HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kemasan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kemasan"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kemasan Kemasan memiliki fungsi untuk menjaga produk yang dikemas agar tetap dalam keadaan baik hingga dikonsumsi. Pada produk hortikultura, pengemasan diharapkan dapat memperpanjang masa simpan serta mempertahankan kesegaran hingga pada saat dikonsumsi. Banyak jenis kemasan yang digunakan untuk mengemas buah, salah satunya kemasan plastik. Penggunaan kemasan plastik semakin luas karena berbagai kelebihannya seperti ringan, serbaguna, murah namun juga fleksibel dalam penggunaannya, akan tetapi salah satu keterbatasan dengan kemasan plastik yang pada akhirnya untuk dibuang adalah kemasan plastik ini sangat sedikit didaur ulang sehingga akhirnya dikembangkan plastik yang mudah terurai yang dikenal dengan bioplastik. Penggunaan bioplastik mulai populer di masyarakat dimana kemasan berbahan dasar pati ini juga telah dikembangkan dalam berbagai bentuk sesuai penggunaannya, salah satunya fruit bag. Kemasan plastik fruit bag mulai banyak digunakan terutama oleh para konsumen kelas menegah ke atas yang senang berbelanja di pasar swalayan. Pada awalnya kemasan jenis ini hanya digunakan sebagai wadah produk hortikultura dari pasar swalayan hingga ke rumah konsumen. Dengan alasan kepraktisan, konsumen juga menyimpan produk hortikultura langsung dengan kemasan tersebut ke dalam lemari pendingin. Pada penelitian ini digunakan kemasan bioplastik ecoplast yang terbuat dari kombinasi polimer sintetik dengan komposisi pati tapioka sekitar 60% dan plastik HDPE sebagai pembanding. Kemasan HDPE dan bioplastik yang digunakan memiliki luas yang sama yaitu mm 2 dengan ketebalan sebesar 45 μm. Informasi mengenai ukuran dimensi kemasan ini dapat digunakan untuk menghitung nilai densitas masing-masing kemasan. Nilai densitas diperoleh dari pembagian berat plastik terhadap volume (perkalian panjang, lebar dan tebal plastik). Perhitungan densitas HDPE dan bioplastik dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari hasil perhitungan, densitas bioplastik ( g/cm 3 ) lebih kecil daripada densitas HDPE ( g/cm 3 ), dimana nilai densitas yang rendah menunjukkan struktur amorf (tidak teratur) lebih banyak sedangkan densitas yang lebih tinggi memiliki struktur kristalin yang lebih besar. Allcock dan Lampe (1981) mengatakan densitas menunjukkan kerapatan rantai suatu polimer, dimana polimer dengan struktur yang teratur (kristalin) cenderung mempunyai kerapatan rantai yang lebih besar karena rantai mampu berdekatan dalam jarak yang dekat (lebih rapat) sehingga densitasnya pun lebih besar. Polimer dengan stuktur yang tidak teratur (amorf) cenderung mempunyai densitas yang rendah karena jarak rantai yang jauh sehingga lebih renggang. Sifat mekanik dan fisik dari polimer sangat dipengaruhi oleh derajat kristalinitasnya. Sifat-sifat mekanik yang dipengaruhi oleh derajat kristalinitas adalah kekakuan (stiffness), kekerasan (hardness), dan keuletan (ductility), sedangkan sifat fisik adalah sifat optik dan kerapatan (density) dari polimer. Raynasari (2012) telah melakukan pengujian terhadap sifat fisik dan mekanik dari kemasan yang digunakan dalam penelitian ini yang terangkum pada Tabel 6.

2 23 Tabel 6 Karakteristik kemasan yang digunakan Sifat Mekanik Karakteristik Kemasan HDPE Bioplastik Kekuatan Tarik (MPa) Elongasi (%) Permeabilitas Uap Air (g/m 2 /24 jam) MD CD MD CD Sifat Fisik Morfologi Permukaan Sumber : Raynasari (2012) Sifat mekanik diperlukan dalam melindungi produk dari faktor-faktor mekanis, seperti tekanan fisik (jatuh dan gesekan), getaran, serta benturan. Sebagai bahan kemasan, plastik harus memiliki kekuatan tarik maupun perpanjangan putus (elongasi) yang baik karena hal ini akan berpengaruh pada kekuatan terhadap kontak fisik dengan benda lain dan kekuatan terhadap menahan beban dari produk selama dikemas sehingga plastik tidak mudah sobek dan lebih tahan lama. Kuat tarik merupakan ukuran besarnya gaya yang dapat ditahan sebelum lembaran plastik rusak atau putus. Biasanya pada lembaran plastik yang dihasilkan terbentuk orientasi film yang disebut machine direction (MD) dan cross-machine direction (CD). MD adalah orientasi rantai molekul yang searah dengan arah mesin sedangkan CD melintang dengan arah mesin. Sifat mekanik pada orientasi MD berbeda dengan CD karena ikatan molekul MD yang sejalan dengan arah mesin menjadikannya lebih baik daripada orientasi CD. Perbedaan orientasi CD dan MD pada plastik dapat dilhat pada Gambar 3. Cross machine direction Machine direction Gambar 3 Orientasi film plastik (Syarief et al. 1989) Dari Tabel 6 dapat dilihat nilai kuat tarik bioplastik lebih rendah daripada HDPE yang disebabkan adanya campuran pati pada matriks polimernya sehingga kekuatan ikatan antar polimernya menjadi lemah. Baik pada bioplastik maupun HDPE nilai kuat tarik pada orientasi MD menunjukkan hasil yang lebih baik daripada CD yang menunjukkan plastik tidak mudah patah.

3 Pengukuran kuat tarik biasanya diikuti juga dengan pengukuran perpanjangan putus (elongasi) yang menunjukkan elastisitas dari plastik. Semakin tinggi nilai perpanjangan putus (elongasi) maka plastik tersebut semakin elastis sehingga bahan dapat ditarik lebih mulur. Dari Tabel 6 dapat dilihat persen elongasi bioplastik pada orientasi MD lebih rendah daripada HDPE namun menunjukkan nilai yang lebih besar pada orientasi CD. Ini menunjukkan bioplastik lebih elastis apabila diberi beban yang lebih besar sehingga tidak mudah sobek/putus. Polimer dengan kekuatan tarik dan perpanjangan putus (elongasi) yang tinggi tergolong ke dalam jenis polimer yang kuat dan liat. Apabila suatu bahan memiliki kuat tarik yang tinggi namun tidak diimbangi dengan perpanjangan putus yang tinggi maka akan cenderung menghasilkan plastik yang mudah patah (brittle). Kemasan HDPE memiliki kekuatan tarik dan persen elongasi lebih besar daripada bioplastik yang menjadikan kemasan ini lebih kuat dan liat sehingga tidak mudah patah (brittle). Bioplastik memiliki kekuatan tarik yang rendah tetapi memiliki persen elongasi tinggi pada orientasi CD sehingga lebih elastis (fleksibel) yang menjadikan bioplastik lebih kuat untuk menahan beban. Sifat fisik plastik dapat diketahui dengan mengukur permeabilitas uap air dan mengamati morfologi permukaan plastik. Permeabilitas uap air berkaitan dengan ketahanan plastik sebagai barrier bagi kemasan. Permeabilitas plastik ditentukan dengan mengukur transmisi uap air/gas atau permean yang melewati plastik uji. Permeabilitas uap air adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukannya rata dengan ketebalan tertentu sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan tertentu pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Permeabilitas menyangkut proses pemindahan larutan dan difusi dimana larutan berpindah dari satu sisi film dan selanjutnya berdifusi ke sisi lainnya setelah menembus film tersebut. Semakin besar nilai permeabilitasnya maka akan menunjukkan plastik tersebut semakin mudah dilewati uap air/gas (Krochta 2007). Dari hasil pengukuran WVTR bioplastik g/m 2 /24 jam lebih besar daripada HDPE g/m 2 /24 jam ini menunjukkan bioplastik memiliki kemampuan lebih besar untuk melewatkan air dalam bentuk uap daripada HDPE. Nilai WVTR dipengaruhi oleh densitas plastik dimana plastik dengan densitas yang lebih besar memiliki area kristalin yang lebih banyak sehingga lebih rapat yang menyebabkan gas tidak mudah keluar masuk melalui kemasan. Hal sebaliknya terjadi pada kemasan bioplastik yang memiliki densitas lebih kecil yang mengindikasikan struktur amorf (tidak beraturan) lebih mendominasi penyusunnya sehingga kemasan ini lebih renggang dan mudah untuk dilewati oleh uap air dan gas lainnya. Dari Tabel 6 menunjukkan morfologi permukaan HDPE lebih homogen daripada bioplastik hal ini dipengaruhi karena pada bioplastik terdapat pati yang terikat pada matriks polimer sehingga terbentuk gelembung-gelembung yang diduga granula pati. Granula pati terlihat tersebar dengan ukuran yang beragam dimana pati yang berukuran kecil dapat menyebabkan penurunan sifat mekanik bioplastik karena terjadinya ikatan rantai polimer dengan granula berukuran kecil sehingga kekuatan plastik untuk menerima tarikan menjadi lebih rendah dengan perpanjangan putus yang besar.

4 25 Aplikasi Bioplastik Untuk Kemasan Produk Hortikultura Perubahan Fisiologi (Laju Respirasi) Dari Produk Hortikultura Respirasi merupakan proses metabolisme utama pada produk hortikultura yang dapat menyebabkan perubahan mutu dan kimia pada produk hasil panen. Respirasi terjadi pada semua organisme hidup termasuk juga pada tumbuhan, termasuk pada produk hortikultura yang telah dipisahkan dari tempat tumbuhnya. Respirasi merupakan suatu reaksi pemecahan bahan organik yang komplek menjadi lebih sederhana dengan melepaskan energi. Reaksi kimia sederhana untuk respirasi adalah sebagai berikut : C 6 H 12 O O 2 6 CO H 2 O kal Laju respirasi biasanya dinyatakan dalam laju konsumsi O 2 dan laju produksi CO 2. Dalam proses respirasi, produk hortikultura memerlukan oksigen (O 2 ) untuk memecah bahan-bahan organik dan menghasilkan CO 2, uap air dan panas. Semakin banyak oksigen yang diperlukan untuk respirasi maka CO 2 yang dihasilkan dari proses respirasi ini juga akan meningkat begitu juga dengan uap air dan panas. Untuk mengetahui kecepatan laju respirasi pada produk hortikultura ini biasanya digunakan perhitungan terhadap perubahan gas O 2 atau CO 2 pada interval waktu tertentu. Laju respirasi diantara produk hortikultura berbeda satu sama lainnya sehingga dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu golongan klimakterik dan nonklimakterik. Pada produk hortikultura yang termasuk golongan klimakterik ditandai dengan adanya proses yang cepat pada fase pemasakan dan mengalami peningkatan konsumsi O 2 dan produksi CO 2 yang tinggi. Sebaliknya, pada produk hortikultura golongan non-klimakterik tidak terlihat nyata perubahan yang terjadi pada fase pemasakan karena proses respirasi pada produk berjalan lambat (Winarno 2002). Buah golongan klimakterik memiliki karakteristik dengan adanya puncak aktivitas respirasi selama pematangan yang menunjukkan kualitas buah siap untuk dikonsumsi dimana puncak respirasi ini bervariasi pada tiap-tiap buah. Sebaliknya pada buah golongan non-klimakterik hanya menunjukkan penurunan bertahap pada proses respirasi selama pematangan dengan pola yang berbeda tergantung dari masing-masing buah. Respirasi untuk golongan non-klimakterik juga memiliki hubungan antara tingkat respirasi yang tinggi dengan umur simpan yang pendek (Tucker et al. 1993). Buah golongan non-klimakterik tidak menunjukkan proses pematangan setelah dipanen dan pola respirasinya akan berubah menjadi lambat setelah pemanenan. Istilah klimakterik hanya melibatkan peningkatan respirasi buah ditinjau dari produksi CO 2 (Villavicencio et al. 2001). Dari Lampiran 2 dan Lampiran 3 menunjukkan selama masa penyimpanan rerata laju konsumsi O 2 pada tomat ( mlo 2 /kg.jam) lebih rendah daripada rerata laju konsumsi O 2 pada paprika ( mlo 2 /kg.jam). Begitu juga dengan rerata laju produksi CO 2 pada tomat ( mlco 2 /kg.jam) lebih rendah daripada rerata laju produksi CO 2 pada paprika ( mlco 2 /kg.jam). Laju respirasi (konsumsi O 2 dan produksi CO 2 ) dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, umumnya tergantung pada 2 faktor, yaitu (1) faktor dari dalam seperti tingkat perkembangan, susunan kimiawi jaringan, besar-kecilnya komoditas dan ada tidaknya kulit penutup alamiah/pelapis alami serta tipe/jenis

5 dari jaringan dan (2) faktor dari luar yang meliputi: suhu, konsentrasi O 2 dan CO 2, zat pengatur pertumbuhan (etilen) dan kerusakan pada produk. Kedua faktor ini saling berinteraksi apakah saling mendukung ataupun sebaliknya. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam Lampiran 2a menunjukkan jenis plastik dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap laju konsumsi O 2 tomat namun suhu penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap laju konsumsi O 2. Dari uji lanjut Duncan menunjukkan laju konsumsi O 2 tomat yang dikemas dengan HDPE berbeda nyata dengan bioplastik dan laju konsumsi O 2 tomat selama penyimpanan berbeda nyata pada tiap harinya. Dari hasil analisis sidik ragam 3a juga menunjukkan jenis plastik dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap laju produksi CO 2 tomat sedangkan suhu penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap laju produksi CO 2 tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan laju produksi CO 2 tomat yang dikemas dengan HDPE berbeda nyata dengan bioplastik dan laju produksi CO 2 tomat selama penyimpanan berbeda nyata pada tiap harinya. Gambar 4 menunjukkan laju konsumsi O 2 dan produksi CO 2 pada tomat yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik. Buah yang dikemas dengan bioplastik baik dari laju konsumsi O 2 ataupun dari laju produksi CO 2 nya lebih tinggi daripada yang dikemas dengan HDPE. Ini dipengaruhi oleh densitas dari kemasan dimana bioplastik memiliki densitas yang cenderung lebih rendah yang mengindikasikan dominasi struktur amorf yang lebih besar sehingga ikatan antar molekul penyusunnya lebih renggang daripada HDPE. Dengan keadaan yang lebih renggang ini menyebabkan kemampuan bioplastik untuk dilewati oleh O 2 dan CO 2 lebih mudah. Hal ini berbeda dengan kemasan HDPE yang densitasnya lebih kecil sehingga O 2 dan CO 2 yang terdapat di dalam kemasan konsentrasinya lebih besar akibat lebih rapatnya molekul penyusun HDPE. Laju Konsumsi O 2 (ml/kg.jam) HDPE Jenis Plastik (a) Bioplastik Gambar 4 Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O 2 tomat, dan (b) laju produksi CO 2 tomat Konsentrasi O 2 dan CO 2 yang rendah di dalam bioplastik juga dipengaruhi oleh bahan utama penyusun plastik tersebut. Pada kemasan bioplastik, pati merupakan bahan utama penyusun yang dapat bereaksi dengan O 2 dan hasil respirasi yaitu CO 2, dan uap air yang terdapat pada bagian dalam kemasan. Dengan kemampuan yang demikian menjadikan konsentrasi O 2 dan CO 2 di dalam Laju Produksi CO 2 (ml/kg.jam) HDPE Jenis Plastik (b) Bioplastik

6 27 kemasan bioplastik lebih rendah daripada di dalam kemasan HDPE. Dengan konsentrasi O 2 yang lebih rendah di dalam kemasan bioplastik menjadikan konsumsi O 2 tomat untuk melakukan reaksi respirasi juga lebih kecil sehingga respirasi tomat di dalam kemasan bioplastik berlangsung lebih lambat. Kondisi seperti ini mengindikasikan laju respirasi buah yang dikemas dengan bioplastik dapat diminimalisir sehingga penurunan kualitas tidak berlangsung dengan cepat. Selain pengaruh jenis plastik yang menyebabkan keterbatasan O 2 sehingga laju respirasi yang terjadi lebih lambat juga dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan. Pada awal penyimpanan tomat laju respirasi cenderung lebih cepat karena masih tersedianya substrat untuk dipecah menjadi komponen yang lebih sederhana. Laju respirasi tomat ditinjau dari laju konsumsi O 2 dan produksi CO 2 selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5. Laju Konsumsi O 2 (ml/kg.jam) Gambar Penyimpanan (Hari) Laju Produksi CO 2 (ml/kg.jam) Penyimpanan (Hari) (a) (b) Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O 2 tomat yang dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ), dan (b) laju produksi CO 2 tomat yang dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ) Pengukuran laju respirasi biasanya dilihat dari perubahan laju produksi CO 2 selama penyimpanan. Pola perubahan laju respirasi ini berbeda antara buah golongan klimakterik dan golongan non-klimakterik. Tomat merupakan golongan klimakterik dengan pola respirasi mengalami penurunan produksi CO 2 hingga memasuki fase klimakteriknya yang ditandai dengan adanya peningkatan produksi CO 2 sebelum akhirnya kembali menurun yang merupakan awal dari fase senescence. Sampaio et al. (2007) melaporkan buah mombin kuning sebagai golongan klimakterik dari pola respirasinya. Pada saat memasuki fase pra-klimakterik buahbuahan golongan klimakterik mengalami laju respirasi yang rendah, kemudian mengalami peningkatan drastis hingga mencapai respirasi maksimum (klimakterik maksimum) yang diikuti dengan penurunan akitifitas respirasi yang diindikasikan sebagai senescence. Laju respirasi produk hortikultura biasanya dihitung berdasarkan analisa produksi CO 2 atau konsumsi O 2 per berat produk dalam waktu tertentu. Beberapa teknik dapat digunakan untuk menghitung gas produk yang dianggap sebagai respirasi. Hal yang mesti diperhatikan pada saat mengukur respirasi adalah untuk tidak menyimpan produk terlalu lama dalam tempat tertutup karena dapat

7 menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen dan peningkatan CO 2 yang akan mempengaruhi laju respirasi selanjutnya. Oleh karena perubahan konsentrasi O 2 yang terjadi lebih kecil daripada konsentrasi O 2 di udara, umumnya respirasi lebih mudah diketahui dari laju produksi CO 2 (Bower et al. 1998). Dari Gambar 5 dapat dilihat perbedaan pola respirasi antara tomat yang dikemas dengan bioplastik dan HDPE dari perubahan laju produksi CO 2 selama penyimpanan. Pada hari penyimpanan ke-3, laju produksi tomat yang dikemas dengan HDPE (0.299 ml/kg.jam) lebih besar daripada tomat yang dikemas dengan bioplastik (0.151 ml/kg.jam). Keduanya mengalami penurunan laju produksi CO 2 sebelum akhirnya mengalami peningkatan pada hari yang berbeda. Tomat yang dikemas dengan HDPE mulai mengalami penurunan laju produksi CO 2 penyimpanan ke-6 (0.120 ml/kg.jam) kemudian secara bertahap mengalami peningkatan laju produksi CO 2 antara hari penyimpanan ke-12 dan 15. Diduga antara hari penyimpanan tersebut tomat yang dikemas dengan HDPE mengalami fase klimakteriknya karena penyimpanan pada hari ke-18 laju produksi tomat mengalami penurunan yang merupakan awal dari fase senescence. Pada tomat yang dikemas dengan bioplastik penurunan laju produksi CO 2 terjadi pada hari penyimpanan ke-9 (0.018 ml/kg.jam). Pada hari penyimpanan berikutnya secara bertahap laju produksi tomat yang dikemas dengan bioplastik mengalami peningkatan hingga akhir penyimpanan pada hari ke-21. Ini menandakan hingga akhir penyimpanan tomat yang dikemas dengan bioplastik belum mengalami puncak klimakteriknya karena laju produksi CO 2 nya belum menunjukkan penurunan yang merupakan awal dari fase senescence. Dapat disimpulkan tomat yang dikemas dengan bioplastik dapat menunda tahapan pematangan tomat hingga hari ke-21. Perbedaan puncak klimakterik dari produksi CO 2 pada tomat yang dikemas dengan bioplastik dan HDPE dipengaruhi oleh ketersediaan gas O 2 dimana semakin banyaknya jumlah gas O 2 respirasi juga akan berlangsung dengan cepat yang menyebabkan produksi CO 2 meningkat. Ketersediaan gas O 2 di dalam kemasan bioplastik lebih sedikit daripada HDPE karena O 2 tersebut juga bereaksi dengan bahan bioplastik (pati). Kondisi seperti ini tidak terjadi pada tomat yang dikemas dengan HDPE, dimana HDPE memiliki sifat inert (tidak bereaksi dengan produk yang dikemas) sehingga seluruh gas O 2 yang terdapat di dalam kemasan digunakan untuk berlangsungnya respirasi tomat selama penyimpanan. Selain karena bereaksi dengan bahan utama penyusun kemasan, kecepatan respirasi tomat di dalam kemasan juga dipengaruhi oleh densitas kemasan itu sendiri. Bioplastik memiliki densitas lebih besar yang mengindikasikan struktur penyusunnya lebih renggang sehingga mampu melewatkan gas dari kemasan ke lingkungan atau sebaliknya sehingga komposisi gas di dalam kemasan diharapkan tetap stabil. Hal sebaliknya terjadi pada kemasan HDPE. Berbeda dengan tomat yang merupakan golongan klimakterik, paprika yang mewakili golongan non-klimakterik selama penyimpanan tidak mengalami peningkatan produksi CO 2 hingga akhirnya menuju fase senescence. Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 2b menunjukkan jenis plastik dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap laju konsumsi O 2 paprika namun suhu penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap laju konsumsi O 2 paprika. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kemasan HDPE

8 29 berbeda nyata dengan bioplastik terhadap laju konsumsi O 2 dan laju konsumsi O 2 berbeda nyata selama penyimpanan. Hasil sidik ragam Lampiran 3b menunjukkan jenis plastik, suhu dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap laju produksi CO 2 paprika namun interaksi tiap perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap laju produksi CO 2 paprika. Uji lanjut Duncan menghasilkan perbedaan terhadap laju produksi CO 2 antara paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik. Hasil uji lanjut Duncan terhadap laju produksi CO 2 paprika pada suhu penyimpanan 5 dan 10 0 C tidak memberikan perbedaan tetapi keduanya berbeda nyata dengan suhu penyimpanan 15 0 C. Dan laju produksi CO 2 paprika berbeda nyata selama penyimpanan. Gambar 6 menunjukkan paprika yang dikemas dengan HDPE lebih tinggi laju konsumsi O 2 dan produksi CO 2 nya daripada paprika yang dikemas dengan menggunakan bioplastik. Kondisi seperti ini sama seperti pada tomat dimana dipengaruhi oleh bahan utama penyusun bioplastik yang dapat bereaksi dengan gas yang terdapat dalam kemasan dan densitas bioplastik yang lebih kecil daripada HDPE sehingga kelebihan gas tertentu di dalam kemasan bioplastik dapat dengan mudah keluar masuk melalui lapisan bioplastik. Laju Konsumsi O 2 (ml/kg.jam) HDPE Jenis Plastik Bioplastik HDPE Bioplastik (a) (b) Gambar 6 Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O 2 paprika, dan (b) laju produksi CO 2 paprika Densitas pada plastik sangat dipengaruhi oleh derajat kristalinitasnya. Rantai molekul pada daerah kristalin ditandai dengan rantai lurus sedangkan pada daerah amorf memiliki rantai bebas atau bercabang. Kombinasi struktur amorf dan kristalin ini menentukan bentuk kemasan yang akan dihasilkan. Plastik yang lebih banyak struktur amorfnya akan memiliki sifat fisik plastik yang fleksibel sedangkan kristalin akan sangat kaku dan keras. Plastik yang memiliki densitas tinggi akan memiliki derajat kristalinitas yang tinggi (Equistar 2004) Laju respirasi juga dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan dari produk. Semakin lama waktu penyimpanan menunjukkan semakin banyak komponen komplek dari produk terdegradasi yang digunakan sebagai substrat pada respirasi. Respirasi terus berlangsung selama penyimpanan hingga memasuki fase senescence yang ditandai dengan tidak adanya lagi substrat untuk tetap disintesa. Dari Gambar 7 dapat dilihat perbedaan pola respirasi antara paprika ditinjau dari perubahan laju produksi CO 2 selama penyimpanan. Pada awal penyimpanan Laju Produksi CO 2 (ml/kg.jam) Jenis Plastik

9 laju produksi CO 2 paprika yang dikemas dengan HDPE (0.342 ml/kg.jam) lebih besar daripada bioplastik (0.126 ml/kg.jam). Paprika yang dikemas dengan bioplastik mengalami penurunan produksi CO 2 (0.020 ml/kg.jam) pada hari penyimpanan ke-9 sedangkan paprika yang dikemas dengan HDPE mengalami penurunan produksi CO 2 (0.069 ml/kg.jam) pada hari penyimpanan ke-12. Namun setelah mengalami penurunan produksi CO 2, keduanya mengalami peningkatan kembali pada hari penyimpanan berikutnya. Peningkatan ini diduga karena aktivitas mikroorganisme yang ditandai dengan adanya miselium cendawan pada pangkal buah. Aktivitas mikroorganisme ini berlangsung dengan cepat hingga pada hari penyimpanan ke-18 produksi CO 2 paprika yang dikemas dengan bioplastik lebih besar daripada paprika yang dikemas dengan HDPE karena paprika yang dikemas dengan bioplastik sebagian sudah mengalami kebusukan dan berair. Laju Konsumsi O 2 (ml/kg.jam) Laju Produksi CO 2 (ml/kg.jam) Penyimpanan (Hari) Penyimpanan (Hari) (a) (b) Gambar 7 Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O 2 paprika yang dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ), dan (b) laju produksi CO 2 paprika yang dikemas HDPE HDPE ( ) dan bioplastik ( ) Dari pola respirasi tersebut dapat disimpulkan paprika yang dikemas dengan bioplastik mulai memasuki fase senescence pada hari penyimpanan ke-12 sedangkan paprika yang dikemas dengan HDPE mulai memasuki tahap senesecence pada hari penyimpanan ke-15. Berbeda dengan tomat, laju produksi CO 2 paprika yang dikemas dengan HDPE yang densitasnya lebih besar memiliki waktu yang lebih lama menuju senescence (12 hari) daripada paprika yang dikemas dengan bioplastik (9 hari) yang densitasnya lebih kecil. Paprika merupakan buah golongan non-klimakterik dimana selama penyimpanan laju produksi CO 2 nya hanya mengalami penurunan hingga fase senescence. Dengan kondisi demikian menjadikan jumlah O 2 di dalam kemasan tidak semuanya digunakan untuk melakukan respirasi karena buah golongan nonklimakterik tidak mengalami perubahan menuju kondisi optimalnya selama penyimpanan. Namun produksi CO 2 dan uap air tetap dihasilkan dari reaksi respirasi sehingga O 2, CO 2 dan uap air yang terdapat pada bioplastik akan bereaksi dengan dengan pati sebagai bahan utama penyusun kemasan ini. Semakin lama reaksi ini berlangsung mengakibatkan bioplastik kehilangan

10 31 performanya untuk melindungi produk yang menyebabkan paprika yang dikemas dengan bioplastik lebih cepat menuju fase senescence. Laju produksi CO 2 pada paprika selain dipengaruhi jenis plastik dan lama penyimpanan, suhu penyimpanan juga memberikan pengaruh terhadap laju produksi CO 2 paprika. Suhu sangat berpengaruh pada cepat atau tidaknya laju respirasi karena pada suhu tinggi dapat menyebabkan proses pemecahan komponen komplek seperti karbohidrat dapat berlangsung lebih cepat. Rataan produksi CO 2 pada paprika yang disimpan pada suhu 15 o C lebih tinggi (0.192 ml/kg-jam) daripada laju produksi paprika yang disimpan pada suhu 5 o C (0.102 ml/kg-jam) dan suhu 10 o C (0.119 ml/kg-jam). Hal ini sesuai dengan Wills (1989) yang mengemukakan setiap peningkatan suhu 10 o C maka laju respirasi meningkat 2 kali lipat, tetapi pada suhu di atas 35 o C laju respirasinya menurun karena aktivitas enzim terganggu sehingga menghambat difusi oksigen. Perubahan Fisikokimia Perubahan fisikokimia dari tomat dan paprika yang dikemas dengan menggunakan HDPE dan bioplastik pada tiga tingkatan suhu penyimpanan (5, 10 dan 15 o C) selama 21 hari merupakan pengaruh dari reaksi respirasi dimana terjadi degradasi senyawa makromolekul komplek. Semakin cepat laju respirasi terjadi menandakan pemecahan makromolekul komplek cenderung lebih cepat yang mengakibatkan perubahan fisikokimia dari tomat dan paprika selama penyimpanan berlangsung lebih cepat sehingga waktu yang diperlukan menuju senescence lebih singkat. Respirasi dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan kimia dan fisik buah, seperti pati menjadi gula sehingga buah terasa manis, perubahan warna sehingga lebih menarik, melunaknya buah dan perubahan lainnya yang diharapkan hingga pada batas tertentu. Akan tetapi semakin lamanya penyimpanan menyebabkan produk hortikultura mengalami kemunduran kualitas secara keseluruhan. Proses respirasi dapat dibedakan dalam tiga tingkat, yaitu (1) Pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana, (2) Oksidasi gula menjadi asam piruvat, dan (3) Transformasi asam piruvat dan asam-asam organik lainnya menjadi CO 2, air dan energi (Syarief dan Hariyadi, 1993). Berbagai macam perubahan yang terjadi saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Pada saat respirasi berlangsung terjadi pemecahan pati dan terbentuk gula-gula yang lebih sederhana yang dikonversikan menjadi asetil CoA yang nantinya akan digunakan pada jalur metabolisme lainnya. Proses ini berlangsung terus menerus dengan kecepatan yang tergantung pada kondisi lingkungan hingga tidak adanya lagi substrat yang bisa digunakan. Pada kondisi seperti ini biasanya buah telah memasuki fase senescence (busuk) sehingga mengalami penurunan kualitas. Penurunan Bobot Penurunan bobot selama penyimpanan merupakan salah satu parameter mutu yang mencerminkan tingkat kesegaran produk hortikultura. Selama penyimpanan selain terjadi respirasi, juga terjadi trasnpirasi yaitu penguapan air dari permukaan produk hortikultura yang menyebabkan kekeringan dan kelayuan. Proses transpirasi ini merupakan bagian dari proses respirasi yang terjadi selama penyimpanan dimana pada saat terjadinya pemecahan makromolekul kompleks menghasilkan air dalam bentuk uap.

11 Berat rata-rata pada awal penyimpanan tomat sebesar g dan paprika sebesar g. Pada akhir penyimpanan, yaitu pada hari ke-21 berat rata-rata tomat menjadi g dan paprika menjadi g. Ini menunjukkan persentase susut bobot tomat yang berkurang selama penyimpanan ( %) lebih rendah daripada persentase susut bobot paprika yang berkurang ( %) yang dapat dilihat pada Lampiran 4. Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 4a menunjukkan hanya lama penyimpanan berpengaruh terhadap persentase penurunan bobot dari tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan penurunan bobot tomat pada awal penyimpanan berbeda pada setiap harinya. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 4b juga menunjukkan hanya lama penyimpanan yang berpengaruh terhadap penurunan bobot paprika sedangkan jenis plastik, suhu penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak memberikan pengaruh. Hasil analisis uji lanjut Duncan menunjukkan penurunan bobot paprika pada awal penyimpanan berbeda nyata dengan akhir penyimpanan. Gambar 8 menunjukkan penurunan bobot yang merupakan persentase bobot akhir dari tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan. Tomat yang dikemas dengan menggunakan bioplastik mulai mengalami penurunan bobot pada hari penyimpanan ke-9 (98.893%) lebih besar daripada tomat yang dikemas dengan menggunakan HDPE (99.165%). Penurunan bobot lebih besar pada tomat yang dikemas dengan bioplastik terus terjadi hingga akhir penyimpanan (hari ke-21). Penurunan Bobot (%) Penyimpanan (Hari) (a) (b) Gambar 8 Pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan bobot (a) tomat yang dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ), dan (b) paprika yang dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ) Kondisi ini dipengaruhi oleh karakteristik plastik terhadap permeabilitas uap air, dimana selama penyimpanan selain terjadi respirasi, juga terjadi transpirasi yaitu penguapan air dari permukaan buah yang menyebabkan kekeringan dan kelayuan. Proses transpirasi ini merupakan bagian dari proses respirasi yang terjadi selama penyimpanan dimana pada saat terjadinya pemecahan makromolekul kompleks menghasilkan air dalam bentuk uap. Uap air yang terbentuk ini akan lebih mudah melewati kemasan bioplastik karena kemasan ini Penyimpanan (Hari)

12 memiliki nilai permeabilitas yang lebih tinggi (21.56 g/m 2 /24 jam) daripada HDPE (13.10 g/m 2 /jam) yang mengindikasikan bioplastik memiliki kemampuan untuk melewatkan uap air dari dalam kemasan lebih besar daripada HDPE. Permeabilitas juga berkaitan erat dengan densitas (kerapatan) dari kemasan. Pendapat tersebut didukung oleh Equistar (2004) dimana permeabilitas plastik dapat dipengaruhi oleh struktur kristalin dari plastik. Daerah kristalin pada plastik lebih tahan terhadap permeabilitas gas dan uap air sedangkan daerah amorf lebih mudah untuk ditembusi oleh molekul uap air dan gas. Nunes (2008) mengatakan persentase penurunan susut bobot tomat yang disimpan pada suhu 15 o C (2%) lebih tinggi daripada suhu penyimpanan 20 o C (2.5%) tetapi pada tomat yang disimpan dibawah suhu 15 o C susut bobot yang terjadi kurang dari 1%. Tomat yang dipanen pada tingkat kematangan maturegreen yang disimpan pada suhu 12 o C selama 4 minggu mengalami kehilangan bobot 9.8% dengan kenampakan tomat semakin menurun yang ditandai dengan adanya keriput, kisut pada kulit dan kehilangan kecerahan. Paprika yang dikemas dengan bioplastik mengalami penurunan pada hari ke-9 (99.208%) lebih besar daripada paprika yang dikemas dengan HDPE (99.406%). Setelah hari penyimpanan ke-12, penurunan bobot paprika yang dikemas dengan HDPE (94.680%) lebih besar daripada paprika yang dikemas dengan bioplastik (98.661%). Penurunan bobot secara drastis yang terjadi pada paprika yang dikemas dengan HDPE diduga karena komposisi udara di dalam kemasan tersebut. Paprika yang dikemas dengan HDPE pada hari penyimpanan ke-15 mengalami akumulasi CO 2 hasil dari proses respirasi lebih besar daripada CO 2 di dalam kemasan bioplastik sehingga lebih memungkinkan terjadinya respirasi anaerobik di dalam kemasan HDPE daripada bioplastik. Kondisi seperti ini mengakibatkan paprika yang dikemas dengan HDPE lebih cepat mengalami kebusukan dan berair serta beraroma tajam hingga mengalami penurunan bobot yang drastis. Penelitian Manolopoulou et al. (2010) juga menghasilkan pola penurunan bobot paprika yang sama dimana plastik dengan densitas lebih rendah (LDPE) menghasilkan nilai susut bobot yang lebih tinggi dibandingkan plastik dengan densitas yang lebih besar (MDPE). Pada akhir penyimpanan, paprika pada suhu 10 o C yang dikemas dengan LDPE mengalami kehilangan bobot sebesar 0.65% sedangkan paprika yang dikemas dengan MDPE sebesar 0.32%. Kehilangan air, pelunakan jaringan, pengkerutan dan chilling injury merupakan faktor utama batasan kualitas dari paprika. Paprika merupakan produk hortikultura yang berongga dimana ketebalan dindingnya sekitar 5-8 mm sehingga menjadikannya mudah mengalami pengurangan volume air dalam jumlah yang besar selama penyimpanan yang mengakibatkan produk menjadi mengkerut dan kehilangan ketegarannya. Penyimpanan pada suhu 7.5 o C dengan RH 90-95% disarankan untuk memperpanjang masa simpan maksimum paprika (3-5 minggu) dan mengurangi penguapan air yang dapat menyebabkan pengkerutan. Paprika juga dapat disimpan pada suhu 5 o C selama 2 minggu dan juga penyimpanan pada suhu rendah dapat mengurangi kehilangan air akan tetapi gejala chilling injury akan muncul apabila melebihi masa simpan tersebut (Gonzalez-Aguilar 2004). Kader (1992) menjelaskan terjadinya susut bobot dikarenakan hilangnya air dalam buah dan oleh respirasi yang mengubah gula menjadi CO 2 dan H 2 O. Hal ini juga dijelaskan oleh Muchtadi (1992) dimana kehilangan bobot pada buah dan 33

13 sayuran selama penyimpanan disebabkan oleh kehilangan air sebagai akibat proses penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi yang menimbulkan kerusakan dan menurunkan mutu produk tersebut. Kekerasan Perubahan tekstur merupakan salah satu perubahan fisiologis yang terjadi sebagai akibat langsung dari kehilangan air pada produk hortikultura. Biasanya perubahan tekstur yang terjadi pada produk hortikultura selama penyimpanan adalah menurunnya tingkat kekerasan sehingga menjadi lunak kecuali pada produk tertentu seperti manggis (kulit buahnya menjadi keras). Perubahan tekstur produk yang semula keras menjadi lunak ini dikarenakan kehilangan air yang menjadikan komposisi dinding sel berubah sehingga menyebabkan menurunnya tekanan turgor sel dan kekerasan buah menurun. Selain itu juga terjadi perubahan secara kimiawi pada dinding sel yang tersusun dari senyawa-senyawa komplek dari golongan karbohidrat struktural, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Salah satu bentuk penilaian suatu produk pertanian masih layak simpan untuk dikonsumsi adalah ketika tekstur buah masih dalam keadaan cukup keras. Dari Lampiran 5 dapat dilihat nilai kekerasan tomat selama penyimpanan ( N) lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai kekerasan paprika ( N). Perbedaan nilai kekerasan bisa dikarenakan faktor internal seperti perbedaan kadar air, ketebalan daging buah dan komposisi kandungan senyawa komplek penyusun dinding sel. Tucker et al. (1993) mengatakan hampir semua buah mengalami pelunakan selama tahap pematangan. Perubahan tekstur menjadi lunak (softening) pada kebanyakan buah salah satunya dapat disebabkan oleh mekanisme kehilangan tekanan turgor (loss of turgor pressure), degradasi kandungan pati atau kerusakan pada dinding sel buah. Kehilangan tekanan turgor sebagian besar merupakan proses non-fisiologis yang berhubungan dengan dehidrasi buah pascapanen. Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 5a menunjukkan jenis plastik tidak berpengaruh terhadap perubahan kekerasan tomat sedangkan suhu dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap perubahan kekerasan tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan suhu penyimpanan 5 o C berbeda nyata dengan 15 o C, namun keduanya tidak berbeda nyata dengan suhu penyimpanan 10 0 C terhadap kekerasan tomat. Hasil uji lanjut Duncan juga menunjukkan perubahan kekerasan tomat berbeda selama masa penyimpanan. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 5b terhadap perubahan kekerasan paprika menunjukkan hanya dipengaruhi oleh perlakuan lama. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perubahan kekerasan paprika berbeda nyata selama masa penyimpanan. Suhu penyimpanan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tekstur dari buah. Apabila suhu penyimpanan terlalu tinggi dapat menyebabkan proses respirasi dan transpirasi berlangsung lebih cepat sehingga kandungan air dari buah lebih cepat mengalami penurunan yang mengakibatkan berkurangnya ketegaran buah (firmness). Dari Tabel 7 dapat dilihat nilai kekerasan tomat yang disimpan pada suhu yang lebih rendah (5 o C) memberikan nilai cenderung lebih besar daripada tomat yang disimpan pada suhu yang lebih tinggi (10 dan 15 o C). Hal ini disebabkan

14 35 pada suhu yang lebih tinggi respirasi dan transpirasi berlangsung lebih cepat sehingga air yang terdapat pada produk semakin berkurang dengan cepat yang menjadikan ketegaran dari produk semakin menurun sehingga mengakibatkan nilai kekerasan dari buah juga semakin kecil. Tabel 7 Kekerasan tomat pada suhu penyimpanan yang berbeda Suhu Penyimpanan Kekerasan (N) (⁰C) HDPE Bioplastik b b ab ab a Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf a Menurut Gonzalez-Aguilar (2004) pelunakan buah berhubungan langsung dengan berkurangnya kadar air dalam buah. Selain itu kekerasan dapat disebabkan karena terhambatnya proses respirasi atau metabolisme sehingga perombakan karbohidrat menjadi senyawa yang larut air berkurang maka kekerasan dari produk hortikultura akan bertahan. Kitinoja dan Kader (2003) menyatakan suhu dingin sangat mempengaruhi perubahan nilai kekerasan buah. Semakin rendah suhu penyimpanan maka semakin lambat penurunan nilai kekerasan buah. Prasanna et al. (2007) mengatakan proses hidrolisis protopektin dan pektin yang berperan dalam menjaga tingkat kekerasan buah berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Pektin sendiri merupakan polimer yang tersusun dari asam galakturonat dimana secara alami pektin akan dihidrolisa oleh enzim pektinase selama proses pematangan. Hidrolisa pektin menjadi unit yang lebih sederhana dan bersifat larut dalam air akan menyebabkan perubahan tekstur buah. Dari Tabel 7 dapat dilihat nilai kekerasan tomat yang dikemas dengan HDPE cenderung lebih tinggi daripada bioplastik terutama pada suhu yang lebih rendah. Ini disebabkan pada suhu penyimpanan yang rendah, permeabilitas uap air dari bioplastik semakin menurun sehingga proses transpirasi tidak terjadi dengan cepat dan buah tidak akan mengalami kehilangan turgor yang akan mempengaruhi kekerasan buah. Sebaliknya hal yang berbeda terjadi pada HDPE dimana permeabilitas uap air akan meningkat pada suhu penyimpanan yang rendah. Hasil penelitian Raynasari (2002) menunjukkan permeabilitas uap air bioplastik mengalami penurunan dengan semakin rendahnya suhu penyimpanan dimana bioplastik yang disimpan selama 30 hari pada suhu 3-7 o C ( g/m 2 /24 jam) lebih kecil daripada suhu -10-(-6) o C ( g/m 2 /24 jam). Permeabilitas uap air HDPE meningkat dengan menurunnya suhu penyimpanan dimana pada suhu 3-7 o C ( g/m 2 /24 jam) namun lebih kecil daripada suhu penyimpanan -10-(-6) o C ( g/m 2 /24 jam). Menurunnya permeabilitas uap air bioplastik disebabkan granula pati yang merupakan bahan utama penyusun bioplastik mengalami pembengkakkan hingga akhirnya pecah yang menyebabkan terjadinya ikatan kuat antara molekul penyusun bioplastik sehingga mengakibatkan molekul uap air semakin sulit dapat melewati kemasan ini. Dari Gambar 9 dapat dilihat perubahan morfologi permukaan kedua jenis plastik yang dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Terlihat dengan jelas semakin rendah suhu penyimpanan mengakibatkan semakin banyak granula pati yang

15 berukuran besar jadi pecah. Ini dapat dilihat dari hasil uji SEM terhadap morfologi permukaan bioplastik pada suhu 10-(-6) o C terdapat granula pati dengan ukuran lebih kecil yang tersebar diseluruh permukaan bioplastik. Hasil uji SEM terhadap morfologi permukaan HDPE menunjukkan permukaan homogen yang mengindikasikan tidak terjadinya perubahan apabila disimpan pada suhu rendah. Suhu Penyimpanan ( o C) (-10)-(-6) Bioplastik HDPE Gambar 9 Pengaruh suhu terhadap morfologi permukaan kemasan setelah disimpan selama 30 hari (perbesaran 200 x) (Raynasari 2012) Dengan berubahnya ukuran partikel pati penyusun bioplastik pada suhu rendah menyebabkan kemampuannya untuk melindungi produk menurun. Kemampuan ini semakin menurun seiring dengan lamanya penyimpanan dimana menyebabkan semakin banyak granula pati yang mengalami kerusakan pada suhu yang terlalu rendah. Selama penyimpanan proses respirasi terus berlangsung dimana lajunya akan terjadi lebih cepat pada suhu penyimpanan yang tinggi sehingga menyebabkan perubahan secara kimiawi lebih cepat terjadi pada dinding sel yang tersusun dari senyawa-senyawa komplek. Gambar 10 menunjukkan perubahan kekerasan pada tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan. Perubahan kekerasan tomat dan paprika yang dikemas dengan bioplastik dan HDPE memiliki nilai yang hampir sama. Selama penyimpanan nilai kekerasan tomat cenderung menurun berbeda dengan paprika yang cenderung mengalami kenaikan. Pada awal penyimpanan daging buah paprika masih dalam keadaan segar dimana dinding sel belum mengalami pelunakan. Daging buah paprika ini memiliki ketebalan sekitar 5-8 mm dengan bagian dalamnya yang berongga dengan tekstur daging paprika dalam keadaan segarnya adalah renyah. Dan ini berbeda dengan daging buah tomat yang lebih tebal dengan tekstur yang bersifat juicy. Peningkatan nilai kekerasan yang terjadi pada paprika disebabkan berkurangnya tekanan turgor akibat berkurangnya air pada permukaan buah. Dengan berkurangnya tekanan turgor menjadikan konsistensi paprika berubah sehingga pada saat dilakukan uji kekerasan, daging buah paprika menjadi liat

16 37 (hampir seperti jeli) yang menjadikan probe rheometer susah untuk menembus daging buah sehingga nilai tekanan yang terlihat pada display lebih besar nilainya. Tucker et al. (1993) mengatakan kehilangan turgor sebagian besar bukan dikarenakan oleh proses fisiologi Kekerasan (N) Penyimpanan (Hari) (a) (b) Gambar 10 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan kekerasan (a) tomat yang dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ), dan (b) paprika yang dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ) Peningkatan nilai kekerasan pada paprika juga dikemukan oleh Hasanah (2009) dimana selama penyimpanan 21 hari tanpa diberi perlakuan pencelupan dalam larutan edible coating nilai kekerasan paprika meningkat. Pada awal penyimpanan nilai kekerasan paprika sebesar (50g/mm.s) atau setara dengan N sedangkan pada akhir penyimpanan yaitu hari ke-21 nilai kekerasan paprika sebesar (50g/mm.s) atau setara dengan N. Berbeda dengan paprika, nilai kekerasan tomat cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan. Penurunan nilai kekerasan tomat selama penyimpanan disebabkan karena terjadinya kehilangan air dari tomat dan juga terdegradasinya senyawa struktural pembentuk dinding sel. Nilai kekerasan tomat yang mengalami penurunan selama penyimpanan juga ditemukan pada hasil penelitian Musaddad (2002) dimana pada saat awal penyimpanan rerata nilai kekerasan tomat berkisar 0.41 MPa (8.050 N). Setelah disimpan selama 20 hari tanpa dilapisi edible khitosan, pada suhu kamar (28-30 o C) kekerasan tomat menjadi 0.18 MPa (3.534 N) dan pada suhu dingin (9-12 o C) menjadi 0.21 MPa (4.123 N). Perbedaan kecenderungan nilai kekerasan yang terjadi pada tomat dan paprika dapat dikarenakan perbedaan ketebalan dinding sel dan komposisi karbohidrat struktural (pembangun) dinding sel. Dari Tabel 1 dan Tabel 4 dapat dilihat nilai dietary fiber paprika lebih besar daripada tomat sehingga diduga efek seperti jeli pada dinding sel selama penyimpanan lebih dominan terjadi pada paprika. Winarno (2002) mengemukakan secara kimiawi dinding sel tersusun dari senyawa-senyawa yang sangat komplek, antara lain selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Pektin adalah polisakarida yang menyusun sepertiga bagian dinding Penyimpanan (Hari)

17 sel tanaman, terletak pada bagian tengah lamella dinding sel. Sifat terpenting dari pektin adalah kemampuannya membentuk gel dan sebagai bahan pengental. Pada waktu buah menjadi matang, kandungan pektat dan pektinat yang larut meningkat sedangkan jumlah zat pektat seluruhnya menurun, akibatnya akan melemahkan ikatan dinding sel sehingga ketegaran buah akan berkurang. Dalam proses pengembangan dan pematangan, tekanan turgor sel selalu berubah. Perubahan turgor pada umumnya disebabkan oleh perubahan dinding sel dan perubahan tersebut akan mempengarui firmness dari buah. Sjaifullah et al. (1996) menyatakan proses hidrolisis protopektin dan pektin yang berperan dalam menjaga tingkat kekerasan buah berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Kerja enzim pektinesterase adalah mengubah protopektin menjadi pektin yang larut dalam air dan/atau enzim α- amilase dan β- amilase bekerja lebih cepat pada suhu tinggi. Salah satu enzim yang memotong ikatan glikosidik pada polisakarida adalah enzim α-amilase yang terdapat pada jaringan tanaman. Mekanisme pemotongan ikatan α, 1-4 pada molekul amilosa dimulai dengan cara mendegradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa. Proses tersebut terjadi secara acak dan cepat yang diikuti dengan penurunan viskositas sel secara drastis yang menyebabkan kekerasan buah menjadi berkurang. Perubahan Warna Sebagai parameter visual, umumnya konsumen cenderung melakukan penilaian pertama terhadap tingkat kematangan buah melalui warna. Perubahan warna merupakan perubahan yang paling menonjol pada waktu pematangan. Perubahan warna terjadi akibat sintesis dari pigmen tertentu, seperti karatenoid dan flavonoid, disamping terjadinya perombakan klorofil. Perombakan klorofil menyebabkan pigmen karotenoid yang sudah ada namun tidak nyata menjadi nampak. Perubahan warna yang terjadi pada buah-buahan sering dijadikan sebagai kriteria utama bagi konsumen untuk menentukan mentah ataupun matangnya suatu buah. Warna pada buah-buahan disebabkan oleh pigmen yang umumnya dibedakan atas 4 kelompok yaitu klorofil, antosianin, flavonoid dan karotenoid (Winarno 2002). Nilai L * menunjukkan tingkat kecerahan dari tomat dan paprika dimana nilai L * berkisar antara 0 (hitam) hingga 100 (putih). Dari Lampiran 6 dapat dilihat selama 21 hari penyimpanan perubahan nilai L * tomat ( ) lebih tinggi daripada perubahan nilai L * paprika ( ) dimana kisaran angka tersebut mengindikasikan bahwa tomat lebih cerah daripada paprika. Dari Lampiran 7 menunjukkan data nilai C* selama penyimpanan tomat ( ) lebih tinggi daripada nilai C* paprika ( ) dan Lampiran 8 yang memperlihatkan perubahan o hue selama penyimpanan untuk tomat ( ) lebih besar kisarannya daripada o hue paprika ( (-8.699)). Hasil analisis sidik ragam Lampiran 6a menunjukkan jenis plastik, suhu penyimpanan dan lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap nilai L * pada tomat. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 7a menunjukkan jenis plastik dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai C* tomat, namun lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap perubahan nilai C* tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perubahan nilai C* tomat berbeda nyata antara awal penyimpanan hingga akhir penyimpanan.

18 39 Gambar 11 menunjukkan perubahan nilai C* tomat yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik cenderung memiliki pola yang sama. Pada awal penyimpanan nilai C* tomat baik yang dikemas dengan bioplastik ataupun HDPE cenderung mengalami peningkatan hingga penyimpanan hari ke-9. Pada hari penyimpanan selanjutnya (hari ke-12) nilai C* tomat stabil hingga akhir penyimpanan (hari ke-21) Nilai C* Penyimpanan (Hari) Gambar 11 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan nilai C* tomat yang dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ) Hasil analisis sidik ragam Lampiran 8a memperlihatkan jenis plastik dan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan o hue tomat, hanya suhu penyimpanan memberikan pengaruh terhadap perubahan o hue tomat. Uji lanjut Duncan menghasilkan suhu penyimpanan 5 o C tidak berbeda nyata dengan suhu penyimpanan 10 o C namun keduanya berbeda nyata dengan suhu penyimpanan 15 o C. Tabel 8 menunjukkan pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan o hue tomat dimana pada suhu penyimpanan 5 dan 10 C masih bernilai negatif yang mengindikasikan tomat yang dikemas pada suhu tersebut masih berwarna hijau sedangkan pada suhu penyimpanan 15 o C nilai o hue bertanda positif yang menunjukkan tomat berwarna merah. Hasil penelitian ini menunjukkan penyimpanan pada suhu rendah dapat memperlambat proses perombakan klorofil dan sekaligus memperlambat pula proses pembentukan likopen. Suhu mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan pigmen. Pada pembentukan likopen, bila suhu naik maka perubahannya akan cepat. Rendahnya nilai warna pada perlakuan suhu penyimpanan 5 o C disebabkan oleh suhu yang terlalu rendah sehingga degradasi klorofil. Nunes (2008) menyatakan pigmen buah tomat didominasi oleh karoten dan likopen, akumulasi likopen selama ripening akan menghambat biosintesa karoten sehingga menjadikan buah tomat terlihat berwarna merah. Sintesa dan perombakan likopen dipengaruhi oleh suhu, sedangkan karoten tidak. Suhu antara o C dapat menghambat sintesa likopen.

19 Tabel 8 Pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan o hue tomat Suhu Penyimpanan Perubahan ⁰hue Tomat ( C) HDPE Bioplastik a a a a b b Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 Winarno (2002) menyatakan perubahan warna tomat dimulai dengan hilangnya warna hijau, dimana kandungan klorofil buah yang sedang masak dan lambat laun berkurang. Dengan dimulainya proses pematangan, pigmen kuning xantofil diproduksi. Kemudian pada tahap kematangan berikutnya pigmen merah (likopen) akan terakumulasi. Kartasapoetra (1994) menyatakan perubahan warna pada buah merupakan hasil pembongkaran klorofil akibat adanya pengaruh perubahan kimiawi dan fisiologis. Dari Tabel 8 dapat dilihat nilai o hue tomat yang dikemas dengan bioplastik lebih rendah daripada yang dikemas pada HDPE kecuali pada suhu penyimpanan 10 o C dimana tomat yang dikemas dengan bioplastik nilai o hue lebih tinggi. Ini menunjukkan tomat yang dikemas dengan bioplastik pada suhu penyimpanan 10 o C dapat menunda perubahan warna tomat untuk menjadi merah. Kondisi ini terjadi akibat perubahan sifat mekanik bioplastik pada penyimpanan suhu rendah dimana tidak hanya terjadi perubahan nilai permeabilitas juga terjadi perubahan densitas. Granula pati yang merupakan bahan utama bioplastik pada suhu rendah mengalami pembengkakkan (retrogradasi) hingga pecah yang mengakibatkan ikatan antar molekul bioplastik jadi lebih kuat yang berakibat nilai permeabilitas uap airnya jadi menurun. Oleh karena ikatan antar molekul bioplastik menjadi lebih kuat menyebabkan bioplastik menjadi kaku dan kehilangan sifat plastisnya (fleksibel) yang mengindikasikan densitasnya semakin besar yang menunjukkan kerapatan bioplastik semakin tinggi. Perubahan densitas bioplastik menjadi lebih besar mengakibatkan kerapatannya juga meningkat sehingga kemasan ini tidak dapat melewatkan panas bahan yang dikemas dan panas akibat dari proses respirasi yang tetap terakumulasi di dalam kemasan. Budiastra dan Purwadaria (1993) mengatakan secara umum tujuan dari pengemasan buah dan sayuran adalah untuk melindungi komoditas dari kerusakan mekanik, tidak menghambat lolosnya panas bahan dan panas pernapasan dari produk serta mempunyai kekuatan konstruksi yang cukup untuk mengatasi penanganan dan pengangkutan yang wajar. Perubahan warna tomat selama penyimpanan yang dikemas dengan kedua jenis kemasan pada tiaptiap suhu dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 6b menunjukkan jenis plastik tidak berpengaruh terhadap nilai L * paprika namun suhu dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap nilai L * paprika. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perubahan nilai L * pada suhu penyimpanan 5 o C paprika tidak berbeda nyata dengan perubahan nilai L * paprika yang disimpan pada suhu 10 o C, akan tetapi keduanya berbeda nyata terhadap perubahan nilai L * paprika pada suhu penyimpanan 15 o C. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 7b menunjukkan perubahan nilai C* paprika hanya dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan dimana uji lanjut Duncan

20 41 menghasilkan hanya penyimpanan hari ke-0 yang berbeda nyata dengan penyimpanan hari berikutnya. Dan analisis sidik ragam Lampiran 8b menghasilkan perubahan nilai o hue paprika juga hanya dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dimana hasil uji lanjut Duncan menunjukkan suhu penyimpanan 5 dan 10 o C tidak berbeda nyata namun keduanya berbeda dengan suhu penyimpanan 15 o C. Tabel 9 menunjukkan nilai L * pada suhu penyimpanan 15 o C lebih besar daripada suhu penyimpanan 5 o C dan 10 o C. Ini menandakan paprika yang disimpan pada suhu 15 o C memiliki tingkat kecerahan yang lebih besar sehingga dapat diindikasikan penyimpanan paprika pada suhu ini mulai mengalami perubahan komposisi pigmen yang diikuti dengan nilai o hue yang juga besar. Tabel 9 Pengaruh perbedaan suhu penyimpanan terhadap perubahan nilai L * dan o hue paprika Perubahan warna paprika Suhu Penyimpanan (⁰C) Nilai L* Nilai o hue HDPE Bioplastik HDPE Bioplastik a a a a a a a a b b b b Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf Nyanjage et al. (2005) mengatakan kehilangan warna hijau terjadi dengan cepat pada penyimpanan suhu kamar yang disebabkan oleh peningkatan kerusakan klorofil dan sintesa pigmen β-karoten dan likopen yang terjadi selama proses pematangan. Penyimpanan buah golongan non-klimakterik pada suhu rendah seperti paprika dapat mencegah terjadinya penurunan kualitas sehingga dapat mempertahankan warna hijau paprika lebih lama. Dari Tabel 9 dapat dilihat nilai o hue paprika baik yang dikemas dengan HDPE ataupun bioplastik masih menunjukkan o hue negatif yang menandakan paprika masih tetap berwarna hijau pada tiga tingkatan suhu tersebut. Namun paprika yang dikemas dengan bioplastik pada ketiga suhu penyimpanan cenderung lebih rendah daripada paprika yang dikemas dengan HDPE. Ini menunjukkan paprika yang dikemas dengan bioplastik mulai mengalami perubahan warna hijau paprika. Hal ini terjadi akibat perubahan karakteristik bioplastik pada suhu rendah sehingga mempengaruhi produk yang dikemas. Hasil pengamatan perubahan warna paprika yang dikemas dengan bioplastik dan HDPE pada ketiga suhu penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 10. Gambar 12 menunjukkan perubahan warna paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan berdasarkan perubahan nilai L * dan C *. Dapat dilihat bahwa pola perubahan nilai L * dan C * paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik cenderung sama. Pada awal penyimpanan paprika masih berwarna hijau ditandai dengan nilai a * negatif tetapi nilai L * dan b * paprika positif. Nilai L * paprika pada awal penyimpanan masih cenderung stabil, namun begitu memasuki hari penyimpanan ke-9 nilai L * paprika mengalami penurunan yang menunjukkan warna paprika berubah dari hijau menjadi hijau gelap. Setelah penyimpanan hari ke-12 nilai L * paprika mengalami peningkatan.

21 Nilai L* Nilai C* Penyimpanan (Hari) Penyimpanan (Hari) (a) (b) Gambar 12 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan (a) nilai L * paprika yang dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ), dan (b) nilai C * paprika yang dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ) Sama halnya dengan tomat, perubahan warna pada paprika juga terjadi sebagai akibat terdegradasinya klorofil atau terjadi perombakan klorofil selama penyimpanan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan tingkat kecerahan pada paprika. Pada awal penyimpanan paprika masih berwarna hijau, ini mengindikasikan pigmen dominan yang ada pada paprika berwarna hijau dimana klorofil belum terdegradasi. Semakin lama penyimpanan maka akan terjadi perombakan klorofil sehingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi kuning. Nunes (2008) mengatakan nilai L * pada paprika cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan walaupun nilai L * perubahan yang terjadi sedikit. Paprika yang disimpan pada suhu 0, 5,10 dan 15 o C menunjukkan perubahan warna dari warna hijau terang menjadi hijau gelap (kusam) selama penyimpanan, namun beberapa paprika yang disimpan pada suhu 20 o C menunjukkan perubahan warna dari hijau menjadi semburat kuning pada hari penyimpanan ke-10 dan akan berubah menjadi kuning keseluruhan pada hari penyimpanan ke-20. Warna yang ada pada buah ditimbulkan oleh keberadaan pigmen yang dikandungnya. Buah akan menampilkan warna-warna yang menarik yang ditunjukkan oleh fisikokimia dari pigmen. Sebagai salah satu secondary plants products, pigmen-pigmen warna dihasilkan melalui serangkaian proses yang juga melibatkan hasil dari proses primer yaitu respirasi. Sebagai tahapan pada respirasi, jalur glikolisis, menghasilkan ATP dan Acetyl CoA. Kedua produk ini yang akan digunakan dalam pentose phosphate pathway (PPP), yaitu jalur rangkaian proses yang akan membentuk pigmen-pigmen warna pada buah (Tucker et al. 1993). Total Padatan Terlarut (TPT) Buah-buahan dan sayuran menyimpan karbohidrat untuk persediaan bahan dan energi. Persediaan ini digunakan untuk melaksanakan aktivitas sisa hidupnya. Oleh karena itu dalam proses pematangan, kandungan gula dan karbohidrat selalu berubah (Winarno 2002). Total padatan terlarut diukur dengan menggunakan refraktometer dimana bagian terbesar dari pengukuran TPT ini adalah total kandungan gula dalam buah sehingga nilai TPT yang diukur dalam satuan o Brix

22 ini dianggap sebagai gambaran banyaknya kandungan gula pada produk yang diamati. Dari Lampiran 11dapat dilihat bahwa rataan nilai TPT tomat selama penyimpanan ( o Brix) jauh lebih besar bila dibandingkan dengan rataan nilai TPT paprika ( o Brix). Perbedaan nilai TPT dari kedua produk hortikultura ini dipengaruhi oleh komposisi kimia yang berbeda. Nilai TPT pada tiap-tiap produk hortikultura dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat (pati) dan kecepatan laju respirasi. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 11a menunjukkan jenis plastik dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap nilai TPT tomat akan tetapi lama penyimpanan berpengaruh terhadap nilai TPT tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan nilai TPT tomat pada penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan nilai TPT pada hari penyimpanan ke-21 dimana pada awal penyimpanan nilai TPT (3.944 o Brix) lebih rendah daripada akhir penyimpanan (4.316 o Brix). Hasil analisis sidik ragam Lampiran 11b menunjukkan hanya lama penyimpanan yang berpengaruh terhadap nilai TPT paprika. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan nilai TPT paprika hari penyimpanan ke-9 berbeda nyata dengan nilai TPT paprika hari penyimpanan ke-18. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Permatasari (2009) dimana total padatan terlarut secara umum akan meningkat seiring pertambahan waktu penyimpanan. Hal ini disebabkan hidrolisis pati menjadi glukosa, fruktosa dan sukrosa. Setelah mengalami peningkatan, total padatan terlarut akan mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan karena gula yang terbentuk dari hasil perombakan pati kembali digunakan sebagai substrat respirasi untuk menghasilkan energi. Gambar 13 menunjukkan perubahan total padatan terlarut tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan. Pada tomat yang dikemas dengan bioplastik nilai TPTnya lebih rendah daripada tomat yang dikemas dengan HDPE karena laju respirasi tomat yang dikemas dengan HDPE berlangsung lebih cepat dimana fase klimakteriknya antara hari penyimpanan ke- 12 dan 15. Tomat yang dikemas dengan bioplastik produksi CO 2 nya mulai mengalami peningkatan setelah hari penyimpanan ke-9. TPT paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik memiliki pola yang sama dimana mengalami penurunan pada hari penyimpanan ke-9 dan 15. Secara umum TPT tomat dan paprika cenderung mengalami peningkatan selama penyimpanan walaupun juga terjadi penurunan. Peningkatan nilai total padatan terlarut ini disebabkan adanya pengaruh respirasi yang mendegradasi komponen kompleks yang terdapat pada produk yang disimpan menjadi komponen yang sederhana. Penurunan nilai TPT pada hari penyimpanan ke-12 (tomat) dan hari penyimpanan ke-9 dan 15 (paprika) bisa jadi disebabkan karena komposisi komponen komplek tidak sama seperti pada awal penyimpanan dimana sudah terjadi akumulasi gula-gula sederhana yang kemudian digunakan kembali pada reaksi respirasi selanjutnya. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Hasanah (2009) pada paprika yang disimpan pada suhu 15 o C tanpa perlakuan pencelupan edible coating. Pada awal penyimpanan nilai TPT paprika sebesar 3.82 o Brix setelah penyimpanan selama 3 hari nilainya turun menjadi 3.53 o Brix akan tetapi kembali meningkat pada penyimpanan hari ke-6 (3.80 o Brix). Dan pada penyimpanan hari ke-9 dan 12 43

23 stabil dengan nilai 3.67 o Brix sebelum akhirnya mengalami peningkatan secara bertahap hingga akhir penyimpanan (4.70 o Brix). TPT ( Brix) Penyimpanan (Hari) (a) (b) Gambar 13 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan Total Padatan Terlarut (TPT) (a) tomat yang dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ), dan (b) paprika yang dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ) Hal ini sesuai dengan Winarno (2002) yang mengatakan total padatan terlarut buah akan meningkat dengan cepat ketika buah mengalami pematangan dan akan terus menurun seiring dengan lamanya penyimpanan. Semakin lama penyimpanan, komponen gula yang terurai semakin banyak sehingga gula yang merupakan komponen utama bahan total padatan terlarut akan semakin menurun. Peningkatan total gula disebabkan oleh terjadinya akumulasi gula sebagai hasil dari degradasi pati, sedangkan penurunan total gula disebabkan karena sebagian gula digunakan untuk berlangsungnya proses respirasi. Menurut Apandi (1984) selama penyimpanan sukrosa dapat mengalami hidrolisa menjadi glukosa dan fruktosa dan selanjutnya akan menjadi substrat dalam proses respirasi. Perubahan ini terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan lama penyimpanan. Suhu berpengaruh terhadap aktivitas enzim invertase yang berperan dalam pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Selain berpengaruh terhadap aktivitas enzim invertase, pada suhu penyimpanan yang lebih tinggi juga akan memicu laju respirasi sehingga akan semakin banyak gula yang dikonsumsi dalam proses respirasi. Akumulasi sukrosa pada suhu penyimpanan dingin dimungkinkan karena secara relatif aktivitas enzim invertase lebih tinggi dibandingkan penggunaannya dalam proses respirasi. Sampaio et al. (2007) mengatakan total padatan terlarut berkaitan erat dengan total asam dari buah dimana selama proses pematangan, terjadi peningkatan progresif total padatan terlarut sebagai akibat dari transformasi polisakarida menjadi gula. Semakin banyak terjadinya pemecahan polisakarida tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan keasaman sehingga terjadinya peningkatan ratio total padatan terlarut terhadap asam. Vitamin C Vitamin C atau yang dikenal juga dengan sebutan asam askorbat merupakan mikro-nutrien yang dibutuhkan tubuh manusia agar semua metabolisme tubuh Penyimpanan (Hari)

24 tetap berlangsung. Oleh karena tubuh manusia tidak bisa memproduksi atau menyimpan vitamin C, sumber vitamin C utama adalah buah dan sayur. Tomat dan paprika merupakan salah satu buah yang memiliki kandungan vitamin C tinggi. Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air dan hampir terdapat pada semua sayuran dan buah-buahan (Winarno, 2002). Dari data perubahan vitamin C selama masa penyimpanan Lampiran 12 menunjukkan rerata kandungan vitamin C tomat ( mg/100 g) lebih rendah daripada kandungan vitamin C paprika ( mg/100g). Menurut Winarno (2002), vitamin C mudah sekali rusak karena pengaruh alkali, enzim, intensitas cahaya, panas, oksidator dan katalis Cu dan Fe. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 12a menunjukkan jenis plastik dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap kandungan vitamin C tomat akan tetapi lama penyimpanan berpengaruh terhadap kandungan vitamin C tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kandungan vitamin C berbeda nyata pada hari penyimpanan tertentu. Sama halnya dengan tomat, hasil analisis sidik ragam Lampiran 12b menunjukkan kandungan vitamin C paprika selama penyimpanan tidak dipengaruhi oleh jenis plastik dan suhu penyimpanan hanya lama penyimpanan yang berpengaruh terhadap kandungan vitamin C paprika. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kandungan vitamin C paprika berbeda nyata pada hari penyimpanan tertentu. Lama penyimpanan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kandungan vitamin C produk hortikultura selama penyimpanan. Hal ini dikarenakan selama penyimpanan respirasi terus terjadi, dimana akan terbentuk gula-gula sederhana yang bertindak sebagai prekursor dalam pembentukan vitamin C. Peningkatan kandungan vitamin C biasanya akan terjadi seiring lamanya waktu penyimpanan akan tetapi apabila substrat pembentukan vitamin C tidak lagi tersedia maka kandungan vitamin C akan mengalami penurunan. Gambar 14 menunjukkan perubahan kandungan vitamin C tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama masa penyimpanan. Tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik memiliki pola perubahan kandungan vitamin C yang sama selama penyimpanan walaupun secara umum nilai vitamin C tomat dan paprika yang dikemas dengan bioplastik sedikit lebih besar daripada HDPE. Dari Gambar 14 juga terlihat perbedaan perubahan kandungan vitamin C dari tomat dan paprika selama penyimpanan. Pada awal penyimpanan nilai rataan kandungan vitamin C tomat dan paprika hampir sama yaitu sebesar mg/100 g bahan untuk tomat dan mg/100 g bahan untuk paprika. Selama masa penyimpanan kandungan vitamin C tomat cenderung mengalami penurunan sedangkan kandungan vitamin C paprika cenderung mengalami peningkatan. Dari Tabel 1 dan 3 juga diketahui kandungan vitamin C paprika lebih tinggi (127.7 mg/100 g) daripada kandungan vitamin C tomat (23.4 mg/100 g), hal ini yang menyebabkan kandungan vitamin C paprika selama penyimpanan jauh lebih besar mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kandungan vitamin C tomat selama penyimpanan. Penyebab lainnya kecenderungan penurunan kandungan vitamin C tomat bisa jadi disebabkan tidak cukupnya lagi substrat untuk pembentukan vitamin C. 45

25 Vitamin C (mg/100 g) Penyimpanan (Hari) Penyimpanan (Hari) (a) (b) Gambar 14 Pengaruh lama penyimpanan terhadap kandungan vitamin C (a) tomat yang dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ), dan (b) paprika yangg dikemas HDPE ( ) dan bioplastik ( ) Nunes (2008) mengatakan kandungan asam askorbat akan mengalami peningkatan pada tomat yang disimpan pada suhu 20 o C akan tetapi setelah 8 hari mulai mengalami penurunan. Untuk tomat yang disimpan pada suhu 4 atau 10 o C kandungan asam askorbat mengalami peningkatan pada awal penyimpanan akan tetapi kemudian mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan kandungan asam askorbat bisa mengalami penurunan setelah mencapai puncak kandungan tertingginya. Meskipun kandungan asam askorbat tomat setelah panen mengalami peningkatan pada masa penyimpanannya tetapi tidak semua tingkat kematangan tomat pada saat pemanenan mengalami peningkatan kandungan asam askorbat. Selain itu pemasakan buah pada suhu tinggi bisa menyebabkan penurunan asam askorbat karena oksidasi. Terjadinya perubahan parameter sensori pada paprika juga menunjukkan perubahan komposisi yang tergantung dari kondisi penanganan pascapanen. Pada saat paprika disimpan pada suhu dingin kisaran 0-3 o C, asam askorbat meningkat 17% daripada paprika yang disimpan pada suhu 10 0 C. Begitu juga pada suhu penyimpanan 7 0 C selama 20 hari, asam askorbat mengalami peningkatan tetapi setelah penyimpanan selama 35 hari mulai mengalami penurunan (Gonzalez- Aguilar 2004). Peningkatan kandungan vitamin C pada paprika juga dilaporkan pada penelitian Hasanah (2009) dimana vitamin C paprika yang tidak dilapisi edible coating (kontrol) yang disimpan pada suhu 15 o C pada awal penyimpanan sebesar mg/100 g bahan. Setelah disimpan selama 21 hari vitamin C paprika menjadi mg/100 g bahan. Vitamin C pada produk hortikultura disintesa dari heksosa, dimana kandungan heksosa akan meningkat selama penyimpanan sehingga kandungan vitamin C dari produk hortikultura juga akan meningkat. Meningkatnya kandungan vitamin C selama fase pematangan buah terjadi akibat adanya pembentukan vitamin C yang berasal dari substrat glukosa 6-PO 4 -. Pembentukan vitamin C ini terjadi pada jalur pentosa pospat (pentose phosphate pathway) dan melibatkan senyawa intermediet lakton 6-PO 4 - (Hasanah 2009). Penurunan kadar vitamin C selama penyimpanan disebabkan karena jumlah substrat pembentuk

26 47 vitamin C kemungkinan sudah tidak tersedia dan akibat pengaruh lingkungan internal dan eksternal (suhu dan intensitas matahari pada saat pertumbuhan buah). Penelitian Toor dan Savage (2006) menghasilkan akumulasi asam askorbat dalam jumlah yang sedikit selama penyimpanan pada tiga tingkatan suhu 25, 7 dan 15 o C. Secara keseluruhan tidak terjadi kehilangan kandungan asam askorbat selama penyimpanan. Total asam tertitrasi yang tinggi mempengaruhi terhadap stabilnya kandungan asam askorbat dari buah. Dan buah dengan kandungan total asam tertitrasi yang tinggi menghasilkan kandungan vitamin C yang relatif stabil selama penyimpanan. Interaksi Kemasan dengan Lingkungan Selama penyimpanan perubahan tidak hanya terjadi pada produk yang dikemas tetapi juga terhadap kemasan itu sendiri yang menyebabkan kemasan kehilangan performa terbaiknya sehingga fungsinya untuk menjaga kualitas produk tidak tercapai. Oleh karena fungsi utama kemasan untuk menjaga produk yang dikemas agar tetap dalam kondisi baik menjadikan kemasan harus memiliki sifat barrier. Dengan sifat tersebut menjadikan kemasan sebagai bahan pertama yang berinteraksi apabila terjadinya perubahan lingkungan selama penyimpanan berlangsung. Perubahan yang dialami oleh kemasan dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang menunjukkan kemampuan kemasan untuk menjaga produk yang dikemasnya ataupun disebabkan pengaruh dari produk yang mengindikasikan kemampuan kemasan untuk menjaga komponen produk tetap dalam kondisi baik. Pada waktu dan kondisi tertentu kemasan masih dapat menunjukkan performa terbaiknya, namun hingga batasan tertentu kemasan tidak dapat menjaga produk dengan baik. Perubahan yang dapat terjadi pada kemasan selama penyimpanan adalah permeabilitas dan sorpsi (scalping). Permeabilitas menunjukkan kemampuan suatu luasan kemasan untuk dapat dilewati oleh gas dan uap air, sedangkan sorpsi merupakan kemampuan kemasan untuk tetap menjaga komponen utama produk yang dikemas. Mekanisme kedua perubahan ini berlangsung secara bersamaan dimana pada saat kemasan berinteraksi dengan produk yang dikemas (scalping) maka kemampuan kemasan untuk melewatkan bahan (permeabilitas) menjadi semakin rendah. Permeabilitas Yam (2007) mengatakan pemahaman dasar terhadap proses perembesan gas (permeasi) dapat menjelaskan sifat barrier dari suatu polimer. Molekul permean akan bergerak melewati barrier dalam proses yang bertahap. Proses diawali dengan tabrakan antara molekul dan permukaan polimer, kemudian molekul tersebut akan menyebar dan beradsorpsi ke dalam polimer. Didalam polimer, permean menyebar dan berdifusi secara acak dimana energi kinetik termalnya akan mempertahankan molekul untuk tetap bergerak di antara cabang polimer. Difusi acak ini menunjukkan molekul permean akan bergerak dari sisi polimer yang kontak dengan permean berkonsentrasi tinggi menuju sisi kontak dengan permean berkonsentrasi rendah. Cooksey (2004) menggambarkan mekanisme permeabilitas seperti pada Gambar 15.

27 CO 2 Uap Air O 2 CO 2 Packaging O 2 O 2 CO 2 Uap Air CO 2 Gambar 15 Mekanisme permeabilitas kemasan Kemasan yang digunakan pada penelitian ini telah diuji permeabilitas uap airnya oleh Raynasari (2012) pada berbagai tingkatan suhu penyimpanan selama selang waktu tertentu. Dari hasil pengujian awal didapatkan nilai permeabilitas uap air bioplastik lebih besar (21.56 g/m 2 /24 jam) daripada kemasan HDPE (13.10 g/m 2 /24 jam). Baik bioplastik ataupun HDPE kemudian disimpan pada tiga tingkatan suhu yaitu o C yang mewakili suhu ruang, 3-7 o C yang mewakili suhu dingin dan (-10)-(-6) o C yang mewakili suhu freezing. Kedua jenis kemasan ini diamati perubahan nilai permeabilitas uap airnya hingga hari ke-30. Hasil dari pengamatan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Perubahan permeabilitas uap air kemasan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan pada berbagai suhu selama 30 hari Kemasan Permeabilitas Uap Air (g/m 2.24 jam) Suhu o C Suhu 3-7 o C Suhu (-10)-(-6) o C HDPE Bioplastik Sumber : Raynasari (2012) Pengujian awal yang dilakukan Raynasari (2012) terhadap permeabilitas kemasan menunjukkan kemampuan bioplastik untuk melewatkan uap air lebih tinggi daripada HDPE, dikarenakan bahan utama penyusun bioplastik yaitu pati yang bersifat hidrofilik. Perpindahan uap air lebih mudah terjadi pada bagian yang bersifat hidrofilik yang terdapat pada bioplastik. Krochta (2007) mengatakan permeabilitas uap air tergantung pada perbandingan bahan yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik dalam formulasi film. Film dari polisakarida mempunyai ketahanan yang rendah terhadap uap air. Dari Tabel 10 dapat dilihat permeabilitas uap air bioplastik cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan pada berbagai tingkatan suhu penyimpanan. Hal ini dikarenakan pati yang menyusun matriks plastik tersebut mengalami retrogradasi pada suhu rendah yang menyebabkan granula pati yang

28 awalnya berukuran besar menjadi serbuk sehingga terbentuk ikatan kuat antara molekul penyusun bioplastik. Semakin kuatnya ikatan yang terbentuk menjadikan uap air semakin susah melewati kemasan bioplastik pada suhu yang lebih rendah. Selain itu, akibat terbentuknya ikatan kuat tersebut menjadikan bioplastik kehilangan sifat plastisnya yang mengindikasikan daerah kristalin bioplastik semakin mendominasi dan menyebabkan densitas semakin besar. Semakin besarnya densitas bioplastik ini menunjukkan kerapatan bioplastik semakin besar yang menyebabkan tidak hanya uap air yang susah untuk melewati kemasan ini tetapi juga oksigen dan karbondioksida. Dengan kondisi demikian menjadikan bioplastik mengalami penurunan performanya pada suhu rendah karena tidak terjadi kondisi modifikasi pasif di dalam kemasan sehingga produk yang dikemas tidak dapat dilindungi dengan baik. Equistar (2004) mengatakan permeabilitas plastik dapat dipengaruhi oleh struktur kristalin dari plastik. Daerah kristalin pada plastik lebih tahan terhadap permeabilitas gas dan uap air, sedangkan daerah amorf lebih mudah ditembusi oleh molekul uap air dan gas. Densitas pada plastik sangat dipengaruhi oleh derajat kristalinitasnya. Rantai molekul pada daerah kristalin ditandai dengan rantai lurus sedangkan pada daerah amorf memiliki rantai bebas atau bercabang. Kombinasi struktur amorf dan kristalin ini menentukan bentuk kemasan yang akan dihasilkan. Plastik yang lebih banyak struktur amorfnya akan memiliki sifat fisik plastik yang fleksibel sedangkan kristalin akan sangat kaku dan keras. Plastik yang memiliki densitas tinggi akan memiliki derajat kristalinitas yang tinggi. Oleh karena kemasan HDPE memiliki ikatan hidrofobik yang lebih besar menjadikan kemasan ini lebih rendah nilai permeabilitas uap airnya pada saat pengujian awal. Namun selama penyimpanan nilai permeabilitas uap air HDPE mengalami peningkatan seiring dengan rendahnya suhu penyimpanan yang mengindikasikan semakin mudahnya uap air dapat melewati kemasan tersebut. Ini dikarenakan rusaknya ikatan lurus pada matriks penyusun HDPE yang menyebabkan daerah kristalin semakin berkurang jumlahnya sehingga densitas kemasan ini semakin rendah. Dengan demikian kerapatannya menurun yang menyebabkan ikatan penyusun kemasan HDPE menjadi lebih renggang. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap permeabilitas adalah suhu dan kelembaban. Permeabilitas uap air adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Pada beberapa jenis kemasan meningkatnya RH menyebabkan meningkatnya nilai permeabilitas yang dikarenakan terbentuknya gugus hidroksil (-OH) yang terdapat pada polimer. Polietilen (dengan densitas tinggi ataupun rendah), diketahui memiliki sifat barrier yang baik terhadap air sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh tingkat kelembaban (Cooksey 2004). Selama penyimpanan tomat dan paprika pada ketiga suhu juga dilakukan pencatatan terhadap nilai RH cold storage. Nilai RH pada suhu 5 o C antara 85-88%, suhu 10 o C antara 80-85% dan pada suhu 15 o C sekitar 77-80%. Nilai kelembaban yang tinggi pada cold storage juga dapat menyebabkan terjadinya perubahaan permeabilitas kemasan tersebut. Dalam kondisi kelembaban yang tinggi, air terabsorpsi ke dalam polimer dan berinteraksi dengan ikatan polar untuk menggembungkan struktur polimer 49

29 (Yam 2007). Alasan ini yang menyebabkan pecahnya granula pati penyusun matriks bioplastik yang awalnya berukuran besar menjadi ukuran kecil bahkan pada suhu yang semakin rendah berbentuk serbuk-serbuk halus. Pada awalnya granula menyerap air di lingkungan hingga mengalami pembengkakkan. Semakin lama masa penyimpanan menyebabkan pati yang membengkak semakin banyak menyerap air sehingga pada waktu tertentu granula ini menjadi pecah. Granula pati yang pecah tersebut menjadi ukuran kecil yang kembali menyerap air di lingkungan. Semakin lama masa simpan dan semakin rendah suhu penyimpanan menjadikan semakin banyak granula pati yang pecah sehingga terbentuk serbuk di seluruh permukaan bioplastik. Perubahan morfologi permukaan bioplastik dan HDPE dapat dilihat pada Gambar 9. Sorption (scalping) Krochta (2007) menjelaskan sorpsi merupakan kemampuan bahan penyusun kemasan untuk menyerap komponen utama dari produk tanpa memindahkan komponen tersebut ke lingkungan selama penyimpanan. Tingkat sorpsi kemasan ini tergantung pada sifat produk yang dikemas dan materi bahan pengemas. Cooksey (2004) menggambarkan mekanisme terjadinya sorpsi pada kemasan selama penyimpanan seperti pada Gambar 16. kemasan Gambar 16 Mekanisme sorpsi kemasan Pada produk hortikultura yang mengalami respirasi dengan menghasilkan sejumlah konsentrasi gas CO 2 juga memerlukan sifat kemasan dengan sorpsi tinggi sehingga tidak terjadi akumulasi CO 2 yang memungkinkan terjadinya respirasi anaerob. Dengan mengemas produk hortikultura menggunakan plastik diharapkan terjadinya perubahan atau modifikasi konsentrasi CO 2 dan O 2 sekitar produk di dalam kemasan, dimana konsentrasi CO 2 akan terus meningkat dan O 2 menurun akibat interaksi dan respirasi produk yang dikemas dan permeabilitas bahan kemasan terhadap kedua gas tersebut. Menurut Zagory dan Kader (1997), buah dan sayur segar masih melakukan respirasi sehingga membutuhkan kemasan yang memungkinkan terjadinya permeasi oksigen dan keluarnya karbondioksida pada jumlah yang sesuai dengan produk yang dikemas. Terjadinya mekanisme sorpsi komponen produk oleh kemasan sangat dipengaruhi oleh bahan penyusun kemasan tersebut. Bahan utama penyusun bioplastik merupakan pati yang dapat menyerap kelebihan konsentrasi oksigen dan karbondioksida serta uap air sehingga terjadinya keseimbangan di dalam kemasan bioplastik. CO 2 dan uap air yang dihasilkan dari respirasi juga dapat memecah ikatan makromolekul pati penyusun bioplastik. Semakin lama masa simpan produk hortikultura yang dikemas dengan menggunakan bioplastik

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. WARNA KULIT BUAH Selama penyimpanan buah pisang cavendish mengalami perubahan warna kulit. Pada awal pengamatan, buah berwarna hijau kekuningan dominan hijau, kemudian berubah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 SIFAT MEKANIK PLASTIK Sifat mekanik plastik yang diteliti terdiri dari kuat tarik dan elongasi. Sifat mekanik diperlukan dalam melindungi produk dari faktor-faktor mekanis,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SUSUT BOBOT Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan mutu tomat. Perubahan terjadi bersamaan dengan lamanya waktu simpan dimana semakin lama tomat disimpan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Konsentrasi O dan CO dalam Kemasan mempunyai densitas antara.915 hingga.939 g/cm 3 dan sebesar,9 g/cm 3, dimana densitas berpengaruh terhadap laju pertukaran udara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Susut Bobot Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan penurunan mutu buah. Muchtadi (1992) mengemukakan bahwa kehilangan bobot pada buah-buahan yang disimpan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN Dari penelitian pendahuluan diperoleh bahwa konsentrasi kitosan yang terbaik untuk mempertahankan mutu buah markisa adalah 1.5%. Pada pengamatan

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Konsentrasi KMnO 4 Terhadap Susut Berat Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap susut berat cabai merah berbeda nyata

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pati bahan edible coating berpengaruh terhadap kualitas stroberi (Fragaria x

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pati bahan edible coating berpengaruh terhadap kualitas stroberi (Fragaria x 57 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jenis Pati Bahan Edible Coating terhadap Kualitas Stroberi (Fragaria x ananassa) Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa jenis pati bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Laju Respirasi Respirasi merupakan proses metabolisme oksidatif yang mengakibatkan perubahan-perubahan fisikokimia pada buah yang telah dipanen.

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan mutu yang diamati selama penyimpanan buah manggis meliputi penampakan sepal, susut bobot, tekstur atau kekerasan dan warna. 1. Penampakan Sepal Visual Sepal atau biasa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Penyusunan Buah Dalam Kemasan Terhadap Perubahan Suhu Penelitian ini menggunakan dua pola penyusunan buah tomat, yaitu pola susunan acak dan pola susunan teratur. Pola

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAB PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jenis Pati Bahan Edible Coating terhadap Kualitas Buah Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.

BAB IV HASIL DAB PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jenis Pati Bahan Edible Coating terhadap Kualitas Buah Tomat (Lycopersicon esculentum Mill. BAB IV HASIL DAB PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jenis Pati Bahan Edible Coating terhadap Kualitas Buah Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) 4.1.1 Susut Bobot Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa persentase

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah melon yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengemasan Buah Nanas Pada penelitian ini dilakukan simulasi transportasi yang setara dengan jarak tempuh dari pengumpul besar ke pasar. Sebelum dilakukan simulasi transportasi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi buah pisang di Lampung setiap tahunnya semakin meningkat. Lampung

I. PENDAHULUAN. Produksi buah pisang di Lampung setiap tahunnya semakin meningkat. Lampung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Produksi buah pisang di Lampung setiap tahunnya semakin meningkat. Lampung mampu memproduksi pisang sebanyak 319.081 ton pada tahun 2003 dan meningkat hingga

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. interaksi antara perlakuan umur pemanenan dengan konsentrasi KMnO 4. Berikut

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. interaksi antara perlakuan umur pemanenan dengan konsentrasi KMnO 4. Berikut IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian pada semua parameter menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara perlakuan umur pemanenan dengan konsentrasi KMnO 4. Berikut ini merupakan rata-rata

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Stroberi berasal dari benua Amerika, jenis stroberi pertama kali yang ditanam di

I. PENDAHULUAN. Stroberi berasal dari benua Amerika, jenis stroberi pertama kali yang ditanam di 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroberi berasal dari benua Amerika, jenis stroberi pertama kali yang ditanam di Indonesia adalah jenis Fragaria vesca L. Buah stroberi adalah salah satu produk hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman dan Buah Manggis (Garcinia mangostana L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman dan Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) TINJAUAN PUSTAKA Tanaman dan Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Manggis (Garcinia mangostana L.) termasuk buah eksotik yang digemari oleh konsumen baik di dalam maupun luar negeri, karena rasanya yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Pemanenan buah jeruk dilakukan dengan menggunakan gunting. Jeruk yang dipanen berasal dari tanaman sehat yang berumur 7-9 tahun. Pada penelitian ini buah jeruk yang diambil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kadar Air Kulit Manggis Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang menentukan mutu dari suatu produk hortikultura. Buah manggis merupakan salah satu buah yang mempunyai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Suhu pada Respirasi Brokoli Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa brokoli mempunyai respirasi yang tinggi. Namun pada suhu yang rendah, hasil pengamatan menunjukkan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

PENYIMPANAN BUAH DAN SAYUR. Cara-cara penyimpanan meliputi : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYIMPANAN BAHAN MAKANAN SEGAR (BUAH, SAYUR DAN UMBI)

PENYIMPANAN BUAH DAN SAYUR. Cara-cara penyimpanan meliputi : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYIMPANAN BAHAN MAKANAN SEGAR (BUAH, SAYUR DAN UMBI) PENYIMPANAN BUAH DAN SAYUR FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYIMPANAN BAHAN MAKANAN SEGAR (BUAH, SAYUR DAN UMBI) Cara-cara penyimpanan meliputi : 1. penyimpanan pada suhu rendah 2. penyimpanan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Buah jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu produk hortikultura.

I. PENDAHULUAN. Buah jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu produk hortikultura. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Buah (Psidium guajava L.) merupakan salah satu produk hortikultura. Buah mudah sekali mengalami kerusakan yang disebabkan oleh faktor keadaan fisik buah yang

Lebih terperinci

Beberapa ciri yang membedakan antara bahan baku agroindustri dengan bahan baku industri lain antara lain : bahan baku agroindustri bersifat musiman,

Beberapa ciri yang membedakan antara bahan baku agroindustri dengan bahan baku industri lain antara lain : bahan baku agroindustri bersifat musiman, Beberapa ciri yang membedakan antara bahan baku agroindustri dengan bahan baku industri lain antara lain : bahan baku agroindustri bersifat musiman, bulky/voluminous/menghabiskan banyak tempat, sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Buah jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu produk hortikultura

I. PENDAHULUAN. Buah jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu produk hortikultura I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Buah jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu produk hortikultura yang banyak diminati konsumen. Salah satu contoh kultivar jambu yang memiliki

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN MBAHASAN A. SUSUT BOBOT Perubahan susut bobot seledri diukur dengan menimbang bobot seledri setiap hari. Berdasarkan hasil pengukuran selama penyimpanan, ternyata susut bobot seledri mengalami

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Spektra Buah Belimbing

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Spektra Buah Belimbing IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Spektra Buah Belimbing Buah belimbing yang dikenai radiasi NIR dengan panjang gelombang 1000-2500 nm menghasilkan spektra pantulan (reflektan). Secara umum, spektra pantulan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGUKURAN LAJU RESPIRASI Setelah dipanen ternyata sayuran, buah-buahan, dan umbi-umbian masih mengalami proses respirasi oleh karena itu sayuran, buah-buahan dan umbiumbian

Lebih terperinci

PEMATANGAN BUAH INDEKS KEMATANGAN

PEMATANGAN BUAH INDEKS KEMATANGAN PEMATANGAN BUAH & INDEKS KEMATANGAN Pemasakan Tahap akhir fase perkembangan buah,,yang meliputi pembesaran sel, akumulasi fotosintat, dan senyawa aromatik, serta penurunan kadar asam, dan posisi buah masih

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK EDIBLE FILM BERBAHAN DASAR KULIT DAN PATI BIJI DURIAN (Durio sp) UNTUK PENGEMASAN BUAH STRAWBERRY

KARAKTERISTIK EDIBLE FILM BERBAHAN DASAR KULIT DAN PATI BIJI DURIAN (Durio sp) UNTUK PENGEMASAN BUAH STRAWBERRY KARAKTERISTIK EDIBLE FILM BERBAHAN DASAR KULIT DAN PATI BIJI DURIAN (Durio sp) UNTUK PENGEMASAN BUAH STRAWBERRY SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. dan mempertahankan kesegaran buah. Pada suhu dingin aktivitas metabolisme

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. dan mempertahankan kesegaran buah. Pada suhu dingin aktivitas metabolisme IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kesegaran buah. Pada suhu dingin aktivitas metabolisme menjadi lambat sehingga

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Kardus tipe RSC yang digunakan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Kardus tipe RSC yang digunakan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengemasan Pisang Ambon Kuning Pada simulasi transportasi pisang ambon, kemasan yang digunakan adalah kardus/karton dengan tipe Regular Slotted Container (RSC) double flute

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Laju Respirasi Wortel Terolah Minimal

HASIL DAN PEMBAHASAN. Laju Respirasi Wortel Terolah Minimal HASIL DAN PEMBAHASAN Laju Respirasi Wortel Terolah Minimal cold chaín Perubahan laju produksi CO 2 pada wortel terolah minimal baik pada wortel utuh (W1) maupun irisan wortel (W2) pada penelitian pendahuluan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Buah pisang tergolong buah klimakterik. Di samping harganya yang masih

I. PENDAHULUAN. Buah pisang tergolong buah klimakterik. Di samping harganya yang masih I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Buah pisang tergolong buah klimakterik. Di samping harganya yang masih memiliki nilai ekonomi yang relatif tinggi, pisang banyak digemari masyarakat. Namun,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Umur Simpan Penggunaan pembungkus bahan oksidator etilen dapat memperpanjang umur simpan buah pisang dibandingkan kontrol (Lampiran 1). Terdapat perbedaan pengaruh antara P2-P7 dalam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Mangga merupakan buah tropis yang populer di berbagai belahan dunia,

I PENDAHULUAN. Mangga merupakan buah tropis yang populer di berbagai belahan dunia, I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tomat organik berupa kadar vitamin C, kadar total asam, kadar air, laju respirasi

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tomat organik berupa kadar vitamin C, kadar total asam, kadar air, laju respirasi IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan mengenai hasil dan pembahasan () Penelitian Pendahuluan dan (2) Penelituian Utama. 4.. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini adalah merupakan pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tomat termasuk tanaman sayuran buah, yang berasal dari benua Amerika

BAB I PENDAHULUAN. Tomat termasuk tanaman sayuran buah, yang berasal dari benua Amerika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat termasuk tanaman sayuran buah, yang berasal dari benua Amerika dan kini telah menyebar di kawasan benua Asia termasuk di Indonesia. Tomat biasa ditanam di dataran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KOMPOSISI SAMPEL PENGUJIAN Pada penelitian ini, komposisi sampel pengujian dibagi dalam 5 grup. Pada Tabel 4.1 di bawah ini tertera kode sampel pengujian untuk tiap grup

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman terung belanda berbentuk perdu yang rapuh dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman terung belanda berbentuk perdu yang rapuh dengan TINJAUAN PUSTAKA Terung Belanda Tanaman terung belanda berbentuk perdu yang rapuh dengan pertumbuhan yang cepat dan tinggi dapat mencapai 7,5 meter. Tanaman ini mulai berproduksi pada umur 18 bulan setelah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tomat 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tomat Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) termasuk dalam genus Lycopersicon, sub genus Eulycopersicon. Genus Lycopersicon merupakan genus sempit yang terdiri atas

Lebih terperinci

KAJIAN PERUBAHAN MUTU BUAH MANGGA GEDONG GINCU SELAMA PENYIMPANAN DAN PEMATANGAN BUATAN OLEH : NUR RATIH PARAMITHA F

KAJIAN PERUBAHAN MUTU BUAH MANGGA GEDONG GINCU SELAMA PENYIMPANAN DAN PEMATANGAN BUATAN OLEH : NUR RATIH PARAMITHA F KAJIAN PERUBAHAN MUTU BUAH MANGGA GEDONG GINCU SELAMA PENYIMPANAN DAN PEMATANGAN BUATAN OLEH : NUR RATIH PARAMITHA F145981 29 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman dalam CaCl 2 terhadap Susut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman dalam CaCl 2 terhadap Susut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman dalam CaCl 2 terhadap Susut Bobot Buah Jambu Biji Merah Penimbagan susut bobot buah merupakan salah satu cara yang digunakan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Buah Naga 3 TINJAUAN PUSTAKA Buah Naga Tanaman buah naga termasuk dalam kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Caryophyllales, famili Cactaceae, subfamili Cactoidae, genus Hylocereus Webb.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dari sekian banyak varietas jeruk yang sudah dikenal dan dibudidayakan. Buahnya

TINJAUAN PUSTAKA. dari sekian banyak varietas jeruk yang sudah dikenal dan dibudidayakan. Buahnya TINJAUAN PUSTAKA Jeruk Siam Jeruk siam (Citrus nobilis LOUR var Microcarpa) merupakan salah satu dari sekian banyak varietas jeruk yang sudah dikenal dan dibudidayakan. Buahnya berbentuk bulat dengan permukaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pisang Raja Bulu

TINJAUAN PUSTAKA Pisang Raja Bulu 4 TINJAUAN PUSTAKA Pisang Raja Bulu Pisang merupakan tanaman yang termasuk kedalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas monokotiledon (berkeping satu) ordo Zingiberales dan famili Musaseae.

Lebih terperinci

Tabel 1. Pola Respirasi Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 24,5 ml) Warna Hijau kekuningan (+) Hijau kekuningan (++)

Tabel 1. Pola Respirasi Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 24,5 ml) Warna Hijau kekuningan (+) Hijau kekuningan (++) V. HASIL PENGAMATAN Tabel 1. Pola Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 24,5 ml) Warna (++) Aroma Khas jeruk Khas jeruk Khas jeruk - - (++) Tekstur (++) Berat (gram) 490 460 451 465,1 450

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Kosentrasi Kalsium Klorida (CaCl 2 ) terhadap Pematangan dan Kualitas Buah Pisang Ambon Kuning ( Musa paradisiaca Var Sapientum) Berdasarkan penelitian yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu buah yang memiliki produktivitas tinggi di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu buah yang memiliki produktivitas tinggi di Indonesia adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu buah yang memiliki produktivitas tinggi di Indonesia adalah buah pisang. Tahun 2014, buah pisang menjadi buah dengan produksi terbesar dari nilai produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Laju Respirasi dengan Perlakuan Persentase Glukomanan Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah sawo yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. (a) TK 2 (b) TK 3 (c) TK 4 Gambar 5. Manggis dengan tingkat kematangan berbeda

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. (a) TK 2 (b) TK 3 (c) TK 4 Gambar 5. Manggis dengan tingkat kematangan berbeda IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tingkat Kematangan Buah Manggis Tingkat kematangan manggis yang dianalisis dalam tahap ini ada 3 yaitu tingkat kematangan 2, 3, dan 4. Tingkat kematangan 2 terlihat dari warna

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

sebesar 15 persen (Badan Pusat Statistik, 2015).

sebesar 15 persen (Badan Pusat Statistik, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apel adalah salah satu buah yang digemari oleh masyarakat Indonesia. Apel digemari karena rasanya yang manis dan kandungan gizinya yang tinggi. Buah apel mempunyai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA A. TOMAT

TINJAUAN PUSTAKA A. TOMAT II. TINJAUAN PUSTAKA A. TOMAT Secara sistematis tanaman tomat dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Sub Divisi : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Panen dan Pascapanen Pisang Cavendish' Pisang Cavendish yang dipanen oleh P.T Nusantara Tropical Farm (NTF)

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Panen dan Pascapanen Pisang Cavendish' Pisang Cavendish yang dipanen oleh P.T Nusantara Tropical Farm (NTF) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Panen dan Pascapanen Pisang Cavendish' Pisang Cavendish yang dipanen oleh P.T Nusantara Tropical Farm (NTF) memiliki ciri diameter sekitar 3,1 cm. Panen pisang Cavendish dilakukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. baik tumbuhan, manusia maupun hewan. Menurut Winarno (2004), respirasi

TINJAUAN PUSTAKA. baik tumbuhan, manusia maupun hewan. Menurut Winarno (2004), respirasi 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Respirasi Respirasi merupakan suatu aktifitas yang dilakukan oleh mikroorganisme hidup baik tumbuhan, manusia maupun hewan. Menurut Winarno (2004), respirasi merupakan proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung manis atau dikenal juga dengan sebutan sweet corn merupakan

I. PENDAHULUAN. Jagung manis atau dikenal juga dengan sebutan sweet corn merupakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jagung manis atau dikenal juga dengan sebutan sweet corn merupakan salah satu produk hortikultura. Jagung manis memiliki laju respirasi yang tinggi sehingga mudah mengalami

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. DOSIS DAN KEMASAN BAHAN PENYERAP Penentuan dosis dilakukan untuk memperoleh dosis zeolit yang paling optimal sebagai bahan penyerap etilen dalam penyimpanan buah salak pondoh

Lebih terperinci

PENGARUH KEMASAN STARCH-BASED PLASTICS (BIOPLASTIK) TERHADAP MUTU TOMAT DAN PAPRIKA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN

PENGARUH KEMASAN STARCH-BASED PLASTICS (BIOPLASTIK) TERHADAP MUTU TOMAT DAN PAPRIKA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN Jurnal Teknologi Industri Pertanian 22 (3):189-197 (2012) Tajul Iflah, Sutrisno, dan Titi Candra Sunarti PENGARUH KEMASAN STARCH-BASED PLASTICS (BIOPLASTIK) TERHADAP MUTU TOMAT DAN PAPRIKA SELAMA PENYIMPANAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Benih Indigofera yang digunakan dalam penelitian ini cenderung berjamur ketika dikecambahkan. Hal ini disebabkan karena tanaman indukan sudah diserang cendawan sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan penghasil komoditi pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan penghasil komoditi pertanian yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan penghasil komoditi pertanian yang beranekaragam dan melimpah. Beberapa jenis buah yang berasal dari negara lain dapat dijumpai dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buah dan sayuran. Salah satunya adalah buah tomat (Lycopersicon esculentum

BAB I PENDAHULUAN. buah dan sayuran. Salah satunya adalah buah tomat (Lycopersicon esculentum BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan buah dan sayuran. Buah yang berasal dari negara subtropis dapat tumbuh baik dan mudah dijumpai di Indonesia. Hal ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman pertanian yang strategis untuk dibudidayakan karena permintaan cabai yang sangat besar dan banyak konsumen yang mengkonsumsi

Lebih terperinci

PENYIMPANAN SAYUR DAN BUAH TITIS SARI KUSUMA

PENYIMPANAN SAYUR DAN BUAH TITIS SARI KUSUMA PENYIMPANAN SAYUR DAN BUAH TITIS SARI KUSUMA Tujuan Pembelajaran Mahasiswa mengetahui prinsip penyimpanan sayur dan buah Mahasiswa mengetahui tujuan penyimpanan sayur dan buah Mahasiswa mengetahui jenis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi

II. TINJAUAN PUSTAKA. membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aktifitas Air (Aw) Aktivitas air atau water activity (a w ) sering disebut juga air bebas, karena mampu membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Buah Jambu Biji. dalam jumlah yang meningkat drastis, serta terjadi proses pemasakan buah.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Buah Jambu Biji. dalam jumlah yang meningkat drastis, serta terjadi proses pemasakan buah. 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Buah Jambu Biji Buah jambu biji merupakan buah klimakterik, sehingga setelah dipanen masih melangsungkan proses fisiologis dengan menghasilkan

Lebih terperinci

Buah-buahan dan Sayur-sayuran

Buah-buahan dan Sayur-sayuran Buah-buahan dan Sayur-sayuran Pasca panen adalah suatu kegiatan yang dimulai dari bahan setelah dipanen sampai siap untuk dipasarkan atau digunakan konsumen dalam bentuk segar atau siap diolah lebih lanjut

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Karakterisasi Wortel Segar Nilai gizi suatu produk makanan merupakan faktor yang sangat rentan terhadap perubahan perlakuan sebelum, selama, dan sesudah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Pendahuluan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini dilakukan percobaan pembuatan emulsi lilin dan pelapisan lilin terhadap buah sawo dengan konsentrasi 0%, 2%,4%,6%,8%,10%, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pola makan sehat bagi kehidupan manusia. Sebagaimana al-qur an. menjelaskan dalam surat Abbasa (80) :

BAB I PENDAHULUAN. dalam pola makan sehat bagi kehidupan manusia. Sebagaimana al-qur an. menjelaskan dalam surat Abbasa (80) : 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buah-buahan merupakan salah satu jenis pangan yang disebut dalam al-qur an yang pengulangannya mencapai 33 kali, yaitu 14 kali untuk kata Hal ini menunjukkan peran

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN KARBOHIDRAT KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pengemasan merupakan proses perlindungan suatu produk pangan yang bertujuan menjaga keawetan dan konsistensi mutu. Produk yang dikemas akan memiliki masa simpan relatif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura yang dikonsumsi pada bagian umbi di kalangan masyarakat dikenal sebagai sayuran umbi. Kentang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Penyakit Pascapanen Salak Pondoh Berdasarkan pengamatan identifikasi dapat diketahui bahwa salak pondoh yang diserang oleh kapang secara cepat menjadi busuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang seharusnya kita dapat mempelajari dan bersyukur kepadanya. Kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. yang seharusnya kita dapat mempelajari dan bersyukur kepadanya. Kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia termasuk salah satu negara yang kaya dengan berbagai spesies flora. Kekayaan tersebut merupakan suatu anugerah besar yang diberikan Allah SWT yang seharusnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Suhu ruangan selama pelaksanaan penelitian ini berkisar 18-20 0 C. Kondisi suhu ini baik untuk vase life bunga potong, karena kisaran suhu tersebut dapat memperlambat

Lebih terperinci

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Polimer Polimer (poly = banyak, meros = bagian) merupakan molekul besar yang terbentuk dari susunan unit ulang kimia yang terikat melalui ikatan kovalen. Unit ulang pada polimer,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terung belanda (Cyphomandra betacea) termasuk keluarga Solanaceae

TINJAUAN PUSTAKA. Terung belanda (Cyphomandra betacea) termasuk keluarga Solanaceae TINJAUAN PUSTAKA Terung Belanda Terung belanda (Cyphomandra betacea) termasuk keluarga Solanaceae yang berasal dari daerah subtropis. Buah terung belanda saat ini telah banyak dibudidayakan oleh petani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah merupakan salah satu jenis pangan yang sangat penting peranannya bagi tubuh kita, terlebih karena mengandung beberapa vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh. Buah juga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kemasan Alpukat Hasil Rancangan Kemasan distribusi dirancang dan dipilih terutama untuk mengatasi faktor getaran (vibrasi) dan kejutan (shock) karena faktor ini sangat berpengaruh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ASPEK FISIKO-KIMIA SELAMA PENYIMPANAN 1. Persen Kerusakan Persen kerusakan menyatakan persentase jumlah buah yang rusak setiap pengamatan. Semakin lama penyimpanan, jumlah buah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan pasar. Pada umumnya

I. PENDAHULUAN. terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan pasar. Pada umumnya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tomat (Lycopersicon esculentum Mill) merupakan sayuran berbentuk buah yang banyak dihasilkan di daerah tropis dan subtropis. Budidaya tanaman tomat terus meningkat seiring

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan salah satu jenis buah segar yang disenangi masyarakat. Pisang

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan salah satu jenis buah segar yang disenangi masyarakat. Pisang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan salah satu jenis buah segar yang disenangi masyarakat. Pisang Cavendish memiliki nilai gizi yang tinggi, kaya karbohidrat, antioksidan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ketersediaan air, oksigen, dan suhu. Keadaan aerobik pada buah dengan kadar

I. PENDAHULUAN. ketersediaan air, oksigen, dan suhu. Keadaan aerobik pada buah dengan kadar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Buah merupakan salah satu produk pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan. Buah mengandung banyak nutrisi, air, dan serat, serta kaya akan karbohidrat sehingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penentuan waktu hydrocooling dan konsentrasi klorin optimal untuk pak choi Tahap precooling ini dilakukan untuk menentukan kombinasi lama hydrocooling dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penanganan pascapanen buah yang tidak tepat di lapang dapat menimbulkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penanganan pascapanen buah yang tidak tepat di lapang dapat menimbulkan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pascapanen Pisang Cavendish Penanganan pascapanen buah yang tidak tepat di lapang dapat menimbulkan kerugian. Di negara-negara maju kerugian yang ditimbulkan mencapai 5 sampai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Non Struktural Sifat Kimia Bahan Baku Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut di dalamnya, yang meliputi garam anorganik, gula, gum, pektin,

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci