ANALISIS TATANIAGA LIDAH BUAYA DI KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ANDRI ENDRA SETIAWAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS TATANIAGA LIDAH BUAYA DI KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ANDRI ENDRA SETIAWAN"

Transkripsi

1 ANALISIS TATANIAGA LIDAH BUAYA DI KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ANDRI ENDRA SETIAWAN DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga Lidah Buaya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2017 Andri Endra Setiawan NIM H

4

5 ABSTRAK ANDRI ENDRA SETIAWAN. Analisis Tataniaga Lidah Buaya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh SUHARNO. Lidah buaya merupakan tanaman biofarmaka atau obat-obatan yang memiliki banyak manfaat, perkembangan industri pengolahan lidah buaya membutuhkan lebih banyak bahan baku lidah buaya, terdapat selisih harga yang besar antara harga di tingkat petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menganalisis saluran, fungsi, lembaga, struktur pasar dan perilaku pasar pada sistem tataniaga lidah buaya, serta menganalisis efisiensi operasional tataniaga lidah buaya dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pengamatan dan wawancara dilakukan kepada petani lidah buaya di Kabupaten Bogor dengan metode purposive sampling, sedangkan metode mengikuti alur komoditi dilakukan kepada lembaga tataniaga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat saluran tataniaga dengan lembaga, fungsi, dan struktur pasar yang berbeda pada setiap salurannya. Berdasarkan marjin, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan saluran tataniaga satu merupakan saluran yang lebih efisien. Kata kunci: lidah buaya, saluran tataniaga, margin, farmer s share, efisiensi ABSTRACT ANDRI ENDRA SETIAWAN. Marketing Analysis of Aloe Vera in Bogor Regency, West Java. Supervised by SUHARNO. Aloe vera is a medical plant which has many benefits, the development of processing industry needs more raw materials of aloe vera, there is a big difference price between the price at the farmer and the price paid by the final consumer. The purposes of this study are to identify and analyze the channel, function, organization, market structure and market conduct of aloe vera marketing channel systems, and to analyze operational efficiency of aloe vera marketing channel with marjin approach, farmer's share, and the ratio of profits to costs. The observation and interview were conducted to farmers in Bogor Regency with a purposive sampling method, while the follow the flow method of commodity applied to marketing institutions. The result of this study showed that there is four marketing channels with institution, function, and different market structures on each channel. Based on marjin, farmer's share, and the ratio of profits to costs, that the first marketing channel is the most efficient channels. Keywords: aloe vera, marketing channel, margin, farmer s share, efficiency

6 ii

7 ANALISIS TATANIAGA LIDAH BUAYA DI KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ANDRI ENDRA SETIAWAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

8

9

10

11 PRAKATA Puji syukur kepada Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Tataniaga Lidah Buaya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penulisan skipsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saluran tataniaga lidah buaya yang tercipta di Kabupaten Bogor, menganalisis fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar yang terjadi dan menganalisis saluran mana yang lebih efisien berdasarkan marjin tataniaga, farmer s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Suharno, MA Dev selaku dosen pembimbing yang memberikan bimbingan selama penulisan skripsi dan penelitian berlangsung. Selain itu penulis berterima kasih kepada keluarga dan seluruh kerabat yang turut membantu dalam proses penulisan karya ilmiah ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya. Bogor, April 2017 Andri Endra Setiawan

12

13 ix DAFTAR ISI DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5 TINJAUAN PUSTAKA 6 Budidaya Lidah Buaya 6 Saluran dan Lembaga Tataniaga 6 Fungsi Tataniaga 7 Struktur Pasar 8 Perilaku Pasar 9 Efisiensi Saluran Tataniaga 9 KERANGKA PEMIKIRAN 10 Kerangka Pemikiran Teoritis 10 Sistem Tataniaga 10 Lembaga dan Saluran Tataniaga 11 Fungsi Tataniaga 12 Struktur dan Perilaku Pasar 14 Efisiensi Tataniaga 15 Marjin Tataniaga 15 Farmer's Share 17 Rasio Keuntungan dan Biaya 17 Kerangka Pemikiran Operasional 17 METODE PENELITIAN 20 Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data 20 Jenis dan Sumber Data 20 Metode Penentuan Responden 20 Metode Pengolahan dan Analisis Data 21 Analisis Saluran Tataniaga 21 Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga 21 Analisis Struktur dan Perilaku Pasar 22 Analisis Marjin Tataniaga 22 Analisis Farmer's Share 23 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya 23 HASIL DAN PEMBAHASAN 24 Gambaran Umum Daerah Penelitian 24 Karakteristik Petani Responden 24 Karakteristik Pedagang Responden 27 Gambaran Umum Usahatani Lidah Buaya 29 Sistem Tataniaga Lidah Buaya 30 Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga 30 Fungsi Tataniaga Petani 31

14 x Fungsi Pedagang Pengumpul 32 Fungsi Pedagang Besar 33 Fungsi Pedagang Pengecer Skala Toko 34 Fungsi Pedagang Pengecer Skala Swalayan 34 Analisis Saluran dan Lembaga Tataniaga 35 Saluran Tataniaga I 37 Saluran Tataniaga II 37 Saluran Tataniaga III 37 Saluran Tataniaga IV 38 Analisis Struktur Pasar 38 Struktur Pasar di Tingkat Petani 38 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul 39 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Besar 39 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer (Toko) 39 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer (Swalayan) 39 Analisis Perilaku Pasar 40 Praktik Pembelian dan Penjualan 40 Sistem Penentuan Harga 41 Praktik Pembayaran 41 Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga 41 Analisis Marjin Tataniaga 42 Analisis Farmer's Share 44 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya 45 Efisiensi Tataniaga 46 SIMPULAN DAN SARAN 49 Simpulan 49 Saran 50 DAFTAR PUSTAKA 51 LAMPIRAN 53 RIWAYAT HIDUP 56

15 xi DAFTAR TABEL 1 Luas panen dan produksi lidah buaya di Indonesia Lima besar kabupaten/kota sebagai produsen lidah buaya di Jawa Barat 3 3 Karakteristik struktur pasar berdasarkan sudut penjual dan sudut pembeli 14 4 Karakteristik petani responden berdasarkan umur di Kabupaten Bogor tahun Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan di Kabupaten Bogor tahun Karakteristik petani responden berdasarkan luas lahan yang dikelola petani di Kabupaten Bogor tahun Karakteristik petani responden berdasarkan status kepemilikan lahan yang dikelola petani di Kabupaten Bogor tahun Karakteristik petani responden berdasarkan pengalaman bertani di Kabupaten Bogor tahun Karakteristik pedagang responden berdasarkan umur Karakteristik pedagang responden berdasarkan tingkat pendidikan Karakteristik pedagang responden berdasarkan pengalaman berdagang Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun Farmer s share pada saluran tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor buaya di Kabupaten Bogor tahun Rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun Nilai efisiensi pada saluran tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun DAFTAR GAMBAR 1 Perusahaan pengolahan lidah buaya di Indonesia berdasarkan kategori makanan dan non makanan 2 2 Sebaran perusahaan pengolahan lidah buaya di Indonesia 3 3 Kurva marjin tataniaga 16 4 Kerangka pemikiran operasional 19 5 Skema saluran tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor 36 6 Rata-rata harga lidah buaya grade A di tingkat petani (produsen) dan konsumen di Kabupaten Bogor tahun DAFTAR LAMPIRAN 1 Biaya tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun Marjin tataniaga lidah buaya di Kabupten Bogor tahun Dokumentasi 55

16

17 PENDAHULUAN Latar belakang Indonesia merupakan daerah tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati, berbagai tanaman tumbuh, berkembang dan menghasilkan keuntungan secara ekonomi, salah satu tanaman yang diambil banyak manfaatnya adalah tanaman obat-obatan, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, maka tanaman lidah buaya sebagai tanaman obat terus dikembangkan oleh para petani di bagian hulu dan pelaku bisnis pengolahan di bagian hilir, menurut Suprabowo (2015) bahwa usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor mampu memberikan keuntungan secara ekonomi bagi petani lidah buaya, hal ini dapat dilihat dari nilai rasio pendapatan terhadap biaya usahatani lidah buaya (R/C) sebesar 3.40 artinya setiap 1 rupiah biaya usahatani yang dikeluarkan oleh petani, maka petani akan memperoleh pendapatan sebesar 3.40 rupiah, mengutip dari pernyataan Nurianty S (2015) selaku Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Bogor, bahwa Tanaman lidah buaya merupakan satu dari 10 (sepuluh) jenis tanaman terlaris di dunia yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai tanaman obat dan bahan baku industri, karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku farmasi dan kosmetika, serta sebagai bahan baku makanan atau minuman kesehatan. Tanaman lidah buaya (Aloe Vera L) termasuk tanaman biofarmaka atau tanaman obat-obatan, kosmetik dan kesehatan, yang dikonsumsi atau digunakan dengan memanfaatkan bagian daun, batang, bunga, buah, umbi maupun akarnya (Badan Pusat Statistik, 2015), berdasarkan sejarahnya tanaman lidah buaya berasal dari Kepulauan Canary di sebelah barat Afrika dan telah banyak di percayai memiliki banyak khasiat bagi kesehatan tubuh. Tanaman lidah buaya termasuk tanaman yang cukup tahan terhadap kekeringan, kemampuannya bertahan hidup di daerah kering pada musim kemarau dengan cara menutup stomata, guna menghindari kehilangan air dari dalam tubuhnya (Furnawanthi, 2007). Lidah buaya pada awalnya dimanfaatkan oleh industri kosmetik dan farmasi sebagai bahan baku obat-obatan, namun sekarang industri pengolahan banyak memanfaatkan lidah buaya segar untuk diolah menjadi berbagai macam produk makanan dan minuman, kandungan zat-zat yang terdapat didalam pelepah lidah buaya banyak dimanfaatkan oleh tubuh manusia seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin dan polisakarida yang banyak terdapat pada pelepah lidah buaya, menurut Arifin (2015) kandungan zat-zat tersebut dapat digunakan sebagai anti inflamasi, anti jamur, anti bakteri, menurunkan kadar gula dalam darah, mengontrol tekanan darah dan menstimulasi kekebalan tubuh. Industri hilir mengolah pelepah lidah buaya segar menjadi berbagai macam produk, tercatat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (2017) bahwa terdapat sebanyak 66 perusahaan pengolahan lidah buaya di Indonesia dengan berbagai macam produk olahan lidah buaya, produk olahan ini dapat dikategorikan menjadi produk makanan dan minuman serta non makanan, di Indonesia terdapat sebanyak 61 persen perusahaan pengolahan lidah buaya yang mengolah lidah buaya menjadi produk makanan dan minuman, sedangkan 39

18 2 persen sisanya merupakan perusahaan yang mengolah lidah buaya menjadi produk non makanan (Gambar 1). 39% Makanan dan Minuman 61% Non Makanan Gambar 1 Perusahaan pengolahan lidah buaya di Indonesia berdasarkan kategori makanan dan non makanan. Sumber: BPOM, 2017 (diolah) Berdasarkan data jumlah perusahaan pengolahan lidah buaya tersebut, peningkatan produksi lidah buaya di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, data BPS (2015) menunjukkan bahwa produksi lidah buaya di Indonesia pada tahun 2008 sebesar ton dan meningkat menjadi ton pada tahun Peningkatan produksi lidah buaya ini sangat membantu ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan lidah buaya yang tersebar di Indonesia. Tabel 1 Luas panen dan produksi lidah buaya di Indonesia tahun Tahun Luas Panen Produksi Produktivitas m² kilogram kilogram/m² Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015 Penyebaran tanaman lidah buaya di Indonesia hampir ada di setiap provinsi, Kalimantan Barat merupakan provinsi yang menjadi sentral penanaman lidah buaya. Namun penyebaran tanaman lidah buaya juga terdapat di Pulau Jawa, Badan Pusat Statistik mencatat luas panen lidah buaya pada tahun 2015 seluas 11 hektar yang tersebar di beberapa provinsi di Pulau Jawa. (Badan Pusat Statistik, 2015). Kabupaten Bogor menjadi salah satu lokasi yang memiliki potensi untuk pengembangan lidah buaya dan termasuk kedalam lima besar kabupaten atau kota terbanyak dalam hal produksi lidah buaya di provinsi Jawa Barat, hal ini dapat dilihat pada perkembangan produksi lidah buaya dari tahun 2010 hingga 2014 ( Tabel 2), menurut Siregar et al. (2008), bahwa Kabupaten Bogor merupakan salah satu tempat yang dicanangkan untuk pengembangan tanaman lidah buaya yang berada di Jawa Barat.

19 Pengembangan dan penyebaran tanaman lidah buaya di Kabupaten Bogor didukung oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, melalui Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan, dengan memberikan bantuan kepada kelompok tani di Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor pada tahun 2015, yaitu berupa fasilitas bibit lidah buaya sebanyak pohon dan pupuk kandang sebanyak 17.5 ton yang dilaksanakan pada lahan seluas 3 hektar 1. Terdapatnya industri hilir baik usaha rumahan maupun skala perusahaan yang tersebar di Kabupaten Bogor dan sekitarnya, diharapkan dapat membantu dalam penyerapan lidah buaya dari petani di Kabupaten Bogor, dari hasil penelusuran data BPOM (2017) tercatat sebanyak 43 persen perusahaan pengolahan lidah buaya berada di DKI Jakarta, 17 persen berada di Jawa Barat dan sisanya tersebar di berberapa provinsi di Indonesia (Gambar 2). 1% 1% 3% 19% 17% 1% 1% 1% 4% Gambar 2 Sebaran Perusahaan Pengolahan Lidah Buaya di Indonesia Sumber: BPOM, 2017 (diolah) Industri pengolahan yang tersebar di Jakarta dan Jawa Barat diharapkan dapat menjadi wadah bagi petani dalam menyalurkan hasil panen lidah buaya, serta letak Kabupaten Bogor yang strategis dan berbatasan langsung dengan kabupaten atau kota yang berada disekitarnya, memberikan kemudahan akses bagi petani dalam proses penyaluran hasil panen ke pihak konsumen. Tabel 2 Lima besar kabupaten/kota sebagai produsen lidah buaya di Jawa Barat (kilogram) No Kabupaten/kota Tahun Kabupaten Bogor Cianjur Bandung Kota Bogor Kota Depok Sumber: BPS, Provinsi Jawa Barat (2015) 1 Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Pengembangan Hortikultura di Kabupaten Bogor [Internet]. [diakses pada 2016 September 10]. Tersedia pada 43% 7% Bali Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Barat Kepulauan Riau Lampung Riau Sumatera Utara 3

20 4 Informasi pasar sangat diperlukan oleh petani lidah buaya untuk mengetahui kapan, dimana dan berapa banyak produk yang diminta oleh pasar, serta informasi harga di tingkat konsumen merupakan informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan harga yang layak di tingkat petani. Sifat produk dari lidah buaya yang mudah rusak (perishable) dan berukuran besar (voluminous) memerlukan proses distribusi hasil yang baik, cepat dan melalui lembaga tataniaga yang tepat, hal ini bertujuan untuk menjaga agar kualitas lidah buaya tetap dalam kondisi baik dan segar pada saat produk sampai di pihak konsumen, sehingga analisis tataniaga lidah buaya dari petani hingga ke pihak konsumen menjadi penting untuk diteliti. Penelitian mengenai analisis tataniaga diharapkan dapat memberikan solusi dan alternatif saluran tataniaga yang efisien dan keuntungan yang adil bagi setiap lembaga tataniaga sesuai dengan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan, sehingga kepuasan konsumen dapat ditingkatkan, dan saluran tataniaga yang terbentuk mampu memberikan marjin tataniaga yang tidak terlampau besar dan harga yang terjangkau di tingkat konsumen. Perumusan Masalah Kabupaten Bogor termasuk kedalam lima besar kabupaten/kota yang memproduksi lidah buaya di Jawa Barat, produksi lidah buaya di Kabupaten Bogor diharapkan dapat diserap oleh industri pengolahan lidah buaya yang berada di sekitarnya. Pemanfaatan lidah buaya oleh industri pengolahan berpengaruh terhadap produksi lidah buaya di tingkat petani, dan keuntungan yang layak dari hasil panen lidah buaya menjadi motivasi bagi petani untuk melanjutkan usahatani lidah buaya, keuntungan secara finansial akan dirasakan oleh petani apabila harga yang diterima oleh petani lidah buaya sesuai dengan harapan. Berdasarkan hasil penelusuran harga lidah buaya di lokasi penelitian, harga pelepah lidah buaya segar di tingkat petani untuk grade A berkisar antara Rp per kilogram hingga Rp per kilogram, dan lidah buaya dengan grade B dijual oleh petani dengan harga antara Rp per kilogram hingga Rp per kilogram, sedangkan di tingkat konsumen, pelepah lidah buaya segar diterima dengan harga antara Rp per kilogram hingga Rp per kilogram untuk grade A, dan lidah buaya grade B diterima konsumen dengan harga antara Rp per kilogram hingga Rp per kilogram. Selisih harga yang cukup besar bila dibandingkan harga di tingkat petani dengan harga yang sedia dibayar oleh konsumen, sehingga sejalan dengan temuan tersebut perlu diamati dan diteliti penyebab terjadinya perbedaan harga yang cukup besar. Perbedaan harga yang cukup besar dapat disebabkan beberapa hal seperti panjangnya rantai tataniaga, banyaknya fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga selain petani, besarnya biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh masingmasing lembaga tataniaga, besarnya keuntungan yang ditetapkan oleh lembaga tataniaga dan kurangnya informasi pasar di tingkat petani, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Syahza (2003) yang menyatakan bahwa panjangnya saluran pemasaran menyebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan (marjin pemasaran yang tinggi) serta ada bagian yang dikeluarkan sebagai keuntungan pedagang. Hal

21 tersebut cenderung memperkecil bagian yang diterima petani dan memperbesar biaya yang dibayarkan konsumen. Panjang pendeknya saluran pemasaran ditandai dengan jumlah pedagang perantara yang harus dilalui mulai dari petani hingga ke konsumen akhir. Kondisi luas lahan garapan petani di lokasi penelitian yang relatif kecil menyebabkan kontinuitas produk lidah buaya tidak stabil, keterbatasan modal serta akses informasi pasar menyebabkan petani belum dapat menjual produk lidah buaya secara langsung ke konsumen (industri pengolahan) atau pasar swalayan, hal ini yang menjadi alasan bagi petani menjual hasil panennya melalui pedagang pengumpul dan pedagang besar, meski harga yang diterima petani lebih rendah dari harapan, namun lembaga tersebut saat ini dirasa lebih efisien bagi petani dalam menyalurkan produk lidah buaya. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah: 1) Bagaimana saluran, lembaga, serta fungsi tataniaga yang ada dalam sistem tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor? 2) Bagaimana struktur pasar dan perilaku pasar yang ada dalam kegiatan tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor? 3) Apakah saluran tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor sudah efisien dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis saluran, lembaga serta fungsi tataniaga yang ada dalam sistem tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor. 2. Mengidentifikasi dan menganalisis struktur pasar yang ada dalam kegiatan tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor. 3. Menganalisis tingkat efisiensi tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta manfaat bagi petani, lembaga tataniaga dan instansi yang terlibat dalam pengembangan komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor dalam meningkatkan efisiensi tataniaga lidah buaya. 2. Hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan rujukan dan penelitian selanjutnya yang terkait dengan analisis tataniaga lidah buaya. 5

22 6 TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Lidah Buaya Kegiatan budidaya merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan agar usahatani yang dilakukan dapat menghasilkan kualitas dan kuantitas lidah buaya yang baik, Suprabowo (2015) dalam penelitiannya mengatakan bahwa kegiatan budidaya lidah buaya oleh petani di Kabupaten Bogor dilakukan melalui beberapa tahap yaitu; pengolahan lahan, pembuatan lubang tanam, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Berdasarkan penelitian Suprabowo (2015) bahwa persiapan lahan untuk budidaya lidah buaya harus dipilih lahan yang subur, kaya akan bahan organik, gembur dan memiliki drainase yang baik. Rata-rata jarak tanam yang digunakan oleh petani dalam penelitian tersebut, yaitu antara 1.0 sampai 1.2 meter untuk jarak tanam antar baris atau bedeng dan 0.8 sampai 1.0 meter untuk jarak tanam dalam baris, sehingga rata-rata bibit yang digunakan per hektarnya mencapai tanaman. Pemeliharaan tanaman lidah buaya dilakukan dengan memberikan pupuk kandang yang berfungsi untuk menyuburkan tanah. Hal ini disampaikan dalam penelitian Adhiana (2005) bahwa petani lidah buaya di Kabupaten Bogor menggunakan pupuk kandang yang berasal dari kotoran ayam atau kambing dan diberikan pada tahap awal tanam dan setelah tanam, perlakukan ini sejalan dengan penelitian Suprabowo (2015) pada lokasi yang sama bahwa pemberian pupuk kandang oleh petani dilakukan sebanyak 2 sampai 6 kali dalam setahun pada saat awal tanam dan setelah tanam lidah buaya, kemudian pembersihan gulma dilakukan secara manual sebanyak dua bulan sekali atau sesuai dengan kondisi lapangan. Waktu panen tanaman lidah buaya di Kabupaten Bogor berdasarkan hasil penelitian Suprabowo (2015), dapat dilakukan pada saat umur tanaman lidah buaya mencapai 9 sampai 12 bulan setelah tanam dan panen berikutnya dapat dilakukan sebanyak 1 sampai 2 kali secara periodik setiap bulan hingga tanaman berumur 4 5 tahun. Saluran dan Lembaga Tataniaga Saluran tataniaga yang terbentuk pada tiap komoditas pertanian berbeda antara satu komoditas dengan komoditas lainnya atau dalam satu komoditas yang sama, saluran tataniaga terbentuk akibat adanya pasokan dan permintaan terhadap suatu produk. Saluran tataniaga dapat berbentuk sederhana atau rumit, hal ini tergantung dari macam komoditi, lembaga tataniaga dan sistem pasarnya. Hasil penelitian Febriani dan Nurmalina (2013) menunjukkan bahwa saluran tataniaga ubi jalar di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor terdapat tiga saluran tataniaga yaitu saluran I (petani pedagang pengumpul pabrik saos), saluran II (petani pedagang pengumpul pedagang besar pedagang pengecer konsumen) dan saluran III (petani pedagang pengumpul pedagang pengecer konsumen), sedangkan pada penelitian Pradika et al. (2013) saluran

23 tataniaga komoditas ubi jalar di Kabupaten Lampung Tengah menghasilkan empat saluran tataniaga yaitu, saluran I (petani - pedagang pengumpul pedagang besar pedagang pengecer I pedagang pengecer II konsumen), saluran II (petani pedagang pengumpul pedagang besar pedagang pengecer I konsumen akhir), saluran III (petani pedagang pengumpul pedagang pengecer I konsumen akhir) dan saluran IV (petani pedagang besar pedagang pengecer I konsumen akhir), dan hasil penelitian Sembiring (2013) menunjukkan bahwa tataniaga kubis di Desa Ciherang, Kabupaten Cianjur terdapat 3 (tiga) saluran tataniaga yaitu saluran I (petani pedagang pengumpul kebun pedagang besar pedagang pengecer konsumen), saluran II (petani pedagang besar pedagang pengecer konsumen akhir) dan saluran III (petani pedagang pengecer konsumen akhir), hal yang berbeda terjadi pada saluran tataniaga Kubis di Desa Deles, Kabupaten Batang bahwa dari hasil penelitian Aji et al. (2015) terdapat tiga saluran yaitu saluran I (petani konsumen), saluran II (petani pengecer konsumen) dan saluran III (petani pengepul pengecer konsumen). Keempat penelitian diatas menunjukkan bahwa proses penyaluran produk dari petani hingga ke pihak konsumen setidaknya melibatkan pedagang pengumpul sebagai lembaga tataniaga pertama yang membeli produk dari pihak petani, sehingga petani tidak menjual hasil panennya secara langsung ke konsumen, hal ini terjadi karena adanya keterbatasan akses pasar di tingkat petani, namun pada hasil penelitian komoditas kubis di Kabupaten Batang, ada beberapa petani yang melakukan penjualan langsung ke konsumen secara eceran di pasar, dan dilakukan tanpa melalui pedagang perantara karena petani kubis di daerah tersebut turut berperan sebagai pedagang pengecer, hal ini terjadi karena akses pasar yang dimiliki beberapa petani kubis cukup baik, sehingga rantai tataniaga yang terbentuk relatif pendek. Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa panjang atau pendeknya rantai tataniaga suatu komoditas juga dapat ditentukan oleh kemampuan petani dalam mengakses pasar. 7 Fungsi Tataniaga Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga jahe di Desa Kalapanunggal, Kecamatan Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi berdasarkan hasil penelitian Assary A (2001), adalah 1) Petani melakukan fungsi pertukaran (penjualan), fungsi fisik (penyimpanan) dan fungsi fasilitas (sortasi), di tingkat pedagang fungsi tataniaga yang dilakukan adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengangkutan dan penyimpanan) dan fungsi fasilitas (sortasi, penanggungan resiko terhadap fluktuasi harga, penyusutan dan fungsi informasi pasar) Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga Ubi Jalar di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor berdasarkan hasil penelitian Fuady (2015), adalah Petani melakukan fungsi pertukaran (penjualan) dan fungsi fasilitas (penanggungan resiko dan informasi pasar) dan fungsi tataniaga di tingkat pedagang adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengangkutan, penyimpanan, pengolahan) dan fungsi fasilitas (sortasi, grading, penanggungan resiko, pembiayaan dan informasi pasar).

24 8 Pada penelitian Sembiring (2013), fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga kubis di Desa Ciherang, Kabupaten Cianjur adalah petani melakukan fungsi pertukaran (penjualan), fungsi fisik (pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan) dan fungsi fasilitas (penanggungan risiko, biaya, informasi pasar dan sortasi/ grading) dan fungsi tataniaga di tingkat yang dilakukan adalah fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), fungsi fisik (pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan) dan fungsi fasilitas (penanggungan risiko, biaya, informasi pasar dan sortasi/ grading) Perbedaan fungsi tataniaga yang dilakukan pada setiap lembaga tataniaga dilakukan sesuai dengan kebutuhan dalam memperlancar aliran produk dari produsen hingga ke konsumen akhir, dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa lembaga tataniaga yang lebih banyak melakukan fungsi tataniaga berada di tingkat pedagang, hal ini dilakukan guna meningkatkan nilai tambah dari produk tersebut, serta bertujuan untuk meningkatkan kepuasan konsumen, namun dengan semakin banyaknya fungsi tataniaga yang dilakukan maka akan berdampak pada besarnya biaya tataniaga yang dikeluarkan, sehingga akan berpengaruh pada harga produk di setiap lembaga tataniaga. Struktur Pasar Struktur pasar yang terbentuk pada tataniaga komoditas pertanian berbeda pada setiap lembaga tataniaga. Berdasarkan hasil penelitian Fuady (2015) pada analisis tataniaga ubi jalar di Desa Cikarawang, struktur pasar yang terbentuk di tingkat petani bersifat oligopsoni dengan jumlah petani ubi jalar yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pedagang pengumpul dan komoditas yang diperjualbelikan bersifat homogen, petani cenderung sebagai penerima harga dan hambatan petani untuk bebas keluar masuk pasar relatif rendah. Struktur pasar di tingkat pedagang pengumpul desa adalah oligopoli dengan jumlah pedagang pengumpul desa yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pedagang besar dan komoditas yang diperjualbelikan bersifat homogen, pedagang pengumpul desa sebagai penerima harga karena informasi harga lebih banyak diperoleh dari pedagang besar. Dalam pola distribusi komoditas kentang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, struktur pasar yang tebentuk mendekati monopsoni, yaitu jumlah petani yang banyak (250 petani) berhadapan dengan satu pembeli yaitu PT. Indofood, sehingga petani hanya menjadi penerima harga dan lemah dalam posisi tawarnya (Agustian dan Mayrowani, 2008). Dapat disimpulkan dari dua penelitian dengan komoditas yang berbeda dan lokasi yang berbeda, bahwa struktur pasar dapat dibedakan berdasarkan jumlah pembeli dan penjual yang ada di dalam pasar, kondisi dan keadaan produk, hambatan keluar dan masuk pasar, dan informasi tentang pasar, sehingga struktur pasar yang terbentuk cenderung kepada pasar yang kompetitif atau non kompetitif, dua hasil penelitian diatas menunjukkan struktur pasar yang terjadi cenderung non kompetitif.

25 9 Perilaku Pasar Perilaku pasar diasumsikan melalui perilaku para pelaku pasar seperti petani, lembaga tataniaga dan konsumen dalam menyesuaikan diri terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi. Perilaku pasar dianalisis secara deskripftif dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian oleh para pelaku pasar, sistem penentuan harga dan sistem pembayaran, serta kerjasama antar lembaga tataniaga yang terlibat. Hasil penelitian yang dilakukan Febriani, Nurmalina (2013) dan Fuady (2015) pada komoditas ubi jalar di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa perilaku pasar di tingkat petani ditunjukkan dengan sistem penentuan harga yang lebih banyak didominasi oleh pedagang pengumpul, meski terjadi tawar menawar namun pengaruh keterlibatan lembaga tataniaga yang berada diatasnya sangat kuat dalam mempengaruhi harga, sistem pembayaran dilakukan secara tunai dan tempo, kerjasama antar lembaga terjalin berdasarkan saling percaya dan ikatan kekeluargaan. Berbeda dengan hasil penelitian Sembiring (2013) pada komoditas kubis di Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur yang menyatakan bahwa penentuan harga yang terjadi pada komoditas kubis, berdasarkan harga pasar yang berlaku, sistem pembayaran yang dilakukan dengan cara tunai, sehingga proses mengalirnya produk dari petani hingga konsumen berjalan dengan lancar dan kerjasama yang dilakukan bersifat saling menguntungkan. Hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku pasar dipengaruhi oleh struktur pasar yang terjadi, pada tataniaga ubi jalar dengan struktur pasar yang cenderung non kompetitif, maka perilaku pasarnya cenderung melemahkan posisi tawar salah satu pihak yang terlibat dalam tataniaga komoditas tersebut, sedangkan pada tataniaga kubis di Desa Ciherang, struktur pasar yang terbentuk cenderung kompetitif sehingga perilaku pasarnya cenderung saling menguntungkan seluruh pihak yang terlibat dalam tataniaga kubis. Efisiensi Saluran Tataniaga Efisien tataniaga ditinjau dari nilai marjin tataniaga, farmer s share dan ratio keuntungan terhadap biaya. Pada penelitian Assary A (2001) tentang tataniaga jahe di Desa Kalapanunggal menunjukkan bahwa saluran II adalah saluran paling efisien, hal ini dilihat dari nilai farmer s share (78.57%) terbesar dan marjin tataniaga Rp per kilogram terkecil bila dibandingkan dengan nilai farmer s share dan marjin tataniaga pada saluran lainnya, pada saluran I dan III petani mengeluarkan biaya tataniaga lebih kecil daripada saluran II. Pada saluran II petani menjual jahe melalui 2 (dua) lembaga tataniaga sebelum produk sampai ke pihak konsumen, yaitu melalui pedagang besar dan eksportir, pada saluran II ini petani memperoleh bagian harga terbesar yaitu Rp per kilogram, namun petani harus mengeluarkan biaya tataniaga sebesar Rp 180 per kilogram yang dipergunakan untuk biaya pikul, penyusutan, penyotiran dan karung, sehingga petani memperoleh tambahan keuntungan sebesar Rp 20 per kilogram, aktifas atau fungsi tataniaga yang dilakukan petani dapat meningkatkkan nilai tambah produk tersebut. Petani lebih banyak memilih saluran

26 10 II karena menerima bagian harga lebih dari setengah, dari yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Putri, et al (2014) menunjukkan bahwa saluran yang paling efisien pada tataniaga kacang hijau di Kecamatan Godong adalah saluran I karena memiliki farmer s share terbesar (89.29%) dan margin tataniaga terkecil yaitu Rp per kilogram, pada saluran ini petani menjual kacang hijau melalui pedagang pengecer sebelum produk tersebut sampai ke pihak konsumen, rantai tataniaga pada saluran I merupakan saluran terpendek bila dibandingkan dengan saluran II dan III, dari hasil penelitian tersebut, petani pada saluran I, II dan III tidak melakukan fungsi fisik karena pedagang mengambil kacang hijau langsung ke lokasi petani, sehingga biaya tataniaga yang dikeluarkan pedagang berpengaruh pada harga yang diterima oleh konsumen akhir. Pada saluran I selisih harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen tidak terpaut jauh, sehingga bagian harga petani pada saluran I secara persentase lebih besar bila dibanding bagian harga petani pada saluran II dan III. Sembiring K P (2013) menyebutkan bahwa saluran III pada penelitian tataniaga kubis di Desa Ciherang merupakan saluran yang paling efisien bila dibandingkan dengan saluran lainnya. Hal ini dilihat dari nilai farmer s share terbesar yaitu (58.34%) dan nilai margin tataniaga terkecil yaitu sebesar Rp dan ratio keuntungan terhadap biaya sebesar 4.14 yang artinya setiap satu rupiah biaya tataniaga yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 4.14 per kilogram. Biaya tataniaga yang dikeluarkan pada saluran III berdasarkan penelitian ini lebih kecil bila dibandingkan saluran I dan II, meskipun berpengaruh pada keuntungan yang dihasilkan, keuntungan terbesar pada tataniaga berada pada saluran II, namun secara persentase bagian harga yang diterima petani terdapat pada saluran III. Pada saluran ini petani menyalurkan kubis melalui rantai tataniaga terpendek yaitu melalui pedaganag pengecer sebelum produk sampai pada pihak konsumen. Berdasarkan beberapa penelitian diatas, efisiensi dapat dilihat dari nilai farmer s share, margin dan keuntungan terhadap biaya. Panjang atau pendeknya rantai tataniaga yang dilalui produk sebelum sampai pada pihak konsumen dan fungsi tataniaga yang dilakukan masing-masing lembaga tataniaga berpengaruh terhadap biaya tataniaga yang dikeluarkan, besar margin yang dihasilkan, dan besarnya keuntungan. Hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa saluran tataniaga yang efisien terjadi pada rantai tataniaga yang pendek dan harga yang terbentuk tidak terpaut jauh antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen, sehingga menghasilkan nilai farmer s share tertinggi dan nilai margin tataniaga terendah. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Sistem Tataniaga Tataniaga merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan untuk menggerakkan produk mulai dari produsen hingga konsumen akhir (Dahl dan Hammond, 1977). Asmarantaka (2012) mengemukakan bahwa tataniaga

27 merupakan aktivitas atau kegiatan dalam mengalirkan produk mulai dari petani sampai ke konsumen. Tujuan akhir dari tataniaga adalah menempatkan barang atau jasa ke pihak konsumen, tujuan tersebut akan tercapai apabila terjadi kegiatan tataniaga dengan melibatkan lembaga-lembaga tataniaga yang melakukan fungsifungsi tataniaga sesuai kebutuhannya. Sistem tataniaga dideskripsikan sebagai kumpulan komponen-komponen kegiatan yang saling terikat dan terkoordinasi yang dilakukan oleh individu atau lembaga untuk melakukan proses transaksi antar produsen dan konsumen melalui peningkatan kegunaaan hak milik, kegunaan tempat, serta waktu dan bentuk. Suatu sistem tataniaga dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. Pendekatan yang umum dilakukan berdasarkan (Purcell, 1977; Gonarsyah, 1996/1997; Kohl dan Uhl, 1990 dan 2002) dalam Asmarantaka (2012), yaitu: 1) Pendekatan Fungsi merupakan pendekatan studi pemasaran dari aktivitasaktivitas bisnis yang akan meningkatkan dan atau menciptakan nilai guna untuk memenuhi kebutuhan konsumen (kepuasan). Pendekatan ini terdiri dari fungsi pertukaran (pembelian/pengumpulan dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan), dan fungsi fasilitas (standarisasi, pembiayaan, pengurangan risiko, dan inteligen pemasaran). 2) Pendekatan kelembagaan menjawab permasalahan tataniaga yaitu who dari pelaku-pelaku dalam sistem pemasaran. Pelaku-pelaku ini adalah pedagang perantara, agen perantara, pedagang spekulator, pengolah dan pabrikan dan organisasi lainnya yang terlibat. 3) Pendekatan sistem menekankan pada keseluruhan sistem yang secara kontinu dan efisien dari seluruh sub-sub sistem yang ada didalam aliran produk atau jasa mulai dari petani produsen primer sampai ke konsumen akhir. Lembaga dan Saluran Tataniaga Lembaga tataniaga adalah bagian-bagian yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen (Hanafiah dan Saefuddin, 2006). Lembaga tataniaga timbul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat dan bentuk (Sudiyono, 2001). Lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses tataniaga digolongkan menjadi lima kelompok (Asmarantaka, 2012), diantaranya: 1) Pedagang perantara adalah individu pedagang yang melakukan penanganan berbagai fungsi tataniaga dalam pembelian dan penjualan produk dari produsen ke konsumen. Pedagang ini memiliki dan menguasai produk. Pedagang perantara meliputi, pedagang pengumpul, pedagang eceran, dan pedagang grosir. 2) Agen perantara hanya mewakili klien yang disebut principals dalam melakukan penanganan produk/jasa. Kelompok ini hanya menguasai produk dan mendapatkan pendapatan dari fee dan komisi. 3) Spekulator adalah pedagang perantara yang membeli atau menjual produk untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan adanya pergerakan harga (minimal-maksimal). 4) Pengolah dan pabrikan adalah sekelompok pebisnis yang aktivitasnya menangani produk dan merubah bentuk bahan baku menjadi bahan setengah 11

28 12 jadi atau produk akhir. Aktivitasnya menambah kegunaan waktu, tempat, bentuk dan kepemilikan dari bahan baku. 5) Organisasi yang membantu memperlancar aktivitas pemasaran atau pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran. Sebagian produsen tidak secara langsung menjual barang kepada konsumen, diantara mereka terdapat sekelompok perantara yang melakukan beragam fungsi. Penyaluran produk dari produsen hingga kepada konsumen yang telah melibatkan lembaga tataniaga selanjutnya akan membentuk suatu saluran tataniaga. Saluran tataniaga adalah sekelompok organisasi yang saling bergantung dan terlibat dalam proses pembuatan produk atau jasa yang disediakan untuk digunakan dan dikonsumsi. Saluran tataniaga berfungsi untuk menggerakan barang dari produsen ke konsumen. Selain itu juga dapat mengatasi kesenjangan waktu, tempat, dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari mereka yang memerlukan. Saluran yang dipilih nantinya akan mempengaruhi semua keputusan pemasaran lainnya. Produsen dan konsumen merupakan bagian dari saluran. Saluran tingkat satu mengandung satu perantara penjualan, seperti pengecer. Saluran tingkat dua mengandung dua perantara, seperti pedagang grosir dan pengecer. Saluran tingkat tiga terdiri dari tiga perantara. Tujuan utama dalam merancang saluran pemasaran adalah menemukan kombinasi perantara yang paling efisien untuk produk pasar tertentu, saluran yang meminimalkan biaya distribusi namun juga menjangkau dan memuaskan konsumen sasaran. Fungsi Tataniaga Fungsi tataniaga merupakan suatu kegiatan yang dapat memperlancar dalam proses penyampaian barang atau jasa dari tingkat produsen ke tingkat konsumen. Menurut Asmarantaka (2012) bahwa pendekatan fungsi merupakan pendekatan studi pemasaran dari aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi atau perlakuan yang ada pada proses dalam sistem pemasaran yang akan meningkatkan dan atau menciptakan nilai guna, untuk memenuhi kebutuhan konsumen (kepuasan konsumen). Manfaat dalam menganalisis pendekatan fungsi yaitu mengetahui pekerjaan yang harus dilakukan, menganalisis biaya-biaya pemasaran dan memahami perbedaan biaya antar lembaga. Menurut Kohl dan Uhl (2002) terdapat tiga karakteristik penting dalam pendekatan fungsi pemasaran yaitu: (1) dampak dari pelaksanaan fungsi tidak hanya terhadap biaya pemasaran tetapi juga nilai produk tersebut untuk konsumen. (2) terdapat kemungkinan dalam mengurangi atau mengeliminasi pedagang perantara, tetapi tidak mungkin mengeliminasi fungsi-fungsi pemasaran. (3) fungsi pemasaran dapat dilakukan oleh siapa saja (perusahaan, individu, atau kelompok) yang ditujukan pada berbagai tahapan atau tempat dalam sistem pemasaran dan meningkatkan atau menciptakan nilai guna produk. Asmarantaka (2012) menyatakan bahwa pendekatan fungsi tataniga terdiri dari : 1. Fungsi pertukaran merupakan aktivitas dalam perpindahan hak milik barang atau jasa yang terdiri atas fungsi pembelian dan fungsi penjualan. a. Fungsi pembelian diperlukan untuk menentukan jenis barang yang akan dibeli yang sesuai dengan kebutuhannya baik untuk dikonsumsi langsung

29 maupun untuk kebutuhan produksi. Kegiatan utama dari fungsi ini adalah menentukan jenis, jumlah, kualitas, tempat pembelian, serta cara pembelian barang dan jasa yang akan dibeli. b. Fungsi penjualan diperlukan untuk mencari tempat dan waktu yang tepat untuk melakukan penjualan barang sesuai dengan yang diinginkan konsumen dengan harga yang memuaskan. 2. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang berhubungan langsung dengan barang atau jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, waktu dan bentuk. Fungsi ini dibagi menjadi fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan dan fungsi pengemasan atau pengolahan. a. Fungsi penyimpanan diperlukan untuk menyimpan barang selama belum dikonsumsi atau menunggu diangkut ke daerah pemasaran atau menunggu sebelum diolah. Fungsi penyimpanan ini terutama sangat penting bagi hasil-hasil pertanian yang biasanya dihasilkan secara musiman tetapi dikonsumsi sepanjang tahun. Pelaksanaan penyimpanan akan memberikan kegunaan waktu dan selama pelaksanaan penyimpanan dilakukan beberapa tindakan untuk menjaga mutu produk hasil-hasil pertanian. b. Fungsi pengangkutan bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa di daerah konsumen sesuai dengan kebutuhan konsumen baik menurut waktu, jumlah dan mutunya. Fungsi pengangkutan mempunyai kegiatan perencanaan jenis alat angkutan yang digunakan, volume yang diangkut, waktu pengangkutan, dan jenis barang yang akan diangkut. c. Fungsi pengemasan/pengolahan bertujuan untuk meningkatkan kualitas barang bersangkutan baik dalam rangka memperkuat daya tahan barang maupun meningkatkan nilainya serta untuk memenuhi kebutuhan konsumen. 3. Fungsi fasilitas merupakan semua tindakan yang berhubungan dengan tindakan yang terjadi antara produsen dan konsumen yang memperlancar fungsi pertukaran dan fisik. Fungsi fasilitas terdiri atas fungsi standarisasi dan grading, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko, serta fungsi informasi pasar. a. Fungsi standarisasi dan grading adalah suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang seperti warna, susunan kimia, ukuran bentuk, kekuatan dan ketahanan, kadar air, tingkat kematangan, rasa, dan kriteria lainnya. Sedangkan grading merupakan tindakan menggolongkan atau mengklasifikasikan hasil-hasil pertanian menurut standardisasi yang diinginkan sehingga kelompok-kelompok barang yang terkumpul sudah menurut satu ukuran standar. Fungsi standardisasi dan grading akan mempermudah memberikan nilai terhadap barang bersangkutan, memudahkan pelaksanaan jual beli, mengurangi biaya pemasaran terutama biaya pengangkutan. b. Fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk keperluan selama proses pemasaran dan juga kegiatan pengelolaan biaya tersebut. Biaya ini dapat berupa kontan maupun kredit. Dengan sistem pemberian kredit bagi para pembeli akan dapat memperluas pasar dari suatu barang maupun jasa yang dipasarkan. 13

30 14 c. Fungsi penanggungan risiko, risiko yang mungkin terjadi di dalam proses pemasaran dapat dibedakan atas dua macam yaitu risiko fisik berupa kebakaran, kehilangan, susut dan lainnya serta risiko ekonomi atau risiko penurunan harga akibat kebijakan moneter dan adanya perubahan harga. d. Fungsi informasi pasar meliputi kegiatan pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi pasar tersebut. Dengan mendapat informasi pasar yang lengkap, maka akan dapat lebih terarah pelaksanaan proses produksi baik dilihat dari jumlah yang diinginkan, kapan dibutuhkan, barang apa yang diinginkan dan dimana diinginkan.. Struktur dan Perilaku Pasar Struktur pasar merupakan suatu gambaran dalam pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran, deskripsi produk atau diferensiasi produk, syarat-syarat masuk pasar dan penguasaan pasar. Struktur pasar menggambarkan kondisi suatu pasar dalam hal jumlah penjual dan pembeli, keseragaman produk dalam pasar, kemudahan keluar masuk pasar dan dan bentuk persaingan yang terjadi. Dahl dan Hammond (1977) membagi strukur pasar menjadi lima karakteristik seperti pada tabel berikut Tabel 3. Karakteristik struktur pasar berdasarkan sudut penjual dan sudut pembeli No Karakteristik Struktur pasar Jumlah Sifat Sudut Penjual Sudut Pembeli perusahaan Produk 1 Banyak Standar/ Persaiangan Murni Persaingan Murni Homogen 2 Banyak Diferensiasi Persaingan Monopolistik Persaingan Monopsonistik 3 Sedikit Standar Oligopoli Murni Oligopsoni Murni 4 Sedikit Diferensiasi Oligopoli Diferensiasi Oligopsoni Diferensiasi 5 Satu Unik Monopoli Monopsoni Sumber: Dahl dan Hammond (1977) Struktur pasar persaingan sempurna memiliki ciri-ciri terdapat banyak penjual dan pembeli. Pasar monopolistik terdapat banyak pembeli dan penjual yang melakukan transaksi pada berbagai tingkat harga dan bukan atas dasar satu harga pasar. Pasar oligopoli terdiri dari beberapa penjual yang sangat peka akan strategi pemasaran dan penetapan harga perusahaan lainnya. Sedangkan pasar monopoli terjadi ketika suatu industri atau pasar hanya memiliki satu pemasok tunggal memiliki kendali penuh atas harga-harga produk. Perilaku pasar merupakan pola tingkah laku para pelaku pasar dalam melakukan penyesuaian dengan struktur pasar yang dihadapi, perilaku pasar ini dapat berupa praktik penentuan harga komoditi, keseragaman biaya tataniaga dan praktik persaingan. Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga,

31 sistem penentuan harga, kemampuan pasar untuk menerima komoditi yang dijual, stabilitas pasar, sistem pembayaran dan kerjasama antar lembaga. Efisiensi Tataniaga Efisiensi tataniaga dapat tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kepuasan pada lembaga-lembaga yang terlibat didalam mengalirkan barang atau jasa mulai dari petani sampai ke tingkat konsumen akhir. Efisiensi merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam sebuah sistem tataniaga, namun ukuran untuk menentukan tingkat kepuasan tersebut adalah sulit dan sangat relatif (Asmarantaka 2012). Mubyarto (1989) menyebutkan bahwa sistem pemasaran dianggap efisien apabila dapat memenuhi dua syarat, yaitu 1) Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani (produsen) ke tingkat konsumen dengan biaya serendah mungkin, 2) Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang telah ikut serta di dalam kegiatan produksi dan kegiatan pemasaran komoditas tersebut, pengertian adil adalah perbandingan antara pengorbanan yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh setiap komponen tataniaga berada dalam keseimbangan. Indikator efisiensi tataniaga dapat dikelompokkan kedalam tiga jenis (Purcell 1979; Kohlsdan Uhl 2002 dalam Asmarantaka 2012) yaitu efisiensi operasional, efisiensi harga dan efisiensi relatif. Indikator efisiensi yang digunakan dalam penelitian tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor adalah efisiensi operasional, yaitu ukuran efisiensi terhadap produktivitas dari input-input tataniaga, yaitu dengan melakukan pengukuran terhadap pelaksanaan aktivitas tataniaga yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input pemasaran, seperti penggunaan tenaga kerja atau output per jam kerja atau biaya total tataniaga dengan keuntungan dari lembaga-lembaga tataniga, sehingga biaya yang dikeluarkan dalam aktifitas tataniaga menjadi dasar dalam meningkatkan nilai tambah dan keuntungan dari suatu produk. Analisis yang sering dilakukan dalam efisiensi operasional ini adalah analisis marjin tataniaga, farmer s share dan keuntungan terhadap biaya, menurut Asmarantaka (2012) bahwa evaluasi dalam efisiensi pemasaran dapat dilihat melalui indikator besaran marjin, farmer s share dan rasio keuntungan terhadap biaya, tetapi harus dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga yang ada, sehingga biaya tataniaga tersebut dapat meningkatkan atau menciptakan nilai tambah, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Fungsi-fungsi yang dapat meningkatkan nilai tambah tersebut diantaranya fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Asmarantaka (2012) menyatakan bahwa ukuran efisiensi adalah kepuasan dari konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat didalam mengalirkan barang/jasa mulai dari petani hingga konsumen akhir, namun ukuran untuk menentukan tingkat kepuasan tersebut adalah sulit dan sangat relatif Marjin Tataniaga Dahl dan Hammond (1977) menyatakan bahwa marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga di tingkat produsen (Pf) atau dapat dinyatakan dengan selisih harga yang dibayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen. Perbedaan harga antar 15

32 16 lembaga tataniaga timbul akibat dari fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat, maka semakin besar perbedaan harga di tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen. Secara grafik marjin tataniaga dapat dilihat pada gambar 3 berikut. Keterangan: Pf & Pr Df & Dr Sf & Sr Qr,f (Pr-Pf ) (Pr-Pf )Q Gambar 3 Kurva marjin tataniaga Sumber: Dahl and Hammond (1977) = Harga di tingkat petani dan harga di tingkat pengecer = Permintaan di tingkat petani dan permintaan di tingkat konsumen akhir = Penawaran di tingkat petani dan penawaran di tingkat konsumen akhir = Jumlah produk di tingkat petani dan konsumen akhir = Marjin tataniaga = Nilai marjin tataniaga Proses pembentukan marjin tataniaga dapat dilihat pada gambar 3 Kurva supply dan demand di setiap tingkat pasar mempunyai slope yang sama dan jumlah transaksi yang sama. Asmarantaka (2009) mendefinisikan marjin tataniaga yang merupakan M = Pr-Pf atau marjin tataniaga terdiri dari biaya-biaya dan keuntungan perusahaan yang terlibat dalam sistem pemasaran tersebut. Marjin juga didefinisikan sebagai M = C + π, dimana C = biaya-biaya (input pemasaran) dan π adalah keuntungan perusahaan. Besarnya nilai Marjin tataniaga yang merupakan hasil perkalian dari perbedaan harga pada dua tingkat lembaga tataniaga (dalam hal ini selisih harga eceran dengan harga petani) dengan jumlah produk yang dipasarkan. Semakin besar perbedaan harga antara lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat, terutama antara harga yang terjadi di tingkat eceran dengan harga yang diterima petani, maka semakin besar pula marjin tataniaga dari komoditi yang bersangkutan.

33 Farmer s share Salah satu indikator yang berguna dalam melihat efisiensi operasional dalam kegiatan tataniaga adalah dengan menghitung bagian yang diterima oleh petani (farmer s share). Kohls dan Uhl (2002) mendefinisikan farmer s share sebagai persentase harga yang diterima oleh petani, sebagai imbalan dari kegiatan usahatani yang dilakukannya dalam menghasilkan suatu komoditas. Farmer s share (Fs) ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima produsen (Pf) dan harga yang dibayarkan konsumen (Pr). Secara matematik, Asrmarantaka (2009) merumuskan farmer s share sebagai berikut: Fs = Pf X 100% Pr Keterangan: Fs = Farmer s share Pf = Harga di tingkat petani Pr = Harga di tingkat konsumen Farmer s share mempunyai nilai yang relatif rendah jika harga di tingkat konsumen akhir relatif lebih tinggi dibanding harga yang diterima oleh petani. Sebaliknya, farmer s share mempunyai nilai yang relatif lebih tinggi jika harga di tingkat konsumen akhir tidak terpaut jauh dibanding harga yang diterima oleh petani. Rasio Keuntungan dan Biaya Besarnya rasio keuntungan dan biaya digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi tataniaga. Asmarantaka (2009) menyatakan bahwa salah satu indikator yang dapat digunakan dalam pengukuran efisiensi operasional adalah dengan menggunakan rasio antara keuntungan terhadap biaya tataniaga. Apabila penyebaran rasio keuntungan (п) dan biaya (C) dalam sistem tataniaga merata pada setiap lembaga, maka secara operasional sistem tataniaga akan semakin efisien, karena pembanding opportunity cost dari biaya adalah keuntungan sehingga indikatornya adalah п/c dan harus bernilai positif (>0). Rasio keuntungan terhadap biaya dapat dirumuskan sebagai berikut: Rasio Keuntungan dan Biaya = πi Ci Keterangan: πi = Keuntungan lembaga tataniaga ke-i Ci = Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i Kerangka Pemikiran Operasional Lidah buaya merupakan salah satu komoditas tanaman biofarmaka atau tanaman obat-obatan yang terdapat banyak manfaatnya dan banyak industri pengolahan yang memanfaatkan lidah buaya sebagai bahan baku industri pengolahan. Lidah buaya pada awalnya merupakan tanaman obat dan banyak dimanfaatkan oleh industri farmasi, saat ini lidah buaya banyak dimanfaatkan oleh 17

34 18 industri pengolahan makanan dan minuman untuk dijadikan berbagai macam produk olahan makanan dan minuman. Potensi pengembangan lidah buaya di Provinsi Jawa Barat salah satunya terdapat di Kabupaten Bogor, banyaknya industri pengolahan yang berada disekitarnya diharapkan dapat menyerap bahan baku pelepah lidah buaya segar dari petani dan menjadi akses bagi petani dalam menyalurkan hasil panennya, namun saat ini lahan garapan petani yang kecil dan pengelolaan secara individu menyebabkan kendala pada volume serta kontinuitas produksi. Keterbatasan petani terhadap modal serta akses informasi pasar menyebabkan petani belum dapat melakukan penjualan lidah buaya secara langsung ke konsumen (industri pengolahan) atau ke pasar swalayan, sehingga banyak petani saat ini memilih jalur pedagang pengumpul dan pedagang besar dalam melakukan penjualan dan penyaluran hasil panen lidah buaya, meskipun harga yang ditetapkan di tingkat petani berdasarkan hasil tawarmenawar antara petani dengan pedagang pengumpul atau pedagang besar, namun harga yang disepakati lebih banyak didominasi oleh pedagang pengumpul atau pedagang besar, sehingga keuntungan yang diharapkan oleh petani dari hasil penjualan lidah buaya belum sepenuhnya sesuai dengan harapan. Kondisi petani dan pola penjualan lidah buaya yang terjadi di Kabupaten Bogor tersebut menarik untuk diteliti, sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai saluran, lembaga, fungsi, struktur, perilaku dan efisiensi tataniaga lidah buaya yang terbentuk di Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisa sistem tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor mulai dari tingkat petani, pedagang pengumpul serta lembaga tataniaga lainnya. Analisis lembaga tataniaga dilakukan dengan menelusuri saluran tataniaga dari petani (produsen) hingga konsumen, kemudian dari lembaga tataniaga tersebut dapat diamati aktifitas atau fungsi tataniaga yang dilakukan masingmasing lembaga tataniaga dalam upaya meningkatkan nilai tambah lidah buaya sebelum produk tersebut sampai pada pihak konsumen. Analisis saluran tataniaga dilakukan untuk melihat pola saluran yang digunakan oleh petani dalam menyalurkan produk pelepah lidah buaya segar dari produsen hingga konsumen dan seberapa panjang rantai tataniaga yang melibatkan lembaga tataniaga dalam saluran tersebut, sehingga dari saluran tataniaga dapat diidentifikasi mengenai struktur dan perilaku pasar, hingga tingkat efisiensi tataniaga yang terjadi, sehingga ketiganya saling terkait dan saling mempengaruhi. Struktur pasar dianalisis dengan mengetahui banyaknya penjual dan pembeli, sifat produk, hambatan keluar masuk pasar dan informasi pasar. Perilaku pasar dianalisis dengan mengidentifikasi praktik pembelian dan penjualan, penentuan harga, pembayaran dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Tingkat efisiensi tataniaga di setiap saluran tataniaga lidah buaya dinalisis melalui analisis marjin tataniaga, farmer s share dan ratio keuntungan terhadap biaya tataniaga.

35 19 Perbedaan harga lidah buaya di tingkat petani yang tinggi dengan harga di tingkat konsumen akhir. Petani melakukan penjualan hasil panen ke pedagang pengumpul dan pedagang besar Lembaga tataniaga yang terlibat 1. Saluran tataniaga 2. Fungsi tataniaga Struktur pasar 1. Jumlah penjual dan pembeli 2. Sifat produk 3. Hambatan keluar masuk pasar 4. Informasi pasar Perilaku pasar 1. Praktik pembelian dan penjualan 2. Sistem penentuan harga 3. Sistem pembayaran 4. Kerjasama antar lembaga tataniaga Efisiensi tataniaga 1. Marjin tataniaga 2. Farmer s share 3. Rasio keuntungan dan biaya Rekomendasi saluran tataniaga Keterangan: : Saling memengaruhi : Alur pemikiran Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional

36 20 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih karena memiliki potensi pengembangan tanaman lidah buaya dan kecamatan yang menjadi fokus penelitian adalah Kecamatan Kemang, Parung dan Ranca Bungur. Pemilihan ketiga kecamatan tersebut berdasarkan ketersediaan petani lidah buaya yang telah melakukan budidaya, panen dan penjualan lidah buaya diatas satu tahun, selain itu tiga kecamatan tersebut merupakan kecamatan dengan potensi wilayah dalam pengembangan lidah buaya yang cukup baik. Waktu pengumpulan data ini dilaksanakan selama bulan November sampai dengan Desember Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan, pengisian kuisioner, wawancara dengan petani, dan lembaga pemasaran lidah buaya. Data sekunder diperoleh melalui literatur-literatur buku dan jurnal yang relevan dengan topik penelitian serta data-data dari dinas atau instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral Hortikultura, Dinas Perkebunan Jawa Barat, Dinas Perkebunan Kabupaten Bogor dan Perpustakaan LSI IPB, dan beberapa literatur lain yang berasal dari internet serta hasil penelitian terdahulu. Metode Penentuan Responden Metode pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan secara purposive dan snowball sampling. Metode purposive digunakan untuk menentukan petani lidah buaya. Responden yang digunakan sebagai sampel adalah petani lidah buaya yang berada di Kecamatan Kemang, Parung dan Ranca Bungur, Kabupaten Bogor. Penentuan petani responden adalah petani yang telah melakukan budidaya, panen dan penjualan lidah buaya diatas satu tahun, sehingga dapat diamati pola saluran yang sudah digunakan oleh petani tersebut. Jumlah petani responden yang digunakan sebagai sampel adalah sebanyak 30 orang petani dari 35 petani yang berada di Kecamatan Kemang, Parung dan Ranca Bungur, Kabupaten Bogor, seluruh petani responden diperoleh berdasarkan informasi yang didapat dari tenaga penyuluh lapangan di Kecamatan Kemang, Parung dan Ranca Bungur yang ditugaskan dari Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksanaan Penyuluhan dan Kehutanan (BKP5K) Kabupaten Bogor. Jumlah petani responden tersebut dianggap mewakili keragaman saluran tataniaga lidah buaya.

37 Selain petani responden, beberapa lembaga tataniaga lainnya juga dijadikan responden dalam penelitian ini, pemilihan pedagang responden dilakukan dengan metode non probability sampling, yaitu metode snowball sampling. Pengambilan sampel untuk pedagang dan lembaga tataniaga selain petani lidah buaya, dilakukan dengan mengikuti alur tataniaga mulai dari petani responden hingga ke konsumen. Hasil penelusuran dari 30 petani responden yang berada di lokasi penelitian diperoleh sebanyak 7 pedagang pengumpul dan 7 pedagang besar yang membeli lidah buaya langsung dari pihak petani, kemudian dari hasil wawancara dengan pedagang pengumpul dan pedagang besar diperoleh informasi mengenai lembaga tataniaga yang membeli lidah buaya dari pedagang pengumpul dan pedagang besar yaitu sebanyak 4 pedagang pengecer skala toko yang berada di Kabupaten Bogor dan Jakarta dan 3 pedagang pengecer skala swalayan yang berada di Jakarta. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data hasil penelitian tataniaga lidah buaya diolah secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan penjabaran secara deskriptif terhadap lembaga dan saluran tataniaga yang terbentuk, fungsi tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar yang terjadi di lokasi penelitian. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi tataniaga yang diukur melalui nilai marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Alat analisis data kuantitatif yang digunakan untuk mengolah data adalah kalkulator dan Microsoft Excel. Analisis Saluran Tataniaga Analisis saluran tataniaga dilakukan untuk mengetahui lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses pemindahan barang dari prosuden (petani) hingga ke tingkat konsumen yang terdapat di lokasi penelitian. Saluran tataniaga dianalisis dengan mengamati lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga, analisis yang dilakukan secara deskriptif dan perbandingan. Hasil analisis saluran tataniaga lidah buaya akan menggambarkan beberapa pola saluran yang digunakan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor dalam menyalurkan produk lidah buaya ke pihak konsumen. Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga Analisis lembaga tataniaga digunakan untuk melihat pihak-pihak yang turut andil dalam melakukan kegiatan maupun fungsi-fungsi tataniaga dalam proses berpindahnya barang dari produsen hingga konsumen, baik secara perorangan maupun kelompok. Fungsi tataniaga merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan setiap lembaga tataniaga guna memperlancar aliran barang dari produsen hingga konsumen, analisis fungsi tataniaga meliputi 1) fungsi pertukaran yang terdiri atas fungsi penjualan dan pembelian, 2) fungsi fisik terdiri atas fungsi penyimpanan, pengolahan, pengangkutan dan pengemasan produk, 3) fungsi fasilitas yang terdiri atas fungsi standarisasi (sortasi), grading, pembiayaan, penanggungan risiko dan 21

38 22 informasi pasar. Analisis lembaga dan fungsi tataniaga dilakukan dengan cara tabulasi data secara sederhana dan deskriptif dari data tersebut untuk melihat perubahan nilai guna bentuk, tempat waktu ataupun kepemilikan. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar Analisis struktur pasar digunakan untuk mengetahui apakah struktur pasar yang terbentuk berdasarkan komponen struktur pasar yang ada, apakah lebih cenderung pada pasar yang kompetitif atau non kompetitif, penentuan struktur pasar ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi jumlah penjual dan pembeli, sifat dari produk yang diperjualbelikan, hambatan keluar masuk pasar dan akses informasi pasar. Analisis perilaku pasar digunakan untuk melihat bagaimana pelaku pasar, yaitu petani, lembaga pemasaran, dan konsumen dalam menyesuaikan diri terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi. Perilaku pasar dianalisis dengan mengamati praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh pelaku pasar, sistem penentuan dan pembayaran harga, serta kerjasama diantara lembaga tataniaga. Analisis Marjin Tataniaga Margin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (Pf) dengan harga di tingkat konsumen akhir (Pr), sehingga margin tataniaga adalah M = Pr Pf. Analisis margin tataniaga digunakan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga lidah buaya, selain itu juga dapat digunakan untuk melihat perbedaan biaya dan pendapatan yang diterima oleh masing-masing lembaga tataniaga. Margin tataniaga dapat dihitung dengan melakukan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga, dan besarnya marjin tataniaga merupakan penjumlahan dari biaya-biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh dari masing-masing lembaga tataniaga. Secara matematis perhitungan marjin tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut: n MT = Mi i=1 Mi = Psi Pbi (persamaan 2) Mi = Ci + πi (persamaan 3) Dengan menggabungkan persamaan (2) dan (3) Psi Pbi = Ci + πi Maka keuntungan lembaga tingkat ke i adalah πi = Psi Pbi - Ci

39 23 Keterangan : Mi = Marjin tataniaga tingkat ke-i Psi = Harga jual pasar tingkat ke-i Pbi = Harga beli pasar tingkat ke-i Ci = Biaya lembaga tataniaga tingkat ke-i πi = Keuntungan tingkat tataniaga ke-i MT = Margin Total Analisis Farmer s Share Farmer s share merupakan proporsi dari harga yang diterima petani (produsen) dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir, yang dinyatakan dengan satuan persentase. Nilai farmer s share dapat digunakan dalam menganalisis efisiensi dalam saluran tataniaga, yaitu dengan cara membadingkan seberapa besar bagian yang diterima oleh petani dari harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Farmer s share mempunyai hubungan yang negatif terhadap marjin tataniaga, semakin tinggi marjin tataniaga maka semakin kecil nilai farmer s share yang dihasilkan, karena harga di tingkat petani terpaut jauh dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir, sehingga petani memperoleh bagian harga yang lebih kecil. Secara matematis farmer s share dapat dirumuskan sebagai berikut: Fs = Pf x 100% Pr Dimana: Fs = Farmer s share Pf = Harga di tingkat petani Pr = Harga di tingkat konsumen akhir Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Indikator lain dalam menentukan efisiensi tataniaga adalah analisis rasio keuntungan terhadap biaya, nilai rasio ini digunakan untuk melihat penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga tataniaga. Rasio keuntungan terhadap biaya merupakan presentase keuntungan tataniaga terhadap biaya pemasaran. Rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut: Rasio Keuntungan terhadap Biaya = πi Ci Keterangan: πi = Keuntungan lembaga tataniaga ke-i Ci = Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i

40 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Penelitian Kabupaten Bogor merupakan kabupaten yang terdapat di Provinsi Jawa Barat, dengan luas sekitar km 2 dan memiliki bentang lahan yang cukup luas untuk pengembangan pertanian, karena didukung dengan kondisi alam yang baik, sehingga kabupaten bogor menjadi salah satu kabupaten/kota yang memiliki potensi pengembangan lidah buaya di Jawa Barat. Kabupaten Bogor berdasarkan posisi geografis terletak pada 6 o o Lintang Selatan dan 106 o o Bujur Timur. Wilayah Bogor berbatasan dengan beberapa kota dan kabupaten yang berada disekitarnya, diantaranya Kota Depok menjadi batas di sebelah utara, Kabupaten Lebak di sebelah barat, Kabupaten Tangerang di sebelah barat daya, Kabupaten Purwakarta di sebelah timur, Kabupaten Bekasi di sebelah timur laut, Kabupaten Sukabumi di sebelah selatan, Kabupaten Cianjur di sebelah Tenggara dan Kota Bogor di sebelah tengah. Posisi Kabupaten Bogor yang strategis dan berbatasan langsung dengan kabupaten/kota yang berada di sekitarnya, memberikan akses positif dalam kegiatan penyaluran hasil pertanian terutama produk lidah buaya, sehingga terdapat banyak alternatif jalur pemasaran untuk produk yang dihasilkan petani dari Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor mempunyai topografi yang bervariasi, terdapat dataran rendah di bagian utara dan dataran tinggi di bagian selatan, ketinggian tempat berkisar antara meter dpl. Suhu udara di Kabupaten Bogor rata-rata berkisar antara 22.7 o sampai 31.6 o Celcius. Kabupaten Bogor termasuk Kabupaten yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi, dengan curah hujan tertingi mencapai 702 mm dan terendah pada angka 146 mm. (BPS Kabupaten Bogor 2015), kondisi topografi dan iklim di wilayah Kabupaten Bogor tersebut sangat sesuai dengan kriteria tumbuh lidah buaya, karena lidah buaya dapat tumbuh dengan baik pada lahan < meter dpl dengan kondisi ketersediaan air bagi tanaman yang cukup. Kabupaten bogor terdiri dari 41 kecamatan, dan terdapat 3 kecamatan yang memiliki potensi pengembangan lidah buaya yang cukup baik yaitu Kecamatan Kemang, Parung dan Ranca Bungur, hal ini dapat dilihat dari petani yang memanfaatkan lahannya untuk ditanami lidah buaya. Akses menuju ketiga kecamatan tersebut sangat mudah karena letaknya yang berdekatan dengan jalan utama, dengan kondisi jalan aspal dan beberapa letak lokasi kebun lidah buaya yang sangat strategis, sehingga memudahkan akses untuk penyaluran hasil panen. Karakteristik Petani Responden Responden dalam penelitian ini adalah petani yang melakukan budidaya dan pemanenan lidah buaya di Kecamatan Kemang, Parung dan Ranca Bungur. Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini berjumlah 30 orang. Pemilihan petani responden menggunakan metode purposive yaitu dengan

41 memilih petani yang telah melakukan budidaya lidah buaya diatas 1 (satu) tahun dan telah melakukan penjualan dari hasil panennya. Petani responden di tiga kecamatan, seluruhnya merupakan petani yang melakukan budidaya lidah buaya secara individu, dari hasil wawancara dengan petani, disebutkan bahwa petani di lokasi penelitian lebih banyak memilih tanaman semusim untuk di tanam di lahan garapannya, dibandingkan dengan jumlah petani yang membudidayakan tanaman tahunan seperti lidah buaya, sehingga para petani lidah buaya di lokasi penelitian melakukan penjualan hasil panen lidah buaya secara individu kepada pedagang yang telah lama menjadi pelanggannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden terdapat beberapa karakteristik petani yang penting, diantaranya yaitu umur, tingkat pendidikan, luas lahan yang dikelola dan pengalaman bertani lidah buaya. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, terdapat dua orang petani berumur kurang dari 40 tahun atau sebesar 6.67 persen. Kelompok umur tertinggi terdapat pada umur tahun yaitu sebanyak 14 petani atau sebesar persen. Tabel 4. Karakteristik petani responden berdasarkan umur di Kabupaten Bogor tahun 2016 Kelompok umur (tahun) Jumlah responden Persentase (orang) (%) < > Total Tingkat pendidikan petani responden di lokasi penelitian sebagian besar berpendidikan menengah atas, dari 30 responden di lokasi penelitian terdapat 2 orang dengan pendidikan Sekolah Menengah Pertama, 20 petani atau sebanyak persen telah menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas dan 8 orang menempuh pendidikan Perguruan Tinggi (Tabel 5). Jika dilihat dari proporsi tingkat pendidikan, seharusnya petani di lokasi penelitian lebih mudah dalam mendapatkan perkembangan informasi harga pasar maupun volume permintaan lidah buaya, namun pada kenyataan di lapang, hal ini berbanding terbalik, informasi pasar yang diperoleh petani masih kurang dan terbatas pada informasi yang diperoleh dari sesama petani dan dari pedagang pengumpul, sehingga akses informasi pasar yang lebih luas, terutama akses pasar ke industri pengolahan maupun swalayan belum banyak diketahui oleh petani, informasi pasar seperti ini sangat diperlukan oleh petani ketika hendak menjual hasil panennya, sehingga petani memiliki beberapa alternatif pasar dalam menyalurkan hasil panennya, keterbatasan akses informasi pasar juga dapat memengaruhi posisi tawar petani pada saat negosiasi harga dengan pembeli, karena petani hanya dihadapkan oleh sedikit alternatif pembeli dalam menjual hasil panennya. 25

42 26 Tabel 5 Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan di Kabupaten Bogor tahun 2016 Tingkat pendidikan Jumlah responden Persentase (orang) (%) Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Perguruan Tinggi Total Luas penggunaan lahan usahatani lidah buaya yang saat ini dikelola oleh petani responden berkisar antara Ha. Hasil penelitian menunjukkan 25 petani atau sebesar persen memiliki luasan lahan kurang dari 0.50 hektar, dan 5 petani memiliki luas lahan diatas 1 hektar, luas lahan petani yang kecil menyebabkan petani tidak memiliki pilihan untuk menjual lidah buaya ke pihak lain dengan jumlah yang besar dan kontinuitas produksi yang terjaga, karena cenderung produksi petani kecil, sehingga banyak petani yang menjual produknya ke pedagang pengumpul atau pedagang besar, kecuali para petani mau bergabung dalam wadah kelompok tani atau koperasi dan melakukan penjualan secara kelompok, sehingga volume penjualan lebih besar dan dapat mengatur kontinuitas produksinya. Tabel 6 Karakteristik petani responden berdasarkan luas lahan yang dikelola petani di Kabupaten Bogor tahun 2016 Luas lahan (hektar) Jumlah responden Persentase (orang) (%) < > Total Kepememilikan lahan menjadi hal penting, karena tanaman lidah buaya merupakan tanaman dengan umur produktif hingga 4-5 tahun dan diperlukan kontinuitas produksi untuk memenuhi permintaan pasar, maka kepemilikan lahan sebaiknya dimiliki secara pribadi, atau jika dilakukan dengan cara sewa, dapat dilakukan dengan jangka waktu 4-5 tahun. Hasil dari wawancara terhadap petani responden menunjukkan terdapat 28 petani atau persen yang status kepemilikian lahannya sewa, dari hasil wawancara tersebut diperoleh informasi bahwa sewa lahan yang dilakukan para petani adalah pertahun, dengan kisaran sewa lahan antara 2 4 juta per hektar. Resiko sewa per tahun untuk budidaya lidah buaya sangat besar karena masa produktif tanaman masih dapat mencapai 4 5 tahun, artinya apabila pemilik lahan tidak memperpanjang masa sewa lahan, maka petani akan menanggung kerugian dari rentang waktu masa produktif tanaman yang seharusnya masih dapat menghasilkan keuntungan.

43 Lahan dengan kondisi sewa dengan jangka waktu yang lama minimal 4-5 tahun akan membantu petani dalam merencanakan budidaya, produksi dan penjualan lidah buaya dalam satu siklus. Tabel 7 Karakteristik petani responden berdasarkan status kepemilikan lahan yang dikelola petani di Kabupaten Bogor tahun 2016 Status lahan Jumlah responden Persentase (orang) (%) Milik sendiri Sewa 28 93,33 Total ,00 Pengalaman bertani dari 30 responden menunjukkan terdapat 25 responden atau sebanyak persen petani dengan pengalaman bertani lidah buaya selama 3 5 tahun, dan sebanyak 5 petani atau sebanyak persen petani yang bertani lidah buaya lebih dari lima tahun, artinya ada 5 petani lidah buaya yang pernah melakukan penanaman ulang (replanting) setelah siklus produktif tanaman lidah buaya berakhir, hal ini menunjukkan bahwa tanaman lidah buaya masih memberikan keuntungan secara ekonomi bagi petani lidah buaya di Kabupaten Bogor. Tabel 8 Karakteristik petani responden berdasarkan pengalaman bertani di Kabupaten Bogor tahun 2016 Pengalaman (tahun) Jumlah responden Persentase (orang) (%) > Total ,00 Karakteristik Pedagang Responden Pedagang yang dijadikan sebagai responden adalah pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Informasi pedagang responden diperoleh berdasarkan penelusuran dari petani responden, sehingga diperoleh 7 pedagang pengumpul dan 7 pedagang besar yang membeli langsung pelepah lidah buaya dari petani di Kabupaten Bogor, dan informasi mengenai 4 pedagang pengecer skala toko di Kabupaten Bogor maupun Jakarta dan 3 pedagang pengecer skala swalayan di Jakarta diperoleh dari hasil wawancara dengan pedagang pengumpul dan pedagang besar, kemudian diikuti alurnya hingga pelepah lidah buaya sampai ke konsumen akhir. Karakteristik yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah umur, tingkat pendidikan dan pengalaman berdagang lidah buaya. Berdasarkan karakteristik umur, pedagang responden memiliki umur yang bervariasi dengan jumlah umur terbanyak adalah umur tahun sebanyak 17 orang pedagang atau sebesar 80.95%, dua pedagang berumur kurang dari 40 27

44 28 tahun dan dua pedagang berumur lebih dari 50 tahun. Karakteristik pedagang responden dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Karakteristik pedagang responden berdasarkan umur Kelompok umur (tahun) Jumlah responden Persentase (orang) (%) < > Total ,00 Tingkat pendidikan pedagang lidah buaya rata-rata sebanyak 18 orang atau mayoritas sebesar persen telah menempuh pendidikan perguruan tinggi dan sebanyak 3 orang pedagang atau sebesar persen telah menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolah menengah atas. Karakteristik pedagang responden dapat dilihat pada Tabel 10. Karakteristik tingkat pendidikan pedagang responden bila dibandingkan dengan tingkat pendidikan petani, secara umum dapat digambarkan bahwa pedagang responden lebih mudah dalam mendapatkan akses informasi pasar, terutama dari segi harga dan volume kebutuhan lidah buaya di pasar. Tabel 10 Karakteristik pedagang responden berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan Jumlah responden Persentase (orang) (%) Sekolah Menengah Atas 3 14,29 Perguruan Tinggi 18 85,71 Total ,00 Berdasarkan tingkat pengalaman berdagang lidah buaya, terdapat sebanyak 12 pedagang atau sebesar persen dengan pengalaman berdagang selama 2 5 tahun, dan sebanyak 9 orang pedagang atau sebanyak persen yang memiliki pengalaman berdagang diatas 5 tahun. Karakteristik pengalaman pedagang responden dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Karakteristik pedagang responden berdasarkan pengalaman berdagang Pengalaman (tahun) Jumlah responden Persentase (orang) (%) ,14 > ,86 Total ,00

45 29 Gambaran Umum Usahatani Lidah Buaya Lidah buaya merupakan komoditas dikembangkan di Kabupaten Bogor, wilayah yang memiliki potensi pengembangan tanaman lidah buaya di Kabupaten Bogor adalah Kecamatan Parung, Kemang dan Rancabungur. Lidah buaya menjadi alternatif para petani dalam memilih pola tanam dan komoditas pertanian dengan usia produktif tanaman yang cukup panjang, umur produktif tanaman lidah buaya dapat mencapai 4 5 tahun. Dua jenis lidah buaya yang ditanam petani di Kabupaten Bogor adalah, 1) jenis Barbandensis dan 2) jenis Chinensis. Jenis lidah buaya yang lebih banyak ditanam petani di lokasi penelitian adalah jenis lidah buaya Chinensis, beberapa petani beralasan bahwa jenis lidah buaya Chinensis lebih banyak diminati oleh konsumen, dengan ukuran lebar daun atau pelepah yang lebih lebar dan lebih tebal, sehingga banyak daging buah yang dapat dimanfaatkan, alasan lain adalah jenis Chinensis memiliki kandungan air yang lebih sedikit sehingga tidak mudah membusuk. Tanaman lidah buaya dipilih oleh para petani karena dalam sekali tanam lidah buaya dapat berproduksi hingga beberapa kali dan dapat dilakukan pemanenan secara periodik setiap bulan setelah umur 12 bulan selama 4 5 tahun, lidah buaya merupakan tanaman yang mudah tumbuh, tahan terhadap kekeringan dan sedikit perawatannya. Tanaman lidah buaya ditanam dengan memanfaatkan anakan yang diambil dari induk lidah buaya, kemudian dilakukan pembibitan selama 3-5 bulan, bibit yang siap tanam kemudian ditanam di lapangan. Persiapan lahan dilakukan dengan membuat guludan ukuran 1 x 2 meter dan tinggi centimeter, budidaya tanaman lidah buaya di lokasi penelitian dilakukan secara organik, pada saat penanaman diberikan pupuk kandang sebanyak 2-5 kilogram perlubang tanam. Pupuk kandang diberikan lagi setiap satu tahun sekali dengan komposisi yang sama. Pembersihan gulma dilakukan rutin setiap bulan atau sesuai kondisi lapang, jika rumput dan tanaman pengganggu lainnya lebih cepat tumbuh, maka pembersihan gulma dapat dilakukan setiap 2 minggu sekali. Tanaman lidah buaya sudah dapat dipanen pada saat umur 12 bulan dan panen berikutnya dapat dilakukan secara periodik setiap bulan hingga umur tanaman mencapai 4 5 tahun. Pelepah lidah buaya yang dipanen sebaiknya berukuran centimeter dengan berat berkisar antara kilogram, ukuran ini sesuai dengan kriteria panen dan menjadi spesifikasi permintaan dari konsumen. Penen dilakukan oleh petani dan dibantu tenaga kerja harian, setelah dilakukan kegiatan panen, kegiatan sortir dilakukan dengan memilih pelepah lidah buaya yang sesuai dengan kriteria yang diminta konsumen, untuk grade A konsumen menetapkan kriteria; 1) panjang pelepah centimeter, 2) kondisi kulit mulus dan berwarna hijau, dan 3) berat perpelepah kilogram. Grade B konsumen menetapkan kriteria; 1) panjang pelepah centimeter, 2) kondisi kulit tidak mulus, dan 3) berat perpelepah <0.6 kilogram. Pengemasan dilakukan dengan membungkus pelepah lidah buaya dengan koran bekas, pembungkusan dengan koran bekas dipilih karena harganya murah dan berfungsi sebagai pelindung dari gesekan duri yang ada di sisi pelepah pada saat distribusi hasil ke konsumen.

46 30 Pedagang pengumpul tidak melakukan sortir dan grading, karena kegiatan tersebut dilakukan oleh petani pada saat panen, dan didampingi oleh pedagang pengumpul sesuai dengan kriteria yang diminta oleh konsumen. Petani tidak melakukan penyimpanan pelepah lidah buaya setelah panen dalam jangka waktu lama, petani akan panen berdasarkan pemesanan dan permintaan pedagang pengumpul, kemudian pada hari yang sama setelah dilakukan sortir, grading dan pengemasan, maka pedagang pengumpul dan pedagang besar akan segera mengambil dan mendistribusikan sesuai dengan pesanan konsumen. Lidah buaya dari petani dibeli oleh pedagang pengumpul dan pedagang besar, pelepah lidah buaya dari pedagang pengumpul ada yang dijual kembali ke industri pengolahan makanan dan minuman yang berada di wilayah Jabodetabek, dari pedagang pengumpul sebagian lagi dijual ke pedagang besar dan pedagang pengecer skala toko. Pelepah lidah buaya di tingkat pedagang besar di jual ke pedagang pengecer skala swalayan. Pedagang pengecer skala toko melakukan pengemasan ulang dengan koran bekas dengan kondisi yang lebih bagus, kemudian pelepah lidah buaya disimpan di lemari pendingin atau tempat penjualan sayur dan buah, berbeda yang dilakukan pedagang pengecer skala swalayan, pelepah lidah buaya dikemas ulang menggunakan plastik wrapping, ditimbang, diberikan label harga dan stiker merk dari pedagang besar, kemudian pelepah lidah buaya disimpan di lemari pendingin atau tempat penjualan sayur dan buah. Sistem Tataniaga Lidah Buaya Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga Hasil panen petani lidah buaya di Kabupaten Bogor disalurkan dalam bentuk pelepah lidah buaya segar ke industri pengolahan lidah buaya dan toko buah atau swalayan di wilayah Jabodetabek. Tataniaga lidah buaya di Kabupaten bogor melibatkan beberapa lembaga tataniaga dalam menyalurkan lidah buaya dari petani (produsen) hingga ke pihak konsumen. Lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga lidah buaya adalah petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang pengecer skala toko, pedagang pengecer skala swalayan. 1. Petani merupakan lembaga yang berperan dalam kegiatan produksi lidah buaya di Kecamatan Parung, Kemang dan Ranca Bungur, Kabupaten Bogor. 2. Pedagang pengumpul merupakan pedagang yang membeli lidah buaya secara langsung dari petani dan menyalurkan ke lembaga tataniaga berikutnya. 3. Pedagang besar merupakan lembaga tataniaga yang membeli lidah buaya dari petani dan pedagang pengumpul, kemudian menjual lidah buaya tersebut ke pedagang pengecer skala swalayan dan pedagang besar ini memiliki banyak akses ke pasar-pasar swalayan yang berada di Jabodetabek. 4. Pedagang pengecer skala toko buah merupakan lembaga tataniaga yang berperan dalam menyalurkan lidah buaya ke konsumen akhir dan menjual

47 lidah buaya melalui toko-toko buah yang dimilikinya di wilayah Jakarta dan sekitarnya. 5. Pedagang pengecer skala swalayan merupakan lembaga yang berperan dalam menyalurkan produk lidah buaya ke konsumen akhir, penjualannya dilakukan melalui gerai-gerai yang berada di Jabodetabek. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor melakukan fungsi-fungsi tataniaga untuk memperlancar proses penyaluran lidah buaya dari petani hinggga konsumen. Lembaga tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor memiliki fungsi tataniaga yang berbeda-beda yang dapat dikelompokkan menjadi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Secara rinci fungsi-fungsi tataniaga pada setiap lembaga tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor tersaji pada tabel 12. Tabel 12 Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2016 Saluran dan Lembaga Tataniaga Jual Beli Angkut Simpan Kemas Sortasi Risiko Biaya Informasi pasar Petani (produsen) Saluran 1 P. Pengumpul Saluran 2 P. Pengumpul P. Pengecer (toko) Saluran 3 P. Pengumpul P. Besar (suplier) - - P. Pengecer (swalayan) Saluran 4 Fungsi-fungsi Tataniaga Pertukaran Fisik Fasilitas P. Besar (suplier) - - P. Pengecer (swalayan) Keterangan : P. = Pedagang = Melakukan fungsi tataniaga - = Tidak melakukan fungsi tataniaga Fungsi Tataniaga Petani Petani responden melakukan fungsi pertukaran dengan menjual seluruh produk pelepah lidah buaya segar kepada pedagang pengumpul dan pedagang besar. Proses penjualan dilakukan secara bebas oleh pertani, karena petani tidak memiliki keterikatan apapun dengan pedagang pengumpul maupun pedagang besar. Petani melakukan fungsi fisik berupa panen dan pengemasan. Panen yang dilakukan petani dibantu oleh pekerja harian, kemudian proses sortasi, grading dan pengemasan dilakukan oleh pekerja panen dengan memilah pelepah lidah buaya sesuai dengan kriteria dari pedagang pengumpul dan lidah buaya dikemas dengan menggunakan kertas koran bekas. Petani tidak melakukan kegiatan pengangkutan dalam menyalurkan hasil panennya, karena pedagang pengumpul 31

48 32 akan mengambil lidah buaya ke lahan atau tempat pengemasan lidah buaya milik petani. Petani melakukan fungsi fasilitas berupa sortasi, grading, penangungan risiko, pembiayaan dan informasi pasar. Sortasi dilakukan untuk memilah pelepah sesuai mutu, kemudian digolongkan ke dalam 2 kelas yaitu grade A dan B. Risiko yang dihadapi petani yaitu rendahnya harga jual akibat produk lidah buaya tidak sesuai kriteria yang diminta konsumen, terjadi penurunan produksi akibat cuaca dan serangan hama penyakit. Fungsi pembiayaan yang dilakukan petani adalah penyediaan modal untuk tahap budidaya hingga pasca panen. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, seluruh petani menyediakan modalnya sendiri tanpa bantuan pihak lain, sehingga cara pembayaran tunai dari hasil penjualan panen lidah buaya oleh pedagang sangat diharapkan, karena hasil pembayaran tersebut akan diputar sebagai modal kerja berikutnya. Perkembangan informasi pasar berupa kualitas, kuantitas dan harga diperoleh dari sesama petani lidah buaya, pedagang pengumpul dan pedagang besar. Informasi pasar diperoleh petani berdasarkan pesanan pedagang pengumpul, setelah pedagang pengumpul dan pedagang besar melakukan pesanan dengan kriteria, jumlah dan harga yang telah disepakati oleh petani dan pedagang, maka petani melakukan pemanenan, sortasi, grading dan pengemasan, kemudian pedagang akan datang pada saat dilakukan sortasi, grading dan pengemasan. Harga lidah buaya di tingkat petani berbeda beda, untuk grade A harga per kilogram lidah buaya berkisar antara Rp hingga Rp dan grade B berkisar antara Rp hingga Rp 3 500, perbedaan harga terjadi karena adanya tawar menawar antara petani dan pedagang, meskipun nilai tambah yang diperoleh petani dari aktivitas sortasi, grading dan pengemasan memberikan tambahan pendapatan, tetapi kepastian dan keseragaman harga di tingkat petani belum terbentuk, hal ini disebabkan para petani melakukan penjualan lidah buaya secara individu ke beberapa pedagang yang menjadi pelanggannya, dan tidak ada satupun dari petani responden yang tergabung dalam kelompok tani atau koperasi guna memperbesar volume penjualan atau melakukan penetapan harga pelepah lidah buaya. Fungsi Tataniaga Pedagang Pengumpul Pedagang pengumpul melakukan perannya dalam menyalurkan hasil panen pelepah lidah buaya milik petani ke lembaga tataniaga berikutnya. Fungsi pertukaran yang dilakukan pedagang pengumpul yaitu melakukan pembelian pelepah lidah buaya dari petani, kemudian menjualnya ke konsumen dan lembaga tataniaga berikutnya (industri pengolahan, pedagang besar dan pedagang pengecer skala toko), pada umumnya pedagang pengumpul memiliki modal yang cukup, sehingga mampu membayar harga lidah buaya secara tunai kepada petani, kemudian pedagang pengumpul melakukan penjualan pelepah lidah buaya kepada konsumen atau ke lembaga tataniaga berikutnya dengan cara tunai dan beberapa dilakukan dengan penangguhan pembayaran. Fungsi fisik yang dilakukan pedagang pengumpul yaitu pengangkutan lidah buaya dari kebun lidah buaya ke konsumen atau ke lembaga tataniaga berikutnya. Pelepah lidah buaya yang dibeli dari petani oleh pedagang pengumpul

49 kemudian dijual dan disalurkan ke industri pengolahan, pedagang besar dan pedagang pengecer skala toko di wilayah Jabodetabek dengan menggunakan mobil pick up atau sepeda motor untuk jarak yang dekat, dengan jumlah pesanan pelepah lidah buaya kurang dari 150 kilogram. Pelepah lidah buaya di tingkat konsumen (industri pengolahan) diolah menjadi minuman kesehatan, makanan, tepung dan teh. Pelepah lidah buaya di tingkat pedagang besar dan pedagang pengecer dijual dalam bentuk pelepah segar. Pedagang pengumpul tidak melakukan fungsi fisik selain pengangkutan, karena pedagang pengumpul membeli pelepah lidah buaya berdasarkan pesanan dari pelanggan dan pada saat pedagang pengumpul melakukan pembelian kepada petani, maka di hari yang sama pedagang menjual dan menyalurkan pelepah lidah buaya ke konsumen atau lembaga tataniaga berikutnya. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengumpul meliputi, pembiayaan, penanggungan risiko dan informasi pasar. Fungsi pembiayaan yang dilakukan pedagang pengumpul melalui penyediaan modal yang digunakan untuk membeli dan menyalurkan sejumlah pelepah lidah buaya dari petani berdasarkan pesanan pelanggan. Risiko yang dihadapi oleh pedagang pengumpul yaitu pedagang pengumpul harus menyediakan pelepah lidah buaya sesuai dengan spesifikasi, volume dan waktu yang telah disepakati. Volume pasokan yang kurang mengakibatkan pedagang pengumpul harus mencari sumber lain di luar Kabupaten Bogor dengan harga yang lebih tinggi. Pembayaran yang tertunda dari konsumen atau lembaga tataniaga berikutnya menyebabkan terganggunya perputaran modal di tingkat pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul memperoleh informasi harga dan volume permintaan lidah buaya melalui pedagang besar atau pedagang pengecer baik skala toko atau swalayan, kemudian informasi tersebut menjadi ukuran pedagang pengumpul untuk mendapatkan harga di tingkat petani dan memperoleh marjin dari selisih penjualan yang dilakukan. Fungsi Tataniaga Pedagang Besar Pedagang besar melakukan fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas dalam menjalankan tataniaga pelepah lidah buaya. Fungsi pertukaran yang dilakukan pedagang besar yaitu membeli pelepah lidah buaya dari petani atau dari pedagang pengumpul, kemudian menjual lidah buaya ke pedagang pengecer skala swalayan di wilayah Jabodetabek berdasarkan kontrak atau jumlah pesanan yang telah disepakati oleh pedagang besar dengan pedagang pengecer skala swalayan. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang besar yaitu pengemasan ulang dengan menggunakan koran bekas sebagai pengganti kemasan dari petani yang rusak akibat gesekan pada saat pengangkutan dari pedagang pengumpul ke pedagang besar, kemudian pelepah lidah buaya dianggkut dengan menggunakan mobil box untuk disalurkan ke pedagang pengecer skala swalayan di wilayah Jabodetabek. Pedagang besar tidak melakukan penyimpanan lidah buaya karena pada saat pelepah lidah buaya dari pedagang pengumpul atau dari petani tiba, kemudian dilakukan sortir dan pengemasan ulang, kemudian pada hari yang sama pedagang besar akan menyalurkan ke pedagang pengecer skala swalayan. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang besar yaitu sortasi, pembiayaan, penanggungan risiko dan informasi pasar. Pedagang besar 33

50 34 melakukan penjualan ke pedagang pengecer skala swalayan dengan cara pembayaran tempo 1-2 bulan, sehingga pedagang besar harus memiliki cukup modal untuk melakukan kegiatan jual beli pelepah lidah buaya dan risiko tertundanya pembayaran dari pedagang pengecer mengakibatkan terganggunya kegiatan operasional dan perputaran modal. Pasokan lidah buaya yang kurang dari petani atau pedagang pengumpul mengakibatkan pedagang besar harus mencari sumber pasokan dari luar Kabupaten Bogor dengan harga yang lebih tinggi. Sortasi dilakukan oleh pedagang besar untuk memastikan kembali lidah buaya yang dikirim oleh pedagang pengumpul sudah sesuai dengan spesifikasi yang diminta. Informasi pasar lidah buaya diperoleh melalui sesama pedagang besar dan pedagang pengecer Fungsi Tataniaga Pedagang Pengecer Skala Toko Pedagang pengecer skala toko melakukan beberapa fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan pedagang pengecer skala toko dengan membeli pelepah lidah buaya dari pedagang pengumpul dengan melakukan pemesanan tanpa ada kontrak pasokan dan menjual ke konsumen akhir di toko-toko buah atau sayuran yang terletak di wilayah Jabodetabek. Pedagang pengecer skala toko melakukan fungsi fisik dengan mengangkut pelepah lidah buaya dari gudang logistik, untuk disalurkan ke toko-toko buah miliknya di wilayah Jabodetabek, pelapah lidah buaya kemudian dikemas ulang dengan menggunakan koran bekas dan disimpan di tempat penjualan (display) buah atau sayur Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengecer skala toko, yaitu penyediaan modal untuk pembelian lidah buaya dari pedagang pengumpul, upah tenaga sortir, pengemasan dan pengangkutan. Sortasi dilakukan guna memastikan seluruh lidah buaya yang dikirim oleh pedagang pengumpul sesuai dengan spesifikasi yang diminta. Pedagang pengecer menanggung seluruh risiko pelepah lidah buaya yang tidak terjual habis. Informasi pasar diperoleh melalui konsumen yang membeli pelepah lidah buaya ke toko-toko milik pedagang pengecer. Fungsi Tataniaga Pedagang Pengecer Skala Swalayan Fungsi tataniaga yang dilakukan pedagang pengecer skala swalayan merupakan fungsi yang paling kompleks, dengan tujuan untuk memperoleh nilai tambah dan terciptanya kepuasan konsumen. Fungsi pertukaran yang dilakukan yaitu dengan membeli pelepah lidah buaya dari pedagang besar dengan cara pembayaran tempo selama 1 2 bulan setelah pelepah lidah buaya diterima di gudang logistik milik pedagang pengecer swalayan. Penjualan pelepah lidah buaya segar dengan cara pembayaran tunai kepada konsumen dilakukan di geraigerai yang berada di wilayah Jabodetabek. Fungsi fisik dilakukan dengan mengangkut dan menyalurkan lidah buaya dari gudang logistik ke gerai-gerai di wilayah Jabodetabek dengan menggunakan mobil box. Pelepah lidah buaya yang sudah berada di gerai-gerai milik pedagang pengecer skala swalayan kemudian dikemas menggunakan plastik wrapping, ditimbang, diberikan label harga dan stiker merk, kemudian disimpan dan diletakkan di tempat penjualan (display) buah atau sayur.

51 Fungsi fasilitas yang dilakukan adalah sortasi, penanggungan risiko, pembiayaan dan informasi pasar. Kegiatan sortasi dilakukan di gudang logistik sebelum disalurkan ke gerai-gerai di wilayah Jabodetabek untuk memastikan seluruh pelepah lidah buaya yang dikirim oleh pedagang besar sesuai dengan spesifikasi yang diminta. Pedagang pengecer menanggung seluruh risiko pelepah lidah buaya yang tidak terjual habis. Pembiayaan yang dilakukan pedagang pengecer adalah pembelian lidah buaya dari pedagang besar, upah tenaga sortir, pengemasan dan pengangkutan. Informasi pasar diperoleh pedagang pengecer skala swalayan dari pedagang besar dan konsumen. Analisis Saluran Tataniaga dan Lembaga Tataniaga Saluran tataniaga merupakan serangkaian lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses mengalirkan produk barang atau jasa dari produsen hingga konsumen dengan tujuan terciptanya kepuasan konsumen. Hasil penelitian tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor menunjukkan terdapat empat saluran tataniaga yang melibatkan beberapa lembaga tataniaga (gambar 5). Perbedaan saluran tataniaga dan lembaga yang terlibat didalamnya terjadi karena adanya variasi permodalan dan akses pasar dari masing-masing lembaga tataniaga. Penjualan dan penyaluran lidah buaya dari petani melalui pedagang pengumpul dan pedagang besar menjadi saluran yang banyak dipilih petani karena dirasa menguntungkan bagi petani dalam hal cara pembayaran tunai, dibandingkan penjualan petani langsung ke pedagang pengecer dengan sistem pembayaran tempo selama 1 2 bulan. Saluran tataniaga yang terbentuk di Kabupaten Bogor berdasarkan penelitian pada bulan November hingga Desember 2016, telah menyalurkan sebanyak kilogram (100%) lidah buaya segar yang diproduksi oleh petani melalui empat saluran tataniaga. Sebanyak kilogram (60.03%) disalurkan melalui jalur pedagang pengumpul dan sebanyak kilogram (39.97%) disalurkan melalui jalur pedagang besar. Petani lebih memilih pedagang pengumpul dalam menyalurkan lidah buaya karena beberapa kemudahan yang diterima oleh petani. Alternatif petani dalam menjual dan menyalurkan lidah buaya selain melalui jalur pedagang pengumpul adalah jalur pedagang besar, dengan syarat pedagang mengambil pelepah lidah buaya ke kebun petani dan melakukan pembayaran tunai seperti yang dilakukan oleh pedagang pengumpul, cara pembayaran dan pengambilan lidah buaya ke petani, menjadi motivasi petani untuk menjual lidah buaya ke dua lembaga tersebut. Hasil wawancara dengan petani menyatakan bahwa para petani lebih memilih pembayaran tunai dari pada pembayaran dengan cara tempo, meskipun harga jual per kilogram lidah buaya lebih mahal jika dijual dengan cara pembayaran tempo, karena kemudahan pembayaran dari pedagang pengumpul atau pedagang besar yang membuat petani kurang tertarik untuk menjual lidah buaya ke industri pengolahan maupun pedagang pengecer yang terbiasa melakukan pembayaran tempo antara 1 2 bulan, hal ini menyebabkan perputaran modal di tingkat petani menjadi terganggu, karena aktivitas produksi di tingkat petani dilakukan setiap bulan sekali selama 4 5 tahun, sehingga modal kerja untuk perawatan dan tenaga produksi yang dibayarkan, banyak bersumber dari hasil penjualan lidah buaya. 35

52 36 S4 (39.97%) Petani Lidah Buaya di Kab. Bogor kilogram Pedagang Pengumpul kilogram Pedagang Besar (Suplier) kilogram Pedagang Pengecer (Swalayan) kg S3 (7.50%) S1 (25.77%) S2 (26.75%) Pedagang Pengecer (Toko Buah) kilogram Konsumen kilogram (74.23%) Industri pengolahan kilogram (25.77%) Keterangan : Saluran pemasaran I (Petani - Pedagang Pengumpul - Industri pengolahan) : Saluran pemasaran II (Petani - Pedagang Pengumpul - Pedagang Pengecer/ Toko Buah - Konsumen) : Saluran pemasaran III (Petani - Pedagang Pengumpul - Pedagang Besar/ Suplier - Pedagang Pengecer (toko) - Kosumen) : Saluran pemasaran IV (Petani - Pedagang Besar/ Suplier - Pedagang Pengecer (swalayan) - Kosumen) Gambar 5 Skema saluran tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor

53 Saluran Tataniaga I Saluran tataniaga I merupakan saluran yang dipilih oleh 14 petani dalam menyalurkan lidah buaya ke konsumen, dengan rantai tataniaga terpendek, yang melibatkan petani, pedagang pengumpul dan konsumen (industri pengolahan lidah buaya). Pelepah lidah buaya dari petani sebanyak kilogram atau sebesar persen disalurkan oleh tiga pedagang pengumpul ke industri pengolahan lidah buaya di wilayah Jabodetabek, kualitas yang disalurkan oleh pedagang pengumpul adalah grade A dengan kriteria 1) panjang pelepah centimeter, 2) kondisi kulit mulus dan berwarna hijau, dan 3) berat perpelepah kilogram dan grade B dengan kriteria 1) panjang pelepah centimeter, 2) kondisi kulit tidak mulus, dan 3) berat perpelepah <0.6 kilogram. Grade A berdasarkan hasil penelitian lebih banyak diminta oleh konsumen (industri pengolahan) karena dari hasil kupas kulit lidah buaya diperoleh lebih banyak daging buah untuk bahan baku makanan dan minuman. Harga di tingkat petani untuk grade A berkisar antara Rp hingga Rp per kilogram dengan rata-rata Rp dan harga rata-rata di tingkat konsumen akhir Rp per kilogram. Grade B di tingkat petani dijual dengan harga antara Rp hingga Rp per kilogram dengan harga rata-rata Rp per kilogram dan harga jual di tingkat konsumen rata-rata Rp per kilogram. Saluran Tataniaga II Volume penjualan lidah buaya pada saluran II sebanyak kilogram dilakukan oleh 9 petani melalui rantai tataniaga berikut; petani, pedagang pengumpul, pedagang pengecer skala toko dan konsumen. Petani lidah buaya sebagian memilih saluran ini karena pembelian ditahap pertama masih dilakukan oleh tiga pedagang pengumpul dengan cara pembayaran tunai dan pengambilan lidah buaya oleh pedagang pengumpul ke lokasi kebun. Pelepah lidah buaya di pedagang pengumpul kemudian di jual ke pedagang pengecer skala toko, pedagang pengecer yang berjumlah empat, menjual lidah buaya segar kepada konsumen di toko-toko buah atau sayur miliknya yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Kualitas dan kriteria lidah buaya yang disalurkan melalui saluran tataniaga II sama dengan kualitas lidah buaya pada saluran I yaitu grade A dan B. Harga di tingkat petani untuk grade A berkisar antara Rp hingga Rp per kilogram dengan rata-rata Rp dan harga rata-rata di tingkat konsumen akhir Rp per kilogram. Grade B di tingkat petani dijual dengan harga antara Rp hingga Rp per kilogram dengan harga ratarata Rp per kilogram dan harga jual di tingkat konsumen akhir rata-rata Rp per kilogram. Saluran Tataniaga III Penjualan lidah buaya pada saluran III masih melalui jalur pedagang pengumpul sebagai lembaga tataniaga yang membeli lidah buaya dari petani, dengan besaran volume yang disalurkan melalui saluran III sebanyak kilogram, saluran ini dipilih oleh 2 petani, melalui rantai tataniaga berikut; petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang pengecer (swalayan) dan konsumen. 37

54 38 Lidah buaya dari petani dibeli oleh satu pedagang pengumpul dan dijual kepada tiga pedagang besar, kemudian pedagang besar menjual ke pedagang pengecer (swalayan) untuk kemudian dijual kembali ke konsumen melalui geraigerai yang berada di wilayah Jabodetabek. Kualitas yang disalurkan melalui saluran III hanya grade A sesuai dengan permintaan dari pedagang pengecer dengan kriteria yang sama dengan kriteria yang ada di saluran I dan II. Harga di tingkat petani untuk grade A berkisar antara Rp hingga Rp per kilogram dengan rata-rata Rp per kilogram dan harga rata-rata di tingkat konsumen akhir Rp per kilogram, terdapat selisih harga yang cukup jauh antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen. Saluran Tataniaga IV Penjualan lidah buaya pada saluran IV dilakukan melalui pedagang besar sebagai lembaga pertama yang membeli lidah buaya dari petani dengan volume sebanyak kilogram. Saluran IV dipilih oleh tiga petani melalui rantai tataniaga berikut; petani, pedagang besar, pedagang pengecer (swalayan), konsumen. Lidah buaya dari petani dibeli oleh empat pedagang besar dan dijual ke pedagang pengecer (swalayan), kemudian dijual kembali ke konsumen melalui gerai-gerai yang berada di wilayah Jabodetabek. Kualitas yang disalurkan melalui saluran IV hanya grade A sesuai dengan permintaan dari pedagang pengecer dengan kriteria yang sama dengan kriteria yang ada di saluran I, II dan III. Harga di tingkat petani untuk grade A berkisar antara Rp hingga Rp per kilogram dengan rata-rata Rp per kilogram dan harga rata-rata di tingkat konsumen akhir Rp per kilogram, terdapat selisih harga yang cukup jauh antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen. Analisis Struktur Pasar Struktur pasar lidah buaya diketahui dengan mengamati jumlah penjual dan pembeli, sifat produk, hambatan keluar masuk pasar serta informasi mengenai harga lidah buaya di pasar. Struktur Pasar di Tingkat Petani Struktur pasar yang dihadapi oleh petani lidah buaya di Kabupaten Bogor cenderung mengarah pada struktur persaingan monopolistik, hal ini dapat dilihat dari jumlah petani lidah buaya di Kabupaten Bogor lebih banyak dibanding dengan jumlah pedagang pengumpul. Komoditas yang dijualbelikan bersifat diferensiasi, seperti adanya perlakuan sortasi dan grading pada pelepah lidah buaya berdasarkan kualitas lidah buaya yang diminta pelanggan. Hambatan keluar masuk pasar yang dihadapi oleh petani relatif mudah, karena petani bebas menentukan komoditas yang akan ditanamnya dan petani bebas menjual lidah buaya baik ke pedagang pengumpul atau lembaga tataniaga lainnya. Informasi mengenai volume dan harga lidah buaya diperoleh petani melalui sesama rekan petani dan pedagang pengumpul.

55 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Struktur pasar yang dihadapi pada tingkat pedagang pengumpul cenderung mengarah pada struktur oligopoli, hal ini dapat dilihat dari jumlah pedagang pengumpul lebih jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah pembeli dari pedagang besar, pedagang pengecer dan konsumen (industri pengolahan). Komoditas yang diperjualbelikan bersifat homogen karena tidak ada perlakuan yang membedakan antara pelepah lidah buaya dari petani dengan produk lidah buaya yang akan dijual. Pada tingkat pedagang pengumpul terdapat hambatan keluar masuk pasar yang cukup tinggi karena pedagang pengumpul membutuhkan ketersediaan modal yang besar untuk membeli lidah buaya dari petani dengan cara pembayaran tunai, pedagang pengumpul harus mencari petani pemasok yang mampu memenuhi permintaannya baik dari segi kualitas atau kuantitas. Informasi harga dan volume lidah buaya diperoleh dari pedagang sesama profesi, toko-toko buah dan pasar swalayan yang ada di wilayah Jabodetabek. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Besar Struktur pasar yang dihadapi pada tingkat pedagang besar cenderung mengarah pada struktur oligopoli, hal ini dapat dilihat dari jumlah pedagang besar lebih sedikit dibanding jumlah pembeli dari pedagang pengecer. Komoditas yang diperjualbelikan bersifat homogen. Pada tingkat pedagang pengumpul terdapat hambatan keluar masuk pasar yang cukup tinggi karena pedagang besar membutuhkan ketersediaan modal yang besar untuk membeli lidah buaya dari petani dengan cara pembayaran tunai dan dari pedagang pengumpul sebagian dilakukan dengan cara tunai dan sebagian dengan cara tempo. Pedagang besar harus mencari sumber lidah buaya dari luar Kabupaten Bogor dengan harga yang lebih tinggi apabila pasokan dari petani maupun pedagang pengumpul kurang. Informasi harga diperoleh dari sesama pedagang besar dan pasar swalayan yang berada di wilayah Jabodetabek. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer (Toko) Struktur pasar yang dihadapi pada tingkat pedagang pengecer (toko) cenderung mengarah pada struktur oligopoli, hal ini dapat dilihat dari jumlah pedagang pengecer yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah pembeli (konsumen). Komoditas yang diperjualbelikan terdapat diferensiasi yang ditunjukkan melalui kegiatan penyimpanan dan cara penjualan yang dilakukan di toko-toko buah dan sayur sehingga berbeda dengan produk yang dijual oleh pedagang besar namun kualitas lidah buaya yang dijual pada level pedagang pengecer toko hanya lidah buaya dengan grade A. Pedagang pengecer dapat dengan mudah keluar masuk pasar karena modal yang diperlukan tidak terlalu besar dan terdapat kemudahan berupa pembayaran tempo, apabila pedagang pengecer tidak mendapatkan keuntungan, maka pedagang pengecer dapat mengganti produk lidah buaya dengan komoditas lain yang lebih menguntungkan. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer (Swalayan) Struktur pasar yang dihadapi pada tingkat pedagang pengecer (swalayan) cenderung mengarah pada struktur oligopoli, hal ini dapat dilihat dari jumlah pedagang pengecer yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah pembeli 39

56 40 (konsumen). Komoditas yang diperjualbelikan terdapat diferensiasi melalui kegiatan pengemasan, penyimpanan dan cara penjualan yang dilakukan di geraigerai swalayan dengan meletakkan lidah buaya di tempat buah dan sayur, seluruh lidah buaya yang dijual merupakan lidah buaya dengan grade A. Pedagang pengecer skala swalayan dapat dengan mudah keluar masuk pasar karena modal yang diperlukan tidak terlalu besar dan terdapat kemudahan berupa pembayaran tempo pada saat pembelian lidah buaya kepada pedagang besar, apabila pedagang pengecer tidak mendapatkan keuntungan, maka pedagang pengecer dapat mengganti produk lidah buaya dengan komoditas lain yang lebih menguntungkan. Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar merupakan pola atau tingkah laku lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar, dimana lembaga-lembaga tersebut melakukan aktivitas penjualan dan pembelian dan melakukan keputusan dalam menghadapi struktur pasar. Perilaku pasar dapat diketahuai dengan mengamati praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dan kerjasama diantara lembaga tataniaga. Praktik Pembelian dan Penjualan Praktik pembelian dan penjualan lidah buaya di Kabupaten Bogor melibatkan beberapa lembaga tataniaga, terkecuali petani hanya melakukan praktik penjualan serta industri pengolahan dan konsumen hanya melakukan praktik pembelian. Praktik pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengumpul berdasarkan pesanan dari pelanggan dengan kualitas tertentu, dengan cara penyerahan barang oleh petani di lokasi kebun, sehingga petani tidak mengeluarkan biaya angkut dan bongkar muat. Selain penjualan lidah buaya kepada pedagang pengumpul, petani menjual lidah buaya ke pedagang besar dengan syarat pembayaran tunai dan penyerahan barang di lokasi kebun seperti yang dilakukan kepada pedagang pengumpul. Pembayaran tunai dari pihak pedagang pengumpul dan pedagang besar menjadi motivasi petani dalam memilih lembaga tataniaga yang membeli langsung produknya, karena petani ingin lebih cepat mendapatkan uang dari hasil panen yang dapat dipergunakan untuk biaya kegiatan panen berikutnya. Pedagang besar selain membeli lidah buaya dari petani juga membeli lidah buaya dari pedagang pengumpul, pembelian yang dilakukan pedagang besar melalui pedagang pengumpul dilakukan dengan cara pembayaran tunai dan tempo serta barang diterima di gudang milik pedagang besar, kemudian penjualan dilakukan pedagang besar dengan mengangkut dan menyalurkan lidah buaya ke pedagang pengecer skala swalayan yang berada di wilayah Jabodetabek. Praktik pembelian pada tingkat pedagang pengecer skala toko dan swalayan dilakukan di lokasi pedagang pengecer skala toko dan swalayan, kemudian lidah buaya dijual oleh pedagang pengecer di toko buah dan swalayan yang berada di wilayah Jabodetabek. Secara umum praktik pembelian dan penjualan dilakukan secara bebas dan tidak ada hubungan atau ikatan kekeluargaan.

57 Sistem Penentuan Harga Sistem penentuan harga dalam sistem tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor pada umumnya dilakukan dengan cara tawar menawar. Harga di tingkat petani terjadi berdasarkan tawar menawar antara petani dengan pedagang pengumpul atau pedagang besar, namun penentuan harga pada akhirnya lebih banyak didominasi oleh pedagang pengumpul atau pedagang besar meskipun terdapat proses tawar-menawar sebelumnya, kareana pedagang pengumpul maupun pedagang besar lebih banyak memiliki informasi harga dan volume permintaan lidah buaya. Penentuan harga antara pedagang pengumpul dan pedagang besar lebih didominasi oleh pedagang besar dan penentuan harga antara pedagang besar dengan pedagang pengecer lebih didominasi oleh pedagang pengecer, meski terjadi tawar menawar dalam penentuan harga, para pedagang menetapkan harga dengan mempertimbangkan harga pembelian, biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh. Secara umum penentuan harga lidah buaya pada setiap saluran tataniaga didominasi oleh lembaga tataniaga yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam sistem tataniaga, baik dari segi kepemilikan modal, penguasaan terhadap volume lidah buaya dan informasi pasar. Sistem Pembayaran Sistem pembayaran lidah buaya di Kabupaten Bogor dilakukan oleh pedagang dengan cara tunai dan tempo. Pedagang pengumpul melakukan pembayaran secara tunai kepada petani, cara pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul kepada petani dapat memengaruhi motivasi petani dalam memilih lembaga tataniaga dalam menjual lidah buaya. Sistem pembayaran tunai dilakukan oleh lembaga tataniaga berikut; pedagang pengumpul ke petani, pedagang besar ke petani, sebagian pedagang besar ke pedagang pengumpul dan konsumen ke pedagang pengecer toko atau swalayan. Pembayaran tempo dengan jangka waktu pembayaran antara 1 2 bulan dilakukan oleh lembaga tataniaga berikut; pedagang pengecer ke pedagang besar dan pedagang pengecer ke pedagang pengumpul. Sistem pembayaran yang dilakukan antar lembaga tataniaga merupakan sistem pembayaran yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dengan manfaat dan kemudahan yang diperoleh masing-masing lembaga tataniaga. Kerjasama Antara Lembaga Tataniaga Kerjasama sesama petani lidah buaya di Kabupaten Bogor tidak terjadi, terlihat bahwa semua petani menjual lidah buaya secara individu ke pedagang yang telah menjadi langganannya, dan tidak adanya koordinasi antar petani ketika akan menjual hasil panennya, sehingga petani cenderung memiliki posisi tawar yang lemah dan harga yang tebentuk di tingkat petani berbeda-beda sesuai dengan harga yang telah disepakti antara petani dan pedagang. Kerjasama petani dengan pedagang pengumpul atau pedagang besar hanya sebatas kerjasama jual dan beli, tidak ada hubungan atau ikatan kekeluargaan atau ikatan kontrak pasokan, sehingga pedagang pengumpul atau pedagang besar akan mencari sumber lain di luar Kabupaten Bogor dengan harga yang lebih tinggi apabila terjadi kekurangan pasokan dari petani di Kabupaten Bogor. 41

58 42 Kerjasama antar lembaga tataniaga yang terjadi antara pedagang pengumpul dengan pedagang besar, pedagang pengumpul dengan pedagang pengecer, pedagang besar dengan pedagang pengecer, dilakukan pada saat kegiatan jual beli lidah buaya berlangsung, baik saling membagi informasi pasar atau volume pasokan, hal ini dilakukan untuk menjaga kontinuitas pasokan lidah buaya di tingkat pedagang, sehingga pengaruh lembaga tataniaga dilevel yang lebih tinggi dalam hal penentuan harga lidah buaya di tingkat petani lebih dominan. Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga merupakan selisih antara harga di tingkat petani (produsen) dengan harga di tingkat konsumen akhir, atau perbedaan harga jual dengan harga beli di setiap lembaga tataniaga. Perbedaan harga di tingkat petani (produsen) dengan harga di tingkat konsumen dalam tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 6. Data menunjukkan terdapat perbedaan harga yang cukup jauh antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen, perbedaan harga terbesar terjadi pada saluran III dengan rantai tataniaga terpanjang, hal ini terjadi karena setiap lembaga tataniaga akan mengambil keuntungan terhadap biaya tataniaga yang telah dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran tataniaga, maka marjin tataniaga yang terbentuk akan semakin besar. (Rp/kg Saluran I Saluran II Saluran III Saluran IV Harga di tingkat petani Harga di tingkat konsumen Gambar 6 Rata-rata harga lidah buaya grade A di tingkat petani (produsen) dan konsumen di Kabupaten Bogor tahun Analisis marjin tataniaga dalam penelitian ini dihitung berdasarkan selisih antara harga jual dengan harga beli dari masing-masing lembaga tataniaga. Analisis marjin tataniaga dilakukan mulai dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Analisis marjin tataniaga yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui efisiensi tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor.

59 Komponen marjin, biaya dan keuntungan tataniaga pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dilihat pada Lampiran 2. Biaya tataniaga merupakan biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam memasarkan lidah buaya di Kabupaten Bogor hingga ke konsumen akhir. Jenis biaya yang dikeluarkan masing-masing lembaga tataniaga berbeda-beda, jenis biaya tersebut meliputi biaya transportasi, tenaga kerja untuk kegiatan panen, sortasi, grading, pengemasan dan penyimpanan (Lampiran 1). Keuntungan tataniaga merupakan selisih antara harga jual dengan harga beli dan dikurangi dengan biaya tataniaga yang telah dikeluarkan masing-masing lembaga tataniaga (Lampiran 2). Pedagang pengumpul membeli lidah buaya dari petani dengan harga yang berbeda-beda berdasarkan harga yang telah disepakati pada proses tawarmenawar antara petani dengan pedagang pengumpul atau antara petani dengan pedagang besar. Marjin tataniaga terbesar terdapat pada lidah buaya grade A sebesar Rp di saluran III dan lidah buaya grade B sebesar Rp pada saluran II (lampiram 2). Saluran yang menyalurkan lidah buaya grade A dan B adalah saluran I dan II, adapun saluran III dan IV hanya menyalurkan lidah buaya grade A, hal ini terjadi karena permintaan pedagang pengecer skala swalayan yang menghendaki produk lidah buaya yang dijual di seluruh gerai adalah grade A dengan kualitas terbaik. Saluran III menghasilkan margin tataniaga terbesar dengan rantai tataniaga terpanjang. Biaya tataniaga terbesar berdasarkan hasil penelitian terdapat pada saluran III, biaya-biaya tersebut merupakan hasil akumulasi biaya yang dikeluarkan oleh setiap lembaga tataniaga dalam saluran III, biaya yang dikeluarkan untuk memasarkan lidah buaya dengan grade A sebesar Rp per kilogram dan biaya tataniaga terbesar untuk lidah buaya dengan grade B terdapat pada saluran II sebesar Rp per kilogram (lampiran 1), hal ini terjadi pada saluran tataniaga dengan rantai tataniaga yang panjang sehingga setiap lembaga tataniaga berusaha mengambil keuntungan untuk menutupi biaya tataniaga yang telah dikeluarkan dan berusaha memposisikan lidah buaya yang dijual kepada konsumen, sesuai dengan harga yang ditetapkan, pada akhirnya harga jual yang tinggi akan tetap dibayarkan oleh konsumen dengan timbal balik berupa kepuasan yang diterima oleh konsumen. Keuntungan tataniaga terbesar untuk penjualan lidah buaya grade A berada pada saluran III dengan rantai tataniaga terpanjang, keuntungan tataniaga terbesar berada pada level pedagang pengecer skala swalayan, karena lembaga ini berusaha memposisikan lidah buaya yang dipanen oleh petani menjadi lidah buaya yang layak di tingkat konsumen dengan harga yang telah ditetapkan oleh pedagang pengecer. Total keuntungan tataniaga terbesar di saluran III untuk lidah buaya grade A sebesar Rp per kilogram dan total keuntungan terbesar di saluran II untuk lidah buaya grade B sebesar Rp per kilogram (Lampiran 2). Indikator efisiensi tataniaga dapat dilihat dari besarnya margin tataniaga, maka berdasarkan hasil perhitungan analisis margin tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor, saluran tataniaga yang efisien adalah saluran I dengan margin tataniaga lidah buaya terkecil untuk grade A sebesar Rp per kilogram dan grade B sebesar Rp per kilogram (Lampiran 2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dan semakin banyak fungsi tataniaga yang dilakukan setiap lembaga tataniaga, maka margin tataniaga yang terbentuk akan semakin besar. 43

60 44 Analisis Farmer s Share Analisis farmer s share merupakan perbandingan harga yang diterima oleh petani lidah buaya dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir, Analisis farmer s share dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan efisiensi saluran tataniaga suatu produk. Nilai farmer s share yang tinggi tidak selalu menunjukkan bahwa sebuah saluran tataniaga tersebut efisien, hal ini terjadi apabila lembaga tataniaga yang terlibat didalamnya tidak memperoleh kepuasan, Asmarantaka (2012) menyatakan bahwa ukuran efisiensi adalah kepuasan dari konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat didalam mengalirkan barang atau jasa mulai dari petani hingga konsumen akhir, namun ukuran untuk menentukan tingkat kepuasan tersebut adalah sulit dan sangat relatif. Analisis farmer s share dalam penelitian ini membantu menganalisa efisiensi saluran tataniaga secara kuantitatif dengan membandingkan harga di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Hasil farmer s share pada saluran tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Farmer s share pada saluran tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2016 Saluran Grade Harga di tingkat petani Harga di tingkat konsumen Farmer's share I II III IV (Rp/kilogram) (Rp/kilogram) (%) A B A B A B A B Tabel 13 menunjukkan bahwa bagian terbesar yang diterima petani terdapat pada saluran I yaitu sebesar persen untuk lidah buaya grade A dan persen untuk lidah buaya grade B, artinya harga di tingkat petani tidak berbeda jauh dengan harga di tingkat konsumen akhir, sehingga bagian harga yang diterima oleh lembaga tataniaga dalam saluran I tidak terlampau jauh berbeda dengan bagian harga yang diterima oleh petani. Berbeda dengan saluran III, farmer s share yang dihasilkan sebesar persen, artinya harga di tingkat petani berbeda jauh dengan harga yang diterima konsumen akhir, hal ini terjadi akibat panjangnya rantai tataniaga dengan melibatkan beberapa lembaga tataniga yang menjalankan fungsi tataniaga sesuai kebutuhannya, lembaga tataniaga mengambil keuntungan dengan mempertimbangkan biaya tataniaga yang telah dikeluarkan dan fungsi tataniaga yang telah dilakukan guna memberikan nilai

61 tambah dari produk lidah buaya dengan tujuan untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Hasil perhitungan farmer s share dalam tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa saluran I merupakan saluran yang paling efisien, yang dinyatakan dengan nilai farmer s share terbesar bila dibandingkan dengan nilai farmer s share pada saluran II, III dan IV. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Ukuran efisiensi tataniaga lainnya dapat dilihat dari perbandingan nilai antara besarnya keuntungan terhadap biaya. Saluran tataniaga dinyatakan efisien apabila penyebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya di setiap lembaga tataniaga tersebar secara merata, artinya bahwa setiap biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan yang tidak jauh berbeda pada masing-masing lembaga tataniaga yang terdapat dalam saluran tersebut. Rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2016 Saluran Uraian I II III IV (Rp/kilogram) (Rp/kilogram) (Rp/kilogram) (Rp/kilogram) A B A B A B A B Pedagang Pengumpul Ci Πi Rasio Πi /Ci Pedagang Besar Ci Πi Rasio Πi /Ci Pedagang Pengecer (Toko) Ci Πi Rasio Πi /Ci Pedagang Pengecer (Swalayan) Ci Πi Rasio Πi /Ci Total Ci Πi Rasio Πi /Ci Berdasarkan tabel 14, bahwa saluran I grade A memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 3.71, artinya setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 3.71 dan saluran I dengan lidah buaya grade B sebesar Biaya ditanggung oleh pedagang pengumpul sebesar Rp 450 per kilogram dengan keuntungan 45

62 46 sebesar Rp per kilogram, pada saluran ini hanya petani dan pedagang pengumpul yang terlibat dalam tataniaga lidah buaya. Saluran II dengan lidah buaya grade A memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 2.15, artinya setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 2.15 dan saluran II pada lidah buaya grade B sebesar Biaya terbesar ditanggung oleh pedagang pedagang pengecer toko sebesar Rp 575 per kilogram dengan keuntungan terbesar diperoleh sebesar Rp per kilogram. Saluran II melibatkan petani, pedagang pengumpul dan pedagang pengecer (toko) Saluran III dengan lidah buaya grade A memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 4.96, artinya setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp Biaya terbesar ditanggung oleh pedagang pedagang pengecer (swalayan) sebesar Rp 808 per kilogram dengan keuntungan terbesar diperoleh sebesar Rp per kilogram. Saluran III melibatkan petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer (swalayan) Saluran IV dengan lidah buaya grade A memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 6.13, artinya setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp Biaya terbesar ditanggung oleh pedagang pedagang pengecer (swalayan) sebesar Rp 808 per kilogram dengan keuntungan terbesar yang diperoleh sebesar Rp per kilogram. Saluran IV melibatkan petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer (swalayan). Perbedaan rasio keuntungan terhadap biaya yang dikeluarkan antara saluran III, IV dengan saluran I, II terletak pada besarnya biaya yang dikeluarkan dan perlakuan fisik terhadap pelepah lidah buaya, terutama pada level pedagang pengecer (swalayan), pada saluran III dan IV, lidah buaya dijual dengan harga yang tinggi dengan mempertimbangan besarnya biaya tataniaga dan risiko yang diterima pedagang pengecer apabila lidah buaya yang dibeli tidak dapat terjual, sehingga pedagang pengecer (swalayan) berusaha memposisikan lidah buaya di benak konsumen sesuai dengan harga yang ditetapkannya, pedagang pengecer (swalayan) berusaha meningkatkan nilai jual lidah buaya dengan melakukan pengemasan lidah buaya sebaik mungkin dan menyimpan di tempat yang aman dan awet, sehingga kondisi kesegaran pelepah lidah buaya tetap terjaga hingga pada saat produk sampai ke pihak konsumen. Efisiensi Tataniaga Efisiensi tataniaga dapat tercapai jika sistem tataniaga yang ada memberikan kepuasan kepada pelaku-pelaku tataniaga yang terlibat, mulai dari level petani hingga konsumen akhir dan sistem tataniaga tersebut dapat memenuhi persyaratan efisiensi sebagaimana yang disebutkan oleh Mubyarto (1989) yaitu 1) Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani (produsen) ke tingkat konsumen dengan biaya serendah mungkin, 2) Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang telah ikut serta di dalam kegiatan produksi dan kegiatan pemasaran komoditas tersebut, pengertian adil adalah perbandingan antara pengorbanan yang

63 dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh setiap komponen tataniaga berada dalam keseimbangan. Berdasarkan indikator efisiensi tataniaga yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu efisiensi operasional yang dilihat berdasarkan nilai marjin tataniaga, farmer s share dan rasio keuntungan terhadap biaya, maka hasil analisis tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa marjin tataniaga berbanding terbalik dengan farmer s share dan rasio keuntungan terhadap biaya akan semakin besar jika lembaga tataniaga menetapkan keuntungan yang lebih besar terhadap besaran biaya tataniaga yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai margin tataniaga terkecil dan nilai farmer s share terbesar terdapat pada saluran I pada lidah buaya grade A dengan nilai margin tataniaga sebesar Rp dengan farmer s share sebesar dan lidah buaya grade B dengan nilai margin tataniaga sebesar Rp dengan farmer s share sebesar (Tabel 15) dan dihasilkan pembagian rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga tataniaga pada saluran I yang tidak berbeda jauh dengan lembaga tataniaga lainnya yang melakukan fungsi tataniaga yang sama (Tabel 14), sehingga berdasarkan pendekatan tersebut dapat dikatakan bahwa saluran tataniaga lidah buaya yang lebih efisien di Kabupaten Bogor terdapat pada saluran I, ditunjukkan dengan nilai margin tataniaga terkecil dan nilai farmer s share terbesar, dan rasio keuntungan terhadap biaya yang terdistribusi secara merata. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran IV menghasilkan nilai rasio terbesar, namun saluran ini tidak memberikan pembagian harga yang sesuai kepada petani meski harga di tingkat petani lebih besar bila dibandingkan dengan saluran lainnya, namun selisih harga di tingkat petani dengan retailer yang terpaut jauh akan menghasilkan farmer share yang rendah, sehingga bagian harga yang diterima petani jauh berbeda dengan bagian harga yang di terima oleh retailer, selain itu pada saluran IV terdapat pembagian rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga yang tidak merata, rasio tertinggi lebih banyak diperoleh lembaga di tingkat pedagang pengecer swalayan (Tabel 14). Tabel 15 Nilai efisiensi pada saluran tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun Saluran I II III IV Grade Harga di Tingkat Petani Margin Tataniaga Farmer's Share Rasio Keuntungan dan Biaya (Rp/kilogram) (Rp/kilogram) (%) (π/c) A B A B A B A B - - -

64 48 Tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor merupakan suatu proses penyaluran produk hasil panen petani lidah buaya dalam bentuk pelepah lidah buaya segar melalui beberapa lembaga tataniaga hingga ke pihak konsumen. Hasil penelitian menunjukkan terdapat selisih harga yang terpaut jauh antara harga di tingkat petani dengan harga yang diterima konsumen, harga ratarata produk lidah buaya segar dengan grade A adalah Rp hingga Rp per kilogram dan harga rata-rata yang diterima konsumen antara Rp hingga Rp per kilogram. Bagian harga yang diterima petani akan menjadi lebih kecil, jika selisih harga di tingkat petani (produsen) dengan harga di tingkat konsumen terpaut jauh, kondisi yang terjadi saat ini adalah willingness to pay konsumen terhadap pelepah lidah buaya segar cukup tinggi, dengan harga tertinggi di tingkat konsumen atau harga yang dijual retailer yaitu sebesar Rp per kilogram untuk lidah buaya grade A, sehingga perlu diamati fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga dalam upaya meningkatkan nilai tambah dari produk lidah buaya tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai margin dan keuntungan tertinggi lebih banyak diperoleh lembaga tataniaga di tingkat pedagang pengecer swalayan, apabila diamati dari tampilan fisik pelepah lidah buaya segar yang dijual di swalayan, tampilan fisik pelepah lidah buaya tersebut tidak terlihat banyak perubahan, namun peningkatan nilai tambah tertinggi dari pelepah lidah buaya dilakukan pada kegiatan pengemasan, pemberian label harga atau merk dan penyimpanan lidah buaya di lemari pendingin dengan suhu celcius, hal ini dilakukan oleh pedagang pengecer swalayan guna mempertahankan kesegaran lidah buaya, sehingga tujuan retailer melakukan fungsi tataniaga tersebut adalah menjual produk lidah buaya kepada konsumen dalam kondisi segar. Keempat saluran tataniaga lidah buaya yang terbentuk saat ini merupakan saluran yang dianggap efisien bagi petani dalam menyalurkan hasil panen lidah buaya ke pihak konsumen, namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem tataniaga lidah buaya yang terjadi di Kabupaten Bogor masih perlu banyak perbaikan, sehingga efisiensi sistem tataniaga yang diharapkan dapat terwujud. Masalah kesenjangan harga di tingkat petani dengan harga di tingkat retailer yang cukup besar dapat menjadi pemicu terjadinya pasar yang tidak sehat, hal ini diduga petani (produsen) belum dapat menerima sinyal willingness to pay konsumen dengan baik, artinya petani belum mampu merespon insentif yang diberikan oleh willingness to pay konsumen, yaitu berupa harga yang sedianya akan dibayar oleh konsumen. Hal ini terjadi akibat adanya 1) Keterbatasan petani terhadap akses informasi pasar, dan 2) Keterbatasan modal serta sumberdaya petani untuk meningkatkan posisi tawarnya, sehingga yang terjadi saat ini adalah petani menyerahkan beberapa fungsi tataniaga yang bertujuan untuk meningkatkkan nilai tambah produk lidah buaya ke pihak retailer, hal ini yang menyebabkan bagian harga tertinggi berada di pihak retailer. Sistem pasar yang baik dan sehat, akan memberikan informasi yang seimbang dan transparan, kesenjangan harga yang terjadi di tingkat petani dengan harga yang diterima konsumen mengindikasikan bahwa pasar sebagai penghasil informasi harga belum berfungsi secara optimal dalam menyampaikan sinyal harga kepada petani (produsen), hal ini dapat dilihat bagaimana harga tidak dapat menjadi sinyal alokasi sumberdaya bagi petani (produsen). Informasi besaran

65 harga di tingkat pedagang pengecer swalayan pada saluran III dan IV seharusnya dapat menjadi panduan dalam menentukan harga yang layak di tingkat petani. Masalah kesenjangan harga pada setiap saluran seharusnya dapat diperbaiki oleh partisipan pasar atau melalui campur tangan pemerintah, sehingga fungsi pasar dapat bekerja secara optimal, dalam hal ini perbaikan sistem tataniaga dapat dilakukan melalui optimalisasi penyerapan informasi pasar oleh petani dan perbaikan posisi tawar di tingkat petani, bergabungnya para petani dalam suatu wadah baik kelompok tani atau koperasi dengan tujuan yang sama yaitu meningkatkan posisi tawar dan volume pasokan, dapat menjadi solusi dari kesenjangan harga yang terjadi, Rokhani et al. (2016) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa tindakan kolektif (collective action) merupakan tindakan sukarela yang diambil oleh kelompok untuk mengejar dan mencapai tujuan bersama dalam kelembagaan tani maupun koperasi. Dalam penelitiannya juga disebutkan bahwa tindakan kolektif dapat berperan positif dalam meningkatkan akses petani ke pasar, mendapatkan harga yang lebih baik, mengurangi biaya transaksi dan membantu beradaptasi dengan tuntutan pasar. Namun dalam pelaksanaannya Rokhani et al. (2016) juga menyebutkan bahwa dalam melakukan tindakan kolektif juga terdapat dilema atau kekurangan yang timbul akibat adanya kepentingan individu dari anggota kelompok, sehingga dalam pelaksanaannya perlu adanya kepercayaan (trust) diantara sesama anggota kelompok (sesama petani) dan masing-masing anggota kelompok mampu menekan keinginan individu untuk memperoleh laba individu yang lebih besar dengan cara yang tidak benar terhadap anggota lainnya, disampaikan juga dalam penelitian tersebut bahwa pemberian insentif terhadap anggota kelompok sesuai dengan kontribusi yang diberikan dapat menjadi solusi dari dilema yang terjadi. Cara lain yang dapat dilakukan oleh petani dalam memperbaiki kesenjangan harga yang terjadi saat ini, dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan pihak retailer maupun industri pengolahan dalam penyediaan pasokan lidah buaya, sehingga diharapkan kontinuitas pasokan menjadi lebih stabil dan kepastian harga di tingkat petani akan menjadi lebih baik, sebagaimana pertanian lidah buaya yang terjadi di Yunani, menurut hasil penelitian Liontakis dan Tzouramani (2016) bahwa tanaman lidah buaya di Yunani dapat membantu modernisasi sektor pertanian dan mampu menciptakan peluang ekonomi baru di pedesaan, dengan syarat penyaluran lidah buaya ke unit pengolahan sudah stabil dan adanya kepastian harga di tingkat produsen. Petani juga harus mampu mengeksplotasi saluran tataniaga ke luar negeri dan jangan bergantung pada penyaluran hasil ke unit pengolahan lokal. Hal ini menjadi tantangan baru bagi petani untuk dapat mengembangkan akses pasar yang lebih luas. 49 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada sistem tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor dapat disimpulkan bahwa terdapat empat saluran tataniaga yang melibatkan petani, pedagang pengumpul, pedagang besar,

66 50 pedagang pengecer skala toko dan pedagang pengecer skala swalayan. Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas sesuai dengan kebutuhannya dalam memperlancar aliran produk pelepah lidah buaya dari petani hingga konsumen akhir. Struktur pasar yang dihadapi petani bersifat persaingan monopolistik dan struktur pasar yang dihadapi di tingkat pedagang pengumpul, pedagang besar serta pedagang pengecer bersifat oligopsoni, sehingga secara umum struktur pasar cenderung mengarah pada pasar kompetitif. Perilaku pasar secara umum dapat dilihat dari praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan secara bebas tanpa ada ikatan kekeluargaan atau bantuan dari lembaga tataniaga di tingkat yang lebih tinggi, sistem penetapan harga cenderung kompetitif yaitu terjadi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak melalui proses tawar menawar antara petani dengan pedagang maupun antar pedagang, sistem pembayaran dilakukan secara tunai di level petani dan dilakukan secara tempo di level pedagang. Informasi pasar diperoleh dari rekan sesama profesi dan lembaga tataniaga yang berada diatasnya. Hasil penelitian menunjukkan saluran I merupakan saluran yang lebih efisien bila dibandingkan dengan saluran II, III dan IV, dengan rantai tataniaga terpendek yang menghasilkan nilai margin terkecil, farmer s share terbesar dan rasio keuntungan terhadap biaya yang wajar. Efisiensi sistem tataniaga dapat ditingkatkan pada masing-masing saluran melalui perbaikan sistem tataniaga melalui kerjasama antar petani berupa tindakan kolektif (collective action) atau dengan cara menjalin kerjasama antara petani dengan retailer dan industri pengolahan, sehingga diharapkan fungsi pasar sebagai penyalur informasi harga dapat bekerja secara optimal. Saran Saran yang dapat diberikan untuk pengembangan sistem tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor antara lain; 1. Petani diharapkan mampu menyerap informasi harga lidah buaya di tingkat retailer yang dapat digunakan sebagai panduan dalam menentukan harga yang layak di tingkat petani, hal ini dapat dilakukan dengan mengamati harga lidah buaya di pasar swalayan, toko buah dan informasi yang tersedia di media internet. 2. Informasi industri pengolahan lidah buaya di Jakarta dan sekitarnya, diharapkan dapat menjadi alternatif penyaluran hasil panen lidah buaya oleh petani dan lembaga tataniaga lainnya. 3. Kerjasama antar petani lidah buaya dapat dilakukan melalui wadah kelompok tani atau koperasi guna meningkatkan posisi tawar petani, volume pasokan dan kontinuitas pasokan. 4. Pedagang pengecer skala swalayan maupun industri pengolahan juga diharapkan mampu menjalin kerjasama dengan petani dalam penyediaan pasokan lidah buaya, sehingga diharapkan hasil kerjasama tersebut mampu memberikan lebih banyak manfaat serta perbaikan harga di tingkat petani.

67 51 DAFTAR PUSTAKA Adhiana Analisis Efisiensi Ekonomi Usahatani Lidah Buaya (Aloe vera) di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Agustian A, Mayrowani H Pola Distribusi Komoditas Kentang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 9 No 1, hal Aji TN, Subantoro R, Nurjayanti ED Analisis Tataniaga Kubis (Brassica oleraceae). Studi kasus di Desa Deles Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. Vol. 11. No Hal Arifin J Intensif Budidaya Lidah Buaya Usaha dengan Prospek yang Kian Berjaya. Yogyakarta (ID): Pustaka Baru Press. Asmarantaka RW Pemasaran Produk-Produk Pertanian dalam Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Bogor (ID): IPB press. Asmarantaka RW Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Bogor (ID): Departemen Agribisnis FEM-IPB. Assary A Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Komoditi Jahe, Kasus di Desa Kalapanunggal, Kecamatan Kalapanungggal, Kabupten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Daftar Perusahaan Pengolahan Lidah Buaya di Indonesia [Internet]. [diunduh 21 Februari 2017]. Tersedia pada: [BPS] Badan Pusat Statistik Statistik Tanaman Biofarmaka Indonesia [Internet]. [diunduh 05 Oktober 2016]. Tersedia pada: [BPS] Badan Pusat Statistik Statistik Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Lidah Buaya di Indonesia, [Internet]. [diunduh 05 Oktober 2016]. Tersedia pada: [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Produksi Hortikultura Tanaman Biofarmaka Jawa Barat [Internet]. [diunduh 05 Oktober 2016]. Tersedia pada: Dahl DC, Hammond JW Market and Price Analysis The Agricultural Industry. United State: Mc. Graw-Hill, Inc. [Diperta] Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat Produksi Tanaman Obat Lidah Buaya di Jawa Barat Tahun (Internet). [diunduh 05 Desember 2016] Tersedia pada buaya/1903/2625. Fardani L Analisis Efisiensi Pemasaran dan Strategi Pemasaran Jahe Gajah di Kabupaten Jember. Jember (ID): Universitas Jember. Febriani, Nurmalina R Sistem Pemasaran Dan Nilai Tambah Olahan Ubi Jalar (Ipomoea batatas, L.) Di Desa Cikarawang dan Desa Petir Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fuady V Analisis Tataniaga Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Furnawanthi I Khasiat dan Manfaat Lidah Buaya Si Tanaman Ajaib. Edisi 8. Jakarta selatan (ID): PT. Agro Media Pustaka.

68 52 Hanafiah AM, Saefuddin Tataniaga Hasil Pertanian. Jakarta (ID): Universitas Indonesia (UI-Press). Kohls RL, Uhl JN Marketing of Agricultural Product 9th ed. New Jerssey (US): Prentisce Hall. Kotler P, Susanto AB Manajemen Pemasaran di Indonesia. Hermawan AA, penerjemah. Jakarta (ID): Salemba Empat. Liontakis A, Tzouramani I Economic Sustainability of Organic Aloevera Farming in Greece under Risk and Uncertainty. Journal of Sustainability, 8, 338, Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID): LP3ES Nurianty S, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Pengembangan Komoditas Hortikultura di Kabupaten Bogor [Internet]. [diunduh 05 November 2016]. Tersedia pada: Pradika A, Hasyim AI, Soelaiman A Analisis Efisiensi Ubi Jalar di Kabupaten Lampung Tengah. JIIA, Vol 1 No. 1. Putri YR, Santoso SI, Roessali W Farmer s Share dan Efisiensi Saluran Pemasaran Kacang Hijau (Vigna radiata, L.) di Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan. Vol 6 No. 2. Rokhani, Sumarti T, Didin S, Damanhuri, Wahyuni SW Dilema Kolektivitas Petani Kopi: Tinjauan Sosiologi Weberian, Kasus Petani Kopi di Nagori Sait Buttu Saribu, Kecamatan Pamatang Sidamanik Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara). Jurnal Sosiologi Pedesaan. Hal Sembiring KP Analisis Tataniaga Kubis (Brassica oleracea L) di Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Siregar H, Widyastutik, Mulyati H Usaha Kecil Lidah Buaya di Kabupaten Bogor Sebuah Analisis Sosial Ekonomi dan Lingkungan. Jurnal Manajemen Agribisnis. Vol 5 No. 1 : Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sudiyono A Pemasaran Pertanian. Malang (ID): Universitas Muhammadiyah Malang Press. Suprabowo RL Analisis Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Syahza A Paradigma Baru: Pemasaran Produk Pertanian Berbasis Agribisnis di Daerah Riau. Jurnal Ekonomi. 8(1):1-11. Jakarta (ID): Universitas Tarumanegara.

69 Lampiran 1 Biaya tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2016 Saluran Uraian I II III IV (Rp/kilogram) (Rp/kilogram) (Rp/kilogram) (Rp/kilogram) A B A B A B A B Petani Panen Sortasi dan grading Pengemasan Jumlah Pedagang Pengumpul Angkutan dan bongkar muat Jumlah Pedagang Besar Sortasi Pengemasan Angkutan dan bongkar muat Jumlah Pedagang Pengecer (Toko) Sortir Angkutan dan bongkar muat Pengemasan Penyimpanan Jumlah Pedagang Pengecer (Swalayan) Sortir Angkutan dan bongkar muat Pengemasan Penyimpanan Jumlah Total

70 Lampiran 2 Marjin tataniaga lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2016 Uraian Saluran I II III IV (Rp/kilogram) (%) (Rp/kilogram) (%) (Rp/kilogram) (%) (Rp/kilogram) (%) A B A B A B A B A B A B A B A B 1. Petani a. Harga Jual b. Biaya Tataniaga Pedagang Pengumpul a. Harga Beli b. Biaya Tataniaga c. Harga Jual d. Keuntungan e. Margin Tataniaga Pedagang Besar a. Harga Beli b. Biaya Tataniaga c. Harga Jual d. Keuntungan e. Margin Tataniaga Pedagang Pengecer (Toko) a. Harga Beli b. Biaya Tataniaga c. Harga Jual d. Keuntungan e. Margin Tataniaga Pedagang Pengecer (Swalayan) a. Harga Beli b. Biaya Tataniaga c. Harga Jual d. Keuntungan e. Margin Tataniaga Total Biaya (Rp/kilogram) Total Keuntungan (Rp/kilogram) Total Marjin Tataniaga (Rp/kilogram)

71 Lampiran 3 Dokumentasi Tanaman lidah buaya di Kec. Rancabungur Tanaman lidah buaya di Kec. Kemang Pelepah lidah buaya (kondisi setelah panen) Pelepah lidah buaya (setelah di sortir dan dibersihkan) Koran bekas untuk kemasan pelepah lidah buaya ke pedagang besar Lidah buaya di pedagang pengecer (swalayan)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006) tataniaga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006), istilah tataniaga dan pemasaran merupakan terjemahan dari marketing, selanjutnya tataniaga

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1 Konsep Tataniaga Pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya melibatkan individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini didasari oleh teori-teori mengenai konsep sistem tataniaga; konsep fungsi tataniaga; konsep saluran dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini 33 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini menggunakan metode sensus. Pengertian sensus dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Nilai Tambah Nilai tambah merupakan pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis digunakan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian

Lebih terperinci

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR 7.1. Analisis Struktur Pasar Struktur pasar nenas diketahui dengan melihat jumlah penjual dan pembeli, sifat produk, hambatan masuk dan keluar pasar,

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani Soeharjo dan Patong (1973), mengemukakan definisi dari pendapatan adalah keuntungan yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tiga desa di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur yaitu Desa Ciherang, Cipendawa, dan Sukatani. Pemilihan lokasi dilakukan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Tataniaga atau pemasaran memiliki banyak definisi. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) istilah tataniaga dan pemasaran

Lebih terperinci

TATANIAGA PERTANIAN OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN

TATANIAGA PERTANIAN OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN TATANIAGA PERTANIAN OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN TATANIAGA PERTANIAN Tataniaga Pertanian atau Pemasaran Produk-Produk Pertanian (Marketing of Agricultural), pengertiannya berbeda

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Tataniaga Pada perekonomian saat ini, hubungan produsen dan konsumen dalam melakukan proses tataniaga jarang sekali berinteraksi secara

Lebih terperinci

Program Studi Agribisnis FP USU Jln. Prof. A. Sofyan No. 3 Medan HP ,

Program Studi Agribisnis FP USU Jln. Prof. A. Sofyan No. 3 Medan HP , ANALISIS TATANIAGA SAYURAN KUBIS EKSPOR DI DESA SARIBUDOLOK KECAMATAN SILIMAKUTA KABUPATEN SIMALUNGUN Roma Kasihta Sinaga 1), Yusak Maryunianta 2), M. Jufri 3) 1) Alumni Program Studi Agribisnis FP USU,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk 28 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasiona Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi tentang konsep-konsep teori yang dipergunakan atau berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Berdasarkan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis Kubis juga disebut kol dibeberapa daerah. Kubis merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan pada sektor agribisnis yang dapat memberikan sumbangan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian ini menggunakan teori sistem pemasaran dengan mengkaji saluran pemasaran, fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar, marjin pemasaran,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA BERAS

ANALISIS TATANIAGA BERAS VI ANALISIS TATANIAGA BERAS Tataniaga beras yang ada di Indonesia melibatkan beberapa lembaga tataniaga yang saling berhubungan. Berdasarkan hasil pengamatan, lembagalembaga tataniaga yang ditemui di lokasi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , ,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , , V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Umur petani responden Umur Petani merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada aktivitas di sektor pertanian. Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Gapoktan Bunga Wortel Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penetuan lokasi penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol Karo (2010) melakukan penelitian mengenai analisis usahatani dan pemasaran kembang kol di Kelompok Tani Suka Tani, Desa Tugu Utara,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Usahatani dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana. produksi danpendapatanyang diinginkan pada waktu tertentu.

III. METODE PENELITIAN. Usahatani dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana. produksi danpendapatanyang diinginkan pada waktu tertentu. 37 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Usahatani dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang petani mengalokasikan sumberdaya yang ada, baik lahan, tenaga

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang 46 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Sistem Tataniaga Tataniaga adalah suatu kegiatan dalam mengalirkan produk dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga erat

Lebih terperinci

Sosio Ekonomika Bisnis Vol 18. (2) 2015 ISSN Tinur Sulastri Situmorang¹, Zulkifli Alamsyah² dan Saidin Nainggolan²

Sosio Ekonomika Bisnis Vol 18. (2) 2015 ISSN Tinur Sulastri Situmorang¹, Zulkifli Alamsyah² dan Saidin Nainggolan² ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAWI MANIS DENGAN PENDEKATAN STRUCTURE, CONDUCT, AND PERFORMANCE (SCP) DI KECAMATAN JAMBI SELATAN KOTA JAMBI Tinur Sulastri Situmorang¹, Zulkifli Alamsyah² dan Saidin Nainggolan²

Lebih terperinci

AGRISTA : Vol. 3 No. 2 Juni 2015 : Hal ISSN ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN KEDELAI DI KABUPATEN GROBOGAN

AGRISTA : Vol. 3 No. 2 Juni 2015 : Hal ISSN ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN KEDELAI DI KABUPATEN GROBOGAN AGRISTA : Vol. 3 No. 2 Juni 2015 : Hal.63-70 ISSN 2302-1713 ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN KEDELAI DI KABUPATEN GROBOGAN Cindy Dwi Hartitianingtias, Joko Sutrisno, Setyowati Program Studi Agribisnis Fakultas

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Definisi Pedagang Karakteristik pedagang adalah pola tingkah laku dari pedagang yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana pedagang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Sistem dan Pola Saluran Pemasaran Bawang Merah Pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes terbentuk dari beberapa komponen lembaga pemasaran, yaitu pedagang pengumpul,

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA UBI JALAR DI DESA PURWASARI KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR. JAWA BARAT

ANALISIS TATANIAGA UBI JALAR DI DESA PURWASARI KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR. JAWA BARAT ANALISIS TATANIAGA UBI JALAR DI DESA PURWASARI KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR. JAWA BARAT Hariry Anwar*, Acep Muhib**, Elpawati *** ABSTRAK Tujuan penelitian menganalisis saluran tataniaga ubi jalar

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kelompok tani Suka Tani di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, propinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang merupakan anggota Allium yang paling banyak diusahakan dan memiliki nilai ekonomis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang beriklim tropis dan relatif subur. Atas alasan demikian Indonesia memiliki kekayaan flora yang melimpah juga beraneka ragam.

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Melinjo (Gnetum gnemon, L.) termasuk tumbuhan berbiji terbuka

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Melinjo (Gnetum gnemon, L.) termasuk tumbuhan berbiji terbuka II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjuan Pustaka 1. Tanaman Melinjo Melinjo (Gnetum gnemon, L.) termasuk tumbuhan berbiji terbuka (Gymnospermae), dengan tanda-tanda : bijinya tidak terbungkus daging tetapi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Pengertian Usahatani Rifai (1973) dalam Purba (1989) mendefinisikan usahatani sebagai pengorganisasian dari faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, modal dan manajemen,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum.

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum. 26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional mencakup semua pengertian yang digunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisis sesuai dengan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2017 sampai April 2017.

Lebih terperinci

HUBUNGAN SALURAN TATANIAGA DENGAN EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH

HUBUNGAN SALURAN TATANIAGA DENGAN EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH HUBUNGAN SALURAN TATANIAGA DENGAN EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH (Capsicum annuum SP.) (Kasus : Desa Beganding, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo) Masyuliana*), Kelin Tarigan **) dan Salmiah **)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

VII ANALISIS PEMASARAN KEMBANG KOL 7.1 Analisis Pemasaran Kembang Kol Penelaahan tentang pemasaran kembang kol pada penelitian ini diawali dari petani sebagai produsen, tengkulak atau pedagang pengumpul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi dalam upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi dalam upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian khususnya tanaman hortikultura selama ini mempunyai peluang yang besar, tidak hanya sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang saat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pupuk Bersubsidi Pupuk bersubsidi ialah pupuk yang pengadaanya dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebtuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka Sawi adalah sekelompok tumbuhan dari marga Brassica yang dimanfaatkan daun atau bunganya sebagai bahan pangan (sayuran),

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran merupakan konsep dalam mencari kebenaran deduktif atau secara umum ke khusus. Pada kerangka pemikiran teoritis penelitian ini

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemasaran 2.2 Lembaga dan Saluran Pemasaran

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemasaran 2.2 Lembaga dan Saluran Pemasaran 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemasaran Pemasaran merupakan semua kegiatan yang mengarahkan aliran barangbarang dari produsen kepada konsumen termasuk kegiatan operasi dan transaksi yang terlibat dalam pergerakan,

Lebih terperinci

BAB IX ANALISIS PEMASARAN PEPAYA SPO DAN PEPAYA NON SPO. memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen.

BAB IX ANALISIS PEMASARAN PEPAYA SPO DAN PEPAYA NON SPO. memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen. BAB IX ANALISIS PEMASARAN PEPAYA SPO DAN PEPAYA NON SPO Pemasaran adalah suatu runtutan kegiatan atau jasa yang dilakukan untuk memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen. Kelompok

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Tataniaga Saluran tataniaga sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir dari petani hingga konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga yaitu pedagang pengumpul

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Penelitian ini menggunakan

III. METODE PENELITIAN. tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Penelitian ini menggunakan III. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Penelitian ini menggunakan metode penelitian survai. Penelitian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1. Pasar dan Pemasaran Pasar secara sederhana dapat diartikan sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk bertukar barang-barang mereka. Pasar merupakan suatu yang sangat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Tanaman bawang merah diyakini berasal dari daerah Asia Tengah, yakni sekitar Bangladesh, India, dan Pakistan. Bawang merah dapat

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. terhadap barang dan jasa sehingga dapat berpindah dari tangan produsen ke

KERANGKA PEMIKIRAN. terhadap barang dan jasa sehingga dapat berpindah dari tangan produsen ke III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1. Konsep Pemasaran Definisi tentang pemasaran telah banyak dikemukakan oleh para ahli ekonomi, pada hakekatnya bahwa pemasaran merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN *

I. PENDAHULUAN * I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pengembangan hortikultura yang ditetapkan oleh pemerintah diarahkan untuk pelestarian lingkungan; penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan; peningkatan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT 55 VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT Bab ini membahas sistem pemasaran rumput laut dengan menggunakan pendekatan structure, conduct, dan performance (SCP). Struktur pasar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Produk Hasil Perikanan Tangkap Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dibudidayakan dengan alat atau cara apapun. Produk hasil perikanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kerangka Teoritis Kelayakan Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kerangka Teoritis Kelayakan Usahatani 6 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Kelayakan Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Soeharjo dkk (1973) dalam Assary (2001) Suatu usahatani dikatakan layak atau berhasil apabila usahatani tersebut dapat menutupi

Lebih terperinci

SISTEM PEMASARAN BERAS DI KECAMATAN CIBEBER, KABUPATEN CIANJUR

SISTEM PEMASARAN BERAS DI KECAMATAN CIBEBER, KABUPATEN CIANJUR SISTEM PEMASARAN BERAS DI KECAMATAN CIBEBER, KABUPATEN CIANJUR Alexandro Ephannuel Saragih 1), dan Netti Tinaprilla 2) 1,2) Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. komoditi pertanian, menumbuhkan usaha kecil menengah dan koperasi serta

I. PENDAHULUAN. komoditi pertanian, menumbuhkan usaha kecil menengah dan koperasi serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian di bidang pangan khususnya hortikultura pada saat ini ditujukan untuk memantapkan swasembada pangan, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memperbaiki

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kabupaten Brebes merupakan daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia, baik dalam hal luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas per

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI

KERANGKA PENDEKATAN TEORI II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Komoditi melinjo Melinjo (Gnetum gnemon, L.) merupakan salah satu tanaman yang dapat hidup sampai mencapai umur di atas 100 tahun dan masih tetap menghasilkan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah Saluran pemasaran cabai rawit merah di Desa Cigedug terbagi dua yaitu cabai rawit merah yang dijual ke pasar (petani non mitra) dan cabai

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A 14105605 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN JAGUNG (Zea mays) DI KABUPATEN GROBOGAN (Studi Kasus di Kecamatan Geyer)

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN JAGUNG (Zea mays) DI KABUPATEN GROBOGAN (Studi Kasus di Kecamatan Geyer) ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN JAGUNG (Zea mays) DI KABUPATEN GROBOGAN (Studi Kasus di Kecamatan Geyer) Dimas Kharisma Ramadhani, Endang Siti Rahayu, Setyowati Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

Elvira Avianty, Atikah Nurhayati, dan Asep Agus Handaka Suryana Universitas Padjadjaran

Elvira Avianty, Atikah Nurhayati, dan Asep Agus Handaka Suryana Universitas Padjadjaran ANALISIS PEMASARAN IKAN NEON TETRA (Paracheirodon innesi) STUDI KASUS DI KELOMPOK PEMBUDIDAYA IKAN CURUG JAYA II (KECAMATAN BOJONGSARI, KOTA DEPOK JAWA BARAT) Elvira Avianty, Atikah Nurhayati, dan Asep

Lebih terperinci

ANALISIS PEMASARAN JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DI KOTA PEKANBARU

ANALISIS PEMASARAN JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DI KOTA PEKANBARU ANALISIS PEMASARAN JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DI KOTA PEKANBARU MARKETING ANALYSIS OF WHITE OYSTER MUSHROOM (Pleurotus ostreatus) IN PEKANBARU CITY Wan Azmiliana 1), Ermi Tety 2), Yusmini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki peluang besar dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah untuk memajukan sektor pertanian. Salah satu subsektor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Di sektor produksi barang-barang dan jasa dihasilkan sedangkan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Di sektor produksi barang-barang dan jasa dihasilkan sedangkan di sektor TINJAUAN PUSTAKA Saluran dan Lembaga Tataniaga Di sektor produksi barang-barang dan jasa dihasilkan sedangkan di sektor konsumsi barang-barang dan jasa dikonsumsi oleh para konsumen. Jarak antara kedua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum pemasaran adalah proses aliran barang yang terjadi di dalam pasar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum pemasaran adalah proses aliran barang yang terjadi di dalam pasar. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tataniaga Pertanian Secara umum pemasaran adalah proses aliran barang yang terjadi di dalam pasar. Pemasaran adalah kegiatan mengalirkan barang dari produsen ke konsumen akhir

Lebih terperinci

DI DESA CIPEUYEUM, KECAMATAN HAURWANGI, KABUPATEN CIANJUR ABSTRACT

DI DESA CIPEUYEUM, KECAMATAN HAURWANGI, KABUPATEN CIANJUR ABSTRACT SISTEM Tata niaga KEDELAI DI DESA CIPEUYEUM, KECAMATAN HAURWANGI, KABUPATEN CIANJUR Aldha Hermianty Alang *)1, dan Heny Kuswanti Suwarsinah *) *) Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAYURAN DATARAN TINGGI KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAYURAN DATARAN TINGGI KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA Evi Naria ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAYURAN DATARAN TINGGI KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA Efendi H. Silitonga Staf Pengajar Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara Medan Abstract North

Lebih terperinci

Analisis Pemasaran Kakao Pola Swadaya di Desa Talontam Kecamatan Benai Kabupaten Kuantan Singingi

Analisis Pemasaran Kakao Pola Swadaya di Desa Talontam Kecamatan Benai Kabupaten Kuantan Singingi Analisis Pemasaran Kakao Pola Swadaya di Desa Talontam Kecamatan Benai Kabupaten Kuantan Singingi Analysis Of Self-Help Pattern Of Cocoa Marketing In Talontam Village Benai Subdistrict Kuantan Singingi

Lebih terperinci

Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L)

Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L) Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L) Benidzar M. Andrie 105009041 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi BenizarMA@yahoo.co.id Tedi Hartoyo, Ir., MSc.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peranan penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa negara Indonesia adalah negara agraris yang harus melibatkan

Lebih terperinci

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

VI HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran dan Lembaga Tataniaga Dalam menjalankan kegiatan tataniaga, diperlukannya saluran tataniaga yang saling tergantung dimana terdiri dari sub-sub sistem atau fungsi-fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat 2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon. Penekanan hutan sebagai suatu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dibutuhkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2008) 1 komoditi

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret April 2012 di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian unggulan yang memiliki beberapa peranan penting yaitu dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengumpulan Data

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengumpulan Data IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

TATA NIAGA SALAK PONDOH (Salacca edulis reinw) DI KECAMATAN PAGEDONGAN BANJARNEGARA ABSTRAK

TATA NIAGA SALAK PONDOH (Salacca edulis reinw) DI KECAMATAN PAGEDONGAN BANJARNEGARA ABSTRAK 56 TATA NIAGA SALAK PONDOH (Salacca edulis reinw) DI KECAMATAN PAGEDONGAN BANJARNEGARA Agus Trias Budi, Pujiharto, dan Watemin Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuhwaluh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jagung (Zea mays L) merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki peran penting yaitu sebagai makanan manusia dan ternak. Indonesia merupakan salah satu penghasil

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN UBI KAYU DI PROVINSI LAMPUNG. (Analysis of Marketing Efficiency of Cassava in Lampung Province)

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN UBI KAYU DI PROVINSI LAMPUNG. (Analysis of Marketing Efficiency of Cassava in Lampung Province) ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN UBI KAYU DI PROVINSI LAMPUNG (Analysis of Marketing Efficiency of Cassava in Lampung Province) Nuni Anggraini, Ali Ibrahim Hasyim, Suriaty Situmorang Program Studi Agribisnis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional. Hal ini terlihat dari peranan sektor perkebunan kopi terhadap penyediaan lapangan

Lebih terperinci

ANALISIS SISTEM TATANIAGA MENTIMUN DI DESA LALADON, KECAMATAN CIOMAS, KABUPATEN BOGOR BACHTIYAR ARIF IBRAHIM

ANALISIS SISTEM TATANIAGA MENTIMUN DI DESA LALADON, KECAMATAN CIOMAS, KABUPATEN BOGOR BACHTIYAR ARIF IBRAHIM ANALISIS SISTEM TATANIAGA MENTIMUN DI DESA LALADON, KECAMATAN CIOMAS, KABUPATEN BOGOR BACHTIYAR ARIF IBRAHIM DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PERAN PEDAGANG PENGUMPUL DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA. Husnarti Dosen Agribisnis Faperta UMSB. Abstrak

PERAN PEDAGANG PENGUMPUL DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA. Husnarti Dosen Agribisnis Faperta UMSB. Abstrak PERAN PEDAGANG PENGUMPUL DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA Husnarti Dosen Agribisnis Faperta UMSB Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pedagang di Kabupaten Lima Puluh Kota. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

81 Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) 1 & 2

81 Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) 1 & 2 81 Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) ANALISIS SISTEM TATANIAGA BERAS PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, KABUPATEN CIANJUR PROVINSI JAWA BARAT Eva Yolynda Aviny

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber pertumbuhan ekonomi yang sangat potensial dalam pembangunan sektor pertanian adalah hortikultura. Seperti yang tersaji pada Tabel 1, dimana hortikultura yang termasuk

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Pasar Definisi yang tertua dan paling sederhana bahwa pasar adalah sebagai suatu lokasi secara fisik dimana terjadi jual beli atau suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

ANALISIS PEMASARAN NENAS PALEMBANG (KASUS: DESA PAYA BESAR, KECAMATAN PAYARAMAN, KABUPATEN OGAN ILIR, PROVINSI SUMATERA SELATAN)

ANALISIS PEMASARAN NENAS PALEMBANG (KASUS: DESA PAYA BESAR, KECAMATAN PAYARAMAN, KABUPATEN OGAN ILIR, PROVINSI SUMATERA SELATAN) Analisis Pemasaran Nenas Palembang ANALISIS PEMASARAN NENAS PALEMBANG (KASUS: DESA PAYA BESAR, KECAMATAN PAYARAMAN, KABUPATEN OGAN ILIR, PROVINSI SUMATERA SELATAN) Herawati 1) dan Amzul Rifin 2) 1,2) Departemen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis Secara umum sistem pemasaran komoditas pertanian termasuk hortikultura masih menjadi bagian yang lemah dari aliran komoditas. Masih lemahnya pemasaran komoditas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan. Pengembangan hortikuktura diharapkan mampu menambah pangsa pasar serta berdaya

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN ANGGREK VANDA DOUGLAS DI KECAMATAN PAMULANG KOTA TANGERANG SELATAN AGIL SETYAWAN

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN ANGGREK VANDA DOUGLAS DI KECAMATAN PAMULANG KOTA TANGERANG SELATAN AGIL SETYAWAN ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN ANGGREK VANDA DOUGLAS DI KECAMATAN PAMULANG KOTA TANGERANG SELATAN AGIL SETYAWAN DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya penduduk dan tenaga

Lebih terperinci