BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jumlah banyak. Penularannya dapat melalui kontak antar manusia atau melalui

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jumlah banyak. Penularannya dapat melalui kontak antar manusia atau melalui"

Transkripsi

1 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pengertian Demam Tifoid Demam tifoid atau tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang menyebabkan tubuh kehilangan cairan dan bahan mineral dalam jumlah banyak. Penularannya dapat melalui kontak antar manusia atau melalui makanan yang masuk ke dalam tubuh (Nurbayati, 2009). Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan beberapa serovar Salmonella enterica termasuk Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A. Walaupun secara global Salmonella typhi merupakan penyebab utama, infeksi Salmonella paratyphi A juga terjadi di beberapa bagian dunia dan berhubungan dengan pengunjung turis.(karyanti MR, 2012). Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit bervariasi pada populasi yang berbeda. Demam tifoid merupakan penyakit yang sering ditemukan di negara berkembang. Pemberian antibiotik sebelumnya menyebabkan perubahan gejala klinis demam tifoid, sehingga gejala demam klasik yang meningkat secara perlahan dan toksisitas jarang ditemukan, namun resistensi antimikroba sering menyebabkan gejala penyakit menjadi berat dan terjadi komplikasi (Karyanti MR, 2012).

2 2 2. Etiologi Demam tifoid disebabkan oleh S. typhi (Darmawati S, at al, 2009) a. Klasifikasi Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Bakteria : Proteobakteria : Gamma proteobakteria : Enterobakteriales : Enterobakteriaceae : Salmonella : Salmonella typhi b. Morfologi S.typhi merupakan bakteri enterik batang, gram negatif, ukuran 2 4 mikrometer X 0,6 mikrometer, bergerak, bersifat aerob dan anaerob fakultatif, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada biakan agar darah koloninya besar berdiameter 2 3 milimeter, bulat, agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis (Gupte, 1990). Gambar 1. Mikroskopis morfologi Sel S.typhi (Sumber : Todar, 2008)

3 3 c. Struktur Antigen d a b c Gambar 2. Struktur antigen S.typhi a.flagel (Antigen H) b. Kapsul (Antigen Vi) c. Selubung sel (membran sitoplasma, peptidoglikan, membran luar) d. Lipopolisakarida (Antigen O) (Sumber : Jawetz et al, 2008) Struktur antigen Salmonella terdiri dari : 1) Antigen O (dinding sel) Menurut Handojo (2004), antigen O merupakan antigen somatik yang terletak pada lapisan luar dari tubuh bakteri (lihat gambar 2). Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida (LPS) atau disebut juga endotoksin. Lipopolisakarida dari antigen O terdiri dari 3 komponen yaitu : a) Lipid A, melekat pada dinding sel. b) Oligosakarida inti, melekat pada lipid A c) Antigen O (Polisakarida O), mengandung antigen O sp esifik atau antigen dinding sel.

4 4 Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM. Aglutinasi O berlangsung lebih lambat. Antigen ini kurang imunogenik. Karenanya titer antibodi O sesudah infeksi atau imunisasi lebih rendah daripada titer antibodi H. (Jawetz et al, 2008). Lipopolisakarida dari antigen O merupakan suatu faktor virulen dan antigen penting S.typhi, dan merupakan suatu endotoksin yang dapat menimbulkan septic shock pada manusia dan binatang. Antibodi terhadap LPS antigen O berhubungan erat dengan infeksi sebelumnya, tetapi tidak berkaitan dengan proteksi tubuh terhadap infeksi S.typhi (Muliawan dan Surjawidjaja, 1999). 2) Antigen H (Antigen Flagela) Antigen H terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari bakteri (lihat gambar 2). Antigen ini tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol (Handojo, 2004). Antigen H seperti ini beraglutinasi dengan antibodi H, terutama IgG. Antigen ini bersifat sangat imunogenik dan antibodi yang dibentuk adalah IgG. (Jawetz et al, 2008). 3) Antigen simpai atau kapsul yang disebut Vi (Vitulen) Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) yang melindungi seluruh permukaan bakteri (lihat gambar 2).. Adanya antibodi Vi yang menetap menunjukkan bahwa individu yang bersangkutan merupakan pembawa kuman. Antigen Vi dapat menghambat

5 5 proses aglutinasi, melindungi bakteri dari proses fagositosis, dan berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin (Gupte, 1990). Antigen O, antigen H dan antigen Vi, di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (Handojo, I, 2004). Salmonella secara serologi dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu A, B, C, dan D. Pembagian ini didasarkan pada perbedaan antigen O dari Salmonella. Genus Salmonella terdiri dari sekitar 1200 serotipe yang didasarkan pada perbedaan dalam antigen H, tetapi tidak semuanya patogen untuk manusia. (Handojo, I,2004). Tabel 2. Penggolongan serotype Salmonella berdasarkan macam antigen Specific O Antigen H Serotype Serogroup Antigen O antigen factor 1 fase 2 fase S.typhi D 9, 12 (Vi) 9 D - S.paratyphi A A 1, 2, 12 2 A - S.paratyphi B B 1, 4, 5, 12 4 B 1,2 S.paratyphi C C 6, 7 (Vi) 6 / 7 C 1,5 Sumber: Handojo, I, Patogenesis S.typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut. Sebagian bakteri yang masuk dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus halus dan selanjutnya berkembang biak dan bila penderita tersebut tidak mempunyai kekebalan terhadap bakteri tersebut, maka bakteri tersebut

6 6 akan menempel pada dinding usus dan menembus epitel usus melalui sel epitel usus menuju ke lamina propia (Handojo, I, 2004). S.typhi di lamina propia akan difagositosis oleh sel fagosit, terutama makrofag. Di dalam makrofag, karena terlindung oleh kapsul Vi, S.typhi dapat bertahan hidup, bahkan dapat berkembang biak. Selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika, dalam tahap berikutnya, S.typhi melalui ductus theracicus masuk ke aliran darah menyebabkan bakteremia pertama yang asimtomatik, dan selanjutnya menyebar ke jaringan retikuloendotelial di seluruh tubuh, terutama di hati dan limpa. Di dalam organ-organ tersebut S.typhi keluar dari sel fagosit dan berkembang biak di luar sel dalam jaringan organ atau jaringan sinusoid dan menimbulkan bakteremia yang kedua kalinya (Handojo, I, 2004). S.typhi pada kejadian bakteremia yang kedua, telah dapat dibunuh oleh sel fagosit, terutama makrofag dan Natural Killer Cells (NK), dikarenakan perkembangan respons imun dan produksi sitokin. Sebagai akibatnya endotoksin dilepaskan oleh S.typhi dan menyebabkan timbulnya gejala klinis dari demam tifoid. Sebagian S.typhi yang terdapat dalam sirkulasi darah dalam bakteremia yang kedua akan masuk ke kandung empedu dan disekresikan ke dalam usus bersama cairan empedu. Sebagian S.typhi yang masuk ke lumen usus, sebagian akan keluar bersama tinja, dan sebagian lagi akan menginvasi kembali dinding usus. Sebagai hasil dari penghancuran dalam proses fagositosis tersebut diatas, pada akhir

7 7 minggu kedua, dapat dikatakan sudah tidak ditemukan lagi S.typhi yang hidup di dalam darah, tetapi masih ada dalam sumsum tulang (Handojo, I, 2004). 4. Respons Imun Sel-sel dalam sistem imun yang bereaksi spesifik dengan bakteri adalah limfosit B yang memproduksi antibodi, dan limfosit T yang mengatur sintesis antibodi. Untuk menimbulkan respons antibodi, limfosit B dan Limfosit T harus berinteraksi satu dengan yang lain (Kresno, S.B, 2001). S.typhi yang berada di jaringan seperti hepar dan limpa, apabila keluar dari makrofag dan menjadi bakteri yang ekstraseluler, maka bakteri tersebut akan segera difagositosis oleh sel fagosit, sel netrofil, monosit dan histiosit. Lipopolisakarida dapat mengaktifkan jalur alternatif dari sistem komplemen yang berakhir dengan lisisnya bakteri. Pada proses ini endotoksin akan dikeluarkan yang dapat merangsang makrofag, untuk mensekresi sitokin. Beberapa sitokin dapat menyebabkan demam dan merangsang sintesis dari protein fase akut seperti C-Reactive Protein (CRP) (Handojo, I, 2004). Lipopolisakarida (LPS) dapat merangsang respons imun tanpa melibatkan limfosit T dan dapat langsung merangsang limfosit B melalui imunoglobulin permukaan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi (aglutinin O), antibodi yang diproduksi terutama IgM (Handojo, 2004).Limfosit B mengandung IgM

8 8 pada permukaannya sebagai reseptor antigen, sehingga IgM terbentuk paling awal pada respons imun primer, tetapi respons IgM umumnya pendek yaitu hanya beberapa hari kemudian menurun, dengan respons IgM yang umumnya pendek inilah dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu infeksi yang diderita oleh seseorang akut atau tidak (Kresno, S.B, 2001). Antigen H (flagela dan fimbriae) dan antigen Vi (kapsul) merupakan antigen yang hanya dapat merangsang limfosit B melalui limfosit T helper 2 (Th2) untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma untuk memproduksi aglutinin H dan Vi. Atas dasar ini, aglutinin O diproduksi lebih awal (akhir minggu pertama) daripada aglutinin H dan Vi (minggu kedua). Titer aglutinin akan mencapai puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun perlahan-lahan (Handojo, I, 2004). 5. Gambaran Klinis Gambaran klinis sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini demam tifoid, masa inkubasi demam tifoid umumnya 1-2 minggu setelah S.typhi tertelan, tetapi bisa juga dalam waktu tiga hari atau dua bulan (WHO,2003). Gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama, ditemukan dengan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, diare, konstipasi, nyeri otot,

9 9 anoreksia, mual, muntah, batuk. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Demam meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu ke dua gejala-gejala lebih jelas berupa demam, lidah yang kotor dibagian tengahnya sedangkan lidah di bagian tepi dan ujungnya merah, hepatomegali, splenomegali, dan somnolen (Widodo, D, 2006). 6. Epidemiologi Demam tifoid kejadian insidensnya bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; Sesuai laporan Departemen Kesehatan RI telah terjadi peningkatan kejadian rata-rata antara tahun 1990 dan 1994 dari 9,2 menjadi 15,41 per penduduk. Pada tahun 2012 adalah / penduduk.penyakit ini tidak terbatas pada umur tertentu, namun cukup tinggi pada anak umur diatas 5 tahun.(marleni, et al.2012). 7. Diagnosis Laboratorium Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dalam garis besarnya dapat digolongkan dalam tiga kelompok besar antara lain: 1) Isolasi S.typhi Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.typhi dalam biakan dari darah, urin, feses, sumsum tulang. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal

10 10 penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa faktor. Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotik, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita (WHO, 2003). 2) Pengujian secara molekuler Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara Polymerase Chain Reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR, biaya yang cukup tinggi dan teknis

11 11 yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. (Tumbelaka dan Retnosari, 2001). 3) Pengujian serologis. Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S.typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 ml yang diinokulasikan kedalam tabung tanpa antikoagulan (WHO,2003). Hasil pemeriksaan uji serologis belum cukup untuk digunakan sebagai sarana tunggal pendukung diagnostik demam tifoid. Meskipun demikian, uji serologis dapat bermanfaat terutama di daerah yang tidak dapat menggunakan metode diagnostik yang lebih mahal (WHO, 2003). Uji serologis tunggal, pada infeksi kronis sudah dapat digunakan untuk diagnosis, tetapi pada infeksi akut diperlukan uji ganda, yaitu pada masa akut dan masa konvalesen, dengan jarak waktu antara uji pertama dan kedua 7 14 hari. Kenaikan titer antibodi sebesar empat kali pada uji ganda menunjukkan adanya infeksi akut. Uji serologis tunggal hanya dapat menegakkan diagnosis infeksi akut apabila hasilnya menunjukkan titer antibodi yang tinggi. Selain titer antibodi, kelas immunoglobulin juga dapat menentukan status infeksi. Antibodi

12 12 kelas IgM dibentuk pada awal infeksi, kemudian dilanjutkan dengan pembentukan IgG, oleh karena itu adanya antibodi kelas IgM merupakan indikasi infeksi akut (Kresno, S.B, 2001). Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifitas pada deteksi antigen spesifik S.typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit) (Tumbelaka dan Retnosari, 2001). Uji serologis meliputi dua kelompok uji laboratorik, yaitu pelacakan antibodi spesifik terhadap S.typhi dan pelacakan antigen spesifik S.typhi ((Handojo, I, 2004). Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi: a) Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (1) Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap S.typhi Uji ELISA dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. (Tumbelaka, A.R, 2005).

13 13 Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA tergantung dari jenis antigen yang dipakai. Penggunaan OMP F dan C porins sebagai antigen memberikan keunggulan lebih tinggi pada uji ELISA untuk demam tifoid dibandingkan dengan penggunaan antigen O. Kadar antibodi terhadap porin tersebut juga lebih tinggi dan bermakna daripada kadar antibodi terhadap antigen O dan H yang murni dari S.typhi (Handojo, I, 2004). Teknik Dot-EIA digunakan untuk meningkatkan kepraktisan uji ELISA, yang memanfaatkan kertas nitroselulose sebagai fase padat yang memiliki kapasitas yang tinggi terhadap protein yang dilapiskan. Bila sewaktu-waktu dibutuhkan, dapat segera dipakai dengan meneteskan serum pada dot tersebut dan selanjutnya pemeriksaan akan selesai hanya dalam waktu 3 4 jam kerja (Handojo, I,2004). (2) Uji ELISA untuk melacak antigen terhadap S.typhi Deteksi antigen spesifik dari S.typhi dalam spesimen klinis secara teoritis dapat memberikan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering digunakan untuk melacak adanya antigen S.typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA (Handojo, I, 2004). Sensitivitas dan spesifitas dari deteksi antigen spesifik S.typhi di dalam spesimen klinis penderita tergantung pada jenis

14 14 antigen yang dilacak, jenis sampel yang diperiksa, jenis antibodi yang digunakan (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan sampel (stadium dini atau stadium lanjut dari penyakit) (Handojo, I, 2004). Uji ELISA memiliki keterbatasan yaitu selain memerlukan beberapa tahapan prosedur, sehingga tidak praktis, ELISA juga membutuhkan berbagai peralatan, instrument reader dan sumber listrik, dimana instrumen dan enzyme konjugat sebagai bahan reagen masih mahal disamping itu hasilnya juga tidak dapat diharapkan segera, karena rata-rata pemeriksaan memerlukan waktu lebih dari satu jam (Handojo, I, 2004). b) Metode IgM dipstick test Metode IgM dipstick test demam tifoid digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi yang dibentuk karena infeksi S.typhi dalam serum penderita. Pemeriksaan IgM dipstick dapat menggunakan serum dengan perbandingan 1:50 dan darah 1:25. Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada suhu kamar, kemudian bilas dengan air, biarkan kering. Hasil dibaca jika ada warna berarti positif dan hasil negatif jika tidak ada warna. Interpretasi hasil +1, +2, +3 atau +4 (WHO,2003). c) Metode Widal Uji Widal adalah uji serologi yang tertua yang digunakan untuk melacak kenaikan titer antibodi terhadap S.typhi. Tes

15 15 tersebut telah dipakai sejak tahun 1896 oleh Felix Widal. Titer antibodi tersebut diukur dengan menggunakan pengenceran serum berulang dalam dua cara, yaitu uji Widal tabung yang membutuhkan waktu inkubasi semalam dan uji Widal slide yang hanya memerlukan waktu lima menit. Saat ini uji Widal Slide lebih banyak digunakan, karena alat yang dibutuhkan lebih sedikit dan pemeriksaannya lebih cepat (Handojo, I, 2004). Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap S. typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: (1) aglutinin O (dinding / lapisan luar bakteri); (2) aglutinin H (flagella); dan (3) aglutinin Vi (kapsul) (Widodo, D, 2006). Demam tifoid hanya menggunakan aglutinin O dan H untuk diagnosis. Semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin terjadi pada akhir minggu pertama, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H (Antibodi O muncul pada hari

16 16 ke 6-8, dan antibodi H muncul pada hari ke 10-12). Pada orang yang sudah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4 6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit (Widodo, D, 2006). Aglutinin serum meningkat tajam selama minggu kedua dan ketiga pada infeksi Salmonella. Sedikitnya dua spesimen serum, yang diambil dengan selang waktu 7-10 hari, dibutuhkan untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibodi. Interpretasi hasilnya adalah sebagai berikut: (1) titer O yang tinggi atau meningkat ( 1:160) menandakan adanya infeksi aktif; (2) titer H yang tinggi ( 1:160) menunjukkan riwayat imunisasi atau infeksi masa lampau; dan (3) titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi timbul pada beberapa carrier. Hasil pemeriksaan serologi pada infeksi Salmonella harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Kemungkinan adanya antibodi yang bereaksi silang, membatasi penggunaan serologi dalam diagnosis infeksi Salmonella (Jawetz et al, 2008). Hasil uji Widal yang negatif atau positif dengan titer rendah pada stadium permulaan penyakit tidak dapat menyingkirkan diagnosis demam tifoid. Apabila dikemudian hari penderita sembuh karena pengobatan, titer aglutinin di dalam darah akan dipertahankan selama beberapa bulan dan selanjutnya akan menurun secara perlahan-lahan.biasanya aglutinin O menghilang

17 17 terlebih dahulu yang diikuti oleh aglutinin Vi dan H (Handojo, I, 2004). Penyebab pengujian Widal menjadi negatif yaitu: (1) Tidak terjadi infeksi Salmonella; (2) pasien karier sehat; (3) inokulum antigen bakteri di dalam penjamu tidak adekuat untuk mempengaruhi pembentukan antibodi; (4) adanya kesalahan atau kesulitan teknis dalam melakukan pengujian; (5) pemberian antibiotik sebelumnya; (6) adanya variabilitas antigen yang tersedia secara komersial (Hardjoeno, 2003). Penyebab pengujian Widal menjadi positif yaitu:(1) Pasien memang menderita demam tifoid; (2) Riwayat vaksinasi; (3) Reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella; (4) Infeksi dengan malaria, dengue atau Enterobacteriaceae lainnya (Juwono, R, 2000). Interpretasi hasil uji Widal harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah: (1) pengobatan dini dengan antibiotik; (2) gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid; (3) waktu pengambilan darah; (4) daerah endemik atau non-endemik; (5) riwayat vaksinasi; (6) reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid, akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi; dan 7) faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen (Widodo, D, 2006).

18 18 Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifitas, stadium penyakit, faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi, gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non -endemis), faktor antigen, serta reagen yang digunakan.kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunannya dalam penatalaksana penderita demam tifoid, akan tetapi uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas diseluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point) (Tumbelaka, A.R, 2005). Uji Widal dapat memberikan informasi yang tidak adekuat oleh karena antara lain: (1) S.typhi mempunyai antigen O dan antigen H yang sama dengan Salmonella lainnya, maka kenaikan titer antibodi ini tidak spesifik untuk S.typhi; (2) penentuan hasil positif mungkin didasarkan atas titer antibodi dalam populasi daerah endemis yang secara konstan terpapar dengan organisme tersebut dan mempunyai titer antibodi mungkin lebih tinggi daripada daerah non endemis pada orang yang tidak sakit sekalipun;dan(3) tidak dihasilkannya antibodi terhadap Salmonella

19 19 karena rendahnya stimulus yang dapat merangsang timbulnya antibodi, sehingga produksi antibodi terganggu. Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan tersebut, maka walaupun secara bakteriologik dinyatakan positif S.typhi, hasil uji Widal dapat memberikan hasil negatif, sebaliknya hasil uji Widal negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis demam tifoid. Akan tetapi perlu diperhatikan pula bahwa Salmonella serogrup D lainnya dan beberapa organisme group A dan B memiliki antigen yang digunakan pada uji Widal, oleh karena itu uji Widal tidak spesifik untuk S.typhi saja (Muliawan dan Surjawidjaja,1999). Pemeriksaan uji Widal yang perlu diperhatikan antara lain adalah saat pengambilan spesimen, dan kenaikan titer aglutinin terhadap antigen S.typhi. Pemeriksaan uji Widal memerlukan dua kali pengambilan spesimen, yaitu pada masa akut dan masa konvalesen dengan interval waktu hari. Diagnosis ditegakkan dengan melihat kenaikan titer 4 kali titer masa akut. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan uji Widal dalam pelaksaaan di lapangan ternyata hanya menggunakan spesimen tunggal. Kenaikan titer aglutinin yang tinggi pada spesimen tunggal, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi baru atau lama, dengan demikian saat pengambilan spesimen perlu diperhatikan, agar mendapatkan nilai diagnostik yang diharapkan. Kenaikan titer aglutinin H tidak

20 20 mempunyai arti diagnostik yang penting untuk demam tifoid, namun masih dapat membantu dalam menegakkan diagnosis tersangka demam tifoid pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non endemik atau pada anak umur kurang dari 10 tahun di daerah endemik, sebab kelompok penderita ini kemungkinan mendapat kontak dengan S.typhi dalam dosis sub infeksi masih amat kecil. Pemeriksaan antibodi H S.typhi pada daerah endemik tidak dianjurkan, cukup pemeriksaan titer terhadap antibodi O S.typhi (Muliawan dan Surjawidjaja,1999). d) Metode IMBI IMBI merupakan uji semikuantitatif kolorimetrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini untuk mendeteksi demam tifoid akut yang disebabkan oleh S.typhi, melalui deteksi spesifik adanya serum antibodi IgM terhadap antigen S.typhi O9 LPS, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex, selanjutnya ikatan inhibisi tersebut diseparasikan oleh suatu daya magnetik. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi antibodi IgM S.typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna. Spesifitas ditingkatkan dengan

21 21 menggunakan antigen LPS-O9 S.typhi yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG. Hasil positif uji IMBI ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonella serogroup D. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif (Widodo, D, 2006). Antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T, karena sifatsifat tersebut respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-o9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji IMBI hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi masa lampau (Widodo, D, 2006). Pemeriksaan IMBI dilakukan dengan menggunakan tiga macam komponen, meliputi: (1) tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas: (2) reagen A (Brown Reagent) yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen S.typhi O9; dan (3) reagen B (Blue Reagent), yang mengandung partikel latex berwarna biru yang diselubungi dengan

22 22 antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasar warna inilah ditentukan skor, dan diinterpretasikan hasilnya (Widodo, D, 2006). Menurut Widodo (2006), pemeriksaan IMBI mempunyai mekanisme reaksi yang dapat diterangkan sebagai berikut: (1) Mekanisme Reaksi Negatif : Apabila di dalam sampel serum tidak terdapat antibodi IgM S.typhi, maka partikel lateks yang berlabel antibodi monoklonal LPS-O9 (reagen B) langsung berikatan dengan partikel magnetik berlabel antigen LPS-O9 (reagen A). Daerah medan magnet (magnet di dalam boks skala warna) ketika diletakkan, maka komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik medan magnet, dengan membawa serta pewarna yang dikandung reagen B. Proses tersebut terlihat secara visual melalui perubahan warna dari biru ke merah muda, background warna merah muda merupakan partikel lateks merah, campuran dari reagen B yang tidak bereaksi dengan partikel apapun. Mekanisme reaksi negatif dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.

23 23 Gambar 3. Mekanisme reaksi negatif IMBI Sumber:htpp:// (2) Mekanisme Reaksi Positif : Apabila di dalam sampel serum terdapat antibodi IgM S.typhi, maka antibodi IgM akan menghambat ikatan antara partikel lateks yang berlabel antibodi monoklonal LPS-O9 (reagen B) dengan partikel magnetik berlabel antigen LPS-O9 (reagen A) dengan mengikat partikel magnetik lebih dulu, kemudian ikatan antibodi IgM S.typhi dengan antigen LPS-O9 (reagen A) akan tertarik magnet di dalam boks skala warna, menyebabkan reagen B tidak tertarik magnet, dan memberikan warna biru pada larutan.

24 24 Mekanisme reaksi positif dapat dilihat pada gambar 5 berikut ini. Antibody coated indicator particle particle Antigen coated magnetic Gambar 4. Mekanisme reaksi positif IMBI (Sumber:htpp:// Pada beberapa penelitian IMBI menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik daripada uji Widal. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, dan sederhana, terutama di negara berkembang (WHO, 2003).

25 25 8. Kerangka Teori S.typhi ( demam tifoid) Antigen O Antigen H Antigen Vi Lama Demam Ig M (Lipopolisakarida) Ig G (antigen H) Deteksi dengan metode Widal Deteksi dengan metode IMBI Antibodi S.Typhi non spesifik terhadap antigen O somatik Antibodi IgM S.typhi terhadap antigen S.typhi O9 LPS Kesesuaian Widal dan IMBI

26 26 9. Kerangka Konsep Variabel Bebas Metode Pemeriksaan Demam Tifoid: 1. Metode Widal 2. Metode IMBI Variabel Terikat Kesesuaian Hasil Pemeriksaan Demam Tifoid Variabel Penganggu 1. Keadaan bahan pemeriksaan 2. Jarak awal demam dengan waktu pengambilan darah 10. HIPOTESIS Ada perbedaan hasil pemeriksaan demam tifoid metode Widal dengan IMBI

27 27 1) Interpretasi hasil Pembacaan hasil harus dilakukan pada kondisi cahaya yang baik, stabil dalam waktu 30 menit Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan, seperti yang terlihat pada gambar 7 berikut ini. Gambar 6. Hasil reaksi warna IMBI (Sumber : Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2. Interpretasi Hasil IMBI Skor Interpretasi Keterangan < 2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid aktif 3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian, apabila masih meragukan, lakukan sampling ulang beberapa hari kemudian 4-5 Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid aktif >6 Positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid Sumber : Widodo, D, 2006

28 28 A. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan demam tifoid dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel. Kemudian data tersebut dianalisis terhadap sensitifitas dan spesifitasnya, serta persentase tingkat positifitasnya, selanjutnya data dianalisis untuk menguji hipotesis. Sensitifitas : Positif benar x 100 Positif benar + Negatif Palsu Spesifitas : Negatif Benar x 100 Positif palsu + Negatif Benar Sumber : Wardani R.S, 2015

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit akibat infeksi bakteri Salmonella enterica serotipe typhi. Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang timbul secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ciri-ciri Salmonella sp. Gambar 1. Mikroskopis kuman Salmonella www.mikrobiologi Lab.com) sp. (http//. Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Salmonella sp. 2.1.1 Klasifikasi Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C termasuk famili Enterobacteriaceae, ordo Eubacteriales, kelas Schizomycetes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Demam Tifoid 1. Pengertian Demam Tifoid Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang terdapat pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut pada saluran pencernaan yang masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian demam tifoid di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau. Typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau. Typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau Typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. cross sectional. Sampel diambil secara consecutive sampling dari data

III. METODE PENELITIAN. cross sectional. Sampel diambil secara consecutive sampling dari data 34 III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional. Sampel diambil secara consecutive sampling dari data penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. Besarnya angka pasti pada kasus demam tifoid di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Tifoid 2.1.1 Pengertian Penyakit demam tifoid (Typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella thypi (S thypi). Pada masa inkubasi gejala awal penyakit tidak tampak, kemudian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Demam Tifoid a. Definisi Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan pencernaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Typhoid 1. Pengertian Typhoid Demam Typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang di sebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit ini di tandai oleh

Lebih terperinci

Typhoid fever (Demam tifoid) disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi), bersifat akut dan umumnya menyerang sistem RES (re

Typhoid fever (Demam tifoid) disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi), bersifat akut dan umumnya menyerang sistem RES (re Patologi Klinik Typhoid fever (Demam tifoid) disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi), bersifat akut dan umumnya menyerang sistem RES (reticuloendothelial system) Morbiditas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. Demam tifoid merupakan masalah yang serius di negara berkembang,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lalat Rumah (Musca domestica) Lalat rumah (M. domestica) merupakan lalat yang paling umum dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia. M. domestica

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) dikenal masyarakat Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang terkandung seperti polisakarida,

Lebih terperinci

BAB XIX DEMAM TIFOID

BAB XIX DEMAM TIFOID BAB XIX DEMAM TIFOID Definisi 1,2 Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Selain virus sebagai penyebabnya,

Lebih terperinci

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Pendahuluan Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendeteksi berbagai penyakit yang disebabkan oleh mikroba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia demam tifoid sering disebut dengan penyakit tifus. Penyakit ini biasa dijumpai di daerah sub tropis terutama di daerah dengan sumber mata air yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karakter Biologi Klebsiella pneumoniae K. pneumoniae tergolong dalam kelas gammaproteobacteria, ordo enterobacteriale, dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri K. pneumoniae adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit demam berdarah hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang sulit ditanggulangi di Indonesia. Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. lainnya termasuk di Indonesia (Gasem et al., 2002; Vollaard et al., 2005; Prajapati

BAB I. PENDAHULUAN. lainnya termasuk di Indonesia (Gasem et al., 2002; Vollaard et al., 2005; Prajapati BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit endemis yang tersebar luas di daerah tropis terutama di Asia Tenggara, Afrika, Amerika Latin, dan Negara berkembang lainnya termasuk

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK. sakit umum terbesar di daerah Pekanbaru, Riau. Rumah Sakit ini berada di Jalan

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK. sakit umum terbesar di daerah Pekanbaru, Riau. Rumah Sakit ini berada di Jalan 6 BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK 2.1 Objek Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad merupakan salah satu dari rumah sakit umum terbesar di daerah Pekanbaru, Riau. Rumah Sakit ini berada di Jalan Diponegoro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit peradangan hati akut atau menahun disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh seperti saliva, ASI, cairan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii DAFTAR ISI SAMPUL DALAM i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI... iv KATA PENGANTAR... v ABSTRAK. vi ABSTRACT... vii RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bumbu bawang merah, bawang putih, jahe, garam halus, tapioka, minyak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bumbu bawang merah, bawang putih, jahe, garam halus, tapioka, minyak, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sosis 1. Pengolahan sosis Bahan dasar sosis adalah daging giling, dan bahan tambahan antara lain bumbu bawang merah, bawang putih, jahe, garam halus, tapioka, minyak, penyedap,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEMAM TIFOID 1. Definisi Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Demam Tifoid Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi demam tifoid Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu Salmonella

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Insiden penyakit ini masih relatif tinggi di Indonesia dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Insiden penyakit ini masih relatif tinggi di Indonesia dan merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit hepatitis virus masih menjadi masalah serius di beberapa negara. Insiden penyakit ini masih relatif tinggi di Indonesia dan merupakan masalah kesehatan di beberapa

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN WIDAL SLIDE UNTUK DIAGNOSA DEMAM TIFOID. Agnes Sri Harti 1, Saptorini 2

PEMERIKSAAN WIDAL SLIDE UNTUK DIAGNOSA DEMAM TIFOID. Agnes Sri Harti 1, Saptorini 2 PEMERIKSAAN WIDAL SLIDE UNTUK DIAGNOSA DEMAM TIFOID Agnes Sri Harti 1, Saptorini 2 1,2 Prodi S-1 Keperawatan, STIKes Kusuma Husada Surakarta ABSTRAK Demam tifoid (Typhus abdominalis) adalah salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hepatitis B 2.1.1 Etiologi Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (HBV). HBV merupakan famili Hepanadviridae yang dapat menginfeksi manusia.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Etiologi demam tifoid diakibatkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

TINJAUAN PUSTAKA. Etiologi demam tifoid diakibatkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bakteriologi 1. Sifat kuman S. typhi Etiologi demam tifoid diakibatkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari family Enterobacteriaceae. Bakteri ini merupakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini berupa deskriptif pemeriksaan laboratoris. Penelitian dilakukan di

METODE PENELITIAN. Penelitian ini berupa deskriptif pemeriksaan laboratoris. Penelitian dilakukan di 31 III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini berupa deskriptif pemeriksaan laboratoris. Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Abdoel Moeloek Bandar Lampung

Lebih terperinci

Hepatitis Marker. oleh. dr.ricke L SpPK(K)/

Hepatitis Marker. oleh. dr.ricke L SpPK(K)/ Hepatitis Marker oleh dr.ozar Sanuddin SpPK(K)/ dr.ozar Sanuddin SpPK(K)/ dr.ricke L SpPK(K)/ Hepatitis Marker Adalah suatu antigen asing a antibodi spesifik thdp antigen tsb. Penanda adanya infeksi, kekebalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella typhi, suatu bakteri gram-negative. Demam tifoid (typhoid fever atau

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella typhi, suatu bakteri gram-negative. Demam tifoid (typhoid fever atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit menular masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di negara berkembang termasuk di Indonesia. Penyakit menular ini terkait erat dengan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dengan atau tanpa gangguan kesadaran yang disebabkan oleh Salmonella typhi. 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dengan atau tanpa gangguan kesadaran yang disebabkan oleh Salmonella typhi. 14 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Tifus abdominalis Tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan

Lebih terperinci

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A)

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A) REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI Oleh : Rini Rinelly, 1306377940 (B8A) REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI Pada sel B dan T terdapat reseptor di permukaannya yang berguna untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Demam Tifoid 2.1.1. Definisi Demam tifoid (Tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam satu minggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid termasuk dalam 10 besar masalah kesehatan di negara berkembang dengan prevalensi 91% pada pasien anak (Pudjiadi et al., 2009). Demam tifoid merupakan penyakit

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. merupakan kingdom Bacteria, phylum. Proteobacteria, class Gamma Proteobacteria, ordo Enterobacteriales,

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. merupakan kingdom Bacteria, phylum. Proteobacteria, class Gamma Proteobacteria, ordo Enterobacteriales, BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Salmonella sp 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi Salmonella sp. merupakan kingdom Bacteria, phylum Proteobacteria, class Gamma Proteobacteria, ordo Enterobacteriales, Salmonella

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid termasuk dalam 10 besar masalah kesehatan di negara berkembang dengan prevalensi 91% pada pasien anak (Pudjiadi et al., 2009). Demam tifoid merupakan penyakit

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue I, II, III, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopticus.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatits B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang termasuk virus DNA, yang menyebakan nekrosis hepatoseluler dan peradangan (WHO, 2015). Penyakit Hepatitis B

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID Definisi: Typhoid fever ( Demam Tifoid ) adalah suatu penyakit umum yang menimbulkan gejala gejala sistemik berupa kenaikan suhu dan kemungkinan penurunan kesadaran. Etiologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

Farmaka Volume 4 Nomor 3 Suplemen 1 1

Farmaka Volume 4 Nomor 3 Suplemen 1 1 Volume 4 Nomor 3 Suplemen 1 1 PERBANDINGAN METODE DIAGNOSIS DEMAM TIFOID COMPARISON OF METHODS FOR DIAGNOSIS OF TYPHOID FEVER Ghaida Putri Setiana 1 dan Angga Prawira Kautsar 2 Fakultas Farmasi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Demam tifoid adalah salah satu infeksi yang terjadi di usus halus dan banyak terjadi di negara yang beriklim tropis. persamaan demam tifoid masyarakat umum biasa menyebutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Demikian juga tubuh manusia yang diciptakan dalam keadaan

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Demikian juga tubuh manusia yang diciptakan dalam keadaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Allah SWT memiliki kekuasaan yang mutlak untuk mengatur dan menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dalam keadaan seimbang. Demikian juga tubuh manusia

Lebih terperinci

NEISSERIA MENINGITIDIS

NEISSERIA MENINGITIDIS NEISSERIA MENINGITIDIS Penyakit Meningokokus adalah satu penyakit berjangkit. Neisseria menigitidis (meningokokus) merupakan bakteri kokus gram negatif yang secara alami hidup di dalam tubuh manusia. Meningokokus

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh BAB II TUJUAN PUSTAKA A. ES JUS Es Jus merupakan salah satu bentuk minuman ringan yang dapat langsung diminum sebagai pelepas dahaga. Es Jus terbuat dari beberapa bahan antara lain es batu,buah,,sirup,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Organisasi kesehatan dunia, WHO, baru-baru ini membunyikan tanda bahaya untuk mewaspadai serangan berbagai penyakit infeksi. Pada tahun-tahun terakhir ini, wabah penyakit

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK HASIL PEMERIKSAAN IGM ANTI SALMONELA TYPHI DI LABORATORIUM SURYA HUSADHA DENPASAR PADA BULAN JUNI -NOVEMBER 2013

KARAKTERISTIK HASIL PEMERIKSAAN IGM ANTI SALMONELA TYPHI DI LABORATORIUM SURYA HUSADHA DENPASAR PADA BULAN JUNI -NOVEMBER 2013 KARAKTERISTIK HASIL PEMERIKSAAN IGM ANTI SALMONELA TYPHI DI LABORATORIUM SURYA HUSADHA DENPASAR PADA BULAN JUNI -NOVEMBER 2013 Sagung Novita Widyaningrat 1, A.A. Wiradewi Lestari 2, I Wayan Putu Sutirta

Lebih terperinci

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER Sunaryati Sudigdoadi Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2015 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahuwa ta

Lebih terperinci

ASKEP THYPOID A. KONSEP DASAR

ASKEP THYPOID A. KONSEP DASAR ASKEP THYPOID A. KONSEP DASAR 1. Pengertian Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian penyakit Tifoid (Thypus) di masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian penyakit Tifoid (Thypus) di masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan merupakan masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian pula untuk mengatasi masalah

Lebih terperinci

UJI ANTIBAKTERI EKSTRAK TANAMAN PUTRI MALU (Mimosa pudica) TERHADAP PERTUMBUHAN Shigella dysentriae

UJI ANTIBAKTERI EKSTRAK TANAMAN PUTRI MALU (Mimosa pudica) TERHADAP PERTUMBUHAN Shigella dysentriae UJI ANTIBAKTERI EKSTRAK TANAMAN PUTRI MALU (Mimosa pudica) TERHADAP PERTUMBUHAN Shigella dysentriae SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Prodi Pendidikan Biologi

Lebih terperinci

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yg disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV : HIV-1 : penyebab

Lebih terperinci

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ limfatik sekunder Limpa Nodus limfa Tonsil SISTEM PERTAHANAN TUBUH MANUSIA Fungsi Sistem Imun penangkal benda asing yang masuk

Lebih terperinci

TUGAS PRESENTASI KASUS. Demam tifoid pada anak. Tutor: Dr. Nur Faizah, SP.A. Disusun Oleh: Rostikawaty Azizah G1A009022

TUGAS PRESENTASI KASUS. Demam tifoid pada anak. Tutor: Dr. Nur Faizah, SP.A. Disusun Oleh: Rostikawaty Azizah G1A009022 TUGAS PRESENTASI KASUS Demam tifoid pada anak Tutor: Dr. Nur Faizah, SP.A Disusun Oleh: Rostikawaty Azizah G1A009022 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aeromonas salmonicida 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi A. salmonicida A. salmonicida merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak motil, tidak membentuk spora,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella enterica serovar typhi. Salmonella enterica serovar paratyphi A, B,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella enterica serovar typhi. Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Demam Tifoid 2.1.1. Pengertian Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhi. Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan

Lebih terperinci

DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KABUPATEN CILACAP TAHUN 2008 SKRIPSI

DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KABUPATEN CILACAP TAHUN 2008 SKRIPSI KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENDERITA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KABUPATEN CILACAP TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh : IVAN TRIKUMORO K 100 050 160 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbedaan antara virus hepatitis ini terlatak pada kronisitas infeksi dan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan.

BAB I PENDAHULUAN. Perbedaan antara virus hepatitis ini terlatak pada kronisitas infeksi dan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan. BAB I PENDAHULUAN Hati adalah salah satu organ yang paling penting. Organ ini berperan sebagai gudang untuk menimbun gula, lemak, vitamin dan gizi. Memerangi racun dalam tubuh seperti alkohol, menyaring

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

Respon imun adaptif : Respon humoral

Respon imun adaptif : Respon humoral Respon imun adaptif : Respon humoral Respon humoral dimediasi oleh antibodi yang disekresikan oleh sel plasma 3 cara antibodi untuk memproteksi tubuh : Netralisasi Opsonisasi Aktivasi komplemen 1 Dua cara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah E. histolytica Penyebab amebiasis adalah parasit Entamoeba histolytica yang merupakan anggota kelas rhizopoda (rhiz=akar, podium=kaki). 10 Amebiasis pertama kali diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data hasil penelitian jumlah netrofil yang menginvasi cairan intraperitoneal mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan

Lebih terperinci

Darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIVnya.

Darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIVnya. Darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIVnya. Tes HIV umum, termasuk imuno-assay enzim HIV dan pengujian Western blot mendeteksi antibodi HIV pada serum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. subtropis terutama di negara berkembang dengan kualitas sumber air yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. subtropis terutama di negara berkembang dengan kualitas sumber air yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan.demam tifoid dapat dijumpai secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Al-Qur an merupakan sumber pedoman hidup manusia dan tidak ada satu kitabpun yang melebihi kesempurnaannya. Seluruh aspek kehidupan baik di dunia maupun di akhirat

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

2.1.Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif Perbedaan dasar antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya.

2.1.Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif Perbedaan dasar antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya. 2.1.Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif Perbedaan dasar antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya. Kompleks zat iodin terperangkap antara dinding sel dan membran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi, bakteri gram negatif (WHO, 2003). Penyakit ini umumnya berhubungan dengan demam, sakit kepala,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. sayap (terbang) yang berbentuk membran. Hanya sesekali bergerak

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. sayap (terbang) yang berbentuk membran. Hanya sesekali bergerak BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lalat Lalat adalah insekta yang lebih banyak bergerak menggunakan sayap (terbang) yang berbentuk membran. Hanya sesekali bergerak menggunakan kakinya. Oleh karenanya daerah

Lebih terperinci

repository.unimus.ac.id

repository.unimus.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Penyakit TBC merupakan penyakit menular

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi yang dalam beberapa tahun ini telah menjadi permasalahan kesehatan di dunia. Penyakit DBD adalah penyakit

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed 1 PENDAHULUAN Sistem imun melindungi tubuh dari sel asing & abnormal dan membersihkan debris sel. Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran

Lebih terperinci