PENDAHULUAN. Secara lebih spesifik, bisa dikatakan bahwa keunikan tersebut muncul

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDAHULUAN. Secara lebih spesifik, bisa dikatakan bahwa keunikan tersebut muncul"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Identitas bagi kebanyakan orang dipahami sebagai hal yang umum, sekaligus bersifat pribadi karena terkait dengan identifikasi diri. Identitas etnis, dalam hal ini identitas etnis Tionghoa 1, ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Selain karena ia merupakan hasil proses pelabelan politis yang mempunyai sejarah yang panjang, identitas Tionghoa sejak awal penciptaannya juga berjalin berkelindan dengan konsep ras, kelas dan agama. Hal ini menyebabkan identitas Tionghoa tidak saja unik, namun sekaligus kompleks. Secara lebih spesifik, bisa dikatakan bahwa keunikan tersebut muncul karena ia terbentuk dalam konteks sejarah Indonesia yang berbeda dengan sejarah Negara-negara lain. Selain itu, kompleksitas etnis Tionghoa juga terjadi karena terbentuk melalui proses dialogis yang panjang dengan kelompok-kelomok lain (Eropa dan Pribumi) dalam konteks sosial ekonomi, politik dan kultutral. Karena itu, masalah Tionghoa bukan merupakan semata-mata warisan kolonial, sebab yang disebut Etnis Tionghoa dan Pribumi pada tahap selanjutnya juga berperan menguatkan sekat-sekat rasial warisan kolonial itu. Fenomena tersebut misalnya, bisa kita jumpai dalam konsep keindonesiaan yang sejak awal didefinisikan sebagai kepribumian dan bukan 1 Penggunaan kata Cina dan Tionghoa secara bergantian sepanjang tulisan ini digunakan secara semantik, tanpa ada tendensi politik apapun. Karena walau bagaimanapun penulis menyadari bahwa penggunanaan kedua kata tersebut secara politis, akan memberikan makna yang berbeda. Bagi sebagian orang Tionghoa, penggunaan kata Cina, alih-alih Tionghoa bisa bermakna penghinaan. 1

2 kewarganegaraan. Akibatnya, tidak seorang (Tionghoa) pun bisa benar-benar menjadi Indonesia tanpa terlebih dahulu meninggalkan ke-tionghoa-annya, sesuatu yang jelas mustahil. Karenanya, orang Tionghoa yang telah berstatus warga negara Indonesia pun tetap dipandang sebagai orang asing atau pendatang (Chang Yau Hoon, 2012). Di sisi lain, perilaku kultural orang Tionghoa sendiri, dalam batas tertentu sebagaimana dikemukakan Chang, mengentalkan streotip Tionghoa di mata pribumi sebagai orang asing. Mereka distigmakan secara sosial sebagai eksklusif, asosial dan kaya. Menurut Araya dkk. (2002), prasangka terhadap pihak lain, mudah muncul ketika invividu memiliki referensi-referensi inisial yang sudah tertanam kuat dalam skema kognitifnya. Hal inilah yang akan membentuk bank data yang tersusun dari ciri-ciri pihak terkait, sehingga sewaktu-waktu ketika ada peristiwa yang mengaktifkannya, misalnya kerusuhan massa, maka dalam sekejap semua ciri-ciri itu terlintas dalam kognisi. Serangkaian tragedi sejarah yang menimpa orang-orang Tionghoa di Indonesia, secara langsung memengaruhi proses pencarian identitas mereka (Suryadinata, 2002: 32). Mereka merasa berada di persimpangan jalan, kebingungan harus memilih jalan mana yang dapat mengantarkan mereka untuk lebih bisa diterima sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Bachrun dan Hartanto (2001) melihat krisis identitas di kalangan orang Tionghoa dikarenakan segala upaya yang mereka lakukan untuk bisa diterima sebagai orang Indonesia hancur berantakan dalam waktu singkat, seiring meletusnya tragedi Mei Merespons situasi pasca-1998, Thung Ju Lan (1998) menemukan setidaknya ada empat orientasi pembentukan identitas orang-orang Tionghoa di Indonesia. 2

3 Pertama, mereka menganggap bahwa dirinya adalah orang Tionghoa dan akan selalu menjadi orang Tionghoa. Kedua, mereka yang merasa telah berhasil berasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia. Ketiga, mereka yang merasa telah mampu melampaui batas-batas etnis, budaya dan negara. Keempat, mereka yang menolak proses identifikasi diri berdasarkan motif-motif budaya dan politik. Susetyo (2002), mencoba melihat proses pencarian identitas yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia dan berusaha menariknya ke persoalan yang lebih mendasar, yakni dalam hubungannya dengan kebijakan-kebijakan tertentu yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pemerintah kolonial Belanda berkuasa misalnya, perbedaan status etnis antarwarga diberlakukan secara tegas. Orang-orang Eropa menempati kelas sosial tertinggi dan berhak mendapatkan fasilitas publik yang paling baik. Orang Tionghoa yang digolongkan sebagai Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), berada di posisi kedua bersama orang Arab dan India. Sementara orang pribumi (inlander) adalah pihak yang paling dirugikan karena berada pada kelas sosial terendah. Sebagai kelas kedua di masyarakat, orang-orang Tionghoa menunjukkan kecenderungan merapat kepada penguasa, tentu dengan maksud mengamankan posisi sosial dan ekonomi mereka. Sikap seperti ini semakin terlihat terutama pasca tragedi 1740 di Batavia. 2 Peristiwa tersebut telah meninggalkan trauma mendalam bagi mereka, sehingga 2 Dalam beberapa literatur, perisitiwa ini juga dikenal sebagai Tragedi Kali Angke.Dalam tragedi ini, tidak kurang dari orang Tionghoa yang tinggal di batavia dibantai secara sadis oleh penguasa VOC. Pembantaian dipicu oleh protes yang dilakukan oleh warga Tionghoa atas pemberlakuan surat ijin tinggal berbatas bagi mereka yang menetap baik di dalam dan di luar tembok Batavia. Aturan tersebut membuat warga Tionghoa mengalami kebangkrutan, bahkan banyak diantara pedagang Tionghoa beralih profesi menjadi buruh kasar akibat tidak kuat membayar pajak yang diberlakukan pemerintahan VOC Belanda. Kemudian muncul ketidakpuasan yang dilanjutkan dengan perlawan terhadap pemerintahan VOC sehingga sejak September 1740 mulai terjadi kerusuhan-kerusuhan kecil di luar komplek tembok Batavia yang dilakukan oleh warga Tionghoa. Aksi perlawanan akhirnya memuncak pada 7 Oktober Saat itu, lebih dari 500 orang Tionghoa dari berbagai penjuru berkumpul guna melakukan penyerangan ke Kompleks Benteng Batavia. Setelah sebelumnya menghancurkan pos-pos penjagaan VOC di wilayah Jatinegara, Tangerang dan Tanah Abang secara bersamaan. Lalu, 8 Oktober 1740, kerusuhan terjadi disemua pintu masuk Benteng Batavia. Ratusan etnis Tionghoa yang berusaha masuk dihadang pasukan VOC dibawah pimpinan Van Imhoff. 3

4 wajar saja jika sikap mereka di tahun-tahun setelahnya menjadi lebih lunak di hadapan penguasa kolonial. Secara sistematis, mereka mulai melakukan mobilitas sosial, misalnya dengan mengikuti pendidikan ala Eropa, mengenakan pakaian yang biasa dipakai orang Eropa hingga memeluk agama Kristen atau Katolik yang nota bene merupakan agama mayoritas orang Eropa. Di era kemerdekaan, contoh lain dari mobilitas ini bisa dilihat pada kelompok-kelompok yang memperjuangkan terwujudnya asimilasi menyeluruh [total assimilation] dengan penduduk pribumi. Satu yang paling mengemuka adalah anjuran untuk memeluk agama Islam di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia. Menurut Junus Jahja, salah seorang tokoh utama asimilasi, kondisi pasca peristiwa 1965 merupakan peluang bagi orang-orang Tionghoa untuk melakukan pembauran. Pembauran yang lebih tepat untuk konteks Indonesia, lanjut Jahja, adalah dengan memeluk agam Islam, karena tidak bisa dipungkiri, Islam merupakan representasi paling nampak dari identitas golongan pribumi Indonesia. Asumsinya, dengan memeluk Islam, orang-orang Tionghoa tentu akan lebih mudah diterima oleh golongan pribumi, karena mereka telah memiliki kesamaan identitas sebagai umat Islam (Jahja, 1982: 15). Demi memperkuat pendapatnya, mereka kemudian merujuk data sejarah yang mengungkapkan bahwa keberadaan orang-orang Tionghoa Muslim di Indonesia, sebenarnya bukanlah fenomena baru. Jauh sebelum Belanda menjajah negeri ini, orang-orang Tionghoa Muslim telah terlebih dahulu hadir dan lambat laun membangun kawasan-kawasan koloni di sepanjang kota-kota pesisir di Nusantara. Mereka umumnya para imigran laki-laki yang datang bergelombang 4

5 dalam kelompok-kelompok kecil, digerakkan oleh motif memperbaiki taraf hidup, menyelamatkan diri dari ancaman bencana alam, atau menghindari konflik politik di negeri mereka. Kebanyakan imigran ini datang dari daerah-daerah seperti Guanzhou dan Guangdong. Kehadiran mereka umumnya disambut baik oleh penduduk Nusantara. Bahkan dari interaksi tersebut, terjadi perkawinan campur dengan perempuan-perempuan pribumi yang melahirkan keturunan yang disebut generasi Tionghoa peranakan (Jacobson, 2003). Sejarah di atas membuktikan bahwa orang-orang Tionghoa Muslim jaman dulu sudah berhasil melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga Belanda menginjakkan kakinya di Nusantara. Hubungan harmonis antara orang-orang Tionghoa dan penduduk pribumi praktis berakhir setelah Belanda menerapkan politik pecah belah (devide et impera) untuk merusak hubungan keduanya. Kebijakan inilah yang berangsur-angsur membuat etnis Tionghoa terpisah dengan penduduk pribumi (Susetyo, 2002). Kebijakan diskriminatif tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya peraturan yang memasukkan orang-orang Tionghoa ke dalam kelompok pribumi (inlader) jika mereka ketahuan mempraktekkan hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat pribumi, baik itu tradisi, adat istiadat, maupun memeluk agama (Islam) yang dianut oleh kelompok pribumi. Dengan demikian, orang-orang Tionghoa yang memeluk Islam secara otomatis akan diturunkan derajatnya menjadi sama dengan penduduk pribumi (The Siauw Giap, 1993: 72-75). 5

6 Konsekwensi lanjutan dari peraturan tersebut adalah kecenderungan di kalangan orang-orang Tionghoa non Muslim untuk tidak mengakui anggota keluarga mereka yang memeluk Islam, karena Islam dianggap identik dengan penduduk pribumi yang bodoh, miskin dan terbelakang (Ali, 2007). Kondisi inilah yang dianggap sebagai awal dari merenggangnya hubungan antara masyarakat pribumi dan golongan Tionghoa dan sekaligus membentuk pola yang cenderung antagonistik. Beragam stereotip negatif tentang islam yang dikaitkan dengan penduduk pribumi hingga sekarang masih berkembang di kalangan orang-orang Tionghoa, sebut saja terbelakang, miskin, bodoh, pemalas, tidak toleran dan sebagainya (Jacobson, 2003). Karena faktor itu pula kebanyakan keluarga Tionghoa di Indonesia kurang simpatik terhadap anggota keluarga mereka yang masuk Islambahkan sering kali berujung pada penolakan sebagai bagian dari keluarga sendiri (The Siauw Giap, 1993: 83-84). Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa sejarah keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia merupakan sejarah perjuangan untuk mendapat pengakuan dan penerimaan dari masyarakat pribumi. Sebagai kelompok pendatang, mereka dituntut mampu beradaptasi dengan kondisi-kondisi yang berlaku di negara baru yang mereka diami agar kehadirannya bisa diterima oleh masyarakat pribumi. Salah satunya adalah dengan memeluk agama Islam. Ketertarikan saya untuk meneliti keberadaan etnis Tionghoa muslim di Makassar juga didasarkan pada asumsi awal bahwa etnis Tionghoa muslim telah mengalami stereotip berlapis. Pertama, sebagai entitas yang tidak terpisahkan dari kebudayaan Tionghoa, mereka tetap akan dianggap sebagai orang asing atau 6

7 pendatang oleh Pribumi. Akibatnya, meskipun mereka telah menjadi anggota kelompok etnis pribumi dengan memeluk agama Islam sebagai agama mayoritas, mereka belum benar-benar dipandang menjadi Indonesia. Kedua, dengan berpindah keyakinan [agama], mereka telah dianggap bukan merupakan bagian dari keluarga besar etnis Tionghoa. Dengan kata lain, mereka dianggap telah menanggalkan identitas Tionghoa, terutama yang berkaitan dengan agama dan budaya leluhur. Ali (2007) menyebut mereka ini sebagai minoritas dari yang minoritas (a minority s minority). Sebagai orang Tionghoa mereka adalah minoritas di hadapan mayoritas penduduk pribumi. Sementara sebagai Muslim mereka menjadi minoritas di tengah-tengah golonga mereka yang umumnya nonmuslim Rumusan Masalah Bertitiktolak dari paparan latar belakang di atas, maka problematisasi yang diajukan dalam penelitian ini akan dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana etnis Tionghoa muslim mengonstruksi identitas mereka di hadapan orang Tionghoa non muslim dan orang muslim non Tionghoa? Selanjutnya untuk mempertajam rumusan masalah tersebut, peneliti akan menguraikannya menjadi sub-sub pertanyaan sebagai berikut: Sejak kapan komunitas Tionghoa Muslim ada di Makassar? Apa saja yang mendorong munculnya komunitas muslim tersebut? Bagaimana orang Tionghoa muslim di Makassar menampilkan identitas keislamannya dalam kehidupan sehari-hari? 7

8 Bagaimana interaksi Tionghoa muslim dengan sesama Tionghoa non muslim dan dengan sesama muslim non Tionghoa? 1.3. Tujuan Penelitian Sebagaimana pernyataan dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan pertanyaan tersebut, yakni dengan mengurai ekspresi identitas keislaman etnis Tionghoa muslim yang ada di Makassar Manfaat Penelitian Manfaat teoritis (akademis) Riset ini diharapkan dapat mengungkap sekaligus menjelaskan bentuk akulturasi antara Tionghoa Muslim dan Muslim non Tionghoa, di mana akulturasi yang terjadi merupakan bentuk akulturasi dua lapis. Pada lapis pertama, Tionghoa Muslim mengakulturasikan antara keislaman dengan ketionghoaan. Pada lapis kedua, keislaman dan ketionghoaan yang telah terakulutrasi itu, diakulturasi kembali dengan budaya masyarakat setempat. Manfaat lain kajian ini adalah sebagai wacana yang diharapkan akan memperkaya perspektif dengan warna yang lebih dekat pada ranah cultural studies. Manfaat Praktis Selama ini, kajian mengenai keberadaan etnis Tionghoa muslim, belum banyak menarik minat para peneliti. Padahal peran dan keberadaan mereka 8

9 bisa menjembatani terbangunnya harmonisasi yang terkait dengan isu rasial. Tentunya dengan riset ini, diharapkan akan membuka wacana bagi para pemangku kebijakan dan pihak terkait lainnya Tinjauan Pustaka Kajian tentang etnis Tionghoa di Makassar sudah banyak dilakukan baik oleh kalangan akademisi maupun praktisi. Namun sejauh pengamatan penulis, sangat sedikit penelitian yang benar-benar fokus mengkaji keberadaan etnis Tionghoa Muslim dalam perspektif cultural studies. Penelitian yang mengambil topik etnis Tionghoa Muslim itu diantaranya, dilakukan oleh Aminuddin Ram yang berjudul: Alih Agama di Kalangan Etnik Tionghoa: Studi Kasus Mualaf Tionghoa di Makassar. Penelitian ini mengeksplorasi proses alih agama di kalangan etnik Tionghoa dengan berfokus pada aspek tahapan, motif, tipe alih agama, dan orientasi nilai budaya mualaf Tionghoa serta konformitasnya dengan nilai budaya Islam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konteks makro dan konteks mikro sangat besar pengaruhnya terhadap proses alih agama di kalangan mualaf Tionghoa. Pengaruh tersebut bisa bersifat mendorong, namun bisa pula bersifat menghambat. Penelitian ini juga mengungkap bahwa mayoritas mualaf Tionghoa dapat digolongkan sebagai pencari agama aktif, yang didorong oleh motif intelektual. Penelitian ini juga mengkonfirmasi bahwa pertimbangan rasional juga mempengaruhi para mualaf dalam menentukan sikap. Hampir semua mualaf tersebut termasuk dalam kategori tipe transisi tradisi dan pada tahap pasca 9

10 komitmen terjadi transformasi ke tipe intensifikasi. Kajian ini pun menunjukkan tingkat konformitas orientasi nilai budaya mualaf Tionghoa dan nilai budaya Islam, yang berada pada kedudukan tinggi. Penelitian lain yang mengangkat topik serupa dilakukan oleh Afthonul Afif berjudul Identitas Tionghoa Muslim Indonesia:Pergulatan Mencari Jati Diri. Dengan pendekatan psikologis, hasil kajian ini menunjukkan bahwa komnuitas Tionghoa muslim tidak homogen. Studi Afif ini menegaskan bahwa dalam komunitas muslim Tionghoa, berbagai variasi muncul dan berkembang sedemikian massifnya, sehingga mereka tidak bisa dikatakan monolitik. Sebagai entitas yang tidak homogen, dalam kehidupan sehari-hari, mereka tersegragasi ke dalam kategori-kategori yang beragam, berdasarkan latar belakang ekonomi, sosial-budaya, rentang usia, gender, pendidikan, tempat tinggal dan sebagainya. Dengan demikian, sungguh gegabah jika kemudian mereka dipandang sebagai kelompok yang membawa beban sosial dan ekspresi identitas yang sama. Dengan begitu, cara pandang ini, sekaligus telah berkontribusi membongkar prasangka tak berdasar tentang etnis Tionghoa di Indonesia. Namun demikian, penentuan konteks situasi dan pelibatan pihak yang diteliti dengan sendirinya ikut memberikan batasan-batasan tertentu, sehingga tidak merepresentasikan kondisi golongan Etnis Tionghoa Muslim Indonesia secara keseluruhan. Dengan kata lain, kajian tersebut belum memberikan pemahaman dan penjelasan yang memadai mengenai proses dan dinamika pembentukan identitas golongan Tionghoa Muslim secara menyeluruh. Begitu pun penggunaan perspektif teoretis dan metode tertentu yang pada kenyataannya 10

11 juga telah menghasilkan jenis temuan yang lebih spesifik yang kurang mampu menjelaskan fenomena di luar kerangka tersebut. Studi lain tentang etnis Tionghoa muslim juga dilakukan oleh Rezza Maulana. Dengan menyorot keberadaan Tionghoa muslim di Yogyakarta, studi Rezza ini menunjukkan munculnya fenomena Tionghoa Muslim yang signifikan, dalam arti orang Tionghoa yang memeluk islam, namun pada saat yang sama, mempertahankan bahkan menonjolkan identitas ke-tionghoa-annya. Fakta unik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah perayaan Imlek di masjid yang dimulai pada 2005 (Maulana: 2010), disertai tanggapan beragam muslim non- Tionghoa, ikhwal ritual hibrid tersebut. Spirit dari fenomena seperti ini bisa pula ditemui pada beberapa masjid yang didirikan oleh beberapa pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di beberapa wilayah di Indonesia. Alih-alih memberinya nama yang berbau Arab, masjid tersebut malah diberi nama Muhammad Cheng Ho, nama yang mengacu pada tokoh muslim Tiongkok yang melakukan muhibah ke Nusantara beberapa abad silam. Pemilihan nama sekaligus arsitektur masjid yang mengacu pada masjid di Beijing ini, seolah hendak menegaskan identitas ke-tionghoa-an para pendirinya (Kwartanada dalam Maulana, 2010: 19). Studi ini juga mengkonfirmasi bahwa situasi dan perkembangan sosial masyarakat Cina di tanah leluhur mempengaruhi situasi orang-orang Cina (Huaren) yang sudah menetap di tanah rantau, dalam batas tertentu 3. Meskipun 3 Hua-jin (Hokkian) atau Hua-ren(Mandarin) adalah istilah untuk menyebut seluruh orang keturunan Cina dimanapun mereka berada, tanpa memandang kewarganegaraan. Sebelum Tiongkok mengubah kebijakannya terkait kewarganegaraan, seluruh warga keturunan Tionghoa di seluruh dunia, diklaim sebagai warga negaranya. Orang-orang Tionghoa di Indonesia yang telah melepas kewarganegaraan RRT mereka dapat disebut Huaren, Huayi atau Waiji Huaren, namun tidak dapat lagi disebut Hua-kiao atau Hua-qiao. Dalam bukunya Hoakiau di Indonesia, Prammoedya Ananta Toer menggunakan 11

12 responnya bisa sangat berlainan sesuai dengan situasi dan kondisi sosial politik setempat. Secara umum, kajian ini juga menjelaskan beberapa momentum penting bagi hubungan dan perkembangan orang Tionghoa pada umumnya dan khususnya Tionghoa muslim di Yogyakarta. Aspek kehidupan orang Tionghoa muslim, seperti profesi, aktivitas sosial, organisasi dan pendidikan, juga dibahas dalam kajian ini, yang berbasis pada pengalaman individu dan kecenderungan orang Tionghoha muslim dalam menyikapi hidup. Berbagai pengalaman subjektif yang muncul, setidaknya membentuk pengalaman intersubjektif yang pada gilirannya bergerak menuju sebuah tataran sosiohistoris faktual dan kontekstual, khas Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Sumanto Al Qurtubi tentang Cina dan Proses Islamisasi Jawa, juga menarik untuk dicermati. Dengan menggunakan pendekatan sejarah, Sumanto menunjukkan upaya sistematis rejim penguasa yang berusaha membungkam fakta historis Cina Islam nusantara, di jawa khususnya. Sumanto menyebut pembungkaman terhadap sejarah dan peran Cina Islam begitu efektif, sehingga memunculkan semacam anomali bahwa keberadaan Cina Islam merupakan fenomena asing, aneh dan berasal dari dunia lain (Al Qurtubi, 2003). Selain penelitian yang dilakukan oleh para sarjana non-tionghoa di atas, ada pula beberapa penelitian tentang Tionghoa muslim yang dilakukan oleh sarjana Tionghoa, diantaranya adalah penelitian Wai Weng Hew yakni, Negotiating Etnicity and Religiosity: Chinese Muslim Identities in Post New kata Hoakiau secara inovatif, yang berasal dari sitilah Tionghoa yang muncul pada masa itu. Menurut Pram, Hoakiau di Indonesia adalah semua warga keturunan yang lahir di Indonesia. Adapun Benny G Setiono menyebut bahwa Hoakiau adalah semua warga Negara Tiongkok yang tinggal di Negara-negara di luar daratan Tiongkok. Sedangkan Huaren adalah orang-orang yang nenek moyangnya berasal dari daratan Tiongkok, tetapi telah menjadi warga Negara di Negara-negara tempat mereka tinggal. Khusus untuk orang-orang Tionghoa di Indonesia, Benny menybutnya sebagai Huayi. 12

13 Order Indonesia, (2011) dan Expressing Chinese, Marketing Islam (2012). Dalam penelitian pertamanya, Hew menguraikan dan menganalisis munculnya identitas budaya Cina Muslim pasca Orde Baru di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun secara kuantitas, jumlah Tionghoa Muslim relatif kecil, namun dengan mengkaji identitas mereka dapat membantu kita untuk lebih memahami kebangkitan Islam dan euforia Cina di Indonesia saat ini, setidaknya pasca era Orde Baru. Hal yang akan memperluas wawasan dan pemahaman kita di tengah keterbatasan kosmopolitanisme etnis dan agama. Ada tiga poin penting yang menjadi titik tekan penelitian ini. Pertama, kemunculan budaya Tionghoa Muslim mencerminkan penerimaan budaya Tionghoa dalam masyarakat Indonesia, dan toleransi Islam terhadap ekspresi budaya yang berbeda. Kedua, meskipun dicakup oleh stereotip etnis dan konservatisme agama, budaya Tionghoa Muslim merangkul semacam bentuk keterbatasan ketionghoaan yang inklusif dan Islam kosmopolitan, di mana penegasan identitas Tionghoa dan religiusitas Islam tidak selalu berarti pemisahan rasial dan pengucilan agama. Ketiga, budaya Tionghoa Muslim mendamaikan ketidaksesuaian yang dirasakan antara Islam dan ke-tionghoa-an, serta membuka lebih banyak ruang untuk kontestasi identitas, meskipun tidak selalu ditempatkan dalam konteks wacana islam yang pluralis. Kendati demikian, temuan lain dari penelitian ini juga mengungkap adanya paradoks dalam proses negosiasi etnisitas dan religiusitas di kalangan Tionghoa Muslim. Di satu sisi, terjadi peningkatan penerimaan keragaman budaya dan agama di antara banyak pemimpin muslim, namun di sisi lain, ada juga 13

14 peningkatan intoleransi dari proses pembauran agama dan perbedaan intra-agama dalam beberapa bagian dari masyarakat muslim Indonesia. Secara umum, penelitian ini menggunakan konsep kesalehan fleksibel untuk memeriksa mencairnya religiusitas Islam dan beberapa konsep identifikasi untuk mengungkap pergeseran nilai-nilai etnisitas di kalangan mualaf Tionghoa Muslim, sesuai dengan konteks kehidupan mereka. Sedangkan dalam Expressing Chinese, Marketing Islam, Hew lebih menyorot perihal penggunaan simbol-simbol ke-tionghoa-an oleh para penceramah yang nota bene adalah etnis Tionghoa yang berpindah agama ke Islam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi antara proses komodifikasi dalam hal penampilan identitas di ruang publik dan penampilan identitas keseharian para penceramah tersebut. Dengan kata lain, mereka (penceramah/ulama) telah menjual ketionghoaan, namun tidak hidup dengan cara-cara yang lazim dipakai oleh orang Tionghoa pada umumnya. Sebagaimana yang digambarakan oleh Hew dalam penelitian ini bahwa tiga dari lima penceramah, yakni Koko Lim, Tan Mei Hwa dan Anton Medan, secara sadar menggunakan identitas ketionghoaan dan keislaman secara bersamaan demi menarik minat penonton. Kombinasi elemen Tionghoa dan Islam dalam berceramah, menurut Hew, bisa dibaca sebagai sebuah bentuk penampilan hybrid antara ke-tionghoa-an dan keislaman yang merupakan bentuk penggabungan yang disengaja, meski tidak selalu mencerminkan identitas keseharian mereka. 14

15 Dalam hal membangun citra pemberitaan terkait keulamaan, mereka memilih untuk menunjukkan keseharian mereka sebagai figur yang lebih muslim dibanding muslim Indonesia yang lain dan lebih cina dibanding cina non muslim yang lain. Alih-alih menunjukkan jati diri, mereka malah menampilkan sebuah pesona publik dengan simbol-simbol atau atribut yang berhubungan dengan ke-cinaa-an, semisal pakaian tradisional cina. Denga kata lain, mereka selalu belajar untuk menampilkan kecinaan seotentik mungkin dan di saat bersamaan juga menampilkan kesalehan sebagai muslim. Tanpa disadari, proses inilah yang kerap bermuara pada esensialisasi idenitas budaya (Tionghoa) dan berkontribusi pula terhadap sebuah pemahaman kritis islam. Sarjana Tionghoa lain yang penelitiannya berkaitan dengan wacana Tionghoa muslim adalah Syuan-yuan Chiou. Dalam A Controversy surrounding Chinese Indonesian Muslim: Practice of Imlek Salat in Central Java, Chiou menemukan bahwa ekspresi keislaman bagi para Tionghoa Muslim ini, terbagi dalam dua bentuk. Pertama, penggunaan argumen historis untuk menemukan warisan sejarah dari Tiongoha Muslim dalam narasi sejarah makro islamisasi di Jawa. Hal ini dilakukan dengan menghubungkan sejarah muslim Cina pada abad kelima belas dan abad keenam belas. Kedua, Tionghoa Muslim di Indonesia mulai mempraktekkan islam dalam contoh yang konkrit. Hal ini mislanya mereka lakukan dengan membangun masjid yang bergaya khas "Cina". Mereka juga memainkan musik populer islami, nashid, dengan lirik mandarin dan berpakaian khas Cina. Mereka juga mulai mewacanakan ritual baru dalam ibadah agam Islam dengan ritual yang berhubungan dengan terapi kesehatan yang ada di daratan 15

16 Cina serta penggunaan salat sebagai ritual umum untuk merayakan tahun baru Cina, yang dikenal secara lokal di Indonesia sebagai Imlek. Praktik salat sebagai bagian dari perayaan selama tahun baru Cina inilah yang disebut sebagai salat imlek. Penelitian ini juga mengkonfirmasi bahwa perdebatan seputar salat imlek, menyebabkan kalangan Tionghoa Muslim mengalami kesulitan untuk menentukan pandangan mana yang pantas untuk diadopsi, mengingat begitu banyak kontroversi yang terlibat di dalam perdebatan perihal salat imlek. Selain itu, kalangan Tionghoa Muslim sendiri harus menghadapi tekanan, di mana mereka benar-benar di-liyankan oleh kalangan Islam mayoritas (pribumi). Hal ini dikarenakan meningkatnya protes kalangan Islam pribumi untuk beberapa aspek dari perayaan Imlek yang didasarkan pada ide-ide keagamaan Khong Hu Chu. Sebagai sebuah etnik minoritas yang menganut agama mayoritas, cina muslim indonesia harus menghadapi kritik, bahkan lebih parah ketika ritual mereka semisal salat imlek tersebut berlangsung dalam masyarakat mayoritas muslim yang tidak toleran terhadap praktik ritual sinkretis di dalam agama Islam. Ada pun penelitian yang dilakukan oleh Darwin Darmawan (2012) dengan topik Identitas Hibrid Orang Cina bisa dikatakan lebih memiliki kedekatan dengan ranah cultural studies, meski fokusnya mengkaji keberadaan komunitas Cina Kristen. Dengan menggunakan perspektif non esensialis tentang identitas, serta sejumlah konsep dalam teori-teori poskolonial, misalnya seperti hibriditas, ruang ketiga dan ambivalensi, Darwin menjelaskan pokok perkara yang menjadi fokus penelitiannya. Identitas dalam kajian Darwin, tidak hanya dipahami 16

17 sebagai suatu sense of self yang terberi, alami dan diterima begitu saja; namun di sisi lain, identitas juga tidak dipahami sebagai sesuatu yang sepenuhnya dikonstruksikan secara sosial (socially constructed), sebagaimana yang ditawarkan dalam perspektif anti esensialis yang juga merupakan roh dari perspektif cultural studies. Perspektif non-esensialis berupaya melampaui keduanya; atau bermain secara kreatif di antara kedua perspektif ekstrem tersebut. Artinya, bahwa identitas itu terberi memang diakui, tapi tidak sepenuhnya. Begitu pula bahwa identitas merupakan hasil konstruksi sosial, jelas juga diakui, namun tidak bisa pula diterima secara total. Berdasarkan paparan penelitian terdahulu yang mengangkat topik tentang etnis Tionghoa Muslim, perlu ditekankan bahwa penelitian yang saya lakukan memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, terutama menyangkut problematisasi identitas etnis Tionghoa Muslim di Makassar. Problematisasi itu menyangkut upaya-upaya yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Muslim dalam mengonstruksi identitas, baik di hadapan orang-orang Tionghoa non Muslim maupun di hadapan orang-orang Muslim non Tionghoa. Perbedaan lain dalam penelitian saya adalah upaya untuk menguraikan keberagaman interaksi yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Muslim baik secara invidu maupun kelompok. Terakhir, penelitian ini juga akan mengungkapkan bentuk akulturasi yang muncul dari interaksi dua kebudayaan yang berbeda. 17

18 1.5. Landasan Teori Untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah penelitian ini, penulis akan menggunakan konsepsi Stuart Hall mengenai identitas. Menurutnya, identitas tidak pernah tunggal tetapi berbentuk secara bergelombang lintas wacana, praktik dan posisi yang berbeda-beda. Kesemuanya itu merupakan produk perkembangan sejarah, dan terus menerus berproses, yang diwarnai perubahan dan transformasi. Hall mendefinisikan identitas sebagai proses yang terbentuk melalui sistem bawah sadar. Sistem bawah sadar berjalan melalui waktu dan membentuk bayangan imajiner yang tidak pernah menemui titik akhir. Dalam kaitan ini, Hall lebih menilai identitas sebagai proses menjadi (becoming) daripada nilai baku atau taken for granted Identitas Budaya Dalam buku, Identity, Community, Culture, Difference, Stuart Hall berpendapat bahwa identitas budaya bukanlah sesuatu yang jelas dan tanpa masalah karena identitas budaya adalah suatu produk yang tidak pernah selesai, selalu dalam proses pembentukan dan terbentuk dalam suatu representasi. Representasi ini pun berada dalam proses yang terus menerus dan bersifat personal dan lebih nyata dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Hall, ada dua cara untuk memikirkan tentang identitas budaya. Pertama, dengan memosisikan identitas budaya dalam satu budaya yang sama, secara kolektif dengan menyembunyikan hal lain secara paksa dengan orang-orang yang mempunyai sejarah dan keturunan yang sama. Identitas budaya 18

19 di sini memaksakan orang-orang tersebut sebagai one people yang stabil dan tidak berubah. Identitas di sini adalah identitas yang bersifat esensialis. Kathryn Woodward menjelaskan bahwa identitas yang bersifat esensialis: suggest there is one clear, authentic set of characteristics which all share and which do not alter across time (Woodward, 1997: 11). Dengan demikian, identitas esensialis adalah identitas yang mempunyai satu karakteristik yang sama seperti sejarah dalam satu budaya. Kedua, memosisikan identitas budaya dengan mengakui adanya persamaan dan perbedaan. Identitas di sini adalah identitas yang non esensialis yang fokus kepada perbedaan dan juga persamaan karakteristik. Dalam pengertian yang kedua ini, Hall menjelaskan bahwa identitas budaya adalah persoalan bagaimana seseorang membentuk dirinya seperti sebagai becoming dan being (Cultural Identity dan Diasporan dalam Identity, Community, Cultural Difference, 53). Identitas budaya masuk ke dalam dunia masa depan sekaligus dunia masa lalu. Di sini dijelaskan bahwa identitas budaya sangat bergantung kepada bagaimana seseorang menjadikan identitas budaya itu sebagai sebuah posisi dan bukan esensi, sehingga orang itu dapat menjadi siapa saja di mana pun ia berada. Hall menjelaskan mengenai identitas budaya yang masalah identifikasinya bersifat tidak tetap. Identitas adalah sesuatu yang tidak pernah berhenti pembentukannya, bukan hanya sesuatu yang ada, namun sesuatu yang terus menjadi. Lebih jauh, Hall menunjukkan posisinya dalam pengertian identitas sebagai sesuatu yang cair dan terus mengalami pembentukan, Cultural identity is not a fixed essence at all, lying unchanged out side history and culture. It is not some universal and transcendental spirit 19

20 inside us on which history has made no fundamental mark it has its histories and histories have their real, material and simbolyc effects (Stuart Hall, 1990: 227). Hall menegaskan bahwa identitas bukan sesuatu yang kaku dengan karakteristik tetap yang tidak berubah dari zaman ke zaman. Identitas adalah sesuatu yang terus menerus dibentuk dalam kerangka sejarah dan budaya, sesuatu yang diposisikan pada suatu tempat dan waktu, sesuai dengan konteks. Pencarian identitas seseorang selalu terkait dengan permasalahan bagaimana orang tersebut berusaha menempatkan dirinya (positioning) dalam suatu lingkup masyarakat yang telah menempatkan dirinya dengan lingkup lain (being positioned). Hal ini juga berkaitan erat dengan persamaan dan perbedaan dalam identitas budaya. Perbedaan dan persamaan inilah yang ada dalam cakupan identitas budaya. Identitas juga dipaparkan oleh Hall sebagai suatu hal yang selalu berubah dan tidak pernah tetap. Oleh karena itu, seseorang dapat mengalami perubahan identitas seiring dengan kehidupannya Dramaturgi Kemudian untuk menganalisis interaksi yang terjadi antara etnis Tionghoa Muslim dengan komunitas di luar mereka, penulis juga akan menggunakan teori Dramaturgi dari Ervin Goffman. Dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan besar bagi teori ilmu sosial The Presentation of Self in Every Day Life, Goffman yang mendalami fenomena interaksi simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi. 20

21 Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri, dari setiap identitas tersebut. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgi masuk dan menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgi, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui pertunjukan dramanya sendiri. Untuk mencapai tujuannya, menurut konsep dramaturgi, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung peran tersebut. Layaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunaan kata (dialog) dan tindakan non-verbal lain. Hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Ketika seorang Tionghoa Muslim menjalin interaksi dengan komunitas di luar mereka, segala bentuk tindakan atau penampilan akan dibatasi sebagai pola yang telah ditetapkan sebelumnya. Ini terungkap pada saat seorang Tionghoa Muslim melakukan tindakan atau penampilan (performance) yang diungkapkan pada kesempatan lain. Ia dapat saja menyajikan suatu pertunjukan bagi orang lain, namun kesan (impression) orang lain terhadap pertunjukan tersebut dapat berbeda-beda. Seseorang dapat bertindak sangat meyakinkan atas tindakan yang 21

22 diperlihatkannya, walaupun pada kenyatannya perilaku keseharian orang tersebut tidak mencerminkan tindakan atau perilaku yang demikian. Segala tindakan atau penampilan seorang Tionghoa Muslim akan berbeda ketika ia berhadapan secara fisik baik dengan sesama Tionghoa non-muslim dan muslim non-tionghoa. Ia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Dalam mengembangkan perilaku tersebut, perlu di bedakan antara panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan ini merupakan bagian penampilan individu yang secara teratur berfungsi sebagai metode umum untuk tampil di depan publik sebagai sosok yang ideal, sebagaimana yang dikatakan Goffman (dalam Supardan, 2011: 158), sebagai tindakan yang bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi demi memuluskan jalan mencapai tujuan. Dengan kata lain, panggung depan ini adalah kesempatan sosial atau perjumpaan ketika individu memainkan peran formalnya. Adapun panggung belakang terdapat sejenis masyarakat rahasia yang tidak sepenuhnya dapat dilihat di atas permukaan. Panggung belakang ini benar-benar mirip dengan wilayah belakang panggung (baca: teater). Tradisi dan karakter yang ditampilkan dalam wilayah ini sangat berbeda dengan apa yang ditampilkan di panggung depan Liminalitas Sebagai upaya memahami objek kajian sekaligus menguraikan dinamika yang terjadi, peneliti juga menggunakan konsep yang relevan dalam pembahasan 22

23 dan diskusi teoritis. Dalam kaitan ini, konsep liminalitas yang diungkapkan Homi K Bhabha dalam The Location of Culture, sangat membantu dalam menjelaskan proses interaksi yang terjadi antara kebudayaan Islam dan Tionghoa. Menurut Bhabha, identitas budaya bukanlah identitas bawaan yang dibawa sejak lahir (given) dari kekosongan. Identitas kultural bukan pula entitas yang ditakdirkan, tidak bisa direduksi atau ciri historis yang menetapkan konvensi kultural. Pandangan oposisi biner penjajah dan terjajah tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang terpisah satu dari yang lainnya dan masing-masing berdiri sendiri. Bhabha mengungkapkan bahwa negosiasi kultural mencakup perjumpaan dan pertukaran tampilan budaya yang terus menerus yang pada saatnya akan menghasilkan pengalaman timbal balik akan perbedaan budaya (Bhabha, 2007). Bahwa bukan hanya yang terjajah yang mengambil atau meniru kaum penjajah, dalam beberapa hal, kaum penjajah pun mengambil atau meniru dari kaum terjajah, meskipun dalam porsi yang lebih sedikit. Bhabha mengaskan bahwa baik penjajah maupun terjajah tidak independen satu sama lain. Relasi-relasi kolonial distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka dan kontradiktif. Menurut Bhabha, antara penjajah dan terjajah terdapat ruang antara yang memungkinkan keduanya untuk berinteraksi. Diantara keduanya terdapat ruang yang longgar untuk suatu resistensi (Bhabaha, 2007: 4). Konsep liminalitas Bhabha digunakan untuk mendeskripsikan suatu ruang antara di mana perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu ruang antar-budaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan. Dapat pula dilihat sebagai suatu proses 23

24 gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda dan berlangsung secara terus menerus. Teori liminalitas Bhabha ini memang terkesan menghindari oposisi biner yang konfrontatif atau saling menaklukkan. Sebaliknya, yang hendak ditawarkan Bhabha adalah bahwa ruang itu mampu berperan sebagai ruang untuk sebuah interaksi simbolik. Dengan demikian, ruang ketiga Bhabha mampu memberikan kontribusi penting bagi pemahaman perbedaan budaya (Bhabha, 2007: 34). Teori liminalitas Bhabha menempatkan orang Tionghoa Muslim pada posisi ruang ketiga atau ruang antara, yang mempertemukan budaya Tionghoa dengan budaya Islam. Konstruksi identitas berlangsung atau terus beroperasi tanpa ada ujung yang jelas. Sebagaimana yang diungkapkan Bhabha bahwa dalam proses tersebut tidak ada konfrontasi yang saling menaklukkan diantara dua budaya, yang ada justru interaksi yang sangat indah di ruang ketiga Metode Penelitian Korpus Penelitian Korpus, penelitian ini adalah kajian tentang keberadaan identitas Tionghoa Muslim, dengan dasar petimbangan sebagai berikut: 1. Sebagai salah satu identitas, agama masih merupakan isu yang menarik untuk dikaji. Hal ini dibuktikan dengan terus bermunculannya kajiankajian tentang identitas dari beragam perspektif keilmuan. 24

25 2. Kajian tentang identitas, terutama yang terkait dengan ke-tiongho-an telah mendapat tempat tersendiri di kalangan peneliti ilmu-ilmu sosial, setidaknya setelah era Orde Baru. 3. Islam dalam wacana ke-tionghoa-an masih dianggap sebagai suatu hal yang asing, tidak lazim bahkan tidak sedikit kalangan yang menempatkan keduanya pada posisi yang antagonisitik Fokus Penelitian Penelitian ini akan mengurai narasi dari etnis Tionghoa muslim yang tidak hanya dibatasi pada keaktifan dalam kegiatan keagamaan (baca: Islam) semata. Aktivitas kelompok etnis Tionghoa Muslim dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial juga akan menjadi fokus kajian ini Lokasi Penelitian Penelitian ini akan mengambil lokasi di Makassar, dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Makassar merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dengan keberadaan etnis Tionghoa. 2. Makassar sebagai salah satu kota multi etnis, yang mana Tionghoa Muslim merupakan salah satu etnis yang ada. 3. Makassar sebagai kota yang dihuni oleh beragam etnis, tentu telah mengalami banyak dinamika yang melibatkan komunita etnis Tionghoa, baik secara langsung maupun tidak langsung. 25

26 Teknik Pemilihan Informan Subjek yang akan menjadi informan dalam penelitian ini terdiri atas tiga jenis. Pertama, adalah pengurus Perhimpunan Islam Tionghoa [PITI] Makassar yang akan dipilih secara terstruktur. Kedua adalah anggota PITI yang selanjutnya akan menggunakan metode bola salju (snow ball sampling). Ketiga, adalah individu, lembaga atau organisasi sosial kemasyarakatan di luar komunitas non Tionghoa Muslim yang memiliki interaksi cukup tinggi dengan komunitas etnis Tionghoa Muslim di Makassar Teknik Pengumpulan Data Sebagai teknik dalam pengumpulan data, penelitian ini akan menggunakan metode wawancara mendalam dan observasi partisipatoris. Wawancara mendalam akan dilakukan kepada beberapa pihak yang telah dipilih sebagai nara sumber utama. Ada pun observasi partisipatoris dilakukan melalui pengamatan dan interaksi secara langsung dengan komunitas etnis Tionghoa Muslim, baik melalui organisasi resmi mereka (Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia), maupun secara non formal, yakni pihak-pihak di luar komunitas Tionghoa Muslim yang ada di Makassar Teknik Analisis Data Metode analisis data umum yang digunakan adalah metode interaktif, yakni analisis yang dilakukan secara terus menerus selama pengumpulan data di lapangan hingga pengumpulan data selesai dilakukan. Analisis data model 26

27 interaktif terdiri dari reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi Sistematika Penulisan BAB I: BAB II: PENDAHULUAN GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Pada bab ini penulis akan menarasikan sejarah dan dinamika keberadaan Tionghoa muslim di Makassar melalui: 1) Asal muasal munculnya komunitas Tionghoa Muslim. 2) Uraian mengenai wacana keislaman dalam masyarakat Tionghoa. 3) Penjelasan tentang sebab-sebab munculnya pemisahan antara Islam dan etnis Tionghoa. 4) Peninjauan kembali wacana pengislaman etnis Tionghoa sebagai sebuah bentuk asimilasi, sebagaimana yang pernah disarankan oleh pemerintahan Orde Baru. BAB III: PEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan mendeskripsikan bagaimana interaksi orang Tionghoa Muslim dalam kehidupan sehari-hari, baik dengan sesama orang Tionghoa non muslim maupun terhadap orang muslim non- Tionghoa? Apakah konstruksi identitas yang dibangun oleh komunitas etnis Tionghoa muslim bersifat tunggal? atau ada ruang yang memungkinkan mereka untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan konteks lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui perangkat analisis data di lapangan, berupa 27

28 wawancara mendalam dan observasi, bagian ini akan mengungkap perihal tersebut. BAB IV: ANALISIS SERTA PEMBAHASAN TEORITIS TENTANG HUBUNGAN ETNISITAS (BUDAYA), KELAS DAN AGAMA Pada bab ini, penulis akan melalukan analisis dan pembahasan teoritis mengenai relasi etnisitas, kelas dan agama. Bagaimana ketiga entitas tersebut (etnisitas, kelas dan agama) berjalin berkelindan dan ikut membentuk identitas orang Tionghoa Muslim di Makassar. Penulis juga akan mengulas mengenai interpretasi sosial konteks, di mana ke-tionghoa-an dan ke-islam-an hadir dan diperbincangkan, serta penjelasan mengenai keislaman sebagai salah satu agensi yang berperan dalam proses negosiasi identitas komunitas Tionghoa muslim di Makassar. BAB V: PENUTUP Sebagai penutup, pada bab ini, penulis akan memeriksa sekaligus memproblematisasikan, dengan mempertanyakan apakah konstruksi identitas yang dibangun oleh komunitas Tionghoa muslim di Makassar merupakan bentuk negosiasi? Jika benar demikian, faktor apa saja yang mempengaruhinya? 28

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat BAB V Kesimpulan A. Masalah Cina di Indonesia Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat melihat Masalah Cina, khususnya identitas Tionghoa, melalui kacamata kultur subjektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama merupakan sebuah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan. Hidup berdampingan secara damai antara warga negara yang beragam tersebut penting bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Konteks Penelitian. Dalam kehidupan sehari- hari kita tidak dapat terlepas untuk berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN Konteks Penelitian. Dalam kehidupan sehari- hari kita tidak dapat terlepas untuk berinteraksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Penelitian Dalam kehidupan sehari- hari kita tidak dapat terlepas untuk berinteraksi dengan individu lainnya. Hal ini dikarenakan mausia sebagai mahluk sosial yang berusaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik dan memiliki wilayah kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan 7 sub bab antara lain latar belakang penelitian yang menjelaskan mengapa mengangkat tema JFC, Identitas Kota Jember dan diskursus masyarakat jaringan. Tujuan penelitian

Lebih terperinci

BAB VII RAGAM SIMPUL

BAB VII RAGAM SIMPUL BAB VII RAGAM SIMPUL Komunitas India merupakan bagian dari masyarakat Indonesia sejak awal abad Masehi. Mereka datang ke Indonesia melalui rute perdagangan India-Cina dengan tujuan untuk mencari kekayaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surakarta selain dikenal sebagai kota batik, juga populer dengan keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yaitu makhluk yang selalu membutuhkan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya manusia selalu berkomunikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku bangsa, beranekaragam Agama, latar belakang sejarah dan kebudayaan daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia saat ini telah dijumpai beberapa warga etnis seperti Arab, India, Melayu apalagi warga etnis Tionghoa, mereka sebagian besar telah menjadi warga Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang unik. Bali dipandang sebagai daerah yang multikultur dan multibudaya. Kota dari provinsi Bali adalah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul 153 BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Cina Benteng di Tangerang Pada Masa Orde Baru (1966-1998) kesimpulan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumen, yaitu pada bagian sales product. Bagian ini terdiri dari beberapa divisi,

BAB I PENDAHULUAN. konsumen, yaitu pada bagian sales product. Bagian ini terdiri dari beberapa divisi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Pemasaran suatu produk memerlukan beberapa aktivitas yang melibatkan berbagai sumber daya. Sebagai fenomena yang berkembang saat ini, dalam pemasaran terdapat suatu

Lebih terperinci

28 Oktober 1928, yaitu sumpah pemuda. Waktu itu, sejarah mencatat betapa masingmasing

28 Oktober 1928, yaitu sumpah pemuda. Waktu itu, sejarah mencatat betapa masingmasing ==============dikirim untuk Harian Kedaulatan Rakyat============== Semangat Sumpah Pemuda, Masihkah Diperlukan? Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd HARI ini bangsa dan rakyat Indonesia memperingati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis sastra oral, berbentuk kisah-kisah yang mengandalkan kerja ingatan, dan diwariskan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Presentasi Diri Ayam Kampus Di Yogyakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Presentasi Diri Ayam Kampus Di Yogyakarta BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Presentasi Diri Ayam Kampus Di Yogyakarta 1. Pengertian Presentasi Diri Pada dasarnya, setiap orang memiliki langkah-langkah khusus dalam mempresentasikan dirinya kepada orang

Lebih terperinci

BAB II DRAMATURGI: ERVING GOFFMAN. yang namanya teori dramaturgi, Dramaturgi adalah teori yang

BAB II DRAMATURGI: ERVING GOFFMAN. yang namanya teori dramaturgi, Dramaturgi adalah teori yang BAB II DRAMATURGI: ERVING GOFFMAN A. Kerangka Teoritik Dalam ilmu sosiologi mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan yang namanya teori dramaturgi, Dramaturgi adalah teori yang mengemukakan bahwa teater

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan 1 BAB VI KESIMPULAN Sebagaimana proses sosial lainnya, proselitisasi agama bukanlah sebuah proses yang berlangsung di ruang hampa. Ia tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang melingkupinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Kisaran adalah Ibu Kota dari Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota Kisaran

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab V membahas tentang simpulan dan saran. Mengacu pada hasil temuan dan pembahasan penelitian yang telah diuraikan pada bab IV, maka dapat dirumuskan beberapa simpulan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lain karena mengangkat konsep multikulturalisme di dalam film anak. Sebuah konsep yang jarang dikaji dalam penelitian di media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Indonesia adalah Negara yang Memiliki Kekayaan Budaya

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Indonesia adalah Negara yang Memiliki Kekayaan Budaya BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Indonesia adalah Negara yang Memiliki Kekayaan Budaya Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, dengan memiliki berbagai suku, bahasa, dan agama

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel. BAB VIII KESIMPULAN Puisi Maḥmūd Darwīsy merupakan sejarah perlawanan sosial bangsa Palestina terhadap penjajahan Israel yang menduduki tanah Palestina melalui aneksasi. Puisi perlawanan ini dianggap unik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang multi kultural dan multi etnis. Keberadaan etnis Cina di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5. Secara umum etnis Cina

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN. 69 Universitas Indonesia. Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010

BAB 4 KESIMPULAN. 69 Universitas Indonesia. Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010 BAB 4 KESIMPULAN Berbagai bentukan memori seperti memisahkan, mengatasi, dan memasarkan memori telah membangun konstruksi memori kolektif kota Jakarta. Kota Jakarta sejak masa pemerintahan kolonial tidak

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra berfungsi sebagai penuangan ide penulis berdasarkan realita kehidupan atau imajinasi. Selain itu, karya sastra juga dapat diposisikan sebagai dokumentasi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan 116 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil analisis semiotika dengan unsur tanda, objek, dan interpretasi terhadap video iklan pariwisata Wonderful Indonesia episode East Java, serta analisis pada tiga

Lebih terperinci

2015 IDEOLOGI PEMBERITAAN KONTROVERSI PELANTIKAN AHOK SEBAGAI GUBERNUR DKI JAKARTA

2015 IDEOLOGI PEMBERITAAN KONTROVERSI PELANTIKAN AHOK SEBAGAI GUBERNUR DKI JAKARTA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wacana adalah bahasa yang digunakan untuk merepresentasikan suatu praktik sosial, ditinjau dari sudut pandang tertentu (Fairclough dalam Darma, 2009, hlm

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat mempersatukan dan mempertahankan spiritualitas hingga nilai-nilai moral yang menjadi ciri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. berbagai cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Menurut Pusat Pembinaan

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. berbagai cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Menurut Pusat Pembinaan 10 II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Usaha K. H. Abdurrahman Wahid Usaha merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, dapat pula dikatakan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan BAB V PENUTUP Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan orang-orang Islam di Jawa. Kedudukan dan kelebihan Masjid Agung Demak tidak terlepas dari peran para ulama yang bertindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi atau berinteraksi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi atau berinteraksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Interaksi sosial memainkan peran dalam masyarakat individu atau kelompok. Interaksi diperlukan untuk berkomunikasi satu sama lain. Selain itu, masyarakat membutuhkan

Lebih terperinci

BAB 5 Penutup. dalam ciri-ciri yang termanifes seperti warna kulit, identitas keagamaan

BAB 5 Penutup. dalam ciri-ciri yang termanifes seperti warna kulit, identitas keagamaan BAB 5 Penutup 5.1 Kesimpulan Hidup bersama membutuhkan membutuhkan modus operandi agar setiap individu di dalamnya dapat berdampingan meskipun memiliki identitas dan kepentingan berbeda. Perbedaan tidak

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1].

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1]. KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1]. WARGANEGARA DAN KEWARGANEGARAAN Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki makna sesuatu yang beragam, sesuatu yang memilik banyak perbedaan begitupun dengan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa, tidak hanya suku yang berasal dari nusantara saja, tetapi juga suku yang berasal dari luar nusantara.

Lebih terperinci

Bab 4 PENUTUP. Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus

Bab 4 PENUTUP. Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus Bab 4 PENUTUP Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus liberalisasi, ruang-ruang publik di tanah air mulai menampakkan dirinya. Namun kuatnya arus liberalisasi tersebut, justeru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, etnis dan agama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial.

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penerimaan masyarakat terhadap kelompok berorientasi homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. Mayoritas masyarakat menganggap homoseksual

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama.

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan kasus konversi agama di Bukitsari maka dapat disimpulkan bahwa beberapa kepala keluarga (KK) di daerah tersebut dinyatakan benar melakukan pindah agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia, agama Kristen dapat dikatakan sebagai agama yang paling luas tersebar

BAB I PENDAHULUAN. manusia, agama Kristen dapat dikatakan sebagai agama yang paling luas tersebar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Ada banyak agama di dunia ini, dari semua agama yang dianut oleh manusia, agama Kristen dapat dikatakan sebagai agama yang paling luas tersebar di muka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempromosikan museum-museum tersebut sebagai tujuan wisata bagi wisatawan

BAB 1 PENDAHULUAN. mempromosikan museum-museum tersebut sebagai tujuan wisata bagi wisatawan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia kaya akan keragaman warisan sejarah, seni dan budaya yang tercermin dari koleksi yang terdapat di berbagai museum di Indonesia. Dengan tujuan untuk mempromosikan

Lebih terperinci

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan. 1) Gambaran umum tentang orang Tionghoa yang ada di Indonesia.

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan. 1) Gambaran umum tentang orang Tionghoa yang ada di Indonesia. BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang permasalahan 1) Gambaran umum tentang orang Tionghoa yang ada di Indonesia. Orang-orang Tionghoa asli sudah datang ke pulau Jawa jauh sebelum kedatangan orang Barat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga multikultural, dimana dalam kehidupan tersebut terdapat berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. juga multikultural, dimana dalam kehidupan tersebut terdapat berbagai macam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan budaya yang beraneka ragam. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai suku atau etnis yang berkembang dan tersebar di seluruh wilayah

Lebih terperinci

BAB I. bereksplorasi dengan bunyi, namun didalamnya juga termasuk mendengarkannya

BAB I. bereksplorasi dengan bunyi, namun didalamnya juga termasuk mendengarkannya BAB I I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan bermusik tidak hanya perkara menciptakan suatu komposisi dan bereksplorasi dengan bunyi, namun didalamnya juga termasuk mendengarkannya sebagai bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pasangan yang diinginkan menjadi bermacam-macam sesuai pandangan ideal

BAB I PENDAHULUAN. pasangan yang diinginkan menjadi bermacam-macam sesuai pandangan ideal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memiliki pasangan untuk menikah adalah harapan setiap individu. Pasangan adalah teman hidup di saat senang maupun susah, setiap orang mempunyai ekspektasi tersendiri

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan keanekaragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hampir semua negara majemuk termasuk Indonesia mempunyai kelompok minoritas dalam wilayah nasionalnya. Kelompok minoritas diartikan sebagai kelompok-kelompok

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia selalu diperhadapkan dengan berbagai keragaman, baik itu agama, sosial, ekonomi dan budaya. Jika diruntut maka banyak sekali keragaman yang

Lebih terperinci

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia dalam interaksi berbangsa dan bernegara terbagi atas lapisanlapisan sosial tertentu. Lapisan-lapisan tersebut terbentuk dengan sendirinya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan

BAB I PENDAHULUAN. menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suku bangsa Tionghoa merupakan salah satu etnik di Indonesia. Mereka menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan leluhur orang Tionghoa

Lebih terperinci

dapat menghadapi satu sama lain secara fisik, legal, kultural, dan psikologis. Maka dari itu, pendidikan dengan adanya keragaman budaya memberikan keu

dapat menghadapi satu sama lain secara fisik, legal, kultural, dan psikologis. Maka dari itu, pendidikan dengan adanya keragaman budaya memberikan keu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Adanya keragaman budaya dalam dunia pendidikan memberikan berbagai keuntungan, seperti yang diungkapkan oleh Gurin, Nagda, dan Lopez (2004, 19) bahwa para pelajar

Lebih terperinci

Pengembangan Budaya memiliki empat Konteks: 2. Melestarikan dan menghargai budaya

Pengembangan Budaya memiliki empat Konteks: 2. Melestarikan dan menghargai budaya SETYA ROHADI dan MULYANTO Globalisasi budaya telah mengikuti pola yang sama seperti globalisasi ekonomi. Televisi, musik, makanan, pakaian, film dan yang lainnya merupakan bentuk-bentuk budaya yang serupa

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA Dosen : Mohammad Idris.P, Drs, MM Nama : Dwi yuliani NIM : 11.12.5832 Kelompok : Nusa Jurusan : S1- SI 07 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI 8.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan dalam penelitan ini maka dibuat kesimpulan dari fokus kajian mengenai, perubahan ruang hunian, gaya hidup dan gender,

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967), berisi mengenai simpulan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. 1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. Dorongan beragama merupakan dorongan psikis yang merupakan landasan ilmiah dalam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 105 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran dari skripsi dengan judul GEJOLAK PATANI DALAM PEMERINTAHAN THAILAND (Kajian Historis Proses Integrasi Rakyat Patani

Lebih terperinci

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA Akulturasi merupakan proses social yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsure-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsure-unsur asing itu lambat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi pengguna media sosial, memeriksa dan meng-update aktifitas terbaru ke dalam media sosial adalah sebuah aktifitas yang lazim dilakukan. Seseorang yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era global, plural, multikultural seperti sekarang setiap saat dapat saja terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak dapat terbayangkan dan tidak terduga sama

Lebih terperinci

Pendekatan Teoritik Dalam Komunikasi Politik. Oleh: Adiyana Slamet, S.IP., M.Si

Pendekatan Teoritik Dalam Komunikasi Politik. Oleh: Adiyana Slamet, S.IP., M.Si Pendekatan Teoritik Dalam Komunikasi Politik Oleh: Adiyana Slamet, S.IP., M.Si Pendekatan Fungsional Pendekatan fungsional dalam kajian komunikasi politik lebih berorientasi pada peran atau fungsi komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai suatu negara multikultural merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai etnik yang menganut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan satu bagian dalam proses kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan satu bagian dalam proses kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan satu bagian dalam proses kehidupan manusia. Menurut Kusnadi (2005), perkawinan adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Masyarakat majemuk yang hidup bersama dalam satu wilayah terdiri dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda tentunya sangat rentan dengan gesekan yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Malang sebagaimana umumnya wilayah Jawa Timur lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Malang sebagaimana umumnya wilayah Jawa Timur lainnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Alasan Pemilihan Judul Kabupaten Malang sebagaimana umumnya wilayah Jawa Timur lainnya, sangat kuat memegang tradisi pesantren yang hampir di setiap kecamatannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era keterbukaan dan globalisasi yang sudah terjadi sekarang yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era keterbukaan dan globalisasi yang sudah terjadi sekarang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Dalam era keterbukaan dan globalisasi yang sudah terjadi sekarang yang berkembang pesat ini, dunia pekerjaan dituntut menciptakan kinerja para pegawai yang baik

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis.

BAB IV PENUTUP. identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis. BAB IV PENUTUP Kesimpulan Kemunculan karya sastra Indonesia yang mengulas tentang kolonialisme dalam khazanah sastra Indonesia diprediksi sudah ada pada masa sastra Melayu Rendah yang identik dengan bacaan-bacaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang merupakan daerah yang memiliki potensi budaya yang masih berkembang secara optimal. Keanekaragaman budaya mencerminkan kepercayaan dan kebudayaan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang tersebar di berbagai pulau. Kondisi negara maritim dengan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang tersebar di berbagai pulau. Kondisi negara maritim dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang luas yang memiliki banyak pulau dan penduduk yang tersebar di berbagai pulau. Kondisi negara maritim dengan penduduk masing-masing

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. berasal dari nama tumbuhan perdu Gulinging Betawi, Cassia glace, kerabat

Bab 1. Pendahuluan. berasal dari nama tumbuhan perdu Gulinging Betawi, Cassia glace, kerabat Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dari beribu-ribu pulau tersebut Indonesia memiliki berbagai suku, ras, agama,

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab demi bab dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam kepercayaan kepada Gikiri Moi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini, terutama teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang dengan cepat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes

BAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nasionalisme adalah suatu konsep dimana suatu bangsa merasa memiliki suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes (Chavan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya

BAB I PENDAHULUAN. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah negara yang terbentang luas

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberagamaan orang Maluku, dapat dipahami melalui penelusuran sejarah yang memberi arti penting bagi kehidupan bersama di Maluku. Interaksiinteraksi keagamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan

BAB I PENDAHULUAN. ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki aneka ragam budaya. Budaya pada dasarnya tidak bisa ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan individu yang ada dari

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setiap media, didalamnya mengandung sebuah pesan akan makna tertentu. Pesan tersebut digambarkan melalui isi dari media tersebut, bisa berupa lirik (lagu), alur cerita (film),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

BAB 5 RINGKASAN. Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beragam etnis

BAB 5 RINGKASAN. Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beragam etnis BAB 5 RINGKASAN Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beragam etnis atau suku bangsa tinggal di dalamnya. Salah satu etnis yang paling menonjol perannya dalam perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi budaya pop Korea yang biasa dikenal dengan Korean Wave,

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi budaya pop Korea yang biasa dikenal dengan Korean Wave, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi budaya pop Korea yang biasa dikenal dengan Korean Wave, berhasil mempengaruhi sebagian besar masyarakat dunia dengan cara memperkenalkan atau menjual produk

Lebih terperinci

MULTIKULTURALISME DI INDONESIA MENGHADAPI WARISAN KOLONIAL

MULTIKULTURALISME DI INDONESIA MENGHADAPI WARISAN KOLONIAL Seminar Dies ke-22 Fakultas Sastra Pergulatan Multikulturalisme di Yogyakarta dalam Perspektif Bahasa, Sastra, dan Sejarah MULTIKULTURALISME DI INDONESIA MENGHADAPI WARISAN KOLONIAL oleh Hilmar Farid Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (Susetyo, 2010, h. 29), jumlah populasi orang Jawa kira-kira 47. mendominasi di Indonesia berdasarkan jumlah populasinya.

PENDAHULUAN. (Susetyo, 2010, h. 29), jumlah populasi orang Jawa kira-kira 47. mendominasi di Indonesia berdasarkan jumlah populasinya. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etnis Jawa merupakan salah satu etnis yang memiliki populasi terbanyak di Indonesia. Berdasarkan analisis Suryadinata (Susetyo, 2010, h. 29), jumlah populasi orang

Lebih terperinci

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki perbedaan. Tak ada dua individu yang memiliki kesamaan secara

BAB I PENDAHULUAN. memiliki perbedaan. Tak ada dua individu yang memiliki kesamaan secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu yang ada dan diciptakan di muka bumi ini selalu memiliki perbedaan. Tak ada dua individu yang memiliki kesamaan secara utuh, bahkan meskipun

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. telah dikaji oleh banyak sejarawan. Hubungan historis ini dilatarbelakangi dengan

BAB V PENUTUP. telah dikaji oleh banyak sejarawan. Hubungan historis ini dilatarbelakangi dengan 201 BAB V PENUTUP A. Simpulan Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hubungan historis antara Turki Utsmani dan Hindia Belanda sejatinya telah terjalin lama sebagaimana yang telah dikaji oleh banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Talempong goyang awalnya berasal dari Sanggar Singgalang yang. berada di daerah Koto kociak, kenagarian Limbanang, kabupaten

BAB IV KESIMPULAN. Talempong goyang awalnya berasal dari Sanggar Singgalang yang. berada di daerah Koto kociak, kenagarian Limbanang, kabupaten 99 BAB IV KESIMPULAN Talempong goyang awalnya berasal dari Sanggar Singgalang yang berada di daerah Koto kociak, kenagarian Limbanang, kabupaten Lima Puluh Koto, diestimasi sebagai hiburan alternatif musik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal memiliki warisan budaya yang beranekaragam. Keanekaragaman budayanya itu tercermin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia ditakdirkan menghuni kepulauan Nusantara ini serta terdiri dari berbagai suku dan keturunan, dengan bahasa dan adat istiadat yang beraneka ragam,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Politik Identitas Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang sering kita dengar. Terlebih lagi, ini merupakan konsep

Lebih terperinci