupaten Garut meliputi luasan 306.519 ha yang terletak diantara 6 57 34-7 44 57 Lintang Selatan dan 107 24 3-108 24 34 Bujur Timur.

Lebih terperinci

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12 BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor perikanan merupakan bagian dari pembangunan perekonomian nasional yang selama ini mengalami pasang surut pada saat tertentu sektor perikanan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti pertumbuhan pendapatan perkapita, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI 4.1 Keadaan Umum Provinsi Jambi secara resmi dibentuk pada tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang No. 61 tahun 1958. Secara geografis Provinsi Jambi terletak antara 0º 45

Lebih terperinci

Boks 1. Perkembangan Peta Perekonomian Sulawesi Tengah di Indonesia Wilayah Timur 1

Boks 1. Perkembangan Peta Perekonomian Sulawesi Tengah di Indonesia Wilayah Timur 1 Boks 1. Perkembangan Peta Perekonomian Sulawesi Tengah di Indonesia Wilayah Timur 1 Sebagian kalangan melihat bahwa keberhasilan suatu daerah hanya bergantung pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi saja.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil

I. PENDAHULUAN. dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah usaha meningkatkan pendapatan perkapita dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui penanaman modal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model Boks 1 Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model I. Latar Belakang Perkembangan ekonomi Riau selama beberapa kurun waktu terakhir telah mengalami transformasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah pada prinsipnya lebih berorientasi kepada pembangunan dengan berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan daerah untuk mengatur

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang terdapat di Pulau

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang terdapat di Pulau IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Kondisi Wilayah Propinsi Lampung 1. Geografi Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang terdapat di Pulau Sumatera dengan luas wilayah 35.288,35 Km 2. Propinsi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Provinsi Lampung adalah data sekunder berupa PDRB tiap kabupaten/kota di

III. METODE PENELITIAN. Provinsi Lampung adalah data sekunder berupa PDRB tiap kabupaten/kota di 40 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan untuk menganalisis pengembangan potensi ekonomi lokal daerah tertinggal sebagai upaya mengatasi disparitas pendapatan di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Disparitas perekonomian antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Disparitas ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan

Lebih terperinci

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS SKRIPSI ANALISIS STRUKTUR PEREKONOMIAN BERDASARKAN PENDEKATAN SHIFT SHARE DI PROVINSI SUMATERA BARAT PERIODE TAHUN 1980 2009 Oleh : JEFFRI MINTON GULTOM NBP. 07 151

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik Provinsi Lampung ( time series ) pada jangka waktu 6 tahun. terakhir yakni pada tahun 2006 hingga tahun 2007.

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik Provinsi Lampung ( time series ) pada jangka waktu 6 tahun. terakhir yakni pada tahun 2006 hingga tahun 2007. 31 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini seluruhnya adalah data sekunder. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diterbitkan oleh

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Hal Daftar Isi... i Daftar Tabel... ii Daftar Gambar... v Daftar Lampiran... vi

DAFTAR ISI Hal Daftar Isi... i Daftar Tabel... ii Daftar Gambar... v Daftar Lampiran... vi DAFTAR ISI Daftar Isi... i Daftar Tabel... ii Daftar Gambar... v Daftar Lampiran... vi BAB I Pendahuluan... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Hubungan dokumen RKPD dengan dokumen perencanaan lainnya...

Lebih terperinci

2.1 Geografis, Administratif, dan Kondisi Fisik. A. Kondsi Geografis

2.1 Geografis, Administratif, dan Kondisi Fisik. A. Kondsi Geografis 2.1 Geografis, Administratif, dan Kondisi Fisik A. Kondsi Geografis Kabupaten Bolaang Mongondow adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Utara. Ibukota Kabupaten Bolaang Mongondow adalah Lolak,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah yang dimanfaatkan sebagian besar penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penerapan desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998 menuntut daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara arif dan bijaksana agar peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui. perannya dalam pembentukan Produk Domestic Bruto (PDB), penyerapan

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui. perannya dalam pembentukan Produk Domestic Bruto (PDB), penyerapan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sumber pendapatan yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui perannya dalam pembentukan Produk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. menggunakan data sekunder yang berasal dari instansi atau dinas terkait.

III. METODE PENELITIAN. menggunakan data sekunder yang berasal dari instansi atau dinas terkait. 41 III. METODE PENELITIAN. A. Jenis dan Sumber Data Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan metode deskriptif kuantitatif, dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Kondisi Alam 1. Letak dan Batas Wilayah Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang ada di pulau Jawa, letaknya diapit oleh dua provinsi besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN...I.

BAB I PENDAHULUAN...I. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GRAFIK... x DAFTAR GAMBAR... xi BAB I PENDAHULUAN... I. 1 1.1 Latar Belakang... I. 1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I. 9 1.3 Hubungan RKPD dan

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBANGUNAN KOTABARU LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBANGUNAN KOTABARU LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBANGUNAN KOTABARU LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 41 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung 1. Keadaan Umum Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi di Republik Indonesia dengan areal daratan seluas 35.288 km2. Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad, 2010).

I. PENDAHULUAN. panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad, 2010). 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai

Lebih terperinci