PEMANFAATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER OLEIN UNTUK PEMBUATAN HEAVY DUTY CLEANER RACHMANIA WIDYASTUTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMANFAATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER OLEIN UNTUK PEMBUATAN HEAVY DUTY CLEANER RACHMANIA WIDYASTUTI"

Transkripsi

1 PEMANFAATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER OLEIN UNTUK PEMBUATAN HEAVY DUTY CLEANER RACHMANIA WIDYASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini Bogor, Agustus 2012 Rachmania Widyastuti F

3 ABSTRACT RACHMANIA WIDYASTUTI. F Utilization of Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) from Olein based Methyl Ester in Heavy Duty Cleaner Making. Under the Direction of ANI SURYANI and ERLIZA HAMBALI. The industry related to materials that are very difficult to remove in the cleaning process, such as crude oil, grease, oil, or other materials need heavy duty cleaning products that can handle the difficulty in cleaning. Cleaning products that have a tough task to clean the dirt is sometimes called a heavy duty cleaner. This product is effective for cleaning storage tank, reception tank, pipes, floors, equipment or machinery. Just like any other cleaning products, in the formulation of heavy duty cleaner needed surfactant. The purposes of this research were to obtain heavy duty cleaner utilizing methyl ester sulfonic acid (MESA) from olein based methyl ester, to know the performance generated from heavy duty cleaner, and financial feasibility information of heavy duty cleaner industry. This research started with preparation of C 16 dominant methyl ester, olein based methyl ester, MESA production by sulphonating methyl ester with SO 3 as reactant in a single tube falling-film reactor, then followed by MESA characterization. Furthermore, continued with heavy duty cleaner making and characterisazion. Design of the research was using factorial completely rendomized with two factors including type of MESA and NaOH concentration. The type of MESA consist of four levels (MESA olein off grade, MESA olein steady state, MESA olein C 16 dominant off grade and MESA olein C 16 dominant steady state). NaOH concentration consist of four levels ( 35%, 40%, 45% and 50%). Washing capasity value was chosen as key parameter because it was representing the performance of heavy duty cleaner in removing impurity. Based on variance analysis, MESA types gave significance influence to the value of product washing capasity, whereas NaOH concentration was not giving significance influence. The highest washing capasity average value was generated from MESA olein dominant C 16 steady state type. The results showed that heavy duty cleaner which used MESA olein dominan C 16 steady state type with 35% NaOH concentration was resulting 98,11% emultion stability, 9 ml/ ml 0,1% sample solution foaming capacity, 13,75% foam stability, and 91,31% washing capasity was the best composition obtain. Based on four investment criteria, those were NPV (Rp ), IRR (19%), B/C Ratio (1,52) and PBP (5,36 years) show that it is feasible to run. Key word: heavy duty cleaner, MESA, heavy duty cleaner composition

4 RINGKASAN RACHMANIA WIDYASTUTI. F Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner. Dibimbing oleh ANI SURYANI dan ERLIZA HAMBALI. Industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sangat sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti minyak mentah, gemuk, oli, atau bahan lainnya membutuhkan produk pembersih yang mampu menangani kesulitan dalam pembersihannya. Produk pembersih yang memiliki tugas berat untuk membersihkan kotoran-kotoran tersebut pada umumnya disebut dengan heavy duty cleaner. Produk ini efektif untuk membersihkan tangki timbun, tangki penerimaan, pipa, lantai, peralatan ataupun mesin. Sama seperti produk pembersih lainnya, dalam formulasi heavy duty cleaner dibutuhkan surfaktan. Surfaktan yang populer digunakan adalah petroleum sulfonat. Salah satu contohnya yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS). Surfaktan ini diproduksi dari fraksi minyak bumi. Minyak bumi bersifat tidak terbarukan (non renewable) dan tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu perlu dimanfaatkan bahan baku lain yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Olein sawit memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku surfaktan di Indonesia. Produk surfaktan yang dihasilkan akan memiliki kelebihan, yaitu lebih ramah lingkungan, tahan terhadap salinitas tinggi dan air sadah. Olein sawit mengandung asam lemak dominan C 16 dan C 18. MES C 16 memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti oleh C 18 dan C 14. Salah satu pendekatan yang dapat diaplikasikan untuk mendapatkan metil ester olein dominan C 16 antara lain melalui fraksinasi metil ester olein. Mehtyl ester sulfonic acid (MESA) merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). Pada proses sulfonasi secara kontinyu, sebelum mencapai kondisi steady state produk yang dihasilkan belum dapat diaplikasikan. Jika kondisi steady state dicapai pada jam ke-6, maka MESA sebelum jam ke-6 akan terbuang dan produk ini disebut MESA off grade. Selain itu MESA berwarna gelap. Senyawa pemberi warna gelap pada MESA merupakan senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Warna gelap (hitam) pada MESA inilah yang menjadi pertimbangan MESA tidak digunakan sebagai bahan baku produk pembersih perkakas rumah tangga atau untuk pembersih kain. Oleh karena itu diperlukan alternatif pemanfaatan, salah satunya yaitu mencoba mengaplikasikan MESA sebagai cleaning agent untuk industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti industri perminyakan. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mendapatkan heavy duty cleaner dengan memanfaatkan methyl ester sulfonic acid (MESA) dari metil ester olein, mengetahui kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan dan mengetahui informasi kelayakan finansial dari industri heavy duty cleaner. Produk heavy duty cleaner terbaik ditentukan berdasarkan pengukuran sifat fisikokimia dan kinerja dari heavy duty cleaner yang dihasilkan. Pengukuran sifat fisikokima meliputi viskositas, bobot jenis dan stabilitas emulsi. Pengukuran kinerja dari heavy duty cleaner yang dihasilkan meliputi daya pembusaan, stabilitas busa dan daya cuci.

5 Penelitian ini diawali dengan persiapan fraksinasi metil ester dominan C 16, pembuatan surfaktan MESA dengan mereaksikan metil ester dengan SO 3 pada reaktor single tube falling film, lalu karakterisasi MESA. Selanjutnya dilakukan pembuatan dan analisis sifat fisik dan kinerja heavy duty cleaner. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor, yaitu jenis MESA dan konsentrasi NaOH. Jenis MESA terdiri dari empat taraf, yaitu MESA olein off grade, MESA olein steady state, MESA olein dominan C 16 off grade dan MESA olein dominan C 16 steady state. Konsentrasi NaOH terdiri dari empat taraf, yaitu 35%, 40%, 45% dan 50%. Nilai daya cuci dipilih sebagai parameter penentu karena mewakili kinerja dari heavy duty cleaner dalam menghilangkan kotoran. Berdasarkan analisis keragaman, jenis MESA memberikan pengaruh nyata terhadap nilai daya cuci produk, sedangkan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh yang nyata. Nilai rata-rata daya cuci tertinggi yaitu pada jenis MESA olein dominan C 16 steady state. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa heavy duty cleaner yang menggunakan jenis MESA olein dominan C 16 steady state dengan konsentrasi NaOH 35% menghasilkan stabilitas emulsi 98,11%, daya pembusaan 9 ml/ ml larutan sampel 0,1%, stabilitas busa 13,75% dan daya cuci 91,31% sudah dapat digunakan. Berdasarkan empat kriteria investasi yang digunakan yaitu NPV (Rp ), IRR (19%), B/C Ratio (1,52) dan PBP (5,36 tahun) menunjukkan bahwa industri heavy duty cleaner layak untuk dijalankan. Kata kunci: heavy duty clenaer, MESA, komposisi heavy duty cleaner

6 C Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan daan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7

8 PEMANFAATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER OLEIN UNTUK PEMBUATAN HEAVY DUTY CLEANER RACHMANIA WIDYASTUTI Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ika Amalia Kartika, STP, MT

10 LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis Nama NIM : Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner : Rachmania Widyastuti : F Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Ketua Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, MSi Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr Tanggal Ujian : 29 Juni 2012 Tanggal Lulus :

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dalam penyusunan tesis ini, berbagai pihak telah banyak memberikan dorongan, bantuan serta masukan sehingga dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, Msi selaku pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat; staf di Laboratorium SBRC LPPM IPB dan Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, PT Mahkota Indonesia; rekan-rekan di Departemen Teknologi Industri Pertanian angkatan Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, suami dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan guna menyempurnakan penulisan ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2012 Rachmania Widyastuti

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandarjaya, Lampung Tengah pada tanggal 23 Juli Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDK No. 3 Bandarjaya Lampung Tengah dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 3 Terbanggi Besar Lampung Tengah. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri I Terbanggi Besar Lampung Tengah dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Lampung melalui SPMB di jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian serta meraih gelar Sarjana Teknologi Pertanian (STP) di Universitas Lampung tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan program S2 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Hipotesa Ruang Lingkup... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Heavy Duty Cleaner Surfaktan Metil Ester Olein Methyl Eter Sulfonic Acid (MESA) Kajian Analisis Finansial III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein Proses Produksi dan Analisis Methyl Ester Sulfonic Acid Proses Pembuatan dan Analisis Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty Cleaner Rancangan Percobaan Analisis Finansial IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein dan Metil Ester Olein Dominan C Sifat fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty Cleaner Stabilitas Emulsi Daya Pembusaan Stabilitas Busa Daya Cuci Penentuan Produk dari Kinerja Terbaik v vii ix

14 4.6. Aspek Finansial Heavy Duty Cleaner dari MESA Olein Terbaik Asumsi Analisis Finansial Biaya Investasi Penyusutan Biaya Operasional Harga Penjualan dan Perkiraan Penerimaan Modal Kerja Pembiayaan Proyeksi Laba Rugi Break Even Point (BEP) Kriteria Kelayakan Investasi V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 75

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi heavy duty cleaner Komposisi heavy duty exothermic all-purpose cleaning Komposisi heavy duty degreaser cleaning Komposisi heavy duty degreaser cleaning Komposisi heavy duty aerosol cleaner Karakteristik larutan kaustik soda 50% Komposisi asam lemak beberapa produk kelapa sawit Karakteristik metil ester sulfonat (MES) Titik didih asam lemak pada berbagai tekanan Sifat fisiko kimia metil ester olein dan metil ester dominan C Sifat fisik methyl ester sulfonic acid Rincian modal investasi (dalam ribuan rupiah) Rincian biaya pembelian alat dan mesin (dalam ribuan rupiah) Rincian biaya bangunan (dalam ribuan rupiah) Harga sewa lahan industri heavy duty cleaner (dalam ribuan rupiah) Rincian biaya perlengkapan (dalam ribuan rupiah) Rincian biaya prainvestasi (dalam ribuan rupiah) Rincian bunga selama pembangunan pabrik (dalam ribuan rupiah) Rincian biaya tenaga kerja tak langsung (dalam ribuan rupiah) Rincian biaya tenaga kerja langsung (dalam ribuan rupiah) Biaya bahan baku, bahan penolong dan utilitas produksi dalam ribuan rupiah) Kebutuhan utilitas kantor (dalam ribuan rupiah) Rincian biaya pemeliharaan (dalam ribuan rupiah) Rincian biaya asuransi (dalam rupian rupiah) Rincian pajak (dalam ribuan rupiah)... 60

16 26 Harga dan penerimaan (dalam ribuan rupiah) Struktur pembiayaan (dalam ribuan rupiah) Angsuran modal investasi tetap (dalam ribuan rupiah) Angsuran modal kerja (dalam ribuan rupiah) Proyeksi laba rugi (dalam ribuan rupiah) Analisis BEP (dalam ribuan rupiah) Kriteria kelayakan investasi... 64

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Molekul air ditarik oleh molekul air yang lain dengan kekuatan yang sama dalam tiga arah (Hargreaves 2003) Ilustrasi pembentukan micelle (Hargreaves 2003) Mekanisme pembersihan oleh surfaktan (Hargreaves 2003) Diagram alir proses produksi biodiesel Reaksi transesterifikasi pada proses produksi biodiesel Molekul asam lemak Struktur kimia MESA dari metil ester olein dominan C Reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES (Watkins, 2001) Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungerman, 1979) Diagram alir proses pembuatan heavy duty cleaner Produk fraksinasi metil ester olein Bahan baku pembuatan Methyl Ester Sulfonic Acid Grafik komposisi FAME hasil fraksinasi metil ester olein Tahapan reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi metil ester Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya pembusaan heavy duty cleaner Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai stabilitas busa heavy duty cleaner Grafik pengaruh jenis MESA terhadap daya cuci heavy duty cleaner... 47

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Prosedur analisis metil ester olein Diagram alir pengolahan methyl ester sulfonic acid Prosedur analisis methyl ester sulfonic acid (MESA) Prosedur analisis produk heavy duty cleaner Proses fraksinasi metil ester olein Proses produksi methyl ester sulfonic acid (MESA) Proses pembuatan heavy duty cleaner Hasil analisis ragam terhadap stabilitas emulsi heavy duty cleaner Analisis daya pembusaan dan stabilitas busa pada heavy duty cleaner Data hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap daya pembusaan heavy duty cleaner Data hasil penelitian, hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas busa heavy duty cleaner Analisis daya cuci pada heavy duty cleaner Data hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap daya cuci heavy duty cleaner Spesifikasi mesin dan peralatan pada produksi heavy duty cleaner Penyusutan dan nilai sisa (dalam ribuan rupiah) Rincian biaya operasional (dalam ribuan rupiah) Neraca masa industri heavy duty cleaner Rincian modal kerja (dalam ribuan rupiah) Proyeksi arus kas (dalam ribuan rupiah)... 99

19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sangat sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti minyak mentah, gemuk, oli, atau bahan lainnya membutuhkan produk pembersih yang mampu menangani kesulitan dalam pembersihannya. Produk pembersih yang memiliki tugas berat untuk membersihkan kotoran-kotoran tersebut pada umumnya disebut dengan heavy duty cleaner. Produk ini efektif untuk membersihkan tangki timbun, tangki penerimaan, pipa, lantai, peralatan ataupun mesin. Sama seperti produk pembersih lainnya, dalam formulasi heavy duty cleaner dibutuhkan surfaktan. Surfaktan yang populer digunakan adalah petroleum sulfonat. Salah satu contohnya yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS). Surfaktan ini diproduksi dari minyak bumi. Minyak bumi bersifat tidak terbarukan (non renewable) dan tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu perlu dimanfaatkan bahan baku lain yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Olein sawit memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku surfaktan di Indonesia. Produk surfaktan yang dihasilkan akan memiliki kelebihan, yaitu lebih ramah lingkungan, tahan terhadap salinitas tinggi dan air sadah. Olein sawit mengandung asam lemak dominan C 16 dan C 18. Hui (1996) menyatakan bahwa alkil ester asam lemak C 14, C 16 dan C 18 baik digunakan untuk bahan baku surfaktan karena mampu memberikan tingkat detergensi yang terbaik, mampu mempertahankan aktivitas enzim dan memiliki toleransi terhadap ion Ca lebih baik. Watkins (2001) menyatakan bahwa metil ester palmitat (C 16 ) merupakan salah satu komponen metil ester yang sangat baik apabila digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan surfaktan metil ester sulfonat (MES). Asam lemak C 16 dan C 18 mampu memberikan tingkat detergensi yang tinggi sehingga potensial sebagai bahan baku pembuatan surfaktan. MES C 16 memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti oleh C 18 dan C 14. Salah satu pendekatan yang dapat diaplikasikan untuk mendapatkan metil ester olein dominan C 16 antara lain melalui fraksinasi metil ester olein. Melalui aplikasi teknologi tersebut maka dapat memperbaiki karakteristik metil ester, terutama sebagai bahan baku surfaktan.

20 Mehtyl ester sulfonic acid (MESA) merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). Pada proses sulfonasi secara kontinyu, sebelum mencapai kondisi steady state produk yang dihasilkan belum dapat diaplikasikan. Jika kondisi steady state dicapai pada jam ke-6, maka MESA sebelum jam ke-6 akan terbuang dan produk ini disebut MESA off grade. Selain itu MESA berwarna gelap. Selain itu MESA berwarna gelap. Senyawa pemberi warna gelap pada MESA merupakan senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi (Yamada and Matsunani (1996); Roberts et al. (2008). Warna gelap (hitam) pada MESA inilah yang menjadi pertimbangan MESA tidak digunakan sebagai bahan baku produk pembersih perkakas rumah tangga atau untuk pembersih kain. Oleh karena itu diperlukan alternatif pemanfaatan, salah satunya yaitu mencoba mengaplikasikan MESA sebagai cleaning agent untuk industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti industri perminyakan. Susi (2010) telah melakukan kajian terhadap proses aging pasca sulfonasi metil ester olein sawit menggunakan Singletube Falling Film Reactor (STFR) dan pengaruhnya terhadap karakteristik MESA dengan kondisi proses sulfonasi terbaik yaitu kontak gas SO 3 dan metil ester olein dilakukan pada laju alir 50 ml/menit, suhu input 100⁰ C, MESA diakumulasikan pada proses sulfonasi 2-3 jam serta suhu aging 80⁰ C selama 60 menit. Kondisi proses ini menghasilkan MESA yang memiliki karakteristik bahan aktif 23,04%, viskositas 96,5 cp, ph 0,76, bilangan iod 21,09 mg I/g, bilangan asam 14,02 mg KOH/g, warna (Klett) 630, emulsi 85,45% dan stabil selama 10,53 menit Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan heavy duty cleaner dengan memanfaatkan methyl ester sulfonic acid (MESA) dari metil ester olein, mengetahui kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan dan mengetahui informasi kelayakan finansial dari industri heavy duty cleaner.

21 1.3. Hipotesa Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini yaitu MESA olein dan MESA olein dominan C 16 dengan kualitas off grade dan steady state diduga mempunyai karakteristik yang berbeda, sehingga akan berpengaruh terhadap kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan Ruang Lingkup Ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Persiapan fraksinasi metil ester olein dominan C Analisis sifat fisikokimia metil ester olein dan metil ester olein dominan C Proses sulfonasi metil ester dengan menggunakan gas SO 3 4. Analisis sifat fisikokimia beberapa jenis surfaktan methyl ester sulfonic acid 5. Proses Pembuatan heavy duty cleaner 6. Analisis sifat fisik dan kinerja heavy duty cleaner 7. Analisis finansial produksi heavy duty cleaner

22 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Heavy Duty Cleaner Dalam industri produk pembersih, heavy duty cleaner merupakan agen pembersih yang digunakan untuk membersihkan kotoran-kotoran berat seperti minyak mentah, oli, dan gemuk. Produk ini efektif untuk membersihkan tangki penyimpanan, tangki penerimaan, pipa, lantai, peralatan dan mesin. Ada beberapa contoh formula heavy duty cleaner, salah satu komposisi heavy duty cleaner yaitu formula yang berasal dari Flick (1999) seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi heavy duty cleaner Bahan Konsentrasi (%) Water 74 Na 4 EDTA (Ethylenediaminetetracetic acid) 2 TKPP (Tetra Potassium Pyrophosphate) 4 Pilot SXS-40 5 KOH, 45% Calamide C 10 5 Selain itu sudah ada beberapa paten untuk produk heavy duty cleaner. Selwyn et al. (1974) telah mempatenkan heavy duty exothermic all-purpose cleaning composition. Komposisi dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi heavy duty exothermic all-purpose cleaning Bahan Konsentrasi (%) Sodium hidroksida 49,60 Sodium bisulfat 47,44 Sodium dodecyl benzene sulfonate 1,70 Dye 0,01 Sodium ddichloroisocinaturate 1,00 Dedusting oil 0,25 Sumber: Selwyn et al. (1974) Produk heavy duty cleaner ini memiliki manfaat sebagai bahan pembersih rambut, saluran dan karat, yang di dalamnya terdiri dari campuran bahan aktif yang penting, bahan asam dan alkali kaustik, yang ketika kontak dengan air, mampu menghasilkan cairan panas. Cairan ini dapat digunakan dalam pelarutan

23 atau penghancuran lemak, minyak, kotoran, rambut dan karat. Bahan lainnya yang terkandung pada produk heavy duty cleaner ini yaitu surfaktan yang cocok, agen pemutihan, germisida, dan sejenisnya. Ahmed (2000) telah mempatenkan heavy duty degreaser cleaning compositions and methods of using the same. Penemuan ini berhubungan dengan komposisi heavy duty degreaser clener dan metode untuk penggunannya. Penemuan ini khususnya berhubungan dengan komposisi pembersih yang berguna untuk membersihkan minyak, pelumas dan saluran pembuangan gas pada otomotif dan industri. Selain itu juga dapat digunakan untuk membersihkan minyak atau shortening yang tertinggal pada alat penggorengan atau peralatan masak lainnya. Komposisi dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi heavy duty degreaser cleaning Bahan Konsentrasi (%) EDTA-Na 4 (30%) 13,65 HP 3 PO 4 (75%) 4,52 Sulfonic L12-6 2,03 Neodol ,03 Sodium xylene 15,10 Sumber: Ahmed (2000) Palmore (2011) telah mempatenkan vissualy enhancing heavy duty degreaser-cleaning composition. Penemuan ini berhubungan dengan komposisi pembersih gemuk atau pembersih pada umumnya, khususnya yangberhubungan dengan komposisi pembersih gemuk atau pembersih yang berguna untuk menghilangkan minyak dan mentega dari permukaan logam. Komposisi dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi heavy duty degreaser cleaning Bahan Konsentrasi (%) Sodium hidroksida 90,0 Trisodium fosfat 8,5 Tripotasium fosfat 1,0 Polychlorinated copper phthalocyanine 0,5 Sumber: Palmore (2011)

24 Strand et al. (1972) telah mempatenkan heavy duty aerosol cleaner. Komposisi heavy duty aerosol cleaner diadaptasi untuk membersihkan lantai dengan permukaan yang keras tanpa efek yang merugikan pada lantai tersebut. Pembersih ini terdiri dari suspensi thixotropic bentonit, partikel abrasif, agen untuk pencegahan korosi, minimal satu asam lemak alkanolamide lebih tinggi untuk menghasilkan busa, dan air yang cukup untuk menghasilkan viskositas yang diinginkan. Formula dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Formulasi heavy duty aerosol cleaner Bahan Konsentrasi (%) Bentonit 24 Isopropyl alcohol 13 Amonium hidroksida, 28% 6 Silika 72 Coconut fatty acid diethanol amide 5,1 Sumber: Strand et al. (1972) Pada penelitian ini, selain menggunakan surfaktan methyl ester sulfonic acid (MESA), dalam komposisinya terdapat NaOH. NaOH adalah zat padat rapuh berwarna putih yang sangat kuat dalam menyerap kelembaban dan karbon dioksida dari udara. Istilah lain untuk NaOH adalah kaustik soda. Istilah kaustik soda digunakan karena sifatnya yang korosif terhadap kulit. Penggunaan tradisionalnya dalam bidang sabun, tekstil dan pengolahan minyak bumi masih menonjol (Austin 1984). Menurut Buehr (1962), Salah satu konsumen terbesar kaustik soda adalah industri pulp dan kertas. Industri ini menggunakan kaustik soda dalam pembuatan pulp dan proses pemutihan, de-inking limbah kertas, dan pengolahan limbah cair. Kaustik soda adalah bahan baku dasar dalam pembuatan berbagai bahan kimia, yaitu digunakan sebagai perantara dan reaktan dalam proses yang menghasilkan pelarut, plastik, serat sintetis, pemutih, perekat, pelapis, herbisida, pewarna, tinta, dan kegiatan farmasi yang berkaitan dengan aspirin. Kaustik soda, sebagai larutan 50%, merupakan cairan yang tidak berbau dan tidak berwarna. Pada semua bentuk, kaustik soda sangat korosif dan reaktif. Larutan kaustik soda bereaksi dengan logam seperti aluminium, magnesium, seng, timah, kromium, perunggu, kuningan, tembaga, dan campuran

25 mengandung logam-logam ini. Kaustik soda dapat bereaksi dengan kebanyakan jaringan hewan, termasuk kulit, kulit manusia, dan mata (Anonim b 2009). Karakteristik larutan kaustik soda disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik larutan kaustik soda 50% Boiling Point 289 F (143 C) Melting Point Mengkristal mulai suhu F (12 15 C) Solidification Point 41 F (5 C) Daya larut Larut dalam air, alkohol dan gliserol Specific Gravity (Air = 1) 1,53 pada suhu 60 F (15,6 C) ph >14,0 pada suhu 20 C Sumber: Anonim (2009 b ) Kaustik soda berfungsi sebagai penetralisir sifat keasaman yang dimiliki oleh MESA. Bahan ini berbentuk lempengan atau padatan tipis-tipis (flake). Sebelum direaksikan dengan MESA, flake tersebut harus dilarutkan dengan air. Jika larutan yang diinginkan berkadar 40% maka perbandingan antara lempengan kaustik dengan air kurang lebih adalah 40:60 (perbandingan pendekatan) Surfaktan Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa organik yang dalam molekulnya memiliki sedikitnya satu gugus hidrofilik dan satu gugus hidrofobik. Apabila ditambahkan ke suatu cairan pada konsentrasi rendah, maka dapat mengubah karakteristik tegangan permukaan dan antarmuka cairan tersebut. Antarmuka adalah bagian dimana dua fasa saling bertemu/kontak. Permukaan yaitu antarmuka dimana satu fasa kontak dengan gas, biasanya udara (Shaw 1980). Surfaktan memiliki kecenderungan terabsorpsi pada permukaan atau antar muka sistem, sehingga dapat mempengaruhi energi bebas permukaan antarmuka sistem, seperti pada permukaan campuran minyak dan air yang tidak saling campur tetapi terpisah karena perbedaan berat jenis. Bagian kepala bersifat yang hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor yang bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di industri (Hui 1996; Hasenhuettl 1997).

26 Surfaktan sebagai bahan aktif dalam deterjen memiliki fungsi tertentu dalam proses pencucian. Surfaktan berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan, berperan dalam peristiwa adsoprsi, pembentukan micelle dan deterjensi. 1. Penurunan Tegangan Permukaan Menurut Hargreaves (2003), tegangan permukaan merupakan gaya yang terjadi di antara molekul dalam cairan. Setiap molekul dalam cairan mengalami gaya dalam tiga dimensi (arah) dari molekul tetangga. Molekul yang berada di permukaan cairan mengalami defisiensi di posisi atas, tetapi kuat di tiga arah lainnya seperti diilustrasikan pada gambar di bawah ini. Gambar 1 menyajikan interaksi antar molekul air yang menyebabkan terjadinya tegangan permukaan. Gambar 1. Molekul air ditarik oleh molekul air yang lain dengan kekuatan yang sama dalam tiga arah (Hargreaves 2003) Sebagian besar surfaktan, pada tingkat 0.1%, akan mengurangi tegangan permukaan air dari 72 menjadi 32 mn m-1 (dyne cm-1). Hal ini terjadi karena molekul-molekul dalam sebagian besar cairan saling tertarik satu sama lain oleh gaya van der Walls yang menggantikan ikatan hidrogen air (Hargreaves 2003). Surfaktan digunakan untuk menurunkan tegangan permukaan media cair (Cooper dan Zajic 1980). Hal ini disebabkan oleh kehadiran gugus hidrofilik dan hidrofobik dalam satu molekul yang menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antar fasa yang berbeda tingkat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dengan air atau udara dengan air. Pembentukan film pada antar muka ini dapat menurunkan energi antar muka dan menyebabkan sifat-sifat khas molekul surfaktan (Georgeiou et al. 1992). 2. Adsorpsi

27 Ketika molekul surfaktan berada di dalam air, gugus hidrofilik ditarik menuju molekul air (molekul polar ditarik molekul polar yang lain). Kondisi kontradiktif terjadi karena molekul surfaktan lebih memilih berada dalam permukaan cairan dimana orientasi gugus lipofilik jauh dari air. Efek molekul pada permukaan dikenal sebagai adsorpsi dan menjadi dasar untuk mengetahui perilaku molekul surfaktan. Akibat dari mekanisme ini adalah efek terhadap tegangan permukaan dapat terjadi dalam waktu singkat (Hargreaves 2003). Bagian hidrokarbon dari molekul surfaktan berperan dalam kelarutan dalam minyak karena kelompok ionik (polar) memiliki afinitas terhadap air untuk menarik rantai hidrokarbon nonpolar ke dalam larutan. Hal ini terjadi dalam rentang waktu yang lebih lama, didorong oleh hidrasi dari kelompok kepala hidrofilik. Kontribusi kecil juga diperoleh dari gaya van der Waals yang terjadi sepanjang ekor lipofilik (Durbut 1999). 3. Pembentukan Micelle Pada konsentrasi yang cukup tinggi, molekul-molekul surfaktan akan beragregat membentuk sebuah struktur melingkar yang disebut micelle, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi keluar micelle. Agregasi molekul surfaktan didorong oleh adanya gaya van der Waals yang terjadi sepanjang ekor lipofilik dan gaya tolak ionik dari gugus hidrofilik. Ilustrasi pembentukan micelle dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Ilustrasi pembentukan micelle (Hargreaves 2003) Pada kondisi tersebut konsentrasi surfaktan disebut dengan critical micelle concentration (CMC). Pada konsentrasi surfaktan dibawah CMC, tegangan permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi, namun pada saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah (Schueller dan Romanousky 1998).

28 4. Deterjensi Deterjensi adalah proses penghilangan kotoran dari suatu permukaan. Adapun hal-hal yang harus menjadi perhatian dalam proses ini, antara lain: sifat alamiah kotoran, substrat atau permukaan dimana kotoran menempel, proses yang dilibatkan dalam penghilangan kotoran, jenis air yang digunakan dan juga suhu. Proses pencucian yang efektif harus menunjukkan fungsi-fungsi dasar selama proses penghilangan kotoran, antara lain netralisasi komponen-komponen kotoran yang bersifat asam, emulsifikasi minyak dan lemak, deflokulasi partikel kotoran, pengendapan kotoran dan pencegahan proses redeposisi (Anonim 2009 a ). Bagaimana deterjen bekerja merupakan kajian yang kompleks karena melibatkan banyak fungsi bahan yang berbeda, variasi substrat dan campuran berbagai jenis pengotor (soiling). Efektifitas dalam menurunkan tegangan antarmuka antara air, partikel pengotor (soil) dan subtrat (permukaan bahan yang dicuci) merupakan faktor penting agar proses wetting dapat diperoleh (Hargreaves 2003). Molekul yang diadsorpsi pada tegangan antarmuka air-udara tidak secara langsung berpengaruh terhadap deterjensi, tetapi membentuk busa yang berperan sebagai indikator yang menunjukkan deterjen telah digunakan. Surfaktan dengan konsentrasi tinggi (nilai CMC yang tinggi) akan efektif dalam proses deterjensi (Hargreaves 2003). Mekanisme pembersihan oleh surfaktan ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3 mengilustrasikan oily soil dihilangkan dari substrat (permukaan bahan yang dicuci) yang melibatkan molekul surfaktan di dalam air. Pada gambar, ekor lipofilik ditarik menuju oily soil dan teradsorpsi ke dalamnya dengan kepala hidrofilik mengarah ke luar menuju air. Oily soil terdispersi ke dalam air dengan cara yang hampir sama dengan formasi emulsi oil-in-water (O/W). Secara simultan, molekul surfaktan teradsorbsi menuju permukaan subtrat dengan gugus hidrofilik mengarah ke air, mencegah oily soil teredeposisi kembali. Ketika konsentrasi surfaktan dalam jumlah tinggi membentuk misela, sebagian oily soil

29 dapat dihilangkan dengan cara solubilisasi membentuk busa mikro-emulsi (Hargreaves 2003). Gambar 3. Mekanisme pembersihan oleh surfaktan (Hargreaves 2003). Surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi ke dalam empat kelompok dasar, yaitu : (a) berbasis minyak lemak, seperti mono gliserida, digliserida, poligliserol ester, fatty alkohol sulfat, fatty alkohol etoksilat, MES, dietanolamida, sukrosa ester, dan sebagainya, (b) berbasis karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan N-metil glukamida, (c) ekstrak bahan alami, seperti lesitin dan saponin, serta (d) biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme, seperti rhamnolipida, sophorolipida, lipopeptida, threhaloslipida dan sebagainya (Flider 2001). Pada penelitian ini surfaktan yang digunakan adalah methyl ester sulfonic acid (MESA). MESA merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). Pada proses sulfonasi secara kontinyu, sebelum mencapai kondisi steady state produk yang dihasilkan belum dapat diaplikasikan. Jika kondisi steady state dicapai pada jam ke-6, maka MESA sebelum jam ke-6 akan terbuang dan produk ini disebut MESA off grade. MESA ini di produksi dari metil ester olein. Olein sawit memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku surfaktan di Indonesia. Produk surfaktan yang dihasilkan akan memiliki kelebihan, yaitu lebih ramah lingkungan, tahan terhadap salinitas tinggi dan air sadah Metil Ester Olein Menurut SNI (1999), metil ester adalah ester yang dibuat melalui proses esterifikasi asam lemak dengan metil alkohol dan berbentuk cairan. Metil ester diproduksi melalui proses transesterifikasi menggunakan metanol atau disebut

30 metanolisis. Proses metanolisis terhadap minyak atau lemak akan menghasilkan metil ester dan gliserol melaui pemecahan molekul trigliserida. Metil ester mampu dihasilkan dengan beberapa teknik baik menggunakan konversi enzimatik maupaun proses kimiawi. Konversi menggunkan proses biologi digunakan enzim lipase dalam menghasilkan biodiesel. Proses produksi biodiesel dengan enzim lipase ini disebut sebagai lipase-catalyzed transesterification (Mittelbach 1990). Secara kimiawi, proses pembuatan biodiesel bisa dilakukan dengan esterifikasi-transesterifikasi kimiawi (dua tahap) dan poses transesterifikasi langsung (satu tahap). Proses dua tahap biasanya dilakukan untuk sumber minyak nabati dengan kadar FFA (free fatty acid) tinggi. Meher et al. (2006) menyebutkan proses esterifikasi minyak kedelai menggunakan katalis H 2 SO 4 sebanyak 1% dan rasio molar Sementara itu, tahap transesterifikasi langsung digunakan jika kandungan FFA sangat kecil (Nimcevic et al. 2000). Menurut Ma dan Hanna (2001), minyak dengan FFA kurang dari 1% dapat dikonversi menjadi metil ester menggunakan katalis basa, sedangkan Ramadhas et al. (2005) dan Sahoo et al. (2007) mensyaratkan FFA kurang dari 2%. Skema diagram produksi biodiesel menurut Gerpen (2005) dapat dilihat pada Gambar 4. Biodiesel akhir Pengering Metanol Minyak Katalis Reaktor Separator Metil ester Penghilangan metanol Netralisasi dan pencucian Asam Asam lemak bebas Gliserol (50%) Acidulation dan pemisahan Asam Air Air cucian Penghilangan metanol Rektifikasi metanol/air Penyimpanan metanol Air Gambar 4. Diagram alir proses produksi biodiesel

31 Transesterifikasi merupakan reaksi kimia antara trigliserida dan alkohol dengan adanya katalis untuk menghasilkan mono-ester atau biodiesel (Sharma dan Singh 2009). Menurut Ma dan Hanna (2001), sumber alkohol yang digunakan dapat bermacam-macam. Apabila direaksikan dengan metanol, maka akan didapat metil ester, apabila direaksikan dengan etanol akan didapat etil ester. Metanol lebih banyak digunakan sebagai sumber alkohol karena rantainya lebih pendek, lebih polar dan harganya lebih murah dari alkohol lainnya. Menurut Hui (1996), transesterifikasi menjadi proses paling efektif untuk mengkonversi trigliserida (minyak atau lemak) menjadi molekul ester. Transesterifikasi berfungsi untuk menggantikan gugus alkohol gliserol dengan alkohol sederhana seperti metanol atau etanol dengan bantuan katalis seperti sodium metilat, NaOH atau KOH. Menurut Vicente et al. (2004) katalis KOH memberikan yield metil ester lebih tinggi yaitu sekitar 91,67% dibandingkan dengan katalis NaOH (85,9%). Darnoko dan Cheryan (2000) telah melakukan proses transesterifikasi secara kontinyu menggunakan suhu proses 60 o C, waktu proses 1 jam dengan menggunakan katalis KOH 1% (w/w) terlarut dalam metanol dengan perbandingan rasio mol reaktan antara metanol dengan minyak sebesar 6:1 menghasilkan rendemen sebesar 95%. Jumlah katalis yang diperlukan dalam proses transesterifikasi adalah sebesar 0,7% sampai dengan 1,5% dan menurut Leung dan Guo (2006) jumlah katalis KOH yang diperlukan sebanyak 1,1%, sedangkan katalis NaOH yang diperlukan sebanyak 1,5%. Reaksi transesterifikasi antara trigliserida minyak nabati menjadi aklil ester atau biodiesel dapat dilihat pada Gambar 5 (Knothe 2004). O CH 2 O C R CH 2 OH O katalis O CH O C R + 3 R OH 3 R O C R + CH OH O CH 2 O C R CH 2 OH Trigliserida Alkohol Alkil Ester Gliserol (Minyak Nabati) (Biodiesel)

32 Gambar 5. Reaksi transesterifikasi pada proses produksi biodiesel Secara umum proses fraksinasi minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dan 0,5% limbah. Olein sawit merupakan fraksi cair yang dihasilkan dari proses fraksinasi minyak sawit setelah melalui pemurnian. Karakteristik fisik olein sawit bersifat cair pada suhu ruang, berbeda dengan stearin sawit yang bersifat padat pada suhu ruang. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit ditunjukkan pada Tabel 7. Asam Lemak Tabel 7. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit Jenis Bahan CPO a) PKO b) Olein c) Stearin c) PFAD d) Laurat (C12:0) < 1, Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Palmitoleat (C16:1) < 0.6 0, Stearat (18:0) Oleat (18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3) < Arachidonat (C20:0) Sumber : a) Godin dan Spensley (1971) dalam Salunkhe et al. (1992). b) Swern (1979). c) Basiron (1996). d) Hui (1996). Dari Tabel 7 menunjukkan bahwa olein sawit lebih didominasi oleh C 18 dan C 16. Metil ester asam lemak C 16 merupakan salah satu bahan baku pembuatan surfaktan dengan nilai tambah yang tinggi. Diketahui bahwa surfaktan dari C 16 mempunyai daya detergensi yang tinggi. Biodiesel dari minyak sawit memiliki kandungan fraksi metil ester palmitat (C 16:0 ) dan metil ester oleat (C 18:1 ) paling dominan masing-masing sekitar 40-47% dan 36-44% (Knothe 2008). Komponen ini sangat baik apabila digunakan secara spesifik untuk produk turunan berikutnya.

33 Panjang rantai dan letak ikatan rangkap menentukan sifat fisik baik asam lemak maupun trigliserida itu sendiri. Distribusi asam lemak jenuh (ikatan tunggal) dan asam lemak tidak jenuh (ikatan rangkap) dalam gliserol dalam minyak nabati tidak terjadi secara acak, namun ditentukan oleh enzim lipase selama proses biosintesis pada jaringan tanaman sawit (Mittelbach dan Remschmidt 2006). Setiap asam lemak memiliki sifat spesifik meski memiliki jumlah karbon yang sama. Ada tidaknya ikatan rangkap sangat berpengaruh terhadap sifat asam lemak tersebut. Gambar 6 adalah beberapa molekul asam lemak penyusun trigliserida minyak (Cole dan Thompson 2001). 1 ikatan rangkap cis 2 ikatan rangkap cis (a) (b) (c) Gambar 6. Molekul asam lemak (Asam stearat C 18:0 (a); Asam oleat C 18:1 (b); Asam linoleat C 18:2 (c)) Ketiga asam lemak diatas memiliki jumlah atom karbon yang sama yaitu 18 atom. Hal yang membedakan adalah ketidakjenuhan dilihat dari ada tidaknya ikatan rangkap. Asam stearat tidak memiliki ikatan rangkap dan disebut sebagai molekul asam lemak jenuh. Berbeda dengan asam lemak stearat, asam lemak oleat memiliki 1 ikatan rangkap cis dan asam linoleat memiliki 2 ikatan rangkap cis. Ikatan ini mempengaruhi struktur dan titik beku. Ketaren (1996), menyebutkan bahwa panjang rantai dan kejenuhan molekul minyak dan lemak mempengaruhi sifat fisiko kimia secara keseluruhan meliputi densitas, bilangan iod, bilangan penyabunan, bilangan asam, titik didih, titik nyala, titik beku, dan sifat yang lainnya. Menurut Watkins (2001), surfaktan MES dengan bahan baku dominan metil ester palmitat memiliki sifat deterjensi yang sangat baik. Sementara itu Knothe (2008) juga menyebutkan bahwa biodiesel yang memiliki kandungan metil ester

34 oleat (C 18:1 ) dominan sangat baik apabila digunakan sebagai bahan bakar. Karakteristik melting point metil ester oleat pada suhu -20 o C cocok untuk pemanfaatan bahan bakar pada suhu rendah. Viskositas kinematik C 18:1 meningkat dari 4,51 mm 2 /s pada suhu 40 o C menjadi 21,33 mm 2 /s pada suhu -10 o C. Selain itu juga C 18:1 sebagai bahan bakar yang menghasilkan emisi NOx paling kecil dibandingkan metil ester lainya. Salah satu pendekatan yang dapat diaplikasikan untuk mendapatkan metil ester olein dominan C 16 antara lain melalui fraksinasi metil ester olein. Teknologi fraksinasi merupakan salah satu teknik dalam pemisahan komponen melalui perbedaan titik didih. Teknologi Fraksinasi juga umum dikenal dengan istilah distilasi. Distilasi pada suhu rendah memiliki keuntungan yaitu mencegah pembentukan produk polimer, mencegah kerusakan produk, menghasilkan rendemen yang tinggi, menghasilkan produk dengan kemurnian yang tinggi dan dapat diaplikasikan pada kapasitas yang besar (Lee et al. 2004). Melalui aplikasi teknologi tersebut maka dapat memperbaiki karakteristik metil ester, terutama sebagai bahan baku surfaktan Methyl Ester Olein Sulfonic Acid (MESA) Surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah MESA yang merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). MES merupakan surfaktan anionik yang sejak tahun 1990an mulai digunakan sebagai bahan baku dalam industri detergen bubuk. Surfaktan ini termasuk ke dalam kelompok surfaktan anionik. Surfaktan anionik adalah senyawa yang bermuatan negatif dalam bagian aktif permukaan (surface-active) atau pusat hidrofiliknya (misalnya RCOO-Na, R adalah fatty hydrophobe). Surfaktan ini memiliki sifat dispersi yang paling baik dan dalam bentuk larutan dapat mengalami ionisasi. MESA yang digunakan pada penelitian ini dibuat dari metil ester olein dan metil ester olein dominan C 16 hasil fraksinasi. Struktur kimia MESA dari metil ester olein dominan C 16 ditunjukkan pada Gambar 7. CH 3 (CH 2 ) 13 CH COOCH 3 SO 3 H

35 Gambar 7. Struktur kimia MESA dari metil ester olein dominan C 16 Proses sulfonasi menghasilkan produk turunan yang terbentuk melalui reaksi kelompok sulfat dengan minyak, asam lemak (fatty acid), ester, dan alkohol lemak (fatty alcohol). Jenis minyak yang biasanya disulfonasi adalah minyak yang mengandung ikatan rangkap ataupun grup hidroksil pada molekulnya. Bahan baku minyak yang digunakan pada industri adalah minyak berwujud cair yang kaya akan ikatan rangkap (Bernardini 1983). Distribusi asam lemak yang beragam dan tingginya komponen asam lemak tidak jenuh, yaitu oleat sekitar 25,19%, menyebabkan tingginya peluang SO 3 melekat pada ikatan rangkap ME. Berger (2009) menyebutkan surfaktan yang paling sesuai untuk aplikasi EOR adalah surfaktan anionik yang diturunkan dari asam lemak tidak jenuh, karena efektif dalam menurunkan tegangan antarmuka dan tahan terhadap suhu dan salinitas tinggi serta mempunyai kemampuan adsorpsi yang tinggi pada batuan reservoir. Proses sulfonasi dapat dilakukan dengan mereaksikan asam sulfat, sulfit, NaHSO 3, atau gas SO 3 dengan ester asam lemak (Bernardini, 1983; Watkins 2001). Reaksi sulfonasi menggunakan gas SO 3 merupakan reaksi yang paling efektif dibandingkan dengan menggunakan reagen sulfonasi lainnya. Metode sulfonasi dengan menggunakan SO 3 merupakan proses yang sedang menjadi fokus perhatian saat ini. Hal ini disebabkan karena penggunaan SO 3 sebagai agen sulfonasi menghasilkakn reaksi sulfonasi yang zero waste. Gas SO 3 yang dimasukkan ke dalam sistem reaksi akan bergabung dengan molekul alkil ester menjadi alkil ester sufonat, sedangkan sisa gas SO 3 yang tidak bergabung akan dikembalikan lagi ke dalam sistem reaksi melalui mekanisme loop (Foster 1996). Reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES dapat dilihat pada Gambar 8. O SO 3 + R n C OCH 3 R n- C C OCH Sulfur trioksida Metil ester SO 2 O Metil ester sulfonat

36 Gambar 8. Reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES (Watkins 2001) Reaksi sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada tiga sisi yaitu (1) gugus karboksil; (2) bagian α-atom karbon; (3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap) (Gambar 9). Gambar 9. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungermann 1979) Menurut Stein dan Bumann (1975), suhu dan rasio mol reaktan merupakan faktor penting dalam proses sulfonasi dimana peningkatan suhu dapat mempercepat laju reaksi dengan meningkatkan jumlah fraksi molekul yang mencapai energi aktivasi, sementara rasio mol reaktan harus dikendalikan dalam proses sulfonasi karena kelebihan reaktan (SO 3 ) akan menyebabkan pembentukan produk samping. Kajian sulfonasi minyak nabati untuk menghasilkan surfaktan MES telah di lakukan oleh beberapa peneliti. Pore (1976) melakukan reaksi sulfonasi alkil α- sulfopalmitat dengan menggunakan natrium bisulfit pada suhu antara o C dengan waktu reaksi 3 sampai 6 jam tanpa pemurnian menghasilkan tegangan permukaan 40,2 mn/m dan 9,7 mn/m. Sheats dan MacArthur (2002) mengkaji pengaruh suhu dan rasio mol reaktan dalam proses sulfonasi untuk menghasilkan MES dengan mereaksikan gas SO 3 dan metil ester dalam tubullar falling film reactor pada perbandingan reaktan gas SO 3 dan metil ester 1,2:1 hingga 1,3:1 pada suhu o C. Proses sulfonasi menggunakan Falling Film Reactor (FFR) dengan laju sekitar 0,1 kg mol per jam. Suhu masuk gas SO 3 ke dalam reaktor adalah 42 o C dan suhu masuk untuk metil ester sekitar o C.

37 Baker (1993) melakukan proses sulfonasi dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO 3 dalam falling film reactor, dengan perbandingan reaktan antara SO 3 dan alkil ester yaitu 1,1:1 hingga 1,4:1, pada suhu o C selama menit. Smith dan Stirton (1967) mensulfonasi metil, etil dan isopropil ester asam palmitat dan stearat secara langsung melalui penambahan SO 3 cair pada rasio molar 2,4 : 1 pada suhu 60 o C dan mereesterifikasi menggunakan metil, etil atau isopropil alkohol sebelum netralisai untuk meningkatkan rendemen alpha sulfo fatty acid hingga 70 80% dan menurunkan produk samping disodium sulfofatty acid (disalt). Sulfonasi ester dimulai dengan pembentukan komplek SO 3 dengan eter. Pembentukan komplek ini mengaktifkan atom H pada posisi alpha. Kondisi sulfonasi terbaik untuk menghasilkan produk sulfonat menggunakan bahan baku metil stearat yaitu pelarut CCL 4 1 g, suhu sulfonasi 60 o C, selama 1 jam dan meresterifikasi menggunakan 40 ml alkohol selama 4 jam produk yang dihasilkan terdiri dari 90% sodium alpha sulfonat dan 1% garam disodium. Mujdalipah (2010) melakukan kajian terhadap proses produksi Methyl Ester Sulfonic Acid dari metil ester olein dengan kodisi proses sulfonasi terbaik menggunakan STFR slaka 5 L pada suhu proses sulfonasi 90 o C dan lama proses sulfonasi 90 menit. Kondisi ini menhasilkan MESA yang memiliki karakteristik kadar air 0,49%, ph 2,66, bilangan asam 24,88 ml NaOH/g sampel, kadar bahan aktif 31,44%, dan bilangan iod 11,95 mg I/ g sampel. MESA yang dihasilkan memiliki kinerja menurunkan tegangan permukaan air dari 65,22 dyne/cm menjadi 37,08 dyne/cm serta menurunkan IFT antara minyak dan air formasi dari 30 dyne/cm menjadi 2,99 dyne/cm atau menurunkan IFT air minyak sebesar 90,03%. Susi (2010) melakukan kajian terhadap proses aging pasca sulfonasi metil ester olein sawit menggunakan Singletube Falling Film Reactor (STFR) dan pengaruhnya terhadap karakteristik MESA dengan kondisi proses sulfonasi terbaik yaitu kontak gas SO 3 dan metil ester olein dilakukan pada laju alir 50 ml/menit suhu input 100⁰ C, MESA diakumulasikan pada proses sulfonasi 2-3 jam serta suhu aging 80⁰ C selama 60 menit. Kondisi proses ini menghasilkan MESA yang memiliki karakteristik bahan aktif 23,04%, viskositas 96,5 cp, ph

38 0,76, bilangan iod 21,09 mg I/g sampel, bilangan asam 14,02 mg KOH/g, warna (Klett) 630, emulsi 85,45% dan stabil selama 10,53 menit. Proses sulfonasi akan menghasilkan produk berwarna gelap, sehingga dibutuhkan proses pemurnian, meliputi pemucatan dan netralisasi (Watkins 2001). Oleh karena itu diperlukan tahap pemurnian. Pemurnian bertujuan untuk mengurangi warna gelap akibat terbentuknya komponen warna dan menghasilkan MES yang memiliki daya kinerja yang lebih baik. Sherry et al. (1995) melakukan proses pemurnian palm C kalium metil ester sulfonat (KMES) yang diteliti tanpa proses pemucatan. Pemurnian produk dilakukan dengan mencampurkan ester sulfonat dengan persen metanol di dalam digester dan dilanjutkan dengan proses netralisani berupa penambahan 50% KOH. Menurut Matheson (1996), MES memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water), ester asam lemak C 14, C 16 dan C 18 memberikan tingkat deterjensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium dan kandungan garam (di-salt) lebih rendah. Karakteristik MES dari berbagai bahan baku dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Karakteristik surfaktan metil ester sulfonat (MES) Metil Ester Karakteristik Lemak C 12 C 14 C 16 C 18 Tallow Rendemen MES (%b/b) 70,7 80,3 78,4 77,9 Disodium karboksi sulfonat (di-salt) (b/b) 2,1 5,5 4,8 4,74,7 Metanol (%b/b) 0,46 0,18 0,23 0,22 Hidrogen peroksida (%b/b) 0,10 0,04 0,02 0,02 Air (%b/b) 14,0 0,7 1,8 1,6 Petroleum ether extractables (PEX) 2,6 3,2 3,9 2,8 (%b/b) Sodium karboksilat (%b/b) 0,16 0,29 0,29 0,29 Sodium sulfat (%b/b) 1,99 2,07 2,83 2,85 Sodium metil sulfat (%) 8,0 7,7 7,8 9,5 ph 5,0 5,6 5,6 4,3

39 Klett color 5% aktif Sumber: MacArthur et al. (2002) 2.5. Kajian Analisis Finansial Aspek finansial adalah suatu analisis yang membandingkan antara biaya dan manfaat untuk menentukan apakah suatu proyek akan menguntungkan selama umur proyek (Husnan dan Suwarsono 2000). Menurut Kasmir dan Jakfar (2006), penelitian dalam aspek finansial dilakukan untuk menilai biaya-biaya yang akan dikeluarkan dan meneliti seberapa besar pendapatan yang akan diterima jika proyek dijalankan. Menurut Umar (2005), tujuan menganalisis aspek keuangan dari studi kelayakan proyek bisnis adalah untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yangdiharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan, serta ketersediaan dana, biaya modal, kemampuan proyek untuk membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan menilai apakah proyek akan dapat berkembang terus. Ditambahkan pula oleh Suratman (2002) bahwa aspek keuangan berkaitan dengan bagaimana menentukan kebutuhan jumlah dana dan pengalokasianya serta mencari sumber dana yang efisien, sehingga memberikan tingkat keuntungan yang menjanjikan bagi investor. Tingkat keuntungan yang menjanjikan bagi investor adalah tingkat keuntungan yang diukur berdasarkan kas bukan berdasarkan laba akuntansi. Evaluasi aspek finansial dilakukan untuk memperkirakan jumlah dana yang diperlukan. Selain itu juga dipelajari struktur pembiayaan serta sumber dana yang menguntungkan (Djamin 1984). Dari aspek finansial dapat diperoleh gambaran tentang struktur pemodalan bagi perusahaan yang mencakup seluruh kebutuhan modal untuk dapat melaksanakan aktivitas mulai dari perencanaan sampai pabrik beroperasi. Secara umum, biaya dikelompokkan menjadi biaya investasi dan biaya modal kerja. Kemudian dilakukan penilaian aliran dana yang diperlukan dan kapan dana tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan jumlah waktu yang ditetapkan, serta apakah proyek tersebut menguntungkan atau tidak ( Edris 1993). Penentuaan apakah suatu proyek investasi dikatakan layak diperlukan teknik-teknik kriteria penilaian investasi yang didasarkan pada aliran kas proyek yang bersangkutan. Pada umumnya metode yang biasa digunakan dalam

40 penentuan kriteria investasi adalah Payback Period, Net Present Value, Internal Rate of Return, dan Profitability Index, serta Break Even Point (Umar 2005). III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - September laboratorium SBRC Institut Pertanian Bogor dan PT Mahkota Indonesia di 3.2. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil ester olein, gas SO 3, dan NaOH. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa antara lain KOH, H 2 SO 4 95%, metanol, HCl, phenolphtalein, Na 2 SO 4, pati, air suling (aquades), sikloheksan, asam asetat glasial 96%, kalium iodida, Na 2 S 2 O 3, K 2 Cr 2 O 7, larutan Wijs, toluen, kloroform, petroleum eter, indikator metilene blue, dan Cetyltrimethylammonium Bromide (CTAB) dan xylen. Alat yang digunakan dalam penelitian ini merupakan peralatan proses dan peralatan analisa. Alat proses yang digunakan adalah reaktor sulfonasi STFR (Single Tube Falling Film Reactor) dan hotplate stirrer. Peralatan analisa yang digunakan antara lain yaitu viscometer brookfield, tensiometer Du Nouy, blender, ph meter, timbangan analitik, sudip, gelas kimia 100 ml, gelas kimia 300 ml, gelas kimia 500 ml, gelas kimia 1000 ml, erlenmeyer 500 ml, erlenmeyer 1000 ml, pipet 1 ml, pipet 5 ml, pipet 10 ml, pipet 25 ml, gelas arloji, pengaduk gelas, botol sampel, jirigen 5 L, jirigen 20 L Metode Penelitian Tahapan proses yang dilakukan pada penelitian ini yaitu persiapan fraksinasi metil ester olein dominan C 16, analisis sifat fisikokimia bahan baku sulfonasi, proses produksi Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA), analisis sifat fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid yang dihasilkan, proses pembuatan heavy duty cleaner dan analisis sifat fisik serta kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C 16 Proses fraksinasi metil ester dilakukan menggunakan fractional distillation system. Kondisi prosesnya menggunakan tekanan 37,5 mmhg dan suhu 235 o C selama 12 jam. Prosedur pengoperasian alat fraksinasi yaitu memasukkan sampel metil ester ke dalam boiling vessel melalui iinput valve, kemudian semua valve ditutup. Setelah itu pompa vakum dijalankan dan boilling vessel dipanaskan

41 menggunakan burner yang dihubungkan dengan tabung gas sampai suhu yang diinginkan tercapai. Setelah suhu terccapai, valve reflux dibuka beberapa saat untuk menstabilkan proses dan meningkatkan kemurnian produk. Tahapan selanjutnya valve reflux ditutup dan valve menuju tangki penampung dibuka, serta sirkulasi air dijalankan untuk mendinginkan reflux Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui sifat fisikokimia dari metil ester minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku. Analisis meliputi densitas, viskositas, bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan dan komposisi asam lemak. Prosedur analisis metil ester olein dapat dilihat pada Lampiran Proses Produksi dan Analisis Sifat Fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid Proses produksi MESA dilakukan melalui proses sulfonasi dengan menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Terdapat tiga reaksi yang terjadi dalam reaktor, yaitu: kontak antara fase gas dan liquid, penyerapan gas SO 3 dari fase gas dan reaksi dalam fase liquid. Metil ester dipompakan ke head reactor, masuk ke liquid chamber dan mengalir turun membentuk liquid film dengan ketebalan tertentu yang dibentuk oleh corong head. Diagram alir pengolahan metil ester olein menjadi MESA dapat dilihat pada Lampiran 2. Kondisi proses produksi MESA menggunakan laju alir umpan 50 ml/menit, gas SO 3 1/4 valve dan akumulasi MESA selama 1 jam pada sulfonasi 2 3 jam, kemudian di aging pada suhu 80 o C selama 60 menit. MESA yang dihasilkan dianalisis sifat fisikokimianya meliputi tegangan permukaan, densitas dan viskositas. Prosedur analisis methyl ester sulfonic acid (MESA) dapat dilihat pada Lampiran Proses pembuatan dan Analisis Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty Cleaner Pada penelitian ini faktor perlakuan yang diujikan adalah jenis MESA dan konsentrasi NaOH. Jenis MESA yang digunakan yaitu MESA olein off grade,

42 MESA olein steady state, MESA olein dominan C 16 off grade dan MESA olein dominan C 16 steady state dan konsentrasi NaOH yang digunakan yaitu 35%, 40%, 45% dan 50%. Proses pembuatan heavy duty cleaner dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan penyusunnya hingga homogen dan mencapai ph 7. Proses pertama yang dilakukan dalam pembuatan heavy duty cleaner adalah membuat larutan NaOH sesuai konsentrasi yang ditentukan. Larutan NaOH yang telah dibuat ditambahkan ke dalam surfaktan pada suhu o C sambil dilakukan pengadukan. Diagram alir proses formulasi heavy duty cleaner dapat dilihat pada Gambar 10. NaOH Air Homogenasi NaOH 35%, 40%, 45% dan 50% MESA Homogenasi Heavy Duty Cleaner Gambar 10. Diagram alir proses pembuatan heavy duty cleaner Heavy duty cleaner yang dihasilkan dianalisis sifat fisiknya meliputi stabilitas emulsi dan kinerja heavy duty cleaner yang meliputi daya pembusaan, stabilitas busa, daya cuci. Setelah itu dibandingkan dengan produk yang ada di pasaran dengan parameter sifat fisik dan kinerja yang sama. Prosedur analisis heavy duty cleaner dapat dilihat pada Lampiran Rancangan Percobaan Dalam proses produksi heavy duty cleaner menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL). Faktorial dengan 2 perlakuan yaitu jenis surfaktan MESA dan konsentrasi NaOH.

43 Jenis surfaktan MESA terdiri dari 4 taraf, yaitu: M1 M2 M3 M4 : MESA olein off grade : MESA olein steady state : MESA olein dominan C 16 off grade : MESA olein dominan C 16 steady state Konsentrasi NaOH terdiri dari 4 taraf, yaitu: N1 : 35% N2 : 40% N3 : 45% N4 : 50% Percobaan dilakukan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Anova, untuk mengetahui perbedaan perlakuan dilakuan uji Jarak Berganda menurut Duncan pada taraf 5%. Model rancangan percobaannya adalah sebagai berikut: Y ijk = µ + M i + N j + MN ij + ε ijk Y ij = Variabel respon percobaan karena pengaruh jenis MESA taraf ke-i, konsentrasi NaOH taraf ke-j dan ulangan ke-k dengan i = 1, 2, 3, 4; j = 1, 2, 3, 4 dan k = 1, 2 µ = Pengaruh rata-rata yang sebenarnya M i Nj = Pengaruh jenis MESA pada taraf ke-i = Pengaruh konsentrasi NaOH pada taraf ke-j MN ij = Interaksi antara jenis MESA dan konsentrasi NaOH ε ijk = Pengaruh galat dari faktor M taraf ke-i, faktor N taraf ke-j dan ulangan ke-k 3.5. Analisis Finansial Kajian analisis ini dilakukan untuk menduga kelayakan dari desain proses produksi pada industri. Langkah pertama yang perlu dilakukan yaitu pengamatan terhadap keseluruhan tahapan simulasi proses. Prosedur untuk menentukan simulasi proses meliputi penentuan bahan yang digunakan, penentuan kapasitas

44 produksi, pemilihan unit operasi yang sesuai, serta penentuan kondisi input yang diinginkan (temperatur, waktu, formula dan kondisi lainnya). Menurut Gray et al. (1993), dalam rangka mencari ukuran yang menyeluruh sebagai dasar penerimaan atau penolakan atas pengurutan suatu proyek, telah dikembangkan berbagai cara yang dinamakan kriteria investasi. Metode penilaian yang digunakan untuk menentukan kelayakan investasi ini meliputi: net present value, internal rate of return, benefit cost ratio, break even point, pay back period. 1. Net Present Value (NPV) Menurut Soeharto (1999), NPV didasarkan pada konsep mendiskonto seluruh aliran kas masuk dan keluar selama umur proyek (investasi) ke nilai sekarang, kemudian menghitung angka neto maka akan diketahui selisihnya dengan memakai dasar yang sama yaitu harga pasar (saat ini). Rumus NPV yaitu sebagai berikut. Keterangan (C)t (Co)t n i t = aliran kas masuk tahun ke-t = aliran kas keluar tahun ke-t = umur unit usaha hasil investasi = arus pengembalian (rate of return) = waktu Indikasinya, NPV = positif, usulan dapat diterima, semakin tinggi nilai NPV maka semakin baik NPV = negatif, usulan ditolak NPV = 0 berarti netral 2. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) adalah arus pengembalian yang menghasilkan NPV aliran kas masuk=aliran kas keluar. Untuk IRR ditentukan terlebih dahulu

45 NPV=0, kemudian dicari berapa besar arus pengembalian (diskonto) (i) agar hal tersebut terjadi. Rumus IRR yaitu sebagai berikut. Keterangan (C)t (Co)t i n = aliran kas masuk tahun ke-t = aliran kas keluar tahun ke-t = arus pengembalian (diskonto) = tahun Indikasinya, IRR > arus pengembalian (i) yang diinginkan (required rate of return), maka diterima IRR < arus pengembalian (i) yang diinginkan (required rate of return), maka ditolak. 3. Benefit/Cost Ratio (B/C Ratio ) Menurut Soeharto (1999), Benefit/cost ratio adalah perbandingan manfaat terhadap biaya. Pada proyek-proyek swasta benefit umumnya berupa pendapatan minus biaya di luar biaya pertama (misalnya untuk produksi dan operasi. Rumus B/C ratio yaitu sebagai berikut. keterangan B/C ratio = Benefit cost ratio R = Nilai sekarang pendapatan (C)op = Nilai sekarang biaya (di luar biaya pertama) Cf = Biaya pertama Indikasinya, B/C ratio > 1 usulan diterima B/C ratio < 1 usulan ditolak B/C ratio = 1 netral

46 4. Pay Back Period (PBP) Pay Back Period menurut Soeharto (1999) adalah jangka waktu yang digunakan untuk mengembalikan modal investasi, dihitung dari aliran kas bersih. Aliran kas bersih sendiri adalah selisih pendapatan dikurangi pengeluaran pertahun. Bila aliran kas tiap tahunnya berubah-ubah maka rumusnya sebagai berikut: Keterangan Cf = Biaya pertama An = Aliran kas pada tahun n n = Tahun pengembalian ditambah 1 5. Break even point (BEP) Menurut Ibrahim (2003), Break even point adalah titik pulang pokok dimana total revenue sama dengan total cost. Semakin besar keuntungan yang diterima maka semakin cepat waktu pengembalianya. Rumus untuk menghitung BEP yaitu sebagai berikut. BEP (jumlah produksi) = BEP (rupiah) = Keterangan a : biaya tetap b : biaya variabel per unit p : harga per unit q : jumlah produksi

47 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C 16 Kinerja proses fraksinasi terbaik adalah mendapatkan kondisi proses dengan tekanan paling rendah sehingga suhu proses tidak terlalu tinggi dan produk tidak mengalami kerusakan karena panas, sehingga didapatkan rendemen metil ester olein dominan C 16 paling tinggi. Selain itu, parameter penting lainnya adalah diukur dari kemurnian produk yang dihasilkan dari proses fraksinasi ini. Pemilihan kondisi proses fraksinasi dilakukan melalui pendekatan beberapa literatur. Knothe (2002) menyebutkan bahwa pada tekanan 747,04 mmhg (996 mbar) titik didih metil ester palmitat adalah 416,5 o C. Hasil uji kinerja fraksinasi dengan menggunakan suhu 250 o C, ditemukan polimer yang merupakan biodiesel rusak akibat pemansasan terlalu tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemakaian suhu 250 o C untuk fraksinasi yang tidak sesuai. Pendekatan lain yang digunakan adalah menentukan titik didih metil ester palmitat dari asam lemak palmitat menurut Tabel 9. Alat fractional distillation system dan produk metil ester dominan C 16 dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 9. Titik didih asam lemak pada berbagai tekanan Tekanan Titik Didih Asam Lemak (mmhg) C 6:0 C 8:0 C 10:0 C 12:0 C 14:0 C1 6:0 C 18:0 1 61,7 87,8 120,3 130,2 149,2 167,4 183,6 2 71,9 97,9 121,13 141,8 161,1 179,0 195,9 4 82,8 109,1 132,7 154,1 173,9 192,2 209,2 8 94,6 121,3 145,5 167,4 187,6 206,1 224, ,3 134,6 159,4 181,8 202,4 221,5 240, ,8 149,2 174,6 197,4 218,3 238,4 257, ,0 165,3 191,3 214,6 236,3 257,1 276, ,5 183,3 209,8 234,3 257,3 278,7 299, ,5 203,0 230,6 256,6 281,5 303,6 324, ,5 225,6 254,9 282,5 309,0 332,6 355,2

48 ,8 239,7 270,0 298,9 326,2 351,5 376,1 Sumber : Gunstone et al. (1994) Berdasarkan Tabel 9, titik didih asam lemak palmitat dengan tekanan mmhg berkisar antara 221,5-238,4 o C. Melalui asosiasi dengan kemampuan vakum alat fraksinasi sebesar mmhg, maka dipilih rentang suhu yang digunakan o C dengan lama proses 10 dan 12 jam. Setiap satuan running fraksinasi digunakan 50 l sampel metil ester. Proses fraksinasi ini menghasilkan dua fraksi metil ester yang memiliki sifat berbeda, yaitu metil ester hasil fraksinasi (HF) dan metil ester sisa fraksinasi (SF). HF merupakan destillate atau produk metil ester yang teruapkan pada penggunaan suhu fraksinasi. SF merupakan metil ester yang tidak teruapkan selama proses fraksinasi karena memiliki titik didih yang lebih tinggi. Produk fraksinasi metil ester olein dapat dilihat pada Gambar 11. (a) (b) Gambar 11. Produk fraksinasi metil ester olein (Metil ester HF (a); Metil ester SF (b)) Kondisi proses fraksinasi terbaik ditunjukkan dengan kemurnian produk tertinggi yang diharapkan. Hasil proses fraksinasi yang mampu menghasilkan fraksi metil ester palmitat (C16:0) terbaik pada suhu 235 o C selama 12 jam dengan

49 kemurnian 80,17 % (b/v). Proses fraksinasi berpengaruh pada perubahan sifat fisikokimia metil ester. Metil ester hasil fraksinasi (HF) mengalami beberapa perubahan diantaranya penurunan densitas, penurunan bilangan iod, penurunan bilangan asam, kadar FFA serta derajat asam Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein dan Metil Ester Dominan C 16 Metil ester olein dalam penelitian ini digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan methyl ester sulfonic acid. Metil ester dominan C 16 diperoleh dari proses frakasinasi, yang kemudian diberikan pengujian sifat fisikokimia terhadap kedua jenis metil ester olein tersebut. Sifat fisikokimia metil ester olein dan metil ester olein dominan C 16 disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Sifat fisikokimia metil ester olein dan metil ester dominan C 16 Parameter Metil Ester Olein Metil Ester Dominan C 16 Densitas (g/cm 3 ) 0,87 ± 0,001 0,864 ± 0,001 Bilangan Iod (mg Iod/g) 57,14 ± 0,33 26,61 ± 4,59 Bilangan Penyabunan 96,90 ± 0,11 184,33 (mg KOH/g) Bilangan Asam (mg KOH/g) 0,27 ± 0,01 0,12 ± 0,009 FFA (%) 0,12 ± 0,01 0,06 ± 0,004 Komposisi asam lemak (%) Laurat (C 12:0 ) Miristat (C 14:0 ) Palmitat (C 16:0 ) Stearat (C 18:0 ) Oleat (C 18:1 ) Linoleat (C 18:2 ) Linolenat (C 18:3 ) Arachidat (C 20:0 ) 0,21 0,62 29,64 3,20 29,89 11,95 0,24 0,41-1,05 80, ,31 4, Metil ester olein dominan C 16 memiliki nilai densitas lebih rendah dibandingkan dengan metil ester olein. Nilai densitas yang kecil berakibat pada nilai viskositas yang rendah juga. Metil ester olein dominan C 16 memiliki viskositas yang lebih cair dibandingkan dengan metil ester olein. Hal ini disebabkan karena metil ester dominan C 16 tersusun oleh komponen Palm Fatty Acid Distillate (FAME) dengan berat molekul yang lebih rendah. Bahan baku pembuatan methyl ester sulfonic acid dapat dilihat pada Gambar 12.

50 Bilangan iod yang dihasilkan dari metil ester olein dominan C 16 lebih rendah dibandingkan dengan metil ester olein. Hal ini menunjukkan bahwa dalam metil ester olein dominan C 16 lebih didominasi oleh metil ester dengan ikatan jenuh (ikatan tunggal). Mittelbach (1994) dan Worgette et al. (1998) menyatakan bahwa bilangan iod merupakan gambaran banyaknya komponen ikatan tidak jenuh dalam biodiesel. Merurut Ketaren (2008), bilangan iod adalah jumlah (g) iod yang dapat diikat oleh 100 g lemak. Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang tidak jenuh akan bereaksi dengan iod atau senyawa-senyawa iod. Gliserida dengan tingkat ketidakjenuhan yang tinggi, akan mengikat iod dalam jumlah yang lebih besar. (a) Gambar 12. Bahan baku pembuatan Methyl Ester Sulfonic Acid (Metil ester olein (a); Metil ester olein dominan C 16 (b)) Bilangan penyabunan adalah jumlah mg KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu g minyak atau lemak. Apabila sejumlah contoh minyak atau lemak disabunkan dengan larutan KOH berlebihan dalam alkohol maka KOH akan bereaksi dengan trigliserida, yaitu tiga molekul KOH bereaksi dengan satu molekul minyak atau lemak. Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan titrasi menggunakan asam, sehingga jumlah alkali yang turut bereaksi dapat diketahui (Ketaren 2008). Bilangan penyabunan dari metil ester olein dominan C 16 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan metil ester olein yaitu 184,33 mg KOH/g. (b)

51 Bilangan asam adalah jumlah mg KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari 1 g minyak atau lemak. Bilangan asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak atau lemak. Nilai bilangan asam untuk metil ester olein dominan C 16 lebih rendah dibandingan bilangan asam metil ester olein. Semakin rendah bilangan asam yang dihasilkan semakin rendah pula kandungan free fatty acid. Kadar asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) memperlihatkan penurunan pada metil ester olein dominan C 16 dibandingkan dengan metil ester olein. Rendahnya nilai FFA diakibatkan karena rendahnya kadar asam lemak bebas dalam metil ester olein dominan C 16. Kemurnian metil ester palmitat yang terkandung dalam metil ester olein dominan C 16 adalah 80,17% (b/v). Hal ini berarti dalam 100 ml metil ester terdapat 80,17 g fraksi metil ester palmitat. Nilai ini didapat dari analisis menggunakan gas kromatografi. Kandungan metil ester dominan palmitat sangat baik apabila diaplikasikan sebagai bahan baku untuk pembuatan surfaktan MES khususnya untuk produk pencuci dan pembersih (washing and cleaning product). Kondisi ini didukung oleh Watkins (2001) yang menyatakan bahwa pemanfaatan metil ester palmitat (C 16 ) sebagai bahan baku surfaktan akan memberikan sifat deterjensi paling baik, kemudian diikuti oleh metil ester miristat (C 14 ) dan metil ester oleat (C 18 ). Komposisi FAME metil ester hasil fraksinasi ditunjukkan pada Gambar 13. Kondisi Proses (suhu ( o C) - waktu (jam)) Gambar 11 menunjukkan hasil analisis gas kromatografi terhadap komposisi Gambar 13. Grafik komposisi FAME hasil fraksinasi metil ester olein

52 Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa metil ester hasil fraksinasi mengandung metil ester palmitat (C 16:0 ) secara dominan. Pada metil ester hasil fraksinasi, selain metil ester palmitat terdapat metil ester lain yang mampu terbaca oleh GC, yaitu metil ester miristat (C 14:0 ), metil ester stearat (C 18:0 ), metil ester oleat (C 18:1 ), metil ester linoleat (C 18:2 ) Sifat Fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid Surfaktan methyl ester sulfonic acid pada penelitian ini dibuat sebagai bahan aktif dalam heavy duty cleaner. Methyl ester sulfonic acid yang digunakan merupakan hasil sulfonasi metil ester olein tanpa fraksinasi dan hasil fraksinasi (MESA olein dominan C 16 ). Methyl ester sulfonic acid diproduksi menggunakan reaktor Singletube falling film dengan tinggi reaktor 6 m dan diameter dalam 25 mm yang dikembangkan oleh Hambali et al. (2009). Gas SO 3 sebagai agen pensulfonasi diperoleh dari PT. Mahkota Indonesia. Gas SO 3 yang dihasilkan memiliki konsentrasi 25 26%. Oleh karena itu diperlukan instalasi pensuplai udara kering untuk mengencerkan gas SO 3 menjadi 4 7% agar dapat digunakan dalam proses sulfonasi metil ester. Proses produksi methyl ester sulfonic acid (MESA) dan produk yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada proses sulfonasi, gas SO 3 dialirkan dalam tube, di dinding bagian dalam reaktor dialirkan metil ester olein dalam bentuk film tipis. Kedua bahan tersebut mengalir. Kontak antara metil ester olein dan gas SO 3 dimulai dari puncak reaktor dan mengalir membentuk film tipis ke seluruh permukaan menuruni reaktor. Karakteristik reaktor harus dapat menghasilkan ketebalan film metil ester yang tepat dan konstan, sehingga kontak dengan gas SO 3 terjadi merata di sepanjang tube. Ketebalan lapisan film harus dijaga konstan sepanjang tube ketika dilakukan sulfonasi. Apabila film yang terbentuk menebal pada beberapa tempat dan menipis di tempat lain, metil ester akan mengalir melalui lintasan tertentu di dalam dinding reaktor. Lapisan film yang menipis pada bagian reaktor dapat mengering dan terbentuk kerak. Pembentukan kerak menyebabkan MESA tidak dapat dikeluarkan dan dapat pula menghambat aliran bahan baku. Tahapan reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi metil ester (MacArthur et al. 1998) dapat dilihat pada Gambar 14.

53 O R CH 2 C OCH 3 (I) + SO 3 O R CH 2 (C OCH 3 ): SO 3 (II) + SO 3 O O R CH 2 (C OCH 3 ): SO 3 (II) O R CH (C OCH 3 ): SO 3 (III) SO 3 H O R CH (C OCH 3 ): SO 3 (III) R CH C OCH 3 (IV) + SO 3 SO 3 H SO 3 H Gambar 14. Tahapan reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi metil ester Absorpsi SO 3 oleh metil ester dalam singletube falling film reactor (STFR) ditunjukkan oleh mekanisme reaksi yang cepat yang membentuk produk intermediet (II), biasanya dilukiskan sebagai satu sulfonated anhydride. Sulfonated anhydride dapat bereaksi kembali dengan molekul SO 3 kedua melalui bentuk enol-nya. Molekul sulfonated anhydride yang membawa dua unit SO 3, dapat kehilangan satu unit SO 3 yang dapat bereaksi dengan molekul metil ester lain. Untuk itu perlu digunakan SO 3 berlebih. dalam kondisi reaksi yang setimbang, produk intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk produk intermediet (III). Selanjutnya, produk intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi dengan melepaskan gugus SO 3. Dengan terlepasnya gas SO 3 selama proses aging tersebut, maka terbentuklah methyl ester sulfonic acid (MESA) (IV). SO 3 yang dilepaskan lalu akan mengkonversi sisa produk intermediet (II) membentuk produk intermediet (III). Produk intermediet (III) kemudian dikonversi menjadi MESA (IV) (MacArthur et al. 1998). Sifat Fisiko kimia methyl ester sulfonic acid yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 11. Densitas merupakan salah satu sifat dasar fluida yang didefinisikan massa per satuan volume sampel pada suhu 25 o C. Efek temperatur pada densitas cairan tidak dapat diabaikan karena cairan akan meregang mengikuti perubahan temperatur. Hasil analisis densitas pada MESA dengan kualitas offgrade

54 menghasilkan nilai densitas yang lebih rendah dibandingkan dengan MESA dengan kualitas steadystate. Peningkatan densitas terjadi karena semakin banyaknya gugus SO 3 yang terikat dengan metil ester, sehingga meningkatkan pembentukan MESA. Menurut MacArthur et al. (1998), mekanisme reaksi bertahap pembentukan MESA pada reaktor sulfonasi akan mempengaruhi penambahan gugus SO 3 H - yang terbentuk, sehingga menambah berat molekul senyawa dan meningkatkan densitas. Parameter Densitas (g/cm 3 ) Viskositas (cp) Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tabel 11. Sifat fisik methyl ester sulfonic acid MESA Olein Offgrade MESA Olein Steadystate MESA Olein dominan C16 Offgrade MESA Olein dominan C16 steadystate 0,96 1,01 0,95 0, ,8 37,7 36,0 35,0 Viskositas atau kekentalan suatu cairan merupakan sifat fluida yang dipengaruhi oleh ukuran molekul atau gaya antarmolekul. Terikatnya gugus sulfonat pada metil ester menjadikan MESA cenderung memiliki ukuran molekul yang lebih besar sehingga memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan bahan bakunya. Analisis viskositas MESA yang diperoleh menunjukkan variasi rata-rata 10 cp 28 cp. Peningkatan viskositas MESA disebabkan oleh terikatnya gugus sulfonat pada rantai hidrokarbon metil ester. Semakin banyak gugus SO 3 yang terikat pada metil ester, mengakibatkan peningkatan bobot molekul. Semakin besar bobot molekul, viskositas cairan akan menjadi lebih tinggi. Viskositas tinggi disebabkan adanya gaya tarik menarik antarmolekul yang besar dalam cairan, rantai molekul yang tidak teratur, serta suhu sehingga molekul lebih sulit bergerak. Tegangan permukaan merupakan fenomena akibat adanya ketidakseimbangan antara gaya-gaya yang dialami oleh molekul-molekul yang berada di permukaan antara molekul-molekul cairan dengan udara akibat gaya tarik menarik antara molekul-molekul cairan lebih besar dibanding pada gas.

55 Resultan gaya yang terjadi pada molekul-molekul di permukaan cenderung menggerakkan molekul-molekul tersebut menuju pusat cairan sehingga menggerakkan cairan berperilaku membentuk lapisan tipis yang menyelimuti seperti kulit (Rosen 2004). Tegangan permukaan air sebelum ditambahkan surfaktan MESA sebesar 50,63 dyne/cm. Hasil analisis tegangan permukaan air dengan beberapa jenis MESA bervariasi antara 35,0 38,8 dyne/cm Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty Cleaner Analisis sifat fisik yang dilakukan terhadap heavy duty cleaner yaitu stabilitas emulsi, sedangkan kinerjanya yaitu daya pembusaan, stabilitas busa dan daya cuci. Proses pembuatan heavy duty cleaner dapat dilihat pada Lampiran Stabilitas Emulsi Emulsi merupakan sistem dispersi yang terdiri dari dua cairan yang imisibel (tidak dapat bercampur), dimana droplet suatu cairan (fase terdispersi) terdispersi pada cairan media yang lain (fase kontinyu). Untuk mendispersikan dua cairan yang imisibel diperlukan komponen ketiga yaitu emulsifier. Dalam penyimpanan beberapa proses kerusakan emulsi dapat terjadi dimana tergantung pada distribusi ukuran partikel dan perbedaan densitas antara droplet dan medium (Tadros 2005). Stabilitas emulsi menunjukkan ketahanan emulsi dalam kondisi penyimpanan yang berubah-ubah, sehingga komponen-komponen aktifnya tidak hilang, rusak atau berkurang akibat perubahan suhu atau lamanya penyimpanan. Kestabilan suatu emulsi dipengaruhi oleh tegangan permukaan antar kedua fasa, sifat zat yang teradsoprsi pada lapisan interfasial, besar muatan listrik partikel, ukuran partikel, volume fasa terdispersi, viskositas medium pendispersi, perbedaan densitas kedua fasa serta kondisi penyimpanan (Bennet 1947; Rieger dan Rhein 1995). Nilai stabilitas emulsi produk yang dihasilkan berkisar antara 96,74% - 99,49% (Lampiran 8 a). Kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan memiliki nilai stabilitas emulsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk pembanding (75,55%). Hasil penelitian yang diperoleh Susi (2010), stabilitas emulsi MESA dari metil ester olein yang dinetralkan menggunakan NaOH yaitu berkisar antara 63,6 95,0%. Berdasarkan analisa keragaman

56 (Lampiran 8 b), jenis MESA, konsentrasi NaOH dan interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap stabilitas emulsi produk. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Menurut Schick (1987), stabilitas emulsi akan mencapai maksimum apabila gaya tolak antara globula-globula fase terdispersi mencapai maksimum, sebaliknya gaya tarik-menarik akan mencapai minimum dimana gaya tarikmenarik berasal dari gaya Van der Waals. Nilai stabilitas emulsi dari heavy duty cleaner menujukkan peningkatan sejalan dengan kemampuan surfaktan MESA dalam menurunkan tegangan permukaan. Menurut Sibuea (2008), tegangan permukaan air dapat turun dikarenakan molekul surfaktan terorientasi dan teradsorbsi pada permukaan larutan dengan gugus hidrofobik menghadap udara. Gaya kohesif cairan yang tinggi menyebabkan gaya kohesif hidrokarbon lebih rendah dari tegangan air, sehingga tegangan permukaan turun. Semakin tinggi kemampuan menurunkan tegangan permukaan, maka semakin tinggi stabilitas emulsi Daya Pembusaan Pembentukan busa disebabkan oleh adanya surfaktan yang menguatkan area lemah pada molekul air dan menurunkan tegangan permukaan air yang menyebabkan busa dapat terbentuk pada permukaan air. Busa yang berbentuk gelembung disebabkan adanya udara yang mengisi ruang tengah dari busa, sehingga bila tekanan udara dalam busa terlalu tinggi maka akan menekan lapisan film dinding-dinding busa, dan gelembung busa akan pecah. Analisis daya pembusaan dilakukan untuk mengetahui kemampuan heavy duty cleaner untuk menghasilkan busa. Hasil pengukuran daya pembusaan dinyatakan sebagai volume busa selama 0,5 menit. Pengukuran daya pembusaan dapat dilihat pada Lampiran 9. Nilai daya pembusaan produk yang dihasilkan berkisar antara 9 ml/200 ml larutan sampel 0,1% - 55 ml/200 ml larutan sampel 0,1% (Lampiran 10 a). Kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan memiliki nilai daya pembusaan yang lebih rendah dibandingkan dengan produk pembanding (315 ml/200 ml larutan sampel 0,1%). Kemampuan untuk menghasilkan busa yang banyak tidak dapat dijadikan parameter untuk menghasilkan produk

57 pembersih dengan kualitas tinggi. Adanya persepsi konsumen bahwa semakin banyak busa maka akan semakin baik daya cuci produk pembersih tersebut, merupakan pernyataan yang tidak benar. Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 10 b), jenis MESA memberikan pengaruh nyata terhadap daya pembusaan produk, sedangkan konsentrasi NaOH dan interaksi antara jenis MESA dan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh yang nyata. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya pembusaan ditunjukkan pada Gambar 15. M1 = MESA olein off grade ; M2 = MESA olein steady state ; M3 = MESA olein dominan C16 off grade ; M4 = MESA olein dominan C16 steady state Gambar 15. Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya pembusaan heavy duty cleaner Hasil uji Duncan (Lampiran 10 c) menunjukkan bahwa jenis MESA olein offgrade (M1) berbeda nyata dari jenis MESA lainnya. Nilai rata-rata daya pembusaan yang dihasilkan dari perlakuan jenis MESA olein offgrade menunjukkan angka yang paling besar yaitu 48,44 ml/200 ml larutan sampel 0,1%. Menurut Cavitch (2001), setiap asam lemak memberikan sifat yang berbeda pada sabun yang dihasilkan. Asam lemak dengan rantai karbon memberikan fungsi yang baik untuk pembusaan sementara asam lemak dengan rantai karbon baik untuk kekerasan dan daya detergensi. MESA olein offgrade memiliki nilai daya pembusaan paling tinggi dikarena jenis MESA ini dibuat dari metil

58 ester olein yang belum difraksinasi, sehingga masih mengandung asam lemak C 12 dan C 14 yang memiliki fungsi baik dalam pembusaan, berbeda dengan MESA olein dominan C 16 yang dibuat dari metil ester olein hasil fraksinasi dengan kandungan dominan C 16 yang memberikan sifat baik untuk kekerasan dan daya detergensi Stabilitas Busa Analisis stabilitas busa dilakukan untuk mengetahui kemampuan deterjen cair dalam mempertahankan kestabilan busa yang dihasilkan. Analisis ini dilakukan berurutan dengan analisis daya pembusaan. Stabilitas busa disebabkan adanya penambahan NaOH yang menaikkan kerapatan muatan negatif diantara dinding busa sampai kapasitas optimum dari dinding busa, sehingga stabilitas busa meningkat. Kenaikan muatan negatif membentuk gaya tolak menolak diantara lapisan buih, yang menyebabkan antar buih tidak saling menyatu Stabilitas busa dikaitkan dengan penurunan volume busa terhadap faktor aging, yaitu dengan menghubungkan volume busa terhadap waktu (MPOB 2001 dalam Sidik 2009). Nilai stabilitas busa produk yang dihasilkan berkisar antara 8,85% - 61,90% (Lampiran 11 a). Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 11 b), jenis MESA memberikan pengaruh nyata terhadap stabilitas busa produk, sedangkan konsentrasi NaOH dan interaksi antara jenis MESA dan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh yang nyata. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya pembusaan ditunjukkan pada Gambar 16. Hasil uji Duncan (Lampiran 11 c) menunjukkan bahwa formula heavy duty cleaner yang menggunakan jenis MESA olein off grade (M1) berpengaruh nyata terhadap stabilitas busa dibandingankan dengan jenis MESA yang lain. Nilai ratarata daya pembusaan jenis MESA olein off grade yaitu 50%. Nilai stabilitas busa tertinggi dihasilkan dari produk dengan formula yang menggunakan jenis MESA olein off grade dan konsentrasi NaOH 50%, yaitu 61,90%. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai stabilitas busa yang dihasilkan oleh produk pembanding (46,02%).

59 M1 = MESA olein off grade ; M2 = MESA olein steady state ; M3 = MESA olein dominan C16 off grade ; M4 = MESA olein dominan C16 steady state Gambar 16. Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai stabilitas busa heavy duty cleaner Nantakupa (2010) telah melakukan formulasi produk pembersih sebagai biodegradable hard surface cleaner menggunakan kombinasi surfaktan metil ester sulfonat (MES) dan sodium lauryl ether sulphate (SLES) dan menghasilkan stabilitas busa 92,50%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai stabilitas heavy duty cleaner yang dihasilkan. Nilai stabilitas busa yang tinggi dapat diperoleh dengan menggunakan dua jenis surfaktan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anonim (2008) dalam Nantakupa (2010), bahwa campuran dua jenis surfaktan mampu meningkatkan stabilitas busa. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi stabilitas busa yaitu kerapatan muatan di antara molekul-molekul surfaktan (kapasitas dinding busa) dan elastisitas dinding busa. Selain itu pengukuran stabilitas busa dapat dipengaruhi oleh suhu saat pengukuran, kecepatan pengocokan dan kecepatan angin saat pengukuran Daya Cuci Proses pembersihan terjadi melalui pembentukan micelle oleh surfaktan yang mampu membentuk globula zat pengotor. Proses pelepasan globula zat pengotor terjadi melalui penurunan tegangan antar muka dan dibantu dengan adanya interaksi elektrostatik antar muatan (Lynn 1996). Proses pencucian menggunakan larutan heavy duty cleaner terhadap pipa yang sudah diberi

60 pengotor oli bekas dapat dilihat pada Lampiran 12. Nilai daya cuci produk yang dihasilkan berkisar antara 80,12% - 94,73% (Lampiran 13 a). Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 13 b), jenis MESA memberikan pengaruh nyata terhadap nilai daya cuci produk, sedangkan konsentrasi NaOH dan interaksi antara jenis MESA dan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh yang nyata. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya cuci ditunjukkan pada Gambar 17. M1 = MESA olein off grade ; M2 = MESA olein steady state ; M3 = MESA olein dominan C16 off grade ; M4 = MESA olein dominan C16 steady state Gambar 17. Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya cuci heavy duty cleaner Hasil uji Duncan (Lampiran 13 c) menunjukkan bahwa jenis MESA olein off grade (M1) berpengaruh nyata terhadap nilai daya cuci. Nilai rata-rata daya cuci yang dihasilkan dari formula yang menggunakan jenis olein off grade yaitu 82,52%. Nilai ini merupakan nilai terendah dari nilai daya cuci yang menggunakan MESA jenis lain. Nilai rata-rata daya cuci tertinggi yaitu pada jenis MESA olein dominan C 16 steady state (M4). Nilai daya cuci tertinggi dihasilkan oleh MESA olein dominan C 16 steady state dengan NaOH 50% (94,73%). Nilai ini sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai daya cuci yang dihasilkan oleh produk pembanding (95,58%). Jika dilihat pada Gambar 17, heavy duty cleaner yang menggunakan MESA off grade menghasilkan nilai daya cuci yang lebih rendah dibandingkan dengan

61 heavy duty cleaner yang menggunakan MESA steady state. Hal ini diduga karena kadar bahan pengotor meningkat, sehingga mempengaruhi daya adsorbsi dari surfaktan. Peningkatan kadar bahan pengotor juga mengganggu pembentukan micelle karena molekul surfaktan sudah mengadsorbsi bahan pengotor. Pada MESA off grade masih terkandung metil ester yang belum terkonversi menjadi MESA karena belum tersulfonasi secara sempurna. Kandungan metil ester ini yang dapat meningkatkan kadar bahan pengotor sehingga mengurangi kinerja surfaktan dalam proses pembersihan Penentuan Produk dari Kinerja Terbaik Untuk mendapatkan produk heavy duty cleaner terbaik dari seluruh perlakuan yang dicobakan diperlukan metode penentuan yang dapat mewakili sifat fisikokimia dan kinerja heavy duty cleaner yang terbaik. Dalam memilih perlakuan terbaik digunakan parameter-parameter yang diujikan pada produk heavy duty cleaner yang dihasilkan, yaitu stabilitas emulsi, daya pembusaan, stabilitas busa dan daya cuci. Nilai kepentingan tertinggi diberikan pada daya cuci karena parameter uji ini mewakili kinerja heavy duty cleaner dalam menghilangkan kotoran. Pada hasil uji daya cuci didapatkan daya cuci terbaik pada produk yang menggunakan jenis MESA olein dominan C 16 steady state (M4). Stabilitas emulsi diberikan kepentingan tinggi karena parameter ini dapat mewakili ketahanan produk ketika disimpan pada suhu dan lama penyimpanan yang bervariasi. Pada uji stabilitas emulsi didapatkan hasil uji tertinggi yang sama, yaitu pada produk yang menggunakan jenis MESA olein dominan C 16 steady state (M4). Daya pembusaan dan stabilitas busa mendapat tingkat kepentingan lebih rendah. Kebanyakan konsumen berpikir bahwa daya pembusaan berhubungan dengan tingginya tingkat deterjensi. Pada kenyataannya, busa tidak berhubungan langsung dengan deterjensi dalam pembersihan. Tingkat pembusaan yang berlebihan dapat menyebabkan surface active cleaning agent tertentu membentuk konsentrat dalam busa, sehingga mengurangi kontak dengan kain yang akan dibersihkan (Hui 1996). Namun dikarenakan konsumen dari cleaning agent ini adalah pihak industri, sehingga daya dan stabilitas busa tidak terlalu dipentingkan.

62 Konsentrasi NaOH yang digunakan pada pembuatan heavy duty cleaner tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua parameter yang diujikan pada produk yang dihasilkan. Oleh karena itu dari empat konsentrasi NaOH (35%, 40%, 45% dan 50%), dipilih konsentrasi terendah untuk digunakan dalam pembuatan heavy duty cleaner, yaitu NaOH 35%. Dari penentuan produk terbaik diperoleh bahwa produk menggunakan MESA olein dominan C 16 dengan konsentrasi NaOH 35% sudah dapat digunakan dalam pembuatan heavy duty cleaner Aspek Finansial Heavy Duty Cleaner dari MESA Olein Terbaik Aspek finansial mengkaji mengenai perkiraan modal investasi, biaya operasional, struktur pembiayaan, rencana penerimaan, proyeksi laba rugi, proyeksi arus kas dan kriteria investasi Asumsi Analisis Finansial Penentuan aspek finansial ini menggunakan beberapa asumsi untuk memudahkan perhitungan. Asumsi-asumsi yang digunakan dijelaskan sebagai berikut: 1. Analisis finansial dilakukan selama 10 tahun. Mempertimbangkan umur ekonomis mesin dan peralatan sekitar 10 tahun. 2. Jumlah hari kerja 300 hari dalam setahun. Direncanakan dalam satu minggu terdiri 6 hari produksi 3. Kapasitas terpasang 20 ton/hari 4. Produksi pada tahun ke-1 hingga ke-2 adalah 90% dari kapasitas terpasang, tahun ke-3 hingga ke-10 adalah 100% dari kapasitas terpasang. 5. Harga bangunan: 8. Ruang proses produksi : Rp /m 2 9. Ruang nonproduksi : Rp /m 2 6. Harga yang ditetapkan oleh PT. Mahkota Indonesia antara lain: Harga sewa lahan : Rp /m 2 /tahun Harga SO 3 : Rp 4.375/kg Harga udara kering : Rp 1.000/kg Harga Steam : Rp 1.300/kg

63 Harga air : Rp /m 3 Harga listrik : Rp 700/kwh 7. Harga bahan tambahan Harga NaOH : Rp 3.000/kg 8. Harga Metil ester olein : Rp /kg 9. Berdasarkan perkiraan biaya menurut Peters et al. (2004), maka penetapan biaya adalah sebagai berikut: 10. Biaya instalasi pemipaan industri bahan berbentuk cair sebesar 68% dari harga pembelian mesin dan peralatan produksi 11. Biaya instalasi listrik 11% dari harga pembelian mesin dan peralatan produksi 12. Kontingensi 10% dari harga pembelian mesin dan peralatan produksi 13. Biaya asuransi 1% dari awal pembelian barang yang diasuransikan 14. Biaya laboratorium ditetapkan sebesar 10% dari biaya operator 15. Biaya distribusi dan pemasaran ditetapkan sebesar 2% dari biaya total produksi 10. Penyusutan menggunakan Straight Line Methode 16. Nilai sisa mesin dan peralatan, instalasi pemipaan, instalasi listrik, perlengkapan dan kendaraan ditetapkan sebesar 10% dari harga awal pembelian 17. Nilai sisa bangunan sebesar 50% dari harga pembangunan 18. Umur ekonomis mesin dan peralatan, pemipaan, instalasi listrik, kendaraan dan perlengkapan adalah 10 tahun 19. Umur ekonomis bangunan adalah 20 tahun 11. Besarnya pajak ditetapkan sebagai berikut: Pajak bumi dan bangunan sebesar 0,1% dari total investasi (UU no 26 tahun 2000) Pajak kendaraan sebesar 0,5% dari harga pembelian (UU no 22 tahun 1999) Pajak penghasilan untuk perusahaan sebesar 25% (www. pajak.goid) 12. Skema pembiayaan investasi adalah 65% dari pembiayaan bank dan 35% dari pembiayaan sendiri. Skema pembiayaan ini mengacu pada skema

64 pembiayaan maksimum yang ditawarkan oleh Bank Mandiri. Bunga 12% berdasarkan bunga pada Bank Mandiri untuk industri turunan kelapa sawit. 13. Pembayaran kredit menggunakan metode sliding rate 14. Jangka waktu pembayaran kredit modal investasi tetap adalah lima tahun, sedangkan kredit modal kerja selama dua tahun Biaya Investasi Sebelum industri heavy duty cleaner ini dapat berjalan, terdapat modal yang harus dikeluarkan pada awal pendirian. Modal ini dinamakan modal investasi yang terdiri dari modal investasi tetap dan modal kerja. Modal investasi tetap berhubungan dengan kebutuhan manufakturing dan fasilitas pabrik. Modal investasi tetap terdiri atas biaya untuk pembelian peralatan dan mesin, pemasangan dan instalasi pemipaan dan listrik, bangunan, lahan, perlengkapan, pembelian kendaraan, biaya kontingensi dan termasuk bunga selama pembangunan atau IDC (interest during construction) yang diperhitungkan sebesar 10% dalam satu tahun. Modal kerja merupakan modal yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan operasional industri. Modal ivestasi yang diperlukan untuk mendirikan industri ini ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12. Rincian modal investasi (dalam ribuan rupiah) No Komponen Nilai (Rp) A. Modal investasi tetap 1 Biaya Pembelian Alat dan Mesin Biaya Pemipaan Biaya instalasi listrik Bangunan Lahan Biaya perlengkapan Biaya kendaraan Biaya pra investasi Biaya Kontingensi Bunga selama pembangunan Subtotal B. Modal kerja subtotal Total investasi

65 1) Biaya pembelian peralatan dan mesin Mesin dan peralatan yang digunakan terdiri dari beberapa tangki dan reaktor. Pengoprasian mesin ini semi otomatis dengan kendali di lakukan di ruang operator. Spesifikasi mesin dan peralatan yang dibutuhkan pada produksi heavy duty cleaner ditunjukan pada Lampiran 14. Biaya pembelian mesin dan alat adalah biaya yang digunakan untuk membeli mesin dan peralatan produksi. Biaya ini terdiri dari pembelian material, asesoris yang dibutuhkan pada peralatan tersebut dan ongkos fabrikasinya. Harga pembelian tangki merupakan harga material berupa lembaran plat yang dibutuhkan untuk membuat tangki sesuai dengan kapasitas yang diinginkan dan telah ditambah ongkos fabrikasinya, selain itu telah lengkap dengan asesoris tangki seperti pompa gear, termometer dan presseure gauge. Harga Multi Tube Film Reaktor terdiri dari harga material, biaya fabrikasinya dan harga pembelian SO 3 flow meter. Detail biaya pembelian peralatan dan mesin ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13. Rincian biaya pembelian alat dan mesin (dalam ribuan rupiah) No Nama alat dan mesin Jumlah (unit) Harga/unit (Rp) SubTotal (Rp) 1 Tangki penyimpanan bahan baku Tangki penyimpanan HDC Tangki fraksinasi Tangki masukan metil ester Multi Tube Film Reactor Tangki pematangan Tangki formulasi Scrubber Quencher Oil & Gas Separator Cyclone Tangki penyimpanan NaOH Total biaya alat dan mesin ) Pemipaan dan instalasinya Biaya pemipaan terdiri dari material yang dibutuhkan dalam pemipaan, katup dan insulasi pemipaan serta ditambah instalasi pemipaan. Penentuan harga ini melalui pendekatan estimasi modal investasi berdasarkan penurunan biaya peralatan. Biaya pemipaan pada proses yang

66 bahan bakunya berbentuk cairan mencapai 68% dari total harga pembelian peralatan dan mesin (Peters et al. 2004). Bila biaya pembelian peralatan alat dan mesin mencapai Rp , maka biaya pemipaan dan instalasinya mencapai Rp ) Biaya instalasi listrik Biaya instalasi listrik terdiri dari biaya material yang dibutuhkan dalam pembelian material ditambah instalasi listrik. Penentuan harga ini melalui pendekatan estimasi modal investasi berdasarkan penurunan biaya peralatan. Biaya instalasi listrik pada proses yang mencapai 11% dari total harga pembelian peralatan dan mesin (Peters et al. 2004). Bila biaya pembelian peralatan alat dan mesin mencapai Rp maka biaya instalasi listriknya mencapai Rp ) Bangunan Bangunan meliputi bangunan untuk ruang produksi dan nonproduksi. Ruang produksi terdiri dari unit pemasukan metil ester, unit sulfonasi, unit pematangan, unit formulasi, unit penyimpanan NaOH. Ruang nonproduksi meliputi kantor, unit penyimpanan bahan baku, unit penyimpanan heavy duty cleaner, laboratorium, bengkel, kontrol produksi, penanganan limbah, jalan dan parkir. Estimasi biaya untuk membangun ruang produksi adalah sebesar Rp /m 2 yang terdiri dari dua tingkat, tingkat dasar untuk ruang produksi dan tingkat kedua untuk tangki penyimpanan NaOH. Estimasi biaya untuk membangun ruangan nonproduksi sebesar Rp /m 2 yang hanya terdiri dari satu tingkat. Rincian biaya bangunan ditunjukkan pada Tabel 14. 1) Lahan Berdasarkan pertimbangan pemakaian SO 3 di PT. Mahkota Indonesia, maka lahan industri heavy duty cleaner akan berada di dalam lokasi PT. Mahkota Indonesia. Bentuk kerjasamanya adalah Industri heavy duty cleaner membayar biaya sewa lahan selama jangka waktu tertentu sebesar Rp /m 2 /tahun dengan kenaikan sebesar 5%/tahun. Kontrak

67 kerjasama ini akan diperbaharui setiap 10 tahun. Rincian harga lahan dijelaskan pada Tabel 15. No Tabel 14. Rincian biaya bangunan (dalam ribuan rupiah) Komponen Luas area (m 2 ) Harga per m 2 (Rp) Sub total Harga (Rp) A Ruang proses produksi 1 Proses produksi B Ruang nonproduksi 1 Laboratorium Kontrol Proses Kantor Pengolahan Limbah Penyimpanan Bahan baku 6 Penyimpanan produk Bengkel Jalan dan parkir Total biaya bangunan Tabel 15. Harga sewa lahan industri heavy duty cleaner (dalam ribuan rupiah) Tahun Luas lahan (m 2 ) Harga lahan/m 2 Subtotal Total ) Biaya perlengkapan Biaya perlengkapan terdiri dari biaya perlengkapan kantor, perlengkapan laboratorium, perlengkapan pemeliharaan alat dan mesin, peralatan kebersihan dan peralatan keamanan/ APD (Alat Pelindung Diri). Rincian biaya perlengkapan ditunjukkan pada Tabel 16.

68 Tabel 16. Rincian biaya perlengkapan (dalam ribuan rupiah) No Komponen Jumlah Satuan Harga/unit (Rp) Subtotal (Rp) 1 Perlengkapan kantor a. Meja kursi pimpinan 1 set b. Meja kursi manajer 3 set c. Meja kursi supervisor 3 set d. Meja kursi tenaga pembantu 5 set e. Meja kusi ruang meeting 1 set f. Meja kursi tamu 1 set g. File cabinet 12 unit h. Komputer 10 unit i. Printer 10 unit j. Telepon 2 unit k. Faksimili 1 unit l. AC 2 unit Perlengkapan laboratorium 1 unit Perlengkapan pemeliharaan 1 unit Perlengkapan keamanan/apd 1 unit Perlengkapan kebersihan 1 unit Total biaya perlengkapan ) Biaya kendaraan Biaya kendaraan berupa biaya yang digunakan untuk membeli tiga kendaraan operasional seharga Rp /buah sehingga total biaya sebesar Rp ) Biaya prainvestasi Biaya prainvestasi meliputi biaya perizinan, riset, konsultasi dan feasibility study. Biaya perizinan sendiri berupa biaya untuk mendapatkan Izin Usaha Industri (IUI), Undang-Undang Gangguan (UUG) dan Analisa Mutu Lingkungan (AMDAL). Besarnya biaya awal riset ditetapkan Rp dan biaya Engineering, Procurement, and Consulting (EPC) ditetapkan Rp serta biaya feasibility study sebesar Rp Rincian biaya prainvestasinya ditunjukkan pada Tabel 17.

69 Tabel 17. Rincian biaya prainvestasi (dalam ribuan rupiah) No Komponen Sub Total (Rp) 1 Biaya Perijinan a. IUI b. UUG c. AMDAL Biaya riset Biaya EPC Feasibility study Total biaya prainvestasi ) Kontingensi Faktor kontingensi diperhitungkan sebesar 10% dari total investasi (pembelian peralatan dan mesin, pemipaan dan instalasinya, listrik dan instalasinya, lahan, bangunan, biaya kendaraan, biaya perlengkapan, biaya prainvestasi). Faktor kontingensi merupakan kompensasi dari kejadian yang tidak dapat diprediksi misalnya bencana alam, kesalahan dalam estimasi dan biaya yang tidak terduga lainnya. 4) Bunga selama pembangunan Bunga selama pembangunan pabrik diperhitungkan sebesar 12% dari nilai investasi tetap. Nilai dari investasi tetapnya sebesar Rp dengan 65% didanai dari pinjaman bank sehingga jumlah pinjamannya sebesar Rp Bunga ini berjangka waktu satu tahun dengan skema pembiayaan dibayar pada akhir semester pertama dan akhir semester kedua. Perhitungan bunga investasi tetap ditunjukkan pada Tabel 18. Tabel 18. Rincian bunga selama pembangunan pabrik (dalam ribuan rupiah) Tahun Skema (%) Kebutuhan dana (Rp) Modal sendiri (Rp) Pinjaman (Rp) Bunga selama pembangunan (Rp) I I

70 Penyusutan Penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus (staight line methode). Nilai sisa mesin dan peralatan, instalasi pemipaan, instalasi listrik, perlengkapan dan kendaraan ditetapkan sebesar 10% dari harga awal pembelian. Nilai sisa bangunan sebesar 50% dari harga pembangunan. Selanjutnya, umur ekonomis mesin dan peralatan, pemipaan, instalasi listrik, perlengkapan dan kendaraan adalah 10 tahun. Umur ekonomis bangunan adalah 20 tahun. Rincian nilai sisa dan nilai penyusutan ditunjukkan pada Lampiran Biaya Operasional Biaya operasional yang dikeluarkan pada industri heavy duty cleaner terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap merupakan biaya yang tidak dipengaruhi oleh naik turunnya produksi yang dihasilkan, sedangkan biaya variabel dipengaruhi oleh naik turunnya produksi. Biaya tetap industri heavy duty cleaner antara lain biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya administrasi kantor, biaya utilitas kantor, biaya pemeliharaan, biaya asuransi, biaya pemasaran, biaya laboratorium, pajak dan penyusutan. Biaya variabel industri heavy duty cleaner antara lain biaya pembelian bahan baku, biaya bahan penolong, biaya utilitas produksi dan biaya tenaga kerja langsung. Rincian biaya operasional dijelaskan pada Lampiran 16. 1) Biaya tenaga kerja Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam industri heavy duty cleaner sebanyak 21 orang yang terdiri atas tenaga kerja langsung dan tenaga kerja tidak langsung. Tenaga kerja langsung terdiri dari 6 orang operator, 1 orang laboran, 1 orang teknisi dan 2 orang supir, sedangkan tenaga kerja tidak langsung terdiri dari 1 orang direktur, 3 orang manajer, 3 orang supervisor, 2 orang tenaga keuangan, 1 orang tenaga riset dan 1 orang tenaga pemasaran. Gaji tenaga kerja terdiri dari gaji pokok dan tunjangan. Gaji pokok terdiri dari 13 bulan gaji, sedangkan tunjangan 12 bulan gaji. Besarnya tunjangan ditetapkan 30% dari gaji pokok. Rincian gaji tenaga kerja tidak

71 langsung dan tenaga kerja langsung ditunjukkan pada Tabel 19 dan Tabel 20. Tabel 19. Rincian biaya tenaga kerja tak langsung (dalam ribuan rupiah) Jabatan Jumlah Gaji pokok /orang /bulan(rp) Tunjangan /orang/ bulan (Rp) Gaji dan tunjangan /tahun (Rp) Direktur Manager Supervisor Tenaga keuangan Tenaga riset Tenaga pemasaran Subtotal biaya tenaga kerja tak langsung Tabel 20. Rincian biaya tenaga kerja langsung (dalam ribuan rupiah) Jabatan Jumlah Gaji pokok /orang /bulan(rp) Tunjangan /orang/ bulan (Rp) Gaji dan tunjangan /tahun (Rp) Teknisi pemeliharaan Laboran Sopir Operator Subtotal biaya tenaga kerja langsung ) Biaya bahan baku, bahan penolong dan utilitas produksi Biaya bahan baku terdiri dari biaya bahan baku utama berupa metil ester olein. Biaya bahan penolong terdiri dari biaya untuk pembelian NaOH, udara kering dan gas SO 3. Neraca masa industri heavy duty cleaner dapat dilihat pada Lampiran 17. Biaya utilitas produksi terdiri atas biaya steam, air dan listrik. Rincian biaya bahan baku, bahan penolong dan biaya utilitas produksi ditunjukkan pada Tabel 21. 2) Biaya kebutuhan administrasi kantor Biaya administrasi kantor ditetapkan sebesar Rp /bulan. Biaya ini meliputi pembelian perlengkapan kantor, seperti kertas, peralatan tulis, tinta dan lain sebagainya.

72 Tabel 21. Biaya bahan baku, bahan penolong dan utilitas produksi (dalam ribuan rupiah) Komponen Kebutuhan/ hari Kebutuhan/ tahun Satuan Harga/ satuan (Rp) Biaya/ tahun (Rp) Biaya bahan baku Metil ester olein kg Subtotal Biaya bahan penolong NaOH untuk scrubber kg NaOH kg Gas SO kg 4, Udara kering kg Subtotal Biaya utilitas produksi Steam 1134, kg 1, Air 0,4 120 m 3 12, Listrik kwh 0, Subtotal ) Biaya utilitas kantor Biaya utilitas kantor meliputi biaya listrik, air dan telepon yang digunakan oleh kantor. Kebutuhannya ditunjukkan pada Tabel 22. Tabel 22. Kebutuhan utilitas kantor (dalam ribuan rupiah) No Komponen Kebutuhan/tahun Satuan Harga (Rp) Subtotal (Rp) 1 Air 90 m 3 12, Listrik kw 0, Telepon Total biaya utilitas kantor ) Biaya laboratorium Biaya laboratorium meliputi biaya pembelian bahan kebutuhan laboratorium. Biayanya ditetapkan sebesar 10% dari biaya gaji operator (Peter et al. 2004). Bila biaya gaji operator sebesar Rp /tahun maka biaya laboratorium mencapai Rp /tahun.

73 5) Biaya pemeliharaan Biaya pemeliharaan terdiri dari biaya pemeliharaan bangunan, instalasi, mesin dan peralatan serta kendaraan. Biaya ini diasumsikan 10% dari harga pembelian. Rincian biaya pemeliharaan ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 23. Rincian biaya pemeliharaan (dalam ribuan rupiah) No Komponen Subtotal (Rp) 1 Mesin dan peralatan Instalasi Pemipaan Instalasi Listrik Bangunan Perlengkapan Kendaraan Total biaya pemeliharaan ) Biaya asuransi Asuransi terdiri dari biaya dari objek yang diasuransikan. Objek yang diasuransikan antara lain bangunan, mesin dan peralatan serta kendaraan. Asumsi biaya asuransi sebesar 1% dari nilai beli objek. Rincian biaya asuransi ditunjukkan pada Tabel 24. Tabel 24. Rincian biaya asuransi (dalam rupian rupiah) No Komponen Subtotal (Rp) 1 Bangunan Mesin dan peralatan Kendaraan Total biaya asuransi ) Pajak Pajak yang dikenakan berupa pajak bumi dan bangunan serta pajak kendaraan. Pajak bumi dan bangunan diperhitungkan sebesar 0,1% /tahun dari total investasi kendaraan (UU No 22 tahun 1999). Rincian pajak ditunjukkan pada Tabel 25.

74 Tabel 25. Rincian pajak (dalam ribuan rupiah) No Komponen Subtotal (Rp) 1 Pajak Bumi dan bangunan Pajak kendaraan Total ) Biaya distribusi dan pemasaran Biaya distribusi dan pemasaran ditetapkan 2% dari biaya total produksi (biaya variabel dan biaya tetap), yaitu sebesar Rp Harga Penjualan dan Perkiraan Penerimaan Biaya per unit produk heavy duty cleaner ditentukan menggunakan metode full costing dengan rumus sebagai berikut: Biaya per unit produk = biaya tetap + biaya variabel Jumlah produk yang dihasilkan Biaya untuk memproduksi heavy duty cleaner per kilognya pada tahun pertama sebesar Rp , sedangkan pada tahun ke dua Rp , tahun ke tiga Rp , tahun ke empat Rp , tahun ke lima Rp dan tahun ke enam hingga tahun ke sepuluh mencapai Rp harga jual heavy duty cleaner perkilognya ditetapkan sebesar Rp , sehingga profit yang diterima berkisar antara 6,53 8,77%. Perkiraan penerimaan seluruhnya berasal dari penjualan heavy duty cleaner. Asumsi yang digunakan seluruh produksi habis terjual. Produksi heavy duty cleaner pada tahun pertama dan kedua mencapai 90% dari kapasitas terpasang. Hal ini mempertimbangkan daur hidup produk yang pada awal pendirian berada dalam fase pertumbuhan, sedangkan pada tahun ke tiga hingga ke sepuluh berada dalam fase stabil, yaitu produksi mencapai 100% kapasitas terpasang. Harga dan penerimaan industri heavy duty cleaner ditunjukkan pada Tabel 26.

75 Tahun Biaya Total (Rp) Tabel 26. Harga dan penerimaan (dalam ribuan rupiah) Kapasitas Produksi (kg) Biaya Produksi (Rp) Harga Jual (Rp) Profit (%) Penerimaan (Rp) , , , , , , , , , , Modal Kerja Modal kerja ini merupakan modal yang digunakan untuk menjalankan operasional perusahaan hingga memperoleh penerimaan. Penentuan nilai modal kerja ini dipengaruhi dengan perputaran modal kerja itu sendiri. Asumsi yang digunakan dalam penentuan modal kerja adalah sebagai berikut: 1. Account receivable (piutang usaha) sebesar 45 hari Hal ini mempertimbangkan konsumen baru membayar barang yang telah mereka beli selama 45 hari setelah mereka melakukan transakasi pembelian. 2. Account payable (hutang usaha) sebesar 45 hari Hal ini mempertimbangkan perusahaan dapat melakukan kredit pembelian bahan baku dalam jangka waktu 45 hari. 3. Inventori (persediaan) sebesar 15 hari Hal ini mempertimbangkan bahwa harus ada persediaan untuk minimal satu kapasitas tangki penyimpanan. Kapasitas satu tangki penyimpanan sendiri cukup menyimpan minyak selama 15 hari. Rincian kebutuhan modal kerja ditunjukkan pada Lampiran Pembiayaan Pendirian industri heavy duty cleaner ini dibiayai dengan modal sendiri dan modal pinjaman dari bank dengan perbandingan 65:35. Hal ini mengacu pada kebijakan salah satu bank yaitu bank Mandiri, bahwa maksimal porsi pembiayaan

76 bank, baik untuk modal investasi ataupun modal kerja maksimal 65%. Struktur pembiayaan ditunjukkan pada Tabel 27. Tabel 27. Struktur pembiayaan (dalam ribuan rupiah) Jenis Kredit Kebutuhan Modal sendiri Pinjaman 65 investasi 35%(Rp) %(Rp) Modal investasi tetap Modal Kerja Jumlah Lama masa peminjaman kredit modal investasi tetap adalah 5 tahun, sedangkan untuk kredit bunga modal investasi tetap maupun modal kerja. Hal ini mengacu pada bunga yang diberlakukan di bank Mandiri untuk pembiayaan industri turunan kelapa sawit. Pembayaran bunga ditetapkan dengan menggunakan metode slidding rate. Proyeksi pembayaran angsuran bersama bunganya pada tiap tahun ditunjukkan pada Tabel 28 dan Tabel 29. Tahun Tabel 28. Angsuran modal investasi tetap (dalam ribuan rupiah) Jumlah kredit (Rp) Angsuran pokok (Rp) Bunga (Rp) Jumlah Angsuran (Rp) Jumlah Tabel 29. Angsuran modal kerja (dalam ribuan rupiah) Tahun Jumlah Angsuran pokok Bunga Jumlah kredit (Rp) (Rp) (Rp) Angsuran (Rp) Jumlah

77 Proyeksi Laba Rugi Proyeksi laba rugi menggambarkan besarnya keuntungan dan kerugian pada industri ini. Proyeksi ini memuat mengenai pengeluaran dan penerimaan secara keseluruhan. Selisih antara penerimaan dengan pengeluaran produksi dinamakan laba operasi. Laba operasi setelah pengurangan pajak merupakan laba bersih. Pajak penghasilan ditetapkan sebesar 25%. Ini berdasarkan pajak penghasilan yang berlaku di Indonesia untuk badan perusahaan. Rincian laba rugi industri ditunjukkan pada Lampiran 19, sedangkan proyeksi laba rugi ditunjukkan pada Tabel 30. Tahun Tabel 30. Proyeksi laba rugi (dalam ribuan rupiah) Penerimaan (Rp) Biaya Produksi (Rp) Laba operasi Pajak Laba bersih Break Even Point (BEP) Break even point (BEP) merupakan titik dimana total biaya produksi sama dengan total biaya penerimaan. Analisis BEP menunjukkan pada tahun pertama industri ini harus menjual minimal sebesar kg, pada tahun ke dua sebesar kg, kemudian pada tahun ke tiga menurun menjadi kg dan terus menurun hingga pada tahun ke sepuluh. Titik impas berada pada kg, yaitu pada tahun ke enam. Titik impas industri heavy duty cleaner ditunjukkan pada Tabel 31.

78 Tahun Biaya Tetap (Rp) Tabel 31. Analisis BEP (dalam ribuan rupiah) Harga Jual (Rp) Produksi perunit Biaya Variabel per Unit (Rp) BEP (kg) BEP (Rp) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Kriteria Investasi Penilaian kriteria investasi menggunakan metode NPV, IRR, B/C ratio dan PBP. Tabel perhitungan metode NPV, IRR, B/C ratio dan PBP ditunjukkan pada Tabel 32. Tabel 32. Kriteria kelayakan investasi Kriteria kelayakan Nilai Satuan NPV Rp IRR 19 % B/C Ratio 1,52 PBP 5,36 tahun 1. Net Present Value (NPV) Net Present Value merupakan salah satu metode untuk menentukan kelayakan dengan mempertimbangkan nilai waktu uang. Nilai keuntungan yang diterima pada tahun sekarang akan berbeda pada keuntungan nilai yang akan datang walaupun secara nominalnya sama. Industri heavy duty cleaner ini memiliki NPV sebesar Rp dengan discount rate sebesar 12% (sesuai dengan bunga pinjaman). Nilai NPV industri ini menunjukkan nilai positif, sehingga dapat dikatakan industri ini layak. 2. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return merupakan tingkat yang menghasilkan NPV sama dengan nol. Industri dikatakan layak bila nilai IRR lebih besar dari

79 suku bunga yang telah ditetapkan. Nilai IRR industri ini adalah 19%. Nilai ini lebih besar dari tingkat suku bunga (12%), sehingga industri ini dapat dikatakan layak. 3. Benefit/ Cost Ratio (B/C Ratio) Benefit/ Cost Ratio merupakan perbandingan manfaat terhadap biaya. Bila nilai B/C ratio > 1 maka proyek layak dijalankan. Nilai B/C Ratio Industri heavy duty cleaner sebesar 1,52, sehingga layak untuk dijalankan. 4. Pay Back Period (PBP) Pay Back Period merupakan metode penilaian kriteria dengan tidak mempertimbangkan nilai waktu. Metode ini melihat berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan modal investasi awal. Perhitungan PBP menunjukkan bahwa pada tahun awal pendirian kas masih negatif sebesar Rp Hal yang sama juga terjadi pada tahun pertama, kas masih negatif sebesar Rp Tahun ke dua arus kas mampu menghasilkan Rp , tahun ke tiga menghasilkan Rp , tahun ke empat menghasilkan Rp , tahun ke lima menghasilkan Rp dan tahun ke enam menghasilkan Rp Ini menunjukkan pay back period terjadi antara tahun ke lima dan ke enam, yaitu 5,36 tahun atau sekitar 5 tahun lebih 4 bulan.

80 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Nilai daya cuci dipilih sebagai parameter penentu karena mewakili kinerja dari heavy duty cleaner dalam menghilangkan kotoran. Berdasarkan analisis keragaman, jenis MESA memberikan pengaruh nyata terhadap nilai daya cuci produk, sedangkan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh yang nyata. Nilai rata-rata daya cuci tertinggi yaitu pada jenis MESA olein dominan C 16 steady state. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa heavy duty cleaner yang menggunakan jenis MESA olein dominan C 16 steady state dengan konsentrasi NaOH 35% menghasilkan stabilitas emulsi 98,11%, daya pembusaan 9 ml/ ml larutan sampel 0,1%, stabilitas busa 13,75% dan daya cuci 91,31% sudah dapat digunakan. Berdasarkan empat kriteria investasi yang digunakan yaitu NPV (Rp ), IRR (19%), B/C Ratio (1,52) dan PBP (5,36 tahun) menunjukkan bahwa industri heavy duty cleaner layak untuk dijalankan Saran Dalam proses pencucian, pada penelitian ini menggunakan dosis aplikasi 1%. Dosis ini belum memberikan hasil yang optimum, sehingga perlu dicari kembali dosis aplikasi heavy duty cleanaer untuk proses pencuciannya.

81 DAFTAR PUSTAKA Ahmed FU, penemu; Kay Chemical Incorporated. 5 Desember Heavy Duty Degreaser Cleaning compositions and Methods of Using The Same. US paten Anonim a. Detergen Formulatory. PQ Coorporation, Penysilvania. Anonim b. Caustic Soda (Sodium Hidroksida). Georgia Gulf Corporation. Plaquemine, Louisiana [AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analitical Chemist Washington: AOAC. [ASTM] American Society for Testing and Material Annual Book of ASTM Standards: Soap and Other Detergents, Polishes, Leather, Resilient Floor Covering. Baltimore: ASTM Austin GT Shreve s Chemical Process Industries. Fifth Edition. Singapore: McGraw-Hill. Baker J, penemu; The procter & Gamble Company. 16 Desember Process for Making Sulfonated Fatty Acid Alkyl Ester Surfactant. US patent Basiron Y Bailey s Industrial oil and Fat Products. Edisi ke-5 Volume ke-2. New York: J Wiley. Bennet H Practical Emulsion. Edisi ke-2. New York, USA: Chemical Publshing Co. Inc, Brooklyn. Berger P Surfactants Based on Monounsaturated Fatty Acids for Enhanced Oil Recovery. Inform 20: Bernardini E Vegetable oils and fats processing. Volume ke-2. Rome: Interstampa. Buehr W Caustic Soda Production Tecnique. Park Ride: Noyes. Cole PA, Thompson PR Probing the mechanism of enzymatic phosphoryl transfer with a chemical trick. Proc Natl Acad Sci 98: Cooper DG, Zajic JE Surface Active Compound From Microorganism. Adv Appl Microbiol 26:

82 Darnoko D, Cheryan M Continous Produstion of Palm Methyl Ester. J Am Oil Chem Soc 77(12): Djamin Z Perencanaan dan Analisis Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Durbut P Surface Activity. Handbook of Detergents Part A: Properties. New York: Marcel Dekker. Edris M Penuntun Penyususn Studi Kelakyakan Proyek. Bandung: Sinar Baru. Flick EW Advance Cleaning Product Formulation. Vol 5. New York: Noyes Publ. William Andrew Publishing, LCC. Flider FJ Commercial Considerations and Market for Naturally Derived Biodegradable Surfactants. Inform 12(12): Foster NC Sulfonation and Sulfation Processes. In: Spitz, L. (Ed). Soap and Detergens: Atheoretical and Practical Rev. AOCS Press, Champaign, Illinois. Georgeiou G, Lin S dan Sharma MM Surface-Active Compounds From Microorganism. J. Biotechnol 10: Gerpen JV Biodiesel Processing and Production. Fuel Processing Technol 86: Gray C, Simanjuntak P, Sabur LK, Maspatiella PFL, Varley RGC Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: PT Gedia Pustaka Utama. Gunstune F D, Harwood JL, Padly FB The Lipid. Edisi ke-2. USA. Hambali E, M Rivai, P Suarsana, Sugihardjo dan E Zulchaidir, peneliti Peningkatan Nilai Tambah Minyak Sawit Melalui Perkembangan Teknologi Proses Produksi Surfaktan MES dan Aplikasinya untuk meningkatkan Produksi Minyak Bumi Menggunakan Metode Huff dan Puff. Buku Catatan Harian Peneliti Periode Juni Oktober SBRC LPPM-IPB. Bogor. Hasenhuettl GL Overview of Food Emulsifier. In : Food Emulsifier and Their Applications. G.L. Hasenhuettl dan R.W. Hartel (Eds.). New York: Chapman & Hall. Hargreaves T Chemical Formulation : An Overview surfactant-based Preparations Used in Everyday Life. Cambridge: RSC Paperbacks. Hui YH Bailey s Industrial Oil and Fat Product. Vol ke-3. United State: A Wiley Interscience Publication. J Wiley.

83 Husnan S dan Suwarsono Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: AMP YKPN Ibrahim YHM Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: PT. Rineka Cipata. Jungermann E Bailey s Industrial Oil and Fat Product. Edisi ke-4, volume ke-1. New York: J Wiley. Ketaren S Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak. Jakarta: UI-Press. Knothe G Structure indices in fatty acid chemistry. J Am Oil Chem Soc 79: Knothe G Five Approaches to Improving the Fuel Properties of Biodiesel [abstract]. Including "Designer" Biodiesel 2nd International Congress on Biodiesel. Munich, Germany. Lee SH, Faessler, Peter, Kolmetz K, Seang KW Advanced fractionation technology for the oleochemical industry. Paper : Oil and Fats International Congress 2004, World Congress on Oleochemicals 2004, Malaysian Palm Oil Board, Malaysia Leung DYC, Guo Y Transesterification of neat and used frying: optimization for biodiesel production. Fuel Processing Technol 87: Ma F, Hanna MA Biodiesel Production : Areview. Bioresource Technol 70: MacArthur BW, Brooks B, Sheats WB, Foster NC Meeting The Challenge of Methylester Sulfonation. USA: The Chemiton Corporation. Matheson KL Formulation of Household and Industrial Detergents. In : Soap and detergens : A Theorotical and Practical Review. Spitz, L. (Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois. Meher LC, Vidya Sagar D, Naik SN Technical Aspects of Biodiesel Produsction by Transesterification a review. Renewable and Sustainable Energy Rev 10: Mittelbach ML Catalyze Alcoholysis of Sunflower Oil. J Am Chem Soc 67(3): Mittelbach M, Koncar M Process for Preparing Fatty Acid Alkyl Esters. European Patent EP B1.

84 Mujdalipah S Proses produksi Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Olein Sawit Menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (STFR) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nantakupa DMH Foemulasi Deterjen Cari Berbasis Asam Sebagai Biodegradable Hard Surface Cleaner [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nimcevic D, Puntigam R, Worgetter M, Gapes R Preparation of Rapeseed Oil ester of Low Aliphatic Alcohol. J Am Oil Chem Soc 77 (3): Palmor JF, penemu. 16 Agustus Vissualy Enhancing Heavy Duty Degreaser-Cleaning Composition. US patent B1. Peters MS, Klaus DT, Ronald EW Plant Design and Economic Chemichal Engineering. New York: Mc Graw-Hill. Pore J Oil and Fats Manual. Intercept Ltd, Andover, New York. Ramadhas AS, Jayaraj S, Muraleedharan C Biodiesel production from hight FFA rubber seed oil. Fuel 84: Roberts DW, Giusti L, Forcella A Chemistry of Methyl Ester Sulfonates. Biorenew Res 5:2-19. Rosen MJ Surfactans and Interfacial Phenomena. Edisi ke-3. New jersey: J Wiley. Sahoo PK, Das LM, Babu MKG, Maik SN Biodiesel Development from High acid Value Polanga Seed Oil and Performance Evaluation in a Cl engine. Fuel. 86: Salunkhe JK, Chavan RN, Adsule SS, Khadam World Oilseeds Chemistry, Technology, and Utilization. New York : AVI Book Publ. by van Nostrans Reinhold. Schick MJ Nonionic Surfactants Physical Chemistry. New York: Marcel Dekker. Schueller R, Romanousky P Cosmetics and Toiletries Magazine: Understanding Emulsions. Illinois: Allured Publishing Corp. Selwyn JA, River F, James OG, penemu; Chemtrust Industries Corporation. 12 Februari Heavy Duty Exothermic All-Purpose Cleaning Composition. US patent Sharma YC, Singh B Development of biodiesel: Current scenario. Renewable and Sustainable Energy Rev 13:

85 Shaw DJ Introduction to Colloid and Surface Chemistry. Oxford: Butterworhts. Sheats WB, MacArthur BW Methyl Ester Sulfonate Products. USA: The Cheminthon Corporation. Sherry AE, Chapman BE, Creedon MT, Jordan JM, Moese RL Nonbleach process for the puryfication of palm C16 18 methyl ester sulfonates. J Am Oil Chem Soc 72(7): Sibuea P Virgin Coconut Oil: Penyembuh Ajaib dari Buah Kelapa. Bogor: LIPI. Sidik NR Kajian Pengaruh Konsentrasi Metil Ester Sulfonat (MES) dan Konsentrasi Alkali (KOH) Terhadap Kinerja Deterjen Cair Industri. [skripsi] Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Smith FD, Stirton J Alpha-Sulfonation of Alkyl Palmitates and Strearates. J Am Oil Chem Soc 44: [SNI] Standar Nasional Indonesia Metil Ester. Jakarta: SNI No Soeharto Manajemen Proyek dari Konseptual Sampai Operasional. Jakarta: Erlangga. Stein W, Baumann H α-sulfonated Fatty Acids and Esterss: Manufacturing Process, Properties, and Aplications. J Am Chem Soc 50: Strand DL, Maplewood, Roger LA, penemu; Minnesota Mining and Manifacturing Company. 21 Maret Heavy Duty Aerosol Cleaner. US patent Susi Proses Aging Pasca Sulfonasi Metil Ester Olein Sawit Menggunakan Singletube Falling. Film Reactor (STFR) dan Pengaruhnya Terhadap Karakteristik MESA. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Swern D Bailey s Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke-4 volume ke- 1. New York: J Wiley. Tadros TF Encyclopedia of Physical Science and Technology. Edisi ke-2 volme ke-16. California: Academic Pr, Inc. Umar H Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: PT. Gedia Pustaka Utama.

86 Vicente G, Martinez M, Aracil J Integrated biodiesel production : a comparison of different homogenous catalysts systems. Bioresource Technol 92 : Watkins C All Eyes are on Texas. Inform 12 : Worgetter M, Prankl H, Rathbauer J Eigenschaften von Biodiesel. Fachtagung biodiesel. Optimierungspotentiale and Umwelteffekte. Landbauforschung Volkenrode. Sonerhelft 190: Yamada K, Matsutani S Analysis of the Dark-Colored Impurities in Sulfonated Fatty Acid Methyl Ester. J Am Oil Chem Soc 73:

87 LAMPIRAN

88

89 Lampiran 1. Prosedur analisis metil ester olein 1. Densitas Biodiesel (SNI ) Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel pada suhu 25 o C dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Peralatan yang digunakan adalah piknometer 5 ml. Piknometer dibersihkan dengan cara dibilas dengan aseton kemudian dengan dietil eter. Piknometer kosong diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W0). Piknometer yang bersih dan kering diisi dengan air destilasi yang telah didihkan dan didinginkan pada suhu 20oC dan piknometer disimpan dalam water bath (penangas air) pada suhu konstan 25oC selama 30 menit. Piknometer berisi air diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W1). Catat volume air dalam piknometer (V1). Piknometer dibersihkan dan dikeringkan. Sampel dimasukkan ke dalam piknometer hingga meluap dan pastikan tidak terbentuk gelembung udara lalu ditutup. Piknometer bagian luar dikeringkan, kemudian piknometer berisi sampel dimasukkan ke dalam penangas pada suhu konstan 25oC selama 30 menit. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W2). Densitas = W 2 W 0 V 1 Keterangan : V1 = volume air dalam piknometer W0 = bobot piknometer kososng W1 = bobot piknometer beserta air W2 = bobot piknometer beserta sampel 2. Bilangan Iod (AOAC, 1995) Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 g di dalam erlenmeyer 200 ml, lalu dilarutkan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan di atas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama 1 jam. Sebagian iodiom akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15%. iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na 2 S 2 O 3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu pekat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji 1% dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Balanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak Bilangan iod = (B-S) x N x 12,69 G Keterangan: B = ml Na 2 S 2 O 3 blanko S = ml Na 2 S 2 O 3 contoh N = normalitas Na 2 S 2 O 3 G = berat contoh 12,69 = berat atom iod/10

90 3. Bilangan Penyabunan (SNI ) Sebanyak 2 g contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 25 ml KOH alkohol 0,5 N dengan menggunakan pipet dan beberapa butir batu didih. Erlenmeyer yang berisi larutan dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan di atas penangas air atau penangas listrik selama satu jam. Lalu ditambahkan 0,5 1 ml fenolftalein ke dalam larutan tersebut dan dititer dengan HCl 0,5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna. Lakukan juga blanko. Bilangan penyabunan = 56,1 x T x (V 0 V 1 ) m Keterangan: V 0 = volume HCl 0,5 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml) V 1 = volume HCl 0,5 N yang diperlukan pada peniteran contoh (ml) M = bobot contoh (g) 4. Metode Analisis Standar Bilangan Asam, FFA, dan Derajat Asam Biodiesel Sebanyak ± 0,05 g contoh biodiesel ester alkil ditimbang ke dalam sebuah labu erlenmeyer 250 ml, kemudian 100 ml campuran pelarut yang telah dinetralkan ditambahkan ke dalam labu erlenmeyer tersebut. Dalam keadaan teraduk kuat, larutan isi labu Erlenmeyer dititrasi dengan larutan KOH dalam alkohol sampai kembali berwarna merah jambu dengan intensitas yang sama seperti pada campuran pelarut yang telah dinetralkan di atas. Warna merah jambu ini harus bertahan paling sedikitnya 15 detik. Volume titran yang dibutuhkan dicatat. Bilangan Asam = Kadar FFA = Derajat Asam = 56,1 x V x N m M x V x N 10 m 100 x V x N m Keterangan : V = volume larutan KOH dalam alkohol yang dibutuhkan pada titrasi (ml) N = normalitas eksak larutan KOH dalam alkohol m = berat contoh biodiesel ester alkil (g)

91 Lampiran 2. Diagram alir pengolahan methyl ester sulfonic acid Metil Ester Fraksinasi Sulfonasi ME C 16 ME C 18:1 ME C 16 MESA off grade Generator SO 3 SO 3 Air Supply MESA Oksidasi ( o C) Burning (700 o C) Melting (136 o C) Sulfur Supply

92 Lampiran 3. Prosedur analisis methyl ester sulfonic acid (MESA) 1. Tegangan Permukaan Metode du Nouy (ASTM D 1331, 2000) Metode pengujian ini dilakukan untuk menentukan tegangan permukaan larutan surfaktan dengan menggunakan alat Tensiometer du Nouy. Peralatan dan wadah contoh yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu. Wadah yang digunakan biasanya terbuat dari bahan gelas dengan diameter lebih besar dari 6 cm. Wadah gelas dicuci dengan larutan chromicsulfuric acid, kemudian dibilas dengan air destilata. Cincin platinum merupakan bagian dari alat Tensiometer, memiliki diameter 4 atau 6 cm. Sebelum digunakan, cincin dicuci terlebih dahulu dengan pelarut yang sesuai dan dibilas dengan air destilata, lalu dikeringkan. Posisi alat diatur supaya horizontal dengan water pas dan diletakkan pada tempat yang bebas dari gangguan, seperti getaran, angin, sinar matahari dan panas. Larutan contoh dimasukkan ke dalam gelas dan diletakkan diatas dudukan (platform) pada Tensiometer. Suhu cairan sampel diukur dan dicatat. Selanjutnya cincin platinum dicelupkan ke dalam sampel tersebut (lingkaran logam tercelup 3-5 mm di bawah permukaan cairan), dengan cara menaikkan dudukan (platform). Skala vernier Te nsiometer di set pada posisi nol dan jarum penunjuk harus berada pada posis berimpit dengan garis pada kaca. Selanjutnya platform diturunkan perlahan, dan pada saat yang bersamaan skrup kanan diputar sedemikian rupa sehingga jarum penunjuk tetap berimpit dengan garis pada kaca. Proses ini diteruskan sampai film cairan tepat putus. Pada saat cairan putus skala dibaca dan dicatat sebagai nilai tegangan permukaan. Pengukuran dilakukan paling sedikit dua kali. Kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan permukaan dapat dilakukan dengan menambahkan konsentrasi surfaktan sebanyak 10 persen (dalam air). Nilai tegangan permukaan setelah ditambahkan surfaktan diukur kembali. Kemudian dibandingkan nilai tegangan permukaan air sebelum dan sesudah ditambahkan surfaktan. 2. Densitas Tahap awal pengukuran densitas minyak ditentukan bobot air terlebih dahulu. Piknometer bersih dan kering ditimbang di dalam neraca analitik dan dicatat bobot piknometer kosong. Kemudian piknometer diisikan dengan air destilasi yang telah didihkan dan dinginkan pada suhu 20 o C selama 10 menit dan simpan piknometer dalam water bath bersuhu konstan o C selama 30 menit. Kemudian piknometer diangkat, dikeringkan, dan ditimbang. Dicatat bobot piknometer berisi air. Dalam tahap kedua tentukan bobot contoh. Contoh yang telah disaring didinginkan sampai suhu 20 o C selama 10 menit, lalu dimasukkan ke dalam piknometer hingga meluap dan pastikan tidak terbentuk gelembung udara. Kemudian dikeringkan bagian luar piknometer dan kemudian ditempatkan piknometer dalam water bath bersuhu konstan 25 o C selama 30 menit. Setelah itu piknometer diangkat, dikeringkan, dan ditimbang. Dicatat bobot piknometer yang berisi contoh minyak. Kemudian dihitung densitas dari contoh surfaktan. Perhitungan Densitas:

93 Densitas = (berat pignometer dan contoh) (berat pignometer kosong) (berat pignometer dan air) (berta pignometer kosong 3. Viskositas Pengukuran viskositas atau kekentalan sampel dilakukan dengan pengisian sampel ke dalam gelas piala 250 ml. Penentuan nilai viskositas menggunakan viskometer Brookfield dengan spindel nomor 1 pada putaran 50 rpm jika menggunakan Model RV atau 30 rpm jika menggunakan Model LV viskometer. Steker dipastikan telah dipasang pada power supply. Tombol hitam pada viskometer digunakan sebagai pengontrol on (ke kanan) untuk menyalakan, off untuk mematikan (ke kiri), atau pause (tengah). Viskometer LV dapat diset untuk 4 macam spindel dengan kaki penahan yang lebih sempit; viskometer RV diset untuk 7 macam spindel dengan wadah dengan kaki penahan yang lebih lebar; HA dan HB viskometer diset untuk 7 macam spindel tanpa kaki. Kecepatan (dalam rpm) diatur dengan tombol di bagian atas viskometer pada kecepatan yang diinginkan. Viskometer yang digunakan adalah viskometer LV dengan kecepatan 30 rpm Jarum merah untuk membaca skala dipastikan di titik nol. Gunakan tuas di belakang viskometer untuk mengatur kemiringan sehingga jarum merah berhimpit pada titik nol. Spindel dipasang sesuai kekentalan sampel. Makin kental sampel, makin kecil nomor spindel yang digunakan. Sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml. Kaki penahan diturunkan tetapi tidak sampai menyentuh dasar gelas piala. Tombol kontrol ditekan on. Saat piringan skala berputar, skala yang ditunjuk jarum merah dibaca pada putaran pertama.

94 Lampiran 4. Prosedur analisis produk heavy duty cleaner 1. Stabilitas Emulsi (Acton dan Saffle, 1970) Sejumlah bahan emulsi yang sudah ditimbang seberat 5 g dimasukkan ke dalam wadah alumunium. Wadah dan bahan tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45 o C selama satu jam, kemudian bersuhu 0 o C selama satu jam. Selanjutnya dipanaskan kembali dalam oven dengan suhu 45 o C dan biarkan sampai beratnya konstan. Rumus untuk menghitung stabilitas emulsi adalah sebagai berikut: Berat fase yang tersisa SE (%) = x 100% Berat total emulsi 2. Daya Pembusaan dan Stabilitas Busa (Malayasian Palm Oil Board, 2001) Larutan sampel 0,1% sebanyak 200 ml diblender pada kecepatan level satu selama tiga detik, kemudian dimasikkan kedalam gelas ukur 500 ml. Volume busa dicatatsetelah didiamkan 0,5 menit dan 5,5 menit. Nilai daya pembusaan adalah volume busa setelah pendiaman selama 0,5 menit. Stabilitas busa adalah perbandingan volume busa ketika 5,5 menit terhadap volume busa 0,5 menit. 3. Daya Pencucian Bahan Pengotor pada Pipa (Lynn, 2005, modifikasi) Sampel heavy duty cleaner sebanyak 1% dilarutkan di dalam air dan digunakan sebagai larutan pencuci. Pipa bersih ditimbang dan dihitung sebagai M1. Pipa direndam ke dalam pengotor selama 30 menit dan ditimbang sebagai M2. Pipa kotor direndam dalam larutan pencuci selama 30 menit dan cuci, ditimbang sebagai M3. M3 M1 Daya deterjensi = x 100 M1 M2

95 Lampiran 5. Proses fraksinasi metil ester olein Rangkaian fractional distillation system Metil ester dominan C 16 hasil fraksinasi

96 Lampiran 6. Proses produksi methyl ester sulfonic acid (MESA) Proses sulfonasi menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (STFR) MESA hasil sulfonasi metil ester olein

97 Lampiran 7. Proses pembuatan heavy duty cleaner Pemanasan MESA (60 80 o C) sebelum ditambahkan NaOH Heavy duty cleaner dan produk komersial sebagai pembanding

98 Lampiran 8. Data hasil penelitian dan hasil analisis ragam terhadap stabilitas emulsi heavy duty cleaner A. Data hasil uji stabilitas emulsi heavy duty cleaner Konsentrasi NaOH Jenis MESA MESA 1 MESA 2 MESA 3 MESA 4 35% 97,90 96,74 99,01 98,11 40% 97,15 97,98 99,29 98,43 45% 99,09 98,52 97,50 99,18 50% 98,75 99,20 98,99 99,49 B. Tabel anova Source of Variation SS df MS F F crit Sample 6, , , , Columns 2, , , , Interaction 11, , , , Within 18, , Total 38, Keterangan: F hitung < F tabel, tidak berbeda nyata pada α = 0,05

99 Lampiran 9. Analisis daya pembusaan dan stabilitas busa pada heavy duty cleaner Larutan heavy duty cleaner 1% Pengukuran daya pembusaan dan stabilitas busa

100 Lampiran 10. Data hasil penelitian, hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap daya pembusaan heavy duty cleaner A. Data hasil uji daya pembusaan heavy duty cleaner Konsentrasi NaOH Jenis MESA MESA 1 MESA 2 MESA 3 MESA 4 35% 45,00 9,00 11,50 9,00 40% 52,50 11,00 12,00 10,50 45% 55,00 12,00 14,00 17,50 50% 40,00 17,50 40,00 11,00 B. Tabel anova Source of Variation SS df MS F F crit Sample 235, , , , Columns 8129, ,76 24,9496 3, Interaction 196, , , , Within 1737, ,6094 Total 10299,72 31 Keterangan: F hitung < F tabel, tidak berbeda nyata pada α = 0,05 F hitung > F tabel, berbeda nyata pada α = 0,05 C. Uji lanjut Duncan Duncan Grouping Mean MESA A 48,438 1 B 12,188 4 B 11,875 3 B 10,875 2

101 Lampiran 11. Data hasil penelitian, hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas busa heavy duty cleaner A. Data hasil uji stabilitas busa heavy duty cleaner Konsentrasi NaOH Jenis MESA MESA 1 MESA 2 MESA 3 MESA 4 35% 48,21 16,11 17,42 13,75 40% 43,75 13,33 15,56 11,82 45% 46,19 12,50 13,85 9,46 50% 61,90 9,09 10,10 8,85 B. Tabel anova Source of Variation SS df MS F F crit Sample 235, , , , Columns 8129, ,76 24,9496 3, Interaction 196, , , , Within 1737, ,6094 Total 10299,72 31 Keterangan: F hitung < F tabel, tidak berbeda nyata pada α = 0,05 F hitung > F tabel, berbeda nyata pada α = 0,05 C. Uji lanjut Duncan Duncan Grouping Mean MESA A 50,014 1 B 14,213 3 B 14,226 2 B 10,658 4

102 Lampiran 12. Analisis daya cuci pada heavy duty cleaner Perendaman pipa dalam pengotor (oli bekas) Perendaman pipa yang sudah direndam pengotor dalam larutan pencuci (heavy duty cleaner)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006). 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jarak Pagar Jarak Pagar (Jatropha curcas L) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati non pangan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Selain tidak

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. METIL ESTER CPO 1. Minyak Sawit Kasar (CPO) Minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) merupakan hasil olahan daging buah kelapa sawit melalui proses perebusan (dengan steam)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi. Jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Inti Sawit (PKO) Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit semula

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surface active agent (surfactant) merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang bersifat ampifatik, yaitu senyawa yang mempunyai gugus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisikokimia ME Stearin Proses konversi stearin sawit menjadi metil ester dapat ditentukan dari kadar asam lemak bebas (FFA) bahan baku. FFA merupakan asam lemak jenuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Crude Palm il (CP) Minyak sawit kasar merupakan hasil ekstraksi dari tubuh buah (mesokarp) tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ).Minyak sawit digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis sifat fisiko-kimia CPO Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Asian Agri Grup. Analisis sifat fisiko kimia CPO

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisiko Kimia Minyak Jarak Pagar. Minyak jarak yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn) yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya.

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya. LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN KOMPOSISI KATALIS TERHADAP PEMBUATAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS CPO (CRUDE PALM OIL) MENGGUNAKAN AGEN SULFONAT NaHSO 3 Diajukan Sebagai Persyaratan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN Surfaktan adalah molekul organik yang jika dilarutkan ke dalam pelarut pada konsentrasi rendah maka akan memiliki kemampuan untuk mengadsorb (atau menempatkan diri) pada

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber: Anonim, 2017) Gambar 1. Bagian-bagian Buah Kelapa Sawit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber: Anonim, 2017) Gambar 1. Bagian-bagian Buah Kelapa Sawit BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Sawit Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari biji (kernel).

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Stearin Penelitian pembuatan surfaktan metil ester sulfonat (MES) ini menggunakan bahan baku metil ester stearin sawit. Stearin sawit

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Wellable Indonesia di daerah Lampung. Analisis biji jarak dilakukan

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU INPUT PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER STEARIN RENNY UTAMI SOMANTRI

PENGARUH SUHU INPUT PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER STEARIN RENNY UTAMI SOMANTRI PENGARUH SUHU INPUT PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER STEARIN RENNY UTAMI SOMANTRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk memproduksi MESA adalah Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Gambar STFR dapat dilihat pada Gambar 6. Untuk menganalisis tegangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Goreng Curah Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Minyak goreng berfungsi sebagai media penggorengan yang

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN : PENGARUH PENAMBAHAN KATALIS KALIUM HIDROKSIDA DAN WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI BIODIESEL MINYAK BIJI KAPUK Harimbi Setyawati, Sanny Andjar Sari, Hetty Nur Handayani Jurusan Teknik Kimia, Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ketertarikan dunia industri terhadap bahan baku proses yang bersifat biobased mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pesat ini merujuk kepada karakteristik bahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut BP Statistical Review 2011, sejak tahun 2003 untuk pertama kalinya Indonesia mengalami defisit minyak dimana tingkat konsumsi lebih tinggi dibanding tingkat produksi.

Lebih terperinci

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin. Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana berarti lemak dan minyak merupakan triester dari gliserol. Dari pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa lemak dan minyak merupakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT (MES) Pada penelitian ini surfaktan MES yang dihasilkan berfungsi sebagai bahan aktif untuk pembuatan deterjen cair. MES yang dihasilkan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Minyak goreng adalah salah satu unsur penting dalam industri pengolahan makanan. Dari tahun ke tahun industri pengolahan makanan semakin meningkat sehingga mengakibatkan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PROSES TRANSESTERIFIKASI OLEIN MENJADI BIODIESEL Pemilihan proses yang tepat dalam produksi metil ester berbahan baku olein sawit adalah proses transesterifikasi. Proses ini

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F34103041 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) CPO merupakan produk sampingan dari proses penggilingan kelapa sawit dan dianggap sebagai minyak kelas rendah dengan asam lemak bebas (FFA) yang tinggi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar rendah emisi pengganti diesel yang terbuat dari sumber daya terbarukan dan limbah minyak. Biodiesel terdiri dari ester monoalkil dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tahun ini produksi minyak bumi selalu mengalami penurunan, sedangkan konsumsi minyak selalu mengalami penaikan. Menurut Pusat Data Energi dan Sumber Daya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan pada produk sabun transparan yang dihasilkan berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan bakar fosil telah banyak dilontarkan sebagai pemicu munculnya BBM alternatif sebagai pangganti BBM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembuatan surfaktan tidak hanya dalam pencarian jenis surfaktan yang baru untuk suatu aplikasi tertentu di suatu industri, tetapi juga melakukan pencarian

Lebih terperinci

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP Eka Kurniasih Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan km. 280 Buketrata Lhokseumawe Email: echakurniasih@yahoo.com

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT Disusun Sebagai Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Diploma III pada

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

Biodiesel Dari Minyak Nabati

Biodiesel Dari Minyak Nabati Biodiesel Dari Minyak Nabati Minyak dan Lemak Minyak dan lemak merupakan campuran dari ester-ester asam lemak dengan gliserol yang membentuk gliserol, dan ester-ester tersebut dinamakan trigliserida. Perbedaan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT Diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Diploma III

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR Galih Prasiwanto 1), Yudi Armansyah 2) 1. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan untuk membuat sabun transparan berasal dari tiga jenis minyak,

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama yang dikembangkan di Indonesia. Dewasa ini, perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Hal ini dikarenakan kelapa sawit dapat meningkatkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Desember 2010. Penelitian dilakukan di laboratorium di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa sawit yang ada. Tahun 2012 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 9.074.621 hektar (Direktorat

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES SULFONASI DALAM PROSES PRODUKSI METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR (STFR)

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES SULFONASI DALAM PROSES PRODUKSI METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR (STFR) PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES SULFONASI DALAM PROSES PRODUKSI METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR (STFR) Effects of Temperature and Sulfonation Time on Methyl

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SABUN TRANSPARAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SABUN TRANSPARAN II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SABUN TRANSPARAN SNI (1994) mendefinisikan sabun sebagai pembersih yang dibuat melalui reaksi kimia antara basa natrium atau kalium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Industri Kimia Banyak proses kimia yang melibatkan larutan homogen untuk meningkatkan laju reaksi. Namun, sebagian besar pelarut yang digunakan untuk reaksi adalah

Lebih terperinci

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave) Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave) Dipresentasikan oleh : 1. Jaharani (2310100061) 2. Nasichah (2310100120) Laboratorium

Lebih terperinci

Gambar 1. Kelapa Sawit dan Hasil Pengolahan Kelapa Sawit

Gambar 1. Kelapa Sawit dan Hasil Pengolahan Kelapa Sawit BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Sawit (Palm Oil) Dari gambar 1, kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas L.) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR

Lebih terperinci

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas. DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.l) Yeti Widyawati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIDIESEL Biodiesel merupakan sumber bahan bakar alternatif pengganti solar yang terbuat dari minyak tumbuhan atau lemak hewan. Biodiesel bersifat ramah terhadap lingkungan karena

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Bahan Baku, Pengepressan Biji Karet dan Biji Jarak Pagar, dan Pemurnian Minyak Biji karet dan biji jarak pagar yang digunakan sebagai bahan baku dikeringanginkan selama 7

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SURFAKTAN DAN KINERJA SURFAKTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SURFAKTAN DAN KINERJA SURFAKTAN II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SURFAKTAN DAN KINERJA SURFAKTAN Surfaktan merupakan senyawa kimia yang memiliki aktivitas pada permukaan yang tinggi. Peranan surfaktan yang begitu berbeda dan beragam disebabkan

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO Dosen Pembimbing : Dr. Lailatul Qadariyah, ST. MT. Prof. Dr. Ir. Mahfud, DEA. Safetyllah Jatranti 2310100001 Fatih Ridho

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Peningkatan nilai tambah produk turunan minyak jarak pagar mutlak diperlukan agar industri biodiesel jarak pagar dapat berkembang dengan baik. Saat ini, perkembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti natrium stearat, (C 17 H 35 COO Na+).Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkan melalui kekuatan pengemulsian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) CPO (Crude Palm Oil) merupakan minyak kelapa sawit kasar yang berwarna kemerah-merahan yang diperoleh dari hasil ekstraksi atau pengempaan daging buah kelapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Biodiesel dari proses transesterifikasi menghasilkan dua tahap. Fase atas berisi biodiesel dan fase bawah mengandung gliserin mentah dari 55-90% berat kemurnian [13].

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, kebutuhan manusia akan bahan bakar semakin meningkat. Namun, peningkatan kebutuhan akan bahan bakar tersebut kurang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Gliserol dengan nama lain propana-1,2,3-triol, atau gliserin, pada temperatur kamar berbentuk cairan memiliki warna bening seperti air, kental, higroskopis dengan rasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS II. 1 Tinjauan Pustaka II.1.1 Biodiesel dan green diesel Biodiesel dan green diesel merupakan bahan bakar untuk mesin diesel yang diperoleh dari minyak nabati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia dan merupakan kunci utama diberbagai sektor. Semakin hari kebutuhan akan energi mengalami kenaikan seiring dengan

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml) LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi Berat Mikroalga Kering (gr) Volume Pelarut n-heksana Berat minyak (gr) Rendemen (%) 1. 7821 3912 2. 8029 4023 20 120 3. 8431

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Minyak Jarak Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik minyak jarak yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan faktis gelap. Karakterisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian Kualitas minyak mentah dunia semakin mengalami penurunan. Penurunan kualitas minyak mentah ditandai dengan peningkatan densitas, kadar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketercukupannya, dan sangat nyata mempengaruhi kelangsungan hidup suatu

BAB I PENDAHULUAN. ketercukupannya, dan sangat nyata mempengaruhi kelangsungan hidup suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat dihindari ketercukupannya, dan sangat nyata mempengaruhi kelangsungan hidup suatu bangsa di masa sekarang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR Gliserol hasil samping produksi biodiesel jarak pagar dengan katalis KOH merupakan satu fase yang mengandung banyak pengotor.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan ubi kayu yang mencapai 26.421.770 ton/tahun (BPS, 2014). Pemanfaatan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR. PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4

LAPORAN AKHIR. PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4 LAPORAN AKHIR PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4 Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

II. DESKRIPSI PROSES

II. DESKRIPSI PROSES II. DESKRIPSI PROSES Usaha produksi dalam pabrik kimia membutuhkan berbagai sistem proses dan sistem pemroses yang dirangkai dalam suatu sistem proses produksi yang disebut teknologi proses. Secara garis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan sumber bahan bakar semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Akan tetapi cadangan sumber bahan bakar justru

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA MELALUI PROSES TRANS-ESTERIFIKASI. Pardi Satriananda ABSTRACT

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA MELALUI PROSES TRANS-ESTERIFIKASI. Pardi Satriananda ABSTRACT Jurnal Reaksi (Journal of Science and Technology) PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA MELALUI PROSES TRANS-ESTERIFIKASI Pardi Satriananda ABSTRACT Ethyl ester and gliserol produce by reacting coconut

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi) Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU L1.1 KOMPOSISI TRIGLISERIDA BAHAN BAKU MINYAK SAWIT MENTAH CPO HASIL ANALISA GC-MS Tabel L1.1 Komposisi Trigliserida CPO Komponen Penyusun Komposisi Berat Mol %Mol %Mol x (%)

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Katalis Katalis merupakan suatu senyawa yang dapat meningkatkan laju reaksi tetapi tidak terkonsumsi oleh reaksi. Katalis meningkatkan laju reaksi dengan energi aktivasi Gibbs

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Hasil penentuan asam lemak bebas dan kandungan air Analisa awal yang dilakukan pada sampel CPO {Crude Palm Oil) yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Minyak Nabati Minyak dan lemak adalah triester dari gliserol, yang dinamakan trigliserida. Minyak dan lemak sering dijumpai pada minyak nabati dan lemak hewan. Minyak umumnya

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU L1.1 KOMPOSISI ASAM LEMAK BAHAN BAKU CPO HASIL ANALISIS GCMS Tabel L1.1 Komposisi Asam Lemak CPO Asam Lemak Komposisi Berat (%) Molekul Mol %Mol %Mol x BM Asam Laurat (C 12:0

Lebih terperinci