LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN"

Transkripsi

1 LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN Kajian Karakteristik Campuran Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir) Kelas A Dengan Crumb Rubber 40 Mesh Sebagai Substitusi Sebagian Agregat Halus Nama Peneliti: I Nyoman Karnata Mataram, ST, MT Prof. Ir. I Nyoman Arya Thanaya, ME, PhD. Ir. I Gusti Putu Suparsa, MT. Luh Gede Noviana Dewi, ST. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Udayana 2015 Dibiayai dari: Dana DIPA BLU Universitas Udayana Tahun Anggaran 2015 Sesuai SK Rektor Unud No: 1564/UN /PN/2015 Tanggal 27 Juli 2015

2

3 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-nya, sehingga kami dapat menyelesaiakan Laporan Penelitian ini. Kami Tim Peneliti, Mengucapkan Banyak terimakasih kepada Bapak Rektor Unud, Bapak Dekan FT Unud, dan Bapak Ketua Jurusan Teknik Sipil FT Unud, yang telah memfasilitasi. Semoga Proposal Penelitian ini dapat dipertimbangkan dan atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih. Bukit Jimbaran, Hormat Kami Tim Peneliti ii

4 ABSTRAK Menurut data terakhir Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia peningkatan jumlah kendaraan bermotor pada tahun 2012 mencapai 10 juta unit. Hal ini mengakibatkan populasi kendaraan bermotor yang tercatat pada kepolisian naik sebesar 12% menjadi 94,229 juta unit dibandingkan periode tahun 2011 hanya 84,19 juta unit. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang pesat ini mengakibatkan kebutuhan akan ban kendaraan menjadi semakin meningkat. Oleh karena itu, perlu adanya solusi untuk mengatasi ban kendaraan bekas, yaitu dengan mengolah ban kendaraan bekas menjadi crumb rubber (parutan karet). Crumb rubber ini kemudian digunakan sebagai substitusi sebagian agregat halus pada campuran latasir kelas A. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengetahui karakteristik crumb rubber 40 mesh, karakteristik campuran latasir kelas A dengan crumb rubber 40 mesh sebagai substitusi sebagian agregat halus, dan karakteristik campuran latasir kelas A dengan crumb rubber 40 mesh sebagai substitusi sebagian agregat halus dengan pengurangan kadar aspal. Manfaat dari penelitian ini adalah mengurangi limbah ban kendaraan bekas dan menghemat penggunaan aspal. Crumb rubber 40 mesh diperoleh dari distributor hasil pengolahan ban kendaraan bekas di Sarirogo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Variasi kadar crumb rubber 40 mesh sebagai substitusi sebagian agregat halus adalah 50% dan 100% terhadap volume agregat halus yang lolos ayakan no. 40 (0,425 mm) dan tertahan ayakan no. 50 (0,30 mm) yang diperlukan. Substitusi agregat halus dengan crumb rubber 40 mesh dilakukan pada kadar aspal optimum (KAO) berdasarkan volume. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat karakteristik campuran dengan menggunakan crumb rubber sebagai substitusi sebagian agregat halus yang tidak memenuhi SNI. Nilai stabilitas rata-rata pada kadar crumb rubber 50% sebesar 240,82 kg dan pada kadar crumb rubber 100% sebesar 233,75 kg (spek. 200 kg). Nilai flow rata-rata pada kadar crumb rubber 50% sebesar 2,82 mm dan pada kadar 100% sebesar 2,91 mm (spek. 2-3 mm). Nilai Marshall Quotient rata-rata pada kadar crumb rubber 50% sebesar 85,45 kg/mm dan pada kadar crumb rubber 100% sebesar 80,26 kg/mm (spek. 80 kg/mm). Untuk nilai VIM rata-rata pada kadar crumb rubber 50% sebesar 4,432% dan pada kadar crumb rubber 100% sebesar 3,534% (spek. 3-6%). Nilai VMA rata-rata pada kadar crumb rubber 50% sebesar 19,795% dan pada kadar crumb rubber 100% sebesar 19,199% (spek. 20%). Nilai VFB rata-rata pada kadar crumb rubber 50% sebesar 77,620% dan pada kadar crumb rubber 100% sebesar 81,599% (spek. 75%). Karakteristik campuran dengan kadar crumb rubber tertinggi dengan pengurangan kadar aspal (7,0% dan 6,5%) yaitu nilai stabilitas (234,39 kg, 233,04 kg), flow (2,86 mm, 2,51 mm), Marshall Quotient (82,01 kg/mm, 92,75 kg/mm), VIM (4,962%, 6,182%), VMA (19,264%, 19,335%), dan VFB (74,248%, 68,046%) Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan perbandingan penggunaan crumb rubber 40 mesh dengan crumb rubber ukuran lain. Selain itu, perlu dilakukan penelitian mengenai analisis ekonomi dan reaksi kimia dari bahan pengganti yang digunakan. Kata kunci: latasir kelas A, agregat halus, crumb rubber 40 mesh, kadar aspal optimum (KAO) iii

5 DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... ii BSTRAK. iii DAFTAR ISI.. iv DAFTAR GAMBAR.. vii DAFTAR TABEL. viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Lapisan Permukaan (Surface Course) Crumb Rubber Perencanaan Campuran Aspal Panas Pengujian Material Penentuan Gradasi Agregat Estimasi Kadar Aspal Awal Pengukuran Volumetrik Sampel Uji Stabilitas Marshall dan Flow Penentuan Kadar Aspal Optimum Pengujian Stabilitas Marshall Sisa Hasil Kajian Penelitian yang Menggunakan Karet Ban BAB III METODE PENELITIAN Umum Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Bahan Alat Jumlah Benda Uji Bagan Alir Penelitian Langkah-langkah Penelitian Persiapan Material Pemeriksaan Material Penentuan Gradasi Pilihan Pembuatan Benda Uji Campuran Beraspal Panas Metode Pengujian Campuran Beraspal Panas dengan Alat Marshall Penentuan Kadar Aspal Optimum Metode Pengujian Stabilitas Sisa dengan Alat Marshall Penggantian Agregat Halus dengan Crumb Rubber 40 mesh.35 iv

6 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Agregat Pengujian Agregat Kasar Pengujian Agregat Halus Pengujian Filler Pengujian Aspal Pengujian Penetrasi Aspal Pengujian Titik Lembek Aspal Pengujian Kehilangan Berat Aspal Pengujian Daktilitas Aspal Pengujian Berat Jenis Aspal Pengujian Titik Nyala Aspal dan Titik Bakar Aspal Pengujian Crumb Rubber 40 mesh Pengujian Berat Jenis Crumb Rubber 40 mesh Pengujian Temperatur Lembek Crumb Rubber 40 mesh Pencampuran Agregat Perhitungan Kadar Aspal Awal Rancangan Campuran Benda Uji Marshall Karakteristik Campuran Latasir Kelas A Hubungan Kadar Aspal dengan Karakteristik Stabilitas Flow (Kelelehan Plastis) Marshall Quotient Rongga Antar Butiran Agregat (VMA) Rongga Udara dalam Campuran (VIM) Rongga Udara Terisi Aspal (VFB) Penentuan Kadar Aspal Optimum Pengujian Nilai Stabilitas Marshall Sisa pada Kadar Aspal Optimum (KAO) 7,5% Analisis Karakteristik Campuran Latasir Kelas A pada Kadar Aspal Optimum Rancangan Campuran Latasir Kelas A dengan Crumb Rubber 40 mesh sebagai Substitusi Sebagian Agregat Halus Karakteristik Campuran Latasir Kelas A dengan Crumb Rubber 40 mesh sebagai Substitusi Sebagian Agregat Halus Hubungan Kadar Crumb Rubber 40 mesh dengan Karakteristik Stabilitas Flow (Kelelehan Plastis) Marshall Quotient Rongga Antar Butiran Agregat (VMA) Rongga Udara dalam Campuran (VIM) Rongga Udara Terisi Aspal (VFB) Rancangan Campuran Latasir Kelas A dengan Crumb Rubber 40 mesh sebagai Substitusi Sebagian Agregat Halus dan Kadar Aspal Dikurangi v

7 4.16 Karakteristik Campuran Latasir Kelas A dengan Crumb Rubber 40 mesh sebagai Substitusi Sebagian Agregat Halus dan Kadar Aspal Dikurangi Hubungan Kadar Crumb Rubber 40 mesh dan Kadar Aspal yang Dikurangi dengan Karakteristik Stabilitas Flow (Kelelehan Plastis) Marshall Quotient Rongga Antar Butiran Agregat (VMA) Rongga Udara dalam Campuran (VIM) Rongga Udara Terisi Aspal (VFB) Pengujian Nilai Stabilitas Marshall Sisa pada Kadar Crumb Rubber Tertinggi dan Kadar Aspal Terendah BAB V SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN : SK Rektor Unud vi

8 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Butiran crumb rubber 40 mesh. 11 Gambar 2.2 Komponen campuran beraspal secara volumetrik Gambar 2.3 Contoh penentuan kadar aspal optimum (KAO).. 21 Gambar 3.1 Bagan alir penelitian. 28 Gambar 3.2 Grafik gradasi pilihan Gambar 3.3 Grafik gradasi agregat lolos ayakan no.40 tertahan ayakan no Gambar 4.1 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan stabilitas rata-rata Gambar 4.2 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan flow rata-rata 47 Gambar 4.3 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan Marshall Quotient rata-rata Gambar 4.4 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan VMA rata-rata Gambar 4.5 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan VIM rata-rata. 49 Gambar 4.6 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan VFB rata-rata. 50 Gambar 4.7 Bar chart karakteristik campuran latasir kelas A dengan variasi kadar aspal Gambar 4.8 Grafik hubungan antara kadar crumb rubber 40 mesh dengan stabilitas rata-rata Gambar 4.9 Grafik hubungan antara kadar crumb rubber 40 mesh dengan flow rata-rata. 54 Gambar 4.10 Grafik hubungan antara kadar crumb rubber 40 mesh dengan Marshall Quotient rata-rata Gambar 4.11 Grafik hubungan antara kadar crumb rubber 40 mesh dengan VMA rata-rata Gambar 4.12 Grafik hubungan antara kadar crumb rubber 40 mesh dengan VIM rata-rata Gambar 4.13 Grafik hubungan antara kadar crumb rubber 40 mesh dengan VFB rata-rata Gambar 4.14 Grafik hubungan antara kadar aspal yang dikurangi dengan stabilitas rata-rata pada kadar crumb rubber 100% Gambar 4.15 Grafik hubungan antara kadar aspal yang dikurangi dengan flow rata-rata pada kadar crumb rubber 100% Gambar 4.16 Grafik hubungan antara kadar aspal yang dikurangi dengan Marshall Quotient rata-rata pada kadar crumb rubber 100% Gambar 4.17 Grafik hubungan antara kadar aspal yang dikurangi dengan VMA rata-rata pada kadar crumb rubber 100% Gambar 4.18 Grafik hubungan antara kadar aspal yang dikurangi dengan VIM rata-rata pada kadar crumb rubber 100% Gambar 4.19 Grafik hubungan antara kadar aspal yang dikurangi dengan VFB rata-rata pada kadar crumb rubber 100% vii

9 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Ketentuan agregat kasar.. 9 Tabel 2.2 Ketentuan agregat halus.. 9 Tabel 2.3 Persyaratan gradasi campuran latasir kelas A dan latasir kelas B 10 Tabel 2.4 Persyaratan sifat-sifat campuran latasir kelas A dan latasir kelas B Tabel 2.5 Konversi pembacaan dial gauge stabilitas ke KN untuk alat uji tekan Marshall model H Tabel 2.6 Rasio korelasi stabilitas Marshall Tabel 2.7 Hasil pengujian campuran Hot Rolled Asphalt akibat penambahan Tabel 2.8 limbah serbuk ban bekas Hasil pengujian Marshall campuran HRS-WC dengan berbagai variasi kadar aspal Tabel 2.9 Pengaruh variasi kadar aspal dan karet terhadap nilai VMA.. 23 Tabel 2.10 Pengaruh variasi kadar aspal dan karet terhadap nilai VIM Tabel 2.11 Pengaruh variasi kadar aspal dan karet terhadap nilai stabilitas. 24 Tabel 2.12 Pengaruh variasi kadar aspal dan karet terhadap nilai flow 24 Tabel 2.13 Pengaruh variasi kadar aspal dan karet terhadap nilai Marshall Quotient (MQ). 24 Tabel 3.1 Gradasi agregat pilihan 30 Tabel 3.2 Konversi proporsi material. 31 Tabel 3.3 Kebutuhan material untuk 1, 2, dan 3 buah sampel 32 Tabel 3.4 Proporsi material dengan variasi kadar crumb rubber 40 mesh Tabel 3.5 Kebutuhan agregat untuk benda uji 38 Tabel 4.1 Hasil pengujian agregat kasar Tabel 4.2 Hasil pengujian agregat halus Tabel 4.3 Hasil pengujian aspal penetrasi 60/ Tabel 4.4 Hasil pengujian crumb rubber 40 mesh Tabel 4.5 Nilai karakteristik campuran latasir kelas A Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Nilai karakteristik campuran latasir kelas A pada kadar aspal optimum.. 52 Nilai karakteristik campuran latasir kelas A dengan crumb rubber 40 mesh sebagai substitusi sebagian agregat halus Nilai karakteristik campuran latasir kelas A dengan crumb rubber 40 mesh sebagai substitusi sebagian agregat halus dan kadar aspal yang dikurangi viii

10 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkerasan merupakan struktur lapisan yang terletak di atas tanah dasar dan bersifat konstruktif sehingga memiliki nilai struktural dan fungsional. Nilai struktural berkaitan dengan daya dukung perkerasan untuk mendukung repetisi beban lalu lintas kendaraan dan kemampuannya untuk tetap stabil dan aman terhadap pengaruh infiltrasi air permukaan dan perubahan cuaca. Nilai fungsional berkaitan dengan kinerja permukaan jalan dalam melayani lalu lintas kendaraan dengan aman dan nyaman yang meliputi aspek-aspek teknis, antara lain: kerataan, kekesatan dan kemiringan permukaan (Bennett et al., 2007). Pada umumnya konstruksi perkerasan terdiri atas dua jenis, yaitu perkerasan lentur (flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement). Konstruksi perkerasan lentur terdiri atas lapisan-lapisan yang diletakkan di atas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya. Susunan lapisan konstruksi perkerasan lentur terdiri atas lapisan permukaan (surface course), lapisan pondasi atas (base course), lapisan pondasi bawah (subbase course) dan lapisan tanah dasar (subgrade) (Sukirman, 1999). Lapisan permukaan (surface course) terdiri atas dua lapis, yaitu lapis aus (wearing course) dan lapis antara (binder course). Bagian perkerasan yang terletak pada lapisan teratas adalah lapis aus (wearing course). Secara non-struktural lapisan permukaan ini berfungsi untuk mencegah masuknya air ke dalam lapisan perkerasan yang ada di bawahnya, menyediakan permukaan yang tetap rata agar kendaraan dapat berjalan dengan nyaman, membentuk permukaan yang tidak licin dan sebagai lapis aus yang selanjutnya dapat diganti lagi dengan yang baru. Lapis antara (binder course) yang terletak di bawah lapis aus (wearing course) berfungsi secara struktural. Lapis ini berfungsi untuk mendukung dan menyebarkan beban kendaraan yang diterima oleh perkerasan, baik beban vertikal maupun beban horizontal (gaya geser). Di Indonesia jenis lapis permukaan yang umum digunakan untuk lapisan yang bersifat struktural antara lain lapen (lapis penetrasi macadam), lasbutag (lapis aspal buton agregat), laston (lapis aspal beton) dan lapis permukaan yang bersifat nonstruktural antara lain burtu (laburan aspal satu lapis), burda (laburan aspal dua lapis), 1

11 latasir (lapis tipis aspal pasir), buras (laburan aspal), latasbum (lapas tipis asbuton murni), lataston (lapis tipis aspal beton). Latasir atau lapis tipis aspal pasir merupakan lapis penutup permukaan perkerasan yang terdiri atas agregat halus atau pasir atau campuran keduanya dan aspal keras yang dicampur, dihampar dan dipadatkan dalam keadaan panas pada temperatur tertentu. Lapis tipis aspal pasir (latasir) digunakan untuk jalanjalan dengan lalu lintas ringan seperti jalan lingkungan atau jalan luar kota dan pada daerah dengan agregat kasar tidak tersedia. Dari jenisnya latasir dibagi menjadi dua, yaitu latasir kelas A dan latasir kelas B. Pemilihan jenis latasir tergantung pada gradasi pasir yang akan digunakan. Latasir kelas A memiliki gradasi campuran agregat lebih halus dibandingkan dengan latasir kelas B (Dep. PU, 2007 dalam Tristianto dan Abdi, 2011). Pada lapis tipis aspal pasir (latasir), agregat yang biasa digunakan adalah agregat alam yang terdiri atas kerikil dan pasir. Agregat merupakan komponen utama dari lapisan perkerasan jalan, yaitu mengandung 90%-95% agregat berdasarkan persentase berat atau 75%-85% agregat berdasarkan persentase volume (Sukirman, 1999). Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Prov/Kab/Kota, pertambahan panjang jalan di Indonesia rata-rata mencapai km tiap tahunnya (BPS, 2012). Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan agregat untuk konstruksi jalan raya menjadi besar. Sementara itu, jenis agregat yang biasa digunakan pada lapisan perkerasan merupakan bahan baku yang tidak dapat diperbaharui dan dalam jangka panjang ketersediaannya akan habis. Oleh karena itu, perlu adanya suatu bahan pengganti untuk menggantikan pemakaian agregat alam dalam pembuatan konstruksi perkerasan lentur. Salah satu bahan yang diharapkan dapat menjadi pengganti agregat adalah crumb rubber atau parutan karet. Crumb rubber adalah karet ban bekas yang proses pengolahannya melalui tahap penggilingan. Crumb rubber ini terbuat dari 100% ban bekas. Crumb rubber biasanya digunakan sebagai bahan campuran pada sol sepatu dan campuran rumput sintetis yang terdapat di lapangan futsal atau lapangan bermain anakanak. Beberapa penelitian yang menggunakan crumb rubber adalah penelitian yang dilakukan oleh Sugiyanto (2008) dan Perdana (2009) yang menggunakan parutan karet ban bekas sebagai pengganti sebagian agregat pada campuran Hot Rolled Sheet Wearing Course (HRS-WC) dengan hasil yang baik, yaitu stabilitas >1200 kg. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor sepanjang tahun mencapai 10 juta unit. Hal ini mengakibatkan populasi kendaraan bermotor yang tercatat pada tahun 2012 naik 2

12 sebesar 12% menjadi 94,229 juta unit dibandingkan periode tahun 2011 hanya 84,19 juta unit. Menurut data terakhir Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia, pertambahan terbanyak adalah mobil pribadi dan sepeda motor. Sepeda motor baru yang dibeli konsumen pada tahun 2012 mencapai unit, sedangkan mobil pribadi baru yang dicatat kepolisian mencapai unit (Kompas, 26 Februari 2013). Peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang pesat ini mengakibatkan kebutuhan akan ban kendaraan menjadi semakin meningkat. Secara berkala ban-ban kendaraan ini akan diganti dengan yang baru karena sudah tidak layak pakai dan limbah ban bekas pun menjadi bertambah setiap tahunnya. Masalah ini menjadi semakin besar karena ban tidak dapat terurai dengan mudah apabila hanya dibiarkan begitu saja. Memahami pentingnya pengolahan limbah ban bekas secara lebih lanjut, maka karakteristik crumb rubber atau parutan karet ban bekas perlu diteliti terlebih dahulu. Penelitian ini akan dilanjutkan pada karakteristik salah satu jenis campuran Latasir yaitu latasir kelas A yang menggunakan crumb rubber 40 mesh atau parutan karet ban bekas yang lolos saringan no. 40 (0,425 mm) dan tertahan saringan no. 50 (0,30 mm). Satuan mesh menunjukkan banyaknya lubang ayakan tiap satu inci persegi (Sigmaaldrich, 2004). Crumb rubber 40 mesh ini akan digunakan sebagai substitusi sebagian agregat halus pada campuran latasir kelas A. Pada penelitian ini, juga akan dilakukan upaya pengurangan kadar aspal untuk campuran latasir dengan kadar crumb rubber yang telah memenuhi spesifikasi. Crumb rubber diasumsikan tidak menyerap aspal sehingga campuran latasir dengan crumb rubber 40 mesh diharapkan mampu menghemat kebutuhan aspal. 1.2 Rumusan Masalah Bertolak dari uraian latar belakang, dapat dirumuskan bahan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah karakteristik crumb rubber 40 mesh? 2. Bagaimanakah karakteristik campuran lapis tipis aspal pasir (latasir) kelas A dengan crumb rubber 40 mesh sebagai substitusi sebagian agregat halus pada kadar aspal optimum (KAO)? 3. Bagaimanakah karakteristik campuran lapis tipis aspal pasir (latasir) kelas A dengan crumb rubber 40 mesh sebagai substitusi sebagian agregat halus dengan pengurangan kadar aspal? 3

13 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengkaji dan mengetahui karakteristik crumb rubber 40 mesh. 2. Untuk mengkaji dan mengetahui karakteristik campuran lapis tipis aspal pasir (latasir) kelas A dengan crumb rubber 40 mesh sebagai substitusi sebagian agregat halus pada kadar aspal optimum (KAO). 3. Untuk mengkaji dan mengetahui karakteristik campuran lapis tipis aspal pasir (latasir) kelas A dengan crumb rubber 40 mesh sebagai substitusi sebagian agregat halus dengan pengurangan kadar aspal. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi praktisi/instansi terkait: a. Sebagai bahan pertimbangan penggunaan bahan-bahan bekas sebagai substitusi agregat halus pada berbagai jenis campuran. b. Mengurangi limbah ban bekas. c. Menghemat penggunaan aspal dalam campuran. 2. Bagi Peneliti: a. Sebagai bahan acuan untuk peneliti dan pengembangan selanjutnya pada bidang perkerasan jalan. b. Untuk melatih ide-ide kreatif mahasiswa. 1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Ruang lingkup dan batasan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Karakteristik campuran latasir yang ditinjau: a. sifat Volumetrik (VMA, VFB, VIM), b. stabilitas Marshall, c. kelelehan (flow), d. Marshall Quotient. 2. Kadar aspal optimum (KAO) ditentukan saat campuran tidak menggunakan crumb rubber. 3. Karakteristik crumb rubber yang ditinjau: a. Berat jenis. b. Temperatur lembek, yaitu suhu pada saat crumb rubber menjadi lembek namun belum meleleh. 4

14 4. Crumb rubber digunakan sebagai substitusi sebagian agregat halus pada campuran lapis tipis aspal pasir (latasir) kelas A dengan variasi 0%, 50% dan 100% terhadap berat total agregat halus lolos ayakan no. 40 (0,425 mm) dan tertahan ayakan no. 50 (0,30 mm), dengan substitusi berdasarkan volume. Crumb rubber yang digunakan diperoleh dari pabrik pengolahan ban bekas. 5. Dilakukan pengurangan kadar aspal pada kadar aspal optimum (KAO) dengan kadar crumb rubber yang memenuhi spesifikasi. 6. Penelitian ini tidak membahas analisis ekonomi dan reaksi kimia yang terjadi. 7. Penelitian yang dilakukan terbatas pada pengujian laboratorium dan tidak melakukan pengujian lapangan. 5

15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lapis Permukaan (Surface Course) Lapisan yang terletak paling atas disebut lapis permukaan dan berfungsi sebagai: 1. Lapis perkerasan penahan beban roda, lapis ini mempunyai stabilitas tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan. 2. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke lapisan di bawahnya dan melemahkan lapisan-lapisan tersebut. 3. Lapis aus (wearing course), lapis yang langsung menerima gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus. 4. Lapis yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh lapisan lain yang mempunyai daya dukung relatif rendah. Untuk dapat memenuhi fungsi tersebut di atas, pada umumnya lapis permukaan dibuat dengan menggunakan bahan pengikat aspal sehingga menghasilkan lapisan yang kedap air dengan stabilitas tinggi dan daya tahan yang lama. Jenis lapis permukaan yang umum dipergunakan di Indonesia antara lain: 1. Lapisan bersifat non-struktural, berfungsi sebagai lapisan aus kedap air. Lapisan ini terdiri dari: a. Burtu (laburan aspal satu lapis), merupakan lapis penutup yang terdiri atas lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi seragam dengan tebal maksimum 2 cm. b. Burda (laburan aspal dua lapis), merupakan lapis penutup yang terdiri atas lapisan aspal ditaburi agregat yang dikerjakan dua kali secara berurutan dengan tebal padat maksimum 3,5 cm. c. Latasir (lapis tipis aspal pasir), merupakan lapis penutup yang terdiri atas lapisan aspal dan pasir alam bergradasi menerus dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu tertentu dengan tebal padat 1-2 cm. d. Buras (laburan aspal), merupakan lapis penutup terdiri atas lapisan aspal taburan pasir dengan ukuran butir maksimum 3/8 inci. e. Latasbum (lapisan tipis asbuton murni), merupakan lapis penutup yang terdiri atas campuran asbuton dan bahan pelunak dengan perbandingan tertentu yang dicampur secara dingin dengan tebal maksimum 1 cm. 6

16 f. Lataston (lapis tipis aspal beton), dikenal dengan nama Hot Rolled Sheet (HRS), merupakan lapisan penutup yang terdiri atas campuran antara agregat bergradasi timpang, mineral pengisi (filler) dan aspal keras dengan perbandingan tertentu, yang dicampur dan dipadatkan dalam keadaan panas. Lapis ini memiliki tebal padat antara 2,5-3 cm. Walaupun jenis lapisan permukaan di atas bersifat non-struktural, lapisan permukaan tersebut dapat menambah daya tahan perkerasan terhadap penurunan mutu, sehingga secara keseluruhan dapat menambah masa pelayanan dari konstruksi perkerasan. Jenis perkerasan ini digunakan untuk pemeliharaan jalan. 2. Lapisan bersifat struktural, berfungsi sebagai lapisan yang menahan dan menyebarkan beban roda. Lapisan ini terdiri dari: a. Penetrasi macadam (lapen), merupakan lapis perkerasan yang terdiri atas agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi terbuka dan seragam yang diikat oleh aspal dengan cara disemprotkan di atasnya dan dipadatkan lapis demi lapis. Di atas Lapen ini biasanya diberi laburan aspal dengan agregat penutup. Tebal satu lapis dapat bervariasi dari 4-10 cm. b. Lasbutag merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri atas campuran antara agregat, asbuton dan bahan pelunak yang diaduk, dihampar dan dipadatkan secara dingin. Tebal padat tiap lapisannya antara 3-5 cm. c. Laston (lapis tipis aspal beton), merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri atas campuran aspal keras dan agregat yang mempunyai gradasi menerus, dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu tertentu Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir) Latasir atau lapis tipis aspal pasir merupakan lapis penutup permukaan perkerasan yang terdiri atas agregat halus atau pasir atau campuran keduanya dan aspal keras yang dicampur, dihampar dan dipadatkan dalam keadaan panas pada temperatur tertentu. Spesifikasi latasir telah dikembangkan sejak tahun 1983, yaitu dengan diterbitkannya pedoman berupa buku Petunjuk Pelaksanaan Lapis Tipis Aspal Pasir, yang dikembangkan oleh Departemen Pekerjaan Umum dengan No. 02/PT/B/1983. Selanjutnya dikembangkan pula standar nasional yaitu SNI , yang selanjutnya pula dilakukan revisi untuk lebih menyempurnakan secara substansial dan 7

17 memenuhi kebutuhan dalam pekerjaan pembangunan jalan. Menurut hasil revisi, latasir terdiri atas dua kelas: latasir kelas A atau SS-1 (Sand Sheet-1) dengan ukuran nominal butir agregat atau pasir 9,5 mm dan latasir kelas B atau SS-2 (Sand Sheet-2) dengan ukuran nominal butir agregat atau pasir 2,36 mm. Pada umumnya tebal nominal minimum untuk latasir kelas A dan latasir kelas B masing-masing 2,0 cm dan 1,5 cm dengan toleransi ± 2,0 mm. Latasir pada umumnya digunakan untuk perencanaan jalan dengan lalu lintas tidak terlalu tinggi ( SST), tetapi dapat pula digunakan untuk pekerjaan pemeliharaan atau perbaikan sementara pada lalu lintas yang lebih tinggi Syarat Teknis Agregat pada Campuran Latasir Adapun persyaratan agregat untuk campuran latasir adalah sebagai berikut: 1. Agregat kasar a. Tertahan ayakan no. 4 (4,75 mm). b. Mempunyai angularitas sesuai syarat. Angularitas agregat kasar didefinisikan sebagai persen terhadap berat jumlah agregat yang lebih besar dari 4,75 mm dengan muka bidang pecah satu atau lebih. c. Agregat kasar untuk latasir kelas A dan B boleh dari kerikil yang bersih. d. Berat jenis (specific gravity) agregat kasar dan halus tidak boleh berbeda lebih dari 0,2 8

18 Tabel 2. 1 Ketentuan agregat kasar Pengujian Standar Nilai Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan natrium dan magnesium sulfat Abrasi dengan mesin Los Angeles 1) Campuran AC bergradasi Kasar Semua jenis campuran aspal bergradasi lainnya SNI 3407:2008 Maks. 12% SNI 2417:2008 Maks. 30% Maks. 40% Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 2439:2011 Min. 95% Angularitas (kedalaman dari permukaan <10cm) Angularitas (kedalaman dari permukaan 10 cm) Partikel pipih dan lonjong DoT's Pensylvania Test Method, PTM No. 621 ASTM D4791 Perbandingan 1:5 95/90 2) 80/75 2) Maks. 10% Material lolos ayakan no. 200 SNI Maks. 1% Sumber : Dep. PU (2010) Revisi 2 Catatan : 1) Abrasi dengan mesin Los Angeles dengan 100 putaran harus dilakukan untuk mengetahui keseragaman mutu agregat dan nilai abrasi dengan 100 putaran yang diperoleh tidak boleh melampaui 20% dari nilai abrasi dengan 500 putaran 2) 95/90 menunjukkan bahwa 95% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah satu atau lebih dan 90% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah dua atau lebih. 2. Agregat halus a. Pasir atau hasil pengayakan batu pecah lolos ayakan no. 4 (4,75 mm). b. Berat jenis (specific gravity) agregat kasar dan halus tidak boleh berbeda lebih dari 0,2 Tabel 2. 2 Ketentuan agregat halus Pengujian Standar Nilai Nilai setara pasir SNI Min. 60% Kadar lempung SNI 3423:2008 Maks. 1% Angularitas (kedalaman dari permukaan <10cm) Min. 45 SNI Angularitas (kedalaman dari permukaan 10cm) Min. 40 Sumber: Dep. PU (2010) Revisi 2 9

19 3. Bahan pengisi (filler) a. Bahan pengisi yang ditambahkan terdiri atas debu kapur (limestone dust, Calcium Carbonate, CaCO3) atau debu kapur padam yang sesuai dengan AASHTO M (2006), semen atau mineral yang berasal dari asbuton yang sumbernya disetujui oleh Direksi Pekerjaan. Jika digunakan aspal modifikasi dari jenis asbuton yang diproses maka bahan pengisi yang ditambahkan haruslah berasal dari mineral yang diperoleh dari asbuton tersebut. b. Bahan pengisi yang ditambahkan harus kering serta bebas dari gumpalangumpalan dan bila diuji dengan pengayakan sesuai SNI harus mengandung bahan yang lolos ayakan no. 200 (75 mikron) tidak kurang dari 75% terhadap beratnya dan bersifat non plastis. c. Kapur yang tidak terhidrasi atau terhidrasi sebagian dapat digunakan sebagai bahan pengisi yang ditambahkan dengan proporsi maksimum yang diijinkan adalah 1,0% dari berat total campuran beraspal. Kapur yang seluruhnya terhidrasi yang dihasilkan dari pabrik yang disetujui, dapat digunakan maksimum 2% terhadap berat total agregat Persyaratan Campuran Latasir Gradasi campuran latasir harus memenuhi persyaratan dalam Tabel 2.3 Tabel 2. 3 Persyaratan gradasi campuran latasir kelas A dan latasir kelas B No. Ukuran Ayakan % Berat Agregat yang Lolos terhadap Ayakan (mm) Total Agregat dalam Campuran Kelas A Kelas B 3/4" /2" 12,5 3/8" 9, No. 4 4,75 No. 8 2, No. 16 1,18 No. 30 0,6 No. 50 0,3 No ,15 No , Sumber: Dep. PU (2010) Revisi 2 10

20 Persyaratan Sifat-sifat Latasir Campuran latasir harus memenuhi persyaratan sesuai dengan Tabel 2.4 Tabel 2. 4 Persyaratan sifat-sifat campuran latasir kelas A dan latasir kelas B Sifat-sifat Campuran Latasir Kelas A & Kelas B Penyerapan aspal (%) Maks. 2,0 Jumlah tumbukan per bidang 50 Rongga dalam campuran (%) Min. 3,0 Maks. 6,0 Rongga dalam agregat (%) Min. 20 Rongga terisi aspal (%) Min. 75 Stabilitas Marshall (kg) Min. 200 Pelelehan (mm) Min. 2 Maks. 3 Marshall Quotient (kg/mm) Min. 80 Stabilitas Marshall Sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60 o C Min. 90 Sumber: Dep. PU (2010) Revisi Crumb Rubber Crumb rubber adalah istilah yang biasanya digunakan untuk ban kendaraan bekas yang melalui proses penggilingan hingga berbentuk parutan. Crumb rubber biasanya diklasifikasikan menurut ukuran partikel. Cara mengukur besarnya butiranbutiran tersebut adalah dengan melewatkannya melalui ayakan. Ukuran ayakan yang biasa digunakan adalah mesh (Suhaemi, 2013). Satuan mesh menunjukkan banyaknya lubang setiap satu inci persegi (Sigmaaldrich, 2004). Gambar 2.1 Butiran crumb rubber 40 mesh Sumber: Suhaemi (2013) 11

21 Adapun beberapa fungsi crumb rubber yang biasa dijumpai (karetserbuk.wordpress, 2008) antara lain: 1. Sebagai bahan campuran rumput sintetis yang terdapat di lapangan bermain Adanya crumb rubber yang tersebar di antara rumput sintetis di lapangan bermain (antara lain lapangan futsal, lapangan bermain anak-anak dan lain-lain) memberikan tambahan bantalan dan sifat pegas/kelentingan yang disukai anakanak atau para atlit. Crumb rubber tidak terpengaruh dengan cuaca karena sifatnya yang tidak menyerap air. Crumb rubber dapat kering dengan sangat cepat dan mengurangi debu dan lumpur, sehingga lapangan akan selalu siap setiap saat. Crumb rubber menjaga anak-anak atau para atlit tetap aman dan membantu mereka bermain lebih baik. Crumb rubber tidak beracun, bersih dan sangat ekonomis bisa dipakai dalam jangka waktu sangat lama, tersedia dalam berbagai ukuran, tidak akan membusuk, mengurangi kerumunan serangga dan tidak akan terbang karena angin atau hujan. 2. Sebagai bahan campuran pada sol sepatu Tujuan utama pencampuran karet daur ulang pada sol sepatu adalah untuk menurunkan biaya produksi. 3. Sebagai bahan campuran pada adukan semen Tujuannya adalah untuk mengembangkan bahan yang fleksibel saat aplikasi. 4. Sebagai bahan campuran pada tile grout (nat keramik) Tujuannya adalah untuk membuat nat keramik yang fleksibel. 2.3 Perencanaan Campuran Aspal Panas Perencanaan suatu campuran aspal panas (hot mix) dilaksanakan dengan mengacu kepada spesifikasi yang ditentukan. Dalam bahan ajar mata kuliah Perkerasan Jalan Jurusan Teknik Sipil Universitas Udayana (2012) dijelaskan beberapa tahapan yang harus dilaksanakan antara lain: Pengujian Material Sebelum merencanakan campuran aspal, terlebih dahulu harus dilaksanakan pengujian material: agregat kasar, agregat halus, filler dan aspal. Sifat-sifat material yang digunakan harus memenuhi spesifikasi yang ditentukan. 12

22 2.3.2 Penentuan Gradasi Agregat Gradasi masing-masing jenis agregat (kasar, halus dan filler) mungkin saja ditentukan dalam spesifikasi suatu jenis campuran aspal panas. Demikian pula gradasi agregat gabungannya. Gradasi agregat gabungan bisa diperoleh dengan mencampur (blending) agregat kasar, halus dan filler. Teknik mencampur (blending) agregat dapat dilaksanakan secara analitis maupun secara grafis. Perencanaan gradasi agregat untuk campuran aspal di laboratorium, bisa dilaksanakan tanpa memblending agregat, yaitu berdasarkan gradasi ideal (batas tengah) spesifikasi gradasi agregat gabungan yang ditentukan. Masing-masing ukuran butir agregat diperoleh dengan mengayak agregat sesuai ukuran ayakan yang ditentukan. Kemudian proporsi agregat dicari berdasarkan kumulatif persentase lolos gradasi ideal. Selain itu, gradasi dapat juga ditentukan dengan menggunakan rumus modifikasi Kurva Fuller: n n (100 F)( d 0,075 ) P= +F (2.1) n n D 0,075 Dimana: P = % material lolos ayakan d (mm) D = diameter agregat maksimum (mm) F = % filler n = nilai eksponensial yang mempengaruhi kecekungan garis gradasi Estimasi Kadar Aspal Awal Untuk menentukan kadar aspal awal terdapat beberapa formula pendekatan. Salah satunya adalah formula dari Depkimpraswil (2004): Pb = 0,035 (%CA) + 0,045 (%FA) + 0,18 (%FF) + K (2.2) dimana : P b = % kadar aspal awal terhadap berat total campuran %CA = % agregat kasar (coarse aggregate) terhadap berat total agregat %FA = % agregat halus (fine aggregate) terhadap berat total agregat %FF = % filler terhadap berat total agregat K = Nilai konstanta kira-kira 0,5 sampai 1,0 untuk Laston dan 2,0 sampai 3,0 untuk Lataston. Untuk jenis campuran lain digunakan nilai 1,0 sampai 2,5. 13

23 2.3.4 Pengukuran Volumetrik Sampel Campuran beraspal panas pada dasarnya terdiri atas aspal dan agregat. Proporsi masing-masing bahan harus dirancang sedemikian rupa agar dihasilkan aspal beton yang dapat melayani lalu lintas dan tahan terhadap pengaruh lingkungan selama masa pelayanan. Ini berarti campuran beraspal harus: 1. Mengandung cukup kadar aspal agar awet. 2. Mempunyai stabilitas yang memadai untuk menahan beban lalu lintas. 3. Mengandung cukup rongga udara (VIM) agar tersedia ruangan yang cukup untuk menampung ekspansi aspal akibat pemadatan lanjutan oleh lalu lintas dan kenaikan temperatur udara tanpa mengalami bleeding atau deformasi plastis. 4. Rongga udara yang ada juga harus dibatasi untuk membatasi permeabilitas campuran. 5. Mudah dilaksanakan sehingga campuran beraspal dapat dengan mudah dihampar dan dipadatkan sesuai dengan rencana dan memenuhi spesifikasi. Dalam Pedoman Teknik No. 028/T/BM/1999, kinerja campuran beraspal ditentukan oleh volumetrik campuran (padat) yang terdiri atas: 1. Berat Jenis Bulk Agregat Karena agregat total terdiri atas fraksi-fraksi agregat kasar, agregat halus dan bahan pengisi (filler) yang masing-masing mempunyai berat jenis yang berbeda maka berat jenis bulk (G sb ) agregat total dapat dihitung sebagai berikut: G = P + P + P P + P + + P (2.3) G G G Keterangan: = Berat jenis bulk total agregat,, = Persentase masing-masing fraksi agregat,, = Berat jenis bulk masing-masing fraksi agregat Berat jenis bulk bahan pengisi sulit ditentukan dengan teliti. Namun demikian, jika berat jenis semu (apparent) bahan pengisi dimasukkan, maka penyimpangan yang timbul dapat diabaikan. 2. Berat Jenis Efektif Agregat Berat jenis efektif campuran (G se ), rongga dalam partikel agregat yang menyerap aspal, dapat ditentukan dengan rumus berikut: 14

24 P + P + P G = P + P + + P (2.4) G G G Keterangan: G se,, = Berat jenis efektif agregat = Presentase masing-masing fraksi agregat,, = Berat jenis efektif masing-masing fraksi agregat 3. Berat Jenis Maksimum Campuran Berat jenis maksimum campuran, Gmm pada masing-masing kadar aspal diperlukan untuk menghitung kadar rongga masing-masing kadar aspal. Ketelitian hasil uji terbaik adalah bila kadar aspal campuran mendekati kadar aspal optimum. Sebaiknya pengujian berat jenis maksimum dilakukan dengan benda uji sebanyak minimum dua buah (duplikat) atau tiga buah (triplikat). Selanjutnya Berat Jenis Maksimum (G mm ) campuran untuk masing-masing kadar aspal dapat dihitung menggunakan berat jenis efektif (G se ) rata-rata sebagai berikut: G = P Keterangan: G mm P G P G (2.5) = Berat jenis maksimum campuran, rongga udara nol P mm = Persen berat total campuran (= 100) P s P b G se G b = Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran = Kadar aspal, persen terhadap berat total campuran = Berat jenis efektif agregat = Berat jenis aspal 4. Penyerapan Aspal Penyerapan aspal dinyatakan dalam persen terhadap berat agregat total, tidak terhadap berat campuran. Perhitungan penyerapan aspal (P ba ) adalah sebagai berikut: P = 100 G G G. G G (2.6) Keterangan: P ba G sb G se G b = Penyerapan aspal, persen total agregat = Berat jenis bulk agregat = Berat jenis efektif agregat = Berat jenis aspal 15

25 5. Kadar Aspal Efektif Kadar aspal efektif (P be ) campuran beraspal adalah kadar aspal total dikurangi jumlah aspal yang terserap oleh partikel agregat. Kadar aspal efektif ini akan menyelimuti permukaan agregat bagian luar yang pada akhirnya akan menentukan kinerja perkerasan beraspal. Rumus kadar aspal efektif adalah: P = P P 100 P. (2.7) Keterangan: P be P b P ba P s = Kadar aspal efektif, persen total campuran = Kadar aspal, persen total campuran = Penyerapan aspal, persen total agregat = Kadar agregat, persen total campuran 6. Rongga di Antara Mineral Agregat (VMA) Rongga di antara mineral agregat (VMA) adalah ruang di antara partikel agregat pada suatu perkerasan beraspal, termasuk rongga udara dan volume aspal efektif (tidak termasuk volume aspal yang diserap agregat). VMA dihitung berdasarkan Berat Jenis Bulk (G sb ) agregat dan dinyatakan sebagai persen volume Bulk campuran yang dipadatkan. VMA dapat dihitung pula terhadap berat campuran total atau terhadap berat agregat total (lihat rumus 2.13). Perhitungan VMA terhadap campuran total adalah dengan rumus berikut: a. Terhadap Berat Campuran Total = 100 G xp G.. (2.8) Keterangan: VMA G sb G mb P s = Rongga di antara mineral agregat, persen volume bulk = Berat jenis bulk agregat = Berat jenis bulk campuran padat = Kadar agregat, persen total campuran b. Terhadap Berat Agregat Total = 100 G 100 x 100. (2.9) G (100 + P ) Keterangan: VMA G sb = Rongga di antara mineral agregat, persen volume bulk = Berat jenis bulk agregat 16

26 G mb P b = Berat jenis bulk campuran padat = Kadar aspal, persen total campuran 7. Rongga di Dalam Campuran (VIM) Rongga udara dalam campuran (VIM) dalam campuran perkerasan beraspal terdiri atas ruang udara di antara partikel agregat yang terselimuti aspal. Volume rongga udara dalam persen dapat ditentukan dengan rumus berikut: = (2.10) Keterangan: VIM G mb G mm = Rongga udara campuran, persen total campuran = Berat jenis bulk campuran padat = Berat jenis maksimum campuran 8. Rongga Terisi Aspal Ronggi terisi aspal (VFB) adalah persen rongga yang terdapat di antara partikel agregat (VMA) yang terisi oleh aspal, tidak termasuk aspal yang diserap oleh agregat. Rumus VFB adalah sebagai berikut: VFB = Keterangan: 100( VIM).. (2.11) VFB = Rongga terisi aspal, persen VMA VMA = Rongga di antara mineral agregat, persen volume bulk. VIM = Rongga di dalam campuran, persen total campuran Gambaran volumetrik campuran beraspal seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2 Gambar 2. 2 Komponen campuran beraspal secara volumetrik Sumber: Dep. PU (1999) 17

27 VMA = Volume rongga di antara mineral agregat V mb V mm VFB VIM = Volume bulk campuran padat = Volume campuran padat tanpa rongga = Volume rongga terisi aspal = Volume rongga dalam campuran V b V ba V sb V se = Volume aspal = Volume aspal yang diserap agregat = Volume agregat (berdasarkan berat jenis bulk) = Volume agregat (berdasarkan berat jenis efektif) Uji Stabilitas Marshall dan Flow Kinerja campuran aspal dapat diperiksa dengan menggunakan alat pemeriksa Marshall. Pemeriksaan Marshall mengikuti prosedur RSNI M Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk menentukan ketahanan (stabilitas) yang optimum dikaitkan dengan kategori lalu lintas (lalu lintas ringan, lalu lintas sedang, lalu lintas berat) terhadap kelelehan plastis (flow) dari campuran aspal dan agregat. Kelelehan plastis adalah keadaan perubahan bentuk suatu campuran yang terjadi akibat suatu beban sampai batas runtuh yang dinyatakan dalam mm atau 0,01 inci. Alat Marshall merupakan alat tekan yang berbentuk silinder berdiameter 4 inci (10,2 cm) dan tinggi 2,5 inci (6,35 cm) serta dilengkapi dengan proving ring (cincin penguji) yang berkapasitas 22,2 KN dan flow meter. Proving ring dilengkapi dengan arloji pengukur yang berguna untuk mengukur nilai stabilitas campuran. Pembacaan arloji tekan ini dikalikan dengan hasil kalibrasi cincin penguji serta angka korelasi beban pada Tabel 2.6. Angka korelasi yang tidak tersedia pada tabel akan dicari dengan cara interpolasi. Di samping itu terdapat arloji kelelehan (flow meter) untuk mengukur kelelehan plastis (flow). Selanjutnya dari perhitungan diperoleh Rongga Di Antara Agregat (VMA), Rongga Dalam Campuran Beraspal (VIM), Rongga Terisi Aspal (VFB) dan Marshall Quotient. 18

28 Tabel 2. 5 Konversi pembacaan dial gauge stabilitas ke kn untuk alat uji tekan Marshall model H kn Pembacaan Dial Gauge Stabilitas (0,0001") kn Pembacaan Dial Gauge Stabilitas (0,0001") 0,000 0,6 2,222 52,1 0,089 2,6 2,311 54,1 0,178 4,7 2,4 56,2 0,267 6,8 2,489 58,3 0,356 8,8 2,578 60,3 0,444 10,9 2,667 62,4 0,533 12,9 2,756 64,5 0,622 15,0 2,845 66,5 0,711 17,0 2,934 68,6 0,800 19,1 3,023 70,7 0,889 21,2 3,111 72,7 0,978 23,2 3,2 74,8 1,067 25,3 3,289 76,9 1,156 27,3 3,378 78,9 1,245 29,4 3,467 81,0 1,333 31,5 3,556 83,1 1,422 33,5 3,645 85,1 1,511 35,6 3,734 87,2 1,600 37,6 3,823 89,3 1,689 39,7 3,911 91,3 1,778 41,8 4,000 93,4 1,867 43,8 4,089 95,5 1,956 45,9 4,178 97,5 2,045 48,0 4,267 99,6 2,134 50,0 4, ,7 Sumber: Humboldt (2010) 19

29 Tabel 2.6 Rasio kolerasi stabilitas Marshall Isi Benda Uji (cm²) Tebal Benda Uji (mm) Angka Koreksi ,4 5, ,0 5, ,6 4, ,2 4, ,8 3, ,3 3, ,9 3, ,5 3, ,1 2, ,7 2, ,3 2, ,9 2, ,4 1, ,0 1, ,6 1, ,2 1, ,8 1, ,4 1, ,0 1, ,6 1, ,2 1, ,7 1, ,3 1, ,9 1, ,5 1, ,1 0, ,7 0, ,3 0, ,9 0, ,4 0, ,0 0, ,6 0, ,2 0,76 Sumber: Pusjatan-Balitbang PU (2003) Penentuan Kadar Aspal Optimum Penentuan kadar aspal optimum ditentukan dengan merata-ratakan kadar aspal yang memberikan stabilitas maksimum, serta persyaratan campuran lainnya seperti VMA, VFB dan kelelehan campuran (flow). Kadar aspal optimum dapat ditentukan dengan menggunakan metode bar chart seperti pada Gambar 2.3. Nilai kadar aspal optimum ditentukan sebagai nilai tengah dari rentang kadar aspal maksimum dan minimum yang memenuhi spesifikasi. 20

30 Sifat-sifat Campuran Rongga Diantara Agregat (VMA) Rongga Terisi Aspal (VFB) Rongga Dalam Campuran (VIM) Rentang Kadar Aspal yang Memenuhi Spesifikasi Stabilitas Marshall Kelelehan Marshall Quotient Rentang yang Memenuhi Parameter Campuran Beraspal Gambar 2.3 Contoh penentuan kadar aspal optimum (KAO) Pengujian Stabilitas Marshall Sisa Sumber: Pusjatan-Balitbang PU (1989) Pada Spesifikasi Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah untuk mengevaluasi keawetan campuran adalah pengujian Marshall perendaman di dalam air pada suhu 60 o C selama 24 jam. Perbandingan stabilitas yang direndam dengan stabilitas standar, dinyatakan sebagai persen dan disebut Indeks Stabilitas Sisa dan dihitung sebagai berikut : IRS = MSI x100 (2.12) MSS Keterangan: IRS MSI MSS 60ºC) = Indeks of Retained Strength = Stabilitas Marshall kondisi setelah direndam selama 24 jam dengan suhu 60ºC Kadar Kadar Aspal Aspal Optimum Rencana Rencana = Stabilitas Marshall kondisi standar (direndam selama menit pada suhu 2.4 Hasil Kajian Penelitian yang Menggunakan Karet Ban Salah satu penelitian yang menggunakan serbuk ban bekas adalah penelitian yang dilakukan oleh Sugiyanto (2008), dengan judul Kajian Karakteristik Campuran Hot Rolled Asphalt Akibat Penambahan Limbah Serbuk Ban Bekas. Tujuan dari 21

31 penelitian ini adalah untuk menganalis karakteristik campuran Hot Rolled Asphalt yang mengandung butiran atau serbuk ban bekas dan membandingkan dengan campuran beraspal tanpa serbuk ban bekas. Ketentuan pada penelitian ini adalah kadar serbuk ban bekas yang digunakan sebagai pengganti agregat pada fraksi no. 50 dalam penelitian adalah 0%, 50% dan 100%. Hasil penelitian oleh Sugiyanto ini dapat dilihat pada Tabel 2.7 Tabel 2.7 Hasil pengujian campuran Hot Rolled Asphalt akibat penambahan limbah serbuk ban bekas Kadar Kadar Nilai Nilai Nilai Nilai Serbuk Ban Aspal Stabilitas Flow VIM VMA % % Kg mm % % 0 6, ,20 7,5 18,1 6, ,50 5,2 17,3 7, ,90 3,8 16,8 7, ,50 2,7 17,0 8, ,20 2,0 17,4 50 6, ,75 6,5 17,1 6, ,87 5,0 16,9 7, ,24 4,1 17,0 7, ,87 3,2 17,3 8, ,50 2,6 17, , ,00 4,0 15,0 6, ,60 3,2 14,9 7, ,05 2,6 15,1 7, ,50 2,0 15,9 8, ,70 1,9 17,2 Spesifikasi Min. 800 Min. 2 3,0-6,0 Min. 18 Sumber: Sugiyanto (2008) Dari Tabel 2.7 dapat dilihat nilai stabilitas maksimum campuran tanpa serbuk ban bekas sebesar 1400 kg, campuran dengan 50% serbuk ban bekas sebesar 1245 kg dan untuk campuran dengan 100% serbuk ban bekas sebesar 1425 kg. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Darunifah (2007), dengan judul Pengaruh Bahan Tambahan Karet Padat Bahan Vulkanisir terhadap Karakteristik Campuran Hot Rolled Sheet Wearing Course (HRS-WC). Penelitian ini diawali dengan pengujian campuran dengan beberapa variasi kadar aspal. Variasi kadar aspal yang digunakan antara lain: 6,0%, 6,5%, 7,0%, 7,5% dan 8,0% pada komposisi kadar karet aspal 0%. Kadar aspal optimum (KAO) didapat dari nilai tengah rentang karakteristik Marshall, yaitu VMA, VIM, VFB, stabilitas, flow dan Marshall Quotient yang memenuhi syarat 22

32 campuran HRS-WC untuk lalu lintas berat. Hasil pengujian Marshall campuran HRS- WC dengan berbagai variasi kadar aspal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.8. Tabel 2.8 Hasil pengujian Marshall campuran HRS-WC dengan berbagai variasi kadar aspal No Karakteristik Syarat Pengujian Marshall Variasi Kadar Aspal (%) 6,00 6,50 7,00 7,50 8,00 1 Berat volume (gr/cc) VMA (%) 18 18,61 18,63 18,23 18,18 16,95 3 VIM (%) 3-6 7,55 6,44 4,83 3,61 0,97 4 Stabilitas (kg) Flow (mm) 2 2,78 3,2 3,35 3,42 4,18 6 MQ (kg/mm) ,63 493,8 482,96 410,59 321,86 Sumber: Darunifah (2007) Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 2.8, Kadar aspal optimum (KAO) yang diperoleh adalah sebesar 7,1%. Untuk pengujian berikutnya dilakukan pada beberapa kadar aspal optimum (KAO) dengan variasi kadar karet vulkanisir di dalamnya, yaitu 0%, 1%, 2%, 3%, 4% dan 5%. Pada pengujian ini dapat dibandingkan perubahan karakteristik campuran yang digunakan. Tabel 2.9 Pengaruh variasi kadar karet terhadap nilai VMA Variasi Syarat VMA Kadar Aspal (%) (%) Aspal + 0% karet 18 18,52 Aspal + 1% karet 18 17,51 Aspal + 2% karet 18 18,35 Aspal + 3% karet 18 18,70 Aspal + 4% karet 18 17,12 Aspal + 5% karet 18 16,69 Sumber: Darunifah (2007) Tabel 2.10 Pengaruh variasi kadar karet terhadap nilai VIM Variasi Syarat VIM Kadar Aspal (%) (%) Aspal + 0% karet 3-6 4,94 Aspal + 1% karet 3-6 3,16 Aspal + 2% karet 3-6 4,09 Aspal + 3% karet 3-6 4,55 Aspal + 4% karet 3-6 2,73 Aspal + 5% karet 3-6 2,24 Sumber: Darunifah (2007) 23

33 Tabel 2.11 Pengaruh variasi kadar karet terhadap nilai stabilitas Variasi Kadar Aspal Syarat (%) Stabilitas (kg) Aspal + 0% karet Aspal + 1% karet Aspal + 2% karet Aspal + 3% karet Aspal + 4% karet Aspal + 5% karet Sumber: Darunifah (2007) Tabel 2.12 Pengaruh variasi kadar karet terhadap nilai flow Variasi Kadar Aspal Syarat (%) Flow (mm) Aspal + 0% karet 2 3,39 Aspal + 1% karet 2 3,13 Aspal + 2% karet 2 2,84 Aspal + 3% karet 2 3,19 Aspal + 4% karet 2 2,51 Aspal + 5% karet 2 2,70 Sumber: Darunifah (2007) Tabel 2.13 Pengaruh variasi kadar karet terhadap nilai Marshall Quotient (MQ) Variasi Kadar Aspal Syarat (%) MQ (kg/mm) Aspal + 0% karet ,47 Aspal + 1% karet ,53 Aspal + 2% karet ,24 Aspal + 3% karet ,62 Aspal + 4% karet ,44 Aspal + 5% karet ,62 Sumber: Darunifah (2007) Hasil pengujian pada tabel-tabel di atas menunjukkan karakteristik campuran HRS-WC yang memenuhi persyaratan adalah campuran dengan kadar karet sebesar 3%. 24

34 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Umum Sebelum melakukan suatu penelitian, perlu disusun suatu rencana kerja terlebih dahulu. Di dalam susunan rencana kerja tersebut, terdapat metode-metode yang nantinya dapat mendekatkan dengan tujuan yang ingin dicapai, sehingga tidak menyimpang dari tujuan semula. Metode yang digunakan meliputi studi literatur mengenai teknologi bahan khususnya campuran latasir kelas A dan penelitian terhadap karakteristik campuran yang menggunakan crumb rubber atau parutan karet ban bekas. 3.2 Lokasi Penelitian Penelitian diadakan di Laboratorium Jalan Raya Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana yang berlokasi di Jurusan Teknik Sipil, Universitas Udayana, Bukit, Jimbaran. 3.3 Bahan dan Alat Penelitian ini dilakukan terhadap material pembentuk campuran latasir kelas A berupa agregat kasar, agregat halus dan filler dengan crumb rubber 40 mesh sebagai substitusi sebagian agregat halus Bahan Bahan yang digunakan dalam campuran latasir kelas A adalah sebagai berikut: 1. Agregat alam terdiri atas agregat kasar, sebagian agregat halus dan filler abu batu yang diperoleh dari Asphalt Mixing Plant PT Tunas Jaya Sanur, Desa Sebudi, Kabupaten Karangasem. 2. Crumb rubber 40 mesh atau karet ban bekas yang mengalami proses penggilingan dan lolos ayakan no. 40 (0,425 mm) serta tertahan ayakan no. 50 (0,30 mm) yang diperoleh dari distributor pengolahan karet ban bekas di Sarirogo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. 3. Aspal, yaitu aspal Pertamina penetrasi 60/70 yang diperoleh dari Asphalt Mixing Plant PT Tunas Jaya Sanur, Desa Sebudi, Kabupaten Karangasem. 25

35 3.3.2 Alat Semua alat yang diperlukan dalam penelitian ini merupakan alat-alat di Laboratorium Jalan Raya Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Bukit, Jimbaran, Badung Jumlah Benda Uji Pada penelitian ini benda uji yang dibuat adalah benda uji dengan ukuran standar yaitu diameter 101,6 mm (4 inci), tinggi 76,2 mm (3 inci). Total benda uji yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 36 buah sampel, dengan rincian 15 sampel untuk mencari Kadar Aspal Optimum (KAO), 3 sampel untuk pengujian stabilitas sisa, 9 sampel untuk campuran latasir kelas A dengan crumb rubber, 6 sampel untuk campuran latasir kelas A dengan crumb rubber 40 mesh dengan kadar aspal yang dikurangi, dan 3 sampel untuk pengujian stabilitas sisa pada kadar aspal terendah. Semua benda uji yang telah dibuat dalam penelitian ini akan melalui pengujian Marshall dan pengukuran volumetrik. 3.4 Bagan Alir Penelitian Sebelum melakukan penelitian, yang perlu dilakukan adalah membuat urutan atau prosedur kerja yang akan dilakukan. Prosedur kerja berfungsi sebagai pemandu dalam melakukan penelitian sehingga tidak ada tahapan yang terlewat. Langkah pertama yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah persiapan material, seperti agregat kasar (kerikil), agregat halus (pasir) dan filler, aspal penetrasi 60/70 dan bahan pengganti agregat yaitu crumb rubber 40 mesh. Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan dan proporsi agregat untuk memperoleh agregat yang memenuhi spesifikasi latasir kelas A. Untuk aspal dilakukan pengujian sesuai spesifikasi aspal penetrasi 60/70. Untuk bahan pengganti agregat (crumb rubber 40 mesh) dilakukan pengujian berat jenis dan titik lembek. Berdasarkan proporsi agregat dicari nilai persentase kadar aspal dalam campuran dan dibuat rancangan benda uji. Setelah benda uji terbentuk, pekerjaan dilanjutkan dengan pengujian Marshall. Dari pengujian Marshall didapatkan data yang menghasilkan kadar aspal optimum. Kadar aspal optimum ini digunakan untuk campuran dengan menggunakan bahan pengganti (crumb rubber 40 mesh). Kemudian didapatkan data yang akan dianalisis dan ditarik kesimpulan. Adapun langkah-langkah penelitian yang dilakukan seperti pada Gambar

36 27

37 Gambar 3. 1 Bagan alir penelitian 28

38 3.5 Langkah-langkah Penelitian Persiapan Material Material yang disiapkan adalah agregat standar (agregat kasar, halus, filler), crumb rubber 40 mesh dan aspal pertamina penetrasi 60/ Pemeriksaan Material Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan agregat, aspal serta crumb rubber 40 mesh terlebih dahulu yang dilakukan berdasarkan SNI. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi: pemeriksaan berat jenis dan penyerapan agregat, pemeriksaan angularitas, kadar lumpur, soundness test, keausan agregat, kelekatan agregat terhadap aspal, sand equivalent, penetrasi aspal, titik nyala dan titik bakar, titik lembek, berat jenis aspal, daktilitas, kehilangan berat aspal serta berat jenis dan temperatur lembek crumb rubber 40 mesh Penentuan Gradasi Pilihan Mengacu pada spesifikasi gradasi latasir kelas A pada Gambar 3.2, maka dibuat grafik gradasi pilihan sebagai berikut: % Berat Agregat yang Lolos gradasi pilihan 80 batas atas 70 batas bawah Ukuran Saringan (mm) Gambar 3. 2 Grafik gradasi pilihan Proporsi dan Kebutuhan Material Berdasarkan gradasi pilihan campuran agregat yang mengacu pada spesifikasi gradasi agregat untuk campuran latasir kelas A seperti yang tertera pada Gambar 3.2, maka proporsi rencana campuran agregat yang digunakan adalah seperti pada Tabel 3.3 dan

39 Tabel 3. 1 Gradasi agregat pilihan No. Ukuran Ayakan % Berat Agregat yang Lolos Ayakan (mm) Batas Batas Batas Tengah % Tertahan Atas Bawah (Gradasi Pilihan) 3/4" /2" 12, /8" 9, no. 4 4, no. 8 2, no. 16 1, no. 30 0, no. 50 0, no , no , Talam 11 Jumlah 100 Proporsi agregat yang didapat dalam gradasi pilihan tersebut adalah agregat kasar (tertahan ayakan 4,75 mm) sebanyak 15%, agregat halus (lolos ayakan 4,75 mm tertahan ayakan 0,075 mm) sebanyak 74% dan filler sebanyak 11%. Ketiga proporsi agregat tersebut yang nantinya akan digunakan dalam penelitian ini. Nilai variasi kadar aspal rencana dalam campuran diperoleh berdasarkan persentase penggunaan agregat kasar, agregat halus dan filler dengan menggunakan Persamaan 2.6 Adapun perhitungannya sebagai berikut: Pb = 0,035 (%CA) + 0,045 (%FA) + 0,18 (%FF) + k k antara 1,0 2,5 untuk latasir dan diambil nilai k = 2 Maka: Pb = 0,035 (15) + 0,045 (74) + 0,18 (11) + 2 = 7,8% 8,0% (dibulatkan ke 0,5% terdekat) Maka didapat kadar aspal rencana sebesar 8,0% dari berat total campuran. Untuk perhitungan volumetrik campuran, proporsi agregat perlu dikonversi berdasarkan berat total agregat menjadi berdasarkan berat total campuran, dengan prinsip seperti diperlihatkan pada Tabel

40 Tabel 3. 2 Konversi proporsi material % terhadap % terhadap Material berat total agregat Faktor Pengali berat total campuran = (100-d)/100 4=(2*3) Agregat Kasar (a) 15 0,92 13,80 Agregat Halus (b) 74 0,92 68,08 Filler (c) 11 0,92 10,12 Kadar Aspal Rencana (d) Total Persentase terhadap berat total campuran akan berubah sesuai dengan variasi persentase kadar aspalnya, misalnya: (7, 7,5, 8, 8,5, 9)% terhadap berat total campuran. Contoh pada Tabel 3.2 di atas didasarkan atas persentase kadar aspal awal 8%, di mana jumlah agregatnya 92 %. Maka berat aspal yang diperlukan untuk satu sampel adalah: (8/92) x 1200gr = 104,35 gr Berat total campuran menjadi = 1200gr + 104,35 gr = 1304,35 gr Perincian kebutuhan material ditabulasi menjadi sebagai berikut: 31

41 Tabel 3. 3 Kebutuhan material untuk 1, 2 dan 3 buah sampel Proporsi 1 sampel 2 sampel Material Ayakan (mm) Tertahan (%) (gram) (gram) 3 sampel (gram) , Agregat 9, Kasar 4, , , , Agregat 0, Halus 0, , Filler lolos 0, Total Kebutuhan Aspal 7,00% 7,0/ (100-7,0) x berat agg 90,32 180,65 270,97 7,50% 7,5/ (100-7,5) x berat agg 97,30 194,59 291,89 8,00% 8,0/ (100-8,0) x berat agg 104,35 208,70 313,04 8,50% 8,5/ (100-8,5) x berat agg 111,48 222,95 334,43 9,00% 9,0/ (100-9,0) x berat agg 118,68 237,36 356, Pembuatan Benda Uji Campuran Beraspal Panas 1) Pencampuran benda uji (1) Untuk setiap benda uji diperlukan agregat sebanyak ± 1200 gram sehingga menghasilkan tinggi benda uji kira-kira 63,5 mm ± 1,27 mm (2,5 ± 0,05) inci. (2) Wadah pencampur dipanaskan kira-kira 28 o C di atas temperatur pencampuran aspal keras. (3) Agregat yang telah dipanaskan dimasukkan ke dalam wadah pencampur. (4) Aspal dituangkan sebanyak yang dibutuhkan ke dalam agregat yang sudah dipanaskan, kemudian diaduk dengan cepat sampai agregat terselimuti aspal secara merata. 32

42 2) Pemadatan benda uji (1) Perlengkapan cetakan benda uji serta bagian muka penumbuk dibersihkan dengan seksama dan dipanaskan sampai suhu antara 90 o C o C. (2) Cetakan diletakkan di atas landasan pemadat dan ditahan dengan pemegang cetakan. (3) Kertas saring atau kertas penghisap dengan ukuran diletakkan sesuai ukuran dasar cetakan. (4) Seluruh campuran dimasukkan ke dalam cetakan, kemudian campuran ditusuk-tusuk dengan spatula yang telah dipanaskan sebanyak 15 kali di sekeliling pinggirannya dan 10 kali di bagian tengahnya. (5) Kertas saring atau kertas penghisap diletakkan di atas permukaan benda uji dengan ukuran sesuai cetakan. (6) Campuran dipadatkan dengan jumlah tumbukan (Kementrian PU, 2010): a. 75 kali tumbukan untuk campuran selain latasir b. 50 kali tumbukan untuk campuran latasir atau Sand Sheet (SS) (7) Pelat alas berikut leher sambung dilepas dari cetakan benda uji, kemudian cetakan yang berisi benda uji dibalikkan dan pasang kembali pelat alas berikut leher sambung pada cetakan yang dibalikkan tadi. (8) Permukaan benda uji yang sudah dibalikkan tadi ditumbuk kembali dengan jumlah tumbukan yang sama sesuai dengan (6) dan (7). (9) Sesudah dilakukan pemadatan campuran, pelat alas dilepaskan dan alat pengeluar dipasang pada permukaan ujung benda uji tersebut. (10) Benda uji dikeluarkan dan diletakkan di atas permukaan yang rata dan diberi tanda pengenal serta biarkan selama kira-kira 24 jam pada temperatur ruang. (11) Bila diperlukan untuk mendinginkan benda uji, dapat digunakan kipas angin. 3.7 Metode Pengujian Campuran Beraspal Panas dengan Alat Marshall Lamanya waktu yang diperlukan dari diangkatnya benda uji dari penangas air sampai tercapainya beban maksimum saat pengujian tidak boleh melebihi 30 detik. 1) Benda uji direndam dalam penangas air selama menit dengan temperatur tetap 60 o C ± 1 o C untuk benda uji. 33

43 2) Benda uji dikeluarkan dari penangas air dan letakkan dalam bagian bawah alat penekan uji Marshall. 3) Bagian atas alat penekan uji Marshall dipasang di atas benda uji dan diletakkan seluruhnya dalam mesin uji Marshall. 4) Arloji pengukur pelelehan dipasang pada kedudukannya di atas salah satu batang penuntun kemudian kedudukan jarum penunjuk diatur pada angka nol, sementara selubung tangkai arloji (sleeve) dipegang teguh pada bagian atas kepala penekan. 5) Sebelum pembebanan diberikan, kepala penekan beserta benda uji dinaikkan hingga menyentuh alas cincin penguji. 6) Jarum arloji tekan diatur pada kedudukan angka nol. 7) Pembebanan pada benda uji diberikan dengan kecepatan tetap sekitar 50,8 mm (2 in) per menit sampai pembebanan maksimum tercapai. Untuk pembebanan menurun seperti yang ditunjukkan oleh jarum arloji tekan, pembebanan maksimum (stabilitas) yang dicapai dicatat. Untuk benda uji dengan tebal tidak sama dengan 63,5 mm, beban harus dikoreksi dengan faktor pengali seperti diperlihatkan pada Tabel ) Nilai pelelehan (flow) yang ditunjukkan oleh jarum arloji pengukur pelelehan dicatat pada saat pembebanan maksimum tercapai. 3.8 Penentuan Kadar Aspal Optimum Penentuan kadar aspal optimum ditentukan dengan merata-ratakan kadar aspal yang memberikan stabilitas maksimum serta karakteristik campuran lainnya seperti flow, Marshall Quotient, VMA, VIM dan VFB. Kadar aspal optimum dapat ditentukan dengan menggunakan Metode Bar-chart seperti pada Gambar 2.3. Nilai kadar aspal optimum ditentukan sebagai nilai tengah dari rentang kadar aspal maksimum dan minimum yang memenuhi spesifikasi. 3.9 Metode Pengujian Stabilitas Sisa dengan Alat Marshall Metode yang digunakan untuk pengujian stabilitas sisa ini hampir sama dengan metode yang digunakan pada pengujian stabilitas dengan alat Marshall, yang membedakan adalah lama perendaman sampel, yaitu 24 jam dan kadar yang digunakan 34

44 pada metode ini adalah kadar aspal optimum. Untuk menghitung hasil pengujian digunakan Persamaan Penggantian Agregat Halus dengan Crumb Rubber 40 mesh Sebagai pengganti sebagian dari agregat halus dipergunakan crumb rubber 40 mesh dengan variasi 0%, 50% dan 100% terhadap berat total agregat halus lolos ayakan no. 40 (0,425 mm) dan tertahan ayakan no. 50 (0,30 mm), dengan substitusi berdasarkan volume. Berat total agregat halus lolos ayakan no. 40 (0,425 mm) dan tertahan ayakan no. 50 (0,30 mm) yang diperlukan diperoleh dari grafik gradasi pilihan (Gambar 3.2) yang diplot seperti Gambar 3.3. Dari grafik tersebut diperoleh persentase agregat halus yang lolos ayakan no. 40 (0,425 mm) sebesar 27%. Penggantian sebagian agregat halus dengan crumb rubber 40 mesh dilakukan pada kadar aspal optimum, dengan substitusi berdasarkan volume. Proporsi kebutuhan material agregat disajikan pada Tabel % Berat Agregat yang Lolos gradasi pilihan batas atas batas bawah Ukuran Saringan (mm) Gambar 3.3 Grafik gradasi agregat lolos ayakan no. 40 tertahan ayakan no Perhitungan untuk Kadar Crumb Rubber 50% dan 100% Dimisalkan berat total agregat adalah 1200 gr. Sesuai dengan Tabel 3.1 dan Grafik 3.3, persentase agregat halus lolos ayakan no. 40 (0,425 mm) dan tertahan ayakan no. 50 (0,30 mm) yang dibutuhkan untuk satu benda uji adalah (27-21)%. Jadi 35

45 berat agregat halus lolos ayakan no. 40 (0,425 mm) dan tertahan ayakan no. 50 (0,30 mm) yang dibutuhkan untuk satu benda uji [(27-21)% x 1200gr = 72 gr). Diketahui : berat agregat halus (A) = 72 gr SG agregat halus = 2,547 gr/cm 3 SG crumb rubber = 0,918 gr/cm 3 Contoh perhitungan untuk variasi kandungan crumb rubber 50% Berat agregat yang diganti ( ) = 50% x A = 50% x 72 = 36 gr Volume agregat yang diganti ( ) = =, = 14,13 Berat crumb rubber yang diperlukan = A 2 x SG crumb rubber = 14,13 cm 3 x 0,918 gr/cm 3 = 12,97 gr 36

46 Tabel 3. 4 Proporsi material dengan variasi kadar crumb rubber 40 mesh % lolos % tertahan Ukuran No. Saringan Saringan (Gradasi (mm) Ideal) Agregat Crumb Rubber 0% Variasi 1 Variasi 2 Variasi 3 Crumb Rubber 50% Agregat Crumb Rubber 100% 3/4'' /2'' 12, /8'' 9, No. 4 4, No. 8 2, No. 16 1, No. 30 0, No. 40 0, No. 50 0, No , No , Talam Jumlah Agregat

47 Tabel 3. 5 Kebutuhan agregat untuk benda uji Agregat Total Variasi 1 Variasi 2 Variasi 3 Ukuran (0% Crumb Crumb Rubber Crumb Rubber Crumb Rubber No. Agregat Agregat Agregat Ayakan Rubber) 0% 50% 100% Ayakan (mm) agg agg % gram gram % gram gram % gram gram (%) (gr) 3/4'' /2'' 12, /8'' 9, no. 4 4, no. 8 2, no. 16 1, no. 30 0, no. 40 0, no. 50 0, ,97 *) ,95 *) no , no , Filler Jumlah , ,95 1 sampel (gr) , ,95 Berat 2 sampel (gr) , ,90 Total (gr) 3 sampel (gr) , ,85 Catatan: *) 1. Lihat contoh perhitungan berat crumb rubber halaman 111 dan Kadar crumb rubber berdasarkan volume agregat yang lolos ayakan no. 40 (0,425 mm) dan tertahan ayakan no. 50 (0,30 mm). 3. Kadar aspal yang digunakan adalah kadar aspal optimum (KAO) yang jumlahnya berdasarkan volume agregat crumb rubber 0%. 38

48 4.1 Pengujian Agregat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian yang dilakukan di laboratorium adalah melakukan pemeriksaan terhadap benda uji atau material dengan menggunakan alat-alat laboratorium untuk masing-masing jenis pemeriksaan. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah terhadap material yang akan digunakan untuk campuran aspal, antara lain: agregat, aspal dan crumb rubber 40 mesh Pengujian Agregat Kasar Pengujian agregat kasar meliputi analisis saringan, pemeriksaan berat jenis dan penyerapan, pengujian angularitas, pemeriksaan kelekatan, pemeriksaan keausan agregat (abrasi), pemeriksaan keawetan agregat (soundness test) dan pemeriksaan kadar lumpur atau lempung. Ringkasan hasil pemeriksaan agregat kasar ditabulasi pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil pengujian agregat kasar Jenis Pengujian Hasil Spesifikasi Pemeriksaan Berat Jenis dan Penyerapan Agregat Kasar Bulk 2,545 - SSD 2,563 - Apparent 2,591 - Penyerapan 0,694 % maksimum 3% Pemeriksaan Angularitas Agregat Kasar 98,304 % minimum 95% Pemeriksaan Kelekatan Agregat Kasar terhadap Aspal 97,500 % minimum 95% Pemeriksaan Keausan Agregat Kasar 34,417 % maksimum 40% Pemeriksaan Keawetan Agregat Kasar (Soundness Test) 4,483 % maksimum 12% Pemeriksaan Kadar Lumpur/Lempung Agregat Kasar 0,559 % maksimum 1% Sumber : Hasil Penelitian (2014) Pengujian Berat Jenis dan Penyerapan Agregat Kasar Pengujian terhadap berat jenis dan penyerapan agregat kasar dilakukan sebanyak dua kali. Dari hasil rata-rata pengujian berat jenis dan penyerapan agregat kasar yang ditabulasi pada Tabel 4.1, diperoleh penyerapan agregat kasar sebesar 0,694%. Spesifikasi untuk penyerapan agregat kasar maksimum yaitu 3%. 39

49 Pengujian Angularitas Agregat Kasar Pengujian angularitas agregat kasar dilakukan sebanyak dua kali. Dari hasil ratarata pengujian angularitas agregat kasar yang ditabulasi pada Tabel 4.1, diperoleh hasil pengujian sebesar 98,304%, sehingga dapat disimpulkan bahwa agregat kasar yang akan digunakan memenuhi spesifikasi, yaitu persentase angularitas agregat kasar (kedalaman dari permukaan <10 cm) minimum 95% Pengujian Kelekatan Agregat Kasar Terhadap Aspal Pengujian kelekatan agregat kasar terhadap aspal dilakukan sebanyak dua kali terhadap agregat yang lolos ayakan 9,5 mm (3/8 ) tertahan ayakan 6,3 mm (1/4 ). Dari hasil rata-rata pengujian kelekatan agregat kasar terhadap aspal yang ditabulasi pada Tabel 4.1, diperoleh persentase kelekatan agregat terhadap aspal sebesar 97,50%. Jadi, dapat disimpulkan bahwa agregat kasar yang akan digunakan memenuhi spesifikasi, yaitu persentase kelekatan agregat terhadap aspal minimum 95% Pengujian Keausan Agregat Kasar Ketahanan agregat terhadap pemecahan (degradasi) diperiksa melalui pengujian keausan agregat kasar menggunakan mesin Los Angeles. Pengujian keausan agregat dilakukan pada agregat tertahan ayakan 6,3 mm (1/2 ) dan 4,75 mm (3/8 ) sebanyak 2 kali pengujian dengan menggunakan 8 bola besi. Dari hasil rata-rata pengujian keausan agregat kasar yang ditabulasi pada Tabel 4.1, diperoleh hasil pengujian sebesar 34,417% sehingga dapat disimpulkan bahwa agregat kasar yang akan digunakan memenuhi spesifikasi, yaitu persentase keausan maksimum 40% Pengujian Keawetan Agregat (Soundness Test) Pengujian keawetan agregat (soundness test) dilakukan terhadap agregat kasar sebanyak dua kali. Dari rata-rata hasil pengujian keawetan agregat kasar (soundness test) yang ditabulasi pada Tabel 4.1, diperoleh hasil pengujian sebesar 4,483%, sehingga dapat disimpulkan bahwa agregat kasar yang akan digunakan memenuhi spesifikasi, yaitu maksimum 12% Pengujian Kadar Lumpur/Lempung Agregat Kasar Pengujian kadar lumpur/lempung agregat kasar dilakukan sebanyak dua kali. Dari hasil rata-rata pengujian kadar lumpur/lempung agregat kasar yang ditabulasi pada Tabel 4.1, diperoleh hasil pengujian sebesar 0,559%, sehingga dapat disimpulkan bahwa agregat kasar yang akan digunakan memenuhi spesifikasi, yaitu memiliki persentase kadar lumpur/lempung maksimum 1%. 40

50 4.1.2 Pengujian Agregat Halus Pengujian agregat halus terdiri dari analisis saringan, pemeriksaan berat jenis dan penyerapan, pengujian angularitas, pemeriksaan kebersihan agregat halus (sand equivalent). Untuk pengujian filler dilakukan pengujian berat jenis. Ringkasan hasil pemeriksaan agregat halus ditabulasi pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Hasil pengujian agregat halus Pemeriksaan Berat Jenis dan Penyerapan Agregat Halus Jenis Pengujian Hasil Spesifikasi Bulk 2,547 - SSD 2,564 - Apparent 2,591 - Penyerapan 0,664 % maksimum 3% Pemeriksaan Angularitas Agregat Halus 50,045 % minimum 45% Pemeriksaan Kebersihan Agregat Halus (Sand Equivalent) 83,135 % minimum 60% Pemeriksaan Kadar Lumpur/Lempung Agregat Halus 0,563 % maksimum 1% Sumber : Hasil Penelitian (2014) Pengujian Berat Jenis dan Penyerapan Agregat Halus Pengujian terhadap berat jenis dan penyerapan agregat halus dilakukan sebanyak dua kali. Dari hasil rata-rata pengujian berat jenis dan penyerapan agregat halus yang ditabulasi pada Tabel 4.2, diperoleh penyerapan agregat halus sebesar 0,664%. Jadi, dapat disimpulkan bahwa agregat halus yang akan digunakan memenuhi spesifikasi penyerapan agregat halus maksimum yaitu 3%. Berdasarkan data pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 juga dapat diketahui bahwa beda berat jenis agregat kasar dan agregat halusnya tidak lebih dari 0,2 sehingga memenuhi spesifikasi Pengujian Angularitas Agregat Halus Pengujian angularitas agregat halus dilakukan sebanyak dua kali. Dari hasil ratarata pengujian angularitas agregat halus yang ditabulasi pada Tabel 4.2, diperoleh hasil pengujian sebesar 50,045%, sehingga dapat disimpulkan bahwa agregat halus yang akan digunakan memenuhi spesifikasi, yaitu persentase angularitas agregat halus (kedalaman dari permukaan < 10 cm) minimum 45% Pengujian Kebersihan Agregat Halus (Sand Equivalent) Pengujian kebersihan agregat (sand equivalent) dilakukan terhadap agregat halus sebanyak dua kali. Dari hasil rata-rata pengujian sand equivalent yang ditabulasi pada Tabel 4.2, diperoleh hasil pengujian sebesar 83,135% sehingga dapat disimpulkan bahwa agregat halus yang akan digunakan memenuhi spesifikasi, yaitu minimum 60%. 41

51 Pengujian Kadar Lumpur/Lempung Agregat Halus Pengujian kadar lumpur/lempung agregat halus dilakukan sebanyak dua kali. Dari hasil rata-rata pengujian kadar lumpur/lempung agregat kasar yang ditabulasi pada Tabel 4.2, diperoleh hasil pengujian sebesar 0,563%, sehingga dapat disimpulkan bahwa agregat halus yang akan digunakan memenuhi spesifikasi, yaitu persentase kadar lumpur/lempung maksimum 1% Pengujian Filler Pengujian Berat Jenis Filler Pengujian terhadap berat jenis filler dilakukan sebanyak dua kali. Dari pengujian berat jenis filler, diperoleh hasil rata-rata pengujian adalah 2, Pengujian Aspal Aspal yang digunakan adalah aspal keras penetrasi 60/70 Pertamina. Adapun pengujian yang dilakukan di laboratorium adalah pengujian penetrasi aspal, titik lembek aspal, kehilangan berat aspal, daktilitas aspal, berat jenis aspal serta titik nyala dan titik bakar aspal. Ringkasan hasil pengujian aspal ditabulasi pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Hasil pengujian aspal penetrasi 60/70 Jenis Pengujian Satuan Hasil Spesifikasi Pengujian Penetrasi Aspal 0,1 mm 66, Pengujian Titik Lembek Aspal C 51,50 minimum 48 Pengujian Kehilangan Berat Aspal % 0,593 maksimum 0,8 Pengujian Daktilitas Aspal Cm 130,5 minimum 100 Pengujian Berat Jenis Aspal gr/cm³ 1,044 minimum 1 Pengujian Titik Nyala dan C 322 minimum 232 C Titik BakarAspal C 327 minimum 232 C Sumber : Hasil Penelitian (2014) Pengujian Penetrasi Aspal Pengujian penetrasi aspal dilakukan dengan membuat dua buah benda uji yang masing-masing diperiksa dengan alat penetrometer sebanyak lima kali. Dari hasil ratarata pengujian penetrasi aspal yang ditabulasi pada Tabel 4.3, diperoleh hasil penetrasi sebesar 66,25 satuan 0,1 mm sehingga hasil pengujian memenuhi spesifikasi, yaitu nilai penetrasi minimum 60 sedangkan nilai maksimum

52 4.2.2 Pengujian Titik Lembek Aspal Pengujian titik lembek dilakukan sebanyak dua kali. Dari hasil rata-rata pengujian titik lembek aspal yang ditabulasi pada Tabel 4.3, diperoleh titik lembek aspal adalah 51,5 C sehingga aspal yang akan digunakan memenuhi spesifikasi, yaitu titik lembek aspal minimum 48 C Pengujian Kehilangan Berat Aspal Pengujian kehilangan berat aspal dilakukan sebanyak dua kali. Dari hasil ratarata pengujian kehilangan berat aspal yang ditabulasi pada Tabel 4.3, diperoleh kehilangan berat aspal sebesar 0,593% sehingga aspal yang akan digunakan memenuhi spesifikasi, yaitu persentase kehilangan berat aspal maksimum 0,8% Pengujian Daktilitas Aspal Pengujian daktilitas dilakukan sebanyak dua kali. Dari hasil rata-rata pengujian daktilitas aspal yang ditabulasi pada Tabel 4.3, diperoleh nilai daktilitas aspal adalah 130,5 cm sehingga aspal yang akan digunakan memenuhi spesifikasi, yaitu daktilitas aspal minimum 100 cm Pengujian Berat Jenis Aspal Pengujian berat jenis aspal dilakukan sebanyak dua kali. Dari hasil rata-rata pengujian berat jenis aspal yang ditabulasi pada Tabel 4.3, diperoleh berat jenis aspal sebesar 1,044 sehingga aspal yang akan digunakan memenuhi spesifikasi, yaitu berat jenis minimum aspal penetrasi 60/70 adalah 1, Pengujian Titik Nyala Aspal dan Titik Bakar Aspal Pengujian titik nyala dan titik bakar aspal dilakukan sebanyak dua kali. Dari hasil rata-rata pengujian titik nyala dan titik bakar aspal yang ditabulasi pada Tabel 4.3, diperoleh titik nyala aspal adalah 322 C dan titik bakar aspal adalah 327 C sehingga aspal yang akan digunakan memenuhi spesifikasi, yaitu titik nyala dan titik bakar aspal minimum 232 C. 4.3 Pengujian Crumb Rubber 40 mesh Pada penelitian ini bahan yang digunakan sebagai substitusi sebagian agregat halus adalah crumb rubber 40 mesh atau parutan karet ban bekas yang lolos ayakan no.40 (0,425 mm) dan tertahan ayakan no.50 (0,30 mm) dengan pengujian yang telah dibatasi yaitu pengujian berat jenis dan pengujian temperatur lembek. Ringkasan hasil pengujian ditabulasi pada Tabel

53 Tabel 4.4 Hasil pengujian crumb rubber 40 mesh Jenis Pengujian Hasil Pemeriksaan Berat Jenis Crumb Rubber 40 mesh 0,918 Pemeriksaan Temperatur Lembek Crumb Rubber 40 mesh 161 C Sumber : Hasil Penelitian (2014) Pengujian Berat Jenis Crumb Rubber 40 mesh Pengujian berat jenis crumb rubber 40 mesh dilakukan dengan metode pengujian menggunakan piknometer seperti yang dilakukan pada pengujian berat jenis aspal. Pengujian ini dilakukan sebanyak dua kali. Dari hasil rata-rata pengujian berat jenis crumb rubber 40 mesh yang ditabulasi pada Tabel 4.4, diperoleh berat jenis ratarata adalah 0, Pengujian Temperatur Lembek Crumb Rubber 40 mesh Pengujian temperatur lembek crumb rubber 40 mesh dilakukan untuk mengetahui suhu pada saat crumb rubber mulai melembek. Pengujian ini dilakukan sebanyak dua kali. Dari hasil rata-rata pengujian temperatur lembek crumb rubber 40 mesh yang ditabulasi pada Tabel 4.4, diperoleh titik lembek crumb rubber adalah 161 C. 4.4 Pencampuran Agregat Setelah dilakukan pengujian terhadap material yang akan digunakan, yaitu: agregat kasar, halus, filler, aspal dan crumb rubber 40 mesh, dilanjutkan dengan proporsi agregat. Metode memproporsikan agregat yang dipakai adalah berdasarkan gradasi ideal yang telah ditentukan. Grafik gradasi campuran dapat dilihat pada Gambar 3.2. Adapun hasil proporsi yang diperoleh untuk masing-masing agregat adalah : Agregat kasar : 15% Agregat halus : 74% Filler : 11% 4.5 Perhitungan Kadar Aspal Awal Setelah proporsi masing-masing agregat diketahui, maka dilakukan perhitungan kadar aspal awal yang nantinya digunakan sebagai acuan dalam menentukan variasi kadar aspal. Adapun perhitungannya sesuai dengan persamaan 2.6 sebagai berikut : Pb = 0,035 (%CA) + 0,045 (%FA) + 0,18 (%FF) + konstanta 44

54 Konstanta untuk latasir adalah 1,0 sampai 2,5, diambil konstanta = 2 Pb = 0,035 (15) + 0,045 (74) + 0,18 (11) + 2 = 7,8% % 8,0% Berdasarkan hasil perhitungan tersebut maka untuk mendapatkan kadar aspal optimum, kadar aspal divariasi sebagai berikut : 7%, 7,5%, 8%, 8,5%, 9%. 4.6 Rancangan Campuran Benda Uji Marshall Setelah diperoleh komposisi agregat dan variasi kadar aspal, maka dibuat rancangan campuran benda uji pada variasi kadar aspal. Masing-masing kadar aspal dibuat tiga buah benda uji. 4.7 Karakteristik Campuran Latasir Kelas A Dari hasil pengujian Marshall, didapatkan data berupa nilai stabilitas dan flow. Untuk mendapatkan nilai stabilitas yang sesuai, maka angka dari pembacaan dial perlu dikalibrasi dan dikoreksi terhadap tebal benda uji. Nilai Marshall Quotient, VMA, VIM dan VFB didapat dari hasil perhitungan. Tabel 4.5 Nilai karakteristik campuran latasir kelas A Karakteristik Campuran Kadar aspal (%) 7 7,5 8 8,5 9 Persyaratan Campuran Stabilitas (Kg) 226,43 241,80 214,99 197,38 190,96 Min. 200 Flow (mm) 2,53 2,71 2,95 3,11 3,23 2,0-3,0 Marshall Quotient (kg/mm) 89,46 89,26 72,77 63,53 59,04 Min. 80 VMA (%) 19,841 20,117 20,143 20,184 20,636 Min. 20 VIM (%) 5,681 4,869 3,752 2,207 1,158 3,0-6,0 VFB (%) 71,366 75,796 81,374 89,068 94,388 Min. 75 Sumber : Hasil Penelitian (2014) 4.8 Hubungan Kadar Aspal dengan Karakteristik Setelah karakteristik campuran didapat melalui pengujian Marshall dan perhitungan, maka selanjutnya dibuat grafik hubungan antara kadar aspal dengan karakteristik yang didapat di antaranya stabilitas, flow (kelelehan), Marshall Quotient, VMA, VIM dan VFB. 45

55 4.8.1 Stabilitas Stabilitas campuran mengindikasikan kemampuan lapis perkerasan jalan untuk menerima beban tanpa terjadi deformasi sesuai tingkat beban lalu lintas yang direncanakan. Stabilitas yang rendah akan memudahkan terjadinya lendutan, sebaliknya stabilitas yang terlalu tinggi dapat berakibat campuran menjadi kaku dan menyebabkan campuran menjadi relatif lebih cepat retak. Stabilitas terjadi karena geseran antar butir, penguncian antar partikel agregat dan daya ikat dari lapisan aspal. Nilai stabilitas rata-rata campuran latasir kelas A pada kadar aspal 7%, 7,5%, 8%, 8,5%, 9% berturut-turut adalah 226,43 kg, 241,80 kg, 214,99 kg, 197,38 kg, 190,96 kg. Spesifikasi minimum untuk nilai stabilitas campuran latasir adalah 200 kg. Stabilitas (kg) Kadar Aspal (%) Batas Minimum Benda Uji 1 Benda Uji 2 Benda Uji 3 Stabilitas Rata-rata Gambar 4. 1 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan stabilitas rata-rata Sumber: Hasil Penelitian (2014) Gambar 4.1 menunjukkan bahwa nilai stabilitas rata-rata meningkat dari kadar aspal 7% sampai 7,5% dan selanjutnya mengalami penurunan pada kadar aspal 8% sampai 9%. Pada kadar aspal 8,5% dan 9% nilai stabilitas rata-rata tidak memenuhi spesifikasi minimum. Hal ini dapat terjadi karena kandungan aspal terlalu tinggi sehingga aspal tidak efektif lagi menyelimuti agregat Flow (Kelelehan Plastis) Flow menunjukkan besarnya deformasi yang terjadi pada lapis perkerasan akibat menahan beban yang diterimanya. Nilai flow yang rendah akan mengakibatkan campuran menjadi kaku sehingga lapis perkerasan menjadi mudah retak, sedangkan campuran dengan nilai flow tinggi akan menghasilkan lapis perkerasan yang plastis sehingga perkerasan akan mudah mengalami perubahan bentuk seperti gelombang dan alur (rutting). 46

56 Nilai flow rata-rata untuk campuran latasir kelas A pada kadar aspal 7%, 7,5%, 8%, 8,5%, 9% berturut-turut adalah 2,53 mm, 2,71 mm, 2,95 mm, 3,11 mm, 3,23 mm. Spesifikasi minimum nilai flow untuk campuran latasir kelas A adalah 2 mm dan spesifikasi maksimumnya adalah 3 mm. Flow (mm) Kadar Aspal (%) Batas Minimum Batas Maksimum Flow Rata-rata Benda Uji 1 Benda Uji 2 Benda Uji 3 Gambar 4.2 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan flow rata-rata Sumber: Hasil Penelitian (2014) Gambar 4.2 menunjukkan bahwa nilai flow rata-rata yang diperoleh meningkat seiring dengan bertambahnya kadar aspal. Pada kadar aspal 8,5% dan 9%, nilai flow rata-rata lebih dari batas maksimum spesifikasi. Nilai flow rata-rata yang tinggi disebabkan oleh kadar aspal yang terlalu tinggi sehingga perkerasan akan mudah mengalami perubahan bentuk Marshall Quotient Marshall Quotient merupakan perbandingan nilai stabilitas campuran dengan flow. Semakin besar nilai Marshall Quotient, campuran yang dihasilkan akan semakin kaku sebaliknya bila semakin kecil nilainya maka campuran semakin lentur. Nilai Marshall Quotient rata-rata untuk campuran latasir kelas A pada kadar aspal 7%, 7,5%, 8%, 8,5%, 9% berturut-turut adalah 89,46 kg/mm, 89,26 kg/mm, 72,77 kg/mm, 63,53 kg/mm, 59,04 kg/mm. Spesifikasi minimum nilai Marshall Quotient untuk campuran latasir kelas A adalah 80 kg/mm. 47

57 Marshall Quotient (kg/mm) Kadar Aspal (%) Batas Minimum Benda Uji 1 Benda Uji 2 Benda Uji 3 MQ Rata-rata Gambar 4.3 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan Marshall Quotient Sumber: Hasil Penelitian (2014) rata-rata Gambar 4.3 menunjukkan bahwa nilai Marshall Quotient rata-rata dari campuran dengan kadar aspal 7% sampai 9% cenderung mengalami penurunan. Untuk nilai Marshall Quotient rata-rata pada campuran dengan kadar aspal 7% dan 7,5% memenuhi spesifikasi, sedangkan Marshall Quotient rata-rata pada campuran dengan kadar aspal 8% sampai 9% tidak memenuhi spesifikasi. Nilai Marshall Quotient ratarata yang rendah disebabkan oleh nilai stabilitas rendah dan flow yang relatif tinggi Rongga Antar Butiran Agregat (VMA) Rongga antar Butiran Agregat (VMA) adalah rongga antar butir agregat, terdiri dari rongga udara serta aspal efektif yang dinyatakan dalam persentase volume total campuran. VMA yang terlalu besar menyebabkan campuran memiliki stabilitas yang rendah sedangkan VMA yang terlalu kecil menyebabkan campuran memiliki durabilitas rendah. Nilai VMA untuk campuran latasir kelas A pada kadar aspal 7%, 7,5%, 8%, 8,5%, 9% berturut-turut adalah 19,841%, 20,117%, 20,143%, 20,184%, 20,636%. Spesifikasi minimum nilai VMA untuk campuran latasir kelas A adalah 20%. 48

58 VMA (%) Gambar 4.4 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan VMA rata-rata Sumber: Hasil Penelitian (2014) Gambar 4.4 menunjukkan bahwa VMA semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kadar aspal. Nilai VMA pada kadar aspal 7% berada di bawah spesifikasi, sedangkan untuk campuran dengan kadar aspal 7,5% sampai 9% memenuhi spesifikasi nilai VMA minimum Rongga Udara dalam Campuran (VIM) Rongga Udara dalam Campuran (VIM) merupakan persentase rongga yang terdapat dalam campuran. Nilai VIM yang tinggi dapat menimbulkan oksidasi/penuaan aspal dengan masuknya udara sehingga campuran bersifat porous, sedangkan nilai VIM yang terlalu rendah akan menimbulkan bleeding karena pada suhu yang tinggi, viskositas aspal akan menurun sesuai sifat termoplastisnya. Nilai VIM untuk campuran latasir kelas A pada kadar aspal 7%, 7,5%, 8%, 8,5%, 9% berturut-turut adalah 5,681%, 4,869%, 3,752%, 2,207%, 1,158%. Spesifikasi minimum nilai VIM untuk campuran latasir kelas A adalah 3% dan spesifikasi maksimumnya adalah 6%. Batas Minimum Kadar Aspal (%) Benda Uji 1 Benda Uji 2 Benda Uji 3 VMA Rata-rata VIM (%) Batas Minimum Kadar Aspal (%) Batas Maksimum VIM Rata-rata Benda Uji 1 Benda Uji 2 Benda Uji 3 Gambar 4.5 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan VIM rata-rata Sumber: Hasil Penelitian (2014) 49

59 Gambar 4.5 menunjukkan bahwa bertambahnya kadar aspal menyebabkan nilai VIM cenderung semakin menurun. Hal ini disebabkan karena rongga-rongga udara dalam campuran terisi oleh aspal. Nilai VIM yang memenuhi spesifikasi adalah nilai VIM dengan kadar aspal 7% sampai 8%, sedangkan nilai VIM pada kadar aspal 8,5% dan 9% kurang dari spesifikasi minimum. Nilai VIM yang kurang dari spesifikasi dapat mengakibatkan terjadinya bleeding Rongga Udara Terisi Aspal (VFB) Rongga Udara Terisi Aspal merupakan persentase rongga terisi aspal pada campuran setelah mengalami proses pemadatan. Semakin tinggi nilai VFB menunjukkan semakin banyak rongga dalam campuran yang terisi aspal sehingga kekedapan campuran terhadap air dan udara juga semakin tinggi. Namun jika nilai VFB terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya bleeding. Nilai VFB untuk campuran latasir kelas A pada kadar aspal 7%, 7,5%, 8%, 8,5%, 9% berturut-turut adalah 71,366%, 75,796%, 81,374%, 89,068%, 94,388%. Spesifikasi VFB untuk campuran latasir kelas A adalah minimal 75%. VFB (%) Kadar Aspal (%) Batas Minimum Benda Uji 1 Benda Uji 2 Benda Uji 3 VFB Rata-rata Gambar 4.6 Grafik hubungan antara kadar aspal dengan VFB rata-rata Sumber: Hasil Penelitian (2014) Gambar 4.6 menunjukkan nilai VFB cenderung meningkat sesuai dengan penambahan kadar aspal. Nilai VFB pada kadar aspal 7% berada di bawah spesifikasi minimum. Nilai VFB yang relatif kecil dipengaruhi oleh kadar aspal yang terlalu rendah, sehingga rongga di dalam campuran tidak terisi secara optimal, sedangkan nilai VFB pada kadar aspal 7,5% sampai 9% memenuhi spesifikasi. 50

60 4.9 Penentuan Kadar Aspal Optimum Kadar aspal optimum adalah kadar aspal yang ditentukan dari rentang kadar aspal maksimum dan minimum yang memenuhi spesifikasi masing-masing karakteristik antara lain nilai stabilitas, flow, Marshall Quotient, VMA, VIM dan VFB. KAO = 7,5% Gambar 4.7 Bar chart karakteristik campuran latasir kelas A dengan variasi kadar aspal Sumber: Hasil Penelitian (2014) Berdasarkan pada grafik perbandingan stabilitas, flow, Marshall Quotient, VIM, VMA, VFB dengan variasi kadar aspal didapatkan bar chart seperti Gambar 4.7. Pada bar chart nilai stabilitas untuk kadar aspal 7% sampai 8,4% memenuhi spesifikasi minimum. Nilai flow memenuhi spesifikasi minimum dan maksimum pada kadar aspal 7% sampai 8,1%. Nilai Marshall Quotient memenuhi spesifikasi minimum pada campuran dengan kadar aspal 7% sampai 7,75% sedangkan nilai VIM memenuhi spesifikasi minimum dan maksimum pada kadar aspal 7% sampai 8,2%. Untuk nilai VMA, campuran dengan kadar aspal 7,3% sampai 9% memenuhi spesifikasi minimum. Nilai VFB yang memenuhi spesifikasi minimum adalah kadar aspal 7,35% sampai 9%. Berdasarkan rentang minimum yang memenuhi spesifikasi yaitu kadar aspal 7,35% dan rentang maksimum yang memenuhi spesifikasi yaitu kadar aspal 7,75%, didapat nilai tengah yaitu 7,5% yang sekaligus menjadi kadar aspal optimum (KAO) Pengujian Nilai Stabilitas Marshall Sisa pada Kadar Aspal Optimum (KAO) 7,5% Pengujian nilai stabilitas Marshall sisa dilakukan untuk memperoleh nilai indeks kekuatan sisa dengan jumlah sampel yang dibuat sebanyak 3 (tiga) buah benda 51

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Aspal Beton Aspal Beton merupakan salah satu jenis lapis perkerasan lentur. Jenis perkerasan ini merupakan campuran merata antara agregat dan aspal sebagai bahan pengikat pada

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hot Rolled Sheet (HRS) Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (Bina Marga revisi 2010), lapis tipis aspal beton (lataston) adalah lapisan penutup yang terdiri dari dari campuran agregat

Lebih terperinci

Jurnal Sipil Statik Vol.3 No.4 April 2015 ( ) ISSN:

Jurnal Sipil Statik Vol.3 No.4 April 2015 ( ) ISSN: KAJIAN PERBEDAAN KINERJA CAMPURAN BERASPAL PANAS ANTARA JENIS LAPIS TIPIS ASPAL BETON-LAPIS AUS (HRS-WC) BERGRADASI SENJANG DENGAN YANG BERGRADASI SEMI SENJANG Giavanny Hermanus Oscar H. Kaseke, Freddy

Lebih terperinci

3.1 Lataston atau Hot Rolled Sheet

3.1 Lataston atau Hot Rolled Sheet BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Lataston atau Hot Rolled Sheet Menurut Kementrian Pekerjaan Umum (Bina Marga revisi 2010), lapis tipis aspal beton (lataston) adalah lapisan penutup yang terdiri dari campuran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo terdiri dari hasil pengujian agregat, pengujian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang terletak pada lapis paling atas dari bahan jalan dan terbuat dari bahan khusus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang terletak pada lapis paling atas dari bahan jalan dan terbuat dari bahan khusus BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkerasan Jalan Menurut Totomihardjo (1995), perkerasan adalah suatu lapis tambahan yang terletak pada lapis paling atas dari bahan jalan dan terbuat dari bahan khusus yang

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI KANDUNGAN BAHAN PENGISI TERHADAP KRITERIA MARSHALL PADA CAMPURAN LAPIS ASPAL BETON-LAPIS ANTARA BERGRADASI HALUS

PENGARUH VARIASI KANDUNGAN BAHAN PENGISI TERHADAP KRITERIA MARSHALL PADA CAMPURAN LAPIS ASPAL BETON-LAPIS ANTARA BERGRADASI HALUS PENGARUH VARIASI KANDUNGAN BAHAN PENGISI TERHADAP KRITERIA MARSHALL PADA CAMPURAN LAPIS ASPAL BETON-LAPIS ANTARA BERGRADASI HALUS Praesillia Christien Ator J. E. Waani, O. H. Kaseke Fakultas Teknik, Jurusan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Metode Pengujian Material 1. Agregat Kasar dan Steel Slag Agregat kasar merupakan agregat yang tertahan diatas saringan 2.36 mm (No.8), menurut saringan ASTM. a. Berat Jenis Curah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA. aspal keras produksi Pertamina. Hasil Pengujian aspal dapat dilihat pada Tabel 4.1

BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA. aspal keras produksi Pertamina. Hasil Pengujian aspal dapat dilihat pada Tabel 4.1 BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA 4.1. Pengujian Aspal Pada pengujian material aspal digunakan aspal minyak (AC Pen 60/70) atau aspal keras produksi Pertamina. Hasil Pengujian aspal dapat dilihat pada Tabel

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Aspal Beton Menurut Sukirman (1999) aspal beton merupakan salah satu jenis lapis perkerasan konstruksi perkerasan lentur. Jenis perkersana ini merupakan campuran merata antara

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI RATIO FILLER-BITUMEN CONTENT PADA CAMPURAN BERASPAL PANAS JENIS LAPIS TIPIS ASPAL BETON-LAPIS PONDASI GRADASI SENJANG

PENGARUH VARIASI RATIO FILLER-BITUMEN CONTENT PADA CAMPURAN BERASPAL PANAS JENIS LAPIS TIPIS ASPAL BETON-LAPIS PONDASI GRADASI SENJANG PENGARUH VARIASI RATIO FILLER-BITUMEN CONTENT PADA CAMPURAN BERASPAL PANAS JENIS LAPIS TIPIS ASPAL BETON-LAPIS PONDASI GRADASI SENJANG Fergianti Suawah O. H. Kaseke, T. K. Sendow Fakultas Teknik, Jurusan

Lebih terperinci

VARIASI AGREGAT LONJONG PADA AGREGAT KASAR TERHADAP KARAKTERISTIK LAPISAN ASPAL BETON (LASTON) I Made Agus Ariawan 1 1

VARIASI AGREGAT LONJONG PADA AGREGAT KASAR TERHADAP KARAKTERISTIK LAPISAN ASPAL BETON (LASTON) I Made Agus Ariawan 1 1 VARIASI AGREGAT LONJONG PADA AGREGAT KASAR TERHADAP KARAKTERISTIK LAPISAN ASPAL BETON (LASTON) I Made Agus Ariawan 1 1 Dosen Pada Jurusan Teknik Sipil Universitas Udayana E-mail : agusariawan17@yahoo.com

Lebih terperinci

Agus Fanani Setya Budi 1, Ferdinan Nikson Liem 2, Koilal Alokabel 3, Fanny Toelle 4

Agus Fanani Setya Budi 1, Ferdinan Nikson Liem 2, Koilal Alokabel 3, Fanny Toelle 4 STUDI KOMPARASI PENGARUH VARIASI PENGGUNAAN NILAI KONSTANTA ASPAL RENCANA TERHADAP NILAI STABILITAS PADA CAMPURAN ASPAL BETON (HRSWC) TERHADAP KARAKTERISTIK UJI MARSHALL Agus Fanani Setya Budi 1, Ferdinan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya (Laboratorium Transportasi FT-UNG, 2013)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya (Laboratorium Transportasi FT-UNG, 2013) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Agregat Penelitian ini menggunakan agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya yang berlokasi di Kecamatan Bongomeme. Agregat dari lokasi ini kemudian diuji di Laboratorium Transportasi

Lebih terperinci

KINERJA CAMPURAN SPLIT MASTIC ASPHALT SEBAGAI LAPISAN WEARING COURSE (WC)

KINERJA CAMPURAN SPLIT MASTIC ASPHALT SEBAGAI LAPISAN WEARING COURSE (WC) KINERJA CAMPURAN SPLIT MASTIC ASPHALT SEBAGAI LAPISAN WEARING COURSE (WC) TUGAS AKHIR Oleh : I WAYAN JUNIARTHA NIM : 1104105072 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA 2 3 ABSTRAK Setiap

Lebih terperinci

I Made Agus Ariawan 1 ABSTRAK 1. PENDAHULUAN. 2. METODE Asphalt Concrete - Binder Course (AC BC)

I Made Agus Ariawan 1 ABSTRAK 1. PENDAHULUAN. 2. METODE Asphalt Concrete - Binder Course (AC BC) PENGGUNAAN LIMBAH BONGKARAN BANGUNAN (BATAKO) SEBAGAI PENGGANTI AGREGAT HALUS DAN FILLER PADA CAMPURAN ASPHALT CONCRETE BINDER COURSE (AC-BC) DENGAN MENGGUNAKAN ASBUTON I Made Agus Ariawan 1 Program Studi

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK AGREGAT KASAR PULAU JAWA DENGAN AGREGAT LUAR PULAU JAWA DITINJAU DARI KEKUATAN CAMPURAN PERKERASAN LENTUR

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK AGREGAT KASAR PULAU JAWA DENGAN AGREGAT LUAR PULAU JAWA DITINJAU DARI KEKUATAN CAMPURAN PERKERASAN LENTUR PERBANDINGAN KARAKTERISTIK AGREGAT KASAR PULAU JAWA DENGAN AGREGAT LUAR PULAU JAWA DITINJAU DARI KEKUATAN CAMPURAN PERKERASAN LENTUR Michael Kevindie Setyawan 1, Paravita Sri Wulandari 2, Harry Patmadjaja

Lebih terperinci

PENGARUH LIMBAH BAJA ( STEEL SLAG ) SEBAGAI PENGGANTI AGREGAT KASAR NO. ½ DAN NO.8 PADA CAMPURAN HRS-WC TERHADAP KARAKTERISTIK MARSHALL 1

PENGARUH LIMBAH BAJA ( STEEL SLAG ) SEBAGAI PENGGANTI AGREGAT KASAR NO. ½ DAN NO.8 PADA CAMPURAN HRS-WC TERHADAP KARAKTERISTIK MARSHALL 1 PENGARUH LIMBAH BAJA ( STEEL SLAG ) SEBAGAI PENGGANTI AGREGAT KASAR NO. ½ DAN NO.8 PADA CAMPURAN HRS-WC TERHADAP KARAKTERISTIK MARSHALL 1 Windi Nugraening Pradana INTISARI Salah satu bidang industri yang

Lebih terperinci

Jurnal Sipil Statik Vol.4 No.7 Juli 2016 ( ) ISSN:

Jurnal Sipil Statik Vol.4 No.7 Juli 2016 ( ) ISSN: PENGARUH VARIASI KANDUNGAN BAHAN PENGISI TERHADAP KRITERIA MARSHALL PADA CAMPURAN BERASPAL PANAS JENIS LAPIS TIPIS ASPAL BETON LAPIS AUS GRADASI SENJANG Risky Aynin Hamzah Oscar H. Kaseke, Mecky M. Manoppo

Lebih terperinci

Gambar 4.1. Bagan Alir Penelitian

Gambar 4.1. Bagan Alir Penelitian BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Bagan Alir Penelitian Bagan alir dibawah ini adalah tahapan penelitian di laboratorium secara umum untuk pemeriksaan bahan yang di gunakan pada penentuan uji Marshall. Mulai

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CAMPURAN ASPHALT CONCRETE BINDER COURSE

KARAKTERISTIK CAMPURAN ASPHALT CONCRETE BINDER COURSE KARAKTERISTIK CAMPURAN ASPHALT CONCRETE BINDER COURSE (AC-BC) DENGAN MENGGUNAKAN ASBUTON DAN LIMBAH BONGKARAN BANGUNAN (BATAKO) SEBAGAI PENGGANTI AGREGAT HALUS DAN FILLER I Made Agus Ariawan 1 Program

Lebih terperinci

VARIASI AGREGAT LONJONG SEBAGAI AGREGAT KASAR TERHADAP KARAKTERISTIK LAPISAN ASPAL BETON (LASTON) ABSTRAK

VARIASI AGREGAT LONJONG SEBAGAI AGREGAT KASAR TERHADAP KARAKTERISTIK LAPISAN ASPAL BETON (LASTON) ABSTRAK Konferensi Nasional Teknik Sipil 4 (KoNTekS 4) Sanur-Bali, 2-3 Juni 2010 VARIASI AGREGAT LONJONG SEBAGAI AGREGAT KASAR TERHADAP KARAKTERISTIK LAPISAN ASPAL BETON (LASTON) I Made Agus Ariawan 1 1 Dosen

Lebih terperinci

Berdasarkan bahan pengikatnya konstmksi perkerasanjalan dapat dibedakan atas:

Berdasarkan bahan pengikatnya konstmksi perkerasanjalan dapat dibedakan atas: 17 BABUI LANDASAN TEORI 3.1 Perkerasan Jalan Berdasarkan bahan pengikatnya konstmksi perkerasanjalan dapat dibedakan atas: 1. Konstmksi perkerasan lentur ("fleksibel pavement"), yaitu perkerasan yang menggunakan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. bergradasi baik yang dicampur dengan penetration grade aspal. Kekuatan yang

BAB III LANDASAN TEORI. bergradasi baik yang dicampur dengan penetration grade aspal. Kekuatan yang BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Lapisan Aspal Beton Lapis Aspal Beton adalah suatu lapisan pada konstuksi jalan raya, yang terdiri dari campuran aspal keras dan agregat yang bergradasi menerus, dicampur, dihampar

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Lapis Aspal Beton Aspal beton adalah suatu lapisan pada konstruksi perkerasan jalan raya yang terdiri dari campuran aspal dan agregat yang mempunyai gradasi menerus yang dicampur,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik III. METODOLOGI PENELITIAN A. Umum Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik Universitas Lampung dengan dasar menggunakan amplop gradasi gabungan untuk campuran lapis aspal

Lebih terperinci

KAJIAN PROPERTIES DARI AGREGAT BATU GUNUNG YANG DIGUNAKAN SEBAGAI MATERIAL CAMPURAN BERASPAL

KAJIAN PROPERTIES DARI AGREGAT BATU GUNUNG YANG DIGUNAKAN SEBAGAI MATERIAL CAMPURAN BERASPAL KAJIAN PROPERTIES DARI AGREGAT BATU GUNUNG YANG DIGUNAKAN SEBAGAI MATERIAL CAMPURAN BERASPAL ABSTRAK Oleh Lusyana Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Padang Kampus Limau Manis Padang Sifat-sifat fisik

Lebih terperinci

PENGARUH KEPADATAN MUTLAK TERHADAP KEKUATAN CAMPURAN ASPAL PADA LAPISAN PERMUKAAN HRS-WC

PENGARUH KEPADATAN MUTLAK TERHADAP KEKUATAN CAMPURAN ASPAL PADA LAPISAN PERMUKAAN HRS-WC PENGARUH KEPADATAN MUTLAK TERHADAP KEKUATAN CAMPURAN ASPAL PADA LAPISAN PERMUKAAN HRS-WC Januardi 1) Abstrak Dalam Ditjen (2011), khusus pada sifat-sifat campuran perkerasan hanya terdapat standar untuk

Lebih terperinci

Spesifikasi lapis tipis aspal pasir (Latasir)

Spesifikasi lapis tipis aspal pasir (Latasir) Standar Nasional Indonesia Spesifikasi lapis tipis aspal pasir (Latasir) ICS 93.080.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... I Prakata... II Pendahuluan... III 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

KAJIAN LABORATORIUM PENGGUNAAN MATERIAL AGREGAT BERSUMBER DARI KAKI GUNUNG SOPUTAN UNTUK CAMPURAN BERASPAL PANAS

KAJIAN LABORATORIUM PENGGUNAAN MATERIAL AGREGAT BERSUMBER DARI KAKI GUNUNG SOPUTAN UNTUK CAMPURAN BERASPAL PANAS KAJIAN LABORATORIUM PENGGUNAAN MATERIAL AGREGAT BERSUMBER DARI KAKI GUNUNG SOPUTAN UNTUK CAMPURAN BERASPAL PANAS Steward Paulus Korompis Oscar H. Kaseke, Sompie Diantje Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konstruksi Perkerasan Lentur Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement) yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Konstruksi perkerasan lentur terdiri

Lebih terperinci

NASKAH SEMINAR INTISARI

NASKAH SEMINAR INTISARI NASKAH SEMINAR PENGARUH VARIASI PEMADATAN PADA UJI MARSHALL TERHADAP ASPHALT TREATED BASE (ATB) MODIFIED MENURUT SPESIFIKASI BINA MARGA 2010 (REV-2) 1 Angga Ramdhani K F 2, Anita Rahmawati 3, Anita Widianti

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. untuk campuran lapis aspal beton Asphalt Concrete Binder Course (AC-

METODOLOGI PENELITIAN. untuk campuran lapis aspal beton Asphalt Concrete Binder Course (AC- 41 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik Universitas Lampung dengan dasar menggunakan amplop gradasi gabungan untuk campuran

Lebih terperinci

ANALISIS KARAKTERISTIK CAMPURAN ASPHALT CONCRETE- BINDER COURSE (AC-BC) DENGAN MENGGUNAKAN ASPAL RETONA BLEND 55 TUGAS AKHIR

ANALISIS KARAKTERISTIK CAMPURAN ASPHALT CONCRETE- BINDER COURSE (AC-BC) DENGAN MENGGUNAKAN ASPAL RETONA BLEND 55 TUGAS AKHIR ANALISIS KARAKTERISTIK CAMPURAN ASPHALT CONCRETE- BINDER COURSE (AC-BC) DENGAN MENGGUNAKAN ASPAL RETONA BLEND 55 TUGAS AKHIR Oleh : Ayu Indah Kencana Dewi (0719151007) JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Jurnal Sipil Statik Vol.3 No.12 Desember 2015 ( ) ISSN:

Jurnal Sipil Statik Vol.3 No.12 Desember 2015 ( ) ISSN: PENGARUH JUMLAH KANDUNGAN FRAKSI BAHAN PENGISI TERHADAP KRITERIA MARSHALL PADA CAMPURAN BERASPAL PANAS JENIS LAPIS ASPAL BETON-LAPIS AUS BERGRADASI HALUS Windy J. Korua Oscar H. Kaseke, Lintong Elisabeth

Lebih terperinci

ANALISIS KARAKTERISTIK LAPISAN TIPIS ASPAL PASIR (LATASIR) KELAS A YANG SELURUHNYA MEMPERGUNAKAN AGREGAT BEKAS

ANALISIS KARAKTERISTIK LAPISAN TIPIS ASPAL PASIR (LATASIR) KELAS A YANG SELURUHNYA MEMPERGUNAKAN AGREGAT BEKAS ANALISIS KARAKTERISTIK LAPISAN TIPIS ASPAL PASIR (LATASIR) KELAS A YANG SELURUHNYA MEMPERGUNAKAN AGREGAT BEKAS TUGAS AKHIR Oleh : Putu Anggi Wedayanti (0719151037) JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN SERBUK BAN KARET PADA CAMPURAN LASTON UNTUK PERKERASAN JALAN RAYA

PENGARUH PENAMBAHAN SERBUK BAN KARET PADA CAMPURAN LASTON UNTUK PERKERASAN JALAN RAYA PENGARUH PENAMBAHAN SERBUK BAN KARET PADA CAMPURAN LASTON UNTUK PERKERASAN JALAN RAYA Charly Laos 1, Gedy Goestiawan 2, Paravita Sri Wulandari 3, Harry Patmadjaja 4 ABSTRAK : Pertumbuhan jumlah kendaraan

Lebih terperinci

KAJIAN LABORATORIUM SIFAT FISIK AGREGAT YANG MEMPENGARUHI NILAI VMA PADA CAMPURAN BERASPAL PANAS HRS-WC

KAJIAN LABORATORIUM SIFAT FISIK AGREGAT YANG MEMPENGARUHI NILAI VMA PADA CAMPURAN BERASPAL PANAS HRS-WC KAJIAN LABORATORIUM SIFAT FISIK AGREGAT YANG MEMPENGARUHI NILAI VMA PADA CAMPURAN BERASPAL PANAS HRS-WC Rizky Mamangkey O.H. Kaseke, F. Jansen, M.R.E. Manoppo Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Agregat Penelitian ini menggunakan agregat kasar, agregat halus, dan filler dari Clereng, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Hasil pengujian agregat ditunjukkan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN AGREGAT HALUS (PASIR BESI) PASUR BLITAR TERHADAP KINERJA HOT ROLLED SHEET (HRS) Rifan Yuniartanto, S.T.

PENGARUH PENGGUNAAN AGREGAT HALUS (PASIR BESI) PASUR BLITAR TERHADAP KINERJA HOT ROLLED SHEET (HRS) Rifan Yuniartanto, S.T. PENGARUH PENGGUNAAN AGREGAT HALUS (PASIR BESI) PASUR BLITAR TERHADAP KINERJA HOT ROLLED SHEET (HRS) Rifan Yuniartanto, S.T. ABSTRAK Hot rolled sheet Wearing Course (HRS WC) adalah campuran lapis tipis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA. penetrasi, uji titik nyala, berat jenis, daktilitas dan titik lembek. Tabel 4.1 Hasil uji berat jenis Aspal pen 60/70

BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA. penetrasi, uji titik nyala, berat jenis, daktilitas dan titik lembek. Tabel 4.1 Hasil uji berat jenis Aspal pen 60/70 BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA 4.1 Hasil dan Analisa Pengujian Aspal Aspal yang digunakan pada penelitian ini adalah aspal keras yang mempunyai nilai penetrasi 60/70. Pengujian aspal di laboratorium Jalan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Lapis Aspal Beton Aspal beton adalah suatu lapisan pada konstruksi perkerasan jalan raya yang terdiri dari campuran aspal dan agregat yang mempunyai gradasi menerus yang dicampur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini bertempat di Laboratorium Transportasi Universitas Negeri Gorontalo. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Tahapan persiapan alat dan bahan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Bagan Alir Penelitian. Mulai. Studi Pustaka. Persiapan Alat dan Bahan. Pengujian Bahan

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Bagan Alir Penelitian. Mulai. Studi Pustaka. Persiapan Alat dan Bahan. Pengujian Bahan BAB IV METODE PENELITIAN A. Bagan Alir Penelitian Pelaksanaan pengujian dalam penelitian ini meliputi beberapa tahapan, yaitu pengujian bahan seperti pengujian agregat dan aspal, penentuan gradasi campuran

Lebih terperinci

Jurnal Sipil Statik Vol.4 No.12 Desember 2016 ( ) ISSN:

Jurnal Sipil Statik Vol.4 No.12 Desember 2016 ( ) ISSN: PENGARUH PERUBAHAN GRADASI DAN RATIO ANTARA PARTIKEL LOLOS SARINGAN NO. #200 DENGAN BITUMEN EFEKTIF, TERHADAP BESARAN MARSHALL QUOTIENT PADA CAMPURAN ASPAL LATASTON Maria Rainy Lengkong Oscar H. Kaseke,

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI 3.1 Pendekatan Penelitian

BAB 3 METODOLOGI 3.1 Pendekatan Penelitian BAB 3 METODOLOGI 3.1 Pendekatan Penelitian Mulai Identifikasi Masalah Studi Literatur Persiapan Alat dan Bahan Pengujian Aspal Pengujian Agregat Pengujian filler Syarat Bahan Dasar Tidak Memenuhi Uji Marshall

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agregat, dan agregat berperan sebagai tulangan. Sifat-sifat mekanis aspal dalam

BAB I PENDAHULUAN. agregat, dan agregat berperan sebagai tulangan. Sifat-sifat mekanis aspal dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 UMUM Campuran beraspal adalah suatu kombinasi campuran antara agregat dan aspal. Dalam campuran beraspal,aspal berperan sebagai pengikat atau lem antar partikel agregat, dan agregat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR NOTASI DAFTAR

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. B. Bahan Bahan yang digunakan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. B. Bahan Bahan yang digunakan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN LIMBAH HANCURAN GENTENG SEBAGAI ALTERNATIF AGREGAT KASAR PADA CAMPURAN HOT ROLLED ASPHALT

PENGGUNAAN LIMBAH HANCURAN GENTENG SEBAGAI ALTERNATIF AGREGAT KASAR PADA CAMPURAN HOT ROLLED ASPHALT PENGGUNAAN LIMBAH HANCURAN GENTENG SEBAGAI ALTERNATIF AGREGAT KASAR PADA CAMPURAN HOT ROLLED ASPHALT Irwanto Sinaga NRP : 0221038 Pembimbing : Prof. Ir. Bambang Ismanto S, M.Sc, Ph.D FAKULTAS TEKNIK JURUSAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Agregat Kasar A. Hasil Pengujian Agregat Agregat kasar yang digunakan dalam percobaan ini berasal dari desa Clereng, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Hasil pemeriksaan bahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1.a. Bagan Alir Penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1.a. Bagan Alir Penelitian BAB III METODOLOGI Dalam bab ini peneliti menjelaskan langkah-langkah yang akan dilakukan selama penelitian tentang Studi komparasi antara beton aspal dengan aspal Buton Retona dan aspal minyak Pertamina

Lebih terperinci

Jurnal Sipil Statik Vol.5 No.1 Februari 2017 (1-10) ISSN:

Jurnal Sipil Statik Vol.5 No.1 Februari 2017 (1-10) ISSN: PENGARUH PERUBAHAN RATIO ANTARA PARTIKEL LOLOS SARINGAN NO. #200 DENGAN BITUMEN EFEKTIF, TERHADAP KRITERIA MARSHALL PADA CAMPURAN LATASTON JENIS LAPIS PONDASI DAN LAPIS AUS Tri Utami Wardahni Oscar H.

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. perkerasan konstruksi perkerasan lentur. Jenis perkersana ini merupakan campuran

BAB III LANDASAN TEORI. perkerasan konstruksi perkerasan lentur. Jenis perkersana ini merupakan campuran BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Aspal Beton Menurut Sukirman (2007) aspal beton merupakan salah satu jenis lapis perkerasan konstruksi perkerasan lentur. Jenis perkersana ini merupakan campuran merata antara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Material Dasar 1. Agregat dan Filler Material agregat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari batu pecah yang berasal dari Tanjungan, Lampung Selatan. Sedangkan sebagian

Lebih terperinci

STUDI PENGGUNAAN PASIR SERUYAN KABUPATEN SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEBAGAI CAMPURAN ASPAL BETON AC WC

STUDI PENGGUNAAN PASIR SERUYAN KABUPATEN SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEBAGAI CAMPURAN ASPAL BETON AC WC STUDI PENGGUNAAN PASIR SERUYAN KABUPATEN SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEBAGAI CAMPURAN ASPAL BETON AC WC Oleh : Denny Setiawan 3113 040 501 PROGRAM STUDI DIV TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH ABU SERBUK KAYU SEBAGAI MATERIAL PENGISI CAMPURAN LATASTON TIPE B

PEMANFAATAN LIMBAH ABU SERBUK KAYU SEBAGAI MATERIAL PENGISI CAMPURAN LATASTON TIPE B PEMANFAATAN LIMBAH ABU SERBUK KAYU SEBAGAI MATERIAL PENGISI CAMPURAN LATASTON TIPE B Sabaruddin Fakultas Teknik Universitas Khairun Kampus Gambesi Kotak Pos 53 - Ternate 97719 Ternate Selatan Telp. (0921)

Lebih terperinci

PENGARUH KEPIPIHAN DAN KELONJONGAN AGREGAT TERHADAP PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA ABSTRAK

PENGARUH KEPIPIHAN DAN KELONJONGAN AGREGAT TERHADAP PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA ABSTRAK VOLUME 6 NO. 1, FEBRUARI 2010 PENGARUH KEPIPIHAN DAN KELONJONGAN AGREGAT TERHADAP PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA M. Aminsyah 1 ABSTRAK Penyediaan material konstruksi jalan yang sesuai dengan persyaratan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini :

III. METODOLOGI PENELITIAN. Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini : III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. B. Bahan Adapun bahan yang digunakan

Lebih terperinci

Bab IV Penyajian Data dan Analisis

Bab IV Penyajian Data dan Analisis 6 Bab IV Penyajian Data dan Analisis IV.1 Hasil Pengujian Sifat-Sifat Fisik Agregat Agregat kasar, agregat halus dan filler abu batu yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari mesin pemecah batu,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik. Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung.

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik. Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. 31 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. B. Bahan Bahan yang digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melebihi daya dukung tanah yang diijinkan (Sukirman, 1992).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melebihi daya dukung tanah yang diijinkan (Sukirman, 1992). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkerasan Jalan Perkerasan jalan adalah suatu lapisan yang berada di atas tanah dasar yang sudah dipadatkan, dimana fungsi dari lapisan ini adalah memikul beban lalu lintas

Lebih terperinci

(Data Hasil Pengujian Agregat Dan Aspal)

(Data Hasil Pengujian Agregat Dan Aspal) (Data Hasil Pengujian Agregat Dan Aspal) LABORATORIUM INTI JALAN RAYA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS LAMPUNG Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung Jurusan PEMERIKSAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk di Yogyakarta. Pembangunan hotel, apartemen, perumahan dan mall

BAB I PENDAHULUAN. penduduk di Yogyakarta. Pembangunan hotel, apartemen, perumahan dan mall BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak yaitu 3.452.390 jiwa pada sensus tahun 2010, belum lagi saat ini Daerah Istimewa Yogyakarta mulai

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH TUMBUKAN PEMADATAN BENDA UJI TERHADAP BESARAN MARSHALL CAMPURAN BERASPAL PANAS BERGRADASI MENERUS JENIS ASPHALT CONCRETE (AC)

PENGARUH JUMLAH TUMBUKAN PEMADATAN BENDA UJI TERHADAP BESARAN MARSHALL CAMPURAN BERASPAL PANAS BERGRADASI MENERUS JENIS ASPHALT CONCRETE (AC) PENGARUH PEMADATAN BENDA UJI TERHADAP BESARAN MARSHALL CAMPURAN BERASPAL PANAS BERGRADASI MENERUS JENIS ASPHALT CONCRETE (AC) Kiftheo Sanjaya Panungkelan Oscar H. Kaseke, Mecky R. E. Manoppo Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

PENGARUH GRADASI AGREGAT TERHADAP KEDALAMAN ALUR RODA PADA CAMPURAN BETON ASPAL PANAS

PENGARUH GRADASI AGREGAT TERHADAP KEDALAMAN ALUR RODA PADA CAMPURAN BETON ASPAL PANAS PENGARUH GRADASI AGREGAT TERHADAP KEDALAMAN ALUR RODA PADA CAMPURAN BETON ASPAL PANAS Dwinanta Utama Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Unversitas Borobudur Jl. Raya Kali Malang No. 1,

Lebih terperinci

1. Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

1. Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) 1 LAPIISAN DAN MATERIIAL PERKERASAN JALAN (Sonya Sulistyono, ST., MT.) A. Jenis dan Fungsi Lapis Perkerasan 1. Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) Kontruksi perkerasan lentur (flexible Pavement)

Lebih terperinci

ANALISIS STABILITAS CAMPURAN BERASPAL PANAS MENGGUNAKAN SPESIFIKASI AC-WC

ANALISIS STABILITAS CAMPURAN BERASPAL PANAS MENGGUNAKAN SPESIFIKASI AC-WC ANALISIS STABILITAS CAMPURAN BERASPAL PANAS MENGGUNAKAN SPESIFIKASI AC-WC DONNY SUGIHARTO NRP : 9321069 NIRM: 41077011930297 Pembimbing: TAN LIE ING, ST.,MT. FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KAJIAN KINERJA CAMPURAN BERASPAL PANAS JENIS LAPIS ASPAL BETON SEBAGAI LAPIS AUS BERGRADASI KASAR DAN HALUS

KAJIAN KINERJA CAMPURAN BERASPAL PANAS JENIS LAPIS ASPAL BETON SEBAGAI LAPIS AUS BERGRADASI KASAR DAN HALUS KAJIAN KINERJA CAMPURAN BERASPAL PANAS JENIS LAPIS ASPAL BETON SEBAGAI LAPIS AUS BERGRADASI KASAR DAN HALUS Prylita Rombot Oscar H. Kaseke, Mecky R. E. Manoppo Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas

Lebih terperinci

BATU KAPUR BATURAJA SEBAGAI FILLER PADA LAPIS ASPHALT CONCRETE-BINDER COURSE (AC-BC) CAMPURAN PANAS. Hamdi Arfan Hasan Sudarmadji

BATU KAPUR BATURAJA SEBAGAI FILLER PADA LAPIS ASPHALT CONCRETE-BINDER COURSE (AC-BC) CAMPURAN PANAS. Hamdi Arfan Hasan Sudarmadji BATU KAPUR BATURAJA SEBAGAI FILLER PADA LAPIS ASPHALT CONCRETE-BINDER COURSE (AC-BC) CAMPURAN PANAS Hamdi Arfan Hasan Sudarmadji Abstract : Daerah Baturaja merupakan kawasan penghasil batu kapur yang ada

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. mengizinkan terjadinya deformasi vertikal akibat beban lalu lintas yang terjadi.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. mengizinkan terjadinya deformasi vertikal akibat beban lalu lintas yang terjadi. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perkerasan Lentur Perkerasan lentur merupakan perkerasan jalan yang umum dipakai di Indonesia. Konstruksi perkerasan lentur disebut lentur karena konstruksi ini mengizinkan

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN DURASI TERENDAMNYA PERKERASAN BERASPAL PANAS TERHADAP STABILITAS DAN KELELEHAN (FLOW)

PENGARUH SUHU DAN DURASI TERENDAMNYA PERKERASAN BERASPAL PANAS TERHADAP STABILITAS DAN KELELEHAN (FLOW) PENGARUH SUHU DAN DURASI TERENDAMNYA PERKERASAN BERASPAL PANAS TERHADAP STABILITAS DAN KELELEHAN (FLOW) Vonne Carla Pangemanan Oscar H. Kaseke, Mecky R. E. Manoppo Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini :

III. METODOLOGI PENELITIAN. Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini : III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. B. Bahan Adapun bahan yang digunakan

Lebih terperinci

Sumber: Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 (Revisi 3)

Sumber: Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 (Revisi 3) BAB III LANDASAN TEORI A. Parameter Marshall Alat Marshall merupakan alat tekan yang di lengkapi dengan proving ring yang berkapasitas 22,5 KN atau 5000 lbs. Proving ring dilengkapi dengan arloji pengukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, sampai ditemukannya kendaraan bermotor oleh Gofflieb Daimler dan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, sampai ditemukannya kendaraan bermotor oleh Gofflieb Daimler dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Perkerasan jalan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat ditemukan pertama kali di Babylon pada tahun 625 SM, tetapi perkerasan jenis ini tidak berkembang,

Lebih terperinci

PENGARUH LIMBAH KARET BAN SEBAGAI CAMPURAN ASPAL TERHADAP KARAKTERISTIK MARSHALL, PADA JENIS PERKERASAN LAPIS TIPIS ASPAL PASIR (LATASIR) KELAS B

PENGARUH LIMBAH KARET BAN SEBAGAI CAMPURAN ASPAL TERHADAP KARAKTERISTIK MARSHALL, PADA JENIS PERKERASAN LAPIS TIPIS ASPAL PASIR (LATASIR) KELAS B PENGARUH LIMBAH KARET BAN SEBAGAI CAMPURAN ASPAL TERHADAP KARAKTERISTIK MARSHALL, PADA JENIS PERKERASAN LAPIS TIPIS ASPAL PASIR (LATASIR) KELAS B Sulfah Anjarwati 1*, Mahesa Anggi Pinandita 2 1,2 Teknik

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 31 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik Universitas Lampung. B. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini agregat

Lebih terperinci

NILAI KEHANCURAN AGREGAT (AGGREGATE CRUSHING VALUE) PADA CAMPURAN ASPAL

NILAI KEHANCURAN AGREGAT (AGGREGATE CRUSHING VALUE) PADA CAMPURAN ASPAL NILAI KEHANCURAN AGREGAT (AGGREGATE CRUSHING VALUE) PADA CAMPURAN ASPAL M. Aminsyah Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Andalas Abstrak Dalam rangka peningkatan dan pengembangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. aspal dan bahan tambah sebagai filler berupa abu vulkanik.

BAB III METODE PENELITIAN. aspal dan bahan tambah sebagai filler berupa abu vulkanik. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. BAHAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini agregat kasar, agregat halus, aspal dan bahan tambah sebagai filler berupa abu vulkanik. a. Agregat kasar: Agregat kasar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan yang berarti. Agar perkerasan jalan yang sesuai dengan mutu yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan yang berarti. Agar perkerasan jalan yang sesuai dengan mutu yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkerasan Jalan Perkerasan jalan merupakan lapisan perkerasan yang terletak di antara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan, yang berfungsi memberikan pelayanan kepada sarana

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat. Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat. Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Agregat Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil pengujian agregat kasar dan halus No Jenis Pengujian Satuan Hasil Spesifikasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 HASIL PERENCANAAN GRADASI AGREGAT CAMPURAN. dari satu fraksi agregat yang penggabungannya menggunakan cara analitis.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 HASIL PERENCANAAN GRADASI AGREGAT CAMPURAN. dari satu fraksi agregat yang penggabungannya menggunakan cara analitis. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 HASIL PERENCANAAN GRADASI AGREGAT CAMPURAN Dalam memperoleh gradasi agregat yang sesuai dengan spesifikasi gradasi, maka kombinasi untuk masing-masing agregat campuran ditentukan

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN RASIO ANTARA FILLER DENGAN BITUMEN EFEKTIF TERHADAP KRITERIA MARSHALL PADA CAMPURAN LASTON JENIS LAPIS AUS

PENGARUH PERUBAHAN RASIO ANTARA FILLER DENGAN BITUMEN EFEKTIF TERHADAP KRITERIA MARSHALL PADA CAMPURAN LASTON JENIS LAPIS AUS PENGARUH PERUBAHAN RASIO ANTARA FILLER DENGAN BITUMEN EFEKTIF TERHADAP KRITERIA MARSHALL PADA CAMPURAN LASTON JENIS LAPIS AUS Miristika Amaria Pasiowan Oscar H. Kaseke, Elisabeth Lintong Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

METODOLOGI PENELITIAN. Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. B. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 56 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Bahan 1. Pengujian agregat Hasil Pengujian sifat fisik agregat dan aspal dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel 5.1. Hasil Pengujian Agregat Kasar dan

Lebih terperinci

Vol.16 No.2. Agustus 2014 Jurnal Momentum ISSN : X

Vol.16 No.2. Agustus 2014 Jurnal Momentum ISSN : X KAJIAN CAMPURAN PANAS AGREGAT ( AC-BC ) DENGAN SEMEN SEBAGAI FILLER BERDASARKAN UJI MARSHALL Oleh: Hendri Nofrianto*), Zulfi Hendra**) *) Dosen, **) Alumni Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil Dan

Lebih terperinci

PENGARUH ENERGI PEMADATAN BENDA UJI TERHADAP BESARAN MARSHALL CAMPURAN BERASPAL PANAS BERGRADASI SENJANG

PENGARUH ENERGI PEMADATAN BENDA UJI TERHADAP BESARAN MARSHALL CAMPURAN BERASPAL PANAS BERGRADASI SENJANG PENGARUH ENERGI PEMADATAN BENDA UJI TERHADAP BESARAN MARSHALL CAMPURAN BERASPAL PANAS BERGRADASI SENJANG Stevan Estevanus Rein Rumagit Oscar H. Kaseke, Steve Ch. N. Palenewen Fakultas Teknik, Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan hal tersebut mengakibatkan peningkatan mobilitas penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan hal tersebut mengakibatkan peningkatan mobilitas penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini perkembangan dan pertumbuhan penduduk sangat pesat. Seiring dengan hal tersebut mengakibatkan peningkatan mobilitas penduduk sehingga muncul banyak kendaraan-kendaraan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. (AASHTO,1998) dan Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan tahun 2010.

BAB III METODELOGI PENELITIAN. (AASHTO,1998) dan Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan tahun 2010. BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Umum Penelitian ini dilakukan di Laboratorium PT. Karya Murni Perkasa, Patumbak dengan menggunakan metode pengujian eksperimen berdasarkan pada pedoman perencanaan campuran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo. 3.2 Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini semua data

Lebih terperinci

STUDI PERBANDINGAN PENGGUNAAN JENIS-JENIS AGREGAT HALUS TERHADAP KARAKTERISTIK UJI MARSHAL PADA CAMPURAN LATASTON DI KABUPATEN KETAPANG

STUDI PERBANDINGAN PENGGUNAAN JENIS-JENIS AGREGAT HALUS TERHADAP KARAKTERISTIK UJI MARSHAL PADA CAMPURAN LATASTON DI KABUPATEN KETAPANG STUDI PERBANDINGAN PENGGUNAAN JENIS-JENIS AGREGAT HALUS TERHADAP KARAKTERISTIK UJI MARSHAL PADA CAMPURAN LATASTON DI KABUPATEN KETAPANG Lalu Heru Ph. 1) Abstrak Penelitian dilakukan untuk memberikan gambaran

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 26 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. B. Bahan Bahan yang digunakan dalam

Lebih terperinci

Kamidjo Rahardjo Dosen Teknik Sipil FTSP ITN Malang ABSTRAKSI

Kamidjo Rahardjo Dosen Teknik Sipil FTSP ITN Malang ABSTRAKSI STUDI PERBANDINGAN NILAI KARAKTERISTIK CAMPURAN SPLIT MASTIC ASPHALT (SMA) MENGGUNAKAN AGREGAT SUNGAI GRINDULU, SUNGAI LESTI, DAN BENGAWAN SOLO UNTUK LALULINTAS SEDANG Kamidjo Rahardjo Dosen Teknik Sipil

Lebih terperinci

Alik Ansyori Alamsyah Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Malang

Alik Ansyori Alamsyah Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Malang PEMANFAATAN ABU AMPAS TEBU (BAGASSE ASH OF SUGAR CANE) SEBAGAI BAHAN PENGISI (FILLER) DENGAN VARIASI TUMBUKAN PADA CAMPURAN ASPAL PANAS ATB (ASPHALT TREATD BASE) Alik Ansyori Alamsyah Fakultas Teknik Jurusan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISA DAN DATA Uji Berat Jenis dan Penyerapan Agregat Kasar

BAB IV HASIL ANALISA DAN DATA Uji Berat Jenis dan Penyerapan Agregat Kasar BAB IV HASIL ANALISA DAN DATA 4.1 Hasil dan Analisis Sifat Agregat 4.1.1 Uji Berat Jenis dan Penyerapan Agregat Kasar Berikut adalah hasil pengujian untuk berat jenis dan penyerapan agregat kasar. Tabel

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENGARUH PENGGANTIAN AGREGAT KASAR No. 1/2 dan No. 3/8 TERHADAP PARAMETER MARSHALL PADA CAMPURAN HRS-WC 1 Farid Yusuf Setyawan 2

PERBANDINGAN PENGARUH PENGGANTIAN AGREGAT KASAR No. 1/2 dan No. 3/8 TERHADAP PARAMETER MARSHALL PADA CAMPURAN HRS-WC 1 Farid Yusuf Setyawan 2 PERBANDINGAN PENGARUH PENGGANTIAN AGREGAT KASAR No. 1/ dan No. 3/8 TERHADAP PARAMETER MARSHALL PADA CAMPURAN HRS-WC 1 Farid Yusuf Setyawan INTISARI Jalan merupakan sarana penghubung mobilisasi dari satu

Lebih terperinci

PEMANFAATAN ABU AMPAS TEBU ( BAGASSE ASH OF SUGAR CANE ) SEBAGAI BAHAN PENGISI ( FILLER ) DENGAN VARIASI TUMBUKAN PADA CAMPURAN ASPAL PANAS LASTON

PEMANFAATAN ABU AMPAS TEBU ( BAGASSE ASH OF SUGAR CANE ) SEBAGAI BAHAN PENGISI ( FILLER ) DENGAN VARIASI TUMBUKAN PADA CAMPURAN ASPAL PANAS LASTON PEMANFAATAN ABU AMPAS TEBU ( BAGASSE ASH OF SUGAR CANE ) SEBAGAI BAHAN PENGISI ( FILLER ) DENGAN VARIASI TUMBUKAN PADA CAMPURAN ASPAL PANAS LASTON Alik Ansyori Alamsyah Fakultas Teknik - Jurusan Teknik

Lebih terperinci

PEMANFAATAN MINYAK PELUMAS BEKAS PADA WARM MIX ASPHALT (WMA) UNTUK LAPIS PERKERASAN JALAN (AC-WC) DI KOTA PALANGKA RAYA (LANJUTAN STUDI SEBELUMNYA)

PEMANFAATAN MINYAK PELUMAS BEKAS PADA WARM MIX ASPHALT (WMA) UNTUK LAPIS PERKERASAN JALAN (AC-WC) DI KOTA PALANGKA RAYA (LANJUTAN STUDI SEBELUMNYA) PEMANFAATAN MINYAK PELUMAS BEKAS PADA WARM MIX ASPHALT (WMA) UNTUK LAPIS PERKERASAN JALAN (AC-WC) DI KOTA PALANGKA RAYA (LANJUTAN STUDI SEBELUMNYA) Hendra Cahyadi 1, Nirwana Puspasari 2 Staf Pengajar Prodi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MARSHALL ASPHALT CONCRETE-BINDER COURSE (AC-BC) DENGAN MENGGUNAKAN LIMBAH BETON SEBAGAI PENGGANTI SEBAGIAN AGREGAT KASAR

KARAKTERISTIK MARSHALL ASPHALT CONCRETE-BINDER COURSE (AC-BC) DENGAN MENGGUNAKAN LIMBAH BETON SEBAGAI PENGGANTI SEBAGIAN AGREGAT KASAR KARAKTERISTIK MARSHALL ASPHALT CONCRETE-BINDER COURSE (AC-BC) DENGAN MENGGUNAKAN LIMBAH BETON SEBAGAI PENGGANTI SEBAGIAN AGREGAT KASAR Senja Rum Harnaeni 1), Isyak Bayu M 2) 1) Jurusan Teknik Sipil, Fakultas

Lebih terperinci