banyaknya perubahan lahan dari lahan terbuka menjadi lahan terbangun, memaksa penyediaan lahan menjadi semakin besar dan apabila lahan tidak mungkin

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "banyaknya perubahan lahan dari lahan terbuka menjadi lahan terbangun, memaksa penyediaan lahan menjadi semakin besar dan apabila lahan tidak mungkin"

Transkripsi

1 Gambar 4.15 Peta Kelas Lebar Jalan Masuk Kecamatan Balikpapan Selatan. 100 Gambar 4.16 Peta Pelanggan Listrik terhadap Blok Bangunan. 103 Gambar 4.17 Kenampakan Kualitas jalan baik hasil lapangan 105 Gambar 4.18 Peta Kelas Kualitas Jalan Kecamatan Balikpapan Selatan 106 Gambar 4.19 Peta Kelas Blok Permukiman Terhadap Jarak Kantor Pemadam Kebakaran Kecamatan Balikpapan Selatan 110 Gambar 4.20 Peta Kelas Blok Permukiman Terhadap Jangkauan Sumber Air Kecamatan Balikpapan Selatan Gambar 4.21 Peta Blok Permukiman Terhadap Buffer Hidran Kecamatan Balikpapan Selatan. 117 Gambar 4.22 Peta Potensi Kebakaran Permukiman Kecamatan Balikpapan Selatan 125 Gambar 4.23 Peta Penanganan Kebakaran Permukiman Kecamatan Balikpapan Selatan. 131 Gambar 4.24 Peta Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman Kecamatan Balikpapan Selatan xvi

2 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan tempat segala aktivitas yang melibatkan beberapa komponen masyarakat yang saling berintegrasi terhadap berbagai bidang kegiatan, seperti tempat bermukimnya masyarakat, tempat bekerja, tempat dilakukannya berbagai kegiatan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan pemerintahan. Kota dapat diibaratkan sebagai pusat dari segala aktivitas manusia yang mengalami perkembangan. Perkembangan Kota dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bertambahnya jumlah penduduk yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, kebutuhan akan lahan semakin meningkat, tersedianya kelengkapan fasilitas sarana dan prasarana umum yang memadai untuk menjalankan aktifitas penduduk dan kota digunakan sebagai tempat untuk mencari penghidupan yang layak. Sehingga dari dasar inilah suatu kota dapat dilihat arah perkembangan kota kecil menuju kedalam perkembangan kota besar (Karina, 2006). Kota Balikpapan merupakan kota yang sedang mengalami tahap perkembangan kota, ini dicirikan oleh bertambahnya jumlah penduduk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun serta penyediaan fasilitas umum yang memadai untuk menunjang aktivitas masyarakat. Semakin bertambahnya jumlah penduduk maka semakin besar kebutuhan lahan, seperti tempat untuk tinggal. Menurut Ditjen Cipta Karya PU (1980), terdapat tiga permasalahan yang dihadapi oleh kawasan perkotaan, yaitu (1) adanya kecenderungan pemusatan kegiatan; (2) perkembangan penggunaan lahan yang bercampur; dan (3) terjadinya perubahan alih fungsi lahan dari ruang terbuka, lahan konservasi, atau ruang terbuka hijau menjadi kawasan terbangun (permukiman, industri, perkantoran), sehingga permasalahan yang dihadapi di wilayah kota berkembang khususnya Kota Balikpapan antara lain adalah perubahan lahan untuk menunjang kehidupan masyarakat kota, baik dalam segi penyediaan sarana dan prasarana umum, maupun penyediaan lahan untuk tempat bermukim, dikarenakan semakin 1

3 banyaknya perubahan lahan dari lahan terbuka menjadi lahan terbangun, memaksa penyediaan lahan menjadi semakin besar dan apabila lahan tidak mungkin lagi untuk di konversi maka terjadi pemadatan permukiman. Pada kawasan padat permukiman sangat memungkinkan terjadinya sambungan listrik liar yang dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran permukiman. Kebakaran permukiman merupakan salah satu bencana yang memiliki dampak yang sangat besar dalam hal kerugian, baik dalam hal kerugian material maupun korban jiwa. Bencana kebakaran terjadi tidak mengenal waktu sehingga kejadiannya tidak dapat diprediksi kapan dan dimana peristiwa ini dapat terjadi. Menurut Suprapto, 2005, kebakaran adalah api yang tidak dikehendaki. Dengan demikian kebakaran sebenarnya adalah kondisi natural akibat persentuhan bahan bakar (fuel), oksigen dan panas atau kalor, yang tidak dikehendaki. Bencana kebakaran ini terjadi akibat adanya faktor pemicu, faktor pemicu yang berasal dari sumber api maupun faktor pemicu disekelilingnya, contohnya saja permukiman yang berdekatan satu dengan yang lainnya. Daerah yang rentan terhadap bahaya kebakaran dicirikan oleh kondisi fisik bangunan itu sendiri, biasanya terjadi pada permukiman padat dengan pola tidak teratur yang memiliki kualitas bahan bangunan rendah, ditambah dengan minimnya fasilitas pemadam kebakaran. Jarak antar rumah yang sempit akan menyulitkan mobil petugas pemadam kebakaran, dan kurang berfungsinya hidran akan memudahkan perembetan api (Suharyadi, 2001). Dengan melihat dampak kerugian yang ditimbulkan oleh bencana kebakaran begitu besar, maka harus memperhatikan resiko yang terjadi akibat bencana kebakaran, seperti kawasan rawan kebakaran pada permukiman dan area luasan dampak kebakaran yang ditimbulkan dari bencana kebakaran ini. Sehingga nantinya dapat meminimalisir dampak musibah peristiwa kebakaran, baik dari segi keamanan lingkungan, serta mengurangi dampak kerugian harta benda maupun korban jiwa. Peristiwa kebakaran yang terjadi di Kota Balikpapan menurut data dari Badan Penanggulangan Bencana Kebakaran Kota Balikpapan (BPBK) mengalami peningkatan yang signifikan. Berikut tabel 1.1 dan tabel 1.2 menerangkan 2

4 mengenai jumlah kasus kebakaran dari tahun ke tahun beserta kerugian harta benda serta korban jiwa yang dihasilkan di wilayah Kota Balikpapan. Tabel 1.1 Kasus Kejadian Kebakaran tahun di Kota Balikpapan No. Tahun Dampak Musibah Kebakaran Jumlah Kasus Kejadian (rumah mukim) kasus 37 rumah kasus 29 rumah kasus 33 rumah kasus 51 rumah Sumber: BPBK (Badan Penanggulangan Bencana Kebakaran) Kota Balikpapan, 2012 Tabel 1.2 Kerugian Harta Benda dan Korban Jiwa dalam Kebakaran tahun di Kota Balikpapan No. Tahun Korban Harta Meninggal Luka Berat Luka Ringan (Rp. Milyar) , ,313 Sumber: BPBK (Badan Penanggulangan Bencana Kebakaran) Kota Balikpapan, 2012 Kota yang berkembang harus memiliki sistem informasi keruangan yang digunakan untuk menunjang perkembangan kota dan menghasilkan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Sistem ini berupa pemberian informasi kepada masyarakat maupun pengambilan informasi secara spasial yang dibutuhkan untuk melihat perkembangan kota. Salah satu teknik yang digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai data keruangan yaitu menggunakan teknik penginderaan jauh yang berperan penting dalam bidang studi perkotaan. Penggunaan teknik penginderaan jauh ini didasarkan oleh pengambilan informasi tanpa melakukan kontak langsung. Media yang digunakan untuk analisis studi perkotaan yaitu menggunakan citra satelit yang memiliki resolusi spasial yang tinggi, dikarenakan resolusi spasial yang tinggi ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi objek kenampakan secara lebih detail khususnya dalam hal mengidentifikasi permukiman. Menurut Danoedoro (2003), resolusi spasial tinggi 3

5 digunakan untuk mendukung aplikasi perkotaan yang dicirikan oleh pengenalan pola permukiman serta perluasan dan perkembangan wilayah terbangun. Kemudian menurut Gunawan (2005), hasil informasi yang didapat dari penyadapan informasi dari citra yang memiliki resolusi tinggi yaitu meliputi kepadatan rumah, permukiman kumuh (slump area), drainase Kota, dan topografi. Produk Penginderaan Jauh yang memiliki keunggulan dalam hal resolusi spasial yang tinggi dan temporal dalam hal membantu untuk memperoleh data dan informasi spasial adalah citra satelit Quickbird. Citra satelit Quickbird ini merupakan salah satu produk penginderaan jauh terkini yang digunakan untuk membantu dalam hal memperoleh informasi dan data spasial di wilayah perkotaan. Citra Satelit Quickbird memiliki resolusi spasial yang tinggi yaitu pada saluran pankromatik resolusi spasialnya yaitu 0,61 meter sedangkan pada saluran multispektral resolusi spasialnya yaitu 2,44 meter, sehingga dari resolusi spasial yang tinggi ini maka untuk menganalisis maupun melakukan pengambilan data dan informasi kewilayahan sangat baik digunakan untuk studi perkotaan. Pengolahan dan penyajian dari hasil teknik penginderaan jauh dapat dilakukan dengan memanfaatkan sistem informasi geografis. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu aplikasi yang digunkan untuk membantu dalam hal mengolah data, menganalisis data dan memanipulasi data spasial. Dalam melakukan penelitian ini aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan sebagai alat bantu dalam hal mengolah dan menganalisis suatu data yang telah di dapat dari hasil interpretasi pada citra penginderaan jauh. Aplikasi ini digunakan untuk mengetahui variabel yang berpengaruh secara langsung ataupun variabel yang tidak berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran permukiman, sehingga nantinya dapat memberikan informasi berupa peta zonasi kerawanan kebakaran permukiman. Peta merupakan hasil representasi data yang telah diolah dan dianalisis. Kelebihan data yang disajikan dalam bentuk peta yaitu dapat memberikan informasi mengenai lokasi atau persebaran daerah rawan kebakaran, membantu peneliti sebelum melakukan survei, dan digunakan sebagai alat analisis di lapangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyediaan data dalam bentuk peta 4

6 memberikan kemudahan bagi pembuat peta dan bagi pengguna peta untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi yang diinginkan Rumusan Masalah Perubahan alih fungsi lahan atau konversi lahan baik dari lahan terbuka menjadi lahan terbangun khususnya diperuntukan bagi kawasan permukiman manjadi tantangan yang dihadapi di wilayah perkotaan yang sedang berkembang. Dikarenakan kota yang berkembang secara cepat dan dinamis memaksa perubahan lahan untuk kawasan permukiman menjadi bertambah. Berkembangnya suatu kota yang diiringi oleh bertambahnya jumlah penduduk menjadikan kota tersebut memiliki permasalahan dalam hal pemadatan permukiman yang dapat menimbulkan bencana kebakaran, Oleh sebab itu permasalahan yang ditimbulkan dari bertambahnya jumlah penduduk dan bertambahnya jumlah permukiman dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas permukiman, baik dari segi keamanan lingkungan maupun material bangunan. Kebakaran merupakan salah satu bencana yang memiliki tingkat dampak kerugian yang sangat besar dilihat dari kerugian yang ditimbulkan, baik berupa kerugian material maupun kerugian jiwa. Hal ini berkaitan dengan tingkat kerawanan kebakaran dalam wilayah perkotaan yang harus memperhatikan suatu sistem yang dapat memberikan informasi mengenai penyajian informasi yang dibutuhkan untuk dijadikan sebagai sarana pendukung atau penanggulangan musibah kebakaran. Adapun beberapa variabel yang digunakan untuk mengetahui zonasi tingkat kerawanan kebakaran permukiman baik dari segi potensi kebakaran dan penanganan kebakaran adalah kepadatan permukiman, lebar jalan masuk, pola permukiman, kualitas bahan bangunan permukiman, pelanggan listrik, kualitas jalan, ketersediaan fasilitas hidran, fasilitas pemadam lainnya berupa fasilitas unit pemadam kebakaran dan sumber air yang digunakan untuk melakukan pemadaman kebakaran. Penyediaan suatu data yang bersifat kompleks seperti daerah perkotaan haruslah bersifat valid, rinci, dan up to date ini dikarenakan sifat kota yang selalu bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman, kota berfungsi sebagai pusat 5

7 kegiatan, dan kota sebagai tempat untuk mencari kehidupan yang layak, oleh sebab itu sebagai jawaban dari penyediaan data yang dibutuhkan secara valid, rinci, dan up to date maka dibutuhkan teknik yang dapat memecahkan permasalahan analisis perkotaan, yaitu teknik penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan analisis wilayah perkotaan dengan cara melakukan interpretasi objek kota pada tiap analisis wilayah perkotaan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan berdasarkan analisis wilayah perkotaan. Penyediaan data ini dapat berupa hasil analisis yang telah dilakukan berdasarkan interpretasi menggunakan media citra resolusi tinggi yang digunakan untuk mendapatkan dan menyadap informasi secara berkala mengenai aktifitas perkotaan yang berubah begitu cepat, ataupun dengan cara melakukan kontak langsung untuk melihat perubahan yang ditimbulkan dari perkembangan kota yang begitu pesat. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Balikpapan. Kota Balikpapan memiliki luas wilayah dataran sebesar 503,3 km 2 dan terdiri dari 5 kecamatan dan 27 kelurahan (RTRW Kota Balikpapan, ). Dilihat dari luas wilayah Kota Balikpapan, maka tidak seluruh wilayah akan dilakukan pengkajian mengenai analisis kerawanan kebakaran permukiman, tetapi wilayah yang akan dikaji mengenai kerawanan kebakaran permukiman yaitu di kecamatan Balikpapan Selatan. Alasan utama pemilihan kecamatan Balikpapan Selatan yang digunakan sebagai daerah kajian adalah dikarenakan kecamatan Balikpapan Selatan memiliki jumlah penduduk terbanyak yaitu sebesar jiwa atau sekitar 34,36% penduduk Kota Balikpapan (Statistik Kota Balikpapan, 2011), dikarenakan jumlah penduduk yang begitu pesat mengakibatkan kebutuhan akan lahan permukiman khususnya rumah mukim semakin meningkat dan apabila kebutuhan akan lahan tersebut tidak tersedia maka akan terjadi pemadatan permukiman yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan permukiman yang mengakibatkan musibah kebakaran, dan alasan lainya dalam hal pemilihan wilayah penelitian ini adalah daerah tersebut belum memiliki peta zonasi tingkat kerawanan kebakaran permukiman. Berikut akan ditampilkan 6

8 mengenai persentase penduduk per kecamatan di wilayah Kota Balikpapan pada gambar % 34% 18% 22% 11% selatan timur utara tengah barat Gambar 1.1 Persentase penduduk per kecamatan Sumber : Bappeda Kota Balikpapan, 2011 Jumlah penduduk di Kecamatan Balikpapan Selatan memiliki persentase angka tertinggi dibandingkan kecamatan lainnya, maka hal itu selaras atau berbanding lurus dengan luasan area pada Kecamatan Balikpapan Selatan. Luas wilayah tidak mempengaruhi kepadatan penduduk, kepadatan penduduk dapat terjadi pada satu wilayah yang memiliki fasilitas sarana dan prasarana umum baik, dikarenakan semakin baik fasilitas yang dimiliki suatu kota maka semakin banyak penduduk yang berdatangan dan ingin mendiami suatu wilayah tersebut yang digunakan untuk menunjang segala aktivitas penduduk. Berikut akan ditampilkan sebaran luas wilayah administrasi di Kecamatan Balikpapan Selatan pada tabel 1.3. Tabel 1.3 Administrasi Kecamatan Balikpapan Selatan No. Kecamatan Balikpapan Selatan Kelurahan Luasan Area (Ha) 1 Prapatan 314,12 2 Telagasari 253,48 3 Klandasan Ulu 89,00 4 Klandasan Ilir 143,50 5 Damai 601,75 6 Gunung Bahagia 891,72 7 Sepinggan 2502,00 Sumber: Bappeda Kota Balikpapan,

9 Dari penjelasan sebelumnya mengenai luas wilayah, jumlah penduduk yang berada di kecamatan Balikpapan Selatan, serta belum adanya peta zonasi kerawanan kebakaran permukiman di Kecamatan Balikpapan Selatan maka Kecamatan Balikpapan Selatan menjadi salah satu alasan dipilihnya daerah ini menjadi lokasi penelitian. Sehingga semakin banyak jumah penduduk yang mendiami suatu wilayah khususnya Kecamatan Balikpapan Selatan maka semakin bertambah kebutuhan lahan akan permukiman dan apabila suatu lahan tidak mungkin lagi di konversi menjadi lahan baru yaitu lahan permukiman maka dapat mengakibatkan pemadatan permukiman yang tidak memperhatikan resiko keselamatan lingkungan akan bencana kebakaran. Bencana kebakaran dapat ditekan tingkat kejadiannya apabila masyarakat mengetahui arti penting keselamatan kebakaran dilihat dari faktor lingkungan dan cara penanggulangan kebakaran. Kendala yang dihadapi dalam hal penanganan kebakaran di wilayah perkotaan salah satunya adalah berupa akses jalan yang kurang representatif, bentuk permukiman yang padat mengelompok, kurangnya ketersediaan sumber air pada area permukiman padat penduduk, jangkauan unit pemadam kebakaran yang jauh dari permukiman padat penduduk, tidak tersedianya hidran pada area permukiman yang digunakan untuk penanggulangan dini ketika terjadi bencana kebakaran, serta kondisi fisik bangunan yang mudah terbakar. Hal tesebut menjadi alasan utama terhambatnya proses penanggulangan kebakaran. Selain faktor lingkungan yang menjadi penghambat dalam hal penanggulangan kebakaran terdapat hal dasar yang menjadi permasalahan yang dihadapi dalam hal penanggulangan kebakaran secara dini yaitu kurangnya fasilitas pemadaman kebakaran yang tersedia, minimnya pengetahuan masyarakat dalam menggunakan fasilitas pemadam kebakaran, serta kurang tanggapnya masyarakat terhadap musibah kebakaran dapat menjadikan suatu musibah kebakaran ini menjadi besar. Dilihat dari kondisi yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan beberapa permasalahan sebagai berikut: 8

10 1. Seberapa besar kemampuan citra Quickbird untuk mendapatkan variabel yang dibutuhkan untuk menganalisis tingkat kerawanan kebakaran permukiman di kecamatan Balikpapan Selatan? 2. Bagaimana manfaat Sistem Informasi Geografis yang digunakan untuk memetakan variabel potensi kebakaran dan variabel penanganan kebakaran? Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Zonasi Kerawanan Kebakaran Permukiman dengan Memanfaatkan Citra Quickbird di Kecamatan Balikpapan Selatan Tujuan 1. Mengkaji kemampuan citra Quickbird dalam hal mendapatkan data variabel potensi kebakaran yang akan digunakan untuk menentukan kawasan rawan kebakaran permukiman di Kecamatan Balikpapan Selatan. 2. Memetakan zonasi tingkat kerawanan kebakaran permukiman berdasarkan faktor kondisi fisik bangunan dan faktor penanganan bencana kebakaran Manfaat 1. Memberikan masukan mengenai bahaya kebakaran dilihat dari kawasan permukiman yang memiliki bahaya kebakaran terhadap penanganan kebakaran di Kota Balikpapan. 2. Membantu pihak Pemerintah Kota Balikpapan dalam hal memberikan informasi mengenai kawasan rawan kebakaran pada Kota Balikpapan khususnya di kecamatan Balikpapan Selatan Kegunaan Penelitian 1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dampak kerugian bencana kebakaran permukiman baik dalam hal bagaimana terjadinya kebakaran dan cara penanggulangannya secara tepat. 9

11 2. Membantu pihak pemkot (Pemerintah Kota) Balikpapan dalam hal menaggulangi bencana kebakaran secara dini dengan memberikan informasi kawasan yang rawan kebakaran di kecamatan Balikpapan Selatan. 1.6 TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan suatu teknik aplikasi yang dikembangkan oleh para ilmuan terkemuka untuk membantu dalam hal menyadap informasi yang dibutuhkan tanpa adanya kontak langsung ke lapangan (Lillesand et. al, 2004), sehingga melalui teknik Penginderaan Jauh ini menyadap suatu informasi dapat dilakukan dengan mudah dan dapat membantu dalam tingkat keefektifan penyadapan informasi dan pengefisienan waktu dalam hal penyadapan informasi. Penginderaan jauh berasal dari bahasa inggris yaitu Remote Sensing yang dimana memiliki pengertian yaitu suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek di permukaan bumi dengan menggunakan suatu alat yang dimana tanpa berhubungan langsung dengan suatu objek yang akan dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979). Jadi dari dasar inilah penginderaan jauh dapat diartikan sebagai ilmu dan seni yang digunakan untuk mendapatkan informasi, menganalisis informasi yang terdapat di permukaan bumi dari jarak jauh yang dilakukan perekamannya di udara dan menggunakan media atau alat (sensor) dan wahana untuk merekam objek yang terdapat di permukaan bumi. Lindgren (1985) mengemukakan bahwa penginderaan jauh merupakan variasi teknik yang dikembangkan untuk perolehan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan dari permukaan bumi. Dari hasil pendapat yang telah dikemukakan oleh Lindgren maka penginderaan jauh adalah suatu teknik aplikasi yang dikembangkan untuk menyadap atau memperoleh informasi dengan cara perpaduan teknik hasil interaksi antara tenaga, objek, alat, serta wahana yang dimana menghasilkan suatu produk gambar yang dinamakan citra. Untuk menganalisis lebih jauh mengenai hasil produk aplikasi penginderaan jauh ini 10

12 maka dilakukan suatu analisis lebih detaiil agar penyampaian hasil informasi yang dibutuhkan dapat tercapai. Data hasil teknik penginderaan jauh berupa citra. Citra merupakan suatu gambaran hasil perekaman objek di permukaan bumi yang diambil dengan menggunakan teknik penginderaan jauh. Menurut Sutanto (1986) hal dasar yang melandasi penggunaan citra penginderaan jauh adalah sebagai berikut: 1. Citra merupakan hasil perekaman yang menggambarkan objek, daerah, dan gejala yang terdapat di permukaan bumi dengan keadaan aslinya yang terdapat di permukaan bumi. 2. Citra menggambarkan objek, daerah, dan gejala yang lengkap dan memiliki kajian daerah yang luas dan permanen. 3. Objek yang terdapat pada citra dapat menghasilkan gambaran 3 dimensi dengan menggunakan bantuan alat stereoskop. 4. Hasil penginderaan jauh yang berupa citra dapat menggambarkan suatu keadaan atau daerah yang sulit dijelajahi secara terestrial. Cracknel (1986), dalam Sutanto (1986) telah membedakan teknik penginderaan jauh menjadi 3 sistem yaitu: (1) sistem pasif yang menggunakan tenaga pancaran objek, (2) sistem pasif yang menggunakan pantulan sinar matahari, dan (3) sistem aktif yang berupa laser, radar, dan lidar. Sistem pasif tenaga atau sumber tenaga berasal dari matahari. Dalam sistem pasif yaitu menggunakan sumber tenaga matahari sebagai tenaga utama dalam hal melakukan perekaman haruslah memperhatikan besarnya tenaga yang dipancarkan oleh sumber energi yaitu matahari dengan memperhatikan konsep pantulan dan hamburan. Sistem pasif dalam penginderaan jauh yang menggunakan tenaga matahari sebagai sumber utamanya hanya dapat beroperasi pada siang hari dan memiliki cuaca yang terang atau cerah. Sedangkan pada sistem aktif sumber tenaga atau energi berasal dari sensor yang menghasilkan pancaran energi yang berasal dari alat (sensor) itu sendiri, dengan cara kerja memancarkan gelombang yang dihasilkan dari alat (sensor) kemudian ditangkap kembali oleh alat (sensor) dengan memperhatikan sistem pantulan objek yang dipancarkan gelombang. 11

13 Salah satu teknik penginderaan jauh yang banyak digunakan dalam hal aplikasi penerapannya yaitu dalam hal studi perkotaan, studi perkotaan ini menjadi penting dikarenakan pemanfaatan dan perolehan data yang dibutuhkan haruslah bersifat up to date serta valid. Sehingga peran penginderaan jauh inilah menjadi penting dalam hal perolehan informasi dan data yang up to date dan valid. Sifat perkotaan yang dinamis dan selalu berkembang menjadikan suatu area perkotaan yang harus dikaji lebih detail dalam hal permasalahan yang terjadi di wilayah perkotaan. Permasalahan yang muncul di perkotaan kebanyakan berasal dari lingkup wilayah perkotaan yang sedang berkembang ataupun lingkup wilayah perkotaan besar. Adapun permasalahan yang sering timbul di wilayah perkotaan yaitu permasalahan perkembangan penduduk yang tinggi, kesenjangan sosial, arah perkembangan Kota, musibah seperti: (kebakaran, banjir, dan tanah longsor), sampah perkotaan, dan sebagainya. Penginderaan jauh menjadi penting dan diperlukan apabila suatu permasalahan yang menyangkut area spasial sulit untuk dicari dan dipecahkan secara cepat permasalahan yang dihadapi di perkotaan. Sehingga peran penginderaan jauh inilah menjadi sangat penting untuk memperoleh informasi mengenai kespasialan,contohnya saja penggunaan teknik penginderaan jauh yang digunakan dalam hal musibah kebakaran di perkotaan. Teknik penginderaan jauh ini sangatlah membantu dalam hal melihat kawasan yang memiliki kerawanan kebakaran yang tinggi, sedang, dan rendah. Dari teknik penginderaan jauh dengan hasil yaitu produk citra dalam hal studi perkotaan dapat memberikan informasi mengenai bentuk bangunan, ketinggian bangunan, pola bangunan, kepadatan bangunan, jalan, sungai, dan atribut lain yang terdapat dalam area perkotaan. Kebanyakan teknik penginderaan jauh yang digunakan dalam hal studi perkotaan menggunakan citra dengan resolusi besar dalam hal penerapan dan perekaman informasi yang direkam menggunakan teknik penginderaan jauh. Dikarenakan semakin besar atau tinggi resolusi yang digunakan maka semakin detail objek yang dapat direkam ataupun dilihat oleh kasat mata maka semakin baik kualitas citra resolusi besar atau tinggi dalam hal melakukan analisis mengenai studi 12

14 perkotaan dengan menampakkan setiap objek detail yang tergambar pada citra dengan resolusi tinggi. Peran penginderaan jauh untuk analisis perkotaan khususnya untuk menganalisis peristiwa kebakaran perkotaan tidak bisa dilakukan secara langsung untuk mengidentifikasi kebakaran perkotaan melainkan harus menurunkan dan menemukan parameter yang digunakan dalam hal menganalisis musibah kebakaran, sehingga peran teknik penginderaan jauh dapat menemukan parameter yang dibutuhkan dalam hal analisis kebakaran Kota dengan melihat beberapa kenampakan yang tertera di citra hasil produk teknik penginderaan jauh, serta dalam kaitanya dengan teknik penginderaan jauh yang menghasilkan suatu produk citra haruslah mengkaji citra dan melakukan penafsiran terhadap produk penginderaan jauh yaitu citra tersebut dengan cara mengenali objek yang tergambar di citra, dalam hal pengenalan objek yang tergambar haruslah melakukan beberapa kegiatan dalam hal pengenalan objek dengan cara deteksi, identifikasi, dan analisis Interpretasi Citra Interpretasi citra adalah suatu teknik pengkajian objek yang terdapat pada citra yang diperuntukan untuk mengidentifikasi objek dan menilai objek yang digunakan sebagai analisis dasar pengenalan citra. Pengenalan objek yang tergambar pada citra dilakukan dengan beberapa tahap kegiatan yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi adalah pengenalan dasar objek yang terdapat pada citra, identifikasi adalah suatu usaha untuk membagi objek atau mencirikan objek yang telah dideteksi dengan memberikan beberapa keterangan yang mewakili tiap objek hasil identifikasi, sedangkan analisis adalah tahapan yang digunakan untuk mengumpulkan keterangan yang telah didapat dari kegiatan deteksi dan identifikasi yang digunakan untuk analisis lebih lanjut. Kegiatan interpretasi citra dapat dilakukan dengan cara visual maupun secara digital. Interpretasi secara visual dapat dilakukan dengan cara melihat citra hardcopy ataupun citra yang terdapat pada layar monitor, sedangkan interpretasi citra dengan cara digital yaitu menganalisis objek gambaran permukaan bumi 13

15 yang terdapat pada citra yang memiliki tujuan mengidentifikasi objek dan menilai arti tiap objek yang tertera pada citra (Howard, dalam Suharyadi 2001). Pengenalan objek secara visual dicirikan oleh karakteristik atau atribut pada tiap objek pada citra yang digunakan sebagai dasar pengenalan objek yang tersaji dalam unsur interpretasi. Unsur-unsur interpretasi merupakan langkah awal pengenalan objek dengan melihat unsur interpretasi dalam hal pengenalan objek, jadi dari interpretasi inilah dapat membantu dalam hal mengidentifikasi atau mendapatkan informasi yang tertera pada citra yang selanjutnya digunakan sebagai bahan dasar untuk melakukan tahap analisis. Adapun unsur interpretasi menurut Sutanto (1999) adalah sebagai berikut: 1. Rona atau warna (tone/color). Rona adalah tingkat kecerahan ataupun tingkat kegelapan pada citra (kecerahan relatif objek pada citra), sedangkan warna adalah wujud yang tertera pada tiap objek yang tertangkap oleh mata. Contoh unsur interpretasi rona dalam hal interpretasi jenis atap yaitu apabila atap seng dan asbes yang baru dipasang akan menampilkan rona putih. 2. Bentuk (shape) adalah konfigurasi atau kerangka yang mewakili tiap objek, setiap objek memiliki ciri bentuk yang berbeda, contohnya bentuk memanjang, lingkaran, dan segi empat. Contoh unsur interpretasi bentuk dalam melakukan interpretasi gedung dan sekolah pada citra yaitu melihat konfigurasi bentuk berdasarkan kenampakannya yaitu objek gedung dan sekolah biasa dicirikan oleh bentuk L dan U. 3. Ukuran (size) adalah objek yang memiliki nilai jarak, luas, tinggi, dan volume yang didasarkan oleh ukuran pada masing-masing objek dan mempertimbangkan konteks skala. Contoh unsur interpretasi ukuran dalam melakukan pengenalan objek rumah berdasarkan ukuran yaitu ukuran rumah mukim memiliki bentuk yang lebih kecil dibandingkan bangunan kantor. 4. Kekasaran (texture) adalah perubahan rona pada gambar objek yang didasarkan ukuran frekuensi dikarenakan ukuran objek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individu. Tekstur bersifat relatif tergantung pada skala dan resolusi citra yang digunakan. Contoh unsur interpretasi kekasaran dalam melakukan pengenalan objek dedaunan pada pohon dan bayangannya. 14

16 5. Pola (pattern) adalah keterkaitan susunan keruangan objek yang didasarkan oleh pengulangan bentuk umum atau sekelompok objek dalam ruang. Contoh unsur pola dalam melakukan pengenalan objek permukiman kumuh dicirikan oleh pola yang tidak teratur. 6. Bayangan (shadow) adalah aspek yang mencirikan objek yang berada dalam daerah gelap yang didasarkan pada dua hal yaitu bayangan dapat memperjelas bentuk objek ataupun memberikan kesan objek menjadi tidak jelas. Contoh unsur bayangan dalam melakukan pengenalan objek menara pada area permukiman. 7. Situs (site) adalah letak suatu objek relatif dengan lingkungan atau objek di sekitarnya dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi objek yang akan dikaji. Contoh unsur situs dalam hal pengenalan objek permukiman berdasarkan letaknya yaitu di sepanjang tepi jalan. 8. Asosiasi (association) adalah keterkaitan antara satu objek dengan objek atau fenomena lainnya yang digunakan sebagai dasar dalam hal pengenalan objek yang akan dikaji. Contoh unsur asosiasi dalam pengenalan objek bandara yaitu dengan melihat atau mengenali landasan pacu pesawat Citra Satelit Quickbird Citra Satelit Quickbird merupakan citra yang memiliki resolusi tinggi yang dimana citra ini dimiliki oleh Digital Globe. Citra Quickbird menggunakan sensor BGIS 2000 dalam hal pengoperasiaanya, adapun derajat kedetilan dari resolusi yang digunakan yaitu sebesar 0.61 meter, sehingga citra ini memiliki resolusi yang tinggi ( Kegunaan citra Quickbird ini telah banyak dirasakan manfaatnya bagi kalangan pemerintahan, swasta ataupun masyarakat umum, kegunaan yang dapat dirasakan yaitu citra Quickbird merupakan data primer yang baik dalam hal pemanfaatannya untuk melakukan studi atau penelitian di berbagai bidang, dalam hal bidang lingkungan citra ini biasa digunakan untuk analisis penggunaan lahan, pertanian, industri, eksplorasi minyak dan gas, serta di bidang kehutanan. Dalam bidang perkotaan citra Quickbird pemanfaatannya sangat besar diantaranya dalam hal melakukan kajian mengenai 15

17 sampah perkotaan, kemacetan, kebakaran perkotaan, kajian kualitas permukiman, serta kajian lainnya yang menggunakan citra Quickbird. Citra Quickbird memiliki resolusi spasial yang tinggi dibandingkan citra satelit lainnya dimana sistem pencitraan satelit Quickbird memiliki kesamaan dalam hal pencitraan satelit dengan satelit lainnya. Sistem pencitraan menggunakan linear array CCD, yang biasa dinamakan pushbromm scanner atau dapat dikatakan yaitu sistem perekaman ini bergerak maju mundur mengikuti area perekaman yang disusun secara linier yang sesuai dengan gerakan orbit satelit. Citra Quickbird memiliki daya jelajah atau jangkauan dalam hal melakukan perekaman tidaklah luas melainkan daya jelajahnya sempit yaitu kurang dari 20 km ini dikarenakan citra ini memiliki resolusi spasial yang tinggi dan posisi orbitnya rendah (450 km diatas bumi) ( Citra Quickbird melalui sensor yang digunakan dapat menghasilkan 2 macam data yaitu multispektral dan pankromatik. Multispektral merupakan saluran yang menggunakan lebih dari satu saluran dalam hal penggunaannya sedangkan pankromatik hanya menggunakan gelombang tampak dalam hal pengoperasianya. Multispektral pada citra Quickbird menggunakan 4 saluran spektral yaitu saluran biru, hijau, merah, dan inframerah dekat. Kegunaan beberapa saluran ini digunakan untuk mengidentifikasi objek yang berada di permukaan bumi, sedangkan saluran pankromatik yang hanya menggunakan saluran tampak mata lebih mampu menghasilkan resolusi spasial yang tinggi daripada saluran multispektral dikarenakan lebar saluran ini lebih besar daripada saluran multispektral. Karakteristik citra Quickbird dapat dilihat pada tabel

18 No 1 Tabel 1.4 Karakteristik Citra Quickbird Keterangan Satelit Spesifikasi Satelit Quickbird Quickbird Vandenberg Air Force Base, California, Tempat dan Tanggal USA tanggal 18 Oktober 2001 Peluncuran 2 Media Peluncur 3 Masa Operasi Pesawat Boeing Delta II (Ball Aerospace s Global Imaging System 2000) 7 Tahun lebih 4, Orbit 97.2,sun synchronous 4 Kecepatan Pada Orbit 7.1 km/detik (25,560 Km/jam) 5 Kecepatan diatas Bumi 6.8 km/detik 6 Akurasi 23m Horizontal (CE 90%) 7 Ketinggian Jelajah 450 km 8 Resolusi Spasial 61 cm (nadir) to 72 cm (25 off-nadir) Multi Spectral : 2.44 m (nadir) to 2.88 m (25 off-nadir)) 9 Cakupan Citra 16.5 km x 16.5 km pada nadir 10 Waktu Melintas Equator 10:30 am (descending node) solar time 11 Waktu Lintas Ulang hari, tergantung latitude (30 offnadir) - Pan : nm - Blue : nm 12 Saluran Citra - Green : nm - Red : nm - Near IR : nm Sumber : diakses pada tgl 3 Januari 2013 Hasil pemrosesan citra resolusi tinggi yaitu citra satelit Quickbird memiliki lima hasil output atau keluaran produk yaitu : 1. Pankromatik (Produk Hitam Putih) Produk yang dihasilkan ini bersifat memiliki kedetilan spasial lebih tinggi daripada produk lainnya yang digunakan untuk analisis spasial (visual) 2. Produk Multispektral Produk yang berdasarkan panjang gelombang yang digunakan lebih banyak yang mencakup inframerah dekat dan saluran tampak. 17

19 3. Produk Bandel (bundle) Produk ini terdiri dari multispektral dan hitam putih. 4. Produk warna Produk ini mengkombinasikan 3 saluran multispektral dan saluran pankromatik 5. Pan-sharpened (4 saluran) Produk ini mengkombinasikan 4 saluran multispectral Keunggulan yang dimiliki oleh citra Quickbird yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa citra Quickbird dapat digunakan untuk mengkaji daerah perkotaan dengan kemampuan resolusi spasialnya yang tinggi, sehingga dari resolusi spasialnya yang tinggi inilah citra Quickbird dapat mengekstrak variabel kerawanan kebakaran yang diperlukan, contohnya saja dalam hal mengekstrak variabel kepadatan permukiman, pola permukiman, jenis atap permukiman, dan jaringan jalan. Menurut Tinambunan (2007), citra Quickbird dapat mengidentifikasi permukiman dengan baik yang nantinya digunakan sebagai indikator dalam hal melakukan analisis distribusi kepadatan penduduk yang dijelaskan dengan prinsip land use density, sehingga pola permukiman yang akan diidentifikasi dapat menggambarkan distibusi kepadatan penduduk Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis menurut Stan Aronaff 1989, adalah suatu sistem informasi yang berdasarkan cara kerja komputer yang mampu menerima masukan, mengelola (memberi, mengambil, memanipulasi, dan menganalisis data), kemudian memberikan beberapa penjelasan atau uraian. Sistem Informasi Geografis dapat diartikan juga sebagai suatu sistem yang dirancang mampu mengolah suatu data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi (contohnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya). Dalam hal perkembangan teknologi dan zaman pada saat ini mendorong perubahan konsep dasar SIG dalam hal proses pengambilan keputusan dan 18

20 penyebaran informasi. Dalam hal ini pemahaman dunia nyata menjadi sangat penting dalam hal menyadap informasi dan pengambilan keputusan atau informasi sehingga nantinya apabila melakukan proses manipulasi dan presentasi data dapat disejajarkan atau direlasikan dengan posisi absolute lokasi geografi di permukaan bumi. Peran SIG sangatlah penting dalam hal membantu mengolah, menganalisis suatu data yang di dapat dari citra penginderaan jauh dalam hal menunjang penelitian yang akan dilakukan, dalam hal ini peran SIG digunakan untuk mencari klasifikasi besaran nilai yang digunakan untuk mencari keterkaitan antar satu parameter dengan parameter lain yang telah dihasilkan sebelumnya berdasarkan data hasil interpretasi visual yang berupa citra penginderaan jauh. Selain itu analysist tools yang terdapat dalam aplikasi SIG sangatlah membantu, analysis tools yang berupa analisis skoring digunakan untuk melakukan pemberian skoring atau nilai pada tiap parameter yang dihasilkan dari hasil interpretasi pada citra penginderaan jauh, sehingga antar parameter memiliki nilai besaran yang dihasilkan berdasarkan peran masing-masing parameter dalam hal menunjang penelitian Pengolahan Sistem Informasi Geografis Secara garis besar Sistem Informasi Geografis menurut Stan Aonoff, 1989 dapat dibagi menjadi empat subsistem yang saling terkait antara satu dengan yang lain, adapun 4 subsistem itu adalah masukan data (input), pengolahan atau management data, manipulasi dan analisis data, dan keluaran (output). a. Masukan data (input) Subsistem ini memiliki tugas sebagai mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber yang telah didapat. Mengkonversi format data asli ke dalam format yang dapat digunakan dalam SIG. Biasanya input data berasal dari data spasial, data grafis, dan data atribut. b. Pengelolaan (management data) Subsistem ini bertugas sebagai pengorganisasian data spasial ataupun data atribut ke dalam sebuah basis data sehingga nantinya apabila pengguna ingin 19

21 memangil data tersebut menjadi lebih mudah. Manajemen data meliputi berbagai hal yaitu operasi penyimpanan, pengaktifan, penyimpanan kembali, dan percetakan data. c. Manipulasi dan analisis data Subsistem ini memberikan hasil berupa informasi yang dihasilkan dari proses manipulasi dan pemodelan data untuk dijadikan suatu informasi yang diinginkan. Dalam hal ini analisis data dibagi menjadi 2 yaitu analisis spasial dan analisis non-spasial. Analisis spasial adalah analisis yang memerlukan pemahaman hubungan geografi antara data-data (poitns, lines, and polygons). Sedangkan analisis non spasial adalah menjelaskan mengenai suatu query dari database. Berikut akan disajikan fungsi analisis dan manipulasi SIG pada tabel 1.5. Tabel 1.5 Fungsi Analisis dan Manipulasi SIG Manipulasi dan Analisis SIG Fungsi Spatial editing functions; Transformating between map Pemeliharaan dan analisis data projections; geometric transformations Pemeliharaan data spasial dan analisis data non-spasial Analisis terintegrasi dari data spasial dan atribut Pembentukan Output Sumber : Arronof, Stan Editing atribut; Query Atribute Overlay operations; Neighbourhood Operations; Classification; Retrievel Map Annotation; Text Labels; Graphic Symbols d. Keluaran data (output) Subsistem ini bertugas sebagai menampilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data yang telah diproses sebelumnya ke dalam bentuk softcopy ataupun hardcopy Peta Peta merupakan suatu gambaran konvensional dan selektif diperkecil yang dituangkan dan dibuat pada bidang datar yang dimana peta menghasilkan kenampakan permukaan bumi ataupun benda angkasa (ICA,1977 dalam 20

22 Sudihardjo,1986). Jadi dapat diartikan bahwa peta merupakan suatu media kreasi manusia, dimana didasarkan atas kemampuan dasar dalam hal mendapatkan informasi luas yang nantinya akan dituangkan kedalam media datar. Sehingga dari informasi yang luas inilah seseorang akan mengamati dan menganalisis mengenai hubungan keruangan dan gejala-gejala yang terjadi pada suatu area atau wilayah yang luas yang menghasilkan grafis dalam wujud simbol yang digambarkan pada peta. Dalam hal pembuatannya peta haruslah memberikan gambaran yang jelas, rapi, dan detail mengenai informasi apa yang dibawa pada pembuat peta untuk dikomunikasikan terhadap pembaca peta (komunikatif). Pembuatan peta haruslah memperhatikan desain peta dalam hal pembuatanya ini dikarenakan dari desain inilah dapat memberikan informasi mengenai tujuan peta dibuat, isi yang terdapat dalam peta, dan kesan dari pembuatan peta tersebut, serta desain peta ini mencirikan suatu peta tersebut dapat diterima oleh pembaca peta baik dalam hal estetika keindahan peta serta informasi yang dimuat dalam bentuk peta haruslah mudah dipahami oleh pembaca peta. Adapun desain peta meliputi 3 hal yaitu desain peta dasar, desain tata letak, dan desain isi peta. Simbol pada peta merupakan suatu penggambaran yang berbentuk grafis dimana simbol pada peta ini berfungsi sebagai alat komunikasi dan pemberian informasi kepada pengguna dan pembaca peta oleh pembuat peta. Dalam hal pembuatan simbol pada peta haruslah memperhatikan poin-poin dalam hal pemilihan simbol dikarenakan apabila salah dalam hal pemilihan simbol maka penyampaian informasi menjadi tidak dapat disalurkan, adapun pemilihan simbol yang harus diperhatikan yaitu ukuran data (nominal, ordinal, interval, dan rasio), persepsi data serta pemilihan variabel visual. Data haruslah dipetakan dikarenakan data yang sifatnya luas haruslah dipilih dan dipetakan sebagai media informasi yang digunakan untuk tahap penelitian, karena data yang telah dipilih dan dipetakan mempermudah peneliti dalam hal menganalisis lebih lanjut mengenai data yang akan dipergunakan. 21

23 1.6.6 Bahaya Kebakaran dan Penanggulangannya Menurut Mochammad Zaini (1998) dalam bukunya yang berjudul Panduan dan Pencegahan Pemadaman Kebakaran menjelaskan bahwa kebakaran dapat diartikan sebagai suatu musibah atau peristiwa yang terjadi akibat adanya 3 unsur pemicu kebakaran (peristiwa oksidasi). Unsur-unsur kebakaran itu adalah adanya bahan yang mudah terbakar, terdapatnya oksigen di udara bebas, dan adanya sumber energi panas yang berakibat menimbulkan dampak kerugian harta benda, cidera dan kematian jiwa. Kebakaran ini terjadi akibat adanya pemicu ataupun akibat ketidaksengajaan yang dapat menimbulkan terjadinya kebakaran. Faktor kesengajaan yang dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran yaitu meliputi puntung rokok yang dibuang disembarang tempat dan tidak dimatikan bara apinya, terjadinya konsleting listrik akibat pencurian listrik serta kelebihan muatan daya listrik yang melebihi beban daya yang telah ditentukan, dan kelalaian lainya yaitu menyalakan lilin tanpa pengawasan, karena peristiwa kebakaran tidak dapat ditebak kapan datangnya dan kapan terjadinya, dikarenakan peristiwa kebakaran pasti menimbulkan kerugian harta dan benda yang tidak sedikit, oleh sebab itu bahaya kebakaran dapat diartikan sebagai kejadian atau peristiwa yang ditimbulkan oleh adanya sumber api atau nyala api yang tidak diinginkan, tidak terkendali, dan berlangsung secara cepat sehingga mengakibatkan dapat mengancam keselamatan jiwa dan kerugian harta benda. Adapun penggolongan atau penanganan kebakaran terhadap kerawanan kebakaran yang digunakan untuk menilai kerawanan kebakaran permukiman menurut Departemen Pekerjaan Umum, 1987 dan Zaini, 1998 adalah: a. Alat pemadam kebakaran portable Alat pemadam kebakaran portable dapat diartikan sebagai alat penanggulangan kebakaran yang berbentuk tabung dan dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain (Departemen Pekerjaan Umum, 1987). b. Alat pemadam kebakaran sistem hidran dan sistem sprinkler Pemadam sistem hidran bekerja dengan menggunakan tekanan air yang berada pada lokasi tempat berdirinya suatu hidran, sehingga hidran merupakan alat pemadam api yang menggunakan tekanan air, sedangkan sistem sprinkler 22

24 bekerja secara otomatis berdasarkan kenaikan suhu ruangan yang mencapai suhu tertentu yang bekerja didasarkan sensor panas yang berada pada tutup sprinkler yang nantinnya akan meneluarkan air (Zaini, 1998). c. Sekering atau pemutus arus (circuit breaker) Sekering atau pemutus arus merupakan suatu alat pengaman yang bekerja berdasarkan pada sistem listrik yang terjadi pada kerusakan kabel listrik, jadi apabila terjadi hubungan arus pendek maka sekering ini akan putus sehingga potensi terjadinya kebakaran akan musnah (Zaini, 1998). d. Penangkal petir Penangkal petir merupakan suatu alat instalasi sistem penangkal petir yang bekerja untuk menangkal petir dan mengantarkan arus listrik ke tanah sehingga apabila suatu rumah bertingkat akan terhindar dari bahaya sambaran petir (Departemen Pekerjaan Umum, 1987). e. Pemadam api bergerak Pemadam api bergerak dapat diartikan sebagai suatu kendaran atau alat pemadam kebakaran yang dapat memuat alat-alat untuk melakukan pemadaman kebakaran (Zaini, 1998). Menurut National Fire Protection Association 2002 dalam Prawira, 2009 ada beberapa tahapan terjadinya peristiwa kebakaran, tahapan tersebut antara lain: a. Initiation, yaitu proses awal terjadinya api dimana sifat api masih kecil, ini terjadi dalam kisaran waktu 0 10 menit. Hal ini dapat dicegah dengan mematikan sumber energi yaitu api sehingga dampak kebakaran dapat ditekan. b. Growth, peristiwa terjadinya perubahan api yang kecil menjadi besar dan akan terjadi proses flash over yang dimana benda atau material yang disekitar sumber energi (api) akan berdampak ikut terbakar, ini disebabkan adanya sumber api di sekitar material tersebut yang mengakibatkan material tersebut ikut terbakar. Peristiwa ini terjadi kira-kira menit. c. Steady, peristiwa yang terjadi dimana sumber api tidak atau sulit untuk dimatikan atau dipadamkan, hal ini mengakibatkan dampak kebakaran pada material disekitarnya semakin besar dan meluas, kejadian ini kira-kira berlangsung kurang lebih sekitar 20 menit sampai berjam-jam. 23

25 d. Decay, peristiwa pemadaman api dari api besar menjadi api kecil, ini diakibatkan ketersediaan objek atau material bahan pembakarnya telah habis atau tidak ada, sehingga perubahan api yang semula besar akan berubah menjadi kecil. Terjadinya peristiwa kebakaran yang sulit dipadamkan ini diakibatkan salah satunya adalah faktor lingkungan yaitu permukiman terlalu padat, akses jalur pemadam yang sulit dijangkau, ketersediaan sumber air yang jauh dari lokasi kebakaran merupakan beberapa contoh faktor penghambat dalam hal penanggulangan musibah kebakaran. Selayaknya suatu lingkungan yang didirikan oleh peradaban manusia haruslah bersinergi dengan kondisi alam disekitarnya dan penanggulangan atau keamanan lingkungan menjadi faktor utama untuk menekan musibah bencana yang akan terjadi di kedepannya. Klasifikasi kebakaran didasarkan oleh penggolongan jenis atau benda yang mudah terbakar, Klasifikasi ini dibuat untuk memudahkan masyarakat dalam hal mengadakan pemilihan dalam hal pemadaman kebakaran sehingga dampak kerugian dapat ditekan. Adapun kelas klasifikasi kebakaran yang didasarkan oleh material yang mudah terbakar serta cara penanggulangannya berdasarkan keputusan menteri pekerjaan umum 10/KTPS/ tahun 2000 adalah sebagai berikut: a. Kelas A Kelas ini dicirikan oleh bahan yang mudah terbakar contohnya saja kertas, kayu, plastik, dan cara pemadamannya yaitu dengan cara menggunakan air dalam hal mematikan material yang mudah terbakar. b. Kelas B Yang termasuk dalam kelas ini adalah material yang melibatkan cairan yang mudah terbakar seperti: bensin, minyak tanah, dan lainnya, adapun cara penanggulangannya yaitu dengan cara menyemprotkan cairan berbahan foam. c. Kelas C Pada kelas ini diakibatkan oleh terjadinya konsleting listrik ataupun terjadinya tegangan listrik yang dapat mengakibatkan terjadinya percikan api. Adapun cara penanggulangannya yaitu dengan cara menggunakan bahan pemadam 24

26 kebakaran yang bersifat non kondusif, cara ini dipilih agar pengguna yang ingin memadamkan percikan api ini tidak mudah tersengat. d. Kelas D Kelas ini termasuk ke dalam kelas bahan logam yang mudah terbakar contohnya saja: kalium, magnesium dan titanium. Cara mengatasinya yaitu dengan cara menggunakan powder khusus untuk mengatasi kebakaran yang disebabkan oleh logam yang telah dijelaskan sebelumnya. Menurut Depnaker UNDP ILO, (1987), terjadinya suatu musibah kebakaran diakibatkan oleh beberapa ketimpangan yang muncul, adapun ketimpangan yang terjadi adalah: a. Sistem alarm tidak berfungsi dengan baik. b. Tidak terdapatnya sarana deteksi alarm. c. Alat pemadam api tidak berfungsi. d. Alat pemadam api tidak memadai. e. Sarana evakuasi tidak tersedia Pengertian Bencana, Bahaya, Kerentanan, Resiko, dan Kerawanan Bencana dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu kejadian yang disebabkan oleh alam (natural disaster), maupun yang disebabkan oleh manusia (man-made disaster). Menurut UU RI No 24 Tahun 2007 pasal 1 butir 1, menjelaskan bahwa bencana ialah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Kondisi yang dinyatakan bencana apabila terdapat potensi bahaya yang mengancam elemen resiko tertentu sehingga menjadi rentan atau berpotensi mengalami kerusakan, kehilangan atau kerugian. Kejadian yang belum mengakibatkan kerusakan, kehilangan, dan kerugian dapat dikatakan sebagai potensi bahaya. Adapun jenis bencana dibagi menjadi 3 yaitu : a. Bencana alam ialah bencana yang disebabkan oleh faktor alam baik yang berasal dari tenaga endogen maupun dari tenaga eksogen, contoh 25

27 bencana alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angina topan, tanah longsor, dan lain-lain b. Bencana non alam yaitu bencana yang dihasilkan bukan berasal dari alam yang biasa disebabkan oleh teknologi contohnya gagal teknologi dan wabah penyakit. c. Bencana Sosial yaitu bencana yang diakibatkan oleh manusia sebagai peran utamanya yang meliputi konflik social antar suku, kelompok, maupun antar komunitas masyarakat Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu, sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana. Bahaya atau hazard merupakan suatu peristiwa atau fenomena alam atau fenomena buatan yang memiliki potensi mengancam kehidupan manusia, menimbulkan kerugian harta dan benda dan kerusakan lingkungan. Berdasarkan United Nations-International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR), bahaya ini dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu : (a) bahaya beraspek geologi seperti tsunami, gempabumi, longsor, (b) bahaya beraspek hidrometerologi seperti banjir, kekeringan, angina topan, gelombang pasang, (c) bahaya beraspek biologi seperti wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman, (d) bahaya beraspek teknologi seperti kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, kegagalan teknologi, dan (e) bahaya beraspek lingkungan seperti kebakaran Kota, kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran limbah. Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi atau kharakteristik geologis, biologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam mencapai kesiapan, dan mengurangi 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

Wisnu Widyatmadja Taufik Hery Purwanto

Wisnu Widyatmadja Taufik Hery Purwanto APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN ZONASI KERAWANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN CITRA QUICKBIRD DI KECAMATAN BALIKPAPAN SELATAN Wisnu Widyatmadja atmadjawima@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, tertib dan teratur, nyaman dan efisien,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT Lili Somantri Jurusan Pendidikan Geografi, FPIPS, UPI, L_somantri@ymail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih cukup tinggi. Salah satu penyebab adanya laju pertambahan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkotaan merupakan kawasan pemusatan penduduk. Keadaan ini akan memicu terjadinya penurunan kualitas perkotaan yang dapat ditunjukkan dengan timbulnya berbagai permasalahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk khususnya di wilayah perkotaan dipengaruhi dari berbagai faktor-faktor yang menyebabkan suatu daerah menjadi padat penduduknya. Hal ini akan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya permintaan akan pemetaan suatu wilayah dalam berbagai bidang, maka semakin berkembang pula berbagai macam metode pemetaan. Dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk

Lebih terperinci

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008 PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri, S.Pd. M.Si ABSTRAK Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah perkotaan merupakan suatu zone atau daerah yang merupakan pusat kegiatan ekonomi, pusat pemerintahan serta pemusatan penduduk dengan cara hidup yang heterogen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*)

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*) PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri*) Abstrak Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana ini tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi listrik merupakan energi utama yang digunakan hampir diseluruh sisi kehidupan manusia saat ini dimana semua aktifitas manusia berhubungan dengan energi listrik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam bidang industri, sarana transportasi, perluasan daerah pemukiman dan lain sebagainya.

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA 1 BEncANA O Dasar Hukum : Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana 2 Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian mitigasi. 2. Memahami adaptasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia yang berada di salah satu belahan Asia ini ternyata merupakan negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku Mega isu pertanian pangan dan energi, mencakup: (1) perbaikan estimasi produksi padi, dari list frame menuju area frame, (2) pemetaan lahan baku sawah terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kota selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu baik dari segi fisik maupun non fisik. Kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Geografi, Pendekatan Geografi, dan Konsep Geografi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Geografi, Pendekatan Geografi, dan Konsep Geografi BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Geografi, Pendekatan Geografi, dan Konsep Geografi a. Pengertian Geografi Menurut hasil seminar lokakarya peningkatan kualitas pengajaran geografi di Semarang tahun

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 1 ayat

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 1 ayat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, maupun faktor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

BAB II DISASTER MAP. 2.1 Pengertian bencana

BAB II DISASTER MAP. 2.1 Pengertian bencana BAB II DISASTER MAP 2.1 Pengertian bencana Menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, yang dimaksud dengan bencana (disaster) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi penginderaan jauh yang semakin pesat menyebabkan penginderaan jauh menjadi bagian penting dalam mengkaji suatu fenomena di permukaan bumi sebagai

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang berada di bumi merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Penggunaannya akan tidak terbatas selama udara mengandung unsur-unsur

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN (Kasus di Kota Bandung Bagian Barat)

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN (Kasus di Kota Bandung Bagian Barat) PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN (Kasus di Kota Bandung Bagian Barat) Oleh: Lili Somantri 24060/1-6/259/06 LATAR BELAKANG Terjadinya

Lebih terperinci

Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran di Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografis

Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran di Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografis Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran di Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografis Nisfi Sasmita 1, Rina Reida 1, Ida Parida Santi 1, Daratun Nurahmah 1, Neny Kurniawati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota akan selalu berhubungan erat dengan perkembangan lahan baik dalam kota itu sendiri maupun pada daerah yang berbatasan atau daerah sekitarnya. Selain itu lahan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN. Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar

LAPORAN PENELITIAN. Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar LAPORAN PENELITIAN KAJIAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN KOTA YOGYAKARTA BAGIAN SELATAN DENGAN FOTO UDARA PANKROMATIK HITAM PUTIH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar Penelitian

Lebih terperinci

PENGENDALIAN BAHAYA KEBAKARAN MELALUI OPTIMALISASI TATA KELOLA LAHAN KAWASAN PERUMAHAN DI WILAYAH PERKOTAAN

PENGENDALIAN BAHAYA KEBAKARAN MELALUI OPTIMALISASI TATA KELOLA LAHAN KAWASAN PERUMAHAN DI WILAYAH PERKOTAAN PENGENDALIAN BAHAYA KEBAKARAN MELALUI OPTIMALISASI TATA KELOLA LAHAN KAWASAN PERUMAHAN DI WILAYAH PERKOTAAN Yulia Setiani Jurusan Teknik Sipil Sekolah Tinggi Teknologi Pekanbaru yuliasetiani@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, yang

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam yang kompleks sehingga menjadikan Provinsi Lampung sebagai salah satu daerah berpotensi tinggi

Lebih terperinci

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Rahmawati Husein Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah Workshop Fiqih Kebencanaan Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah, UMY,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusat aktivitas dari penduduk, oleh karena itu kelangsungan dan kelestarian kota

BAB I PENDAHULUAN. pusat aktivitas dari penduduk, oleh karena itu kelangsungan dan kelestarian kota 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota dalam konsep umum adalah wilayah atau ruang terbangun yang didominasi jenis penggunaan tanah nonpertanian dengan jumlah penduduk dan intensitas penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 2015 dan Perda No 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Wilayah perkotaan merupakan wilayah yang menjadi pusat dari segala aktivitas masyarakat yang ada disekitarnya. Wilayah perkotaan sendiri memiliki suatu daya tarik yang

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem transportasi terutama infrastruktur jaringan jalan merupakan salah satu modal utama dalam perkembangan suatu wilayah. Pada daerah perkotaan, terutama, dibutuhkan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri 1. Pengertian Penginderaan Jauh Menurut Lilesand et al. (2004) mengatakan bahwa penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI Oleh : Lili Somantri Abstrak Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana, baik karena faktor alam maupun karena

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam Bencana alam pada dasarnya adalah sebuah konsekuensi dari gabungan proses-proses alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunungapi, gempa bumi, tanah longsor,

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS, Integrasi GISdan Inderaja Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan ketrampilan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai karakteristik alam yang beragam. Indonesia memiliki karakteristik geografis sebagai Negara maritim,

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT JANTUNG HASNA MEDIKA NOMOR TENTANG PENANGGULANGAN KEBAKARAN DAN KEWASPADAAN BENCANA

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT JANTUNG HASNA MEDIKA NOMOR TENTANG PENANGGULANGAN KEBAKARAN DAN KEWASPADAAN BENCANA PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT JANTUNG HASNA MEDIKA NOMOR TENTANG PENANGGULANGAN KEBAKARAN DAN KEWASPADAAN BENCANA Menimbang : DIREKTUR RUMAH SAKIT JANTUNG HASNA MEDIKA 1. Bahwa penanggulangan kebakaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) baik dari segi jumlah penduduk dan infrastrukturnya membuat Kawasan Perkotaan Yogyakarta menjadi magnet yang menarik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota besar akan mengalami perkembangan, dimana perkembangan tersebut berdampak pada daerah disekitarnya. Salah satu dampak yang terjadi adalah munculnya istilah kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 Sistem Informasi Geografis Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 5 Cara Memperoleh Data / Informasi Geografis 1. Survei lapangan Pengukuran fisik (land marks), pengambilan sampel (polusi air), pengumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, dengan susunan fungsi

Lebih terperinci

Pengantar Teknologi. Informasi (Teori) Minggu ke-11. Geogrphical Information System (GIS) Oleh : Ibnu Utomo WM, M.Kom UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO

Pengantar Teknologi. Informasi (Teori) Minggu ke-11. Geogrphical Information System (GIS) Oleh : Ibnu Utomo WM, M.Kom UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO Pengantar Teknologi FAKULTAS ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO http://www.dinus.ac.id Informasi (Teori) Minggu ke-11 Geogrphical Information System (GIS) Oleh : Ibnu Utomo WM, M.Kom Definisi GIS

Lebih terperinci

ANALISIS KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

ANALISIS KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN ANALISIS KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Jumlah penduduk Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 1990 jumlah penduduk

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016)

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk di Indonesia termasuk kedalam pertumbuhunan yang tinggi. Jumlah penduduk semakin tinggi menyebabkan Indonesia menjadi negara ke empat dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto (1988), metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Data yang dikumpulkan bisa berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bencana alam adalah salah satu fenomena yang dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun sehingga menimbulkan risiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK BARAT NOMOR 20 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN FUNGSI, KLASIFIKASI, PERSYARATAN ADMINISTRATIF DAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aktivitas di kawasan ini menjadi semakin tinggi. Hal ini akan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aktivitas di kawasan ini menjadi semakin tinggi. Hal ini akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kepadatan serta pertumbuhan penduduk yang terpusat di perkotaan menyebabkan aktivitas di kawasan ini menjadi semakin tinggi. Hal ini akan menyebabkan peluang

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Bencana Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Sedangkan bencana

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA BENCANA :

MITIGASI BENCANA BENCANA : MITIGASI BENCANA BENCANA : suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang

Lebih terperinci