HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 73 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Letak Geografis dan Luas Wilayah Daerah lokasi yang dipergunakan dalam penelitian ini terletak di dua kabupaten yang terletak di Propinsi Jawa Tengah, masing-masing digolongkan sebagai dua wilayah yang berbeda. Yang pertama, Kabupaten Jepara dengan ibukota Jepara yang diidentifikasikan sebagai wilayah pesisir dan yang kedua, Kabupaten Grobogan dengan ibukota Purwodadi yang diidentifikasikan sebagai wilayah pedalaman. Sebagai wilayah pesisir, Kabupaten Jepara (Gambar 8) memiliki luas wilayah ± 1 004,132 km2 yang meliputi dataran tinggi, dataran rendah dan daerah pantai serta terdiri atas 14 kecamatan dan 194 desa/kelurahan yang terletak dengan ketinggian dari 0 hingga m dari permukaan air laut (BPS Kabupaten Jepara 2008). Bagian terendah berada di sepanjang pantai dan bagian tertinggi terletak di Kecamatan Keling (di kaki Gunung Muria). Gambar 8 Peta kabupaten wilayah pesisir (Kabupaten Jepara).

2 74 Secara umum dapat dikatakan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Jepara berupa dataran rendah (BPS Kabupaten Jepara 2008). Kabupaten Jepara terdiri atas 16 Kecamatan, salah satu kecamatannya berbentuk pulau, yaitu pulau Karimunjawa. Setengah wilayah kecamatan terletak di daerah pantai, yaitu Kecamatan Kedung, Tahunan, Jepara, Mlonggo, Bangsri, Kembang, Keling dan Kecamatan pulau Karimunjawa. Kecamatan terluas di kabupaten tersebut adalah Kecamatan Keling, seluas km 2, kecamatan pantai paling utara berbatasan dengan Kabupaten Pati sedang kecamatan terkecil adalah Kecamatan Kalinyamatan, seluas km 2 terletak di bagian selatan, hampir berdekatan dengan Kabupaten Demak. Sebelah Barat dan Utara Kabupaten Jepara dibatasi oleh Laut Jawa, sebelah Timur oleh Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati serta sebelah Selatan oleh Kabupaten Demak. Sebagai salah satu kabupaten dari propinsi Jawa Tengah, jarak dari Jepara ke ibukota propinsi Jawa Tengah, Semarang, adalah 70 km, kearah Barat Daya. Lokasi penelitian di wilayah pesisir khususnya terletak di Kecamatan Jepara, dimana ibukota Kabupaten Jepara terdapat di dalam Kecamatan Jepara (Gambar 9). Gambar 9 Peta kecamatan wilayah pesisir (Kecamatan Jepara).

3 75 Kecamatan Jepara memiliki luas wilayah 24,667 km 2, yang berarti 2,46% dari wilayah Kabupaten Jepara (BPS Kecamatan Jepara 2008), terletak di pusat kota Jepara dengan batas-batas Kecamatan Mlonggo (sebelah Utara), Kecamatan Tahunan (sebelah Timur dan Selatan), dan Laut Jawa (sebelah Barat) serta terletak pada ketinggian 0 sampai 46 m dari permukaan air laut. Luas wilayah Kecamatan Jepara merupakan luas wilayah nomor dua terkecil di antara 16 kecamatan yang ada di Kabupaten Jepara dan terdiri atas enam belas desa/kelurahan yang tujuh di antaranya memiliki wilayah pantai. Wilayah penelitian kedua diidentifikasi sebagai wilayah pedalaman, yaitu Kabupaten Grobogan dengan ibukota Purwodadi (Gambar 10). Wilayah ini merupakan kabupaten terluas kedua di propinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah 1 975,86 km 2, yang berbatasan di sebelah Utara dengan Kabupaten Kudus, Pati dan Blora, di sebelah Barat dengan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Demak, di sebelah Timur dengan Kabupaten Blora, dan di sebelah Selatan dengan Kabupaten Ngawi, Sragen, Boyolali dan Kabupaten Semarang. Gambar 10 Peta kabupaten wilayah pedalaman (Kabupaten Grobogan). Kabupaten Grobogan terdiri atas 19 kecamatan dan 280 desa/kelurahan. Jarak Purwodadi ke ibukota propinsi Jawa Tengah, Semarang, sedikit lebih pendek daripada jarak Semarang-Jepara, yaitu 64 km kearah Barat Laut (BPS Kabupaten Grobogan 2008). Lokasi penelitian di wilayah pedalaman terletak di

4 76 Kecamatan Purwodadi, dimana ibukota Kabupaten Grobogan, yaitu Purwodadi, terdapat di dalam kecamatan tersebut. Kecamatan Purwodadi (Gambar 11) memiliki luas wilayah ± 77,65 km 2, yang berarti 3,93% dari wilayah Kabupaten Grobogan, relatif terletak di tengah-tengah Kabupaten Grobogan, yang terdiri atas 17 desa/kelurahan. Ketinggian rata-rata Kecamatan Purwodadi adalah ± 22m dari permukaan air laut. Kecamatan Purwodadi berbatasan di sebelah Utara dengan Kecamatan Brati dan Kecamatan Grobogan, di sebelah Timur dengan Kecamatan Tawangharjo dan Kecamatan Pulokulon, di sebelah Selatan dengan Kecamatan Toroh dan di sebelah Barat dengan Kecamatan Penawangan (BPS Kecamatan Purwodadi 2008). Gambar 11 Peta kecamatan wilayah pedalaman (Kecamatan Purwodadi).

5 77 Kependudukan Jumlah penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Jepara adalah jiwa (Tabel 10) dengan sebaran perempuan dan laki-laki yang hampir sama (49,68% dan 50,32%) dan jumlah rumah tangga sebesar KK. Dengan demikian ratarata jumlah penduduk per rumah tangga hampir 4 jiwa, sehingga dapat dikatakan keadaan rumah tangga di Kabupaten Jepara telah mencapai rumah tangga ideal, terdiri atas dua orangtua dan dua anak (BPS Kabupaten Jepara 2008). Jumlah penduduk Kecamatan Jepara adalah jiwa, terdiri atas 49,22% perempuan dan 50,78% laki-laki, dengan KK. Sebagai pusat kota, di antara 16 kecamatan, Kecamatan Jepara merupakan kecamatan terpadat penduduknya, yaitu jiwa/km 2 (kepadatan penduduk Kabupaten Jepara adalah jiwa/km 2 ) dengan rata-rata jumlah penduduk per KK adalah 4 jiwa, sedikit lebih tinggi dari rata-rata jumlah penduduk per KK Kabupaten Jepara (BPS Kecamatan Jepara 2008). Secara keseluruhan baik di Kabupaten Jepara maupun di Kecamatan Jepara (Tabel 10), jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan, kecuali pada penduduk lansia, jumlah penduduk perempuan lebih banyak. Tabel 10 Jumlah penduduk Kecamatan Jepara dan Kabupaten Jepara menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2007 (jiwa) Kelompok Kecamatan Kabupaten No Perem- Laki2 Total Perem- Laki2 Total usia puan puan Jumlah Sumber: BPS Kabupaten Jepara 2008 dan BPS Kecamatan Jepara 2008 Jumlah penduduk Kabupaten Grobogan pada tahun 2008 mencapai jiwa (Tabel 11), terdiri atas 50,49% perempuan dan 49,51% laki-laki dengan KK. Dengan demikian rata-rata penduduk per KK adalah 4 jiwa, sehingga dapat dikatakan keadaan rumah tangga di Kabupaten Grobogan telah mencapai rumah tangga ideal, sama seperti keadaan di Kabupaten Jepara. Dengan wilayah seluas 1 975,86 km 2, maka tercatat kepadatan penduduk

6 78 Kabupaten Grobogan adalah 705,76 jiwa/ km 2 (BPS Kabupaten Grobogan 2008). Jumlah penduduk Kecamatan Purwodadi jiwa, terdiri atas 50,95% perempuan, 49,05% laki-laki dan jumlah rumah tangga KK. Dengan demikian rata-rata penduduk per KK adalah 3 jiwa. Jumlah ini di bawah dari ratarata penduduk per KK Kabupaten Grobogan. Namun kepadatan penduduk di Kecamatan Purwodadi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Grobogan, yaitu jiwa/km 2 (BPS Kecamatan Purwodadi 2008). Tabel 11 Jumlah penduduk Kecamatan Purwodadi dan Kabupaten Grobogan menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2007 (jiwa) No Kelompok Kecamatan Kabupaten usia Perem- Laki2 Total Perem- Laki2 Total (tahun) puan puan Jumlah Sumber: BPS Kabupaten Grobogan 2008 dan BPS Kecamatan Purwodadi 2008 Bila di Kecamatan dan Kabupaten Jepara (Tabel 10) lebih banyak terdapat penduduk laki-laki, maka di Kecamatan Purwodadi dan Kabupaten Grobogan terdapat pengelompokkan jumlah penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin. Jumlah penduduk laki-laki lebih banyak hingga usia 19 tahun. Di atas 19 tahun terlihat sebaliknya, jumlah penduduk perempuan lebih banyak. Kemungkinan kondisi ini berkaitan dengan fenomena pencarian kerja ke luar daerah oleh penduduk laki-laki yang berusia di atas 19 tahun mengingat wilayah pedalaman merupakan daerah terbuka dengan jalur transportasi ke kota-kota besar. Jenjang pendidikan penduduk Kecamatan Jepara terdiri atas 16 desa/kelurahan. Ragam jumlah penduduk di atas lima tahun di tiga desa/kelurahan lokasi penelitian cukup mewakili ragam jumlah penduduk di Kecamatan Jepara, yaitu mulai dari yang terbanyak Kelurahan Demaan (12,57%) dan kedua paling sedikit yaitu Kelurahan Kauman (1,84%) serta menengah yaitu Desa Jobokuto (Tabel 12). Tingkat pendidikan dikelompokkan menjadi: 1) Tidak sekolah, 2) Tingkat pendidikan dasar yaitu

7 79 yang mengecap pendidikan hingga lulus SD, 3) Tingkat pendidikan menengah yaitu yang mengecap pendidikan hingga lulus SLTA, dan 4) Tingkat pendidikan tinggi yaitu yang mengecap pendidikan hingga lulus pendidikan S3. Secara keseluruhan, tingkat pendidikan penduduk di atas usia 5 tahun mengelompok di dua tingkatan, yaitu hampir setengahnya berpendidikan menengah (46,85%), demikian juga yang berpendidikan dasar (44,29%). Tingkat pendidikan tinggi hanya dimiliki 5,09% penduduk. Penduduk di tiga desa/ kelurahan lokasi penelitian lebih banyak yang berpendidikan menengah, yaitu 32,52% dari seluruh penduduk Kecamatan Jepara yang berpendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebesar 21,42% dari seluruh penduduk Kecamatan Jepara yang berpendidikan tinggi. Data ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk di lokasi penelitian termasuk cukup tinggi di antara tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Jepara. Tabel 12 Jumlah penduduk Kecamatan Jepara berdasarkan jenjang pendidikan bagi umur 5 tahun keatas tahun 2008 (jiwa) No Desa/ Kelurahan Pendidikan tinggi Pendidikan menengah Pendidikan dasar Tidak sekolah Total 1 Demaan Jobokuto Kauman Mulyoharjo Pengkol Kedungcino Bandengan Ujungbatu Saripan Panggang Wonorejo Bapangan Potroyudan Bulu Kuwasen Karangkebagusan Jumlah (5,1%) Sumber: BPS Kecamatan Jepara (46,9%) (44,3%) (3,7%) Ada 43 buah sekolah dasar yang tersebar di dalam Kecamatan Jepara (Tabel 13) dengan jumlah siswa sebanyak orang (BPS Kecamatan Jepara 2008). Tiga desa/kelurahan yang terpilih sebagai lokasi sekolah responden memiliki 9 buah SD dengan jumlah siswa sebanyak siswa (18,74%). Ada beberapa sekolah yang tergabung di dalam satu halaman, seperti SDN Kampus Jobokuto, yang terdiri atas empat sekolah. Dulunya mereka adalah satu sekolah, yang ketika jumlah siswa semakin banyak, sekolah dipecah menjadi beberapa

8 80 sekolah dengan manajemen sekolah yang berbeda-beda. Namun secara fisik, bangunan beberapa sekolah tersebut terdapat dalam satu halaman. Oleh karena itu disebut sebagai SD Kampus. Dengan jumlah siswa dan guru yang lebih banyak di sekolah memungkinkan terjadinya pengaruh dari siswa ke siswa dan dari guru ke siswa di SD Kampus. Terutama dalam kaitannya dengan responden yang dipakai dalam penelitian ini. Para responden adalah siswa kelas 5 dan 6 SD, yang secara perkembangan psikologi, mereka termasuk kedalam periode siap meninggalkan masa usia anak sekolah menuju ke masa remaja awal. Apabila pada masa usia anak sekolah, guru dan orang tua yang memiliki pengaruh besar terhadap diri anak, maka pada masa transisi dari masa usia sekolah ke masa remaja awal lambat laun teman sekolah, sahabat dan teman bermain mulai berperan menggantikan guru dan orangtua dalam mempengaruhi kehidupannya. Tabel 13 Jumlah sekolah dasar, siswa dan guru di Kecamatan Jepara tahun 2007 No Desa/ Kelurahan Sekolah Murid Guru Rasio murid terhadap guru 1 Jobokuto Kauman Demaan Panggang Bandengan Kuwasen Kedungcino Saripan Ujungbatu Wonorejo Mulyoharjo Pengkol Bapangan Potroyudan Bulu Karangkebagusan Jumlah Sumber: BPS Kecamatan Jepara 2008 Kecamatan Purwodadi terdiri atas 17 desa/kelurahan. Terdapat 41,39% penduduk memiliki tingkat pendidikan dasar, 31,52% penduduk memiliki tingkat pendidikan menengah dan 27,09% berpendidikan tinggi (Tabel 14). Dibandingkan dengan penduduk Kecamatan Jepara, tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Purwodadi lebih tinggi.

9 81 Tabel 14 Jumlah penduduk Kecamatan Purwodadi berdasarkan jenjang pendidikan bagi umur 5 tahun keatas tahun 2007 (jiwa) No Desa/ Kelurahan Pendidikan tinggi Pendidikan menengah Pendidikan dasar Total 1 Purwodadi Kuripan Danyang Ngraji Nambuhan Kalongan Cingkrong Ngembak Kandangan Karanganyar Candisari Nglobar Kedungrejo Putat Waru Genuksuran Pulorejo Jumlah (27,1%) Sumber: BPS Kecamatan Purwodadi (31,5%) (41,4%) Konsentrasi penduduk di atas usia lima tahun berada di tiga desa/kelurahan lokasi penelitian, yaitu 41,39% dari keseluruhan penduduk Kecamatan Purwodadi di atas usia lima tahun. Dengan demikian jumlah penduduk di tiga desa/kelurahan lokasi penelitian yang memiliki jenjang pendidikan tinggi, menengah dan dasar juga terbanyak di antara 17 desa/ kelurahan di Kecamatan Purwodadi, yaitu berturut-turut 35,50%; 35,57% dan 35,53% dari keseluruhan penduduk Kecamatan Purwodadi di masing-masing tingkat pendidikan. Jumlah sekolah dasar yang tersebar di 17 desa/kelurahan di dalam Kecamatan Purwodadi adalah 74 buah dengan jumlah siswa sebanyak orang (Tabel 15). Berbeda dengan di Kecamatan Jepara, konsentrasi siswa sekolah dasar di Kecamatan Purwodadi terdapat di tiga kelurahan lokasi penelitian, yaitu Kelurahan Purwodadi, Kelurahan Kuripan dan Kelurahan Danyang dimana terdapat siswa (44,57%) dengan 29 buah sekolah dasar (BPS Kecamatan Purwodadi 2008).

10 82 Tabel 15 Jumlah sekolah dasar, siswa dan guru di Kecamatan Purwodadi Tahun 2007 No Desa/ Kelurahan Sekolah Murid Guru Rasio murid terhadap guru 1 Purwodadi Kuripan Danyang Ngraji Nambuhan Kalongan Cingkrong Ngembak Kandangan Kedungrejo Genuksuran Karanganyar Candisari Nglobar Putat Waru Pulorejo Jumlah Sumber: BPS Kecamatan Purwodadi 2008 Mata Pencaharian Penduduk Ragam mata pencaharian penduduk di Kecamatan Jepara (Tabel 16) dapat dikelompokkan ke dalam petani, wiraswasta, buruh, pegawai (negeri, swasta, TNI, Polri) dan lainnya (pensiunan dan pekerjaan jasa lainnya). Mata pencaharian terbanyak adalah sebagai buruh, baik buruh tani, industri maupun buruh bangunan (37,11%), kemudian gabungan dari para pensiunan dan pelaku berbagai macam jasa (29,86%). Mata pencaharian sebagai nelayan/petani tidak banyak (3,46%), padahal hampir setengah dari jumlah desa/kelurahan di Kecamatan Jepara memiliki wilayah pantai. Di tiga desa/kelurahan lokasi penelitian hanya tercatat 8 orang nelayan/petani dan tidak ada satupun buruh nelayan/tani. Khususnya aktivitas para nelayan, kebanyakan mereka tidak melaut ( miyang ) pada hari Jumat. Nelayan lebih memilih tidak miyang pada hari Jumat karena operasi penangkapan ikan biasanya berlangsung seharian. Adanya kewajiban beribadah Jumat, khususnya bagi yang beragama Islam menyebabkan mereka memilih tidak melaut dan lebih memilih kegiatan memperbaiki alat tangkap di darat (Dr.Ir. Diniah, komunikasi personal). Namun walaupun demikian ada beberapa perahu yang beroperasi pada hari Jumat. Selain tidak melaut pada hari Jumat, kebanyakan mereka juga tidak melaut pada waktu bulan purnama. Menurut mereka pada bulan purnama tang-

11 83 kapan ikan sangat sedikit. Untuk penangkapan ikan, para nelayan menggunakan cahaya lampu untuk mengumpulkan ikan di suatu lokasi di lapisan permukaan laut dan menangkapnya dengan alat tangkap berupa jaring. Yang sebenarnya terjadi pada saat bulan purnama, intensitas cahaya bulan masuk ke dalam laut mengalahkan intensitas cahaya lampu yang digunakan para nelayan. Ikan cenderung berada lebih ke dalam laut, jauh dari permukaan, sulit dikumpulkan di lapisan permukaan, sehingga dengan alat tangkap jaring yang dipakai, penangkapan ikan tidak efektif. Selain itu bulan purnama membuat air laut pasang dan kemungkinan terjadi gelombang besar yang akan membahayakan keselamatan para nelayan. Sehingga dengan keadaan yang demikian membuat banyak nelayan tidak melaut pada saat bulan purnama, terkecuali para nelayan yang melakukan operasi penangkapan ikan hanya setengah hari, misal dari subuh hingga pukul atau pukul hingga sebelum waktu magrib (Dr.Ir. Diniah, komunikasi personal). Tabel 16 Jumlah penduduk Kecamatan Jepara berdasarkan mata pencaharian (usia 10 th) tahun 2007 (jiwa) No Desa/ Kelurahan Nelayan / Petani Buruh Wiraswasta Pegawai Lainnya Total 1 Karangkebagusan Demaan Bulu Kauman Panggang Potroyudan Bapangan Saripan Jobokuto Ujungbatu Pengkol Mulyoharjo Kuwasen Bandengan Wonorejo Kedungcino Jumlah Sumber: BPS Kecamatan Jepara 2008 Sebagaimana di Kecamatan Jepara, ragam mata pencaharian penduduk di Kecamatan Purwodadi (Tabel 16) dikelompokkan ke dalam petani, wirausaha, buruh, pegawai (negeri, swasta, TNI, Polri) dan lainnya (pensiunan dan lainnya). Mata pencaharian penduduk Kecamatan Purwodadi terbanyak adalah sebagai petani (46,76%), kemudian buruh, baik buruh tani, industri maupun buruh bangunan (24,68%).

12 84 Tabel 17 Jumlah penduduk Kecamatan Purwodadi berdasarkan mata pencaharian (usia >10 th) tahun 2008 (jiwa) No Desa/ Kelurahan Petani Buruh Wirausaha Pegawai Lainnya Total 1 Purwodadi Kuripan Danyang Nambuhan Kandangan Ngraji Cingkrong Kalongan Kedungrejo Ngembak Candisari Nglobar Genuksuran Karanganyar Putat Waru Pulorejo Jumlah Berdasarkan Tabel 16 dan Tabel 17 dapat dikatakan bahwa mata pencaharian terbanyak di kedua lokasi penelitian berbeda. Penduduk Kecamatan Jepara terbanyak bermata pencaharian sebagai buruh (37,11%), kemudian pensiunan dan lainnya (29,86%), sedang di Kecamatan Purwodadi yang terbanyak adalah petani (46,76%), kemudian buruh (24,68%). Perbedaan jenis mata pencaharian di kedua wilayah memungkinkan terjadinya perbedaan penghasilan masyarakat di kedua wilayah. Sarana Perekonomian Berdasarkan Ketersediaan Ikan Laut Menurut data statistik ada 294 buah Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di seluruh Indonesia dengan jumlah ikan laut terjual di TPI ton (BPS Statistik TPI 2007). Berdasarkan propinsi, Jawa Tengah merupakan propinsi dengan jumlah TPI terbanyak (68 buah dengan ton ikan laut) sedang Riau merupakan propinsi dengan jumlah TPI terendah (1 buah dengan 90 ton ikan laut). Data produksi di atas adalah data jumlah ikan terjual di TPI. Jumlah ini belum mencakup seluruh produksi perikanan laut, karena tidak mencakup produksi yang dijual di luar TPI. Secara kuantitas, Kabupaten Jepara memiliki jumlah TPI terbanyak di propinsi Jawa Tengah, yaitu 11 buah, jumlah yang sama juga terdapat di Kabupaten Rembang. Walaupun banyaknya ikan laut yang dijual di TPI belum mencakup secara keseluruhan produksi ikan laut, namun hal ini

13 85 merupakan salah satu indikator yang cukup mewakili produksi ikan laut di Jawa Tengah (BPS Kabupaten Jepara 2008). Sebagai wilayah pesisir, ke sebelas TPI yang terdapat di Kabupaten Jepara tersebar di 8 kecamatan pantai yaitu TPI Kedungmalang, TPI Panggung, TPI Demaan, TPI Bulu, TPI Ujungbatu, TPI Mlonggo, TPI Bondo, TPI Tubanan, TPI Bandungharjo, TPI Ujungwatu, dan TPI Karimunjawa. Pada saat ini TPI Kedungmalang yang terletak di Kecamatan Kedung sudah tidak aktif lagi, TPI Ujung Batu merupakan TPI dengan volume tangkapan terbesar (666,7 ton) dan TPI Ujungwatu 2 merupakan TPI dengan volume tangkapan terkecil (4,2 ton) se Kabupaten Jepara (BPS Kabupaten Jepara 2008). Sarana perekonomian sebagai tempat penjualan ikan laut yang tersedia di sekitar lokasi penelitian, yaitu Kelurahan Jobokuto, Kauman dan Demaan, adalah TPI dan beberapa pasar. Pertama, TPI Ujung Batu yang merupakan TPI terbesar se Kabupaten Jepara, terletak di Kelurahan Ujung Batu, Kecamatan Jepara. TPI Ujung Batu merupakan satu-satunya TPI di Kabupaten Jepara yang memiliki SPBU sendiri untuk pengisian bahan bakar perahu, sehingga memungkinkan banyak perahu penangkap ikan beroperasi di TPI tersebut. TPI beroperasi dari subuh hingga pukul kemudian dilanjutkan pada pukul hingga pukul Lelang ikan biasanya dilakukan pada siang hari. Berbagai jenis ikan segar dapat diperoleh di TPI di antaranya yang banyak adalah Teri, Kembung, Pari, Tongkol, Peperek, Ekor kuning, Kerapu, Manyung dan Layur. Lima dari enam sekolah lokasi penelitian terletak dekat dengan TPI Ujung Batu. Lokasi TPI Ujung Batu berada di pinggir kota dan agak jauh dari perumahan penduduk. Sebagian besar pengunjung TPI Ujung Batu adalah para penjual ikan yang mendapatkan ikan dari lelang atau langsung dari pemilik perahu. Para penjual ikan umumnya menunggu pembeli yang datang ke TPI. Para pembeli umumnya adalah penjual ikan di pasar atau pemilik warung makan. Namun ada juga beberapa konsumen yang datang langsung untuk mendapatkan ikan yang lebih segar dan harga sedikit lebih murah. Sebagai contoh pada bulan April 2007 harga ikan Kembung di TPI berkisar Rp.5 000/kg, ikan Kembung di pasar Lawas berkisar Rp.5 500/kg dan ikan Kerapu karang Rp /kg. Kedua, TPI Demaan yang lebih kecil daripada TPI Ujung Batu, terletak di Kelurahan Demaan. TPI ini hanya beroperasi di pagi hari saja. Biasanya pada pukul TPI Demaan sudah mulai sepi dari penjual dan pembeli ikan. Lokasi TPI Demaan berada di sekitar perumahan penduduk, sehingga sebagian besar

14 86 pengunjung adalah para konsumen akhir. Lelang ikan yang dilakukan tidak sebesar di TPI Ujung Batu. Beberapa perahu membongkar muatannya di luar TPI, biasanya langsung menjual muatannya ke penjual ikan. Satu dari enam sekolah lokasi penelitian terletak di kelurahan yang sama dengan TPI Demaan. Ketiga, TPI Bulu yang terletak di Kelurahan Bulu, lokasinya tidak jauh dari TPI Demaan. TPI ini masih beroperasi di pagi hari, walaupun dalam volume yang lebih kecil. Keterdekatan dengan TPI Demaan dan lokasi yang jauh dari perumahan penduduk menyebabkan TPI ini kurang banyak dikunjungi pembeli. Keempat adalah Pasar Jepara. Tadinya hanya ada satu pasar di kota Jepara yaitu Pasar Jepara. Setelah terbakar, sementara pasar diperbaiki, diadakan pasar yang disebut dengan Pasar Anyar. Pasar yang terbakar setelah diperbaiki disebut Pasar Lawas. Lokasi keduanya berdekatan. Kebanyakan ikan laut yang dijual di Pasar Anyar adalah ikan asin. Ada beberapa penjual ikan laut basah. Sedang di Pasar Lawas lebih banyak dijual ikan laut basah. Disana terdapat satu los ikan laut yang digunakan oleh 26 penjual ikan laut basah, 16 penjual ikan panggang dan 13 kios ikan asin. Sarana kelima yang mendekatkan konsumen ke ikan laut adalah pedagang sayur keliling. Dari pengamatan hanya terlihat beberapa pedagang sayur keliling, yaitu para ibu yang menjajakan dagangannya sambil berjalan kaki. Di antara dagangannya terdapat ikan laut basah dan juga ikan asin. Adapun sarana perekonomian sebagai tempat penjualan ikan laut yang tersedia di wilayah pedalaman terdapat di sekitar ketiga kelurahan lokasi penelitian di Kecamatan Purwodadi, yaitu beberapa pasar dan sebuah supermarket. Pertama adalah Pasar Nglejok terletak di Desa Kuripan, dekat dengan pintu masuk kota Purwodadi (Jl. A Yani), tempat pemberhentian bis asal arah Timur dan Utara Purwodadi. Beberapa bulan sebelum dilakukan pengambilan data, pasar tersebut terbakar dan tidak segera dilakukan perbaikan. Akibatnya jumlah pedagang berkurang dan menyebabkan lokasi pasar mengecil. Ikan laut yang dijual kebanyakan ikan asin (Teri jawa, Layur, Petek, Tegowojo, Kacangan) dan pindang (Bandeng, pedo, Banyar). Jarang sekali tersedia ikan basah. Kedua adalah Pasar Danyang, terletak di tengah Kelurahan Danyang yang sedikit lebih besar dari Pasar Nglejok. Walaupun termasuk pasar kecil, namun bahan-bahan yang dijual lebih banyak jenisnya daripada Pasar Nglejok. Namun untuk ikan laut, kebanyakan yang dijual ikan asin. Ikan basah yang lebih sering tersedia adalah ikan darat seperti ikan Sepat dan ikan Lele.

15 87 Ketiga adalah Pasar Fajar, terletak di dekat Pasar Purwodadi, sesuai dengan namanya, pasar beroperasi dari pukul hingga pukul Di pasar ini terdapat 4-6 orang penjual ikan laut basah, namun tidak semuanya berjualan setiap hari. Ada yang berjualan dua hari sekali. Berbagai ikan laut yang dijual berasal dari Demak (paling banyak), Jepara dan Juwana, yaitu ikan Banyar, Bandeng, Blanak, Layur dan Tongkol. Beberapa keluarga responden yang menyukai ikan laut sering membeli ikan laut basah di Pasar Fajar. Sebagai contoh harga ikan Banyar pada bulan April 2007 berkisar Rp.7 000/kg. Keempat adalah Pasar Purwodadi, terletak dekat dengan pusat kota, yang merupakan pasar terbesar di Kecamatan Purwodadi, didominasi oleh penjual bahan pangan dan makanan di lantai atas serta penjual kain dan pakaian di lantai bawah. Ada dua penjual ikan laut basah (Bandeng, Blanak, Tongkol, Layur dan Kacangan), seorang penjual ikan panggang (mangut, Pe atau Pari), tiga penjual ikan pindang (Bandeng, Blanak, Banyar, pedo), dua penjual ikan tawar (Lele, Sepat), sebelas penjual ikan asin (Layur, Teri, Selar, Pethek, Tegowojo, Kacangan) dan enam orang penjual bahan-bahan pangan lainnya yang di antaranya menjual ikan asin juga. Menurut informasi penjual ikan asin terbesar di Pasar Purwodadi, kebanyakan pembeli ikan asin adalah dari kalangan menengah ke bawah. Kebanyakan pembeli tidak mengetahui atau tidak mempedulikan kandungan zat gizi yang terdapat pada ikan asin yang mereka beli. Yang mereka pedulikan adalah harga yang terjangkau (murah). Ikan asin dipilih sebagai lauk karena dengan sedikit lauk sudah cukup untuk menjadi teman makan sepiring nasi. Para penjual ikan asin mendapatkan pasokan ikan asin dari pasar induk di Solo. Ikan asin yang paling murah adalah ikan asin Pethek (Rp4 000/kg) dan yang termahal ikan asin Kacangan/bilis (Rp9 000/kg). Ikan asin Kacangan atau mereka sebut juga ikan Bloso sering dibeli oleh warga Purwodadi yang merantau ke Jakarta sebagai oleh-oleh. Sarana kelima adalah supermarket, satu-satunya yang terdapat di Kecamatan Purwodadi, di dekat pusat kota. Supermarket ini hanya menyediakan ikan kaleng saja. Keenam adalah pedagang sayur keliling yaitu kaum ibu dengan bersepeda atau kaum bapak dengan menggunakan motor yang menjadi pemandangan yang biasa dijumpai di Kecamatan Purwodadi. Mereka membawa dagangannya hingga ke pelosok desa. Hal ini pula yang dikeluhkan oleh sementara pedagang di Pasar Purwodadi bahwa jumlah konsumen yang datang ke pasar Purwodadi menjadi semakin menurun. Para pedagang sayur keliling

16 88 membawa berbagai macam bahan pangan yang memungkinkan penduduk tidak lagi perlu ke pasar untuk memenuhi kebutuhan pangan harian Lingkungan Tempat Tinggal Responden Ke enam sekolah responden di wilayah pesisir terletak di desa/kelurahan pesisir, yaitu di Kelurahan Demaan, Kauman dan Jobokuto. Sebagian besar responden bertempat tinggal di daerah pesisir pula, yaitu di Kelurahan Demaan, Karangkebagusan, Bulu, Kauman, Jobokuto, dan Kelurahan Ujung Batu. Hanya sebagian kecil responden, sembilan orang (7,83%) bertempat tinggal di kelurahan pedalaman, yaitu di Kelurahan Panggang, di pusat kota Jepara. Sementara di wilayah pedalaman, ke tujuh sekolah responden berada di Kelurahan Purwodadi, Kuripan dan Danyang. Hampir semua responden tinggal di sekitar kelurahan tempat sekolahnya berada. Hanya ada lima responden (3,76%) yang tinggal di luar kelurahan tempat sekolahnya berada, yaitu di Desa Kalongan, desa di sebelah Kelurahan Danyang. Dilihat dari beberapa aspek kependudukan di kedua wilayah, tampak adanya perbedaan, yaitu dilihat dari 1) Wilayah pesisir merupakan daerah yang lebih tertutup dengan jalur transportasi ke kota-kota kecil dibandingkan dengan wilayah pedalaman yang merupakan daerah terbuka dengan jalur transportasi ke kota-kota besar, 2) Jumlah penduduk per KK yang lebih besar di wilayah pesisir dibandingkan di wilayah pedalaman, 3) Tingkat pendidikan penduduk di wilayah pedalaman lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendidikan penduduk di wilayah pesisir. Jumlah penduduk berpendidikan tinggi di wilayah pedalaman sebesar 27% dan di wilayah pesisir sebesar 5%, dan 4) Sarana perekonomian berdasarkan ketersediaan ikan laut di wilayah pesisir jauh lebih banyak dengan tersedianya beberapa TPI dibandingkan dengan di wilayah pedalaman. Karakteristik Keluarga Bentuk Keluarga dan Usia Orangtua Sebagaimana disyaratkan dalam pengambilan responden adalah adanya ibu, maka semua responden masih memiliki ibu. Hampir semua anak memiliki orangtua lengkap (Tabel 18). Hanya 1,6% anak yang memiliki orangtua tunggal, yaitu tiga anak dari wilayah pesisir dan satu anak dari wilayah pedalaman. Mereka adalah dua anak yang ayahnya meninggal kurang lebih satu tahun

17 89 sebelum saat pengambilan data serta dua anak yang orangtuanya bercerai enam bulan sebelum saat pengambilan data. Walaupun data ayah tidak banyak digali dalam penelitian ini, hanya usia dan tingkat pendidikan, namun kehadiran ayah dalam interaksi keluarga diperkirakan memberi pengaruh pada perilaku makan anak dibandingkan interaksi keluarga tanpa kehadiran ayah. Tabel 18 Kategori orang tua di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori orang tua Pesisir Pedalaman Total n % n % n % Orangtua tunggal 3 2,6 1 0, Orangtua lengkap , , ,4 Total , , ,0 Adapun rata-rata usia ayah adalah 43 tahun (Tabel 19). Sebagian besar ayah (87,7%) berusia pada kisaran usia produktif, yaitu 31 hingga 50 tahun yang lebih banyak terdapat di wilayah pedalaman (90,1%) daripada di wilayah pesisir (84,9%). Namun hasil analisis uji-t menunjukkan tidak ada perbedaan nyata untuk usia ayah di kedua wilayah (p=0,258). Rata-rata usia ibu lebih muda, yaitu 39 tahun. Sama seperti usia ayah, sebagian besar usia ibu (88,8%) juga berada pada usia produktif, yaitu pada kisaran 31 hingga 50 tahun. Jumlah ibu berusia produktif lebih banyak terdapat di wilayah pedalaman (94%) daripada di wilayah pesisir (82,6%). Tabel 19 Katagori usia Kategori usia ayah dan ibu responden anak di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman A y a h I b u Pesisir Pedalaman Total Pesisir Pedalaman Total n % n % n % n % n % n % ,5 2 1,5 7 2, ,0 7 5,3 22 8, , , , , , , , , , , , ,8 10 7,6 21 8,6 5 4,3 1 0,8 6 2,4 > ,9 1 0,8 2 0, Total 112* ** Rata- 41,96±7,60 42,96±5,82 42,50±6,70 38,54±6,53 38,48±5,10 38,51±5,79 rata±sd Keterangan: * 3 ayah meninggal/cerai ** 1 ayah meninggal/cerai Tidak terdapat perbedaaan nyata antar usia ayah (p=0,258) dan antar usia ibu (p=0,939) di kedua wilayah. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa lebih banyak orangtua yang masuk ke katagori usia produktif di wilayah pedalaman daripada di wilayah pesisir. Kebanyakan ayah berusia 41 tahun (56,1%) dan kebanyakan ibu berusia <41 tahun (65,8%). Hal ini menunjukkan bahwa orangtua responden di kedua wilayah termasuk orang-orang yang masih mampu mencari pengetahuan

18 90 dan memungkinkan untuk diberi pengetahuan baru. Seperti halnya usia ayah di kedua wilayah, berdasarkan hasil analisis uji-t menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata pada usia ibu di kedua wilayah (p=0,939). Tingkat Pendidikan Orangtua Secara keseluruhan, tingkat pendidikan ayah lebih tinggi daripada tingkat pendidikan ibu. Kebanyakan ayah (43,5%) berpendidikan tingkat menengah (SLTP dan SLTA) sedang kebanyakan ibu (46,3%) berpendidikan tingkat dasar (SD) (Tabel 20). Bila dilihat per wilayah, tingkat pendidikan ayah dan ibu di wilayah pedalaman lebih tinggi daripada di wilayah pesisir. Kondisi ini dapat dilihat dari jumlah ayah yang mengenyam hingga pendidikan SLTP jauh lebih sedikit di pedalaman (38,6%) dibandingkan dengan di pesisir (67,9%). Demikian juga yang terjadi pada ibu, 54,2% di wilayah pedalaman dan 76,5% di wilayah pesisir. Sebaliknya jumlah ayah dan ibu yang dapat mengenyam pendidikan tinggi (Diploma, S1/S2) jauh lebih banyak di wilayah pedalaman. Satu orang ayah responden di wilayah pedalaman berpendidikan tertinggi, yaitu S2. Tabel 20 Tingkat pendidikan ayah dan ibu di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Ayah Ibu Pesisir Pedalaman Total Pesisir Pedalaman Total n % n % n % n % n % n % Tingkat Pendidikan SD 49 43, , , , , ,3 SLTP 27 24,1 11 8, , , , ,1 SLTA 23 20, , , , , ,2 Diploma 5 4,5 9 6,8 14 5,7 3 1,2 7 2,8 10 4,0 S1/S2 8 7, , ,3 5 4, ,5 23 9,4 Total 112* ** Rata- 2,01±1,29 2,77±1,49 2,42±1,45 1,60±1,27 2,38±1,43 2,02±1,41 rata±sd Keterangan: * 3 ayah meninggal/cerai ** 1 ayah meninggal/cerai Terdapat perbedaan nyata pada tingkat pendidikan ayah (p=0,000) dan tingkat pendidikan ibu (p=0,000) di kedua wilayah Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ayah dan tingkat pendidikan ibu di kedua wilayah berbeda secara signifikan (keduanya p=0,000). Rata-rata tingkat pendidikan ayah di wilayah pedalaman mendekati SLTA, sedang di wilayah pesisir SLTP. Rata-rata tingkat pendidikan ibu di wilayah pedalaman mendekati SLTA sedang di wilayah pesisir mendekati SLTP. Tingginya tingkat pendidikan orangtua memberi peluang lebih besar memperoleh pengetahuan tentang gizi dan tentang makanan sehat bagi keluarga, dimana atribut gizi suatu produk pangan menjadi penting bagi mereka (Schaffner et al. 1998, Madanijah 2003).

19 91 Hasil serupa dikemukakan oleh North dan Emmett (2000) berkaitan dengan hubungan sosiodemografi keluarga dengan pola makan anak-anaknya, yaitu tingkat pendidikan orangtua berhubungan secara positif dengan kesadarannya akan kesehatan dalam melakukan pemilihan pangan, terutama pendidikan ibu merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan pangan. Dengan demikian dapat diduga bahwa pengetahuan gizi ibu di wilayah pedalaman akan lebih bagus daripada pengetahuan gizi ibu di wilayah pesisir. Pekerjaan Orangtua Pekerjaan ayah paling banyak adalah sebagai pegawai (35,2%) kemudian pedagang (27,1%). Namun bila dilihat antar wilayah, kebanyakan pekerjaan ayah di wilayah pesisir adalah pedagang (39,3%), kemudian nelayan/petani (27,7%). Sedang di wilayah pedalaman kebanyakan pekerjaan ayah adalah pegawai (47,0%), kemudian buruh (25,8%) (Tabel 21). Tabel 21 Kategori pekerjaan ayah di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori Pesisir Pedalaman Total pekerjaan ayah n % n % n % Tidak bekerja 3 2,7 3 2,3 6 2,5 Pegawai 24 21, , ,2 Pedagang 44 39, , ,1 Buruh 10 8, , ,0 Nelayan/Petani 31 27,7 11 8, ,2 Total 112* 100,0 132** 100, ,0 Keterangan: * 3 ayah meninggal/cerai ** 1 ayah meninggal/cerai Kaum ibu di Indonesia, apapun statusnya bekerja atau tidak bekerja, dapat dikatakan sebagai gate keeper untuk hampir semua urusan rumah tangga, diantaranya penyediaan bahan pangan. Walaupun dalam urusan rumah tangga, sebagian dari mereka dibantu oleh pembantu rumah tangga atau salah satu anggota keluarga, namun secara keseluruhan fungsi gate keeper di Indonesia melekat pada ibu. Sebagaimana dikatakan oleh Kutsch (1997), secara tradisional, menyediakan makanan di rumah adalah salah satu tugas utama seorang ibu. Pengetahuan, pelatihan, pendidikan dan pengalaman merupakan sebagian faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan ibu menjalankan fungsinya di rumah. Aktivitas ibu bekerja membuat ibu memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan, pelatihan dan pendidikan yang dapat digunakan untuk penyelenggaraan kehidupan rumah tangganya.

20 92 Status ibu rumah tangga (IRT) menunjukkan bahwa ibu termasuk dalam golongan tidak bekerja. Secara keseluruhan, hampir setengahnya (44,0%) adalah IRT, baru kemudian pedagang (35,9%). Kedua jenis pekerjaan tersebut juga mendominasi di masing-masing wilayah hanya dengan proporsi terbalik (Tabel 22). Tabel 22 Kategori pekerjaan ibu di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Katagori Pesisir Pedalaman Total pekerjaan ibu n % n % n % IRT 48 41, , ,0 Pedagang 50 43, , ,9 Pegawai 15 13, , ,5 Buruh 2 1,7 1 0,8 3 1,2 Petani 0 0,0 1 0,8 1 0,4 Total , , ,0 Wilayah pesisir lebih didominasi oleh ibu yang bekerja sebagai pedagang (43,5%), baru kemudian IRT (41,7%), sedang di pedalaman lebih didominasi oleh IRT (45,9%), kemudian pedagang (29,3%). Dilihat dari kategori pekerjaan ibu, maka lebih dari 50% ibu memiliki status bekerja. Dengan status ibu bekerja diharapkan lebih banyak ibu yang bisa mendapatkan informasi, pelatihan dan pendidikan yang dapat dipakai dalam menyelenggarakan rumah tangganya. Ibu dengan status IRT lebih banyak terdapat di wilayah pesisir (56%) (Tabel 23). Namun bila dilihat dari tingkat pendidikan IRT, wilayah pedalaman lebih didominasi oleh IRT dengan tingkat pendidikan menengah (59,0%), sedang di wilayah pesisir lebih didominasi IRT dengan tingkat pendidikan dasar (65,9%). Dengan asumsi bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi tingkat kepemilikan dan keluasan pengetahuan untuk penyelenggaraan kehidupannya, ibu di wilayah pedalaman lebih berpeluang untuk memiliki pengetahuan yang lebih luas. Hal ini berarti bahwa ibu di wilayah pedalaman lebih berpeluang mendapatkan pengetahuan tentang manfaat ikan laut yang dalam interaksinya di keluarga akan mempengaruhi pengetahuan anak. Sebagaimana hasil penelitian Stanton (2000) yang secara khusus membuktikan adanya pengaruh sosialisasi ibu tentang gizi pangan pada konsumsi gizi anak perempuannya melalui perkembangan perilaku makan anaknya (siswa kelas 6 SD) di keluarga pedesaan. Selain ibu, orangtua secara umum mengarahkan apa yang dapat dimakan anak-anaknya berdasarkan pada pengetahuan

21 93 yang mereka miliki melalui interaksinya dengan anak-anak di dalam situasi makan (Birch & Fisher 1998). Tabel 23 Tingkat pendidikan ibu yang berstatus sebagai IRT (n=109) Tingkat pendidikan Pesisir Pedalaman Total n % Dasar ,7 Menengah ,5 Tinggi ,8 Jumlah 48 (44%) 61 (56%) Jumlah Anak dan Besar Keluarga Sebagian besar keluarga di kedua wilayah memiliki jumlah anak kurang dari 5 orang (82,3%) dengan rataan 3 orang per keluarga (Tabel 24). Hanya 7,7% keluarga yang memiliki anak lebih dari 7 orang. Apabila dibandingkan antar wilayah, kebanyakan keluarga di wilayah pedalaman memiliki anak kurang dari 5 orang (89,5%), hanya 4,5% keluarga yang memiliki anak lebih dari 7 orang. Sedang di wilayah pesisir, jumlah keluarga yang memiliki anak kurang dari 4 orang lebih sedikit (73,9%), sebaliknya lebih banyak yang memiliki anak lebih dari 7 orang (11,3%). Hasil analisis statistik uji t menunjukkan adanya perbedaan nyata untuk kategori jumlah anak di kedua wilayah (p=0,007). Jumlah anak dalam keluarga di wilayah pesisir (4 orang) lebih besar dibandingkan dengan jumlah anak dalam keluarga di wilayah pedalaman (3 orang). Tabel 24 Kategori jumlah anak dalam keluarga wilayah pesisir dan wilayah pedalaman Kategori jumlah Pesisir Pedalaman Total anak n % n % n % 4 orang 85 73, , ,3 5-6 orang 17 14,8 8 6, ,1 7 orang 13 11,3 6 4,5 19 7,7 Total , , ,0 Rataan ± SD 3,72 ± 2,07 3,08 ± 1,50 3,38 ± 1,81 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata antara jumlah anak di kedua wilayah (p=0,007). Berdasarkan besar keluarga (Tabel 25), kebanyakan berkisar antara 5-6 orang (48,4%), keadaan ini juga terdapat di masing-masing wilayah, yaitu 47,8% keluarga responden di wilayah pesisir dan 48,9% keluarga responden di wilayah pedalaman. Hasil analisis statistik uji-t menunjukkan adanya perbedaan nyata pada besar keluarga di kedua wilayah (p=0,000).

22 94 Rata-rata besar keluarga di wilayah pedalaman lebih sedikit, yaitu lima orang, dibandingkan dengan rata-rata besar keluarga di wilayah pesisir, yaitu enam orang. Kondisi ini sejalan dengan yang terjadi di masing-masing kecamatan, besar keluarga per KK di kecamatan pedalaman adalah 3 orang, lebih kecil daripada di kecamatan pesisir, yaitu 4 orang. Tabel 25 Kategori besar keluarga responden di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori besar Pesisir Pedalaman Total keluarga n % n % n % 4 orang 34 29, , ,3 5-6 orang 55 47, , ,4 7 orang 26 22,6 12 9, ,3 Total , , ,0 Rataan±SD 5,50±1,62 4,85±1,08 5,15±1,39 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada kategori besar keluarga di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (p=0,000) Pengaruh anggota keluarga pada sikap anak terhadap suatu bahan pangan masih diperdebatkan. Pada beberapa penelitian, ada hubungan yang signifikan antara sikap terhadap suatu bahan pangan dari pasangan ibu-anak, ayah-anak, atau pasangan antar saudara (Pliner & Pelchat 1986, Skinner et al. 1998, Skinner et al. 2002b). Keluarga yang sering melakukan kegiatan makan bersama, diperkirakan akan memberi pengaruh positif kepada anggota keluarga. Terutama anak-anak, kegiatan makan bersama keluarga merupakan lingkungan awal tentang makanan, yaitu melalui makanan yang diperbolehkan atau dilarang orangtuanya, waktu makan, jumlah makanan dan konteks sosial dimana perilaku makan terjadi. Orangtua menjadi model yang anak tiru dalam perilaku makan (Birch 2002, Klesges et al. 1991). Selain orangtua, kehadiran anggota keluarga lainnya pada situasi makan juga mempengaruhi preferensi dan penerimaan anak terhadap perilaku makan (Brown & Ogden 2004). Dengan demikian diharapkan bahwa jumlah anggota keluarga yang banyak akan memberi pengaruh positif kepada sikap dan perilaku anak. Pendapatan Keluarga per Kapita per Bulan Dilihat dari Tabel 26, rata-rata pendapatan per kapita keluarga adalah Rp Hampir setengahnya (48,8%) memiliki pendapatan per kapita antara Rp hingga Rp Bila dilihat di masing-masing wilayah, rataan pendapatan per kapita keluarga di wilayah pedalaman lebih tinggi

23 95 (Rp ) dibandingkan dengan di wilayah pesisir (Rp ). Menurut standar yang dikeluarkan Biro Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah (BPS Penduduk Propinsi Jawa Tengah 2006) pendapatan pada garis kemiskinan penduduk Propinsi Jawa Tengah tahun 2004 adalah Rp /kapita/bulan, khususnya di Kabupaten Jepara Rp dan di Kabupaten Grobogan Rp /kapita/bulan. Tabel 26 Kategori pendapatan keluarga responden per kapita per bulan di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Pesisir Pedalaman Total Kategori pendapatan (Rp/kapita/bulan) n % n % n % < , , , , , , , , ,7 > ,6 10 7,5 13 5,2 Total , , ,0 Rataan±SD ,70± , ,99± , ,55± ,99 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada kategori pendapatan keluarga/kapita/bulan di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (p=0,025) Dengan mengacu pada standar BPS, hasil penelitian menunjukkan bahwa di kedua wilayah kebanyakan keluarga responden termasuk golongan ekonomi menengah kebawah. Jumlah keluarga responden yang mempunyai pendapatan di bawah garis kemiskinan di wilayah pesisir lebih banyak (28%) sedang yang memiliki pendapatan per kapita per bulan di atas Rp lebih banyak di wilayah pedalaman (28,6%). Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa pendapatan keluarga per kapita per bulan di kedua wilayah berbeda secara nyata (p=0,025) dimana pendapatan per kapita keluarga di wilayah pedalaman lebih tinggi daripada di wilayah pesisir. Keluarga dengan pendapatan yang lebih tinggi memiliki daya beli yang relatif lebih besar. Pengeluaran Keluarga per Kapita per Bulan untuk Ikan Laut Pengeluaran per kapita per bulan untuk konsumsi ikan laut (Tabel 27), berkisar antara Rp.0 hingga Rp Dengan mempertimbangkan kecukupan protein hewani yang berasal dari ikan untuk rataan penduduk Indonesia adalah 9 gr/hari, berarti dibutuhkan 72,7 gr ikan/hari atau 2,18 kg/ bulan dan harga ikan yang banyak dikonsumsi di kedua wilayah adalah ikan kembung yaitu berkisar Rp.7.000,- maka ditetapkan pengeluaran untuk konsumsi ikan laut per bulan adalah 1) Kategori kurang adalah kurang dari Rp , 2) Kategori cukup adalah antara Rp Rp , dan 3) Kategori banyak

24 96 adalah sama atau lebih dari Rp ,-. Hampir separuh responden (47,2%) memiliki pengeluaran per kapita per bulan untuk ikan laut kurang dari Rp dengan rata-rata pengeluaran Rp Namun bila dilihat pada masing-masing wilayah, terlihat perbedaannya. Rataan pengeluaran untuk ikan laut per kapita per bulan keluarga responden di wilayah pesisir jauh lebih tinggi, yaitu Rp (kisaran pengeluaran dari Rp.0 hingga Rp ) dibandingkan dengan rataan di wilayah pedalaman, yaitu Rp (kisaran pengeluaran dari Rp.0 hingga Rp ). Jumlah keluarga yang mengonsumsi ikan laut kurang dari yang direkomendasikan, dilihat dari pengeluaran per kapita per bulan, di wilayah pesisir berjumlah 27,8% dan di wilayah pedalaman berjumlah 63,9%. Hasil analisis statistik uji-t juga menunjukkan bahwa pengeluaran keluarga untuk ikan laut/kapita/bulan di kedua wilayah berbeda secara nyata (p=0,000), dimana pengeluaran keluarga untuk ikan laut di wilayah pesisir lebih tinggi daripada di wilayah pedalaman. Tabel 27 Kategori pengeluaran keluarga per kapita per bulan untuk ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori pengeluaran Pesisir Pedalaman Total ikan laut (Rp/kapita/bulan) n % n % n % < , , , , , ,1 > ,8 7 5,3 24 9,7 Total Min-Maks 115 0,0-100,0 90, ,0-100,0 120, ,0-100,0 120,0 Rataan+SD ,61±15 191, ,35 ±14 641, ,04±15 664,29 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada kategori pengeluaran keluarga/kapita/bulan untuk ikan laut di kedua wilayah (p=0,000) Selain ketersediaan ikan laut yang lebih banyak di wilayah pesisir, besarnya pengeluaran untuk ikan laut di wilayah pesisir kemungkinan juga disebabkan oleh kesukaan ibu pada ikan laut sebagai bahan pangan di wilayah pesisir yang lebih besar dibandingkan dengan kesukaan ibu di wilayah pedalaman (Tabel 47). Dari sembilan bahan pangan yang dipilih ibu sebagai pilihan pertama, ikan laut dan daging ayam merupakan bahan pangan yang paling diminati ibu di kedua wilayah. Hanya saja di wilayah pesisir kesukaan ibu didominasi oleh ikan laut (61,9%), baru kemudian daging ayam (25,7%). Sedangkan ibu di wilayah pedalaman lebih menyukai daging ayam sebagai lauk (40,2%), baru kemudian ikan laut (22,0%). Dengan demikian ragam bahan pangan yang dipilih ibu di wilayah pesisir lebih sempit (12,4%) dibandingkan dengan ragam pilihan ibu di wilayah pedalaman (37,8%). Tampaknya jalur transportasi di masing-masing

25 97 wilayah ikut berperan dalam besarnya ragam bahan pangan untuk lauk. Jalur transportasi di wilayah pesisir agak tertutup, tidak begitu padat menuju ke kotakota kecil, sedang jalur transportasi di wilayah pedalaman terbuka dan padat menuju ke kota-kota besar. Padat dan terbukanya jalur transportasi di wilayah pedalaman memungkinkan masuknya berbagai bahan pangan ke wilayah tersebut, sehingga ragam bahan pangan di wilayah pedalaman menjadi lebih besar. Usia Anak Responden yang dipergunakan berjumlah 248 siswa, terdiri atas 115 siswa (46,37%) di wilayah pesisir dan 133 siswa (53,63%) di wilayah pedalaman. Secara keseluruhan, usia anak berkisar antara bulan dan sebagian besar (75%) berusia antara bulan (rata-rata 11,41 tahun) (Tabel 28). Namun bila diperbandingkan antar wilayah, terlihat perbedaannya. Tabel 28 Kategori usia responden anak di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (bulan) Pesisir Pedalaman Total Kategori usia responden (bulan) n % n % n % , , , , , , ,1 5 3,7 12 4, ,3 2 1,5 7 2,8 Total , , ,0 Min Maks Rataan±SD ,17±10, ,56±6, ,77±8,54 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada kategori usia responden di kedua wilayah (p=0,020) Usia anak di wilayah pesisir dapat dikatakan lebih tua, yaitu 138 bulan daripada usia anak di wilayah pedalaman, yaitu 136 bulan. Hasil analisis uji-t menunjukkan ada perbedaan nyata pada usia anak di kedua wilayah (p=0,020). Jumlah anak yang berusia kurang dari 145 bulan di wilayah pesisir adalah 89,6% lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anak di wilayah pedalaman, yaitu 92,3%. Ada kemungkinan hal ini karena keikutsertaan 20 orang siswa kelas 6 yang membuat rataan usia anak di wilayah pesisir lebih tua dibandingkan rataan usia anak di wilayah pedalaman. Namun dalam penelusuran di wilayah pesisir, memang terdapat seorang siswa berusia 180 bulan yang duduk di kelas 6, hanya saja sebagian besar siswa kelas 6 berusia 144 bulan (40% berusia 144 bulan di wilayah pesisir) dan sisanya berusia antara bulan (36% berusia 156 bulan keatas). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usia anak di wilayah pesisir memang lebih tua dibandingkan usia anak di wilayah pedalaman,

26 98 bukan karena sebagian dari anak di wilayah pesisir duduk di kelas 6. Dari sisi perkembangan anak, sebaran terbanyak usia anak yaitu pada 11 hingga 12 tahun (75,0%), maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar anak termasuk dalam kelompok usia remaja awal. Jenis Kelamin Anak Dilihat dari jenis kelamin anak, baik secara keseluruhan maupun per wilayah, persentase anak perempuan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anak laki-laki, yaitu 60% di wilayah pesisir dan 54% di wilayah pedalaman. Persentase anak perempuan di wilayah pesisir lebih tinggi daripada di wilayah pedalaman (Tabel 29). Tabel 29 Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori jenis Pesisir Pedalaman Total kelamin n % n % n % Laki-Laki 46 40, , ,1 Perempuan 69 60, , ,9 Total , , ,0 Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk pada kelompok usia tahun dan kelompok usia tahun berdasarkan jenis kelamin di masingmasing kecamatan, maka keadaan anak di wilayah pesisir sejalan dengan yang terdapat di kecamatan pesisir, jumlah siswa perempuan lebih banyak daripada jumlah siswa laki-laki. Sedang di wilayah pedalaman terjadi sebaliknya, jumlah sswa perempuan lebih banyak, sedang di kecamatan pedalaman lebih banyak siswa laki-laki. Urutan Anak dalam Keluarga Berdasarkan urutan anak dalam keluarga, hampir semua responden, yaitu 96,4% memiliki saudara, apakah sebagai anak pertama, anak tengah atau anak bungsu, hanya 3,6% yang merupakan anak tunggal (Tabel 30). Bila diperbandingkan jumlah anak tunggal lebih banyak di wilayah pedalaman, yaitu 4,5%, di samping itu jumlah anak tunggal ditambah dengan anak pertama dan anak bungsu lebih banyak terdapat di wilayah pedalaman, yaitu 72,9% dibandingkan dengan 62,6% di wilayah pesisir. Hal ini berarti bahwa lebih banyak keluarga di wilayah pedalaman yang memiliki jumlah anak lebih sedikit.

27 99 Hasil ini mendukung rata-rata jumlah anak dalam keluarga di wilayah pedalaman lebih sedikit dibandingkan rataan jumlah anak di wilayah pesisir (Tabel 24). Tabel 30 Sebaran anak berdasarkan urutan anak dalam keluarga di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori urutan Pesisir Pedalaman Total anak n % n % n % Anak tunggal 3 2,6 6 4,5 9 3,6 Anak pertama 30 26, , ,5 Anak bungsu 39 33, , ,1 Anak tengah 43 37, , ,9 Total , , ,0 Karakteristik Ibu Selain anak, unit pengamatan lain dalam penelitian ini adalah ibu. Beberapa karakteristik ibu yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah persepsi tentang ikan laut, sikap terhadap ikan laut, ketidakpercayaan terhadap mitos tentang makan ikan laut dan perilaku menyediakan ikan laut dalam menu keluarga. Persepsi Ibu tentang Ikan Laut Yang dimaksudkan dengan persepsi tentang ikan laut adalah persepsi ibu tentang beberapa karakteristik ikan laut, yaitu ketersediaan dan harga ikan laut di tempat yang biasa dikunjungi, kemudahan mendapatkan ikan laut yang disukai dan kemudahan mengolahnya. Persepsi tentang Ketersediaan Ikan Laut Persepsi tentang ketersediaan ikan laut di tempat yang biasa ibu kunjungi ditanyakan melalui tiga pertanyaan, yaitu ketersediaan di tempat yang biasa membeli, jenisnya dan yang disukai. Secara keseluruhan sekitar 50% ibu memiliki persepsi bahwa tersedia banyak ikan laut di tempat yang biasa mereka beli, jenis ikan laut dan ikan laut yang disukai juga tersedia banyak (Tabel 31). Namun bila dilihat dari masing-masing wilayah jelas terlihat perbedaannya. Ikan laut di wilayah pedalaman dirasakan kurang tersedia baik di tempat yang biasa dikunjungi, jenis ikan laut maupun yang disukai (rataan berkisar 30%).

28 100 Tabel 31 Persentase persepsi ibu tentang ketersediaan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Persepsi ttg kuantitas ikan/ banyak tersedia Pesisir (%) Pedalaman (%) Total (%) Setuju Agak Kurang Setuju Agak Kurang Setuju Agak Kurang Di tempat yang biasa dikunjungi 73,0 18,3 8,7 28,6 42,1 29,3 49,2 31,0 19,8 Jenis/ macamnya 75,7 17,4 7,0 31,6 39,1 29,3 52,0 29,0 19,0 Yang disukai 64,3 27,0 8,7 35,3 33,1 31,6 49,2 29,8 21,0 Sementara ibu di wilayah pesisir yang mengatakan banyak tersedia ikan laut adalah antara 64,3 hingga 73,0%. Cukup mengherankan bahwa hanya 64,3% ibu di wilayah pesisir yang berpendapat bahwa ketersediaan ikan laut yang disukai banyak, padahal bila dilihat dari lokasi yang sering didatangi ibu membeli ikan laut, 52,2% ibu di wilayah pesisir lebih sering membeli ikan di TPI (Tabel 32) yang diasumsikan memiliki persediaan ikan paling banyak dan paling beragam dibandingkan lokasi-lokasi penjualan lainnya. Tabel 32 Lokasi penjualan ikan laut yang sering ibu kunjungi di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Lokasi penjualan ikan laut Pesisir (%) Pedalaman (%) Total (%) TPI 52,2 0,0 24,2 Pasar tradisional 27,0 46,6 37,5 Pedagang keliling 7,0 33,8 21,4 Warung dekat rumah 8,7 13,5 11,3 Lainnya 1,8 5,4 4,0 Total 100,0 100,0 100,0 Perbedaan persepsi ibu tentang ketersediaan ikan laut tentunya dipengaruhi oleh perbedaan kondisi kedua wilayah. Wilayah pesisir memiliki tiga buah TPI, sedang di wilayah pedalaman tidak terdapat satupun, kondisi ini menunjukkan ketersediaan ikan laut secara fisik lebih banyak di wilayah pesisir dibandingkan dengan di wilayah pedalaman. Tabel 33 Kategori skor persepsi ibu tentang ketersediaan ikan laut di tempat biasa membeli di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori skor Pesisir Pedalaman Total ketersediaan ikan laut n % n % n % Kurang bagus (<60) 8 7, , ,2 Cukup (60-79,9) 25 21, , ,2 Bagus ( 80) 82 71, , ,6 Total , , ,0 Rataan±SD 81,41±24,05 50,87±31,99 65,04±32,35 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada kategori skor ketersediaan ikan laut di kedua wilayah (p=0,000)

29 101 Hasil uji-t mendukung kondisi tersebut (Tabel 33), terdapat perbedaan signifikan pada persepsi ibu tentang ketersediaan ikan laut di kedua wilayah (p=0,000). Ibu di wilayah pesisir mempersepsikan ketersediaan ikan laut di tempat biasa beli lebih banyak dibandingkan persepsi ibu di wilayah pedalaman. Persepsi tentang Harga Ikan Laut Persepsi tentang harga ikan laut digambarkan melalui ragam harga ikan laut yang ada dan keterjangkauan ibu terhadap harga ikan laut yang disukai. Tabel 34 menunjukkan bahwa lebih banyak ibu di wilayah pesisir yang berpendapat bahwa harga ikan laut bervariasi dan harga ikan laut yang disukai terjangkau (74,0% dan 82,6%) dibandingkan dengan persepsi ibu di wilayah pedalaman (60,9% dan 72,2%). Tabel 34 Persentase persepsi ibu tentang harga ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Pesisir (%) Pedalaman (%) Total (%) Persepsi tentang harga Setuju Agak Kurang Setuju Agak Kurang Setuju Agak Kurang Bervariasi 74,0 21,7 4,3 60,9 33,1 6,0 67,0 27,8 5,2 Terjangkau 82,6 14,8 2,6 72,2 25,5 2,3 77,0 20,6 2,4 Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ibu di kedua wilayah tidak terlampau mempermasalahkan harga ikan laut, karena selain harga cukup bervariasi pun pula terjangkau. Hal ini juga dapat dilihat dari alasan ibu menyediakan masakan ikan laut bagi keluarga (Tabel 35). Tabel 35 Alasan ibu menyediakan masakan ikan laut untuk keluarga di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Alasan ibu menyediakan Pesisir Bukan-pesisir Total masakan ikan laut n % n % n % Agar keluarga sehat Karena anak-anak suka Agar anak2 cerdas dan pintar Karena harga paling terjangkau Karena hanya ikan laut yang sering ada di pasar Alasan ibu tidak mau atau jarang Pesisir Bukan-pesisir Total menyediakan masakan ikan laut n % n % n % Takut bila anak tertelan duri ikan Kesulitan membersihkannya Baunya membuat saya tidak tahan Keluarga kurang suka ikan laut Ikan laut segar jarang tersedia di pasar Ikan laut jarang tersedia di pasar Harga mahal Dari pengalaman, anak2 sering gatal2 bila makan ikan laut

30 102 Setengah lebih jumlah ibu (58,3%) menyebutkan harga terjangkau sebagai alasan menyediakan masakan ikan laut bagi keluarganya. Sedangkan di dalam kelompok yang jarang menyediakan masakan ikan laut hanya ada empat orang ibu dari wilayah pedalaman yang mengatakan bahwa harga ikan laut mahal. Hasil analisis terhadap kategori skor persepsi tentang harga ikan laut (Tabel 36) menunjukkan bahwa 54,8% ibu memiliki persepsi yang baik tentang harga ikan laut yaitu harga bervariasi dan harga ikan laut yang disukai terjangkau. Hanya 13,7% ibu yang memiliki persepsi kurang baik tentang harga ikan laut di tempat yang biasa dikunjungi. Walaupun skor rata-rata di masingmasing wilayah menunjukkan bahwa rata-rata persepsi responden tentang harga ikan laut termasuk dalam kategori bagus, yaitu 88 dan 81, yang berarti beragam dan terjangkau, hasil analisis statistik uji-t menunjukkan adanya perbedaan signifikan di kedua wilayah (p=0,006), persepsi responden tentang harga ikan laut di wilayah pesisir lebih beragam dan lebih terjangkau daripada persepsi responden di wilayah pedalaman. Tabel 36 Kategori persepsi ibu tentang harga ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori skor persepsi Pesisir Pedalaman Total tentang harga ikan laut n % n % n % Kurang bagus (< 60) 13 11, , ,7 Cukup (60-79,9) 28 24, , ,5 Bagus ( 80) 74 64, , ,8 Total , , ,0 Rataan ± SD 87,61±19,69 81,20±21,63 84,17±20,96 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada kategori skor persepsi harga ikan laut di kedua wilayah (p=0,006) Persepsi tentang Kemudahan Memperoleh Produk Ikan Laut Persepsi tentang kemudahan memperoleh produk ikan laut dimaksudkan di tempat ibu biasa membeli. Produk ikan laut yang dimaksud adalah ikan segar, ikan pindang, ikan asap, ikan asin dan ikan kaleng. Secara keseluruhan (Tabel 37) yang masuk ke dalam kategori mudah terbanyak adalah memperoleh produk ikan asin (47,6%), kemudian sedikit di bawahnya adalah ikan segar (46,0%). Namun apabila dilihat di masing-masing wilayah, terlihat ada perbedaan. Ada dua produk di wilayah pesisir, yang mana lebih dari separuh ibu mempersepsikan mudah memperolehnya, yaitu ikan segar oleh 71,3% responden dan ikan asin oleh 54,8%responden.

31 103 Sedang di wilayah pedalaman, di antara produk-produk lainnya, ikan asin dipersepsikan paling mudah didapat oleh 41,4% ibu. Ikan kaleng nampaknya kurang populer di kedua wilayah, lebih dari setengah responden mengatakan kesulitannya mendapatkan produk ikan kaleng. Tabel 37 Persentase persepsi ibu tentang kemudahan memperoleh produk ikan laut yang disukai di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Persepsi tentang kemudahan mendapatkan Pesisir (%) Pedalaman (%) Total (%) Mudah Agak Kurang Mudah Agak Kurang Mudah Agak Kurang Ikan segar 71,3 18,3 10,4 24,1 38,3 37,6 46,0 29,0 25,0 Ikan asin 54,8 17,4 27,8 41,4 27,1 31,6 47,6 22,6 29,8 Ikan panggang/ asap 42,6 31,3 26,1 13,5 24,8 61,7 27,0 27,8 45,2 Ikan pindang 20,0 31,3 48,7 28,6 37,6 33,8 24,6 34,7 40,7 Ikan kaleng 14,8 20,2 65,0 18,8 28,6 52,6 16,9 24,6 58,5 Secara keseluruhan produk, 62,5% ibu di kedua wilayah merasakan kesulitan mendapatkan produk ikan laut di tempat yang biasa dikunjungi (Tabel 38). Hanya 14,9% ibu yang menyatakan mudah mendapatkannya dengan skor rata-rata 46. Namun bila dilihat per wilayah, jumlah ibu yang menyatakan sulit mendapatkan produk-produk ikan laut lebih banyak terdapat di wilayah pedalaman, yaitu sebesar 69,9% daripada di wilayah pesisir, yaitu sebesar 53,9%. Sebaliknya yang menyatakan mudah mendapatkannya lebih banyak di wilayah pesisir sebesar 20,0% dibandingkan di wilayah pedalaman sebesar 10,5% dengan skor rata-rata lebih besar di wilayah pesisir, yaitu 53 dan 41 berturutturut. Tabel 38 Kategori skor persepsi ibu tentang kemudahan mendapatkan produk ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Pesisir Pedalaman Total Kategori skor kemudahan mendapat produk ikan laut n % n % n % Sulit mendapatkan (< 60) 62 53, , ,5 Agak mudah (60-79,9) 30 26, , ,6 Mudah mendapatkan ( 80) 23 20, , ,9 Total , , ,0 Rataan±SD 52,52±22,59 40,90±25,95 46,29±25,08 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada kategori skor kemudahan memperoleh ikan laut di kedua wilayah (p=0,007) Hasil analisis statistik uji-t menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara persepsi ibu tentang kemudahan memperoleh produk ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (p=0,007). Para ibu di wilayah pesisir menyatakan lebih mudah mendapatkan produk-produk ikan laut dibandingkan dengan para ibu di pedalaman. Keadaan ini sejalan dengan persepsi ibu tentang

32 104 ketersediaan ikan laut di tempat yang biasa dikunjungi dilihat dari segi kuantitas, ragam dan yang disukai yang lebih banyak di wilayah pesisir daripada persepsi ibu di wilayah pedalaman (Tabel 33). Persepsi Ibu tentang Kemudahan Mengolah Ikan Laut Pengolahan ikan laut yang ditanyakan adalah menggoreng, membakar, memanggang, memepes, menggulai dan membuat masakan berkuah (Tabel 39). Pembuatan ikan bakar tidak sama dengan pembuatan ikan panggang. Selain itu jenis ikan yang dibakar lebih banyak dibandingkan jenis ikan yang biasa dipanggang. Hampir semua ikan dapat dijadikan ikan bakar, namun yang biasa dipanggang adalah ikan pari, ikan manyung atau ikan tongkol. Selain dipanggang, nama lain yang mereka kenal adalah diasap, sehingga produknya disebut ikan asap. Tabel 39 Persentase persepsi ibu tentang kemudahan mengolah ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Persepsi tttg kemudahan mengolah Pesisir (%) Pedalaman (%) Total (%) Mudah Agak Kurang Mudah Agak Kurang Mudah Agak Kurang Menggoreng 91,3 7,0 1,8 82,7 13,5 3,8 86,7 10,5 2,8 Memepes 67,0 21,7 11,3 63,2 27,1 9,8 64,9 24,6 10,5 Memasak 58,3 21,7 20,0 42,9 30,1 27,1 50,0 26,2 23,8 kuah Memanggang 59,1 20,9 20,0 37,6 36,8 25,5 47,6 29,4 23,0 Membakar 61,7 21,7 16,5 30,1 42,9 27,0 44,8 33,1 22,1 Menggulai 28,7 24,3 46,9 24,8 24,8 50,4 26,6 24,6 48,8 Secara keseluruhan mengolah dengan cara menggoreng dinilai ibu sebagai cara termudah (86,7%), kemudian membuat pepes (64,9%). Demikian pula terjadi di masing-masing wilayah untuk menggoreng dan membuat pepes. Salah satu cara mengolah yang dipersepsikan oleh hampir setengah responden sebagai cara pengolahan yang tidak mudah adalah membuat gulai ikan. Membuat masakan ikan berkuah dipersepsikan berada pada posisi ketiga. Dari keterangan beberapa ibu siswa SD Kuripan (di wilayah pedalaman) dan SD Jobokuto (di wilayah pesisir), yang mereka maksudkan sebagai gulai ikan laut adalah masakan berkuah yang menggunakan santan, pedas dan berwarna merah karena cabe. Gulai ikan laut merupakan masakan yang kurang dikenal di masyarakat kedua wilayah. Namun mereka mengenal dengan baik masakan ikan laut berkuah santan, yaitu masakan mangut, yang umumnya menggunakan ikan Pari yang dipanggang ( pe panggang ), atau bisa juga

33 105 manyung pangang. Namun masakan mangut menggunakan cabe rawit utuh, sehingga kuah santan masakan tetap nampak putih. Masakan itu tidak mereka sebut sebagai masakan gulai ikan. Adapun masakan berkuah yang hampir setengah responden di kedua wilayah mengatakan mudah membuatnya adalah masakan ikan laut berkuah tanpa santan, seperti masakan pindang manyung atau pindang serani manyung. Masakan ini lebih populer di wilayah pesisir, karena diperlukan ikan manyung segar untuk membuatnya. Dari jawaban ibu terhadap ke enam cara pengolahan terlihat bahwa separuh lebih ibu di wilayah pesisir mengatakan mudah melakukan lima cara pengolahan, kecuali mengolah gulai ikan. Sementara di wilayah pedalaman hanya dua cara pengolahan (menggoreng dan memepes) yang dianggap mudah oleh lebih dari 50% ibu di wilayah pedalaman. Hal ini menunjukkan bahwa ragam cara pengolahan ikan laut lebih banyak dilakukan di wilayah pesisir. Faktor-faktor yang disebutkan di atas, persepsi ibu tentang ketersediaan ikan laut, kemudahan memperoleh berbagai produk dan harga terjangkau nampaknya telah membuat ibu di wilayah pesisir mempunyai peluang lebih besar untuk mengenal dan mengolah ikan laut dengan berbagai cara lebih baik dibandingkan dengan ibu di wilayah pedalaman. Diharapkan dengan banyaknya ragam cara pengolahan ikan laut akan mempermudah masyarakat mengakses masakan ikan laut. Tabel 40 Kategori persepsi ibu tentang kemudahan mengolah ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori skor persepsi Pesisir Pedalaman Total tentang kemudahan mengolah ikan laut n % n % n % Sulit (< 60) 37 32, , ,9 Cukup (60-79,9) 26 22, , ,4 Mudah ( 80) 52 45, , ,7 Total , , ,0 Rataan±SD 70,80±22,20 61,40±24,93 65,76±24,11 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada kategori skor persepsi tentang kemudahan mengolah ikan laut di kedua wilayah (p=0,002) Tabel 40 menunjukkan bahwa skor rata-rata persepsi kemudahan mengolah ikan laut adalah 66 yang berarti cukup mudah, namun hampir setengah jumlah responden, yaitu 41,9% menyatakan bahwa mengolah ikan laut sulit. Apabila dilihat per wilayah, terlihat keadaan yang berbeda. Yang menyatakan mudah mengolah di wilayah pesisir paling banyak, yaitu 45,2% dengan skor rata-rata=71, sedang di wilayah pedalaman paling banyak menjawah sulit yaitu 50,4% dengan skor rata-rata 61.

34 106 Hasil analisis statistik uji-t menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara persepsi ibu tentang kemudahan mengolah ikan laut di kedua wilayah (p=0,002). Responden ibu di wilayah pesisir mengganggap lebih mudah mengolah ikan laut daripada responden di wilayah pedalaman. Persepsi Ibu tentang Ikan Laut Hasil rata-rata skor persepsi responden di kedua wilayah menunjukkan persepsi responden tentang ikan laut termasuk cukup baik, yaitu 61,61 dimana skor persepsi responden di wilayah pedalaman lebih kecil daripada skor persepsi responden di wilayah pesisir (Tabel 41). Hasil analisis uji-t menunjukkan persepsi responden tentang ikan laut di kedua wilayah berbeda secara nyata (p=0,000) dan persepsi responden di wilayah pesisir lebih baik daripada persepsi responden di wilayah pedalaman. Mencermati kondisi responden di wilayah pesisir, ternyata masih terdapat 22,6% di antara mereka yang memiliki persepsi kurang baik tentang ikan laut, padahal hampir seluruh responden wilayah pesisir tinggal di kelurahan pesisir, yang berarti relatif telah biasa melihat ikan dalam bentuk segar. Kemungkinan hal ini disebabkan karena lebih dari separuh responden di wilayah pesisir (53,9%) memiliki persepsi kurang baik terhadap kemudahan mendapatkan produk ikan laut di tempat mereka beli (Tabel 38). Padahal lebih dari separuh responden di wilayah pesisir (52,2%) sering membeli ikan laut di TPI (Tabel 32). TPI merupakan lokasi pembelian ikan laut yang memiliki persediaan ikan segar paling banyak dibandingkan dengan lokasi-lokasi penjualan lainnya. Tabel 41 Kategori persepsi ibu tentang ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor persepsi Pesisir Pedalaman Total responden tentang ikan laut n % n % n % Kurang bagus(< 60) 26 22, , ,10 Cukup bagus (60-79,9) 58 50, , ,10 Bagus ( 80) 31 27, , ,70 Total , , ,0 Rataan±SD 69,10± 13,61 55,13± 17,88 61,61±17,47 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada kategori skor persepsi responden tentang ikan laut di kedua wilayah (p=0,000)

35 107 Sikap Ibu terhadap Ikan Laut Pembahasan sikap pada penelitian ini didekati dengan teori sikap model Tri-Komponen ABC dan Theory of Planned Behavior. Sikap ibu terdiri dari komponen kognitif yang diungkap melalui keyakinan ibu terhadap pengetahuan tentang gizi ikan laut dan komponen afektif yang diungkap melalui tingkat kesukaan terhadap ikan laut. Komponen konatif atau kecenderungan bertindak dikeluarkan dari peubah sikap menjadi peubah yang berdiri sendiri. Sikap Kognitif Ibu terhadap Ikan Laut Sikap kognitif ibu terhadap ikan laut ditunjukkan melalui pengetahuan tentang gizi pada ikan laut yang diyakininya dan ditanyakan melalui 9 pertanyaan (Tabel 42). Ada tiga pernyataan tentang ikan laut yang sebagian besar ibu, lebih dari 85% responden di kedua wilayah telah memahami dengan benar, yaitu bermanfaat bagi anak usia sekolah, banyak mengandung protein dan dapat mempengaruhi kecerdasan anak. Kebanyakan ibu, lebih dari 75%, lebih paham bahwa omega-3 dan DHA terdapat pada susu daripada terdapat pada ikan laut, yaitu oleh 50% responden. Dua orang ibu dari SD Demaan, Kecamatan Jepara mengatakan bahwa informasi tentang omega-3 yang terkandung pada susu sering mereka dengar dari iklan-iklan produk susu di televisi, sedangkan tentang ikan laut mengandung omega-3 didengar pada waktu pertemuan bulanan warga PKK. Tabel 42 Persentase sikap kognitif ibu terhadap ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Item-item sikap kognitif ibu Pesisir (%) Pedalaman (%) terhadap ikan laut Salah Betul Salah Betul Banyak protein Banyak omega-3 dan DHA Omega-3 & DHA ada di susu Tidak baik bagi bayi Tidak baik bagi ibu hamil Tidak baik bagi ibu menyusui Bermanfaat bagi anak usia sekolah Mencerdaskan anak Mencegah penyakit jantung dll Informasi ikan laut mengandung omega-3 jarang mereka dengar dari media-media lainnya. Adapun manfaat ikan laut yaitu baik bagi bayi dan mence-

36 108 gah penyakit-penyakit degeneratif nampaknya belum tersosialisasikan ke mereka. Bila diperbandingkan, tampaknya pengetahuan umum tentang ikan laut lebih banyak diketahui oleh responden di wilayah pesisir, namun pengetahuan yang lebih khusus seperti kandungan omega-3 dan DHA, manfaat bagi bayi, ibu hamil dan ibu menyusui, serta pencegahan penyakit degeneratif lebih banyak diketahui secara benar oleh ibu di wilayah pedalaman. Secara keseluruhan sikap kognitif ibu dapat dikatakan cukup baik (Tabel 43) dengan skor rata-rata adalah 69. Para ibu terbagi secara hampir merata di ketiga kategori penilaian, yaitu kurang (35,1%), cukup (31,5%) dan baik (35,5%), dimana skor rata-rata ibu di wilayah pedalaman lebih tinggi (70,93) daripada skor rata-rata ibu di wilayah pesisir (68). Namun hasil analisa statistik uji-t menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan pada sikap kognitif ibu di kedua wilayah (p=0,252). Bila dilihat korelasi antara sikap kognitif dan tingkat pendidikannya signifikan dan cukup kuat (r=0,485**), namun tingkat pendidikan ibu di wilayah pedalaman yang secara signifikan lebih tinggi tidak menyebabkan terjadinya perbedaan sikap kognitif ibu di kedua wilayah. Tabel 43 Kategori skor sikap kognitif ibu terhadap ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor sikap Pesisir Pedalaman Total kognitif ibu terhadap ikan laut n % n % n % Kurang (< 60) 47 40, , ,1 Cukup ( ) 33 28, , ,5 Baik ( 80) 35 30, , ,5 Total , , ,0 Rataan±SD 67,54±23,32 70,93±23,12 69,36±23,23 Keterangan: Tidak terdapat perbedaan nyata pada sikap kognitif ibu tentang ikan laut di kedua wilayah (p=0,118) Salah satu hal yang lebih dapat menjelaskan adalah persepsi ibu tentang ikan laut secara signifikan lebih baik di wilayah pesisir. Walaupun tingkat pendidikan ibu di wilayah pesisir lebih rendah namun karena memiliki persepsi tentang ikan laut yang lebih positif (Tabel 41) maka responden mampu menyeimbangkan keyakinannya akan pengetahuan tentang gizi pada ikan laut, sehingga sikap kognitif ibu di kedua wilayah tidak berbeda nyata.

37 109 Sikap Afektif Ibu terhadap Ikan Laut Sikap afektif ibu terhadap ikan laut diungkapkan melalui 9 pernyataan (Tabel 44). Berdasarkan jawaban yang diberikan, ibu di wilayah pesisir lebih banyak yang memiliki sikap afektif positif terhadap ikan laut dibandingkan dengan ibu di wilayah pedalaman. Jumlah responden di wilayah pesisir yang bersikap afektif positif terhadap delapan pertanyaan berkisar antara 66,09% hingga 81,74% dan di wilayah pedalaman berkisar antara 25,56% hingga 79,70%. Item yang menyatakan keberadaan tulang dan duri ikan laut mengganggu, direspon oleh 60% ibu di wilayah pesisir dan oleh 79,70% ibu di wilayah pedalaman. Tabel 44 Persentase sikap afektif ibu terhadap ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Item-item sikap afektif ibu terhadap ikan laut Pesisir (%) Pedalaman (%) Tidak Kurang Cukup Setuju Tidak Kurang Cukup Setuju Bau masakan ikan laut Membersihkan ikan laut Mengolah ikan laut Senang memasak ikan Suka menyediakan Dapat diolah berbagai cara Membuat makan lahap Duri ikan mengganggu Suka ikan laut sbg lauk Secara keseluruhan, 55,2% ibu di kedua wilayah memiliki sikap afektif positif terhadap ikan laut (Tabel 45) dan yang menyatakan kurang suka terhadap ikan laut sebanyak 19,4%. Hal ini menunjukkan tingkat kesukaan ibu terhadap ikan laut cukup tinggi, juga dapat dilihat dari skor rata-rata yang cukup tinggi (77,52). Bila diperbandingkan, jumlah ibu di wilayah pesisir jauh lebih banyak yang menyatakan suka pada ikan laut (71,3%) daripada di wilayah pedalaman (41,4%), sedang yang menyatakan kurang suka lebih banyak di wilayah pedalaman (27,1%) dibandingkan dengan di wilayah pesisir (10,4%). Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ikan laut cukup disukai ibu di kedua wilayah. Dari perbedaan skor di atas, hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa ada perbedaan nyata pada sikap afektif ibu terhadap ikan laut di kedua wilayah (p=0,000). Skor rata-rata kesukaan ibu di wilayah pesisir lebih tinggi yaitu 84, yang berarti sikap afektif ibu terhadap ikan laut di wilayah pesisir lebih positif

38 110 dibandingkan dengan sikap afektif ibu di wilayah pedalaman dengan skor ratarata kesukaan sebesar 72. Tabel 45 Kategori skor sikap afektif ibu terhadap ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor sikap afektif Pesisir Pedalaman Total ibu terhadap ikan laut n % n % n % Kurang (< 60) 12 10, , ,4 Cukup (60-79,9) 21 18, , ,4 Baik ( 80) 82 71, , ,2 Total , , ,0 Rataan ±SD 83,64±16,28 72,24±17,39 77,52±17,79 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata antara sikap afektif responden terhadap ikan laut di kedua wilayah (p=0,000) Sikap Ibu terhadap Ikan Laut Secara keseluruhan, sikap ibu di kedua wilayah terhadap ikan laut cukup positif (Tabel 46). Hal ini terlihat dari jumlah ibu yang masuk dalam kategori sikap cukup positif sebanyak 46,0% dan yang masuk dalam kategori positif sebanyak 34,70% dengan skor rata-rata 73. Bila diperbandingkan antar wilayah, jumlah ibu yang memiliki sikap positif lebih banyak di wilayah pesisir, sebaliknya yang memiliki sikap negatif lebih banyak di wilayah pedalaman dengan skor rata-rata yang lebih besar di wilayah pesisir. Hasil analisa statistik uji-t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada sikap ibu terhadap ikan laut di kedua wilayah (p=0,032). Walaupun sama-sama termasuk cukup positif, sikap ibu terhadap ikan laut di wilayah pesisir lebih positif dibandingkan dengan sikap ibu di wilayah pedalaman. Tabel 46 Kategori skor sikap ibu terhadap ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor sikap Pesisir Pedalaman Total ibu terhadap ikan laut n % n % n % Negatif (< 60) 16 13, , ,4 Cukup pos (60-79,9) 53 46, , ,0 Positif ( 80) 46 40, , ,7 Total , , ,0 Rataan±SD 75,55± 14,73 71,56± 15,42 73,41±15,20 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata antara skor sikap ibu terhadap ikan laut di kedua wilayah (p=0,032)

39 111 Posisi Ikan Laut di antara Bahan-bahan Pangan Lainnya Bahan-bahan pangan sebagai lauk-pauk di kedua wilayah yang dipergunakan dalam penelitian ini ada 9 macam, yaitu ikan laut, ikan darat, daging kambing, daging sapi/kerbau, daging babi, daging ayam, tahu, tempe dan telur. Ke sembilan bahan pangan tersebut dikenal secara baik di kedua wilayah. Dilihat dari kesukaan ibu menyediakan masakan lauk yang berasal dari bahan pangan tertentu (Tabel 47) secara keseluruhan menunjukkan bahwa bahan pangan yang paling disukai ibu adalah ikan laut sebanyak 40,4% responden, kemudian daging ayam sebanyak 33,5%. Sisanya terbagi di antara tujuh bahan pangan dengan kisaran jumlah ibu yang menyukai antara 0,8% hingga 8,6%. Daging ayam dan ikan laut juga menempati urutan teratas di masing-masing wilayah. Hanya saja perbedaannya terdapat pada urutan pilihan pertama. Pilihan pertama ibu di wilayah pesisir adalah ikan laut (61,9%), di wilayah pedalaman sebanyak 22,0%, sedang pilihan pertama responden di wilayah pedalaman adalah daging ayam sebanyak 40,2% dan di wilayah pesisir sebanyak 25,0%. Tabel 47 Peringkat pertama kesukaan ibu terhadap berbagai bahan pangan di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Jenis Bahan Pangan Pesisir Pedalaman Total n % n % n % Ikan laut Daging ayam Tempe Ikan darat Telur Daging sapi/ kerbau Tahu Daging kambing Daging babi Dari data terlihat bahwa bahan pangan yang disukai responden di wilayah pedalaman lebih bervariasi daripada di wilayah pesisir. Kesukaan ibu di wilayah pesisir didominasi oleh ikan laut dan daging ayam, yaitu sebanyak 87,6% responden, sehingga hanya 13,1% responden yang tersebar di tujuh bahan pangan lainnya. Jumlah ibu di wilayah pedalaman yang menyukai kedua bahan pangan tersebut hanya 62,2%, sehingga masih terdapat 35,8% responden yang tersebar di tujuh bahan pangan lainnya.

40 112 Kesediaan Ibu menyediakan Masakan Ikan Laut Data pada Tabel 48 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu di kedua wilayah suka menyediakan masakan ikan laut bagi keluarganya (93,5%). Yang jarang atau tidak pernah menyajikan masakan ikan laut bagi keluarga hanya 6,5% dan persentase terbesar berasal dari ibu di wilayah pedalaman (10,5%). Tabel 48 Frekuensi ibu menyediakan masakan ikan laut bagi keluarga di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Frekuensi penyediaan Pesisir Pedalaman Total masakan n % n % n % Sering 84 73, , ,8 Kadang-kadang 29 25, , ,8 Jarang/tidak pernah 2 1, ,5 16 6,5 Total , , ,0 Bila dilihat per wilayah, kebanyakan ibu di wilayah pesisir, yaitu 73,0% sering menyediakan masakan ikan laut, sebaliknya kebanyakan ibu di wilayah pedalaman, yaitu sebesar 65,4% kadang-kadang menyediakan masakan ikan laut bagi keluarganya. Adapun alasan yang paling banyak dikemukakan oleh ibu di kedua wilayah menyediakan masakan ikan laut untuk keluarganya (Tabel 35) adalah agar keluarga sehat (87,2%), karena disukai anak-anak (82,2%), kemudian agar anak cerdas (71,4%). Ketiga alasan tersebut juga menempati urutan atas di masing-masing wilayah, hanya saja responden di wilayah pesisir lebih banyak mengemukakan alasan disukai anak-anak daripada alasan keluarga sehat. Sebaliknya alasan agar anak cerdas lebih banyak dikemukakan oleh ibu di wilayah pedalaman. Melihat alasan agar keluarga sehat dan agar anak cerdas lebih banyak dikemukakan oleh ibu di wilayah pedalaman dan alasan disukai anak-anak lebih banyak dikemukakan oleh ibu di wilayah pesisir, kemungkinan jawaban ibu dipengaruhi oleh perbedaan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan ibu di wilayah pedalaman lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan ibu di wilayah pesisir, oleh karena itu mereka lebih memberikan perhatian pada alasan kesehatan dan kecerdasan anak daripada alasan kesukaan. Harga paling terjangkau juga merupakan alasan ibu menyediakan masakan ikan laut, yaitu sebanyak 58,3% dan bila dilihat per wilayah, alasan tersebut lebih banyak dikemukakan oleh ibu wilayah pesisir sebanyak 62,3% daripada ibu wilayah pedalaman, sebanyak 54,7%. Kondisi ini sejalan dengan

41 113 pendapatan per kapita keluarga di wilayah pesisir yang lebih rendah (Tabel 26), dimana pada umumnya keluarga dengan penghasilan per kapita lebih rendah memiliki kendala dalam harga pembelian sesuatu produk. Ibu yang kurang atau tidak menyukai ikan laut memberikan berbagai alasan untuk jarang atau tidak pernah menyediakan masakan ikan laut bagi keluarganya (Tabel 35). Alasan yang paling banyak dikemukakan ibu adalah rasa takut bila anaknya tertelan duri ikan laut (5%), kemudian kesulitan menyiangi ikan laut (4%). Bila diperbandingkan antar wilayah, sebagian besar yang menyampaikan keluhan adalah ibu dari wilayah pedalaman, sebanyak 3 12 orang dan yang terbanyak adalah alasan takut anak tertelan duri ikan laut (9%). Namun sebenarnya alasan takut anak tertelan duri ikan laut juga disampaikan oleh 15% ibu yang menyatakan sering atau kadang-kadang menyediakan masakan ikan laut, dan 9% ibu juga menyatakan tidak tahan dengan bau anyirnya. Tampaknya alasan duri ikan laut dan bau anyir merupakan faktor yang benar-benar menghambat para ibu menyediakan masakan ikan laut bagi keluarganya. Artinya penanganan duri ikan laut dan bau anyir merupakan hal yang perlu mendapatkan perhatian serius bagi pihak-pihak yang ingin mensosialisasikan kegemaran makan ikan laut ke masyarakat. Kesukaan Ibu terhadap Ikan Laut Kesukaan ibu terhadap ikan laut dilihat dari kesukaannya terhadap jenis ikan, produk dan jenis masakan ikan laut. Jenis Ikan Laut yang Ibu Sukai Ada 12 jenis ikan laut yang dikenal di kedua wilayah, yaitu ikan Kembung/ Banyar, ikan Tongkol, ikan Tenggiri, ikan Kerapu, ikan Teri, ikan Layur, ikan Pari, ikan Manyung, ikan Petek, ikan Cucut, ikan Bambangan dan ikan Tambang/Juwi. Responden diminta untuk mengurutkan kesukaannya dari peringkat pertama hingga peringkat ke duabelas. Ada 5 dari 12 jenis ikan laut (Tabel 49) yang mendapat respon sebagai peringkat pertama di atas 10%, yaitu ikan Kembung/ Banyar, ikan Tongkol, ikan Tenggiri, ikan Kerapu dan ikan Teri dimana ikan Kembung/Banyar mendapat respon terbanyak, yaitu 24%. Ikan Kembung (Rastrelliger brachysoma) berbeda dengan ikan Banyar (Rastrelliger kanagurta). Ibu di wilayah pesisir mengenal keduanya dan lebih menyukai ikan banyar daripada ikan kembung, karena dagingnya lebih banyak dan rasanya lebih enak. Namun di wilayah pedalaman banyak yang tidak mengenal perbedaannya dan

42 114 menganggapnya sama. Bila dilihat per wilayah, tiga jenis ikan yang mendapat respon sebagai peringkat pertama terbesar adalah ikan Kembung/Banyar, ikan Kerapu dan ikan Tengiri untuk wilayah pesisir dan ikan Tongkol, ikan Kembung/Banyar serta ikan Teri untuk wilayah pedalaman. Ikan Kerapu termasuk ikan yang populer di wilayah pesisir, terutama di kalangan anak nelayan, karena mereka dapat mengonsumsinya dari hasil tangkapan orangtuanya. Ikan Kerapu termasuk ikan mahal, walaupun di wilayah pesisir. Dibandingkan dengan ikan Kembung, harga ikan Kerapu di wilayah pesisir dapat mencapai 2,5 kalinya, yaitu 1 kg ikan Kembung berkisar antara Rp Rp dan 1 kg ikan Kerapu berkisar antara Rp Rp pada bulan April Sedang di wilayah pedalaman, ikan Kerapu hanya tersedia di restoran-restoran tertentu. Tabel 49 Jenis ikan laut yang disukai ibu untuk peringkat pertama (n=232*) Jenis ikan laut Pesisir Pedalaman Total n % n % n % Kembung/ Banyar Tongkol Tenggiri Kerapu Teri Layur Pari Manyung Petek Cucut Bambangan Tambang/ Juwi Total Keterangan: * Jumlah responden yang menyatakan kadang-kadang hingga sering menyediakan menyediakan masakan laut Produk Ikan Laut yang Ibu Sukai Produk-produk ikan laut yang tersedia di kedua wilayah dan yang ditanyakan ke ibu tentang kesukaannya adalah produk ikan laut segar, ikan pindang, ikan panggang (asap), ikan asin dan ikan kaleng (Tabel 50). Sebagai peringkat pertama, lebih dari separuh responden (66,8%) menyukai ikan laut segar. Demikian juga terjadi di masing-masing wilayah (70,8% di wilayah pesisir dan 63,0% di wilayah pedalaman). Sedang kesukaan responden terhadap produk-produk lainnya berkisar dari 0% hingga 12,4%. Ikan kaleng adalah

43 115 produk ikan laut yang walaupun tersedia di wilayah pesisir, namun tak seorang ibupun di wilayah pesisir memilihnya sebagai bahan pangan peringkat pertama. Tabel 50 Produk ikan laut yang ibu sukai sebagai peringkat pertama di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=232*) Produk ikan laut yang Pesisir Pedalaman Total disukai n % n % n % Ikan basah / segar Ikan asap / panggang Ikan pindang Ikan asin Ikan kaleng Total Keterangan: * Jumlah ibu yang menyatakan kadang-kadang hingga sering menyediakan masakan ikan laut di rumah Jenis Masakan Ikan Laut yang Ibu Sukai Jenis masakan ikan laut yang terdapat di kedua wilayah adalah ikan laut goreng, bakar, pepes dan gulai (Tabel 51). Jenis masakan yang paling banyak ibu sukai di kedua wilayah adalah ikan goreng (75,1%) dan yang paling sedikit disukai adalah gulai ikan (3,1%). Kondisi tersebut juga berlaku di masing-masing wilayah. Kemungkinan kesukaan ibu dipengaruhi oleh pengenalannya pada masakan tersebut. Gulai ikan yang dimaksud oleh ibu di kedua wilayah adalah masakan ikan bersantan, berwarna merah karena menggunakan cabe merah dan kunir. Masakan gulai ikan jarang dikenal para ibu di kedua wilayah. Sebaliknya mereka sangat mengenal masakan ikan bersantan dengan cabe rawit, berwarna putih santan, yang dikenal dengan sebutan mangut. Dengan pengenalan yang kurang, dimungkinkan masakan gulai ikan laut hanya disukai oleh sedikit responden (3,1%). Tabel 51 Jenis masakan ikan laut yang ibu sukai sebagai urutan pertama di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Urutan jenis masakan Pesisir Pedalaman Total ikan laut yang disukai ibu N % n % n % Ikan laut digoreng 85 76, , ,1 Ikan laut dibakar 13 11, , ,4 Ikan laut dipepes 10 9, , ,9 Ikan laut digulai 3 2,7 4 3,4 7 3,1

44 116 Ketidakpercayaan Ibu terhadap Mitos Makan Ikan Laut Mitos tentang makan ikan laut merupakan kepercayaan seseorang yang tidak mendasar terhadap makan ikan laut. Kepercayaan tersebut diperoleh dari kepercayaan yang berlaku di masyarakat sekitarnya yang kemudian diangkat menjadi kepercayaannya sendiri. Ketidakpercayaan terhadap mitos tentang makan ikan laut ditanyakan melalui delapan pertanyaan yang dikumpulkan dari halhal yang masih dipercaya di kalangan masyarakat di kedua wilayah tentang dampak buruk makan ikan laut. Mereka yang mempercayai mitos tersebut akan menghindar dari makan ikan laut. Secara keseluruhan (Tabel 52), hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 70% ibu tidak percaya pada enam dari delapan mitos tentang makan ikan laut dengan kisaran skor rata-rata 74,78% - 84,96%. Lima mitos di antaranya berkaitan dengan ibu hamil, yang terlihat sejalan dengan sikap kognitif ibu tentang dampak ikan laut bagi ibu hamil. Terdapat 67,83% ibu di wilayah pesisir dan 71,43% ibu di wilayah pedalaman yang mengetahui bahwa ikan laut baik bagi ibu hamil. Jumlah ibu yang agak percaya dan percaya bahwa Bila ibu menyusui makan ikan laut, ASI-nya akan berbau anyir cukup tinggi (59,13% di wilayah pesisir dan 50,38% di wilayah pedalaman). Hal ini juga sejalan dengan salah satu item pada pengukuran sikap kognitif ibu yaitu Makan ikan laut tidak baik bagi ibu menyusui, terdapat 45,22% ibu di wilayah pesisir dan 36,09% di wilayah pedalaman yang menjawab salah (Tabel 42). Tabel 52 Persentase ketidakpercayaan ibu terhadap mitos makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Mitos yang dipercaya tentang makan ikan laut Pesisir (%) Pedalaman (%) Percaya Agak Tidak Percaya Agak Tidak Ibu hamil melahirkan bayi bau anyir Ibu hamil melahirkan bayi berpenyakit gatal Ibu hamil melahirkan bayi yg tidak bertulang Ibu hamil makan ikan asin, bayi bernyakit kulit Ibu hamil melahirkan bayi yang bodoh Anak kecil terkena penyakit kulit ("gudigen") Gadis sedang haid, bau keringatnya anyir Bagi ibu menyusui, ASI akan anyir Data pada Tabel 52 menunjukkan adanya ketidakpercayaan ibu terhadap mitos-mitos yang berlaku di masyarakatnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh beberapa ibu bahwa para orangtua mereka masih mempercayai mitos-mitos

45 117 tersebut. Namun generasi ibu sudah jarang mempercayainya, karena dari pengalaman mereka atau melihat kejadian yang membuktikan bahwa jarang terjadi pengaruh buruk akibat makan ikan laut. Berkaitan dengan ketidakpercayaan terhadap mitos makan ikan laut, secara keseluruhan diperoleh skor rata-rata di kedua wilayah sebesar 76 (Tabel 53) yang berarti tingkat ketidakpercayaan ibu terhadap mitos tentang makan ikan laut cukup tinggi. Terdapat 61,3% ibu yang tidak mempercayai mitos tentang makan ikan laut dan hanya 21,4% yang percaya. Tabel 53 Kategori skor ketidakpercayaan ibu terhadap mitos tentang makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor Pesisir Pedalaman Total ketidakpercayaan thd mitos makan ikan laut n % n % n % Percaya (< 60) 26 22, , ,4 Agak tidak percaya (60-79,9) 18 15, , ,3 Tidak percaya ( 80) 71 61, , ,3 Total , , ,0 Rataan±SD 75,87±27,64 76,64±28,66 76,29±28,14 Keterangan: Tidak terdapat perbedaan nyata dalam hal ketidakpercayaan ibu terhadap mitos tentang makan ikan laut di kedua wilayah (p=0,829) Hasil analisis statistik uji-t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan dalam hal ketidakpercayaan ibu terhadap mitos tentang makan ikan laut di kedua wilayah (p=0,829). Hal ini menunjukkan bahwa ibu di kedua wilayah cukup mampu mengabaikan mitos-mitos tentang makan ikan laut. Tingkat pendidikan ibu di kedua wilayah yang secara signifikan berbeda, tidak membuat adanya perbedaan ketidakpercayaan ibu terhadap mitos makan ikan laut. Tampaknya sikap kognitif ibu yang cukup baik dan tidak berbeda di kedua wilayah lebih menentukan ketidakpercayaan ibu terhadap mitos makan ikan laut yang berlaku di masyarakat daripada tingkat pendidikan ibu. Pola Asuh Makan dalam Keluarga Pola asuh makan dalam keluarga ditanyakan melalui Pola makan keluarga dan Peraturan makan keluarga. Keduanya ditanyakan kepada anak dan ibu secara terpisah untuk mendapatkan persepsi masing-masing terhadap pola asuh makan dalam keluarga. Pola makan keluarga dinilai baik bila ada kebiasaan kegiatan makan di dalam keluarga yang dilakukan orangtua yang

46 118 dapat memberikan pengaruh baik bagi anak-anaknya. Orangtua mempengaruhi lingkungan makan anak-anaknya melalui berbagai cara, seperti penyediaan makanan, menjadi model perilaku makan, interaksi orangtua dengan anakanaknya dalam situasi makan (Birch & Fisher 1998) dan melalui aturan yang diberlakukan pada saat makan, perhatian orangtua pada konsumsi gizi, pola makan keluarga (Neumark-Sztainer et al. 1999). Hasil studi Neumark-Sztainer et al. (2000) terhadap para remaja awal yang menggunakan focus group-discussion menemukan bahwa sebagian besar remaja mengindikasikan bahwa mereka makan makanan sehat bila mereka lebih sering makan bersama keluarganya. Studi Neumark-Sztainer et al. (2003) lainnya mengenai pola makan keluarga menemukan bahwa frekuensi kegiatan makan bersama dalam keluarga berpengaruh terhadap mutu konsumsi seperti buah, sayur, serat dan makanan kaya kalsium dan asupan zat gizi seperti energy, protein, vitamin, serat dan kalsium. Anak-anak yang sering makan bersama keluarga dilaporkan memiliki konsumsi pangan yang lebih sehat. Lebih khususnya Gilman et al. (2000) menemukan adanya hubungan positif antara seringnya makan malam bersama dalam keluarga dengan asupan gizi anak usia 9-14 tahun, walaupun generalisasi hasil penelitiannya dibatasi karena semua subyeknya adalah anak-anak dari keluarga perawat profesional. Melalui pola makan keluarga yang baik, orangtua dapat menjadi panutan pada perilaku makan anak-anaknya. Peraturan makan dalam keluarga dinilai baik bila peraturan yang diberlakukan membuat anak dapat bebas menyatakan keinginan yang berkaitan dengan makan. Peraturan makan yang harus dipatuhi anak-anak seperti memaksa anak menghabiskan makanan, menyuruh makan makanan sehat menurut orangtua atau membatasi anak mengonsumsi makanan tertentu justru akan membuat anak tidak mau mengonsumsi makanan yang disuruh dan sebaliknya memperbesar keinginan anak untuk mengonsumsi makanan yang dilarang. Dalam hal ini anak tidak dapat belajar mengontrol perilaku makannya sendiri (Birch 1998). Persepsi Anak terhadap Pola Makan Keluarga Pola makan keluarga dilihat dari frekuensi sarapan, makan siang dan makan malam bersama seluruh anggota keluarga, perhatian orangtua terhadap makanan anaknya dan penyediaan makanan kesukaan keluarga. Tabel 54 menunjukkan bahwa kegiatan makan bersama di dalam keluarga merupakan ke-

47 119 giatan yang tidak sering dilakukan. Di kedua wilayah, anak yang sering melakukan kegiatan makan bersama keluarga (pagi, siang dan malam) hanya berkisar 10,43% hingga 26,32%. Kebanyakan mengatakan bahwa kegiatan makan bersama di dalam keluarga dilakukan sekali-sekali. Anak yang orangtuanya nelayan atau penjual ikan jarang melakukan kegiatan makan pagi bersama, karena pada umumnya pada saat anak makan pagi, orangtua sudah keluar dari rumah. Dua item lainnya, orangtua memperhatikan makanan anaknya dan ibu menyediakan masakan yang disukai keluarga lebih sering dirasakan anak di wilayah pesisir. Setengah lebih anak wilayah pesisir, yaitu 51,30% merasakan bahwa orangtua memperhatikan makanannya dan ibu sering menyediakan masakan yang disukai keluarga, yaitu sebesar 60%, sedangkan jumlah anak di wilayah pedalaman yang merasakan kedua hal tersebut lebih sedikit, yaitu 43,61% dan 45,11%. Tabel 54 Persentase persepsi anak tentang pola makan keluarga di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Item-item pola makan keluarga, persepsi anak Pesisir (%) Pedalaman (%) Jarang Kadang2 Sering Jarang Kadang2 Sering Sarapan pagi bersama Makan siang bersama Makan malam bersama Orangtua memperhatikan makanan anak Ibu sediakan masakan kesukaan keluarga Secara keseluruhan, 46,4% anak menilai pola makan keluarga mereka kurang bagus (Tabel 55). Bila diperbandingkan, jumlah anak yang merasakan pola makan keluarga cukup bagus dan bagus sedikit lebih banyak di wilayah pesisir daripada di wilayah pedalaman. Namun hasil analisis uji-t menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan pada pola makan keluarga menurut persepsi anak di kedua wilayah (p=0,208) dengan skor rata-rata termasuk kategori kurang bagus yaitu sebesar 57. Hal ini menunjukkan bahwa menurut anak, kebiasaan makan di dalam keluarga seperti makan bersama, perhatian orangtua terhadap apa yang dimakan anak dan penyediaan masakan yang disukai keluarga menunjukkan pola yang tidak berbeda di kedua wilayah.

48 120 Dalam penelitian ini, persepsi anak tentang pola makan keluarga yang kurang bagus ini bisa mengakibatkan kurangnya pengaruh orangtua, dalam hal ini ibu, pada sikap dan perilaku makan anak. Tabel 55 Kategori skor persepsi anak tentang pola makan keluarga di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori skor pola makan Pesisir Pedalaman Total keluarga, persepsi anak n % n % n % Kurang bagus (< 60) 48 41, , ,4 Cukup bagus (60-79,9) 48 41, , ,3 Bagus ( 80) 19 16, , ,3 Total , , ,0 Rataan±SD 59,04+17,17 55,26+18,89 57,02+18,18 Keterangan: Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada pola makan keluarga di kedua wilayah (p=0,208) Komponen kedua dari pola asuh makan dalam keluarga adalah peraturan makan keluarga (Tabel 56) yang dilihat dari tiga pernyataan, yaitu pemaksaan orangtua ke anak untuk makan makanan yang menurutnya sehat, suruhan orangtua ke anak untuk menghabiskan makanan yang telah diambil, dan marahnya orangtua kalau anak tidak menghabiskan makanan yang telah diambil. Tabel 56 Persentase persepsi anak tentang peraturan makan dalam keluarga di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Peraturan makan keluarga, persepsi anak Pesisir (%) Pedalaman (%) Jarang Kadang2 Sering Jarang Kadang2 Sering Orangtua memaksa makan Orangtua menyuruh menghabiskan makanan Orangtua marah kalau tidak dihabiskan Secara keseluruhan ada kecenderungan orangtua di kedua wilayah memaksa anak makan makanan yang menurutnya sehat, orangtua cenderung jarang menyuruh anak menghabiskan makanan yang telah diambilnya dan bila anak tidak menghabiskan makanan yang telah diambilnya, orangtua kadangkadang marah. Tabel 57 menunjukkan bahwa 71,4% anak termasuk ke dalam keluarga dengan peraturan makan yang kurang bagus. Hanya sedikit yang termasuk ke dalam keluarga dengan peraturan makan keluarga yang bagus (10,9%). Skor rata-rata di kedua wilayah termasuk kategori kurang bagus (46) dan keadaan tersebut juga terjadi di masing-masing wilayah.

49 121 Tabel 57 Kategori skor persepsi anak terhadap peraturan makan keluarga di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori skor peraturan Pesisir Pedalaman Total makan, persepsi anak N % n % n % Kurang bagus (< 60) 73 63, , ,4 Cukup bagus (60-79,9) 22 19, , ,7 Bagus ( 80) 20 17,4 7 5, ,9 Total , , ,0 Rataan±SD 50,29+24,97 41,86+20,58 45,77+23,06 Keterangan: Terdapat perbedaan yang nyata pada kategori persepsi anak terhadap peraturan makan keluarga di kedua wilayah (p=0.005) Namun hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada persepsi anak terhadap peraturan makan keluarga di kedua wilayah, berarti walaupun peraturan makan keluarga yang anak rasakan di kedua wilayah termasuk dalam kategori kurang bagus, orangtua di wilayah pesisir lebih memberi ruang bagi anak untuk bisa menyatakan perilaku makannya dan hql ini berarti adanya peluang orangtua mempengaruhi anaknya, khususnya dalam kegiatan makan (Birch 1998). Persepsi Ibu terhadap Pola Asuh Makan dalam Keluarga Bila dilihat masing-masing kegiatan pada pola makan keluarga, lebih banyak ibu yang menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang dimaksud pada pola makan keluarga sering terjadi di keluarga dibandingkan dengan yang anak rasakan. Jumlah responden yang menyatakan bahwa kegiatan jarang dilakukan relatif sama antara ibu dan anak, sehingga sejumlah yang bergeser adalah dari kadang-kadang melakukan menjadi sering melakukan (Tabel 58). Tabel 58 Persentase persepsi ibu tentang pola makan keluarga di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Pola makan Pesisir (%) Pedalaman (%) keluarga, persepsi ibu Jarang Kadang2 Sering Jarang Kadang2 Sering Sarapan bersama Mkn siang bersama Mkn mlm bersama Perhatian ortu Sedia masakan kesukaan keluarga Makanan keluarga dimasak sendiri Orangtua ijinkan anak jajan di luar

50 122 Menurut ibu, diantara kegiatan makan bersama, kegiatan makan malam yang paling sering dilakukan yaitu oleh 41% keluarga wilayah pesisir dan 57% keluarga wilayah pedalaman. Orangtua sering memberi perhatian terhadap makanan yang dimakan anaknya dan menyediakan makanan kesukaan keluarga sebanyak lebih dari 65%, dan kadang-kadang anak diijinkan jajan di luar bila anak tidak suka dengan masakan rumah, sebesar 60%. Secara keseluruhan (Tabel 59), skor rata-rata persepsi ibu tentang pola makan keluarga adalah 71, yang berarti persepsi ibu tentang pola makan keluarga termasuk ke dalam kategori cukup bagus. Menurut ibu, orangtua telah memberikan pengaruh yang cukup bagus kepada anak-anaknya terutama dalam hal yang berkaitan dengan perilaku makan. Hasil analisis uji-t menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada persepsi ibu tentang pola makan keluarga di kedua wilayah (p=0,208). Perbedaan yang terjadi pada persepsi ibu dan persepsi anak tentang pola makan keluarga adalah persepsi ibu termasuk dalam kategori cukup bagus, sedang persepsi anak tentang pola makan keluarga termasuk kurang bagus. Tabel 59 Kategori skor persepsi ibu tentang pola makan keluarga di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor pola makan Pesisir Pedalaman Total keluarga, persepsi ibu n % n % n % Kurang bagus (< 60) 37 32, , ,6 Cukup bagus ( ) 45 39, , ,3 Bagus ( 80) 33 28, , ,0 Total , , ,0 Rataan±SD 68,82±19,42 73,47±15,04 71,31±17,33 Keterangan: Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada persepsi ibu tentang pola makan keluarga di kedua wilayah (p=0,132) Secara proporsional ada persamaan persepsi ibu dan anak berkaitan dengan pola makan keluarga (Tabel 60). Persepsi ibu dan persepsi anak tentang pola makan keluarga di kedua wilayah tidak berbeda nyata. Korelasi kedua peubah, pola makan keluarga menurut ibu dan anak adalah signifikan, positif dan agak kuat (r=0,261**), hanya saja rata-rata persepsi mereka berbeda kategori, persepsi ibu tentang pola makan keluarga termasuk cukup bagus, sedang persepsi anak termasuk kurang bagus. Perbedaan persepsi anak dan ibu yang terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan harapan terhadap masing-masing kegiatan dari anak dan ibu. Anak dengan keleluasaan waktu yang dimiliki, belum banyak tuntutan dan tanggung

51 123 jawab, dan orangtua masih merupakan figur yang berpengaruh dalam kehidupannya. Anak memiliki harapan yang tinggi terhadap kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan keluarga, seperti makan malam bersama. Dengan harapan yang tinggi, anak berharap kegiatan makan keluarga dapat dilakukan lebih sering. Sebaliknya seorang ibu, memiliki tanggung jawab yang lebih besar baik kepada anggota keluarga maupun dirinya, sehingga merasa kurang memiliki keleluasaan waktu. Dengan keterbatasan yang dimiliki, kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan untuk keluarga dianggap telah sering dilakukan, demikian juga kegiatan makan bersama. Tabel 60 Perbandingan pola makan keluarga menurut persepsi anak dan persepsi ibu di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori skor Pesisir Pdlman Total Pesisir Pdlman Total pola makan keluarga ANAK* (%) IBU** (%) Kurang bagus (< 60) 41,7 50,4 46,4 32,2 21,8 26,6 Cukup bagus (60-79,9) 41,7 35,3 38,3 39,1 45,1 42,3 Bagus ( 80) 16,5 14,3 15,3 28,7 33,1 31,0 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Rataan±SD 59,04+17,17 55,26+18,89 57,02+18,18 68,82±19,42 73,47±15,04 71,31±17,33 Keterangan: * Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada pola makan keluarga di kedua wilayah menurut persepsi anak (p=0,208) **Tidak terdapat perbedaan nyata pada pola makan keluarga di kedua wilayah menurut persepsi ibu (p=0,132) Komponen kedua dari pola asuh makan keluarga adalah peraturan makan dalam keluarga. Tampak ada kesesuaian persepsi ibu tentang peraturan makan keluarga di kedua wilayah (Tabel 61). Lebih dari 50% ibu mengatakan bahwa orangtua jarang memaksa anak makan makanan yang menurut orangtua termasuk makanan sehat, jarang menyuruh anak menghabiskan makanan yang telah mereka ambil dan hanya kadang-kadang marah bila anak tidak menghabiskan makanan yang telah diambilnya. Tabel 61 Persentase persepsi ibu tentang peraturan makan keluarga di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Peraturan makan keluarga, persepsi ibu Pesisir (%) Pedalaman (%) Jarang Kadang2 Sering Jarang Kadang2 Sering Orangtua memaksa makan Orangtua menyuruh menghabiskan makanan Orangtua marah kalau tidak dihabiskan Dilihat dari hasil skor rata-rata sebesar 34 (Tabel 62), persepsi ibu tentang peraturan makan dalam keluarga termasuk dalam kategori kurang

52 124 bagus. Hal ini dapat dilihat bahwa persepsi dari 82% responden tentang peraturan makan yang diberlakukan di keluarga memberikan efek kurang bagus bagi anggota keluarga. Keadaan serupa terjadi di masing-masing wilayah. Peraturan makan yang diterapkan orangtua dinilai kurang memberi kelonggaran pada anak untuk menyatakan keinginannya berkaitan dengan kegiatan makan, akibatnya anak tidak dapat mengontrol, menentukan perilaku makannya sendiri (Birch 1998). Hasil analisis statistik yang menggunakan uji-t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara persepsi ibu tentang peraturan makan dalam keluarga di kedua wilayah (p=0,373). Hal ini berbeda dengan persepsi anak tentang hal yang sama, dimana persepsi anak tentang peraturan makan dalam keluarga di kedua wilayah berbeda secara signifikan (p=0,005). dilihat dari korelasi antara persepsi anak dan persepsi ibu tentang peraturan makan keluarga menunjukkan adanya hubungan nyata, positif dan cukup kuat (r=0,252**). Keadaan ini menunjukkan walaupun persepsi anak di kedua wilayah berbeda sedang persepsi ibu di kedua wilayah tidak berbeda nyata, namun terdapat cukup kesesuaian antara persepsi anak dan persepsi ibu di kedua wilayah tentang peraturan makan dalam keluarga. Tabel 62 Perbandingan peraturan makan dalam keluarga menurut persepsi ibu dan persepsi anak di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori skor Pesisir Pdlmn Total Pesisir Pdlmn Total peraturan makan keluarga IBU* (%) ANAK** (%) Kurang bagus (< 60) 80,0 84,2 82,3 63,5 78,2 71,4 Cukup bagus (60-79,9) 10,4 9,0 9,7 19,1 16,5 17,7 Bagus ( 80) 9,6 6,8 8,1 17,4 5,3 10,9 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Rataan±SD 36,09±28,44 31,58±26,93 33,67±27,67 50,29+ 24,97 41,86+20,58 45,77+23,06 Keterangan: *Tidak terdapat perbedaan nyata pada persepsi ibu tentang peraturan makan keluarga di kedua wilayah (p=0,373) ** Terdapat perbedaan nyata pada persepsi anak tentang peraturan makan keluarga di kedua wilayah (p=0,005) Bila Dilihat dari perbandingan antara persepsi anak dan persepsi ibu dalam hal pola makan keluarga dan peraturan makan dalam keluarga, yang mana pada keduanya terdapat cukup kesesuaian maka dalam penggunaan analisis selanjutnya yang memerlukan peubah pola makan keluarga dan peubah peraturan makan dalam keluarga digunakan dari persepsi anak.

53 125 Karakteristik Anak Beberapa karakteristik anak yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah usia, sikap terhadap makan ikan laut, norma subyektif yang dirasakan, kontrol perilaku yang dirasakan, kecenderungan anak makan ikan laut, dan perilaku anak makan ikan laut. Sikap Anak terhadap Makan Ikan Laut Sebagaimana sikap ibu yang terdiri atas dua komponen kognitif dan afektif, maka sikap anak terhadap makan ikan laut juga terdiri atas dua komponen tersebut. Komponen kognitif diungkap melalui pengetahuan tentang manfaat makan ikan laut dan komponen afektif yang diungkap melalui tingkat kesukaan terhadap makan ikan laut. Sikap Kognitif Anak terhadap Makan Ikan Laut Data pada Tabel 63 menunjukkan bahwa sebagian besar anak di kedua wilayah, yaitu lebih dari 88% mengetahui bahwa makan ikan laut itu bermanfaat, menyehatkan dan bergizi. Sementara dua hal lainnya dijawab benar hanya oleh kurang dari 50% responden, yaitu menyebabkan kulit gatal-gatal dan membuat cerdas. Bila diperbandingkan di kedua wilayah, terlihat bahwa jumlah anak di wilayah pesisir lebih banyak yang dapat menjawab dengan benar hal-hal yang berkaitan dengan makan ikan laut, yaitu berkisar 59-96% dibandingkan dengan anak di wilayah pedalaman, yaitu berkisar 26-89%. Ketersediaan ikan yang lebih banyak di wilayah pesisir dan peluang yang lebih besar untuk memiliki pengalaman makan ikan laut memungkinkan anak di wilayah pesisir lebih mengenal atau lebih memiliki informasi tentang ikan laut. Dengan demikian lebih memungkinkan anak menjawab dengan benar hal-hal yang berkaitan dengan ikan laut. Keadaan tersebut juga dapat diartikan bahwa anak di wilayah pesisir jarang melihat atau mengalami gatal-gatal pada kulit karena makan ikan laut, sebaliknya anak di wilayah pedalaman lebih sering melihat atau mengalaminya. Ada kemungkinan perbedaan pengalaman di atas berkaitan dengan tingkat kesegaran ikan yang dimakan akibat perbedaan geografis kedua wilayah. Anak di wilayah pesisir relatif dapat mengonsumsi ikan laut yang lebih segar dibandingkan dengan anak di wilayah pedalaman. Menurut Zakaria et al. (1992),

54 126 ikan laut yang tidak segar mengalami peningkatan histamin yang dapat memicu terjadinya gejala seperti alergi, sehingga menimbulkan gatal-gatal di kulit. Tabel 63 Persentase sikap kognitif anak terhadap makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Sikap kognitif thd Pesisir (%) Pedalaman (%) Total (%) makan ikan laut Betul Salah Betul Salah Betul Salah Berguna/ bermanfaat 92,17 7,82 89,47 10,52 90,7 9,3 Menyehatkan 94,78 5,21 85,71 14,28 89,9 10,1 Bergizi 95,65 4,34 81,95 18,04 88,3 11,7 Membuat kulit gatal 68,69 31,30 25,56 74,43 45,6 54,4 Membuat cerdas 59,13 40,86 30,82 69,17 44,0 5,6 Hasil analisis uji-t (Tabel 64) menunjukkan bahwa 62,5% anak memiliki sikap kognitif yang baik terhadap makan ikan laut dan yang kurang baik sebanyak 18,1%. Keadaan ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan sikap kognitif anak terhadap makan ikan laut cukup baik. Bila diperbandingkan antar wilayah terlihat sekali perbedaannya, skor rata-rata sikap kognitif anak di wilayah pesisir termasuk kategori bagus (82) sedang di wilayah pedalaman termasuk cukup bagus (64). Tabel 64 Kategori skor sikap kognitif anak terhadap makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor sikap Pesisir Pedalaman Total kognitif n % n % n % Kurang (< 60) 5 4, , ,1 Cukup (60-79,9) 19 16, , ,4 Bagus ( 80) 91 79, , ,5 Total , , ,0 Rataan±SD 82, ,76+25,24 72,26+23,97 Keterangan: Terdapat perbedaan yang nyata antara sikap kognitif anak terhadap makan ikan laut di kedua wilayah (p=0,000) Perbedaan menjadi lebih jelas setelah dianalisis dengan uji-t yang menunjukkan adanya perbedaan nyata pada sikap kognitif anak di kedua wilayah (p=0,000). Sikap kognitif anak di wilayah pesisir lebih baik. Tinggal di wilayah pesisir memungkinkan responden dapat mengenal ikan laut lebih banyak dan lebih luas, demikian pula interaksi dan pengalamannya dengan ikan laut. Pengenalan, interaksi dan pengalaman dengan ikan laut yang lebih banyak dan luas dari responden dengan pendidikan kelas 5 dan kelas 6 SD di wilayah pesisir memungkinkan responden lebih mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan makan ikan laut. Sikap kognitif responden anak di kedua wilayah

55 127 ternyata berbeda dengan sikap kognitif ibu. Sikap kognitif anak berbeda nyata (p=0,000), sedang sikap kognitif ibu tidak berbeda nyata di kedua wilayah (p=0,118). Sikap kognitif seseorang merupakan keyakinannya terhadap pengetahuan yang dimiliki tentang obyek sikap. Pengetahuan yang dimiliki dapat berasal dari pengalaman langsung dan tidak langsung serta pendidikan. Wilayah pesisir menyediakan ikan lebih banyak jumlah dan variasinya, yang membuat anak-anak wilayah pesisir memiliki pengenalan dan pengalaman dengan ikan laut lebih banyak daripada anak di wilayah pedalaman. Namun dengan meningkatnya pendidikan seseorang, pengetahuan tentang ikan laut dapat juga meningkat, sebagaimana yang terjadi pada sikap kognitif ibu. Wilayah pesisir, yang berarti ketersediaan ikan lebih banyak, membantu ibu di wilayah pesisir yang tingkat pendidikannya lebih rendah untuk dapat menyeimbangkan sikap kognitifnya sehingga tidak berbeda nyata dengan sikap kognitif ibu di wilayah pedalaman yang tingkat pendidikan ibu lebih tinggi. Sikap Afektif Anak terhadap Makan Ikan Laut Komponen kedua dari sikap anak terhadap makan ikan laut adalah komponen afektif, kesukaan anak terhadap makan ikan laut yang dilihat dari bau dan rasanya, duri ikan, ikan laut sebagai lauk dan kemauan membantu masak ikan laut. Lebih dari setengah responden (Tabel 65) di masing-masing wilayah mempunyai sikap afektif yang bagus terhadap hal-hal di atas, yaitu berkisar antara 54-78%. Anak yang kurang suka dengan hal-hal di atas berjumlah kurang dari 10%. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar anak mempunyai sikap afektif yang cukup bagus terhadap makan ikan laut. Tabel 65 Persentase responden anak berdasar sikap afektif terhadap makan ikan laut (n=248) Sikap afektif thd makan Pesisir (%) Pedalaman (%) ikan laut Kurang Cukup Bagus Kurang Cukup Bagus Bau masakan ikan laut 5,22 28,69 66,09 7,52 32,33 60,15 Duri ikan laut 6,08 30,43 63,47 5,26 40,60 54,13 Rasa masakan ikan laut 3,48 32,17 64,35 0,75 27,83 71,42 Mendapat lauk ikan laut 6,09 35,65 58,26 1,50 25,57 72,93 Membantu masak ikan laut 5,21 16,52 78,26 9,02 25,56 65,42 Secara keseluruhan (Tabel 66), sikap afektif anak terhadap makan ikan laut di kedua wilayah terbagi hampir sama ke dalam tiga kategori yaitu kurang bagus (25%), cukup (38%) dan baik (37%) dengan skor rata-rata 73, yang berarti

56 128 sikap afektif anak terhadap makan ikan laut cukup baik. Dari perbandingan antar wilayah terlihat bahwa skor rata-rata responden di wilayah pesisir sebesar 77, lebih tinggi daripada skor rata-rata responden di wilayah pedalaman, sebesar 69. Tabel 66 Kategori sikap afektif anak terhadap makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor sikap Pesisir Pedalaman Total afektif anak n % n % n % Kurang (< 60) 21 18, , ,4 Cukup (60-79,9) 37 32, , ,9 Bagus ( 80) 57 49, , ,7 Total , , ,0 Rataan±SD 77,10±18,50 69,05±15,51 72,78±17,40 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada sikap afektif anak terhadap makan ikan laut di kedua wilayah (p=0,000) Hasil analisis uji-t menunjukkan sikap afektif responden di kedua wilayah berbeda nyata (p=0.000) dimana sikap afektif anak terhadap makan ikan laut di wilayah pesisir lebih baik daripada di wilayah pedalaman. Hasil ini sejalan dengan kondisi ibu, sikap afektif ibu terhadap ikan laut di wilayah pesisir lebih baik dibandingkan dengan sikap afektif ibu di wilayah pedalaman (Tabel 45). Sikap Anak terhadap Makan Ikan Laut Hasil analisis statistik yang dilakukan terhadap penyatuan komponen kognitif dan komponen afektif dari sikap responden dengan menggunakan uji-t menunjukkan sikap responden terhadap makan ikan laut di kedua wilayah berbeda nyata (p=0,000) dengan skor rata-rata 73 (cukup positif) (Tabel 67). Sikap anak terhadap makan ikan laut di kedua wilayah termasuk cukup positif, hanya saja sikap anak di wilayah pesisir lebih positif dengan skor rata-rata yang lebih tinggi, yaitu 80, daripada sikap anak di wilayah pedalaman, yaitu 66. Tabel 67 Kategori sikap anak terhadap makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor sikap Pesisir Pedalaman Total anak n % n % n % Negatif (< 60) 11 9, , ,2 Cukup pos ( ) 45 39, , ,70 Positif ( 80) 59 51, , ,1 Total , , ,0 Rataan±SD 79,70±14,26 66,46±15,81 72,60±16,47 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada sikap anak terhadap makan ikan laut di kedua wilayah (p=0,000)

57 129 Sikap anak terhadap makan ikan laut yang berbeda di kedua wilayah juga sejalan dengan sikap ibu terhadap ikan laut, yaitu sikap ibu dan sikap anak yang berada di wilayah pesisir lebih positif daripada yang berada di wilayah pedalaman. Di samping itu kedua peubah, sikap anak dan sikap ibu memiliki hubungan nyata positif (r=0,236**). Melihat kondisi demikian, ada kemungkinan bahwa sikap anak terhadap makan ikan laut dipengaruhi oleh sikap ibu terhadap ikan laut. Posisi Ikan Laut menurut Anak Berdasarkan urutan kesukaan anak terhadap berbagai jenis bahan pangan untuk lauk, pilihan anak terkonsentrasi pada daging ayam dan ikan laut (Tabel 68). Bahan-bahan pangan lainnya kurang diminati anak. Anak paling banyak menempatkan daging ayam sebagai pilihan pertama, kemudian ikan laut. Perbedaan di masing-masing wilayah terdapat pada ratio pemilih ikan laut dan daging ayam. Ratio di wilayah pesisir adalah 1:2, sedang ratio di wilayah pedalaman 1:4. Tabel 68 Urutan pertama kesukaan anak terhadap bahan pangan untuk lauk di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Bahan pangan untuk Pesisir Pedalaman Total lauk-pauk n % n % N % Daging ayam Ikan laut Daging sapi/kerbau Ikan darat Telur Daging babi Daging kambing Tempe Tahu Dua bahan pangan yang sama-sama dipilih oleh kebanyakan ibu dan anak sebagai pilihan pertama adalah ikan laut dan daging ayam (Tabel 69). Perbedaannya anak di masing-masing wilayah lebih banyak yang memilih daging ayam daripada ikan laut, hal yang sama terjadi pada ibu di wilayah pedalaman. Sedang ibu di wilayah pesisir lebih banyak yang memilih ikan laut sebagai pilihan pertama daripada daging ayam.

58 130 Tabel 69 Perbandingan pilihan pertama ibu dan anak pada bahan pangan untuk lauk Bahan pangan Pilihan Anak Pilihan Ibu untuk lauk-pauk Pesisir Pedlman Total Pesisir Pedlman Total Ikan laut Daging ayam Daging sapi Ikan darat Telur Daging babi Daging kambing Tempe Tahu Produk Ikan Laut yang Anak Sukai Di antara produk-produk ikan laut (Tabel 70) (ikan basah, ikan pindang, ikan panggang, ikan asin dan ikan kaleng), ikan kaleng merupakan pilihan responden terbanyak pada urutan pertama di kedua wilayah (26,6%) mengalahkan pilihan pertama pada ikan segar (25,4%), sedang ikan asin merupakan produk yang paling sedikit dipilih (8,1%). Namun bila dilihat per wilayah, responden di wilayah pesisir lebih banyak yang memilih ikan segar sebagai pilihan pertama (30,4%) dan yang paling sedikit dipilih sebagai urutan pertama adalah ikan asin (1,7%). Sedang responden di wilayah pedalaman memilih produk ikan kaleng sebagai urutan pertama (32,3%) dan yang paling sedikit dipilih sebagai urutan pertama adalah ikan pindang (10,8%). Tabel 70 Urutan produk ikan laut yang disukai Urutan pertama kesukaan anak dan ibu pada produk-produk ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Pilihan Anak (%) Pilihan Ibu (%) Pesisir Pedlaman Total Pesisir Pedlaman Total Ikan basah / segar 30,4 21,5 25, Ikan kaleng 20, , Ikan panggang 17,4 21,5 19, Ikan pindang 28,7 10,8 19, Ikan asin 1,7 13,5 8, Bila diperbandingkan dengan pilihan ibu (Tabel 70), produk ikan segar dipilih ibu di wilayah pesisir sebanyak 70,8% sebagai urutan pertama dan di wilayah pedalaman oleh 63,0% ibu, dan pilihan pertama ibu hanya menurun ke sebagian anak, yaitu 30,4% anak di wilayah pesisir dan 21,5% anak di wilayah pedalaman. Sebaliknya produk ikan kaleng yang paling banyak dipilih anak di antara produk-produk yang lain (26,6%), ternyata hanya dipilih oleh 4,4% ibu dari wilayah pedalaman saja.

59 131 Hasil kesukaan anak pada produk ikan laut memberi peluang anak untuk mendapatkan asupan ikan lebih banyak. Ikan kaleng lebih banyak disukai anak, terutama di wilayah pedalaman, daripada ikan asin. Jumlah ikan dari ikan kaleng yang dimakan seseorang biasanya lebih banyak daripada jumlah ikan dari ikan asin. Dengan demikian kesukaan anak yang lebih terhadap ikan kaleng daripada ikan asin memberikan kemungkinan bahwa anak akan mendapatkan asupan ikan lebih banyak. Hal ini sejalan dengan rekomendasi WHO (1997) untuk menghemat konsumsi ikan asin untuk menghindari konsumsi garam berlebihan yang dipakai untuk pengawetan ikan asin. Namun perlu dipertimbangkan hasil penelitian Li et al. (2000a) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen pada produk ikan kaleng di Taiwan, yang menilai bahwa produk ikan kaleng memiliki kandungan gizi yang kurang akibat pemasakan pada suhu tinggi. Jenis Masakan Ikan Laut yang Anak Sukai Jenis masakan yang ditanyakan ke anak sama seperti yang ditanyakan ke ibu. Urutan pilihan yang anak sukai di kedua wilayah (Tabel 71) lebih menyebar bila dibandingkan dengan ragam jenis masakan yang dipilih ibu sebagai pilihan pertama. Pilihan ibu lebih terkonsentrasi ke ikan goring, yaitu sebanyak 75,1%, sedang pilihan anak adalah ikan goreng dan ikan bakar. Keadaan tersebut juga terlihat di masing-masing wilayah. Pilihan anak yang sama seperti ibu adalah gulai ikan, yaitu paling sedikit disukai, yaitu 2,5%. Tabel 71 Urutan jenis masakan ikan laut yang disukai Urutan pertama kesukaan anak dan ibu terhadap jenis masakan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Pilihan anak Pilihan ibu Pesisir Pedlman Total Pesisir Pedlman Total Ikan laut bakar ,7 11,0 11,4 Ikan laut goreng ,6 73,7 75,1 Pepes ikan laut ,0 12,7 10,9 Gulai ikan laut ,7 3,4 3,1 Norma Subyektif untuk Makan Ikan Laut Norma subyektif atau subjective norms merupakan pengaruh atau dukungan sosial (kelompok referensi) yang dirasakan akan anak terima bila ia memutuskan untuk makan atau tidak makan ikan laut. Norma subyektif terdiri atas dua komponen yaitu dukungan internal dan dukungan eksternal. Dukungan internal, berasal dari keluarga ( Orangtua saya berpikir bahwa sebaiknya saya

60 132 makan ikan laut ) dan dukungan eksternal berasal dari kelompok referensi di luar keluarga, dalam hal ini mengingat anak masih dalam usia sekolah dasar, maka diambil guru, teman sekolah dan teman main ( Teman-teman saya menganjurkan saya untuk makan ikan laut ). Dukungan sosial yang dirasakan responden terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu kuat, cukup dan lemah. Dukungan sosial yang kuat menunjukkan bahwa sumber dukungan tersebut sangat dirasakan mempengaruhi anak untuk makan ikan laut. Sebaliknya dukungan sosial yang lemah menunjukkan bahwa sumber pengaruh kurang mempengaruhi anak untuk makan ikan laut. Norma Subyektif Internal yang Anak Rasakan Sumber internal anak yang disebutkan mempunyai pengaruh pada perilaku makannya adalah orangtua, saudara dan keluarga. Data-data pada Tabel 72 menunjukkan bahwa berkaitan dengan makan ikan laut, pemberitahuan ibu tentang pentingnya makan ikan laut yang paling sering anak rasakan, yaitu oleh 37,39% di wilayah pesisir dan 36,09% di wilayah pedalaman. Pemberitahuan dari saudaranya kurang anak rasakan (14,78% dan 12,03%). Untuk masa usia sekolah, anak masih lebih mendengarkan informasi yang diberikan ibunya daripada yang diberikan saudaranya. Tabel 72 Persentase responden anak berdasar dukungan internal yang dirasa untuk makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Dukungan internal yang anak rasakan untuk makan ikan Pesisir (%) Pedalaman (%) Jarang Kadang2 Sering Jarang Kadang2 Sering Ibu menyuruh banyak makan Bapak menyuruh banyak makan , ,55 Ibu memberitahu utk makan Keluarga memberitahu Saudara sering mengatakan Secara keseluruhan, dilihat dari penilaian masing-masing item dukungan internal, tampaknya yang cenderung mendapat dukungan internal adalah anak di wilayah pesisir. Dukungan internal berupa suruhan memperbanyak makan ikan laut, pemberitahuan manfaat ikan laut tentunya berkaitan dengan ketersediaan ikan laut yang lebih banyak sehingga mengurangi ragam bahan pangan lainnya untuk lauk pauk di rumah tangga. Sebagaimana dapat dilihat pada (Tabel 52), pilihan ibu terhadap bahan pangan untuk lauk terbanyak pada ikan laut dan daging ayam, dimana jumlah ibu yang memilih ke dua bahan

61 133 pangan tersebut pada urutan pertama 86,8%, sedang di wilayah pedalaman hanya 62,2%. Artinya ragam bahan pangan untuk lauk pauk yang dipilih ibu di wilayah pesisir lebih sempit. Sementara ibu di wilayah pedalaman memiliki kesempatan untuk melihat bahan pangan lainnya. Dengan kondisi demikian dukungan internal untuk makan ikan laut lebih banyak diperoleh responden di wilayah pesisir. Berdasarkan penilaian secara keseluruhan item yang menggambarkan dukungan internal untuk makan ikan laut di kedua wilayah (Tabel 73) dapat dilihat bahwa ternyata separuh lebih anak, yaitu 63,7% masuk ke dalam kategori menghambat, skor yang hampir sama terjadi di masing-masing wilayah. Walaupun jumlah anak yang mendapatkan cukup dukungan internal untuk makan ikan laut lebih banyak di wilayah pesisir, yaitu sebanyak 40% dibandingkan di wilayah pedalaman, yaitu 33,1%. Namun hasil analisis uji-t tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata pada norma subyektif internal untuk makan ikan laut di kedua wilayah (p=0,117). Berarti perbedaan wilayah, yang berkaitan dengan perbedaan ketersediaan ikan laut tidak memberi pengaruh kelompok referensi internal responden secara berbeda. Tabel 73 Kategori norma subyektif internal yang anak rasakan untuk makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor norma Pesisir Pedalaman Total subyektif internal n % N % n % Menghambat (< 60) 69 60, , ,7 Cukup (60-79,9) 21 18, , ,8 Mendukung ( 80) 25 21, , ,5 Total , , ,0 Rataan±SD 46,17±30,02 40,23±27,87 42,98±28,98 Keterangan: Tidak terdapat perbedaan nyata pada norma subyektif sumber internal di kedua wilayah (p=0,117) Norma Subyektif Eksternal yang Anak Rasakan Sumber eksternal anak yang diperkirakan memiliki pengaruh pada perilakunya makan ikan laut adalah guru, sahabat di sekolah dan teman mainnya. Data pada Tabel 74 menunjukkan bahwa sahabat di sekolah kurang memberikan dukungan ke anak untuk makan ikan laut. Teman bermain terutama di wilayah pesisir masih terlihat memberikan dukungan ke responden walaupun kecil. Agaknya para guru dengan anjurannya di kelas ke para siswa untuk makan ikan laut cukup memberikan dukungan ke anak. Sebagai anak dalam masa usia sekolah, sosok guru adalah salah satu panutan yang memiliki peran penting

62 134 dalam kehidupannya. Informasi dari para guru sering lebih didengar daripada informasi dari orangtuanya, terutama terjadi pada anak-anak masa sekolah awal. Tabel 74 Persentase responden anak berdasar dukungan eksternal yang dirasa untuk makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Dukungan eksternal untuk Pesisir (%) Pedalaman (%) makan ikan laut Jarang Kadang2 Sering Jarang Kadang2 Sering Sahabat2 sekolah menganjurkan Guru2 sekolah menganjurkan Teman bermain sering mengajak Hasil penilaian keseluruhan item dukungan eksternal (Tabel 75) menunjukkan hampir semua anak di kedua wilayah (92,3%) tergolong ke dalam kategori dukungan eksternal yang menghambat dengan skor rata-rata rendah (24). Bahkan 100% anak di wilayah pedalaman masuk ke dalam kategori menghambat, yang berarti anak kurang merasakan adanya dukungan sosial dari lingkungan sosialnya untuk makan ikan laut. Di wilayah pesisir masih terdapat 16,6% anak yang dapat merasakan adanya dorongan yang cukup untuk makan ikan laut dari lingkungan sosialnya. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada norma subyektif eksternal anak di kedua wilayah (p=0,000). Walaupun skor rata-rata di masing-masing wilayah termasuk rendah, lingkungan sosial di wilayah pesisir masih dirasakan perannya dalam mendorong anak untuk makan ikan laut. Tabel 75 Kategori norma subyektif eksternal yang anak rasakan untuk makan ikan laut di wilayah pesisir dan wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor norma Pesisir Pedalaman Total subyektif eksternal n % n % n % Menghambat (< 60) 96 83, , ,3 Cukup (60-79,9) 11 9,6 0 0,0 11 4,4 Mendukung ( 80) 8 7,0 0 0,0 8 3,2 Total , , ,0 Rataan±SD 31,88±25,23 17,67±14,90 24,26±21,51 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada norma subyektif eksternal untuk makan ikan laut di kedua wilayah (p=0,000) Norma Subyektif yang Anak Rasakan Skor rata-rata dukungan internal dan dukungan eksternal yang anak rasakan untuk makan ikan laut termasuk kecil, namun terlihat lebih besar pada skor rata-rata dukungan internal (Tabel 73 dan Tabel 75). Hal itu menunjukkan

63 135 bahwa dukungan dari keluarga untuk makan ikan laut masih lebih dapat anak rasakan dibandingkan dukungan dari guru dan teman. Hasil analisis uji-t (Tabel 76) pada penggabungan dukungan internal dan eksternal yang anak rasakan untuk makan ikan laut menunjukkan ada perbedaan signifikan antara norma subyektif anak di wilayah pesisir dan norma subyektif anak di wilayah pedalaman (p=0,003). Walaupun skor rata-rata norma subyektif termasuk rendah (34), dan di wilayah pesisir juga rendah, yaitu 39, namun norma subyektif atau dukungan dari kelompok referensi untuk makan ikan laut lebih dapat dirasakan oleh anak di wilayah pesisir Tabel 76 Kategori norma subyektif yang anak rasakan untuk makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor norma Pesisir Pedalaman Total subyektif n % n % n % Menghambat (< 60) 96 83, , ,5 Cukup (60-79,9) 12 10,4 7 5,3 19 7,7 Mendukung ( 80) 7 6,1 0 0,0 7 2,8 Total , , ,0 Rataan±SD 38,96±23,33 28,86 ±18,72 33,54±21,54 Keterangan: (p=0,003) Terdapat perbedaan nyata pada norma subyektif untuk makan ikan laut di kedua wilayah Keluasan wilayah, jumlah penduduk dan keterbukaan wilayah untuk jalur transportasi ke kota-kota besar memungkinkan mempengaruhi kehidupan masyarakatnya yang dalam penelitian ini mempengaruhi peubah norma subyektif untuk makan ikan laut, terutama sumber eksternal. Wilayah pesisir jauh lebih sempit, yaitu seluas 24,7 km 2 dibandingkan wilayah pedalaman, seluas 77,7 km 2, namun kepadatan penduduk di wilayah pesisir lebih tinggi, yaitu jiwa/km 2 daripada di wilayah pedalaman, yaitu jiwa/km 2. Tingkat kepadatan penduduk memberi peluang besar bagi terjadinya saling pengaruh antar warga, tidak hanya yang terjadi di dalam keluarga saja. Transportasi di wilayah pesisir lebih sepi dibandingkan di wilayah pedalaman yang menghubungkan kota-kota besar (Semarang dan Solo di Jawa Tengah). Kondisi wilayah yang demikian, dari pengamatan peneliti, memberi peluang lebih besar bagi anak-anak di wilayah pesisir untuk menggunakan waktu senggang seusai sekolah lebih banyak diisi dengan bermain bersama temantemannya di luar rumah, sesuatu keadaan yang jarang terlihat di wilayah pedalaman. Hal ini memberi peluang lebih besar peran teman-teman bermain bagi responden di wilayah pesisir daripada di wilayah pedalaman. Selain itu keterse-

64 136 diaan ikan laut yang lebih banyak terdapat di wilayah pesisir memberi peluang bagi para guru untuk memiliki informasi yang lebih banyak tentang ikan laut yang kemudian dapat dikomunikasikan kepada para siswa. Kontrol terhadap Perilaku Makan Ikan Laut Kontrol terhadap perilaku (perceived behavioral control) merupakan kontrol yang dirasakan seseorang tentang kemudahan atau kesulitan yang akan dialami untuk melakukan suatu perbuatan yang dimaksud (Ajzen 1991) yang dalam penelitian ini adalah keyakinan anak akan kemampuannya untuk makan ikan laut. Kontrol terhadap perilaku terdiri atas dua komponen yaitu kondisi yang memfasilitasi atau memudahkan anak untuk makan ikan laut dan pengalaman anak yang berkaitan dengan makan ikan laut. Kondisi yang Memfasilitasi Anak Makan Ikan Laut Kondisi yang memfasilitasi anak untuk makan ikan laut digambarkan dalam 4 kegiatan, yaitu membantu masak ikan laut, hadirnya lauk selain ikan laut, kemampuan yang dimiliki untuk makan ikan laut dan keinginan untuk lebih sering makan ikan laut (Tabel 77). Di antara empat kegiatan tersebut, keinginan untuk lebih sering makan ikan laut paling banyak dipilih anak, yaitu oleh 62,61% di wilayah pesisir dan 44,36% di wilayah pedalaman. Kegiatan yang paling sedikit dipilih adalah membantu ibu masak ikan laut, berturut-turut 23,48% dan 11,28%. Tabel 77 Persentase responden anak berdasar kondisi yang memfasilitasi untuk makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kondisi yang memfasilitasi untuk makan ikan laut Pesisir (%) Pedalaman (%) Jarang Kadang2 Sering Jarang Kadang2 Sering Membantu ibu masak ikan laut Kehadiran lauk selain ikan laut Kemampuan untuk bisa makan Keinginan untuk lebih sering Dari hasil wawancara dengan beberapa anak, sebenarnya mereka mau membantu ibunya masak ikan laut atau secara umum membantu ibunya di dapur, terutama responden perempuan. Namun kebanyakan ibu tidak memperbolehkan dengan alasan kehadiran mereka di dapur justru merepotkan ibu bekerja. Item lainnya meminta anak untuk membandingkan lauk ikan laut dengan lauk lain

65 137 yang lebih enak, ternyata hanya sekitar 18% anak di kedua wilayah yang lebih memilih lauk lain. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berbagai kondisi, anak masih dimudahkan untuk bisa makan ikan laut, terutama anak di wilayah pesisir. Hal ini menjelaskan bahwa rataan responden di wilayah pesisir memiliki keyakinan yang cukup kuat untuk bisa makan ikan laut. Hasil analisis uji-t terhadap kondisi yang memfasilitasi anak untuk makan ikan laut (Tabel 78) menunjukkan ada perbedaan signifikan di kedua wilayah (p=0,011). Kondisi yang dirasakan anak di wilayah pesisir lebih memudahkannya untuk makan ikan laut daripada yang anak rasakan di wilayah pedalaman Tabel 78 Kategori kondisi yang memfasilitasi anak untuk makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor kondisi Pesisir Pedalaman Total yang memfasilitasi n % n % n % Lemah (< 60) 37 32, , ,7 Cukup (60-79,9) 45 39, , ,5 Kuat ( 80) 33 28, , ,8 Total , , ,0 Rataan±SD 66,30±20,22 59,77±18,61 62,80±19,61 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada kondisi yang memfasilitasi anak untuk makan ikan ikan laut di kedua wilayah (p=0,011) Pengalaman Makan Ikan Laut Komponen kedua dari peubah kontrol terhadap perilaku responden adalah pengalaman yang berkaitan dengan ikan laut yang anak rasakan. Komponen kedua ini menggambarkan kegiatan mengenal, membeli, membantu menyiangi dan makan ikan laut, serta pengetahuan tentang ikan laut dan yang bisa dimakan (Tabel 79). Dilihat dari item-item pengalaman anak yang berkaitan dengan ikan laut, hampir semua anak, yaitu 98%, mengenal masakan ikan laut dengan baik, namun yang sering mengonsumsi ikan laut hanya 56,52% di wilayah pesisir dan 15,79% di wilayah pedalaman. Dua item yang hampir sama terjadi di kedua wilayah adalah ikut membeli ikan laut dan membantu membersihkan ikan laut. Pada dua kegiatan tersebut, jumlah anak yang sering melakukan hanya sekitar 12%, namun hal itu bukan berarti anak tidak mau melakukannya. Sama seperti alasan kurang membantu kegiatan masak ikan laut, kegiatan membersihkan ikan juga tidak diperbolehkan oleh kebanyakan ibu. Demikian pula membeli atau

66 138 menyediakan ikan laut, yang lebih banyak dilakukan oleh ibu atau ayah sebagai nelayan. Tabel 79 Persentase responden anak berdasar pengalaman makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah (n=248) Pengalaman berkaitan dengan makan ikan laut Pesisir (%) Pedalaman (%) Tidak Agak Setuju Tidak Agak Setuju Ikut membeli Membantu menyiangi Makan ikan laut Kenal masakan Pengetahuan ttg ikan laut Pengetahuan tentang ikan yang bisa dimasak 0, Wilayah pesisir memberikan fasilitas yang lebih banyak berkaitan dengan ikan laut, dapat dilihat bahwa pengetahuan tentang ikan laut dan yang bisa dimasak lebih banyak dimiliki anak di wilayah pesisir. Pengalaman makan ikan laut dikelompokan ke dalam tiga kategori, yaitu sedikit, cukup banyak dan banyak. Data pada Tabel 80 menunjukkan bahwa hampir separuh jumlah anak, yaitu 46,4%, memiliki sedikit pengalaman makan ikan laut, namun skor rata-rata peubah sebesar 64. Berarti secara keseluruhan anak di kedua wilayah memiliki pengalaman yang cukup memadai berkaitan dengan makan ikan laut. Tabel 80 Kategori pengalaman anak berkaitan dengan makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori skor Pesisir Pedalaman Total pengalaman masa lalu n % n % n % Sedikit (< 60) 33 28, , ,4 Cukup (60-79,9) 53 46, , ,7 Banyak ( 80) 29 25,2 8 6, ,9 Total , , ,0 Rataan±SD 70,07±14,76 59,34±12,90 64,31±14,77 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada pengalaman anak makan ikan laut di kedua wilayah (p=0,000) Dengan melihat skor-skor di atas yang berbeda, terbuktilah melalui uji-t bahwa terdapat perbedaan signifikan antara pengalaman anak makan ikan laut di kedua wilayah (p=0,000). Pengalaman anak di wilayah pesisir lebih banyak, yaitu termasuk kategori cukup banyak daripada pengalaman anak di wilayah pedalaman, yaitu termasuk kategori sedikit.

67 139 Hasil analisis uji-t dari penggabungan komponen kondisi yang memfasilitasi anak untuk makan ikan laut dan pengalaman anak makan ikan laut (Tabel 81), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kontrol yang anak rasakan untuk makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (p=0,000). Kontrol yang anak rasakan di wilayah pesisir untuk makan ikan laut lebih besar dibandingkan dengan kontrol yang anak rasakan di wilayah pedalaman. Tabel 81 Kategori kontrol yang anak rasakan untuk makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori skor kontrol Pesisir Pedalaman Total terhadap perilaku n % N % n % Rendah (< 60) 34 29, , ,3 Cukup (60-79,9) 53 46, , ,6 Besar ( 80) 28 24,3 7 5, ,1 Total , , ,0 Rataan±SD 68,23±15,43 59,59 ±13,22 63,60±14,90 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada kontrol perilaku makan ikan laut yang dirasakan anak di kedua wilayah (p=0,000) Secara keseluruhan kontrol yang anak rasakan termasuk kategori cukup besar dengan skor rata-rata 64 dan yang dirasakan anak di wilayah pesisir lebih besar dibandingkan yang dirasakan anak di wilayah pedalaman (p=0,000). Hasil ini sejalan dengan skor rata-rata peraturan makan keluarga menurut persepsi anak (Tabel 57), dimana anak di wilayah pesisir secara nyata memiliki skor yang lebih tinggi daripada anak di wilayah pedalaman. Tingginya skor peraturan makan keluarga menunjukkan bahwa anak memiliki kebebasan lebih besar untuk menyatakan keinginannya berkaitan dengan makan, dan salah satunya adalah besarnya kontrol yang anak di wilayah pesisir rasakan untuk makan ikan laut. Semakin besar kontrol yang anak rasakan untuk makan ikan laut, berarti semakin besar keyakinannya untuk makan ikan laut, selanjutnya kondisi ini akan mengarahkan ke semakin besarnya peluang anak untuk makan ikan laut. Kecenderungan untuk Makan Ikan Laut Kecenderungan anak untuk makan ikan laut menggambarkan motivasi yang mendorong anak untuk makan ikan laut, seperti seberapa kuat anak mau makan ikan laut atau seberapa besar usaha yang direncanakan untuk makan ikan laut. Penilaian terhadap kecenderungan makan ikan laut terbagi atas tiga kategori, yaitu lemah, cukup kuat dan kuat. Kecenderungan makan ikan laut

68 140 yang lemah menunjukkan kurangnya motivasi atau sedikitnya usaha anak untuk makan ikan laut, sebaliknya kecenderungan yang kuat menunjukkan kuatnya dorongan dan usaha anak untuk makan ikan laut. Dalam penelitian ini, kecenderungan makan ikan laut digambarkan dalam beberapa cara yaitu anak berusaha senang, berusaha mendapat kesempatan, berencana lebih sering dan berkeinginan kuat untuk makan ikan laut serta tetap mengambil lauk ikan laut di hari-hari mendatang (Tabel 82). Tabel 82 Persentase responden anak berdasar kecenderungan untuk makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kecenderungan makan Pesisir (%) Pedalaman (%) ikan laut di hari2 mendatang Tidak Agak Setuju Tidak Agak Setuju Berusaha senang makan , Mendapat kesempatan makan , Berencana lebih sering makan Keinginan kuat untuk makan Tetap mengambil masakan Dilihat dari lima item pada peubah kecenderungan untuk makan ikan laut dapat dikatakan bahwa anak mempunyai kecenderungan cukup kuat untuk makan ikan laut. Perbedaan yang terlihat di dua wilayah adalah jumlah anak yang setuju di empat item, berarti cenderung untuk makan ikan laut, lebih banyak di wilayah pesisir, yaitu lebih dari 50%. Hanya pada item ke lima, yaitu Tetap mengambil masakan ikan laut walau ada masakan lain jumlah yang tidak setuju paling banyak dibanding ke empat item lainnya. Hal ini sejalan dengan cara anak memposisikan ikan laut yang menjadi nomor 2 setelah daging ayam. Berusaha senang makan ikan laut di hari-hari mendatang paling banyak dipilih responden yaitu 62,61% di wilayah pesisir dan 50,37% di wilayah pedalaman. Tampaknya responden di wilayah pedalaman baru sampai pada tahapan berusaha senang makan ikan laut, belum lanjut ke tahapan-tahapan berikutnya. Secara keseluruhan skor kecenderungan makan ikan laut dikelompokkan ke dalam tiga kategori (Tabel 83) yaitu kategori kurang kuat, cukup kuat dan kuat. Terlihat bahwa hampir separuh jumlah anak memiliki kecenderungan kuat untuk makan ikan laut, yaitu sebanyak 41,9% dengan skor rata-rata 70, berarti cukup kuat. Bila dilihat per wilayah, jumlah anak yang memiliki kecenderungan kuat untuk makan ikan laut di wilayah pesisir, sebanyak 56,5%, hampir dua kali jumlah anak di wilayah pedalaman, yaitu 29,3%. Hasil analisis uji-t menunjukkan kecenderungan anak makan ikan laut di kedua wilayah berbeda nyata (p=0,000).

69 141 Kecenderungan anak di wilayah pesisir lebih kuat dibandingkan dengan kecenderungan anak di wilayah pedalaman. Tabel 83 Kategori kecenderungan anak makan ikan laut di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman Kategori skor kecenderungan Pesisir Pedalaman Total makan ikan laut n % n % n % Kurang kuat (< 60) 29 25, , ,3 Cukup (60-79,9) 21 18, , ,8 Kuat ( 80) 65 56, , ,9 Total , , ,0 Rataan+SD 75,04±21,17 65,56±18,68 69,96±20,39 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada kecenderungan anak makan ikan laut di kedua wilayah (p=0,000) Kecenderungan seseorang untuk bertindak (behavioral intention) merupakan salah satu inti komponen pada Theory of Planned Behavior yang dipakai dalam penelitian ini untuk menduga perilaku seseorang, dalam hal ini perilaku anak makan ikan laut. Kecenderungan bertindak pada teori sikap Model Tri-komponen ABC (affective, behavioral, cognitive) adalah komponen behavioral (perilaku), salah satu komponen dari sikap (Brigham 1991). Sedang pada Theory of Planned Behavior, kecenderungan bertindak merupakan peubah tersendiri yang dipengaruhi tiga konsep besar yaitu sikap itu sendiri, norma subyektif dan kontrol perilaku yang dirasakan. Semakin kuat kecenderungan seseorang bertindak semakin besar kemungkinan perilaku itu akan terjadi (Ajzen 1988). Mempertimbangkan data pada Tabel 82, sangat dimungkinkan kecenderungan anak di wilayah pesisir mengonsumsi ikan laut akan mempengaruhi perilakunya makan ikan laut. Perilaku Anak Makan Ikan Laut Perilaku anak makan ikan laut dalam penelitian ini digambarkan ke dalam tiga parameter yaitu frekuensi makan ikan laut per minggu, konsumsi ikan laut dalam gr/hari, dan ragam produk ikan laut yang dikonsumsi selama satu bulan terakhir. Frekuensi Makan Ikan Laut per Minggu Data frekuensi makan ikan laut diperoleh dari daftar sejumlah produk ikan laut yang secara umum dikenal secara baik oleh masyarakat di kedua wilayah. Ada beberapa jenis produk ikan laut yang lebih dikenal di kalangan masyarakat pesisir dan kurang dikenal di kalangan masyarakat pedalaman, seperti gulai

70 142 Tengiri dan ikan bakar Kerapu yang lebih dikenal di wilayah pesisir. Sedang jenis produk ikan laut seperti Bandeng bumbu kuning, jambal goreng sambal dan pindang Bandeng lebih dikenal di wilayah pedalaman daripada di wilayah pesisir. Tabel 84 menunjukkan rata-rata anak di kedua wilayah mengonsumsi ikan laut sebesar 5 kali per minggu dengan kisaran antara 0-7 kali/minggu Konsumsi lebih dari separuh anak, yaitu 56% responden termasuk kategori banyak, yaitu mengonsumsi 5-7 kali/minggu. Tabel 84 Katagori frekuensi konsumsi ikan laut pada anak per minggu di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Katagori frek. konsumsi Pesisir Pedalaman Total ikan laut/ minggu n % n % n % Kurang ( 2) Cukup (3-4) Banyak (5-7) Total , , ,0 Min-Maks Rataan±SD 6.21± ± ±2.60 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada frekuensi konsumsi ikan laut per minggu pada anak di kedua wilayah (p=0,000) Bila dilihat per wilayah, sebagian besar anak di wilayah pesisir, sebanyak 86,06% mengonsumsi ikan laut sebanyak 5-7 kali/minggu, sedang di wilayah pedalaman hanya 30,82% anak yang mengonsumsi sebanyak itu. Perbedaan frekuensi mengonsumsi ikan laut juga terlihat dari hubungan peubah wilayah dan peubah frekuensi mengonsumsi ikan laut yang signifikan dan kuat (r=-0,571**) dan pengeluaran per kapita untuk pembelian ikan laut yang lebih besar di wilayah pesisir (Rp ) daripada di wilayah pedalaman (Rp ). Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi ikan laut pada anak di kedua wilayah berbeda secara nyata (p=0,000) dan frekuensi konsumsi ikan laut pada anak di wilayah pesisir lebih besar, yaitu 6 kali daripada konsumsi ikan laut pada anak di wilayah pedalaman, yaitu 3 kali. Konsumsi lkan Laut per Hari frekuensi Berdasarkan rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI ditetapkan angka kecukupan protein hewani yang berasal dari ikan untuk rataan penduduk Indonesia, seyogyanya dapat memenuhi standard gizi sebesar 9 gr/ hari. Untuk memenuhi angka kecukupan protein hewani asal ikan maka standard

71 143 konsumsi ikan adalah sebesar 26,6 kg ikan/kapita/tahun (Soedjana et al. 1998) atau 72,7 gr ikan/kapita/hari. Konsumsi ikan laut per hari dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu sedikit (<73 gr/hari), cukup ( gr/hari) dan banyak ( 147 gr/hari) (Tabel 85). Secara keseluruhan, lebih dari separuh responden, yaitu 51,61%, mengonsumsi ikan laut kurang dari yang direkomendasikan dan 30,65% termasuk dalam kategori banyak dengan skor rata-rata konsumsi ikan laut per hari 108,4 gr/hari. Bila dilihat di masing-masing wilayah, jumlah responden anak yang mengonsumsi kurang dari yang direkomendasikan jauh lebih banyak di wilayah pedalaman (72,93%) daripada wilayah pesisir (26,96%). Hasil ini relatif sama dengan pengeluaran per kapita per bulan untuk konsumsi ikan laut, yaitu 63,9% di wilayah pedalaman dan 27,8% di wilayah pesisir yang termasuk kategori kurang, yaitu pengeluaran untuk ikan laut kurang dari Rp /kapita/ bulan, yang berarti konsumsi kurang dari 73 gr ikan laut/hari. Tabel 85 Kategori konsumsi ikan laut per hari pada anak di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (n=248) Kategori Pesisir Pedalaman Total konsumsi ikan laut gr/hari n % N % n % Sedikit (<73) 31 26, , ,61 Cukup (73-146) 23 20, , ,74 Banyak ( 147) 61 53, , ,65 Total , , ,0 Rataan±SD 163,13±120,52 46,39±65,94 108,35±121,67 Keterangan: Terdapat perbedaan nyata pada konsumsi ikan laut dalam gram/hari pada anak di kedua wilayah (p=0,000) Sedang jumlah responden yang banyak mengonsumsi ikan laut di wilayah pesisir jauh lebih banyak, yaitu sebanyak 53,04% daripada di wilayah pedalaman, yaitu 11,28%. Skor rata-rata di kedua wilayah juga sangat berbeda, yaitu 163 gr/hari di wilayah pesisir dan 46 gr/hari di wilayah pedalaman. Hasil analisis uji-t menunjukkan ada perbedaan yang siginifikan antara konsumsi ikan laut responden di wilayah pesisir dan di wilayah pedalaman (p=0,000). Ragam Konsumsi Produk Ikan Laut Ragam produk ikan laut dilihat dari yang dikonsumsi anak selama satu bulan terakhir. Ketersediaan ikan laut dan ragam jenis yang lebih banyak di wilayah pesisir membuat jumlah ragam produk olahan lebih banyak terdapat di

72 144 wilayah pesisir. Untuk wilayah pesisir, daftar FFQ yang diajukan ke anak terdiri atas 31 produk olahan ikan laut. Sedang untuk wilayah pedalaman, daftar FFQ berisi 23 produk ikan laut. Selain yang terdapat pada daftar FFQ, anak diperbolehkan menuliskan produk-produk ikan laut yang tidak terdapat pada daftar FFQ. Ada 20 ragam produk ikan laut yang tidak terdapat pada daftar FFQ yang dibagikan. Dengan demikian secara keseluruhan terdapat 66 ragam produk olahan ikan laut (Lampiran 6). Dari 66 ragam produk olahan ikan laut, terdapat 64 ragam yang dikonsumsi anak di wilayah pesisir, sedang anak di wilayah pedalaman hanya mengonsumsi 32 ragam. Dari keseluruhan 66 ragam produk olahan ikan laut, konsumsi produk olahan ikan laut para responden di wilayah pesisir jauh lebih beragam daripada konsumsi para responden di wilayah pedalaman. Dari 50 macam produk olahan ikan basah, 47 macam dikonsumsi para responden di wilayah pesisir dan 25 macam di wilayah pedalaman. Dari empat macam produk ikan asin, masingmasing wilayah mengonsumsi 3 macam. Dari dua macam produk ikan kaleng, keduanya dikonsumsi responden wilayah pesisir dan 1 macam dikonsumsi responden wilayah pedalaman. Dari 10 macam produk ikan pindang, kesepuluhnya dikonsumsi responden di wilayah pesisir, sedang wilayah pedalaman hanya mengonsumsi 2 macam (Lampiran 6). Produk-produk olahan ikan laut yang banyak dikonsumsi responden adalah ikan Bandeng goreng sebagai produk ikan segar dan blenyek sebagai produk ikan asin di kedua wilayah, ikan kaleng Sarden sebagai produk ikan kaleng di kedua wilayah, pindang Manyung di wilayah pesisir dan pindang Bandeng di wilayah pedalaman sebagai produk ikan pindang. Ikan Bandeng, Teri dan Sarden merupakan jenis ikan laut yang dikenal dengan baik di kedua wilayah sedang ikan Manyung lebih dikenal di wilayah pesisir. Responden di wilayah pesisir mengonsumsi lebih banyak ragam produk olahan ikan laut. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pesisir mengenal lebih banyak tentang ikan laut sehingga dapat mengolahnya menjadi berbagai macam produk olahan dibandingkan dengan masyarakat wilayah pedalaman. Selain aspek geografis wilayah, wilayah pesisir sebagai lokasi penelitian merupakan daerah yang lebih tertutup, jalur transportasi yang melewati menuju ke kota-kota kecil, berbeda dengan wilayah pedalaman yang merupakan daerah dengan jalur transportasi terbuka, menuju ke kota-kota besar. Kondisi yang

73 145 berbeda ini di antaranya membawa dampak pada pendistribusian bahan pangan bukan ikan laut, yang lebih terbuka di wilayah pedalaman. Ragam bahan pangan bukan ikan laut lebih besar terdapat di wilayah pedalaman. Hal ini dapat berakibat pada menyempitnya ragam produk olahan ikan laut di wilayah pedalaman, berbeda dengan yang terjadi di wilayah pesisir. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Ibu terhadap Ikan Laut Pengaruh peubah-peubah sosiodemografi dan karakteristik ibu pada sikap ibu terhadap ikan laut dianalisis dengan menggunakan regresi linier berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa sejumlah peubah sosiodemografi dan peubah karakteristik ibu memberi pengaruh signifikan pada sikap ibu terhadap ikan laut (Tabel 86) dengan nilai adjusted R 2 sebesar 0,323. Berarti peubahpeubah yang dimasukkan ke dalam model dapat menjelaskan sikap ibu terhadap ikan laut sebesar 32,3%. Peubah-peubah yang memiliki pengaruh signifikan adalah wilayah, pendidikan dan usia ibu, persepsi dan ketidakpercayaan ibu terhadap mitos makan ikan laut. Sedang peubah-peubah lainnya, seperti pendidikan ayah dan status kerja ibu tidak berpengaruh nyata pada sikap ibu. Peubah wilayah memberi pengaruh negatif dan signifikan terhadap sikap ibu (p=0,031*). Artinya wilayah pesisir memberi pengaruh signifikan pada sikap ibu terhadap ikan laut. Ketersediaan ikan di wilayah pesisir dalam jumlah yang relatif banyak dan dalam kondisi relatif segar yang ditemui masyarakat pesisir dalam hidup keseharian memberikan peluang lebih besar masyarakat pesisir mengenal ikan laut secara lebih baik dan pada akhirnya memberikan penilaian masyarakat yang konsisten positif terhadap ikan laut. Hasil tabulasi silang sikap ibu terhadap ikan laut di kedua wilayah (Tabel 46) telah menunjukkan bahwa sikap ibu di masing-masing wilayah termasuk dalam kategori cukup positif, namun ada perbedaan signifikan di kedua wilayah (p=0,032), dimana sikap ibu di wilayah pesisir lebih positif daripada sikap ibu di wilayah pedalaman. Para ibu umumnya juga disebut sebagai gate keepers, yaitu wakil keluarga yang berlaku sebagai penyedia bahan pangan untuk keluarga, di antaranya ikan laut, mulai dari memutuskan untuk menyediakan, membeli, mengolah hingga mengonsumsinya. Dengan peluang yang lebih besar

74 146 untuk mengenal ikan laut, dimungkinkan bagi para ibu di wilayah pesisir menumbuhkan sikap yang lebih positif terhadap ikan laut. Tingkat pendidikan ibu yang terbagi kedalam empat kategori, yaitu tingkat SD, tingkat SLTP, tingkat SLTA, tingkat perguruan tinggi memberi pengaruh terbesar dibandingkan peubah-peubah lainnya (β=0,28**) ke sikap ibu terhadap ikan laut (p=0,002). Tingkat pendidikan seseorang menunjukkan hasil transformasi ilmu dan ketrampilan ke dalam dirinya yang diharapkan mempengaruhi nilai-nilai hidup yang dianut serta kepemilikan pengetahuan Tabel 86 Nilai koefisien regresi peubah-peubah yang berpengaruh pada sikap ibu terhadap ikan laut Peubah bebas Satuan Koefisien tak terstandar Koefisien terstandar Sign. Konstanta Wilayah 0= pesisir 1= pedalaman Pendidikan ayah 1=Pend Dasar 2=Pend SLTP 3=Pend SLTA 4=Pend Tinggi Dummy * Kategori Pendidikan ibu 1=Pend Dasar 2=Pend SLTP Kategori ** 3=Pend SLTA 4=Pend Tinggi Usia ibu Tahun * Pendapatan/kap/bulan Rp ,026 0,715 Ketidakpercayaan ibu thd mitos makan ikan laut Skor ** Persepsi ibu tentang ikan laut Skor ** Status kerja ibu (1=IRT; 0=Kerja) Dummy Adjusted R Square = 0,323 F= (Sign 0,000) Keterangan: *) Signifikan pada α=5% **) Signifikan pada α=1% Pendidikan memberi peluang untuk memperoleh pengetahuan dan informasi yang lebih benar dan membuka wawasan lebih luas untuk membentuk cara berpikir, cara mengekspresikan dan cara bertindak yang lebih tepat. Tingkat pendidikan ibu di wilayah pedalaman secara signifikan lebih tinggi (p=0,000) dibandingkan dengan tingkat pendidikan ibu di wilayah pesisir (Tabel 19), dengan demikian diharapkan akan dihasilkan sikap ibu di wilayah pedalaman yang lebih positif. Namun hasil penelitian membuktikan bahwa sikap ibu terhadap

75 147 ikan laut (Tabel 46) di wilayah pesisir lebih positif daripada sikap ibu di wilayah pedalaman. Jadi tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi di wilayah pedalaman tidak membuat sikapnya terhadap ikan laut menjadi lebih positif. Usia ibu memberi pengaruh signifikan (p=0,033) namun negatif terhadap sikap ibu (β= -0,119*), artinya ibu yang lebih muda memiliki sikap yang lebih positif terhadap ikan laut dibandingkan dengan ibu yang berusia lebih tua. Mempertimbangkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara usia ibu dan tingkat pendidikan ibu (r= -0,051), maka dapat diartikan bahwa sikap ibu muda terhadap ikan laut yang lebih positif bukan berasal dari tingkat pendidikannya. Penjelasan yang lebih memungkinkan adalah mereka yang lebih muda cenderung memiliki mobilitas lebih tinggi, kemampuan menerima informasi baru dan kemauan mengkoreksi pengetahuannya lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang lebih tua. Mobilitas yang lebih tinggi memungkinkan seseorang bisa mendapatkan informasi lebih cepat dan lebih beragam. Untuk itu diperlukan kelenturan bukan hanya fisik namun juga psikis. Usia muda lebih memungkinkan memiliki kelenturan tersebut dan hal ini menjelaskan bahwa mengapa responden muda lebih memungkinkan memiliki sikap terhadap ikan laut yang lebih positif. Usia ibu di kedua wilayah juga tidak berbeda nyata (Tabel 19), sehingga memungkinkan hal ini terjadi di kedua wilayah. Peubah lain yang mempengaruhi sikap ibu secara signifikan adalah persepsi ibu tentang ikan laut (β=0,249**). Persepsi ibu tentang ikan laut merupakan penilaian psikologis ibu terhadap kesan tentang ikan laut yang ditangkap oleh indranya dalam kehidupan sehari-hari. Persepsi ibu diuraikan melalui persepsi tentang ketersediaan ikan laut di tempat biasa membeli, tentang keterjangkauan dan variasi harga, tentang kemudahan memperoleh yang disukai dan kemudahan mengolah. Tabel 41 menunjukkan bahwa persepsi ibu tentang ikan laut di wilayah pesisir (cukup bagus) lebih positif daripada persepsi ibu di wilayah pedalaman (kurang bagus) dan korelasinya dengan peubah wilayah negatif dan kuat (r=0,400**). Hasil ini dapat menjelaskan keterkaitan antara peubah wilayah, pendidikan ibu, persepsi dan sikap ibu terhadap ikan laut. Ketersediaan ikan di wilayah pesisir yang relatif lebih banyak dan lebih segar yang ditemui ibu dalam kehidupan sehari-harinya telah membentuk persepsi ibu positif tentang ikan laut. Walaupun tingkat pendidikan ibu di wilayah pesisir lebih rendah, namun ketersediaan ikan yang lebih banyak dan persepsi

76 148 ibu yang positif tentang ikan laut memungkinkan ibu dapat mengenal lebih baik sifat-sifat ikan laut dengan cara yang lebih baik pula. Bila sikap ibu diuraikan berdasarkan komponen kognitif dan afektif, hasil penelitian ini menunjukkan sikap kognitif ibu di kedua wilayah tidak berbeda nyata (p=0,118) (Tabel 40), namun sikap afektif ibu berbeda nyata (p=0,000) (Tabel 42). Dari korelasi antara komponen-komponen sikap ibu dengan peubah wilayah, pendidikan ibu dan persepsi ibu, terlihat bahwa sikap afektif ibu memiliki korelasi cukup kuat dengan peubah wilayah (r=0,321**) dan dengan persepsi ibu tentang ikan laut (r=329**) namun lemah dengan pendidikan ibu. Sementara sikap kognitif ibu memiliki korelasi kuat dengan pendidikan ibu (r=0,499**), namun lemah dengan peubah wilayah dan persepsi ibu. Keadaan ini menerangkan bahwa wilayah pesisir memiliki pengaruh besar terhadap sikap ibu, mengalahkan pengaruh pendidikan ibu yang lebih tinggi di wilayah pedalaman, yaitu tingkat SLTA dan di wilayah pesisir di tingkat SLTP. Ibu di wilayah pesisir mampu memahami atau memiliki pengetahuan tentang gizi ikan laut. Kondisi ini yang menyebabkan sikap kognitif ibu di kedua wilayah tidak berbeda nyata, walaupun tingkat pendidikan ibu di kedua wilayah berbeda. Ketidakpercayaan ibu terhadap mitos memberikan pengaruh nyata pada sikap ibu terhadap ikan laut (β=0,208**). Korelasi ketidakpercayaan ibu terhadap mitos dengan sikap ibu signifikan dan kuat (r= 0,419**). Mitos merupakan suatu kepercayaan yang tidak mendasar terhadap sesuatu obyek dan berlaku pada sekelompok masyarakat yang menyebabkan seseorang menghindar atau menjauhi obyek tersebut. Meningkatnya pendidikan seseorang dapat mengurangi kepercayaan yang tidak mendasar sebagaimana tergambar pada korelasi antara tingkat pendidikan dan ketidakpercayaan ibu terhadap mitos yang signifikan dan kuat (r=0,406**). Mempertimbangkan bahwa ketidakpercayaan ibu terhadap mitos di kedua wilayah tidak berbeda nyata (p=0,829) (Tabel 48), padahal tingkat pendidikan ibu berbeda nyata di kedua wilayah (p=0,000) (Tabel 20), maka perlu ada penjelasan lain yang menyebabkan tidak berbedanya ketidakpercayaan ibu terhadap mitos di kedua wilayah. Hasil wawancara ke beberapa ibu siswa di wilayah pesisir diperoleh alasan ibu tidak mempercayai mitos-mitos makan ikan laut yang berlaku. Mitos-mitos makan ikan laut sangat dipercaya oleh generasi orangtua responden. Namun dalam kehidupan sehari-hari, responden jarang

77 149 menemui akibat buruk dari makan ikan laut sebagaimana digambarkan dalam mitos-mitos yang berlaku. Pengalaman langsung yang mereka dapatkan membuat mereka tidak lagi mempercayai mitos-mitos makan ikan laut tersebut. Dengan demikian ketersediaan ikan di wilayah membuat mereka lebih dapat mengenal secara baik dan mengalami secara langsung ikan laut yang membuat mereka dapat mengurangi kepercayaan terhadap mitos makan ikan laut, walaupun dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa peubah pendapatan keluarga per kapita tidak memberikan pengaruh signifikan pada sikap ibu terhadap ikan laut, walau korelasi keduanya signifikan (r=0,269**). Di kedua wilayah, ikan laut adalah salah satu dari sekian banyak bahan pangan untuk lauk pauk yang dikenal oleh masyarakat. Ikan laut bukan satu-satunya bahan pangan yang harus tersedia di keluarga. Bila dilihat kedudukan ikan laut di kedua wilayah, terdapat satu jenis bahan pangan yang merupakan bahan pangan pesaing berat bagi ikan laut, yaitu daging ayam (Tabel 52), terutama untuk wilayah pedalaman. Secara keseluruhan ibu di kedua wilayah menempatkan pilihan pertama dari 9 macam bahan pangan untuk lauk pada ikan laut sebanyak 40,4% dan pada daging ayam sebanyak 33,5%. Dengan demikian dapat disampaikan bahwa kedudukan ikan laut sebagai bahan pangan di pendapatan keluarga tidaklah tinggi. Kondisi ini memungkinkan sikap ibu terhadap ikan laut tidak terkait dengan pendapatan keluarga per kapita. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Ibu Menyediakan Ikan Laut dalam Menu Keluarga Pada umumnya, seorang ibu dalam kegiatan di rumah berlaku sebagai gate keeper, dan khususnya di Indonesia sebutan gate keeper masih berlaku baik bagi ibu bekerja atau ibu rumah tangga, dan apakah pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh ibu sendiri atau oleh pembantu rumah tangga. Menyediakan makanan bagi seluruh anggota keluarga merupakan salah satu kegiatan sebagai gate keeper, yang di dalamnya dapat merupakan rangkaian kegiatan dari membuat keputusan membeli bahan pangan, membeli, mengolah, menyediakan makanan untuk anggota keluarga hingga mengonsumsinya. Kegiatan ibu sebagai gate-keeper termasuk tindakan atau perilaku konsumen, sebagaimana disampaikan Sumarwan (2002) yaitu seluruh kegiatan, tindakan,

78 150 serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum dan ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan kegiatan mengevaluasi. Dengan demikian, sebagai salah satu bahan pangan, pengeluaran keluarga untuk pembelian ikan laut secara tidak langsung mencerminkan tindakan konsumen atau kegiatan ibu sebagai gate keeper, sehingga dalam penelitian ini pengeluaran keluarga untuk pembelian ikan laut diartikan sebagai perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga. Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa model perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga close to fit (AGFI=0,91) yang berarti model perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga dapat dijelaskan sebesar 91% oleh peubah-peubah yang terdapat dalam model tersebut (Gambar 12). Bila pada analisis regresi model sikap ibu terhadap ikan laut, dua peubah yang memberi kontribusi terbesar pada sikap ibu adalah pendidikan ibu (β=281**) dan persepsi ibu tentang ikan laut (β=249**), maka pada model perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga, peubah yang memberikan kontribusi signifikan dan terbesar adalah wilayah pesisir, yaitu ketersediaan ikan di suatu wilayah dalam jumlah yang relatif banyak, beragam dan segar. Wilayah pesisir berpengaruh secara langsung sebesar β=0,38*, secara tidak langsung sebesar β=0,08* sehingga memiliki pengaruh total sebesar β=0,47* (Tabel 87). Secara tidak langsung, wilayah pesisir mempengaruhi perilaku ibu melalui dua jalur yaitu 1) melalui persepsi ibu yang positif tentang ikan laut, membentuk sikap afektif ibu yang positif dan kemudian mempengaruhi perilaku ibu, dan 2) melalui sikap afektif ibu yang positif terhadap ikan laut, mengarahkan pengaruh ke perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga. Peubah persepsi ibu tentang ikan laut dikedua wilayah berbeda nyata, di wilayah pesisir termasuk kategori cukup bagus sedang di wilayah pedalaman termasuk kategori kurang bagus (Tabel 41). Namun korelasi persepsi dengan perilaku ibu lemah (r=0,188). Pilihan ibu terhadap bahan pangan untuk lauk (Tabel 49) di wilayah pesisir jauh lebih banyak kepada ikan laut, yaitu 61,9% dibandingkan dengan pilihan ibu di wilayah pedalaman, yaitu sebanyak 22,0%. Data-data di atas menjelaskan adanya pengaruh wilayah dan sikap afektif ibu terhadap ikan laut pada perilaku ibu menyediakan ikan laut. Hal lain yang juga memperkuat kesimpulan di atas adalah hampir semua ibu pernah menyediakan masakan ikan laut bagi keluarganya. Hanya 6,5% ibu yang mengaku jarang hingga tidak pernah menyediakan masakan ikan laut bagi keluarganya. Dalam

79 151 hal kemauan menyediakan masakan ikan laut, ada dua alasan yang paling banyak dikemukakan oleh ibu, yaitu agar keluarga sehat oleh 85,3% ibu dan anak-anak menyukainya oleh 80,6% ibu. Alasan-alasan yang mendasari ibu mau menyediakan masakan ikan laut yang menunjukkan kesukaan atau sikap afektif ibu terhadap ikan laut yang tinggi. Pada model ini dtunjukkan bahwa persepsi ibu tentang ikan laut memberikan kontribusi nyata namun secara tidak langsung melalui sikap afektif ibu sebesar β=0,04* ke perilaku ibu menyediakan ikan laut. Wilayah: Wilayah pesisir dan wilayah pedalaman Pek. Ibu: Bekerja atau IRT Pend. Ibu: Pendidikan dasar, SLTP, SLTA,atas Pendapatan: Pendapatan kapital/bulan Usia ibu: Usia ibu dalam tahun Mitos: Ketidakpercayaan ibu thd mitos makan ikan laut Sikap Kognitif ibu: Sikap kognitif ibu terhadap ikan laut λ 2 = 17,73 Df= 9 P-value= 0,030 RMSEA= 0,063 GFI= 0,99 AGFI= 0,91 Besar kel: Jumlah anggota keluarga Persepsi ibu: Persepsi ibu tentang ikan laut Sikap Afektif ibu: Sikap afektif ibu thd ikan laut Gambar 12 Analisis jalur model perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga. Pendapatan keluarga/kapita/bulan di banyak penelitian mempengaruhi keleluasaan keluarga memenuhi kebutuhan mereka, dan dalam hal kebutuhan pangan, pendapatan keluarga mempengaruhi jumlah dan ragam bahan pangan yang dapat disediakan. Dilihat dari pendapatan keluarga/kapita/bulan, sebagian besar keluarga responden termasuk golongan ekonomi rendah (rata-rata

80 152 Rp ) dimana pendapatan penduduk pada garis kemiskinan di Propinsi Jawa Tengah Rp (BPS Jawa Tengah 2006). Hanya terdapat 5,2% keluarga yang memiliki pendapatan/kapita/bulan Rp keatas. Rata-rata pengeluaran untuk konsumsi ikan laut/kapita/bulan di kedua wilayah sebesar Rp (Tabel 27). Walaupun banyak di antara mereka memiliki keterbatasan dalam pendapatan per bulan, namun hasil analisis jalur menunjukkan pendapatan keluarga/kapita/bulan memberikan kontribusi cukup besar (β=0,29*) pada pembentukan perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga. Hasil tersebut juga didukung oleh korelasi peubah pendapatan/kapita/bulan dan pengeluaran untuk konsumsi ikan laut/kapita/bulan atau dalam hal ini disebut sebagai perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga termasuk positif dan kuat (r=0,406**). Di dalam model perilaku ibu (Gambar 12), sikap ibu terhadap ikan laut dipisahkan menurut komponen-komponennya, yaitu komponen afektif dan komponen kognitif. Pemisahan tersebut dilakukan untuk mengetahui kontribusi masing-masing komponen pada perilaku ibu menyediakan ikan laut. Dari dua komponen sikap, sikap afektif ibu terhadap ikan laut memberikan kontribusi nyata dan cukup besar (β=0,24*) ke perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga. Data pada Tabel 45 menunjukkan bahwa sikap afektif ibu terhadap ikan laut di wilayah pesisir lebih baik yaitu masuk dalam kategori baik, sedang sikap afektif ibu di wilayah pedalaman termasuk kategori cukup baik. Sikap afektif yang baik terhadap ikan laut dibuktikan dengan perilaku ibu yang lebih banyak menyediakan ikan laut dalam menu keluarga yang ditandai dengan lebih besarnya pengeluaran/kapita untuk ikan laut (Tabel 27). Sikap kognitif ibu terhadap ikan laut tidak memberikan kontribusi nyata terhadap perilaku ibu. Sikap kognitif ibu terhadap ikan laut di kedua wilayah yang termasuk cukup positif (skor rata-rata = 73) menunjukkan keyakinan ibu terhadap pengetahuan tentang gizi ikan laut. Pada analisis regresi terhadap pembentukan sikap ibu terlihat bahwa peubah persepsi dan ketidakpercayaan ibu terhadap mitos mempengaruhi secara nyata sikap ibu terhadap ikan laut. Pada model perilaku ibu, dimana sikap ibu dipisahkan menurut komponen kognitif dan afektif, persepsi ibu secara signifikan dan langsung mempengaruhi kedua komponen sikap, sedang ketidakpercayaan ibu terhadap mitos hanya mempengaruhi komponen kognitif. Kepemilikan pengetahuan seseorang dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti pendidikan formal dan informal serta pengalaman

81 153 langsung. Keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap pengetahuan tentang sesuatu obyek yang dimilikinya menjadi komponen kognitif pada sikapnya. Dari data-data di atas dapat disimpulkan bahwa keyakinan seseorang terhadap manfaat gizi ikan laut sebagai bagian dari sikap ibu terhadap ikan laut, tidak cukup memberikan kontribusi pada perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga. Tabel 87 Peubah penentu perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga Peubah bebas Efek Efek tidak Efek total langsung langsung Wilayah Besar keluarga Pendidikan ibu Status kerja ibu (bekerja/ IRT) Pendapatan/kap/bulan Ketidakpercayaan ibu thd mitos makan ikan Persepsi ibu ttg ikan laut Sikap kognitif ibu thd ikan laut Sikap afektif ibu thd ikan laut -0,38* -0,19* 0,24* -0,04 0,29* ,06 0,24* -0,08* --- 0,00 0,00 0,00 0,00 0,04* 0, ,47* -0,19* 0,24* -0,04 0,29* 0,00 0,04* -0,05 0,24* Keterangan: * signifikan pada α = 5% Pendidikan ibu memberikan kontribusi nyata dan langsung pada perilaku ibu menyediakan ikan laut sebesar β=0,24* sama seperti kontribusi sikap afektif ibu. Secara tidak langsung melalui sikap afektif ibu, pendidikan ibu tidak memberi kontribusi nyata ke perilaku ibu menyediakan ikan laut. Tingkat pendidikan ibu di wilayah pedalaman (rata-rata mendekati pendidikan SLTA) lebih tinggi daripada di wilayah pesisir (rata-rata mendekati pendidikan SLTP). Bila dilihat nilai-nilai korelasi pendidikan ibu, ketidakpercayaan ibu terhadap mitos, sikap kognitif dan sikap afektif ibu, persepsi ibu terhadap ikan laut dan wilayah, terlihat adanya pengelompokkan. Peubah wilayah memiliki korelasi kuat dengan persepsi ibu dan sikap afektif ibu, sedang korelasinya dengan peubah lainnya lemah. Sedang pendidikan ibu memiliki korelasi kuat dengan ketidakpercayaan ibu terhadap mitos dan sikap kognitif ibu, dan korelasinya dengan peubah lainnya lemah. Sementara perilaku ibu menyediakan ikan laut berkorelasi kuat dengan peubah sikap afektif dan pendidikan ibu serta wilayah. Data-data tersebut menjelaskan kontribusi nyata pendidikan ibu ke perilaku ibu, namun tidak ada kontribusi nyata dari sikap kognitif ibu ke perilaku ibu. Tingkat pendidikan ibu membantu keyakinan ibu terhadap pengetahuannya yang lebih luas daripada pengetahuan tentang gizi ikan laut. Tingkat pendidikan orangtua akan meningkatkan di antaranya kepemilikan pengetahuan tentang kesehatan dan pangan sehat bagi

82 154 keluarganya (Schaffner et al. 1998, Dennison et al. 2001, Madanijah 2003), serta perilaku makan sehat keluarganya (Crockett & Sims 1995, Samuelson et al. 1996). Walaupun penelitian Samuelson et al. (2000) selanjutnya membuktikan sebaliknya, tingkat pendidikan ayah yang lebih tinggi berasosiasi dengan konsumsi tinggi pada susu tinggi lemak. Besar keluarga mempengaruhi perilaku ibu secara langsung dan negatif sebesar β=-0,19*, artinya semakin banyak anggota keluarga, semakin sedikit ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga. Hasil ini menunjukkan adanya keterbatasan pendapatan keluarga, sehingga dana yang dapat dikeluarkan untuk pembelian ikan terbatas, yaitu dengan tidak melihat jumlah anggota keluarga yang mengonsumsinya. Bila dilihat rataan pengeluaran/kapita/bulan untuk ikan laut di wilayah pesisir jauh lebih besar, yaitu Rp sedang di wilayah pedalaman Rp (Tabel 27). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peubah wilayah pesisir (kontributor terbesar); pendapatan/kapita; sikap afektif, pendidikan dan persepsi ibu; besar keluarga merupakan penentu-penentu perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga. Seberapapun besarnya keyakinan ibu terhadap gizi ikan laut tidak akan mempengaruhi perilakunya menyediakan ikan laut dalam menu keluarga kecuali bila kesukaan ibu terhadap ikan laut tinggi. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Anak terhadap Makan Ikan Laut Sebagaimana sikap ibu terhadap ikan laut, maka sikap anak terhadap makan ikan laut juga diukur melalui dua komponen sikap yaitu sikap kognitif dan sikap afektif. Model sikap anak terhadap makan ikan laut yang digunakan dalam penelitian ini mencakup beberapa faktor sosiodemografi keluarga, karakteristik ibu dan anak yang diduga mempengaruhi sikap anak. Model pembentukan sikap anak terhadap makan ikan laut memiliki nilai AGFI sebesar 0,91 berarti model ini close to fit, 91% sikap anak terhadap makan ikan laut dapat dijelaskan oleh peubah-peubah yang ada di dalam model. Berdasarkan analisis jalur pembentukan sikap anak terhadap makan ikan laut (Gambar 13), peubah-peubah yang mempunyai kontribusi signifikan adalah wilayah pesisir, pola makan keluarga, sikap afektif ibu, besar keluarga dan ketidakpercayaan ibu terhadap mitos. Besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung dapat dilihat pada Tabel 88.

83 155 Secara keseluruhan wilayah pesisir memberikan kontribusi terbesar pada model sebesar β=0,40*, yang berarti setiap kenaikan 1 skor pada peubah wilayah akan meningkatkan skor sikap anak sebesar 0,40. Kontribusi wilayah pesisir diperoleh dari pengaruh langsung sebesar β=0,32* dan secara tidak langsung sebesar β=0,08* melalui dua jalur, yaitu 1) melalui persepsi ibu, ke sikap afeksi ibu, baru ke sikap anak, dan 2) melalui sikap afeksi ibu dan langsung ke sikap anak. Besarnya pengaruh wilayah juga terlihat pada sikap anak terhadap makan ikan laut yang lebih positif di wilayah pesisir dibandingkan sikap anak di wilayah pedalaman (Tabel 67). Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan ikan laut di wilayah pesisir yang relatif banyak, beragam dan segar meningkatkan keyakinan anak akan manfaat makan ikan laut dan kesukaan anak terhadap makan ikan laut. λ 2 = 33,92 Df= 19 P-value= 0,0019 RMSEA= 0,057 GFI= 0,98 AGFI= 0,91 Wilayah: Wilayah pesisir dan pedalaman Pend. Ibu: Pendidikan dasar, menengah atau atas Pendapatan: Pendapatan keluarga/kapital/bulan Usia ibu: Usia ibu dalam tahun Besar keluarga: Jumlah anggota dalam keluarga Mitos: Ketidakpercayaan ibu thd mitos makan ikan Pola makan: Pola makan bersama dalam keluarga Persepsi ibu: Persepsi ibu tentang ikan laut Sikap Kognitif ibu: Sikap afektif ibu terhadap ikan laut Sikap Afektif ibu: Sikap afektif ibu thd ikan laut Perilaku ibu: Perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga Gambar 13 Analisis jalur model sikap anak terhadap makan ikan laut. Pola makan keluarga menurut persepsi anak berpengaruh signifikan terhadap sikap anak makan ikan laut sebesar β=0,21*. Anak mengungkapkan pola makan keluarga melalui adanya kegiatan makan pagi, siang dan sore

84 156 bersama keluarga, perhatian orangtua terhadap yang dimakan anak dan penyediaan makanan kesukaan keluarga. Bila pola makan keluarga dirasakan oleh anak positif, orangtua memiliki peluang untuk mempengaruhi sikap-perilaku anak terutama dalam kegiatan yang berkaitan dengan perilaku makan. Kegiatan makan bersama orangtua menjadikan orangtua sebagai model perilaku makan yang anak tiru (Birch 2002), mengarahkan para remaja awal untuk mengonsumsi makanan sehat (Neumark-Sztainer et al. 2000, Videon dan Manning 2003) dan meningkatkan asupan gizi anak usia 9-14 tahun melalui makanan sehat (Gilman et al. 2000). Namun generalisasi hasil penelitian Gilman et al. (2000) terbatas karena seluruh respondennya berasal dari keluarga perawat profesional yang secara khusus memiliki pengetahuan tentang kesehatan dan berperilaku sehat. Kegiatan makan bersama keluarga dapat berbentuk penyediaan makanan yang disukai keluarga dan interaksi orangtua dan anak yang terjadi dalam kegiatan makan (Birch & Fisher 1998) atau seringnya makan bersama keluarga (Neumark-Sztainer et al. 2000). Skor rata-rata persepsi anak tentang pola makan keluarga di kedua wilayah termasuk kurang bagus (57) (Tabel 55) dan korelasi peubah pola makan keluarga dan sikap anak terhadap makan ikan laut cukup kuat (r=0,285*) sehingga walaupun pola makan keluarga menurut anak kurang bagus, pola makan keluarga tetap dapat mempengaruhi sikap anak terhadap makan ikan laut. Tabel 88 Peubah penentu sikap anak terhadap makan ikan laut Peubah bebas Efek langsung Efek tidak langsung Efek total Wilayah -0,32* -0,08-0,40* Pendidikan ibu 0,09 0,09* 0,19* Besar keluarga 0,12* 0, * Pendapatan/kap/bln ,00 0,00 Persepsi ibu thd ikan laut 0,00 0,04 0,04 Ketidakpercayaan mitos 0,18* 0,01 0,19* Sikap kognitif ibu -0,03 0,00-0,03 Sikap afektif ibu 0,19* 0,00 0,19* Perilaku ibu menyediakan -0, ,01 Pola makan keluarga 0,21* ,21* Usia ibu --- 0,00 0,00 Keterangan: *Signifikan pada α=5% R 2 0,41 Sikap afeksi ibu terhadap ikan laut memberi kontribusi nyata ke sikap anak terhadap makan ikan laut sebesar 0,19*. Bila dilihat sikap afeksi ibu terhadap ikan laut di kedua wilayah termasuk kategori cukup baik, dan korelasi antara sikap afektif ibu dan sikap anak terhadap makan ikan laut cukup kuat (r=334**). Sikap afektif ibu selain berpengaruh langsung ke sikap anak juga

85 157 berpengaruh langsung ke perilaku ibu menyediakan ikan laut dalam menu keluarga. Namun perilaku ibu menyediakan ikan laut yang dipengaruhi secara langsung oleh wilayah pesisir (β=0,39), sikap afektif ibu (β=0,24) dan pendidikan ibu sebesar β=0,21, ternyata tidak memberikan kontribusi nyata ke sikap anak. Hal ini berarti bahwa ketersediaan ikan laut dalam menu keluarga tidak membawa dampak nyata pada peningkatan sikap anak terhadap makan ikan laut. Pendidikan ibu memberi kontribusi nyata walau secara tidak langsung ke sikap anak sebesar β=0,19*. Secara langsung pendidikan ibu tidak mempengaruhi sikap anak, yang juga terlihat dari lemahnya korelasi pendidikan ibu dan sikap anak (r=0,071). Pendidikan ibu baru memberi kontribusi nyata ke sikap anak melalui peubah ketidakpercayaan ibu terhadap mitos tentang makan ikan laut sebesar β=0,09* yang keduanya memiliki korelasi kuat (r=0,406**). Bila dilihat lebih detil, terdapat korelasi cukup kuat antara ketidakpercayaan ibu terhadap mitos dengan sikap kognitif anak (r=0,302*). Tampaknya ketidakpercayaan ibu terhadap mitos mempengaruhi sikap anak terhadap makan ikan laut hanya melalui sikap kognitif anak. Karena korelasinya dengan sikap afekttif anak tidak nyata (r=0,028). Besar keluarga di kedua wilayah berbeda nyata (p=0,000), besar keluarga di wilayah pesisir (6 jiwa) lebih besar daripada di wilayah pedalaman (5 jiwa). Pada model sikap anak terhadap makan ikan laut, besar keluarga memberi kontribusi nyata dan langsung sebesar β=0,12*, artinya setiap kenaikan 1 skor pada peubah besar keluarga meningkatkan skor sikap anak sebesar 0,12. Kegiatan-kegiatan yang terdapat pada peubah Pola makan bersama juga merupakan salah satu bentuk kehadiran orang lain pada waktu kegiatan makan. Hasil penelitian Cullen et al. (2000) terhadap anak-anak di usia sekolah menyatakan bahwa kehadiran teman-teman sebaya pada situasi makan mempengaruhi sikap dan meningkatkan konsumsi anak terhadap buah sayur. Pada dasarnya kehadiran orang-orang lain pada situasi makan cenderung membuat sikap dan perilaku makan semakin positif. Dari hubungan dan pengaruh peubah-peubah sosiodemografi dan karakteristik ibu pada sikap anak terhadap makan ikan laut dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir sangat berperan pada sikap anak terhadap makan ikan laut. Sikap afektif ibu selain secara langsung memberi kontribusi nyata ke sikap anak, juga berlaku sebagai mediator peubah-peubah lainnya untuk mempengaruhi sikap anak. Pendidikan ibu berpeluang memberi pengaruh ke sikap anak melalui

86 158 ketidakpercayaan ibu terhadap mitos, secara khusus ke sikap kognitif anak. Ketersediaan ikan laut dalam menu keluarga yang mendapat pengaruh nyata dan langsung dari peubah wilayah, pendidikan ibu dan sikap afektif ibu ternyata tidak mampu memberi kontribusi nyata ke sikap anak terhadap makan ikan laut. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecenderungan Anak Makan Ikan Laut Model kecenderungan anak untuk makan ikan laut yang dipergunakan dalam penelitian ini (Gambar 14) mencakup beberapa faktor yang diduga mempengaruhi sikap anak, yaitu wilayah, pendidikan ibu, besar keluarga, persepsi dan ketidakpercayaan ibu terhadap mitos, sikap kognitif dan afektif ibu, perilaku ibu menyediakan ikan laut, pola asuh makan keluarga, sikap dan norma subyektif serta kontrol perilaku yang anak rasakan untuk makan ikan laut. Di dalam Theory of Planned Behavior, kecenderungan seseorang untuk bertindak berlaku sebagai prediktif utama perilaku yang dimaksud. Model ini memiliki nilai AGFI sebesar 0,84, yang berarti bahwa model ini termasuk moderate to fit, kecenderungan anak mengonsumsi ikan laut dapat dijelaskan oleh peubah-peubah yang terkandung di dalam model sebesar 84%. Sedang 16% lainnya diterangkan oleh peubah-peubah yang tidak dimasukkan ke dalam model. Berdasarkan analisis jalur pada model kecenderungan anak makan ikan laut terlihat bahwa peubah yang memberi kontribusi nyata dan langsung hanyalah kontrol yang anak rasakan untuk makan ikan laut dan sikap anak terhadap makan ikan laut. Satu-satunya peubah terikat dalam penelitian ini yang tidak dipengaruhi peubah wilayah secara langsung adalah kecenderungan anak untuk makan ikan laut. Kontribusi keseluruhan ke peubah kecenderungan anak makan ikan laut diperoleh dari kontrol yang anak rasakan untuk makan ikan laut, sikap anak makan ikan laut, wilayah pesisir dan pola makan keluarga. Besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung ke peubah kecenderungan anak mengonsumsi ikan laut dapat dilihat pada Tabel 89. Pada model ini kontrol yang anak rasakan untuk makan ikan laut memberikan pengaruh signifikan paling besar dibandingkan peubah-peubah lainnya (β=0,32*). Kontrol yang anak rasakan merupakan keyakinan anak akan kemampuannya untuk makan ikan laut. Mereka yang memiliki keyakinan tinggi

87 159 untuk melakukan tindakan yang dimaksud akan memperbesar motivasi atau kecenderungan untuk melakukan tindakan tersebut (Azjen 1991). Semakin besar kontrol yang anak rasakan untuk makan ikan laut, artinya semakin besar keyakinannya untuk bisa makan ikan laut dan hal itu berarti memperbesar motivasi untuk makan ikan laut. Wilayah: Wilayah pesisir dan pedalaman Pend. Ibu: Pendidikan dasar, menengah atau atas Pendapatan: Pendapatan keluarga/kapital/bulan Persepsi ibu: Persepsi ibu tentang ikan laut Mitos: Ketidakpercayaan ibu thd mitos makan ikan laut Sikap Kognitif ibu: Sikap kognitif ibu terhadap ikan laut Sikap Afektif ibu: Sikap afektif ibu thd ikan laut Pola makan: Pola makan keluarga, persepsi anak Kontrol perilaku: yang anak rasakan untuk makan ikan Kecenderungan: Kecenderungan anak makan ikan λ 2 = 111,09 Df= 39 P-value= 0,00 RMSEA= 0,088 GFI= 0,94 AGFI= 0,84 Perilaku ibu: Perilaku ibu menyediakan ikan laut Sikap anak: Sikap anak terhadap makan ikan laut Besaran kel.: Jumlah anggota dalam keluarga Norma subyektif: yang dirasakan utk makan ikan Gambar 14 Analisis jalur model kecenderungan anak untuk makan ikan laut. Rata-rata kontrol yang anak rasakan untuk makan ikan laut di kedua wilayah termasuk kategori cukup besar dengan skor rata-rata 64, yang artinya anak cukup yakin untuk bisa makan ikan laut (Tabel 81). Bila dilihat per wilayah, terdapat perbedaan nyata, kontrol yang anak wilayah pesisir rasakan untuk makan ikan laut lebih besar. Kecenderungan anak untuk makan ikan laut secara nyata juga lebih besar di wilayah pesisir dengan skor rataan sebesar 70 (Tabel 83). Sikap anak terhadap makan ikan laut merupakan kontributor terbesar kedua

88 160 setelah peubah kontrol yang anak rasakan untuk makan ikan laut. Sikap anak memberi pengaruh signifikan sebesar β=0,22*. Hasil tabulasi silang (Tabel 67) menunjukkan bahwa skor rata-rata sikap anak di kedua wilayah sebesar 73 yang berarti sikap anak cukup positif terhadap makan ikan laut dan secara nyata lebih positif di wilayah pesisir. Norma subyektif untuk makan ikan laut yang anak rasakan merupakan dukungan sosial yang anak rasakan untuk makan ikan laut. Dukungan sosial yang kuat menunjukkan bahwa dukungan tersebut sangat dirasakan mempengaruhi anak makan ikan laut dan sebaliknya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa norma subyektif yang anak rasakan untuk makan ikan laut tidak memberi kontribusi nyata pada kecenderungan anak makan ikan laut (β= 0,05). Pada model ini terlihat jelas peran TPB dalam menjelaskan peubah terikat kecenderungan anak makan ikan laut. Ketiga peubah di atas, yaitu kontrol perilaku dan norma subyektif yang anak rasakan serta sikap anak terhadap makan ikan laut merupakan komponen penting dalam TPB yang mendasari penelitian ini. TPB dapat memprediksi bahwa sikap anak terhadap ikan laut dan kontrol terhadap perilaku mengonsumsi ikan laut yang anak rasakan memberi kontribusi nyata dan terbesar pada kecenderungan anak makan ikan laut. Faktorfaktor sosio-demografi keluarga responden dan karakteristik ibu memberi pengaruh ke kecenderungan anak makan ikan laut melalui komponen TPB, yaitu sikap anak terhadap makan ikan laut. Hasil ini sejalan dengan penelitian Mahon et al. (2006) dalam penelitiannya tentang konsumsi makanan siap santap ( ready meals ) dan pembelian takeaways pada konsumen di Inggris. Dalam penelitiannya sikap konsumen merupakan penentu utama pada kecenderungan konsumen sedang norma subyektif yang konsumen rasakan tidak memberikan pengaruh nyata. Penelitian Fila dan Smith (2006) tentang perilaku makan sehat pada anak-anak Amerika usia 9-18 tahun menunjukkan hal yang sama, bahwa ketiga komponen TPB, yaitu sikap, norma subyektif dan kontrol perilaku mampu memprediksi kecenderungan dan perilaku anak makan sehat. Sedang dalam penelitian ini norma subyektif yang anak rasakan tidak memberikan kontribusi nyata pada kecenderungan anak mengonsumsi ikan laut. Ada beberapa penjelasan tentang tidak adanya kontribusi norma subyektif. Persepsi anak terhadap peraturan makan keluarga di kedua wilayah (Tabel 57) termasuk

89 161 kurang bagus namun berbeda nyata. Persepsi anak di wilayah pesisir lebih baik walaupun skor rata-ratanya termasuk kurang bagus. Hal ini berarti peraturan makan keluarga anak rasakan kurang memberi peluang untuk menyatakan perilaku makannya. Akibatnya peluang orangtua untuk dapat mempengaruhi perilaku makan anak menjadi kecil. Hal ini terlihat pada hasil yang menunjukkan tidak ada kontribusi nyata dari norma subyektif yang anak rasakan ke kecenderungan anak mengonsumsi ikan laut. Selain itu perlu diketahui bahwa usia anak berada pada masa transisi. Dalam perkembangan anak, sampai usia masa sekolah, orangtua memiliki pengaruh besar terhadap anak. Pengaruh tersebut perlahan-lahan akan longgar dan digantikan peran dari teman-teman sebaya serta lingkungan di luar keluarganya ketika anak memasuki usia remaja. Masa transisi memungkinkan melemahnya peran dari orangtua dan masih lemahnya pengaruh lingkungan di luar keluarganya pada diri responden. Hal ini menyebabkan norma subyektif yang anak rasakan untuk mengonsumsi ikan laut tidak memiliki pengaruh nyata pada kecenderungan anak makan kan laut. Wilayah pesisir secara langsung tidak memberi kontribusi nyata pada kecenderungan anak mengonsumsi ikan laut, namun secara tidak langsung memberikan kontribusi nyata sebesar β=0,10* sehingga secara total wilayah pesisir memberi kontribusi total sebesar β=0,12*. Wilayah pesisir mempengaruhi secara tidak langsung melalui tiga jalur, yaitu 1) melalui sikap anak-kecenderungan anak, 2) melalui persepsi ibu-sikap afektif ibu-sikap anak-kecenderungan anak, dan 3) melalui sikap afektif ibu-sikap anak-kecenderungan anak. Walaupun korelasi antara wilayah dan kecenderungan anak termasuk signifikan namun lemah (r=-0,232*), ketersediaan ikan laut di wilayah pesisir bagaimanapun juga memberi dorongan kuat pada anak untuk mengonsumsi ikan laut. Dua peubah lainnya yang juga memberi pengaruh nyata secara tidak langsung adalah pola makan keluarga menurut anak (β= 0,05*) dengan total pengaruh sebesar β=0,07* dan sikap afektif ibu sebesar β=0,05*. Kedua peubah tersebut memberi pengaruh ke kecenderungan makan ikan laut melalui peubah sikap anak terhadap makan ikan laut. Berbeda dengan posisi peubah sikap afektif ibu pada model-model sebelumnya yang mempunyai peran penting mempengaruhi peubah terikat, pada model kecenderungan anak mengonsumsi ikan laut, sikap anak terhadap makan ikan laut merupakan peubah penting bagi peubah-peubah lainnya untuk mempengaruhi kecenderungan anak makan ikan laut. Pendidikan dan sikap kognitif

90 162 ibu tidak berpengaruh nyata pada kecenderungan anak makan ikan laut, walaupun secara langsung pendidikan ibu memberi pengaruh nyata pada ketidakpercayaan ibu pada mitos sebesar β=0,41*, pada sikap kognitif ibu sebesar β=0,38*, pada perilaku ibu menyediakan ikan laut sebesar β=0,23* dan pada sikap anak terhadap makan ikan laut sebesar β=0,21*. Dari beberapa peubah, hanya sikap anak yang berpengaruh langsung ke kecenderungan anak makan ikan laut. Dengan demikian dapat dikatakan TPB mampu memprediksi kecenderungan anak makan ikan laut melalui dua komponennya yaitu sikap anak terhadap makan ikan laut dan kontrol yang anak rasakan untuk makan ikan laut. Sikap anak terhadap makan ikan laut merupakan peubah penting dalam model ini karena menjadi mediator untuk peubah-peubah lainnya mempengaruhi kecenderungan anak makan ikan laut. Tabel 89 Peubah penentu kecenderungan anak mengonsumsi ikan laut Peubah bebas Efek langsung Efek tidak langsung Efek total R 2 Wilayah -0,03-0,10* -0,12* 0,25 Pendidikan ibu Besar keluarga Pendapatan per kapita Sikap kognitif ibu Sikap afektif ibu Sikap anak Norma subyektif Kontrol perilaku Pola makan keluarga, persepsi anak 0, ,06 0,03 0,22* 0,06 0,32* 0,03 0,01 0,02 0,00 0,01 0,05* ,05* 0,04 0,02 0,00-0,06 0,08 0,22* 0,06 0,32* 0,07* Keterangan: *Signifikan pada α=5% Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Mengonsumsi Ikan Laut Perilaku anak mengonsumsi ikan laut merupakan peubah terikat terakhir dalam penelitian ini, yang diukur melalui dua hal yaitu (1) frekuensi konsumsi ikan laut per minggu dan (2) konsumsi ikan laut dalam gram per hari Frekuensi Anak Mengonsumsi Ikan Laut per Minggu Hasil tabulasi silang pada frekuensi anak makan ikan laut per minggu menunjukkan bahwa rata-rata anak mengonsumsi ikan laut hampir 5 kali per minggu dan analisis uji-t menunjukkan bahwa frekuensi makan di kedua wilayah berbeda nyata (p=0,000). Rata-rata responden di wilayah pesisir makan ikan laut sebanyak 6 kali per minggu, sedang di wilayah pedalaman 3 kali per minggu.

91 163 Model perilaku anak mengonsumsi ikan laut dilihat dari segi frekuensi konsumsi memiliki nilai AGFI sebesar 0,85 berarti model ini moderate to fit, 85% frekuensi anak mengonsumsi ikan laut dapat dijelaskan oleh peubah-peubah yang ada di dalam model. Berdasarkan analisis jalur pembentukan frekuensi anak mengonsumsi ikan laut (Gambar 15), peubah-peubah yang memberikan kontribusi nyata adalah wilayah pesisir, sikap afektif ibu, sikap anak terhadap makan ikan laut dan persepsi ibu tentang ikan laut. Pola makan keluarga dan pendidikan ibu memberi kontribusi nyata secara tidak langsung, sedang peubahpeubah lainnya, di antaranya ketiga komponen penting TPB tidak memberi kontribusi nyata pada frekuensi anak mengonsumsi ikan laut. Besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung dapat dilihat pada Tabel 90. Secara keseluruhan wilayah pesisir memberikan kontribusi nyata terbesar pada model ini sebesar β=0,55* yang berarti setiap kenaikan 1 skor pada peubah wilayah akan meningkatkan skor perilaku anak sebesar 0,55. Secara langsung kontribusi wilayah pesisir adalah sebesar β=0,32* dan secara tidak langsung melalui lima jalur sebesar β=0,22*, yaitu melalui 1) sikap afektif ibu perilaku anak, 2) sikap afektif ibu sikap anak perilaku anak, 3) persepsi ibu-sikap afektif ibu-perilaku anak, 4) persepsi ibu-sikap anak-perilaku anak, dan 5) sikap anakperilaku anak. Dari lima jalur pengaruh tak langsung wilayah ke frekuensi anak mengonsumsi ikan laut, sikap afektif ibu merupakan peubah penentu. Selain memberi pengaruh nyata dan langsung terbesar kedua setelah peubah wilayah, yaitu sebesar β=0,21*, sikap afektif ibu juga memberi pengaruh langsung ke sikap anak terhadap makan ikan laut sebesar β=0,19*. Hal ini menunjukkan pentingnya sikap afektif atau kesukaan ibu terhadap ikan laut sebagai mediator pengaruh peubah-peubah lainnya ke peubah terikat, yaitu 1) membuat ikan laut tersedia dalam menu keluarga, walaupun tersedianya ikan laut dalam menu keluarga tidak memberi kontribusi nyata pada sikap, kecenderungan dan perilaku anak mengonsumsi ikan laut, dan 2) memberi kontribusi nyata pada sikap anak yang memberikan pengaruh pada kecenderungan anak mengonsumsi ikan laut dan frekuensi anak mengonsumsi ikan laut per minggu. Selain sikap afektif ibu terhadap ikan laut, peubah lain yang berperan lebih penting pada model frekuensi anak mengonsumsi ikan laut per minggu adalah sikap anak terhadap makan ikan laut. Sikap anak terhadap makan ikan

92 164 laut memberi kontribusi nyata secara langsung ke frekuensi anak mengonsumsi sebesar β=0,19*. Peubah sikap anak mengakomodasi lebih banyak pengaruh peubah seperti pendidikan dan ketidakpercayaan ibu terhadap mitos, pola makan keluarga dan besar keluarga secara tidak langsung ke frekuensi anak mengonsumsi ikan laut (Gambar 15). Hasil analisis jalur pada model ini kurang dapat membuktikan berfungsinya seluruh komponen Theory of Planned Behavior yang mendasari penelitian ini. Sikap anak terhadap makan ikan laut merupakan satu-satunya komponen TPB yang menentukan frekuensi anak mengonsumsi ikan laut. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Birch (2002) yang menyatakan bahwa perilaku anak mengonsumsi makanan lebih ditentukan pada sikapnya terhadap makanan tersebut, terutama preferensinya. Nilai korelasi antara keempat komponen TPB dengan frekuensi mengonsumsi ikan laut, berkisar dari cukup kuat hingga kuat. Korelasi terkuat adalah antara sikap anak dan frekuensi mengonsumsi ikan laut (r=0,465**). Bila ditelusuri, data frekuensi mengonsumsi ikan laut diperoleh dari catatan responden tentang konsumsi satu bulan terakhir. Responden diminta untuk mencatat frekuensi konsumsi ikan laut dengan kategori jawaban: tidak pernah, jarang (1-3x/bln), sering (1-6x/mg), dan selalu (1-3x/hr). Tampaknya dalam mencatat konsumsi ikan laut selama satu bulan terakhir, responden memerlukan ingatan dan apa yang bisa diingat berkaitan dengan apa yang menyenangkan atau apa yang disukai. Bila dilihat, korelasi antara sikap anak terhadap makan ikan laut dan frekuensi mengonsumsi ikan laut termasuk kuat (r=0,465**). Semakin positif sikap anak terhadap makan ikan laut, semakin sering mengonsumsi ikan laut. Penjelasan ini menerangkan cara peubah sikap anak memberi kontribusi nyata pada frekuensi anak mengonsumsi ikan laut. Di dalam mencatat kegiatan makan yang telah lewat yaitu konsumsi selama satu bulan terakhir, responden tidak memerlukan keyakinan bahwa dia mampu mengonsumsi ikan laut dan kecenderungan untuk mengonsumsi ikan laut, karena kegiatan makan itu telah lewat untuk waktu yang cukup lama.

93 165 λ 2 = 100,58 Df= 40 P-value= 0,00 RMSEA= 0,055 GFI= 0,95 AGFI= 0,85 Gambar 15 Analisis jalur model frekuensi makan ikan laut per minggu. Di luar dari ke empat komponen TPB, peubah wilayah pesisir dan sikap afektif ibu terhadap ikan laut memberikan kontribusi besar pada peubah terikat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kontributor nyata dan besar pada frekuensi anak mengonsumsi ikan laut adalah wilayah pesisir sebesar β=0,55*, sikap ibu terhadap ikan laut sebesar β=0,26*, dan sikap anak terhadap makan ikan laut sebesar β=0,22*. Pola makan keluarga tidak memberi pengaruh nyata pada perilaku anak. Hal ini telah dapat dilihat dari hasil tabulasi silang pada persepsi anak tentang pola makan keluarga, pola makan keluarga di kedua wilayah termasuk kurang bagus (skor rataan=57) (Tabel 55), artinya kegiatan makan bersama keluarga, perhatian orangtua ke makanan anak-anaknya dan penyediaan makanan yang disukai keluarga kurang dilakukan. Norma subyektif internal, yaitu dukungan yang berasal dari keluarga yang dirasakan anak untuk makan ikan laut juga telah mengidentifikasikan demikian. Norma subyektif internal di kedua wilayah termasuk kurang mendukung anak untuk makan ikan laut (skor rataan=43) (Tabel 73). Dengan demikian pola makan keluarga dan norma subyektif internal telah menunjukkan bahwa orangtua

94 166 dengan kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan makan kurang memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku anak mengonsumsi ikan laut. Tabel 90 Peubah penentu frekuensi anak mengonsumsi ikan laut per minggu Peubah bebas Direct Indirect Total effects effects effects R 2 Wilayah -0.32* -0.22* -0.55* 0.43 Pendidikan ibu Besar keluarga Pendapatan keluarga/kapita Persepsi ibu ttg ikan laut Ketidakpercayaan ibu terhadap mitos makan ikan laut Sikap kognitif ibu thd ikan laut Sikap afektif ibu thd ikan laut Perilaku ibu menyediakan ikan laut dlm menu keluarga Sikap anak thd makan ikan laut Norma subyektif yg anak rasakan Kontrol perilaku yg anak rasakan Kecenderungan anak makan ikan Pola makan keluarga * * * * * * * * Keterangan: *) signifikan pada α = 5% Konsumsi Ikan Laut pada Anak per Hari Hasil tabulasi silang pada konsumsi ikan laut per hari (Tabel 85) menunjukkan bahwa rata-rata anak di kedua wilayah telah mengonsumsi 108 gram ikan laut/hari. Konsumsi ini telah melebihi pemenuhan angka kecukupan protein hewan yang berasal dari ikan, yaitu 9 gr protein/hari yang ekivalen dengan 72,7 gr ikan/hari. Namun bila dilihat di masing-masing wilayah, hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa konsumsi ikan laut per hari secara signifikan jauh lebih banyak pada anak di wilayah pesisir (163 gr/hari) dibandingkan dengan konsumsi anak di wilayah pedalaman (46 gr/hari). Model pembentukan konsumsi ikan laut memiliki nilai AGFI sebesar 0,86, berarti model ini moderate to fit, 86% konsumsi ikan laut pada anak dapat dijelaskan oleh peubah-peubah yang ada di dalam model. Berdasarkan analisis jalur (Gambar 16), terdapat lima peubah yang memberi pengaruh signifikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap konsumsi ikan laut pada anak, yaitu wilayah pesisir, kecenderungan anak makan ikan laut, sikap afektif ibu terhadap ikan laut, sikap kognitif ibu namun secara negatif dan kontrol perilaku yang anak rasakan. Peubah-peubah lainnya tidak memberikan pengaruh nyata pada konsumsi ikan laut pada anak, di antaranya pendidikan ibu, sikap dan

95 167 kontrol perilaku yang anak rasakan untuk makan ikan laut. Besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung dapat dilihat pada Tabel 91. Wilayah pesisir memberikan kontribusi terbesar pada konsumsi ikan laut per hari sebesar β=0,50* yang berasal dari pengaruh langsung sebesar β=0,41* dan pengaruh tidak langsung sebesar β=0,10* melalui empat jalur, yaitu melalui 1) persepsi ibu - sikap afektif ibu - sikap anak - kecenderungan anak - perilaku konsumsi anak, 2) persepsi ibu - sikap kognitif ibu - perilaku konsumsi anak, 3) sikap afeksi ibu - sikap anak - kecenderungan anak - perilaku konsumsi anak, dan 4) sikap anak - kecenderungan anak - perilaku konsumsi anak. Dalam pendekatan Theory of Planned Behavior, kecenderungan anak makan ikan laut membuktikan menjadi penentu utama konsumsi ikan laut pada anak dengan memberikan kontribusi nyata sebesar β= 0,13*. Peubah kontrol perilaku yang anak rasakan untuk makan ikan laut hanya memberi kontribusi nyata namun tidak langsung sebesar β=0,04*, yaitu melalui kecenderungan anak makan ikan laut. Tidak berpengaruhnya kontrol perilaku yang anak rasakan secara langsung menunjukkan bahwa perilaku makan ikan laut pada anak bukanlah perilaku yang sepenuhnya di bawah kontrol kemauan anak. Sebagaimana ditunjukkan pada hasil penelitian Fila dan Smith (2006), bahwa perilaku makan sehat tidak berada di bawah kontrol kemauan individu secara lengkap. Hasil penelitian sejalan dengan hasil penelitian Mahon et al. (2006) tentang konsumsi ready meals dan pembelian takeaways pada konsumen di Inggris yang menunjukkan bahwa kecenderungan konsumen merupakan penentu utama pada perilaku mengonsumsi makanan ready meals dan membeli takeaways. Hasil ini berbeda dengan penentu pada model frekuensi anak mengonsumsi ikan laut per minggu (Gambar 15), dimana pada model ini yang menentukan peubah terikat adalah sikap anak, sedang kontrol perilaku dan kecenderungan anak, sebagai komponen TPB, tidak memberi kontribusi nyata pada peubah terikat. Penjelasan yang dapat diberikan adalah dengan mempertimbangkan bahwa data konsumsi ikan laut per hari adalah data kegiatan yang terjadi di sekitar waktu pengambilan data. Dengan demikian kecenderungan anak untuk makan ikan laut menjadi faktor penting pada waktu anak mengonsumsi ikan laut. Sebagai contoh salah satu item pada peubah kecenderungan anak mengonsumsi ikan laut adalah Saya berencana untuk lebih sering makan ikan laut di hari-hari mendatang dengan pilihan jawaban Sangat ingin, Sekali-sekali

96 168 ingin, dan Tidak ingin. Hal ini berbeda dengan model frekuensi (Gambar 15) dimana anak mencatat konsumsi ikan laut selama satu bulan terakhir. λ 2 = 117,43 Df= 50 P-value= 0,00 RMSEA= 0,075 GFI= 0,94 AGFI= 0,86 Gambar 16 Analisis jalur model konsumsi ikan laut pada anak per hari. Sikap afektif ibu pada model konsumsi ikan laut tidak memberi kontribusi nyata baik secara langsung maupun tidak langsung namun secara total sikap afektif ibu memberi kontribusi sebesar β=0,13*. Sikap kognitif ibu yang pada model-model sebelumnya tidak memberi kontribusi nyata pada peubah-peubah terikat, namun pada model konsumsi ikan laut per hari sikap kognitif ibu memberi kontribusi nyata dan secara langsung namun negatif sebesar β=-0,13*. Kontribusi nyata yang negatif menunjukkan bahwa semakin banyak konsumsi ikan laut pada anak semakin kecil keyakinan ibu atas pengetahuan tentang gizi ikan laut. Hasil ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Madaniyah (2003) yang menyatakan bahwa pendidikan Gi-Psi Sehat pada ibu berdampak positif terhadap konsumsi pangan anaknya. Kemungkinan perbedaan pangan yang dikonsumsi pada kedua penelitian ini membuat terjadinya perbedaan pengaruh sikap kognitif ibu pada konsumsi pangan anaknya. Konsumsi pangan yang digunakan dalam penelitian Madaniyah (2003) adalah konsumsi pangan secara keseluruhan, sedang dalam penelitian ini adalah konsumsi ikan laut. Pendidikan ibu tidak memberikan kontribusi nyata dan langsung kepada konsumsi ikan laut pada anak (Gambar 15 dan Gambar 16). Hasil ini berbeda

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Lokasi 1. Kondisi Fisik Kawasan Pantai Kartini a. Peta Wilayah Sumber : Jepara dalam Angka 2016 Gambar 4.1 Peta Wilayah Kecamatan Jepara b. Kondisi Geografis Wilayah

Lebih terperinci

III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI

III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI Sumber : Dinas CIPTARU Gambar 1. Peta Wilayah per Kecamatan A. Kondisi Geografis Kecamatan Jepara merupakan salah satu wilayah administratif yang ada di Kabupaten Jepara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor perikanan penting bagi pembangunan nasional. Peranan sub sektor perikanan dalam pembangunan nasional terutama adalah menghasilkan bahan pangan protein hewani,

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI

BAB III TINJAUAN LOKASI BAB III TINJAUAN LOKASI 3.1. Tinjauan Kabupaten Jepara 3.1.1. Tinjauan Kabupaten Jepara Posisi geografis Kabupaten Jepara merupakan daerah paling ujung sebelah utara dari provinsi Jawa Tengah, yaitu pada

Lebih terperinci

Katalog BPS : 1101002.3315130 STATISTIK DAERAH KECAMATAN PURWODADI 2016 STATISTIK DAERAH KECAMATAN PURWODADI 2016 STATISTIK DAERAH KECAMATAN PURWODADI 2016 ISBN : 978-602-6432-05-6 No. Publikasi/Publication

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 34 BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1. Desa Karimunjawa 4.1.1. Kondisi Geografis Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) secara geografis terletak pada koordinat 5 0 40 39-5 0 55 00 LS dan 110 0 05 57-110

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Desain, Lokasi dan Waktu

METODE PENELITIAN. Desain, Lokasi dan Waktu 57 METODE PENELITIAN Desain, Lokasi dan Waktu Desain Penelitian ini menggunakan disain survei, suatu disain non-experimental dengan metode cross-sectional karena penelitian ini berhubungan dengan fenomena-fenomena

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Kelurahan Penjaringan memiliki lahan seluas 395.43 ha yang

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PABEAN UDIK KECAMATAN INDRAMAYU, KABUPATEN INDRAMAYU

V. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PABEAN UDIK KECAMATAN INDRAMAYU, KABUPATEN INDRAMAYU V. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PABEAN UDIK KECAMATAN INDRAMAYU, KABUPATEN INDRAMAYU Wilayah Kabupaten Indramayu terletak pada posisi geografis 107 o 52 sampai 108 o 36 Bujur Timur (BT) dan 6 o 15 sampai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. 34 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Daerah Penelitian 1. Keadaan Geografis a. Letak Geografis dan Wilayah Administratif Kabupaten Jepara secara geografis terletak pada 5 o 43 20,67 6 o 47 25,83

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN digilib.uns.ac.id 66 BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Keadaan Geografis Kabupaten Grobogan terletak pada posisi 68 ºLU dan & 7 ºLS dengan ketinggian rata-rata 41 meter dpl dan terletak antara

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) 58 BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) Bab ini mendeskripsikan karakteristik demografi individu petani

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI KOTA SURAKARTA

BAB II DESKRIPSI KOTA SURAKARTA BAB II DESKRIPSI KOTA SURAKARTA A. Kondisi Geografi Surakarta merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang menunjang kota-kota besar seperti Semarang maupun Yogyakarta. Letaknya yang strategis dan berpotensi

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN SERASAN STATISTIK DAERAH KECAMATAN SERASAN ISSN : - Katalog BPS : 1101002.2103.060 Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : 10 halaman Naskah : Seksi Neraca Wilayah dan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI. Tabel 7. Banyaknya Desa/Kelurahan, RW, RT, dan KK di Kabupaten Jepara Tahun Desa/ Kelurahan

KEADAAN UMUM LOKASI. Tabel 7. Banyaknya Desa/Kelurahan, RW, RT, dan KK di Kabupaten Jepara Tahun Desa/ Kelurahan KEADAAN UMUM LOKASI Keadaan Wilayah Kabupaten Jepara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di ujung utara Pulau Jawa. Kabupaten Jepara terdiri dari 16 kecamatan, dimana dua

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Lampung. Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada sampai

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Lampung. Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada sampai 31 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Keadaan Umum Kota Bandar Lampung Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Propinsi Lampung. Oleh karena itu, selain merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial,

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 41 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung 1. Keadaan Umum Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi di Republik Indonesia dengan areal daratan seluas 35.288 km2. Provinsi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. dengan DKI Jakarta yang menjadi pusat perekonomian negara.

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. dengan DKI Jakarta yang menjadi pusat perekonomian negara. 45 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kota Bandar Lampung merupakan sebuah kota yang menjadi ibukota provinsi Lampung, Indonesia. Kota Bandar Lampung pintu gerbang Pulau Sumatera. Sebutan ini layak

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN. A. Kelurahan Proyonanggan Utara Batang

BAB III GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN. A. Kelurahan Proyonanggan Utara Batang BAB III GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN A. Kelurahan Proyonanggan Utara Batang 1. Keadaan Fisik a. Letak 62 Kelurahan Proyonangan Utara merupakan kelurahan salah satu desa pesisir di Kabupaten Batang Provinsi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 8 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4. Keadaan Wilayah Kepulauan Seribu merupakan sebuah gugusan pulaupulau kecil yang terbentang dari teluk Jakarta sampai dengan Pulau Sibera. Luas total Kabupaten

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Propinsi Lampung. Oleh

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Propinsi Lampung. Oleh 39 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kota Bandar Lampung Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Propinsi Lampung. Oleh karena itu, selain merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial,

Lebih terperinci

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Gambaran Umum Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi Gambaran umum Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi dalam penelitian ini dihat

Lebih terperinci

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kelurahan Fatubesi merupakan salah satu dari 10 kelurahan yang

Lebih terperinci

PROFIL KECAMATAN TOMONI 1. KEADAAN GEOGRAFIS

PROFIL KECAMATAN TOMONI 1. KEADAAN GEOGRAFIS PROFIL KECAMATAN TOMONI 1. KEADAAN GEOGRAFIS Kecamatan Tomoni memiliki luas wilayah 230,09 km2 atau sekitar 3,31 persen dari total luas wilayah Kabupaten Luwu Timur. Kecamatan yang terletak di sebelah

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. secara geografis terletak antara 101º20 6 BT dan 1º55 49 LU-2º1 34 LU, dengan

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. secara geografis terletak antara 101º20 6 BT dan 1º55 49 LU-2º1 34 LU, dengan 18 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Letak dan Keadaan Geografis Kelurahan Lubuk Gaung adalah salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Sungai Sembilan Kota Dumai Provinsi Riau. Kelurahan Lubuk

Lebih terperinci

III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Keadaan Geografis. Secara geografis Kabupaten Jepara terletak antara sampai

III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Keadaan Geografis. Secara geografis Kabupaten Jepara terletak antara sampai III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Keadaan Geografis Secara geografis Kabupaten Jepara terletak antara 110 0 9 48.02 sampai 110 0 58 37.40 Bujur Timur dan 5 0 43 20.67 sampai 6 0 74 25.83 Lintang Selatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan

BAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah laut yang lebih luas daripada luas daratannya. Luas seluruh wilayah Indonesia dengan jalur laut 12 mil adalah lima

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KECAMATAN AJIBATA KABUPATEN TOBA SAMOSIR ( )

BAB II GAMBARAN UMUM KECAMATAN AJIBATA KABUPATEN TOBA SAMOSIR ( ) BAB II GAMBARAN UMUM KECAMATAN AJIBATA KABUPATEN TOBA SAMOSIR (1998-2005) 2.1 Letak Geografis dan Keadaan Alam Kecamatan Ajibata merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Toba Samosir dengan luas wilayah

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pada penelitian yang berjudul Pasar Tradisional Mandiraja, Banjarnegara

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pada penelitian yang berjudul Pasar Tradisional Mandiraja, Banjarnegara 28 BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Pada penelitian yang berjudul Pasar Tradisional Mandiraja, Banjarnegara ditinjau dari segi sosial dan ekonomi dari tahun 2001-2014 ini, berlokasi di kecamatan

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT 2.1. Gambaran Umum 2.1.1. Letak Geografis Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Sumba, salah satu

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH. ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi.

KEADAAN UMUM WILAYAH. ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi. IV. KEADAAN UMUM WILAYAH Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, secara makro Kabupaten Sleman terdiri dari daerah dataran rendah yang subur pada bagian selatan,

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Indonesia yang secara geografis adalah negara kepulauan dan memiliki garis pantai yang panjang, serta sebagian besar terdiri dari lautan. Koreksi panjang garis

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Kota Serang 4.1.1 Letak geografis Kota Serang berada di wilayah Provinsi Banten yang secara geografis terletak antara 5º99-6º22 LS dan 106º07-106º25

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini akan mengemukakan hasil temuan data pada lokasi yang berfungsi sebagai pendukung analisa permasalahan yang ada. 4.. Gambaran Umum Desa Pulorejo 4... Letak geografis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia selain sebagai negara maritim juga sekaligus sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Artinya bahwa Indonesia merupakan negara yang paling

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Tempat Penelitian Palabuhnratu merupakan daerah pesisir di selatan Kabupaten Sukabumi yang sekaligus menjadi ibukota Kabupaten Sukabumi. Palabuhanratu terkenal

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM SUMBUL PEGAGAN. Sumbul Pegagan adalah salah satu dari enam belas kecamatan di Kabupaten

BAB II GAMBARAN UMUM SUMBUL PEGAGAN. Sumbul Pegagan adalah salah satu dari enam belas kecamatan di Kabupaten BAB II GAMBARAN UMUM SUMBUL PEGAGAN 2.1 Letak Geografis Sumbul Pegagan Sumbul Pegagan adalah salah satu dari enam belas kecamatan di Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Secara geografis Sumbul Pegagan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. daerah transit kegiatan perekonomian antara Pulau Sumatera dan Jawa, B. Keadaan Umum Kecamatan Teluk Betung Barat

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. daerah transit kegiatan perekonomian antara Pulau Sumatera dan Jawa, B. Keadaan Umum Kecamatan Teluk Betung Barat IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kota Bandar Lampung 1. Keadaan umum Kota Bandar Lampung merupakan ibu kota Provinsi Lampung. Kota Bandar Lampung terletak di wilayah yang strategis karena

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Desa Lebih terletak di Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali dengan luas wilayah 205 Ha. Desa Lebih termasuk daerah dataran rendah dengan ketinggian

Lebih terperinci

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN NUNHILA KECAMATAN ALAK KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN NUNHILA KECAMATAN ALAK KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN NUNHILA KECAMATAN ALAK KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR I. PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Kelurahan Nunhila memiliki 4 wilayah RW dan 17 wilayah RT, dengan

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Lampung Selatan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Lampung Selatan 47 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Lampung Selatan 1. Letak geografis, topografi, dan pertanian Kabupaten Lampung Selatan Wilayah Kabupaten Lampung Selatan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM Pada bab IV ini penulis akan menyajikan gambaran umum obyek/subyek yang meliputi kondisi geografis, sosial ekonomi dan kependudukan Provinsi Jawa Tengah A. Kondisi Geografis Provinsi

Lebih terperinci

Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi

Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi 54 IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN IV.1. Deskripsi Umum Wilayah yang dijadikan objek penelitian adalah kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat. Kecamatan Muara Gembong berjarak

Lebih terperinci

KONDISI SOSIAL EKONOMI

KONDISI SOSIAL EKONOMI Bab 3 KONDISI SOSIAL EKONOMI FENOMENA SOSIAL ANAK JALANAN 21 Bab 3 KONDISI SOSIAL EKONOMI Kota Pekanbaru merupakan ibukota dari Provinsi Riau yang mempunyai wilayah seluas 632,26 Km 2 yang pada tahun 2002

Lebih terperinci

NO KATALOG :

NO KATALOG : NO KATALOG : 1101002.3510210 STATISTIK DAERAH KECAMATAN WONGSOREJO 2013 Katalog BPS : 1101002.3510210 Ukuran Buku Jumlah Halaman : 25,7 cm x 18,2 cm : vi + Halaman Pembuat Naskah : Koordinator Statistik

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT.

STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT. STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT 214 Statistik Daerah Kecamatan Air Dikit 214 Halaman ii STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT 214 STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT 214 Nomor ISSN : - Nomor Publikasi

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG Rancangan BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BENGKALIS DAN PERKEMBANGAN PERIKANANNYA

BAB 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BENGKALIS DAN PERKEMBANGAN PERIKANANNYA BAB 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BENGKALIS DAN PERKEMBANGAN PERIKANANNYA A. Sejarah Singkat Kabupaten Bengkalis Secara historis wilayah Kabupaten Bengkalis sebelum Indonesia merdeka, sebagian besar berada

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik responden merupakan ciri yang menggambarkan identitas

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik responden merupakan ciri yang menggambarkan identitas V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Karakteristik responden merupakan ciri yang menggambarkan identitas responden yang membedakan antara satu responden dengan responden yang lain.. Karakteristik

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN digilib.uns.ac.id 40 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Geografis Desa Bedono merupakan salah satu Desa di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak yang terletak pada posisi 6 0 54 38,6-6 0 55 54,4

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Dilihat dari peta Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Grobogan terletak diantara dua pegunungan kendeng yang membujur dari arah ke timur dan berada

Lebih terperinci

BAB II KONDISI DESA BELIK KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG. melakukan berbagai bidang termasuk bidang sosial.

BAB II KONDISI DESA BELIK KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG. melakukan berbagai bidang termasuk bidang sosial. 18 BAB II KONDISI DESA BELIK KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG A. Keadaan Geografis 1. Letak, Batas, dan Luas Wilayah Letak geografis yaitu letak suatu wilayah atau tempat dipermukaan bumi yang berkenaan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 96 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Dalam bab ini, akan dipaparkan secara umum tentang 14 kabupaten dan kota yang menjadi wilayah penelitian ini. Kabupaten dan kota tersebut adalah

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUNGURAN UTARA 2015 STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUNGURAN UTARA 2015 ISSN : - Katalog BPS : 1101002.2103.041 Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : 10 halaman Naskah :

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal,

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal, V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini berbatasan dengan Desa Bantarjati

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. Kondisi Kebun Buah Mangunan. 1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Kebun Buah Mangunan

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. Kondisi Kebun Buah Mangunan. 1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Kebun Buah Mangunan III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI Kondisi Kebun Buah Mangunan 1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Kebun Buah Mangunan Wilayah Kabupaten Bantul merupakan salah satu wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH. Oleh : Ida Mulyani

POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH. Oleh : Ida Mulyani POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Ida Mulyani Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat beraneka ragam dan jumlahnya sangat melimpah

Lebih terperinci

PROFIL DESA. Profil Kelurahan Loji. Kondisi Ekologi

PROFIL DESA. Profil Kelurahan Loji. Kondisi Ekologi 23 PROFIL DESA Pada bab ini akan diuraikan mengenai profil lokasi penelitian, yang pertama mengenai profil Kelurahan Loji dan yang kedua mengenai profil Kelurahan Situ Gede. Penjelasan profil masingmasing

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN A. Deskripsi Obyek Penelitian 1. Letak Pasar Tradisional Ngaliyan Pasar Ngaliyan secara administratif terletak di kecamatan Ngaliyan yang berada di bagian barat kota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberlakuan Otonomi Daerah yang diamanatkan melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang termaktub pada pasal 117, yang berbunyi : "Ibukota Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. luas keseluruhan wilayah kabupaten pasaman barat. Kecamatan sungai beremas dengan

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. luas keseluruhan wilayah kabupaten pasaman barat. Kecamatan sungai beremas dengan BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Geografis Kecamatan sungai beremas merupakan salah satu daerah di sebelah utara kabupaten pasaman barat dengan luas wilayah sekitar 440,48 km 2 atau 11,33 persen

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 25 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Cirebon 4.1.1 Kondisi geografis dan topografi Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

Mangrove dan Pesisir Vol. III No. 3/

Mangrove dan Pesisir Vol. III No. 3/ PROFIL USAHA ISTRI NELAYAN MANGGOPOH PALAK GADANG PADANG PARIAMAN Oleh: Hasan Basri Nasution Peneliti Pusat Kajian Mangrove dan Kawasan Pesisir Universitas Bung Hatta Jl. Sumatera Ulak Karang Padang Abstrak

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 43 IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Geografis 1. Letak dan Batas Wilayah Kabupaten Kudus secara geografis terletak antara 110º 36 dan 110 o 50 BT serta 6 o 51 dan 7 o 16 LS. Kabupaten Kudus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi 1 A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia memiliki lahan perikanan yang cukup besar. Hal ini merupakan potensi yang besar dalam pengembangan budidaya perikanan untuk mendukung upaya pengembangan perekonomian

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Belitung yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 sejak

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Belitung yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 sejak IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Belitung Timur adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Bangka Belitung yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 sejak tanggal 25 Februari

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM 4.1 Keadaan Geografi

4 KEADAAN UMUM 4.1 Keadaan Geografi 20 4 KEADAAN UMUM 4.1 Keadaan Geografi Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah propinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur Jawa Barat dan merupakan batas sekaligus

Lebih terperinci

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Kota Serang Kota Serang adalah ibukota Provinsi Banten yang berjarak kurang lebih 70 km dari Jakarta. Suhu udara rata-rata di Kota Serang pada tahun 2009

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Kondisi Alam 1. Letak, Batas Wilayah, dan Keadaan Alam Provinsi Jawa Timur merupakan satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa selain Provinsi Daerah Khusus

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Secara administratif Kota Yogyakarta berada di bawah pemerintahan Propinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) yang merupakan propinsi terkecil setelah Propinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara geografis berada di pesisir

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM

BAB II GAMBARAN UMUM BAB II GAMBARAN UMUM 2.I Identifikasi Wilayah 2.1.1 Lokasi Desa Sukanalu Desa Sukanalu termasuk dalam wilayah kecamatan Barus Jahe, kabupaten Karo, propinsi Sumatera Utara. Luas wilayah Sukanalu adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi penggerak utama (prime mover)

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi penggerak utama (prime mover) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan, Indonesia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan 81.000 km panjang garis pantai, memiliki potensi beragam sumberdaya pesisir dan laut yang

Lebih terperinci

BAB II SOSIAL DEMOGRAFIS TINJAUAN LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Ukui yang ibukotanya pangkalan Kerinci

BAB II SOSIAL DEMOGRAFIS TINJAUAN LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Ukui yang ibukotanya pangkalan Kerinci 15 BAB II SOSIAL DEMOGRAFIS TINJAUAN LOKASI PENELITIAN A. Kecamatan Ukui 1. Geografis Kecamatan Ukui Kecamatan Ukui yang ibukotanya pangkalan Kerinci merupakan salah satu Kecamatan yang termasuk dalam

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG

STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG 2015 STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG 2015 No Publikasi : 2171.15.27 Katalog BPS : 1102001.2171.060 Ukuran Buku : 24,5 cm x 17,5 cm Jumlah Halaman : 14 hal. Naskah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi 69 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang letak daerahnya hampir dekat dengan daerah sumatra selatan.

Lebih terperinci

BAB III ANALISISI PERENCANAAN KAWASAN PRIORITAS

BAB III ANALISISI PERENCANAAN KAWASAN PRIORITAS BAB III ANALISISI PERENCANAAN KAWASAN PRIORITAS 3.1 Analisis Keterkaitan Ruang Perencanaan Dengan Hinterland KAB/KOTA 3.1.1 Analisis Struktur Penduduk 3.1.1.1 Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Menurut

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUNGURAN BARAT 2015

STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUNGURAN BARAT 2015 STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUNGURAN BARAT 2015 STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUNGURAN BARAT 2015 ISSN : - Katalog BPS : 1101002.2103.040 Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : 10 halaman Naskah :

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELIITIAN. berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat. Letaknya antara Lintang

KEADAAN UMUM DAERAH PENELIITIAN. berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat. Letaknya antara Lintang II. KEADAAN UMUM DAERAH PENELIITIAN Kabupaten Brebes terletak di sepanjang pantai utara Laut Jawa, merupakan salah satu daerah otonom di Provinsi Jawa Tengah, memanjang keselatan berbatasan dengan wilayah

Lebih terperinci

PERAN WANITA DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA NELAYAN DI DESA TASIKAGUNG KECAMATAN REMBANG KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH

PERAN WANITA DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA NELAYAN DI DESA TASIKAGUNG KECAMATAN REMBANG KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH PERAN WANITA DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA NELAYAN DI DESA TASIKAGUNG KECAMATAN REMBANG KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH TUGAS AKHIR TKP 481 Oleh : ASTRID EKANINGDYAH L2D000400 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. permukaan laut, dan batas-batas wilayah sebagai berikut : a) Batas Utara : Kabupaten Banyuasin

V. GAMBARAN UMUM. permukaan laut, dan batas-batas wilayah sebagai berikut : a) Batas Utara : Kabupaten Banyuasin V. GAMBARAN UMUM 5.1 Keadaan Umum Kota Palembang Kota Palembang merupakan ibukota dari Provinsi Sumatera Selatan. Secara geografis Kota Palembang terletak antara 2 52' - 3 5' Lintang Selatan dan 104 37'

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Desa Gunung Malang merupakan salah

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 28 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas Wilayah Kelurahan Pasir Mulya merupakan salah satu Kelurahan yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor. Dengan luas wilayah

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Citapen Lokasi penelitian tepatnya berada di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Profil Kabupaten Ngawi 1. Tinjauan Grafis a. Letak Geografis Kabupaten Ngawi terletak di wilayah barat Provinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tentang partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program wajib belajar sembilan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tentang partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program wajib belajar sembilan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Semua data yang telah berhasil dikumpulkan oleh peneliti selama melakukan penelitian akan disajikan pada bab ini. Data tersebut merupakan data tentang partisipasi

Lebih terperinci

Statistik Daerah Kabupaten Bintan

Statistik Daerah Kabupaten Bintan Statistik Daerah Kabupaten Bintan 2012 STATISTIK DAERAH KECAMATAN TAMBELAN 2014 STATISTIK DAERAH KECAMATAN TAMBELAN 2014 ISSN : No. Publikasi: 21020.1423 Katalog BPS : 1101001.2102.070 Ukuran Buku : 17,6

Lebih terperinci

FAKTOR ANAK YANG BERHUBUNGAN DENGAN LAMA MENETAP DARI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA TERATAI KOTA PALEMBANG

FAKTOR ANAK YANG BERHUBUNGAN DENGAN LAMA MENETAP DARI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA TERATAI KOTA PALEMBANG FAKTOR ANAK YANG BERHUBUNGAN DENGAN LAMA MENETAP DARI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA TERATAI KOTA PALEMBANG Mega Nurhayati 1, Lili Erina 2, Tatang Sariman 3 1,2,3 Program Studi Kependudukan, Program

Lebih terperinci

BAB II. KONDISI WILAYAH DESA ONJE A. Letak Geografi dan Luas Wilayahnya Desa Onje adalah sebuah desa di Kecamatan Mrebet, Kabupaten

BAB II. KONDISI WILAYAH DESA ONJE A. Letak Geografi dan Luas Wilayahnya Desa Onje adalah sebuah desa di Kecamatan Mrebet, Kabupaten BAB II KONDISI WILAYAH DESA ONJE A. Letak Geografi dan Luas Wilayahnya Desa Onje adalah sebuah desa di Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, yang terdapat komunitas Islam Aboge merupakan ajaran Islam

Lebih terperinci

6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN 6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN Hasil tangkapan di PPS Belawan idistribusikan dengan dua cara. Cara pertama adalah hasil tangkapan dari jalur laut didaratkan di PPS Belawan didistribusikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Tempat Penelitian 4.1.1 Lokasi dan Keadaan Umum Pasar Ciroyom Bermartabat terletak di pusat Kota Bandung dengan alamat Jalan Ciroyom-Rajawali. Pasar Ciroyom

Lebih terperinci