BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
|
|
- Suharto Budiono
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah sangat penting yang dihadapi negara-negara berkembang dewasa ini adalah pertumbuhan dan konsentrasi penduduk di kota - kota besar yang pesat. Pada tahun 1950 jumlah penduduk perkotaan di 34 negara sedang berkembang baru 275 juta (atau 38%) dari 724 juta total penduduk perkotaan di seluruh dunia. Pada tahun 2001 penduduk perkotaan di seluruh dunia meningkat menjadi 3 miliar jiwa, dan di negara sedang berkembang dua pertiga diantaranya tinggal di kota-kota metropolitan. Bahkan diperkirakan jumlah penduduk perkotaan di negara-negara yang sedang berkembang akan meningkat menjadi 4,1 miliar atau 80% dari seluruh penduduk perkotaan di dunia.(world Bank, World Development Report,2000). Berbeda dengan negara yang sudah maju di mana urbanisasi terjadi sebagai akibat dari pergeseran struktur mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian di pedesaan ke sektor jasa di kota melalui sektor industri manufaktur. Urbanisasi di negara-negara berkembang terjadi karena tekanan perubahan yang dahsyat yang terjadi di pedesaan dan mendorong pergeseran akupansi dari sektor pertanian langsung menuju kesektor jasa di daerah perkotaan tanpa melalui fase perkembangan industri manufaktur (Gilbert & Gugler, 1996:14). Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, memiliki masalah perkotaan yang sangat kompleks. Sebagai salah satu ciri negara berkembang adalah sangat pesatnya perkembangan penduduk perkotaan terutama kota kota besar dari negara tersebut, sebagai akibat dari tingginya angka pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Kaum urban dari kalangan miskin, biasanya menyasar pinggiran kota yang belum memiliki fasilitas ruang kota agar lebih murah. Salah satu akibatnya adalah munculnya permukiman kelompok sosial kota terpinggirkan, yang tidak terencana, tidak memliki fasilitas infrastruktur yang semakin lama semakin berkembang secara alami 1
2 dan akhirnya tumbuh tidak terkendali menjadi wilayah permukiman yang serba semrawut dan kumuh (Hadi Sabari, 2007) Dampak yang terjadi selanjutnya adalah terjadinya pemadatan bangunan (densifikasi) permukiman yang berakibat menurunnya kualitas permukiman, dengan demikian di daerah perkotaan akan timbul daerah daerah permukiman yang kurang layak huni, sangat padat dan akan membawa suatu akibat pada kondisi lingkungan permukiman yang buruk atau disebut dengan daerah kumuh (slum). Masalah yang terjadi akibat adanya permukiman kumuh ini, khususnya di kota-kota besar di antaranya wilayah perkotaan menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit menular, dan kebakaran sering melanda permukiman ini. Di sisi lain bahwa kehidupan penghuninya terus merosot baik kesehatan maupun kehidupan mereka yang terus terhimpit jauh di bawah garis kemiskinan. (Suwasti, 1974 : 123). Permukiman kumuh sebagai manifestasi dari kemiskinan fisik kota sering dianggap mengganggu ketertiban dan keindahan kota (Singha 2001:2). Oleh karena itu, mudah dipahami jika lingkungan permukiman kumuh biasannya menjadi sasaran program penataan lingkungan permukiman kota. Di Indonesia, penataan lingkungan permukiman kumuh dilakukan melalui berbagai program perbaikan / peningkatan lingkungan, antara lain Kampung Improvement Program (KIP), KIP Komprehensif, Program Pembangunan Kota Terpadu (P2KT), dan Pembangunan Perumahan yang Bertumpu Pada Kelompok (P2BPK). Upaya penataan lingkungan permukiman kumuh tampaknya makin ditingkatkan di era pasca reformasi, terutama sejak dicanangkan Gerakan Nasional Penataan Lingkungan Kumuh (GENTA KUMUH) pada tahun 2001 sebagai bentuk kepedulian Indonesia dalam mengambil aksi yang dideklarasikan Bank Dunia dan UNCHS tentang program aksi Cities Without Slums Initiative pada tahun Program aksi ini bertujuan untuk meningkatkan fasilitas dan pelayanan publik bagi 100 juta 2
3 penghuni permukiman kumuh hingga tahun 2020, sedangkan pemerintah Indonesia sendiri berniat menghapuskan permukiman kumuh pada tahun Permukiman kumuh terdiri dari permukiman yang berdiri / berada di atas tanah yang diperuntukkan untuk permukiman (slums) dan permukiman kumuh yang menempati lahan yang peruntukkannya bukan untuk permukiman (squatters). Terdapat banyak istilah untuk permukiman kumuh yang menempati areal public, antara lain disebut dengan permukiman illegal, liar, spontan, informal, disamping masih banyak lagi istilah yang umumnya mengacu pada bahasa local seperti favela di Brazil, ranchos di Venezuela, barong barong di Fillipina, dan kevettits di Burma (Srivinas). Ciri permukiman kumuh menurut Word Bank an UNCHS (2004:1) adalah: 1. Merupakan tempat hunian yang sangat padat 2. Memiliki kualitas lingkungan yang buruk 3. Memiliki keterbatasan terhadap pelayanan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, tempat pertemuan untuk kepentingan social kemasyarakatan 4. Memiliki keterbatasan akses terhadap fasilitas dasar di lingkungan kota seperti air bersih, sanitasi, tempat pembuangan sampah, saluran drainase, lampu jalan, jalan setapak dan akses jalan apabila ada kejadian darurat. Selain empat kriteria tersebut yang merupakan ciri ciri fisik permukiman kumuh, criteria lain untuk melihat lingkungan permukiman kumuh adalah aspek legalitas (terutama untuk membedakan status permukiman) dan aspek social (kondisi sosial ekonomi penduduk dilihat dari pekerjaan dan pendapatan) (Titisari dan Kurniawan, 1999:8). Penataan lingkungan permukiman kumuh umumnya terbatas pada penataan fisik lingkungan yang mencakup perbaikan sarana prasarana dasar public dan penyediaan fasilitas dasar yang diperlukan oleh penduduk kota, sementara perbaikan tempat tinggal / hunian menjadi tanggung jawab penghuni. Pemilihan lokasi penelitian di Kota Surabaya didasarkan atas pertimbangan bahwa Kota Surabaya merupakan kota terbesar kedua di 3
4 Indonesia yang juga sebagai daerah tujuan urbanisasi. Meskipun kota kota menengah disekitar Surabaya juga tumbuh / berkembang cepat seperti Jember, Malang, Kediri dan Madiun tetapi tampaknya belum menjadi daya tarik yang kuat bagi orang untuk melakukan urbanisasi sebagaimana Kota Surabaya yang menyediaakan berbagai kesempatan ekonomi. Sejalan dengan adanya urbanisasi ini, Kota Surabaya juga mengalami persoalan lingkungan permukiman kumuh yang cukup serius. Data dari BSHF Word Habitat menunjukkan lingkungan permukiman kumuh di Kota Surabaya menampung 63 persen dari penduduk kota tersebut, tetapi hanya menempati wilayah seluas 7 persen dari total wilayah kota. Tingginya proporsi penduduk slums dan squatters di Surabaya ini sama kondisinya dengan keadaan di kota kota besar lain di negara negara berkembang seperti di Naerobi yang mencapai 60 persen dari total penduduk kota (UN HABITAT Feature, 2003). Pada tingkatan yang lebih makro, data juga menunjukkan bahwa pada tahun 2003, penghuni slums di sub Sahara Afrika mencapai 72 persen, sedangkan di Asia mencapai 60 persen, bahkan di negara negara berpenghasilan tinggi masih sebesar 54 persen (UN HABITAT, 2003). Walaupun tidak diketahui jumlah penghuni permukiman kumuh di Kota Surabaya, data Bappeko Surabaya menunjukkan jumlah hunian kumuh (slums) di Kota Surabaya pada tahun 2002 telah mencapai 37 lokasi, sekitar dua kali lipat dari jumlah hunian liar (squatters) yang berjumlah 18 lokasi. Diluar lokasi yang terdaftar tersebut diperkirakan masih terdapat kawasan permukiman kumuh yang hanya menempati kawasan sempit, sehingga tidak diperhitungkan sebagai satu unit permukiman / hunian (Bappeko,2010) Kecamatan Wonokromo merupakan kawasan yang mempunyai lokasi yang strategis dan penting keberadaannya terhadap kota Surabaya secara keseluruhan, hal ini karena Wonokromo berada pada posisi city gate atau gerbang kota Surabaya bagian selatan disamping keberadaan. Wonokromo 4
5 merupakan kawasan yang secara historis merupakan jati diri atau identitas kota Surabaya dimasa lalu sampai dengan saat ini. Namun kenyataannya saat ini dapat dilihat bahwa di Kecamatan ini masih banyak dijumpai lokasi lokasi yang kumuh, rumah semi permanen cukup banyak, dan kondisinya saling berhimpitan satu dengan lainnya sehingga sirkulasi keluar masuk udara pun tidak baik. Kondisi ini diperparah dengan perilaku penghuninya yang tidak menerapkan pola hidup yang sehat. Sampah berserakan dimana mana, saluran air tidak terjaga sehingga menimbulkan bau tidak sedap dan air sungai kotor karena dijadikan tempat pembuangan sampah. Permukiman kumuh di bantaran sungai ini bertambah dari waktu ke waktu karena warga membuat kavling kavling di bantaran sungai atau di sungainya dengan cara menimbunnya dengan sampah dan tanah. Ketika bangunan liar (squatter) dan dihuni oleh penduduk pendatang maupun penduduk sekitar maka lokasi tersebut berubah menjadi permukiman yang terlarang karena berada dekat dengan bibir sungai. Permasalahan yang dihadapi penduduk yang tinggal di daerah permukiman kumuh terutama permukiman liar (squatter) lebih kompleks. Selain kumuh, mereka juga menghadapi persoalan legalitas status hunian tempat tinggal. Penataan permukiman liar (squatter) akan berbeda dengan penataan permukiman kumuh (slum), karena tidak terbatas pada penataan fisik saja tetapi juga harus terkait dengan perencanaan tata ruang kota dan kebijakan permukiman lainnya. Penataan atau perbaikan permukiman kumuh harus tetap diupayakan tetapi harus mempertimbangkan adanya konflik dengan penghuni yang telah tinggal di daerah tersebut. Strategi pembangunan yang bersumber pada trickle down teory mengakibatkan pertumbuhan yang tidak merata. Sebagian kecil masyarakat menguasai sebagian besar sumberdaya mengakibatkan timbulnya segregasi sosial semakin tajam. Pertumbuhan tenaga kerja yang tidak diimbangi dengan terciptanya kesempatan kerja dalam sektor formal menyebabkan tumbuhnya 5
6 sektor informal yang berkecenderungan mendekati pusat pusat kegiatan. Mekanisasi pertanian menyebabkan pengurangan kebutuhan tenaga kerja di desa dan mendorong urbanisasi semakin cepat. Walaupun kebijaksanaan pembangunan sudah bergeser ke arah usaha pemerataan. Namun kenyataan di atas masih belum sepenuhnya berubah. Keadaan di atas tercermin dalam pola tata ruang dimana wilayah wilayah startegis yang umumnya terletak di sepanjang jalan dikuasai golongan berpenghasilan tinggi, sedangkan golongan berpenghasilan rendah terdorong ke dalam kampung kampung di balik jalan atau ke pinggiran kota, bahkan ke daerah daerah yang kurang layak untuk permukiman. Urbanisasi dari masyarakat pencari kerja yang tidak diimbangi dengan lapangan kerja dalam sektor formal menyebabkan terjadinya pemadatan kampung kampung di dekat pusat kegiatan. Dari segi perencanaan dan pelayana kota, umumnya hanya daerah daerah yang dibangun oleh sektor modern terdapat pola tata ruang dengan pelayanan lengkap, selebihnya, tumbuh dengan sendirinya. Termasuk dalam kategori ini adalah permukiman kumuh yang tumbuh secara liar maupun kampung lama yang mengalami pemadatan penduduk dan penurunan kualitas. Akibat proses sosial yang terjadi, masyarakat yang terkelompok ke dalam permukiman kumuh adalah mereka yang masuk dalam strata sosial ekonomi rendah. Dalam arti tingkat penghasilan, status sosial, pendidikan dan pekerjaan, mereka termasuk dalam kelas rendah. Keadaan sosial ekonomi yang rendah dan lingkungan permukiman yang padat dengan segala macam kekurangan sarana mengakibatkan seolah olah mereka memiliki kebudayaan sendiri. Oscar Lewis (Suparlan,1984) menamakan sebagai kebudayaan kemiskinan. Sebagai usaha adaptasi terhadap keadaan yang mereka derita, mereka mengembangkan perilaku tersendiri. Namun, sekali kebudayaan kemiskinan itu menjadi penyebab kemiskinan berikutnya. Pendapat terakhir tentang masyarakat miskin ternyata berbeda dengan pendapat Lewis. Dari segi penyebabnya, Parker, Kleiner, Gans (Suparlan,1984) dan Periman (1979) sepakat bahwa sistem ekonomi lah yang menjadi 6
7 penyebabnya. Sistem ekonomi kapitalis yang eksploitatif mengakibatkan kaum miskin makin tereksploitir dan makin miskin. Bukan kebudayaan mereka yang menjadikan mereka miskin. Sementara itu Periman dalam penelitiannyatentang marginalitas permukiman kumuh di Rio De Janiero, Brasil terangkum peryataan benar tidaknya kebudayaan kemiskinan dalam masyarakat miskin di sana menyatakan lebih luas lagi. Penghuni permukiman kumuh bukan marginal tetapi menyatu (integrated) ke dalam masyarakat luas. Mereka terlempar ke dalam kehidupan demikian akibat sistem. Mereka menyumbang dengan kerja keras, penuh harapan dan loyalitas tetapi mereka tidak memperoleh keuntungan dari barang dan pelayanan dari sistem yang berlaku. Penghuni permukiman kumuh secara ekonomi dan politik bukan marginal, tetapi tereksploitir dan tertekan, secara sosial dan budaya bukan marginal tetapi ternoda dan terlempar dari sistem sosial yang tertutup. Bukan secara pasif menjadi marginal akibat sikap dan tingkah laku mereka sendiri, tetapi secara aktif dibuat demikian oleh sistem dan kebijaksanaan yang berlaku. Hal ini juga dikuatkan dengan penemuan Arporn Chancareon Sook (Widyapura 1979), bahwa 60 persen masyarakat penghuni permukiman kumuh di Bangkok mempunyai harapan utama agar dipecahkan masalah sosial ekonomi mereka. Sedangkan masalah fisik lingkungan merupakan prioritas kedua. Untuk masyarakat miskin permukiman kumuh di kota Indonesia di samping memiliki karakteristik seperti di atas juga memiliki unsur tradisional yang masih cukup kuat sehingga faktor kekerabatan dan gotongroyong masih cukup kuat. Hal ini dikuatkan oleh ahli antropologi kota, antara lain Eddward Bruner (Evers,1982) yang telah menganalisa pelestarian organisasi sosial di kalangan orang Batak dari Medan dan di Bandung. Bahkan Lucian Pye (Evers, 1982) berpendapat bahwa dengan bertambahnya migrasi dari desa ke kota, diperkenalkan kembali bentuk bentuk pengawasan sosial tradisional di kampung kota. Efendi (1983) dalam studinya tentang permukiman liar di Wonosito Yogyakarta antara lain menyimpulkan bahwa, dalam upaya mempertahankan 7
8 kelangsungan hidup, masyarakat hunian liar membentuk semacam sistem ekonomi yang akhirnya mengarah ke suatu sistem kehidupan, atas dasar saling membutuhkan dan ikatan solidaritas terbentuklah suatu masyarakat. Kualitas solidaritas keompok tercermin dari cara mereka menanggapi penggusuran dan gangguan terhadap anggota masyarakat, saling membantu demi kepentingan bersama. Disamping ciri ciri di atas juga terdapat ciri hubungan patron-clien yang sangat mencolok sehingga memperkuat ketertarikan terhadap lingkungan masyarakat itu, juga umumnya mereka yang tinggal disana adalah anggota masyarakat yang gagal dalam memenuhi tuntutan hidup di kota baik sosial maupun ekonomi. Sehingga berdiam diri di permukiman liar itu merupakan satu satunya cara yang bisa ditempuh untuk mempertahankan hidup. Sementara itu cara hidup khusus yang berhubungan dengan rumah dan lingkungan yang telah diungkapkan oleh Kuntjaranigrat (Widyapura,1979), dalam menempati kampung kampung di kota, mereka masih menghargai cara hidup bersama yang luas, selalu bekerjasama dengan tetangga tetangganya dan sebaliknya belum begitu memperhatikan kehidupan pribadi keluarga inti. Walaupun terdapat variasi mengenai luas dan lingkup kehidupan bermasyarakat, namun dapat dianggap secara umum bahwa dikebanyakan desa dan kampung kota, sebuah rumah baik kecil maupun yang besar hanyalah untuk tempat istirahat, tidur, memasak dan makan. Untuk bersantai dan bekerja dilakukan di pekarangan atau di luar rumah. Kehidupan tertutup (private) yang dianggap penting bagi budaya Barat, bagi orang orang Indonesia kurang penting, mereka lebih senang menikmati suasana bersama. Keadaan masyarakat seperti itu dengan tingkat penghasilan yang cukup heterogen meskipun dalam beda strata yang tidak jauh menimbulkan kerjasama antara yang lebih miskin dengan yang cukup berada sehingga menciptakan kesempatan kesempatan yang menguntungkan bagi kehidupan orang miskin. 8
9 Keadaan sosial ekonomi masyarakat seperti itu digambarkan juga oleh Taylor (Suparlan,1984) bahkan berlaku untuk kampung kota di Asia Tenggara. Fakta mengenai daerah daerah kediaman berpenghasilan rendah umumnya menunjukkan jiwa bersatu, kepercayaan pada diri sendiri dan kestabilan yang kuat. Orang orang rela bekerja sama untuk menanggulangi kesulitas bersama dan dalam banyak kasus telah mengorganisir diri untuk menyelamatkan rumah dan masyarakat mereka. Ada sikap informal dan bertetangga baik yang mendukung serta memperingan beban orang orang itu. Ciri lain adalah adanya banyak kesempatan bagi orang orang untuk mencari penghasilan tambahan dengan kerja sambilan. Dalam keadaan tersebut, bisa dimengerti bila masyarakat miskin itu bersedia tinggal di permukiman kumuh, meskipun keadaan fisik lingkungannya buruk karena dari segi ekonomi sosial, keadaan di permukiman itu membuat mereka bisa bertahan hidup. Keadaan masyarakat miskin untuk tinggal di pemukiman kumuh dengan keadaan lingkungan fisik yang buruk untuk bisa memperoleh kesempatan dalam bidang ekonomi agar bisa bertahan hidup itu bisa dijelaskan dengan teori Maslow tentang perkembangan kebutuhan berdasarkan perkembangan penghasilan. Untuk mengambarkan skala prioritas kebutuhan, Maslow (Turner,1972) menentukan tiga kebutuhan dasar manusia yaitu kesempatan (opprtunity), keamanan (security) dan identitas (identity). Selanjutnya ditentukan lima skala prioritas yaitu: mendasar, penting, layak, tidak penting dan tidak layak. Sedangkan untuk pendapatan, ditentukan lima skala yaitu sangat rendah, rendah, menengah rendah, menengah dan tinggi. Menurut Maslow akan terjadi perubahan skala prioritas kebutuhan dari yang paling mendasar sampai yang tidak layak sesuai dengan perubahan penghasilan dari yang sangat rendah sampai sangat tinggi. Bagi golongan berpenghasilan sangat rendah dan rendah, prioritas kebutuhan dasarnya adalah kesempatan memperoleh kehidupan lebih layak dan keamanan, keduanya terutama bidang ekonomi. Tetapi kesempatan itu memang langka sehingga menjadikan mereka menetap selamanya di permukiman kumuh. 9
10 Masyarakat berpenghasilan rendah bersedia tinggal di permukiman kumuh, meskipun keadaan lingkungan fisiknya buruk, sebab lingkungan fisik yang baik belum menjadi prioritas kebutuhan mereka atau tidak mungkin menjadi prioritas mereka, sementara dengan tinggal di permukiman kumuh mereka memperoleh kesempatan dalam bidang ekonomi yang menjadi prioritas utama kebutuhan mereka. Bahkan bila perlu mereka bersedia untuk menurunkan standar hidupnya untuk bisa bertahan. 1.2 Rumusan Masalah Salah satu masalah yang dihadapi oleh Kota Surabaya terutama di Kecamatan Wonokromo adalah masalah perkembangan permukiman kumuh yang yang secara signifikan mengalami perluasan dari tahun ke tahun. Semakin banyaknya penduduk yang datang dan tinggal di Kecamatan Wonokromo menjadikan kawasan ini menjadi kawasan bagi para pendatang yang masih tergolong dalam ekonomi rendah dan biasanya bersedia tinggal walaupun dalam kondisi lingkungan fisiknya yang buruk. Hal ini disebabkan karena lingkungan fisik yang baik belum menjadi kebutuhan prioritas mereka, yang lebih diprioritaskan adalah memperoleh kesempatan di bidang ekonomi untuk mencukupi kebutuhan mereka. Ada beberapa masalah yang saat ini masih dihadapi tentang jumlah kaum marjinal yang cukup besar dan tersebar hampir semua bagian kota terbangun, dalam jumlah kecil kecil. Hal ini menyebabkan upaya penataannya juga semakin sulit mengingat gejala ini sudah berlangsung cukup lama, akan tetapi kenyataan jumlahnya masih besar sampai kini, menunjukkan bahwa cara yang ditempuh kurang efektif. Ketidakefektifan penanganan ini tidak berdiri sendiri akan tetapi terkait denga persepsi dan konsep yang dipakai untuk melakukan tindakan pemecahannyabelum cocok untuk keadaan yang berlaku di lapangan. Ini membawa pada masalah tentang persepsi dan konsep yang perlu ada untuk penyelesaian yang hendak ditempuh. Persepsi yang berlaku masih melihat gejala ini lebih banyak sebagai gangguan dari pada konsekuensi yang 10
11 potensial dari kegagalan mendukung usaha mereka. Bentuk persepsi seperti ini lalu melahirkan bentuk tindakan yang akhirnya kontra produktif seperti penggusuran dan penyitaan alat dan barang milik mereka. Konsep ini lalu menimbulkan banyak kerawanan yang sebenarnya adalah akibat tindakan yang salah tersebut. Dan dalam kenyataannya, gejala permukiman marjinal ini tidak pernah dapat diselesaikan dengan baik, bila tidak ada perubahan persepsi dan konsep yang lebih mendasar, yang melihat gejala ini sebagai akibat adanya ketidakseimbangan penataan dan pelayanan kota. Di samping tindakan yang bersifat represif tersebut, pemerintah kota juga telah berusaha menampung mereka, baik untuk tempat mereka berusaha sampai penyediaan rumah susun dan perbaikan rumah sewa. Pemberian latihan dan alat kerja juga sudah dilakukan, dengan hasil yang terbatas. Semua usaha ini perlu didudukkan kembali pada persepsi baru yang melihat gejala ini lebih banyak sebagai penyelesaian masalah dari pada masalah yang harus diselesaikan. Dari keterangan tersebut pertanyaan yang muncul adalah: 1. Bagaimana hubungan kondisi sosial ekonomi penghuni dengan permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo? 2. Bagaimana pengaruh kondisi sosial ekonomi penghuni terhadap permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo? 3. Bagaimana persepsi penghuni terhadap perbaikan permukiman kumuh dan fasilitas di Kecamatan Wonokromo? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan fenomena permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo. Untuk memudahkan dalam operasionalisasi tujuan penelitian tersebut dapat dirumuskan: 1. Mengetahui hubungan antara kondisi sosial ekonomi penghuni dengan permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo. 2. Mengetahui faktor sosial ekonomi yang paling berpengaruh terhadap permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo. 11
12 3. Mengetahui persepsi penghuni terhadap perbaikan permukiman kumuh dan fasilitas di Kecamatan Wonokromo, Kota Surabaya. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang dilakukan adalah : 1. Menerapkan ilmu pengetahuan geografi dalam menganalisa dan dan menjelaskan perkembangan permukiman kumuh beserta factor faktornya di daerah penelitian. 2. Memunculkan pemikiran pemikiran yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam penyusunan penataan lingkungan permukiman kumuh di Kota Surabaya 3. Memberikan informasi dan masukan kepada pemerintah dalam mengontrol berbagai masalah perkotaan akibat cepatnya pertumbuhan penduduk. 12
BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset sosial, ekonomi, dan fisik. Kota berpotensi memberikan kondisi kehidupan yang sehat dan aman, gaya hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di wilayah perkotaan. Salah satu aspek
Lebih terperinciUrbanisasi dalam Perencanaan Wilayah
Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah Permalahan : Persebaran (distribusi) dan kesenjangan (disparitas) penduduk yang terlalu besar antara desa dengan kota dapat menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan
Lebih terperinciPerubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah)
Perubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah) Permalahan : Persebaran (distribusi) dan kesenjangan (disparitas) penduduk yang terlalu besar antara desa dengan kota dapat menimbulkan berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota di Indonesia merupakan sumber pengembangan manusia atau merupakan sumber konflik sosial yang mampu mengubah kehidupan dalam pola hubungan antara lapisan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perumahan merupakan kebutuhan masyarakat yang paling mendasar, dan dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan rendah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Sujarto (dalam Erick Sulestianson, 2014) peningkatan jumlah penduduk yang tinggi dan perpindahan penduduk ke daerah perkotaan, merupakan penyebab utama pesatnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. persoalan kecenderungan meningkatnya permintaan dan kurangnya penyediaan di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumahan menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia, dimana perkembangannya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perkembangan wilayah perkotaan. Pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan
BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan akan dipaparkan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan infrastruktur permukiman kumuh di Kecamatan Denpasar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Lingkungan permukiman merupakan bagian dari lingkungan binaan merupakan bagian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan permukiman merupakan bagian dari lingkungan binaan merupakan bagian pula dari lingkungan hidup. Menyadari adanya hubungan timbal balik antara permukiman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang
Lebih terperinciUrbanisasi dalam Perencanaan Wilayah 02/04/2013 7:59
Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah Urbanisasi Urban : perkotaaan Rural : perdesaan Urbanisasi secara umum diartikan sebagai perubahan perdesaan menjadi perkotaan karena adanya perpindahan penduduk dari
Lebih terperinciPENGARUH SOSIAL EKONOMI PENGHUNI TERHADAP PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN WONOKROMO KOTA SURABAYA. Muhammad Izzudin
PENGARUH SOSIAL EKONOMI PENGHUNI TERHADAP PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN WONOKROMO KOTA SURABAYA Muhammad Izzudin zoodeen_ugm08@yahoo.com Risyanto risyanto@yahoo.com ABSTRAKSI Tujuan penelitian ini adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latar Belakang Formal Latar Belakang Material
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Latar Belakang Formal Geografi adalah salah satu disiplin ilmu pengetahuan yang memperhatikan aspek-aspek geografi yang mendukung dalam pembangunan wilayah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia melahirkan sektor informal. Salah satu wujud sektor informal di perkotaan adalah lahirnya pedagang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah mencapai 40,7% (Maran, 2003). Di Indonesia, persentase penduduk kota mencapai 42,4% pada tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kota dengan segala macam aktivitasnya menawarkan berbagai ragam
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota dengan segala macam aktivitasnya menawarkan berbagai ragam potensi, peluang dan keuntungan dalam segala hal. Kota juga menyediakan lebih banyak ide dan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah permukiman kumuh tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga berlangsung hampir di seluruh negara berkembang di Asia dan Afrika. Hasil penelitian World Bank
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 1996, United Nations Centre for Human Programme (UNCHS/UN-HABITAT) untuk pertama kalinya mengembangkan Global Urban Indicator Program (GUIP). GUIP merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dapat memberikan pengaruh positif sekaligus negatif bagi suatu daerah. Di negara maju pertumbuhan penduduk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
Lebih terperinciEVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR
EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : MANDA MACHYUS L2D 002 419 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agung Hadi Prasetyo, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring berjalannya waktu wilayah perkotaan semakin berkembang diberbagai sektor, sehingga perkembangan wilayah kota yang dinamis membawa berbagai macam dampak bagi
Lebih terperinciCONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI)
Perancangan Kota CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI) OLEH: CUT NISSA AMALIA 1404104010037 DOSEN KOORDINATOR IRFANDI, ST., MT. 197812232002121003 PEREMAJAAN KOTA Saat ini, Perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan permukiman yang dihadapi kota kota besar di Indonesia semakin kompleks. Tingginya tingkat kelahiran dan migrasi penduduk yang tinggi terbentur pada kenyataan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam masyarakat terdapat berbagai golongan yang menciptakan perbedaan tingkatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam masyarakat terdapat berbagai golongan yang menciptakan perbedaan tingkatan antara golongan satu dengan golongan yang lain. Adanya golongan yang berlapis-lapis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebutuhan dasar yang sampai saat ini belum dapat dipenuhi oleh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar yang sampai saat ini belum dapat dipenuhi oleh banyak pihak adalah tersedianya rumah tinggal yang layak bagi semua orang. Rumah tinggal adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai pendahuluan yang merupakan bagian
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai pendahuluan yang merupakan bagian awal dari suatu penelitian. Bab pendahuluan ini terdiri dari latar belakang masalah yang menjelaskan timbulnya alasan-alasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan adalah upaya memajukan, memperbaiki tatanan, meningkatkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan adalah upaya memajukan, memperbaiki tatanan, meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Kegiatan pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Di dalam Darda (2009) dijelaskan secara rinci bahwa, Indonesia merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam Darda (2009) dijelaskan secara rinci bahwa, Indonesia merupakan negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia yang memiliki kurang lebih 17.508 pulau dan sekitar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya sebagian besar bersumber dari aktivitas menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Kota Surabaya sebagai ibu kota Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Surabaya sebagai ibu kota Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu kota industri terbesar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kegiatan perdagangan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan perkotaan yang begitu cepat, memberikan dampak terhadap pemanfaatan ruang kota oleh masyarakat yang tidak mengacu pada tata ruang kota yang
Lebih terperinciBAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler
BAB I Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler Kampung Hamdan merupakan salah satu daerah di Kota Medan yang termasuk sebagai daerah kumuh. Hal ini dilihat dari ketidak beraturannya permukiman warga
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kelurahan Kapuk merupakan suatu wilayah dimana mengacu pada dokumen Direktori RW Kumuh 2011 dalam Evaluasi RW Kumuh di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011 adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ledakan jumlah penduduk mungkin bukan sebuah fenomena yang asing di telinga untuk saat ini. Fenomena ledakan jumlah penduduk hampir terjadi di seluruh belahan dunia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran dan terutama
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan paradigma pembangunan pada masa orde baru, dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik bertujuan untuk memberikan pelimpahan wewenang kepada otonomi daerah
Lebih terperinci3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS
3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS 3.3.1. Analisis Kedudukan Kawasan A. Analisis Kedudukan Kawasan Kawasan prioritas yaitu RW 1 (Dusun Pintu Air, Dusun Nagawiru, Dusun Kalilangkap Barat, dan Dusun Kalilangkap
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Peraturan Perumahan dan Kawasan Permukiman Peraturan terkait dengan perumahan dan kawasan permukiman dalam studi ini yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 11 tentang Perumahan dan Kawasan
Lebih terperinciSEGI SOSIAL DAN EKONOMI PEMUKIMAN KUMUH SEGI SOSIAL DAN EKONOMI PEMUKIMAN KUMUH
SEGI SOSIAL DAN EKONOMI PEMUKIMAN KUMUH SEGI SOSIAL DAN EKONOMI PEMUKIMAN KUMUH Prof. DR. Parsudi Suparlan Rumah dan fasilitas pemukiman yang memadai merupakan kebutuhan pokok yang sangat penting bagi
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR Latar Belakang Penelitian
BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Penelitian 1.1.1. Dampak Urbanisasi Pada dasa warsa terakhir, studi tentang struktur sosial, politik perkotaan serta urbanisasi di Asia Tenggara telah banyak dilakukan.
Lebih terperinciPEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Oleh:
JurnalSangkareangMataram 9 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH Oleh: Indah Arry Pratama Dosen Fakultas Teknik Universitas Nusa Tenggara Barat Abstrak: Perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kependudukan adalah studi yang membahas struktur dan proses kependudukan yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikaitkan dengan aspek-aspek non demografi. Struktur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkembangan negara Indonesia yang lebih identik dengan perkembangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan negara Indonesia yang lebih identik dengan perkembangan perkotaan, ternyata menimbulkan masalah permukiman yang lebih kompleks. Salah satu faktor
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkotaan dengan kompleksitas permasalahan yang ada di tambah laju urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun membuat kebutuhan perumahan di perkotaan semakin meningkat,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan
Lebih terperinciPERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001
PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia. Hal ini setara dengan kedudukan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia. Hal ini setara dengan kedudukan Indonesia sebagai negara termiskin ketiga di dunia. Pertambahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang terletak di bantaran Sungai Deli, Kelurahan Kampung Aur, Medan. Jika
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukiman Kampung Aur merupakan salah satu permukiman padat penduduk yang terletak di bantaran Sungai Deli, Kelurahan Kampung Aur, Medan. Jika berbicara mengenai permukiman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kawasan(PLP2K-BK) 1 Buku Panduan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis
BAB I PENDAHULUAN 1.4. Latar Belakang Permukiman kumuh merupakan permasalahan klasik yang sejak lama telah berkembang di kota-kota besar. Walaupun demikian, permasalahan permukiman kumuh tetap menjadi
Lebih terperinciISSN No Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH.
ISSN No. 2355-9292 Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH Oleh: Indah Arry Pratama Dosen Fakultas Teknik Universitas Nusa Tenggara
Lebih terperinciPENGARUH PEMBANGUNAN KAMPUNG PERKOTAAN TERHADAP KONDISI FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
PENGARUH PEMBANGUNAN KAMPUNG PERKOTAAN TERHADAP KONDISI FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (Studi Kasus: Kampung Kanalsari Semarang) Tugas Akhir Oleh : Sari Widyastuti L2D
Lebih terperinciEvaluasi Pemukiman Dan Perumahan Kumuh Berbasis Lingkungan Di Kel. Kalibanteng Kidul Kota Semarang
Evaluasi Pemukiman Dan Perumahan Kumuh Berbasis Lingkungan Di Kel. Kalibanteng Kidul Kota Semarang Suparto FPTK IKIP Veteran Semarang Email : suparto@gmail.com ABSTRAK Pemukiman merupakan bagian dari lingkungan
Lebih terperinciAssalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera Bagi Kita Semua,
KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PRODUK UNDANG-UNDANG YANG BERPIHAK PADA PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT Makalah disampaikan pada Musyawarah Nasional Real
Lebih terperinciKonsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo
Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo Felicia Putri Surya Atmadja 1, Sri Utami 2, dan Triandriani Mustikawati 2 1 Mahasiswa Jurusan
Lebih terperinciKata kunci : sanitasi lingkungan, pemukiman nelayan, peran serta masyarakat
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan lingkungan di pemukiman nelayan Bandengan Kabupaten Kendal terkait dengan kondisi sanitasi yang tidak sesuai untuk kondisi standar layak suatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan keluarga dan malahan menjadi simbol status. Pembangunan tempat tinggal
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak zaman dahulu rumah telah menjadi kebutuhan utama karena merupakan tempat perlindungan dari hujan, matahari, dan mahluk lainnya. Pada zaman sekarang fungsi perumahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya sebagaimana. diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peran yang sangat strategis dalam membentuk watak serta kepribadian bangsa. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan desa merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, dengan demikian pembangunan desa mempunyai peranan yang penting dan bagian yang tidak terpisahkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perkembangan permukiman di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan permukiman di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan baik karena faktor pertumbuhan penduduk kota itu sendiri
Lebih terperinciKAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR
KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : RISA NIKEN RATNA TRI HIYASTUTI L2D 002 432 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS
Lebih terperinciPOLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR
POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR Oleh: NOVI SATRIADI L2D 098 454 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS
Lebih terperinciMenakar Kinerja Kota Kota DiIndonesia
Menakar Kinerja Kota Kota DiIndonesia Oleh Doni J Widiantono dan Ishma Soepriadi Kota-kota kita di Indonesia saat ini berkembang cukup pesat, selama kurun waktu 10 tahun terakhir muncul kurang lebih 31
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Seperti kota-kota besar lainnya yang berkembang menjadi sebuah metropolitan, Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat juga mengalami permasalahan serius
Lebih terperinciMenuju Pembangunan Permukiman yang Berkelanjutan
Menuju Pembangunan Permukiman yang Berkelanjutan Urbanisasi dan Pentingnya Kota Tingginya laju urbanisasi menyebabkan semakin padatnya perkotaan di Indonesia dan dunia. 2010 2050 >50% penduduk dunia tinggal
Lebih terperinciKEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT. Bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingginya laju pertumbuhan penduduk di suatu daerah diikuti pula dengan laju pertumbuhan permukiman. Jumlah pertumbuhan permukiman yang baru terus meningkat
Lebih terperinciKebijakan Nasional Pengentasan Permukiman Kumuh. Direktorat Perkotaan, Perumahan, dan Permukiman, Kementerian PPN/Bappenas Manado, 19 September 2016
Kebijakan Nasional Pengentasan Permukiman Kumuh Direktorat Perkotaan, Perumahan, dan Permukiman, Kementerian PPN/Bappenas Manado, 19 September 2016 Persentase Juta Jiwa MENGAPA ADA PERMUKIMAN KUMUH? Urbanisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kota tersebut. Namun sebagian besar kota-kota di Indonesia tidak dapat memenuhi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan suatu daerah tidak terlepas dari kebutuhan akan ruang terbuka yang berfungsi penting bagi ekologis, sosial ekonomi, dan evakuasi. Berdasarkan Undang-Undang
Lebih terperinciKESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Stiufi Sosiaf'Elipnmi Masyardijft Ling^ngan Xumufi 'Kpta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Beberapa faktor penyebab pertumbuhannya adalah memiliki fasilitas kota
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada saat ini penduduk Kota Bandung berkembang semakin pesat. Beberapa faktor penyebab pertumbuhannya adalah memiliki fasilitas kota yang relatif lengkap sehingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi kebijakan pelaksanaan pengendalian lingkungan sehat diarahkan untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral dalam pembangunan kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi dapat menjadi masalah yang cukup serius bagi kita apabila pemerintah tidak dapat mengatur
Lebih terperinciARAHAN PENATAAN KAWASAN TEPIAN SUNGAI KANDILO KOTA TANAH GROGOT KABUPATEN PASIR PROPINSI KALIMANTAN TIMUR TUGAS AKHIR
ARAHAN PENATAAN KAWASAN TEPIAN SUNGAI KANDILO KOTA TANAH GROGOT KABUPATEN PASIR PROPINSI KALIMANTAN TIMUR TUGAS AKHIR Oleh : IKHSAN FITRIAN NOOR L2D 098 440 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan tepi air ataupun kawasan tepi sungai di Indonesia sebenarnya berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad telah menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pertumbuhan penduduk perkotaan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun telah menimbulkan peningkatan permintaan terhadap kebutuhan akan tempat tinggal atau perumahan
Lebih terperinciBab ini memberikan kesimpulan dan saran sesuai dengan hasil analisis yang telah dilakukan. BAB 2 LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pertumbuhan Ekonomi
Bab ini memberikan kesimpulan dan saran sesuai dengan hasil analisis yang telah dilakukan. BAB 2 LANDASAN TEORITIS 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai kenaikan output perkapita
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi di bidang transportasi sangat membantu manusia dalam menghemat waktu perjalanan yang tadinya berlangsung sangat lama menjadi lebih cepat. Teknologi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina dan dikembangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Konsep pembangunan yang berkembang disekitar kita antara lain konsep
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep pembangunan yang berkembang disekitar kita antara lain konsep pembangunan yang bertujuan untuk pertumbuhan ekonomi dan konsep pembangunan yang bertujuan untuk
Lebih terperinciINDONESIA NEW URBAN ACTION
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT BADAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR WILAYAH KEMITRAAN HABITAT Partnership for Sustainable Urban Development Aksi Bersama Mewujudkan Pembangunan Wilayah dan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
PENDEKATAN PENELITIAN TAHAPAN PENELITIAN METODE PENGUMPULAN DATA METODE ANALISA VARIABEL PENELITIAN METODE SAMPLING BAB III METODE PENELITIAN 10 PENDEKATAN PENELITIAN Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan tidak lain merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mengalami proses pembangunan perkotaan yang pesat antara tahun 1990 dan 1999, dengan pertumbuhan wilayah perkotaan mencapai 4,4 persen per tahun. Pulau Jawa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Barat, sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Bandung merupakan kota metropolitan terbesar di Provinsi Jawa Barat, sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km sebelah tenggara
Lebih terperinciAnalisa Dampak Negatif Pencemaran Lingkungan Pemukiman Kumuh Dibantaran Sungai Deli-Medan Maimoon
JAUR, Vol 1, No. 1, Nopember 2017, p-issn: 2599-0179, e-issn: 2599-0160 Journal of Architecture and Urbanism Research Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/jaur Analisa Dampak Negatif Pencemaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. besar, dimana kondisi pusat kota yang demikian padat menyebabkan terjadinya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan perkotaan sekarang ini terasa begitu cepat yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang semakin tinggi. Hal ini terutama terjadi di kotakota besar, dimana
Lebih terperinciBAGIAN I KAWASAN METROPOLITAN: KONSEP DAN DEFINISI
BAGIAN I KAWASAN METROPOLITAN: KONSEP DAN DEFINISI 2 Metropolitan di Indonesia 1 Pendahuluan PERTUMBUHAN PENDUDUK Suatu laporan dari The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson pada tahun 2006
Lebih terperinciPenggusuran dan Reproduksi Kemiskinan
Penggusuran dan Reproduksi Kemiskinan Nuri Ikawati Peneliti IDEAS (Indonesia Development and Islamic Studies) Masifnya penggusuran paksa terhadap kampung dan pemukiman liar di Jakarta dalam tiga tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kegiatan terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatannya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di dalam suatu wilayah tertentu, ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatan terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatannya yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni
Lebih terperinciInstrumen Perhitungan Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Konversi Lahan
Instrumen Perhitungan Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Konversi Lahan TA 2014 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berfungsi sebagai pusat kegiatan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, dimana hampir semua aktifitas ekonomi dipusatkan di Jakarta. Hal ini secara tidak langsung menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tingkat Kebutuhan Hunian dan Kepadatan Penduduk Yogyakarta
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Tingkat Kebutuhan Hunian dan Kepadatan Penduduk Yogyakarta Tingkat kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk yang cukup besar memberi dampak terhadap pemenuhan
Lebih terperinci