Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Benda Tetap Berupa Hipotik Atas Kapal Laut dan Hak Tanggungan Atas Tanah Dalam Hal Terjadi Kepailitan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Benda Tetap Berupa Hipotik Atas Kapal Laut dan Hak Tanggungan Atas Tanah Dalam Hal Terjadi Kepailitan"

Transkripsi

1 Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Benda Tetap Berupa Hipotik Atas Kapal Laut dan Hak Tanggungan Atas Tanah Dalam Hal Terjadi Kepailitan Fellicia Rahma Fitri Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus FHUI Gedung A, Depok, 16424, Jawa Barat Abstrak Skripsi ini membahas mengenai pelaksanaan eksekusi jaminan benda tetap berupa hipotik kapal laut dan hak tanggungan atas tanah dalam hal kepailitan. Pada umumnya pelaksanaan eksekusi harta pailit dilakukan oleh Kurator sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( UUK-PKPU ). Akan tetapi UUK-PKPU memberikan kewenangan kepada kreditur pemegang hak jaminan untuk dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, dimana ketentuan Pasal tersebut sejalan dengan diakuinya hak separatis dari pemegang jaminan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pelaksanaan eksekusi hipotik kapal laut dalam kepailitan PT Putrajaya Offshore Lines dan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan atas tanah dalam kepailitan PT Kepsonic Indonesia, masing-masing pelaksanaan eksekusinya memiliki hambatan dan resiko tersendiri. Hambatan dan resiko tersebut patut untuk diulas lebih mendalam dikarenakan kedua obyek jaminan tersebut merupakan obyek yang sering dijadikan jaminan pelunasan utang kepada bank dan dapat ditemui dalam beberapa kasus kepailitan. Untuk itu penulis akan meneliti bagaimana pelaksanaan eksekusi benda tetap dan hambatan-hambatan yang dimiliki dalam kasus kepailitan PT Putrajaya Offshore Lines dan kasus kepailitan PT Kepsonic Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan benda tetap berupa hipotik kapal laut dan hak tanggungan atas tanah, masing-masing memiliki resikonya tersendiri sehingga kreditur pemegang jaminan perlu memperhitungkan potensi ancaman dan resiko yang dapat muncul dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, sebelum memutuskan untuk melakukan eksekusi sendiri dengan pembatasanpembatasan sebagaimana diatur dalam UUK-PKPU atau melalui kurator. Kata kunci: kepailitan; eksekusi; jaminan; hipotik; hak tanggungan Juridical Review on the Execution of Fixed Objects Securities in the form of Hypothec over Ships and Security Right over Lands in the event of Bankruptcy. Abstract This thesis discusses about the execution of fixed objects securities in the form of hypothec over ships and security right over lands in the event of bankruptcy. In general, curator is authorized to perform the execution of bankruptcy assets in accordance with the Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payments ( Bankruptcy Law ). However, the Bankruptcy Law gives an authority to the secured creditors to execute their rights as if the bankruptcy does not occur. In the execution of Hypothec over Ships of PT Putrajaya Offshore Lines s bankruptcy case and the execution of security right over lands and buildings of PT Kepsonic Indonesia s bankruptcy case, each execution has its own obstacles and risks. Such obstacles and risks are ought to be reviewed because both of security objects are often to be used as security under loan agreement with the bank and such security objects are often to be found in several bankruptcy cases. Therefore, the writer hereby researches on how the execution of the fixed assets and its obstacles in the case of PT Putrajaya Offshore Lines and PT Kepsonic Indonesia s bankruptcy. The method of the research is using literature method based on juridical normative basis. The writer found that as the result of this research, the implementation of execution of fixed assets securities either in the form of mortgage over ships or security right over lands and buildings have its own risks and therefore the secured creditor needs to calculate the potential obstacles and risks before

2 deciding to perform the execution by itself with the limitation as stipulated in the Bankruptcy Law or deliver it to the curator. Keywords: bankruptcy; execution; securities; hypothec; lands Pendahuluan Perkembangan ekonomi yang terjadi di Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Dalam melakukan kegiatan usaha tersebut, para pelaku usaha membutuhkan sumber dana yang baik yang dapat membantu perkembangan usaha supaya laju kegiatan usaha serta perkembangannya dapat terwujud sesuai dengan perencanaan. Namun apabila pelaku usaha tidak mempunyai sejumlah dana yang cukup guna membiayai kegiatan usahanya maka dibutuhkan bantuan pihak lain yang bersedia menyediakan dana sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian timbul hubungan antara kedua pihak ini berupa kesepakatan dalam bentuk perjanjian utang piutang yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Kreditur mempunyai kewajiban untuk menyerahkan sejumlah uang yang dijanjikan kepada debitur dan debitur berkewajiban untuk mengembalikan uang yang dipinjamnya dari kreditur. Dalam hal Bank sebagai kreditur, biasanya selalu terdapat persyaratan yang diajukan oleh bank untuk memberikan kredit yaitu debitur harus memberikan jaminan baik dalam bentuk benda bergerak maupun benda tidak bergerak sebagai jaminan bagi pelunasan hutangnya kepada kreditur. Hal ini dikarenakan bank yang sumber dananya dari masyarakat, tidak akan berani mengambil resiko untuk memberikan kredit kepada debitur tanpa adanya jaminan. Jaminan tersebut menjadi pegangan bagi bank selaku kreditur apabila debitur lalai melakukan pembayaran angsuran kredit ataupun tidak mampu membayar kembali sejumlah uang yang sudah dipinjam dari pihak bank. Dalam suatu perjanjian kredit, debitur harus memenuhi kewajiban (prestasi) dalam melunasi utang-utangnya kepada kreditur sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak. Namun, apabila debitur tidak memenuhi prestasinya maka bank selaku kreditur pemegang hak jaminan memiliki hak untuk menuntut pelunasan piutangnya terhadap harta kekayaan milik debitur yang dijadikan sebagai jaminan. Hal ini dilakukan dengan cara penjualan benda-benda jaminan yang kemudian hasilnya digunakan sebagai pelunasan hutang debitur.

3 Berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( UUK-PKPU ) berpengaruh besar terhadap lembaga jaminan yang ada di Indonesia. Dalam hal debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka harta kekayaan debitur akan berada dalam sita umum dan debitur akan kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. 1 Kemudian Majelis Hakim akan mengangkat kurator yang bertugas untuk melakukan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit. 2 Dalam hal terjadi kepailitan, apabila kreditur separatis selaku pemegang jaminan ingin melaksanakan eksekusi terhadap jaminannya maka terdapat pembatasan waktu dalam pelaksanaan eksekusi yaitu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. 3 Apabila jangka waktu tersebut lewat dan kreditur belum melaksanakan haknya, kreditur harus menyerahkan jaminan kebendaan tersebut kepada kurator untuk selanjutnya dijual dengan mekanisme penjualan harta pailit yang diatur dalam Pasal 185 UUK-PKPU. Dengan adanya pembatasan waktu pelaksanaan eksekusi hak jaminan dalam hal terjadi kepailitan, hal ini tentunya akan semakin menyulitkan kreditur dalam melaksanakan eksekusi terhadap jaminan kebendaannya. Apalagi dalam hal obyek jaminan berupa kapal laut yang dibebani hipotik dimana pelaksanaan eksekusinya tentu membutuhkan waktu dan persiapan yang cukup lama. Selain itu juga terdapat hambatan-hambatan dan resiko-resiko terkait dengan obyeknya yaitu berupa kapal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan eksekusi dan dapat merugikan kreditur itu sendiri. Sehingga dalam beberapa kasus kepailitan jarang ditemui kreditur yang ingin melaksanakan eksekusinya sendiri dalam hal obyek jaminannya berupa kapal laut. Namun dalam hal jaminan berupa hak tanggungan atas tanah, dalam hal terjadi kepailitan pada prakteknya terdapat beberapa kreditur separatis yang ingin melaksanakan eksekusinya sendiri melalui perantaraan kantor lelang dengan memanfaatkan jangka waktu yang telah ditentukan berdasarkan Pasal 59 ayat (1) UUK-PKPU. Hal ini dikarenakan proses penjualan tanah lebih mudah karena jumlah pembeli relatif banyak, sehingga hasil penjualan yang didapat akan lebih besar. Selain itu tanah adalah benda tidak bergerak sehingga penjagaannya akan lebih mudah. Namun ternyata dalam pelaksanaan eksekusi ini tidak 1 Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004., Pasal Ibid., Pasal Ibid., Pasal 59 ayat (1).

4 terlepas dari kendala-kendala yang dapat terjadi diluar kehendak kreditur yang menyebabkan proses penjualan benda jaminan melalui kantor lelang tidak bisa dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Dalam penulisan ini, penulis membatasi pokok permasalahan yaitu mengenai kedudukan hukum kreditur separatis dalam hal kepailitan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan bagaimana pelaksanaan eksekusi jaminan benda tetap berupa hipotik kapal laut dalam kepailitan PT Putrajaya Offshore Lines dan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan atas tanah dan bangunan dalam kepailitan PT Kepsonic Indonesia serta hambatan-hambatan yang terjadi selama pelaksanaan eksekusi tersebut. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan penjelasan mengenai kedudukan hukum kreditur separatis dalam hal kepailitan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan untuk memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan eksekusi jaminan benda tetap berupa hipotik kapal laut dalam kepailitan PT Putrajaya Offshore Lines dan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan atas tanah dan bangunan dalam kepailitan PT Kepsonic Indonesia serta hambatan-hambatan yang terjadi selama pelaksanaan eksekusi tersebut. Tinjauan Teoritis Berdasarkan Pasal 1162 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 4 hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan. Dari rumusan tersebut dapat dikatakan bahwa hipotik merupakan hak kebendaan atas benda tidak bergerak yang timbul karena perjanjian, yang terbatas pada hak untuk mengambil penggantian dari benda tidak bergerak bersangkutan untuk pelunasan suatu perikatan saja. 5 Adapun yang termasuk benda-benda tak bergerak adalah hak atas tanah, kapal laut, dan pesawat terbang. Namun dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) maka hipotik atas tanah dan segala benda-benda yang berkaitan dengan benda dengan tanah 4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 29, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1999). 5 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, (Yogyakarta: Liberty, 1984), hlm. 61.

5 menjadi tidak berlaku lagi karena obyek jaminan berupa tanah besera benda-benda yang ada di atas tanah hanya dapat dijaminkan dengan hak tanggungan. Ketentuan mengenai hipotik yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya berlaku bagi obyek jaminan selain tanah dan bangunan yang ada di atasnya, seperti kapal laut dan pesawat terbang yang diatur secara lebih khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Berdasarkan Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, 6 kapal laut dengan bobot minimal 20m 3 (dua puluh meter kubik) dapat dibukukan dalam register kapal dan apabila dijaminkan, maka lembaga jaminan yang digunakan adalah hipotik. Ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dimana kapal yang didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan hipotik atas kapal. 7 Sedangkan dalam hal jaminan berupa hak tanggungan, berdasarkan Pasal 4 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang dapat menjadi obyek Hak Tanggungan adalah sebagai berikut: 8 1. Hak Milik; 2. Hak Guna Usaha; 3. Hak Guna Bangunan; 4. Hak Pakai atas Tanah Negara. Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Dalam hal debitur cidera janji, maka kreditur pemegang jaminan kebendaan (kreditur separatis) berhak untuk melaksanakan eksekusi terhadap obyek jaminan guna mendapatkan pelunasan dari utang-utang debitur. Dalam pelaksanaan eksekusi jaminan hipotik atas kapal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Kophandel), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 27, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2002), Pasal Undang-Undang Tentang Pelayaran, Undang-Undang No. 17 Tahun 2008, LN No. 64 Tahun 2008, Pasal Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3872, Pasal 4.

6 laut, ketentuan eksekusi masih mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 1178 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu dengan mengajukan permintaan flat eksekusi kepada Pengadilan Negeri maupun dengan pelaksanaan eksekusi atas kuasa sendiri melalui pelelangan umum (parate executie) sepanjang klausul tersebut termuat dalam akta hipotik. Sedangkan dalam eksekusi hak tanggungan, ketentuan eksekusi ini telah diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yaitu: 1. Eksekusi obyek Hak Tanggungan berdasarkan kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum apabila diperjanjikan dalam APHT (Pasal 6 UUHT berikut penjelasannya). 2. Apabila tidak diperjanjikan dalam APHT, maka pemegang Hak Tanggungan dapat meminta flat eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan titel eksekutorial dalam Sertipikat Hak Tanggungan, kemudian Ketua Pengadilan Negeri melaksanakan penjualan melalui pelelangan umum. (Pasal 20 ayat (1) UUHT). 3. Penjualan di bawah tangan. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) UUHT). Kemudian apabila debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga karena debitur tersebut tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya kepada para kediturnya, maka debitur tersebut akan kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya dan kurator lah yang kemudian berwenang untuk melakukan pengurusan dan pemberesan atas harta pailit debitur sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUK-PKPU. Dalam hal terjadi kepailitan ini, kedudukan kreditur pemegang jaminan kebendaan (kreditur separatis) diatur dalam Pasal 55 UUK-PKPU yang berbunyi: Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, 57, dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebedaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolaholah tidak terjadi kepailitan. Namun hak eksekusi kreditur separatis tersebut ditangguhkan paling lama 90 hari sejak

7 tanggal putusan pailit diucapkan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 56 UUK-PKPU yang menyatakan: (1) Hak eksekusi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitur Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. (2) Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap tagihan kreditur untuk memperjumpakan utang. (3) Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitur, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajib bagi kepentingan kreditur dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 9 Berdasarkan Pasal 57 ayat (1) UUK-PKPU, jangka waktu penangguhan berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, penangguhan eksekusi bertujuan untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian. Selama debitur pailit belum dinyatakan dalam keadaan insolvensi, maka peluang tercapainya perdamaian selalu terbuka. Rencana perdamaian yang diajukan debitur pailit atau investor baru akan menjadi tidak ada artinya apabila kreditur separatis melaksanakan eksekusi terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya. Apalagi jika benda yang dieksekusi merupakan modal vital si debitur pailit untuk melaksanakan rencana perdamaian. Oleh sebab itu, guna memperbesar peluang terjadinya perdamaian dan untuk menghindari adanya kreditur separatis yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya, maka hak eksekutorial kreditur separatis terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya baru dapat dilaksanakan setelah perdamaian tidak dimungkinkan lagi. Sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi oleh kreditur pemegang hak jaminan, telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 59 UUK-PKPU juga ditentukan bahwa: 1. Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, kreditur pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1). 9 Ibid., ps. 56 ayat (1), (2), dan (3)

8 2. Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak kreditur pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut. Dengan demikian kreditur hanya dapat melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. Apabila setelah lewat jangka waktu tersebut kreditur belum dapat melaksanakan haknya, maka kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 UUK-PKPU. Pasal 185 UUK-PKPU menentukan bahwa: (1) Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal penjualan di muka umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan izin Hakim Pengawas. (3) Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan maka Kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin Hakim Pengawas. (4) Kurator berkewajiban membayar piutang Kreditor yang mempunyai hak untuk menahan suatu benda, sehingga benda itu masuk kembali dan menguntungkan harta pailit. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang berbentuk yuridis normatif, yaitu penelitian ini mengacu pada norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, yaitu mengenai Hukum Keperdataan dan Hukum Kepailitan. Untuk mendapatkan data yang diperlukan bagi penulisan ini, alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen untuk mempelajari dokumen-dokumen. Dengan demikian, data yang didapatkan ditinjau dari sumbernya dinamakan data sekunder. Data sekunder di dalam penelitian hukum normatif mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. 10 Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi dan traktat. 10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet. 4, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 13.

9 Bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, dan lain-lain. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan lain-lain. Bahan Hukum Tersier adalahbahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia. Dalam analisa data yang akan dilakukan, peneliti akan menggunakan metode kualitatif karena penulis mengambil sumber dari beberapa literatur berupa buku-buku dan hasil karya dari kalangan hukum sehingga akan memberikan kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan atau tulisan. Selanjutnya, bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang menekankan pada penggunaan data sekunder didukung dengan wawancara dengan narasumber. Wawancara akan dilakukan dengan narasumber yaitu salah satu kurator yang menangani kasus kepailitan PT Putrajaya Offshore Lines. Hasil Penelitian dan Pembahasan Dalam kasus kepailitan PT Putrajaya Offshore Lines, ( PT POL ), PT POL dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga dan berada dalam keadaan insolvensi sehingga PT POL kehilangan hak untuk mengurus harta kekayaannya. Kemudian diangkatlah kurator oleh Majelis Hakim untuk mengurus dan membereskan harta pailit PT POL Bank CIMB Niaga selaku pemegang hipotik kapal diberikan kewenangan untuk melaksanakan hak eksekutorialnya dengan pembatasan waktu paling lama 2 bulan sejak dimulainya keadaan insolvensi. Namun dalam hal ini Bank CIMB Niaga menyerahkan hak eksekutorialnya kepada kurator. Berdasarkan keterangan dari salah satu kurator PT POL, 11 Bank CIMB Niaga menganggap bahwa jangka waktu pelaksanaan eksekusi yang diberikan oleh Pasal 59 ayat (1) UUK-PKPU yaitu selama 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi dianggap terlalu singkat untuk melaksanakan hak eksekutorialnya dengan segala persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan lelang ke kantor lelang. 11 Hasil wawancara dengan Bapak Yuhelson, S.H., M.H., Kurator PT Putrajaya Offshore Lines, tanggal 10 Desember 2014.

10 Kemudian pelaksanaan lelang eksekusi KM Putrajaya Ider Mandiri dan KMT Putrajaya Singosari ini dilaksanakan melalui perantaraan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta pada hari Selasa, tanggal 4 November Dalam pelaksanaan lelang eksekusi kapal ini, ditemukan KPKNL Jakarta kesulitan melakukan penjualan kapal karena peminat kapal laut sangatlah terbatas dan nilai kapal yang cenderung menurun dimana hal ini akan sangat berpengaruh terhadap proses penjualan kapal. Selain itu penjualan kapal tersebut harus satu paket dimana kedua kapal tersebut harus dibeli kedua-duanya dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini menyulitkan bagi calon pembeli dimana kapal tersebut harus dibeli kedua-duanya padahal calon pembeli bisa saja sebetulnya hanya ingin membeli satu kapal. Dengan demikian pada pelaksanaan lelang eksekusi kali ini, tidak ada peserta lelang yang mengajukan penawaran terhadap obyek lelang eksekusi berupa KM Putrajaya Ider Mandiri dan KMT Putrajaya Singosari ini. Kemudian karena pada pelaksanaan lelang yang pertama kapal tersebut belum laku dijual, maka pelaksanaan lelang harus diulang satu kali. Pelaksanaan lelang ulang dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 21 November 2014 di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta I. Pada pelaksanaan lelang kali ini, kapal tersebut dijual secara terpisah dan pembeli dapat memilih salah satu kapal yang akan dibeli. Pada akhirnya terdapat pembeli yang bersedia membeli salah satu dari kapal tersebut yaitu KMT Putrajaya Singosari dengan harga senilai ,- (dua puluh tiga miliar lima ratus satu juta rupiah). Dengan demikian dapat dilihat bahwa prosedur eksekusi kapal laut ini memakan waktu yang cukup lama mengingat peminat kapal laut yang sangat terbatas pelaksanaan lelang oleh kurator harus dilaksanakan dua kali dimana hingga saat ini baru satu kapal yang telah terjual. Hal ini membuktikan bahwa obyek jaminan kapal laut memiliki pasar yang terbatas sehingga pelaksanaan lelangnya pun memakan waktu yang lebih lama daripada pelaksanaan eksekusi benda lainnya. Menurut pandangan penulis, keputusan Bank CIMB Niaga untuk menyerahkan pelaksanaan eksekusi kapal laut tersebut kepada kurator sudah tepat. Hal ini dikarenakan peminat kapal laut yang terbatas sehingga apabila belum terdapat pembeli maka proses lelang harus dilaksanakan berulang-ulang yang tentunya akan sangat menyita waktu, tenaga, serta biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh kreditur apabila kreditur melaksanakan eksekusinya sendiri. Selain itu, walaupun kapal laut dengan bobot diatas 20 m 3 digolongkan sebagai benda tidak bergerak namun sifatnya masih dapat dikatakan sebagai benda bergerak yang

11 dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya dan dapat dikendalikan oleh manusia. Hal ini akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan eksekusi apabila kapal tersebut masih berlayar dan beroperasi di tengah laut. Selain itu, resiko pencurian terhadap kapal juga cukup besar mengingat kapal juga terdiri atas rangka kapal, mesin-mesin beserta peralatan lainnya sehingga diperlukan alat pengamanan yang ketat atas kapal tersebut. Apabila terjadi pencurian, hal ini dapat mengakibatkan kapal tersebut tidak dapat beroperasi dan tentunya akan menimbulkan kerugian yang besar karena mengakibatkan turunnya nilai penjualan penjualan kapal. Menurut keterangan dari tim kurator PT POL, salah satu kapal yang dijadikan jaminan utang yaitu KM Putrajaya Ider Mandiri, sebelumnya pernah mengalami kecurian dimana 1 (satu) unit hub baling-baling KM Putrajaya Ider Mandiri tersebut dicuri oleh seseorang. Namun kemudian pencuri atas baling-baling tersebut tertangkap dan diadili pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Baling-baling KM Putrajaya Ider Mandiri tersebut ditemukan sebagai barang bukti dan dikembalikan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk ditempatkan kembali di KM Putrajaya Ider Mandiri agar kapal tersebut dapat beroperasi kembali. 12 Berdasar hal tersebut, dapat dilihat bahwa pencurian atas baling-baling kapal yang merupakan salah satu rangka kapal pernah terjadi sebelumnya. Hal ini menunjukkan pencurian atas kapal sangat mungkin terjadi apabila kapal tersebut tidak dijaga dengan sebaik-baiknya. Apalagi dalam kasus ini, kapal yang dijaminkan terdiri atas dua kapal sehingga diperlukan pengamanan yang ketat dan penjagaan secara langsung atas keberadaan kapal-kapal tersebut. Hal ini tentunya akan mempersulit Bank CIMB Niaga selaku kreditur jika ia ingin melaksanakan hak eksekusinya sendiri mengingat resiko-resiko yang dapat terjadi atas kapal-kapal yang dijaminkan tersebut. Apabila terjadi pencurian, maka Bank CIMB Niaga selaku pihak yang bertanggung jawab atas kapal-kapal tersebut harus menanggung semua kerugian-kerugian yang dialami apabila penjagaan obyek eksekusi tersebut tidak dilakukan dengan baik. Dalam kasus kepailitan PT Kepsonic Indonesia ( Kepsonic ), Kepsonic juga dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga dan berada dalam keadaan insolvensi sehingga Kepsonic kehilangan hak untuk mengurus harta kekayaannya. Namun dalam hal ini, PT Bank UOBI Indonesia ( UOBI ) selaku kreditur pemegang hak tanggungan atas tanah beserta 12 Hasil wawancara dengan Bapak Yuhelson, S.H., M.H., Kurator PT Putrajaya Offshore Lines, tanggal 10 Desember 2014.

12 bangunan pabrik yang dijaminkan oleh Kepsonic, bermaksud melaksanakan eksekusi sendiri melalui perantaraan Kantor Lelang sehingga harus tunduk pada jangka waktu 2 bulan setelah dimulainya insolvensi (Pasal 59 ayat (1) UUK-PKPU). Hak eksekutorial UOBI juga diatur dalam Pasal 21 UUHT. Dalam Pasal 6 jo. Pasal 20 (1) UUHT, pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dilakukan dengan mekanisme Pelelangan Umum. Setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan, UOBI sudah dapat melaksanakan lelang parate executie atas HGB Kepsonic sesuai dengan jadwal yang ditentukan KPKNL Bekasi. Namun pada saat hari pelaksanaan lelang, para buruh datang ke KPKNL Bekasi untuk menghalang-halangi pelaksanaan lelang. Pejabat lelang pun diancam dan disandera oleh para buruh agar mereka tidak dapat melaksanakan eksekusi. Dengan terhambatnya pelaksanaan eksekusi ini, pejabat lelang menyatakan bahwa pelaksanaan lelang parate executie atas HGB Kepsonic dibatalkan karena keadaan memaksa (force majeur) sesuai PMK Nomor 93/PMK.06/2010 jo. PMK Nomor 106/PMK.06/2013 Pasal 27 huruf (i). Berdasarkan kejadian tersebut dapat dilihat bahwa sekalipun benda yang dieksekusi adalah berupa tanah berikut pabrik, yang merupakan benda tetap dan bersifat permanen, namun tidak berarti dalam pelaksanaan eksekusinya dapat dilakukan dengan mudah. Dalam hal ini, walaupun UOBI selaku kreditur pemegang hak jaminan seharusnya dapat melaksanakan eksekusi atas HGB Kepsonic ini sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh UUK-PKPU, namun ternyata dalam proses pelaksanaan eksekusi tersebut tidak lepas dari kendala-kendala yang dapat terjadi di luar kemapuan kreditur itu sendiri sehingga menyebabkan eksekusi atas HGB Kepsonic tersebut tidak dapat dilaksanakan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UUK-PKPU, kreditur pemegang hak harus melaksanakan eksekusi dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua bulan) setelah dimulainya keadaan insolvensi. Dalam hal ini, UOB telah memanfaatkan waktu yang diberikan oleh UUK-PKPU dengan sebaik-baiknya. Pada saat dimulainya keadaan insolvensi, UOBI selaku pemegang Hak Tanggungan langsung mengajukan permohonan lelang ke KPKNL Bekasi. Kemudian KPKNL Bekasi telah menetapkan tanggal pelaksanaan lelang dan semua persyaratan lelang pun telah dipenuhi oleh UOB sehingga seharusnya lelang sudah dapat dilaksanakan. Namun ternyata pada hari pelaksanaan lelang, petugas lelang membatalkan lelang karena tidak dengan alasan force majeur sehingga lelang pun tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dilihat bahwa pelaksanaan lelang atas obyek hak tanggungan juga memiliki resiko tersendiri. Walaupun pelaksanaan eksekusi atas HGB Kepsonic seharusnya dapat dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan,

13 namun hal ini juga tidak terlepas dari resiko-resiko diluar kehendak dan kemampuan kreditur yang dapat menggagalkan pelaksanaan lelang eksekusi tersebut. Pelaksanaan eksekusi atas tanah dapat dihambat pihak ketiga yang berkepentingan terhadap obyek eksekusi seperti kejadian dalam kasus ini, dimana pada hari pelaksanaan lelang, para buruh datang untuk melakukan demonstrasi dengan tujuan untuk menghalang-halangi pelaksanaan lelang dan menyandera petugas lelang sehingga mengakibatkan pelaksanaan lelang tersebut dibatalkan oleh Pejabat Lelang dengan alasan force majeur. Dalam hal ini, penulis menganggap bahwa pelaksanaan parate executie HGB Kepsonic yang dilakukan UOBI melalui perantaraan KPKNL Bekasi ini tidak efektif. Hal ini dikarenakan UOBI sebelumnya tidak memperkirakan dan menghitung potensi-potensi ancaman dan gangguan yang dapat terjadi terhadap pelaksanaan eksekusi seperti ini sehingga gagalnya pelaksanaan eksekusi ini tidak dapat diprevensi karena ketiadaan dari perangkat pengamanan. Seharusnya UOBI dapat mencegah terjadinya hal-hal seperti ini dengan melakukan koordinasi sebelumnya dengan pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan sehingga pelaksanaan eksekusi dapat berjalan dengan lancar. Dengan adanya permasalahan seperti ini, UOBI pada akhirnya tidak dapat melaksanakan eksekusinya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan berdasarkan Pasal 59 ayat (1) UUK-PKPU dan kurator harus menuntut diserahkannya benda jaminan tersebut untuk selanjutnya dijual berdasarkan Pasal 185 UUK-PKPU. Berdasarkan kedua kasus tersebut dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan eksekusi atas hipotik kapal laut, terdapat resiko-resiko berupa peminat kapal yang terbatas, dokumendokumen yang harus diperoleh dalam waktu singkat, resiko pencurian, serta biaya-biaya yang sangat besar untuk pemeliharaan dan operasional kapal tersebut. Namun dalam hal obyek jaminan berupa tanah berikut bangunan di atasnya, walaupun pelaksanaan eksekusi ini sudah lazim dan cenderung mudah untuk dilakukan namun dalam prakteknya masih terdapat hambatan yang dapat menggagalkan pelaksanaan lelang, yaitu dengan adanya demo dan ancaman dari para buruh. Hal ini mengakibatkan gagalnya pelaksanaan lelang dan pada akhirnya kreditur harus menyerahkan jaminan kebendaannya tersebut kepada kurator untuk dijual berdasarkan ketentuan dalam Pasal 185 UUK-PKPU. Dengan demikian, dalam kasus kepailitan PT POL keputusan Bank CIMB Niaga selaku kreditur pemegang hipotik kapal untuk menyerahkan hak eksekutorialnya kepada kurator sudah tepat mengingat banyaknya hambatan dan resiko yang dapat terjadi selama

14 pelaksanaan eksekusi berlangsung, terlebih lagi dengan adanya pembatasan waktu dalam pelaksanaan eksekusi apabila kreditur melaksanakan eksekusinya sendiri. Sedangkan dalam kasus kepailitan Kepsonic, UOBI selaku kreditur pemegang Hak Tanggungan tidak memperhatikan potensi ancaman dan hambatan yang dapat terjadi terkait dengan obyek yang akan dilelang, yaitu tanah berikut bangunan pabrik. Sebelum pelaksanaan lelang, UOBI seharusnya melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan atas pabrik tersebut sehingga kemungkinan gagalnya pelaksanaan lelang dapat diprevensi oleh kreditur. Dengan demikian dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan atas tanah dalam hal terjadi kepailitan, pelaksanaan eksekusi oleh kreditur pemegang hak tanggungan oleh kreditur separatis dapat dimungkinkan mengingat peminat tanah di Indonesia cukup banyak dan pelaksanaan eksekusi ini cukup mudah mengingat obyeknya sendiri berupa tanah. Namun dalam hal tanah tersebut terdapat bangunan pabrik yang berdiri di atasnya, maka sebaiknya perlu dilakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan atas pabrik tersebut yaitu para buruh sehingga gagalnya pelaksanaan lelang dapat diprevensi oleh kreditur. Sedangkan dalam pelaksanaan eksekusi hipotik kapal laut dalam hal terjadi kepailitan, hambatan dan resiko yang dapat terjadi cukup banyak sehingga memang sulit bagi kreditur untuk melaksanakan eksekusi atas kapal laut ini dalam jangka waktu hanya 2 (dua) bulan sejak dimulainya keadaan insolvensi. Selain itu hambatan dan resiko yang dapat terjadi ini tentunya akan merugikan kreditur itu sendiri baik dari segi tenaga, biaya, dan waktu. Kesimpulan 1. Kedudukan kreditur separatis dalam hal kepailitan pada dasarnya mengacu pada Pasal 55 UUK-PKPU, yaitu kreditur separatis berhak untuk mengeksekusi hak jaminannya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Namun Pasal 59 UUK-PKPU memberikan pembatasan yaitu kreditur separatis harus melaksanakan haknya paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat, maka kreditur harus menyerahkan obyek jaminan tersebut kepada kurator untuk selanjutnya dijual melalui mekanisme pengurusan dan pemberesan harta pailit yang diatur dalam Pasal 185 UUK-PKPU. 2. Pelaksanaan eksekusi hipotik kapal laut PT POL dan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan PT Kepsonic masing-masing memiliki hambatan dan resiko tersendiri.

15 Dalam hal obyek jaminan berupa kapal laut, terdapat hambatan berupa peminat kapal yang terbatas, dokumen-dokumen yang harus diperoleh dalam waktu singkat, resiko pencurian, serta biaya-biaya yang sangat besar untuk pemeliharaan dan operasional kapal tersebut. Sedangkan dalam hal obyek jaminan berupa tanah berikut bangunan di atasnya, walaupun pelaksanaan eksekusi ini sudah lazim dan cenderung mudah untuk dilakukan namun dalam prakteknya masih terdapat hambatan yang dapat menggagalkan pelaksanaan lelang, yaitu dengan adanya demo dan ancaman dari para buruh. Hambatan-hambatan ini dapat menggagalkan pelaksanaan lelang yang dapat merugikan kreditur baik dari segi tenaga, biaya, dan waktu. Saran 1. Jangka waktu 2 (dua) bulan bagi pelaksanaan eksekusi jaminan kebendaan oleh kreditur separatis ini dianggap terlalu singkat sehingga dalam prakteknya jarang terdapat kreditur yang ingin melaksanakan eksekusinya sendiri. Dengan adanya pembatasan waktu yang diberikan oleh Pasal 59 ayat (2) UUK-PKPU ini, kreditur separatis sebelumnya harus memperhatikan kemungkinan dapat terlaksananya pelaksanaan eksekusi tersebut terkait dengan obyek jaminan yang dieksekusi sebelum memutuskan apakah ingin melaksanakan eksekusi tersebut dengan memanfaatkan waktu yang diberikan oleh UUK-PKPU. 2. Berdasarkan resiko-resiko pelaksanaan eksekusi kapal laut dalam kasus PT POL, dalam pelaksanaan eksekusi diperlukan perangkat pengamanan yang ketat untuk menghindari terjadinya pencurian. Kemudian dalam melakukan pengumuman lelang diperlukan pemasaran yang lebih luas mengingat peminat kapal laut yang terbatas, agar pelaksanaan lelang tidak perlu dilakukan berulang kali. Selain itu, dokumen-dokumen yang dipersyaratkan juga cukup banyak beserta biaya-biaya yang harus diperhitungkan untuk pemeliharaan kapal dan operasional kapal, sehingga dalam hal ini kreditur separatis dapat memutuskan manakah yang lebih efektif apakah melakukan eksekusinya sendiri atau melalui kurator. Sedangkan dalam hal obyek jaminan berupa tanah berikut bangunan pabrik sebagaimana dilihat dalam kasus PT Kepsonic, UOBI selaku kreditur separatis sebelum melakukan lelang seharusnya melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan atas pabrik tersebut sehingga kemungkinan gagalnya pelaksanaan lelang dapat dicegah/diprevensi oleh kreditur

16 DAFTAR REFERENSI Buku-buku: Hadisoeprapto, Hartono. Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan. Yogyakarta: Liberty, Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet. IV. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Peraturan Perundang-Undangan: Indonesia. Undang-Undang Tentang Hak Tangggungan Atas Tanah Beserta Benda- Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang-Undang No. 4 Tahun LN No. 42 Tahun TLN No Undang-Undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No. 37 Tahun LN No.131 Tahun 2004, TLN No Undang-Undang Tentang Pelayaran. Undang-Undang No. 17 Tahun LN No. 64 Tahun Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R Tjitrosudibio. Cet. 27. Jakarta: PT Pradnya Paramita, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 25. Jakarta: PT Pradnya Paramita, Wawancara: Yuhelson, S.H., M.H. Wawancara personal. tanggal 10 Desember 2014.

17

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN Oleh : Dewa Made Sukma Diputra Gede Marhaendra Wija Atmadja Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan ekonomi dan perdagangan dewasa ini, sulit dibayangkan bahwa pelaku usaha, baik perorangan maupun badan hukum mempunyai modal usaha yang cukup untuk

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan Jaminan Fidusia Jaminan Fidusia Fidusia menurut Undang-Undang no 42 tahun 1999 merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut

Lebih terperinci

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 120 PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HAK RETENSI BENDA GADAI OLEH PT. PEGADAIAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

KEDUDUKAN HAK RETENSI BENDA GADAI OLEH PT. PEGADAIAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI KEDUDUKAN HAK RETENSI BENDA GADAI OLEH PT. PEGADAIAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI oleh Mauritius Gusti Pati Runtung I Gusti Ngurah Parwata Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI Oleh: Mitia Intansari I Made Walesa Putra Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan ini berjudul Kedudukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN 1 TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama oleh instansi-instansi yang menurut Undang-Undang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. terutama oleh instansi-instansi yang menurut Undang-Undang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian kredit macet perbankan yang terjadi pada bank-bank umum terutama pada bank umum milik pemerintah wajib di intensifkan dan harus dilaksanakan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MAS ALAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MAS ALAH BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MAS ALAH Pengangkutan atau lebih dikenal dengan istilah transportasi di masa yang segalanya dituntut serba cepat seperti sekarang ini memiliki peran yang sangat besar.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. 13 A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN Danik Gatot Kuswardani 1, Achmad Busro 2 Abstrak Pokok permasalahan yaitu: (1) Bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh Ida Ayu Kade Winda Swari A.A. Gede Ngurah Dirksen A.A. Sagung Wiratni Darmadi Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT 34 BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Jaminan Hak Tanggungan Menurut UUHT No. 4 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

PENGARUH UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN UNDANG- UNDANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN APABILA DEBITUR PAILIT

PENGARUH UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN UNDANG- UNDANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN APABILA DEBITUR PAILIT PENGARUH UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN UNDANG- UNDANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN APABILA DEBITUR PAILIT Oleh Putu Arya Aditya Pramana I Gusti Ngurah Wairocana Hukum

Lebih terperinci

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN TITLE EKSEKUTORIAL DALAM SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN TITLE EKSEKUTORIAL DALAM SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN TITLE EKSEKUTORIAL DALAM SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN Evie Hanavia Email : Mahasiswa S2 Program MknFH UNS Widodo Tresno Novianto Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan memegang peranan sangat penting dalam bidang perekonomian seiring dengan fungsinya sebagai penyalur dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana kepada

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Akibat Kepailitan Secara Umum 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI Oleh : Anak Agung Cynthia Tungga Dewi Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum..., Elizabeth Karina Leonita, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum..., Elizabeth Karina Leonita, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perlindungan hukum terhadap pembeli lelang berarti adanya kepastian hukum bagi pembeli lelang atas barang yang dibelinya melalui lelang, memperoleh barang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program studi Strata I pada Jurusan Hukum Perdata Fakultas hukum Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (dalam tulisan ini, undang-undang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu alat bukti, maka tulisan tersebut dinamakan akta (acte) 1.

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu alat bukti, maka tulisan tersebut dinamakan akta (acte) 1. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan adanya alat bukti tertulis dalam suatu pembuktian di Pengadilan mengakibatkan semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat yang menyangkut

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Oleh Rizki Kurniawan ABSTRAK Jaminan dalam arti luas adalah jaminan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

KEWENANGAN PELAKSANAAN EKSEKUSI OLEH KREDITUR TERHADAP JAMINAN FIDUSIA DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

KEWENANGAN PELAKSANAAN EKSEKUSI OLEH KREDITUR TERHADAP JAMINAN FIDUSIA DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI KEWENANGAN PELAKSANAAN EKSEKUSI OLEH KREDITUR TERHADAP JAMINAN FIDUSIA DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI Oleh : I Gede Widnyana I Made Walesa Putra Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT:

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SUKINO Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Riau

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SUKINO Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Riau VOLUME 5 NO. 2 Februari 2015-Juli 2015 JURNAL ILMU HUKUM PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SUKINO Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Riau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

HAK KREDITUR ATAS PENJUALAN BARANG GADAI

HAK KREDITUR ATAS PENJUALAN BARANG GADAI HAK KREDITUR ATAS PENJUALAN BARANG GADAI Oleh Pande Made Ayu Dwi Lestari I Made Tjatrayasa Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The title of this journal is creditur s right

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339 KEWENANGAN MENJUAL SENDIRI (PARATE EXECUTIE) ATAS JAMINAN KREDIT MENURUT UU NO. 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN 1 Oleh: Chintia Budiman 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

BATASAN RUMAH SUSUN YANG DIJADIKAN AGUNAN PADA BANK. J. Andy Hartanto Universitas Narotama, Surabaya

BATASAN RUMAH SUSUN YANG DIJADIKAN AGUNAN PADA BANK. J. Andy Hartanto Universitas Narotama, Surabaya BATASAN RUMAH SUSUN YANG DIJADIKAN AGUNAN PADA BANK J. Andy Hartanto Universitas Narotama, Surabaya E-mail: j.andyhartanto@gmail.com Rizal Bahrudin Universitas Narotama, Surabaya E-mail: rizal.renvoi@gmail.com

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA OBJEK JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT. Oleh : Ida Bagus Gde Surya Pradnyana I Nengah Suharta

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA OBJEK JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT. Oleh : Ida Bagus Gde Surya Pradnyana I Nengah Suharta TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA OBJEK JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT Oleh : Ida Bagus Gde Surya Pradnyana I Nengah Suharta Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Program Ekstensi Universitas Udayana

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan dan perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali pelaku usaha baik dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

Imma Indra Dewi Windajani

Imma Indra Dewi Windajani HAMBATAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG YOGYAKARTA Imma Indra Dewi Windajani Abstract Many obstacles to execute mortgages by auctions on the Office of State Property

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK KETIGA (NATUURLIJKE PERSOON) DALAM HUKUM KEPAILITAN TERKAIT ADANYA ACTIO PAULIANA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK KETIGA (NATUURLIJKE PERSOON) DALAM HUKUM KEPAILITAN TERKAIT ADANYA ACTIO PAULIANA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK KETIGA (NATUURLIJKE PERSOON) DALAM HUKUM KEPAILITAN TERKAIT ADANYA ACTIO PAULIANA Oleh I Komang Indra Kurniawan Ngakan Ketut Dunia Ketut Sukranatha Hukum Perdata, Fakultas

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan 1 BAB V PEMBAHASAN A. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat BMT Istiqomah Unit II Plosokandang selaku kreditur dalam mencatatkan objek jaminan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern ini, persaingan ekonomi di dunia sangatlah ketat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembang pesatnya makro dan mikro seiring dengan pertumbuhan unit-unit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai kebutuhan demi menunjang kehidupannya. Berbagai cara dilakukan oleh manusia demi menjamin kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Bank

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapi.

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran Lembaga Pembiayaan dalam pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapi. Maka sudah semestinya mendapatkan

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Beberapa Kendala yang dihadapi Bank BRI yaitu: a. Kendala Terkait dengan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Hak Tanggungan.

BAB V PENUTUP. 1. Beberapa Kendala yang dihadapi Bank BRI yaitu: a. Kendala Terkait dengan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Hak Tanggungan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Beberapa Kendala yang dihadapi Bank BRI yaitu: a. Kendala Terkait dengan Peraturan Perundang-Undangan 1) Terjadi disharmoni antara Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN

PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT.BANK PERKREDITAN RAKYAT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN TANGERANG Disusun Oleh : Nama NIM : Bambang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kebutuhan masyarakat baik perorangan maupun badan usaha akan penyediaan dana yang cukup besar dapat terpenuhi dengan adanya lembaga perbankan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk berlomba-lomba untuk terus berusaha dalam memajukan ekonomi masingmasing.

BAB I PENDAHULUAN. untuk berlomba-lomba untuk terus berusaha dalam memajukan ekonomi masingmasing. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini memaksa setiap orang untuk berlomba-lomba untuk terus berusaha dalam memajukan ekonomi masingmasing. Dalam melakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 Oleh : Wulan Wiryanthari Dewi I Made Tjatrayasa Bagian Hukum

Lebih terperinci

Universitas Kristen Maranatha

Universitas Kristen Maranatha ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN EKSEKUSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR PEMEGANG JAMINAN DALAM KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang keseluruhan bagiannya meliputi aspek kehidupan

Lebih terperinci

KEWENANGAN KREDITOR SEPARATIS TERHADAP EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN APABILA DEBITOR PAILIT Anton Ismoyo Aji, R.Suharto, Siti Malikhatun Badriyah Abstrak

KEWENANGAN KREDITOR SEPARATIS TERHADAP EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN APABILA DEBITOR PAILIT Anton Ismoyo Aji, R.Suharto, Siti Malikhatun Badriyah Abstrak KEWENANGAN KREDITOR SEPARATIS TERHADAP EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN APABILA DEBITOR PAILIT Anton Ismoyo Aji, R.Suharto, Siti Malikhatun Badriyah Abstrak Dalam hukum kepailitan, sitaan umum mencakup seluruh

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN LELANG ATAS JAMINAN KEBENDAAN YANG DIIKAT DENGAN HAK TANGGUNGAN 1 Oleh : Susan Pricilia Suwikromo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA NO. URAIAN GADAI FIDUSIA 1 Pengertian Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor (si berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit 1. Pengertian Bank Membicarakan bank, maka yang terbayang dalam benak kita adalah suatu tempat di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu motif utama badan usaha meminjam atau memakai modal adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi jumlah maupun

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA TENAGA KERJA YANG DI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) AKIBAT DARI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA TENAGA KERJA YANG DI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) AKIBAT DARI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA TENAGA KERJA YANG DI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) AKIBAT DARI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT Oleh Ayu Putu Eltarini Suksmananda I Ketut Markeling Ida Ayu Sukihana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2 1 Oleh: Agus S. Primasta 2 Pengantar Secara awam, permasalahan perkreditan dalam kehidupan bermasyarakat yang adalah bentuk dari pembelian secara angsuran atau peminjaman uang pada lembaga keuangan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, 1999. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kebutuhan yang sangat besar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR A. Pengertian Kreditur dan Debitur Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adapun pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah berikut atau tidak berikut benda- benda lain yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah berikut atau tidak berikut benda- benda lain yang merupakan BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda- benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah ditempatkan sebagai suatu bagian penting bagi kehidupan manusia. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus meningkat.

Lebih terperinci

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA oleh Raden Rizki Agung Firmansyah I Dewa Nyoman Sekar Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Principle

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN APABILA ADA PERLAWANAN DARI DEBITUR WANPRESTASI

TINJAUAN TENTANG KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN APABILA ADA PERLAWANAN DARI DEBITUR WANPRESTASI TINJAUAN TENTANG KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN APABILA ADA PERLAWANAN DARI DEBITUR WANPRESTASI ABSTRAK Oleh I Putu Indra Prastika I Made Pasek Diantha Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah Mengenai Hak Tanggungan Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah Tentang Hak Tanggungan PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah dibebankan pada hak atas tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan manusia lainnya untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan manusia lainnya untuk dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar BelakangMasalah Pada hakikatnya manusia lahir sebagai makhluk sosial dan makhluk ekonomi. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan manusia lainnya untuk dapat melangsungkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila

Lebih terperinci

EKSEKUSI KREDIT MACET TERHADAP HAK TANGGUNGAN

EKSEKUSI KREDIT MACET TERHADAP HAK TANGGUNGAN EKSEKUSI KREDIT MACET TERHADAP HAK TANGGUNGAN Oleh: I Dewa Ayu Sri Arthayani I Gusti Agung Ayu Dike Widhiaastuti Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas Udayana ABSTRACT Scientific work is titled

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan yang menggerakkan roda perekonomian, dikatakan telah melakukan usahanya dengan baik apabila dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsi intermediary yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya

BAB I PENDAHULUAN. fungsi intermediary yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang PT Bank Rakyat Indonesia ( Persero ) Tbk atau dikenal dengan nama bank BRI merupakan salah satu BUMN yang bergerak dalam bidang perbankan mempunyai fungsi intermediary

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang. Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang. Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak Tanggungan adalah suatu istilah baru dalam Hukum Jaminan yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fungsi utama Bank adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci